ANALISIS PRODUKSI DAN PEMASARAN KAKAO DI...
Transcript of ANALISIS PRODUKSI DAN PEMASARAN KAKAO DI...
1
ANALISIS PRODUKSI DAN PEMASARAN KAKAO
DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN
PROPINSI SUMATERA BARAT
D A N I L
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Produksi dan Pemasaran
Kakao di Kabupaten Padang Pariaman Propinsi Sumatera Barat adalah karya saya
dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang terbitan maupun tidak terbitan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Bogor, Desember 2012
DANIL
NRP. H353100051
ABSTRACT
DANIL. Analysis of Cocoa Production and Marketing in Kabupaten Padang
Pariaman West Sumater Province ( MUHAMMAD FIRDAUS as a Chairman and
SRI HARTOYO as a Member of the Advisory Committee)
The aim of this research is to analyze factors that influence cocoa
production, identified marketing chanel of cocoa, estimated marketing margin and
determined farmer share. This research used survey method to cocoa farmer and
wholeseller. Production analysis using Cobb-Douglas fuction and to analyze
marketing structure, conduct and performent analysis is used. The result of this
research show that cocoa production influenced by labour, manure, chemical
fertilizer, land area, number of plants produced dan farmer education.
Performance marketing of cocoa in Kabupaten Padang Pariaman is inefficient. It
is based on margin indicators and farmer share. According to result number of
fertilizer and plants produced need to optimalize in order to increased cocoa
production. Bargaining power of cocoa farmers need to increased by optimalize
farmer association.
Keywords: Cocoa, factor production, marketing channel.
RINGKASAN
DANIL. Analisis produksi dan Pemasaran Kakao di Kabupaten Padang Pariaman
Propinsi Sumatera Barat (MUHAMMAD FIRDAUS sebagai Ketua dan SRI
HARTOYO sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Kabupaten Padang Pariaman merupakan daerah sentra pengembangan
kakao di Propinsi Sumatera Barat, hal ini didukung oleh sumberdaya alam dan
keadaan sosial budaya. Dengan adanya kebijakan pemerintah daerah menetapkan
Kabupaten Padang Pariaman sebagai sentra pengembangan kakao, sehingga luas
areal panen dan produksi terus meningkat. Tapi disisi lain produktivitasnya masih
rendah dibandingkan dengan produktivitas potensial kakao. Belum diketahuinya
faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan kinerja lembaga pemasaran kakao
merupakan masalah dalam usaha pengembangan kakao rakyat. Penelitian ini
bertujuan (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kakao di
Kabupaten Padang Pariaman, (2) mengidentifikasi jalur dan karakteristik lembaga
pemasaran kakao di Kabupaten Padang Pariaman, (3) menduga marjin yang
diterima setiap lembaga pemasaran, (4) menentukan besarnya bagian harga yang
diterima petani.
Analsis produksi menggunakan fungsi Cobb Douglas sedangkan kinerja
pemasaran di analsis dengan melihat struktur, perilaku dan keragaan pasar. Lokasi
penelitian dipilih secara sengaja (purposive) yaitu di Kecamatan V Koto
Kampung Dalam dan Kecamatan Sungai Garingging. Sampel petani diambil
secara judgment sampling sebanyak 70 petani dan sampel pedagang diambil
secara sengaja (purposive) sebanyak 16 pedang.
Hasil penelitian menunjukan produksi kakao rakyat di pengaruhi oleh
input tenaga kerja, pupuk kandang, pupuk kimia, luas lahan, jumlah tanaman
menghasilkan dan pendidikan petani. Dan kinerja lembaga pemasaran kakao
rakyat di Kabupaten Padang Pariaman belum baik, yang diindikasikan oleh : (1)
besarnya marjin pemasaran, (2) kecilnya bagian harga yang diterima petani, (3)
belum terintegrasinya pasar ditingkat petani dengan pasar ditingkat pedagang
kabupaten. Kondisi diatas menyebabkan rendahnya pendapatan petani.
Kata kunci : kakao, fungsi Cobb Douglas, struktur, perilaku dan keragaan pasar.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; dan Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
ANALISIS PRODUKSI DAN PEMASARAN KAKAO
DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN
PROPINSI SUMATERA BARAT
D A N I L
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
Pada Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr. Ir. Ratna Winandi, MS
(Dosen Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen,
Institut Pertanian Bogor)
Penguji Wakil Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang:
Dr. Ir. Henny K.S. Daryanto, M.Ec
(Dosen Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen,
Institut Pertanian Bogor)
Judul Tesis : Analisis Produksi dan Pemasaran Kakao di Kabupaten
Padang Pariaman Propinsi Sumatera Barat
Nama Mahasiswa : Danil
Nomor Pokok : H353100051
Mayor : Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Muhammad Firdaus ,S.P, M.Si, Ph.D Dr. Ir.Sri Hartoyo, M.S
Ketua Anggota
Mengetahui,
2. Koordinator Mayor 3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Ilmu Ekonomi Pertanian
Dr. Ir.Sri Hartoyo, M.S Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr
Tanggal Ujian: 27 November 2012 Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT karena hanya dengan rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul: Analisis
Produksi dan Pemasaran Kakao di Kabupaten Padang Pariaman Propinsi
Sumatera Barat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi dan karakteristik pemasaran kakao di Kabupaten Padang
Pariaman. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi
pemerintah dalam mengambil kebijakan dan merumuskan strategi pengembangan
kakao di Kabupaten Padang Pariaman.
Penulis mengucapan terima kasih kepada Muhammad Firdaus, S.P, M.Si,
Ph.D selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS selaku anggota
komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan,
arahan dan masukan yang sangat membantu selama penyusunan tesis ini. Terima
kasih juga penulis sampaikan kepada:
1. Gubernur Sumatera Barat yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk mengikuti program Tugas Belajar di Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
2. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS selaku Penguji Luar Komisi dan Dr. Ir. Henny
K.S. Daryanto, M.Ec sebagai Penguji yang mewakili Mayor Ilmu
Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang pada Ujian Tesis, yang telah
memberikan masukan bagi perbaikan tesis ini.
3. Seluruh staf Mayor EPN, Mba Yani, Mba Ina, Mas Johan, Ibu Kokom,
dan Pak Husen yang selalu sabar dan menyediakan waktu untuk
membantu penulis selama perkuliahan sampai penulis menyelesaikan
studi.
4. Keluarga besarku dari Lintau dan Balai Gurah, teristimewa untuk kedua
orang tuaku terkasih, Drs. Faisal Baza dan Dra. Halidarni dan mertuaku Ir.
Ermaini, S.E. Adik-adikku keluarga Naldi, SSTP, M.Si , Keluarga Letda
Arm Ardy, dan Sitti Bahruni (ayo semangat ujian skripsinya).
5. Istriku Hj. Ardini Florensia Pratiwi, S.E, S.S dan putri tersayang Khansa
Huriyah Zaafarani .
6. Teman-teman EPN angkatan 2010, Ardian, Pak U.J, Fanny, Mba Erni,
Mbak Khanti, Rena untuk kebersamaan selama perkuliahan dan proses
penulisan tesis ini, juga pada pihak-pihak lain yang namanya tidak bisa
penulis sebutkan satu persatu namun telah banyak memberikan sumbang
saran dan bantuan serta doa selama penulis kuliah di IPB.
Penulis berharap agar pemikiran yang telah ada pada penelitian ini dapat
berguna bagi semua pihak. Terimakasih.
Bogor, Desember 2012
Danil
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Padang pada tanggal 22 Mai 1980 dari Ayah
Drs. Faisal Baza dan Ibu Dra. Halidarni. Anak pertama dari empat bersaudara.
Tahun 1998 lulus dari SMA Negeri 3 Padang dan tahun 1999 diterima
sebagai mahasiswa S1 pada Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian di
Universitas Andalas Padang melalui jalur UMPTN, tamat April 2004. Penulis
melanjutkan studi S2 tahun 2010 pada Program Magister Sains di Mayor Ilmu
Ekonomi Pertanian, dengan pilihan konsentrasi Pembangunan Pertanian di
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan Beasiswa Program Tugas
Belajar dari Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Barat.
Penulis bekerja sebagai PNS di Pemda Kabupaten Pasaman pada tahun
2006 – 2009, dan tahun 2009 pindah ke Pemda Propinsi Sumatera Barat sampai
dengan sekarang.
Penulis menetap di Kota Padang, menikah tahun 2009 dengan Hj Ardini
Florensia Pratiwi, S.E, S.S dan telah dikaruniai seorang putri, Khansa Hurriyah
Saafarani.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL …………………………………………….… xiv
DAFTAR GAMBAR …………………………………………….. xv
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………….. xvi
I. PENDAHULUAN …………………………………………….… 1
1.1. Latar Belakang …………………………………………….… 1
1.2. Perumusan Masalah ………………………………………… 5
1.3. Tujuan Penelitian ……………………………………………. 8
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ………………... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………… 9
2.1. Penelitian Analisis Produksi ..…………………..……… 9
2.2. Penelitian Analisis Pemasaran …….……….....………… 11
III. KERANGKA TEORITIS ……………………………………… 13
3.1. Teori Produksi …………………………………………….… 13
3.2. Teori Pemasaran Komoditi Pertanian ……..………………… 15
3.3 Kerangka Konseptual ………...…………………………….… 24
IV. METODE PENELITIAN ……………………………………… 27
4.1. Penentuan Lokasi Penelitian ………………………………… 27
4.2. Jenis dan Sumber Data ……………………………………… 27
4.3. Metode Pengambilan Contoh ……………………………..… 27
4.4. Model Analisis …………………………………………….… 28
V. METODE PENELITIAN ……………………….……………… 33
5.1. Gambaran Umum Kabupaten Padang Pariaman …….……… 33
5.2. Keragaan Usahatani Kakao di Kabupaten
Padang Pariaman …………………………………………….
36
VI. Analisis Produksi Kakao di Kabupaten Padang Pariaman …... 41
6.1. Karakteristik Petani Responden ……………………………… 41
6.2. Struktur Produksi Kakao ……………………………………... 42
6.3. Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi 44
Produksi Kakao ……………………………………………...
6.4. Pengujian Fungsi Produksi Kakao …………………………... 46
6.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kakao di Kabupaten
Padang Pariaman ……………………………………………….
48
VII. Analisis Pemasaran Kakao di Kabupaten Padang Pariaman ... 51
7.1. Struktur Pasar ……………………...…………………………. 49
7.2.Perilaku Pasar ………...………………………………………. 57
7.3. Kinerja Pasar …………………………………………………. 61
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………….. 65
8.1. Kesimpulan …………………………………………………… 71
8.2. Saran ………………………………………………………….. 71
DAFTAR PUSTAKA ……………….…………………...…….… 73
LAMPIRAN ……………………………………………………... 77
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Perkembangan Luas Areal Panen, Produksi dan Produktivitas
Kakao di Indonesia Tahun 2005-2009 ….……...……………..…
2
2. Keadaan Tanaman Kakao di Propinsi Sumatera Barat Tahun
2011 ………………………………………………………………
3
3. Perkembangan Luas Areal Panen, Produksi dan Produktivitas
Kakao di Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2003-2011 …..…..
5
4. Perbandingan Luas Kecamatan dan Jumlah Nagari di Kabupaten
Padang Pariaman Tahun 2010 …………………….……………..
34
5. Perkembangan Produksi Beberapa komoditas Tanaman
Perkebunan di Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2007 – 2010
35
6. Perbandingan Luas Areal Tanaman dan Produksi Kakao di
Semua Kecamatan di Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2010
36
7. Karekteristik Petani Kakao di Kabupaten Padang Pariaman
Tahun 2012 ……………………………….…………………...…
36
8 Usia Petani Kakao di Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2012... 41
9. Tingkat Pendidikan Petani di Kabupaten Padang Pariaman
Tahun 2012 ………………………………………………………
41
10. Kepemilikan Tanaman kakao yang Menghasilkan ……………… 42
11. Karakteristik Usahatani Kakao di Kabupaten Padang Pariaman
Tahun 2012 ………………………………………………………
43
12. Rata-rata Produksi, Biaya dan Pendapatan Usahatani Kakao per
Hektar Per Hektar Per Tahun di Kabupaten Padang Pariaman
Tahun 2012 ……..………………………………………………..
43
13 Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Produksi kakao di Kabupaten
Padang Pariaman Tahun 2012 ……..…………………………….
48
14. Matriks Hasil Analisis Keragaan Pasar Kakao di Kabuapten
Padang Pariaman tahun 2012 ……………………..……………...
61
15. Marjin Pemasaran Kakao di Kabupaten Padang Pariaman
Tahun 2012 ……………...…………….…………………………
63
16 Ratio Keuntungan dan Biaya Pemasaran Kakao di Kabupaten
Padang Pariaman Tahun 2012 …………………………………
64
17
HAsil Analsis Keterpaduan Pasar Kakao di Kabupaten Padang
Pariaman Tahun 2012 …………………………………………....
67
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Kerangka Konseptual Penelitian ……………………...………… 25
2. Saluran Pemasaran Kakao di Kabupaten Padang Pariaman
Tahun 2012 ………………………………………………………...
52
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Standarisasi Mutu Biji Kakao Ekspor Berdasarkan
SNI 01-2323-1995 ……………………………………………….
79
2. Program dan Output Komputer SAS Release 9.1 Analisis
Pendugaan Parameter Fungsi Produksi Kakao di Kabupaten
Padang Pariaman Tahun 2012 …………………………………….
80
3. Program dan Output Komputer SAS Release 9.1 Analisis
Keterpaduan Pasar Kakao di Kabupaten Padang Pariaman Tahun
2011-2012 …………………………………………………………
82
4. Data Primer Untuk Analisis produksi kakao di Kabupaten Padang
Pariaman Tahun 2012 ……………………………………………...
84
5. Rata-rata Harga Kakao di Tingkat Petani dan Pedagang dalam
Bulan Selama Satu Tahun ( Agustus 2011 – Juli 2012) ….………..
87
1
I.PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perkebunan merupakan salah satu subsektor dari sektor pertanian,
mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan nasional.
Peranannya terlihat nyata dalam penerimaan devisa negara melalui ekspor,
penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan
baku berbagai industri dalam negeri, perolehan nilai tambah dan daya saing serta
optimalisasi pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan.
Peranan subsektor perkebunan bagi perekonomian nasional tercermin dari
realisasi pencapaian PDB yang mencapai Rp. 106.19 trilyun (atas dasar harga
berlaku) pada tahun 2009 atau berkontribusi 14.89 persen dari total PDB sektor
pertanian secara luas. Peranan ekspor komoditas perkebunan pada tahun 2009
memberikan sumbangan surplus neraca perdagangan bagi sektor pertanian sebesar
US$ 22.83 milyar dimana subsektor lainnya mengalami defisit (Dirjenbun, 2010).
Gambaran kegagalan pembangunan ekonomi pada saat terjadinya krisis
memberikan hikmah pentingnya merubah paradigma pembangunan yang selama
ini bercorak sektoral, lebih bertumpu pada kegiatan-kegiatan eksploitasi
sumberdaya alam dan tidak berbasis sumberdaya domestik. Dimana eksploitasi
ini dilakukan dengan semaksimal mungkin. Dengan semakin terbatasnya
sumberdaya alam yang tidak terbaharui (unrenewable) serta menurunya kapasitas
produksi sumberdaya alam terbaharui (renewable recsources), memberikan tanda
bahwa di masa akan datang paradigma pembangunan ekonomi lebih mengarah
kepada pembangunan ekonomi wilayah yang berbasis komunitas lokal (local
community-based economy) dan sumberdaya domestik (domestic resource-based
economy). Menurut Rustiadi (2000) bahwa pembangunan yang berbasis
komonitas lokal merupakan pembangunan yang ditujukan dan dilaksanakan oleh
masyarakat lokal untuk meningkatkan kesejahteraannya secara berkelanjutan yang
disesuaikan dengan kapasitas dan kondisi lingkungan sumberdaya alamnya.
Sedangkan pembangunan yang berbasis sumberdaya domestik dalam
penggunaannya harus mencakup sumberdaya fisik alam (natural resource),
2
sumberdaya manusia (human capital), sumberdaya sosial (social capital) dan
sumberdaya buatan (man-mad capital).
Sektor pembangunan ekonomi yang memenuhi kriteria dan kondisi
paradigma pembangunan tersebut adalah sektor pertanian. Salah satu komoditas
perkebunan dari sektor pertanian yang memberikan andil dalam pembangunan
ekonomi nasional adalah tanaman kakao. Ditinjau dari sudut pengusahaan maka
komoditas ini mampu menyerap tenaga kerja yang cukup besar, karena secara
nasional hampir 87 persen pengembangan kakao diusahakan oleh perkebunan
rakyat, sedangkan sisanya diusahakan oleh Perkebunan Besar Negara dan
Perkebunan Besar Swasta (Dirjenbun, 2010).
Tabel 1. Perkembangan Luas Areal Panen, Produksi dan Produktivitas Kakao
di Indonesia Tahun 2005-2009
Tahun Luas Areal Panen
(ha)
Produksi
(ton)
Produktivitas
(ton/ha)
2005 631 961.6 693 701 0.91
2006 591 960.5 702 207 0.84
2007 530 382.3 671 370 0.79
2008 659 946.8 740 681 0.89
2009 565 553.4 694 783 0.81
Sumber: Dirjenbun, 2010
Secara nasional produksi kakao rakyat mengalami peningkatan seiring
dengan perubahan luas areal panen perkebunan kakao. Pada awalnya tahun 2005,
produksi perkebunan kakao rakyat yang semula sebesar 693 701 ton meningkat
menjadi 694 783 ton pada tahun 2009.
Propinsi Sumatera Barat merupakan salah satu daerah yang
mengembangkan komoditas perkebunan kakao. Tabel 2 menggambarkan dari 19
Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Barat, Kabupaten Padang Pariaman
merupakan salah satu daerah yang merupakan sentra pengembangan perkebunan
kakao rakyat. Hal ini ditunjang oleh keadaan iklim dan tanah yang sesuai dengan
syarat tumbuh bagi tanaman perkebunan.
Pasar kakao dunia yang besar merupakan peluang yang harus
dimanfaatkan. Indonesia berpeluang untuk mengisi pasar kakao tersebut, melalui
peningkatan produksi kakao dalam negeri dengan cara meningkatkan
produktivitas persatuan luas tanam kakao nasional dan perluasan areal pertanaman
3
kakao. Produksi dan luas kakao di Propinsi Sumatera Barat dapat dilihat pada
Tabel berikut ini :
Tabel 2. Keadaan Tanaman Kakao di Propinsi Sumatera Barat Tahun 2011
No Kabupaten/Kota Luas Areal
Panen (ha)
Produksi
(ton)
Produktivitas
(ton/ha)
1 Agam 4 572 3 893 0.86
2 Pasaman 17 306 16 125 0.93
3 Limapuluh Kota 4 266 3 637 0.85
4 Tanah Datar 2 103 1 752 0.83
5 Padang Pariaman 13 312 15 540 1.17
6 Solok 2 584 2 145 0.83
7 Pesisir Selatan 2 734 2 285 0.83
8 Sijunjung 2 151 1 843 0.86
9 Kep. Mentawai 1 368 1 135 0.83
10 Solok Selatan 916 821 0.90
11 Pasaman Barat 8 374 7 817 0.93
12 Dharmasraya 1 830 1 494 0.82
13 Kota Padang 804 685 0.85
14 Kota Padang Panjang 10 9 0.90
15 Kota Payakumbuh 919 788 0.86
16 Kota Solok 260 224 0.86
17 Kota Sawahlunto 1 929 1 894 0.98
18 Kota Bukittinggi 15 13 0.87
19 Kota Pariaman 598 561 0.94
Sumber : Dinas Perkebunan Prop. Sumatera Barat, 2012
Pengusahaan perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Padang Pariaman
pada umumnya hampir sama dengan daerah lain, yaitu secara monokultur maupun
kebun campuran. Hal ini tidak terlepas dari karakteristik petani pada wilayah ini
yang memiliki keragaman dalam pola usahatani. Secara historis pengusahaan
tanaman perkebunan di wilayah ini, sudah lama berlangsung. Dimana komoditi
perkebunan yang menjadi perioritas pengembangan dan sumber pendapatan
petani, pada mulanya adalah pinang dan kelapa (Dinas Perkebunan Kab. Padang
Pariaman, 2012).
Secara umum aktivitas masyarakat Kabupaten Padang Pariaman masih
berorientasi pada usaha tanaman perkebunan dan menjadikan komoditi
perkebunan sebagai sumber mata pencaharian utama. Pengembangan tanaman
kakao di Kabupaten Padang Pariaman adalah perkebunan rakyat yang diusahakan
oleh petani lokal dalam skala kecil dan pengelolaannya masih bersifat tradisional,
karena belum ada yang diusahakan oleh perkebunan besar negara maupun
4
perkebunan besar swasta. Dalam pengembangannya komoditi ini mengalami
peningkatan yang cukup pesat, hal ini selain dipengaruhi oleh perubahan harga
berbagai komoditi perkebunan, di lain sisi karena ditunjang oleh keadaan
agroklimat wilayah yang sesuai dengan syarat tumbuh tanaman perkebunan.
Sehingga Kabupaten Padang Pariaman cocok untuk pengembangan tanaman
kakao.
Di tinjau dari aspek agronomis, tanaman kakao mulai berproduksi pada
umur tiga tahun dengan umur ekonomisnya dua puluh tahun. Pengusahaan
tanaman kakao oleh petani memiliki spesifikasi tersendiri dalam sistem usahatani
(farming system). Sebab dalam pelaksanaannya, tanaman ini sering dibudidayakan
dengan pola sistem tumpangsari dengan tanaman perkebunan lainnya, seperti
kelapa dan tanaman buah-buahan. Bahkan dalam penanamannya kebanyakan
diawali dengan penanaman pohon pelindung yang nantinya mempunyai nilai
ekonomis baik secara langsung maupun tidak langsung. Penanaman kakao rata-
rata diusahakan pada lahan-lahan yang hak kepemilikannya adalah milik
perorangan dan hak kepemilikan bersama (hak ulayat). Proses pembentukan hak-
hak masyarakat atas lahan ini umumnya bersifat turun-temurun dan pengakuan
atas hak-hak (property right) masyarakat telah berlangsung lama sejak mereka ada
dilokasi tersebut.
Sejalan dengan semakin meningkatnya permintaan pasar lokal, nasional
maupun dunia menyebabkan laju pertumbuhan pengusahaan komoditas ini
semakin pesat, bila dibandingkan dengan pengembangan komoditi perkebunan
lainya seperti kelapa, dan pinang. Sehingga dalam kurung waktu tujuh tahun
pengembangan komoditi ini mengalami peningkatan yang cukup pesat.
Pada Tabel 3 dapat kita lihat pada tahun 2006 produksi kakao Kabupaten
Padang Pariaman mencapai 2 591 ton, mengalami kenaikan dari tahun 2005 dan
pada tahun 2011 produksi kakao Kabupaten Padang pariaman terus naik mencapai
9 971 ton dengan luas areal panen mencapai 12 054 hektar. Sehingga jika kita
lihat dari produktivitasnya, maka produktivitas rata-rata kakao rakyat di
Kabupaten Padang Pariaman adalah 1.17 ton per hektar. Produktivitas tersebut
sudah diatas produktivitas nasional, tapi masih jauh dibawah produktivitas
5
potensial kakao yang mencapai 2 ton per hektar (Dinas Perkebunan Kab. Padang
Pariaman, 2012).
Tabel 3. Perkembangan Luas Areal Panen, Produksi dan Produktivitas Kakao di
Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2003-2011
Tahun Luas Areal Panen
(ha)
Produksi
(ton)
Produktivitas
(ton/ha)
2003 1 068 117 0.11
2004 1 068 438 0.41
2005 1 078 1 636 1.52
2006 1 068 2 591 2.43
2007 3 351 2 624 0.78
2008 5 086 5 941 1.17
2009 6 160 6 993 1.13
2010 9 587 11 220 1.17
2011 13 312 15 540 1.17
Sumber: Dinas Perkebunan Kab. Padang Pariaman, 2012.
Kakao merupakan komoditi ekspor yang permintaannya terus meningkat.
Upaya untuk peningkatan produktivitas dan kualitas kakao terus dilakukan,
sehingga pendapatan yang diperoleh petani meningkat. Aspek produksi dan
pemasaran ini tidak dapat dipisah dalam peningkatan pendapatan petani. Salah
satu faktor yang mempengaruhi pendapatan petani adalah kurangnya pengetahuan
petani mengenai pemasaran hasil kakao, seperti saluran dan karakteristik
pemasaran yang akan memberikan keuntungan yang maksimal pada petani.
1.2. Perumusan Masalah
Tanaman perkebunan yang pada awalnya menjadi prioritas pengembangan
oleh masyarakat di Kabupaten Padang Pariaman adalah tanaman kelapa dan
pinang. Namun faktor merosotnya harga pinang dan belum membaiknya harga
kelapa di pasar nasional maupun lokal, dan semakin membaiknya prospek harga
kakao di tingkat petani menyebabkan semakin besar perhatian petani pada
pengembagan komoditi kakao.
Pilihan petani terhadap pengembangan komoditas ini juga dipicu oleh
begitu besarnya tuntutan kebutuhan pokok keluarga tani yang terus meningkat,
sementara meningkatnya kebutuhan tersebut tidak seiring dengan pendapatan
petani. Dan juga faktor keterbatasan lapangan pekerjaan dan tingkat pendidikan
menjadi kendala dalam mencari pekerjaan lain. Kondisi inilah yang menjadikan
6
tanaman kakao sebagai komoditi perkebunan yang memiliki luas lahan terbesar
kedua setelah kelapa (Dinas Perkebunan Kab. Padang Pariaman, 2012).
Pengembangan kakao di Indonesia dan Kabupaten Padang Pariaman,
masih sangat prospektif bila dilihat dari potensi produksi dan pemasaran pada
pasar domestik dan ekspor. Kabupaten Padang Pariaman yang merupakan sentra
utama tanaman kakao di Sumatera Barat, belum mampu memberikan sumbangan
atau pendapatan yang berarti, baik bagi daerah maupun bagi petaninya sendiri.
Sampai saat ini masih banyak permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan
kakao yaitu dari segi teknologi bercocok tanam, pengolahan pascapanen,
perencanaan bisnis dan pemasaran, serta aspek sosial ekonomi budaya. Hal ini
terlihat jelas dari usahatani yang dilakukan petani masih tradisional.
Secara teknis pertanian, usaha pengembangan perkebunan kakao lebih
mengarah pada perluasan areal tanaman, peningkatan produktivitas tanaman serta
perbaikan mutu hasil. Berdasarkan laporan Dinas Perkebunan Kabupaten Padang
Pariaman (2012) bahwa produktivitas tanaman kakao di Kabupaten Padang
Pariaman adalah 1.17 ton/ha, angka tersebut masih jauh dibawah tingkat
produktivitas potensial yang bisa dicapai tanaman kakao yaitu sebesar 2 ton/ha
(Spillane, 1995). Sehingga hal tersebut merupakan permasalahan yang terbesar
bagi petani dan pertumbuhan perekonomian di daerah tersebut. Dari fakta
tersebut, faktor-faktor apa yang mempengaruhi produksi kakao di Kabupaten
Padang Pariaman ?
Perkembangan areal tanam dan produksi kakao telah menarik banyak
pihak untuk terlibat dalam proses pemasarannya. Ada banyak pedagang, lembaga
pemasaran maupun pemerintah, dengan kepentingannya masing-masing ikut
berperan dalam pemasaran kakao. Sementara mutu kakao yang dihasilkan petani
belum memiliki standar yang jelas. Dan petani tidak mempunyai kekuatan dalam
penentuan harga, dimana harga di tentukan oleh pedagang. Hal ini akan
mempengaruhi proses pemasarannya karena mekanisme pembentukan harga
komoditas kakao di pasar akan berdampak langsung pada perilaku partisipan yang
terlibat dalam perdagangan komoditas ini. Eksportir, pedagang lokal, pedagang
pengumpul dan petani sendiri, adalah pihak yang akan terkena dampak harga.
Seberapa besar dampak harga yang dihadapi oleh lembaga pemasaran kakao,
7
sangat tergantung pada kekuatan masing-masing pelaku yang terlibat dalam rantai
pemasaran kakao itu sendiri. Sehingga aspek pemasaran mempunyai peranan yang
sangat kuat dalam perkembangan usahatani.
Keadaan pasar kakao seperti yang digambarkan di atas berpotensi
menimbulkan masalah dan bisa merugikan petani produsen. Pola pemasaran yang
terjadi akan cenderung tidak terorganisir karena melibatkan pelaku pemasaran
yang banyak dengan kepentingan yang berbeda-beda. Sehingga daya tawar petani
juga cenderung rendah karena jumlah petani sangat banyak dan tersebar di
berbagai wilayah, belum adanya koordinasi dan kerjasama antar petani,
persaingan pasar yang semakin kompetitif, lokasi konsumen akhir kakao yang
jauh dari sentra produksi (di luar negeri) dan belum adanya rantai distribusi yang
jelas dari petani sampai ke industri berbahan baku kakao, ditambah lagi dengan
masalah produksi dan mutu seperti yang telah diuraikan di atas. Petani tidak akan
menjadi penentu harga, perilaku harga akan cenderung didominasi oleh
kepentingan pedagang besar dan eksportir
Hal tersebut mengindikasi bahwa pasar kakao bersifat oligopsoni. Selama
ini hasil panen hanya ditampung oleh pedagang kabupaten atau eksportir saja,
melalui pedagang-pedagang perantara, yang nantinya akan memperdagangkan
kakao keluar wilayah Kabupaten Padang Pariaman atau ke pasar luar negeri.
Saluran pemasaran kakao yang terbentuk cenderung dikuasai oleh pedagang
pengumpul. Dengan pola distribusi yang demikian, dimana informasi harga di
tingkat eksportir/importir tidak diketahui dengan jelas, harga kakao bisa berubah
dengan cepat dan cenderung fluktuatif yang menimbulkan ketidakpastian bagi
petani. Dari uraian tersebut, pertanyaan yang muncul yang perlu dijawab adalah
bagaimana struktur, perilaku, kinerja pasar kakao, dan berapa marjin dari lembaga
pemasaran dibandingkan dengan proporsi harga yang diterima petani ?
Berdasarkan uraian di atas, serta terbukanya prospek pengembangan kakao
di masa yang akan datang. Maka perlu dilakukan penelitian mengenai aspek
produksi dan pemasaran kakao. Bagaimana keterkaitan antara kegiatan produksi
kakao di tingkat usahatani dengan pemasaran kakao sebagai komoditas pertanian
yang terhubung dalam suatu kesatuan sistem pemasaran, serta bagaimana
peranannya dalam mempengaruhi dan menentukan harga kakao yang merupakan
8
sinyal bagi produsen dan konsumen. Sehingga dengan adanya penelitian ini
diperoleh informasi mengenai keragaan produksi dan pemasaran usahatani kakao
di Kabupaten Padang Pariaman.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latarbelakang dan permasalahan diatas, penelitian ini
dilakukan bertujuan untuk :
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kakao di Kabupaten
Padang Pariaman.
2. Mengidentifikasi jalur dan karakteristik lembaga pemasaran kakao di
Kabupaten Padang Pariaman.
3. Menduga marjin yang diterima setiap lembaga pemasaran.
4. Menentukan besarnya bagian harga yang diterima petani.
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini pada dasarnya mempelajari analisis produksi dan pemasaran
kakao rakyat, yang mencakup faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan
analisis pemasaran meliputi struktur, prilaku dan keragaan pemasaran kakao di
Kabuapten Padang Pariaman.
Keterbatasan penelitian ini adalah fakta yang digambarkan merupakan
kegiatan dan keadaan pada saat penelitian dilakukan, selanjutnya berdasarkan
fakta tersebut dilakukan penyimpulan mengenai masalah-masalah penelitian yang
ingin dibuktikan atau dicari hubungannya. Dan untuk analisis pemasarannya pada
penelitian ini dibatasi sampai pada pedagang kakao di Kabupaten Padang
Pariaman.
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Analisis Produksi
Hasil penelitian yang diselenggarakan oleh Gonarsyah et al. (1990) bahwa
pola tanam kakao perkebunan rakyat di Indonesia (kasus Sulawesi Tenggara)
terdiri atas dua bentuk, yaitu monokultur dan tumpangsari. Pola tanam
monokultur dilakukan oleh petani di tegalan, sementara pola tanam tumpangsari
dilakukan oleh petani di kebun kelapa. Ini mengindikasikan bahwa pengusahaan
tanaman kakao pada awalnya dilakukan di kebun kelapa, setelah itu baru
dilakukan di tegalan secara monokultur. Ini mengartikan bahwa pengembangan
tanaman kakao memperoleh respon positif dari pekebun. Keberhasilan tersebut,
pada hakekatnya lebih banyak dikarenakan adanya respon positif pekebun
terhadap relatif tingginya harga biji kakao kering yang diterima pekebun pada
pertengahan tahun 1980-an. Selain itu, instruksi pemerintah daerah untuk
mengusahakan komoditi kakao di wilayah tersebut cukup menonjol.
Akiyama dan Nishio (1997) telah menguji kebijakan pemerintah yang
mempengaruhi perluasan produksi kakao di Indonesia, dan mengidentifikasikan
persoalan-persoalan yang dihadapi dalam pengembangan kakao. Penelitian ini
memanfaatkan analisis deskriptif, dan sama seperti studi-studi yang dikemukakan
sebelumnya, studi ini belum mengaitkan dengan kinerja ekonomi wilayah. Salah
satu kesimpulan penting dari penelitian ini ialah bahwa perluasan produksi kakao
yang cepat disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang membatasi intervensi.
Oleh karena itu, peneliti merekomendasikan agar pemerintah Indonesia
menerapkan kebijakan (non-intervensi) perdagangan kakao terhadap komoditi
lainnya.
Bafadal (2000) telah menyelenggarakan studi yang menganalisis produksi
dan respon penawaran kakao rakyat dengan studi kasus Propinsi Sulawesi
Tenggara. Penelitian tersebut diselenggarakan dengan menggunakan metode
survai, dan memanfaatkan analisis ekonometrika. Sebagaimana penelitian-
penelitian lainnya, meskipun penelitian ini mengambil kasus Propinsi Sulawesi
Tenggara, namun penelitian ini belum mengaitkan komoditi kakao dengan kinerja
ekonomi wilayah. Penelitian ini dititik beratkan pada aspek-aspek usahatani.
10
Penelitian ini menemukan bahwa luas areal dipengaruhi oleh harga riel kakao dan
harga riel pupuk urea. Selanjutnya, produktivitas dipengaruhi oleh harga riel
cengkeh, harga riel pupuk urea dan luas areal. Luas areal lebih respon
dibandingkan dengan produktivitas terhadap perubahan harga riel kakao dalam
jangka pendek dan jangka panjang. Penawaran (produksi) kakao dalam jangka
pendek dan jangka panjang responsif terhadap perubahan harga riel kakao dan
harga riel pupuk urea, tetapi penawaran tersebut tidak responsif terhadap
perubahan upah riel tenaga kerja.
Penelitian yang dilakukan Slameto (2003), tentang efisiensi produksi
usahatani kakao untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi
kakao di Provinsi Lampung. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja yang
mencakup tiga kabupaten sebagai daerah sampel. Analisis menggunakan fungsi
produksi Cobb-Douglas. Produksi kakao rakyat sangat dipengaruhi oleh input
tenaga kerja, pupuk kandang, pestisida, luas lahan, jumlah dan umur tanaman
kakao, serta penggunaan klon unggul, seluruhnya memberikan pengaruh positif
terhadap produksi. Penggunaan input produksi dapat meningkatkan produksi
kakao rakyat dengan proporsi yang sama yang ditunjukkan oleh ekonomi skala
usaha yang cenderung pada kondisi constant return to scale.
Dalam tahun 2004, Gonarsyah menyelenggarakan studi kasus yang
bertujuan menguji kendala-kendala kunci dan isu-isu pemerintahan tentang
perluasan integrasi vertikal usahatani, perusahaan dan konsumen dalam industri
kakao di Indonesia. Isu utama yang dibahas ialah bagaimana memperbaiki sistem
di mana pemerintah dapat membantu menciptakan sistem tersebut bekerja atas
kepentingan petani untuk keuntungan bagi semua stakeholder dalam sistem
tersebut. Kesimpulan utama dari studi kasus tersebut ialah pertanyaan mendasar
tentang bagaimana kebijakan yang terkait dengan jenis industri kakao. Apakah
jenis industri kakao yang seharusnya dikembangkan dalam jangka panjang,
apakah industri kakao biji, atau industri chocolate (Gonarsyah, 2004: 1, 10).
Berdasarkan hasil penelitian Leonard (2011) di Ghana dengan judul
Analysis of Factors Affecting The Technical Efficiency of Cocoa Farmers in The
Offinso District-Ashanti Region Ghana. Penelitian ini menggunakan fungsi
Cobb-Douglas dan di dapatkan hasilnya bahwa (1) Faktor-faktor yang
11
mempengaruhi produktivitas adalah luas areal, modal dan tenaga kerja.(2)
Sedangkan untuk input laiinya seperti pupuk dan mesin-mesin pertanian dapat
menurunkan efisiensi usahatani kakao.
2.2. Penelitian Analisis Pemasaran
Penelitian Noorsapto (1994), tentang keunggulan komparatif dan dampak
kebijakan pemerintah pada komoditi kakao di perkebunan rakyat, perkebunan
besar negara dan perkebunan besar swasta. Analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode analisis matrils kebijakan atau Policy Analysis
Matrix (PAM). Hasilnya menunjukan bahwa semua sistem komoditas kakao
adalah menguntungkan baik secara finansial maupun ekonomi dimana ketiga
bentuk pengusahaan mempunyai keunggulan komparatif dan secara finansial
mempunyai keunggulan kompetitif.
Model analisis yang di gunakan oleh Yudhistira (1997) dimana melakukan
penelitian di Perkebunan Besar Negara Rajamandala, Jawa Barat dalam kajian
keunggulan komparatif komoditis kakao. Hasil penelitian menunjukan secara
finansial dan ekonomi pengusahaan komoditas kakao menguntungkan atau layak
diteruskan. Dari analisis keuntungan privat diperoleh nialai Rp. 303 909 per kg
kakao kering dan dengan analisis ekonomi diperoleh keuntungan Rp 498.54 per
kg kakao kering. Ini berarti baik dalam pasar persaingan sempurna dan pasar
terdistorsi atau ada campur tangan pemerintah maka pengusahaan kakao layak
dilanjutkan. Dengan menggunakan kriteria Rasio Biaya Privat (PCR) dan Rasio
Biaya Sumberdaya domestik (DRC), pengusahaan komoditas kakao memiliki
keunggulan komparatif dengan nilai PCR dan DRC lebih kecil dari satu yaitu 0.76
dan 0.58.
Wally (2001) melakukan penelelitian mengenai analisis tataniaga kakao
rakyat dan faktor-faktor yang mempengaruhi opsi kelembagaan tataniaga petani
kakao di Kabupaten Jayapura. Penelitian ini membedakan dua jenis kelembagaan
yaitu pola kemitraan dan pola tradisional. Penelitian tersebut bertujuan untuk
mempelajari struktur pasar dan sistem tataniaga, mempelajari bentuk
kelembagaan tataniaga serta faktor yang mempengaruhi opsi petani terhadap
kelembagaan, serta bertujuan mengidentifikasi alternatif kebijakan pengembangan
12
tataniaga kakao rakyat. Hasil penelitian yang dikemungkakan bahwa struktur
pasar biji kakao di Jayapura bersifat oligoponistik yang mengarah ke pasar lebih
bersaing. Marjin tataniaga kelembagaan kemitraan jauh lebih rendah dibanding
kelembagaan tradisional. Harga biji kakao pada pola kenitraan dominan
dipengaruhi oleh persentase perubahan harga di pasar lokal, sedangkan pola
tradisional dipengaruhi pembentukan harga FOB Jayapura. Kelembagaan
kemitraan menjadi opsi sebagian besar petani kakao Jayapura yang sangat
dipengaruhi oleh karakteristik individu petani berupa pengalaman dan pendidikan
formal petani. Untuk biaya transaksi berpengaruh sangat nyata terhadap peluang
kelembagaan.
Dan pada tahun 2007 dilakukan penelitian oleh Marcella Vigneri dengan
topik penelitian Ghana and the cocoa marketing dilemma: What has liberalisation
without price competition achieved? Hasil penelitian ini adalah Usaha yang
dilakukanpemerintah untuk meningkatkan pendapatan petani kakao di ghana
adalah.: (1) Menambah jumlah pedagang kakao; (2) Membuat program pembelian
kakao langsung sevara tunai; (3) Menjaga stabilitas harga sepanjang musim.
13
III. KERANGKA TEORITIS
3.1. Teori Produksi
Secara umum, produksi diartikan sebagai penggunaan atau pemanfaatan
sumber daya yang mengubah suatu komoditi menjadi komoditi lainnya yang sama
sekali berbeda, baik dalam pengertian apa, dan dimana atau kapan komoditi-
komoditi itu dialokasikan, maupun dalam pengertian apa yang dapat dikerjakan
oleh konsumen terhadap komoditi itu. Istilah produksi berlaku untuk barang
maupun jasa, karena istilah komoditi memang mengacu pada barang dan jasa.
Keduanya sama-sama dihasilkan dengan mengerahkan modal dan tenaga kerja
(Debertin, 1986).
Ada beberapa fungsi produksi yang bisa digunakan untuk mengetahui
hubungan antara faktor produksi (input) dan produksi (output), diantaranya
adalah: fungsi produksi linier, kuadratik, polinominal akar pangkat dua,
eksponensial, CES (Constant Elasticity of Substitution) dan translog. Memilih
fungsi produksi apa yang akan digunakan dalam suatu penelitian diperlukan
banyak pertimbangan, karena masing-masing fungsi produksi memiliki
keunggulan dan keterbatasan. Selain disesuaikan dengan kebutuhan penelitian,
jenis data yang digunakan dan tujuan analisis. Soekartawi (2003), juga
menganjurkan tindakan berikut dalam memilih model atau bentuk fungsi produksi
yaitu: (1) identifikasi masalah secara jelas, variabel-variabel apa saja yang
berfungsi sebagai penjelas dan apa variabel yang dijelaskannya, (2) tindakan
pertama tersebut kemudian harus dilanjutkan dengan studi pustaka untuk melihat
apakah identifikasi masalah sesuai dengan teori yang benar yang dikombinasikan
dengan pengalaman sendiri serta belajar dari penelitian lain, dan (3) melakukan
trial and error untuk menguatkan model yang dipakai.
Fungsi produksi eksponensial (Cobb-Douglas) adalah fungsi yang sering
dipakai sebagai model analisis produksi dalam penelitian usahatani, karena
penggunaannya yang lebih sederhana dan mudah untuk melihat hubungan input-
output. Menurut Debertin (1986), walaupun memiliki beberapa keterbatasan,
penggunaan fungsi produksi Cobb-Douglas didasarkan atas pertimbangan: (1)
secara metodologis lebih representatif dibandingkan dengan fungsi keuntungan
14
misalnya, karena variabel bebas yang dimasukkan adalah kuantitas dari input, data
cross section akan lebih tepat dianalisis dengan fungsi produksi dibandingkan
dengan fungsi keuntungan, (2) dalam penerapan secara empiris lebih sederhana
dan lebih mudah karena nilai parameter dugaan sekaligus juga menunjukkan
elastisitas produksi dan ekonomi skala usaha, dan (3) dari fungsi tersebut dapat
diturunkan fungsi permintaan input.
Soekartawi (2003), menyebutkan ada tiga alasan pokok mengapa fungsi
Cobb-Douglas lebih banyak dipakai oleh para peneliti yaitu: (1) penyelesaiannya
relatif lebih mudah jika dibandingkan dengan fungsi produksi yang lain karena
dapat dengan mudah ditransfer ke bentuk linier, (2) hasil pendugaan garis fungsi
ini menghasilkan koefisien regresi yang sekaligus juga menunjukkan besaran
elastisitas, dan (3) besaran elastisitas tersebut sekaligus menunjukkan tingkat
besaran return to scale
Terlepas dari kelebihan tertentu yang dimiliki fungsi produksi Cobb-
Douglas jika dibandingkan dengan fungsi-fungsi yang lain, bukan berarti fungsi
tersebut sempurna. Kesulitan umum yang dijumpai dalam penggunaan fungsi
produksi Cobb-Douglas atau kelemahan dan keterbatasan fungsi ini adalah: (1)
spesifikasi variabel yang keliru akan menghasilkan elastisitas produksi yang
negatif atau nilainya terlalu besar atau terlalu kecil.
Hal ini juga mendorong terjadinya multikolinearitas pada variabel
independen yang dipakai, masalah ini sering terjadi dalam pendugaan
menggunakan metode kuadrat terkecil, (2) kesalahan pengukuran variabel, hal ini
terletak pada validitas data apakah terlalu ekstrim ke atas atau ke bawah, (3) bias
terhadap variabel manajemen karena kadang-kadang sulit diukur dan dipakai
sebagai variabel independen dalam pendugaan karena erat hubungannya dengan
variabel independen yang lain, dan (4) multikolinearitas. Selain itu ada asumsi
yang perlu diikuti dalam menggunakan fungsi Cobb-Douglas, seperti misalnya
asumsi bahwa teknologi dianggap netral, yang artinya intercept boleh berbeda,
tetapi slope garis penduga Cobb-Douglas dianggap sama dan asumsi bahwa
sampel dianggap price takers (Soekartawi, 2003).
Fungsi produksi menunjukkan jumlah maksimum output yang dapat
dihasilkan dari pemakaian sejumlah input dengan menggunakan teknologi
15
tertentu. Fungsi produksi merupakan fungsi dari kuantitas input tidak tetap dan
input tetap. Menurut Debertin (1986), fungsi produksi menerangkan hubungan
teknis yang mentransformasikan input atau sumberdaya menjadi output atau
komoditas. Atau bisa juga dikatakan bahwa fungsi produksi adalah suatu fungsi
atau persamaan yang menunjukan hubungan teknis antara jumlah faktor produksi
yang digunakan dengan jumlah hasil produksi yang dihasilkan per satuan waktu.
Secara matematis fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut:
Q = (X1, X2, X3, ...Xn/Zn)
dimana:
Q = Output atau produksi
X1, X2, X3, ...Xn = Input tidak tetap ke-1, 2, 3, ..., n
Zn = Input tetap ke-n
Menurut Debertin (1986), fungsi produksi menerangkan hubungan teknis
yang mentransformasikan input atau sumberdaya menjadi output atau komoditas.
Atau bisa juga dikatakan bahwa fungsi produksi adalah suatu fungsi yang
menunjukan hubungan teknis antara jumlah faktor produksi yang digunakan
dengan jumlah hasil produksi yang dihasilkan per satuan waktu. Petani yang maju
dalam melakukan usahatani akan selalu berfikir bagaimana mengalokasikan faktor
produksi secara efisien.
3.2. Teori Pemasaran Komoditas Pertanian
Upaya peningkatan produksi dan perbaikan pemasaran merupakan satu
rangkaian yang saling berkaitan. Produksi yang tinggi tanpa didukung pemasaran
yang baik dan sebaliknya pemasaran yang baik yang tidak didukung oleh produksi
yang baik tidak akan berarti dalam pengembangan suatu komoditas. Sehingga
dalam meneliti sektor pemasaran sektor produksi tidak bisa diabaikan. Pengkajian
kedua sektor akan mendapatkan kebijakan yang dapat meningkatkan pendapatan
petani.
Kinerja pemasaran memegang peranan sentral dalam pengembangan
komoditas pertanian. Perumusan strategi dan program pengembangan pemasaran
yang mampu menciptakan kinerja pemasaran yang kondusif dan efisien, akan
memberikan kontribusi positif terhadap beberapa aspek yaitu: (1) mendorong
16
adopsi teknologi, peningkatan produktivitas dan efisiensi, serta daya saing
komoditas pertanian, (2) meningkatkan kinerja dan efektivitas kebijakan
pengembangan produksi, khususnya kebijakan yang terkait dengan program
stabilisasi harga keluaran, dan (3) perbaikan perumusan kebijakan perdagangan
domestik dan internasional (ekspor dan impor) secara efektif dan optimal
(Rusastra et al. 2003).
Pada analisis produksi dan pemasaran kakao dalam penelitian ini,
pemasaran yang dimaksud pada intinya didefinisikan seperti yang dikemukakan
oleh Kohls dan Uhl (2002), yaitu sebagai semua kegiatan bisnis yang meliputi
seluruh sistem aliran produk dan jasa-jasa yang terlibat dalam arus komoditas
kakao, mulai dari titik awal produksi/petani produsen sampai kakao tersebut di
tangan konsumen akhir. Sehingga apabila proses produksi telah berjalan dengan
baik dan di dukung oleh kegiatan pemasaran yang efisien maka akan tercapailah
usahatani kakao yang memberikan keuntungan kepada petani.
Pembentukan harga suatu komoditas pada setiap tingkat pasar tergantung
pada struktur pasar tersebut, sehingga hubungan harga antara tingkat pasar
konsumen dengan tingkat pasar produsen tergantung kepada struktur pasar yang
menghubungkannya. Dalam struktur pasar yang bersaing sempurna misalnya,
hubungan harga yang diterima petani produsen dengan harga yang dibayar
konsumen atau hubungan antar tingkat pasar, akan erat sekali. Keadaan ini
merupakan salah satu cermin dari sistem pemasaran yang efisien.
Dalam hal ini, tugas pemasaran dalam suatu sistem pertukaran adalah
mempengaruhi koordinasi antar apa yang diproduksi dengan apa yang dibutuhkan
konsumen. Dan juga mekanisme harga berfungsi sebagai sistem komunikasi untuk
meneruskan informasi mengenai keinginan konsumen kepada produsen. Sinyal
harga menjadi pesan dari konsumen kepada produsen. Bila suatu produk atau
mutu tertentu dari suatu produk sangat dibutuhkan oleh konsumen, maka
harganya menjadi relatif lebih tinggi. Sinyal harga ini disampaikan melalui sistem
tersebut menuju ke produsen, sehingga dalam waktu tertentu produsen melakukan
penyesuaian yang menurutnya tepat secara ekonomi, dengan mengalokasikan
faktor produksi untuk memproduksi produk dengan tingkat mutu seperti yang
dikehendaki oleh konsumen.
17
3.2.1. Konsep Efisiensi Pemasaran
Ada dua tipe efisiensi dalam kaitan dengan pemasaran yaitu efisiensi
teknis dan efisiensi harga. Efisiensi teknis menunjukan pada hubungan input-
output yang terlibat dalam tugas pemanfaatan produksi di seluruh sistem
pemasaran. Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam proses untuk membawa barang
ke tangan konsumen meliputi biaya perubahan bentuk, biaya penyimpanan dan
biaya pengangkutan. Pada umumnya efisiensi pelaksanaan aktivitas dan fungsi ini
dianggap tergantung pada teknologi yang tersedia (Purcell, 1979).
Efisiensi harga merujuk pada kemampuan sistem untuk mempengaruhi
perubahan dan mendorong relokasi sumberdaya agar dapat mempertahankan
kesesuaian antara apa yang diproduksi dan apa yang dibutuhkan konsumen.
Pemasaran menginginkan adanya efisiensi yaitu pengorbanan yang sekecil
mungkin terhadap barang atau jasa yang diminta konsumen. Efisiensi pemasaran
menurut Kohls dan Uhl (2002), adalah nisbah antara total biaya dengan total nilai
produk yang dipasarkan. Ada beberapa faktor yang dapat dipakai sebagai ukuran
efisiensi pemasaran yaitu keuntungan pemasaran, harga yang diterima petani,
tersedianya fasilitas fisik pemasaran dan kompetisi pasar.
Kohls dan Uhl (2002), menyatakan bahwa perubahan sistem pemasaran
yang berakibat mengecilnya biaya kegiatan pemasaran tanpa mengurangi
kepuasan konsumen menunjukkan suatu perbaikan dari tingkat efisiensi
pemasaran. Sedangkan perubahan yang mengurangi biaya pemasaran tetapi
diikuti dengan berkurangnya kepuasan konsumen menunjukkan penurunan tingkat
efisiensi pemasaran. Efisiensi pemasaran akan tercapai jika struktur pasar dapat
menciptakan iklim yang mendorong terjadinya proses yang seimbang antara
pelaku-pelaku yang terlibat dalam pemasaran. Efisiensi pasar secara teoritis dapat
dicapai jika pelaku-pelaku pasar tidak melakukan suatu upaya rekayasa untuk
mempengaruhi harga pasar, atau bila pemasaran tersebut dapat memberikan
semua pihak (petani produsen, pedagang perantara dan konsumen) kepuasan balas
jasa yang seimbang sesuai dengan sumbangannya masing-masing meskipun
sifatnya relatif (adil yang proporsional).
Kohls dan Uhl (2002), lebih lanjut mengungkapkan bahwa analisis sistem
pemasaran dapat juga dikaji melalui pendekatan struktur, perilaku dan keragaan
18
pasar. Struktur pasar merupakan karakteristik organisasi yang menentukan
hubungan antara penjual dengan pembeli yang dapat dilihat dari jumlah lembaga
pemasaran yang terlibat, pangsa pasar, konsentrasi pasar dan kondisi keluar
masuk pasar. Perilaku pasar merupakan tingkah laku lembaga pemasaran dalam
struktur pasar tertentu yang dihadapinya, yang meliputi kegiatan pembelian dan
penjualan, penentuan harga dan siasat pemasaran seperti potongan harga. Struktur,
perilaku dan kinerja merupakan tiga kategori utama yang digunakan untuk melihat
kondisi struktur pasar dan persaingan yang terjadi di pasar. Struktur sebuah pasar
akan mempengaruhi perilaku perusahaan dalam pasar tersebut, yang secara
bersama-sama menentukan kinerja sistem pasar secara keseluruhan. Sehingga dari
analisis struktur, perilaku dan keragaan pasar akan dapat dilihat tingkat efisiensi
dari sistem pemasaran tersebut.
3.2.2. Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar
Kohls dan Uhl (2002), mengungkapkan bahwa analisis pemasaran dapat
dikaji melalui struktur (structure), perilaku (conduct), dan keragaan
(performance). Pendekatan SCP adalah pendekatan organisasi pasar yang
mencakup atau mengkombinasikan semua aspek dari sistem pemasaran atau
tataniaga.
a. Struktur Pasar
Struktur pasar (market structure) dapat diartikan sebagai karakteristik dari
produk maupun institusi yang terlibat pada pasar tersebut yang merupakan suatu
resultan atau saling mempengaruhi perilaku dan kinerja pasar. Antara lain ada
empat faktor yang menjadi penentu yaitu: jumlah dan ukuran perusahaan (isu
pangsa pasar dan konsentrasi pasar), kondisi dan keadaan produk (homogen atau
diferensiasi), mudah atau sukarnya untuk masuk dan keluar pasar atau industri
(barrier to entry) dan tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh partisipan dalam
pemasaran. Struktur pasar dapat juga diartikan sebagai tipe dan jenis-jenis pasar,
yang secara garis besar dibagi atas dua kelompok, yaitu pasar persaingan
sempurna dan pasar tidak bersaing sempurna.
Pasar Persaingan Sempurna (PPS) adalah kondisi pasar ideal dan
kompetitif yang berjalan dengan efektif dan efisien dengan beberapa asumsi yang
19
harus terpenuhi yaitu: (1) ada sangat banyak penjual dan pembeli di pasar, (2)
tidak ada pelaku pasar yang dominan yang dapat mempengaruhi pesaingnya di
pasar, (3) penjual dan pembeli hanya price taker serta tidak ada persaingan di luar
harga, (4) tidak ada hambatan untuk masuk/keluar pasar dan (5) jenis produk
homogen dan identik, serta semua partisipan pasar mempunyai cukup informasi
dan pengetahuan tentang produk dan harga.
Sisi yang berlawanan sangat ekstrim dengan pasar persaingan sempurna
adalah pasar monopoli dimana pasar dikuasai oleh satu penjual, berikutnya pasar
oligopoli (sedikit penjual) dan pasar monopolistik (banyak penjual). Jika
diurutkan menurut kedekatan karakteristik masing-masing pasar satu sama lain,
maka struktur pasar terdiri dari pasar persaingan sempurna, pasar monopolistik,
pasar oligopoli dan terakhir pasar monopoli.
Imperfect competition bisa juga dilihat dari perspektif pembeli atau
konsumen, sehingga selain ketiga jenis pasar tidak bersaing sempurna tersebut
(monopolistik, oligopoli dan monopoli) juga dikenal struktur pasar monopsoni
dan oligopsoni. Pasar monopsoni menurut Kohls dan Uhl (2002), adalah pasar
dimana hanya terdapat satu pembeli atau kondisi dimana hanya ada satu
perusahaan pengguna pada pasar input tertentu dan oligopsoni adalah sebuah
situasi pasar dimana hanya ada beberapa pembeli dari satu produk atau komoditas
(a few large buyers of a product).
Struktur pasar sebagian besar komoditas hasil-hasil pertanian terutama di
negara-negara berkembang, tergolong ke dalam struktur pasar monopsoni atau
oligopsoni, yang mayoritas pertaniannya merupakan usahatani subsistem karena
beragam faktor yang mempengaruhinya. Hal ini sangat merugikan petani karena
dampak dari mekanisme pembentukan harga yang terjadi adalah tidak ada harga
terbaik, pembeli membeli hasil panen di bawah harga pasar yang seharusnya
(harga pada PPS) sehingga bagian harga yang seharusnya dinikmati petani
diambil oleh pembeli.
b. Perilaku Pasar
Perilaku pasar (market conduct) merupakan perilaku partisipan (pembeli
dan penjual), strategi atau reaksi yang dilakukan partisipan pasar secara individu
atau kelompok dalam hubungan kompetitif atau negosiasi terhadap partisipan
20
lainnya untuk mencapai tujuan pemasaran tertentu. Misalnya praktek-praktek
bisnis yang dilakukan perusahaan dalam kebijakan penentuan harga, promosi
penjualan dan berbagai strategi penjualan lainnya yang dilakukan untuk mencapai
hasil pasar yang spesifik. Pada prinsipnya hubungan pembeli dan penjual adalah
hubungan persaingan, tetapi setelah ada kesepakatan atau negosiasi, hubungan itu
menjadi transaksi.
Firdaus et al. (2008), lebih lanjut menyebutkan bahwa perilaku pasar
terdiri dari kebijakan-kebijakan yang diadopsi oleh pelaku pasar dan juga
pesaingnya, terutama dalam hal harga dan karakteristik produk. Perilaku pasar
dapat dikelompokkan menjadi perilaku dalam strategi harga, produk dan promosi.
Perilaku antara lain juga bisa dilihat dari tingkat persaingan ataupun kolusi antar
partisipan di pasar.
c. Kinerja Pasar
Kinerja atau keragaan pasar (market performance) merupakan hasil atau
pengaruh dari struktur dan perilaku pasar yang dalam realita dapat terlihat dari produk
atau output, harga dan biaya pada pasar-pasar tertentu. Misalnya efisiensi harga atau
biaya produksi, biaya promosi penjualan, termasuk nilai informasi, volume penjualan
dan efisiensi pertukaran di pasar. Keragaan atau kinerja suatu industri diukur antara
lain dari derajat inovasi, efisiensi dan profitabilitas (Firdaus et al. 2008). Struktur dan
perilaku pasar akan menentukan keragaan pasar yang dapat diukur melalui perubahan
harga, biaya pemasaran, margin serta distribusi pemasaran, jumlah komoditas yang
diperdagangkan, korelasi harga di tingkat petani dengan harga di tingkat konsumen,
elastisitas transmisi harga dan keterpaduan pasar.
Terdapat sejumlah faktor intrinsik dan eksternal yang berpengaruh terhadap
kinerja pemasaran produk pertanian. Secara intrinsik faktor yang berpengaruh
diantaranya adalah struktur pasar, tingkat integrasi pasar dan margin pemasaran.
Bentuk pasar yang terjadi dalam struktur suatu pasar akan mempengaruhi tingkat
kompetisi yang akan berdampak pada proses pembentukan harga, transmisi harga dan
bagian harga yang diterima petani. Faktor eksternal yang berpengaruh terhadap
kinerja pemasaran produk pertanian adalah terkait dengan kebijakan pemerintah
seperti pengembangan infra struktur pemasaran (fisik dan kelembagaan), program
stabilisasi harga output, perpajakan dan retribusi, kebijakan pengembangan
produk dan pengolahan hasil pertanian dan lain-lain.
21
Perbaikan terhadap kinerja pemasaran produksi pertanian akan bermanfaat
dalam mendorong peningkatan produksi dan pendapatan petani, karena kinerja
pemasaran yang kondusif akan mendorong adopsi teknologi dan bagian harga
yang diterima petani. Kebijakan pemerintah yang kondusif akan mendorong
peningkatan produksi, distribusi, pengembangan produk dan insentif yang
proporsional bagi pelaku tataniaga dan kesejahteraan petani (Rusastra et al.2003).
3.2.3. Margin Pemasaran
Nicholson (2002), mengemukakan bahwa pola pembentukan harga
tergantung dari kekuatan-kekuatan pelaku dalam pasar. Dengan kata lain penjual
dan pembeli bertemu langsung, harga hanya ditentukan oleh kekuatan penawaran
dan permintaan secara agregat, sehingga jumlah uang yang dibayarkan oleh
konsumen sama dengan jumlah yang diterima produsen. Hal ini memberikan
kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan antara harga di antara keduanya. Namun
dari hasil penelitian dalam bidang pemasaran pertanian ternyata terdapat
perbedaan harga di tingkat petani dengan harga di tingkat pengecer dan konsumen
akhir. Perbedaan yang terjadi inilah yang disebut margin pemasaran yang
merupakan keuntungan dari kegiatan yang dilakukan dalam pemasaran (Cramer et
al. 1997). Bila dalam pemasaran suatu produk pertanian terdapat lembaga
pemasaran yang melakukan fungsi-fungsi pemasaran, maka margin pemasaran
diperoleh dari jumlah margin pemasaran dari tiap-tiap lembaga pemasaran.
Irawan dan Sudjoni (2001), berpendapat banyaknya lembaga pemasaran
dan jarak antara produsen ke konsumen sangat berpengaruh terhadap arus
distribusi barang dan tingkat harga yang diterima oleh produsen ataupun tingkat
harga yang harus dibayar oleh konsumen. Jika dalam penyaluran barang dari
produsen ke konsumen melalui banyak lembaga pemasaran yang terlibat, maka
akan semakin besar perbedaan harga komoditas tersebut pada produsen
dibandingkan dengan harga yang akan dibayarkan oleh konsumen.
Nilai margin pemasaran pada tiap komoditas berbeda-beda, dikarenakan
untuk tiap produk mempunyai jasa pemasaran yang berbeda-beda. Lebih lanjut
Dahl dan Hammond (1977), mengemukakan nilai margin pemasaran ini umumnya
ditetapkan dalam bentuk absolut seperti dalam persen. Dalam hal ini pedagang
22
besar dalam memberikan tambahan harga (mark up) biasanya dalam bentuk
konstan yaitu persen yang disebut sebagai biaya margin tetap (margin fixed cost)
dan untuk pengecer dalam menetapkan tambahan harga dalam bentuk absolut
tetap secara margin uang (absolute). Dari margin yang di peroleh oleh tiap
lembaga pemasaran tersebut dapat kita ketahui efisien atau tidak saluran
pemasarannya.
3.2.4. Bagian Harga yang Diterima Petani
Efisiensi pemasaran dapat juga dianalisis dengan menghitung bagian harga
yang diterima petani atau farmer’s share. Kohls dan Uhl (2002), mengemukakan
untuk mengukur efisiensi pemasaran digunakan harga jual petani sebagai dasar
(Pf) dan dibandingkan dengan harga beli pedagang di tingkat konsumen akhir (Pr)
dikalikan dengan 100 persen. Hal ini berguna untuk mengetahui porsi harga yang
berlaku di tingkat konsumen yang dinikmati oleh petani. Besar farmer’s share
(FS) dipengaruhi oleh: (1) tingkat pemrosesan, (2) biaya transportasi, (3)
keawetan produk, dan (4) jumlah produk. Rumusannya sederhana, dinyatakan
dalam persentase (%), yang dirumuskan dalam persamaan FS = Pf/Pr x 100%.
Apabila dari hasil pengujian diperoleh bagian harga yang diterima petani rendah,
maka saluran pemasaran tidak/belum efisien. Tapi sebaliknya jika dari hasil
pengujian diperoleh harga yang diterima petani mendekati harga di tingkat
konsumen akhir berarti saluran pemasarannya efisien, yang dapat meningkatan
pendapatan petani.
3.2.5. Keterpaduan Pasar
Pengertian keterpaduan pasar adalah seberapa jauh pemebentukan harga
suatu komoditi pada suatu tingkat lembaga pemasaran dipengaruhi oleh harga di
tingkat lembaga lainnya. Pengaruh ini dapat diduga melalui regresi sederhana,
analisis korelasi harga di setiap tingkat baik secara vertikal maupun horizontal dan
melalui elastisitas transmisi harga (Et).
Dalam suatu sistem pasar terpadu yang efisien akan terlihat adanya
korelasi positif yang tinggi sepanjang waktu dari beberapa pasar (Heytens, 1986).
Pada umumnya pendekatan ini banyak dipakai untuk menguji apakah pasar
23
setempat terpadu dan efisien. Dalam hal ini kelancaran informasi dan kelancaran
pengangkutan komoditas memberi peranan yang penting dalam membentuk
perdagangan antar pasar yang efisien. Sehingga perlu perhatian khusus untuk hal
tersebut. Pengujian akan hubungan harga-harga ditambah dengan pengamatan
tentang kegiatan perdagangan merupakan metode uji hipotesis yang berguna
dalam menganalisis keterpaduan pasar.
Harga-harga pada suatu sistem pasar yang efisien cenderung bergerak
bersama-sama, tetapi hal ini dapat terjadi karena sebab-sebab yang lain.
Pergerakan harga umum, musim bersama atau setiap faktor kebersamaan, dapat
memberikan perubahan harga yang selaras walaupun pasar tersebut tidak
berhubungan (Heytens, 1986).
Pendekatan lain yang digunakan adalah metode autoregresive distributed
lag yang dapat mengatasi masalah kelemahan model regresi sederhana yang
menganggap perubahan harga di tingkat konsumen dan produsen bergerak pada
waktu yang sama. Model ini dikembangkan oleh Ravallion (1986) dan Heytens
(1986). Model didasarkan pada hubungan bedakala (lag) bersebaran autoregresive
antara harga disuatu tingkat atau pasar tertentu dengan harga di pasar atau tingkat
lainnya. Analisis ini dapat menerangkan adanya hubungan antara perubahan harga
di suatu pasar tertentu dengan harga di pasar lainnya. Lebih lanjut dapat
diungkapkan proses pembentukan harga, misalnya Pit adalah harga di pasar i
waktu t, sedangkan PAt adalah harga di pasar acuan waktu t, maka model dapat
dirumuskan sebagai berikut:
(Pit – Pit-1) = (αi - 1) (Pit-1 - PAt-1) + βi0 (PAt - PAt-1) +
(αi + βi0 + βi1-1) PAt-1 + γi X + e ...........................................(1)
dimana:
Pit = Harga di pasar i waktu t
PAt = Harga di pasar acuan waktu t
X = Vektor musiman atau variabel lain yang dianggap relevan
e = Error term di pasar i waktu t
Persamaan (1) menjelaskan bahwa perubahan harga di suatu tempat adalah
fungsi dari selisih harga pasar setempat dengan pasar acuan pada waktu yang
sebelumnya, perubahan harga pasar acuan pada waktu sebelumnya, harga di pasar
24
acuan waktu sebelumnya dan ciri-ciri pasar setempat. Persamaan (1) bisa
disederhanakan dengan mengubah lambang-lambang koefisien: αi – 1 = b1, βi0 =
b2 dan αi + βi0 + βi1-1 = b3, sehingga persamaan dapat ditulis sebagai berikut:
(Pit - Pit-1) = b1 (Pit-1 – PAt-1) + b2 (PAt – PAt-1)
+ b3 PAt-1+ b4 X + e ...............................................................(2)
Persamaan (2) dapat disusun kembali menjadi persamaan:
Pit = (1+b1) Pit-1 + b2 (PAt – PAt-1) + (b3-b1) PAt-1 + b4 X + e ..................(3)
Apabila pasar acuan kita anggap berada pada keseimbangan jangka panjang maka
(PAt – PAt-1) = 0 dan juga b4 = 0, sehingga didapatkan:
Pit = (1+b1) Pit-1 + (b3-b1) PAt-1 ................................................................(4)
Nilai parameter (1+b1) dan (b3-b1) akan menggambarkan sumbangan
relatif harga pasar setempat dan acuan terdahulu terhadap pembentukan harga
tingkat sekarang. Apabila harga pasar acuan sebelumnya merupakan penentu dari
harga, maka pasar-pasar ini terintegrasi dengan baik. Artinya keadaan penawaran
dan permintaan pada pasar acuan akan dikomunikasikan secara efektif ke pasar-
pasar setempat dan akan mempengaruhi harga-harga di sana walau bagaimanapun
keadaan pasar lokal sebelumnya. Untuk menangkap besarnya pengaruh ini secara
efektif, dikembangkan suatu indek hubungan pasar atau Index of Market
Connection (IMC) atau disebut juga indek yang dibatasi sebagai nisbah koefisien
pasar setempat terdahulu terhadap koefisien pasar acuan terdahulu. Dari
persamaan (4) diperoleh:
IMC = (1+b1) / (b3-b1) …………………………………………………..(5)
Secara umum, semakin dekat indek tersebut ke-0 atau koefisien bernilai
lebih kecil dari 1 maka semakin tinggi derajat keterpaduan pasar.
3.3. Kerangka Konseptual
Untuk meningkatan pendapatan petani masalah utamanya adalah
menyangkut produktivitas dan kegiatan pemasaran. Keadaan ini akan menentukan
kuantitas dan kualitas kakao. Sehingga upaya untuk memberi perhatian terhadap
aspek produksi dan pemasaran menjadi penting. Usaha ini diharapkan tercakup
pada kebijakan pengembangan usahatani kakao di Kabupaten Padang Pariaman,
dimana kebijakan ini akan meningkatkan pendapatan petani.
25
Gambar 1. Kerangka Konseptual Penelitian
Gambar 1 memberikan kerangka konseptual penelitian secara garis besar ,
didalam proses produksi kakao diperlukan input tetap dan input tidak tetap. Maka
input-input yang akan diuji sebagai hipotesis penelitian adalah bagaimana
pengaruh jumlah tenaga kerja, jumlah penggunaan pupuk kandang, jumlah
penggunaan pupuk kimia, jumlah penggunaan peptisida, luas areal tanam, jumlah
tanaman menghasilkan dan lama pendidikan, terhadap produksi kakao. Apakah
pengaruhnya signifikan terhadap produksi kakao di Kabupaten Padang Pariaman.
Sehingga di ketahui proporsi dari masing-masing faktor dalam menentukan
produksi kakao rakyat di Kabupaten Padang Pariaman.
Kabupaten Padang Pariaman Merupakan Sentra Pengembangan Kakao
Fungsi produksi menggunakan Cobb-Douglas dan analisis pemasaran
menggunakan the market structure-conduct performance relationship
Analisis Produksi Analisis Pemasaran
PePemasaranggunaan
Input
Masalah utama:
1. Produktivitas kakao yang rendah di Kab.
Padang Pariaman
2. Rendahnya posisi tawar petani di pasar
Gambaran keragaan usahatani kakao mulai dari produksi sampai
pemasaran secara terpadu di Kabupaten Padang Pariaman
Perkebunan rakyat
Pendapatan petani meningkat
26
Dan dilanjutkan dengan faktor terakhir yang harus diperhatikan adalah
kegiatan pemasaran kakao. Analisis pemasaran yang digunakan dalam penelitian
ini adalah analisis SCP (Structure-Conduct-Performance), yang merupakan
pendekatan yang bisa digunakan untuk mengkaji efisiensi saluran pemasaran.
Sehingga didapatkan gambaran yang menyeluruh mengenai struktur pasar,
perilaku dan keragaan pasar kakao di Kabupaten Padang Pariaman.
Apabila faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan karakteristik
lembaga pemasaran kakao telah teridentifikasi maka langkah pengembangan
kakao di Kabupaten Padang Pariaman untuk masa mendatang akan mudah untuk
dilaksanakan.
27
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Penentuan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di dua kecamatan di Kabupaten Padang Pariaman,
Propinsi Sumatera Barat. Dua Kecamatan yang dimaksud adalah Kecamatan V
Koto Kampung Dalam dan Kecamatan Sungai Garingging. Dua kecamatan di
pilih dengan sengaja (purposive) dengan pertimbangan sebagai daerah sentra
produksi kakao di Kabupaten Padang Pariaman.
4.2. Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder dalam bentuk data
cross section. Data cross section bersumber dari responden penelitian yaitu petani
kakao dan pedagang kakao. Pedagang kakao dibedakan lagi berdasarkan volume
perdagangannya menjadi pedagang nagari, pedagang kecamatan dan pedang
kabupaten. Data primer ini yang digunakan untuk analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi dan pemasaran kakao.
Sumber data dan informasi berupa laporan-laporan ataupun dokumentasi
yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Dinas Perkebunan, Dinas Perdagangan
dan asosiasi pedagang kakao yang berada di wilayah Kabupaten Padang Pariaman
dan Propinsi Sumatera Barat.
4.3. Metode Pengambilan Contoh
Metode pengambilan sampel adalah judgment sampling yaitu sample
dipilih berdasarkan penilaian bahwa dia adalah pihak yang paling baik untuk
dijadikan sample penelitian (Neuman, 2003). Sampel diambil dari petani yang
mempunyai curahan kerja utama pada usahatani kakao dan petani kakao yang
umur tanaman antara 7 – 9 tahun. Jumlah keseluruhan sampel petani sebanyak 70
orang.
Untuk analisis pemasaran sampelnya adalah pedagang kakao yang dipilih
secara sengaja (purposive) yang terdiri dari 8 pedagang nagari, 6 pedagang
pengumpul kecamatan dan 2 pedagang kabupaten. Penentuan pedagang yang
28
dijadikan sampel dilakukan dengan metode snowball sampling dengan tujuan
untuk menghindari terjadinya pengambilan sampel yang tidak tepat, dimana
pedagang pengumpul di bawahnya tidak menjadi agen (kepanjangan tangan)
pedagang pengumpul di atasnya.
4.4. Model Analisis
4.4.1 Analisis Fungsi Produksi
Model pendugaan produksi Cobb-Douglas yang digunakan terdiri dari empat
input tidak tetap, dua input tetap dan satu dummy. Adapun model tersebut
dirumuskan sebagai berikut:
LnY = ln a0 + b1 Ln X1 + b2 Ln X2 + b3 Ln X3 + b4 Ln X4 + c1 Ln Z1
+ c2 Ln Z2 + d1 Ln D1 + ui …….…………..…………………. (6)
Dimana :
Y = Produksi kakao (kg/ha)
a0 = Intersep
X1 = Tenaga kerja (HOK)
X2 = Pupuk kandang (kg/ha)
X3 = Pupuk kimia (kg/ha)
X4 = Pestisida (liter/ha)
Z1 = luas lahan (ha)
Z2 = Jumlah tanaman menghasilkan (batang)
D1= Dummy pendidikan petani, dimana:
1 = SLTP ke atas (> 6 tahun)
0 = SD (≤ 6 tahun)
bi, cj, dk = Parameter yang diduga
ui = Pengubah pengganggu
Tanda parameter yang diharapkan adalah
b1, b2, b3, b4, c1, c2, c3, c4, d1 > 0.
Model ekonometrika dari fungsi produksi disusun bertujuan untuk
menduga hubungan antara variabel tak bebas dan bebas dari suatu fungsi dalam
usahatani kakao, yang sesuai dengan kriteria model yang baik dengan melihat
kriteria ekonomi, statistik dan ekonometrika. Pada analisis produksi menggunakan
29
model fungsi produksi Cobb-Douglas karena model inilah yang relevan untuk
menganalisis usahatani.
Analisis dapat dilakukan terhadap produksi total atau analisis per hektar.
Persyaratan yang diperlukan untuk mendapatkan fungsi produksi yang baik adalah
terjadi hubungan yang logis dan benar antara variabel yang dijelaskan dengan
variabel yang menjelaskan. Ada dua parameter statistik yang penting dan
diperlukan, yaitu: (1) koefisien determinasi atau R2 yaitu parameter yang
menjelaskan besarnya variasi dari variabel yang dijelaskan oleh variabel penjelas,
dan (2) uji-t pada masing-masing variabel penjelas (Juanda, 2009).
Analisis dilakukan untuk keseluruhan data sampel petani di daerah yang
sudah dipilih di wilayah Kabupaten Padang Pariaman. Model penduga fungsi
produksi Cobb-Douglas digunakan untuk menjawab tujuan penelitian pertama.
Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dapat di deteksi dengan menggunakan
uji-t.
Penilaian apakah fungsi produksi ini dapat dipertanggungjawabkan
dimana terjadi hubungan yang logis dan benar antara variabel yang dijelaskan
dengan variabel yang menjelaskan atau tidak terjadi kesalahan spesifikasi adalah
dengan melakukan pengujian model secara keseluruhan dengan menggunakan
statistik uji F.
Nilai level signifikansi yang digunakan atau derajat α adalah pada taraf 1
persen, 5 persen dan 10 persen. Kriteria keputusan dilakukan dengan
menggunakan angka probabilitas (P_value atau sign.) yang diperoleh dari
perhitungan komputer kemudian dibandingkan dengan taraf nyata pengujian yang
dilakukan, misalnya (α=5 persen). Jika probabilitas (sign.) lebih kecil dari taraf
nyata (α=5 persen), maka keputusannya adalah menolak H0 atau menerima
hipotesis alternatif H1. P_value atau significance yang dikeluarkan oleh software
statistik tertentu dapat juga diinterpretasikan sebagai peluang (resiko) kesalahan
dalam menyimpulkan H1 (Juanda, 2009). Pengujian model dilanjutkan dengan uji
asumsi Ordinary Least Squares (OLS) untuk melihat apakah model yang ada sudah
menghasilkan estimator yang linier, tidak bias dengan varian yang minimum, atau
model regresi sudah memenuhi asumsi BLUE (Best Linear Unbiased Estimator).
30
4.4.2. Analsis Pemasaran
Analisis pemasaran dilakukan secara deskriptif menggunakan berbagai
analisis data sederhana dengan menggunakan perhitungan sederhana, analisis
tabulasi dan pendugaan secara stasistik menggunakan metode regresi. . Data
berasal dari responden pedagang kakao dan hasil pengamatan selama berada di
lokasi penelitian. Data yang telah terkumpul selanjutnya ditabulasi dan
dikelompokkan untuk dianalisis sesuai kebutuhan penelitian. Analisis efisiensi
pemasaran biji kakao dilakukan dengan terlebih dahulu menganalisis struktur,
perilaku dan kinerja pasar. Selanjutnya dilakukan analisis margin pemasaran,
analisis bagian harga yang diterima petani dan keterpaduan pasar.
4.4.2.1. Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar
Analisis struktur pasar diidentifikasi dengan pendekatan observasi selama
pelaksanaan survei lapangan. Observasi adalah pengumpulan data primer dengan
cara pengamatan (Simamora, 2004). Untuk menganalisis struktur pasar dilakukan
terhadap seluruh kegiatan dan perilaku semua lembaga yang terlibat dalam rantai
pemasaran kakao, bagaimana saluran pemasaran yang terjadi, sistem transaksi
yang dilakukan, jumlah partisipan dan ukuran distribusinya (derajat konsentrasi),
serta kondisi relatif mudah atau sulit untuk keluar masuk pasar.
Perilaku pasar dianalisis secara deskriptif dengan tujuan untuk
memperoleh informasi mengenai perilaku partisipan di pasar, yang meliputi
analisis tingkah laku serta penerapan strategi yang digunakan oleh partisipan
(pembeli) untuk merebut pangsa pasar dan mengalahkan pesaingnya. Analisis ini
sengaja dilakukan karena variabel yang mencerminkan perilaku sifatnya kualitatif
dan sulit dikuantitatifkan.
Analisis keragaan atau kinerja pasar kakao menggunakan metode analisis
margin pemasaran, dan farmer’s share. Untuk menganalisis efisiensi sistem
pemasaran kakao di Kabupaten Padang Pariaman sekaligus mengidentifikasi
kendala-kendala pelaku pasar yang mempengaruhi kinerja pasar kakao, hal yang
harus dijelaskan sehubungan dengan analisis SCP meliputi: (1) bagaimana sistem
kelembagaan pemasaran kakao, seperti apa koordinasi antar partisipannya dan
apakah perdagangan kakao dibentuk oleh banyak unit pedagang kecil yang
31
berkompetisi ataukah didominasi oleh sedikit pedagang besar, (2) pendekatan apa
yang digunakan pedagang dalam pembelian, penjualan dan penentuan harga
kakao, dan (3) bagaimana struktur, perilaku pasar serta kendala-kendala dan
permasalahan yang ada mempengaruhi kinerja pemasaran kakao. (Dessalegn et al.
1998).
4.4.2.2. Margin Pemasaran
Margin pemasaran atau juga biasa disebut margin tataniaga adalah
perbedaan harga di tingkat petani produsen (harga beli) dengan harga ditingkat
konsumen akhir (harga jual). Margin tataniaga adalah harga dari semua nilai
tambah dari aktivitas dan penanganan fungsi-fungsi pemasaran, termasuk jasa-
jasa pemasaran dari lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat dalam rantai
pemasaran suatu produk atau komoditas. Margin tataniaga merupakan jumlah
dari biaya-biaya dan keuntungan yang didapat oleh lembaga pemasaran. Secara
matematis besarnya margin tataniaga adalah:
Mi = Pri – Pfi .............................................................................................(7)
Mi = Ci + πi ...............................................................................................(8)
dimana:
Mi = Margin pemasaran pada lembaga pemasaran di tingkat (pasar) i
Pri = Harga jual kakao di pasar i
Pfi = Harga beli kakao di pasar i
Ci = Biaya pemasaran di pasar i
πi = Keuntungan pemasar (lembaga) di pasar i
4.4.2.3. Bagian Harga yang Diterima Petani
Bagian harga konsumen yang diterima petani (farmer’s share atau FS)
dinyatakan dalam bentuk persentase, yang berguna untuk mengetahui porsi harga
yang dinikmati petani dari harga yang berlaku di tingkat eksportir. Dihitung
dengan menggunakan rumus:
FS = (Pf / Pe) x 100 % ..............................................................................(9)
dimana:
Pf = Harga kakao di tingkat petani
Pe = Harga kakao di tingkat pedagang besar di Kabupaten
32
4.4.2.4. Keterpaduan Pasar
Analisis keterpaduan pasar dalam penelitian ini mengacu pada model yang
dikembangkan oleh Ravallion (1986) dan menggunakan analisis korelasi sebagai
pembanding. Harga pasar setempat diidentifikasi sebagai harga kakao yang
dihasilkan oleh petani (Pf), sedangkan harga di pasar acuan adalah harga kakao
yang berlaku di tingkat pedagang kabupaten (Pe), sehingga model dapat ditulis
sebagai berikut:
(Pft - Pft-1) = b1 (Pft-1 – Pet-1) + b2 (Pet – Pet-1) + b3 Pet-1 + u4 …............(10)
Koefisien b2 pada Persamaan (11) menunjukkan seberapa jauh perubahan
harga di tingkat eksportir di transmisikan ke tingkat petani. Apabila nilai
parameter dugaan b2 bernilai 1 maka perubahan harga 1 persen pada suatu tingkat
pasar, akan mengakibatkan perubahan harga di tingkat pasar yang lainnya dalam
persentase yang sama. Oleh karena itu semakin dekat nilai parameter b2 dengan 1
maka akan semakin baik keterpaduan pasar.
Dan dapat disusun kembali menjadi persamaan:
Pft = (1+b1) Pft-1 + b2 (Pet – Pet-1) + (b3-b1) Pet-1 + u4 ............................(11)
dimana:
Pft = Harga kakao di tingkat petani (waktu t)
Pft-1 = Harga kakao di tingkat petani (waktu t-1)
Pet = Harga kakao di tingkat pedagang kabupaten (waktu t)
Pet-1 = Harga kakao di tingkat pedagang kabupaten (waktu t-1)
u4 = Galat
Sedangkan koefisien (1+b1) dan (b3-b1) masing-masing mencerminkan
seberapa jauh kontribusi relatif harga periode sebelumnya, baik ditingkat petani
maupun pedagang kabupaten, terhadap tingkat harga yang berlaku sekarang di
tingkat petani. Rasio antara kedua koefisien tersebut (1+b1) / (b3-b1) menunjukkan
indeks hubungan pasar (Index of Market Connection atau IMC) yang
menunjukkan tinggi rendahnya keterpaduan antara kedua pasar yang
bersangkutan. Cara perhitungan IMC:
IMC = (1+b1) / (b3-b1) ………………………………………………... (12)
33
V. GAMBARAN UMUM KABUPATEN PADANG PARIAMAN
DAN KERAGAAN USAHATANI KAKAO
5.1. Gambaran Umum Kabupaten Padang Pariaman
5.1.1. Letak Geografis dan Keadaan Iklim
Posisi astronomis Kabupaten Padang Pariaman yang terletak antara 00 11’
– 00
49‘ Lintang Selatan dan 980 36‘ – 100
0 28‘ Bujur Timur, tercatat memiliki
luas wilayah sekitar 1 328.79 Km2, dengan panjang garis pantai 84.50 Km
2. Luas
daratan daerah ini setara dengan 3.15 persen dari luas daratan wilayah Propinsi
Sumatera Barat. Kabupaten ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Agam di
sebelah utara, Kota Padang di sebelah selatan, Kabupaten Solok dan Kabupaten
Tanah Datar di sebelah Timur dan Samudera Indonesia di sebelah Barat.
Kabupaten Padang Pariaman terletak dibawah khatulistiwa, sehingga
keadaan iklim berupa iklim tropis humid dengan angin laut lembab yang bertiup
dari Samudera Indonesia yang dapat dibedakan menjadi dua musim angin yaitu:
angin barat dan barat laut. Rata-rata curah hujan secara keseluruhan untuk
Kabupaten Padang Pariaman pada tahun 2010 adalah sebesar 427.7 mm, dengan
rata-rata hari hujan sebanyak 22 hari per bulan. Temperatur rata-rata untuk
Kabupaten Padang Pariaman adalah 25.70 derajat celcius dengan kelembaban
relative 86 persen, (BPS, 2011).
Letak geografis dan keadaan iklim seperti diatas sangat sesuai dengan
syatar tumbuh tanaman kakao, yang membutuhkan suhu udara dan kelembapan
seperti diatas. Dengan didukung oleh adanya kesuburan tanah di Kabupaten
Padang Pariaman maka memungkinkan produksi kakao akan optimal.
5.1.2. Wilayah dan Penduduk
Kabupaten Padang Pariaman terdiri dari 17 kecamatan dimana ada 46
nagari dan 366 korong dengan 2 kecamatan diantaranya adalah daerah sentra
penghasil kakao yaitu: (1) Kecamatan V Koto Kampung Dalam dan (2)
Kecamatan Sungai Geringging. Kecamatan ini merupakan daerah pusat
pengembangan kakao Kabupaten Padang Pariaman. Jumlah penduduk Kabupaten
Padang Pariaman tahun 2010 tercatat sebanyak 393 571 jiwa, yang terdiri dari 193
34
472 laki – laki dan 200 099 perempuan. Jumlah penduduk terbanyak berada di
Kecamatan Batang Anai, yakni 44 459 jiwa, sedangkan jumlah penduduk
terendah berada di Kecamatan Padang Sago yakni 8 010 jiwa. Dari hasil survey
diperoleh data bahwa 37 328 laki-laki dan 14 495 perempuan berusaha di sektor
pertanian atau 38.47 persen jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Padang
Pariaman tahun 2010, (BPS, 2011).
Tabel 4. Perbandingan Luas Kecamatan dan Jumlah Nagari di Kabupaten Padang
Pariaman Tahun 2010
No. Kecamatan Luas Area (Km2) Jumlah Nagari
1. Batang Anai 180.39 3
2. Lubuk Alung 111.63 1
3. Sintuk Toboh Gadang 25.56 2
4. Ulakan Tapakis 38.85 2
5. Nan Sabaris 29.12 5
6. 2 x 11 Enam Lingkung 36.25 3
7. Enam Lingkung 39.20 5
8. 2 x 11 Kayu Tanam 228.70 4
9. VII Koto Sungai Sarik 90.93 4
10. Patamuan 53.05 2
11. Padang sago 32.06 3
12. V Koto Kampung Dalam 61.41 2
13. V Koto Timur 64.80 3
14. Sungai Limau 70.38 2
15. Batang Gasan 40.31 2
16. Sungai Garingging 99.35 2
17. IV Koto Aur Malintang 126.80 1
Sumber: BPS, 2011
5.1.3. Penggunaan Lahan dan Perkembangan Pertanian
Luas lahan yang telah dimanfaatkan untuk budidaya di sektor perkebunan
di Kabupaten Padang Pariaman mencapai 116 628 Ha atau 67.67 persen dari luas
wilayah dan Kawasan hutan lindung seluas 11 232 Ha atau 6.52 persen dari luas
wilayah. Perincian penggunaan lahan adalah sebanyak 7 348 Ha untuk
pemungkiman, 27 129 Ha untuk sawah, 644 Ha sebagai tegalan,11 232 Ha hutan
rakyat, (BPS, 2011).
Sektor pertanian masih mempunyai peranan yang besar dalam struktur
perekonomian Kabupaten Padang Pariaman sekitar 38.47 persen penduduk di
kabupaten ini bekerja di sektor pertanian. Produksi tanaman perkebunan yang
35
paling banyak menghasilkan di Kabupaten Padang Pariaman adalah komoditas
kelapa, kakao, kulit manis, karet dan kelapa sawit, (BPS, 2011). Sehingga
proporsi penggunaan lahan yang terbesar adalah untuk tanaman kelapa dan kakao.
Unuk perkembangan produksinya dapat kita lihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Perkembangan Produksi Beberapa komoditas Tanaman Perkebunan di
Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2007 - 2010
No. Komoditas 2007 2008 2009 2010
1. Karet 3 059.00 3 147.00 2 499.52 2 830.50
2. Kelapa 39 806.00 63 198.00 34 757.00 34 942.20
3. Kulit Manis 4 196.00 6 298.00 6 006.73 5 935.40
4. Cengkeh 3.40 9.20 78.10 70.00
5. Kopi 157.00 544.00 205.80 193.70
6. Kakao 50.20 85.50 115.60 88.30
7. Kapuk 12.10 16.56 4.50 3.60
8. Pinang 747.00 811.50 891.80 809.70
9. Nilam 0.60 1.90 7.80 1.30
10. Kakao 2 624.00 5 941.50 6 992.90 11 220.00
11. Enau 233.60 254.38 62.55 12.00
12. Kelapa Sawit 1 780.00 1 465.00 1 512.00
Sumber: BPS, 2011
5.1.4. Potensi Pengembangan Kakao
Pengembangan tanaman kakao di Sumatera Barat khususnya di Kabupaten
Padang Pariaman masih sangat prospektif. Adanya kecenderungan meningkat dari
permintaan kakao baik di dalam negeri maupun untuk ekspor, hal ini menandakan
bahwa terjadinya peningkatan pemakaian kakao. Ini merupakan suatu keunggulan
komoditas kakao, karena merupakan komoditas eksport. Sehingga Hal ini
hendaknya mampu diimbangi dengan kinerja produksi yang baik oleh petani
kakao untuk mendapatkan hasil produksi yang maksimal.
Komoditas kakao sudah tercatat resmi dalam statistik perdagangan luar
negeri Sumatera Barat. Berdasarkan klasifikasi tarif Indonesia tahun 1989 tentang
pengelompokan jenis barang ekspor impor, kakao sudah dikode menurut
Harmonized System (HS) yang merupakan perluasan dari Custom Cooperation
Council Nomenclatur (CCCN) dan Standard International Trade Classification
(SITC). Potensi untuk mengekspor kakao terbuka luas terutama ke negara-negara
seperti Malaysia, Amerika, Singapura, Brazil dan Cina (BPS, 2011).
36
Perkebunan kakao di Kabupaten Padang Pariaman tersebar di setiap
kecamatan atau diproduksi hampir merata diseluruh wilayah kabupaten ini,
dengan daerah sentra produksi di Kecamatan V Koto Kampung Dalam dan Sungai
Garingging. Pada Tabel 6 dapat kita lihat sebaran luas tanaman kakao di setiap
kecamatan di Kabupaten Padang Pariaman.
Tabel 6. Perbandingan Luas Areal Tanaman dan Produksi Kakao di Semua
Kecamatan di Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2010
No. Kecamatan Luas Lahan (Ha) Produksi (ton)
1. Batang Anai 775.00 411.00
2. Lubuk Alung 1 147.00 567.00
3. Sintuk Toboh Gadang 639.00 578.00
4. Ulakan Tapakis 384.00 119.00
5. Nan Sabaris 499.00 219.00
6. 2 x 11 Enam Lingkung 587.00 261.00
7. Enam Lingkung 1 285.00 534.00
8. 2 x 11 Kayu Tanam 892.00 459.00
9. VII Koto Sungai Sarik 1 274.00 1 205.00
10. Patamuan 1 050.00 631.00
11. Padang sago 732.00 258.00
12. V Koto Kampung Dalam 3 175.00 2 555.00
13. V Koto Timur 1 050.00 587.00
14. Sungai Limau 721.00 387.00
15. Batang Gasan 543.00 275.00
16. Sungai Garingging 2 411.00 1 701.00
17. IV Koto Aur Malintang 725.00 473.00
Sumber: BPS, 2011
5.2. Keragaan Usahatani Kakao di Kabupaten Padang Pariaman
5.2.1. Karakteristik Petani Contoh
Pemaparan karakteristik petani dan keadaan sosial ekonomi petani contoh,
secara umum dapat dilihat pada Tabel 7. Tujuan identifikasi tersebut diharapkan
akan membantu memahami kondisi sosial ekonomi dan petani kakao, sehingga
akan menunjang keragaan usahatani kakao.
Tabel 7. Karekteristik Petani Kakao di Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2012
No. Karakteristik Petani Kisaran Rata-rata
1. Luas Lahan (ha) 0.5 – 3 1.30
2. Jumlah Tanaman Menghasilkan (batang) 200 - 2100 820
3. Lama Pendidikan (tahun) 6 - 16 9.07
Sumber: Data primer (diolah)
37
Rata-rata kepemilikan lahan petani adalah 1.30 ha, untuk kepemilikan
lahan hanya 27.14 persen dari petani contoh yang kepemilikannya lebih dari 1.30
ha. Hal ini menunjukan bahwa usahatani kakao di daerah penelitian merupakan
usahatani rakyat. Jumlah tanaman menghasilkan 820 batang, ini sesuai dengan
kepemilikan lahan petani yang sempit. Dan lama pendidikan petani contoh 55.71
persen hanya sampai sekolah dasar dan sisanya 44.29 persen sudah tamat sekolah
dasar melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Umumnya responden
memiliki pekerjaan lain selain berusahatani untuk mendapatkan pendapat
tambahan dengan mengusahakan komoditi pertanian lainnya. Sehingga dari
melihat karekteristik diatas dapat di ambil kesimpulan bahwa petani contoh
merupakan petani perkebunan rakyat.
5.2.2. Teknologi Budidaya Kakao di Kabupaten Padang Pariaman
Gambaran keragaan penerapan teknologi pada usahatani kakao di
Kabupaten Padang Pariaman.
1. Penggunaan Bibit
Varietas yang direkomendasikan kepada petani kakao berupa varietas unggul,
namun demikian baru sebagian kecil petani yang mengembangkan dan sisanya
menggunakan varietas lokal. Hal ini disebkan karena petani tidak dapat akses
terhadap sumber pembibitan yang dapat menjamin bibit yang mereka salurkan
adalah dari klon unggul. Sehingga petani pada umumnya menggunakan bibit
asalan. Untuk menyeragamkan tanaman beberapa petani telah menggunakan
cara vegetative dengan teknik sambung samping atau entres dari pohon utama
yang mempunyai hasil tinggi. Hal ini membantu pengembangan dan
perbanyakan tanaman kakao yang selama ini dilakukan melalui pembibitan
secara generative (biji kakao).
2. Pengolahan Tanah dan Penanaman
Pada penerapan teknik pengolahan tanah dan penanaman bibit kakao, petani
pada umumnya melakukan dengan cara pembabatan gulma, pembajakan tanah,
perataan tanah, kemudian diikuti dengan pembuatan lubang tanam berukuran
60 cm x 60 cm x 60 cm. Pembabatan gulma dilakukan petani dengan cara
membakar lahan tersebut, sehingga pembukaan lahan dilakukan pada saat
38
musim kemarau. Petani tidak memperhitungkan kerugian yang diakibatkan
oleh pembakaran, karena mereka lebih memikirkan gimana agar biasa yang
dikeluarkan untuk pembukaan lahan sekecil mungkin. Dimana petani memiliki
keterbatasan dalam hal permodalan. Setelah penanaman biasanya diberi pupuk
kandang sebanyak 10 kg per lubang tanam.
3. Pola Tanam
Beberapa petani di daerah penelitian melakukan pola tumpangsari antara kakao
dengan kelapa. Dimana kakao di tanam di kebun kelapa yang sudah berumur
10 tahun. Sehingga tanaman kakao telah memiliki pohon pelindung mulai dari
awal tanam. Karena kakao merupakan tanaman yang memerlukan pohon
pelindung. Dalam memilih tanaman pelindung petani juga harus
mempertimbangkan sisi ekonomisnya. Dimana sebaiknya tanaman pelindung
tersebut juga memberikan nilai ekonomi. Dengan tanaman kelapa sebagai
pelindung, petani juga akan mendapatkan tambahan pendapatan dari produksi
kelapa, walaupun tanamn kakaonya belum menghasilkan.
4. Jarak Tanam
Jarak tanam kakao yang dilakukan oleh petani di daerah penelitian adalah 3m x
5m, sedangkan tanaman kelapanya di tanam dengan jarak 10m x 10m.
sehingga dengan jarak tanam tersebut dalam 1 hektar petani bisa menanam
tanaman kakao sebanyak 800 batang. Tapi jarak tanam kakao tersebut tidak
sama, menyesuaikan dengan tanaman kelapa yang sudah ditanam sebelumnya.
5. Pemangkasan
Tanaman kakao meruapak tanaman yang memerlukan pemangkasan. Kegiatan
pemangkasan yang dilakukan yaitu: (1) pangkas bentuk yang dilakukan
terhadap kakao yang belum menghasilkan, dengan tujuan untuk membentuk
kerangka tanaman yang kuat dan seimbang dengan cara cabang primer dan
jorgetdipelihara hanya 3 cabang agar tumbuh seimbang kesemua arah.
Pemangkasan bentuk ini merupakan dasar dalam pembentukan kakao agar
dapat berproduksi dengan maksimal. Pangkas ini dilakukan pada saat tanaman
kakao berumur 1 tahun setelah di pindah ke lahan kebun. (2) pangkas
pemeliharaan dan produksi dilakukan pada tanaman yang telah menghasilkan
dengan tujuan mempertahankan kerangka yang telah terbentuk serta
39
merangsang pembungaan kakao, frekuensi pemangkasan antara 4-8 kali dalam
setahun sedangkan pemangkasan tunas air dilakukan 2-4 minggu. Pemangkas
pemeliharaan ini harus rutin dilakukan agar unsur makanan tidak terbuang,
sehingga unsur makanan sangat produktif. (3) Pangkas pemeliharaan tajuk
denga tujuan untuk membatasi tinggi tajuk tanaman kakao agar berada pada
kisaran tanaman 3 – 4 m yang dilakukan setahun sekali pada awal musim
penghujan. Di daerah penelitian pemangkasan rata-rata dilakukan petani hanya
2 kali dalam setahun pada saat mulai musim hujan.
6. Pemupukan
Di daerah penelitian hanya 49 persen petani yang melakukan pemupukan
dengan menggunakan pupuk kimia. Hal ini disebkan karena petani mengalami
kesulitan dalam permodalan untuk pembelian pupuk kimia. Petani biasanya
menggunakan pupuk NPK, dengan cara membuat lobang sekeliling pohon
kakao dengan jarak 1m dari pohon. Pemberian pupuk di lakukan 2 kali
setahun. Pemupukan dilakukan setelah musim hujan, agar pupuk dapat terserap
oleh tanaman.
7. Pengendalian Hama dan Penyakit
Secara teknik budidaya kakao, yang dianjurkan adalah pengendalian hama dan
penyakit secara terpadu yaitu tanpa menggunakan pestisida. Pengendalian
terpadu dapat dilakukan dengan cara pemangkasan yang teratur, pembuatan
sanitasi kebun yang teratur, melakukan panen sesering mungkin dan
pengaturan pohon pelindung. Di daerah penelitian yang banyak ditemui adalah
hama Helopeltis sp dan hama tupai. Sedangkan penyakit yang banyak di
tanaman kakao adalah penyakit yang berasal dari jamur pada batang. Cara
pengendalian hama dan penyakit yang biasa dilakukan petani adalah dengan
penyemprotan pestisida dan melakukan pemotongan ranting yang terserang.
Sehingga tanaman dapat terhindar dari hama dan penyakit tanaman kakao.
8. Rehabilitasi Tanaman
Ada beberapa petani yang melakukan rehabilitasi tanaman di daerah penelitian,
hal ini dilakukan dengan cara sambung samping yang entresnya di ambil dari
tanaman klon unggul. Sambung samping dilakukan selain untuk tujuan
rehabilitasi juga dilakukan untuk penyeragaman tanaman di kebun.
40
9. Panen dan Pasca Panen
Panen melakukan panen jika buah kakao telah tua, yang ditandai dengan buah
telah berwarna agak kuning. Panen dilakukan dengan menggunakan gunting
atau sabit, hal ini dilakukan agar tidak terjadinya kerusakan pada bakal buah
lainnya. Sesuai anjuran petani di lokasi penelitian setelah panen petani
langsung mengupas kulit buah, lalu di jemur untuk di keringkan. Penjemuran
dilakukan petani selama tiga hari. Dan belum ada petani yang melakukan
fermentasi.
41
VI. Analisis Produksi Kakao di Kabupaten Padang Pariaman
6.1. Karakteristik Petani Responden
Pada penelitian ini jumlah petani responden adalah 70 orang. Petani
responden berasal dari dua kecamatan yaitu Kecamatan V Koto Kampung Dalam
dan Kecamatan Sungai Garingging. Petani yang menjadi responden adalah yang
melakukan usahatani kakao sebagai usaha pokok. Karakteristik antara petani
responden satu dengan yang lainnya tidak banyak berbeda. Para petani kakao di
Kabupaten Padang Pariaman hampir seluruhnya menjual biji kakao dalam bentuk
asalan.
6.1.1. Usia Petani Kakao
Umur petani kakao responden dalam penelitian ini berkisar antara 27
tahun sampai 77 tahun. Klasifikasi usia petani responden di Kabupaten Padang
Pariaman selengkapnya disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Usia Petani Kakao di Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2012
No. Kelompok Umur (tahun) Jumlah Petani (orang) Persentase (%)
1. < 30 2 2.86
2. 30 – 40 6 8.57
3. 41- 50 17 24.28
4. 51 – 60 27 38.57
5. 61 – 70 6 8.57
6. 71 – 77 12 17.14
Sumber : Data primer (diolah)
6.1.2. Pendidikan Petani Kakao
Tingkat pendidikan petani kakao umumnya rendah. Tabel 9 akan
menyajikan sebaran tingkat pendidikan petani kakao responden.
Tabel 9. Tingkat Pendidikan Petani Kakao di Kabupaten Padang Pariaman
Tahun 2012
No. Tingkat Pendidikan Jumlah Petani (orang) Persentase (%)
1. SD (≤ 6 tahun) 40 57.14
2. SMP (> 6 tahun) 30 42.86
Sumber : Data primer (diolah)
42
6.1.3. Jumlah Tanaman Menghasilkan
Jumlah tanaman menghasilkan yang dimiliki oleh petani kakao di
Kabupaten Padang Pariaman tidak sama antara satu petani dengan petani lain.
Tanaman kakao ini ditanam tumpang sari dengan tanaman kelapa, sehingga
jumlah tanaman yang ada tergantung pada jarak tanam dari kedua jenis tanaman
tersebut. Tabel 10 akan menyajikan sebaran tanaman kakao yang dimiliki petani
responden.
Tabel 10. Kepemilikan Tanaman Kakao yang Menghasilkan
No. Jumlah Tanaman (pohon) Jumlah Petani Responden (orang)
1. < 200 1
2. 200 - 500 18
3. 501 – 1000 30
4. 1001 – 1500 10
5. 1501 – 2000 9
6. > 2000 2
Sumber : Data primer (diolah)
6.2. Struktur Produksi Kakao
Secara garis besar karakteristik usahatani yang dilakukan petani kakao di
Kabupaten Padang Pariaman (Tabel. 11) rata-rata mempunyai luas lahan 1,30
hektar, dengan jenis tanaman klon lokal. Populasi rata-rata tanaman per hektar
adalah sebanyak 800 pohon, dengan sistem tumpang sari dengan tanaman kelapa.
Kelapa merupakan tanaman pelindung, pada setiap 1 hektar di tanami kelapa
sebanyak 100 pohon.
Tanaman kakao kakao yang ditanam pada umumnya berumur 7 - 9 tahun.
Pada budidaya tanaman tahunan umur tersebut memasuki umur prodktif. Menurut
PPKKI (2006), umur kakao sangat produktif pada kisaran umur 10-15 tahun dan
akan mengalami penurunan dengan perkiraan umur 20-25 tahun. Di daerah
penelitian beberapa petani telah mengenal cara pengembangan tanaman
kakaodengan teknik vegetatif seperti pencangkokan, okulasi, teknik sambung
tanaman. Sehingga di masa datang teknologi tersebut dapat dipergunakan untuk
melakukan peremajaan tanaman kakao yang sudah tidak produktif. Sehingga
petani untuk meningkatkan produksinya tidak memiliki hambatan terhadap proses
pemeliharaan tanaman kakao.
43
Tabel 11. Karakteristik Usahatani Kakao di Kabupaten Padang Pariaman
Tahun 2012
No. Deskripsi Kec. V Koto
Kampung Dalam
Kec. Sungai
Garingging
1. Rata-rata kepemilikan
lahan (hektar)
1.42 1.18
2. Jenis klon yang digunakan Campuran Campuran
3. Umur tanaman (tahun) 8.01 7.77
4. Populasi tanaman (pohon/ha) 793 846
5. Tanaman Pelindung Kelapa Kelapa
6. Frekuensi Pemangkasan (kali) 2 2
7. Frekuensi Pemupukan
(kali/tahun)
2 2
8. Penggunaan pupuk kandang (kg) 51.14 68.94
9. Penggunaan pupuk NPK (kg) 46.14 48.28
10. Penggunaan pestisida (liter) 0.5 0.71
11. Penggunaan tenaga kerja (HOK) 192.71 189.68
Sumber : Data primer (diolah)
Dalam melakukan budidaya rata-rata petani melakukan pemupukan
sebanyak 2 kali pertahun, demikian pula pemangkasan tanaman penaung juga
dilakuka sebanyak 2 kali per tahun. Rata-rata penggunaan pupuk kandang
sebanyak 64.54 kg, pupuk NPK sebanyak 47.21 kg, penggunaan peptisida 0.61
liter, sedangkan penggunaan input tenaga kerja sebanyak 191.2 HOK. Dengan
demikian secara umum usahatani kakao di Kabupaten Padang Pariaman telah
mengenal teknologi yang baik.
Tabel 12. Rata-rata Produksi, Biaya dan Pendapatan Usahatani Kakao per Hektar
per Tahun di Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2012
No. Uraian Nilai
1. Produksi (kg) 778.28
2. Harga jual (Rp/kg) 16 000
3. Pendapatan kotor (Rp) 12 452 480
4. Biaya Produksi (Rp) 5 926 650
5. Tenaga Kerja (Rp) 5 781 300
6. Pupuk Kandang (Rp) 51 140
7. Pupuk Kimia (Rp) 69 210
8. Pestisida (Rp) 25 000
9. Pendapatan bersih (Rp) 6 525 830
Sumber : Data primer (diolah)
Produksi rata-rata kakao di daerah penelitian adalah 778.28 kg per hektar
per tahun. Apabila harga pada saat penelitian adalah rata-rata sebesar Rp 16 000
per kg, maka dapat dilakukan perhitungan pendapatan kotor usahatani yaitu
44
sebesar Rp. 12 452 480 per tahun. Hasil secara lengkap struktur usahatani
disajikan pada Tabel 12. Apabila pendapatan kotor tersebut dikurangi dengan
biaya-biaya produksi yang berupa penggunaan tenaga kerja, pupuk kandang,
pupuk kimia dan pestisida yang jumlahnya sebesar Rp. 5 926 650 per tahun, maka
diperoleh pendapatan bersih dari usahatani kakao sebesar Rp 6 525 830 per tahun
6.3. Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Kakao
Model yang digunakan untuk pendugaan secara sederhana menggunakan
fungsi Cobb Douglas. Model diterapkan pada tingkat usahatani kakao yang
datanya diambil dari data kerat lintang (cross section) yang berasal dari petani
kakao di Kabupaten Padang Pariaman tepatnya di Kecamatan V Koto Kampung
Dalam dan Kecamatan Sungai garingging.
Proses produksi dalam penelitian ini merupakan kegiatan budidaya kakao
sebagai salah satu komoditas tanaman perkebunan tahunan dengan menggunakan
faktor-faktor produksi (input). Hubungan input dan produksi pertanian mengikuti
kaidah hasil yang berkurang (law of deminising return), dimana tiap tambahan
unit masukan akan mengakibatkan proporsi unit tambahan produksi yang semakin
kecil dibanding unit tambahan masukan tersebut.
Sebelum dilakukan pendugaan persamaan regresi dari fungsi produksi
kakao, persamaan tersebut harus memenuhi spesifikasi. Spesifikasi model dalam
ekonometrika menyangkut tiga hal yaitu: (1) pemilihan variabel-variabel
independen yang tepat, (2) pemilihan bentuk fungsi yang tepat, dan (3) error term
yang bersifat stokastik (Koutsoyiannis, 1977). Berikut ini penjelasan tentang cara
mengukur variabel atau input yang digunakan dalam analisis produksi usahatani
kakao dan definisi terhadap masing-masing variabel. Beberapa faktor yang diduga
mempengaruhi produksi kakao tersebut adalah sebagai berikut.
1. Tenaga Kerja
Secara umum semakin banyak tenaga kerja yang dilibatkan dalam proses
produksi usahatani maka akan semakin besar jumlah yang diproduksi atau
dihasilkan. Untuk memudahkan penghitungan jumlah tenaga kerja yang
digunakan dalam proses produksi, digolongkan dalam satuan unit kerja hari
45
orang kerja (HOK), dimana satu HOK adalah setara dengan tujuh jam bekerja
per hari. Nilai satu unit HOK dihitung dengan upah setara kerja pria.
2. Pupuk Kandang
Penggunaan pupuk kandang diasumsikan akan meningkatkan produksi kakao.
Pupuk kandang ini berasal dari kotoran hewan peliharaan petani seperti: sapi,
kerbau, kambing dan ayam. Cara penghitungan pupuk kandang adalah dalam
satuan fisik, bukan nilainya.
3. Pupuk kimia
Penggunaan pupuk kimia diasumsikan akan meningkatkan produksi kakao.
Jenis pupuk kimia yang umumnya digunakan petani dan diukur untuk
penelitian ini adalah jenis NPK. Tetapi sebagian petani di lokasi penelitian
hanya menggunakan pupuk organik yang berasal dari kotoran hewan, daun dan
kulit kakao yang sudah diambil bijinya. Pupuk kimia hanya dipakai pada
kondisi tertentu saja karena keterbatasan dana. Untuk pupuk kimia dalam
penelitian ini yang di hitung adalah dalam satuan fisik, bukan nilainya.
4. Pestisida
Pestisida sangat dibutuhkan tanaman untuk menjaga serta membasmi hama dan
penyakit yang menyerangnya, sehingga asumsinya adalah petani yang
menggunakan pestisida secara tepat maka akan meningkatkan produksi
usahataninya. Penghitungan pemakaian yang digunakan responden dalam
penelitian ini adalah dalam satuan fisik.
5. Luas Lahan
Luas lahan pertanian yang digunakan untuk budidaya kakao merupakan
penentu yang mempengaruhi produksi kakao. Secara umum semakin luas lahan
yang digarap/ditanami, semakin besar jumlah produksi yang dihasilkan oleh
lahan tersebut. Ukuran lahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
hektar (1 ha = 10 000 m2). Lahan yang diperhitungkan adalah lahan yang sudah
menghasilkan.
6. Jumlah Tanaman menghasilkan
Jumlah tanaman menghasilkan sangat berpengaruh terhadap produksi,
sehingga yang dijadikan responden adalah petani yang tanaman kakaonya telah
menghasilkan. Dimana penghitungan yang digunakan adalah dalam satuan
46
fisik yang akan menentukan berapa produksi kakao dari total keseluruhan
tanaman yang telah menghasilkan di kebun petani tersebut.
7. Pendidikan Petani
Pendidikan petani dikategorikan menjadi dua kelompok yang kemudian
dijadikan sebagai variabel dummy dalam model. Kelompok pertama adalah
petani berpendidikan SD dan tidak tamat SD (lama pendidikan ≤ 6 tahun) dan
kelompok kedua adalah petani yang berpendidikan SD ke atas (lama
pendidikan > 6 tahun). Asumsi dalam analisis bahwa pendidikan petani
berpengaruh positif terhadap hasil produksi usahatani kakao. Artinya tingkat
pendidikan petani yang lebih tinggi dari 6 tahun akan memberikan hasil
produksi usahatani yang lebih besar dan variabel dummy-nya diberi bobot 1
(satu), sedangkan yang tamat SD ke bawah dibobot 0 (nol) karena diasumsikan
memberikan hasil produksi usahatani yang lebih kecil.
6.4. Pengujian Fungsi Produksi Kakao
Model produksi Cobb-Douglas yang terbentuk terdiri dari enam variabel
independen dan satu variabel dummy yang diduga mempengaruhi produksi kakao
yaitu: tenaga kerja (X1), pupuk kandang (X2), pupuk kimia (X3), pestisida (X4),
luas lahan (Z1), jumlah tanaman menghasilkan (Z2), dummy pendidikan petani
(D1).
Bentuk fungsi produksi harus dapat menggambarkan dan mendekati
keadaan yang sebenarnya, mudah diukur atau dihitung secara statistik serta dapat
dengan mudah diartikan, khususnya arti ekonomi dari parameter yang menyusun
fungsi produksi tersebut (Soekartawi et al, 1986). Model yang digunakan dalam
analisis produksi kakao adalah fungsi produksi Cobb-Douglas. Persamaan fungsi
produksi tersebut dalam banyak pengalaman menghasilkan hasil analisis yang
lebih baik karena fungsi produksi usahatani umumnya mencakup lebih dari dua
input dan masing-masing faktor atau input tersebut saling berhubungan.
Model ditransformasikan dalam bentuk logaritma natural (ln) atau bentuk
double-log, untuk menaksir parameter-parameternya, sehingga menjadi bentuk
linier berganda seperti pada Persamaan (6) Bab IV. Model kemudian dianalisis
dengan analisis regresi berganda menggunakan metode OLS (Ordinary Least
47
Square). Pengolahan data dilakukan dengan bantuan program SAS 9.1. Pengujian
parameter dilakukan pada taraf nyata pengujian 99 persen (α = 1 persen), taraf
nyata 95 persen (α = 5 persen) dan taraf nyata 90 persen (α = 10 persen).
Berdasarkan pengujian secara statistik dengan uji-F terlihat bahwa model
sudah sesuai, dengan P_value atau significance mendekati nol. Nilai P (0.0001) <
α = 1 persen, artinya tolak Ho dimana minimal ada satu variabel independen yang
berpengaruh nyata terhadap Y pada taraf nyata pengujian 99 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa model yang dibentuk sudah baik, terjadi hubungan yang
logis dan benar antara variabel yang dijelaskan dengan variabel yang
menjelaskan.
Hasil analisis regresi berganda dengan metode OLS terhadap faktor-faktor
yang mempengaruhi produksi kakao di Kabupaten Padang Pariman diperoleh nilai
koefisien determinasi (R2) yang cukup tinggi yaitu 0.8627. Nilai koefisien tersebut
berarti 86 persen keragaman dari produksi kakao (Y) dapat dijelaskan oleh faktor-
faktor produksi (X dan Z ) dalam model, sedangkan 14 persen sisanya dijelaskan
oleh faktor lain di luar model. Nilai R2 – Adjusted sebesar 84.47 persen.
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil pengujian model dengan uji-F adalah bahwa
model yang dibuat dapat menjelaskan keragaman produksi kakaodi Kabupaten
Padang Pariaman.
Pengujian statistik dilanjutkan dengan uji-t satu arah pada masing-masing
variabel independen, untuk menguji faktor apa saja yang dapat menjelaskan atau
berpengaruh nyata terhadap produksi kakao. Hasil pendugaan model fungsi
produksi kakao seperti pada Tabel 13 memperlihatkan bahwa secara statistik ada
enam variabel yang mempengaruhi produksi kakao secara signifikan. Variabel
bebas tersebut empat diantaranya yaitu: tenaga kerja (X1), luas lahan (Z1), jumlah
tanaman menghasilkan (Z2) dan dummy pendidikan petani (D1) berpengaruh
sangat signifikan pada keragaman produksi kakao pada taraf nyata pengujian α =
1 persen. Satu variabel berpengaruh nyata pada taraf pengujian α = 5 persen pada
keragaman produksi kakao, yaitu: Variabel pupuk kimia (X3). Dan satu variabel
berpengaruh nyata pada taraf pengujian α = 10 persen pada keragaman produksi
kakao, yaitu: pupuk kandang (X2). Terakhir pestisida (X4) tidak signifikan atau
tidak berpengaruh nyata pada keragaman produksi kakao.
48
6.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kakao di Kabupaten Padang
Pariaman
Setelah dilakukan pengujian fungsi produksi diatas, maka terlihat bahwa
fungsi produksi kakao di Kabupaten Padang Pariaman dengan faktor-faktor
produksi yang mempengaruhinya dapat dipertanggungjawabkan dan tidak terjadi
kesalahan spesifikasi. Model dapat digunakan untuk menjelaskan dan
memprediksi keragaman produksi kakao di Kabupaten Padang Pariman. Berikut
ini hasil analisis pendugaan parameter model fungsi produksi kakao di Kabupaten
Padang Pariman.
Tabel 13. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Produksi kakao di Kabupaten
Padang Pariaman Tahun 2012
Variabel Bebas Parameter
Dugaan
P_value
(Significance)
Konstanta 2.87041 0.00025
Tenaga Kerja(X1) 0.22383 0.00510
Pupuk Kandang (X2) 0.07876 0.08490
Pupuk Kimia (X3) 0.02331 0.03520
Pestisida (X4) -0.04257 0.26610
Luas Lahan (Z1) 0.30687 0.00040
Jumlah Tanaman Menghasilkan (Z2) 0.32128 0.00480
Dummy Pendidikan Petani (D1) 0.14948 0.00530
F – Hitung 55.62 0.00005
Koefisien Determinasi (R2) 0.8626
R2
– Adjusted 0.8471
Jumlah Sampel 70
Sumber: Data primer (diolah)
Nilai parameter dugaan juga merupakan nilai elastisitas produksi yang
menunjukkan perubahan produksi akibat adanya perubahan pada input. Hasil
pendugaan model fungsi produksi kakao memperlihatkan bahwa variabel tenaga
kerja (X1) bertanda positif dan berpengaruh sangat signifikan pada keragaman
produksi kakao pada taraf nyata pengujian α = 1 persen dengan nilai parameter
dugaan 0.22. Artinya bahwa setiap penambahan tenaga kerja sebesar 1 persen,
produksi kakao akan naik sebesar 0.22 persen, cateris paribus. Hal tersebut
dimungkinkan, karena penggunaan tenaga kerja di daerah penelitian rata-rata 156
HOK per hektar per tahun. Seluruh responden yang disurvei mempekerjakan 2-3
orang tenaga kerja dari luar keluarga untuk kegiatan usahatani kakao dengan
sistem upah harian sebesar Rp. 50.000,- per hari. Tenaga kerja upahan ini
49
digunakan untuk kegiatan pembersihan kebun dari rumput dan gulma.
Penggunaan tenaga kerja terkait erat dengan jumlah produksi, semakin tinggi
produksi maka jumlah hari kerja tenaga kerja akan ikut menyesuaikan. Meskipun
batas penggunaan tenaga kerja yang optimal belum teridentifikasi.
Variable pupuk kandang (X2) peubahnya bertanda positif dan berpengaruh
nyata pada α = 10 persen dengan nilai parameter dugaan 0.08. Artinya bahwa
setiap pemberian pupuk kandang sebesar 1 persen, produksi kakao akan naik
sebesar 0.08 persen, cateris paribus. Berdasarkan hasil survei di lokasi penelitian,
pemberian pupuk kandang yang dilakukan petani rata-rata 64.54 kg per hektarnya.
PPKKI (2006), penggunaan pupuk kandang secara teknis dapat meningkatkan
ketersedian pupuk N, P dan K bagi tanaman. Tanaman kakao memerlukan pupuk
kandang sebanyak 1000 kg per hektar. Dan pupuk kandang merupakan pupuk
alternatif pelengkap atau pengganti pupuk kimia yang dapat memenuhi kebutuhan
hara tanaman yang berdampak kepada produksi. Sehingga sangat besar peluang
untuk meningkatkan penggunaan pupuk agar produksi kakao meningkat. Pupuk
kandang ini tersedia di lahan petani, karena pada umumnya petani memiliki usaha
peternakan seperti sapi, kambing atau ayam. Hanya saja petani tidak mengetahui
kebutuhan tanaman kakao terhadap pupuk kandang.
Pupuk kimia (X3) bertanda posotif dan berpengaruh nyata pada α = 5
persen dengan nilai parameter dugaan 0.02. Artinya secara parsial penggunaan
pupuk kimia sebanyak 1 persen dalam pemeliharaan akan meningkatkan produksi
sebesar 0.02 persen. Berdasarkan hasil survei di lokasi penelitian, hanya 48.57
persen petani yang menggunakan pupuk kimia dan jumlah pupuk yang digunakan
pun relatif sedikit. Pemberian pupuk kimia yang dilakukan petani ratarata hanya
47.21 kg per hektarnya. Pupuk kimia yang digunakan oleh petani di daerah
penelitian adalah NPK. PPKKI (2006), dosis penggunaan pupuk NPK untuk
tanaman kakao yang berumur diatas empat tahun adalah 250 kg per hektar. Pupuk
kimia yang di gunakan petani masih jauh di bawah dosis anjuran, hal ini
disebabakan petani kekurangan modal untuk membeli pupuk kimia tersebut.
Luas lahan (Z1) bertanda positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi
kakao pada taraf kepercayaan 99 persen (α = 1 persen) dengan nilai parameter
dugaan sebesar 0.31 yang berarti penambahan luas lahan 1 persen akan
50
meningkatkan produksi kakao sebesar 0.31 persen. Hal ini memungkinkan karena
dengan penambahan luas lahan maka populasi kakao akan bertambah dan
produksi akan meningkat.
Jumlah tanaman menghasilkan (Z2) bertanda positif dan berpengaruh
nyata pada α = 1 persen dengan nilai parameter dugaan 0.32 Artinya setiap
penambahan jumlah tanaman menghasilkan sebanyak 1 persen maka produksi
kakao akan meningkat 0.32 persen, cateris paribus. Jumlah tanaman
menghasilkan secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh cara tanam yang
dilakukan petani, apakah dengan cara monokultur atau tumpang sari. Rata-rata
populasi pohon per hektar di lokasi penelitian adalah sebesar 671 batang.
Dummy pendidikan petani (D1), berpengaruh nyata pada α = 1 persen
dengan nilai parameter dugaan 0.15. Hal ini berarti terdapat perdaan hasil
produksi yang nyata antara kelompok petani yang berpendidikan SMP ke atas
dengan petani yang berpendidikan hanya sampai SD atau tidak tamat SD. Artinya
jumlah produksi petani yang berpendidikan SMP ke atas lebih banyak dari pada
petani yang berpendidikan SD.
51
VII. Analisis Pemasaran Kakao di Kabupaten Padang Pariaman
Pemasaran produk pertanian dimulai saat petani merencanakan produknya
untuk memenuhi kebutuhan pasar. Setelah panen, produk pertanian tidak
selamanya langsung dapat dikonsumsi oleh konsumen sehingga dibutuhkan sarana
tranportasi untuk membawa ke pasar. Dengan demikian, untuk membawanya
dibutuhkan lembaga pemasaran yang akan memindahkan hasil pertanian dari
pusat produksi ke tempat pengolahan dan ke pusat konsumen.
Disamping itu, produk pertanian khususnya produk subsektor perkebunan
biasanya sebelum dikonsumsi, akan mendapatkan beberapa perlakuan sebelum
produk tersebut dapat dikonsumsi. Demikian juga dengan kakao, juga harus
mendapatkan perlakuan-perlakuan sebelum di antar ke pasar dan dinikmati
konsumen.
7.1. Struktur Pasar
Struktur pasar kakao di Kabupaten Padang Pariaman di identifikasi dengan
melihat dua indikator utama pemasaran yaitu : (1) lembaga yang terlibat dalam
saluran pemasaran kakao , (2) kondisi keluar masuk pasar, (3) kondisi dan
keadaan produk. Masing-masing cara identifikasi tersebut akan diuraikan secara
lebih rinci sebagai berikut :
7.1.1. Lembaga Pemasaran
Proses pengolahan dari buah kakao menjadi biji kakao kering dilakukan
sejalan dengan saat panen. Sebelum dipasarkan kakao harus melalui terlebih
proses pengolahan terlebih dahulu di kebun petani yang tersebar dan relatif jauh
dari lokasi pemukiman. Jauhnya jarak antara pusat produksi dengan konsumen
kakao serta lokasi kebun yang umumnya terpencar dan berjauhan membutuhkan
peran serta lembaga pemasaran dalam pemasarannya.
Dalam suatu usahatani, aspek tataniaga merupakan suatu hal yang sangat
penting dan sangat menentukan keberhasilan dari usahatani tersebut. Berdasarkan
hasil wawancara dengan petani responden, hampir sebagian besar petani
responden menjual kakao kepada pedagang nagari, walaupun ada juga beberapa
52
petani reponden yang langsung menjual hasil panennya tersebut ke pedagang
kecamatan. Para pedagang nagari membeli biji kakao petani dengan cara langsung
mendatangi rumah petani tersebut untuk melakukan transaksi. Biji kakao yang
sudah dalam karung plastik, kemudian dibawa ke pinggir jalan untuk lebih
memudahkan dalam pengangkutan. Biaya pengangkutannya sepenuhnya
ditanggung oleh pihak pedagang nagari.
Petani responden pada umumnya tidak mengalami kesulitan dalam
pemasaran biji kakao yang mereka hasilkan. Karena petani sudah bekerjasama
dengan pedagang untuk membeli hasil panennya, yang mana pedagangl akan
datang setiap minggu. Hanya saja masalah yang dihadapi oleh petani adalah harga
yang ditawarkan adalah rata-rata Rp 16 000 per kg. Padahal harga biji kakao di
tingkat pedagang kabupaten berkisar antara Rp 20 800 sampai dengan Rp 22 000
per kg.
Lembaga pemasaran yang terlibat dalam saluran pemasaran kakao di
lokasi penelitian adalah: petani, pedagang nagari, pedagang kecamatan, pedagang
kabupaten. Berdasarkan data penelitian terlihat bahwa terdapat tiga saluran
pemasaran yang digunakan petani di lokasi penelitian dalam memasarkan kakao,
seperti yang terlihat pada Gambar 2 yaitu:
I (85%)
II (15%)
III (25%)
Gambar 2. Saluran Pemasaran Kakao di Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2012
PETANI
PED. KECAMATAN
PED. NAGARI
PED. KABUPATEN
53
7.1.1.1. Saluran Pemasaran I
Saluran pemasaran I adalah saluran pemasaran yang digunakan petani
dengan melibatkan pedagang nagari, pedagang kecamatan, kemudian ke pedagang
kabupaten. Pada saluran pertama, pada saat panen petani mengumpulkan hasil
panennya, lalu menjualnya pada pedagang nagari, petani yang menjual hasil
panennya ke pedagang nagari sebanyak 60 orang (85.71 persen) dengan harga Rp
16 000 per kg.
Petani memilih saluran ini karena petani lebih mudah dalam menyalurkan
hasil panennya serta hemat biaya pemasarannya dan alasan lain karena jalur
sarana transportasi dan kondisi jalan yang berupa jalan berbatu saat ini sedang
dalam kondisi rusak berat dan sulit dilalui kendaraan umum. Kemudian dari
pedagang nagari menjual biji kakao ke pedagang kecamatan, kemudian dari
pedagang kecamatan langsung ke pedagang kabupaten. Pedagang kecamatan
menjual biji kakao ke pedagang kabupaten seharga Rp 17 000 per kg. Kemudian
dari pedagang kecamatan langsung di jual lagi ke pedagang kabupaten yang
berada di luar Kecamatan dengan harga Rp. 18 800. Pedagang kabupaten ini lalu
menjual terakhir dengan harga Rp. 20 800.
Petani yang menggunakan saluran pemasaran I ini adalah petani yang
produksinya kurang dari 50 kg per bulan. Sehingga petani berpikir secara rasional
lebih baik biji kakao hasil panennya langsung di jual ke pedagang nagari.
7.1.1.2. Saluran Pemasaran II
Petani langsung menjual hasil panennya ke padagang kecamatan,
pedagang kecamatan menjual ke pedagang kabupaten. Pada saluran ini petani
yang mengantarkan biji kakao ke pedang kecamatan. Sehingga petani harus
mengeluarkan biaya transportasi. Petani yang melakukan saluran pemasaran II ini
adalah petani yang hasil produksi biji kakao ter minggunya lebih dari 50 kg dan
mereka memiliki kendaraan untuk menuju pedagang kecamatan.
Petani yang menjual langsung ke pedagang kecamatan berjumlah 10 orang
(14.29 persen) dengan harga Rp. 17 000 per kg. Dengan adanya silisah harga
anatar pedagang nagari dengan pedagang kecamatan, maka ada petani yang
memilih saluran pemasaran II. Karena setelah dihitung dengan pengorbanan biaya
54
yang dikeluarkan petani merasa masih ada keuntungan yang mereka peroleh. Hal
inilah yang membuat petani memilih saluran pemasaran II. Dari Tabel 15 dapat
dilihat saluran pemasaran ini yang paling baik di lakukan oleh petani kakao di
Kabupaten Padang Pariaman.
7.1.1.3. Saluran Pemasaran III
Saluran pemasaran III adalah saluran pemasaran yang digunakan petani ke
pedagang nagari dan kemudian langsung ke pedagang kabupaten. Saluran ini
merupakan bagian dari saluran I. pedagang nagari membeli kakao dari petani tetap
pada harga Rp. 16 000, tapi pedagang nagari menjual ke pedagang kabupaten
dengan harga Rp. 18 800. Dengan adanya perbedaan harga inilah yang membuat
pedagang nagari langsung melakukan penjualan dengan pedagang kabupaten.
Karena setelah di perhitungan segala biaya, pedagang nagari masih mendapatkan
keuntungan dengan langsung menjual ke pedagang kabupaten. Hal ini dapat
dilihat pada Tabel 16.
Saluran pemasaran III ini dilakukan oleh 2 pedagang nagari (25 persen)
dari responden. pedagang nagari yang melakukan saluran pemasaran II adalah
pedagang yang seminggu mampu membeli 1000 kg biji kakao dan telah memiliki
kendaraan roda 4 untuk biji kakao ke pedagang kabupaten.
Hasil analisis memperlihatkan bahwa mayoritas petani menggunakan
saluran pemasaran I dalam memasarkan hasil panennya, yang melibatkan
pedagang nagari, pedagang kecamatan, kemudian ke pedagang kabupaten. Faktor
yang menjadi pertimbangan utama bagi petani dalam memilih saluran pemasaran
yang akan digunakan adalah: (1) jauhnya jarak antara pusat produksi dengan
konsumen kakao yang membuat mahalnya biaya transportasi, (2) sedangkan
jumlah produksi yang dihasilkan petani relatif kecil, serta (3) kondisi geografis
wilayah dimana lokasi kebun yang umumnya terpencar dan relatif jauh dari lokasi
pemukiman, ditambah dengan sarana jalan ke kebun yang hanya berupa jalan
setapak. Faktor di atas membuat pilihan petani menjadi terbatas dalam
memasarkan kakao, sehingga peran pedagang sebagai perantara menjadi sangat
dibutuhkan. Hasil analisis ini semakin memperjelas keterkaitan antara struktur
pasar dengan perilaku dan kinerja pasar kakao di Kabupaten Padang Pariaman.
55
Saluran pemasaran I memang lebih panjang jika dibandingkan dengan
saluran I dan III. Tetapi berdasarkan survei yang dilakukan di lokasi penelitian
terhadap harga yang diterima petani relatif tidak jauh berbeda. Hal ini
menggambarkan bahwa terjadi kolusi antara pedagang nagari, pedagang
kecamatan dan pedagang kabupaten dalam menetapkan harga kakao ke petani.
Kondisi tersebut semakin menegaskan bahwa tidak ada harga terbaik bagi petani
dalam kondisi pasar tidak bersaing sempurna atau oligopsoni, seperti yang terjadi
pada pasar kakao di Kabupaten Padang Pariman. Dimana petani tidak mempunyai
kekuatan dalam menentukan harga kakao.
Selain hal di atas juga terdapat perbedaan pengetahuan yang cukup besar
antara petani dengan pedagang kakao sehubungan dengan informasi mengenai
nilai pasar sebenarnya dari kakao. Tingkat pengetahuan petani cenderung terbatas
dan jauh tertinggal jika dibandingkan dengan pedagang. Harga biasanya
ditentukan oleh pedagang pada saat penimbangan akan dilakukan. Petani hanya
menerima harga yang ditawarkan oleh pedagang. Hal yang bisa dilakukan oleh
petani jika tidak menyetujui penawaran harga satu pedagang adalah membatalkan
transaksi, sama sekali tidak menjual, atau menjual ke pedagang lain walaupun
perbedaan harga tidak ada atau hanya berbeda sedikit.
Sistem transaksi yang terjadi antara petani sebagai penjual produk kakao
dengan pedagang sebagai pembeli dilakukan secara kontan (cash) yang berarti
langsung dibayar pada saat harga telah disepakati oleh keduanya. Tapi ada 10
persen dari petani responden mempunyai perbedaan dalam penerimaan hasil
penjualan kakao. Dimana petani ini sebelumnya telah berhutang dengan pedagang
untuk memenuhi kebutuhan produksi seperti pembelian pupuk dan pestisisa.
Sehingga mereka hasil penjualan kakao setelah di kurangi hutang.
Untuk pedagang yang mendatangi petani maka proses transaksi terjadi
pada saat kakao masih di jemur, kemudian ditanyakan sudah berapa hari dijemur
untuk memperkirakan kadar air biji kakao oleh pedagang dan kemudian terjadi
tawar menawar terhadap harga. Apabila harga sesuai dan terjadi kesepakatan
antara keduanya maka kakao biasanya langsung ditimbang ditempat dan dibawa
oleh pedagang setelah dilakukan pembayaran.
56
Untuk petani yang mendatangi pedagang untuk menjual kakaonya, juga
terjadi pembayaran secara kontan (cash). Petani mendatangi pedagang kemudian
ditentukan kadar air sehingga di dapatkan berapa harga yang disepakati,
berdasarkan kadar airnya.
Demikian juga yang terjadi antara pedagang nagari yang menjual ke
pedagang kecamatan dan pedagang kecamatan menjual ke pedagang kabupaten
juga dilakukan transaksi secara kontan (cash). Penentuan harga juga berdasarkan
kandungan kadar air dan berat biji setelah dilakukan penimbangan.
7.1.2. Kondisi Keluar Masuk Pasar
Kondisi keluar masuk pasar dapat ditentukan oleh tinggi rendahnya
hambatan memasuki pasar. Tinggi rendahnya hambatan untuk memasuki pasar
dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti, tinggi rendahnya modal yang dimiliki
untuk bertindak sebagai pesaing dalam rangka memasuki pasar, keterkaitan antara
lemabaga pemasaran atau hubungan dengan lembaga pemasaran.
Kontrol dan intervensi pemerintah daerah dan pusat dalam perdagangan
kakao dalam bentuk peraturan yang membatasi ataupun mengatur mekanisme
perdagangan kakao secara spesifik tidak ada. Hambatan keluar masuk pasar dalam
pemasaran kakao sangat dipengaruhi oleh besarnya modal yang dimiliki oleh lembaga
pemasaran yang terlibat, misalnya untuk akses pada fasilitas penyimpanan/gudang
dan transportasi, serta yang tidak kalah pentingnya adanya hubungan kepercayaan di
antara para pelaku pasar. Umumnya lembaga pemasaran yang terlibat dalam proses
pemasaran kakao di lokasi penelitian memiliki pengalaman yang cukup lama (lebih
dari 10 tahun), memiliki modal yang besar dan bankable, memiliki hubungan
kepercayaan yang baik dengan lembaga pemasaran lainnya sehingga memiliki akses
informasi yang baik.
Dari hasil penelitian didapatkan informasi bahwa, menurut petani lebih
baik menjual biji kakaonya kepada pedagang yang sudah mereka kenal dengan
alasan keamanan dan sudah adanya ikatan emosional. Namun demikian dalam
pasar kakao pada tingkat pedagang nagari sangat mudah dan bebas untuk
memasukinya. Disini petani bebas untuk menjual hasil panen kakao kepada
pedagang yang ada.
57
Demikian juga pada tingkat pedagang kecamatan tidak terjadi hambatan
baik secara teknis maupun sosial untuk memasuki pasar kakao di Kabupaten
Padang Pariaman. Hanya saja biasanya hambatan datang dari pedagang sendiri
berupa modal usaha yang akan digunakan untuk memasuki pasar.
7.1.3. Kondisi dan Keadaan Produk
Produk kakao yang diperdagangkan relatif beragam atau terdiferensiasi
karena belum ada standarisasi yang baku di tingkat petani. Hal ini terutama
disebabkan oleh perbedaan dalam proses pengolahan disamping bibit yang
digunakan petani dalam membudidayakan kakao juga belum seragam. Akibatnya
manipulasi kualitas sering terjadi baik atas kesadaran petani sendiri maupun atas
anjuran pedagang pengumpul.
Proses standarisasi dan grading hanya dilakukan di tingkat pedagang
kabupaten berdasarkan kadar air dan bentuk biji kakao. Selain itu tidak ada proses
penambahan nilai pada kakao yang diperdagangkan.
7.2.Perilaku Pasar
Perilaku pasar yang ditunjukan oleh perilaku lembaga pemasaran yang ada
di lokasi penelitian dianalisis berdasarkan empat indikator utama, yaitu: (1)
praktek pembelian dan penjualan, (2) proses pembentukan harga, (3) praktek
dalam menjalankan fungsi pemasaran serta (4) kerjasama antarlembaga
pemasaran. Sehingga akan didapatkan informasi mengenai perilaku dari masing-
masing lembaga pemasaran, yang bersifat kualitatif.
7.2.1. Praktek Pembelian dan Penjualan
Praktek pembelian dan penjualan yang terjadi di Kabupaten Padang
pariaman biasanya petani kakao melakukan penjualan kakao kepada pedagang
lokal yang sudah dikenal baik atau minimal sudah pernah bertransaksi
sebelumnya. Hal yang sama juga terjadi pada lembaga pemasaran yang ada
diatasnya, meskipun kebebasan untuk melakukan jual dan beli terjadi di daerah
penelitian.
Hal ini terjadi karena: (1) adanya hubungan baik dengan pedagang yang
bersangkutan, dan (2) terbatasnya akses petani dengan pedagang yang berasal dari
58
daerah di luar wilayahnya. Selain pertimbangan kenal atau tidaknya dengan siapa
petani akan bertransaksi, pertimbangan lain adalah harga yang ditawarkan
pedagang, atau dengan kata lain pertimbangan rasional dan memberikan
keuntungan tertinggi tetap menjadi acuan petani dalam melakukan transaksi. Hal
ini terutama terjadi pada petani yang tidak memiliki keterikatan dan perjanjian
dengan pedagang tertentu.
Tempat petani bertransaksi atau melakukan penjualan sangat beragam,
tergantung pada beberapa faktor, yaitu: (1) kebiasaan daerah dan nagari masing-
masing petani, (2) infrastruktur jalan menuju kebun, (3) jarak dari rumah ke
kebun.
Penimbangan atau penjualan kakao biasanya dilakukan seminggu sekali
oleh sebagian besar petani responden dan biasanya dilakukan bersamaan dengan
hari pasar tradisional di daerah yang bersangkutan. Pola perilaku jual beli kakao
ini berlaku secara umum di daerah penelitian. Setiap kecamatan biasanya
memiliki hari pasar yang dipusatkan di nagari tertentu yang berada di kecamatan
tersebut karena tidak setiap nagari memiliki pasar tradisional.
Hari pasar juga merupakan hari istirahat bagi petani pada umumnya.
Perilaku ini disebabkan karena: (1) petani memerlukan uang tunai dari hasil
panennya yang akan digunakan untuk membiayai keperluan hidup sehari-hari dan
berbelanja saat hari pasar, (2) untuk membiayai operasional pemeliharaan kebun,
dan (3) adanya resiko potential loss jika petani menyimpan hasil panennya untuk
dijual sekaligus di satu waktu. Hal ini akibat tidak adanya kepastian harga untuk
penjualan di minggu berikutnya karena harga kakao selalu berfluktuasi dari hari
ke hari.
Sebanyak 90 persen petani tidak memiliki ikatan apapun dengan pedagang
yang akan membeli hasil panen dan sisanya sebanyak 10 persen petani memiliki
ikatan dengan pembelinya. Ikatan tersebut antara lain dikarenakan:
1. Pengolahan kakao yang dilakukan petani dibiayai oleh pedagang, misal untuk
biaya pembelian pupuk ditanggung oleh pedagang dan pembayarannya akan
dipotong nantinya dari hasil panen.
2. Petani sudah berhutang uang sebelumnya kepada pedagang untuk membiayai
keperluannya.
59
3. Antara petani dengan pedagang memang sudah ada perjanjian untuk menjalin
kemitraan imbal-balik sebelumnya. Walaupun sebagian petani memiliki ikatan
dengan pembeli, tetapi sistem pembayaran yang dilakukan dalam transaksi
sepenuhnya dengan cara tunai setelah hutang piutang dikeluarkan.
7.2.2. Proses Pembentukan Harga
Secara teoritis penentuan harga sangat di pengaruhi oleh adanya kompetisi
atau persaingan, regulasi pemerintah, dan kemauan pembeli. Disini penentuan
harga merupakan hal yang sangat penting pada perolehan pendapatan (Schmid,
1987). Komoditi kakao merupakan komoditi perdagangan yang sangat
menjanjikan karena komoditi ini banyak di butuhkan oleh industri.
Di daerah penelitian, harga kakao lebih banyak ditentukan oleh harga
kakao dunia yang di akses oleh eksportir. Selain itu tidak adanya patokan harga
atas dan harga bawah pada komoditi kakao, sehingga cenderung terjadi fluktuasi.
Mengenai informasi harga, pedagang mendapatkan dari eksportir.
Meskipun mudah mendapatkan informasi harga tingkat eksportir namun
pada kenyataan di lapangan sebagian besar petani tetap memperoleh harga dari
pedagang nagari atau kecamatan. Dan petani tidak ada kekuatan untuk menolak
harga yang telah di tetapkan oleh pedagang.
Petani merupakan pihak yang lemah dan sebagai penerima harga.
Pedagang kabupaten merupakan pedagang pertama yang menetapkan harga
kakao, kemudian diikuti pedagang dibawahnya dan sampai ke petani. Dengan
demikian dalam perdagangan kakao mengarah pada pasar persaingan tidak
sempurna. Dan tidak adanya regulasi pemerintah terhadap harga kakao.
7.2.3. Praktek dalam Menjalankan Fungsi Pemasaran
Praktek yang dilakukan oleh lembaga pemasaran dalam menjalankan
fungsi pemasaran yang digaris bawahi dalam penelitian ini adalah: (1) grading
dan standarisasi, (2) praktek kecurangan dalam penimbangan.
(1) Grading dan Standardisasi
Grading dan standardisasi erat kaitannya dengan persyaratan mutu kakao,
secara nasional sebenarnya telah dikeluarkan standardisasi mutu biji kakao untuk
60
ekspor yaitu SNI 01-2323-1995 yang mencakup defenisi, klasifikasi, syarat mutu,
cara pengambilan sample, cara uji, syarat penandaan, cara pengemasan dan
rekomendasi (Dewan Standardisasi Nasional, 1995). Hanya saja bagian terpenting
adalah berupa spesifikasi persyaratan mutu biji kakao, baik mencakup syarat
umum maupun syarat khusus (Lampiran 1).
Pada daerah penelitian praktek standarisasi tidak dipenuhi secara
keseluruhan (seperti: fermentasi, kadar air dan sebagainya) baik oleh petani,
pedagang nagari, pedagang kecamatan. Hal ini disebabkan karena pedagang
kabupaten tidak menerapkan secara jelas standardisasi kakao yang akan di beli,
bahkan biji kakao asal juga di beli. Misalnya biji kakao yang fermentasi harganya
sama saja dengan biji kakao non fermentasi.
Grading pun tidak dilakukan oleh pedagang pengumpul dan petani.
Sehingga secara umum biji kakao yang di perjual belikan masih dalam bentuk
asalan. Hal yang menjadi perhatian oleh pedagang hanyalah kadar air biji kakao
yang batas kadar air 4-5 persen pada tingkat eksportir, apabila penjual
menginginkan harga yang tinggi untuk tingkat pedagang kabupaten sudah
menerapkan grading dan mengelompokan biji berdasarkan standaridsasi yang
berlaku.
(2) Praktek Kecurang dalam Penimbangan
Transaksi penjualan dan pembelian pada tingkat petani antar petani
dengan pedagang pengumpul nagari, demikian juga untuk tingkat transaksi antar
pedagang diatasnya dilakukan secara langsung. Praktek curang penimbangan pada
umumnya tidak ditemukan, karena proses penimbangan dilakukan oleh kedua
belah pihak. Kesimpulan tidak ada terjadi kecurangan penimbangan pada daerah
penelitian.
7.2.4. Kerjasama Antar Lembaga Pemasaran
Petani yang membutuhkan modal biasanya meminjam kepada pedagang
nagari tanpa beban bunga. Pedagang akan memberikan pinjaman apabila petani
memerlukan. Pinjaman ini tidak hanya untuk keperluan pembelian input, tapi juga
digunakan petani untuk semua kebutuhannya. Pengembalian biasanya dilakukan
pada saat panen kakao dengan cara mengurangi dari hasil panen yang dibayarkan
61
kepada petani. Hal ini akan mengikat petani sehingga harus menjual hasil
panennya kepada pedagang nagari.
Modal yang dimiliki pedagang pengumpul berasal dari pinjaman yang
diberikan oleh pedagang yang berada di atasnya (pedagang kecamatan). Pinjaman
biasanya tanpa bunga dan tanpa adanya suatu ikatan hukum, hanya berdasarkan
kepercayaan dan hubungan yang sudah lama terjalin. Bentuk kerjasama yang
terjadi antara lembaga pemasaran dengan petani adalah peminjaman modal
berdasarkan hubungan kepercayaan.
7.3. Kinerja Pasar Kakao
Kinerja pasar sangat dipengaruhi oleh struktur dan perilaku pasar.
Indikator yang dijadikan ukuran untuk menilai kinerja pasar kakao di lokasi
penelitian, yaitu: perubahan harga, biaya pemasaran, marjin pemasaran dan
distribusinya, bagian harga yang diterima petani.
Tabel 14. Matriks Hasil Analisis Kinerja Pasar Kakao di Kabuapten Padang
Pariaman Tahun 2012
Jenis analisis Jalur Pemasaran Nilai per kg biji
kakao
Marjin Pemasaran Saluran I
(Petani – Ped. Nagari – Ped.
Kecamatan – Ped. Kabupaten
Rp. 4 800
(23.08 %)
Saluran II
(Petani – Ped. Kecamatan –
Ped. Kabupaten)
Rp. 3 800
(18.27 %)
Saluran III
(Petani – Ped. Nagari – Ped.
Kecamatan kabupaten)
Rp. 4 800
(23.08 %)
Bagian yang di terima
petani
Saluran I
(Petani – Ped. Nagari – Ped.
Kecamatan – Ped. Kabupaten
Rp. 16 000
(76.92 %)
Saluran II
(Petani – Ped. Kecamatan –
Ped. Kabupaten)
Rp. 17 000
(81.73)
Saluran III
(Petani – Ped. Nagari – Ped.
Kecamatan kabupaten)
Rp. 16 000
(76.92 %)
Arus informasi harga Ped. Kabuapetn – Ped.
Kecamatan – Ped. Nagari –
petani
Sumber: Data primer (diolah)
62
Bagian harga yang diterima petani adalah bagian harga yang dibayarkan
oleh konsumen (dalam hal ini pedagang kabupaten) yang dapat dinikmati oleh
petani sebagai produsen. Sedangkan margin pemasaran merupakan selisih harga
jual di tingkat pedagang kabupaten dengan harga jual tingkat petani
Pada Tabel 14 menunjukan bahwa margin yang diterima oleh lembaga
pemasaran pada saluran pemasaran I sebesar 23.08 persen, pada saluran
pemasaran II sebesar 18.27 persen dan saluran pemasaran III sebesar 23.08
persen. Besarnya margin ini disebabkan oleh besarnya keuntungan yang diambil
oleh masing-masing lembaga pemasaran.
Bagian harga yang diterima petani sebesar 76.92 persen pada saluran
pemasaran I, pada saluran pemasaran II sebesar 81.73 persen, sedangkan pada
saluran pemasaran III sebesar 76.92 persen. Dengan melihat hasil bagian harga
dan marjin yang diterima oleh lembaga pemasaran, dapat kita ketahui kinerja
pasar kakao belum efisien di daerah penelitian. Untuk lebih jelasnya kriteria
pengujian dapat diuraikan secara lebih rinci pada penghitungan marjin pemasaran
dan bahagian harga yang diterima petani. Adapun secara rinci penjelasan terhadap
marjin pemasaran dan bagian harga yang diterima petani akan dijelaskan pada
Tabel 15.
7.3.1. Marjin Pemasaran
Marjin pemasaran kakao adalah perbedaan antara harga kakao yang
diterima konsumen dengan harga yang diterima petani yang meliputi biaya
pemasaran dan keuntungan yang diterima oleh lembaga-lambaga pemasaran.
Besarnya marjin dari setiap saluran pemasaran akan berbeda-beda. Pada
saluran pemasaran I besarnya marjin adalah Rp. 4 800 per kg, pada Pada saluran
pemasaran II, besarnya marjin adalah Rp. 3 800 per kg dan Pada saluran
pemasaran III besarnya marjin adalah Rp. 4 800 per kg. Besarnya marjin
pemasaran pada saluran pemasaran I dan III karena perbedaan jumlah lembaga
pemasaran yang terlibat dalam penyaluran produk dari produsen ke pedagang
kabupaten. Sehingga dengan banyaknya lembaga pemasaran yang terlibat
mengakibatkan marjin pemasaran besar.
63
Tabel 15. Marjin Pemasaran Kakao di Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2012
No Pelaku Pasar Saluran
Pemasaran I
Saluran
Pemasaran II
Saluran
Pemasaran III
Nilai Nilai Nilai
Rp/kg % Rp/kg % Rp/kg %
1. Petani
a. Biaya
transportasi
- - 500 2.40 - -
b. Harga jual 16 000 76.9 17 000 81.73 16 000 76.9
2. Pedagang nagari
a. Harga beli 16 000 76.9 - - 16 000 76.9
b. Biaya-biaya 365 1.75 - - 742 3.57
- Bongkar muat 50 0.24 - - 40 0.19
- Transportasi 300 1.44 - - 500 2.40
- Penjemuran - - - - 75 0.36
- Sortasi - - - - 22 0.10
- Penyusutan - - - - 20 0.09
- Pengemasan 15 0.07 - - 10 0.05
- Gudang - - - - 75 0.36
- Keuntungan 635 3.05 - - 2 058 9.89
- Marjin
pemasaran
1 000 4.81 - - 2 800 13.5
- Harga jual 17 000 81.7 - - 18 800 90.4
3. Pedagang
kecamatan
a. Harga beli 17 000 81.7 17 000 81.73 - -
b. Biaya-biaya 415 1.99 540 2.59 - -
- Bongkar muat 100 0.48 100 0.48 - -
- Transportasi 250 1.20 175 0.84 - -
- Penjemuran - - 75 0.36 - -
- Penyusutan 15 0.07 30 0.14 - -
- Sortasi - - 75 0.36 - -
- Pengemasan - - 25 0.24 - -
- Gudang 50 0.24 60 0.28 - -
- Keuntungan 1 385 6.66 1 260 6.06 - -
- Marjin
pemasaran
1 800 8.65 1 800 8.65 - -
- Harga jual 18 800 90.4 18 800 90.4 - -
4. Pedagang
kabupaten
a. Harga beli 18 800 90.4 18 800 90.4 18 800 90.4
b. Biaya-biaya 565 2.72 625 3.01 685 3.29
- Bongkar muat 100 0.48 100 0.48 100 0.48
- Transportasi 200 0.96 200 0.96 200 0.96
- Penjemuran 75 0.36 100 0.48 150 0.72
- Penyusutan 30 0.14 20 0.09 30 0.14
- Sortasi 75 0.36 75 0.36 75 0.36
- Pengemasan 25 0.12 30 0.14 30 0.14
- Gudang 60 0.29 100 0.48 100 0.48
- Keuntungan 1 435 6.90 1 375 6.61 1 315 6.32
- Marjin
pemasaran
2 000 9.61 2 000 9.61 2 000 9.61
- Harga jual 20 800 100 20 800 100 20 800 100
Sumber: Data primer (diolah)
64
Tabel 15 menunjukan marjin pemasaran dan distribusi marjin untuk
masing-masing lembaga pemasaran pada setiap saluran pemasaran. Pada saluran
pemasaran I, jika dilihat dari perolehan keuntungan dan biaya yang dikeluarkan
terlihat terjadi perbedaan. Akumulasi keuntungan yang diambil oleh pedagang
pada saluran pemasaran I, saluran pemasaran II dan saluran Pemasaran III
masing-masing sebesar 16.61 persen, 12.67 persen dan 16.21 persen. Sedangkan
akumulasi biaya yang dikeluarkan pada saluran pemasaran I, saluran pemasaran II
dan saluran Pemasaran III masing-masing sebesar 6.46 persen, 5.60 persen, dan
6.86 persen.
Perbedaan besar marjin dikarenakan oleh : (1) perbedaan jumlah lembaga
pemasaran yang terlibat, (2) perbedaan harga jual yang diterima petani untuk
setiap pilihan saluran, apakah menjual kepada pedagang pengumpul atau langsung
pada pedagang besar, dan (3) perbedaan harga jual di tingkat akhir.
Berdasarkan hasil analisis di atas terlihat bahwa semakin banyak jumlah
lembaga pemasaran yang terlibat akan menyebabkan bertambah panjangnya rantai
pemasaran sehingga mengakibatkan bertambahnya biaya pemasaran dan
keuntungan yang diambil oleh setiap pelaku pasar tersebut. Berikut ini
perbandingan rasio keuntungan dan biaya pemasaran.
Tabel 16. Rasio Keuntungan dan Biaya Pemasaran Kakao di Kabupaten Padang
Pariaman Tahun 2012
Lembaga Pemasaran Keuntungan
Pemasaran
(Rp/kg)
Biaya
Pemasaran
(Rp/kg)
Rasio
Keuntungan
Baiaya
Saluran Pemasaran I
Pedagang Nagari 635 365 1.74
Pedagang Kecamatan 1385 415 3.34
Pedagang Kabupaten 1435 565 2.54
Jumlah 3455 1345 7.62
Saluran Pemasaran II
Pedagang Nagari - - -
Pedagang Kecamatan 1260 540 2.33
Pedagang Kabupaten 1375 625 2.20
Jumlah 2365 1165 4.53
Saluran Pemasaran III
Pedagang Nagari 2058 742 2.77
Pedagang Kecamatan - - -
Pedagang Kabupaten 1315 685 1.92
Jumlah 3373 1427 4.69
Sumber: Data primer (diolah)
65
Jumlah keuntungan yang diambil oleh pedagang di saluran pemasaran I
adalah sebesar Rp 8 051.74/kg atau mencapai 22.68 persen dari harga di tingkat
pedagang akhir atau mencapai 68.13 persen bila dibandingkan dengan besarnya
margin pemasaran. Sedangkan jumlah biaya yang dikorbankan pedagang adalah
sebesar Rp 3 767.29/kg atau 10.61 persen dari harga di tingkat pedagang akhir
atau 36.67 persen dari besarnya margin pemasaran.
Rasio keuntungan dan biaya tertinggi di saluran pemasaran ini diperoleh
pedagang kecamatan yaitu sebesar 3.34. Jumlah keuntungan yang diambil oleh
pedagang di saluran pemasaran I, II dan III masing-masing sebesar Rp 3 455 per
kg atau 16.61 persen dari harga di tingkat pedagang kabupaten, Rp 2 635 per kg
atau 12.67 persen dari harga di tingkat pedagang kabupaten dan Rp 3 373 per kg
atau 16.21 persen dari harga di tingkat pedagang kabupaten. Jika keuntungan
tersebut dibandingkan dengan margin pemasaran masing-masing saluran maka
besarnya berturut-turut di saluran pemasaran II, III dan IV adalah sebesar 71.97
persen, 69.34 persen dan 70.27 persen.
Sedangkan jumlah biaya yang dikorbankan pedagang di saluran pemasaran
I adalah sebesar Rp 1 345 per kg atau 6.47 persen dari harga di tingkat pedagang
kabupaten atau 28.02 persen dari besarnya margin pemasaran. Rasio keuntungan
dan biaya tertinggi di saluran pemasaran ini diperoleh pedagang kecamatan yaitu
sebesar 3.34.
Jumlah biaya yang dikorbankan pedagang di saluran pemasaran II adalah
sebesar Rp 1 165 per kg atau 5.60 persen dari harga di tingkat pedagang
kabupaten atau 30.66 persen dari besarnya margin pemasaran. Rasio keuntungan
dan biaya tertinggi di saluran pemasaran ini diperoleh pedagang nagari yaitu
sebesar 2.33.
Jumlah biaya yang dikorbankan pedagang di saluran pemasaran III adalah
sebesar Rp 1 427 per kg atau 6.86 persen dari harga di tingkat pedagang
kabupaten atau 29.73 persen dari besarnya margin pemasaran. Rasio keuntungan
dan biaya tertinggi di saluran pemasaran ini diperoleh pedagang nagari yaitu
sebesar 2.77.
Berdasarkan analisis margin pemasaran dan perbandingan rasio
keuntungan dan biaya yang diperoleh masing-masing lembaga pemasaran, terlihat
66
bahwa saluran pemasaran II relatif lebih baik dibandingkan dengan saluran
lainnya. Hal ini setidaknya terlihat dari kecilnya margin pemasaran, tingginya
persentase harga jual akhir yang ikut dinikmati petani dan relatif seimbangnya
pendistribusian keuntungan dan biaya antarlembaga pemasaran yang ada. Tapi
walaupun demikian tidak semua petani bisa menggunakan saluran pemasaran II
dalam menjual hasil panennya.
7.3.2. Bagian Harga yang Diterima Petani
Bagian harga yang diterima petani adalah bagian harga yang dibayarkan
oleh konsumen yang dapat dinikmati oleh petani sebagai produsen. Semakin
tinggi bagian harga yang diterima petani, maka pemasaran dapat dikatakan
semakin efisien. Karena akan menyebabkan semakin rendahnya mark up atau
persentase marjin. Hal ini menunjukan bahwa sistem pemasaran tersebut dapat
menyampaikan produk dari produsen kepada konsumen dengan porsi biaya dan
keuntungan pedagang yang terendah.
Besarnya Bagian harga yang diterima petani secara umum dipengaruhi
oleh saluran pemasaran, semakin panjang saluran akan menyebabkan biaya dan
keuntungan yang diambil oleh setiap lembaga pemasaran bertambah sehingga
marjin bertambah besar.
Pemilihan saluran pemasaran akan berpengaruh terhadap besarnya marjin
pemasaran yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi besarnya bagian harga
yang diterima petani. Dengan demikian tingginya marjin pemasaran, akan
menyebabkan bagian harga yang diterima petani semakin rendah. Pada Tabel 15
dapat kita lihat bahwa, semakin besar marjin pemasaran maka bagian harga yang
diterima petani akan semakin kecil seperti yang terjadi pada saluran pemasaran I
dan III. Selain itu untuk komoditas pertanian faktor tingkat pengolahan yang
dilakukan petani, biaya transportasi, keawetan dan mutu serta jumlah produksi
juga akan berpengaruh pada Bagian harga yang diterima petani.
Saluran pemasaran II merupakan saluran yang efisien bagi petani,
dibanding saluran pemasaran yang lain. Dengan menggunakan saluran pemasaran
II petani akan memperoleh harga yang tinggi dari produksi kakaonya dan tingkat
keuntungan yang diterima juga lebih tinggi. Hal ini dapat kita lihat pada Tabel 14
67
dimana pada saluran pemasaran I dan III petani mendapatkan 88,89 persen harga
yang diterima petani, sedangkan pada saluran pemasaran II petani mendapatkan
91,67 persen. Hanya saja tidak semua petani dapat melakukan hal demikian
bahkan hanya 15 persen responden yang menggunakan saluran pemasaran II. Hal
ini disebabkan karena sebagian besar petani secara individual melakukan
keterkaitan secara tidak langsung terhadap pedagang nagari, tidak berani
mengambil resiko, kuantitas yang dijual sedikit, tidak mampu untuk
mengeluarkan biaya transportasi. Sehingga petani meyakini lebih efisien menjual
kepada pedagang nagari yang datang langsung ke rumah mereka. Walaupun
petani mendapatkan harga yang lebih kecil.
7.3.3. Keterpaduan Pasar
Integrasi atau keterpaduan pasar berguna untuk melihat keeratan hubungan
pasar dengan pasar lain yang menjadi rujukan (yang mempengaruhinya), yang
dilihat berdasarkan pergerakan harga yang berhubungan dengan dua pasar atau
lebih. Model yang digunakan untuk menganalisis aspek keterpaduan pasar dalam
penelitian ini adalah model yang dikembangkan oleh Ravallion (1986) dan
Heytens (1986). Model didasarkan pada hubungan bedakala (lag) bersebaran
autoregresive antara harga di tingkat petani dengan harga di pasar acuan yaitu
harga ditingkat pedagang kabupaten. Data yang digunakan untuk analisis integrasi
adalah data time series bulan agustus 2011 sampai dengan bulan juli 2012.
Tabel 17. Hasil Analisis Keterpaduan Pasar Kakao di Kabupaten Padang
Pariaman Tahun 2012
Variabel Bebas Parameter
Dugaan
P_value
(Significance)
Konstanta 277.855 0.4591 Bedakala harga kakao di tingkat petani (Pft-1) 0.71605 0.0064 Selisih harga kakaodi tingkat
pedagang kabupaten (DPe) 0.14051 0.1223
Bedakala harga kakao di tingkat
pedagang kabupaten (Pet-1) 0.21190 0.0926
F – Hitung 9.37 0.0038
Koefisien Determinasi (R2) 0.8006
R2
– Adjusted 0.7152
IMC 3.4038
Sumber: Data primer (diolah)
68
Integrasi atau keterpaduan pasar berguna untuk melihat keeratan hubungan
pasar dengan pasar lain yang menjadi rujukan (yang mempengaruhinya), yang
dilihat berdasarkan pergerakan harga yang berhubungan dengan dua pasar atau
lebih. Hasil estimasi keterpaduan pasar di Kabupaten Padang Pariaman seperti
terlihat pada Tabel 17.
Uji statistik terhadap kesesuaian model diperoleh nilai F hitung nyata pada
taraf kepercayaan 99 persen (α = 1 persen) yang mengindikasikan bahwa model
cukup baik karena variabel bebas dapat menjelaskan keragaman variabel terikat.
Keragaman harga kakao di tingkat petani (Pft) dapat dijelaskan oleh keragaman
variabel bebas yang ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi (R2) sebesar
0.8006. Nilai koefesien tersebut berarti 80 persen keragaan keterpaduan pasar
dapat dijelaskan oleh faktor-faktor dalam model, sedangkan 20 persen sisanya
dijelaskan oleh faktor lain di luar model. Nilai R2 – Adjusted sebesar 71.52 persen.
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil pengujian model dengan uji-F adalah bahwa
model yang dibuat dapat menjelaskan keragaman keterpaduan pasar kakao di
Kabupaten Padang Pariaman.
Pengujian statistik dilanjutkan dengan uji-t pada masing-masing variabel
independen, untuk menguji faktor apa saja yang dapat menjelaskan atau
berpengaruh nyata terhadap harga kakao di tingkat petani. Ada dua variabel yang
signifikan yaitu variabel Pft-1 dan Pet-1. Variabel Pft-1 atau bedakala satu tahun
harga kakao di tingkat petani berpengaruh nyata pada α = 1 persen . Dan variabel
bedakala harga kakao di tingkat pedagang kabupaten (Pet-1) berpengaruh nyata
pada α = 10 persen. Sedangkan selisih harga kakao di tingkat pedagang kabupaten
(DPe) hanya berpengaruh jika tingkat signifikansi ditoleransi pada tingkat α 15
persen.
Berdasarkan informasi tersebut terlihat bahwa model autoregresive
distributed lag antara harga kakao di tingkat petani dengan harga kakao di
ditingkat pedagang kabupaten dapat dipertanggungjawabkan dan tidak terjadi
kesalahan spesifikasi. Model dapat digunakan untuk menjelaskan dan
memprediksi keragaman harga kakao di tingkat petani.
Hasil analsis hubungan antara harga kakao di tingkat petani dengan harga
di tingkat pedagang kabupaten adalah sebagai berikut :
69
Pft = 277.855 + 0.716 Pft-1 + 0.140 (Pet - Pet-1) + 0.212 Pet-1 ………..(14)
Nilai koefisien sebesar 0.140 pada Persamaan (14) menunjukkan nilai b2 yang
merupakan nilai elastisitas transmisi harga yaitu seberapa jauh perubahan harga di
tingkat pedagang kabupaten di transmisikan ke tingkat petani. Semakin dekat nilai
parameter b2 dengan 1 maka akan semakin baik keterpaduan pasar. Nilai dugaan
parameter b2 dari hasil analisis di atas, berarti bahwa jika terjadi perubahan harga
sebesar 10 satuan harga (rupiah) di tingkat pedagang kabupaten, maka perubahan
harga yang akan diteruskan sampai ke tingkat petani hanya sebesar 0.14 rupiah saja,
cateris paribus. Hal ini mencerminkan tidak simetrisnya transmisi harga oleh pihak
pedagang kabupaten atau dengan perkataan lain, terjadinya perubahan harga di
tingkat pedagang kabuapten tidak ditransmisikan secara sempurna ke tingkat petani.
Hasil analisis menunjukankan bahwa kontribusi harga pada periode
sebelumnya, baik di tingkat petani maupun di tingkat pedagang kabupaten,
terhadap harga yang berlaku sekarang di tingkat petani memiliki nilai kurang dari
satu. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh harga yang berlaku di tingkat petani
pada periode sebelumnya, berpengaruh lebih besar terhadap pembentukan harga
di tingkat petani yang berlaku saat ini, dibandingkan dengan pengaruh harga di
tingkat pedagang kabupaten pada periode sebelumnya.
Pengaruh harga yang berlaku di tingkat petani pada periode sebelumnya
terhadap pembentukan harga pasar di tingkat petani saat ini adalah sebesar 0.716.
Sedangkan pengaruh perubahan harga yang berlaku di tingkat pedagang
kabupaten pada periode sebelumnya terhadap pembentukan harga di tingkat
petani yang berlaku saat ini juga kurang dari satu, hanya saja pengaruhnya jauh
lebih kecil, yaitu sebesar 0.212. Hal ini mengindikasikan bahwa ada stok tertentu
yang disimpan di gudang oleh pedagang sampai pada tingkatan jumlah tertentu
sebelum kakao dijual lagi ke pedagang yang berada di atasnya sesuai dengan
besarnya kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya.
Perbandingan antara koefisien pengaruh harga pasar lokal di tingkat petani
dengan pengaruh harga pasar acuan di tingkat pedagang kabupaten pada periode
sebelumnya, akan menunjukkan tinggi rendahnya tingkat keterpaduan antara
kedua pasar yang dicerminkan oleh besarnya Index of Market Connection (IMC).
Nilai IMC yang semakin mendekati nol menunjukkan semakin baiknya integrasi
70
pasar, atau dengan kata lain terjadi integrasi jangka panjang antarpasar lokal di
tingkat petani dengan pasar acuan di tingkat pedagang kabupaten.
Hasil analisis memperlihatkan nilai IMC pasar kakao yang tinggi yaitu
3.4038, artinya pasar di tingkat petani dan pedagang kabupaten belum terpadu
(terintegrasi) dengan baik. Integrasi pasar yang terjadi lemah, pasar dalam kondisi
persaingan tidak sempurna dan sistem pemasaran kakao tidak efisien.
Implikasi lain dari besaran nilai IMC dan nilai korelasi adalah, faktor yang
menjadi penentu bagi pembentukan harga kakao yang berlaku saat ini di tingkat
petani adalah harga kakao yang berlaku pada periode sebelumnya pada tingkat
petani. Kondisi ini sejalan dengan praktek pembentukan harga kakao di lokasi
penelitian, dimana harga kakao saat ini biasanya mengacu pada harga kakao saat
panen sebelumnya. Pedagang kabupaten/eksportir yang menentukan harga, harga
kakao relatif stagnan dari tahun ke tahun. Hal ini salah satunya diduga karena
eksportir sudah mengadakan perjanjian/kontrak terlebih dahulu dengan pembeli
atau importir di luar negeri, maka harga yang ditentukan eksportir cendrung
mengacu pada harga kakao sebelumnya dan akan tetap selama jumlah kontrak
belum terpenuhi. Struktur pasar yang tidak bersaing sempurna dimana rantai
pemasaran kakao dikuasai oleh sedikit pedagang besar akan memungkinkan
terjadinya praktek kolusi dalam penentuan harga dalam transaksi jual beli kakao.
71
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8.1. Kesimpulan
Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil pembahasan mengenai analisis
produksi dan pemasaran kakao di Kabupaten Padang Pariaman, dapat disimpulan
bahwa:
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kakao di Kabupaten Padang
Pariaman dan berpengaruh secara nyata sebagai input adalah tenaga kerja,
pupuk kandang, pupuk kimia, luas lahan, jumlah tanaman menghasilkan dan
pendidikan petani. Semua faktor tersebut berpengaruh positif terhadap
tingkat produksi, kecuali pestisida.
2. Belum efisiensinya jalur pemasaran kakao di Kabupaten Padang Pariaman,
hal ini terlihat berdasarkan indikator besarnya marjin pemasaran, kecilnya
bagian harga yang diterima petani dan belum terintegrasinya pasar ditingkat
petani dengan pasar ditingkat pedagang kabupaten.
3. Marjin pemasaran di tentukan oleh besarnya biaya pemasaran dan
keuntungan yang akan di peroleh oleh lembaga pemasaran. Pada kegiatan
pemasaran kakao di Kabupaten Padang Pariaman, marjin terbesar diterima
oleh pedagang nagari pada saluran pemasaran III.
4. Bagian harga yang diterima petani dapat kita tentukan dari marjin
pemasaran. Dimana semakin besar marjin pemasaran maka bagian harga
yang diterima petani akan semakin kecil, seperti yang terjadi pada saluran
pemasaran I dan III. Sehingga saluran pemasaran II yang memberikan
bagian harga tertinggi pada petani kakao di Kabupaten Padang Pariaman.
8.2. SARAN
8.2.1. Implementasi Kebijakan
1. Dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kakao di
Kabupaten Padang Pariaman maka perlu diambil kebijakan untuk
mengoptimalkan jumlah tanaman menghasilkan, meningkatkan penggunaan
pupuk kandang dan penggunaan pupuk kimia sesuai dengan petunjuk teknis.
72
Sehingga produktivitas tanaman kakao di Kabupaten Padang Pariaman
dapat meningkat.
2. Perlunya upaya untuk memperkecil marjin pemasaran dan memperkuat
posisi tawar petani guna mengantisipasi tingginya fluktuasi harga kakao di
tingkat petani. Pembinaan, penguatan dan pemberdayaan kelompok tani
yang sudah ada yang diarahkan untuk memperbaiki kinerja produksi dan
pemasaran kakao agar lebih efisien Sehingga selain membantu kelancaran
kegiatan produksi dan distribusi yang dihasilkan dan dibutuhkan
anggotanya, kelompok tani ini juga hendaknya bisa diberdayakan untuk
membangun kebersamaan yang kuat guna meningkatkan kesejahteraan
petani yang menjadi anggotanya. Salah satu caranya dapat dilakukan dengan
pembentukan semacam lembaga, misalnya asosiasi petani atau koperasi
produsen.
8.2.2. Saran Penelitian Lanjutan
1. Perlu dilakukan penelitian mengenai produktivitas kakao yang menganalisis
penggunaan pupuk. Antara petani yang menggunakan pupuk kimia dengan
petani yang tidak menggunakan. Sehingga diperoleh gambaran dan
perbandingan yang lebih baik dan memadai untuk membuat kesimpulan
tentang pengaruh penggunaan pupuk kimia pada produksi kakao.
2. Mengingat kakao adalah komoditas ekspor, maka perlu dilakukan penelitian
yang membahas tentang aspek permintaan dan penawaran kakao oleh
industri yang melakukan pengolahan kakao. Guna mendapatkan gambaran
yang menyeluruh mengenai pasar kakao di tingkat yang lebih luas dan
kemungkinan pengembangan produk dan pasar komoditas kakao di masa
yang akan datang.
73
DAFTAR PUSTAKA
Akiyama, T. and Akihiko Nishio. 1997. Sulawesi Cocoa Boom: Lessons of
Smallholder Dynamism and A Hands-Off Policy. Bulletin of Indonesian
Economic Studies. Indonesian Project. The Australian National
University, Vol. 33 No. 2. August 1997.
Badan Pusat Statistik. 2011. Pencapaian PDB Sektor Pertanian. Badan Pusat
Statistik, Jakarta.
Bafadal, A. 2000. Analisis Produksi dan Respon Penawaran Kakao Rakyat Di
Sulawesi Tenggara. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana. Insitutu
Pertanian Bogor, Bogor.
Cramer, G.L., C.W. Jensen and D.D. Southgate, Jr. 1997. Agricultural Economics
and Agribusiness. Seventh Edition. John Wiley & Sons, New York.
Dahl, D.C and J.W. Hammond. 1977. Market and Price Analisys. Mc. Graw Hill,
New York.
Debertin, L.D. 1986. Agricultural Production Economics. Mac Millan Publishing
Compony, New York.
Dessalegn, G., T.S. Jayne and J.D. Shaffer. 1998. Market Structure, Conduct and
Performance: Constraints on Performance of Ethiopian Grain Markets.
Working Paper. Grain Market Research Project. Ministry of Economic
Development and Cooperation, Addis Ababa.
Dinas Perkebunan Propinsi Sumatera Barat. 2012. Stasistik Perkebunan Tahun
2011. Dinas Perkebunan Propinsi Sumatera Barat, Padang.
Dinas Perkebunan Kab. Padang Pariaman. 2012. Buku Analisis Usahatani
Perkebunan. Dinas Perkebunan Kabupaten Padang Pariaman, Pariaman.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2010. Profil Komoditi Perkebunan di Indonesia.
Direktorat Jendral Perkebunan. Departemen pertanian, Jakarta.
Firdaus, M., R. Oktaviani, A. Asmara dan Sahara. 2008. Analisis Struktur,
Perilaku dan Kinerja Industri Manufaktur di Indonesia. Working Paper
Series. Nomor 04/A/III/2008. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor
Gonarsyah, I. 2004. Indonesian Cocoa Industry: Its trens and Challenges. A Case
Study Report for Agriculture and Rural Development Strategy Study.
ADB.
74
Gonarsyah, I., T. Sudaryanto, A. Purwoto dan S.H. Susilowati.1990. Studi
Tentang Permintaan dan Penawaran Komoditi Ekspor Pertanian (Kakao).
Laporan Penelitian. Kerjasama Biro Perencanaan Departemen Pertanian
dengan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Heytens, P.J. 1986. Testing Market Integration. Food Research Institute Studies,
20(1): 25-41.
Irawan dan Sudjoni. 2001. Pemasaran: Prinsip dan Kasus. Edisi Kedua. Badan
Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Juanda, B. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. Edisi Kedua. Institut
Pertanian Bogor Press, Bogor.
Kohls, R.L. and J.N. Uhl. 2002. Marketing Agriculture Product Ninth edition.
Mac Millan Publishing Company, New York.
Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of
Econometric Methods. Second Edotion. The Macmillan Press Limited,
London
Leonard Kyei et al., 2011 . Analysis of factors affecting the technical efficiency of
cocoa farmers in the Offinso district -Ashanti region Ghana. American
journal of social and management sciences , 2011, 2(2): 208-216.
Mason, E. 1939. Price and Production Policies of Large-Scales Enterprises.
American Economic Review, 29(2): 61-74.
Neuman, W.L. 2003. Social Research Methods Fifith edition. Pearson Education,
Inc, United States of America.
Nicholson, W. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Terjemahan.
Edisi Kedelapan. Erlangga, Jakarta.
Noorsapto, A. 1994. Keunggulan Komparatif dan Dampak Kebijakan Pemerintah
pada Komoditas Kakao : Suatu Studi Kasus pada Perkebunan Kakao di
Sumatera Utara. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Purcell, W.D. 1979. Agricultural Marketing: System, Coordination, Cash and
Future Price. A Prentice Hall Company, Virginia.
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. 2006. Panduan Lengkap Budidaya
Kakao. Penerbit PT Agromedia Pustaka. Jakarta.
Rahim, A. dan D.R.D. Hastuti. 2007. Ekonomika Pertanian: Pengantar Teori dan
Kasus. Penebar Swadaya, Jakarta.
75
Ravallion, M. 1986. Testing Market Integration. American Journal of Agricultural
Economics, 68(1): 102-109.
Rusastra, I.W., B. Rachman, Sumedi dan T. Sudaryanto. 2003. Struktur Pasar dan
Pemasaran Gabah-Beras dan Komoditas Kompetitor Utama. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Rustiadi, E. 2000. Masalah Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Kebijaksanaan
Ekonomi Bagi Pengendalian terhadap Kerusakannya. Lokakarya Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pengelolaan Sumberdaya Alam,
Jakarta 17 Oktober 2000.
Simamora, B. 2004. Panduan Riset Perilaku Konsumen. Gramedia, Jakarta.
Slameto. 2003. Analisis Produksi, Penawaran dan Pemasaran Kakao di Daerah
Sentra Pengembangan Komoditas Unggulan Lampung. Tesis Magister
Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Soekartawi, 2003. Teori Ekonomi Produksi: Pokok Bahasan Analisis Fungsi
Cobb-Douglas. Raja Grafindo Rajawali Press, Jakarta.
Spillane, J.J. 1995. Komoditi Kakao : Peranannya dalam perekonomian Indonesia.
Penerbit kanisius, Jakarta.
Vigneri, M. 2007. Ghana and the cocoa marketing dilemma: What has
liberalisation without price competition achieved?. ODI Project Briefing
University of Sydney. Sydney, No 3 December 2007.
Wally, F. 2001. Analisis Ekonomi Tataniaga Kakao Rakyat dan Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Opsi Kelembagaan Tataniaga Petani Kakao Di
Kabupaten Jayapura. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Yudhistira, F. 1997. Keunggulan Komparatif dan Dampak Kebijaksanaan
Pemerintah terhadap Komoditi Kakao: Kasus di Perkebunan Rajamandala
PTP XII, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Skripsi Sarjana, Jurusan Sosial
Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
76
77
LAMPIRAN
78
79
Lampiran 1. Standarisasi Mutu Biji Kakao Ekspor Berdasarkan SNI 01-2323-
1995
Spesifikasi Persyaratan Mutu Kakao:
A. Syarat umum :
No. Jenis Uji Satuan Persyaratan
1. Kadar air (b/b) % Maks 7.5
2. Biji berbau dan atau abnormal dan atau
berbau asing
- Tidak ada
3. Serangga hidup - Tidak ada
4. Kadar biji pecah dan atau pecah biji dan
atau pecah kulit (b/b)
% Maks 3
5. Kadar benda-benda asing (b/b) % Maks 0
B. Syarat khusus:
Jenis Uji
Jenis Mutu
Jumlah Biji
per 100 g
Kadar Biji
Berkapang
Kadar Biji Tidak
Fermentasi
Kadar Biji
Berserangga,
pipih dan
Berkecambah
(biji/biji) (biji/biji) (biji/biji)
Satu
an
Persya
ratan
Satu
an
Persya
ratan
Satu
an
Persya
ratan
Satu
an
Persya
ratan
I - AA - Mak.
85
% Mak. 3 % Mak. 3 % Mak. 3
I - A - Mak.
100
% Mak. 3 % Mak. 3 % Mak. 3
I - B - Mak.
110
% Mak. 3 % Mak. 3 % Mak. 3
I - C - Mak.
120
% Mak. 3 % Mak. 3 % Mak. 3
II - AA - Mak.
85
% Mak. 4 % Mak. 8 % Mak. 6
II - A - Mak.
100
% Mak. 4 % Mak. 8 % Mak. 6
II - B - Mak.
110
% Mak. 4 % Mak. 8 % Mak. 6
II - C - Mak.
120
% Mak. 4 % Mak. 8 % Mak. 6
Sumber: Dewan Standarisasi Nasional, 1995
80
Lampiran 2. Program dan Output Komputer SAS Release 9.1 Analisis Pendugaan
Parameter Fungsi Produksi Kakao di Kabupaten Padang Pariaman
Tahun 2012
OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA KAKAO;
proc print data=kakao; run; DATA KAKAO; MERGE KAKAO; BY NO; IF X1 = 0 THEN X1 = 1; IF X2 = 0 THEN X2 = 1; IF X3 = 0 THEN X3 = 1; IF X4 = 0 THEN X4 = 1; LNX1 = LOG(X1); LNX2 = LOG(X2); LNX3 = LOG(X3); LNX4 = LOG(X4); LNZ1 = LOG(Z1); LNZ2 = LOG(Z2); LNY = LOG (Y); LABEL LNX1 = 'Tenaga kerja' LNX2 = 'Pupuk kandang' LNX3 = 'Pupuk kimia' LNX4 = 'Pestisida' LNZ1 = 'Luas lahan' LNZ2 = 'Jumlah tanaman menghasilkan' LNY = 'Produksi' D1 = 'Dummi pendidikan petani'; RUN;
PROC REG DATA=KAKAO; TITLE 'ANALISIS PRODUKSI KAKAO DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN'; MODEL LNY = LNX1 LNX2 LNX3 LNX4 LNZ1 LNZ2 D1/DW; RUN;
81
ANALISIS PRODUKSI KAKAO DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN
The REG Procedure Model: MODEL1
Dependent Variable: LNY Produksi
Number of Observations Read 70 Number of Observations Used 70
Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 7 19.11707 2.73101 55.62 <.0001 Error 62 3.04447 0.04910 Corrected Total 69 22.16154 Root MSE 0.22159 R-Square 0.8626 Dependent Mean 6.49591 Adj R-Sq 0.8471 Coeff Var 3.41130
Parameter Estimates Parameter Standard Variable Label DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept Intercept 1 2.82452 0.69814 4.05 0.0001 LNX1 Tenaga kerja 1 0.22383 0.08357 2.68 0.0095 LNX2 Pupuk kandang 1 0.07876 0.05645 1.40 0.1680 LNX3 Pupuk kimia 1 0.02331 0.01257 1.85 0.0685 LNX4 Pestisida 1 -0.04257 0.06468 -0.66 0.5128 LNZ1 Luas lahan 1 0.30687 0.08639 3.55 0.0007 LNZ2 Jumlah tanaman menghasilkan 1 0.32128 0.11720 2.74 0.0080
D1 Dummi pendidikan petani 1 0.14948 0.05630 2.66 0.0101
82
Lampiran 3. Program dan Output Komputer SAS Release 9.1 Analisis
Keterpaduan Pasar Kakao di Kabupaten Padang Pariaman Tahun
2011-2012
OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA KAKAO; INPUT NO PF PE PFt DPE PEt; cards; 1 9500.00 10000.00 * * * 2 10000.00 11000.00 9500.00 1000.00 10000.00 3 11500.00 21000.00 10000.00 10000.00 11000.00 4 10500.00 15000.00 11500.00 -6000.00 21000.00 5 11000.00 22000.00 10500.00 7000.00 15000.00 6 13500.00 19000.00 11000.00 -3000.00 22000.00 7 14500.00 17000.00 13500.00 -2000.00 19000.00 8 13500.00 18000.00 14500.00 1000.00 17000.00 9 13000.00 19000.00 13500.00 1000.00 18000.00 10 14500.00 22000.00 13000.00 3000.00 19000.00 11 15500.00 20000.00 14500.00 -2000.00 22000.00 12 16000.00 18800.00 15500.00 -1200.00 20000.00 ; PROC REG DATA=KAKAO; TITLE 'ANALISIS KETERPADUAN PASAR KAKAO DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN'; MODEL PF = PFt DPE PEt; RUN;
83
ANALISIS KETERPADUAN PASAR KAKAO DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN
The REG Procedure Model: MODEL1
Dependent Variable: PF
Number of Observations Read 12 Number of Observations Used 11 Number of Observations with Missing Values 1
Analysis of Variance
Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 33407257 11135752 9.37 0.0076 Error 7 8320016 1188574 Corrected Total 10 41727273
Root MSE 1090.21727 R-Square 0.8006 Dependent Mean 13045 Adj R-Sq 0.7152 Coeff Var 8.35707
Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value r > |t| Intercept 1 277.85489 2610.15183 0.11 0.9182 PFt 1 0.71605 0.21603 3.31 0.0129 DPE 1 0.14051 0.11064 1.27 0.2447 PEt 1 0.21190 0.14421 1.47 0.1852
78
Lampiran 4. Data Primer Untuk Analisis produksi kakao di Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2012
No Produksi
Tenaga Pupuk Pupuk Pestisida
Luas Jumlah Tanaman Pendidikan
Responden Kerja Kandang Kimia (NPK) Lahan Menghasilkan Petani
(kg) (HOK) (kg) (kg) (liter) (ha) (Batang) (tahun)
Y X1 X2 X3 X4 Z1 Z2 D1
1 740 189 25 300 2 1 810 0
2 350 82 15 100 0.5 0.5 200 0
3 1520 305 50 0 1.5 2.25 1700 0
4 1850 383 60 200 4 3 2000 1
5 952 328 60 0 1 2 1900 0
6 1040 371 100 150 0 3 1800 0
7 980 223 50 90 0 1 540 1
8 1044 250 100 0 0 2 1440 0
9 660 109 50 0 0 1 720 1
10 744 126 25 50 0 1 650 1
11 544 120 50 0 0 1 700 1
12 2544 283 120 100 0 3 1440 1
13 612 285 10 0 0 2 495 1
14 1100 295 90 150 0 1.5 1125 1
15 404 156 50 0 0 0.5 410 0
16 300 295 100 0 1 0.25 350 0
17 672 160 100 50 0.5 1 565 0
18 500 110 50 0 0 0.5 405 0
19 730 150 25 0 0.5 1 570 1
20 510 167 50 50 0 0.5 450 0
21 556 170 25 0 0.5 0.5 500 1
22 428 122 25 50 0.5 0.5 460 0
23 410 95 50 0 0 0.5 470 1
84
79
No Produksi
Tenaga Pupuk Pupuk Pestisida
Luas Jumlah Tanaman Pendidikan
Responden Kerja Kandang Kimia (NPK) Lahan Menghasilkan Petani
(kg) (HOK) (kg) (kg) (liter) (ha) (Batang) (tahun)
Y X1 X2 X3 X4 Z1 Z2 D1
24 475 100 100 0 1 0.5 378 0
25 450 125 100 0 0 0.5 300 0
26 850 135 70 100 0 1 990 1
27 1950 287 120 0 4 2.5 1800 1
28 672 110 70 50 0 0.75 540 1
29 320 95 50 75 0 0.5 360 1
30 224 63 25 0 0 0.5 450 1
31 430 230 25 0 0.5 1 270 0
32 112 90 50 0 0 0.25 180 0
33 792 144 65 100 0 1.5 720 1
34 1500 295 100 0 0 3.5 1125 1
35 925 297 50 0 0 2 965 0
36 404 156 25 0 1 0.5 405 0
37 624 294 50 50 1 0.25 585 1
38 652 160 80 0 0.5 1 563 1
39 500 110 50 0 0 0.5 405 0
40 728 150 50 50 0.5 1 562 1
41 490 167 70 0 0 0.5 475 0
42 556 170 100 0 0.5 0.5 427 0
43 428 122 80 0 0.5 0.5 420 0
44 600 244 31 0 0.5 1 558 0
45 588 109 80 100 1 1 720 0
46 350 63 17 50 0 0.5 315 0
47 520 204 50 100 0 1 585 0
48 292 140 70 0 0.5 0.5 295 0
85
80
No Produksi
Tenaga Pupuk Pupuk Pestisida
Luas Jumlah Tanaman Pendidikan
Responden Kerja Kandang Kimia (NPK) Lahan Menghasilkan Petani
(kg) (HOK) (kg) (kg) (liter) (ha) (Batang) (tahun)
Y X1 X2 X3 X4 Z1 Z2 D1
49 880 160 80 100 0.5 1 810 1
50 430 92 50 50 0 0.5 495 0
51 1352 450 100 150 0 3 1890 1
52 1184 189 80 100 0 2.5 1665 0
53 520 138 100 0 3 1 720 0
54 1024 243 150 150 1.5 2 1440 0
55 1320 397 50 100 0 2.5 1800 1
56 400 85 70 50 1 0.75 540 0
57 1024 248 100 0 2 2 1440 1
58 520 189 50 0 2 1 720 0
59 896 147 80 100 2 1.75 1260 0
60 420 167 60 0 0.5 0.75 540 0
61 1300 285 50 100 1.5 2 1800 0
62 1500 350 60 150 4 2.5 2100 1
63 850 220 50 90 0 1 550 1
64 1250 300 80 0 0 2 1450 0
65 550 120 100 0 0 1 700 1
66 2500 283 120 100 0 3 1500 1
67 600 160 60 50 0.5 1 550 0
68 500 110 50 0 0 0.5 405 0
69 428 122 70 50 0.5 0.5 460 0
70 410 95 50 0 0 0.5 470 1
86
81
Lampiran 5. Rata-rata Harga Kakao di Tingkat Petani dan Pedagang dalam Bulan
Selama Satu Tahun ( Agustus 2011 – Juli 2012)
No Bulan Tingkat Harga (Rp/kg)
Petani Pedagang
1. Agustus 9 500 10 000
2. September 10 000 11 000
3. Oktober 11 500 21 000
4. November 10 500 15 000
5. Desember 11 000 22 000
6. Januari 13 500 19 000
7. Februari 14 500 17 000
8. Maret 13 500 18 000
9. April 13 000 19 000
10. Mei 14 500 22 000
11. Juni 15 500 20 000
12. Juli 16 000 18 800