กฎหมายส าหรับผู้บริหารมหาวิทยาลัย fileทางปกครอง พ.ศ. 2539 6. หลักเกณฑ์เกี่ยวกับการอุทธรณ์ค
ANALISIS VARIASI KONFIGURASI SAMBUNGAN LAS TERHADAP ...repository.ppns.ac.id/2539/1/0715040055 -...
Transcript of ANALISIS VARIASI KONFIGURASI SAMBUNGAN LAS TERHADAP ...repository.ppns.ac.id/2539/1/0715040055 -...
-
i
TUGAS AKHIR (607408A)
ANALISIS VARIASI KONFIGURASI SAMBUNGAN LAS TERHADAP STRUKTUR MIKRO DAN KEKERASAN HEAT AFFECTED ZONE PADA BAJA KARBON ZEIN AHMAD BUDIARTA
NRP. 0715040055
DOSEN PEMBIMBING :
MOHAMMAD THORIQ WAHYUDI, ST., MM.
HENDRI BUDI KURNIYANTO, S.ST., MT.
PROGRAM STUDI TEKNIK PENGELASAN
JURUSAN TEKNIK BANGUNAN KAPAL
POLITEKNIK PERKAPALAN NEGERI SURABAYA
SURABAYA
2019
-
ii
TUGAS AKHIR (607408A)
ANALISIS VARIASI KONFIGURASI SAMBUNGAN LAS TERHADAP STRUKTUR MIKRO DAN KEKERASAN HEAT AFFECTED ZONE PADA BAJA KARBON
ZEIN AHMAD BUDIARTA
NRP. 0715040055
DOSEN PEMBIMBING:
MOHAMMAD THORIQ WAHYUDI, S.T., M.M.
HENDRI BUDI KURNIYANTO, S.ST., M.T.
PROGRAM STUDI TEKNIK PENGELASAN
JURUSAN TEKNIK BANGUNAN KAPAL
POLITEKNIK PERKAPALAN NEGERI SURABAYA
SURABAYA
2019
-
iii
LEMBAR PENGESAHAN
-
iv
HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN
-
v
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
-
vi
HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN
-
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan kepada Allah SWT yang senantiasa melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga dapat terselesaikan Tugas Akhir yang berjudul
“ANALISIS VARIASI KONFIGURASI SAMBUNGAN LAS TERHADAP
STRUKTUR MIKRO DAN KEKERASAN HEAT AFFECTED ZONE PADA
BAJA KARBON”.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang tak terhingga atas segala sesuatu yang diberikan kepada penulis khususnya
kepada :
1. Orang Tua saya yang selalu mendukung, mendoakan, memotivasi, dan juga
membimbing dengan sabar.
2. Bapak Ir. Eko Julianto, M.Sc. FRINA. selaku Direktur Politeknik Perkapalan
Negeri Surabaya.
3. Bapak Ruddianto, ST., MT., MRINA. selaku Ketua Jurusan Teknik Bangunan
Kapal.
4. Bapak Moh. Ari, S.T., MT. selaku Ketua Program Studi Teknik Pengelasan.
5. Bapak Mohammad Thoriq Wahyudi, ST., MM. selaku dosen pembimbing I
yang dengan kesabaran memberikan petunjuk, bimbingan dan arahan.
6. Bapak Hendri Budi Kurniyanto, S.ST, MT. selaku dosen pembimbing II
yang dengan kesabaran memberikan petunjuk, bimbingan dan arahan.
7. Bapak Wahyudin selaku Manager QA/QC PT. Meindo Elang Indah.
8. Bapak Hamonangan selaku Koordinator QC YY Project PT. Meindo Elang
Indah.
9. Bapak Heri Utomo selaku QC YY Project PT. Meindo Elang Indah.
10. Bapak Hendra Rachman selaku QC YY Project PT. Meindo Elang Indah.
11. Bapak Fischer selaku Dokument Control YY Project PT. Meindo Elang
Indah.
12. Bapak Inggit selaku Dokument Control PRRP Project PT. Meindo Elang
Indah.
13. Keluarga besar dari perusahaan tempat saya On The Job Training yang telah
memberikan saya kesempatan untuk belajar dan berbagi pengalaman kerja.
-
viii
14. Mirna Dhanika Putri selaku teman yang selalu setia menemani penulis
menyusun penelitian sampai akhir.
15. Keluarga besar Sukarlan dan Sumariono yang selalu mengingatkan penulis
beribadah, do’a untuk kesuksesan di masa yang akan datang.
16. Teman-teman dekat penulis di kosan MEB kususnya Riyan, Hilmy, Arya
yang telah memberi semangat lebih untuk menyelesaikan penelitian.
17. Seluruh teman di kelas TL-8 B yang selalu menemani susah senang selama 4
tahun di Teknik Pengelasan angkatan 2015.
18. Seluruh pihak yang telah mendukung dan mendoakan atas kelancaran dalam
mengerjakan Tugas Akhir ini.
Penulis menyadari bahwa Tugas Akhir ini masih jauh dari sempurna,
dikarenakan keterbatasan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Oleh karena itu penulis
berharap adanya kritik guna menyempurnakan Tugas Akhir ini. Penulis berharap
Tugas Akhir ini dapat bermanfaat untuk banyak pihak.
Surabaya, 15 Juli 2019
Penulis
-
ix
ANALISIS VARIASI KONFIGURASI SAMBUNGAN LAS
TERHADAP STRUKTUR MIKRO DAN KEKERASAN HEAT
AFFECTED ZONE PADA BAJA KARBON
Zein Ahmad Budiarta
ABSTRAK
Pengelasan tidak lepas dari penyebaran panas yang terjadi. Hal ini dapat
menyebabkan deformasi, dan lain-lain. Penelitian tentang pengelasan baja karbon
rendah dengan variasi konfigurasi sambungan las ini dilakukan karena terdapat
perbedaan dalam penentuan temperatur preheat yang mana perbedaan tersebut
terdapat pada tebal material terbesar dan kombinasi tebal material yang dijadikan
acuan. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan kekerasan dan struktur
mikro yang terbentuk pada setiap konfigurasi pengelasan yang diteliti. Pengelasan
ini menggunakan pengelasan SMAW dan GMAW dengan parameter pengelasan
yang sama agar pengujian dapat terarah dan dampak yang terjadi murni karena
konfigurasi pengelasan yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan kekerasan
daerah HAZ secara umum jenis sambungan cruciform memiliki kekerasan paling
tinggi yang diikuti dengan sambungan tee, lap, dan butt. Nilai yang didapat secara
berurutan sebesar 120.65 HVN, 118.30 HVN, 111.27 HVN, dan 104.09 HVN
untuk plat tebal 5 mm sedangkan untuk plat dengan tebal 10 mm adalah 181.72
HVN, 169.39 HVN, 165.57 HVN, dan 158.71 HVN. Sedangkan untuk struktur
mikro di daerah HAZ berubah menjadi lebih halus mulai dari butt joint, lap joint,
tee joint, dan cruciform joint yang berbanding lurus dengan nilai kekerasan yang
meningkat dari konfigurasi sambungan las tersebut.
Kata kunci : penyebaran panas, konfigurasi sambungan, kekerasan, struktur mikro,
baja karbon rendah, HAZ.
-
x
HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN
-
xi
ANALYSIS VARIATION CONFIGURATION OF WELD JOINT
TO MICROSTRUCTURE AND HARDNESS OF HEAT
AFFECTED ZONE IN CARBON STEEL
Zein Ahmad Budiarta
ABSTRACT
Welding can not be separated from the spread of heat. This can lead to
deformation, etc. Research on welding of low carbon steel with variations of
welding configuration cause there is a difference in determining the preheat
temperature where the difference is in the largest material thickness and thick
combination of material being used as reference. This research aims to determine
the differences in the hardness and microstructures formed in each of the welding
configurations examined. This welding uses SMAW and GMAW welding with the
same welding parameters in order for the testing to be directional and the impact
that occurs purely due to the different welding configurations. The results showed
that the general HAZ region hardness of cruciform connection has the highest
hardness followed by tee, lap, and butt joints. The obtained values in sequence of
120.65 HVN, 118.30 HVN, 111.27 HVN, and 104.09 for a 5 mm thick plate
whereas for a plate with a thickness of 10 mm is 181.72 HVN, 169.39 HVN,
165.57 HVN, and 158.71 HVN. As for the micro structure in the HAZ area, it
changes to become smoother, starting from the butt joint, lap joint, tee joint, and
cruciform joint which are directly proportional to the increased hardness value of
the weld joint configuration.
Keywords: Heat distribution, welding configurations, hardness, micro structures,
low carbon steel, HAZ.
-
xii
HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN
-
xiii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ...................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................................... vii
ABSTRAK ............................................................................................................. ix
ABSTRACT ............................................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xvii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xix
BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar belakang ............................................................................................ 1
1.2 Perumusan masalah .................................................................................... 2
1.3 Tujuan penelitian ....................................................................................... 2
1.4 Manfaat ...................................................................................................... 2
1.5 Batasan penelitian ...................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 5
2.1 Baja karbon ................................................................................................ 5
2.1.1 Spesifikasi material uji ......................................................................... 5
2.2 Pengelasan ................................................................................................. 6
2.2.1 Pengelasan SMAW ............................................................................... 6
2.2.2 Pengelasan GMAW ............................................................................... 7
2.3 Kodefikasi elektroda .................................................................................. 8
2.4 Aliran panas pengelasan ......................................................................... 10
2.4.1 Distribusi temperature pengelasan ..................................................... 11
2.5 Metalurgi pengelasan ............................................................................... 13
-
xiv
2.5.1 Diagram fasa iron-iron carbide (Fe-Fe3C) ........................................ 15
2.5.2 Isothermal transformation diagrams ................................................. 17
2.5.3 Panas pengelasan................................................................................ 20
2.5.4 Kekerasan daerah HAZ .................................................................... 21
2.6 Sifat mekanik dan pengujiannya .............................................................. 22
2.6.1 Hardness test ...................................................................................... 23
2.6.3 Metalography test .............................................................................. 25
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ................................................................ 27
3.1 Diagram alir penelitian ............................................................................. 27
3.2 Identifikasi dan perumusan masalah ........................................................ 28
3.3 Studi literatur............................................................................................ 28
3.4 Persiapan material .................................................................................... 28
3.5 Persiapan logam pengisi........................................................................... 29
3.6 Proses pengelasan .................................................................................... 31
3.7 Pengujian .................................................................................................. 33
3.7.1 Uji kekerasan ( Hardness test ) .......................................................... 34
3.7.2 Metalography test .............................................................................. 35
3.8 Pengumpulan dan pengolahan data .......................................................... 37
3.9 Analisis..................................................................................................... 38
3.10 Kesimpulan .............................................................................................. 38
BAB 4 ANALISA DAN PEMBAHASAN ........................................................... 39
4.1 Pengujian makro ...................................................................................... 39
4.2 Pengujian mikro ....................................................................................... 53
4.3 Pengujian kekerasan ................................................................................. 59
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 67
5.1 Kesimpulan .............................................................................................. 67
-
xv
5.2 Saran ........................................................................................................ 68
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 69
-
xvi
HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN
-
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Mechanical Properties SA 572 Grade 50 ............................................... 6
Tabel 2.2 Chemical Compotition Baja SA 572 Grade 50 ....................................... 6
Tabel 2.3 Efisiensi Proses Pengelasan .................................................................. 21
Tabel 3.4 Unsur kimia pada elektroda E7016 ....................................................... 30
Tabel 3.5 Mechanical propesties elektroda E7016 ............................................... 30
Tabel 3.6 Unsur kimia pada elektroda E70S-6 ...................................................... 30
Tabel 3.7 Mechanical propesties elektroda E70S-6 .............................................. 30
Tabel 3.8 Parameter Pengelasan Spesimen Penelitian SMAW ............................. 33
Tabel 3.9 Parameter Pengelasan Spesimen Penelitian GMAW ............................ 33
Tabel 4.1 Hasil Uji Makro Plat 5 mm .................................................................. 41
Tabel 4.2 Hasil Uji Makro Plat 10 mm ................................................................. 47
Tabel 4.3 Luas HAZ rata-rata ................................................................................ 52
Tabel 4.4 Hasil Uji Mikro Plat 5 mm .................................................................... 53
Tabel 4.5 Hasil Uji Mikro Plat 10 mm .................................................................. 56
Tabel 4.6 Hasil Uji Kekerasan Plat SMAW 5 mm ................................................ 60
Tabel 4.7 Hasil Uji Kekerasan Plat GMAW 5 mm ............................................... 61
Tabel 4.8 Hasil Uji Kekerasan Plat SMAW 10 mm.............................................. 62
Tabel 4.9 Hasil Uji Kekerasan Plat GMAW 10 mm ............................................. 63
Tabel 4.10 Rata-Rata Hasil Uji Kekerasan ........................................................... 64
-
xviii
HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN
-
xix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Skema proses SMAW .......................................................................... 7
Gambar 2.2 Skema proses GMAW ......................................................................... 8
Gambar 2.3 Kurva distribusi Waktu-Temperatur untuk fillet welded joint .......... 11
Gambar 2.4 Three-dimensional flow selama pengelasan dari benda kerja semi tak
terbatas ................................................................................................................... 11
Gambar 2.5 Hasil perhitungan dari penyelesaian aliran panas tiga dimensi
Rosenthal`s: (a) thermal cycle; (b) isotherms. Welding speed: 2.4 mm/s; heat
input: 3200 W; material: 1018 steel ...................................................................... 11
Gambar 2.6 Carbon steel weld: (a) HAZ: (b) Phase diagram .............................. 22
Gambar 2.7 Diagram fasa iron-iron carbide ......................................................... 24
Gambar 2.8 Photomicrographs dari (a) feritte (90X) dan (b) austenite (325X) ... 27
Gambar 2.9 Demonstrasi bagiamana isothermal transformation diagram ........... 27
Gambar 2.10 Isothermal transformation diagram untuk eutectoid iron-carbon
alloy, dengan kurva superimposed isothermal heat treatment .............................. 27
Gambar 2.11 Photomicrographs dari (a) coarse pearlite dan (b) fine pearlite
(3000X) .................................................................................................................. 27
Gambar 2.12 Isothermal transformation diagram untuk 1.13 wt% C iron carbon
alloy; A, austenite; C, proeutectoid cementite; P, pearlite ................................... 20
Gambar 2.13 Perbedaan kekerasanpada bagian lasan : (a) pearlite free steel, (b)
low carbon steel ..................................................................................................... 27
Gambar 2.14 Metode pengujian kekerasan vickers ............................................... 27
Gambar 3.1 Diagram alir penelitian ( flowchart ) ................................................. 28
Gambar 3.2 Jenis konfigurasi sambungan las ....................................................... 29
Gambar 3.3 Fitting up sebelum pengelasan .......................................................... 31
Gambar 3.4 Pengelasan butt joint .......................................................................... 32
Gambar 3.5 Pengelasan tee joint ........................................................................... 32
Gambar 3.6 Pengelasan cruciform joint ................................................................ 32
Gambar 3.7 Pengelasan lap joint ........................................................................... 34
Gambar 3.8 Cutting plan untuk spesimen uji ........................................................ 34
-
xx
Gambar 3.9 Titik pengambilan kekerasan pada spesimen uji ............................... 35
Gambar 4.1 Sketsa pengujian makro ..................................................................... 39
Gambar 4.2 Grafik nilai kekerasan pada HAZ plat 5 mm ..................................... 64
Gambar 4.3 Grafik nilai kekerasan pada HAZ plat 10 mm ................................... 65
-
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pada umumnya pengelasan tidak lepas dari ekspansi panas atau
penyebaran panas. Panas yang berlebih akan membuat nilai kekerasan naik
dan menurunkan nulai kuat tarik suatu material. Dalam menanggulangi hal
tersebut salah satu cara yaitu dilakukan preheat pada material yang akan
dilakukan pengelasan. Preheat mempunyai tujuan salah satunya adalah untuk
menurunkan kecepatan pendinginan suatu material yang diharapkan material
tersebut memiliki sifat mekanik yang baik. Preheat dilakukan sebelum
pengelasan dimulai. Untuk menghitung berapa suhu preheat yang dibutuhkan,
perlu dilakukan perhitungan carbon equivalen, mengetahui tebal material, dan
kondisi lingkungan yang akan dilakukan pengelasan. Namun terdapat
perbedaan dalam menentukan suhu preheat, ada yang menyebutkan bahwa
tebal material terbesar yang dijadikan acuandan ada juga yang menyebutkan
bahwa kombinasi tebal material yang dijadikan acuan. Sehingga perlu
diadakan penelitian lebih lanjut tentang hal tersebut, maka dibuatlah penelitian
tentang pengaruh konfigurasi las terhadap kekerasan dan struktur mikronya.
Penelitian tentang pengaruh konfigurasi las ini dilakukan karena dalam desain
sambungan las butt joint, lap joint, tee joint, dan cruciform joint tebal
materialnya berbeda bila dilihat dari 2 (dua) penentuan tebal material di atas.
Dengan adanya dasar yang telah dijelaskan, peneliti ingin melakukan
riset dan percobaan tentang pengaruh konfigurasi pengelasan yang mana
dalam berbagai jenis konfigurasi pengelasan terdapat perbedaan kecepatan
pendinginan dan perhitungan tebal materialnya, sehingga kekerasan yang
dihasilkan berbeda. Penelitian ini menggunakan material baja karbon rendah
dengan parameter pengelasan yang sama sehingga penelitian ini benar-benar
terarah dan bila terjadi perbedaan hasil uji yang dihasilkan memang benar-
benar murni karena pengaruh konfigurasi pengelasan.
-
2
1.2 Perumusan masalah
Permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh variasi jenis sambungan butt, lap, tee, dan criciform
terhadap struktur mikro daerah HAZ pada baja karbon.
2. Bagaimana pengaruh variasi jenis sambungan butt, lap, tee, dan criciform
terhadap kekerasan daerah HAZ pada baja karbon.
1.3 Tujuan penelitian
Adapan tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengaruh variasi jenis sambungan butt, lap, tee, dan
cruciform terhadap struktur mikro daerah HAZ pada baja karbon.
2. Untuk mengetahui pengaruh variasi jenis sambungan butt, lap, tee, dan
criciform terhadap kekerasan daerah HAZ pada baja karbon.
1.4 Manfaat
Manfaat penelitian ini adalah :
1. Sebagai sarana penerapan teori yang pernah didapatkan selama perkuliahan
khususnya berkaitan dengan pengaruh konfigurasi sambungan lasterhadap
hasil pengelasan.
2. Sebagai pedoman, referensi dan bukti bahwa konfigurasi sambungan las
berpengaruh terhadap struktur mikro dan nilai kekerasan pada daerah HAZ.
3. Sebagai tambahan dan informasi tentang konfigurasi sambungan lasyang
berbeda akan berpengaruh terhadap struktur mikro dan kekerasan pada daerah
HAZ.
1.5 Batasan penelitian
Adapun batasan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Proses pengelasan adalah SMAW dan GMAW
2. Material induk adalahLow Carbon Steel:ASTM SA 572 Grade 50.
3. Ukuran material induk 200 X 70 X 5mm dan 100 X 70 X 10 mm.
4. Parameter pengelasan yang digunakan disesuaikan dan sama pada setiap
spesimen.
5. Elektroda yang dipakai adalah E7016 Ø 2.6 mm dan ER70S-6 Ø 1.2 mm.
-
3
6. Menggunakan gas pelindung CO2.
7. Konfigurasi las yang diteliti adalah butt joint, tee joint, cruciform joint, dan
lap joint.
8. Posisi pengelasanyang digunakan yaitu 1G dan 1F.
9. Menggunakan 48 spesimen uji
a. Pengelasan butt joint : 12 spesimen
b. Pengelasan tee joint : 12 spesimen
c. Pengelasan cruciform joint : 12 spesimen
d. Pengelasan lap joint : 12 spesimen
10. Pengujian yang akan digunakan adalah uji kekerasan metode vickers, dan uji
metalografi.
11. Pengkodean spesimen
a. Butt joint : TP-BX-X
b. Tee joint : TP-TX-X
c. Cruciform joint : TP-CX-X
d. Lap joint : TP-LX-X
-
4
HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN
-
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Baja karbon
Baja termasuk logam non ferro yang merupakan campuran dari besi (Fe)
dan Karbon (C), dimana unsur karbon (C) menjadi dasar, disamping unsur Fe
dan C, baja juga mengandung unsur campuran lain seperti sulfur (S), fosfor (P),
silikon (Si), dan mangan (Mn) yang jumlahnya dibatasi. Baja karbon sedang dan
baja karbon tinggi mengandung banyak karbon dan unsur lain yang dapat
meningkatkan kekerasan pada baja (R.S Parmar, 1997).
Baja karbon adalah baja yang mengandung karbon berkisar antara 0,1 % -
2%. Berdasarkan tingkatan banyaknya kadar karbon, baja digolongkan menjadi
beberapa tingkatan yaitu :
1. Baja karbon rendah
Adalah baja yang mengandung karbon kurang dari 0,30%. Baja karbon
rendah dalam perdagangan dibuat dalam bentuk pelat, profil, batangan untuk
keperluan tempa, pekerjaan mesin, dan lain-lain.
2. Baja karbon sedang
Merupakan baja karbon yang memiliki kandungan karbon antara 0,3-
0,8%. Diperdagangan biasanya dipakai sebagai alat – alat perkakas, baut,
poros engkol, roda gigi, ragum, pegas dan lain – lain.
3. Baja karbon tinggi
Baja karbon yang mengandung karbon antara 0,8% - 2%, baja ini
biasanya digunakan untuk keperluan alat – alat kontruksi yang berhubungan
dengan panas yang tinggi atau dalam penggunaannya akan menerima atau
mengalami paas, misalnya landasan, palu, gergaji, pahat, kikir dan lain
sebagainya.
2.1.1 Spesifikasi material uji
Material yang akan digunakan ini adalah baja karbon rendah
ASTM SA572 Grade 50, material ini merupakan jenis baja karbon yang
banyak digunakan dalam dunia industri karena proses fabrikasi yang
-
6
mudah. Baja ASTM SA 572 Grade 50 termasuk dalam golongan baja
karbon rendah karena kandungan (C) kurang dari 0.3%. menurut ASME
Section II-A dipastikan bahwa mechanical properties dan chemical
compotition-nya seperti yang pada table di bawah ini.
Tabel 2.1 Mechanical Properties SA 572 Grade 50
Material
Minimum Yield Point /
Strength
Ksi (MPa)
Tensile Strength
Ksi (MPa)
SA572 Grade
50 50 (345) 65 (450)
Sumber : Asme Section II-A
Pada table di atas bisa dilihat minimum yield point baja SA 572 Grade 50
adalah sebesar 50 ksi atau 345 MPa. Sedangkan untuk tensile strength-
nya sebesar 65 ksi atau 450 MPa (ASME II-A, 2015).
Tabel 2.2 Chemical Compotition Baja SA 572 Grade 50
Chemical Compotition Percentage,
max, %
Carbon 0.23
Manganese 1.35
Phosphorus 0.03
Sulfur 0.03
Silicon 0.40
Sumber : Asme Section II-A
Pada Tabel 2.2 di atas menjelaskan bahwa kandungan karbon
sebesar 0.23% dan juga unsur-unsur lain yang terdapat pada baja SA 572
Grade 50 yaitu Phosporus, Sulfur, dan Silicon. Tabel di atas sesuai dari
sumber ASME section IX (ASME II-A, 2015).
2.2 Pengelasan
2.2.1 Pengelasan SMAW
Pada pengelasan SMAW, logam induk mengalami pencairan akibat
pemanasan dari busur listrik yang timbul antara ujung elektroda dan
-
7
permukaan benda kerja. Elektroda yang dipakai berupa kawat yang
dibungkus oleh pelindung berupa fluks. Elektroda ini selama pengelasan
akan mengalami pencairan besama-sama dengan logam induk yang
menjadi bagian kampuh las. Dengan adanya pencairan ini maka kampuh
las akan terisi oleh logam cair yang berasal dari elektroda dan logam
induk. Selain mencairkan kawat las yang nantinya membeku menjadi
logam las, busur listrik juga ikut mencairkan fluks. Karena massa jenisnya
yang lebih kecil dari logam las maka fluks ini berada di atas logam las saat
cair. Kemudian setelah membeku, fluks cair ini menjadi terak yang
menutupi logam las. Dengan demikian, fluks cair akan melindungi
kubangan las selama mencair dan terakmelindungi logam las selama
pembekuan. Berikut adalah skema dari proses SMAW :
2.2.2 Pengelasan GMAW
Gas metal arc welding (GMAW) dalam prosesnya menggunakan
kawat terumpan dengan diameter 0.8 sampai 2.4 mm dan dalam bentuk
gulungan, yang mana diumpankan pada kecepatan yang telah ditentukan
melalui torch yang telah dikoneksikan dengan aliran listrik dan gas
pelindung. Busur yang kontak langsung antara elektroda dan benda kerja
dijaga pada panjang yang konstan oleh parameter listrik. Sumber yang
digunakan selalu dari tipe DC. Keduanya, tegangan konstan dan arus
konstan yang digunakan.
Tergantung pada benda kerja, gas pelindung dapat berupa argon,
helium, nitrogen, karbon dioksida, dan campurannya. Ketika gas pelindung
Gambar 2.1 Skema proses SMAW
(Sumber : Sindo Kou, 2003)
-
8
inert digunakan, proses ini lebih dikenal sebagai pengelasan MIG (metal
inert gas) dan ketika CO2 digunakan sebagai gas pelindung maka disebut
pengelasan MAG (metal active gas).
GMAW adalah proses pengelasan semi-otomatis pada semua posisi
pengelasan. Proses pengelasan GMAW semi-otomatis dapat dilihat pada
Gambar 2.2 berikut (Sindo Kou, 2003).
2.3 Kodefikasi elektroda
Seperti : E XXXX
E : Menyatakan elektroda busur listrik
XX : (dua angka) sesudah E menyatakan kekuatan tarik deposit las
dalam ribuan lb/in.
X : (angka ketiga) menyatakan posisi pengelasan. Angka 1 untuk
pengelasan semua posisi. Angka 2 untuk pengelasan posisi datar
di bawah tangan.
X : (angka keempat) menyatakan jenis selaput dan jenis arus yang
cocok dipakai untuk pengelasan.
Pengaruh Unsur-Unsur Kimia Terhadap Sifat Logam
a. Karbon (C)
Karbon adalah unsur pengerasan yang utama pada baja,
penambahan korban akan meningkatkan kekerasan dan kekuatan tarik
baja diiringi dengan penurunan harga kekuatan impaknya. Jika kadar
Gambar 2.2 Skema proses GMAW
(Sumber: Sindo Kou, 2003)
-
9
karbon meningkat sampai di atas 0.85% kekuatan cenderung akan turun
meskipun kekerasan relatif tetap.
b. Mangan (Mn)
Unsur mangan biasanya ada pada seluruh baja komersial yang
berperan dalam meningkatkan kekuatan dan kekerasan, menurunkan
laju pendinginan kritis sehingga menjadi keras, serta dapat
meningkatkan ketahanan terhadap abrasi.
Baja paduan mangan sangat rentan terhadap overheating karena
butiran mudah menjadi kasar. Keberadaan unsur mangan dapat
memperbaiki kualitas permukaan karena mengan dapat mengikat
belerang sehingga memperkecil terbentuknya sulfida besi yang dapat
menimbulkan hot shortness atau kerentanan terhadap timbulnya retak
pada saat dikerjakan panas.
c. Silicon (Si)
Si dan Mn adalah unsur yang selalu ada dalam logam. Keberadaan
Si pada logam-logam meningkatkan kekerasan dan elastisitas tetapi
menurunkan kekuatan tarik dan keuletannya. Jika di keraskan dan di
temper logam silikon akan memiliki kekuatan yang tinggi disertai
keuletan dari ketahanan terhadap beban yang tiba-tiba.
d. Chromium (Cr)
Chrom merupakan unsur paduan yang penting setelah unsur
karbon, chrom dapat membentuk karbida (tergantung pada jenis
perlakuan yang diterapkan dan kadarnya). Chrom terdapat pada baja
konstruksi dan baja perkakas grade yang tinggi. Pada baja tahan karat
dan baja tahan panas, chrom meningkatkan ketahanan korosi Karena
chrom dapat membentuk lapisan oksida chrom dipermukaan baja,
kekuatan tarik, ketangguhan dan ketahanan abrasi.
e. Nikel (Ni)
Nikel merupakan salah satu unsur paduan yang penting untuk
meningkatkan kekuatan dan ketangguhan baja dengan cara
mempengaruhi proses transformasi fasa. Jika berada dalam jumlah yang
memadai nikel dapat memperbaiki sifat mekanik. Jika jumlah nikel
-
10
relatif bayak maka austenite pada baja akan stabil sampai suhu kamar.
Nikel merupakan suhu eutectoid bahkan dapat menurunkan sampai ke
suhu yang efektif untuk proses quench. Nikel tidak membentuk karbida
dan tidak berpengaruh terhadap kekerasan. Nikel memperbaiki
ketahanan korosi baja paduan nikel digunakan sebagai material
konstruksi dan teknik.
f. Molidenum (Mo)
Molidenum sangat besar sekali pengaruhnya terhadap kemampuan
kerasnya dibandingkan dengan paduan lainya (kecuali Mn). Akibat
penambahan molibdenum didalamnya pengerjaan dari baja akan
meningkat laju pendinginan kritiknya menurun. Jika berkombinasi
dengan unsur lainya akan meningkatkan ketangguhandan ketahanan
mulur dan juga meningkatkan ketahanan baja pada suhu tinggi.
Keberadaan molibdenum dapat menurunkan embrittlement pada baja.
Molibdenum dapat membentuk karbida sehingga dapat meningkatkan
ketahanan terhadap keausan, meningkatkan ketangguhan dan kekuatan
pada suhu tinggi (M. Thoriq W., M. Faozan, 2011).
2.4 Aliran panas pengelasan
Semua sambungan pengelasan melibatkan aliran panas selama pengelasan
untuk mencapai sambungan yang diingingkan. Tergantung pada pemanasan dan
laju pendinginan yang terlibat akan mempengaruhi stuktur mikro dan HAZ. Ini
akan membentuk variasi mechanical properties dari zona yang berbeda pada
daerah pengelasan, maka diharuskan melakukan PWHT (post weld heat
treatment) untuk menyeragamkan strukturnya dan perlakuan lainnya. Selain dari
efek metalurgi dari penyebaran panas di pengelasan ada beberapa fenomena lain
yaitu distortion, residual stresses, physical chages, dan chemical modifications.
Demikian, untuk menghasilkan pengelasan yang diinginkan sesuai spesifikasi
perlu diketahui efek dari panas selama pengelasan (R.S. Parmar, 1997).
-
11
2.4.1 Distribusi temperature pengelasan
Distribusi temperatur pengelasan tergantung pada proses
pengelasan yang diambil, tipe dari sumber polaritas, energi input per waktu,
konfigurasi dari sambungan las (linear butt welds atau circular butt welds),
tipe joint (butt, fillet, dll.), physical properties material yang dilas., dan
kondisi sekitarnya yaitu di atas permukaan atau di bawah air.
Sebagai contohnya analisis aliran panas pada T-type fillet weld
untuk mengasumsikan bahwa total panas yang diberikan dari distribusi arc
yang sama pada masing masing tebal materialnya. Berikut adalah gambar
grafik distribusi panas pada fillet wleds.
Dari Gambar 2.2 di atas dijelaskan, bahwa dalam T-type fillet Plat
bagian plat vertikal menerima panas yang paling tinggi. Berbeda dengan
plat horizontal yang menerima panas paling rendah. Kondisi ini membuat
fillet weld sensitif terdahap suhu tinggi yang menyebabkan distorsi dan
ketidak seragaman perubahan metallurgical dibandingkan dengan butt
welded joint (R.S. Parmar, 1997).
Menurut (Shindo Kou, 2003) Solusi analitis oleh Rosenthal untuk
aliran panas tiga dimensi dalam benda kerja semi tak terbatas selama
pengelasan, Gambar 2.4, adalah sebagai berikut :
(2.1)
Gambar 2.3 Kurva distribusi Waktu-Temperatur untuk fillet welded joint
(Sumber : RS. Parmar, 1997)
-
12
Dimana R adalah jarak radial dari titik asal, yaitu (x2 + y2 + z2)1/2. Untuk
material dan kondisi pengelasan, isoterm T yang diberikan x memiliki jari-
jari R. Dengan kata lain, persamaan (2.1) menyiratkan bahwa pada
potongan melintang melintang dari semua isoterm, termasuk batas fusi dan
batas luar heat affedted zone, berbentuk setengah lingkaran (semicircular).
Persamaan (2.1) dapat digunakan untuk menghitung suhu kondisi T(x, y, z),
berkenaan dengan sumber panas yang bergerak, di lokasi mana pun di
benda kerja (x, y, z), misalnya, pada x = 1 cm, y = 4 cm, dan z = 0 cm,
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.4 berikut. Suhu di lokasi lain
sepanjang y = 4 cm juga bisa ditentukan dan distribusi temperatur
sepanjang y = 4 cm dapat ditentukan.
Penyelesaian (2.1) dapat digunakan untuk menghitung distribusi
temperatur di benda kerja selama pengelasan. Distribusi temperatur dalam
arah pengelasan untuk contohnya, kurva T-x pada Gambar 2.5, merupakan
hal yang menarik. Mereka dapat dengan mudah diubah menjadi plot suhu-
waktu, yaitu siklus termal, dengan mengubah jarak x ke dalam waktu t
melalui t = (x - 0) / V. Gambar 2.5 menunjukkan siklus termal dan
distribusi suhu yang dihitung di permukaan atas (z = 0) dari baja 1018 yang
tebal. Suhu puncak tak hingga pada titik asal sistem koordinat adalah hasil
dari masalah singularitas di penyelesaian Rosenthal`s yang disebabkan oleh
asumsi sumber titik panas. Meskipun penyelesaian analitis Rosenthal`s
Gambar 2.4 Three-dimensional flow selama pengelasan dari benda kerja semi
takterbatas (Sumber : Shindo Kou, 2003)
-
13
berdasarkan banyak asumsi penyederhanaan, namun mudah digunakan dan
telah sangat dihargai oleh industri pengelasan. Berikut adalah Gambar 2.5.
2.5 Metalurgi pengelasan
HAZ dalam baja karbon dapat berhubungan dengan Diagram fase Fe-C,
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.6, jika efek kinetik pemanasan cepat
selama pengelasan pada fasetransformasi diabaikan. HAZ dapat dianggap sesuai
dengan area dalam benda kerja yang dipanaskan antara bagian bawah suhu A1
(suhu eutektoid) dan suhu peritektik. Demikian pula, PMZ dapat dianggap sesuai
dengan daerah antara suhu peritektik dan suhu cair, dan zona fusike daerah di
atas suhu cair.Diagram fase Fe-C dan Continuous-cooling transformation (CCT)
Diagram untuk perlakuan panas baja karbon dapat berguna untuk pengelasan
juga, tetapi beberapa perbedaan mendasar antara pengelasan dan perlakuan panas
harusdiakui. Proses termal selama pengelasan dan perlakuan panasbaja karbon
berbeda satu sama lain secara signifikan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar
2.6. Pertama,dalam pengelasan suhu puncak di HAZ dapat mendekati 1500°C.
Dalam perlakuan panas, namun, suhu maksimum adalah sekitar 900°C, yang
tidak banyak di atas suhu kritis atas A3 diperlukan Austenite (γ) untuk terbentuk.
Gambar 2.5 Hasil perhitungan dari penyelesaian aliran panas tiga dimensi Rosenthal`s:
(a) thermal cycles; (b) isotherms. Welding speed: 2.4 mm/s; heat input: 3200 W;
material: 1018 steel. (Sumber : Shindo Kou, 2003)
-
14
Kedua, tingkat pemanasan tinggi dan waktu retensi di atas A3 pendekselama
sebagian besar proses pengelasan (pengelasan elektroslag menjadi pengecualian
penting). Dalam perlakuan panas, di sisi lain, tingkat pemanasan jauh lebih
lambat danwaktu retensi di atas A3 jauh lebih lama. Pada suhu A1 dan A3 selama
pemanasan sering disebut sebagai suhu Ac1 dan Ac3.
Efek dari tingkat pemanasan menjadi lebih jelas. Hal ini karena tingkat
difusi elemen tersebut besarnya lebih rendah daripada karbon dan juga karena
mereka menghambat difusi karbon. Akibatnya, fase transformasi yang tertunda
untuk tingkat yang lebih besar. Kombinasi tingkat pemanasan yang tinggi dan
waktu retensi yang singkat di atas Ac3 dalam pengelasan dapat mengakibatkan
pembentukan Inhomogen Austenite selama pemanasan. Hal ini karena tidak
cukup waktu untuk atom karbon di Austenite berdifusi dari koloni pearlite dari
kandungan karbon tinggi ke koloni ferrite dari karbon rendah. Setelah
pendinginan yang cepat, yang pertama dapat berubah menjadi koloni martensite
karbon tinggi sementara lainnya menjadi koloni ferrite karbon rendah.
Akibatnya, microhardness di HAZ dapattersebar di berbagai range yang terjadi
dengan tingkat pemanasan yang tinggi. Sebagai hasil dari suhu puncak yang
tinggi selama pengelasan, grain growth tumbuh di dekat batas fusi. Semakin
lambat laju pemanasan, semakin lama retensi waktu di atas Ac3 dan karenanya
grain growth semakin banyak. Namun, dalam perlakuan panas, suhu maksimum
Gambar 2.6 Carbon steel weld: (a) HAZ: (b) Phase diagram
(Sumber : Sindo Kou, 2003)
-
15
yang digunakan hanya sekitar 900°C untuk menghindari grain growth (Sindo
Kou, 2003).
2.5.1 Diagram fasa iron-iron carbide (Fe-Fe3C)
Sebagian dari diagram fasa besi-karbon disajikan dalam Gambar
2.7. Besi murni, setelah pemanasan, mengalami dua perubahan dalam
struktur kristal sebelum mencair. Di suhu kamar bentuk stabil, disebut
ferrite, atau α iron, memiliki struktur kristal BCC. Ferrite mengalami
transformasi polimorfik untuk FCC austenite, atau γ iron, di 912°C
(1674°F). Orang austenite ini masih berada di 1394°C (2541°F), di mana
dengan temperatur FCC austenite kembali ke fase BCC yang dikenal
sebagai δ ferrite, yang akhirnya mencair di 1538°C (2800°F). Semua
perubahan ini terlihat di sepanjang kiri sumbu vertikal diagram fasa.
Sumbu komposisi dalam Gambar 2.7 hanya sampai 6,70 wt% C;
di konsentrasi senyawa menengah besi karbida, atau cementite (Fe3C),
yang terbentuk, yang diwakili oleh garis vertikal pada diagram fasa.
Dengan demikian, besi – sistem karbon dapat dibagi menjadi dua
bagian: bagian iron-rich, seperti pada Gambar 2.7; dan yang lainnya
(tidak ditampilkan) untuk komposisi antara 6,70 dan 100 wt% C (grafit
murni). Dalam prakteknya, Semua baja dan besi cor memiliki kandungan
karbon kurang dari 6,70 wt% C; oleh karena itu, kami hanya
mempertimbangkan sistem iron-iron carbide. Gambar 2.7 akan lebih
Gambar 2.7 Diagram fasa iron-iron carbide
Sumber : (William D. Callister, Jr. 2001)
-
16
tepat diberi label Fe-Fe3C phase diagram, karena Fe3C sekarang dianggap
sebagai komponen. Konvensi dan kenyamanan mendikte bahwa posisi
masih dinyatakan dalam “wt% C” daripada “wt% Fe3C”; 6,70 wt% C
corre- sponds untuk 100 wt% Fe3C.
Karbon adalah interstitial interstitial dalam besi dan berbentuk
padat dan juga dengan austenite, seperti yang diindikasikan oleh bidang
fasa α, δ, dan γ dalam Gambar 2.7. Dalam BCC α ferrite, hanya
konsentrasi kecil karbon dapat larut; Kelarutan maksimum adalah 0,022
wt% pada 727°C (1341°F). Batasan kelarutan dijelaskan oleh bentuk dan
ukuran posisi interstisial BCC, yang membuatnya sulit untuk
mengakomodasi atom karbon. Meskipun ada dalam konsentrasi relatif
rendah, karbon secara signifikan mempengaruhi mechanical properties
ferrite. Tentu saja fasa iron-carbon relatif lembut, mungkin bersifat
magnetik pada suhu di bawah 768°C (1414°F), dan memiliki kepadatan
7,88 g/cm3 Gambar 2.8 adalah photomicrograph α ferrite.
Austenite, atau fase γ besi, ketika berpaduan dengan hanya karbon,
tidak stabil di bawah 727°C (1341°F), seperti ditunjukkan pada gambar
2.6. Kelarutan maksimum karbon di austenite, 2,14 wt%, terjadi pada
1147°C (2097°F).
Kelarutan ini lebih besar 100 kali daripada maksimum untuk BCC
ferrite, sejak FCC posisi interstitial yang lebih besar dan oleh karena itu,
strain yang dikenakan pada atom besi sekitarnya jauh lebih rendah.
Gambar 2.8 Photomicrographs dari (a) ferrite (90X) dan (b) austenite (325X)
(Sumber : William D. Callister, Jr. 2001)
-
17
Sebagai diskusi yang mengikuti demonstrasi, transformasi fase yang
melibatkan austenite sangat penting di perlakuan panas baja. Secara
sepintas, harus disebutkan bahwa austenite tidak magnetik. Gambar 2.6 b
menunjukkan photomicrograph fase austenite ini. δ feritte hampir sama
dengan α feritte, kecuali untuk kisaran temperatur yang masing-masing.
Karena feritte stabil hanya pada relatif suhu tinggi, itu tidak ada teknoligi
yang mendukung dan tidak dibahas lebih lanjut. Cementite (Fe3C)
terbentuk ketika batas kelarutan karbon di ferrite melebihi 727°C
(1341°F) (untuk komposisi dalam wilayah fase α + Fe3C). Seperti yang
ditunjukkan pada gambar 2.5, Fe3C juga akan muncul dengan fase γ
antara 727 dan 1147°C (1341 dan 2097°F). Secara mekanis, cementite
sangat keras dan rapuh; kekuatan beberapa baja sangat berubah oleh
kehadirannya (William D. Callister, Jr. 2001).
2.5.2 Isothermal transformation diagrams
Sebuah cara yang mewakili baik waktu dan suhu yang mewakili
transformasi ini berada di bagian bawah Gambar 2.9. Disini, sumbu
vertikal dan horizontal adalah suhu dan logaritma waktu. Dua kurva padat
diplot; satu mewakili waktu yang diperlukan pada setiap inisiasi atau
dimulainya transformasi; yang lainnya adalah untuk kesimpulan
tranformasi. Kurva putus sesuai dengan 50% selesainya transformasi.
Kurva ini dihasilkan dari serangkaian plot dari persentase transformasi
versus logaritma waktu yang diambil selama rentang suhu. Bentuk S
dalam kurva [untuk 675°C (1247°F)], di bagian atas Gambar 2.9,
mengilustrasikan transfer data dilakukan.
-
18
Pertama, plot ini hanya berlaku untuk paduan besi-karbon dari
komposisi eutektoid; Untuk Komposisi lain, kurva akan memiliki
konfigurasi yang berbeda. Selain itu, Plot ini hanya akurat untuk
transformasi di mana suhu paduan berlangsung konstan sepanjang durasi
reaksi. Kondisi suhu konstan disebut isotermal; dengan demikian, Plot
seperti Gambar 2.9 dirujuk sebagai sebagai isothermal transformation
diagram atau sebagai time-temperature-transformation (atau T-T-T).
Sebuah kurva perlakuan panas isotermal aktual (ABCD)
ditumpangkan pada isothermal transformation diagram untuk eutectoid
iron-carbon alloy di Gambar 2.10. Pendinginan yang sangat cepat dari
austenite ke suhu ditunjukkan oleh garis vertikal dekat AB, dan perlakuan
isotermal pada suhu ini diwakili oleh segmen horisontal BCD. Tentu saja,
waktu meningkat dari kiri ke kanan sepanjang garis. Transformasi
austenite ke pearlite dimulai di persimpangan, titik C (setelah sekitar 3,5
s), dan telah mencapai penyelesaian sekitar 15 s, sesuai dengan ke titik D.
Gambar 2.10 juga menunjukkan mikrostruktur skematik pada berbagai
waktu selama perkembangan reaksi.
Gambar 2.9 Demonstrasi bagaimana isothermal transformation diagram
Sumber : (William D. Callister, Jr. 2001)
-
19
Rasio ketebalan lapisan feritte dan cementite dalam pearlite secara
matang 8 sampai 1. Namun, ketebalan lapisan tergantung pada suhu di
mana transformasi isotermal diperbolehkan terjadi. Pada suhu hanya di
bawah eutectoid, lapisan yang relatif tebal dari kedua fase α ferrite dan
Fe3C terbentuk; mikrostruktur ini disebut sebagai pearlite kasar (coarse
pearlite), dan wilayah di mana bentuknya ditunjukkan disebelah kanan
kurva penyelesaian pada Gambar 2.8. Pada saat ini temperatur, tingkat
difusi relatif tinggi, sehingga selama transformasi atom karbon dapat
menyebar jarak yang relatif jauh dalam pembentukan lamellae yang tebal.
Dengan penurunan suhu, karbon tingkat difusi menurun dan lapisan
menjadi semakin tipis. Stuktur layer tipis yang terjadi di sekitar 540°C
disebut fine pearlite; ini adalah juga ditunjukkan pada Gambar 2.8.
Photomicrographs coarse dan fine pearlite untuk komposisi eutectoid
yang ditunjukkan pada gambar 2.11.
Untuk komposisi lain iron-carbon alloy, fase proeutectoid (baik
feritte atau cementite) akan berdampingan dengan pearlite. Sehingga
kurva tambahan yang sesuai dengan transformasi proeutectoid juga harus
Gambar 2.10 Isothermal transformation diagram untuk eutectoid iron-carbon alloy,
dengan kurva superimposed isothermal heat treatment (ABCD) Sumber : (William D.
Callister, Jr. 2001)
-
20
termasuk pada isothermal transformation diagram. Salah satu diagram
untuk 1,13 wt% paduan C ditunjukkan pada gambar 2.12.
2.5.3 Panas pengelasan
Hery (dalam Suratman, 2003) menjelaskan bahwa dalam
pengelasan, untuk mencairkan logam induk dan logam pengisi diperlukan
energi yang cukup. Energi yang dihasilkan dalam operasi pengelasan
berasal dari bermacam-macam sumber tergantung pada proses
pengelasannya. Pada pengelasan busur listrik, sumber energi berasal dari
listrik yang diubah menjadi energi panas. Energi panas ini sebenarnya
hasil kolaborasi dari parameter arus las, tegangan las dan kecepatan
Gambar 2.11 Photomicrographs dari (a) coarse pearlite dan (b) fine pearlite 3000X
(Sumber : William D. Callister, Jr. 2001)
Gambar 2.12 Isother-mal transformation diagram untuk 1.13 wt % C iron carbon
alloy: A, austenite; C, proeutectoid cementite; P, pearlite.
Sumber : (William D. Callister, Jr. 2001)
-
21
pengelasan. parameter ketiga yaitu kecepatan pengelasan ikut
mempengaruhi energi pengelasan karena proses pemanasannya tidak
diam ditempat, akan tetapi bergerak dengan kecepatan tertentu.
Kualitas hasil pengelasan dipengaruhi oleh energi panas yang
berarti dipengaruhi juga oleh arus las, tegangan dan kecepatan
pengelasan. hubungan antara ketiga parameter tersebut menghasilkan
energi pengelasan yang disebut heat input (masukan panas). Persamaan
masukan panas dapat dituliskan sebagai berikut:
Heat input = V x I / ν (2.2)
Dimana : V = Tegangan (Volt)
I = Arus pengelasan (Ampere)
ν = Kecepatan pengelasan (mm/s)
Untuk memperoleh masukan panas yang sebenarnya dari suatu
proses pengelasan, persamaan masukan panas di atas dikalikan dengan
efisiensi proses (η) sehingga persamaan tersebu menjadi :
Heat input = η x V x I / ν (2.3)
Dimana : η = Efisiensi pengelasan (%)
Efisiensi masing-masing proses pengelasan adalah :
Tabel 2.3 Efisiensi Proses Pengelasan
Proses pengelasan Efisiensi (%)
SAW (Submerged Arc Welding) 90 – 99
GMAW (Gas Metal Arc welding) 65 – 85
FCAW (flux core arc welding) 65 – 85
SMAW (Shielded Metal Arc Welding) 50 – 85
GTAW (Gas Tungsten Arc Welding) 20 – 50
Sumber : Hery. Suratman, 2003
2.5.4 Kekerasan daerah HAZ
Mikro sruktur dari zona grain growth, zona lain di HAZ
menentukan properties dari sambungan pengelasan. Untuk memprediksi
properties dari zona ini dibutuhkan untuk mengetahui jumlah dan luasan
dari zona grain growth dan thermal cycle. Luasan dari zona grain growth
ini penting untuk menentukan panjang maksimum yang mana mudah
mengalami retak menjalar yang berhubungan dengan fracture toughness.
-
22
Pengetahuan tentang thermal cycle penting dalam menentukan luasan dari
graint growth dan kecepatan pendinginan.
Untuk melunakkan bisa dipanaskan pada temperatur sekitar A1,
untuk melakukan tempering dari struktur mikro dan pengkristalan ulang.
Dalam beberapa kasus, heat input yang spesifik dari proses pengelasan
telah diberi batasan untuk menjaga lebar dari zona tempered sesempit
mungkin. Dalam pengelasan plat tebal dengan ESW, zona untuk
melunakkan mendekati temperatur A3 seperti struktur di zona ini yang
mengkristal ulang ke feritic.
Di HAZ dengan temperatur di atas A3 dan khususnya di zona
underbead baik pengerasan butir austenitic terjadi yang menyebabkan
penurunan kekuatan atau perubahan struktural terjadi yang menghasilkan
mikrostruktur bainit-martensitik jenuh yang mana mengarah ke kekuatan
HAZ dibandingkan dengan logam induk. Berikut adalah gambar
perbedaan kekerasan dari bagian lasan (R.S Parmar, 1997).
2.6 Sifat mekanik dan pengujiannya
Sifat mekanik adalah suatu sifat yang sangat penting pada material,karena
sifat mekanik menyatakan kemampuan suatu bahan (tentunya juga komponen
yang terbuat dari bahan tersebut) untuk menerima beban atau gaya atau energi
tanpa menimbulkan kerusakan pada bahan tersebut. Sifat mekanik material
biasanya dinyatakan dalam nilai yang memiliki satuan.
Gambar 2.13 Perbedaan Kekerasan pada Bagian Lasan : (a) pearlite free steel, (b) low
carbon steel. (Sumber : R.S. Parmar, 1997)
-
23
2.6.1 Hardness test
Kekerasan (hardness) suatu bahan boleh jadi merupakan sifat
mekanik yang paling penting, karena pengujian ini dapat digunakan untuk
menguji homogenitas suatu material. Selain itu kekerasan dapat
digunakan untuk mengetahui sifat-sifat mekanik yang lain. Bahkan nilai
kekuatan tarik yang dimiliki suatu material dapat dikonversi dari
kekerasannya. Beberapa sifat bahan yang berhubungan dengan kekerasan
ditunjukkan pada gambar (M.M. Munir, 2000).
Istilah kekerasan (hardness) sebenarnya sangat sulit untuk
didefinisikan secara tepat, karena setiap bidang ilmu memberikan
definisinya sendiri-sendiri sesuai persepsi dan keperluan yang melatar
belakangi. Meskipun demikian dalam tinjauan teknik (engineering) yang
menyangkut logam, satu definisi yang cukup mewakili menyatakan
bahwa kekerasan adalah kemampuan suatu bahan untuk tahan terhadap
indentasi atau penetrasi atau abrasi.
Ada beberapa metode pengujian kekerasan yang digunakan untuk
menguji kekerasan logam, yaitu :
1. Metode Pengujian Kekerasan Brinell
2. Metode Pengujian Kekerasan Vickers
3. Metode Pengujian Kekerasan Rockwell
Pada dasarnya metode pengujian kekerasan Vickers hampir sama
denganBrinell, hanya indentornya saja yang berbeda (M.M. Munir, 2000).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada metode pengujian kekerasan
Vickers adalah sebagai berikut :
1. Spesimen harus memenuhi persyaratan :
a. Rata dan halus (sangat sensitif terhadap kekasaran
permukaan)
b. Dapat ditumpu dengan baik dan permukaan uji harus
horisontal.
2. Indentor yang digunakan adalah intan yang berbentuk piramida
beralas bujur sangkar dengan sudut puncak antra dua sisi yang
berhadapan 136° seperti yang ditunjukan pada gambar 2.14.
-
24
a. Indentor piramida intan b. Tapak indentasi c. Pengukuran diagonal
indentasi pada layar
3. Pada dasarnya semua beban bisa digunakan, kecuali untuk pelat
yang tipis harus digunakan beban yang ringan sehingga tidak
terjadi anvile effect.
4. Pada pelaksanaannya, pengujian kekerasan ini dilakukan
dengan menekankan indentor pada permukaan spesimen selama
15 - 30 detik.
5. Nilai kekerasan pengujian ini dinyatakan dalam satuan DPH
(Vickers Diamond Pyramidal Hardness) yang dihitung
berdasarkan diagonal indentasi dengan persamaan sebagai
berikut :
DPH = [2P sin (α/2)]/d2. ( 2.3)
Untuk α = 136°
DPH = 1,854 P/d2 ( 2.4)
Dimana : P = gaya tekan (kgf)
d = diagonal indentasi (mm)
= (d1+d2)/2
6. Penulisan nilai kekerasan seperti contoh berikut : 150 DPH
150/10.
Dimana : 150 = nilai kekerasan
DPH = metode pengujian Vickers
150 = Gaya pembebanan (N)
10 waktu pembebanan (detik)
Gambar 2.14 Motode Pengujian Kekerasan Vickers
(Sumber : M.M. Munir, 2000)
-
25
2.6.3 Metalography test
Metalografi merupakan suatu metode untuk mengamati struktur
logam dengan menggunakan mikroskop. Pengamatan metalografi secara
garis besar terbagi dua, yaitu :
1. Makro etsa
2. Mikro Etsa
1. Makro etsa ( Macroscopic examination )
Yang dimaksud dengan pemeriksaan makro adalah
pemeriksaan bahan dengan mata kita langsung atau memakai kaca
pembesar dengan pembesaran rendah (a low magnification).
Kegunaannyauntuk memeriksa permukaan yang terdapat celah-
celah, lubang-lubang pada struktur logam yang sifatnya rapuh,
bentuk-bentuk patahan benda uji bekas pengujian mekanis yang
selanjutnya dibandingkan dengan beberapa logam menurut bentuk
dan strukturnya antara satu dengan yang lain menurut
kebutuhannya. Angka pembesaran pemeriksaan makro antara 0,5
kali sampai 50 kali. Pemeriksaan secara makro biasanya untuk
bahan-bahan yang memiliki struktur kristal yang tergolong besar
dan kasar, sepertimisal logam hasil coran atau tuangan, serta bahan-
bahan yang termasuk non metal (M.M. Munir, 2000).
2. Mikro etsa ( Microscopic examination )
Yang dimaksud dengan pemeriksaan mikro ialah pemeriksaan
bahan logam di mana bentuk kristal logam tergolong halus sehinga
diperlukan angka pembesaran lensa mikroskop antara 50 kali
sampai 3000 kali atau lebih dengan menggunakan mikroskop
industri.
-
26
HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN
-
27
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Diagram alir penelitian
Metode dan langkah-langkah penelitian digambarkan secara skematis
dalam bentuk flowchart, Gambar 3.1 berikut ini merupakan flowchart penelitian
yang dilakukan :
Gambar 3.1 Diagram alir penelitian (flowchart)
(Sumber : Dokumentasi Pribadi)
-
28
3.2 Identifikasi dan perumusan masalah
Pada tahap ini dilakukan identifikasi beberapa permasalahan yang
didapatkan pada saat melakukan pengamatan sehingga bisa dilakukan sebuah
penelitian. Kemudian dilakukan penetapan tujuan tentang apa yang ingin dicapai
dan manfaatnya bagi pihak terkait serta bagi penelitian selanjutnya. Tahap ini
merupakan dasar tentang apa yang dilakukan selama penelitian.
3.3 Studi literatur
Tahap ini dilakukan pengumpulan teori – teori yang berhubungan dengan
penelitian ini yang nantinya akan digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini.
Dalam penelitian ini teori–teori yang diangkat adalah semua teori yang
berhubungan dengan proses pengelasan SMAW dan GMAW, tipe sambungan
las, dan material.
3.4 Persiapan material
Tahap persiapan material merupakan langkah pertama dalam pelaksanaan
penelitian ini. Pengelasan dan pemotongan spesimen dilakukan pada tahap ini.
Untuk selanjutnya dilakukan serangkaian pengujian untuk pengambilan data
penelitian.
Langkah – langkah yang dikerjakan pada tahap persiapan material adalah
sebagai berikut :
1. Pemotongan material plat baja karbon ASTM A573 Grade 50 dengan ukuran
200 x 70 x 5 mm sebanyak 24 buah dan 100 x 70 x 10 mm sebanyak 24 buah.
2. Pembuatan spesimen sebanyak 4 konfigurasi pengelasan yaitu : butt joint, tee
joint, cruciform joint, dan lap joint seperti ditunjukkan pada Gambar 3.2.
a. Butt joint b. Lap joint c. Tee joint d. Cruciform joint
Gambar 3. 2 Jenis konfigurasi sambungan las
(Sumber : Dokumentasi Pribadi)
-
29
3. Fitting up material sebelum dilakukan proses pengelasan seperti ditunjukkan
pada Gambar 3.7 untuk tebal material 5 mm dan 10 mm.
3.5 Persiapan logam pengisi
Pemilihan elektroda sebagai logam pengisi pada proses pengelasan dipilih
berdasarkan base metal yang akan disambung ditunjukkan pada elektroda yang
digunakan :
e. Elektroda E7016
Penggunaan elektroda E7016 dengan diameter 2.6 mm sebagai logam
pengisi dimana elektroda ini dugunakan untuk pengelasan carbon steel
dengan kandungan kimia yang terlihat pada Tabel 3.4 sebagai berikut.
Gambar 3.3 Fitting up sebelum pengelasan
(Sumber : Dokumentasi Pribadi)
a) Butt joint
b) tee joint
d) Cruciform joint
c) Lap joint
-
30
Tabel 3. 4 Unsur kimia pada elektroda E7016
Komposisi
Kimia C Mn Si P S Ni Cr Mo V
Persentase
(%) 0.15 1.60 0.75 0.035 0.035 0.30 0.20 0.30 0.08
Sumber :(ASME IIC, 2015)
Selain itu elektroda E7016 mempunyai mechanical properties yang
dapat dilihat pada Tabel 3.5 di bawah ini.
Tabel 3. 5 Mechanical propesties elektroda E7016
SFA/AWS Yield
(MPa)
Tensile
(MPa) Elongation (%)
CVN at -30°C
(joules)
A5.1/E7016 400 490 22 27
Sumber :(ASME IIC, 2015)
b. Elektroda E70S-6
Penggunaan elektroda E70S-6 dengan diameter 1.2 mm sebagai logam
pengisi dimana elektroda ini dugunakan untuk pengelasan carbon steel
dengan kandungan kimia sebagai berikut yang terlihat pada Tabel 3.6
sebagai berikut.
Tabel 3. 6 Unsur kimia pada elektroda E70S-6
Komposisi
Kimia C Mn Si P S Ni Cr Mo V
Persentase
(%)
0.06-
0.15
1.40-
1.85
0.80-
1.15 0.025 0.035 0.15 0.15 0.15 0.03
Sumber : (ASME IIC, 2015)
Selain itu elektroda E70S-6 mempunyai mechanical properties yang
dapat dilihat pada Tabel 3.7 di bawah ini.
Tabel 3. 7 Mechanical propesties elektroda E70S-6
SFA/AWS Yield
(MPa)
Tensile
(MPa) Elongation (%)
CVN at -30°C
(joules)
A5.1/E7016 400 480 22 27
Sumber :(ASME IIC, 2015)
-
31
3.6 Proses pengelasan
Proses pengelasan dilakukan dengan proses las SMAW dan GMAW
dengan parameter yang sama untuk setiap spesimen agar dampak yang dihasilkan
murni karena konfigurasi pengelasan yang berbeda. Pada proses pengelasan
dipenelitian ini berjumlah 48joint. Berikut adalah tahap pengelasan spesimen:
1. Melakukan persiapan elektroda.
2. Melakukan persiapan dengan parameter pengelasan yang telah ditentukan
yang terdapat pada Tabel 3.3.
3. Melakukan fitting up material yang terdapat pada Gambar 3.3.
4. Proses pengelasan menggunakan polaritas DC (+) dengan pengelasan SMAW
dan GMAW pada semua spesimen menggunakan elektroda E7016 dan
ER70S-6.
5. Melakukan proses pengelasan yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
c. Pengelasan spesimen butt joint
Pengujian spesimen dapat diterangkan pada Gambar 3.4 berikut :
d. Pengelasan spesimen tee joint
Pengujian spesimen dapat diterangkan pada Gambar 3.5 berikut :
Gambar 3. 4 Pengelasan butt joint
Sumber : (Dokumentasi Pribadi)
-
32
e. Pengelasan spesimen cruciform joint
Pengujin spesimen dapat diterangkan pada Gambar 3.6 berikut :
f. Pengelasan spesimen lap joint
Pengujin spesimen dapat diterangkan pada Gambar 3.7 berikut :
Gambar 3.5 Pengelasan tee joint
Sumber : (Dokumentasi Pribadi)
Gambar 3. 6 Pengelasan cruciform joint
Sumber : (Dokumentasi Pribadi)
Gambar 3. 7 Pengelasan lap joint
Sumber : (Dokumentasi Pribadi)
-
33
Di bawah ini tabel yang dijadikan acuan parameter pengelasan pada
spesimen penelitian.
Tabel 3. 8 Parameter Pengelasan Spesimen Penelitian
Jumalah
Passes
Elektroda Parameter pengelasan Travel
Speed
(mm/min)
Positions Heat Input
(Kj/mm) Tipe Ø Polaritas Ampere Voltase
1 E7016 2.6mm DCEP 70 – 100 20 – 30 50 – 100 1G, 1F 0.84 – 1.62
Tabel 3. 9 Parameter Pengelasan Spesimen Penelitian
Jumalah
Passes
Elektroda Parameter pengelasan Wire
Speed
(m/min)
Positions
Tipe Ø Polaritas Ampere Voltase
1 E70S-6 1.2mm DCEP 120 - 380 18 – 34 2.5 – 15 1G, 1F
Sumber : ( ESAB Handbook, 2015)
3.7 Pengujian
Untuk mengetahui bagaimana hasil dari metode di atas dan dapat
membandingkan hasil diantaranya serta mengetahui pengaruh apa saja yang
terjadi pada lowcarbon steel ASTM A572 Grade 50 terhadap konfigurasi
sambungan las yang berbeda ini maka dilakukan pengujian pada hasil lasan
spesimen penelitian. Jenis dari pengujian yang dilakukan adalah pengujian
merusak atau destructive test. Sebelum dilakukan pengujian, cutting plan harus
ditentukan sebelum material dipotong untuk membagi sesuai ukuran dari tiap
spesimen uji sesuai pada standard yang diacu. Dalam hal ini menggunakan
cutting plan dari ASME IX, 2015 namun karena pengujiannya terbatas pada
dimensi material maka dilakukan modifikasi seperti Gambar 3.8 berikut.
-
34
Adapun uraian langkah pengujian dan jenis-jenis pengujian yang digunakan
adalah sebagai berikut:
3.7.1 Uji kekerasan ( Hardness test )
Dari pengujian ini yang didapat adalah nilai kekerasan HAZ material uji
yang sudah dilakukan proses pengelasan pada berbagai variasi yang ada.
Pengujian kekerasan ini menggunakan metode Vickers.Titik pengambilan sampel
dapat dilihat pada Gambar 3.9 berikut.
a. Peralatan
1. Mesin uji kekerasan
2. Mesin polisher
3. Kertas gosok (grid 60, 240, 800, dan 1000)
4. Driyer (pengering)
5. Larutan Nital 2% (Alkohol 98 ml + HNO3 2 ml)
Gambar 3.8 Cutting plan untuk spesimen uji
Sumber : (Dokumentasi Pribadi)
b) Lap joint a) Butt joint
d) Tee joint c) Crusiform joint
-
35
b. Prosedur pengujian
1. Memoles atau menggosok spesimen dengan kertas amplas pada
mesin polisher.
2. Melakukan etching dengan Larutan Nital 2% (Alkohol 98 ml +
HNO3 2 ml) untuk melihat secara visual daerah lasan, HAZ, dan
daerah base metal.
3. Setelah itu dilanjutkan memberi 3 titik pada daerah HAZ sebagai
daerah uji kekerasan. Untuk daerah HAZ diuji pada jarak 1mm dari
fusion line.
4. Memasang spesimen pada ragum mesin uji kekerasan.
5. Memberikan beban 5 kgf dengan waktu pembebanannya 15 detik.
6. Hasil diagnose dan kekerasannya akan tampak pada layar mesin uji
kekerasan secara otomatis.
3.7.2 Metalography test
Metalography test merupakan salah satu pengujian yang bertujuan untuk
mengetahui microstructure dari suatu material. Metalography mempunyai dua jenis
pengujian yakni macro test, dan micro test. Macro test merupakan salah satu jenis
pengujian metalographi yang didalam proses pengambilan gambar dapat
menggunakan bantuan kamera digital karena base metal, HAZ, dan weld metal tidak
Gambar 3.9 Titik pengambilan kekerasan pada spesimen uji
Sumber : (Dokumentasi Pribadi)
b) Lap joint a) Butt joint
d) Tee joint c) Cruciform joint
-
36
dapat terlihat dengan jelas tanpa pembesaran lensa. Sedangkan micro test merupakan
salah satu pengujian metalography yang dalam prosesnya membutuhkan bantuan
mikroskop karena untuk melihat microstructure dari material tersebut.
Berikut ini merupakan alat dan bahan yang digunakan dalam proses
metalografi baik macro maupun micro test :
a. Bahan
1. Potongan spesimen
2. Kertas gosok (grid 600, 800, 1000, 1200, dan 1500)
3. Kain wool
4. Bubuk alumina
5. Larutan Nital 2% (Alkohol 98 ml + HNO3 2 ml )
6. Kain bersih
b. Peralatan
1. Polishing machine
2. Cawan kimia
3. Pipet
4. Mikroskop
5. Dryer
c. Langkah kerja
1. Grinding
a) Mengambil kertas gosok grid 320 yang telah disesuaikan dengan
bentuk piringan mesin polishing.
b) Melakukan polishing dengan air yang mengalir sampai halus pada
permukaannya. Amati permukaannya dan pastikan arah goresan
searah dan tidak ada yang tidak searah.
c) Bila goresan sudah searah, ganti dengan kertas gosok dengan grid
lebih tinggi (320, 400, 600, 800, 1000, 1200, dan 1500). Ulangi
seperti langkah di atas.
d) Perhatikan arah goresan pada setiap pergantin kertas gosok harus
tegak lurus dengan orientasi penggosokan sebelumnya.
-
37
2. Polishing
a) Pasang kertas kain wool pada mesin polishing, nyalakan
mesinpolishing dan nyalakan sedikit air.
b) Benda yang akan di-polishing dicelupkan terlebih dahulu kedalam
serbuk alumina, setelah itu polishing dan beri sedikit tekanan di atas
kain wool tersebut sampai benda uji halus.
c) Amati permukaan benda uji tersebut apakah masih ada goresan yang
terlihat, jika belum maka harus di-polishing lagi sampai tidak ada
goresan.
d) Proses polishing selesai jika sudah tidak ada goresan dari proses
grinding (grid 1500) dan halus seperti cermin.
e) Untuk membersihkan sisa-sisa polishing powder, spesimen dicuci
dengan air dan alcohol lalu dikeringkan dengan dryer atau dengan soft
tissue.
3. Etching
a) Menyiapkan alat-alat yang diperlukan seperti pipet, cawan kimia, dan
dryer yang telah dibersihkan terlebih dahulu.
b) Mengambil 2 ml larutan HNO3 dengan pipet dan menuangkan ke
cawan kimia.
c) Kemudian mencapur HNO3 dengan alcohol 98 ml.
d) Oleskan spesimen dengan larutan secara merata pada permukaan yang
akan di etsa dan segera siram dengan air dan alkohol.
e) Mengeringkan spesimen tersebut dengan dryer.
3.8 Pengumpulan dan pengolahan data
Setelah pengujian seluruh spesimen, pengumpulan data berupa data
kuantitatif dan kualitatif. Untuk data kuantitatif akan disajikan dalam bentuk
tabel dan grafik sehingga memudahkan dalam proses membandingkan dan
analisis pengaruhnya.
-
38
3.9 Analisis
Setelah data terkumpul maka analisis dilakukan melalui acceptance criteria
sesuai standard yang digunakan dan pembahasan pengaruh-pengaruh yang saling
berkaitan. Selain itu juga dilakukan pembandingan pada setiap konfigurasi las
yang ditentukan oleh peneliti.
3.10 Kesimpulan
Penarikan kesimpulan didapatkan setelah analisis data dan hasil pengujian
dilakukan. Saran diberikan oleh peneliti atau penulis apabila dalam penelitiannya
terdapat kekurangan dan keterbatasan yang menyebabkan hasil tidak sesuai
denganyangdiinginkan.
-
39
BAB 4
ANALISA DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengujian makro
Pengujian ini dilakukan untuk melihat area – area internal dari hasil
proses pengelasan dengan fokus membandingkan luas HAZ dari proses
pengelasan pada variasi konfigurasi sambungan las butt joint, lap joint, tee joint,
dan cruciform joint dengan proses pengelasan SMAW dan GMAW pada plat
dengan tebal 5 mm dan 10 mm. Hasil pengujian makro dapat dijelaskan dengan
Gambar 4.1 dan hasil perbandingan dari uji makro pada variasi tersebut dapat
dilihat pada Tabel 4.1 dan Tabel 4.2 berikut ini :
Gambar 4.1 Sketsa foto pengujian makro
(Sumber : Dokumentasi Pribadi. 2019)
-
40
Tabel 4.1 Hasil Uji Makro Plat 5 mm
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019)
Sp
esim
en
Foto Makro Item
Keterangan
A B
TP
-BS
-1
(SM
AW
Th
k 5
mm
)
Luas HAZ
23.4
mm2
22.9
mm2
Discontinuity
Type -
Remark Accepted
TP
-BS
-2
(SM
AW
Th
k 5
mm
)
Luas HAZ 27.6
mm2
24.4
mm2
Discontinuity
Type -
Remark Accepted
TP
-BS
-3
(SM
AW
Th
k 5
mm
)
Luas HAZ
25.3
mm2
26.7
mm2
Discontinuity
Type -
Remark Accepted
TP
-BG
-1
(GM
AW
Th
k 5
mm
)
Luas HAZ
16.3
mm2
13.3
mm2
Discontinuity
Type -
Remark Accepted
-
41
Tabel 4.1 Hasil Uji Makro Plat 5 mm ( lanjutan )
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019)
Sp
esim
en
Foto Makro Item
Keterangan
A B
TP
-BG
-2
(GM
AW
Th
k 5
mm
)
Luas HAZ
15.7
mm2
14.0
mm2
Discontinuity
Type -
Remark Accepted
TP
-BG
-3
(GM
AW
Th
k 5
mm
)
Luas HAZ
14.7
mm2
16.6
mm2
Discontinuity
Type -
Remark Accepted
TP
-LS
-1
(SM
AW
Th
k 5
mm
)
Luas HAZ
10.5
mm2
14.1
mm2
Discontinuity
Type
Concavity
1 mm
Remark Accepted
TP
-LS
-2
(SM
AW
Th
k 5
mm
)
Lebar HAZ
10.2
mm2
13.2
mm2
Discontinuity
Type -
Remark Accepted
-
42
Tabel 4.1 Hasil Uji Makro Plat 5 mm ( lanjutan )
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019)
Sp
esim
en
Foto Makro Item
Keterangan
A B
TP
-LS
-3
(SM
AW
Th
k 5
mm
)
Luas HAZ 26.3
mm2
17.4
mm2
Discontinuity
Type
Concavity
1.5 mm
Remark Accepted
TP
-LG
-1
(GM
AW
Th
k 5
mm
)
Luas HAZ
5.3
mm2
6.8
mm2
Discontinuity
Type
Incomplete
Fusion
Remark Rejected
TP
-LG
-2
(GM
AW
Th
k 5
mm
)
Luas HAZ
6.3
mm2
7.2
mm2
Discontinuity
Type
Concavity
1 mm
Remark Accepted
TP
-LG
-3
(GM
AW
Th
k 5
mm
)
Luas HAZ
6.0
mm2
7.1
mm2
Discontinuity
Type
Undercut
1 mm
Remark Accepted
-
43
Tabel 4.1 Hasil Uji MakroPlat 5 mm ( Lanjutan )
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019)
Sp
esim
en
Foto Makro Item
Keterangan
A B
TP
-TS
-1
(SM
AW
Th
k 5
mm
)
Luas HAZ 13.2
mm2
20.8
mm2
Discontinuity
Type -
Remark Accepted
TP
-TS
-2
(SM
AW
Th
k 5
mm
)
Luas HAZ
23.2
mm2
22.2
mm2
Discontinuity
Type -
Remark Accepted
TP
-TG
-1
(GM
AW
Th
k 5
mm
)
Luas HAZ
3.7
mm2
10.3
mm2
Discontinuity
Type
Concavity
1 mm
Remark Accepted
TP
-TG
-2
(GM
AW
Th
k 5
mm
)
Luas HAZ 5.1
mm2
11.7
mm2
Discontinuity
Type
Concavity
1 mm
Remark Accepted
-
44
Tabel 4.1 Hasil Uji MakroPlat 5 mm ( Lanjutan )
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019)
Sp
esim
en
Foto Makro Item
Keterangan
A B
TP
-TG
-1
(GM
AW
Th
k 5
mm
)
Luas HAZ
3.7
mm2
10.3
mm2
Discontinuity
Type
Concavity
1 mm
Remark Accepted
TP
-TG
-2
(GM
AW
Th
k 5
mm
)
Luas HAZ 5.1
mm2
11.7
mm2
Discontinuity
Type
Concavity
1 mm
Remark Accepted
TP
-TG
-3
(GM
AW
Th
k 5
mm
)
Luas HAZ
5.1
mm2
15.3
mm2
Discontinuity
Type
Concavity
1 mm
Remark Accepted
TP
-CS
-1
(SM
AW
Th
k 5
mm
)
Luas HAZ
6.8
mm2
25.6
mm2
Discontinuity
Type -
Remark Accepted
-
45
Tabel 4.1 Hasil Uji MakroPlat 5 mm ( Lanjutan )
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019)
Sp
esim
en
Foto Makro Item
Keterangan
A B
TP
-CS
-2
(SM
AW
Th
k 5
mm
)
Luas HAZ 5.6
mm2
28.3
mm2
Discontinuity
Type -
Remark Accepted
TP
-CG
-1
(GM
AW
Th
k 5
mm
)
Luas HAZ 3.5
mm2
14.2
mm2
Discontinuity
Type
Concavity
1 mm
Remark Accepted
TP
-CG
-2
(GM
AW
Th
k 5
mm
)
Luas HAZ 3.4
mm2
15.6
mm2
Discontinuity
Type
Concavity
1 mm
Remark Accepted
TP
-CG
-3
(GM
AW
Th
k 5
mm
)
Luas HAZ 3
mm2
14.4
mm2
Discontinuity
Type
Concavity
1 mm
Remark Accepted
-
46
Tabel 4.2 Hasil Uji Makro Plat 10 mm
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019)
Sp
esim
en
Foto Makro Item
Keterangan
A B
TP
-BS
-4
(SM
AW
Th
k 1
0 m
m)
Luas HAZ
31.6
mm2
35.5
mm2
Discontinuity
Type
Linear
Indication 1
mm
Remark Rejected
TP
-BS
-5
(SM
AW
Th
k 1
0 m
m)
Luas HAZ
35.0
mm2
31.8
mm2
Discontinuity
Type -
Remark Accepted
TP
-BS
-6
(SM
AW
Th
k 1
0 m
m)
Luas HAZ 29.8
mm2
37.1
mm2
Discontinuity
Type
Undercut 1
mm
Remark Accepted
TP
-BG
-4
(GM
AW
Th
k 1
0 m
m)
Luas HAZ
19.8
mm2
19.8
mm2
Discontinuity
Type -
Remark Accepted
-
47
Tabel 4.2 Hasil Uji Makro Plat 10 mm ( lanjutan )
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019)
Sp
esim
en
Foto Makro Item
Keterangan
A B
TP
-BG
-5
(GM
AW
Th
k 1
0 m
m)
Luas HAZ 14
mm2
13.2
mm2
Discontinuity
Type -
Remark Accepted
TP
-BG
-6
(GM
AW
Th
k 1
0 m
m)
Luas HAZ
17.3
mm2
19.4
mm2
Discontinuity
Type -
Remark Accepted
TP
-LS
-4
(SM
AW
Th
k 1
0 m
m)
Luas HAZ
7.1
mm2
19.4
mm2
Discontinuity
Type
Undercut
< 1mm
Remark Accepted
TP
-LS
-5
(SM
AW
Th
k 1
0 m
m)
Luas HAZ
7.2
mm2
19.0
mm2
Discontinuity
Type
Different leg
length 3 mm
Remark Accepted
-
48
Tabel 4.2 Hasil Uji Makro Plat 10 mm ( lanjutan )
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019)
Sp
esim
en
Foto Makro Item
Keterangan
A B
TP
-LS
-6
(SM
AW
Th
k 1
0 m
m)
Luas HAZ
7.2
mm2
19.3
mm2
Discontinuity
Type
Undercut
< 1 mm
Remark Accepted
TP
-LG
-4
(GM
AW
Th
k 1
0 m
m)
Luas HAZ
7.9
mm2
11.5
mm2
Discontinuity
Type -
Remark Accepted
TP
-LG
-5
(GM
AW
Th
k 1
0 m
m)
Luas HAZ 5.2
mm2
16.3
mm2
Discontinuity
Type
Incomplete
Fusion
Remark Rejected
TP
-LG
-6
(GM
AW
Th
k 1
0 m
m)
Luas HAZ 7.2
mm2
17.8
mm2
Discontinuity
Type -
Remark Accepted
-
49
Tabel 4.2 Hasil Uji Makro Plat 10 mm ( lanjutan )
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019)
Sp
esim
en
Foto Makro Item
Keterangan
A B
TP
-TS
-4
(SM
AW
Th
k 1
0 m
m)
Luas HAZ
6.4
mm2
25.6
mm2
Discontinuity
Type -
Remark Accepted
TP
-TS
-5
(SM
AW
Th
k 1
0 m
m)
Luas HAZ 10.4
mm2
20.4
mm2
Discontinuity
Type -
Remark Accepted
TP
-TS
-6
(SM
AW
Th
k 1
0 m
m) Luas HAZ
5.1
mm2
9.2
mm2
Discontinuity
Type -
Remark Accepted
TP
-TG
-4
(GM
AW
Th
k 1
0 m
m)
Luas HAZ
5.5
mm2
13.4
mm2
Discontinuity
Type
Incomplete
Fusion
Remark Rejected
-
50
Tabel 4.2 Hasil Uji Makro Plat 10 mm ( lanjutan )
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019)
Sp
esim
en
Foto Makro Item
Keterangan
A B
TP
-TG
-5
(GM
AW
Th
k 1
0 m
m)
Luas HAZ
4.7
mm2
14.5
mm2
Discontinuity
Type
Linear
Indication
0.5 mm
Remark Accepted
TP
-TG
-6
(GM
AW
Th
k 1
0 m
m)
Luas HAZ
6
mm2
10.0
mm2
Discontinuity
Type
Linear
Indication
0.5 mm
Remark Accepted
TP
-CS
-4
(SM
AW
Th
k 1
0 m
m)
Luas HAZ
6.4
mm2
10.2
mm2
Discontinuity
Type -
Remark Accepted
TP
-CS
-5
(SM
AW
Th
k 1
0 m
m)
Luas HAZ
9.3
mm2
13.6
mm2
Discontinuity
Type -
Remark Accepted
-
51
Tabel 4.2 Hasil Uji Makro Plat 10 mm ( lanjutan )
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019)
Sp
esim
en
Foto Makro Item
Keterangan
A B
TP
-CS
-6
(SM
AW
Th
k 1
0 m
m)
Luas HAZ
7.5
mm
12.9
mm
Discontinuity
Type -
Remark Accepted
TP
-CG
-4
(GM
AW
Th
k 1
0 m
m)
Luas HAZ 6
mm
9.7
mm
Discontinuity
Type
Incomplete
Fusion
Remark Rejected
TP
-CG
-5
(GM
AW
Th
k 1
0 m
m)
Luas HAZ
7.7
mm
9.0
mm
Discontinuity
Type
Incomplete
Fusion
Remark Rejected
TP
-CG
-6
(GM
AW
Th
k 1
0 m
m)
Luas HAZ
7.5
mm
12.0
mm
Discontinuity
Type
Incomplete
Fusion
Remark Rejected
-
52
Dari hasil pengamatan makro etsa dengan etsa yang baik akan memudahkan
untuk menganalisa lebar HAZ anatara kedua base metal yang dapat dilihat pada
Tabel 4.3. Dari hasil pengamatan di atas didapatkan hasil sebagai berikut :
Tabel 4.3 Luas HAZ Rata-rata
Tebal
(mm) Proses
Rata-rata (mm2)
Butt Lap Tee Cruciform
5 SMAW 21.3 15.3 19..9 16.6
GMAW 15.1 6.5 8.5 9.0
10 SMAW 33.5 13.2 12.9 10.0
GMAW 17.3 11.0 9.0 8.7
(Sumber : Hasil penelitian, 2019)
1. Spesimen dengan jenis sambungan butt menghasilkan lebar HAZ yang
paling lebar antara material uji. Hal ini bisa terjadi karena perambatan
panas saat proses pengelasan material uji sama besarnya antara kedua
material pada butt joint.
2. Spesimen dengan jenis sambungan lap, dan tee menghasilkan lebar HAZ
yang lebih sempit secara berurutan diantara spesimen uji lainnya. Hal ini
dapat terjadi karena penyebaran panas yang terjadi lambat dan kondisi ini
membuat fillet weld rentan terhadap perubahan metalurgi yang tidak
seragam dibandingan dengan butt weld (R.S. Parmar, 1997).
3. Sedangkan untuk sambungan cruciform memiliki lebar HAZ paling
sempit daripada spesimen uji lainnya. Hal ini disebabkan oleh penyebaran
panas yang lebih lama daripada sambungan lap dan tee karena luasan
yang ditempuh panas untuk menyebar lebih luas.
4. Menurut (M. Dzauqi Adam, 2014) perubahan ukuran HAZ disebabkan
oleh proses pendinginan dari suatu material itu sendiri. Jadi, pada
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perubahan ukuran HAZ
disebabkan oleh perbedaan kecepatan pendinginan dari setiap variasi
konfigurasi sambungan las yang terjadi karena perbedaan luas permukaan
yang mana semakin besar luas permukaan maka semakin cepat
pendinginan yang terjadi.
-
53
4.2 Pengujian mikro
Uji mikro dilakukan pengambilan gambar dengan perbesaran 200X dan
500X pada tiap – tiap spesimen variasi konfigurasi las dengan proses pengelasan
SMAW dan GMAW pada plat dengan tebal 5 mm dan 10 mm. Titik pengambilan
gambar yaitu pada daerah base metal¸ heat affected zone, dan weld metal. Hasil
gambar dari uji mikro dapat dilihat pada Tabel 4.3 berikut :
Tabel 4.4 Hasil Uji Mikro Plat 5mm
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019)
Area Base Metal
Sp
esim
en
t
Perbesaran
200X 500X
Bu
tt J
oin
t
La
p J
oin
t
Tee
Jo
int
Cru
cif
orm
Jo
int
α
pearlite
α
pearlite
α
pearlite
α
pearlite
-
54
Tabel 4.4 Hasil Uji Mikro Plat 5mm ( Lanjutan )
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019)
Area HAZ
Sp
esim
en
t
Perbesaran
200X 500X
Bu
tt J
oin
t
La
p J
oin
t
Tee
Jo
int
Cru
cif
orm
Jo
int
Ket
era
ng
an
Fasa :
(α + Fe3C) pearlite (berwarna gelap)
(α) ferrite (berwarna terang)
α
pearlite
α
pearlite
α
pearlite
α
pearlite
-
55
Tabel 4.4 Hasil Uji Mikro Plat 5mm ( Lanjutan )
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019)
Area Weld Metal
Sp
esim
en
t Perbesaran
200X 500X
Bu
tt J
oin
t
La
p J
oin
t
Tee
Jo
int
Cru
cif
orm
Jo
int
α
pearlite
α
pearlite
α
pearlite
α
pearlite
-
56