Analisis Kebijakan Anti Kemiskinan Dan Kesejahteraan Sosial
-
Upload
suprri-west -
Category
Documents
-
view
95 -
download
0
description
Transcript of Analisis Kebijakan Anti Kemiskinan Dan Kesejahteraan Sosial
ANALISIS KEBIJAKAN ANTI KEMISKINAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
VISI INDONESIA 2025
A. TANTANGAN SOSIAL BUDAYA DAN KEHIDUPAN BERAGAMA
Mengendalikan pertambahan penduduk yang masih relatif tinggi (tahun
2005: 220 juta jiwa, tahun 2025 akan menjadi 274 juta jiwa) untuk
menciptakan penduduk tumbuh seimbang dan terjadinya bonus demografi,
yaitu penduduk usia produktif lebih besar dari nonproduktif.
Mengurangi kesenjangan persebaran penduduk Jawa dan luar Jawa.
Mengurangi kesenjangan status kesehatan dan akses masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan.
Menyediakan pendidikan yang berkualitas agar proporsi penduduk yang
menyelesaikan pendidikan dasar dan yg lebih tinggi meningkat.
Mengurangi kesenjangan mutu pendidikan antardaerah, antar jenis kelamin,
antara penduduk kaya dan miskin.
Meningkatkan kualitas dan peran perempuan di berbagai bidang.
Menerapkan agama dalam hidup sehari-hari dan kerukunan intern dan antar
umat beragama serta mengembangkan toleransi atas keberagaman budaya.
B. TANTANGAN PEREKONOMIAN
KEMISKINAN
Pemecahan masalah kemiskinan perlu didasarkan pada pemahaman suara
masyarakat miskin dan adanya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan
hak-hak dasar rakyat secara bertahap, yakni hak sosial, budaya, ekonomi, dan
politik. Sehingga tantangan yang dihadapi adalah:
Meningkatkan pemahaman atas hak dasar masyarakat miskin.
Keberpihakan dalam perencanaan dan penganggaran.
Meningkatkan sinergi dan koordinasi kebijakan Pusat dan daerah.
Meningkatkan akses msyarakat miskin ke dalam pengambilan keputusan.
Meningkatkan pemahaman dalam mengembangkan potensi daerah.
Kelompok Penduduk Rentan
Jenis Kelompok Rentan
Kelompok yang sudah menjadi tradisi Lansia miskin, penyandang cacat,
anak yatim piatu, janda
Korban perang/konflik : veteran perang, tahanan yang dibebaskan,
penduduk tergusur/pengungsi
Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga
Perempuan dan anak-anak korban perdagangan manusia
Penduduk dengan penyakit jiwa
Penduduk miskin di perdesaan
Rumah tangga dengan orang tua tunggal (perempuan)
Korban bencana alam
Jenis Kelompok Rentan
Kelompok yang belakangan muncul Penduduk migran (baik internal maupun
internasional)
Pengungsi (internal maupun internasioanal)
Pekerja miskin disektor formal dan penduduk miskin perkotaan
Pemuda penganggur; pekerja yang terkena dampak dari restrukturisasi dan
privatisasi BUMN
Suku etnis minoritas, kelompok adat terpencil
Penderita HIV/AIDS
Penyalah guna obat-obatan dan narkotika
Anak jalanan, anak-anak sebagai pengemis dan gelandangan
DASAR HUKUM.
Konvensi ILO No. 102 tentang perlindungan sosial.
Mengatur dan mendefinisikan kisaran manfaat (benefit) yang menjadi inti
program perlindungan sosial.
Konvensi ini juga mengatur lebih rinci tentang cakupan target sasaran
(coverage of the population) dan tingkat manfaat (level of benefit); hak
anggota program; dan administrasi program perlindungan sosial.
Perlindungan sosial
Program bantuan sosial
Berbeda antara negara satu dengan yang lain.
Tergantung kepada situasi sosial ekonomi masing-masing negara dan
penyebab dari kerentanan penduduknya.
sangat terkait dengan program pengentasan kemiskinan karena target
sasaran yang sering sama.
Kerap ditentukan oleh efektif atau tidaknya bentuk program perlindungan
sosial lain, misalnya asuransi sosial, program pasar kerja, asuransi pertanian
dan pengembangan perdesaan, dan perlindungan anak.
Memiliki peran dalam mengurangi ketimpangan, mengatasi social exclusion,
dan meningkatkan ketidak-tergantungan penduduk rentan.
Bantuan Sosial
Bantuan yang diberikan kepada pihak pihak yang rentan, berupa:
A. Bantuan Langsung:
1. Subsidi
2. Cash Transfer
3. Dana Sosial
B. Bantuan Tidak Langsung:
1. Pelayanan
2. Rehabilitasi/Pembinaan
3. Perlindungan
4. Pemberdayaan
Opsi-opsi Targeting
Means-testing, meskipun memerlukan data berkualitas tinggi yang jarang
tersedia di banyak negara dan membutuhkan biaya besar
Geographical targeting, pemberian bantuan disediakan bagi mereka yang
tinggal di wilayah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi
Community-based targeting, memanfaatkan struktur komunitas untuk
mengidentifikasi anggota termiskin dalam suatu komunitas atau mereka yang
memenuhi kriteria penerima bantuan
Menyediakan manfaat bagi mereka yang diketahui tergolong ke dalam salah
satu kategori “rentan” dalam populasi tertentu; dan
Self-targeting seperti program-program yang menyediakan pekerjaan
dengan besaran upah di bawah standar pasar (below-market wage), dengan
pertimbangan bahwa individu akan memilih untuk berpartisipasi
Penerima Manfaat Bantuan Sosial
Apakah cakupan bantuan dapat menyeluruh?
Merupakan hal yang sangat ideal apabila setiap anggota masyarakat dapat
dilindungi oleh program perlindungan sosial.
tidak mudah untuk diwujudkan. Di negara yang memiliki perlindungan sosial
yang bagus pun masih terdapat anggota masyarakat yang tidak tercakup
dalam program ini.
Mengapa?
Kebanyakan penduduk rentan terdapat di daerah pedesaan dan jauh dari
jangkauan sehingga meningkatkan biaya penyelenggaraan.
Merupakan tantangan dalam pelaksanaan
Penerima Manfaat Bantuan Sosial
Apakah cakupan bantuan dapat menyeluruh?
Merupakan hal yang sangat ideal apabila setiap anggota masyarakat dapat
dilindungi oleh program perlindungan sosial.
tidak mudah untuk diwujudkan. Di negara yang memiliki perlindungan sosial
yang bagus pun masih terdapat anggota masyarakat yang tidak tercakup
dalam program ini.
Mengapa?
Kebanyakan penduduk rentan terdapat di daerah pedesaan dan jauh dari
jangkauan sehingga meningkatkan biaya penyelenggaraan.
Merupakan tantangan dalam pelaksanaa
Program bantuan sosial harus dijalankan dengan simultan untuk mencapai
tujuan utama yaitu pengentasan kemiskinan dan menyediakan akses dan
kesempatan bagi orang miskin untuk mengikuti program tersebut.
Dapat digunakan untuk mencapai tujuan sosial yang lain, sebagai contoh
penyediaan makanan gratis di sekolah akan mendorong keluarga miskin untuk
menyekolahkan anaknya, terutama anak perempuan, dan juga menyediakan
kebutuhan vitamin dasar untuk kesehatan anak-anak tersebut.
Kebutuhan akan bantuan sosial tergantung pada ciri-ciri kelompok rentan,
pilihan program yang tersedia, dan kategori penerima manfaat yang dapat
mengakses program tersebut.
Program Bantuan sosial merupakan program bantuan yang didanai
anggaran pemerintah dimana ada kondisi tertentu yang disyaratkan sebelum
seseorang menerimanya.
Pentingnya sistem administrasi program
Faktor administrasi sangat mempengaruhi keberhasilan program bantuan
sosial. Pemberian bantuan pada program mengsyaratkan adanya data-data
yang dapat diandalkan.
Program harus didukung dengan sistem administrasi yang mampu
menyediakan data-data karakteristik penerima bantuan dengan akurat.
Data-data tersebut misalnya rincian nama, alamat, pekerjaan (kalau ada),
besarnya bantuan yang dibayarkan (materi dan non materi)
Hanya dengan data yang akurat, pemberian bantuan bisa dilakukan.
Apalagi, jika pemberian bantuan dilakukan dalam jangka panjang maka
pengelolaan data yang akurat sangat diperlukan
Perlu juga dipastikan bahwa tidak terjadi keanggotaan ganda untuk
memastikan keakuratan penghitungan besarnya bantuan yang diberikan
kepada penerima manfaat
Program-Program Bantuan Sosial
yang diperlukan
1. Untuk anak-anak dan pemuda :
• Pelayanan kesehatan gratis: bayi, anak-anak, orang dewasa
• Layanan untuk peningkatan kecukupan gizi dan imunisasi
• Pelayanan dan bantuan untuk masuk ke jenjang sekolah tertentu: masuk ke
TK, masuk ke SD, masuk ke SMP dan Masuk ke SMA
• Pendidikan dasar gratis, layanan terhadap anak putus sekolah
• Layanan untuk kesejahteraan anak-anak, anak jalanan, prostitusi anak
• Layanan untuk anak-anak dan dewasa yang berada dalam panti- asuhan
• Layanan untuk anak-anak korban kekerasan
• Layanan untuk pemuda dan angkatan kerja muda
• Layanan terhadap korban penyalahgunaan Napza
2. Untuk penyandang cacat :
• Rehabilitasi kecacatan dan kecelakaan
• Layanan pemberian nutrisi tambahan untuk mencegah kecacatan
• Layanan khusus untuk lansia penyandang cacat
• Layanan penyediaan lapangan kerja untuk penyandang cacat
• Penyediaan fasilitas bagi penyandang cacat di tempat umum
•
3. Untuk Perempuan :
• Maternity benefit, sicknes benefit, berbagai fasilitas di tempat kerja
• Layanan untuk rehabilitasi prostitusi
• Layanan untuk penganggur perempuan
• Layanan untuk kepala rumah tangga yang rentan, terutama perempuan atau
perempuan yang menjadi tulang punggung rumah tangga
• Bantuan kepada perempuan dengan HIV/AIDs
• Layanan untuk keluarga, dan KB dll.
• Layanan untuk kelompok rentan yang disebabkan karena adanya gender
disparitas.
• Layanan untuk korban perdagangan perempuan, PSK, KDRT dan kekerasan
lain
4. Untuk penduduk lansia :
• Layanan tempat tinggal atau perumahan untuk lansia
• Layanan kesehatan untuk lansia yang sakit dan cacat
• Layanan penyediaan lapangan pekerjaan untuk lansia
5. Untuk kelompok penduduk rentan lain :
• Layanan untuk migran dan gelandangan di daerah perkotaan
• Layanan perlindungan untuk TKI dan TKW
• Layanan untuk pengungsi karena tergusur, konflik horizontal, dll.
• Layanan untuk kelompok masyarakat terpencil (KAT)
• Bantuan untuk korban bencana alam
2. Program-Program Perlindungan Sosial
Bentuk Program Perlindungan Sosial Sasaran Penerima Manfaat
Program Pasar Kerja
Asuransi Sosial
Skim berbasis mikro dan wilayah
Perlindungan anak
Bantuan Sosial Angkatan kerja aktif (termasuk angkatan kerja baru), mereka
yang terkena PHK
Pekerja dan keluarganya yang terancam kehilangan pendapatan
Pekerja di sektor formal, komunitas masyarakat perdesaan dan perkotaan
Mereka yang akan memasuki pasar kerja
Kelompok penduduk paling rentan (lansia cacat), penduduk paling miskin,
penduduk yang tidak dapat berpartisipasi di pasar kerja, penduduk yang
tertimpa berbagai masalah, penduduk yang terkena dampak krisis, penduduk
yang terasing secara sosial
MENCERMATI PROGRAM ANTIKEMISKINAN
Kita sudah merdeka selama 65 tahun, artinya bahwa kemerdekaan kita sudah
lama dalam rentangan waktunya. Akan tetapi satu problem yang hingga
sekarang belum mampu dientaskan adalah mengenai kemiskinan. Problem ini
masih mendera bangsa Indonesia di tengah pergaulan dunia seperti sekarang.
Sebenarnya program pengentasan kemiskinan sudah banyak dilakukan melalui
lintas sektoral. Masing-masing departemen memiliki program pengentasan
kemiskinan yang dianggarkan sesuai dengan kepentingan.
Namun demikian, hingga sekarang masih dirasakan betapa sulitnya
mengentas kemiskinan tersebut. Anggaran kemiskinan yang dibagi-bagi sesuai
dengan departemen atau kementerian, hakikatnya justru tidak
menguntungkan dari sisi penganggaran. Anggaran kemiskinan tersebut
kemudian dibagi-bagi sesuai dengan program pengentasan kemiskinan
berbasis departemental tersebut.
Program pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah lebih
bercorak “karitatif” atau memberikan kasih sayang kepada warga miskin. Jadi
bukan sebagai upaya untuk mengentaskan kemiskinan melalui kebijakan yang
strategik dan terukur. Mestinya yang dibutuhkan adalah kebijakan
penanggulangan kemiskinan dan bukannya program kemiskinan. Program
kemiskinan yang dimaksud adalah program yang digulirkan secara instan
untuk mengurangi kemiskinan sesaat. Sedangkan program penanggulangan
kemiskinan lebih bercorak jangka menengah sesuai dengan sasaran untuk
mengentaskan kemiskinan secara sistematik dan menyeluruh.
Kebijakan tersebut tentu terkait dengan menempatkan kementerian sebagai
leading sector, penempatan anggaran yang yang bercorak menyatu dan
penyeluruh dan ditujukan sesuai dengan sasaran pengentasan kemiskinan.
Selama ini terkesan hanya sebagai program lipstick, yang kelihatan merah
akan tetapi tidak dirasakan dampaknya secara signifikan. Misalnya, program
Inpres Desa Tertinggal (IDT), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Pembagian Beras
untuk Kaum Miskin (Raskin), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM) dan lainnya.
Disebabkan oleh banyaknya program kemiskinan tersebut, maka anggaran
untuk kemiskinan juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004,
jumlah anggaran untuk pengentasan kemiskinan sebesar Rp. 16,7 triliun,
tahun 2005 sebesar Rp. 23 triliun, tahun 2006 sebanyak Rp. 42 triliun, tahun
2007 menjadi Rp. 51 triliun, tahun 2008 sebesar Rp. 63 triliun, tahun 2009
sebesar Rp. 66 triliun dan tahun 2010 sebanyak Rp. 94 triliun. (Kompas,
10/03/2011).
Kenaikan anggaran dari tahun ke tahun, sesungguhnya harus berkorelasi
dengan pengurangan angka kemiskinan yang signifikan. Sayangnya bahwa
angka kemiskinan tersebut tidak berkurang secara memadai. Misalnya pada
tahun 2004, angka kemiskinan sebesar 16,7 persen, lalu turun menjadi 16
peresen tahun 2005. Lalu naik lagi sebesar 17,8 persen pada tahun 2006, lalu
turun menjadi 16,6 persen tahun 2007, kemudian turun lagi menjadi 15,4
persen tahun 2008, dan kemudian turun lagi menjadi 14,2 persen tahun 2009
dan turun menjadi 13,3 persen tahun 2010. (Kompas, 10/03/2011).
Penurunan angka kemiskinan ini tampaknya tidak berbanding lurus dengan
kenaikan anggaran pengentasan kemiskinan dari tahun ke tahun. Semestinya
dengan semakin tingginya tingkat anggaran yang disediakan untuk
pengentasan kemiskinan akan berdampak pada penurunan angka kemiskinan
secara signifikan. Akan tetapi kenyataan empirisnya justru terjadi angka yang
fluktuatif tentang hal ini.
Memang harus diakui bahwa terdapat penurunan angka kemiskinan dari tahun
ke tahun, terkecuali tahun 2006. Akan tetapi dibandingkan dengan
peningkatan anggaran anti kemiskinan, maka saya kira harus ada evaluasi
yang menyeluruh tentang program pengentasan kemiskinan tersebut. Program
raskin, BLT dan bahkan juga PNPM juga saya kira memang akan baik jika dikaji
ulang sebagai resep pengentasan kemiskinan.
Sebagaimana program pengentasan kemiskinan di Jawa Timur, maka memang
juga harus diklasifikasi melalui by name and by address tentang kategorisasi
kaum miskin itu dan kemudian memberikan layanan yang sesuai dengan
kategori yang sudah ada.
Jadi program pengentasan kemiskinan tidak bisa hanya dilakukan sebagai
program karitatif akan tetapi harus dilakukan dengan design yang sangat baik
dan memadai, sehingga program ini akan bisa sampai kepada sasarannya
sesuai dengan kenyataan empirisnya.
Tanpa melakukannya seperti itu, saya sungguh khawatir bahwa anggaran
yang diku
“Kerjasama Lintas Sektoral dalam Mengatasi Permasalahan Anak ”
Menteri Sosial Salim Segaf Aljufri didampingi Sekretaris Jenderal Kementerian
Sosial, Toto Utomo Budi Santoso, Dirjen Rehabilitasi Sosial, Makmur Sunusi
serta beberapa pejabat eselon I dan II mengahadiri Rapat Kerja Nasional
Program Kesejahteeraan Sosial Anak (6/4/2011) di Hotel Sheraton Media,
Jakarta. Pada kesempatan itu Menteri Sosial mengatakan “Permasalahan anak
yang terjadi di Indonesia semakin beragam, ini bisa dicermati dengan semakin
meningkatnya pelanggaran-pelanggaran hak anak di Indonesia dari tahun ke
tahun. Mulai dari kekerasan terhadap anak, eksploitasi, diskriminasi,
perdagangan anak sampai pada perlakuan salah lainnya”. Anak jalanan kalau
tidak diatasi akan timbul masalah sosial yang akan lebih besar. Untuk itu
peran Pemerintah, Pemda maupun LSM peduli anak agar bersama – sama
saling membantu untuk mengurangi agar anak tidak kembali ke jalan, seperti
memberikan kesempatan dalam mengembangkan kreativitasnya”.
Salim menjelaskan tujuan Program Kesejahteraan Sosial Anak adalah
“terwujudnya pemenuhan hak dasar anak dan perlindungan terhadap anak
dari ketelantaran, eksploitasi, dan diskriminasi sehingga tumbuh kembang,
kelangsungan hidup dan partisipasi anak dapat terwujud”.
Lebih lanjut Mensos menambahkan “keberhasilan PKSA juga turut didukung
oleh perangkat hukum yang ada. Ditahun 2010 paling tidak telah dibuat dua
kesepakatan bersama tingkat Nasional, Lima MoU dengan mitra kerja, tiga
Permensos, dua Perdirjen, draft RPP dan draft Permensos”, hal ini merupakan
upaya terarah yang terus menerus dilakukan Kementerian Sosial sesuai
Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang
Berkeadilan, dimana salah satunya mengenai penanganan masalah anak”.
Salim menjelaskan tujuan Program Kesejahteraan Sosial Anak adalah
“terwujudnya pemenuhan hak dasar anak dan perlindungan terhadap anak
dari ketelantaran, eksploitasi, dan diskriminasi sehingga tumbuh kembang,
kelangsungan hidup dan partisipasi anak dapat terwujud”.Lebih lanjut Mensos
menambahkan “keberhasilan PKSA juga turut didukung oleh perangkat hukum
yang ada. Ditahun 2010 paling tidak telah dibuat dua kesepakatan bersama
tingkat Nasional, Lima MoU dengan mitra kerja, tiga Permensos, dua Perdirjen,
draft RPP dan draft Permensos”, hal ini merupakan upaya terarah yang terus
menerus dilakukan Kementerian Sosial sesuai Instruksi Presiden Nomor 3
Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan, dimana salah
satunya mengenai penanganan masalah anak”.
“Sasaran PKSA diprioritaskan kepada anak-anak yang memiliki kehidupan yang
tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial seperti
kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, keterpencilan, ketunaan sosial dan
penyimpangan perilaku, korban bencana, dan/atau korban tindak kekerasan,
eksploitasi dan diskriminasi”, lanjutnya.
Sementara itu Dirjen Rehabilitasi Sosial, Makmur Sunusi mengatakan “Jumlah
anak coverate yang dapat dijangkau dalam PKSA selama tahun 2010 mencapai
160.485 anak dengan nilai bantuan sebesar 287, 1 miliar dan didampingi oleh
319 Satuan Bahkti Peksos”.
Makmur menegaskan “Secara Nasional PKSA terbagi dalam enam cluster
terdiri dari Cluster , pertama PKSA-Anak Balita sebanyak 6275 anak balita
terlantar dengan anggaran 9,4 miliar melibatkan 53 TPA/TBS dan 54 Pekerja
Sosial”.
“Cluster kedua adalah PKS-Anak Terlantar dengan anggaran 153 miliar yang
melibatkan 5.800 PSAA dan 90 Pekerja Sosial. Ketiga PKS-Anak Jalanan yang
ditujukan bagi 4900 anak dengan anggaran 7,2 miliar yang melibatkan 36
rumah singgah dan 83 pekerja sosial”.
Cluster keempat adalah PKS Anak Berhadap Dengan Hukum yang ditujukan
bagi 480 anak dengan anggaran sebesar 720 juta yang melibatkan 5 KPRS-
ABH dan 37 Pekerja Sosial”.
“Cluster terakhir adalah PKS-Anak yang membutuhkan Perlindungan Khusus
yang ditujukan bagi 1150 anak dengan anggaran 172 miliar yang meilbatkan 8
RPSA dan 10 LPA serta 35 pekerja sosial” jelasnya.
Berdasarkan Inpres Nomor 3 Tahun 2010, Program Kesejahteraan Sosial Anak
mengalami peningkatan untuk Tahun 2011 Direktorat Kesejahteraan Sosial
Anak terus melakukan penjangkauan bagi kesejahteraan anak yang kurang
mampu sebanyak 142.530 Anak Terlantar akan mendapatkan bantuan
Program Kesejateraan Anak, 1750 Anak dengan Kecacatan, 930 Anak
Berhadapan dengan Hukum, Bantuan bagi anak yang membutuhkan
Perlindungan khusus sebanyak 120 anak, Anak Jalanan 4200, Bantuan bagi
Balita Terlantar sebanyak 6925 anak.
Masalah anak jalanan adalah masalah yang sangat kompleks yang menjadi
masalah kita bersama. Masalah ini tidak dapat ditangani hanya oleh satu pihak
saja melainkan harus ditangani bersama-sama oleh berbagai pihak yang
perduli permasalahan ini juga dapat diatasi dengan suatu program yang
komprehensi dan tidak akan dapat tertangani secara efektif bila dilaksanakan
secara persial. Dengan demikian kerja sama antara berbagai pihak,
pemerintah, LSM, masa media mutlak diperlukan.
Berkaitan dengan hal tersebut maka diperlukan “Rapat Kerja Nasional Program
Kesejahteraan Sosial Anak” yang akan menjadi base line dan fasilitas kegiatan
koordinasi program yang menajadi landasan keberhasilan program dan
kegiatan selanjutnya.
Pada kesempatan tersebut Menteri Sosial beserta para pejabat memberikan
aspresiasi terhadap musik anak jalanan, selain menyaksikan aksi panggung
mereka, Mensos juga berkesempatan membeli Album anak jalanan dengan
total penjualan malam ini sebanyak 200 copy CD dengan total jumlah yang
terkumpul sebanyak 4 juta rupiah***(Tira/C-9)
CONTOH KEBIJAKAN PEMERINTAH
PROGRAM ASURANSI KESEJAHTERAAN SOSIAL (ASKESOS)
I. PROGRAM ASURANSI KESEJAHTERAAN SOSIAL
A. PROGRAM
Asuransi Kesejahteraan Sosial (ASKESOS) merupakan salah satu program guna
mewujudkan Jaminan Sosial, yang sasarannya adalah pekerja mandiri dan
pekerja di sektor informal. Program ASKESOS memiliki ciri khusus yang spesifik
dibandingkan dengan asuransi sosial lainnya.
ASKESOS dimaksudkan untuk memberikan perlindungan sosial dan jaminan
pertanggungan dalam bentuk pengganti pendapatan keluarga bagi pekerja
mandiri dan pekerja di sektor informal, terhadap risiko menurunnya tingkat
kesejahteraan sosial sebagai akibat pencari nafkah utama keluarga menderita
sakit, kecelakaan, dan/atau meninggal dunia.
B. TUJUAN
Memberikan perlindungan sosial bagi pekerja mandiri dan pekerja di sektor
informal dari kemungkinan risiko menurunnya tingkat kesejahteraan sosial
akibat pencari nafkah utama dalam keluarga mengalami gangguan, seperti
menderita sakit, kecelakaan, dan/atau meninggal dunia. Memperkuat
ketahanan keluarga rentan terhadap risiko menurunnya tingkat kesejahteraan
sosial melalui pemeliharaan pendapatan (income maintenance). Meningkatkan
partisipasi sosial masyarakat dalam menyediakan perlindungan sosial berbasis
masyarakat.
C. LANDASAN HUKUM
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tetang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial.
2. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional.
4. Keputusan Menteri Sosisal RI Nomor 51/HUK/2003 tentang Program Jaminan
Sosial bagi Masyarkat Rentan dan Tidak Mampu melalui Pola Asuransi
Kesejahteraan Sosial dan Bantuan Kesejahteraan Sosial dan bantuan
Kesejahteraan Sosial Permanen.
5. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 63/HUK/2003 tentang Pelaksanaan
Asuransi Kesejahteraan Sosial bagi Masyarakat Rentan.
6. Keputusan Direktur Jenderal bantuan dan Jaminan Sosial Nomor 23/BJS/2005
tentang Panduan Umum Jaminan Kesejahteraan Sosial.
7. Keputusan Direktur Jenderal bantuan dan Jaminan Sosial Nomor
25/BJS/V/2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Jaminan Kesejahteraan
Sosial bagi Masyarakat rentan melalui Asuransi Kesejahteraan Sosial
(ASKESOS).
D. PENGERTIAN
1. Jaminan Sosial adalah seluruh sistem perlindungan dan pemeliharaan
kesejahteraan sosial bagi warga negara yang diselengarakan oleh Pemerintah
dan/atau masyarakat guna memelihara taraf kesejahteraan sosial.
2. Jaminan Kesejahteraan Sosial adalah sistem perlindungan sosial dalam
bentuk bantuan dan Asuransi Kesejahteraan Sosial kepada individu, keluarga,
kelompok, dan komunitas yang dikategorikan sebagai Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial.
3. ASKESOS adalah sistem perlindungan sosial bagi masyarakat pekerja
mandiri dan pekera di sektor informal dalam bentuk jaminan pengganti
pendapatan keluarga, yang disebabkan peserta atau tertanggung mengalami
penurunan atau kehilangan pendapatan akibat sakit, kecelakaan, dan
meninggal dunia.
4. Pekerja mandiri dan pekerja di sektor informal adalah pekerja atau
pelaksana dalam kelompok usaha ekonomi yang tidak berbadan hukum dan
tidak mempunyai hubungan kerja formal, baik mempunyai majikan maupun
tidak, dan tidak terjangkau oleh sistem Jaminan Sosial lainnya (misalnya
pedagang bakso, tukang ojek, dll.).
5. Lembaga Pelaksana ASKESOS adalah Organisasi Sosial yang telah ditunjuk
dan ditetapkan oleh Departemen Sosial atau Dinas/Instansi Sosial Provinsi,
bedasarkan usulan dari Dinas/Instansi Sosial Kabupaten/Kota.
6. Tim Pengelola ASKESOS adalah unit organisasi yang ditunjuk dan ditetapkan
oleh Lembaga pelaksana ASKESOS.
7. Premi adalah iuran wajib peserta yang dibayarkan setiap bulan kepada Tim
Pengelola ASKESOS sesuai ketentuan yang berlaku.
8. Polis ASKESOS adalah surat pengikat kedua belah pihak, antara peserta
dengan Pengelola ASKESOS.
9. Risiko adalah hilangnya pendapatan keluarga yang mengakibatkan
menurunnya tingkat kesejahteraan keluarga peserta ASKESOS oleh karena
peserta pencari nafkah menderita sakit, mengalami kecelakaan, dan/atau
meninggal dunia.
10. Cadangan Dana Klaim adalah sejumlah uang subsidi Pemerintah dengan
nilai tertentu sebagai aset untuk penegelolaan ASKESOS yang disimpan di
bank Pemerintah.
II. KEBIJAKAN DAN STATEGI PEMERINTAH
Kebijakan
a. Perlindungan sosial terhadap hak-hak dasar warga masyarakat yang rentan
dan tidak mampu untuk mendapatkan akses pelayanan sistem Jaminan Sosial.
b. Penetapan legislasi berupa perundang-undangan bagi penyelenggaraan
Program Jaminan Kesejahteraan Sosial.
c. Membentuk dan mengembangkan kelembagaan di bidang pengembangan
sistem Jaminan Kesejahteraan Sosial.
d. Peningkatan prakarsa dan peran aktif warga masyarakat secara terarah,
terencana, terorganisir, dan melembaga atas dasar solidaritas,
kegotongroyongan, serta swadaya dalam melaksanakan sistem Jaminan
Kesejahteraan Sosial.
e. Melestarikan dan meningkatkan kemanfaatan kearifan lokal sebagai salah
satu bentuk perlindungan sosial yang berakar dari budaya bangsa.
f. Peningkatan kualitas manajemen pelayanan sistem Jaminan Kesejahteraan
Sosial dalam mengelola Asuransi kesejahteraan Sosial (ASKESOS).
Strategi
a. Perlindungan Sosial, yaitu memberikan perlindungan terhadap para peserta
ASKESOS (pekerja mandiri dan pekerja di sektor informal) dan keluarganya
dari keadaan-keadaan yang tidak diinginkan.
b. Inisiasi Undang-Undang, yaitu penyiapan Undang-Undang yang didukung
konsep yang mantap dan dapat diterapkan (feasible), sehingga Undang-
Undang Jaminan Kesejahteraan Sosial sebagai payung bagi penyelenggaraan
Program Jaminan Kesejateraan Sosial dapat diterapkan secara nasional.
c. Kemitraan Sosial, yaitu adanya kerja sama, kepedulian, kesetaraan,
kebersamaan, dan jaringan kerja yang menumbuhkembangkan antara pihak-
pihak yang bermitra dalam penyelengaraan Program Jaminan Kesejahteraan
Sosial yang meliputi Lembaga-lembaga Pelayanan Kesejahteraan Sosial,
Pemerintah Daerah, Departemen Sosial, Instansi sosial/Dinas Sosial,
Departemen atau Dinas yang terkait, Organisasi Sosial/ Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), tokoh masyarakat/tokoh adat, dan masyarakat pada
umumnya.
d. Advokasi Sosial, yaitu adanya upaya memeberikan pendampingan,
perlindungan, dan pembelaan terhadap hak-hak dasar warga masyarakat yang
rentan dan tidak mampu untuk mendapatkan akses pelayanan Sistem Jaminan
Sosial. Dengan menyiapkan dan membuat bahan rancangan dalam rangka
penyusunan peraturan perundang-undangan tentang Sistem Jaminan sosial,
sehingga hak-hak mereka tidak dilanggar oleh pihak lain.
e. Memfasilitasi, melindungi, meningkatkan kualitas dan kuantitas, serta
mengembangkan bentuk-bentuk kearifan lokal yang melaksanakan Sistem
Jaminan Sosial/Perlindungan Sosial untuk pengembangan masyarakat dalam
komunitas lokal.
f. Penguatan kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan, yaitu
mengandung makna peningkatan profesionalisme dan kinerja pelaku Program
jaminan kesejahteraan sosial, termasuk aparatur Pemerintah di tingkat pusat
dan daerah, masyarakat/Organisai Sosial/dunia usaha, serta penerima
pelayanan, untuk mencegah dan mengatasi masalah yang ada serta
merealisasikan aspirasi dan harapan dalam peningkatan kualitas hidupnya.
III. SASARAN
Sasaran kegiatan ASKESOS adalah pekerja mandiri marginal dan pekerja di
sektor informal, Lembaga-lembaga Sosial, Pemerintah Daerah, Instansi/Dinas
Sosial, instansi terkait, tokoh masyarakat, dan dunia usaha.
IV. PELAKSANA
Lembaga Pelaksana ASKESOS adalah organisasi sosial yang telah ditunjuk dan
ditetapkan oleh Departemen Sosial atau Dinas/Instansi Sosial Provinsi.
V. TAHAPAN
Observasi
Merupakan kegiatan awal untuk melaksanakan pengamatan dalam rangka
memperoleh gambaran secara umum mengenai lingkungan penduduk
(sumber alam dan sumber daya manusia) yang mungkin dapat mendukung
pelaksanaan kegiatan Program Jamkesos.
- Sosialisasi
Sosialisasi merupakan pendekatan awal yang dilaksanakan dalam rangka
memperkenalkan dan menginformasikan program rintisan uji coba ASKESOS.
Kegiatan ini dilaksanakan melalui media konvensional, seperti temu konsultasi,
forum komunikasi, kampanye sosial, maupun media kontemporer seperti
media cetak dan elektronik.
- Identifikasi dan Seleksi
Merupakan suatu kegiatan mencatat, menginventarisasi, dan menyeleksi
lokasi, calon Lembaga Pelaksana, dan calon peserta ASKESOS melalui kegiatan
observasi data mikro yang dilaksanakan oleh petugas Provinsi dan
Kabupaten/Kota serta Orsos calon pelaksana.
- Pembentukan Perangkat Program di Lapangan
Perangkat program terdiri dari:
a. Tim Pengendali; dapat diwakili oleh Instansi Sosial Provinsi, Kabupaten/Kota,
Kecamatan, Desa/Kelurahan, dan tokoh masyarakat, yang diangkat dan
ditetapkan oleh Instansi Sosial Provinsi, dan bertugas untuk mengendalikan
proses penyelenggaraan ASKESOS.
b. Tim Pendamping; dapat direkrut dari unsur tokoh masyarakat, PSM,
kalangan profesional, yang diangkat dan ditetapkan oleh Instansi Sosial
Provinsi atas usulan Instansi Sosial Kabupaten/Kota, dan bertugas
mendampingi peserta ASKESOS.
- Penetapan Kesepakatan Bersama
Kesepakatan ini untuk mengikatkan diri kedua belah pihak, antara Instansi
Sosial Provinsi dengan lembaga Pelaksana ASKESOS, dengan disaksikan oleh
Kepala Instansi Sosial Kabupaten/Kota dan petugas dari Kecamatan, untuk
menunjang keberhasilan Program Jaminan Kesejahteraan Sosial.
- Pemantapan Petugas
Merupakan pemberian pengetahuan dan keahlian teknis bagi petugas Provinsi
dan Kabupaten/Kota melalui Balai Pendidikan dan Pelatihan (Diklat), Forum
Pemantapan Petugas, studi banding, dan forum konsultasi.
- Pembekalan Manajemen bagi Orsos Pelaksana
Adalah pemberian pengetahuan dan keahlian manajerial bagi para pimpinan
Lembaga pelaksana melalui Balai Pendidikan dan Pelatihan (Diklat), Forum
Komunikasi Lembaga Pelaksana, studi banding, dan forum konsultasi.
- Bimbingan Motivasi bagi Calon Peserta
Merupakan pemberian pemahaman yang lebih mendalam tentang ASKESOS
bagi para calon peserta ASKESOS, sehingga meraka mau mengambil bagian
menejadi peserta. Kegiatan ini dilakukan melalui Forum Bimbingan Motivasi
yang diselenggarakan oleh Instansi Sosial Provinsi dan Kabupaten/Kota.
- Operasionalisasi ASKESOS oleh Orsos
Adalah pelaksanaan ASKESOS dengan kegiatan merekrut peserta,
mengumpulkan premi, dan membayar klaim sesusai ketentuan yang telah
ditetapkan.
Pengawasan
Merupakan proses menjaga kegiatan Program ASKESOS agar tetap sesuai
dengan mekanisme pelaksanaannya. Pengawasan ini dilakukan oleh instansi
pengawasan pemerintah pusat (Depsos), daerah, dan/atau instansi
pengawasan lainnya yang ditunjuk.
- Pelaporan
Merupakan hasil evaluasi penyelanggaraan ASKESOS oleh Lembaga Pelaksana
secara bulanan. triwulan, semester, dan tahunan, yang dilaporkan kepada
Dinas Sosial Kabupaten/Kota, dengan tembusan Depsos pusat dan Instansi
Sosial Provinsi
VI. MEKANISME PENDANAAN ASKESOS
MEKANISME ASKESOS MELALUI DANA DEKONSENTRASI
Keterangan:
- : Koordinasi
1. Sumber dana klaim dari APBN Depsos/Dit. Jamkesos ke Pemerintah Provinsi
c.q.
2. Transfer cadangan dana klaim dari Pemerintah Provinsi c.q. KPPN Provinsi ke
rekening Orsos Pengelola melalui Bank Pemerintah.
3. Pengambilan dana klaim pada rekening Orsos Pengelola ASKESOS.
- : Pengajuan dana klaim
- : Pencairan dana klaim.
- : Pengambilan tabungan setelah masa Pertanggungan.
- : Pelaporan.
MEKANISME ASKESOS MELALUI DANA APBN
Keterangan:
- : Koordinasi
1. Sumber dana klaim dari APBN Depsos/Dit. Jamkesos ke Pemerintah Provinsi
c.q.
2. Transfer cadangan dana klaim dari Pemerintah Provinsi c.q. KPPN Provinsi ke
rekening Orsos Pengelola melalui Bank Pemrintah.
3. Pengambilan dana klaim pada rekening Orsos Pengelola ASKESOS.
- : Pengajuan dana klaim
- : Pencairan dana klaim.
- : Pengambilan tabungan setelah masa Pertanggungan.
- : Pelaporan.
VII. STANDAR PELAKSANAAN ASURANSI KESEJAHTERAAN SOSIAL
A. STANDAR KELEMBAGAAN
1. Kriteria dan Legalitas Lembaga Pelaksana
Lembaga Pelaksana ASKESOS dimaksud adalah Organisasi Sosial (Orsos),
Lembaga Swadaya Masyrakat (LSM), atau Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), atau Lembaga Keuangan Mikro (LKM), yang memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. Telah berdiri minimal 3 (tiga) tahun dan melaksanakan pelayanan
kesejahteraan sosial, kecuali apabila Orsos tersebut baru berdiri 1 (satu) tahun
dengan memenuhi kriteria:
1) Sumber daya manusia terbentuk secara profesional.
2) Sumber dana tetap, yang dibuktikan dengan rekomendasi dari donatur yang
bersangkutan.
b. Memiliki reputasi baik di bidang pelayanan sosial dan Usaha Ekonomi
Produktif (UEP).
c. Memiliki struktur kepengurusan.
d. Memiliki kantor sekretariat.
e. Memiliki Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART).
f. Memiliki Akta Notaris dan/atau memiliki legalitas dari Pemerintah Daerah
setempat.
g. Memiliki izin operasional dari departemen Sosial RI atau Instansi Sosial
Provinsi dan/atau Instansoi Sosial Kebupaten/Kota.
h. Memiliki Nomor Pokok wajib Pajak (NPWP) yang masih berlaku.
2. Tugas dan fungsi Lembaga Pelaksana
Lembaga Pelaksana mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut :
a. Membentuk Tim Pengelola ASKESOS.
b. Menyeleksi calon peserta ASKESOS.
c. Melaksanakan bimbingan dan motivasi pada calon peserta ASKESOS.
d. Memperluas jangkauan pelayanan.
e. Melakukan supevisi, pemantauan, dan evaluasi terhadap Tim Pengelola
ASKESOS.
f. Melaksanakan komunikasi, informasi, dan koordinasi kepada Instansi Sosial.
g. Menyampaikan laporan perkembangan kegiatan ASKESOS pada Instansi
Sosial Kabupaten/Kota.
3. Struktur Organisasi
Struktur organisasi Tim Pengelola ASKESOS terdiri dari :
a. Ketua,
b. Sekretaris,
c. Bendahara,
d. Urusan Pemasaran dan Pembinaan Peserta,
e. Urusan Premi/Iuran dan Keuangan,
f. Urusan Klaim/Pertanggungan,
g. Petugas Lapangan.
4. Sumber Daya Manusia
a. Ketua
1) Berpendidikan minimal SLTA.
2) Memeiliki pengalaman kerja di lembaga/organisasi kesejahteraan sosial
minimal 3 (tiga) tahun.
3) Mempunyai visi dalam mengembangkan ASKESOS.
4) Mampu berkomunikasi dengan baik untuk memajukan lembaga yang
dipimpin.
5) Mempunyai jaringan kerja yang cukup luas, baik di bidang kewiraushaan
maupun di bidang pelayanan sosial.
b. Sekretaris
1) Berpendidikan minimal SLTA.
2) Memiliki pengalaman kerja di bidang pengadministrasian.
3) Mampu berkomunikasi dengan baik.
4) Terampil mengoperasikan komputer atau mesin ketik.
c. Bendahara
1) Berpendidikan minimal SLTA.
2) Memiliki pengalaman kerja di bidang keuangan.
3) Mampu berkomunikasi dengan baik.
4) Terampil mengoperasikan komputer atau mesin ketik.
d. Urusan Pemasaran dan Pembinaan Peserta
1) Berpendidikan minimal SLTA.
2) Memiliki pengetahuan tentang ASKESOS.
3) Memiliki pengalaman kerja di bidang pemasaran.
4) Mampu berkomunikasi dengan baik.
e. Urusan Premi/Iuran dan Keuangan
1) Berpendidikan minimal SLTA.
2) Memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan Jaminan Sosial.
3) Mampu berkomunikasi dengan baik.
4) Mampu dalam pembukuan
f. Urusan Klaim/Pertanggungan
1) Berpendidikan minimal SLTA.
2) Memiliki pengetahuan di bidang pelayanan administrasi, khususnya di
bidang klaim/pertanggungan.
3) Mampu berkomunikasi dengan baik.
4) Mampu mengoperasikan komputer atau mesin ketik.
g. Petugas Lapangan
1) Berpendidikan minimal SLTA.
2) Memiliki pengetahuan tentang ASKESOS.
3) Mempunyai jaringan kerja yang cukup luas di masyarakat sekitar.
4) Mampu berkomunikasi dengan baik.
5. Manajemen
a. Perencanaan
Unit Pengelola ASKESOS dalam melaksanakan pelayanan kepada peserta
ASKESOS harus memiliki perencanaan yang jelas, baik rencana jangka
panjang, menengah, maupun pendek.
b. Pengorganisasian ASKESOS
Pengorganisasian ASKESOS meliputi:
1) Departemen Sosial RI
Departemen Sosial dalam pelaksanaan kegiatan ASKESOS mempunyai tugas
merumuskan kebijakan dan program ASKESOS, menetapkan legislasi,
menetapkan standara teknis, dan pengendalian.
2) Instansi Sosial Provinsi
Instansi Sosial Provinsi dalam pelaksnaan kegiatan ASKESOS mempunyai tugas
membentuk Tim Pengendali dan merumuskan kebijakan teknis operasional,
melaksanakan kegiatan yang bersifat dekonsentrasi, melakukan konsultasi
dengan Departemen Sosial sebagai lembaga penanggungjawab fungsional
program ASKESOS, melakukan koordinasi dengan Instansi Sosial
kabupaten/Kota, melakukan supervisi, pemantapan dan evaluasi lingkup
Provinsi, Kabupaten/Kota, serta menyampaikan laporan perkembangan
kegiatan pada Departemen Sosial RI c.q. Direktorat Jaminan Kesejahteraan
Sosial.
3) Instansi Sosial Kabupaten/Kota
Instansi Sosial Kabupaten/Kota mempunyai tugas merumuskan kebijakan
teknis operasional, melaksanakan kegiatan yang bersifat dekonsentrasi,
melakukan koordinasi dengan Instansi Sosial Tingkat Provinsi, melakukan
pembinaan pada Lembaga Pelaksana, melakukan supervisi, pemantapan, dan
evaluasi lingkup Kabupaten/Kota, serta menyampaikan laporan perkembangan
kegiatan pada Instansi Sosial Provinsi.
6. Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana dalam penunjang pelaksanaan kegiatan ASKESOS
antara lain:
a. Sarana
Lembaga/Tim Pengelola kegiatan ASKESOS minimal berbagai sarana yang
berfungsi sebagai instrumen pelaksanaan kegiatan, yang meliputi
perlengkapan kantor, kelengkapan administrasi, dan sarana transportasi.
b. Prasarana
Lembaga/Tim Pengelola kegiatan ASKESOS menimal memiliki berbagai
prasarana bagi pelaksanaan kegiatan, yang meliputi ruang kantor, ruang
rapat, dan ruang pelayanan/konsultasi.
B. STANDAR PELAYANAN
1. Proses dan Administrasi Pelayanan
Pelayanan ASKESOS perlu memperhatikan beberapa hal yang dapat
mempengaruhi kelancaran pelaksanaan, yaitu:
a. Jaminan Kesejahteraan Sosial yang dikemas dalam wujud Perjanjian dan
Kontrak antara Peserta dengan Pelaksana, yang berbentuk Polis.
b. Potensi sumber dana dari masyarakat berupa iuran sebagai sumber utama.
c. Mengupayakan pemberdayaan masyarakat dengan menumbuhkembangkan
peran serta masyarakat atau stakeholders(pemangku kepentingan) secara
berkelanjutan.
d. Mengembangkan keswadayaan masyarakat sebagai dasar pendayagunaan
potensi dan kemampuan lokal untuk memenuhi kebutuhan lokal, melestarikan
dan menumbuhkan rasa memiliki, serta rasa tanggung jawab sosial.
e. Melaksanakan prinsip-prinsip manajemen secara profesional, sederhana,
mudah dilaksanakan, mudah dipahami, serta dapat dipertanggung-jawabkan
kepada masyarakat.
f. Melaksanakan keseimbangan antara aspek sosial dengan aspek ekonomi.
g. Meningkatkan kemampuan swakelola dan swadana secara sinergis.
h. Menumbuhkan jaringan dan mebuat keterpaduan dengan program-program
lain, antara unit di Departemen Sosial dan antar Departemen atau instansi
terkait
Pada prosesnya, pelayanan ASKESOS harus direalisasikan melalui tata cara
pengadministrasian yang bertujuan untuk mengatur dan mengukur kelayan
penerimaan pelayanan tersebut, melalui tahapan berikut ini:
a. Pendaftaran Peserta
Tahap awal pemberian pelayanan kepada masyarakat adalah dengan
memperkenalkan dan menginformasikan program ASKESOS yang mudah
dipahami, kemudian melakukan selesksi sesuai dengan persyaratan yang telah
ditetapkan.
b. Penarikan Iuran atau Premi
Setelah diadkan pendaftaran peserta, maka petugas Urusan Iuran atau Premi
melakukan beberapa kegiatan, antara lain:
1) Menerima setoran dari peserta yang dicatat dalam Buku setoran Premi oleh
petugas Urusan Iuran atau Premi.
2) Melaporkan dan mnyetorkan iuran atau premi yang telah diterima kepada
Bendahara Pengelola ASKESOS untuk dicatat dalam Buku Kas Harian dan
disimpan atau disetorkan ke dalam rekening bank atas nama Tim Pelaksana
ASKESOS.
3) Setelah menerima dan menyetorkan dana iuran atau premi, Bendahara
Pengelola ASKESOS diharuskan membuat laporan kepada Ketua Pengelola
ASKESOS untuk ditindaklanjuti dengan pembuatan laporan oleh Ketua
Pengelola ASKESOS kepada Pengendali, yaitu Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/Kota, dengan tembusan kepada Direktorat Jaminan Kesejahteraan
Sosial – Departemen Sosial RI.
c. Pengajuan Dana Klaim/Pertanggungan
Peserta yang mengalami risiko sakit, kecelakaan, atau meninggal dunia yang
dapat mengakibatkan terhentinya pekerjaan/usahanya, dapat mengajukan
pembayaran dana klaim atau pertanggungan sebagai pengganti pendapatan
kepada Pengelola ASKESOS, dengan menunjukkan/memperlihatkan Polis dan
Kartu Anggota serta mengisi dan menandatangani formulir yang telah
disediakan.
d. Pembayaran Dana Klaim/Pertanggungan
Permohonan dana Klaim/Pertanggungan diseleksi oleh Tim Pengelola, layak
dan memnuhi persyaratan atau tidak (pemohon benar-benar sebagai peserta
Polis serta tanda pembayaran iuran/premi). Jika layak dan memenuhi syarat,
pembayaran dana klaim/pertanggungan dapat dilakukan sesuai risiko yang
dialami.
2. Kepesertaan
a. Syarat menjadi Peserta
1) Pencari nafkah utama (laki-laki atau perempuan) dalam keluarga (seperti
pedagang kecil, penjual jasa, dan buruh) yang berpenghasilan minimal Rp
300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) per bulan.
2) Usia 20 s/d 59 tahun dan/atau belum menikah.
3) Memiliki KTP/keterangan domisili dari pemerintah setempat.
b. Status Peserta
1) Peserta harus memiliki Polis ASKESOS.
2) Peserta yang tidak membayar premi selam 3 (tiga) bulan berturut-turut,
akan hilang status kepesertaannya.
3) Peserta yang masa kepesertaannya selesai, dapat melanjutkan kembali
kepesertaannya dengan mengikuti ketentuan yang berlaku (daftar ulang).
4) Peserta yang meninggal dunia, status kepesertaannya berakhir, kecuali bila
dilanjutkan oleh ahli warisnya.
5) Peserta yang mengundurkan diri, status kepesertaannya berakhir, dengan
menyampaikan surat permohonan mengundurkan diri.
c. Kewajiban Peserta
1) Mambayar premi/iuran Rp 5.000,- (lima ribu rupiah) per bulan kepada
petugas, dengan tanda bukti pembayaran.
2) Mematuhi peraturan dan ketentuan yang berlaku.
d. Hak Peserta
1) Mendapat Polis ASKESOS.
2) Mendapat klaim/dana pertanggungan sebagai berikut :
sakit (minimal 10 hari berturut-turut atau 3 hari rawat inap): Rp 100.000,-
(seratus ribu rupiah) per tahun hanya 1 kali.Tertanggung
mengalami kecelakaan (dengan memberikan atau melampirkan surat
keterangan): Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) per tahun, hanya 1
kali.Tertanggung
Tertanggung meninggal dunia, mendapatkan pertanggungan sebesar :
Meninggal dunia di tahun I: Rp 200.000,- (dua ratus ribu rupiah).
Meninggal dunia di tahun II: Rp 400.000,- (empat ratus ribu rupiah).
Meninggal dunia di tahun III: Rp 600.000,- (enam ratus ribu rupiah).
Bila terjadi risiko atau tidak terjadi risiko selama pertanggungan 3 (tiga)
tahun, akan mendapat dana tabungan dan uang premi/iuran akan
dikembalikan sebesar: 36 bulan x Rp 5.000,- = Rp 180.000,- (seratus delapan
puluh ribu rupiah).
untuk mengundurkan diri, maka premi dibayarkan sebesar jumlah premi yang
telah disetorkan.Bila peserta mengajukan permohonan
g. Cara Peserta Mengajukan Klaim
1) Peserta menyiapkan persyaratan pengajuan klaim kepada petugas urusan
klaim melalui Petugas Lapangan (Tim Pengelola).
2) Bagian Urusan Klaim menyeleksi dengan memperhatikan persyaratan yang
telah ditentukan.
3) Bagina Urusan Klaim membukukan pada Buku Klaim dan membuat
rekapitulasi usulan klaim serta mengajukan pembayaran dana klaim kepada
Bendahara.
4) Bagian Urusan Klaim menginformasikan kepada peserta melalui Petugas
Lapangan tentang pembayaran klaim.
5) Bagian Urusan Klaim membuat laporan kepada Ketua melalui Sekretaris Tim
Pengelola ASKESOS.
6) Bendahara membayarkan dana klaim dengan tunai kepada peserta melalui
bagian Urusan Klaim.
3. Pendanaan
a. Sumber Pembiayaan
Pembiayaan pengelolaan ASKESOS pada tahap rintisan bersumber dari :
1) Dana premi yang dibayarkan oleh peserta.
2) Dana klaim/pertanggungan Pengganti Pendapatan dari subsidi Pemerintah
c.q. Departemen Sosial RI.
3) Dana hasil perputaran untuk menunjang kegiatan operasional.
4) Dana hibah dari donatur.
b. Penggunaan Dana (Klaim/Pertanggungan, Tabungan Jangka Pendek,
Operasional, dan Perputaran)
Pengelolaan dana ASKESOS oleh Orsos/Lembaga yang ditunjuk oleh
Pemerintah Provinsi berdasarkan usulan dari Pemerintah Kabupaten/Kota,
ditujukan untuk membiayai kegiatan pelaksanaan ASKESOS, sebagai berikut :
1) Subsidi Pemerintah c.q. Departemen Sosial RI melalui Direktorat Jaminan
Kesejahteraan Sosial, untuk pembiayaan pembayaran klaim/pertanggungan
Pengganti Pendapatan.
2) Pembayaran premi/iuran dari peserta untuk pembiayaan pembayaran
tabungan jangka pendek (masa pertanggungan minimal 3 tahun).
3) Menanggulangi permasalahan usaha/pekerjaannya (misalnya, pengemudi
ojek yang mengalami kerusakan pada ban sepeda motornya, yang
mengakibatkan tidak mengojek, dapat diberikan dana talangan untuk membeli
ban).
4) Hasil usaha (sebagai penggalian pendanaan) dapat digunakan untuk
pembiayaan operasional penunjang kegiatan.
5) Dana hibah dari donatur diperuntukkan sesuai kesepakatan dengan pihak
donatur.
c. Pembukuan
1) Subsidi pemerintah c.q. departemen Sosial RI disimpan di rekening bank
Pemerintah, atas nama Orsos pengelola ASKESOS, terpisah dari rekening Orsos
atau rekening pengurus Orsos, dan dicatat dalam Buku Bank. Setiap
pengambilan harus ditandatangani oleh Ketua dan Bendahara.
2) Dana premi/iuran dicatat dalam Buku Besar Premi yang terdiri dari Buku
Pemasukan dan Buku Pengeluaran. Setiap bulan buku tersebut ditutup,
ditandatangani oleh Ketua Tim Pengelola ASKESOS.
3) Dana perputaran dicatat dalam Buku Besar Pinjaman dan Buku Besar
Keuntungan. Setiap bulan buku tersebut ditutup, ditandatangani oleh Ketua
Pengelola ASKESOS.
4) Dana hibah dicatat dalam Buku Hibah. Setiap bulan buku tersebut ditutup,
ditandatangani oleh Ketua Pengelola ASKESOS.
5) Pemasukan dan pengeluaran dicatat dalam Buku Neraca dan dilaporkan
kepada Instansi Sosial Kabupaten/Kota dengan tembusan disampaikan kepada
Instansi Sosial Provinsi dan Direktorat Jaminan Kesejahteraan Sosial Provinsi
dan Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial, Departemen Sosial RI.
C. STANDAR PENGENDALIAN
1. Akuntabilitas
a. Lembga Pelaksana ASKESOS harus membuat laporan hasil kegiatan sebagai
bentuk pertanggungjawaban dalam pelaksanaan ASKESOS.
b. Pertanggungjawaban pelaksanaan ASKESOS tersebut bersifat terbuka untuk
diketahui, baik oleh Pemerintah maupun publik.
c. Pertanggungjawaban tersebut didasarkan atas data yang benar dari hasil
kegiatan ASKESOS.
d. Pertanggungjawaban ditujukan kepada pemangku kepentingan
(stakeholders) pelaksanaan ASKESOS, yaitu departemen Sosial, Pemerintah
Provinsi/Kabupaten/ Kota, dan warga peserta ASKESOS.
2. Audit
Kegiatan audit adalah menelaah aspek yang saling mempengaruhi antara
komponen program dengan aspek-aspek kelembagaan, yang antara lain dapat
dilihat dari bagaimana program diapresiasi oleh lembaga setempat; hasil,
manfaat, dan dampak program terhadap kelembagaan setempat; dan
bagaimana lingkungan kelembagaan mempengaruhi keberlangsungan dan
keberhasilan program ASKESOS.
3. Monitoring
a. Monitoring dimasksudkan untuk memantau perkembangan peserta
ASKESOS, kinerja pelaksanaan ASKESOS, prosedur kegiatan ASKESOS, dan
kondisi lapangan peserta ASKESOS.
b. Monitoring dilaksanakan secara terus-menerus terhadap pelaksanaan
ASKESOS, secara bulanan, triwulan, semester, dan tahunan.
c. Monitoring dilakukan oleh petugas yang berasal dari unsur Pemerintah,
Lembaga Swadaya Masyarakat, dan pendamping sosial.
d. Monitoring dilaksanakan pada seluruh tahapan kegiatan, mulai dari awal,
proses, hingga akhir kegiatan ASKESOS.
e. Monitoring internal dilakukan oleh pihak departemen Sosial terhadap
Instansi Sosial Provinsi, Kabupaten/Kota, dan Orsos Pelaksana.
f. Monitoring tim Pemngendali dilakukan oelh pihak Instansi Sosial Provinsi,
Kabupaten/Kota, Kecamatan, Desa/Kelurahan, dan Orsos Pelaksana ASKESOS.
g. Monitoring Eksternal dilakukan oleh Lembaga pemerintah dan/atau lembaga
independen.
4. Supervisi
a. Supervisi bertujuan untuk mengontrol berbagai aspek kegiatan, baik sejak
kondisi persiapan awal maupun proses berlangsungnya kegiatan ASKESOS.
b. Supervisi dimaksudkan untuk mengontrol proses pelaksanaan kegiatan
ASKESOS.
c. Supervisi dilakukan oleh petugas yang berasal dari unsur Pemerintah,
Lembaga Swadaya Masyarakat, pendamping sosial, dan pihak lain yang terkait
dengan ASKESOS.
5. Evaluasi
a. Evaluasi ditujukan untuk memantau secara terus-menerus terhadap
pelaksanaan ASKESOS.
b. Evaluasi dilakukan oelh petugas yang berasal dari unsur Pemerintah,
Lembaga Swadaya Masyarakat, dan Pendamping sosial.
c. Evaluasi dilaksanakan pada tahap akhir kegiatan ASKESOS.
6. Pelaporan
a. Pelaporan ditujukan untuk menginformasikan proses dan pencapaian tujuan
serta kendala kegiatan ASKESOS.
b. Laporan rangkaian kegiatan ASKESOS (perancanaan, pelaksanaan, dan
hasil) harus lengkap.
c. Laporan ASKESOS disusun secara berkala, yaitu per triwulan, semester, dan
tahunan.
d. Laporan disusun pihak Pengelola dan disampaikan secara berjenjang
kepada Instansi Sosial Kabupaten /Kota, Instansi Sosial Provinsi, dan
Departemen Sosial RI.
7. Indikator Kinerja
a. Meningkatnya pemahaman Lembaga Pelaksana dalam mekanisme
penyelengaraan ASKESOS.
b. Meningkatnya jumlah lembaga yang berpastispasi dalam penyelenggaraan
ASKESOS.
c. Meningkatnya jumlah peserta ASKESOS.
d. Adanya ketelibatan Pemerintah Daerah dalam penyelengaraan ASKESOS.
VIII. PENUTUP
Informasi Standar Pelaksanaan ASKESOS (Asuransi Kesejahteraan Sosial) ini
merupakan salah satu acuan dalam implementasi pelaksanaan dan
kewenangan Pemerintah untuk memberikan standar bagi pelaksana dan/atau
Pengelola ASKESOS.Oleh karena itu, standar pelaksanaan ASKESOS ini dapat
dimanfaatkan secara optimal sebagai acuan dan pedoman di lapangan, sesuai
dengan situasi dan kondisi yang ada.Informasi Standar Pelaksanaan ASKESOS
ini perlu disosialisasikan kepada pihak-pihak terkait dan Tim Pengelola sebagai
upaya mewujudkan pemahaman dan pengertian yang sama dalam
penyelengaraan pelaksanaan dan/atau pengelolaan ASKESOS serta bagi
masyarakat pekerja mandiri di sektor informal.
Akhirnya, Informasi ini diharapkan dapat mewujudkan terciptanya pelaksanaan
ASKESOS yang efektif, serta mampu memberikan Jaminan Sosial terhadap
pekerja mandiri di sektor informal.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.pksa-kemensos.com/2011/04/10/rapat-kerja-nasional-program-
kesejahteraan-sosial-anak-tahun-2011/
http://www.pksa-kemensos.com/2011/04/29/kemensos-tandatangani-mou-
bantuan-bagi-anak-jalanan-dengan-pt-medco-ep/
http://ungang.blogspot.com/2010/09/program-asuransi-kesejahteraan-
sosial.html?zx=61cdd2d4dc92eeafComment
Model Implementasi kebijakan George
Edward III
Filed under: Tak Berkategori — Leave a comment
6 February 2011
Model Implementasi kebijakan George Edward III
Pendekatan yang digunakan dalam menganalisis implementasi kebijakan
tentang konservasi energi adalah teori yang dikemukakan oleh George C.
Edwards III. Dimana implementasi dapat dimulai dari kondisi abstrak dan
sebuah pertanyaan tentang apakah syarat agar implementasi kebijakan dapat
berhasil, menurut George C. Edwards III ada empat variabel dalam kebijakan
publik yaitu Komunikasi (Communications), Sumber Daya (resources), sikap
(dispositions atau attitudes) dan struktur birokrasi (bureucratic structure)
Ke empat faktor di atas harus dilaksanakan secara simultan karena antara satu
dengan yang lainnya memiliki hubungan yang erat. Tujuan kita adalah
meningkatkan pemahaman tentang implementasi kebijakan. Penyederhanaan
pengertian dengan cara membreakdown (diturunkan) melalui eksplanasi
implementasi kedalam komponen prinsip. Implementasi kebijakan adalah
suatu proses dinamik yang mana meliputi interaksi banyak faktor. Sub kategori
dari faktor-faktor mendasar ditampilkan sehingga dapat diketahui
pengaruhnya terhadap implementasi.
Faktor –faktor yang berpengaruh dalam implementasi menurut George C.
Edwards III sebagai berikut :
a. Komunikasi
Implementasi akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan
kebijakan dipahami oleh individu-individu yang bertanggungjawab dalam
pencapaian tujuan kebijakan. Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan dengan
demikian perlu dikomunikasikan secara tepat dengan para pelaksana.
Konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan perlu
dikomunikasikan sehingga implementors mengetahui secara tepat ukuran
maupun tujuan kebijakan itu. Komunikasi dalam organisasi merupakan suatu
proses yang amat kompleks dan rumit. Seseorang bisa menahannya hanya
untuk kepentingan tertentu, atau menyebarluaskannya. Di samping itu sumber
informasi yang berbeda juga akan melahirkan interpretasi yang berbeda pula.
Agar implementasi berjalan efektif, siapa yang bertanggungjawab
melaksanakan sebuah keputusan harus mengetahui apakah mereka dapat
melakukannya. Sesungguhnya implementasi kebijakan harus diterima oleh
semua personel dan harus mengerti secara jelas dan akurat mengenahi
maksud dan tujuan kebijakan. Jika para aktor pembuat kebijakan telah melihat
ketidakjelasan spesifikasi kebijakan sebenarnya mereka tidak mengerti apa
sesunguhnya yang akan diarahkan. Para implemetor kebijakan bingung
dengan apa yang akan mereka lakukan sehingga jika dipaksakan tidak akan
mendapatkan hasil yang optimal. Tidak cukupnya komunikasi kepada para
implementor secara serius mempengaruhi implementasi kebijakan.
b. Sumber daya
Tidak menjadi masalah bagaimana jelas dan konsisten implementasi program
dan bagaimana akuratnya komunikasi dikirim. Jika personel yang
bertanggungjawab untuk melaksanakan program kekurangan sumberdaya
dalam melakukan tugasnya. Komponen sumberdaya ini meliputi jumlah staf,
keahlian dari para pelaksana, informasi yang relevan dan cukup untuk
mengimplementasikan kebijakan dan pemenuhan sumber-sumber terkait
dalam pelaksanaan program, adanya kewenangan yang menjamin bahwa
program dapat diarahkan kepada sebagaimana yamg diharapkan, serta
adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat dipakai untuk melakukan
kegiatan program seperti dana dan sarana prasarana.
Sumberdaya manusia yang tidak memadahi (jumlah dan kemampuan)
berakibat tidak dapat dilaksanakannya program secara sempurna karena
mereka tidak bisa melakukan pengawasan dengan baik. Jika jumlah staf
pelaksana kebijakan terbatas maka hal yang harus dilakukan meningkatkan
skill/kemampuan para pelaksana untuk melakukan program. Untuk itu perlu
adanya manajemen SDM yang baik agar dapat meningkatkan kinerja program.
Ketidakmampuan pelaksana program ini disebabkan karena kebijakan
konservasi energi merupakan hal yang baru bagi mereka dimana dalam
melaksanakan program ini membutuhkan kemampuan yang khusus, paling
tidak mereka harus menguasai teknik-teknik kelistrikan.
Informasi merupakan sumberdaya penting bagi pelaksanaan kebijakan. Ada
dua bentuk informasi yaitu informasi mengenahi bagaimana cara
menyelesaikan kebijakan/program serta bagi pelaksana harus mengetahui
tindakan apa yang harus dilakukan dan informasi tentang data pendukung
kepetuhan kepada peraturan pemerintah dan undang-undang. Kenyataan
dilapangan bahwa tingkat pusat tidak tahu kebutuhan yang diperlukan para
pelaksana dilapangan. Kekurangan informasi/pengetahuan bagaimana
melaksanakan kebijakan memiliki konsekuensi langsung seperti pelaksana
tidak bertanggungjawab, atau pelaksana tidak ada di tempat kerja sehingga
menimbulkan inefisien. Implementasi kebijakan membutuhkan kepatuhan
organisasi dan individu terhadap peraturan pemerintah yang ada.
Sumberdaya lain yang juga penting adalah kewenangan untuk menentukan
bagaimana program dilakukan, kewenangan untuk membelanjakan/mengatur
keuangan, baik penyediaan uang, pengadaan staf, maupun pengadaan
supervisor.
Fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan/program harus
terpenuhi seperti kantor, peralatan, serta dana yang mencukupi. Tanpa
fasilitas ini mustahil program dapat berjalan.
c. Disposisi atau Sikap
Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas implementasi kebijakan
adalah sikap implementor. Jika implemetor setuju dengan bagian-bagian isi
dari kebijakan maka mereka akan melaksanakan dengan senang hati tetapi
jika pandangan mereka berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses
implementasi akan mengalami banyak masalah.
Ada tiga bentuk sikap/respon implementor terhadap kebijakan ; kesadaran
pelaksana, petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon program kearah
penerimaan atau penolakan, dan intensitas dari respon tersebut. Para
pelaksana mungkin memahami maksud dan sasaran program namun
seringkali mengalami kegagalan dalam melaksanakan program secara tepat
karena mereka menolak tujuan yang ada didalamnya sehingga secara
sembunyi mengalihkan dan menghindari implementasi program. Disamping itu
dukungan para pejabat pelaksana sangat dibutuhkan dalam mencapai sasaran
program.
Dukungan dari pimpinan sangat mempengaruhi pelaksanaan program dapat
mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Wujud dari dukungan pimpinan ini
adalah Menempatkan kebijakan menjadi prioritas program, penempatan
pelaksana dengan orang-orang yang mendukung program, memperhatikan
keseimbangan daerah, agama, suku, jenis kelamin dan karakteristik demografi
yang lain. Disamping itu penyediaan dana yang cukup guna memberikan
insentif bagi para pelaksana program agar mereka mendukung dan bekerja
secara total dalam melaksanakan kebijakan/program.
d. Struktur Birokrasi
Membahas badan pelaksana suatu kebijakan, tidak dapat dilepaskan dari
struktur birokrasi. Struktur birokrasi adalah karakteristik, norma-norma, dan
pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif
yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang
mereka miliki dalam menjalankan kebijakan. Van Horn dan Van Meter
menunjukkan beberapa unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu
organisasi dalam implementasi kebijakan, yaitu:
1. Kompetensi dan ukuran staf suatu badan;
2. Tingkat pengawasan hirarkhis terhadap keputusan-keputusan sub unit dan
proses-proses dalam badan pelaksana;
3. Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan di antara
anggota legislatif dan eksekutif);
4. Vitalitas suatu organisasi;
5. Tingkat komunikasi “terbuka”, yaitu jaringan kerja komunikasi horizontal
maupun vertikal secara bebas serta tingkat kebebasan yang secara relatif
tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu di luar organisasi;
6. Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan pembuat keputusan
atau pelaksana keputusan.
Bila sumberdaya cukup untuk melaksanakan suatu kebijakan dan para
implementor mengetahui apa yang harus dilakukan , implementasi masih
gagal apabila struktur birokrasi yang ada menghalangi koordinasi yang
diperlukan dalam melaksanakan kebijakan. Kebijakan yang komplek
membutuhkan kerjasama banyak orang, serta pemborosan sumberdaya akan
mempengaruhi hasil implementasi. Perubahan yang dilakukan tentunya akan
mempengaruhi individu dan secara umum akan mempengaruhi sistem dalam
birokrasi.
CONTOH IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SESUAI MODEL EDWARD III
kebijakan:
Jaminan Kesehatan Masyarakat ( JAMKESMAS )
A. KOMUNIKASI
Dalam teori Edward III ini,komunikasi yang dijalankan dalam kebijakan
JAMKESMAS diawali dengan jalan menampung aspirasi masyarakat yaitu
menuntut adanya jaminan kesehatan khususnya kepada masyarakat miskin.
Hal ini dikarenakan banyaknya masyarakat miskin yang tidak bisa berobat
dirumah sakit.
Setelah melakukan pengambilan kebijakan selanjutnya JAMKESMAS
disosialisasikan kepada manyarakat. Selain kepada mansyarakat juga kepada
instansi kesehatan.
namun dalam kenyataannya dimasyarakat, rakyat miskin banyak yang kurang
mengetehui bagaimana memperoleh kartu JAMKESMAS dan bagaimana
prosedur penggunaannya. Selain itu, mereka beranggapan bahwa apa bila
menggunakan JAMKESMAS maka pelayanan yang diberikan tidak memadai dan
kurang dipedulikan.
B. SUMBER DAYA
setelah melakukan pengambilan kebijakan, maka pelaksanaannya diserahkan
kepada instansi kesehatan. Mulai dari rumah sakit pusat, rumah sakit daerah,
puskesmas, dll.selain itu pula, orang-orang yang bekerja di pemerintahan
harus diberi pelatihan dan frofesionalisme. Selain itu pegawai dituntut untuk
lebih sopan dan membantu masyarakat dalam penggunaan kartu JAMKESMAS.
Sumber daya yang dimiliki dinas kesehatan saat ini sangat kurang memadai,
kebanyakan hanya ingin bekerja dikota-kota dan tidak mau ditempatkan
didaerah terpencil. Selain itu orang-orang kesehatan yang lolos seleksi harus
menjadi pegawai harus yang frofesional.
C. DISPOSISI ATAU SIKAP
Setelah melakukan penyerahan wewenang kepada instansi kesehatan,
selanjutnnya yang paling menentukan adalah sikap pegawai kesehatan dalam
melayani pemilik kartu JAMKESMAS dan bagaimana antusias masyarakat
dalam menggunakan JAMKESMAS tersebut.
Namun disposisi atau sikap pegawai kesehatanyang kurang sopan dan kurang
meperhatikan pengguna JAMKESMAS ini jusru membuat manyarakat miskin
takut menggunakan JAMKESMASnya.
Oleh karenanya pemerintah perlu memperhatian aspek moral pegawai
kesehatan, bukan hanya pada potensi akademiknya.
D. STRUKTUR BIROKRASI
Selain dari ketiga hal sebelumnya, maka struktur birokrasi juga sangat
menentukan efektifnya pelaksanaan kebijakan KAMKESMAS tersebut. Hal ini
karena dalam pelaksanaannya sangat membutuhkan dukungan penuh dari
pemerintah (BIROKRAT terkait).
Selain itu sangat perlu adanya pengawasan yang ketat terhadap instansi yang
di amanahkan untuk menjalankan kebijakan tersebut. Salah satu yang harus
dilakukan adalah membuat peraturan yang jelas tentang pelaksanaan
kebijakan KAMKESMAS.
Pengawasan yang ada saat ini masih perlu ditingkatkan karena masih ada
rumah sakit yna kurang melayani JAMKESMAS. Selain itu masih banyak oknum
dikesehatan yang tidak mau melayani JAMKESMAS.Comment
PENGANTAR LOGIKA DAN TEKNIK
BERPIKIR KREATIF
Filed under: Tak Berkategori — Leave a comment
PENGANTAR LOGIKA DAN TEKNIK BERPIKIR KREATIF
Pengertian Logika
Logika berasal dari bahasa Yunani, dari kata sifat “logike” yang berhubungan
dengan kata benda “logos” yang berarti perkatan atau kata sebagai
manisfestasi dari pikiran manusia. Dengan demikian terdapatlah suatu jalinan
yang kuat antara pikiran dan kata yang dimanisfestasikan dalam bahasa.
Secara etimologis dapatlah diartikan bahwa logika itu adalah ilmu yang
mempelajari pikiran yang dinyatakan dalam bahasa. Dengan berpikir/bernalar,
merupakan suatu bentuk kegiatan akal/ratio manusia dengan mana
pengetahuan yang kita terima melalui panca indera diolah dan ditujukan untuk
mencapai suatu kebenaran. Aktivitas berpikir adalah berdialog dengan diri
sendiri dalam batin dengan manisfestasinya ialah mempertimbangkan,
merenungkan, menganalisis, menunjukkan alasan-alasan, membuktikan
sesuatu, menggolong-golongkan, membanding-bandingkan, menarik
kesimpulan, meneliti suatu jalan pikiran, mencari kausalitasnya, membahas
secara realitas dan lain-lain. Didalam aktivitas berpikir itulah ditunjukkan
dalam logika wawasan berpikir yang tepat atau ketepatan
pemikiran/kebenaran berpikir yang sesuai dengan penggarisan logika yang
disebut berpikir logis.
Ragam Logika
Dalam pembahasan tentang logika terdapat beberapa istilah, yaitu :
1. Logika Naturalis.
Logika Naturalis artinya manusia itu berpikir menurut kodrat atau fitrahnya
secara alamiah . Dapat dikatakan bahwa umur logika itu setua dengan umur
manusia, karena sejak kelahirannya manusia itu sudah dapat berpikir,
dilengkapi dengan ratio, berarti sejak itu logika telah ada dalam bentuknya
yang sederhana, alamiah, belum dikembangkan secara ilmiah. Misalnya,
manusia dapat berpikir secara praktis bahwa si A berbeda dengan si B, makan
tidak sama dengan tidur, dan lain-lain.
2. Logika Ilmiah(scientific).
Logika ilmiah adalah kelanjutan dari logika alamiah (Natural), yaitu apabila
manusia diberikan bimbingan secara sistematis untuk dapat menguasai pola-
pola berpikir secara teratur sesuai dengan hukum-hukum ketetapan atau
kebenaran berpikir.
3. Logika Artificialis.
Meskipun secara potensial semua manusia sudah memiliki kemampuan
menggunakan logika, namun terkadang juga sesat, bila memikirkan masalah-
masalah yang agak rumit. Untuk menolong manusia dalam berpikir agar tidak
sesat, maka manusia membuat logika buatan (artificialis). Jadi lahirnya logika
artificialis sekurang-kurangnya ada dua penyebab, yaitu :
a. Kemampuan berlogika secara alami yang sangat terbatas.
b. Permasalahan yang dihadapi manusia yang semakin kompleks.
Logika artificialis terbagi 2, yaitu :
1. Logika Formal (logic) atau logika Minor.
Mempelajari asas-asas, kaidah-kaidah, aturan-aturan atau hukum-hukum
berpikir yang harus ditaati, agar supaya kita berpikir dengan tepat/benar dan
mencapai kebenaran.
2. Logika Material atau logika Mayor.
Mempersoalkan isi materi pengetahuan dan bagaimana caranya
mempertanggungjawabkan isi pengetahuan itu. Dengan demikian mempelajari
tentang:
a. Sumber-sumber dan asalnya pengetahuan.
b. Alat-alat pengetahuan.
c. Proses terjadinya pengetahuan
d. Kemungkinan-kemungkinan dan batas-batas penjelajahan pengetahuan
e. Metode ilmu pengetahuan
f. Kebenaran dan kekeliruan dan lain-lain.
Penalaran
Penalaran adalah suatu proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan
pengetahuan. Dalam mengadakan penalaran atau mengambil kesimpulan,
manusia dapat menempuh 2 cara, yaitu :
a. Induktif
Berpikir induktif adalah penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual
nyata (khusus) menjadi kesimpulan yang bersifat umum. “Saya bertemu
dengan Asep, mahasiswa FIKOM, Ia pandai bicara. Saya berjumpa dengan Heli,
Yeni, Hamdan, semuanya mahasiswa FIKOM dan pandai bicara. Saya
menyimpulkan mahasiswa FIKOM pandai bicara “ Ketepatan berpikir induktif
tergantung pada memadainya kasus yang dijadikan dasar. Misalnya, apakah
lima orang mahasiswa FIKOM cukup untuk dijadikan sampel yang
representatif.
b. Deduktif
Penalaran deduktif adalah cara berpikir yang bertolak dari pernyataan-
pernyataan yang bersifat umum, menarik kesimpulan yang bersifat khusus.
Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya memakai pola berpikir
syllogisme.
Syllogisme dan Bentuknya
Syllogisme adalah suatu bentuk penarikan kesimpulan/konklusi secara deduktif
dan tak langsung yang kesimpulan/konklusinya ditarik dari 2 buah premis yang
disediakan sekaligus. Yang penting kita ketahui dari syllogisme adalah bahwa
syllogisme hanya mempersoalkan kebenaran formal (kebenaran bentuk) tanpa
mempersoalkan kebenaran material (kebenaran isi). Oleh karena itu premis-
premis yang selalu diambil adalah yang benar, sehingga konklusi memang
sudah didasari oleh kondisi kebenaran. Sebuah syllogisme terdiri atas 3 buah
proposisi, yaitu dua buah proposisi yang diberikan/disajikan yang disebut
dengan premis mayor dan premis minor, dan sebuah proposisi yang ditarik
dari kedua proposisi yang disajikan disebut konklusi (kesimpulan). Dalam
bentuk syllogisme perlu diperhatikan : Premis mayor disajikan terlebih dahulu
daripada premis minor Harus ada penghubung antara premis mayor dan
premis minor, yang disebut dengan term penengah delambangkan dengan M
Predikat konklusi disebut term mayor dilambangkan dengan P Subyek konklusi
disebut term minor dilambangkan dengan S
Aristoteles mengemukakan tiga bentuk syllogisme dan ditambah satu bentuk
oleh Galen. Bentuk syllogisme itu ditentukan oleh kedudukan term penengah
dalam hubungannya dengan term-term yang terdapat pada premis. Bentuk
syllogisme tersebut adalah : I. Term penengah adalah subjek premis mayor
dan predikat premis minor. Bentuknya : MP SM SP
II. Term penengah adalah predikat dari kedua premisnya.
Bentuknya : PM SM SP
III. Term penengah adalah subjek dari kedua premisnya.
Bentuknya : MP MS SP IV. Term penengah adalah predikat dari premis mayor
dan subyek dari premis minor. Bentuknya : PM MS SP
Prinsip-prinsip Dasar (Hukum) dalam Logika
Prinsip dasar adalah suatu pernyataan kebenaran yang universal yang
kebenarannya sudah terbukti dengan sendirinya, tanpa membutuhkan lagi hal-
hal lain guna membuktikan kebenaran itu. Prinsip dasar ini berfungsi sebagai
dasar bagi semua pembuktian. Aristoteles mengemukakan 3 buah prinsip atau
hukum dalam logika ;
a. Hukum Identitas
Setiap benda/barang adalah benda itu sendiri.
b. Hukum Kontradiksi
Sesuatu benda/barang tidak dapat merupakan benda/barang itu sendiri dan
sekaligus merupakan benda yang lain dalam waktu yang sama.
c. Hukum Penyisihan Jalan tengah
Segala sesuatu itu haruslah bersifat positif dan negatif. Tokoh filsof modern
“Wilhelm Leibnitz” menambahkan sebuah hukum lagi, yakni :
d. Hukum Cukup Alasan
Di alam ini tidak ada sesuatu keadaaan yang terjadi dengan tiba-tiba tanpa
alasan atau sesuatu sebab.
Kesalahan-kesalahan Logika
Kesalahan logis ini bukanlah kesalahan dalam faktanya tetapi suatu bentuk
kesimpulan yang diperoleh atas dasar logika/penalaran yang tidak sehat.
Dalam kenyataannya, kesalahan logis ini dapat terjadi pada siapapun juga
meskipun betapa tinggi intelligensinya dan betapa lengkap informasi atau data
yang dimilikinya. Berbagai kesalahan logis antara lain :
1. Generalisasi tergesa-gesa
Garis kesalahan logis ini sebagai akibat logika atau penalaran induksi yang
salah, dan sifat kecerobohan manusia. “ Semua orang kaya kikir bersedekah.
Karena banyaknya orang kaya kikir bersedekah kepada fakir miskin,
kebanyakan orang mempunyai kesan bahwa orang kaya kikir bersedekah.
Tetapi bila diteliti dengan seksama maka akan ditemukan fakta yang jauh
berbeda”.
2. Non Sequitur (Belum Tentu)
Non sequitur adalah terjadinya loncatan keputusan yang tidak mempunyai
kaitan logis antara premis dengan kesimpulan/konklusi. Jadi tidak ada
hubungan yang rasional antara premis dan kesimpulan atau hubungan itu
hanyalah semu belaka. “ Alam Indonesia kaya raya, maka orang Indonesia itu
kaya”.
3. Analogi Palsu
Analogi adalah suatu perbandingan yang dipakai seseorang didalam
menjelaskan sesuatu idea atau pengertian atau dengan analogi itu dapat lebih
memperjelas sesuatu idea atau konsep yang sulit. Dalam melaksanakan
analogi ini, sering orang memakai perbandingan antara idea atau
konsep/gagasan dengan idea yang lain yang tidak ada hubungannya sama
sekali diantara kedua idea tersebut, inilah yang disebut analogi palsu. “Hidup
dan kehidupan manusia didunia ini bagaikan orang yang singgah di rumah
makan saja, begitu kebutuhannya terpenuhi, maka manusia itu pergi
meninggalkan rumah makan itu “.
4. Deduksi yang Salah/Cacat
Deduksi yang salah terjadi apabila premis-premisnya salah sehingga
konklusinya juga salah. “Harimau itu adalah hewan. Singa itu bukanlah
harimau. Jadi singa itu bukanlah hewan”
5. Pemikiran Sederhana
Si penalar cenderung untuk mengambil kesimpulan yang berdasarkan
pemikiran sederhana saja, lalu merumuskannya kedalam dua buah pola
pemikiran saja. “Saudara dapat menyusun taktik dan strategi belajar sendiri
atau mengikuti taktik dan strategi belajar kelompok A “
6. Penalaran Melingkar
Si penalar meletakkan kesimpulannya ke dalam premisnya lalu memakai
premis tersebut untuk membuktikan kesimpulannya. “ Seseorang itu merdeka
karena ia bertanggung jawab dan ia bertanggung jawab karena ia merdeka “
7. Sesudahnya Maka Karenanya
Hal ini sering terjadi dalam kehidupan manusia oleh karena manusia sering
ceroboh dalam mengidentifikasi penyebab yang sebenarnya dari sesuatu hal,
sesuatu yang mendahului sesuatu yang lain tidak harus menjadi penyebab dari
sesuatu yang terjadi kemudian. “Coto makasar yang saya makan di waktu
makan sore kemarin benar-benar membuat saya tidur, maka kini setiap akan
tidur malam saya akan mencoba makan coto makasar “
Defenisi Teknik Berpikir Kreatif
Kreativitas adalah kemampuan untuk mencipta/berkreasi. Kreativitas sering
dianggap terdiri dari 2 unsur yaitu kefasihan dan keluwesan. Kefasihan
ditunjukkan oleh kemampuan menghasilkan sejumlah besar gagasan
pemecahan masalah secara lancar dan cepat. Keluwesan pada umumnya
mengacu pada kemampuan untuk menemukan gagasan yang berbeda dan
luar biasa untuk memecahkan suatu masalah. Kreativitas dianggap segelintir
orang sebagai suatu kemampuan untuk menghasilkan gagasan baru atau
wawasan segar. Dalam sebuah kamus, kreativitas dikemukakan sebagai
proses yang menghasilkan sesuatu yang tidak berkembang secara alamiah
atau tidak dibuat dengan cara yang biasa, akan tetapi siapakah yang
menentukan apakah itu baru, segar, biasa, atau alamiah ? Dalam hal ini
berpikir kreatif digunakan untuk mengacukan pada kemampuan individu yang
mengandalkan keunikan dan kemahirannya untuk menghasilkan gagasan baru
dan wawasan yang segar yang sangat bernilai bagi indivudu tersebut.
Seseorang mungkin saja sudah lebih dahulu memikirkan gagasan tersebut
atau mungkin tidak menganggapnya bernilai, akan tetapi manusia masih tetap
kreatif jika mereka menemukannya untuk diri sendiri dan hal tersebut dapat
memuaskan salah satu kebutuhan atau keinginan mereka. Manusia berkreasi
adalah karena adanya kebutuhan dasar, seperti : keamanan, cinta dan
penghargaan. Mereka juga termotivasi untuk berkreasi oleh lingkungan dan
manfaat dari berkreasi seperti hidup yang lebih menyenangkan, kepercayaan
diri yang besar, kegembiraan hidup dan kemungkinan untuk menunjukkan
kemampuan terbaik mereka. Hambatan yang dihadapi dalam rangka berpikir
kreatif adalah : kebiasaan, waktu dan energi yang terbatas, lingkungan,
perlunya penanganan segera, kritik yang dilancarkan orang lain, takut gagal,
ketidakmampuan mengenal masalah, pendirian yang tidak tetap, puas diri,
dan kesulitan dalam melaksanakan pekerjaan yang memerlukan konsentrasi
mental.
Proses Berpikir Kreatif.
Para psikologi menyebutkan 5 tahap berpikir kreatif :
1. Orientasi, masalah dirumuskan dan masalah-masalah diidentifikasi
2. Preparasi, pikiran berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin informasi
yang relevan dengan masalah .
3. Inkubasi, pikiran beristirahat sebentar, ketika berbagai pemecahan
berhadapan dengan jalan buntu. Pada tahap ini, proses pemecahan masalah
berlangsung terus dalam jiwa bawah sadar kita.
4. Iluminasi, masa inkubasi berakhir ketika pemikiran memperoleh semacam
ilham, serangkaian insight yang memecahkan masalah.Ini menimbulkan Aha
Erlebnis (pengalaman Aha).
5. Verifikasi, tahap terakhir untuk menguji dan secara kritis menilai
pemecahan masalah yang diajukan pada tahap keempat.
Proses ini dapat dilukiskan dengan kisah Archimeder, Peristiwa ini terjadi
ketika Raja Hiero (Sicilia) curiga bahwa tukang emasnya telah menggunakan
campuran perak sebagai pengganti emas dalam pembuatan mahkotanya. Ia
menyuruh Archimeder menyelidikinya. Archimeder mulai berpikir “bagaimana
cara menentukan logam yang dijadikan bahan mahkota itu tanpa
merusaknya ? (orientasi). Lalu ia meneliti semua cara untuk menganalisa
logam (preparasi). Semuanya memerlukan pemotongan , ini tidak mungkin
dilakukan. Arcimedes menyingkirka soal ini sementara (inkubasi).Suatu hari
ketika ia sedang mandi, ia dengan tiba-tiba melihat bahwa badannya
menyebabkan air tumpah ke kiri dan ke kanan serta merta ia menyadari
bahwa ia telah menemukan cara pemecahan masalah tersebut (iluminasi). Ia
melonjak gembira dan dalam keadaan telanjang lari kejalan, seraya berteriak
“Eureka,Eureka !”(saya menemukannya, saya menemukannya). Setelah itu ia
mengujinya untuk meneliti berapa jumlah air yang dipindahkan oleh emas
murni seberat emas dalam mahkota tersebut (verifikasi).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Berpikir Kreatif
Ada beberapa faktor yang secara umum menandai orang-orang kreatif :
1. kemampuan kognitif
2. Sikap yang terbuka
3. Sikap yang bebas, otonom dan percaya diri sendiri.
Menarik untuk mencatat ucapan Morton Hunt : “ Orang mengagumi,
membesarkan dan menghargai inovator macam apapun, tetapi juga
mengabaikan, memasung atau menghukum mereka yang terlalu inovatif dan
pendapat yang diterima banyak orang “Comment
Filed under: Tak Berkategori — Leave a comment
16 January 2011
TUGAS TEORI ORGANISASI
VISI, MISI, TUJUAN, SRUKTUR, DAN PEMBAGIAN KERJA DALAM ORGANISASI
OLEH
NAMA : RIZAL PAUZI
NIM : E211 09 273
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
I. Latar belakang
Akhir-akhir ini Indonesia dilanda banyak musibah,mulai dari tsunami, gempa
bumi, banjir dan sebagainya. Dengan keadaan ini, hati kami tersentuh dan
berusaha membantu meringankan beban saudara kami khususnya di
indonesia. Kami pun berusaha untuk mendirikan sebuah organisasi yang
bergerak dibidang kemanusiaan yang kami beri nama “yayasan nurani dunia”
yang berpusat dimakassar
II. Visi dan Misi
VISI
Yayasan Nurani Dunia merupakan lembaga nonprofit yang menyelenggarakan
bantuan kemanusiaan kepada korban bencana alam dan sosial secara cepat,
tepat dan terencana dengan berlandaskan prinsip non partisan, jujur,
transparan, independen dan profesional agar kehidupan korban bencana dapat
pulih kembali.
MISI
1. Melakukan identifikasi korban bencana alam dan sosial, khususnya di
Indonesia.
2. Menggalang partisipasi masyarakat di tingkat nasional dan internasional,
baik individu, kelompok maupun lembaga, untuk ikut membantu korban
bencana alam dan sosial.
3. Menggalang aksi bantuan cepat untuk korban bencana alam dan sosial,
khususnya korban di daerah pengungsian.
4. Melaksanakan program bantuan darurat kemanusiaan dan pemulihan
komunitas dalam upaya menumbuhkan kembali kepercayaan, kebersamaan
dan perdamaian di wilayah konflik. .
5. Mengupayakan pencegahan terjadinya bencana alam dan sosial.
6. Melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap bantuan-bantuan
kemanusiaan yang dilaksanakan oleh Yayasan Nurani Dunia.
7. Ikut berperan aktif melakukan pengawasan terhadap bantuan-bantuan
kemanusiaan yang dilaksanakan oleh berbagai lembaga.
III. TUJUAN
1. Berkurangnya penderitaan, tumbuhnya kepercayaan dan harapan serta
pulihnya kehidupan korban bencana alam dan sosial.
2. Tumbuhnya kepedulian antar sesama dari berbagai elemen masyarakat di
tingkat nasional maupun internasional untuk melakukan aksi kemanusiaan
bersama.
3. Terciptanya komunitas responsif yang mampu memberikan bantuan
kemanusiaan kepada korban bencana alam dan sosial secara terpadu.
4. Terbentuknya Yayasan Nurani Dunia sebagai lembaga yang memiliki sistem
administrasi yang transparan, efektif, efisien, dan memenuhi standar kerja
profesional.
5. Terwujudnya jaringan informasi, komunikasi dan koordinasi antar lembaga
pemerintah dan nonpemerintah dalam menyelenggarakan aktivitas
kemanusiaan
IV. Struktur Organisasi
V. Pembagian kerja
1) Ketua umum
Memimpin dan mengkoordinasikan seluruh kegiatan serta merumuskan
seluruh kebijakan yayasan nurani dunia
Memimpin rapat pengurus dan menyampaikan laporan pertanggung jawaban
pada rapat anggota
Berfungsi sebagai pengendali dan bertanggung jawab terhadap jalannnya
roda organisasi baik kedalam maupun keluar.
2) Pengawas
Mengontrol kinerja pengurus
Sebagai penegak AD/ART organisasi
3) Sekretaris
Mengurusi persuratan
Bembantu tugas-tugas ketua umum
Mendampingi ketua umum dalam setiap kegiatan
Mewakili jika ketua umum berhalangan
4) divisi kaderisasi dan PA
merekrut anggota
mengadakan kegiatan pengkaderan
mengadakan pelatihan anggota
5) ADMINISTRASI UMUM
Menciptakan sistem kearsipan data organisasi yang mantap.
Menyempurnakan manajemen persuratan
Merumuskan sistem informasi data yang dapat menata administrasi
organisasi secara profesional
Mengoptimalkan fungsi kesekretariatan dalam kegiatan Kopma Unhas.
Mengupayakan database keanggotaan yang valid dan komprehensif.
Mengoptimalkan fungsi perpustakaan sebagai sumber informasi.
Mengoptimalkan database barang inventaris Kopma Unhas yang lengkap dan
valid
6) KEUANGAN
Merumuskan kebijakan keuangan yang efektif dan efisien..
Menciptakan manajemen administrasi keuangan yang profesional..
Mengupayakan sumber-sumber dana baru
Menghimpun dana dari masyarakat
7) Divisi hubunganan luar
Mewakili organisasi secara eksteren baik dengan organisasi lain,
pemerintah,maupun masyarakat
Membangun relasi
8) Divisi aksi cepat
Mengkoordinir anggota dilapangan
Menyalurkan bantuan langsung kepada korban
9) Divisi data dan informasi
Mengumpulkan data dan informasi mengenai lapangan
Pusat informasi
Mempublikasikan keadaan yang ada dilapanganComment
SUDUT PANDANG OTONOMI DAERAH
Filed under: Tak Berkategori — Leave a comment
TUGAS KELOMPOK
SUDUT PANDANG OTONOMI DAERAH
OLEH
KELOMPOK III
• MUH YUNUS (E21109254)
• SADDAM HUSAIN (E21109265)
• ERI BONGGASAU (E21109007)
• SADDAM (E22109991)
• RIZAL PAUZI (E21109273)
ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2010
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
SUDUT PANDANG OTODA DARI SEGI POLITIK
SUDUT PANDANG OTODA DARI SEGI SOSIAL BUDAYA
SUDUT PANDANG OTODA DARI SEGI EKONOMI
SUDUT PANDANG OTODA DARI SEGI HUKUM
HASIL DARI OTONOMI DAERAH
BAB III
KESIMPULAN
BAB I
Pendahuluan
Sejak beberapa dekade yang lalu beberapa negara telah dan sedang
melakukan desentralisasi, motivasi fenomena ini terutama disebabkan oleh
alasan politik. Desentralisasi merupakan bagian yang teramat penting didalam
proses demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan pusat
atau terpusat yang cenderung otokratis berubah menjadi pemerintahan lokal
yang dipilih langsung oleh masyarakat. Alasan lainnya atas maraknya proses
desentralisasi adalah untuk memperbaiki mutu pelayanan kepada masyarakat
oleh penyelenggara pemerintahan. Didalam konteks ini titik berat
desentralisasi adalah pelayanan bukan kekuasaan. Dengan kata lain
desentralisasi adalah suatu upaya mendekatkan pemerintahan kepada
rakyatnya
(bringing the State closer to the people).
Seiring dengan telah terselesaikannya kendala kehidupan politik di Indonesia
yang ditandai dengan telah terbentuknya penyelenggara pemerintahan yang
baru hasil suatu proses yang cukup demokratis, maka harapan akan
membaiknya perekonomian dan berbagai aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara lainnya di Indonesia menjadi terbuka, dan semoga dalam tempo
yang tidak terlalu lama harapan tersebut akan menjadi kenyataan. Selain itu
juga semangat reformasi dan perubahan diberbagai bidang serta dorongan
dan dampak dari proses demokratisasi telah menggugah pemerintah bersama
dengan parlemen untuk melahirkan dua undang-undang yaitu UU No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua UU
tersebut merupakan dasar bagi proses desentralisasi dan otonomi daerah yang
luas dan bertanggung jawab.
Tujuan utama dari desentralisasi dan otonomi daerah ini adalah mendekatkan
pemerintah kepada masyarakat yang dilayaninya sehingga pelayanan kepada
masyarakat menjadi lebih baik dan kontrol masyarakat kepada pemerintah
menjadi lebih kuat dan nyata. Desentralisasi dan otonomi daerah dapat
dikatakan berhasil apabila pelayanan pemerintah kepada masyarakat menjadi
lebih baik dan masyarakat menjadi lebih berperan dalam meningkatkan
kesejahteraan bersama. Desentralisasi kewenangan tersebut akan berakhir
dengan semakin meningkatnya peranserta masyarakat dan berubahnya peran
pemerintah dari provider menjadi fasilitato
• Pengertian Otonomi Daerah
Menurut UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah bahwa otonomi
daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(Alexander Abe, PERENCANAAN DAERAH PARTISIPATIF, 2002: 2)
Otonomi Daerah, sebagaimana dikandung dalarn UU No. 22/1999, adalah
usaha member kesempatan kepada daerah untuk memberdayakan potensi
ekonomi, sosial-budaya dan politik di wilayahnya.
(Andrik Purwasito, IMPLEMENTASI KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH DI
ARAS LOKAL, 2001:2)
• Pengertian Desentralisasi
Dalam UU No. 22 Tahun 1999 disebutkan bahwa desentralisasi adalah
penyerahan wewenag pemerintah oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik.
(Alexander Abe, PERENCANAAN DAERAH PARTISIPATIF, 2002: 2)
• Tujuan Utama Otonomi Daerah
Otonomi daerah menurut UU No. 22/1999 dari sudut pandang disentralisasi
fiscal. Tujuan utama otonomi daerah adalah untuk mendorong
terselenggaranya pelayanan publik sesuai tuntutan masyarakat daerah,
mendorong efisiensi alokatif penggunana dana pemerintah melalui
desentralisasi kewenangan dan pemberdayaan daerah.
(Kamal Alamsyah, Desentralisasi dalam Perspektif Otonomi Daerah, 2002: 8)
Kelebihan otonomi daerah :
Dapat lebih memberdayakan dan meningkatkan kemampuan pemerintah
daerah.
• Dengan adanya kewenangan yang diberikan kepada daerah, daerah
mempunyai keleluasaan dalam melakukan pengelolaan pembangunan sesuai
dengan sumber daya yang tersedia.
• Kewenangan yang diberikan kepada daerah juga memungkinkan bagi daerah
untuk mengambil keputusan secara cepat.
• Struktur organisasi dan personil dapat ditentukan sesuai dengan kebutuhan,
sehingga tidak terjadi penggemukan.
• Dapat meningkatkan kreativitas aparatur pemerintah baik dalam
pengelolaan pembangunan maupun dalam penggalian sumber-sumber dana
pembangunan.
• Dapat meningkatkan kualitas dan efisiensi pelayanan publik.
• Dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan,
baik dalam perencanaan, pengawasan, pendanaan, maupun dalam
pemanfaatan hasil-hasil pembangunan.
• Mempercepat terwujudnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di
daerah.
• Meningkatkan sosial budaya masyarakat yang selama ini kurang mendapat
perhatian karena terfokus pada pertumbuhan ekonomi.
Kelemahan otonomi daerah :
• Terbatasnya jumlah dan kualitas aparat pemerintah di daerah.
• Penyerahan urusan sebagian belum diikuti dengan penyerahan pembiayaan,
personil danperalatan.
• Rendahnya tingkat pendapatan asli di beberapa daerah.
• Bias ekonomi, bias luar jawa dan bias sumber daya alam.
• Anggapan keseragaman kesiapan daerah, sehingga pelaksanaannya
dilakukan secara serempak di seluruh wilayah Indonesia.
• Aspirasi masyarakat yang berlebihan dapat menyebabkan tidak terjadi
integrasi antara kepentingan daerah dengan kepentingan nasional.
• Tidak ada hirarkhi antara kabupaten/kota dengan propinsi yang dapat
menyebabkan timbulnya kesulitan dalam koordinasi kegiatan lintas
kabupaten/kota.
• Terdapat ambivalensi dan inkonsistensi khususnya di tingkat propinsi. UU
menyebutkan otonomi luas berada di kabupaten, tetapi banyak hal diambil
propinsi. Posisi Gubernur tidak jelas. Pada satu sisi adalah wakil pemerintah
dan oleh karena itu pejabatnya ditunjuk presiden; pada sisi lain propinsi adalah
daerah otonom yang seharusnya Gubernur menjadi jabatan politis yang dipilih
DPRD.
BAB II
PEMBAHASAN
TABLE SUDUT PANDANG OTONOMI DAERAH
ASPEK PROSES MENGHASILKAN
POLITIK PENDEMOKRASIAN KEMANDIRIAN LOKAL YANG LUAS
SOSIAL BUDAYA KEBEBASAN
EKONOMI KEMAMPUAN MENGURUSI RT NYA SENDIRI
HUKUM PENINGKATAN PERAN DAERAH (bukan sebagai objek tapi subjek
1. SUDUT PANDANG OTODA DARI SEGI POLITIK
pemberian otonomi dan kewenangan kepada Daerah merupakan suatu wujud
dari pengakuan dan kepercayaan Pusat kepada Daerah. Pengakuan Pusat
terhadap eksistensi Daerah serta kepercayaan dengan memberikan
kewenangan yang luas kepada Daerah akan menciptakan hubungan yang
harmonis antara Pusat dan Daerah. Selanjutnya kondisi akan mendorong
tumbuhnya dukungan Derah terhadap Pusat dimana akhirnya akan dapat
memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Kebijakan Otonomi Daerah
sebagai upaya pendidikan politik rakyat akan membawa dampak terhadap
peningkatan kehidupan politik di Daerah.
Ada beberapa pertimbangan tentang perlunya memberikan otonomi kepada
daerah dalam rangka desentralisasi menurut sudut pandangan yang berbeda.
Pertama, ditinjau dari segi politik sebagai permainan kekuasaan, pemberian
otonomi daerah dipandang perlu untuk daerah untuk mencegah bertumpuknya
kekuasaan di satu tangan yang akhirnya dapat menimbulkan pemerintahan
tirani. Kedua, dari segi demokrasi, pemberian otonomi kepada daerah
dipandang perlu, dengan maksud diikutsertakan rakyat dalam kegiatan
pemerintahan dan sekaligus mendidik rakyat mempergunakan hak dan
kewajiban dalam penyelenggaraan pemeritahan. Ketiga, dari segi teknis
organisatoris pemerintahan, pemberian otonomi kepada daerah dipandang
sebagai cara untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa yang
dianggap lebih doelmatig untuk diurus oleh pemerintahan setempat
diserahkan kepada daerah. Hal-hal yang lebih tempat berada di tangan pusat
tetap diurus oleh pemerintahan pusat. Dengan demikian, soal desentralisasi
dan otonomi daerah adalah soal teknis pemerintahan yang ditujukan untuk
mencapai hasil sebaik-baiknya (Liang Gie, 1998:35-39). Keempat, dari segi
manajemen sebagai salah satu unsur administrasi, suatu pelimpahan
wewenang dan kewajiban memberikan pertanggungjawaban dari penunaian
suatu tugas merupakan hal yang wajar. Dalam beberapa hal, pemberian
otonomi kepada daerah dipandang dapat mendorong pengambilan keputusan
yang lebih cepat dan luwes. Ia dapat memberikan dukungan lebih konstruktif
dalam proses pengambilan keputusan.Dari aspek ideologi , sudah jelas
dinyatakan bahwa Pancasila merupakan pandangan, falsafah hidup dan
sekaligus dasar negara. Nilai-nilai Pancasila mengajarkan antara lain
pengakuan Ketuhanan, semangat persatuan dan kesatuan nasional,
pengakuan hak azasi manusia, demokrasi, dan keadilan dan kesejahteraan
sosial bagi seluruh masyarakat. Jika kita memahami dan menghayati nilai-nilai
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan Otonomi Daerah dapat
diterima dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui
Otonomi Daerah nilai-nilai luhur Pancasila tersebut akan dapat diwujudkan dan
dilestarikan dalam setiap aspek kehidupan bangsa Indonesia .
2. SUDUT PANDANG OTODA DARI SEGI EKONOMI
kebijakan Otonomi Daerah yang bertujuan untuk pemberdayaan kapasitas
daerah akan memberikan kesempatan bagi Daerah untuk mengembangkan
dan meningkatkan perekonomiannya. Peningkatan dan pertumbuhan
perekonomian daerah akan membawa pengaruh yang signifikan terhadap
peningkatan kesejahteraan rakyat di Daerah. Melalui kewenangan yang
dimilikinya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, daerah
akan berupaya untuk meningkatkan perekonomian sesuai dengan kondisi,
kebutuhan dan kemampuan. Kewenangan daerah melalui Otonomi Daerah
diharapkan dapat memberikan pelayanan maksimal kepada para pelaku
ekonomi di daerah, baik lokal, nasional, regional maupun global.
Pembangunan daerah merupakan salah satu tujuan dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi daerah yang berbasis kewilayahan dan lingkungan
serta berkelanjutan. Tjahya Supriatna (2002) bahwa pembangunan ekonomi
daerah didasarkan pada pengembangan potensi daerah (manusia, alam, dan
lingkungan hidup) dalam koridor ekonomi kerakyatan dengan prinsip
(productivity, effciency, redistribution income, realocate economic, economic
advantage and errvironmental sustainable).
Arah kebijakan pembangunan ekonomi daerah untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi daerah melalui
• Kebijakan daerah untuk menumbuhkan pelaku ekonomi (sektor pemerintah,
swasta dan masyarakat), arus perdagangan dan investasi daerah.• Menciptakan dan memperluas kerjasama antardaerah, daerah dengan pusat,
dan daerah dengan LN di bidang ekonomi, yang didukung denganperangkat
hukum.
• Menggali dan memanfaatkan potensi dan keunggulan ekonomi daerah.• Meningkatkan kegiatan ekonomi dan industrialiasi perdesaaan dengan
agrobisnis berbasis agraris dan maritim.
• Pengembangan kawasan ekonomi dan daerah perbatasan berdasarkan
pengelolaaan potensi sumber daya ekonomi dan lingkungan hidupnya3. SUDUT PANDANG OTODA DARI SEGI SOSIAL BUDAYA
kebijakan Otonomi Daerah merupakan pengakuan terhadap keanekaragaman
Daerah, baik itu suku bangsa, agama, nilai-nilai sosial dan budaya serta
potensi lainnya yang terkandung di daerah. Pengakuan Pusat terhadap
keberagaman Daerah merupakan suatu nilai penting bgi eksistensi Daerah.
Dengan pengakuan tersebut Daerah akan merasa setara dan sejajar dengan
suku bangsa lainnya, hal ini akan sangat berpengaruh terhadap upaya
mempersatukan bangsa dan negara. Pelestarian dan pengembangan nilai-nilai
budaya lokal akan dapat ditingkatkan dimana pada akhirnya kekayaan budaya
lokal akan memperkaya khasanah budaya nasional. Pernyataan Griffin
tersebut menunjukkan bahwa persoalan desentralisasi dan otonomi daerah
berkaitan dengan persoalan pemberdayaan (enpowerment). dalam arti
memberikan keleluasaan dan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk
berprakarsa dan mengambil keputusan.
3. Empowerment akan menjamin hak dan kewajiban serta wewenang dan
tanggung jawab organisasi pemerintahan di daerah untuk dapat menyusun
program, memilih alternatif, dan mengambil keputusan dalam mengurus
kepentingan daerahnya sendiri. Dengan empowerment, institusi pemerintah
daerah dan masyarakat akan mampu memberikan akses bukan hanya
terhadap pengambilan keputusan di tingkat daerah, maupun di tingkat pusat.
4. SUDUT PANDANG OTODA DARI SEGI HUKUM
Kebijakan otonomi daerah diharapkan mampu memelihara integrasi nasional
dan keutuhan bangsa Indonesia. Dengan otonomi daerah dapat mewujudkan
hubungan kekuasaan menjadi lebih adil, proses demokrasi di daerah berjalan
baik dan adanya peningkatan kesejahteraan di daerah. Daerah memiliki
kepercayaan lepada pemerintah pusat yang akhirnya dapat memperlancar
pembangunan bangsa melalui keutuhan nasional
Pernyataan Griffin tersebut menunjukkan bahwa persoalan desentralisasi dan
otonomi daerah berkaitan dengan persoalan pemberdayaan (enpowerment).
dalam arti memberikan keleluasaan dan kewenangan kepada pemerintah
daerah untuk berprakarsa dan mengambil keputusan.
Empowerment akan menjamin hak dan kewajiban serta wewenang dan
tanggung jawab organisasi pemerintahan di daerah untuk dapat menyusun
program, memilih alternatif, dan mengambil keputusan dalam mengurus
kepentingan daerahnya sendiri. Dengan empowerment, institusi pemerintah
daerah dan masyarakat akan mampu memberikan akses bukan hanya
terhadap pengambilan keputusan di tingkat daerah, maupun di tingkat pusat.
Otonomi Rakyat dalam Otonomi Daerah.
Pembahasan otonomi yang telah disampaikan di atas mengasumsikan adanya
aktor sifatnya generik. Dalam pembahasan tersebut tidak diungkapkan secara
eksplisit aktor yang memiliki dan menggunakan otonomi. Sejauh ini tidak
banyak fihak yang mempersoalkan ketika
diasumsikan bahwa yang memiliki dan menggunakan otonomi adalah
‘pemerintah daerah’. Berhubung agenda
otonomi daerah berkaitan dengan agenda demokratisasi, maka pemaknaan
otonomi daerah harus terintegrasi dalam pemaknaan demokrasi di tingkat
lokal.
HASIL DARI OTONOMI DAERAH
Namun demikian prospek yang bagus tersebut tidak akan dapat terlaksana jika
berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi tidak dapat diatasi dengan
baik. Untuk dapat mewujudkan prospek Otonomi Daerah di masa mendatang
tersebut diperlukan suatu kondisi yang kondusif diantaranya yaitu :
• Adanya komitmen politik dari seluruh komponen bangsa terutama
pemerintah dan lembaga perwakilan untuk mendukung dan memperjuangkan
implementasi kebijakan Otonomi Daerah.
• Adanya konsistensi kebijakan penyelenggara negara terhadap implementasi
kebijakan Otonomi Daerah.
• Kepercayaan dan dukungan masyarakat serta pelaku ekonomi dalam
pemerintah dalam mewujudkan cita-cita Otonomi Daerah.
Dengan kondisi tersebut bukan merupakan suatu hal yang mustahil Otonomi
Daerah mempunyai prospek yang sanat cerah di masa mendatang. Kita
berharap melalui dukungan dan kerjasama seluruh komponen bangsa
kebijakan Otonomi Daerah dapat diimplementasikan dalam penyelenggaraan
pemerintahan di daerah.
Implementasi kebijakan otonomi daerah berimplikasi pada pembangunan
daerah. Pembangunan daerah diharapkan “terwujudnya kemandirian daerah
dalam pengelolaan pembangunan secara serasi, profesional, dan
berkelanjutan”. Dalam konteks tersebut pembangunan daerah yang dilakukan
pemerintah pada daerah dalam rangka reposisi paradigma baru pembangunan
daerah yang berbasis kewilayahan, kemitraan pembangunan, lingkungan
hidup, serta penerapan good goverrurnce dengan
strategi sebagai berikut :
• Mendorong dan memfasilitasi koordinasi perencanaan pembangunan daerah.
• Mengembangkan kapasitas kelembagaan pembangunan daerah.
• Mendorong terciptanya keselara.5an dan keserasian pembangunan daerah.
• Mendorong dan memfasilitasi pengembangan/pendayagunaan potensi
daerah.
• Mengembangkan fasilitasi penataan dan pengelolaan lingkungan hidup.
• Mengembangkan iklim yang kondusif bagi penembangan investasi dan usaha
daerah.
• Mengembangkan SDM aparatur pengelola pembangunan daerah yang
profesional dalam pelayanan pembangunan di daerah.
KESIMPULAN
a) otonomi daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
b) Tujuan utama otonomi daerah adalah untuk mendorong terselenggaranya
pelayanan publik sesuai tuntutan masyarakat daerah, mendorong efisiensi
alokatif penggunana dana pemerintah melalui desentralisasi kewenangan dan
pemberdayaan daerah.
c) Sudut pandang dari otonomi daerah segi politik, Ada beberapa
pertimbangan tentang perlunya memberikan otonomi kepada daerah dalam
rangka desentralisasi menurut sudut pandangan yang berbeda. Pertama,
ditinjau dari segi politik sebagai permainan kekuasaan, pemberian otonomi
daerah dipandang perlu untuk daerah untuk mencegah bertumpuknya
kekuasaan di satu tangan yang akhirnya dapat menimbulkan pemerintahan
tirani. Kedua, dari segi demokrasi, pemberian otonomi kepada daerah
dipandang perlu, dengan maksud diikutsertakan rakyat dalam kegiatan
pemerintahan dan sekaligus mendidik rakyat mempergunakan hak dan
kewajiban dalam penyelenggaraan pemeritahan. Ketiga, dari segi teknis
organisatoris pemerintahan, pemberian otonomi kepada daerah dipandang
sebagai cara untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Keempat, dari
segi manajemen sebagai salah satu unsur administrasi, suatu pelimpahan
wewenang dan kewajiban memberikan pertanggungjawaban dari penunaian
suatu tugas merupakan hal yang wajar
d) Sudut pandang otonomi daerah dari segi ekonomi, kebijakan Otonomi
Daerah yang bertujuan untuk pemberdayaan kapasitas daerah akan
memberikan kesempatan bagi Daerah untuk mengembangkan dan
meningkatkan perekonomiannya. Peningkatan dan pertumbuhan
perekonomian daerah akan membawa pengaruh yang signifikan terhadap
peningkatan kesejahteraan rakyat di Daerah.
e) Sudut pandang otonomi daerah dari segi sosial budaya,Kebijakan otonomi
daerah diharapkan mampu memelihara integrasi nasional dan keutuhan
bangsa Indonesia. Dengan otonomi daerah dapat mewujudkan hubungan
kekuasaan menjadi lebih adil, proses demokrasi di daerah berjalan baik dan
adanya peningkatan kesejahteraan di daerah
f) Sudut pandang otonomi daerah dari segi hukum, menunjukkan bahwa
persoalan desentralisasi dan otonomi daerah berkaitan dengan persoalan
pemberdayaan (enpowerment). dalam arti memberikan keleluasaan dan
kewenangan kepada pemerintah daerah untuk berprakarsa dan mengambil
keputusan.Empowerment akan menjamin hak dan kewajiban serta wewenang
dan tanggung jawab organisasi pemerintahan di daerah untuk dapat
menyusun program, memilih alternatif, dan mengambil keputusan dalam
mengurus kepentingan daerahnya sendiri.
g) Implementasi kebijakan otonomi daerah berimplikasi pada pembangunan
daerah. Pembangunan daerah diharapkan “terwujudnya kemandirian daerah
dalam pengelolaan pembangunan secara serasi, profesional, dan
berkelanjutan”.Comment
different
Filed under: Tak Berkategori — Leave a comment
14 January 2011
different isn’t always better,but the better is always differentComment
Sejarah Pajak Penghasilan
Filed under: Tak Berkategori — Leave a comment
16 December 2010
Sejarah Pajak Penghasilan
Pengenaan pajak langsung sebagai cikal bakal dari pajak penghasilan sudah
terdapat pada zaman Romawi Kuno, antara lain dengan adanya pungutan
yang bernama tributum yang berlaku sampai dengan tahun 167 Sebelum
Masehi. Pengenaan pajak pajak penghasilan secara eksplisit yang diatur dalam
suatu Undang-undang sebagai Income Tax baru dapat ditemukan di Inggris
pada tahun 1799. Di Amerika Serikat, pajak penghasilan untuk pertama kali
dikenal di New Plymouth pada tahun 1643, dimana dasar pengenaan pajak
adalah ” a person’s faculty, personal faculties and abilitites”, Pada tahun 1646
di Massachusett dasar pengenaan pajak didasarkan pada “returns and gain”.
“Tersonal faculty and abilities” secara implisit adalah pengenaan pajak
pengahasilan atas orang pribadi, sedangkan “Returns and gain” berkonotasi
pada pajak penghasilan badan. Tonggak-tonggak penting dalam sejarah pajak
di Amerika Serikat adalah Undang-Undang Pajak Federal tahun 1861 yang
selanjutnya telah beberapa kali mengalami tax reform, terakhir dengan Tax
Reform Act tahun 1986. Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (tax return)
yang dibuat pada tahun 1860-an berdasarkan Undang-Undang Pajak Federal
tersebut telah dipergunakan sampai dengan tahun 1962.
Pajak Penghasilan di Indonesia
Sejarah pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia dimulai dengan adanya
tenement tax (huistaks) pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan
sebagai sewa terhadap mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat
berdirinya rumah atau bangunan. Pada periode sampai dengan tahun 1908
terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi dengan
orang Asia dan Eropa, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa terdapat
banyak perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam perlakuan perpajakan
Tercatat beberapa jenis pajak yang hanya diperlakukan kepada orang Eropa
seperti “patent duty”. sebaliknya business tax atau bedrijfsbelasting untuk
orang pribumi. Di samping itu, sejak tahun 1882 hingga 1916 dikenal adanya
Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah dan
tanah.
Pada 1908 terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperlakukan untuk
orang Eropa, dan badan-badan yang melakukan usaha bisnis tanpa
memperhatikan kebangsaan pemegang sahamnya. Dasar pengenaan pajaknya
penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun barang tak gerak,
penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah, pensiun dan
pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari 1%, 2% dan 3% atas
dasar kriteria tertentu. Selanjutnya, tahun 1920 dianggap sebagai tahun
unifikasi, dimana dualistik yang selama ini ada, dihilangkan dengan
diperkenalkannya General Income Tax yakni Ordonansi Pajak Pendapatan Yang
Dibaharui tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting 1920,
Staatsblad 1920 1921, No.312) yang berlaku baik bagi penduduk pribumi,
orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi Pajak Pendapatan ini telah
diterapkan asas-asas pajak penghasilan yakni asas keadilan domisili dan asas
sumber.
Karena desakan kebutuhan dengan makin banyaknya perusahaan yang
didirikan di Indonesia seperti perkebunan-perkebunan (ondememing), pada
tahun 1925 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Perseroan tahun 1925 (Ordonantie
op de Vennootschapbelasting) yakni pajak yang dikenakan tethadap laba
perseroan, yang terkenal dengan nama PPs (Pajak Perseroan). Ordonansi ini
telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain
dengan UU No. 8 tahun 1967 tentang Psnibahan dan Penyempurnaan Tatacara
Pcmungiitan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak
Perseroan tahun 1925 yang dalam praktck lebih dikenal dengan UU MPO dan
MPS. Perubahan penting lainnya adalah dengan UU No. 8 tahun 1970 dimana
fungsi pajak mengatur/regulerend dimasukkan ke dalam Ordonansi PPs 1925.,
khususnya tentang ketentuan “tax holiday”.
Ordonasi PPs 1925 berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni
pada saat diadakannya tax reform, Pada awal tahun 1925-an yakni dengan
mulai berlakunya Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan dengan perkembangan
pajak pendapatan di Negeri Belanda, maka timbul kebutuhan untuk merevisi
Ordonansi Pajak Pendapatan 1920, yakni dengan ditetapkannnya Ordonasi
Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie op de Incomstenbelasting 1932,
Staatsblad 1932, No.111) yang dikenakan kepada orang pribadi (Personal
Income Tax). Asas-asas pajak penghasilan telah diterapkan kepada penduduk
Indonesia; kepada bukan penduduk Indonesia hanya dikenakan pajak atas
penghasilan yang dihasilkannnya di Indonesia; Ordonansi ini juga telah
mengenal asas sumber dan asas domisili.
Dengan makin banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia, maka kebutuhan
akan mengenakan pajak terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul.
Maka pada tahun 1935 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Pajak Upah
(loonbelasting) yang memberi kewajiban kepada majikan untuk memotong
Pajak Upah/gaji pegawai yang mempunyai tarif progresif dari 0% sampai
dengan 15%. Pada zaman Perang Dunia II diberlakukan Oorlogsbelasting
(Pajak Perang) menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti
dengan nama Overgangsbelasting (Pajak Peralihan). Dengan UU Nomor 21
tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak Pendapatan
tahun 1944 yang disingkat dengan Ord. PPd. 1944. Pajak Pendapatan sendiri
disingkat dengan PPd. Saja.
Ord. PPd. 1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan
perubahan tahun 1968 yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang
Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan
1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang lebih terkenal
dengan “UU MPO dan MPS”. Perubahan lainnya adalah dengan UU No. 9 tahun
1970 yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan
diadakannya tax reform di Indonesia.
Subyek pajak penghasilan
Menurut Undang Undang no.36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan, subyek
pajak penghasilan adalah sebagai berikut:
1. Subyek pajak pribadi yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di
Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang
pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai
niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
2. Subyek pajak harta warisan belum dibagi yaitu warisan dari seseorang yang
sudah meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan, maka
pendapatan itu dikenakan pajak.
3. Subyek pajak badan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi
kriteria:
1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah; dan
4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
5. Bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi
yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di indonesia tidak lebih
dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, atau badan yang tidak
didirikan dan berkedudukan di Indonesia, yang melakukan kegiatan di
Indonesia.
Bukan subyek pajak penghasilan
Undang Undang No. 17 tahun 2000 menjelaskan tentang apa yang tidak
termasuk obyek pajak sebagai berikut:
1. Badan perwakilan negara asing.
2. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat – pejabat lain dari
negara asing dan orang – orang yang diperbantukan kepada mereka yang
bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka dengan syarat bukan
warga negara indonesia dan negara yang bersangkutan memberikan
perlakuan timbal balik.
3. Organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan
dengan syarat Indonesia ikut dalam organisasi tersebut dan organisasi
tersebut tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Contoh: WTO, FAO,
UNICEF.
4. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan
menteri keuangan dengan syarat bukan warga negara indonesia dan tidak
memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Obyek Pajak Penghasilan
Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap Tambahan
Kemampuan Ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia menganut prinsip pemajakan
atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan
atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang Diterima atau Diperoleh
Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi
atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam Undang-undang PPh tidak memperhatikan
adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan
kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib
Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan
pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan
dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.
Karena Undang-undang PPh menganut pengertian penghasilan yang luas maka
semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun
pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan
demikian, apabila dalam satu Tahun Pajak suatu usaha atau kegiatan
menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan
penghasilan lainnya (Kompensasi Horisontal), kecuali kerugian yang diderita di
luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak
dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka
penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang
dikenakan tarif umum.
Kronologi Perubahan Undang-undang yang mengatur Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan (disingkat PPh) di Indonesia diatur pertama kali dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 dengan penjelasan pada Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50. Selanjutnya berturut-turut
peraturan ini diamandemen oleh
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991,
2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, dan
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Mulai Juli 2003 sampai Desember 2004, pemerintah menerapkan sistem pajak
yang ditanggung pemerintah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
47 Tahun 2003 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.03/2003.
Perubahan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) telah disesuaikan juga
beberapa kali dalam:
1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004, berlaku untuk tahun
pajak 2005 (sekaligus meniadakan pajak yang ditanggung pemerintah).
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005, berlaku untuk tahun
pajak 2006.
Tarif Pajak Penghasilan
, Tarif Pajak Penghasilan secara umum (disebut juga tarif Pasal 17) diterapkan
atas Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan BUT untuk
menghitung Pajak Penghasilan terutang dalam satu tahun pajak atau dalam
bagian tahun pajak. Tarif umum ini dibedakan untuk Wajib Pajak badan dalam
negeri/BUT dan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.
Untuk keperluan penerapan tarif pajak atas Penghasilan Kena Pajak, maka
jumlah Penghasilan Kena Pajak tersebut dibulatkan dahulu ke bawah ribuan
rupiah penuh.
Misalnya Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp120.324.900,00 untuk penerapan
tarif dibulatkan ke bawah menjadi Rp120.324.000,00.Dengan Peraturan
Pemerintah dapat diterapkan tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat final
atas Penghasilan Tertentu yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan
Pasal 4 Ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan. Besarnya tarif khusus ini
tidak boleh melebihi tarif umum pajak tertinggi berdasarkan Pasal 17 Ayat (1).
Penentuan tarif pajak tersendiri tersebut didasarkan atas pertimbangan
kesederhanaan, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan pajak.
Berdasarkan Undang-undang No.17 Tahun 2000 tentang perubahan ketiga
Undang-undang Pajak Penghasilan yang mulai berlaku untuk tahun pajak
2001, tarif pajak dibedakan menjadi dua yaitu untuk Wajib Pajak Badan & BUT
dan Wajib Pajak Orang Pribadi. Selengkapnya tarif tersebut disajikan dalam
bagian di bawah ini.
Tarif Pajak Badan Dalam Negeri Dan BUT
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak badan
dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap adalah sebagai berikut :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp50.000.000,00 10%
Di atas
Rp50.000.000,00 sampai dengan Rp100.000.000,00
15%
Di atas
Rp100.000.000,00 30%
Tarif Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp25.000.000,00 5%
Di atas
Rp25.000.000,00 sampai dengan Rp50.000.000,00
10%
Di atas
Rp50.000.000,00 sampai dengan Rp100.000.000,00
15%
Di atas
Rp100.000.000,00 sampai dengan Rp200.000.000,00 25%
Di atas
Rp200.000.000,00 35%
DAFTAR PUSTAKA
• aus, Arie; Muh Syaifullahi Pengembalian SPT 5,9 Juta. Koran Tempo
• PPh Pasal 25/29
• Undang Undang No. 17 tahun 2000