ANALISIS MUSIKAL DAN MAKNA TEKSTUAL HOHO DALAM … · Skripsi ini akan mengkaji tentang struktur...
Transcript of ANALISIS MUSIKAL DAN MAKNA TEKSTUAL HOHO DALAM … · Skripsi ini akan mengkaji tentang struktur...
ANALISIS MUSIKAL DAN MAKNA TEKSTUAL HOHO DALAM TARI
FALUAYA YANG DIPERTUNJUKKAN SANGGAR FANAYAMA PADA
BUDAYA MASYARAKAT NIAS DI KOTA MEDAN
SKRIPSI SARJANA
O
L
E
H
NAMA: METRAIKAN NATANAEL LAOLI
NIM : 120707036
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2016
ii
ANALISIS MUSIKAL DAN MAKNA TEKSTUAL HOHO DALAM TARI
FALUAYA YANG DIPERTUNJUKKAN SANGGAR FANAYAMA PADA
BUDAYA MASYARAKAT NIAS DI KOTA MEDAN
OLEH : NAMA : METRAIKAN NATANAEL LAOLI
NIM : 120707036
Pembimbing I, Pembimbing II,
Drs. Muhammad Takari,M.Hum.,Ph.D. Dra. Heristina Dewi, M.Pd. NIP 196512211991031001 NIP 196605271994032001
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2016
iii
DITERIMA OLEH :
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk,
melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin
Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pada Tanggal :
Hari :
Fakultas Ilmu Budaya USU,
Dekan
Dr. Budi Agustono, M.S
NIP. 196008051987031001
Panitia Ujian : Tanda Tangan
1. Drs. Muhammad Takari,M.Hum.,Ph.D. ( )
2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd. ( )
3. Drs. Perikuten Tarigan, M.Si ( )
4. Drs. Fadlin, M.A. ( )
5. Arifni Netrirosa, SST., M.A. ( )
iv
DISETUJUI OLEH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
KETUA,
Drs. Muhammad Takari,M.Hum.,Ph.D. NIP. 196512211991031001
v
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan
Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis
diacu dalam skripsi ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Agustus 2016
Metraikan Natanael Laoli
NIM. 120707036
vi
ABSTRAK
ANALISIS MUSIKAL DAN MAKNA TEKSTUAL HOHO DALAM TARI
FALUAYA YANG DIPERTUNJUKKAN SANGGAR FANAYAMA PADA
BUDAYA MASYARAKAT NIAS DI KOTA MEDAN
Skripsi ini akan mengkaji tentang struktur musik dan makna teks hoho dalam Tari Faluaya yang dipertunjukkan oleh Sanggar Fanayama pada budaya masyarakat Nias di Kota Medan. Penelitian ini akan menggunakan pendekatan metode penelitian kualitatif. Adapun dalam proses kerjanya, penulis akan melakukan pengumpulan dan pengolahan data dengan beberapa cara yaitu studi kepustakaan (termasuk pustaka online), kerja lapangan, wawancara, perekaman data visual dan audio, serta kerja laboratorium. Penelitian ini akan menggunakan teori weighted scale untuk menganalisis struktur musik vokal hoho dan teori semiotika untuk menganalisis makna teks hoho yang terdapat dalam Tari Faluaya. Hasil yang diperoleh adalah bahwa hoho dalam Tari Faluaya memiliki tangga nada dan nada dasar yang berbeda pada setiap jenis hoho nya dengan gaya bernyanyi call and respons, counter frase, maupun counter motif. Keseluruhan teks hoho dalam Tari Faluaya ini memiliki makna baik konotatif maupun denotatif untuk membakar semangat dan ajakan untuk tetap menjunjung tinggi persatuan dan kebersamaan.
Kata kunci : hoho, tari Faluaya, struktur musik, teks
vii
KATA PENGANTAR
Segala pujian dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus,
atas kasih dan kemurahan-Nya yang begitu besar dan telah rela mati untuk seluruh
umat manusia. Penulis bersyukur atas segala berkat, kekuatan, penghiburan,
pertolongan dan perlindungan Tuhan yang tidak pernah berhenti dalam proses
penyelesaian skripsi ini. Skripsi ini berjudul Analisis Musikal dan Makna Tekstua
Hoho Dalam Tari Faluaya Yang Dipertunjukkan Sanggar Fanayama Pada Budaya
Masyarakat Nias di Kota Medan.
Pada kesempatan ini penulis ingin mempersembahkan skripsi ini dan
mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua yang sangat penulis cintai,
Ayahanda tercinta Pdt. Daniel S. Laoli, S.Th dan Ibunda Adilniat Larosa.
Terimakasih atas segala cinta kasih serta ketulusan kalian sehingga penulis bisa
seperti sekarang ini. Terimakasih untuk perhatian yang tak pernah berhenti
terkhusus selama proses pengerjaan skripsi ini. Terimakasih untuk motivasi serta
semangat yang kalian berikan pada penulis. Terimakasih juga untuk segala doa
yang kalian panjatkan kepada Tuhan sehingga penulis memperoleh kekuatan dan
penghiburan dari Tuhan. Penulis juga berterimakasih kepada kakak dan abang
yang penulis kasihi dan sayangi, kakak Simfhoni Laoli (Ina Rensa), abang Yason
Hulu (Ama Rensa), kakak Licahaya Laoli, abang Otniel Laoli, dan kakak Anjani
Zai. Terimakasih untuk perhatian, semangat, kasih sayang, serta doa yang telah
kalian berikan kepada penulis.
Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada yang terhormat
Bapak Dr. Budi Agustono, M.S selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU Medan.
viii
Terimakasih juga kepada yang terhormat Bapak Drs. Muhammad Takari,
M.Hum., Ph.D. selaku Ketua Departemen Etnomusikologi serta sekaligus Dosen
Pembimbing I yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih untuk nasehat, ilmu, perhatian serta
pengalaman yang telah bapak berikan selama penulis kuliah di Jurusan
Etnomusikologi. Kiranya Tuhan selalu membalaskan kebaikan bapak.
Terimakasih juga kepada yang terhormat Ibu Dra. Heristina Dewi, M.Pd. selaku
Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Budaya USU, Sekretaris Departemen
Etnomusikologi, Dosen Pembimbing II, dan Dosen Penasihat Akademik penulis
selama selama kuliah di Departemen Etnomusikologi. Terimakasih untuk segala
nasehat, ilmu, perhatian serta pengalaman yang telah ibu berikan, kiranya Tuhan
membalaskan semua kebaikan ibu.
Penulis juga berterimakasih kepada seluruh dosen di Departemen
Etnomusikologi, Bapak Prof. Mauly Purba, M.A.,Ph.D., Bapak Drs. Irwansyah
Harahap, M.A., Ibu Dra. Rithaony Hutajulu, M.A., Bapak Drs. Perikuten Tarigan,
M.Si, Bapak Drs. Fadlin, M.A,, Bapak Drs. Bebas Sembiring, M.Si., Ibu Arifni
Netrirosa, S.ST.,M.A., Ibu Dra. Frida Deliana, M.Si., Bapak Drs. Setia Dermawan
Purba, M.Si., Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum. Terimakasih yang sebesar-
besarnya penulis ucapkan kepada bapak dan ibu sekalian yang telah membagikan
ilmu dan pengalaman hidup bapak dan ibu sekalian. Sungguh ucapan terimakasih
yang sebesar-besarnya penulis ucapkan karena telah berkesempatan belajar dari
orang-orang hebat seperti bapak dan ibu sekalian. Biarlah kiranya ilmu yang
penulis dapatkan dari bapak dan ibu dapat penulis aplikasikan dalam kehidupan
ix
dan pendidikan selanjutnya. Kiranya Tuhan membalaskan semua jasa-jasa serta
kebaikan bapak dan ibu sekalian.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Hubari Gulo,
S.Sn., M.Sn selaku dosen praktik tari Nias di Departemen Etnomusikologi USU
yang telah banyak membagikan ilmu serta pengalaman kepada penulis selama
kuliah. Terimakasih juga karena telah berkenan menjadi salah satu informan
dalam penulisan skripsi ini. Terimakasih untuk semua jasa, informasi, bantuan
dan arahan yang sangat berguna untuk penyelesaian skripsi ini. Kiranya Tuhan
membalaskan semua kebaikan bapak. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada
bapak Ariston Manao, bapak Dasa Manao, bang Michael Hura, bang Hendrik
Zega, bang Febri Maruao, serta seluruh penari di sanggar Fanayama Simalingkar
Medan. Terimakasih atas segala informasi dan bantuan dari bapak dan abang
sekalian sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Kiranya Tuhan
membalaskan semua kebaikan bapak dan abang sekalian.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh teman-teman di
jurusan Etnomusikologi stambuk 2012. Terimakasih untuk tahun-tahun yang telah
lalui bersama. Biarlah jalinan kasih dan persahabatan kita tidak terputus dan terus
berlanjut hingga ke masa mendatang. Harapan penulis, kiranya kelak kita menjadi
orang-orang hebat dan berhasil. Terimakasih juga kepada seluruh Senior dan
Junior di jurusan Etnomusikologi untuk hari-hari yang indah dan bersemangat
selama kuliah di Etnomusikologi.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh teman-teman
Forum Mahasiswa Nias USU (ForMaN-USU) yang juga telah banyak mendukung
dan memberikan semangat selama proses penyelesaian skripsi ini. Sungguh
x
merupakan sebuah wadah organisasi yang luar biasa yang pernah penulis
temukan. Terimakasih untuk pengalaman memimpin serta pengalaman organisasi
yang penulis dapatkan melalui wadah ini. Kiranya kelak kita semua menjadi
pemimpin-pemimpin hebat untuk Nias maupun Indonesia.
Penulis juga mengucapkan terimakasih untuk setiap orang yang
mengasihi, mendoakan, serta mendukung saya selama ini dimanapun berada.
Kiranya Tuhan membalaskan kebaikan kalian.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna.
Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi
kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap kiranya skripsi ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca dan dapat memberikan sumbangan bagi disiplin ilmu
pengetahuan Etnomusikologi.
Medan, Agustus 2016
Penulis,
Metraikan Natanael Laoli
NIM.120707036
xi
DAFTAR ISI
PERNYATAAN .......................................................................... v ABSTRAKSI .......................................................................... vi KATA PENGANTAR .......................................................................... vii DAFTAR ISI .......................................................................... xi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ................................................................. 1 1.2 Pokok Permasalahan ........................................................ 9 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................ 9 1.3.1 Tujuan Penelitian .................................................... 9 1.3.2 Manfaat Penelitian .................................................. 9 1.4 Konsep dan Teori ............................................................. 10 1.4.1 Konsep .................................................................... 10 1.4.2 Teori ........................................................................ 12 1.5 Metode Penelitian ............................................................ 15 1.5.1 Studi Kepustakaan .................................................. 16 1.5.2 Kerja Lapangan ....................................................... 16 1.5.3 Wawancara .............................................................. 17 1.5.4 Perekaman Data Visual dan Audio ......................... 17 1.5.5 Kerja Laboratorium ................................................. 17 1.6 Pemilihan Lokasi Penelitian ............................................. 18 BAB II ETNOGRAFI MASYARAKAT NIAS DI KOTA MEDAN 2.1 Keadaan Geografis Kota Medan ..................................... 19 2.1.1 Demografi ............................................................... 20 2.1.2 Wilayah Administrasi Pemerintahan ...................... 22 2.2 Gambaran Umum dan Adaptasi Masyarakat Nias di Kota Medan ................................................................. 24 2.3 Gambaran Umum Kebudayaan Masyarakat Nias
Termasuk di Kota Medan ................................................ 28 2.3.1 Asal-Usul Masyarakat Nias .................................... 28 2.3.2 Bahasa ..................................................................... 32 2.3.3 Sistem Kepercayaan dan Agama ............................ 33 2.3.4 Sistem Kemasyarakatan dan Organisasi Sosial ........ 37 2.3.5 Sistem Mata Pencaharian ........................................ 41 2.3.6 Sistem Kekerabatan ................................................ 43 2.3.7 Teknologi Tradisional ............................................ 45 2.3.8 Kesenian ................................................................. 48
BAB III ANALISIS MAKNA TEKSTUAL HOHO DALAM TARI FALUAYA
3.1 Sejarah Tari Faluaya ........................................................ 51 3.2 Identifikasi Struktur Tari Faluaya ................................... 53 3.2.1 Properti .................................................................... 54
xii
3.2.1.1 Busana ......................................................... 55 3.2.1.2 Peralatan Tari .............................................. 58 3.2.2 Ragam Gerak …...................................................... 61 3.3 Analisis Tekstual Hoho Pada Tari Faluaya ..................... 66 3.3.1 Analisis Teks Fohuhugö ……................................. 71 3.3.2 Analisis Teks Hivfagö ............................................. 72 3.3.3 Analisis Teks Fu’alö …........................................... 73 3.3.4 Analisis Teks Siöligö …........................................... 79 3.3.5 Analisis Teks Fadolihia ........................................... 89 BAB IV ANALISIS STRUKTUR MUSIK HOHO DALAM TARI FALUAYA 4.1 Transkripsi dan Notasi …….…………………………… 93 4.2 Analisis Struktur Musik Hoho Fohuhugö ……………… 94 4.2.1 Tangga Nada ...…………………………………… 94 4.2.2 Nada Dasar …..…………………………………… 95 4.2.3 Wilayah Nada .…………………………………… 95 4.2.4 Jumlah Nada ……………………………………… 95 4.2.5 Interval …………………………………………… 96 4.2.6 Pola Kadensa ..…………………………………… 96 4.2.7 Formula Melodi ..………………………………… 97 4.2.8 Kontur .…………………………………………… 98 4.3 Analisis Struktur Musik Hoho Hivfagö …...…………… 98 4.3.1 Tangga Nada ..…………………………………… 98 4.3.2 Nada Dasar ….…………………………………… 99 4.3.3 Wilayah Nada .…………………………………… 99 4.3.4 Jumlah Nada ……………………………………… 100 4.3.5 Interval …………………………………………… 100 4.3.6 Pola Kadensa ...…………………………………… 101 4.3.7 Formula Melodi ...………………………………… 101 4.3.8 Kontur ..…………………………………………… 102 4.4 Analisis Struktur Musik Hohö Fu’alö ……..…………… 103 4.4.1 Tangga Nada ……………………………………… 104 4.4.2 Nada Dasar …..…………………………………… 104 4.4.3 Wilayah Nada ..…………………………………… 105 4.4.4 Jumlah Nada ……………………………………… 105 4.4.5 Interval …………………………………………… 105 4.4.6 Pola Kadensa ...…………………………………… 106 4.4.7 Formula Melodi ...………………………………… 107 4.4.8 Kontur ..…………………………………………… 109 4.5 Analisis Struktur Musik Hoho Siöligö ………………… 109 4.5.1 Tangga Nada ..…………………………………… 111 4.5.2 Nada Dasar ….…………………………………… 112 4.5.3 Wilayah Nada .…………………………………… 112 4.5.4 Jumlah Nada ...…………………………………… 112 4.5.5 Interval …………………………………………… 113 4.5.6 Pola Kadensa ...…………………………………… 114 4.5.7 Formula Melodi ...………………………………… 115
xiii
4.5.8 Kontur ..…………………………………………… 118 4.6 Analisis Struktur Musik Hoho Fadolihia ….…………… 119 4.6.1 Tangga Nada ……………………………………… 120 4.6.2 Nada Dasar …..…………………………………… 120 4.6.3 Wilayah Nada ..…………………………………… 121 4.6.4 Jumlah Nada ……………………………………… 121 4.6.5 Interval …………………………………………… 121 4.6.6 Pola Kadensa …………………………………….. 122 4.6.7 Formula Melodi ………………………………….. 123 4.6.8 Kontur ……………………………………………. 124 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan …………………………………………… 126 5.2 Saran …………………………………………………… 127 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………… 129 DAFTAR INFORMAN …………………………………………… 131
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di
antara ciptaan lain. Manusia diberikan akal budi guna mempertahankan
kelangsungan hidupnya. Akal budi menuntun manusia untuk menciptakan
berbagai hal yang dianggap penting dan berguna untuk menjalankan
kehidupannya sehari-hari. Tentu saja perbedaan wilayah dan kondisi geografis
daerah yang ditempati mempengaruhi setiap ciptaan dari manusia. Manusia dalam
arti luas terikat oleh satu kebudayaan yang mereka anggap sama, membentuk
sebuah komunitas yang lazim disebut masyarakat.1
Indonesia merupakan negara dengan masyarakat yang sangat plural
dipandang dari sisi kebudayaannya. Di Sumatera Utara sendiri terdapat suku-suku
natif dan pendatang yang memilki kebudayaan yang berbeda dan memilki wilayah
kebudayannya masing-masing. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan,
tindakan, hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan
milik diri manusia dengan belajar. Kebudayaan memiliki tujuh unsur yang
universal, yaitu: bahasa, sistem pengetahuan, sistem kemasyarakatan atau
organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian
1Sumber http://kbbi.web.id/masyarakat
2
hidup, sistem religi, dan kesenian. Setiap suku bangsa yang ada di Indonesia
memiliki seluruh unsur-unsur kebudayaan tersebut (Koentjaraningrat 1986).
Demikian juga halnya dengan setiap suku bangsa yang berdiam di
Sumatera Utara tentulah memiliki ketujuh unsur kebudayaan tersebut di atas.
Suku Nias adalah salah satu suku yang berdiam dan memiliki wilayah kebudayaan
tersendiri di Sumatera Utara. Secara geografis, suku Nias merupakan suku bangsa
yang berdiam di sebuah pulau yang disebut Pulau Nias (Tano Niha) dan
sekitarnya, yang terletak di sebelah barat pulau Sumatera. Suku Nias menamakan
diri mereka sebagai Ono Niha yang artinya (Ono artinya anak atau keturunan dan
Niha artinya manusia).
Masyarakat Nias yang pada dasarnya berdiam di Pulau Nias melakukan
perpindahan ke berbagai daerah karena perkembangan zaman. Perpindahan
masyarakat Nias ini menuju ke berbagai daerah seperti: Tapanuli, Sumatera Barat,
Aceh, Bengkulu, dan bahkan sampai ke Malaysia (Johor, Melaka, Negeri
Sembilan, Pulau Pinang). Perpindahan atau migrasi tersebut bertujuan untuk
mencari pekerjaan dan untuk kepentingan lainnya. Migrasi yang dilakukan oleh
Masyarakat Nias telah berlangsung lama dan diperkirakan telah terjadi dari abad
ke-17 yaitu pada waktu berinteraksi dalam hal perdagangan dengan Arab dan
bangsa Cina serta Hindia Belanda (Usman Pelly 1994:81).2
Kota Medan tanpa terkecuali menjadi daerah tujuan masyarakat Nias
yang berpindah untuk mencari pekerjaan dan untuk kepentingan lainnya. Suku
Nias merupakan salah satu suku pendatang yang pada akhirnya menetap di Kota
2Usman Pelly adalah seorang antropolog Indonesia, guru besar, dan ketua umum Yayasan Universitas Islam Sumatera Utara. Salah satu bukunya yang paling populer adalah Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing (Jakarta: LP3ES), tahun 1994.
3
Medan. Suku bangsa lain juga merupakan suku yang menetap di Medan
terbagi atas: (1) suku bangsa tempatan (natif) yaitu suku Melayu (Usman Pelly
1994:84), dengan alasan bahwa suku Melayu pertama sekali bermukim di
wilayah teritorial Kota Medan, (2) suku pendatang antara lain: Batak Toba, Batak
Karo, Simalungun, Pakpak-Dairi, Pesisir (Sibolga dan Tapanuli Tengah), dan
Mandailing. Tibanya orang Nias di Kota Medan dan tinggal menetap dan
melakukan aktivitas budaya dengan berbagai cara.
Suku Nias merupakan masyarakat yang terbiasa hidup di lingkungan adat
dan kebudayaan yang memilki nilai-nilai yang khas. Kebudayaan yang bernilai
khas ini juga pada akhirnya terbawa oleh masyarakat Nias ke tempat mereka
berpindah di luar pulau Nias. Hal ini dapat kita lihat melalui beberapa ciri – ciri
fisik seperti munculnya gereja suku masyarakat Nias, hadirnya organisasi sosial
masyarakat Nias, dan bentuk-bentuk lainnya.
Keragaman budaya masyarakat Nias juga dapat kita lihat dari sisi
kesenian nya seperti alat musik tradisional, tarian, serta nyanyian tradisionalnya.
Ada terdapat banyak alat musik tradisional yang dimilki masyarakat Nias, antara
lain: göndra (gendang besar), faritia (canang), mamba (gong), lagia (rebab spike
fiddle), nduri dana, doli-doli, tamburu, dan masih banyak lagi yang lainnya. Alat
musik tersebut biasanya selalu digunakan pada hampir setiap upacara kebudayaan
pada masyarakat Nias serta untuk mengiri tarian tradisional.
Selain alat musik tradisional, masyarakat Nias juga memiliki tarian
tradisional yang tetap dilestarikan dan dipertunjukkan oleh masyarakat Nias.
Beberapa jenis tarian tradisional yang terdapat dalam masyarakat Nias, antara
lain: Tari Maena yaitu tarian yang melambangkan sukacita dan biasanya
4
dipertunjukkan pada acara pernikahan, owasa, dan penyambutan tamu yang
dihormati, tari Moyo yang merupakan tarian yang menyerupai gerakan elang dan
biasanya dipertunjukkan untuk penyambutan tamu. Kemudian tari Ya’ahowu
yang merupakan tari kreasi baru yang sudah menjadi salah satu tarian yang cukup
sering dipertunjukkan pada acara penyambutan tamu. Demikian pula tari Faluaya
yang merupakan sebuah tarian yang menyerupai gerakan para prajurit sedang
berada di medan perang.
Tari Faluaya merupakan sebuah tarian kolosal yang melibatkan penari
dengan jumlah yang tidak terbatas (dalam realitasnya berjumlah ganjil seperti 5,
7, 13, dan seterusnya) dan dipimpin oleh seorang pemimpin yang memberikan
komando. Gerakan dalam tarian ini memperagakan gerakan-gerakan layaknya
para prajurit perang yang sedang berada di medan perang. Tarian ini menurut
sejarahnya merupakan ungkapan sukacita dari para prajurit setelah meraih
kemenangan di medan perang.
Kata Faluaya sendiri bila diartikan adalah bersama-sama atau
kebersamaan, lebih dalam lagi maknanya adalah kerjasama. Jadi dari arti katanya
kita bisa menyimpulkan bahwa Tari Faluaya ini dilakukan dengan bersama-sama
dalam kelompok. Tari Faluaya ini merupakan tarian yang tidak diiringi oleh satu
alat musik pun, baik alat musik barat maupun alat musik tradisional Nias sendiri.
Tarian ini hanya diiringi oleh serangkaian syair-syair yang dinyanyikan dengan
lantang dan penuh semangat. Syair-syair tersebut lazim disebut sebagai Hoho oleh
masyarakat Nias. Susunan syair-syair pada Hoho ini dinyanyikan secara sahut-
sahutan oleh para peserta yang mempertunjukkan Tari Faluaya.
5
Hoho dalam berbagai versi merupakan salah satu tradisi lisan Nias yang
dapat dijadikan rujukan dalam memahami kebudayaan lama mereka. Hoho ini
telah berurat berakar dalam kehidupan mereka sehari-hari. Seluruh kehidupan
masyarakat Nias pada zaman dahulu diatur oleh Hoho yang dituturkan ini
(Hammerle, 1999:25). Hoho dalam tari Faluaya merupakan salah satu bagian
dari beberapa jenis hoho yang ada pada kebudayaan masyarakat Nias.
Tari Faluaya awalnya hanya merupakan sebuah rangkaian gerakan yang
dirangkai sedemikian rupa untuk mengekspresikan sukacita atas kemenangan di
medan perang. Pada masa kini, tari Faluaya selalu dipertunjukkan pada hampir
setiap acara kebudayaan, termasuk di Kota Medan sendiri. Tari Faluaya
dipertunjukkan oleh pemuda-pemuda Nias yang berada di Kota Medan agar tetap
terjaga dan tidak tergilas oleh arus akulturasi dan globalisasi di tengah daerah
Kota Medan yang cukup plural dengan kebudayaannya. Kita dapat menyaksikan
pertunjukan Tari Faluaya di Kota Medan pada acara-acara yang bertemakan
kebudayaan dan acara-acara besar lainnya.
Di dalam penelitian ini, penulis memusatkan perhatian kepada Sanggar
Fanayama, yang berdomisili di Simalingkar, Medan. Sanggar ini adalah salah satu
sanggar kesenian Nias yang ada di Kota Medan, yang awalnya dibentuk oleh Dasa
Manao, S.Sn dan kini diteruskan oleh Hubari Gulö, S.Sn., M.Sn. Ketertarikan
penulis meneliti di sanggar ini di landasi oleh alasan: (1) para penarinya berusia
relatif muda yang memiliki kesadaran melestarikan kebudayaan Nias; (2) sanggar
ini didirikan oleh Dasa Manao, S.Sn. yang kemudian selepas beliau pindah ke
Nias, kepemimpinan diteruskan oleh Hubari Gulö, S.Sn., M.Sn.—berdasarkan
latar belakang keilmuan keduanya, maka sanggar ini menggunakan pendekatan-
6
pendekatan keilmuan (khususnya) etnomusikologi, dalam mengembangkan Tari
Faluaya dan seni Nias lainnya di Medan. (3) Sanggar Fanayama ini menurut
pengamatan awal penulis cukup sering diundang untuk mengisi acara-acara
seminar, pembukaan pameran, ulang tahun organisasi sosial, peresmian gedung,
dan lain-lainnya, baik di Kota Medan atau kota-kota lain di Sumatera Utara.
Sebuah hal yang unik dan menarik untuk dikaji dapat kita temukan dalam
Tari Faluaya ini mengingat bahwa tarian ini tidak diiringi oleh satu alat musik
pun. Pengiring dalam tarian ini hanya serangkaian Hoho yang dituturkan. Hoho
tersebutlah yang menjadi pengatur tempo, siklus gerak serta pola lantai pada Tari
Faluaya ini. Hoho yang dituturkan ini mengisahkan tentang keperkasaan,
ketangkasan, dan ketangguhan para personil yang mempertunjukkan Tari Faluaya
ini. Dalam syair-syair Hoho yang dituturkan itu menceritakan tentang
keberhasilan para prajurit sepulangnya dari medan perang.
Melihat fenomena tarian ini seperti terurai di atas, maka penulis tertarik
untuk mengkajinya dari sudut keilmuan, khususnya melalui disiplin
etnomusikologi. Dalam konteks perkembangan disiplin etnomusikologi masa
kini, penjelasan mengenai apa itu etnomusikologi adalah seperti kutipan dari
laman web resmi Society for Ethnomusicology sebagai berikut.
Ethnomusicology encompasses the study of music-making throughout the world, from the distant past to the present. Ethnomusicologists explore the ideas, activities, instruments, and sounds with which people create music.European and Chinese classical musics, Cajun dance, Cuban song, hip hop, Nigerian juju, Javanese gamelan, Navajo ritual healing, and Hawaiian chant are a few examples of the many varieties of music-making examined in ethnomusicology. Ethnomusicology is interdisciplinary—many ethnomusicologists have a background not only in music but in such areas as anthropology, folklore, dance, linguistics, psychology, and
7
history. Ethnomusicologists generally employ the methods of ethnography in their research. They spend extended periods of time with a music community, observe and document what happens, ask questions, and sometimes learn to play the community’s types of music. Ethnomusicologists may also rely on archives, libraries, and museums for resources related to the history of music traditions. Sometimes ethnomusicologists help individuals and communities to document and promote their musical practices.Most ethnomusicolo-gists work as professors at colleges and universities, where they teach and carry out research. A significant number work with museums, festivals, archives, libraries, record labels, schools, and other institutions, where they focus on increasing public knowledge and appreciation of the world’s music.Many colleges and universities have programs in ethnomusicology. To see a list of some of these programs, visit our guide to Program in Ethnomusicology (http://webdb.iu.edu)
Dalam situs web tersebut dijelaskan dengan tegas bahwa etnomusikologi
adalah kajian keilmuan yang menjangkau terbentuknya musik di seluruh dunia ini,
dari masa dahulu hingga sekarang. Etnomusikologi mengeksplorasi segala
gagasan, kegiatan, alat-alat musik, dan suara yang dihasilkan (alat-alat musik atau
vokal), dengan masyarakat yang menghasilkan musik tersebut. Musik klasik
Eropa dan China, tarian Cajun, nyanyian masyarakat Kuba, hip hop, juju dari
Nigeria, gamelan Jawa, ritual penyembuhan penyakit masyarakat Indian Navaho,
nyanyian keagamaan Hawaii, adalah beberapa contoh kajian terhadap musik di
seluruh dunia, yang dilakukan oleh para etnomusikolog.
Etnomusikologi merupakan disiplin ilmu pengetahuan yang sifatnya
interdisiplin. Beberapa etnomusikolog mempunyai latar belakang tidak hanya di
dalam musik saja, tetapi ada yang berasal dari bidang ilmu antropologi, folklor,
tari, linguistik, psikologi, dan sejarah. Etnomusikologi secara umum melibatkan
metode etnografi dalam penelitiannya. Para etnomusikolog mengkaji musik dalam
8
dimensi waktu dan komunitas pendukungnya, mengamati, mengumpulkan
dokumen tentang apa yang terjadi, bertanya tentang apa yang diteliti, dan juga
turut terlibat memainkan musik seperti yang dilakukan komunitasnya. Para
etnomusikolog juga melakukan studi terhadap arsip, perpustakaan, dan museum,
untuk mencari sumber-sumber yang berkaitan dengan sejarah musik. Kadangkala
etnomusikolog melakukan dokumentasi dan mempromosikan pertunjukan musik.
Sebahagian besar etnomusikolog biasanya menjadi ilmuwan di berbagai jenis
pendidikan dan universitas. Sejumlah karya penting mereka berkaitan dengan
museum, festival, arsip, perpustakaan, label rekaman, sekolah, berbagai institusi,
di mana mereka memfokuskan pencerahan untuk ilmu pengetahuan dan apresiasi
musik di seluruh dunia. Beberapa perguruan tinggi dan universitas mempunyai
program etnomusikologi.
Uraian mengenai etnomusikologi di atas, menurut penulis relevan dalam
mengkaji Tari Faluaya dan teks Hoho di dalam kebudayaan masyarakat Nias di
Kota Medan. Etnomusikologi mencakup kajiannya terhadap tari, musik sebagai
fenomena bunyi, dan sekaligus juga teks nyanyian. Di dalam skripsi ini dikaji
tiga aspek utama fenomena Tari Faluaya dan teks Hoho, yaitu: struktur tari,
struktur musik, dan teks Hoho dalam penyajian tari tersebut.
Hal-hal inilah yang menjadi latar belakang penulis untuk mengangkat
judul Analisis Musikal dan Makna Tekstual Hoho Dalam Tari Faluaya Pada
Masyarakat Nias Di Kota Medan untuk melihat bagaimana struktur musikal,
seperti : tangga nada, nada dasar, wilayah nada, jumlah nada – nada, interval, pola
kadensa, formula melodi, dan kontur, serta untuk mengetahui apa makna yang
terkandung dalam Hoho yang menjadi pengiring dalam Tari Faluaya tersebut.
9
1.2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan sebelumnya,
maka pokok permasalahan yang menjadi topik bahasan dalam tulisan ini adalah:
1. Bagaimana struktur musikal Hoho dalam Tari Faluaya pada masyarakat Nias
di Kota Medan?
2. Bagaimana struktur teks dan makna Hoho dalam Tari Faluaya pada
masyarakat Nias di Kota Medan?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana struktur musikal hoho dalam
Tari Faluaya pada masyarakat Nias di Kota Medan.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana struktur teks dan makna
Hoho dalam Tari Faluaya pada masyarakat Nias di Kota Medan.
3. Untuk mengetahui bagaimana struktur tari Faluaya pada masyarakat Nias di
Kota Medan.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Agar dapat diketahui dengan jelas bagaimana struktur musikal serta makna
tekstual hoho dalam Tari Faluaya pada masyarakat Nias di Kota Medan.
2. Agar menjadi bahan dokumentasi eksistensi seni budaya, khususnya Nias.
10
3. Agar menjadi bahan dokumentasi dasar bagi peneliti, terutama etnomusikolog
untuk dikembangkan berikutnya.
4. Agar menjadi bahan dokumentasi dasar untuk pelestarian kebudayaan Nias.
1.4 Konsep dan Teori
1.4.1 Konsep
Konsep adalah pengertian abstrak dari jumlah konsepsi-konsepsi atau
pengertian, pendapat (paham) yang telah ada dalam pikiran (Bachtiar, 1990).
Analisa adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan
bagian itu sendiri serta hubungan antara bagian untuk memperoleh pengertian
yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan (Kamus Besar Bahasa Indonesia
2002:43). Analisis yang penulis maksudkan dalam tulisan ini adalah menelaah
dan menguraikan struktur musikal dan makna tekstual Hoho pada Tari Faluaya.
Musik adalah salah satu media ungkap kesenian, yang media utamanya
bunyi, disusun oleh dimensi waktu dan ruang. Musik mencerminkan kebudayaan
masyarakat pendukungnya. Musik itu sendiri memiliki bentuk yang khas baik dari
sudut strukturalnya maupun genrenya dalam kebudayaan. Di dalam musik terjadi
komunikasi verbal (biasanya disebut lirik nyanyian) dan nonverbal. Komunikasi
nonverbal ini dapat berupa nada, wilayah nada, tangga nada, nada dasar, rentak,
meter, aksentuasi, dan aspek-aspek sejenis (Takari dan Fadlin 2014:28). Makna
adalah maksud yang terkandung dalam perkataan atau kalimat, tujuan pembicara
atau penulis; pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan (KBBI
11
Online). Dalam tulisan ini makna yang ingin dikaji adalah makna teks daripada
Hoho dalam tari Faluaya.
Hoho adalah salah satu dari tradisi lisan yang ada pada kebudayaan
masyarakat Nias. Selain hoho, jenis lain dari tradisi lisan yang dimiliki
masyarakat Nias seperti : hendri-hendri, manö-manö, hiwö-hiwö, dan lainnya
(Hubari Gulö, 2011). Setiap jenis tradisi lisan ini merupakan bentuk syair namun
berbeda ide serta fungsi penggunaannya. Hoho merupakan tradisi lisan yang
berbentuk syair yang dilagukan yang menceritakan atau mengisahkan berbagai
peristiwa sosial-budaya di kalangan masyarakat Nias. Beberapa jenis hoho ini
seperti : hoho asal-usul leluhur masyarakat Nias, hoho fabolosi (syair kematian
yang dinyanyikan oleh perempuan), hoho faluaya (hoho yang dituturkan pada tari
faluaya), dan lainnya.
Hoho ini telah berurat berakar dalam kehidupan masyarakat Nias sehari-
hari. Seluruh kehidupan masyarakat Nias pada zaman dahulu diatur oleh hoho
yang dituturkan ini. Itulah sebabnya mereka sering membedakan antara agama,
pemerintah dan adat. Istilah yang sering terdengar yaitu sara lala agama, sara
fareta, sara lala hada (lain cara agama, lain cara pemerintah, dan lain cara adat)
(Hammerle 1999). Hoho merupakan tradisi lisan masyarakat Nias yang adalah
warisan budaya masa lampau. Bentuk dari Hoho ini adalah syair yang dilagukan
secara puitis untuk mengungkapkan hal-hal yang berhubungan dengan asal-usul
kejadian, sejarah, hukum adat, dan hal lain yang berhubungan dengan tata
kemasyarakatan (Zebua, 1991).
Sebuah syair yang dilagukan sama halnya dengan nyanyian disebut juga
dengan musik vokal yang menggunakan suara manusia sebagai sumber utamanya.
12
Hoho dalam tari Faluaya merupakan salah satu bagian dari beberapa jenis hoho
yang ada pada masyarakat Nias, dan khususnya hanya ada di daerah Nias Selatan.
Hoho jenis ini disajikan untuk merefleksikan suatu kekuatan yang dimiliki
masyarakat Nias Selatan dalam mempertahankan wilayah mereka dari serangan
musuh.
Tari Faluaya adalah salah satu tarian kolosal yang terdapat dalam
kebudayaan masyarakat Nias. Tarian ini menggambarkan ungkapan sukacita atas
kemenangan di medan perang. Tari Faluaya pada hakikat nya merupakan tarian
yang dipertunjukkan dalam upacara adat pada masyarakat Nias zaman dulu.
Namun oleh perkembangan zaman, tarian ini saat sekarang sering dipertunjukkan
untuk kebutuhan hiburan dengan menonjolkan aspek estetika yang terkandung
didalamnya. Masyarakat Nias yang berpindah ke daerah lain diluar Pulau Nias
masih melestarikan tarian ini guna mempertahankan kebudayaannya. Dalam
tulisan ini penulis akan melihat dan menganalisis bagaimana struktur musikal
serta makna tekstual Hoho dalam Tari Faluaya yang terdapat pada masyarakat
Nias di Kota Medan. Analisa ini akan didasari dengan teori-teori yang akan
dijelaskan dalam bagian dibawah ini.
1.4.2 Teori
Teori merupakan landasan pendapat yang dikemukakan mengenai suatu
peristiwa (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995:1041). Dalam konteks
penelitian, teori digunakan sebagai arahan untuk kerja-kerja penelitian. Teori
hanya sebagai acuan sementara agar penelitian tidak melebar kemana-mana. Teori
adalah bangunan yang mapan, ada pendapat peneliti, ada simpulan awal. Itulah
13
sebabnya teori harus dibangun terstruktur, sejalan dengan apa saja yang mungkin
akan digunakan (Suwardi 2006:107).
Dalam tulisan ini, penulis menggunakan teori William P. Malm
(1977:15) untuk menganalisis Hoho, yang membahas scale (tangga nada), nada
dasar, range (wilayah nada), frequency of notes (jumlah nada-nada), prevalent
interval (interval yang dipakai), cadence patterns (pola-pola kadensa), melodic
formula (formula melodi), dan contour (kontur). Penulis juga melakukan
pendekatan seperti yang ditawarkan Bruno Nettl (1964), yaitu: (1) menganalisis
dan mendeskripsikan apa yang kita dengar, dan (2) menuliskan apa yang kita
dengar itu diatas kertas, dan kemudian mendeskripsikan apa yang kita lihat itu.
Untuk mengkaji makna-makna yang terkandung dalam teks Hoho pada
Tari Faluaya, digunakan teori semiotik. Semiotik adalah ilmu tentang tanda-
tanda. Ilmu ini berpandangan bahwa fenomena sosial dan budaya pada dasarnya
merupakan tanda-tanda. Semiotik mengkaji sistem-sistem, aturan-aturan, dan
konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memilki arti.
(Takari dan Fadlin, 2014:19). Secara saintifik, istilah semiotik berasal dari bahasa
Yunani yaitu semeion. Dengan menggunakan pendekatan semiotik , seseorang
bisa bisa menganalisis makna yang tersurat dan tersirat di balik penggunaan
lambang dalam kehidupan sehari-hari.
Dua tokoh perintis semiotik adalah Ferdinand de Saussure, seorang pakar
bahasa dari Swiss, dan Charles Sanders Pierce, seorang filosof dari Amerika
Serikat. Menurut Ferdinand de Saussure, semiotik adalah kajian mengenai
“kehidupan tanda-tanda dengan masyarakat yang menggunakan tanda-tanda itu.”
Pierce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi terdiri dari
14
tiga bagian yang saling berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat (interpretant)
dan (3) objek. Pierce membedakan lambang-lambang ke dalam tiga kategori:
ikon, indeks dan simbol.
Dalam semiotik terdapat hubungan tiga segi antara lambang, objek, dan
makna. Lambang itu mewakili objek yang dilambangkan. Penerima
menghubungkan lambang dengan objek dan makna, disebut interpretant, yang
berfungsi sebagai perantara antara lambang dengan objek yang dilambangkan.
Oleh karena itu, makna lambang hanya wujud dalam pikiran interpretant, selepas
saja interpretan menghubungkan lambang dengan objek.
Berdasarkan kepada Bagan 1.1 Segitiga Makna Ogden dan Richards
(1923) berikut ini maka dapat dikaji bahwa tidak ada hubungan secara langsung
atau isyarat dengan objek yang menjadi rujukan. Hubungan seperti yang
ditunjukkan seperti pada bagan berikut menunjukkan bahwa pemikiran seseorang
akan menginterpretasi (menafsir) makna lambang dengan objek atau peristiwa
yang dirujuk. Ini bermakna bahwa pikiran seseorang mengkonseptualisasikan
sesuatu objek yang dirujuk berdasarkan rupa bentuk lambang atau isyarat tertentu.
Hubungan antara pemikiran, lambang, dan objek yang dirujuk itu akan
menghasilkan makna.
Pemikiran (Rujukan)
-----------------------------
Lambang / Simbol Objek / Peristiwa (Isyarat) yang dirujuk (Referent)
Bagan 1.1
Segi Tiga Makna Ogden dan Richard (1923)
15
Dalam mengkaji struktur tari Faluaya, penulis akan mendeskripsikan
bagaimana gerakan-gerakan yang terdapat dalam tari Faluaya tersebut.
Penyusunan gerak dalam seni tari, gerak dari masing-masing penari maupun dari
kelompok penari. Ditambah dengan penyesuaian ruang, sinar, warna, dan seni
sastranya, semuanya merupakan suatu pengorganisasian seni tari yang disebut
koreografi (Djelantik, 1990:23). Koreografi yang dimaksud dalam hal ini adalah
gerakan-gerakan yang dilakukan para penari pada tari Faluaya. Gerakan-
gerakannya terpola didalam aturan-aturan dan nilai keindahan serta memiliki ciri
khas tertentu. Gerakannya dilakukan secara simbolis dan memiliki makna
tertentu.
1.5 Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis mengacu pada pendapat Nettl (1964:62)
yang mengatakan ada dua hal yang esensial untuk melakukan aktivitas penelitian
dalam disiplin etnomusikologi, yaitu kerja lapangan (field work) dan kerja
laboratorium (desk work). Penulis juga menggunakan metode penelitian kualitatif
umumnya ditujukan untuk mempelajari kehidupan kumpulan manusia. Penelitian
kualitatif ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu : tahap ke lapangan, tahap analisis
data, dan tahap penulisan laporan (skripsi). Adapun teknik pengumpulan data
yang dipakai adalah sebagai berikut.
16
1.5.1 Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan merupakan salah satu landasan dalam melakukan
sebuah penelitian, yaitu dengan mengumpulkan literatur atau sumber bacaan
untuk mendapatkan pengetahuan dasar tentang objek penelitian. Sumber-sumber
bacaan ini dapat berupa buku, artikel, jurnal, laporan penelitian, dan lain-lain.
Sebagai langkah pertama yang penulis lakukan untuk studi kepustakaan
adalah dengan cara membaca dan mempelajari tulisan – tulisan yang berhubungan
dengan objek penelitian. Dalam hal ini penulis membaca dan mempelajari skripsi
sarjana yang pernah ditulis oleh alumni Departemen Etnomusikologi FIB USU.
Selain itu, penulis juga membaca dan mempelajari tesis pascasarjana yang pernah
ditulis oleh alumni Pasca Sarjana Penciptaan dan Pengkajian Seni.
Disamping itu, penulis juga melakukan pengumpulan data dengan
memanfaatkan teknologi internet yang memuat informasi dan data-data yang
penulis butuhkan dalam penelitian ini. Seluruh kepustakaan yang diperoleh akan
penulis jadikan sebagai acuan dan pelengkap untuk keberhasilan penelitian ini.
1.5.2 Kerja Lapangan
Menurut Harja W. Bachtiar (1990), bahwa pengumpulan data dilakukan
melalui kerja lapangan (field work) dengan menggunakan teknik observasi untuk
melihat, mengamati objek penelitian dengan tujuan mendapatkan informasi –
informasi yang dibutuhkan.
17
1.5.3 Wawancara
Wawancara adalah untuk mencatat keterangan-keterangan yang
dibutuhkan dengan maksud agar data atau keterangan tidak ada yang hilang
(Bachtiar, 1990). Dalam proses wawancara, penulis mengacu pada metode yang
dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1981), yaitu: wawancara berfokus (focused
interview), wawancara bebas (free interview), dan wawancara sambil lalu (casual
interview).
1.5.4 Perekaman Data Visual dan Audio
Perekaman data baik itu visual maupun audio merupakan salah satu
bagian terpenting yang akan digunakan penulis untuk mengumpulkan data dan
informasi yang penulis butuhkan. Perekaman data dalam bentuk visual akan
dilakukan dengan menggunakan kamera digital Sony dan untuk perekaman data
dalam bentuk audio akan dilakukan dengan menggunakan laptop dan didampingi
oleh handphone Lenovo. Seluruh hasil perekaman data tersebut kemudian akan
dibawa ke laboratorium untuk diolah dan dianalisis sesuai tujuan penelitian.
1.5.5 Kerja Laboratorium
Keseluruhan data yang diperoleh dari lapangan, selanjutnya diproses dan
diolah dalam kerja laboratorium. Data-data yang bersifat analisis disusun dengan
sistematika penulisan ilmiah. Data-data dalam bentuk gambar dan rekaman diteliti
kembali sesuai ukuran yang telah ditentukan kemudian dianalisis seperlunya.
Menurut Burhan Bungin (2007:153), ada dua hal yang ingin dicapai
dalam analisis data kualitatif, yaitu: (1) menganalisis proses berlangsungnya suatu
18
fenomena sosial dan memperoleh suatu gambaran yang tuntas terhadap proses
tersebut, dan (2) menganalisis makna yang ada dibalik informasi, data, dan proses
suatu fenomena sosial tersebut. Setelah semua data yang diperoleh dari lapangan
maupun bahan dari studi kepustakaan terkumpul, selanjutnya dilakukan
pengolahan data dan penyusunan tulisan. Sedangkan untuk hasil rekaman
dilakukan pentranskripsian dan selanjutnya dianalisis.
1.6 Pemilihan Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian difokuskan di tempat aktivitas Sanggar Fanayama yaitu
Perumnas Simalingkar, Medan Tuntungan. Adapun alasan penulis memilih daerah
tersebut karena informan dan para seniman tari yang menjadi sumber informasi
penting dalam penelitian ini memusatkan kegiatannya di tempat tersebut. Namun
demikian, sebagai sebuah penelitian kualitatif yang mencoba menggali makna-
makna di sebalik tari dan musik yang dipertunjukkan, maka penulis juga
mengikuti kegiatan-kegiatan Sanggar Fanayama dalam konteks memenuhi
undangan di berbagai tempat pertunjukan di Medan dan Sumatera Utara. Tujuan
kegiatan penelitian sebagai participant observer (pengamat terlibat) ini adalah
bahagian dari teknik penelitian yang mendalami bagaimana si peneliti menjadi
bagian dari kebudayaan yang diteliti, dapat memahaminya, melakukannya, dan
mentransmisikan nilai-nilai di balik kegiatan budaya. Teknik penelitian seperti ini
juga disarankan di dalam etnomusikologi, dengan istilah bimusicality
(bimusikalitas), yaitu peneliti dapat melakukan apa yang dilakukan oleh informan
yang menjadi objek penelitiannya.
19
BAB II
ETNOGRAFI MASYARAKAT NIAS DI KOTA MEDAN
2.1 Keadaan Geografis Kota Medan
Kota Medan merupakan ibukota provinsi Sumatera Utara, Indonesia.
Sebagai kota terbesar di pulau Sumatera, Kota Medan merupakan pintu gerbang
wilayah Indonesia bagian barat. Secara geografis, Kota Medan terletak pada 3°35’
- 3°58’ Lintang Utara dan 98°35’ - 98°44’ Bujur Timur. Kota Medan berada di
bagian utara provinsi Sumatera Utara dan berada pada ketinggian 3 – 27 Meter
diatas permukaan laut. Kota Medan memiliki luas 26.510 hektar (265,10 km²)
atau 3,6% dari keseluruhan wilayah Sumatera Utara. Dengan demikian,
dibandingkan dengan kota/kabupaten lainya, Medan memiliki luas wilayah yang
relatif kecil dengan jumlah penduduk yang relatif besar (www.wikipedia.com).
Secara geografis, Kota Medan didukung oleh daerah – daerah sekitarnya
yang kaya akan sumber daya alam, seperti Deli Serdang, Labuhan batu,
Simalungun, Tanah Karo, Tapanuli Utara, Binjai, dan lainnya. Kota Medan juga
memiliki posisi strategis sebagai gerbang masuk kegiatan perdagangan barang dan
jasa, baik perdagangan domestik maupun luar negeri (ekspor-impor). Hal ini
mendorong perkembangan Kota Medan secara fisik di bidang ekonomi dan bisnis.
Kota Medan memiliki suhu udara berkisar 22,8°C – 33,0°C dengan kelembapan
udara berkisar 75% - 81%. Sebagai daerah yang tergolong cukup panas, Kota
Medan dituruni hujan selama 200 hari/tahun dengan curah hujan berkisar 2.178
mm. Kondisi geografis ini juga dilengkapi dengan kecepatan angin sebesar 1,20
m/sec.
20
2.1.1 Demografi
Berdasarkan data statistik kependudukan pada tahun 2014 yang
dilakukan oleh pemerintah kota Medan, penduduk kota Medan
diperkirakan telah mencapai 2.135.516 jiwa, dengan jumlah wanita lebih besar
dari pria (1.082.123 jiwa > 1.053.393 jiwa). Selain itu, Kota Medan juga
merupakan daerah perkotaan yang dihuni oleh berbagai etnis, dengan latar
belakang yang berbeda pula. Di siang hari, jumlah ini bisa meningkat hingga
sekitar 2,5 juta jiwa dengan dihitungnya jumlah penglaju (komuter).
Sebagian besar penduduk Medan berasal dari kelompok umur 0-19
dan 20-39 tahun (masing-masing 41% dan 37,8% dari total penduduk). Dilihat
dari struktur umur penduduk, Medan dihuni lebih kurang 1.377.751 jiwa
berusia produktif, (15-59 tahun). Selanjutnya dilihat dari tingkat pendidikan, rata-
rata lama sekolah penduduk telah mencapai 10,5 tahun. Dengan demikian, secara
relatif tersedia tenaga kerja yang cukup, yang dapat bekerja pada berbagai
jenis perusahaan, baik jasa, perdagangan, maupun industri manufaktur.
Populasi masyarakat Kota Medan didominasikan oleh beberapa suku
seperti: Melayu, Jawa, Batak (Toba, Karo, Simalungun, Mandailing-Angkola),
Nias dan Tionghoa. Mayoritas kependudukan di kota Medan sekarang
ialah Suku Jawa, dan suku-suku dari Tapanuli (Batak, Mandailing, Karo).
Keanekaragaman etnis di Medan terlihat dari jumlah mesjid, gereja, dan vihara
Tionghoa yang banyak tersebar di seluruh kota. Daerah di sekitar Jl. Zainul
Arifin dikenal sebagai Kampung Keling, yang merupakan daerah pemukiman
orang keturunan India. Secara historis, pada tahun 1918 tercatat bahwa Medan
dihuni 43.826 jiwa. Dari jumlah tersebut, 409 orang berketurunan Eropa, 35.009
21
berketurunan Indonesia, 8.269 berketurunan Tionghoa, dan 139 lainnya berasal
dari ras timur lainnya.
No Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah 1 Medan Tuntungan 40.097 42.437 82.534 2 Medan Selayang 49.525 51.532 101.057 3 Medan Johor 62.331 64.336 126.667 4 Medan Amplas 57.918 59.004 116.922 5 Medan Denai 71.750 71.100 142.850 6 Medan Tembung 65.761 68.882 134.643 7 Medan Kota 35.422 37.700 73.122 8 Medan Area 48.054 49.200 97.254 9 Medan Baru 17.667 22.150 39.817 10 Medan Polonia 26.460 27.413 53.873 11 Medan Maimun 19.524 20.379 39.903 12 Medan Sunggal 55.717 57.927 113.644 13 Medan Helvetia 71.586 74.805 146.391 14 Medan Barat 34.931 36.406 71.337 15 Medan Petisah 29.526 32.701 62.227 16 Medan Timur 52.906 56.539 109.445 17 Medan Perjuangan 45.405 48.683 94.088 18 Medan Deli 86.937 85.014 171.951 19 Medan Labuhan 57.635 55.679 113.314 20 Medan Marelan 75.066 73.131 148.197 21 Medan Belawan 49.175 47.105 96.280 TOTAL 1.053.393 1.082.123 2.135.516 Sumber : BPS Kota Medan, Medan Dalam Angka 2014
Tabel 2.1
Jumlah Penduduk Kota Medan Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin Tahun
2014
22
Etnis Tahun 1930 Tahun 1980 Tahun 2000
Jawa 24,89% 29,41% 33,03%
Batak 2,93% 14,11% 20,93%*
Tionghoa 35,63% 12,8% 10,65%
Mandailing 6,12% 11,91% 9,36%
Minangkabau 7,29% 10,93% 8,6%
Melayu 7,06% 8,57% 6,59%
Karo 0,19% 3,99% 4,10%
Aceh -- 2,19% 2,78%
Sunda 1,58% 1,90% --
Lain-lain 14,31% 4,13% 3,95% Sumber: 1930 dan 1980: Usman Pelly, 1983; 2000: BPS Sumut
*Catatan: Data BPS Sumut tidak menyenaraikan "Batak" sebagai suku bangsa, total Simalungun
(0,69%), Tapanuli/Toba (19,21%), Pakpak (0,34%), dan Nias (0,69%) adalah 20,93% Bangsa Punjabi
dan lainnya (3,95%)
Tabel 2.2
Perbandingan Etnis di Kota Medan Pada Tahun 1930, 1980, 2000
2.1.2 Wilayah Administrasi Pemerintahan
Secara administratif, Kota Medan berbatasan langsung dengan beberapa
kecamatan – kecamatan yang menjadi wilayah administratif pemerintah
Kabupaten Deli Serdang, kecuali di bagian utara nya yang berbatasan dengan
Selat Malaka. Perbatasan wilayah ini lebih jelas seperti dibawah ini.
- Sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka
- Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Deli Tua dan Pancur Batu
(Kabupaten Deli Serdang)
23
- Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Sunggal (Kabupaten Deli
Serdang)
- Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Percut Sei Tuan dan Tanjung
Morawa (Kabupaten Deli Serdang)
Adapun beberapa kecamatan yang berada di wilayah pemerintahan
Kota Medan yaitu antara lain: Kecamatan Medan Petisah, Kecamatan Medan
Timur, Kecamatan Medan Barat, Kecamatan Medan S e l a y a n g ,
Kecamatan Medan Deli, Kecamatan Medan Baru, Kecamatan Medan
Belawan, Kecamatan Medan Tembung, Kecamatan Medan Perjuangan,
Kecamatan Medan Sunggal, Kecamatan Medan Polonia, Kecamatan Medan
Denai, Kecamatan Medan Johor, Kecamatan Medan Marelan, Kecamatan
Medan Helvetia, Kecamatan Medan Maimun, Kecamatan Medan Kota,
Kecamatan Medan Area, Kecamatan Medan Tuntungan, Kecamatan Medan
Amplas, Kecamatan Medan Labuhan. Kota Medan terdiri dari dua puluh satu
kecamatan, yaitu seperti yang terurai di dalam Tabel 2.3 sebagai berikut.
No Kecamatan Luas (Km2) 1 Medan Tuntungan 20,68 2 Medan Selayang 12,81 3 Medan Johor 14,58 4 Medan Amplas 11,19 5 Medan Denai 9,05 6 Medan Tembung 7,99 7 Medan Kota 5,27 8 Medan Area 5,52 9 Medan Baru 5,84 10 Medan Polonia 9,01 11 Medan Malmun 2,98
24
12 Medan Sunggal 15,44 13 Medan Helvetia 13,16 14 Medan Barat 6,82 15 Medan Petisah 5,33 16 Medan Timur 7,76 17 Medan Perjuangan 4,09 18 Medan Deli 20,84 19 Medan Labuhan 36,67 20 Medan Marelan 23,82 21 Medan Belawan 26,25 TOTAL 265,1
Sumber : BPS Kota Medan 2014
Tabel 2.3
Kecamatan-kecamatan dan Luasnya dalam Kilometer di Kota Medan Tahun 2014
2.2 Gambaran Umum dan Adaptasi Masyarakat Nias di Kota Medan
Masyarakat Nias merupakan satu kelompok masyarakat yang pada
dasarnya bermukim di Pulau Nias. Pulau Nias adalah salah satu pulau terbesar
yang ada di wilayah Sumatera Utara. Pulau Nias memiliki luas sebesar 5.625 km2
atau 7,26% dari seluruh luas pulau Sumatera. Pulau Nias terletak di antara
0,12° LU – 1,32°LU dan 90° BT - 98° BT. Pulau Nias berbatasan dengan, (1)
Samudera Indonesia di sebelah barat, (2) Pulau Mursala (kepulauan Tapanuli
Tengah) disebelah timur, (3) Kepulauan Banyak (Nanggroe Aceh Darrusalam)
disebelah utara, dan (4) Kepulauan Mentawai (Sumatera barat) disebelah selatan.
Pada awalnya Pulau Nias hanya memiliki satu kabupaten saja sebagai
pusat administrasi pemerintahannya. Akan tetapi, dikarenakan oleh adanya
otonomi daerah, pulau Nias saat ini telah dimekarkan menjadi empat kabupaten
25
dan satu kotamadya untuk mempercepat laju perkembangan nya. Wilayah
administrasi pemerintahan di Pulau Nias terdiri dari Kota Gunungsitoli,
Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara, dan Kabupaten
Nias Selatan. Pulau Nias merupakan daerah yang beriklim tropis dengan sebagian
besar wilayahnya merupakan hutan karena masuh kurangnya penggarapan secara
menyeluruh.
Masyarakat Nias seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman,
sebagian pergi dari pulau Nias dikarenakan berbagai hal, melakukan migrasi
keberbagai daerah dengan tujuan dan kepentingan yang bermacam-macam dan
menuju ke daerah-daerah seperti, Tapanuli, Sumatera Barat, Aceh, Bengkulu,
dan bahkan sampai ke Malaysia (Johor, Malaka, Negeri Sembilan, pulau
Pinang), India, dan Madagaskan. Migrasi ataupun perpindahan yang dilakukan
oleh orang Nias sudah berlangsung lama dan diperkirakan sudah terjadi dari
abad ke-17 yaitu pada waktu berinteraksi dalam hal perdagangan dengan Arab
dan bangsa Cina serta Hindia Belanda.
Pada saaat berlangsungnya jalur perdagangan menuju Baros, Tanö
Niha (pulau Nias) menjadi lumbung tempat penyimpanan bahan- bahan untuk
kebutuhan selama berlangsungnya perdagangan di Baros. Nias merupakan
daerah terdekat menuju Baros yang ramai dilayari kapal-kapal dagang dari
berbagai daerah sehingga orang Nias mempunyai peran penting dalam
kelangsungan perdagangan waktu itu seperti menyediakan tenaga kerja yang kuat
dan mudah dihimpun, karena karakter orang Nias ialah menghormati dan patuh
pada pemimpinnya. Hal ini menjadikan mereka mudah diorganisir sebagai pelaku
perdagangan pada zaman itu. Bersamaan dengan itu, orang Nias mulai
26
mengunjungi daerah-daerah lain seperti Aceh pada waktu pemerintah Raja
Iskandar Muda yang berlangsung pada tahun 1624 hingga 1626. Pada kisaran
tahun tersebut banyak orang Nias dibawa ke Aceh untuk dijadikan prajurit
perang dan ada juga yang dijadikan pekerja atau budak bagi pria, dan wanita
dijadikan istri.
Pada waktu membuka perkebunan di Indonesia (Hindia Belanda waktu
itu) banyak pemuda-pemuda Nias yang dipekerjakan di wilayah-wilayah
perkebunan di luar pulau Nias, kemudian menetap dan bergenerasi di wilayah
tersebut hinga sekarang. Masyarakat suku Nias yang tinggal di Kota Medan
(dahulunya Sumatera Timur) diperkirakan dimulai sejak dibukanya
onderneming perkebunan tembakau dan perkebunan karet yang dikenal dengan
HVA. Banyak orang Nias bekerja di perkebunan-perkebunan, pada waktu itu
karet menjadi “primadona” oleh orang Belanda. Sehingga pohon karet oleh
orang Nias disebut hafea, yang tak lain adalah penyebutan lain untuk HVA yang
berada di Sumatera Timur (Augusman Tafönaö, 2012).
Inilah awalnya dan sejarahnya masyarakat suku Nias tinggal dan
menetap di Kota Medan. Seiring berjalannya waktu, Sumatera Timur kemudian
berkembang menjadi Kota Medan. Orang Nias terus melakukan proses
perpindahan atau urbanisasi yang dahulunya hanya kelompok kecil, semakin
lama terbentuk sebuah masyarakat suku Nias. Hidup berdampingan dengan
suku lainnya, hal ini terlihat dari berbagai macam keterlibatan dalam berbagi
dengan masyarakat sekitar dimana saling melakukan aktifitas budaya masing-
masing suku.
27
Masyarakat Nias yang datang ke kota Medan beradaptasi dengan cara
berbaur dengan etnis-etnis lain yang ada di kota Medan. Suku Nias merupakan
salah satu suku pendatang yang menetap di kota Medan. Suku bangsa lain juga
merupakan suku yang menetap di Medan terbagi, (1) suku bangsa tempatan
(natif) yaitu suku Melayu (Usman Pelly, 1994), dengan alasan bahwa suku
Melayu pertama sekali bermukim di wilayah teritorial Kota Medan, (2) suku
pendatang antara lain: Batak Toba, Batak Karo, Simalungun, Pakpak-Dairi,
Pesisir Sibolga, Mandailing. Suku pendatang ini merupakan etnis yang wilayah
teritorialnya paling dekat dengan Kota Medan dan tergolong dalam satu struktur
pemerintahan setingkat propinsi dengan Medan menjadi pusat pemerintahannya.
Juga etnis seperti Jawa, Sunda, Minangkabau, serta kelompok kecil etnis
Nusantara lainnya serta etnis datang dari luar nusantara seperti etnis yang datang
dari Cina, India, dan yang lain dalam jumlah kecil.
Tibanya orang Nias di Kota Medan dan tinggal menetap dan
melakukan aktifitas budaya dengan berbagai cara. Sistem pemerintahan di Pulau
Nias saat ini berbentuk Kabupaten dan Kotamadya dimana sebelumnya pulau
Nias hanya memiliki satu kabupaten saja namun saat ini pulau Nias telah terbagi
menjadi empat Kabupaten satu Kotamadya sehingga semakin memudahkan
untuk dipahami baik dari segi kebudayaannya maupun segi dialek bahasanya.
28
2.3 Gambaran Umum Kebudayaan Masyarakat Nias Termasuk Di Kota
Medan
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada pendahuluan, bahwa
masyarakat Nias merupakan salah satu suku bangsa yang memiliki kebudayaan
tersendiri dengan ciri dan nilai yang terkandung didalamnya. Kebudayaan
masyarakat Nias ini telah ada dan terjaga sejak masyarakat Nias berada di Pulau
Nias dan pada akhirnya juga terbawa dan tetap dilestarikan oleh masyarakat itu
sendiri yang sebagian telah berpindah dan menetap diluar Pulau Nias.
Masyarakat Nias yang ada di Kota Medan juga salah satu kelompok masyarakat
yang masih tetap menjalankan nilai-nilai budaya yang nyatanya telah mereka
bawa dari tempat asal mereka. Subbab ini akan menjelaskan tentang bagaimana
gambaran umum kebudayaan masyarakat Nias sehari-hari yang tentunya juga
meliputi unsur-unsur kebudayaan yang berkembang dan dimiliki oleh
masyarakat Nias. Penjelasan dalam subbab ini meliputi asal-usul orang Nias,
bahasa, sistem kepercayaan, sistem kemasyarakatan, sistem mata pencaharian,
sistem kekerabatan, teknologi tradisional, dan keseniannya.
2.3.1 Asal – Usul Masyarakat Nias
Sekumpulan orang-orang yang pada akhirnya membentuk sebuah
komunitas atau masyarakat tentulah tidak terlepas dari asal-usul nya. Demikian
juga halnya dengan masyarakat Nias baik yang berada di Pulau Nias maupun
yang telah bermigrasi dan menetap diluar Pulau Nias, termasuk di Kota Medan.
Munculnya banyak pendapat dan mitos tentang asal-usul masyarakat Nias
menimbulkan kesimpangsiuran mengenai realita yang sebenarnya. Beberapa
29
penelitian arkeologi dan antropologi pernah memusatkan penelitian nya di Pulau
Nias untuk mengungkap asal-usul masyarakat Nias ini.
Dalam buku yang ditulis oleh Ketut Wiradnyana (2010), dikatakan
bahwa manusia sudah mulai ada di Pulau Nias sejak masa Paleolitik dan
berlanjut hingga ke masa berikutnya. Penelitian yang dilakukan oleh Balai
Arkeologi Medan pada tahun 1999 menghasilkan temuan berupa peralatan batu
dan sisa pengerjaannya, masing-masing berupa 3 buah kapak perimbas, 3 buah
kapak genggam, sebuah serpih dengan retus3, 2 buah serpih tanpa retus dan
sebuah batu inti. Peralatan tersebut memiliki morfologi dan terknologi yang
hampir sama dengan peralatan-peralatan yang ditemukan pada situs-situs masa
Paleolitik di Indonesia. Temuan tersebut ditemukan pada dasar Sungai Muzöi, di
Pekan Muzöi yang terletak di Dusun Hiliwaele I, Kecamatan Hiliduho,
Kabupaten Nias. Hal ini mengiindikasikan adanya aktifitas manusia ditempat ini
pada Masa Paleolitik.
Penelitian ini juga menemukan adanya peninggalan artefak dan ekofak4
di Gua Tögi Ndrawa yang terletak di Dusun II, Desa Lolowonu Niko’otano,
Kecamatan Gunungsitoli dan di Gua Tögi Bögi yang terletak di Desa Binaka,
Kecamatan Gunungsitoli Idanoi. Artefak dan ekofak yang ditemukan berupa
tulang, tanduk, kapak batu, alat serpih yang menyerupai mata panah, sisa
cangkang moluska (kerang) sebagai bahan makanan, dan debu sisa pembakaran.
Hasil penemuan ini mengiindikasikan adanya aktifitas manusia pada masa
3 Upaya penyerpihan yang dilakukan untuk mendapatkan tajaman dari sebuah alat. 4 Artefak adalah penyebutan atas sisa aktifitas yang dengan sengaja dibuat manusia masa lalu. Ekofak dikaitkan dengan sisa dari aktifitas manusia masa lalu, seperti sisa makanan, sisa pembakaran, dan lainnya.
30
Mesolitik di Pulau Nias. Selain penemuan diatas, gerabah juga merupakan salah
satu temuan yang ditemukan pada kedua Gua ini. Adanya gerabah
menggambarkan evolusi kebudayaan dari tradisi Mesolitik ke Neolitik. Masa
Neolitik ditandai dengan pola hidup manusia yang sudah menetap, adanya tradisi
pembuatan alat-alat batu yang diupam halus, sudah menggunakan teknologi
pengolahan logam, dan sudah menggunakan peralatan berbahan tanah liat pada
masa bercocok tanam. Masa Neolitik ini memilki rentang waktu berkisar 3.000
SM sampai 4 M. Penemuan Kalabubu5 berbahan perunggu yang dipenuhi
berbagai ornamen bercirikan budaya Dong Son (Vietnam) di bagian Utara Pulau
Nias menandakan masa Neolitik yang pernah ada di Pulau Nias.
Kebudayaan Megalitik yang sekarang masih dapat kita temukan
peninggalan nya di Pulau Nias diperkirakan telah berusia 600 tahun yang lalu
atau sekitar abad ke-14 Masehi (Ketut Wiradnyana 2010:113). Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Medan dan Institut de Recherche Pour Ie
Developpement (IRD) Perancis menemukan beberapa daerah Boronadu di
bagian Selatan Pulau Nias telah dihuni sekitar 576 ± 30 BP, yaitu sekitar 600
tahun yang lalu. Kebudayaan Megalitik ini dibawa oleh manusia dari kelompok
migrasi kedua yang menempati wilayah selatan Pulau Nias. Sementara manusia
yang masih bertahan dengan tradisi Neolitik yang terdapat di wilayah utara Pulau
Nias merupakan kelompok migrasi pertama yang memasuki Pulau Nias.
Kebudayaan Megalitik yang berkembang pertama sekali di wilayah
selatan Pulau Nias ini pada perkembangannya mulai diikuti oleh manusia dengan
5 Kalabubu merupakan hiasan leher (kalung) yang dibuat dari batok kelapa yang direkatkan hingga membentuk sebuah kalung.
31
kebudayaan Neolitik yang berada di wilayah utara Pulau Nias. Hal ini dibuktikan
dengan penemuan situs Hili Gowe di wilayah utara Pulau Nias yang diperkirakan
baru berusia sekitar 260 tahun yang lalu. Kedua kelompok manusia yang
bermigrasi ke Pulau Nias ini didominasi oleh ras Mongoloid yang juga sama
dengan ras manusia yang bermigrasi ke seluruh bagian Barat Indonesia pada
masa itu. Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut, diperkirakan bahwa leluhur
masyarakat Nias yang ada saat ini telah hidup sekitar 12.000 tahun sebelum
Masehi dan merupakan golongan dari ras Mongoloid dengan ciri kebudayaan
yang mirip dengan Dong Son (Vietnam) yang mulai terlihat dari peninggalan
kebudayaan megalitik sekitar 600 tahun yang lalu.
Dalam berbagai mitos dan juga didukung oleh folklor lisan berupa hoho
asal-usul leluhur masyarakat Nias yang sering dituturkan, dikatakan bahwa
leluhur masyarakat Nias diturunkan dari langit di daerah Boronadu, Kecamatan
Gomo bagian selatan Pulau Nias. Hoho asal-usul leluhur masyarakat Nias ini
mengisahkan bahwa Sirao Uwu Zahono sebagai penguasa langit atas
menurunkan anaknya yang bernama Hia Walangi Adu ke daerah Boronadu,
Kecamatan Gomo, Nias Selatan. Keturunan dari Hia Walangi Adu inilah yang
pada akhirnya menjadi cikal bakal masyarakat Nias yang ada sampai saat ini.
Demikian halnya masyarakat Nias yang berada di Kota Medan merupakan
masyarakat dengan leluhur yang sama dengan masyarakat Nias yang masih
berada di Pulau Nias.
32
2.3.2 Bahasa
Bahasa merupakan salah satu dari unsur kebudayaan yang dimiliki oleh
setiap suku bangsa di dunia ini. Lewat bahasa memungkinkan setiap manusia
dapat berkomunikasi dengan sesamanya dan membuat proses sosialisasi menjadi
lebih mudah. Demikian halnya dengan masyarakat Nias yang juga memiliki
bahasa sebagai alat komunikasi sehari-hari. Bahasa Nias dikenal dengan sebutan
Li Niha. Dr. Lea Brown, seorang ahli linguistik dari Australia menulis disertasi
doktoralnya yang berjudul “A Grammar of Nias Selatan”, mengatakan bahwa
“Barangkali misteri terpenting dari yang paling menarik bagi para ahli bahasa
adalah ciri khas gramatikal Li Niha yang hingga sekarang tidak dikenal dalam
bahasa-bahasa lain di dunia” (Chical Teodali Telaumbanua, 2012:37).
Li Niha termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia tetapi agak
berbeda dengan bahasa Nusantara lainnya, karena sifatnya yang vokal yaitu tidak
mengenal konsonan di tengah maupun di akhir kata. Bahasa nias mengenal
adanya 6 huruf vokal yaitu : a, i, u,e, o, dan ö (dibaca seperti menyebut huruf e
pada kata ‘gendang’). Logat dan intonasi bahasa Nias berbeda-beda yaitu karena
memiliki dua logat, antara lain logat Nias bagian Utara dan logat Nias Bagian
Selatan. Hal ini menurut penulis mungkin dikarenakan adanya dua gelombang
migrasi yang memasuki wilayah Pulau Nias dimana masyarakat yang ada di
bagian utara Pulau Nias lebih dahulu datang dibandingkan dengan masyarakat
yang ada di bagian selatan Pulau Nias. Logat bahasa di bagian selatan Nias
intonasinya lebih tegas dan penekanan bunyi konsonan lebih sering. Penggunaan
imbuhan berupa awalan, akhiran, dan sisipan terbatas penggunaannya.
33
Penggunaan morfologi lebih banyak terjadi karena ada perubahan bunyi secara
sintaksis bukan semantik.
Bahasa Nias sebagai bahasa daerah saat ini masih digunakan oleh
masyarakat Nias dalam kehidupan sehari-hari, dalam upacara-upacara adat
sebagai alat komunikasi. Interferensi bahasa juga tidak terlepas dari bahasa Nias
pada perkembangannya. Dewasa ini, bahasa Nias mulai mengalami perubahan
baik dari sisi kosakata dan juga elemen-elemen lainnya. Dalam penulisan di
bahasa Nias harus memiliki ciri dan ketentuan seperti : penulisan kata yang
memiliki huruf double harus mengunakan tanda pemisah (‘) seperti kata Ga’a,
hal ini dimaksudkan untuk mempertegas penekanan bunyi pada kata tersebut.
Ciri yang lainnya yaitu seluruh kata dalam bahasa Nias selalu diakhiri atau
ditutup dengan huruf vokal.
2.3.3 Sistem Kepercayaan dan Agama
Sistem kepercayaan atau religi merupakan salah satu dari unsur
kebudayaan yang didalamnya terdapat sistem dengan satuan unsur-unsur yang
ada padanya saling terkait. Adapun satuan unsur-unsur yang ada pada religi
diantaranya ialah emosi (getaran jiwa); sistem kepercayaan (kosmologis, dewa,
makhluk halus, dan sebagainya); sistem upacara (ritus, pendeta, tempat upacara,
dan sebagainya); dan kelompok keagamaan (keluarga, komunitas, perkumpulan
khusus, dan sebagainya) (Koentjaraningrat, 1981:228-266). Masyarakat Nias
pada zaman dahulu memiliki konsep kepercayaan akan alam lain (kosmologi)
yang percaya adanya 9 tingkatan langit dan Alam Manusia adalah tingkatan
34
paling bawah dari antara semuanya. Konsep kosmologi yang menganut 9
tingkatan langit tersebut terlihat seperti dibawah ini.
1. Tuha Sihai
2. Lawalangi, roh baik, roh buruk
3. Fuli, Tuha Baregedano
4. Golu Banua
5. Tarewe Kara
6. Hulunogia
7. Drundru Tanö
8. Sirao
9. Alam Manusia
Konsep kosmologi ini memiliki keterkaitan dalam hampir seluruh aspek
kehidupan masyarakat Nias zaman dahulu. Sembilan tingkatan langit ini dapat
dikaitkan dengan proses berkembangnya bayi dalam kandungan yang
memerlukan waktu selama 9 bulan untuk lahir kembali. Hal ini dianut oleh
masyarakat Nias dengan menghubungkannya dengan 9 tingkatan owasa (upacara
adat) yang dimiliki oleh masyarakat Nias, yang mana bila seluruh tingkatan
owasa itu telah dilaksanakan maka dia akan berada dalam tingkatan langit yang
tertinggi dan akan lahir kembali (Ketut Wiradnyana, 2010:146-148).
Selain konsep kepercayaan seperti diatas, masyarakat Nias juga
memiliki kepercayaan terhadap leluhur. Hal ini terlihat dari adanya patung-
patung menyerupai manusia sebagai simbol dari pada leluhur mereka. Berbagai
jenis patung yang ada pada masyarakat Nias seperti : Adu Nama, Adu Nina, Adu
35
Nuwu, Adu Lawölö, Adu Siraha Horö, Adu Horö, dan lainnya. Patung-patung ini
terbuat dari bahan batu atau kayu dan disimpan dalam rumah. Masyarakat Nias
zaman dahulu juga percaya terhadap kekuatan supranatural yang terdapat pada
pohon-pohon besar dan gunung. Oleh karena masyarakat Nias mempercayai
banyak dewa, menyembah patung leluhur, dan kekuatan supranatural lainnya,
maka sering disebut bahwa masyarakat Nias menganut kepercayaan politeisme.
Dalam sistem kepercayaan masyarakat Nias, kepercayaan ini sering disebut
Sanömba Adu. Kata-kata ini secara etimologis bila diartikan yaitu : sanömba
berarti menyembah atau memuja, dan adu berarti patung yang terbuat dari bahan
batu atau kayu yang dipercayai sebagai media tempat roh bersemayam (Daniel
Zai, 2014).
Gambar 2.1
Patung (Adu) yang terbuat dari bahan Kayu
Pada abad ke-19 Masehi, masyarakat Nias mulai dimasuki ajaran agama
Kristen yang dibawa oleh Denninger pada tahun 1865 tepatnya di Kota
36
Gunungsitoli. Sebelum masuk ke Pulau Nias, Denninger telah belajar bahasa
Nias dan bergaul dengan orang Nias yang ada di Padang. Orang Nias yang
berada di Padang pada saat itu berjumlah sekitar 3000 orang dan merupakan
pendatang di daerah itu. Dari mereka inilah Denninger belajar dan mengetahui
kebiasaan-kebiasan serta adat-istiadat masyarakat Nias dan tertarik untuk
menyebarkan dan mengajarkan agama Kristen ke Pulau Nias dan ternyata
membuahkan hasil yang baik.
Misi selanjutnya diteruskan oleh Thomas yang datang ke Nias pada
tahun 1873. Masa terpenting pada penyebaran agama Kristen di Pulau Nias
terjadi pada rentang tahun 1915 – 1930 dimana pada tahun-tahun ini terjadi
pertobatan massal yang kerap disebut Fangesa Dödö Sebua oleh masyarakat
Nias. Hal ini ditandai dengan sikap masyarakat Nias yang sudah mulai berani
menghanyutkan patung-patung nenek moyang mereka, menhir, patung-patung
dewa, dan benda-benda peninggalan leluhur lainnya. Keberhasilan penyebaran
agama Kristen di Pulau Nias didukung oleh strategi yang cerdik dalam
mengkonversi ritual-ritual adat sehingga makna ritual tersebut bergeser. Seperti
ritual famaoso dalo (mengangkat tengkorak kepala orang yang sudah meninggal)
digantikan dengan ritual fananö buno (menanam bunga) yang sarat akan nilai-
nilai Kristen.
Setelah penyebaran Injil oleh misionaris ke pulau Nias, umat Kristen
tumbuh dan berkembang. Pada saat itu, seluruh masyarakat Nias yang berada di
Pulau Nias maupun di Kota Medan menganut agama yang dikenal sekarang,
yaitu dengan komposisi agama Kristen Protestan 60%, Katolik 30%, 9%
Islam, dan 1% Hindu dan Budha (S. Zebua, 1984:63). Sistem kepercayaan ini
37
juga ditandai dengan berdirinya rumah-rumah ibadah di Pulau Nias seperti
gereja, mesjid, dan rumah ibadah agama lainnya. Di Kota Medan sendiri
masyarakat Nias juga mendirikan rumah ibadah tempat berkumpul seperti Gereja
BNKP (Banua Niha Keriso Protestan). Keberadaan gereja ini dapat dijadikan
sebagai bukti fisik adanya kebudayaan dan masyarakat Nias di daerah tersebut.
2.3.4 Sistem Kemasyarakatan dan Organisasi Sosial
Masyarakat Nias sejak zaman dahulu telah terstruktur dalam sistem
kemasyarakatan yang tersusun sedemikian rupa. Struktur masyarakat ini juga
merupakan simbol dari kosmologis yang dipercaya masyarakat yang memiliki
pola makna, baik itu berbentuk fisik maupun nonfisik, yang merupakan milik
bersama dan memiliki tujuan tertentu, diantaranya melestarikan struktur
masyarakat. Sistem struktur sosial masyarakat Nias umumnya mengenal tiga
bagian kelompok, yaitu : kelompok bangsawan (si’ulu, si’ila, salawa), kelompok
masyarakat biasa (sato), dan kelompok budak (sawuyu, harakana). Namun,
dalam melaksanakan sistem pemerintahan tradisionalnya, masyarakat Nias
membagi masyarakat atas empat bagian, yaitu : kelompok bangsawan (si’ulu,
salawa), kelompok penasehat (si’ila), kelompok masyarakat biasa (sato), dan
kelompok budak (sawuyu, harakana) . Sedangakan dalam kegiatan religi,
masyarakat Nias memiliki empat struktur pelapisan masyarakat, yaitu : si’ulu
(bangsawan), ere (pemuka agama), ono mbanua/sato (rakyat biasa), dan sawuyu
(budak).
Beberapa kelompok menyatakan bahwa lapisan masyarakat si’ulu
dibagi menjadi dua golongan, yaitu balö si’ulu (yang memerintah) dan si’ulu
38
(bangsawan kebanyakan). Ono mbanua juga terbagi menjadi dua golongan, yaitu
si’ila (para ahli dan pemuka rakyat), dan sato (rakyat kebanyakan). Sawuyu juga
terbagi menjadi tiga golongan, yaitu binu (budak yang kalah perang atau
diculik), sondrara hare (budak karena tak mampu bayar hutang), dan hölitö
(budak yang ditebus orang lain setelah mendapatkan hukuman mati)6. Lapisan-
lapisan masyarakat tersebut diatas bersifat eksklusif, perubahan hanya terjadi
pada lapisan antar golongan saja. Kalau masyarakat ingin menaikkan status
sosialnya maka yang bersangkutan harus terlebih dahulu melaksanakan upacara
owasa/faulu yang tingkatannya disesuaikan dengan besaran upacara.
Dalam struktur masyarakat Nias zaman dahulu juga terdapat hukum
adat yang menjadi pengatur setiap tatanan kehidupan masyarakat pada masa itu.
Hukum adat ini disebut dengan fondrakö oleh masyarakat Nias. Menurut
sejarahnya yang dilihat dari folklor yang berkembang pada masyarakat, fondrakö
pada awalnya ditetapkan oleh 2 orang raja yang wilayahnya ditengah-tengah
Pulau Nias, yaitu Balugu Samono Bauwa Danö yang memerintah di Talu Idanoi
(Marga Harefa), dengan Balugu Tuha Badanö yang memerintah di Laraga
(Marga Zebua). Fondrakö ini sewaktu-waktu dapat dirubah sesuai dengan
kebutuhan, namun harus tetap berdasarkan peraturan lama yang sudah
digariskan. Pada setiap akhir perubahan fondrakö selalu dilakukan pendirian
bangunan batu (gowe).
Masyarakat Nias zaman dahulu juga memiliki beberapa upacara-
upacara adat yang kerap dilakukan dan berhubungan dengan kehidupan sehari-
6 Informasi didapatkan pada saat wawancara dengan Ariston Manao, pada tanggal 28 Januari 2016 di Desa Bawomataluo, Nias Selatan. Ariston Manao merupakan kepala desa Bawomataluo yang tergolong dalam golongan Si’ulu pada struktur sosial.
39
hari. Upacara-upacara tersebut berisikan tahapan-tahapan yang memiliki
ketentuan dan proses yang telah disusun sebelumnya pada masyarakat itu.
Upacara yang kerap dilakukan berupa Upacara Kelahiran, Upacara Perkawinan,
Upacara Kematian, Upacara Owasa/Fa’ulu, Upacara Fome’ana, dan Upacara
Fondrakö. Beberapa dari upacara tersebut dewasa ini sudah jarang kita temukan
dikarenakan oleh perkembangan zaman, termasuk karena berubahnya sistem
religi dan sistem kemasyarakatan yang dianut saat ini.
Masyarakat Nias zaman dahulu juga telah mengenal sistem organisasi
sosial pada masyarakatnya. Didalam organisasi sosial terdapat serangkaian
hubungan antara individu satu sama lainnya, yang masing-masing menduduki
posisi-posisi tertentu. Posisi seseorang ditentukan oleh besaran upacara dan juga
kedekatan garis keturunan dengan leluhur (Georges Balandier, 1986 dalam Ketut
Wiradnyana, 2010). Dalam masyarakat Nias, kelompok organisasi sosial yang
terkecil disebut gana. Kelompok organisasi tradisional ini terdiri dari beberapa
keluarga batih dari satu marga, atau dapat juga dari beberapa marga yang di
dalam desa itu tidak cukup banyak anggotanya dalam membentuk gana tersebut.
Kumpulan dari beberapa gana disebut nafolu dan kumpulan dari beberapa nafolu
disebut banua, yang dapat diidentikkan dengan desa dengan pemimpinnya
disebut salawa di Nias bagian Utara dan si’ulu di Nias bagian Selatan.
Sedangkan kumpulan dari beberapa banua disebut öri (negeri) dan dipimpin oleh
tuhenöri. Dulu sebuah banua di Nias didasarkan atas genealogis teritorial, oleh
karena itu sebuah desa hanya didiami oleh orang yang berdasarkan satu
keturunan darah, namun masih dalam satu mado (marga).
40
Di Kota Medan sendiri, organisasi sosial masyarakat Nias saat ini
banyak kita temui. Tetapi organisasi sosial yang terdapat di Kota Medan telah
mengalami perubahan dari organisasi sosial yang ada pada masyarakat Nias
zaman dahulu. Organisasi sosial masyarakat Nias yang terdapat di Kota Medan
bermacam-macam bentuk organisasinya dan bermacam-macam pula acuan dasar
pembentukannya. Ada terdapat organisasi sosial yang terbentuk didasarkan dari
kampung asal nya di Pulau Nias, seperti PERMASGOM (Persatuan Masyarakat
Gomo), STM Boronadu (Masyarakat Nias yang berasal dari desa Boronadu), dan
organisasi lainnya. Ada juga terdapat organisasi sosial yang terbentuk
berdasarkan marga (mado), seperti STM Marga Larosa, STM Marga Mendrofa,
STM Marga Zalukhu, STM Marga Telaumbanua, dan organisasi lainnya. Selain
itu ada juga organisasi sosial yang terbentuk berdasarkan kedekatan tempat
tinggal mereka di Medan, seperti STM Saradödö, STM Faomakhöda, STM
Sehati, STM Kasih Karunia, yang kesemuanya beranggotakan masyarakat Nias
yang tinggal di daerah yang berdekatan. Organisasi sosial yang general dan
bersifat umum dan dapat beranggotakan seluruh masyarakat Nias tanpa melihat
dari marga, asal daerahnya, dan daerah tempat tinggalnya, seperti HIMNI
(Himpunan Masyarakat Nias), FORMANI (Forum Masyarakat Nias), PMN
(Persatuan Masyarakat Nias), dan organisasi sosial lainnya.
Kelompok mahasiswa Nias yang juga berada di Kota Medan tampaknya
tidak mau ketinggalan dalam hal ini. Hal ini terlihat dengan adanya organisasi
sosial diranah kampus yang dimana terdapat mahasiswa Nias yang belajar
disana. Seperti ForMaN-USU (Forum Mahasiswa Nias USU), Kesatuan
Mahasiswa Nias UDA, KAMNI UNIMED, KMN Nomensen, AMN Universitas
41
Sari Mutiara, Generasi Muda Nias (GEMA NIAS) dan organisasi mahasiswa
Nias lainnya. Baru-baru ini juga telah dideklarasikan pembentukan organisasi
masyarakat Nias yang berdasarkan bidang pendidikan dan profesi, yaitu
PESTANI (Persatuan Sarjana Teologi dan Pendidikan Agama Kristen Nias)
yang berpusat di Kota Medan. Budaya berorganisasi ini telah mengakar dalam
kehidupan masyarakat Nias sejak dulu dan terbawa ketempat mereka berpindah
dan menetap, walaupun dengan orientasi dan dasar pembentukan yang berubah,
namun tujuannya tetap untuk wadah persatuan dan komunikasi.
2.3.5 Sistem Mata Pencaharian
Masyarakat Nias merupakan masyarakat yang pada awalnya
menggantungkan hidupnya pada alam. Hal ini terlihat dari pola hidup masyarakat
Nias pada zaman dahulu yang memenuhi kebutuhannya dengan mengusahakan dan
mengolah sumber daya alam yang ada. Masyarakat Nias didukung oleh iklim dan
kondisi alam yang menjadikan masyarakat Nias lebih mudah mencukupi
kebutuhannya dari alam. Bercocok tanam merupakan salah satu cara masyarakat
Nias untuk mencukupi kebutuhannya. Masyarakat Nias telah mengenal sistem
bercocok tanam sejak masa leluhur dahulu kala. Bercocok tanam yang dimaksud
seperti membuka ladang, sawah, menanam buah-buahan, menyadap karet, dan lain
sebagainya.
Selain bercocok tanam, masyarakat Nias zaman dahulu juga beternak guna
mencukupi kebutuhannya. Masyarakat Nias memiliki hewan-hewan ternak yang
dibudidayakan seperti babi, ayam, kerbau, kambing, dan sebagainya. Budidaya
peternakan seperti ini hingga saat ini masih melekat dan sering kita temui pada setiap
42
masyarakat Nias yang telah bermukim diluar Pulau Nias. Disamping beternak,
masyarakat Nias juga terbiasa berburu ke hutan. Hewan-hewan buruan yang ada di
Nias zaman dahulu seperti rusa, babi hutan, kijang, dan lain sebagainya. Masyarakat
Nias yang hidup di pesisir pantai juga memanfaatkan laut dan pantai untuk
memenuhi kebutuhannya, seperti halnya menjadi nelayan Semua hal-hal diatas
dilakukan oleh masyarakat Nias zaman dahulu sebagai mata pencaharian mereka
guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini juga terkandung dalam hoho
asal-usul leluhur masyarakat Nias yang menyebutkan bahwa ketika Hia Walangi Adu
diturunkan dari langit, kepadanya disertakan berbagai keperluan ekonomi berupa
babi (jantan dan betina), bibit padi, timbangan, dan beberapa bibit hewan dan
tanaman lainnya. Inilah yang dipercayai masyarakat Nias sebagai cikal bakal
keahlian masyarakat Nias dalam bercocok tanam dan beternak.
Masyarakat Nias pada perkembangannya melakukan migrasi atau
perpindahan ke luar Pulau Nias untuk beberapa kepentingan. Masyarakat Nias yang
berpindah ke luar Pulau Nias ada yang dikarenakan oleh mencari pekerjaan dan pada
akhirnya menetap ditempat yang mereka tuju. Kedatangan orang Nias di Kota
Medan berlangsung secara berkelompok dan juga secara individual. Para
pemuda Nias melakukan perjalanan (merantau) bersama-sama dengan teman
sekampung ke Kota Medan dengan tujuan untuk mencari pekerjaan. Kelompok
ini menyebar ke berbagai wilayah Kota Medan untuk bekerja di pabrik, bertani,
budidaya peternakan seperti ternak babi, membuka usaha sendiri seperti
rumah makan, menjadi tukang becak, karyawan swasta, dan ada juga yang
bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Instansi Pemerintahan dan
43
Lembaga Pendidikan atau TNI / POLRI, serta menjadi buruh lepas dengan
pekerjaan yang tidak menetap.
Masyarakat Nias yang telah mempunyai ketetapan dan merasa nyaman
tinggal di Kota Medan pada akhirnya berbaur dengan masyarakat lainnya dan
melakukan perkawinan antara orang Nias maupun orang dari etnis lain. Pada saat
ini diperkirakan jumlah orang Nias yang tinggal dan menetap di Kota Medan
sekitar 25.000 jiwa yang tersebar di wilayah Medan seperti Belawan, Perumnas
Mandala, Perumnas Simalingkar, Padang Bulan, Helvetia, serta daerah lainnya
dalam jumlah kecil (BPS Kota Medan 2014).
2.3.6 Sistem Kekerabatan
Masyarakat Nias memiliki sistem kekerabatan sebagai salah satu unsure
kebudayaan yang masih melekat kuat hingga saat ini dimanapun masyarakat
Nias berada. Kelompok kekerabatan yang terkecil yang ada pada masyarakat
Nias adalah keluarga batih yang disebut fangambatö (di bagian Utara Nias) atau
gagambatö (di bagian Selatan Nias). Dalam masyarakat Nias, kelompok yang
terpenting ialah sambua mohelo atau sambua faono (keluarga luas), yaitu
keluarga batih senior beserta keluarga batih putera-puteranya yang tinggal
bersama di dalam satu rumah, dan merupakan satu kesatuan ekonomis. Keluarga
luas ini boleh berpisah jika keluarga anaknya dapat membangun sendiri rumah
yang tentunya dibarengi dengan pesta adat. Kelompok kekerabatan yang lebih
besar yang merupakan gabungan dari beberapa keluarga luas dari satu leluhur
disebut mado (marga) (Ketut Wiradnyana, 2010:161-162).
44
Masyarakat Nias memiliki sistem kekerabatan yang mengikuti garis
keturunan ayah (patrilineal) dan mado (marga) menjadi lambang dan klasifikasi
keluarga seseorang. Mado (marga) dari ayah pada masyarakat Nias selalu
diturunkan kepada anak-anaknya dan selalu diletakkan dibelakang nama lahir
yang diberikan dan menjadi satu kesatuan utuh dari nama tersebut sampai
kapanpun. Masyarakat Nias juga memiliki sebutan dalam bahasa Nias untuk
memanggil kerabat-kerabatnya, seperti : Ama (untuk menyebut Ayah), Ina
(untuk menyebut Ibu), Ga’a (untuk menyebut Abang), Akhi atau Nakhi (untuk
menyebut Adik), Sibaya (untuk memanggil saudara laki-laki dari Ibu), Dua atau
Tua (untuk menyebut Kakek), Gawe (untuk menyebut Nenek), Ina Lawe (untuk
menyebut Tante), Gasiwa (untuk menyebut Sepupu), Onombene’ö (untuk
menyebut keponakan), dan masih ada yang lainnya.
Perkawinan bagi masyarakat Nias bersifat monogami, sekalipun
poligami diijinkan, hanya saja pada umumnya dilakukan oleh kelompok
bangsawan tertentu pada zaman dahulu. Perkawinan dari satu garis keturunan
patrilineal dapat dilakukan jika pasangan tersebut paling tidak sudah dalam
tingkatan 9 generasi. Begitu juga dengan perkawinan dalam bentuk cross causin,
yaitu mengawini anak paman tidak boleh dilakukan. Jika perkawinan yang
dilakukan kurang dari 9 generasi, maka perkawinan itu dapat dilakukan dengan
syarat-syarat tertentu, di antaranya dengan memisahkan perrtalian kesatuan
patung leluhur (Zebua, 1987:315).
Adapun beberapa mado (marga) yang terdapat dalam masyarakat Nias
seperti : Amazihönö, Baeha, Baene, Bate'e, Bawamenewi, Bawaniwa'ö, Bawö,
Bali, Bohalima, Bu'ulölö, Buaya, Bunawölö, Bulu'aro, Bago, Bawaulu,
45
Bidaya, Bulolo, Baewa Ba'i Menewi, Boda Hili, Dakhi, Daeli, Dawolo, Daya,
Dohare, Dohona, Duha, Duho, Fa’u, Farasi, Finowa'a, Fakho, Fa'ana,
Famaugu, Fanaetu, Gaho, Garamba, Gea, Ge'e, Giawa, Gowasa, Gulö, Ganumba,
Gaurifa, Gohae, Gori, Gari, Halawa, Harefa, Haria, Harita, Hia, Hondrö, Hulu,
Humendru, Hura, Hoya, Harimao, Lafau, Lahagu, Lahömi, Laia, Luaha, Laoli,
Laowö, Larosa, Lase, Lawölö, Lo'i, Lömbu, Lamölö, Lature, Luahambowo,
Lazira, Lawolo, Lawelu, Laweni, Lasara, Laeru, Löndru Go'o, Lase, Larosa,
Maduwu, Manao, Maru'ao, Maruhawa, Marulafau, Mendröfa, Mangaraja,
Maruabaya, Möhö, Marundruri, Mölö, Nazara, Ndraha, Ndruru, Nehe, Nakhe,
Nadoya, Nduru, Sadawa, Saoiagö, Sarumaha, Sihönö, Sihura, Sisökhi, Saota,
Taföna'ö, Telaumbanua, Talunohi, Tajira, Wau, Wakho, Waoma, Waruwu,
Wehalö, Warasi, Warae, Wohe, Zagötö, Zai, Zalukhu, Zamasi, Zamago, Zamili,
Zandroto, Zebua, Zega, Zendratö, Zidomi, Ziliwu, Ziraluo, Zörömi, Zalögö,
Zamago Zamauze.
2.3.7 Teknologi Tradisional
Kehidupan masyarakat Nias sejak zaman prasejarah telah ditandai
dengan adanya peradaban yang telah memiliki dan menciptakan beberapa
teknologi dan peralatan hidup guna membantu kehidupan sehari-hari. Beberapa
dari hasil penelitian arkeologi yang dilakukan di Pulau Nias menemukan
peninggalan budaya masa lampau berupa teknologi peralatan hidup yang
digunakan oleh masyarakat Nias pada masa itu. Penelitian di DAS Muzoi, Gua
Tögi Ndrawa, dan Gua Tögi Bögi yang ada di Pulau Nias menemukan
peninggalan berupa peralatan hidup yang terbuat dari bahan batu, tulang dan
46
tanduk, serta cangkang moluska (kerang). Peralatan hidup di masa lampau ini
seperti kapak perimbas, kapak genggam, alat serpih, tulang dan tanduk yang
digunakan sebagai alat penusuk, dan cangkang moluska yang digunakan sebagai
alat untuk memotong dan menguliti. Semua temuan ini diindikasikan telah ada
sejak zaman paleolitik hingga zaman neolitik di Pulau Nias.
Pada perkembangan zaman selanjutnya, masyarakat Nias telah
memasuki masa megalitik yang dibawa kelompok migrasi kedua ke Pulau Nias
yang menempati wilayah Selatan Nias. Masa ini juga meninggalkan benda-benda
kebudayaan yang terkait dengan penggunaan teknologi peralatan hidup yang
berkembang paada masa itu. Masyarakat Nias telah mengenal peralatan memahat
dan mengukir untuk membuat sesuatu. Hal ini terlihat dari peninggalan budaya
berupa batu-batu besar yang dipenuhi dengan ukiran-ukiran dengan berbagai
macam motif dan ornamen. Beberapa situs peninggalan budaya seperti ini masih
bertahan sampai saat ini dan dapat kita temui di perkampungan atau desa di
Pulau Nias seperti di desa Bawömataluo,Börönadu, Hilisimaetanö,Onozitoli,
Balödanö, dan lainnya (Ketut Wiradnyana, 2010:11-80).
Selain teknologi yang berkaitan dengan pemanfaatan bahan dasar batu,
masyarakat Nias zaman dahulu juga telah mengenal pemanfaatan dan
pengolahan berbahan dasar logam. Misalnya, pembuatan beberapa jenis pedang
dan golok yang disebut seno gari dan telögu (Chical Teodali Telaumbanua,
2012). Peninggalan benda-benda sejenis ini juga dapat kita lihat dari peralatan
yang digunakan dalam Tari Faluaya yang menggunakan pedang dan tombak
serta penutup kepala berbahan logam. Teknologi pemanfaatan dan pengolahan
berbahan dasar kayu juga turut mewarnai kebudayaan masyarakat Nias. Hal ini
47
dapat kita lihat dari benda peninggalan budaya berupa patung dari bahan kayu,
perisai yang digunakan dalam Tari Faluaya, serta rumah adat Nias yang hampir
keseluruhannya berbahan kayu dan papan. Semua benda-benda budaya ini
dilengkapi dengan ukiran dan ornamen-ornamen yang memiliki makna dan
fungsi tertentu. Rumah adat Nias memiliki keunikan tersendiri dari segi
arsitektur dan pembuatannya, dimana rumah adat ini tidak mengenal paku untuk
menghubungkan antara bahan bangunan yang satu dengan lainnya. Penghubung
atau perekat yang digunakan hanya berupa pen kayu yang diselipkan pada
lubang yang telah dibuat.
Gambar 2.2
Rumah Adat (Omo Hada) Nias Selatan
Namun, oleh karena pengaruh budaya luar dan perkembangan zaman
menyebabkan adanya pergeseran nilai dan menurunnya keahlian dalam
pembuatan perkakas dan oranamen-ornamen budaya oleh masyarakat Nias. Saat
48
ini, indusri yang berkembang dan masih bertahan di Pulau Nias seperti kerajinan
anyaman, pembuatan topi berbahan logam tipis, pembuatan tikar, seta
pembuatan perkakas logam lainnya seperti pedang, tombak, golok, dan cangkul.
Semua hasil karya dari industri ini masih sering digunakan dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Nias termasuk juga yang berada di Kota Medan. Seluruh
peralatan-peralatan yang kita lihat dalam kesenian tradisional masyarakat Nias
baik di Pulau Nias maupun di Kota Medan merupakan hasil karya dari
masyarakat Nias sendiri.
2.3.8 Kesenian
Masyarakat Nias merupakan salah satu suku bangsa yang kaya akan
aneka ragam kesenian tradisional yang tetap terjaga hingga saat ini. Kesenian
tradisional yang dimiliki masyarakat Nias berupa seni suara, seni tari, seni rupa,
dan seni ukir dan ornamentasi yang menjadi ciri khas masyarakat Nias yang
mewarnai setiap aspek kehidupan mereka. Masyarakat Nias memiliki alat-alat
musik tradisional yang mereka gunakan dalam upacara-upacara adat dan juga
dalam kehidupan sehari-hari. Alat musik tradisional yang dimiliki masyarakat
Nias seperti : göndra (gendang besar, sejenis membranophone), faritia (canang,
sejenis idiophone), mamba (gong, sejenis idiophone), lagia (rebab spike fiddle),
nduri dana (sejenis jew’s harp), doli-doli (sejenis xylophone), tamburu, surune
(sejenis aerophone), riti-riti, tutu, nduri mbalöduhi, dan masih banyak lagi yang
lainnya.
Selain alat musik, masyarakat Nias juga memiliki tarian tradisional yang
juga tetap terjaga hingga saat ini dan sering dipertunjukkan pada upacara-upacara
49
adat dan acara-acara kebudayaan baik di Pulau Nias maupun di luar Pulau Nias
seperti di Kota Medan contohnya. Beberapa tarian tradisional yang dimiliki
masyarakat Nias seperti : tari maena, tari moyo, tari tuwu, tari ya’ahowu, tari
famadögö omo, tari baluse, dan tari faluaya yang juga akan dibahas selanjutnya
dalam tulisan ini serta masih banyak tarian tradisional lainnya. Setiap tarian ini
memiliki sejarah dan cerita tersendiri yang terkandung dalam gerakan tarian
tersebut. Tarian tradisional ini mengandung aspek-aspek estetika dan saat ini
sering diperuntukkan untuk kebutuhan hiburan. Beberapa tarian tradisional ini
juga mengalami perubahan seperti dari segi musik pengiringnya, misalnya tari
maena yang saat ini lebih sering menggunakan keyboard sebagai alat musik
pengiringnya. Kesenian tradisional lainnya selain alat musik dan tarian,
msayarakat Nias juga memiliki kesenian dibidang seni rupa, seni arsitektur
bangunan, dan seni ukir (ornamentasi). Banyaknya patung-patung yang terbuat
dari bahan batu dan kayu serta arsitektur rumah adat Nias yang khas merupakan
hasil karya yang memiliki nilai seni yang tinggi.
Gambar 2.3
Göndra (Membranophone)
50
Gambar 2.4
Doli-doli (Xylophone)
Gambar 2.5 Pertunjukan Tari Faluaya di Desa Bawömataluo, Nias Selatan
Gambar 2.6 Penari Sanggar Fanayama Medan
51
BAB III
ANALISIS MAKNA TEKSTUAL HOHO DALAM TARI FALUAYA
3.1 Sejarah Tari Faluaya
Seperti telah dijelaskan pada Bab I bahwa Tari Faluaya oleh masyarakat
Nias pada masa sekarang ini telah menjadi sebuah seni pertunjukan yang kerap
ditampilkan pada beberapa acara. Dengan melihat eksistensi Tari Faluaya saat ini
tentunya tidak terlepas dari sejarah kemunculannya hingga menjadi sebuah seni
pertunjukan. Sebagai kesenian tradisional yang dimiliki oleh masyarakat Nias,
Tari Faluaya pertama sekali muncul dan berkembang di Pulau Nias tempat
dimana masyarakat Nias bermukim. Untuk memperoleh informasi yang penulis
butuhkan, penulis menggunakan informasi yang diperoleh dari wawancara dengan
beberapa informan yang memang memahami dan mengenal Tari Faluaya ini.
Tari Faluaya merupakan sebuah kesenian tradisional dalam bentuk seni
tari yang berkembang dan dilestarikan oleh masyarakat Nias dan secara khusus
oleh masyarakat Nias yang bermukim di wilayah Nias Selatan. Menurut
penjelasan Bapak Ariston Manao7, Tari Faluaya dulunya bukanlah sebuah tarian
atau sejenis kesenian. Gerakan–gerakan yang terdapat dalam Tari Faluaya saat ini
merupakan unsur-unsur gerakan dalam latihan perang terhadap prajurit zaman
dahulu. Pada masa lampau, masyarakat Nias terintegrasi dalam beberapa kerajaan
atau öri yang masing-masing kerajaan ini melakukan invansi untuk memperluas
7 Informasi diperoleh dalam sebuah kesempatan wawancara di Desa Bawomataluo, Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan. Beliau merupakan Kepala Desa Bawomataluo serta budayawan Nias.
52
wilayah dan meningkatkan kekuasaan. Wilayah kerajaan (öri) yang lemah dan
kalah dalam peperangan akan dikuasai oleh kerajaan yang kuat dan memenangkan
peperangan. Para prajurit dan bahkan masyarakat dari kerajaan (öri) yang kalah
ini akan menjadi budak (binu/sawuyu) di kerajaan pemenang perang.
Oleh karena itu, masing-masing dari setiap kerajaan ini harus
mempersiapkan para prajurit perang yang tangguh dan tak terkalahkan. Maka
dilakukanlah pemusatan latihan untuk para prajurit seperti gerakan-gerakan dalam
Tari Faluaya yang dapat kita saksikan saat ini. Rangkaian dari latihan perang ini
selalu diakhiri dengan atraksi lompat batu yang juga berfungsi untuk
meningkatkan ketangguhan para prajurit. Atraksi lompat batu ini dimaksudkan
untuk melatih para prajurit agar dapat melompati batas-batas wilayah yang
biasanya berbentuk pagar-pagar yang tinggi. Perang memang selalu mewarnai
kehidupan masyarakat Nias zaman dahulu. Hoho yang terdapat dalam Tari
Faluaya ini dimaksudkan untuk membakar semangat para prajurit dalam
peperangan. Hoho ini mengisahkan tentang keperkasaan dan ketangguhan para
prajurit dan juga menggambarkan bagaimana keindahan setiap kerajaan atau
daerah para prajurit ini berasal.
Lambat laun dalam perkembangannya yang dikarenakan oleh beberapa
faktor, kebiasaan berperang mulai memudar dari kehidupan masyarakat Nias.
Pada akhirnya, gerakan latihan perang ini berubah menjadi kesenian tradisional
dalam bentuk tarian kolosal yang dimaksudkan untuk mengenang kehidupan
masyarakat Nias zaman dahulu lewat sebuah kesenian. Tari Faluaya yang
awalnya merupakan latihan perang para prajurit beralih menjadi seni pertunjukan.
53
Bapak Dasa Manao8, seorang budayawan Nias dan pendiri Sanggar Fanayama,
juga mengutarakan pendapat yang sama tentang hal ini. Beliau menjelaskan
bahwa dalam perkembangan saat ini Tari Faluaya lebih sering ditampilkan dalam
acara-acara bertemakan kebudayaan. Selain itu, Tari Faluaya juga ditampilkan
untuk menyambut tamu-tamu kehormatan yang mengunjungi daerah pemukiman
masyarakat Nias khususnya di Nias Selatan.
Di Kota Medan, melalui sebuah sanggar, Dasa Manao ambil bagian
dalam pelestarian kesenian tradisional untuk meningkatkan rasa kecintaan
terhadap budaya oleh para pemuda Nias khususnya yang ada di Kota Medan. Saat
ini, Tari Faluaya cukup sering kita saksikan di beberapa acara seperti acara
pelantikan, peresmian gedung, penyambutan tamu atau pejabat, dan tidak
terkecuali di acara beberapa perusahaan-perusahaan dan instansi pemerintahan.
Sebagai sebuah seni pertunjukan, Tari Faluaya sekarang ini lebih menonjolkan
aspek estetika untuk kepentingan hiburan semata. Keutuhan ragam gerak tari serta
hoho yang dituturkan pun lebih sering disesuaikan dengan situasi dan kondisi
pertunjukan.
3.2 Identifikasi Struktur Tari Faluaya
Tari Faluaya merupakan sebuah seni pertunjukan yang didalamnya
terdapat beberapa bagian-bagian yang menyatu menjadi sebuah pertunjukan yang
memiliki nilai estetika dan kebudayaan. Dalam konteks pertunjukannya, Tari
8 Informasi diperoleh dari wawancara via telepon. Beliau merupakan budayawan Nias serta pendiri Sanggar Fanayama di Simalingkar, Medan. Saat ini beliau menjadi PNS di Dinas Pariwisata Kabupaten Nias Selatan dan tinggal di Teluk Dalam, Nias Selatan.
54
Faluaya biasanya ditampilkan pada awal atau pembuka acara dan tempat
pertunjukannya disesuaikan dengan kondisi tempat pelaksanaan acara. Tarian ini
memungkinkan untuk ditampilkan baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan.
Sebuah pertunjukan juga tentunya harus didukung oleh beberapa hal agar dapat
berjalan dengan baik dan lebih menarik keindahannya. Beberapa pendukung
pertunjukan Tari Faluaya, antara lain seperti penari dan penonton.
Dalam pertunjukan Tari Faluaya, penari merupakan bagian yang paling
penting karena penari lah yang akan mempertunjukkan Tari Faluaya. Penari
dalam Tari Faluaya terbagi dalam dua bagian yaitu Kafalo Zaluaya (Panglima)
dan Bohalima (Prajurit ). Jumlah penari dalam pertunjukan Tari Faluaya biasanya
berjumlah ganjil dengan 1 orang berperan sebagai Kafalo Zaluaya dan selebihnya
berperan sebagai Bohalima yang berjumlah genap. Penari dalam pertunjukan Tari
Faluaya selain berperan untuk menampilkan gerakan-gerakan tari, juga sekaligus
menjadi penutur hoho yang menjadi musik vokal pengiring Tari Faluaya tersebut.
Selain penari, penonton juga merupakan pendukung dari pertunjukan Tari
Faluaya. Penonton ini bisa berasal dari kalangan apa saja, seperti pejabat, tetua-
tetua adat, masyarakat Nias, maupun orang-orang yang berasal dari daerah dan
suku bangsa lain yang merupakan tamu dan hadirin dalam acara dimana Tari
Faluaya dipertunjukkan.
3.2.1 Properti
Dalam pertunjukan Tari Faluaya, selain penari dan penonton yang
mendukung pertunjukan, juga dibutuhkan beberapa properti yang melengkapi dan
55
menambah estetika dari pertunjukan Tari Faluaya. Properti yang digunakan
biasanya dalam bentuk busana dan peralatan tari lainnya.
3.2.1.1 Busana
Busana yang dikenakan oleh penari dalam pertunjukan Tari Faluaya
pada saat sekarang ini umumnya didominasi dengan busana berbahan kain. Hal ini
cukup berbeda dengan busana yang dikenakan sebelum masyarakat mengenal
teknologi atau cara membuat pakaian dari bahan kain. Dulunya, kostum ataupun
busana yang dikenakan ada yang terbuat dari ijuk, kulit kayu, bahkan dari plat
seng yang ditempah dan dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat dikenakan oleh
penari. Namun dari segi bentuk maupun motif tetap sama baik dahulu maupun
sekarang ini. Adapun beberapa busana atau kostum penari dalam Tari Faluaya
seperti dibawah ini.
1. Oröba, merupakan baju tari perang berbentuk rompi yang saat ini umumnya
terbuat dari bahan kain. Dulunya oröba inilah yang terbuat dari plat seng yang
ditempah sehingga berbentuk rompi. Rompi tari perang yang terbuat dari
bahan ijuk biasanya lebih dikenal dengan sebutan Leama, dan rompi yang
berbahan kulit kayu lebih dikenal dengan sebutan Baru Uli Geu yang terbuat
dari kulit kayu Oholu/Solou.
56
Gambar 3.1
Oröba
2. Baru Oröba / Baru Nukha, merupakan kostum penari berlengan panjang yang
terbuat dari bahan kain. Baju ini memiliki beberapa macam atau jenis ditinjau
dari motif coraknya, seperti : Baru Nifobowo Gafasi dan Baru Ni’o La’a
Harimo yang bahannya terbuat dari kain atau baldu yang dijahit oleh penjahit
dengan keahlian khusus.
Gambar 3.2 Baru Oröba / Baru Nukha
57
3. Ondröra, merupakan pengikat pinggang dan juga sekaligus berfungsi sebagai
pelindung bagian vital dari si penari. Ondröra ini terbuat dari bahan kain dan
umumnya berwarna kuning.
Gambar 3.3
Ondröra
4. Laeru, merupakan penutup kepala atau topi penari yang terbuat dari bahan
kain. Ada juga penutup kepala yang berbahan ijuk dan biasa disebut Takula
Leama. Selain berbahan ijuk dan kain, ada juga penutup kepala yang terbuat
dari bahan besi yang disebut Takula Tefaö dan dari bahan kulit kayu yang
disebut Lela.
58
Gambar 3.4
Laeru
3.2.1.2 Peralatan Tari
Selain busana atau kostum, penari juga membutuhkan beberapa peralatan
tari yang mendukung pertunjukan Tari Faluaya. Peralatan-peralatan ini layaknya
seperti peralatan para prajurit perang zaman dahulu yang berfungsi untuk
menyerang musuh dan juga melindungi diri. Peralatan tari dalam pertunjukan Tari
Faluaya tersebut antara lain seperti dibawah ini.
1. Toho, merupakan tombak yang terbuat dari bahan kayu atau rotan dengan
panjangnya kurang lebih 150 cm dan diujungnya terdapat besi yang
diruncingkan yang berfungsi untuk menombak atau menyerang musuh.
59
Gambar 3.5
Toho
2. Baluse, merupakan perisai yang terbuat dari bahan kayu yang dibentuk
sedemikian rupa sehingga berbentuk perisai dengan panjang kurang lebih 120
cm. Baluse ini berfungsi untuk melindungi diri dari serangan musuh.
Gambar 3.6
Baluse
60
3. Kalabubu, merupakan kalung atau pelindung leher yang terbuat dari besi atau
kuningan yang dibalut dengan rotan atau karet. Kalabubu ini berfungsi untuk
melindungi diri dari tebasan pedang.
Gambar 3.7
Kalabubu
4. Tolögu, merupakan pedang yang terbuat dari besi atau kuningan dan
tangkainya terbuat dari bahan kayu yang diukir menyerupai kepala naga.
Tolögu ini biasanya dipakai oleh komandan perang atau Kafalo Zaluaya.
Gambar 3.8
Tolögu
61
Gambar 3.9
Penari dengan Busana dan Peralatan Tari Faluaya
3.2.2 Ragam Gerak
Dalam penyajian Tari Faluaya, terdapat beberapa gerakan yang
diperagakan dan terstruktur sedemikian rupa. Gerakan yang terdapat dalam Tari
Faluaya ini mengandung lambang atau simbol dengan makna tertentu. Menurut
Pak Hubari Gulo, salah satu informan penulis, gerakan-gerakan dalam Tari
Faluaya merupakan gerakan variatif yang melambangkan gerakan di medan
perang oleh para prajurit. Terdapat beberapa ragam gerak dalam Tari Faluaya
yang akan penulis jelaskan sepeti berikut ini.
1. Hugö, merupakan gerakan dengan posisi kuda-kuda yang biasanya disertai
dengan menyerukan Hoho Fohuhugö. Dalam gerakan ini, posisi kaki kiri
62
berada 1 langkah didepan kaki kanan dengan badan sedikit menunduk. Tangan
kiri memegang Baluse tepat didepan dada dengan posisi miring ke kanan dan
tangan kanan mengangkat Tolögu dengan posisi lurus keatas. Gerakan ini
diperagakan oleh Kafalo Zaluaya.
2. Manökhö, merupakan gerakan berjalan seperti mengintai musuh. Penari dalam
gerakan ini berjalan dengan sedikit menyeret dan sekali-sekali melompat
dengan kaki kiri sebagai tumpuan. Baluse dalam gerakan ini dikepakkan ke
tangan sehingga menghasilkan suara dan toho di tangan kanan dipegang
dengan posisi runcingan tajam berada dibawah dengan gerakan menusuk ke
depan. Gerakan ini diperagakan oleh para Bohalima.
3. Ohigabölöu, merupakan gerakan melompat sambil berjalan dengan berjingkat
satu kaki sambil mengepakkan baluse sambil mengayunkan toho (bohalima)
ataupun tolögu (kafalo zaluaya) dengan posisi runcingan berada di atas.
4. Hivfagö, merupakan gerakan yang hampir sama dengan gerakan Ohigabölöu
namun hanya dilakukan ditempat pada posisi masing-masing. Gerakan ini
dilakukan pada saat Hoho Hivfagö dituturkan dengan gerakan menghadap ke
depan, ke kiri, ke depan, ke kanan, kembali ke depan, dan demikian seterusnya
hingga Hoho Hivfagö selesai dituturkan.
5. Fu’alö, merupakan gerakan ditempat dengan melangkahkan kaki kiri 1 langkah
dan kemudian kembali pada posisi awal. Setiap melangkahkan kaki kiri posisi
badan akan menghadap ke depan, ke kiri, ke depan, ke kanan, dan seterusnya
demikian. Gerakan ini dilakukan sambil mengepakkan baluse dan
mengayunkan toho dengan posisi runcingan berada diatas. Pada gerakan ini
Hoho Fu’alö dituturkan dari awal hingga akhir.
63
6. Fasuwö, merupakan gerakan yang menggambarkan terjadinya perang antara
dua kelompok. Dalam posisi ini, baluse ditabrakkan dengan baluse musuh saat
tepat berhadapan.
7. Siöligö, merupakan gerakan dalam bentuk lingkaran yang melambangkan
adanya persatuan dan kesatuan. Gerakan ini dilakukan pada saat semua penari
meletakkan peralatan mereka ke bawah. Gerakan siöligö ini dimulai dengan
mengayun-ayunkan badan kebawah dan ke atas ketika teks pembuka bagian I
Hoho Siöligö dituturkan. Ketika masuk pada teks pembuka bagian II, gerakan
beralih menjadi gerakan menghentakkan kaki ke kanan dan ke kiri. Pada saat
teks isi Hoho Siöligö mulai dituturkan, gerakan berganti menjadi gerakan
berjalan 3 langkah dengan langkah pertama oleh kaki kanan. Pada langkah
ketiga, kaki kiri diangkat kemudian dijatuhkan 1 langkah ke depan kaki kanan
sehingga berat badan menumpu pada kaki kiri dengan badan menghadap ke
titik pusat lingkaran. Saat kaki kiri telah menumpu ke tanah, kaki kanan
kemudian sedikit diangkat lalu secepat mungkin berganti menjadi kaki kanan
yang menopang berat badan dan kaki kiri diangkat. Pada posisi ini, secepat
mungkin posisi kaki berganti menjadi kaki kanan berada didepan kaki kiri
dengan keduanya memijak tanah lalu mulai melangkah 3 langkah lagi,
demikian seterusnya. Hingga teks penutup Hoho Siöligö selesai dituturkan
gerakan akan beralih ke gerakan Ohigabölöu hingga masing-masing berada
tepat didepan peralatan yang diletakkan tadi.
8. Fahijale, merupakan gerakan membentuk satu barisan dan berjalan menyerupai
ular atau berliku-liku. Gerakan ini dilakukan pada saat Hoho Fadolihia
dituturkan dengan posisi Kafalo Zaluaya berada didepan dan diikuti oleh
64
Bohalima dari belakang. Gerakan ini merupakan gerakan berjalan dimana
pada setiap langkah ketiga kaki kanan dihentakkan ketanah dan kemudian
berjalan lagi lalu demikian seterusnya.
Gambar 3.10 Posisi Fohuhugö
Gambar 3.11 Formasi Gerakan Hivfagö
65
Gambar 3.12 Formasi Gerakan Fu’alö
Gambar 3.13 Formasi Gerakan Fasuwö
Gambar 3.14 Formasi Gerakan Siöligö
66
3.3 Analisis Tekstual Hoho Pada Tari Faluaya
Dalam kajian ini, penulis akan menganalis makna teks Hoho Faluaya
dengan menggunakan teori semiotika. Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda.
Ilmu ini berpandangan bahwa fenomena sosial dan budaya pada dasarnya
merupakan tanda-tanda. Semiotik mengkaji sistem-sistem, aturan-aturan, dan
konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti
(Takari dan Fadlin, 2014:19).
Teori semiotika ini kemudian dipadukan dengan pandangan dari Barthes
yang mengatakan bahwa setiap tanda selalu memiliki pemaknaan awal (denotasi)
dan pengembangan (konotasi) yaitu isi sebuah ekspresi atau simbol. Analisa teks
Hoho Faluaya ini akan disusun berdasarkan struktur urutan penyajian teks Hoho
Faluaya yaitu Hoho Fohuhugö, Hoho Hivfagö, Hoho Fu’alö, Hoho Siöligö, dan
Hoho Fadolihia. Perlu penulis jelaskan terlebih dahulu bahwa dalam kaitannya
pada penyajian teks Hoho, Kafalo Zaluaya yang adalah komandan perang disebut
sebagai Sondroro dan Bohalima atau prajurit kebanyakan disebut Sanoyohi.
Secara lengkap urutan penyajian teks Hoho Faluaya akan seperti dibawah ini :
Hoho Fohuhugö Tari humöho tabörötai tabörögö… (Sondroro) Hu ! (Sanoyohi)
Bahijale ! (Sondroro)
Ha ! (Sanoyohi)
Hoho Hivfagö Hefa ! (Sondroro)
Khöyola laimba imba hörö (Sanoyohi)
He yaiya, yaiya hö ! Hu ! Hu! Ha! (Sanoyohi)
67
Hoho Fu’alö Ohaya he..e.. haya dahumalö (Sondroro)
Aihu ! He… (Sanoyohi)
Ohaya ba ha ya dahumalö manö-manö (Sondroro)
Aihu ! He… (Sanoyohi)
Ohaya he..e.. da tabörötaigö (Sondroro)
Aihu ! He… (Sanoyohi)
Ohaya ba databörötai tabörögö (Sondroro)
Aihu ! He… (Sanoyohi)
Ohaya he..e.. databörö danö (Sondroro)
Aihu ! He… (Sanoyohi)
Ohaya ba databörö danö ta balo (Sondroro)
Aihu ! He… (Sanoyohi)
Ohaya he..e.. yae ndraono matua (Sondroro)
Aihu ! He… (Sanoyohi)
Ohaya ba yae ndraono matua sihino döla (Sondroro)
Aihu ! He … Yaiya ! Yaiya ! Hö ! (Sanoyohi)
Hoho Siöligö He..he..khö ! Ho ba ba… (Sondroro)
Ha.. lö..hi..li.. no laukha (Sondroro)
Aaa…. (Sanoyohi)
O inagu ae ho ina aehe ya… (Sondroro)
Ho iwaö wöwö awöni ba ndraso… (Sondroro)
Lumö hö jimöi… Ae lumö hö jiso… (Sondroro)
Lau babö böli he..e.. (Sondroro)
He he khö ba (Sondroro)
Ba lö hili wöwö awöni ba..a.. ndraso (Sanoyohi)
He lumö ! Lumö jimöi (Sanoyohi)
68
He lumö ! Lumö jiso (Sanoyohi)
He yaiya yaiya hö ! (Sanoyohi)
Andrö da tabörötai… (Sondroro)
Andrö da tabörötai tabörögö… (Sanoyohi)
He siwöwö no niwaö mö.. (Sanoyohi)
Ba siwöwö no niwaö mö.. (Sanoyohi)
Andrö da tabörötai tabörögö (Sanoyohi)
Haiwa hö, haiwa hö ! Aihu ! He… (Sanoyohi)
Andrö da umane-mane… (Sondroro)
Andrö da umane-mane ba manö-manö… (Sanoyohi)
He siwöwö no niwaö mö.. (Sanoyohi)
Ba siwöwö no niwaö mö.. (Sanoyohi)
Andrö da umane-mane ba manö-manö.. (Sanoyohi)
Siwöwö niwaö mö ! Aihu ! He… (Sanoyohi)
Lumö mia lumö jimöi (Sondroro)
Lumö mia lumö jimöi (Sanoyohi)
He ae he ho lauwe (Sanoyohi)
Lumö… Ae… (Sanoyohi)
Lumö mia lumö jimöi ba lumö jisö (Sanoyohi)
He he khö ba (Sondroro)
Ba lö hili wöwö awöni ba..a.. ndraso (Sanoyohi)
He lumö ! Lumö jimöi (Sanoyohi)
He lumö ! Lumö jiso (Sanoyohi)
He yaiya yaiya hö ! (Sanoyohi)
Hoho Fadolihia Ta lau maluaya maökhö ! (Sondroro)
Ae hijaho ! He… (Sanoyohi)
69
Ono matua sifakhöyö ! (Sondroro)
Ae hijaho ! He… (Sanoyohi)
Ono matua fatuwusö ! (Sondroro)
Ae hijaho ! He… (Sanoyohi)
Andre si duhu si wöwö ! (Sondroro)
Ae hijaho ! He… (Sanoyohi)
Sanae binu sanae högö ! (Sondroro)
Ae hijaho ! He… (Sanoyohi)
Yaiya ! Yaiya ! Hö ! Hu ! Ha…! (Sondroro+Sanoyohi)
3.3.1 Analisis Teks Fohuhugö
Pertunjukan Tari Faluaya selalu dibuka dengan Hoho Fohuhugö.
Fohuhugö merupakan sebuah teriakan atau seruan yang memiliki makna
‘meminta’ persetujuan atau kesepakatan atas apa yang hendak dilaksanakan dan
atas apa yang telah dilaksanakan. Seruan ini diteriakkan oleh Sondroro Hoho pada
awal pertunjukan, saat pergantian dari Hoho Fu’alö menuju Hoho Siöligö, dan
pada saat pergantian dari Hoho Siöligö menuju Hoho Fadolihia. Analisis teks
Hoho Fohuhugö akan penulis jelaskan seperti pada tabel dibawah ini.
Penyaji Teks Nyanyian Hoho Terjemahan Objek / Tanda
Son San Son San
- Tari humöhö tabörötai tabörögö
- Hu ! - Bahijale ! - Ha !
- Sudahkah bisa kita mulai - Ya ! - Mari lanjutkan ! - Ya, mari !
tabörötai tabörögö (memulai) bahijale (teruskan)
NO Denotasi Konotasi Keterangan 1. memulai : upaya untuk
segera melakukan sesuatu
memulai : tindakan bertanya apakah ada yang keberatan
Frase Hugö ini merupakan bentuk pertanyaan apakah
70
teruskan : jangan berhenti
pertunjukan ini dilanjutkan teruskan : jika tidak ada yang keberatan boleh dilanjutkan, jangan berhenti
para penari yang hadir setuju pertunjukan ini dimulai. Frase Hugö ini bersifat call respons.
Tabel 3.1
Analisis Teks Fohuhugö
Saat pertunjukan Tari Faluaya dimulai, Sondroro mengawali dengan
kalimat pertanyaan kesiapan para penari dalam melakukan pertunjukan. Jika
seluruh penari sudah siap dan sepakat maka akan dijawab dengan “Hu !” (ya,
kami sepakat, kami siap !). Setelah mendapatkan jawaban, Sondroro kemudian
menyerukan ajakan untuk meneruskan dengan mengatakan “Bahijale !” yang
kemudian disambut oleh Sanoyohi dengan menyerukan ”Ha !” (mari kita
lanjutkan).
3.3.2 Analisis Teks Hivfagö
Setelah hugö yang diserukan oleh Sondroro, maka selanjutnya para
penari akan melakukan gerakan ohigabölöu untuk memasuki tempat pertunjukan
dengan formasi acak. Kemudian dihentikan oleh Sondroro dengan menyerukan
Ha !. Setelah itu para penari kembali melakukan gerakan ohigabölöu dan
membentuk formasi melingkar. Setelah formasi melingkar terbentuk, para penari
menyerukan Hoho Hivfagö sambil melakukan gerakan Hivfagö. Seruan Hivfagö
ini merupakan penegasan dari Hugö yang telah diserukan sebelumnya. Analisis
teks Hivfagö akan penulis jelaskan seperti pada tabel berikut ini.
71
Penyaji Teks Nyanyian Hoho Terjemahan Objek / Tanda Son San
- He fa ! - Khöyola - Laimba imba hörö - He yaiya, yaiya hö ! - Hu ! Hu! Ha!
- Mari ! - Bermain - Babi jantan liar - Ya, lakukan - Ya, pasti
1. Fakhöyöla (bermain) 2. Laimba imba hörö
(babi jantan liar yang kuat)
No. Denotasi Konotasi Keterangan 1.
2.
bermain : beratraksi, bergerak, bercanda babi jantan liar yang kuat : hewan liar yang berbahaya
bermain : aktifitas beratraksi babi jantan liar yang kuat : menunjukkan keperkasaan
Frase Hivfagö ini menunjukkan simbol keperkasaan para penari (bohalima). Frase Hivfagö ini bersifat call respons.
Tabel 3.2
Analisis Teks Hivfagö
3.3.3 Analisis Teks Fu’alö
Setelah para penari selesai menyerukan teks Hivfagö, mereka kembali
melakukan gerakan ohigabölöu dan kemudian menyusun formasi berbaris dua
dengan posisi Kafalo Zaluaya (Sondroro) berada di bagian tengah depan barisan
Bohalima (Sanoyohi). Setelah tersusun formasi sedemikian, Kafalo Zaluaya
(Sondroro) akan menghentikan gerakan dengan menyerukan Ha!. Kemudian para
penari menyerukan teks Fu’alö yang tersusun dalam beberapa bait, umumnya
hanya 4 bait. Dalam teks Fu’alö ini diceritakan tentang keperkasaan para penari
yang sedang mempertunjukkan Tari Faluaya. Analisis teks Fu’alö setiap baitnya
akan penulis jelaskan seperti tabel dibawah ini.
Penyaji Teks Nyanyian Hoho Terjemahan Objek / Tanda Son San
- Ohaya he..e.. haya dahumalö
- Aihu ! He…
- Apa yang mau kita ambil
- Ya
1. dahumalö (mengambil)
2. dahumalö manö-
72
Son San
- Ohaya ba haya dahumalö manö-manö
- Aihu ! He…
- Apa pokok pembicaraan yang kita ambil
- Ya
manö (mengambil pokok pembicaraan)
No. Denotasi Konotasi Keterangan 1.
2.
mengambil : usaha untuk memperoleh / mendapatkan sesuatu mengambil bahan pokok pembicaraan : usaha untuk mendapatkan pokok pembicaraan
mengambil : tindakan menanyakan apa yang hendak dilakukan/dikerjakan/diperbuat sekarang mengambil pokok pembicaraan : tindakan menanyakan apa pokok pembicaraan yang akan diceritakan sekarang
Frase bait I teks Fu’alö ini merupakan bentuk pertanyaan Kafalo Zaluaya (Sondroro) tentang apa yang akan diperbuat. Frase berikutnya ini menanyakan apa yang mau dijadikan pokok pembicaraan (usaha memperjelas pertanyaan frase 1). Setiap frase bersifat call respons dan counter frase (pengulangan).
Tabel 3.3
Analisis Teks Fu’alö Bait ke-I
Pada bait I teks Fu’alö ini, Kafalo Zaluaya (Sondroro Hoho)
menanyakan kepada Bohalima tentang apa yang hendak diceritakan atau dijadikan
bahan pembicaraan sekarang ini. Teks Fu’alö ini memiliki ciri bersifat call
respons sekaligus counter frase pada setiap baitnya. Berikutnya adalah analisis
teks Fu’alö bait ke-II.
Penyaji Teks Nyanyian Hoho Terjemahan Objek / Tanda
Son San
- Ohaya he..e.. da tabörötaigö
- Aihu ! He…
- Mari kita memulai
- Ya
1. da tabörötaigö (memulai)
2. databörötai tabörögö
73
Son San
- Ohaya ba databörötai tabörögö
- Aihu ! He…
- Mari kita mulai dan melanjutkannya
- Ya
(mulai melanjutkan)
No. Denotasi Konotasi Keterangan 1.
2.
memulai : suatu aktifitas mengawali / mendahului mulai melanjutkan : meneruskan sesuatu yang telah diawali / didahului
memulai : membuka cerita / pembicaraan yang telah ditanyakan sebelumnya mulai melanjutkan : pembicaraan yang sudah dibuka maka harus dilanjutkan
Frase bait II ini merupakan ajakan untuk tidak berlama-lama membahas tentang apa yang akan diceritakan/dikisahkan oleh para penari. Frase bait II ini juga bersifat call respons dan sekaligus counter frase.
Tabel 3.4
Analisis Teks Fu’alö Bait ke-II
Frase pada bait II teks Fu’alö ini merupakan sebuah bentuk jawaban dari
frase bait I yang berarti bahwa para penari harus memulai dan kemudian
melanjutkan bahan pembicaraan yang ingin dibicarakan. Teks pada bait II ini
bersifat call respons dan sekaligus counter frase (pengulangan). Berikutnya
adalah analisis teks Fu’alö bait ke-III.
Penyaji Teks Nyanyian Hoho Terjemahan Objek / Tanda Son San Son San
- Ohaya he..e.. databörö danö
- Aihu ! He… - Ohaya ba databörö
danö ta balo - Aihu ! He…
- Mari kita menghentakkan tanah
- Ya - Mari kita
menghentakkan tanah dan menggoncangnya
- Ya
1. databörö danö (menghentak tanah)
2. databörö danö ta balo (menghentak tanah hingga goncang)
74
No. Denotasi Konotasi Keterangan 1.
2.
menghentak tanah : memijak tanah dengan tambahan tekanan menghentak tanah hingga goncang : memijak tanah dengan tekanan kuat sehingga tanah bergetar/goncang
menghentak tanah : melakukan aktifitas sedikit melompat sehingga tanah pijakan terhentak menghentak tanah hingga goncang : para penari menunjukkan keperkasaannya dengan menghentak-hentakkan tanah sehingga terdapat getaran/goncangan
Frase bait ke III ini menunjukkan keperkasaan para penari dengan melakukan hentakan pada tanah bahkan sampai tanah bergoncang. Frase ini juga bersifat call respons dan sekaligus counter frase.
Tabel 3.5
Analisis Teks Fu’alö Bait ke-III
Pada bait III teks Fu’alö ini menceritakan tentang kehebatan dan
keperkasaan para penari dengan sebuah ajakan dari Kafalo Zaluaya (Sondroro)
kepada seluruh Bohalima (Sanoyohi) untuk melakukan gerakan menghentak tanah
hingga tanah bergoncang. Frase pada bait ini juga bersifat call respons dan
sekaligus counter frase. Berikutnya adalah analisis teks Fu’alö bait ke-IV.
Penyaji Teks Nyanyian Hoho Terjemahan Objek / Tanda Son San Son San
- Ohaya he..e.. yae ndraono matua
- Aihu ! He… - Ohaya ba yae
ndraono matua sihino döla
- Aihu ! He … Yaiya ! Yaiya ! Hö !
- Inilah para pria/lelaki
- Ya - Para pria yang
gagah perkasa
- Ya, sungguh demikian
1. ndraono matua (pria)
2. ndraono matua sihino döla (pria yang kuat)
No. Denotasi Konotasi Keterangan 1. pria : laki-laki (para pria : prajurit Frase pada bait ke IV
75
2.
prajurit) pria yang kuat : para prajurit yang perkasa
perang (para penari) yang sedang mempertunjukkan Tari Faluaya pria yang kuat : para penari (Bohalima) yang gagah perkasa sedang mempertunjukkan Tari Faluaya
ini menegaskan kepada para khalayak bahwa para penari adalah pria yang gagah perkasa yang sedang mempertunjukkan Tari Faluaya. Setiap frase juga merupakan call respons dan sekaligus counter frase.
Tabel 3.6
Analisis Teks Fu’alö Bait ke-IV
Pada bait ke-IV teks Fu’alö ini diceritakan lagi bahwa para penari
(Bohalima) merupakan para pria yang gagah perkasa, yang kuat dan berani
menghadapi musuh. Setiap bait dalam teks Fu’alö bersifat call respons dan juga
sekaligus counter frase (pengulangan). Demikianlah analisis teks Fu’alö yang
terdapat pada pertunjukan Tari Faluaya untuk setiap baitnya.
3.3.4 Analisis Teks Siöligö
Setelah Teks Fu’alö dituturkan maka para penari (Bohalima) kembali
melakukan gerakan Ohigabölöu untuk kemudian mengambil posisi yang terbagi
menjadi dua kubu yang saling berhadapan dan bermususuhan. Ketika telah
terbentuk formasi dua kubu, para penari (Bohalima) kemudian melakukan gerakan
Manökhö sehingga terlihat seperti terjadi perang antara dua kubu. Untuk
menghentikan perang tersebut, Kafalo Zaluaya akan menyerukan “Ha !” dan para
76
penari akan kembali melakukan gerakan Ohigabölöu dan membuat formasi
lingkaran.
Setelah terbentuk formasi lingkaran, para penari (Bohalima) kembali
menyanyikan teks Hoho Hivfagö dengan disertai gerakan Hivfagö pula. Kemudian
setelah itu, Kafalo Zaluaya kembali menyerukan Hugö dan dilanjutkan dengan
para penari meletakkan peralatan perang mereka ke tanah. Pada formasi lingkaran
inilah teks Hoho Siöligö dinyanyikan oleh para penari (Bohalima) yang isinya
menggambarkan indahnya sebuah persatuan. Analisis teks Siöligö akan penulis
jelaskan seperti dibawah ini.
Penyaji Teks Nyanyian Terjemahan Objek / Tanda
Son San Son Son San
- He..he..khö ! - Ho ba ba… - Ha.. lö..hili.. no
laukha - Aaa…. - O inagu ae - Ho ina aehe ya… - Ho iwaö wöwö
awöni ba ndraso… - Lumö hö jimöi… - Ae lumö hö jiso… - Lau babö böli he..e.. - He he khö ba - Ba lö hili wöwö
awöni ba..a.. ndraso
- He lumö ! Lumö jimöi
- He lumö ! Lumö jiso
- He yaiya yaiya hö !
- Inilah negeri kita - terletak di - tepi pegunungan
- Ya… - Oh ibuku - Ya ibuku - Pendiri desa
- Sudah pergi - Yang datang - Jangan lupakan - Inilah negeri kita - Di pegunungan
sudah didirikan tempat kita
- Ya mereka yang telah pergi
- Ya mereka yang datang
- Ya, mari kita bersama
1. Khö (wilayah/negeri)
2. hili.. no laukha (pinggir gunung)
3. inagu (ibuku) 4. wöwö awöni ba
ndraso (pendiri desa)
5. jimöi (pergi) 6. jiso (datang) 7. böli (jangan)
77
No. Denotasi Konotasi Keterangan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
wilayah/negeri : wilayah desa pinggir gunung : letak wilayah pedesaan masyarakat Nias ibuku : yang melahirkan pendiri desa : nenek moyang pergi : tidak berada didesa lagi datang : hadir/berada di desa jangan : tidak boleh dilakukan
wilayah/negeri : wilayah strategis desa pinggir gunung : letak desa Bawömataluo, yang juga merupakan tempat berkembangnya Tari Faluaya ibuku : leluhur masyarakat Nias pendiri desa : yang membangun dan menata desa pergi : sudah meninggal dunia datang : lahir generasi baru jangan : teruskan warisan leluhur
Teks pembuka Siöligö ini bertemakan pesan pewarisan dan pesan untuk generasi penerus untuk memeliharanya dan juga berisikan penegasan dari pesan tersebut. Frase pada teks pembuka Siöligö ini bersifat call respons dan sekaligus counter motif.
Tabel 3.7
Analisis Teks Pembuka Siöligö
Sebagai teks pembuka Hoho Siöligö, Sondroro menggambarkan
indahnya sebuah persatuan dan bagaimana kuatnya masyarakat Nias bila bersatu
untuk mempertahankan warisan leluhur mereka. Pada teks pembuka ini
mengungkapkan rasa bangga akan wilayah desa dan penataan desa warisan
leluhur masyarakat Nias yang terletak pada tepi dataran tinggi (pegunungan) dan
betapa seluruh masyarakat baik yang pergi maupun yang datang merasa harmonis
dan kagum akan warisan leluhur tersebut. Selanjutnya penulis akan menjelaskan
analisis teks isi Hoho Siöligö pada setiap bagiannya.
78
Penyaji Teks Nyanyian Terjemahan Objek / Tanda Son San San San San San San
- Andrö da tabörötai… - Andrö da tabörötai
tabörögö… - He siwöwö no niwaö
mö.. - Ba siwöwö no niwaö
mö.. - Andrö da tabörötai
tabörögö - Haiwa hö, haiwa hö ! - Aihu ! He…
- Sekarang kita mulai - Ya kita mulai
ungkapkan - Tentang pendiri desa
yang diungkapkan - Ya tentang pendiri
desa - Ya kita mulai
ungkapkan - Ya nyanyikanlah - Ya tuturkan
1. tabörötai (mulai)
2. tabörötai tabörögö (mulai katakan)
3. siwöwö no niwaö (pendiri desa)
4. haiwa hö (nyanyikan)
No. Denotasi Konotasi Keterangan 1.
2.
3.
4.
mulai : upaya untuk segera melakukan sesuatu mulai katakan : bicarakan dan sampaikan pendiri desa : pendiri desa masyarakat Nias nyanyikan : bersuara dengan bernada
mulai : tindakan bertanya apakah ada yang keberatan untuk dilanjutkan mulai katakan : menyampaikan maksud dan tujuan pendiri desa : kepada generasi muda diharapkan peduli pada peninggalan leluhur nyanyikan : ungkapan kegembiraan dan kebersamaan diungkapkan dengan bernyanyi Hoho
Teks isi bagian I Hoho Siöligö ini merupakan ungkapan rasa kebersamaan dalam persatuan. Setiap frase bersifat call respons dan sekaligus counter frase.
Tabel 3.8
Analisis Teks Isi Siöligö Bagian I
Sebagai teks isi bagian I Hoho Siöligö, Sondroro kembali
mengungkapkan bagaimana indahnya kebersamaan dan persatuan untuk tetap
mempertahankan warisan leluhur. Dengan teks isi bagian I ini, para penari mulai
79
melakukan gerakan Siöligö yang juga merupakan gambaran kebersamaan dan
persatuan masyarakat Nias. Dengan bentuk yang sama namun teks berbeda, Hoho
Siöligö kembali dilanjutkan oleh Sondroro dan Sanoyohi. Berikut akan penulis
jelaskan analisis teks isi bagian II Hoho Siöligö.
Penyaji Teks Nyanyian Terjemahan Objek / Tanda Son San San San San San San
- Andrö da u mane-mane…
- Andrö da umane-mane ba manö-manö…
- He siwöwö no niwaö mö.. - Ba siwöwö no niwaö mö.. - Andrö da umane-mane ba
manö-manö.. - Siwöwö niwaö mö ! - Aihu ! He…
- Sekarang kita ceritakan
- Ya ceritakan masa lalu
- Pendiri desa - Ya pendiri desa - Ya cerita leluhur
- Ya Pendiri Desa - Ya, tuturkan
1. mane-mane (ceritakan)
2. manö-manö (cerita masa lalu)
3. siwöwö no niwaö mö (pendiri desa)
4. haiwa hö (nyanyikan)
No. Denotasi Konotasi Keterangan 1.
2.
3.
4.
ceritakan : hal sejarah desa cerita masa lalu : sesuatu hal yang sudah lampau pendiri desa : pendiri desa masyarakat Nias nyanyikan : bersuara dengan bernada
ceritakan : tindakan menanyakan apa ada yang keberatan jika cerita dilanjutkan cerita masa lalu : menyampaikan pesan moral dan nasehat dari leluhur kepada generasi muda pendiri desa : kepada generasi muda diharapkan peduli pada peninggalan leluhur nyanyikan : ungkapan kegembiraan dan
Teks isi bagian II Hoho Siöligö ini merupakan ungkapan rasa kebersamaan dalam persatuan. Setiap frase bersifat call respons dan sekaligus counter frase.
80
kebersamaan diungkapkan dengan bernyanyi Hoho
Tabel 3.9
Analisis Teks Isi Siöligö Bagian II
Teks isi Siöligö bagian II masih sama seperti bagian sebelumnya yang
juga mengungkapkan bagaimana indahnya kebersamaan dan persatuan untuk tetap
mempertahankan warisan leluhur. Teks ini juga dinyanyikan sambil melakukan
gerakan Siöligö yang juga menggambarkan semangat kebersamaan dan persatuan.
Selanjutnya akan penulis jelaskan tentang analisis teks isi Siöligö bagian III.
Penyaji Teks Nyanyian Hoho Terjemahan Objek / Tanda Son San San San San
- Lumö mia lumö jimöi
- Lumö mia lumö jimöi
- He ae he ho lauwe - Lumö… Ae… - Lumö mia lumö jimöi ba
lumö jisö
- Kalian yang telah pergi
- Kalian yang telah pergi
- Ya leluhur kami - Ya… - Yang kalian akan
diteruskan
1. jimöi (pergi)
2. ho lauwe (leluhur)
3. jisö (datang) No. Denotasi Konotasi Keterangan 1.
2.
3.
pergi : tidak berada di desa leluhur : nenek moyang datang : hadir/berada
pergi : sudah meninggal dunia leluhur : yang berjasa mendirikan dan menata desa datang : generasi
Teks isi bagian III Hoho Siöligö ini merupakan ungkapan rasa kebersamaan dalam persatuan.
81
didesa baru harapan penerus warisan leluhur
Setiap frase bersifat call respons dan sekaligus counter frase.
Tabel 3.10
Analisis Teks Isi Siöligö Bagian III
Teks isi Siöligö bagian III ini juga masih sama yang isinya
mengungkapkan bagaimana indahnya kebersamaan dan persatuan untuk tetap
mempertahankan warisan leluhur. Isi bagian III teks ini merupakan pelengkap
gambaran dari pentingnya kebersamaan dan persatuan dari masyarakat Nias untuk
tetap mempertahankan warisan leluhur. Teks ini juga dinyanyikan sambil
melakukan gerakan Siöligö yang juga menggambarkan semangat kebersamaan
dan persatuan. Selanjutnya akan penulis jelaskan tentang analisis teks penutup
Siöligö yang merupakan penggalan dari teks pembuka Siöligö.
Penyaji Teks Nyanyian Hoho Terjemahan Objek / Tanda Son San San San San
- He he khö ba - Ba lö hili wöwö awöni
ba..a.. ndraso - He lumö ! Lumö jimöi
- He lumö ! Lumö jiso
- He yaiya yaiya hö !
- Inilah negeri kita - Di pegunungan sudah
didirikan tempat kita - Ya mereka yang telah
pergi - Ya mereka yang
datang - Ya, mari kita bersama
1. khö (wilayah/negeri)
2. hili (pegunungan)
3. wöwö awöni ba..a.. ndraso (pendiri desa)
4. jimöi (pergi) 5. jiso (datang)
No. Denotasi Konotasi Keterangan 1. wilayah/negeri : wilayah wilayah/negeri : Teks penutup
82
2.
3.
4.
5.
desa pegunungan : letak pedesaaan masyarakat Nias pendiri desa : nenek moyang pergi : tidak berada di desa datang : hadir/berada di desa
wilayah strategis desa pegunungan : letak desa Bawömataluo, yang juga merupakan tempat berkembangnya Tari Faluaya pendiri desa : yang berjasa mendirikan dan menata desa pergi : sudah meninggal dunia datang : generasi baru harapan penerus warisan leluhur
Siöligö ini merupakan penegasan dari betapa indahnya kebersamaan dan persatuan untuk mempertahankan warisan leluhur. Teks ini bersifat call respons dan counter motif.
Tabel 3.11
Analisis Teks Penutup Siöligö
Sebagai teks penutup Hoho Siöligö, teks ini merupakan penegasan
kembali betapa pentingnya dan indahnya kebersamaan dan persatuan di antara
masyarakat Nias untuk tetap mempertahankan warisan leluhur. Para generasi
muda adalah harapan untuk tetap meneruskan dan mempertahankan peninggalan
leluhur bagi masyarakat Nias. Setelah teks ini selesai dinyanyikan, para penari
akan berganti gerakan dari gerakan Siöligö menjadi gerakan Ohigabölöu dengan
tetap mempertahankan posisi lingkaran. Tepat ketika para penari berada didepan
peralatannya masing-masing, Sondroro akan kembali menyerukan Hoho Hivfagö
dan diikuti dengan pergantian gerakan menjadi gerakan Hivfagö pula.
3.3.5 Analisis Teks Fadolihia
Teks Fadolihia dinyanyikan sebagai penutup dari seluruh rangkaian
Hoho Faluaya yang menandakan akan berakhirnya pertunjukan Tari Faluaya.
83
Teks ini mulai dinyanyikan ketika formasi masih membentuk lingkaran seusai
penuturan Siöligö yang disusul dengan Hivfagö seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya. Ketika gerakan dan Hoho Hivfagö selesai, para penari (Kafalo
Zaluaya dan Bohalima) kembali berlutut untuk mengambil peralatan mereka dan
kemudian berdiri kembali.
Dengan sedikit mengayun-ayunkan badan ke atas dan ke bawah, maka
Hoho Fadolihia mulai dituturkan yang disertai gerakan Fahidjale. Gerakan
Fahidjale merupakan gerakan berliku-liku menyerupai ular dengan Kafalo
Zaluaya (Sondroro) berada paling depan. Para penari membentuk satu barisan dan
mengikuti arah kemana Kafalo Zaluaya membawa barisan tersebut. Analisis teks
Fadolihia ini akan penulis jelaskan seperti pada tabel dibawah ini.
Penyaji Teks Nyanyian Hoho Terjemahan Objek / Tanda
Son San Son San Son San Son San Son San Son+San
- Ta lau maluaya maökhö !
- Ae hijaho ! He… - Ono matua sifakhöyö !
- Ae hijaho ! He… - Ono matua fatuwusö !
- Ae hijaho ! He… - Andre si duhu si wöwö !
- Ae hijaho ! He… - Sanae binu sanae högö !
- Ae hijaho ! He… - Yaiya ! Yaiya ! Hö ! Hu !
Ha…!
- Mari kita semua menari
- Ya - Para pria yang
bermain - Ya - Para pria yang
muda - Ya - Sungguh para
leluhur kita - Ya - Para prajurit perang
nan perkasa - Ya - Ya, sungguh
demikian
1. maluaya (bersama)
2. sifakhöyö (bermain)
3. fatuwusö (muda)
4. wöwö (leluhur) 5. sanae (yang
mengambil) 6. binu (budak) 7. högö (kepala)
No. Denotasi Konotasi Keterangan 1. bersama : kelompok / bersama : bersatu Teks Fadolihia ini
84
2.
3.
4.
5.
6.
kerjasama bermain : beratraksi / bercanda muda : sedang bertumbuh / berkembang leluhur : nenek moyang yang mengambil : orang yang mendapatkan sesuatu budak : suruhan / pembantu seorang majikan kepala : bagian tubuh manusia yang paling penting
untuk melakukan sesuatu bermain : melakukan atraksi atau pertunjukan yaitu Tari Faluaya muda : para penari yang merupakan generasi penerus leluhur : para pendahulu masyarakat Nias yang merupakan prajurit-prajurit tangguh yang mengambil : prajurit perang leluhur masyarakat Nias budak : musuh dalam perang zaman dahulu yang berhasil dikalahkan menjadi budak kepala : para musuh yang tidak bertahan di medan perang dipenggal kepalanya
merupakan teks penutup dari keseluruhan Hoho Faluaya yang merupakan ajakan dan himbauan untuk seluruh masyarakat Nias terkhusus generasi muda untuk tetap bersatu dan bersama-sama. Teks ini juga sekaligus mengingatkan kembali bahwa leluhur masyarakat Nias merupakan orang-orang yang gagah perkasa. Teks ini bersifat call respons dan sekaligus counter frase.
Tabel 3.12
Analisis Teks Fadolihia
Sebagai penutup dari keseluruhan Hoho Faluaya, teks Fadolihia ini
merupakan himbauan dan ajakan kembali kepada seluruh masyarakat Nias dan
secara khusus generasi muda untuk tetap bersatu dan bersama dalam
mempertahankan warisan leluhur. Teks ini juga mengingatkan kembali bahwa
85
leluhur masyarakat Nias merupakan orang-orang yang gagah perkasa yang selalu
menang dalam peperangan dengan berhasil memenggal kepala musuh dan
menjadikan mereka budak. Teks Fadolihia ini bersifat call respons dan sekaligus
counter frase yang menggambarkan sukacita seperti sorak-sorai kemenangan.
86
BAB IV
ANALISIS STRUKTUR MUSIK HOHO DALAM TARI FALUAYA
4.1 Transkripsi dan Notasi
Untuk menganalisa struktur musik daripada Hoho dalam Tari Faluaya,
penulis melakukan transkripsi. Transkripsi dilakukan untuk mengubah bunyi yang
didengar menjadi simbol-simbol yang dapat dibaca sehingga kita dapat
menemukan strukturnya. Di dalam membuat transkripsi ini, penulis menggunakan
notasi barat karena notasi inilah yang paling umum digunakan untuk penulisan
musik. Alasan lain menggunakan notasi barat ini adalah karena sejauh ini belum
ada ditemukan notasi khusus untuk menuliskan musik Nias. Selain itu, notasi
barat juga telah terdapat gambaran-gambaran tinggi rendahnya serta pembagian
durasi ritmis yang jelas sehingga memudahkan dalam segi penulisan dan analisa
musik.
Seeger mengemukakan seperti yang ditulis oleh Nettl (1964:99) bahwa
ada dua jenis notasi yang mempunyai tujuan berbeda, yaitu notasi preskriptif dan
notasi deskriptif. Simbol-simbol notasi preskriptif kadang-kadang tidak lebih
daripada alat pembantu untuk si penyaji supaya ia dapat mengingat apa yang
dimainkannya. Sedangkan notasi deskriptif dimaksudkan untuk menyampaikan
kepada para pembaca tentang ciri-ciri dan detail-detail komposisi musik yang
belum diketahui oleh si pembaca sebelumnya. Berdasarkan tujuan pemakaian
tersebut maka notasi yang digunakan adalah notasi deskriptif.
Selanjutnya, untuk menganalisa struktur musik Hoho dalam Tari Faluaya
ini, seperti yang telah dijelaskan dalam Bab I penulis akan mengacu pada teori
87
weighted scale yang dikemukakan oleh William P. Malm (1977). Melalui teori ini
penulis akan menjelaskan mengenai scale (tangga nada), nada dasar, range
(wilayah nada), frequency of notes (jumlah nada-nada), prevalent interval
(interval yang dipakai), cadence patterns (pola-pola kadensa), melodic formula
(formula melodi), dan contour (kontur) yang terdapat dalam Hoho pada Tari
Faluaya. Pada setiap transkripsi Hoho berikut ini, penulis akan menggunakan dua
garis paranada yang menunjukkan bahwa Hoho disajikan oleh dua kelompok yaitu
Sondroro pada garis paranada pertama dan Sanoyohi pada garis paranada kedua.
4.2 Analisis Struktur Musik Hoho Fohuhugö
Hoho Fohuhugö
Transkripsi oleh : Mario Sinaga dan Metraikan Laoli
4.2.1 Tangga Nada
Langkah awal dalam menganalisa struktur sebuah komposisi musik
adalah dengan menentukan tangga nada nya. Tangga nada ini diperoleh dengan
mengurutkan nada-nada yang digunakan mulai dari nada terendah hingga nada
88
tertinggi. Melihat dari transkripsi Hoho Fohuhugö, penulis mengurutkan nada-
nadanya mulai dari nada terendah hingga ke nada tertinggi, yaitu : E – C’ – A’.
4.2.1 Nada Dasar
Dalam menentukan nada dasar yang dipakai pada Hoho Fohuhugö,
penulis mengacu pada hasil rekaman yang penulis peroleh dari informan melalui
kerja lapangan. Melalui hasil rekaman yang penulis dengarkan tersebut dan
dibantu dengan alat musik keyboard penulis memperoleh hasil bahwa nada dasar
yang digunakan adalah nada C.
Selain itu, dari hasil penulisan musik dalam bentuk transkripsi serta
mengacu pada salah satu pendapat Nettl dalam bukunya Theory and Method in
Ethnomusicology (1984:164) yang mengatakan bahwa salah satu kriteria yang
digunakan untuk menentukan nada dasar suatu lagu yaitu dengan melihat nada
mana yang sering dipakai dalam sebuah komposisi musik. Mengacu pada
pendapat tersebut dan melihat dari transkripsi Hoho Fohuhugö penulis
menemukan bahwa nada dasar yang dipakai adalah juga nada C.
4.2.2 Wilayah Nada
Wilayah nada adalah jarak antara nada yang terendah hingga nada yang
tertinggi yang terdapat dalam sebuah komposisi musik. Dalam komposisi musik
Hoho Fohuhugö wilayah nada yang dapat dilihat adalah dari nada E sampai ke
nada A’.
89
4.2.3 Jumlah Nada
Jumlah nada merupakan banyaknya (frekuensi) pemakaian nada-nada
yang di dalam sebuah komposisi musik. Dalam komposisi musik Hoho Fohuhugö
terdapat 3 nada yang digunakan yaitu nada E, C’, dan A’. Frekuensi pemakaian
ketiga nada ini adalah sebagai berikut.
1. Nada E = 2
2. Nada C’ = 19
3. Nada A’ = 1
4.2.4 Interval
Interval adalah jarak antara satu nada dengan nada berikutnya yang
terdapat dalam sebuah komposisi musik. Interval-interval yang terdapat dalam
Hoho Fohuhugö akan penulis jelaskan melalui tabel dibawah ini.
Interval Posisi Jumlah Total 1P - 17 17
3M ↑ 0
1 ↓ 1
6M ↑ 1
2 ↓ 1
4.2.5 Pola Kadensa
Pola kadensa adalah suatu rangkaian harmoni atau melodi sebagai
penutup pada akhir melodi atau di tengah kalimat, sehingga bisa menutup
sempurna melodi tersebut atau setengah menutup (sementara) melodi tersebut.
90
Berikut ini akan penulis tunjukkan pola kadensa yang terdapat pada Hoho
Fohuhugö.
Kadensa
4.2.6 Formula Melodi
Formula melodi adalah susunan melodi berdasarkan kesatuan-
kesatuannya yang pada umumnya terbagi menjadi tiga, yaitu : bentuk, frase, dan
motif. Bentuk adalah bagian melodi terbesar yang menjadi dasar pengulangan
bagi bentuk-bentuk berikutnya. Satu bentuk melodi biasanya terdiri dari dua frase
melodi atau lebih. Frase melodi merupakan rangkaian melodi yang terdiri dari
beberapa motif yang merupakan satu ide melodi yang utuh. Sedangkan motif
melodi merupakan bagian terkecil yang menjadi karakter pengulangan seluruh
komposisi. Formula melodi Hoho Fohuhugö adalah seperti dibawah ini.
Frase 1
Motif A Motif B Motif C
91
4.2.7 Kontur
Kontur adalah garis lintasan melodi yang terdapat pada sebuah komposisi
musik. Menurut Malm (1977:16), kontur dapat dideskripsikan dengan
menggunakan istilah ascending (menaik), descending (menurun), pendulous
(melengkung), terraced (berjenjang), statis (gerak melodi terbatas/datar), atau
dapat diperlihatkan dengan garis-garis dalam bentuk grafik. Berkaitan dengan
pendapat tersebut, penulis mendeskripsikan kontur yang terdapat pada Hoho
Fohuhugö dengan menggunakan istilah yang telah disebut diatas. Dari hasil
transkripsi musik Hoho Fohuhugö, penulis menyimpulkan bahwa kontur nya
adalah statis, ascending, dan descending.
4.3 Analisis Struktur Musik Hoho Hivfagö
Hoho Hivfagö Transkripsi oleh : Mario Sinaga dan Metraikan Laoli
4.3.1 Tangga Nada
Langkah awal dalam menganalisa struktur sebuah komposisi musik
adalah dengan menentukan tangga nada nya. Tangga nada ini diperoleh dengan
92
mengurutkan nada-nada yang digunakan mulai dari nada terendah hingga nada
tertinggi. Melihat dari transkripsi Hoho Hivfagö, penulis mengurutkan nada-
nadanya mulai dari nada terendah hingga ke nada tertinggi, yaitu : E – G – A – B -
C.
4.3.1 Nada Dasar
Dalam menentukan nada dasar yang dipakai pada Hoho Hivfagö, penulis
mengacu pada hasil rekaman yang penulis peroleh dari informan melalui kerja
lapangan. Melalui hasil rekaman yang penulis dengarkan tersebut dan dibantu
dengan alat musik keyboard penulis memperoleh hasil bahwa nada dasar yang
digunakan adalah nada A.
Selain itu, dari hasil penulisan musik dalam bentuk transkripsi serta
mengacu pada salah satu pendapat Nettl dalam bukunya Theory and Method in
Ethnomusicology (1984:164) yang mengatakan bahwa salah satu kriteria yang
digunakan untuk menentukan nada dasar suatu lagu yaitu dengan melihat nada
mana yang sering dipakai dalam sebuah komposisi musik. Mengacu pada
pendapat tersebut dan melihat dari transkripsi Hoho Hivfagö penulis menemukan
bahwa nada dasar yang dipakai adalah juga nada A.
4.3.2 Wilayah Nada
Wilayah nada adalah jarak antara nada yang terendah hingga nada yang
tertinggi yang terdapat dalam sebuah komposisi musik. Dalam komposisi musik
93
Hoho Hivfagö wilayah nada yang dapat dilihat adalah dari nada E sampai ke nada
C.
4.3.3 Jumlah Nada
Jumlah nada merupakan banyaknya (frekuensi) pemakaian nada-nada
yang di dalam sebuah komposisi musik. Dalam komposisi musik Hoho Hivfagö
terdapat 5 nada yang digunakan yaitu nada E, G, A, B, dan C. Frekuensi
pemakaian kelima nada ini adalah sebagai berikut.
1. Nada E = 1
2. Nada G = 1
3. Nada A = 17
4. Nada B = 2
5. Nada C = 2
4.3.4 Interval
Interval adalah jarak antara satu nada dengan nada berikutnya yang
terdapat dalam sebuah komposisi musik. Interval-interval yang terdapat dalam
Hoho Hivfagö akan penulis jelaskan melalui tabel dibawah ini.
Interval Posisi Jumlah Total 1P - 13 13
2M ↑ 3 5
↓ 2
3M ↑ 1
3 ↓ 2
4P ↑ 0
1 ↓ 1
94
4.3.5 Pola Kadensa
Pola kadensa adalah suatu rangkaian harmoni atau melodi sebagai
penutup pada akhir melodi atau di tengah kalimat, sehingga bisa menutup
sempurna melodi tersebut atau setengah menutup (sementara) melodi tersebut.
Berikut ini akan penulis tunjukkan pola kadensa yang terdapat pada Hoho
Hivfagö.
Kadensa
4.3.6 Formula Melodi
Formula melodi adalah susunan melodi berdasarkan kesatuan-
kesatuannya yang pada umumnya terbagi menjadi tiga, yaitu : bentuk, frase, dan
motif. Bentuk adalah bagian melodi terbesar yang menjadi dasar pengulangan
bagi bentuk-bentuk berikutnya. Satu bentuk melodi biasanya terdiri dari dua frase
melodi atau lebih. Frase melodi merupakan rangkaian melodi yang terdiri dari
beberapa motif yang merupakan satu ide melodi yang utuh. Sedangkan motif
melodi merupakan bagian terkecil yang menjadi karakter pengulangan seluruh
komposisi. Formula melodi Hoho Hivfagö adalah seperti berikut ini.
95
Frase 1 Motif A Motif B Motif C Motif D Motif E
4.5.6 Kontur
Kontur adalah garis lintasan melodi yang terdapat pada sebuah komposisi
musik. Menurut Malm (1977:16), kontur dapat dideskripsikan dengan
menggunakan istilah ascending (menaik), descending (menurun), pendulous
(melengkung), terraced (berjenjang), statis (gerak melodi terbatas/datar), atau
dapat diperlihatkan dengan garis-garis dalam bentuk grafik.
Berkaitan dengan pendapat tersebut, penulis mendeskripsikan kontur
yang terdapat pada Hoho Hivfagö dengan menggunakan istilah yang telah disebut
diatas. Dari hasil transkripsi musik Hoho Hivfagö, penulis menyimpulkan bahwa
kontur nya adalah ascending, descending, dan statis.
96
4.4 Analisis Struktur Musik Hoho Fu’alo
Hoho Fu’alo
Transkripsi oleh : Mario Sinaga dan Metraikan Laoli
97
4.4.1 Tangga Nada
Langkah awal dalam menganalisa struktur sebuah komposisi musik
adalah dengan menentukan tangga nada nya. Tangga nada ini diperoleh dengan
mengurutkan nada-nada yang digunakan mulai dari nada terendah hingga nada
tertinggi. Melihat dari transkripsi Hoho Fu’alo, penulis mengurutkan nada-
nadanya mulai dari nada terendah hingga ke nada tertinggi, yaitu : F – G – A –
Bes – C - D.
4.4.2 Nada Dasar
Dalam menentukan nada dasar yang dipakai pada Hoho Fu’alo, penulis
mengacu pada hasil rekaman yang penulis peroleh dari informan melalui kerja
lapangan. Melalui hasil rekaman yang penulis dengarkan tersebut dan dibantu
dengan alat musik keyboard penulis memperoleh hasil bahwa nada dasar yang
digunakan adalah nada F.
Selain itu, dari hasil penulisan musik dalam bentuk transkripsi serta
mengacu pada salah satu pendapat Nettl dalam bukunya Theory and Method in
Ethnomusicology (1984:164) yang mengatakan bahwa salah satu kriteria yang
digunakan untuk menentukan nada dasar suatu lagu yaitu dengan melihat nada
mana yang sering dipakai dalam sebuah komposisi musik. Mengacu pada
pendapat tersebut dan melihat dari transkripsi Hoho Fu’alo penulis menemukan
bahwa nada dasar yang dipakai adalah juga nada F.
98
4.4.3 Wilayah Nada
Wilayah nada adalah jarak antara nada yang terendah hingga nada yang
tertinggi yang terdapat dalam sebuah komposisi musik. Dalam komposisi musik
Hoho Fu’alo wilayah nada yang dapat dilihat adalah dari nada F sampai ke nada
D.
4.4.4 Jumlah Nada-Nada
Jumlah nada merupakan banyaknya (frekuensi) pemakaian nada-nada
yang di dalam sebuah komposisi musik. Dalam komposisi musik Hoho Fu’alo
terdapat 6 nada yang digunakan yaitu nada F, G, A, Bes, C, dan D. Frekuensi
pemakaian kelima nada ini adalah sebagai berikut.
1. Nada F = 16
2. Nada G = 56
3. Nada A = 9
4. Nada Bes = 28
5. Nada C = 4
6. Nada D = 14
4.4.5 Interval
Interval adalah jarak antara satu nada dengan nada berikutnya yang
terdapat dalam sebuah komposisi musik. Interval-interval yang terdapat dalam
Hoho Fu’alo akan penulis jelaskan melalui tabel dibawah ini.
99
Interval Posisi Jumlah Total 1P - 30 30
2M ↑ 23
46 ↓ 23
2m ↑ 7
7 ↓ -
3M ↑ 8
8 ↓ -
3m ↑ 13
29 ↓ 16
5P ↑ -
4 ↓ 4
6M ↑ 1
2 ↓ 1
4.4.6 Pola Kadensa
Pola kadensa adalah suatu rangkaian harmoni atau melodi sebagai
penutup pada akhir melodi atau di tengah kalimat, sehingga bisa menutup
sempurna melodi tersebut atau setengah menutup (sementara) melodi tersebut.
Berikut ini akan penulis tunjukkan pola kadensa yang terdapat pada Hoho
Fu’alo.
1.
2.
3.
100
4.4.7 Formula Melodi
Formula melodi adalah susunan melodi berdasarkan kesatuan-
kesatuannya yang pada umumnya terbagi menjadi tiga, yaitu : bentuk, frase, dan
motif. Bentuk adalah bagian melodi terbesar yang menjadi dasar pengulangan
bagi bentuk-bentuk berikutnya. Satu bentuk melodi biasanya terdiri dari dua frase
melodi atau lebih. Frase melodi merupakan rangkaian melodi yang terdiri dari
beberapa motif yang merupakan satu ide melodi yang utuh. Sedangkan motif
melodi merupakan bagian terkecil yang menjadi karakter pengulangan seluruh
komposisi. Formula melodi Hoho Fu’alo adalah seperti berikut ini.
Frase 1
Motif A.1 Motif B.1 Motif C.1
Frase 2
Motif D.1 Motif A.2 Motif B.2 Motif C.2
101
Frase 3
Motif D.2 Motif A.3 Motif B.3 Motif C.3
Frase 3 Frase 4
Motif C.3 Motif D.3 Motif A.4 Motif B.4
Frase 4
Motif C.4 Motif D.4
Selain kajian terhadap frase melodi dan motif yang termasuk dalam
formula melodi, penulis juga mengkaji tentang bentuk yang juga merupakan
bagian dari formula melodi. Bentuk dari Hoho Fu’alo adalah call respons dan
counter frase (counter motif). Hal ini terlihat dari setiap frasa selalu mengalami
pengulangan yang berfungsi sebagai call dan motif nya juga berulang yang
berfungsi sebagai respons.
102
4.4.8 Kontur
Kontur adalah garis lintasan melodi yang terdapat pada sebuah komposisi
musik. Menurut Malm (1977:16), kontur dapat dideskripsikan dengan
menggunakan istilah ascending (menaik), descending (menurun), pendulous
(melengkung), terraced (berjenjang), statis (gerak melodi terbatas/datar), atau
dapat diperlihatkan dengan garis-garis dalam bentuk grafik.
Berkaitan dengan pendapat tersebut, penulis mendeskripsikan kontur
yang terdapat pada Hoho Fu’alo dengan menggunakan istilah yang telah disebut
diatas. Dari hasil transkripsi musik Hoho Fu’alo, penulis menyimpulkan bahwa
kontur nya adalah ascending, descending, statis, dan terraced.
4.5 Analisis Struktur Musik Hoho Siöligö
Hoho Siöligö
Transkripsi oleh : Mario Sinaga dan Metraikan Laoli
103
104
4.5.1 Tangga Nada
Langkah awal dalam menganalisa struktur sebuah komposisi musik
adalah dengan menentukan tangga nada nya. Tangga nada ini diperoleh dengan
mengurutkan nada-nada yang digunakan mulai dari nada terendah hingga nada
tertinggi. Melihat dari transkripsi Hoho Siöligö, penulis mengurutkan nada-
nadanya mulai dari nada terendah hingga ke nada tertinggi, yaitu : A – B – C – D
– Dis – E – F – G – A’
105
4.5.2 Nada Dasar
Dalam menentukan nada dasar yang dipakai pada Hoho Siöligö, penulis
mengacu pada hasil rekaman yang penulis peroleh dari informan melalui kerja
lapangan. Melalui hasil rekaman yang penulis dengarkan tersebut dan dibantu
dengan alat musik keyboard penulis memperoleh hasil bahwa nada dasar yang
digunakan adalah nada C .
Selain itu, dari hasil penulisan musik dalam bentuk transkripsi serta
mengacu pada salah satu pendapat Nettl dalam bukunya Theory and Method in
Ethnomusicology (1984:164) yang mengatakan bahwa salah satu kriteria yang
digunakan untuk menentukan nada dasar suatu lagu yaitu dengan melihat nada
mana yang sering dipakai dalam sebuah komposisi musik. Mengacu pada
pendapat tersebut dan melihat dari transkripsi Hoho Siöligö penulis menemukan
bahwa nada dasar yang dipakai adalah juga nada C.
4.5.3 Wilayah Nada
Wilayah nada adalah jarak antara nada yang terendah hingga nada yang
tertinggi yang terdapat dalam sebuah komposisi musik. Dalam komposisi musik
Hoho Siöligö wilayah nada yang dapat dilihat adalah dari nada A sampai ke nada
A’ .
4.5.4 Jumlah Nada-Nada
Jumlah nada merupakan banyaknya (frekuensi) pemakaian nada-nada
yang di dalam sebuah komposisi musik. Dalam komposisi musik Hoho Siöligö
106
terdapat nada yang digunakan yaitu nada . Frekuensi pemakaian kelima nada ini
adalah sebagai berikut.
1. Nada A = 25
2. Nada B = 147
3. Nada C = 26
4. Nada D = 104
5. Nada Dis = 11
6. Nada E = 30
7. Nada F = 29
8. Nada A’ = 6
4.5.5 Interval
Interval adalah jarak antara satu nada dengan nada berikutnya yang
terdapat dalam sebuah komposisi musik. Interval-interval yang terdapat dalam
Hoho Siöligö akan penulis jelaskan melalui tabel dibawah ini.
Interval Posisi Jumlah Total
1P - 137 137
2M ↑ 40 62
↓ 22
2m ↑ 8
17 ↓ 9
3M ↑ -
6 ↓ 6
3m ↑ 23
46 ↓ 23
4P ↑ 5
14 ↓ 9
5P ↑ 2
5 ↓ 3
6m ↑ 3
3 ↓ 2
107
4.5.6 Pola Kadensa
Pola kadensa adalah suatu rangkaian harmoni atau melodi sebagai
penutup pada akhir melodi atau di tengah kalimat, sehingga bisa menutup
sempurna melodi tersebut atau setengah menutup (sementara) melodi tersebut.
Berikut ini akan penulis tunjukkan pola kadensa yang terdapat pada Hoho
Siöligö.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
108
4.5.7 Formula Melodi
Formula melodi adalah susunan melodi berdasarkan kesatuan-
kesatuannya yang pada umumnya terbagi menjadi tiga, yaitu : bentuk, frase, dan
motif. Bentuk adalah bagian melodi terbesar yang menjadi dasar pengulangan
bagi bentuk-bentuk berikutnya. Satu bentuk melodi biasanya terdiri dari dua frase
melodi atau lebih. Frase melodi merupakan rangkaian melodi yang terdiri dari
beberapa motif yang merupakan satu ide melodi yang utuh. Sedangkan motif
melodi merupakan bagian terkecil yang menjadi karakter pengulangan seluruh
komposisi. Formula melodi Hoho Siöligö adalah seperti berikut ini.
Frase 1 Frase 2
Motif A.1 Motif B.1 Motif A.2
Frase 3
Motif B.2 Motif A.3 Motif B.3
109
Frase 4
Motif C.3 Motif A.4 Motif B.4 Motif C.4
Frase 5
Motif D.4 Motif E.4 Motif F.4 Motif A.5
Frase 6
Motif B.5 Motif A.6 Motif B.6
Frase 7
Motif C.6 Motif D.6 Motif A.7
110
Frase 8
Motif B.7 Motif A.8 Motif B.8 Motif C.8
Frase 9
Motif D.8 Motif A.9
Frase 10 Frase
Motif B.9 Motif A.10 Motif B.10 Motif
Frase 11 Frase 12
A.11 Motif B.11 Motif C.11 Motif A.12
111
Frase 12
Motif B.12 Motif C.12
Selain kajian terhadap frase melodi dan motif yang termasuk dalam
formula melodi, penulis juga mengkaji tentang bentuk yang juga merupakan
bagian dari formula melodi. Bentuk dari Hoho Siöligö adalah call respons dan
counter frase (counter motif). Hal ini terlihat dari setiap frasa selalu mengalami
pengulangan yang berfungsi sebagai call dan motif nya juga berulang yang
berfungsi sebagai respons.
4.5.8 Kontur
Kontur adalah garis lintasan melodi yang terdapat pada sebuah komposisi
musik. Menurut Malm (1977:16), kontur dapat dideskripsikan dengan
menggunakan istilah ascending (menaik), descending (menurun), pendulous
(melengkung), terraced (berjenjang), statis (gerak melodi terbatas/datar), atau
dapat diperlihatkan dengan garis-garis dalam bentuk grafik.
Berkaitan dengan pendapat tersebut, penulis mendeskripsikan kontur
yang terdapat pada Hoho Siöligö dengan menggunakan istilah yang telah disebut
diatas. Dari hasil transkripsi musik Hoho Siöligö, penulis menyimpulkan bahwa
kontur nya adalah ascending, descending, statis, dan terraced.
112
4.6 Analisis Struktur Musik Hoho Fadolihia
Hoho Fadolihia
Transkripsi oleh : Mario Sinaga dan Metraikan Laoli
113
4.6.1 Tangga Nada
Langkah awal dalam menganalisa struktur sebuah komposisi musik
adalah dengan menentukan tangga nada nya. Tangga nada ini diperoleh dengan
mengurutkan nada-nada yang digunakan mulai dari nada terendah hingga nada
tertinggi. Melihat dari transkripsi Hoho Fadolihia, penulis mengurutkan nada-
nadanya mulai dari nada terendah hingga ke nada tertinggi, yaitu : C – E – A – B
– C’ – E’.
4.6.2 Nada Dasar
Dalam menentukan nada dasar yang dipakai pada Hoho Fadolihia,
penulis mengacu pada hasil rekaman yang penulis peroleh dari informan melalui
kerja lapangan. Melalui hasil rekaman yang penulis dengarkan tersebut dan
dibantu dengan alat musik keyboard penulis memperoleh hasil bahwa nada dasar
yang digunakan adalah nada C.
Selain itu, dari hasil penulisan musik dalam bentuk transkripsi serta
mengacu pada salah satu pendapat Nettl dalam bukunya Theory and Method in
Ethnomusicology (1984:164) yang mengatakan bahwa salah satu kriteria yang
digunakan untuk menentukan nada dasar suatu lagu yaitu dengan melihat nada
mana yang sering dipakai dalam sebuah komposisi musik. Mengacu pada
pendapat tersebut dan melihat dari transkripsi Hoho Fadolihia penulis
menemukan bahwa nada dasar yang dipakai adalah juga nada C.
114
4.6.3 Wilayah Nada
Wilayah nada adalah jarak antara nada yang terendah hingga nada yang
tertinggi yang terdapat dalam sebuah komposisi musik. Dalam komposisi musik
Hoho Fadolihia wilayah nada yang dapat dilihat adalah dari nada C sampai ke
nada E’.
4.6.4 Jumlah Nada
Jumlah nada merupakan banyaknya (frekuensi) pemakaian nada-nada
yang di dalam sebuah komposisi musik. Dalam komposisi musik Hoho Fadolihia
terdapat 6 nada yang digunakan yaitu nada C, E, A, B, C’, dan E’. Frekuensi
pemakaian keenam nada ini adalah sebagai berikut.
1. Nada C = 11
2. Nada E = 1
3. Nada A = 31
4. Nada B = 4
5. Nada C’ = 30
6. Nada E’ = 4
4.6.5 Interval
Interval adalah jarak antara satu nada dengan nada berikutnya yang
terdapat dalam sebuah komposisi musik. Interval-interval yang terdapat dalam
Hoho Fadolihia akan penulis jelaskan melalui tabel berikut ini.
115
Interval Posisi Jumlah Total 1P - 48 48
2M ↑ 4
4 ↓ -
2m ↑ 4
4 ↓ -
3M ↑ 1
2 ↓ 1
3m ↑ 5
10 ↓ 5
5P ↑ -
1 ↓ 1
6M ↑ 5
5 ↓ -
8P ↑ -
5 ↓ 5
4.6.6 Pola Kadensa
Pola kadensa adalah suatu rangkaian harmoni atau melodi sebagai
penutup pada akhir melodi atau di tengah kalimat, sehingga bisa menutup
sempurna melodi tersebut atau setengah menutup (sementara) melodi tersebut.
Berikut ini akan penulis tunjukkan pola kadensa yang terdapat pada Hoho
Fadolihia.
1.
2.
116
4.6.7 Formula Melodi
Formula melodi adalah susunan melodi berdasarkan kesatuan-
kesatuannya yang pada umumnya terbagi menjadi tiga, yaitu : bentuk, frase, dan
motif. Bentuk adalah bagian melodi terbesar yang menjadi dasar pengulangan
bagi bentuk-bentuk berikutnya. Satu bentuk melodi biasanya terdiri dari dua frase
melodi atau lebih. Frase melodi merupakan rangkaian melodi yang terdiri dari
beberapa motif yang merupakan satu ide melodi yang utuh. Sedangkan motif
melodi merupakan bagian terkecil yang menjadi karakter pengulangan seluruh
komposisi. Formula melodi Hoho Fadolihia adalah seperti berikut ini.
Frase 1 Frase 2
Motif A.1 Motif B.1 Motif A.2 Motif B.2
Frase 3 Frase 4
Motif A.3 Motif B.3 Motif A.4
117
Frase 5 Motif B.4 Motif A.5 Motif B.5
Frase 5 Motif C.5 Motif D.5
Selain kajian terhadap frase melodi dan motif yang termasuk dalam
formula melodi, penulis juga mengkaji tentang bentuk yang juga merupakan
bagian dari formula melodi. Bentuk dari Hoho Fadolihia adalah call respons. Hal
ini terlihat dari kelima frase yang ada, dimana motif pertama pada setiap frase
berfungsi sebagai call dan motif kedua pada setiap frase berfungsi sebagai
respons.
4.6.8 Kontur
Kontur adalah garis lintasan melodi yang terdapat pada sebuah komposisi
musik. Menurut Malm (1977:16), kontur dapat dideskripsikan dengan
menggunakan istilah ascending (menaik), descending (menurun), pendulous
118
(melengkung), terraced (berjenjang), statis (gerak melodi terbatas/datar), atau
dapat diperlihatkan dengan garis-garis dalam bentuk grafik.
Berkaitan dengan pendapat tersebut, penulis mendeskripsikan kontur
yang terdapat pada Hoho Fadolihia dengan menggunakan istilah yang telah
disebut diatas. Dari hasil transkripsi musik Hoho Fadolihia, penulis
menyimpulkan bahwa kontur keseluruhan Hoho Fadolihia adalah ascending,
descending, statis, dan terraced.
119
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pada bagian akhir ini, penulis akan memberikan kesimpulan terhadap
hasil penelitian serta analisa atas data yang telah diperoleh. Dalam penulisan
skripsi ini telah ditentukan bahwa yang menjadi pokok kajian nya adalah
mengenai makna teks dan struktur musik Hoho dalam Tari Faluaya yang
dipertunjukkan oleh Sanggar Fanayama di Kota Medan. Dari hasil kerja lapangan
serta kerja laboratorium yang dilakukan diperoleh beberapa kesimpulan seperti
berikut ini.
1. Hoho dalam Tari Faluaya merupakan salah satu dari beberapa Hoho lainnya
yang dimiliki oleh masyarakat Nias dan tidak terkecuali yang berada di Kota
Medan. Berdasarkan urutan penyajiannya, Hoho dalam Tari Faluaya terbagi
menjadi 5, yaitu : Hoho Fohuhugö, Hoho Hivfagö, Hoho Fu’alo, Hoho
Siöligö, dan Hoho Fadolihia. Setiap bagian Hoho ini terikat dengan gerakan
yang dilakukan pada saat penyajiannya. Artinya, masing-masing bagian Hoho
memiliki gerakannya tersendiri. Penyajian Hoho dalam pertunjukkan Tari
Faluaya disajikan oleh penari yang terbagi menjadi 2 kelompok yaitu :
Sondroro dan Sanoyohi.
2. Pada sisi analisis makna teks yang dikaji dengan menggunakan teori
semiotika, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan seperti berikut : (a)
Hoho Fohuhugö bermakna pertanyaan persetujuan yang bersifat call respons,
(b) Hoho Hivfagö bermakna penegasan yang bersifat call respons, (c) Hoho
120
Fu’alo bermakna cerita tentang kehebatan dan keperkasaan para prajurit
(penari) yang bersifat call respons serta counter frase, (d) Hoho Siöligö
bermakna ajakan untuk menjaga persatuan dan kebersamaan yang bersifat
call respons serta counter frase, (e) Hoho Fadolihia bermakna refleksi untuk
mengenang para leluhur dan untuk mempertahankan warisan leluhur yang
bersifat call respons serta counter frase.
3. Pada sisi analisis struktur musik yang dikaji dengan menggunakan
pendekatan teori weighted scale, penulis menyimpulkan bahwa struktur
musikal yang terdapat dalam setiap bagian Hoho Faluaya jika dikaji dengan
menggunakan 8 aspek dalam pendekatan teori weighted scale tidaklah sama.
Masing-masing bagian Hoho Faluaya memiliki strukturnya tersendiri yang
berbeda satu dengan yang lain. Aspek-aspek yang dikaji adalah tangga nada,
nada dasar, wilayah nada, interval, jumlah nada, pola kadensa, formula
melodi, serta kontur. Namun, secara keseluruhan Hoho Faluaya memiliki
gaya musikal yang sama dan khas yaitu bersifat call respons dan counter
frase (counter motif).
5.2 Saran
Dari keseluruhan hasil penelitian yang tertuang dalam skripsi ini serta
dilengkapi dengan kesimpulan diatas, penulis menyadari adanya kekurangan
dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis tidak menutup kemungkinan
atas saran serta koreksi untuk penyempurnaan kedepannya. Melalui penelitian ini,
penulis menyarankan beberapa hal yang berkaitan tentang Hoho dalam Tari
121
Faluaya. Sebagai masyarakat yang kaya akan kebudayaan dan tradisi musikal,
penulis berharap agar seluruh masyarakat Nias tetap menjaga dan
mempertahankan eksistensi Hoho sebagai nyanyian pengiring dalam pertunjukan
Tari Faluaya. Selain itu, tulisan ini juga diharapkan menjadi dokumentasi
kebudayaan musikal masyarakat Nias secara khusus Hoho Faluaya dan
memungkinkan untuk menjadi acuan dasar bagi penelitian selanjutnya baik
tentang Hoho Faluaya sendiri maupun tentang kajian lainnya yang berkaitan
tentan masyarakat Nias.
Hoho dalam Tari Faluaya bukanlah merupakan satu-satunya Hoho yang
terdapat pada masyarakat Nias. Oleh karena itu, penulis juga menyarankan adanya
penelitian oleh peneliti lainnya tentang Hoho secara keseluruhan maupun tentang
jenis Hoho lainnya diluar daripada Hoho yang disajikan dalam Tari Faluaya.
Penulis juga menyarankan agar seluruh masyarakat Nias termasuk di Kota Medan
untuk tetap menjaga keutuhan Hoho Faluaya baik dari segi tekstual maupun
musikalnya sehingga tidak mudah terkikis dan berubah oleh karena
perkembangan zaman.
122
DAFTAR PUSTAKA
Bachtiar, Harja W. 1990. Pengamatan sebagai Suatu Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia.
Burhan, Bungin. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. BPS. Kota Medan. 2014. Medan Dalam Angka. Medan: BPS Kota Medan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995, 2002. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Djelantik. 1990. Estetika, Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni
Pertunjukan Indonesia. Endaswara, Suwardi. 2006. Metode Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah
Mada Press. Hammerle, Johannes. 1999. Nidunö-dunö ba Nöri Onolalu. Gunung Sitoli:
Yayasan Pusaka Nias. Koentjaraningrat. 1981. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT.
Gramedia Indonesia. -----------. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Gramedia. -----------. 1981. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat. Malm, Wiliam P. 1977. Music Cultures of Pacific, Near East, and Asia.
Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall. Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Etnomusicology. New York : The Pree
Press. Pelly, Usman. 1994. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya
Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: LP3ES. Tafönaö, Augusman. 2012. Analisis Musik Vokal Pada Pertunjukan Maena
Ddalam Pesta Adat Falöwa (Perkawinan) Masyarakat Nias di Kota Medan. Skripsi Sarjana Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Takari, Muhammad dan Fadlin Muhammad Dja’far. 2014. Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-Ilmu Seni. Medan: USU Press.
Telaumbanua, Chical Teodali. 2012. Analisis Sinunö Pada Pertunjukan Fanari Ya’ahowu Dalam Kebudayaan Nias di Kota Gunungsitoli. Skripsi Sarjana Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Wiradnyana, Ketut. 2010. Legitimasi Kebudayaan Pada Budaya Nias, Paduan Penelitian Arkeologi dan Antropologi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Zai, Daniel. 2014. Analisis Struktur Musik dan Fungsi Keyboard Sebagai Musik Pengiring Tari Maena Pada Upacara Pesta Pernikahan Masyarakat Nias di Kota Medan. Skripsi Sarjana Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Zebua. F.A. Yana. 1987. Kebudayaan Tradisional Ono Niha (Nias). Gunung Sitoli: Tp.
Zebua, HS. 1995. Sastra dan Tata Bahasa Daerah Nias (Ono Niha). Gunung Sitoli: Depdikbud.
Zebua, S. 1984. Menyelusuri: Sejarah Kebudayaan Ono Niha Seri 1. Gunung Sitoli: Tp.
123
Internet : http://kbbi.web.id/masyarakat http://webdb.iu.edu http://kbbi.web.id/makna www.wikipedia.com
124
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Hubari Gulö S.Sn., M.Sn
Umur : 44 Tahun
Pekerjaan : - Dosen Departemen Etnomusikologi FIB USU
- Pengelola Sanggar Fanayama Medan
- Dosen dan Guru di berbagai Sekolah di Kota Medan
Alamat : Jl. Bunga Kenanga No. 16, Padang Bulan, Medan.
2. Nama : Dasa Manao S.Sn
Umur : 49 Tahun
Pekerjaan : PNS Dinas Pariwisata Nias Selatan
(Pendiri Sanggar Fanayama Medan)
Alamat : Jl. Sudirman Teluk Dalam Nias Selatan
3. Nama : Ariston Manao
Umur : 51 Tahun
Pekerjaan : Kepala Desa Bawomataluo
(Budayawan Nias)
Alamat : Desa Bawomataluo Nias Selatan
4. Nama : Michael C. Hura S.Sos
Umur : 25 Tahun
Pekerjaan : Supervisor di Bess Finance
(Anggota Sanggar Fanayama)
Alamat : Perumnas Simalingkar A, Medan
5. Nama : Pebriaman Maruao S.P
Umur : 25 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
(Anggota Sanggar Fanayama )
Alamat : Perumnas Simalingkar A, Medan