Anestesi 2_Bahtiar Mahdi C.K._g0006056_Penatalaksaan Anestesi Umum Pada Apendisitis Akut
-
Upload
nurulsyarifah -
Category
Documents
-
view
503 -
download
7
Transcript of Anestesi 2_Bahtiar Mahdi C.K._g0006056_Penatalaksaan Anestesi Umum Pada Apendisitis Akut
Presentasi Kasus
PENATALAKSANAAN ANESTESI UMUM PADA
APENDISITIS AKUT
Disusun Oleh :
Bahtiar Mahdi C.K.
G0006056
Pembimbing :
dr. H. Marthunus Judin, Sp An.KAP
KEPANITERAAN KLINIK LAB/UPF ANESTESIOLOGI
FK UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga presentasi kasus
dengan judul “PENATALAKSANAAN ANESTESI UMUM PADA
APENDISITIS AKUT” dapat diselesaikan.
Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti
kepaniteraan klinik di Unit Anestesi dan Keperawatan Intensif di FK UNS /
RSUD dr. Moewardi Surakarta.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. H. Marthunus Judin, Sp An.KAP, selaku kepala bagian Anestesi dan
Keperawatan Intensif FK UNS / RSUD dr. Moewardi Surakarta dan
pembimbing.
2. Prof. Dr. St. Mulyata, SpAnKIC, selaku staf ahli anestesi.
3. Dr. Soemartanto, SpAnKIC, selaku staf ahli anestesi.
4. Dr. MH. Sudjito, SpAn, selaku staf ahli anestesi.
5. Dr. Purwoko, SpAn, selaku staf ahli anestesi.
6. Dr. Sugeng, SpAn, selaku staf ahli anestesi.
7. Dr. R. Th Supraptomo, SpAn, selaku staf ahli anestesi.
8. Dr. Heri Dwi P., Sp.An.Mkes
9. Dr. Eko S. SpAn, selaku staf ahli anestesi
10. Dr. Ardana Tri Arianto, M.Si. Med, Sp.An, selaku staf ahli anestesi.
11. Seluruh staf dan paramedis yang bertugas di bagian anestesi RSUD Dr.
Moewardi Surakarta.
12. Semua pihak yang telah membantu selama penulisan laporan ini.
Saran dan kritikan kami harapkan demi perbaikan laporan ini. Akhirnya
penyusun berharap semoga laporan ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan
semua pihak yang berkepentingan.
Surakarta, Mei 2012
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………… i
KATA PENGANTAR…………………………………………………… ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………… iii
BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………… 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………… 2
BAB III. LAPORAN KASUS………………………………………… 13
BAB IV. PEMBAHASAN……………………………………………… 20
BAB V. KESIMPULAN……………………………………………… 23
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai
tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif
pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Bersama-sama
cabang kedokteran lain serta anggota masyarakat ikut aktif mengelola bidang
kedokteran gawat darurat.
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif atau darurat)
harus dipersiapkan dengan baik. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi
pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang herus dilaksanakan yaitu pra
anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi,
menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari operasi. Tahap
penatalaksanaan anestesi yang terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan
pemeliharaan. Serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi.
Apendisitis merupakan peradangan pada appendiks Bila diagnosis sudah
pasti, maka terapi yang paling tepat dengan tindakan operatif, yang disebut
apendekomi. Penundaan operasi dapat menimbulkan bahaya, antara lain abses
atau perforasi. Apendisitis akut temasuk operasi emergensi. Pada operasi
emergensi, kondisi pasien harus dipersiapkan seoptimal mungkin. Persiapannya
sama seperti operasi elektif, hanya segala sesuatunya dilakukan saat itu juga.
Operasi intra abdominal paling baik dilakukan dengan anestesia umum
endotrakeal.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. APENDISITIS
Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks. Apendisitis pada
awalnya dapat sembuh spontan, namun akan terjadi jaringan parut dan fibrosis.
Risiko untuk terjadinya serangan kembali adalah 50 %. Apendisitis yang parah
dapat menyebabkan apendiks pecah dan membentuk nanah di dalam rongga
abdomen atau peritonitis. Terjadinya apendisitis umumnya karena bakteri. Namun
terdapat banyak sekali faktor pencetus, di antaranya sumbatan lumen apendiks,
timbunan tinja yang keras (fekalit), makanan rendah serat, tumor apendiks, dan
pengikisan mukosa apendiks akibat parasit seperti E. hystolitica. Terdapat gejala
awal yang khas, yaitu nyeri pada perut kanan bawah, yang disebut titik
Mc.Burney. Seringkali disertai dengan rasa mual, bahkan kadang muntah.
Berbeda dengan apendisitis akut, apendisitis kronis pada palpasi didapatkan massa
atau infiltrat yang nyeri tekan dan leukosit yang sangat tinggi. Pada beberapa
keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis, sehingga dapat menyebabkan
terjadinya komplikasi yang lebih parah. Hal ini sering menjadi penyebab
terlambatnya diagnosis, sehingga lebih dari setengah penderita baru dapat
didiagnosis setelah perforasi. Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh
sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut yang akan menyebabkan
perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan
keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu saat, ketika meradang lagi,
yang disebut apendisitis eksaserbasi akut. Bila diagnosis sudah pasti, maka terapi
yang paling tepat dengan tindakan operatif, yang disebut apendektomi. Penundaan
operasi dapat menimbulkan bahaya, antara lain abses atau perforasi5
B. ANESTESI UMUM
Anestesi dapat dibagi dua macam, yaitu anestesi umum dan anestesi
regional. Anestesi umum masih dibagi lagi menurut cara pemberiannya yaitu
inhalasi inhalasi dan parenteral.
2
Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah anestesi umum, yaitu
meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat
reversible. Dalam memberikan obat-obat anestesi pada penderita yang akan
menjalani operasi maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi,
induksi, maintenance dan lain-lain.
Anestesi umum meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversibel). Komponen anestesi yang ideal
terdiri dari : (1) hipnotik (2) analgesia (3) relaksasi otot. Obat anestesi yang masuk
ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian menyebar ke jaringan. Yang pertama
terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan kaya akan pembuluh darah seperti
otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa sakit, dan
sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium
anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah
terjadinya kelebihan dosis. Tanda-tanda klinis anestesia umum (menggunakan zat
anestesi yang mudah menguap, terutama diethyleter):
Stadium I : analgesia dari mulainya induksi anestesi hingga hilangnya
kesadaran.
Stadium II : excitement, dari hilangnya kesadaran hingga mulainya
respirasi teratur, mungkin terdapat batuk, kegelisahan atau
muntah.
Stadium III : dari mulai respirasi teratur hingga berhentinya respirasi.
Dibagi 4 plane:
Plane 1 : dari timbulnya pernafasan teratur hingga berhentinya
pergerakan bola mata.
Plane 2 : dari tidak adanya pergerakan bola mata hingga mulainya
paralisis interkostal.
Plane 3 : dari mulainya paralisis interkostal hingga total paralisis
interkostal.
Plane 4 : dari kelumpuhan interkostal hingga paralisis diafragma.
Stadium IV : overdosis, dari timbulnya paralysis diafragma hingga
cardiac arrest.
3
Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjalani
operasi maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi,
maintenance, dan lain-lain.
1. Persiapan Pra Anestesi
Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi
dan pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk
keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan pra anestesi adalah:
Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang
sesuai dengan fisik dan kehendak pasien.
Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):1
i. ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah
terlokalisir, tanpa kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris.
Angka mortalitas 2%.
ii. ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan
sampai dengan sedang sebagai akibat kelainan bedah atau
proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
iii. ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat
sehingga aktivitas harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
iv. ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat
yang mengancam jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi.
Misal : insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka
mortalitas 68%.
v. ASA V :Pasien dengan kemungkinan hidup kecil.
Tindakan operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan
hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka
mortalitas 98%.
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) tanda
darurat .1
Macam-macam teknik anestesi yang dapat digunakan :
4
a. Open drop method : cara ini dapat digunakan untuk anestetik yang menguap,
peralatan sangat sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik diteteskan pada
kapas yang diletakkan di depan hidung penderita sehingga kadar yang
dihisap tidak diketahui, dan pemakaiannya boros karena zat anestetik
menguap ke udara terbuka.
b. Semi open drop method : hampir sama dengan open drop, hanya untuk
mengurangi terbuangnya zat anestetik , digunakan masker. Karbondioksida
yang dikeluarkan sering terhisap kembali sehingga dapat terjadi hipoksia.
Untuk menghindarinya dialirkan volume fresh gas flow yang tinggi minimal
3x dari minimal volume udara semenit.
c. Semi closed method : udara yang dihisap diberikan bersama oksigen murni
yang dapat ditentukan kadarnya kemudian dilewatkan pada vaporizer
sehingga kadar zat anestetik dapat ditentukan. Udara panas yang dikeluarkan
akan dibuang ke udara luar. Keuntungannya dalamnya anestesi dapat diatur
dengan memberikan kadar tertentu dari zat anestetik, dan hipoksia dapat
dihindari dengan memberikan volume fresh gas flow kurang dari 100 %
kebutuhan.
d. Closed method : cara ini hampir sama seperti semi closed hanya udara
ekspirasi dialirkan melalui soda lime yang dapat mengikat CO2, sehingga
udara yang mengandung anestetik dapat digunakan lagi. 2
Pada kasus isi dipakai semi closed anestesi karena memiliki
beberapa keuntungan, yaitu2
Konsentrasi inspirasi relatif konstan
Konservasi panas dan uap
Menurunkan polusi kamar
Menurunkan resiko ledakan dengan obat yang mudah terbakar.
2. Premedikasi Anestesi
5
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi.
Adapun tujuan dari premedikasi antara lain :2
memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
memberikan analgesia, misal : pethidin
mencegah muntah, misal : droperidol
memperlancar induksi, misal : pethidin
mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.
mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin
dan hiosin
3. Obat-obatan Premedikasi
a. Sulfas Atropin
Sulfas atropin termasuk golongan anti kolinergik. Berguna untuk
mengurangi sekresi lendir dan menurunkan efek bronchial dan kardial
yang berasal dari perangsangan parasimpatis akibat obat anestesi atau
tindakan operasi. Efek lainnya yaitu melemaskan otot polos, mendepresi
vagal reflek, menurunkan spasme gastrointestinal, dan mengurangi rasa
mual serta muntah. Obat ini juga menimbulkan rasa kering di mulut serta
penglihatan kabur, maka lebih baik tidak diberikan pra anestesi lokal
maupun regional. Dalam dosis toksik dapat menyebabkan gelisah,
delirium, halusinasi, dan kebingungan pada pasien. Tetapi hal ini dapat
diatasi dengan pemberian prostigmin 1 –2 mg intravena2 .
Sediaan : dalam bentuk sulfat atropin dalam ampul 0,25 dan
0,5 mg.
Dosis : 0,01 mg/ kgBB.
Pemberian : SC, IM, IV
b. Pethidin
6
Pethidin merupakan narkotik yang sering digunakan untuk
premedikasi. Keuntungan penggunaan obat ini adalah memudahkan
induksi, mengurangi kebutuhan obat anestesi, menghasilkan analgesia
pra dan pasca bedah, memudahkan melakukan pemberian pernafasan
buatan , dan dapat diantagonis dengan naloxon.
Pethidin dapat menyebabkan vasodilatasi perifer, sehingga dapat
menyebabkan hipotensi orthostatik. Hal ini akan lebih berat lagi bila
digunakan pada pasien dengan hipovolemia. Juga dapat menyebabkan
depresi pusat pernapasan di medula yang dapat ditunjukkan dengan
respon turunnya CO2. mual dan muntah menunjukkan adanya stimulasi
narkotik pada pusat muntah di medula. Posisi tidur dapat mengurangi
efek tersebut.
Sediaan : dalam ampul 100 mg/ 2cc.
Dosis : 1 mg/ kgBB.
Pemberian : IV, IM3
c. Midazolam
Midazolam merupakan suatu golongan imidazo-benzodiazepin
dengan sifat yang sangat mirip dengan golongan benzodiazepine.
Merupakan benzodiapin kerja cepat yang bekerja menekan SSP.
Midazolam berikatan dengan reseptor benzodiazepin yang terdapat di
berbagai area di otak seperti di medulla spinalis, batang otak,
serebelum system limbic serta korteks serebri. Efek induksi terjadi
sekitar 1,5 menit setelah pemberian intra vena bila sebelumnya
diberikan premedikasi obat narkotika dan 2-2,5 menit tanpa
premedikasi narkotika sebelumnya.
Midazolam diindikasikan pada premedikasi sebelum induksi
anestesi, basal sedasion sebelum tindakan diagnostic atau pembedahan
yang dilakukan di bawah anestesi local serta induksi dan pemelharaan
selama anestesi. Obat ini dikontra indikasikan pada keadaan sensitive
terhadap golongan benzodiazepine, pasien dengan insufisiensi
pernafasan, acut narrow-angle claucoma.
7
Dosis premedikasi sebelum operasi :
Pemberian intramuskular pada penderita yang mengalami nyeri
sebelum tindakan bedah, pemberian tunggal atau kombinasi dengan
antikolinergik atau analgesik.
Dewasa : 0,07- 0,1 mg/ kg BB secara IM sesuai dengan keadaan
umum pasien, lazimnya diberikan 5mg.
Dosis usia lanjut dan pasien lemah 0,025 – 0,05 mg/ kg BB (IM)
Untuk basal sedation pada dewasa tidak melebihi 2,5 mg IV 5-10
menit sebelum permulaan operasi, pada orang tua dosis harus
diturunkan 1- 1,5 mg dengan total dosis tidak melebihi 3,5 mg IV.
Midazolam mempunyai efek samping :
Efek yang berpotensi mengancam jiwa : midazolam dapat
mengakibatkan depresi pernafasan dan kardiovaskular, iritabilitas pada
ventrikel dan perubahan pada kontrol baroreflek dari denyut jantung.
Efek yang berat dan ireversibel : selain depresi SSP yang berhubungan
dengan dosis, tidak pernah dilaporkan efek samping yang ireversibel
Efek samping simtomatik : agitasi, involuntary movement, bingung,
pandangan kabur, nyeri pada tempat suntikan, tromboflebitis dan
trombosis.
Midazolam dapat berinteraksi dengan obat alkohol, opioid, simetidin,
ketamin.2
4. Induksi
Pada kasus ini digunakan Propofol. Propofol adalah campuran 1%
obat dalam air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2%
phosphatide telur dan 2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan
2,5mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi.4
Pemberian intravena propofol (2mg/kg) menginduksi anestesi
secara cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi
jarang disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan
8
dengan infus propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2O
dan/atau anestetik inhalasi lain.
Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi
efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada penurunan curah
jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan intubasi trakea.
Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak,
metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan
propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konfusi pasca
operasi yang minimal.4
Efek samping propofol pada sistem pernapasan adanya depresi
pernapasan, apnea, brokospasme dan laringospasme. Pada sistem
kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardia, bradikardia,
hipertensi. Pada susunan saraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia,
kebingungan, kejang, mual dan muntah.3
5. Pemeliharaan
a. Nitrous Oksida /Gas Gelak (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak
iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah
terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber
(pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi
dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut
dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh
karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan
zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti.
Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena
Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh.
Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi
tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya
dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan
9
dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah
sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%6.
b. Ethrane ( Enflurane)
Merupakan anestesi yang poten. Dapat mendepresi SSP
menimbulkan efek hipnotik. Pada kontrasepsi inspirasi 3 – 3,5 % dapat
menimbulkan perubahan EEG yaitu epileptiform, karena itu sebaiknya
tidak digunakan pada pasien epilepsi. Dan dapat meningkatkan aliran
darah ke otak. Pada anestesi yang dalam dapat menurunkan tekanan
darah disebabkan depresi pada myokardium. Aritmia jarang terjadi dan
penggunaan adrenalin untuk infiltrasi relatif aman. Pada sistem
pernafasan, mendepresi ventilasi pulmoner dengan menurunkan volume
tidal dan mungkin pula meningkatkan laju nafas. Tidak menyebabkan
hipersekresi dari bronkus. Pada otot, Ethrane menimbulkan efek
relaksasi yang moderat. Menyebabkan peningkatan aktivitas obat
pelumpuh otot non depolarisasi. Penggunaan Ethrane pada operasi
sectio cesaria cukup aman pada konsentrasi rendah (0,5 - 0,8 vol %)
tanpa menimbulkan depresi pada fetus. Berhati-hati pada penggunaan
konsentrasi tinggi karena dapat menimbulkan relaksasi otot uterus.1
Untuk induksi, Ethrane 2 – 4 vol % dikombinasikan O2 atau
campuran N2O-O2, sedangkan untuk mempertahankan anestesi
diperlukan 0,5 – 3 %.
Keuntungan dari Ethrane adalah harum, induksi dan pemulihan
yang cepat, tidak ada iritasi, sebagai bronkodilator, relaksasi otot baik,
dapat mempertahankan stabilitas dari sistem kardiovaskuler serta
bersifat non emetik. Sedangkan kerugiannya bersifat myocardial
depresan, iritasi pada CNS, ada kemungkinan kerusakan hati.
Sebaiknya dihindari pemberiannya pada pasien dengan keparahan
ginjal.6
c. Halothane (Fluothane)
Berbentuk cairan jernih, sangat mudah menguap dan berbau manis,
tidak tajam dan mempunyai titik didih 50 C. Konsentrasi yang
10
digunakan untuk anestesi beragam dari 0,2 – 3%. Merupakan zat yang
poten sehingga membutuhkan vaporizer yang dikalibrasi untuk
mencegah dosis yang berlebihan. Karena kurang larut dalam darah
dibandingkan dengan eter, maka saturasi dalam darah lebih cepat,
sehingga induksi inhalasi relatif lebih cepat dan menyenangkan untuk
pasien. Jika persediaan terbatas maka sebaiknya Halothane digunakan
untuk menstabilkan setelah indeuksi intravena. Pada kondisi klinis
halothane tidak mudah terbakar dan meledak.
Halothane memberikan induksi anestesi yang mulus, tetapi
mempunyai sifat analgesi yang buruk. Penggunaan zat ini untuk
anestesi secara tunggal akan menyebabkan depresi
kardiopulmoneryang ditandai dengan sianosis, kecuali bila gas inspirasi
mengandung oksigen dengan konsentrasi tinggi. Halothane mempunyai
efek relaksasi otot yang lebih kecil daripada eter, merupakan suatu
bronkodilator. Depresi pusat pernafasan oleh halothane ditandai dengan
pernafasan yang cepat dan dangkal, peningkatan frekuensi pernafasan
ini lebih kecil bila diberikan premedikasi dengan opium. Efek pada
kardiovaskuler adalah depresi langsung pada miokardium dengan
penurunan curah jantung dan tekanan darah, tetapi terjadi vasodilatasi
kulit sehingga mungkin perfusi jaringan lebih baik. Kerugian dari
halothane dapat diatasi dengan dikombinasikan dengan N2O (50 –
70%) atau trikloroetilen (0,5-1%)7.
6. Obat Pelumpuh Otot
a. Suksametonium (Succynil choline).
Terutama digunakan untuk mempermudah/ fasilitas intubasi trakea
karena mula kerja cepat (1-2 menit) dan lama kerja yang singkat (3 – 5
menit). Juga dapat dipakai untuk memelihara relaksasi otot dengan cara
pemberian kontinyu per infus atau suntikan intermitten. Dosis untuk
intubasi 1-2 mg/kgBB/I.V.
Komplikasi dan efek samping dari obat ini adalah (1) bradikardi,
bradiaritma dan asistole pada pemberian berulang atau terlalu cepat
11
serta pada anak-anak; (2) takikardi dan takiaritmia; (3) lama kerja
memanjang terutama bila kadar kolinesterase plasma berkurang; (4)
peningkatan tekanan intra okuler; (5) hiperkalemi; (6) dan nyeri otot
fasikulasi.
Obat ini tersedia dalam flacon berisi bubuk 100 mg dan 500 mg.
Pengenceran dengan garam fisiologis / aquabidest steril 5 atau 25 ml
sehingga membentuk larutan 2 %. Cara pemberian I.V/I.M/ intra
lingual/ intra bukal.1
b. Atrakurium besylate ( tracrium)
Sebagai pelumpuh otot dengan struktur benzilisoquinolin yang
memiliki beberapa keuntungan antara lain bahwa metabolisme di dalam
darah (plasma) melalui suatu reaksi yang disebut eliminasi hoffman
yang tidak tergantung fungsi hati dan fungsi ginjal, tidak mempunyai
efek kumulasi pada pemberian berulang, tidak menyebabkan perubahan
fungsi kardiovaskuler yang bermakna.
Menurut Chapple DJ dkk (1987) dan Tateishi (1989) bahwa pada
binatang atracurium tidak mempunyai efek yang nyata pada CBF, CMR
O2 atau ICP. Metabolitnya yang disebut laudanosin, menembus blood
brain barrier dan dapat menimbulkan kejang EEG, tetapi kadar
laudanosin pada dosis klinis atracurium tidak menimbulkan efek ini.
Lanier dkk mengatakan bahwa tidak ada perbedaan ambang kejang
dengan lidokain pada kucing yang diberikan atracurium. pancuronium,
atau vecuronium. Obat ini menurunkan MAP tetapi tidak menyebabkan
perubahan ICP. Dosis atracurium untuk intubasi adalah 0,5 mg/kg dan
dosis pemeliharaan adalah 5-10 ug/kg/menit. Kemasan : 2,5 ml dan 5
ml yang berisi 25 mg dan 50 mg atrakurium besylate. Mula kerja pada
dosis intubasi 2-3 menit sedangkan lama kerjanya pada dosis relaksasi
15-35 menit.1
7. Intubasi Endotrakeal
12
Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea,
sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan.
Intubasi trakea bertujuan untuk :
Mempermudah pemberian anestesi.
Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
Pemakaian ventilasi yang lama.
Mengatasi obstruksi laring akut1.
8. Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus
mendekati jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan
perioperatif bertujuan untuk :
Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang
selama operasi.
Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti
pada ileus obstriktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan
cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap
kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.
b. Selama operasi
13
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan
cairan pada dewasa untuk operasi :
Ringan= 4 ml/kgBB/jam.
Sedang= 6 ml / kgBB/jam
Berat = 8 ml / kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang
dari 10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid
sebanyak 3 kali volume darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih
dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid /
dekstran dengan dosis 1-2 kali darah yang hilang.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit
cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien1.
9. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi
dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery
room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang
pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke
bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan
demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya. 1
BAB III
14
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn.S
Umur : 28 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Sekib RT 06/08 Banjarsari, Surakarta
Diagnosis pre operatif : Appendisitis Akut
Diagnosis post operasi : Appendisitis Akut
Macam Operasi : Appendiktomi
Macam Anestesi : Anestesi umum
Tanggal masuk : 4 Maret 2012
Tanggal operasi : 4 Maret 2012
No. Register : 846490
B. PEMERIKSAAN PRA ANESTESI
1. Anamnesa
a. Keluhan utama : Nyeri perut kanan bawah
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Sekitar 4 hari SMRS penderita mengeluh perut kanan bawah nyeri,
yang disertai muntah setiap habis 1 jam makan, demam (-), lalu
penderita berobat dua kali ke dokter umum dan diberi obat, tapi karena
tidak ada perubahan, pasien dibawa ke RSDM.BAB terakhir kemrin,
BAK tidak ada kelainan.
c. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat mondok karena gejala serupa (-)
Riwayat sakit perut serupa (- )
Riwayat alergi makanan / obat ( - )
Riwayat asma dan penyakit paru ( - )
15
2. Pemeriksaan fisik : 4 Maret 2012
Keadaan Umum : sakit sedang, kompos mentis, gizi cukup
Tensi : 130/ 90 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Suhu Axiler : 36,8 C
Respirasi : 20x/menit
Berat badan : 60 kg
Mata : Konjungtiva anemis ( - ), sklera ikterik ( - )
Hidung : nafas cuping hidung ( - ), sekret ( - )
Mulut : sianosis ( - ), gigi goyah / palsu ( - )
Telinga : sekret ( - ), pendengaran baik
Leher : glandula thiroid ditengah, pembesaran limfonodi
( - ), JVP tidak meningkat
Thorax : retraksi (-),
Pulmo I : Pengembangan paru kanan = kiri
P : Fremitus raba kanan = kiri
P : Sonor - Sonor
A: Suara dasar : vesikuler kanan = kiri
Suara tambahan : wheezing (-)
Jantung I : Ictus cordis tidak tampak
P : Ictus cordis tidak kuat angkat
P : Batas jantung kesan tidak melebar
A: Bunyi jantung I-II intensitas normal,
Reguler, bising (-)
Abdomen : I : Dinding perut = dinding dada, distended (-), darm contur
(-), darm steifung (-)
P : Supel, Nyeri tekan (+) pada perut kanan bawah (Mc
Burney Sign (+)),defans muskuler (-)
P : Timpani (+), NKCV (-)
A : Peristaltik (+) normal
Ekstremitas : oedem ( - ), akral dingin (-)
16
Pemeriksaan Khusus :
Mc Burney sign (+)
Rovsing sign (+)
Rebound Sign (+)
Obturator sign (+)
Psoas sign (-)
Rectal Toucher : TMSA normal, mukosa licin, ampila normal, prostat
tidak teraba membesar, nyrti tekan jan 9,11 (+), massa (-), sarung tangan
lender darah (-), feses (+)
3. Pemeriksaan laboratorium :
Darah Urin
Hb : 15,6 g/ dl SGPT : 25 u/L Protein : +1
Hct : 46,1 % Na : 143 Glukosa : -
AE : 5,4 . 106 / uL K : 35 PH : 8
AL : 10,0. 103/uL Cl : 104 Mikros : Eritrosit : +4
AT : 284. 103/uL Jenis lekosit : Lekosit (-)
Gol darah : O Netrofil segmen : 77%
CT : 1’45” Limfosit : 18%
BT : 3,33” Monosit : 5%
GDS : 95 mg/dl HBs Ag (-)
Ur : 24 mg/dl
Cr : 1,6 mg/dl
SGOT : 19 u/L
4. Kesimpulan :
Pasien seorang laki-laki, usia 28 tahun, dengan keluhan utama
nyeri perut kanan bawah, dan didiagnosa : appendisitia akut. Dari
17
pemeriksaan fisik didapatkan : Vital Sign : tekanan darah 130/90 mmHg,
nadi 84x/menit, respirasi rate 20x/menit, suhu axiller 36,8oC, BB 60 kg.
Cor dan pulmo dalam batas normal, abdomen: didapatkan nyeri kanan
bawah ,Mc Burney Sign (+)
Pada pemeriksaan laboratorium darah didapatkan Hb 15,6 g/dl, Hct
46,1 %, AL 10.000 uL, AT 284.000 uL, GDS 95 mg/dl, Ureum 24 mg/dl,
Kreatinine 1.6 mg/dl, Natrium 143 mmol/L, Kalium 3.5 mmol/L, ion
Calsium 104 mmol/L. Akan dilakukan appendictomi dengan general
anestesi.
Kelainan sistemik : (-), Kegawatan bedah : (+), Status fisik : ASA
II E.
C. RENCANA ANESTESI
1. Persiapan operasi
a. Persetujuan operasi tertulis ( + )
b. Periksa tanda vital dan keadaan umum
c. Puasa > 6 jam atau pasang NGT
d. Oksigenasi 2-3 L / menit
e. Cek obat dan alat anestesi
f. Infus RL 30 tpm makro
2. Jenis anestesi : General anestesi
3. Teknik anestesi : Semi closed inhalasi dengan Endotracheal Tube
no7,5
4. Premedikasi : Sulfas Atropin 0,25 mg I.V, Pethidin 50 mg I.V,
midazolam 5 mg iv
5. Induksi : Propofol 120 mg I.V
6. Maintenance : N20 : 02 = 3 L : 3L, Ethrane 1-2vol %
7. Pelumpuh otot : Succinyl choline 60mg
8. Monitoring : Tanda vital selama operasi tiap 5 menit,
kedalaman anestesi, cairan, dan perdarahan
18
9. Pengawasan pasca anestesi di ruang pulih sadar.
D. TATA LAKSANA ANESTESI
1. Di ruang persiapan
a. Dilakukan pemeriksaan kembali identitas penderita, persetujuan
operasi, lama puasa > 6 jam , lembar konsul anestesi, obat-obatan dan
perlengkapan yang diperlukan.
b. Pemeriksaan tanda-tanda vital
T : 130/90 mmHg Rr : 20 x/menit
N : 86x/menit S : 36,6oC
Infus RL 30 tpm makro
Mengganti pakaian penderita dengan pakaian operasi
2. Di ruang operasi
a. Jam 20.15 penderita ditidurkan di ruang operasi telentang dilakukan
premedikasi pemberian SA 0,25 mg i.v , petidin 30 mg i.v, serta
midazolam 5 mg iv, kemudian manset dipasang pada lengan kiri.
b. Jam 20.20 dilakukan induksi dengan propofol 120 mg i.v, lalu segera
kepala diekstensikan, face mask didekatkan pada hidung dengan O2 5
l/menit. Setelah reflek bulu mata menghilang, dimasukkan Succinyl
cholin 600 mg iv, tampak fasikulasi otot. Sesudah tenang dilakukan
intubasi dengan orotrakhea no 7,5. Setelah terpasang baik dihubungkan
dengan mesin anestesi untuk mengalirkan N20 : O2 = 3 : 3 l/menit.
Untuk maintenance digunakan etrhane 1-2 vol %. Infus RL sekitar 30
tetes per menit makro.
c. Jam 20.25 anestesi sudah cukup dalam (napas teratur, pupil terfiksasi
sentral dan midriasis,ahli bedah dipersilakan memulai operasi, selama
operasi dimonitor tanda vital dan Spa O2 tiap 10 menit.
d. Jam 21.10 operasi hampir selesai , N20 dimatikan, ethrane dimatikan
02 dinaikkan sekita 5-6 l/mnt.
e. Jam 21.15 operasi selesai.
19
Monitoring Selama Anestesi
Anestesi mulai jam 20.20 wib.
Operasi mulai jam 20.25 wib.
Jam Tensi Nadi Sa02 Keterangan
20.15-
20.20
124/76 80 100 SA 0,25mg, petidin 30mg, midazolam 5 mg
induksi propofol 8 mg, intubasi, oksigen 5
l/mnt, ethrane 1-2 vol %.
20.25 115/62 80 100 Infus RL. Operasi dimulai dan monitoring
tanda – tanda vital tiap 10 menit.
20.35 136/82 80 99
20.45 130/72 74 99
20.55 126/65 83 100
21.05 124/72 77 100
21.15 135/85 80 100 Operasi selesai
Anestesi selesai jam 21.10
Operasi selesai jam 21.15
3. Di ruang pemulihan
Jam 21.20 : pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dalam keadaan
posisi terlentang kepala diektensikan, diberikan O2 2-3
liter/menit, lendir dihisap dan tanda–tanda vital dimonitoring
tiap 10 menit.
Jam 21.45 : Pasien sadar penuh
Jam 21.50 : pasien dipindahkan dari ruang pemulihan ke bangsal.
Monitoring Pasca Anestesi
Jam Tensi Nadi RR Keterangan
21.25 130/80 80 20 Oksigen 2-3 l.mnt
20
21.35 130/80 84 20
21.45 130/80 80 20 Penderita sadar penuh
21.50 130/80 80 20 Penderita pindah ke bangsal
21
BAB IV
PEMBAHASAN
Dari hasil kunjungan pra anestesi baik dari anamnesa, pemeriksaan fisik
akan dibahas masalah yang timbul, baik dari segi medis, bedah maupun anestesi.
A. PERMASALAH DARI SEGI MEDIK
Appendisitis yang merupakan proses radang dapat meningkatkan
metabolisme, dimana kebutuhan cairan meningkat yang menyebabkan penderita
mengalami kehilangan banyak cairan sehingga bisa terjadi dehidrasi atau juga
sepsis.
B. PERMASALAHAN DARI SEGI BEDAH
1. Operasi yang jika tidak dilakukan pembedahan, bisa mengancam jiwa
pasien, terutama jika terapi obat tidak respon dapat timbul perforasi.
2. Kemungkinan perdarahan durante dan post operasi, sehingga perlu
dipersiapkan darah.
3. Iatrogenik (resiko kerusakan organ akibat pembedahan)
Dalam mengantisipasi hal tersebut, maka perlu dipersiapkan jenis dan
teknik anestesi yang aman untuk operasi yang lama.
C. PERMASALAHAN DARI SEGI ANESTESI
1. Pemeriksaan pra anestesi
Pada penderita ini telah dilakukan persiapan yang cukup, antara lain :
a. Puasa lebih dari 6 jam.
b. Pemeriksaan laboratorium darah
Permasalahan yang ada adalah :
Bagaimana memperbaiki keadaan umum penderita sebelum dilakukan
anestesi dan operasi.
Macam dan dosis obat anestesi yang bagaimana yang sesuai dengan
keadaan umum penderita.
22
Dalam memperbaiki keadaan umum dan mempersiapkan operasi pada
penderita perlu dilakukan :
Pemasangan infus untuk terapi cairan sejak pasien masuk RS.
Puasa paling tidak 6 jam untuk mengosongkan lambung, sehingga
bahaya muntah dan aspirasi dapat dihindarkan.
Jenis anestesi yang dipilih adalah general anestesi karena pada operasi
ini diperlukan hilangnya kesadaran, rasa sakit dan amnesia dengan
menggunakan premedikasi sulfas atropin dan petidin. Teknik anestesinya
semi closed inhalasi dengan pemasangan endotracheal tube, dan perencanaan
ini sudah tepat karena bila dengan face mask bahaya aspirasi dan
terganggunya jalan napas lebih besar. Selama operasi dipasang ET teknik
cepat.
1. Premedikasi
a. Untuk mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus serta
mencegah adanya vagal reflek yang ditimbulkan oleh tindakan bedah
itu sendiri maka diberikan sulfas atropin 0,25 mg IV
b. Untuk mengurangi rasa sakit pra bedah dan pasca bedah,
mengurangi kebutuhan obat anestesi dan memudahkan induksi
digunakan Petidin 60 mg IV.
c. Pada pasien ini diberikan midazolam 5 mg (dosis 0,07-0,2 mg/kgBB)
berfungsi untuk hipnotik sedative, dan amnesia retrograde.
2. Induksi
a. Digunakan Propofol 120 mg i.v karena memiliki induksi yang cepat,
masa pulih sadar yang cepat, jarang menimbulkan mual dan muntah,
tensi juga kondisi pernapasan yang normal.
b. Untuk mengurangi cedera karena pemasangan ET, merelaksasikan otot
saluran napas untuk sementara maka digunakan Suksinsil kholin
23
3. Maintenance
Dipakai N2O dan O2 dengan perbandingan 3 L : 3 L, serta ethrane 1-2 vol
%.
Terapi Cairan
a. Defisit cairan karena puasa 7 jam
2 cc x 60 kg x 7 jam = 840 cc
b. Kebutuhan cairan selama operasi dan karena trauma operasi selama 1
jam : kebutuhan dasar selama operasi + kebutuhan operasi sedang
= (4cc x 60 kg x 1 jam) + (6 cc x 60 kg x 1 jam)
= 240+ 360 cc = 600 cc
c. Perdarahan yang terjadi = 150 cc
EBV = 80 cc x 60 kg = 4800 cc
Jadi kehilangan darah = 150/4800 x 100% = 3 %
Diganti dengan cairan kristaloid 3 x 150 = 450 cc
a. Kebutuhan cairan total = 840+ 600 + 450
= 1890 cc
a. Cairan yang sudah diberikan :
1). Pra anestesi = 500 cc
2). Saat operasi = 800 cc
Total cairan yang masuk = 1500 cc
Jadi kurang cairan sebesar 490 cc, maka penambahan cairan masih
diperlukan saat pasien di bangsal ditambah kebutuhan cairan perhari
selama 24 jam.
24
BAB V
KESIMPULAN
Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi
yang melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui
kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat
mengantisipasinya.
Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada operasi
cito appendictomy pada pasien laki-laki, umur 28 tahun, status fisik ASA II E.
Dengan diagnosis appendicitis akut dengan menggunakan teknik anestesi semi
closed dengan ET no.7,5, respirasi spontan.
Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan
yang ada diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya
komplikasi anestesi dapat ditekan seminimal mungkin.
Dalam kasus ini selama operasi berlangsung, tidak ada hambatan yang
berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang
pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius.
Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung
dengan baik meskipun ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif, FKUI, CV Infomedia, Jakarta.
2. Tony H., (1998). Anestesi umum dalam Farmakologi dan Terapi, edisi IV. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
3. Boulton T.H., Blogg C.E., (1994). Anesthesiology, cetakan I. EGC, Jakarta.
4. Morgan G.E., Mikhail M.S., (1992). Clinical Anesthesiology. 1st ed. A large medical Book
5. Wim de Jong, (1996) Buku Ajar lmu Bedah, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,
6. Wirjoatmojo, K, (2000). Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar Untuk Pendidikan S1 Kedokteran, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
7. Dobson Michael B, (1994)Penuntun Praktis Anestesi, cetakan I, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
26