Antologi - Sebatas Tulisanku

41
SEBATAS TULISANKU “Aku masih muda, enambelas tahun baru di dunia Aku masih muda, enambelas tahun lagi jelajah dunia” Jemari-Jemari Lusuh Alief Moulana (Solok, 6 September 2011) Tersentak, melodi menepi di daun telingaku Tubuhku telah terbujur di atas kuda bermesin Tak terlalu merdu, namun merenggang lelap mimpiku Irama bukan syahdu, terdengar sendu Seakan menampar benakku tersadar dari gelapnya malam Ku sampaikan lima jari tanganku Tersirat, ku belum beri remah apapun Namun, tetap ia petik gitar kecil coklatnya Lagu makin keras, menggores udara Kulihat sandangnya, kelabu, cabik, usang Atas kumuh, bawah lusuh Kaki kering, tulang berbalut sisa secarik tipis daging Rambut pirang, terbakar pelita cakrawala Wajah koreng, debu jalanan merambah pipinya Jemarinya begitu keras, kedinginan ditelanjangi dahaga Begitu kecil, begitu kecil Di bawah naungan bunda, ia terlantar Dibuang menuju jembatan panjang perjalanan hidup Bukan dunianya Ia tempuh ratusan kilo, mencari remah, koin, nan berserak di jalan Berharap, ada satu masih terhanyut

description

LOLOLOL

Transcript of Antologi - Sebatas Tulisanku

Page 1: Antologi - Sebatas Tulisanku

SEBATAS TULISANKU

“Aku masih muda, enambelas tahun baru di dunia

Aku masih muda, enambelas tahun lagi jelajah dunia”

Jemari-Jemari Lusuh

Alief Moulana (Solok, 6 September 2011)

Tersentak, melodi menepi di daun telingaku

Tubuhku telah terbujur di atas kuda bermesin

Tak terlalu merdu, namun merenggang lelap mimpiku

Irama bukan syahdu, terdengar sendu

Seakan menampar benakku tersadar dari gelapnya malam

 

Ku sampaikan lima jari tanganku

Tersirat, ku belum beri remah apapun

Namun, tetap ia petik gitar kecil coklatnya

Lagu makin keras, menggores udara

 

Kulihat sandangnya, kelabu, cabik, usang

Atas kumuh, bawah lusuh

Kaki kering, tulang berbalut sisa secarik tipis daging

Rambut pirang, terbakar pelita cakrawala

Wajah koreng, debu jalanan merambah pipinya

Jemarinya begitu keras, kedinginan ditelanjangi dahaga

Begitu kecil, begitu kecil

 

Di bawah naungan bunda, ia terlantar

Dibuang menuju jembatan panjang perjalanan hidup

Bukan dunianya

Ia tempuh ratusan kilo, mencari remah, koin, nan berserak di jalan

Berharap, ada satu masih terhanyut

 

Kembali kuberpikir-pikir kecil, kukeluarkan koin kecil untuknya

Tak sampai awan membenam, jari-jarinya menghampiri tanganku

Pertanda, ia terima remah dari genggamanku

Jemari-jemari lusuhnya kembali memetik gitar

Kepada satu lagi tuan nan baik hati

Page 2: Antologi - Sebatas Tulisanku

Kenangan Sepi

Alief Moulana (Bandung, 8 November 2011)

Ketika mendung menguasai ruang mega

Tertunduk kepala, sembunyikan muka

Guntur menderu, menyerbu

Daku luluh pada rindu dan duka

Membendung jiwa, perlahan dijajal nestapa

Lengan terbakar bergemetar dalam aluna

Simfoni melambai merasuk sukma

Berlantun-lantun di penjuru kalbu dan telinga

Degap jantung dalam resah merindu

Kini, terasa makin deras, mencambuk rupa

Mimpi buruk melintang padamu

Kan kukenang sejati di sini

Walau hanya sepi

Page 3: Antologi - Sebatas Tulisanku

Pengembara Padang Hampa

Alief Moulana (Bandung, 30 Juli 2011)

Lembayung nan memudar di langit menatapku curiga

Terdengar olehku hanya sayup-sayup bisikan tak menentu

Menggapai asaku, di tengah rintihan pelangi nan menjerat sunyinya malam

Kisah tak pernah berakhir, berliku memanjang di hamparan padang hampa

Kususuri setiap labuhan, namun tetap kalbu tak kuasa

Menahan tangis nan menjelma dalam kalutan kelabu di awan

Mimpiku tak berlanjut sejati

Menyemu dalam setiap langkahku, detak nadiku

Riwayat masih kuukir dalam lembaran nan masih terlalu banyak ruang hampa

Nan masih bisa kuukir dengan jutaan kalimat lagi

Kuyakini ayah dan ibu mendoakanku, untuk berjuang di sini

Melampaui nafasku, aku berjalan, laksana, bulan nan mendahului sinar mentari

Kuhanya mampu mengisahkan ruang asaku

Tanpa tahu buat apa?

Tanya berkali tanya hamba, pada pencipta

Namun, dengan kata sudut mata terdiam, Ia senyum dalam doa hamba

Bukan terkata aku tersesat di padang hampa

Namun, tersuratlah takdirku untuk mengembara

Mungkin saja, tahunan lagi, buahnya matang bersama ayah bunda

Suaraku masih menggema, terdengar hingga ujung tebing itu

Pertanda, aku masih ada dalam kisah nan masih mengalir ini

Bak air, namun lebih pelan, karena aku tak terlalu kuat berjalan lebih cepat

Bukan, aku, tapi kalbu

Entahlah

Doakan saja perjuanganku di padang ini

Page 4: Antologi - Sebatas Tulisanku

Untuk Dunia

Alief Moulana (Solok, 4 Desember 2010)

Langkah berderap di tengah sunyi malam

Gelap hati bercengkrama kelam

Tuhan, apakah itu malaikat-Mu?

 

Andai, waktu ini bersajak tepat

Izinkanlah senyap membunuhku

Laksana naungan malaikat-Mu

Memutus nadi tanganku

Hingga aku menghadap-Mu

 

Mimpi sepanjang anganku

Tertidur panjang di liang akhirku

Bersama jasad di teras nisanku

Ketika Sang Maut mengantarku

 

Rembulan di tangah malam, tetaplah bertakhta purnama

Bintang di tenggara gelap, tetaplah menunduk pada dunia

Mentari penyiang alam, tetaplah bernafas hingga surga

 

Arus samudera deras bawa nyawaku

 

Salam rindu untuk dunia

Page 5: Antologi - Sebatas Tulisanku

Untuk Ibunda Ayahanda Guru

Alief Moulana (Bandung, November 2011)

Kau berjalan tersapu debu pada wajahmu

Melangkah searah bebatu biru berhias lentera

Tak satu dua, kayuhan patah pada sepeda rapuh

Dua kaki kekar, bagai baja tak lapuk pada buritan

Tertatih menyelam di antara karang

Pada jiwa kosong dalam lautan asa

Kau ukir sejenjang kata emas

Kau bimbing jiwa dari gulita

Ibunda, Ayahanda Guru

Dalam ladang pikir ku bertanya, apa gerang tubuhmu bungkuk?

Seingat dahulu, dua lengan menyangga bahu tegak bak perwira

Mungkinkah beban berat nan kau genggam

Kau peluk untuk menghantar jiwa pada surga

Ibunda, Ayahanda Guru

Tak gentarkah engkau seketika ucapan kumuh dilempar

Tak sedihkah engkau seketika anakmu berpaling seusai menjarah kasihmu

Tapi, hanya senyum nan kau ungkap

Meski, di ruang sana, kau teteskan air mata

Ibunda, Ayahanda Guru

Sungguh, engkau bak pelita mega, meski bermandi hujan

Laksana berlian, meski terhempas sampan

Seumpama rembulan, meski disingkap bintang

Aku disini

Bermohon maaf atas goresan di kalbumu

Atas tangisan nan kutuai

Ampuni Hamba, pada Tuhan, jika ku durhaka pada engkau

Di selembar putih, seputih sukmamu

Surat ini berasal dari cinta anakmu

Page 6: Antologi - Sebatas Tulisanku

Bersaksi jamrud nan menguning, ku tulis buat engkau terkasih

Engkau, Ibunda Ayahanda Guru

Dibacakan pada peringatan Hari Guru SMA Pribadi Bandung 2011

Page 7: Antologi - Sebatas Tulisanku

Minggu Pukul Satu

Alief Moulana (Bandung, 8 Januari 2012)

Satu dentum jam dinding

Masuk pukul satu, sejenak siang terus menyiang

Lebat pinus di gurun terlamun bermenung

Segumpalan tanah hujan mengering

Luluh sirna pelita mengamuk di ambang pintu

Sepiring nasi basi berserak menguning

Sejumput jarahan bangsal ditinggal maling

Bendera berkibar di sayup merah putih menari

Angin bertiup-tiupan, pagi masih buritan

Sehembus nafas, pengusut rambut

Satu dentum jam dinding

Camar patah sayap mendarat, jalak pucat mendengkur

Ibu beranak pada jalan, mengemis makan, sergap recehan

Kucing anjing berlari-lari bersahutan di tepian

Anak dan bapak berboncengan, menyahut libur pada almanak

Satu dentum jam dinding

Minggu datang, Dago padat, Braga dihambat, masuk merayap

Anak tengil dalam gentar, menulis sajak bersendiri

Satu dentum jam dinding

Panas gugup bakar bara, terhembus ditiup angin

Cahaya menyesak tembus kaca, biasan dipantul cermin

Layar jenuh dimanja, sampai tiba si Senin

Mata dua dua berkaca, selanjut dari kemarin

Satu dentum jam dinding

Minggu ribut di luar, kosong sepi di dalam

Jerit menjerit anak kelabang di sudut jendela kesakitan

Minggu ribut di luar, kosong sepi di dalam

Jerit menjerit anak kelabang di mulut jendela kesakitan

Page 8: Antologi - Sebatas Tulisanku

Aku Dijajakan

Alief Moulana (Yogyakarta, 17 Januari 2012)

Plastik!

Bergema kembali lecutan senandung pagi

Beriak datang, memegut pilu, daku terjaja

Serakan bergulung menyudut ranah, ditiup angin dijaja kembali

O, aku agaknya bersemilir buritan jua

Seribu malam aku dalam kekal kasih dewi bulan

Sembari meneguk purnama, darahku dilukis gagak semalam

Sejatinya, hening, aku tafakur di liang perih

Berkasih dengan umat, mematuk petaka di ranjang buih

Tak laku, daku berpaling badan, pada lautan hitam

Malam meretas berhektar sunyi

Purnama melengkung di ruang hati

Aku sudah lekang, dilempar pada limbah nan menghardik

Mata nan menguning. Dionggok dengan perambat lusuh

Disiram air menghardik keruh

Plastik!

Aku dijaja

Page 9: Antologi - Sebatas Tulisanku

Pagi

Alief Moulana (Yogyakarta, 16 Januari 2012)

Satu derajat membisu

Menyesak sudut timur

Menari hingga duabelas

Page 10: Antologi - Sebatas Tulisanku

Khotbah Awal Minggu

Alief Moulana (Bandung, 8 Januari 2012)

Menikam murka

Layaran merah, paras rekah

Minggu menyiram bara

Minggu rasuk tungku dusta

Retak bumi, nafas sesak berduri

Selangsung mentari senja hingga fajar berlari

Sejuk berkhotbah, legam menyulam duka

Page 11: Antologi - Sebatas Tulisanku

Aku Hanyalah Aku

Alief Moulana (Yogyakarta 10 Januari 2012)

Berdengung menggugat petang

Selaksa embun kematian angkuh menyakitkan

Lafadz-Nya Agung berhias di sukma dalam hening

Lampion kuning meneguk keruhnya murka, paras kelam menusuk meraju

Pimpinlah zikirku, dengan aroma kasih, dan senar kata

Engkau tegak tertawa mencicipi lukaku

Hamba terbaring memuja mentari nan lupa mandi

Melambung benak dalam alunanmu

Inginku pulaskan raga, namun tak kuasa mata berlama

Lembar kosong menghadap celah jiwaku sunyi

Melintang pikirku ditelan arus batuan karang

Di penghujug gerbang daku bersinar, pujangga malang

Aku hanyalah aku, bukan pelita bukan laksamana

Aku hanyalah aku, untuk membendung duka nestapa

Aku aku

Page 12: Antologi - Sebatas Tulisanku

Buyar

Alief Moulana (19 Januari 2012)

Masih berselimut mimpi

Kupejamkan dua bola mata nan lelah menjamu hari-hari seteru

Lambat melambat ku hirup udara hembusan lengkung bintang

Menuju simpul mimpi pada alam keranjang imaji

Sang jantan berkokok, daku masih bernafas di bumi nan gemetar

Kubersaksi horison pucat, memutih di ujung ufuk

Kukepal lima jari kanan, menghempas pondasi runtuh menimpa diri

Runtuh, gemuruh kubakar dengan bara kusapu dengan air mata

Aku masih jauh dari cita bunda

Aku berkelam jiwa raga

Sejenak Malik menunggu di Jahanam

O, mimpiku buyar, dihujan angin pantai luka

O, aku gusar, meraju lamun di tepian nestapa

Ah, awan berbinar, mencumbu tawa dari surga

Berakhir

Page 13: Antologi - Sebatas Tulisanku

Kepada Gelap

Alief Moulana (Yogyakarta, 26 Januari 2012)

Kusemai dedaunan belukar di hutan-hutan gagu

Dalam harap kian menyamar, kubertahan satu kaki pada bumi

Menggelora seutuh jiwa diiring merpati penyubur layu jati

Coretan kelam menghempas pada samudera nan terkikir

Merekah pada secuil tanah nan layu

Senandung mati, melati mekar bunuh diri

Sungguh, kubingung pada jemari

Kutulis ukir namaku

Dua berdua huruf, satu satu menyapu kata

O, malam tinggalkan bulan

Menjauh bersemi dedaunanku, payah disemai selagi permai

Menyusur jalan pelita padam, berujung tajam berbisa malam

Menusuk cemara nan melambai, menunduk pada bintang, bercumbu dengan angin

Ikut dengan irama lagu malam, ngungun terdengar

Mentari lelap tidur berselimut

Hingga nanti berkesudahan kisah ini

Melapuk pada ragi-ragi benci

O, habislah gelap!

Page 14: Antologi - Sebatas Tulisanku

Surga

Alief Moulana (Yogyakarta-Bandung, Januari-Februari 2012)

Air deras selurus arus, berucap zikir menghamba pada Sang Rabb

Malaikat menari lelap dalam pangkuan Ilah, di bawah ranting gemuruh angin

Setan terperangkap jerat dalam liputan bara api nan melenggam padang

Selautan hidup tahu merpati dan dara bercumbu berdua

Semilir romansa mengudara menjalin benang kasih Malaka

Bidadari berkerudung kembang bersimfonian lagu manja

Malam dan siang berkasih-kasihan

O, lautan mengering, surut pasang di tengah bulan

Pelaut menyeru wajah berseri, menabuh gendang buritan

Senja menguning, petang bersua kemerah-merahan

Sambutlah petang dan malam

Bersenandunglah menebus dosa

Lelaplah di surga

Page 15: Antologi - Sebatas Tulisanku

Tepian Parangtritis

Alief Moulana (Bandung, 1 Februari 2012)

Memori

Tersandung kakiku pada permadani di tepi labuhan

Langkahku berat dibayangi awan lautan nan kelam

O, ombak menghardik umat, menghanyutkan karang tepian

Nyiur melambai, sujud meretakkan bumi

Permata cakrawala menyingkap dari bilik hujan

Pelangi takut, mentari di singgasana

O, ombak menghempas buih biru langit

O, ombak menyapa pinggiran rambutku

Sepucuk bunga menghantar mentari siang

Burung labuhan menyerta datang

Gelombang sengak jatuh di atas dahan

O, ombak berdeburlah!

Page 16: Antologi - Sebatas Tulisanku

Gerimis

Alief Moulana (Bandung, 15 Februari 2012)

Langit mengguyur dahan dedaunan

Sekelabat awan menyandang butir tangisan

Bangau pundung enggan keluar sangkar

Tangis merintih menyulang nyiur beranda

Kerbau menangis berkubang tanah melebur

Kumbang dan cecak berselimut lail, bertabur petang

Senja gaharu

Mendung bermandi telaga

Menyapu buih samudera jiwa

Page 17: Antologi - Sebatas Tulisanku

Memeluk Lembar Putih

Alief Moulana (Bandung, 3 Oktober 2011)

Kudekap lembaran yang kau titip di tangan layuku

Masih puti dan suci walau lama dipilin waktu

Mengiring langkah jejakku

Engkau dengan suci kasih menyapa jiwaku nan gemetar

Mengurai ucap jalinan tulus, tepat di dahan telingaku

Kubuka, ia masih berdetak sunyi menahan rindu nan masih teruntai

Jujur saja, pada engkau permata jamrud nafasku

Seiring kulukis puisi nan memeluk tanganku, kuingat namamu

Kuingat

Lembayung melengkung disambut elegi, entah apa

Begitu kuuntai katamu

Maaf jika tak mampu kuucap di samping bibirmu

Hanya melalui sajak nan baik hati

Salam peluk dariku

Page 18: Antologi - Sebatas Tulisanku

Kelabu Dusta

Alief Moulana (Bandung, 16 Oktober 2011)

Dulu

Kau menghembus nafas di tepi daun telingaku nan membeku

Kau ukir rangkai huruf namaku di lembar sajakmu

Kau masih menyentuh kasih nan terhempas kelamnya masa

Kau masih diam di sana menyeruak kabut membendung angkasa

Ah, gagak-gagak berdarah menyerupai permaisuri paduka

Awan-awan kelabu berduluan membumbung tepian surga

Benar entah salah mengais pikirku

Tanpamu, resah tanpa ubah, dusta meraja

Tak seberkaspun sinar ditangkap ceruk mataku nan sayu

Tak setetespun embun nan menetes gersang jatuh di pikirku

Tak sepenggal pun kata nan pantas menyelubung dustaku

Aku meruak

Tanpamu

Tak pantas dipilih angin

Tanpamu

Tanpa sajak

Tanpamu

Legamlah senja nan temani pelitamu

Sungguh, hanya memecah sunyiku dalam kelabu

Tak mengubah petangku nan memudar

Kaku membisu di liang kabut kelabu

Hanya hening dan sebekas darah

Kini, aku

Lebur dalam kuas

Kini jiwa

Hampa tanpa ruas

Page 19: Antologi - Sebatas Tulisanku

Air Mata di Ambang Maghrib

Alief Moulana (Bandung, 15 Juli 2011)

Bidadari di luar masih mengepakkan sayap, meski satunya patah dirobek daun nan mengering

Setelah deraian tinta air mata berlalu petang ini

Mentari mulai tidur dalam heningnya ambang maghrib

Bunga-bunga dan kembang kemarau senantiasa mekar di padang luas

Pukul empat berlalu, menjelang akhir suratan hari ini

Jeritan kalbuku mulai menepis kegelisahan

Darah ku pun mulai enggan menepi

Mengejar sayup sayup jerit nan masih resah menggema

Azan lekas berkumandang

Daku nan terbaring setengah maut masih terpejam dalam peti ini

Terasa, derasnya pompa jantung mulai melambat serupanya

Tangisan masih menyulam memoriku

Sang permata ribuan kilo sudah

Permata, tunggulah ragaku satu purnama lagi

Setelah malam ini larut

Page 20: Antologi - Sebatas Tulisanku

Pesan Merpati Duka

Alief Moulana (Bandung, 2011)

Kabar muncul menepuk ingatan

Setiap mengais kenanangan permata yang diukir dulu

Memudar dalam kelabu paras nan merasuk pikirku

Engkau membuaiku dalam kenangan, namun begitu singkat

Pesan-pesan duka dikecupkan merpati di telingaku

Mengoyak batinku, menggemparkan saksi piluku

Ah, sudahlah

Engkau masih ada sejati dalam memori dan kalbu

Setetes air mata pengiring jenazahmu

Page 21: Antologi - Sebatas Tulisanku

Setetes Tinta Buat Ibunda

Alief Moulana (Bandung, 3 Oktober 2011)

Tersisa setetes tinta nan bisa lukis aku dibalik murung mukaku

Ketika nafas mulai tersengal dan tangismu terisak-isak

Engkau begitu berat melihat anakmu lagi berjalan

Menyongsong rerumputan pagi yang masih wangi

Hanya satu purnama, bujangmu kembali dari masa perak

Namun lagi, lepas duka, di tengah ambang pintu istana kita

Bermaam-malam, sungguh menanti kembali ke istana kita dahulu

Tak sadar, terkadang ku tidur beralas air mata

O, Ibunda

Doakan aku selagi mengembara, ikhlas tanpa kata apa-apa

Bagai nan kau rangkai dahulu kala

Page 22: Antologi - Sebatas Tulisanku

Buat Garuda

Alief Moulana (Bandung, 22 November 2011)

Duapuluhsatu November lalu, Gelora Bung Karno

Engkau saksi, kejam dan pahitnya nasib bangsa ini

Dilenyapkan oleh bangsa negeri seberang

Mereka mendobrak batinmu, sebagai bagian bangsaku bangsamu

Sang garuda lama lengah dan tumbang

Dalam berjuang menjejal kehormatan

Oh, sayapnya dipatahkan Sang Harimau Jiran

Bulunya rontok, satu persatu gugur di muka lautan

Dua maritir gugur terbunuh

Oleh bangsanya sendiri, nan murka buat mendobrak pagar Bung Karno

Untuk menjadi saksi terpuruknya garuda dan PSSI

Pilu menjelma jadi angis histeria

Hari ini, mereka dipulangkan, menjauh dari apa nan sepakbola buat bagi mereka

Doaku pada Tuhan

Adakah?

Page 23: Antologi - Sebatas Tulisanku

Tulisan Seorang Pemuda

Alief Moulana (Bandung, Oktober 2011)

Patriotik gugurkan dedaun ketakutan

Nasionalisme mengokohkah tonggak agung keyakinan

Persatuan mempertebal lapisan hasratnya

Tatkala, jalan liku bebatuan dilalui gontai

Satu per satu maritirku gugur dilucuti serdadu hitam

Yang lain malah menggelegar bringas bak macan hitam

Hutan pepohonan, buas dilewati permata zaman

Menembuh batas kuasa tangan penjajah

Hingga

Gugur semua di ladang darah

Berabad-abad umat bangsaku musnah

Di masa nan kian keras, putra putrimu berikrar di tanahmu

Ikatan suci lambang batin merdeka diserukan

Hingga, kolonial pulang banting senjata

Tak ada tembakan, tak ada ledakan, tak ada granat

Oh, sudah puluhan tahun lalu

Bangsaku hanya sepenggal dari kenangan dulu

Berteriak merdeka hanya simbol Agusutus nan ditinggikan

Kini hanya nafas nan tersengal nan berani bersuara

Lainnya, selayaknya putus asa tak berharap jua

Tuhan

Apalagi cobaan?

Ambon? Poso? Aceh?

Akankah menjadi peledak keruntuhan negeriku?

Putra putrinya mati di tangan biadab berselimut belang

Belang di dalam lain di luar

Menyeruak di tengah umat

Kini daku sebagai pemuda

Berhening kembali dalam duapuluh delapan Oktober

Page 24: Antologi - Sebatas Tulisanku

Diam dalam cita dan mimpi

Hanya untuk kembali mengenang maritir bangsaku

Hanya janji tak pasti nan berat kuletuskan

‘Aku dan bangsaku akan merdeka’

Page 25: Antologi - Sebatas Tulisanku

Malam Lalu

Alief Moulana (Bandung, 20 Januari 2012)

Matahari haus bertandang malam lalu, mengisi kantong-kantong bintang

Malamku berlalu di pinggir debu, sembari kurangkul bayang bulan lewat cermin ombakku

Gemircik danau menghardik perahuku, lagi berdendang lagu-laguan

Angin malam melukis namaku, di bawah bayang purnama tepian danau kelam

Imajiku begitu di puncak, kumenepi di sudut buritan

Dengarkan daun-daun lantang pada dahan, bersenandung lagu sepi

Jembatan bambu bergetar merenggang satu-satu

Lengkung malam turun dekat horison fajar

Satu malam lagi, agaknya cakrawala dan jamrud menyatu

Kutunggu malam-malam larut

Page 26: Antologi - Sebatas Tulisanku

Sebatas Tulisanku

Alief Moulana (Solok, 23 Februari 2011)

Lemah mentari memuja keheningan pagi

Sejatinya, pancaran memucat ditelan kekelabuan awan

Langit hanya meronta, tak lagi mampu bersuara

 

Sesaat ia tenggelam di ufuk barat, dalam rona kemerah-merahan

Rembulan menyambut, tatkala ditemani bintang utara dan selatan

Di bawah cahaya, kutulis sehelai kata

Sebatas tulisanku

  

Haruskah kutulis dalam lembaran kelam?

Dengan tinta air mata, keringat, dan darah

Ini hanya sebatas tulisanku

  

Anugerah dan karunia kukemas dalam batinku

Berterimakasih kepada Tuhan sebelum kembaliku

Aku hanyalah bahagia nan damai di masaku

Dalam angan dan batas

Sebatas Tulisanku

 

Andai nanti, Tuhan membelai ku lemah

Di saat senja nanti, ataupun di saat malam ini

Aku tak tahu apalagi

  

Duabelas malam tepat menghampiriku

Dentuman setan murka di hadapan jam dinding

Seperti menertawai tulisanku

Sebatas Tulisanku

 

Malam berat, kulewati keras

Bagaikan berjalan di antara dua pintu neraka Malik

Aku lemah, tak lama

 

Setan-setan murka melantangkan pekikan

Kian keras, merasuk batin nan lapuk

Page 27: Antologi - Sebatas Tulisanku

Namun tulisan ini tetap harus kututup

Di malam gulita

 

Sebatas Tulisanku

Page 28: Antologi - Sebatas Tulisanku

Bongkar

Alief Moulana (Bandung, 23 Februari 2011)

Dadaku melambung direkam dentum nan meringkuk di tepi batinku

Benakku di lukis di meja pajang, di atas kanvas berduri beku

Jiwaku dijelajah, menyesak di jajar dusta dan khilaf malu

O, ragaku ditelanjangi waktu

Membongkar batinku nan di kemas rapi di rak kelabu

Rahasia mereliku tubuhku, bahkan ku tak akan tahu

Aku bisu, jiwaku dibongkar

Ah, kedok dan topeng jadilah abu

Bakarlah sisanya di perapian rumahmu nan berkelambu biru

Namun, agaknya kau lerai api dan kayu

Agar tak hanguskan khilaf dan malu

Untuk aku nan lagi termangu, dan bibirku saat membisu

Jujurlah demi malam padaku

Kau tak bisa dustai bulan, dan jangan kau rayu bintang

Hai, berbisiklah untuk detikku, meluluhkan menit, di senja hari

Aku hanya ingin jujur

Page 29: Antologi - Sebatas Tulisanku

Musim Sajak

Alief Moulana (Bandung, Februari 2012)

Gugurlah, gugur

Dedaunan jingga menguning, lirih menghardik ranting berjatuhan

Kuas dan secarik kanvas membujur di tepi pepohonan

Pelukis mencumbu tubuh ladang nan menghijau di musim ini

Berbaringlah badannya pada sajak nan lagi kembang

Lagi musim, kebetulan

Ah, bersajaklah semusim sajak ini!

Page 30: Antologi - Sebatas Tulisanku

Adakah Lagi Sajak?

Alief Moulana (Bandung, 23 Februari 2012)

Lelahkah tanganku menulis sajak?

Agar temani bahuku dalam rangkai waktu

Sanggupkah hidupku mengukir sajak?

Agar mentari jadi mega peyapu pilu

Apakah benakku terlanjur beku?

Adahkah senyum lagi buatku?

Atau hanyalah sesak-sesak kilu?

Laron melalap jantungku

Bagai alap-alap menghempas remuk

Kali ini, adakah lagi sajak dariku?

Page 31: Antologi - Sebatas Tulisanku

Enggan

Alief Moulana (Bandun, 23 Februari 2012)

Enggan terasa kukejap mata

Lebih baik kusimpan bait dan pena

Demi malam, lirik ini melingkup saja

Page 32: Antologi - Sebatas Tulisanku

Aku Masih Muda

Alief Moulana (Bandung, 20 Februari 2012)

Baru belia menyemai dunia, disinari berjuta warna lentera

Hari ini aku berpangku pada sandaran samudera

Melepas dahaga sepeninggal jejak lukis benua

Tungkaiku diterjang satu dua digolong ombak, lalu binasa

Jemari gemetar menggerutu pada buih lautan yang melengkung memahat kisah

Masih panjang liku jalanku, mengalungi tanah ini

Masih ada ribuan hutan perintang

Berjalan beribu sisa usia, entah hari atau petaka

Seenggannya, masih ada pelangiku di petang beserta senja

Dinanti bidadariku di bilik purnama

Aku masih muda, hanya sepenggal nafasku nan sesak terasa

Nan lain masih menanti relungku agar terbuka, merindu pahit, duka nestapa

Elegi dan roman akan kuterjang, dibawah pancaran sinar melintang

Aku menanti cinta dan dusta

Aku masih muda, limabelas tahun baru di dunia, limabelas tahun nanti jelajah dunia

Aku masih muda

Page 33: Antologi - Sebatas Tulisanku

Hari Ini

Alief Moulana (Bandung, 28 Februari 2012)

Hari ini, sungguh tak satu pun bintang kupandang, tertutup air matamu

Batinmu menangis menjerit, sedang matamu terisak-isak di ujung jalan

Akankah engkau merengkulku dari atas sana?

Hari ini jasadku dibuang dalam puing resah

Jasadmu justru dibekukan ampas lautan

Hari ini aku tertawa lugu

Sedang engkau mencabik dadaku dan talas nan kesepian

Hari ini penaku berhenti melukis, hanya mengikis pintu dan merungut

Bahuku usang dimakan rayap dan tikus-tikus kikir nan busuk

Hari ini kuharap hanya kita

Yang bercerita berdua sahaja

Page 34: Antologi - Sebatas Tulisanku

Khusyu

Alief Moulana (Bandung, 29 Februari 2012)

Malam, di kala mata berangsur manja, dan kupu-kupu melintas alam surga

Aku tafakur dalam damai sukma yang hidup di celah batinku

Membakar tanganku untuk menulis lebih lama dalam syair dan zikir

Tuhan mendengar sajakku untuk gurun-gurun penyejuk sukma

Malam, harum kembang mengesan sepiku

Melati dan mawar mencumbu syairku yang lagi gelisah

Gugurnya ilalang di tebing penanung samudera, menghembus rambut jangatku

Leptidoptera di angkasa malam ini, menggambar sebingkai cahaya di garis sinar purnama

Pensil warnaku menghias warna langit hari ini yang gelap kebiruan

Puncak hari berseru melaju pohon-pohon pisang

Yang disiram kabut dan debu dan dibakar abu kelabu

Hanya malam

Tafakur aku pada dosa dan surga