Analisis Kebijakan Peningkatan Mutu Kualitas Pendidikan Menengah Dalam Kerangka Otonomi Daerah...
Transcript of Analisis Kebijakan Peningkatan Mutu Kualitas Pendidikan Menengah Dalam Kerangka Otonomi Daerah...
ANALISIS KEBIJAKAN PENINGKATAN MUTU KUALITAS PENDIDIKAN
MENENGAH DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH MELALUI
PENDIDIKAN GRATIS SEKOLAH MENENGAH TINGKAT ATAS
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembahasan tentang potensi kekuatan, kelemahan, proyeksi dan tantangan yang
dihadapi oleh suatu sistem pendidikan dengan mendasarkan pembahasan pada sistem
“satu pintu” (one door polecy), serta upaya memformulasikan esensi-misi, visi, dan
target akhir yang hendak dicapai merupakan suatu langkah antisipatif dalam
kaitannya dengan pelaksanaan otonomi pendidikan. Hal ini penting dalam rangka
menyusun rencana strategis pengelolaan sistem pendidikan nasional, baik dalam level
departemen, institusi, maupun birokrasi. Konsekuensi logis yang layak diketengahkan
dalam kaitannya dengan analisis posisi dan pengembangan rencana strategis
pengelolaan pendidikan adalah arah dan bentuk usaha apa yang mesti dilakukan, serta
bagaimana hal itu bisa dilakukan. Konsepsi ini penting dipahami, mengingat selama
ini, tidak jarang sebuah kebijakan yang diimplementasikan dengan maksud
melakukan inovasi dan mengeliminir berbagai masalah yang terjadi dalam dunia
pendidikan kita, justru melahirkan masalah baru yang jauh lebih kompleks. Kondisi
tersebut banyak dikontribusi oleh kurangnya sense of responsibility dan common
sense dari para perancang dan pengambil keputusan terhadap nilai-nilai tertentu yang
tumbuh dan berkembang di masyarakat, di mana kebijakan tersebut akan
diimplementasikan.
Mengacu pada wacana di atas, maka makalah singkat ini difokuskan pada
analalisis kebijakan peningkatan kualitas pendidikan menengah dalam kerangka
otonomi daerah sebagai sebuah kebijakan public yang merupakan produk harapan
(the dreams product) dari dunia pendidikan dalam era otonomi pendidikan.
Berdasarkan analisis empirikal dan konseptual, tampaknya banyak kebijakan
pendidikan selama ini yang salah sasaran atau terlalu dipaksakan demi kepentingan-
kepentingan politis tertentu. Kondisi ini menyebabkan dunia pendidikan semakin jauh
dari esensi dan visi-misi yang sebenarnya, yaitu sebagai media transformasi values
and cultural heritages serta institusi pembaharu bagi kehidupan masyarakatnya. Jika
kondisi ini terus berlangsung, niscaya kita akan menghadapi masalah yang sangat
pelik berkait dengan esensi dan substansi dari pendidikan itu sendiri. Hal ini semakin
diperkuat dengan wacana otonomisasi pendidikan yang segera akan dilaksanakan
secara serentak di seluruh wilayah Indonesia.
B. Tujuan & Manfaat Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Menganalisa pentingnya kebijakan mengenai biaya operasional sekolah
daerah pendidikan gratis pada jenjang sekolah menengah atas dalam rangka
peningkatan kualitas pendidikan era otonomi daerah.
2. Menganalisa permasalahan pendidikan di masyarakat dan isu factual
mengenai pentingnya pendidikan gratis pada jenjang sekolah menengah atas
dan sederajat dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan era otonomi
daerah
3. Menganalisa alasan pentingnya kebijakan pendidikan gratis pada jenjang
sekolah menengah atas dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan era
otonomi daerah
Manfaat Penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui pentingnya kebijakan mengenai pendidikan gratis pada jenjang
sekolah menengah atas dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan era
otonomi daerah.
2. Mengetahui permasalahan pendidikan di masyarakat dan isu factual mengenai
pentingnya pendidikan gratis pada jenjang sekolah menengah atas dan
sederajat dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan era otonomi daerah
3. Mengetahui alasan pentingnya pendidikan gratis pada jenjang sekolah
menengah atas dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan era otonomi
daerah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan saat ini di fokuskan kepada dua hal yang utama yaitu tuntas
wajib belajar sembilan (9) tahun dan peningkatan mutu pendidikan di segala jenjang
pendidikan (SD-SLTP dan SLTA). Kebijakan ini diambil dikarenakan ada berbagai
persoalan yang masih melingkupi bidang pendidikan antara lain masih rendahnya
tingkat pemerataan pendidikan dasar dan menengah, masih rendahnya kualitas
pendidikan dan belum mampu memenuhi kebutuhan kompensasi peserta didik,
ketersediaan pendidik yang belum memadai secara kualitas maupun kuantitas,
fasilitas belajar belum mencukupi dan biaya operasional pendidikan yang belum
memadai, masih rendahnya kualifikasi pendidik memiliki pendidikan seperti yang
disyaratkan, belum meratanya proporsi penyebaran tenaga pendidik, belum
mantapnya pembagian peran dan tanggung jawab pendidikan pada masing-masing
tingkatan pemerintahan dan belum optimalnya kinerja dewan pendidikan dan komite
sekolah.
Sekarang ini dengan akan berlakunya Undang-Undang tentang Badan Hukum
Pendidikan dimungkinkan pendidikan di Indonesia akan menjadi mahal dan tidak
terjangkau oleh masyarakat . Untuk itu dengan melihat kondisi tersebut sangat
menarik kiranya ditelaah lebih lanjut bagaimana kebijakan daerah di bidang
pendidikan, yang dalam hal ini akan lebih difokuskan pada persoalan kebijakan
pembiayaan pendidikan yang dinilai selama ini menjadi hal yang cukup krusial untuk
dibahas mengingat pendidikan sekarang ini menjadi tanggung jawab pemerintah
Daerah (kabupaten sepenuhnya) setelah pelimpahan kewenangan yang begitu besar
dari pemerintah pusat.
Sudah saatnya pemerintah daerah yang sudah mampu dan mendapatkan
penghasilian asli daerah cukup signifikan untuk membuat kebijakan pendidikan dasar
12 tahun sehingga bantuan biaya operasional pendidikan tidak hanya pada pendidikan
tingkat dasar tetapi merambah ke pendidikan tingkat menengah atas.
Alternatif Kebijakan Pendidikan dengan membuat produk hukum yang
membebaskan biaya sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) bagi seluruh
siswa sekolah menengah tingkat atas (SMTA)
Desentralisasi merupakan simbol adanya kepercayaan pemerintah pusat kepada
daerah. Ini akan dengan sendirinya mengembalikan harga diri pemerintah dan
masyarakat daerah. Kalau dalam sistem sentralistik mereka tidak bisa berbuat banyak
dalam mengatasi berbagai masalah, dalam sistem otonomi ini mereka di tantang
untuk secara kreatif menentukan solusi-solusi atas berbagai masalah yang dihadapi
sehingga pemerintah pusat tidak perlu mempunyai aparat sendiri di daerah kecuali
dalam batas-batas yang sangat diperlukan. Untuk itu yang perlu dicermati dalam
desentralisasi menurut Rondinelli adalah agen (dekonsentrasi) dan badan otonom
(devolusi) atau kalau mengacu pada Smith bahwa desentralisasi mengimplikasikan
dua kondisi fundamental yaitu pertama, pemerintahan sendiri (lokal) bahwa lokal
mempunyai pemerintahan sendiri melalui institusi politik yang berakar dari teritorial
yang menjadi kewenangan. Institusi tersebut didirikan oleh sistem politik daerah
(dekonsentrasi), kedua, institusi tersebut akan direkrut secara demokratis (devolusi)
( Smith, 1985; 3).
Dari dimensi konsep pemerintah lokal, Undang-undang No. 22 Tahun 1999 Jo
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang memang membawa pergeseran sejumlah
model dan paradigma. Pemerintah lokal yang dulunya Structural efficiency model
yang menekankan efisiensi dan keseragaman ditinggalkan dan dianut local
democracy model yang menekankan pada nilai demokrasi dan keberagaman dalam
penyelenggaraan pemerintah lokal. Seiring dengan pergeseran model tersebut terjadi
pula dari penguatan dekonsentrasi ke penguatan desentralisasi (Bhenyamin Hoessein,
2002:4).
Pergeseran model dan paradigma tersebut memungkinkan berlangsungnya
penyelenggaraan pemerintah yang responsif terhadap kepentingan publik dan
memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang kuat pada asas
pertanggungjawaban publik. Sehingga dalam prakteknya dengan adanya Undang-
undang Otonomi Daerah kewenangan pengelolaan pendidikan berubah dari sistem
sentralisasi ke desentralisasi. Desentralisasi pendidikan berarti terjadinya pelimpahan
kekuasaan dan kewenangan yang lebih luas kepada daerah untuk membuat
perencanaan dan mengambil keputusannya sendiri dalam mengatasi permasalahan
yang dihadapi di bidang pendidikan (Abdul Halim, 2001: 15)
Berdasarkan PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan
kewenangan propinsi sebagai daerah otonom, pada kelompok bidang pendidikan dan
kebudayaan disebutkan bahwa kewenangan pemerintah meliputi;
1. penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar, serta
pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara
nasional, serta pedoman pelaksanaannya
2. penetapan standar materi pelajaran pokok
3. penetapan persyaratan perolehan dan penggunaan gelar akademik
4. penetapan pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan
5. penetapan persayaratan penerimaan, perpindahan sertifikasi siswa,
warga belajar dan mahasiswa
6. penetapan persayaratan peningkatan/zoning, pencarian, pemanfaatan,
pemindahan, penggandaan, sistem pengamanan dan kepemilikan benda
cagar budaya, serta persyaratan penelitian arkeologi
7. pemanfaatan hasil penelitian arkeologi nasional serta pengelolaan
museum nasional, galeri nasional, pemanfaatan naskah sumber arsip,
danmonumen yang diakui secara internasional
8. penetapan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap
tahun bagi pendidikan dasar, menengah dan luar sekolah
9. pengaturan dan pengembangan pendidikan tinggi, pendidikan jarak
jauh, serta pengaturan sekolah internasional
10. pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia
Kewenangan pada poin ke-4 sangat memungkinkan untuk melakukan
kebijakan pembebasan biaya SPP bagi siswa SMTA secara
menyeluruh dengan melihat dan mempertimbangkan pendapatan asli
daerah dan APBD propinsi.
Alternatif Kebijakan Pendidikan dengan membuat produk hukum yang
membebaskan biaya sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) bagi seluruh
siswa tidak mampu pada sekolah menengah tingkat atas (SMTA)
Berdasarkan PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan
kewenangan propinsi sebagai daerah otonom, dinyatakan bahwa kewenangan
pemerintah propinsi meliputi hal-hal sebagai berikut;
1. penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa dan mahasiswa dari
masyarakat minoritas, terbelakang atau tidak mampu,
2. penyediaan bantuan pengadaan buku peljaran pokok/ modul pendidikan
untuk taman kanak-kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan
pendidikan luar sekolah
3. mendukung/membantu pengaturan kurikulum, akreditasi, dan
pengangkatan tenaga akademis
4. pertimbangan pembukaan dan penutupan perguruan tinggi
5. penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai pelatihan atau penataran
guru
6. penyelenggaraan museum propinsi, suaka peninggalan sejarah,
kepurbakalaan, kajian sejarah dan nilai tradisonal, serta pengembangan
bahasa dan budaya daerah
Kewenangan pada poin (1) diatas sangat kondusif menjadi pijakan untuk membuat
kebijakan publik yang berorientasi untuk membantu masyarakat miskin (dhuafa) dan
yatim piatu agar terus dapat mengecap pendidikan sampai tingkat SMTA.
B. Rekomendasi Terpilih Dan Strategi Implementasi
1. Kriteria Penilaian Rekomendasi Kebijakan
Rekomendasi kebijakan mengharuskan analisis kebijakan untuk menentukan
alternatif yang terbaik dan alasannya karena prosedur analisis kebijakan
terkait masalah etika dan moral. (Rahadian, Dr.Ir A.H., M.Si : 2012)
Rekomendasi pada dasarnya pernyataan advokasi dan advokasi mempunyai
empat pertanyaan yang harus dijawab yaitu apakah :
- Dapat ditindak lanjuti (actionable)
- Bersifat prospektif
- Bermuatan nilai selain fakta
- Etik
Berikut tabel penilaian alternatif kebijakan mengenai implementasi
sekolah gratis ditingkat SMTA :
NO KRITERIA ALTERNATIF KETERANGAN
Technical feasibility 80 90 90
Economic Financial Feability 70 80 80
Political Viability 80 90 90
Administratif Operability 70 90 80
JUMLAH 300 350 340
Keterangan :
*) Alternatif Kebijakan Pendidikan dengan wajib belajar 12 tahun.
**) Alternatif Kebijakan Pendidikan dengan membuat produk hukum yang
membebaskan biaya sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) bagi
seluruh siswa sekolah menengah tingkat atas (SMTA)
***) Alternatif Kebijakan Pendidikan dengan membuat produk hukum yang
membebaskan biaya sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) bagi
seluruh siswa tidak mampu pada sekolah menengah tingkat atas (SMTA)
Dilihat dari kriteria technical feasibility (kelayakan teknis) kebijakan
pendidikan dengan wajib belajar 12 tahun memiliki nilai 80 dari rentang 0-
100 hal ini menunjukkan kebijakan tersebut sudah hampir mencapai tingkat
kritis, jika diabaikan akan menjadi ancaman serius di masa mendatang.
Alternatif kebijakan pendidikan dengan membuat produk hukum yang
membebaskan biaya sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) bagi
seluruh siswa sekolah menengah tingkat atas (SMTA) memiliki nilai 90 dari
rentang 0-100 hal ini menunjukkan kebijakan tersebut sudah mencapai tingkat
kritis untuk dilaksanakan. Sedangkan Alternatif Kebijakan Pendidikan dengan
membuat produk hukum yang membebaskan biaya sumbangan
penyelenggaraan pendidikan (SPP) bagi seluruh siswa tidak mampu pada
sekolah menengah tingkat atas (SMTA) memiliki nilai 90 dari rentang 0-100
hal ini menunjukkan kebijakan tersebut sudah mencapai tingkat kritis seperti
halnya altrernatif kebijakan ke-2.
Dilihat dari kriteria economic and financial feasibility (kelayakan ditinjau dari
aspek ekonomi dan finansial) kebijakan pendidikan dengan wajib belajar 12
tahun memiliki nilai 70 dari rentang 0-100 hal ini menunjukkan kebijakan
tersebut belum mencapai tingkat kritis, jika diabaikan tidak akan menjadi
ancaman serius di masa mendatang hal ini diukur dari kemampuan financial
daerah. Alternatif kebijakan pendidikan dengan membuat produk hukum yang
membebaskan biaya sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) bagi
seluruh siswa sekolah menengah tingkat atas (SMTA) memiliki nilai 80 dari
rentang 0-100 hal ini menunjukkan kebijakan tersebut sudah urgen dan layak
dijadikan sebuah kebijakan publik. Sedangkan Alternatif Kebijakan
Pendidikan dengan membuat produk hukum yang membebaskan biaya
sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) bagi seluruh siswa tidak
mampu pada sekolah menengah tingkat atas (SMTA) memiliki nilai 80 dari
rentang 0-100 hal ini menunjukkan kebijakan tersebut memiliki urgensi
seperti kebijakan ke-2.
Dilihat dari kriteria political Viability (kelayakan ditinjau dari aspek politik
keberlajutan kebijakan ) kebijakan pendidikan dengan wajib belajar 12 tahun
memiliki nilai 80 dari rentang 0-100 hal ini menunjukkan kebijakan tersebut
telah mencapai tingkat kritis, jika diabaikan akan menjadi ancaman serius di
masa mendatang hal ini diukur dari kemampuan financial daerah. Alternatif
kebijakan pendidikan dengan membuat produk hukum yang membebaskan
biaya sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) bagi seluruh siswa
sekolah menengah tingkat atas (SMTA) memiliki nilai 90 dari rentang 0-100
hal ini menunjukkan kebijakan tersebut sudah sangat urgen dan layak
dijadikan sebuah kebijakan publik. Sedangkan Alternatif Kebijakan
Pendidikan dengan membuat produk hukum yang membebaskan biaya
sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) bagi seluruh siswa tidak
mampu pada sekolah menengah tingkat atas (SMTA) memiliki nilai 80 dari
rentang 0-100 hal ini menunjukkan kebijakan tersebut memiliki urgensi
seperti kebijakan ke-2.
Dilihat dari kriteria administrative operability (kelayakan ditinjau dari aspek
sosial, politik dan administratif) kebijakan pendidikan dengan wajib belajar 12
tahun memiliki nilai 70 dari rentang 0-100 hal ini menunjukkan kebijakan
tersebut belum mencapai tingkat kritis, jika diabaikan tidak akan menjadi
ancaman serius di masa mendatang hal ini diukur dari kemampuan financial
daerah. Alternatif kebijakan pendidikan dengan membuat produk hukum yang
membebaskan biaya sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) bagi
seluruh siswa sekolah menengah tingkat atas (SMTA) memiliki nilai 90 dari
rentang 0-100 hal ini menunjukkan kebijakan tersebut sudah urgen dan layak
dijadikan sebuah kebijakan publik. Sedangkan Alternatif Kebijakan
Pendidikan dengan membuat produk hukum yang membebaskan biaya
sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) bagi seluruh siswa tidak
mampu pada sekolah menengah tingkat atas (SMTA) memiliki nilai 80 dari
rentang 0-100 hal ini menunjukkan kebijakan tersebut memiliki urgensi
seperti kebijakan ke-2.
2. Rekomendasi Kebijakan Terpilih
Dari kriteria penilaian tabel di atas maka rekomendasi kebijakan terpilih
adalah alternatif kebijakan pembebasan iuran sumbangan penyelengaraan
pendidikan (SPP) tingkat SMTA. Dengan demikian pemerintah daerah
propinsi dan kabupaten/kodya secara analisis sudah layak dan sangat urgen
untuk membuat kebijakan publik ini.
3. Strategi Implementasi
Implementasi adalah tindakan yang dilakukan setelah suatu kebijakan
dilakukan. Implementasi merupakan cara agar sebuah kebijakan dapat
mencapai tujuan yang telah di tetapkan dengan tujuan kebijakannya adalah
melakukan intervensi dan implementasi adalah kegiatan intervensi tersebut
( Rahadian, 2012).
Strategi dalam implementasi kebijakan terpilih di atas adalah sebagai berikut :
a. Membuat visi pada produk kebijakan terpilih yang melekat pada individu
yang akan memimpin organisasi dalam hal ini departemen pendidkan
nasional propinsi, kabupaten dan kodya.
b. Menentukan misi melalui pernyataan mengenal hal-hal yang harus dicapai
organisisai bagi pihak yang berkepentingan di masa mendatang.
c. Membuat strategi yang terencana dengan baik arah makro atau politik agar
tujuan kebijakan terpilih dapat terealisasi dengan baik dan berdampak bagi
peningkatan mutu pendidikan masyarakat dan pengurangan kemiskinan.
d. Membuat produk-produk hukum sebagai dasar hukum pelaksanaaan
kebijakan terpilih.
e. Membuat program jangka panjang dan jangka pendek untuk implementasi
kebijakan terpilih disertai aturan fungsi pengawasan agar pelaksanaan
dapat terealisasi dengan baik.
f. Merealisasikan program dengan membuat proyek yang sesuai dengan
kebijakan terpilih yang melibatkan berbagai unsur pelaksana kebijakan
g. Melaksanakan kegiatan-kegiatan berupa realisasi kebijakan peningkatan
mutu pendidikan menengah melalui SPP gratis dengan memberikan
bantuan-bantuan finansial sesuai dengan biaya SPP yang ditanggung
penyelenggara pendidikan.
h. Melakukan kegiatan evaluasi terhadap implementasi dilapangan agar tidak
terjadi penyimpangan dan kebocoran.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hasil analisa kebijakan menurut kriteria technical feasibility (kelayakan teknis)
yang membebaskan biaya sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) bagi
seluruh siswa sekolah menengah tingkat atas (SMTA) memiliki nilai 90 dari rentang
0-100 hal ini menunjukkan kebijakan tersebut sudah mencapai tingkat kritis untuk
dilaksanakan.
Hasil analisa kebijakan kriteria economic and financial feasibility (kelayakan
ditinjau dari aspek ekonomi dan finansial), alternatif kebijakan pendidikan dengan
membuat produk hukum yang membebaskan biaya sumbangan penyelenggaraan
pendidikan (SPP) bagi seluruh siswa sekolah menengah tingkat atas (SMTA)
memiliki nilai 80 dari rentang 0-100 hal ini menunjukkan kebijakan tersebut sudah
urgen dan layak dijadikan sebuah kebijakan publik.
B. Saran
Melaksanakan kegiatan-kegiatan berupa realisasi kebijakan peningkatan mutu
pendidikan menengah melalui SPP gratis dengan memberikan bantuan-bantuan
finansial sesuai dengan biaya SPP yang ditanggung penyelenggara pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Lasmawan, W. (2000). Pengelolaan dan Operasionalisasi Pembelajaran IPS yang
Ramah Lingkungan. (Makalah). Program Pascasarjana UPI Bandung.
Rahadian, A.H, Dr. Ir. M.Si. (2012). Materi Kuliah Kebijakan Publik (Modul Kuliah)
Program Pascasarjana Magister Ilmu Administrasi STIAMI, Jakarta.
Suryadi, Ace dan H.A.R. Tilaar. (1993). Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu
Pengantar. Bandung: PT. Rosdakarya.
Tilaar, H.A.R. (1993). Deregulasi Pendidikan Nasional dalam Implementasi UU
Nomor 2 Tahun 1989 dalam Repelita VI. Buletin LPMP Nomor 4 Februari 1993.
Tim Perencanaan STKIP. (1997). Pengembangan Renstra STKIP Singaraja Bali.
STKIP Singaraja.
Tilaar, H.A.R. (1999). Pendidikan dan Masyarakat Madani: Strategi Reformasi
Pendidikan Nasional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Wahab, Azis. (1999). Otonomi Pendidikan: Pokok-pokok Pikiran Pengelolaan Sistem
Pendidikan Nasional (makalah). Bandung: Lembaga Penelitian Universitas
Pendidikan Bandung.