Analisis Kajian Knflik Sosial Ambon

23
ANALISIS KAJIAN KONFLIK SOSIAL AMBON BERDASARKAN TEORI MARXIST BAB I A.PENDAHULUAN Sejak pemerintahan orde baru yang dipimpin oleh presiden Soeharto mulai goyah pada pertengahan tahun 1997-an, masyarakat Indonesia terus-menerus didera oleh berbagai konflik dan kerusuhan. Masyarakat Indonesia yang pernah berharap bahwa pemerintahan demokratis yang dipilih oleh Sidang Umum MPR tahun 1999, akan segera menciptakan stabilitas sosial, ekonomi, dan politik, harus menerima kenyataan terjadinya kondisi yang lebih parah dengan melemahnya rupiah terhadap dolar. Ditambah lagi dengan maraknya kerusuhan yang terjadi (misalnya di Ambon, Sambas, Poso, Matraman dan Glodok) serta kenyataan kekurangmampuan alat negara untuk mencegah, mengeliminasi atau mengatasinya. Apa yang menyebabkan terjadinya konflik-konflik ini dan bagaimana menanggulanginya? Sebelum menjawab pertanyaan ini, maka akan dibedakan ke dalam dua tipe

description

AMBON

Transcript of Analisis Kajian Knflik Sosial Ambon

ANALISIS KAJIAN KONFLIK SOSIAL AMBON BERDASARKAN TEORI MARXISTBAB IA.PENDAHULUAN Sejak pemerintahan orde baru yang dipimpin oleh presiden Soeharto mulai goyah pada pertengahan tahun 1997-an, masyarakat Indonesia terus-menerus didera oleh berbagai konflik dan kerusuhan. Masyarakat Indonesia yang pernah berharap bahwa pemerintahan demokratis yang dipilih oleh Sidang Umum MPR tahun 1999, akan segera menciptakan stabilitas sosial, ekonomi, dan politik, harus menerima kenyataan terjadinya kondisi yang lebih parah dengan melemahnya rupiah terhadap dolar. Ditambah lagi dengan maraknya kerusuhan yang terjadi (misalnya di Ambon, Sambas, Poso, Matraman dan Glodok) serta kenyataan kekurangmampuan alat negara untuk mencegah, mengeliminasi atau mengatasinya.Apa yang menyebabkan terjadinya konflik-konflik ini dan bagaimana menanggulanginya? Sebelum menjawab pertanyaan ini, maka akan dibedakan ke dalam dua tipe konflik dengan sasaran golongan lain dalam masyarakat, yang dianggap mengancam atau merongrong kepentingan, cara hidup atau identitas golongan lain dan bersifat horinsontal. Pengidentifikasian kedalam dua tipe konflik ini yang didasarkan kepada cerminan realitas sosial masyarakat Indonesia dewasa ini, diharapkan mempunyai implikasi yang besar untuk memecahkan konflik-konflik ini.Pertama, konflik yang didasarkan atas identitas agama, khususnya Islam dan Kristen, contohnya bisa kita lihat di banyak daerah dari serentetan kerusuhan sosial yang dimulai di Jawa pada akhir zaman Soeharto dan berlanjut hingga saat ini, salah satu contohnya adalah Ambon.Kedua, konflik yang didasarkan kesenjangan ekonomi, pihak yang berkonflik adalah kelas atau kelompok sosial ekonomi, termasuk kaum penganggur, buruh, petani, pedagang, pengusaha dan pejabat. Dalam penyusunan makalah ini, permasalahan akan saya membatasi hanya pada konflik yang terjadi di Ambon, dan akan dicoba untuk melakukan suatu analisis terhadap apa yang melatarbelakangi terjadinya konflik tersebut dan upaya atau solusi pemecahannya berdasarkan teori-teori konflik yang dikemukakan oleh Karl Marx.

BAB IIB.PERMASALAHANKonflik Ambon Maluku yang berlarut-larut selama beberapa tahun, dan mulai terasa memuncak ke permukaan menjelang konflik Januari 1999. Sebelum konflik Januari 1999 meletus, telah muncul berbagai isu konflik bernuansa suku, agama, politik dan ekonomi. Berbagai potensi konflik tersebut tampak mengkristal menjadi isu politik etnis-agama menjelang konflik Januari 1999. Munculnya isu-isu ini meningkatkan ketegangan konflik di Ambon Maluku pada saat menjelang hingga runtuhnya Orde Baru.Salah satu penyebab mengapa isu demikian muncul dan mengkristal menjadi ketegangan antara kedua komunitas adalah karena terjadinya perubahan kondisi sosial politik dan ekonomi eksternal di tingkat nasional saat itu. Namun apabila melihat akar permasalahan yang menyebabkan konflik tersebut, konflik di Ambon manifest pada 19 Januari 1999 dipicu oleh perkelahian dua pemuda yang kebetulan berbeda agama. Melalui berbagai fase, konflik horizontal tersebut berlangsung hingga 2002.Potensi konflik di Ambon sebenarnya bersifat historis. Strategi politik Belanda yang diskriminatifmenjadikan masyarakat Ambon tersegregasi berdasarkan keyakinan, kebudayaan, dan struktur sosial ternyata diwariskan sampai sekarang.Konflik yang manifes pada 1999 tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain terjadinya perubahan sosial, adanya mobilitas vertikal pada etnis Bugis, Buton, dan Maksar bersamaan dengan naiknya kiprah Islam Politik di tingkat nasional, turunnya legitimasi institusi dan nilai adat yang tersimpul pada tradisi pela gandong oleh determinasi modernitas yang diageni Orde Baru melalui UU No. 4 tahun 1975 tentang pemerintah daerah; dan berakhirnya negara yang bersifat sentralistik .Konflik agama di Ambon merupakan imbas benturan antarperadaban yang terjadi pada skala makro dan global yang mengaksentuasi pada konteks lokal dengan mengatasnamakan solidaritas primordial. Terdapat kontroversi antara pihak Muslim dan Kristen dalam melihat fenomena gerakan Laskar Jihad dan RMS. Penguasa pada waktu itu tidak menyadari, benih-benih dendam tersebut tidak akan terpupus begitu sajaterlebih-lebih dengan dilakukannya pendekatan keamanan yang sangat intensyang terjadi justru adalah penumpukan dendam-dendam laten yang suatu ketika dipastikan meledak dengan sangat dahsyat.Pada bagian selanjutnya akan dibahas apakah sesungguhnya penyebab-penyebab konflik yang terjadi di Ambon, apakah memang murni perbedaan-perbedaan pandangan agama antara Islam dan Kristen ataukah kesan itu sebetulnya hanya merupakan akibat dari penyebab lain yaitu masalah ekonomi atau material semata.

BAB IIIPEMBAHASAN

Teori-teori konflik pada umumnya memusatkan perhatiannya terhadap pengenalan dan penganalisisan kehadiran konflik dalam kehidupan sosial, penyebabnya dan bentuknya, serta akibatnya dalam menimbulkan perubahan sosial. Dapat dikatakan bahwa, teori konflik merupakan teori terpenting pada saat kini, oleh karena penekanannya pada kenyataan sosial di tingkat struktur sosial dibandingkan di tingkat individual, antarpribadi atau budaya. Sehingga konflik yang terjadi antara seorang warga Muslim dan warga Kristen di Maluku, ditengarai bukanlah merupakan cerminan kebencian pribadi antara mereka, melainkan lebih sebagai cerminan ketidaksesuaian atau oposisi antara kepentingan-kepentingan mereka seperti yang ditentukan oleh posisi mereka dalam masing-masing kelompok agama mereka.Diantara para perintis teori konflik, Karl Marx dipandang sebagai tokoh utama dan yang paling kontroversia yang menjelaskan sumber-sumber konflik serta pengaruhnya terhadap peningkatan perubahan sosial secara revolusioner. Marx mengatakan bahwa potensi-potensi konflik terutama terjadi dalam bidang pekonomian, dan ia pun memperlihatkan bahwa perjuangan atau konflik juga terjadi dalam bidang distribusi prestise/status dan kekuasaan politik.Segi-segi pemikiran filosofis Marx berpusat pada usaha untuk membuka kedok sistem nilai masyarakat, pola kepercayaan dan bentuk kesadaran sebagai ideologi yang mencerminkan dan memperkuat kepentingan kelas yang berkuasa. Meskipun dalam pandangannya, orientasi budaya tidak seluruhnya ditentukan oleh struktur kelas ekonomi, orientasi tersebut sangat dipengaruhi dan dipaksa oleh struktur tersebut. Tekanan Marx pada pentingnya kondisi materiil seperti terlihat dalam struktur masyarakat, membatasi pengaruh budaya terhadap kesadaran individu para pelakunya.Terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang Marx tekankan, yang tidak dapat diabaikan oleh teori apa pun yaitu antara lain adalah, pengakuan terhadap adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan diantara orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran dan berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial, merupakan sesuatu hal yang sangat penting.Marx lebih cenderung melihat nilai dan norma budaya sebagai ideologi yang mencerminkan usaha kelompok-kelompok dominan untuk membenarkan berlangsungnya dominasi mereka. Selanjutnya, mereka pun berusaha mengungkapkan berbagai kepentingan yang berbeda dan bertentangan yang mungkin dikelabui oleh munculnya konsensus nilai dan norma. Apabila konsensus terhadap nilai dan norma ada, para ahli teori konflik menduga bahwa konsensus itu mencerminkan kontrol dari kelompok dominan dalam masyarakat terhadap berbagai media komunikasi (seperti lembaga pendidikan dan lembaga media massa), dimana kesadaran individu dan komitmen ideologi bagi kepentingan kelompok dominan dibentuk. Dalam konflik Ambon, Marx akan melihat bentuk-bentuk konsensus pela gandong tidak lain dan tidak bukan adalah merupakan upaya-upaya pihak yang dominandalam hal ini Islamuntuk memaksakan pembenaran atas dominasi mereka dan pela gandong dipergunakan sebagai alat untuk mengontrol keberadaan dominasi pihak-pihak yang lebih berkuasa. Selanjutnya, menurut teori Marx munculnya pela gandong merupakan upaya-upaya mengelabui terjadinya kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dengan mengangkat konsensus nilai dan norma pela gandong tersebut. Marx mengakui pentingnya ideologi dan hubungan antara komitmen ideologi dan posisi dalam struktur kelas ekonomi, ia juga menjelaskan secara mendalam mengenai bentuk-bentuk kesadaran dengan dan dalam hubungannya dengan struktur ekonomi dan posisi kelas. Bagi non-Marxis hubungan antara kepercayaan individu dan nilai disatu pihak adalah masalah empiris, dan bukan suatu hal yang ditentukan atas suatu dasar filosofis. Sedangkan bagi Marx, validitas kepercayaan seseorang serta nilainya ditentukan atas suatu dasar filosofis. Hal ini tercermin dalam pembedaan Marx antara kesadaran palsu dan kesadaran sesungguhnya. Selanjutnya Marx berpendapat, bahwa orang-orang yang berada pada posisi marjinal seperti buruh, tidak akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya melalui pekerjaannya atau mereka tidak mampu untuk mengutarakan suatu bentuk jenis pekerjaan apapun yang bersifat manusiawi. Oleh sebab itu, jika seorang pekerja terlihat sangat tekun dalam melaksanakan pekerjaannya, dan tidak mempunyai keinginan untuk memprotes, serta tidak ingin terlibat dalam suatu perjuangan revolusioner dalam memperbaiki nasibnya, menurut Marx hal ini jelas merupakan bukti kesadaran palsu. Ini berarti bahwa pekerja seperti itu terasing atau diasingkan dari dirinya dan kebutuhan-kebutuhan manusiawinya. Dalam konteks konflik Ambon, jika didasarkan pada teori konflik Marx , sangat jelas terjadinya kondisi kesadaran palsu pada satu kelompok, dan secara nyata terlihat bahwa potensi-potensi tindakan-tindakan pengklaiman golongan yang satu terhadap golongan yang lain, sangat diharamkan terjadi dan dihambat serta ditindas oleh pemerintah orde baru sedini mungkin, sehingga terjadi suatu kesadaran palsu yang timbul pada diri pihak-pihak yang termarjinalisasi (dalam hal ini pihak Kristen) untuk tidak menentang terjadinya proses-proses pengkerdilan atas diri mereka tersebut, keadaan ini menumpuk hingga selama 32 tahun, sehingga akhirnya berakhir melalui suatu perjuangan revolusioner berupa kerusuhan untuk menghancurkan pihak-pihak lain yang dianggap dominan yaitu pihak Islam. Saling ketergantungan antara tindakan individu dan kelompok yang bersifat harmonis, merupakan hasil dari orientasi-orientasi nilai yang dianut bersama oleh pihak-pihak yang berinteraksi, dan dari kenyataan bahwa penyesuaian diri dengan harapan-harapan pihak lain akan memenuhi kebutuhan masing-masing pihak. Teori konflik Marx juga menerima kenyataan terdapatnya saling ketergantungan itu dalam kehidupan sosial, namun secara umum Marx melihat bahwa adanya saling ketergantungan tersebut, sesungguhnya merupakan rekayasa dari mereka yang menguasai sumber-sumber daya agar kemauannya terhadap orang lain diikuti. Karena kendali mereka terhadap berbagai sumber daya itu, mereka yang berada pada suatu posisi dominan mampu memberikan jaminan bahwa tindakan orang lain dipastikan memberikan kontribusinya dalam mempertahankan struktur dimana mereka berkuasa. Singkatnya, yang ada hanyalah faktor-faktor kepentingan dari mereka yang berada pada posisi dominan dan bukan nilai-nilai yang dianut bersama oleh semua anggota sistem tersebut, menjelaskan pola-pola saling ketergantungan yang ada. Lagi-lagi pela gandong yang merupakan konsep atau mekanisme penyadaran bagi kelompok-kelompok yang berbeda agama dalam masyarakat Maluku agar dapat bersatu, hidup berdampingan dengan damai. Maka bagi Marx, pela gandong merupakan konsep atau mekanisme penciptaan ketergantungan dari orang-orang yang berada pada sudut subordinat kepada kelas yang berkuasa. Pada segi ini, sangat jelas Marx-pun menuduh bahwa pihak penguasa (pemerintah pusat atau daerah) dengan sengaja menciptakan atau paling kurang memfasilitasi terbentuknya mekanisme pela gandong ini. Selanjutnya Marx menganggap bahwa pela gandong sesungguhnya merupakan suatu mekanisme rekayasa dari mereka yang menguasai sumber-sumber daya (dalam hal ini Pemerintah dan kelompok Islam), agar kemauannya terhadap kelompok lain diikuti dan tidak dibantah. Karena kelompok Islam dianggap memegang kendali terhadap berbagai sumber daya itu, maka berdasarkan pandangan Marxyang serba pesimistikini, kelompok Kristen dipastikan memberikan kontribusinya dalam mempertahankan struktur dimana mereka berkuasa.

BAB IVPENUTUPSangat jelas bahwa dengan teori-teori yang sangat kontroversial dan pesimistik, Marx mencoba untuk memberikan sumbangan bagi penanganan konflik-konflik yang terjadi di seluruh dunia. Konflik-konflik yang ada menurut Marx bermuara pada ketimpangan terutama yang berlatarbelakang ekonomi, terdapatnya kelas-kelas yang dominan dan kelas yang tertindas.Bedasarkan teori Marx, maka konflik sosial yang terjadi di Ambon sesungguhnya merupakan konflik yang berlatar kesenjangan ekonomi, antara kelas yang dianggap dominan dan kelas yang termarjinalkan. Namun melalui provokasi-provokasi tertentu konflik ini menyamar sebagai konflik agama antara kelompok Islam dan Kristen, padahal inti masalah sebenarnya adalah persaingan material, seperti yang telah saya utarakan fakta sejarahnya dalam tulisan di muka.Jika memang benar suatu konflik didasarkan perbedaan agama, maka menurut pendapat R. William Liddle, kondisinya tidak terlalu serius dan obat yang paling mujarab untuk penyakit ini adalah kesabaran, bukan suatu kebijakan baru. Hal yang terpenting adalah untuk tidak terlalu membesar-besarkan masalah pertentangan agama di Indonesia. Dalam kenyataannya, penganut salah satu agama tidak akan mengancam kepentingan, cara hidup atau identitas penganut agama lain. Lebih lanjut Liddle mengemukakan, sebagai pengamat Indonesia, selama lebih dari 40 tahun, ia jarang menemui seorang Islam atau Kristen yang ingin memaksakan kehehendaknya pada penganut agama lain. Dalam konteks teori konflik Marxseperti yang juga telah saya kemukakan di atas, perjuangan atau konflik juga terjadi dalam bidang distribusi status dan kekuasaan politik yang seringkali ditemukan adalah ketakutan dalam dua versi, versi pertama adalah ketakutan orang Islam pada tujuan terselubung umat Kristen (misalnya pada saat L.B. Murdani memimpin ABRI). Versi kedua adalah hal yang sebaliknya yaitu ketakutan orang Kristen pada tujuan terselubung umat Islam (misalnya pada masa jayanya Masyumi atau ketika ICMI mulai bangkit). Sehingga kesimpulannya adalah jika kedua belah pihak diberi kesempatan untuk berpoltik secara sehat, dalam alam demokratis dengan pemilu bebas, ketakutan mereka yang berlebihan akan layu dengan sendirinya. Gejolak antar golongan yang berdasarkan kesenjangan ekonomi, tampaknya lebih memprihatinkan dibandingkan konflik agama oleh karena kebijakan ekonomi pemerintah, akan berdampak langsung pada tingkat kemakmuran 210 juta rakyat Indonesia. Kemajuan atau kemunduran ekonomi akan berdampak besar pada kestabilan rejim demokrasi yang baru mulai dibangun di masa reformasi ini. Jalan kekerasan seperti yang dilakukan pada rejim Soekarno dan Soeharto, seharusnya tidak dipergunakan lagi di masa kini. Jikapun terpaksa dilakukan, biasanya dilakukan lebih merupakan kebijakan terakhir (policy of the last resort) atau senjata pamungkas (ultimum remedium) yang hanya dipakai jika lawan politik rejim yang berkuasa dianggap sudah tidak dapat diisolasi kembali atau terlalu merongrong kewibawaan pemerintah.Tantangan yang dihadapi Susilo Bambang Yudiyono, atau siapa saja yang menjadi presiden pada masa reformasi jelas lebih rumit. Sebab Presiden sekarang tidak mempunyai alat-alat kekerasan yang kebal hukum, yang bisa bertindak semena-mena seperti pernah dilakukan oleh ABRI sebagai alat dari pemerintahan otoriter. Presiden kini hanya memiliki tiga alat utama untuk berpolitik : pengabsahannya sebagai presiden demokratis, kebijakan ekonomi yang bisa menciptakan kemakmuran umum sebagai basis bagi dukungan politik selanjutnya dan keterampilan taktis untuk menggalang dukungan tersebut.Kegagalan para pemimpin partai pada masa demokrasi parlementer yang tidak berhasil bertahan lama, apalagi melestarikan demokrasi di Indonesia sebabnya antara lain adalah mereka tidak tahu bagaimana memanfaatkan alat-alat politik yang mereka miliki.Para politisi yang berkuasa pada masa kini sekiranya memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang apa yang harus mereka lakukan, terutama pemerataan di bidang ekonomiberupa kesejahteraan rakyatdan partisipasi politik rakyat, yang menurut Marx terbukti merupakan faktor yang sangat penting dalam mengeliminasi kemungkinan terjadinya konflik.Namun terlepas dari teori Marx, dari uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik suatu benang merah yang perlu diperhatikan, yaitu : adanya aturan-aturan kapitalisme domestik dan global, merupakan suatu kenyataan ekonomi universal yang tak terelakkan dan suatu kesempatan emas bagi Pemerintah Indonesia untuk memakmurkan masyarakatnya sambil menciptakan stabilitas politik yang demokratis. Diseluruh dunia, penantang kapitalisme dan pengabaian hak-hak politik rakyat, sudah kalah telak dan tidak lagi menawarkan alternatif yang bisa dipercaya, bahkan Republik Rakyat Cina telah memberlakukan sistem perekonomiannya menjadi kapitalis. Rupa-rupanya RRC belajar banyak dari peristiwa runtuhnya Rusia, oleh karena telah melakukan kesalahan fatal dengan melakukan suatu Big Jump melalui Revolusi Rusia pada paruh pertama abad ke-20 (1917-an), dimana masyarakat Rusia yang pada saat tersebut sebagian besar masih dalam tahapan Feudal Society ingin segera melompat (big jump) menuju scientific communism society. Padahal Marx mengajarkan bahwa, perkembangan masyarakat harus melalui tahapan-tahapan linier yang dimulai dari ancient communism society hingga menuju scientific communism society, dimana sebelum menuju scientific communism, harus terlebih dulu melewati tahapan Capitalist Society, suatu hal yang tampaknya dilakukan oleh RRC saat ini, dan selamat hingga saat ini.Sebagian besar aktivis dan pemikir kiri Indonesia, tampaknya bersikap acuh tak acuh terhadap demokrasi serta berupaya sekuat mungkin melawan kapitalisme, baik dengan cara-cara halus maupun cara-cara kasar. Kapitalisme dicela sebagai sebuah struktur ekonomi yang memungkinkan orang kuat (konglomerat) mengalahkan orang lemah (buruh serta petani, pedagang dan pengusaha kecil) di dalam negeri. Langkah terpenting sesungguhnya adalah menganggap lembaga-lembaga kapitalisme dan demokrasi sebagai semacam floor (landasan) bukan ceiling (plafon). Ia merupakan kalau bukan sebagai syarat mutlak kerangka yang paling berguna untuk membangun sebuah rumah nasional yang modern pada jaman reformasi ini. Pemerataan kemakmuran dimungkinkan oleh pertumbuhan ekonomi, khususnya penciptaan lapangan kerja, yang pada gilirannya kemungkinan besar akan dijalankan oleh kapitalisme domestik dan internasional. Hal itu tidak berarti bahwa pemerataan akan datang dengan sendirinya, seperti hujan dan langit mendung. Ia harus diperjuangkan, antara lain melalui perumusan dan penyebaran ide-ide baru, penggalangan kekuatan politik untuk untuk memenangkan ide-ide tersebut di tingkat legislatif dan eksekutif pemerintahan, dan pelaksanaan yang efisien dan efektif oleh administrasi negara.Akhirnya, agar para intelektual dan aktivis politik indonesia yang mendambakan pemerataan kemakmuran dan demokrasi substantif, harus siap berdiri di garis depan dalam perjuangan ini. Masa reformasi telah membuka banyak kesempatan untuk mencari ide-ide baru dan cara-cara baru untuk mewujudkannya.

DAFTAR PUSTAKA

Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Antar Golongan, Sumur Bandung, Cetakan ke-8, 1985

Liddle, R., William, Menjawab Tantangan Masa Reformasi, Artikel Kompas, 8-9 Juni 2000

Alfian, O. O. 1993. Pancasila sebagai Ideologi : Dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jakarta: Penerbit BP-7 Pusat.

Tim Lembaga Informasi Nasional-Republik Indonesia. 2004. Dinamika Konflik dalam Transisi Demokrasi : Informasi potensi konflik dan potensi integrasi bangsa (Nation and Character Building. Yogyakarta: Penerbit Inpedham.

Bubandt, Nils dan Molnar, Andrea, 2004, Di Pinggir Konflik: Kekerasan, Politik, dan Kehidupan Sehari-hari di Indonesia Bagian Timur, Jurnal Antropologi Indonesia, Vol. 74, hal. 3 - 8Dharmawan, Arya Hadi, 2006, Konflik-Sosial dan Resolusi Konflik: Analisis Sosio-Budaya (dengan Fokus Perhatian),Marbun, BN, 2003, Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan, JakartaMargawati, Margaretha dan Aryanto, Tony, 2000, Konflik antar Agama atau Politisasi Agama, Jurnal Antropologi Indonesia, Vol. 63, hal. 123 - 130