Analisis Tambo

download Analisis Tambo

of 7

Transcript of Analisis Tambo

  • 8/19/2019 Analisis Tambo

    1/16

    ANALISIS HISTORIOGRAFI TAMBO MINANGKABAU 

    Oleh Wawan Hernawan

    Staf Pengajar di Jurusan Perbandingan Agama

    Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung

    E-mail: [email protected]

    Abstrak

    Tambo Minangkabau karya Ahmad Dt. Batuah dan A. Dt. Madjoindo adalah suatu

    karya sastra yang menceritakan sejarah (asal-usul) suku bangsa, asal-usul negeri serta adat-

    istiadatnya, yaitu Minangkabau. Karya sastra sejarah ini dapat disebut historiografi

    tradisional, yaitu: penulisan sejarah suatu negeri berdasarkan kepercayaan masyarakat

    setempat secara turun-temurun yang mencakup unsur sastra, mitologi, dan sejarah. Tambo

    Minangkabau tergolong kelompok karya sastra yang penting dan jumlahnya banyak, baik

    dalam karya sastra Indonesia lama (Melayu) maupun dalam karya sastra Nusantara (daerah).Dalam sastra Melayu banyak dijumpai karya sastra sejarah seperti ini, misalnya, Sejarah

    Melayu, Hikayat Aceh, Hikayat Banjar, Silsilah Kutai, atau Tuhfat an-Nafis. TamboMinangkabau sendiri ditulis dalam bahasa Melayu berbentuk prosa.

    Key words 

     Naskah, Hikayat, Sejarah, Daerah

    A.  Pendahuluan 

     Naskah Tambo Minangkabau ini sebagian besar ditulis dengan huruf Arab-Melayu,

    dan sebagian kecil ditulis dengan huruf Latin.1 Naskah Tambo Minangkabau yang berhasil

    ditemukan sebanyak 47 naskah, masing-masing tersimpan di Museum Nasional Jakarta

    sebanyak 10 naskah, di perpustakaan Universitas Leiden sebanyak 31 naskah, di

     perpustakaan KITLV Leiden sebanyak 3 naskah, di perpustakaan SOAS Universitas London

    1 naskah, dan di perpustakaan RAS London 2 naskah.2

    1 Batuah & Madjoindo, Tambo Minangkabau, Jakarta: Balai Pustaka (1956: 7).

    2 Edwar Djamaris, “Tambo Minangkabau Suntingan Teks Disertai Analisis Struktur” 

    dalam http://www.lontar.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id=96268&lokasi=lokal.

    Diakses tanggal 30 Oktober 2010.

  • 8/19/2019 Analisis Tambo

    2/16

  • 8/19/2019 Analisis Tambo

    3/16

     pemerintahan Raja Adityawarman di Pagaruyung.6 Lama setelah Adityawarman mangkat,

    Sumatera Barat menjalin hubungan terutama dengan Aceh yang sudah lebih dahulu memeluk

    Islam. Islam kemudian mewarnai budaya Sumatera Barat secara kental. Penyebaran Islam di

    Sumatera Barat mendapatkan akselerasinya dengan hadirnya Syekh Burhanuddin, orang

    Sintuk Pariaman.7

    Sejak tahun 1595, armada dagang Belanda sudah mulai terlihat di Pantai Barat

    Sumatera Barat. Hegemoni politik Belanda di Sumatera Barat dimulai tahun 1666 ketika

    dilakukan pembangunan loji dagang mereka di Pulau Cingkuk dan diiringi pembangunan

     benteng di Padang. Seiring dengan semakin kukuhnya kekuasaan Belanda, pengaruh Aceh

    dan bangsa Eropa selain Belanda semakin berkurang.8

    Kekuasaan Belanda di Sumatera Barat sempat terputus pada bulan November 1795,

    digantikan oleh pemerintah Inggris. Pada masa penjajahan Inggris adalah era dimulainya

    gerakan Paderi. Namun, sebagai realisasi dari konvensi London tahun 1814, Inggris harus

    menyerahkan Sumatera Barat kembali ke tangan Belanda. Setelah itu, Belanda berkuasa

    untuk kedua kalinya sampai balatentara Jepang milai menduduki wilayah tersebut tahun

    1942.9 Belanda yang berniat menguasai Sumatera Barat secara utuh merasa gerah dengan

     pengaruh gerakan Paderi ini. Akhirnya pada tahun 1821, Belanda mulai melakukan

    konfrontasi dengan kelompok agama tersebut. Pertentangan Belanda dengan kaum Paderi

    akhirnya meluas ke seluruh rakyat Sumatera Barat. Pada masa berikutnya muncul seorang

     pemimpin bernama Tuanku Imam Bonjol. Dengan dibantu oleh seluruh masyarakat, Tuanku

    Imam Bonjol berupaya untuk mempertahankan wilayah Bonjol sebagai benteng terakhir

    Paderi. Namun akhirnya pada tahun 1837, Belanda dapat mengalahkan perlawanan rakyat

    6  Batuah & Madjoindo, op. cit ., hlm. 25-6.

    7 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Bidakarya Agung

    (1993: 18).

    8  Dari http://sejarahbangsaindonesia.co.cc/1_4_Sejarah-Sumatera-Barat.html. Diakses

    30 Oktober 2010.

    9 Ibid .

  • 8/19/2019 Analisis Tambo

    4/16

    tersebut dan berhasil menduduki nagari Bonjol. Imam Bonjol akhirnya ditawan dan

    diasingkan ke Lotak (Manado).10

    Dapat ditumpasnya berbagai perlawanan lokal tidak berarti terhentinya perjuangan

    menentang kolonialisme. Rakyat Kamang dan Manggopoh melakukan perlawanan, karena

     pajak yang tinggi dan kekangan yang diterapkan pemerintah Kolonial. Pada masa

    selanjutnya, gerakan kebangsaan muncul menggantikan perlawanan lokal. Serikat Islam, Jong

    Sumatranen Bond, Partai Nasional Indonesia, dan Muhammadiyah melakukan perlawanan

    terhadap pemerintah Kolonial.11

    Pada tanggal 17 Maret 1942, Jepang mulai menduduki Bukittinggi dan Padang.

    Akhirnya Jepang menguasai wilayah Sumatera Barat sebagai bagian dari penguasaannya ataswilayah Indonesia. Jepang berkuasa di Sumatera Barat sampai kekalahan yang dideritanya

    dalam Perang Pasifik yang kemudian direspons oleh para pejuang kemerdekaan di Jakarta

    dengan proklamasi kemerdekaan.12 Pada tanggal 13 Oktober 1945, sekutu mendarat di

    Teluk Bayur. Seperti di daerah-daerah lain, NICA ternyata membonceng kedatangan Sekutu

    dengan maksud yang jelas, yaitu, ingin berkuasa lagi di Indonesia, ternasuk di Sumatera

    Barat. Perlawanan pun pecah diseluruh wilayah Sumatera Barat. Pada tahun 1948, provinsi

    Sumatera pecah menjadi tiga provinsi, yaitu, Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan

    Sumatera Selatan. Dalam struktur baru tersebut, Sumatera Barat, bersama Riau dan Jambi,

    menjadi bagian dari Sumatera Tengah. Bukittinggi ditetapkan sebagai ibukota provinsi

    Sumatera Tengah dan Mr. M. Nasrun ditetapkan sebagai Gubernurnya.13

    Pada tanggal 15 Februari 1958, di Padang lahir gerakan separatis bernama Pemerintah

    Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Untuk menghadapi pemberontakan tersebut,

     pemerintah pusat melancarkan operasi 17 Agustus yang dipimpin Kolonel Achmad Yani.

    Sebelum akhir tahun, seluruh wilayah Sumatera Barat telah terbebas dari pengaruh gerakan

    10 Ibid. 

    11 Ibid .

    12  Ibid. 

    13 Dari http://www.sumbarprov.go.id/. Diakses tanggal 30 Oktober 2010. 

  • 8/19/2019 Analisis Tambo

    5/16

     pemberontakan tersebut. Setelah keadaan membaik, pemerintah menetapkan Sumatera Barat

    sebagai provinsi. Pembentukan provinsi tersebut berlandaskan UU No. 61 tahun 1958.14

    C.  Gambaran Umum Isi Tambo 

    Tambo Alam Minangkabau mengetengahkan 8 Bab. Secara berurutan, yaitu:  Asal-

    usul Minangkabau, Agama Islam berkembang di Minangkabau, Perang Kolonial,

     Minangkabau dengan Adatnya, Undang-undang Pemelihara Alam Minangkabau, Rumah

    Gadang di Minangkabau, Adat Yang Takluk Kepada Orang Yang Berlaki Bini, dan Tjuraian

     Negeri-negeri Tua di Minangkabau.

    Dengan mengikuti bentuk-bentuk historiografi tradisional, Tambo Alam Minangkabau 

    memenuhi keempat kategori historiografi tradisional, yang meliputi: bentuk mitos,

    genealogis, kronik, dan annals.

    c.1 Bentuk Mitos 

    Bentuk Mitos ditemukan ketika membahas asal pusaka turun kepada kemenakan,

    sebagai beikut:

    “Beberapa lama Sutan Balun di Tiku-Pariaman, maka pada suatu masa adalah Tuanku

     Radjo Tuo menjuruh membuatkan sebuah perahu besar. Setelah selesai perahu itu, maka

    hendak diturunkan kekuala. Maka turunlah semua isi negeri bersama-sama menghela

     perahu itu, tetapi tiada terhela. 

     Maka bertanja Tuanku Radjo Tuo: “Ada Djugakah orang dalam negeri jang masih

    tinggal? 

     Jawab Sjahbandar: “ Ada, tuanku! Seorang anak muda jang tinggal dirumah

    tuanku.” 

    Titah Tuanku Radjo Tuo: “Panggilah dia! 

     Maka dipanggil oranglah Sutan Balun, dan iapun datanglah ketempat perahu itu.

     Maka ditjobalah lagi menghela perahu itu bersama-sama dengan Sutan Balun, itupun

    tiada juga terhela. 

     Maka ditanja orang kepada Sutan Balun: “Adakah akan terhela perahu itu atau

    tidak?” 

    14  Ibid. 

  • 8/19/2019 Analisis Tambo

    6/16

      Djawan Sutan Balun: “Kalau hamba sendiri menghelanya, mungkin terhela”. Maka

    diminta oranglah dia menghela perahu it. 

    Sutan Balun membakar kemenjan, diasapnya perahu itu berkeliling, lalu dicobanja

    menghelanya seorang diri, tetapi tiada djuga terhela. Maka berkata Sutan Balun kepada

    Tuanku Radjo Tua: “ Adapun perahu ini tiada mau turun kekuala, kalau tidak bergalangdengan tubuh manusia, tetapi jang akan djati galangnja hanja anak atau kemenakan.

     Djikalau tiada demikian, tiadalah perahu ini akan mau diturunkan kekuala”. 

     Maka dipanggil oleh Tuanku Radjo Tuo anak Baginda, tiadalah ia mau, karena

    ditegah oleh mamaknja jang laki-laki. 

    Kemudian dipanggil kemanakan baginda, iapun datanglah dan suka akan djadi

    galang perahu itu. (Kata setengah kisah, kemanakan radja jang djadi galang perahu itu,

    ialah seorang perempuan muda yang sedang hamil). Dibawanja alat pakaiannja dengan

    kasur bantalja akan tempat ia berbaring, sebab pada sangkanja tentulah ia akan mati.

    Kemudian tidurlah ia diatas kasur dihaluan perahu itu. Maka diletjut perahu itu olehSutan Balun dengan lidi tudjuh helai, dan melompatlah perahu itu terdjun kekuala. Akan

    batang tubuh kemanakan radja itudjangankan tertindih kenapun tidak olehja. 

     Maka berkatalah Tjeti Bilang Pandai jang sebagai menteri oleh Tuanku Radjo Tuo,

    katanja: 

     Adapun sedjak dahulu sampai sekarang, pusaka harta benda, sawah-ladang, emas-

     perak turun kepada anak semuanja. Maka sedjak sekarang ini, tiadalah harus pusaka

    turun kepada anak lagi, melainkan kepada kemanakan djuga turunnja.”15 

    c.2 Bentuk Genealogis 

    Asal-usul alam Minangkabau dihuni manusia belum jelas. Namun suatu kisah

    menceritakan sebagai berikut:

    “Pada zaman dahulu, benua Afrika dan Amerika bersatu, namanya benua Atlantik.

    Pada zaman Nabi Nuh a.s., terjadi letusan gunung di daerah itu. Karena itu, terjadilah

    gelombang pasang dan gempa besar yang disebut “Kiamat Nabi Nuh”. Pada waktu itu,seluruh penghuni bumi mati, kecuali pengikut setia Nuh as., dan binatang-binatang yang

    ikut naik bersama bahtera Nuh. Mereka terdampar di puncak gunung Ararat di tanah

    Syam. Setelah air surut, mereka turun gunung dan membuat tempat tinggal di sana.16  

    Setelah beberapa lama mereka berkembang biak di sana. Mereka pun secara

    rombongan-rombongan berpencar mencari kehidupan dan tanah baru. Ada yang ke

    15 Batuah & Madjoindo, op. cit ., hlm. 22-23.

    16  Ibid ., hlm. 11.

  • 8/19/2019 Analisis Tambo

    7/16

     India, China, dan terus ke Jepang. Sementara sebagiannya, pergi ke Asia tengah, Eropa,

    ke Kaukasi dan ada yang sampai ke Indonesia.17  

    Pada ringkasan genealogi yang lain diceritakan ada tiga orang anak raja dari tanah

     Hindu yang keluar dari negerinya mencari tanah jajahan. Anak pertama, bernama Seri

     Maharaja Depang. Ia pergi dengan beberapa orang pengiringnya menuju ke sebelahTimur, yakni ke benua China. Kemudian menyebrang ke tanah Jepang. Anak kedua,

    bernama Seri Maharaja Alif beserta pengiringnya menuju ke sebelah barat, ke benua

     Rum. Dan anak ketiga, bernama Seri Maharaja Diraja (ta) berlayar dengan

    menggunakan perahu menuju ke arah matahari hidup dengan ditemani beberapa

     pengiringnya serta lima orang istrinya.18  

     Di antara pengiringnya terdapat beberapa Tjeti Bilang Pandai. Gelar ini semula

    hanya bagi orang Hindu, namun pada perkembangannya dipakai juga bagi orang asli

     Minangkabau. Sementara isterinya digelari anak raja, harimau campo, kambing hutan,

    kucing siam dan anjing yang mualim. Setelah lama berlayar, sampailah di pulau

     Andalas, pulau Perca. Perahunya tersangkut batu karang dan rusak. 

    Pada waktu itu belum ada jalan. Oleh karena itu, rombongan Seri Maharaja Diraja

    (ta) masuk ke hutan, mendaki bukit menuruni lembah. Pada suatu hari mereka melihat

    cahaya api di pinggang gunung berapi. Lalu mereka menuju ke sana. Mereka pun

    berdamai dengan masyarakat setempat. Namun karena pengetahuan rombongan Seri

     Maharaja Diraja (ta) lebih pandai dibanding pengetahuan masyarakat setempat,

    akhirnya rombongan Seri Maharaja Diraja (ta) memimpin masyarakat tersebut. Menurut

    cerita, bekas-bekas dusun itu, tempatnya di Periangan; tanahnya datar, dilingkupi aur

    duri, dan ada kuburan yang diyakini sebagai kuburan nenek moyang orang

     Minangkabau.19 

    c.3 Bentuk Kronik 

    Bentuk kronik ditemukan ketika membahas Alam Minangkabau Dibahagi Dua

    Kelarasan:

    “… beberapa lama kemudian, semasa keradjaan Modjopahit, adalah seorang menteribernama Aditia Warman, dititahkan radja Modjopahit berlajar ke Palembang dan ke

     Djambi akan mengepalai negeri-negeri itu sambil akan mentjari djadjahan taklunja

    djuga. Maka ia sampai ke Alam Minangkabau. Kedatangannja itu dikiaskan dalam

    tambo alam begini: “Lalulah enggang dari laut ke gunung berapi sendirinja hendak

    mentjahari makanannja. Maka ditembak oleh Datuk nan Batigo, bedil sedetak tiga

    17  Ibid .

    18  Ibid ., hlm. 13-14.

    19  Ibid ., hlm. 14.

  • 8/19/2019 Analisis Tambo

    8/16

    dentamnja.Terkedjut binatang dalam rimba, tertjebur ikan dalam laut, mengias kuda

    semberani, berring bunji gentanja, kilat gemilat rupa pelananja. Membebek kambing

    dalam rimba, menjalak andjing dalam koto, mendengus bunji harimau, hiruklah orang

    banjak dan binatang jang diam keliling gunung berapi itu. 

     Maka segala datuk-datuk dan orang besar-besar dalam negeri Periangan-PadangPandjang itu heranlah. Belum dilihat telah dilihat, belum didengar telah didengar,

    selama negeri bertunggui, akan rupa enggang itu. Maka djatuh telurnja kedalam

    negeri itu. Berkatalah setengahnja mereka jang diluar negeri itu: “Adapun telur itupun

    batinja belum lahir; kuda sembarani akan turun kenegeri Periangan Padang pandjang,

    kepada rumah Datuk Suri Diredjo. Ialah berpelana emas sendirinya, mengirit dia anak

     Dewata jang diam diatas gunung berapi. Sebab itulah maka kita tahu akan kuda

    semberani. Alam telah sudah berkembang, negeri telah sudah berisi manusia tiap-tiap

    koto”. … Adapun Aditia Warman itu dari Djambi mudiklah ke Batang Hari. lalu

    melangkah kebatang Umbilin dan mudik sampai Muko-muko di tepi Danau Singkarak,

    sebelah ke Batu Beragung. Di Batu Beragung inilah mulanja Aditia Warman

    mendjalankan niatnja, supaja ia mendjadi radja dalam Alam di Luhak nan Tigo. 

     Di batu Beragung itu ada batu bersurat tulisan hindu, di situ tertulis tahun 1268

    tahun Djawa dan di Batu Bersurat di Pagar Rujung tertulis tahun 1278 tahun Djawa,

    djadinja tahun 1256 tahun Masehi.20 Sejak saat itu pemerintahan terpecah menjadi

    dua: Laras Koto Piliang (melahirkan raja-raja Pagaruyung) dan Pemerintahan Bodi

    Tjaniago (pemerintahan bukan berasal dari terah raja). 

    c.4 Bentuk Annals 

    Sementara bentuk annals ditemukan dalam pembahasan mengenai Agama Islam

     berkembang di Minangkabau dan Perang Kolonial. Pembahasan pada dua bab ini, peristiwa

    sudah ditempatkan para urutan waktu yang jelas dan tidak ditemukan cerita tentang dewa-

    dewa yang berperan dalam kehidupan manusia. Pada kedua bab ini, persepsi dan interpretasi

     penulis sudah tampak. Contohnya;

    “Pada tahun 1803 adalah tiga orang Minangkabau pergi naik hadji ke Makkah, jaituseorang dari Pandan Sikat, seorang dari Sumanik (Tanah Datar), seorang dari

    Piobang, Limo Puluh Koto. Pada waktu itu adalah negeri Makkah sedang dalam

     perintah kaum Wahabi jang amat keras perintahnja. Dilarangnja orang merokok,

    makan sirih, berpakaian jang indah-indah dan disuruhnja radjin sembahjang. Siapa

     jang melanggar perintah itu dapat hukuman jang berat. Hal itu tiada menjenangkan

    hati anak negeri dan keamanan djadi terganggu. Karena itu Sultan Turki

    20  Ibid ., hlm. 25-26.

  • 8/19/2019 Analisis Tambo

    9/16

  • 8/19/2019 Analisis Tambo

    10/16

    historiografi tradisional umumnya, tambo Minangkabau mengetengahkan mitos asal pusaka

    turun kepada kemenakan,30 genealogis  masyarakat (asal-usul manusia Minangkabau),31

    28[28] Ibid ., hlm. 97.

    29[29] Ibid ., hlm. 101-3.

    30[30] “Beberapa lama Sutan Balun di Tiku-Pariaman, maka pada suatu masa adalah Tuanku Radjo Tuomenjuruh membuatkan sebuah perahu besar. Setelah selesai perahu itu, maka hendak diturunkan

    kekuala. Maka turunlah semua isi negeri bersama-sama menghela perahu itu, tetapi tiada terhela. 

    Maka bertanja Tuanku Radjo Tuo: “Ada Djugakah orang dalam negeri jang masih tinggal? 

    Jawab Sjahbandar: “ Ada, tuanku! Seorang anak muda jang tinggal dirumah tuanku.” 

    Titah Tuanku Radjo Tuo: “Panggilah dia! 

    Maka dipanggil oranglah Sutan Balun, dan iapun datanglah ketempat perahu itu. Maka ditjobalah lagi

    menghela perahu itu bersama-sama dengan Sutan Balun, itupun tiada juga terhela. 

    Maka ditanja orang kepada Sutan Balun: “Adakah akan terhela perahu itu atau tidak?” 

    Djawan Sutan Balun: “Kalau hamba sendiri menghelanya, mungkin terhela”. Maka diminta oranglah

    dia menghela perahu itu. 

    Sutan Balun membakar kemenjan, diasapnya perahu itu berkeliling, lalu dicobanja menghelanyaseorang diri, tetapi tiada djuga terhela. Maka berkata Sutan Balun kepada Tuanku Radjo Tua: “ Adapun

     perahu ini tiada mau turun kekuala, kalau tidak bergalang dengan tubuh manusia, tetapi jang akan djatigalangnja hanja anak atau kemenakan. Djikalau tiada demikian, tiadalah perahu ini akan mau

    diturunkan kekuala”. 

    Maka dipanggil oleh Tuanku Radjo Tuo anak Baginda, tiadalah ia mau, karena ditegah oleh mamaknja

     jang laki-laki. 

    Kemudian dipanggil kemanakan baginda, iapun datanglah dan suka akan djadi galang perahu itu. (Katasetengah kisah, kemanakan radja jang djadi galang perahu itu, ialah seorang perempuan muda yang

    sedang hamil). Dibawanja alat pakaiannja dengan kasur bantalja akan tempat ia berbaring, sebab padasangkanja tentulah ia akan mati. Kemudian tidurlah ia diatas kasur dihaluan perahu itu. Maka diletjut perahu itu oleh Sutan Balun dengan lidi tudjuh helai, dan melompatlah perahu itu terdjun kekuala.

    Akan batang tubuh kemanakan radja itudjangankan tertindih kenapun tidak olehja. 

    Maka berkatalah Tjeti Bilang Pandai jang sebagai menteri oleh Tuanku Radjo Tuo, katanja: 

    Adapun sedjak dahulu sampai sekarang, pusaka harta benda, sawah-ladang, emas-perak turun kepadaanak semuanja. Maka sedjak sekarang ini, tiadalah harus pusaka turun kepada anak lagi, melainkan

    kepada kemanakan djuga turunnja” ( Ibid ., hlm. 22-23).

    31[31] Pada zaman dahulu, benua Afrika dan Amerika bersatu, namanya benua Atlantik. Pada zaman Nabi Nuh a.s., terjadi letusan gunung di daerah itu. Karena itu, terjadilah gelombang pasang dan gempa besar yang disebut “Kiamat Nabi Nuh”. Pada waktu itu, seluruh penghuni bumi mati, kecuali pengikut

    setia Nuh as., dan binatang-binatang yang ikut naik bersama bahtera Nuh. Mereka terdampar di puncak

    gunung Ararat di tanah Syam. Setelah air surut, mereka turun gunung dan membuat tempat tinggal disana. 

  • 8/19/2019 Analisis Tambo

    11/16

    kronik   Alam Minangkabau yang dibagi ke dalam dua kelarasan,32 dan annals  mengenai

    Agama Islam berkembang di Minangkabau33 dan perang Kolonial.34

    Setelah beberapa lama mereka berkembang biak di sana. Mereka pun secara rombongan-rombongan berpencar mencari kehidupan dan tanah baru. Ada yang ke India, China, dan terus ke Jepang.

    Sementara sebagiannya, pergi ke Asia tengah, Eropa, ke Kaukasi dan ada yang sampai ke Indonesia. 

    Pada ringkasan genealogi yang lain diceritakan ada tiga orang anak raja dari tanah Hindu yang keluardari negerinya mencari tanah jajahan. Anak  pertama, bernama Seri Maharaja Depang. Ia pergi dengan beberapa orang pengiringnya menuju ke sebelah Timur, yakni ke benua China. Kemudian menyebrang

    ke tanah Jepang. Anak kedua, bernama Seri Maharaja Alif beserta pengiringnya menuju ke sebelah barat, ke benua Rum. Dan anak ketiga, bernama Seri Maharaja Diraja (ta) berlayar denganmenggunakan perahu menuju ke arah matahari hidup dengan ditemani beberapa pengiringnya serta

    lima orang istrinya. 

    Di antara pengiringnya terdapat beberapa Tjeti Bilang Pandai. Gelar ini semula hanya bagi orangHindu, namun pada perkembangannya dipakai juga bagi orang asli Minangkabau. Sementara isterinyadigelari anak raja, harimau campo, kambing hutan, kucing siam dan anjing yang mualim. Setelah lama

     berlayar, sampailah di pulau Andalas, pulau Perca. Perahunya tersangkut batu karang dan rusak.

    Pada waktu itu belum ada jalan. Oleh karena itu, rombongan Seri Maharaja Diraja (ta) masuk ke hutan,mendaki bukit menuruni lembah. Pada suatu hari mereka melihat cahaya api di pinggang gunung berapi. Lalu mereka menuju ke sana. Mereka pun berdamai dengan masyarakat setempat. Namunkarena pengetahuan rombongan Seri Maharaja Diraja (ta) lebih pandai dibanding pengetahuan

    masyarakat setempat, akhirnya rombongan Seri Maharaja Diraja (ta) memimpin masyarakat tersebut.Menurut cerita, bekas-bekas dusun itu, tempatnya di Periangan; tanahnya datar, dilingkupi aur duri, dan

    ada kuburan yang diyakini sebagai kuburan nenek moyang orang Minangkabau ( Ibid ., hlm. 11-4). 

    32 “… beberapa lama kemudian, semasa keradjaan Modjopahit, adalah seorang menteri bernama Aditia

    Warman, dititahkan radja Modjopahit berlajar ke Palembang dan ke Djambi akan mengepalai negeri-negeri itu sambil akan mentjari djadjahan taklunja djuga. Maka ia sampai ke Alam Minangkabau.Kedatangannja itu dikiaskan dalam tambo alam begini: “Lalulah enggang dari laut ke gunung berapisendirinja hendak mentjahari makanannja. Maka ditembak oleh Datuk nan Batigo, bedil sedetak tigadentamnja.Terkedjut binatang dalam rimba, tertjebur ikan dalam laut, mengias kuda semberani, berring bunji gentanja, kilat gemilat rupa pelananja. Membebek kambing dalam rimba, menjalak andjing dalam

    koto, mendengus bunji harimau, hiruklah orang banjak dan binatang jang diam keliling gunung berapi

    itu. 

    Maka segala datuk-datuk dan orang besar-besar dalam negeri Periangan-Padang Pandjang itu heranlah.Belum dilihat telah dilihat, belum didengar telah didengar, selama negeri bertunggui, akan rupa

    enggang itu. Maka djatuh telurnja kedalam negeri itu. Berkatalah setengahnja mereka jang diluar negeriitu: “Adapun telur itupun batinja belum lahir; kuda sembarani akan turun kenegeri Periangan Padang pandjang, kepada rumah Datuk Suri Diredjo. Ialah berpelana emas sendirinya, mengirit dia anakDewata jang diam diatas gunung berapi. Sebab itulah maka kita tahu akan kuda semberani. Alam telah

    sudah berkembang, negeri telah sudah berisi manusia tiap-tiap koto”. … Adapun Aditia Warman itudari Djambi mudiklah ke Batang Hari. lalu melangkah kebatang Umbilin dan mudik sampai Muko-muko di tepi Danau Singkarak, sebelah ke Batu Beragung. Di Batu Beragung inilah mulanja Aditia

    Warman mendjalankan niatnja, supaja ia mendjadi radja dalam Alam di Luhak nan Tigo. 

    Di Batu Beragung itu ada batu bersurat tulisan Hindu, di situ tertulis tahun 1268 tahun Djawa dan diBatu Bersurat di Pagar Rujung tertulis tahun 1278 tahun Djawa, djadinja tahun 1256 tahun Masehi

    ( Ibid ., hlm. 25-26). Sejak saat itu pemerintahan terpecah menjadi dua: Laras Koto Piliang(melahirkan raja-raja Pagaruyung) dan Pemerintahan Bodi Tjaniago (pemerintahan bukan berasal dari

    terah raja) ( Ibid ., hlm. 25-6). 

  • 8/19/2019 Analisis Tambo

    12/16

    Hingga saat ini, naskah Tambo Minangkabau yang berhasil ditemukan cukup banyak,

    yaitu, berjumlah 47 naskah. Sehingga, kuat dugaan, tambo merupakan teks kanon bangsa

    Minangkabau,35 dan kitab bagi orang Minangkabau. Dari sinilah teks orang Minangkabau

    dibangun, diyakini, dan dipercayai. Pada bagian akhir dari teks Tambo, biasanya bukan hanya

     persoalan penggugatan yang ditawarkan, tetapi berisi teks asal usul nenek moyang bangsa

    Minangkabau. Bagaimana teks jati diri itu dibuat, bahwa kedudukan atau derajat bangsa

    Minangkabau sama derajatnya dengan bangsa China dan Jepang. Sebuah grand teks yang

    33 Sementara bentuk annals ditemukan dalam pembahasan mengenai Agama Islam berkembang diMinangkabau dan Perang Kolonial. Pembahasan pada dua bab ini, peristiwa sudah ditempatkan para urutan

    waktu yang jelas dan tidak ditemukan cerita tentang dewa-dewa yang berperan dalam kehidupan manusia. Padakedua bab ini, persepsi dan interpretasi penulis sudah tampak. Contohnya; “Pada tahun 1803 adalah tiga orangMinangkabau pergi naik hadji ke Makkah, jaitu seorang dari Pandan Sikat, seorang dari Sumanik (Tanah Datar),seorang dari Piobang, Limo Puluh Koto. Pada waktu itu adalah negeri Makkah sedang dalam perintah kaumWahabi jang amat keras perintahnja. Dilarangnja orang merokok, makan sirih, berpakaian jang indah-indah dan

    disuruhnja radjin sembahjang. Siapa jang melanggar perintah itu dapat hukuman jang berat. Hal itu tiadamenjenangkan hati anak negeri dan keamanan djadi terganggu. Karena itu Sultan Turki memerintahkan radjamuda Mesir memerangi kaum Wahabi itu, hingga dalam tahun 1818 kekuasaan kaum Wahabi lenjaplah dari

    Makkah ( Ibid ., hlm. 47). 

    34 “Pada tahun 1822 sampai 1824 Kolonel Raaff mengalahkan Tanah Datar. Tetapi di Lintau iamendapat perlawanan jang keras, hingga banjak serdadu Belanda jang binasa, begitu pula di Luhak Agam.Dalam pada itupun kekuasaan Orang Putih (‘ulama-‘ulama) bertambah kembang pula di Bondjol samapai ke

    Rao dan ke tanah Mandahiling” ( Ibid ., hlm. 1956: 58).

    35 Arti kata Tambo dalam kamus KBBI (1994:998) adalah; “sejarah, babad, hikayat, riwayat kuno,

    uraian sejarah suatu daerah yang seringkali bercampur dengan dongeng: seperti Tambo Minangkabau, Tambo

    Bengkulu”. Adapun dalam Kamoes Bahasa Minangkabau Bahasa Melajoe-Riau oleh M. Thaib gelar St.

    Pamoentjak (1935:236); “Tambo berarti hikayat, kisah, riwayat dahulu kala, seperti dalam kalimat bahasa

    Minang: ‘maurah si tambo lamo (mengurai si tambo lama, atau menceritakan hal yang telah lalu zamannya)’.

    Tambo juga berarti Jaras, manambo berarti menjaras, seperti dalam kalimat bahasa Minang: ‘ato’ alalang

    satambo; daun nipah satambo, yang artinya atap lalang atau daun nipah seikat kecil”. Edwar Djamaris

    (1991:13), mengatakan; “Kadang-kadang Tambo disebut juga Tarambo, kata ini sama maknanya dengan kata babad dalam bahasa Jawa atau Sunda. Kata Tambo dan Babad ini diguanakan sebagai judul cerita prosa lama

    yang biasa disebut sastra sejarah atau historiografi tradisional, penulisan sejarah menurut kepercayaan atau

     pandangan masyarakat setempat secara turun-temurun. Di dalam sastra Jawa, di samping kata Babad digunakan

    kata lain sevagai kata pertama judul karya sastra jenis ini yaitu sajarah, pustakaraja, serat, dan serat sarasilah”.

    Adapun menurut A.A. Navis (1984:45-46); “Tambo berasal dari bahasa Sanskerta, yakni Tambay atau Tambe

    yang artinya bermula. Tambo merupakan salah satu warisan kebudayaan Minangkabau yang penting

    (maksudnya Tambo Minangkabau –pen),. Ia merupakan kisah yang disampaikan secara lisan oleh tukang kaba

    yang diucapkan oleh juru pidato (maksudnya para pemangku adat seperti para penghulu atau Datuk –pen).

    Orang sering membagi Tambo itu dalam dua jenis, yakni Tambo Alam, yang mengisahkan asal-asal nenek

    moyang serta bangunan kerajaan Minangkabau, dan Tambo Adat, yang mengisahkan adat atau sistem dan

    aturan pemerintahan Minangkabau pada masa lalu” (Fadlillah, “ Dekonstruksi Jati Diri Bangsa Minangkabau”dalam http://sejarahbangsaindonesia.-co.cc/1_4_Sejarah-Sumatera-Barat.html. Diakses, 30 Oktober 2010). 

  • 8/19/2019 Analisis Tambo

    13/16

    luar biasa dalam gambaran makro, bahwa bangsa Minangkabau merupakan bangsa yang

     besar di dunia.36

    Selain berbentuk tambo, bentuk historiografi lainnya yang ada di Minangkabau adalah

    hasil penelusuran dan inventarisasi naskah yang dilakukan dilakukan Pramono37 di tiga

    wilayah, yang meliputi: Sumatera Barat (minus Mentawai), Riau dan Kepulauan Riau. Dalam

     penelusurannya, Pramono berhasil ditemukan 173 naskah. Dari jumlah tersebut, 151 naskah

    ditemukan di Sumatera Barat. Lebih jauh Pramono menyebutkan, semua naskah yang

    ditemukan beralaskan kertas dan ditulis dengan Aksara Jawi dan Arab. Di dunia Melayu,

    tidak diketahui kapan pertama kali penggunaan aksara Jawi. Akan tetapi, diduga aksara ini

    tercipta dan digunakan setelah terjadi pertemuan dunia Melayu dengan agama Islam.38

    Paling tidak aksara Jawi sudah dipergunakan pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15

    seiring Raja Melaka—Parameswara— bergelar Megat Iskandar Syah memeluk Islam. Setelah

    itu, kesusatraan Melayu-Islam berkembang pesat. Kesusastraan Melayu-Islam itu, kemudian,

    diterjemahkan lagi ke dalam berbagai bahasa di Nusantara. Sejak itu pula dunia Melayu

    selalu disandingkan dengan Islam sehingga yang disebut Melayu apabila memiliki tiga ciri:

     berbahasa Melayu, berbudaya Melayu, dan beragama Islam.39

    Bagaimana tradisi historiografi berkembang di Minangkabau? Paling tidak, terdapat

    dua tempat yang dimungkinkan menjadi tempat penulisan naskah. Pertama, lingkungan

    Surau (orang putih). Contohnya: Syair Nasuha: Sebuah Kajian Filologis, berbahasa Melayu

    dengan huruf Arab Melayu dan ditulis tahun 1854 dan 1881.40 Contoh lainnya,  Basimalin,

    ditemukan di desa Tarantang Kecamatan Harau, Sumatera Barat menggunakan bahasa

    Minangkabau dengan huruf Arab-Melayu, tanpa tahun.41 Kedua, lingkungan pemerintahan

    36 Ibid .

    37 Pramono,“Skriptorium dan Naskah-naskah Melayu di sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau”,

    dalam http://istayn.staff.uns.ac.id/files/2010/09/kodikologi-dan-kritik-teks.pdf.Diakses tanggal 30 Oktober

    2010.

    38 Ibid .

    39 Ibid .

    40 Edi S. Ekadjati (ed.). Direktori Edisi Naskah Nusantara, Jakarta: Masyarakat Pernaskahan

     Nusantara-Obor Indonesia (1999: 439).

    41 Ibid ., hlm. 408.

  • 8/19/2019 Analisis Tambo

    14/16

    setempat atau para tetua adat. Contoh: Petatah Petitih Adat Minangkabau, karya M.gr. B.M

    tahun 1903, berbahasa Minangkabau dengan tulisan Latin dan Arab Melayu, ditemukan di

    Solok42; Kaba Cindua Mato, karya Malim Sidi tahun 1850-1867 berbahasa Minangkabau,

    tulisan Arab-Melayu dan Latin.43

    E.  Penutup 

    Hingga di sini dapat dipahami sebagai berikut: Pertama, tambo biasanya ditulis di

    lingkungan pemerintahan setempat atau para tetua adat. Isi tambo biasanya meliputi:  Asal-

    usul Minangkabau, Agama Islam berkembang di Minangkabau, Perang Kolonial, Minangkabau dengan Adatnya, Undang-undang Pemelihara Alam Minangkabau, Rumah

    Gadang di Minangkabau, Adat Yang Takluk Kepada Orang Yang Berlaki Bini, dan Tjuraian

     Negeri-negeri Tua di Minangkabau. Kedua, penulisan tambo dimaksudkan untuk menyusun

    sejarah daerah yang dalam kaca mata sejarah modern dapat digolongkan ke dalam

    historiografi tradisional. Ketiga, penulisan tambo dimaksudkan: (a) untuk memperjelas dan

    mempertegas identitas para penguasa/tetua adat dan memperkuat ikatan kekeluargaan di

    antara mereka, (b) untuk memperjelas dan mempertegas status dan kedudukan mereka

    sebagai penguasa setempat. Keempat , selain naskah tambo Minangkabau banyak pula

    ditemukan historiografi lainnya dalam naskah-naskah yang bukan hanya terdapat di

    Indonesia, tetapi juga banyak ditemukan di perpustakaan Belanda.

    42 Ibid ., hlm. 434.

    43 Ibid ., hlm. 413.

  • 8/19/2019 Analisis Tambo

    15/16

    DAFTAR SUMBER 

    A.  Buku 

    Batuah & Madjoindo. 1956.

    Tambo Minangkabau. Jakarta: Balai Pustaka.

    Edi S. Ekadjati (ed.). 1999.

     Direktori Edisi Naskah Nusantara, Jakarta: Masyarakat Pernaskahan Nusantara-OborIndonesia.

    Mahmud Yunus. 1993.

    Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Bidakarya Agung.

     Nina Herlina. 2009.

     Historiografi Indonesia dan Permasalahannya. Bandung: Satya Historika.

    B.  Web. Site 

    Anonimous, 2010.

    http://sejarahbangsaindonesia.co.cc/1_4_Sejarah-Sumatera-Barat.html. Diakses tanggal30 Oktober 2010.

    Edwar Djamaris. 2010.

    “Tambo Minangkabau Suntingan Teks Disertai Analisis Struktur”  dalam

    http://www.lontar.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id=96268&lokasi=lokal.

    Diakses tanggal 30 Oktober 2010.

  • 8/19/2019 Analisis Tambo

    16/16

    Fadlillah. 2010. “ Dekonstruksi Jati Diri Bangsa Minangkabau” dalamhttp://sejarahbangsaindonesia.-co.cc/1_4_Sejarah-Sumatera-Barat.html. Diakses, 30

    Oktober 2010).

    Pramono. 2010.“Skriptorium dan Naskah-naskah Melayu di sumatera Barat, Riau dan

    Kepulauan Riau”, dalam http://istayn.staff.uns.ac.id/files/2010/09/ko-dikologi-dan-

    kritik-teks.pdf.Diakses tanggal 30 Oktober 2010.