Antologi Tulisan

195
1 Pengantar: Vina Adriany

Transcript of Antologi Tulisan

Page 1: Antologi Tulisan

1

Pengantar: Vina Adriany

Page 2: Antologi Tulisan

2

Kita Pernah

Melukis Pelangi

Page 3: Antologi Tulisan

3

Bismillahirrahmanirrahim

Page 4: Antologi Tulisan

4

Sebuah Pengantar

“Menulis buat saya seperti bernafas. Sebagaimana saya

tidak bisa hidup tanpa bernafas, maka demikianlah makna menulis untuk saya”. Demikian kata seorang Profesor Filsafat yang juga merupakan salah seorang sahabat baik saya pada saat saya kuliah S2. Barangkali benar, bagi beberapa orang, menulis merupakan kebutuhan primer. Banyak yang merasa hidupnya belum optimal ketika dia belum selesai menulis. Profesor saya barangkali salah satu diantaranya.

Menulis juga bisa bermakna proses eksistansialis. Ada hal yang unik ketika kita menulis. Meskipun menulis seringkali bercerita tentang orang lain, tapi setiap tulisan pada dasarnya senantiasa bersifat autobiography. Setiap tulisan pada dasarnya senantiasa bercerita tentang diri kita sendiri, tentang sejarah yang pernah kita miliki dan mimpi yang barangkali ingin atau belum kita raih

Saya bukan seorang penulis produktif, apalagi sebagai penulis populer. Tapi ketika saya menulis, saya senantiasa merasakan diri saya berada pada sebuah lorong waktu yang memungkinkan saya untuk kembali ke masa lalu saya. Saat saya menulis, saya bertanya tentang siapa saya, memori mana yang merupakan fakta dan memori mana yang merupakan fiksi. Dan ini saya rasakan bahkan ketika saya saat ini sedang menulis sebuah disertasi. Saya merasa saya

Page 5: Antologi Tulisan

5

tengah melakukan dialog dengan masa lalu saya, beberapa hal di antaranya indah untuk dikenang, beberapa di antaranya ingin saya kritisi. Tapi terlepas dari itu semua, menulis memungkinkan saya untuk lebih memahami siapa saya sebetulnya.

Lalu siapa kah saya ini sesungguhnya? Pertanyaan yang sulit atau tidak mudah untuk dijawab. Descartes mengatakan “I think therefore I am”. Saya adalah makhluk yang dapat berfikir. Kalau saya adalah makhluk yang dapat berfikir, maka sungguh kapasitas berfikir bukan sesuatu yang ingin saya banggakan. Nuklir, bom atom, perang, semua produk kekerasan yang lahir dari kemampuan berfikir sungguh membuat saya menjadi malu menjadi seorang “I”. Kemudian, Maslow mengatakan saya adalah individu yang dapat memenuhi self-actualization. Jujur saya akui, saya pun seringkali terjebak dengan candu-nya humanisme. Tapi pertanyaannya, siapa manusia yang bisa sepenuhnya memenuhi aktualisasi dirinya. Mudah barangkali bagi mereka yang lahir dari keluarga menengah ke atas, masuk kedalam golongan mayoritas dengan seperangkat kemudahan yang mereka peroleh. Tapi untuk mereka yang dilahirkan dengan segala keterbatasannya, slogan self-actualization hanya sekedar mimpi di siang hari, halusinasi ditengah segala ketidakadilan struktural di sekitar kita. Kenyataan paling sederhana, kita tidak pernah bisa memilih dimana dan dari siapa kita dilahirkan? Dua hal sederhana yang sangat mempengaruhi cara kita berfikir dan memandang dunia. Kalau saja kita tidak dilahirkan sebagai orang Indonesia, masih kah kita memandang dunia seperti cara kita memandangnya sekarang ini

Page 6: Antologi Tulisan

6

Barangkali kebingungan kita akan konsep “saya” ini seringkali muncul karena kita cenderung menilai “saya” sebagai seseorang yang memiliki identitas tunggal, tetap dan tidak pernah berubah sepanjang masa. Padahal kenyataan menunjukkan “saya” lebih sering merupakan sosok yang memiliki identitas jamak. Dalam banyak hal identitas yang kita miliki kadang-kadang berlawanan satu sama lainnya. Pagi ini saya ibu rumah tangga, siang harinya saya pelajar, sore hari saya seorang teman, malam harinya saya seorang istri. Di satu tempat saya menjadi minoritas, di tempat lain saya menjadi mayoritas. Benar barangkali apa yang dikatakan Ivanich, bahwa… “One or more of these identities may be foregrounded at different times, they are sometimes contradictory, sometimes interrelated; people’s diverse identities constitute the richness and dilemmas of their sense of self”. Identitas yang berlawanan yang kita miliki, memperkaya sekaligus menjadi dilema dari konstruksi kita akan “saya”.

Tulisan-tulisan yang saya baca dalam antologi ini barangkali semakin mengukuhkan pendapat Ivanich ini. Begitu beragamnya tulisan yang ada dalam antologi ini dari mulai pertanyaan tentang takdir, yang barangkali bisa juga menunjukkan kritik terhadap konsep free–will yang seringkali diagung-agungkan pengikut humanisme, kontemplasi tentang pilihan hidup dan konsekuensi dalam menjalaninya, semuanya mengerucut kepada pertanyaan mendasar tentang diri dan hidup ini.

Tulisan-tulisan dalam antologi ini juga menunjukkan betapa “saya” tidak lah hidup sendiri. Refleksi-refleksi mengenai mimpi anak jalanan, pekerja wanita di luar negri,

Page 7: Antologi Tulisan

7

sampai kegelisahan seorang sahabat menunjukkan apa yang dikatakan Heidegger dalam magnum opusnya “Being and Time” tentang bagaimana manusia, kita, “saya” senantiasa terikat oleh ruang dan waktu dimana kita berada. Saya adalah tergantung pada ruang dan waktu dimana saya berada. Sehingga, refleksi para penulis terhadap situasi sekitar barangkali menunjukkan keterikatan yang mendasar dengan lingkungan di mana mereka berada dan bagaimana lingkungan tersebut menjadi bagian dari kegelisahan dan mimpi mereka juga. Lalu kalau “saya” ternyata terikat ruang dan waktu, maka masihkah saya memiliki “free-will” dalam hidup ini? Ketika kita kemudian mempertanyakan kebebasan yang kita miliki, maka di sinilah kita percaya dengan adanya “invisible hand” yang menggerakkan hidup kita. Para penulis dalam antologi ini menunjukkan bagaimana keyakinan mereka akan adanya “invisible hand” menuntun mereka untuk menuliskan sesuatu tentang Tuhan, beberapa diantaranya menunjukkan bagaimana keyakinan yang mereka miliki menjadi bagian yang paling mendasar dalam menjalani kehidupan ini.

Terakhir, saya hanya bisa mengatakan sebagaimana menulis merupakan proses berdialog dengan diri sendiri, maka membaca pun saya yakin memiliki makna yang kurang lebih sama. Membaca karya para penulis muda dalam antologi ini memfasilitasi saya untuk melakukan percakapan dengan diri sendiri. Beberapa tulisan dalam antologi ini rasanya membuat saya makin mengerti siapa “saya” dan apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Beberapa tulisan lain, menyisakan pertanyaan yang semakin besar akan hakikat eksistensi saya di muka bumi ini. Tapi barangkali itulah kita,

Page 8: Antologi Tulisan

8

manusia yang setiap saat senantiasa berada dalam proses menegosiasikan identitas dan jati dirinya.

Lancaster, 6 Maret 2011

Vina Adriany

Page 9: Antologi Tulisan

9

Pengantar Editor

Terkadang, mimpi itu terlalu besar sampai-sampai kita

harus mengurainya dalam bagian-bagian yang lebih kecil. Mungkin seperti itulah, kawan. Antologi ini sebenarnya

merupakan sebuah mimpi besar, mimpi yang sempat singgah namun terbang lagi. Mimpi yang kadang tak terpikir bagaimana mengejarnya. Namun karena mimpi ini begitu besar, maka kami menempatkan diri kami di sudut. Mengapa demikian? Agar kami dapat melihat celah-celah mana yang akan kami masuki terlebih dahulu. Maka kami memulainya dari sini, dari suatu ide spontan dan tak terkonsep matang, dari usaha minimal yang kami tempuh, dari harapan dan optimisme dan willing yang sungguh-sungguh untuk berkarya.

Antologi ini menyajikan beragam hidangan, engkau dapat menikmati appetizer dari puisi-puisi yang crispy, main course yang sanggup mengenyangkan pikiran dan perasaan, dan dessert yang lembut. Semua berpadu. Kita dapat menemukan dan bersilaturahmi dengan kawan-kawan Psikologi UPI angkatan 2004 sampai 2010. Kita dapat menemukan kajian keilmuan, agama, sampai sastra. Kita dapat menemukan kehidupan.

Page 10: Antologi Tulisan

10

Terima kasih untuk kawan-kawan penulis yang bersedia meminjamkan beberapa karyanya untuk antologi ini; M. Zein Permana, Adit Purana, Eris Suci Sandhita, Mgs. Ahmad R., Toto Setiadi, Widia Wardhani, Intan Rahayu Kuswoharti, Risma Dwipangesty, Nova Diasari, Nurul Fithriah, Muna Fatimah, Mutia Ramadanti Nur, Eko Putra Nugraha, Eka Hertika Rizky, Raudika Lestari, Taufik Ginanjar, Alwin Muhammad Reza, Niira Annisaa, dan Rini Nuraeni. Mungkin di sinilah, minat akhirnya dipertemu-kan, tanpa pembatasan angakatan.

Semoga, proyek mimpi besar ini tak terbatas sampai antologi ini selesai dibuat. Bon apetite!

Bandung, Februari 2011 Tim Penyusun

Page 11: Antologi Tulisan

11

Daftar Halaman

Sebuah Pengantar ..4 Pengantar Editor ..9

ESSAY Harus Memilih ..15 Pulang ..25 Buku Dan Wanita ..27 Berlomba Di Kotak Labirin ..28 Menolong dan Ditolong ..30 Pulang ..34 Tak Ada Akhir untuk Cinta ..36 Alasan Untuk Bersedih? ..38 Bombardir!!! ..43 Membingkai Langit ..46 Menyemarakkan Syiar Keislaman Melalui Optimalisasi Media

dan Kajian Keislaman ..49 Terpendam pada Rumput yang Bergoyang ..54 Berjiwa Seni ..57 Pasta dan Sikat Gigi ..59 Gede Rasa ..61

CERPEN Menjaga Impian ..63

Yang Tak Terucap Oleh Kata ..67 Ketika Aku di Titik Terlemah ..70

Gerbang Mata Rantai ..80 Masih Dalam Keadaan Menunggu dan Menunggu ..100

Page 12: Antologi Tulisan

12

CATHAR Jangan Protes, Semua Sudah Ada yang Atur ..106 Saya Bahagia ..108 Dari Sepenggal Uraian Kisah Yahya Ibnu Yahya ..111 Harga Sebuah Mimpi ..115 Ci, Salah Satu TKW Kita ..119 Upah Sang Pembantu ..126 Seorang Anak yang Terobsesi Pada Langit ..130 Bagi-Mu Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang ..133 Kiamat: Dunia Tak Lama Lagi Pasti Hancur ..135 Lima Belas Dua.. Lima Rebu.. Lima Rebu .. 138 My Mother My Inspiration ..143

SAJAK Surat Untuk Sahabat ..152

Senja Pengantar ..154 Musim Semi ..156

Malam dari Fajar ..158 Sebentuk Cinta Untuk Adik ..160

Hari Ini ..162 Homo Membelum ..164

Penantian Hidangan Pendidikan ..165 Teruntuk Yang "Pintar" ..166

Untuk Mereka Yang Tersayang ..167 Bayang-Bayang Senja ..168

Cerita Aku, Kamu ..170 Haduh ..171 Tuhan ..172

Air Mata Hujan ..174

Page 13: Antologi Tulisan

13

Kisah Sehari Dari Peminta ..175 Sayap Kecil Terbang Jauh ..177

Kita Pernah Melukis Pelangi ..178 Alang-Alang ..179

Ya, Ada Dengan-Nya ..180 Aku Yang Tak Mampu Lebih Dari Ini ..181

Arsiran Warna ..182 Malaikatpun Menjadi Saksi ..183

Tentang Penulis ..185

Page 14: Antologi Tulisan

14

Essay

Ketika

Page 15: Antologi Tulisan

15

Harus Memilih -Musheinz-

Ada berbagai macam cara bagi kita untuk mengetahui apa yang terbaik untuk kita, karena sesungguhnya Allah telah menciptakan berbagai macam hal di dunia ini agar kita mencari dan memiilih mana yang yang terbaik untuk kita. Ketika harus memilih hal mana yang terbaik untuk kita, maka secara otomatis kita telah melakukan pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan yang tepat merupakan salahsatu indikator seorang pemimpin yang baik. Dengan berbagai pilihan yang ada didunia ini, maka secara tidak langsung, disadari atau tidak, kita selalu dididik untuk menjadi seorang pemimpin.

Pemahaman diatas membuat banyak orang berpikir bahwa kepemimpinan atau kemampuan mempimpin merupakan bawaan lahir dan bukan hasil bentukan lingkungan. Padahal, pemimpin itu ada karena ada pula yang dipimpin. Dan dibandingkan menjadi seorang pemimpin, ternyata peluang kita untuk menjadi seseorang yang dipimpin atau menjadi pengikut itu lebih besar. Sebagai contoh, bila kita berada dalam sebuah organisasi atau kelompok yang beranggotakan lima orang, maka secara matematis peluang untuk menjadi pemimpin adalah 20%, akan tetapi peluang kita untuk menjadi seseorang yang dipimpin atau pengikut itu cukup besar, yaitu 80%.

Namun pada kenyataannya, semua orang berusaha untuk menjadi seorang pemimpin, mencari cara dan mengidentifikasi bagaimana agar menjadi seorang pemimpin yang baik, sehingga semua orang sibuk untuk mempersiapkan diri menjadi seorang pemimpin. Hal ini sangat wajar, karena pada saat-saat tertentu kita akan

Page 16: Antologi Tulisan

16

memainkan peran sebagai pemimpin, dan hal itu memerlukan persiapan, padahal dalam kehidupan sosial sehari-hari, seseorang akan lebih sering memainkan peran sebagai pengikut atau orang yang dipimpin daripada menjadi pemimpin. Begitu pentingkah peran sebagai pengikut (follower) dalam kehidupan sehari-hari, dan apakah kita lebih perlu mempersiapkan diri untuk menjadi pengikut yang baik daripada pemimpin yang baik? Maka dari itu akan kita tinjau dari dua sudut pandang, yakni sudut pandang manajemen dan sudut pandang Islam.

Dalam ilmu manajemen, disadari atau tidak, komponen utama berhasilnya suatu kepemimpinan adalah terpenuhi tugas-tugas kepengikutan (followership) dengan baik. Dengan kata lain, tugas seorang pengikut (follower) yang baik adalah untuk membuat segala sesuatunya sangat memungkinkan dan kondusif untuk dipimpin. Rasulullah Muhammad SAW adalah pemimpin yang sukses, bukan hanya karena kemampuan memimpinnya yang hebat, akan tetapi beliau memiliki para pengikut yang juga luarbiasa. Yang membuat segala sesuatunya menjadi sangat kondusif untuk dipimpin. Begitu hebatnya keterampilan kepengikutan (followership) para khulafaur rasyidin tersebut sehingga membuat kepemimpinan Rasulullah menjadi kepemimpinan yang sangat efektif.

Kepemimpinan, menurut John Ruskin (2005), merupakan suatu aktivitas yang bersifat interaktif, yang berarti bahwa adanya satu aktivitas timbal balik antara pemimpin dengan yang dipimpin atau pengikut. Pemimpin akan bergantung pada pengikut, dan begitu pula sebaliknya. Adanya pengikut, menunjukkan tingkat penerimaan terhadap suatu kepemimpinan, dan dalam hal ini, sangat penting bagi seorang pemimpin untuk memahami pengikut daripada pengikut memahami pemimpin. Kepengikutan (followership) dapat diartikan sebagai kemauan untuk bekerjasama dalam

Page 17: Antologi Tulisan

17

pelaksanaan tugas untuk mencapai tujuan bersama. Kepengikutan yang baik merupakan pondasi yang kokoh untuk kepemimpinan yang efektif

Secara umum, keterampilan kepengikutan (skills of followership) dapat dengan mudah kita identifikasi, yakni mendengarkan dengan baik dan penuh rasa hormat ide, pendapat, atau saran orang lain; dengan terampil memberikan saran dan pendapat yang konstruktif, merespon terhadap hal-hal yang tidak jelas, bersikap asertif; dan melakukan tindakan langsung dalam bekerja. Keterampilan-keterampilan kepengikutan tersebut sangatlah penting, terutama dalam lingkungan kerja. Keterampilan kepengikutan tersebut akan menciptakan keseimbangan dan sinergi yang baik dalam pekerjaan dan hubungan baik antara atasan dengan bawahan. Hal ini sangat wajar, karena keterampilan kepengikutan yang baik, membuat segala bentuk kepemimpinan menjadi lebih efektif

Inti utama dari keterampilan kepengikutan sebe-tulnya sangat mudah, yakni adalah untuk melakukan pekerjaan yang diberikan dengan baik. Akan tetapi dalam kenyataannya, dibutuhkan self-awareness dan juga self-control yang baik dari seseorang untuk mampu mengatur waktu dan energi yang dimiliki. Hal ini menjadi sangat sulit, karena memang seseorang akan lebih memilih untuk mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin diban-dingkan untuk mempersiapkan diri sebagai seorang pengikut yang baik. Padahal, para ahli manajemen sepakat bahwa syarat untuk menjadi pemimpin yang baik adalah pengikut yang baik. Untuk dapat memimpin dengan baik, seseorang harus bisa juga mencontohkan dengan baik bagaimana menjadi pengikut yang baik. Rasulullah menjadi seorang pemimpin yang baik karena beliau juga merupakan seorang pengikut yang baik serta taat pada Allah.

Page 18: Antologi Tulisan

18

Menurut Col Phillip S. Meilinger, terdapat sepuluh cara untuk menjadi pengikut (follower) yang baik, yaitu :

1) Jangan menyalahkan atasan Anda untuk keputusan atau kebijakan yang tidak popular, tugas kita adalah untuk mendukung, bukan untuk malah menjatuhkan atasan kita sendiri

2) Berdebatlah dengan atasan Anda bila perlu, tapi lakukanlah secara pribadi dan hindari berdebat di depan umum yang dapat memalukan atasan Anda. Dan setelah debat, jangan pernah membocorkan apa yang telah Anda debatkan dengan atasan anda tersebut

3) Berinisiatif dalam melakukan pekerjaan, jangan sekali-kali menunggu untuk diperintah, kerjakan apa saja yang bisa dikerjakan dengan segera

4) Terima semua bentuk tanggung jawab bila ditawarkan atau diminta

5) Jujur; karena apa yang kita katakan akan menjadi penilaian yang terpenting mengenai kompetensi dan profesionalitas kita bagi orang lain

6) Kerjakan tugas atau pekerjaan rumah yang diberikan, berikan semua informasi yang dibutuhkan atasan untuk membuat keputusan, dan antisipasi pertanyaan yang mungkin muncul dari atasan

7) Ketika diminta untuk membuat rekomendasi, ingatlah siapa yang paling tepat untuk melak-sanakannya, hal ini berarti kita mesti mengetahui batasan dan kelemahan kita, dan tentunya juga keunggulan kita

8) Menginformasikan kepada atasan atau pemimpin semua proses yang dijalankan

9) Jika melihat ada masalah, segera selesaikan, jangan memikirkan siapa yang akan disalahkan atau siapa

Page 19: Antologi Tulisan

19

yang akan diberi hadiah dengan terselesaikannya masalah tersebut

10) Kerjakan segala sesuatunya dengan penuh kejujuran dan kerja keras

Seorang tokoh psikologi kepribadian, Allport,

memberikan definisi pribadi manusia sebagai organisasi dinamis yang berbentuk psikofisis yang menunjukkan cara-cara yang khas, yang membedakannya dengan makhluk dan juga sesama manusia yang lain. Dari pengertian tersebut, disebutkan bahwa pribadi manusia itu merupakan satu organisasi yang berbentuk psikofisis, dalam artian di dalam organisasi tersebut terdiri atas unsur-unsur psikologis seperti perasaan, emosi, dan juga unsur-unsur fisik seperti organ tubuh dan lain-lain. Hal ini berarti dalam diri manusia itu sendiri, secara pribadi adalah satu organisasi yang bersifat kesatuan dan memerlukan pengaturan dan pengendalian sendiri. Oleh karenanya manusia juga diwajibkan untuk mampu memimpin dirinya sendiri dengan baik, seperti telah disebutkan dalam satu hadits:

Dari Ibnu Umar ra. bahwasanya Rasulullah saw

bersabda: “Semua di antara kamu adalah pemimpin, dan semua di antara kalian akan ditanya tentang apa yang ia pimpin. Seorang imam/kepala negara adalah pemimpin, dan dia akan ditanya tentang apa yang ia pimpin. Seorang laki-laki/suami adalah pemimpin dalam keluarganya, dan dia akan

Page 20: Antologi Tulisan

20

ditanya tentang apa yang ia pimpin. Seorang wanita/istri adalah pemimpin di rumah tangga suaminya dan dia akan ditanya tentang apa yang ia pimpin. Seorang pelayan adalah pemimpin dalam harta milik majikannya. Dan setiap kamu adalah pemimpin, dan dia akan ditanya tentang apa yang ia pimpin (HR. Bukhari dan Muslim).

Islam mendidik manusia untuk mampu menjadi seorang pemimpin, dan memang dalam Islam sendiri konsep kepengikutan (followership) jarang dibahas, dikarenakan, individu-individu yang menjadi pengikut, merupakan pemimpin juga bagi dirinya masing-masing dalam bentuk pertanggungjawaban mereka di hadapan Allah sebagai khalifah yang di utus di muka bumi. Dalam konteks pribadi, tiap individu adalah seorang pemimpin, yang berarti bahwa masing-masing orang memikul tanggung jawabnya sendiri, termasuk menjadi pemimpin yang baik dalam bersikap. Dalam konteks sosial, pembagian peran pada masyarakat pastilah dibutuhkan disadari atau tidak, yaitu akan adanya pemimpin dan yang dipimpin. Seperti yang disebutkan di awal bahwa kemungkinan untuk mendapat peran sebagai pemimpin lebih kecil daripada sebagai pengikut juga ditemukan dalam konsep kepengikutan dalam Islam. Filsuf Arab pernah menyatakan mengenai sulitnya menemukan seorang pemimpin diantara umat. Filsuf tersebut menyebutkan manusia itu bagai rombongan seratus unta, hampir-hampir tak kau temukan ada yang layak di antara mereka untuk jadi penggembala.

Ibnul Qayyim berkata dalam kitabnya “Miftah Daris Sa’adah” juz kedua bahwa: “Pemimpin itu merupakan cermin dari rakyatnya. Oleh karena itu, bagaimana mungkin kita sekarang ini akan mendapatkan pemimpin seperti Mu’awiyah bin Abu Sofyan atau seperti Umar bin Abdul Aziz?!”. Banyak dari sebagian kaum muslimin, menyerahkan urusannya kepada pemimpin. Bahwa pemimpin itu harus

Page 21: Antologi Tulisan

21

begini dan begitu. Kalau terlihat cacatnya dari pemimpin, mereka ingin mencopotnya dan menggantikannya. Mereka tidak melihat kepada diri mereka sendiri.

Hal yang benar-benar harus diingat adalah: “Kita tidak akan ditanya pada hari kiamat oleh Allah ‘Siapa pemimpin kamu? Mengapa demikian?’, akan tetapi kita akan ditanya bagaimana kepemimpinan kita (dalam organisasi, keluarga dll).

Konsep kepengikutan dalam Islam sebetulnya tidaklah asing, walaupun memang jarang dibahas dengan terminologi kepengikutan., akan tetapi lebih banyak tersirat dalam pembahasan-pembahasan mengenai keber-jamaahan. Islam merupakan agama yang kolektif, sehingga segala sesuatunya dinilai lebih baik dimata Allah dalam bentuk jamaah dan bukan perseorangan, seperti firman Allah yang menyebutkan:

”Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-NYA dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun dengan kukuh”. (Q.S Ash-Shaff : 4)

”Dan siapkanlah bagi mereka semua yang dapat kamu kumpulkan dari semua bentuk kekuatan”. (Q.S Al-Anfal : 60)

Seorang muslim disebut memiliki keterampilan kepengikutan yang baik manakala muslim tersebut mampu membuat kohesif jamaah dan mampu menye-suaikan diri dengan baik serta berkontribusi positif dalam jamaah. Muslim dianggap lebih baik dan lebih disukai di mata Allah dalam keadaan kolektif atau berjamaah karena sifat-sifat dasar manusia yang lemah dan penuh keluh kesah.

”Dan manusia itu diciptakan dalam keadaan lemah”. (Q.S Ar-Rum)

”Sesungguhnya manusia itu diciptakan dalam penuh kegelisahan. Kalau ditimpa kesusahan begitu mudah

Page 22: Antologi Tulisan

22

mengeluh. Bermuram durja. Jika ia mendapat kebaikan, ia protes nikmat itu”. (Q.S. Al-Ma’aarij : 19-21)

Dalam konsep kepengikutan dalam Islam pula disebutkan bahwa keterampilan kepengikutan yang baik bukan hanya sekedar ikut-ikutan (taklid) kepada orang banyak seperti yang dikisahkan dalam Al-Quran pada orang-orang yang hanya ikut-ikutan saja. Orang-orang yang hanya sekedar ikut-ikutan saja tanpa pengetahuan dan wawasan yang cukup, maka tentunya akan sesat.

“Kami ini hanya mengikuti pemimpin-pemimpin kami dan pembesar-pembesar kami. Tapi mereka itu menye-satkan kami”. (Q.S al-Ahzab : 67).

“Dan apabila dikatakan kepada mereka : ’ ikutlah apa yang telah diturunkan oleh Allah Swt.’ Mereka menjawab : ‘(tidak), tetapi kami mengikuti hanya tradisi-tradisi yang kami sudah biasa menerimanya dari nenek moyang kam’ i”. (Q.S Al-Baqarah : 70).

Sehingga untuk menjadi seorang muslim yang baik, tentunya ilmu dan inisiasi dalam kelompok sangatlah penting.

Allah SWT berfirman, ”Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum, kecuali bila kau itu sendiri yang merubah apa-apa yang ada dalam dirinya”. (Q.S Ar-Ra’du 14:11).

Rasul bersabda, “Siapa yang menginginkan dunia hendaknya berilmu. Dan barang siapa yang menginginkan akhirat hendaknya berilmu. Dan siapa yang menginginkan keduanya hendaklah berilmu”.

Ketika tak Bisa Memilih

Peran pemimpin memang menggiurkan sebagian besar orang, posisi pemimpin tentunya selalu membutuhkan persiapan, banyaknya pelatihan-pelatihan atau sekolah-sekolah kepemimpinan menunjukkan betapa pentingnya

Page 23: Antologi Tulisan

23

untuk mempersiapkan diri sebagai pemimpin. Akan tetapi seperti yang telah dibahas di awal, peluang kita untuk menjadi pemimpin tentunya tidak sebesar peluang kita untuk menjadi pengikut. Dan seringkali, ketika kita kalah dalam memenangkan peluang untuk memerankan pemimpin, kita tidak mempersiapkan diri untuk menjadi pengikut yang baik, sehingga seringkali menjadi pihak oposisi yang negatif dan kurang konstruktif bagi pemimpin kita.

Ketidaksiapan kita untuk menerima kepengikutan kita itu bisa berdampak sangat buruk bagi kinerja kelompok kita, baik itu di dalam keluarga, pekerjaan, bahkan berbangsa dan bernegara. Maka ketika keba-nyakan orang berlomba-lombalah menjadi pemimpin dan mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin, janganlah lupa juga untuk mempersiapkan diri menjadi pengikut, karena peran pengikutlah yang seringkali kita dapatkan. Padahal, lebih sulit menjadi pengikut yang baik daripada pemimpin. Seorang pengikut rentan terbawa-bawa dalam arus, terutama bila dilandasi emosi dan cemburu akibat kepemimpinan yang menurut kita dzalim, pengikut akan lebih banyak mengeluh, rentan menggunjingkan pemimpin, dan berperilaku munafik dan menjilat, sungguh sulit menjadi pengikut yang baik. Akan tetapi Allah telah memberikan tips untuk menjadi seorang pengikut yang baik,

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang bodoh” (Q.S Al-Araf : 199).

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada perusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia” (Q.S Fushshilat :34).

Dan manakala kita tidak bisa memilih, jadilah pengikut yang baik, persiapkan diri selalu untuk menjadi pengikut

Page 24: Antologi Tulisan

24

yang baik, karena kita akan lebih sering memerankan peran pengikut daripada pemimpin.

Wallahua’lam.

Page 25: Antologi Tulisan

25

Pulang -Nova Dias-

Kata pulang mungkin sudah sering kita dengar dalam

keseharian kita. Coba ingat kembali, banyak orang yang menyukai kata ini sebenarnya. Misalnya saja, seorang pelajar ketika gurunya mengatakan “Ya anak-anak, sebentar lagi kita pulang” atau “Ya, kalian boleh pulang”, bagaimana begitu gembiranya mereka bahkan terkadang ada yang berteriak “Yeah!!” saking girangnya seraya kemudian dengan semangatnya bersiap-siap membe-reskan alat tulis.

Jika mengingat pengalaman saya ketika duduk di bangku sekolah, saya akan berlomba-lomba menjadi yang paling rapi supaya saya ditunjuk untuk dapat pulang pertama. Tidak hanya itu, coba juga kita perhatikan bagaimana seorang mahasiswa yang kuliah merantau di luar kota atau di luar pulau, begitu mereka sangat menanti saat-saat pulang mereka ke rumah. Bahkan biasanya, bekal atau oleh-olehnya sudah dipersiapkan satu bulan sebelum-nya untuk pulang, karena mereka sudah sangat merindu ingin segera bertemu dengan orang-orang yang mereka cintai.

Cerita lain misalnya dari seorang pekerja yang merantau di luar kota, coba bayangkan mereka sudah menabung untuk ongkos pulang lebaran dari satu tahun sebelum lebaran, dan terkadang mereka rela mengurangi jatah makan mereka agar dapat ditabung untuk ongkos pulang. Banyak contoh-contoh lain dalam kehidupan yang menggambarkan betapa banyak orang-orang yang begitu bergembira menyambut sebuah

Page 26: Antologi Tulisan

26

kepulangan, begitu banyak yang sudah mempersiapkan sebuah kepulangan dengan matang dan sebaik mungkin, begitu banyak yang mengorbankan kesenangannya demi sebuah kepulangan, dan begitu banyak pula yang tak sabar menanti sebuah kepulangan karena pulang berarti bertemu dan berkumpul dengan orang-orang yang mereka cintai.

Tapi, coba kita renungkan, sudah seberapa jauh kesiapan kita untuk menghadapi kepulangan kita yang sebenarnya? Ya, kepulangan pada Sang Pemiliki kita, Dzat yang senantiasa menjaga kita tanpa lengah, yang senantiasa mencurahkan kasih sayang-Nya tanpa batas.

Sudahkah kita bersemangat untuk berlomba-lomba mendapat kebaikan untuk bekal pulang kita pada-Nya seperti halnya seorang pelajar yang berlomba-lomba untuk duduk rapi agar dia bisa pulang pertama?

Sudahkah kita menabung sebanyak-banyaknya amal kebaikan di dunia ini untuk kepulangan kita, seperti halnya seorang perantau yang menabung uangnya dari jauh-jauh hari untuk kepulangannya ke kampung halaman?

Dan sudah seberapa banyak pengorbanan yang kita lakukan untuk bisa pulang bertemu dengan Sang Pemilik yang kita cintai, sebagaimana seorang mahasiswa berkorban demi kepulangannya ke rumah untuk bertemu dengan ibunya tercinta?

Sebuah pertanyaan besar, sadarkah kita bahwa setiap dari kita pasti akan pulang dan tak akan kembali? Maka, bersiaplah, berbenahlah, dan berdoalah… karena Sang Pemilik kita memiliki hak untuk membawa kita pulang kembali pada-Nya kapan pun. Esok, lusa, atau detik ini juga.

Allahualam.

Page 27: Antologi Tulisan

27

Buku dan Wanita -Nurul Fithriah-

Sebuah buku. Saat pertama kulihat, covernya menarik, artistik, warnanya soft, nyaman melihatnya. Buku itu bersih, rapi, dan tersampul plastik. Ketika kubaca isinya, setiap kata-kata yang tertulis dan terangkai dalam untaian kalimat, membuatku sering tertegun. Yang kubaca, membuatku berpikir dan aku terinspirasi, bahkan mampu memotivasiku. Menurut informasi sang penjual, buku tersebut sangat diminati banyak pembeli. Mereka kagum pada isi buku tersebut karena mampu membuat hidup mereka berubah menjadi lebih baik, yang sudah memilikinya tentu akan menjaga buku itu baik-baik. Tak akan dibiarkan rusak maupun lusuh. Aku jadi ingin menjadi buku tersebut.

Page 28: Antologi Tulisan

28

Berlomba di Kotak Labirin!

-Nurul Fithriah-

Sebelum masuk, silakan melengkapi seluruh peralatan yang dibutuhkan. Tapi sebelum masuk garis lomba, kita sudah harus tahu tempat tujuan yang ada di depan, yaitu garis finish-nya.

Nah, panitia sudah menyediakan berbagai jalan untuk kita lalui untuk sampai ke garis finish yang berbeda. Karena ini bukanlah lomba lari maraton, tapi lomba melewati kotak labirin. Tinggal kita memilihnya. Memilih jalan masuk mana yang kita anggap paling baik untuk sampai tepat waktu dan benar sampai di tujuan yang terbaik.

Panitia telah menyediakan berbagai bekal untuk digunakan selama perjalanan, tapi berbagai jebakan dan tips juga akan kita temui di dalam kotak. Ingat, berhati-hatilah dengan peraturan yang ada. Sekali kau melanggarnya, lakukanlah sesuatu sesegera mungkin untuk memperbaikinya. Karena kalau kau melanggarnya, kau pun bisa tidak mendapatkan petunjuk yang benar untuk sampai di tujuan yang kau inginkan.

Nah, setelah semuanya siap, keluarlah melewati garis start yang kau pilih. Lalu berjalanlah sesuai pilihanmu, keinginanmu. Namun kau tetap harus mengingat aturan yang

Page 29: Antologi Tulisan

29

ada, dan jadikan impian garis finish di depanmu adalah pilihan yang menjadi motivasimu.

Ingat, waktu terbatas! Kalau kau tidak sampai ke tujuan yang kau inginkan dan malah tersesat oleh jebakan-jebakan yang ada, kau akan merugi.

Inilah kotak labirin, kotak kehidupan kita.

Page 30: Antologi Tulisan

30

Menolong dan Ditolong -Nurul Fithriah-

Allah SWT memberikan dua hal penting untuk kita lalui

yang kadang sering sulit dibedakan, yaitu nikmat dan ujian. Diberikan pula dua hal untuk menghadapi keduanya,

yaitu bersyukur dan bersabar, dengan selalu beribadah dan mendekat pada-Nya.

Diberikan pula tiga hal yang harus dilakukan untuk lolos dari keduanya, yaitu berdoa, berikhtiar, lalu bertawakal.

Bila diri telah terisi dengan sifat dan jiwa penolong, sebagaimana begitulah fitrah manusia, menjadi khalifah dan beribadah kepada-Nya, sudah seharusnya diri yang menjadi wakil Tuhan ini memberikan suatu pelayanan kepada sesama makhluk Allah SWT (setidaknya, itulah yang saya pelajari ketika sedang membahas hakikat dan fitrah manusia dalam salah satu mata kuliah yang saya lalui). Menjadi wakil Tuhan, berarti kita hanya mengharap ridha dan balasan dari-Nya, bukan mengharap balasan dari makhluk yang kita tolong.

Hiduplah seperti seorang karyawan yang bekerja keras, hanya mengharap mendapatkan promosi dan kenaikan gaji dari atasannya. Hiduplah seperti seorang guru yang selalu mendidik dengan tulus ikhlas tanpa berpikir akan adanya tanda jasa yang diberikan untuknya.

Jangan hidup seperti pengemis yang selalu meminta pada orang yang tidak ditolongnya ataupun meminta pada Tuhannya. Jangan hidup seperti pelayan hotel yang selalu berharap adanya uang tip dari pengunjung, tapi hiduplah

Page 31: Antologi Tulisan

31

seperti pelayan hotel yang bekerja dengan setia dan baik melayani dengan rendah hati.

Hiduplah tanpa sebuah keluhan ataupun amarah, tapi hiduplah dengan rasa syukur dan senang. Karena ujiannya akan terasa nikmat bila bisa diambil hikmah baiknya.

Kata seorang ustadz, pertolongan Allah SWT akan datang pada diri kita ketika kita menolong makhluk-Nya.

Jangan lupa untuk selalu bersiap dengan rasa sabar dan syukur. Bersyukur karena masih bisa menjadi orang yang menolong, yang lebih mampu daripada yang ditolong. Bersabarlah karena boleh jadi orang yang kau tolong tidak akan bisa membalas pertolongan yang kau berikan dengan setimpal.

Bersiaplah untuk bersabar saat sebelum, sedang, dan setelah menolong orang lain. Karena setelah mempunyai niat untuk menolong, hati ini belajar untuk mengasah rasa empatinya, jangan hentikan niat itu dengan anggapan bahwa diri ini takut orang itu akan menyakiti nantinya. Karena memang, orang yang kita tolong tidak akan bisa membalas pertolongan kita dengan setimpal dan kita akan sakit hati saat tahu bagaimana sikapnya selanjutnya bila berharap darinya.

Pernahkah ditolong? Apa yang dirasakan? Itulah hal yang membuat beban menjadi berkurang

karenanya. Pertolongan itu datang kepada kita karena Allah SWT yang menghendakinya. Hanya meminta pada Allah SWT untuk membalas pertolongan orang lain dengan pertolongan Allah SWT di manapun penolong kita berada. Karena sekeras dan sekuat apapun kita ingin membalas pertolongan orang

Page 32: Antologi Tulisan

32

lain, pada hakikatnya kita adalah orang yang lebih lemah daripada orang yang menolong.

Ada sebuah penghapus yang ingin mendorong sebuah kayu besar untuk dapat naik ke atas bukit, bagaimana jadinya?

Alangkah baiknya bila kita bisa merendahkan hati pada orang yang menolong kita. Menundukkan kepala pada Allah SWT yang telah mengirimkan sosok penolong pada kehidupan kita.

Pada orang yang telah menolong kita, kita tahu, ia yang tulus menolong tak pernah mengharap adanya balasan dari diri kita. Tetap berusaha membalas kebaikannya dengan kebaikan pula, walau mungkin tidak akan setimpal. Karena kau tak lebih kuasa dibandingkan Allah SWT, yang terpenting adalah, jagalah hati orang yang telah menolong kita dan ucapkanlah padanya….

Jazaakallahu khayran (pada laki-laki) Jazaakillaah khayran (pada perempuan) Jazakumullah khayran (pada khalayak) Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda (yang

artinya): “Barangsiapa memperoleh kebaikan dari seseorang dan mengucapkan, jazaakallahu khayran kepadanya maka ia telah mencukupkan pujian (baginya).” (HR. at-Tirmidzi; dia berkata: hadits ini hasan jayyid gharib, dishahihkan al-Albani)

Semoga kita dapat menjadi wakil Allah SWT yang selalu memberikan pelayanan terbaik dan hanya berharap ridha akan surga-Nya, dan semoga kita dapat menjadi makhluk yang bersikap baik dan rendah hati pada Sang Penolong diri yang lemah ini. Aamiin.

Page 33: Antologi Tulisan

33

Semoga hal ini dapat diaplikasikan dan bermanfaat bagi saya khusunya dan pembaca pada umumnya. Aamiin

Saya bukan manusia sempurna yang hanya ingin memberikan sesuatu yang semoga akan membuat keadaan baik pada akhirnya. Aamiin.

Page 34: Antologi Tulisan

34

Pulang -Nurul Fithriah-

"Pulang, adalah hal yang menentramkan. Ketika semua

kewajiban dan tanggung jawab telah terselesaikan. Pembayaran tagihan, dll...." (sepenggal kalimat yang teringat setelah melihat iklan)

Pulang kerja, pulang kuliah, pulang main, pulang...... Semua yang berpulang, kembali...akan merasa tenang di

rumah apabila telah menyelesaikan tanggung jawab dan kewajiban sebelum waktu pulang tiba. Bila belum selesai tugas ataupun tidak menyelesaikan tugas dengan baik, tentunya akan berdampak kegelisahan dan tidak akan merasa tentram di rumah.

Seorang anak yang merantau ke kota. Melalui berbagai cobaan dan ujian untuk terus berjuang. Mengerahkan segala kemampuan dan rasa optimis yang tinggi untuk menjadi orang sukses. Karena dengan sukses, orang tua pasti akan merasa bangga dan senang menyambut anaknya pulang ke rumahnya. Kalau sukses, tentunya akan disediakan berbagai macam makanan kesukaan dan sambutan meriah penuh senyuman.

Mari kita persiapkan diri sebelum pulang dengan menjadi orang sukses.

Packing perlengkapan yang dibutuhkan. Simpan dalam tas besar untuk dibawa, jangan bawa barang yang tidak diperlukan. Jangan lupa selesaikan hutang pada orang lain. Selesaikan semua tugas dengan baik dan benar. Jangan lupa

Page 35: Antologi Tulisan

35

kumpulkan uang yang banyak dengan jerih payah kemampuan maksimal kita, yaitu hasil kesuksesan kita, lalu bawa uang yang banyak untuk perbekalan di jalan agar bisa naik kendaraan termewah, nyaman, aman, melalui perjalanan dengan senyum ketenteraman, dan sampai dengan selamat dan menempati rumah terindah yang telah disediakan, dengan disambut penuh sukacita dan kebanggan, yang di atas adalah versi duniawinya...

Mau tau versi akhirat??? kita ubah saja... Andaikan... kita adalah hamba Allah SWT, orang tua kita adalah pemilik rumah. Sang Pemilik akhirat adalah Allah SWT, kalau kita menjadi orang yang sukses, tentunya orang tua akan menyediakan rumah seperti surga. Tentunya Allah SWT pun begitu. Kalau tidak sukses, pintu yang disediakan adalah pintu bawah, neraka (naudzubillaahimindzalik) maka pulang akan tetap menjadi hal yang menentramkan bila kita bisa sukses. Amiiin.

Pulang.... pulang kemanapun, semoga kita bisa termasuk orang yang sukses dunia dan akhirat.

Semoga setiap detik yang kita lalui bisa menjadi ladang amal untuk bekal pulang nanti.

Amiin Ya Rabbal Alamiiin.

Page 36: Antologi Tulisan

36

Tak Ada Akhir untuk Cinta

-Nurul Fithriah-

"Tak ada akhir untuk cinta, jangan pernah berhenti mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya, karena Allah SWT dan Rasul-Nya tidak akan pernah berhenti mencintai kita."

Cinta pada Allah SWT, Rasulullah saw, dan manusia (orang tua, teman, sahabat, dll) sejak pertama kali dan sampai saat ini mengalami juga (sedikit) mengerti kasus dalam 'cinta', semuanya berpengaruh dalam kehidupan sampai saat ini. Kejadian buruk, dijadikan ujian untuk diselesaikan dan diambil hikmah baiknya untuk kemudian disimpan dalam memori sebagai arsip pembelajaran agar bila terulang bisa diatasi dengan baik atau bisa dibagikan pada orang lain yang juga mengalaminya. Kejadian baik, dijadikan kenangan manis yang semoga nanti ke depannya akan bertahan, terulang, bahkan semakin manis lagi.

Cinta pada orang tua mungkin sudah tidak perlu didefinisikan lagi. Sudah banyak orang yang menceritakan kisah cintanya pada orang tuanya. Aku? Aku tak mampu menceritakannya, hanya mampu mengingatnya dan menyimpannya.

Cinta pada Allah SWT dan Rasul-Nya sudah pasti wajib dirasakan setiap muslim dan muslimah. Cinta inilah yang mendasari semua cinta.

Page 37: Antologi Tulisan

37

Cinta pada lawan jenis. Hmm… tampaknya inilah yang sering diceritakan orang-orang dalam kehidupan sehari-harinya. Tak perlu ditanya, semua orang pasti terlihat asyik saat menceritakan hal ini.

Teringat akan pengalaman, tausiyah beberapa orang teman dan tausiyah da'i-da'i kondang. Dari beberapa ingatan tersebut, mungkin tidak bisa disampaikan semuanya, kesimpulan yang didapat adalah, "Kalau dia belum tentu jodoh kita, buat apa kita sibuk-sibuk memikirkannya? Kalau jodoh, alhamdulillah. Kalau bukan? Kita hanya membuang-buang waktu saja. Lebih baik biarkan Allah yang mengurusi kita dan jodoh kita karena Allah yang menyiapkan 'seseorang' itu untuk kita..."

Bukan berarti kita tak bisa dan tak boleh berusaha, bukan berarti apa yang kita pikirkan itu salah dan merugikan sepenuhnya, tapi yang pasti adalah semua yang kita perbuat di dunia ini jalanilah dengan sebaik-baiknya. Jalannya, biarkan Allah SWT yang memberikannya dan kitalah yang melewatinya. Semua kembali pada Allah SWT.

Ibarat lagu, cinta yang tak lekang oleh waktu adalah cinta yang didasari karena Allah SWT, karena ingin menjadi umat Rasulullah saw, dan pastinya ingin dibalas cintanya oleh Allah SWT dan Rasulullah saw...

Siapapun yang merasa kehilangan CINTA, ingatlah bahwa Tak Ada Akhir untuk Cinta.

Yang belum, yang sedang, dan yang sudah mengalami proses-proses tersebut, semoga ada dan bisa menangkap banyak hikmah baik di dalamnya dan bisa berguna untuk kehidupan dunia dan akhirat nanti.

Semoga. Amiin...

Page 38: Antologi Tulisan

38

Alasan untuk Bersedih?

-Alwin Muhammad R-

Sahabat, pernah mungkin kita meneteskan air mata kesedihan karena kehilangan akan sesuatu hal atau mungkin bersedih karena tidak mendapat apa yang kita ingingkan, bahkan marah terhadap kehidupan. Ya, sedih, menangis, bahkan marah pada kehidupan yang kita lalui adalah wajar-wajar saja sebagai manusia. Bukankah manusia memang diciptakan dengan sifat keluh kesah??

“Sesungguhnya manusia itu diciptakan dalam keadaan berkeluh kesah lagi kikir” (QS. Al-Ma’arij: 19).

Ya, itulah salah satu sifat manusia: berkeluh kesah. Tapi sahabat, apakah sebenarnya alasan bagi kita untuk

mengeluh, kecewa atau bahkan merasa jadi makhluk paling menderita dalam kehidupan ini? Ya, mungkin ada alasan, tapi sungguh masih lebih banyak alasan bagi kita untuk berbahagia. Ada satu alasan untuk kita bersedih, tapi ada sejuta alasan bagi kita untuk berbahagia.

Sahabat, bahagia adalah salah satu tujuan dari kehidupan manusia. Setiap manusia ingin merasakan kedamaian dalam hamparan kehidupannya, ingin mendapatkan kebahagiaan dalam setiap tindak nafasnya. Tapi seringkali kita sebagai manusia sulit bahagia dan cenderung mengeluh dengan apa yang kita punya.

Page 39: Antologi Tulisan

39

Padahal kalau mau kita sedikit bertafakur, sebenarnya

banyak hal dalam diri kita yang bisa membuat kita bahagia. Mungkin ada pertanyaan, “bagaimana saya bisa bahagia, gaji saya selama sebulan ini tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup saya” atau “bagaimana saya bisa bahagia, handphone saya seharga 20 juta itu hilang”, “mobil saya rusak, anak saya nakal, suami saya pulang selalu malam”, atau mungkin bagi kita yang masih muda (ciiiee masih muda..) kita juga sering mengeluhkan dan menyedihkan ketika putus dengan pacar, tidak masuk sekolah atau perguruan tinggi yang diinginkan dan sebagainya.

Ya, sekali lagi wajar jika kita bersedih, tapi itu bukan alasan bagi kita untuk diam meratapi nasib seraya menyalahkan yang telah terjadi. Sahabat tersenyumlah, bersyukurlah. Mungkin engkau tidak memiliki uang banyak, tapi sadarkah engkau? Kau begitu kaya. Setiap hari kita diberi lebih dari 2 milyar oleh Allah SWT. Setiap hari kita masih diberi mata normal sampai saat ini, bayangkan mereka yang matanya tidak normal bahkan buta, mereka harus mengoperasi mata mereka berpuluh-puluh juta. Belum lagi ginjal kita yang masih sehat, di sana masih banyak orang yang terdampar karena ginjalnya sakit. Sedangkan kita disini masih memiliki ginjal seharga 100 juta yang tidak mereka miliki. Di sini kita sehat berlari-lari, tertawa canda riang bersama teman dan sahbat, sementara di sana ada saudara kita yang jangankan berlari, mempunyai kakipun tidak. Jangankan tersenyum, berbicarapun sulit. Ia terkapar di rumah sakit sana.

Page 40: Antologi Tulisan

40

Mungkin kita sedih ketika kita tidak masuk sekolah atau perguruan tinggi yang kita inginkan, tapi sahabat bersyukurlah. Kita masih diberi kesempatan untuk menimba ilmu. Sementara di luar sana masih banyak saudara kita yang jangankan menimba ilmu, untuk makanpun sulit. Mungkin kita mengeluhkan makanan yang tidak enak, apa yang harus kita keluhkan? Kenapa kita tidak bersyukur, padahal di sana saudara kita masih banyak yang kelaparan. Kita menangis karena diputuskan pacar? Bersyukurlah ada orang tua yang tidak akan pernah melupakan kasih sayangnya, ada teman-teman yang kan selalu ada, bahkan ada Allah yang akan tetap menyayangimu, mungkin kekasihmu bisa mengkhianati-mu, tapi di kala engkau mencintai Allah, maka Allah tidak akan pernah mengkhianatimu, Ia akan mencintaimu.

Kau keluhkan pekerjaanmu? Di sana masih banyak orang yang kelimpungan mencari pekerjaan. Apa lagi? Apa lagi yang perlu kau keluhkan? Padahal kalau mau kita perhatikan, tidak ada alasan bagi kita untuk mengeluh terhadap apa yang kita miliki dan terjadi pada kita, apa lagi mengkufurinya.

Sahabat, pernahkah kita bersyukur dengan apa yang kita miliki, dengan apa yang terjadi? Ya, mungkin ada alasan bagi kita bersedih, tapi masih ada sejuta alasan untuk kita berbahagia.

Bahagia itu bukan urusan dirimu dan apa yang terjadi terhadapmu. Kebahagiaan itu urusan dirimu dan hatimu. Jangan hanya berjuang untuk mencari bahagia, tapi berbahagialah dalam berjuang untuk mencari kebahagiaan. Ketika kita berbahagia dalam berjuang, maka kebahagiaan yang menjadi tujuan kitapun akan tercapai. Berbahagialah, ada sejuta alasan bagi dirimu untuk itu.

Page 41: Antologi Tulisan

41

Hari ini, sebelum Anda berniat untuk mengucapkan perkataan buruk, pikirkanlah seseorang yang ditakdirkan tidak bisa berbicara. Sebelum Anda mengeluhkan rasa makanan, pikirkan seseorang yang tidak punya makanan sama sekali. Sebelum Anda mengeluh tidak cukup akan sesuatu, pikirkan seseorang yang harus mengemis di pinggir jalan. Sebelum Anda mengeluh tentang perkara yang buruk, pikirkan seseorang yang sekarang dalam keadaan terburuk dalam hidupnya. Sebelum Anda mengeluh tentang suami/istri Anda, pikirkan tentang seseorang yang menangis sedih, memohon pasangan hidup kepada Allah.

Hari ini sebelum Anda mengeluh tentang kehidupan, pikirkan tentang seseorang meninggal dunia. Sebelum Anda mengeluh tentang putra-putri Anda, pikirkan tentang seseorang yang di takdirkan untuk tidak dikaruniai putra-putri. Sebelum Anda marah karena rumah yang kotor dan tidak ada orang yang membersihkan, pikirkan tentang orang-orang yang harus tidur di pinggir jalan. Sebelum Anda mengeluh tentang jarak yang harus ditempuh saat mengemudi, pikirkan tentang orang yang harus berjalan untuk menempuh jarak itu. Sebelum Anda lelah mengeluh tentang pekerjaan Anda, pikirkan seorang pengangguran, seorang yang sulit mencari pekerjaan, dan seseorang yang menginginkan pekerjaan Anda sekarang. Sebelum Anda menuduh seseorang atau tidak setuju terhadap pendapatnya, ingatlah bahwa tiada seorangpun hidup tanpa dosa dan cela, dan kita akan menghadap dan menjawab pertanyaan yang sama dari Tuhan.

Dalam setiap goresan peluhmu, di sana terkapar rongrongan manusia menderita yang melanga. Kala serpihan

Page 42: Antologi Tulisan

42

permadanimu hancur roboh tak terperi, sungguh di sana tergeletak suara sedu lolongan manusia tak berarti. Bahagia itu ada di hatimu, ia bukanlah sesuatu yang terjadi padamu, namun lebih kepada bagaimana kau menemukannya dari hidupnya kalbumu. Bahagia, bukan sesuatu yang kau dapati dari sejuta pembendaharaan materi, namun dari damainya keluasan hatimu. Ia adalah cermin refleksi dari rasa rindu dan dekatmu pada Ia Yang Maha Pemberi Bahagia. Wallahu’alam.

Page 43: Antologi Tulisan

43

Bombardir!!! -Alwin Muhammad R-

“Tujulah jalanmu, dan berjalanlah dalam jalanmu sebagai

implementasi dalam bentuk sujud dan patuh pada Tuhanmu, Allah SWT. Tujulah shirathal mustaqim itu, jalan orang-orang yang telah di karunai nikmat”

Ketika engkau telah membangun jalan menuju taman hidupmu, maka rumah seperti apa yang akan kau bangun di sana. Apakah hanya sebuah rumah pohon kecil yang hanya indah bagi kehidupanmu, tanpa orang lain bisa menikmati rindang dan teduhnya rumahmu? Ataukah kau ‘kan membangun istana semesta yang menjadi indah bagi kehidupanmu juga bagi manusia di lorong semesta ini?

Tentunya yang kita inginkan adalah membangun istana indah nan megah yang tidak hanya bisa dinikmati oleh pribadi kita, namun bisa menjadi manfaat bagi setiap insan. Namun terkadang setelah mengetahui akan jalan yang ingin ditempuh, kita kembali terseret tergopoh-gopoh merasa tak berdaya untuk membangun rumah yang kita idamkan tersebut. Bahkan cenderung memilih tujuan-tujuan kecil dalam hidup ini karena merasa tidak berdaya.

Sebenarnya yang mejadi pertanyaan mendasar adalah, apa yang membuat kita merasa tidak berdaya? jawabannya mudah, itulah diri kita sendiri, yang membuat itu sulit atau mudah, yang membuat itu buruk atau indah adalah diri kita sendiri.

Page 44: Antologi Tulisan

44

Ya, ketika kita telah memiliki keinginan untuk membangun tujuan besar itu, dengan nada “semangat” , terkadang kita berkata, “mana mungkin aku bisa, itu terlalu sulit bagiku, itu tidak mungkin. Ah sudahlah daripada bermimpi sebesar itu aku lebih baik yang biasa-biasa saja”. Inilah yang menjadi batas bagi kita, DIRI KITA SENDIRI.

Yang menjadi tabir dan pembatas bagi tujuan-tujuan besar itu sebenarnya adalah kita sendiri, dengan segala keluh kesah dan perasaan tidak mungkin, manusia sudah cenderung menyerah sebelum mencoba. Maka ketika kau tidak menemukan jalan-jalan besarmu, kenapa kau tidak membuka tabir dan pembatas itu.

Jangan kau batasi dirimu dengan mimpi dan tujuan-tujuan kecil, karena jika kau hanya bermimpi kecil maka kau tidak akan pernah menjadi besar. Maka buanglah batasan-batasan yang membuatmu sulit menuju mimpi besar itu.

“Saya kan sadar diri, mana mungkin orang yang seperti saya bisa”, apakah itu yang di sebut sadar diri? Kalau kau sadar, kau tidak akan pernah memutuskan asamu dan berkeluh menyerah. Kalau kau sadar, Allah telah menciptakanmu dalam sebaik-baiknya bentuk, dengan segala kemampuan akliah dan ruhiah yang menjadi potensi kekhalifahanmu untuk menuju tujuan-tujuan muliamu.

Maka merdekakanlah dirimu, bebaskanlah dirimu dari batasan-batasan yang hanya akan mengerdilkan dirimu. Bangunlah kembali tujuan besarmu, tak usah memikirkan deburan-deburan lemah dan melemahkan dari nafsumu. Kau bisa, ya kau bisa. Karena kau berhak untuk itu, berhak untuk bertujuan besar lagi mulia. Lagipula itulah kewajibanmu, memakmurkan semesta dengan kemuliaan dirimu juga

Page 45: Antologi Tulisan

45

besarnya akhlak serta tujuanmu. Karena engkaulah khalifah dunia.

Jangan kau batasi tujuan besarmu dengan kerdil dan lemahnya keluh asamu. Kaulah pembatas bagi kemampuanmu, tapi engkaupun raja bagi jiwamu, untuk itu bombardirlah benteng-benteng pembatas itu dengan keyakinan illahiahmu, kesempurnaan ikhtiarmu serta iringan dahsyatnya do’amu. Bangunlah istana besarmu yang menjadi manfaat bagi semestamu dengan bombardir tembok-tembok pembatas dalam jiwamu dan raihlah hakikinya hidupmu.

Page 46: Antologi Tulisan

46

Membingkai Langit - Alwin Muhammad R-

Sahabat, sejenak kita menengadahkan kepala ke atas,

langit biru yang begitu luas menghampar, mengembang melewati batas cakrawala. Dan ketika malam datang, gelapnya bertabur bintang membawa seantero keindahan menemani sejuta jiwa yang terlelap. Luasnya tak terjangkau oleh pandang, tak tergenggam oleh kepal.

Dalam perjalanan ini kita akan dituntut untuk membangun sebuah rumah, rumah yang akan mejadi tempat bagi kehidupan jiwa kita, rumah yang harus dibangun di bawah luasnya langit itu, rumah yang dibangun dalam kesejenakan kehidupan. Kini setelah kau menemukan jalanmu, rumah seperti apa yang ingin kau bangun di taman langitmu itu?

Ketika kita membangun rumah kehidupan ini tentunya ada cita yang terpatri dalam diri. Ya, sahabat bermimpilah. Bermimpilah sebesar-besarnya mimpi. Karena ia akan menjadi cahaya pengharapan yang membawamu kepada rumah kehidupanmu. Jika kau tak mempunyai impi, maka bersiaplah terombang-ambing dalam arus kehidupan yang bisa saja membawamu pada kesengsaranaan dan menghempasmu dari jalanmu yang telah kau pilih.

Mimpimu akan menjadi do’a yang tersirat dalam hatimu. Maka yakinilah ketika kau telah mempunyai mimpi. Jangan remehkan mimpimu, karena impimu akan menjadi pendorong bagi kebaikan hidupmu. Dan buatlah mimpimu itu

Page 47: Antologi Tulisan

47

menjadi mimpi yang membaikan dirimu dan semestamu. Azamkan dalam relungmu bahwa mimpimu merupakan mimpi yang kau teguhkan sebagai refleksi dari perjuangan juga cintamu bagi Ia yang telah memberikanmu taman dalam langit kehidupan.

Jangan takut untuk bermimpi, besarkanlah mimpimu maka kau pun akan menjadi pribadi yang besar. Jika kau bermimpi tuk menggapai matahari maka hal terendah yang ‘kan kau dapatkan adalah rembulan, namun jika kau hanya bermimpi ‘tuk memanjat pinang, maka terlalu sulit bagimu tuk mendapatkan bulan.

Jadilah pribadi yang mempunyai tujuan-tujuan besar, untuk membangun kebesaran bagi kehidupan dirimu juga alammu. Beranikanlah dirimu tuk menggapai kebesaran-kebesaranmu ‘tuk menjadi syuro manfaat dalam langit kehidupanmu. So, jadikanlah keberadaanmu dalam kehidup-an ini bukan sebagai benalu yang hanya akan mengganggu. Namun jadikanlah keberadaanmu ini menjadi kehidupan yang membawa panji-panji kebenaran serta membangun pondasi-pondasi keteguhan. Dan buatlah hidupmu kini menjadi perahu yang melayarkanmu pada kesejatian cinta-Nya, juga sebagai kunci bagimu ‘tuk membuka kehidupan abadi di sana.

Besarkanlah mimpimu dan besarkanlah dirimu bagi mimpi-mimpimu. Karena mimpi besar hanya pantas bagi ia yang besar. Maka tuk menggengam besarnya mimpimu itu memohonlah kekuatan untuk menjadi pribadi besar dan membesarkan kepada Ia Yang Maha Besar. Ya, besarkanlah mimpi-mimpimu sampai langitpun tak ‘kan mampu ‘tuk

Page 48: Antologi Tulisan

48

membingkai, samudera tak sanggup menampung, bahkan gunung pun tak kuat ‘tuk menopang.

Namun sungguh, mimpimu adalah mimpi ketika kau bergerak menggoreskan tinta-tinta usaha untuk mewujud-kannya. Namun ketika kau hanya termenung terhadap mimpimu, maka itu bukanlah mimpi, itu hanyalah sekedar angan panjang yang takan mungkin terjadi, hanya sebuah harap kosong yang tak bisa untuk dibagi. Dan kau tau, orang yang panjang angan tanpa perjuangan itulah orang yang terkena laknat. Mari membangun rumah kehidupan dalam taman langit yang kini telah terbingkai oleh impimu. Wallahu’alam.

Page 49: Antologi Tulisan

49

Menyemarakkan Syiar Keislaman Melalui Optimalisasi Media dan

Kajian Keislaman -Taufik Ginanjar-

Syiar Islam Menggambarkan makna syiar, dekat dengan kata

siaran. Berarti membuminya syariah (undang-undang/program Allah di muka bumi ) dengan Islam sebagai sistem-Nya. Islam yang Allah turunkan dari masa Nabi Adam as sampai Nabi Muhammad saw, senantiasa memberikan kedamaian, ketenangan, dan keselamatan di dunia maupun nanti di akhirat. Islam merupakan satu agama tauhid, yang dibawa para Nabi. Jika Anda sering membaca Al-Quran, maka Anda akan menemukan bahwa Nabi Sulaiman, Nabi Musa dan bahkan Nabi Ibrahim (Bapak Para Nabi/Abbul Anbiya), mereka mengaku seorang muslim “…. Innii kuntu minal muslimin…”

Ada hal yang mau diluruskan di sini, sebenarnya, syariah Islam dan hukum-hukum Islam senantiasa memberikan manfaat, maslahat, keberkahan, kedamaian dan ketentraman bahkan jaminan keselamatan, itu bukan hanya berlaku untuk segolongan umat, tapi ini berlaku universal. Islam adalah agama universal, Muhammad saw diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak (attitude) umat manusia hingga akhir zaman. Jadi, sebenarnya jangan skeptis jika syiar

Page 50: Antologi Tulisan

50

Islam ditegakan dan disemarakkan di kalangan kita, khususnya. Karena sejatinya akan memberikan dampak positif yang berbanding kuadrat bagi kita kaum muslimin begitupun dengan non muslim. Pengalaman empirik telah membuk-tikannya (lihat shirah Nabawi).

Ada pertanyaan yang terbesit di pikiran penulis, lantas, mengapa kita harus menyiarkan syiar Islam? Hingga muncullah jawaban seperti ini, Islam adalah sistem kehidupan yang Allah ciptakan untuk seluruh manusia (bahkan golongan jin pun), Allah men-setting hukum-hukumNya dalam kitab Undang-Undang Dasar, yang kita sebut Al-Quran dan As-sunnah, agar manusia mampu menjalankan misi hidupnya itu (Q.S. Ad-Dzariyat: 56), maka Allah mengutus Rasul untuk menjadi model. Dalam hal ini, berarti Islam sebagai satu-satunya agama tauhid, yang Allah (Sang Khalik semesta Alam) turunkan untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman, akan senantiasa relevan dan menyesuaikan dengan kondisi zaman. Yang jadi pertanyaan, apakah nalar mereka (yang membantah kebenaran) telah sampai pada kejernihan berpikir dan berhasil memahami isyarat kebenaran hakiki ini, atau tidak?

Saatnya Menghidupkan Kembali Syiar Islam, Langkah Pertama dari Kampus

Sebagai sebuah ideologi sosial, Islam juga menderivasi teori-teori sosialnya sesuai dengan paradig-manya untuk transformasi sosial menuju tatanan masyarakat yang sesuai dengan cita-citanya. Oleh karena itu, menjadi sangat jelas bahwa Islam sangat berkepentingan pada realitas sosial, bukan hanya untuk dipahami, tapi juga diubah dan

Page 51: Antologi Tulisan

51

diarahkan. Tidaklah Islami misalnya, jika kaum muslim bersikap tak acuh terhadap kondisi struktural masyarakatnya, sementara tahu bahwa kondisi tersebut bersifat munkar.

Inilah saatnya, kita memulai langkah dari lingkungan kita sekarang (kampus), karena hidup dengan syiar Islam adalah menjadi suatu keniscayaan yang Indah dan spektakuler.

Kemudian, bagaimana kita menyemarakan syiar Islam ini, khususnya di kampus?

Optimalisasi Media

Media merupakan sebuah sarana paling efektif untuk syiar Islam, pun untuk membentuk opini publik. Dengan konteks zaman multidimensi dan multi krisis seperti ini, maka dakwah Islam ini pun mesti multidimensi pula memasuki ranah tersebut. Opini publik sangat mudah terbentuk atau berubah dengan perantaraan media. Kenapa penulis mengatakan media itu sangat urgen dalam syiar Islam? karena media mampu mempengaruhi opini publik, bahkan merubah dan atau membangun opini publik yang baru. Sangat cepat sekali waktu yang dibutuhkan media untuk mempengaruhi.

Media, bermanfaat atau tidaknya tergantung pada manusia itu mengendalikan dan mengarahkan orientasi media-nya. Kita, sebagai kaum muslim, para dewasa muda yang terdidik, sudah saatnya mengoptimalkan media yang ada untuk syiar Islam, untuk terwujudnya tatanan sosial yang sesuai dengan kehendak Allah. Hingga kita diberkahi Allah SWT..

Page 52: Antologi Tulisan

52

Banyak media yang bisa kita gunakan untuk menunjang syiar Islam ini. Sebut saja media seperti broadcast, online (facebook, blog, website, dll), media cetak seperti buletin dan majalah ataupun pamflet, atau jadikan pula HP kita ini sebagai media dakwah, manfaatkan SMS gratis ataupun bayar paket. Mungkin dalam beberapa dekat ini, kita bisa membuat radio di fakultas yang bisa tersiar ke semua kelas di fakultas (terus seperti itu sampai ke level tertinggi dalam jangkauannya). Manfaatkan dan berkreativitaslah untuk menjadikan apapun sebagai media dakwah syiar Islam ini… Bahkan setiap kaum muslim dengan kekhasan masing-masing potensi dan keterampilannya bisa turut menyumbang dalam pengadaan media baru atau mengoptimalissaikan media yang telah ada, guna syiar Islam tersampaikan dengan indah, sebagaimana mestinya. Bagi teman-teman yang berkecimpung di organisasi atau UKM di kampus, maka alangkah baiknya jika itu dimanfaatkan sebagai media, dengan tanpa mengubah konten atau struktural organisasi, sinergiskan dengan dakwah syiar Islam.

Kajian Keislaman

Cara efektif yang kedua yaitu dengan dilakukannya kajian-kajian ilmu dan keislaman, kajian-kajian kontemporer atau isu-isu terkini dan kajian Islam utuh. Dengan konteks dan ruang lingkup di wilayah civitas akademika, maka kajian merupakan sesuatu yang efektif untuk sarana dakwah syiar Islam. Kajian-kajian yang dilakukan bisa mempengaruhi dan menjelaskan secara jernih dan nyata bahwa syair Islam itu indah, selalu relevan, berlaku universal dan berasaskan adil

Page 53: Antologi Tulisan

53

bijaksana, hingga sampai ke titik tertinggi kajian itu sendiri mengenai, siapa kita (manusia itu)? Apa orientasi kita? mengapa kita dihadirkan ke muka bumi? siapakah yang mengatur ini semua dan dengan tujuan apa sistem ini tercipta?

Kajian ini, dibuka untuk semua mahasiswa ataupun dosen yang mau ikut bergabung. Kajian diskusi dan dialektis akan memungkinkan bertemunya dua pikiran yang berbeda, disana jika yang menjadi orientasinya kebenaran hakiki, maka InsyaAllah Allah akan memudahkan kita untuk melakukan kajian-kajian serta membimbing kita untuk menjelaskan dan mengetuk semua titik hidayah di kalbu tiap insan (God Spot), hingga nanti suatu hari, Islam akan bercahaya, menyinari dunia, makhluk dan seisinya.

Kajian-kajian ilmiah dan keislaman ini, akan membantah bias-bias paradigma tentang syiar Islam atau dakwah Islam. Juga sebagai metode domokratis untuk memberikan titik temu, antara masalah-masalah sosial dengan konsep Islam yang senantiasa relevan sebagai solusi.

Kajian-kajian keislaman perlu dijaga ketat dengan berpegang teguh pada prinsip Al-Quran & As-Sunnah, karena yang penulis khawatirkan adanya kesalahan berpikir yang tidak merujuk pada ketaatan Al-Quran & As-Sunnah. Ataupun, ada oknum dan pihak yang menggu-nakan nama kajian keislaman, namun isinya justru membantah kebenaran Al-Quran & As-Sunnah, katakan saja orientalis misalnya.

Tulisan ini diposting juga di website: www.my-profetic.blogspot.com

Page 54: Antologi Tulisan

54

Terpendam pada Rumput yang Bergoyang

-Toto Setiadi- “… atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita coba

kita tanyakan pada rumput yang bergoyang...” Pada saat terjadi sebuah bencana yang dikatakan

berskala nasional, kadang lagu di atas dijadikan sebagai soundtrack sebagai pengingat dan juga pengetuk hati. Satu hal yang menarik adalah tentang bertanya pada rumput yang bergoyang. Kadang sesuatu itu terjadi tidak secara kebetulan, tapi tentunya di dalam sana ada makna tersembunyi yang harus ditemukan. Setelah mendengar lagu dan membaca lirik lagu terpusat, ada sesuatu yang ingin dibagi tentang rumput tersebut.

Rumput adalah jenis tumbuhan yang tak berkayu, dan bisa pula rapuh sehingga mudah bergoyang saat ditiup angin. Rumput memang termasuk makhluk hidup, akan tetapi tak bisa berbicara, tak pula mempunyai akal pikiran. Maka ketika bertanya pun itu hanya akan menjadi aktivitas satu arah saja. Kalau pun rumput tersebut bereaksi itu hanyalah goyangan atau gerakan yang tertiup.

Rumput tak bisa berbicara atau menjawab bahkan memberi solusi atas setiap pertanyaan, tapi pada lagu tersebut malah menyuruh untuk bertanya pada rumput,

Page 55: Antologi Tulisan

55

tampaknya mungkin memang ada sesuatu disana. Bila dibahasakan mungkin ini semua adalah untuk melepaskan, sekedar berbagi.

Beberapa orang ada yang sulit sekali untuk terbuka dan mengutarakan masalahnya, kepercayaan memang harganya sangat mahal. Ada kepastian setiap hidup mempunyai masalah, bahkan termasuk bencana yang berskala nasional. Setiap masalah adalah untuk diselesaikan, tapi terkadang tertemui pula jalan buntu dalam proses penyelesaiannya itu. Saat itulah berbagi dengan orang lain diperlukan, mesti ada perspektif baru dalam memandang sesuatu itu. Bagi orang yang sulit terbuka hal tersebut bisa jadi sesuatu yang menyiksa, karena ketika ingin berbagi tertutupi sebuah benteng yang ia sendiri pun tak tahu. Bila dihubungan dengan lagu tadi mungkin hal tersebut bisa menjadi sebuah alternatif.

Berbagi tidak selalu untuk mendapatkan solusi, kadang berbagi adalah untuk melepaskan saja, apa yang dipendam harus segera dikeluarkan. Kadang berbagi itu adalah untuk sekedar didengar saja, tidak mesti berakhir dengan solusi. Bagi pada orang yang tertutup tersebut, bertanya pada rumput yang bergoyang mungkin adalah sebuah pilihan, ketika tak ada orang yang belum bisa dipercaya, mungkin rumput bisa menampung dan menjadi pendengar setia yang siap dicurahi apa yang tengah dihadapinya. Cari, katakanlah dan pendamkan semua itu kepada rumput yang bergoyang.

Bahasa rumput yang bergoyang mungkin itu adalah respon atau jawaban atas apa yang telah dikatakan, mungkin pula di sana ada jawaban yang sesungguhnya atas apa yang terjadi, atas sebuah bencana yang menimpa, atas setiap

Page 56: Antologi Tulisan

56

masalah yang menyelimut. Biarkan pendaman-pendaman masalah itu tergoyangkan dalam rumput hingga luluh dan hilang tertiup angin.

Page 57: Antologi Tulisan

57

Berjiwa Seni -Toto Setiadi-

Pernahkah melihat lukisan Picasso? Katanya meskipun secara awam bagaikan corat-coret

yang tak karuan, tapi bagi beberapa orang hal tersebut adalah karya yang indah.

Jika sulit bertemu dengan lukisan Picasso, maka coba untuk melihat hasil karya lukisan-lukisan pada sebuah galeri. Ternyata kadang ada saja lukisan abstrak yang membuat bertanya-tanya apa sebenarnya makna lukisan ini.

Jika dibagi dalam menikmati lukisan tersebut mungkin ada dua kelompok yaitu mereka yang bertanya apa maksud lukisan ini atau mereka yang mengerti dan mengagumi lukisan tersebut.

Kelompok mengerti biasanya adalah mereka-mereka yang juga sesama seniman, sama-sama satu profesi atau ada kaitanya. Sedangkan kelompok bertanya, mungkin adalah mereka yang awam tentang seni tadi.

Satu hal yang membuat kedua kelompok tersebut berbeda adalah pada penghayatan dan apresiasi. Kelompok tanya cenderung lebih bisa mengerti gambar yang berobjek jelas ketimbang yang abstrak sehingga apresiasinya pun bisa berkurang.

Apa yang membuat apresiasi itu berbeda, mungkin di sana adalah jiwa seni. Mereka yang terlahir atau terlatih dengan seni, akan mudah saat memahami lukisan itu. Bagi yang tidak atau belum akan butuh waktu yang lebih.

Page 58: Antologi Tulisan

58

Jika jiwa seni adalah frekuensi getaran, maka tiap seniman sudah berada pada getaran yang sama, sehinga tak perlu adaptasi lagi. Maka ketika kita menggambar satu lukisan asal yang corat-coret, sangat abstrak ketika dinilai seniman mungkin mereka hanya mengerutkan dahi, ternyata frekuensinya belum sama.

Satu lagi yang membedakan adalah pencurahan. Tanpa jiwa seni yang tercurah larut dalam lukisan tersebut maka maknanya akan kurang terasa. Berarti sesuatu yang dibuat sepenuh hati akan terasa oleh hati juga, berbeda dengan yang asal-asalan, rasanya pun tak jelas. Karena memang hasil bukanlah selalu yang menjadi ukuran, proses pun berperan juga.

Hasil memang penting, tapi dengan proses yang sepenuh hati, akan berbuah hasil yang berhati, walau kadang makan hati, yang penting sudah berhati-hati.

Begitu juga dalam memahami sesuatu atau seseorang, samakanlah frekuensi terlebih dahulu, pakai perspektif yang sama. Berusaha memaknai dengan jiwa yang sama. Buatlah memahami dulu untuk bisa dipahami.

Mungkin lukisan abstrak dalam hidup kita yang bakal ditemui itu berbeda-beda, bukan berbentuk lukisan. Mungkin kita tak suka atau tak mengerti, tapi kadang kita harus mengetahui makna dari lukisan tersebut.

Page 59: Antologi Tulisan

59

Pasta dan Sikat Gigi -Toto Setiadi-

Keduanya ini hadir pada ruangan lembab di rumah kita.

Tanpa sempat berkenalan mereka sudah akrab hingga kini. Kerjasama merekalah yang telah menghadirkan satu jasa kesehatan di tubuh kita tentunya dengan kesadaran diri kita pula, karena tanpa ada keinginan dari kita, keduanya pun tak lebih akan berguna, selain hanya sebagai pelengkap di ruangan itu.

Tahukah kapan keduanya mulai bertemu atau dipertemukan? Sekarang mungkin tidak begitu dipedulikan tentang sejarahnya. Kegunaan di masa kini melupakan satu cerita di masa lalu mereka, tahu atau tidak mereka akan tetap seperti itu, kecuali kelak di masa depan telah menunggu sang pengganti yang akan mengantikan kedua benda itu dengan lebih baik.

Mungkin keduanya dari awal hingga sekarang sedang bersahabat. Perbedaan usia mereka untuk bersiklus ulang tak jua membuat surut arti persahabatan tersebut, terutama tentang makna saling melengkapi di antara keduanya. Terus dan terus sampai salah satu habis atau rusak lalu diganti. Meski berbeda namun inti dari rupa baru itu adalah diri mereka yang nyata, yang siap bekerja dengan cara dan semangat lama. Pola mereka sudah baku dan yang akan menghentikan hanyalah sang pemilik mereka berdua, kala sudah mulai malas?

Page 60: Antologi Tulisan

60

Kita mungkin pasta atau sikat itu. Kita akan menemukan sesuatu yang melengkapi tugas kita, bersahabat dengan dia dan terus saling memahami. Kapan dan di mana adalah rahasia yang waktu simpan, tapi saat itu kadang datang tak terduga dan mungkin saat ini dia sudah dekat, bersiaplah menyambut dan tetap terbuka dengan setiap orang. Siapakah dia?? kita tunggu saja...

Page 61: Antologi Tulisan

61

Gede Rasa -Muna Fatimah-

Cinta yang datang di kala SMA, cinta yang datang tiba-

tiba. Cinta yang tak tahu saat itu disebut dengan kata cinta. Cinta yang polos dan lucu jenaka, jika mengingatnya akan keluar kata: HAHAHAHAHA..

Seorang pemuda menyimpan rasa pada seorang wanita yang juga muda, dengan tangan hampa dibuat jadi berada. Demi cinta katanya.

Seorang wanita muda masih menyimpan luka, karena sesuatu terdahulu yang tidak diketahui sampai tak hiraukan siapa-siapa. Dia hanya berkata,

Siapa suruh si Pemuda itu berusaha, hahaha.

Kau tega wahai Wanita, aku sudah menghalalkan segala cara, tapi kau malah mendua.

Aku tak memintamu melakukannya wahai Pemuda.

Pemuda pulang dengan derita, ia kira wanita itu dirinya, yang bisa tertebak isinya karena sama dengan jalan pikirannya.

Sang wanita hanya tertawa, Kau tidak mengungkapkannya jadi ku

kira kau hanya bercanda. Karena di Indonesia dilarang gede rasa.

Page 62: Antologi Tulisan

62

Cerita Pendek

Page 63: Antologi Tulisan

63

Menjaga Impian -Adit Poer-

Sore yang cerah, dan hari yang melelahkan. Setelah

seharian bekerja, berbaring di kasur akan terasa nikmat. Tapi sore ini ada yang harus kulakukan, menjemput adek di sekolah. Seperti biasa, usai menyimpan tas kerja di kamar, dengan masih mengenakan kemeja yang lengannya digulung, langsung saja kususuri jalan menuju sebuah SD yang jaraknya tak begitu jauh dari rumah kami. Tempat dimana adek sekolah.

Ina Hayuning Kemalawati, itulah nama adek. Coba kutebak, jam segini dia pasti lagi main jungkit-jungkitan di sekolah.

Tuh kan! Dia lagi main jungkit-jungkitan bersama teman-temannya. Ini memang hari yang melelahkan, dan aku ingin segera pulang, tapi adek tampaknya masih asyik bermain. Aahhh... pantas saja ibu memintaku untuk menjemputnya tiap pulang sekolah. Ibu juga pasti tidak tega untuk menyuruhnya langsung pulang. Tapi menunggu adalah pekerjaan yang tak enak. Aku hanya bisa menunggu dan memandangnya dari sebuah sudut di sekolah.

Duduk di sebuah tempat sepertinya adalah pilihan yang tepat. Lagipula kakiku sudah agak pegal-pegal. Untunglah, warung sebelah masih buka dan jualan es krim. Setidaknya ini bisa membuatku jadi lebih segar dan tak bosan-bosan amat. Sekalian beli satu lagi buat adek. Kebetulan di seberang sekolah, ada taman kecil, dan di sana ada ayun-ayunan.

Page 64: Antologi Tulisan

64

Tempat yang biasa kupakai saat menunggu adek selesai bermain.

Sambil duduk, istirahat di kursi ayunan, kunikmati saja es krim ini. Sebentar lagi juga dia selesai, dan dia sudah tahu kalau mas-nya ini sedang menunggu di sini. Karena memang aku biasa menunggunya di sini.

Tuh kan! Dia datang. Begitulah dia, kalau sudah puas bermain, dia akan ‘datang’ dengan sendirinya mencari mas-nya ini.

“Nih. Mas beliin es krim.” “Asyiikk.. Hehehe..” Dia cengengesan sambil mem-

betulkan kerudung kaosnya. Aku gemas kalau melihat dia cengengesan begitu. Lesung pipinya terlihat, dan tampak lugu. Jadi ingin mencubit pipinya deh!

Sore ini, kami menikmati es krim sambil duduk-duduk di kursi ayunan. Menjilatnya sedikit demi sedikit sampai habis. Ah, boro-boro habis, dia malah ketiduran sambil menggandeng sebuah tali ayunan. Es krimnya? Ya jatuh, tak bisa dimakan lagi. Polosnya dia kalau lagi begini. Akhirnya aku mesti menggendongnya untuk membawa dia pulang. Tak apalah, kuberikan saja punggung ini untuknya.

Senja yang cerah, mentari tampak tengah meneng-gelam, dan lembayung mewarnai cakrawala, seakan membuat langit memberikan kehangatan di sela-sela relung hati. Kulangkahkan kaki menyusuri jalan pulang melalui sebuah sawah yang luas, dan sebuah sungai kecil.

“Mas, mataharinya indah ya! In suka.” Tak sengaja, adek terbangun, dan melihat lembayung tampak di seberang sawah.

“Turun dulu ya! Mas capek nih.” Pintaku padanya.

Page 65: Antologi Tulisan

65

“Iya. In juga pengen ngeliat matahari dari sini.” Sore ini pun kami habiskan dengan duduk di sebuah

pinggiran sawah sambil menikmati pemandangan tenggelamnya matahari. Sambil main-main juga. Kupetik saja dandelion yang tumbuh liar di sekitar pematang sawah.

“Nih, lihat!” Seruku pada adek, sambil meniup ‘bunga’-nya. Pffuuuuhhhh... bunganya yang putih mirip kapas tipis itu pun beterbangan diterpa tiupan.

“Waaahhh... hebat! In pengen juga...!!!” Dia takjub, kegirangan. Sesegera ia juga mengambil dandelion yang ada di dekatnya. Tapi sayang, karena terlalu kencang mencabutnya, bunganya jadi terurai. “Yaaaahhhhhh...” Ketusnya sambil cemberut. Sementara itu, aku hanya tertawa kecil memperhatikan betapa lugunya adekku ini.

“In..” “Iya, Mas..” “Kalau udah gede mau jadi apa?” “Mau jadi astronot.” “Astronot?” “Iya. Ina pengen menggapai bintang.” Aku hanya sedikit tertawa sembari menggeleng-

gelengkan kepala mendengarnya. Yah, tapi itulah impian Ina. Akhirnya, menjelang maghrib, kami pulang. Itu pun

karena adek yang sudah lagi-lagi terlelap tidur karena lelah bermain. Dan lagi-lagi aku kembali menggendongnya pulang. Hmmmhhh... jadi teringat lagunya Katon Bagaskara.

Tidurlah tidur, bidadari kecilku Setelah lelah kau bermain

Page 66: Antologi Tulisan

66

Mimpikan dirimu dalam istana Menari lincah dan merdu penuh suka Tidurlah tidur, bintang kesayangku Bersinar menerangi sukma Engkaulah juga yang menjadi alasan Hingga kupacu semangat hidup menyimpan harapan Aaahhh... Biarlah Ina terlelap tidur di punggungku. [end]

Page 67: Antologi Tulisan

67

Yang Tak Terucap Oleh Kata

-Adit Poer- Malam semakin gelap, diiringi derasnya hujan dan petir.

Sementara itu Dinda masih berdiri di dekat jendela depan, menantikan kepulangan Raka, suaminya. Berharap belahan jiwanya itu akan pulang dengan selamat. Tak seperti biasanya, isya Raka belum pulang. Spontan, naluri Dinda membuatnya jadi berpikir yang tidak-tidak.

Tak lama kemudian, dari ujung jalan terlihat sebuah motor melaju menuju rumah. Itu adalah Raka. Dinda hafal betul suara motor dan bentuk lampunya. Dan memang benar, yang datang adalah Raka yang telah basah kuyup terguyur hujan.

Dengan kewalahan, dan masih kedinginan, Raka pun memasukkan motor bebeknya ke ruang tamu. Maklum, rumah yang saat ini mereka kontrak tak cukup besar. Sementara itu, dengan agak sinis Dinda memandang Raka yang tengah memarkir motornya.

“Mas, dari mana saja? Jam segini baru pulang.” “Maaf, Dik.” Jawab Raka singkat. Tanpa banyak bicara, Raka yang kedinginan langsung

nyelonoh ke dapur untuk membuat kopi panas. Spontan, Dinda pun jadi kesal.

Page 68: Antologi Tulisan

68

“Mas, dari mana sih? Kenapa tak menjawab pertanyaanku?” Tanya Dinda agak membentak.

“Iya, mas pulang telat. Makanya mas minta maaf.” Cukup sudah. Dinda tak mampu lagi membendung

emosinya. Cemas karena menunggu Raka yang kehujanan saat malam begini, takut karena tak ada kabar akan keterlambatan Raka saat pulang membuat Dinda berpikir yang tidak-tidak, dan kesal karena sikap Raka yang cuek seperti ini. Seketika itu pula, Dinda memukul tangan Raka yang hendak mereguk secangkir kopi panas. Gelas jatuh, pecah, bersamaan dengan tumpahnya kopi. Kopi yang panas pun menjadi dingin karena dinginnya lantai. Namun suasana menjadi panas.

Keduanya saling menatap. Dinda dengan melototnya, dan Raka dengan tatapan yang sayu masih kelelahan. Raka tak dapat mengelak dari tatapan Dinda yang saat ini tepat satu jengkal berada di depannya. Dinda masih mencari-cari jawaban di balik tatapan Raka.

“Dinda marah sama Mas! Dinda benci!” “Dinda boleh marah. & Dinda boleh benci. Tapi Mas

harus mengakui kalau hanya ini yang bisa Mas lakuin..” “Melakukan apa? Pulang telat? Gak ngasih kabar? Bikin

orang khawatir? Terus cuek begitu saja?” “..tadi Mas cari tukang martabak dulu, tapi susah

nemuinnya, hujan pula. Mas ingat kalau Dinda pernah minta dibeliin martabak, tapi selama ini Mas lupa membelikannya.” Jawab Raka dengan suara rendah, seraya menunjuk ‘oleh-oleh’ yang ia simpan di meja.

“Maaf, kalau sikap Mas ini bikin Dinda kesal. Mas masih capek dan kedinginan.”

Page 69: Antologi Tulisan

69

... Dinda membisu. Bibirnya kelu. Tatapan Dinda yang

asalnya penuh amarah, kini berair. Seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya. Dalam keadaan Raka yang tengah lelah usai bekerja dan kedinginan karena mencarikan martabak, Dinda malah marah, membentak, dan menumpahkan kopi panas yang hendak dinikmati Raka.

Dinda masih membisu. Tak tahu apa yang mesti diucapkan. Tertunduk. Terdiam dalam rasa bersalah. Matanya makin berair, tak mampu lagi menahan luapan emosinya.

“Sudahlah...” Bisik Raka yang memeluk Dinda dengan erat, sambil pelan dengan lembutnya menepuk-nepuk punggung Dinda, coba membuatnya merasa tenang.

Sejenak, tangisan Dinda pun mulai reda. Dengan mata yang masih sembab, Dinda menatap raka yang juga menatapnya. Perlahan, Dinda berbisik “Mas, apa Mas masih mau menerimaku?”

Raka tak berbicara. Hanya mengecup ujung hidung dan kening Dinda yang masih didekapnya.

~~~ Terkadang sesuatu cukup dilakukan, tak perlu

dikatakan. Seperti kata Sapardi Djoko Damono, "Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Dengan kata yang tak sempat disampaikan kayu kepada api yang menjadi-kannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada." [end]

Page 70: Antologi Tulisan

70

Ketika Aku di Titik Terlemah

-Niira Annisaa- Aku memandangi sisa-sisa hujan di daun itu.

Memandangi lewat jendela kamar yang memisahkan aku dengan halaman tempat daun itu tertanam. Halaman yang menjadi saksi bisu tentang kebahagiaan hidup seorang gadis. Kebahagiaan tiada tara yang pernah tercatat dalam buku kehidupannya. Di halaman itu bukan hanya tumbuh bunga-bunga indah yang selalu dihinggapi kupu-kupu, tapi tumbuh pula sebuah kisah cinta yang abadi.

~~~ Aku terbangun dari tidurku, lalu melihat jam bekerku

yang sudah menunjukkan pukul 06.30. “Ah sial! Kenapa bekernya nggak bunyi!” dengusku kesal. Aku tidak membuang waktu, segera ku ambil handuk

lalu mandi dengan cepat. Kalau tidak ada ulangan dan presentasi hari ini, mungkin aku memilih untuk tidak masuk sekolah saja.

“Rin, ayo turun! Sudah jam berapa ini? Kamu belum bangun juga?” teriak seseorang dari bawah sana.

“Bentar Ma… Karin telat nih, nanti juga turun kok!” balasku meneriakkan Mama dari lantai atas.

“Iya, ayo cepat!” perintah Mama.

Page 71: Antologi Tulisan

71

~~~ “Aku berangkat ya Ma!” pamitku. “Iya, hati-hati ya, Nak! Oh iya Rin, Mama mau pergi ke

Yogya hari ini,” “Berapa lama Ma?” “Mungkin seminggu. Uang jajan kamu seminggu kedepan

Mama transfer ke atm, ya?” jelas Mama. “Oh, oke,” jawabku dingin. “Sini Mama cium dulu,” ucap Mama. “Ih Mama apaan sih, biasanya juga nggak pake cium-

cium segala. Aku kan bukan anak kecil, Mama!” tolakku. “Memang anak kecil saja yang boleh dicium sama

Mamanya?” tanya Mama dengan nada kecewa. “Ya enggak juga sih. Udah ya Ma, jangan bahas kayak

ginian, Karin udah telat banget!” Aku meninggalkan Mama begitu saja. Dalam hatiku ada

sedikit penyesalan menolak keinginannya tadi. Seharusnya aku tidak melakukannya. Aku pasti meninggalkan Mama dengan air mata yang jatuh dari matanya. Sebenarnya belum tentu, memangnya Mama masih peduli dengan aku? Hahaha, entahlah. Kenyataannya saja hubungan aku dengan Mama memang tidak begitu baik, bahkan buruk.

~~~ Seminggu kemudian.. Bel pulang sekolah berdering keras, aku dengan sigap

segera merapikan tas dan bergegas pergi meninggalkan kelas. Aku segera menghampiri Pak Setyo yang sudah menjemput di gerbang sekolah.

Page 72: Antologi Tulisan

72

“Non, kata Nyonya, habis jemput Non mampir dulu jemput Nyonya ke bandara.”

“Hah? Emang Mama pulang sekarang? Aku malas Pak kalau harus ke bandara dulu. Bapak antar aku ke rumah dulu deh, baru jemput Mama,” keluhku.

“Walah Non, kalau telat jemput nanti gimana?” “Ih Bapak santai aja deh, nanti aku yang sms Mama. Ayo

sekarang antar aku ke rumah. Aku capek banget, Pak. Please......”

“I..i..iya Non,” jawab Pak Setyo pasrah. Pak Setyo memutar arah laju mobilnya, akhirnya ia

menuruti permintaanku untuk pulang ke rumah terlebih dahulu. Malas sekali kalau aku harus menjemput Mama ke bandara. Mama saja tidak pernah meluangkan waktunya untukku, jadi untuk apa aku meluangkan waktuku untuknya?

~~~ Aku merebahkan diri di sofa ruang tengah,

membayangkan wajah Mama yang sangat lelah, lalu segera tidur tanpa menjumpai anak semata wayangnya ini setelah ia tinggalkan selama satu minggu. Air mataku meleleh membasahi pipi. Ini bukan pertama kalinya aku menangisi hubunganku dengan Mama yang tidak baik. Sakit? Tentu saja rasanya sakit, bagaimana tidak, aku selalu iri mendengar cerita teman-temanku yang bisa menghabiskan banyak waktu mereka bersama orang yang paling mereka kasihi, yaitu Ibu. Sedangkan aku? bertemu dalam rumah saja jarang, apalagi bercerita dan bercengkrama?! Sejak Mama dan Papa memutuskan untuk bercerai, hidupku berantakan, hanya itulah yang bisa aku rasakan sampai saat ini.

Page 73: Antologi Tulisan

73

Perceraian mereka enam tahun lalu, membuat aku tumbuh menjadi pribadi yang keras dan cenderung ingin memiliki dunia sendiri. Jelas saja, sejak tragedi itu Mama tidak pernah lagi meluangkan waktunya untukku. Hal yang menjadi kewajiban Papa dulu kini beralih kepada Mama. Mama yang semula punya banyak waktu untuk memperhatikan perkembanganku, kini lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kemajuan karir, yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana ia memiliki uang banyak untuk terus menyekolahkanku. Memang itu penting, tapi aku rasa seharusnya kebahagiaanku jauh lebih penting. Egois? Mungkin iya. Kalau saja aku bisa bicara pada Mama, aku kan bicara: “Ma, bukan ini yang Karin mau, Karin cuma mau Mama bukan uang Mama, bukan harta Mama, bukan kehidupan mewah dari Mama. Karin cuma mau Mama punya waktu untuk Karin, dan Mama sayang sama Karin seperti waktu kita masih bersama Papa.” Air mataku terus jatuh. Kenapa aku harus menangisi ini lagi? Sudah enam tahun Mama membiarkan aku seperti. Oh Tuhan...

~~~ Aku mengangkat kepalaku, bangun dari rebahanku yang

membuat aku kembali menjadi seorang gadis lemah. Aku mengusap air mataku yang membanjir, lalu berjalan menuju halaman belakang untuk me-refresh-kan pikiran.

“Karin,” sapa seseorang. “Mama? Udah pulang? Tumben nyamperin Karin dulu,

biasanya langsung masuk kamar terus tidur deh,” celetukku. “Karin.. Kok kamu ngomongnya gitu?” tanya Mama

dengan nada kecewa.

Page 74: Antologi Tulisan

74

“Ya, biasanya juga Mama gitu. Berapa tahun sih Karin hidup sama Mama? Jelas banget Karin hafal kebiasaan Mama!” jawabku cuek.

“Eh iya, ini oleh-oleh buat kamu, maaf ya Mama Cuma sempat beli ini, habis Mama disana meeting terus, jadi nggak sempet jalan-jalan,” jawab Mama mengalihkan pembicaraan sambil memberikan sebuah miniatur candi Borobudur kepadaku.

“Ya, Karin tahu kok Ma. Seharusnya Mama bisa beli oleh-oleh yang lebih bagus dari ini, tapi ya Mama kan sibuk, jadi cuma bisa beli ini aja deh.”

“Karin, kamu kenapa sih, Nak?” tanya Mama sambil membelai rambut ikalku.

“Apa sih Ma, Karin bukan anak kecil. Udah ya Ma, Karin mau mandi, mau siap-siap les,” jawabku sambil pergi meninggalkan Mama.

Buruk? Ya, seburuk itulah hubunganku dengan Mama. ~~~

Hari ini hari Minggu, seperti biasa jam 6 aku sudah siap

untuk pergi jogging. “Rin, nggak sarapan dulu?” tanya Mama. “Nanti deh Ma habis jogging aja, Karin belum lapar.” “Ya udah, nanti sarapan sama Mama ya? Sekarang Mama

mau masakin makanan kesukaan kamu, cumi rica-rica.” “Emang Mama nggak kerja?” “Enggak sayang, Mama hari ini ada buat kamu,” jawab

Mama sambil melemparkan senyum. “Oke Ma,” jawabku tetap dingin.

Page 75: Antologi Tulisan

75

Aku meninggalkan rumah, lalu mulai berpikir, “Ada apa dengan Mama? Kenapa tiba-tiba Mama berubah?” Ah, pasti itu tidak akan bertahan lama, pasti hanya hari ini saja. Aku yakin Mama tetap lebih mencintai pekerjaannya dari pada aku. Aku terus meyakinkan diriku akan hal itu, namun entah apa yang merasuki pikiranku, tiba-tiba kini aku merasa persepsiku tentang Mama selama ini mulai pudar sedikit demi sedikit. Pandangan negatifku mulai berubah jadi positif. Yang lebih hebat, aku merasa ingin segera pulang untuk menyantap cumi rica-rica buatan Mama yang sudah enam tahun tidak pernah aku nikmati.

~~~ “Eh kok udah pulang, sayang?” sambut Mama. “Panas Ma, jadi aku pulang lebih cepat.” “Memangnya panas ya? Kelihatannya mendung ah. Hem,

Mama tau, pasti udah nggak sabar makan cumi rica-rica buatan Mama ya? Iya kan?” tanya Mama dengan nada ceria.

“Apa sih Mama, emangnya masakan Mama masih enak? Mama kan udah jarang masak,” jawabku dengan nada bercanda.

Mama tertawa, lalu segera menyelesaikan masakan itu untuk segera disajikan kepadaku. Entah mengapa, sekat yang membentang di antara aku dan Mama selama enam tahun ini seperti lepas begitu saja. Dan kalau boleh jujur, aku sangat merindukan momen-momen seperti ini.

~~~

Page 76: Antologi Tulisan

76

Mama berjalan ke arahku dari dapur sambil membawa cumi rica-rica yang aromanya telah menusuk hidungku sejak tadi sebelum matang.

“This it is, cumi rica-rica ala Mama Karin,” ucap Mama dengan nada ala Chef Farah Quinn.

Aku tertawa dan dengan lahap menghabiskan sepiring cumi rica-rica yang Mama buat dengan cintanya. Mengapa dengan cinta? Jelas, karena rasanya jauh lebih enak dari cumi rica-rica di restoran termahal sekalipun. Cinta dan kasih sayang Mama yang aku rindu, seolah-olah kembali melalui sepiring cumi rica-rica itu.

Aku memandangi Mama, pipinya basah oleh air mata. Aku tidak menyadari bahwa Mama memperhatikan aku makan sejak tadi, lalu ia menjatuhkan air matanya. Tapi kenapa? Kenapa Mama menangis?

“Mama... Kok Mama nangis?” tanyaku penuh rasa bersalah.

“Nggak apa-apa Karin, Mama senang sekali bisa liat kamu makan selahap itu lagi,” jelas Mama sambil membiarkan air matanya terus mengalir.

Aku menghampiri Mama, lalu memeluknya setelah terakhir aku melakukan itu ketika hari Ibu enam tahun silam. Aku menangis, menyesali semua sikap dingin dan acuhku pada Mama selama ini.

“Maafin Karin ya Ma, setelah perceraian Mama sama Papa, Karin justru jadi dingin sama Mama. Karin justru acuh sama Mama, nggak peduli sama Mama. Maafin Karin Ma,” ucapku sesal.

“Kamu nggak salah kok sayang, Mama yang salah karena terlalu sibuk sama pekerjaan Mama sampai Mama nggak

Page 77: Antologi Tulisan

77

punya waktu buat kamu. Mama minta maaf ya, sejujurnya Mama ngelakuin ini semua semata-mata buat kamu,” ucap Mama sambil mencium keningku.

Kami terus terlarut dalam suasana haru, suasana haru yang seharusnya bisa dinikmati setiap hari. Namun, selama enam tahun, suasana ini tidak pernah tercipta dalam rumah kami.

“Eh kita ke halaman belakang yuk? Mama baru beli bunga mawar, dan Mama mau tanam itu sebagai tanda cinta kita berdua. Jadi kita harus tanam berdua? Gimana? Mau kan kamu?” ajak Mama.

“Mau Ma, mau banget, yuk!” Mama merangkulku, lalu kami berjalan menuju halaman

belakang. Kami bercanda dalam taman kecil di rumah kami itu. Rasanya semua kupu-kupu disana ikut menari merayakan kebahagiaan kami. Taman itu penuh cinta dalam sekejap. Mama terus merangkulku, menciumku dengan penuh kasih sayang. Kami menumpahkan kerinduan kami akan keharmonisan yang mati sejak tragedi enam tahun silam. Aku terus memeluknya, berharap kebersamaan ini tidak akan pernah mati dan akan terus hadir diantara aku dan Mama.

~~~ Hari ini aku memtuskan untuk tidur dengan Mama. Aku

sangat rindu ketika Mama mendongengkan aku sebelum tidur. Aku sangat rindu ketika Mama menarik selimut untuk menghangatkan tubuhku, lalu menciumku dan mengucapkan “selamat malam anakku sayang, mimpi indah”.

Page 78: Antologi Tulisan

78

“Tidur yang nyenyak ya sayang, semoga hari esokmu menyenangkan. Ketahuilah bahwa Mama sangat menyayangimu, sampai Mama matipun, kamu lah harta Mama yang paling berharga,” ucap Mama sambil mencium pipi dan keningku.

“Karin juga sayang sama Mama, peluk Karin ya Ma..” ~~~

Pagi menjelang, aku masih berada dalam dekapan Mama

yang begitu hangat. Aku membangunkan Mama. Aku menyentuh tangannya, dingin. Aku panik. Aku sentuh wajahnya, dingin. Aku makin panik. Aku simpan tanganku dekat lubang hidungnya, tidak ada hembusan nafas. Air mataku jatuh.

Aku tidak pernah menyangka kebahagiaan itu berlangsung hanya kurang dari 24 jam. Aku tidak menyangka bahwa kebahagiaan itu adalah saat-saat terkahir aku dengan Mama. Air mataku terus meleleh tanpa henti.

~~~ Air mataku jatuh. Tidak kalah hebat dengan air mataku

yang jatuh ketika aku harus menerima kenyataan bahwa Mama meninggalkanku begitu cepat. Kala itu aku sangat terpuruk. Aku harus menerima kenyataan bahwa aku jadi sebatang kara. Aku masih punya Papa, tapi entah dimana Papa dan apakah Papa masih mengingat aku. Aku sadar, life must go on! Aku tidak mungkin terus berdiam dan membiarkan hidupku ikut mati bersama kematian Mama.

Seketika itu aku bangkit. Aku kembali menata hidupku. Dan itu lah sebabnya aku masih bertahan hingga

Page 79: Antologi Tulisan

79

hari ini. Aku berjalan ke taman kecil itu. Memandangi mawar yang pernah kami tanam. Mengenang kebersamaan kami, cinta kami dan ikatan kami yang tidak akan pernah mati.

“Ketika aku di titik terlemah, maka aku harus bangkit dan tetap tegak berdiri. Ketika aku di titik terlemah, maka aku harus berusaha untuk bangkit dan berlari ke titik tertinggi. Ketika aku di titik terlemah, maka aku harus mengingat dan percaya, bahwa Tuhan selalu bersamaku.”

~~~

Page 80: Antologi Tulisan

80

Gerbang Mata Rantai

-Rini Nurainie- Semuanya memang begitu pasti, secara teratur

momentum kehidupan itu mulai mengarah ke orbit yang seharusnya. Yah, lebih tepatnya mengarah pada pusar yang kadang tidak kuharapkan. Pasti dan teratur. Langsung atau pun tidak, namun pergerakan partikel ini betul adanya terasa, menelusuri jalannya aliran darah. Inilah alur kehidupan yang sempat ingin kutitipkan pada derasnya arus gelombang, bergerak deras, dan pergi. Namun dalam proses ini, layaknya buah Apel yang menjadi saksi kesetiaan Newton akan observasinya. Gravitasi itu senantiasa terjadi, menjadi saksi pergulatan partikel di permukaan bumi ini. Diangkat tinggi, dan selepas itu tertarik seketika menuju tempat yang paling bawah. Begitu pula hidupku, kembali tertarik ke pusat yang semestinya setelah mencoba menggapai puncak nan tinggi. Sedih bukan main, tapi apa daya. Sekuat mungkin aku berharap tuk kembali ke masa lalu, mengulang setiap detik yang pernah dilewati, membayangkan berada dalam bangku pendidikan, setidaknya memberi gelar SMP untuk menjawab do’a-do’a Emak. Karena muluk rasanya, jika aku ikatkan harapan itu pada gelar sarjana.

”Andai saja....”.

Page 81: Antologi Tulisan

81

Tatkala melihat mahasiswa lalu lalang, dengan segudang agenda yang mereka tengteng di tangan. Tak sedikit sembari membawa laptop yang jadi kebanggaan, bahkan mereka tersenyum ria bak tanpa beban yang dipikir sembari saling memeragakan gaya dosen kampus. Tapi, takdirku mengantarku untuk menjauh dari do’a Emak.

”Ko, gimana ada gadis yang mau dengan gelar SD jaman kiwari?”

Benarkah adanya, gadis di era modern ini hanya memandang gelar yang disandang pujaannya. Sempat terpikir jenuh olehku, apa gelar tamatan SD memang begitu hina.

Pertanyaan Emak itu sering kali membuat gejolak baru dalam sanubari nistaku, rasanya ada Belut Listrik yang menghantarkan aliran tersendiri dan membuat jantungku hampir tidak berdetak. Batu besar nan berat seakan dihantamkan algojo kejam tepat di ulu hatiku, membuat tumpukan glikogen yang seyogyanya menjadi cadangan hidupku, kini menjadi toksin yang siap bertarung mengalahkan optimismeku. Bukannya aku tak mau dengan gelar yang mungkin dianggap sebagian orang hal biasa itu, tapi benar adanya mimpiku hanya bisa aku titipkan pada mereka yang mampu.

Sesak rasanya melihat kulit Emak yang makin keriput, padahal dulu kulit itu begitu halus senantiasa mengusap aku disertai do’a yang menggemuruh pasti, sembari meniup ubun-ubun kepalaku. Aku kedinginan pun, Emak siap menjadi penghangat sejati. Bahkan kala kuingat pasti dalam bayangan ini, saat uang yang Emak dapat tak cukup untuk membeli makan kami, ia rela berjalan jauh melewati berbagai

Page 82: Antologi Tulisan

82

kampung dengan jarak sekitar 18 km hanya untuk menjual beberapa Sabit pertanda setianya akan bumi khatulistiwa. Kalau ditanya untuk apa uang itu, maka jawabnya untuk Eko. Oh singkat, namun benar mengusik hatiku. Sesak sekali! Emak yang mengajarkanku keindahan Islam, kini untuk sementar pengajar itu harus kutinggalkan.

”Aku titip Emakku pada-Mu Yaa Rahman”. Emak nun jauh disana, namun bayangannya senantiasa

menggeliat di pelupuk mataku. Bermain bersama merayu aku dalam duka yang tengah menghampiri. Mungkin benar adanya, aku menjauh dari do’a Emak perihal gelar. Tapi tepatnya bukan aku yang menjauh, namun persoalan klise yang hanya menjadi penyebab sajalah jembatan yang melintangnya. Kembali ke uang, dan uang bagiku. Aku memang hanya anak pedesaan, namun tak pernah ada keinginan untuk melepas impian yang kian menjadi pemicu hidupku. Apalagi hal tersebut, hanya karena nominal. Ya bilangan angka yang kini menjadi pengatur dominan dalam hidup hampir setiap manusia.

Tapi makin nista rasanya, kalau aku hanya berdiam diri saja. Meratapi kemalangan nasib, mengumbar iri yang kian membuncah pada penyandang gelar itu.

”Oh...tapi benar aku iri pada mereka”. Tak bisa ditampik, aku seakan tersisih pasti dari

kenyataan hidup. Menjadi partikel yang cepat tereliminasi diantara ribuan kontestan yang siap bersaing. Kaki ini mulai hendak bersahabat dengan mentari yang menampakan senyumannya. Aura hidup penuh ketangguhan diri mulai kutata untuk Emak yang menanti setiap dukaku berubah menjadi tumpuan asa. Gelar itu sudah tak mungkin aku raih,

Page 83: Antologi Tulisan

83

karena memang sistem birokrasi seakan tak memungkinkan aku yang kini berusia 20 tahun harus duduk di bangku yang bersanding dengan siswa SMP. Rasanya malu juga.

Paling tidak, aku tidak menjadi parasit dalam kehidupan lain. Masih berdiri diatas kakiku. Dan cukup setia dengan gelarku sebagai lulusan SD yang masih luntang-lantung mencari pekerjaan. Untuk pertama kalinya, aku mulai memperhatikan secara seksama keadaan sekitar yang aku lewati. Tidak hanya pepohonan yang seakan menyindirku secara lembut tentang kebingungan yang melanda. Tapi juga semilir angin yang hendak menggoda kenistaanku. Hanya saja kali ini berbeda, Malang yang masih menampakkan suasana khas dinginnya juga menampilkan suasana berbeda. Baru kusadari, di sekitar jalanan menuju jalan Lowokwaru banyak penampakan yang tak semestinya. Bukan sesosok hantu yang muncul dari kawasan antah berantah, bukan juga selebrita tanah air yang disanjung melebihi pahlawan yang berhasil mengeluarkan kita dari penjajahan, bukan juga wakil rakyat yang duduk bersantai ria dalam balutan gedung nan megah yang katanya membahas rakyat, yah masih katanya. Tapi hanya kawanan anak kecil yang riung mumpulung, bercanda penuh cita. Entah kenapa terlihat berbeda, mungkin karena anak itu bercanda sembari memegang kecrek. Sungguh, pikiranku melayang. Bagaimana kelak mereka. Lusuh pakaian tak jadi masalah, tapi kalau pikiran mereka pun harus lusuh rasanya tidak boleh. Yah, tidak boleh ada Eko-Eko selanjutnya. Cukup sudah.

Aku pun mulai beranjak dari tempat itu, sembari menenteng Metnumku. Motor butut kesayanganku yang menjadi hasil luntang-lantungku selama ini di Malang.

Page 84: Antologi Tulisan

84

”Yuk...kubawa ke ahlimu Num”, ucapku sedikit kesal. Metnumku sedang mogok, sudah jadi kebiasaannya.

Mungkin sudah terlalu lelah menemani perjalananku setiap hari mengitari rumah penduduk.

”Num tugasku adalah jembatan ilmu bagi orang, nah kamu itu hebat menemaniku”.

Rayuku pada Metnum berharap ia mau kembali menyala. Hanya tak semudah itu nyatanya.

Sering kali mengatakan jembatan ilmu, walaupun hanya pada si Metnumku. Padahal hanya benda mati yang tidak berperasaan, tapi untuk mengatakan pekerjaanku sebagai loper koran rasanya malu juga.

Usai membenahi Metnum di montir langganan, aku pun bergegas menuju rumah Pak Ibad untuk mengambil koran yang hendak diantarkan hari ini. Sepanjang perjalanan mengantar koran, aku yang biasanya hanya menaruh koran saja. Kini memberanikan diri, mengetuk setiap pintu rumah yang kulewati. Tujuanku hanya satu, siapa tahu hendak menyumbangkan buku bekas. Targetku untuk menghentikan mata rantai Eko-Eko selanjutnya sudah bulat. Mungkin aku tak bisa membiayai mereka untuk duduk di bangku sekolah. Tapi setidaknya lewat buku, jembatan ilmu menuju harapan penuh sinar itu kian terlihat.

Reaksinya berbagai macam, mulai dari yang senang hati memberikan. Tak sedikit yang setengah hati. Bahkan penuh sinis dan dengan enteng berkata,”lebih baik dijual ke tukang rongsokan”. Tapi tak mengapa, toh jika aku mudah tersinggung hanya karena semacam itu malah membuatku mundur secara perlahan.

Page 85: Antologi Tulisan

85

Begitulah keadaanku setiap hari. Hanya yang lebih berat, kalau Metnumku sedang ngadat. Kaki ini pun menjadi tumpuan nyata. Inginku kali ini berbeda, tidak hanya mengitari area langgananku. Bahkan mulai beranjak ke wilayah lain. Jika perlu, mengelilingi pelosok Malang, juga Jawa Timur.

”Metnumku sayang, untuk sementara aku tak bisa membenahimu”.

Pasrahku, mengingat uangku harus disisihkan untuk Emak, juga buku-buku yang hendak aku beli.

Kaki ini pun mulai berani bersahabat dengan panasnya cuaca. Akhirnya, rumah demi rumah aku coba lewati. Meskipun tak banyak, paling tidak aku bisa membawa buku-buku.

Kini ratusan buku sudah berjajar di kamar kontrakanku yang hanya berukuran 2,5m x 2,5m ini. Meskipun belumlah banyak, tapi hati ini sudah mulai berlega.

Harapku bisa membuat perpustakaan dengan buku-buku ini. Perpustakaan yang tidak memungut biaya sedikitpun. Mereka bisa membaca sesukanya, tanpa ada batasan pengembalian barang. Aku hanya ingin memutus mata rantai Eko.

Mimpi itu memang begitu indah, tapi tak seindah saat kita mencoba mengaplikasikan semuanya dalam ruang bumi yang memiliki tiga dimensi ini. Dalam kebingungan, aku coba memandang Metnum penuh seksama. Berharap hadirnya sekelumit ide yang hendak berkenalan dengan ketidaktahuan arahku selanjutnya.

Mungkin Metnum merasakan kebodohanku yang mendadak dalam kondisi stagnan. Aku hanya perantau,

Page 86: Antologi Tulisan

86

bukan asli orang sini. Tidak tahu kemana mencari pertolongan perihal lahan yang bisa kugunakan. Lahan tanah kosong dengan ukuran mini pun tak apa, kan ku bangun perpustakaan sederhana dengan berbagai buku yang menghiasi. Hanya itu harapku, tak lebih untuk saat ini. Memang tak bisa merubah apa pun tatkala semua keluh kesah diungkap pada Metnumku. Tapi setidaknya, ada teman berbagi. Tepatnya berbagi kebodohan.

”Haruskah ku lakukan itu?”, pikirku dalam lamunan yang semakin dalam menerawang batas kesenjangan masa.

Antara sebuah solusi, namun juga seakan dibenturkan langsung pada dinding tebal yang begitu sulit untuk melewatinya. Benarkah dengan menjual Metnum adalah satu-satunya jalan yang bisa kutempuh untuk mendapatkan sepetak tanah. Sepetak tanah yang kuharap pasti, kan menjadi sejarah peradaban baru.

”Rasanya sulit Num melepas kamu”. Aku masih berada dalam kemelutku, belum ada

kepastian langkah yang hendak ku ambil. Tapi tak ada guna juga kalau hanya berdiam diri. Segera ku ambil kunci motor, juga STNK dan BPKB dari Metnumku tersayang, Metnumku pelipur laraku. Kukumpulkan tenaga yang masih mengendap dalam tubuh, segera kudorong Metnumku yang masih setia dalam proses amarahnya. Yah, sepertinya Metnum memang harus kuservis. Bahkan mungkin kan kuhantar pergi selamanya.

Servis kali ini berbeda, dengan seksama kuperhatikan bagian Metnum secara utuh tanpa ada terlewat. Pemandangan yang secara langsung, inilah detik-detik Metnum bersamaku.

Page 87: Antologi Tulisan

87

Usai saling menawar harga dengan Pak Marno selaku juragan asli Kediri yang begitu mahir dalam berbisnis. Metnumku hanya dihargai dua juta rupiah. Hanya dua juta, padahal aku membelinya dengan harga lima juta. Tapi sudahlah, pilihan lain sedang tak hinggap dibenakku.

Sungguh sakit nian hatiku, Metnumku yang usang namun selalu stand by setiap waktu bahkan kubeli dengan susah payah, hingga masih tertancap kuat dalam ingatanku, aku rela makan dengan kuahnya saja asal Metnum bisa tetap di servis.

”Astagfirulloh, aku berlindung dari sifat cinta hal semu. Ini belumlah seberapa”, lirihku.

Dengan dua juta, aku siap membeli tanah yang berukuran 5X5 meter. Kecil memang, namun dengan itu harapanku sedikit terpenuhi. Beribu bayangan kebahagiaan terlintas di benakku. Dan pada akhirnya hari itupun tiba. Ketika aku bergegas ke rumah pak RT untuk memenuhi sebagian harapanku yang tertunda dulu, dengan seketika hp jadulku berdering, dengan segera aku meraihnya dan membaca pesan yang telah masuk. Kata demi katapun kubaca dengan penuh seksama. Sungguh langitpun terasa gelap seketika dan sosok wanita itu terlintas jelas dalam ingatanku.

”Ko, Emakmu sudah seminggu ini terbaring sakit dan sangat mengharapkan kehadiranmu di sisinya”.

Harapan yang selama ini semakin jelas terwujud, seketika hancur berkeping-keping. Saat itu tak ada lagi dalam pikiranku melainkan kesembuhan Emak. Mungkin ini takdir yang harus kujalani. Untuk mencapai harapan yang selama ini kita dambakan memang pasti banyak halangan. Namun,

Page 88: Antologi Tulisan

88

didampingi dengan kesabaran aku yakin suatu saat nanti harapan itu akan terwujud.

Tanpa berpikir panjang, akupun segera memutuskan untuk mengirim uang yang akan kubelikan tanah demi kesembuhan Emak. Karena kupikir kesembuhan Emak lebih berarti dari apapun. Ingin rasanya melihat sosok itu secara langsung di kampung, tapi dan untuk kesekian kalinya persoalan klise menjadi jarak Emak dan aku.

Setelah berapa lama, akupun kembali menjadi loper koran untuk merajut harapan yang sempat tertunda. Mengingat hasil yang tak seimbang dengan harapan yang akan kucapai, akhirnya aku berusaha mencari jalan keluar untuk bisa memudahkan harapanku agar dapat terwujud. Aku mulai memeras otakku, mencari ide agar dapat mewujudkan harapanku. Sempat terbesit di benakku untuk menemui Pak RT kembali, namun tidak dengan tujuan yang sama seperti dulu. Melainkan untuk meminta bantuan agar beliau bisa ikut berpartisipasi dalam mewujudkan harapanku.

Bermodalkan nekad dan berharap hasil yang terbaik, aku bergegas keluar rumah untuk menemui Pak RT.

”Bismillaahit tawakkaltu ’alallohi, laa haula walaa quwwata illaa billahil ’aliyyil ’adhim. Semoga Engkau memudahkan urusanku, Yaa Alloh”.

Dengan penuh keyakinan akupun terus berjalan menyusuri gang diiringi dengan doa yang terus kulantunkan dalam hati.

Saat aku sampai di depan rumah Pak RT, aku terdiam sejenak memikirkan tentang keputusanku ini.

Page 89: Antologi Tulisan

89

”Apakah kau benar-benar yakin dengan keputusan ini Ko? Bagaimana kalau seandainya kamu ditolak? ”.

Pikiran itu sempat terbesit di benakku. Namun, dengan segera aku meyakinkan diriku kembali.

”Yakinlah Ko!!! Alloh pasti akan membantu umat-Nya yang ingin berbuat kebajikan. Dia pasti akan memudahkan jalan untuk mencapai harapan itu”.

Dengan penuh semangat, akupun mengetuk pintu rumah Pak RT dan mengucapkan salam. Tak ada yang menjawab. Kuulangi lagi untuk yang kedua kalinya, kali ini dengan suara yang agak keras. Namun tetap tak ada jawaban. Aku sempat bingung dengan keadaan itu. Apakah memang di dalam rumah tak ada orang ataukah ada orang tapi dia tak mau membukakan pintu karena sudah mengetahui apa maksud kedatanganku. Semuanya penuh teka-teki. Akupun mencoba menghilangkan rasa penasaranku dengan mengetuk pintu dan mengucapkan salam untuk yang ketiga kalinya. Jika memang tak ada yang menjawab dan membukakan pintu, maka aku harus berbesar hati untuk segera meninggalkan tempat itu dengan tangan kosong, dan berharap lain waktu bisa datang lagi untuk meluluhkan hati Pak RT.

Tok Tok Tok. ”Assalamu’alaikum”. ”Wa’alaikumsalam Warohmatullohi Wabarokatuh”. Alhamdulillah... Ternyata ada yang menjawab salamku.

Akupun segera merapikan pakaianku yang warnanya sudah hampir pudar. Yah, beginilah kehidupan orang yang hanya bergantung pada koran yang dijual. Hasil dari menjual koran hanya cukup untuk makan sehari-hari dan mengumpulkan

Page 90: Antologi Tulisan

90

buku-buku. Jika ada sisanyapun, paling aku kirimkan ke kampung halamanku untuk Emak tercinta.

Daun pintu rumah Pak RT yang terbuat dari triplek itu perlahan membuka lebar. Seorang bapak memakai kemeja putih pendek dan sarung berwarna hijau tua keluar dari dalam rumah itu dan segera menyapaku. Akupun dipersilakann untuk masuk ke rumahnya dan duduk di kursi yang terbuat dari kayu jati. Perbincanganku dengan Pak RT begitu sangat menarik. Akupun sampai enggan untuk pulang dan mengerjakan aktivitasku yang sudah menunggu. Bahkan, saking asyiknya berbincang dengan Pak RT, aku sampai lupa dengan tujuanku menemui Pak RT.

Setelah berbincang ngaler ngidul, aku dan Pak RT tediam sejenak memikirkan apa yang akan diperbincangkan lagi. Aku segera ingat dengan tujuanku sebenarnya datang menemui Pak RT. Aku langsung mengalihkan arah pembicaraanku dengan Pak RT. Yah, aku harus segera mengungkapkan apa yang tengah menjadi beban pikiranku selama ini.

Aku datang kepada Pak RT untuk memberitahukan bahwa aku tidak jadi membeli tanah yang telah beliau tawarkan. Selain itu, aku berharap beliau bisa menghibahkan tanahnya untuk pembuatan taman bacaan. Memang sangat berat. Tapi aku berusaha meyakinkan beliau supaya mau menghibahkan tanahnya. Sampai akhirnya, beliaupun memutuskan untuk meminjamkan tanah tersebut untuk dimanfaatkan. Sungguh di luar dugaan. Walaupun tujuan awal tidak tercapai, namun setidaknya aku tidak pulang dengan tangan hampa.

Page 91: Antologi Tulisan

91

”Silakan kamu manfaatkan tanah itu dengan sebaik mungkin. Bangunlah taman bacaan yang selama ini tengah menjadi cita-citamu. Tapi maaf, Saya tidak bisa menghibahkan tanah itu. ”

Jawaban dari Pak RT itu selalu terngiang-ngiang dalam pikiranku saat aku berjalan pulang. Karena jawaban itu telah mengembalikan cahaya harapan itu kembali. Aku sungguh tidak percaya dengan apa yang Pak RT sampaikan. Namun, inilah pertolongan Alloh. Semuanya sudah tertulis rapi di lauhul mahfudz, kita hanya mengikuti alur yang telah tersedia.

Hidupku terasa lebih indah setelah mendengar apa yang disampaikan oleh Pak RT. Aku menjadi lebih semangat berjuang untuk mewujudkan impianku. Akhirnya, pintu harapan itu kembali terbuka.

”Tetap semangat Ko!” Setelah kejadian perbincangan dengan Pak RT tempo

dulu, kesibukan membangun rumah kecil yang di dalamnya terdapat banyak buku bacaan sudah terlihat. Dengan sisa uang yang ada dan dibantu teman-teman juga para donatur, akhirnya taman bacaan itu selesai dibangun dan diberi nama Perpustakaan Anak Bangsa (PAB). Buku-buku yang selama ini aku kumpulkan, aku taruh di rak buku PAB dengan rapi dan tersusun.

Subhanalloh walhamdulillah.... Akhirnya impianku bisa tercapai. Tak ada kata yang bisa aku ucapkan selain rasa syukur kepada Alloh, juga terima kasih kepada teman-teman dan donatur.

Sejak berdirinya PAB, aku mulai mempromosikannya ke khalayak umum agar bisa segera dimanfaatkan. Aku

Page 92: Antologi Tulisan

92

sebarkan pamflet-pamflet di tempat-tempat publik agar segera diketahui oleh banyak orang. Selang beberapa hari, ternyata pengunjung berbondong-bondong mendatangi PAB. Mereka sangat berantusias untuk meminjam buku di PAB, atau sekadar membaca buku di ruangan. Meski dengan ruangan yang sederhana, nampaknya mereka asyik dengan apa yang dibacanya¸terlebih lagi tak ada pungutan biaya dan tak ada batasan waktu untuk meminjam buku, baik sehari, seminggu, sebulan, bahkan bertahun-tahun. Pernah terbesit dalam ingatanku untuk menambah koleksi buku yang ada di PAB, tapi semua itu membutuhkan proses. Aku yang hanya loper koran tidak mungkin dengan secepat kilat menambah koleksi buku di PAB. Kini aku harus lebih bersabar lagi.

Sekian lama PAB berdiri dan tak ada halangan yang berarti, hingga pada suatu kejadian, Pak RT yang selama ini telah meminjamkan tanahnya untuk dimanfatkan membutuhkan uang untuk biaya kuliah anaknya. Terkejut bukan main, Eko yang tengah semangat-semangatnya mengembangkan PAB, kini harus menghadapi masalah yang baginya sangat sulit untuk diselesaikan. Ia harus segera memeras otaknya kembali agar bisa membeli tanah yang di atasnya sudah terbangun PAB. Pening bukan kepalang. Ia yang hanya seorang loper koran berusaha untuk membeli tanah brukuran 5X5 meter.

”Apa yang harus kulakukan? Aku harus mencari uang kemana? Apa ada barang yang bisa kujual demi mendapatkan sejumlah uang untuk membeli tanah itu?”

Aku terus mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang kian membuatku pening. Inilah alur kehidupan yang sudah kupilih. Alur yang kudapat dari Emak, aku kian

Page 93: Antologi Tulisan

93

mencoba berlindung kokoh dari benteng keputusasaan. Dan islamlah bentengnya. Yah, tak ada jawaban lain. Aku akan menjual ginjalku demi mendapatkan uang untuk membeli tanah itu. Aku harus mengikhlaskan ginjalku demi anak-anak Bangsa yang akan menjadi pemimpin di masa yang akan datang. Untuk sebuah perubahan ke arah yang lebih baik, aku rela menjual ginjalku. Aku benar-benar sudah mantap dengan keputusanku. Aku bergegas menyebarkan berita, mulai dari menempelkan pamflet-pamflet sampai memasang iklan di koran.

Beberapa minggu berlalu, aku terus menunggu, berharap ada seseorang yang menghubungiku untuk membeli ginjalku.

”Ya Alloh... Kenapa sampai saat ini belum ada orang yang mau membeli ginjalku? Apa yang harus aku lakukan? Aku tak punya apa-apa lagi yang bisa dijual demi mendapatkan uang untuk membeli tanah itu,” pikirku dalam lamunan yang semakin dalam menerawang batas kesenjangan masa.

Kring kring kring... Bunyi handphone itu seketika membuyarkan

lamunanku. Dengan segera aku raih handphone jadulku. Satu nomor masuk tanpa nama.

”Hallo... Assalamu’alaikum...” ”Wa’alaikumsalam warohmtullohi Wabarokatuh,” se-

orang Bapak menjawab dari seberang sana. Sontak akupun terkejut dan bingung. Siapakah Bapak

ini?. Namun, dengan segera kebingunganku terjawab. Ternyata, beliau adalah Pak Joko, seseorang yang akan membeli gunjalku. Dia membutuhkan donor ginjal dengan segera untuk anaknya tercinta. Akupun bahagia mendengar ada yang akan membeli ginjalku. Dan tak kalah bahagia saat

Page 94: Antologi Tulisan

94

beliau menyampaikan bahwa ginjalku akan dibeli dengan harga 450 juta.

Subhanalloh... Mendengar apa yang disampaikan beliau, aku tidak berpikir panjang. Saat itu juga aku menyetujuinya. Besok aku akan pergi ke tempat anak Bapak itu dirawat. Yah, cahaya kebahagiaan itu kembali menyinari hidupku.

Hari ini aku akan pergi ke tempat anak Pak Joko dirawat. Hari ini aku berpakaian lebih rapi dan meyakinkan. Baju yang menjadi kebanggaan dan kesayanganku akan menemaniku menemui Pak Joko dan keluarganya. Sungguh tak ada firasat apapun yang kurasa. Semuanya berjalan dengan alurnya. Bagai ditimpuk palu godam, aku merasa sesak dan entah apa yang terjadi, aku tak ingat apa-apa lagi. Baru kusadari, ternyata aku tengah tergeletak di lantai kamarku dan kepalaku kini terasa sangat pening. Kala terbangun ku mencoba merapikan jasadku yang seolah tak berdaya, ku lirik kembali inbox dan ku klik pesan dari pak Joko hingga berulang kali ku membacanya.

”Mas Eko, alhamdulillah putri saya sudah mendapatkan donor ginjal dari sepupunya, mohon ma’af mengenai kesepakatan kita kemarin sepertinya tidak bisa dilanjutkan.”

”Masya Alloh, ketentuan apa lagi yang telah Engkau persiapkan untuku?” gumanku dalam hati.

Harapan besar yang hampir terpenuhi itu hilang seketika,namun keadaan itu tidaklah membuatku terlarut dalam keterpurukan, segera ku melangkahkan kaki menelusuri alur kehidupan demi terpenuhinya harapan indah itu.

Alhamdulillah kesempatan itu kembali menyapaku, hatiku riang tak terkira ketika ada seseorang yang akan

Page 95: Antologi Tulisan

95

membeli ginjalku kembali dengan harga 350 juta, memang lebih murah dari tawaran pertama, tapi kesempatan kedua ini tak layak ku sia-siakan. Dengan sepenuh hati tak kulewatkan untuk bermunajat pada Sang Illahi demi kelancaran ikhtiarku ini, namun apa daya tangan tak sampai, rupanya Sang Kholiq mempunyai alur tersendiri untuk hidupku. Terkadang kita berpikir apa yang kita rencanakan adalah yang terbaik untuk kita, tetapi Sang Kholiq mempunyai rencana lebih indah dalam kuasa-Nya. Tanpa alasan yang jelas orang itu membatalkan rencananya untuk membeli ginjalku, beribu pertanyaanpun muncul dalam hati. Namun tak begitu ku hiraukan karena itu sudah menjadi suratan dari Sang Ilahi. Ternyata semua ini belum berakhir, prosesi kehidupan ini masih harus kulewati. Rasanya alurnya semakin deras, bahkan membuat aku seakan goyah. Lebih tepatnya tidak tahan berada dalam jalan sunyi ini. Apalagi saat penawaran yang ketiga kalinya itu hadir, harga 500 juta menjadi gerbang pasti sebagai jawaban atas penantianku. Seperti biasa, inilah alur hidup yang sudah digoreskan untuk diriku yang hanya lulusan SD. Entah karena melihat titleku yang hanya satu dibelakang nama. Oh tepatnya tidak ada, karena tidak ada gelar bagi kami para insan yang hanya mengecap bangku sekolah dasar.

Kini hidupku penuh dengan berbagai kejutan. Baik itu kejutan yang membuatku bahagia ataupun sedih. Hari inipun ada kejutan lain yang tak kalah menggembirakan dengan kejutan yang dahulu. Ketika aku tengah duduk termenung memikirkan nasib PAB-ku di paviliun, si jadulku berdering dan mengejutkan lamunanku. Akupun dengan segera mengambil si jadulku. Sungguh tak diduga, ternyata yang

Page 96: Antologi Tulisan

96

menelponku adalah pihak KICK ANDY yang memintaku untuk datang dalam acaranya pada esok hari. Senang bukan kepalang, aku masih berpikir, apakah ini nyata atau tidak. Saat sel-sel otakku masih sedang merampungkan berbagai molekul yang hendak membuat pemberitahuan luar biasa dalam hidupku, tiba-tiba....

Tok Tok Tok.... Seketika aku terperanjat dari lamunanku. Saat kubuka

pintu kebanggaanku, seorang pemuda tampan dan gagah layaknya orang yang berintelektual tinggi tepat di depanku.

”Apa benar ini dengan Mas Eko Cahyono?”. ”Yah... Ada yang bisa saya bantu?”, tanyaku sigap. Ia pun tersenyum manis, pancaran matanya

menandakan bahwa ia haus ilmu. Setelah beberapa lama kami bertukar pikiran, tak kusangka, pemuda yang kini menginjak semester sebelas di sebuah Perguruan Tinggi Negeri di kota Malang ini membaca pamflet yang kusebar di sekitar pelataran alun-alun Malang. Susah payah ia mencari alamatku. Andrea namanya. Rasanya malu juga berbicara dengan anak kuliahan. Sementara aku, lagi-lagi menjauh dari do’a Emak. Usai mendengar semua pengalaman hidupku, tiba-tiba ia menangis seakan menyesali keadaan yang ada. Aku hanya menbiarkannya, tak ingin kuusik sedikitpun. Biarlah ia bergelut dengan kesedihannya sesaat.

”Sungguh Mas Eko, aku malu dengan gelarku sebagai mahasiswa. Aku merasa kalah oleh kenyataan hidup yang Mas Eko lewati. Apalagi dengan kenyataan, aku yang bermain santai dengan skripsiku. Sementara Mas Eko, sampai kini pun masih berharap untuk bisa duduk di bangku SMP”.

Page 97: Antologi Tulisan

97

”Tenang Mas An, segala sesuatu indah pada waktunya. Saya sudah bisa merasakan bahwa Mas An kelak akan menjadi orang besar, bahkan menjadi orang yang membuat saya pun merasa iri”.

Ia semakin tertegun dalam lamunannya, seakan membuka kembali cakrawala impian. Terlihat jelas ia hendak mengakhiri gelar yang disandanngnya sebagai mahasiswa abadi.

”Mas Eko, apa yang menjadi penyebab buku sebagai motivator hidupmu, hingga kau perjuangkan masa mudamu untuk berlelah-lelah seperti ini?”.

”Hmmm. Bagiku membaca adalah candu”. Seketika Andrea memandang wajahku sembari tertegun,

entah nista mungkin, iba mungkin, karena aku yang hanya tamatan SD, sekali lagi aku yang hanya tamatan SD.

“Maksud Mas?, tanyanya heran. Perlahan aku tersenyum mengumpulkan semua

kesinkronan kata untuk seorang mahasiswa. “Hal yang pertama kali diajarkan agamaku, adalah

membaca. Dan akupun ingin menjadikannya sebagai candu dalam hidupku. Candu yang semakin mendekatkanku pada-Nya”.

Ia semakin merunduk, dan merunduk. Berjuang di jalan kepahlawanan yang sunyi ternyata

bukan berarti terlepas dari godaan. Pemilu 2009 kemarin, datang tawaran dari satu partai X menawarkan uang 100 juta. Syaratnya plang PAB diganti dengan perpustakaan partai X dan anggotanya diarahkan untuk memilih partai tersebut. Tapi aku tak bergeming. Setelah itu datang lagi tawaran yang lebih dahsyat, seorang misionaris datang

Page 98: Antologi Tulisan

98

menawarkan uang sekian ratus juta, plus rumah, plus mobil. Kompensasinya lagi-lagi plang perpustakaannya harus diganti dan salah satu raknya dikasih buku-buku agama X tersebut. Pada titik ini, Alhamdulillah Allah masih menguatkan imanku. Dan aku pun tak bergeming dengan tawaran itu. Yang terakhir datang tawaran dari seorang kepala sekolah, untuk menjadi PNS tanpa tes dengan gaji 1 juta perbulan. Syaratnya Perpustakaan Anak Bangsa dipindahkan ke sekolah tersebut. Seperti biasa aku masih tak bergeming. Dan selidik punya selidik, ternyata sekolah itu sudah menerima bantuan dana untuk membuat perpustakaan tapi entah kemana sudah dananya itu, soalnya perpustakaan pun tak ada wujudnya.

“Atau jiwa kami melayang Untuk kemerdekaan, kemenangan, dan harapan Atau tidak untuk apa-apa Kami tidak tahu Kami tidak lagi bisa berkata Kaulah sekarang yang berkata”

Ada pesan mendalam yang ingin disampaikan Chairil dalam penggalan puisinya diatas. Setidaknya itulah yang bisa kutangkap. Pesan tentang peran sejarah yang sedang dan akan kita-meminjam istilah alm Rendra-tata bukukan . Chairil dulu, sedang menceritakan secara personifikasi bagaimana tulang belulang pahlawan seolah bicara. Tulang belulang itu seolah sedang berdialog dengan kita, jika mereka dulu berani memilih jalan sejarah para pahlawan sunyi. Yang sekarang tinggal tulang belulang. Lalu apakah aku juga berani mengambil jalan sunyi itu? Beranikah jiwaku melayang demi kemerdekaan hakiki, demi kemenangan, dan harapan? Kira-kira itulah dialog jiwa yang sering muncul dalam benak dan hatiku, setiap mengeja kembali sepenggal puisi Chairil di

Page 99: Antologi Tulisan

99

atas. Mungkin, aku pun telah mengikuti jalan chairil berada dalam kesunyian. Hidup penuh harapan, kini bukan lagi harapan mendapat gelar SMP. Tapi harapan pasti untuk segera menjual ginjalku, ya hanya itu. Tepatnya hanya untuk memutus mata rantai Eko, atau lebih besar lagi membuka gerbang mata rantai Eko seperti yang mas Andrea katakan. Hanya itu. Inilah alur hidup Islam yang kupilih. Inilah.

Page 100: Antologi Tulisan

100

Masih dalam Keadaan Menunggu dan Menunggu

-Rini Nuraeni-

Masih dalam keadaan menunggu dan menunggu.

Tepatnya dalam penantian yang tiada berujung, bahkan mungkin tepatnya aku sendiri yang membuat ujung itu tampak dalam posisi jauh. Posisi ku masih tetap di kuadran pertama, untuk masuk ke area perhitungan selanjutnya tidaklah mudah.

“Kak, andai ada. Mungkin tak akan segusar ini hatiku kini”.

Masih dalam seliweran pertanyaan yang tidak menentu, aku beradu bahkan terus beradu argumen dengan batinku sendiri. Rasanya ini sulit, tapi ia tinggal kenangan lalu.

Batinku mengusik, kenapa bukan aku saja yang ada dalam posisi itu. Jelas tergambar dalam bayanganku, masa-masa yang dilewati dengannya.

Pertemuan dalam sebuah pondok kehidupan baru, aku yang harus kuliah di perguruan tinggi berdekatan dengan sebuah pesantren terkenal merasa masih dalam zona nyaman. Belum ada adrenalin yang memuncak untuk berjuang lebih. Begitu pun ketika bertemu dengannya, masih sedang dalam kegalauan akibat adanya aku disini bukanlah kehendakku.

Page 101: Antologi Tulisan

101

Rumah kosan ini memberi makna baru yang tak terduga. Aku yang masih dalam kebebasanku, dipersatukan dalam kondisi yang tak terbayang. Semua yang ada di kosan ini adalah akhwat. Mereka hadir dengan penampilan penuh keanggunan, saling bertukar pendapat lewat kebenaran dalil. Aneh rasanya, aku berada di tengah mereka. Masih tak kupahami.

Ini hanya kosan biasa, namun mereka berlima dengan latar belakang berbeda, tetapi seolah sudah saling mengenal lama sekali. Aku semakin menjadi asing.

Waktu mereka membuka mata lebih lama dari kondisi yang biasa terjadi pada diriku. Dan waktu mereka menutup mata pun sebaliknya lebih cepat dari yang biasa kualami. Aku mencoba ikut dalam alur ini, tetapi dalam hati berharap kuat untuk segera terbebas dari alur ini. Entah kenapa, ada ketidak cocokan dalam alur ini.

“Ukh... ayo makan dulu”, ucap Amiah kawan sekamarku. Ada yang terusik dalam telinga ini saat mendengar ukhti

sebagai panggilan pengganti namaku. Aku hanya tersenyum sinis karena merasa ini bukan duniaku. Jelas, bukan duniaku. Paling tidak bersabar untuk satu tahun saja, pikiran itu kembali mengiang.

“Kak... ingin kubagi semua keterasingan ini”, piluku pada angin yang menyapa.

Hari-hariku masihlah sama, belum ada keteraturan yang hendak kurancang. Keterpaksaan bahkan nihilnya motivasi seakan menjadi sistem pembenaran sendiri. Mereka yang ada di pondok mungil ini berkutat dengan tugasnya masing-masing, begitu pun aku masih mencari maunya otak yang

Page 102: Antologi Tulisan

102

menjadi pengontrol aktivitasku ini. Belum ada, yah masih belum ada agenda pasti yang hendak kulalui hari ini.

“Kak... ingatkah Kau?” Tanyaku pada dasar hati, seakan ia nun jauh disana tepat

berada dihadapanku. Atau paling tidak sedang saling bertukar obrolan penuh sapaan canda via telepon genggam. Atau paling tidak juga tengah asyik menekan tuts-tuts handphone ini. Rasanya terlalu angkuh aku andai kesemuaannya itu terjadi. Jelas untuk berharap ia ingat saja, aku bak pungguk merindukan bulan, bak pekatnya malam yang menanti keindahan bulan.

“Ukhti... kenapa melamun?”. Ah... lagi-lagi kudengar panggilan itu, ukhti dan ukhti.

Selalu begitu, mengingatkanku padanya. Semakin menerawang ingatanku, semakin aku enggan dengan keberadaanku sendiri di pondok ini.

“Tidak Ayasha”, jawabku pada gadis berjilbab lebar dengan perawakan tinggi bak model.

Aku tak ingin duniaku diganggu, segera usai kujawab ku bergegas pergi tanpa permisi. Tak sopan mungkin, tapi percayalah jika aku hanya diam saja bahkan meladeni obrolannya aku bisa naik pitam karena tak kerasan.

Aku mengurung diri di kamar, untuk hari ini saja izinkan aku untuk tidak mendapat gangguan. Tepatnya tidak mendapat sapaan dari kawan sekamarku, tidak mendapat senyuman manis dari Ayasha mahasiswi Ilmu Pendidikan Agama itu, tidak juga mendengar senda gurau Malika, tidak juga untuk sekedar berbagi tips masakan dengan Linma, gadis Garut yang kini tengah berkutat pasti dengan skripsinya, atau bahkan untuk menghadapi Syara yang

Page 103: Antologi Tulisan

103

senang dengan bisnis berbagai kebutuhan kosan itu rasanya tak mau.

Aku masih ingin sendiri, dipojok kamarku. “Assalamu’alaikum...” Kutahu pasti itu suara Malika, dengan sekonyong-

konyong ia langsung datang ke kamarku tanpa permisi dulu. Rasanya darahku semakin memuncak, dan hendak melontarkan kata-kata tak bermutu padanya akibat ketidaksopanannya. Tapi, tiba-tiba ia menangis tersedu-sedu. Tak tahu aku maksudnya, juga tak mengerti kenapa harus ke kamarku. Mungkin karena jurusan yang aku ambil, sehingga ia memandang aku bisa diandalkan. Padahal, tak mau sedikitpun aku terlibat dengan urusan mereka.

“Ukhti, aku sedih”, ucapnya tersedu-sedu. Tentulah ia tengah sedih karena air matanya terlihat

jelas, tak perlulah diucapkan lagi. Tak ada rasa iba yang kurasa melihat ia menyeka air matanya. Sungguh, aku masih dalam keenggananku.

“Ada apa?”, tanyaku polos tanpa ada pertimbangan untuk merangkai pembendaharaan kata terlebih dahulu.

Ia semakin erat dengan rangkulannya pada pundakku, sesekali ia menghela nafas dan kembali menangis.

“Tadi ada ikhwan....”, ia menghentikan pembicaraan-nya. Membuatku bertanya lebih dalam, apalagi

pembendaharaan kata anehku bertambah saat ia menyebut kata ikhwan. Lengkaplah sudah keterasinganku.

“Aku tidak berhasil menjaga diriku Zal...”. Untuk kali ini aku tersentak kaget, karena pikiranku

menjadi kalut mendengar ucapan itu. Aku

Page 104: Antologi Tulisan

104

memperhatikannya, meski masih sedikit. Yah, lebih tepatnya memperhatikan kejadian apa yang tengah menimpanya.

“Tadi, ada ikhwan yang mengungkapkan kekaguman-nya padaku Zal”.

“Lalu?”, tanyaku mendadak penasaran. “Apa lagi kelanjutannya?, tanyaku paksa memecah

kebisuannya. “Apa ia berbuat aneh?”, tanyaku lebih selidik. “Tidak... Zal, ia hanya mengungkapkan lewat sms. Tidak

lebih. Tapi justru aku merasakan kehinaanku, sungguh kenistaanku terlihat jelas”.

Aku tersentak dengan ucapannya, ia perlahan mulai terdiam, seperti masuk menerawang semua kesalahannya. Padahal hanya itu yang diucapkan ikhwan itu, tidak lebih. Tapi keimanannya bergetar seketika, ia menyangsingkan sendiri keutuhan hatinya.

“Kak, aku bergetar.... inikah maksud ucapanmu dulu”. Kini aku menangis, menangis tanpa sekat malu dan rasa

lainnya. Aku mengingatnya, kejadian itu. Benar adanya, ucapnnya itu kembali terngiang keras. Dekat, tepat dekat dalam ingatanku.

Page 105: Antologi Tulisan

105

Catatan Harian

Page 106: Antologi Tulisan

106

Jangan Protes, Semua Sudah Ada

yang Atur -Musheinz-

Pagi ini seperti biasa, saya memulai hari dengan

mengecek email (yang selalu kosong) , mengecek facebook (tanpa ada notification), dan akhirnya mematikan komputer.

Pagi ini jalanan di depan rumah saya begitu lalu lalang, karena jalan di depan rumah saya merupakan salah satu jalur utama yang dilewati anak-anak sekolah.

Bingung karena nggak ada kerjaan, saya memutuskan untuk membaca koran di halaman rumah. Di tulisan saya yang sebelumnya (tolong-serahkan-pada-ahlinya), saya pernah bilang kalau di sekitar rumah saya sedang sangat mewabah sindrom bangun-membangun.

Dan pagi itu, suasana begitu ramai. Bagaikan konser perkusi, suara bertalu-talu saling menyahut berlomba untuk menjadi yang paling keras.

Apakah saya bisa konsentrasi membaca? Tentu tidak. Yang saya lakukan hanyalah membolak-

balik halaman koran sambil sesekali melihat ke arah jalan. Melirik anak-anak SMA yang berangkat ke sekolah, beramai-ramai sambil tertawa.

Page 107: Antologi Tulisan

107

Lalu akhirnya saya bisa fokus juga. Bukan untuk membaca koran, tapi mendengarkan percakapan dua orang, yang tampaknya suami istri sedang bertengkar.

"Kamu itu harusnya bersyukur, saya mau nikah sama kamu. Sekarang saya jadi PNS, coba kalo kamu jadi sama mantan kamu yang itu tuh. Huh! Kamu malah jadi istri supir angkot!" Sahut sang suami dengan ketus.

Saya lihat, si istri bukannya marah dikasari oleh suaminya itu. Dia malah tersenyum, dan sambil menyapu, sang istri berujar, "Kamu nggak salah? Kan mestinya kamu yang bersyukur aku mau jadi istri kamu. Kalo aku jadinya sama dia. Dia yang jadi PNS, malahan kamu yang jadi supir".

Si suami diam tertegun. Masih tampak cemberut, tapi saya pikir dia kaget hingga tak bisa berkata-kata.

Saya pikir sang istri benar. Dalam takdir, tidak ada seorangpun yang memiliki peran lebih sehingga merasa bisa mengubah takdir orang lain. Karena takdir sudah diatur, terencana, dan detail. Jadi, untuk apa protes? cukup bersyukur dengan apa yang telah kita miliki dan berharap Allah akan mempercayakan rezeki yang lebih banyak pada kita.

Page 108: Antologi Tulisan

108

Saya Bahagia -Musheinz-

Pada hari Minggu (5 Desember 2010) lalu, saya hadir di

pernikahan teman saya semasa kuliah, bukan hanya teman biasa tapi merupakan sahabat dekat semasa kuliah. Bukan hanya sang mempelai prianya, tapi juga mempelai wanitanya. Saya teringat zaman kuliah dulu, kita selalu kemana-mana berlima dan dua di antaranya adalah teman saya yang menikah tersebut.

Saya bahagia mereka menikah dan saya bahagia bertemu dengan beberapa sahabat lama di pesta pernikahan tersebut. Saya bahagia bukan hanya karena mereka pada akhirnya bisa mensahkan hubungan mereka, tetapi karena pada pesta pernikahan mereka itu saya mendapatkan sebuah rumusan mengenai kebahagiaan.

Ternyata tidaklah sulit menjadi bahagia dan saya menemukan beberapa rumusan , atau beberapa cara, yang bagi saya membuat saya menjadi bahagia, atau lebih bahagia.

Rumusan pertama dan yang paling penting adalah bahwa bahagia tidak mempersyaratkan apapun. Tidak perlu menjadi kaya terlebih dahulu untuk menjadi bahagia, toh tidak semua orang yang sudah kaya bahagia. Tidak perlu dicintai atau bersama dengan seseorang terlebih dahulu untuk menjadi bahagia, toh banyak sekali percekcokan dan perkelahian yang menandakan ketiadaan kebahagiaan. Rasanya tidak perlu pintar terlebih dahulu untuk menjadi bahagia, tidak perlu membuat skripsi, melakukan penelitian,

Page 109: Antologi Tulisan

109

atau bahkan sertifikasi profesi seperti yang dikejar oleh para guru. Kita tinggal tersenyum dan tegaskan dalam hati bahwa kita bahagia, dengan apapun kondisi kita sekarang. Karena untuk bahagia, tiada syarat yang perlu dipenuhi, cukup berkompromi dengan hati dan akal yang kita miliki untuk bersama-sama mendeklarasikan bahwa kita bahagia.

Rumusan yang kedua adalah bersyukur. Rasa syukur ini merupakan hasil deklarasi hati dan akal kita yang telah berhasil menjadi suatu program nyata, atau dengan kata lain bersyukur merupakan praktek nyata dari deklarasi kebahagiaan terhadap kondisi apapun yang kita alami. Bagi saya pribadi, syukur bisa terbagi dua, yakni rasa syukur terhadap apa-apa yang kita miliki dan rasa syukur terhadap apa-apa yang tidak kita miliki. Kepemilikan bukanlah terminologi yang pas buat kita (manusia) karena konsep kepemilikan hanyalah milik Sang Pencipta. Maka apa yang kita miliki merupakan keniscayaan, sebuah titipan dengan kartu-kartu penitipan yang masih dipegang oleh Sang Maha Pencipta.

Saya bersyukur atas semua titipan yang Allah berikan, karena dengan begitu sama juga berarti saya dipercaya dan dapat diandalkan. Dan dengan semakin banyak bersyukur atas semua 'barang' titipan ini, maka Allah pun akan menambahkan kepercayaan-Nya dengan menitipkan lebih banyak (rezeki).

Saya juga bersyukur atas semua yang tidak (atau belum) Allah titipkan kepada saya. Karena dengan begitu, secara tidak langsung Allah melindungi saya dari kelalaian, kebodohan yang berujung pada pemberian hukuman karena tidak mampu menjaga kepercayaan-Nya dengan baik.

Page 110: Antologi Tulisan

110

Rumusan yang ketiga dan yang terakhir adalah ikhlas. Bagi saya, ikhlas adalah khalas atau tuntas. Ibarat (mohon maaf) membuang hajat di pagi hari, tidak kita sesali dan dengan begitu semuanya plong dan tuntas, sehingga kita siap untuk menghadapi hari yang baru dengan penuh semangat tanpa dibebani kotoran-kotoran kejiwaan yang kita miliki. Apa yang telah terjadi di masa lalu, memang perlu dievaluasi dan dijadikan bahan perenungan, tapi ampas-ampasnya, sudahlah, tuntaskan saja. Toh, kita sudah menemukan rekomendasi kongkrit dari evaluasi tersebut. Maka dari itu, saya ikhlas dengan apa yang telah terjadi di masa lalu dalam kehidupan saya, saya telah belajar, dan........... SAYA BAHAGIA.

Maka nikmat yang mana lagi yang saya dustakan??

Page 111: Antologi Tulisan

111

Dari Sepenggal Uraian Kisah Yahya Ibn Yahya

-Intan Rahayu K- Adalah Yahya ibn Yahya yang setia pada prinsipnya.

Lelaki Andalusia itu berjalan hingga ke Madinah untuk berguru pada Imam Malik dan itulah yang mengisi hari-harinya di Madinah: mempelajari lautan ilmu yang disampaikan oleh sang guru, tak tertarik barang sedikitpun untuk lengah.

Saya membaca kisah itu pagi tadi, kisah yang sama yang pernah tersampaikan oleh seorang ustadz dalam kajian yang saya ikuti.

Sungguh, ternyata saya bukan seorang yang kuat seperti yang saya kira. Saya terlalu bersemangat mengambil peran di sana-sini tanpa memperhatikan hak-hak saya, tanpa memperhatikan kadar kemampuan yang saya miliki. Sebenarnya, amanah ini mungkin bagi sebagian orang biasa saja, tapi bagi saya, bagi seseorang yang memiliki kepribadian seperti saya, menjadi suatu hal yang kadang membuat perasaan serba salah, yang terkadang membuat saya menghindarinya. Mungkin puncaknya adalah hari ini. Saya sadar bahwa besok adalah hajat salah satu organisasi yang saya ikuti, tapi di saat yang sama, saya sudah dikejar deadline untuk menyelesaikan proposal dan mengantarkannya ke yayasan. Ditambah, tiba-tiba kawan

Page 112: Antologi Tulisan

112

saya meminta tolong pada saya untuk mewakili kelompok kami bimbingan salah satu mata kuliah.

Proposal yang sedianya saya targetkan selesai sebelum pukul 10.00 nyatanya harus tertunda karena ada file yang hanya tersimpan di laptop yayasan yang sedang dipegang oleh kawan saya. Saya kirim pesan padanya untuk segera mengirimkan via email, nyatanya dia masih kerja dan baru sempat mengirim lepas pukul 10.00. Dosen sayapun nyatanya ada kelas sampai pukul 10.30, jadilah saya menunggu sembari menyelesaikan proposal yayasan. Tiba-tiba, dosen seminar saya memanggil dan saya harus bimbingan dengannya selepas Jum'atan. Subhanallah, beginilah kalau Allah sudah berkehendak. Saya stres. Ditambah belum mempersiapkan konsep untuk acara silaturahim Ahad besok. MasyaAllah. Secara manusiawi, saya lelah. Ingin rasanya pergi ke suatu tempat, tak usahlah itu handphone berdering, tak usahlah itu komputer menemani, tak usahlah semua pikiran itu menghantui.

Nyatanya saya tidak sanggup, sampai tiba-tiba, Mamah mengirim pesan.

"Intanku sayang, apa kabar?" saya balas, "Baik Mah, cuma lagi bingung aja..." dan si Mamah yang selalu khawatir terhadap anak-anaknya itu langsung menelepon, dan saya sudah tak sanggup lagi membendung air mata yang entah untuk apa.

"Kan, amanah awalnya Intan ke Bandung buat kuliah kan ya?" begitu kata Mamah.

"Intan kan udah milih, ya sekarang tinggal Intannya aja gimana. Intan ga bisa ambil semua, kan kita punya kapasitas sendiri-sendiri ya? Diselesaikan, nanti malah bukannya

Page 113: Antologi Tulisan

113

tambah saudara, justru tambah yang ga suka sama Intan lagi..."

Terkadang saya pikir saya sanggup, mungkin secara fisik saya sanggup tapi rupanya membagi fokus itu yang sulit. Mungkin begitulah Yahya ibn Yahya yang memutuskan untuk konsisten menuntut ilmu tanpa tergoda sedikitpun untuk menengok kehadiran gajah di bumi Madinah seperti kawan-kawannya yang lain karena ia ingin fokus, karena bisa jadi ia akan kesulitan untuk membagi konsentrasinya.

Sekarang tinggal saya. Pada akhirnya saya memang harus menyelesaikan semuanya. Setelah merehatkan pikiran di kotsan salah satu kawan, saya membenahi amanah yang Allah anugerahkan pada saya hari ini. Pertama, saya bereskan proposal yayasan, plus mencetak dan menjilidnya. Kedua, saya temui Pak Ariez untuk bimbingan. Ketiga, saya penuhi dulu hak tubuh saya, maka saya sisakan waktu sejenak untuk makan. Keempat, pulang ke kotsan mengambil stempel yayasan. Kelima, pergi ke Jalaprang, mengantar proposal. Keenam, datang ke persiapan Training Legislatif di FPIPS.

Ketujuh, di sinilah saya. Duduk di salah satu warnet favorit saya di Gerlong, sekedar berbagi denganmu kawan. Kawan, mungkin sudah saatnya kita menjadi diri sendiri, tak usah memaksakan diri sendiri menjadi seperti orang lain, kalau memang kita tidak sanggup untuk menerima konsekuensinya. Mungkin lebih baik menjadi seperti Yahya ibn Yahya yang dengan sepenuh hati fokus menjalani amanah yang diberikan Allah padanya, amanah yang telah dipilihnya, amanah yang memang telah diukurnya masak-masak, ditimbangnya dengan hati-hati agar memang benar-benar

Page 114: Antologi Tulisan

114

sesuai dengan kemampuannya. Mudah-mudahan bisa diambil ibrahnya.

http://www.celotehtentanghidup.blogspot.com

Page 115: Antologi Tulisan

115

Harga Sebuah Mimpi

-Intan Rahayu K- Hari ini aku belajar, bahwa setiap orang, bagaimana-pun

terbatas keadaannya, berhak memiliki cita-cita… [dipetik dari Laskar Pelangi]

Jadwalku hari ini relatif senggang: pagi menghadiri

Musyawarah Kerja BEM, siang free dan ba’da Ashar rapat. Aku berharap Muker tidak akan berlangsung lama, dan nyatanya benar. Jam sebelas aku sudah melangkah keluar dari gedung fakultas, menuju MIPA menemui Fauzia, kawan se-gank yang tiba-tiba menanyakan posisiku.

“Ntan, ntar dateng kajian film?” “Nggak tau, tadi sih booking ke Alita. Fau dateng?” “Dateng yuk!” Jadilah aku tergoda bertandang ke PKM,

menikmati sajian film plus kajian (tetap) dari perspektif psikologi yang dikemas oleh anak-anak Sublimotion. Ashar, aku bergerak menuju Al-Furqon. Tiba-tiba, aku melihatnya: seorang anak berkaus kumal tampak sedang memanggul karung yang hampir sebesar tubuhnya.

“Hei Kiki!” sapaku. “Eh, Teteh…”

Page 116: Antologi Tulisan

116

“Lama ya, nggak ketemu! Ini siapa?” tunjukku pada anak yang menyertai Kiki, umurnya kuterka belum genap enam tahun.

“Asin, Teh” Kutajamkan pendengaranku, khawatir salah mendengar namanya. Aku kurang bisa mendengar jelas akhir-akhir ini. Benar, namanya Asin. Lebih tepatnya, panggilannya adalah Asin. Aku dan Kiki duduk di depan masjid, sementara Asin asyik mencari buah-buah merah kecil yang belum kutahu genus-nya.

Aku mengenal Kiki hampir setahun. Aku sangsi Kiki masih mengenaliku atau mengingat pertemuan pertama kami. Waktu itu, aku bertemu dengannya hampir larut malam, berjalan seorang diri dengan karung yang penuh berisi botol. Harus beginikah untuk sekedar bertahan hidup? Entah, aku tertarik untuk menyapanya. Lantas, obrolan kecil itu mengalir begitu saja, seolah kami pernah bertemu sebelumnya. Ia menceritakan tentang dirinya, terbuka sekali. Mungkin begitulah anak-anak, terbuka dan apa adanya. Aku menawarinya jamur crispy buatanku dan air matanya langsung menetes karena kepedasan. Aku mengingatnya, tapi mungkin Kiki tidak.

Hm, Kiki, akhirnya kita bisa bertemu lagi! Kiki sekarang sudah kelas lima. Dia tetap sekolah. Mencari botol ia lakukan sepulang sekolah, sore hari bahkan kadang larut malam dia baru bisa merasakan nikmatnya menutup mata dan merangkai mimpi. Hari Minggu, biasanya Kiki ke Pondok Hijau, belajar bersama teman-teman di Taman Teknologi. Ia belajar banyak hal di sana, sains, seni, dan terutama keberanian dan kepercayaan diri.

Page 117: Antologi Tulisan

117

“Kiki pernah lho, ngelakuin percobaan di depan dosen!” ujarnya bangga.

“Tahu nggak Teh, Kiki mau jadi apa?” “Nggak, emang Kiki mau jadi apa?” tanyaku tertarik. Ini

bagian yang paling menarik untukku dibanding cerita-ceritanya yang lain. Seorang anak pengumpul botol… bukankah hal yang sangat menarik untuk mengetahui apa yang paling diinginkannya?

“Kiki mau jadi pembalap mobil! Ngeeeng… Kiki sampe mimpi itu lho semalem! Di mimpi Kiki, Kiki ada di luar negeri. Ketemu sama pembalap-pembalap yang terkenal itu Teh. Kiki deg-degan, bisa nggak ya, Kiki menang dari mereka? Eh, Kiki menang! Kiki dapet tiga puluh ribu dollar Teh! Kiki beliin mobil sama alat-alatnya. Kiki jadi pembalap hebat!” dia masih terus bercerita dan aku menyukai ceritanya, kadang tersenyum, sesekali tertawa. Anak ini… bukankah seharusnya dia mencari botol? Apa aku mengganggunya dengan mengobrol seperti ini?

“Oya Ki, uang dari Kiki nyari botol buat apa?” kuterka, jawabannya pasti buat membayar uang sekolah.

“Buat beli mobil! Katanya, harganya tiga puluh ribu dollar. Jadi Kiki celengin uangnya, nggak pernah Kiki jajanin. Tau nggak Teh, Kiki udah punya tiga celengan lho!” ujarnya bangga. Aku sedikit tergelitik untuk bertanya.

“Emang tiga puluh ribu dollar itu berapa, Ki?” “Ng… nggak tau. Banyak banget pokoknya mah!” kami

tertawa. Tergelak. Jarang aku bisa tertawa selepas ini. Aku tahu Kiki tidak tahu berapa jumlah pasti dari tiga puluh ribu dollar, tapi dia punya keinginan kuat untuk mencapai mimpinya. Tiga puluh ribu dollar… aku berpikir keras kapan

Page 118: Antologi Tulisan

118

Kiki bisa mengumpulkan uang sebanyak itu dengan cara mengumpulkan botol-botol bekas. Bukankah Allah lah yang mengatur pertemuan timur dan barat? Demikian pula cerita Kiki. Allah-lah yang tahu kapan semua itu terjadi dan pasti ada rencana yang berlaku pada setiap makhluk.

Kiki. Mungkin ia hanya satu bagian kolase saja dari potret anak-anak Indonesia. Anak-anak, mereka bukan hanya masa lalu dan masa depan, tapi juga masa kini yang perlu diperhatikan dan dijaga. Aku yakin, anak-anak yang berjuang di pinggiran jalan sana-mengamen, mengasong, mencari botol seperti Kiki, dan sederet pekerjaan yang sebenarnya tidak layak untuk mereka lakukan- pasti memiliki cita-cita dan mimpi. Dan mimpi itu harus mereka bayar dengan harga yang sangat mahal: kehilangan masa kanak-kanak.

So what’s the glory in living?

Setelah bertemu lagi dengan Kiki, anak Indonesia juga seperti kita.

2010

Page 119: Antologi Tulisan

119

Ci, Salah Satu TKW Kita

-Intan Rahayu K- Bangun pagi hari itu sebenarnya sungguh menyiksa saya.

Kau tahu kawan, beberapa hari belakangan, saya baru dapat mengizinkan mata saya terpejam seutuhnya selepas tengah malam. Seperti tadi malam, teman-teman kurcaci saya membuat suatu agenda berkumpul, ada sedikit buah tangan dari Pebi dan Fauzia: tekwan dan bakpia, perpaduan yang bagi saya tidak terlalu menarik setelah sore itu saya makan cukup banyak bersama kakak saya, Yulan. Namun nyatanya sayapun ikut larut. Mungkin beginilah keindahan tinggal di perantauan dan bertemu mereka. Maka kami yang lama disibukkan oleh aktivitas masing-masing malam itu asyik berbincang, berkelakar, tertawa, bermain dan sungguh menjadi siksaan bagi saya di pagi hari. Kau tahu, masuk angin. Mudah sekali bagi saya masuk angin meskipun saya telah menghabiskan minyak kayu putih di sekujur tubuh saya. Dan lagi, kantung mata ini rasanya berat. Berat. Mengingat hari ini saya masih harus ke kampus, mengingat pakaian yang belum saya setrika, mengingat jumlah kaus kaki yang makin terbatas, dan setumpuk baju yang sudah layak dicuci. Berat, atau lebih tepatnya sangat malas.

Hujan di luar kamar Ita masih menggelayut, rintik-rintik memang, namun tetap saja membuat saya bertahan di kamar

Page 120: Antologi Tulisan

120

Ita. Bukan kawan, seandainyapun telah saya katakan padamu dulu bahwa saya sudah tidak lagi memiliki payung, namun bukan karena itu saya bertahan. Lebih semacam penangguhan: biar saja hujan menunaikan kewajibannya terlebih dulu, saya tidak akan mengganggu sampai dia benar-benar selesai. Mungkin seperti itu. Atau lebih tepatnya, saya memang sedang tidak ingin berbuat apa-apa.

Fauzia menghidupkan televisi. Itu yang selalu menjadi aktivitasnya di pagi hari kalau kami semua bermalam bersama, baik di tempat Devi, Ita, Yanggi, atau Pebi. Karena sesungguhnya, bagi saya dan Fauzia, itu kesempatan kami melihat dunia atau sekedar menikmati tayangan iklan yang menawarkan beraneka ragam produk baru yang tidak kami tahu. Atau sekedar mengamati perjalanan kasus Gayus Tambunan atau bahkan menikmati kabar-kabar selebritis yang menurut kami melempem. Fauzia asyik dengan kesibukan mencari channel yang menarik. Ia kemudian jatuh hati pada salah satu stasiun televisi yang menyajikan berita hangat-hangat. Hangat, karena beritanya terkadang sudah ditayangkan semalam, sehari, atau sekedar pemberitaan yang didramatis-dramatiskan.

Seorang TKW asal Indramayu tewas.

Sepenggal kalimat dari kotak ajaib yang menampilkan

perpaduan gambar bergerak dan suara itu menghantam kepala saya. Synaps di dalamnya menyala-nyala, menjulur-julur, tak sabar ingin segera mendapatkan respon dari sistem kognisi saya. Juntaian synaps ini rupanya memaksa otot-otot mata saya diatur otak. Tidak, tangan saya belum sampai

Page 121: Antologi Tulisan

121

dikunjungi kiriman perintah dari otak untuk mengucek-ucek mata. Mata saya hanya memelototi tampilan di layar kaca. Telinga saya kontan melebarkan daunnya, menangkap suara-suara tertata anchor. Jantung saya berdegup melebihi degupnya ketika saya baru bangun beberapa saat lalu. Sontak, saya ingin menangis.

Anchor terus memaparkan berita dan saya masih dalam kondisi tadi. Mendengar nama TKW itu cukup menambah-nambah beban hati saya, melayangkan pikiran saya pada masa yang tak pernah coba saya lupa, membawa serangkaian prasangka.

Kawan, sudahkan saya ceritakan padamu kisah itu? Seandainya belum, maka mungkin saya harus berbagi. Sewaktu masih berseragam putih-abu, saya memiliki seorang kawan. Tiga tahun kami berteman, satu kelas meski tak pernah satu meja. Ia menempuh perjalanan yang jauh untuk sampai di sekolah. Tiga perempat jarak Cirebon-Indramayu. Kau bayangkan, ia berangkat sekolah pagi-pagi sekali. Saya pasti masih tidur saat itu. Ia lakukan perjalanan itu setiap hari. Di kelas tiga, ia harus berangkat lebih pagi lagi karena ada satu hari di mana kami telah memulai pelajaran pada pukul 05.30.

Pandai bergaul. Itu yang saya tangkap dari tingkah lakunya selama ini. memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, suka sekali bertanya. Tidak mudah sakit hati, mungkin itu yang membuatnya tampak easy going. Ia membawa sekotak makanan untuk dijual. Mudah baginya menyerap pelajaran, ketika merasa kesulitan ia tak ragu bertanya pada siapa saja. Bukan juga orang yang gagap teknologi. Ia justru antusias sekali pada satu hal ini.

Page 122: Antologi Tulisan

122

Waktu kelas tiga itu, satu sekolah kami mengikuti seleksi masuk Learning Camp, program Super Motivasi yang digulirkan pemerintah untuk menjaring putra-putri terbaik daerah saya. Mereka akan mengikuti serangkaian seleksi, try out setiap Sabtu dan pembahasan try out di hari Minggu. Serangkaian seleksi itu akan menghasilkan tiga puluh putra-putri terbaik yang layak mengikuti bimbingan belejar intensif di Bandung yang disebut Learning Camp selama sebulan, saya lebih suka menyebutnya persiapan menghadapi ujian masuk PTN. Ajang ini bergengsi kawan, kalau kau mau tahu. Mereka yang lolos masuk PTN akan mendapatkan beasiswa dari pemerintah daerah selama masa kuliah. Ini sangat menggiurkan bagi siswa kelas tiga SMA. Siapa yang tidak tertarik dengan janji pemerintah ini?

Mungkin saya. Saya bahkan tidak lolos pada seleksi tahap pertama yang diikuti oleh ribuan siswa itu. Bagi saya tidak masalah, karena saya tidak begitu menyukai ilmu yang berkaitan dengan kemampuan matematis, mekanistis. Hampir sekelas kawan saya lolos, termasuk kawan saya itu. Oya, kita belum membahas siapa namanya. Saya ragu untuk mengatakannya padamu, kawan. Mungkin begini, kita sebut saja namanya Ci. Ci lolos pada seleksi pertama dan seleksi lanjutan, beberapa kali ia ikut try out. Sampai pada try out terakhir, ia tampak tak antusias. Bahkan tidak mengikutinya. Seleski tahap akhir, kawan!

“Ci nggak diizinin ikut, Ntan.” Ujarnya. Permasalahan klasik. Seorang anak dari keluarga kurang mampu yang memiliki minat luar biasa pada ilmu, dihadapkan pada suatu pilihan yang rumit. Setidaknya rumit menurut saya waktu itu. Maka di sanalah Ci, turut dalam barisan siswa yang

Page 123: Antologi Tulisan

123

dinyatakan tidak lolos, padahal prestasinya cukup baik selama seleksi. Satu mimpinya tergadaikan: menempuh pendidikan setinggi-tingginya.

Di lain waktu, menjelang ujian akhir. Ci duduk sendiri, melamun. Ini bukan kebiasaan dia. Kalau saya boleh bilang, ia hampir selalu bersama kawan baiknya, kemana-mana. Mungkin saat itu ia hanya ingin rehat sejenak, seperti yang kadang saya lakukan. Namun itu menggelitik saya.

“Ci belum bayaran, Ntan. Sebentar lagi ujian.” Ia menahan untuk tidak menangis. Di tahun sepanjang saya sekolah, uang SPP untuk kelas kami sudah mencapai angka seratusribuan. Tempatkan dirimu pada posisi Ci, kawan. Saya ikut bingung dan malah menceritakan permasalahan saya yang kurang lebih sama seperti Ci. Kami menangis bersama dan berjanji masalah ini tidak akan menghambat semangat kami.

Menjelang kelulusan, saya semakin jarang mendengar kabar tentang Ci. Sampai satu kabar mampir pada saya, Ci di Jakarta. Sudah di penampungan, belajar. Kata penampungan sesungguhnya tidak asing bagi kami masyarakat Indramayu, namun kata itu sanggup membuat saya bertanya-tanya: untuk apa kawan saya di sana? Belajar apa? Apakah… saya tidak mau memikirkan apa-apa karena pada kenyataannya, pikiran saya benar, Ci akan menjadi TKW kalau memang terlalu kasar untuk mengatakan PRT di luar negeri. Lihat, siswa dari kelas paling yahud di sekolah, kawan saya, siswa yang tinggal dipoles sedikit saja, dan diberi kesempatan sedikit saja untuk menancapkan mimpinya, harus mengalami nasib yang sama seperti ratusan perempuan Indramayu, menjadi TKW.

Page 124: Antologi Tulisan

124

“Di Oman, Ntan…” begitu saja ia bercerita, tanpa beban. Belum genap setahun setelah keberangkatan Ci. Saya

sudah di Bandung, hampir menginjak akhir semester dua saat kawan saya itu menghubungi lewat email. Pilu, itu yang saya tangkap dari pesannya. Ia mengalami apa yang disebut sebagai TKW yang kurang beruntung, begitu saya menyimpulkan. Ia bersikeras ingin pulang, meminta tolong pada saya untuk mencarikan solusi. Solusi yang tidak tahu harus saya cari di mana. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Dan kami kehilangan kontak. Beberapa tahun.

Aroma Ci saya inderai kembali. Ia muncul begitu saja di situs jejaring sosial, itu kali kedua ia ada di Oman. Rupanya, sempat pulang juga ke tanah air. Kutarik arti semua ini: ia dalam kondisi baik-baik saja.

Beberapa malam lalu, ketika saya menghabiskan beberapa saat di warnet, saya menemukan sapanya pada wall saya. Beberapa malam lalu, sebelum pagi ini saya mendengar kabar di televisi itu. Mereka memiliki nama yang sama, asal daerah yang sama, Indramayu. Dan itu cukup menjadi beberapa alasan bagi saya untuk merasa khawatir. Meskipun saya tidak berharap buruk sebenarnya.

Jantung saya kembali pulih. Mata saya tidak lagi memaksimalkan otot-ototnya bekerja. Entah, saya menghempaskan nafas lega. Mensyukuri kondisi kawan saya Ci. Bukan berarti mensyukuri kepergian orang yang namanya sama seperti Ci, bukan mensyukuri. Namun cukuplah bagi saya untuk merasa tenang, kawan saya baik-baik saja. Saya hanya terjebak, terjebak pada novel yang sedang saya baca, novel yang juga memaparkan kepedihan nasib seorang TKW

Page 125: Antologi Tulisan

125

di tanah Arab, terjebak pada kesamaan, terjebak pada suatu kondisi kesadaran diri yang belum lengkap.

Saya hanya bisa memelihara harapan, semoga Allah melindungi kawan saya. Kawan dari kawan saya itu, kawan dari kawannya kawan saya yang tengah menjalani satu bagian takdir menjadi tenaga kerja di luar negeri sana.

19 Januari 2011

Page 126: Antologi Tulisan

126

Upah Sang Pembantu

-Adit Poer- Zhuhur di sebuah sudut kota. Orang-orang tampak

keluar dari gedung perkantoran untuk menunaikan shalat zhuhur, dan sebagiannya lagi menyusuri jalan untuk mencari santapan makan siang. Usai shalat zhuhur di sebuah masjid kantor, saya pun mencari tempat makan. Maklum, saya juga sudah lapar. Akhirnya pilihan saya jatuh pada sebuah warung nasi (warnas) yang nyempil di pinggir sebuah gang. Sengaja saya pilih tempat makan yang ini, karena mau menyesuaikan dengan isi dompet.

Tanpa banyak basa-basi, juga karena lapar, sayapun mengambil nasi beserta lauk-pauk di etalase warnas tersebut. Seperti biasa, kalau warnas yang seperti ini, bayar belakangan. Tanpa banyak basa-basi pula, saya segera mencari tempat duduk. Kalau tidak segera, bisa keduluan oleh yang lain. Makan siang memang saat-saat yang selalu dinantikan oleh orang yang lapar di siang bolong begini.

Sesaat kemudian, seorang paruh baya duduk di dekat tempat saya. Badannya agak gemuk, kumis, janggut, dan rambutnya sudah beruban. Ditambah peci beludru hitam yang sudah agak bladus. Tampaknya saya pernah melihat bapak yang satu ini. Kalau tidak salah, dia adalah muadzin yang tadi di masjid kantor.

Page 127: Antologi Tulisan

127

“Kenapa Dek? Ayo-ayo, dimakan!” Sapaannya menyadarkan saya yang tengah mengingat-ngingat siapa dia dan di mana kami pernah bertemu.

“Oo..oo.. I..iya, Pak.” Respon saya yang saat itu setengah terkejut.

Sesadar mungkin, sayapun menyantap sepiring nasi beserta telor kecap dan tumis buncis ini. Memang masih ada rasa penasaran, tapi mungkin akan lebih baik bila saat ini makanannya dihabiskan dulu. Sambil menunggu ia beres makan juga. Setelah itu -kalau sempat- mungkin saya akan mengajaknya ngobrol.

Kesempatan memang tak akan ke mana-mana. Saya sudah selesai makan, dia pun demikian. Tinggal minum sambil istirahat sejenak.

“Pak. Bapak tuh muadzin yang tadi di masjid ya?” Tanya saya penasaran.

“Hehe.. bukan, Dek. Saya cuma OB. Cuma pembantu di kantor itu.” Jawabnya sambil tersenyum lebar.

“Ooo...???” “Hehehe.. iya, saya cuma OB. Tapi kadang saya sekalian

adzan juga kalau udah waktunya.” “Hmm..” “Adek, pegawai baru?” “Eheh, bukan Pak. Saya cuma numpang shalat. Kebetulan

tadi keburu adzan, jadi saya shalat di sana.” “Ooohh. Gitu toh. Iya...iya...iya.” Balasnya sambil

mengangguk. ... “Kerjanya di mana, Dek?” Dia kembali bertanya.

Page 128: Antologi Tulisan

128

“Hehe, belum Pak. Saya masih kerja serabutan.” Jawab saya sambil nyengir. Malu.

“Ya sudahlah, kalau begitu. Terus semangat ya! Bapak duluan.” Bapak tua ini pun beranjak dari tempat duduknya, menemani seorang pegawai yang mengajaknya berangkat.

Bapak duluan...? Terkesan seperti seorang bapak bersikap pada anaknya.

Padahal kami baru saja bertemu secara tak sengaja di tempat seperti ini. Tapi itulah kesan pertama saat bertemu dengannya. Kesan kebapakan. Posturnya lumayan gemuk, beruban, mengenakan peci yang sudah bladus, dan suaranya yang sedikit serak agak berat, namun bernada akrab.

Semakin sering mampir ke warung nasi ini, saya makin mengenalnya. Entah itu ngobrol langsung dengan beliau atau dari cerita pemilik warnas ini. Pak Koes, begitulah orang-orang memanggilnya. Dia bekerja sebagai office boy (OB) di sebuah kantor yang letaknya tak jauh dari warnas ini.

Selain jadi OB, dia juga kerap menjadi marbot masjid di kantor tersebut. Orang-orang di kantornya menilai bahwa ia adalah sosok yang tepat untuk mengelola masjid kantor tersebut. Agamanya terbilang baik dan dia memiliki sifat kebapakan. Hal ini juga yang akhirnya membuat orang-orang di kantor suka mendatanginya untuk berkonsultasi mengenai masalah sehari-harinya. Masalah keluarga, anak, istri, dan sebagainya. Begitulah cerita yang saya dengar dari pemilik warnas. Selain sebagai pelanggan, Pak Koes sudah dianggap sebagai teman dekat. Itu karena Pak Koes suka membantunya dengan nasihat dan berbagi pengalaman, tapi kadang ada gilirannya juga pemilik warnas ini yang membantu Pak Koes.

Page 129: Antologi Tulisan

129

“Yaaahhh... kadang Pak Koes pinjam uang untuk keperluan keluarganya.”

“Pinjam uang?” “Iya pinjam uang. Penghasilannya sebagai OB nggak

begitu mencukupi buat kebutuhan sehari-harinya. Dia juga kan manusia.”

“Lalu, Bapak sendiri gimana? Bapak juga kan butuh uang.” Tanya saya pada pemilik warnas.

“Memang. Tapi seenggaknya saya kepengen ngebalas kebaikannya. Dia sering membantu saya. Karena ngikutin nasihatnya, keluarga saya jadi lebih akur, tentrem, bahagia.”

... Memang di kantor itu beliau hanya seorang OB, tapi Pak

Koes yang asli ternyata tidaklah seperti yang saya kira. Saya telah salah menilainya. Sebagai orang yang bergelar ‘OB’, ia ternyata lebih dari sekedar pembantu.

Pak Koes. Begitulah pria tua itu dipanggil. Pekerjaannya adalah sebagai OB di kantor. Yah, dia adalah seorang pembantu. Pembantu yang tak hanya bersih-bersih, dan mengurusi dapur. Dia adalah pembantu yang kerap membantu orang lain menemukan kebahagiaan.

Andai kita yang menjadi bosnya, berapa besar upah yang akan kita berikan untuk membayar pembantu yang satu ini?

Sebuah malam di pinggir kota

Bandung, November 2010

Page 130: Antologi Tulisan

130

Seorang Anak yang Terobsesi pada Langit

-Adit Poer- Saat melintasi pintu depan, tampak ada seseorang yang

tengah terduduk menatap lembayung di sore hari. Di sebuah sudut gedung, terdiam, menatap ke arah Barat, arah di mana matahari tampak terbenam. Saya pikir dia sedang melamun, dan entah apa yang ada di benaknya. Kenapa juga tuh anak? Is there something happen with her?

Beberapa hari kemudian, tak sengaja, saya menemukannya lagi di tempat yang sama. Seperti biasa, ia terduduk, terdiam, menatap lembayung. Kenapa lagi nih anak? Memang tak seperti kebanyakan, biasanya bagi kebanyakan orang di lingkungan sini, sore hari adalah saat yang cukup tepat untuk berolah raga atau jalan-jalan mencari makanan untuk nanti malam.

“Hey, kamu kenapa?” Dia hanya menggeleng-gelengkan kepala menjawab pertanyaan saya ini. Itu pun dengan tatapan yang tetap tertuju pada terbenamnya sang surya.

Ternyata tak hanya sekali, dua kali atau tiga kali. Acap kali sore saya menemukannya, dia hampir selalu terlihat sedang menatap langit. Ya langit, lembayung di sore hari. Dan entah kenapa, saya tiba-tiba jadi teringat sebuah lagu. “Lembayung Bali”-nya Saras Dewi.

Page 131: Antologi Tulisan

131

Menatap lembayung di langit Bali. Dan kusadari betapa berharga kenanganmu. Di kala jiwaku tak terbatas. Bebas berandai mengulang waktu. Hingga masih bisa kuraih dirimu, sosok yang mengisi kehampaan qalbuku. Bilakah diriku berucap maaf, masa yang tlah kuingkari dan meninggalkanmu. Ooo… cinta. … Hingga masih bisa kujangkau cahaya, senyum yang menyalakan hasrat diriku. Bilakah kuhentikan pasir waktu, tak terbangun dari khayal keajaiban ini. Ooo… mimpi. Judul lagunya sih “Lembayung Bali”, tapi sayangnya di

sini yang ada hanyalah “Lembayung Bandung”. Hari pun telah gelap. Ini saat yang tepat untuk

beristirahat. Sedangkan saya masih menjemur cucian. Lumayanlah, daripada besok tak sempat. Mungkin lebih baik malam ini saja saya mencuci baju. Tiba-tiba ponsel saya bergetar dua kali. Siapa ya, malam-malam begini nge-SMS?

“Look at the sky! Its beautiful.” Saya tahu siapa pengirimnya. Dan saya baru tahu kalau

dia tak hanya suka memandang lembayung senja, tapi juga

Page 132: Antologi Tulisan

132

kerlip bintang dan birunya langit di malam hari. Hmmhh… impian apa yang sebenarnya ia simpan pada sang langit?

Malam ini memang tak tampak mendung. Tampak bintang-bintang memancarkan cahayanya. Juga rembulan yang tampak lembut bercahaya seakan menerangi bumi.

Ternyata ada ya anak yang seperti itu. Seorang anak yang terobsesi pada langit.

Usai gerhana di sebuah kolong langit.

Bandung, 26 Juni 2010

Page 133: Antologi Tulisan

133

Bagi-Mu Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang

-Eko Putra N- Malam lagi Pagi lagi Siang lagi Malam lagi Begitulah hidup... Selalu berjalan dan berputar di atas relnya yang kian

hari kian rapuh, tapi yang saya rasakan sama. Alam menjadi payung bagi setiap mahluk, menemani dan

memberi untuk setiap insan yang membutuhkannya. Dan apa yang membuat saya tekadang sempat berpikir

"jenuh" dan sempat berpikir kesakitan itu hanya satu hal... Satu perkara saja kawan, yaitu sesak di bagian dada

sebelah kiri… entah kenapa... Mungkin sesuatu yang enggak melengkapi jiwa... Atau

mungkin sesuatu penyakit, mungkin juga hal-hal simple sebenarnya..

Tapi justru dari ke-simple-an ini lahir sesuatu yang sukar...

Oh Tuhaaan...

Page 134: Antologi Tulisan

134

Mungkin saya masih dilindungi dan Engkau masih menginginkan saya seperti ini... Saya bahagia karena Engkau...

Tapi... Saya berdoa untuk memperoleh semacam obat atau solusi dari hasrat yang entah apa ini.. Saya sendiri enggak tau... Di tengah dilema pertemanan dan sisi kepemimpinan, apakah saya harus merelakan ini? Membiarkan saya sendiri yang menanggung... Karena teman itu sesuatu yang paling sukar...

Tuhan... Ampuni hamba-Mu ini. Di tengah kelalaian saya, saya masih mencoba untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi-Mu. Maafkan hamba-Mu ini... Hanya bisa memintaaa...

Dari sebuah ciptaan-Mu yang maha indah dan maha terang, menyilaukan hati ini Tuhaan. Hamba silau.

Merobek hati yang selama ini tergembok kesakitan berkat sinarnya. Gembok ini mencair layak lilin..

Tuhan, berikan celah dari sisi dilemanitas ini... Makin hari makin bingung untuk memulainya. Saya yang

terperangkap bayangannya. Dihantui sosok pertemanan ini. Saya hanya dan hanya berharap, seandainya apa yang dirasakan ini ikut dirasakan dirinya.

Hanya engkau yang tahu jawabanya. Jadikan hamba-Mu yang selalu patuh terhadapmu.

Bagi engkau yang menari di pikiranku... Sulit untuk menghapus rasa di atas pertemanan ini...

Page 135: Antologi Tulisan

135

Kiamat: Dunia tak Lama Lagi Pasti Hancur

-Fairest Freya- Suatu ketika, Bapak MIF Baihaqi menawarkan pada saya

dan teman-teman tiket pertunjukan teater bertajuk “Kiamat: Dunia Tak Lama Lagi pasti Hancur”. Tertarik dengan tajuk tersebut, saya dan teman-teman menerima tawaran tersebut.

Karya ini diterjemahkan dalam kata-kata yang baik. Meskipun, saya sendiri belum pernah membaca naskah aslinya, namun ini merupakan pengalaman menonton teater yang sangat berkesan. Terima kasih pada Pak MIF Baihaqi atas tiketnya.

Dari apa yang saya saksikan di Gedung Kesenian Rumentang Siang Bandung, banyak pesan yang disampaikan pada para penonton.

Penonton tak pelak lagi tidak hanya diperlakukan sebagai penonton semata dan dengan peran yang memang dimaksudkan untuk menarik penonton larut dalam kisahnya ataupun agar pesan kisah ini dipasstikan sampai ke hati para penonton.

Dalam adegan yang ber-setting di luar angkasa, penonton ditempatkan sebagai bumi yang sedang sakit, saya merasakan bahwa bumi, atau penonton diperlakukan sebagai si sakit, si sakit yang membutuhkan perhatian. Kata ‘perhatian’ kunci yang ingin disampaikan oleh para pelakon

Page 136: Antologi Tulisan

136

teater, “Perhatikanlah bumi, bumi ini yang kau diami, semua bencana alam yang dianggap sebagai ekspresinya, juga apa saja yang telah kau perbuat pada bumi, tidakkah kau perhatikan keadaannya? Tidakkah kau tahu ia sedang sakit, menderita, menangis atau menahan amarah? Tidakkah kau tahu seperti apa pandangan bumi terhadapmu yang mendiaminya? Hei, bumi ini sakit! Tidakkkah kau tahu itu?”

Adegan kosmik diakhiri dengan keputusan para ‘dewan kosmik’ untuk memusnahkan tiap ‘kutu’ yang mendiaminya dengan mengutus komet Conrad, agar ia sehat kembali. Ya, kutu, manusia-manusia yang mendiami bumi ini diberikan sebutan kehormatan sebagai kutu. Kutu yang terus mengeruk tanpa henti ‘darah’ bumi hingga susut dengan kerakusan yang dialibikan sebagai kebutuhan hidup.

Para pelakon memulai adegan baru mengenai situasi di bumi, kepanikan dan pemberitaan dari badan astronomi seluruh dunia yang mengabarkan bahwa dunia dipastikan akan hancur tak lama lagi digambarkan dengan baik oleh reporter berita yang terus menekankan, “dunia sesaat lagi akan kiamat”. Dalam setting ini para penonton ditempatkan sebagai ‘kerumunan’ yang menyaksikan berita dari reporter tersebut.

Kisah selanjutnya difokuskan pada seorang profesor bernama Guck. Ia mondar-mandir dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mencari orang yang dapat membantunya menyediakan sarana pembuatan alat untuk mengatasi kedatangan komet Conrad. Di sini para penonton ditempatkan sebagai kerumunan, namun bukan kerumunan penonton, akan tetapi kerumunan yang tak peduli, kerumunan yang berkata “jangan ganggu aku!”, kerumunan

Page 137: Antologi Tulisan

137

yang tak mau mendengar, kerumunan yang berlalu begitu saja dari permohonan yang diajukan Profesor Guck. Miris rasanya melihat perjuangan sang profesor yang akhirnya tak kunjung membuahkan hasil. Tapi profesor tidak menyerah begitu saja ia memutuskan bahwa, setidaknya ia bisa melakukan sesuatu. Inilah yang ditekankan pada para penonton oleh para pelakon teater,

“Tidakkah kau tahu kau masih bisa melakukan sesuatu? Ya kami tahu itu tidak mudah mengingat tak semua mau peduli, tak semua mau diganggu waktunya, tak semua mau mendengar kebutuhan bumi dan berbagai macam ekspresinya, tak semua mau diam dan memperhatikan apa yang dapat diberikannya untuk bumi. Hei tolonglah, kau bisa melakukan sesuatu untuk bumi. Kau tahu itu, betapapun kecilnya, itu sangat berarti. Tolonglah… tolonglah bumi ini, kawan”.

Para pelakon membawakan adegan terakhir, adegan yang menyatakan bahwa komet Conrad tidak melaksanakan perintah ‘dewan kosmik’ untuk membersihkan kutu bumi, ia jatuh cinta, jatuh cinta pada bumi. Pesan dari para pelakon untuk penonton, “cintakah kau pada bumi? Aku mencintainya”. Hal ini digambarkan jelas pada penonton melalui dialog Conrad, sang komet. Ia mencintai bumi dengan segala sesuatu yang mendiaminya. Ia tahu dan mengerti betapa besarnya perlindungan, kerendahan hati, dan cinta tanpa pamrih yang diberikan bumi pada manusia.

“Aku mencintai bumi ini, kawan. Aku tahu kau juga mencintainya… Tunjukkanlah itu kawan… Tunjukkan betapa besarnya rasa cintamu itu pada bumi”.

Ya, tunjukkanlah rasa cintamu pada bumi.

Page 138: Antologi Tulisan

138

Lima Belas Dua.. Lima Ribu.. Lima Ribu…

-Muna Fatimah-

Sebuah cerita tentang perjuangan para pedagang..

Teriakan ini yang mewarnai sepanjang area Gasibu dan sekitarnya, dari mulai Gedung Sate sampai Monumen Perjuangan di depan Universitas Padjadjaran Dipati Ukur, penuh dengan berbagai macam teriakan harga.

Dan teriakan ini yang kami suarakan, setelah sekelompok ibu dan anak mendekat,

“Dipilih.. dipilih..! Kemejanya! Kaosnya! Celananya! Roknya! Ayo ayo!”

Seorang ibu mengacungkan rok dan berkata, “Lima ribu?” “Huaa.. Ibu teu tiasa atuh1, belum dapet segitu mah, itu

roknya Aira2, Bu, bagus loh Bu!” Keliatan banget tu muka si ibu mupeng gitu, tapi tetep

aja, nawarnya ngotot, padahal udah bolak–balik, hihihihi… “Udah murah bu! Sepuluh aja, gak kemahalan Bu, bagus

roknya Aira.” Eh.. si Ibu pergi lagi. “Ibu sayang ni roknya… Nanti keingetan terus loh Bu!”

Alhasil akhirnya dibeli juga. Hahaha… berhasil. Teriakan kembali dilancarkan,

Page 139: Antologi Tulisan

139

“MURAH.. MURAH! BAGUS.. BAGUS! KEMEJA, CELANA, ROK.. SEMUA ADA! LIMA BELAS RIBU DUA! AYOOO!”

“Baju Imlek, Palentin ayoo..!” seru kami sambil mengacungkan baju ala Cina. Maklum berhubung hari ini tahun baru Cina yang juga tanggal 14 Februari. Kami menaruh kerudung di kepala, selendang di leher, rompi, baju ditempel di depan badan, siapa tahu yang lewat-lewat tadinya ngerasa tuh baju jelek, pas liat dipake sama ‘model’ ternyata bagus, jadi tertarik beli deh. Hehehe..

Strategi ini memang lancar. Seorang ibu mendatangi salah satu ‘model’ kami.

“Liat dong, kerudungnya yang di kepala!” “Boleh Bu, silakan!” “Murah Bu, lima ribu aja!” ujar kami lagi. Sang ibupun mengorek-ngorek sakunya, lima ribu rupiah

meluncur berpindah tangan “Makasih, Bu! Liat-liat yang lainnya Bu, mari!” “Ahh.. ini aja! Nggak da warna lainnya sih!” “Ini B,u putihnya!” Kami menawarkan warna lain. “Nggak ah, kucel!” sahut si Ibu. Dalam hati kami berujar,

lima rebu aja minta kinclong… ckckkckckk sabar, sabar… pang laris3!

Lalu pelanggan pun berdatangan. Wuuaaa… ternyata benar yah, ORANG SABAR PASTI MENANG.

“Mari Bu , Pak, lihat lihat dulu, dipilih aja!” Seorang bapak mengacungkan celana “Berapa?” “Celana sepuluh ribu aja pak!” jawab kami. Lalu sang

bapak mengukur dengan panjang lengannya.Kami melihat, yah sayang… sepertinya gak muat di lengan sang bapak.

Page 140: Antologi Tulisan

140

“Duh, sayang kekecilan nih celananya!” celana itu ditaruh lagi deh.

Datanglah seorang kakek pilih-pilih kemeja dan jatuhlah pada satu pilihan.

“Wuah Kakek pintar pilihnya, pas banget Kek! Ayoo satu lagi! Lima belas ribu dua biji, Kakek”

“Yang mana lagi yah?” ujar si kakek. “Yang ini Kek!” kami memberikan kemeja warna kuning

dengan motif kotak-kotak nan cerah. “Aduh terlalu gaya itu mah!” “Bagus kok Kek! Tu.. Pantes kok!” Akhirnya diambillah itu kemeja. Ihihi… si kakek nyentrik

uy!! Bagus –bagus kemeja yang dipilihnya. Tanpa banyak kata, sang kakek memberikan selembar

sepuluh ribu dan lima ribuan. “Wuaa.. makasih Kakek!! Datang lagi ya…” Hebat betul

tanpa banyak kata dan tawar, mungkin itulah bedanya kakek kalem dan nenek yang suka menawar. Hihihi. Tak lama datanglah seorang ibu dengan suaminya, ia memilih-milih semua kerudung payet. Dipilihnya sampai empat buah. Lalu diacungkanlah kerudung itu ke kami. “Sepuluh yah?”

“Aduh Ibu, kerudung satu buahnya lima ribu…” “Aduh udah deh, biar cepet! Sepuluh yah?” “Ibu empat buah berarti dua puluh…” “Aahh.. sepuluh yah?” si Ibu masih tetap sama

penawarannya. “Biar jadi lah, Bu. Lima belas saja, khusus buat Ibu.” “Aahhhhhhhhh… Ya udahlah naik dua belas yah?”

Page 141: Antologi Tulisan

141

“Belum bisa Ibu, udah muraaah banget itu harganya…” Dalam hati kami, kami bilang begini: sok aja cari ke pasar payet gitu, bagus pula, enggak ada yang lima ribu juga! But.. slow down baby!!

“Ya udah deh naik lagi dua belas setengah yah?” “Ibu… udah murah lima belas aja!” “Tiga belas deh?” “Lima belas” “Tiga belas?” “Ya udahlah biar jadi, empat belas, seribunya buat

minum, Bu!” “Tiga belas, saya juga buat ongkos! Tu malah sepuluh

ribu! Pah minjem Pah, seribuan!” si Ibu pinjam uang ke suaminya.

“Udah Bu, jadiinlah empat belas saja!” suami si ibu sampai mencolek dan memberi seribuan dan berkata,

“Udahlah!” hahahahaha… yes dapet! Empat belas ribu! Seterusnya begitu sampai mataharipun meninggi,

preman-premanpun melancarkan aksi dengan ‘karcis kebersihan’. Satu orang… dua orang… Alhamdulillah ternyata dua saja, minggu kemarin sampai tiga kali, masing-masing karcis seribu rupiah. Lumayan mengurangi untung kami, huhuhu.

Matahari kian meninggi, panas banget, gosong sudah kami semua, lapar pula, akhirnya kamipun beriat pulang dan mulai packing. Eh, setiap masukin baju ada pembeli. Akhirnya kami keluarin lagi, ada lagi, masukin lagi, keluarin lagi. Stop ah! Panas dan capek sekali. Kami pun pulang dengan kulit gosong dan sunggingan senyum di wajah karena dompet menebal. Hehehehehe… :D

Page 142: Antologi Tulisan

142

Sekian perjuangan kami untuk menghidupi buah hati kami ini.

14 Februari 2010

1 bahasa Sunda: gak bisa dong bu! 2 salah satu tokoh di sinetron Cinta dan Anugerah 3 bahasa Sunda: biar laris

Page 143: Antologi Tulisan

143

My Mother, My Inspiration

-Mutia Ramadanti N-

Bismillahirahmanirrahim.. Kisahku akan dimulai dengan kisah ibuku.. Mengapa ibu? Karena seorang ibu adalah tokoh yang

berperan dalam pembangun peradaban. Peradaban suatu bangsa dimulai dari keluarga. Keluarga yang di dalamnya ada seorang wanita yang berperan menjadi istri solehah dan ibu yang mendidik anaknya sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits. Dengan mendidik anak agar menjadi generasi penerus bangsa, berarti seorang wanita (yaitu ibu) telah banyak berkontribusi untuk memajukan peradaban.

Ibuku tak pernah lelah berjuang. Berjuang menjadi seorang hamba-Nya, menjadi istri yang solehah, mendidik anak-anaknya, dan juga berjuang mencari nafkah. Ya, selain mejalankan fitrahnya sebagai istri dan ibu, beliau juga mencari nafkah. Beliau tak peduli seberapa jauh jarak yang ditempuh, seberapa banyak keringatnya bercucuran, dan seberapa lama perjalanan ia untuk sampai ke tempat tujuan. Semuanya itu ia lakukan untuk kami anaknya. Seperti sepenggal lagu berikut ini:

Page 144: Antologi Tulisan

144

“Ribuan kilo jalan yang kau tempuh.. Lewati rintang untuk aku anakmu.. Ibuku sayang masih terus berjalan.. Walau tapak kaki penuh darah penuh nanah.. Seperti udara kasih yang engkau berikan.. Tak mampu ku membalas … Ibu… Ibu... Ingin kudekap dan menangis di pangkuanmu.. Sampai aku tertidur bagai masa kecilku.. Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku.. Dengan apa kumembalas..ibu..”

(Iwan Fals – Ibu) Ibu, ibu, dan ibu.. Sebanyak apapun bintang di malam

hari, seindah pelangi yang hadir sehabis hujan, seindah lazuardi di senja kala, seluas samudera Pasifik dan Hindia, semua itu tidak sebanding dengan perjuangan seorang ibu. Ibuku seorang wanita tangguh, beliau berjuang dari Bogor-Tangerang, Bogor-Jakarta, atau luar kota lainnya dan menempuh jarak yang lebih dari 2 jam yang juga ditempuh dengan angkutan umum.

Ibu, ibu, dan ibu.. Begitu besar perjuanganmu untukku, anakmu. Engkau menemui klien di Tangerang untuk mengantarkan pesanan ekstrak sirih hasil risetmu. Riset yang kau lakukan di rumah, dengan peralatan sederhana, dan semua kau lakukan sendiri. Tetapi, semua itu kau lakukan dengan ikhlas dan demi aku dan kakak. Ibu, walaupun kami masih mempunyai ayah, tetapi engkau sangat berjasa bagi kehidupan ekonomi keluarga.

Page 145: Antologi Tulisan

145

Kau seorang tokoh wanita tangguh, cerdas, mandiri dan inspiratif. Engkau telah mampu membuktikan bahwa wanita tidak boleh tergantung pada pria. Wanita harus bisa mandiri dan membantu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Wanita yang tanpa mengesampingkan fitrahnya sebagai istri dan ibu yang harus mendidik anaknya, engkau telah membuktikan bahwa di mana ada niat, di situ ada jalan. Man jadda wa jada ! Tidak ada yang mustahil asalkan kita mau berusaha.

Berbagai profesi telah kau jalani. Di antara beberapa pengalaman kariermu yang masih kuingat adalah dosen Kimia di Universitas Nusa Bangsa Bogor, dosen di Multi Studi Indonesia, staf ahli di perusahaan yang bergerak dalam penelitian pangan, sampai akhirnya kau menemukan investor yang menyetujui proposal kerja sama untuk membuat industri kecil menengah dalam bidang makanan dan minuman. Engkau mulai merintis usaha minuman mengkudu yang dimodifikasi agar lebih menarik dan dapat dikonsumsi semua usia dan golongan. Pengalaman bisnismu pun banyak, dari multi level marketing (MLM) sampai bisnis non-MLM pernah kau ikuti. Dengan berbagai kesibukanmu itu, kau tak pernah lupa untuk membantu kami mengerjakan tugas, menyediakan makanan untuk ayah, kakak, dan aku sebelum kau berangkat bekerja. Ibuku sayang, akan selalu kuingat nasihatmu. Aku tahu dalam doamu namaku selalu kau sebut. Selembut lembutnya kain sutera tak selembut belaianmu ibu.

Ibuku sayang, aku berjanji untuk selalu mene-ladanimu. Menjadikan kau sebagai significant person dalam hidupku. Mendoakan agar Allah SWY. menya-yangimu sebagai mana kau menyayangiku. Ya Rabb, mudahkanlah langkahku

Page 146: Antologi Tulisan

146

mengejar cita-cita agar bisa membalas semua kasih sayang ibuku. Aku selalu menjadikan ibuku sebagai motivator terbesar dalam perjuanganku mencapai cita-cita. InsyaAllah jika aku sukses nanti, aku ingin membiayaimu mengunjungi rumah-Nya, naik haji bersama ayahku kelak. Walaupun hal tersebut belum bisa membalas seluruh waktu, jiwa dan ragamu yang telah kau berikan untuk merawatku. Ibuku sayang, betapa besar perjuanganmu dengan apa ku membalasnya,ibu?

Lagu “Pesona Potretmu” dari Ada Band di bawah ini kupersembahkan sebagai bentuk apresiasi atas perjuanganmu yang tak ternilai.

“Letih terlihat di wajah yang tua itu.. Tertidur pulas dalam lamunan gelap malam.. Di balik senyummu.. teguhkanku.. Terbayang potret kala engkau masih muda.. Ajarkan sebuah kata cinta dalam hidup.. Kekuatan kasihmu mampu pulihkan jiwaku yang kadang goyah.. Pesonamu masih jelasku rasa hingga kini.. Menemani hingga ku dewasa.. Derai air mata dan pengorbananmu takkan terganti.. Terima kasih ibu …” Peradaban suatu bangsa ditentukan oleh wanita. Selain

wanita yang berperan sebagai ibu, salah satu wanita inspiratif pembangun peradaban di Indonesia yang kita kenal adalah Raden Ajeng Kartini. Beliau tokoh inspiratif yang memperjuangkan emansipasi wanita. Berkat beliau lah kaum

Page 147: Antologi Tulisan

147

wanita bisa menempuh pendidikan yang setinggi-tingginya, mempunyai hak berpolitik yang sama dengan pria, dan dapat berkarier sesuai dengan potensinya. Berikut ini adalah biografi Raden Ajeng Kartini:

Raden Ajeng Kartini lahir pada tahun 1879 di kota Rembang. Setelah lulus dari SD ia tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah oleh orangtuanya. Ia dipingit sambil menunggu waktu untuk dinikahkan. Ia sangat sedih dan ingin menentang tapi takut dianggap anak durhaka. Untuk menghilangkan kesedihannya, ia mengumpulkan buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan lainnya.

Membaca menjadi kegemarannya, tiada hari tanpa membaca. Semua buku, termasuk surat kabar dibacanya. Melalui buku inilah, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir wanita Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan wanita Indonesia. Ia memulai dengan mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Di tengah kesibukannya ia tidak berhenti membaca dan juga menulis surat dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda.

Berkat kegigihannya Kartini berhasil mendirikan Sekolah Wanita di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Ketenarannya tidak membuat Kartini menjadi sombong, ia tetap santun, menghormati keluarga dan siapa saja, tidak membedakan antara yang miskin dan kaya.

Pada tanggal 17 september 1904, Kartini meninggal dunia dalam usianya yang ke-25, setelah ia melahirkan putra pertamanya. Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon

Page 148: Antologi Tulisan

148

mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul “DOOR DUISTERNIS TOT LICHT” yang artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Subhanallah, begitu besar perjuangan Kartini. Di usianya yang masih muda, beliau mempunyai mempunyai cita-cita yang sangat besar yaitu untuk memajukan wanita Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih, akhirnya ia berhasil memperjuangkan emansipasi wanita.

Setelah menceritakan wanita inspiratif yaitu ibuku dan Kartini, timbul pertanyaan besar dalam benakku. Apa yang bisa aku lakukan agar dapat menjadi salah seorang tokoh wanita inspiratif pembangun peradaban? Ya Rabb, maafkanlah aku yang belum bisa setangguh ibuku, dan belum bisa segigih Kartini. Aku yang sekarang menjadi mahasiswa Psikologi semester tiga, akan berikhtiar semaksimal mungkin meneruskan perjuangan Kartini dan juga meneladani ketangguhan ibuku.

Aku insyaAllah bercita-cita membuat yayasan sosial yang dapat berkontribusi dalam pembangunan peradaban bangsa. Yayasan tersebut akan menyediakan pendidikan gratis kepada anak jalanan, advokasi kepada korban kekerasan dalam rumah tangga, konsultasi psikologi dalam bidang perkembangan anak, pendidikan dan sosial, dan berbagai cita-cita besar lainnya yang insyaAllah aku niatkan untuk mencari ridha-Nya dan agar aku dapat bermanfaat bagi orang lain.

Proses untuk mencapai cita-cita besarku itu kulalui dengan semangat. Setiap hari kubuka dengan basmalah dan bertujuan untuk ibadah dan mencari ridha-Nya. Aku selalu

Page 149: Antologi Tulisan

149

menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas yang bermanfaat untuk mengasah soft skills. Aku seorang mahasiswa yang merupakan agent of change, suatu saat nanti akan menjadi pemimpin di negeri ini. Dari kami, mahasiswa akan lahir presiden dan wakil presiden serta jajaran staf pemerintahan lainnya yang akan berjuang menegakkan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar. Tak lupa Al-Qur’an dan Hadits menjadi pedoman karena Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia dan juga karena hanya Islam-lah agama yang membawa kedamaian dan diridhai Allah..

Aku akan menjadi ibu dari anak-anakku akan berusaha mendidik mereka agar kelak menjadi generasi penerus bangsa yang akan berjuang membela negara Indonesia. Bukan hanya secara lisan anakku mengikrarkan Pancasila, dan Sumpah Pemuda, tetapi dengan tindakan nyata yaitu menuntut ilmu dalam rangka meneruskan perjuangan para pahlawan dan membangun peradaban Indonesia agar dapat menjadi negara maju yang tidak lupa akan budaya ke-Indonesia-annya.

Cerpen pertamaku ini, aku apresiasikan untuk ibuku, Nani Mulyani Nur, untuk semua waktu, jiwa dan raganya yang telah diberikan untuk merawatku dan dalam rangka menyambut Hari Ibu. Adapun tujuan khusus dari penulisan cerpen ini adalah ingin menggugah kesadaran kepada masyarakat Indonesia, bahwa siapa saja yang telah berjuang demi keluarga, masyarakat bahkan negara, dapat dikatakan wanita inspiratif pembangun peradaban. Siapapun itu, baik ibu, kakak, tante, maupun keluarga kita lainnya dapat menjadi inspirator bagi kita. Melalui cerpen ini, aku berharap

Page 150: Antologi Tulisan

150

dapat memotivasi setiap orang tanpa mengenal usia, golongan, dan profesi agar berkontribusi dari hal kecil yang dapat kita lakukan dalam rangka membangun peradaban. InsyaAllah jika niat kita baik, pasti akan ada jalannya. Dan jika kita meniatkan segala sesuatu untuk mencari ridha-Nya, setiap aktivitas pasti mendapat kemudahan. Amin Ya Rabb!

Alhamdulillaahirrabbil ‘aalamiin..

Page 151: Antologi Tulisan

151

Sajak

Page 152: Antologi Tulisan

152

Surat untuk Sahabat

-Salsabila Althafunnisa- Sahabat, saat kau menyibakkan rambut indahmu, aku tertegun dan berbisik, semoga keindahannya kau jaga, hanya untuk orang terindahmu kelak.. Sahabat, saat gemerlap pesta menyilaukan matamu, aku beku lalu membatin, kau tak mungkin ada di gemerlapan itu jika kau berpesta saat ini.. Sahabat, saat kau berjalan diiringi decak kagum para pria, aku malu dan berharap kau juga malu setelahnya.. Sahabat, saat kudengar ceritamu tentang kekasihmu, aku teriris perih, hanya membisu, takut Dia marah padamu karena kau telah menduakan cinta-Nya..

Page 153: Antologi Tulisan

153

Sahabat, saat kau tengah asyik membicarakan temanmu yang memalukan, aku berharap kau tak ada disitu, karena aku takut jikalau Yang Mengetahui segala rahasia membeberkan segala tentangmu di tempat-Nya kelak.. Sahabat, aku mungkin tak sehebat mereka yang berjuang dengan istiqomahnya, tapi aku ingin membuatmu istiqomah dengan segala ketentuan-Nya.. Sahabat, di kala bersamamu, aku penuh harap, berharap Dia menunjukkan setiap jalan-Nya yang penuh keindahan.. Dan kini, ketika pertemuan terhenti untuk waktu yang cukup lama, aku sedikit mempunyai angan-angan, kelak jika bertemu denganmu, kau telah menjadi wanita dengan perintah-Nya yang tengah kau penuhi untuk raih cinta-Nya..

Page 154: Antologi Tulisan

154

Senja Pengantar -Salsabila Althafunnisa-

Tak tertahan lagi saat senja mulai akan beranjak. Mengayuhnya kuat untuk pergi menentukan malam. Senja yang sejak tadi bertahta penuh gumpalan awan biru yang segar. Berarak menari berkejaran di langit bebas. Senja yang tadi tersenyum penuh semangat tanpa tangisannya membasahi bumi seperti kemarin. Senja kali ini memang menggoda sekali. Teramat menjaga perasaan hingga terlarut di dalamnya. Senja ini begitu putih dengan jingganya. Jingga yang berbaur dalam biru yang terhias. Tanpa sungkan, satu per satu camar pun berkicau berdansa di atas tebal awannya. Membebaskan setiap angan dalam kenyataan pagi di sore hari. Senja ini menjadi tercerahkan dengan sedikit sentuhan mentari yang masih ramah menyapa. Dengan setiap penjagaan akan kilaunya. Tak terkirakan betapa murninya warna-warna terpadu-kan di atasnya. Sebanyak tujuh yang memadukan menjadi satu warna bersih. Tak terelakan lagi cerianya, meski tanpa kiasan. Tak ada pujian yang tergunakan, karena alam pun tengah terpenuhi pujian. Senja ini adalah sebuah pengantar yang diantar oleh siang. Mengantarkan kerlip bintang yang tersimpan di balik

Page 155: Antologi Tulisan

155

jingganya kepada nyata dunia malam. Senja ini adalah pengantar yang menghiaskan segala yang ada pada hari. Senja ini adalah pengantar yang tanpa lelah menanti pagi dan bertemu malam. Senja ini adalah keindahan tak terperi yang terlukiskan oleh tangan Tuhan di atas kanvas besar lautan awan. Dan kemudian malam menggantinya.

Page 156: Antologi Tulisan

156

Musim Semi -Salsabila Althafunnisa-

Serangkai tali hati telah terikat, tapi ternyata tak tersadarkan meski bongkahan-bongkahan es pada hati telah mencair setitik demi setitik. Bolehkah sedikit ada pengakuan? Tak mengapa, hanya menyatakan saja karena yang sempat tertinggal di sini membekas, meski masih menguak tanya. Mungkin sulit, tapi pasti akhirnya akan terjawab walaupun tidak langsung. Mengenai hati yang telah berulah, maknai saja sebagai suatu proses di mana menemui ujian yang teramat berat. Dilemanya kemudian terpaparkan pada setiap ulasan senyum di wajah.

Segala kisah yang tercipta ini, meski lewat pesan yang tak istimewa menjadi senang menjalaninya. Ya, di saat taman hati dipenuhi dengan bunganya, musim semi hinggap dan saat itu pula ada yang ikut bersemi di dalamnya. Hati atau perasaannya? Pastilah telah tahu tanpa diceritakan.

Bukan tak mungkin pada musim lain tak terasakan rindunya, karena itu telah tertanam, kenangan-kenangan yang terkenang itu mudah untuk dipanggil kembali. Saat musim-musim tiba, setiap kenangan telah tertitipkan dan sangat mudah untuk memanggilnya lagi.

Sebenarnya karena setiap musim menjadi musim semi, karena sedang ada yang menyemikannya. Meski di langit hujan atau di daratan kemarau, tetap saja musim semi itu terjaga. Karena ada yang menjaga dan menyampaikan bunga setiap waktunya, menanamkan kembali pada taman hati yg

Page 157: Antologi Tulisan

157

bunganya sedang berguguran. Maka jadilah bersemi masih terus.

Tentang yang bersemi ini, mungkin tampak sulit untuk meniadakan atau menghapuskan. Tapi lalu harus kembali pada kenyataan bahwa yang tampak bersemi ini bisa menjadi duri yg tak terlihat dengan mata telanjang, maka tanganilah dengan tepat.

Dalam bersemi ini pun kadang terasakan sepi tak risaukan, karena ada yang mengisi meski tanpa kata. Jarak pun tak lagi terukurkan, apalagi waktu, seolah ingin cepat berlari menuju kesana. Karena tahu ada yang tengah menunggu dengan musim seminya sendiri. Musim semi yang tercipta di antara musim yang lain.

Page 158: Antologi Tulisan

158

Malam dari Fajar -Salsabila Athafunnisa-

Tak lagi tersimpan sudah semuanya. Dalam pekatnya malam lalu semua terungkap pada kenyataan. Pada sebuah yang menurutku masih membuat terbingungkan. Tapi malam yang memang menuntunku untuk mengurai. Malam yang menatakan kata-kata untuk kuberikan tentangku untuk suatu kejelasan. Malam yang mengungsikan segenap sedihku di tempat lain agar tak ada yang perlu dikhawatirkan. Sakit yang semakin tak terkira disembunyikan di balik tirai malam. Di balik gelapnya sehingga tak ada yang menyibakkan selain aku. Tapi malam sudah pasti tersibakkan oleh fajar di ufuk yang telah terjanjikan. Dan persembunyian akan segala itu akan terungkap. Tapi tahu dimana yang tepat mengungkapnya karena lalu fajar menuntun jua. Malam yang tak lagi berpelangi setelah hujan penuh menjadi. Terlihat kelam memang. Tapi pelangi itu sebenarnya ada, meski bagi sebagian yang ada hanya cahaya bulan yang

Page 159: Antologi Tulisan

159

berpendar. Pelangi itu sudah ada dan lalu ada di singgasananya kala hujan menjadi rintik. Malam yang dengan setiap pesonanya di setiap sudutnya. Lalu mengantarkan pada kelelapan. Di mana semua tersadar untuk berhenti terjaga karena akan ada yang menjaga. Dengan malam yang hening membuat rasa semakin kental. Dibubuhi berbagai kata yang meninabobokan. Tapi tetap mengurai hingga terjelaskan semua. Dan memang hanya malam yang merangkaikannya untukku. Meski malam pun tak tersadarkan telah disusunkan ternyata oleh fajar yang akan tersenyum dengan mentarinya, mungkin pula dengan pelanginya.

Page 160: Antologi Tulisan

160

Sebentuk Cinta untuk Adik -Salsabila Althafunnisa-

Berbilang tahun sudah kita bersama, aku mungkin merasa telah cukup mengenal kalian, tapi usia kalian yang kian dewasa justru membuatku tak lagi mengenali kalian, kalian seperti orang asing bagiku, aku harus kembali melewati tahap demi tahap mengenal dan memproklamirkan bahwa kalian memang benar adikku.. Aku mungkin tak selembut bunda, tapi iziknkanlah aku menjadi ibu kalian yang menjadi madrasah untuk kalian. Aku mungkin tak sekuat ayah, tapi izinkanlah aku menjadi ayah kalian yang selalu melindungi kalian. Dan aku mungkin tak bisa menjadi teman terbaik, tapi izinkanlah aku menjadi teman kalian saat kalian kesepian.. Berikan aku kesempatan untuk menjadi sandaran kalian, berikan aku waktu yang banyak untuk mencintai kalian dengan sepenuh hatiku,

Page 161: Antologi Tulisan

161

berikan aku celah untuk belajar menyelami jiwa kalian, letakkan aku di hati kalian meski yang paling sudut, hingga suatu saat nanti kalian dengan bangga menyebutku “kakakku” dan menjadikan aku orang yang kalian cari di saat senang ataupun sedih..

Page 162: Antologi Tulisan

162

Hari Ini -MGS Ahmad R-

Hari enggan berkompromi saat ditanya kapan istirahat sejenak sekedar menyeruput kopi di teras ‘tuk menghangatkan memori tentang kita, pohon yang tumbuh menjadi rindang bukan ilalang kawan Hari enggan berkompromi saat ditanya diskusi bagaimana liku jalan ini hanya terus melaju tanpa dendangan lagu adalah pilihan kita untuk layu adalah ketegasan kita untuk maju adalah konsekuensi jika terluka lalu berbunga pada saatnya Sayangku.. kita tumbuh dalam matahari dan terus mengindah dalam rembulan tanpa hitungan sebab angka disembunyikan tampaknya ketika kita menoleh ke belakang inilah saatnya, di sinilah terjadi aktualisasikan diri! ragu ditenggelamkan yakin dilayarkan untuk menjadi altruis tanpa noktah prejudis mereduksi represi merasakan bahagia sejati

Page 163: Antologi Tulisan

163

Kita bukan hitam putih tiada peduli dirimu melankolis, kholeris, phlegmatis, atau sanguinis sebab kita abu-abu Esok mungkin kita tiada tapi hari ini berada dan menjadi ada lalu selamanya *dibacakan di acara inaugurasi Psikologi UPI thn 2009

Page 164: Antologi Tulisan

164

Homo Membelum -MGS Ahmad R-

Sibuk, selalu dan sangat Meski terkadang penat Menggali esensi baca ensiklopedi Melangkah gradasi

2007

Page 165: Antologi Tulisan

165

Penantian Hidangan Pendidikan

-MGS Ahmad R- Saat sadar ternyata kita lapar Akan nalar Tapi realita menampar Impian yang tergambar Tak bisa disambar Ahh… Lelah kita menanti janji Dari negeri sendiri Tak dihargai

1 September 2006

Page 166: Antologi Tulisan

166

Teruntuk yang “Pintar” -MGS Ahmad R-

Selalu kita Kita selalu Selaku manusia Cerita berlalu Namun tetap Berlagak pilon

Agustus 2006

Page 167: Antologi Tulisan

167

Untuk Mereka yang Tersayang

-Kyou Riesz- Tau kah kau teman...?? dalam irama detak jantung manusia... satu nada dengan keluh jiwa... Tau kah kau sobat....?? dalam aliran bulir air mata... satu rasa bahagia terselip disana... Tau kah kau kasih...?? dalam simpul senyuman manis... satu goresan luka teriris.... tau kah kau cinta...?? dalam putaran waktu dunia... satu ingatan kadang terlupa...

20 Desember 2009

12:12

Page 168: Antologi Tulisan

168

Bayang-Bayang Senja -Raudika Lestari-

I Sayang, izinkan aku menceritakan sesuatu padamu. Suatu hari, Midas bertanya kepada Silenus: Midas: “Nasib manakah yang terbaik bagi manusia?” Silenus: “Yang terbaik berada di luar jangkauan– tidak dilahirkan, menjadi tiada. Nomor dua adalah mati muda.” Dan Soe Hok-gie pun pernah berkata: “Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah mati tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.” Ah, benarkah begitu, sayangku? Aku tidak setuju sebetulnya Namun sekarang, rasa-rasanya aku memang ingin mati Dunia ini terlalu berisik dan banyak intrik Kepala ini jadi bising dipenuhi hiruk pikuk kejadian Ah, salahkah aku merindu mati? Karena, apalah yang lebih puitis ketimbang lari dari dunia fana ini dan hidup tenang di dunia ide itu?

Page 169: Antologi Tulisan

169

II Sore ini kita duduk di depan jendela kamar kita yang kusam dan usang Kita sama-sama melihat hujan turun dari balik jendela Membasahi genting kita Membasahi taman hati kita Kita duduk bersila, berpegangan tangan Memandangi hujan Memandangi mendung Menanti senja yang tak kunjung datang Kita berdua menangis Sebab hidup tampak tiada lagi berarti

Page 170: Antologi Tulisan

170

Cerita Aku, Kamu... -Raudika Lestari-

Malamku, malam-malam sunyi Malammu, bukan malam-malam sunyi Siangku, siang-siang bising Siangmu, bukan siang-siang bising Pagiku, pagi-pagi sendiri Pagimu, bukan pagi-pagi sendiri Hariku kelabu Harimu pelangi Adakah ragamu hidup? Sebab ragaku mati Bersama malam sunyi Siang bising Pagi sendiri...

Page 171: Antologi Tulisan

171

Haduh -Raudika Lestari-

Haduh Gusti!!! Di sini selalu bising, di batok kepalaku Haduh Gusti!!! Di sini selalu ramai, di jiwaku Hingar bingar, Gaduh tiada ampun! Alfatihah tak sisakan kesan Pun sujudku tak punya rasa Masyaallah Gusti...!!! Berisik sekali di sini, di kepalaku Mau aku pecahkan saja Traaaaaaak...!!!!!!!!!!!!! Duarrrrrrr...!!!!!!!!!!! Biarkan retak, Pecah Dan musnahlah...

Page 172: Antologi Tulisan

172

Tuhan -Raudika Lestari-

Ia berjalan menyusuri jalanan panjang Aku dibawa bersama dengannya Digendong tepatnya Sambil dielus-elus Jalannya cepat, gelisah Setiap bertemu orang, ia berhenti Lalu bertanya, “Tuhanmu siapa?” “Tuhanku uangku,” jawab si lelaki necis. “Ia berikan aku kenikmatan dan kebahagiaan.” “Tuhanmu siapa?” tanyanya lagi. Sekarang pada gadis pesakitan. “Tuhanku obatku. Ia yang membuatku tidak lagi sakit kepala.” “Tuhanmu siapa?” “Tuhanku atasanku. Ia yang menggajihku.” “Tuhanmu siapa?” “Tuhanku pengetahuan. Ia memberikan alasan-alasan rasional.” “Tuhanmu siapa?” “Tuhanku aku. Aku yang menentukan jalan hidupku, tidak bergantung pada siapapun.” Terus ia tanyakan itu sampai tak ada satu pun yang ia temui. Langkahnya pun terhenti. Tangannya juga tidak lagi mengelus-ngelus tubuhku.

Page 173: Antologi Tulisan

173

“Lalu Tuhanku? Ke mana harus aku cari Tuhanku?” ia bertanya lemah. “Ah!” ia memekik. “Aku baca saja Al-Quran. Kalau baca itu, katanya aku bisa merasakan Tuhan, bisa menemukan Tuhan. Aku baca itu saja. Mungkin aku bisa merasakan Tuhan, menemukan Tuhan. Ya push?” “Miauuuu…”

Page 174: Antologi Tulisan

174

Air Mata Hujan -Risma Dwipangesty-

Malaikat tangkaplah air mataku.. aku harap langit pun mau melihatnya Jangan biarkan air mata ini terlihat oleh hujan, aku tak mau jatuh bersamanya kering di atas bumi gersang..

Page 175: Antologi Tulisan

175

Kisah Sehari dari Peminta

-Risma Dwipangesty- Tadi subuh ada biaperi bawa dagang banyak sekali Lalu ia tawarkan besuta sayang tak bisa ku minta Tadi pagi ada biduanita merdu suaranya bak kenari bersiul di awal pagi Ia lantunkan lagu hingga berat mata menjadikan aku terlelap di atas bianglala Tadi siang ada dermawan katanya bisa beri semua permintaan Namun gagal hati ini berbunga kar’na ku minta beraja datang Waktu ku lihat merpati terbang menuju sarang ku ingat ! waktu kian petang Lalu ku sandarkan tubuh di bawah bidara sambil ku rogoh koin-koin dalam kaleng karatan Kemudian seorang raja datang tampan sekali parasnya..

Page 176: Antologi Tulisan

176

bestari pula ilmunya.. lalu ia bertanya pada siapa aku bersujud? Pada Allah, yang menghadirkan malam ini setelah siang Serasa luruh keagungannya.. ia lempar aku dari bentala Namun setelah itu ku dapati ladang permata yang tak pernah dunia berikan pada seorang peminta-minta.

Page 177: Antologi Tulisan

177

Sayap Kecil Terbang Jauh

-Risma Dwipangesty- Embun bergulir menyusuri relung kalbu .. Terurai mutiara dari pelupuk surya .. Lalu .. Gelap bergelayut di sayap bayu .. Dengar langit ikut menangis .. Kala sepasang sayap Mengepak sebuah jiwa ke surga ..

Page 178: Antologi Tulisan

178

Kita Pernah Melukis Pelangi

-Intan Rahayu K- Tak ingatkah kau, di bukit itu kita pernah temukan gemintang. Gemintang yang kita tunjuk bersama-sama. Di antara mega-mega halus yang perlahan menyingkir. Di sesapan angin yang melayang membawa sejumput bisik harap-harap kita. Mungkin tak kau simpan, kehangatan mentari pagi yang kita himpun dalam-dalam. Di sudut hati-hati kita yang tertutup salju. Di pepohonan tempat kita berteduh, mengumpulkan semangat-semangat untuk kita hirup sepanjang perjalanan. Dan kita pernah melukis pelangi. Dan mungkin kau memang tak merekamnya dalam syahdu kalbumu. Warna-warna yang kita goreskan. Awan-awan kumulus yang pamit kemarin sore. Karena kau memang tak mengingat, apa yang dititipkan pada buku takdirmu sebelum ini.

11 Januari 2011 10.32 pm

Page 179: Antologi Tulisan

179

Alang-Alang -Nurul Fithriah-

Aku ingin bercerita. Cerita tentang alang-alang. Yang terus tumbuh tinggi… Walau ujungnya tak pernah menembus awan. Aku ingin bercerita. Cerita tentang alang-alang. Yang terus bergoyang tertiup angin. Walau tak ada suara yang berhembus mengalun. Alang-alang yang tak punya warna lain selain hijau. Walau angin membuatnya terus bergoyang Ia tetap teguh karena punya akar yang begitu kuat Walau tubuhnya tipis dan kecil…. Walau hanya sebuah daun tanpa batang…. Walau bentuknya yang sederhana…. Alang-alang… Tak pernah hidup sendirian… Karena masih banyak helai daun yang lain… Yang setia menemaninya… Hingga nanti hijau itu berubah menjadi coklat. Yang tertidur untuk selamanya. Hingga nanti suatu saat Akan ada generasi penerus. Yang lebih indah darinya.

Page 180: Antologi Tulisan

180

Ya, Ada dengan-Nya -Nurul Fithriah-

ketika yang baik tampak, terasa sejenak ketika yang penuh dengan keluhan, terasa lama ketika yang bahagia, terasa sesaat ketika yang kesal, dibesar-besarkan dan panjang menuai tawa, saat singkat menuai kesal, saat tak disangka menuai semangat, saat tak panen dukungan menuai kejayaan, saat butuh tindakan yang keras dan berbeda harapan itu ada harapan itu nyata harapan itu langkah awal harapan itu perlu diwujudkan dari-Nya hanya untuk-Nya dan semua karena-Nya

Page 181: Antologi Tulisan

181

Aku yang Tak Mampu Lebih dari Ini

-Nurul Fithriah- Maafkan aku, yang tak mampu memperlihatkan pelangi di bawah rintikan hujan gerimis dan sorotan cahaya matahari Maafkan aku, yang tak mampu memberitahumu ada suara angin lembut yang menyapa dalam badai Maafkan aku, yang tak mampu berkata padamu ada satu bintang yang berpijar dalam mendungnya malam Maafkan aku, yang tak mampu bernyanyi untukmu lagu indah dan menyejukkan dalam gerakan awan hitam Maafkan aku, yang telah membuat resah dan gundah karena kesamaran dalam kesulitan Maafkan aku yang hanya mampu........... bergumam sendiri, tanpa mampu mengatakan padamu.... -Aku yang tak mampu lebih dari ini-

Page 182: Antologi Tulisan

182

Arsiran Warna -Toto Setiadi-

Riak-riakan semua berkumpul Pada perhatian malam yang telah larut Belum usai cerita tadi siang Tentang pertarungan warna legal dan penentuan pemenang yang ditunda karena lelah Pergumulan ini tetap ada yang mengakar lebat dalam batin dan bermekar kuat menantang lantang Belum sampai akhir kata bertemu hati Rasa enggan yang memuncak seakan memutus Menghilang dari tanyanya Ini mereka yang berkumpul dan sedang penuh khidmat Penatnya pun lalu mengajak masuk kesana Karena ada ruang putih dalam arsiran hidupmu Menjaga kedalaman yang terlampaui dan membujuk kedangkalan yang terbuka

Page 183: Antologi Tulisan

183

Malaikatpun Menjadi Saksi

-Rini Nuraeni- Kau tahu apa yang tengah kuarungi Bukan sekedar takdir biasa Ada asa yang hadir, harapan yang membuncah Dekapan kasih yang menjadi pengabdian Jalan sunyi kepahlawanan Sepi……… Asing……. Aneh…….. Tapi tak sedikitpun menepis senyumnya untukku Kadang saat kaki ini menginjak tanah Ia terlihat agak tak rela “khawatir aku kotor”, katanya Bahkan saat aku tergores sedikit Ia kembali mengerutkan dahinya “lebih baik ibu yang mengalami,” ucapnya lirih Ia yang saat hari kelahiranku Menampakan gelora senyum tak terkira Walau belum tahu, akan jadi apa aku kelak Tetap saja diciumnya aku Bahkan…. Kala malaikat maut menawarkan pilihan Aku atau ia yang hidup

Page 184: Antologi Tulisan

184

Dengan lantang disertai perih tak terkira “Anakku,” tegasnya Tanpa berpikir panjang, ia inginkan aku hidup Rela meregang nyawa demi nafasku didunia ini Sungguh Gedung-gedung megah itu menjadi saksi Bukan hanya pemerkosaan belaka yang terjadi setiap hitungan waktu Tapi, ada wanita yang tengah menungguku di balik pintu Angin pun dalam bisunya mafhum Bahwa di balik terjalnya jalan itu Bukan hanya kebobrokan tikus negara yang terlihat Tapi, ada wanita yang berjalan jauh ribuan kilo hanya untuk bubur anaknya Gerimispun tak mau kalah hendak menjadi saksi Bukan hanya terkikisnya mental remaja akibat kecanduan Tapi, ada wanita yang rela kedinginan, demi kehangatanku Bahkan, malaikat pun menjadi saksi Di atas sajadah itu, ada wanita yang dalam sujudnya Menangis tiada henti, hanya untuk senyumku Dialah ibuku yang membuat malaikatpun cemburu. Ibuku… Yang tiada taranya. Kutitip ibuku padaMu Yaa Rahman…..

Bandung, 20 Desember 2010 Psikologi UPI 2010

Page 185: Antologi Tulisan

185

Tentang Penulis

Page 186: Antologi Tulisan

186

Adit Poer Teman-teman kuliah mengenalnya sebagai “Tukang

Roti”. Penulis lahir di Bandung tahun 1986. Semenjak SD, “manusia biasa” yang satu ini menjalani hidup di kota kelahirannya.

Penulis mulai serius menulis semenjak SMA kelas 1. Hingga saat ini, karya-karyanya sudah pernah ‘mangkir’ di mading Jurusan, buletin Insan, buletin Kronika (Salman), tugas-tugas kuliah, My Diary, dan bungkus gorengan. Kini beberapa tulisannya sedang dikumpulkan untuk dijadikan naskah buku. Doakan saja semoga ada penerbit yang mau menerima naskahnya!

Tulisan-tulisan penulis dapat juga dibaca pada blog atau note Fb-nya di:

Blog : aditsnote.blogspot.com, Note Fb : adit purana ([email protected]).

Alwin Muhammad Reza (Anbu)

Anbu merupakan singkatan dari Anak Buah. Maksudnya adalah, anak buah dari Abah Fachru, yang tak lain adalah kakek dari Alwin Muhammad Reza. Penulis merupakan angkatan 2010 dan saat ini tengah mengikuti program magang di BEM KEMA Psikologi. Ia lahir di Bandung sembilan belas tahun silam, tepatnya tanggal 3 Februari 1992 dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di Komplek Bumi Panyileukan Blok L8 Bandung.

Selain menjadi psikolog, penulis juga bercita-cita menjadi seorang entrepreuneur, penulis dapat ditemui melalui email: [email protected]

Page 187: Antologi Tulisan

187

Eko Putra Nugraha Penulis Jurusan Psikologi angkatan 2009 ini lahir dan

besar di Bandung, pada 1 Juli than 1991. Saat ini, penulis yang juga merupakan Ketua BEM KEMA Psikologi Periode 2011 ini tinggal di Rancaekek Kabupaten Bandung. Selain menjalankan aktivitasnya sebagai Ketua BEM, penulis masih menyematkan diri untuk melakukan hobinya, yakni menulis, main, nonton, dan lain-lain. Penulis juga tengah mempersiapkan diri untuk menjemput cita-citanya sebagai psikolog untuk Timnas Indonesia. Korespondensi dengan penulis dapat melalui Email: [email protected] atau 085221407776. Kyou Riesz

Eris Suci Sanditha, begitulah nama asli yang tertera di akta lahirnya. Namun, kalau kita punya banyak ruang untuk menulis nama lengkap selengkap-lengkapnya, maka akan menjadi seperti ini, Eris Suci Sanditha A.Md, S.Psi karena ia sempat mencicipi kuliah di ‘tempat lain’ sebelum akhirya mengukuhkan diri sebagai mahasiswa Psikologi UPI pada tahun 2005.

Terlahir di Rengat, 25 September 1986 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis menghabiskan masa kecilnya di beberapa tempat. Mulai dari Rengat, Bandung, Medan, Meulaboh, Jantho, Banda Aceh, Pematang Siantar, Padang, sampai akhirnya kembali ke Bandung.

Kini, penulis yang memiliki moto “sesuatu yang indah untuk dilihat, belum tentu indah untuk dimiliki" dan "setiap hal yang terjadi dalam hidup, punya maknanya. Tinggal kita saja bagaimana menemukan makna yang tersirat maupun

Page 188: Antologi Tulisan

188

yang tak tersirat." ini tinggal di Perum Sukamenak Indah Blok H-56, Kopo Sayati, Kabupaten Bandung. Korespondensi dengan penulis dapat melalui no. 022-5413688 / 022-70445614 / 081321317314.

Fairest Freya

Fairest Freya merupakan nama pena dari Widia Wardhani, yang biasa dipanggil “Widia”, tapi kalau oleh Bapak MIF Baihaqi (Ketua Jurusan Psikologi) disebut “Mbak dari Sidoarjo”, yang memang lahir di Sidoarjo, 16 Juli 1988. Penulis merupakan mahasiswa Psikologi UPI angkatan 2006. Karyanya pada antologi ini sudah lebih dulu dipublikasikan melalui jejaring sosial pada tahun 2010.

Naskah yang awalnya ditulis sebagai apresiasi ucapan terima kasih kepada Pak MIF Baihaqi atas tawaran tiketnya sempat “tak terucapkan” setelah menonton pertunjukan tersebut akhirnya dituliskan juga berkat diskusi dengan teman sesama penonton, Nurdini Amalia Shalihat dan ‘Anis’ Khoirunisa yang sukses menginspirasi penulis untuk menuliskannya dalam kata-kata. Intan Rahayu Kuswoharti

Sekilas, penulis memang tampak memiliki nama dengan gaya ‘Jawa’, namun beberapa orang sempat menganggapnya sebagai orang Padang. Padahal memang bukan keduanya. Penulis yang lahir di Indramayu, 12 Februari 1989 ini menghabiskan masa kecilnya di Kota Mangga, sebelum akhirnya memutuskan merantau mengikuti jejak kakak-kakaknya yang menyebar di beberapa kota.

Page 189: Antologi Tulisan

189

Kini, penulis menempati sebuah kamar kecil di Gg. Masjid Al-Barkah, Gegerkalong Bandung, walaupun begitu, tampaknya penulis lebih menyukai bepergian dibanding harus berdiam di kostan. Mahasiswa angkatan 2007 ini memang menikmati aktivitas outdoor, bersepeda, berceloteh, membaca, juga beberapa aktivitas sosial. Beberapa tulisannya tercecer di blog, note facebook, draft messages ponselnya, juga kertas-kertas. Kawan-kawan bisa singgah di: celotehtentanghidup.blogpsot.com, atau Intan Rahayu Kuswoharti (fb) untuk bersilaturahmi dengan penulis.

Mgs. Ahmad

Mgs. Ahmad Ramadhani, lahir 12 April 1989 di Palembang. Menyelesaikan S1 Psikologi di Universitas Pendidikan Indonesia. Berminat dalam sastra sejak SMP, lalu berkelindan di Forum Lingkar Pena (FLP) Bandung sejak SMA hingga sekarang. Tulisannya berupa artikel, puisi, dan cerpen baru dimuat di buletin sekolah, Radar Bandung, dan Pikiran Rakyat, tetapi Insya Allah akan segera menebar ke beberapa media massa lainnya. Buku cerita anaknya insya Allah akan segera diterbitkan.

Mutia Ramadanti Nur

Mahasiswi Psikologi angkatan 2009 ini aktif di beberapa kegiatan kampus. Selain menuangkan minat dalam bidang menulis, berorganisasi, bisnis, dan membaca, penulis juga meminati bidang sosial. Selain bercita-cita menjadi seorang Psikolog Sosial, penulis yang lahir di Bogor ini memiliki impian membuat sebuah yayasan sosial khususnya dalam penanganan anak jalanan dan KDRT.

Page 190: Antologi Tulisan

190

Saat ini, penulis tinggal di Jalan Geger Arum Gg. Mesjid III dan menggiati kuliahnya yang hampir setiap hari, berbisnis, dan berorganisasi.

Penulis dapat dihubungi melalui no. 0818429998 atau melalui email: [email protected]. Muna Fatimah

Penulis kelahiran Bandung, 21 Oktober 1991 ini merupakan mahasiswa Psikologi angkatan 2008. Kini, penulis yang tinggal di Jalan Terusan Buahbatu, Gg. Flamboyan 5 ini menggiati Sublimotion, sebuah komunitas film di Jurusan Psikologi yang digawangi oleh kawan-kawa 2008. Learn and grow all you can. Serve, be friend, enrich, and inspire all you can (oleh W.A. Ward) merupakan semboyan hidupnya. Selain bercita-cita menjadi psikolog, penulis mengukuhkan niat untuk mengabdikan diri sebagai dosen, sebagai bentuk penghargaannya terhadap ilmu. Penulis dapat dihubungi lewat email melalui: [email protected]. Musheinz

Full Name: Muhammad Zein Permana. Sarjana Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia angkatan '04, yang kini berprofesi sebagai musisi dan penulis di buletin Warta Bappeda Jawa Barat.

Alamat web: musheinz.blogspot.com. Niira Annisaa

Yahdiyani Ra’fahannisaa atau memiliki nama ‘beken’ Niira Annisaa ini dilahirkan di Bogor pada tanggal 16 Desember 1992. Putri pertama dari pasangan Ir. Indra

Page 191: Antologi Tulisan

191

Komara dan Tri Diyan Mulyani, S.Pd.Bio ini, memiliki hobi menulis dan mendengarkan musik.

Tahun 1998 ia berhasil menyelesaikan studinya di TK Insan Kamil Bogor, lalu melanjutkan ke SD Insan Kamil Bogor. Setelah menyelesaikan proses pendidikan dasarnya pada tahun 2004, Ia melanjutkan studinya ke SMP Insan Kamil Bogor. Di SMP satu tahun ia menjabat sebagai anggota OSIS bidang pendidikan. Tahun 2007 Ia melanjutkan lagi studinya ke SMA Negeri 6 Bogor. Selama dua tahun Ia menjadi bagian dari OSIS SMAN 6 Bogor sebagai anggota bidang Bela Negara pada tahun pertama dan Sekretaris I pada tahun kedua. Tahun 2008 Ia sempat menjadi reporter rubrik ‘Gerbang Sekolah’ pada harian Radar Bogor. Tahun 2009 ia terpilih menjadi salah satu wakil sekolah untuk melakukan siaran di RRI Bogor bersama kelima rekannya. Awal 2010 ia berhasil menjadi 15 besar peserta Coaching Cerpen kaWanku 2010 dan mengikuti pelatihan menulis cerpen selama 4 minggu di kantor redaksi majalah kaWanku di Jakarta.

Setelah lulus SMA, Ia melanjutkan studi ke Universitas Pendidikan Indonesia, jurusan Psikologi. Meski berkuliah di jurusan Psikologi, ia tetap aktif dalam menulis yaitu dengan tergabung dalam Writer’s Club Majalah kaWanku. Cerpennya yang berjudul ”Ketika Aku di Titik Terlemah” juga berhasil diterbitkan dalam buku kumpulan cerpen ”Be Strong, Indonesia! #sembilan” terbitan online publishing house nulisbuku.com pada penghujung tahun 2010 ini.

Page 192: Antologi Tulisan

192

Untuk mengenalnya lebih jauh dapat dijumpai via: Email: [email protected] Blogny: niiraniisaa.blogspot.com. facebook atau twitter: [email protected].

Nova Diasari

Seperti namanya, penulis yang satu ini memang lahir di bulan November, tepatnya di Rangkasbitung, 14 November 1989. Saat ini, penulis tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Psikologi. Sehari-hari, mojang yang terdaftar di Psikologi UPI sebagai angkatan 2007 ini menjalani aktivitas sebagai mahasiswa juga beberapa organisasi kemahasiswaan di kampus. Penulis sempat bergabung di BEM KEMA Psikologi, DPM KEMA Psikologi, LDK UKDM UPI, juga Pembinaan Anak Salman ITB.

Penulis yang memiliki hobi menulis dan travelling sembari ‘mencari makna’ kini tinggal di Gg. Geger Suni Gegerkalong dan sesekali menyempatka diri bertemu kangen denga orang tuanya di Rangkasbitung, Banten. Penulis dapat dihubungi melalui nomor 087822637448. Nurul Fithriah

Penulis lahir di Kota Sukabumi, namun sejak kecil sampai saat ini tinggal di Tangerang Selatan, kota yang saat ini sedang berkembang. Saat ini sedang menempuh pendidikan S-1 di Universitas Pendidikan Indonesia, Jurusan Psikologi, angkatan kelima, yaitu 2008. Keturunan asli Sunda, walau kadang banyak yang tidak percaya kalau penulis mengatakan hal itu.

Page 193: Antologi Tulisan

193

Raudika Lestari Penulis yang satu ini biasa disapa Dika, namun

tampaknya kini, penulis angkatan 2011 ini mendapat nama panggilan baru: Rau.

Penulis merupakan anak pertama dari 4 bersaudara. Penulis yang lahir di Tasikmalaya, pada 9 Desember 1991 ini memiliki hobi nonton, nulis, juga baca, terutama membaca Detektif Conan. Ia menyukai MU, Nadal, dan Park Yuchoon. Juga pengagum seorang aktivis tahun 60-an, Soe Hok-Gie. Kini, penulis yang bercita-cita menjadi penulis, psikolog, jurnalis, guru, dan sutradara ini sedang melanjutkan studinya di jurusan Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia juga mengakrabi beberapa organisasi, seperti DPM KEMA Psikologi, Pembinaan Anak Salman dan sebuah klub jurnalistik.

Rini Nuraeni

BBB (Bertahap, Bertingkat, Berkelanjutan) adalah motto dari penulis yang satu ini. Terlahir di Kota Tasikmalaya pada tanggal 13 Juli 1992, penulis banyak menghabiskan waktu untuk melakukan kegemarannya yaitu menulis dan travelling. Penulis angkatan 2010 ini bercita-cita menjadi orang besar di dunia dan sukses baik dunia maupun akhirat. Risma Dwipangesty Risma Dwipangesty merupakan penulis yang berasal dari angkatan 2007. Kini, ia menetap di Bandung, setelah sebelumnya sempat tinggal di Kota Sukabumi. Menulis menjadi kegemarannya semenjak sekolah, yang kemudian

Page 194: Antologi Tulisan

194

mengantarkannya masuk ke organisasi kepenulisan, Forum Lingkar Pena.

Penulis yang berkonsentrasi dalam penulisan sajak atau puisi ini telah menghasilkan banyak karya yang dapat dinikmati lewat facebooknya. Atau, untuk menyapa penulis ini dapat melalui nomor ponselnya, 085722159200.

Salsabila Althafunnisa

Salsabila Althafunnisa merupakan nama pena yang digunakan oleh Eka ‘Eky’ Hertika Rizky. Mojang Psikologi angkatan 2009 ini dari lahir sampai tumbuh dewasa tinggal di Jakarta. Sementara kuliah di Psikologi UPI, penulis menempati sebuah rumah kostan di daerah Geger Arum I.

Penulis yang lahir pada 29 Agustus 1991 ini mengikuti beragam aktivitas di kampus, dari BEM sampai redaksi majalah dinding di Jurusan. Korespondensi dengan aktivis satu ini bisa melalui nomor 085722741985. Taufik Ginanjar

Penulis yang satu ini tengah berkonsentrasi mengelola blog pribadinya, yaitu di: my-profetic.blogspot.com. Selain itu, ia juga berkutat di program magang BEM KEMA Psikologi, juga LSM. Terlahir di Bandung pada 23 November 1991 dan bertempat tinggal di Jalan Banjaran 52 Pameungpeuk.

Di samping membaca, berorganisasi dan berwirausaha menjadi kesukaannya hingga ia meniatkan diri menjadi business owner dan dosen suatu saat kelak. Penulis dapat dihubungi lewat ponsel (085721645064) maupun email di [email protected].

Page 195: Antologi Tulisan

195

Toto Setiadi Toto Setiadi, lahir pada hari minggu di Kota Kembang

Bandung, tahun 1987 bulan April tanggal sembilan belas. Mencicipi pendidikan di Kota Bandung dari mulai SD hingga perguruan tinggi. Mulai masuk di Psikologi UPI pada bulan Agustus 2006 dan berakhir ketika Desember 2010. Beberapa tulisannya hadir, dalam ruang yang tak hilang tapi enggan disentuh, kadang bermekaran dan menunggu kupu-kupu yang untuk memperindahnya. Saat ini penulis masih tinggal di Bandung (Januari 2011).