anomali dalam bidang bedah

99
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Embriologi Sistem Pencernaan Sistem pencernaan mulai terbentuk pada kehidupan janin (22 hari) sebagai akibat dari pelipatan janin kearah cephalo caudal dan lateral, sehingga rongga yang dibatasi entoderm sebagian tercakup ke dalam janin dan membentuk usus sederhana. Pada bagian kepala dan ekor mudigah, usus sederhana membentuk tabung buntu masing-masing : Usus sederhana depan (fore gut) Usus sederhana belakang (hind gut) Diantaranya usus sederhana tengah (mid gut) yang untuk sementara tetap berhubungan dengan kandung kuning telur. Gambar 2.1 Embriologi Pencernaan

Transcript of anomali dalam bidang bedah

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Embriologi Sistem Pencernaan

Sistem pencernaan mulai terbentuk pada kehidupan janin (22 hari) sebagai akibat dari

pelipatan janin kearah cephalo caudal dan lateral, sehingga rongga yang dibatasi entoderm

sebagian tercakup ke dalam janin dan membentuk usus sederhana. Pada bagian kepala dan

ekor mudigah, usus sederhana membentuk tabung buntu masing-masing :

Usus sederhana depan (fore gut)

Usus sederhana belakang (hind gut)

Diantaranya usus sederhana tengah (mid gut) yang untuk sementara tetap

berhubungan dengan kandung kuning telur.

Gambar 2.1 Embriologi Pencernaan

Yanwirasti,2010

Foregut

Esofagus: minggu 4 – divertikulum tabung arah sefalik – septum trakeoesofageal –

premordium respirasi, esophagus. Esophagus pendek memanjang Kelainan : atresia

esophagus dengan atau tanpa fistel

Lambung: minggu 4 sebagai pelebaran tabung usus. Perkembangannya, mengalami

perputaran 90 searah jarum jam sumbu longitudinal – kiri-anterior, kanan-posterior.

Perputaran sumbu anteroposterior – kardia-kekiri bawah, pylorus – ke kanan atas. Selama

perkembangannya, bagian posterior lebih pesat – kurvatura mayor-minor .Kelainan :

stenosis pylorus – otot-otot melingkarnya hipertrofi – nyempit – perjalanan makanan

terhambat, muntah proyektil

Duodenum: Ketika lambung berputar – duodenum mengambil bentuk lengkung C dan

berputar ke kanan sehingga berada di retroperitoneal. Perputaran ini bersamaan dengan

pertumbuhan pesat kaput pancreas

Hati dan kandung empedu: Premordium hati muncul pada pertengahan minggu ke 3

sebagai tonjolan epitel endodermis diujung distal usus depan. Tonjolan tidur dari sel sel

berproliferatif cepat – menembus septum transversum antara rongga pericardium dengan

yolk sac – penyempitan hubungan antara divertikulum hati dengan duodenum –

membentuk duktus biliaris – bentuk tonjolan lagi – kandung empedu. Kelainan: atresia

kandung empedu

Midgut

Janin 5 minggu, midgut tergantung pada abdomen dorsal oleh mesentrium dan

dengan yolk sac. Perkembangan usus tengah ditandai dengan pemanjangan cepat usus dan

mesentriumnya – lengkung usus primer. Bagian sefalik lengkung – bagian distal duodenum,

jejunum, sebagian ileum. Bagian kaudal – bagian bawah ileum, saekum, apendiks, kolon

asenden, 2/3 kolon transversal. Berotasi 270 mengelilingi sumbu arteri mesentrika superior

berlawanan jarum jam selaa herniasi dan kembali ke abdomen. Lengkung usus halus terus

memanjang. Jejenum dan ileum – kumparan. Usus besar – memanjang. Perkembangan pesat

dan terjadi ekspansi hati – rongga abdomen jadi sempit untuk menampung semua lengkung

usus – lengkung usus masuk ke ekstraembrional – herniasi umbilikalis fisiologis. Terjadi

pembentukan kumparan dan saekum. Kelainan: Omfalokel : herniasi visera dilapisi amnion

melalui umbilicus yang melebar, atresia dan stenosis usus

Hindgut

Membentuk 1/3 distal kolon tranversum, desenden, sigmoid, rectum, bagian atas kanalis

analis

• Oesopagus

– Ketika mudigah berumur ± 4 minggu, muncul diverticulum pada dinding

ventral usus sederhana depan yang disebut (diverticulum tracheo –

bronchiale). Diverticulum ini berangsur-angsur dipisahkan dari bagian dorsal

fore gut melalui septum oesopago – tracheale. Dengan cara ini usus sederhana

depan terbagi atas :

• Bagian ventral : primordium pernafasan

• Bagian dorsal : oesopagus

Gambar 2.2 Embriologi Pencernaan

Yanwirasti,2010

Lambung

Pertumbuhan lambung mulai pada minggu ke-4 sebagai suatu pelebaran usus depan yang

berbentuk kumparan. Minggu-minggu berikutnya kedudukannya sangat berubah akibat

perbedaan kecepatan pertumbuhan pada berbagai dindingnya dan perubahan kedudukan alat-

alat disekitarnya.

Gambar 2.3 Embriologi Pencernaan

Yanwirasti,2010

Perubahan kedudukan lambung karena ia berputar sekitar sumbu memanjang dan

sumbu antero posterior. Disekitar sumbu memanjang lambung melakukan putaran 90o searah

jarum jam. Akibatnya :

– Sisi kiri menghadap ke depan

– Sisi kanan menghadap ke belakang

– N.X kiri yang semula mensarafi kiri menuju depan

– N.X kanan yang semula mensafari kanan menuju belakang

Gambar 2.4 Embriologi Pencernaan

Yanwirasti,2010

Selama perputaran ini bagian dinding belakang lambung tumbuh lebih cepat dari bagian

depannya. Hal ini mengakibatkan pembentukan :curvatura mayor dan curvatura minor. Ujung

cephalic dan kaudal lambung pada mulanya terletak digaris depan. Selama

pertumbuhan,Dengan ini sumbu panjang lambung berjalan dari kiri dan kanan bawah.

Gambar 2.5 Embriologi Pencernaan

Yanwirasti,2010

Duodenum

Terbentuk dari bagian akhir fore gut dan bagian atas mid gut. Titik pertemuan fore gut

dan mid gut ini terletak tepat distal dari tunas hati. Sementara lambung berputar, duodenum

mengambil bentuk lengkung seperti huruf “C” dan akhirnya terletak retroperitonial

Gambar 2.6 Embriologi Pencernaan

Yanwirasti,2010

Hati dan Kandung Empedu

Terbentuk pada pertengahan minggu ke tiga sebagai epitel entoderm pada ujung distal

fore gut. Pertumbuhan ini dikenal sebagi diverticulum hepatis (tunas hati) .Tunas hati terdiri

atas berkas-berkas sel yang berproliferasi dengan cepat dan menempus septum transversum

yaitu lempeng mesoderm.Sementara sel-sel hati menembus septum transversum, hubungan

tunas hati dan duodenum menyempit. Dengan ini terbentuk saluran empedu. Dari saluran

empedu, terbentuk tonjolan ke ventral yang menghasilkan kandung empedu dan ductus

cysticus. Selama perkembangan sel epitel hati bercampur baur dengan v.vitelinae dan

v.umbilicus untuk membentuk sinusoid hati. Tali-tali hati berdiferensiasi menjadi jaringan

parenkim hati dan jaringan yang melapisi ductus biliaris .Sel-sel hemopoitik, sel-sel kuppfer

dan sel-sel jaringan penyambung berasal dari mesoderm septum transfersum. Akibat

pertumbuhan cepat yang terus berlangsung, hati menjadi terlalu besar bagi septum

transversum dan berangsur-angsur menonjol kedalam rongga perut. Mesoderm septum

transversum antara dinding ventral perut dan hati menjadi teregang dan sangat tipis dan

membentuk ligamentum falciforme hepatis .Mesoderm septum transversum antara hati dan

fore gut akan meregang dan membentuk selaput omentum minus (ligamentum

gastrohepaticum dan ligamentum hepatoduodenale).Pada tepi bebas omentum minus

terdapat :

• Saluran empedu

• Vena prota

• Arteri hepatica

Mesoderm pada permukaan hati berdiferensiasi menjadi peritonium viscerale, kecuali pada

permukaan atasnya. Pada daerah ini, hati tetap berhubungan dengan sisa septum transversum.

Bagian septum ini terdiri atas gumpalan mesoderm yang padat dan membentuk pars

tendinosa diafragma. Permukaan hati yang berhubungan dengan diafragma dan tidak pernah

diliputi peritonium dikenal dengan pars afixa hepatis atau bare area of the liver. Pada minggu

10 berat hati ± 10% dari berat badan seluruhnya. Hal ini disebabkan karena:

– Sejumlah besar Sinusoid

– Fungsi hemopoetik

Diantara sel hati dan dinding pembuluh darah ditemukan sarang-sarang sel yang

menghasilkan sel darah merah dan putih. Kegiatan ini berangsur-angsur berkurang dalam 2

bulan terakhir kehidupan dalam rahim. Pada saat lahir hanya pulau-pulau kecil pembentuk

darah yang tertinggal. Pada saat ini berat hati ± 5% dari berat badan seluruhnya.Fungsi hati

yang penting lainnya dimulai pada minggu ke 12 yaitu dibentuknya empedu oleh sel-sel hati.

Pada saat ini, kandung empedu dan ductus cysticus telah berkembang. Ductus cysticus

bersatu dengan ductus hepaticus membentuk ductus choledochus. Akibatnya empedu dapat

memasuki saluran pencernaan, sehingga isi saluran pencernaan berwarna hijau gelap. Karena

perubahan kedudukan duedenum, muara ductus choledochus berangsur-angsur bergeser dari

depan ke belakang. Akibatnya ductus choledochus menghilang dibelakang duodenum.

Gambar 2.7 Embriologi Pencernaan

Yanwirasti,2010

Perkembngan Usus Sederhana (Mid Gut)

Perkembangan usus tengah ditandai oleh cepat memanjangnya usus dan

mesenteriumnya, sehingga terbentuk jerat usus primer. Pada puncaknya jerat ini tetap

berhubungan dengan kandung telur melalui ductus vitellinus yang sempit. Bagian cranial

jerat usus akan membentuk:

– Bagian distal duodenum

– Yeyenum

– Ileum (sebahagian)

Gambar 2.8 Embriologi Pencernaan

Yanwirasti,2010

Bagian caudal jerat usus akan membentuk:

– Bagian bawah illeum

– Caecum

– Appendix

– Colon ascenden

– 2/3 proximal colon transfersum

Perbatasan antara bagian cranial dan caudal jerat usus: ductus vitelinus tetap ada pada

orang dewasa yang dikenal sebagai: Diferticulum meckel dan diverticulum illeal.

Hernia phisiology

Pertumbuhan jerat usus primer sangat pesat terutama bagian cranialnya. Akibat

pertumbuhan yang cepat ini dan perluasan hati yang serentak, rongga perut untuk sementara

terlalu kecil untuk menampung jerat-jerat usus ini. Akibatnya jerat ini memasuki celom extra

embrional dan tali pusat (hernia umbilicalis phisiologic) yang terjadi pada minggu ke enam.

Gambar 2.8 Embriologi Pencernaan

Yanwirasti,2010

Bersamaan dengan pertumbuhan memanjangnya, jerat usus sederhana akan berputar

disekitar poros yang dibentuk oleh A.Mesenterica superior. Perputaran terjadi 270o yang

terdiri atas:

– 90% selama herniasi

– 180o selama jerat usus kembali ke rongga perut.

– Perputaran ini berlawanan dengan arah jam.

Usus besar juga cukup bertambah panjang, sedangkan yeyenum dan ileum selain bertambah

panjang juga akan membentuk jerat-jerat bergelung selama perputaran.

Gambar 2.9 Embriologi Pencernaan

Yanwirasti,2010

Usus sederhana belakang membentuk:

– 1/3 distal colon transversum

– Colon ascendens

– Sigmoid

– Rectum

– Bagian atas canalis analis

Bagian usus sederhana belakang bermuara kedalam cloaka (suatu rongga yang di lapisi

entoderm yang berhubungan langsung dengan entoderm permukaan). Pada pertemuan antara

entoderm dan ektoderm terbentuk membrana cloacalis. Pada perkembangan selanjutnya

tumbuh septum urorectal pada sudut antara alantois dan usus belakang. Sekat ini berlanjut

tumbuh ke caudal sambil membagi cloaka menjadi :

– Sinus urogenitalis sederhana (depan)

– Canalis anorectalis (belakang)

Ketika mudigah berumur 7 minggu, septum urorectal mencapai membran cloacalis

yang akan terbagi menjadi :

– Membran analis (dibelakang)

– Membran urogentalis (didepan)

Membran analis dikelilingi oleh tonjolan-tonjolan mesenchim. Pada minggu ke 8 selaput

ini ditemukan pada dasar lekukan ektoderm yang akan menjadi lobang anus atau proktodium.

Dalam minggu ke 9, membran analis koyak dan terbentuklah jalan terbuka antara rektum dan

dunia luar. Bagian atas canalis analis berasal dari entoderm dan didarahi oleh A.mesenterica

inferior. Bagian bawah (1/3 bawah) berasal dari ektoderm dan didarahi oleh A.pudenda

interna. Pertemuan keduanya disebut linea dentata atau linea pertinatum.

Gambar 2.10 Embriologi Pencernaan

Yanwirasti,2010

2.2 Atresia Esofagus

Gambar 2.11 Atresia Esofagus

2..2.1 Pengertian Atresia Esophagus

Atresia berarti buntu, atresia esofagus adalah suatu keadaan tidak adanya lubang atau

muara (buntu), pada esofagus (+). Pada sebagian besar kasus atresia esofagus ujung esofagus

buntu, sedangkan pada ¼ -1/3 kasus lainnya esophagus bagian bawah berhubungan dengan

trakea setinggi karina (disebut sebagai atresia esophagus dengan fistula). Kelainan lumen

esophagus ini biasanya disertai dengan fistula trakeoesofagus. Atresia esofagaus sering

disertai kelainan bawaan lain, seperti kelainan jantung, kelainan gastroin testinal (atresia

duodeni atresiasani), kelainan tulang (hemivertebrata).

Atresia esofagus adalah malpormasi yang disebabkan oleh kegagalan esofagus untuk

mengadakan pasase yang kontinu : esophagus mungkin saja atau mungkin juga tidak

membentuk sambungan dengan trakea  ( fistula trakeoesopagus) atau atresia esophagus

adalah kegagalan esophagus untuk membentuk  saluran kotinu dari faring ke lambung selama

perkembangan embrionik adapun pengertian lain yaitubila sebua segmen esoofagus

mengalami gangguan dalam pertumbuhan nya( congenital)  dan tetap sebaga bagian tipis

tanpa lubang saluran.

Fistula trakeo esophagus adalah hubungan abnormal antara trakeo dan esofagus . Dua

kondisi ini biasanya terjadi bersamaan, dan mungkin disertai oleh anomaly lain seperti

penyakit jantung congenital. Untuk alas an yang tidak diketahui  esophagus dan trakea gagal

untuk berdeferensiasi dengan tepat selama gestasi pada minggu keempat dan kelima. Atresia

Esofagus termasuk kelompok  kelainan kongenital terdiri dari gangguan kontuinitas esofagus

dengan atau tanpa hubungan persisten dengan trachea.

2.2.2 Epidemiologi Atresia Esophagus

Atresia esofagus pertama kali dikemukakan oleh Hirschprung seorang ahli anak dan

Copenhagen pada abad 17 tepatnya pada tahun 1862 dengan adanya lebih kurang 14 kasus

atresia esophagus. Kelainan ini sudah diduga sebagai suatu malformasi dari traktus

gastrointestinal. Meskipun sejarah penyakit atresia esofagus dan fistula trakeoesofagus telah

dimulai pada abad ke 17, namun penanganan bedah terhadap anomali tersebut tidak berubah

sampai tahun 1869. Baru pada tahun 1939, Leven dan Ladd telah berhasil menyelesaikan

penanganan terhadap atresia esophagus. Lalu di tahun 1941 seorang ahli bedah Cameron

Haigjit dad Michigan telah berhasil melakukan operasi pada atresia esofagus dan sejak itu

pulalah bahwa Atresia Esofagus sudah termasuk kelainan kongenital yang bisa diperbaiki.

Di Amerika Utara insiden dari Atresia Esofagus berkisar 1:3000-4500 dari kelahiran

hidup, angka ini makin lama makin menurun dengan sebab yang belum diketahui. Secara

Internasional angka kejadian paling tinggi terdapat di Finlandia yaitu 1:2500 kelahiran hidup.

Atresia Esofagus 2-3 kali  lebih sering pada janin yang  kembar. Kecenderungan peningkatan

jumlah kasus atresia esophagus tidak berhubungan dengan ras tertentu. Namun dari suatu

penelitian didapatkan bahwa insiden atresia esophagus paling tinggi ditemukan pada populasi

kulit putih (1 kasus per10.000 kelahiran) dibanding dengan populasi non-kulit putih (0,55

kasus per 10.000 kelahiran).

Jenis kelamin laki-laki memiliki resiko yang lebih tinggi dibandingkan pada perempuan

untuk mendapatkan kelainan atresia esophagus. Rasio kemungkinan untuk mendapatkan

kelainan esophagus antara laki-laki dan perempuan adalah sebesar 1,26:1. Atresia esophagus

dan fistula trakeoesofagus adalah kelainan kongenital pada neonatus yang dapat didiagnosis

pada waktu-waktu awal kehidupan. Beberapa penelitian menemukan insiden atresia

esophagus lebih tinggi pada ibu yang usianya lebih muda dari 19 tahun dan usianya lebih tua

dari 30 tahun, dimana beberapa penelitian lainnya juga mengemukakan peningkatan resiko

atresia esophagus terhadap peningkatan umur ibu.

2.2.3 Etiologi Atresia Esophagus

Sampai saat ini belum diketahui zat teratogen apa yang bisa menyebabkan terjadinya

kelainan atresia esophagus, hanya dilaporkan angka rekuren sekitar 2 % jika salah satu dari

saudara kandung yang terkena. Atresia esophagus lebih berhubungan dengan sindroma

trisomi 21,13 dan 18 dengan dugaan penyebab genetik. Namun saat ini, teori tentang

terjadinya atresia esophagus menurut sebagian besar ahli tidak lagi berhubungan dengan

kelainan genetik. Perdebatan tentang proses embriopatologi masih terus berlanjut.

Selama embryogenesis proses elongasi dan pemisahan trakea dan esophagus dapat

terganggu. Jika pemisahan trekeoesofageal tidak lengkap maka fistula trakeoesofagus akan

terbentuk. Jika elongasi melebihi proliferasi sel sebelumnya, yaitu sel bagian depan dan

belakang jaringan maka trakea akan membentuk atresia esophagus. Atresia esophagus dan

fistula trakeoesofagus sering ditemukan ketika bayi memiliki kelainan kelahiran seperti :

Trisomi

Gangguan saluran pencernaan lain (seperti hernia diafragmatika, atresia duodenal,

dan anus imperforata).

Gangguan jantung (seperti ventricular septal defect, tetralogifallot, dan patent

ductus arteriosus).

Gangguan ginjal dan saluran kencing (seperti ginjal polisistik atau horseshoe

kidney, tidak adanya ginjal,dan hipospadia).

Gangguan Muskuloskeletal

Sindrom VACTERL (yang termasuk vertebr, anus, candiac, tracheosofagealfistula,

ginjal, dan abnormalitas saluran getah bening).

Lebih dari setengah bayi dengan fistula atau atresia esophagus memiliki kelainan

lahir

Atresia Esophagus dapat disebababkan oleh beberapa hal, diantaranya sebagai berikut :

Faktor obat => Salah satu obat yang dapat menimbulkan kelainan kongenital yaitu

thali domine .

Faktor radiasi => Radiasi pada permulaan kehamilan mungkin dapat menimbulkan

kelainan kongenital pada janin yang dapat menimbulkan mutasi pada gen

Faktor gizi           

Deferensasi usus depan yang tidak sempurna dan memisahkan dari masing –

masing menjadi esopagus dan trachea .          

Perkembangan sel endoteal yang lengkap sehingga menyebabkan terjadinya

atresia.          

Perlengkapan dinding lateral usus depan yang tidak sempurna sehingga terjadi

fistula trachea esophagus.

Tumor esophagus.

Kehamilan dengan hidramnion

Bayi lahir prematur,

Tapi tidak semua bayi yang lahir premature mengalami penyakit ini. Dan ada alasan

yang tidak diketahui mengapa esefagus dan trakea gagal untuk berdiferensiasi dengan tepat

selama gestasi pada minggu ke empat dan ke  lima.

2.2.4 Patofisiologi Atresia Esophagus

Patogenesis dan etiologi atresia esofagus tidaklah jelas. Trakea dan esofagus

normalnya berkembang dan terpisah akibat lipatan cranial, ventral, dan dorsal yang muncul di

dalam foregut. Atresia esofagus dengan fistula distal akibat dari invaginasi ventral yang

berlebihan pada lipatan faringo-esofagus, yang menyebabkan kantung esofagus bagian atas

mencegah lipatan cranial dari menuju ke bawah ke lipatan ventral. Untuk itu, sambungan

dipasangkan antara esofagus dan trakea.

Terdapat beberapa tipe atresia esofagus, tetapi anomali yang umum adalah fistula

antara esofagus distal dan trakea, sebanyak 80% bayi baru lahir dengan kelainan esofagus.

Atresia esofagus dan tracheoesophageal fistula diduga sebagai akibat pemisahan yang tidak

sempurna antara lempengan paru dari foregut selama masa awal perkembangan janin.

Sebagian besar anomali kongenital pada bayi baru lahir meliputi vertebra, ginjal, janutng,

muskuloskeletal, dan sistem gastrointestinal.            

Walaupun kelainan perkembangan pada esofagus merupakan hal yang tidak umum

terjadi, tetapi apabila terjadi ketidaknormalan harus segera dikoreksi, karena dapat

mengancam nyawa. Karena hal ini dapat menyebabkan regurgitasi ketika bayi diberi makan.

Agenesis pada esofagus sangat jarang terjadi, kebanyakan atresia dan pembentukan fistula.

Pada atresia, segmen esofagus hanya berupa thin, noncanalized cord, dengan kantung

proksimal yang tersambung ke faring dan kantung bagian bawah yang menuju ke lambung.

Atresia sering terdapat pada bifurksasi (dibagi menjadi dua cabang) trakea terdekat. Jarang

hanya atresia sendiri, tetapi biasanya sering dijumpai bersamaan dengan fistula yang

menyambungkan kantung bawah atau atas dengan bronkus atau trakea. Anomali yang

berhubungan meliputi congenital heart disease, neurologic disease, genitourinary disease, dan

other gastrointestinal malformations. Atresia terkadang dihubungkan dengan arteri umbilikus

tunggal.

2.2.5 Klasifikasi Atresia Esophagus

Klasifikasi asli oleh Vogt tahun 1912 masih digunakan sampai saat ini . Gross pada

tahun 1953 memodifikasi klasifikasi tersebut, sementara Kluth 1976 menerbitkan "Atlas

Atresia Esofagus" yang terdiri dari 10 tipe utama, dengan masing-masing subtipe yang

didasarkan pada klasifikasi asli dari Vogt. Hal ini terlihat lebih mudah untuk menggambarkan

kelainan anatomi dibandingkan memberi label yang sulit untuk dikenali.

Atresia Esophagus diklasifikasikan sebagai berikut :

Atresia Esofagus dengan fistula trakheooesophageal distal ( 86% Vogt 111.grossC)

Merupakan gambaran yang paling sering pada proksimal esofagus, terjadi dilatasi dan

penebalan dinding otot berujung pada mediastinum superior setinggi vetebra thoracal

III/IV. Esofagus distal (fistel), yang mana lebih tipis dan sempit, memasuki dinding

posterior trakea setinggi carina atau 1-2 cm diatasnya. Jarak antara esofagus proksimal

yang buntu dan fistula trakheooesofageal distal bervariasi mulai dari bagian yang overlap

hingga yang berjarak jauh.

Atresia Esofagus terisolasi tanpa fistula ( 7%, Vogg II, Gross A)

Esofagus distal dan proksimal benar-benar berakhir tanpa hubungan dengan segmen

esofagus proksimal, dilatasi dan dinding menebal dan biasanya berakhir setinggi

mediastinum posterior sekitar vetebra thorakalis II. Esofagus distal pendek dan berakhir

pada jarak yang berbeda diatas diagframa.

Fistula trakheo esofagus tanpa atresia ( 4 %, Groos E)

Terdapat hubungan seperti fistula antara esofagus yang secara anatomi cukup intak

dengan trakhea. Traktus yang seperti fistula ini bisa sangat tipis/sempit dengan diameter

3-5 mm dan umumnya berlokasi pada daerah servikal paling bawah. Biasanya single tapi

pernah ditemukan dua bahkan tiga fistula.

Atresia esofagus dengan fistula trakeo esofagus proksimal (2%. Vogt III & Gross B).

Gambaran kelainan yang jarang ditemukan namun perlu dibedakan dari jenis terisolasi.

Fistula bukan pada ujung distal esofagus tapi berlokasi 1-2 cm diatas ujung dinding depan

esofagus.

Atresia esofagus dengan fistula trakheo esofagus distal dan proksimal

Pada kebanyakan bayi, kelainan ini sering terlewati (misdiagnosa) dan di terapi sebagai

atresia proksimal dan fistula distal. Sebagai akibatnya infeksi saluran pernapasan

berulang, pemeriksaan yang dilakukan memperlihatkan suatu fistula dapat dilakukan dan

diperbaiki keseluruhan. Seharusnya sudah dicurigai dari kebocoran gas banyak keluar

dari kantong atas selama membuat/ merancang anastomose.

2.2.6 Tanda dan Gejala Atresia Esophagus

Tanda dan gejala Atresia Esofagus yang mungkin timbul:

Batuk ketika makan atau minum

Bayi menunjukkan kurangnya minat terhadap makanan atau ketidakmampuan untuk

menerima nutrisi yang cukup (pemberian makan yang buruk

Gelembung berbusa putih di mulut bayi

Memiliki kesulitan bernapas

Memiliki warna biru atau ungu pada kulit dan membran mukosa karena kekurangan

oksigen (sianosis)

Meneteskan air liur

Muntah-muntah

Biasanya disertai hidramnion (60%) dan hal ini pula yang menyebabkan kenaikan

frekuensi bayi lahir prematur, sebaiknya dari anamnesis didapatkan keterangan

bahwa kehamilan ibu diertai hidramnion hendaknya dilakukan kateterisasi esofagus.

Bila kateter terhenti pada jarak ≤ 10 cm, maka di duga atresia esofagus.

Bila pada bbl Timbul sesak yang disertai dengan air liur yang meleleh keluar, di

curigai terdapat atresia esofagus.

Segera setelah di beri minum, bayi akan berbangkis, batuk dan sianosis karena

aspirasi cairan kedalam jalan nafas.

Pada fistula trakeosofagus, cairan lambung juga dapat masuk kedalam paru, oleh

karena itu bayi sering sianosis

2.2.7 Diagnosis Atresia Esophagus

Atresia Esophagus dapat di diagnosa dari beberapa hal, diantaranya adalah sebagai

berikut :

Biasanya disertai denga hydra amnion (60 %) dan hal ini pula yang menyebabkan

kenaikan frekuensi bayi ang lahir premature. Sebaliknya bila dari ananese ditetapkan

keterangan bahwa kehamilan ibu disertai hidraamnion, hendakla dilakukan

kateterisasiesofagus dengan kateter pada jarak kurang dari 10 cm , maka harus didiga

adanya  atresia esophagus.

Bila pada bayi baru lahir timbul sesak napas yang disertai air liur meleleh keluar, harus

dicurigai adanya atresia esfagus.

Segera setlah diberi minum, bay akan berbangkis, batuk dan sianosis karena aspiasi cairan

kedam jalan nafas.

Dianosis pasti dapat dibuat denga foto toraks yang akan menunjukkan gambaran kateter

terhenti pada tempat  atresia. Pemberian kontras kedalam esophagus  dapat memberikan

gambaran yang lebih pasti, tapi cara ini tidak dianjurkan.

Perlu dibedakan pada pemeriksaan fisis apakah lambung terisi udara atau kosong untuk

menunjang atau menyingkirkan terdapatnya fistula trakeoesofagus.  Hal ini dapat terlihat

pada foto abdomen.

2.2.8 Penatalaksanaan pada Atresia Esophagus

Pasang sonde lambung no. 6 – 8 F yang cukup halus. Dan radioopak sampai di

esophagus yang buntu. Lalu isap air liur secara teratur setiap 10 – 15 menit.

Pada Gross type II, tidur terlentang kepala lebih tinggi. Pada Gross type I, tidur

terlentang kepala lebih rendah. Bayi dipuasakan dan diinfus. Kemudian segera siapkan

operasi.

Pemberian minum baik oral/enteral merupakan kontra indikasi mutlak untuk bayi ini.

Bayi sebaiknya ditidurkan dengan posisi “prone”/ telungkup, dengan posisi kepala 30o lebih

tinggi. Dilakukan pengisapan lendir secara berkala, sebaiknya dipasang sonde nasogastrik

untuk mengosongkan the blind-end pouch. Bila perlu bayi diberikan dot agar tidak gelisah

atau menangis berkepanjangan.

Penatalaksanaan oleh bidan adalah sebagai berikut :

Pasang sonde lambung antara No 6-8 F yang cukup kalen dan radio opak sampai di

esophagus yang buntu. Lalu isap air liur secara teratur setiap 10-15 menit.    

Pada groos II bayi tidur terlentang dengan kepala lebih tinggi.      

Pada groos I bayi tidur terlentang dengan kepala lebih rendah.     

Bayi di puasakan dan di infuse       

Konsultasi dengan yang lebih kompeten     

Rujuk ke rumah sakit           

Pengobatan pada Atresia Esophagus

Penderita atresia esophagus seharusnya ditengkurapkan untuk mengurangi

kemungkinan isi lambung masuk ke dalam paru-paru. Kantong esophagus harus secara

teratur dikosongkan dengan pompa untuk mencegah aspirasi sekret. Perhatian yang cermat

harus diberikan terhadap pengendalian suhu, fungsi respirasi dan pengelolaan anomaly

penyerta kadang-kadang, kondisi penderita mengharuskan operasi tersebut dilakukan secara

bertahap:

Tahap pertama biasanya adalah pengikatan fistula dan pemasukan pipa gastrotomi

untuk memasukkan makanan,        

Tahap kedua adalah anastomosis primer, makanan lewat mulut biasanya dapat

diterima. Esofagografi pada hari ke 10 akan menolong menilai keberhasilan anastomosis.

Malformasi struktur trakhea sering ditemukan pada penderita atresia dan fistula esophagus.

Trakeomalasia, pneumonia aspirasi berulang, dan penyakit saluran nafas reaktif sering

ditemukan. Perkembangan trakheanya normal jika ada fistula, stenosis esophagus dan refluks

gastroesofagus berat lebih sering pada penderita ini.

Pengobatan pada atresia etsophagus setelah dirujuk, yaitu antara lain:

Keperawatan => Sebelum dilakukan operasi, bayi diletakkan setengah duduk untuk

mencegah terjadinya regurgitasi cairan lambung ke dalam paru, cairan lambung harus

sering diisap untuk mencegah aspirasi.

Medik => Pengobatan dilakukan dengan operasi. Pada penderita atresia anus ini dapat

diberikan pengobatan sebagai berikut :          

Fistula yaitu dengan melakukan kolostomia sementara dan setelah 3 bulan dilakukan

koreksi sekaligus  

Eksisi membran anal

2.2.9 Komplikasi Atresia Esophagus

Komplikasi-komplikasi yang bisa timbul setelah operasi perbaikan pada atresia

esofagus dan fistula atresia esophagus adalah sebagai berikut :

Dismotilitas esophagus => Dismotilitas terjadi karena kelemahan otot dingin esophagus.

Berbagai tingkat dismotilitas bisa terjadi setelah operasi ini. Komplikasi ini terlihat saat

bayi sudah mulai makan dan minum.

Gastroesofagus refluk => Kira-kira 50 % bayi yang menjalani operasi ini kana

mengalami gastroesofagus refluk pada saat kanak-kanak atau dewasa, dimana asam

lambung naik atau refluk ke esophagus. Kondisi ini dapat diperbaiki dengan obat

(medical) atau pembedahan.

Trakeo esogfagus fistula berulang => Pembedahan ulang adalah terapi untuk keadaan

seperti ini.

Disfagia atau kesulitan menelan => Disfagia adalah tertahannya makanan pada tempat

esophagus yang diperbaiki. Keadaan ini dapat diatasi dengan menelan air untuk

tertelannya makanan dan mencegah terjadinya ulkus.

Kesulitan bernafas dan tersedak => Komplikasi ini berhubungan dengan proses menelan

makanan, tertaannya makanan dan saspirasi makanan ke dalam trakea.

Batuk kronis => Batuk merupakan gejala yang umum setelah operasi perbaikan atresia

esophagus, hal ini disebabkan kelemahan dari trakea.

Meningkatnya infeksi saluran pernafasan => Pencegahan keadaan ini adalah dengan

mencegah kontakk dengan orang yang menderita flu, dan meningkatkan daya tahan

tubuh dengan mengkonsumsi vitamin dan suplemen.

2.3 Atresia Billier

2.3.1 Definisi Atresia bilier

Atresia bilier (biliary atresia) adalah suatu penghambatan di dalam pipa/saluran-

saluran  yang membawa cairan empedu (bile) dari liver menuju ke kantung empedu

(gallbladder). Ini merupakan kondisi  congenital, yang berarti terjadi  saat kelahiran.

Gambar 2.12 Atresia Billier

2.3.2  Klasifikasi Atresia bilier

Kasai mengajukan klasifikasi atresia bilier sebagai berikut :

1. Atresia (sebagian atau total) duktus bilier komunis, segmen proksimal paten.

2. IIa. Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus bilier komunis, duktus sistikus, dan

kandung empedu semuanyanormal).

IIb. Obliterasi duktus bilier komunis, duktus hepatikus komunis, duktus sistikus.

Kandung empedu normal.Semua sistem duktus bilier ekstrahepatik mengalami

obliterasi, sampai ke hilus. Tipe I dan II merupakan jenis atresia bilier yang dapat

dioperasi (correctable), sedangkan tipe III adalah bentuk yang tidak dapat dioperasi

(non-correctable). Sayangnya dari semua kasus atresia bilier, hanya 10% yang

tergolong tipe I dan II

2.3.2   Etiologi

Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian ahli menyatakan

bahwa faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan adanya kelainan kromosom

trisomi17, 18 dan 21; serta terdapatnya anomali organ pada 30% kasus atresia bilier. Namun,

sebagian besar penulis berpendapat bahwa atresia bilier adalah akibat proses inflamasi yang

merusak duktus bilier, bisa karena infeksi atau iskemi. Beberapa anak, terutama mereka

dengan bentuk janin atresia bilier, seringkali memiliki cacat lahir lainnya di jantung, limpa,

atau usus.

Sebuah fakta penting adalah bahwa atresia bilier bukan merupakan penyakit

keturunan.  Kasus dari atresia bilier pernah terjadi pada bayi kembar identik, dimana hanya 1

anak yang menderita penyakit tersebut. Atresia bilier kemungkinan besar disebabkan oleh

sebuah peristiwa yang terjadi selama hidup janin atau sekitar saat kelahiran. Kemungkinan

yang "memicu" dapat mencakup satu atau kombinasi dari faktor-faktor predisposisi berikut:

infeksi virus atau bakteri

masalah dengan sistem kekebalan tubuh

komponen yang abnormal empedu

kesalahan dalam pengembangan saluran hati dan empedu

hepatocelluler dysfunction

2.3.3    Manifestasi Klinis

Bayi dengan atresia bilier biasanya muncul sehat ketika mereka lahir. Gejala penyakit ini

biasanya muncul dalam dua minggu pertama setelah hidup. Gejala-gejala termasuk:

Ikterus, kekuningan pada kulit dan mata karena tingkat bilirubin yang sangat tinggi

(pigmen empedu) dalam aliran darah.

Jaundice disebabkan oleh hati yang belum dewasa adalah umum pada bayi baru lahir.

Ini biasanya hilang dalam minggu pertama sampai 10 hari dari kehidupan. Seorang

bayi dengan atresia bilier biasanya tampak normal saat lahir, tapi ikterus berkembang

pada dua atau tiga minggu setelah lahir

Urin gelap yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin (produk pemecahan dari

hemoglobin) dalam darah. Bilirubin kemudian disaring oleh ginjal dan dibuang dalam

urin.

Tinja berwarna pucat, karena tidak ada empedu atau pewarnaan bilirubin yang masuk

ke dalam usus untuk mewarnai feses. Juga, perut dapat menjadi bengkak akibat

pembesaran hati.

Penurunan berat badan, berkembang ketika tingkat ikterus meningkat

degenerasi secara gradual pada liver menyebabkan jaundice, ikterus, dan

hepatomegali, Saluran intestine tidak bisa menyerap lemak dan lemak yang larut

dalam air sehingga menyebabkan kondisi malnutrisi, defisiensi lemak larut dalam air

serta gagal tumbuh 

Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:

Gangguan pertumbuhan yang mengakibatkan gagal tumbuh dan malnutrisi.

Gatal-gatal

Rewel

o splenomegali menunjukkan sirosis yang progresif dengan hipertensi portal /

Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut

darah dari lambung, usus dan limpa ke hati).

2.3.4   Patofisiologi

Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan

kerusakan progresif  pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran

empedu, dan tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan traktus bilier

ekstrahepatik juga menyebabkan obstruksi aliran empedu .Obstruksi saluran bilier

ekstrahepatik akan menimbulkan hiperbilirubinemia terkonjugasi yang disertai bilirubinuria.

Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat total maupun parsial. Obstruksi total dapat

disertai tinja yang alkoholik. Penyebab tersering obstruksi bilier ekstrahepatik adalah :

sumbatan batu empedu pada ujung bawah ductus koledokus, karsinoma kaput pancreas,

karsinoma ampula vateri, striktura pasca peradangan atau operasi.

Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal

empedu dari hati ke kantong empedu dan usus. Akhirnya terbentuk sumbatan dan

menyebabkan cairan empedu balik ke hati ini akan menyebabkan peradangan, edema,

degenerasi hati. Dan apabila asam empedu tertumpuk dapat merusak hati. Bahkan hati

menjadi fibrosis dan cirrhosis. Kemudian terjadi pembesaran hati yang menekan vena portal

sehingga mengalami hipertensi portal yang akan mengakibatkan gagal hati.

Jika cairan empedu tersebar ke dalam darah dan kulit, akan menyebabkan rasa gatal.

Bilirubin yang tertahan dalam hati  juga akan dikeluarkan ke dalam aliran darah, yang dapat

mewarnai kulit dan bagian putih mata sehingga berwarna kuning. Degerasi secara gradual

pada hati menyebabkan joundice, ikterik dan hepatomegaly. Karena tidak ada aliran empedu

dari hati ke dalam usus, lemak dan vitamin larut lemak tidak dapat diabsorbsi, kekurangan

vitamin larut lemak yaitu vitamin A, D,E,K dan gagal tumbuh.

Vitamin A, D, E, K larut dalam lemak sehingga memerlukan lemak agar dapat diserap

oleh tubuh. Kelebihan vitamin-vitamin tersebut akan disimpan dalam hati dan lemak didalam

tubuh, kemudian digunakan saat diperlukan. Tetapi mengkonsumsi berlebihan vitamin yang

larut dalam lemak dapat membuat anda keracunan sehingga menyebabkan efek samping

seperti mual, muntah, dan masalah hati dan jantung.

2.3.5     Pemeriksaan Diagnostik

Belum ada satu pun pemeriksaan penunjang yang dapat sepenuhnya diandalkan

untuk membedakan antara kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik. Secara garis besar,

pemeriksaan dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu pemeriksaan :

1) Laboratorium rutin dan khusus untuk menentukan etiologi dan mengetahui fungsi

hati (darah,urin, tinja)

2) Pencitraan, untuk menentukan patensi saluran empedu dan menilai parenkim hati

3) Biopsi hati, terutama bila pemeriksaan lain belum dapat menunjang diagnosis atresia

bilier.

Pemeriksaan laboratorium

 a) Pemeriksaan rutin

 Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar komponen bilirubin

untuk membedakannya dari hiperbilirubinemia fisiologis. Selain itu dilakukan pemeriksaan

darah tepi lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar bilirubin direk < 4 mg/dl tidak

sesuaidengan obstruksi total. Peningkatan kadar SGOT/SGPT > 10 kali dengan pcningkatan

gamma-GT < 5 kali, lebih mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler. Sebaliknya,

peningkatan SGOT < 5kali dengan peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke

kolestasis ekstrahepatik. Menurut Fitzgerald, kadar gamma-GT yang rendah tidak

menyingkirkan kemungkinan atresia bilier. Kombinasi peningkatan gamma-GT, bilirubin

serum total atau bilirubin direk, dan alkalifosfatase mempunyai spesifisitas 92,9%

dalam menentukan atresia bilier.

-       Pemeriksaan urine : pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien yang

mengalami ikterus. Tetapi urobilin dalam urine negatif. Hal ini menunjukkan adanya

bendungan saluran empedu total.

-       Pemeriksaan feces : warna tinja pucat karena yang memberi warna pada tinja /

stercobilin dalam tinja berkurang karena adanya sumbatan.

-       Fungsi hati : bilirubin, aminotranferase dan faktor pembekuan : protombin time, partial

thromboplastin time.

Pemeriksaan khusus

Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya diagnostik yang cukup

sensitif, tetapi penulis lain menyatakan bahwa pemeriksaan ini tidak lebih baik dari

pemeriksaan visualisasi tinja. Pawlawska menyatakan bahwa karena kadar bilirubin dalam

empedu hanya10%, sedangkan kadar asam empedu di dalam empedu adalah 60%, maka tidak

adanya asam empedu di dalam cairan duodenum dapat menentukan adanya atresia bilier.

Pencitraan

Pemeriksaan ultrasonografi

Theoni mengemukakan bahwa akurasi diagnostic USG 77% dan dapat ditingkatkan

bilapemeriksaan dilakukan dalam 3 fase, yaitu pada keadaan puasa, saat minum dan sesudah

minum.Bila pada saat atau sesudah minum kandung empedu berkontraksi, maka atresia

bilier kemungkinan besar (90%) dapat disingkirkan. Dilatasi abnormal duktus bilier,

tidak ditemukannya kandung empedu, dan meningkatnya ekogenitas hati, sangat mendukung

diagnosisatresia bilier. Namun demikian, adanya kandung empedu tidak menyingkirkan

kemungkinan atresia bilier, yaitu atresia bilier tipe I / distal.

Sintigrafi hati

Pemeriksaan sintigrafi sistem hepatobilier dengan isotop Technetium 99m

mempunyai akurasi diagnostik sebesar 98,4%. Sebelum pemeriksaan dilakukan, kepada

pasien diberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis selama 5 hari.

Pada kolestasisintrahepatik pengambilan isotop oleh hepatosit berlangsung lambat tetapi

ekskresinya ke usus normal,  sedangkan pada atresia bilier proses pengambilan isotop normal

tetapi ekskresinya keusus lambat atau tidak terjadi sama sekali. Di lain pihak, pada kolestasis

intrahepatik yang beratjuga tidak akan ditemukan ekskresi isotop ke duodenum. Untuk

meningkatkan sensitivitas danspesifisitas pemeriksaan sintigrafi, dilakukan penghitungan

indeks hepatik (penyebaran isotop dihati dan jantung), pada menit ke-10. Indeks hepatik > 5

dapat menyingkirkan kemungkinanatresia bilier, sedangkan indeks hepatik < 4,3 merupakan

petunjuk kuat adanya atresia bilier.Teknik sintigrafi dapat digabung dengan pemeriksaan

DAT, dengan akurasi diagnosis sebesar 98,4%. Torrisi mengemukakan bahwa dalam

mendetcksi atresia bilier, yang terbaik adalahmenggabungkan basil pemeriksaan USG dan

sintigrafi.

Liver Scan

Scan pada liver dengan menggunakan metode HIDA (Hepatobiliary Iminodeacetic

Acid). Hida melakukan pemotretan pada jalur dari empedu dalam tubuh, sehingga dapat

menunjukan bilamana ada blokade pada aliran empedu.

Pemeriksaan kolangiografi

 Pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreaticography).

Merupakan upaya diagnostik dini yang berguna untuk membedakan antara atresia bilier

dengan kolestasisintrahepatik. Bila diagnosis atresia bilier masih meragukan, dapat dilakukan

pemeriksaan kolangiografi durante operasionam.

Sampai saat ini pemeriksaan kolangiografi dianggap sebagai baku emas untuk membedakan

kolestasis intrahepatik dengan atresia bilier.

Biopsi hati

 Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang paling dapat diandalkan.

Ditangan seorang ahli patologi yang berpengalaman, akurasi diagnostiknya mencapai

95%,sehingga  dapat membantu pengambilan keputusan untuk melakukan laparatomi

eksplorasi, danbahkan berperan untuk penentuan operasi Kasai. Keberhasilan aliran empedu

pasca operasi Kasai di 6 tukan oleh diameter duktus bilier yang paten di daerah hilus hati.

Bila diameter duktus100  200 u atau 150  400 u maka aliran empedu dapat terjadi. Desmet

dan Ohya menganjurkan agar  dilakukan frozen section pada saat laparatomi eksplorasi,

untuk menentukan apakah portoenterostomi dapat dikerjakan. Gambaran histopatologik hati

yang mengarah ke atresia bilier mengharuskan intervensi bedah secara dini. Yang menjadi

pertanyaan adalah waktu yang paling optimal untuk melakukan biopsi hati. Harus disadari,

terjadinya proliferasi duktuler (gambaran histopatologik yang menyokong diagnosis atresia

bilier tetapi tidak patognomonik) memerlukan waktu. Oleh karena itu tidak dianjurkan untuk

melakukan biopsi pada usia < 6 minggu.

2.3.6     Penatalaksanaan

1. Terapi medikamentosa 

Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu

(asamlitokolat), dengan memberikan : 

Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral.

Fenobarbital akan merangsang enzimglukuronil transferase (untuk mengubah

bilirubin indirek menjadi bilirubin direk); enzimsitokrom P-450 (untuk oksigenisasi

toksin), enzim Na+ K+ ATPase (menginduksi aliranempedu). Kolestiramin 1

gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal pemberian susu.

Kolestiraminmemotong siklus enterohepatik asam empedu sekunder

Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan : Asam ursodeoksikolat, 310

mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis, per oral. Asam ursodeoksikolatmempunyai daya ikat

kompetitif terhadap asam litokolat yang hepatotoksik. 

2. Terapi nutrisi

Terapi yang bertujuan untuk memungkinkan anak tumbuh dan berkembang seoptimal

mungkin, yaitu :

1).Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglycerides (MCT) untuk

mengatasi malabsorpsi lemak dan mempercepat metabolisme. Disamping itu, metabolisme

yang dipercepat  akan secara efisien segera dikonversi menjadi energy untuk secepatnya

dipakai oleh organ dan otot, ketimbang digunakan sebagai lemak dalam tubuh. Makanan

yang mengandung MCT antara lain seperti lemak mentega, minyak kelapa, dan lainnya.

2)Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak. Seperti vitamin A, D, E, K

3. Terapi bedah

a. Kasai Prosedur

Prosedur yang terbaik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan empedu keusus.

Tetapi prosedur ini hanya mungkin dilakukan pada 5-10% penderita. Untuk melompati

atresia bilier dan langsung menghubungkan hati dengan usus halus, dilakukan pembedahan

yang disebut prosedur Kasai. Biasanya pembedahan ini hanya merupakan pengobatan

sementara dan pada akhirnya perlu dilakukan pencangkokan hati.

b. Pencangkokan atau Transplantasi Hati

Transplantasi hati memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk atresia bilier dan

kemampuan hidup setelah operasi meningkat secara dramatis dalam beberapa tahun terakhir.

Karena hati adalah organ satu-satunya yang bisa bergenerasi secara alami tanpa perlu obat

dan fungsinya akan kembali normal dalam waktu 2 bulan. Anak-anak dengan atresia bilier

sekarang dapat hidup hingga dewasa, beberapa bahkan telah mempunyai anak. Kemajuan

dalam operasi transplantasi telah juga meningkatkan kemungkianan untuk dilakukannya

transplantasi pada anak-anak dengan atresia bilier.  Di masa lalu, hanya hati dari anak kecil

yang dapat digunakan untuk transplatasi karena ukuran hati harus cocok.  Baru-baru ini, telah

dikembangkan untuk menggunakan bagian dari hati orang dewasa, yang disebut"reduced

size" atau "split liver" transplantasi, untuk transplantasi pada anak dengan atresia bilier.

Berdasarkan treatment yang diberikan :

Palliative treatment

Dilakukan home care untuk meningkatkan drainase empedu dengan mempertahankan

fungsi hati dan mencegah komplikasi kegagalan hati.

Supportive treatment

o Managing the bleeding dengan pemberian vitamin K yang berperan dalam

pembekuan darah dan apabila kekurangan vitamin K dapat menyebabkan

perdarahan berlebihan dan kesulitan dalam penyembuhan. Ini bisa ditemukan

pada selada, kubis, kol, bayam, kangkung, susu, dan sayuran berdaun hijau tua

adalah sumber terbaik vitamin ini.

o Nutrisi support, terapi ini diberikan karena  klien dengan atresia bilier

mengalami obstruksi aliran dari hati ke dalam usus sehingga menyebabkan

lemak dan vitamin larut lemak tidak dapat diabsorbsi. Oleh karena itu

diberikan makanan yang mengandung medium chain triglycerides (MCT)

seperti minyak kelapa.

o Perlindungan kulit bayi secara teratur akibat dari akumulasi toksik yang

menyebar ke dalam darah dan kulit yang mengakibatkan gatal (pruiritis) pada

kulit.

o Pemberian health edukasi dan emosional support, keluarga juga turut

membantu dalam memberikan stimulasi perkembangan dan pertumbuhan

klien.

2.3.7    Komplikasi

Kolangitis:

Komunikasi langsung dari saluran empedu intrahepatic ke usus, dengan aliran empedu

yang tidak baik, dapat menyebabkan ascending cholangitis.  Hal ini terjadi terutamadalam

minggu-minggu pertama atau bulan setelah prosedur Kasai sebanyak 30-60% kasus.Infeksi

ini bisa berat dan kadang-kadang fulminan.  Ada tanda-tanda sepsis (demam,

hipotermia,status hemodinamik terganggu), ikterus yang berulang, feses acholic dan mungkin

timbul sakitperut. Diagnosis dapat dipastikan dengan kultur darah dan / atau biopsi hati.

Hipertensi portal:

Portal hipertensi terjadi setidaknya pada dua pertiga dari anak-anak setelah

portoenterostomy. Hal paling umum yang terjadi adalah varises esofagus.

Hepatopulmonary syndrome dan hipertensi pulmonal:

Seperti pada pasien dengan penyebab lain secara spontan (sirosis atau prehepatic

hipertensi portal) atau diperoleh (bedah) portosystemic shunts, shunts pada arterivenosus

pulmo mungkin terjadi. Biasanya, hal inimenyebabkan hipoksia, sianosis, dan dyspneu.

Diagnosis dapat ditegakan dengan scintigraphyparu. Selain itu, hipertensi pulmonal dapat

terjadi pada anak-anak dengan sirosis yang menjadi penyebab kelesuan dan bahkan kematian

mendadak. Diagnosis dalam kasus ini dapat ditegakan oleh echocardiography. Transplantasi

liver dapat membalikan shunts, dan dapat membalikkan hipertensi pulmonal ke tahap semula.

Keganasan:

Hepatocarcinomas, hepatoblastomas, dan cholangiocarcinomas dapat timbul

padapasien dengan atresia bilier yang telah mengalami sirosis. Skrining untuk keganasan

harusdilakukan secara teratur dalam tindak lanjut pasien dengan operasi Kasai yang berhasil. 

Hasil setelah gagal operasi Kasai

Sirosis bilier bersifat progresif jika operasi Kasai gagal untuk memulihkan aliran

empedu,dan pada keadaan ini harus dilakukan transplantasi hati. Hal ini biasanya dilakukan

di tahun kedua kehidupan, namun dapat dilakukan lebih awal (dari 6 bulan hidup) untuk

mengurangi kerusakan dari  hati.  Atresia bilier mewakili lebih dari setengah dari indikasi

untuk transplantasi hati di masa kanak-kanak.  Hal ini juga mungkin diperlukan dalam kasus-

kasus dimana pada awalnya sukses setelah operasi Kasai tetapi timbul ikterus yang rekuren

(kegagalan sekunder operasi Kasai), atau untuk berbagai komplikasi dari sirosis

(hepatopulmonary sindrom).

2.3.8 Prognosis

Keberhasilan portoenterostomi ditentukan oleh usia anak saat dioperasi, gambaran

histologik porta hepatis, kejadian penyulit kolangitis, dan pengalaman ahli bedahnya sendiri.

Bila operasi dilakukan pada usia < 8 minggu maka angka keberhasilannya 71,86%,

sedangkan bila operasi dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka keberhasilannya hanya

34,43%. Sedangkan bila operasi tidak dilakukan, maka angka keberhasilan hidup 3 tahun

hanya 10% dan meninggal rata-rata pada usia 12 bulan. Anak termuda yang mengalami

operasi Kasai berusia 76 jam. Jadi, faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan operasi

adalah usia saat dilakukan operasi > 60 hari, adanya gambaran sirosis pada sediaan histologik

hati, tidak adanya duktus bilier ekstrahepatik yang paten, dan bila terjadi penyulit hipertensi

portal.

2.4 Hernia Diafragmatika

2.4.1 Definisi Hernia Diafragmatika

Hernia adalah penonjolan gelung atau ruas organ atau jaringan melalui lubang

abnormal. Henia diafragmatika adalah sekat yang membatasi rongga dada dan rongga perut.

Hernia Diafragmatika adalah penonjolan organ perut ke dalam rongga dada melalui suatu

lubang pada diafragma. Akibat penonjolan viscera abdomen ke dalam rongga thorax melalui

suatu pintu pada diafragma. Terjadi bersamaan dengan pembentukan sistem organ dalam

rahim. Hernia diafragmatika termasuk kelainan bawaan yang terjadi karena tidak

terbentuknya sebagian diafragma, sehingga ada bagian isi perut masuk kedalam rongga torak.

Gambar 2.13 Herni Diafragmatika

2.4.2 Etiologi Hernia Diafragmatika

Ditemukan pada 1 diantara 2200-5000 kelahiran dan 80-90% terjadi pada sisi tubuh

bagian kiri. Janin tumbuh di uterus ibu sebelum lahir, berbagai sistem organ berkembang dan

matur. Diafragma berkembang antara minggu ke-7 sampai 10 minggu kehamilan. Esofagus

(saluran yang menghubungkan tenggorokan ke abdomen), abdomen, dan usus juga

berkembang pada minggu itu. Pada hernia tipe Bockdalek, diafragma berkembang secara

tidak wajar atau usus mungkin terperangkap di rongga dada pada saat diafragma berkembang.

Pada hernia tipe Morgagni, otot yang seharusnya berkembang di tengah diafragma tidak

berkembang secara wajar. Pada kedua kasus di atas perkembangan diafragma dan saluran

pencernaan tidak terjadi secara normal. Hernia difragmatika terjadi karena berbagai faktor,

yang berarti “banyak faktor” baik faktor genetik maupun lingkungan.

2.4.3   Patofisiologis Hernia Diafragmatika

Disebabkan oleh gangguan pembentukan diafragma. Diafragma dibentuk dari 3

unsur yaitu membrane pleuroperitonei, septum transversum dan pertumbuhan dari tepi yang

berasal dari otot-otot dinding dada. Gangguan pembentukan itu dapat berupa kegagalan

pembentukan seperti diafragma, gangguan fusi ketiga unsure dan gangguan pembentukan

seperti pembentukan otot. Pada gangguan pembentukan dan fusi akan terjadi lubang hernia,

sedangkan pada gangguan pembentukan otot akan menyebabkan diafragma tipis dan

menimbulkan eventerasi. Para ahli belum seluruhnya mengetahui faktor yang berperan dari

penyebab hernia diafragmatika, antara faktor lingkungan dan gen yang diturunkan orang tua.

2.4.4 Tanda dan Gejala Hernia Diafragmatika

Gejalanya berupa:

a.   Retraksi sela iga dan substernal

b. Perut kecil dan cekung

c. Suara nafas tidak terdengar pada paru karena terdesak isi perut.

d. Bunyi jantung terdengar di daerah yang berlawanan karena terdorong oleh isi perut.

e.  Terdengar bising usus di daerah dada.

f. Gangguan pernafasan yang berat

g. Sianosis (warna kulit kebiruan akibat kekurangan oksigen)

h. Takipneu (laju pernafasan yang cepat)

i. Bentuk dinding dada kiri dan kanan tidak sama (asimetris)

j. Takikardia (denyut jantung yang cepat).

2.4.5 Gambaran klinis

Kelainan yang sering ditemukan adalah adanya penutupan yang tidak sempurna dari

sinus pleuroperitoneal ( foramen bochdalek ) yang terletak pada bagian postero-lateral dari

diafragma, tetapi jarang di temukan hernia sinussubsternal (foramen morgagni) yang melalui

hiatus esofagus.

2.4.6 Penatalaksanaan Diafragmatika

a. Pemeriksaan fisik

1) Pada hernia diafragmatika dada tampak menonjol, tetapi gerakan nafas tidak nyata

2) Perut kempis dan menunjukkan gambaran scafoid

3) Pada hernia diafragmatika pulsasi apeks jantung bergeser sehingga kadang-kadang

terletak di hemitoraks kanan

4) Bila anak didudukkan dan diberi oksigen, maka sianosis akan berkurang

5) Gerakan dada pada saat bernafas tidak simetris

6) Tidak terdengar suara pernafasan pada sisi hernia

7) Bising usus terdengar di dada

b. Pemeriksaan Penunjang

1) Foto thoraks akan memperlihatkan adanya bayangan usus di daerah toraks

2) Kadang-kadang diperlukan fluoroskopi untuk membedakan antara paralisis

diafragmatika dengan eventerasi (usus menonjol ke depan dari dalam abdomen)

Yang dapat dilakukan seorang bidan bila menemukan bayi baru lahir yang mengalami hernia

diafragmatika yaitu :

1.      Berikan oksigen bila bayi tampak pucat atau biru.

2.      Posisikan bayi semifowler atau fowler sebelum atau sesudah operasi agar tekanan dari

isi perut terhadap paru berkurang dan agar diafragma dapat bergerak bebas.

3.      Awasi bayi jangan sampai muntah, apabila hal tersebut terjadi, maka tegakkan bayi

agar tidak terjadi aspirasi.

4.      Lakukan informed consent dan informed choice untuk rujuk bayi ke tempat pelayanan

yang lebih baik.

c.  Perencanaan

Apabila pada anak dijumpai adanya kelainan – kelainan yang biasa mengarah pada

Hernia diafragmatika, maka anak perlu segera dibawa ke dokter atau rumah sakit agar segera

bisa ditangani dan mendapatkan diagnosis yang tepat. Tindakan yang bisa dilakukan sesuai

dengan masalah yang keluhan – keluhan yang dirasakan :

1.Anak ditidurkan dalam posisi duduk dan dipasang pipa nasogastrik yang dengan teratur

dihisap.

2.Diberikan antibiotika profilaksis dan selanjutnya anak dipersiapkan untuk operasi. Organ

perut harus dikembalikan ke rongga perut dan lubang pada diafragma diperbaiki.

2.4.7 Komplikasi Hernia Diafragmatika

Lambung, usus dan bahkan hati dan limpa menonjol melalui hernia. Jika hernianya

besar, biasanya paru-paru pada sisi hernia tidak berkembang secara sempurna. Setelah lahir,

bayi akan menangis dan bernafas sehingga usus segera terisi oleh udara. Terbentuk massa

yang mendorong jantung sehingga menekan paru-paru dan terjadilah sindroma gawat

pernafasan. Sedangkan komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita hernia diafragmatika

tipe Bockdalek antara lain 20 % mengalami kerusakan kongenital paru-paru dan 5 – 16 %

mengalami kelainan kromosom. Selain itu dapat menimbulkan beberapa komplikasi

misalnya:

a. Gangguan Kardiopulmonal karena terjadi penekanan paru dan terdorongnya mediastinum

ke arah kontralateral.

b. Sesak nafas berat berlanjut dengan asfiksia.

c. Mengalami muntah akibat obstruksi usus.

d. Adanya penurunan jumlah alveoli dalam pembentukan bronkus.

2.5 Atresia Duodeni

2.5.1 Definisi

Atresia duodenum adalah kondisi dimana duodenum tidak berkembang baik. Pada

kondisi ini deodenum bisa mengalami penyempitan secara komplit sehingga menghalangi

jalannya makanan dari lambung menuju usus untuk mengalami proses absorbsi. Apabila

penyempitan usus terjadi secara parsial, maka kondisi ini disebut dengan doudenal stenosis.

Gambar 2.14 Atresia Duodenum

2.5.2 Etiologi

Penyebab yang mendasari terjadinya atresia duodenal sampai saat ini belum

diketahui. Atresia duodenal sering ditemukan bersamaan dengan malformasi pada neonatus

lainnya, yang menunjukkan kemungkinan bahwa anomali ini disebabkan karena gangguan

yang dialami pada awal kehamilan. Pada beberapa penelitian, anomali ini diduga karena

karena gangguan pembuluh darah masenterika. Gangguan ini bisa disebabkan karena

volvulus, malrotasi, gastrokisis maupun penyebab yang lainnya. Pada atresia duodenum, juga

diduga disebabkan karenakegagalan proses rekanalisasi. Faktor risiko maternal sampai saat

ini tidak ditemukan sebagai penyebab signifikan terjadinya anomali ini.Pada sepertiga pasien

dengan atresia duodenal menderita pula trisomi 21 m(sindrom down), akan tetapi ini

bukanlah faktor risiko yang signifikan menyebabkan terjadinya atresia duodenal. Beberapa

penelitian menyebutkan bahwa 12-13% kasus atresis duodenal disebabkan karena

polihidramnion. Disamping itu, beberapa penelitian menyebutkan bahwa annular

pankreasberhubungan dengan terjadinya atresia duodenal.

2.5.3 Perkembangan Embriologi Duodenum

Deodenum dibentuk dari bagian akhir usus depan dan bagian sefalik dari usus tengah.

Titik pertemuan kedua bagian ini terletak tepat di sebelah distal pangkal tunas hati. Ketika

lambung berputar, duodenum mengambil bentuk melengkung seperti huruf C dan memutar

ke kanan. Perputaran ini bersama-sama dengan tumbuhnya kaput pankreas, menyebabkan

duodenum membelok dari posisi tengahnya yang semula ke arah sisi kiri rongga abdomen.

Deodenum dan kaput pankreas ditekan ke dinding dorsal badan, dan permukaan kanan

mesoduodenum dorsal menyatu dengan peritonium yang ada didekatnya. Kedua lapisan

tersebut selanjutnya menghilang dan duodenum serta kaput pankreas menjadi terfikasasi di

posisi retroperitonial. Mesoduodenum dorsal menghilang sama sekali kecuali di daerah

pilorus lambung, dengan sebagian kecil duodenum ( tutup duodenum) yang tetap

intraperitonial.Selama bulan ke dua, lumen duodenum tersumbat oleh ploriferasi sel di

dindingnya. Akan tetapi, lumen ini akan mengalami rekanalisasi sesudah bulan kedua. Usus

depan akan disuplai oleh pembuluh darah yang berasal dari arteri sefalika dan usus tengah

oleh arteri mesenterika superior, sehingga duodenum akan disuplai oleh kedua pembuluh

darah tersebut.

2.5.4 Patogenesis

Ada faktor ekstrinsik serta ekstrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya atresia

duodenal. Faktor intrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya anomali ini karena kegagalan

rekanalisasi lumen usus. Duodenum dibentuk dari bagian akhir foregut dan bagian sefalik

midgut. Selama minggu ke 5-6 lumen tersumbat oleh proliferasi sel dindingnya dan segera

mengalami rekanalisasi pada minggu ke 8-10. Kegagalan rekanalisasi ini disebut dengan

atresia duodenum. Perkembangan duodenum terjadi karena proses ploriferasi endoderm yang

tidak adekuat (elongasi saluran cerna melebihi ploriferasinya atau disebabkan kegagalan

rekanalisasi epitelial (kegagalan proses vakuolisasi). Banyak penelitian yang menunjukkan

bahwa epitel duodenum berploriferasi dalam usia kehamilan 30-60 hari ataupada kehamilan

minggu ke 5 atau minggu ke 6, kemudian akan menyumbat lumen duodenum secara

sempurna. Kemudian akan terjadi proses vakuolisasi. Pada proses ini sel akan mengalami

proses apoptosis yang timbul pada lumen duodenum. Apoptosis akan menyebabkan

terjadinya degenerasi sel epitel, kejadian ini terjadi pada minggu ke 11 kehamilan. Proses ini

mengakibatkan terjadinya rekanalisasi pada lumen duodenum. Apabila proses ini mengalami

kegagalan, maka lumen duodenum akan mengalami penyempitan.Pada beberapa kondisi,

atresia duodenum dapat disebabkan karena faktor ekstrinsik. Kondisi ini disebabkan karena

gangguan perkembangan struktur tetangga, seperti pankreas. Atresia duodenum berkaitan

dengan pankreas anular. Pankreas anular merupakan jaringan pankreatik yang mengelilingi

sekeliling duodenum, terutama deodenum bagian desenden. Kondisi ini akan mengakibatkan

gangguan perkembangan duodenum.

2.5.5 Klasifikasi

Atresia dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tipe morfologi. Atresia tipe I terjadi pada

lebih dari 90 % kasus dari semua obstruksi duodenum. Kandungan lumen diafragma meliputi

mukosa dan submukosa. Terdapar windsock deformity, dimana bagian duodenum yang

terdilatasi terdapat pada bagian distal dari duodenum yang obstruksi. Pada tipe I ini, tidak ada

fibrous cord dan duodenum masih kontinu. Atresia tipe II, dikarakteristikan dengan dilatasi

proksimal dan kolaps pada segmen area distal yand terhubung oleh fibrous cord. Atresia tipe

III memiliki gap pemisah yang nyata antara duodenal segmen distal dan segmen

proksimal.

2.5.6 Manifestasi Klinis

Pasien dengan atresia duodenal memiliki gejala obstruksi usus. Gejala akan nampak

dalam 24 jam setelah kelahiran. Pada beberapa pasien dapat timbul gejala dalam beberapa

jam hingga beberapa hari setelah kelahiran. Muntah yang terus menerus merupakan gejala

yang paling sering terjadi pada neonatus dengan atresia duodenal. Muntah yang terus-

menerus ditemukan pada 85% pasien.Muntah akan berwarna kehijauan karena muntah

mengandung cairan empedu (biliosa). Akan tetapi pada 15% kasus, muntah yang timbul yaitu

non-biliosa apabila atresia terjadi pada proksimal dari ampula veteri.

Muntah neonatus akan semakin sering dan progresif setelah neonatus mendapat ASI.

Karakteristik dari muntah tergantung pada lokasi obstruksi. Jika atresia diatas papila, maka

jarang terjadi. Apabila obstruksi pada bagian usus yang tinggi, maka muntah akan berwarna

kuning atau seperti susu yang mengental. Apabila pada usus yang lebih distal, maka muntah

akan berbau dan nampak adanya fekal. Apabila anak terus menerus muntah pada hari pertama

kelahiran ketika diberikan susu dalam jumlah yang cukup sebaiknya dikonfirmasi dengan

pemeriksaan penunjang lain seperti roentgen dan harus dicurigai mengalami obstruksi usus.

Ukuran feses juga dapat digunakan sebagai gejala penting untuk menegakkan diagnosis. Pada

anak dengan atresia, biasanya akan memiliki mekonium yang jumlahnya lebih sedikit,

konsistensinya lebih kering, dan berwarna lebih abu-abu dibandingkan mekonium yang

normal.

Pada beberapa kasus, anak memiliki mekonium yang nampak seperti normal.

Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama biasanya tidak terganggu. Akan tetapi, pada

beberapa kasus dapat terjadi gangguan. Apabila kondisi anak tidak ditangani dengan cepat,

maka anak akan mengalami dehidrasi, penurunan berat badan, gangguan keseimbangan

elektrolit. Jika dehidrasi tidak ditangani, dapat terjadi alkalosis metabolik hipokalemia atau

hipokloremia. Pemasangan tuba orogastrik akan mengalirkan cairan berwarna empedu

(biliosa) dalam jumlah bermakna.5,6

Anak dengan atresi duodenum juga akan mengalami aspirasi gastrik dengan ukuran

lebih dari 30 ml. Pada neonatus sehat, biasanya aspirasi gastrik berukuran kurang dari 5 ml.

Aspirasi gastrik ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada jalan nafas anak. Pada

beberapa anak, mengalami demam. Kondisi ini disebabkan karena pasien mengalami

dehidrasi. Apabila temperatur diatas 103º F, maka kemungkinan pasien mengalami ruptur

intestinal atau peritonitis.Pada pemeriksaan fisik ditemukan distensi abdomen. Akan tetapi

distensi ini tidak selalu ada, tergantung pada level atresia dan lamaya pasien tidak dirawat.

Jika obstruksi pada duodenum, distensi terbatas pada epigastrium. Distensi dapat tidak

terlihat jika pasien terus menerus muntah.

Pada kasus lain, distensi tidak nampak sampai neonatus berusia 24-48 jam, tergantung

pada jumlah susu yang dikonsumsi neonatus dan muntah yang dapat menyebabkan traktus

alimentari menjadi kosong. Pada beberapa neonatus, distensi bisa sangat besar setelah hari ke

tiga sampai hari ke empat, kondisi ini terjadi karena ruptur lambung atau usus sehingga

cairan berpindah ke kavum peritoneal. Neonatus dengan atresia

duodenum memiliki gejala khas perut yang berbentuk skafoid.Saat auskultasi, terlihat

gelombang peristaltik gastrik yang melewati epigastrium dari kiri ke kanan atau gelombang

peristaltik duodenum pada kuadran kanan atas. Apabila obstruksi pada jejunum, ileum

maupun kolon, maka gelombang peristaltik akan terdapat pada semua bagian dinding perut.

2.5.7 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan saat prenatal maupun saat postnatal.

Prenatal

Diagnosis saat masa prenatal yakni dengan menggunakan prenatal ultrasonografi.

Sonografi dapat meng-evaluasi adanya polihidramnion dengan melihat adanya struktur yang

terisi dua cairan dengan gambaran double bubble pada 44% kasus. Sebagian besar kasus

atresia duodenum dideteksi antara bulan ke 7 dan 8 kehamilan, akan tetapi pada beberapa

penelitian bisa terdeteksi pada minggu ke 20.

Postnatal

Pemeriksaan yang dilakukan pada neonatus yang baru lahir dengan kecurigaan atresia

duodenum, yakni pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiografi. Pemeriksaan

laboratorium yang diperiksa yakni pemeriksaan serum, darah lengkap, serta fungsi ginjal

pasien. Pasien bisanya muntah yang semakin progresive sehingga pasien akan mengalami

gangguan elektrolit. Biasanya mutah yang lama akan menyebabkan terjadinya metabolik

alkalosis dengan hipokalemia atau hipokloremia dengan paradoksikal aciduria. Oleh karena

itu, gangguan elektrolit harus lebih dulu dikoreksi sebelum melakukan operasi. Disamping

itu, dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui apakah pasien mengalami

demam karena peritonitis dan kondisi pasien secara umum.Pemeriksaan roentgen yang

pertama kali dilakukan yakni plain abdominal x-ray. X-ray akan menujukkan gambaran

double-bubble sign tanpa gas pada distal dari usus. Pada sisi kiri proksimal dari usus nampak

gambaran gambaran lambung yang terisi cairan dan udara dan terdapat dilatasi dari

duodenum proksimal pada garis tengah agak kekanan. Apabila pada x-ray terdapat gas distal,

kondisi tersebut tidak mengekslusi atresia duodenum. Pada neonatus yang mengalami

dekompresi misalnya karena muntah, maka udara akan berangsur-angsur masukke dalam

lambung dan juga akan menyebabkan gambaran double-bubble.

2.5.8 Tatalaksana

Tata laksana yang dilakukan meliputi tata laksana preoperatif, intraoperatif serta

postoperatif.

Tata Laksana Preoperatif

Setelah diagnosis ditegakkan, maka resusitasi yang tepat diperlukan dengan

melakukan koreksi terhadap keseimbangan cairan dan abnormalitas elektrolit serta

melakukan kompresi pada gastrik. Dilakukan pemasangan orogastrik tube dan menjaga

hidrasi IV. Managemen preoperatif ini dilakukan mulai dari pasien lahir. Sebagian besar

pasien dengan duodenal atresia merupakan pasien premature dan kecil, sehingga perawatan

khusus diperlukan untuk menjaga panas tubuh bayi dan mencegah terjadinya hipoglikemia,

terutama pada kasus berat badan lahir yang sangat rendah, CHD, dan penyakit pada respirasi.

Sebaiknya pesien dirawat dalam inkubator.

Tata Laksana Intraoperatif

Sebelum tahun 1970, duodenojejunostomi merupakan teknik yang dipilih untuk

mengoreksi obstruksi yang disebabkan karena stenosis maupun atresia. Kemudian,

berdasarkan perkembangannya, ditemukan berbagai teknik yang bervariasi, meliputi side-to-

side duodenoduodenostomi, diamnond shape duodenoduodenostomi, partial web resection

with heineke mikulick type duodenoplasty, dan tapering duodenoplasty. Side-to-side

duodenoplasty yang panjang, walaupun dianggap efektif, akan tetapi pada beberapa

penelitian teknik ini memyebabkan terjadinya disfungsi anatomi dan obstruksi yang lama.

Pada pasien dengan duodenoduodenostomi sering mengalami blind-loop syndrome. Saat ini,

prosedur yang banyak dipakai yakni laparoskopi maupun open duodenoduodenostomi.

Teknik untuk anastomosisnya dilakukan pada bagian proksimal secara melintang ke bagian

distal secara longitudinal atau diamond shape. Dilakukan anastomosis diamond-shape pada

bagian proksimal secara tranversal dan distal secara longitudinal. Melalui teknik ini akan

didapatkan diamater anatomosis yang lebih besar, dimana kondisi ini lebih baik untuk

mengosongkan duodenum bagian atas. Pada beberapa kasus, duodenoduodenostomi dapat

sebagai alternatif dan menyebabkan proses perbaikan yang lebih mudah dengan pembedahan

minimal.

Untuk open duodenoduodenostomi, dapat dilakukan insisi secara tranversal pada

kuadran kanan atas pada suprambilikal.6 Untuk membuka abdomen maka diperlukan insisi

pada kulit secara tranversal, dimulai kurang lebih 2 cm diatas umbilikus dari garis tengah dan

meluas kurang lebih 5 cm ke kuadran kanan atas. Setelah kita menggeser kolon ascending

dan tranversum ke kiri, kemudian kita akan melihat duodenal yang mengalami obstruksi.

Disamping mengevaluasi duodenal stresia, dapat dievaluasi adanya malrotasi karena 30%

obstruksi duodenal kongenital dihubungkan dengan adanya malrotasi. Kemudian dilakukan

duodenotomi secara tranversal pada dinding anterior bagian distal dari duodenum proksimal

yang terdilatasi serta duodenostomi yang sama panjangnya dibuat secara vertikal pada batas

antimesenterik pada duodenum distal. Kemudian akan dilakukan anstomosis dengan

menyatukan akhir dari tiap insisi denganbagian insisi yang lain. Disamping melakukan open

duodenoduodenostomi, pada negara maju dapat dilakukan teknik operasi menggunakan

laparoscopic.

Teknik dimulai dengan memposisikan pasien dalam posisi supinasi, kemudian akan

diinsersikan dua instrument. Satu pada kuadran kanan bayi, dan satu pada mid-epigastik

kanan. Duodenum dimobilisasi dan diidentifikasi regio yang mengalami obstruksi. Kemudian

dilakukan diamond shape anastomosis. Beberapa ahli bedah melakukan laparoscopik

anatomosis dengan jahitan secara interrupted, akan tetapi teknik ini memerlukan banyak

jahitan. Metode terbaru yang dilaporkan, kondisi ini dapat diselesaikan dengan menggunakan

nitinol U-clips untuk membuat duodenoduodenostomi tanpa adanya kebocoran dan bayi akan

lebih untuk dapat segera menyusui dibandingkan open duodenoduodenostomi secara

konvensional. Untuk duodenal obstruksi yang disebabkan annular pankreas, maka dilakukan

duodenoduodenostomi antara segmen duodenum diatas dan dibawah area cincin pankreas.

Operator tidak boleh melakukan pembedahan pada pankreas karena akan menyebabkan

pankreatik fistula, kondisi demikian menyebabkanstenosis atau atresia duodenum akan

menetap.

2.5.9 Tata Laksana Postoperatif

Pada periode postoperatif, maka infus intravena tetap dilanjutkan. Pasien

menggunakan transanastomotic tube pada jejunum, dan pasien dapat mulai menyusui setelah

48 jam pasca operasi. Untuk mendukung nutrisi jangka panjang, maka dapat dipasang kateter

intravena baik sentral maupun perifer apabila transanastomotic enteral tidak adekuat untuk

memberi suplai nutrisi serta tidak ditoleransi oleh pasien. Semua pasien memiliki periode

aspirasi asam lambung yang berwarna empedu. Kondisi ini terjadi karena peristaltik yang

tidak efektif atau distensi pada duodenum bagian atas. Permulaan awal memberi makanan

oral tergantung pada penurunan volume gastrik yang diaspirasi.

2.5.10 Prognosis

Angka harapan hidup untuk bayi dengan duodenal atresia yakni 90-95%. Mortalitas

yang tinggi disebabkan karena prematuritas serta abnormalitas kongenital yang multiple.

Komplikasi post operatif dilaporkan pada 14-18% pasien, dan beberapa pasien memerlukan

operasi kembali. Beberapa kondisi yang sering terjadi dan menyebabkan pasien perlu

dioperasi kembali, yakni kebocoran anstomosis, obstruksi fungsional duodenal, serta adanya

adhesi.

2.6 Omphalocele

2.6.1 Definisi

Omphalocele adalah kegagalan penutupan dinding abdomen pada masa embrio yang

berakibat penonjolan visera melalui opening umbilical cord.

2.6.2 Epidemiologi

Omphalocele merupakan kelainan kogenital defek dinding abdominal yang terbanyak

kedua setelah gastroschisis, insiden gastrochisis dari 0,4 dan 3 per 10,000 kelahiran

meningkat, sedangkan insiden omphalocele dari 1,5 dan 3 per 10,000 kelahiran adalah stabil.

Gambar 2.15 Omphlocele

Gambar 2.16 Omphlocele

2.6.3 Etiologi

Penyebab utama kelainan ini masih belum diketahui. Namun banyak teori yang

mengatakan bahwa kelainan ini terjadi karena usus tidak dapat masuk kembali ke abdomen

pada minggu ke 10-12 atau kegagalan lipatan mesodermal berpindah ke central.

2.6.4 Klasifikasi

Banyaknya usus dan organ perut lainnya yang menonjol pada omfalokel berikut

tergantung pada besarnya lubang di pusar. Jika lubangnya kecil mungkin hanya usus yang

menonjol, tapi jika lubangnya besar hati juga bisa menonjol melalui lubang tersebut.

Klasifikasi Omfalokel / Omphalokel menurut Moore,yaitu:

Tipe 1 : diameter defek <2,5 cm

Tipe 2 : diameter defek 2,5 – 5 cm

Tipe 3 : diameter defek >5cm

Suatu defek yang sempit dengan kantong yang kecil mungkin tak terdiagnosis saat

lahir. Dalam kasus ini timbul bahaya tersendiri bila kantong terpit klem dan sebagian isinya

berupa usus, bagiannya teriris saat ligasi tali pusat. Bila omphalokel dibiarkarn tanpa

penanganan, bungkusnya akan mengering dalam beberapa hari dan akan tampak retak-retak.

Pada saat tersebut akan menjalar infeksi dibawah lapisan yang mengering dan berkrusta.

Kadang dijumpai lapisan tersebut akan terpecah dan usus akan prolaps.

2.6.5 Faktor resiko

a.Infeksi dan penyakit pada ibu

b. Penggunaan obat-obatan berbahaya, merokok,

c. Kelainan genetik

d. Defesiensi asam folat

e. Hipoksia

f. Salisil dapat menyebabkan defek pada dinding abdomen.

g. Asupan gizi yang tak seimbang

h. Unsur polutan logam berat dan radioaktif yang masuk ke dalam tubuh ibu hamil.

2.6.6 Manifestasi klinis

Gangguan pencernaan, karena polisitemia dan hiperinsulin

Berat badan lahir > 2500 gr

Protrusi dari kantong yang berisi usu dan visera abdomen melalui defek dinding

abdomen pada umbilikus

2.6.7 Patofisiologi

Kelemahan yang terjadi dalam dinding abdomen semasa embrio II herniasi pada isi

usus pada salah satu samping umbilicus (yang biasanya pada samping kanan) organ visera

abdomen keluar dari kapasitas abdomen dan tidak tertutup oleh kantong. Malrotasi dan

menurunnya kapasitas abdomen dianggap sebagai anomaly. Pada janin usia 5-6 minggu isi

abdomen terletak di luar embrio di rongga selam. Pada usia 10 minggu terjadi pengembangan

lumen abdomen sehingga usus dari extra peritoneum akan masuk ke rongga perut. Proses ini

dihambat oleh kantong di pangkal umbilicus yang berisi usus, lambung kadang hati.

Dindingnya titip terdiri dari lapisan peritoneum dan lapisan amnion yang keduanya bening

sehingga isi kantong tengah tampak dari luar. Bila usus keluar dari titik terlemah di kanan

umbilicus, usus akan berada di luar rongga perut tanpa dibungkus peritoneum dan amnion.

2.6.8 Diagnosis

Diagnosis prenatal terhadap omphalocele sering ditegakkan dengan USG. Defek

dinding abdomen janin biasanya dapat dideteksi pada saat minggu ke 13 kehamilan. Pada

pemeriksaan USG tampak gambaran garis-garis halus dengan gambaran kantong atau selaput

yang ekhogenik pada daerah tali pusat berkembang. Pemeriksaan penunjang selain USG

adalah ekhocardiografi, MSAPF (maternal serum alpha-fetoprotein), dan analisa kromososm

melalui amniosintesis.

Diagnosis postnatal ialah terdapat defek sentral dinding abdomen pada daerah tali pusat.

Defek bervariasi ukurannya, dengan diameter mulai 4cm sampai dengan 12cm, mengandung

herniasi organ-organ abdomen baik solid maupun berongga dan masih dapat dilapisi oleh

selaput atau kantong serta tampak tali pusat berinsersi pada puncak kantong. Omfalokel

raksasa (giant omphalocele) mempunyai suatu kantong yang menempati hampir seluruh

dinding abdomen, berisi hampir semua organ intraabdomen dan berhubungan dengan tidak

berkembangnya rongga peritoneum serta hipoplasi pulmoner.

2.6.9 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan segera bayi dengan Omfalokel / Omphalokel adalah sbb:

1. Tempatkan bayi pada ruangan yang asaeptik dan hangat untuk mencegah kehilangan

cairan, hipotermi dan infeksi.

2. Posisikan bayi senyaman mungkin dan lembut untuk menghindari bayi menangis dan air

swallowing. Posisi kepala sebaiknya lebih tinggi untuk memperlancar drainase.

3. lakukan penilaian ada/tidaknya distress respirasi yang mungkin membutuhkan alat bantu

ventilasi seperti intubasi endotrakeal.

4.Pasang pipa nasogastrik atau pipa orogastrik untuk mengeluarkan udara dan cairan dari

sistem usus sehingga dapat mencegah muntah, mencegah aspirasi, mengurangi distensi

dan tekanan (dekompresi) dalam sistem usus sekaligus mengurangi tekanan intra

abdomen, demikian pula perlu dipasang rectal tube untuk irigasi dan untuk dekompresi

sistem usus.

5. Pasang kateter uretra untuk mengurangi distensi kandung kencing dan mengurangi tekanan

intra abdomen.

6. Pasang jalur intra vena (sebaiknya pada ektremitas atas) untuk pemberian cairan dan nutrisi

parenteral sehingga dapat menjaga tekanan intravaskuler dan menjaga kehilangan protein

yang mungkin terjadi karena gangguan sistem usus, dan untuk pemberian antibitika broad

spektrum.

7. Lakukan monitoring dan stabilisiasi suhu, status asam basa, cairan dan elektrolit

8. Pada omphalokel, defek ditutup dengan suatu streril-saline atau povidone -iodine soaked

gauze, lalu ditutup lagi dengan suatu oklusif plastik dressing wrap atau plastik bowel bag.

Tindakan harus dilakukan ekstra hati hati dimana cara tersebut dilakukan dengan tujuan

melindungi defek dari trauma mekanik, mencegah kehilangan panas dan mencegah infeksi

serta mencegah angulasi sistem usus yang dapat mengganggu suplai aliran darah.

9. Pemeriksaan darah lain seperti fungsi ginjal, glukosa dan hematokrit perlu dilakukan guna

persiapan operasi bila diperlukan.

10.Evaluasi adanya kelainan kongenital lain yang ditunjang oleh pemeriksaan rongent

thoraks dan ekhokardiogram.

11.Bila bayi akan dirujuk sebaiknya bayi ditempatkan dalam suatu inkubator hangat dan

ditambah oksigen

2.6.10 Komplikasi

Komplikasi dini adalah infeksi pada kantong yang mudah terjadi pada permukaan

yang terbuaka

Kekurangan nutrisi dapat terjadi sehingga perlu balans cairan dan nutrisi yang adekuat

misalnya dengan nutrisi parenteral.

.Dapat terjadi sepsis terutama jika nutrisi kurang dan pemasangan ventilator yang

lama.

Nekrosis

Kelainan kongenital dinding perut ini mungkin disertai kelainan bawaan lain yang

memperburuk prognosis.

2.6.11 Prognosis

Yang memperburuk prognosis adalah kelainan kogenital dinding perut yang disertai

dengan kelainan bawaan yang lain.

2.7 Atresia Ani

2.7.1 Definisi Atresia ani

Atresia ani adalah suatu kelainan kogenital tanpa anus atau anus tidak sempurna,

termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rectum dan atresia rectum.

Gambar 2.17 Atresia Ani

2.7.2 Epidemiologi

Angka kejadian rata-rata malformasi anorektal di seluruh dunia adalah 1 dalam 5000

kelahiran. Secara umum, atresia ani lebih banyak ditemukan pada laki-laki dari pada

perempuan. Fistula rektouretra merupakan kelainan yang paling banyak ditemui pada banyak

laki-laki, diikuti oleh fistula perineal. Sedangkan pada bayi perempuan, jenis atresia ani yang

paling banyak ditemui adalah atresia ani diikuti fistula rektovestibular dan fistula perineal.

2.7.3 Etiologi

Atresia ani dapat disebabkan karena:

1. Putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa

lubang dubur.

2. Gangguan organogenesis dalam kandungan

3. Berkaitan dengan sindrom down

2.7.4 Patofisiologi

Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada kehidupan

embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini

mengakibatkan distensi abdomen, sekuestra cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila

urine mengalir melalui fistel menuju rectum, maka urine akan diabsorbsi sehingga terjadi

asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan

infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rectum dengan

organ sekitarnya. Pada perempuan, 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau

perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki umumnya fistula menuju ke vesikaurinaria atau ke

prostat (rektovesika) bila kelainan merupakan letak tinggi, pada letak rendah fistula menuju

ke uretra (rektouretralis).

2.7.5 Manifestasi klinis

Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani terjadi dalam waktu 24-48 jam. Gejala

itu dapat berupa:

1. Perut kembung

2. Muntah

3. Tidak bisa buang air besar

4. Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat dilihat

sampai dimana terdapat penyumbatan.

Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan malformasi anorektal

adalah: Kelainan kardiovaskular, gastrointestinal, tulang belakang, medulla spinalis dan

traktus genitourinarius.

2.7.6 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Pada

anamnesis dapat ditemukan:

Bayi cepat kembung antara 4-8 jam setelahlahir

Tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula

Bila ada fistula pada perineum maka mekoneum (+) dan kemungkinan

kelainan adalah letak rendah

Inspeksi perianal sangat penting. Flat “bottom” aatu flat perineum ditandai dengan tidak

adanya garis anus dan anal dimple mengindikasikan bahwa pasien memiliki otot-otot

perineum yang sangat sedikit. Tanda ini berhubungan dengan atresia ani letak tinggi dan

harus dilakukan colonostomy. Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan

atresia ani letak rendah meliputi adanya mekonium pada perineum, “bucket-handle” (skin tag

yang terdapat pada anal dimple), dan adanya membrane pada anus (tempat keluarnya

mekonium).

2.7.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani letak tinggi harus

dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu lalu penanganan atresia ani

menggunakan prosedur abdominoperineal pullthrough, tapi metode ini banyak menimbulkan

inkontinen feses dan prolaps mukosa usus yang lebih tinggi. Keberhasilan penatalaksanaan

atresia ani dinilai dari fungsinya secara jangka panjang, meliputi anatomisny, fungsi

fisiologisnya, bentuk kosmetik serta antisipasi trauma psikis. Untuk menangani secara tepat,

harus ditentukan ketinggian akhiran rectum yang dapat ditentukan dengan berbagai cara

antara lain dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan USG. Pada atresia ani letak tinggi dan

intermediate dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan diversi. Operasi

definitive setelah 4-8 minggu. Saat ini teknik yang paling banyak dipakai adalah

posterosagital anorektoplasti, baikminimal, limited atau full postero sagital anorektoplasti.

2.7.8 Prognosis

Prognosis bergantung dari fungsi klinis. Dengan khusus dinilai pengendalian defekasi,

pencernaan pakaian dalam. Sensibilitas rectum dan kekuatan kontraksi otot sfingter pada

colok dubur. Fungsi kontinesia tidak hanya bergantung pada kekuatan sfingter atau

sensibilitasnya, tetapi juga bergantung pada usia serta kooperasi dan keadaan mental

penderita.

2.8 Hischprung

2.8.1 Definisi Hirschprung

Penyakit Hirschprung atau megakolon aganglionik bawaan disebabkan oleh kelainan

inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan meluas ke proksimal, melibatkan panjang

usus yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rectum.

2.8.2 Epidemiologi

Insiden penyakit Hirschprung tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000

kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35

permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschprung.

Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke

RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.

2.8.3 Etiologi

Sampai tahun 1930-an etiologi penyakit Hirschprung belum jelas diketahui. Penyebab

sindrom tersebut baru jelas setelah Robertson dan Kernohan pada tahun 1938 serta Tiffin,

Chandler, dan Faber pada tahun 1940 mengemukakan bahwa megakolon pada penyakit

Hirschprung primer disebabkan oleh gangguan peristalsis usus dengan defisiensi ganglion di

usus bagian distal. Sebelum tahun 1948 belum terdapat bukti yang menjelaskan apakah defek

ganglion pada kolon distal menjadi penyebab penyakit Hirschprung ataukah defek ganglion

pada kolon distal merupakan akibat dilatasi dari stasis feses dalam kolon. Dari segi etiologi,

Bodian, dkk menyatakan bahwa aganglionosis pada penyakit Hirschprung bukan disebabkan

oleh kegagalan perkembangan inervasi parasimpatik ekstrinsik, melainkan oleh lesi primer,

sehingga terdapat ketidakseimbangan autonomik yang tidak dapat dikoreksi dengan

simpatektomi.

2.8.4 Manifestasi klinis

Gambaran kilinis penyakit Hirschprung dapat dibedakan berdasarkan usia, dan gejala klinis

yang terlihat pada:

1) Periode Neonatal

Manifestasi penyakit Hirschprung yang khas biasanya terjadi pada neonates cukup

bulan. Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium

yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikans.

Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium

dapat dikeluarkan segera. Distensi abdomen merupakan manifestasi obstruksi usus

letak rendah dan dapat disebabkan oleh kelainan lain, seperti atresia ileum dan lain-

lain. Muntah yang berwarna hijau disebabkan oleh obstruksi usus, yang dapat pula

terjadi pada kelainan lain dengan gangguan pasase usus, seperti pada atresia ileum,

enterokolitis netrotikan neonatal, atau peritonitis intrauterine. Tanda-tanda edema,

bercak-bercak kemerahan khususnya di sekitar umbilicus, punggung, dan di sekitar

genetalia ditemukan bila telah terdapat komplikasi peritonitis.

2) Anak

Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi kronis dan

gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di dinding

abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar

menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya

buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk

defekasi.

2.8.5 Diagnosis

Berbagai teknologi tersedia untuk menegakan diagnosis penyakit Hirschprung.

Namun demikian, dengan melakukan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik yang teliti,

pemeriksaan radiografik, serta pemeriksaan patologi anatomi biopsy isap rectum, diagnosis

penyakit Hirschprung pada sebagian besar kasus dapat ditegakkan.

Pemeriksaan Fisik

Pada neonates biasa ditemukan perut kembung karena mengalami obstipasi. Bila

dilakukan colok dubur maka sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan menyemprot keluar

dalam jumlah yang banyak dan kemudian tampak perut anak sudah kemps lagi.

Pemeriksaan Penunjang

Radiologi

Biopsy Rectal

Simple suction Rectal Biopsy

Manometri Anorektal

2.8.6 Penatalaksanaan

Pengobatan medis

Tujuan umum dari pengobatan ini mencakup 3 hal utama:

1. Penanganan komplikasi dari penyakit Hirschprung yang tidak terdeteksi

2. Penatalaksanaan sementara sebelum operasi rekonstruktif definitive dilakukan

3. Untuk memperbaiki fungsi usus setelah operasi rekonstruksi

Tindakan bedah

Beberapa prosedur definitive telah digunakan, kesemuanya telah memberikan hasil yang

sempurna jika dilakukan oleh ahli bedah yang berpengalaman. 3 jenis teknik yang sering

digunakan adalah prosedur Swenson, Duhamel, dan Soave. Apapun teknik yang dilakukan,

membersihkan kolon sebelum operasi definitif sangat penting.

1. Prosedur Swenson

Prosedur Swenson merupakan teknik definitive pertama yang digunakan untuk

menangani penyakit Hirschprung.

Segmen aganglionik direseksi hingga kolon sigmoid kemudian anastomosis oblique

dilakukan antara kolon normal dengan rectum bagian distal.

2. Prosedur Duhamel

Prosedur Duhamel pertama kali diperkenalkan pada tahun 1956 sebagai modifiasi

prosedur Swenson.

Poin utamanya adalah pendekatan retrorektal digunakan dan beberapa bagian rectum

yang aganglionik dipertahankan.

Usus aganglionik direseksi hingga ke bagian rectum dan rectum dijahit. Usus bagian

proksimal kemudian diposisikan pada ruang retrorektal (diantara rectum dan sacrum),

kemudian end-to-side anastomosis dilakukan pada rectum yang tersisa.

3. Prosedur Soave

Prosedur Soave diperkenalkan pada tahun 1960, intinya adalah membuang mukosa

dan submukosa dari rectum dan menarik usus ganglionik kea rah ujung muskuler

rectum aganglionik.

Awalnya, operasi ini tidak termasuk anastomosis formal, tergantung dari

pembentukan jaringan parut antara segmen yang ditarik dan usus yang aganglionik.

Prosedur ini kemudian dimodifikasi oleh Boley dengan membuat anastomosis primer

pada anus.

2.8.7 Komplikasi

Enterokolitis

Kebocoran Anastomose

Stenosis

2.8.8 Prognosis

Secara umum prognosis baik, 90% pasien yang segera dilakukan tindakan pembedahan

akan mengalami penyembuhan.

DAFTAR PUSTAKA

Guyton, Arthur C, Hall,John E.2007.Fisiologi Kedokteran edisi 11.Jakarta : EGC

Murray, Robert K, Granner, Daryl K, Mayes, Peter A, Rodwell, Victor W.2005.Biokimia

Harper edisi 25.Jakarta : EGC

Fisiologi Sistem Pencernaan. (Online). http://medicastore.com/nutracare/isi_enzym.php.

(diakses tanggal 22 Oktober 2013)

Sudarti. 2010. Kelainan Dan Penyakit Pada Bayi dan Anak. Nuha Medika. Yogyakarta.

Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatn Pediatrik. EGC: Jakarta.

C, William J. 2013. Esophageal Atresia. The Merck Manual.

L, George S. Digestive Tract Defects. Merck Manual Home Health Handbook. 2006

Oldham, Keith T.et all (eds); Biliary Atresia at Principles and Practice of Pediatric Surgery,

4th Edition

Widodo Judarwanto. 2010. Atresia Bilier, Waspadai Bila Kuning Bayi Baru Lahir yang

berkepanjangan. From : url :http://koranindonesiasehat.wordpress.com/2010/02/07/atresia-

bilier waspadai-bila-kuning-bayi-baru-lahir-yang-berkepanjangan/

Mark Davenport. Biliary Atresia. London: 2010. Available from : url :

http://asso.orpha.net/OFAVB/__PP__4.html

ST.Louis Children's Hospital. Biliary Atresia. Washington University School of

Medicine.2010.Available from : url :

http://www.stlouischildrens.org/content/greystone_779.htm

North American Society For Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition.Biliary

Atresia. From : url: http: //www.naspghan.org/ userassets/ Documents/pdf

/diseaseInfo/BiliaryAtresia-E.pdf 

Steven M. Biliary Atresia. Emedicine. 2009.  Available From: url: http:// emedicine.

medscape.com/ article/927029-overview

Sjamsul Arief. Deteksi Dini Kolestasis Neonatal. Divisi Hepatologi Ilmu Kesehatan Anak FK

UNAIR.Surabaya. 2006. Available from : url :http://www.pediatrik.com/pkb/20060220-

ena504-pkb.pdf

http://rskariadi.co.id/article/view/atresia-bilier-gangguan-fungsi-empedu.html 29-September-

2011 | hit : 4499

http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/article/view/868

Nelson. (2010). Ilmu Kesehatan Anak. EGC. Jakarta

http://emedicine.medscape.com/article/932917-overview Pediatric Duodenal Atresia 

Author: Frederick Merrill Karrer, MD; Chief Editor: Carmen Cuffari, M

Felicitas EW, Afu AJ, Sanjay K. Duidenal Atresia and Stenosis. 2009;

Kessel D, Bruyn D, Drake F. Case report: Ultrasound Diagnosis Of Duodenal Atresia

Combined With Isolated Oesophageal Atresia. The British Journal of Radiology.2011;

Irwan, Budi, 2003. Pengamatan fungsi anorektal pada penderita penyakit Hirschprung pasca

operasi pull-through. Available from : Usu digital library (Akses 26 Library 2012).

Pieter, John, 2005. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum. Sjamsuhidajat.R,De

Jong,Win. Dalam:Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 11. Jakarta. Penerbit buku Kedokteran

EGC, 646-647.

FK UII.Atresia Ani. Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia, 2006. (diakses 7 Juli

2013)

Levitt M, Pena A. Anorectal Malformation. Orphanet Journal of Rare Diseases 2007, 2:33.

http://www.ojrd.com/content/2/1/33 (diakses 7 Juli 2013).

Sudarti, Afroh Fauziah.2012.Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi dan Anak

Balita.Yogyakarta: Nuha Medika.

Laura K, Jay GL, Karen WW, Frederick JR, Scherer LR, Schott AG. Intestinal Atresia and

Stenosis. Arch Surg. 2007;113:490-497

Tamer S, Mustafa K, Ulas A, Ali SK, Duodenal Atresia and Hirchsprung Disease in a