ANALISIS POLITICAL BRANDING CALON KEPALA DAERAH DALAM ...
Transcript of ANALISIS POLITICAL BRANDING CALON KEPALA DAERAH DALAM ...
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017
56
ANALISIS POLITICAL BRANDING CALON KEPALA DAERAH DALAM PILKADA ACEH 2017
Asmaul Husna
Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada Email: [email protected]
Abstrak
Lima belas Februari 2017, Aceh kembali menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung ketiga kalinya. Sebanyak 3.443.583 suara konstituen yang tersebar di 23 kabupaten/kota diperebutkan oleh enam pasang kontestan yang maju baik melalui jalur perseorangan maupun partai politik. Sepanjang sejarah perhelatan pesta demokrasi di Aceh, Pilkada 2017 adalah pertarungan terbesar bagi para pewaris ideologis Hasan Tiro pasca GAM terjun ke politik praktis. Empat dari enam kontestan yang berlaga diketahui merupakan mantan tokoh penting dalam tubuh GAM yang secara garis besar dapat digolongkan ke dalam dua poros, yakni mantan kombatan dan non-kombatan. Tensi persaingan politik yang kian panas menuntut para kontestan menciptakan taktik yang paling efektif dalam upaya mendulang suara. Menggunakan konsep political branding yang dikembangkan dari pemikiran Gelder, Sonies, serta Mensah, penelitian ini berupaya menyingkapkan sejauh mana perbedaan latar belakang sosial para kontestan mempengaruhi nuansa political branding yang tersaji selama masa kampanye Pilkada Aceh 2017. Dari hasil analisis terhadap objek verbal, visual, dan vocal yang tersebar dan terdokumentasi dalam berbagai saluran kampanye resmi milik kontestan didapati bahwa perbedaan latar belakang sosial yang dimiliki oleh para kontestan tersebut membawa perbedaan pada identifikasi diri, produk politik, serta positioning dalam political branding yang mereka munculkan. Kata Kunci: Aceh, Kombatan, Non-Kombatan, Political Branding
Abstract February 15th, 2017, Aceh held the election for the third times. 3,443,583 voters spread across 23 districts/cities contested by six pairs of candidates either through individual or political parties. Throughout the history of democratic elections in Aceh, the 2017 election was the greatest battle for the ideological heirs of Hasan Tiro after GAM has been involved in politics. Four out of six candidates are known as former prominent figures of Aceh Free Movement (GAM) who can be classified into two categories, former combatants and non-combatants. The political competition tension requires the candidates to create the most effective tactics in the effort to gain the votes. Using the concept of political branding developed by Gelder, Sonies, and Mensah, this research aims to reveal the extent to which the social background differences of contestants influence the political branding presented during the 2017 Aceh Election campaign. From the analysis of verbal, visual, and vocal objects that were scattered and documented in various contestant’s official campaign channels, it is found that the different social backgrounds of these contestants have brought differences in self-identification, political products, and positioning in their political branding. Keywords: Aceh, Combatant, Non-Combatant, Political Branding
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017
57
Pendahuluan
Lima belas Februari 2017 adalah hari besar bagi perhelatan pesta demokrasi di
Indonesia. Sebanyak 101 kursi kepala daerah di 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten
diperebutkan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tersebut (KPU, 2016).
Dalam iklim politik yang kian terbuka, persaingan menjadi sebuah konsekuensi logis
yang tidak terhindarkan. Hal ini memaksa para kontestan untuk merumuskan sebuah
strategi yang paling efektif guna memasarkan karakteristik diri, inisiatif, ideologi,
gagasan politik, serta rancangan program kerja dalam upayanya membangun
kepercayaan dan citra positif di mata konstituen (Howard, 2006; Johnson, 2009). Karena
dalam sistem demokrasi, menjadi yang terbaik di mata konstituen adalah syarat mutlak
yang harus dicapai oleh para kontestan guna mendulang suara dan memenangkan
persaingan politik yang ada.
Kepercayaan dan citra positif sesungguhnya dapat diraih dengan mudah apabila
kontestan dapat mengkonstruksikan identitas dirinya, menawarkan produk politik yang
menarik, serta menancapkan positioning yang kuat dari para kompetitor ke dalam benak
konstituen. Dalam agenda politik, strategi ini disebut dengan political branding
(Downer, 2013; Philbrick & Cleveland, 2015). Political branding sendiri sejatinya
adalah sebuah taktik lama yang lazim digunakan oleh para kontestan politik untuk
mendapatkan popularitas selama masa kampanye. Meski tidak serta merta menjamin
kemenangan di tangan kontestan, akan tetapi political branding dapat menjadi senjata
ampuh dalam menciptakan kampanye yang berbeda dan lebih efisien (Milewicz &
Milewicz, 2014; Maarek, 2011; Graber, 2011).
Kesuksesan Barack Obama dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun
2008 (Fox & Ramos, 2012; Abdillah, 2014) dan Kemenangan Jokowi-Ahok pada
Pilkada Jakarta 2012 (Suhendra, 2014; Sandra, 2013) adalah sebuah bukti bahwa
political branding mampu mendorong kesuksesan dalam ajang pemilihan umum. Hal ini
pulalah yang kemudian menarik perhatian dan menjangkit pada aktor-aktor politik
daerah, khususnya Aceh. Sebagai daerah yang diketahui memiliki rekam jejak konflik
yang panjang dan tengah memasuki era transisi, Aceh ternyata mampu beradaptasi
dengan euforia demokrasi yang tengah berkembang di Indonesia. Hal ini dibuktikan
dengan adanya enam pasangan kontestan kepala daerah yang telah mendeklarasikan diri
dan menyatakan siap berlaga guna memperebutkan 3,44 juta suara konstituen dalam
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017
58
Pilkada Aceh 2017 (KIP, 2016). Keenam pasangan kontestan tersebut ialah, Tarmizi
Karim-Machsalmina Ali, Zakaria Saman-T.Alaidinsyah, Abdullah Puteh-Said Mustafa,
Zaini Abdullah-Nasaruddin, Muzakir Manaf-TA.Khalid, serta Irwandi Yusuf-Nova
Iriansyah.
Sejak mendeklarasikan diri pada Agustus 2016 lalu, para kontestan mulai gencar
melakukan kampanye politik guna menarik perhatian dan simpati konstituen dengan cara
memanfaatkan berbagai media baru yang berbasis digital, layaknya Facebook, Twitter,
Instagram dan mulai mengisi konten-kontennya dengan isu serta gagasan politik yang
dianggap penting dan faktual. Bahkan beberapa kontestan diantaranya diketahui sengaja
merilis website politik agar dapat lebih berfokus dalam menonjolkan identitas dan
diferensiasi diri dari para kompetitor politiknya selama masa kampanye. Hal ini
dilakukan guna menguatkan dan menyempurnakan konstruksi branding yang telah
dibangun di dunia nyata ke dalam ranah virtual.
Pada sisi lain, jika ditilik lebih dalam sebenarnya keenam pasangan kontestan
yang bersaing dalam Pilkada Aceh 2017 bukanlah sosok baru bagi rakyat Aceh. Empat
diantaranya merupakan mantan tokoh gerakan separatis Aceh Merdeka (GAM) dan dua
lainnya adalah mereka yang pernah menjabat sebagai gubernur di masa konflik. Selain
itu, para kontestan yang berasal dari GAM sendiri secara garis besar dapat digolongkan
ke dalam dua kategori, yakni mantan kombatan dan non-kombatan (Matang, 2016; Kanal
Aceh, 2016; Fadhil, 2016). Dikotomi mantan kombatan disematkan kepada mereka yang
pernah tergabung dalam anggota GAM dan berpartisipasi langsung dalam penggunaan
senjata perang atau berada di garis depan dalam aksi pemberontakan yang terjadi di Aceh
pada masa lampau. Sedangkan dikotomi non-kombatan merujuk pada para mantan
pejabat (elite) GAM yang tidak terjun langsung dalam medan peperangan, akan tetapi
mereka masih merupakan bagian dari gerakan tersebut (Henckaerts & Doswald-Beck,
2006). Dapat dikatakan bahwa non-kombatan bukanlah lawan dari kombatan.
Latar belakang sosial yang dimiliki oleh para kontestan tersebut kemudian
menuntun peneliti pada sebuah dugaan bahwa hal ini akan membawa nuansa yang
berbeda pula dalam political branding yang akan mereka munculkan ke hadapan
konstituen selama masa kampanye politik. Mantan kombatan yang secara pendidikan
cenderung rendah dan minimnya pengalaman dalam panggung politik, akan lebih
menonjolkan karakter tegas dan kemampuan dalam bidang militeristik sebagai pintu
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017
59
masuk atas political branding yang mereka gunakan untuk meyakinkan hati konstituen.
Sedangkan bagi non-kombatan yang telah terbiasa mengemban tugas untuk melindungi
anggota kelompoknya serta bernegosiasi dengan pihak lawan, akan cenderung
membangun political branding atas diri mereka sebagai sosok calon pemimpin yang
santun, mengayomi, serta memiliki kemampuan diplomasi yang cukup mumpuni.
Berangkat dari gambaran di atas, peneliti merasa tertarik untuk melakukan kajian
yang lebih sistematik terhadap gejala political branding yang tersaji dalam kampanye
Pilkada Aceh 2017 antara Calon Kepala Daerah Aceh yang berasal dari kombatan dan
non-kombatan. Dari hasil penelitian ini kita dapat melihat sejauh mana perbedaan latar
belakang sosial yang ada diantara para kontestan akan mempengaruhi nuansa political
branding yang mereka munculkan selama masa kampanye Pilkada Aceh 2017 guna
memenangkan hati konstituen.
Dari enam pasangan Calon Kepala Daerah Aceh, peneliti memilih pasangan
Muzakir Manaf-TA Khalid sebagai representasi pasangan kombatan, sedangkan
pasangan non-kombatan akan diwakili Zaini Abdullah-Nasaruddin. Adapun pemilihan
kedua pasangan tersebut didasari oleh beberapa pertimbangan. Pertama, fakta bahwa
kedua calon gubernur yang hendak dijadikan objek penelitian merupakan mantan
kombatan dan non-kombatan yang bertransfomasi menjadi aktor politik. Zaini Abdullah
adalah Mantan Menteri Kesehatan dan Menteri Luar Negeri GAM. Sedangkan Muzakir
Manaf merupakan Mantan Panglima GAM. Kedua, Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf
sama-sama merupakan calon incumbent. Keduanya merupakan pasangan Gubernur dan
Wakil Gubernur Aceh sebelumnya, yakni periode 2012-2017. Ketiga, Zaini Abdullah
dan Muzakir Manaf pernah bernaung dalam satu payung partai politik yang sama yakni
Partai Aceh, hingga pada akhirnya keduanya memutuskan untuk menempuh jalan
masing-masing dalam Pilkada Aceh 2017. Zaini Abdullah diketahui maju melalui jalur
independen, sedangkan Muzakir Manaf maju sebagai calon yang diusung kembali oleh
Partai Aceh.
Tinjauan Pustaka
Political Branding
Branding tidaklah sama dengan image (Marland, 2013; Montoya & Vandehey,
2009). Branding adalah sebuah strategi yang dilakukan oleh aktor politik dalam
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017
60
melakukan komodifikasi atas identitas dirinya secara berbeda dari para kompetitor agar
terlihat lebih berharga, stand out dan menarik di mata konstituen dengan menggunakan
media sebagai pintu masuknya. Sedangkan image adalah sebuah kesan maupun
pengalaman yang berusaha dibangun oleh kontestan dalam benak konstituen melalui
serangkaian tahapan dalam strategi tersebut.
Berbeda dengan branding pada produk komersil pada umumnya, political
branding tidaklah bertujuan untuk menghasilkan profit. Melainkan lebih untuk
menanamkan kesan yang diinginkan oleh aktor politik dalam benak konstituen, seperti
menarik simpati, membangun citra serta keterikatan secara emosional. Kesan tersebut
nantinya akan berperan layaknya mesin penggerak bagi konstituen apabila mereka
dihadapkan dengan serangkaian pilihan politik (Speed, Butler, & Collins, 2015; Davis,
2009).
Terdapat tiga alasan utama mengapa branding menjadi penting dalam praktik
kampanye politik (Lilleker, 2015; Speed, Butler, & Collins, 2015; Scammell, 2015).
Pertama, branding memberikan nilai simbolik akan identifikasi, makna, nilai, manfaat,
janji, dan diferensiasi dari sebuah produk politik. Kedua, branding dianggap mampu
mempengaruhi persepsi dan memberikan keyakinan pada konstituen. Terakhir,
branding merupakan hasil dari interaksi dan keterikatan emosional yang terjalin antara
kontestan politik dan konstituennya. Maka untuk itulah sejatinya para kontestan perlu
mempertimbangkan branding sebagai salah satu senjata dalam kampanye politiknya.
Gelder (2003), Sonies (2011), dan Mensah (2016) dalam kajiannya telah
menegaskan bahwasanya political branding adalah ruh dalam praktik demokrasi politik
kontemporer yang digunakan oleh kontestan politik sebagai senjata guna membangun
dan menempatkan kesan tertentu dalam benak konstituen agar terlihat lebih menarik,
dominan, mudah diingat dan berbeda dari para kompetitor. Akan tetapi ketiganya
memiliki perbedaan pendekatan dalam membaca konstruksi branding. Dari kombinasi
ketiga pemikiran para scholars tersebut, peneliti kemudian merumuskan tiga variabel
kunci yang lebih relevan untuk digunakan sebagai landasan berpikir dalam memahami
dan menafsirkan kecenderungan pola political branding yang dibangun oleh para
kontestan politik yang berlatar belakang sosial sebagai mantan kombatan dan non-
kombatan dalam penelitian ini.
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017
61
Gambar 1. Political Branding (Sumber: Gelder, 2003, Sonies, 2011, dan Mensah, 2016)
Variabel pertama, identifikasi diri. Dalam upaya menjadi yang terbaik di mata
konstituen, seorang kontestan politik akan mencoba mempengaruhi persepsi dan
pandangan mereka dengan cara menunjukkan kenapa dirinya harus dipilih dan layak
untuk menjadi pemimpin. Variabel kedua, positioning. Pada tahap ini kontestan akan
menciptakan celah sebagai upaya untuk menonjolkan diferensiasinya dari para
kompetitor yang dilakukan dengan cara memetakan segmentasi target konstituen.
Terakhir, produk politik. Produk politik tersebut diwujudkan melalui visi, misi, janji,
kontrak politik, kebijakan, target, serta program kerja yang telah diselaraskan dengan
kebutuhan konstituen. Dengan kata lain, produk politik inilah yang akan
menginterprertasikan hal-hal yang diperjuangkan, tujuan ingin dicapai, serta cara yang
ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut.
Ketiga variabel tersebut kemudian dikembangkan dan dieksekusi menjadi
seperangkat brand identitiy. Brand identity inilah yang kemudian menjadi penggambaran
secara simbolis atas identifikasi diri, produk politik, serta positioning dari kontestan yang
direpresentasikan ke dalam bentuk verbal, visual, maupun vocal yang eye-catching, unik,
spesifik, mudah diingat, dan dipahami oleh konstituen (Ditsch, 2012; Middleton, 2010).
Brand identity tersebut dapat direpresentasikan ke dalam bentuk nama, font, logo, jingle,
seragam, warna, bendera, slogan, pesan-pesan persuasif penuh harapan, serta atribut dan
entitas kegiatan kampanye lain yang disebarkan baik melalui media kampanye
konvensional maupun digital (Kaid, 2012; Johnson, 2009). Dengan menafsirkan makna
yang terkandung dibalik pesan verbal, visual, maupun vocal yang ditampilkan dalam
brand identitiy, kita akan lebih mudah menelaah dan memahami kecenderungan makna,
tema, maupun pola political branding yang dibangun oleh para kontestan. Karena
pemilihan kata, representasi audio maupun visual serta cara penyajian tidak semata-mata
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017
62
hanya menggambarkan sebuah realitas yang tampak, melainkan turut menentukan dan
menciptakan konstruksi atas makna yang muncul dalam ke hadapan konstituen selama
masa kampanye berlangsung (Berger & Luckmann, 1966; Nielsen, 2015).
Kombatan dan Non-Kombatan sebagai Komoditas Political Branding
Dalam ajang perhelatan politik lima tahunan layaknya Pilkada, para kontestan
yang berlaga tentu berasal dari berbagai latar belakang sosial yang berbeda. Latar
belakang sosial ini sedikit banyak tentu akan membawa warna tersendiri pada cara
mereka melakukan komodifikasi atas identitas diri dalam upayanya membangun
political branding di hadapan konstituen selama masa kampanye (Azoulay & Kapferer,
2003). Demikian halnya dengan fenomena transformasi politik yang terjadi pada para
mantan kombatan dan non-kombatan. Sebagai seorang aktor politik baru, para mantan
kombatan dan non-kombatan tersebut tidak serta merta menghapuskan karakter dan
ideologi yang mereka miliki sebagai seorang anggota gerakan separatis (Stange &
Patock, 2010).
Pasca terjadinya perundingan damai antara pemerintah pusat Indonesia dengan
GAM pada 15 Agustus 2005 yang menghasilkan nota kesepahaman Memorandum of
Understanding (MoU) Helsinki. Hal ini nyatanya tidak serta merta menghentikan
langkah para mantan kombatan dan non-kombatan tersebut guna membebaskan diri dari
cengkraman pemerintah pusat seperti yang telah dilakukannya selama lebih dari tiga
dekade lalu. Pilkada Aceh tahun 2006 adalah sebuah panggung pertempuran baru yang
menjadi bukti bahwa transformasi politik yang terjadi tidak merubah arah perjuangan,
melainkan hanya merubah amunisi perang yang digunakan (Nurhasim, 2012;
Hadiwinata, 2010). Butir-butir kesepahaman dalam MoU Helsinki dan kelahiran partai
politik lokal justru dijadikan sebagai senjata utama guna memenangkan bilik suara. Di
sisi lain, penggunaan nama besar Hasan Tiro yang merupakan mantan deklarator GAM
dalam setiap atribut kampanye seolah ingin merepresentasikan bahwa semangat
perjuangan masa lalu belumlah padam (Stange & Patock, 2010). Layaknya aktor politik
kawakan, isu-isu faktual berbasis kedaerahan layaknya keamanan, budaya, agama,
perdamaian, serta kesejahteraan sosial juga tidak luput dari perhatian para mantan
kombatan dan non-kombatan (Ishak, 2013; Schulze, 2004). Beragam isu tersebut
mereka kemas ke dalam rancangan gagasan politik yang dianggap representatif guna
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017
63
menjawab kebutuhan dan memenangkan hati konstituen. Faksionalisme yang terjadi
dalam tubuh internal partai besutan para petinggi GAM disebut-sebut juga
memunculkan perbedaan pandangan politik antara kelompok mantan kombatan dan
non-kombatan dalam upaya menggapai tujuan politik (Ardiansyah, 2015; Akmal, 2015).
Praktis, sejak saat itu para mantan kombatan dan non-kombatan mulai bersaing satu
sama lain dan membangun konstruksi atas political branding diri mereka masing-
masing sesuai dengan karakter, kemampuan, pandangan politik, serta gagasan yang
mereka miliki guna memenangkan hati rakyat Aceh.
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini jenis metode yang digunakan adalah analisis isi dengan
pendekatan kualitatif dalam paradigma konstruktivis. Analisis isi dilakukan pada
dokumentasi 3 debat terbuka, 2 jingle, 2 booklet visi dan misi, 1 buku biografi, 16 berita,
5 spanduk, 8 orasi politik, 3 video dan 35 foto yang tersebar dalam berbagai medium
kampanye milik kedua kontestan sejak 26 Oktober 2016 hingga 11 Februari 2017.
Metode analisis isi ini dipilih atas empat alasan mendasar (Krippendorff, 2004;
Hsieh & Shannon, 2005; Creswell, 2008). Pertama, penelitian ini tidak dimaksudkan
untuk mengujikan konsep mengenai political branding dan merumuskan sebuah
generalisasi atas makna yang dihasilkan, melainkan lebih berorientasi pada ekplorasi dari
data-data temuan penelitian yang hanya berlaku pada objek, waktu, serta tempat
penelitian saja. Kedua, penelitian ini akan berawal dari konsep mengenai political
branding yang akan peneliti jadikan sebagai penuntun awal guna merumuskan variabel
kunci dalam unit analisis data. Akan tetapi setelah penelitian dilakukan, bukan tidak
mungkin serangkaian kategori tersebut akan berkembang dan menghasilkan variabel dan
kategori yang baru dan disesuaikan dengan data-data temuan guna menjawab rumusan
masalah dan tujuan penelitian. Ketiga, penelitian ini tidaklah berpretensi untuk
menghitung frekuensi data dalam muatan pesan secara statistik. Melainkan guna
memahami, menafsirkan, dan memetakan kecenderungan makna, tema, konteks maupun
pola konstruksi political branding yang muncul dalam berbagai pesan dan atribut
bernada kampanye milik para Calon Kepala Daerah Aceh dari latar belakang kombatan
maupun non-kombatan pada Pilkada Aceh 2017. Terakhir, peneliti berupaya untuk
menginterpretasikan secara spesifik dan komprehensif mengenai konstruksi political
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017
64
branding melalui hubungan atas informasi-informasi yang tersebar dan terdokumentasi
dalam berbagai medium kampanye resmi yang digunakan oleh para Calon Kepala
Daerah Aceh.
Hasil dan Pembahasan
Peneliti menemukan bahwasanya latar belakang sosial yang dimiliki oleh para
kontestan sebagai mantan kombatan dan non-kombatan mempengaruhi perbedaan
nuansa political branding yang mereka munculkan ke hadapan konstituen selama masa
kampanye Pilkada 2017. Perbedaan political branding dalam beragam representasi
verbal, visual, maupun vocal milik kedua kontestan dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 1. Political Branding Kombatan Versus Non-Kombatan dalam Pilkada Aceh 2017
Variabel Indikator Kombatan Non-Kombatan
Identifikasi
Diri
Karakter Tegas
Superior
Kaku
Dominan
Arogan
Setia
Otoriter
Kasar
Agresif
Mengintimidasi
Patriot Sejati
Kental Nuansa
Komando
Pantang
Menyerah
Cinta Damai
Santun
Mengayomi
Bijaksana
Adil
Tenang
Independen
Dekat dengan
Rakyat
Sederhana
Bersahaja
Pemersatu
Berdedikasi
Menghindari
Konflik
Kemampuan Kharismatik dan Maskulin
Kepemimpinan yang kuat
Persuasi dan Intelektual
Rendah
Pengambil Keputusan Andal
Mediator Perdamaian
Kemapuan Agama Mumpuni
Persuasi Baik
Intelektual Tinggi
Nilai Ideologi Perjuangan Masa
Lampau
Eklusifitas Kelompok
Politik Damai
Nasionalis
Produk
Politik
Gagasan Kewenangan Menjalankan
Self Government
Penerapan Entitas dan
Identitas Nilai-Nilai ke-
Acehan dalam Tata Kelola
Pemerintahan
Penegakkan syariat islam
Peningkatan kualitas
kesejahteraan rakyat
Pembangunan Berkelanjutan di
Segala Bidang
Positioning Segmentasi
Konstituen Basis Mantan Kombatan
Pemilih Tradisional
Bekas Wilayah Kekuasaan
GAM (Aceh Utara, Pidie,
Bireun, Aceh Besar)
Perempuan, Buruh, Petani,
Nelayan, Young Voters
Pemilih Rasional
Daerah Asal Kontestan
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017
65
Kombatan
Sebagai pasangan yang memiliki latar belakang sosial sebagai mantan
kombatan, pasangan Muzakir Manaf dan TA Khalid terlihat sangat memanfaatkan hal
tersebut sebagai sebuah komoditas yang mereka perjualbelikan dan mempengaruhi
nuansa political branding yang mereka munculkan selama masa kampanye Pilkada
2017. Romantisme masa lalu ini termanifestasikan secara gamblang dalam beragam
representasi atribut kampanye mereka gunakan, seperti (1) Pemilihan kata Salam Pang-
5 (Salam Panglima) sebagai yel-yel yang digunakan untuk membakar semangat para
pendukungnya; (2) Penggambaran Mualem sebagai sosok panglima yang setia, pantang
menyerah, dan konsisten dalam memperjuangkan nasib para mantan anggota GAM
dalam serangkaian lirik jingle yang selalu dilantunkan dalam setiap kegiatan kampanye.
Harapan kamou tan laen, Mualem yang peujroeh bangsa
Harapan kamou tan laen, Mualem beu biet seutia
Udep bangsa beu neu peu makmu, Asoe Mou beu neu peunyata
Hina dikamo yang meuprang lam glee, Ngoen jihina droeneuh oh panglima
(Jingle Harapan Bak Mualem)
(3) Nuansa komando juga terasa begitu kental dalam seragam khusus dengan motif
loreng khas militer yang bernuansa merah, hitam, dan putih lengkap dengan topi baret
merah dan sepatu boots hitam yang terlihat selalu dikenakan oleh tim pemenangan
Mualem dan TA Khalid dalam berbagai kesempatan; (4) Representasi diri sebagai
mantan panglima yang memiliki jiwa kepemimpinan andal dan merangkul berbagai
golongan inipun juga tersiratkan dalam penampilan keduanya saat melakukan debat
publik terbuka maupun dalam serangkaian kegiatan kampanye ke daerah; (5) Karakter
sebagai mantan komandan sebuah gerakan pemberontakan yang maskulin, superior,
cenderung dominan, kasar dan tegas juga terepresentasikan dengan jelas dalam tampilan
fisik, bahasa tubuh, dan tingkah laku pasangan ini selama masa kampanye Pilkada 2017;
(6) Selain itu, karakter arogan dan tegas juga dapat diamati dari nada bicara yang lantang
dan tutur katanya yang cenderung kasar pada saat berpidato. Seperti yang terlihat dalam
potongan pembukaan pidato di bawah ini:
“Woe syedara man mandum woooe .. Woooe.. Han ka woe kajak let asee
keudeh!”(Mualem dalam Kampanye Partai Aceh. Beureuneun, Pidie 5/2/2017)
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017
66
Gambar 2. Seragam Tim Relawan Pemenangan Muzakir Manaf-TA Khalid
(Sumber: Aceh Times, 2017 dan Instagram @MuzakirManaf1964, 2017)
Gambar 3. Penampilan dan Bahasa Tubuh Muzakir Manaf-TA Khalid
(Sumber: Doc. Pribadi, Instagram @Muzakir Manaf1964, 2017 dan @TA.Khalid, 2017)
(7) Pada sisi lain, cuplikan pidato di atas juga secara tidak langsung turut
merepresentasikan atas minimnya kemampuan persuasi dan retorika yang dimiliki oleh
mantan panglima perang GAM ini. Akan tetapi hal ini tentu sangat wajar mengingat
Mualem bukanlah seorang aktor politik murni. Ia hanyalah seorang mantan pemimpin
pasukan tempur lapangan yang ahli dalam bidang strategi perang dan terpaksa
bertransformasi menjadi aktor politik karena tuntutan keadaan; (8) Sedangkan karakter
pemimpin yang agresif, otoriter, dan mengintimidasi tergambarkan jelas dalam
serangkaian pernyataan-pernyataan politik yang mereka lontarkan. Pasangan ini bahkan
dengan sengaja melakukan provokasi dan mengancam konstituen serta para kader dan
pengurus partai pengusung seperti dalam cuplikan orasi berikut:
“Jabatan politik ini adalah alat untuk mencapai tujuan bersama. Ada PR perjanjian
perdamaian yang belum terselesaikan. Secuil perjanjian itu adalah bara api, di saat
perjanjian tidak terlaksana ataupun tidak ditepati maka malapetaka akan terjadi, darah
akan bertumpah kembali. Demi selamatnya marwah dan tidak ada lagi pertumpahan
darah di Aceh, maka wajib menyelesaikan MoU. Karena Partai Aceh nyan adalah
pihak pertama yang berjanji, maka kita harus memenangkan Partai Aceh. Pastikan
nasib rakyat Aceh dengan Partai Aceh. Sedangkan partai lain tidak perlu bermimpi.
Jangan tukar nyawa anda dengan sehelai sarung.” (TA Khalid dalam Kampanye Partai
Aceh. Karang Baru, Tamiang 7/2/2017)
“Jika ada kader dan simpatisan yang tidak sesuai dengan perintah Prabowo, maka
akan dipecat. Pecundang tidak boleh ada dalam partai ini. Kuatkan barisan dan bekerja
maksimal. Menangkan 15 Februari!”(TA Khalid dalam HUT Gerindra Ke-9. Langsa,
6/2/2017)
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017
67
(9) Dari segi produk politik, pasangan ini lebih banyak berbicara perihal kewenangan
dalam menjalankan self-government serta penerapan entitas dan identitas nilai-nilai
keAcehan dalam tata kelola pemerintahan sebagai upaya mewujudkan kembali kejayaan
peradaban Aceh, yang mana hal ini merupakan tuntutan utama dari pemberontakan yang
dilakukan oleh GAM pada tahun 1976; (10) Sedangkan dalam hal positioning, pasangan
ini cenderung membidik basis mantan kombatan dan pemilih tradisional yang
berdomisili di wilayah-wilayah yang dikenal sebagai basis perjuangan GAM, seperti
Kabupaten Bireun, Aceh Utara, Pidie, dan Aceh Besar sebagai target konstituen utama
mereka. Kedua segmentasi konstituen tersebut mereka dekati dengan cara
mengkomodifikasikan latar belakang sosial yang mereka miliki sebagai mantan
panglima ke dalam aksi-aksi yang menyasar pada nilai-nilai historis, loyalitas,
kekaguman atas figur ketokohan, kedekatan sosial budaya, kesamaan daerah, serta
kesamaan pandangan politik.
Non-Kombatan
Zaini Abdullah atau yang lebih akrab disapa Abu Doto adalah salah seorang
mediator perdamaian antara GAM dengan pemerintah pusat yang juga merupakan
petahana Gubernur Aceh. Menggandeng birokrat handal Nasaruddin atau yang lebih
dikenal dengan Pak Nas sebagai wakilnya, pasangan ini maju melalui jalur independen
dengan mengumpulkan 177. 497 KTP dukungan. Pengalaman Abu Doto sebagai sosok
elit (non-kombatan) dalam tubuh GAM dan mantan mediator perdamaian Aceh dan RI
terasa begitu kental dalam beberapa bagian dari konstruksi identitas yang mereka
perjual-belikan kepada konstituen selama Pilkada 2017. Komodifikasi politik tersebut
secara gamblang dapat dibaca dalam berbagai atribut kampanye milik kandidat no 4 ini.
(1) Pasangan ini diketahui mengusung kata “AZAN” sebagai nama dagang
politiknya. Nama Azan tidaklah serta merta berasal dari akronim nama Abu Zaini
Abdullah dan Nasaruddin saja melainkan juga menyiratkan sederet makna yang
tersembunyi di dalamnya. Secara harfiah dalam bahasa Arab, azan memiliki makna
sebagai sebuah seruan, panggilan, ataupun pengingat. Melalui penggunaan nama inilah,
pasangan ini hendak menuntun persepsi konstituen atas diri mereka sebagai sosok calon
pemimpin yang akan menyerukan, mengingatkan, serta mengajak rakyatnya untuk
senantiasa bersama-sama berada dalam jalan kebajikan dan kedamaian; (2) Komitmen
menjaga perdamaian ini juga terlihat dalam slogan yang diusung, yakni “Damai Meraih
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017
68
Kemenangan” serta dalam beberapa orasi politik yang mereka sampaikan di hadapan
konstituen.
“Jangan mau ditipu dan diintimidasi dengan kata „naik gunung‟ dan Aceh akan
berdarah kembali. Jangan percaya lagu lama. Siapa yang mau naik gunung lagi? Hari
ini Pilkada sudah damai. Jangan biarkan orang-orang yang mencoba meraih kekuasaan
dengan cara mengancam dan mengintimidasi rakyat menjadi pemimpin di Aceh. Jangan
takut, tokoh perdamaian bersama kita.” (Nasaruddin dalam Kampanye Akbar AZAN.
Takengon, 7/2/2017)
(3) Selain itu, pasangan ini juga terlihat mencoba membangun identifikasi diri sebagai
pemimpin yang tidak hanya akan mengawal perdamaian, namun juga senantiasa
mengupayakan kesejahteraan, kedamaian, dan keadilan di setiap jengkal Bumi Aceh
juga turut tersiratkan dalam lirik jingle kampanye mereka;
Bek na le lumpo meukethum beudee, Beu jioh gadoh darah meu lee lee
Damei yang kana ta papah sabee, Ban sigom nanggroe ade sabee
Beu ta rasa, beu sijahtra, Bek mat budee asoe naggroe
Beu keuh adee trok lungkiek glee, Beu bahgia kampong di pante
Beu keuh sampo bak bineh blang, Beu jroh sabee lam damei trang
Nanggroe beu makmu, raja beu adee, Aceh meusyeuheu, rakyat sijahtra
Ta meu jroh-jroh sabee-sabee, Papah damei sare-sare
(Jingle Beumeusyeuheu)
Gambar 4. Logo Zaini Abdullah-Nasaruddin
(Sumber: Facebook Azan Untuk Aceh dan Instagram @AzanUntukAceh, 2016)
(4) Sedangkan jika ditelaah dari visualisasi logo dan grafis utama kampanye yang
mereka gunakan, pasangan ini tengah mencoba menggambarkan diri sebagai sosok calon
pemimpin pemersatu Aceh. Hal ini terlihat dari penyandingan foto keduanya dengan
peta Provinsi Aceh yang berwarna merah. Pada sisi lain dalam foto utama yang selalu
mereka gunakan sebagai atribut kampanye, Abu Doto terlihat berpakaian teluk belanga,
sedangkan Pak Nas mengenakan pakaian warna hitam dengan motif kerawang khas
dataran tinggi Gayo. Melalui pakaian tersebut, pasangan ini seolah merepresentasikan
harmonisasi atas konsolidasi dari dua suku yang acap kali berseberangan dalam
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017
69
percaturan sosial dan politik di Tanah Rencong, yakni Gayo dan Aceh; (5) Nuansa
perdamaian dan perjuangan juga terbaca dalam visualisasi atribut kampanye miliki
pasangan ini yang didominasi oleh tiga warna utama yakni merah, putih, dan hitam yang
notabene merupakan warna dasar dari bendera GAM. Melalui penggunaan ketiga warna
tersebut secara konsisten dalam berbagi atribut kampanye, semakin mengukuhkan
konstruksi identitas atas pasangan ini sebagai sosok pemimpin yang tidak hanya akan
menjaga perdamaian, namun juga menghargai perjuangan masa lalu.
Gambar 5. Penampilan Zaini Abdullah-Nasaruddin
(Sumber: Instagram @AbuDotoZaini Abdullah, 2016, Ajnn, 2017 dan Doc. Pribadi)
(6) pasangan ini terlihat lebih sering menggenakan pakaian berwarna putih dan batik
dalam serangkaian agenda kampanye yang mereka lakukan, hal ini secara tidak
langsung menunjukkan bahwasanya mereka merupakan sosok pemimpin berjiwa
nasionalis yang tidak lagi terjebak dengan isu-isu kedaerahan; (7) Sebagai mantan elit
GAM yang telah terbiasa mengemban tugas untuk mengayomi dan mengabdikan diri
demi kesejahteraan anggota kelompoknya, hal ini pun ternyata juga terlihat dalam gaya
kampanye yang mereka terapkan pada Pilkada 2017 ini. Gaya kampanye yang mereka
lakukan terbilang cukup humanis, yakni dengan seringnya pasangan ini turun langsung
ke daerah-daerah guna melakukan kampanye dialogis dan berdiskusi dengan berbagai
kelompok masyarakat, ketimbang berorasi di atas podium. Bahkan tidak segan
melakukan blusukan ke pasar-pasar tradisional, kawasan cagar budaya, serta
pemukiman penduduk hanya untuk menyapa, berinteraksi, dan mendengarkan keluhan
para konstituennya; (8) Kemampuan intelektualitas dan persuasi yang cukup mumpuni
sebagai mantan mediator juga terlihat dari gaya bicara dan bahasa tubuh yang mereka
tunjukkan selama masa kampanye. Gaya bicara yang santun dan cenderung tenang
dalam melakukan orasi politik serta kemampuan persuasi yang cukup impresif dengan
penggunaan bahasa yang mudah dimengerti oleh konstituennya. Selain itu, pasangan
Abu Doto dan Pak Nas juga diketahui memiliki ilmu agama yang cukup baik, maka
tidak jarang keduanya sering didaulat sebagai khatib untuk mengisi khutbah Jum’at di
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017
70
berbagai masjid di Aceh; (9) Pasangan ini juga terlihat sangat tenang dan elegan yang
terlihat dari cara mereka menanggapi serangan dan intimidasi yang dilancarkan oleh
kompetitor; (10) Selain itu, karakter sebagai mantan non-kombatan yang cenderung
mengupayakan jalur diplomasi dan menghindari konflik secara tidak langsung
tersiratkan dalam alasan yang melatarbelakangi keputusan Pasangan Azan untuk maju
melalui jalur independen. Abu Doto juga mengklaim bahwa dengan majunya ia melalui
jalur independen maka ia tidak akan dikontrol oleh pihak manapun, sehingga ia dapat
senantiasa mengabdikan seluruh dedikasi serta loyalitasnya hanya kepada rakyat Aceh.
Bahkan dalam orasinya, ia secara tegas menyatakan bahwasanya para rekan-rekan
seperjuangannya dahulu kini telah mengingkari makna perjuangan sesungguhnya
dengan membentuk koalisi bersama partai nasional yang notabene memiliki rekam jejak
kelam dalam konfllik yang pernah terjadi di Aceh. Berikut cuplikan orasi politiknya:
“Masih ingatkah anda siapa yang memberlakukan DOM? Apa partai yang dibangunnya
kini? Coba lihat siapa yang sekarang berkoalisi dengan nomor 5? Gerindra ya? Jangan
sampai salah langkah, jangan percaya ancaman ataupun intimidasi untuk memilih
mereka. Seandainya kita seorang panglima sekaligus mencalonkan diri sebagai
gubernur, maka tidak perlu kiranya bantuan orang lain di luar Aceh untuk
mengkampanyekan dirinya di hadapan rakyat Aceh. Itu menandakan bahwa kita tidak
memiliki kekuatan, lupa harga diri. Masih ingatkah anda di tahun 2003 siapakah aktor
dibelakang Darurat Militer? Lihat siapa yang kini bekerjasama dengan mereka?
Mereka semua itu harus dimandikan, pikiran mereka sudah rusak, itu bukan lagi
saudara kita. Kembali semuanya ke sini, ke barisan ini. Kini tidak ada lagi yang bisa
menguasai kita, saya maju sendiri. Tidak boleh ada remote control kecuali di tangan
rakyat Aceh. Saya tidak mewakili partai apapun dan tidak memiliki anggota DPR tapi
tidak masalah, karena rakyatlah yang menentukan.” (Zaini Abdullah dalam Kampanye
Akbar AZAN, Pidie, 9/2/2017)
Gambar 6. Zaini Abdullah-Nasaruddin dan Pemilih Muda
(Sumber: Youtube Azan Channel dan Instagram @AzanUntukAceh, 2016)
(11) Pada sisi lain, jika ditinjau dari variabel produk politik, pasangan ini terlihat mulai
mencoba untuk melepaskan stigma latar belakang sosial sebagai mantan non-kombatan
dengan tidak lagi menyangkutpautkan romansa perjuangan masa lalu ke dalam agenda
dan gagasan politik yang ditawarkan kepada konstituen. Mereka mulai sadar akan tugas
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017
71
dan tanggung jawab mereka sebagai pelayan publik dan bukan lagi sebagai pembela
kepentingan kelompok tertentu saja. Hal ini terlihat dari cara mereka menyelaraskan
agenda nasional dengan agenda politik yang mereka usung dalam Pilkada Aceh 2017.
Adapun isu-isu yang menjadi fokus utama bagi kelompok ini ialah perihal penegakan
syariat Islam, peningkatan kualitas kesejahteraan rakyat, serta pembangunan
berkelanjutan di segala bidang; (12) Hal serupa juga terlihat dalam variabel positioning,
dimana pasangan non-kombatan cenderung menyasar segmentasi young voters, kaum
perempuan, nelayan, buruh, petani, serta golongan pemilih rasional yang didekati
dengan cara menonjolkan integritas, reputasi, kemampuan, serta rancangan gagasan
logis yang relevan dengan tidak lagi terjebak dalam embel-embel historis.
Penutup
Berdasarkan hasil temuan penelitian dan berlandaskan parameter analisis seperti
yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
perbedaan latar belakang sosial yang dimiliki oleh para kontestan sebagai mantan
kombatan dan non-kombatan ternyata membawa sebagian perbedaan dalam nuansa
political branding yang mereka munculkan ke hadapan konstituen selama masa
kampanye Pilkada Aceh 2017. Hal ini dikarenakan transformasi yang terjadi pada para
mantan kombatan dan non-kombatan yang kini menjadi aktor politik tidak serta merta
menghapuskan watak dasar, kompetensi, ideologi, serta pandangan politik yang mereka
miliki sebagai mantan anggota gerakan separatis.
Daftar Pustaka
Abdillah, L. A. (April 2014). Social Media As Political Party Campaign in Indonesia. Jurnal
Ilmiah MATRIK Bina Darma University, 16(1), 1-10.
Akmal, S. (2015). The Language of Ex-GAM in the Media: Political Rhetoric in Post-Conflict
Aceh. Dissertation Goethe University Frankfurt am Main.
Ardiansyah. (2015). Pelembagaan Partai Aceh (Partai Lokal Eks Kombatan GAM): Kegagalan
Partai Aceh Mempertahankan Keutuhan Internal (Tesis, Universitas Gadjah Mada).
Azoulay, A., & Kapferer, J.-N. (2003). Do Brand Personality Scales Really Measure Brand
Personality? Journal of Brand Management, 11(2), 143-155.
Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The Social Construction of Reality. London: Penguin
Books Ltd.
Creswell, J. W. (2008). Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. California:
SAGE Publications Inc.
Davis, M. (2009). The Fundamentals of Branding. Switzerland: AVA Publishing.
Ditsch, K. (2012). The Influence of Logo Design and Branding on Political Campaigns (Thesis,
Indiana University Bloomington).
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017
72
Downer, L. (2013). Political Branding in Australia: a Conceptual Model. 63rd Political Studies
Association Annual International Conference. Cardiff: Political Studies Association.
Fadhil, R. (19 Juli 2016). Gam Lawan GAM „Keusoe Lheuh‟? Diakses pada 1 Oktober 2016 dari
http://aceh.tribunnews.com/2016/07/19/gam-lawan-gam-keusoe-lheuh.
Fox, R. L., & Ramos, J. M. (2012). iPolitics: Citizens, Elections, and Governing in the New
Media Era. New York: Cambridge University Press.
Gelder, S. V. (2003). Global Brand Strategy : Unlocking Brand Potential Across Countries.
London: Kogan Page.
Graber, D. A. (2011). Media Power in Politics. Washington D.C: CQ Press.
Hadiwinata, B. S. (2010). Transformasi Gerakan Aceh Merdeka. Jakarta: Friedrich Ebert
Stiftung.
Henckaerts, J.-M., & Doswald-Beck, L. (31 Desember 2006). Customary International
Humanitarian Law. Diakses pada 30 November 2016 dari
https://www.icrc.org/eng/resources/documents/publication/pcustom.htm.
Howard, P. N. (2006). New Media Campaigns and the Managed Citizen. United States:
Cambridge University Press.
Hsieh, H.-F., & Shannon, S. E. (2005). Three Approaches to Qualitative Content Analysis.
Qualitative Health Research, 15(9), 1277-1288.
Ishak, O. S. (2013). Aceh Pasca Konflik: Kontestasi 3 Varian Nasionalisme. Banda Aceh:
Bandar Publishing.
Johnson, D. W. (2009). Routledge Handbook of Political Management. New York: Routledge.
Kaid, L. L. (2012). Political Advertising as Political Marketing: A Retro-Forward Perspective.
Journal of Political Marketing, 12(1-2), 29-53.
Kanal Aceh. (3 Maret 2016). Melawan Jakarta di Pilkada Aceh 2017. Diakses pada 10
November 2016 https://www.kanalaceh.com/2016/03/10/melawan-jakarta-pilkada-
aceh-2017/.
KIP. (18 Agustus 2016). Daftar Penduduk Pemilih Potensial (DP4) Pilkada Aceh 2017. Diakses
pada 20 Oktober 2016 dari http://kip.acehprov.go.id/daftar-penduduk-pemilih-potensial-
dp4-pilkada-aceh-2017/.
KPU. (7 April 2016). Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2016. Diakses pada 1 September 2016 dari http://jdih.kpu.go.id/:
http://jdih.kpu.go.id/data/data_pkpu/pkpu%203%202016%20ok.pdf
Krippendorff, K. (2004). Content Analysis: an Introduction to its Methodology. California:
SAGE Publications, Inc.
Lilleker, D. G. (2015). Interactivity and Branding: Public Political Communication as a
Marketing Tool. Journal of Political Marketing, 14(1-2), 111-128.
Maarek, P. J. (2011). Campaign Communication & Political Marketing. United Kingdom: John
Wiley & Sons Ltd. Publication.
Marland, A. (2013). What is a Political Brand?: Justin Trudeau and the Theory of Political
Branding. Paper presented at the 2013 Annual Meetings of the Canadian
Communication Association and the Canadian Political Science Association. University
of Victoria, British Columbia.
Matang, P. (25 Agustus 2016). Menakar Peluang Kandidat Memenangkan Pertarungan.
Diakses pada 18 Oktober 2016 dari http://pikiranmerdeka.co/2016/08/25/menakar-
peluang-kandidat-memenangkan-pertarungan/.
Mensah, K. (2016). Political Brand Architecture: Towards a New Conceptualisation of Political
Branding in an Emerging Democracy. African Journalism Studies, 37(3), 61-84.
Middleton, S. (2010). Build a Brand in 30 Days. United Kingdom: Capstone Publishing Ltd.
Milewicz, C. M., & Milewicz, M. C. (2014). The Branding of Candidates and Parties: The U.S.
News Media and the Legitimization of a New Political Term,. Journal of Political
Marketing, 13(4), 233-263.
Montoya, P., & Vandehey, T. (2009). The Brand Called You: Create a Personal Brand That
Wins Attention and Grows Your Business. New York: McGraw Hill.
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017
73
Nielsen, S. W. (2015, Agustus 24). Measuring Political Brands: An Art and a Science of
Mapping the Mind. Journal of Political Marketing, 1-26.
Nurhasim, M. (2012). Dominasi Partai Aceh Pasca MoU-Helsinki. Jurnal Penelitian Politik,
9(2), 35-49.
Philbrick, J. L., & Cleveland, A. D. (2015). Personal Branding: Building Your Pathway to
Professional Success. Medical Reference Services Quarterly, 181-189.
Sandra, L. J. (2013). Political Branding Jokowi Selama Masa Kampanye Pemilu Gubernur Dki
Jakarta 2012 Di Media Sosial Twitter. Jurnal e-Komunikasi Universitas Kristen Petra
Surabaya, 1(2), 276-287.
Scammell, M. (2015). Politics and Image: The Conceptual Value of Branding. Taylor & Francis
Journal of Political Marketing , 14(1-2), 7-18.
Schulze, K. E. (2004). The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of a Separatist
Organization. Policy Studies 2 East-West Center Washington.
Sonies, S. (28 April 2011). Consumer Branding in Politics: A Comparison of Presidents Ronald
Reagan and Barack Obama. Diakses pada 13 September 2016 dari
https://american.edu/soc/communication/upload/Sarah-Sonies.pdf.
Speed, R., Butler, P., & Collins, N. (2015). Human Branding in Political Marketing: Applying
Contemporary Branding Thought to Political Parties and Their Leader. Journal of
Political Marketing, 14(1-2), 129-151.
Stange, G., & Patock, R. (2010). From Rebels to Rulers and Legislators: The Political
Transformation of the Free Aceh Movement (GAM) in Indonesia. Journal of Current
Southeast Asian Affairs, 29(1), 95-120.
Suhendra, A. (2014). Senjata Baru dalam Ruang Politik : Konstruksi Sosial penggunaan Jejaring
Sosial Online dalam Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2012. Jurnal Sejarah dan
Budaya Universitas Malang, 1-12.