Apa Sih Kecerdasan Emosial Itu
description
Transcript of Apa Sih Kecerdasan Emosial Itu
Apa Sih Kecerdasan Emosial Itu?
DITULIS OLEH WEB ADMINISTRATOR SELASA, 18 AGUSTUS 2009
07:52
Pengertian emosiKata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman (2002 : 411) emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis.
Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku intensional manusia (Prawitasari,1995)
Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi, antara lain Descrates. Menurut Descrates, emosi terbagi atas : Desire (hasrat), hate (benci), Sorrow (sedih/duka), Wonder (heran), Love (cinta) dan Joy (kegembiraan). Sedangkan JB Watson mengemukakan tiga macam emosi, yaitu : fear (ketakutan), Rage(kemarahan), Love (cinta). Daniel Goleman (2002 : 411) mengemukakan beberapa macam emosi yang tidak berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu :
a. Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hatib. Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri, putus asac. Rasa takut : cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang, ngerid. Kenikmatan : bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur, banggae. Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasihf. Terkejut : terkesiap, terkejutg. Jengkel : hina, jijik, muak, mual, tidak sukah. malu : malu hati, kesal
Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa semua emosi menurut Goleman pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. Dalam the Nicomachea Ethics pembahasan Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup yang benar, tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara
emosi dan cara mengekspresikan (Goleman, 2002 : xvi).
Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 65) orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu : sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia.Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu perasaan (afek) yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.
Pengertian kecerdasan emosionalIstilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan.Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut EQ sebagai :“himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.” (Shapiro, 1998:8).
Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional.Keterampilan EQ bukanlah lawan keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Selain itu, EQ tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan. (Shapiro, 1998-10).
Sebuah model pelopor lain yentang kecerdasan emosional diajukan oleh Bar-On pada tahun 1992 seorang ahli psikologi Israel, yang mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tututan dan tekanan lingkungan (Goleman, 2000 :180).
Gardner dalam bukunya yang berjudul Frame Of Mind (Goleman, 2000 : 50-53) mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan emosional.
Menurut Gardner, kecerdasan pribadi terdiri dari :”kecerdasan antar pribadi yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu membahu dengan kecerdasan. Sedangkan
kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan modal tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif.” (Goleman, 2002 : 52).
Dalam rumusan lain, Gardner menyatakan bahwa inti kecerdasan antar pribadi itu mencakup “kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang lain.” Dalam kecerdasan antar pribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, ia mencantumkan “akses menuju perasaan-perasaan diri seseorang dan kemampuan untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku”. (Goleman, 2002 : 53).
Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey (Goleman, 200:57) memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional pada diri individu. Menurutnya kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.
Menurut Goleman (2002 : 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kemampuan siswa untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.
Faktor Kecerdasan EmosionalGoleman mengutip Salovey (2002:58-59) menempatkan menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemapuan tersebut menjadi lima kemampuan utama, yaitu :
a. Mengenali Emosi DiriMengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 64) kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.
b. Mengelola EmosiMengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2002 : 77-78). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.
c. Memotivasi Diri SendiriPresatasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri.
d. Mengenali Emosi Orang LainKemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Menurut Goleman (2002 :57) kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.
Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuiakan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah beraul, dan lebih peka (Goleman, 2002 : 136). Nowicki, ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustasi (Goleman, 2002 : 172). Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain.
e. Membina HubunganKemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2002 : 59). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain.
Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2002 :59). Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif
bagaimana siswa mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya.
Add New
Search
Comments (0)
Bagaimana Kecerdasan Emosional (EQ) Bekerja Dec 7, '05 8:16 PMfor everyone
Menyambung tulisan saya yang pertama kemarin, berikut ini lanjutannya semoga dapat bermanfaat bagi teman-teman.
Mungkin kita pernah mendengar apa itu Kecerdasan Emosional, itu dilatihkan oleh
berbagai maca lembaga. Contoh, apabila bertemu dengan orang “keep your eyes
contact” artinya tatap matanya agar diberi perhatian, itu adalah Kecerdasan Emosional.
Contoh kedua, ketika kita senyum, bibir kanan dua centi bibir kiri dua centi, itu harus
seimbang. Tidak boleh bibir kanan lebih panjang ketika kita tersenyum. Mari kita coba
senyum dengan bibir kanan 3 centi dan bibir kiri 2 centi, lihatlah di kaca, apa yang akan
terjadi.
Selanjutnya disaat kita melihat seseorang yang baru pertama kali bertemu maka jangan
menatap dengan tajam tataplah dengan lembut sambil tersenyum. Ini adalah Kecerdasan
Emosional.
Ketiga, ketika kita berbicara dengan orang lain jangan banyak omong, tapi biarkan orang
lain bicara dan ketika ia berbicara anda harus memberi perhatian, tangan jangan dilipat di
depan dada. Mengapa tidak boleh karena itu artinya “Dipensif” yang artinya “Saya tidak
mau dengar” Ketika orang lain berbicara kita harus menghadap ke arah dia, jangan
menyamping atau miring. Kemudian jangan memberikan pujian yang terlalu berlebihan,
jadi ketika ia berbicara anda kita jangan berkata “Wah…. Hebat” itu salah, yang harus
anda katakan adalah “begitu ya… saya baru dengar, saya sangat tertarik. Begitulah ini
adalah ilmu Kecerdasan Emosional. Kemudian ajukan pertanyaan-pertanyaan supaya
orang lain bercerita tentang dirinya. Contohnya Pak Azis bisa jadi Presiden Direktur di
PT air putih, bagaimana caranya..?
Dia pasti dengan bangganya akan menceritakan hal itu, dengan semangatnya dia akan
bercerita kepada kita, dan ingat setiap 3 menit kita harus menganggukkan dagu (oohh gitu
ya..) dengan cara seperti itu makan kita akan meraih hatinya, ketika kita telah meraih
hatinya baru kita ajukan proposal atau keinginan kita terhadapnya. Ini adalah contoh
teknik-teknik Kecerdasan Emosional.
Ada seseorang yang ingin memasarkan Safety Box ke seorang pengusaha hotel, sebut
saja namanya Andi. Saat itu Andi sebagai seorang Pegawai Negeri yang kita tahu gajinya
tidak seberapa, oleh sebab itu Andi ingin mencari uang tambahan maka ia mencoba
memasarkan Safety Box ke pengusaha kaya yang mempunyai banyak hotel di kota Bali.
Sebelum bertemu dengan pengusaha itu Andi mempelajari bukunya bahwa keputusan di
dalam bisnis 80 % adalah Emosional dan 20 % adalah Intelektual maka dipelajari jurus-
jurus tadi. Jika pertama bertemu maka mata harus santai dan lembut, dan senyum harus
seimbang antara bibir kiri dan bibir kanan, kemudian siap badan tegak dan ketika orang
itu berbicara kita harus menatapnya dengan tegap, dan tangan tidak boleh di lipat didepan
dada.
Ketika Andi dipersilahkan masuk ke ruangan Pengusaha tersebut, ia melihat sekeliling
ruangan yang luas itu terdapat banyak foto-foto pengusaha tersebut dengan para pejabat
dan dengan rekan-rekan bisnisnya yang lain. Pengusaha tersebut mempersilahkan Andi
untuk berbicara 10 menit, tetapi Andi meminta waktu 2 menit saja untuk bertanya
masalah pribadi, pengusaha itu pun menyanggupinya. Andi mulai melancarkan jurusnya.
Pertama kali saya ingin mengucapkan selamat dulu karena bapak telah dilantik sebagai
Ketua sebuah Organisasi sosial yang terkemuka.
“Loh anda tahu darimana”
Pengusaha tersebut mulai terpancing
“Saya kan juga ikut mengikuti perkembangan politik” nampaknya pengusaha tersebut
sudah terkena ilmu Kecerdasan Emosi dari Andi.
Kemudian Andi bertanya lagi “mengapa bapak masih mau mengajar di kampus-kampus,
masih mau bekerja sosial untuk orang banyak padahal Bapak sudah memiliki hotel,
perusahaan, mobil mewah dll”. Boleh saya tahu pak, saya ingin belajar..
Wah rupanya pengusaha tersebut semakin tertarik, kemudian ia bercerita “saya kira kita
tidak cukup hanya dengan mempunyai uang dan harta yang berlimpah, kita harus peduli
dengan sosial, dengan orang lain, kita harus melihat orang disekeliling kita.
Pada saat pengusaha itu berbicara, Andi melancarkan Ilmu EQ, dengan tersenyum
kemudian badan Andi di majukan dua centi kedepan, kesannya supaya Andi berminat
dan setiap ia berbicara Andi menganggukkan dagunya setiap 3 menit sekali.
Dengan cara seperti itu pengusaha tersebut semakin bersemangat, foto-foto ia tunjukkan
semuanya dan tanpa terasa ia memberhentikan pembicaraanya karena tak terasa sudah 2
jam lamanya ia berbicara tentang dirinya sendiri.
Kesimpulannya Andi Baru saja mempergunakan Ilmu Kecerdasan Emosional,
kemampuan membaca hati seseorang, kemampuan membaca harapan orang.
Dapat disimpulkan ada 4 jurus dalam Kecerdasan Emosianal
1000 sungai gunung turun ke laut
Maksudnya, kalau kita merendah menjadi lembah yang landai kemudian mereka
berada di tempat yang tinggi, air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang
rendah.
Berikan Pujian
Memberikan orang pujian ibarat lentingan Harfa di pagi hari dan itu adalah sangat
indah. Berikan pujian penghargaan bukan pujian dari “gigi” tapi pujian dari “hati”
Sebutkan namanya berkali-kali
Maka itu adalah musik yang paling indah yang tak pernah ia dengar sepanjang
hidupnya.
Mengakui kesuksesan orang lain
Maka itu adalah air sejuk dari surga yang pernah ia peroleh.
Setelah melakukan 4 jurus diatas barulah ajukan proposal atau keinginan kita insyaalah
akan diterima dengan senang hati.
Sekarang yang menjadi pertanyaan untuk kita semua
“Apakah cukup hanya dengan dua kecerdasan tadi IQ dan EQ”
Intelektualitas, otak pintar.
Kecerdasan Emosi, mampu merayu seperti cerita diatas, apakah cukup ?
Kita bisa bayangkan apa yang terjadi, entah bagaimana menurut kita semua, kita masih
membutuhkan satu Kecerdasan lagi, kita masih butuh satu kecerdasan lain yang disebut
SQ atau Kecerdasan Spritual. Yang mampu menjawab untuk apa Kecerdasan
Intelektual saya ini, untuk apa Kecerdasan Emosional ini dan untuk apa semua ini terjadi.
Perlu kita ketahui dua kecerdasan (IQ dan EQ) tidaklah cukup dan bahkan takkan pernah
bahagia.
Kita semua bisa melihat bagaimana contoh-contoh orang yang begitu sukses yang sudah
kaya raya tapi kemudian ia loncat dan bunuh diri dari lantai 56. Kita masih ingat Presiden
Direktur Hyundai, ia bunuh diri. Bahkan juga beberapa orang yang sudah sukses,
bagaimana mereka bunuh diri dan tidak pernah merasa puas dengan kesuksesannya.
Dua kecerdasan ini tidak bisa membuat kita bahagia, bahkan yang paling menyedihkan
kasus Harianto, seorang anak 12 tahun yang bunuh diri karena tidak bisa membayar uang
untuk mengikuti Ekstrakurikuler sebesar 2.500 (dua ribu lima ratus) dan kita lihat remaja-
remaja sekarang lari ke Narkoba karena ia tak mampu menemukan untuk apa saya hidup,
dimana saya hidup dan kita lihat orang-orang tua yang begitu gemar bermewah-mewahan
gemar bersenang-senang, ia mencari bagaimana kebahagian.
Karena itu kita masih memerlukan satu Kecerdasan lagi yaitu Kecerdasan Spritual.
Untuk membahas Kecerdasan ini akan saya lanjutkan di tulisan berikutnya :)
Mengembangkan Kecerdasan Sosial Oleh Hadi Suyono
Kamis, 12 Maret 2009 10:00 Indeks Artikel
Mengembangkan Kecerdasan Sosial
Mengembangkan Kecerdasan Sosial (Lanjutan)
Semua Halaman
Halaman 1 dari 2
Kekerasan dalam rumah tangga, tawuran antarkampung, perkelahian antarpelajar atau
mahasiswa, bentrok antarkelompok politik, etnik, atau agama makin sering menghiasi
media.
Serentetan peristiwa tersebut menjadi bukti, bahwa tindakan brutal sering dijadikan
alternatif untuk memecahkan masalah. Seakan tidak ada upaya yang lebih manusiawi,
santun, dan berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan untuk menyelesaikan problem yang
terjadi. Mengapa kecenderungan seperti ini begitu marak? Salah satu variabel penyebab
anak bangsa ini menggunakan cara anarkis guna menyelesaikan berbagai persoalan atau
mencapai tujuan adalah tumpulnya kecerdasan sosial.
Hal yang menyebabkan kecerdasan sosial tumpul dilatarbelakangi oleh proses
pendidikan di keluarga maupun masyarakat mengalami salah arah. Penanaman nilai-nilai
pendidikan di keluarga, acapkali hanya mengejar status dan materi. Orang tua
mengajarkan pada anaknya bahwa keberhasilan seseorang itu ditentukan oleh pangkat
atau kekayaaan yang dimilikinya. Masyarakat juga begitu, mendidik orang semata
mengejar tahta dan harta. Proses ini tampak pada masyarakat yang lebih menghargai
orang dari jabatan dan kekayaan yang digenggamnya. Kondisi ini membuat orang
terobsesi untuk memperoleh kedudukan tinggi dan kekayaan yang berbuncah-buncah agar
terpandang di masyarakat. Untuk mengejar ambisi tersebut orang kadang menanggalkan
etika dan moral, bahwa cara yang ditempuh untuk mewujudkan impiannya itu bisa
menyengsarakan orang lain.
Akibat yang ditimbulkan dari kecerdasan sosial yang tidak terasah pada individu
adalah memberi kontribusi pada perilaku anarkis. Hal ini dikarenakan individu yang
kecerdasan sosialnya rendah tidak akan mampu berbagi dengan orang lain dan ingin
menang sendiri. Kalau dia gagal akan melakukan apa saja, asal tujuannya bisa tercapai,
tak peduli tindakannya merusak lingkungan, dan tidak merasa yang dikerjakannya
menginjak harkat dan martabat kemanusiaan. Sehingga diskripsi kepribadian seperti ini,
berpotensi melakukan perilaku anarkis, ketika hasrat pribadinya tidak tercapai atau sedang
menghadapi masalah dengan orang atau kelompok lain.
Betapa pentingnya peranan kecerdasan sosial untuk mencegah perilaku anarkis, maka
perlu dicari solusi untuk mengembangkan kecerdasan sosial. Kecerdasan sosial menjadi
solusi efektif meredam anarkis, karena orang yang memiliki kecerdasan sosial tinggi,
mempunyai seperangkat keterampilan psikologis untuk memecahkan masalah dengan
santun dan damai.
Keterampilan psikologis itu berkaitan dengan kecakapan keterampilan sosial yang
perlu dimiliki oleh seseorang. Keterampilan sosial merupakan indikator untuk melihat
seseorang kecerdasan sosialnya tinggi atau rendah. Seseorang memiliki kecerdasan sosial
tinggi, apabila dalam dirinya memiliki keterampilan sosial yang terdiri dari sejumlah sikap.
Sikap tersebut adalah pertama, tumbuh social awareness (kesadaran situasional atau
sosial). Maksud dari social awareness adalah kemampuan individu dalam mengobservasi,
melihat, dan mengetahui suatu konteks situasi sosial, sehingga mampu mengelola orang-
orang atau peristiwa.
Kedua, punya kemampuan charity. Yaitu kecakapan ide, efektivitas, dan pengaruh kuat
dalam melakukan komunikasi dengan orang atau kelompok lain.
Ketiga, berkembang empathy. Kemampuan individu melakukan hubungan dengan
orang lain pada pada tingkat yang lebih personal.
Keempat, terampil interaction style. Individu memiliki banyak skenario saat
berhubungan dengan orang lain, luwes, dan adaptif memasuki situasi berbeda-beda.
Lima Dimensi Kunci dalam Kecerdasan Sosial
Written by Yodhia Antariksa Posted March 2, 2009 at 2:02 am
Di suatu pagi yang cerah di sebuah gedung perkantoran yang menjulang, saya bergegas memasuki sebuah lift yang sudah penuh sesak terisi. Terlihat wajah-wajah segar dengan semangat pagi untuk segera menyambut tugas yang sudah menanti. Di dalam lift, semua terdiam, mungkin benak mereka tengah dipenuhi dengan beragam rencana yang hendak didapuk pagi itu. Mendadak – sekonyong-konyong – bau tak sedap merebak di ruang lift yang sempit dan penuh sesak itu. Segera semua penghuni lift menutup hidungnya, ada yang dengan tisu, dengan saputangan, atau dan dengan jari-jarinya.
Saya tak tahu siapa yang di pagi nan cerah itu, di sebuah lift yang penuh sesak, dan dengan tanpa rasa dosa, mengeluarkan gas dengan amat sempurna dari perutnya. Sebuah serangan pagi yang mendadak membuat semangat saya seperti lenyap dilumat oleh bau gas yang amat menyengat. Siapapun orangnya, ia mungkin termasuk golongan orang yang memiliki kecerdasan sosial yang pas-pasan.
Kecerdasan sosial (atau social intelligence) kini tampaknya kian menduduki peran yang amat penting ketika kita hendak membangun sebuah relasi yang produktif nan harmonis. Relasi kita dengan kerabat, dengan tetangga, dengan rekan kerja atau juga dengan atasan mungkin bisa berjalan dengan lebih asyik kalau saja kita mampu mendemonstrasikan sejumlah elemen penting dalam kecerdasan sosial.
Dalam konteks itulah, kehadiran buku bertajuk Social Intelligence : The New Science of Success karya Karl Albrecht ini patut disambut dengan penuh antusiasme (buku yang amat memikat ini telah diterjemahkan ke dalam edisi bahasa Indonesia oleh Penerbit PPM dengan judul Cerdas Bergaul : Kunci Sukses dalam Bisnis dan Masyarakat).
Secara garis besar, Albrecht menyebut adanya lima elemen kunci yang bisa mengasah kecerdasan sosial kita, yang ia singkat menjadi kata SPACE. Kata S merujuk pada kata
situational awareness (kesadaran situasional). Makna dari kesadaran ini adalah sebuah kehendak untuk bisa memahami dan peka akan kebutuhan serta hak orang lain. Orang yang tanpa rasa dosa mengeluarkan gas di lift yang penuh sesak itu pastilah bukan tipe orang yang paham akan makna kesadaran situasional. Demikian juga orang yang merokok di ruang ber AC atau yang merokok di ruang terbuka dan menghembuskan asap secara serampangan pada semua orang disekitarnya.
Elemen yang kedua adalah presense (atau kemampuan membawa diri). Bagaimana etika penampilan Anda, tutur kata dan sapa yang Anda bentangkan, gerak tubuh ketika bicara dan mendengarkan adalah sejumlah aspek yang tercakup dalam elemen ini. Setiap orang pasti akan meninggalkan impresi yang berlainan tentang mutu presense yang dihadirkannya. Anda mungkin bisa mengingat siapa rekan atau atasan Anda yang memiliki kualitas presense yang baik dan mana yang buruk.
Elemen yang ketiga adalah authenticity (autensitas) atau sinyal dari perilaku kita yang akan membuat orang lain menilai kita sebagai orang yang layak dipercaya (trusted), jujur, terbuka, dan mampu menghadirkan sejumput ketulusan. Elemen ini amat penting sebab hanya dengan aspek inilah kita bisa membentangkan berjejak relasi yang mulia nan bermartabat.
Elemen yang keempat adalah clarity (kejelasan). Aspek ini menjelaskan sejauh mana kita dibekali kemampuan untuk menyampaikan gagasan dan ide kita secara renyah nan persuasif sehingga orang lain bisa menerimanya dengan tangan terbuka. Acap kita memiliki gagasan yang baik, namun gagal mengkomunikasikannya secara cantik sehingga atasan atau rekan kerja kita ndak berhasil diyakinkan. Kecerdasan sosial yang produktif barangkali memang hanya akan bisa dibangun dengan indah manakala kita mampu mengartikulasikan segenap pemikiran kita dengan penuh kejernihan dan kebeningan. (Saya sendiri sudah pernah mengulas teknis mengartikulasikan gagasan secara efektif ini, dan ulasannya bisa dibaca disini).
Elemen yang terakhir adalah empathy (atau empati). Aspek ini merujuk pada sejauh mana kita bisa berempati pada pandangan dan gagasan orang lain. Dan juga sejauh mana kita memiliki ketrampilan untuk bisa mendengarkan dan memahami maksud pemikiran orang lain. Kita barangkali akan bisa merajut sebuah jalinan relasi yang guyub dan meaningful kalau saja kita semua selalu dibekali dengan rasa empati yang kuat terhadap sesama rekan kita.
Demikianlah lima elemen kunci yang menurut Karl Albrecht merupakan aspek penting yang layak diperhatikan untuk bisa menenun bingkai kecerdasan emosional secara optimal. Tentu saja kita harus selalu menyempurnakan diri dalam kelima dimensi penting ini, supaya kita semua juga bisa menjadi pribadi-pribadi yang cerdas secara sosial. Dan bukan seperti orang yang kentut di pagi hari nan cerah di sebuah lift yang penuh sesak itu……