Antologi - Sebatas Tulisanku
-
Upload
alief-moulana -
Category
Documents
-
view
258 -
download
1
description
Transcript of Antologi - Sebatas Tulisanku
SEBATAS TULISANKU
“Aku masih muda, enambelas tahun baru di dunia
Aku masih muda, enambelas tahun lagi jelajah dunia”
Jemari-Jemari Lusuh
Alief Moulana (Solok, 6 September 2011)
Tersentak, melodi menepi di daun telingaku
Tubuhku telah terbujur di atas kuda bermesin
Tak terlalu merdu, namun merenggang lelap mimpiku
Irama bukan syahdu, terdengar sendu
Seakan menampar benakku tersadar dari gelapnya malam
Ku sampaikan lima jari tanganku
Tersirat, ku belum beri remah apapun
Namun, tetap ia petik gitar kecil coklatnya
Lagu makin keras, menggores udara
Kulihat sandangnya, kelabu, cabik, usang
Atas kumuh, bawah lusuh
Kaki kering, tulang berbalut sisa secarik tipis daging
Rambut pirang, terbakar pelita cakrawala
Wajah koreng, debu jalanan merambah pipinya
Jemarinya begitu keras, kedinginan ditelanjangi dahaga
Begitu kecil, begitu kecil
Di bawah naungan bunda, ia terlantar
Dibuang menuju jembatan panjang perjalanan hidup
Bukan dunianya
Ia tempuh ratusan kilo, mencari remah, koin, nan berserak di jalan
Berharap, ada satu masih terhanyut
Kembali kuberpikir-pikir kecil, kukeluarkan koin kecil untuknya
Tak sampai awan membenam, jari-jarinya menghampiri tanganku
Pertanda, ia terima remah dari genggamanku
Jemari-jemari lusuhnya kembali memetik gitar
Kepada satu lagi tuan nan baik hati
Kenangan Sepi
Alief Moulana (Bandung, 8 November 2011)
Ketika mendung menguasai ruang mega
Tertunduk kepala, sembunyikan muka
Guntur menderu, menyerbu
Daku luluh pada rindu dan duka
Membendung jiwa, perlahan dijajal nestapa
Lengan terbakar bergemetar dalam aluna
Simfoni melambai merasuk sukma
Berlantun-lantun di penjuru kalbu dan telinga
Degap jantung dalam resah merindu
Kini, terasa makin deras, mencambuk rupa
Mimpi buruk melintang padamu
Kan kukenang sejati di sini
Walau hanya sepi
Pengembara Padang Hampa
Alief Moulana (Bandung, 30 Juli 2011)
Lembayung nan memudar di langit menatapku curiga
Terdengar olehku hanya sayup-sayup bisikan tak menentu
Menggapai asaku, di tengah rintihan pelangi nan menjerat sunyinya malam
Kisah tak pernah berakhir, berliku memanjang di hamparan padang hampa
Kususuri setiap labuhan, namun tetap kalbu tak kuasa
Menahan tangis nan menjelma dalam kalutan kelabu di awan
Mimpiku tak berlanjut sejati
Menyemu dalam setiap langkahku, detak nadiku
Riwayat masih kuukir dalam lembaran nan masih terlalu banyak ruang hampa
Nan masih bisa kuukir dengan jutaan kalimat lagi
Kuyakini ayah dan ibu mendoakanku, untuk berjuang di sini
Melampaui nafasku, aku berjalan, laksana, bulan nan mendahului sinar mentari
Kuhanya mampu mengisahkan ruang asaku
Tanpa tahu buat apa?
Tanya berkali tanya hamba, pada pencipta
Namun, dengan kata sudut mata terdiam, Ia senyum dalam doa hamba
Bukan terkata aku tersesat di padang hampa
Namun, tersuratlah takdirku untuk mengembara
Mungkin saja, tahunan lagi, buahnya matang bersama ayah bunda
Suaraku masih menggema, terdengar hingga ujung tebing itu
Pertanda, aku masih ada dalam kisah nan masih mengalir ini
Bak air, namun lebih pelan, karena aku tak terlalu kuat berjalan lebih cepat
Bukan, aku, tapi kalbu
Entahlah
Doakan saja perjuanganku di padang ini
Untuk Dunia
Alief Moulana (Solok, 4 Desember 2010)
Langkah berderap di tengah sunyi malam
Gelap hati bercengkrama kelam
Tuhan, apakah itu malaikat-Mu?
Andai, waktu ini bersajak tepat
Izinkanlah senyap membunuhku
Laksana naungan malaikat-Mu
Memutus nadi tanganku
Hingga aku menghadap-Mu
Mimpi sepanjang anganku
Tertidur panjang di liang akhirku
Bersama jasad di teras nisanku
Ketika Sang Maut mengantarku
Rembulan di tangah malam, tetaplah bertakhta purnama
Bintang di tenggara gelap, tetaplah menunduk pada dunia
Mentari penyiang alam, tetaplah bernafas hingga surga
Arus samudera deras bawa nyawaku
Salam rindu untuk dunia
Untuk Ibunda Ayahanda Guru
Alief Moulana (Bandung, November 2011)
Kau berjalan tersapu debu pada wajahmu
Melangkah searah bebatu biru berhias lentera
Tak satu dua, kayuhan patah pada sepeda rapuh
Dua kaki kekar, bagai baja tak lapuk pada buritan
Tertatih menyelam di antara karang
Pada jiwa kosong dalam lautan asa
Kau ukir sejenjang kata emas
Kau bimbing jiwa dari gulita
Ibunda, Ayahanda Guru
Dalam ladang pikir ku bertanya, apa gerang tubuhmu bungkuk?
Seingat dahulu, dua lengan menyangga bahu tegak bak perwira
Mungkinkah beban berat nan kau genggam
Kau peluk untuk menghantar jiwa pada surga
Ibunda, Ayahanda Guru
Tak gentarkah engkau seketika ucapan kumuh dilempar
Tak sedihkah engkau seketika anakmu berpaling seusai menjarah kasihmu
Tapi, hanya senyum nan kau ungkap
Meski, di ruang sana, kau teteskan air mata
Ibunda, Ayahanda Guru
Sungguh, engkau bak pelita mega, meski bermandi hujan
Laksana berlian, meski terhempas sampan
Seumpama rembulan, meski disingkap bintang
Aku disini
Bermohon maaf atas goresan di kalbumu
Atas tangisan nan kutuai
Ampuni Hamba, pada Tuhan, jika ku durhaka pada engkau
Di selembar putih, seputih sukmamu
Surat ini berasal dari cinta anakmu
Bersaksi jamrud nan menguning, ku tulis buat engkau terkasih
Engkau, Ibunda Ayahanda Guru
Dibacakan pada peringatan Hari Guru SMA Pribadi Bandung 2011
Minggu Pukul Satu
Alief Moulana (Bandung, 8 Januari 2012)
Satu dentum jam dinding
Masuk pukul satu, sejenak siang terus menyiang
Lebat pinus di gurun terlamun bermenung
Segumpalan tanah hujan mengering
Luluh sirna pelita mengamuk di ambang pintu
Sepiring nasi basi berserak menguning
Sejumput jarahan bangsal ditinggal maling
Bendera berkibar di sayup merah putih menari
Angin bertiup-tiupan, pagi masih buritan
Sehembus nafas, pengusut rambut
Satu dentum jam dinding
Camar patah sayap mendarat, jalak pucat mendengkur
Ibu beranak pada jalan, mengemis makan, sergap recehan
Kucing anjing berlari-lari bersahutan di tepian
Anak dan bapak berboncengan, menyahut libur pada almanak
Satu dentum jam dinding
Minggu datang, Dago padat, Braga dihambat, masuk merayap
Anak tengil dalam gentar, menulis sajak bersendiri
Satu dentum jam dinding
Panas gugup bakar bara, terhembus ditiup angin
Cahaya menyesak tembus kaca, biasan dipantul cermin
Layar jenuh dimanja, sampai tiba si Senin
Mata dua dua berkaca, selanjut dari kemarin
Satu dentum jam dinding
Minggu ribut di luar, kosong sepi di dalam
Jerit menjerit anak kelabang di sudut jendela kesakitan
Minggu ribut di luar, kosong sepi di dalam
Jerit menjerit anak kelabang di mulut jendela kesakitan
Aku Dijajakan
Alief Moulana (Yogyakarta, 17 Januari 2012)
Plastik!
Bergema kembali lecutan senandung pagi
Beriak datang, memegut pilu, daku terjaja
Serakan bergulung menyudut ranah, ditiup angin dijaja kembali
O, aku agaknya bersemilir buritan jua
Seribu malam aku dalam kekal kasih dewi bulan
Sembari meneguk purnama, darahku dilukis gagak semalam
Sejatinya, hening, aku tafakur di liang perih
Berkasih dengan umat, mematuk petaka di ranjang buih
Tak laku, daku berpaling badan, pada lautan hitam
Malam meretas berhektar sunyi
Purnama melengkung di ruang hati
Aku sudah lekang, dilempar pada limbah nan menghardik
Mata nan menguning. Dionggok dengan perambat lusuh
Disiram air menghardik keruh
Plastik!
Aku dijaja
Pagi
Alief Moulana (Yogyakarta, 16 Januari 2012)
Satu derajat membisu
Menyesak sudut timur
Menari hingga duabelas
Khotbah Awal Minggu
Alief Moulana (Bandung, 8 Januari 2012)
Menikam murka
Layaran merah, paras rekah
Minggu menyiram bara
Minggu rasuk tungku dusta
Retak bumi, nafas sesak berduri
Selangsung mentari senja hingga fajar berlari
Sejuk berkhotbah, legam menyulam duka
Aku Hanyalah Aku
Alief Moulana (Yogyakarta 10 Januari 2012)
Berdengung menggugat petang
Selaksa embun kematian angkuh menyakitkan
Lafadz-Nya Agung berhias di sukma dalam hening
Lampion kuning meneguk keruhnya murka, paras kelam menusuk meraju
Pimpinlah zikirku, dengan aroma kasih, dan senar kata
Engkau tegak tertawa mencicipi lukaku
Hamba terbaring memuja mentari nan lupa mandi
Melambung benak dalam alunanmu
Inginku pulaskan raga, namun tak kuasa mata berlama
Lembar kosong menghadap celah jiwaku sunyi
Melintang pikirku ditelan arus batuan karang
Di penghujug gerbang daku bersinar, pujangga malang
Aku hanyalah aku, bukan pelita bukan laksamana
Aku hanyalah aku, untuk membendung duka nestapa
Aku aku
Buyar
Alief Moulana (19 Januari 2012)
Masih berselimut mimpi
Kupejamkan dua bola mata nan lelah menjamu hari-hari seteru
Lambat melambat ku hirup udara hembusan lengkung bintang
Menuju simpul mimpi pada alam keranjang imaji
Sang jantan berkokok, daku masih bernafas di bumi nan gemetar
Kubersaksi horison pucat, memutih di ujung ufuk
Kukepal lima jari kanan, menghempas pondasi runtuh menimpa diri
Runtuh, gemuruh kubakar dengan bara kusapu dengan air mata
Aku masih jauh dari cita bunda
Aku berkelam jiwa raga
Sejenak Malik menunggu di Jahanam
O, mimpiku buyar, dihujan angin pantai luka
O, aku gusar, meraju lamun di tepian nestapa
Ah, awan berbinar, mencumbu tawa dari surga
Berakhir
Kepada Gelap
Alief Moulana (Yogyakarta, 26 Januari 2012)
Kusemai dedaunan belukar di hutan-hutan gagu
Dalam harap kian menyamar, kubertahan satu kaki pada bumi
Menggelora seutuh jiwa diiring merpati penyubur layu jati
Coretan kelam menghempas pada samudera nan terkikir
Merekah pada secuil tanah nan layu
Senandung mati, melati mekar bunuh diri
Sungguh, kubingung pada jemari
Kutulis ukir namaku
Dua berdua huruf, satu satu menyapu kata
O, malam tinggalkan bulan
Menjauh bersemi dedaunanku, payah disemai selagi permai
Menyusur jalan pelita padam, berujung tajam berbisa malam
Menusuk cemara nan melambai, menunduk pada bintang, bercumbu dengan angin
Ikut dengan irama lagu malam, ngungun terdengar
Mentari lelap tidur berselimut
Hingga nanti berkesudahan kisah ini
Melapuk pada ragi-ragi benci
O, habislah gelap!
Surga
Alief Moulana (Yogyakarta-Bandung, Januari-Februari 2012)
Air deras selurus arus, berucap zikir menghamba pada Sang Rabb
Malaikat menari lelap dalam pangkuan Ilah, di bawah ranting gemuruh angin
Setan terperangkap jerat dalam liputan bara api nan melenggam padang
Selautan hidup tahu merpati dan dara bercumbu berdua
Semilir romansa mengudara menjalin benang kasih Malaka
Bidadari berkerudung kembang bersimfonian lagu manja
Malam dan siang berkasih-kasihan
O, lautan mengering, surut pasang di tengah bulan
Pelaut menyeru wajah berseri, menabuh gendang buritan
Senja menguning, petang bersua kemerah-merahan
Sambutlah petang dan malam
Bersenandunglah menebus dosa
Lelaplah di surga
Tepian Parangtritis
Alief Moulana (Bandung, 1 Februari 2012)
Memori
Tersandung kakiku pada permadani di tepi labuhan
Langkahku berat dibayangi awan lautan nan kelam
O, ombak menghardik umat, menghanyutkan karang tepian
Nyiur melambai, sujud meretakkan bumi
Permata cakrawala menyingkap dari bilik hujan
Pelangi takut, mentari di singgasana
O, ombak menghempas buih biru langit
O, ombak menyapa pinggiran rambutku
Sepucuk bunga menghantar mentari siang
Burung labuhan menyerta datang
Gelombang sengak jatuh di atas dahan
O, ombak berdeburlah!
Gerimis
Alief Moulana (Bandung, 15 Februari 2012)
Langit mengguyur dahan dedaunan
Sekelabat awan menyandang butir tangisan
Bangau pundung enggan keluar sangkar
Tangis merintih menyulang nyiur beranda
Kerbau menangis berkubang tanah melebur
Kumbang dan cecak berselimut lail, bertabur petang
Senja gaharu
Mendung bermandi telaga
Menyapu buih samudera jiwa
Memeluk Lembar Putih
Alief Moulana (Bandung, 3 Oktober 2011)
Kudekap lembaran yang kau titip di tangan layuku
Masih puti dan suci walau lama dipilin waktu
Mengiring langkah jejakku
Engkau dengan suci kasih menyapa jiwaku nan gemetar
Mengurai ucap jalinan tulus, tepat di dahan telingaku
Kubuka, ia masih berdetak sunyi menahan rindu nan masih teruntai
Jujur saja, pada engkau permata jamrud nafasku
Seiring kulukis puisi nan memeluk tanganku, kuingat namamu
Kuingat
Lembayung melengkung disambut elegi, entah apa
Begitu kuuntai katamu
Maaf jika tak mampu kuucap di samping bibirmu
Hanya melalui sajak nan baik hati
Salam peluk dariku
Kelabu Dusta
Alief Moulana (Bandung, 16 Oktober 2011)
Dulu
Kau menghembus nafas di tepi daun telingaku nan membeku
Kau ukir rangkai huruf namaku di lembar sajakmu
Kau masih menyentuh kasih nan terhempas kelamnya masa
Kau masih diam di sana menyeruak kabut membendung angkasa
Ah, gagak-gagak berdarah menyerupai permaisuri paduka
Awan-awan kelabu berduluan membumbung tepian surga
Benar entah salah mengais pikirku
Tanpamu, resah tanpa ubah, dusta meraja
Tak seberkaspun sinar ditangkap ceruk mataku nan sayu
Tak setetespun embun nan menetes gersang jatuh di pikirku
Tak sepenggal pun kata nan pantas menyelubung dustaku
Aku meruak
Tanpamu
Tak pantas dipilih angin
Tanpamu
Tanpa sajak
Tanpamu
Legamlah senja nan temani pelitamu
Sungguh, hanya memecah sunyiku dalam kelabu
Tak mengubah petangku nan memudar
Kaku membisu di liang kabut kelabu
Hanya hening dan sebekas darah
Kini, aku
Lebur dalam kuas
Kini jiwa
Hampa tanpa ruas
Air Mata di Ambang Maghrib
Alief Moulana (Bandung, 15 Juli 2011)
Bidadari di luar masih mengepakkan sayap, meski satunya patah dirobek daun nan mengering
Setelah deraian tinta air mata berlalu petang ini
Mentari mulai tidur dalam heningnya ambang maghrib
Bunga-bunga dan kembang kemarau senantiasa mekar di padang luas
Pukul empat berlalu, menjelang akhir suratan hari ini
Jeritan kalbuku mulai menepis kegelisahan
Darah ku pun mulai enggan menepi
Mengejar sayup sayup jerit nan masih resah menggema
Azan lekas berkumandang
Daku nan terbaring setengah maut masih terpejam dalam peti ini
Terasa, derasnya pompa jantung mulai melambat serupanya
Tangisan masih menyulam memoriku
Sang permata ribuan kilo sudah
Permata, tunggulah ragaku satu purnama lagi
Setelah malam ini larut
Pesan Merpati Duka
Alief Moulana (Bandung, 2011)
Kabar muncul menepuk ingatan
Setiap mengais kenanangan permata yang diukir dulu
Memudar dalam kelabu paras nan merasuk pikirku
Engkau membuaiku dalam kenangan, namun begitu singkat
Pesan-pesan duka dikecupkan merpati di telingaku
Mengoyak batinku, menggemparkan saksi piluku
Ah, sudahlah
Engkau masih ada sejati dalam memori dan kalbu
Setetes air mata pengiring jenazahmu
Setetes Tinta Buat Ibunda
Alief Moulana (Bandung, 3 Oktober 2011)
Tersisa setetes tinta nan bisa lukis aku dibalik murung mukaku
Ketika nafas mulai tersengal dan tangismu terisak-isak
Engkau begitu berat melihat anakmu lagi berjalan
Menyongsong rerumputan pagi yang masih wangi
Hanya satu purnama, bujangmu kembali dari masa perak
Namun lagi, lepas duka, di tengah ambang pintu istana kita
Bermaam-malam, sungguh menanti kembali ke istana kita dahulu
Tak sadar, terkadang ku tidur beralas air mata
O, Ibunda
Doakan aku selagi mengembara, ikhlas tanpa kata apa-apa
Bagai nan kau rangkai dahulu kala
Buat Garuda
Alief Moulana (Bandung, 22 November 2011)
Duapuluhsatu November lalu, Gelora Bung Karno
Engkau saksi, kejam dan pahitnya nasib bangsa ini
Dilenyapkan oleh bangsa negeri seberang
Mereka mendobrak batinmu, sebagai bagian bangsaku bangsamu
Sang garuda lama lengah dan tumbang
Dalam berjuang menjejal kehormatan
Oh, sayapnya dipatahkan Sang Harimau Jiran
Bulunya rontok, satu persatu gugur di muka lautan
Dua maritir gugur terbunuh
Oleh bangsanya sendiri, nan murka buat mendobrak pagar Bung Karno
Untuk menjadi saksi terpuruknya garuda dan PSSI
Pilu menjelma jadi angis histeria
Hari ini, mereka dipulangkan, menjauh dari apa nan sepakbola buat bagi mereka
Doaku pada Tuhan
Adakah?
Tulisan Seorang Pemuda
Alief Moulana (Bandung, Oktober 2011)
Patriotik gugurkan dedaun ketakutan
Nasionalisme mengokohkah tonggak agung keyakinan
Persatuan mempertebal lapisan hasratnya
Tatkala, jalan liku bebatuan dilalui gontai
Satu per satu maritirku gugur dilucuti serdadu hitam
Yang lain malah menggelegar bringas bak macan hitam
Hutan pepohonan, buas dilewati permata zaman
Menembuh batas kuasa tangan penjajah
Hingga
Gugur semua di ladang darah
Berabad-abad umat bangsaku musnah
Di masa nan kian keras, putra putrimu berikrar di tanahmu
Ikatan suci lambang batin merdeka diserukan
Hingga, kolonial pulang banting senjata
Tak ada tembakan, tak ada ledakan, tak ada granat
Oh, sudah puluhan tahun lalu
Bangsaku hanya sepenggal dari kenangan dulu
Berteriak merdeka hanya simbol Agusutus nan ditinggikan
Kini hanya nafas nan tersengal nan berani bersuara
Lainnya, selayaknya putus asa tak berharap jua
Tuhan
Apalagi cobaan?
Ambon? Poso? Aceh?
Akankah menjadi peledak keruntuhan negeriku?
Putra putrinya mati di tangan biadab berselimut belang
Belang di dalam lain di luar
Menyeruak di tengah umat
Kini daku sebagai pemuda
Berhening kembali dalam duapuluh delapan Oktober
Diam dalam cita dan mimpi
Hanya untuk kembali mengenang maritir bangsaku
Hanya janji tak pasti nan berat kuletuskan
‘Aku dan bangsaku akan merdeka’
Malam Lalu
Alief Moulana (Bandung, 20 Januari 2012)
Matahari haus bertandang malam lalu, mengisi kantong-kantong bintang
Malamku berlalu di pinggir debu, sembari kurangkul bayang bulan lewat cermin ombakku
Gemircik danau menghardik perahuku, lagi berdendang lagu-laguan
Angin malam melukis namaku, di bawah bayang purnama tepian danau kelam
Imajiku begitu di puncak, kumenepi di sudut buritan
Dengarkan daun-daun lantang pada dahan, bersenandung lagu sepi
Jembatan bambu bergetar merenggang satu-satu
Lengkung malam turun dekat horison fajar
Satu malam lagi, agaknya cakrawala dan jamrud menyatu
Kutunggu malam-malam larut
Sebatas Tulisanku
Alief Moulana (Solok, 23 Februari 2011)
Lemah mentari memuja keheningan pagi
Sejatinya, pancaran memucat ditelan kekelabuan awan
Langit hanya meronta, tak lagi mampu bersuara
Sesaat ia tenggelam di ufuk barat, dalam rona kemerah-merahan
Rembulan menyambut, tatkala ditemani bintang utara dan selatan
Di bawah cahaya, kutulis sehelai kata
Sebatas tulisanku
Haruskah kutulis dalam lembaran kelam?
Dengan tinta air mata, keringat, dan darah
Ini hanya sebatas tulisanku
Anugerah dan karunia kukemas dalam batinku
Berterimakasih kepada Tuhan sebelum kembaliku
Aku hanyalah bahagia nan damai di masaku
Dalam angan dan batas
Sebatas Tulisanku
Andai nanti, Tuhan membelai ku lemah
Di saat senja nanti, ataupun di saat malam ini
Aku tak tahu apalagi
Duabelas malam tepat menghampiriku
Dentuman setan murka di hadapan jam dinding
Seperti menertawai tulisanku
Sebatas Tulisanku
Malam berat, kulewati keras
Bagaikan berjalan di antara dua pintu neraka Malik
Aku lemah, tak lama
Setan-setan murka melantangkan pekikan
Kian keras, merasuk batin nan lapuk
Namun tulisan ini tetap harus kututup
Di malam gulita
Sebatas Tulisanku
Bongkar
Alief Moulana (Bandung, 23 Februari 2011)
Dadaku melambung direkam dentum nan meringkuk di tepi batinku
Benakku di lukis di meja pajang, di atas kanvas berduri beku
Jiwaku dijelajah, menyesak di jajar dusta dan khilaf malu
O, ragaku ditelanjangi waktu
Membongkar batinku nan di kemas rapi di rak kelabu
Rahasia mereliku tubuhku, bahkan ku tak akan tahu
Aku bisu, jiwaku dibongkar
Ah, kedok dan topeng jadilah abu
Bakarlah sisanya di perapian rumahmu nan berkelambu biru
Namun, agaknya kau lerai api dan kayu
Agar tak hanguskan khilaf dan malu
Untuk aku nan lagi termangu, dan bibirku saat membisu
Jujurlah demi malam padaku
Kau tak bisa dustai bulan, dan jangan kau rayu bintang
Hai, berbisiklah untuk detikku, meluluhkan menit, di senja hari
Aku hanya ingin jujur
Musim Sajak
Alief Moulana (Bandung, Februari 2012)
Gugurlah, gugur
Dedaunan jingga menguning, lirih menghardik ranting berjatuhan
Kuas dan secarik kanvas membujur di tepi pepohonan
Pelukis mencumbu tubuh ladang nan menghijau di musim ini
Berbaringlah badannya pada sajak nan lagi kembang
Lagi musim, kebetulan
Ah, bersajaklah semusim sajak ini!
Adakah Lagi Sajak?
Alief Moulana (Bandung, 23 Februari 2012)
Lelahkah tanganku menulis sajak?
Agar temani bahuku dalam rangkai waktu
Sanggupkah hidupku mengukir sajak?
Agar mentari jadi mega peyapu pilu
Apakah benakku terlanjur beku?
Adahkah senyum lagi buatku?
Atau hanyalah sesak-sesak kilu?
Laron melalap jantungku
Bagai alap-alap menghempas remuk
Kali ini, adakah lagi sajak dariku?
Enggan
Alief Moulana (Bandun, 23 Februari 2012)
Enggan terasa kukejap mata
Lebih baik kusimpan bait dan pena
Demi malam, lirik ini melingkup saja
Aku Masih Muda
Alief Moulana (Bandung, 20 Februari 2012)
Baru belia menyemai dunia, disinari berjuta warna lentera
Hari ini aku berpangku pada sandaran samudera
Melepas dahaga sepeninggal jejak lukis benua
Tungkaiku diterjang satu dua digolong ombak, lalu binasa
Jemari gemetar menggerutu pada buih lautan yang melengkung memahat kisah
Masih panjang liku jalanku, mengalungi tanah ini
Masih ada ribuan hutan perintang
Berjalan beribu sisa usia, entah hari atau petaka
Seenggannya, masih ada pelangiku di petang beserta senja
Dinanti bidadariku di bilik purnama
Aku masih muda, hanya sepenggal nafasku nan sesak terasa
Nan lain masih menanti relungku agar terbuka, merindu pahit, duka nestapa
Elegi dan roman akan kuterjang, dibawah pancaran sinar melintang
Aku menanti cinta dan dusta
Aku masih muda, limabelas tahun baru di dunia, limabelas tahun nanti jelajah dunia
Aku masih muda
Hari Ini
Alief Moulana (Bandung, 28 Februari 2012)
Hari ini, sungguh tak satu pun bintang kupandang, tertutup air matamu
Batinmu menangis menjerit, sedang matamu terisak-isak di ujung jalan
Akankah engkau merengkulku dari atas sana?
Hari ini jasadku dibuang dalam puing resah
Jasadmu justru dibekukan ampas lautan
Hari ini aku tertawa lugu
Sedang engkau mencabik dadaku dan talas nan kesepian
Hari ini penaku berhenti melukis, hanya mengikis pintu dan merungut
Bahuku usang dimakan rayap dan tikus-tikus kikir nan busuk
Hari ini kuharap hanya kita
Yang bercerita berdua sahaja
Khusyu
Alief Moulana (Bandung, 29 Februari 2012)
Malam, di kala mata berangsur manja, dan kupu-kupu melintas alam surga
Aku tafakur dalam damai sukma yang hidup di celah batinku
Membakar tanganku untuk menulis lebih lama dalam syair dan zikir
Tuhan mendengar sajakku untuk gurun-gurun penyejuk sukma
Malam, harum kembang mengesan sepiku
Melati dan mawar mencumbu syairku yang lagi gelisah
Gugurnya ilalang di tebing penanung samudera, menghembus rambut jangatku
Leptidoptera di angkasa malam ini, menggambar sebingkai cahaya di garis sinar purnama
Pensil warnaku menghias warna langit hari ini yang gelap kebiruan
Puncak hari berseru melaju pohon-pohon pisang
Yang disiram kabut dan debu dan dibakar abu kelabu
Hanya malam
Tafakur aku pada dosa dan surga