ANALISIS KONTEN PENAMAAN DUA SURAH
Transcript of ANALISIS KONTEN PENAMAAN DUA SURAH
ANALISIS KONTEN PENAMAAN DUA SURAH
AL-NISA AL-SHUGHRA DAN AL-NISA AL-KUBRA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh :
MHD. NAUVAL KURNIAWAN
NIM: 11140340000019
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2021 M/1442 H
ii
LEMBAR PERSETUJUAN BIMBINGAN
ANALISIS KONTEN PENAMAAN DUA SURAH
AL-NISA AL-SHUGHRA DAN AL-NISA AL-KUBRA Skripsi
Diajukan ke Fakultas Ushuluddin
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama Islam (S.Ag)
Oleh:
Mhd. Nauval Kurniawan
NIM: 11140340000019
Dosen Pembimbing:
Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, MA
NIP: 196908221997031002
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2021 M/1442 H
iii
PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH
Skripsi yang berjudul ANALISIS KONTEN PENAMAAN DUA
SURAH AL-NISA AL-SHUGHRA DAN AL-NISA AL-KUBRA telah
diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 13 Juli
2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu Al-
Qur‟an dan Tafsir.
Jakarta, 13 Juli 2021
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA Basyir Arif, MA
NIP. 197110031999032001 NIP. 199103032020121009
Anggota,
Penguji I Penguji II
Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, MA
NIP. 196908221997031002
iv
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Mhd. Nauval Kurniawan
NIM : 11140340000019
TTL : Medan, 30 November 1996
Jurusan/Prodi : Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir
Fakultas : Ushuluddin
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka, saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 13 Juli 2021
Mhd. Nauval Kurniawan
11140340000019
v
ABSTRAK
Mhd. Nauval Kurniawan, 11140340000019. “Analisis Konten
Penamaan Dua Surah al-Nisa al-Shughra dan al-Nisa al-Kubra.”
Skripsi Program Studi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir, Fakultas
Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2021 M/1442 H.
Skripsi ini membahas tentang analisis konten penamaan dua surah al-
Nisa al-Shughra dan al-Nisa al-Kubra. Sejauh ini belum banyak
penelitian yang dilakukan dalam tema ini. Melalui analisis kategorisasi
kata al-Nisa di dalam surah al-Nisa dan al-Thalaq, juga sejarah kedua
surah tersebut, maka, dapat diketahui dasar penamaan kedua surah ini
dan keterkaitan kedua surah tersebut.
Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan atau library research
dengan menelaah kata al-Nisa, juga sejarah kedua surah tersebut dari
berbagai argumentasi ulama untuk kemudian mendeskripsikan
penamaan kedua surah tersebut dengan menggunakan metode
deskriptif analitis. Sumber primernya adalah kitab al-Itqān Fī „Ulūm
al-Qur‟ān karya Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī dan buku Rekonstruksi Sejarah
al-Qur‟ān karya Taufik Adnan Amal serta data sekundernya meliputi
buku, jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa analisis konten penamaan dua
surah al-Nisa al-Shughra dan al-Nisa al-Kubra yaitu, Pertama,
mengetahui sejarah penamaan kedua surah tersebut. Kedua,
mengetahui isi kandungan yang berhubungan dengan perempuan
dalam kedua surah tersebut. Ketiga, keterkaitan konten melalui
berbagai tafsir para ulama.
Kata Kunci: Penamaan, Surah, al-Nisa al-Shughra, al-Nisa al-Kubra
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta‟ala
Tuhan Yang Maha Esa atas semua rahmat dan karunia yang
diberikanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan sebuah skripsi
yang berjudul “Analisis Konten Penamaan Dua Surah al-Nisa al-
Shughra dan al-Nisa al-Kubra.” Shalawat dan salam senantiasa
terkirim kepada baginda Rasulullah Muhammad Shallallahu „alaihi wa
Sallam yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman
yang penuh dengan ilmu pengetahuan sebagaimana zaman sekarang.
Dalam kesempatan kali ini penulis mengucapkan rasa terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, MA., selaku
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membina dan
memimpin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang menjadi tempat
bagi penulis untuk memperoleh ilmu baik dari segi akademik
maupun non-akademik.
2. Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membina penulis
selama kuliah.
3. Dr. Eva Nugraha, M. Ag dan Fahrizal Mahdi, Lc, MIRKH
selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Al-Qur‟an dan
Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan
petunjuk dan arahannya serta menjadi wadah konsultasi selama
kuliah.
vii
4. Kusmana M.A., Ph.D., selaku dosen pembimbing akademik yang
telah memberikan banyak arahan dan motivasi serta semangat
kepada penulis selama masa-masa kuliah.
5. Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, MA., selaku dosen pembimbing
skripsi yang telah memberikan banyak masukan, arahan, koreksi,
dan pengetahuan yang baru dalam penyusunan skripsi ini serta
membimbing penulis sampai pada tahap penyelesaian skripsi.
6. Para dosen, karyawan dan karyawati serta staff Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan ilmu dan segala bantuannya baik secara langsung
maupun tidak langsung kepada penulis selama kuliah.
7. Kepala Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan
Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menyiapkan
berbagai literatur dan memberikan kemudahan untuk
memanfaatkan perpustakaan secara maksimal demi penyelesaian
skripsi ini.
8. Kedua orangtua saya, Ayahanda Khaidir dan Ibunda Leni
Noviyanti tercinta yang dengan penuh cinta dan kasih sayang
serta kesabaran dalam membesarkan, mendidik dan selalu
mendoakan keberhasilan dan kebahagian anaknya yaitu saya.
9. Kakak, adik-adik, dan abang ipar tercinta, Windi Yantika,
Cantika Maharani, Syakila Anjani, dan Amri Irwansyah
Sitanggang yang telah memberikan semangat, motivasi dan doa
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
10. Syah Ghina Rahmi Lubis, S.H., yang telah banyak memotivasi,
mendukung, menyemangati dan membantu dalam proses
pengerjaan hingga penyelesaian skripsi ini.
viii
11. Sahabat-sahabat seperjuangan, Afifuddin Nur Yusuf, S.Pd.,
Faisal Tanjung, S.H., Zaitul Rahman, S.Ag., Iman Teguh
Santoso, S.H., yang selama ini telah bersama menjalani
kehidupan di kost, selalu ada saat senang dan susah dan telah
memberikan semangat, motivasi dan doa sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
12. Seluruh teman-teman seperjuangan Program Studi Ilmu Al-Qur‟an
dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2014 yang
telah bersama dalam suka dan duka selama kuliah dan telah
memberikan semangat, motivasi dan doa sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
13. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
yang telah banyak memberikan semangat, motivasi dan doa
kepada penulis selama masa perkuliahan sampai penulis
menyelesaikan skripsi ini.
Pada akhirnya, hanya kepada Allah SWT penulis pasrahkan
segalanya, semoga semua pihak yang turut membantu penulis selama
ini hingga skripsi ini telah selesai, semuanya diberikan rezeki
kesehatan dan kemudahan rezeki harta serta semoga skripsi ini
bermanfaat bagi seluruh kalangan khususnya bagi penulis sendiri.
Jakarta, 13 Juli 2021
Penulis
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi
ini berpedoman pada hasil keputusan bersama (SKB) Menteri Agama
dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor: 158 Tahun 1987
dan Nomor: 0543b/U/1987.
1. Konsonan
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara
latin:
Huruf
Arab
Nama Huruf Latin Nama
Alif Tidak dilambangkan Tidak ا
dilambangkan
Ba b Be ب
Ta t Te ت
Ṡa ṡ Es (dengan titik di ث
atas)
Jim j Je ج
Ḥa ḥ Ha (dengan titik di ح
bawah)
Kha kh ka dan ha خ
Dal d De د
Żal ż Zet (dengan titik ذ
di atas)
Ra r Er ر
Zai z Zet ز
Sin s Es س
Syin sy es dan ye ش
Ṣad ṣ es (dengan titik di ص
x
bawah)
Ḍad ḍ de (dengan titik di ض
bawah)
Ṭa ṭ te (dengan titik di ط
bawah)
Ẓa ẓ zet dengan titik di ظ
bawah)
ain „ koma terbalik (di„ ع
atas)
Gain g Ge غ
Fa f Ef ؼ
Qaf q Ki ؽ
Kaf k Ka ؾ
Lam l El ؿ
Mim m Em ـ
Nun n En ف
Wau w We و
Ha h Ha هػ
Hamzah ' Apostrof ء
Ya y Ye ي
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri
dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau
diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah
sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fathah a A
Kasrah i I
xi
Dhammah u U
Adapun untuk vocal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah
sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fathah dan ي
ya
ai a dan i
Fathah dan و
wau
au a dan u
Contoh:
kaifa- ك ي ك
haula - ك ي ك
3. Vokal Panjang/ Maddah
Ketentuan alih aksara vocal panjang (maddah), yang dalam bahasa
Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Harakat
dan huruf
Nama Huruf dan
tanda
Nama
ا... ي Fathah dan
alif atau ya
ā a dan garis di
atas
Kasrah dan
ya
ī I dan garis di
atas
Dhammah ػ
dan wau
ū u dan garis di
atas
Contoh:
qāla - ك ك
مكى ramā – رك
xii
4. Ta‟ Marbūṭah, Transliterasi untuk Ta‟ Marbūṭah ada dua:
a. Ta‟ Marbūṭah hidup
Ta‟ Marbūṭah yang hidup atau mendapat harakat fathah,
kasrah, dan ḍommah, transliterasinya adalah “t”.
b. Ta‟ Marbūṭah mati
Ta‟ Marbūṭah yang mati atau mendapat harakat sukun,
transliterasinya adalah “h”.
c. Kalau pada kata terkahir dengan Ta‟ Marbūṭah diikuti oleh
kata yang menggunakan kata sandang al serta bacaan kedua
kata itu terpisah maka Ta‟ Marbūṭah itu ditransliterasikan
dengan ha (h).
No Kata Arab Alih Aksara
rauḍah al-aṭfāl رو اا ؿ 1
ي اا 2 al-madīnah al-fāḍilah اا
al-ḥikmah اا 3
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam system tulisan Arab
dilambangkan dengan sebuah tanda ( ) dalam alih aksara ini
dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf
yang diberi tanda syaddah itu.
Contoh:
بنك rabbanā - رك
nazzala - ك ك
al-birr - الب ر
al-ḥajj – الك ج
xiii
Jika huruf ى ber-tasydid di akhir sebuah kata dan didahului
oleh huruf kasrah ( ـػػػػػػػػػػػػػػػ ػ ), maka ia ditransliterasi seperti huruf
maddah (ī). Contoh:
ىـ : „Alī (bukan „Aliyy atau „Aly)
Arabī (bukan „Arabiyy atau „Araby)„ : ى
6. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan
dengan huruf, yaitu اؿ. Dalam pedoman transliterasi ini, kata
sandang ditransliterasi seperti biasa, al-, baik ketika dia diikuti oleh
huruf syamsiyah maupun huruf qamariah. Kata sandang tidak
mengikuti bunyi huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang
ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan dihubungkan
dengan garis mendatar (-), Contohnya:
al-rajulu - اا ر
al-sayyidu - االر
al-syamsu - االر
al-qalamu - اال
al-badĭ‟u - أا
al-jalālu- اا ؿ
7. Hamzah
Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (') hanya
berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata.
Namun, bila hamzah terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan,
karena dalam tulisan Arab ia berupa alif. Contohnya:
ta'murūna : وف
'al-nau : اايػر ء
: syai'un
xiv
umirtu : أ ت
8. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa
Indonesia
Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata,
istilah atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa
Indonesia. Kata, istilah atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi
bagian dari pembendaharaan bahasa Indonesia, atau sudah sering
ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia, tidak lagi ditulis menurut
cara transliterasi di atas. Misalnya kata Al-Qur‟ān (dari al-
Qur'ān), sunnah, khusus, dan umum. Namun bila kata-kata
tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka
mereka harus ditransliterasi secara utuh.
Contoh:
Kata Arab Alih Aksara
Fī Ẓilāl al-Qur'ān ف ظ ؿ اال آف
Al-Sunnah qabl al-tadwīn االير قػ اات و ن
ااع رة بع ـ اا ظ لا بص ص االر ب
Al-„ibārāt bi „umūm al-lafẓ lā
bi khuṣūṣ al-sabab
9. Lafẓ al-jalālah (الله) Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf
lainnya atau berkedudukan sebagai mudāf ilaih (frasa nominal),
transliterasi tanpa huruf hamzah. Contoh:
dīnullāh : د ن الله
billāh : الله
Adapun tamarbūṭah di akhir kata yang disandarkan kepada lafẓ al-
jalālah, ditransliterasi dengan huruf (t). Contoh :
hum fī rahmatillāh :ه ف رح الله
xv
10. Huruf Kapital
Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf capital (All
Caps), dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai
ketentuan tentang penggunaan huruf kapital berdasarkan pedoman
ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku (EYD). Huruf kapital,
misalnya, digunakan untuk menulis huruf awal nama dari (orang,
tempat, bulan) dan huruf pertama pada permulaan kalimat. Bila
nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka yang ditulis
dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan
huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal kalimat, maka
huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital
(Al-). Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari
judul referensi yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia
ditulis dalam teks maupun dalam catatan rujukan (CK,DP,CDK,
dan DR). Contoh:
Kata Arab Alih aksara
Wa mā Muḥammadun illā- و ر إلار ر ؿ
rasūl
إفر أورؿ بػ ت و ا ير س ا رذي ب ر ر
-Inna awwala baitin wuḍi‟a
linnāsi bi Bakkata mubārakan
Syahru Ramaḍān al-lażī unzila- ر ف ااذري أ ؿ اال آف
fīh al-Qur‟ān
اا ن االط Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī- ص ػ
Abū Naṣr al-Farābī- أبػ ص اا اا
Al-Gazālī- اال اا
يلذ ن اا لاؿ Al-Munqiż min al-Ḍalāl- اا
xvi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL (COVER)............................................................i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................ii
PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH....................................iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA..........................iv
ABSTRAK............................................................................................v
KATA PENGANTAR.........................................................................vi
PEDOMAN TRANSLITERASI........................................................ix
DAFTAR ISI......................................................................................xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah........................................................1
B. Identifikasi Masalah..............................................................3
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah....................................4
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian.............................................4
E. Tinjauan Kepustakaan..........................................................5
F. Metodologi Penelitian..........................................................10
G. Sistematika Penulisan..........................................................12
BAB II KAJIAN TEORITIS PENAMAAN SURAH
A. Makna dan Fungsi Penamaan..............................................14
B. Definisi Surah......................................................................16
C. Ketentuan dalam Pemberian Nama Surah...........................24
D. Pendapat Ulama tentang Nama Surah antara Ijtihadi
dan Tauqifi...........................................................................25
E. Fungsi Penamaan Surah.......................................................28
xvii
BAB III TELAAH AYAT-AYAT PADA SURAH AL-NISA
DAN AL-THALAQ
A. Arti Kata al-Nisa dan Kategorisasinya di Surah al-Nisa
dan al-Thalaq.......................................................................30
B. Arti Kata al-Thalaq dan Kategorisasinya
di Surah al-Thalaq...............................................................45
C. Arti Kata al-Kubra dan al-Shughra.....................................49
BAB IV ANALISIS KONTEN TERHADAP SURAH
AL-THALAQ DAN AL-NISA
A. Perbandingan Posisi Surah al-Nisa dan al-Thalaq
dalam Mushaf dan Tanzil.....................................................51
B. Perbandingan Pembukaan Surah al-Nisa dan al-Thalaq.....53
C. Perbandingan Akhir Surah al-Nisa dan al-Thalaq..............60
D. Pemetaan Kandungan Surah al-Nisa dan al-Thalaq............64
E. Analisa Penulis....................................................................74
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan..........................................................................77
B. Saran....................................................................................77
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................78
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur‟ān adalah mukjizat dari Allah yang diberikan kepada
Nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk bagi seluruh umat
manusia. Al-Qur‟ān yang diyakini kebenarannya memiliki bagian-
bagian yang disebut dengan surah. Terkait dengan penamaan surah
di dalam al-Qur‟ān, beberapa ulama berbeda pendapat. Sebagian
mengatakan penamaan surah diberikan oleh Rasulullah, seperti
yang dikatakan Imam Ibn Jarir al-Tabari (w. 310 H). “Semua
surah-surah dalam al-Qur‟ān mempunyai nama yang diberikan
oleh Rasulullah.” Karena menurut beliau, nama-nama surah
beserta urutan-urutan surah dan ayat di dalam al-Qur‟ān telah
ditentukan oleh Rasulullah SAW atas bimbingan malaikat jibril.1
Sebagian ulama lain seperti ulama Saudi Arabia yang terhimpun
dalam Fatwa Lajnah Daimah (Lembaga Fatwa Ulama) berbeda
pandangan. Mereka berpendapat bahwa ada sebagian nama-nama
surah yang itu adalah hasil dari ijtihad para sahabat. Berikut
fatwanya, “Kami tidak mengetahui adanya dalil dari Rasulullah
yang menunjukkan bahwa beliau memberi nama beberapa surah
dari Rasulullah, seperti al-Baqarah atau Ali Imran, sementara
nama-nama surah lainnya itu lebih dekat dari para sahabat.”2
Dalam hal ini, penulis menemukan di dalam buku al-Itqān
Fī „Ulūm al-Qur‟ān, surah al-Thalaq dinamai dengan al-Nisa al-
1Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Jami al-bayan fi al-Ta‟wil al-Qur‟an,
Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir (Beirut: Muassah al-Risalah, 2000), cet. 1,
jilid 1, h. 100. 2Lihat Fatwa al-Lajnah al-Daimah lilbuhus al-Ilmiah, jilid 4, h. 16.
2
Quṣra. Menurut Ibnu Mas‟ud surah al-Thalaq dinamakan dengan
surah al-Quṣra dan ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Namun,
ad-Dawudi mengingkari hal tersebut dan ia berkata saya tidak
melihat bahwa kata al-Quṣra itu terpelihara (dalam
periwayatannya), dan dikatakan di dalam surah dari al-Qur‟ān itu:
Quṣra dan tidak pula Shughra. Ibnu Hajar mengatakan ini adalah
penolakan terhadap hadis-hadis yang tsabitah, tanpa ada
sandarannya, karena pendek dan panjang itu perkara yang relatif.
Imam Suyuti berpendapat: anda boleh bertanya dan berkata,
“Ada surah-surah yang di dalamnya terdapat kisah-kisah para
Nabi, kemudian surah-surah itu dinamai dengan nama mereka,
seperti surah Nuh, surah Hud, surah Ibrahim, surah Yunus, surah
Ali Imran, surah Yaasiin, surah Sulaiman, surah Yusuf, surah
Muhammad, surah Maryam, surah Luqman, dan surah al-Mukmin.
Demikian juga kisah beberapa kaum, seperti surah Bani Israil,
surah Ashabul Kahfi, surah al-Hijr, surah Saba‟, surah Fatir, surah
al-Jin, surah al-Munafiqun dan surah al-Muthaffifin. Akan tetapi,
bersamaan dengan ini semua, mengapa tidak ada satu surah pun
surah yang diberi nama dengan surah Musa, padahal banyak
disebutkan di dalam al-Qur‟ān, sampai ada sebagian ulama
mengatakan bahwa hampir saja al-Qur‟ān seluruhnya
menyebutkan nama Musa, dan surah yang paling utama untuk
diberi nama dengan surah Musa adalah surah Thaha atau surah al-
3
Qasas atau surah al-A‟raf, karna uraian kisahnya yang panjang
dalam tiga surah tersebut yang tidak ada pada surah lainnya.3
Dengan demikian, permasalahannya adalah jika surah al-
Thalaq dinamai dengan surah al-Nisa al-Shughra karena bercerita
tentang wanita lebih sedikit ketimbang surah al-Nisa, dan surah
al-Nisa disebut dengan surah al-Nisa al-Kubra karena lebih
banyak menyebut tentang hukum-hukum wanita, tapi mengapa
alasan itu dapat diterima, jika penamaan suatu surah melihat pada
faktor-faktor yang langka atau dianggap unik baik itu perilaku atau
sifat atau berbicara lebih banyak atau lebih dahulu, mengapa tidak
ada satu surah penamaan pun surah Musa sebagaimana yang
disampaikan oleh Suyuti padahal di dalam al-Qur‟ān banyak
berbicara tentang Musa. Lantas bagaimana telaah dan dasar
penamaan surah al-Nisa al-Shughra dan al-Nisa al-Kubra.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis merasa
penting untuk meneliti dan mengkaji serta membahas lebih dalam
tentang hal ini yang akan penulis paparkan dalam sebuah
penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Konten Penamaan
Dua Surah al-Nisa al-Shughra dan al-Nisa al-Kubra.”
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas, penulis menemukan pembahasan
penamaan surah yaitu nama lain dari surah al-Thalaq yang disebut
dengan surah al-Nisa al-Shughra dan nama lain dari surah al-Nisa
yaitu surah al-Nisa al-Kubra. Untuk lebih memperjelas alur
3Al-Suyuti, al-Itqān Fī „Ulūm al-Qur‟ān, (Surakarta: Indiva Pustaka,
2008), jilid 1, h. 237.
4
penelitian ini, maka penulis mengidentifikasi beberapa masalah
yaitu mengenai penamaan al-Nisa al-Kubra dan al-Nisa al-
Shughra termasuk tauqifi atau ijtihadi, alasan penamaan dua surah
al-Nisa al-Kubra dan al-Nisa al-Shughra, korelasi antara dua
surah tersebut, jumlah ayat tentang wanita disurah al-Nisa, jumlah
ayat tentang wanita disurah al-Thalaq, dan keadaan sosial saat
turun ayat-ayat tentang wanita dalam surah al-Nisa dan al-Thalaq.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Setelah penulis mengidentifikasi masalah yang telah
dipaparkan sebelumnya, maka, dalam penelitian ini, penulis
membatasi hanya pada penamaan al-Nisa al-Shughra dan al-Nisa
al-Kubra dan kandungannya serta mengungkap keterhubungan isi
dari kedua surah tersebut, dengan alasan supaya pembahasannya
lebih terarah dan tidak lari dari permasalahan. Maka, pembahasan
ini penulis batasi hanya pada analisis penamaan dua surah al-Nisa
al-Shughra dan al-Nisa al-Kubra dengan meninjau ayat-ayat yang
berkaitan dengan wanita di dalam kedua surah tersebut.
Berdasarkan dari pembatasan di atas, maka penulis
merumuskan masalah yaitu bagaimana dasar penamaan kedua
surah dengan al-Nisa al-Shughra dan al-Nisa al-Kubra?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk
mengetahui dasar penamaan surah al-Nisa al-Shughra dan al-Nisa
al-Kubra dan keterkaitan penamaan kedua surah tersebut, serta
tujuan penelitian dan tujuan akademis yaitu memenuhi salah satu
5
syarat untuk menyelesaikan studi Ilmu al-Qur‟ān dan Tafsir di
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Adapun manfaat penulisan ini adalah:
1. Hasil penelitian ini diharapkan memberi kontribusi
pemahaman mengenai dasar penamaan surah al-Nisa al-
Shughra dan al-Nisa al-Kubra dan keterkaitan penamaan
kedua surah tersebut, dengan harapan dapat dikembangkan
dan dijadikan acuan untuk lebih mengetahui kemulian wanita
di dalam al-Qur‟ān.
2. Diharapkan menjadi kepentingan akademis sebagai penambah
informasi dan khazanah kajian Qur‟ani.
E. Tinjauan Kepustakaan
Tinjauan pustaka ini ditujukan untuk memberikan kejelasan
dan batasan pemahaman juga sebagai kebutuhan ilmiah dengan
memberikan informasi melalui khazanah pustaka, terutama yang
berkaitan dengan tema yang dibahas.
Pembahasan ini penulis anggap menarik karena kajian
tentang surah dalam Ulum al-Qur‟ān lebih banyak
memperdebatkan urutan juga pengelompokan surah makkiyah
madaniyah. Padahal menurut penulis, penamaan surah juga hal
penting yang harus diperhatikan dalam pembahasan surah. Untuk
menghindari terjadinya kesamaan dalam pembahasan pada skripsi
ini, maka berikut penulis paparkan beberapa penelitian terdahulu
yang penulis anggap berkaitan dengan penulisan ini, diantaranya
adalah:
6
1. Taufik Adnan Amal dalam bukunya yang berjudul
“Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an.”4 Dalam buku ini terdapat
sedikit pembahasan mengenai informasi penamaan surah dalam
al-Qur‟ān, meskipun tidak terdapat kepastian pendapat yang
jelas diambil oleh beliau, namun, secara implisit menjelaskan
bahwa penamaan surah dalam al-Qur‟ān bukanlah tauqifi,
namun disebabkan adanya kebutuhan saat al-Qur‟ān tersebut
dikumpulkan. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa tidak terdapat
sejarah yang jelas dan pasti yang berhubungan dengan
penamaan surah dalam al-Qur‟ān.
2. Siti Hazrotun Halaliyatul Muharromah mahasiswa Magister
Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Pascasarjana Institut Ilmu Al-Qur‟an
(IIQ) Jakarta dalam tesisnya yang berjudul “Perdebatan dalam
Penamaan Sûrah al-Qur‟an (Studi Analisis Pemikiran Imam
Jalȃluddîn „Abdurrahmȃn as-Suyûthi)”5 ia menulis bahwa
penamaan surah menurut Imȃm as-Suyûthî adalah sebagian
tauqifi dan sebagian ijtihadi. Sebab tidak semua nama surah
memiliki riwayat yang jelas. Kebijakan Imȃm as-Suyûthi untuk
tidak mengungkapkan semua hadis dan atsar terkait penamaan
surah al-Qur‟ān bukanlah untuk menghindari panjang lebar
dalam pembahasan, melainkan karena memang tidak semua
nama surah memiliki dasar riwayat. Terlihat Imȃm as-Suyûthi
inkonsisten baik dari segi konsep dan pengaplikasiannya.
4Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an, (Jakarta:
Yayasan Abad Demokrasi, 2011). 5Siti Hazrotun Halaliyatul Muharromah, Perdebatan dalam Penamaan
Sûrah al-Qur‟an (Studi Analisis Pemikiran Imam Jalȃluddîn „Abdurrahmȃn as-
Suyûthi), Tesis Magister Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Pascasarjana Institut Ilmu
Al-Qur‟an (IIQ), Jakarta, 2020.
7
3. Sahroni mahasiswa Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam skripsinya
yang berjudul “Analisis al-Suyūṭī terhadap Nama Surah-surah
dalam al-Qur‟ān”6 ini mencoba mengungkapkan argumentasi
Suyuti terhadap pengklasifikasian penamaan surah. Disini
dijelaskan ada dua bagian, yang pertama sebagian penamaan
surah di dalam al-Qur‟ān adalah berdasarkan riwayah hadis dan
yang kedua, sebagian penamaan surah di dalam al-Qur‟ān tidak
berdasarkan riwayah hadis. Oleh karena itu, argumen Suyuti
mengenai penamaan surah di dalam al-Qur‟ān adalah tauqifi
perlu adanya peninjauan ulang. Adapun analisis penulis
terhadap pengklasifikasian penamaan surah di dalam al-Qur‟ān
dibagi menjadi tiga bagian, diantaranya pertama, berdasarkan
beberapa riwayah, kedua, penamaan surah berdasarkan alasan
dan ketiga, tanpa alasan.
4. Neng Ayu Qonitatul Hamro mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam
skripsinya yang berjudul “Argumentasi Penamaan Surat al-
Qur‟ān (Analisis Penamaan Surat ke 112 dengan Kata “al-
IkhlāṢ”)”7, skripsi ini dimulai dengan melacak nama-nama
surat dalam al-Qur‟ān yang penamaannya tidak diambil
berdasarkan kata dalam ayat-ayatnya. Lalu, kemudian dalam
penelitian ini penulis memilih lebih memfokuskan analisis pada
6Sahroni, Analisis al-Suyuti terhadap Nama Surah-surah dalam al-
Qur‟ān, Skripsi Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2019. 7Neng Ayu Qonitatul Hamro, Argumentasi Penamaan Surat al-Qur‟ān
(Analisis Penamaan Surat ke 112 dengan Kata “al-IkhlāṢ”), Skripsi Jurusan
Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2016.
8
penamaan surat al-Ikhlas sesuai dengan asumsi awal bahwa
dalam surat ini tidak ada kata Ikhlāṣ itu sendiri. Kemudian,
terdapat argumentasi para ulama‟ mengenai alasan mengapa
surat ke-112 dalam al-Qur‟ān dinamai dengan al-Ikhlāṣ
meskipun dalam ayat-ayatnya tidak ada kata Ikhlāṣ adalah
karena isi kandungan dari surat tersebut yang menjelaskan
tentang Dzat Yang Maha Suci dan keharusan-Nya menyandang
puncak semua sifat sempurna, serta menghindarkan dari-Nya
semua sifat kekurangan.
5. Subaeda mahasiswa Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas
Ushuluddin UIN Alauddin Makassar dalam skripsinya yang
berjudul “Kedudukan Perempuan dalam al-Qur‟an”8 salah satu
bahasan yaitu analisis tekstual terhadap Q.S al-Nisa/4:124
dijelaskan bagaimana sejarah turunnya surah al-Nisa dan yang
menarik juga terdapat kalimat yang mengatakan bahwa surah
al-Nisa dikenal juga dengan nama al-Nisa al-Kubra atau al-
Nisa Thula karena surah al-Thalaq dikenal sebagai surah al-
Nisa al-Shughra. Di skripsi ini juga memaparkan kandungan
surah al-Nisa, dan bagaimana konsep dzakar dan unsa dalam
surah al-Nisa.
6. Ansharuddin M dalam jurnalnya yang berjudul “Sistematika
Susunan Surah di dalam al-Qur‟an: Telaah Historis”9 ia
menulis bahwa setiap surah dalam al-Qur‟ān memiliki nama
tersendiri yang ditetapkan oleh Rasulullah Saw. secara tauqifi.
8Subaeda, Kedudukan Perempuan dalam al-Qur‟an, Skripsi Jurusan
Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Alauddin, Makassar, 2019. 9Ansharuddin M, “Sistematika Susunan Surah di dalam al-Qur‟an:
Telaah Historis”, Cendikia: Jurnal Studi Keislaman, II, 2, (Desember, 2016).
9
Ini diketahui berdasarkan keterangan yang terdapat dalam
beberapa buah hadis dan riwayat. Pada umumnya surah-surah
al-Qur‟ān ini mempunyai satu nama saja, akan tetapi ada pula
beberapa surah yang mempunyai dua buah nama atau lebih.
Kata-kata yang dipakai untuk menjadi nama surah-surah
tersebut antara lain diambil dari luar surah, nama surah diambil
dari tema yang sedang dibicarakan dalam surah tersebut dan
diambil dari salah satu kata yang terdapat pada ayat di dalam
surat yang bersangkutan.
7. Farhat Aziz dalam jurnalnya yang berjudul “Structure of Holy
Qur‟an”10
ia membahas secara detail mengenai kata, ayat,
surah, golongan surah dimulai dari surah al-Fatihah sampai
dengan surah al-Nas.
8. Isti‟anah Abubakar dalam jurnalnya yang berjudul “Filosofi
Wanita: Sebuah Inspirasi dari Surah al-Nisa”11
dalam jurnalnya
ia menulis bahwa setidaknya ada 5 surah yang menjadikan
wanita sebagai tema pokoknya, yaitu Q.S. al-Nisa, Maryam, al-
Mujadilah, al-Mumtahanah dan al-Thalaq. Kelimanya
memberikan panduan terhadap wanita. Surah al-Nisa dengan
176 ayat menjelaskan posisi wanita di semua aspeknya, baik
sebagai pribadi, keluarga dan masyarakat serta hubungannya
dengan Rabbnya. Adapun surah Maryam memberikan pedoman
terkait perilaku idealnya wanita yang terinspirasi dari wanita
10Farhat Aziz, “Structure of Holy Qur‟an”, Journal of Islamic Studies
and Culture, I, 1, (Juni, 2013). 11Isti‟anah Abubakar, “Filosofi Wanita: Sebuah Inspirasi dari Surah al-
Nisa”, Egalita: Jurnal Kesetaraan dan Keadilan Gender, XIII, 1, (2018).
10
sebelum datangnya Islam. Adapun ketiga surah lainnya lebih
menekankan pada posisi wanita dalam keluarga.
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini fokusnya menjelaskan riwayah penamaan
dan hubungan surah al-Nisa al-Kubra dan al-Nisa al-
Shughra. Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan atau
library research dengan pendekatan kualitatif dan deskriptif
analitis, karena data yang diambil atau yang diteliti adalah
naskah tulisan dan buku yang diambil dari khasanah
kepustakaan. Untuk itu data yang akan diambil sepenuhnya
berasal dari kepustakaan atau buku-buku.
2. Sumber data
a. Sumber data primer
Sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian
ini adalah kitab al-Itqān Fī „Ulūm al-Qur‟ān karya Jalāl
al-Dīn al-Suyūṭī dan buku Rekonstruksi Sejarah al-
Qur‟ān karya Taufik Adnan Amal.
b. Sumber data sekunder
Sumber datanya adalah buku-buku atau artikel-artikel
yang dapat menunjang dalam pembahasan serta lebih
mempertajam penganalisaannya. Adapun yang menjadi
sumber data sekundernya adalah buku-buku yang
berkaitan dengan pokok bahasan yang ada.
11
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
adalah dengan menggunakan teknis analisis isi buku (content
analysis). Tentunya cara ini dengan mencari dan mengkaji
buku-buku serta literatur yang berkaitan dengan permasalahan
yang dibahas. Dan studi perpustakaan lainnya yang berkaitan
dengan skripsi ini.
4. Teknik Analisa Data
Berikut ini adalah langkah-langkah dan teknik yang
digunakan penulis dalam menganalisis data:
a. Data dari sumber tertulis baik sumber primer maupun
sekunder yang terkait topik penelitian dikumpulkan untuk
kemudian diseleksi sesuai kerangka berfikir atau fokus
penelitian.
b. Data yang telah diseleksi kemudian disusun sesuai
dengan alur pikir penulis sehingga terurut dan terhubung
dengan baik.
c. Data yang telah terkumpul kemudian ditafsir dan
dianalisis sesuai tujuan penelitian.
5. Teknik Penulisan
Penulisan skripsi ini menggunakan pedoman skripsi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2016 dan seluruh
terjemahan ayat al-Qur‟ān, penulis berpedoman berdasarkan
Al-Qur‟an dan Terjemahannya yang disusun oleh Departemen
12
Agama RI.12
Sementara itu untuk memudahkan, beberapa
nama dan istilah tidak ditulis berdasarkan pedoman bahasa
Arab seperti al-Syafi‟i menjadi as-Syafi‟i.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan hasil penelitian yang maksimal, maka
pembahasan dipetakan secara urut dan sistematis. Penulis
membagi pokok pembahasan skripsi ini kedalam 5 (lima) bab
dengan masing-masing sub bab sebagai penjelasannya. Adapun
perinciannya adalah sebagai berikut:
Bab pertama, berisi pendahuluan yang bertujuan untuk
menjelaskan tulisan ini secara umum. Dalam bab ini terdapat latar
belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
kepustakaan, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua, berisi kajian teoritis penamaan surah. Setelah
penjelasan tulisan secara umum pada bab pertama, maka dalam
bab ini dilanjutkan tentang penjelasan penamaan surah secara
umum dan argumentasi ulama tentang riwayat penamaan surah
antara ijtihadi dan tauqifi yang bertujuan untuk mengetahui
gambaran penamaan surah, yaitu makna dan fungsi penamaan,
definisi surah, ketentuan dalam pemberian nama surah, pendapat
ulama tentang nama surah antara ijtihadi dan tauqifi, dan fungsi
penamaan surah.
12Kementerian Agama, Al-Qur‟ān dan Terjemahannya, (Bandung:
Syaamil Qur‟an, 2010).
13
Bab ketiga, menjelaskan tentang telaah ayat-ayat pada surah
al-Nisa dan al-Thalaq. Setelah ada penjelasan penamaan surah
secara umum pada bab kedua, maka dalam bab ini dilanjutkan
pembahasan yang lebih khusus yaitu menelaah ayat-ayat pada
surah al-Nisa dan al-Thalaq, juga menjelaskan riwayat penamaan
kedua surah tersebut yang bertujuan untuk menguraikan segala
sesuatu yang berhubungan dengan ayat-ayat pada kedua surah
tersebut, yaitu arti kata al-Nisa dan kategorisasinya di surah al-
Nisa dan al-Thalaq, arti kata al-Thalaq dan kategorisasinya di
surah al-Thalaq, dan arti kata al-Kubra dan al-Shughra.
Bab keempat, menjelaskan tentang analisis konten terhadap
surah al-Thalaq dan al-Nisa. Setelah menelaah kedua surah
tersebut pada bab ketiga, maka dalam bab ini penulis mengupas
dan menganalisis tentang kedua surah tersebut yang bertujuan
untuk mengetahui inti pembahasan skripsi ini, seperti
perbandingan posisi surah al-Nisa dan al-Thalaq dalam mushaf
dan tanzil, perbandingan pembukaan surah al-Nisa dan al-Thalaq,
perbandingan akhir surah al-Nisa dan al-Thalaq, pemetaan
kandungan surah al-Nisa dan al-Thalaq, dan analisa penulis.
Bab kelima, berisi kesimpulan dan saran yang bertujuan
untuk memberikan kesimpulan yang merupakan jawaban dari
batasan dan rumusan masalah pada bab pertama dan untuk
menjadi rekomendasi bagi para peneliti selanjutnya.
14
BAB II
KAJIAN TEORITIS PENAMAAN SURAH
A. Makna dan Fungsi Penamaan
Penamaan adalah proses perlambangan suatu konsep untuk
mengacu kepada suatu referen yang berada di luar bahasa.
Referen adalah benda atau orang tertentu yang diacu oleh kata
atau untaian kata dalam kalimat atau konteks tertentu. Penamaan
atau pemberian nama adalah soal konvensi atau perjanjian belaka
di antara sesama anggota suatu masyarakat bahasa (Aristoteles).
Dalam pembicaraan mengenai hakikat bahasa ada dikatakan
bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang bersifat arbiter.
Maksudnya, antara suatu satuan bahasa, sebagai lambang,
misalnya kata, dengan sesuatu benda atau hal yang
dilambangkannya bersifat sewenang-wenang tidak ada hubungan
“wajib” di antara keduanya.1
Berdasarkan teori yang ada, terdapat beberapa penamaan
yang dilatarbelakangi oleh sebab-sebab atau peristiwa-peristiwa
tertentu, yakni sebagai berikut:2
1. Peniruan Bunyi
2. Penyebutan Bagian
3. Penyebutan Sifat Khas
4. Penemu dan Pembuat
5. Tempat Asal
6. Bahan
1Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2002) 2Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003)
15
7. Keserupaan
8. Pemendekan
9. Penamaan Bar
Nama atau ism diambil dari kata ,samā) س س ا س ء
sumuwwan, samā‟un) yang memiliki arti tinggi, terhormat dan
masyhur sebagaimana terdapat dalam kamus bahasa Arab,3
يى
(samiyyun) artinya tinggi, atau .artinya tanda (as-samāhun) االر ا
Keberadaan nama menjadikan sesuatu dapat dikenal serta harus di
junjung tinggi. Dalam penafsiran Quraisy Shihab mengenai surah
al-Fatihah ayat pertama, bahwa adanya kata ismi dalam kalimat
bismillah tidak langsung dengan kalimat billah (bi Allah) atau
Dengan nama Allah tidak langsung dengan Allah itu mempunyai
kegunaan dan tujuannya tersendiri. Sedangkan secara filosofis,
para ulama berpendapat bahwa nama menggambarkan substansi
sesuatu, sehingga kalimat bismillah (dengan nama Allah)
maksudnya adalah billah (dengan Allah). Mereka memiliki
pemahaman bahwa kata ismi berfungsi sebagai penguat,
sebagaimana telah dikenal pada syair-syair lama penyisipan kata
ismi untuk tujuan tersebut.4
Banyak ulama tafsir termasuk al-Zamakhsyari berpendapat
bahwa orang-orang Arab jahiliyyah menyebut nama Tuhan
mereka setiap mereka mulai bekerja. Contohnya seperti bismi al-
3Syauqi Dhaif, Mu‟jam al-Wasiṭ, (Mesir: Maktabah Shurouq al-
Dauliyyah, 2011) 4M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Juz. 1.
16
Lata atau bismi al-Uzza, ada juga bangsa yang lain menyebut
nama raja atau penguasa mereka dalam memulainya. Dengan
begitu, maka setiap menyebut nama Allah dalam memulai
pekerjaan, hal ini memiliki arti bahwa pekerjaan tersebut
dilakukan bukan karena hasrat hawa nafsu, namun karena perintah
dan semata-mata hanya demi Allah Swt. Selalu disisipkan kata
ismi dalam segala hal yang diharapkan keberkahan Allah.
Sedangkan pengucapan dengan kata Billah (tanpa menyisipkan
kata ismi) dilakukan untuk permohonan dalam kemudahan dan
bantuan Allah Swt.5
Adapun fungsi sebuah nama adalah sebagai tanda, ciri atau
pembeda antara satu hal dengan hal lainnya, begitu juga sebagai
tanda untuk sesuatu yang harus dihormati dan dijunjung tinggi.
Selain itu sebagai adaptasi khusus atau kecocokan pada sebuah
tujuan spesifik dan juga sebagai penguat tujuan kebaikan yang
diharapkan. Banyaknya nama julukan terhadap sesuatu tersebut
menunjukkan keistimewaan dan keutamaan akan suatu hal
tersebut. Fungsi-fungsi tersebut turut berlaku untuk penamaan
surah-surah al-Qur‟ān. Dengan demikian, maka penamaan
terhadap surah-surah al-Qur‟ān muncul dengan bermacam ragam
nama. Ini merupakan pendapat dari Fakhruddin al-Razi.
B. Definisi Surah
Pengertian surah menurut bahasa, surah atau sering disebut
surah artinya mulia atau derajat atau tingkat dari sebuah bangunan.
Surah disebutnya dari bagian al-Qur‟ān ini menunjukkan karna
5M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur‟an, Juz. 1.
17
kemuliaannya. Maka jika diibaratkan al-Qur‟ān ini adalah sebuah
bangunan, maka surah itu adalah tingkat-tingkatnya.6 Surah juga
diartikan sesuatu yang sempurna atau lengkap.7 Dalam KBBI
surah juga diartiakan sebagai bagian atau bab dalam al-Qur‟ān.
Sedangkan secara istilah para ahli ilmu al-Qur‟ān berbeda
dalam mendefinisikan surah diantaranya:
ف ذات و لل آ ء لتل ن ا ت اال
Artinya: sekelompok atau sekumpulan ayat-ayat al-Qur‟ān
yang berdiri sendiri yang mempunyai permulaan dan penghabisan.
Manna Khalil mendefinisikan surah sebagai berikut
ف ذات اا ل واا لل آه اا ن ا ت اال : االط رة
Artinya: Surah adalah kumpulan atau jumlah ayat-ayat al-
Qur‟ān yang berdiri sendiri yang memiliki permulaan dan akhiran.
Al-Utabi berkata kata al-Surah kadang dengan hamzah
tetapi kadang tidak dengan hamzah. Jika membacanya dengan
hamzah maka ia menjadi kata as‟arat artinya dia menyisakan. Ini
berasal dari kata as-su‟ru yang berarti apa yang tersisa dari
minuman di gelas seakan-akan itu sebagian dari al-Qur‟ān.8
Apabila tidak dibaca dengan hamzah maka makna nya
berubah menjadi yang akan datang. Atau disebut dengan kata
(suurah). Sebagian ulama ada yang menyerupakan kata al-suurah
dengan suuri al-bina yang artinya bagian dari bangunan atau satu
bagian dari bagian yang lainnya. Ada juga yang mengatakan
6Liliek Channa dan Syaiful Hidayat, Ulumul Qur‟an dan
Pembelajarannya, (Surabaya: Kopertais IV Press, 2010), h. 234. 7Ahmad Izzan, Ulumul Qur‟an: Telaah Tekstualitas al-Qur‟ān,
(Bandung: Tafakkur, 2009), h. 33. 8Al-Suyuti, al-Itqān Fī „Ulūm al-Qur‟ān, h. 222
18
bahwa ia berasal dari kata suur al-madidah yang artinya pagar
yang mengelilingi kota, karena surah di dalam al-Qur‟ān itu
meliput dan menghimpun ayat-ayatnya, seperti dihimpunnya
rumah-rumah di dalam pagar. Diantara yang mirip dengan hal
tersebut adalah al-siwar yang artinya gelang, karena ia
mengelilingi tangan seseorang. Ada juga pendapat yang
mengatakan ia dinamakan suurat karena kedudukannya yang
mulia, dan karena ia adalah kalam Allah. Dengan demikian, maka,
al-suurah berarti al-manzilah al-rafi‟ah.9
Terdapat sembilan kali kata surah yang disebutkan di dalam
al-Qur‟ān, baik itu pada bentuk tunggal mau pun pada bentuk
jamak (suwar), namun pada bentuk jamak, hanya disebutkan 1
kali. Di dalam al-Qur‟ān, penggunaannya merujuk terhadap suatu
unit wahyu yang “diturunkan” oleh Allah Swt. (QS. 9:64, 86, 124,
127; QS. 24:1; QS. 47:20), bukan dalam pengertian “surah”
sebagaimana yang dipahami dewasa ini. Penggunaan kata surah,
secara konteks merupakan suatu unit wahyu yang mempunyai
kemiripan dengan beberapa penggunaan kata ayah, qur‟an dan
kitab di dalam al-Qur‟ān. Dahulu, musuh-musuh Nabi ditantang
untuk menciptakan “suatu surah yang semisalnya” (QS. 2:23;
10:38) atau “sepuluh suwar yang semisalnya” (QS. 11:13, QS.
28:49), adapun tantangannya yaitu mendatangkan suatu kitab dari
Tuhan). Maka, dapat disimpulkan bahwa makna umum dari kata
surah yaitu unit wahyu terpisah yang diturunkan kepada Nabi dari
9Al-Suyuti, al-Itqān Fī „Ulūm al-Qur‟ān, h. 222
19
waktu ke waktu. Namun, tidak terdapat indikasi apapun dalam al-
Qur‟ān mengenai panjang dan pendeknya unit wahyu tersebut.10
Istilah selanjutnya adalah آ (ayah) terdapat empat ratus kali
dalam al-Qur‟ān, ada yang berbentuk tunggal, ada pula yang
jamak. Di dalam al-Qur‟ān, penggunaan kata tersebut bisa
dikelompokkan dalam empat konteks (siyaq). Konteks pertama,
kata ayah merujuk kepada fenomena kealaman, termasuk manusia,
yang disebut sebagai “tanda-tanda” (ayat) kemahakuasaan dan
karunia Tuhan. (QS. 45:3-4; QS. 41:37, 39; QS. 42:29, 32; QS.
2:28; QS. 10:4; QS. 22:66; QS. 30:40, 46; QS. 16:14; QS. 36:73;
dll.).11
Pada konteks kedua, kata ayah diterapkan kepada peristiwa-
peristiwa atau obyek-obyek luar biasa yang dihubungkan dengan
tugas seorang utusan Tuhan dan cenderung mengkonfirmasi pesan
ketuhanan yang dibawanya. (QS. 43:46-48; QS. 40:78; QS. 17:59;
QS. 20:17-24; QS. 27:12-14; QS. 7:130-136; QS. 7:73; QS. 3:49;
QS. 15:73-75; QS. 29:24; QS. 54:15; dll.). Senada dengan hal ini,
oposan-oposan Nabi Muhammad turut menuntutnya
mempertunjukkan suatu “tanda” (QS. 2:118; QS. 6:37; QS. 10:20;
QS. 13:7; QS. 20:133; QS. 21:5; QS. 29:50), yang tentu saja tidak
merujuk kepada “ayat-ayat” al-Qur‟ān, namun kepada mukjizat.
Sebagaimana disebutkan dalam QS. 40:78, penciptaan “tanda-
tanda” merupakan hak istimewa eksklusif Tuhan. Bahkan Rasul
sendiri pun tidak diberi kekuasaan untuk menciptakannya atas
kemauan sendiri. Sekiranya suatu “tanda” dari jenis mukjizat
10Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an, h. 57. 11Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an, h. 57.
20
tersebut dibawa oleh Nabi Muhammad kepada mereka, maka
mereka tetap tidak akan beriman, sebagaimana telah ditegaskan
dalam QS. 30:58. Jadi, sehubungan dengan Nabi Muhammad,
pada faktanya, al-Qur‟ān menolak bahwa ia mempunyai mukjizat
dalam pengertian supranatural (ma fawqa al-fithrah). Namun,
beberapa keberhasilan eksternal Nabi dirujuk sebagai “tanda,”
seperti janji perolehan pampasan perang yang berlimpah (QS.
48:20) dan kemenangan dalam Perang Badr (QS. 3:13)
sebagaimana terjadi dalam tahun-tahun terakhir kehidupannya.
Bahkan, mayoritas sarjana Muslim memandang bahwa al-Qur‟ān
itu sendiri adalah mukjizat terbesar pada Nabi (QS. 11:12-13; QS.
6:33-35; dll.).12
Kata ayah dalam konteks ketiga, merujuk kepada “tanda-
tanda” yang dibacakan oleh Rasul-Rasul yang diutus oleh Tuhan
(QS. 39: 71; QS. 6:130; QS. 67:8; QS. 40:50), atau pada
banyaknya kasus yang dibacakan oleh Nabi Muhammad sendiri
(QS. 31:7; QS. 45:25; QS. 46:7; QS. 62:2; QS. 65:11; dll.).
Pembacaan “tanda-tanda” tersebut mampu menambah keyakinan
orang-orang yang beriman, namun para penentang Nabi
mengkritiknya sebagai “dongeng-dongeng masa silam” (asathir
al-awwalin, QS. 6:25; QS. 8:31; QS. 16:24; QS. 23:83; QS. 25:5;
QS. 27:68; QS. 46:17; QS. 68:15; QS. 83:13) terma asathir al-
awwalin pada al-Qur‟ān merujuk kepada kisah pengazaban umat-
umat terdahulu (seperti dalam QS. 8:31 dan QS. 68:15) dan
12Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an, h. 57-58.
21
kebangkitan kembali pada Hari Pengadilan (seperti dalam QS.
23:83; QS. 27:68; QS. 46:17).13
Kata ayah pada konteks keempat disebut sebagai bagian al-
Qur‟ān atau kitab atau surah (QS. 10:1; QS. 11:1; QS. 13:1; QS.
15:1; QS. 24:1; QS. 26:2; QS. 27:1; QS. 28:2; QS. 31:2; dll), yang
diturunkan oleh Tuhan (QS. 2:99, 202; QS. 3:108; QS. 22:16; QS.
24:34; dll). Maka, dalam konteks ini, kata ayah mempunyai
makna unit dasar wahyu terkecil, selaras dengan pemahaman kita
saat ini mengenai hal tersebut. Namun, al-Qur‟ān, seperti halnya
dengan surah, tidak juga memberikan indikasi mengenai panjang
dan pendeknya unit-unit wahyu tersebut.
Apabila hadis dimasukkan ke dalam pertimbangan untuk
melihat panjang dan pendeknya unit-unit wahyu yang diterima
oleh Nabi, maka jawaban yang diterima sangat lah bermacam
ragam. Ada sebuah berita yang mengabarkan bahwa Nabi
Muhammad menerima wahyu al-Qur‟ān secara ayat per ayat atau
huruf per huruf, terkecuali surah 19 dan 12 yang turunnya
sekaligus.14
Nabi, sebagaimana perspektif lain, menerima satu atau dua
ayat,15
satu hingga lima ayat atau lebih, lima hingga sepuluh ayat,
dan lain-lain.16
Walaupun tidak terdapat kejelasan dari al-Qur‟ān
dan hadits tentang panjang dan pendeknya unit wahyu yang
diterima oleh Nabi, gagasan mengenai unit wahyu mungkin dapat
dibangun dengan mencermati konteks literatur al-Qur‟ān sendiri
13Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an, h. 58. 14Shahih Bukhari, Kitab al-Tafsir, (Maktabah Dahlan: tt.), surah 9. 15Shahih Bukhari, Kitab al-Tafsir, surah 2:18. 16Al-Suyuti, al-Itqān Fī „Ulūm al-Qur‟ān, h. 44.
22
baik itu pada bentuk peralihan akhiran rima serta peralihan
gagasan dalam suatu surah dan mengeksploitasi perbendaharaan
klasik Islam, seperti riwayat-riwayat asbabun nuzul dan
sebagainya. Langkah seperti hal ini tentu akan sangat membantu
dalam upaya menyusun aransemen kronologis unit-unit wahyu
yang diterima oleh Nabi.
Seorang penyair bernama al-Nabighah mengatakan:
تػ ى ر ػتذبذب ة فر الله ا ل ؾ ر ا ال تػ ى
Tidakkah kamu mengetahui bahwa Allah telah memberimu
surah (kedudukan yang mulia), sehingga kamu mengetahui bahwa
setiap malaikat di sekelilingnya mondar-mandir.17
Pendapat lain juga mengatakan, ia disebut dengan surah,
karena terangkainya bagian surah itu dengan bagian yang lain,
diambil dari kata at-tasawwur yang berarti at-tashaa‟ud wa at-
tarakub, ini diambil dari makna firman Allah SWT. “Idz
tasawwaruul-mihraab” (QS. Shaad: 2). Definisi surah adalah
Qur‟an yang memuat beberapa ayat yang dibuka dan diakhiri dan
jumlah paling sedikit 3 ayat. Demikian merupakan pendapat Imam
al-Jabari. Pendapat lain juga mengatakan bahwa surah adalah
kumpulan ayat yang tersusun secara tauqifi, yaitu yang diberi
nama dengan nama secara khusus dengan ketetapan dari Nabi
SAW.18
Ada sebagian ulama yang tidak senang apabila dikatakan,
“Ini surah ini dan ini surah itu”, karena ada hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Thabrani dan Imam Baihaqi dari Anas
17Al-Suyuti, al-Itqān Fī „Ulūm al-Qur‟ān, h. 222. 18Al-Suyuti, al-Itqān Fī „Ulūm al-Qur‟ān, h. 222.
23
(hadis marfu‟), “Janganlah kamu mengatakan ini surah al-
Baqarah, ini surah Āli „Imrān, dan ini surah al-Nisa. Demikian
juga al-Qur‟ān secara keseluruhan. Tetapi katakanlah, “Inilah
surah yang disebutkan di dalamnya al-Baqarah, dan surah yang
disebutkan di dalamnya Āli „Imrān, demikian juga al-Qur‟ān
secara keseluruhan.” Tetapi hadis ini sanadnya dho‟if, bahkan
Ibnu al-Zaujiy menganggap hadis ini maudhu‟.19
Jadi, jika diperhatikan dan ditelaah secara mendalam, nama-
nama surah dalam al-Qur‟ān dengan berbagai pengertian seperti
yang disebutkan di atas memiliki beberapa kepentingan
diantaranya:20
1. Siapa yang membacanya dengan sungguh-sungguh dan
memperhatikan segala isi muatannya, niscaya ia akan
memperoleh berbagai tingkat dalam ilmu pengetahuan.
2. Surah-surah dalam al-Qur‟ān itu menjadi tanda permulaan dan
penghabisan untuk setiap bagian tertentu dari al-Qur‟ān.
3. Surah-surah dalam al-Qur‟ān laksana gedung-gedung yang
sangat indah yang di dalamnya memuat berbagai ilmu
pengetahuan dan hikmah.
4. Setiap surah mengandung beberapa hal yang lengkap dan
sempurna.
Setiap surah al-Qur‟ān satu sama lain berhubungan erat,
tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya
seakan-akan merupakan tangga yang bertingkat-tingkat.
19Al-Suyuti, al-Itqān Fī „Ulūm al-Qur‟ān, h. 223. 20Ahmad Izzan, Ulumul Qur‟an, h. 33.
24
C. Ketentuan dalam Pemberian Nama Surah
Setiap surah dalam al-Qur‟ān memiliki nama tersendiri yang
ditetapkan oleh Rasulullah Saw. secara tauqifi. Hal ini
berdasarkan penjelasan beberapa hadis dan riwayat. Secara umum,
surah-surah dalam al-Qur‟ān memiliki satu nama saja. Tetapi, ada
juga beberapa surah mempunyai dua buah nama atau lebih seperti
at-Taubah, al-Bara‟ah, al-Fadilah, dan al-Hafidzah.
Kata-kata yang digunakan untuk menjadi nama surah-surah
tersebut antara lain:21
1. Diambil dari luar surah. Artinya, kata yang dipakai untuk
menjadi nama surah, tidak terdapat di dalam ayat-ayat dari
surah bersangkutan. Surah yang pertama dinamai al-Fatihah
tidak ditemukan di dalam ayat-ayatnya, namun nama tersebut
telah memberikan petunjuk kepada kita tentang fungsinya
sebagai Fatihah (pembukaan atau pendahuluan) bagi al-
Qur‟ān.
2. Nama surah diambil dari tema yang sedang dibicarakan dalam
surah tersebut. Misalnya surah al-Nisa, dinamakan surah al-
Nisa karena banyak membahas tentang wanita.
3. Diambil dari salah satu kata yang terdapat pada ayat di dalam
surah yang bersangkutan. Baik itu terletak dipermulaan,
ditengah, atau dibagian akhir surah. Misalnya surah ke 20
dinamai dengan Thaha. Kata Thaha tersebut sudah dijumpai
pada ayat pertama dari surah ke dua dinamai dengan al-
21Ansharuddin M, “Sistematika Susunan Surah di dalam al-Qur‟an:
Telaah Historis”, Cendikia: Jurnal Studi Keislaman, h. 216.
25
Baqarah. Kata al-Baqarah baru dijumpai pada ayat ke 67 dari
surah yang bersangkutan.
D. Pendapat Ulama tentang Nama Surah antara Ijtihadi dan
Tauqifi
Para ulama mempunyai perbedaan pendapat mengenai
penamaan surah termasuk tauqifi atau ijtihadi. Penamaan surah al-
Qur‟ān, sebagaimana dari segi sejarah, mulanya menjadi olok-
olokan kaum musyrikin. Mereka berkata bahwa surah al-Baqarah
dan surah al-„Ankabut merupakan ejekan terhadap nama surah.
Dengan demikian, lalu turunlah ayat dalam QS. Al-Hijr (15): 95:
تػ ل ء ن لل ي ال ٩٥ إ ر ػل
“Sesungguhnya Kami memelihara engkau (Muhammad) daripada
(kejahatan) orang yang memperolok-olokkan (engkau)”
Penamaan surah al-Qur‟ān, menurut sebagian pendapat
merupakan tauqifi, sebagai halnya tertib ayat-ayat dan tanda
waqafnya yang telah dijelaskan dalam hadis dan atsar yang telah
pasti, sama seperti penamaan terhadap al-Qur‟ān, yang segala
halnya pasti tepat dan akurat, penamaan tiap-tiap surah dalam al-
Qur‟ān juga sudah sangat tepat dengan isi kandungan yang
tercantum di dalam surah-surah tersebut. Mereka berpendapat
bahwa semua surah dalam al-Qur‟ān diberi nama oleh Rasulullah
Saw. Misal, surah al-Fatihah (pembukaan/pendahuluan), surah ini
adalah surah pembukaan, fungsinya adalah pengantar ke dalam isi
kandungan al-Qur‟ān yang lebih luas. Begitu juga surah al-
26
Baqarah yang artinya sapi, isinya banyak dikemukakan hal-ihwal
pemotongan sapi bagi kaum Bani Israil.22
Imam Ibn Jarir al-Tabari (w. 310 H)23
, Syaikh Sulaiman al-
Bajirami (w. 121 H)24
, dan Imam Jalaluddin al-Suyuṭi merupakan
beberapa ulama yang berpendapat demikian.25
Sebagian ulama
lainnya berpendapat bahwa penamaan surah adalah ijtihadi, hal ini
dikarenakan sebagian penamaan ada yang disematkan oleh para
sahabat. Seperti surah al-Taubah (9) dijuluki dengan surah al-
Qital (peperangan) disamping surah Bara‟ah (Pembebasan), dapat
disimpulkan bahwa bagi satu surah terdapat dua atau bahkan
banyak nama lainnya.26
Dalam kitab al-Burhan, al-Zarkasyi berpendapat bahwa
terdapat keperluan dalam membahas lebih lanjut lagi tentang
penamaan surah al-Qur‟ān, termasuk tauqifi atau ijtihadi. Apabila
penamaan surah tersebut ijtihadi, hal ini tidak menutup
kemungkinan bahwa tiap-tiap surah memiliki nama yang banyak,
sebab sangat dibutuhkan sebuah nalar untuk mengkhususkan nama
terhadap satu surah. Seperti halnya masyarakat Arab yang
mengambil sebagian nama atau judul suatu syair atau puisi dari
nama yang asing, langka dan tidak familiar. Dengan demikian, hal
itu bisa menjadi sifat dan karakter yang akhirnya akan menjadi ciri
22Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an, (Depok: PT Rajagrafindo
Persada, 2013), cet I, h. 62. 23Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Jami al-bayan fi al-Ta‟wil al-Qur‟an,
cet. 1, jilid 1, h. 100. 24Sulaiman bin Umar Al-Bujairami, Tuhfah al-Habib „ala Syarh al-
Khathib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), Juz 4, h. 222. 25Al-Suyuti, al-Itqān Fī „Ulūm al-Qur‟ān, h. 186. 26Ibrahim al-Ibyary, Pengenalan Sejarah Al-Qur‟an, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1995), cet. III, h. 54.
27
khas bagi syair atau puisi itu sendiri, atau bisa pula dari pendapat
orang yang memberikan nama tersebut. Sebagaimana mereka
memberi nama sebuah kalimat dari kata yang terkenal didalamnya,
kiranya seperti itu juga lah penamaan surah dalam al-Qur‟ān.27
Terdapat pernyataan dalam Fatwa Lajnah Daimah yakni:
“Kami tidak mengetahui adanya dalil dari Rasulullah Saw. yang
menunjukkan bahwa beliau memberi nama seluruh surah dalam
al-Qur‟ān. Hanya saja memang terdapat beberapa hadis shahih
yang menyebutkan nama beberapa surah dari Nabi saw seperti al-
Fatihah, al-Baqarah, Āli „Imrān, dan al-Kahfi. Sementara nama-
nama surah lainnya, yang lebih dekat, itu berasal dari para sahabat
ra.”28
Menurut Dr. Munirah al-Dausiri dalam risalahnya yang
berjudul Asma‟ al-Suwar al-Qur‟ān al-Karim wa Fadhailuha, ini
merupakan pendapat yang nilainya kuat.
Berdasarkan pernyataan para ulama yang memiliki berbagai
pendapat penamaan terhadap surah-surah dalam al-Qur‟ān sifatnya
adalah ijtihadi, bahwasanya tidak semua nama dalam surah al-
Qur‟ān diberi oleh Nabi Saw., namun para sahabat juga memiliki
wewenang dalam memberikan nama terhadap surah-surah dalam
al-Qur‟ān. Maka, penulis menyimpulkan bahwa penamaan surah-
surah dalam al-Qur‟ān lebih tepatnya adalah ijtihadi, sebagaimana
telah dipaparkan sebelumnya.
Mengenai penamaan surah al-Nisa al-Shughra dan al-Nisa
al-Kubra juga salah satu penamaan surah secara ijtihadi. Menurut
27Muhammad Abu Syahbah, al-Madkhal li Dirasat al-Qur`an al-Karim,
(KSA: Dar al-Liwa, 1987), h. 289. 28Fatwa Lajnah Daimah, jilid 4, h. 416.
28
Quraisy Shihab, surah al-Nisa dikenal pada masa Nabi Saw.
dengan sebutan al-Nisa al-Thula dan surah al-Thalaq dikenal juga
dengan nama al-Nisa al-Quṣra (surah al-Nisa yang pendek),
karena sudah terdapat surah al-Nisa yang panjang yaitu surah
keempat pada perurutan penulisan mushaf al-Qur‟ān. Namun,
namanya sebagai surah al-Thalaq jauh lebih terkenal.29
Mengenai
pembahasan ini, akan penulis bahas secara tuntas di bab
selanjutnya.
E. Fungsi Penamaan Surah
Terdapat kegunaan dalam mempelajari penamaan surah Al-
Qur‟ān, yaitu:30
1. Membantu para mufasir dalam menafsirkan ayat-ayat al-
Qur‟ān dengan penafsiran yang baik dan benar. Dengan
demikian, para mufasir akan mampu dalam memahami secara
mudah dan lebih jelas mengenai isi kandungan ayat-ayat al-
Qur‟ān.
2. Merasakan gaya bahasa dan susunan kalimat al-Qur‟ān yang
begitu indah, serta dijadikan oleh para ustadz dan da‟i sebagai
media untuk mengajak umat Islam dan seluruh umat manusia
agar bisa kembali kepada Allah Swt.
3. Membantu para mufasir dalam mengistinbatkan hukum-
hukum Islam.
4. Mengetahui petunjuk-petunjuk Nabi Muhammad Saw. dalam
membina dan membangun masyarakat Islam.
29M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 14, h. 127. 30Muhammad Abu Syahbah, al-Madkhal li Dirasat al-Qur`an al-Karim,
h.199-200.
29
5. Mengetahui sejarah perjalanan keNabian Muhammad Saw.
Dalam menerima wahyu-wahyu al-Qur‟ān dari Allah Swt.
30
BAB III
TELAAH AYAT-AYAT PADA SURAH
AL-NISA DAN AL-THALAQ
A. Arti Kata al-Nisa dan Kategorisasinya di Surah al-Nisa dan al-
Thalaq
Pengertian kata al-Nisa Secara bahasa berasal dari kata al-
Niswah berarti seorang wanita. Kata al-Nisa ini juga sudah
menjadi pengetahuan umum yang menunjukkan bahwa yang
dimaksud adalah seorang perempuan, ketika disebut al-Nisa maka
sudah dapat diketahui maksud dan arah pembicaraannya yakni
seorang perempuan. Mengenai kata al-Nisa ini Nasaruddin Umar
mendefinisikan lebih mendetail sebagaimana yang dikutipnya
dalam kitab al-Mawrid bahwa al-Nisa ini ada kalanya berarti
sebagai jender perempuan dan juga yang berarti istri-istri.1
Kata Nisa‟ dalam Kamus Lisan al-Arab, sebagai pijakan
awal untuk memahami kata Nisa‟ dalam al-Qur‟ān, untuk itu
bagaimana tradisi Arab menggunakan kata Nisa‟ ini dalam
penggunaan sehari-hari sangat penting untuk diperhatikan. Hal ini
karena kamus merupakan tempat dimana kita dapat melihat tradisi
yang pernah berlaku di dalam masyarakat. Kata Nisa‟ di dalam
Kamus Lisan al-Arab memiliki dua pengertian yaitu terlambat dan
bertambah, seperti perkataan nas‟an al-mar‟atu (perempuan yang
terlambat datang bulan), dan ungkapan nasa‟tu al-laban yang
berarti menambahkan air ke dalam susu.2 Pengertian ini juga dapat
1Nasiruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur‟an,
(Jakarta: Paramadina, 2001), h. 160. 2Habib, “Semantik Kata Nisa‟ dalam al-Qur‟an: Analisis Semantik
Kontekstual”, Hermeunetik, VIII, 1, (Juni, 2014), h. 155.
31
dipahami dari ayat al-Qur‟ān surah al-Taubah (9): 37 sebagai
berikut:
ايرل ء ز دة ل إنر ٣٧ ... ف ال
“Sesungguhnya pengunduran (bulan haram) itu hanya menambah
kekafiran...”
Tampak bahwa kamus Lisan al-Arab menggunakan kata
Nisa‟ sebagai bentuk jamak dari kata „nasi‟ imra‟atun nasi‟ wa
nusu‟ wa niswatun nisa‟ dengan maksud untuk menyebut arti
perempuan yang telah terlambat datang bulan dan diharapkan
telah mulai mengandung, di satu sisi, dan di sisi lain kata Nisa‟
sebagai bentuk jamak dari kata imro‟ah (perempuan).3
Berdasarkan pencarian yang dilakukan oleh penulis pada
surah al-Nisa, maka, tema-tema dalam surah tersebut yang
berkaitan dengan perempuan adalah sebagai berikut:
1. Penciptaan manusia termasuk perempuan.
2. Aturan pernikahan.
3. Mahar.
4. Waris.
5. Hubungan suami dan istri.
6. Persamaan balasan dalam beramal untuk laki-laki dan
perempuan.
Dalam al-Qur‟ān, Kata al-Nisa dapat ditemukan di beberapa
ayat dan surah dengan segala bentuk perubahannya. Sebagaimana
hasil penelusurannya yaitu:
3Habib, “Semantik Kata Nisa‟ dalam al-Qur‟an: Analisis Semantik
Kontekstual”, Hermeunetik, h. 155.
32
No. Kata Jumlah Surah
,kali a. al-Baqarah (2): 222, 231, 232, 235 35 النساء .1
236.
b. Āli „Imrān (3): 14, 42.
c. al-Nisa (4): 1, 3, 4, 7, 11, 19, 22,
24, 32, 34, 43, 75, 98, 127, 129,
176.
d. al-Maidah (5): 6.
e. al-A‟raf (7): 81.
f. al-Nur (24): 60.
g. al-Naml (27): 55.
h. al-Ahzab (33): 30, 32, 52, 59.
i. al-Fath (48): 25.
j. al-Hujurat (49): 11 (terdapat 2 kata
di dalam ayat ini)
k. al-Thalaq (65): 1.
.kali a. al-Baqarah (2): 49 4 نساءكم .2
b. Āli „Imrān (3): 61.
c. al-A‟raf (7): 141.
d. Ibrahim (14): 6.
.kali a. al-Baqarah (2): 187 4 نسائكم .3
b. al-Nisa (4): 15, 23.
c. al-Thalaq (65): 4.
ھمنساء .4 3 kali a. al-A‟raf (7): 127.
b. al-Qasas (28): 4.
c. Ghafir (40): 25.
ھمنساا .5 3 kali a. al-Baqarah (2): 226.
b. al-Mujadilah (58): 2, 3.
.kali a. al-Nur (24): 31 2 نسائھن .6
b. al-Ahzab (33): 55.
.kali Āli „Imrān (3): 61 1 نساءنا .7
.kali al-Baqarah (2): 223 1 نساؤكم .8
Berdasarkan tabel diatas, maka berikut ini adalah beberapa
kata al-Nisa di dalam QS. al-Nisa dan al-Thalaq:
33
1. Surah al-Nisa (4) : 1
س ػط اير س تػرل ا ربر ارذي خ ل ن ػر ل و ةي زول وخ ق يػل ر ؿ ـ ا و ل ءا ثيروبثر يػل رل
و تػرل ا للر ارذي تل ءا ف ب ۦ و ال
ل رق ب ١ اإفر للر ف ل“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah)
menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang
dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah)
hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasimu.”
Ayat ini, menurut jumhur mufassir, Adam adalah manusia
pertama yang dijadikan oleh Allah. Kemudian dari dirinya
yang satu itu, Allah menciptakan pula pasangannya yang
biasa disebut dengan nama Hawa. Dari Adam dan Hawa
berkembang biaklah manusia.
2. Surah al-Nisa (4) : 3:
و ػ ث ورب ن ايل ء ثػل ٣ ... ا ب ا ...
“...Maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi:
dua, tiga atau empat...”
Ayat ini menjelaskan mengenai kebolehan untuk menikahi
wanita sampai 4 orang namun dengan syarat adil dan syarat-
syarat tertentu lainnya. Tetapi pada dasarnya satu istri saja
lebih baik.
3. Surah al-Nisa (4) :4:
ءوءات ا ايل ء ص ق ت نر نل ا ل ن ل س إف بل ػ ل يل ا ا ا هي ٤ ا ر
34
“Dan berikanlah mas kawin (mahar) kepada perempuan
(yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan.
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian
dari (mas kawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan
nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.”
Ayat ini menunjukkan bahwa mas kawin adalah
disyari‟atkan oleh agama.
4. Surah al-Nisa (4) : 7:
ب ف وا يل ء ص با ؿ ص ب قػل ا اف و ال ر تػ ؾ ال ا اف م ر تػ ؾ ال م
أول ثػ ص ب ب ف مر ق ر يلقػل وضو ال ٧ اا ر ل
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua
orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak
bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang
telah ditetapkan.”
Ayat ini menjelaskan bahwa baik laki-laki maupun
perempuan sama-sama mendapatkan hak dan bagian dalam
harta waris.
5. Surah al-Nisa (4) : 11:
إف نر ل ء ثػ ػيل ظ ال ا ل ا ذر ثل ف أول ص للر يػتػيل ؽ ػل ػ ل
١١ ... ػ نر ػ ث تػ ؾ
“Allah mensyari´atkan (mewajibkan) kepadamu tentang
(pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian
seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang
jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan...”
35
Ayat ini menjelaskan tentang bagian waris untuk anak
perempuan.
6. Surah al-Nisa (4) : 15:
بػع نر أرل وا ل تلل ل ن ل ئ ل ل تي ال لي ل إف وا و ار ت ي
نر ع للر ت أول يل ل نر ال ل هنر ف ال ػ ت تر ػتػ رىػ ١٥ ا أ ل“Dan para perempuan yang melakukan perbuatan keji
diantara perempuan-perempuan kamu, hendaklah terhadap
mereka ada empat saksi di antara kamu (yang
menyaksikannya). Apabila mereka telah memberi kesaksian,
maka kurunglah mereka (perempuan itu) dalam rumah
sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi
jalan (yang lain) kepadanya.”
Ayat ini menjelaskan tentang menghadirkan 4 orang saksi
apabila seorang istri melakukan perbuatan keji serta
membahas mengenai hukuman mereka.
7. Surah al-Nisa (4) : 19:
ا ػط ارذ ن ءا ي ا لا ي ط ا ل أف ت ا ايل ء ل ه ا ي هنر اتذل ا ولا تػعل ل تي ب
لت هنر إلار أف ي ض ءاتػ ػل وؼ ط ػ ي ب ػعل عل و وهنر ب ال
ه ا ل ـ أف ت ل ت هنر ػعل خيرل إف هل ع للر ١٩ اا ثيرا ويل“Wahai orang-orang yang beriman! Tidak halal bagi kamu
mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu
menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya,
kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.
Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut.
Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah)
karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.”
Ayat ini menjelaskan larangan untuk mewarisi dan
menguasai kaum perempuan dengan paksa juga tidak boleh
36
melakukan tindakan-tindakan yang menyusahkan dan
memudharatkan perempuan seperti mengharuskan mereka
mengembalikan mahar.
8. Surah al-Nisa (4) : 22:
ن ايل ء إلار ق ل ف إ ر ۥ ف ل ولا تي ا ح ءا ؤ
ت ٢٢ ا و ء و لل“Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang
telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa)
yang telah lampau. Sungguh, perbuatan itu sangat keji dan
dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang
ditempuh).”
Ayat ini menjelaskan mengenai keharaman dalam
menikahi perempuan yang telah dinikahi oleh ayah
kandungmu.
9. Surah al-Nisa (4) : 23:
خ ت ل وبػي ت ال ت ل وخ ت ل و ر ت ل وبػي ت ل وأخ ل أ ر تل لت ع وأ ر ن ا ر ت ي ل وأخ عل ت أرل
ت ار ت وأ ر خل وبػي ت الت بنر إف لرل
ل ئ ل ورب ئ ار ت ف ج ر ن ل ئ ار ت دخ ل ل وأف ي ئ ارذ ن نل أصل ئ أبػل ل و ت بنر ي ح ل
ت ا دخ ل إفر للر ف غ ر
إلار ق ل ف تػيل خل ال ع ا بػيل ٢٣ اا رر تل“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu
yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan,
saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara
ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang
menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan,
ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu
(anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah
37
kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
(menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak
kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan
(dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang.”
Ayat ini menjelaskan tentang perempuan-perempuan yang
haram untuk dinikahi.
10. Surah al-Nisa (4) : 24:
وأ ر ا ل ي ل ت ب للر ل صي ت ن ايل ء إلار تل أيل ل ۞و ال
ت ب ۦ تػعل ت ل ي ل ل صيي غ ػل ل ا ط تػل ا ب ل ا ل أف تػ ػل ر وراء ذ نر ت هنر أ رهنر يػل ت ب ۦ ن بػعل ل تػ ػل ولا ي ح ل
إفر للر ف ٢٤ ا ال
“Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang
bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan
perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu.
Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang
demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk
menikahinya bukan untuk berzina. Maka, karena kenikmatan
yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah mas
kawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban. Tetapi
tidak mengapa jika ternyata di antara kamu telah saling
merelakannya, setelah ditetapkan. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui, Maha Bijaksana.”
Ayat ini menjelaskan tentang ketidak bolehan untuk
menikahi perempuan yang telah bersuami.
38
11. Surah al-Nisa (4) : 32:
ض ـ بػعل ل ب ۦ بػعل ا ر للر ر ا ؿ ص بولا تػت يػر ل م وا يل ء ص ب
تل ا إفر للر ف ب ل
ۦ ا للر ن ل و ل تلبل ر ل م
ء ٣٢ ا ل“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah
dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang
lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang
mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari
apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian
dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.”
Ayat ini menjelaskan tentang laki-laki mempunyai bagian
dari apa yang mereka peroleh. Demikian juga perempuan,
sesuai dengan usaha dan kemampuan mereka masing-masing.
Oleh karena itu orang dilarang iri hati terhadap orang yang
lebih banyak memperoleh karunia dari Allah.
12. Surah al-Nisa (4) : 34:
ض ـ بػعل ل بػعل ف ـ ايل ء ب ر للر وب أ ل ا نل ا ؿ قػ ر ظ ت ت ق يت ت و ار ت ت ف ل زهنر أ ل ل اصر
ب ب ظ للر
ل ل ا ل نر ل ا ل ي ل تػ ػل إفل أ عل
و ل ب هنر ج وهنر ف ال عظ هنر و هل
إفر للر ف ٣٤ اا ير
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri),
karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki)
atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka
(laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka
perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat
(kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada,
karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan
yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri
39
nasehat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur
(pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi
jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari
alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi,
Maha Besar.”
Ayat ini menjelaskan bahwa kaum laki-laki adalah
pemimpin, pemelihara, pembela, dan pemberi nafkah,
bertanggungjawab penuh terhadap kaum perempuan yang
menjadi istri dan yang menjadi keluarga. Oleh karena itu,
wajib bagi setiap istri untuk menaati suaminya selama suami
tidak durhaka kepada Allah Swt.
13. Surah al-Nisa (4) : 43:
ا تػل ا ف ولا ى تر تػعل ة وأ ت ل ب ا اصر ػط ارذ ن ءا ي ا لا تػلل ي ـ أول ء ـ أول وإف يت ر ل
تل ا يػ إلار ب ي تر تػلل
ت ايل ء ػ ل ت وا ءأ ل ئط أول ا لل ن ال ي ا ػتػ ر ا صع إفر للر ف ا غ را ب
ل ل ا ب ه ل وأ ل ٤٣ ا ل“Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati
shalat, ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu
sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu
hampiri mesjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali
sekedar melewati untuk jalan saja, sebelum kamu mandi
(mandi junub). Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam
perjalanan atau sehabis buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapat air,
maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci);
sapulah wajahmu dan tanganmu dengan (debu). Sungguh,
Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun.”
Ayat ini menjelaskan tentang kewajiban bertayamum jika
tidak mendapat air, salah satunya jika sudah menyentuh
perempuan. Diantara ulama ada yang berpendapat bahwa
yang dimaksud dengan menyentuh perempuan dalam ayat ini
40
ialah bersetubuh, sedang bersetubuh mengakibatkan hadas
besar yang dapat dihilangkan dengan mandi janabah.
14. Surah al-Nisa (4) : 75:
ف ال ع ي ن ا ؿ و ايل ء و ال ت ل لل ت ف ف للر و ال و ا ل لا تػل
ع اري ن ار و ل ل ل اظر ل أهل ذا ال ي نل ه ارذ ن ػل ا ف ربػري أخل ل
ع اري ن ار صيراوا ٧٥ ا و ل“Dan mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan
(membela) orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan,
maupun anak-anak yang berdoa, “Ya Tuhan kami,
keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang penduduknya
zalim. Berilah kami pelindung dari sisi-Mu dan berilah kami
penolong dari sisi-Mu.””
Ayat ini menjelaskan tentang sebuah dorongan yang kuat
agar kaum muslimin berperang di jalan Allah untuk membela
saudara-saudara mereka yang tertindas dan berada dalam
cengkraman musuh, karena mereka lemah dan tidak berdaya
baik laki-laki maupun perempuan dan juga anak-anak.
15. Surah al-Nisa (4) : 98:
تل ع ف ف لا لل ال ع ي ن ا ؿ و ايل ء و ال ت ل لل ولا إلار ال
ت وف ٩٨ ا ػ ل“kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau perempuan
dan anak-anak yang tidak berdaya dan tidak mengetahui
jalan (untuk berhijrah).”
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah Swt. mengecualikan
golongan orang yang tertindas baik laki-laki atau perempuan
41
dalam meninggalkan kewajiban hijrah, karena mereka tidak
mempunyai kemampuan untuk keluar dari Makkah.
16. Surah al-Nisa (4) : 127:
ت ب ف ل ف ال ـ ل ت ل نر و ػتػل ػ ل ت ف ايل ء ق للر تػ ل و لل
غ ف أف تي هنر ت ػ نر تب نر وتػ ل ػت ـ ايل ء ار ت لا تػؤلع ا نل خيرل ط و تػ ل للل ـ ب ال ػت
ف وأف تػل ا ا ل ال ع ي ن ال ت ل لل و ال
١٢٧ا إفر للر ف ب ۦ “Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang perempuan.
Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang
mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam al-Qur‟ān
(juga memfatwakan) tentang para perempuan yatim yang
tidak kamu berikan sesuatu (mas kawin) yang ditetapkan
untuk mereka, sedang kamu ingin menikahi mereka dan
(tentang) anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan
(Allah menyuruh kamu) agar mengurus anak-anak yatim
secara adil. Dan kebajikan apa pun yang kamu kerjakan,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.””
Ayat ini menjelaskan bahwa pada masa turunnya ayat ini,
orang-orang arab jahiliyah memandang rendah kedudukan
perempuan, orang yang lemah dan anak yatim seakan-akan
mereka adalah makhluk yang tidak ada artinya, tidak dapat
memiliki sesuatu pun, bahkan mereka sendiri boleh dimiliki
dan diperjualbelikan sebagaimana memiliki dan
memperjualbelikan barang.
17. Surah al-Nisa (4) : 129:
ل ت ا ر الت ل ايل ء وا ل صل ا ا بػيل تل ع ا أف تػعل وان تلل
ا وتػتػرل ا إفر للر ف غ ر ع رل وإف تصل ١٢٩ اا رر ػتذروه ال
42
“Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-
istri(mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian,
karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang
kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-
katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan
memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah
Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Ayat ini menjelaskan bahwa manusia tidak dapat berlaku
adil dan menguasai hatinya sendiri, hanya Allah Swt. yang
menguasainya. Oleh karena itu, sekalipun manusia telah
bertekad akan berlaku adil terhadap istri-istrinya, namun ia
tidak dapat membagi waktu dan cintanya antara istri-istrinya
secara adil.
18. Surah al-Nisa (4) : 176:
ة... ا ل ا و ل ء ر ؿوإف ػ ا إخل للر ػ ػي ثػ ػيل ظ ال ذر ثل
ء ب ل و للر ١٧٦ أف ت ط ا
“...Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-
saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang
saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara
perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu agar
kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Ayat ini menjelaskan tentang pembagian harta warisan
termasuk untuk saudara perempuan.
19. Surah al-Thalaq (65): 1:
و تػرل ا للر ة ع ر ص ا ال ت ايل ء ل ل هنر اع رتنر وأ ل ػط ايربط إذا رلل ي ل تي ب
لن إلار أف ي ل ط ػ ي ربر ل لا تل هنر ن بػ تنر ولا يل وت ل
43
ث ري اع ر للر يلل ۥ لا ت ل و ن ػتػع ر ود للر ػل ل ظ ػ ل ود للر
ا أ ل ذ ١ ابػعل“Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) iddahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu
iddah itu, serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.
Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya dan
janganlah (diizinkan) ke luar kecuali jika mereka
mengerjakan perbuatan keji yang jelas. Itulah hukum-hukum
Allah, dan barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah,
maka sungguh, dia telah berbuat zalim terhadap dirinya
sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali setelah itu Allah
mengadakan suatu ketentuan yang baru.”
Ayat ini menjelaskan tentang masa iddah perempuan yang
dicerai.
20. Surah al-Thalaq (65): 4:
ث أ ل تػ نر ػ ت ل ع ر تػ ػل ض ن ل ئ ل إف رل ن ن ال و ار ػ و ار ػ ئللع ار ۥ و ن ػترق للر يل
نر ن حل ؿ أ نر أف عل حل
ن وأوا ت ال لل ي ل ٤ ا نل أ ل اۦ لل
“Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di
antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa
iddahnya), maka iddahnya adalah tiga bulan; dan begitu
(pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Sedangkan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu
sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa
bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan
baginya dalam urusannya.”
Ayat ini menjelaskan tentang waktu masa iddah para
perempuan.
Di dalam surah al-Nisa terdapat pula 8 ayat yang membahas
tentang perempuan tanpa terdapat kata al-Nisa di dalamnya.
44
Begitu juga dalam surah al-Thalaq terdapat 2 ayat yang membahas
tentang perempuan tanpa terdapat kata al-Nisa di dalamnya.
Berikut adalah tabelnya:
No. Surah Ayat Pembahasan
1. al-Nisa 12 Pembagian waris.
2. al-Nisa 20-21 Ketidak bolehan mengambil
kembali harta (mahar) yang telah
suami berikan kepada istri apabila
suami ingin menceraikan istrinya
dan menggantinya dengan
perempuan lain.
3. al-Nisa 25 Kebolehan menikahi hamba
sahaya perempuan atas izin
tuannya dan tetap harus
memberikan mas kawin.
4. al-Nisa 33 Penetapan ahli waris dan telah
terdapat bagiannya masing-
masing.
5. al-Nisa 35 Mengutus juru damai dari pihak
suami dan juga istri apabila terjadi
perselisihan diantara mereka.
6. al-Nisa 124 Balasan surga untuk laki-laki dan
perempuan yang mengerjakan
amal kebajikan.
7. al-Nisa 128 Anjuran mengadakan perdamaian
antara suami dan istri, meskipun
sang suami akan nusyuz. Dan
45
anjuran bagi suami untuk
memelihara diri dari nusyuz.
8. al-Thalaq 2 Perintah untuk mempersaksikan 2
orang saksi jika ingin rujuk mau
pun cerai.
9. al-Thalaq 6 Kewajiban mantan suami untuk
memberikan tempat tinggal yang
layak dan memberikan nafkah
iddah pada mantan istri yang telah
ditalak.
B. Arti Kata al-Thalaq dan Kategorisasinya di Surah al-Thalaq
Surah al-Thalaq ini terdiri dari 12 ayat, diturunkan di
Madinah setelah surah al-Insan sebelum surah al-Bayyinah. Surah
al-Thalaq merupakan surah ke 96 yang diturunkan kepada Nabi
Saw. Namun, di dalam mushaf, urutan surah ini adalah surah ke
65. Dalam surah ini dijelaskan mengenai berbagai hukum talak
dan juga terdapat penjelasan mengenai berbagai perincian
mengenai talak yang tidak ada dijelaskan dalam surah lain kecuali
surah al-Baqarah. Surah ini adalah salah satu surah Madaniyyah
yang ayat-ayatnya disepakati turun setelah Nabi Muhammad Saw.
berhijrah kemadinah. Sebab turunnya adalah pertanyaan yang
diajukan oleh Umar bin Khattab kepada Rasulullah Saw.
menyangkut anak beliau Abdullah yang mentalak istrinya yang
sedang haid. Nabi menjawab, “Hendaklah dia rujuk kepadanya”
dan bersabda pula “apabila istrinya itu telah suci, maka dia boleh
menceraikan boleh juga melanjutkan ikatan perkawinan.” Ketika
46
itu Nabi Saw. membaca: ya ayyuha an-Nabiyyu iza thallaqtum al-
Nisa (HR. Muslim, melalui Abu al-Zubair yang mendengarnya
dari Abdurrahman Ibn Aiman).4
Pertanyaan dalam hadis ini dipahami oleh ulama sebagai
sebab turunnya surah saat itu, ada juga yang memahaminya turun
sesudahnya. Ada juga riwayat yang menyatakan bahwa ia turun
berkaitan dengan perceraian Nabi dengan Hafsah, namun pendapat
tersebut tidak diterima oleh banyak ulama atau dasar Nabi Saw.
tidak mentalak Hafsah. Adapun yang diperbincangkan dalam
surah ini, yang pertama yaitu mengenai talak, dengan demikian
maka dikenal dengan nama surah al-Thalaq. Namun, nama
tersebut pada masa Rasul Saw. tidak dikenal. Begitu pula riwayat-
riwayat yang menyebut demikian tidak dinilai sebagai riwayat
yang shahih. Saat itu, nama yang dikenal yaitu surah al-Nisa al-
Quṣra (surah al-Nisa yang pendek), hal ini disebabkan adanya
surah al-Nisa yang panjang yakni surah keempat pada perurutan
penulisan mushaf al-Qur‟ān. Namanya sebagai surah al-Thalaq
jauh lebih terkenal. Oleh sebab itu, itulah nama yang dicantumkan
dalam mushaf, dan yang selalu tertulis dalam kitab-kitab tafsir.
Adapun tema utamanya yaitu uraian tentang talak dan hal-hal yang
berhubungan dengannya, seperti iddah, nafkah, penyusuan anak
dan tempat tinggal yang diceraikan.5
Sesungguhnya, dalam surah ini terdapat pembahasan
mengenai pentingnya urusan keluarga dalam sistem kehidupan
4M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur‟an, Vol. 14, h. 127. 5M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur‟an, Vol. 14, h. 127.
47
yang islami. Rumah, dalam pandangan Islam adalah tempat
tinggal dan istirahat. Tiap-tiap jiwa di dalamnya harus
mendapatkan kasih sayang, rahmat, cinta, perhiasan, penjagaan,
dan kesucian. Anak-anak tumbuh dan generasi baru berangsur-
angsur mencapai kesempurnaan dalam naungan rumah tersebut.
Selain itu, ikatan-ikatan kasih dan hubungan-hubungan
ketergantungan dan pengasuhan turut berkembang dari rumah
tersebut. Maka dari itu, Islam menggambarkan hubungan rumah
tangga dengan gambaran yang halus dan lembut, yang dari
hubungan rumah tangga tersebut akan tersebar sifat kasih sayang
yang di dalamnya akan terbentang naungan, dan di dalamnya
terbentang wangi keharuman yang semerbak di dalamnya. Jadi
hubungan rumah tangga merupakan hubungan dan ikatan antara
jiwa dengan jiwa. Ini merupakan hubungan dan ikatan antara
tempat tinggal dengan kestabilan dan juga merupakan hubungan
dan ikatan antara cinta dengan kasih sayang.6
Berdasarkan pencarian yang dilakukan oleh penulis pada
surah al-Thalaq, maka, tema-tema dalam surah tersebut yang
berkaitan dengan perempuan adalah sebagai berikut:
1. Aturan menalak (menceraikan) istri).
2. Perintah mempersaksikan rujuk.
3. Masa iddah.
4. Kewajiban mantan suami terhadap mantan istri yang telah
ditalak.
5. Nafkah iddah.
6Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur‟an, (Jakarta: Gema Insani, 2004),
cet .I, h. 310-312.
48
Dalam al-Qur‟ān, kata al-Thalaq dapat ditemukan di
beberapa ayat dan surah dengan segala bentuk perubahannya.
Sebagaimana hasil penelusurannya yaitu:
No. Kata Jumlah Surah
.kali al-Baqarah (2): 227, 229 2 اال ق .1
.kali a. al-Baqarah (2): 231, 232, 236 4 لت .2
b. al-Thalaq (65): 1.
,kali al-Baqarah (2): 228, 241 2 اال ل ت .3
و لت .4 2 kali a. al-Baqarah (2): 237.
b. al-Ahzab (33): 49.
.kali al-Tahrim (66): 5 1 ن ق .5
ه ق .6 1 kali al-Baqarah (2): 230.
Berdasarkan tabel diatas, maka berikut ini adalah kata al-
Thalaq di dalam QS. al-Thalaq:
Surah al-Thalaq (65): 1:
و تػرل ا للر ربر ل لا ة ع ر ص ا ال ت ايل ء ل ل هنر اع رتنر وأ ل ػط ايربط إذا رلل ي
ل تي ب لن إلار أف ي ل ط ػ ي تل هنر ن بػ تنر ولا يل ود للر وت ل
ا أ ل ذ ث بػعل ري اع ر للر يلل ۥ لا ت ل او ن ػتػع ر ود للر ػل ل ظ ػ ل
١ “Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) iddahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu iddah
itu, serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu
keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah (diizinkan) ke
luar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas.
Itulah hukum-hukum Allah, dan barangsiapa melanggar hukum-
hukum Allah, maka sungguh, dia telah berbuat zalim terhadap
dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali setelah itu
Allah mengadakan suatu ketentuan yang baru.”
49
Ayat ini menjelaskan tentang masa iddah perempuan yang
dicerai.
C. Arti Kata al-Kubra dan al-Shughra
1. Al-Kubra
( ػ )ف ص رة د ؤ ث و ذره ( ػ ى) أص الا : ػ ى
( ػ ى)و ذ
Kubra: Kalimat asalnya adalah isim, (kubra) berbentuk
mufrad (sendiri) muannnas (perempuan). Akar katanya adalah
- ػ (besar) dan batangnya adalah kubra.7
Terjemahan dari ػ ى dalam bahasa Indonesia adalah mayor.
Sebagaimana beberapa contoh kalimatnya yaitu:8
: ائ ػ ىHadiah yang paling besar.
:أخت ػ ىSeorang kakak perempuan.
:هذا ل ػ ىItu masalah terbesar.
7Terjemahan dan Arti ل ى di Kamus Istilah Indonesia Arab,
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/ل ى / 8Terjemahan dari ل ى , https://www.kamusind.com/terjemahan/arab-
indonesia/ل ى
50
2. Al-Shughra
ف ص رة د ؤ ث و ذره ( صل ى ) أص الا : صل ى
(صل ى )و ذ ( صل )
Shughra: Kalimat asalnya adalah isim, (shughra) berbentuk
mufrad (sendiri) muannnas (perempuan). Akar katanya adalah
صل – صل (kecil, sedikit, berkurang) dan batangnya adalah
shughra.9
Terjemahan dari صل ى dalam bahasa Indonesia adalah junior.
Sebagaimana beberapa contoh kalimatnya yaitu:10
: ع ػ ، أخت صل ى اي Guru Seo sudah seperti adikku.
: ف واا ي ػل ؿ دائ أف ا ير أخت صل ى Ayah pernah berkata bahwa aku memiliki satu adik.
: Rا أ ر ااعل ػ ف ؿ اأتػع يذ صل ى اط Oh, kau tahu, sejak masih kecil, orang militer membuatku
tertarik.
9Terjemahan dan Arti ,di Kamus Istilah Indonesia Arab صغ ى
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/صغ ى/ 10Terjemahan dari صغ ى, https://www.kamusind.com/terjemahan/arab-
indonesia/صغ ى
51
BAB IV
ANALISIS KONTEN TERHADAP
SURAH AL-THALAQ DAN AL-NISA
A. Perbandingan Posisi Surah al-Nisa dan al-Thalaq dalam
Mushaf dan Tanzil
Surah al-Nisa‟ adalah surah yang telah dikenal sejak masa
Nabi Saw. Istri Nabi Saw. yakni A‟isyah ra. menjelaskan bahwa
surah al-Baqarah dan surah al-Nisa‟ turun setelah beliau menikah
dengan Nabi Saw. Ia juga dikenal dengan nama al-Nisa al-Kubra
atau al-Nisa ath-Thula karena surah al-Thalaq dikenal sebagai
surah al-Nisa ash-Shughra. Secara bahasa, dinamakan al-Nisa
karena maknanya adalah perempuan. Hal ini disebabkan
pembahasannya dimulai dengan uraian tentang hubungan Silah al-
Rahim dan begitu banyak ketetapan hukum mengenai perempuan,
seperti membahas pernikahan, anak-anak perempuan, dan ditutupi
dengan ketentuan hukum tentang mereka.1
Surah al-Nisa merupakan surah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad setelah hijrah ke Madinah (8 bulan sesudah
hijrah) atau disebut dengan surah Madaniyah. Dalam riwayat,
Aisyah ra. menegaskan bahwa surah al-Baqarah dan surah al-Nisa
turun setelah beliau menikah dengan Nabi Saw. Para ulama
sepakat bahwa surah al-Nisa turun setelah surah al-Baqarah. Akan
tetapi, mayoritas ulama berpendapat bahwa surah al-Nisa turun
sesudah surah Āli „Imrān. Dalam urutan mushaf, surah al-Nisa
adalah surah yang ke 4 setelah surah Āli „Imrān. Al-Nisa disebut
1M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 2, h. 393.
52
juga al-Nisa al-Kubra atau al-Nisa al-Thula telah dikenal sejak
masa Nabi Saw dan disebut demikian dikarenakan pembahasan
tentang wanita sangat komprehensif. Surah al-Nisa juga surah
terpanjang sesudah surah al-Baqarah. Ada 5 surah yang
menjadikan wanita sebagai tema pokonya, yaitu Q.S. al-Nisa
surah keempat, Maryam surah ke sembilan belas, al-Mujadilah
surah kelima puluh delapan, Q.S. al-Mumtahanah surah keenam
puluh dan al-Thalaq surah keenam puluh lima. Ada 176 ayat
dalam surah al-Nisa yang memperbincangkan banyak hal, salah
satunya tentu saja wanita.
Sedangkan surah al-Thalaq, surah ini merupakan salah satu
surah madaniyah yang ayat-ayatnya secara keseluruhan turun
setelah Nabi Muhammad SAW berhijrah ke Madinah.2 Ada 12
ayat dalam surah al-Thalaq yang memperbincangkan beberapa
hal, salah satunya tentu saja wanita yang menjadikan surah ini
disebut sebagai al-Nisa al-Quṣra. Dalam Tafsir al-Shabuni pada
ayat pertama bahwa al-Kalabi berkata sebab turunnya ayat ini
ialah, bahwa Rasulullah Saw. marah kepada Hafsah karena Nabi
merahasiakan suatu perkara kepadanya tetapi kemudian ia
bocorkan kepada Aisyah lalu ia ditalak kemudian turun ayat ini.3
Dalam riwayat lain, surah al-Thalaq turun atas pertanyaan
dari Umar bin Khattab ra. tentang anak beliau, Abdullah yang
menalak istrinya yang sedang haid. Nabi Saw. menjawab,
“Hendaklah ia rujuk kepadanya dan apabila istrinya itu telah suci,
2M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur‟an, Vol. 14, h. 127. 3Imam Al-Shabuni, Tafsir As-Shabuni, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), h.
237.
53
maka ia boleh menceraikan, boleh juga melanjutkan ikatan
perkawinan.”4 Ketika itu Nabi Saw. membaca:
ت ايل ء ػط ايربط إذا رلل ي
Menurut al-Qurthubi dalam kitab Sunan Abu Daud terdapat
hadis yang diriwayatkan dari Asma binti Yazid bahwa dia cerai
pada masa Rasulullah dan saat itu belum ada iddah bagi wanita
yang dicerai. Allah kemudian menurunkan iddah cerai ketika
Asma diceraikan. Oleh karena itulah, Asma menjadi wanita
pertama yang tentangnya iddah cerai diturunkan.5 Ayat 1 ini turun
berkenaan peristiwa itu yang menegaskan bahwa kewajiban
seorang suami terhadap istrinya yang ditalak tetap harus ditunai
sampai habis masa iddah, tapi dilarang tidur bersama. (HR. Hakim
dari Ibnu Abas). Menurut al-Dzahabi isnad hadis ini lemah dan isi
beritanya salah, karena peristiwa Abu Yazid terjadi sebelum Islam
sampai kepadanya.6
B. Perbandingan Pembukaan Surah al-Nisa dan al-Thalaq
1. Surah al-Nisa ayat 1
س ػط اير س تػرل ا ربر ارذي خ ل ن ػر ل و ةي زول وخ ق يػل ر ؿ ـ ا و ل ءا ثيروبثر يػل رل
و تػرل ا للر ارذي تل ءا ف ب ۦ و ال
ل رق ب ١ اإفر للر ف ل
4M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur‟an, Vol. 14, h. 127. 5Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, t.t),
jilid 18, h. 621. 6A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al-Qur‟an Surah
Al-Baqarah - An Nas, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 823-824.
54
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang
telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan
(Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan
dari keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang
dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah)
hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasimu.”
Quraisy Shihab dalam tafsir al-Mishbah menjelaskan ayat
pertama surah al-Nisa ini merupakan pengantar untuk lahirnya
persatuan dan kesatuan sesama manusia, serta tolong menolong
dan saling mengasihi. Hal ini disebabkan tiap manusia asalnya
adalah sama yaitu dari satu keturunan, antara perempuan dan
laki-laki tidak memiliki perbedaan, besar atau kecil,
mempunyai agama atau tidak. Semuanya diminta untuk
berdamai dan saling menghormati dalam bermasyarakat,
memberikan rasa aman untuk menghormati hak-hak asasi
manusia. Selanjutnya, menurut beliau, walaupun surah al-Nisa
ini menjelaskan kesatuan dan kesamaan orang per orang dari
segi hakikat kemanusiaan, konteksnya untuk memaparkan
banyak dan berkembang biaknya mereka dari seorang ayah,
yakni Adam, dan seorang ibu, yakni Hawa.7
Pembahasan utama pada kalimat wa khalaqa minha
zaujaha yaitu mengenai proses penciptaan pasangan dari nafs
wahidah. Para mufassir, secara umum mengartikannya sebagai
Hawa yang proses penciptaannya adalah tercipta dari tulang
7M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur‟an, Vol. 2, h. 397-398.
55
rusuk sebelah kiri Adam yang keras dan bengkok.8 Akan tetapi,
sebagian mufassir membantah dengan memiliki pendapatnya
sendiri yakni Hawa diciptakan dari jenis yang sama tanpa
mempunyai perbedaan dengan adam, cukup banyak ulama
kontemporer yang memahaminya secara metaforis. Tak hanya
itu saja, namun terdapat juga ulama yang menolak keshahihan
hadis yang mereka argumentasikan.9
Melihat perbandingan pendapat tersebut, bisa dipahami
dengan mempertentangkan keduanya, yakni memahami bahwa
dengan perkawinan Adam dan Hawa yang diciptakan Allah
swt, maka, bisa tercipta dan lahir lah manusia-manusia lain
dengan banyak, baik itu perempuan maupun laki-laki, begitu
juga para manusia selanjutnya dapat berkembang sampai akhir
kehidupannya. Adapun makna perempuan yang dijelaskan
sebagai pasangan suaminya, hal ini diwujudkan hanya dengan
melaksanakan perkawinan yang sah.10
Manusia mampu
berkembang dari kedua suami dan istri, hanya melalui
perkawinan tersebut, sehingga manusia dapat berkembang
dengan jumlah yang banyak, baik itu pada suatu suku dan
bangsa, atau pada kelompok-kelompok tertentu, baik itu
perempuan (Nisa‟) atau laki-laki (Rijal) yang mereka semua
tidak memiliki hak dan tanggung jawab yang berbeda dalam
8Imam Ibn Katsir al-Qursyi al-Damasyqiy, Tafsir al-Qur‟an al-„Azim,
(Beirut al-Fikr, 1992), juz. I, h. 553-554. 9M. Quraisy Shihab, Wawasan al-Qur‟an; Tafsir Maudhu‟i atas
Pelbagai Persoalan Umat, (Jakarta: Mizan, 1996), cet. III, h. 300. 10Marwati, “Pemberdayaan Perempuan; Kajian Tafsir al-Qur‟an Surah
al-Nisa Ayat 1”, Jurnal Adabiyah, XV, 2, (2015), h. 106.
56
melaksanakan pesan dan amanat dari Allah Swt., mereka hanya
berbeda pada masing-masing kualitas ketakwaannya.11
Kata “al-Nisa‟”, adalah bentuk jamak dari “mar‟ah” atau
“imra‟ah”, hal ini disebabkan bentuk jamaknya bukan berasal
dari lafal aslinya. Begitu juga kata “al-Kaum” adalah jamak
dari “al-Mar‟u” sedangkan “al-Mar‟ah” adalah untuk jamak
“al-Nisa‟ al-Niswan dan al-Niswah”.12
Secara filologi bahasa
Arab, ia serumpun dengan kata “al-Nisa” yang artinya lembut
dan menentramkan.13
Definisi tersebut identik dengan bentukan
kata dari al-Nisa ya‟nisu, anusa-ya‟nisu, anasa–ya‟nisu, yang
berarti “rumah, suka”. Kata anusa–ya‟nisu menjadi jinak,
merasa sesuatu, melihat, mendengar, dan mengetahui”, akan
tetapi, kata terakhir ini digunakan dalam al-Qur‟ān dengan arti
melihat.14
Maka, terdapat hubungan dengan bentukan kata yang
berakar dari hamzah, nun dan sin yang identik dengan sifat-
sifat umumnya seorang manusia. Jika hak, tugas, dan peranan
wanita sebagaimana disebutkan di atas (keluarga) dilaksanakan
penuh tanggung jawab, maka akan memberikan peranan yang
lebih besar pada kehidupannya, terkhusus dalam kebahagiaan
11Marwati, “Pemberdayaan Perempuan; Kajian Tafsir al-Qur‟an Surah
al-Nisa Ayat 1”, Jurnal Adabiyah, h. 106. 12Marwati, “Pemberdayaan Perempuan; Kajian Tafsir al-Qur‟an Surah
al-Nisa Ayat 1”, Jurnal Adabiyah, h. 106. 13Marwati, “Pemberdayaan Perempuan; Kajian Tafsir al-Qur‟an Surah
al-Nisa Ayat 1”, Jurnal Adabiyah, h. 106. 14Abdul Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam
al-Qur‟an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), cet. I, h. 84.
57
dan kesejahteraan yang dihiasi cinta dan kasih sayang,15
anak-
anak, serta keluarga yang lain. Dengan demikian maka akan
terhindar dan turut selamat dari jilatan api neraka.16
2. Surah al-Thalaq ayat 1
و تػرل ا للر ة ع ر ص ا ال ت ايل ء ل ل هنر اع رتنر وأ ل ػط ايربط إذا رلل ي ل تي ب
لن إلار أف ي ل ط ػ ي ربر ل لا تل هنر ن بػ تنر ولا يل وت ل
ث ري اع ر للر يلل ۥ لا ت ل و ن ػتػع ر ود للر ػل ل ظ ػ ل ود للر
ا أ ل ذ ١ ابػعل“Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) iddahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu
iddah itu, serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.
Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya dan
janganlah (diizinkan) ke luar kecuali jika mereka
mengerjakan perbuatan keji yang jelas. Itulah hukum-hukum
Allah, dan barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah,
maka sungguh, dia telah berbuat zalim terhadap dirinya
sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali setelah itu Allah
mengadakan suatu ketentuan yang baru.”
Quraisy Shihab dalam tafsir al-Mishbah menjelaskan ayat
pertama surah al-Thalaq ini yakni kata ت berasal dari akar رلل
kata yang artinya adalah melepas. Allah mengukuhkan
hubungan suami dan istri yang terbentuk melalui akad nikah
sebagai mitsaqan galizhan/ikatan yang sangat kukuh. Dengan
demikian, maka ketika seorang suami menceraikan istrinya,
15Marwati, “Pemberdayaan Perempuan; Kajian Tafsir al-Qur‟an Surah
al-Nisa Ayat 1”, Jurnal Adabiyah, h. 107. 16Marwati, “Pemberdayaan Perempuan; Kajian Tafsir al-Qur‟an Surah
al-Nisa Ayat 1”, Jurnal Adabiyah, h. 107.
58
ini berarti bahwa ia melepaskan ikatan tersebut. Dari sini lah,
perceraian diberi nama dengan thalaq atau pelepasan ikatan.17
„Iddah yaitu masa tunggu yang wajib bagi istri yang
berpisah dengan suaminya, baik itu karena kematian suami
atau perceraian semasa hidup. Adapun tujuan menceraikan
istri saat ia suci alias bukan pada waktu haidnya yakni untuk
memberi batasan waktu perceraian supaya tidak sembarangan
dalam menjatuhkannya kapan saja.18
Sedangkan tujuan dari
„iddah adalah untuk memelihara kehormatan wanita tersebut
dan kehormatan suaminya juga jika tiba-tiba tergerak hati
mereka untuk rujuk kembali.19
Menurut al-Qurthubi dalam tafsirnya ia menjelaskan
tentang ayat pertama surah al-Thalaq ini terdapat beberapa
pembahasan yaitu pertama, ت ايل ء ػط ايربط إذا رلل Wahai“ ي
Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu, pesan ini
ditujukan untuk Nabi Saw. beliau diarahkan dengan lafadz
jamak, hal ini disebabkan untuk mengagungkan dan
memuliakan beliau.20
Qatadah meriwayatkan dari Anas, ia berkata bahwa
Rasulullah Saw. menceraikan Hafsah, lalu Hafsah datang
pada keluarganya. Allah kemudian menurunkan kepada beliau
17M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur‟an, Vol. 14, h. 133. 18M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur‟an, Vol. 14, h. 133. 19M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur‟an, Vol. 14, h. 135. 20Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 619.
59
ت ايل ء ل ل هنر اع رتنر ػط ايربط إذا رلل dikatakan kepada , ي
beliau “rujuklah ia, sebab ia adalah wanita yang banyak
beribadah lagi banyak berpuasa dan ia termasuk dari istri-
istrimu di surga.”21
Menurut al-Kalbi, asbabun nuzul ayat ini yaitu marahnya
Nabi Saw. kepada Hafsah, saat beliau bercerita mengenai
sebuah rahasia kepadanya, kemudian dia menceritakan rahasia
tersebut kepada Aisyah. Setelah itu, beliau menceraikan
Hafsah dengan talak satu kemudian turunlah ayat ini.22
Berdasarkan ayat pertama ini dapat disimpulkan bahwa
al-Qur‟ān menghalalkan talak, namun memiliki syarat-syarat
dan ketentuan tertentu. Meskipun suami yang memiliki hak
untuk menalak, namun tetap tidak boleh sembarangan dalam
menggunakannya. Apabila seorang suami memiliki inisiatif
untuk menalak istrinya, maka suami harus melihat pada
keadaan istrinya, supaya masa iddahnya tidak semakin lama
dan panjang. Selain itu, ayat ini juga menjelaskan bahwa saat
terjadi perceraian harus ada saksinya. Dengan demikian, hak
suami maupun istri akan tetap terlindungi sebaik mungkin.23
Selanjutnya, ayat ini juga menjelaskan bahwa Allah
memberikan penghargaan yang sangat besar kepada para
perempuan dalam penjatuhan talak. Allah tidak membenarkan
21Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 619. 22Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 620. 23Hemnel Fitriawati dan Zainuddin, “Talak dalam Perspektif Fikih,
Gender, dan Perlindungan Perempuan”, Yinyang: Jurnal Studi Islam, Gender
dan Anak, XV,1 (Januari-Juni, 2020), h. 65-66.
60
para suami untuk sembarangan menjatuhkan talak kepada
istri. Tujuannya adalah membatasi hak para suami. Dengan
demikian, derajat perempuan akan terangkat dan terlindungi
dengan sangat baik24
.
Hal ini memberikan indikasi bahwa antara perempuan
dan laki-laki mempunyai kesamaan kedudukan dan
kesetaraan. Dengan demikian, salah satu pihak tidak
dibenarkan untuk menzalimi pihak yang lain. Maka, al-Qur‟ān
telah mengusahakan untuk mengangkat derajat para
perempuan setinggi-tingginya. Tak hanya sampai situ, bahkan
disetarakan dengan laki-laki kecuali dalam hal-hal tertentu.
Oleh sebab itu, kesimpulannya adalah hak perempuan dan
laki-laki relatif seimbang dengan pengecualian tertentu.25
C. Perbandingan Akhir Surah al-Nisa dan al-Thalaq
1. Surah al-Nisa ayat 176
س ا ۥ وا ؤا ه ا ل إف ل ت ل ف ال ػ ل ت ق للر تػ ل ت لل وا ۥ أخل
وا وه ػ إف لرل ن رف تػ ؾ ػ ػ صل يػتػيل إف ػت ػل
24Hemnel Fitriawati dan Zainuddin, “Talak dalam Perspektif Fikih,
Gender, dan Perlindungan Perempuan”, Yinyang: Jurnal Studi Islam, Gender
dan Anak, h. 66-67. 25Hemnel Fitriawati dan Zainuddin, “Talak dalam Perspektif Fikih,
Gender, dan Perlindungan Perempuan”, Yinyang: Jurnal Studi Islam, Gender
dan Anak, h. 67.
61
ة وإف ػ ا إخل ا و ل ء ر ؿ اثػط ث ف مر تػ ؾ ػ ػي ثػ ػيل ظ ال ذر ثل
ء ب ل و للر ا ل أف ت ط ا ١٧٦ للر
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).
Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah,
(yaitu) jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak
tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya
(saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi
(seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai
anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi
keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika
mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki
dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama
dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan
(hukum ini) kepadamu agar kamu tidak sesat. Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.”
Quraisy Shihab dalam tafsir al-Mishbah menjelaskan surah
al-Nisa ini ditutup dengan suatu pernyataan mengenai
pengetahuan Allah Swt. yang menyeluruh dan begitu pula
berakhir dengan pembahasan hukum waris meski redaksinya
cukup terbatas. Namun, kandungan makna dalam ayat ini amat
lah dalam dan cukup banyak. Pada ayat penutup ini dijelaskan
mengenai hak-hak para perempuan dan laki-laki tanpa adanya
perbedaan, kecuali didasarkan pada pemerataan dan keadilan.26
Dalam tafsir al-Munir dijelaskan bahwa dalam ayat
terakhir surah al-Nisa ini, Allah Swt. membagi ahli waris
kepada tiga kelompok. Pertama, ahli waris yang terhubung
26M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur‟an, Vol. 2, h. 843-844.
62
secara langsung dengan si mayat tanpa perantara, yaitu anak
dan kedua orangtua. Kedua, ahli waris yang mempunyai
hubungan dengan mayat yang disebabkan ikatan perkawinan
yaitu suami atau istri. Ketiga, ahli waris yang tersambung
dengan si mayat dengan adanya perantara atau tidak secara
langsung, yaitu ahli waris yang disebut al-kalalah yakni ahli
waris selain anak dan kedua orangtua. Namun, pendapat yang
kuat tentang al-kalalah yaitu ahli waris selain orangtua dan
anak. Ini merupakan penafsiran Abu Bakar al-Shiddiq.27
Ibnu Jarir al-Thabari meriwayatkan dari al-Sya‟bi, ia
berkata Abu Bakar al-Shiddiq ra. berkata “Saya memiliki
penafsiran tentang maksud al-kalalah, jika penafsiran saya
tersebut benar, maka itu tidak lain berasal dari Allah Swt.
Namun jika keliru, maka itu berasal dari saya dan setan. Allah
Swt. terlepas dari kekeliruan itu, yaitu al-kalalah adalah ahli
waris selain orangtua dan anak.”28
Ayat ini ditutup dengan pernyataan bahwa Allah Swt.
memberlakukan syari‟at dan menuliskan aturan-aturan
mengenai permasalahan waris. Allah Swt. Maha Mengetahui
bahwa aturan-aturan tersebut terdapat banyak kebaikan dan
kemaslahatan untuk hamba-hambaNya.29
27Wahbah al-Zuhaili, Tafsir Al-Munir; Aqidah, Syariah, Manhaj,
(Jakarta: Gema Insani, 2013), Jilid 2, h. 617. 28Wahbah al-Zuhaili, Tafsir Al-Munir; Aqidah, Syariah, Manhaj, Jilid 2,
h. 617. 29Wahbah al-Zuhaili, Tafsir Al-Munir; Aqidah, Syariah, Manhaj, Jilid 2,
h. 619.
63
2. Surah al-Thalaq ayat 12
س ت ارذي خ ق ل ا للر يػ نر اتػعل بػ ػل ل نر ػتػيػ رؿ ال ض ثػل رل و ن ال
ء ـ ل ق أفر للر ء ل ١٢ وأفر للر ق ل أ ط ب ل
“Allah menciptakan tujuh langit dan dari (penciptaan) bumi
juga serupa. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu
mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan
ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.”
Sayyid Quthub dalam tafsir Quraisy Shihab yakni al-
Mishbah menjelaskan ayat terakhir surah al-Thalaq ini terdapat
sebuah sentuhan yang memiliki nilai dari dua sisi. Sisi pertama
yaitu Allah yang mempunyai ilmu segalanya memberi perintah
mengenai segala ketetapan hukum. Allah menurunkannya dan
juga mengetahui segala kondisi, kemaslahatan, dan potensi
seluruh manusia. Maka, segala ketetapan tersebut harusnya
dilaksanakan dan tidak membuat berpaling kepada selainnya.
Sisi kedua yaitu segala ketetapan hukum tersebut dititipkan
dalam hati nurani.30
Dalam tafsir al-Qurthubi dijelaskan bahwa ayat penutup ini
menjelaskan tentang kesempurnaan kekuasaan Allah Swt.
Maksudnya adalah Allah mempunyai kekuasaan dalam
membangkitkan dan melaksanakan hisab. Mengenai langit
yang berjumlah tujuh lapis, tidak ada perbedaan pendapat
30M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur‟an, Vol. 14, h. 155.
64
tentangnya. Para ulama bersepakat bahwa langit memang
berjumlah tujuh lapis.31
Namun, terdapat perbedaan pendapat mengenai bumi.
Pendapat pertama yaitu pendapat mayoritas ulama yang
mengatakan bahwa bumi memiliki tujuh tingkatan yang
sebagiannya berada diatas sebagian lain. Adapun mengenai
jarak antara tingkatan bumi yang satu dengan lainnya seperti
jarak antara langit dan bumi. Pada tiap tingkatan tersebut
terdapat penduduknya yakni makhluk Allah Swt. Pendapat
kedua yaitu pendapat Adh-Dhahhak mengatakan Allah
berfirman نر ض ثػل رل dan dari (penciptaan) bumi juga“ و ن ال
serupa” yaitu tujuh lapis. Namun, tidak terdapat jarak antara
lapisan yang satu dengan lainnya. Pendapat yang shahih adalah
pendapat pertama.32
D. Pemetaan Kandungan Surah al-Nisa dan al-Thalaq
Al-Maraghi menjelaskan bahwa topik-topik dalam surah al-
Nisa adalah sebagai berikut:33
1. Perintah agar bertakwa kepada Allah secara sembunyi-
sembunyi atau terang-terangan.
Terdapat seruan kepada manusia untuk bertaqwa kepada
Allah yang telah menciptakan manusia dari diri yang satu,
lalu bersambung lagi kepada seruan untuk bertaqwa, dan
31Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 693. 32Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 693-694. 33Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Beirut: Dar Al-
Fikr, 2001), jilid 4, h. 312.
65
diingatkan pula mengenai pengawasan dan penjagaan Allah
Swt.
2. Mengingatkan orang yang diajak bicara, bahwa mereka
berasal dari satu jiwa.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa manusia berasal
dari satu tempat yang berhubungan dalam satu rahim, bertemu
dalam satu ikatan, dan bersumber dari asal-usul yang satu
serta bernasab pada satu nasab, maka perbedaan antara satu
manusia dengan manusia yang lain adalah tidak ada. Manusia
seharusnya wajib menyadari hakikat tersebut, dengan
demikian, maka segala perasaan mereka akan seimbang.
Tidak akan terjadi pelanggaran dalam hubungan cinta dan
kasih sayang (kekeluargaan) dan hak-haknya untuk dipelihara,
begitu pula mengenai pelanggaran nafs dan hak-haknya dalam
berkasih sayang serta hubungan rububiyyah dan hak-haknya
dalam urusan takwa pada Allah Swt.
3. Hukum-hukum pertalian kerabat dan bersimenda.
4. Hukum-hukum yang menyangkut masalah pernikahan dan
pembagian waris.
5. Hukum-hukum mengenai peperangan.
6. Perdebatan dengan orang-orang Ahli Kitab.
7. Sebagian berita yang menelanjangi perilaku orang-orang
munafik.
8. Pembicaraan dengan kaum Ahli Kitab sampai batas 3 ayat
sebelum akhir surah.
Surah Al-Nisa juga banyak membahas segala peraturan
hidup dan undang-undang, seperti membahas persoalan
66
pembagian waris (faraidh), pembahasan mengenai hukum nikah
dan siapa-siapa saja perempuan yang disebutkan mahram, yang
tidak boleh untuk dinikahi, bagaimana kewajiban laki-laki
terhadap perempuan dan bagaimana kewajiban perempuan
terhadap laki-laki. Selain itu juga membahas tentang anak yatim,
terutama kebolehan beristri sampai empat dijelaskan dalam surah
ini. Dua surah sebelumnya yaitu Ali Imran dan al-Baqarah, dibuka
dengan taqwa dan ditutup dengan taqwa. Begitu juga terdapat
pembahasan mengenai kejahatan kaum munafikun tidak
ketinggalan dibuka rahasianya. Hal ini dikarenakan masyarakat
yang baru di bangun di Madinah itu selalu diganggu oleh
kecurangan kaum munafik. Kemudian, terdapat pembahasan
dasar-dasar pendirian suatu pemerintahan yang adil, sebagai dasar
cita-cita Islam di dalam surah ini. Sebagaimana setelah di surah
Ali Imran banyak dibicarakan mengenai perang Uhud, maka
dalam surah Al-Nisa dibahas pula kelanjutan perang Uhud yaitu
perjalanan Rasulullah dan kaum muslimin mengejar musyirikin
setelah perang Uhud tersebut sampai ke suatu tempat bernama
Hamraul Asad. Selain itu, terdapat juga penjelasan mengenai tata
cara menunaikan shalat ketika sedang berada dalam peperangan.34
34Abdulmalik Abdulkarim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, (Singapura:
Pustaka Nasional Pte Ltd, Th), juz IV, cet. I, h. 1050-1051.
67
Tabel kandungan Q.S Al-Nisa: 35
No Ayat Keterangan
1 1-6 dengan
keluarga
a. Perintah bertakwa
b. Pelurusan terkait penciptaan
manusia (baca wanita)
c. Jaga silaturahmi
d. Sikap terhadap anak yatim
e. Aturan nikah – poligami
f. Pemberian mas kawin (harus
penuh kerelaan)
g. Aturan tentang harta anak yatim
2 7-14 waris h. Hukum waris dimana 2 ayat
terakhir menjadi pengingat untuk
tidak melanggar ketentuan Allah
3 15-18 i. Aturan bagi perbuatan keji yang
melakukan
j. Perintah untuk segera bertaubat
4 19-21 k. Hubungan suami istri
5 22-28 l. Hukum perkawinan, siapa yang
boleh untuk dinikahi
6 29-33 m. Melindungi harta milik
7 34-35 n. Relasi suami istri
8 36-42 o. Membangun relasi baik dengan
orang tua dan karib kerabat
p. Siksaan bagi orang yang kikir
35Isti‟anah Abubakar, “Filosofi Wanita: Sebuah Inspirasi dari Surah al-
Nisa”, Egalita: Jurnal Kesetaraan dan Keadilan Gender, h. 44-45.
68
q. Tidak menafkahkan harta dengan
riya‟
r. Anjuran untuk bersedekah
s. Peringatan bagi orang kafir
9 43-57 t. Menjaga shalat
u. Deskripsi orang-orang yang
mengingkari ayat-ayat Allah
10 58-70
dasar-dasar
pemerintahan
v. Adil dan amanah
w. Mentaati
11 71-96
Perang dan
adab-
adabnya
x. Jihad, meluruskan niat semuanya
karena Allah
12 97-104 y. Keutamaan hijrah
z. Konsekuensi hijrah
13 105-122 aa. Adil dan berani menegakkan
kebenaran
14 123-126 bb. Persamaan balasan untuk laki-
laki dan perempuan
15 127-130 cc. Hukum berumah tangga
relasi terhadap wanita nusyuz
menggauli wanita
konsekwensi dalam berpoligami
16 131-134 dd. Menjadikan Allah sebagai
sandaran solusi atas segala
permasalahan yang muncul
69
17 135-136 ee. Berlaku adil jika menjadi saksi
bagi siapapun
18 137-147 ff. Deskripsi orang munafik dan
peringatan Allah tentangnya
19 148-149 gg. Membangun relasi dan
membangun komunikasi dengan
perkataan yang baik
20 150-162 hh. Siksaan bagi orang munafik dan
balasan bagi orang yahudi
21 163-175 ii. Penguatan bahwa ajaran yang
dibawa Nabi-Nabi Allah adalah
sama dan saling
menyempurnakan
Sedangkan surah al-Thalaq, sebagaimana penamaannya
yakni surah al-Thalaq, surah ini tentu terdapat pembahasan
mengenai talak. Dalam perspektif fikih, talak adalah
menghilangkan ikatan sebuah hubungan perkawinan sehingga
sang istri tidak lagi halal bagi sang suami, kecuali jika suami
melakukan rujuk atau kembali lagi kepada mantan istrinya.
Terdapat dua macam konsepsi talak dalam fikih, diantaranya:36
1. Thalaq Raj‟i, yakni seorang suami mempunyai hak untuk
rujuk dengan istrinya.
2. Thalaq Ba‟in, yakni meniadakan hak rujuk.
Diharuskan adanya akad nikah yang baru sebagai akibat
hukum dari Thalaq Ba‟in Sugra, jika mantan suami mempunyai
36Hemnel Fitriawati dan Zainuddin, “Talak dalam Perspektif Fikih,
Gender, dan Perlindungan Perempuan”, Yinyang: Jurnal Studi Islam, Gender
dan Anak, h. 62.
70
niat untuk kembali rujuk kepada mantan istrinya. Definisi Thalaq
Raj‟i adalah talak satu atau dua yang dijatuhkan oleh seorang
suami kepada istrinya. Seorang suami masih dapat rujuk dan
kembali ke mantan istrinya tanpa harus adanya akad baru, selama
istrinya tersebut masih dalam masa iddah. Ini adalah pendapat
Wahbah Al-Zuhayli.37
Dalam fikih, hukum asal talak ialah makruh, akan tetapi ia
bisa berubah menjadi wajib, haram, dan mubah dengan alasan-
alasan tertentu. Apabila talak adalah pilihan terbaik untuk
mengakhiri pertikaian dan kecekcokan antara suami dan istri,
maka hukumnya menjadi wajib. Apabila dilaksanakan bukan
karena tuntutan yang dibenarkan dan akan menciptakan kerusakan
terhadap suami dan istri, maka hukumnya menjadi haram. Apabila
menunjukkan beberapa hal yang sudah tidak lagi dapat ditolerir,
misalnya, istri terbukti selingkuh, maka hukumnya menjadi
mubah. Talak sah dilakukan kapan dan dimana saja, sebagaimana
merujuk pada hukum asal talak tersebut yang merupakan hak
suami. Namun, para fuqaha memiliki pendapat yakni, melakukan
talak harus lah disertai dengan niat yang benar.38
Seorang suami yang mengucapkan talak memerlukan niat
atau petunjuk dari keadaan. Ini merupakan pendapat dari Imam
Hanafi, Syafi‟i, dan Imam Ahmad bin Hambali. Sedangkan Imam
Maliki berpendapat bahwa seorang suami cukup dengan ucapan,
37Hemnel Fitriawati dan Zainuddin, “Talak dalam Perspektif Fikih,
Gender, dan Perlindungan Perempuan”, Yinyang: Jurnal Studi Islam, Gender
dan Anak, h. 62. 38Hemnel Fitriawati dan Zainuddin, “Talak dalam Perspektif Fikih,
Gender, dan Perlindungan Perempuan”, Yinyang: Jurnal Studi Islam, Gender
dan Anak, h. 63.
71
tanpa dengan niat dalam menjatuhkan talak. Pernyataaan talak
oleh suami dianggap sah, sebagaimana telah diatur dalam hukum
Islam yang sudah terformulasi dalam berbagai pemikiran fuqaha,
telah terputus lah ikatan perkawinan antara suami dan istri. Talak
yang diucapkan suami dalam keadaan sadar atau tidak sadar
kepada istrinya dianggap sah dalam perspektif fikih. Ini
dimaksudkan agar selama terjalinnya ikatan perkawinan, seorang
suami diharuskan untuk menahan dirinya dalam mengeluarkan
kata-kata yang mengarah kepada talak. Para Imam Mazhab yakni
Imam Hanafi, Imam Ahmad bin Hambali dan Imam Syafi‟i
memiliki pendapat bahwa cerai talak dapat dikatakan sah apabila
disertai dengan niat dan jika tidak dibarengi dengan niat, maka
talak tersebut tidak sah.39
Saat rukun dan syarat telah dipenuhi oleh seorang suami,
maka talak dalam fikih dipandang sah. Saat seorang suami
mengucapkan pada istrinya baik itu dengan sengaja ataupun tidak
disengaja, maka sebuah talak telah dianggap jatuh dan sah kepada
istrinya. Thalaq Raj‟i memiliki akibat hukum yakni seorang suami
masih dibebani kewajiban dalam menafkahi istrinya selama masa
iddah istrinya belum habis, hal ini dikarenakan wanita tersebut
masih tetap berstatus istrinya. Tak hanya itu, bahkan mantan istri
yang sudah ditalak pun masih dibolehkan untuk berhias dan
tinggal dalam satu atap dengan mantan suaminya serta suami
masih mempunya hak untuk rujuk. Suami dikatakan sudah
39Hemnel Fitriawati dan Zainuddin, “Talak dalam Perspektif Fikih,
Gender, dan Perlindungan Perempuan”, Yinyang: Jurnal Studi Islam, Gender
dan Anak, h. 64.
72
merujuki mantan istrinya, apabila suami bercampur dengan
mantan istrinya tersebut.40
Tabel kandungan surah al-Thalaq: 41
No. Ayat Keterangan
1 1 Menjelaskan prosedur yang harus di
tempuh apabila seseorang berniat
menceraikan istrinya dan perlakuan yang
harus dijalankan terhadap istrinya sesudah
perceraian di ikrarkan dan wanita itu
habis masa iddahnya
2. 2-3 a. Perintah mempersaksikan 2 orang
saksi apabila ingin rujuk mau pun
cerai.
b. Menjelaskan jika seseorang
bertakwa, dan menghindari
kemaksiatan, Allah akan memberikan
jalan keluar. Jalan keluar dari
berbagai syubhat didunia (jalan
keluar) dari berbagai kesusahan
kematian dan jalan keluar dari
berbagai kesulitan pada hari kiamat
3. 4-5 Waktu masa iddah para perempuan:
a. Perempuan yang monopause masa
iddahnya adalah 3 bulan
40Hemnel Fitriawati dan Zainuddin, “Talak dalam Perspektif Fikih,
Gender, dan Perlindungan Perempuan”, Yinyang: Jurnal Studi Islam, Gender
dan Anak, h. 64. 41Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 618-699.
73
b. Perempuan yang hamil masa
iddahnya sampai melahirkan
4. 6 Kewajiban mantan suami terhadap istri
yang telah ditalak:
a. Memberikan tempat tinggal yang
layak kepada mantan istri sesuai
dengan kesanggupan mantan suami
b. Jika mantan istri sedang hamil, maka
harus memberikan nafkah hingga
bersalin
c. Jika mantan istri masih menyusui,
maka harus memberikan upah
d. Bermusyawarah dengan baik
mengenai hak anak-anak mereka
5. 7 a. Kewajiban memberi nafkah kepada
istri yang telah di talak, dan kepada
istri yang sedang menyusui
b. Kewajiban seorang ayah untuk tetap
memberikan nafkah kepada anak-
anaknya
6 8-11 a. Allah memberikan peringatan kepada
orang yang melanggar perintahNya
dan RasulNya
b. Allah menghisab (membalas) mereka
dengan siksaan di dunia
c. Allah mengazab mereka dengan azab
74
yang mengerikan di akhirat
d. Allah memasukkan orang-orang yang
beriman dan beramal shaleh ke dalam
surge
7 12 Penciptaan langit dan bumi yang masing-
masing bejumlah tujuh lapis
E. Analisa Penulis
Penulis menganalisis bahwa dasar penamaan kedua surah
ini, yakni surah al-Nisa dan al-Thalaq memiliki tema yang
berhubungan dengan perempuan. Pada surah al-Nisa banyak
membahas mengenai hukum keluarga dan permasalahan
perempuan. Sedangkan pembahasan dalam surah al-Thalaq
mengenai perempuan hanya terbatas tentang talak, selain itu
terdapat juga hal-hal yang berhubungan dengannya seperti iddah
dan nafkah, hanya saja surah ini tidak jauh lebih kompleks
pembahasannya terkait perempuan dibanding dengan surah al-
Nisa.
Surah Al-Nisa disebut juga al-Nisa al-Kubra atau al-Nisa al-
Thula sudah dikenal sejak masa Nabi Saw. Disebut demikian
karena pembahasan mengenai wanita sangat komprehensif dalam
surah ini. Adapun surah al-Thalaq, yang dibahas adalah mengenai
talak, oleh karena itulah maka dikenal dengan nama surah al-
Thalaq. Akan tetapi, nama tersebut pada masa Rasul Saw. tidak
dikenal. Begitu pula riwayat-riwayat yang menyebut demikian
tidak dinilai sebagai riwayat yang shahih. Di masa itu, nama yang
dikenal yaitu surah al-Nisa al-Quṣra (surah al-Nisa yang pendek),
75
dinamai demikian karena sudah terdapat surah al-Nisa yang
panjang yakni surah keempat dalam al-Qur‟ān. Namun, namanya
sebagai surah al-Thalaq jauh lebih terkenal.
Adapun tema dalam surah al-Thalaq yang berkaitan dengan
perempuan didapati juga dalam surah al-Nisa, yaitu mengenai
talak. Namun, hanya terdapat 1 ayat saja mengenai talak dalam
surah al-Nisa walaupun tidak terdapat kata al-Nisa dan al-Thalaq
di dalamnya, yaitu terdapat dalam QS. al-Nisa (4): 20. Akan
tetapi, perbedaannya adalah pada surah al-Nisa membahas tentang
ketidak bolehan suami untuk mengambil kembali harta (mahar)
yang telah diberikan kepada istri jika suami ingin menceraikan
istrinya dan menggantinya dengan perempuan lain. Sedangkan
dalam surah al-Thalaq membahas tentang prosedur dan waktu
yang dianjurkan saat ingin menceraikan istri. Selain itu, dalam
surah al-Nisa mau pun al-Thalaq sama-sama terdapat pembahasan
mengenai nafkah. Akan tetapi, perbedaannya adalah pada surah
al-Nisa membahas pemberian nafkah pada istri selama berumah
tangga. Sedangkan dalam surah al-Thalaq membahas nafkah istri
yang telah ditalak sampai masa iddahnya selesai.
Penulis memaparkan hanya 18 ayat surah al-Nisa karena
kata al-Nisa dengan segala bentuk perubahannya yang membahas
tentang perempuan hanya terdapat pada ayat-ayat tersebut.
Namun, terdapat pula 8 ayat yang membahas tentang perempuan
meskipun tidak terdapat kata al-Nisa di dalamnya, yaitu QS. al-
Nisa ayat 12, 20, 21, 25, 33, 35, 124, dan 128 sebagaimana telah
penulis uraikan pada bab sebelumnya.
76
Sedangkan dalam surah al-Thalaq yang terdiri dari 12 ayat,
hanya terdapat 2 ayat tentang perempuan yang memiliki kata al-
Nisa dan terdapat pula 2 ayat lainnya tanpa kata al-Nisa di
dalamnya namun membahas tentang perempuan, yaitu QS. al-
Thalaq ayat 2 dan 6 yang juga telah penulis uraikan pada bab
sebelumnya.
Selain itu, dalam keseluruhan al-Qur‟ān, penulis
menemukan 53 kata al-Nisa dengan segala bentuk perubahannya,
dimana terdapat 18 kata dalam surah al-Nisa dan 2 kata dalam
surah al-Thalaq sebagaimana telah penulis jelaskan sebelumnya.
Dan dari keseluruhan pembukaan surah dalam al-Qur‟ān, peneliti
menemukan kata al-Nisa hanya pada pembukaan surah al-Nisa
dan al-Thalaq saja.
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini, diperoleh kesimpulan bahwa dasar
penamaan surah al-Nisa, surah ini sudah dikenal sejak masa Nabi
Saw. dengan nama al-Nisa al-Kubra atau al-Nisa al-Thula,
dinamai demikian karena dalam surah ini lebih banyak membahas
mengenai permasalahan perempuan secara kompleks dibanding
surah al-Thalaq. Sedangkan surah al-Thalaq dikenal juga sejak
masa Nabi Saw. dengan nama al-Nisa al-Quṣra atau al-Nisa al-
Shughra, dinamai demikian karena dalam surah ini pembahasan
mengenai perempuan hanya terbatas tentang talak, iddah dan
nafkah, selain itu juga karena telah terdapat surah al-Nisa yang
panjang.
B. Saran
Saran yang penting untuk penulis sampaikan pada skripsi ini
yaitu skripsi ini bukanlah hasil akhir. Karena penulis merasa
pembahasan ini masih sangat diperlukan untuk dikaji ulang oleh
orang-orang yang ahli, misalnya seperti mahasiswa/i program
studi Ilmu al-Qur‟ān dan Tafsir. Hal ini disebabkan, menurut
penulis penelitian ini masih terbatas pada analisis kata al-Nisa
yang terdapat dalam al-Qur‟ān, terkhusus di dalam surah al-Nisa
dan al-Thalaq saja dan juga dasar penamaan kedua surah tersebut.
Maka, masih sangat memungkinkan untuk diteliti ulang agar
pembahasannya bisa lebih lengkap dan lebih dalam lagi.
78
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Amal, Taufik Adnan. Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an. Jakarta:
Yayasan Abad Demokrasi, 2011.
Amrullah, Abdulmalik Abdulkarim. Tafsir Al-Azhar. Juz IV. Cet. I.
Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, Th.
al-Bujairami, Sulaiman bin Umar. Tuhfah al-Habib „ala Syarh al-
Khathib. Juz 4. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996.
Bukhari, Shahih. Kitab al-Tafsir. Maktabah Dahlan: tt.
Chaer, Abdul. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta, 2003.
----------------. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta, 2002.
Channa, Liliek dan Syaiful Hidayat. Ulumul Qur‟an dan
Pembelajarannya. Surabaya: Kopertais IV Press, 2010.
al-Damasyqiy, Imam Ibn Katsir al-Qursyi. Tafsir al-Qur‟an al-„Azim.
Juz I. Beirut al-Fikr, 1992.
Dhaif, Syauqi. Mu‟jam al-Wasiṭ. Mesir: Maktabah Shurouq al-
Dauliyyah, 2011.
Fatwa al-Lajnah al-Daimah lilbuhus al-Ilmiah. Jilid 4.
79
al-Ibyary, Ibrahim. Pengenalan Sejarah al-Qur‟an. Cet. III Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1995.
Izzan, Ahmad. Ulumul Qur‟an: Telaah Tekstualitas al-Qur‟an.
Bandung: Tafakkur, 2009.
Kementerian Agama. Al-Qur‟an dan Terjemahannya. Bandung:
Syaamil Qur‟an, 2010).
Mahali, A. Mudjab. Asbabun Nuzul Studi Pendalaman al-Qur‟an
Surah Al-Baqarah - An Nas. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2002.
al-Maraghi, Ahmad Mushthafa. Tafsir Al-Maraghi. Jilid 4. Beirut: Dar
Al-Fikr, 2001.
al-Qurthubi, Imam. Tafsir Al-Qurthubi. Jilid 18. Jakarta: Pustaka
Azzam, t.t.
Quthb, Sayyid. Tafsir fi Zhilalil Qur‟an. Cet. I. Jakarta: Gema Insani,
2004.
Salim, Abdul Muin. Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam
al-Qur‟an. Cet. I. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.
al-Shabuni, Imam. Tafsir As-Shabuni. Surabaya: Bina Ilmu, 1987.
Shihab, M. Quraisy. Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur‟an. Juz 1. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
80
------------------------. Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur‟an. Vol. 2. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
------------------------. Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur‟an. Vol. 14. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
---------------------. Wawasan al-Qur‟an; Tafsir Maudhu‟i atas
Pelbagai Persoalan Umat. Cet. III. Jakarta: Mizan, 1996.
Suma, Muhammad Amin. Ulumul Qur‟an. Cet. I. Depok: PT
Rajagrafindo Persada, 2013.
al-Suyuti. al-Itqān Fī „Ulūm al-Qur‟ān. Jilid 1. Surakarta: Indiva
Pustaka, 2008.
Syahbah, Muhammad Abu. al-Madkhal li Dirasat al-Qur`an al-Karim.
KSA: Dar al-Liwa, 1987.
al-Tabari, Muhammad ibn Jarir. Jami al-bayan fi al-Ta‟wil al-Qur‟an.
Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir. Beirut: Muassah al-
Risalah, 2000.
Umar, Nasiruddin. Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur‟an.
Jakarta: Paramadina, 2001.
al-Zuhaili, Wahbah. Tafsir Al-Munir; Aqidah, Syariah, Manhaj. Jilid 2.
Jakarta: Gema Insani, 2013.
81
Jurnal
Abubakar, Isti‟anah. “Filosofi Wanita: Sebuah Inspirasi dari Surah al-
Nisa.” Egalita: Jurnal Kesetaraan dan Keadilan Gender. Vol.
XIII, No. 1, 2018.
Aziz, Farhat. “Structure of Holy Qur‟an.” Journal of Islamic Studies
and Culture. Vol. I, No. 1, Juni, 2013.
Fitriawati, Hemnel dan Zainuddin. “Talak dalam Perspektif Fikih,
Gender, dan Perlindungan Perempuan.” Yinyang: Jurnal Studi
Islam, Gender dan Anak. Vol. XV, No. 1, Januari-Juni, 2020.
Habib. “Semantik Kata Nisa‟ dalam al-Qur‟an: Analisis Semantik
Kontekstual.” Hermeunetik. Vol. VIII, No. 1, Juni, 2014.
M, Ansharuddin. “Sistematika Susunan Surah di dalam al-Qur‟an:
Telaah Historis.” Cendikia: Jurnal Studi Keislaman. Vol. II,
No. 2, Desember, 2016.
Marwati. “Pemberdayaan Perempuan; Kajian Tafsir al-Qur‟an Surah
al-Nisa Ayat 1.” Jurnal Adabiyah. Vol. XV, No. 2, 2015.
Skripsi dan Tesis
Hamro, Neng Ayu Qonitatul. Argumentasi Penamaan Surat al-Qur‟an
(Analisis Penamaan Surat ke 112 dengan Kata “al-IkhlāṢ”).
Skripsi Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 2016.
Muharromah, Siti Hazrotun Halaliyatul. Perdebatan dalam Penamaan
Sûrah al-Qur`an (Studi Analisis Pemikiran Imam Jalȃluddîn
„Abdurrahmȃn as-Suyûthi). Tesis Magister Ilmu al-Qur‟an dan
82
Tafsir Pascasarjana Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ), Jakarta,
2020.
Sahroni. Analisis al-Suyuti terhadap Nama Surah-surah dalam al-
Qur‟an. Skripsi Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2019.
Subaeda. Kedudukan Perempuan dalam al-Qur‟an. Skripsi Jurusan
Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Alauddin,
Makassar, 2019.
Website
Terjemahan dan Arti ل ى di Kamus Istilah Indonesia Arab,
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/ل ى /
Terjemahan dan Arti ,di Kamus Istilah Indonesia Arab صغ ى
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/صغ ى/
Terjemahan dari ل ى , https://www.kamusind.com/terjemahan/arab-
indonesia/ل ى
Terjemahan dari صغ ى, https://www.kamusind.com/terjemahan/arab-
indonesia/صغ ى