Analisis Wacana

7
Kata wacana didefinisikan secara beragam oleh para ahli. Johnstone (2002) dalam bukunya yang berjudul Discourse Analysis menungkapkan bahwa wacana adalah komunikasi secara nyata dengan bahasa sebagai medianya. Mendukung pernyataan tersebut, Clark (1994) dalam artikelnya Discourse in Production yang dimuat dalam Handbook of Psycholinguistics menjelaskan wacana sebagai penggunaan bahasa secara menyeluruh melebihi tataran bunyi, kata dan kalimat. Pendapat tersebut senada dengan yang diungkapkan oleh Kridalaksana (2008) berkaitan dengan wacana sebagai satuan bahasa terlengkap yang di dalam hirarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Satuan bahasa terlengkap yang dimaksudkan dalam suatu wacana dapat berupa rentetan kalimat yang saling berkaitan dan mampu menghubungkan proposisi-proposisi yang ada menjadi kesatuan yang utuh (Moeliono, 1988). Definisi-definisi tersebut merupakan definisi wacana secara konvensional yang menempatkan wacana sebagai konstruksi yang netral dan bebas nilai. Sedikit berbeda dengan ketiga pendapat tersebut, Fowler et al (1979), Fairclough (2001), van Dijk (1988), van Leeuweun (2008) dan Wodak (2001) mendefinisikan wacana secara kritis dengan menempatan wacana sebagai konstruksi yang tidak bebas nilai dan tidak netral. Wacana merupakan wujud dari tindakan sosial yang diproduksi dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pihak yang memproduksinya. Sesuai dengan masalah yang akan dikaji, maka penelitian ini berpedoman pada definisi wacana yang tidak bebas nilai dan tidak netral. Analisis terhadap wacana pada mulanya dipelopori oleh Zellig Harris pada tahun 1952 dengan menuliskan sebuah artikel yang berjudul Discourse Analysis yang dimuat pada jurnal Language. Para linguist pada era tersebut disibukkan dengan analisis kebahasaan pada tataran morfologi dan sintaksis saja yang hanya mengkaji bahasa sampai pada tataran kalimat. Harris dalam artikelnya menuliskan tentang perlu dilakukannya analisis yang lebih komperehensif terhadap bahasa yang tidak berhenti pada tataran internal kebahasaan saja (kalimat), akan tetapi mengkaji lebih lanjut tataran eksternal yang

Transcript of Analisis Wacana

Page 1: Analisis Wacana

Kata wacana didefinisikan secara beragam oleh para

ahli. Johnstone (2002) dalam bukunya yang berjudul

Discourse Analysis menungkapkan bahwa wacana

adalah komunikasi secara nyata dengan bahasa

sebagai medianya. Mendukung pernyataan tersebut,

Clark (1994) dalam artikelnya Discourse in Production

yang dimuat dalam Handbook of Psycholinguistics

menjelaskan wacana sebagai penggunaan bahasa

secara menyeluruh melebihi tataran bunyi, kata dan

kalimat. Pendapat tersebut senada dengan yang

diungkapkan oleh Kridalaksana (2008) berkaitan

dengan wacana sebagai satuan bahasa terlengkap

yang di dalam hirarki gramatikal merupakan satuan

gramatikal tertinggi atau terbesar. Satuan bahasa

terlengkap yang dimaksudkan dalam suatu wacana

dapat berupa rentetan kalimat yang saling berkaitan

dan mampu menghubungkan proposisi-proposisi

yang ada menjadi kesatuan yang utuh (Moeliono,

1988). Definisi-definisi tersebut merupakan definisi

wacana secara konvensional yang menempatkan

wacana sebagai konstruksi yang netral dan bebas

nilai. Sedikit berbeda dengan ketiga pendapat

tersebut, Fowler et al (1979), Fairclough (2001), van

Dijk (1988), van Leeuweun (2008) dan Wodak (2001)

mendefinisikan wacana secara kritis dengan

menempatan wacana sebagai konstruksi yang tidak

bebas nilai dan tidak netral. Wacana merupakan

wujud dari tindakan sosial yang diproduksi dengan

tujuan yang ingin dicapai oleh pihak yang

memproduksinya. Sesuai dengan masalah yang akan

dikaji, maka penelitian ini berpedoman pada definisi

wacana yang tidak bebas nilai dan tidak netral.

Analisis terhadap wacana pada mulanya dipelopori

oleh Zellig Harris pada tahun 1952 dengan

menuliskan sebuah artikel yang berjudul Discourse

Analysis yang dimuat pada jurnal Language. Para

linguist pada era tersebut disibukkan dengan analisis

kebahasaan pada tataran morfologi dan sintaksis saja

yang hanya mengkaji bahasa sampai pada tataran

kalimat. Harris dalam artikelnya menuliskan tentang

perlu dilakukannya analisis yang lebih

komperehensif terhadap bahasa yang tidak berhenti

pada tataran internal kebahasaan saja (kalimat), akan

tetapi mengkaji lebih lanjut tataran eksternal yang

Page 2: Analisis Wacana

menyelimuti tataran internal tersebut, yakni

keterkaitan antara teks dengan kontesksnya. Analisis

wacana baru mulai banyak dilakukan oleh para ahli

pada tahun 1960-an. Renkema (2004:1)

mendefinisikan analisis wacana sebagai disiplin ilmu

yang mengkaji hubungan antara bentuk dan fungsi

dalam komunikasi verbal. Brown dan Yule (1983:1)

dalam bukunya yang berjudul Discourse Analysis

menjelaskan bahwa analisis wacana berarti

melakukan analisis terhadap bahasa yang digunakan.

Begitu pula dengan van Dijk (1988:24) dalam

karyanya News as Discourse yang menjelaskan

bahwa analisis wacana merupakan proses analisis

terhadap bahasa dan penggunaan bahasa dengan

tujuan memperoleh deskripsi yang lebik eksplisit dan

sistematis mengenai apa yang disampaikan. Cook

(1992:1) menambahkan bahwa dalam analisis wacana

tidak cukup hanya menganalisis unsur kebahasaan

saja, akan tetapi juga memperhitungkan konteks

yang membangun wacana tersebut.

Kehadiran konteks yang dihubungkan dengan faktor

kebahasaan ternyata tidak cukup memuaskan bagi

proses analisis wacana. Pengaruh paradigma kritis

mengahadirkan terobosan yang disebut analisis

wacana kritis[1]. Para ahli wacana kritis

mendefiniskan wacana dengan terma yang lebih luas

lagi. Sekelompok pengajar dari Universitas East

Anglia, yakni Fowler, Hodge, Kress dan Trew (1979)

melalui bukunya yang berjudul Langauge and Control

dengan pendekatan linguistik kritis yang mereka

gagas semakin memantapkan pengkajian wacana

secara kritis. Mereka memaknai wacana sebagai

praktik sosial yang bertujuan. Wacana tidak serta

merta hadir begitu saja, melainkan hadir dengan

tujuan tertentu yang ingin disampaikan pada

khalayak penikmatnya (Fairclough dan Wodak, 1997).

Teks tidak pernah dipandang sebagai sesuatu yang

netral yang bebas nilai. Analisis wacana kritis melihat

bahasa sebagai suatu tindakan. Wacana bertindak

dalam menentukan ke arah mana khalayak akan

dibawa. Tugas utama analisis wacana kritis adalah

menguraikan relasi kuasa, dominasi dan ketimpangan

yang diproduksi dalam wacana (van Dijk, dalam

Tannen dkk, 2001). Sependapat dengan van Dijk,

Page 3: Analisis Wacana

Renkema (2004:282) dalam bukunya yang berjudul

Introduction to Discourse Studies menambahkan

bahwa wacana merupakan refleksi relasi kuasa yang

terdapat dalam masyarakat. Menurutnya analisis

wacana kritis dilakukan dengan tujuan untuk

mendeteksi masalah-masalah sosial, terutama

masalah diskriminasi. Analisis wacana kritis melihat

bahasa sebagai faktor penting sebagai perwujudan

kuasa pihak tertentu. Suatu teks diproduksi dengan

ideologi[2] tertentu yang ingin disampaikan kepada

khalayak pembacanya.

Perkembangan analisis wacana kritis oleh para ahli

telah melahirkan beragam teori dengan pendekatan

yang juga beragam yang digunakan dalam penelitian.

Fowler, Hodge, Kress dan Trew (1979)

mengaplikasikan teori fungsional gramar Halliday

untuk melakukan analisis wacana kritis. Halliday

melalui teori tersebut menyatakan bahwa bahasa

memiliki 3 fungsi utama, yakni mengkomunikasikan

proses terjadi`nya peristiwa di dunia dan semua

yang terlibat di dalamnya (fungsi ideasional),

mengekspresikan sikap penutur terhadap proposisi

yang sudah disusun dan mengekspresikan relasi

antara penutur dan mitra tutur (fungsi

interpersonal) dan menyajikan ekspresi tersebut

secara koherensif dan memadai melalui teks (fungsi

tekstual) (1979:188). Fowler, Hodge, Kress dan Trew

menerapkan analisis terhadap 3 fungsi bahasa

tersebut untuk membedah ideologi yang ada pada

wacana. Analisis yang dilakukan hanya pada tataran

teks saja, yakni menganalisis elemen pilihan kosakata

yang digunakan pada teks, nominalisasi dan pilihan

kalimat yang digunakan.

Van Leeuwen (2008) dalam bukunya yang berjudul

Discourse and Practice menggunakan pendekatan

eksklusi dan inklusi untuk menganalisis bagaimana

aktor-aktor dalam wacana ditampilkan, apakah aktor

tersebut ditampilkan secara utuh, hanya sebagian

atau bahkan dihilangkan. Eksklusi merupakan

pengeluaran atau penghilangan aktor dari suatu

wacana (van Leeuwen, 2008: 28-29). Proses eksklusi

direalisasikan melalui 3 strategi, yakni pasivasi

(penghilangan aktor dalam wacana yang paling

umum dilakukan dengan menggunakan kalimat pasif

Page 4: Analisis Wacana

untuk menjabarkan suatu peristiwa), nominalisasi

(proses mengubah verba menjadi nomina) dan

penggantian anak kalimat. Berlawanan dengan

eksklusi, inklusi berkaitan dengan bagaimana aktor

dimasukkan atau dihadirkan dalam wacana. Proses

inklusi direalisasikan melalui 6 strategi, yakni

diferensiasi- indiferensiasi (menghadirkan aktor atau

peristiwa lain sebagai pembanding), objektivasi-

abstraksi, nominasi- kategorisasi, nominasi-

identifikasi, determinasi- indeterminasi dan asimilasi-

individualisasi. Jenis pendekatan ini memungkinkan

untuk meninjau lebih dalam dan terperinci tentang

posisi aktor dalam wacana. Namun untuk melihat

bagaimana terbentuknya wacana secara utuh masih

belum bisa dikatakan terperinci mengingat van

Leeuwen hanya melakukan analisis pada tataran teks

saja.

Sejalan dengan van Leeuweun, bisa dilihat pada karya

Mills (1997) yang berjudul Discourse, analisis wacana

kritis dilakukannya dengan memfokuskan pada

bagaimana aktor-aktor ditampilkan pada wacana.

Yang membedakan keduanya adalah fokus kajian

yang meraka lakukan, yakni Mills yang lebih terkenal

dengan kajian wacana feminismenya. Ia ingin

mengkaji bagaimana bias media dalam menampilkan

wanita sehingga terjadi pemarjinalan di dalamnya.

Model analisis wacana kritis Mills berusaha

menghubungkan posisi aktor sosial dan posisis suatu

peristiwa untuk mengungkan adanya pemarjinalan.

Posisi subjek dan objek dalam suatu peristiwa dikaji

secara mendalam olehnya untuk melihat aktor mana

yang memiliki posisi yang lebih tinggi dan memiliki

kuasa untuk menentukan wacana yang akan

dilemparkan pada publik. Aktor yang berperan

sebagai subjek diasumsikan sebagai aktor yang

memiliki kesempatan untuk mendefinisikan dan

melakukan pencitraan terhadap dirinya. Di sisi lain,

aktor yang menjadi objek adalah pihak yang

didefinisikan dan digambarkan kehadirannya oleh

orang lain. Analisis terhadap posisi subjek- objek

diyakini Mills mengandung muatan ideologi tertentu.

Kelebihan pendekatan wacana kritis yang

dilakukannya adalah memperhitungkan posisi

pembaca dalam teks. Berita bukanlah semata sebagai

Page 5: Analisis Wacana

hasil produksi dari pewarta berita dan pembaca tidak

serta merta ditempatkan sebagai sasaran. Mills

menganggap berita sebagai hasil negoisasi antara

pewarta berita dan pembacanya.

Berbeda dengan van Leeuwen dan Mills, pendekatan

analisis wacana kritis van Dijk (1988), yang dikenal

dengan pendekatan kognisi sosial, menyertakan

analisis terhadap kognisi pembuat wacana dalam

proses pembentukan wacana dan juga melibatkan

analisis kebahasaan secara lebih mendalam untuk

membongkar relasi kuasa dan dominasi yang

diproduksi pada wacana. Van Dijk mengklasifikasikan

elemen wacana menjadi 3, yakni teks, kognisi sosial

dan konteks sosial. Tataran teks dibagi menjadi 3,

yakni struktur makro, superstruktur dan struktur

mikro. Struktur makro adalah strukur luar

pembentuk wacana. Superstruktur berkaitan dengan

skematik wacana. Struktur mikro mencakup elemen-

elemen kebahasaan yang digunakan dalam wacana.

Van Dijk menetapkan 4 elemen kebahasaan yang

dikaji pada tataran struktur mikro, yakni elemen

sintaksis, semantis, stilistik dan retoris. Kognisi

sosial hadir untuk menjembatani antara teks dan

konteks. Kognisi sosial berkaitan dengan proses

mental dan kognisi pembuat wacana dalam proses

produksi wacana. Adanya analisis terhadap kognisi

sosial melalui daftar pernyaaan yang diajukan kepada

pembuat wacana akan lebih memperjelas bagaimana

wacana diproduksi dan konteks seperti apa yang

mempengaruhinya. Untuk analisis konteks sosial

dilakukan melalui studi intertekstualitas, yakni

mengkaitkan suatu wacana dengan wacana terkait

yng ada sebelum dan sesudahnya. Keterkaitan antara

teks, kognisi sosial dan konteks sosial mencerminkan

kecenderungan suatu wacana. Kelebihan proses

analisis wacana yang dilakukan oleh van Dijk adalah

bagaimana ia menghubungkan antara teks dan

konteks melalui kognisi sosial pembuat wacana.

Senada dengan van Dijk, analisis wacana kritis

Fairclough (1995) dalam bukunya Critical Discourse

Analysis menggunakan perantara dalam

menghubungkan antara teks dan konteks, yakni

melalui praktik wacana. Pendekatan analisis wacana

kritis model Fairclough mengklasifikasikan tiga

Page 6: Analisis Wacana

dimensi wacana yang terdiri atas teks, praktik

wacana dan praktik sosiokultural. Dimensi teks

secara bersamaan memiliki tiga fungsi, yakni

representasi, relasi, dan identitas. Fungsi

representasi berkaitan erat dengan bagaimana

realitas sosial ditampilkan dalam bentuk teks. Praktik

wacana menurut Fairclough merupakan tahapan yang

berkaitan dengan bagaimana cara pemroduksi

wacana membentuk sebuah wacana, dalam media

massa hal ini berkaitan dengan bagaimana para

pekerja media (penulis berita) memproduksi teks.

Hal ini berkaitan dengan penulis berita itu sendiri

selaku pribadi, hubungan kerja penulis berita

dengan sesama pekerja media lainnya, institusi

media tempat penulis berita bernaung, cara meliput

berita, menulis berita, sampai menjadi berita di

dalam media. Praktik sosiokultural dibagi menjadi 3

level, yakni level situasional (situasi pembangun

wacana), institusional (pengaruh institusi) dan sosial

(pengaruh sosial masyarakat). Perbedaan antara van

Dijk dan Fairclough terletak pada tata cara analisis

pada tataran teks. Meskipun Fairclough sudah

melakukan analisis unsur-unsur kebahasaan yang

lebih komperehensif, akan tetapi pengklasifikasian

unsur-unsur kebahasaan tersebut masih belum

mendetail dalam artian tidak diklasifikasikan secara

gamblang unsur kebahasaan yang dikaji seperti pada

analisis yang dilakukan oleh van Dijk (1988).

[1] Paradigma kritis menggambarkan dunia sebagai

suatu sistem yang tidak seimbang melainkan sebagai

suatu sistem yang mengandung dominasi,

eksploitasi, pengorbanan, penindasan dan kekuasaan.

Kaum kritis berusaha untuk memperlihatkan

kesalahan yang muncul pada keadaan masyarakat.

Mereka cenderung tertarik dengan kelompok yang

didominasi dibandingkan dengan siapa yang

melakukan dominasi tersebut. (Johnstone, 2002:26)

[2] Ideologi adalah keyakinan dasar yang dimiliki oleh

sebuah kelompok dan dihayati bersama oleh seluruh

anggota kelompok (van Dijk, 2000). Max, dalam van

Dijk (2000) mendefinisikan ideologi sebagai

pandangan hidup yang dikembangkan berdasarkan

kepenti-ngan golongan atau kelas sosial tertentu

dalam bidang politik, sosial dan ekonomi. Hodge dan

Page 7: Analisis Wacana

Kress (1979:6) mengungkapkan bahwa ideologi

adalah bentuk ide sistematis yang dibentuk melalui

pandangan tertentu.

Referensi :

Clark, Herbert. 1994. Discourse in Production. dalam

Hanbook of Psycholinguistics. Academic Press Inc.

Cook, Guy. 1992. The Discourse of Advertising.

London: Routledge.

Fairclough, Norman. 2001. Language and Power,

Second Edition. England: Longman.

Fowler, Roger et al. 1979. Language and Control.

London: Routledge.

Johnstone, Barbara. 2002. Discourse Analysis. UK:

Blackwell Publishers Ltd.

Mills, Sara. 1997. Discourse. London: Routledge

Renkema, Jan. 2004. Introduction to Discourse

Studies. Amsterdam: John Benjamins Publishing

Company.

Van Dijk, Teun A. Critical Discourse Analysis. Dalam

D. Tannen, D. Schiffrin & H. Hamilton (Eds.). 2001.

Handbook of Discourse Analysis. (hal.352-371).

Oxford: Blackwell.

Van Dijk, Teun A. 1988. News as Discourse. New

Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publisher.

Van Dijk. 2000. Ideology and Discourse; A

Multidisciplinary Introduction. Barelona: Pompen

Praba

Van Leeuwen, Theo. 2008. Discourse and Practice,

New Tools for Critical Discourse Analysis. New