ANALISIS STRUKTUR PORTAL GUDANG KARET...
Transcript of ANALISIS STRUKTUR PORTAL GUDANG KARET...
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 1
ANALISIS STRUKTUR PORTAL GUDANG KARET
MENGGUNAKAN SAP 2000
Adi Susetyo Dermawan 1)
, Fitriamsyah1)
dan Dewi Yuniar 1)
1)
Staf Pengajar Fakultas Teknik Universitas Achmad Yani Banjarmasin
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Untuk meningkatkan produktivitas karet di Indonesia mendesak kita untuk memperbanyak
sarana dan prasarana untuk mendukung produktivitas karet di Indonesia, salah satunya
dengan membangun pabrik/gudang karet. Tujuan penelitian adalah menghasilkan struktur
baja yang stabil, cukup kuat, mampu-layan, awet, dan memenuhi tujuan-tujuan lainnya
seperti ekonomi dan kemudahan pelaksanaan. Peneliti mengumpulkan data perencanaan
dan melakukan preeliminari desain untuk struktur portal baja sesuai dengan pedoman yang
berlaku, selanjutnya melakukan modelling struktur menggunakan autocad 2010 dan
menganalisa hasil modelling menggunakan SAP 2000. Data modelling memiliki
spesifikasi gudang karet ukuran 40 x 15,8 m dengan menggunakan struktur konstruksi
baja dan jumah lantai sebanyak 6 (enam) lantai dan memiliki tinggi bangunan 24 m dengan
detail lantai dasar : ± 0,00 m; lantai 1 : ± 4,50 m; lantai 2 : ± 8,00 m; lantai 3 : ± 11,50 m;
lantai 4 : ± 15,00 m; lantai 5 : ± 17,00 m dan atap : ± 24,00 m. Pondasi dalam end bering
dan mutu konstruksi yaitu baja konstruksi Bj. 37(fy 160 Mpa dan fu 240 Mpa), memakai
beton K-225 dan minipile K-500. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa pemilihan profil
kolom Baja H 200.200.8.12 mampu menahan kombinasi pembebanan maksimum yang
terjadi yaitu Momen (Mux=186,591 Kgm, Muy=106,78 Kgm), Normal (Pu) 37.393,38 kg
dan Geser (Vux=702,26 kg. Vuy=440.43 kg). Sedangkan untuk balok penggunan profil
baja WF 250.125.6.9 untuk B1, profil baja WF 150.75.5.7 untuk B2 dan profil baja WF
300.150.6,5.9 untuk B3 mampu menahan kombinasi pembebanan maksimum yang terjadi
yaitu untuk B1 Momen (Mux=195,241 Kgm, Muy=0,000015 Kgm), Normal 98,29 Kg dan
Geser (Vux=25,35 kg. Vuy=0,016 kg), untuk B2 (Mux=47,288 Kgm, Muy=0,055 Kgm),
Normal 507,06 Kg dan Geser (Vux=560,95 kg. Vuy=0,45 kg), untuk B3 (Mux=461,048
Kgm, Muy=0,011 Kgm), Normal 794,02 Kg dan Geser (Vux=94,18 kg,Vuy=0,18 kg).
Kata kunci : modelling, struktur gudang karet, SAP 2000
PENDAHULUAN
Tujuan perencanaan struktur adalah
untuk menghasilkan suatu struktur yang
stabil, cukup kuat, mampu-layan, awet,
dan memenuhi tujuan-tujuan lainnya
seperti ekonomi dan kemudahan
pelaksanaan. Suatu struktur disebut stabil
bila ia tidak mudah terguling, miring,
atau tergeser, selama umur bangunan
yang direncanakan. Suatu struktur disebut
cukup kuat dan mampu-layan bila
kemungkinan terjadinya kegagalan-
struktur dan kehilangan kemampuan
layan selama masa hidup yang
direncanakan adalah kecil dan dalam
batas yang dapat diterima. Suatu struktur
disebut awet bila struktur tersebut dapat
menerima keausan dan kerusakan yang
diharapkan terjadi selama umur bangunan
yang direncanakan tanpa pemeliharaan
yang berlebihan.
Produk teknologi berbasis
komputer semakin canggih dan
terjangkau. Di bidang rekayasa, banyak
ditawarkan structural analysis program
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 2
(SAP) dan terbukti sukses dipakai pada
perancangan proyek-proyek yang besar
dan kompleks. Jadi tidak mengherankan
jika SAP menjadi andalan para insinyur.
Tersedianya opsi otomatis pada
perancangan struktur serta jargon
promosinya yang gencar menyebabkan
awam atau bahkan insinyur muda
beranggapan, bahwa teknologi SAP
adalah lebih dari sekedar alat. Proses
perancangan struktur, umumnya terdiri
dari analisis struktur dan desain
penampang. Secara prinsip keduanya
berbeda, ditinjau dari tujuan maupun
strategi pelaksanaannya. Faktanya jika
memakai SAP komersil yang populer,
prosesnya mudah, bahkan terlihat seperti
satu kesatuan (seamlessly). Adanya opsi
default design settings (CSI 2007)
menyebabkan data analisis struktur dapat
dipakai langsung pada desain
penampang.
Suatu bangunan baja bangunan
terdiri dari beberapa elemen yaitu balok
dan kolom. Elemen struktur kolom
biasanya harus memikul beban aksial
(tarik atau tekan) dan momen lentur
secara bersama-sama maka elemen
tersebut dapat dikatakan balok kolom
(beam-column). Dalam konstruksi
bangunan baja, suatu elemen struktur
pada suatu bangunan bangunan harus
mempunyai syarat - syarat perencanaan
yang harus dipenuhi. Pada penelitian ini,
dirancang sebuah bangunan pabrik karet
yang mampu menahan banyaknya beban
karet yang dikeringkan. Dengan
rancangan tersebut, kemudian di analisis
menggunakan SAP 2000 agar dapat
mengetahui profil struktur portal baja
sehingga dianggap stabil, cukup kuat,
mampu-layan, awet, dan memenuhi
tujuan-tujuan lainnya seperti ekonomi
dan kemudahan pelaksanaan.
Produk teknologi berbasis
komputer semakin canggih dan
terjangkau. Di bidang rekayasa, banyak
ditawarkan Structural Analysis Program
(SAP) dan banyak dipakai secara sukses
pada proyek-proyek perancangan
konstruksi yang berskala besar dan
kompleks. Jadi tidak heran jika SAP
menjadi andalan banyak insinyur dalam
penyelesaian pekerjaan rekayasa. Banyak
orang yang awam atau bahkan insinyur
muda beranggapan bahwa teknologi SAP
berbasis komputer adalah lebih dari
sekedar alat. Pada perancangan struktur
misalnya, ada proses analisis struktur dan
desain penampang, yang pada dasarnya
adalah dua proses berbeda, baik ditinjau
dari sisi tujuan maupun strategi
pelaksanaannya. Proses perancangan
struktur umumnya dikerjakan secara trial-
and-error agar optimum. Jadi, tersedianya
structural analysis program (SAP)
komersil yang dapat melakukan
keduanya secara sekaligus.
Bagaimanapun juga disadari bahwa
program SAP komersil, seperti SAP 2000
merupakan produk canggih, yang
mengadopsi kemajuan teknologi numerik
terkini.
Analisa struktur pada perencanaan
struktur bangunan ini dilakukan dengan
menggunakan program SAP 2000 yang
merupakan salah satu program analisis
struktur yang telah dikenal luas dalam
dunia teknik sipil dan juga merupakan
program versi terakhir yang paling
lengkap dari seri - seri program analisis
struktur SAP. Program SAP 2000 ini
merupakan perangkat lunak untuk
analisis dan desain struktur ini
menggunakan operasi windows. Analisis
dengan komputer, harus memberitahukan
prinsip cara kerja program dan harus
ditunjukan dengan jelas data masukan
serta penjelasan data keluaran. percobaan
model diperbolehkan bila diperlukan
untuk menunjang analisis teoritis.
Graphis user interface dari SAP 2000
digunakan untuk merancang,
menganalisa, mendesain, dan
menampilkan geometri struktur, property
dan hasil analisis. Prosedur dari analisis
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 3
ini dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) bagian,
yaitu :
1. Preprocessing (Pra Proses).
2. Solving (Penyelesaian).
3. Post Processing (Pasca Proses).
Analisa penampang yang dilakukan
pada perencanaan struktur bangunan ini
meliputi analisa balok, kolom, plat, dan
tangga yang mengacu pada SNI 03-1729-
2002 (Tata Cara Perencanaan Struktur
Baja untuk Bangunan Gedung), dan
didasarkan pada hasil dari analisa struktur
yang telah dilakukan sebelumnya dengan
menggunakan porgram SAP 2000.
Sifat mekanis baja structural,
tegangan leleh untuk perencanaan (fy),
tegangan putus untuk perencanaan ( fu ),
yang digunakan dalam perencanaan harus
memenuhi persyaratan minimum yang
diberikan. Sifat-sifat mekanis lainnya
baja struktural untuk maksud
perencanaan ditetapkan sebagai berikut:
Modulus elastisitas:E = 200.000 MPa
Modulus geser : G = 80.000 MPa
Nisbah poisson : μ = 0,3
Koefisien pemuaian:α = 12 x10-6/oC
Laporan uji material baja di pabrik
yang disahkan oleh lembaga yang
berwenang dapat dianggap sebagai bukti
yang cukup untuk memenuhi persyaratan
yang ditetapkan dalam standar ini. Baja
yang tidak teridentifikasi boleh
digunakan selama memenuhi ketentuan
bebas dari cacat permukaan, sifat fisik
material dan kemudahannya untuk dilas
tidak , mengurangi kekuatan dan
kemampuan layan strukturnya (SNI 03–
1729– 2002), ditest sesuai ketentuan
yang berlaku. Tegangan leleh ( f y ) untuk
perencanaan tidak boleh diambil lebih
dari 170 MPa sedangkan tegangan
putusnya ( fu ) tidak boleh diambil lebih
dari 300 MPa.
Indonesia merupakan negara
penghasil dan pengekspor karet alam
urutan ke 2 (dua) di dunia setelah
Thailand. Meskipun produksi karet
Indonesia masih dibawah Thailand
namun dari sisi luasan Indonesia
menduduki areal karet terluas di dunia.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa
tingkat produktivitas karet Indonesia per
satuan luas masih dibawah tingkat
produktivitas di negara lain (Thailand dan
Malaysia). Namun demikian peluang
ekspor karet alam Indonesia ke depan
masih tetap cerah bahkan Indonesia dapat
menjadi negara pemasok karet utama
mengingat 2 (dua) pemasok utama
lainnya (Thailand dan Malaysia) sudah
tidak mampu lagi meningkatkan
produksinya karena keterbatasan lahan
pengembangan.
Dibalik peluang yang sangat besar
tersebut, tuntutan terhadap bahan baku
yang bermutu merupakan suatu tantangan
yang besar bagi Indonesia. Mutu bahan
baku karet yang diekspor ke luar negeri
sangat ditentukan oleh penanganan bahan
olah karet di tingkat petani. Semenjak
Indonesia dikenalkan dengan produk
crumb rubber dengan SIR (Standar
Indonesian Rubber), mutu bahan olah
karet yang dipersiapkan oleh petani
semakin merosot.
METODE PENELITIAN
Data yang Diperlukan
Data yang digunakan dalam
pembuatan dan penyusunan penelitian ini
secara garis besar dapat diklasifikasikan
menjadi 2 jenis, yaitu data primer dan
data sekunder.
a. Data primer
Yaitu data yang didapat dari hasil
peninjauan dan pengamatan langsung
di lapangan berupa letak, luas areal,
kondisi lokasi, kondisi bangunan di
sekitar lokasi, juga denah rencana
pada daerah perencanaan.
b. Data sekunder
Yaitu data pendukung yang dipakai
dalam pembuatan dan penyusunan
penelitian baik dari lapangan maupun
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 4
dari hasil penelitian test laboratorium
serta dari literatur-literatur yang ada.
Data ini tidak dapat digunakan secara
langsung sebagai sumber tetapi harus
melalui pengolahan data untuk dapat
digunakan.
Tahap Persiapan/ Preeliminary
struktur
Beban-beban yang bekerja pada
struktur seperti beban mati (dead load),
beban hidup (live load), beban gempa
(earthquake), dan beban angin (wind
load) menjadi bahan perhitungan awal
dalam perencanaan struktur untuk
mendapatkan besar dan arah gaya-gaya
yang bekerja pada setiap komponen
struktur, kemudian dapat dilakukan
analisis struktur untuk mengetahui
besarnya kapasitas penampang.
Pendistribusian pengaruh gaya-
dalam kepada komponen-komponen
struktur dan sambungan-sambungan pada
struktur bangunan ini ditetapkan dengan
menganggap salah satu atau kombinasi
bentuk-bentuk struktur adalah semi kaku.
Dimana Pada struktur semi-kaku,
sambungan tidak memiliki kekakuan
yang cukup untuk mempertahankan
sudut-sudut di antara
komponenkomponen struktur yang
disambung, namun harus dianggap
memiliki kapasitas yang cukup untuk
memberikan kekangan yang dapat diukur
terhadap perubahan sudut-sudut tersebut.
Tingkat kapasitas tersebut di atas
terhadap taraf pembebabanan yang
bekerja ditetapkan dengan metode
berdasarkan percobaan.
Pemodelan Struktur
Pada tahap ini dilakukan
permodelan/modeling struktur dengan
menggunakan AUTOCAD 2000,
kemudian akan dianalisis struktur
tersebut dengan menggunakan program
bantu SAP 2000 berdasarkan
preeliminary dan pembebanan yang telah
direncanakan.
Tahap analisis data dan pembahasan Pada tahap ini, setelah proses
perhitungan menggunakan SAP 2000,
apabila hasil yang didapat menyatakan
tidak aman, maka proses diulang ke
permodelan/modeling struktur
(preeliminary dan pembebanan yang
direncanakan). Namun apabila dari hasil
tersebut dinyatakan aman, maka
pemilihan permodelan atau modeling
struktur (preeliminary dan pembebanan
yang direncanakan) awal bisa
dilaksanakan di lapangan. Kemudian
menuangkan secara detail pada
AUTOCAD .
HASIL DAN PEMBAHASAN
Preliminiery design
Dasar-dasar preliminiery design
1. Pelat lantai
a. Pelat lantai memikul beban vertikal
dalam dua arah (two way slab)
masing-masing arah x dan arah y
b. Balok-balok arah x dan arah y
dianggap sebagai tumpuan terjepit
elastis
2. Balok
Asumsi dasar :
a. Balok arah x hanya memikul beban
vertikal dalam arah x demikian juga
arah y.
b. Balok baja terjepit elastis pada
tumpuan
c. Beban pada balok baja terbagi rata
Preliminiery design
a. Penentuan dimensi Baja
berdasarkan PPBBI 1983
b. Penampang harus mampu memikul
momen, aksial dan geser
maksimum yang terjadi
3. Kolom
a. Dimensi kolom ditentukan
berdasarkan PPBBI 1983
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 5
b. Beban horizontal (gaya geser)
berupa pembebanan dikali dengan
koefisien geser ditiap titik yang
bersangkutan
Data Modelling
Nama bangunan : Gudang Karet
ukuran 40 x 15,8 M
Fungsi bangunan: Pergudangan
Lokasi : Banjarmasin Kalsel
Jumah lantai : 6 (enam) lantai
Tinggi bangunan : 24 m
a. Lantai Dasar : ± 0,000 m.
b. Lantai 1 : ± 4,500 m.
c. Lantai 2 : ± 8,000 m.
d. Lantai 3 : ± 11,500 m.
e. Lantai 4 : ± 15,000 m.
f. Lantai 5 : ± 17,000 m
g. Atap : ± 24,000 m
Struktur Bangunan : Konstruksi Baja
Pondasi : Pondasi dalam end
bering
Mutu konstruksi :
- Baja konstruksi Bj. 37 :
fy 160Mpa
fu 240Mpa
- Beton K-225
- Minipile K-50
Data Pembebanan
Sebelum menganalisa struktur balok
terlebih dahulu menghitung beban yang
terjadi berdasarkan data-data yang ada
pada peraturan pembebanan gedung di
Indonesia, yang hasil selanjutnya akan
dimasukkan kedalam software komputer
berupa SAP 2000 v 14 untuk
mendapatkan hasil struktur balok, kolom
yang diasumsikan dalam preliminary
desain kuat dalam menerima
pembebanan. Struktur bangunan
direncanakan kekuatannya terhadap
beban yang terjadi akibat beban mati,
beban hidup, beban angin, serta
kombinasi dari beban beban tersebut :
a. Pembebanan Lantai
Pembebanan lantai 1
Lantai 1 direncanakan bertumpu
langsung ditanah urugan sehingga
pembebanan lantai 1 tidak
didistribusikan kolom ke pondasi
tetapi langsung ke konstruksi dibawah
lantai.
Pembebanan Lantai 2, Lantai 3, Lantai
4 dan Lantai 5.
Pembebanan lantai 2, lantai 3, lantai 4
dan lantai 5 dianggap sama berikut:
b. Beban Mati
Beban konstruksi berat sendiri
perangkat lunak SAP secara otomatis
akan menghitung sendiri sesuai
dengan profil yang digunakan.
c. Beban Hidup
Sesuai fungsi ruang gudang untuk
penggantung pengeringan karet dan
beban pekerja manusia serta
peralatannya maka direncanakan
beban hidup untuk 1 m2 sebesar 350
kg/m2.
Untuk pembebanan pada atap, beban
mati terdiri dari beban berat sendiri
struktur telah terhitung dan untuk
beban tambahan atap spandek dan
rangka atap serta aksesoris lainya
sebesar 15 kg/m2, beban hidup yang
berkerja sebesar 100 kg tiap titik dan
beban angin 25kg/m2.
d. Kombinasi Pembebanan
e. Dalam melakukan perhitungan
kombinasi pembebanan yang dipakai
adalah :
1,4DL
1,2DL+1,6LL+0,5(L atau H)
1,2DL+1,6(L atau H)+(Ɣ.L atau 0,8)
1,2DL+1,3W+ Ɣ.L +0,5(L atau H)
dimana :
DL = beban mati
LL = beban hidup
L = beban hidup selama
perawatan
H = beban hujan
W = beban angin
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 6
Pemodelan Struktur
Dalam metode analisa struktur
bangunan dilakukan berdasarkan
pendekatan metode kekuatan batas
(Strength Design Method) baik pada
struktur utama maupun skunder sesuai
standar referensi, meliputi dasar
perencanaan beton bertulang berdasarkan
SK SNI T-15-1991-03 (Vis & Gideon,
1994) dan Peraturan Perencanaan
Bangunan Baja Indonesia (PPBBI 1984).
Dalam perhitungan analisa struktur
menggunakan program amplikasi
computer SAP 2000 versi 14.
Gambar 1. Rangka Struktur Portal Gudang
Karet
Dari hasil running SAP tersebut
memyatakan bahwa struktur gudang karet
menggunakan jenis baja sebagai berikut:
Dari modeling yang direncanakan, hasil output SAP menunjukkan sebagai berikut:
No Type baja Peruntukan
1 H beam 200.2000.8.12 Kolom
2 WF 250.125.6.9 Balok
3 WF 150.75.5.7 Balok
4 WF 300.150.6,5.9 Balok
Sumber : Hasil analisa 2012
Sedangkan untuk balok penggunan
profil baja WF 250.125.6.9 untuk B1,
profil baja WF 150.75.5.7 untuk B2 dan
profil baja WF 300.150.6,5.9 untuk B3
mampu menahan kombinasi pembebanan
maksimum yang terjadi yaitu untuk B1
Momen (Mux=195,241 Kgm,
Muy=0,000015 Kgm), Normal 98,29 Kg
dan Geser (Vux=25,35 kg. Vuy=0,016
kg), untuk B2 (Mux=47,288 Kgm,
Muy=0,055 Kgm), Normal 507,06 Kg
dan Geser (Vux=560,95 kg. Vuy=0,45
kg), untuk B3 (Mux=461,048 Kgm,
Muy=0,011 Kgm), Normal 794,02 Kg
dan Geser (Vux=94,18 kg,Vuy=0,18 kg).
Hasil lengkap perhitungan bisa dilihat di
lampiran
Gambar 3. Rangka Struktur Portal Gudang Karet (Autocad 2000)
Gambar 2. Rangka Struktur Portal Gudang
Karet (Autocad 2000)
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 7
Gambar 4. Rencana kolom dan balok baja
Keterangan:
C1 : Kolom H beam 200.2000.8.12
B1 : Balok WF 250.125.6.9
B2 : Balok WF 150.75.5.7
B3 : Balok WF 300.150.6,5.9
KESIMPULAN
1. Data modelling dengan
spesifikasi gudang karet ukuran 40 x
15,8 m dengan menggunakan
struktur konstruksi baja dan jumah
lantai sebanyak 6 (enam) lantai dan
memiliki tinggi bangunan 24 m
dengan detail lantai dasar : ±
0,00 m; lantai 1 : ± 4,50 m; lantai 2 :
± 8,00 m; lantai 3 : ± 11,50 m; lantai
4 : ± 15,00 m; lantai 5 : ± 17,00 m
dan atap : ± 24,00 m. Pondasi dalam
end bering dan mutu konstruksi
yaitu baja konstruksi Bj. 37 (fy
160 Mpa dan fu 240Mpa), memakai
beton K-225 dan minipile K-500.
2. Dalam metode analisa struktur
bangunan dilakukan berdasarkan
pendekatan metode kekuatan batas
(Strength Design Method) baik pada
struktur utama maupun skunder
sesuai standar referensi, meliputi
dasar perencanaan beton bertulang
berdasarkan SK SNI T-15-1991-03
(Vis & Gideon, 1994) dan Peraturan
Perencanaan Bangunan Baja
Indonesia (PPBBI 1984). Dalam
perhitungan analisa struktur
menggunakan program amplikasi
computer SAP 2000 ver 14.
3. Hasil perhitungan menunjukkan
bahwa pemilihan profil kolom Baja
H 200.200.8.12 mampu menahan
kombinasi pembebanan maksimum
yang terjadi yaitu Momen
(Mux=186,591 Kgm, Muy=106,78
Kgm), Normal (Pu) 37.393,38 kg
dan Geser (Vux=702,26 kg.
Vuy=440.43 kg). Sedangkan untuk
balok penggunan profil baja WF
250.125.6.9 untuk B1, profil baja
WF 150.75.5.7 untuk B2 dan profil
baja WF 300.150.6,5.9 untuk B3
mampu menahan kombinasi
pembebanan maksimum yang terjadi
yaitu untuk B1 Momen
(Mux=195,241 Kgm, Muy=0,000015
Kgm), Normal 98,29 Kg dan Geser
(Vux=25,35 kg. Vuy=0,016 kg),
untuk B2 (Mux=47,288 Kgm,
Muy=0,055 Kgm), Normal 507,06
Kg dan Geser (Vux=560,95 kg.
Vuy=0,45 kg), untuk B3
(Mux=461,048 Kgm, Muy=0,011
Kgm), Normal 794,02 Kg dan Geser
(Vux=94,18 kg,Vuy=0,18 kg).
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Pekerjaan Umum. 1970.
“Peraturan Muatan Indonesia
(PMI)”. Badan penerbit PU.
Jakarta.
Departemen Pekerjaan Umum. 1983.
Peraturan Perencanaan Tahan
Gempa Indonesia untuk Bangunan.
Bandung
--------. 1983. “Peraturan Pembebanan
Indonesia Untuk Gedung”. PPIG.
Bandung
--------.. 2000. Tata Cara Perencanaan
Struktur Baja untuk Bangunan
Gedung (SNI 03-1729-2002) .
Badan Standardisasi Nasional.
--------.. 2002. Tata Cara Perencanaan
Ketahanan Gempa Untuk Struktur
Gedung (SNI 03-1726 –2002).
Puslitbang Pemukiman
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 8
STUDI DESULFURISASI BATUBARA SECARA MIKROBIOLOGI DENGAN
BAKTERI Thiobacillus ferrooxidans
Fatimah
Staf Pengajar Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Politeknik Negeri Tanah Laut
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Aktivitas pertambangan batubara dicirikan dengan dihasilkannya produk samping yang
sangat banyak. Salah satunya adalah pirit yang mana akan meningkatkan keasaman air dan
melarutkan logam berat. Proses pembakaran batubara selain menghasilkan energi, juga
menghasilkan bahan pencemar berupa gas SOx yang sangat merugikan lingkungan.
Desulfurisasi merupakan suatu teknik yang dilakukan untuk menghilangkan sulfur pada
batubara, diharapkan dengan menurunnya sulfur batubara, maka dampak negatif dari gas
SOx dapat diminimalkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menurunkan kandungan
sulfur batubara dengan metode desulfurisasi secara mikrobiologi dengan bakteri T.
ferrooxidans. Selain itu juga untuk mendapatkan kondisi optimum desulfurisasi batubara.
Penelitian ini menggunakan batubara yang berasal dari Sangata Kalimantan Timur dengan
kandungan sulfur total 2,12%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan sulfur
batubara dapat diturunkan sampai 12,30%, dimana konsentrasi bakteri 10% dan waktu
inkubasi 7 hari menunjukkan kondisi optimum desulfurisasi.
Kata kunci : desulfurisasi, batubara, metode mikrobiologi, Thiobacillus ferrooxidans
PENDAHULUAN
Batubara yang kaya dengan
kandungan karbon dapat dijadikan
sebagai sumber energi dan bahan bakar
alternatif pengganti bahan bakar minyak
dan gas yang sudah semakin menipis.
Industri yang menggunakan bahan bakar
batubara antara lain PLTU, industri
briket, karet ban, kertas, kimia, minyak
goreng, makanan, tekstil, metalurgi,
semen, kemasan, pengecoran logam dan
industri lainnya.
Batubara adalah suatu batuan
sedimen organik berasal dari penguraian
sisa berbagai tumbuhan yang merupakan
campuran yang heterogen antara senyawa
organik dan zat anorganik yang menyatu
di bawah beban strata yang
menghimpitnya. Batubara berasal dari
tumbuhan yang mati, kemudian tertutup
oleh lapisan batuan sedimen. Ketebalan
timbunan itu lama kelamaan menjadi
berkurang karena adanya suhu dan
tekanan yang tinggi (Muchjidin, 2006).
Batubara adalah suatu batuan
sedimen tersusun atas unsur karbon,
hidrogen, oksigen, nitrogen, dan sulfur.
Zat lain, yaitu senyawa anorganik
pembentuk ash tersebar sebagai partikel
zat mineral terpisah-pisah di seluruh
senyawa batubara. Beberapa jenis
batubara meleleh dan menjadi plastis
apabila dipanaskan, tetapi meninggalkan
residu yang disebut kokas. Batubara
dapat dibakar untuk membangkitkan uap
atau dikarbonisasikan untuk membuat
bahan bakar cair atau dihidrogenasikan
untuk membuat metan. Gas sintetis atau
bahan bakar berupa gas dapat diproduksi
sebagai produk utama dengan jalan
gasifikasi sempurna dari batubara dengan
oksigen dan uap atau udara (Muchjidin,
2006).
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 9
Aktivitas pertambangan batubara
dicirikan dengan dihasilkannya produk
samping yang sangat banyak, misalnya
pirit dan sulfat, dimana dapat
meningkatkan keasaman air dan
melarutkan logam berat. PLTU
merupakan salah satu jenis pembangkit
listrik yang paling banyak menghasilkan
emisi gas SOx dari hasil pembakaran
batubara. Emisi gas tersebut apabila tidak
dikendalikan dan berhasil lepas ke
atmosfer akan menjadi masalah
lingkungan, misalnya pencemaran
lingkungan, kerusakan hutan, hujan asam,
timbulnya korosi pada boiler, pemanasan
global akibat efek rumah kaca dan lain-
lain. Oleh sebab itu perlu dilakukan
teknologi desulfurisasi. Undang-undang
Udara Bersih Amerika Serikat tahun
1970 tentang polutan SO2 membatasi
emisi gas SO2 hasil pembakaran batubara
adalah 650 ppm (1,2 lb SO2/106 BTU)
(Sukandarrumidi, 2006). Di Indonesia,
Menteri Negara Lingkungan Hidup
mengeluarkan peraturan baku untuk
PLTU diberlakukan sejak 1 Januari 2000
harus memenuhi batas maksimal emisi
gas SO2 sebesar 750 mg/m3. Ambang
batas sulfur dalam batubara yang masih
diperbolehkan berkisar 0,2 - 0,6% berat
(Purawiardi, 2007).
Desulfurisasi merupakan teknik
yang dilakukan untuk menghilangkan
sulfur pada batubara. Proses desulfurisasi
dengan metode kimia memiliki
kemampuan desulfurisasi tidak saja untuk
menghilangkan pirit, tetapi juga dapat
menurunkan kadar sulfur organik yang
terdapat di dalam batubara. Desulfurisasi
batubara secara mikrobiologi dilakukan
dengan memanfaatkan kemampuan
mikroorganisme untuk mereduksi bahan
pencemar itu. Mikroorganisme tersebut
dikenal sebagai bakteri pereduksi sulfat
(SRB). Diharapkan dengan
berkurangnya sulfur tersebut, dampak
negatif akibat pencemaran gas SOx di
udara yang diakibatkan pembakaran
batubara dapat menjadi minimum.
Tujuan yang hendak dicapai dari
penelitian ini adalah untuk menurunkan
kadar sulfur pada batubara secara
mikrobiologi dengan bakteri Thiobacillus
ferrooxidans dan mendapatkan kondisi
optimum desulfurisasi dengan parameter
perlakuan meliputi konsentrasi bakteri
dan waktu inkubasi.
Kandungan Kimia Batubara
Secara kimia, batubara tersusun atas tiga
komponen utama, yaitu:
1. Air yang terikat secara fisika, dapat
dihilangkan pada suhu sampai
105oC, disebut moisture.
2. Senyawa batubara atau coal
substance, yaitu senyawa organik
yang terutama tersusun atas karbon,
hidrogen, oksigen, sulfur, dan
nitrogen.
3. Zat mineral, yaitu senyawa
anorganik
Berikut adalah model struktur batubara,
dimana pirit terdistribusi secara acak
Gambar 1. Model struktur dan jenis
senyawa organik sulfur batubara
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 10
Sulfur batubara terdapat dalam dua
bentuk, yaitu organik dan anorganik.
Sulfur organik terikat secara kovalen
pada struktur kompleks yang mana sukar
untuk dipisahkan dari struktur batubara.
Sulfur organik berada dalam bentuk
alifatik, aromatik atau heterosiklik, yang
mana dapat diklasifikasikan dalam empat
golongan:
1. Alifatik atau aromatik thiols
(mercaptans, thiophenols)
2. Alifatik, aromatik atau bercampur
sulfida (thioethers)
3. Alifatik, aromatik atau bercampur
disulfide (dithioethers)
4. Senyawa heterosiklik atau tipe
thiophene (Dibenzothiophene)
(Haider, 2008).
METODE PENELITIAN
Bahan yang digunakan adalah
sampel batubara dari Sangata Kalimantan
Timur, Isolat bakteri
Thiobacillus ferrooxidans diperoleh dari
SITH ITB Bandung, Fe2SO4.7H2O,
MgSO4.7H2O, H2SO4 1N, K2HPO4,
(NH4)2SO4. Bahan untuk analisis
sulfur meliputi BaCl2, MgO, Na2CO3
anhidrous, HCl 2N, Na2SO4 anhidrous,
dan akuades.
Peralatan yang digunakan adalah
Muffle furnace, cawan porselin, lumpang,
bomb calorimeter adiabatic (Yosida 832-
4351), shaker, spektrofotometer UV-Vis
(Jenway 6305), oven, hot plate,
timbangan analitik, vortex, Laminar Air
Flow, cawan petri, hot plate stirrer (Ika
RH basic 2), pH meter autoclave
(HL36AE), lampu spiritus, shaker, rak
tabung reaksi, aluminium foil, dan
peralatan gelas standar.
Rancangan Percobaan
Menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) yang terdiri dari dua faktor
dengan dua ulangan meliputi :
Faktor Pertama (C): konsentrasi bakteri,
terdiri atas:
C1 = 5%
C2 = 10%
C3 = 15%
Faktor Kedua (D) : waktu inkubasi,
terdiri atas:
D1 = 7 hari
D2 = 12 hari
D3 = 17 hari
Berikut matriks kombinasi perlakuan
antara faktor Pertama dan Kedua ,
Tabel 1. Matriks kombinasi perlakuan
desulfurisasi secara
mikrobiologi
C1 C2 C3
D1 C1D1 C2D1 C3D1
D2 C1D2 C2D2 C3D2
D3 C1D3 C2D3 C3D3
Tiap-tiap kombinasi perlakuan terdiri 2
kali ulangan sehingga keseluruhan ada 18
kali percobaan.
Pertumbuhan dan perbanyakan
bakteri Thiobacillus ferrooxidans
Perbanyakan dilakukan pada
medium cair dengan penanganan secara
aseptik. Bakteri T. ferrooxidans sangat
cocok hidup dalam lingkungan anorganik
(Douglas, 1994). Bakteri T. ferrooxidans
ditumbuhkan pada media 9K (Atlas,
2006, Hossain, 2005, Nowaczyk, et al.,
1998, Ruamsap dan Akaracharanya.
2002, Barron, et al., 1990) dengan
komposisi sebagai berikut:
Larutan I dalam 800 mL akuades:
- K2HPO4 0,04%
- (NH4)2SO4 0,04%
- MgSO4 7H2O 0.04%
- H2SO4 1N 0,4%
Larutan II dalam 200 mL akuades:
- FeSO4.7 H2O 3,34%
- H2SO4 1N 1,0%
Tambahkan semua bahan pada
larutan I dengan akuades sampai volume
C D
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 11
800 mL, campur seluruhnya, kemudian di
autoclave selama 15 menit suhu 1210C
dan dinginkan sampai suhu 45-500C.
Larutan II dibuat dengan cara
menambahkan bahan tersebut dengan
akuades 200 mL, campur dan dapat
dihangatkan pada suhu 45-500C. Kedua
larutan dicampur kemudian di tuang
kedalam tabung reaksi atau Erlenmeyer.
Inokulum pada media agar miring
diinokulasikan sebanyak 3 ose kedalam
media cair 50 mL, kemudian diinkubasi
pada suhu kamar dengan laju pengadukan
100 rpm selama 10 hari. 10%(v/v)
bakteri dipindahkan pada media baru.
Pertumbuhan ditentukan dengan cara
mengukur kekeruhan (Optical
Density/OD) kultur bakteri tersebut
menggunakan spektrofotometer (Irianto,
2006 ; Agustiyani et al, 2004) pada
panjang gelombang 430 nm.
Pertumbuhan bakteri dihitung pada hari
ke-0; 1; 2; 3; 4; 5; 6; 7; 8; 9 dan 10
kemudian dibuat kurva pertumbuhan
bakteri. Perbanyakan bakteri dilakukan
pada medium yang sama dengan
inukolasi bakteri sebanyak 10% (v/v) dan
lama inkubasi ditentukan setelah
didapatkan pertumbuhan optimum diatas.
Prosedur Kerja Penelitian
Menimbang sampel batubara
masing-masing sebanyak 3,5 g lolos
ayakan 90 mesh dan memasukkan pada
erlenmeyer. Setelah itu menambahkan
medium masing-masing sebanyak 33,25
mL; 31,5 mL; 29,75 mL atau dengan
densitas pulp 10%. Inokulasi dengan
bakteri sebanyak 1,75 mL atau 5%; 3,5
mL atau 10%; 5,25 mL atau 15% (v/v).
pH awal diatur pada pH 2,25±0,2.
Inkubasi dilakukan pada suhu kamar
(28±20C) dengan laju pengadukan 100
rpm dengan masing-masing waktu
inkubasi 7 hari; 12 hari dan 17 hari.
Setelah diinkubasi pada waktu tertentu
batubara dipisahkan dan dicuci sampai
bersih dengan akuades sampai bebas
sulfat. Indikator bebas sulfat dengan
meneteskan filtrat dengan larutan BaCl2
sampai tidak menimbulkan kekeruhan.
Batubara kemudian dikeringkan yaitu
dengan mengoven pada suhu 105oC
selama 2 jam, setelah itu batubara
ditimbang dan dilakukan analisis kadar
sulfur dan nilai kalor.
Analisis Sulfur
Sulfur total pada batubara dianalisis
menggunakan metode turbidimetri pada,
sampel dipreparasi menggunakan metode
Eschka (ASTM D 3177-02 method (A).
1,000 g batubara dalam cawan
ditambahkan 3 g campuran Eschka (2
MgO :1 Na2CO3), campur sampai rata
dan diatas campuran tadi ditaburkan 1 g
campuran Eschka sampai tertutupi.
Panaskan campuran dalam muffle furnace
sampai suhu 800±250C selama 1,5 jam.
Digest dengan air panas, dekantasi
melalui kertas saring beberapa kali
sampai volume 250 mL. 8 mL filtrat
ditambah 2 mL HCl 2N, kocok,
tambahkan seujung sudip BaCl2. Catat
absorbansi λ 410 nm dan hasil
absorbansi yang diperoleh diplotkan pada
kurva standar, yaitu dengan membuat
kurva baku sulfat (Na2SO4). Kalor
batubara dianalisis menggunakan metode
adiabatis kalorimetri dengan alat
calorimeter bomb dan pH diukur dengan
pH meter.
Data kuantitatif desulfurisasi yang
diperoleh dari pengamatan dianalisis
menggunakan ANOVA (Analysis of
Variance) atau Uji F dan apabila terdapat
perbedaan maka dilanjutkan uji lanjut
(Hanafiah, 2008).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kurva Pertumbuhan Bakteri T.
ferrooxidans
Kurva pertumbuhan dibuat untuk
mengetahui fase-fase pertumbuhan
bakteri T. ferrooxidans. Kurva ini dibagi
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 12
menjadi empat fase yaitu fase lag
(adaptasi), fase log (eksponensial), fase
stasioner (seimbang) dan fase kematian
(penurunan). Kurva ini digunakan untuk
menentukan waktu pada saat
pertumbuhan bakteri optimum, dimana
menghasilkan jumlah sel paling besar.
Pertumbuhan ditentukan dengan cara
mengukur kekeruhan OD (Optical
Density) kultur bakteri tersebut dengan
menggunakan spektrofotometer, dimana
OD sebesar 0,2 sebanding dengan
densitas sel 109 sel/mL (Barron, et al.
1990). Hasil pengukuran absorbansi yang
paling besar mengindikasikan bahwa
pada saat itu pertumbuhan bakteri
optimum dan siap untuk perlakuan
desulfurisasi yang dilakukan. Berikut
ditunjukkan kurva pertumbuhan bakteri
T. ferrooxidans.
Gambar 2. Kurva pertumbuhan bakteri Thiobacillus ferrooxidans
Berdasarkan hasil pengamatan pola
pertumbuhan bakteri T. ferrooxidans
sebagaimana terlihat pada Gambar 4
menunjukkan fase adaptasi yang cepat,
kemungkinan hanya beberapa jam setelah
inokulasi. Pengukuran pertumbuhan
bakteri dilakukan selama 10 hari dan
dilakukan pengukuran tiap hari. Pada hari
ke-1 sudah terlihat adanya pertumbuhan
bakteri. Pada hari ke- 1 sampai hari ke-6
merupakan fase eksponensial dimana
bakteri mengalami pertumbuhan tercepat.
Pertumbuhan maksimum bakteri T.
ferrooxidans adalah pada hari ke-6
dengan nilai 0,82. Barron, et al., (1990)
melaporkan bahwa bakteri T.
ferrooxidans yang ditumbuhkan pada
media 9K dengan OD 0,2 sebanding
dengan densitas sel 109 sel/mL. Ini berarti
bahwa jumlah sel dengan OD 0,82
mempunyai densitas sel sebesar 4,1x109
sel/mL. Konsentrasi bakteri 5% ekivalen
dengan jumlah bakteri 2,05x108 sel/mL,
konsentrasi bakteri 10% ekivalen dengan
jumlah bakteri 4,1x108 sel/mL dan
konsentrasi bakteri 15% ekivalen dengan
jumlah bakteri 6,15x108 sel/mL. Fase
stasioner terjadi setelah fase
eksponensial, dimana jumlah sel bakteri
tetap, artinya jumlah pertumbuhan sel
sama dengan jumlah kematian sel. Fase
kematian terjadi setelah fase stasioner,
jumlah bakteri yang mati lebih banyak
daripada yang membelah diri (Hossain,
2005),
Pengaruh Perlakuan terhadap
Desulfurisasi Batubara secara
Mikrobiologi
Desulfurisasi batubara secara
mikrobiologi merupakan suatu usaha
untuk menghilangkan atau menurunkan
Waktu (hari)
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 13
sulfur pada batubara dengan
memanfaatkan mikroorganisme. Metode
desulfurisasi yang kedua ini
menggunakan bakteri Thiobacillus
ferrooxidans sebagai bakteri
pendesulfurisasi. Desulfurisasi secara
mikrobiologi menggunakan dua faktor
perlakuan. Faktor pertama adalah
konsentrasi bakteri Thiobacillus
ferrooxidans yaitu 5%; 10% dan 15%,
faktor kedua adalah waktu inkubasi yaitu
7 hari; 12 hari dan 17 hari sebagaimana
yang sudah dijelaskan pada prosedur
kerja sebelumnya. Thiobacillus
ferrooxidans merupakan salah satu
bakteri pereduksi sulfat (SRB), bakteri
Gram negatif dan berbentuk batang,
tumbuh pada lingkungan pertambangan
anorganik, dapat hidup pada suhu kamar,
termasuk bakteri aerob dan hidup pada
pH asam (Douglas, 1994). Kondisi
desulfurisasi yang dilakukan pada
penelitian ini pada pH 2,4 – 2,42 dan
suhu kamar. Thiobacillus ferrooxidans
merupakan bakteri mesofilik, dapat hidup
pada suhu kamar dengan kondisi pH
desulfurisasi yang paling cepat terjadi
pada pH antara 2-3,5 (Waites, et al.,
2001). Berikut data hasil analisis sulfur
setelah desulfurisasi batubara secara
mikrobiologi ditunjukkan pada tabel dan
gambar berikut.
Tabel 2. Data pengaruh konsentrasi bakteri T. ferrooxidans dan waktu reaksi terhadap
kadar sulfur setelah desulfurisasi batubara
Perlakuan Rata-rata sulfur
(%w/w)
Desulfurisasi
(%) [Bakteri]
(%)
Waktu
(hari)
Batubara awal - 2,12 -
5 7 2,03 4,48
12 2,02 4,75
17 2,08 1,97
10 7 1,87 12,30
12 1,91 10,31
17 2,02 4,63
15 7 1,95 8,36
12 2,09 1,15
17 2,18 -2,84
Berdasarkan Uji F yang dilakukan
pada perlakuan, F hitung > F tabel 1%
(Lampiran 9), berarti H1 diterima pada
taraf uji 1%. Ini menunjukkan bahwa
desulfurisasi batubara secara
mikrobiologi dengan T. ferrooxidans
berpengaruh sangat nyata, dimana T.
ferrooxidans bertindak sebagai
mikroorganisme pendesulfurisasi.
Perlakuan optimum didapatkan pada
kondisi desulfurisasi dengan konsentrasi
T. ferrooxidans 10% dan waktu inkubasi
selama 7 hari dengan penurunan sulfur
sebesar 12,30% kemudian diikuti oleh
perlakuan dengan konsentrasi bakteri T.
ferrooxidans 10% dan waktu inkubasi
selama 12 hari dengan penurunan sulfur
sebesar 10,31%.
Konsentrasi bakteri 10%
merupakan keadaan yang seimbang
dengan komposisi media yang tersedia.
Nutrisi yang tersedia untuk pertumbuhan
bakteri tercukupi, sehingga dapat
menggunakan untuk aktivitas
metabolisme. Konsentrasi bakteri 5%
tidak cukup untuk melakukan aktivitas
desulfurisasi batubara secara optimal.
Nutrisi yang tersedia sangat melimpah,
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 14
tetapi jumlah bakteri tidak seimbang
sehingga proses desulfurisasi belum
optimal. Sebaliknya pada konsentrasi
bakteri 15%, komposisi media yang
tersedia kemungkinan tidak cukup untuk
pertumbuhan bakteri sehingga aktivitas
desulfurisasi batubara juga belum optimal
atau ketersediaan nutrisi hanya cukup
untuk konsentrasi bakteri 10% (v/v).
Ruamsap dan Akaracharanya, (2002)
melaporkan bahwa kondisi optimum
desulfurisasi pirit terjadi pada konsentrasi
bakteri 10% (v/v) dan terjadi penurunan
desulfurisasi pirit pada konsentrasi
bakteri 15% (v/v) dan 20% (v/v).
Hasil uji F menunjukkan bahwa
interaksi antara faktor perlakuan
konsentrasi bakteri T. ferrooxidans dan
waktu inkubasi tidak nyata. Oleh sebab
itu perlu dilakukan analisis terhadap
faktor-faktor pengaruh perlakuan
desulfurisasi. Hasil uji F menunjukkan
bahwa faktor perlakuan konsentrasi
bakteri T. ferrooxidans berpengaruh
sangat nyata dan faktor perlakuan waktu
inkubasi berpengaruh sangat nyata. Oleh
sebab itu, faktor perlakuan konsentrasi
bakteri T. ferrooxidans dan faktor
perlakuan waktu inkubasi dilakukan uji
lanjut menggunakan Beda Nyata Jujur
(BNJ). UJi lanjut dilakukan untuk
mengetahui perbedaan pengaruh antar
perlakuan. Pengaruh perlakuan
konsentrasi bakteri T. ferrooxidans dan
pengaruh perlakuan waktu inkubasi
terhadap desulfurisasi batubara
ditunjukkan pada tabel dan gambar
berikut.
Tabel 3. Pengaruh perlakuan
konsentrasi terhadap
desulfurisasi batubara
Tabel 4. Pengaruh perlakuan waktu
reaksi terhadap desulfurisasi
batubara
Berdasarkan Tabel diatas dapat
dijelaskan bahwa faktor konsentrasi
bakteri T. ferrooxidans berpengaruh
sangat nyata terhadap desulfurisasi
batubara, dimana variasi konsentrasi
bakteri T. ferrooxidans menghasilkan
perbedaan desulfurisasi batubara yang
nyata. Konsentrasi bakteri T.
ferrooxidans optimum untuk desulfurisasi
batubara secara mikrobiologi adalah 10%
dan sangat berbeda nyata dengan faktor
konsentrasi yang lain.
Waktu inkubasi berpengaruh sangat
nyata terhadap desulfurisasi batubara,
dimana perlakuan dengan waktu 7; 12
dan 17 hari menghasilkan perbedaan
desulfurisasi batubara yang nyata dengan
waktu inkubasi optimum adalah 7 hari.
Semakin lama waktu inkubasi terjadi
penurunan desulfurisasi batubara. Jadi
kondisi optimum desulfurisasi batubara
diperoleh pada perlakuan dengan
konsentrasi bakteri T. ferrooxidans 10%
dan waktu inkubasi selama 7 hari.
Ambang batas sulfur dalam
batubara yang masih diperbolehkan
berkisar 0,2-0,6% berat. Hasil yang
diperoleh pada desulfurisasi batubara
secara kimia hanya mencapai 12,30%,
belum memenuhi standar kualitas udara
karena masih terdapat sulfur dengan
kandungan 1,86%. Penelitian sebelumnya
juga telah banyak menggunakan bakteri
pereduksi sulfat yang lain untuk proses
desulfurisasi batubara dan mempunyai
aktivitas desulfurisasi yang berbeda-beda.
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 15
Hasil yang diperoleh adanya
peningkatan sulfur dibandingkan
batubara itu sendiri yaitu pada perlakuan
dengan konsentrasi bakteri 15% dan
waktu inkubasi selama 17 hari. Semua
perlakuan menunjukkan bahwa semakin
lama waktu inkubasi menyebabkan
kenaikan sulfur. Aktivitas bakteri
mengalami penurunan, berada pada fase
stasioner berdasarkan pola pertumbuhan
bakteri, menghasilkan senyawa hasil
samping reaksi. Penambahan sulfur
diduga karena adanya pembentukan
senyawa hasil samping reaksi yaitu
senyawa jarosit (MFe3(SO4)2(OH)6 yang
terdeposit pada batubara, berwarna
kekuningan, bercak jingga, bersifat tidak
larut bersama pencucian (Prayuenyong,
2002). Pada perlakuan dengan
konsentrasi bakteri 15% dan waktu
inkubasi 17 terjadi kenaikan massa sulfur
sebesar 0,0023 g setelah waktu inkubasi 7
hari. Pembentukan jarosit ini dikarenakan
media bakteri yang mengandung ferrous
sulfat dalam konsentrasi yang besar dan
kontak yang sangat lama dengan media.
Semua perlakuan dengan lama kontak
dengan media selama 17 hari
memperlihatkan hasil penurunan sulfur
minimal. Ruamsap dan Akaracharanya,
(2002) melaporkan terjadi penurunan
desulfurisasi pirit setelah 8 hari karena
terjadi pembentukan endapan senyawa
Fe(OH)3 dan MFe2(SO4)3 pada batubara.
T. ferrooxidans mengoksidasi ion
ferrous (Fe II) yang larut menjadi ion
ferrat (Fe III) pada pH rendah sebagai
sumber energi metabolisme dan ion ferrat
bereaksi dengan pirit. T. ferrooxidans
mempunyai enzim yang berperan dalam
mengoksidasi sulfur dan besi(II) yaitu
hydrogen sulfide: ferric ion oxireductase
(SFORase), sulfite: ferric ion
oxireductase dan iron oxidase (Sugio, et
al., 1998).
4FeSO4 + O2 + H2SO4 2Fe2(SO4)3 + 2H2O
FeS2 + Fe2(SO4)3 3FeSO4 + 2S0
2 S0 + 3 O2 + 2 H2O 2 H2SO4
Reaksi oksidasi pirit dapat diringkas menjadi:
4FeS2 +15 O2 +2H2O 2Fe2(SO4)3+ 2H2SO4
(Prayuenyong, 2002).
Bakteri T. ferrooxidans merupakan
bakteri yang hidup pada kondisi asam
dengan pH optimum 2-3,5, bakteri ini
bekerja diiringi dengan adanya
penurunan pH, ditunjukkan pada tabel
berikut.
Tabel 5. Hasil analisis pH media bakteri setelah desulfurisasi
Perlakuan
pH awal pH akhir [Bakteri] (%) Waktu (hari)
5 7 2,42 2,29
12 2,42 2,10
17 2,42 2,10
10 7 2,41 2,25
12 2,41 2,11
17 2,41 2,10
15 7 2,40 2,22
12 2,40 2,15
17 2,40 2,10
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 16
pH media bakteri mengalami
penurunan dengan adanya asam sulfat
yang dihasilkan dengan pH awal berkisar
2,40-2,42 dan pH akhir antara 2,10-2,29.
Olson (1991) melaporkan bahwa terjadi
penurunan pH setelah desulfurisasi
batubara, tetapi tidak ada korelasi yang
nyata antara penurunan pH dengan laju
desulfurisasi.
Hasil analisis kalor setelah
desulfurisasi batubara secara
mikrobiologi pada tabel berikut.
Tabel 6. Data analisis kalor setelah desulfurisasi batubara
Perlakuan
Nilai Kalor (kkal/kg) Kenaikan
(%) [Bakteri] (%) Waktu (hari)
Batubara - 6233,917
5 7 5909,609 -5,49
12 5825,529 -7,01
17 5585,301 -11,61
10 7 7711,319 19,16
12 6930,578 10,05
17 5657,37 -10,19
15 7 5945,643 -4,85
12 5861,563 -6,35
17 6269,951 0,57
Keterangan : Tanda positif (+) : kenaikan nilai kalor batubara; Tanda negatif (-) :
penurunan nilai kalor batubara
Kalor yang dihasilkan setelah
desulfurisasi batubara dapat
meningkatkan kalor batubara dari
6233,9165 kkal/kg menjadi 7711,319
kkal/kg pada perlakuan dengan
konsentrasi bakteri T. ferrooxidans 10%
dan waktu inkubasi selama 7 hari
kemudian diikuti oleh peningkatan kalor
batubara pada perlakuan dengan
konsentrasi bakteri T. ferrooxidans 10%
dan waktu inkubasi selama 12 hari. Ini
sesuai dengan data yang diperoleh pada
desulfurisasi batubara secara
mikrobiologi sebelumnya, dimana
didapatkan kondisi maksimum
desulfurisasi.
Penurunan sulfur batubara diikuti
dengan peningkatan kalor batubara dapat
dikatakan bahwa sulfur yang dianggap
sebagai “zat pengotor” dimana sulfur
yang terikat pada batubara yang
komponen terbesar batubara adalah
karbon. Karbon merupakan unsur yang
dapat menghasilkan kalor apabila dibakar
dengan oksigen. Karbon yang terikat
oleh sulfur menyebabkan berkurangnya
nilai kalor batubara, walaupun sulfur juga
dapat menghasilkan kalor, tetapi tidak
sebesar karbon. Pada saat sulfurnya
dihilangkan, berarti massa batubara
berkurang dan prosentase karbon yang
tertinggal semakin besar. Kalor suatu
bahan akan meningkat dengan semakin
banyaknya prosentase karbon, dimana
satuan kalor adalah kkal/kg. Berikut
energi yang dihasilkan dari pembakaran
karbon dan sulfur (reaksi eksotermis).
C + O2 (g) CO2 (g) ∆H=-393,5
kJ/mol
S + O2 (g) SO2 (g) ∆H = -296,1
kJ/mol
Massa batubara setelah
desulfurisasi batubara secara
mikrobiologi ditunjukkan pada Tabel 7
berikut.
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 17
Tabel 7. Massa batubara setelah
desulfurisasi batubara
Perlakuan Massa
awal (g)
Massa
akhir (g) [Bakteri]
(%)
Waktu
(hari)
5 7 3,50 3,52
12 3,50 3,65
17 3,50 3,73
10 7 3,50 3,49
12 3,50 3,56
17 3,50 3,75
15 7 3,50 3,59
12 3,50 3,63
17 3,50 3,74
Massa batubara mengalami
penurunan bersamaan dengan
berkurangnya sulfur batubara pada
perlakuan dengan konsentrasi bakteri
10% dan waktu inkubasi selama 7 hari.
Tetapi pada perlakuan yang lainnya
massa batubara tidak mengalami
penurunan atau bahkan terjadi kenaikan
massa. Ini disebabkan pada media bakteri
mengandung besi (II) sulfat dalam jumlah
besar. Disini terjadi pembentukan
senyawa Fe(OH)3 yang berwarna
kekuningan dan bersifat tidak larut
(Ruamsap dan Akaracharanya, 2002).
Pembentukan Fe(OH)3 dipercepat dengan
adanya katalis, yaitu asam dan bakteri T.
ferrooxidans. Media awal bakteri
mengandung besi (II) sulfat (BM=152
g/mol) sebesar 3,34%. Jika Fe(OH)3 yang
dihasilkan (terkonversi) berasal dari 50%
ion Fe2+
yaitu 1,67% media awal atau
berasal dari FeS2, maka secara teoritis
dapat terbentuk endapan Fe(OH)3
sebesar 0,411 g dalam 35 mL media.
Penambahan 0,411 g Fe(OH)3 secara
teoritis sangat berpengaruh terhadap
massa akhir batubara, dimana didapatkan
penambahan massa batubara mencapai
0,25 g pada waktu inkubasi 17 hari.
4Fe2+
+ O2 + 10 H2O 4 Fe(OH)3 + 8
H+
Pembentukan senyawa jarosit juga
mempengaruhi terhadap massa akhir
batubara. Berdasarkan perhitungan pada
perlakuan dengan konsentrasi bakteri
15% dan waktu inkubasi 17 hari, dimana
terjadi penambahan sulfur setelah
diinkubasi selama 7 hari sebesar 0,0023 g
atau 0,017 g jarosit pergram batubara.
Besi yang terdeposit diketahui
ketika sampel dibakar dengan bahan
anorganik (pereaksi Eschka) pada suhu
tinggi (800oC) selama 2 jam dimana
terlihat adanya besi yang terikat pada
bahan anorganik tersebut sebagaimana
juga terlihat pada perlakuan desulfurisasi
secara kimia.
KESIMPULAN
Desulfurisasi batubara secara
mikrobiologi menggunakan bakteri T.
ferrooxidans. Bakteri T. ferrooxidans
dapat menurunkan sulfur batubara
sebesar 12,30% dengan kondisi optimum
desulfurisasi pada konsentrasi bakteri
10% dan waktu inkubasi selama 7 hari.
DAFTAR PUSTAKA
Agustiyani, D., Imamuddin, H., Faridah,
E.N., and Oedjijono. 2004.
Pengaruh pH dan Substrat Organik
terhadap Pertumbuhan dan
Aktivitas Bakteri Pengoksidasi
Amonia. Jurnal Biodiversitas, 5(2):
43-47.
Atlas, R.M. 2006. Media for
Enviromental Microbiology.
Second Edition. CRC Press Taylor
& Francis Group. USA. p. 857.
Barron, J.L., and D.R., Leuking. 1990.
Growth and Maintenance of
Thiobacillus ferrooxidans Cells.
Applied and Enviromental
Microbiology, 56 (9): 2801-2806.
Douglas, R.E., and Kusano, T. 1994.
Molecular Genetics of Thiobacillus
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 18
ferrooxidans. Microbiological
Review, p. 39-55.
Hanafiah, K.A., 2008. Rancangan
Percobaan: Teori dan Aplikasi. PT
Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Irianto, K., 2006. Mikrobiologi Menguak
Dunia Mikroorganisme. CV.
Yrama Widya. Bandung.
Muchjidin, 2006. Pengendalian Mutu
dalam Industri Batubara. Penerbit
ITB, Bandung.
Nowaczyk , K., Juszczak, A., Domka, F.,
and J. Siepak. 1998. The Use of
Thiobacillus ferrooxidans Bacteria
in the Process of Chalcopyrite
Leaching. Polish Journal of
Enviromental Studies, 7 (5): 307-
312.
Olson, G.J., 1991. Rate of Pyrite
Bioleaching by Thiobacillus
ferrooxidans: Result of an
Interlaboratory Comparison.
Applied and Envirimental
Microbiology, p. 642-644.
Prayuenyong, P., 2002. Coal
Biodesulphurizatio Precesses.
Songklanakarin J. Sci. Technol,
24(3): 493-507.
Purawiardi, R., 2007. Desulfurisasi
Batubara Dondang, Kecamatan
Muara Jawa Kalimantan Timur.
Majalah Metalurgi, 22 (2).
Ruamsap, N., and Akaracharanya A.,
2002. Pyritic Sulfur Removal from
Lignite by Thiobacillus
ferrooxidans: Optimation of a
Bioleaching Process. J. Sci. Res.
Chula. Univ, 27(2): 155-162.
Sugio, T., Fujiwara, I., Hanase, M., and
K. Kamimura. 1998. Activities of
Iron Oxidase and Hydrogen
Sulfide: Ferric ion Oxireductase of
Thiobacillus ferrooxidans Natural
Enviroments. Sci. Rep. Fac. Agr, 87
: 77-83.
Sukandarrumidi. 2006. Batubara dan
Pemanfaatannya. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta
Waites MJ., Morgan NL., Rockey JS.,
Higton AG., 2001. Industrial
Microbiology An Introduction.
Blackwell Publishing Company.
USA.
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 19
UJI DAYA ANTIBAKTERI PADA SEDIAAN HAND SANITIZER KITOSAN
TERHADAP BAKTERI Staphylococcus aureus DAN Escherichia coli
Libiyah1)
, Supomo1)
dan Eko Kusumawati2)
1)Akademi Farmasi Samarinda
2)Program Studi Biologi FMIPA Universitas Mulawarman Samarinda
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan efektivitas antibakteri gel hand
sanitizer dari kitosan kulit udang dalam menekan pertumbuhan bakteri Staphylococcus
aureus dan Escherichia coli. Efektivitas antibakteri dianalisis dengan metode difusi agar.
Data yang diperoleh dianalisis statistik dengan menggunakan uji analisis variansi (uji One
Way ANOVA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hand sanitizer dengan konsentrasi
kitosan 1% memiliki daya hambat yang lebih besar terhadap bakteri Staphylococcus
aureus yaitu sebesar 2,49 mm dan pada bakteri Escherichia coli sebesar 0,705 mm,
sedangkan hasil daya hambat kontrol positif (Dettol) lebih besar daripada formula 1 yaitu
6,31 mm untuk Staphylococcus aureus dan 4,75 mm untuk Escherichia coli. Daya hambat
yang dihasilkan dari formula hand sanitizer kitosan kulit udang kategori lemah.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kitosan dengan konsentrasi 1%
yang diformulasikan dalam bentuk gel hand sanitizer memiliki daya hambat yang lemah
terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli.
Kata kunci : hand sanitizer, kitosan, uji antibakteri, gel
PENDAHULUAN
Salah satu upaya yang dapat
dilakukan untuk menjaga kebersihan
tangan adalah dengan menggunakan gel
antiseptik tangan (hand sanitizer).
Sebagai alternatif praktis menggantikan
sabun dan air untuk mencuci tangan, gel
antiseptik tangan diformulasikan sebagai
pembersih tangan yang mudah dibawa
serta dapat diperoleh dengan mudah.
Dewasa ini penggunaan gel antiseptik
tangan mendapat respon positif dari
masyarakat, namun kebanyakan produk
gel antiseptik tangan dipasaran berbahan
dasar alkohol yang memiliki kekurangan
dapat mengiritasi kulit dan membuat kulit
kering bila digunakan berulang-ulang.
Sebagai salah satu alternatif, kulit udang
yang mengandung kitosan dapat
dimanfaatkan sebagai antibakteri dalam
sediaan hand sanitizer.
Nurainy et al., (2008) menyatakan
bahwa terdapat aktivitas penghambatan
kitosan dari kulit udang sebagai
antibakteri terhadap Staphylococcus
aureus dengan diameter penghambatan
tertinggi pada penambahan kitosan
dengan konsentrasi 0,2% sebesar 20,27
mm/mg kitosan dan terendah dengan
konsentrasi 0,8% sebesar 6,82 mm/mg
kitosan, sementara untuk aktivitas
penghambatan antibakteri Escherichia
coli dengan diameter penghambatan
tertinggi pada penambahan kitosan
dengan konsentrasi 0,2% sebesar 31,53
mm/mg kitosan dan terendah pada
penambahan kitosan dengan konsentrasi
0,8% sebesar 14,22 mm/mg kitosan.
Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui perbandingan
efektivitas antibakteri gel hand sanitizer
berbahan dasar kitosan dalam
menghambat pertumbuhan bakteri
Escherichia coli dan Staphylococcus
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 20
aureus.
METODE PENELITIAN
Persiapan Sampel Dan Perlakuan
Sampel kitosan yang akan
digunakan sebagai sediaan gel antiseptik
tangan diperoleh dari CV.M&H Farm,
selanjutnya diberi perlakuan sebagai
berikut :
P1 = Kontrol (+) Dettol terhadap bakteri
Staphylococcus aureus
P2 = Formula 1 (Kitosan 1%) terhadap
bakteri Staphylococcus aureus
P3 = Kontrol negatif (Larutan DMSO
1%) terhadap bakteri
Staphylococcus aureus
P4 = Kontrol (+) Dettol terhadap bakteri
Escherichia coli
P5 = Formula 1 (Kitosan 1%) terhadap
bakteri Escherichia coli
P6 = Kontrol negatif (Larutan DMSO
1%) terhadap bakteri Escherichia
coli
Pembuatan Media 1. Media Agar Miring
Bubuk NA merk Oxoid ditimbang
sebanyak 2,8 gram, dimasukkan
ke dalam labu erlenmayer
ditambahkan aquadest 100 ml.
Kemudian diletakkan diatas
hotplate dan diaduk menggunakan
magnetic stirrer sampai mendidih.
Sebanyak 5 ml dituangkan
masing-masing pada 5 tabung
reaksi steril dan ditutup dengan
aluminium foil. Media tersebut
disterilkan dalama utoklaf pada
suhu 121oC selama 15 menit,
kemudian dibiarkan pada suhu
ruangan selama 1 malam sampai
media memadat pada kemiringan
45o. Media agar miring digunakan
untuk peremajaan bakteri.
2. Media Mueller Hinton Agar
(MHA)
Bubuk MHA ditimbang sebanyak
38 gram, dimasukkan ke dalam
labu erlenmayer ditambahkan
aquadest 1000 ml. Kemudian
diletakan diatas hotplate dan
diaduk menggunakan magnetic
stirrer. Setelah mendidih, ditutup
dengan kapas lalu dilapisi dengan
aluminium foil. Selanjutnya
disterilkan dalam autoklaf dengan
tekanan 2 atm pada suhu 121°C
selama 15 menit.
3. NaCl 0,9%
Sebanyak NaCl 0,9 gram
ditimbang, kemudian dimasukkan
ke dalam beaker glass
ditambahkan dengan aquadest
sampai 100 ml, diaduk hingga
homogen. Selanjutnya
dimasukkan ke dalam 5 tabung
reaksi masing-masing berisi 9 ml.
4. Inokulasi Bakteri pada Media
Agar Miring
Bakteri uji diambil dengan jarum
ose steril, lalu ditanamkan pada
media agar miring dengan cara
menggores. Selanjutnya
diinkubasi pada suhu 37oC selama
48 jam.
5. Pembuatan Standar Kekeruhan
Larutan (Larutan Mc.Farland)
Larutan H2SO40,36 N sebanyak
99,5 ml dicampurkan dengan
larutan BaCl2.2H2O 1,175%
sebanyak 0,5 ml dalam
erlenmeyer. Kemudian dikocok
sampai terbentuk larutan yang
keruh. Kekeruhan ini dipakai
sebagai standar kekeruhan
suspensi bakteri uji.
6. Pembuatan Suspensi Bakteri Uji
Bakteri uji yang telah diinokulasi
diambil dengan kawat ose steril
lalu dimasukkan ke dalam tabung
reaksi yang berisi 9 ml larutan
NaCl 0,9% kemudian divortex
hingga diperoleh kekeruhan yang
sama dengan standar kekeruhan
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 21
larutan Mc. Farland. Perlakuan
yang sama dilakukan pada setiap
jenis bakteri uji.
Aktivitas Antibakteri
Media MHA dituang ke dalam 5
cawan petri masing-masing sebanyak
15 ml, dibiarkan hingga memadat.
Tabung yang telah berisi suspensi
bakteri uji diambil dan disterilkan
pinggiran tabung reaksi di atas lampu
bunsen. Setelah itu lidi kapas
dicelupkan ke dalam tabung reaksi.
Pinggiran cawan petri difiksasi di
atas lampu bunsen. Lidi kapas tadi
diswab ke dalam cawan petri hingga
merata. Kemudian pinggiran cawan
petri yang berisi kertas cakram
difiksasi di atas lampu bunsen. Lalu
diicelupkan pinset ke dalam alkohol
70%, setelah itu difiksasi di atas
lampu bunsen kemudian diangin-
anginkan. Kertas cakram diambil
dengan pinset, lalu dicelupkan ke
dalam gel hand sanitizer kitosan
setelah itu ditanamkan kertas cakram
ke dalam cawan petri dan dianggap
sebagai ulangan pertama.
Pengulangan ini dilakukan hingga 3
kali. Setelah selesai diberi label, lalu
diinkubasi secara terbalik selama 24
jam dengan suhu 37oC.
Analisis Data
Data hasil penelitian berupa
data kuantitatif. Data kuantitatif
berupa daya antibakteri yang
terbentuk pada ujiaktivitas
antibakteri. Data kuantitatif diuji
dengan menggunakan metode
ANOVA (jika data yang diperoleh
berdistribusi normal) atau uji
Friedman (jika data tidak
berdistribusi normal). Sebelum diuji
dengan menggunakan metode One
Way ANOVA, terlebih dahulu
dilakukan uji Shapiro-Wilkuntuk
menentukan apakah data
berdistribusi normal atau tidak.
Selanjutnya, dilakukan uji lanjutan
yaitu dengan uji Duncan untuk
mengetahui perbedaan secara nyata
pada perbedaan perlakuan dan hasil
yang diperoleh. Data diolah dengan
menggunakan program Microsoft
Excel 2010 dan SPSS20.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini dilakukan uji
antibakteri terhadap formula gel hand
sanitizer kitosan dengan konsentrasi 1%
dengan metode Kirby Bauer (kertas
cakram). Sebagai pembanding digunakan
kontrol positif (Dettol) dan kontrol
negatif (larutan DMSO 1%). Hasil
penelitian yang dilakukan dapat dilihat
pada Tabel 1 berikut:
Tabel 1. Aktivitas antibakteri gel pembersih tangan berbahan dasar kitosan terhadap
bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli
Perlakuan
Rata-rata zona hambat Kriteria zona hambat
P1 4,75 mm < 5 mm (Lemah)
P2 4,57 mm < 5 mm (Lemah)
P3 0 mm Tidak ada
P4 6,31 mm 5-10 mm (Sedang)
P5 2,49 mm < 5 mm (Lemah)
P6 0 mm Tidak ada
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 22
Keterangan:
P1 = Kontrol (+) Dettol terhadap bakteri Staphylococcus aureus
P2 = Formula 1 (Kitosan 1%) terhadap bakteri Staphylococcus aureus
P3 = Kontrol negatif (Larutan DMSO 1%) terhadap bakteri Staphylococcus aureus
P4 = Kontrol (+) Dettol terhadap bakteri Escherichia coli
P5 = Formula 1 (Kitosan 1%) terhadap bakteri Escherichia coli
P6 = Kontrol negatif (Larutan DMSO 1%) terhadap bakteri Escherichia coli
Berdasarkan Tabel 1 diketahui
bahwa formula hand sanitizer memiliki
daya hambat kategori lemah baik
terhadap bakteri Staphylococcus aureus
maupun Escherichia coli. Hasil daya
hambat tersebut lebih kecil bila
dibandingkan dengan kontrol positif
(Dettol). Pada kontrol negatif (Lautan
DMSO 1%) tidak ada daya hambat yang
dihasilkan.
Pada penelitian ini digunakan
metode cakram kertas. Metode ini
digunakan karena memliki kelebihan;
mudah dilakukan, tidak memerlukan
peralatan khusus dan relatif murah.
Sedangkan kelemahannya adalah ukuran
zona bening yang terbentuk tergantung
oleh kondisi inkubasi, inokulum,
predifusi dan preinkubasi serta ketebalan
medium. Apabila keempat faktor tersebut
tidak sesuai maka hasil dari metode
cakram kertas relatif sulit untuk
ditentukan. Selain itu, metode cakram
kertas ini tidak dapat diaplikasikan pada
mikroorganisme yang pertumbuhannya
lambat dan mikroorganisme yang bersifat
anaerob obligat (Jawetz et al., 2005).
Bahan aktif yang digunakan dalam
formula gel hand sanitizer ini adalah
kitosan. Kitosan yang merupakan polimer
kationik yang bersifat nontoksik, dapat
mengalami biodegradasi dan bersifat
biokompatibel. Kitosan merupakan
senyawa polikationik alam yang unik
memiliki aktivitas antibakteri (Liu et al.,
2006). Berdasarkan sifat antibakteri
kitosan dari penelitian sebelumnya maka
digunakan konsentrasi 1% pada setiap
formula. Sebagai kontrol positif
digunakan Dettol dan kontrol negatif
digunakan larutan DMSO 1%.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pada formula hand sanitizer
dengan konsentrasi kitosan 1% memiliki
daya hambat terhadap bakteri
Staphylococcus aureus yaitu sebesar 2,49
mm. Hal ini menunjukkan bahwa daya
hambat hand sanitizer kitosan pada
bakteri Staphylococcus aureus lemah.
Darmanto et al. (2010) menyatakan
bahwa mekanisme aktivitas antimikroba
dari kitosan terhadap Staphylococcus
aureus yaitu kitosan akan membentuk
membran polimer pada permukaan sel
Staphylococcus aureus sehingga akan
menghambat nutrisi masuk kedalam sel.
Hal ini disebabkan oleh adanya gugus
amina pada kitosan yang mempunyai
muatan kationik yang dapat mengikat
sumber makan bagi bakteri tersebut
seperti alginat, pektin, protein, dan
polielektrolit anorganik seperti polifosfat.
Aktivitas antibakteri kitosan terhadap
Staphylococcus aureus meningkat dengan
peningkatan berat molekul kitosan. Selain
itu, aktivitas antibakteri kitosan
dipengaruhi oleh derajat deasetilasi,
konsentrasi dalam larutan, dan pH media.
Pada penelitian ini data yang diperoleh
dianalisis menggunakan uji One
WayANOVA dengan taraf kepercayaan
95% sehingga dapat diketahui bahwa
hand sanitizer kitosan 1% tidak
menunjukkan daya hambat yang
signifikan pada bakteri Staphylococcus
aureus. Hal ini dimungkinkan terjadi
karena kurang homogennya kitosan
dengan basis gel sehingga efektivitasnya
pun ikut berkurang.
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 23
Staphylococcus aureus merupakan
jenis bakteri Gram positif. Menurut
Pelczar dan Chan (1998), struktur
dinding bakteri Gram positif relatif
sederhana sehingga memudahkan
senyawa antibakteri menemukan sasaran
untuk bekerja. Kitosan dapat berikatan
dengan lipid yang ada pada permukaan
dinding sel bakteri. Menurut Yusman
(2006), bakteri Gram positif memiliki
kandungan peptidoglikan yang tinggi
dibandingkan dengan bakteri Gram
negatif. Kandungan peptidoglikan yang
tinggi akan mengakibatkan tingginya
kandungan lipid. Menurut Widodo et al.
(2006), kitosan bersifat polikationik
dapat mengikat lipid dan logam berat.
Rusaknya lipid pada dinding sel bakteri
akan mengakibatkan rusaknya pertahanan
sel. Bakteri Gram positif memiliki asam
teikoat, polimer yang bersifat asam yang
mengandung ribitol, fosfat, atau gliserol
fosfat. Menurut Yusman (2006), asam
teikoat yang bersifat asam dan
mengandung ulangan rantai gliserol
fosfat dan ribotol fosfat pada bakteri
Gram positif menyebabkan bakteri Gram
positif bermuatan negatif. Muatan negatif
pada dinding sel bakteri akan berikatan
dengan muatan positif dari kitosan
membentuk senyawa yang tidak
bermuatan. Selain asam teikoat akan
berikatan dengan kitosan yang bersifat
basa.
Berdasarkan Tabel 1 dapat
diketahui bahwa pada formula hand
sanitizer dengan konsentrasi kitosan 1%
memiliki daya hambat yang lemah pada
bakteri Escherichia coli yaitu sebesar
4,57 mm. Kemungkinan besar sasaran
agen antibakteri kitosan adalah dinding
sel, membran sitoplasma dan
mengganggu sintesis DNA sel bakteri.
Bahan antibakteri khususnya dengan
gugus ammonium kuaterner berinteraksi
dengan dinding sel yang mengandung
protein, lipopolisakarida atau
peptidoglikan, serta asam teikoat yang
mengandung alkohol dan fosfat.
Escherichia colimerupakan bakteri Gram
negatif yang memiliki dinding sel yang
tersusun dari peptidoglikan yang
merupakan lipopolisakarida dan asam
teikoat yang terdiri dari alkohol dan
fosfat. Membran sitoplasma mengandung
protein dan phospolipida. Adanya
phospat, protein, alkohol, asam teikoat
dan phospolipid menyebabkan bakteri
memiliki gugus hidrofilik yang
cenderung bermuatan negatif dan lebih
polar, walaupun di sisi lain memiliki
gugus hidrofobik. Gugus hidrofilik yang
cenderung bermuatan negatif ini
kemudian berinteraksi dengan kitosan.
Maka dengan adanya kitosan maka dapat
mengganggu metabolisme bakteri
dengan melapisi permukaan sel bakteri,
mencegah masuknya nutrien ke dalam
sel, berikatan dengan DNA kemudian
menghambat RNA dan sintesis protein .
Menurut Helander et al. (2001)
mekanisme aktivitas antibakteri kitosan
bisa dijelaskan sebagai berikut muatan
positif NH3+ glukosamin kitosan
berinteraksi dengan muatan negatif
(lipopolisakarida, protein) membran sel
mikroba sehingga menyebabkan
kerusakan membran luar sel dan
keluarnya konstituen intraselullar bakteri.
Hasil daya hambat terhadap bakteri
pada formula hand sanitizer dengan
konsentrasi kitosan 1% menunjukkan
bahwa daya hambat dari hand sanitizer
tersebut tergolong lemah baik terhadap
bakteri Staphylococcus aureus maupun
Escherichia coli yaitu sebesar 2,49 mm
dan 4,57 mm. Hal ini dikarenakan hand
sanitizer tersebut kental, sehingga
mempengaruhi pada saat perendaman
kertas cakram. Akibat zat aktif kitosan
tidak terserap sempurna pada saat
perendaman sehingga mempengaruhi
hasil pengukuran daya hambat yang
diperoleh. Hasil ini juga dimungkinkan
dapat dipengaruhi oleh ketidakcocokkan
metode yang dipilih dan digunakan
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 24
sehingga hasil yang diperoleh tidak
maksimal. Metode ini dipengaruhi
banyak faktor di samping interaksi antara
obat dan bakteri (misalnya sifat
perbenihan, daya difusi, ukuran molekul
dan stabilitas obat). Kelemahan metode
difusi adalah metode ini tidak dapat
menentukan apakah suatu obat bersifat
bakterisid dan bakteriostatik (Jawetz et
al., 1996).
Daya hambat yang dihasilkan dari
formula hand sanitizer menunjukkan
perbedaan yang signifikan terhadap
bakteri Staphylococcus aureus bila
dibandingkan dengan kontrol positif
(Dettol) begitu pula terhadap kontrol
negatif (Larutan DMSO 1%). Hal ini
dapat dilihat pada tabel lampiran 6
halaman 68. Hasil tersebut berbeda
dengan daya hambat hand sanitizer
terhadap bakteri Escherichia coli. Daya
hambat yang dihasilkan tidak memiliki
perbedaan yang signifikan dengan
kontrol positif namun memilki perbedaan
yang signifikan dengan kontrol negatif.
Hal ini sesuai hasil uji One WayANOVA
dengan nilai p > 0,05.
DMSO 1% sebagai kontrol negatif
tidak menunjukkan adanya zona hambat
pada bakteri Gram positif Staphylococcus
aureus dan bakteri Gram negatif
Escherichia coli. Hal ini
mengindikasikan bahwa kontrol yang
digunakan tidak berpengaruh pada uji
antibakteri. Sedangkan Dettol sebagai
kontrol positif berpengaruh pada bakteri
Gram positif Staphylococcus aureus dan
bakteri Gram negatif Escherichia coli.
Dettol sebagai kontrol positif
dengan zat aktif alkohol 60% berfungsi
sebagai antiseptik. Mekanisme kerjanya
mengganggu membran sel bakteri yang
akan menurunkan kemampuan membran
sel untuk memproduksi ATP sebagai
sumber energi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa daya hambat Dettol
terhadap bakteri Staphylococcus aureus
sebesar 6,31 mm dan Escherichia coli
sebesar 4,75 mm. Hal ini berarti
Escherichia coli lebih resisten terhadap
zat aktif Dettol, yang ditunjukkan dengan
daya hambat yang lebih kecil.
Terbentuknya zona hambat,
membuktikan bahwa kandungan senyawa
dalam larutan kitosan mampu berfungsi
sebagai zat penghambat pertumbuhan.
Hal ini didukung karena kitosan
mengandung gugus amino bebas yang
bermuatan positif sehingga dapat
berikatan dengan senyawa lain yang
mempunyai muatan negatif. Sebagai
kation, kitosan mempunyai potensi untuk
mengikat banyak komponen, seperti
protein, pektin, alginat, dan polielektrolit
anorganik. Muatan positif dari gugus
NH3+ pada kitosan dapat berinteraksi
dengan muatan negatif pada permukaan
sel bakteri, yaitu asam teikoat pada
bakteri Gram positif dan lipopolisakarida
pada bakteri Gram negatif. Interaksi ini
diperkirakan akan mengganggu
pembentukan peptidoglikan sehingga sel
tidak mempunyai selubung yang kokoh
dan mudah mengalami lisis sehingga
aktivitas metabolisme akan terhambat
dan pada akhirnya mengalami kematian
(Sarjono et al 2008).
KESIMPULAN
1. Gel hand sanitizer kitosan memiliki
daya hambat dalam menghambat
pertumbuhan bakteri Escherichia
coli dan Staphylococcus aureus yang
ditunjukkan dengan terbentuknya
zona hambat.
2. Zona hambat yang terbentuk dari gel
hand sanitizer kitosan terhadap
bakteri Staphylococcus aureus
sebesar 2,49 mm sedangkan terhadap
bakteri Escherichia coli sebesar 4,57
mm. Daya hambat yang terbentuk
termasuk dalam kategori lemah.
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 25
DAFTAR PUSTAKA
Darmanto, M. Atmaja, L. dan Nadjib, M.
2010. Studi Analisis Antibakteri
dari Film Gelatin-Kitosan
Menggunakan Staphylococcus
aureus. Skripsi. Jurusan Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Institut Sepuluh
November.
Helander, I.M., E.L. Numiaho, R.
Ahvenainen, J. Rohoades, and S.
Roller. 2001. Chitosan disrupts the
barrier properties of the outer
membrane of Gram negative
bacteria. International Journal of
Food Microbiol. 71: 235-244.
Jawetz, E., J.L. Melnick., E.A .
Adelberg., G.F. Brooks., J.S .
Butel., dan L.N. Ornston. 2005.
Mikrobiologi Kedokteran. Edisi ke
-20 (Alih bahasa : Nugroho &
R.F.Maulany). Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC. hal.
211,213,215.
Jawetz, et al,. 1996. Mikrobiologi
Kedokteran. Edisi ke 23. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran ECG.
Liu, N., Chen, X.G., Park, H.J., Liu,
C.G., Liu, C.S., Meng, X.H., and
Yu, L.J., 2006. Effect of MW and
Concentration of Chitosan on
Antibacterial Activity of
Escherichia Coli, Carbohydr.
Polym.Jumal. 64: 60 – 65.
Nurainy F., Rizal S, dan Yudiantoro.
2008. Pengaruh Konsentrasi
Kitosan terhadap Aktivitas
Antibakteri dengan Metode Difusi
Agar Sumur. Jurnal. Lampung :
Fakultas Pertanian Universitas
Lampung.
Pelczar, M.J., dan E.C.S Chan. 1998.
Mikrobiologi Dasar.
Diterjemahkan oleh Ratna Sri
Hadioetomo et al. Jakarta :
Universitas Indonesia Press. Hal:
167-175.
Sarjono PR, Mulyani NA, dan Wulandari
N. 2008. Uji Antibakteri Kitosan
Dari Kulit Udang Windu (Penaeus
monodon) Dengan Metode Difusi
Cakram Kertas. Proceeding
Seminar Nasional Kimia dan
Pendidikan Kimia.(UNS-UNDIP-
UNNES).
Widodo, A., Marida, dan A. Prasetyo.
2006. Potensi Kitosan dari Limbah
Udang sebagai Koagulan Logam
Berat Limbah Cair Industri Tekstil.
Jurusan Teknik Kima Institut
Sepuluh November (ITS).
Yusman, D.A. 2006. Hubungan Antara
Aktivitas Antibakteri Kitosan dan
Ciri Permukaan Dinding Sel
Bakteri. Jurnal Penelitian IPB.
Departemen Kimia Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam IPB. 10 hlm.
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 26
ANALISIS TEGANGAN PADA GRIPPER PENCEKAM BOTOL
MENGGUNAKAN SIMULASI
Hajar Isworo1)
dan Rahman Fauzan1)
1)Staf Pengajar Program Studi Teknik Otomotif, Politeknik Hasnur
e-mail : [email protected]
ABSTRAK
Fungsi utama gripper adalah sebagai pemegang suatu benda. Pada penerapannya gripper
dapat digunakan untuk material handlingPenelitian ini dilatar belakangi kemampuan
produksi minuman kemasan dalam botol turun dari kapasitas produksi yang dalam keadaan
normal dapat mencapai 600 botol per menit menjadi 570 botol per menit. Setelah operator
bagian produksi menyelidiki penyebabnya terdapat sebuah komponen yang patah sehingga
tidak dapat dioperasikan.Metode yang digunakan penelitian ini adalah stress analysis
dengan dimulai pendeteksian jenis material, free body diagram komponen dan diperoleh
tegangan yang terjadi sebesar ,0622 MPa. Jika dibandingkan dengan tegangan yield
material sebesar 689 Mpa jadi tegangan tarik yang terjadi masih lebih kecil, (3,0622 MPa <
689 Mpa). Berdasarkan data diatas dapat dipastikan saat pembebanan tidak terjadi
deformasi plastis.
Kata Kunci : gripper,simulasi, stress analysis.
PENDAHULUAN
Fungsi utama gripper adalah sebagai
pemegang suatu benda. Pada
penerapannya gripper dapat digunakan
untuk material handling bermacam-
macam barang hasil produksi
manufaktur, contohnya: minuman,
komponen mesin, mebel dan lain-lain.
Prinsip kerja gripper dibantu dengan
komponen lain seperti lengan penggerak
gripper, poros penggerak gripper dan
sistem pneumatik sebagai sumber energi
untuk memegang suatu barang produksi.
Penelitian ini dilatar belakangi
kemampuan produksi minuman kemasan
dalam botol turun dari kapasitas produksi
yang dalam keadaan normal dapat
mencapai 600 botol per menit menjadi
570 botol per menit. Setelah operator
bagian produksi menyelidiki
penyebabnya terdapat sebuah komponen
yang patah sehingga tidak dapat
dioperasikan. Sedangkan komponen lain
pendukung gripper yang lain seperti :
poros penggerak Gripper, lengan
Gripper, dan rahang pencekam tidak
mengalami kegagalan.
Kegagalan dari sistem material
handling dapat mengganggu proses
produksi suatu barang, begitu juga
gripper yang mengalami kegagalan dapat
mengakibatkan menurunnya jumlah
produksi.
Mekanisme kegagalan pencekam
pada umumnya dapat berasal dari
beberapa penyebab seperti karena korosi,
salah operasi dan sebagainya. Tapi pada
kasus ini kegagalan akibat kelelahan
sangat mungkin karena melihat sistem
kerja gripper di perusahaan kemasa
memang mendapat beban berulang.
Kelelahan mungkin memiliki beberapa
sumber seperti misalignment dari poros,
beban puntir yang berulang, atau getaran.
Semuanya dapat mengakibatkan
konsentrasi tegangan tinggi pada
pencekam.
Diantara semua penjelasan yang
mungkin untuk merusak pencekam metal,
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 27
pertanyaan yang selalu muncul adalah :
Faktor penyebab rusaknya Gripper.
Berdasar analisis komponen yang rusak,
peneliti akan mencoba untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan di atas.
Gambar 1. Kerusakan/kegagalan pada
griper. (Lokasi pengambilan foto makro
pada lab Metalurgi Univ.
Brawijaya,2012)
Mekanisme kerja Gripper
Griper ini bekerja pada divisi
produksi membantu proses Material
Handling Equipment botol perusahaan
minuman.Dengan spesifikasi :
Kapasitas produksi 600 botol per
menit.
Berat botol : 5N
Jumlah gripper dalam satu poros 20
buah.
Gambar 2. Ilustrasi Mekanisme kerja
Gripper
(Hasil Observasi minuman kemasan botol
minuman, September 2011)
Gambar 3. Ilustrasi komponen
pendukung Gripper
(Hasil Observasi minuman kemasan botol
minuman, September 2011)
Posisi Griper disambung dengan
baut berpasangan dengan lengan
poros.Gerakan translasi (di gambar 2.19
sejajar sumbu x) griper akibat putaran
poros yang posisinya ada ditengah,
sedangkan tugas gripper sendiri adal 3
yaitu :
a. Mencekam leher botol.
b. Memegang botol sampai posisi
conveyor.
c. Melepas botol setelah sampai di
conveyor.
Gripper bekerja secara satu persatu
(antrian), selama salah satu griper
bekerja, maka 19 griper yang lain
menunggu.
Principal Stress
Principal Stress sering digunakan dalam
menentukan nilai maksimum dan
minimum tegangan pada suatu titik dan
berorientasi pada bidang posisi tegangan
bekerja. Nilai tegangan normal
maksimum dan minimum dinamakan
Principal Stress
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 28
Gambar 5. Principal Stress pada elemen
kubus
(Sumber : Timoshenko, 1985)
Gambar 6. Principal Stress
(Sumber : Timoshenko, 1985)
Metode Stress Analysis
Untuk menganalisis penyebab dan
dampak kerusakan Gripper botol
minuman 500 ml , yaitu dengan
menggunakan program ANSYS untuk
mengetahui aspek keamanan suatu
komponen dalam kondisi ketika sedang
operasi. Berikut diagram alir Metode
Gambar 7. Diagram alir penelitian
Gambar 8 menunjukkan adalah
diagram bebas gripper bagian sisi A yang
berwarna biru sebagai sambungan tetap
(fixed support) dan sisi merah bagian B
mengalami pembebanan 5 N, sedangkan
R1dan R2 adalah sambungan baut 1 dan
baut 2.
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 29
Gambar 8. Diagram Benda Bebas
Gripper
Mechanical PropertiesGripper
Tabel 1. Mechanical Properties Gripper
Posisi Gripper
Posisi Komponen Gripper yang patah
Gambar 9. Posisi Komponen Gripper
yang Patah. (Gambar Geometri Ansys
11)
Gambar Lengkap Komponen Gripper
Gambar 10 adalah gambar geometri
3D yang terdiri dari 3 bagian yaitu : no 1
adalah batang penggerak, no 2 adalah
Gripper, dan no 3 adalah rahang
pencekam.
Gambar 10. Geometri 3D Gripper
Gambar 11. Gambar 2D Gripper yang
Patah
Hasil Stress Analisis
Gambar.12 adalah analisis tegangan
Von misses menggunakan pemrograman
ANSYS, sedangkan gambar yang
dilingkari menunjukkan daerah yang
mengalami tegangan tarik sebesar 3,5187
MPa Jika dibandingkan dengan tegangan
yield material sebesar 689 MPa jadi
tegangan tarik yang terjadi masih lebih
kecil, (3,5187 MPa < 689 Mpa).
Berdasarkan data diatas dapat dipastikan
saat pembebanan tidak terjadi deformasi
plastis.
Gambar 12. Analisis Equivalent stress
von misses Gripper
Gambar 13 adalah analisis tegangan
Normal stress menggunakan
pemrograman ANSYS, sedangkan
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 30
gambar yang dilingkari menunjukkan
daerah yang mengalami tegangan tarik
sebesar 3,0622 MPa. Jika dibandingkan
dengan tegangan yield material sebesar
689 Mpa jadi tegangan tarik yang terjadi
masih lebih kecil, (3,0622 MPa < 689
Mpa). Berdasarkan data diatas dapat
dipastikan saat pembebanan tidak terjadi
deformasi plastis.
Gambar 5. 13 Analisis Normal
stressGripper
Dari hasil stress analysis
pembebanan yang terjadi masih jauh dari
batas elastisitas sehingga faktor
pembebanan pada gripper tidak
menyebabkan adanya kegagalan.
KESIMPULAN
1. Pembebanan yang terjadi
menggunakan analisis von misses
dapat diketahui sebesar 3,5187 MPa
lebih kecil dari batas elastisitas
sebesar 689 MPa sehingga tidak ada
kosentrasi tegangan.
2. fraktography agar diperoleh data
yang akurat dan lebih efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Broek ,David, 1986.”Elementary
Engineering fracture
Mechanics”,Kluwer academic
Publisher, Dordrecth.
Brooks,C.R,(2002). Failure Analysis of
Engineering material, University
Tennessee, McGrawhill.
B.Bergelin, Slaboch, J.Sun, and
P.A.Voglewede,2010.”A handy
new design paradigm, Department
of Mechanical Engineering,
Marquette University,Milwaukee,
Wisconsin 53233,USA
Eric Brown, Nicholas Rodenberg,Ohn
Amend, Annan Mozeika, Erik
Steltz, Mitchell
jaeger.2010“Universal robotic
gripper base on the jamming of
granular material”,James Franck
Institute and Department of Phisics,
University of Chicago, Chicago, IL
60637 , School of Mechanical an
aerospace Engineering, Cornell
University
Gere & Thimoshenko,2000”Mekanika
Bahan”Penerbit Erlangga
W.Chen and W.lin,2003.”Design of
Flexure-base Gripper used in
Optical Fiber Handling”
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 31
KARAKTERISTIK PEMBAKARAN DIFUSI CAMPURAN BIODIESEL MINYAK
JARAK PAGAR (Jathropha curcas L.) - ETANOL/METANOL PADA
MINI GLASS TUBE
M. Arsyad Al Banjari1)
, Sigit Mujiarto2)
dan Nur Hidayah1)
1)
Program Studi Teknik Otomotif Politeknik Hasnur 2)
Program Studi Teknik Otomotif Politeknik Negeri Banjarmasin
ABSTRACT
Diffusion is a combustion which is performed on a diesel engine, biodiesel as a biofuel is
used to replace fossil fuels. Many studies have looked at the effect of a mixture of biodiesel
fuel-ethanol-methanol with different percentages in terms of engine performance and
exhaust emissions, but have never done research on the characteristics of combustion. This
paper discusses how the comparison of the characteristics of the diffusion combustion
mixture of biodiesel and ethanol/methanol. The results show that combustion of biodiesel –
methanol mixture has more stable flame compared to combustion of biodiesel – ethanol.
In this case, more stable flame is flame which has less explosive flame. Explosive flame
is a transformation of flame size suddenly due to uncomplete fuels vaporization, some of
the fuel exit from the burner in a liquid phase. This condition occurs when the fuel flow
rate is relatively high, because of the required heat for evaporation is less than the
available heat (from the heater or conduction from the flame through burner wall).
Keywords : biodiesel, ethanol, methanol, explosive flame
PENDAHULUAN
Meningkatnya penggunaan mesin
sebagai sarana transportasi dan untuk
kebutuhan listrik daerah menyebabkan
pemakaian bahan bakar fosil terus
meningkat. Hal ini menyebabkan
ketergantungan manusia untuk
menggunakan BBM (bahan bakar
minyak), sementara cadangan sumber
energi tersebut semakin lama semakin
berkurang kuantitasnya. Oleh karena itu
diperlukan pengganti atau energi
alternatif untuk mengatasi masalah
tersebut.
Beberapa negara di dunia telah
melakukan penelitian dan pencarian
energi alternatif sebagai pengganti salah
satu energi bahan bakar fosil. Minyak
nabati merupakan alternatif tersebut.
Minyak nabati memiliki bermacam-
macam jenis dan banyak ditemukan di
Indonesia, misalnya: minyak kelapa
sawit, kemiri, kacang tanah, minyak
kelapa, dan jarak pagar. Minyak nabati
mempunyai nilai kalor mirip dengan
bahan bakar konvensional, namun
penggunaan secara langsung sebagai
bahan bakar masih memiliki kendala
karena viskositasnya jauh lebih besar
dibanding minyak diesel. Oleh karena itu
dapat menghambat kinerja injection
pumppada mesin yang menyebabkan
injection pumpmenjadi cepat rusak dan
pembakaran yang tidak baik/kurang
sempurna [2].
Salah satu cara untuk menurunkan
viskositas dari minyak nabati adalah
transesterifikasi. Transesterifikasi adalah
cara yang paling banyak dilaksanakan
karena tidak membutuhkan peralatan dan
biaya yang terlalu mahal. Reaksi ini akan
menghasilkan metil atau etil ester,
tergantung dari jenis alkohol yang
direaksikan pada minyak nabati. Jika
direaksikan dengan metanol, akan
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 32
terbentuk metil ester, sedangkan jika
direaksikan dengan etanol akan terbentuk
etil ester. Metil ester atau etil ester inilah
yang disebut dengan bahan bakar
biodiesel dan memiliki properties mirip
dengan bahan bakar diesel.
Bahan bakar alkohol digunakan
sebagai campuran dalam penggunaan
mesin diesel atau bensin. Metanol, etanol,
propanol, dan butanol adalah jenis
alkohol yang dapat digunakan sebagai
bahan bakar karena alkohol ini dapat
disintesis secara kimia maupun biologi,
dan karakteristik yang dimiliki membuat
alkohol dapat diaplikasikan pada mesin-
mesin modern sekarang[5]. Keuntungan
dari penggunaan alkohol sebagai
campuran bahan bakar biodiesel adalah
dapat menurunkan emisi gas buang yang
mencemari udara, menurunkan
viskositas, memiliki angka cetana yang
cukup tinggi dan meminimalisir
penggunaan bahan bakar fosil yang
terbatas jumlahnya.
Penggunaan campuran bahan bakar
biodiesel dan alkohol (etanol atau
metanol) akan membuat sifat-sifat yang
baru dari gabungan bahan bakar tersebut
dalam hal viskositas, nilai kalor, angka
cetana, flash point, dan densitas. Angka
cetana meningkat, sedangkan viskositas,
flash point, nilai kalor, dan densitas
menurun. Dengan sifat-sifat yang baru
dari bahan bakar tersebut bisa di
aplikasikan pada mesin diesel dengan
baik, akan tetapi penggunaan alkohol
tidak boleh melebihi 20% persentase
volume bahan bakar karena tidak dapat
beroperasi pada timing injeksi standar
mesin [1] .
Yilmaz (2011) meneliti tentang
performa dan emisi gas buang dari
sebuah mesin diesel Kubota berbahan
bakar campuran biodiesel (85%) - etanol
(15%) dan biodiesel (85%) - metanol
(15%) dengan intake air preheat 30oC
dan 85oC. Secara keseluruhan
penggunaan biodiesel (100%) dapat
mengurangi BSFC (brake specific fuel
consumption), dengan penambahan
etanol dan metanol akan sedikit
meningkatkan BSFC karena nilai kalor
yang rendah dari alkohol, akan tetapi
penambahan alkohol dapat mengurangi
emisi gas buang yang dihasilkan [5].
Hulwan dan Joshi (2011) meneliti
tentang performa dan emisi gas buang
dengan campuran diesel (D) - etanol (E) -
biodiesel (B) dengan variasi
D70/E20/B10 (Campuran A),
D50/E30/B20 (Campuran B),
D50/E40/B10 (Campuran C). Dari hasil
penelitian disimpulkan bahwa campuran
A dapat beroperasi pada timing injeksi
13o BTDC (before top dead center)
sedangkan campuran B dan C tidak dapat
beroperasi. Bila timinginjeksidirubah
dengan memajukan ke 18o dan 21
omaka
mesin dapat beroperasi dengan bahan
bakar semua campuran A, B, dan C.Akan
tetapi dampak perubahan timing
mengakibatkan emisi gas buang NO dan
CO meningkat dua kali lipat dari keadaan
normal. Dari hasil penelitian disimpulkan
bahwa penggunaan etanol sebagai
campuran bahan bakar tidak boleh
melebihi 20% (persentase volume),
apabila melebihi maka mesin harus
dimodifikasi agar dapat beroperasi [1].
Tse, et al (2014) meneliti tentang
karakteristik pembakaran dan emisi gas
buang mesin diesel dengan bahan bakar
campuran diesel-biodiesel-etanol. Dari
hasil penelitian emisi gas buang NO
menurun seiring dengan penambahan
etanol pada campuran bahan bakar
sampai dengan 20% (persentase volume),
durasi pembakaran paling cepat yaitu
pada campuran etanol 20% (persentase
volume) karena nilai kalor yang rendah
pada etanol tersebut, dengan mengurangi
persentase etanol maka durasi
pembakaran dapat berlangsung lebih
lama [3].
Chen, et al (2008) meneliti tentang
karakteristik pembakaran api difusi pada
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 33
tabung mini dengan bahan bakar etanol.
Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa
ketika debit bahan bakar meningkat,
lokasi interface menjadi tidak stabil dan
bahan bakar naik ke mulut tabung,
gradien suhu luar tabung juga meningkat,
akibatnya api berwarna kuning cerah dan
meledak pada mulut tabung sehingga
menyebabkan instability flame [4].
Dalam penelitian ini dilakukan
pengamatan tentang karakteristik
pembakaran difusi campuran biodiesel-
etanol/metanol pada mini glass
tubeburner dengan persentase volume
biodiesel (80%) dan etanol/metanol
(20%) dengan variasi debit bahan bakar
yaitu 1,5 mL/jam,3 mL/jam dan 4,5
mL/jam.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui dan membandingkan
bagaimana pengaruh campuran bahan
bakar biodiesel-etanol dan biodiesel-
metanol terhadap karakteristik api
pembakaran difusi pada mini glass tube
burner.
METODE PENELITIAN
Variabel bebas dalam penelitian ini
adalah campuran bahan bakar biodiesel
(80%) -etanol (20%) dan biodiesel (80%)
-metanol(20%) dengan persentase
volume. Variasi debit bahan bakar
yaitu1,5 mL/jam,3 mL/jam, dan 4,5
mL/jam.
Gambar 1. Instalasi penelitian
Keterangan:
1. Syringe pump
2. Batang penyangga
3. Syringe
4. Selang bahan bakar
5. Tabung tembaga
6. Heater
7. Digital thermometer
8. Kamera
9. Mini glass tube burner
Gambar 1 menunjukkan instalasi
penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini. Alat-alat yang digunakan
yaitu syringe pump yang mana digunakan
untuk menginjeksikan bahan bakar ke
tabung burner yang diapit oleh batang
penyangga, lalu syringe dihubungkan
dengan selang bahan bakar dan burner,
kemudian isi bahan bakar sampai
memenuhi selang dan syringe tersebut.
Pasang syringe pada syringe pump dan
atur debit bahan bakarnya juga diameter
syringe.Lalu tabung tembagadipasang
dengan mini glass tube sebagai
burnernya, dan dipasang heaterpada
tembaga, ini sangat diperlukan karena
titik nyala biodiesel sendiri sangat tinggi,
maka dari itu heaterberfungsi sebagai
pemanas bahan bakar. Kemudian untuk
mengetahui temperatur api dan burner
digunakan alat yaitu digital thermometer,
dan untuk menangkap visualisasi api
digunakan kamera tipe Canon 600D
dengan mode video.
Kamera yang digunakan pada
penelitian ini memakai mode video dan
gambar yang didapat dalam satu detik
adalah 30 gambar / 30 fps (frame per
second). Untuk pengambilan gambar
selama 3,33 detik dihasilkan 100 gambar.
Lalu dipilih beberapa gambar yang
memperlihatkan fenomena-fenomena
yang terjadi pada perbedaan campuran
bahan bakar.
Untuk mengetahui tinggi api pada
mini glasstube, dilakukan dengan
mengambil visualisasi nyala api dan
selanjutnya diukur menggunakan bantuan
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 34
software AutoCAD 2012. Hasil rekaman
yang sudah dijadikan foto lalu
dimasukkan ke software AutoCAD
2012,kemudian dari gambar tersebut di
tarik garis tegak lurus 1 cm pada
penggaris. Cara pengukuran tinggi api
terlihat pada Gambar 2. Karena adanya
perbedaan antara gambar sebenarnya dan
pada AutoCAD, maka dilakukan
perhitungan sebagai berikut:
Gambar 2. Cara pengukuran tinggi api dan interfacebahan bakar
12,38 mm
1,91 mm
Jadi, tinggi api sebenarnya adalah
12,38 mm dan jarak interface bahan
bakar cair-uap adalah 1,91 mm.
Kemudian bahan-bahan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah biodiesel
minyak jarak pagar, etanol absolut, dan
metanol absolut. Berikut hasil pengujian
properties bahan bakar yang digunakan
dalam penelitian ini. Persentase bahan
bakar yaitu Biodiesel 100%, Biodiesel
80% – Etanol 20%, dan Biodiesel80% –
Metanol 20%.
Tabel 1. Properties Bahan Bakar Biodiesel (B), Biodiesel – Etanol (BE), dan Biodiesel –
Metanol (BM)
Karakteristik B BE BM
Viskositas (cst) 9,814 7,139 7,008
Titik nyala (oC) 90 17 11
Nilai kalor (Calori/gram) 9518,137 9229,85 9220,45
Massa jenis (gr/ml) 0,874 0,858 0,855
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada sebuah mini glass tube burner
yang memiliki diameter dalam sebesar 1
mm, dilakukan variasi debit bahan bakar
sebesar 1,5 mL/jam, 3mL/jam, dan
4,5mL/jam. Dengan debit yang berbeda,
maka kecepatan bahan bakar pada
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 35
burnerpun berbeda pula. Kecepatan
bahan bakar dalam burner dihitung
dengan persamaan
(1)
Besarnya kecepatan bahan bakar
dalam mini glasstube burner untuk setiap
debit dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kecepatan bahan bakar pada
tiap debit
Debit bahan
bakar
(mL
/jam)
Kecepatan
bahan bakar
(m
/detik)
1,5 0,000531
3 0,001062
4,5 0,001593
Pengambilan data visualisasi nyala
api dilakukan dengan merekam nyala api
selama 3,33 detik dengan kecepatan
pengambilan gambar sebesar 30 fps
(frame per second), sehingga untuk setiap
kondisi diperoleh 100 gambar nyala api.
Berikut gambaran umumnyala api pada
mini glass tube burner dengan bahan
bakar etanol 100%.
Gambar 3. Visualisasi nyala api etanol 100% dengan debit (a) 1,5 mL
/jam, (b) 3 mL
/jam, (c)
4,5 mL
/jam.
Kemudian untuk visualisasi nyala api dengan bahan bakar campuran metanol100%
ditunjukkan pada Gambar 4.
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 36
Gambar 4. Visualisasi nyala api metanol 100% dengan debit (a) 1,5 mL
/jam, (b) 3 mL
/jam, (c)
4,5 mL
/jam.
Penggunan etanol dan metanol pada
mini glass tube tidak memerlukan
heaterkarena titik nyala bahan bakar
tersebut sangat rendah, tidak seperti
biodiesel yang mempunyai titik nyala
bahan bakar dengan suhu yang tinggi
sehingga memerlukan heater sebagai
pemanas bahan bakar. Pada Gambar 3
dan 4 untuk debit 1,5 mL
/jam,perbandingan
visualisasi nyala api dan interface
penguapan bahan bakar etanol dan
metanol terlihat perbedaan warna nyala
api, yang mana pada bahan bakar etanol
menghasilkan warna biru cerah dan
disertai dengan sedikit warna merah pada
ujung api. Sedangkan pada bahan bakar
metanol warna nyala api biru gelap dan
agak merah.
Pada debit 1,5 mL
/jam ini secara
keseluruhan memperlihatkan kestabilan
nyala api pada ujung burner. Untuk
tinggi api dan penguapan bahan bakar,
etanol memiliki dimensi api yang lebih
tinggi dibanding dengan metanol dan
jarak interface penguapan bahan bakar
yang lebih kecil, sedangkan metanol
memiliki api yang lebih rendah dan jarak
interface penguapan bahan bakar yang
lebih besar. Hal ini dikarenakan kalor
laten dan temperatur penguapan bahan
bakar metanol lebih rendah sehingga
jumlah bahan bakar yang menguap lebih
besar dan jarak interface bahan bakar
metanol dengan nyala api menjadi lebih
besar.
Selanjutnya visualisasi nyala api
dengan bahan bakar campuran biodiesel
100%ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Visualisasi nyala api biodiesel 100% dengan debit (a) 3mL
/jam, (b) 4,5 mL
/jam.
Pembakaran biodiesel murni pada
mini glass tube hanya dapat dilakukan
pada debit 3 mL
/jam dan 4,5 mL
/jam.
Seharusnya dengan debit rendah pun
biodiesel dapat menyala, akan tetapi
faktor yang terpenting disini adalah
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 37
penggunaan mini glass tubesebagai
burner yang menyebabkan api hanya bisa
menyala pada debit yang tinggi karena
uap panas yang melewati tabung tembaga
akan menjadi dingin pada saat melewati
mini glass tube tersebut.
Untuk bahan bakar biodiesel murni
terjadi ketidakstabilan api dan banyaknya
cairan bahan bakar biodiesel yang keluar
dari mulut tabung burner ke atas dan ke
samping kemudian terbakar di dinding
luar mini glass tube tersebut. Ini
dikarenakan viskositas dan flash point
bahan bakar biodiesel yang masih tinggi.
Pada visualisasi api pembakaran difusi
biodiesel, terdapat warna api yang
berbeda walau didominasi warna kuning.
Pada debit 4,5 mL
/jam dan detik 0,264s -
0,363s pada bagian bawah api terlihat
berwarna biru, sedangkan pada bagian
atas api berwarna kuning. Api berwarna
biru menunjukkan pembakaran dari
campuran bahan bakar-udara yang
mendekati stoikiometri atau campuran
miskin bahan bakar, sedangkan api
berwarna kuning biasanya berhubungan
dengan pembentukan jelaga dan
pembakaran campuran kaya bahan bakar.
Sebagian kecil bahan bakar menguap
ketika mengalir di dalam burner. Bagian
dari bahan bakar yang sudah menguap
berdifusi dengan udara saat keluar dari
mini glass tubeburner, sebagian terbakar
membentuk api biru pada mulut burner.
Bahan bakar yang masih berbentuk cair
ketika keluar dari burner, menguap lebih
lanjut ketika berada di dalam reaction
zone (nyala api). Kemudian uap bahan
bakar ini berdifusi dengan udara
membentuk campuran kaya bahan bakar
dan terbakar membentuk api berwarna
kuning.
Kemudian visualisasi nyala api
dengan bahan bakar campuran biodiesel
80% - etanol20% ditunjukkan pada
Gambar 6.
(c)
Gambar 6. Visualisasi nyala api biodiesel 80% - etanol 20% dengan debit (a) 1,5 mL
/jam, (b)
3 mL
/jam, (c) 4,5 mL
/jam.
Selanjutnya visualisasi nyala api dengan bahan bakar campuran biodiesel 80% -
metanol20% ditunjukkan pada Gambar 7.
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 38
Gambar 7. Visualisasi nyala api biodiesel 80% - metanol 20% dengan debit (a) 1,5
mL/jam,
(b) 3 mL
/jam, (c) 4,5 mL
/jam.
Pada Gambar 6 dan 7 merupakan
visualisasi nyala api dengan bahan bakar
Biodiesel (B) 80% - Etanol (E) 20% dan
Biodiesel (B) 80% - Metanol (M) 20%
pada mini glass tube. Seperti kita ketahui
bahwa perubahan fase dari cair ke gas
untuk bahan bakar cair sangat penting,
karena dengan perubahan fase maka api
akan dapat menyala. Dengan debit bahan
bakar yang semakin ditingkatkan, maka
explosive flamelebih sering terjadi.
Explosive flame ini disebabkan karena
injeksi bahan bakar yang lebih cepat
menyebabkan proses penguapan bahan
bakar menjadi tidak sempurna, sehingga
ada sedikit bahan bakar cair yang keluar
melompat ke atas dan samping dari ujung
burner yang belum sempat menguap dan
menyebabkan terbakar nya bahan bakar
cair tersebut jauh diatas burner.
Penggunaan mini glass tube sebagai
burner akan menghasilkan api yang
berwarna kuning total dari kedua
campuran bahan bakar.Ini terindikasi
bahwa campuran sangat kaya bahan
bakar dan terjadinya pembentukan
jelaga.Bahan bakar yang keluar
melompat dari ujung burner dan bahan
bakar cair terbakar diatas,juga dikaitkan
dengan fenomena kohesi, yaitu gaya tarik
menarik antar molekul yg sama jenisnya.
Gaya ini menyebabkan antara zat yang
satu dengan yang lainnya tidak dapat
menempel karena molekulnya saling
tolak menolak. Contoh lainnya adalah
seperti air di daun talas, air raksa pada
tabung reaksi, dan lain-lain.
Kemudian perbandingan terjadinya
banyak explosive flamepada semua jenis
bahan bakar yang digunakan yaitu:
Gambar 8. Visualisasi nyala api
biodiesel 80% - metanol 20%
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 39
dengan debit (a) 1,5 mL
/jam,
(b) 3 mL
/jam, (c) 4,5 mL
/jam
Pengambilan jumlah terjadinya
explosive flame ini berdasarkan pada 100
gambar yang didapat dalam waktu 3,33
detik. Bahan bakar etanol memiliki
explosive flame yang lebih banyak
dibanding metanol. Sedangkan biodiesel-
etanol memiliki jumlah explosive flame
yang lebih banyak dibanding biodiesel-
metanol. Hal ini menunjukkan bahwa
bahan bakar metanol dan biodiesel-
metanol memiliki kestabilan yang lebih
baik dibanding bahan bakar etanol dan
biodiesel-etanol. Salah satu faktor
utamanya adalah perbedaan kalor laten
penguapan.
KESIMPULAN
Perbedaan penggunaan jenis bahan
bakar sangat mempengaruhi tingkat
kestabilan api. Dengan menggunakan
metanol dan campuran biodiesel-metanol
dapat mengurangi explosive flame yang
menyebabkan api kehilangan kestabilan.
Ini dikarenakan kalor laten penguapan
bahan bakar metanol danbiodiesel-
metanol yang lebih rendah, selain itu
berdampak pula pada interface bahan
bakar cair-uap yang memiliki jarak lebih
jauh sehingga untuk menguapkan bahan
bakar menjadi lebih mudah dan
menghasilkan api yang lebih stabil.
DAFTAR PUSTAKA
Dattatray Bapu Hulwan, Satishchandra
V. Joshi. 2011. Performance,
emission and combustion
characteristic of a multicylinder DI
diesel engine running on diesel-
ethanol-biodiesel blends of high
ethanol content. Applied Energy.
5042-5055.
Djajeng Sumangat, Tatang Hidayat.
2008. Karakteristik Metil Ester
Minyak Jarak Pagar Hasil Proses
Transesterifikasi Satu Dan Dua
Tahap; Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
H. Tse, C.W. Leung, C.S. Cheung. 2014.
Investigation On The Combustion
Characteristics And Particulate
Emissions From A Diesel Engine
Fueled With Diesel-Biodiesel-
Ethanol Blends. Energy.343-350.
J. Chen, X.F. Peng, Z.L. Yang, J. Cheng.
2008. Characteristics Of Liquid
Ethanol Diffusion Flames From
Mini Tube Nozzles. Combustion
and Flame. 460-466.
Nadir Yilmaz. 2011. Performance and
emission characteristics of a diesel
engine fuelled with biodiesel–
ethanol and biodiesel–methanol
blends at elevated air
temperatures.Fuel. 440-443.
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 40
DESAIN VISUALISASI PLANETARY GEAR UNIT
AUTOMATIC TRANSMISSION SYSTEM
Feddy Wanditya Setiawan 1)
dan Ikhsan Wahyudi
1)
1)Program Studi Teknik Otomotif Politeknik Hasnur
Jl. Adhyaksa No. 7 - 8 Lantai 2 Kayu Tangi Permai Banjarmasin 70125
e-mail : [email protected] 1)
ABSTRAK
Dilakukan pengolahan design visualization planetary gear unit dari bagian automatic
transmission system. Visualization mengarah kepada penjelasan part secara keseluruhan
termasuk sistem kerja yang terjadi di dalam sistem. Part yang tersusun dan proses kerja
setiap part persatuan pada sistem menjadi lebih terlihat jelas dan detail untuk dipahami
karena menggunakan rendering. Pengolahannya melalui pendataan photo-photo, proses
design planetary gear unit, design visualization, rendering serta editing dan sampai
diperoleh objek bergerak. Di masa mendatang penyatuan dengan data-data lain sangat
dibutuhkan seperti photo detail automatic transmission, termasuk peningkatan perangkat
lunak pendukung yang beragam demi penyempurnaan. Design visualization planetary gear
unit bisa dipakai untuk pertimbangan bahan rujukan demi mempermudah analisa sistem
kerja dari automatic transmission.
Kata Kunci : design visualization, planetary gear unit, automatic transmission system
PENDAHULUAN
Beriringan dengan perkembangan
teknologi industri otomotif selalu
disesuaikan dengan kebutuhan manusia
yang memiliki mobilitas tinggi saat ini.
Alat transportasi yang aman, efisien dan
nyaman bagi pemakainya diperkirakan
akan terus bermunculan di masa-masa
yang akan datang.
Agar bias mengikuti perkembangan
pengetahuan teknologi tentunya
perguruan tinggi perlu meningkatkan
materi dan media pengajaran yang
mengarah pada solusi kemudahan
penyerapan pemahaman oleh mahasiswa
seperti dengan menggunakan modern
visualization. Visualization telah
berkembang dan banyak dipakai untuk
ilmu pengetahuan, rekayasa, visualization
product design, pendidikan, multimedia
interaktif, kedokteran dan lain-lain
(Dostál, J, 2008).
Diantara materi ajar tersebut adalah
tentang automatic transmission system,
karena kendaraan saat ini sudah banyak
yang menggunakannya karena memiliki
keunggulan seperti menjadikan
penggunaan bahan bakar kendaraan lebih
ekonomis dan membantu mengurangi
dampak krisis lingkungan (K. Chihara
dan T. Satou, 2005).
Pelaksanaan pengajaran
keseluruhan memerlukan kejelasan
komponen apa saja yang ada pada
automatic transmission system, agar
mempermudah dalam mengetahui
mekanisme kerja komponen dalam sistem
tersebut. Mengingat terbatasnya waktu
maka design visualization hanya
difokuskan pada bagian sistem tertentu
dari automatic transmission yaitu
planetary gear unit. Ide dasar dari design
visualization ini karena terbatasnya bahan
rujukan mengenai automatic transmission
system bila dibandingkan pembahasan
manual transmission.
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 41
Visualization
Visualization adalah rekayasa
gambar, diagram atau animation,
untuk penampilan suatu informasi.
Secara umum, visualization dalam
bentuk gambar baik bersifat abstrak
maupun nyata. Penggunaan dari
grafika computer merupakan
perkembangan penting dalam world
visualization. Perkembangan world
animation juga telah membantu
banyak dalam visualization yang
kompleks dan canggih.
Gambar 1. Visualization tabrakan mobil
dengan analisa elemen hingga
Automatic transmission
Automatic transmition adalah
transmisi yang perpindahan giginya
terjadi secara otomatis berdasarkan
beban mesin (besarnya penekanan
pedal gas) dan kecepatan kendaraan.
Gambar 2. Potongan automatic
transmission
Gear transmission
Ukuran gigi dinyatakan dengan jarak
bagi lingkar, yaitu jarak sepanjang
lingkaran jarak bagi antara profil dua
gigi yang berdekatan (Martin. H
George., 1985 dalam Feddy W.S,
2010 [4]).
Gambar 3. Layout gear transmission
Planetary gear unit
Planetary gear unit terdiri dari
planetary gear set, clutch dan brake.
Planetary gear unit berfungsi untuk
merubah momen dan kecepatan,
memungkinkan gerakan
perlambatan, memungkinkan gigi
mundur.
1. Planetary gear set: Umumnya
digunakan oleh industri otomotif
dan dirgantara. Memiliki daya
tinggi desainnya dikombinasikan
dengan sistem kinematik yang
fleksibel dalam mencapai rasio
kecepatan yang berbeda sehingga
membuatnya sangat baik untuk
melawan poros pada proses
reduksi gear system (A.
Kahraman et al., 2002 [1]).
Part planetary gear set (ring
gear, planetary gear, sun gear
dan carrier).
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 42
Gambar 4. Planetary gear set
2. Motion of planetary gear.
Sun gear, ring gear, maupun
pinion gear (carrier) atau gigi
lain yang beraksi sebagai input
dan output menyebabkan
terjadinya percepatan,
perlambatan dan gerakan mundur.
Gambar 5. Basic motion of planetary
gear
Planetary gear set meliputi beberapa
elemen yang bergesekan seperti;
clutch, band brakes, dan one way
clutch (Eid O. A. Abd Elmaksoud, et
al., 2011 [3]).
Multiplate clutch
Multiplate clutch memberikan
performa mesin yang lebih baik.
Multiplate clutch banyak digunakan
di mobil balap dan kendaraan berat di
mana diperlukan transmisi torsi tinggi
dan space yang terbatas (Ganesh Raut
et. al, 2013[5]). Multiplate Clutch
menghubungkan dua komponen yang
berputar pada planetary gear set.
Planetary gear unit jenis simpson
menggunakan dua multiplate clutch,
forward clutch (c1) dan direct clutch
(c2) masing-masing clutch drum
terpasang pada diameter bagian dalam
untuk mengkaitkan plat baja dan
memindahkan momen putar dari
mesin.
Gambar 6. Clutch packs
U-Series transmission
Transmisi U-Series dimana tekanan
pada gaya sentrifugal fluida berguna
untuk membatalkan efek dari gaya
sentrifugal pada piston ketika tekanan
dilepaskan dalam clutch. Fluida yang
digunakan untuk pelumasan terjebak
diantara clutch spring retainer dan
clutch piston. Ketika clutch drum
berputar, fluida sedang membatalkan
tekananan dalam ruang tekan fluida
yang terbangun dalam ruang tekan
drum sehingga membatalkan tekanan
yang muncul [9].
Gambar 7. Transmisi U-Series
One way clutch
One way clutch untuk sistem transmisi
otomatis, diperlukan untuk
mengurangi gesekan (drag torque).
One way clutch mampu mengurangi
gesekan 50% dan meningkatkan
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 43
kinerja 50% serta ketahanan abrasi
tinggi, kemudian capaian gesekan
rendah maka memiliki daya tahan dan
kinerja tinggi (T. Ikeda N. Gouda,
2004[8]). One Way Clutch terdiri dari
sebuah roller clutch atau sprang
clutch. Kedua komponen one way
clutch tersebut sama sama
mengandalkan metal sprag antara dua
jalur. Digunakan pada transmisi yang
menggunakan planetary gear set jenis
simpson. No. 1 one way clutch (F1)
digunakan pada gear kedua , No.2 one
way (F2) clutch digunakan pada gear
pertama.
Gambar 8. One-way clutches for
transmission
Multiplate brake
Beberapa multiple plate brakes
memiliki kemiripan dalam konstruksi
dengan yang ada pada multiple clutch
pack dan hanya berbeda dalam
fungsinya saja (Manoj Kumar K.I.V,
2013[7]). Terdapat dua tipe brake, wet
multiplate brake dan brake tipe band.
Multiplate brake digunakan pada over
drive brake (B0), coast brake (B1),
second brake (B2) dan brake maju dan
brake mundur (B3). Multiplate brake
hampir sama dengan multiplate clutch,
yang fungsinya untuk mengunci atau
menahan komponen yang berputar
pada planetary gear set.
Gambar 9. Multiplate brake
HASIL DAN PEMBAHASAN
Design planetary gear unit
Design part input shaft, front and back
sun gear
Gambar 10. Input shaft and sun gear
position
Design part one way clutch F1, F2,
brake B2, B3 dan piston B2, B3
dipaskan pada shaft yang terkoneksi di
back planetary carrier.
Gambar 11. Setting one way clutch F1,
F2, brake B2, B3 and piston B2, B3
Setting revolve brake B1 and piston
Gambar 12. Brake B1 and piston
Design disc clutch C1, C2 and piston
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 44
Gambar 13. Disc clutch C1, C2 and
piston
Input C1 koneksi dengan input shaft
juga output C1 yang terkoneksi di front
ring gear.
Gambar 14. C1 connection with input
shaft and front ring gear
C2 connection with input shaft and
output shaft.
Gambar 15. C2 connection with input
shaft and output shaft
Sun gear shaft connection with output
shaft clutch C2
Gambar 16. Sun gear shaft connection
with output shaft clutch
Total cutting part
Gambar 17. Total cutting part (subtract)
Total part name, rendering and next
visualization
Gambar 18. Planetary gear unit
Volume 03, Nomor 2, Edisi Oktober 2015
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 45
KESIMPULAN
Planetary gear unit merupakan
bagian dari automatic transmission
system. Visualization mengarah kepada
penjelasan part secara total, juga sistem
kerja yang terjadi didalam sistem. Part
yang tersusun dan proses kerja setiap part
persatuan pada sistem menjadi lebih
terlihat jelas dan detail untuk dipahami
karena menggunakan rendering.
Pengolahannya melalui pendataan photo-
photo, proses design planetary gear unit,
design visualization, rendering serta
editing dan sampai diperoleh objek
bergerak. Di masa mendatang penyatuan
dengan data-data lain sangat dibutuhkan
seperti photo detail automatic
transmission, termasuk peningkatan
perangkat lunak pendukung yang
beragam demi penyempurnaan.
Diharapkan hasil langkah awal ini bisa
terus dikembangkan agar lebih kompleks
lagi.
DAFTAR PUSTAKA
A. Kahraman, A.A. Kharazi, and M.
Umrani. (2003). A Deformable
Body Dynamic Analysis Of
Planetary Gears With Thin Rims.
Journal of Sound and Vibration.
Elsevier. (262) p.752–768.
Dostál, J. (2008). Education Technolgy
and Senses in Learning (Učební
Pomůcky A Zásada Názornosti).
Olomouc, EU: Votobia. 40s. ISBN
978-80-7220-310-9. p. 1-37
Eid O. A. Abd Elmaksoud, E. M. Rabeih,
N. A. Abdel-Halim, S. M. El
Demerdash. (2011). Investigation
of Self Excited Torsional
Vibrations of Different
Configurations of Automatic
Transmission Systems during
Engagement. Journal Engineering.
Published Online (SciRP). (3). p.
1171-1181.
Feddy, W.S. (2010). Perancangan Alat
Uji Perbandingan Transmisi
sebagai Media Pengembangan
Praktikum di Laboratorium Teknik
Mesin. Prosiding SN-PMD FTUB.
Malang. ISBN 978-602-97961-0-0.
1 (1) p. 1-6.
Ganesh Raut, Anil Manjare, P Bhaskar.
(2013). Analysis of Multidisc
Clutch Using FEA. International
Journal of Engineering Trends and
Technology (IJETT). 6 (1). p. 5-8.
K. Chihara and T. Satou. (2005). Trends
Regarding Needle Roller Bearings
For Automatic Transmission
Planetary Gears. Koyo Engineering
Journal English Edition No.168E.
p.39-42.
Manoj Kumar K.I.V. (2013). Wet Clutch
Modelling Techniques Design
Optimization of Clutches in an
Automatic Transmission. Master’s
Thesis in the Automotive
Engineering. Chalmers University
Of Technology. Sweden. p. 1-43
T. Ikeda N. Gouda. (2004). Development
of Low Friction One-Way
Clutches. Koyo Engineering
Journal English Edition No.165E.
p.45-48.
Automatic Transmission
Diagnosis. Toyota Technical
Training. Course 273. p. 1-34