Analisis Penurunan Kualitas Lingkungan Di Sekitar Tempat ... · analisis penurunan kualitas...
Transcript of Analisis Penurunan Kualitas Lingkungan Di Sekitar Tempat ... · analisis penurunan kualitas...
ANALISIS PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN DI
SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH
GALUGA KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT
LISANATUL HIFDZIYAH
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
RINGKASAN
LISANATUL HIFDZIYAH. Analisis Penurunan Kualitas Lingkungan di Sekitar
Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Kabupaten Bogor Jawa Barat.
Dibimbing Oleh NINDYANTORO.
Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Galuga yang merupakan
satu-satunya TPAS Kota Bogor dan sekaligus TPAS Kabupaten Bogor telah
mengalami peningkatan volume sampah dari tahun ke tahun, sehingga terdapat
gunungan sampah yang menimbulkan dampak negatif di sekitar TPAS tersebut.
Dampak negatif tersebut berupa penurunan kualitas lingkungan yang berdampak
pada masyarakat di sekitar TPAS tersebut. Peningkatan volume sampah juga
berimplikasi terhadap peningkatan kebutuhan lahan untuk pengelolaan TPAS
tersebut serta peningkatan kebutuhan lahan untuk tempat tinggal akibat
peningkatan jumlah penduduk.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penilaian responden
mengenai kondisi lingkungan di sekitar TPAS Galuga dengan menggunakan skala
perbedaan semantik (semantic differential), menghitung besarnya nilai ekonomi
dari penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Galuga
menggunakan metode biaya kesehatan (cost of illness) dan biaya pengganti
(replacement cost), dan mengetahui apakah faktor penurunan kualitas lingkungan
mempengaruhi harga lahan permukiman di sekitar TPAS Galuga.
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Galuga Kecamatan Cibungbulang,
Kabupaten Bogor. Lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive) karena di daerah
tersebut terdapat TPAS Galuga yang diduga menyebabkan terjadinya penurunan
kualitas lingkungan. Pengambilan data primer dilaksanakan pada bulan Maret-
Mei 2011.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat di sekitar TPAS Galuga
secara umum menilai keberadaan TPAS Galuga menurunkan kualitas lingkungan,
hal ini dapat ditunjukkan dengan hasil perhitungan nilai rata-rata semantic
differential yang lebih rendah setelah adanya TPAS Galuga.
Hasil perhitungan menggunakan metode cost of illness dan replacement
cost menunjukkan bahwa penurunan kualitas lingkungan untuk biaya kesehatan
sebesar Rp 15.019.248.000,00 per tahun, sedangkan biaya pengganti air minum
sebesar Rp 1.230.828.000,00 per tahun. Total nilai penurunan kualitas lingkungan
adalah sebesar Rp 16.250.076.000,00 per tahun. Nilai ini merupakan biaya
kerugian yang dirasakan masyarakat dalam waktu satu tahun terakhir.
Faktor penurunan kualitas lingkungan tidak berpengaruh terhadap harga
lahan. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa variabel kualitas lingkungan
yang berpengaruh nyata terhadap harga lahan di sekitar TPAS Galuga adalah jarak
tempat tinggal dengan TPAS Galuga. Variabel karakteristik lahan yang
berpengaruh nyata adalah status lahan, sedangkan variabel yang tidak
berpengaruh nyata adalah biaya kesehatan, luas lahan, dan biaya konsumsi air
bersih. Faktor penurunan kualitas lingkungan ditunjukkan dengan pendekatan
biaya kesehatan dan biaya konsumsi air bersih.
Kata kunci : harga lahan, semantic differential, cost of illness, replacement cost,
analisis regresi
ANALISIS PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN DI
SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH
GALUGA KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT
LISANATUL HIFDZIYAH
H44070005
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Penurunan Kualitas
Lingkungan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Kabupaten
Bogor Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2011
Lisanatul Hifdziyah
H44070005
Judul Skripsi : Analisis Penurunan Kualitas Lingkungan di Sekitar Tempat
Pembuangan Akhir Sampah Galuga Kabupaten Bogor Jawa
Barat
Nama : Lisanatul Hifdziyah
NIM : H44070005
Disetujui
Dosen Pembimbing
Ir. Nindyantoro, MSP
NIP.19620323 1990021 1 001
Diketahui
Ketua Departemen
Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT
NIP. 19660717 199203 1 003
Tanggal Lulus:
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis
mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :
1. Suami penulis (Syaihul Umam), orangtua, dan seluruh keluarga besar atas
segala do’a dan dukungannya.
2. Ir. Nindyantoro, MSP atas bimbingan dan arahan yang diberikan selama
proses penyusunan skripsi ini.
3. Dr. Ir. Ahyar Ismail, M. Agr. selaku dosen penguji utama dan Adi Hadianto,
SP, M.Si selaku dosen penguji wakil departemen untuk pertanyaan, saran, dan
kritiknya.
4. Bapak Dani, Staf Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor atas bantuan
data yang mendukung penelitian ini.
5. Seluruh staf pengajar dan pegawai Departemen Ekonomi Sumberdaya dan
Lingkungan, FEM IPB. Terima kasih atas ilmu dan jasa yang telah diberikan
selama ini.
6. Febri, Heni, Putri, Nisa, Fiandra, dan Norita atas kebersamaan dan
dukungannya.
7. Teman-teman ESL 44 atas dukungannya selama ini.
8. Keluarga Cendana 53 (Ayu, Tati, Aini, Ayang, Lida, Icha, Fitrah, Mbak Alin,
dan Mbak Ita) atas kebersamaan dan dukungannya selama ini.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul “Analisis Penurunan Kualitas Lingkungan di Sekitar
Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Kabupaten Bogor Jawa Barat.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi lingkungan permukiman
di sekitar TPAS Galuga berdasarkan penilaian responden, mengestimasi besarnya
nilai ekonomi dari penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS
Galuga, serta mengetahui apakah penurunan kualitas lingkungan dicerminkan
juga oleh harga lahan permukiman di sekitar TPAS Galuga.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak
kekurangan. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis maupun
bagi pihak-pihak yang memerlukan informasi terkait dengan skripsi ini.
Bogor, Agustus 2011
Lisanatul Hifdziyah
H44070005
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xiv
I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ....................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 6
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................... 7
1.5 Ruang Lingkup Penelitian .............................................................. 7
II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 8
2.1 Pengertian Sampah ......................................................................... 8
2.1.1 Timbulan Sampah ................................................................ 8
2.1.2 Tempat Pembuangan Akhir Sampah .................................... 10
2.1.2.1 Tempat Pembuangan Akhir Sampah sebagai Barang
Publik ...................................................................... 11
2.1.2.2 Metode Pengolahan Sampah di Tempat Pembuangan
Akhir Sampah .......................................................... 12
2.1.3 Dampak yang Ditimbulkan Sampah ..................................... 15
2.1.4 Potensi Ekonomi Tempat Pembuangan Akhir Sampah ......... 17
2.1.5 Konsep Ideal Tempat Pembuangan Akhir Sampah ............... 18
2.2 Aspek Sumberdaya Lahan ............................................................. 20
2.2.1 Harga Lahan ........................................................................ 20
2.2.2 Permintaan dan Penawaran Lahan ........................................ 21
2.2.3 Hubungan Harga Lahan dengan Kondisi Lingkungan........... 23
2.3 Skala Perbedaan Semantik (Semantic Differential) .......................... 24
2.4 Cost of Illness dan Replacement Cost .............................................. 24
2.5 Penelitian Terdahulu ....................................................................... 26
III. KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................. 29
3.1 Kerangka Pemikiran Operasional .................................................... 29
IV. METODE PENELITIAN ..................................................................... 32
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................... 32
4.2 Jenis dan Sumber Data .................................................................... 32
4.3 Penentuan Jumlah Sampel ............................................................... 32
4.4 Pengumpulan Data .......................................................................... 33
4.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data ............................................ 33
4.5.1 Persepsi Masyarakat terhadap Kondisi Lingkungan
Permukiman di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah
Galuga ............................................................................... 34
4.5.2 Estimasi Besarnya Nilai Ekonomi dari Penurunan Kualitas
Lingkungan Akibat Keberadaan Tempat Pembuangan Akhir
x
Sampah Galuga .................................................................... 35
4.5.3 Analisis Pengaruh Faktor Penurunan Kualitas Lingkungan
terhadap Harga Lahan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir
Sampah Galuga .................................................................... 40
4.6 Uji Kesesuaian Model .................................................................... 42
4.6.1 Kriteria Ekonomi ................................................................. 42
4.6.2 Kriteria Statistika................................................................. 43
4.6.3 Kriteria Ekonometrika ......................................................... 45
V. GAMBARAN UMUM ........................................................................... 47
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ............................................... 47
5.1.1 Kondisi Umum Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga 48
5.1.2 Gambaran Pengendalian Pemerintah terhadap Tempat
Pembuangan Akhir Sampah Galuga .................................... 50
5.1.3 Gambaran Kondisi Lahan di Sekitar Tempat Pembuangan
Akhir Sampah Galuga ......................................................... 51
5.2 Karakteristik Responden................................................................. 51
5.2.1 Usia ..................................................................................... 52
5.2.2 Jumlah Tanggungan............................................................. 52
5.2.3 Pendidikan Formal .............................................................. 52
5.2.4 Jenis Pekerjaan .................................................................... 53
5.2.5 Sumber dan Tingkat Pendapatan .......................................... 53
5.2.7 Kategori Penduduk .............................................................. 54
5.2.8 Lama Tinggal ...................................................................... 54
5.2.9 Waktu Tinggal ..................................................................... 55
5.2.10 Status Lahan ........................................................................ 55
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................... ............. 56
6.1 Deskripsi Lingkungan Pemukiman Sekitar Tempat Pembuangan
Akhir Sampah Galuga Berdasarkan Penilaian Responden ............... 56
6.1.1 Penilaian Responden terhadap Kebersihan Desa Galuga ...... 56
6.1.2 Penilaian Responden terhadap Kondisi Air .......................... 57
6.1.3 Penilaian Responden terhadap Kondisi Udara ...................... 59
6.1.4 Penilaian Responden terhadap Pengelolaan Sampah di
Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga ........................ 60
6.1.5 Tingkat Gangguan Responden ............................................. 61
6.2 Estimasi Nilai Penurunan Kualitas Lingkungan .............................. 62
6.2.1 Analisis Biaya Kesehatan .................................................... 63
6.2.2 Analisis Biaya Pengganti ..................................................... 66
6.2.3 Nilai Ekonomi Penurunan Kualitas Lingkungan .................. 66
6.3 Analisis Pengaruh Faktor Penurunan Kualitas Lingkungan terhadap
Harga Lahan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga 67
6.3.1 Harga Lahan ........................................................................ 67
6.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan di Sekitar
Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga ........................ 68
6.4 Upaya Meminimalisir Dampak Negatif Keberadaan Tempat
Pembuangan Akhir Sampah Galuga ............................................... 72
xi
VII. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 75
7.1 Kesimpulan .................................................................................... 75
7.2 Saran ............................................................................................ 76
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 77
LAMPIRAN ................................................................................................ 79
RIWAYAT HIDUP ..................................................................................... 92
xii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1 Timbulan dan Sampah Terangkut Kota Bogor Tahun 2006-2010 .... 2
2 Kesesuaian Lahan untuk Tempat Pembuangan Akhir Sampah
Secara Terbuka ................................................................................ 15
3 Matriks Keterkaitan Tujuan, Sumber Data, dan Metode Analisis
Data .................................................................................................... 34
4 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Desa Galuga
Tahun 2009 ..................................................................................... 48
5 Dokumen UKL/UPL dan Pelaksanaannya ....................................... 50
6 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan .............. 53
7 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan .................... 53
8 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan ............. 54
9 Dampak Negatif Adanya Sampah yang Dialami Responden ............ 61
10 Biaya Pengobatan Responden Akibat Pencemaran Air .................... 64
11 Biaya Pengobatan Responden Akibat Pencemaran Udara ................ 65
12 Biaya Pengganti untuk Sumber Air Minum Akibat Pencemaran Air 66
13 Total Nilai Ekonomi Penurunan Kualitas Lingkungan ..................... 67
14 Hasil Estimasi Harga Lahan di Desa Galuga .................................... 70
xiii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1 Hubungan Harga Lahan dengan Faktor Lingkungan ...................... 24
2 Kerangka Pemikiran Operasional .................................................... 31
3 Peta Orientasi TPAS Galuga ........................................................... 49
4 Penilaian Responden terhadap Kebersihan Lingkungan di sekitar
TPAS Galuga .................................................................................. 56
5 Penilaian Responden terhadap Kondisi Air ..................................... 58
6 Penilaian Responden terhadap Kondisi Udara ................................. 59
7 Penilaian Responden terhadap Pengelolaan Sampah di Tempat
Pembuangan Akhir Sampah Galuga ................................................ 60
8 Tingkat Gangguan Responden Akibat Keberadaan TPAS Galuga ... 62
9 Distribusi Harga Lahan Responden ................................................. 68
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1 Data Analisis Regresi Berganda ....................................................... 80
2 Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan di
Sekitar TPAS Galuga......................................................................... 82
3 Hasil Uji Heteroskedastisitas Faktor-Faktor yang mempengaruhi
Harga Lahan di Sekitar TPAS Galuga.............................................. 83
4 Hasil Uji Normalitas Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga
Lahan di Sekitar TPAS Galuga ........................................................ 84
5 Data Biaya Pengobatan .................................................................... 85
6 Data Biaya Pengganti ....................................................................... 88
7 Dokumentasi Penelitian....................................................................... 91
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehidupan manusia sehari-hari tidak terlepas dari kebutuhannya terhadap
lingkungan. Manusia memperoleh daya dan tenaga serta pemenuhan kebutuhan
primer, sekunder, tersier, maupun segala keinginan lainnya dari lingkungan.
Aktivitas manusia berjalan seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, dimana
penduduk dengan segala aktivitasnya merupakan salah satu komponen penting
dalam timbulnya permasalahan lingkungan. Salah satu permasalahan lingkungan
yang terkait dengan aktivitas manusia adalah sampah. Aktivitas manusia baik
produksi maupun konsumsi akan menghasilkan sisa (buangan) yang dinamakan
sampah. Sampah yang berasal dari aktivitas produksi dikenal dengan limbah
pabrik, sedangkan sampah yang ditimbulkan dari aktivitas konsumsi masyarakat
dikenal dengan limbah domestik. Kedua sumber sampah tersebut memiliki potensi
yang sangat besar terhadap pencemaran lingkungan.
Permasalahan sampah merupakan tantangan bagi para pengelola
perkotaan. Febriani dan Sukarjaputra (2004) dalam Sutjahjo et al. (2007)
mengungkapkan bahwa hingga tahun 2020, volume sampah perkotaan di
Indonesia diperkirakan akan meningkat lima kali lipat. Sampah yang dihasilkan
setiap penduduk Indonesia rata-rata 0.8 kg per kapita per hari pada tahun 1995,
dan meningkat menjadi 1 kg per kapita per hari pada tahun 2000, sedangkan pada
tahun 2020 diperkirakan akan mencapai 2,1 kg per kapita per hari.
Kota Bogor adalah salah satu kota di Indonesia yang mengalami
pertambahan jumlah penduduk yang pesat. Hasil sensus penduduk tahun 2010
menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kota Bogor mencapai 950,334 jiwa
2
dengan laju pertumbuhan sebesar 2,39 % (Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota
Bogor, 2011). Pertambahan jumlah penduduk yang diikuti semakin
bertambahnya tingkat produksi dan konsumsi serta aktivitas lainnya berakibat
semakin bertambahnya pula buangan (sampah) yang dihasilkan. Sampah tersebut
diangkut dan dibuang di Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Galuga
yang berlokasi di wilayah Kabupaten Bogor.
Berdasarkan data Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor, timbulan
sampah yang dihasilkan Kota Bogor mengalami peningkatan dari tahun 2006
hingga tahun 2010. Volume sampah yang dihasilkan Kota Bogor pada tahun 2006
rata-rata sebesar 2.185 m3
per hari dan meningkat menjadi 2.337 m3 per hari pada
tahun 2010. Setiap harinya sampah yang mampu diangkut berjumlah 1.636 m3,
yaitu sebesar 70 persen dari besarnya timbulan sampah pada tahun 2010. Sampah
tersebut diangkut dengan menggunakan 91 truk pengangkut sampah. Sampah
yang tidak terangkut biasanya dimusnahkan dengan cara dibakar atau dijadikan
kompos oleh masyarakat atau pihak swasta. Lebih lanjut, data timbulan sampah
yang dihasilkan Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Timbulan dan Sampah Terangkut Kota Bogor Tahun 2006-2010
Tahun Timbulan Sampah
(m3/hari)
Sampah Terangkut
(m3/hari)
Sampah Terangkut
(%)
2006 2.185 1.497 68,50
2007 2.210 1.515 69,00
2008 2.224 1.542 69,30
2009 2.294 1.602 69,83
2010 2.337 1.636 70,00
Sumber : Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor (2011)
Sampah yang diangkut ke TPAS Galuga tidak hanya berasal dari Kota
Bogor, tetapi juga berasal dari Kabupaten Bogor. Sampah yang diangkut dari
Kabupaten Bogor pada tahun 2010 sebesar 16.174 m3 dengan menggunakan 78
3
truk pengangkut sampah (Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor, 2011).
Pengelolaan TPAS Galuga dilakukan secara bersama oleh pemerintah Kota Bogor
dan pemerintah Kabupaten Bogor.
Pengelolaan sampah di TPAS Galuga masih berpegang pada paradigma
lama, yaitu mengumpulkan, mengangkut, dan membuang sampah. Sampah yang
telah diangkut ke TPAS Galuga hanya diratakan dan ditindih dengan alat berat
lalu ditutup dengan tanah. Mobil pengangkut sampah yang melebihi kapasitasnya
menyebabkan sampah tercecer serta kerusakan jalan yang dilalui kendaraan
tersebut.
Keberadaan TPAS Galuga dapat memberikan dampak positif diantaranya
menghasilkan lapangan pekerjaan dan menjadi sumber pendapatan masyarakat,
sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan yaitu terjadinya penurunan kualitas
lingkungan berupa pencemaran air tanah, pencemaran udara, pemandangan yang
tidak indah, serta berjangkitnya berbagai penyakit. Menurut Hadiwiyoto (1981),
sampah dapat menimbulkan gangguan keseimbangan lingkungan, kesehatan dan
keamanan, serta pencemaran. Gangguan tersebut meliputi : (1) pencemaran udara
dan bau yang tidak sedap, (2) sampah bertumpuk-tumpuk dapat menimbulkan
kondisi physicochemis yang dapat mengakibatkan kenaikan suhu dan perubahan
pH, (3) kekurangan oksigen pada daerah pembuangan sampah, (4) gas-gas yang
dihasilkan selama dekomposisi sampah dapat membahayakan kesehatan, bahkan
kadang-kadang beracun dan dapat mematikan, (5) penularan penyakit yang
ditimbulkan oleh sampah, dan (6) secara estetika, pemandangan yang tidak indah
untuk dinikmati.
4
Peningkatan volume sampah yang dibuang akan menimbulkan dampak
pada peningkatan kebutuhan lahan untuk mengelola sampah seperti untuk Tempat
Pembuangan Sementara (TPS) dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah,
serta tanah penimbun sampah di TPA. Hal tersebut akan sulit dipenuhi karena
kebutuhan lahan untuk keperluan lainnya seperti permukiman dan aktivitas
ekonomi juga akan meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk.
Bersamaan dengan peningkatan volume sampah akibat meningkatnya
jumlah penduduk, maka pertumbuhan penduduk juga berimplikasi terhadap
kebutuhan lahan untuk tempat tinggal. Jumlah ketersediaan lahan bersifat tetap
namun kebutuhan lahan semakin meningkat. Hal ini mengakibatkan diabaikannya
persyaratan lingkungan permukiman.
Adapun fokus penelitian ini adalah mendeskripsikan kondisi lingkungan
permukiman di sekitar TPAS Galuga, mengestimasi nilai ekonomi penurunan
kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Galuga, serta menganalisis faktor-
faktor yang mempengaruhi harga lahan di sekitar TPAS tersebut. Hal ini
dilakukan untuk mengetahui apakah nilai penurunan kualitas lingkungan
dicerminkan juga oleh harga lahan permukiman di sekitar TPAS tersebut.
1.2 Perumusan Masalah
Karakteristik permukiman yang berbeda-beda menyebabkan adanya
pilihan seseorang dalam menentukan lokasi tempat tinggal. Sebuah tempat tinggal
akan dipilih berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria tersebut disesuaikan dengan
kondisi individu yang tinggal di tempat tersebut. Beberapa kriteria yang menjadi
pertimbangan untuk memilih tempat tinggal adalah harga, fasilitas yang
disediakan, aksesibilitas, dan kesesuaian tata ruangnya. Harga menjadi persoalan
5
utama, namun ditentukan juga oleh faktor lainnya. Semakin lengkap fasilitas yang
ditawarkan, maka seseorang cenderung untuk memilihnya, demikian halnya
dengan aksesibilitas dan kesesuaian tata ruang.
Harga lahan juga tidak terlepas dari faktor lingkungan, perbedaan lokasi
lahan dengan atribut lingkungan yang bervariasi mempunyai pengaruh dalam
harga lahan. Semakin baik kualitas lingkungan maka harga lahan semakin
meningkat. Faktor lingkungan tersebut dapat berupa kebersihan lingkungan.
Kebersihan lingkungan dapat ditunjukkan dengan tempat tinggal yang bersih dari
polusi udara maupun pencemaran air. Jika suatu tempat tinggal tidak bersih maka
akan rentan terhadap berbagai penyakit, sehingga dapat mengganggu kenyamanan
seseorang yang tinggal di tempat tersebut.
King dan Marissa (2000) memberikan definisi harga lahan dilihat dari
kualitasnya. Ada empat faktor yang menentukan harga lahan tersebut yaitu : (1)
lokasi, (2) karakteristik propertinya : luas, jumlah dan luas kamar, dan jumlah
kamar mandi, (3) karakteristik lingkungan sekitar : pajak properti, angka
kejahatan, (4) karakteristik aksesibilitas : jarak ke tempat kerja, pusat
perbelanjaan, dan adanya transportasi umum.
Desa Galuga merupakan desa di Kabupaten Bogor yang sebagian
wilayahnya digunakan sebagai lokasi TPAS. Tempat Pembuangan Akhir Sampah
(TPAS) tersebut dikelola bersama oleh pemerintah Kota Bogor dan pemerintah
Kabupaten Bogor. Dampak negatif yang ditimbulkan dari adanya TPAS Galuga
adalah bau yang tidak sedap dan timbulnya penyakit akibat pencemaran
lingkungan. Semakin banyak volume sampah yang diangkut ke TPAS Galuga
mengakibatkan semakin tingginya tingkat pencemaran lingkungan. Akan tetapi,
6
tingginya tingkat pencemaran tersebut tidak menghalangi masyarakat untuk tetap
bermukim di daerah tersebut.
Pencemaran lingkungan di sekitar TPAS Galuga yang semakin
meningkat dapat mengganggu kenyamanan masyarakat yang tinggal di sekitar
TPAS tersebut. Peningkatan volume sampah dan pertambahan jumlah penduduk
menyebabkan semakin meningkatnya permintaan lahan. Selain itu, pencemaran
lingkungan yang terjadi juga dapat menyebabkan masyarakat harus mengeluarkan
sejumlah biaya, seperti biaya pengobatan dan biaya pembelian air minum.
Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana persepsi masyarakat mengenai kondisi lingkungan permukiman di
sekitar TPAS Galuga?
2. Berapa besar nilai ekonomi dari penurunan kualitas lingkungan akibat
keberadaan TPAS Galuga?
3. Apakah faktor penurunan kualitas lingkungan mempengaruhi harga lahan
permukiman di sekitar TPAS Galuga?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini sebagai
berikut :
1. Mendeskripsikan kondisi lingkungan permukiman di sekitar TPAS Galuga
berdasarkan persepsi masyarakat
2. Mengestimasi besarnya nilai ekonomi dari penurunan kualitas lingkungan
akibat keberadaan TPAS Galuga
7
3. Mengetahui apakah faktor penurunan kualitas lingkungan tersebut
mempengaruhi harga lahan permukiman di sekitar TPAS Galuga
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Bagi peneliti diharapkan penelitian ini dapat berguna dalam pengembangan
ilmu pengetahuan.
2. Bagi akademisi diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi dalam
mengkaji nilai penurunan kualitas lingkungan.
3. Bagi pemerintah Kota Bogor dan pemerintah Kabupaten Bogor diharapkan
dapat menjadi masukan dalam mengelola TPAS Galuga dengan baik
sehingga dapat meminimalisir dampak negatif yang terjadi.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Adapun ruang lingkup dan batasan-batasan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Lokasi penelitian adalah daerah yang berada di sekitar TPAS Galuga.
2. Harga lahan yang dimaksud adalah harga pasar yang diperoleh dari harga
transaksi jual beli atau harga penawaran.
3. Lahan yang dinilai adalah lahan yang berada di kawasan permukiman.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan yang dihitung adalah jarak
lahan dengan TPAS Galuga, biaya kesehatan, luas lahan, biaya konsumsi air
bersih, dan status lahan.
5. Estimasi nilai penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS
Galuga menggunakan metode cost of illness dan replacement cost dan hanya
dilakukan pada wilayah Desa Galuga dalam waktu satu tahun terakhir.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Sampah
Sampah (waste) pada dasarnya adalah zat-zat atau benda-benda yang
sudah tidak terpakai lagi, baik berupa buangan domestik (rumah tangga) maupun
buangan pabrik sebagai sisa proses industri. Sampah yang berasal dari daerah
pemukiman umumnya merupakan sampah organik yang cepat lapuk (garbage),
yaitu sisa sayuran, nasi basi, berbagai jenis kertas, daun, air larutan deterjen bekas
cucian, tinja (faeces), dan urin. Sampah industri umumnya merupakan sampah
organik yang lambat lapuk (rubish), misalnya limbah pabrik berupa kertas karton,
ampas, limbah sisa gergajian dan serpihan kayu, serbuk besi dan logam lainnya,
karton, plastik, kaca, mika, dan sebagainya. Secara kimiawi, sampah-sampah
tersebut dibedakan sebagai sampah organik dan sampah anorganik (Kastaman dan
Kramadibrata, 2007).
2.1.1 Timbulan Sampah
Peningkatan jumlah penduduk merupakan faktor penting yang
menyebabkan meningkatnya volume sampah perkotaan dari waktu ke waktu.
Meskipun terdapat perbedaan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi sampah
perkotaan, banyak peneliti sepakat bahwa jumlah penduduk merupakan faktor
dominan dan menentukan. Hal tersebut sangat logis mengingat semakin banyak
jumlah penduduk maka volume sampah juga semakin meningkat akibat
peningkatan produksi dan konsumsi.
Sumber sampah utama dari suatu kota adalah perumahan, pasar, industri,
serta jalan-jalan dan tempat umum/tempat rekreasi. Sampah sebagian besar terdiri
dari bahan organik, kertas, logam, kaca, dan plastik. Komposisi sampah yang
9
berasal dari industri berbeda dengan komposisi sampah yang berasal dari
perumahan. Sampah yang berasal dari perumahan mempunyai jumlah zat organik
yang jauh lebih besar. Kastaman dan Kramadibrata (2007) menjelaskan bahwa
sampah dapat berasal dari berbagai sumber. Jenis sampah berdasarkan
penggolongan tersebut :
a. Sampah rumah tangga, umumnya terdiri atas sampah organik dan sampah
anorganik yang ditimbulkan dari aktivitas rumah tangga, seperti buangan dari
dapur, debu, buangan taman, alat-alat rumah tangga, tang sudah usang, dan
lain-lain.
b. Sampah dari daerah komersial, yaitu sampah yang dihasilkan dari pertokoan,
restoran, pasar perkantoran, hotel, dan lain-lain. Biasanya terdiri atas bahan-
bahan pembungkus sisa-sisa makanan, kertas dari perkantoran, dan lain-lain.
c. Sampah dari institusi, berasal dari sekolahan, rumah sakit, dan pusat
pemerintahan. Khusus sampah yang berasal dari rumah sakit merupakan
aspek penting untuk diperhatikan karena sampah tersebut mengandung
kuman penyakit yang dapat membahayakan kesehatan, sehingga perlu
dilakukan penanganan lebih lanjut sebelum di buang ke TPA.
d. Sampah dari sisa-sisa konstruksi bangunan, yaitu sampah yang berasal dari
sisa-sisa pengembangan bangunan, perbaikan jalan, pembongkaran jalan,
jembatan, dan lain-lain.
e. Sampah dari fasilitas umum, berasal dari taman umum, pantai, tempat
rekreasi, dan lain-lain.
f. Sampah dari hasil pengelolaan air buangan serta sisa-sisa pembakaran
(insinerator).
10
g. Sampah industri, berasal dari proses produksi industri. Mulai dari pengolahan
bahan baku, sampai dengan hasil produksi.
h. Sampah pertanian, berasal dari sisa-sisa pertanian yang tidak dapat
dimanfaatkan lagi.
Menurut Apriadji (2002) sampah digolongkan ke dalam empat kelompok.
Penggolongan tersebut antara lain meliputi : (1) human excreta, merupakan bahan
buangan yang dikeluarkan dari tubuh manusia, meliputi tinja (feces) dan air
kencing (urine), (2) sewage, merupakan air limbah yang dibuang oleh pabrik
maupun rumah tangga, (3) refuse, merupakan bahan sisa proses produksi atau
hasil sampingan kegiatan rumah tangga, dan (4) industrial waste, merupakan
bahan-bahan buangan dari sisa proses industri.
2.1.2 Tempat Pembuangan Akhir Sampah
Sutjahjo et al. (2007) menyatakan bahwa pengelolaan sampah di Indonesia
merupakan issue nasional, terutama di kota-kota besar, yang sampai saat ini masih
belum terpecahkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : (1)
ketersediaan lahan yang terbatas dan tidak seimbang dengan peningkatan volume
timbunan sampah, (2) pemerintah belum mempunyai sistem perencanaan
pengelolaan sampah yang professional. Hal tersebut tercermin pada rencana
umum tata ruang perkotaan di Indonesia yang belum memasukkan secara rinci
rencana lokasi TPA sampah, (3) partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
sampah masih rendah dan, (4) belum tersedia teknologi tepat guna untuk kondisi
di Indonesia dalam mengolah sampah menjadi bahan bernilai tambah.
11
2.1.2.1 Tempat Pembuangan Akhir Sampah sebagai Barang Publik
Penyediaan barang dan jasa dalam setiap sistem perekonomian, tidak
semuanya dapat disediakan oleh sistem pasar. Hal inilah yang menjadi salah satu
penyebab terjadinya kegagalan pasar. Beberapa jenis barang atau pelayanan
sangat dibutuhkan oleh masyarakat tetapi pasar tidak mampu menyediakannya
sehingga harus ada campur tangan dari pemerintah. Mangkoesoebroto (2000)
menjelaskan bahwa barang publik merupakan barang yang tidak dapat disediakan
oleh sistem pasar. Sistem pasar tidak dapat menyediakan barang atau jasa tetentu
karena manfaat dari adanya barang tersebut tidak hanya dirasakan secara pribadi
akan tetapi dinikmati juga oleh orang lain. Barang atau jasa tersebut tidak
mempunyai sifat pengecualian, yaitu pengecualian oleh orang yang memiliki
suatu barang terhadap orang lain dalam menikmati barang tersebut. Karakteriristik
barang publik murni antara lain biaya pengecualian besar, dihasilkan oleh
pemerintah, disalurkan oleh pemerintah, serta dijual melalui pasar atau langsung
oleh pemerintah.
Tempat Pembuangan Akhir Sampah merupakan salah satu barang publik
yang disediakan oleh pemerintah. Barang publik ini termasuk dalam barang
publik campuran (Quasi Public) atau yang biasa disebut common property
resource. Mangkoesoebroto (2000) juga menjelaskan bahwa beberapa
karakteristik dari barang publik ini yaitu barang yang manfaatnya dirasakan
bersama dan dikonsumsikan bersama tetapi dapat terjadi kepadatan serta dapat
dijual melalui pasar atau langsung oleh pemerintah.
Penyediaan TPAS membutuhkan biaya investasi yang sangat besar
sehingga skala ekonomi yang efisien baru tercapai pada tingkat produksi yang
12
besar. Hal ini menyebabkan terjadinya monopoli secara alami atau sering disebut
dengan monopoli alamiah karena pemerintah merupakan satu-satunya pengelola
TPAS. Mangkoesoebroto (2000) menjelaskan bahwa monopoli dalam suatu
masyarakat dapat terjadi secara alami karena pasar akan barang/jasa terlalu kecil
atau investasi yang dibutuhkan sangat besar sehingga skala ekonomi yang efisien
baru terjadi pada tingkat produksi yang besar. Hal ini menyebabkan produsen
swasta tidak mau menyediakan barang tersebut.
Keberadaan TPAS Galuga dapat menimbulkan eksternalitas negatif.
Eksternalitas juga merupakan salah satu penyebab terjadinya kegagalan pasar.
Mangkoesoebroto (2000) menjelaskan bahwa selain barang publik, masalah lain
yang menyebabkan terjadinya kegagalan pasar dalam mengalokasi faktor-faktor
produksi secara efisien adalah adanya apa yang disebut dampak sampingan atau
eksternalitas. Eksternalitas timbul karena tindakan produksi atau konsumsi dari
satu pihak mempunyai pengaruh terhadap pihak yang lain dan tidak ada
kompensasi yang dibayar oleh pihak yang menyebabkan atau tidak adanya
kompensasi yang diterima oleh pihak yang terkena dampak tersebut.
Eksternalitas negatif dari adanya TPAS tersebut dapat berupa timbulnya
pencemaran udara dan pencemaran air. Pengadaan retribusi sampah merupakan
salah satu cara untuk mengatasi ekternalitas tersebut. Namun retribusi ini belum
dapat mencerminkan biaya yang sebernarnya karena besarnya retribusi tidak
sebesar biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat akibat eksternalitas tersebut.
2.1.2.2 Metode Pengolahan Sampah di Tempat Pembuangan Akhir Sampah
Pembuangan akhir sampah merupakan proses terakhir dalam siklus
pengelolaan persampahan formal. Fase ini dapat menggunakan berbagai metode
13
dari yang sederhana hingga tingkat teknologi tinggi. Suryanto (1988) dalam
Yudianto (2007) menjelaskan bahwa metode pembuangan akhir yang banyak
dikenal adalah :
1. Open dumping
Metode ini merupakan cara pembuangan akhir yang sederhana karena sampah
hanya ditumpuk di lokasi tertentu tanpa perlakuan khusus.
2. Control landfill
Metode ini merupakan peralihan antara teknik open dumping dan sanitary
landfill. Pada metode ini sampah ditimbun dan diratakan. Pipa-pipa ditanam
pada dasar lahan untuk mengalirkan air lindi dan ditanam secara vertikal
untuk mengeluarkan metan ke udara. Setelah timbunan sampah penuh lalu
dilakukan penutupan terhadap hamparan sampah tersebut dengan tanah dan
dipadatkan.
3. Sanitary landfill
Teknik sanitary landfill adalah cara penimbunan sampah padat pada suatu
hamparan lahan dengan memperhatikan keamanan lingkungan karena telah
ada perlakuan terhadap sampah. Pada teknik ini, sampah dihamparkan hingga
mencapai ketebalan tertentu lalu dipadatkan, kemudian dilapisi tanah dan
dipadatkan kembali, di atas lapisan tanah penutup tadi dapat dihamparkan lagi
sampah yang kemudian ditimbun lagi dengan tanah. Demikian seterusnya
berselang-seling antara lapisan tanah dan sampah. Metode ini lebih baik dari
metode lainnya. Konsekuensi dari pembuangan sampah di tempat
pembuangan akhir sampah ini adalah dibutuhkannya lahan yang luas serta
biaya pengelolaan yang besar.
14
Sehubungan dengan teknik sanitary landfill dalam pengolahan sampah,
terdapat beberapa jenis bahan pencemar di lahan penimbunan sampah yaitu:
a. Air lindi
Air lindi keluar dari dalam tumpukan sampah karena masuknya rembesan air
hujan ke dalam tumpukan sampah lalu bersenyawa dengan komponen-
komponen hasil penguraian sampah.
b. Pembentukan gas
Penguraian bahan organik secara aerobik akan menghasilkan gas
karbondioksida, sedangkan penguraian bahan organik pada kondisi anaerobik
akan menghasilkan gas metana, H2S, dan NH3. Gas metana perlu ditangani
karena merupakan salah satu gas rumah kaca yang sifatnya mudah terbakar,
sedangkan gas H2S, dan NH3 merupakan sumber bau yang tidak enak.
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah membutuhkan ruang/tempat
yang luas dan disyaratkan jauh dari permukiman penduduk. Dengan adanya
keterbatasan lahan di berbagai kota besar, maka tempat penampungan sampah
akhir lambat laun menjadi masalah. Oleh karena itu, adanya upaya mengurangi
beban penumpukan sampah di TPA dengan berbagai metode pengelolaan sampah
yang lebih baik merupakan langkah yang perlu terus dikembangkan agar tidak
menimbulkan banyak masalah. Lahan untuk TPAS harus memiliki kesesuaian
dengan sifat lahan tersebut, sehingga dapat meminimalisir dampak negatif yang
ditimbulkannya. Menurut USDA (1983) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka
(2007), ada beberapa sifat lahan yang sesuai sebagai Tempat Pembuangan Akhir
Sampah (TPAS) secara terbuka. Kesesuaian lahan tersebut dapat dilihat pada
Tabel 2.
15
Tabel 2 Kesesuaian Lahan untuk Tempat Pembuangan Sampah Secara Terbuka
No Sifat Tanah Kesesuaian Lahan
Baik Sedang Buruk
1 Ancaman Banjir Tanpa Jarang Sering
2 Kedalaman sampai hamparan batuan
(cm)
>150 100-150 <100
3 Kedalaman sampai padas keras (cm) >150 100-150 <100
4 Permeabilitas (cm/jam) (50-100 cm) - - >5
5 Muka air tanah
Apparent
Perched
>150
>90
100-150
100-150
<100
<45
6 Lereng % <8 45-90 >15
7 Longsor - - Ada Sumber : USDA (1983) dalam Hardjowigeno et al. (2007)
Penggunaan lahan untuk TPAS di Desa Galuga sesuai dengan Rencana
Tata Ruang Kabupaten Bogor yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Daerah
Kabupaten Bogor tahun 2002 dan diperkuat oleh Keputusan Bupati Bogor Nomor
591/131/kpts/Huk/2002 tentang Penetapan Lokasi untuk Tempat Pemrosesan
Akhir (TPA) Sampah. Pengelolaan sampah di TPAS tersebut masih menggunakan
metode controll landfill (Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bogor, 2010).
Metode ini masih dilakukan karena adanya keterbatasan dana dan lahan untuk
pengelolaan sampah tersebut, sedangkan penerapan metode sanitary landfill
membutuhkan lahan yang luas serta biaya pengelolaan yang besar.
2.1.3 Dampak yang Ditimbulkan Sampah
Sampah dapat memberikan dampak positif dan negatif baik bagi manusia
(terutama kesehatan) maupun terhadap lingkungan. Dampak yang ditimbulkan
sampah dapat langsung dirasakan dan dapat juga dirasakan secara tidak langsung
(Suprihatin et al. 1999) dalam Utari 2006.
1) Dampak Terhadap Kesehatan
Lokasi pengelolaan sampah yang kurang memadai (pembuangan sampah
tidak terkontrol) merupakan tempat yang cocok bagi beberapa organisme dan
16
menarik bagi berbagai macam binatang seperti lalat dan nyamuk yang dapat
menjangkit penyakit. Potensi yang ditimbulkan adalah sebagai berikut :
a. Penyakit diare, kolera, dan tifus menyebar dengan cepat karena virus yang
berasal dari sampah yang dikelola dengan cara yang tidak tepat dapat
bercampur dengan air minum. Penyakit demam berdarah dapat juga
meningkat dengan cepat di daerah yang pengelolaan sampahnya kurang
memadai.
b. Penyakit jamur, misalnya jamur kulit.
c. Penyakit yang dapat menyebar melalui rantai makanan. Misalnya penyakit
yang dijangkit oleh cacing pita.
d. Penyakit yang diakibatkan oleh sampah beracun. Misalnya sampah yang
sudah terkontaminasi air raksa.
2) Dampak Terhadap Lingkungan
Cairan rembesan sampah yang masuk ke dalam drainase atau sungai akan
mencemari air. Berbagai organisme termasuk ikan akan mati sehingga beberapa
spesies akan lenyap dan menyebabkan perubahan ekosistem biologis perairan.
Penguraian sampah yang dibuang ke dalam air akan menghasilkan asam organik
dan gas cair organik seperti gas metana. Gas cair organik ini memiliki bau yang
tidak sedap dan dapat meledak pada suhu yang tinggi.
3) Dampak Terhadap Sosial Ekonomi
a. Pengelolaan sampah yang kurang baik akan membentuk lingkungan yang
kurang menyenangkan bagi masyarakat antara lain dengan bau yang tidak
sedap dan pemandangan yang buruk karena sampah yang menumpuk dan
berserakan.
17
b. Memberikan dampak negatif bagi kepariwisataan.
c. Pengelolaan sampah yang tidak memadai menyebabkan efek rendahnya
tingkat kesehatan masyarakat dan menimbulkan pembiayaan secara langsung
(untuk mengobati orang sakit) dan pembiayaan secara tidak langsung (tidak
masuk kerja).
d. Pembuangan sampah padat ke badan air dapat menyebabkan banjir dan akan
memberikan dampak bagi fasilitas pelayanan umum seperti jalan, jembatan,
drainase, dan lain-lain.
2.1.4 Potensi Ekonomi Tempat Pembuangan Akhir Sampah
Pengolahan sampah yang baik dapat memberikan manfaat bagi manusia
yaitu memiliki potensi ekonomi dan lingkungan dengan meminimalisir
pencemaran yang terjadi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mendaur ulang
sampah padat, pengolahan sampah organik menjadi pupuk kompos, maupun
pengolahan terhadap air lindi.
Hadiwiyoto (1981) mengungkapkan bahwa sampah memiliki dampak
positif dalam kehidupan manusia, terutama yang tinggal di sekitar tempat
pembuangan sampah. Dampak positif tersebut adalah sebagai berikut :
a. Sampah dapat dipakai unuk menimbun tanah.
b. Dapat digunakan untuk pupuk sebagai penyubur tanah dan mempercepat
pertumbuhan tanaman.
c. Dapat digunakan sebagai pakan ternak.
d. Gas-gas yang dihasilkan mempunyai nilai ekonomi karena dapat dikonversi
menjadi tenaga listrik.
e. Proses pengelolaan sampah dapat membuka lapangan kerja.
18
2.1.5 Konsep Ideal Tempat Pembuangan Akhir Sampah
Penentuan lokasi TPA sampah berdasarkan SNI 03-3241-1994 tentang tata
cara pemillihan lokasi TPA sampah dengan beberapa pertimbangan (Dardak,
2007), antara lain yaitu TPA sampah tidak boleh berlokasi di danau, sungai, dan
laut. Pertimbangan tersebut disusun berdasarkan tiga tahapan. Tahap pertama
adalah tahap regional yang merupakan tahapan untuk menghasilkan peta yang
berisi daerah atau tempat dalam wilayah tersebut yang terbagi menjadi beberapa
zona kelayakan. Kedua, tahap penyisih yang merupakan tahapan untuk
menghasilkan satu atau dua lokasi terbaik diantara beberapa lokasi yang dipilih
dari zona-zona kelayakan pada tahap regional. Ketiga, tahap penetapan yang
merupakan tahap penentuan lokasi terpilih oleh instansi yang berwenang.
Selain itu, pemilihan lokasi perlu mempertimbangkan aspek-aspek
penataan ruang sebagai berikut :
1. Lokasi TPA sampah diharapkan berlawanan arah dengan arah perkembangan
daerah perkotaan (Urbanized Area)
2. Lokasi TPA sampah harus berada di luar dari daerah perkotaan yang didorong
pengembangannya (Urbanized Promotion Area)
3. Diupayakan transportasi menuju TPA sampah tidak melalui jalan utama
menuju perkotaan/daerah padat.
Berdasarkan PP 16 tahun 2005 tentang pengembangan sistem penyediaan
air minum yang didalamnya mengatur masalah persampahan (bagian ketiga pasal
19-22), bahwa penanganan sampah yang memadai perlu dilakukan untuk
perlindungan air baku air minum dan secara tegas dinyatakan bahwa TPA sampah
wajib dilengkapi dengan zona penyangga dan metoda pembuangan akhirnya
19
dilakukan secara sanitary landfill untuk kota besar dan metropolitan dan
controlled landfill untuk kota kecil dan sedang. Selain itu perlu juga dilakukan
pemantauan kualitas hasil pengolahan leachate secara berkala.
Menurut Soedradjat (2005) dalam Suhan (2009) kawasan sekitar TPA
dibagi menjadi dua zona, yaitu :
1. Zona Penyangga
Zona penyangga diukur mulai dari batas terluar tapak TPA sampai
pada jarak tertentu sesuai dengan pedoman pengoperasian dan pemeliharaan
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sistem Controlled landfill dan Sanitary
Landfill, yakni 500 meter, dengan pemanfaatan sebagai berikut :
a. 0 – 100 meter harus berupa sabuk hijau.
b. 101 – 500 meter pertanian non pangan, hutan.
2. Zona Budidaya Terbatas
Zona budidaya terbatas ditentukan mulai dari batas terluar zona
penyangga sampai pada jarak yang telah aman dari pengaruh dampak TPA
yang berupa :
a. Bahaya meresapnya lindi ke dalam mata air dan badan air lainnya yang
dipakai penduduk untuk kehidupan sehari-sehari.
b. Bahaya ledakan gas metan.
c. Bahaya penyebaran vektor penyakit melalui lalat.
Zona budidaya terbatas ditentukan pada jarak 501 – 800 meter dari
batas terluar TPA. Pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut :
a. Rekreasi dan RTH, misalnya rekreasi pendidikan dan penghijauan di
sekitar lokasi TPA.
20
b. Industri terkait sampah, misalnya industri daur ulang sampah anorganik
dan pembuatan pupuk kompos.
c. Pertanian non pangan, misalnya penggunaan lahan untuk budidaya pohon
jati, sengon, dan lain-lain.
d. Permukiman yang telah ada sebelumnya harus memperhatikan
persyaratan-persyaratan teknis dalam penggunaan air tanah. Khususnya
untuk air minum disarankan untuk tidak menggunakan air tanah.
2.2 Aspek Sumberdaya Lahan
Lahan merupakan sumberdaya fisik wilayah utama yang sangat penting
untuk diperhatikan dalam perencanaan tataguna lahan. Lahan termasuk
sumberdaya alam yang multifungsi dalam aktivitas dan kegiatan manusia baik
untuk kegiatan fasilitatif atau penggunaan tempat seperti untuk permukiman,
perkantoran, lokasi industri dan jalan maupun untuk kegiatan ekstraktif seperti
pertanian dan pertambangan. Lahan sebagai obyek dari aktivitas manusia,
ketersediaannya relatif tetap dari waktu ke waktu.
Lahan memiliki jumlah yang terbatas dan merupakan sumberdaya yang
hampir tak terbarui (non renewable), sedangkan jumlah permintaan lahan terus
bertambah. Kelangkaan dari sumberdaya lahan ini akan berpengaruh terhadap
harga lahan itu sendiri. Peningkatan permintaan lahan tidak hanya terjadi pada
penggunaan lahan untuk permukiman, tetapi juga penggunaan lain seperti
penggunaan lahan untuk sektor perekonomian.
2.2.1 Harga Lahan
Alonso (1970) menggunakan istilah harga lahan (land price) sebagai
pengganti istilah nilai lahan (land value) dalam menganalisis masalah ekonomi
21
lahan perkotaan. Istilah harga lebih dapat mencerminkan nilai pasar (market
expression) atas harga kontrak (contract rent), harga jual (sales prices), dan biaya
kepemilikan (cost of ownership). Harga jual adalah harga yang disanggupi
pembeli (willingness to pay) setelah mempertimbangkan berbagai alternatif dan
merupakan nilai diskonto dari total nilai sewa di masa mendatang sedangkan
biaya pemilikan lahan ialah fungsi dari harga jual dan harga kontrak.
Alonso (1970) juga mendefinisikan harga lahan sebagai sejumlah uang
yang dibayar kepada pemilik lahan atas hak menggunakan suatu unit lahan pada
periode waktu tertentu. Definisi tersebut belum secara jelas membedakan antara
harga lahan dengan nilai lahan. Akan tetapi harga lahan sudah mengaitkan dengan
dimensi pasar sebagai wahana transaksi dan merupakan kumulatif nilai dari
beberapa jenis rente Ricardian, rente lokasi atau rente sosial.
Menurut Suparmoko (1989) harga lahan yang berlokasi dekat fasilitas
umum akan meningkat. Maka dengan adanya kegiatan pembangunan, khususnya
pembangunan prasarana umum, akan meningkatkan kegunaan dan kepuasan yang
dapat diberikan oleh satuan luasan lahan, yang diikuti pula oleh meningkatnya
pendapatan masyarakat sehingga harga lahan akan meningkat. Lahan yang dekat
pasar oleh masyarakat digunakan untuk daerah pusat kegiatan ekonomi yang akan
memberikan pendapatan dan harga sewa yang tinggi untuk berbagai alternatif
penggunaan, seperti industri atau penggunaan lain yang menguntungkan.
2.2.2 Permintaan dan Penawaran Lahan
Barlowe (1972) dalam Nuryanti (2006) menjelaskan permintaan terhadap
lahan secara fisik berarti keinginan, kebutuhan atau persyaratan terhadap fasilitas
tertentu, seperti perumahan, rekreasi, sekolah, dan merupakan ruang publik.
22
Secara ekonomi, permintaan lahan merupakan keinginan dan minat masyarakat
untuk membeli suatu lahan. Penawaran secara fisik adalah keberadaan fisik
sumberdaya tanah, seperti fisik hutan, deposit mineral, tambang atau area dengan
permukaan tanah yang tertutup, unit kepemilikan, dan wilayah administrasi.
Penawaran secara ekonomi adalah porsi atau bagian dari penawaran fisik lahan
yang digunakan oleh manusia dan secara aktual dimanfaatkan, dibutuhkan
sehingga ada nilai (value) di atasnya serta menunjukkan keinginan atau minat
untuk menanggung biaya pengembangannya.
Daniel (2002) mengungkapkan bahwa ada dua faktor dalam menentukan
harga lahan yaitu dilihat dari faktor penawaran dan faktor pemintaan lahan
tersebut. Berdasarkan faktor penawaran yaitu kualitas dan lokasi lahan tersebut.
Kualitas lahan dilihat dari segi kualitas air atau fasilitas air, kesuburan dan
kandungan mineral di dalam lahan tersebut. Berdasarkan perbedaan lokasi lahan,
dapat dilihat aksesibilitas lahan tersebut seperti tersedianya sarana angkutan
umum, lembaga perkreditan, pasar, kondisi jalan, dan keamanan dari bahaya
banjir.
Permintaan lahan juga mempengaruhi harga lahan. Penentuan permintaan
lahan tersebut adalah selera dan preferensi konsumen, jumlah penduduk,
pendapatan, dan ekspektasi konsumen terhadap harga dan pendapatan di masa
yang akan datang. Keempat penentu permintaan lahan tersebut berhubungan
positif dengan harga lahan. Semakin meningkat penentu permintaan lahan tersebut
maka harga lahan juga akan semakin mahal (Harcrow,1992).
Ketika penawaran bertemu unsur lain seperti harga dan permintaan, maka
akan terjadi fenomena seperti kelangkaan (scarcity) atau kelimpahan. Penawaran
23
sangat dipengaruhi oleh harga, tingkat ketergantungan terhadap harga
mengakibatkan elastisitas harga terhadap penawaran (supply). Bila harga lahan
meningkat secara relatif terhadap biaya, maka orang akan berlomba-lomba untuk
memanfaatkan lahan, dan sebaliknya jika harga lahan turun, maka lahan akan
dibiarkan saja. Hal yang sama akan terjadi pada permintaan lahan (Rony, 1996)
dalam Nuryanti (2006).
Penetapan harga lahan juga dapat ditetapkan secara : (1) land rent
berdasarkan tingkat kesuburan lahan maupun besarnya surplus yang didapat dari
lahan tersebut, (2) ekonometrika berdasarkan karakeristik lingkungan yang
mempengaruhi di sekitar lokasi lahan, (3) Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
berdasarkan harga lahan di pasaran yang telah ditetapkan oleh pemerintah sesuai
dengan kategori letak lahan (Hasanah, 2004) dalam Nuryanti (2006).
2.2.3 Hubungan Harga Lahan dengan Kondisi Lingkungan
Nilai suatu lahan berkaitan dengan aliran penerimaan bersih (benefit) yang
diturunkan dari lahan tersebut. Hasil pertanian dan penyewaan perumahan
merupakan manfaat yang sangat jelas, tetapi akses dari tempat kerja ke pusat
perbelanjaan yang nyaman dan fasilitas-fasilitas lingkungan seperti taman dan
kualitas lingkungan yang baik juga menumbuhkan manfaat penting bagi orang
yang mempunyai hak untuk menggunakan lahan tersebut. Perbedaan lokasi lahan
dengan atribut lingkungan yang bervariasi mempunyai pengaruh dalam nilai atau
harga yang bersangkutan. Lebih konkritnya bahwa semakin bertambah baiknya
lingkungan maka harga lahan akan semakin meningkat (Pearce dan Turner, 1990).
Hal ini dapat ditunjukkan pada Gambar 1.
24
Sumber : Pearce dan Turner, (1990)
Gambar 1 Hubungan Harga Lahan dengan Faktor Lingkungan
2.3 Skala Perbedaan Semantik (Semantic Differential)
Menurut Nazir (1999) dalam skala perbedaan semantik responden diminta
untuk menilai suatu konsep atau objek dalam suatu skala bipolar. Skala bipolar
adalah skala yang berlawanan seperti baik buruk, cepat lambat, dan sebagainya.
Skala perbedaan semantik ini dapat digunakan untuk melihat bagaimana
pandangan seseorang terhadap suatu konsep atau objek. Prinsip sifat positif diberi
nilai paling besar dan sifat negatif diberi nilai paling kecil tetap dipertahankan
dalam penetapan skala perbedaan semantik. Skala perbedaan semantik biasanya
digunakan dalam menilai sikap konsumen terhadap suatu produk. Misalnya skor
satu untuk menilai produk yang mempunyai kualitas yang sangat buruk sampai
dengan skor lima untuk menilai produk yang sangat bagus.
2.4 Cost of Illness dan Replacement Cost
Metode yang digunakan untuk mengestimasi penurunan kualitas
lingkungan di sekitar TPAS Galuga adalah dengan menggunakan metode cost of
illness (biaya kesehatan) dan replacement cost (biaya pengganti). Kedua metode
tersebut dinilai dapat mengestimasi kerugian yang diderita masyarakat berupa
Property Price
p’ Slope pp
p
Environmental Quality
Pollution level
25
biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat baik untuk mengganti kebutuhan mereka
dengan bahan alternatif maupun biaya untuk pengobatan.
Menurut Champ P. A. (2003) metode biaya kesehatan tidak mengestimasi
surplus konsumen atau harga marginal. Metode biaya kesehatan secara sederhana
berusaha untuk mengukur biaya kesehatan secara penuh, termasuk biaya
perawatan. Biaya perawatan didasarkan kepada keputusan individu atau
masyarakat mengenai level dari kepedulian individu atau masyarakat tersebut
akan kesehatan.
Biaya kesehatan terdiri dari dua jenis, yang pertama adalah biaya langsung
dan kedua adalah biaya tidak langsung. Biaya langsung itu sendiri terbagi menjadi
medical cost dan non-medical cost. Biaya yang termasuk medical cost adalah
biaya perawatan medis pasien itu sendiri yang besarnya dapat berbeda setiap
pasiennya, sedangkan yang termasuk non-medical cost antara lain biaya
perjalanan pasien untuk menempuh perjalanan sampai kepada tempat pengobatan,
biaya logistik, dan akomodasi pasien yang besarnyapun dapat bervariasi. Biaya
tidak langsung terkait dengan hilangnya sumberdaya yang hilang akibat penyakit
tersebut, antara lain opportunity cost akibat hilangnya produktivitas pasien
(pendapatan) yang terkena penyakit tersebut.
Biaya pengganti adalah nilai aset yang didasari oleh biaya untuk
mengganti aset tersebut apabila dibutuhkan pada saat sekarang. Biaya pengganti
dapat digunakan untuk menentukan nilai suatu aset pada saat ini, atau
diaplikasikan dengan menggunakan faktor inflasi.
Metode biaya pengganti memiliki beberapa keunggulan antara lain dapat
mengatasi kesalahan perhitungan akutansi yang menggunakan nilai saat ini,
26
berpotensial untuk digunakan secara transparan, sangat cocok digunakan untuk
menilai suatu aset saat terjadi inflasi yang tinggi, dan dapat menjadi dasar
penentuan keputusan untuk memasuki suatu pasar. Kekurangan yang dimiliki oleh
biaya pengganti adalah menjadi subjektif dikarenakan nilai saat ini sulit untuk
ditentukan, membutuhkan penghitungan yang akurat apabila menggunakan nilai
sekarang karena jika tejadi pergantian teknologi, mengabaikan sifat keoptimalan,
dapat terjadi overestimate dari suatu aset yang dinilai.
2.5 Penelitian Terdahulu
Effendy (2005) melakukan penelitian tentang polutan gas dari berbagai
lokasi TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah. Berdasarkan hasil analisis dan
perbandingan dengan ambang batas yang ditetapkan pemerintah, didapatkan nilai
gas polutan dari ke empat TPA (TPA Galuga, Pondok Rajeg, Waru dan Bantar
Gebang) berada diwilayah ambang batas menurut (Kep-13/MENLH/3/1995) dan
(Kep-50/MENLH/11/1996) kecuali untuk gas amonia (NH3) di TPA Bantar
Gebang pada titik 2 yaitu sebesar 0,52 mg/m3 atau 0,02 mg/m
3 diatas ambang
baku mutu emisi. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Galuga, Pondok Rajeg, Waru
dan Bantar Gebang mengemisikan gas yang berada dibawah Ambang Batas Baku
Mutu Emisi. Hal tersebut disebabkan standar baku mutu yang digunakan adalah
standar untuk industri karena belum adanya Keputusan Pemerintah mengenai
Standar Baku Mutu khusus sampah.
Sutjahjo et al. (2007) melakukan penelitian mengenai pengelolaan TPAS
dengan pendekatan ‘Zero Waste’ (nir limbah) berbasis partisipasi masyarakat.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dari hasil rekonstruksi TPA Galuga
terdapat dua sistem akuifer yaitu akuifer air tanah tertekan dan akuifer air tanah
27
tidak tertekan. Pola aliran air bawah tanah pada akuifer tersebut membentuk pola
pengaliran dari selatan ke utara. Di sekitar wilayah TPA sampah membentuk pola
cekungan, berfungsi sebagai tempat akumulasi air bawah permukaan termasuk
lindi dari TPA. Kecepatan dan debit aliran kecil, sehingga polutan dapat tertahan
lebih lama di dalam sistem cekungan tersebut.
Sistem PAL TPA Galuga yang ada tidak berfungsi secara optimum. Status
tingkat pencemaran dinyatakan dengan tingkat ‘tercemar ringan’ pada skala 1.
Kandungan bahan pencemar di sekitar TPA bukan disebabkan oleh kontaminasi
langsung lindi TPA Galuga, melainkan oleh rembesan air lindi melalui sistem
drainase/parit pembuangan lindi. Pecemaran wilayah sekitar TPA ditentukan oleh
besarnya jarak (52%) dan oleh faktor lain yaitu sifat fisik dan kimia batuan,
lingkungan binaan dan akivitas manusia serta kondisi masyarakat (48%).
Kurniawan (2006) melakukan penelitian mengenai analisis kualitas air
sumur di sekitar wilayah TPAS dengan melihat Indeks Kualitas Air (IKA) sumur
sebagai pengaruh pengelolaan TPAS (studi kasus di TPAS Galuga Cibungbulang
Bogor). Hasil pengukuran fisik, kimia, dan mikrobiologi air sumur di wilayah
sekitar TPAS Galuga menunjukkan ada 11 parameter yang telah melampaui
ambang batas maksimum yang diperbolehkan menurut persyaratan Baku Mutu
Air Kelas 1, yaitu bau, rasa, pH, DO, BOD5, COD, amonia, nitrit, seng, bakteri
coliform, dan fecal coli (E. Coli). Indeks Kualitas Air (IKA) sumur yang berada
pada jarak 400 m, 600 m, dan 700 m tergolong buruk dengan kisaran indeks
41,03-48,36. Nilai IKA rata-rata untuk seluruh lokasi pengamatan adalah 48,65
yang tergolong buruk. Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa secara
umum kualitas air sumur wilayah sekitar TPA tergolong buruk dan tidak layak
28
dikonsumsi untuk air minum namun masih bisa digunakan untuk keperluan
perikanan dan pertanian.
Hasil penelitian Silalahi (2008) menunjukkan bahwa faktor yang
berpengaruh nyata dengan variabel tak bebasnya nilai lahan memakai model
linear dan model double-log adalah luas lahan, kepadatan pnduduk, jarak lahan ke
kantor pemerintahan daerah Kabupaten Bogor, status lahan, sumber lahan, dan
NJOP. Faktor yang berpengaruh nyata dengan variabel tak bebasnya harga lahan
pada model linear dan model double-log adalah luas lahan, jarak lahan ke jalan
yang sering dilalui kendaraan roda empat, kepadatan penduduk, fasilitas air, dan
NJOP.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Operasional
Peningkatan jumlah penduduk Kota Bogor mengakibatkan semakin
meningkatnya aktivitas produksi dan konsumsi yang berimplikasi terhadap
semakin banyaknya volume sampah yang dihasilkan. Peningkatan volume sampah
berasal dari sampah perumahan atau permukiman, fasilitas umum (sapuan jalan,
terminal, rumah sakit, pasar, dan lain-lainnya), dan industri.
Keterbatasan lahan yang dimiliki oleh pemerintah Kota Bogor merupakan
salah satu kendala dalam penyediaan TPAS, sehingga melibatkan kota/kabupaten
lain untuk dijadikan TPAS yaitu Kabupaten Bogor. Pengolahan sampah Kota
Bogor dilaksanakan di TPAS Galuga yang berada di wilayah Kabupaten Bogor.
Volume sampah yang semakin meningkat menyebabkan peningkatan permintaan
terhadap lahan untuk pengolahan sampah. Bersamaan dengan peningkatan volume
sampah akibat meningkatnya jumlah penduduk, maka pertumbuhan penduduk
juga berimplikasi terhadap kebutuhan lahan untuk tempat tinggal. Jumlah
ketersediaan lahan bersifat tetap namun kebutuhan lahan semakin meningkat. Hal
ini mengakibatkan diabaikannya persyaratan lingkungan permukiman, sehingga
terdapat lingkungan permukiman yang kurang memperhatikan persyaratan
kenyamanan bagi penduduknya. Hal ini terlihat dari banyaknya masyarakat yang
memilih untuk tetap tinggal di sekitar TPAS Galuga walaupun timbul dampak
negatif berupa pencemaran lingkungan di sekitar TPAS tersebut.
Penelitian ini mendeskripsikan kondisi lingkungan di sekitar TPAS Galuga
bedasarkan penilaian responden dengan menggunakan analisis deskriptif,
mengestimasi besarnya nilai penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan
30
TPAS Galuga dengan metode cost of illness dan replacement cost. Selanjutnya,
dilakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan di sekitar TPAS
Galuga menggunakan model regresi berganda dengan bantuan Microsoft Office
Excel 2007 dan minitab 14. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui apakah
penurunan kualitas lingkungan juga dicerminkan oleh harga lahan permukiman di
sekitar TPAS Galuga.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi besarnya nilai
ekonomi akibat keberadaan TPAS Galuga, sehingga dapat memberikan
rekomendasi upaya yang dapat diambil oleh pemerintah Kota Bogor dan
pemerintah Kabupaten Bogor dalam meminimalisir dampak negatif yang
ditimbulkan TPAS tersebut. Berdasarkan uraian diatas maka dapat digambarkan
kerangka pemikiran yang dilaksanakan peneliti untuk mencapai tujuan penelitian
yang tersaji pada Gambar 2.
31
Gambar 2 Kerangka Pemikiran Operasional
Penurunan kualitas
lingkungan
Rekomendasi upaya meminimalisir dampak
negatif TPAS Galuga
Estimasi faktor-
faktor yang
mempengaruhi
harga lahan
permukiman di
sekitar TPAS
Galuga
Estimasi besarnya
nilai ekonomi dari
penurunan kualitas
lingkungan akibat
keberadaan TPAS
Galuga
Deskripsi kondisi
lingkungan
permukiman
sekitar TPAS
Galuga
Peningkatan
populasi
Timbulan
sampah
Peningkatan
volume sampah
di TPAS Galuga
Meningkatnya
kebutuhan lahan
sebagai permukiman
Pemerintah
Kota Bogor
Pencemaran
lingkungan
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang
Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive)
dikarenakan di daerah tersebut terdapat TPAS Galuga yang menyebabkan
terjadinya penurunan kualitas lingkungan/pencemaran di sekitar TPAS Galuga.
Pengambilan data primer dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2011.
4.2 Jenis dan Sumberdata
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
skunder. Sumber data primer diperoleh melalui wawancara kepada responden.
Adapun yang termasuk data primer dalam penelitian ini adalah data mengenai
kondisi lingkungan permukiman di sekitar TPAS Galuga, besarnya nilai ekonomi
penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Galuga, serta faktor-
faktor yang mempengaruhi harga lahan di sekitar TPAS Galuga.
Data sekunder yang digunakan adalah data-data yang terkait dengan
daerah penelitian dan data lainnya yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Data
skunder ini berupa data timbulan sampah TPAS Galuga, data Desa Galuga, serta
literatur-literatur yang relevan dengan penelitian. Data sekunder diperoleh dari
kantor Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor serta kantor pemerintahan
lain yang terkait dengan daerah penelitian.
4.3 Penentuan Jumlah Sampel
Metode pengambilan sampel dilakukan secara acak (random sampling),
yaitu sebanyak 60 responden (kepala keluarga) dengan jumlah populasi sebanyak
1.615 kepala keluarga. Metode random sampling dilakukan karena sampel yang
33
dipilih sesuai dengan data lokasi permukiman yang dekat dengan lokasi TPAS.
Menurut Agung (2005), ukuran sampel berdasarkan teorema limit sentral
ditetapkan minimal sebanyak 30 responden.
4.4 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang
dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian. Metode pengumpulan data
dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan studi literatur, observasi, dan
wawancara terhadap responden. Syarat responden (frame sampling) yaitu, 1)
Responden merupakan kepala keluarga atau yang bertanggung jawab dalam suatu
rumah tangga yang tinggal di sekitar TPAS Galuga, 2) Masyarakat yang menjadi
responden telah tinggal di tempat tersebut lebih dari tiga tahun, berkeluarga, dan
dapat berkomunikasi dengan baik. Hal ini dilakukan agar mendapat responden
yang berpengalaman sehingga mendapat informasi yang mendalam mengenai
dampak penurunan kualitas lingkungan terhadap harga lahan di sekitar TPAS
serta, 3) Responden yang dipilih adalah responden yang berada di Kampung
Cimangir (RT 04 dan RT 05), Kampung Sinarjaya (RT 09), dan Kampung Moyan
(RT 10 dan RT 11) karena wilayah tersebut berbatasan langsung dengan TPAS
Galuga.
4.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara kualiatif dan
kuantitatif. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan
menggunakan komputer dengan program Microsoft Office Excel 2007 dan minitab
14. Pada Tabel 3 diuraikan matriks keterkaitan antara sumber data dan metode
analisis data yang digunakan untuk menjawab tujuan-tujuan dalam penelitian ini.
34
Tabel 3 Matriks Keterkaitan Tujuan, Sumber Data, dan Metode Analisis Data
No Tujuan Penlitian Sumber Data Metode Analisis
Data
1 Deskripsi kondisi lingkungan
pemukiman di sekitar TPAS
Galuga berdasarkan penilaian
responden
Data Primer
(wawancara
menggunakan
kuisioner)
Analisis Deskriptif
2 Estimasi besarnya nilai
ekonomi dari penurunan
kualitas lingkungan akibat
keberadaan TPAS Galuga
Data Primer
(wawancara
menggunakan
kuisioner)
Analisis Regresi linier
berganda dengan
Microsoft Office
Excel dan minitab 14
3 Mengkaji faktor-faktor yang
mempengaruhi harga lahan di
sekitar TPAS Galuga
Data sekunder
dan data primer
(wawancara
menggunakan
kuisioner)
Metode Cost of
Illness dan
Replacement Cost
4.5.1 Persepsi Masyarakat terhadap Kondisi Lingkungan Permukiman
di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga
Analisis data yang digunakan untuk mengetahui kondisi lingkungan
permukiman di sekitar TPAS Galuga dilakukan dengan menggunakan analisis
deskriptif. Analisis deskriptif merupakan suatu metode dalam meneliti status
kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun
suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuannya adalah untuk membuat
deskripsi, gambaran secara sistematis, aktual dan akurat, mengenai fakta-fakta,
sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nazir, 1999).
Data dan informasi yang berasal dari kuisioner diolah dan disajikan dalam
bentuk diagram pie sederhana dan dikelompokkan berdasarkan jawaban yang
sama. Hasil yang diperoleh kemudian dipersentasekan berdasarkan jumlah
responden. Persentase terbesar dari setiap hasil merupakan faktor dominan dari
masing-masing variabel yang dianalisis.
35
Selain itu dihitung nilai rata-rata skala perbedaan semantik (semantic
differential) untuk menyimpulkan hasil penilaian responden. Skala perbedaan
semantik untuk penilaian responden terhadap kebersihan digunakan lima nilai
skala, yaitu nilai satu untuk kategori sangat kotor, nilai dua untuk kategori kotor,
nilai tiga untuk kategori biasa saja, nilai empat untuk kategori bersih, dan nilai
lima untuk kategori sangat bersih. Skala perbedaan semantik untuk penilaian
responden terhadap kondisi air digunakan dua nilai skala, yaitu nilai nol untuk
kategori tercemar dan nilai satu untuk kategori tidak tercemar. Skala perbedaan
semantik untuk penilaian responden terhadap pengelolaan TPAS Galuga
digunakan tiga nilai skala, yaitu nilai satu untuk kategori tidak baik, nilai dua
untuk kategori cukup, dan nilai tiga untuk kategori baik. Skala perbedaan
semantik untuk penilaian responden terhadap tingkat gangguan digunakan lima
nilai skala, yaitu nilai satu untuk kategori sangat tidak terganggu, nilai dua untuk
kategori terganggu, nilai tiga untuk kategori biasa saja, nilai empat untuk kategori
terganggu, dan nilai lima untuk kategori sangat mengganggu.
4.5.2 Estimasi Besarnya Nilai Ekonomi dari Penurunan Kualitas Lingkungan
Akibat Keberadaan Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga
Penurunan kualitas lingkungan di sekitar TPAS Galuga diestimasi
berdasarkan biaya kesehatan (cost of illness) dan biaya pengganti (replacement
cost), maka dilakukan analisis terhadap data-data yang dikumpulkan. Biaya-biaya
tersebut dilihat dari asumsi pertama yaitu, biaya kesehatan akan dikeluarkan oleh
masyarakat di sekitar TPAS Galuga akibat dari mengkonsumsi air sumur dan
menghirup udara di sekitar TPAS Galuga. Kedua, biaya pengganti akan
dikeluarkan oleh masyarakat sebagai akibat dari penggantian konsumsi air karena
air sumur mereka sudah tercemar akibat keberadaan TPAS Galuga.
36
1) Cost of Illness
Menurut Dwight et al. (2004) dalam Gita (2010) pendekatan cost of illness
atau biaya penyakit dapat digunakan untuk mengukur nilai dari kerugian
kesehatan karena pencemaran, pendekatan ini didasarkan kepada keterkaitan
fungsi kerusakan yang berhubungan dengan tingkat pencemaran dan pengaruhnya
terhadap kesehatan fisik. Metode ini digunakan untuk memperkirakan biaya
morbiditas akibat perubahan yang menyebabkan orang menderita sakit.
Cost of illness dari opporunity cost, mencakup peluang orang sakit untuk
bekerja tidak dapat direalisasikan, dan currative cost atau biaya pengobatan atau
penyembuhan. Total biaya dihitung baik secara langsung maupun tidak langsung.
Biaya langsung, yaitu mengukur biaya yang harus disediakan untuk perlakuan
penderita lain meliputi perawatan pada rumah sakit, perawatan selama
penyembuhan, obat-obatan, serta biaya transportasi.
Biaya tidak langsung mengukur nilai kehilangan produktivitas akibat
seseorang menderita sakit. Biaya tidak langsung di ukur melalui penggandaan
upah oleh kehilangan waktu karena tidak bekerja. Dengan kata lain, besarnya
biaya penyakit dapat dihitung dengan model sebagai berikut :
𝐶 = 𝑃 +𝑀𝐶…………………………………………………………… . .… . (1)
dimana :
𝐶 = biaya penyakit
𝑃 = hilangnya pendapatan
𝑀𝐶 = biaya pengobatan
37
a. Nilai Pendapatan yang Hilang
Nilai pendapatan responden yang hilang karena sakit dihitung berdasarkan
cost of time. Cost of time adalah kerugian yang ditanggung oleh seseorang karena
hilangnya waktu untuk bekerja. Kerugian responden yang tidak masuk kerja pada
saat terkena sakit sama dengan nilai hilangnya pendapatan per hari. Nilai ini
diperoleh dari jumlah hari tidak bekerja responden dikali dengan tingkat
pendapatan responden per hari. Selanjutnya nilai kerugian responden tidak masuk
kerja dapat dihitung dengan rumus :
𝑃 = 〔𝐽𝐻𝑇𝐾𝑖 .𝑇𝑃𝑅𝑖〕 …………………… . .……………………………… (2)
𝑛
𝑖=1
dimana :
𝑃 = nilai kerugian responden tidak masuk kerja (Rp)
𝐽𝐻𝑇𝐾 = jumlah hari tidak kerja responden ke-i (hari)
𝑇𝑃𝑅 = tingkat pendapatan responden ke-i per hari (Rp)
𝑛 = jumlah responden
𝑖 = responden ke-i (1, 2, 3,....,n)
b. Biaya Pengobatan
Biaya pengobatan yang ditanggung oleh responden dihitung dari jumlah
uang yang dikeluarkan untuk berobat, terdiri dari biaya kunjungan ke dokter atau
puskesmas dan atau biaya pembelian obat yang dikeluarkan. Biaya pengobatan
responden merupakan biaya yang dikeluarkan responden untuk mengobati sakit
pada saat responden atau anggota keluarga yang menjadi tanggungan responden
menderita sakit. Biaya pengobatan yang dikeluarkan responden dapat dilihat pada
rumus berikut :
38
𝑀𝐶 = 〔
𝑛
𝑖=1
𝐽.𝐵𝐾𝐷𝑖 + 𝐵𝑂𝑖 + 𝐵𝑃𝑖〕…………… . .……………………… (3)
dimana :
𝑀𝐶 = biaya pengobatan per responden per penyakit (Rp)
𝐽 = jumlah kunjungan ke dokter
𝐵𝐾𝐷 = biaya kunjungan ke dokter (Rp)
𝐵𝑂 = biaya pembelian obat (Rp)
𝐵𝑃 = biaya perawatan rumah sakit (Rp)
𝑛 = jumlah responden
𝑖 = responden ke-i (1, 2, 3,...., n)
c. Nilai Kerugian Ekonomi dari Biaya Kesehatan
Dari persamaan (2) dan (3) maka, persamaan (1) dapat dirubah menjadi
sebagai berikut :
𝐶 = 𝑃 +𝑀𝐶
𝐶 = 〔〔𝐽𝐻𝑇𝐾𝑖 .𝑇𝑃𝑅𝑖〕 + 〔𝐽.𝐵𝐾𝐷𝑖 + 𝐵𝑂𝑖 + 𝐵𝑃𝑖〕〕
𝑛
𝑖=1
……………………………… (4)
dimana :
𝐶 = biaya penyakit
𝐽𝐻𝑇𝐾 = jumlah hari tidak kerja responden ke-i (hari)
𝑇𝑃𝑅 = tingkat pendapatan responden ke-i per hari (Rp)
𝐽 = jumlah kunjungan ke dokter
𝐵𝐾𝐷 = biaya kunjungan ke dokter (Rp)
𝐵𝑂 = biaya pembelian obat (Rp)
𝐵𝑃 = biaya perawatan rumah sakit (Rp)
39
Setelah memperoleh biaya kesehatan yang dikeluarkan responden,
selanjutnya total biaya pengobatan dikali dengan jumlah populasi yang
berpeluang terkena penyakit. Hal ini dilakukan untuk memperoleh biaya kerugian
yang dikeluarkan oleh masyarakat. Populasi yang berpeluang terkena penyakit
diduga proporsinya dengan tingkat morbiditas pada skala kota maupun nasional.
Tingkat morbiditas untuk penyakit diare adalah 1
3 × jumlah penduduk. Pada
penelitian ini diasumsikan tingkat morbiditas semua penyakit sama yaitu 1
3 ×
jumlah penduduk, sehingga diperoleh tingkat morbiditas sebesar 1.884.
2) Replacement Cost
Pencemaran yang terjadi menyebabkan adanya biaya yang harus
dikeluarkan oleh masyarakat untuk menggantikan atau mengembalikan
sumberdaya setelah adanya TPAS Galuga. Keberadaan TPAS Galuga
menyebabkan air sumur masyarakat tercemar sehingga masyarakat harus
mengeluarkan sejumlah biaya untuk mendapatkan air bersih. Menurut Garrod dan
Willis (1999) pendekatan biaya pengganti (replacement cost) merupakan
perhitungan nilai suatu sumberdaya yang telah mengalami kerusakan. Informasi
yang dibutuhkan untuk menghitung kerugian yang terjadi adalah data mengenai
kerusakan dan kehilangan sumberdaya. Formula untuk perhitungan kerugian yang
dialami adalah :
𝐵𝑃 = 𝑃 × 𝑄𝐷
dimana :
𝐵𝑃 = biaya pengganti (Rp/Unit)
𝑃 = harga barang (Rp)
𝑄𝐷 = kuantitas barang yang rusak (Unit)
40
4.5.3 Analisis Pengaruh Faktor Penurunan Kualitas Lingkungan terhadap
Harga Lahan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan dilakukan untuk
mengetahui apakah faktor penurunan kualitas lingkungan mempengaruhi harga
lahan permukiman di sekitar TPAS Galuga. Analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi harga lahan dilakukan dengan model regresi linier berganda.
Analisis ini dibuat untuk membuat model pendugaan terhadap nilai parameter-
parameter yang menjelaskan hubungan antar variabel penjelas dan variabel
respon. Metode analisis berganda merupakan metode analisis yang didasarkan
pada metode Ordinary Least Square (OLS). Adapun sifat-sifat OLS adalah
(Gujarati, 1997) : (1) penaksir OLS tidak bias, (2) penaksir OLS mempunyai
varian yang minimum, (3) konsisten, (4) efisien, (5) linier. Menurut Gujarati
(2003) analisis regresi beganda digunakan unuk membuat model pendugaan
terhadap nilai suatu parameter (variabel penjelas yang diamati). Model yang
dihasilkan dapat digunakan sebagai penduga yang baik jika asumsi-asumsi berikut
dapat dipenuhi :
1. E (ui) = 0, untuk setiap i, dimana i = 1, 2,...., n, artinya rata-rata galat adalah
nol yaitu nilai yang diharapkan bersyarat dari ui tergantung pada variabel
bebas tertentu adalah nol.
2. Cov (ui, uj) = 0, i ≠ j, artinya covarian (ui, uj) = 0, dengan kata lain tidak ada
autokorelasi antara galat yang satu dengan galat yang lain.
3. Var (ui) = ζ2, untuk setiap i, dimana i = 1, 2,...., n, artinya setiap galat
memiliki varian yang sama (asumsi homoskedastisitas).
4. Cov (ui, X1i) = cov (ui, X2i) = 0, artinya kovarian setiap galat memiliki varian
yang sama. Setiap variabel bebas tercakup dalam persamaan linier berganda.
41
5. Tidak ada multikolinearitas, yang berarti tidak terdapat hubungan linier yang
pasti antar variabel yang menjelaskan atau variabel penjelas saling bebas.
Bentuk model regresi linier berganda yang digunakan adalah:
𝑌 = 𝛽0 + 𝛽1𝑋1𝑖 + 𝛽2𝑋2𝑖 + 𝛽3𝑋3𝑖 + 𝛽4𝑋4𝑖 + 𝛽5𝑋5𝑖 + 𝜀 …………… . . . (4.1)
estimasi parameter adalah 𝛽 > 0;𝛽1,𝛽3 ,𝛽5 ,𝛽6, > 0;𝛽2 < 0
dimana :
𝑌 = harga lahan (Rp/m2)
𝑋1 = jarak tempat tinggal dengan TPAS Galuga (meter)
𝑋2 = biaya kesehatan per bulan (Rp/bulan)
𝑋3 = luas lahan (m2)
𝑋4 = biaya konsumsi air bersih (Rp/bulan)
𝐷5 = status lahan (bernilai 0 jika tidak bersertifikat dan bernilai 1 jika
bersertifikat)
𝛽0 = konstanta
𝛽1 − 𝛽5 = koefisien
i = responden ke i (i = 1,2,3,...............,60)
ε = galat
Variabel jarak tempat tinggal dengan TPAS Galuga diduga akan
berpengaruh positif (+) terhadap harga lahan karena semakin jauh jarak tempat
tinggal dengan TPAS Galuga, maka harga lahan akan semakin tinggi. Variabel
biaya kesehatan diduga akan berpengaruh negatif (-) terhadap harga lahan, dimana
semakin besar biaya kesehatan maka harga lahan akan semakin murah. Variabel
luas lahan diduga akan berpengaruh positif (+) terhadap harga lahan, dimana
semakin besar luas lahan maka harga lahan semakin mahal. Biaya konsumsi air
42
bersih diduga akan berpengaruh negatif (-) terhadap harga lahan, dimana semakin
besar biaya konsumsi air bersih maka harga lahan akan semakin murah.
Variabel status lahan diduga akan berpengaruh positif (+) terhadap harga
lahan karena lahan yang bersertifikat mempunyai harga jual yang lebih mahal.
Variabel karakteristik lahan terdiri dari biaya kesehatan, luas lahan, status lahan,
dan biaya konsumsi air bersih, sedangkan variabel jarak lahan dengan TPAS
Galuga merupakan variabel kualitas lingkungan.
4.6 Uji Kesesuaian Model
Terdapat beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan bahwa
model yang telah dihasilkan adalah baik. Menurut Bappenas, model baik haruslah
memenuhi kriteria teori ekonomi (theoritically meaningful), kriteria statistika
yang dilihat dari suatu derajat ketepatan (goodness of fit) yang dikenal dengan
koefisien determinasi (R2) serta nyata secara statistik (statistically significant)
sedangkan kriteria ekonometrika menetapkan apakah suatu taksiran memiliki
sifat-sifat yang dibutuhkan seperti unbiasedness, consistency, sufficiency,
efficiency. Umumya digunakan tiga kriteria kesesuaian model seperti berikut :
4.6.1 Kriteria Ekonomi
Model yang di uji berdasarkan kriteria ekonomi akan dilihat tanda dan
besaran tiap koefisien dugaan yang telah diperoleh. Kriteria ekonomi
mensyaratkan tanda dan besaran yang terdapat pada setiap koefisien dugaan
sesuai dengan teori ekonomi. Apabila model tersebut memenuhi kriteria ekonomi,
maka model tersebut dapat dikatakan baik secara ekonomi.
43
4.6.2 Kriteria Statistika
Ada beberapa uji yang dapat digunakan untuk menentukan kesesuaian
model regresi yang telah didapatkan secara statistika. Uji tersebut adalah sebagai
berikut :
1) Uji Koefisien Determinasi (R2) dan Adj-R
2
Uji koefisien determinasi menerangkan seberapa besar variabel dependent
(Y) mampu dijelaskan variabel independent (X). Koefisien determinasi mengukur
persentase atau proporsi total variasi dalam variabel dependent yang dijelaskan
model regresi. Secara verbal, yang paling sering digunakan untuk mengukur
goodness of fit garis regresi bisa menggunakan besaran R2.
Sifat dari R2
adalah besarannya yang selalu bernilai positif namun lebih
kecil dari satu. Jika R2 bernilai satu berarti variabel bebas memiliki kecocokan
sempurna dengan variabel endogen. Sedangkan jika R2 bernilai nol berarti model
tersebut tidak terdapat kesesuaian. Rumus untuk menghitung R2 adalah :
𝑅2 =𝐽𝐾𝑅
𝐽𝐾𝑇
dimana :
R2 = Koefisien Determinasi
JKR = Jumlah Kuadrat Regresi
JKT = Jumlah Kuadrat Total
Uji adj-R2 digunakan pula untuk melihat sejauh mana variabel-variabel
yang terdapat di dalam model dapat menjelaskan variasi yang terjadi pada variabel
tak bebasnya. Semakin besar nilai adj-R2 menunjukkan bahwa model yang
didapat semakin baik. Penggunaan adj-R2 lebih disarankan daripada R
2, karena R
2
cenderung untuk memberikan gambaran yang terlalu baik terhadap hasil regresi.
44
Hal ini terutama terjadi saat jumlah variabel bebas dalam model cukup besar atau
mendekati jumlah pengamatan (Gujarati, 2003).
2) Uji F-Statistik
Uji-F digunakan dalam membuktikan secara statistik bahwa seluruh
koefisien regresi juga signifikan dalam menentukan nilai dari variabel dependent.
Parameter regresi yang keseluruhan nilai sebenarnya sama dengan nol, dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang linier antara variabel dependent
dengan variabel independent. Uji statistik dapat dihitung dengan menggunakan
rumus :
F-Hitung = R2 / k-1
(1-R2) / n-k
Hipotesis :
F-Hitung > Fα(k-1,n-k), maka tolak H0
F-Hitung < Fα(k-1,n-k), maka terima H0
Jika H0 ditolak dalam kriteria uji-F berarti minimal ada satu variabel bebas
yang berpengaruh nyata terhadap total output, dan sebaliknya jika H0 diterima
berarti tidak ada satupun variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap output.
3) Uji p-value
Nilai p (p-value) dapat digunakan untuk menguji signifikasi model baik
secara parsial maupun keseluruhan. Jika p-value lebih kecil dari taraf nyata
sebesar α, maka variabel bebas tersebut berpengaruh nyata terhadap variabel tak
bebasnya. Sebaliknya, jika p-value lebih besar dari taraf nyata sebesar α, maka
variabel bebas tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebasnya.
45
4.6.3 Kriteria Ekonometrika
Pengujian dengan menggunakan kriteria ekonometrika didasarkan pada
pelanggaran asumsi yang digunakan dalam metode OLS. Adanya penyimpangan
terhadap asumsi BLUE (Best Linier Unbiased Estimator), maka akan diperoleh
estimasi yang tidak valid. Hal-hal yang dilihat dalam kriteria ekonometrika antara
lain adalah multikolinearitas dan heteroskedastisitas. Evaluasi kriteria tersebut
dapat dilakukan sebagai berikut :
1) Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas muncul jika dua atau lebih peubah (atau kombinasi
peubah) bebas berkorelasi tinggi antar peubah yang satu dengan yang lainnya.
Pengujian adanya multikolinearitas dapat dilakukan dengan uji Marquardt dan
dapat dilihat dari nilai VIF (Varian Inflation Factor) pada masing-masing variabel
bebas. Jika nilai VIF kurang dari 10 menunjukkan bahwa persamaan tersebut
tidak mengalami multikolinearitas (Gujarati, 1997).
2) Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas muncul apabila kesalahan atau residual dari model
yang diamati tidak memiliki varians yang konstan dari satu observasi ke observasi
lainnya. Keadaan heteroskedastisitas tersebut terjadi karena beberapa sebab,
antara lain :
1. Sifat variabel yang diikutsertakan ke dalam model.
2. Sifat data yang digunakan dalam analisis, data cross section lebih sering
memunculkan heteroskedastisitas dibandingkan dengan data time series.
3. Untuk mengetahui ada tidaknya heteroskedastisitas pada suatu model maka
harus dilakukan Uji, salah satu uji yang digunakan adalah White
46
Heteroskedasticity Test. Pengujian ini dilakukan dengan cara melihat
probabilitas Obs*R-squared-nya.
H0 : δ = 0
H1 : δ ≠ 0
Kriteria Uji :
Probability Obs*R-squared < taraf nyata (α), maka terima H0
Probability Obs*R-squaerd > taraf nyata (α), maka tolak H0
Jika hasil menunjukkan tolak H0 maka persamaan tersebut tidak
mengalami gejala heteoskedastisitas. Begitu sebaliknya, jika terima H0 maka
persamaan tersebut mengalami gejala heteroskedastisitas (Gujarati, 1997).
V. GAMBARAN UMUM
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Desa Galuga terletak di Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Desa
ini terdiri dari 6 Rukun Warga (RW) dan 13 Rukun Tetangga (RT). Secara
administratif Desa Galuga berbatasan dengan Desa Dukuh di sebelah utara,
sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Leuwiliang, sebelah barat
berbatasan dengan Desa Cijujung, dan sebelah timur berbatasan dengan Desa
Cemplang. Secara geografis Desa Galuga memiliki ketinggian 250 m di atas
permukaan laut (dpl), sehingga beriklim sejuk. Desa Galuga memiliki curah hujan
yang cukup banyak sekitar 2.000 mm/tahun, dengan jumlah bulan hujan sebanyak
4 bulan. Suhu rata-rata harian Desa Galuga sekitar 23-32 ºC (Potensi Desa
Galuga, 2004).
Sarana pendidikan yang terdapat di Desa Galuga yaitu SD Dukuh 2 dan
SD Dukuh 5 serta dua PAUD yang sekaligus digunakan sebagai Posyandu. Selain
itu, terdapat sarana olahraga seperti lapangan sepakbola dan sarana peribadatan
berupa masjid, musholla, dan majlis .
Jumlah penduduk yang tercatat di Desa Galuga sampai pada bulan
Februari 2011 berjumlah 5.652 jiwa terdiri dari 1.615 Kepala Keluarga (KK).
Rasio beban tanggungan adalah 60, dimana 60 masyarakat usia tidak produktif
ditanggung oleh 100 masyarakat usia produktif. Jumlah penduduk laki-laki terdiri
dari 2.864 jiwa dan jumlah penduduk perempuan terdiri dari 2.788 jiwa, dengan
rasio jenis kelamin adalah 97 perempuan per 100 laki-laki. Jumlah penduduk Desa
Galuga yang merupakan usia produktif sebanyak 3.530 jiwa, sedangkan jumlah
penduduk usia tidak produktif sebanyak 2.122 jiwa.
48
Tingkat pendidikan masyarakat Galuga pada tahun 2009 secara umum
tergolong masih rendah. Persentase tingkat pendidikan terbesar adalah Tamat
SD/sederajat yaitu sebesar 31 persen. Jumlah penduduk menurut tingkat
pendidikan di Desa Galuga pada tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Desa Galuga Tahun
2009
Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang) Persentase (%)
Tidak Tamat SD 1.073 21
Tamat SD/sederajat 1.565 31
Tamat SLTP/sederajat 945 19
Tamat SLTA/sederajat 741 15
Belum Sekolah 716 14
Jumlah 5.040 100 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor (2009)
Tingkat pendidikan yang rendah merupakan salah satu penyebab
rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap kondisi lingkungan yang baik,
sehingga masyarakat cenderung untuk mengabaikan adanya dampak lingkungan
yang ditimbulkan dari adanya TPAS tersebut.
5.1.1 Kondisi Umum Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga
Berdasarkan pertimbangan geografis dan kondisi tempat dengan luas yang
mendukung, pada tahun 1995 Pemerintah Daerah Kotamadya Bogor bekerjasama
dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor mendirikan Tempat Pembuangan
Akhir Sampah (TPAS) di Desa Galuga sebagai pengganti TPAS Rancamaya yang
sudah tidak beroperasi lagi. Alasan utama penutupan lokasi TPAS tersebut karena
berbatasan langsung dengan lokasi pemukiman dan tidak sesuai lagi dengan tata
ruang kota. Tempat Pembuangan Akhir Sampah tersebut pada awalnya dikelola
oleh pemerintah Kabupaten Bogor, dimana hanya sebagian kecil sampah dari
Kabupaten Bogor yang dibuang ditempat tersebut dengan luas lahan sekitar 4 ha.
49
Pada tahun 1995 TPAS tersebut dikelola bersama oleh pemerintah Kota Bogor
dan pemerintah Kabupaten Bogor. Namun pada tahun 2009, sebagian besar
sampah dari Kabupaten Bogor juga dibuang di TPAS tersebut.
Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Galuga memiliki luas sekitar
17,2 ha yang merupakan tanah milik Pemerintah Kota Bogor dan 4 ha yang
merupakan milik Pemerintah Kabupaten Bogor. Lokasi TPAS tersebut terletak
diantara Kampung Sinarjaya (RT 09), Kampung Moyan (RT 10 dan RT 11), dan
Kampung Cimangir (RT 04 dan RT 05), dengan jarak dari pusat kota sekitar 25
km. Penggunaan lahan di TPAS Galuga dibagi menjadi beberapa bagian antara
lain areal pembongkaran sampah ± 1,040 ha; sarana jalan dan saluran drainase ±
0,510 ha; saluran dan kolam pengolahan lindi ± 0,360 ha; kantor dan pos
pengawas ± 0,600 ha; pos pelayanan kesehatan ± 0,020 ha; lahan penampungan
sampah ± 7, 476 ha; pabrik kompos ± 1,000 ha; penggunaan lainnya ± 3,500 ha
(Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bogor, 2010). Peta orientasi TPAS
Galuga dapat dilihat pada Gambar 3.
Sumber : Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor (2010)
Gambar 3 Peta Orientasi TPAS Galuga
50
5.1.2 Gambaran Pengendalian Pemerintah terhadap Tempat Pembuangan
Akhir Sampah Galuga
Sistem pengelolaan sampah yang diterapkan pada TPAS Galuga adalah
peralihan dari open dumping menjadi control landfill, sehingga memungkinkan
beberapa faktor lingkungan dapat dipengaruhi oleh lindi, gas, bau, debu, dan
penyakit. Sistem antisipasi atau pengendalian yang dilakukan oleh pemerintah
terhadap pencemaran lingkungan dan masyarakat akibat adanya TPAS antara lain
dengan melaksanakan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL)/Upaya Pemantauan
Lingkungan (UPL) di lingkungan TPAS dan sekitarnya. Dokumen UKL/UPL dan
pelaksanaannya dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Dokumen UKL/UPL dan Pelaksanaannya No Dokumen UKL/UPL Pelaksanaan
1 Upaya Pengelolaan Lingkungan
Pembuatan kolam air lindi dan pengawasan secara intensif
- Pembuatan kolam air lindi terlaksana namun pengawasannya belum
terlaksana dengan baik
- Pemberantasan demam berdarah
setiap tiga bulan sekali dan sesuai kebutuhan masyarakat saat darurat
- Belum terlaksana dengan baik
- Penyemprotan hama lalat areal
TPAS dan perumahan warga setiap sebulan sekali
- Terlaksana
- Menyediakan pelayanan dan
pemeriksaan dan pengobatan gratis setiap bulan
- Terlaksana
2 Upaya Pemantauan Lingkungan
- Pengambilan serta analisis
laboratorium sampel air tanah dan air permukaan untuk mengetahui
tingkat cemaran terhadap kualitas
air tanah dan air permukaan di sekitar TPAS tersebut
- Belum terlaksana dengan baik
- Melakukan wawancara terhadap
masyarakat dan pengambilan data
sekunder dari puskesmas setempat untuk mengetahui frekuensi
kejadian jumlah orang sakit yang
disebabkan oleh aktivias TPAS Galuga
- Terlaksana
Sumber : Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bogor (2010).
51
5.1.3 Gambaran Kondisi Lahan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir
Sampah Galuga
Desa Galuga memiliki luas wilayah 175 ha yang terdiri dari tanah
persawahan sebesar 50 ha, 25 ha gunung, 78,8 ha pemukiman termasuk sarana
dan prasarana, 4 ha tanah milik pemerintah Kabupaten Bogor, dan 17,2 ha tanah
milik pemerintah Kota Bogor yaitu wilayah Tempat Pembuangan Akhir Sampah
(TPAS). Penggunaan lahan terbesar merupakan lahan pemukiman, dengan rata-
rata kepadatan penduduk 31,0 jiwa/km2. Penggunaan lahan terbesar kedua yaitu
penggunaan lahan sawah.
TPAS Galuga memiliki topografi relatif lebih rendah tidak datar dan
kondisi tanah lempung berhumus. Di sekitar TPAS Galuga masih terdapat
beberapa jenis tanaman budidaya dan tanaman non budidaya. Vegetasi/tanaman
budidaya yaitu rambutan, pisang, bambu, kelapa, albasia, nangka, rumput, talas,
padi sawah, genjer, kangkung, durian, jengkol, jambu biji, dan duku.
Vegetasi/tanaman non budidaya adalah semak belukar/ilalang (wawancara dengan
pegawai dinas kebersihan Kota Bogor).
5.2 Krakteristik Responden
Karakteristik umum responden di Desa Galuga diperoleh berdasarkan
survei yang dilakukan terhadap 60 warga masyarakat. Karakteristik umum
responden ini dinilai dari beberapa variabel meliputi jenis kelamin, usia,
pendidikan formal yang pernah ditempuh, jumlah tanggungan, kategori penduduk,
lama tinggal di sekitar TPAS Galuga, waktu tinggal, dan status lahan. Responden
yang dipilih semua berjenis kelamin laki-laki dan merupakan kepala keluarga
(KK). Pemilihan responden yang merupakan kepala keluarga karena umumnya
mereka lebih mengetahui informasi yang dibutuhkan oleh peneliti.
52
5.2.1 Usia
Responden memiliki tingkat usia yang bervariasi, mulai dari usia 25 tahun
hingga 60 tahun. Penyebaran usia responden sebagian besar berada pada kisaran
31-40 tahun sebanyak 45,00 persen dan kisaran 41-50 tahun sebanyak 21,67
persen. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden masih berada pada
usia produktif disebabkan karena responden merupakan kepala keluarga.
Responden yang berusia lebih dari 50 tahun sebesar 25,00 persen, sedangkan
responden yang kurang dari 30 tahun sebesar 8,33 persen.
5.2.2 Jumlah Tanggungan
Jumlah tanggungan responden mayoritas adalah 4 orang, yakni sebanyak
38,33 persen. Responden yang memiliki jumlah tanggungan sebanyak 3 orang
sebanyak 23,33 persen. Sementara itu 18,33 persen responden memiliki jumlah
tanggungan 5 orang, 10,00 persen responden memiliki jumlah tanggungan 6
orang, 8,33 persen respoden memiliki jumlah tanggungan 7 orang dan 1,67 persen
responden memiliki jumlah tanggungan 8 orang. Jumlah tanggungan yang
dimaksudkan disini mencakup keluarga inti (suami/istri dan anak) serta tambahan
tanggungan bukan keluarga inti yang tinggal di rumah responden.
5.2.3 Pendidikan Formal
Tingkat pendidikan responden masih sangat rendah. Hal ini ditunjukkan
oleh responden yang sebagian besar berpendidikan SD sebanyak 75,00 persen dan
yang tidak tamat SD sebanyak 10,00 persen. Sementara yang berpendidikan SLTP
dan SLTA masing-masing hanya 5,00 persen dan 8,33 persen, sedangkan yang
berpendidikan Sarjana (S1) hanya 1,67 persen. Rendahnya tingkat pendidikan
53
disebabkan keadaan perekonomian keluarga yang masih tergolong rendah.
Persentase tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Pendidikan Terakhir n Persentase (%)
Tidak Sekolah 6 10,00
SD atau sederajat 45 75,00
SLTP atau sederajat 3 5,00
SLTA atau sederajat 5 8,33
Sarjana (S1) 1 1,67
Pasca Sarjana (S2 dan S3) 0 0,00
Total 60 100,00 Sumber : Data Primer (diolah), 2011
5.2.4 Jenis Pekerjaan
Terdapat beragam jenis pekerjaan yang dilakukan responden di tempat
penelitian. Responden dalam penelitian ini seluruhnya bekerja disektor informal.
Sebagian besar pekerjaan responden adalah buruh 41,67 persen yang meliputi
tukang ojek, supir, pemulung, dan lainnya. Terdapat pula responden yang bekerja
sebagai pedagang, petani, wiraswasta, pegawai swasta, dan lainnya. Perbandingan
persentase responden berdasarkan jenis pekerjaannya dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Pekerjaan n Persentase (%)
PNS 0 0,00
ABRI 0 0,00
Pegawai Swasta 5 8,33
Pedagang 17 28,33
Wiraswasta 8 13,33
Buruh 25 41,67
Petani 3 5,00
Lainnya 2 3,33
Total 60 100,00 Sumber : Data Primer (diolah), 2011
5.2.5 Sumber dan Tingkat Pendapatan Responden
Sebagian besar responden bekerja atau sumber pendapatannya berasal dari
luar TPAS Galuga yaitu 80,00 persen, sedangkan 20,00 persen responden bekerja
54
atau sumber pendapatannya berasal dari TPAS Galuga. Jenis pekerjaan yang
berbeda akan menunjukkan pendapatan yang berbeda pula. Persentase pendapatan
terbesar adalah antara Rp 500.001,00 - Rp 1.000.000,00 per bulan sebesar 45,00
persen. Hal ini terkait dengan jenis pekerjaan responden yang mayoritas adalah
buruh. Berdasarkan UMR (Upah Minimum Regional) Kabupaten Bogor sebesar
Rp 1.056.914,00, sehingga dapat diketahui bahwa sebagian besar pendapatan
responden tergolong rendah karena berada di bawah UMR yang telah ditetapkan.
Responden yang memiliki pendapatan dibawah Rp 500.000,00 per bulan
sebanyak 10,00 persen. Sedangkan responden yang memiliki pendapatan diatas
Rp 3.000.000,00 per bulan sebesar 10,00 persen. Distribusi tingkat pendapatan
responden dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan
Pendapatan n Persentase (%)
≤Rp 500000,00 6 10,00
Rp 500001-Rp 1000000,00 27 45,00
Rp 1000001,00-Rp 2000000,00 15 25,00
Rp 2000001,00-Rp 3000000,00 6 10,00
>Rp 3000000,00 6 10,00
Total 60 100,00 Sumber : Data Primer (diolah), 2011
5.2.7 Kategori Penduduk
Kategori penduduk dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu penduduk
asli Desa Galuga dan penduduk pendatang atau migran. Mayoritas responden
adalah penduduk asli Desa Galuga dengan persentase sebesar 80,00 persen,
sedangkan persentase penduduk pendatang atau migran sebesar 20,00 persen.
5.2.8 Lama Tinggal
Responden umumnya adalah warga yang telah turun-menurun tinggal di
Desa Galuga. Hal ini dibuktikan dengan 46,67 persen responden telah menetap
55
selama 31-45 tahun di Desa Galuga, 28,33 persen responden telah menetap lebih
dari 45 tahun di Desa Galuga, dan 10,00 persen responden telah tinggal antara 16-
30 tahun di Desa Galuga. Sedangkan 15,00 persen responden telah menetap
kurang dari 15 tahun di Desa Galuga yang merupakan pendatang atau migran.
5.2.9 Waktu Tinggal
Waktu tinggal responden dikelompokkan menjadi dua yaitu responden
yang menetap sebelum ada TPAS Galuga dan warga yang menetap setelah ada
TPAS Galuga. Mayoritas responden menetap sebelum ada TPAS Galuga dengan
persentase 81,67 persen, sedangkan persentase responden yang menetap setelah
ada TPAS Galuga sebesar 18,33 persen. Responden yang menetap setelah adanya
TPAS Galuga merupakan warga dari daerah lain yang menikah dengan
masyarakat Desa Galuga.
5.2.10 Status Lahan
Status lahan responden dikelompokkan menjadi dua yaitu lahan responden
yang bersertifikat dan lahan responden yang tidak bersertifikat. Lahan responden
yang bersertifikat yakni sebanyak 15,00 persen, sedangkan 85,00 persen
responden lainnya tidak memiliki sertifikat.
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Deskripsi Lingkungan Permukiman Sekitar Tempat Pembuangan Akhir
Sampah Galuga Berdasarkan Penilaian Responden
6.1.1 Penilaian Responden terhadap Kebersihan Desa Galuga
Lingkungan merupakan salah satu bagian dari ekosistem tempat manusia
hidup dan berinteraksi. Keberadaan lingkungan memiliki arti penting dalam
menunjang kehidupan manusia. Kualitas lingkungan yang baik dapat membantu
mewujudkan kualitas hidup manusia yang lebih baik. Penilaian utama yang
umumnya dilakukan untuk mengidentifikasi apakah suatu lingkungan dapat
dikatakan baik adalah dari segi kebersihan.
Hasil penelitian terhadap 60 responden di Desa Galuga menunjukkan
bahwa penilaian responden terhadap kebersihan lingkungan sekitar TPAS Galuga
berbeda-beda. Pebandingan persentase penilaian responden terhadap kebersihan
lingkungan dapat dilihat pada Gambar 4.
Sumber : Data Primer (diolah), 2011
Gambar 4 Penilaian Responden terhadap Kebersihan Lingkungan di Sekitar TPAS
Galuga
Responden yang menilai kebersihan lingkungannya bersih sebesar 50,00
persen. Hal ini dikarenakan responden sudah terbiasa dengan keadaan lingkungan
yang ada karena sebagian besar responden sudah tinggal di lingkungan
1,67%
48,33%
0,00%
50,00%
0,00%
Sangat kotor
Kotor
Biasa saja
Bersih
Sangat Bersih
57
pemukiman sekitar TPAS Galuga dalam waktu yang cukup lama. Persentase
penilaian ini tidak berbeda jauh dengan responden yang menilai kebersihan
lingkungan sekitarnya kotor yaitu sebesar 48,33 persen. Sedangkan responden
yang menilai kebersihan lingkungannya sangat kotor sebesar 1,67 persen.
Hasil perhitungan nilai rata-rata semantic differential didapatkan nilai
sebesar 3,0 untuk nilai kebersihan setelah ada TPAS yang nilainya lebih kecil dari
nilai rata-rata semantic differential sebelum ada TPAS sebesar 3,8. Hal ini
menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian responden, terjadi penurunan kualitas
kebersihan di permukiman sekitar TPAS Galuga.
6.1.2 Penilaian Responden terhadap Kondisi Air
Ketersediaan air bersih di suatu tempat tinggal dapat berpengaruh terhadap
tingkat kesehatan penghuninya. Selain air sebagai konsumsi tubuh (air minum),
air juga digunakan sebagai sarana kebersihan tubuh dan barang. Apabila kualitas
air rendah maka tingkat kesehatan penghuninya dapat menurun. Walaupun tidak
dikonsumsi, air dengan kualitas rendah dapat menimbulkan penyakit, misalnya
penyakit kulit maupun penyakit yang diakibatkan barang-barang yang tidak bersih
setelah dicuci dengan air yang berkualitas rendah.
Penilaian kualitas air di lingkungan sekitar TPAS Galuga sebagian besar
tidak bermasalah. Hal ini ditunjukkan dengan persentase untuk penilaian kondisi
air tercemar sebesar 38,33 persen dan kondisi air tidak tercemar sebesar 61,67
persen. Selain itu ditunjukkan dengan nilai rata-rata semantic differential yang
menunjukkan angka 0,6 angka ini mendekati nilai skala kedua, sehingga secara
kualitatif sebagian besar responden menilai bahwa kondisi air di Desa Galuga
tidak tercemar. Persentase kondisi air dapat dilihat pada Gambar 5.
58
Sumber : Data Primer (diolah), 2011
Gambar 5 Penilaian Responden terhadap Kondisi Air
Kondisi air tercemar sebagian besar dirasakan oleh warga Kampung
Sinarjaya, karena pada wilayah ini dilalui oleh saluran air lindi. Sedangkan
kondisi air tidak tercemar sebagian besar dirasakan oleh warga Kampung Moyan
yang wilayahnya berada di sebelah selatan TPAS Galuga dan warga Kampung
Cimangir yang wilayahnya di sebelah utara TPAS tetapi terhalang oleh Gunung
Galuga.
Kurniawan (2006) melakukan penelitian mengenai analisis kualitas air
sumur di sekitar wilayah TPAS dengan melihat Indeks Kualitas Air (IKA) sumur
sebagai pengaruh pengelolaan TPAS (studi kasus di TPAS Galuga Cibungbulang
Bogor). Hasil pengukuran fisik, kimia, dan mikrobiologi air sumur di wilayah
sekitar TPAS Galuga menunjukkan ada 11 parameter yang telah melampaui
ambang batas maksimum yang diperbolehkan menurut persyaratan Baku Mutu
Air Kelas 1, yaitu bau, rasa, pH, DO, BOD5, COD, amonia, nitrit, seng, bakteri
coliform, dan fecal coli (E. Coli). Indeks Kualitas Air (IKA) sumur yang berada
pada jarak 400 m, 600 m, dan 700 m tergolong buruk dengan kisaran indeks
41,03-48,36. Nilai IKA rata-rata untuk seluruh lokasi pengamatan adalah 48,65
yang tergolong buruk. Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa secara
38,33%
61,67%Bermasalah
Tidak bermasalah
59
umum kualitas air sumur wilayah sekitar TPA tergolong buruk dan tidak layak
dikonsumsi untuk air minum namun masih bisa digunakan untuk keperluan
perikanan dan pertanian.
6.1.3 Penilaian Responden terhadap Kondisi Udara
Kondisi udara juga dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat yang
tinggal disuatu tempat. Semakin baik kualitas udara, potensi terserang peyakit
semakin rendah. Selain mengganggu kesehatan pencemaran udara juga
mengganggu kenyamanan masyarakat yang tinggal di tempat tersebut.
Penilaian kualitas udara di sekitar TPAS Galuga sebagian besar
bermasalah. Hal ini ditunjukkan dengan persentase untuk penilaian pencemaran
udara yang bermasalah sebesar 90,00 persen. Sedangkan penilaian pencemaran
udara yang tidak bermasalah sebesar 10,00 persen. Selain itu nilai rata-rata
semantic differential tentang kondisi pencemaran udara sebesar 0,1. Nilai ini
mendekati skala ke satu yang berarti bahwa sebagian besar penilaian kondisi
udara di sekitar TPAS Galuga telah tercemar. Persentase pencemaran udara dapat
dilihat pada Gambar 6.
Sumber : Data Primer (diolah), 2011
Gambar 6 Penilaian Responden terhadap Kondisi Udara
90,00%
10,00%
Bermasalah
Tidak bermasalah
60
6.1.4 Penilaian Responden terhadap Pengelolaan Sampah di Tempat
Pembuangan Akhir Sampah Galuga
Pengelolaan TPAS dengan baik akan dapat meminimalisir dampak negatif
yang ditimbulkannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penilaian responden
terhadap pengelolaan sampah di TPAS Galuga sebagian besar menilai cukup
sebesar 41,67 persen. Sementara itu responden yang menilai pengelolaan TPAS
Galuga tidak baik sebesar 30,00 persen, sedangkan responden yang menilai
pengelolaan di TPAS Galuga baik sebesar 28,33 persen. Persentase penilaian
responden terhadap pengelolaan TPAS Galuga dapat dilihat pada Gambar 7.
Sumber : Data Primer (diolah), 2011
Gambar 7 Penilaian Responden terhadap Pengelolaan Sampah di Tempat
Pembuangan Akhir Sampah Galuga
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai rata-rata perhitungan
semantic differential sebesar 2,0. Nilai ini berada pada skala kedua berarti
responden menilai bahwa pengelolaan TPAS Galuga cukup. Namun terdapat 30
persen responden yang menilai bahwa pengelolaan TPAS Galuga tidak baik.
Pengelolaan TPAS Galuga sangat berpengaruh terhadap kualitas
lingkungan di Desa Galuga. Sampah yang tidak dikelola dengan baik dapat
memberi dampak negatif bagi lingkungan sekitarnya, bahkan dapat menyebabkan
30,00%
41,67%
28,33%
Tidak baik
Cukup
Baik
61
degradasi kualitas lingkungan. Saat penelitian dilakukan, terdapat beberapa
responden yang tidak mengetahui dampak negatif dari adanya sampah. Hal ini
terjadi karena terdapat beberapa responden yang pendapatannya berasal dari
sampah sehingga mereka menganggap bahwa sampah sangat menguntungkan dan
tidak mempedulikan adanya dampak negatif. Dampak negatif dari sampah yang
diketahui responden dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Dampak Negatif Adanya Sampah yang Dialami Responden
Dampak negatif yang dialami n Persentase (%)
Mengganggu pemandangan dan keindahan 2 3,33
Menimbulkan pencemaran air dan udara 47 78,33
Berkembangnya bibit penyakit 3 5,00
Di TPAS kekurangan oksigen 0 0,00
Semua jawaban,lainnya 8 13,33
Total 60 100,00
Sumber : Data Primer (diolah), 2011
6.1.5 Tingkat Gangguan Responden
Keberadaan TPAS dapat mengganggu lingkungan sekitar baik bagi
manusia maupun makhluk hidup lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar responden merasa tidak terganggu dengan keberadaan TPAS
Galuga sebesar 78,33 persen. Sedangkan responden yang merasa terganggu
dengan keberadaan TPAS Galuga sebesar 18,33 persen. Hasil perhitungan
menunjukkan bahwa nilai rata-rata semantic differential sebesar 2,4. Nilai ini
mendekati skala kedua yang berarti bahwa sebagian besar masyarakat merasa
tidak terganggu dengan adanya TPAS Galuga. Persentase tingkat gangguan
responden akibat keberadaan TPAS Galuga dapat dilihat pada Gambar 8.
62
Sumber : Data Primer (diolah), 2011
Gambar 8 Tingkat Gangguan Responden Akibat Keberadaan TPAS Galuga
Pada awalnya masyarakat merasa terganggu dan menolak keberadaan
TPAS tersebut. Seiring dengan berjalannya waktu, banyak masyarakat merasa
diuntungkan dengan adanya TPAS tersebut karena dapat memberikan lapangan
pekerjaan, namun tidak sedikit pula masyarakat yang tetap menolak keberadaan
TPAS tersebut.
6.2 Estimasi Nilai Penurunan Kualitas Lingkungan
Lingkungan memiliki peranan penting dalam kesehatan masyarakat.
Pencemaran lingkungan akan terasa dampaknya pada ketidaknyamanan kehidupan
manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Bila terdapat limbah yang
dibuang ke badan air atau udara ambien yang akan langsung dimanfaatkan oleh
manusia untuk air minum dalam hal sumberdaya air ataupun untuk bernafas
dalam sumberdaya udara. Hal ini akan mengganggu kenyamanan hidup dan
mengurangi tingkat kesehatan, serta meningkatkan biaya kesehatan bagi
masyarakat di lingkungan tersebut.
Nilai penurunan kualitas lingkungan di sekitar TPAS Galuga di estimasi
dengan dua metode yaitu biaya kesehatan dan biaya pengganti. Biaya kesehatan
0,00%
78,33%
1,67%18,33%
1,67%
sangat tidak mengganggu
tidak mengganggu
biasa saja
mengganggu
sangat mengganggu
63
dikeluarkan oleh masyarakat akibat adanya pencemaran air dan pencemaran
udara. Biaya pengganti dikeluarkan oleh masyarakat untuk pembelian sumber air
karena sumber air yang biasa mereka gunakan tercemar akibat keberadaan TPAS
Galuga, khususnya biaya pengganti untuk pembelian air minum.
6.2.1 Analisis Biaya Kesehatan
Keberadaan TPAS Galuga tidak hanya menyebabkan masyarakat
mengeluarkan biaya untuk mengganti sumber air yang biasa mereka gunakan
tetapi juga berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat yang bertempat tinggal di
sekitar TPAS Galuga. Pencemaran air dan udara yang terjadi membuat
masyarakat menderita penyakit akibat pencemaran tersebut antara lain penyakit
pencernaan, kulit, dan pernafasan. Adapun sepuluh besar penyakit yang sering
diderita oleh masyarakat di sekitar TPAS Galuga antara lain ISPA, batuk, demam,
sakit kepala, hypotensi, dermatitis, influenza, sesak nafas, scabies, dan diare GE
(Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor, 2011).
Biaya pengobatan per penyakit responden dihitung berdasarkan biaya
pengobatan yang dikeluarkan satu keluarga, karena yang menderita sakit tidak
hanya responden saja, tetapi juga yang menjadi tanggungan responden. Nilai
pendapatan yang hilang responden dilihat dari jumlah hari tidak masuk kerja
responden pada saat responden atau anggota keluarga responden yang menjadi
tanggungjawab responden sakit, yang kemudian dijumlahkan untuk mengetahui
besarnya pendapatan yang hilang akibat penyakit tersebut. Pada penelitian ini
sebagian besar yang menderita penyakit adalah keluarga responden, sedangkan
responden yang menderita sakit tetap bekerja, sehingga tidak terdapat pendapatan
yang hilang akibat tidak masuk kerja karena sakit.
64
Biaya pengobatan yang dihitung adalah penyakit yang diakibatkan oleh
pencemaran air dan udara. Pencemaran air yang terjadi membuat masyarakat
menderita penyakit pencernaan, kulit, dan lainnya. Biaya pengobatan masyarakat
akibat pencemaran air dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Biaya Pengobatan Responden Akibat Pencemaran Air
Wilayah
Jumlah
Penderita
(orang)
Cost of
Time
Total Biaya
Pengobatan/tahun
(Rp/tahun)
RT 04 dan RT 05 0 0 0
RT 09 4 0 2.122.000
RT 10 dan RT 11 5 0 734.000
Total 9 0 2.856.000
Morbiditas pencemaran air 1.884
Total Biaya Pengobatan 5.380.704.000 Sumber : Data Primer (diolah), 2011
Pada Tabel 10 biaya pengobatan akibat pencemaran air adalah sebesar Rp
5.380.704.000,00 per tahun. Nilai tersebut didapat dari biaya pengobatan
masyarakat akibat pencemaran air selama satu tahun terakhir. Penyakit yang
diderita masyarakat akibat pencemaran air sebagian besar adalah penyakit kulit
yaitu gatal-gatal dan penyakit pencernaan. Masyarakat yang menderita penyakit
tersebut sebagian besar adalah masyarakat yang masih menggunakan air sumur
dan sumber air yang ada sebagai keperluan minum dan keperluan sehari-hari
seperti memasak dan MCK.
Selain pencemaran air, pencemaran udara juga dirasakan oleh masyarakat
dan berimplikasi pada kesehatan. Sebagian besar responden yang menderita
penyakit akibat pencemaran udara adalah responden yang berada diwilayah RT 04
dan RT 05. Hal ini dikarenakan RT 04 dan RT 05 memiliki jarak yang dekat
dengan TPAS Galuga. Penyakit pernafasan akibat pencemaran udara yang diderita
65
masyarakat adalah sesak nafas dan batuk. Biaya pengobatan masyarakat akibat
pencemaran udara dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Biaya Pengobatan Responden Akibat Pencemaran Udara
Wilayah
Jumlah
Penderita
(orang)
Cost of
Time
Total Biaya
Pengobatan/tahun
(Rp)
RT 04 dan RT 05 6 0 1.464.000
RT 09 2 0 1.300.000
RT 10 dan RT 11 3 0 2.352.000
Total 11 0 5.116.000
Morbiditas pencemaran udara 1.884
Total Biaya Pengobatan 9.638.544.000 Sumber : Data Primer (diolah), 2011
Hasil estimasi menunjukkan bahwa nilai kerugian responden akibat
pencemaran udara sebesar Rp 9.638.544.000,00 per tahun. Nilai tersebut didapat
dari biaya pengobatan masyarakat akibat pencemaran udara selama satu tahun
terakhir. Sebagian besar pencemaran udara dirasakan oleh responden yang berada
di wilayah RT 04 dan RT 05. Hal ini dapat terjadi karena wilayah ini memiliki
jarak paling dekat dengan TPAS Galuga daripada wilayah lain yang termasuk
dalam penelitian.
Total biaya pengobatan satu tahun yang dikeluarkan masyarakat didapat
dari penjumlahan biaya pengobatan akibat pencemaran air dan pencemaran udara
yaitu sebesar Rp 15.019.248.000,00 per tahun. Kurangnya perhatian pengelola
TPAS Galuga mengenai sanitasi menjadi salah satu penyebab tercemarnya air
sumur warga dan sumber air lainnya yang diakibatkan oleh rembesan air lindi.
Selain itu tumpukan sampah juga menyebabkan bau tidak sedap yang
menimbulkan penyakit.
66
6.2.2 Analisis Biaya Pengganti
Biaya pengganti didapat dari nilai pembelian masyarakat atas sumber air
pengganti untuk sumber air minum. Sedangkan untuk memasak dan untuk
keperluan sehari-hari lainnya sebagian besar masyarakat masih menggunakan air
sumur dan mata air yang ada. Pengeluaran biaya pengganti akibat keberadaan
TPAS Galuga untuk sumber air minum dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12 Biaya Pengganti untuk Sumber Air Minum Akibat Pencemaran Air
Wilayah
Jumlah Responden
yang Membeli Air
(orang)
Biaya Pembelian Air
Minum Per Tahun
(Rp)
RT 04 dan RT 05 1 480.000
RT 09 2 2.976.000
RT 10 dan RT 11 2 7.836.000
Total 5 11.292.000
Populasi RT 09 109
Total Biaya Pengganti 1.230.828.000 Sumber : Data Primer (diolah), 2011
Hasil estimasi biaya pengganti diperoleh nilai sebesar Rp
1.230.828.000,00 per tahun. Nilai tersebut didapat dari nilai pembelian
masyarakat atas sumber air pengganti untuk sumber air minum.
6.2.3 Nilai Ekonomi Penurunan Kualitas Lingkungan
Nilai ekonomi penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS
Galuga diestimasi dengan menjumlahkan semua biaya yang dikeluarkan oleh
masyarakat. Total nilai ekonomi akibat penurunan kualitas lingkungan dapat
dilihat pada Tabel 13.
67
Tabel 13 Total Nilai Ekonomi Penurunan Kualitas Lingkungan
Wilayah
Biaya Pengganti
(Replacement
Cost) (Rp)
Biaya Kesehatan
(Cost of Illness)
(Rp)
Total
RT 04 dan RT 05 480.000 1.464.000 1.944.000
RT 09 2.976.000 3.422.000 6.398.000
RT 10 dan RT 11 7.836.000 3.086.000 10.922.000
Total 11.292.000 7.972.000 19.264.000
Populasi RT 09 109 1.884
Total Kerugian
Masyarakat 1.230.828.000 15.019.248.000 16.250.076.000
Sumber : Data Primer (diolah), 2011
Hasil estimasi menunjukkan bahwa total nilai ekonomi yang dikeluarkan
masyarakat sebesar Rp 16.250.076.000,00 per tahun. Biaya tersebut berupa biaya
kesehatan dan biaya pengganti yaitu biaya pengobatan akibat pencemaran air,
biaya pengobatan akibat pencemaran udara, dan biaya pengganti yang dikeluarkan
untuk sumber air minum.
6.3 Analisis Pengaruh Faktor Penurunan Kualitas Lingkungan terhadap
Harga Lahan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga
6.3.1 Harga Lahan
Harga lahan menentukan pilihan seseorang untuk tinggal disuatu tempat.
Lahan dengan harga tinggi mencerminkan semakin tinggi kualitas lahan tersebut
baik lokasi, karakteristik properti, karakteristik lingkungan sekitar, maupun
karakteristik aksesibilitasnya. Kenaikan harga lahan juga merupakan suatu
konsekuensi dari suatu perubahan penggunaan dan pemanfaatan lahan tersebut.
Harga lahan responden bervariasi mulai dari Rp 30.000,00/m2 hingga Rp
100.000,00/m2. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 40,00 persen harga lahan
responden kurang dari atau sama dengan Rp 40.000,00/m2, 46,67 persen harga
lahan responden antara Rp 40.001/m2-Rp 80.000/m
2, 13,33 persen harga lahan
responden lebih dari Rp 80.001,00/m2. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh
68
rataan harga lahan Rp 51.667,00/m2. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat 44
lahan responden yang harganya beada dibawah rata-rata dan 16 lahan responden
yang harganya diatas rata-rata. Distribusi harga lahan responden dapat dilihat pada
Gambar 9.
Sumber : Data Primer (diolah), 2011
Gambar 9 Distribusi Harga Lahan Responden
Harga lahan di Desa Galuga di duga dipengaruhi oleh keberadaan TPAS
Galuga. Harga lahan responden dapat dipengaruhi oleh jarak lahan dengan TPAS
Galuga dan kebersihan lingkungan. Status lahan juga dapat berpengaruh terhadap
harga lahan tersebut. Responden yang memiliki sertifikat hak milik atas lahan
yang dimilikinya maka harga lahannya akan lebih tinggi. Perbedaan harga lahan
responden diduga dapat menunjukkan adanya perbedaan kualitas lingkungan, oleh
karena itu digunakan harga lahan sebagai indikator untuk melihat bahwa terjadi
perbedaan kualitas lingkungan yang dipengaruhi oleh keberadaan TPAS Galuga.
6.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan di Sekitar TPAS
Galuga
Pendugaan fungsi faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan
pemukiman di sekitar TPAS Galuga dilakukan dengan analisis regresi berganda.
40,00%
46,67%
13,33%
≤Rp 40000,00
Rp 40001,00-Rp 80000,00
>Rp 80000,00
69
Variabel tidak bebas (dependent variabel) yang digunakan adalah harga lahan,
sedangkan variabel yang dimasukkan dalam variabel bebas (independent variabel)
adalah jarak tempat tinggal dengan TPAS Galuga (X1), biaya kesehatan (X2), luas
lahan (X3), biaya konsumsi air bersih (X4), status lahan (D5). Hasil persamaan
regresinya adalah :
𝑌 = 101008− 81,2𝑋1 + 45257𝐷5
Menurut Gujarati (2003) semakin besar nilai Adjusted-Squared (adj-R2)
menunjukkan bahwa model yang didapat semakin baik. Penggunaan adj-R2 lebih
disarankan daripada R-squared (R2), karena R
2 cenderung untuk memberikan
gambaran yang terlalu baik terhadap hasil regresi. Hal ini terjadi terutama saat
penambahan variabel atau jumlah variabel bebas dalam model cukup besar. Hasil
estimasi menunjukkan bahwa nilai adj-R2
sebesar 86,9 berarti bahwa 86,9 persen
keragaman harga lahan permukiman masyarakat Desa Galuga dapat diterangkan
oleh variabel-variabel penjelas yang terdapat pada model, sedangkan sisanya (13,1
persen) dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan ke dalam model.
Nilai Fhitung sebesar 79,02 dengan P-value sebesar 0.000 menunjukkan bahwa
secara serentak, variabel-variabel penjelas berpengaruh nyata terhadap model.
Sementara secara individu, variabel yang berpengaruh nyata terhadap model pada
taraf α = 5 persen adalah jarak tempat tinggal dengan TPAS Galuga dan status
lahan. Variabel-variabel yang tidak berpengaruh nyata adalah biaya kesehatan,
luas lahan, dan biaya konsumsi air bersih.
Data yang digunakan dalam analisis ini telah diuji normalitasnya sehingga
data tersebut valid untuk diolah dengan teknis regresi berganda. Hasil uji
heteroskedastisitas juga menunjukkan bahwa model ini tidak terdapat
70
heteroskedastisitas. Selain itu, untuk menguji apakah model yang diduga terjadi
multikolinearitas atau tidak maka peneliti menggunakan nilai VIF (Variance
Inflation Factor). Berdasarkan uji Marquardt apabila VIF > 10 maka terjadi
multikolinearitas pada persamaan. Nilai VIF yang dihasilkan dari pendugaan
model berkisar antara 1,0 sampai 1,1. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi
multikolinearitas pada model. Hasil analisis regresi dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14 Hasil Estimasi Harga Lahan di Desa Galuga
Variabel Koefisien P VIF
Konstanta 104234 0,000
X1 -81,52 0,000a 1,1
X2 -0,03737 0,369b 1,1
X3 -1,581 0,767b
1,0
X4 -0,00691 0,645b
1,0
D5 47905 0,000a 1,1
R-Squared 88,0
Adjusted R-Squared 86,9
Keterangan :
a : Nyata pada selang kepercayaan 95 persen
b : Tidak berpengaruh nyata
1) Variabel yang berpengaruh nyata pada model
a. Jarak tempat tinggal dengan TPAS Galuga
Jarak tempat tinggal dengan TPAS Galuga memiliki P-value sebesar
0,000 yang artinya bahwa variabel ini berpengaruh nyata terhadap harga
lahan. Nilai elastisitas pada variabel jarak tempat tinggal dengan TPAS
Galuga terhadap harga lahan per meter adalah -81,52 yang artinya jika terjadi
peningkatan jarak tempat tinggal dengan TPAS Galuga sebesar 1 persen
maka harga lahan akan turun sebesar 81,52 persen per meter. Nilai koefisien
bertanda negatif menunjukkan semakin jauh jarak tempat dari TPAS Galuga
maka harga lahan semakin rendah.
71
Dilihat dari pengamatan, sebagian besar lahan responden dengan jarak
dari TPAS Galuga yang lebih jauh, harga lahan yang dimiliki semakin
rendah. Hal ini diduga karena : (1) wilayah RT 09 memiliki jarak lebih jauh
daripada wilayah responden lainnya. Wilayah ini merupakan wilayah di Desa
Galuga yang di sekitarnya terdapat parit yang terkena aliran lindi yang
mencemari air tanah sehingga akses terhadap air bersih sangat sulit, (2) secara
geografis RT 09 memiliki ketinggian rata-rata 219 dpl yang lebih rendah dari
rata-rata ketinggian lahan seluruh responden yaitu sebesar 227 dpl serta
kondisi topografi yang bergelombang menyebabkan masyarakat sulit untuk
menjangkau sarana dan prasarana yang ada seperti sekolah, pasar, dan
sebagainya. Perbedaan harga lahan dapat ditunjukkan untuk tempat tinggal
pada jarak 880 meter harga lahan sebesar Rp 30.000,00/m2, sedangkan untuk
tempat tinggal yang berjarak 588 meter harga lahan Rp 100.000,00/m2.
b. Status lahan
Status lahan memiliki P-value 0,000 yang artinya bahwa variabel ini
berpengaruh nyata terhadap harga lahan. Nilai koefisien bertanda positif
menunjukkan jika lahan bersertifikat maka harga lahan akan semakin tinggi.
Hal ini terjadi karena suatu lahan yang memiliki sertifikat sebagai hak milik
biasanya memerlukan proses yang cukup panjang dan membutuhkan dana
yang tidak sedikit sehingga dengan adanya bukti konkret kepemilikan akan
menyebabkan harga lahan ikut meningkat. Sedangkan status lahan milik adat
seringkali lahan tersebut tidak memiliki sertifikat hak milik atau hanya berupa
akta lahan, sehingga kejelasan kepemilikannya kurang kuat dan kurang dapat
72
dipertanggungjawabkan yang kemungkinan besar dapat menyebabkan
konflik.
6.4 Upaya Meminimalisir Dampak Negatif Keberadaan TPAS Galuga
Upaya untuk meminimalisir dampak negatif keberadaan TPAS Galuga
merupakan suatu langkah penting yang harus dilakukan, terutama oleh pemerintah
Kota Bogor dan Pemerintah Kabupaten Bogor. Upaya tersebut berupa upaya
penanganan lingkungan dan penanganan sampah. Upaya yang sebaiknya diambil
dapat merujuk pada hasil penilaian responden terhadap lingkungan sekitarnya.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa masyarakat Desa Galuga
menilai lingkungan tempat tinggalnya sudah mengalami degradasi kualitas. Salah
satu bukti dari keadaan ini adalah timbulnya pencemaran udara dan air di sekitar
TPAS Galuga. Udara di Desa Galuga tercemar bau, bau yang harus dihirup oleh
semua orang yang berada di sekitar TPAS Galuga ini telah menyebabkan
timbulnya berbagai penyakit pernafasan, antara lain batuk dan sesak nafas.
Sementara itu, air yang telah tercemar menyebabkan timbulnya penyakit seperti
penyakit kulit dan pencernaan. Penurunan kualitas lingkungan tidak hanya
menimbulkan penyakit tetapi juga menyebabkan sebagian masyarakat
menggunakan sumber air pengganti untuk mengganti sumber air yang telah
tercemar.
Selain penurunan kualitas, lingkungan pemukiman disekitas TPAS Galuga
juga dinilai mengalami penurunan secara estetika. Penurunan estetika ini dapat
dinilai dari banyaknya lapak-lapak pemulung dan sampah yang berserakan di
jalan yang jatuh dari truk pengangkut sampah. Banyaknya lalat di rumah warga
telah mengganggu kenyamanan warga yang tinggal di sekitar TPAS Galuga.
73
Lalat-lalat tersebut memasuki rumah warga dan menyerang makanan yang ada
sehingga dapat menjadi sumber penyakit seperti diare dan penyakit lainnya. Truk
pengangkut sampah yang melewati pemukiman warga menyebabkan bau,
kebisingan, kotor, debu dan kerusakan jalan.
Kondisi penurunan kualitas lingkungan tersebut dirasakan oleh masyarakat
di sekitar TPAS Galuga. Pemerintah sebagai pengelola memiliki tanggungjawab
besar dalam pengelolaan TPAS Galuga dengan baik sehingga dapat
meminimalisir dampak negatif yang terjadi. Beberapa upaya yang perlu diambil
pemerintah Kota Bogor dan pemerintah Kabupaten Bogor yaitu peningkatan
retribusi sampah dan perbaikan pengelolaan yang telah ada. Peningkatan dana
retribusi akan dapat membantu pemerintah dalam memberikan dana kompensasi
terhadap masyarakat yang terkena pencemaran akibat keberadaan TPAS Galuga.
Sistem pengelolaan yang baik tidak akan menyisakan residu dalam bentuk
penurunan kualitas bagi lingkungan sekitarnya. Perbaikan sistem pengelolaan dari
hulu sampai hilir perlu dilakukan agar dapat mencegah atau meminimalisir
dampak yang negatif dari keberadaan TPAS tersebut.
Perbaikan sistem pengelolaan ini dimulai dari timbulan sampah yang
dihasilkan, baik sampah hasil produksi maupun konsumsi sampai pada
pengelolaan akhir sampah tersebut. Tahap awal yang perlu dilakukan adalah
pengadaan tempat sampah yang sesuai dengan jenis sampah pada Tempat
Pembuangan Sementara (TPS), sehingga antara sampah organik dan sampah
anorganik tidak tercampur. Selanjutnya adalah perbaikan pengelolaan pada tahap
pengangkutan. Alat transportasi yang digunakan untuk mengangkut sampah
sebaiknya menggunakan penutup agar tidak terlalu menimbulkan bau, dan akan
74
lebih baik jika dibuat jalur khusus untuk mengangkut sampah agar tidak melewati
pemukiman masyarakat. Hal ini dapat meminimalisir dampak negatif berupa
kebisingan, debu, serta bau akibat pengangkutan sampah tersebut.
Selain itu, perbaikan sistem pengelolaan di TPAS Galuga juga perlu
dilakukan. Perbaikan pengelolaan ini dapat dilakukan dengan perbaikan
pengolahan sampah organik, anorganik serta pengolahan air sampah atau lindi.
Pengolahan ini sebaiknya diserahkan pada orang yang ahli dalam bidang masing-
masing sehingga pengolahan sampah tersebut dapat berjalan secara maksimal.
Penanaman pagar tanaman juga dapat mengurangi pencemaran udara, lalat yang
menuju pemukiman warga, dan tidak terlihat oleh warga yang melintasi jalan di
sekitar TPAS tersebut.
Kesadaran semua pihak sangat diperlukan untuk menjaga kualitas
lingkungan. Kesadaran ini tidak hanya pihak pengelola dan masyarakat TPAS
Galuga. Tetapi juga masyarakat yang berperan dalam timbulnya sampah tersebut.
Pemerintah sebagai pengambil keputusan dan pelaksana dilapangan, sedangkan
masyarakat sebagai pendukung dan ikut melaksanakan dalam menjaga kualitas
lingkungan. Sehingga diperlukan kerjasama yang baik agar dapat menguntungkan
semua pihak baik bagi pemerintah, masyarakat, maupun lingkungan.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Masyarakat di sekitar TPAS Galuga secara umum menilai keberadaan TPAS
Galuga menurunkan kualitas lingkungan, hal ini dapat ditunjukkan dengan
hasil perhitungan nilai rata-rata semantic differential yang lebih rendah
setelah adanya TPAS Galuga.
2. Hasil perhitungan menggunakan metode cost of illness dan replacement cost
menunjukkan bahwa penurunan kualitas lingkungan untuk biaya kesehatan
sebesar Rp 15.019.248.000,00 per tahun, sedangkan biaya pengganti air
minum sebesar Rp 1.230.828.000,00 per tahun. Total nilai penurunan kualitas
lingkungan adalah sebesar Rp 16.250.076.000,00 per tahun. Nilai ini
merupakan biaya kerugian yang dirasakan masyarakat dalam satu tahun
terakhir.
3. Faktor penurunan kualitas lingkungan tidak berpengaruh terhadap harga
lahan. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa variabel kualitas lingkungan
yang berpengaruh nyata terhadap harga lahan di sekitar TPAS Galuga adalah
jarak tempat tinggal dengan TPAS Galuga. Variabel karakteristik lahan yang
berpengaruh nyata adalah status lahan, sedangkan variabel yang tidak
berpengaruh nyata adalah biaya kesehatan, luas lahan, dan biaya konsumsi air
bersih. Faktor penurunan kualitas lingkungan ditunjukkan dengan pendekatan
biaya kesehatan dan biaya konsumsi air bersih.
76
7.2 Saran
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian maka dapat disarankan :
1. Pemerintah sebaiknya memperbaiki pola pengelolaan sampah yang ada
selama ini, diantaranya penanaman pagar tanaman, penggunaan penutup pada
truk pengangkut sampah, serta perbaikan saluran air sampah atau lindi,
sehingga keberadaan TPAS Galuga tidak mengganggu masyarakat sekitar.
2. Sistem pengelolaan sampah sebaiknya dilakukan secara tertutup dan
menerapkan prinsip 4R, yaitu reduce (mengurangi), reuse (menggunakan
kembali), recycle (mendaur ulang), dan replace (mengganti). Selain itu,
upaya internalisasi biaya eksternal yang sudah ada dapat dilaksanakan secara
optimal, sehingga dapat meminimalisir dampak negatif yang terjadi.
3. Kompensasi berupa pelayanan kesehatan gratis sebaiknya diadakan di luar
lokasi TPAS Galuga agar mudah dijangkau oleh masyarakat, dan dengan
frekuensi minimal dilaksanakan tiga kali dalam satu bulan. Penyediaan
saluran air bersih juga perlu dilakukan agar masyarakat tidak mengalami
kesulitan dalam memperoleh air bersih.
4. Kerjasama yang baik antara pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan
agar dapat menguntungkan berbagai pihak, baik pemerintah, masyarakat,
maupun lingkungan, misalnya berupa kerjasama dalam pengolahan sampah.
DAFTAR PUSTAKA
Agung, I. G. N. 2005. Manajemen Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi : Kiat-
Kiat untuk Mempersingkat Waktu Penulisan Karya Ilmiah yang Bermutu.
Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Alonso, W. 1970. Location and Land Use. Harvard University Press. Cambridge.
Massachusetts.
Apriadji, W. H. 2002. Memproses Sampah. Penebar Swadaya. Jakarta.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2009. Cibungbulang dalam Angka.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Bogor
Champ, P. A, Boyle, K. J, & T. C, Brown. 2003. A Primer Non-market Valuation,
Kluwer Academic Publisher. New York.
Daniel, M. 2002. Pengantar Ekonomi Pertanian. PT Bumi Aksara. Jakarta.
Dardak, A. H. 2007. Kebijakan Penataan Ruang untuk Persampahan.
Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta.
Desa Galuga. 2011. Laporan Bulanan Penduduk Menurut Kelompok Umur Desa
Galuga. Desa Galuga. Bogor.
Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bogor. 2010. Laporan Pelaksanaan
Revisi Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan
Lingkungan (UPL) TPAS Galuga. Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang
Kota Bogor. Bogor
Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor. 2010. Data Persampahan Kota
Bogor. Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor. Bogor.
Effendy, Eva Vebriyanti. 2005. Polutan Gas dari Berbagai Lokasi TPA (Tempat
Pembuangan Akhir) Sampah. Skripsi. Departemen Teknik
Pertanian.Fateta IPB.
Garrod, G. And Willis, K. G. 1999. Economic Valuation of the Environment.
Edward Elgar. Massachusetts.
Gujarati, Damodar N. 1997. Ekonometrika Dasar. Terjemahan. Erlangga. Jakarta.
, Damodar N. 2003. Basic Econometric. Fourth Edition. Mc Graw Hill
Book Company, Singapore.
, Damodar N. 2006. Dasar-Dasar Ekonometrika. Jilid 1. Erlangga,
Yogyakarta.
Gita, T. K. 2010. Estimasi Nilai Kerugian Ekonomi Akibat Pencemaran
Lingkungan terhadap Kesehatan Masyarakat : Studi Kasus di Kelurahan
Kapuk Muara, Jakarta Utara. Skripsi Fakultas Ekonomi dan Manajemen
IPB. Bogor.
78
Hadiwiyoto, S. 1981. Penanganan dan Pemanfaatan Sampah. Yayasan Idayu.
Jakarta.
Harcrow, H.G. 1992. Ekonomi Pertanian. Ahmad Sudiyono (penerjemah). UMM
Press. Malang.
Hardjowigeno, S., Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan
Perencanaan Tataguna Lahan. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Kastaman, R, dan Kramadibrata, A. M. 2007. Sistem Pengelolaan Reaktor
Sampah Terpadu Silarsatu. Humaniora. Bandung.
King, D. M. And Marissa, J. M. 2000. Environmental Valuation. US Departemen
of Agriculture Natural Resources Conservation Services and National
Oceanografi and Atmosphere Administration. USA.
Kurniawan, B. 2006. Analisis Kualitas Air Sumur Sekitar Wilayah Tempat
Pembuangan Akhir Sampah (Studi Kasus di TPA Galuga Cibungbulang
Bogor). Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor.
Mangkoesoebroto, G. 2000. Ekonomi Publik. BPFE-YOGYAKARTA.
Yogyakarta.
Nuryanti, W. 2006. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan Pemukiman
di Kecamatan Teluk Jambe Timur Kabupaten Karawang. Skripsi Faperta
IPB. Bogor.
Nazir, M. 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Pearce, W. D. and Turner, K. R. 1990. Economics of Natural Resource and The
Environment. Harvester Wheatsheaf. New York.
Silalahi, Rocky D. F.2008. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan
Pemukiman Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor. Skripsi Fakultas
Pertanian IPB. Bogor.
Suhan, G. Y. 2009. Estimasi Nilai Prenurunan Kualitas Lingkungan Terhadap
Harga Lahan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Cipayung
Kota Depok Jawa Barat. Skripsi Fakultas Ekonomi dan Manajemen
IPB.Bogor.
Suparmoko. 1989. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. BPFE.
Yogyakarta.
Sutjahjo, S. H., Lay B. W., Herison C. 2007. Pengelolaan Tempat Pembuangan
Akhir Sampah dengan Pendekatan ‘Zero Waste’ (Nirlimbah) Berbasis
Partisipasi Masyarakat. Laporan Akhir Hibah Pasca. IPB. Bogor
Utari, R. K., D. Pearce, dan I. Batemen. 2006. Environmental Economics: An
Elementary Introduction. Harvester Wheatsheaf. Hertfordshire.
Yudiyanto. 2007. Analisis Sistem Pengelolaan Sampah Pemukiman di Kota
Bogor. Tesis Pascasarjana IPB. Bogor.
LAMPIRAN
80
Lampiran 1. Data Analisis Regresi Berganda
Harga
Lahan
(Rp/m2)
Jarak Tempat
Tinggal
dengan TPAS
Galuga (m)
Biaya
Kesehatan
(Rp/bulan)
Luas
Lahan
(m2)
Biaya
Konsumsi
Air Bersih
(Rp/bulan)
Status
Lahan
Y X1 X2 X3 X4 D5
30000 861 0 170 0 0
30000 795 24000 500 0 0
50000 785 0 150 104000 0
50000 868 0 60 0 0
30000 880 0 200 0 0
35000 854 170000 108 144000 0
30000 854 64000 190 0 0
30000 852 20000 50 0 0
30000 852 0 250 0 0
30000 837 0 128 0 0
30000 836 0 48 0 0
30000 803 0 60 0 0
30000 860 0 72 0 0
30000 862 0 42 0 0
30000 788 17500 48 0 0
30000 783 0 48 0 0
30000 876 0 32 0 0
30000 848 76000 150 0 0
40000 847 0 30 0 0
30000 855 0 42 0 0
50000 642 0 380 0 0
40000 746 14000 70 525000 0
50000 768 0 108 0 0
45000 714 0 224 0 0
40000 744 0 32 0 0
45000 680 14000 1500 0 0
45000 734 5000 84 0 0
50000 764 0 100 128000 0
50000 769 0 90 0 0
50000 743 0 200 0 0
60000 644 0 75 0 0
40000 637 5000 120 0 0
40000 617 40000 96 0 0
50000 636 0 200 0 0
60000 634 46000 24 0 0
40000 660 30000 120 0 0
60000 461 0 150 0 0
81
50000 689 0 200 0 0
50000 606 20000 100 0 0
40000 642 5000 35 0 0
100000 627 0 140 0 1
80000 621 9000 49,5 0 0
50000 573 0 72 0 0
100000 588 0 35 0 1
50000 615 25000 72 0 0
60000 595 0 72 0 0
100000 653 0 156 0 1
100000 645 0 144 0 1
50000 644 0 63 0 0
50000 657 45000 54 0 0
60000 736 0 400 0 0
60000 732 0 125 40000 0
80000 733 0 45 0 1
100000 694 0 35 0 1
50000 676 25000 50 0 0
50000 727 13000 96 0 0
100000 680 0 48 0 1
50000 705 0 96 0 0
100000 680 0 32 0 1
100000 689 0 15 0 1
82
Lampiran 2. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga
Lahan di Sekitar TPAS Galuga
Regression Analysis: Y versus X1; X2; X3; X4; D5 The regression equation is
Y = 104234 - 81,5 X1 - 0,0374 X2 - 1,58 X3 + 0,0069 X4 + 47905 D5
Predictor Coef SE Coef T P VIF
Constant 104234 8505 12,26 0,000
X1 -81,52 11,37 -7,17 0,000 1,1
X2 -0,03737 0,04126 -0,91 0,369 1,1
X3 -1,581 5,303 -0,30 0,767 1,0
X4 0,00691 0,01492 0,46 0,645 1,0
D5 47905 3116 15,37 0,000 1,1
S = 8123,04 R-Sq = 88,0% R-Sq(adj) = 86,9%
PRESS = 7069831629 R-Sq(pred) = 76,14%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 5 26070212997 5214042599 79,02 0,000
Residual Error 54 3563120337 65983710
Total 59 29633333333
Durbin-Watson statistic = 1,71781
83
Lampiran 3. Hasil Uji Heteroskedastisitas Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Harga Lahan di Sekitar TPAS Galuga
Regression Analysis: RESI1 versus X1; X2; X3; X4; D5 The regression equation is
RESI1 = 0 - 0,0 X1 - 0,0000 X2 + 0,00 X3 - 0,0000 X4 + 0 D5
Predictor Coef SE Coef T P VIF
Constant 0 8505 0,00 1,000
X1 -0,00 11,37 -0,00 1,000 1,1
X2 -0,00000 0,04126 -0,00 1,000 1,1
X3 0,000 5,303 0,00 1,000 1,0
X4 -0,00000 0,01492 -0,00 1,000 1,0
D5 0 3116 0,00 1,000 1,1
S = 8123,04 R-Sq = 0,0% R-Sq(adj) = 0,0%
PRESS = 7069831629 R-Sq(pred) = 0,00%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 5 0 0 0,00 1,000
Residual Error 54 3563120337 65983710
Total 59 3563120337
Durbin-Watson statistic = 1,71781
84
Lampiran 4. Hasil Uji Normalitas Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga
Lahan di Sekitar TPAS Galuga
Residual
Pe
rce
nt
20000100000-10000-20000
99,9
99
90
50
10
1
0,1
Fitted Value
Re
sid
ua
l
10000080000600004000020000
30000
20000
10000
0
-10000
Residual
Fre
qu
en
cy
2500
0
2000
0
1500
0
1000
050
000
-500
0
-100
00
16
12
8
4
0
Observation Order
Re
sid
ua
l
605550454035302520151051
30000
20000
10000
0
-10000
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for Y
RESI1
Pe
rce
nt
3000020000100000-10000-20000-30000
99,9
99
95
90
80
7060504030
20
10
5
1
0,1
Mean
0,128
-3,88051E-11
StDev 7771
N 60
KS 0,101
P-Value
Probability Plot of RESI1Normal
85
Lampiran 5. Data Biaya Pengobatan
No
Biaya Pengobatan Akibat Pencemaran Air Biaya Pengobatan Akibat Pencemaran Udara
Jenis
Penyakit
yang
Sering di
Derita
Biaya
Pengobatan
(Rp)
Asumsi
Kambuh
dalam
Satu
Tahun
Biaya
Pengobatan
dalam Satu
Tahun
(Rp/tahun)
Jenis
Penyakit
yang
Sering di
Derita
Biaya
Pengobatan
(Rp)
Asumsi
Kambuh
dalam
Satu
Tahun
Biaya
Pengobatan
dalam Satu
Tahun
(Rp/tahun)
1 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 Asma 70000 4 280000
3 Sakit kulit 190000 4 760000 0 0 0
4 Sakit kulit 20000 12 240000 0 0 0
5 0 0 0 0 0 0
6 0 0 0 ISPA 85000 12 1020000
7 0 0 0 0 0 0
8 0 0 0 0 0 0
9 0 0 0 0 0 0
10 0 0 0 0 0 0
11 0 0 0 0 0 0
12 0 0 0 0 0 0
13 0 0 0 0 0 0
14 0 0 0 0 0 0
15 0 0 0 0 0 0
16 0 0 0 0 0 0
17 0 0 0 0 0 0
86
18 Sakit kulit 76000 12 912000 0 0 0
19 Sakit kulit 70000 3 210000 0 0 0
20 0 0 0 0 0 0
21 0 0 0 0 0 0
22 Sakit kulit 70000 3 210000 0 0 0
23 0 0 0 0 0 0
24 0 0 0 0 0 0
25 0 0 0 0 0 0
26 sakit kulit 82000 2 164000 0 0 0
27 0 0 0 0 0 0
28 0 0 0 0 0 0
29 0 0 0 0 0 0
30 sakit kulit 5000 12 60000 0 0 0
31 0 0 0 0 0 0
32 sakit kulit 5000 12 60000 0 0 0
33 0 0 0 ISPA 120000 12 1440000
34 0 0 0 0 0 0
35 0 0 0 ISPA 46000 12 552000
36 0 0 0 ISPA 30000 12 360000
37 0 0 0 0 0 0
38 0 0 0 0 0 0
39 muntaber 240000 1 240000 0 0 0
40 0 0 0 0 0 0
41 0 0 0 ISPA 9000 12 108000
87
42 0 0 0 ISPA 5000 12 60000
43 0 0 0 0 0 0
44 0 0 0 0 0 0
45 0 0 0 0 0 0
46 0 0 0 0 0 0
47 0 0 0 0 0 0
48 0 0 0 ISPA 25000 12 300000
49 0 0 0 0 0 0
50 0 0 0 flek paru 60000 9 540000
51 0 0 0 0 0 0
52 0 0 0 0 0 0
53 0 0 0 0 0 0
54 0 0 0 0 0 0
55 0 0 0 0 0 0
56 0 0 0 0 0 0
57 0 0 0 ISPA 25000 12 300000
58 0 0 0 0 0 0
59 0 0 0 ISPA 13000 12 156000
60 0 0 0 0 0 0
Total 2856000 Total 5116000
Total Biaya Pengobatan 7972000
Morbiditas Pencemaran Air dan Udara 1884
Biaya Pengobatan Selama Satu Tahun 15019248000
88
Lampiran 6. Data Biaya Pengganti
No
Biaya Pengganti
Biaya untuk Mendapatkan Sumber Air
Minum Pengganti (Rp/bulan)
Biaya Trasportasi Pembelian Air
Pengganti (Rp/bulan)
1 0 0
2 0 0
3 24000 80000
4 0 0
5 0 0
6 104000 40000
7 0 0
8 0 0
9 0 0
10 0 0
11 0 0
12 0 0
13 0 0
14 0 0
15 0 0
16 0 0
17 0 0
18 0 0
19 0 0
20 0 0
89
21 0 0
22 275000 250000
23 0 0
24 0 0
25 0 0
26 0 0
27 0 0
28 48000 80000
29 0 0
30 0 0
31 0 0
32 0 0
33 0 0
34 0 0
35 0 0
36 0 0
37 0 0
38 0 0
39 0 0
40 0 0
41 0 0
42 0 0
43 0 0
44 0 0
90
45 0 0
46 0 0
47 0 0
48 0 0
49 0 0
50 0 0
51 0 0
52 30000 10000
53 0 0
54 0 0
55 0 0
56 0 0
57 0 0
58 0 0
59 0 0
60 0 0
Total 481000 460000
Biaya Pengganti Per Bulan (Rp/bulan) 941000
Biaya Pengganti Per Tahun (Rp/tahun) 11292000
Populasi RT 09 109
Total Biaya Pengganti Per Tahun
(Rp/tahun) 1230828000
Total Nilai Ekonomi Penurunan
Kualitas Lingkungan 16250076000
91
Lampiran 7. Dokumentasi penelitian
Kondisi Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga
Sarana dan Prasarana TPAS Galuga
Kondisi Lingkungan Permukiman di Sekitar TPAS Galuga
92
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Lisanatul Hifdziyah, lahir pada tanggal 05 Mei 1988.
Penulis adalah anak ketiga dari 4 bersaudara pasangan Abu Tholhah dan Sriyatun.
Jenjang pendidikan penulis dilalui dengan baik, dari mulai Taman Kanak-kanak,
menamatkan pendidikan dasar di MI Darul Hikam Lamongan pada tahun 2001,
menyelesaikan Madrasah Tsanawiyah Darul Hikam Lamongan tahun 2004,
hingga menamatkan sekolah menengah atas di SMA BPPT Al-Fattah Lamongan
pada tahun 2007.
Pada tahun 2007, penulis juga mendapatkan Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI) untuk jurusan Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, sehingga selepas
SMA penulis langsung memasuki jenjang Strata 1 (S1). Selama menjadi
mahasiswa IPB, penulis mengikuti berbagai kepanitiaan seperti menjadi panitia
seminar anti narkoba Tingkat Persiapan Bersama (TPB), acara keagamaan, dan
lain sebagainya. Pada tahun 2009, penulis menikah dengan laki-laki bernama
Syaihul Umam.