analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di ...
Transcript of analisis tiga dimensi longsoran dangkal pada batuan volkanik di ...
ANALISIS TIGA DIMENSI LONGSORAN DANGKAL
PADA BATUAN VOLKANIK DI DAERAH TROPIS:
PENERAPAN DI SINDANGKERTA, KABUPATEN BANDUNG
DISERTASI
Karya tulis sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Doktor dari
Institut Teknologi Bandung
Oleh
RENDY DWI KARTIKO
NIM : 32010302
(Program Studi Teknik Geologi)
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2016
2
Buku Pedoman Disertasi ini dapat diakses melalui situs Sekolah Pascasarjana (SPS) ITB:
http://www.sps.itb.ac.id
ABSTRAK
ANALISIS TIGA DIMENSI LONGSORAN DANGKAL
PADA BATUAN VOLKANIK DI DAERAH TROPIS:
PENERAPAN DI SINDANGKERTA, KABUPATEN BANDUNG
Oleh
Rendy Dwi Kartiko
NIM : 32010302
Longsoran dangkal merupakan proses yang sering terjadi secara periodik pada musim penghujan di daerah pegunungan tropis. Longsoran dengan tipe ini relatif tidak diperhatikan oleh lembaga-lembaga pemerintah dikarenakan lokalitas kejadian longsoran dan tingkat kerusakan yang dihasilkan hanya mengenai individu-individu tertentu, bukan sarana dan prasarana umum. Kejadian longsoran dangkal umumnya berada di persawahan, kebun, ladang, hutan, dan tebing-tebing jalan yang terjal. Kedalaman bidang gelincir longsoran ini tidak lebih dari dua meter, dan lebih sering tidak sampai satu meter. Panjang longsoran dangkal relatif jauh lebih besar dibandingkan kedalamannya, seringkali mencapai bagian paling bawah dari lereng, dengan diawali dari dekat puncak lereng. Lebar longsoran relatif jauh lebih kecil dari panjang longsoran, namun lebih besar dari kedalaman bidang longsorannya. Longsoran dangkal dapat diamati di laboratorium disebabkan oleh volume material yang dibutuhkan untuk pemodelan relatif tidak sebesar pada pemodelan longsoran dengan bidang gelincir yang lebih dalam. Selain itu longsoran dangkal juga merupakan longsoran yang dominan terjadi di lereng terjal pada pegunungan tropis. Wilayah Bandung Selatan memiliki intensitas longsoran dangkal yang cukup tinggi dan menyebabkan rusaknya ladang, sawah, dan perkebunan walau relatif tidak menyebabkan kerusakan ekonomi yang besar. Proses longsoran dangkal biasanya terkait dengan frekuensi hujan yang cukup tinggi dan terdapat curah hujan yang sangat tinggi pada beberapa kejadian hujan dalam frekuensi tersebut. Seringkali pada saat longsoran dangkal terjadi juga ditemui adanya aliran permukaan. Aliran tersebut membuat longsoran dangkal menjadi lebih cair sehingga zona deposisi terendapkan relatif lebih jauh dari
ii
sumber longsorannya. Pada saat hujan yang cukup tinggi tersebut dapat terlihat juga adanya aliran rembesan (seepage) pada bagian bawah lereng. Pemodelan kestabilan lereng pada skala regional untuk menghasilkan peta kerawanan longsoran memberikan bantuan bagi banyak pihak untuk dapat melihat tingkat kerawanan di daerahnya masing-masing. Namun perlu diingat bahwa pemodelan ini dirancang untuk menjadi sederhana, analitik, relatif cepat untuk dilakukan. Penggunaan perangkat lunak TRIGRS dari USGS yang memberikan tambahan fungsi infiltrasi hujan ke dalam tanah merupakan suatu pemodelan yang berbeda dari pemodelan deterministik kestabilan lereng tak hingga lainnya. Pada pemodelan yang ada, umumnya infiltrasi air hujan dilakukan secara satu dimensi, yaitu perubahan secara vertikal. Parameter lateral oleh karena itu pada akhirnya relatif disederhanakan dan kurang mempengaruhi kestabilan lereng. Salah satu parameter lateral yang penting bagi kestabilan lereng adalah adanya gaya rembesan. Gaya rembesan dapat diuraikan secara analitik menjadi suatu gaya lateral yang mempengaruhi faktor keamanan, terutama dari sudut yang dibentuk antara gaya rembesan tersebut terhadap bidang gelincir. Semakin vertikal gaya rembesan maka keruntuhan yang akan terjadi lebih bersifat likuifaksi. Semakin mendekati horizontal gaya rembesan maka keruntuhan yang terjadi akan mengikuti rumusan keruntuhan Mohr-Coulomb. Berdasarkan pengamatan dari modul analog yang telah dikembangkan, terjadi rembesan-rembesan pada saat terjadi gerakan tanah di bagian bawah lereng. Selain itu terlihat terjadi retakan-retakan pada bagian bawah lereng. Hal ini menunjukkan bahwa parameter gaya rembesan memiliki pengaruh yang penting pada inisiasi longsoran. Faktor kohesi juga memberikan pengaruh yang besar pada keruntuhan di modul analog disebabkan ukuran yang jauh lebih kecil dari kondisi asli memperlihatkan pengaruh kohesi yang besar terutama pada sudut lereng yang terjal. Modifikasi formulasi kestabilan lereng tak hingga dengan mempertimbangkan faktor gaya rembesan diajukan pada penelitian ini. Formulasi tersebut menyebabkan amplifikasi gaya rembesan pada zona tertentu dari morfologi lereng, terutama lereng yang tidak kontinyu dan berbentuk cekung. Selain itu formulasi tersebut juga bervariasi pada tanah dengan kohesivitas yang berbeda disebabkan pengaruh kohesivitas terhadap arah dari gaya rembesan. Kata kunci: rembesan (seepage), longsoran dangkal, gaya rembesan
iii
ABSTRACT
THREE DIMENSIONAL ANALYSIS OF SHALLOW
LANDSLIDE ON VOLCANIC ROCKS IN TROPICAL
REGION: APPLIED IN SINDANGKERTA, BANDUNG
REGENCY
By
Rendy Dwi Kartiko
NIM : 32010302
Landslide is periodic process that occurred mainly in rainy season in tropical mountainous region. Government agency tend to neglect this type of landslide because locality of landslide occurrence and lower damage impact, usually only related with individual or family level and not public infrastructures. Shallow landslide occurred usually in paddy field, small farm, garden, forest, and steep road slopes. Landslide of this type has sliding surface typically less than 2 meter, and 1 meter are more common occurrence. Landslide length is far longer than depth, frequently reach lower part of slope and deposited further along and initiated somewhere near slope crest. Width of landslide generally far less than length, but still larger than landslide depth. Shallow landslide can be observed in laboratory because material volume needed for modeling is far less than deep seated landslide with complex mechanism. On the other hand, shallow landslide is dominant landslide type on steep slope of tropical mountainous region. Southern Bandung area has quite high frequency of shallow landslide that damage garden, paddy field, and small plantation, although with less economical impact. Shallow landslide process related with higher rainfall frequency with several high intensity rain in between those rainfalls. Oftentimes shallow landslide accompanied with surface runoff. Those runoff made landslide materials more fluid which in turn made the materials deposited further from landslide sources. When high intensity rain occurred, sometimes seepage can be observed on lower side of the slope. Regional scale modeling for slope stability to produce susceptibility map provide major help for stake holder to observe slope susceptibility in each of their own area.
iv
However, one should keep in mind that this model is designed to be simple, analytic, relatively quick to do. The use of USGS’ TRIGRS software that provides additional functionality rainfall infiltration into the soil is a different modeling of deterministic modeling infinite slope stability. In these models, rainfall infiltration is modeled as one dimension, related with vertical changes of values. Lateral parameter therefore relatively simplified and less affect slope stability. One of the parameters that are important for the lateral stability of the slope is seepage occurrence. Seepage force can be explained analytically as lateral force that affects safety factor, especially from the angle formed between the seepage forces against the sliding plane. More vertical seepage force will have liquefaction type of collapse. On the other hand, the more the horizontal oriented seepage will follow of formulation of the Mohr-Coulomb collapse. Based on the observations of the analog modules that have been developed, seepage occurred in the event of ground movement at the slope toe. Also visible cracks visible at slope lower region. This indicates that the parameters of seepage force has a crucial influence on the initiation of shallow landslide. Material cohesion also have a considerable influence on the mass movement in analog modules due to much smaller module size compared to natural condition. Cohesion also showed great influence especially on steep slopes. This study proposed formula modification of infinite slope stability taking into account the seepage force. The modification cause seepage force in certain zones of the morphology of the slopes, especially the slopes were not continuous and concave slopes. In addition these formulations also vary at different soil cohesiveness due to the seepage force direction effect. Keyword: Seepage, shallow landslide, seepage force
v
ANALISIS TIGA DIMENSI LONGSORAN DANGKAL
PADA BATUAN VOLKANIK DI DAERAH TROPIS:
PENERAPAN DI SINDANGKERTA, KABUPATEN BANDUNG
Oleh
Rendy Dwi Kartiko
NIM : 32010302
(Program Studi Teknik Geologi)
Institut Teknologi Bandung
Menyetujui
Tim Pembimbing
Tanggal ………………………..
Ketua
___________________________
(Dr. Ir. Prihadi Sumintadiredja)
Anggota Anggota
_______________________ _______________________
(Dr. Eng. Imam A. Sadisun M.T.) (Dr. Ir. Adrin Tohari)
vi
Dipersembahkan kepada korban longsor di Bandung Selatan
vii
PEDOMAN PENGGUNAAN DISERTASI
Disertasi Doktor yang tidak dipublikasikan terdaftar dan tersedia di Perpustakaan
Institut Teknologi Bandung, terbuka untuk umum dengan ketentuan bahwa hak
cipta ada pada pengarang dengan mengikuti aturan HAKI yang berlaku di Institut
Teknologi Bandung. Referensi kepustakaan diperkenankan dicatat, tetapi
pengutipan atau peringkasan hanya dapat dilakukan seizin pengarang dan harus
disertai dengan kebiasaan ilmiah untuk menyebutkan sumbernya.
Memperbanyak atau menerbitkan sebagian atau seluruh disertasi haruslah seizin
Direktur Program Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung.
viii
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdullillah, puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas berkat
rahmat dan kehendak-Nya, sehingga disertasi ini dapat terselesaikan.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada Tim Promotor Dr. Ir. Prihadi Sumintadiredja sebagai promotor utama dan
anggotanya Dr. Eng. Imam A. Sadisun dan Dr. Ir. Adrin Tohari. yang tidak henti-
hentinya memberikan masukkan, arahan, bimbingan dan semangat untuk terus
menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini di sela-sela kesibukan beliau-
beliau sebagai dosen dan peneliti.
Terima kasih penulis ucapkan kepada teman-teman di Laboratorium Geologi
Teknik ITB, Saad Abdurrahman, Rizky Satria Putranto, Rosyid, Mohammad
Hilmi, Ferdiyansah, yang telah banyak memberikan bantuan untuk pembuatan alat
,pemodelan analog, dan akuisisi diata di lapangan. Kepada Dwi Wijanarko yang
telah membantu memecahkan masalah pemrograman dan perangkat lunak terkait
dengan penelitian ini baik pada sensor ataupun pada pemodelan.
Penulis mengucapkan banyak terimakasih pada penduduk Desa Weninggalih, Desa
Wangun, Desa Cililin, di Kecamatan Sindangkerta dan Kecamatan Cililin yang
telah dengan tulus membantu jalannya penelitian ini dan siap untuk berperanserta
dalam mitigasi bencana alam longsoran.
Untuk membantu pekerjaan teknis penulisan, drafting, dan efektivitas administrasi
selama mengikuti program S-3 ini, penulis berterimakasih kepada teman-teman di
bagian drafting dan staf administrasi Teknik Geologi ITB, terimakasih penulis
sampaikan kepada Bapak Ade Suherna, Kang Hendra, Kang Mul, Fita.
Penulis sangat berterimakasih kepada Pusat Penelitian Mitigasi Bencana ITB di
bawah pimpinan Prof. Mashyur Irsyam yang telah membantu pendanaan penelitian
ix
ini dalam kerangka dana penelitian ITB. Penulis juga berterimakasih pada Yayasan
Asahi yang telah juga membantu pendanaan penelitian.
Rasa terima kasih kepada keluarga tercinta, ayah dan ibu serta kepada keluarga
besar Hardjosuwarno yang telah banyak membantu dan berdoa untuk kesuksesan
usaha penulis dalam menyelesaikan disertasi ini.
Akhir kata, semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya.
BANDUNG, Juni 2016
Rendy Dwi Kartiko
x
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................... i ABSTRACT ...........................................................................................................iii PEDOMAN PENGGUNAAN DISERTASI ......................................................... vii UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................viii DAFTAR ISI ........................................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR DAN ILUSTRASI ............................................................xiii DAFTAR TABEL ................................................................................................. xv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ...................................................... xvi Bab I Pendahuluan ............................................................................................. 1
I.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
I.2 Permasalahan Penelitian.............................................................................. 1
I.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................ 2
I.4 Ruang Lingkup ............................................................................................ 2
I.5 Asumsi......................................................................................................... 2
I.6 Hipotesis ...................................................................................................... 3
I.7 Metodologi .................................................................................................. 3
I.8 Kebaharuan Penelitian ................................................................................ 3
I.9 Sistematika Penelitian ................................................................................. 4
Bab II Metodologi Penelitian .............................................................................. 6
II.1 Metode Pengumpulan Data ...................................................................... 6
II.1.1 Pemodelan Analog Skala Laboratorium ........................................... 6
II.1.1.1 Wahana pemodelan analog ........................................................ 7
II.1.2 Pemerolehan Data Lapangan............................................................. 8
II.2 Metode Pemrosesan Data ....................................................................... 10
II.2.1 Laboratorium Sifat Fisik dan Mekanik Material ............................. 10
II.2.2 Pemrosesan Data Geofisika............................................................. 10
II.3 Metode Penalaran dan Analitis ............................................................... 10
II.3.1 Analisis Kestabilan Lereng Metode Kesetimbangan Batas ............ 11
II.3.2 Infiltrasi Air pada material lereng ................................................... 12
II.3.3 Pengaruh Seepage (rembesan) pada Kestabilan Lereng ................. 13
II.3.4 Analisis Kestabilan Lereng Tak Hingga (infinite slope) ................. 15
Bab III Geologi Daerah Penelitian .................................................................. 17
III.1 Lokasi Penelitian .................................................................................... 17
III.1.1 Lokasi lapangan .............................................................................. 17
III.1.2 Lokasi laboratorium ........................................................................ 19
III.2 Sifat Fisik dan Material .......................................................................... 19
III.2.1 Model Analog.................................................................................. 20
III.2.2 Sifat Fisik Material Lokasi Lapangan ............................................. 21
III.3 Hambatan Jenis Lokasi Lapangan (Geolistrik) ...................................... 23
Bab IV Analisis ............................................................................................... 25
IV.1 Pemodelan Analog Longsoran Dangkal ............................................. 25
IV.1.1 Material Pasir Ngrayong ................................................................. 26
IV.1.2 Material Tanah Pasir Sindangkerta ................................................. 28
IV.2 Analisis Model Lereng Tak Hingga Tiga Dimensi ............................. 28
xi
IV.2.1.1 Material Pasir Ngrayong .......................................................... 28
IV.2.1.2 Material Tanah Pasir Sindangkerta .......................................... 30
IV.2.2 Daerah Lapangan (Tanah Lanau Lempungan Sindangkerta).......... 30
IV.3 Metode Kesetimbangan Batas Longsoran Dangkal ............................ 31
IV.4 Analisis Numerik Rembesan pada Lereng.......................................... 32
IV.5 Modifikasi Kestabilan Lereng Tak Hingga ........................................ 33
IV.5.1 Modul Analog ................................................................................. 33
IV.5.1.1 Material Pasir Ngrayong .......................................................... 33
IV.5.1.2 Material Tanah Pasir Sindangkerta .......................................... 34
IV.5.2 Daerah Lapangan (Tanah Lanau Lempungan Sindangkerta).......... 35
Bab V Kesimpulan ............................................................................................. 37
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 38
LAMPIRAN .......................................................................................................... 40
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A Sifat fisik dan mekanik material ............................................... 41
Lampiran B Kondisi longsoran dan tanah di daerah Bandung Selatan (Cililin, Sindangkerta) .............................................................. 47
Lampiran C Foto-foto dan keterangan model analog laboratorium .............. 50
Lampiran D Hasil Lintasan Geolistrik Dua Dimensi .................................... 52
xiii
DAFTAR GAMBAR DAN ILUSTRASI
Gambar I-1. Diagram alir penelitian. ...................................................................... 5
Gambar II-1. Model analog dengan dua lapisan. Lapisan bagian bawah merupakan dasar dan dianggap tidak akan mengalami pergeseran/deformasi. Lapisan bagian atas merupakan bagian yang diamati proses longsorannya. ............................................. 7
Gambar II-2. Model analog untuk pemodelan longsoran dangkal. ......................... 8
Gambar II-3. Lokasi pengambilan sampel bor dan lintasan geolistrik. Jarak antar spasi grid adalah 40 meter. Garis hijau menunjukkan garis akuisisi geolistrik, sedangkan titik dengan huruf depan COR merupakan lokasi pengambilan sampel pemboran dangkal. ...... 9
Gambar II-4. Metode analisis dan sintesa untuk mendekati kejadian di lapangan ataupun laboratorium dengan pemodelan analitik dan numerik .................................................................................................. 11
Gambar II-5. Analisis stabilitas metode irisan dengan seepage steady-state (Das, 2010) ......................................................................................... 11
Gambar II-6. Pengaruh seepage (rembesan) terhadap kestabilan lereng. Vektor gaya S merupakan penjabaran seepage vector pada lereng. (Nishigaki dkk., 1996). ............................................................. 14
Gambar II-7. Ilustrasi kestabilan lereng tak hingga, dengan asumis tak ada variasi dari kuantitas pada arah x ataupun arah normal ke samping (keluar dari halaman)(Iverson, 2000). ...................................... 15
Gambar III-1. Posisi lokasi daerah penelitian ditandai kotak warna merah, relatif terhadap Pulau Jawa dan wilayah administrasi Kota Bandung. 17
Gambar III-2. Fisiografi dan elevasi regional dari wilayah penelitian. (Sumber:fisiografi dari Van Bemmelen (1949), elevasi dari citra SRTM) (van Bemmelen, 1949) ................................................ 18
Gambar III-3. Pasir Ngrayong yang dibentuk pada modul akrilik (a) dan gambaran butiran pasir kuarsa Formasi Ngrayong dari material uji (b)......................................................................................... 21
Gambar III-4. Tanah pada lokasi lapangan, merupakan pelapukan tuf volkanik Fm. Beser. ................................................................................. 22
Gambar III-5. Profil pelapukan pada tuf dengan tuf yang lebih segar di bagian bawah relatif lembab. Tanah pelapukan hanya memiliki tebal sekitar 10 cm dan tertutupi oleh tanah humus ladang. .............. 22
Gambar III-6. Hambatan jenis (dalam ohm) pseudo 3D untuk lokasi lapangan. Daerah dengan hambatan jenis rendah (kurang dari 50 ohm) terdapat pada tekuk lereng di bagian bawah dan juga pada bagian atas lereng (warna biru). ................................................ 24
Gambar IV-1. Skenario pemodelan analog, meliputi material pasir Formasi Ngrayong, dan tanah asli dari Sindangkerta dengan jenis pasir lempungan. ................................................................................ 26
Gambar IV-2. Longsoran pada material pasir dengan model satu lapisan. .......... 27
Gambar IV-3. Longsoran pada material pasir dengan model 2 lapisan. ............... 27
Gambar IV-4. Proses erosi ekstensif pada material Tanah Pasir Sindangkerta. ... 28
xiv
Gambar IV-5. Pemodelan FK dengan model lereng tak hingga. Nilai FK bagian paling bawah sekitar 1.2 pada saat 1200 detik (20 menit) dengan curah hujan 100 mm/jam. Longsor terjadi pada menit ke 30. Penurunan FS relatif cepat pada awal dengan kontrol utama adalah kohesi material. ............................................................. 29
Gambar IV-6. Pemodelan FK model lereng tak hingga untuk material pasir lempungan dengan waktu sekitar 12 jam, curah hujan 100 mm/jam. Pada model ini tidak terjadi longsoran. Penurunan FK relatif epat pada awal simulasi dengan kontrol utama parameter kohesi material. Tanah pasir lempungan sedikit lebih kohesif dibanding material pasir Fm. Ngrayong. .................................. 30
Gambar IV-7. Faktor keamanan pada skala lapangan, dengan panjang 135 m, lebar 100 meter. ........................................................................ 31
Gambar IV-8. Kestabilan lereng dengan metode kesetimbangan batas pada modul analog laboratorium dengan 1 lapisan. ..................................... 32
Gambar IV-9. Model aliran airtanah dalam lereng pada model lokasi lapangan.. 32
Gambar IV-10. Pemodelan FK lereng tak hingga dengan modifikasi gaya seepage pada material pasir Fm. Ngrayong. ........................................... 34
Gambar IV-11. Pemodelan FK lereng tak hingga dengan modifikasi gaya seepage pada material pasir lempungan. ................................................ 35
Gambar IV-12. Hasil modifikasi nilai FK pada skala lapangan, dengan mempertimbangkan faktor vektor rembesan (seepage vector). 36
xv
DAFTAR TABEL
Tabel II-1. Skenario pemodelan analog laboratorium longsoran dangkal. Sudut
lereng keseluruhan skenario adalah 40º. ..................................... 6
Tabel III-1. Ringkasan sifat fisik dan mekanik material yang digunakan dalam pemodelan. ................................................................................ 20
xvi
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
SINGKATAN
Nama
Pemakaian
pertama kali
pada halaman
FK Faktor Keamanan (Fs) 1
TRIGRS
Transient Rainfall Infiltration and Grid-
Based Regional Slope-Stability Analysis.
15
USGS United States Geological Survey 15
LAMBANG
Fs Faktor Keamanan (FK)
ϕ′ Sudut geser dalam tanah pada stress efektif
(effective stress)
Wn Berat material pada irisan ke n
c′ Kohesi tanah
αn Sudut bidang lengkung (bidang gelincir)
pada irisan ke n
bn Lebar irisan ke n pada bidang lengkung
(bidang gelincir)
un Tekanan pori pada irisan ke n
γs Berat isi tanah
ψ(Z, t) Fungsi head tekanan pori per waktu
α Sudut lereng
γw Berat isi air
γs Berat isi tanah
Z Kedalaman
xvii
𝛽 Arah gaya seepage (sudut) diukur terhadap
normal (garis tegak lurus) dari bidang
gelincir
𝑆 Gaya seepage (rembesan)
𝑞 Debit
𝑘 Konduktivitas hidrolik (koefisien
permeabilitas)
𝑖 Gradien hidrolik
𝐻 Head total (satuan panjang)
𝜃 Kadar air (volumetrik)
𝑄 Kondisi batas (boundary condition)
pemberian debit untuk infiltrasi (influx)
𝑡 waktu
1
Bab I Pendahuluan
I.1 Latar Belakang
Longsoran umumnya terjadi di alam pada musim hujan dan saat terjadi gempa.
Kejadian alamiah ini terjadi dalam suatu periode yang relatif tidak bisa dikontrol
langsung oleh manusia. Observasi langsung pada saat kejadian longsor di lereng
alamiah menjadi sulit dilakukan pada penelitian. Observasi lebih sering dilakukan
setelah kejadian. Oleh karena itu, suatu pendekatan yang lebih terkontrol perlu
dilakukan untuk melihat kejadian longsor. Penelitian pada skala laboratorium
menjadi suatu pilihan untuk observasi mekanisme kejadian longsoran.
Beragam penelitian longsoran pada skala laboratorium (Govind Acharya dkk.,
2011; Cui dkk., 2014; Egeli dan Pulat, 2011; Iverson, 2000; Liao dkk., 2009; Ni
dkk., 2016; Tohari dkk., 2000) telah dilakukan dengan berbagai ukuran. Pada
umumnya model berukuran lebar minimal 70 cm dan tinggi minimal 1 meter.
Model-model analog tersebut digunakan untuk dapat lebih memahami proses
kejadian longsoran, dengan tipe dan mekanisme longsoran yang berbeda-beda.
Mekanisme longsoran memperlihatkan proses perkembangan longsoran. Hal ini
perlu diamati dari tahap sebelum terjadinya longsoran hingga setelah terjadinya
longsoran. Suatu pemodelan analog yang komprehensif diperlukan untuk dapat
mendekati kejadian semacam ini dikarenakan observasi langsung di alam sangat
susah dilakukan karena tingginya tingkat ketidakpastian lokasi longsoran.
I.2 Permasalahan Penelitian
Kemunculan kejadian longsoran dalam kondisi di lapangan masih menjadi
pertanyaan mengenai waktu dan lokasinya secara pasti, terutama dengan
menggunakan Faktor Keamanan (FK) (Kim dkk., 2015). Hal ini juga berlaku untuk
longsoran yang dangkal sekalipun. Bahkan dalam kondisi lereng dan material yang
relatif mirip/homogen, longsoran dapat terjadi di lokasi yang tidak diperkirakan.
Parameter lokasi dan waktu kemunculan longsoran (x,y,z,t) merupakan
permasalahan yang menarik untuk dikaji. Dan pemahaman dapat dimulai dari
2
longsoran yang sederhana dengan kontrol dari curah hujan dan kedalaman bidang
gelincir yang dangkal.
I.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menganalisis kestabilan lereng pada longsoran dangkal
secara 3 dimensi dengan menggunakan model analog dan model lereng alamiah.
I.4 Ruang Lingkup
Penelitian dilakukan pada objek eksperimental dan objek lokasi lapangan di Desa
Weninggalih, Kecamatan Sindangkerta, Kabupaten Bandung Barat. Model
eksperimental analog menggunakan material tanah residual volkanik daerah
Sindangkerta dan material pembanding pasir Formasi Ngrayong. dengan ukuran
tertentu.
Observasi yang dilakukan pada objek eksperimental adalah proses kejadian
longsoran, parameter fisik dan mekanik material eksperimen, dengan kontrol
parameter dari curah hujan, sudut lereng, dan dimensi dari wahana eksperimental.
Sementara observasi pada lokasi lapangan meliputi hambatan jenis (resistivitas)
material tanah dan batuan, sifat fisik dan mekanik tanah, kandungan mineralogi dari
tanah, proses longsoran yang terjadi di lokasi lapangan.
Analisis yang dilakukan meliputi analisis laboratorium dan analisis kestabilan
lereng. Analisis laboratorium dilakukan pada material eksperimen, material tanah
dari lokasi lapangan. Sementara analisis kestabilan lereng meliputi kestabilan
lereng pada skala laboratorium, dan kestabilan lereng pada skala peta atau lapangan.
I.5 Asumsi
1. Material tanah volkanik dianggap homogen pada tiap lapisan pemodelan,
baik pada model analog maupun pada model skala lapangan.
2. Material dianggap isotropis, dengan gaya-gaya yang berlaku pada material
dianggap sama disebabkan oleh posisi material yang masih berada pada
permukaan tanah dan tidak dipengaruhi oleh rejim tektonik (gaya lateral
anisotropik) tertentu.
3
3. Aliran air dalam material mengikuti model aliran Hukum Darcy. Air dari
hujan mengalir dengan model permeabilitas primer Darcy baik untuk
material jenuh maupun material tak jenuh.
I.6 Hipotesis
Longsoran dangkal dapat terjadi pada suatu zona jenuh air di permukaan yang
dipicu dengan adanya aliran rembesan (seepage). Komponen gaya lateral yang
ditimbulkan oleh rembesan ini menyebabkan longsoran yang terjadi di bagian kaki
lereng untuk material pasir dan semakin ke atas lereng pada material dengan fraksi
halus (lempung) yang semakin banyak.
I.7 Metodologi
Penelitian ini menggunakan induksi eksperimental yang dikombinasikan dengan
deduksi pemodelan pada skala asli di alam untuk lokasi terpilih. Eksperimen
dilakukan pada beberap skenario model analog untuk melihat respon material
terhadap simulasi hujan buatan dengan curah hujan konstan dalam rentang waktu
tertentu. Kontrol terhadap curah hujan, skala model, dan keseragaman material
merupakan kontrol eksperimental pada skala laboratorium untuk mendapatkan
keseragaman perulangan percobaan.
Metode deduksi dilakukan dengan pemodelan analitik dan numerik secara dua
dimensi dan tiga dimensi untuk menghasilkan Faktor Keamanan yang
menunjukkan kondisi stabilitas dari lereng. Pemodelan analitik dilakukan dengan
analisis lereng tak hingga dan analisis kesetimbangan batas. Pemodelan numerik
dilakukan dengan metode elemen hingga untuk melihat sebaran vektor gaya dan
deformasi yang terjadi pada lereng.
I.8 Kebaharuan Penelitian
Penelitian ini mempertimbangkan faktor rembesan dalam kestabilan lereng
longsoran dangkal. Gaya rembesan perlu diuraikan komponenenya untuk melihat
pengaruhnya pada lereng. Penguraian gaya yang diberikan didasarkan pada arah
aliran rembesan pada permukaan lereng.
4
Penelitian ini memberikan gambaran inisiasi kejadian longsoran dangkal yang
dikontrol oleh rembesan pada lereng yang dilakukan secara analitik 3 dimensi,
dikombinasikan dengan pemodelan numerik 2 dimensi.
I.9 Sistematika Penelitian
Penelitian diawali dengan pemodelan analog skala laboratorium, yang bersamaan
dengan mengumpulkan data inventarisasi longsoran yang sudah ada untuk daerah
di lapangan (Gambar I-1) berdasarkan data-data sekunder. Studi literatur juga
dilakukan pada tahapan awal ini, terutama untuk pemodelan analog laboratorium
dan pemodelan kestabilan lereng tiga dimensi.
Analisis laboratorium dilakukan pada tahap selanjutnya, bersamaan dengan
pengembangan alat untuk observasi longsoran dangkal. Sifat fisika dan mekanik
tanah baik di skala lab ataupun tanah asli diuji untuk mendapatkan parameter yang
dapat digunakan dalam pemodelan analitik ataupun numerik.
Sintesa penelitian dilakuan dengan menggabungkan kejadian yang ada di kondisi
lapangan dengan observasi yang dilakukan pada skala laboratorium, dengan
memodifikasi formulasi faktor keamanan untuk kestabilan lereng pada lereng tak
hingga.
5
Permasalahan:
· Proses dan mekanisme longsoran dangkal,· Pada beberapa tipe material,· Secara tiga dimensi
Studi Pustaka:· Pemodelan analog longsoran · Faktor Keamanan longsoran dangkal 3 dimensi· Pengaruh runoff pada longsoran· Pengaruh seepage pada proses longsoran
Pemodelan analog skala
laboratorium:
· Pada beberapa variasi curah hujan konstan
· Variasi lapisan· Variasi jenis material· Analisis Laboratorium
Akuisis data lapangan daerah
tipikal longsoran dangkal:
· Inventarisasi longsoran· Pemetaan topografi· Sampel tanah (grab dan bor
kedalaman 1 meter)· Pengambilan data resisitivitas 2
dimensi· Analisis Laboratorium
Pemodelan infiltrasi air hujan dan kestabilan Lereng:
· Analitik metode kesetimbangan batas 2 dimensi· Metode numerik elemen hingga 2 dimensi
· Analitik metode lereng tak hingga 3 dimensi
Sintesa mekanisme longsoran
dangkal 3 dimensi dengan
material tanah dan material pasir
Gambar I-1. Diagram alir penelitian.
6
Bab II Metodologi Penelitian
II.1 Metode Pengumpulan Data
Data didapatkan dari pengamatan pada modul skala laboratorium dan pengambilan
tanah sampel uji di lapangan serta uji geofisika di lapangan.
II.1.1 Pemodelan Analog Skala Laboratorium
Pemodelan analog dilakukan pada beberapa skenario untuk memperlihatkan proses
curah hujan dan aliran permukaan masuk ke dalam model lereng material. Skenario
pemodelan merupakan variasi dari jenis material, lapisan material, dan variasi curah
hujan seperti terlihat pada Tabel II-1. Pemodelan awal dilakukan pada satu jenis
lapisan material yaitu pada Pasir Kuarsa Formasi Ngrayong dan pada Tanah
residual volkanik (tuf) Sindangkerta. Pemodelan pada satu lapisan dilakukan untuk
menyederhanakan model agar terlihat bagaimana respon material pada kondisi
ideal. Keseluruhan model dilakukan pada sudut lereng 40º yang merupakan nilai
tengah berdasarkan pemodelan analog yang dilakukan peneliti-peneliti sebelumnya
(G. Acharya dkk., 2009; Iverson dkk., 1997; Tohari dkk., 2000) yang berkisar di
antara 30º - 50º.
Tabel II-1. Skenario pemodelan analog laboratorium longsoran dangkal. Sudut lereng keseluruhan skenario adalah 40º.
Curah hujan 40 mm/jam
Curah hujan 100 mm/ham
Curah hujan 40 mm/jam
Curah hujan 100 mm/ham
Curah hujan 40 mm/jam
Curah hujan 100 mm/ham
Curah hujan 40 mm/jam
Curah hujan 100 mm/ham
Curah hujan 40 mm/jam
Curah hujan 100 mm/ham
Tanah residual Sindangkerta,
material ayakan > mesh 50
(0,282 mm) + 50% fraksi halus
(< mesh 50 (0,282 mm))
Dua lapis material,
bagian bawah tanah
residual Sindangkerta,
dipadatkan dengan
permeabilitas yang
rendah
Satu lapis material
Tanah residual Sindangkerta
Pasir Ngrayong
Tanah residual Sindangkerta,
material ayakan > mesh 50
Pasir Ngrayong
7
Berdasarkan hasil pemodelan analog dari satu lapisan ternyata material tanah
residual tidak mengalami longsor pada kondisi kontrol pemodelan (curah hujan,
dan ukuran skala model), sehingga skenario dengan dua lapisan (Gambar II-1)
dilakukan untuk melihat respon material pada lapisan yang lebih tipis di bagian
atas. Lapisan bagian bawah dari dua lapisan ini memiliki koefisien permeabilitas
yang rendah (jauh lebih rendah dibandingkan infiltrasi air dari kontrol curah hujan)
berkisar pada orde 1x10-6 hingga 1x10-8 cm/detik.
Gambar II-1. Model analog dengan dua lapisan. Lapisan bagian bawah merupakan
dasar dan dianggap tidak akan mengalami pergeseran/deformasi. Lapisan bagian atas merupakan bagian yang diamati proses longsorannya.
II.1.1.1 Wahana pemodelan analog
Pemodelan analog menggunakan modul akrilik dengan ukuran panjang 1 meter,
lebar 50 cm, dan tinggi 50 cm seperti terlihat pada Gambar II-2. Air dipompa
dengan pompa air elektrik dari tangki air, kemudian dialirkan melalui pipa paralon
setengah inci untuk dibagi dalam empat lajur nozzle hujan buatan. Observasi aliran
air dilakukan dengan beberapa flow meter. Keseluruhan wahana berada dalam tenda
sementara untuk melindungi dari hujan dan panas matahari langsung.
8
Gambar II-2. Model analog untuk pemodelan longsoran dangkal.
II.1.2 Pemerolehan Data Lapangan
Pemerolehan data di lapangan dilakukan dengan:
- Pengeboran tanah dangkal hingga kedalaman 1 meter
- Observasi tanah dan batuan di sekitar rencana daerah lokasi pemodelan
- Pengambilan data geolistrik dua dimensi pada 12 lintasan
Tujuan pengeboran tanah dangkal dan pengambilan sampel adalah untuk
mendapatkan tanah asli daerah penelitian dan melihat variasi tanah pada kedalaman
yang cukup dangkal dan masih memiliki pengaruh terhadap kejadian longsoran
dangkal.
9
Gambar II-3. Lokasi pengambilan sampel bor dan lintasan geolistrik. Jarak antar
spasi grid adalah 40 meter. Garis hijau menunjukkan garis akuisisi geolistrik, sedangkan titik dengan huruf depan COR merupakan lokasi pengambilan sampel pemboran dangkal.
Sebanyak 12 lintasan geolistrik (Gambar II-3) dibentangkan untuk pemerolehan
data, dengan fokus terutama pada bagian tengah dan tegak lurus terhadap lereng.
Spasi elektroda geolistrik adalah 1,5 meter dengan jumlah eletroda per lintasan
adalah sebanyak 48 elektroda. Kedalaman zona akuisisi geolistrik adalalah 11
meter berdasarkan skema spasi elektroda tersebut.
10
II.2 Metode Pemrosesan Data
II.2.1 Laboratorium Sifat Fisik dan Mekanik Material
Pemrosesan data sifat fisik dan mekanik material Tanah Residual Tuf dari
Sindangkerta (Formasi Beser) dan Pasir Formasi Ngrayong dilakukan di
laboratotrium geologi teknik Institut Teknologi Bandung, meliputi:
- Densitas - Porositas - Sebaran Besar Butir - Plastisitas tanah dan pasir - Klasifikasi nama tanah - Koefisien Permeabilitas - Kohesi - Sudut Geser Dalam
Pada tanah dari lapangan diuji juga:
- X-Ray diffraction - Scanning Electron Microscope (SEM)
II.2.2 Pemrosesan Data Geofisika
Sebanyak dua belas lintasan geolistrik dengan spasi elektroda 1.5 meter dan
elektroda sebanyak 48 buah menghasilkan data yang kemudian diolah dengan
perangkat lunak RES2Dinv. Program tersebut memproses data dasar menjadi
bentuk penampang dengan kedalaman sebesar 11 meter.
Hasil dari penampang tersebut diolah dalam suatu perangkat lunak untuk tampilan
dengan mengkombinasikan ke 12 lintasan tersebut dalam suatu file berisi titik-titik
dan atribut hambatan jenis. Kemudian dilakukan gridding pada titik-titik data
tersebut untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi dari geolistrik di lokasi penelitian.
Data grid tersebut menjadi acuan untuk penarikan bidang muka air tanah awal
dalam pemodelan analitik lereng tak hingga tiga dimensi.
II.3 Metode Penalaran dan Analitis
Metode penalaran adalah membandingkan antara hasil proses yang dihasilkan
antara kejadian di lapangan berdasarkan observasi dan keterangan penduduk
dengan pengamatan observasi di laboratorium. Selain itu, penalaran juga dilakukan
11
dengan studi pustaka terhadap perkembangan metode perkiraan faktor keamanan
lereng, terutama pada skala lapangan. Poin-poin tertentu yang menunjukkan
kekurangan dari metode yang sudah ada dicoba untuk dimodifikasi, berdasarkan
pengamatan yang terjadi di skala laboratorium dan juga di lapangan.
Percobaan analog
Kejadian longsor/
rawan di lapangan
Pemodelan skala
lab dan lapanganCek akurasi
Modifikasi formula Faktor Keamanan
(FK)
Tidak akurat
Selesaiakurat
Analisis
laboratorium
Analisis
laboratorium
Gambar II-4. Metode analisis dan sintesa untuk mendekati kejadian di lapangan
ataupun laboratorium dengan pemodelan analitik dan numerik
II.3.1 Analisis Kestabilan Lereng Metode Kesetimbangan Batas
Metode kesetimbangan batas dikembangkan sejak beberapa dekade yang lalu oleh
Bishop, dengan mengasumsikan tekanan air pori bernilai nol. Pada kenyataan
dengan aliran seepage stabil (steady state seepage) di kondisi alamiah tekanan pori
tidaklah bernilai nol, dan mempengaruhi nilai kekuatan geser efektif (effective
shear strength) (Das, 2010).
Gambar II-5. Analisis stabilitas metode irisan dengan seepage steady-state (Das,
2010)
12
Modifikasi Formula Bishop dengan mengakomodir faktor tekanan pori dari muka
air tanah (Das, 2010):
Fs =∑ [ c′bn+(Wn−unbn) tan ϕ′]
1
m(α)n
n=pn=1
∑ Wn sin αnn=pn=1
( 1)
Dengan
𝑚𝛼(𝑛) = 𝑐𝑜𝑠 𝛼𝑛 + tan ϕ′ sin αn
𝐹𝑠 ( 2)
Kedua belah sisi dari persamaan memiliki nilai Fs (Faktor Keamanan), sehingga
proses trial-error mesti dilakukan untuk mendapatkan nilai Fs. Penggunaan
perangkat lunak akan mempercepat proses penghitungan nilai Fs dan relatif
merupakan prosedur yang umum dilakukan di kalangan insinyur.
Pada analisis metode ini vektor rembesan tidak diuraikan dan menyatu dengan
parameter tekanan pori (un). Penguraian vektor gaya tersebut secara analitik relatif
tidak dilakukan mengingat kekompleksan pemodelan infiltrasi air pada lereng
sehingga dilakukan dengan pendekatan numerik berdasarkan dari solusi persamaan
diferensial aliran tanah dalam lereng.
II.3.2 Infiltrasi Air pada material lereng
Formulasi aliran fluida dalam material mengikuti Hukum Darcy (dikutip dari
(Seep/W, 2012):
𝑞 = 𝑘 𝑖 (3) Dengan debit aliran adalah fungsi dari kondukitivitas hidrolik dan gradien hidrolik
dari air dalam material. Hukum ini ternyata dapat diaplikasikan pada tanah tak
jenuh (Richards, 1931) dengan menjadikan konduktivitas hidrolik sebagai suatu
variabel, dan bukan suatu konstanta. Konduktivitas hidrolik berubah mengikuti
nilai kadar air dan tekanan pori.
Penjabaran persamaan tersebut dalam persamaan differensial parsial rembesan
untuk dua dimensi (Fredlund dan Rahardjo, 1993) dinyatakan sebagai:
𝜕
𝜕𝑥[𝑘𝑥
𝜕𝐻
𝜕𝑥] +
𝜕
𝜕𝑦[𝑘𝑦
𝜕𝐻
𝜕𝑦] + 𝑄 =
𝜕𝜃
𝜕𝑡 ( 4)
13
, yang menunjukkan bahwa aliran (flux) pada sistem aliran air dalam tanah adalah
sama dengan perubahan penyimpanan (kadar air) dalam sistem tersebut. Solusi dari
persamaan ini dapat didekati dengan metode numerik elemen hingga sehingga
matrik gradien hidrolik didapatkan untuk kasus lereng yang dianalisis. Matriks
tersebut sebanding dengan gaya rembesan pada persamaan (6).
II.3.3 Pengaruh Seepage (rembesan) pada Kestabilan Lereng
Tanah non kohesif yang jenuh akan mengalami likuifaksi statik bila dikenai gaya
seepage ke atas yang sama dengan berat tanah yang jenuh. Sudut maksimum lereng
yang stabil pada kondisi jenuh di tanah non kohesif adalah sama dengan sudut geser
dalam lereng bila tidak terjadi seepage, namun menjadi sekitar separuh sudutnya
bila terdapat seepage yang paralel dengan lereng (Iverson dan Major, 1986).
Pengaruh seepage sendiri telah dipelajari dengan cukup ekstensif (Ahmadi-Adli
dkk., 2014; Liu dan Li, 2015; Tofani dkk., 2006; Vandamme dan Zou, 2013).
Pada penampang lereng yang jenuh dengan bidang gelincir tertentu yang dikontrol
oleh aliran airtanah (Nishigaki dkk., 1996) seperti terlihat pada Gambar II-6 a, dan
b menggambarkan gaya pada salah satu potongan di lereng.
14
Gambar II-6. Pengaruh seepage (rembesan) terhadap kestabilan lereng. Vektor gaya
S merupakan penjabaran seepage vector pada lereng. (Nishigaki dkk., 1996).
Nilai W’ merupakan berat dari tanah, S merupakan gaya rembesan yang terjadi pada
potongan dengan nilai gradien hidrolik i sebanding dengan tekanan head h’. Faktor
keamanan merupakan rasio dari gaya penahan (N’) terhadap gaya pendorong (T)
sepanjang bidang pergeseran. Faktor keamanan (Fs) sepanjang bidang percobaan
gelinciran akan menjadi fungsi:
𝑊′ = 𝛾𝑠 ℎ 𝑏 ( 5) 𝑆 = 𝛾𝑤 𝑖 ℎ 𝑏 ( 6)
𝑇 = 𝑊′ 𝑠𝑖𝑛 𝛼 + 𝑆 𝑠𝑖𝑛 𝛽 (7) 𝑁′ = 𝑊′ 𝑐𝑜𝑠 𝛼 − 𝑆 𝑐𝑜𝑠 𝛽 (8)
equipotential line
infiltration
failure surface
flow line
h = w ’ gw h/2
h/2
b
x
S
SR
R
W’
W
N’N’
y
a
a
b
b
equipotential line
Force Polygon
15
𝐹𝑠 = ∑ 𝑐′𝑏/ 𝑐𝑜𝑠 𝛼+ ∑[ 𝛾𝑠 ℎ 𝑏 𝑐𝑜𝑠 𝛼− 𝛾𝑤 𝑖 ℎ 𝑏 𝑐𝑜𝑠 𝛽] 𝑡𝑎𝑛 𝜙
∑[ 𝛾𝑠 ℎ 𝑏 𝑠𝑖𝑛 𝛼− 𝛾𝑤 𝑖 ℎ 𝑏 𝑠𝑖𝑛 𝛽] ( 9)
Faktor keamanan akan dipengaruhi oleh arah dari gaya rembesan, dan komponen
gaya rembesan mempengaruhi gaya massa tanah. Nilai FK yang minimal akan
terjadi pada arah rembesan yang relatif horizontal, dan nilai FK yang paling tinggi
berada pada arah rembesan yang vertikal.
II.3.4 Analisis Kestabilan Lereng Tak Hingga (infinite slope)
Persamaan kestabilan lereng tak hingga (Iverson, 2000) digunakan sebagai dasar
dalam menghitung kestabilan lereng untuk model pada skala laboratorium dan skala
peta. Faktor Keamanan pada kedalaman tertentu dihitung dengan (Baum dkk.,
2009):
Fs(Z, t) =tan ϕ′
tan α+
c′−ψ(Z,t)γw tan ϕ′
γs Z sin α cos α ( 10)
Gambar II-7. Ilustrasi kestabilan lereng tak hingga, dengan asumis tak ada variasi
dari kuantitas pada arah x ataupun arah normal ke samping (keluar dari halaman)(Iverson, 2000).
Persamaan ini diaplikasikan pada perangkat lunak TRIGRS yang dikembangkan
oleh USGS, ditujukan terutama pada skala regional dan menghasilkan matrik baris
dan kolom yang merupakan gambaran dari peta faktor keamanan dari kestabilan
lereng.
16
Kohesi memiliki pengaruh kekuatan yang kecil pada lereng-lereng dengan dimensi
yang besar. Namun pada lereng terjal dengan kedalaman bidang gelincir yang
dangkal kohesi memiliki pengaruh yang besar (Iverson dkk., 1997).
Kohesi cenderung melemah dengan adanya pergerakan tanah yang besar. Pengaruh
mineralogi tanah lempungan juga memberikan kontribusi pada kekuatan kohesi
material disebabkan oleh bentuk orientasi dari mineralogi dengan reorientasi
mineral pipih yang paralel dengan bidang deformasi akan menurunkan kekuatan
material lempungan. Material dengan kadar lempung di bawah 25% akan lebih
menyerupai material pasir dengan sudut geser dalam lebih besar dari 20º
(Skempton, 1985).
17
Bab III Geologi Daerah Penelitian
III.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada lokasi laboratorium dan lapangan. Lokasi laboratorium
berada di Laboratorium Geologi Teknik, Institut Teknologi Bandung. Lokasi
lapangan berada pada Desa Weninggalih dan Desa Wangun, Kecamatan
Sindangkerta, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Indonesia.
III.1.1 Lokasi lapangan
Lapangan penelitian berada di barat daya dari Kota Bandung, di selatan dari
Bendungan Saguling. Wilayah administrasi daerah penelitian masuk dalam Desa
Weninggalih dan Desa Wangun, Kecamatan Sindangkerta, Kabupaten Bandung
Barat, Provinsi Jawa Barat, Negara Indonesia seperti terlihat pada Gambar III-1.
Wilayah penelitian berada di sisi barat Pulau Jawa, relatif di sisi selatan pada sumbu
panjang pulau.
Gambar III-1. Posisi lokasi daerah penelitian ditandai kotak warna merah, relatif
terhadap Pulau Jawa dan wilayah administrasi Kota Bandung.
18
Lapangan berada pada bagian utara Zona Pengunungan Selatan Jawa Barat,
berbatasan dengan Zona Gunungapi Kuarter seperti terlihat pada Gambar III-2.
Elevasi di sekitar daerah penelitian berkisar dari 200 meter di sisi utara-barat laut
dan 2600 meter di atas permukaan laut pada sisi timur-tenggara. Daerah penelitian
berada pada elevasi 900 – 1100 meter di atas permukaan laut,
Gambar III-2. Fisiografi dan elevasi regional dari wilayah penelitian. (Sumber:fisiografi dari Van Bemmelen (1949), elevasi dari citra SRTM) (van Bemmelen, 1949)
19
III.1.2 Lokasi laboratorium
Lokasi laboratorium berada di lantai 4, Gedung Labtek IV, Program Studi Teknik
Geologi, Insitut Teknologi Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat, Indonesia.
III.2 Sifat Fisik dan Material
Material yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua lokasi. Material
kontrol diambil dari Formasi Ngrayong, yang berada di Jawa Timur. Material uji
yang lain adalah material tanah residual volkanik dari Formasi Beser (Koesmono
dkk., 1996).
Material Formasi Ngrayong yang digunakan dalam penelitian adalah pasir kuarsa
(arenite quartz), berasal dari batuan sedimen berumur Miosen. Pasir ini
(selanjutnya disebut sebagai Pasir Ngrayong) merupakan pasir yang telah diproses
dengan dioven dan diayak sehingga material berada pada ukuran pasir dengan
kisaran ukuran butir adalah 0,389 mm sampai 0,282 mm (mesh 40 – mesh 50).
Keseragaman butir material ini dengan demikian adalah bagus (well graded). Sifat
fisik dan mekanik dari pasir ini dapat dilihat pada Tabel III-1.
Material uji dari tanah residual, pelapukan Tuf Formasi Beser, diambil dari satu
lokasi yaitu di Desa Weninggalih, Kecamatan Sindangkerta. Tanah yang
dimodelkan secara analog merupakan tanah yang ukuran pasir lanauan dari lokasi
di Desa Weninggalih tersebut. Sedangkan tanah yang dimodelkan secara analitik
(dengan perangkat lunak) saja adalah beberapa jenis tanah yang merupakan
representasi tanah di lokasi tersebut (dari beberapa titik), dan umumnya adalah
tanah lanau hingga tanah lempung seperti terlihat di Tabel III-1.
Sehingga terdapat tiga macam jenis tanah yang dimodelkan dalam analisis
penelitian ini, yaitu:
- Pasir Formasi Ngrayong (disebut Pasir Ngrayong dalam tulisan ini)
- Tanah Pasir Lanauan Sindangkerta (disebut Tanah Pasir Sindangkerta
dalam tulisan ini)
- Tanah residual volkanik lanau hingga lempung Sindangkerta (disebut
Tanah Lanau Lempungan Sindangkerta dalam tulisan ini)
20
Tabel III-1. Ringkasan sifat fisik dan mekanik material yang digunakan dalam pemodelan.
III.2.1 Model Analog
Material model analog terdiri dari material Pasir Ngrayong dan Tanah Pasir
Sindangkerta. Kedua jenis material tersebut dapat ditaburkan dan dibentuk hingga
memiliki lereng 40° dan ketinggian material mencapai 45 cm.
Material Pasir Ngrayong disiapkan dan dipreparasi di Laboratorium Geodinamik
ITB dan merupakan bagian dari Pemodelan Sandbox untuk memodelkan efek
tektonik. Sifat fisik dan mekanik pasir ini dapat dilihat pada Tabel III-1. Butiran
pasir ini secara umum adalah menyudut tanggung seperti terlihat pada Gambar
III-3b. Pasir yang digunakan telah diwarnai menjadi kuning untuk mempermudah
melihat aliran air pada saat diberikan simulasi curah hujan seperti terlihat pada
Gambar III-3a.
Sifat fisik dan mekanik materialPasir Formasi
Ngrayong
Tanah residual Volkanik Tuf
Sindangkerta, dengan
remolded (dibentuk ulang)
Tanah Residual Volkanik Tuf
Sindangkerta (asli)
KeteranganMaterial kontrol
laboratorium
Material tanah residual yang
diproses untuk model analog
melalui pengeringan,
pencampuran dengan kadar air
tertentu
Material tanah asli yang diambil
dan kemudian diuji (undisturbed)
komposisi
Pasir, mesh 40 s/d
mesh 50 (0,389 s/d
0,282 mm)
Pasir lanauan sampai pasir
lempungan (SW-SP)
Lanau plastisitas rendah hingga
lempung plastistitas tinggi (ML,
MH, CL, CH)
Sudut geser dalam30°
rata-rata 29,7°, rentang dari
28.9° hingga 30.6°
rata-rata 30°, rentang dari 20,2°
s/d 31.6°
Kohesi0,5 s/d 1 kPa
rata-rata 1,53 kPa, rentang
antara 0,58 s/d 3,18 kPa
rata-rata 5 kPa, rentang dari 3,7
hingga 6,5 kPa
densitas kering 14.04 KN/m3 14.25 KN/m3 14.57 KN/m3
void ratio 0,8 0,75rata-rata 0,63, kisaran dari 0,52
s/d 0,75
Kadar air awal 7% 25% 19%
Konduktivitas hidrolik
(Koefisien permeabilitas)
jenuh
1x10-3 cm/detik 2,5x10-4 cm/detik 1x10-6 cm/detik
21
Gambar III-3. Pasir Ngrayong yang dibentuk pada modul akrilik (a) dan gambaran
butiran pasir kuarsa Formasi Ngrayong dari material uji (b).
Sementara material dari tanah asli Desa Weninggalih memiliki variasi seperti
terlihat pada Lampiran A dengan resume pada Tabel III-1. Pada percobaan awal
dengan beberapa variasi sudut lereng, material tanah asli diambil sebelum
dilakukan simulasi hujan, dan diukur parameternya. Umumnya tanah memiliki
gradasi buruk dan masuk dalam klasifikasi tanah pasir.
Plastisitas tanah pasir ini tergolong cukup tinggi disebabkan oleh kandungan
mineral lempungnya yang berpengaruh pada keliatan tanah. Mineral lempungnya
diperkirakan sama dengan material Tanah Lanau Lempungan Sindangkerta (tabel
XRD, Lampiran A)Sementara itu nilai koefisien permeabilitas tanah berkisar pada
orde 10-4 cm/detik. Nilai kohesi material berkisar pada 0.5 sampai 3.2 kPa, dengan
sudut geser dalam berkisar pada 30º.
III.2.2 Sifat Fisik Material Lokasi Lapangan
Sementara itu tanah asli di kondisi lapangan umumnya merupakan tanah lanau
ataupun tanah lempung dengan plastisitas rendah hingga tinggi (Lampiran A).
Sudut geser dalam menunjukkan variasi dari 26° hingga 36° dengan variasi kohesi
3,7 hingga 6,53 kPa.
Sementara itu, data dari penelitian sebelumnya (Kartiko, 2009) seperti terlihat pada
Lampiran A, permeabilitas di sekitar Desa Weninggalih berada pada orde 10-6
cm/detik. Nilai kohesi material berkisar antara 8 hingga 18 kPa, sudut geser dalam
pada kisaran 8º hingga 45º.
22
Ketebalan tanah bervariasi dari 0.5 hingga 1.5 meter. Pada Gambar III-4 nampak
tanah memiliki tebal sekitar 0.5 meter pada daerah kupasan tebing. Singkapan tuf
yang agak lapuk terlihat berwarna putih dengan oksidasi berwarna kecoklatan.
Mineralogi tanah dari uji XRD (Lampiran A) menunjukkan kandungan mineral
lempung montmorilonit, kaolinit, selain juga mineral hematit, kuarsa, kristobalit.
Gambar III-4. Tanah pada lokasi lapangan, merupakan pelapukan tuf volkanik Fm.
Beser.
Gambar III-5. Profil pelapukan pada tuf dengan tuf yang lebih segar di bagian
bawah relatif lembab. Tanah pelapukan hanya memiliki tebal sekitar 10 cm dan tertutupi oleh tanah humus ladang.
23
III.3 Hambatan Jenis Lokasi Lapangan (Geolistrik)
Berdasarkan 12 lintasan geolistrik dengan bentang perlintasan sepanjang 72 meter,
jarak antar elektroda 1.5 meter didapatkan profil resisitivitas hingga kedalaman 11
meter yang dinilai cukup untuk analisis kestabilan lereng longsoran dangkal.
Pseudo section pada Gambar III-6 menunjukkan sebaran hambatan jenis pada nilai
yang relatif rendah dan dominan berada hingga sekitar 250 Ohm. Sedangkan daerah
dengan hambatan jenis di bawah 50 Ohm menunjukkan konsentrasi di bagian
bawah dari sistem lereng, dan sebagian pada tekuk lereng di bagian atas.
Sebaran nilai hambatan jenis ini mempengaruhi penentuan kedalaman muka air
tanah awal pada pemodelan kestabilan lereng, dan juga mempengaruhi zonasi jenis
tanah pada pemodelan. Tanah yang pasiran cenderung dimasukkan pada zona
dengan hambatan jenis rendah, sedangkan tanah yang lempungan disebarkan pada
zona dengan hambatan jenis yang lebih tinggi.
Keseluruhan penampang hambatan jenis dua dimensi dapat dilihat pada Lampiran
D. Perlu dicermati dalam lampiran tersebut bahwa legenda warna tiap penampang
berbeda-beda, tidak menunjukkan interval yang sama. Oleh karena itu perlu dilihat
terlebih dahulu legenda warna dan rentang nilai hambatan jenis yang tertera pada
legenda.
24
Gambar III-6. Hambatan jenis (dalam ohm) pseudo 3D untuk lokasi lapangan.
Daerah dengan hambatan jenis rendah (kurang dari 50 ohm) terdapat pada tekuk lereng di bagian bawah dan juga pada bagian atas lereng (warna biru).
25
Bab IV Analisis
IV.1 Pemodelan Analog Longsoran Dangkal
Pemodelan analog dilakukan pada dua skenario utama dengan memperlihatkan
variasi curah hujan dan variasi koefisien permeabilitas model lereng material (Pasir
Ngrayong dan Tanah Pasir Sindangkerta). Pada skenario dimana model lereng
material Tanah Pasir Sindangkerta dengan hanya diberikan curah hujan tidak
menghasilkan longsoran.
Skenario lainnya adalah dengan memberikan batas material jenuh dan material
tidak jenuh dengan artifisial. Skenario ini dilakukan dengan menumpuk material
jenuh air dengan permeabilitas rendah (Tanah Pasir Sindangkerta) dengan material
tidak jenuh , dan kemudian diberikan curah hujan dengan pengamatan hingga
terjadi longsor.
Terdapat perbedaan hasil pemodelan analog pada kedua macam material (Gambar
IV-1). Pada material Pasir Ngrayong menunjukkan terjadinya longsoran, sedangkan
pada material Tanah Pasir Sindangkerta kurang menunjukkan proses longsoran dan
dominan mengalami erosi.
26
Gambar IV-1. Skenario pemodelan analog, meliputi material pasir Formasi Ngrayong, dan tanah asli dari Sindangkerta dengan jenis pasir lempungan.
IV.1.1 Material Pasir Ngrayong
Pemodelan material pasir dengan satu lapisan Gambar IV-2 menunjukkan
longsoran terjadi pada kaki lereng, dengan diawali adanya ponding. Curah hujan
yang diberikan berkisar dari 40 mm/jam hingga 150 mm/jam.
Sementara pada simulasi dengan dua lapisan longsor terjadi lebih cepat pada menit
ke dua puluh Gambar IV-3. Longsoran pada simulasi dua lapisan bergerak dari toe
(kaki) lereng ke arah atas. Awal longsoran terbentuk karena rembesan di bagian
kaki lereng.
1 Jenis material
2 Jenis Material,
bagian bawah
pasir lempungan
Sindangkerta
Pasir Fm.
Ngrayong
Pasir Lempungan
Sindangkerta
Bagian atas
Pasir Fm.
Ngrayong
Bagian atas
material dari Pasir
Lempungan
100% Material
atas > Mesh 50
Pasir mesh>50 +
50% dari bagian
fraksi halus
Pasir mesh>50 +
70% dari bagian
fraksi halus
Longsor
Tidak Longsor
Hujan 40 mm/jam
Hujan 100 mm/jam
Hujan 40 mm/jam
Hujan 100 mm/jam
Hujan 40 mm/jam
Hujan 100 mm/jam
Hujan 40 mm/jam
Hujan 100 mm/jam
Hujan 40 mm/jam
Hujan 100 mm/jam
Hujan 40 mm/jam
Hujan 100 mm/jam
Tidak Longsor
Tidak Longsor
Longsor
Tidak Longsor
Longsor
Tidak Longsor
Tidak Longsor
Tidak Longsor
Tidak Longsor
Tidak Longsor
27
Gambar IV-2. Longsoran pada material pasir dengan model satu lapisan.
Gambar IV-3. Longsoran pada material pasir dengan model 2 lapisan.
28
IV.1.2 Material Tanah Pasir Sindangkerta
Proses simulasi pada tanah dengan satu lapis material berisi Tanah Pasir
Sindangkerta tidak menunjukkan adanya longsoran seperti terlihat pada Gambar
IV-4. Ponding (kolam) yang menunjukkan kejenuhan material di bagian bawah
lereng terjadi setelah 1 jam pemberian curah hujan dengan intensitas 100 mm/jam.
Erosi awal terjadi membentuk teras-teras kecil yang sejajar dengan arah lereng.
Setelah beberapa lama erosi berkembang intensif pada salah satu sisi lereng dan
mengikis material pasir dengan kohesi yang lebih rendah. Proses yang terbentuk
kemudian adalah lubang-lubang dengan membentuk pinnacle (kerucut-kerucut)
yang masih berbentuk membulat pada saat sekitar 2 jam dari awal pemberian hujan.
Gambar IV-4. Proses erosi ekstensif pada material Tanah Pasir Sindangkerta.
Proses simulasi diteruskan hingga 240 menit (4 jam) dan tidak menunjukkan
adanya longsoran pada simulasi dengan satu jenis material.
IV.2 Analisis Model Lereng Tak Hingga Tiga Dimensi
IV.2.1.1 Material Pasir Ngrayong
Pada pemodelan analog, material pasir dengan dua lapisan dengan bagian bawah
adalah pasir lempungan (tebal 35 cm) dan bagian atas adalah pasir Formasi
Ngrayong (tebal 10 cm) mengalami longsoran pada menit ke 20, terlihat pada
Gambar IV-3.
29
Sementara itu pada pemodelan dengan model lereng tak hingga (Program TRIGRS)
menunjukkan pada menit ke 20 terdapat zona kritis pada bagian bawah lereng
lapisan pasir Fm. Ngrayong, namun belum sampai pada nilai FK = 1 (Gambar
IV-5).
Parameter kohesi memiliki pengaruh yang dominan pada model dengan skala yang
kecil. Variasi sedikit dari kohesi menyebabkan nilai FK turun dengan cepat.
Sementara itu parameter koefisien permeabilitas, sudut geser dalam, relatif kurang
berpengaruh pada skala model dengan ukuran kecil.
Gambar IV-5. Pemodelan FK dengan model lereng tak hingga. Nilai FK bagian
paling bawah sekitar 1.2 pada saat 1200 detik (20 menit) dengan curah hujan 100 mm/jam. Longsor terjadi pada menit ke 30. Penurunan FS relatif cepat pada awal dengan kontrol utama adalah kohesi material.
Berdasarkan model simulasi yang ada, gaya seepage belum memilki pengaruh pada
pemodelan, disebabkan pertumbuhan muka airtanah yang masih berada
terkonsentrasi pada zona bagian bawah (belum ada yang mencapai permukaan
lereng).
30
IV.2.1.2 Material Tanah Pasir Sindangkerta
Pemodelan komputasi pada material pasir lempungan memperlihatkan nilai FK
yang relatif berada di atas 1.5 pada waktu pemberian hujan yang cukup lama (12
jam). Pada kondisi asli, tanah pasir lempungan dengan sistem dua lapisan relatif
susah untuk mengalami longsor hingga sekitar 12 jam. Diperlukan gaya seepage
yang lama dan adanya aliran di kaki lereng untuk memicu longsoran.
Gambar IV-6. Pemodelan FK model lereng tak hingga untuk material pasir
lempungan dengan waktu sekitar 12 jam, curah hujan 100 mm/jam. Pada model ini tidak terjadi longsoran. Penurunan FK relatif epat pada awal simulasi dengan kontrol utama parameter kohesi material. Tanah pasir lempungan sedikit lebih kohesif dibanding material pasir Fm. Ngrayong.
IV.2.2 Daerah Lapangan (Tanah Lanau Lempungan Sindangkerta)
Faktor keamanan yang dihasilkan pada skala lapangan menunjukkan daerah secara
dominan berada pada zona FK lebih dari 1 dan kurang dari 3 (Gambar IV-7). Zona
yang paling rawan longsor berada di sisi selatan dan sisi utara. Daerah tengah relatif
berada pada kondisi aman. Sementara itu dari kondisi di lapangan, daerah di bagian
atas dan di bawah memiliki tingkat kerawanan yang tinggi terlihat dari dipasangnya
perkuatan oleh warga sekitar untuk menahan agar tidak terjadi gerakan tanah.
Wilayah di barat dari zona dengan faktor keamanan yang tinggi umumnya memiliki
tingkat faktor kestabilan lereng yang rendah saat dilihat di lapangan.
31
Gambar IV-7. Faktor keamanan pada skala lapangan, dengan panjang 135 m, lebar
100 meter.
IV.3 Metode Kesetimbangan Batas Longsoran Dangkal
Analisa kesetimbangan batas memperlihatkan bahwa lereng pada skala
laboratorium tergolong stabil Gambar IV-8. Kenaikan muka airtanah akibat hujan
masih belum menyebabkan terjadinya longsor.
32
Gambar IV-8. Kestabilan lereng dengan metode kesetimbangan batas pada modul
analog laboratorium dengan 1 lapisan.
IV.4 Analisis Numerik Rembesan pada Lereng
Rembesan secara numerik merupakan gabungan dari fungsi infiltrasi oleh Richards
(1931) dan aliran Darcy. Kondisi batas yang diberikan adalah curah hujan dengan
dua skenario, yaitu 40 mm/jam dan 100 mm/jam.
Gambar IV-9. Model aliran airtanah dalam lereng pada model lokasi lapangan.
33
IV.5 Modifikasi Kestabilan Lereng Tak Hingga
Penguraian komponen vektor S (rembesan/seepage) pada zona jenuh di permukaan
menjadi dasar modifikasi persamaan Faktor Keamanan untuk lereng tak hingga.
Nilai 𝛽 (Persamaan (7), Gambar II-6) memiliki pengaruh yang besar terhadap
perubahan kestabilan. Pada lereng tak hingga, kecenderungan nilai 𝛽 diambil dari
kecepatan naiknya zona seepage pada tekuk lereng. Pada lereng dengan kecepatan
kenaikan tekanan pori yang rendah, nilai 𝛽 cenderung lebih kecil dibandingkan
dengan daerah yang memiliki kecepatan kenaikan tekanan pori (build up seepage)
yang lebih besar. Pada akhirnya ini menyebabkan bahwa nilai 𝛽 cenderung
mendekati horizontal pada zona dengan kecepatan naik muka airtanah yang tinggi.
Formula dengan memberikan pengaruh dari seepage vector ini dipengaruhi oleh
kekuatan kohesi material, sehingga menjadi dua opsi formula yang berbeda antara
vektor pada zona kohesi rendah (cohesionless) dibandingkan dengan tanah yang
kohesif (Nishigaki dkk., 1996).
Implementasi vektor ini ditambahkan pada formula dasar faktor keamanan
TRIGRS sehingga model memiliki fungsi gaya tekanan air pori secara lateral. Pada
sisi teknisnya penguraian gaya tekanan pori dan arah rembesan sulit untuk
diselesaikan dengan solusi analitis karena kompleksitas pergerakan infiltrasi air di
dalam tanah. Oleh karena itu pendekatan numerik dapat diberikan untuk
menguraikan gaya rembesan tersebut. Penguraian dua dimensi tersebut
Secara umum modifikasi ini memberikan nilai kestabilan lereng yang lebih
menggambarkan keadaan asli dari lereng, terutama pada saat muka airtanah naik
dengan cepat.
IV.5.1 Modul Analog
IV.5.1.1 Material Pasir Ngrayong
Pada material pasir nampak modifikasi formula memberikan pengurangan nilai
pada perubahan sudut lereng di bagian bawah, dan membuat zona tersebut tidak
stabil lebih cepat dibandingkan bila tanpa menggunakan formula modifikasi.
34
Gambar IV-10. Pemodelan FK lereng tak hingga dengan modifikasi gaya seepage
pada material pasir Fm. Ngrayong.
IV.5.1.2 Material Tanah Pasir Sindangkerta
Pada material pasir lempungan, ketika zona pembentukan muka airtanah terlalu
pelan dan runoff terlalu besar, maka waktu terjadinya seepage menjadi semakin
lama. Dan pada akhirnya seepage yang terjadi juga kurang memiliki kekuatan
vektor lateral sehingga tingkat kestabilan lereng tetap cukup tinggi di bagian tekuk
lereng.
35
Gambar IV-11. Pemodelan FK lereng tak hingga dengan modifikasi gaya seepage
pada material pasir lempungan.
IV.5.2 Daerah Lapangan (Tanah Lanau Lempungan Sindangkerta)
Modifikasi seepage memberikan gambaran jelas berkurangnya stabilitas pada zona
tekuk lereng, terutama pada saat terjadi kenaikan muka airtanah yang cepat hingga
menyentuk permukaan lereng yang cekung tersebut. Daerah ini dapat terlihat di
bagian utara, dan juga memperkuat ketidakstabilan di bagian selatan dari lapangan.
36
Gambar IV-12. Hasil modifikasi nilai FK pada skala lapangan, dengan
mempertimbangkan faktor vektor rembesan (seepage vector).
37
Bab V Kesimpulan
Penelitian dilakukan pada skala laboratorium dan skala lapangan untuk melihat
proses perkembangan kestabilan lereng pada beberapa jenis material. Berdasarkan
hasil yang teramati, material dengan komposisi pasir yang dominan lebih bagus
untuk diamati perkembangan pergerakan massanya dibandingkan material dengan
komposisi lempungan, terutama pada skala laboratorium. Proses longsoran dapat
terlihat jelas pada material dengan komposisi pasir dengan gradasi material yang
baik. Pada material yang mengandung fraksi lempung, proses erosi lebih dominan
terjadi pada skala laboratorium.
Rembesan pada bagian bawah lereng mempengaruhi kestabilan lereng. Longsoran
pada material pasiran terjadi dengan didahului adanya rembesan air di bagian
bawah lereng (toe).
Gaya rembesan pada tekuk lereng dapat dimodelkan pada analisis kestabilan lereng
tak hingga sehingga memberikan pengaruh pengurangan nilai Faktor Keamanan,
Pengaruh rembesan (seepage) ini dikombinasikan dengan kurvature dari lereng,
dimana gaya rembesan akan lebih besar pada morfologi dengan tekuk lereng negatif
(cekung) dilihat dari arah aliran rembesan.
38
DAFTAR PUSTAKA
Acharya, G., Cochrane, T. A., Davies, T., dan Bowman, E. (2009). The influence of shallow landslides on sediment supply: A flume-based investigation using sandy soil. Engineering Geology, 109, (161–169).
Acharya, G., Cochrane, T., Davies, T., dan Bowman, E. (2011). Quantifying and modeling post-failure sediment yields from laboratory-scale soil erosion and shallow landslide experiments with silty loess. Geomorphology, 129, (49–58).
Ahmadi-Adli, M., Toker, N. K., dan Huvaj, N. (2014). Prediction of Seepage and Slope Stability in a Flume Test and an Experimental Field Case. Procedia Earth and Planetary Science, 9, 189 – 194.
Baum, R. L., Savage, W. Z., dan Godt, J. W. (2009). TRIGRS-A Fortran Program for Transient Rainfall Infiltration and Grid-Based Regional Slope- Stability Analysis, Version 2.0. United States Geological Survey.
Cui, P., Guo, C., Zhou, J., Ming-huiHao, dan Xu, F. (2014). The mechanisms behind shallow failures in slopes comprised of landslide deposits. Engineering Geology, Vol. 180, (34–44).
Das, B. M. (2010). Principles of Geotechnical Engineering (7 ed.). USA: Cengage Learning.
Egeli, I., dan Pulat, H. F. (2011). Mechanism and modelling of shallow soil slope stability during high intensity and short duration rainfall. Scientia Iranica, 18, 9.
Fredlund, D. G., dan Rahardjo, H. (1993). Soil mechanics for unsaturated soils. John Wiley & Sons.
Iverson, R. M. (2000). Landslide triggering by rain infiltration. Water Resources Research, 36, 1897–1910.
Iverson, R. M., dan Major, J. J. (1986). Groundwater seepage vectors and the potential for hillslope failure and debris flow mobilization. Water Resources Research, 22(11), 1543–1548.
Iverson, R. M., Reid, M. E., dan LaHusen, R. G. (1997). Debris-flow Mobilization from Landslides. Annv. Rev. Earth Planet, 25, 85–138.
Kartiko, R. D. (2009). Evaluation of Landslide Susceptibility in The Tropical Mountainous Region of Sindangkerta, Kabupaten Bandung Barat, West Java (Thesis). Insitut Teknologi Bandung, Bandung.
Kim, M. S., Onda, Y., Kim, J. K., dan Kim, S. W. (2015). Effect of topography and soil parameterisation representing soil thicknesses on shallow landslide modelling. Quaternary International, 384, 91–106.
Koesmono, M., Kusnama, dan Suwarna, N. (1996). Geologic Map of The Sindangbarang and Bandarwaru Quadrangles, Jawa. Bandung: Geological Research and Development Agency of Indonesia.
Liao, Z., Hong, Y., Fukuoka, H., dan Sassa, K. (2009). Evaluation of Physically-based Model’s Predictive Skill for Hurricane-triggered Landslides: Case Study in North Carolina and Indonesia (Vol. 1, hal. 03). Dipresentasikan pada AGU Fall Meeting Abstracts.
Liu, Q. Q., dan Li, J. C. (2015). Effects of Water Seepage on the Stability of Soil-slopes. IUTAM Symposium on the Dynamics of Extreme Events Influenced
39
by Climate Change (2013), 17, 29–39. http://doi.org/10.1016/j.piutam.2015.06.006
Ni, P., Wang, S., Zhang, S., dan Mei, L. (2016). Response of heterogeneous slopes to increased surcharge load. Computers and Geotechnics, 78, 99–109. http://doi.org/10.1016/j.compgeo.2016.05.007
Nishigaki, M., Tohari, A., dan Komatsu, M. (1996). Stress and seepage vector system on stability analysis of hillslope. Proceeding of the China/Japan International Conference on Water Environments and Disaster Prevention, 160–166.
Richards, L. A. (1931). Capillary conduction of liquids through porous mediums. Journal of Applied Physics, 1(5), 318–333.
Seep/W. (2012). An Engineering Methodology : Seepage Modeling (July 2012). GEO-SLOPE International Ltd.
Skempton, A. (1985). Residual strength of clays in landslides, folded strata and the laboratory*. Geotechnique, 35(1), 3–18.
Tofani, V., Dapporto, S., Vannocci, P., dan Casagli, N. (2006). Infiltration, seepage and slope instability mechanisms during the 20-21 November 2000 rainstrom in Tuscany, central Italy. Natural Hazards and Earth System Sciences, 6, 1025–1033.
Tohari, A., Nishigaki, M., dan Komatsu, M. (2000). Laboratory Experiements on Inititation of Rainfall-Induced Slope Failure with Moisture Content Measurement.
van Bemmelen, R. W. (1949). The Geology of Indonesia, Vol.1,1A. Den Haag: Netherland Government Printing Office.
Vandamme, J., dan Zou, Q. (2013). Investigation of slope instability induced by seepage and erosion by a particle method. Computers and Geotechnics, 48, 12.
40
LAMPIRAN
41
Lampiran A Sifat fisik dan mekanik material
Tanah Pasir Sindangkerta
Klasifikasi jenis tanah pada beberapa variasi sudut lereng modul analog seperti
terlihat pada Tabel Lampiran 1. Modul analog awal bervariasi dari 15 hingga 45
derajat dengan tujuan untuk melihat proses longsoran yang terjadi di tiap sudut
lereng. Namun pada akhirnya pada ketiga jenis lereng tersebut tidak terjadi longsor
dan terjadi erosi yang ekstensif.
Secara umum tanah yang digunakan adalah tanah pasir dengan karakter bergradasi
buruk dan sebagian bergradasi baik. Kecenderungan nama tanah adalah pasir
lanauan dengan karakter gradasi yang buruk. Hal ini menunjukkan pengaruh dari
pelapukan residual Tuf yang tidak seragam bahkan dalam jarak yang berdekatan.
Sampel tanah yang dimodelkan dalam skala laboratorium diambil dari lokasi seluas
4 x 1 m2.
Tabel Lampiran 1. Klasifikasi jenis tanah yang digunakan dalam pemodelan analog
Plastisitas tanah modul analog relatif tinggi terlihat dari nilai indeks plastisitas pada
Tabel Lampiran 2. Hal ini diperkirakan menyebabkan daya ikat yang menjadikan
material susah untuk mengalami longsor pada skala laboratorium. Kohesi yang
dibangun oleh plastisitas tanah tersebut diperkirakan membuat material menjadi
stabil.
Modul45_1 pasir lempungan 9.29 0.27 poorly graded SP
Modul45_2 pasir lempungan 16.13 1.86 well graded SW
Modul45_3 pasir lanauan 8.67 0.90 poorly graded SP
Modul30_1 pasir lanauan 7.87 0.73 poorly graded SP
Modul30_2 pasir lanauan 8.40 0.65 poorly graded SP
Modul30_3 pasir lanauan 7.19 0.63 poorly graded SP
Modul15_1 pasir lanauan 6.83 1.48 well graded SW
Modul15_2 pasir lempungan 10.26 1.85 well graded SW
Modul15_3 pasir lanauan 6.16 0.78 poorly graded SP
Cc
Karakter
TanahNama (USCS)Sampel
Nama Cu
42
Tabel Lampiran 2. Plastisitas tanah modul analog
Tabel Lampiran 3. Koefisien permeabilitas (Konduktivitas hidraulik) jenuh tanah
pasir, diuji dengan metode falling head
43
Tabel Lampiran 4. Nilai Kohesi dan sudut geser dalam dari Tanah Pasir
Sindangkerta.
Tanah Lanau Lempungan Sindangkerta
Tanah lokasi yang dipilih untuk pemodelan analitik memiliki klasifikasi jenis tanah
dari lanau dengan plastisitas rendah (ML), lanau plastisitas tinggi (MH), lempung
plastistas rendah (CL) hingga lempung dengan plastistas tinggi (CL) seperti terlihat
pada Tabel Lampiran 5. Sebanyak dua puluh sampel tanah pemboran dangkal
dikumpulkan pada lokasi lapangan dan menunjukkan variasi yang cukup besar
dalam luasan tanah sekitar 80 meter x 130 meter.
Kohesi dan sudut geser dalam dari material dapat dilihat pada Tabel Lampiran 6
yang menunjukan nilai kohesi masih rendah untuk skala insitu yaitu di bawah 10
kPa. Sementara itu sudut geser dalam menunjukkan variasi dari 26° hingga 36°
yang cukup wajar untuk tanah lempungan.
kohesiSudut geser
dalam
koefisien
permeabilitas
Kpa ˚ cm/detik
Modul45_1 3.18 30.43 2.54E-04
Modul45_2 2.18 29.28 8.38E-05
Modul45_3
Modul30_1 1.40 29.86 2.31E-04
Modul30_2 1.14 28.89 1.70E-04
Modul30_3
Modul15_1 0.67 29.08 2.83E-04
Modul15_2 0.58 30.63 2.64E-04
Modul15_3
Sampel
44
Tabel Lampiran 5. Densitas (KN/m3), void ratio, dan klasifikasi tanah pada lokasi lapangan di Desa Weninggalih.
Tabel Lampiran 6. Sebaran sudut geser dalam dan kohesi pada tanah di lokasi
lapangan di Desa Weninggalih.
C-01 14.95 0.47 14.95 MH
C-02 13.01 0.52 13.01 CH
C-03 13.15 0.52 13.15 MH
C-04 13.07 0.52 13.07 MH
C-05 14.40 0.54 14.40 ML
C-06 15.31 0.49 15.31 ML
C-07 14.12 0.47 14.12 CH
C-08 15.30 0.49 15.30 MH
C-09 14.79 0.46 14.79 MH
C-10 13.66 0.53 13.66 CL
C-13 14.65 0.47 14.65 CH
C-14 14.22 0.48 14.22 CL
C-15 13.78 0.53 13.78 CH
C-16 14.52 0.56 14.52 MH
C-17 14.85 0.47 14.85 MH
C-18 13.92 0.53 13.92 CH
C-19 13.86 0.48 13.86 MH
C-20 14.51 0.47 14.51 MH
C-21 13.80 0.52 13.80 CH
C-23 13.21 0.68 13.21 CH
Klasifikasi
TanahDry unit
weightVoid ratio (e)
Sampel Unit weight
of solid
Sampel Kohesi (kPa) Sudut geser dalam
C-01 6.53 26.19
C-05 4.36 36.41
C-06 4.36 23.26
C-08 4.41 31.58
C-09 6.53 26.19
C-13 4.80 36.41
C-15 5.12 26.19
C-17 5.88 31.58
C-18 3.71 36.41
C-21 5.23 26.19
45
Gambar Lampiran 1. Plot XRD data tanah residual tuf volkanik kedalaman 0,8 –
1,0 meter di lokasi Desa Weninggalih, Kecamatan Sindangkerta.
Tabel Lampiran 7. Tabel jenis-jenis mineral pada tanah residual tuf volkanik kedalaman 0,8 – 1,0 meter di lokasi Desa Weninggalih, Kecamatan Sindangkerta
46
Gambar Lampiran 2. Lokasi sampel tanah Desa Weninggalih dan Sekitarnya dari
penelitian sebeumnya (Kartiko, 2009).
Tabel Lampiran 8. Sifat tanah di Desa Weninggalih dan sekitarnya dari penelitian sebelumnya (Kartiko, 2009).
47
Lampiran B Kondisi longsoran dan tanah di daerah Bandung Selatan (Cililin, Sindangkerta)
Longsoran dangkal pada daerah Bandung Selatan terjadi secara periodik, salah
satunya adalah longsoran di Kampung Radio, Desa Cililin (Gambar Lampiran 3)
yang disertai dengan limpasan air permukaan yang cukup deras. Sudut lereng pada
lokasi longsor berkisar pada 35º, dengan panjang longsoran mencapai 200 meter
dengan lebar longsoran sekitar 10 meter, dan kedalaman bidang longsoran kurang
dari 2 meter.
Gambar Lampiran 3. Longsoran dangkal pada tahun 2015 di sekitar Kecamatan
Cililin, dengan batuan dasar adalah lava andesit.
Tipikal longsoran di daerah Kecamatan Sindangkerta terjadi pada kebun/ladang dan
sawah seperti terlihat pada Gambar Lampiran 4. Kedalaman bidang longsor
umumnya kurang dari 2 meter, dengan lebar longsoran bervariasi dari 2 meter
hingga 15 meter.
48
Gambar Lampiran 4. Longsoran dangkal di Desa Weninggalih, Kecamatan
Sindagkerta.
Gambar Lampiran 5. Longsoran dan singkapan batuan pada lokasi lapangan
desertasi di Desa Weninggalih. Batuan dasar tersingkap adalah tuf volkanik.
49
Gambar Lampiran 6. Longsoran di sekitar Desa Weninggalih dari studi sebelumnya
(Kartiko, 2009).
50
Lampiran C Foto-foto dan keterangan model analog laboratorium
Gambar Lampiran 7. Proses simulasi hujan dan longsoran pada modul dengan
material satu lapisan berupa Pasir Ngrayong, pada hari pertama dengan pemberian curah hujan 40 mm/jam selama enam jam, dan kemudian hujan dihentikan.
Gambar Lampiran 8. Proses simulasi hujan dan longsoran material satu lapisan
berupa Pasir Ngrayong, pada hari pertama dengan pemberian curah hujan 150 mm/jam selama 10 menit. Lereng mengalami longsor di bagian kaki pada zona rembesan, dan kemudian proses simulasi dihentikan.
51
Gambar Lampiran 9. Longsoran pada modul 2 lapisan dengan lapisan atas adalah
Pasir Ngrayong.
Gambar Lampiran 10. Longsoran pada modul dengan dua lapisan dengan lapisan
bagian atas Tanah Pasir Sindangkerta dengan ukuran lebih besar dari 0,282 mm (mesh 50).
52
Lampiran D Hasil Lintasan Geolistrik Dua Dimensi
53
54
55
56
57
58
59
60
61