ANALISIS PROFITABILITAS SERTA NILAI TAMBAH USAHA … · produksi pada usaha tahu, antara lain mesin...
Transcript of ANALISIS PROFITABILITAS SERTA NILAI TAMBAH USAHA … · produksi pada usaha tahu, antara lain mesin...
ANALISIS PROFITABILITAS SERTA NILAI TAMBAH USAHA TAHU DAN TEMPE
(Studi Kasus di Kecamatan Tegal Gundil dan Cilendek Timur Kota Bogor)
SKRIPSI
ANDINI TRIBUANA TUNGGADEWI H 34066013
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
2
RINGKASAN
ANDINI TRIBUANA TUNGGADEWI. Analisis Profitabilitas serta Nilai Tambah Usaha Tahu dan Tempe (Studi Kasus di Kecamatan Tegal Gundil dan Cilendek Timur Kota Bogor). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Dibawah bimbingan RITA NURMALINA - SURYANA).
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk Indonesia, kebutuhan konsumsi protein harian Indonesia dalam bentuk kacang kedelai pun ikut meningkat. Tingkat konsumsi kedelai nasional meningkat dari 1.880.000 ton pada tahun 2006, menjadi 2.010.000 ton pada tahun 2007. Namun disisi ketersediaannya produksi kacang kedelai di Indonesia pada tahun 2006 hanya mencapai 747.611 ton, belum dapat mencukupi tingkat konsumsi kedelai nasional pada tahun yang sama. Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan nasional, Indonesia mengimpor sebagian besar persediaan kacang kedelai. Pada tahun 2006 volume impor kacang kedelai Indonesia sendiri mencapai 3 juta ton lebih dengan nilai 830.836.021 US$, berdasarkan itu terlihat bahwa Indonesia mengalami ketergantungan pasokan kedelai impor cukup banyak. Akibatnya saat harga kacang kedelai meningkat dari Rp 2.500 per kilogram menjadi Rp 8.000 per kilogram pada tahun 2007, banyak pengrajin tahu dan tempe yang mengalami kerugian dan menghentikan usahanya.
Sebagai bagian dari agroindustri dalam bentuk industri kecil dan rumah tangga atau yang umum dikenal Usaha Kecil Menengah (UKM), pengrajin tahu dan tempe secara langsung memiliki peranan penting dalam perekonomian suatu negara termasuk Indonesia. Peranan UKM dalam perekonomian antara lain dapat meningkatkan pendapatan para pelaku usaha, menyerap tenaga kerja, meningkatkan perolehan devisa, dan mendorong munculnya industri yang lain. Pada sisi lain harga jual dari tahu dan tempe itu sendiri sulit untuk naik, yang membuat para pengrajin tahu dan tempe kesulitan dalam menentukan harga jual dari produk mereka.
Permasalahan yang timbul akibat kenaikan harga kedelai ini tidak hanya mempengaruhi pengrajin tahu dan tempe nasional, tapi juga pengrajin tahu dan tempe di Kota Bogor. Berdasarkan wawancara dengan pengurus PRIMKOPTI Kota Bogor, diketahui saat harga kedelai naik pada tahun 2007 PRIMKOPTI tidak dapat menyediakan pasokan kacang kedelai bagi para pengrajin. Bahkan saat itu jumlah anggota pengrajin tahu dan tempe terjadi penurunan, dari 177 pengrajin menjadi 156 pengrajin. Berdasarkan uraian tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis keragaan usaha tahu dan tempe, (2) menjelaskan langkah-langkah penyesuaian yang dilakukan usaha tahun dan tempe, (3) menganalisis profitabilitas usaha tahu dan tempe, dan (4) menganalisis nilai tambah usaha tahu dan tempe.
Penelitian ini merupakan studi kasus, dengan mengambil dua lokasi usaha yang berbeda sesuai dengan produk yang dihasilkan. Untuk produk tahu mengambil usaha yang berlokasi di Jalan Arzimar II RT 02/VIII, Kelurahan Tegal Gundil, Kecamatan Tegal Gundil, sedangkan untuk produk tempe mengambil usaha yang berlokasi di Komplek Perumahan Bumi Menteng Asri, Kampung Pabuaran RT 02/02, Kecamatan Cilendek Timur. Waktu penelitian dilakukan
3
mulai dari bulan Desember 2008 sampai dengan April 2009. Penelitian ini menggunakan Break Event Point untuk menentukan besarnya profitabilitas yang dihasilkan dan metode Hayami untuk menganalisis nilai tambah pengolahan kedelai pada masing-masing usaha.
Usaha tahu yang menjadi objek studi dalam penelitian adalah usaha milik Bapak Mumu, yang mengawali karir pada usaha tahu sebagai kuli di tempat usaha orang lain pada tahun 1987. Setelah itu beliau pun mencoba berdagang untuk mempelajari masalah pemasaran, akhirnya pada tahun 1997 beliau memulai untuk membuka usaha tahu sendiri. Terdapat 12 peralatan yang digunakan untuk proses produksi pada usaha tahu, antara lain mesin diesel dan giling, pompa air, tungku semen, cetakan, tanggok besi, baksemen, ember, serok, kain, bak air dan biang.
Adapun total biaya secara keseluruhan untuk peralatan produksi pada usaha tahu adalah sebesar Rp 11.140.000. Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan tahu antara lain; kacang kedelai, garam, kunyit, dan asam cuka; dimana dalam satu hari usaha yang bersangkutan mengolah kedelai rata-rata sebanyak 300 kilogram, dan garam kurang lebih sebanyak 30 kilogram. Usaha tempe yang menjadi objek dalam penelitian adalah usaha milik Bapak Sularno, yang mengawali usahanya pada tahun 1979 di daerah Malabar.
Pada tahun 1981 beliau menjadi anggota PRIMKOPTI, kemudian tahun 1983 Bapak Sularno berpindah tempat tinggal dan memulai usahanya sendiri dengan nama usaha Unit Fermentasi KOPTI Kota Bogor. Terdapat tujuh peralatan yang digunakan dalam proses produksi pada usaha tempe, antara lain mesin giling, jembung plastik dengan ukuran 50 kilogram dan 700 liter, drum besi sepanjang 70 cm, papan anyaman, bambu, tusukan, dan geblekan. Adapun total biaya peralatan produksi secara keseluruhan pada usaha tempe adalah sebesar Rp 12.230.000.
Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan tempe antara lain kacang kedelai dan ragi, dimana setiap hari usaha tempe mengolah kacang kedelai rata-rata sebanyak 400 kilogram dengan ragi yang digunakan kurang lebih dua kilogram. Hasil penelitian yang dilakukan pada salah satu usaha tahu dan tempe di Kota Bogor, diketahui terdapat beberapa langkah penyesuaian yang dilakukan kedua usaha. Langkah penyesuaian tersebut antara lain penetapan harga jual yang berbeda untuk beberapa konsumen, penggunaan bahan bakar alternatif, dan menghasilkan bahan baku penunjang dan peralatan produksi sendiri.
Hasil perhitungan profitabilitas menunjukkan bahwa tingkat profitabilitas usaha yang lebih tinggi adalah usaha tahu sebesar 38 persen, sedang usaha tempe sebesar 28 persen. Perhitungan analisis nilai tambah juga menunjukkan bahwa usaha yang memiliki nilai tambah lebih besar adalah usaha tahu dengan nilai sebesar Rp 6.881, sedang untuk menjadi tempe sebesar Rp 4.947. Berdasarkan itu maka perlu dilakukan penghematan biaya pada usaha tempe, agar struktur biayanya lebih efisien dan mendapatkan keuntungan lebih besar. Salah satunya dengan menghemat biaya perawatan, menggunakan peralatan produksi yang lebih tahan lama dan menjaga kebersihan peralatan. Khusus untuk usaha tempe biaya pengemasannya dapat dihemat, dengan menggunakan kemasan daun pisang untuk seluruh produknya.
4
ANALISIS PROFITABILITAS SERTA NILAI TAMBAH USAHA TAHU DAN TEMPE
(Studi Kasus di Kecamatan Tegal Gundil dan Cilendek Timur Kota Bogor)
ANDINI TRIBUANA TUNGGADEWI H 34066013
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
5
Disetujui,
Pembimbing
Dr.Ir. Rita Nurmalina - Suryana, MS NIP 19550713 198703 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen Agribisnis
Fakultas Ekonomi dan Manjemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus :
Judul Skripsi : Analisis Profitabilitas serta Nilai Tambah Usaha Tahu dan Tempe (Studi Kasus di Kecamatan Tegal Gundil dan Cilendek Timur Kota Bogor)
Nama : Andini Tribuana Tunggadewi
NRP : H 34066013
6
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis
Profitabilitas serta Nilai Tambah Usaha Tahu dan Tempe (Studi Kasus di
Kecamatan Tegal Gundil dan Cilendek Timur Kota Bogor)” adalah karya saya
sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juli 2009
Andini Tribuana Tunggadewi
H 34066013
7
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir pada tanggal 27 April 1986 di Bandung, adalah anak ketiga
dari tiga bersaudara, pasangan Dr. Ir. H. Dodi Supriadi, MSc. dan Hj. Euis
Salnesih.
Tahun 1997 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Pengadilan 3
Bogor, kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama di SLTPN 8 Bogor
yang diselesaikan pada tahun 2000. Penulis kemudian menyelesaikan pendidikan
lanjutan menengah atas di SMU Kesatuan Bogor pada tahun 2003, dilanjutkan
dengan mengambil pendidikan Program Studi D3 Analisis Lingkungan, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Petanian Bogor yang
diselesaikan pada tahun 2006.
Penulis kemudian melanjutkan pendidikannya ke jenjang S1 di Program
Sarjana Agribisnis Penyelenggaraan Khusus Departemen Agribisnis, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalus seleksi pada
tahun 2006.
8
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala berkat dan karuniaNya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Analisis
Profitabilitas serta Nilai Tambah Usaha Tahu dan Tempe (Studi Kasus di
Kecamatan Tegal Gundil dan Cilendek Timur Kota Bogor)”.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis seberapa besar tingkat
kemampuan usaha tahu dan tempe selaku usaha rumah tangga dalam
menghasilkan laba atau profit serta menganalisis nilai tambah antara kedua usaha
tersebut.
Namun demikian, sangat disadari masih terdapat kekurangan karena
keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Untuk itu, penulis mengharapkan saran
dan kritik yang membangun ke arah penyempurnaan pada skripsi ini dehingga
dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Juli 2009
Andini Tribuana Tunggadewi
9
UCAPAN TERIMA KASIH
Penyelesaian skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak.
Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan
terima kasih dan penghargaan kepada :
1. Orangtua, keluarga, dan Okwan Himpuni atas doa, semangat, serta masukan
yang diberikan pada penulis selama masa penyusunan skripsi.
2. Dr. Ir. Rita Nurmalina-Suryana, MS selaku dosen pembimbing atas waktu,
arahan, dan kesabarannya pada penulis dalam penyusunan skripsi.
3. Ir. Dwi Rachmina, MS selaku dosen evaluator pada seminar proposal dan
dosen penguji pada ujian sidang, yang telah bersedia meluangkan waktunya
untuk memberikan saran dan kritik pada penulis.
4. Ir. Narni Farmayanti, MSc selaku dosen komdik pada ujian sidang, yang
telah memberikan saran dan kritik pada penulis.
5. M. Pintor Nasution, selaku pembahas pada seminar atas saran dan kritik yang
diberikan pada penulis.
6. Pihak PRIMKOPTI dan Deperindag Kotamadya Bogor, atas waktu dan
informasi yang diberikan untuk kelancaran serta penulisan skripsi.
7. Bapak Mumu dan keluarga, atas waktu, kesempatan, informasi, dan
dukungan yang diberikan pada penulis.
8. Bapak Sularno dan Mas Roin, atas waktu, kesempatan, informasi, dan
dukungan yang diberikan pada penulis.
9. Pihak-pihak yang bekerja pada usaha tahu dan tempe, atas waktu dan
informasi yang diberikan guna kelengkapan penyusunan skripsi ini.
10. Sahabat dan teman-teman X-AGB angkatan 1, atas semangat, saran, dan
masukan yang diberikan pada penulis selama masa penyusunan skripsi.
11. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas
dukungan dan bantuannya dalam penulisan skripsi.
Bogor, Juli 2009
10
Andini Tribuana Tunggadewi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................ 12
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... 14
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. 15
I PENDAHULUAN ............................................................................ 16 1.1. Latar Belakang ............................................................................ 16 1.2. Perumusan Masalah .................................................................... 19 1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................ 22 1.4. Kegunaan Penelitian ................................................................... 23
II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 24
2.1. Kedelai sebagai Bahan Baku ....................................................... 24 2.2. Latar Belakang Usaha Tahu dan Tempe ..................................... 25
2.2.1. Sejarah Tahu ..................................................................... 25 2.2.2. Sejarah Tempe .................................................................. 25 2.2.3. Karakteristik Tenaga Kerja ............................................... 27 2.2.4. Saluran Pemasaran ............................................................ 28
2.3. Penelitian Terdahulu ................................................................... 28 2.3.1. Penelitian Mengenai Profitabilitas ..................................... 28 2.3.2. Penelitian Mengenai Analisis Nilai Tambah ...................... 29
III KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................ 18
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ...................................................... 18 3.1.1. Konsep Biaya ..................................................................... 18 3.1.2. Penetapan Harga Jual ......................................................... 19 3.1.3. Analisis Titik Impas dan Profitabilitas .............................. 21 3.1.4. Analisis Nilai Tambah ....................................................... 24
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ............................................... 27
IV METODE PENELITIAN ................................................................. 28
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 28 4.2. Metode Penentuan Sampel .......................................................... 28 4.3. Desain Penelitian ......................................................................... 30 4.4. Data dan Instrumentasi ................................................................ 30 4.5. Metode Pengumpulan Data ......................................................... 31 4.6. Metode Pengolahan Data ............................................................ 31
4.6.1. Analisis Biaya Produksi ..................................................... 31 4.6.2. Analisis Titik Impas ........................................................... 32 4.6.3. Profitabilitas Usaha ............................................................ 33 4.6.4. Analisis Nilai Tambah ....................................................... 33
11
V GAMBARAN UMUM USAHA ....................................................... 36
5.1. Keragaan Usaha .......................................................................... 36 5.1.1. Usaha Tahu ....................................................................... 36 5.1.1.1. Peralatan Produksi Tahu ...................................... 37 5.1.1.2. Produksi Tahu ...................................................... 39 5.1.2. Usaha Tempe ...................................................................... 41 5.1.2.1. Peralatan Produksi Tempe .................................... 41 5.1.2.2. Produksi Tempe ................................................... 43 5.2. Langkah Penyesuaian Usaha Terhadap Kenaikan Harga Kedelai .............................................................................. 45
VI ANALISIS PROFITABILITAS SERTA NILAI TAMBAH USAHA TAHU DAN TEMPE ...................................... 48 6.1. Analisis Biaya ............................................................................. 48 6.1.1. Biaya ................................................................................. 48 6.1.1.1. Biaya Tetap .......................................................... 48 6.1.1.2. Biaya Variabel ...................................................... 56 6.1.1.3. Total Biaya Usaha ................................................ 59 6.1.2. Volume Penjualan dan Harga Jual .................................... 62 6.1.2.1. Usaha Tahu .......................................................... 62 6.1.2.2. Usaha Tempe ........................................................ 65 6.1.3. Analisis Profitabilitas ........................................................ 67 6.1.3.1. Usaha Tahu .......................................................... 68 6.1.3.2. Usaha Tempe ........................................................ 71 6.2. Analisis Nilai Tambah ................................................................ 75 6.2.1. Usaha Tahu ....................................................................... 75 6.2.2. Usaha Tempe ..................................................................... 77
VII PERBANDINGAN HASIL ANALISIS PROFITABILITAS SERTA NILAI TAMBAH USAHA TAHU DAN TEMPE ....................................................................... 80 7.1. Analisis Profitabilitas .................................................................. 80 7.2. Analisis Nilai Tambah ................................................................ 81
VIII KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 84
8.1. Kesimpulan ................................................................................. 84 8.2. Saran ............................................................................................ 84
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 86
LAMPIRAN ................................................................................................... 88
12
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman1. Komposisi Kedelai per 100 gram Bahan ............................... 16
2. Konsumsi Kacang Kedelai Indonesia untuk Rumah Tangga Tahun 2005 sampai dengan 2007 …………………………. 16
3. Produksi Kacang Kedelai Indonesia Tahun 2004-2008 …… 17
4. Impor Kedelai per Negara Asal Tahun 2006 ......................... 17
5. Perkembangan Jumal Pelaku Usaha dan Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Skala Usaha Tahun 2006-2007 …………… 18
6. Kebutuhan Kedelai Anggota dan Non Anggota Pengrajin Tahu Tempe Kota Bogor Tahun 2008 ...................................
21
7. Rincian Singkat Penelitian Terdahulu ……………………... 32
8. Kebutuhan Kedelai Usaha Tahu di Kecamatan Tegal Gundil Tahun 2008 ………………………………………………… 43
9. Kebutuhan Kedelai Usaha Tempe di Kecamatan Cilendek Timur Tahun 2008 …………………………………………. 44
10. Perhitungan Nilai Tambah Menurut Metode Hayami ……... 49
11. Inventarisasi Peralatan Produksi Tahu Usaha Bapak Mumu 52
12. Kebutuhan Bahan Baku Produksi Tahu per Hari ………….. 54
13. Inventarisasi Peralatan Produksi Tempe Usaha Bapak Sularno ……………………………………………………... 57
14. Biaya Investasi Usaha Tahu ……………………………….. 64
15. Biaya Peralatan Usaha Tahu ……………………………….. 65
16. Biaya Non Produksi Usaha Tahu per Tahun ………………. 66
17. Biaya Peralatan Usaha Tempe …….……………………….. 68
18. Biaya Non Produksi Usaha Tempe per Tahun …………….. 69
19. Biaya Bahan Baku Usaha Tahu ……………………………. 72
20. Biaya Bahan Baku Usaha Tempe ………………..…............ 73
21. Total Biaya Usaha Tahu per Tahun ………………………... 75
22. Total Biaya Usaha Tempe per Tahun …………………........ 76
23. Penjualan Usaha Tahu ……………………………………... 78
24. Penjualan Usaha Tempe …………………………………… 81
13
25. Perhitungan Bobot Tempe dalam Kilogram ……………….. 82
26. Perbandingan Titik Impas dengan Kondisi Aktual Usaha Tahu ………………………………………………………... 85
27. Perbandingan Titik Impas dengan Kondisi Aktual Usaha Tempe ……………..……………………………………….. 88
28. Analisis Nilai Tambah Usaha Tahu ………………………... 90
29. Analisis Nilai Tambah Usaha Tempe …………………........ 92
30. Perbandingan Hasil Analisis Profitabilitas ………………… 94
31. Perbandingan Hasil Analisis Nilai Tambah ........................... 96
14
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Proporsi Kontribusi UKM dan Usaha Besar (UB) terhadap PDB Nasional Tahun 2006-2007 ………………………….. 19
2. Titik Impas, Laba, dan Volume Penjualan ………………… 38
3. Nilai Tambah dan Marjin Hasil Pengolahan ………………. 40
4. Alur Kerangka Pemikiran Konseptual …………………….. 42
5. Proses Produksi Tahu ……………………………………… 55
6. Proses Produksi Tempe ……………………………………. 59
7. Tahu Putih …………………………….…………………… 105
8. Tahu Kuning ………………………………………………. 105
9. Peralatan Produksi Mesin Giling Usaha Tahu ...................... 106
10. Peralatan Produksi Tungku Semen Usaha Tahu ................... 106
11. Peralatan Produksi Bak Semen 1 Usaha Tahu ...................... 107
12. Peralatan Produksi Bak Semen 2 Usaha Tahu ...................... 107
13. Bubur Kedelai yang Telah Menjadi Adonan Tahu ............... 108
14. Proses Pencetakan Tahu ........................................................ 108
15. Tempat Usaha Tempe ............................................................ 109
16. Tempat Pengolahan Kedelai Menjadi Tempe ....................... 109
17. Peralatan Produksi Mesin Giling Usaha Tempe .................... 110
18. Rak Tempat Proses Fermentasi ............................................. 110
19. Proses Perebusan Kedelai ...................................................... 111
20. Tempat Proses Produksi Tempe ............................................ 111
21. Tempat Pembungkusan Tempe ............................................. 112
22. Salah Satu Bentuk Tempe yang Akan Dikembangkan ......... 112
15
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Perhitungan Beberapa Faktor dalam Tabel 22 ……………. 103
2. Perhitungan Beberapa Faktor dalam Tabel 23 ……………. 104
3. Dokumentasi Tempat Usaha ……………………………… 105
16
I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Persediaan kacang kedelai di Indonesia sebanyak 50 persen dikonsumsi
dalam bentuk tempe, 40 persen dalam bentuk tahu, dan sisanya 10 persen
dikonsumsi dalam bentuk produk lain1. Tahu dan tempe merupakan salah satu
jenis makanan olahan kacang kedelai yang dapat menambah asupan protein bagi
tubuh. Komposisi kandungan gizi makanan olahan kacang kedelai dalam bentuk
tahu dan tempe dapat terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kedelai per 100 gram Bahan
KOMPONEN KADAR (%) Protein 35 – 45 Lemak 18 – 32 Karbohidrat 12 – 30 Air 7
Sumber : Esti dan Sediadi (2000)
Tabel 1 memperlihatkan dalam 100 gram tahu atau tempe, mengandung
kadar protein sebesar 35 persen sampai dengan 45 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa produk olahan kacang kedelai yaitu tahu dan tempe, memiliki kandungan
protein tinggi yang sangat dibutuhkan tubuh. Oleh karena itu upaya
meningkatkan asupan protein untuk tubuh, dapat dilakukan dengan melakukan
peningkatan konsumsi pada produk olahan kacang kedelai berupa tahu dan tempe.
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk Indonesia, kebutuhan konsumsi
protein harian Indonesia dalam bentuk kacang kedelai pun ikut meningkat seperti
yang terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Konsumsi Kacang Kedelai Indonesia untuk Rumah Tangga Tahun 2005-2007
Konsumsi Tahun Volume (juta ton) Persentase (%) 2005 1,89 - 2006 1,88 -0,53
1 Wikipedia. Kedelai. http:// id.wikipedia.org//
17
2007 2,01 6,91 Laju Pertumbuhan Rata-rata (% per tahun) 0,70 Sumber : BPS (2008)
Pada Tabel 2 menunjukkan tingkat konsumsi kedelai di Indonesia
cenderung fluktuaktif. Ini terlihat dari penurunan konsumsi kedelai pada tahun
2005 sebesar 1.890.000 ton menjadi 1.880.000 ton pada tahun 2006, yang
kemudian pada tahun 2007 terjadi peningkatan konsumsi menjadi 2.010.000 ton.
Jika dilihat dari sisi ketersediaannya, produksi kacang kedelai di Indonesia hanya
dapat memenuhi sebagian kebutuhan kacang kedelai nasional (Tabel 3).
Tabel 3. Produksi Kacang Kedelai Indonesia Tahun 2004-2008
Tahun Luas Area (Ha)
Produktivitas (Qu/Ha) Produksi (ton)
2004 565.155 12,8 723.483 2005 621.541 13,01 808.353 2006 580.534 12,88 747.611 2007 459.116 12,91 592.534 2008 579.593 13,13 761.206
Sumber : //www.bps.go.id/sector/agri/pangan/table3_2008.shtml
Pada Tabel 3 dapat dilihat produksi kedelai nasional dari tahun 2005
sampai dengan tahun 2007 mengalami penurunan. Jumlah produksi kacang
kedelai nasional pada tahun 2007 yang sebesar 592.534 ton, belum dapat
mencukupi tingkat konsumsi kedelai nasional pada tahun yang sama. Oleh karena
itu Indonesia mengimpor sebagian besar persediaan kacang kedelai untuk
memenuhi kebutuhan nasional, dimana volume impor ini secara jelas dapat dilihat
pada Tabel 4.
Tabel 4. Impor Kedelai per Negara Asal Tahun 2006
Negara Volume (kg) Nilai (US$) United States 1.233.447.895 325.061.683Argentina 1.026.362.770 237.496.990India 624.638.500 140.175.177Brazil 396.891.778 94.758.879Malaysia 17.771.065 8.420.300Lainnya 81.138.243 24.922.992
TOTAL 3.380.250.251 830.836.021 Sumber : www.deptan.go.id
18
Tabel 4 menunjukkan bahwa volume impor kacang kedelai Indonesia pada
tahun 2006 mencapai 3 juta ton lebih dengan nilai 830.836.021 US$, dimana
negara pengimpor terbesarnya adalah Amerika Serikat. Berdasarkan data tersebut,
terlihat Indonesia mengalami ketergantungan pasokan kacang kedelai impor yang
cukup banyak. Akibatnya saat harga kacang kedelai meningkat dari Rp 2.500 per
kilogram menjadi Rp 8.000 per kilogram pada tahun 2007, banyak pengrajin tahu
dan tempe yang mengalami kerugian dan menghentikan usahanya2.
Sebagai bagian dari agroindustri dalam bentuk industri kecil dan rumah
tangga atau yang umum dikenal Usaha Kecil Menengah (UKM), pengrajin tahu
dan tempe secara langsung memiliki peranan penting dalam perekonomian suatu
negara termasuk Indonesia. Peranan UKM dalam perekonomian antara lain dapat
meningkatkan pendapatan para pelaku usaha, menyerap tenaga kerja,
meningkatkan perolehan devisa, dan mendorong munculnya industri yang lain
(Soekartawi,2000). Banyaknya usaha dan tenaga kerja yang terserap oleh industri
kecil dan kerajinan rumah tangga ini dapat dialihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Perkembangan Jumlah Pelaku Usaha dan Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Skala Usaha Tahun 2006-20073
Jumlah Pelaku Usaha (usaha)
Jumlah Tenaga Kerja (orang) No. Skala Usaha
2006 2007 (%)
2006 2007 (%)
1. Usaha Mikro 46.746.567 47.702.310 2,04 75.453.589 77.061.669 2,13
2. Usaha Kecil 1.917.897 2.017.926 5,22 9.599.480 9.970.644 3,87
3. Usaha Menengah 114.687 120.253 4,85 4.494.693 4.720.005 5,01
Usaha Kecil dan Menengah 48.779.151 49.840.489 2,18 89.547.762 91.752.318 2,46
4. Usaha Besar 4.398 4.527 2,93 2.445.595 2.520.707 3,07
JUMLAH 48.783.549 49.845.016 2,18 91.993.357 94.273.025 2,48
Tabel 5 menunjukkan UKM merupakan usaha terbesar yang ada di
Indonesia, dengan jumlah usaha sebanyak 48.779.151 usaha pada tahun 2006
yang meningkat pada tahun 2007 menjadi 49.840.489 usaha. Tenaga kerja yang
terserap pada UKM juga merupakan yang terbesar, dengan jumlah sebanyak
89.547.762 orang pada tahun 2006 yang meningkat menjadi 91.752.318 orang 2 Kompas Cyber Media. Bogor : Pengrajin Tempe Tahu Berharap Kedelai Stabil. http//:
www.kompas.com//. Senin, 14 Januari 2008 3 DEPKOP. Statistik Usaha Kecil dan Menengah Tahun 2006-2007. http//:www.depkop.go.id//.
Senin, 13 Juli 2009
19
39,30% 39,25%
16,76% 16,84%
43,94% 43,91%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
2006 2007
Tahun
Pers
enta
se
UK UM UB
pada tahun 2007. Besarnya jumlah UKM di Indonesia membuat usaha tersebut
memiliki kontribusi cukup besar dalam Produk Domestik Bruto (PDB) nasional,
yang dengan jelas dapat terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Proporsi Kontribusi UKM dan Usaha Besar (UB) Terhadap PDB Nasional Tahun 2006-20074
Pada Gambar 1 terlihat bahwa kontribusi UKM terhadap PDB nasional
merupakan yang terbesar, dengan total persentase sebesar 56,06 persen pada tahun
2006, yang meningkat pada tahun 2007 menjadi 56,09 persen. Berdasarkan hal
tersebut maka jelas UKM memang memiliki peranan penting dalam
perekonomian nasional, termasuk didalamnya adalah usaha tahu dan tempe.
1.2. Perumusan Masalah
Terkait dengan kenaikan harga kedelai beberapa waktu lalu, pemerintah
sempat mengeluarkan kebijakan subsidi untuk kacang kedelai sebesar Rp 1.000
untuk pembelian tiap kilogram kedelai selama kurang lebih empat bulan5. Ini
dilakukan guna meningkatkan semangat para pengrajin tahu dan tempe untuk
tetap berproduksi dan tidak lama setelah kebijakan tersebut dikeluarkan harga
kedelai turun menjadi Rp 6.000 per kilogram. Pada sisi lain harga jual dari tahu
dan tempe itu sendiri sulit untuk naik, yang membuat para pengrajin tahu dan
tempe kesulitan dalam menentukan harga jual dari produk mereka.
Hal ini terjadi karena kebanyakan konsumen menganggap tahu dan tempe
merupakan produk murah, padahal bahan baku tahu dan tempe sebagian besar
4 DEPKOP. Statistik Usaha Kecil dan Menengah Tahun 2006-2007. http//:www.depkop.go.id//.
Senin, 13 Juli 2009 5 KCM. Pengrajin Tahu Tempe Segera Disubsidi. http//: www.kompas.com// . Selasa, 15 Juli
2008.
20
diperoleh secara impor6. Harga jual untuk tahu dan tempe yang kini beredar di
pasaran, tidak berbeda jauh dengan harga jual pada saat sebelum adanya kenaikan
harga kedelai. Saat ini tahu berada dalam kisaran harga Rp 200 sampai dengan Rp
400 per potong, sedangkan untuk tempe berada dalam kisaran harga Rp 1.000
sampai dengan Rp 6.000 per potong.
Permasalahan yang timbul akibat kenaikan harga kedelai ini tidak hanya
mempengaruhi pengrajin tahu dan tempe nasional, tapi juga pengrajin tahu dan
tempe di Kota Bogor. Berdasarkan wawancara dengan pengurus Primer Koperasi
Tahu Tempe Indonesia (PRIMKOPTI) Kota Bogor, diketahui saat harga kedelai
naik pada tahun 2007 PRIMKOPTI tidak dapat menyediakan pasokan kacang
kedelai bagi para pengrajin. Bahkan saat itu terjadi penurunan jumlah anggota
pengrajin tahu dan tempe, dari 177 pengrajin menjadi 156 pengrajin. Banyaknya
jumlah pengrajin tahu dan tempe di Kota Bogor baik yang merupakan anggota
maupun non anggota PRIMKOPTI saat ini dapat dilihat pada Tabel 6.
6 KCM. Pengrajin Tahu Tempe Segera Disubsidi. http//: www.kompas.com// . Selasa, 15 Juli
2008.
21
Tabel 6. Kebutuhan Kedelai Anggota dan Non Anggota Pengrajin Tahu Tempe Kota Bogor Tahun 2008
Jenis Produksi Wilayah Kecamatan Tempe Tahu Tauco
Kebutuhan Kedelai (Kg/Bulan)
Tegallega I 8 15.850Tegallega II 10 16.900Tegallega III 7 22.300Bantarjati I 3 2 10.900Bantarjati II 5 18 23.220Bantarjati III 4 9.850Tegal Gundil I 16 9.620Ciluar 5 6.150Kebonpedes I 7 11.000Kebonpedes II 2 2.600Cimanggu 1 6.000Cilendek Timur 15 26.950Cilendek Barat 19 10.225Lawanggintung 5 2 7.500Bondongan 11 3 12.200Empang 1 3 2.500Pasir Kuda 3 1 10.000Gugahsari 4 6.000Jumlah Anggota 109 43 3 209.795Non Anggota 47 19 91.599TOTAL 156 62 3 301.394Sumber : PRIMKOPTI (2008)
Tabel 6 menunjukkan PRIMKOPTI pada Tahun 2008 memiliki anggota
sebanyak 155 yang terdiri dari pengrajin tahu sebanyak 43 orang, tempe sebanyak
109 orang, dan tauco sebanyak 3 orang. Menurut wilayah kecamatan terlihat
kebutuhan kedelai terbesar untuk pengrajin tahu berada pada wilayah Kecamatan
Tegalgundil I sebesar 9.620 kilogram per bulan, sedangkan untuk pengrajin tempe
berada pada wilayah Cilendek Timur sebesar 26.950 kilogram per bulan.
Berdasarkan keterangan tersebut maka penelitian ini pun dilakukan pada kedua
wilayah kecamatan tersebut, dengan mengambil salah satu usaha sebagai objek
studi kasus pada masing-masing wilayah.
Usaha tahu yang menjadi objek studi dalam penelitian ini mengambil
usaha milik Bapak Mumu yang berada di Kecamatan Tegalgundil, sedangkan
untuk usaha tempe mengambil usaha milik Bapak Sularno yang berada di
Kecamatan Cilendek Timur. Masing-masing pengrajin tahu dan tempe yang
22
menjadi objek studi tersebut menyatakan, bahwa mereka menetapkan harga jual
tahu dan tempe berdasarkan keinginan konsumen tanpa mengetahui kondisi usaha
mereka sebenarnya untung, rugi, atau impas. Padahal harga jual yang ditetapkan
seharusnya dapat menutupi semua ongkos produksi, bahkan lebih dari itu yaitu
untuk mendapatkan laba (Swastha dan Sukotjo, 1998).
Terkait dengan kenaikan harga kedelai yang terjadi pada dua tahun lalu,
data produksi dan penjualan pada kedua usaha yang menjadi objek penelitian
secara pasti tidak dapat ditampilkan karena tidak adanya pencatatan yang detail.
Akan tetapi berdasarkan hasil wawancara kedua pengrajin tersebut yang
merupakan anggota PRIMKOPTI menyatakan, usaha mereka sedikit terganggu
dengan adanya kenaikan harga kedelai secara tiba-tiba pada beberapa waktu lalu.
Berdasarkan uraian tersebut maka terlihat beberapa pokok permasalahan yang
ingin dikaji dalam penelitian ini, antara lain :
1. Langkah-langkah penyesuaian apa yang dilakukan pengrajin untuk
mempertahankan usaha?
2. Berapa besar keuntungan yang diperoleh oleh pengrajin tahu dan tempe,
dengan mengambil studi kasus pada pengrajin tahu di Kelurahan Tegal
Gundil dan pengrajin tempe di Kelurahan Cilendek Timur?
3. Berapa nilai tambah kacang kedelai untuk tahu dan tempe?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menganalisis keragaan usaha tahu dan tempe.
2. Menjelaskan langkah-langkah penyesuaian yang dilakukan usaha tahun
dan tempe.
3. Menganalisis profitabilitas usaha tahu dan tempe.
4. Menganalisis nilai tambah usaha tahu dan tempe.
23
1.4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan berguna bagi :
1. Peneliti sebagai wadah pengaplikasian materi-materi yang didapat selama
masa perkuliahan.
2. Pihak pengrajin tahu dan tempe sebagai masukan dan bahan pertimbangan
dalam menjalankan usahanya.
3. Khalayak umum juga pemerintah guna menambah informasi mengenai
kondisi industri tahu dan tempe saat ini.
4. Civitas akademika, untuk menambah pengetahuan ataupun dijadikan
sebagai bahan perbandingan serta acuan dalam melakukan penelitian
selanjutnya.
24
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kedelai sebagai Bahan Baku
Kedelai telah dibudidayakan di Cina sejak 1000 tahun sebelum Masehi
dan Negara tersebut merupakan asal tanaman kedelai. Suku Jawa merupakan
penduduk yang paling awal mengadopsi tanaman kedelai kedalam usaha taninya,
karena adanya hubungan perdagangan antara pedagang Cina dengan masyarakat
di Jawa. Dalam tahun 1918 tercatat, luas areal panen kedelai di Indonesia
mencapai 158.900 Ha.
Pada awal pengembangannya di Indonesia pusat pertumbuhan kedelai
pertama kali didapati di Jawa Tengah yang kemudian menyebar ke Jawa Timur
dan bagian Jawa lainnya. Dari Jawa kemudian kedelai menyebar ke pulau-pulau
lainnya di Indonesia. Dalam mencapai tingkat produksi yang optimal,
pengembangan kedelai harus disesuaikan dengan kriteria kesesuaian biofisik
lingkungan, sistem usahatani, dan kondisi sosial ekonomi petani.
Terdapat kriteria kesesuaian lahan dalam mengembangkan kedelai, antara
lain lahannya tergolong lahan yang sangat sesuai dengan suhu 23oC sampai
dengan 28oC, curah hujan sekitar 2500 mm per tahun, pH 6,0 sampai dengan 6,9,
hara NPK cukup, dan salinitas 2,5 mmhcs per cm. Selain faktor fisik tersebut,
tingkat produksi yang optimal juga ditentukan oleh hubungan timbal balik antara
tanaman kedelai dengan organisme pengganggu tumbuhan (hama) yang
perkembangannya ditentukan oleh faktor fisik lingkungan dan manajemen petani.
Selain faktor teknis, faktor sosial ekonomi seperti tujuan petani, kelembagaan,
pemasaran, dan harga juga turut menentukan tingkat produktivitas yang tercapai.
Kebutuhan akan kedelai dan produk-produk olahannya semakin meningkat
dan belum dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri, yang mengakibatkan impor
kedelai pun meningkat. Produk olahan seperti tahu, tempe, tauco, kecap, dan
minyak kedelai tidak hanya diminati oleh penduduk menengah kebawah Jawa,
akan tetapi sudah menjangkau seluruh lapisan masyarakat luar Jawa. Dengan
25
demikian maka kedelai tidak hanya penting sebagai sumber protein, tapi juga
penting sebagai bahan baku industri7.
2.2. Latar belakang Usaha Tahu dan Tempe
2.2.1. Sejarah Tahu
Tahu merupakan makanan yang sangat menyehatkan dan mengandung zat-
zat yang dibutuhkan untuk memperbaiki gizi masyarakat, karena terbuat dari
kacang kedelai yang kaya akan kandungan protein. Kata ‘tahu’ berasal dari bahasa
asing, yaitu bahasa Cina tao hu, teu hu, atau tokwa, dimana kata tao atau teu
memiliki arti kacang, kacang kedelai putih yang digunakan dalam pembuatan tahu
disebut wong teu, dan hu atau kwa memiliki arti rusak, lumat, hancur menjadi
bubur. Oleh karena itu jika kedua kata tersebut digabungkan akan menjadi ‘tahu’,
yang bermakna makanan yang terbuat dari kedelai yang dilumatkan atau
dihancurkan menjadi bubur.
Dalam pembuatan tahu, terdapat beberapa hal yang penting untuk
diperhatikan agar tahu yang dihasilkan sesuai dengan harapan. Adapun hal
penting tersebut antara lain kebersihan lingkungan kerja, menjaga kualitas tahu,
serta memilih peralatan yang cocok dan tepat. Selain itu dari proses produksi tahu
ini terdapat hasil sampingan berupa limbah yang dapat menjadi produk turunan
dari tahu. Hasil sampingan dari tahu ini salah satunya adalah kulit kedelai dan
ampas tahu untuk campuran makanan ternak. Selain itu juga terdapat kembang
tahu, yaitu sisa sari pati kedelai yang direbus yang dapat digunakan sebagai bahan
baku untuk masakan8.
2.2.2. Sejarah Tempe
Berbeda dengan tahu yang berasal dari cina, tempe merupakan makanan
tradisional Indonesia dan sudah menjadi industri rakyat. Tidak jelas kapan
pembuatan tempe dimulai, namun demikian makanan tradisonal ini sudah dikenal
sejak berabad-abad lalu terutama dalam tatanan budaya makan masyarakat Jawa
khususnya di Yogyakarta dan Surakarta. Pada salah satu catatan sejarah yang
7 Manwan, Ibrahim dan Sumarno dalam Beddu Amang dkk. 1996. Ekonomi Kedelai. 8 Kastyanto, FL. Widie. 1994. Membuat Tahu.
26
tersedia menunjukkan bahwa ada kemungkinan pada mulanya tempe diproduksi
dari kedelai hitam.
Kata "tempe" diduga berasal dari bahasa Jawa Kuno, dimana pada waktu
itu terdapat makanan berwarna putih terbuat dari tepung sagu yang disebut tumpi.
Tempe segar yang juga berwarna putih terlihat memiliki kesamaan dengan
makanan tumpi tersebut. Selain itu pada tahun 1875 dalam sebuah kamus bahasa
Jawa-Belanda menyatakan, bahwa pembuatan tempe diawali semasa era Tanam
Paksa di Jawa.
Tempe dikenal oleh masyarakat Eropa melalui orang-orang Belanda pada
tahun 1895, dimana Prinsen Geerlings (ahli kimia dan mikrobiologi dari Belanda)
melakukan usaha yang pertama kali untuk mengidentifikasi kapang tempe.
Perusahaan-perusahaan tempe yang pertama di Eropa dimulai di Belanda oleh
para imigran dari Indonesia. Melalui Belanda akhirnya tempe menjadi populer di
Eropa sejak tahun 1946.
Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan
menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Tempe memiliki kegunaan untuk melawan
radikal bebas, sehingga dapat menghambat proses penuaan dan mencegah
terjadinya penyakit degeneratif (aterosklerosis, jantung koroner, diabetes melitus,
kanker, dan lain-lain). Selain itu tempe juga mengandung zat antibakteri penyebab
diare, penurun kolesterol darah, pencegah penyakit jantung, hipertensi, dan lain-
lain.
Komposisi gizi tempe baik kadar protein, lemak, dan karbohidratnya tidak
banyak berubah dibandingkan dengan kedelai. Namun karena adanya enzim
pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe, maka protein, lemak, dan
karbohidrat pada tempe menjadi lebih mudah dicerna di dalam tubuh
dibandingkan yang terdapat dalam kedelai. Oleh karena itu, tempe sangat baik
untuk diberikan kepada segala kelompok umur (dari bayi hingga lansia), sehingga
bisa disebut sebagai makanan semua umur.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa zat gizi tempe lebih mudah
dicerna, diserap, dan dimanfaatkan tubuh dibandingkan dengan yang ada dalam
kedelai. Pengolahan kedelai menjadi tempe akan menurunkan kadar raffinosa dan
stakiosa, yaitu suatu senyawa penyebab timbulnya gejala flatulensi (kembung
27
perut) 9. Tempe itu sendiri dibuat dengan cara fermentasi atau peragian dengan
menggunakan bahan baku berupa kacang kedelai.
Proses peragian pada tempe disebabkan oleh semacam kapang atau jamur,
yang memberikan semacam lapuk berwarna putih yang semakin lama akan
menjadi hitam. Kapang pada tempe dalam bahasa ilmiah disebut juga Rhizopus
oryzae, yang pada keadaan normal hanya terdiri dari Rhizopus oligosporus.
Adanya proses peragian ini membuat kedelai pada tempe memiliki rasa yang lebih
enak serta lebih mudah dicerna, daripada kedelai yang dimakan tanpa proses
fermentasi terlebih dahulu.
Selain itu dengan adanya proses fermentasi, membuat bau langu pada
kedelai hilang sehingga cita rasa dan bau aromanya pun lebih sedap. Proses
fermentasi pada tempe ini membuat protein dalam kedelai terurai menjadi
komponen-komponen asam amino, yang membuat penyerapan zat-zat makanan
dalam tubuh lebih lancar. Adapun Tempe yang baik adalah tempe yang bentuknya
keras dan kering, serta didalamnya tidak mengandung kotoran dan campuran
bahan-bahan lain. Tempe itu sendiri memiliki daya tahan paling lama dua hari,
karena lebih dari itu jamur tempe pun akan mati. Selanjutnya akan tumbuh jamur
atau bakteri-bakteri lain yang dapat merombak protein, sehingga tempe pun
menjadi busuk10.
2.2.3. Karakteristik Tenaga Kerja
Tahu dan tempe merupakan salah satu bagian dari industri kecil yang
dapat menyerap tenaga kerja yang cukup banyak, karena umumnya industri kecil
tidak membutuhkan tingkat pendidikan tinggi. Oleh karena itu cara pengerjaan
dan peralatan yang digunakan sederhana. Disatu sisi sifat industri kecil yang
sederhana ini memberikan dampak positif bagi tenaga kerja tidak terdidik untuk
masuk ke sektor industri.
Dalam proses produksi dan teknologi yang digunakan industri kecil
bersifat padat karya, karena potensi bahan baku yang dimiliki dari suatu wilayah
dan kemampuan teknologinya masih turun-menurun. Penggunaan teknologi dan
proses produksi yang sederhana juga ditunjukkan pada industri tahu dan tempe,
9 WIKIPEDIA. Sejarah Tempe. http//:id.wikipedia.com//. Minggu, 1 Juli 2008. 10 Sarwono, B. 1994. Membuat Tempe dan Oncom.
28
dimana dalam proses pengolahan kedelai menjadi tahu atau tempe bisa
diselesaikan oleh 1-2 orang. Adapun tenaga kerja yang digunakan umumnya
berasal dari dalam keluarga, sedangkan yang menggunakan tenaga kerja dari luar
keluarga hanyalah beberapa pengrajin saja.
2.2.4. Saluran Pemasaran
Pemasaran untuk menyalurkan tahu dan tempe dari produsen ke konsumen
pada industri kecil masih merupakan masalah, karena kurangnya informasi pasar
terkait dengan pola permintaan konsumen. Selain itu kemampuan dalam strategi
pemasaran pada industri rumah tangga ini masih kurang, karena umumnya
pengusaha tahu dan tempe industri kecil kurang atau tidak mengetahui produk
yang sedang gencar di pasaran. Bahkan terkadang pengusaha tidak mampu
menghasilkan produk dengan mutu yang sesuai dengan tuntutan pasar, selera
konsumen, dan kurang mampu memproduksi dalam jumlah yang besar dalam
waktu cepat sehingga permintaan pasar tidak dapat dipenuhi.
Terdapat dua cara umum penyaluran hasil produksi tahu dan tempe dari
produsen ke konsumen yaitu dengan menjual langsung kepasar, dimana pengrajin
tempe langsung menjual produknya dengan konsumen; dan melalui pedagang
perantara. Sebagian besar pengrajin tahu dan tempe memasarkan hasil
produksinya dengan langsung menjual ke pasar, yang secara tidak langsung akan
membutuhkan biaya pemasaran untuk sampai di lokasi pemasaran. Oleh karena
itu nilai suatu produk dapat ditetapkan dengan menghitung jumlah total dari biaya
produksi dan biaya pemasaran untuk satu satuan produk yang diproduksinya11.
2.3. Penelitian Terdahulu
2.3.1. Penelitian Mengenai Profitabilitas
Damayanti (2004) meneliti tentang penetapan harga pokok produksi
menggunakan metode Full Costing, terkait dengan titik impas dan profitabilitas
perusahaan teh. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa perhitungan harga pokok
menggunakan metode Full Costing menurunkan harga pokok produksi yang
11 UNIKA. Industri Tahu dan Tempe : Tenaga Kerja dan Teknologi. http//:www.unika.ac.id. Kamis, 18 Desember 2008.
29
dihitung oleh perusahaan sebesar 5 sampai 15 persen, dari Rp 5.780,41 menjadi
Rp 5.757,19 diikuti penurunan biaya produksi dari Rp 13.122.668.550 menjadi Rp
10.463.401.277. Titik impasnya pun juga terpengaruh menjadi lebih kecil dari
1.386.970 kilogram menjadi sebesar 752.103 kilogram secara unit, sedang secara
rupiah berubah dari Rp 11.712.903.770 menjadi Rp 6.351.477.810. Ini juga
diikuti dengan perubahan kemampuan perusahaan menghasilkan profit dari 9,53
persen menjadi 27,86 persen.
Selain itu penelitian lain tentang profitabilitas juga pernah dilakukan oleh
Pratiwi (2003), yang meneliti tentang nilai tambah menggunakan metode Hayami
dan profitabilitas menggunakan titik impas serta Marginal of Safety (MOS) dan
Marginal Income Ratio (MIR) pada agroindustri kripik tempe Perusahaan Ardani
Malang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan produksi kripik tempe
pada perusahaan bersangkutan memiliki nilai tambah yang terus meningkat dari
tahun 1998 sampai dengan 2002, dengan peningkatan terbesar terjadi pada tahun
2000 yaitu 35,78 persen. Analisis titik impas pada Perusahaan Ardani
memperlihatkan keadaan yang fluktuaktif, dengan nilai terendah terjadi pada
tahun 2000 sebesar 7,11 persen sedang pada tahun 2001 terjadi kenaikan sebesar
5,74 persen dan 2,02 persen pada tahun 2002.
2.3.2. Penelitian Mengenai Analisis Nilai Tambah
Puspitasari (2007) meneliti tentang keragaan usaha industri tahu skala
kecil dan rumah tangga dengan mengambil studi kasus industri tahu skala kecil
dan rumah tangga di Kecamatan Mampang Prapatan. Penelititan ini menggunakan
analisis biaya dan analisis nilai tambah metode Hayami, untuk melihat keragaan
objek studinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa industri tahu, khususnya
pengrajin tahu skala rumah tangga di Kecamatan Mampang Prapatan mengalami
penurunan pendapatan.
Ini terlihat dari penurunan sebesar 6,87 persen pada penerimaan pengrajin
dari tahun 2005 sampai dengan 2006, yang juga sekaligus menurunkan
keuntungan yang diperoleh sebesar 1,55 persen. Pada pengrajin tahu skala kecil
tidak terjadi penurunan kinerja, dimana dari tahun 2005 sampai dengan 2006
terdapat peningkatan pendapatan sebesar 7,77 persen dan keuntungan sebesar
30
41,75 persen. Dari analisis biaya, selama tahun 2005 sampai dengan 2006 terjadi
kenaikan biaya tetap pada pengrajin tahu skala rumah tangga dan skala kecil
sebesar 17,04 persen dan 10,49 persen per papan untuk tahu putih, serta 24,71
persen dan 11,33 persen untuk tahu goreng.
Pada pengrajin tahu skala rumah tangga, nilai tambah dari tahu putih pada
tahun 2005 dan 2006 masing-masing sebesar Rp 1.555,54 dan Rp 2.041,08,
sedangkan untuk tahu goreng sebesar Rp 1.584,22 dan Rp 2.179,55. Sedangkan
untuk pengrajin tahu skala kecil nilai tambah dari tahu putih pada tahun 2005 dan
2006 masing-masing sebesar Rp 1.987,02 dan Rp 2.74,26, serta Rp 2.136,35 dan
Rp 3.130,05 untuk tahu goreng. Selain itu jika dilihat dari besarnya balas jasa
yang diterima pengrajin terdapat penurunan sebesar 8,56 persen dan 8,61 persen
dalam memproduksi tahu putih dan tahu goreng, sedangkan balas jasa yang
diterima oleh tenaga kerjanya mengalami peningkatan sebesar 41,71 persen dan
34,05 persen.
Sinaga (2008) melakukan penelitian tentang nilai tambah dan dampak
kebijakan pemerintah terhadap industri tempe di Kabupaten Bogor menggunakan
metode Hayami dan analisis Policy Analysis Matrix. Hasil penelitian
menunjukkan nilai faktor konversi industri tempe sebesar 1,6 dimana tiap satu
kilogram kedelai yang diolah menghasilkan 1,6 kilogram tempe, dengan nilai
tambah yaitu Rp 2.198,91 per kilogram input kedelai dan rasio nilai tambah
sebesar 21,14 persen. Tenaga kerja memiliki nilai koefisien sebesar 0,02 yang
menandakan bahwa untuk memproduksi satu kilogram kedelai menjadi tempe
membutuhkan 0,02 HOK (Hari Orang Kerja).
Berdasarkan analisis kebijakan pemerintah pada sisi output, industri tempe
di daerah penelitian memiliki Transper Output (TO) dan Koefisien Proteksi
Output Nominal (NPCO) sebesar Rp -1.555,14 dan 0,8699 (NPCO < 1). Pada sisi
input memiliki Transfer Input (TI) sebesar Rp 180,25 dan Koefisien Proteksi
Input Nominal (NPCI) sebesar 1,0765 dengan nilai transfer faktor sebesar Rp
261,91. Analisis Kebijakan input-output didekati menggunakan indikator Transfer
Bersih (TB), Koefisien Efektif Bersih (EPC), Koefisien Keuntungan (PC), dan
Rasio Subsidi Produsen (SRP), dengan nilai masing-masing sebesar 0,8192; Rp -
1.997,30; 0,5247; dan -0,2540.
31
Furqanti (2003) melakukan penelitian analisis nilai tambah terhadap
pengolahan buah jeruk nipis. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa pengolahan
tiap satu kilogram buah jeruk nipis pada tahun 2000 mendapatkan nilai tambah
sebesar Rp 3.609,87 atau 29,82 persen dari nilai output dan pada tahun 2001
meningkat menjadi Rp 4.433,78 atau 33,54 persen dari nilai output. Sedangkan
bagian untuk imbalan tenaga kerja pada tahun 2000 sebesar 22,51 persen atau
senilai Rp 812,46 dan pada tahun 2001 meningkat menjadi Rp 1.072,51 atau
24,19 persen dari nilai tambah yang diperoleh.
Asnawi (2003) meneliti tentang nilai tambah ubi kayu menjadi tepung
tapioka, menyatakan untuk mengolah satu kilogram ubikayu membutuhkan tenaga
kerja per HOK sebesar Rp 13.000. Nilai tepung tapioka yang dihasilkan dari
setiap kilogram ubikayu sebesar Rp 218,50 sedangkan nilai tambah pengolahan
ubikayu menjadi tepung tapioka adalah Rp 57,91 per kilogram. Rasio nilai tambah
terhadap nilai produk yaitu 30,07 persen, yang menunjukkan setiap Rp 100
produk akan diperoleh nilai tambah sebesar Rp 30,07. Keuntungan yang didapat
dari tepung tapioka adalah Rp 57,91 per kilogram bahan baku, sedang bagian
keuntungan dari nilai tambah sebesar 88,13 persen. Ini jauh lebih baik dibanding
bagian keuntungan untuk tenaga kerja sebesar 11,87 persen, yang menandakan
keuntungan Rp 57,91 per kilogram bahan baku ubikayu hanya dinikmati pemilik
dan pengelola Ittara sedangkan petani belum mendapatkan bagian.
Perbedaan antara penelitian yang dilakukan dengan penelitian-penelitian
terdahulu terletak pada objek penelitian dan alat analisisnya. Walaupun terdapat
kesamaan alat analisis, namun objek yang dijadikan bahan kajian pada penelitian
terdahulu adalah agroindustri kripik tempe. Sedang penelitian yang dilakukan
mengambil objek kajian pada salah satu usaha tahu dan tempe yang ada di Kota
Bogor. Rincian singkat mengenai penelitian terdahulu dapat dilihat secara mudah
pada Tabel 7 berikut.
32
Tabel 7. Rincian Singkat Penelitian Terdahulu
Nama Penulis
Tahun Judul Alat Analisis
Dessy Furqanti 2003
Analisis Nilai Tambah dan Kemampulabaan Usaha Pengolahan Buah Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia swingel)
Metode Hayami
Robet Asnawi 2003
Analisis Fungsi Produksi Usaha Tani Ubikayu dan Industri Tepung Tapioka Rakyat di Provinsi Lampung
Fungsi Produksi Cobb-Douglass, Metode Hayami
Elok Pratiwi
2003 Analisis Nilai tambah dan Profitabilitas Agroindustri Kripik Tempe
Titik Impas, MIR, MOS, Metode Hayami
Aprilia Ritma Damayanti
2004
Analisis Perubahan Penetapan Harga Pokok Produksi Teh Dalam Kaitannya dengan Titik Impas dan Profitabilitas Perusahaan
Metode Full Costing, Titik Impas
Tiya Puspitasari
2007 Keragaan Usaha Industri Tahu Skala Kecil dan Rumah Tangga
Analisis Biaya, Metode Hayami
Merika Sondang Sinaga
2008
Analisis Nilai Tambah dan Daya Saing serta Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Industri Tempe di Kabupaten Bogor
Metode Hayami, Policy Analysis Matrix
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan terhada penelitian-
penelitian terdahulu, terlihat bahwa suatu usaha apa pun itu memiliki profitabilitas
yang berbeda-bedar. Perbedaan profitabilitas antar usaha ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor, seperti skala dan struktur biaya usaha yang bersangkutan.
Semakin tinggi total biaya suatu usaha, semakin kecil kemampuan usaha dalam
menghasilkan keuntungan atau laba. Begitu pula dengan nilai tambah suatu usaha,
ditentukan oleh beberapa faktor, seperti jenis usaha dan skala usaha. Semakin
besar skala produksi suatu usaha, maka semakin besar nilai tambah dari usaha
yang bersangkutan.
33
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Konsep Biaya
Menurut Mulyadi (1999), biaya adalah pengorbanan sumber ekonomi,
yang diukur dalam satuan uang, yang telah terjadi atau yang kemungkinan akan
terjadi untuk tujuan tertentu dan tidak dapat dihindarkan. Tiap usaha yang
bertujuan mencari laba maupun yang tidak bertujuan mencari laba, mengolah
masukan berupa sumber ekonomi untuk menghasilkan keluaran berupa sumber
ekonomi lain yang nilainya harus lebih tinggi dari pada nilai masukannya. Dengan
laba atau sisa hasil usaha tersebut, usaha bersangkutan akan memiliki kemampuan
untuk berkembang dan tetap mampu mempertahankan eksistensinya di masa yang
akan datang.
Oleh karena itu dibutuhkan informasi biaya, untuk mengukur kegiatan
usaha menghasilkan laba atau tidak. Tanpa informasi biaya, pihak pengelola tidak
memiliki ukuran apakah masukan yang dikorbankan memiliki nilai ekonomi yang
lebih rendah daripada nilai keluarannya. Selain itu tanpa informasi biaya,
pengelola juga tidak memiliki dasar untuk mengalokasikan berbagai sumber
ekonomi yang dikorbankan dalam menghasilkan sumber ekonomi lainnya.
Dalam hubungannya dengan pembuatan produk terdapat dua kelompok
biaya, yaitu biaya produksi dan non produksi (Mulyadi, 1999). Biaya produksi
merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam pengolahan bahan baku menjadi
produk, sedangkan biaya non produksi seperti kegiatan pemasaran dan kegiatan
administrasi dan umum. Berdasarkan perilakunya dalam hubungan dengan
perubahan volume kegiatan, biaya dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu biaya
tetap, variable, dan semi variabel (Mulyadi, 1999).
a. Biaya Tetap
34
Merupakan biaya yang jumlah totalnya tetap dalam perubahan
volume kegiatan tertentu, dimana biaya tetap per satuan berubah. Biaya
tetap atau biaya kapasitas adalah biaya untuk mempertahankan
kemampuan beroperasi perusahaan pada tingkat kapasitas tertentu, yang
besarnya dipengaruhi oleh kondisi perusahaan jangka panjang, teknologi,
dan metode serta strategi manajemen. Jika biaya tetap mempunyai
proporsi lebih tinggi dibanding biaya variabel, maka kemampuan
manajemen dalam menghadapi perubahan-perubahan kondisi ekonomi
jangka pendek akan berkurang. Contoh biaya tetap antara lain; gaji, pajak,
pemeliharaan dan perbaikan bangunan, sewa, dan masih banyak lagi.
b. Biaya Variabel
Merupakan biaya yang jumlah totalnya berubah sebanding dengan
perubahan volume kegiatan, dimana biaya variabel per unit konstan.
Contoh dari biaya variabel yaitu perlengkapan, peralatan kecil, biaya
komunikasi, biaya pengiriman, biaya pengangkutan, dan masih banyak
lagi.
c. Biaya Semi Variabel
Biaya semi variabel adalah biaya yang memiliki unsur tetap dan
variabel di dalamnya. Unsur biaya tetap merupakan jumlah biaya
minimum untuk menyediakan jasa, sedangkan unsur variabel merupakan
bagian dari biaya semivariabel yang dipengaruhi oleh perubahan volume
kegiatan. Contoh biaya semi variabel adalah biaya listrik, telepon, air,
bensin, dan masih banyak lagi.
3.1.2. Penetapan Harga Jual
Umumnya harga jual produk dan jasa standar ditentukan oleh
perimbangan permintaan dan penawaran di pasar, sehingga biaya bukan
merupakan penentu harga jual. Berdasarkan itu maka dalam keadaan normal,
setiap pengusaha harus memperoleh jaminan bahwa harga jual produk atau jasa
yang dijual di pasar dapat menutupi biaya penuh untuk menghasilkan produk atau
jasa tersebut dan dapat menghasilkan laba wajar. Akan tetapi permintaan
35
konsumen, selera konsumen, jumlah pesaing yang memasuki pasar, dan harga jual
yang ditentukan pesaing itu sulit untuk diramalkan, sehingga akan ada
ketidakpastian dalam penentuan harga jual (Mulyadi, 2001).
Menurut Mulyadi (2001), satu-satunya faktor yang memiliki kepastian
relative tinggi yang berpengaruh dalam penentuan harga jual adalah biaya.
Melalui biaya dapat terlihat batas bawah suatu harga jual harus ditentukan,
dimana akan terjadi kerugian jika harga jual berada dibawah biaya penuh produk
atau jasa. Kerugian ini dalam jangka waktu tertentu dapat mengganggu
pertumbuhan perusahaan dan dapat mengakibatkan perusahaan akan berhenti,
dengan demikian dalam pengambilan keputusan penentuan harga jual
memerlukan informasi biaya produk atau jasa.
Harga menurut Swastha (1998) adalah sejumlah uang yang dibutuhkan
untuk mendapatkan sejumlah kombinasi dari barang beserta pelayanannya.
Berdasarkan pernyataan sebelumnya maka selain penetapan harga pokok
produksi, penetapan harga jual juga menjadi hal penting untuk memperoleh laba.
Terdapat dua pendekatan yang bisa digunakan dalam melakukan penetapan harga
jual, antara lain pendekatan biaya dan pendekatan pasar (Swastha, 1998).
1. Penetapan Harga Jual dengan Pendekatan Biaya
a. Cost Plus Pricing Method
Dalam metode ini harga jual per unit ditentukan dengan
menghitung jumlah seluruh biaya per unit, ditambah jumlah tertentu untuk
menutup laba yang dikehendaki pada unit tersebut atau disebut juga
marjin.
b. Mark Up Pricing Method
Penetapan harga jual dengan metode ini hampir sama dengan
penetapan harga cost plus (biaya plus), dimana pedagang yang membeli
barang dagangan menentukan harga jual setelah menambah harga beli
dengan sejumlah mark up atau kelebihan yang merupakan laba.
c. Break Even Pricing
36
Merupakan suatu metode penetapan harga berdasarkan permintaan
pasar dengan mempertimbangkan biaya, dimana suatu usaha terbilang
dalam kondisi break even jika pendapatan sama dengan ongkos
produksinya. Analisa break even atau titik impas adalah suatu cara untuk
mengetahui pada volume penjualan atau produksi berapa suatu usaha
mencapai laba atau kerugian tertentu. Titik impas selain untuk volume
produksi atau penjualan, juga dapat digunakan untuk mengetahui kaitan
antara harga jual, biaya produksi, biaya lainnya yang bervariasi dan tetap,
serta laba dan rugi.
2. Penetapan Harga Jual dengan Pendekatan Pasar
Pada pendekatan pasar penentuan harga jual tidak berdasarkan
biaya, tetapi justru harga yang menentukan biaya bagi perusahaan. Penjual
atau perusahaan dapat menentukan harga sama dengan tingkat harga pasar
agar dapat ikut bersaing, atau dapat juga menentukan lebih tinggi atau
lebih rendah dari tingkat harga dalam persaingan.
3.1.3. Analisa Titik Impas dan Profitabilitas
Menurut Limbong dan Sitorus (1985), selain digunakan untuk menentukan
harga jual dan mengetahui volume produksi atau penjualan, juga merupakan dasar
atau landasan dalam merencanakan kegiatan operasional dalam usaha mencapai
laba tertentu atau profit planning. Terdapat beberapa asumsi dalam menggunakan
analisa titik impas, antara lain :
a) Biaya-biaya yang terjadi dalam perusahaan yang terkait dapat
diidentifikasikan sebagai biaya variabel dan tetap.
b) Biaya tetap adalah konstan.
c) Biaya variabel bertambah dengan bertambahnya volume produksi.
d) Harga jual per unit tetap.
e) Perusahaan terkait menjual atau memproduksi hanya satu jenis produk.
Menurut Mulyadi (2001) impas atau break even merupakan keadaan suatu
usaha yang tidak memperoleh laba dan tidak menderita kerugian. Tujuan dari
37
analisa impas adalah suatu cara untuk mengetahui volume penjualan minimum
agar suatu usaha tidak menderita rugi, tetapi juga belum memperoleh laba atau
nol. Dalam menentukan titik impas atau Break Even Point (BEP) terdapat dua
cara, yaitu :
1. Pendekatan Teknik Persamaan
Secara matematis, titik impas produktivitasnya dihitung sebagai
berikut :
Keadaan impas adalah jika keuntungan (π) sama dengan 0 (nol), maka :
Keterangan :
Q = Jumlah produk
P = Harga jual produk
TVC = Biaya total variabel
TFC = Biaya total tetap
AVC = Biaya rata-rata variabel
2. Pendekatan Grafis
38
Pendekatan ini menentukan titik impas dengan melihat pertemuan
antara garis pendapatan penjualan dengan garis biaya dalam suatu grafik,
dimana titik pertemuan antara keduanya merupakan titik impas.
Pendekatan grafis secara jelas dapat terlihat pada Gambar 2 berikut.
Gambar 2. Titik Impas, Laba, dan Volume Penjualan Sumber : Mulyadi (2001)
Keterangan :
TR = Penerimaan total
TC = Biaya total
Pendapatan, Biaya
Volume Penjualan
TFC
TVC
TC
TR
P
Q O
A
B
39
TVC = Biaya variabel total
TFC = Biaya tetap total
Daerah A = Daerah laba atau untung
Daerah B = Daerah rugi
P = Pendapatan, biaya
Q = Volume penjualan
Berdasarkan Gambar 2 terlihat titik impas terjadi pada titik
perpotongan TR dan TC, saat volume penjualan sebesar Q menghasilkan
pendapatan sebesar P. Jika penjualan lebih kecil dari Q (sebelah kiri) maka
usaha terkait akan mengalami kerugian, karena pendapatan yang menurun
membuat biaya total tidak tertutupi dan akan untung jika yang terjadi
sebaliknya. Titik impas ini dapat berubah dengan adanya perubahan harga
input, output, dan teknologi.
Menurut Prawironegoro dan Ari (2008), semua produk seyogyanya
harus dihitung titik impasnya, guna mengetahui apakah usaha yang
bersangkutan memperoleh laba atau menderita kerugian. Setelah
mengetahui titik impas, maka kemudian dapat diketahui kemampuan suatu
usaha dalam memperoleh laba yang disebut juga profitabilitas.
Profitabilitas dapat ditentukan oleh besarnya nilai Margin of Safety (MOS)
dan Maginal Income Ratio (MIR).
Menurut Munawir (1995), MOS menunjukkan tingkat penurunan
produksi atau penjualan yang dapat ditoleransi. MIR yaitu bagian hasil
penjualan yang tersedia untuk menutup biaya tetap dan laba. Semakin
besar nilai MOS dan nilai MIR suatu usaha, maka semakin besar nilai
kemampuan usaha tersebut dalam memperoleh laba dan sebaliknya jika
semakin kecil.
3.1.4. Analisis Nilai Tambah
40
Menurut Hardjanto dalam Furqanti (2003), nilai tambah merupakan
pertambahan nilai suatu komoditi karena adanya input fungsional pada komoditi
terkait. Input fungsional dapat berupa proses mengubah bentuk atau form utility,
memindahkan tempat place utility, maupun menyimpan time utility. Analisis nilai
tambah merupakan metode perkiraan sejauh mana bahan baku yang mendapat
perlakuan mengalami perubahan nilai. Selain itu analisis nilai tambah juga
menunjukkan bagaimana kekayaan perusahaan tercipta melalui proses produksi
dan bagaimana distribusi kekayaan tersebut dilakukan.
Komoditas pertanian yang memperoleh perlakuan mengalami perubahan
nilai sehingga menimbulkan nilai tambah, yang dipengaruhi oleh teknologi yang
digunakan dalam proses pengolahan. Besarnya nilai tambah karena proses
pengolahan didapat dari pengurangan biaya bahan baku dan input lainnya
terhadap nilai produk yang dihasilkan, tidak termasuk tenaga kerja. Dengan kata
lain, nilai tambah merupakan imbalan bagi tenaga kerja dan keuntungan pengolah
(Gambar 3).
Gambar 3. Nilai Tambah dan Marjin Hasil Pengolahan Sumber : Soeharjo (1991)
Melalui analisis nilai tambah, maka dapat teranalisa faktor mana dari
proses produksi yang menghasilkan atau menaikkan nilai tambah dan sebaliknya.
Analisis nilai tambah juga dapat dilakukan dengan menggunakan metode Hayami,
= Nilai Tambah
= Bahan Baku
= Input Lainnya
+ = Marjin
Keuntungan Pengolah (Imbalan bagi Modal dan Manajemen)
Imbalan bagi Tenaga Kerja
Input Lainnya
Bahan Baku
41
dimana perhitungannya berdasarkan satu satuan bahan baku utama dari produk
jadi (Hayami, 1987). Analisis nilai tambah melalui metode Hayami ini dapat
menghasilkan beberapa informasi penting, antara lain berupa :
a) Perkiraan nilai tambah, dalam rupiah
b) Rasio nilai tambah terhadap nilai produk jadi, dalam persen
c) Imbalan jasa tenaga kerja, dalam rupiah
d) Bagian tenaga kerja, dalam persen
e) Keuntungan yang diterima perusahaan, dalam rupiah
f) Tingkat keuntungan perusahaan, dalam persen
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional
Berdasarkan perumusan masalah dalam penelitian ini, maka untuk melihat
perkembangan usaha tahu dan tempe yang menjadi objek penelitian diperlukan
analisa pada aspek keuangannya. Analisa aspek keuangan ini dapat dilakukan
melalui pendekatan analisis biaya dengan penelaahan pada komponen biaya,
volume penjualan, dan harga jual. Dari analisis biaya ini kemudian dapat terlihat
bagaimana kondisi usaha tahu dan tempe yang menjadi objek studi, menggunakan
analisis titik impas dan nilai tambah.
Melalui analisis titik impas akan terlihat nilai impas atau kondisi rugi tidak
rugi usaha yang selanjutnya akan terkait dengan profitabilitas usaha yang menjadi
objek penelitian. Berdasarkan analisis profitabilitas dapat terlihat seberapa besar
kemampuan usaha tahu dan tempe yang menjadi objek studi dapat memperoleh
laba atau untung. Analisis profitabilitas dilihat melalui nilai MOS dan MIR usaha
terkait, yang dihitung berdasarkan nilai impas.
Analisis nilai tambah yang dilakukan menunjukkan besarnya nilai tambah
dari proses pengolahan kedelai pada usaha tahu dan tempe. Analisis nilai tambah
pada penelitian ini menggunakan alat analisis metode Hayami, dimana
berdasarkan analisis yang dilakukan dapat terlihat pengolahan mana yang
memiliki nilai tambah yang lebih besar. Selain itu informasi lain yang bisa
42
diperoleh antara lain besarnya produktivitas produksi, besarnya marjin, serta
distribusi marjin untuk faktor-faktor produksi yang digunakan selain bahan baku.
Berdasarkan analisis profitabilitas serta nilai tambah yang dilakukan pada
usaha tahu dan tempe, akan diketahui sampai sejauh mana kedua usaha tersebut
telah mencapai tujuannya terutama dalam memperoleh keuntungan. Secara
ringkas alur kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4.
Tahu dan Tempe
• Konsumsi kedelai nasional lebih besar daripada produksi kedelai nasional
• Sebagian besar persediaan kedelai nasional berasal dari impor
• Harga kacang kedelai yang fluktuaktif
43
Keterangan :
: Alur Pemikiran : Ruang Lingkup Penelitian
Gambar 4. Alur Kerangka Pemikiran Konseptual
IV METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada usaha tahu dan tempe di Kota Bogor, dimana
untuk usaha tahu mengambil tempat yang berlokasi di Kecamatan Tegal Gundil.
• Produktivitas Produksi
• Nilai Output
• Nilai Tambah
• Balas Jasa Tenaga Kerja
Metode Hayami
Analisis Nilai Tambah
Profitabilitas
Analisis Biaya
Analisis Titik Impas
• Biaya • Volume Penjualan • Harga Jual
• Harga jual tahu dan tempe yang sulit naik
K t d h
Tujuan Usaha : Memperoleh Laba
44
Sedang untuk usaha tempe mengambil tempat yang berlokasi di Kecamatan
Cilendek Timur. Penelitian dilakukan selama lima bulan yang dimulai dari bulan
Desember 2008 sampai dengan bulan April 2009.
4.2. Metode Penentuan Sampel
Penelitian pada usaha pengrajin tahu dan tempe di Kota Bogor dilakukan
dengan mengambil salah satu usaha untuk masing-masing produk (tahu dan
tempe) secara sengaja (purpossive). Tabel 6 menunjukkan wilayah kecamatan
yang lebih banyak mengolah kedelai menjadi tahu saja adalah wilayah Kecamatan
Tegal Gundil. Adapun jumlah total kedelai yang diolah pada Kecamatan Tegal
Gundil setiap bulannya adalah 9.620 kilogram, dengan jumlah usaha yang
berproduksi tahu pada wilayah kecamatan tersebut adalah 16 usaha. Banyaknya
kedelai yang dibutuhkan untuk diolah pada masing-masing usaha tahu di wilayah
Kecamatan Tegal Gundil, secara jelas dapat terlihat pada Tabel 8 berikut.
Tabel 8. Kebutuhan Kedelai Usaha Tahu di Kecamatan Tegal Gundil Tahun 2008
No Nama Pengrajin Kebutuhan Kedelai (kg/bulan) 1. H.E. Kosasih 1.160 2. H.E. Koswara 640 3. Supardi 520 4. Jaenudin 400 5. Pupung 400 6. Mumu 2.100 7. Toyib 400 8. Nana H. 350 9. Nana S. 400
10. Olih 400 11. Een S. 300 12. A. Fadillah 350 13. Ade Caca 300 14. Kundang M. 1.000 15. Suherman 500 16. Maman 400 Sumber : PRIMKOPTI (2008) Pada Tabel 8 terlihat banyaknya kedelai yang dibutuhkan usaha tahu di
Kecamatan Tegal Gundil tidak merata. Berdasarkan data pada Tabel 8, maka
penelitian pun dilakukan dengan mengambil salah satu usaha pada kecamatan
bersangkutan. Selain itu Tabel 8 juga memperlihatkan bahwa usaha tahu yang
mengolah kedelai paling banyak adalah usaha tahu milik Bapak Mumu sebesar
45
2.100 kilogram per bulan, yang menjadikan usaha beliau sebagai objek pada
penelitian.
Pemilihan usaha yang mengolah kedelai lebih besar sebagai objek
penelitian dilakukan, karena usaha dengan skala produksi tinggi lebih bisa
mengefisiensikan beberapa jenis biaya terutama biaya tetap. Sama halnya seperti
usaha tahu, berdasarkan data pada Tabel 6 menunjukkan wilayah kecamatan yang
lebih banyak mengolah kedelai menjadi tempe adalah wilayah Kecamatan
Cilendek Timur. Adapun jumlah total kedelai yang diolah pada Kecamatan
Cilendek Timur adalah 26.950 kilogram, dengan jumlah usaha yang berproduksi
tempe saja sebanyak 15 usaha.
Banyaknya kedelai yang dibutuhkan untuk diolah pada masing-masing
usaha tempe di wilayah Kecamatan Cilendek, secara jelas dapat terlihat pada
Tabel 9.
Tabel 9. Kebutuhan Kedelai Usaha Tempe di Kecamatan Cilendek Timur Tahun 2008
No Nama Pengrajin Kebutuhan Kedelai (kg/bulan) 1. Marjani 1.750 2. Kasman 1.000 3. Kartijan 1.400 4. Amat K. 2.000 5. Sularno 9.000 6. Noto 2.000 7. Fadoli 1.400 8. Cahyono 1.400 9. Hambali 1.000
10. Mustadi 1.000 11. M. Khusen 1.000 12. Rusdi 1.000 13. M. Khasan 1.000 14. Wargiono 1.000 15. Abdul Chalim 1.000 Sumber : PRIMKOPTI (2008)
Berdasarkan Tabel 9 terlihat bahwa sama halnya seperti usaha tahu,
banyaknya kedelai yang dibutuhkan usaha tempe di Kecamatan Cilendek Timur
juga tidak merata. Ini menjadikan penelitian dilakukan dengan mengambil salah
satu usaha pada kecamatan bersangkutan, dengan melihat jumlah pengolahan
kedelai yang terbesar. Adapun usaha tempe dengan kebutuhan dan pengolahan
46
kedelai terbesar adalah usaha milik Bapak Sularno sebanyak 9.000 kilogram per
bulan.
4.3 Desain Penelitian
Penelitian analisis profitabilitas serta nilai tambah pada usaha tahu dan
tempe, menggunakan metode kasus yang dilakukan pada salah satu usaha tahu
dan tempe di Kota Bogor dengan tujuan penelitian dapat dilakukan secara detail
dan mendalam. Berdasarkan hal tersebut, maka hasil perhitungan pada penelitian
ini bukan merupakan gambaran industri tahu dan tempe secara keseluruhan.
Penelitian ini merupakan gambaran bagaimana kondisi salah satu usaha tahu dan
tempe di Kota Bogor, terkait dengan adanya kenaikan harga kedelai sebagai bahan
baku dari tahu dan tempe itu sendiri.
Pemilihan kedua lokasi usaha ditentukan secara sengaja, dengan melihat
faktor jumlah kedelai yang dibutuhkan dan diolah oleh masing-masing usaha.
Adapun usaha tahu yang dijadikan objek penelitian adalah usaha milik Bapak
Mumu yang berlokasi di Jalan Arzimar II RT 02/VIII, Kelurahan Tegal Gundil,
Kecamatan Tegal Gundil. Usaha tempe yang dijadikan objek penelitian
merupakan usaha milik Bapak Sularno yang berlokasi di Komplek Perumahan
Bumi Menteng Asri, Kp. Pabuaran RT 02/02, Kecamatan Cilendek Timur.
4.4. Data dan Instrumentasi
Data dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis data, yaitu data primer dan
data sekunder. Data primer merupakan data yang berasal dari hasil observasi
langsung dan menggunakan responden, sedang data sekunder adalah data yang
telah terdokumentasi sebelumnya. Instrumentasi atau alat pengumpul yang
digunakan pada penelitian beragam, antara lain daftar pertanyaan, alat perekam
berupa hand phone, alat pencatat berupa alat tulis, dan timbangan untuk
mengukur bobot tahu dan tempe.
4.5. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian menghabiskan waktu kurang lebih tiga
bulan yang dimulai dari bulan Desember 2008 sampai dengan bulan Februari
2009 dan dilakukan di tempat usaha yang menjadi objek penelitian. Data primer
47
pada penelitan dikumpulkan dengan cara observasi, wawancara langsung dan
mendalam pada pengrajin selaku pemilik usaha. Adapun data yang diperoleh
antara lain gambaran umum dan karakteristik usaha, aktivitas produksi dan
penjualan, serta data kuantitatif yang diperlukan untuk penelitian.
Data sekunder dalam penelitian berasal dari instansi atau lembaga yang
terkait, seperti PRIMKOPTI, Badan Pusat Statistik (BPS), Perpustakaan LSI IPB,
serta Departemen Perindustrian dan Perdagangan (DEPERINDAG). Selain itu
terdapat juga data sekunder yang diperoleh melalui penelusuran internet, buku,
juga literatur-literatur yang terkait dengan penelitian.
4.6. Metode Pengolahan Data
Data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisis secara kuantitatif,
diolah menggunakan microsoft excel dan kalkulator untuk disajikan dalam bentuk
tabulasi guna mempermudah perhitungan dan pendeskripsian. Periode analisis
yang digunakan adalah satu tahun, dimana hari efektif kerja masing-masing usaha
untuk satu bulannya yaitu 25 hari (satu tahun = 300 hari kerja). Metode analisis
yang digunakan untuk analisis profitabilitas usaha adalah perhitungan titik impas,
Marginal Income Ratio (MIR), dan Marginal of Safety (MOS) yang dihasilkan
berdasarkan data produksi, penjualan, dan biaya. Sedangkan untuk analisis nilai
tambah, metode analisis yang digunakan adalah metode Hayami.
4.6.1. Analisis Biaya Produksi
Tujuan perusahaan pada umumnya adalah untuk memperoleh laba, dimana
besar kecilnya laba yang dapat dicapai akan menjadi ukuran suksesnya pengelola
usaha bersangkutan. Oleh karena itu pemilik usaha harus mampu merencanakan
dan sekaligus memperoleh laba besar agar dapat dikatakan sukses. Perencanaan
usaha ini antara lain berisi taksiran penghasilan yang akan diperoleh dan biaya-
biaya yang akan terjadi untuk memperoleh penghasilan tersebut12.
Biaya merupakan faktor penting dalam perencanaan laba dalam suatu
usaha, karena biaya akan menentukan harga jual yang akan mempengaruhi
volume penjualan dan produksi. Terkait dengan penelitian pada usaha tahu dan
tempe, maka struktur biaya pada usaha bersangkutan harus dianalisis terlebih 12 Munawir. 1995. Analisis Laporan Keuangan.
48
dahulu dengan melakukan kunjungan lapang langsung. Biaya-biaya yang
dianalisis pada usaha tahu dan tempe ini memperhitungkan semua unsur biaya
produksi yaitu biaya bahan baku langsung, tenaga kerja langsung, dan overhead
pabrik, yang kemudian diklasifikasikan menurut perilakunya menjadi biaya tetap
dan variabel. Adapun rumus yang digunakan untuk perhitungan total biaya
produksi sebagai berikut :
Selain itu terdapat biaya penyusutan untuk peralatan produksi dari kedua
usaha, yang merupakan bagian dari biaya tetap. Perhitungan biaya penyusutan
dilakukan dengan menghitung persentase penyusutan per tahunnya terlebih
dahulu, kemudian dikalikan dengan besarnya biaya peralatan. Rumus yang
digunakan dalam perhitungan persentase dan biaya penyusutan per tahun adalah
sebagai berikut :
a. Persentase Penyusutan per Tahun
b. Biaya Penyusutan per Tahun
4.6.2. Analisis Titik Impas
Secara matematis, titik impas dihitung sebagai berikut :
a. Titik Impas atau BEP dalam unit
b. Titik Impas atau BEP dalam rupiah
49
Keterangan :
Q = Jumlah produk
P = Harga jual produk per unit
TFC = Biaya total tetap
AVC = Rata-rata biaya variabel
4.6.3. Profitabilitas Usaha
Profitabilitas merupakan perhitungan untuk melihat kemampuan usaha
dari tahu dan tempe dalam memperoleh laba, yang diperoleh melalui hasil
perkalian antara MOS atau Margin of Safety dan MIR atau Marginal Income
Ratio. Rumus yang digunakan dalam menghitung profitabilitas adalah sebagai
berikut :
Keterangan :
MOS = Margin of Safety
MIR = Marginal Income Ratio
Π = Profitabilitas usaha
TVC = Biaya rata-rata variabel
4.6.4. Analisis Nilai Tambah
Dalam menganalisis nilai tambah kacang kedelai untuk memproduksi tahu
dan tempe, menggunakan metode Hayami dimana pada akhirnya akan diperoleh
hasil berupa produktivitas produksi, nilai output, nilai tambah, balas jasa tenaga
50
kerja, dan keuntungan pengolahan. Perhitungan melalui metode Hayami tersaji
dalam bentuk tabel seperti pada Tabel 10.
Tabel 10. Perhitungan Nilai Tambah Menurut Metode Hayami
No Variabel Nilai Output, Input, dan Harga
1. Output yang dihasilkan (kg/hari) a 2. Bahan baku yang digunakan (kg/hari) b 3. Tenaga Kerja (jam/hari) c 4. Faktor konversi (1/2) d = a/b 5. Koefisien tenaga kerja (3/2) e = c/b 6. Harga output (Rp/kg) f 7. Upah rata-rata tenaga kerja (Rp/jam) g Pendapatan dan Keuntungan
8. Harga bahan baku (Rp/kg bahan baku) h 9. Sumbangan input lain (Rp/kg output) i 10. Nilai output (4 x 6) (Rp) j = d x f 11. a. Nilai tambah (10 – 9 – 8) (Rp) k = j – h – i
b. Rasio nilai tambah ((11a/10) x 100%) l (%) = (k/j) x 100 % 12. a. Imbalan tenaga kerja (5 x 7) (Rp) m = e x g
b. Bagian tenaga kerja ((12a/11a) x 100%) n (%) = (m/k) x 100% 13. a. Keuntungan (11a – 12a) (Rp) o = k – m
b. Tingkat keuntungan ((13a/11a) x 100%) p (%) = (o/k) x 100% 14. Marjin (10 – 8) (Rp) q = j – h
a. Pendapatan tenaga kerja ((12a/14) x 100%) r (%) = (m/q) x 100% b. Sumbangan input lain ((9/14) x 100 %) s (%) = (i/q) x 100% c. Keuntungan perusahaan ((13a/14) x 100%) t (%) = (o/q) x 100%
Sumber : Hayami, 1987
Faktor konversi pada Tabel 10, menunjukkan banyaknya produk olahan
yang dihasilkan dari satu kilogram bahan baku. Koefisien tenaga kerja dalam tabel
menunjukkan banyaknya tenaga kerja yang diperlukan untuk mengolah satu
satuan input. Nilai output pada tabel menunjukkan nilai produk yang dihasilkan
dari satu satuan input yang digunakan. Adapun langkah-langkah dalam
menggunakan metode Hayami antara lain (Hayami, 1987) :
51
1. Membuat arus komoditi yang menunjukkan bentuk-bentuk komoditi,
lokasi, lama penyimpanan, dan berbagai perlakuan terhadap komoditi
bersangkutan.
2. Mengidentifikasi setiap transaksi yang terjadi menurut perhitungan
finansial.
3. Memilih dasar perhitungan, yang mana dalam penelitian ini didasarkan
pada per satuan input utama atau bahan baku.
Metode Hayami sendiri memiliki kelebihan dan kelemahan, adapun
kelebihan dari metode Hayami ini antara lain (Ramdiany dalam Furqanti, 2003) :
1. Dapat diketahui besarnya nilai tambah dan output
2. Dapat diketahui besarnya balas jasa terhadap pemilik faktor-faktor
produksi, seperti tenaga kerja, modal, sumbangan input lain, dan
keuntungan
3. Prinsip nilai tambah menurut Hayami dapat digunakan untuk subsistem
lain selain pengolahan, seperti analisis nilai tambah pemasaran
Kelemahan dari metode Hayami, yaitu (Ernawati dalam Furqanti, 2003) :
1. Pendekatan rata-rata tidak tepat jika diterapkan pada unit usaha yang
menghasilkan banyak produk dari satu jenis bahan baku
2. Tidak dapat menjelaskan nilai output produk sampingan
3. Sulit menentukan pembanding yang dapat digunakan untuk mengatakan
apakah balas jasa terhadap pemilik faktor produksi sudah layak atau
belum.
52
V GAMBARAN UMUM USAHA
5.1. Keragaan Usaha
5.1.1. Usaha Tahu
Usaha tahu yang menjadi objek studi dalam penelitian adalah usaha milik
Bapak Mumu, yang berlokasi di Jalan Arzimar II, Kelurahan Tegal Gundil,
Kecamatan Bogor Utara. Bapak Mumu mengawali karir pada usaha tahu sebagai
kuli di tempat usaha orang lain pada tahun 1987, setelah itu beliau pun mencoba
berdagang untuk mempelajari masalah pemasaran. Pada tahun 1997 beliau
akhirnya memulai untuk membuka usaha tahu sendiri, namun krisis moneter yang
melanda di pertengahan tahun saat itu mempengaruhi usaha beliau secara tidak
langsung.
Krisis moneter yang berlangsung pada waktu itu membuat harga kedelai
meningkat dari Rp. 1250 per kilogram menjadi Rp. 6000 per kilogram. Tak hanya
usaha Bapak Mumu saja tetapi usaha-usaha kecil lainnya yang ada di Indonesia
pun ikut terpengaruhi. Pemerintah saat itu pun mengeluarkan kebijakan berupa
subsidi pinjaman yang disalurkan melalui departemen perdagangan, untuk
membantu usaha-usaha yang terkena dampak krisis moneter. Bapak Mumu sendiri
pada saat itu menerima bantuan subsidi pinjaman sebesar Rp. 5.000.000 dan harus
dikembalikan lagi, sehingga beliau pun saat itu belum dapat menikmati hasil
usahanya sendiri.
Setelah beberapa tahun berjalan usaha beliau akhirnya menghasilkan
keuntungan, hingga kini usaha beliau masih bertahan dan merupakan salah satu
usaha tahu yang cukup maju di Kota Bogor. Kenaikan harga kedelai yang juga
terjadi sepanjang tahun 2008 diakui Bapak Mumu cukup mempengaruhi
usahanya, namun ini masih dapat teratasi dengan manajemen yang baik dari
beliau selaku pemilik usaha. Pada sisi legalitas, usaha ini telah memiliki beberapa
perijinan berupa izin usaha, produksi, Departemen Kesehatan (Depkes), dan
sertifikat halal MUI yang membuat usaha tahu tersebut memiliki nilai lebih
53
tersendiri bagi konsumen. Adapun jumlah tenaga kerja yang bekerja pada usaha
tahu kini adalah lima orang, yang berasal dari luar Kota Bogor dengan jam kerja
per hari kurang lebih 10 jam.
Terdapat dua investasi penting pada usaha tahu yang menunjang
kelancaran kegiatan usaha, yaitu tempat usaha dan kendaraan operasional untuk
mencari bahan baku. Tanah dan bangunan yang kini menjadi tempat produksi
tahu, dibeli pada tahun 1997 saat pemilik memulai usahanya sendiri. Adapun luas
tempat usaha tahu seluas 150 m2, dengan harga beli saat itu Rp 3.000.000.
Kemudian pemilik usaha pun melakukan renovasi sederhana terhadap
tempat tersebut yang menghabiskan biaya sebesar Rp 1.500.000, juga
menambahkan akses menuju jalan utama berupa jembatan besi yang
menghabiskan biaya sebesar Rp 25.000.000. Sepuluh tahun kemudian pemilik
usaha melakukan renovasi ulang terhadap tempat usaha secara total untuk
menjaga ketahanan bangunan agar lebih lama, yang menghabiskan biaya sebesar
Rp 200.000.000. Kendaraan opersional yang digunakan pada usaha untuk
memperlancar kegiatan usaha berupa kendaraan pick up kecil seharga Rp
45.000.000, yang digunakan untuk membeli bahan baku dan bahan bakar.
5.1.1.1. Peralatan Produksi Tahu
Terdapat beberapa hal yang harus dipersiapkan sebelum berproduksi yaitu
peralatan dan bahan baku. Peralatan yang digunakan dalam memproduksi tahu
masing-masing memiliki fungsi yang berbeda-beda. Adapun peralatan-peralatan
yang digunakan dalam produksi dapat lebih jelas terlihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Inventarisasi Peralatan Produksi Tahu Usaha Bapak Mumu
No Uraian Jumlah (unit) Biaya (Rp/unit) Total (Rp)
1. Mesin Diesel 1 2.500.000 2.500.0002. Mesin Giling 1 250.000 250.0003. Tungku Semen 2 1.500.000 3.000.0004. Tanggok Besi 1 1.000.000 1.000.0005. Bak Semen 4 500.000 2.000.0006. Pompa Air 2 300.000 600.0007. Cetakan (6 loyang) 1 600.000 600.0008. Ember (10 liter) 3 10.000 30.0009. Serok 3 70.000 210.000
54
10. Kain (50 cm x 50 cm) 6 0 011. Bak Air (1m2) 1 500.000 500.00012. Bak Biang (1 m2) 3 150.000 450.000
Total Biaya Peralatan Produksi (Rp) 11.140.000
Pada Tabel 11 terlihat bahwa terdapat 12 peralatan yang digunakan untuk
proses produksi, antara lain mesin diesel dan giling, pompa air, tungku semen,
cetakan, tanggok besi, baksemen, ember, serok, kain, bak air dan biang. Mesin
diesel dan giling yang dimiliki usaha ada sebanyak satu unit, dengan biaya untuk
mesin diesel sebesar Rp 2.500.000 sedang mesin giling sebesar Rp 250.000.
Adapun kegunaan mesin diesel adalah untuk menambah energi listrik yang
dibutuhkan dalam proses produksi tahu, sedang mesin giling berfungsi untuk
menggiling kacang kedelai menjadi bubur.
Tungku semen pada usaha merupakan tungku yang terbuat dari semen
yang dicor membentuk tungku, yang berfungsi sebagai tempat merebus kedelai
yang sudah digiling. Usaha tahu memiliki tungku semen sebanyak dua unit
dengan biaya per unit sebesar Rp 1.500.000, maka total biaya tungku sebesar Rp
3.000.000. Bak semen pada usaha juga merupakan bak yang terbuat dari semen,
dan berfungsi sebagai tempat penyimpanan kedelai yang sudah menjadi bubur.
Satu unit bak semen pada usaha menghabiskan biaya sebesar Rp 500.000,
dengan total empat unit yang dimiliki maka total biaya untuk bak semen sebesar
Rp 2.000.000. Usaha ini memiliki dua unit pompa air, yang berfungsi untuk
memudahkan akses penggunaan air yang dibutuhkan dalam proses produksi.
Biaya satu unit pompa adalah sebesar Rp 300.000, sehingga total biaya untuk
pompa air sebesar Rp 600.000.
Satu unit cetakan yang dimiliki usaha menghabiskan biaya sebesar Rp
600.000, dengan fungsi sebagai tempat mencetak kedelai yang sudah diolah untuk
menjadi tahu. Ember dan bak biang pada usaha masing-masing ada sebanyak tiga
unit, dimana ember berfungsi untuk menampung air sedang bak biang berfungsi
untuk tempat kedelai yang sudah menjadi bubur dan siap untuk dicetak. Adapun
biaya untuk ember per unitnya sebesar Rp 10.000 sedang untuk bak biang sebesar
Rp 150.000 per unit, sehingga total biaya keseluruhan unit untuk ember sebesar
Rp 30.000 dan untuk bak biang sebesar Rp 450.000.
55
Berdasarkan uraian di atas, maka total biaya secara keseluruhan untuk
peralatan produksi pada usaha tahu adalah sebesar Rp 11.140.000. Dalam rangka
menjaga ketahanan peralatan, maka secara berkala pemilik usaha melakukan
pemeliharaan. Pemeliharaan peralatan produksi yang dilakukan oleh pemilik
usaha bertujuan agar kegiatan produksi dapat berjalan lancar, yaitu dengan
membersihkan sebagian peralatan dan mengganti beberapa bagian pada mesin
yang sudah karat.
5.1.1.2. Produksi Tahu
Bahan baku utama dalam pembuatan tahu adalah kacang kedelai, dimana
besaran jumlah yang dibutuhkan untuk tiap produksi pada usaha kecil umumnya
ditentukan oleh banyaknya pesanan. Usaha tahu pada penelitian ini membutuhkan
kurang lebih tiga kuintal kacang kedelai untuk memproduksi tahu per harinya.
Selain itu juga dibutuhkan beberapa bahan baku penunjang lainnya dalam
menghasilkan tahu, yang dapat terlihat lebih jelas pada Tabel 12.
Tabel 12. Kebutuhan Bahan Baku Produksi Tahu per Hari
No Uraian Jumlah 1. Kacang Kedelai 300 kg 2. Garam 30 kg 3. Kunyit 10 kg 4. Asam Cuka secukupnya
Berdasarkan Tabel 12 terlihat bahwa dalam satu hari usaha ini mengolah
rata-rata sebanyak 300 kilogram kacang kedelai, dengan garam yang digunakan
kurang lebih sebanyak 30 kilogram. Kunyit dalam pembuatan tahu digunakan
sebagai pewarna pada tahu untuk jenis tahu kuning. Selain itu usaha ini juga
menggunakan asam cuka secukupnya, guna mengendapkan bubur kedelai yang
disaring agar memadat menjadi tahu. Adapun proses produksi dari tahu itu sendiri
dapat terlihat dengan jelas pada Gambar 5.
56
Gambar 5. Proses Produksi Tahu
Berdasarkan Gambar 5 terlihat terdapat beberapa tahapan untuk mengolah
kedelai menjadi tahu. Sebelum dan setelah direndam selama satu jam, kedelai
harus dicuci agar kulit kacangnya mengelupas dan kebersihannya terjaga sehingga
tidak cepat masam. Setelah itu kedelai tersebut ditiriskan, untuk kemudian dilumat
menggunakan mesin giling bersamaan dengan penambahan air hangat hingga
menjadi bubur.
Bubur kedelai tersebut kemudian dimasak hingga muncul gelembung-
gelembung kecil pada suhu 70o - 80o C. Setelah sedikit mengental bubur kedelai
kemudian disaring lalu diendapkan dengan asam cuka, yang mana dalam
pengerjaannya Bapak Mumu menggunakan air tahu dari sisa hasil proses
produksi. Air tahu ditambahkan secukupnya hingga hasil saringan bubur kedelai
membentuk dan bisa dicetak, sisa hasil saringan yang berupa ampas tahu yang
Diendapkan dengan Asam Cuka
Air untuk Rendaman
Digiling
57
dapat dijual atau diolah kembali menjadi oncom. Bapak Mumu sendiri mengolah
sisa ampas tahu, dengan cara menjualnya pada harga Rp. 5000 per kilogram.
5.1.2. Usaha Tempe
Usaha tempe yang menjadi objek dalam penelitian adalah usaha milik
Bapak Sularno, yang berlokasi di Komplek Perumahan Bumi Menteng Asri,
Kelurahan Cilendek Timur, Kecamatan Bogor Timur. Berbeda dengan Bapak
Mumu, Bapak Sularno mengawali usahanya pada tahun 1979 di daerah Malabar.
Bapak Sularno turut berusaha di sana bersama pengusaha tempe lainnya selama
kurang lebih empat tahun, dimana pada tahun 1981 beliau ikut bergabung menjadi
anggota PRIMKOPTI.
Pada tahun 1983, Bapak Sularno memutuskan berpindah tempat tinggal
dan memulai usahanya sendiri pada lokasi usaha yang hingga saat ini beliau
tempati bersama keluarga. Usaha tempe ini memiliki nama usaha Unit Fermentasi
KOPTI Kota Bogor, dimana kini untuk urusan manajemen dalam usaha beliau
telah diteruskan oleh anaknya yang bernama Mas Roin. Selaku pengurus Mas
Roin mengakui bahwa harga kedelai yang berfluktuaktif sepanjang tahun 2008
secara tidak langsung mempengaruhi usahanya, namun hal tersebut dapat diatasi
oleh beliau dengan baik sehingga usaha ini masih dapat bertahan. Pada sisi
legalitas usaha tempe tidak jauh berbeda dengan usaha tahu, memiliki izin
produksi, usaha, serta label halal dari MUI. Jumlah tenaga kerja yang bekerja pada
usaha tempe ini yaitu enam orang, dengan asal dan jumlah jam kerja yang sama
dengan usaha tahu.
5.1.2.1. Peralatan Produksi Tempe
Peralatan yang digunakan pada pengolahan kedelai menjadi tempe berbeda
dengan pembuatan tahu, karena keduanya memiliki proses produksi yang berbeda.
Akan tetapi sama dengan pembuatan tahu, peralatan dalam pembuatan tempe juga
bermacam-macam. Peralatan yang dibutuhkan dalam proses produksi tempe pada
usaha ini dapat dengan jelas terlihat pada Tabel 13.
58
Tabel 13. Inventarisasi Peralatan Produksi Tempe Usaha Bapak Sularno
No Uraian Jumlah (unit) Biaya (Rp/unit) Total (Rp)
1. Mesin Giling 1 1.700.000 1.700.0002. Jembung Plastik
- Ukuran 50 kg 12 80.000 960.000 - Ukuran 700 liter 2 450.000 900.000
3. Drum (ukuran 70 cm) 9 150.000 1.350.000
4. Papan 260 27.000 7.020.0005. Rak Anyaman 30 10.000 300.0006. Tusukan 4 07. Geblekan 10 0
Total Biaya Peralatan 12.230.000
Tabel 13 menunjukkan terdapat tujuh peralatan yang digunakan dalam
proses produksi tempe, antara lain mesin giling, jembung plastik dengan ukuran
50 kilogram dan 700 liter, drum besi sepanjang 70 cm, papan anyaman, bambu,
tusukan, dan geblekan. Peralatan produksi berupa mesin giling pada usaha ada
sebanyak satu unit yang digunakan untuk menggiling kedelai, dengan biaya
sebesar Rp 1.700.000. Jembung plastik pada usaha untuk ukuran 50 kilogram ada
sebanyak 12 unit dengan biaya sebesar Rp 80.000 per unit, sedang untuk ukuran
700 liter ada sebanyak dua unit dengan biaya sebesar Rp 450.000.
Berdasarkan itu maka total biaya jembung plastik, untuk ukuran 50
kilogram sebesar Rp 960.000 dan untuk ukuran 700 liter sebesar Rp 900.000.
Adapun kegunaan kedua peralatan ini adalah untuk merendam kedelai dan sebagai
tempat pencampuran kedelai dengan ragi. Drum besi pada usaha ada sebanyak
sembilan unit dengan biaya sebesar Rp 150.000 per unit atau Rp 1.350.000 untuk
keseluruhan unit, dimana peralatan ini memiliki kegunaan sebagai tempat
menyaring sisa air yang ada pada kedelai yang direndam.
59
Papan anyaman pada usaha ada sebanyak 260 unit dan bambu ada
sebanyak 30 unit, dimana keduanya berfungsi sebagai tempat kedelai yang telah
diolah untuk berfermentasi. Biaya per unit papan anyaman dan bambu secara
berurutan adalah sebesar Rp 27.000 dan 10.000, maka total biaya masing-masing
untuk keseluruhan unit sebesar Rp 7.020.000 untuk papan anyaman dan Rp
300.000 untuk bambu. Tusukan dan geblekan pada pembuatan tempe diperoleh
dengan cara membuatnya sendiri, memiliki fungsi untuk memberikan udara dan
membuat bentuk olahan kedelai yang terbungkus dalam plastik.
Adapun total biaya peralatan produksi secara keseluruhan pada usaha
tempe adalah sebesar Rp 12.230.000. Semua peralatan ini harus dipelihara dengan
baik agar bertahan lama dan dapat digunakan dalam jangka waktu lama sehingga
dapat menghemat biaya. Pemeliharaan yang dilakukan untuk merawat peralatan
pada pembuatan tempe tidak berbeda jauh dengan peralatan pada pembuatan tahu,
antara lain dengan membersihkan secara berkala dan melakukan penggantian
bagian mesin yang sudah karat.
5.1.2.2. Produksi Tempe
Seperti halnya tahu kacang kedelai juga menjadi bahan baku utama dalam
pembuatan tempe, dimana setiap harinya usaha tempe ini mengolah rata-rata
sebanyak 400 kilogram kedelai. Selain kacang kedelai pembuatan tempe juga
membutuhkan bahan lainnya berupa ragi yang berperan penting dalam produksi
untuk proses fermentasi. Usaha tempe dalam proses produksinya menggunakan
kurang lebih dua kilogram ragi, adapun proses produksi tempe itu sendiri dapat
terlihat jelas pada Gambar 6.
60
Gambar 6. Proses Produksi Tempe
KEDELAI
Direbus
Didiamkan satu malam
Digiling
Disaring
Dicuci
Proses Fermentasi
Disaring
Proses Pengemasan
Didiamkan satu malam
TEMPE
Dirapihkan
61
Berdasarkan Gambar 6 terlihat, bahwa pembuatan tempe membutuhkan
waktu yang agak lama dibanding pembuatan tahu. Jika tahu hanya membutuhkan
waktu satu hari dalam pembuatannya, maka tempe membutuhkan waktu empat
hari untuk satu kali produksi. Ini karena kedelai yang diolah sebelum menjadi
tempe melewati proses fermentasi, dengan menambahkan ragi yang akan
memunculkan lapuk berwarna putih atau kapang pada kedelai tersebut.
Tahap awal sebelum memulai pengolahan, kedelai direbus dan didiamkan
dalam jembung plastik terlebih dahulu selama satu malam, kemudian digiling
dengan mesin penggiling. Kedelai yang telah digiling lalu disaring terlebih dahulu
guna melepas kulit arinya, kemudian dicuci lalu disimpan dalam luak dan
dicampur dengan ragi. Setelah seperempat jam kemudian kedelai yang telah
dicampur ragi disaring, dengan cara memiringkan luak tempat kedelai tersebut
disimpan agar air dalam luak hilang.
Setelah air dalam luak hilang kemudian dilakukan proses pengemasan ke
dalam plastik, dengan berbagai ukuran sesuai pesanan dan didiamkan selama satu
malam. Keesokan harinya kedelai yang telah terfermentasi dan mengeras,
dirapihkan dan disiapkan berdasarkan pesanan untuk diantar ke konsumen pada
sore atau esok harinya.
5.2. Langkah Penyesuaian Usaha Terhadap Kenaikan Harga Kedelai
Terdapat lima fungsi utama dalam suatu manajemen usaha, antara lain
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, dan pengawasan.
Kelima fungsi manajemen ini penting dalam setiap kali menjalankan kegiatan
usaha, agar kegiatan yang dilakukan dapat berjalan lancar dengan baik sehingga
tujuan yang ditetapkan dapat tercapai. Setiap kegiatan usaha tentunya memiliki
tujuan, dimana untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan suatu perencanaan
terlebih dahulu yang mengambarkan tentang apa, bagaimana, mengapa, dan kapan
dilakukan.
Perencanaan merupakan fungsi terpenting dari semua fungsi manajemen
yang ada, karena menjadi pedoman awal suatu usaha berjalan. Kegunaan dari
perencanaan itu sendiri antara lain dapat mengurangi ketidak pastian serta
perubahan pada waktu mendatang, agar dapat fokus pada tujuan, dan untuk
meringankan biaya. Naiknya harga kacang kedelai beberapa waktu lalu yang
62
secara langsung mempengaruhi usaha tahu tempe di berbagai daerah, maka fungsi
manajemen perencanaan haruslah sangat berperan penting agar berupa langkah-
langkah penyesuaian dapat meringankan biaya produksi.
Berdasarkan studi kasus di salah satu usaha tahu dan tempe di Kota Bogor,
terlihat adanya langkah-langkah penyesuaian yang dilakukan masing-masing
pengrajin saat sebelum dan setelah terjadi peningkatan harga kedelai pada
usahanya. Jauh sebelum terjadi peningkatan harga kedelai, baik usaha tahu atau
usaha tempe sama-sama melakukan pengelolaan dalam penjualan berupa
penetapan harga jual yang berbeda untuk beberapa konsumennya. Perbedaan
penetapan harga jual pada beberapa konsumen ini dilakukan, karena tahu dan
tempe yang dijual oleh kedua usaha merupakan produk dengan harga jual yang
sulit untuk naik.
Dengan menetapkan harga jual yang berbeda untuk beberapa konsumen,
pengrajin berharap akan memperoleh keuntungan yang lebih. Hal ini terbukti pada
saat terjadi kenaikan harga kedelai, kedua usaha tersebut masih dapat bertahan
dan mampu menghasilkan keuntungan dengan juga melakukan beberapa langkah
penyesuaian pada struktur biaya usaha. Langkah penyesuaian yang dilakukan
salah satunya dengan beralih menggunakan bahan bakar alternatif, dari minyak
tanah menjadi kayu bakar dan serbuk kayu.
Selain itu untuk menghemat biaya produksi masing-masing usaha
berusaha untuk menghasilkan bahan baku penunjang lainnya sendiri, seperti usaha
tahu menggunakan air sisa pengolahan kedelai menjadi pengganti asam cuka.
Usaha tempe juga melakukan hal yang sama dengan membuat sendiri sebagian
ragi untuk proses fermentasi kedelai menjadi tempe, yang dibuat dari sisa
pengolahan kedelai. Selain bahan bakar dan bahan baku, kedua usaha juga
melakukan penghematan biaya pada beberapa peralatan produksinya dengan
membuatnya sendiri menggunakan bahan yang ada disekitar usahanya.
Peralatan produksi tersebut untuk usaha tahu antara lain berupa kain
sebagai penutup cetakan, sedang untuk usaha tempe yaitu tusukan dan geblekan
untuk meratakan dan memberi udara pada tempe yang sudah dicetak. Harga jual
untuk masing-masing usaha tidak mengalami perubahan, kecuali tahu yang
menaikkan harga sebanyak Rp 100 sampai dengan Rp 200 untuk tahu yang dijual
63
secara per potong. Dari segi output produk, kedua pengelola usaha tetap
mempertahankan bobot dan bentuk outputnya.
Ini dilakukan agar eksistensi kedua usaha tetap terjaga mengingat
persaingan untuk industri tahu dan tempe sangat ketat, yaitu dengan
mempertahankan kepercayaan konsumen yang telah lama menjadi pelanggan
tetap. Berdasarkan uraian sebelumnya terlihat baik usaha tahu maupun usaha
tempe, telah melakukan perencanaan yang cukup baik dalam kegiatan usahanya.
Oleh karena itu kedua usaha tersebut masih dapat bertahan dan menghasilkan laba
sampai dengan saat ini.
64
VI ANALISIS PROFITABILITAS SERTA NILAI TAMBAH
USAHA TAHU DAN TEMPE
6.1. Analisis Biaya
6.1.1. Biaya
Sebelum menganalisis profitabilitas suatu usaha, biaya dalam usaha yang
bersangkutan harus teranalisis terlebih dahulu. Biaya itu sendiri terdiri dari
berbagai macam jenis tergantung kebutuhan dari usaha bersangkutan, terutama
yang menyangkut tentang proses produksi. Dalam hubungannya dengan
perubahan volume kegiatan, biaya itu sendiri dapat digolongkan menjadi biaya
tetap, semifixed, semivariabel dan variabel. Terkati dengan itu berikut ini akan
dipaparkan struktur biaya dari usaha tahu dan tempe yang menjadi objek dalam
penelitian, terbagi kedalam biaya tetap dan biaya variabel.
6.1.1.1. Biaya Tetap
Biaya tetap merupakan biaya yang jumlah totalnya tetap dalam kisaran
volume kegiatan tertentu, yang terdiri dari beberapa faktor tergantung jenis
kegiatan usahanya. Berdasarkan itu maka jelas biaya tetap suatu usaha berbeda
dengan usaha lainnya, yang juga berlaku pada usaha tahu dan tempe yang menjadi
objek dalam penelitian ini. Faktor-faktor yang menjadi biaya tetap pada masing-
masing usaha antara lain biaya penyusutan investasi, biaya peralatan, biaya
penyusutan peralatan, dan biaya lain-lain.
1. Usaha Tahu
Investasi pada usaha tahu terdiri dari tanah dan bangunan, kendaraan
operasional, serta jembatan besi. Ketiga investasi tersebut penting bagi usaha yang
bersangkutan, karena dapat menunjang keberlangsungan usaha. Adapun biaya
65
investasi pada usaha dapat terlihat secara jelas pada Tabel 14, yang juga disertai
dengan biaya penyusutan dari investasi tersebut.
Tabel 14. Biaya Investasi Usaha Tahu
No Uraian Umur
Ekonomi (tahun)
Biaya (Rp) Penyusutan per Tahun
(%)
Biaya Penyusutan per Tahun
(Rp) 1 Tanah dan Bangungan (150 m2) 25 200.000.000 4 8.000.000 2 Kendaraan Operasional 20 45.000.000 5 2.250.000 3 Jembatan Besi 30 25.000.000 3 833.333
Total 270.000.000 11.083.333
Berdasarkan Tabel 14 terlihat total biaya investasi usaha tahu adalah
sebesar Rp 270.000.000, yang terdiri dari investasi tempat sebesar Rp
200.000.000, investasi kendaraan operasional sebesar Rp 45.000.000, dan
investasi jembatan untuk akses menuju jalan utama sebesar Rp 25.000.000.
Tempat usaha berupa tanah dan bangunan memiliki persentase penyusutan per
tahun sebesar empat persen, sehingga biaya penyusutannya sebesar Rp 8.000.000
per tahun. Persentase penyusutan per tahun untuk kendaraan operasional pada
usaha adalah sebesar lima persen, dengan biaya penyusutan per tahunnya sebesar
Rp 2.250.000.
Persentase penyusutan untuk investasi terakhir berupa jembatan per
tahunnya sebesar tiga persen atau sebesar Rp 833.333 per tahun, sehingga
diperoleh total biaya penyusutan investasi per tahun sebesar Rp 11.083.333. Suatu
usaha memerlukan peralatan yang memadai guna menunjang keberhasilan proses
produksi, dimana dalam hal pengadaannya dibutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Adapun biaya penyusutan untuk peralatan produksi pada usaha tahu, secara jelas
dapat dilihat pada Tabel 15.
66
Tabel 15. Biaya Peralatan Usaha Tahu
Sama halnya seperti penyusutan pada investasi, persentase penyusutan
untuk masing-masing peralatan produksi usaha tahu juga berbeda sesuai umur
ekonominya. Peralatan produksi yang berumur ekonomi 15 tahun memiliki
persentase penyusutan sebesar tujuh persen per tahun, antara lain mesin diesel,
tanggok besi, dan cetakan. Adapun biaya penyusutan per tahunnya sebesar Rp
166.667 untuk mesin diesel, untuk tanggok besi sebesar Rp 66.667, dan Rp
40.000 untuk cetakan.
Persentase penyusutan per tahun untuk mesin giling yan berumur ekonomi
sepuluh tahun adalah sebesar sepuluh persen, dengan biaya penyusutan sebesar
Rp 25.000 per tahun. Pompa air yang berumur ekonomi tujuh tahun memiliki
persentase penyusutan sebesar 14 persen atau Rp 42.857 per tahun untuk tiap
No Uraian Jumlah Umur
Ekonomi (tahun)
Biaya (Rp/unit)
Penyusutan (%)
Penyusutan per Unit
(Rp)
Biaya Penyusutan
(Rp) 1 Mesin Diesel 1 15 2.500.000 7 166.667 166.667 2 Mesin Giling 1 10 250.000 10 25.000 25.000 3 Tungku Semen 2 5 1.500.000 20 300.000 600.000 4 Tanggok Besi 1 15 1.000.000 7 66.667 66.667 5 Bak Semen 4 5 500.000 20 100.000 400.000 6 Pompa Air 2 7 300.000 14 42.857 85.714 7 Cetakan (6 loyang) 1 15 600.000 7 40.000 40.000 8 Ember (10 liter) 3 5 10.000 20 2.000 6.000 9 Serok 3 1 70.000 100 70.000 210.000
10 Kain (50 cm x 50 cm) 6 1 0 100 0 0 11 Bak Air (1m2) 1 5 500.000 20 100.000 100.000 12 Bak Biang (1 m2) 3 5 150.000 20 30.000 90.000
Total per Tahun (Rp) 1.790.048
67
pompa, maka total penyusutan untuk keseluruhan pompa air sebesar Rp 85.714.
Peralatan yang berumur ekonomi lima tahun memiliki persentase penyusutan
sebesar 20 persen per tahun, yang terdiri dari tungku semen, bak semen, ember,
bak air dan bak biang.
Besar biaya penyusutan per tahun untuk tungku semen sebesar Rp 300.000
per unit, sehingga diperoleh total biaya penyusutan untuk semua unit sebesar Rp
600.000. Bak semen yang terdiri dari empat unit total biaya penyusutannya
sebesar Rp 400.000 per tahun atau Rp 100.000 untuk tiap unitnya, sedang bak air
yang hanya satu unit memiliki biaya penyusutan sebesar Rp 100.000 per tahun.
Biaya penyusutan untuk ember per unitnya sebesar Rp 2000 per tahun, dimana
total biaya penyusutan untuk tiga unit sebesar Rp 6.000.
Besar biaya penyusutan untuk bak biang per unitnya sebesar Rp 30.000,
sehingga total biaya penyusutan untuk tiga unit yang dimiliki per tahunnya
sebesar Rp 90.000. Berbeda dengan peralatan lainnya, peralatan produksi yang
umur ekonominya satu tahun memiliki penyusutan utuh sebesar 100 persen atau
senilai biaya peralatan yang bersangkutan. Adapun total biaya penyusutan
peralatan secara keseluruhan adalah sebesar Rp 1.790.048 per tahun.
Perhitungan struktur biaya pada penelitian ini menggunakan periode waktu
satu tahun, maka biaya peralatan yang memiliki umur ekonomi satu tahun
termasuk kedalam biaya tetap. Peralatan produksi berumur satu tahun antara lain
serok dan kain, yang merupakan biaya tetap bersama dengan biaya penyusutan
investasi dan peralatan. Ketiga faktor biaya yang masuk kedalam biaya tetap
tersebut merupakan biaya produksi, karena ketiganya berhubungan dengan proses
produksi baik secara langsung maupun tidak langsung.
Selain biaya produksi terdapat juga biaya non produksi yang termasuk
kedalam biaya tetap usaha tahu, yang secara rinci dapat terlihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Biaya Non Produksi Usaha Tahu per Tahun
No Uraian Biaya (Rp) 1. Biaya Listrik 2.100.0002. Biaya Telepon 720.0003. Biaya Perawatan
- Kendaraan Operasional 3.400.000 - Mesin Giling 400.000
68
Total Biaya 6.620.000
Berdasarkan Tabel 16 terlihat bahwa biaya non produksi pada usaha tahu
terdiri dari biaya listrik, biaya telepon, dan biaya perawatan. Biaya listrik
dikeluarkan setiap satu bulan sekali sebesar Rp 175.000, sehingga total dalam
setahun sebesar Rp 2.100.000. Biaya telepon juga dikeluarkan setiap satu bulan
sekali dengan biaya sebesar Rp 60.000, maka biaya telepon dalam satu tahun
sebesar Rp 720.000.
Biaya perawatan pada usaha tahu terdiri dari biaya perawatan terhadap
kendaraan operasional dan mesin giling. Perawatan terhadap kendaraan terbagi
menjadi perawatan bulanan berupa ganti oli secara berkala dan tahunan berupa
pergantian spare part mobil. Perawatan bulanan pada kendaraan mengeluarkan
biaya sebesar Rp 200.000, sehingga dalam setahun biaya yang dikeluarkan
sebesar Rp 2.400.000.
Perawatan tahunan menghabiskan biaya sebesar Rp 1.000.000, maka total
biaya perawatan untuk kendaraan sebesar Rp 3.400.000 per tahun. Perawatan
terhadap mesin giling dilakukan setiap tiga bulan sekali berupa pergantian spare
part, dengan biaya sebesar Rp 100.000 per satu kali periode. Berdasarkan itu
maka dalam satu tahun dilakukan empat kali perawatan, dengan total biaya
perawatan mesin giling yang dikeluarkan sebesar Rp 400.000 per tahun. Adapun
total biaya non produksi usaha tahu yang menjadi biaya tetap adalah sebesar Rp
6.620.000 per tahun.
2. Usaha Tempe
Lahan dan bangunan yang menjadi tempat usaha tempe merupakan milik
PRIMKOPTI, yang sengaja disediakan sebagai bentuk kerja sama dengan
pengelola usaha. Berdasarkan itu maka investasi usaha tempe hanya berupa
kendaraan operasional mobil pick up, yang berumur 20 tahun dengan biaya
sebesar Rp 55.000.000. Adapun persentase penyusutan untuk kendaraan tersebut
adalah lima persen atau sebesar Rp 2.750.000 per tahun.
Selain penyusutan pada investasi pada peralatan produksi juga terdapat
biaya penyusutan, yang dapat terlihat jelas pada Tabel 17.
69
Tabel 17. Biaya Peralatan Usaha Tempe
No Uraian Jumlah (unit)
Umur Ekonomi (tahun)
Biaya (Rp/unit)
Penyusutan (%)
Penyusutan per Unit
(Rp)
Biaya Penyusutan
(Rp) 1. Mesin Giling 1 10 1.700.000 10 170.000 170.000 2. Jembung Plastik
- Ukuran 50 kg 12 8 80.000 13 10.000 120.000 - Ukuran 700 liter 2 8 450.000 13 56.250 112.500
3. Drum (ukuran 70 cm) 9 5 150.000 20 30.000 270.000
4. Papan 260 3 27.000 33 9.000 2.340.000 5. Rak Anyaman 30 3 10.000 33 3.333 100.000 6. Tusukan 4 1 0 100 0 0 7. Geblekan 10 1 0 100 0 0
Total per Tahun (Rp) 3.112.500
Peralatan produksi mesin giling yang berumur ekonomi sepuluh tahun
memiliki persentase penyusutan sebesar sepuluh persen per tahun, yaitu sebesar
Rp 170.000. Jembung plastik yang berumur ekonomi delapan tahun memiliki
persentase penyusutan sebesar 13 persen atau Rp 10.000 per tahun untuk tiap
unitnya yang berukuran 50 kilogram, sedang untuk yang berukuran 700 liter
sebesar Rp 56.250 per tahun untuk tiap unitnya. Berdasarkan uraian sebelumnya,
maka total penyusutan untuk keseluruhan unit jembung plastik yang berukuran 50
kilogram adalah sebesar Rp 120.000, sedang untuk yang berukuran 700 liter
sebesar Rp 112.500.
Drum besi pada usaha tempe memiliki umur ekonomi lima tahun dengan
persentase penyusutan sebesar 20 persen per tahun atau sebesar Rp 30.000 per
unit, sehingga total untuk keseluruhan sembilan unit adalah sebesar Rp 270.000.
Peralatan produksi yang berumur ekonomi tiga tahun memiliki persentase
penyusutan sebesar 33 persen per tahun, dimana peralatan tersebut antara lain
papan anyaman dan bambu. Besar biaya penyusutan untuk papan anyaman dan
70
bambu per unitnya secara berurutan adalah sebesar Rp 9.000 dan Rp 3.333,
dengan biaya penyusutan keseluruhan unit untuk masing-masing peralatan sebesar
Rp 2.340.000 dan Rp 100.000.
Berbeda dengan peralatan produksi lainnya tusukan dan geblekan yang
umur ekonominya satu tahun tidak memiliki biaya penyusutan, karena kedua
peralatan tersebut diperoleh dengan cara membuatnya sendiri. Adapun total biaya
penyusutan peralatan produksi secara keseluruhan adalah sebesar Rp 3.112.500
per tahun. Faktor biaya lainnya yang juga termasuk dalam biaya tetap adalah
biaya non produksi,yang secara jelas dapat terlihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Biaya Non Produksi Usaha Tempe per Tahun
No Uraian Biaya Tahunan 1. Biaya Perawatan
- Mesing Giling 400.000 - Luak; 4 drum 3.600.000 - Drum u/ rebus 900.000 - Dapur 300.000 - Kendaraan Operasional 3.400.0002. Biaya Pemasaran; Kuli Angkut 4.500.0003. Biaya Lain-lain
- Komisi Penjualan 12.000.000 - Listrik 2.400.000 - Komunikasi 2.400.000 - Konsumsi Harian 90.000.000
Total Biaya Non Produksi (Rp) 119.900.000
Berdasarkan Tabel 18 terlihat adanya tiga faktor biaya yang termasuk
kedalam biaya non produksi, antara lain biaya perawatan, biaya pemasaran, dan
biaya lain-lain. Biaya perawatan usaha tempe merupakan biaya perawatan yang
dilakukan pada mesin giling, luak, drum, dapur, dan kendaraan operasional
dengan periode waktu perawatan berbeda-beda. Perawatan untuk mesin giling
dilakukan setiap tiga bulan sekali; luak dan drum dilakukan setiap dua bulan
sekali; renovasi dapur dilakukan setiap setahun sekali; sedang perawatan untuk
kendaraan terbagi menjadi dua.
Perawatan untuk kendaraan terdiri dari ganti oli yang dilakukan setiap satu
bulan sekali, dan pergantian suku cadang mobil yang dilakukan setiap satu tahn
71
sekali. Biaya perawatan mesin giling adalah sebesar Rp 100.000 per periode,
dalam satu tahun perawatan terhadap mesin giling dilakukan sebanyak empat kali
sehingga total biaya perawatan mesin giling adalah sebesar Rp 400.000 per tahun.
Perawatan luak pada satu drum membutuhkan biaya sebesar Rp 150.000 per
periode, dalam setahun dilakukan perawatan terhadap luak sebanyak enam kali
maka total biaya perawatan untuk dua drum per tahun sebesar Rp 3.600.000.
Biaya untuk perawatan drum besi per periode sebesar Rp 150.000, dalam
satu tahun perawatan terhadap drum dilakukan sebanyak enam kali sehingga total
biaya perawatan untuk drum sebesar Rp 900.000 per tahun. Perawatan pada dapur
berupa renovasi dilakukan sebanyak satu kali dalam setahun, biaya yang
dihabiskan untuk perawatan dapur adalah sebesar Rp 300.000. Perawatan
terhadap kendaraan operasional untuk ganti oli per bulannya menghabiskan biaya
sebesar Rp 200.000, maka total biaya ganti oli per tahun adalah sebesar Rp
2.400.000 sedang biaya untuk pergantian suku cadang adalah sebesar Rp
1.000.000 per tahun.
Berdasarkan uraian di atas, maka jumlah keseluruhan biaya perawatan
pada usaha tempe per tahunnya sebesar Rp 8.600.000. Biaya pemasaran pada
usaha tempe yang masuk dalam biaya tetap adalah biaya untuk kuli angkut, yang
menurunkan dan mengantarkan tempe dari mobil ke tempat pesanan. Biaya untuk
kuli angkut dikeluarkan setiap kali pengelola melakukan pengantaran, yaitu
sebesar Rp 15.000 per hari atau Rp 4.500.000 per tahun.
Faktor biaya non produksi usaha tempe lainnya yang masuk dalam biaya
tetap antara lain komisi penjualan, biaya listrik, dan komunikasi yang dikeluarkan
setiap satu bulan sekali, serta biaya konsumsi harian bagi tenaga kerja. Biaya
listrik per bulannya adalah sebesar Rp 200.000 atau Rp 2.400.000 per tahun, biaya
komunikasi per bulannya adalah sebesar Rp 200.000 atau Rp 2.400.000 per tahun.
Sedangkan untuk komisi penjualan biaya per bulannya adalah sebesar Rp
1.000.000 atau per tahunnya sebesar Rp 12.000.000, yang dikeluarkan untuk tiga
pelanggan tetap yang merupakan pengusaha catering.
Biaya untuk konsumsi harian yang dikeluarkan adalah sebesar Rp 300.000
per hari atau per tahunnya sebesar Rp 90.000.000. Berdasarkan uraian
sebelumnya maka diperoleh total biaya non produksi usaha tempe yang menjadi
72
biaya tetap adalah sebesar Rp 119.900.000 per tahun. Faktor biaya terakhir yang
termasuk dalam biaya tetap pada usaha tempe adalah biaya pengemasan, berupa
plastik dan daun pisang.
Setiap harinya usaha tempe menggunakan plastik untuk mengemas
produknya sebanyak lima ikat dengan biaya per ikatnya sebesar Rp 15.000 per
ikat, dimana biaya yang dikeluarkan per harinya adalah sebesar Rp 75.000 atau
Rp 22.500.000 per tahun. Daun pisang untuk mengemas sebagian besar tempe per
harinya menggunakan sebanyak lima ikat dengan biaya per ikat sebesar Rp 5.000,
dimana biaya yang dikeluarkan adalah sebesar Rp 25.000 per hari atau Rp
7.500.000 per tahun.
6.1.1.2. Biaya Variabel
Biaya variabel adalah biaya yang jumlah totalnya berubah sebanding
dengan perubahan volume kegiatan, dimana sama sepert biaya tetap setiap usaha
memiliki biaya varibel yang berbeda-beda. Faktor-faktor biaya yang menjadi
biaya variabel antara lain biaya bahan baku, biaya bahan bakar, dan biaya tenaga
kerja. Adapun faktor-faktor biaya yang menjadi biaya variabel pada usaha tahu
dan tempe secara jelas terlihat pada uraian berikut.
1. Usaha Tahu
Faktor biaya pertama yang termasuk kedalam biaya varibel pada usaha
tahu yaitu biaya bahan baku, terdiri dari kedelai, garam, dan kunyit. Bahan baku
yang digunakan pada usaha tahu terbagi menjadi dua, yaitu bahan baku utama dan
bahan baku penunjang. Kacang kedelai termasuk dalam bahan baku utama, karena
merupakan bahan baku dasar dari tahu. Sedangkan garam dan kunyit termasuk
kedalam bahan baku penunjang, karena merupakan bahan baku penolong yang
melengkapi proses produksi.
Banyaknya volume bahan baku yang diolah dan biaya yang dikeluarkan
oleh usaha per periode produksi secara jelas dapat terlihat pada Tabel 19, dimana
satu kali periode produksi tahu membutuhkan waktu satu hari.
73
Tabel 19. Biaya Bahan Baku Usaha Tahu
No. Uraian Jumlah Biaya (Rp/satuan)
Total per Hari (Rp)
Total per Tahun (Rp)
1. Kacang Kedelai (kg) 300 6.500 1.950.000 48.750.0002. Garam (kg) 30 700 21.000 525.0003. Kunyit (kg) 10 1.500 15.000 375.000
Total Biaya Bahan Baku (Rp) 1.986.000 49.650.000
Berdasarkan Tabel 19 terlihat volume bahan baku utama berupa kedelai
yang digunakan per hari rata-rata sebanyak 300 kilogram, sedangkan untuk bahan
baku penunjang berupa garam dan kunyit yang digunakan per hari rata-rata
sebanyak 30 dan sepuluh kilogram. Biaya bahan baku utama pada usaha tahu per
harinya adalah sebesar Rp 1.950.000 atau Rp 48.750.000 per tahun, sedang untuk
biaya bahan baku penunjang keseluruhan sebesar Rp 36.000 per hari atau Rp
900.000 per tahun. Adapun total biaya bahan baku secara keseluruhan untuk
usaha tahu adalah sebesar Rp 1.986.000 per hari atau Rp 49.650.000 per tahun.
Selain biaya bahan baku, terdapat juga biaya bahan bakar yang terdiri dari
kayu bakar dan solar sebagai. Kayu bakar digunakan sebagai bahan bakar dalam
proses pengolahan kedelai, sedangkan solar digunakan sebagai bahan bakar untuk
mesin diesel pada usaha. Usaha tahu setiap hari menggunakan kayu bakar dalam
proses produksinya rata-rata sebanyak satu penuh bak mobil pick up kecil, sedang
untuk solar digunakan rata-rata sebanyak sepuluh liter per hari.
Biaya yang dikeluarkan untuk kayu bakar adalah sebesar Rp 300.000 per
hari atau Rp 90.000.000 per tahun, sedangkan untuk solar sebesar Rp 45.000 per
hari atau Rp 13.500.000 per tahun. Faktor biaya terakhir dalam biaya variabel
adalah biaya tenaga kerja, dimana upah untuk seluruh tenaga kerja pada usaha
tahu per harinya adalah sebesar Rp 5.000 per hari untuk setiap 10 kg kedelai yang
diolah. Setiap hari usaha tahu mengolah 300 kg kedelai, maka biaya yang
dikeluarkan untuk seluruh tenaga kerja per harinya sebesar Rp 150.000 atau Rp
45.000.000 per tahun.
74
2. Usaha Tempe
Sama seperti usaha tahu, bahan baku yang digunakan pada usaha tempe
juga terbagi menjadi dua yaitu bahan baku utama dan bahan baku penunjang.
Seperti halnya usaha tahu bahan baku utama dalam pembuatan tempe adalah
kacang kedelai, sedangkan yang termasuk dalam bahan baku penunjang adalah
ragi. Berbeda dengan usaha tahu yang memiliki waktu produksi lebih singkat,
tempe memiliki waktu produksi lebih lama per periode produksinya yaitu empat
hari.
Namun usaha tersebut tetap mengolah kedelai setiap hari untuk penjualan
tiga hari berikutnya, begitu pula dengan hari selanjutnya untuk tiga hari
selanjutnya dan seterusnya. Banyaknya volume bahan baku yang diolah dan biaya
yang dikeluarkan pada usaha per periode produksi secara jelas dapat terlihat pada
Tabel 20.
Tabel 20. Biaya Bahan Baku Usaha Tempe
No Uraian Jumlah Biaya (Rp/satuan)
Total per Hari (Rp) Tahunan (Rp)
1 Kedelai (kg) 400 6.500 2.600.000 780.000.0002 Ragi (kg) 2 10.000 20.000 6.000.000
Total Biaya Bahan Baku (Rp) 2.620.000 786.000.000
Berdasarkan Tabel 20 terlihat bahwa volume bahan baku utama yaitu
kedelai yang digunakan untuk proses produksi per hari rata-rata sebanyak 400
kilogram, sedangkan untuk bahan baku penunjang berupa ragi, per hari digunakan
rata-rata sebanyak dua kilogram. Bahan baku utama setiap harinya menghabiskan
biaya sebesar Rp 2.600.000 atau Rp 780.000.000 per tahun, sedangkan biaya yang
dihabiskan untuk bahan baku penunjang per harinya adalah sebesar Rp 20.000
atau Rp 6.000.000 per tahun. Adapun total biaya yang dikeluarkan untuk bahan
baku adalah sebesar Rp 2.620.000 per hari atau Rp 786.000.000 per tahun.
Faktor biaya lainya termasuk dalam biaya variabel pada usaha tempe
adalah biaya bahan bakar, yang terdiri dari serbuk kayu sebagai bahan bakar
75
pembakaran dan bensin untuk bahan bakar kendaraan operasional usaha.
Banyaknya serbuk kayu yang digunakan dalam proses produksi adalah sebanyak
enam karung dengan biaya per karungnya sebesar Rp 10.000, sehingga biaya yang
dikeluarkan per harinya adalah sebesar Rp 60.000 atau Rp 18.000.000 per tahun.
Pengisian bensin untuk kendaraan operasional usaha dilakukan setiap dua hari
sekali sebanyak 23 liter dengan harga Rp 4.500 per liter, sehingga biaya yang
dikeluarkan per pengisian bensin adalah sebesar Rp 103.500 atau Rp 15.525.000
per tahun.
Faktor biaya terakhir dalam biaya variabel adalah biaya tenaga kerja,
dimana upah untuk tiap tenaga kerja pada usaha tempe per harinya adalah sebesar
Rp 600.000 per bulan. Jumlah tenaga kerja yang dimiliki oleh usaha tempe adalah
sebanyak enam orang, maka biaya tenaga kerja secara keseluruhan yang
dikeluarkan per bulan sebesar Rp 3.600.000 atau Rp 43.200.000 per tahun.
6.1.1.3. Total Biaya Usaha
Total biaya dari suatu usaha merupakan jumlah keseluruhan biaya, yang
terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Tiap usaha memiliki total biaya yang
berbeda-beda, dimana besarnya total biaya suatu usaha ditentukan oleh besarnya
biaya tetap dan variabel usaha bersangkutan. Uraian mengenai biaya tetap dan
biaya variabel pada usaha tahu dan tempe yang menjadi objek dalam penelitian
telah disampaikan sebelumnya, adapun total biaya dari kedua usaha tersebut dapat
terlihat pada Tabel 21 dan 22 berikut.
76
Tabel 21. Total Biaya Usaha Tahu per Tahun
No Uraian Jumlah (Rp) Biaya Tetap
1 Serok 210.0002 Telepon 720.0003 Listrik 2.100.0004 Biaya Penyusutan Peralatan Produksi 1.790.0485 Biaya Penyusutan Investasi 11.083.3336 Biaya Perawatan
- Kendaraan Operasional 3.400.000 - Mesin giling 400.000
Total Biaya Tetap 19.703.381Biaya Variabel
7 Kacang Kedelai 585.000.0008 Garam 6.300.0009 Kunyit 4.500.000
10 Bensin Solar 13.500.00011 Kayu Bakar 90.000.00012 Upah Tenaga Kerja 45.000.000
Total Biaya Variabel 744.300.000Total Biaya 764.003.402
Tabel 21 menunjukkan total biaya usaha tahu sebesar Rp 764.003.402 per
tahun, yang merupakan jumlah dari biaya tetap sebesar Rp 19.703.381 per tahun
dan biaya variabel sebesar Rp 744.300.000 per tahun. Total biaya usaha tempe
berbeda dengan usaha tahu dan dapat terlihat dengan jelas pada Tabel 22.
77
Tabel 22. Total Biaya Usaha Tempe per Tahun
No Uraian Jumlah (Rp) Biaya Tetap
1 Biaya Perawatan - Mesin Giling 400.000 - Luak; 4 drum 3.600.000 - Drum u/ rebus 900.000 - Kendaraan Operasional 3.400.000 - Dapur 300.000
2 Biaya Pemasaran; Kuli Angkut 4.500.0003 Biaya Kemasan
- Daun Pisang 7.500.000 - Plastik 22.500.000
4 Biaya Lain-lain - Komisi Penjualan 12.000.000 - Listrik 2.400.000 - Komunikasi 2.400.000 - Konsumsi Harian 90.000.000
5 Biaya Penyusutan Peralatan Produksi 3.112.5006 Biaya Penyusutan Investasi 2.750.000
Total Biaya Tetap 155.762.500Biaya Variabel
7 Bensin; 23 liter 15.525.0008 Kedelai (kg) 780.000.0009 Ragi (kg) 6.000.000
10 Serbuk Kayu (50 kg per karung) 18.000.00011 Biaya Tenaga Kerja 43.200.000
Total Biaya Variabel 862.725.000Total Biaya 1.018.487.500
Berdasarkan Tabel 22 terlihat bahwa usaha tempe memiliki total biaya
sebesar Rp 1.018.487.500 per tahun, dengan total biaya tetap sebesar Rp
155.762.500 per tahun dan total biaya variabel sebesar Rp 862.725.000 per tahun.
Jika struktur biaya kedua usaha dibandingkan, maka terlihat bahwa usaha tempe
memiliki total biaya yang lebih besar dari usaha tahu. Berdasarkan Tabel 21 dan
78
22 terlihat bahwa usaha tempe memiliki biaya tetap yang cukup tinggi, sehingga
total biaya usaha pun menjadi tinggi.
Ini terjadi karena usaha tempe menghabiskan biaya yang cukup besar
dalam melakukan perawatan terhadap peralatan produksinya, dimana usaha tempe
masih menggunakan peralatan produksi yang tidak permanen. Berbeda dengan
usaha tahu yang menggunakan peralatan lebih permanen dalam bentuk semen,
sehingga perawatan yang dilakukan terhadap peralatan produksinya tidak
mengeluarkan biaya besar. Pada segi pemasaran terlihat usaha tahu tidak
melakukan pengantaran produk sehingga tidak ada biaya pemasaran yang
dikeluarkan, karena konsumen atau pelanggan dari usaha tersebut yang datang
sendiri ke tempat.
Selain itu dari segi kemasan, usaha tahu terlihat lebih sederhana dibanding
usaha tempe yang menggunakan plastik dan daun pisang. Berdasarkan itu maka
jelas terlihat bahwa usaha tahu memiliki struktur biaya yang lebih hemat,
sehingga total biaya usahanya lebih kecil dibanding usaha tempe.
6.1.2. Volume Penjualan dan Harga Jual
6.1.2.1. Usaha Tahu
Usaha tahu menjual tahu dalam bentuk cetakan yang dapat dipotong-
potong kecil berdasarkan keinginan konsumen, dimana satu cetakan tahu dapat
menghasilkan 60 sampai dengan 100 potong. Adapun konsumen yang membeli
tahu pada usaha ini merupakan konsumen lama atau pelanggan yang terdiri dari
tukang sayur dan gorengan, rumah sakit, restoran, serta konsumen individu yang
datang sendiri. Konsumen usaha tahu dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu
konsumen antara dan konsumen akhir.
Konsumen antara adalah konsumen yang membeli tahu untuk diolah
terlebih dahulu kemudian dijual kembali, seperti tukang sayuran dan pedagang
keliling seperti batagor, siomay, dan gorengan, serta pelanggan restoran dan
rumah sakit. Konsumen akhir yang menjadi pelanggan usaha ini merupakan
konsumen individu atau per orang-an, yang datang sendiri ke tempat usaha dan
membeli tahu untuk dikonsumsi sendiri. Usaha tahu ini dalam satu hari mampu
menghasilkan sebanyak 150 cetak tahu, yang dibagi menjadi 32 cetak tahu kuning
79
dan 118 cetak tahu putih. Adapun total penjualan usaha tahu Bapak Mumu dalam
satu tahun dapat terlihat jelas pada Tabel 23.
Tabel 23. Penjualan Usaha Tahu
Tahu Putih (per Hari) Tahu Kuning (per Hari) No Konsumen Jumlah
(cetak) Harga
(Rp/cetak) Jumlah
(Rp) Jumlah (cetak)
Harga (Rp/cetak)
Jumlah (Rp)
Total per Hari (Rp)
Total per Tahun
(Rp ribuan)
1. Tukang Sayuran 25 25.000 625.000 25 25.000 625.000 1.250.000 375.000
2. Pedagang keliling 60 25.000 1.500.000 0 25.000 0 1.500.000 450.000
3. Restoran 25 30.000 750.000 2 30.000 60.000 810.000 243.000
4. RS 3 30.000 90.000 0 30.000 0 90.000 27.000
Individu : Uk 12 x 12 = 144 potong/cetak 3 28.800 86.400 2 57.600 115.200 201.600 60.480
5. Uk 9 x 9 = 81 potong/cetak 2 27.300 54.600 3 40.500 121.500 176.100 52.830
6. Ampas Kedelai 150.000 45.000
Total 118 - 3.106.000 32 - 921.700 4.177.700 1.253.310
Berdasarkan Tabel 23 terlihat adanya perbedaan volume penjualan antara
tahu putih dan kuning, serta volume penjualan untuk tiap jenis konsumen. Ini
terjadi karena volume pembelian yang dilakukan oleh masing-masing konsumen
beragam tergantung kebutuhannya. Penjualan yang pertama dilakukan terhadap
tukang sayur yang merupakan gabungan beberapa tukang, dimana setiap harinya
membeli tahu sebanyak 50 cetak yang terdiri dari 25 cetak tahu putih dan 25 cetak
tahu kuning.
Penjualan yang kedua adalah penjualan terhadap pedagang keliling yang
juga merupakan gabungan beberapa pedagang, dimana tahu yang dibeli hanya
tahu putih sebanyak 60 cetak per hari. Penjualan yang ketiga adalah penjualan
terhadap restoran dengan total penjualan sebanyak 27 cetak, yang terdiri dari 25
cetak tahu putih dan dua cetak tahu kuning. Penjualan keempat adalah penjualan
yang dilakukan kepada rumah sakit terdekat yaitu Palang Merah Indonesia (PMI)
dan Bogor Medical Centre (BMC), dimana jenis tahu yang dibeli oleh pihak
80
rumah sakit adalah tahu putih dengan total pembelian sebanyak tiga cetak per
hari.
Berbeda dengan konsumen lainnya penjualan untuk individu atau per
orang-an tidak dalam hitungan per cetak namun per potong, dimana untuk
penjualan ini pihak pengelola khusus menyediakan masing-masing lima cetak
untuk tiap jenis tahu. Adapun ukuran potong tahu pada usaha ini terdiri dua jenis
ukuran, yaitu ukuran 12 cm x 12 cm; untuk tahu putih sebanyak tiga cetak dan
tahu kuning sebanyak dua cetak, dan ukuran 9 cm x 9 cm; untuk tahu putih
sebanyak dua cetak dan tahu kuning sebanyak tiga cetak. Secara keseluruhan
setiap hari usaha tahu menghasilkan 150 cetak tahu atau 45.000 cetak tahu per
tahun yang terjual habis, dimana per cetaknya memiliki bobot sebesar 5,4
kilogram sehingga per harinya sebesar 810 kilogram atau 243.000 kilogram per
tahun .
Tak hanya volume penjualan, perbedaan lainnya yang ditemukan adalah
adanya penetapan harga jual yang berbeda untuk beberapa jenis konsumen. Pihak
pengelola menetapkan harga jual secara per cetak untuk konsumen antara dan
harga jual per potong untuk konsumen akhir. Harga jual yang ditetapkan bagi
tukang sayur dan pedagang keliling sebesar Rp 25.000 per cetak untuk semua
jenis tahu, sedangkan harga jual yang ditetapkan untuk pihak restoran dan rumah
sakit sebesar Rp 30.000 per cetak untuk semua jenis tahu.
Berbeda dengan konsumen antara harga jual yang ditetapkan untuk
konsumen individu per cetaknya untuk tahu putih, ukuran 12 cm x 12 cm adalah
Rp 28.800 dan untuk ukuran 9 cm x 9 cm adalah Rp 27.300. Harga jual tahu
kuning per cetak yang ditetapkan untuk ukuran 12 cm x 12 cm sebesar Rp 57.600,
sedang untuk ukuran 9 cm x 9 cm adalah Rp 40.500. Perbedaan harga jual per
cetak pada konsumen akhir terjadi karena pembeliannya yang dilakukan secara
potongan, membuat harga jual per cetaknya ditentukan oleh banyaknya potong
tahu yang dihasilkan dalam satu cetak.
Banyaknya potong tahu yang dihasilkan ukuran 12 cm x 12 cm adalah 144
potong tahu, adapun harga jual per potongnya sebesar Rp 200 untuk tahu putih
dan Rp 400 untuk tahu kuning. Banyaknya potong tahu yang dihasilkan ukuran 9
cm x 9 cm adalah 81 potong tahu, sedang harga jual per potong untuk tahu putih
81
sebesar Rp 300 dan untuk tahu kuning sebesar Rp 500. Selain menjual tahu
sebagai produk utamanya usaha tahu juga menjual limbah atau produk sisa proses
produksi berupa ampas kedelai, dengan harga jual yang ditetapkan sebesar Rp
5.000 untuk tiap ampas yang dihasilkan dari sepuluh kilogram kedelai yang
diolah.
Setiap hari usaha ini mengolah kedelai sebanyak 300 kilogram, maka total
pendapatan yang diperoleh dari penjualan ampas kedelai sebesar Rp 150.000 per
hari atau Rp 45.000.000 per tahun. Total pendapatan yang diperoleh dari
penjualan produk utama atau tahu per harinya adalah sebesar Rp 4.027.700 atau
per tahunnya sebesar Rp 1.208.310.000. Adapun total pendapatan keseluruhan
yang berasal dari penjualan tahu dan ampas tahu sebesar Rp 4.177.700 per hari
atau Rp 1.253.310.000 per tahun.
6.1.2.2. Usaha Tempe
Penjualan tempe pada usaha ini dilakukan berdasarkan jenis ukuran tempe
dan terbagi kedalam dua jenis bungkus, yaitu bungkus plastik dan daun
disesuaikan dengan keinginan konsumen. Sama halnya seperti usaha tahu,
konsumen pada usaha tempe merupakan konsumen tetap yang telah lama menjadi
pelanggan. Konsumen pada usaha tempe juga terbagi menjadi dua, yaitu
konsumen antara yang terdiri dari tukang sayur di pasar dan usaha catering; dan
konsumen akhir berupa individu atau per orang-an.
Terdapat dua lokasi pasar berbeda milik tukang sayur yang menjadi
langganan usaha ini, yaitu Pasar Bogor yang terdiri dari dua kios dan satu kios
pada Pasar Ciawi. Sedangkan untuk pelanggan berupa usaha catering, terdapat
tiga usaha catering berbeda yang telah menjadi pelanggan tetap usaha ini. Pada
satu kali periode produksi volume tempe yang dihasilkan berbeda untuk tiap
ukurannya, ini dapat terlihat secara rinci pada Tabel 24.
82
Tabel 24. Penjualan Usaha Tempe
Berdasarkan Tabel 24 terdapat empat jenis ukuran tempe yang dihasilkan
dan dijual pada usaha tempe, antara lain 20 cm x 35 cm, 20 cm x 30 cm, 14 cm x
25 cm, dan 13 cm x 20 cm. Tempe dengan ukuran 20 cm x 35 cm memiliki dua
macam harga, yaitu Rp 8.000 dan Rp 6.000 per lembar. Banyaknya lembar tempe
yang dihasilkan secara keseluruhan untuk ukuran 20 cm x 35 cm adalah 663
lembar, yang terbagi menjadi sepuluh lembar dalam bungkus plastik dan 33
lembar dalam bungkus daun untuk tukang sayur dan individu.
Sisanya 620 lembar dibungkus dengan plastik, yang merupakan pesanan
dari tiga usaha catering yang berbeda. Tempe dengan ukuran 20 cm x 30 cm
memiliki dua harga, yaitu Rp 4.000 per lembar sebanyak 60 lembar dan Rp 5.000
per lembar sebanyak 40 lembar. Harga yang ditetapkan untuk tempe dengan
ukuran 14 cm x 25 cm dan 13 cm x 20 cm adalah Rp 1.500 dan Rp 1.000 per
lembar, dengan volume penjualan masing-masing sebanyak 60 lembar.
No Jenis Ukuran Jumlah (lembar)
Harga Jual (Rp/lembar)
Penjualan per Hari
(Rp)
Penjualan per Tahun (Rp) Keterangan
10 8.000 80.000 24.000.000 Bungkus Plastik
620 6.000 3.720.000 1.116.000.000 Bungkus Plastik 1. 20 cm x 35 cm
33 6.000 198.000 59.400.000 Bungkus Daun
60 4.000 240.000 72.000.000 Bungkus Plastik 2. 20 cm x 30 cm
40 5.000 200.000 60.000.000 Bungkus Plastik
3. 14 cm x 25 cm 60 1.500 90.000 27.000.000 Bungkus Plastik
4. 13 cm x 20 cm 60 1.000 60.000 18.000.000 Bungkus Plastik
Total 883 - 4.588.000 1.376.400.000 ‐
83
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka diperoleh total volume produksi
usaha tempe per harinya adalah 883 lembar atau 322.295 lembar per tahun yang
terjual habis. Adapun total tempe yang dihasilkan dalam satuan kilogram dapat
terlihat secara jelas pada Tabel 25.
Tabel 25. Perhitungan Bobot Tempe dalam Kilogram
No Jenis Ukuran Jumlah (potong)
Bobot (kg/potong)
Bobot total (kg/hari)
10 1,15 11,50 620 1,15 713,00 1 20 cm x 35 cm 33 1,15 37,95 60 0,7 42,00 2 20 cm x 30 cm 40 0,7 28,00
3 14 cm x 25 cm 60 0,35 21,00 4 13 cm x 20 cm 60 0,25 15,00
Total output 883 - 868,45
Pada Tabel 25 terlihat dalam total tempe yang dihasilkan jika dikonversi
dalam kilogram adalah sebesar 868,45 kilogram per hari atau per tahunnya
sebesar 260.535 kilogram. Adapun total pendapatan yang diperoleh dari hasil
penjualan per harinya pada usaha tempe sebesar Rp 4.588.000 atau Rp
1.376.400.000 per tahun.
6.1.3. Analisis Profitabilitas
Analisis profitabilitas adalah suatu analisis yang mengukur seberapa besar
kemampuan suatu usaha untuk memperoleh laba atau untung, yang dipengaruhi
oleh biaya, harga jual dan volume penjualan. Untuk dapat menganalisis
profitabilitas suatu usaha, maka terlebih dahulu harus menghitung titik impas
usaha uang terkait. Titik impas atau break even pada suatu usaha adalah keadaan
atau kondisi usaha yang tidak memperoleh laba dan tidak menderita kerugian.
84
Titik impas mampu memberikan informasi mengenai tingkat volume
penjualan, serta hubungannya dengan kemungkinan memperoleh laba menurut
tingkat penjualan bersangkutan. Penjualan pada tingkat tertentu akan menentukan
besar kecil pendapatan yang diperoleh oleh suatu usaha. Berdasarkan hal tersebut
maka uraian berikutnya akan membahas pendapatan yang diperoleh dari
penjualan, dilanjutkan dengan perhitungan titik impas dan analisis profitabilitas
dari masing-masing usaha yang menjadi objek penelitian.
6.1.3.1. Usaha Tahu
Usaha tahu memperoleh pendapatan total sebesar Rp 1.253.310.000 per
tahun, berasal dari dua jenis penjualan yaitu penjualan tahu sebagai produk akhir
dan penjualan ampas kedelai sebagai produk sisa atau limbah. Pihak pengelola
menjual kembali produk sisa dengan harga Rp 5000 per 10 kilogram kedelai dari
300 kilogram kedelai yang diolah setiap hari. Berdasarkan itu maka pendapatan
yang diperoleh usaha bersangkutan melalui penjualan ampas per harinya sebesar
Rp 150.000 atau Rp 45.000.000 per tahun, sedangkan pendapatan yang beliau
peroleh dari hasil penjualan tahu sebesar Rp 4.027.700 per hari atau Rp
1.208.310.000 per tahun.
Setelah semua biaya dan pendapatan per tahun diketahui barulah
perhitungan titik impas dapat dimulai dengan menghitung komponen-
komponennya terlebih dahulu. Komponen-komponen dalam titik impas antara
lain adalah Total Fixed Cost (TFC) atau total biaya tetap, Price (P) yang
merupakan harga jual, dan Average Variable Cost (AVC) atau rata-rata biaya
variabel. Adapun total biaya tetap per pada usaha tahu sebesar Rp 19.703.381 per
tahun.
Harga jual yang ditetapkan pada usaha tahu beragam, sehingga komponen
harga jual pada perhitungan titik impas menggunakan harga jual rata-rata. Harga
jual rata-rata adalah total penjualan per hari dibagi dengan total produk yang
terjual dalam satu hari. Perhitungan harga jual rata-rata ini dengan jelas dapat
terlihat pada uraian berikut :
85
= = Rp 4.972 per kg
Komponen terakhir dalam perhitungan titik impas adalah rata-rata biaya
variabel, yang diperoleh melalui pembagian antara total biaya variabel dengan
jumlah produk yang dihasilkan. Total biaya variabel pada usaha tahu sebesar Rp
744.300.000 per tahun, maka diperoleh rata-rata biaya variabel sebagai berikut :
= = Rp 3.063 per kg
Perhitungan titik impas pada penelitian ini dibedakan menjadi dua
didasarkan atas satuannya, yaitu unit dan rupiah. Adapun perhitungan titik impas
pada usaha tahu per tahunnya dapat terlihat melalui uraian berikut ini :
=
= Rp 51.308.791
Dalam keadaan impas atau break even laba usaha adalah nol atau tidak
ada, yang menunjukkan tingkat minimum produksi dan pendapatan yang harus
diperoleh agar usaha tidak merugi. Berdasarkan uraian perhitungan di atas terlihat
86
bahwa pihak pengelola pada usaha tahu minimal harus memproduksi dan menjual
habis tahu yang dihasilkan sebanyak 10.319 kilogram per tahun atau sekitar 34
kilogram tahu per hari agar tidak merugi. Sedangkan pendapatan minimal yang
harus diperoleh berdasarkan perhitungan titik impas adalah sebesar Rp 51.308.791
per tahun atau Rp 171.029 per hari. Adapun perbandingan antara hasil
perhitungan titik impas dengan kondisi aktual usaha dapat dengan jelas terlihat
pada Tabel 26.
Tabel 26. Perbandingan Titik Impas dengan Kondisi Aktual Usaha Tahu
Titik Impas Keadaan Aktual Keterangan Per Tahun Per Hari Per Tahun Per Hari Dalam Unit (kg) 10.319 34 243.000 810
Dalam Rupiah (Rp) 51.308.791 171.029 1.208.310.000 4.027.000
Bedasarkan Tabel 26 terlihat bahwa usaha tahu kondisinya berada di atas
keadaan titik impas. Ini terlihat dari kemampuan usaha dalam memproduksi dan
menjual habis sebanyak 243.000 kg tahu yang dihasilkan per tahun, serta
memperoleh pendapatan sebesar Rp 1.208.310.000 per tahun. Kelebihan
pendapatan penjualan di atas biaya variabel pada usaha tahu, menunjukkan usaha
tersebut mampu menutupi biaya tetap dan menghasilkan laba.
Seberapa besar kemampuan usaha tersebut menutup biaya tetap dan
menghasilkan laba ini dapat terlihat melalui perhitungan Marginal Income Ratio
(MIR). MIR merupakan pembagian antara selisih dari hasil penjualan dan Total
Variable Cost (TVC) atau total biaya variable, dengan hasil penjualan itu sendiri.
Hasil penjualan pada perhitungan MIR adalah total pendapatan usaha dari hasil
penjualan produk utama atau tahu dalam satu tahun sebesar Rp 1.208.310.000,
sedangkan TVC untuk perhitungan MIR sebesar Rp 744.300.000 per tahun.
Adapun perhitungan MIR untuk usaha tahu ini dapat terlihat pada uraian berikut :
87
= x 100 % = 38 %
Uraian di atas menunjukkan bahwa setiap tahun usaha tahu mampu
memberikan 38 persen dari hasil penjualannya, untuk menutupi biaya tetap usaha
dan mendapatkan laba. Hasil penjualan pada tingkat break even ini jika
dihubungkan dengan penjualan aktual, maka akan diperoleh informasi tentang
seberapa jauh volume penjualan boleh turun sehingga usaha tidak merugi atau
disebut juga Margin of Safety (MOS). MOS merupakan ukuran tingkat keamanan
bagi usaha dalam melakukan penurunan penjualan, dimana perhitungan MOS
untuk usaha tahu ini dapat terlihat pada uraian berikut :
= 96 %
Hasil perhitungan berdasarkan uraian di atas menunjukkan, bahwa tingkat
penjualan bagi usaha tahu tidak boleh turun lebih dari 96 persen dari hasil
penjualan aktual agar usaha yang bersangkutan tidak merugi. Persentase dari
MOS dapat dihubungkan langsung dengan tingkat keuntungan usaha atau MIR,
guna menunjukkan tingkat profitabilitas usaha. Profitabilitas merupakan ukuran
seberapa besar kemampuan suatu usaha untuk menghasilkan laba, dimana
perhitungan profitabilitas untuk usaha tahu adalah sebagai berikut :
= 37 %
Uraian di atas menunjukkan usaha tahu memiliki tingkat profitabilitas
sebesar 37 persen. Ini berarti bahwa apabila usaha tersebut mampu menjual
seluruh hasil produksi, maka laba atau profit yang diperoleh dari hasil penjualan
adalah 37 persen.
6.1.3.2. Usaha Tempe
88
Usaha tempe memperoleh pendapatan yang berasal dari penjualan tempe,
dimana tempe yang dijual terdiri dari beberapa ukuran. Hasil penjualan untuk
tempe dengan ukuran 20 cm x 35 cm sebesar Rp 3.998.000 per hari, sedang untuk
tempe dengan ukuran 20 cm x 30 cm menghasilkan pendapatan sebesar Rp
440.000 per hari. Tempe dengan ukuran 14 cm x 25 cm dan 13 cm x 20 cm
masing-masing menghasilkan pendapatan sebesar Rp 90.000 dan Rp 60.000 per
hari, sehingga total pendapatan keseluruhan usaha tempe per hari sebesar Rp
4.588.000 atau per tahunnya sebesar Rp 1.376.400.000.
Setelah semua biaya dan pendapatan per tahun diketahui kemudian
dilakukan perhitungan terhadap komponen-komponen titik impas, seperti TFC
atau total biaya tetap, P atau harga jual, dan AVC atau rata-rata biaya variabel.
Adapun total biaya tetap usaha tempe per tahun sebesar Rp 155.762.500. Sama
halnya seperti usaha tahu, harga jual yang ditetapkan pada usaha tempe juga
beragam yang membuat komponen harga jual untuk perhitungan titik impas
menggunakan harga jual rata-rata. Perhitungan harga jual rata-rata untuk usaha
tempe dapat terlihat pada uraian berikut :
= Rp 5.283 per kg
Komponen lainnya yang perlu dihitung dalam perhitungan titik impas
adalah rata-rata biaya variable dari usaha tempe. Rata-rata biaya variabel usaha
tempe diperoleh melalui pembagian antara total biaya variabel dengan jumlah
produk yang dihasilkan. Total biaya variabel pada usaha tempe adalah Rp
862.725.000 per tahun, maka rata-rata biaya variabelnya adalah sebagai berikut:
89
= = Rp 3.311 per kg
Seperti halnya usaha tahu, perhitungan titik impas untuk usaha tempe juga
dibedakan menjadi dua berdasarkan satuannya, yaitu unit dan rupiah. Adapun
perhitungan titik impas pada usaha tempe per tahun dapat terlihat melalui uraian
berikut ini :
=
= Rp 417.367.995
Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa batas minimal usaha tempe untuk
memproduksi dan menjual habis tempenya, yaitu sebanyak 79.002 kilogram
tempe per tahun atau 263 kilogram tempe per hari agar tidak merugi. Pendapatan
minimal yang harus diperoleh berdasarkan perhitungan titik impas sebesar Rp
417.367.995 per tahun atau Rp 1.391.227 per hari. Jika dibandingkan dengan
kondisi aktualnya, maka usaha tempe ini berada di atas keadaan titik impas, yang
secara jelas dapat terlihat pada Tabel 27 berikut.
Tabel 27. Perbandingan Titik Impas dengan Kondisi Aktual Usaha Tempe
Titik Impas Keadaan Aktual Keterangan Per Tahun Per Hari Per Tahun Per Hari Dalam Unit (kg) 79.002 263 260.535 868,45
90
Dalam Rupiah (Rp) 417.367.995 1.391.227 1.376.400.000 4.588.000
Pada Tabel 27 terlihat bahwa usaha tempe mampu menjual habis 79.002
kilogram tempe yang dihasilkannya per tahun dan memperoleh pendapatan
sebesar Rp 1.376.400.000 per tahun. Kelebihan pendapatan penjualan di atas
biaya variabel pada usaha tersebut, menunjukkan usaha yang bersangkutan
mampu menutup biaya tetap dan menghasilkan laba. Seberapa besar kemampuan
usaha beliau untuk menutup biaya tetap dan menghasilkan laba dapat terlihat
melalui perhitungan MIR, dimana perhitungan MIR untuk usaha tempe dapat
terlihat pada uraian berikut :
= x 100 %
= 37 %
Hasil perhitungan MIR menunjukkan bahwa usaha tempe mampu
memberikan 37 persen dari hasil penjualannya untuk menutupi biaya tetap usaha
dan mendapatkan laba. Hasil penjualan pada tingkat break even yang
dihubungkan dengan penjualan aktual, akan diperoleh informasi tentang MOS.
Adapun perhitungan MOS untuk usaha tempe dapat terlihat pada uraian berikut
:
= 70 %
Uraian di atas menunjukkan usaha tempe memiliki tingkat keamanan
cukup tinggi yaitu 70 persen, yang juga menunjukkan batas penurunan tingkat
penjualan agar usaha tidak merugi. Persentase dari MOS yang dihubungkan
langsung dengan tingkat keuntungan usaha atau MIR dapat menunjukkan tingkat
profitabilitas usaha bersangkutan. Profitabilitas adalah ukuran kemampuan suatu
91
usaha untuk menghasilkan laba, dimana perhitungan profitabilitas untuk usaha
tempe adalah sebagai berikut :
= 26 %
Hasil perhitungan di atas menunjukkan usaha tempe memiliki tingkat
profitabilitas sebesar 26 persen, yang menunjukkan besarnya laba atau profit yang
diperoleh dari hasil penjualan atau pendapatan bila usaha beliau mampu menjual
habis seluruh hasil produksi.
6.2. Analisis Nilai Tambah
6.2.1. Usaha Tahu
Analisis nilai tambah merupakan metode perkiraan sejauh mana bahan
baku yang mendapat perlakuan mengalami perubahan nilai, sehingga
menimbulkan nilai tambah yang dipengaruhi oleh teknologi yang digunakan
dalam proses pengolahan. Melalui analisis nilai tambah maka dapat teranalisa
faktor mana dari proses produksi yang menghasilkan atau menaikkan nilai tambah
dan sebaliknya, dimana dalam penelitian ini menggunakan metode Hayami dalam
menganalisinya. Adapun analisis nilai tambah pengolahan kedelai menjadi, dapat
terlihat pada Tabel 28.
Tabel 28. Analisis Nilai Tambah Usaha Tahu
No Variabel Nilai Output, Input, dan Harga
1 Output (kg/hari) 810
2 Bahan baku (kg/hari) 300
3 Tenaga Kerja (jam/hari) 50
4 Faktor konversi (1/2) 2,7
5 Koefisien tenaga kerja (3/2) 0,17
6 Harga output (Rp/kg) 4.972
92
7 Upah rata-rata tenaga kerja (Rp/jam) 3.000
Pendapatan dan Keuntungan
8 Harga bahan baku (Rp/kg bahan baku) 6.500
9 Sumbangan input lain (Rp/kg output) 44
10 Nilai output (4 x 6) (Rp) 13.426
11 a. Nilai tambah (10 – 9 – 8) (Rp) 6.881
b. Rasio nilai tambah ((11a/10) x 100%) 51
12 a. Imbalan tenaga kerja (5 x 7) (Rp) 500
b. Bagian tenaga kerja ((12a/11a) x 100%) 7
13 a. Keuntungan (11a – 12a) (Rp) 6.381
b. Tingkat keuntungan ((13a/11a) x 100%) 93
14 Marjin (10 – 8) (Rp) 6.926
a. Pendapatan tenaga kerja ((12a/14) x 100%) 7
b. Sumbangan input lain ((9/14) x 100 %) 1
c. Keuntungan perusahaan ((13a/14) x 100%) 92
Berdasarkan Tabel 28 terlihat bahwa bobot berat tahu yang dihasilkan per
hari adalah 810 kilogram. Bahan baku yang masuk dalam perhitungan nilai
tambah adalah bahan baku utama yaitu kacang kedelai, dimana setiap hari usaha
tahu mengolah kacang kedelai sebanyak 300 kilogram. Perbandingan antara bobot
berat tahu dengan jumlah bahan baku dalam satu hari menghasilkan faktor
konversi sebesar 2,7, yang menandakan bahwa setiap kilogram kedelai yang
diolah menghasilkan 2,7 kilogram tahu.
Tabel 28 memperlihatkan bahwa dalam satu hari seluruh tenaga kerja pada
usaha tahu bekerja selama 50 jam, yang jika dibagi dengan faktor konversi maka
diperoleh hasil perhitungan koefisien tenaga kerja sebesar 0,17. Koefisisen tenaga
kerja yang sebesar 0,17 ini berarti waktu yang dibutuhkan tenaga kerja untuk
mengolah tiap kilogram kedelai agar menjadi tahu adalah 0,17 jam. Harga bahan
93
baku utama berupa kacang kedelai adalah Rp 6.500 per kilogram, sedangkan
untuk sumbangan input lainnya adalah Rp 44 per kilogram output atau tahu yang
dihasilkan.
Nilai output tahu yang diperoleh dari perkalian antara faktor konversi
dengan harga output atau tahu adalah sebesar Rp 13.426, menandakan bahwa nilai
tahu yang dihasilkan dari tiap kilogram kedelai adalah sebesar Rp 13.426. Nilai
tambah yang diperoleh dari pengolahan kacang kedelai menjadi tahu adalah
sebesar Rp 6.881 per kilogram kacang kedelai, dengan rasio sebesar 51 persen.
Rasio nilai tambah terhadap nilai output yang sebesar 51 persen, menunjukkan
bahwa setiap Rp 100 nilai output tahu, akan diperoleh nilai tambah sebesar Rp 51.
Keuntungan yang didapat usaha tahu berdasarkan perhitungan nilai
tambah adalah sebesar Rp 6.381, dengan bagian keuntungan yang diperoleh
adalah 92 persen. Ini berarti bahwa distribusi keuntungan nilai tambah untuk
pemilik usaha jauh lebih besar, dibandingkan dengan bagian keuntungan untuk
tenaga kerja yaitu sebesar tujuh persen atau Rp 500 per hari. Adapun perhitungan
sebagian faktor pada analisis nilai tambah ini dapat terlihat pada Lampiran 1.
6.2.2. Usaha Tempe
Selain melakukan analisis nilai tambah menggunakan metode Hayami
terhadap pengolahan kedelai menjadi tahu, penelitian ini juga melakukan analisis
nilai tambah terhadap pengolahan kedelai menjadi tempe. Adapun perhitungan
nilai tambah pada usaha tempe dapat terlihat jelas pada Tabel 29.
Tabel 29. Analisis Nilai Tambah Usaha Tempe
No Variabel Nilai Output, Input, dan Harga
1 Output (kg/hari) 868,45
94
2 Bahan baku (kg/hari) 400
3 Tenaga Kerja (jam/hari) 60
4 Faktor konversi (1/2) 2,17
5 Koefisien tenaga kerja (3/2) 0,15
6 Harga output (Rp/kg) 5.283
7 Upah rata-rata tenaga kerja (Rp/jam) 2.400
Pendapatan dan Keuntungan
8 Harga bahan baku (Rp/kg bahan baku) 6.500
9 Sumbangan input lain (Rp/kg bahan baku) 23
10 Nilai output (4 x 6) (Rp) 11.470
11 a. Nilai tambah (10 – 9 – 8) (Rp) 4.947
b. Rasio nilai tambah ((11a/10) x 100%) 43
12 a. Imbalan tenaga kerja (5 x 7) (Rp) 360
b. Bagian tenaga kerja ((12a/11a) x 100%) 7
13 a. Keuntungan (11a – 12a) (Rp) 4.587
b. Tingkat keuntungan ((13a/11a) x 100%) 93
14 Marjin (10 – 8) (Rp) 4.970
a. Pendapatan tenaga kerja ((12a/14) x 100%) 7
b. Sumbangan input lain ((9/14) x 100 %) 1
c. Keuntungan perusahaan ((13a/14) x 100%) 92
Pada Tabel 29 terlihat bahwa bobot tempe yang dihasilkan per hari adalah
868,45 kilogram, sedangkan jumlah kacang kedelai yang diolah usaha tempe per
harinya adalah 400 kilogram. Perbandingan antara bobot berat tahu dengan
jumlah bahan baku dalam satu hari menghasilkan faktor konversi sebesar 2,17,
yang menandakan bahwa setiap kilogram kedelai yang diolah menghasilkan 2,17
95
kilogram tempe. Hasil perhitungan Tabel 29 menunjukan koefisien tenaga kerja
sebesar 0,15, yang berarti bahwa waktu yang dibutuhkan tenaga kerja untuk
mengolah tiap kilogram kedelai agar menjadi tempe adalah 0,15 jam.
Upah rata-rata tenaga kerja yang bekerja pada usaha tempe adalah Rp
2.400 per jam, sedangkan harga output atau tempe per kilogram adalah Rp 5.283.
Nilai sumbangan input lain pada usaha tempe ini adalah Rp 23 per kilogram
output atau tempe, sedangkan nilai output tempe pada hasil analisis diperoleh
sebesar Rp 11.470. Ini menunjukkan bahwa nilai tahu yang dihasilkan dari tiap
kilogram kedelai adalah sebesar Rp 11.470.
Nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan kacang kedelai menjadi
tempe adalah sebesar Rp 4.947 per kilogram kacang kedelai, dengan rasio nilai
tambah sebesar 43 persen yang menunjukkan bahwa setiap Rp 100 nilai output
tahu akan diperoleh nilai tambah sebesar Rp 43. Keuntungan yang didapat usaha
tempe adalah sebesar Rp 4.487, dengan bagian keuntungan yang diperoleh dari
nilai tambah adalah 93 persen. Ini menunjukkan bahwa distribusi nilai tambah
untuk pemilik usaha adalah 93 persen, sedangkan bagian keuntungan untuk tenaga
kerja adalah tujuh persen.
Berdasarkan itu maka terlihat bahwa distribusi keuntungan dari nilai
tambah untuk pemilik usaha jauh lebih baik, dibandingkan dengan bagian
keuntungan untuk tenaga kerja sebesar Rp 360 per hari. Adapun perhitungan
untuk beberapa faktor pada analisis nilai tambah pada usaha tempe ini dapat
dilihat pada Lampiran 2.
96
VII PERBANDINGAN HASIL ANALISIS PROFITABILITAS
SERTA NILAI TAMBAH USAHA TAHU DAN TEMPE
7.1 Analisis Profitabilitas
Berdasarkan hasil perhitungan profitabilitas yang dilakukan terhadap
usaha tahu dan tempe, terlihat bahwa kemampuan kedua usaha dalam
menghasilkan laba atau profit berbeda. Adapun perbedaan kemampuan kedua
usaha dalam menghasilkan laba dapat terlihat dengan jelas pada Tabel 30 berikut.
Tabel 30. Perbandingan Hasil Analisis Profitabilitas
Keterangan Usaha Tahu Usaha Tempe MIR (%) 38 37 MOS (%) 96 70 Profitabilitas (%) 37 26 Tabel 30 memperlihatkan hasil perhitungan MIR pada usaha tahu yaitu
sebesar 38 persen. Ini menunjukkan bahwa usaha tahu mampu memberikan 38
persen dari hasil penjualannya per tahun adalah sebesar Rp 464.010.000 atau per
harinya sebesar Rp 1.546.700, untuk menutupi biaya tetap usaha dan
mendapatkan laba. Selain itu tingkat keamanan atau MOS dari usaha tahu pun
terbilang tinggi, yaitu 96 persen.
Hasil perhitungan MOS mengartikan bahwa jika usaha tahu mengalami
penurunan produksi dan penjualan, selama penurunan tersebut tidak lebih dari 96
persen maka kondisi usaha tahu masih tetap aman. Nilai MIR yang cukup baik
dan MOS yang tinggi pada usaha tahu, membuat usaha tahu memiliki kemampuan
menghasilkan laba atau profitabilitas yang cukup baik yaitu 37 persen dari hasil
penjualannya sebesar Rp 444.306.619 per tahun atau Rp 1.481.022 per hari. Jika
97
dibandingkan dengan usaha tempe, perhitungan MIR pada usaha tersebut
menghasilkan angka sebesar 37 persen.
Hasil perhitungan MIR menunjukkan usaha tempe mampu memberikan 37
persen dari hasil penjualannya sebesar Rp 513.675.000 per tahun atau per harinya
sebesar Rp 1.712.250, untuk menutupi biaya tetap usaha dan mendapatkan laba.
Tingkat keamanan atau MOS dari usaha tempe pun terlihat lebih rendah dari
usaha tahu yaitu sebesar 70 persen. Ini berarti usaha tempe lebih rentan
mengalami kerugian dibanding usaha tahu, namun selama penurunan tersebut
tidak lebih dari 70 persen maka kondisi usaha masih tetap aman.
Nilai MIR dan MOS usaha tempe yang lebih rendah dari usaha tahu,
membuat usaha tempe memiliki kemampuan menghasilkan laba atau profitabilitas
yang lebih rendah yaitu sebesar 26 persen. Tingkat profitabilitas tersebut
menunjukkan usaha tempe mampu menghasilkan profit, sebesar 26 persen dari
hasil penjualannya sebesar Rp 357.912.500 per tahun atau Rp 1.193.042 per hari.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya maka jelas terlihat, bahwa usaha tahu
memiliki kemampuan lebih dalam hal menghasilkan laba atau profit dibanding
usaha tempe.
Perbedaan profitabilitas antara usaha tahu dan tempe dapat terjadi karena
adanya perbedaan total biaya pada kedua usaha, dimana total biaya dari masing-
masing usaha dapat mempengaruhi besarnya keuntungan yang akan diperoleh.
Terlihat dari rincian total biaya pada usaha masing-masing usaha tahu memiliki
total biaya yang lebih rendah dibanding usaha tempe, dimana usaha tempe
memiliki biaya tetap yang cukup besar. Hal ini menandakan bahwa struktur biaya
usaha tempe belum efisien, berbeda dengan struktur biaya usaha tahu yang jauh
lebih kecil.
7.2 Analisis Nilai Tambah
Analisis nilai tambah yang dilakukan terhadap usaha tahu dan tempe,
menunjukkan adanya perebedaan nilai tambah diantara kedua usaha. Perbedaan
nilai tambah dari kedua usaha ini secara jelas dapat terlihat pada Tabel 31 berikut.
98
Tabel 31. Perbandingan Hasil Analisis Nilai Tambah
No Keterangan Usaha Tahu Usaha Tempe 1. Nilai output (Rp) 13.426 11.470 2. a. Nilai tambah (Rp) 6.881 4.947
b. Rasio nilai tambah (%) 51 43 3. a. Imbalan tenaga kerja (Rp) 500 360
b. Bagian tenaga kerja (%) 7 7 4. a. Keuntungan (Rp) 6.381 4.587
b. Tingkat keuntungan (%) 93 93
Tabel 31 menunjukkan nilai output atau produk yang dihasilkan usaha
tahu dan tempe dari tiap kilogram kedelai yang diolah, secara berurutan sebesar
Rp 13.426 dan Rp 11.470. Nilai tambah dari pengolahan kedelai untuk usaha tahu
sebesar Rp 6.881, sedangkan untuk usaha tempe sebesar Rp 4.947. Berdasarkan
rasio nilai tambah terhadap nilai output, untuk usaha tahu menunjukan setiap Rp
100 nilai ouput tahu yang dihasilkan akan diperoleh nilai tambah sebesar Rp 51.
Begitu pula dengan usaha tempe setiap Rp 100 nilai output tempe yang
dihasilkan, usaha yang bersangkutan akan memperoleh nilai tambah sebesar Rp
43. Berdasarkan penjelasan sebelumnya jelas terlihat, bahwa usaha yang memiliki
nilai tambah lebih besar adalah usaha tahu. Walau pun usaha tahu memiliki nilai
tambah yang lebih besar, namun usaha tahu dan tempe memiliki kesamaan tingkat
keuntungan sebesar 93 persen.
Besarnya keuntungan yang diperoleh dari pengolahan kedelai yang
dilakukan masing-masing usaha, yaitu sebesar Rp 6.381 untuk usaha tahu dan Rp
4.587 untuk usaha tempe. Berdasarkan itu terlihat bahwa usaha tahu memperoleh
keuntungan nilai tambah yang lebih besar walau pun kedelai yang diolah usaha
tempe lebih, karena proses produksi tahu lebih singkat dibandingkan proses
99
produksi tempe. Ini terjadi karena kedelai yang diolah menjadi tempe harus
melalui beberapa tahapan dalam proses produksinya, yaitu perendaman,
pencucian, dan fermentasi, dimana masing-masing tahapan tersebut membutuhkan
waktu satu hari.
Bagian tenaga kerja dari keuntungan nilai tambah yang diperoleh usaha
tahu dan tempe sama yaitu satu persen, dengan besar imbalan yang diperoleh
tenaga kerja pada masing-masing usaha per harinya sebesar Rp 500 untuk usaha
tahu dan Rp 360 untuk usaha tempe. Walau imbalan untuk tenaga kerja pada
masing-masing usaha terbilang kecil, namun kedua pemilik usaha telah
mengatasinya dengan memberikan fasilitas seperti tempat tinggal dan makanan
sehari-hari. Ini dilakukan oleh kedua pemilik usaha, untuk mengatasi keinginan
tenaga kerja untuk keluar bekerja dari usaha tersebut.
100
VIII KESIMPULAN DAN SARAN
8.1. Kesimpulan
Pengrajin tahu dan tempe pada penelitian ini adalah anggota PRIMKOPTI,
dimana untuk usaha tempe merupakan cabang unit usaha dari PRIMKOPTI itu
sendiri. Bapak Mumu selaku pemilik usaha tahu memulai usahanya sendiri pada
tahun 1997, sedang Bapak Sularno selaku pemilik usaha tempe memulai usahanya
sendiri dengan bekerja sama dengan PRIMKOPTI pada tahun 1983. Setiap hari
kedelai yang diolah rata-rata sebanyak 300 kilogram untuk usaha tahu dan 400
kilogram untuk usaha tempe, dengan output yang dihasilkan per periode produksi
sebanyak 810 kilogram untuk tahu dan 868,45 kilogram untuk tempe.
Berdasarkan hasil pengamatan pada usaha tahu dan tempe yang menjadi
objek studi penelitian ini, terlihat kedua usaha telah melakukan beberapa langkah
penyesuaian guna menanggulangi kenaikan harga kedelai beberapa waktu lalu.
Langkah-langkah penyesuaian yang diambil oleh kedua usaha tersebut antara lain
menetapkan harga jual yang berbeda pada beberapa konsumen, menggunakan
bahan bakar alternatif, menghasilkan sendiri sebagian bahan baku penunjang
untuk produksi, dan membuat sendiri sebagian peralatan produksi.
Berdasarkan hasil pembahasan pada bab sebelumnya, dapat diambil
kesimpulan bahwa usaha tahu dan tempe yang menjadi objek penelitian
merupakan usaha yang mampu menghasilkan laba (profitable). Namun
berdasarkan perhitungan terlihat bahwa usaha tahu mampu menghasilkan laba
atau profit lebih besar sebesar 37 persen, dibanding usaha tempe yang mampu
menghasilkan laba atau profit sebesar 26 persen. Hasil perhitungan analisis nilai
tambah pengolahan kedelai terhadap kedua usaha pun menunjukkan usaha tahu
memiliki nilai tambah lebih besar dibanding usaha tempe, dimana nilai tambah
untuk usaha tahu adalah sebesar Rp 6.881 sedang usaha tempe sebesar Rp 4.947.
101
8.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan sebelumnya terlihat bahwa usaha tahu memiliki
nilai tambah dan kemampuan lebih besar dalam menghasilkan profit atau laba
dibanding usaha tempe. Ini terjadi dikarenakan usaha tempe memiliki total biaya
yang lebih tinggi dibanding usaha tahu, sehingga keuntungan yang diperoleh
menjadi lebih kecil. Oleh karena itu perlu dilakukan penghematan biaya pada
usaha tempe, agar struktur biayanya lebih efisien dan mendapatkan keuntungan
lebih besar.
Salah satunya adalah dengan menggunakan peralatan produksi yang lebih
tahan lama seperti bak semen untuk pengolahan kedelai, sehingga usaha yang
bersangkutan dapat menghemat biaya perawatan. Tak hanya itu kedua usaha baik
tahu atau tempe, harus lebih memperhatikan kebersihan peralatan yang digunakan
pada saat proses produksi. Ini penting dilakukan selain untuk menjaga kualitas
produk, juga dapat mengurangi frekuensi peralatan untuk rusak sehingga dapat
bertahan agak lama dan biaya perawatan yang dikeluarkan pun lebih hemat.
Untuk usaha tempe dalam hal pengemasan akan lebih baik jika
menyamaratakan penggunaan kemasan dengan daun pisang, sehingga dapat
menghemat biaya yang dikeluarkan untuk pengemasan. Tahu atau tempe
merupakan produk yang bersifat perishable atau mudah rusak, membuat kedua
usaha tersebut tidak berani untuk menjual produknya ke lokasi yang berjauhan
dengan tempat produksi. Oleh karena itu untuk meningkatkan keuntungan, kedua
usaha harus mampu meningkatkan pendapatan penjualannya.
Salah satunya adalah dengan membuka cabang produksi yang baru di
lokasi yang berdekatan dengan konsumen baru, sehingga kedua usaha dapat
memperluas usahanya serta meningkatkan keuntungan yang diperolehnya.
Tentunya sebelum hal ini dilakukan perlu dilakukan analisis kelayakan terlebih
dahulu untuk melihat apakah perluasan usaha ini perlu dilakukan atau tidak, yang
mungkin dapat menjadi bahan penelitian bagi pihak lain.
102
DAFTAR PUSTAKA
Amalia S. 2008. Dampak Kenaikan Harga Kedelai Terhadap Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usaha Tempe dengan Pendekatan Stochastic Frontier (Studi Kasus Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor) [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Asnawi R. 2003. Analisis Fungsi Produksi Usaha Tani Ubikayu dan Industri Tepung Tapioka Rakyat di Provinsi Lampung. http://bbp2tp.litbang.deptan.go.id. [21 Desember 2008].
Badan Pusat Statistik. 2005.Profil Usaha Kecil dan Menengah Tidak Berbadan Hukum. Jakarta.
Bustami, Bastian, Nurlela. 2008. Akuntansi Biaya. Jakarta : Mitra Wacana Media.
Damayanti A R. 2004. Analisis Perubahan Penetapan Harga Pokok Produksi Teh Dalam Kaitannya dengan Titik Impas dan Profitabilitas Perusahaan [skripsi]. Bogor : Fakultas Petanian, Institut Pertanian Bogor.
Esti, Sediadi A. 2000. Tentang Pengolahan Pangan. http://www.ristek.go.id. [13 Januari 2008].
Furqanti D. 2003. Analisis Nilai Tambah dan Kemampulabaan Usaha Pengolahan Buah Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia swingel) [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Hayami Y, Kawagoe T, Morooka Y, Siregar M. 1987. Agricultural Marketing and Processing in Upland Java A Perspective From A Sunda Village. Bogor : CPGRT Centre.
[KCM]. Kompas Cyber Media. 31 Mei 2008. Perajin Tahu Tempe Sudah Senin-Kamis. http://www.kompas.com. [19 Desember 2008].
Manullang. 1994. Pengantar Ekonomi Perusahaan. Yogyakarta : Liberty.
Mulyadi. 1999. Akuntansi Biaya.. Yogyakarta : Aditya Media
Mulyadi, 2001. Akuntansi Manajemen. Jakarta : Salemba Empat.
103
Pratiwi E. 2003. Analisis Nilai Tambah dan Profitabilitas Industri Kripik Tempe (Kasus Perusahaan Ardani, Malang) [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Prawironegoro D, Purwanti A. 2008. Akuntansi Biaya. Jakarta : Mitra Wacana
Media.
Primer Koperasi Tahu dan Tempe Indonesia. 2008. Daftar Rekapitulasi Kebutuhan Kedelai Anggota dan Non Anggota Pengrajin Tempe Tahu. Bogor : Primkopti.
Puspitasari T. 2007. Keragaan Usaha Industri Tahu Skala Kecil dan Rumah Tangga (Dtudi Kasus Industri Tahu Skala Kecil dan Rumah Tangga di Kecamatan Mampang Prapatan) [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Sinaga M S. 2008. Analisis Nilai Tambah dan Daya Saing serta Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Industri Tempe di Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Soeharjo A. 1991. Profil Agroindustri. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Soekartawi. 2000. Pengantar Agroindustri. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Swastha B, Sukotjo I. 1998. Pengantar Bisnis Modern (Pengantar Ekonomi Perusahaan Modern). Yogyakarta : Liberty.
104
LAMPIRAN
105
Lampiran 1.
Perhitungan beberapa faktor dalam Tabel 28
1. Output (Rp/kg)
2. Harga Output (Rp/kg)
3. Upah Rata-Rata Tenaga Kerja (Rp/jam)
4. Sumbangan Input Lain (Rp/kg output)
106
Lampiran 2.
Perhitungan beberapa faktor dalam Tabel 29
1. Harga Output (Rp/kg)
2. Upah Rata-Rata Tenaga Kerja (Rp/jam)
3. Sumbangan Input Lain (Rp/kg output)
107
Lampiran 3. Dokumentasi Tempat Usaha
Gambar 7. Tahu Putih
108
Gambar 8. Tahu Kuning Gambar 9. Peralatan Produksi Mesin Giling Usaha Tahu
109
Gambar 10. Peralatan Produksi Tungku Semen Usaha Tahu Gambar 11. Peralatan Produksi Bak Semen 1 Usaha Tahu
110
Gambar 12. Peralatan Produksi Bak Semen 2 Usaha Tahu
Gambar 13. Bubur Kedelai yang Telah Menjadi Adonan Tahu
111
Gambar 14. Proses Pencetakan Tahu
Gambar 15. Tempat Usaha Tempe
112
Gambar 16. Tempat Pengolahan Kedelai Menjadi Tempe
113
Gambar 17. Peralatan Produksi Mesin Giling Usaha Tempe
Gambar 18. Rak Tempat Proses Fermentasi
114
Gambar 19. Proses Perebusan Kedelai
Gambar 20. Tempat Proses Produksi Tempe
115
Gambar 21. Tempat Pembungkusan Tempe
Gambar 22. Salah Satu Bentuk Tempe yang Akan Dikembangkan