ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh...

148
i ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN DAN TINGKAH LAKU MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) JANTAN OBES YANG DIINTERVENSI NIKOTIN LA ODE MUHAMMAD SANIWU ZAKARIAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Transcript of ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh...

Page 1: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

i

ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN DAN TINGKAH LAKU MONYET EKOR

PANJANG (Macaca fascicularis) JANTAN OBES YANG DIINTERVENSI NIKOTIN

LA ODE MUHAMMAD SANIWU ZAKARIAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2010

Page 2: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul: Analisis Hematologi, Nilai Kecernaan dan Tingkah Laku Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Jantan Obes yang Diintervensi Nikotin adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2010

La Ode Muh. Saniwu NIM: P053070021

Page 3: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

iii

ABSTRACT

LA ODE MUHAMMAD SANIWU ZAKARIAH. Analysis of Hematological, Digestible Values and Behavior in Obes Male Long-Tailed Macaque (Macaca fascicularis) Which Nicotine Intervention. Under direction of AGIK SUPRAYOGI and SRI SUPRAPTINI MANSJOER.

This study was designed to obtain information on the development of hematological and digestibility values, and on the behavioral conditions of 15 male obese longtailed macaques, prior and after intervention with nicotine. The study was implemented in two phases. The first phase being to the making animals model for obesity during one year, which started from February 23 to March 11, 2009. The second phase consisted of the collection of haematological and digestibility data and observation of behavior during the intervention period with a nicotine solution (0.75 mg/kg body weight/12 hours) from March 12 to June 3, 2009. The study used a Complete Randomized Design nested in time which was analized with SAS version 6.12. software, to find any correlation of behavior with haematological and digestibility values. The results of the study showed that there was a significantly decrease (P<0.01) in haematologial values of red blood cells, haematocrits and platelets during the intervention with the nicotine solution but there was a significantly (P<0.01) increase in the values of haemoglobin and red blood cell index values (MCV, MCH and MCHC). There was a decrease in the white blood cells, neutrophilic and limfocyte values which were insignificant but there was a drop in the eosinophilic and monocyt values which were significantly. The intervention with nicotine caused an increase in the digestibility values and a decrease of mean feed consumption (P<0.01). The decrease in body weight and body mass index (BMI) however, was statistically non-significant. The intervention of nicotine caused the long-tailed macaques to be more active, which was indicated by increased feeding and drinking, self grooming and locomotion frequencies. Analysis of correlation indicated that body weight had a positive correlation with haemoglobin, neutrophils and drinking behavior, while haemoglobin had a positive correlation with crude protein digestibility, Nitrogen Free Extract (NFE), dry matter and energy with a highly significant correlation (P<0.01). Values digestibility of crude protein correlated positive with self grooming behavior and contact behavior, while digestibility of crude fatty had a positive correlation (P<0.05) with contact behavior. The correlation between haematology and behavior indicated drinking behavior and self grooming, (MCV and MCH) had a positive value of correlation (P<0.05). Keywords: obesity, nicotine,longtailed macaque, haematology, consumption,

digestibility, behavior and BMI.

Page 4: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

iv

RINGKASAN

LA ODE MUHAMMAD SANIWU ZAKARIAH. Analisis Hematologi, Nilai Kecernaan dan Tingkah Laku Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Jantan Obes yang Diintervensi Nikotin. Dibimbing oleh AGIK SUPRAYOGI dan SRI SUPRAPTINI MANSJOER.

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah laku dari 15 monyet ekor panjang jantan obes, sebelum dan sesudah diintervensi dengan nikotin. Penelitian ini dilakukan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pembentukan hewan model obes yang telah berlangsung selama satu tahun, tahap pertama dari penelitian ini berlangsung dari 23 Februari sampai dengan 11 Maret 2009. Tahap kedua, yakni intervensi nikotin dalam pakan (0,75 mg/kg bobot badan/12 jam) pada hewan coba obes tersebut dari 12 Maret sampai dengan 3 Juni 2009. Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang tersarang dalam waktu, dianalisa dengan perangkat lunak SAS versi 6,12 untuk mendapatkan korelasi antara tingkah laku dengan nilai-nilai hematologi dan kecernaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada penurunan yang sangat signifikan (P<0,01) pada nilai hematologi diantaranya adalah sel darah merah, hematokrit dan platelet selama intervensi nikotin, namun kadar hemoglobin masih menunjukkan kisaran normal dengan nilai indeks sel darah merah (MCV, MCH dan MCHC) menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan (P<0,01). Sedangkan jumlah sel darah putih, persentase netrofil dan limfosit tidak menunjukkan adanya perubahan, namun terjadi penurunan persentase eosinofil dan monosit (P<0,01). Intervensi nikotin tampak menunjukkan adanya peningkatan nilai kecernaan dan penurunan rataan konsumsi pakan (P<0,01). Penelitian menunjukkan adanya tanda-tanda penurunan bobot badan dan IMT walaupun tidak signifikan. Intervensi nikotin menyebabkan monyet menjadi lebih aktif, yang dibuktikan dengan indikasi peningkatan aktivitas makan dan minum, self grooming dan frekuensi lokomosi. Analisis korelasi menunjukkan bahwa bobot badan mempunyai korelasi positif terhadap hemoglobin, netrofil dan tingkah laku minum, sedangkan hemoglobin memiliki korelasi positif terhadap kecernaan protein kasar, BETN, bahan kering dan energi yang menunjukkan korelasi yang sangat tinggi (P<0,01). Nilai kecernaan protein kasar, berkorelasi positif dengan tingkah laku self grooming serta tingkah laku kontak, sedangkan kecernaan lemak kasar memiliki korelasi positif (P<0,05) dengan tingkah laku menatap. Korelasi antara hematologi dan tingkah laku memberikan indikasi bahwa tingkah laku minum dan self grooming, (MCV dan MCH) mempunyai nilai korelasi positif (P<0,05). Kata Kunci: obesitas, nikotin, monyet ekor panjang, hematologi, konsumsi,

kecernaan, tingkah laku dan IMT.

Page 5: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

v

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masala; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.

Page 6: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

vi

ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN DAN TINGKAH LAKU MONYET EKOR

PANJANG (Macaca fascicularis) JANTAN OBES YANG DIINTERVENSI NIKOTIN

LA ODE MUHAMMAD SANIW U ZAKARIAH

Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada Program Studi Primatologi

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2010

Page 7: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

vii

Judul Tesis : Analisis Hematologi, Nilai Kecernaan dan Tingkah Laku Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Jantan Obes yang Diintervensi Nikotin

Nama Mahasiswa : La Ode Muhammad Saniwu Zakariah

Nomor Pokok Mahasiswa : P053070021

Program Studi : Primatologi

Disetujui :

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. drh. Agik Suprayogi, M.Sc Ketua

Prof. Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Primatologi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST. Ph.D.

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian: 28 Januari 2010 Tanggal Lulus:

Page 8: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

viii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, M.S.

Page 9: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

ix

Sesungguhnya Allah menciptakan segala sesuatu berdasarkan kodratnya dan masing-masing ciptaan-Nya memiliki nilai manfaat.

“Kupersembahkan karya kecilku ini kepada Agamaku, Bangsa dan Negaraku, Kedua Orang Tuaku, Almamaterku dan Perempuanku yang telah menjadi semangatku”

Page 10: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

x

PRAKATA

Tiada kata yang terindah untuk diucapkan selain ucapan Alhamdulillah, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang memberikan rahmat dan rahim-Nya sehingga penulis dapat menyelesasikan tesis ini. Penelitian ini berjudul “Analisis Hematologi, Nilai Kecernaan dan Tingkah Laku Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Jantan Obes yang Diintervensi Nikotin ” .

Dalam penyelesaian tulisan ini, berbagai pihak telah banyak membantu

dalam proses pneyelesaian tulisan ini oleh karena itu perkenankanlah penulis pada kesempatan ini menghaturkan terimakasih yang berlimpah kepada: 1. Prof. Dr. drh. Agik Suprayogi, M.Sc selaku Ketua Komisi dan Prof. Dr. Sri

Supraptini Mansjoer selaku Anggota yang telah banyak mengarahkan dan membimbing penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

2. Bapak drh. Ikin Mansjoer, M.Sc yang telah memberikan arahan dan rekomendasi sehingga penulis dapat melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana IPB khususnya pada Program Studi Primatologi.

3. Bapak Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST., Ph.D sebagai Ketua Program Studi Primatologi (PRM) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian dan menyusun tesis ini.

4. Ibu Dr.Ir. Dewi Apri Astuti, MS selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kelengkapan dan kesempurnaan tulisan ini.

5. Ibu Dr.dr.Irma Suprapto yang telah memberikan arahan dan ijin dalam penelitian ini.

6. Asosiasi Pemerhati Satwa Primata (APERI) khususnya PT Wanara Satwa Loka yang telah memberikan biaya pendidikan selama menempuh studi.

7. Pemerintah Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bombana yang telah memberikan bantuan pendidikan dalam penyelesaian tesis ini.

8. PT IndoAnilab dan stafnya (drh. Dewi, Mba Eva, Sudirman, Komang, Erik, Pak Udin dan staf lainnya) yang telah memberikan banyak bantuan kepada penulis dalam melakukan penelitian ini.

9. Bapak dr. Anwar Wardi Warongan, M.Si yang telah banyak memberikan bantuan dalam penelitian ini serta tim peneliti intervensi nikotin cair (drh. Chusnul Choliq, MS, drh. RP. Agus Lelana, M.Si).

10. Kakak Muh. Rusdin, S.Pt.,M.Si yang telah memberikan dorongan dan semangat untuk melanjutkan studi.

11. Bapak Ir. H. Taane La Ola, MP selaku Dekan Fakultas Pertanian Unhalu dan Bapak Ir. Natsir Sandiah, MS selaku Ketua Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Unhalu yang memberikan arahan untuk melanjutkan studi

12. Kakak Dr. Nur Arafah, SP,M.Si, LD. Samsul Barani, SE, M.Si, Ir. Muh. Ramli, M.Si, Ir. La Anadi, M.Si, Ir. Budiyanto, MP, Ir.Wellem Muskita, M.Si, Nuriadi, SP, Akhmad Mansyur, SP, Asmadin, S.Pi, Rahmat Maulidun, S.Pt, Anzar, S.Pt dan Rusdan, S.Pt yang telah memberikan semangat dan dorongan.

13. Bibiku Nur Kija sekeluarga dan pamanku Ali Hamid sekeluarga yang telah memberikan semangat dan dukungan morilnya.

Page 11: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

xi

14. Adik-adikku L.M. Firdaus, L.M. Asraf, L.M. Zamrud dan WD. Yati terimakasih atas doa dan dorongannya.

15. Rekan-rekan mahasiswa PRM (Ir. Deyv Pijoh, M,Si, Ria Oktarina, S.Pt.,M.Si., Keni Sultan, S.Pt.,M.Si., Silmi Maria, S.Si dan Amor Tresna Karyawati, S.Si) atas dukungan, semangat dan kebersamaannya.

16. Dosen-dosen yang telah memberikan dan membukan wawasan selama penulis menempuh studi dan staf Program Studi Primatologi (Mba Yanti dan Kang Yana) yang telah banyak memberikan bantuan selama penulis menempuh studi.

17. Anna Forbag yang telah banyak memberikan bantuan literaturnya 18. Semua pihak yang telah memberikan dukungan dengan caranya masing-

masing. 19. Terkhusus kepada kedua orang tuaku atas doa, semangat dan nasehatnya.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi perbaikan tulisan ini.

Bogor, Februari 2010 La Ode Muh. Saniwu

Page 12: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

xii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 21 Juli 1981 di Mandati II Wangi-Wangi

Kabupaten Wakatobi. Penulis merupakan putra pertama dari lima bersaudara dari pasangan La Ode Abdul Gani Zakariah dan WD. Da’o.

Penulis menyelesaikan pendidikan SD dan SMP di Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana sedangkan SMU di Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi. Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Produksi Ternak Universitas Haluoleo Kendari dan lulus tahun 2003.

Pada tahun 2007 penulis diterima di Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Studi Primatologi atas bantuan pendidikan Asosiasi Pemerhati Satwa Primata (APERI) khususnya PT Wanara Satwa Loka.

Page 13: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiv

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xv

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvii

PENDAHULUAN ............................................................................................ 1

Latar Belakang .............................................................................................. 1 Tujuan Penelitian .......................................................................................... 4 Hipotesis ........................................................................................................ 4 Manfaat Penelitian ........................................................................................ 4 Kerangka Pemikiran ...................................................................................... 4

TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 6

Obesitas ......................................................................................................... 6 Aspek Farmakologi dan Efek Nikotin sebagai Obat ..................................... 11 Monyet Ekor Panjang .................................................................................... 24 Hematopoiesis ............................................................................................... 27 Kecernaan Zat-zat Makanan dan Metabolisme ............................................. 38 Tingkah Laku ................................................................................................ 46

MATERI DAN METODE ................................................................................ 49

Waktu dan Tempat ........................................................................................ 49 Materi dan Alat ............................................................................................. 49 Metode Penelitian.......................................................................................... 51 Analisis Data ................................................................................................. 58

HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 61

Keadaan Umum Penelitian ............................................................................ 61 Hematologi .................................................................................................... 61 Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Indeks Massa Tubuh ............................ 80 Kecernaan dan Energi Metabolisme ............................................................. 86 Tingkah Laku ................................................................................................ 97 Analisis Korelasi Bobot Badan, Kecernaan Nutrien, Hematologi dan Tingkah Laku ................................................................................................ 110 Diskusi Umum .............................................................................................. 116

SIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 118

Simpulan ....................................................................................................... 118 Saran .............................................................................................................. 119

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 120

LAMPIRAN ...................................................................................................... 130

xii

Page 14: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Klasifikasi IMT menurut WHO .................................................................. 7

2 Komposisi darah manusia ........................................................................... 30

3 Nilai hematologi pada primata .................................................................... 31

4 Nilai hematologi pada Macaca mulatta dewasa ......................................... 31

5 Nilai hematologi pada Macaca fascicularis dewasa ................................... 32

6 Nilai hematologi pada Saimiri sciureus dewasa ......................................... 32

7 Bobot badan dan nilai hematologi Macaca fascicularis dewasa ................ 33

8 Komposisi nutrisi formula pakan perlakuan ............................................... 50

9 Peubah tingkah laku yang diamati selama penelitian ................................. 58

10 Rataan nilai hematologi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin ....................................................... 62

11 Rataan persentase diferensiasi sel darah putih monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin ................... 74

12 Rataan konsumsi pakan, bobot badan dan indeks massa tubuh (IMT) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin ......................................................................................... 80

13 Rataan konsumsi nutrien (g/ekor/hari) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin .................................. 87

14 Rataan kecernaan bahan kering (KCBK) (g/ekor/hari) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin...... 89

15 Rataan koefisien kecernaan, TDN dan energi metabolisme monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin...... 93

16 Rataan lama aktivitas dan frekuensi ingestif, eliminasi, sosial dan lokomosi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin............................................................................. 98

17 Matriks korelasi antara bobot badan dan hematologi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang diintervensi nikotin ........................................ 110

18 Matriks korelasi antara bobot badan dan frekuensi tingkah laku monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang diintervensi nikotin ................... 111

19 Matriks korelasi antara kecernaan nutrien dan hematologi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang diintervensi nikotin ........................... 112

20 Matriks korelasi antara kecernaan nutrien dan frekuensi tingkah laku monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang diintervensi nikotin ...... 114

21 Matriks korelasi antara hematologi dan frekuensi tingkah laku monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang diintervensi nikotin ................... 115

xiii

Page 15: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pemikiran .................................................................................... 5

2 Struktur kimia nikotin ................................................................................. 12

3 Skema aksi leptin. ....................................................................................... 21

4 Skema aksi umpan balik dari leptin. ........................................................... 22

5 Mekanisme molekular termogenesis pada jaringan adiposit coklat. ........... 24

6 Skema tahapan katabolisme haemoglobin. ................................................. 35

7 Evaluasi kuantitatif sel darah merah. .......................................................... 36

8 Pencernaan lemak........................................................................................ 42

9 Pencernaan protein. ..................................................................................... 44

10 Pencernaan karbohidrat. .............................................................................. 45

11 Riwayat penggunaan MEP sebagai hewan percobaan ................................ 52

12 Bagan alir penelitian penggunaan MEP ...................................................... 53

13 Histogram perubahan nilai sel darah merah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin ................... 63

14 Histogram perubahan kadar hemoglobin monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin .................................. 65

15 Histogram perubahan konsentrasi hematokrit monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin ................... 67

16 Histogram perubahan konsentrasi MCV (Mean Corpuscular Volume) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin ......................................................................................... 68

17 Histogram perubahan konsentrasi MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin............................................................................. 69

18 Histogram perubahan konsentrasi MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin ....................................................... 70

19 Histogram perubahan konsentrasi platelet monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin .................................. 71

20 Histogram perubahan konsentrasi sel darah putih monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin ................... 73

21 Histogram perubahan konsentrasi netrofil monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin .................................. 75

22 Histogram perubahan konsentrasi limfosit monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin .................................. 76

xiv

Page 16: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

xvi

23 Histogram perubahan konsentrasi eosinofil monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin ................... 78

24 Histogram perubahan konsentrasi monosit monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin .................................. 79

25 Histogram rataan konsumsi pakan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin .................................. 81

26 Histogram rataan bobot badan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin .................................. 83

27 Histogram rataan IMT monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin ....................................................... 84

28 Histogram rataan TDN monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin ....................................................... 95

29 Histogram rataan energi termetabolisme monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin .................................. 96

30 Histogram frekuensi tingkah laku makan monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin ...................................................................... 99

31 Histogram frekuensi tingkah laku minum monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin ...................................................................... 100

32 Histogram frekuensi tingkah laku sosial (menatap) monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin ....................................................... 103

33 Histogram frekuensi tingkah laku sosial (self grooming) monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin .......................................... 104

34 Histogram persentase tingkah laku sosial (kontak/sentuhan) monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin .......................................... 106

35 Histogram persentase tingkah laku sosial (agonistik) monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin .......................................... 107

36 Histogram persentase tingkah laku lokomosi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin ................... 108

xv

Page 17: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Surat persetujuan ACUC ............................................................................. 131

xvi

Page 18: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Obesitas atau kegemukan merupakan kondisi kelebihan bobot badan akibat

penimbunan lemak yang melebihi 20% pada pria dan 25% pada wanita dari bobot

badan normal. Kondisi tersebut diakibatkan peningkatan asupan makanan

sehingga menimbulkan kelebihan masukan energi sedangkan aktivitas tubuh

berkurang, hal ini menyebabkan energi yang dikeluarkan juga sedikit. Penurunan

penggunaan energi tersebut menyebabkan obesitas. Obesitas menimbulkan efek

yang berhubungan dengan kualitas hidup dan dianggap sebagai salah satu faktor

utama dalam perkembangan penyakit kronis seperti diabetes dan kardiovaskular

yaitu resiko munculnya penyakit jantung koroner, strok, hipertensi,

hiperlipidemia. Disamping itu juga dapat menimbulkan penyakit hati dan kantung

empedu, osteoarthritis, kanker dan penyakit saluran pernafasan.

Kejadian obesitas dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti genetik,

perilaku (gaya hidup), lingkungan, psikologis, sosial dan budaya. Badan

Kesehatan Dunia (WHO, The World Health Organization 2005) melaporkan

bahwa pada tahun 2005 di seluruh dunia terdapat 1,6 miliar orang dewasa (15

tahun keatas) mengalami overweight dan sedikitnya 400 juta diantara mengalami

obesitas, dan diproyeksikan pada tahun 2015 akan mengalami peningkatan sekitar

2,3 miliar orang dewasa akan mengalami overweight dan 700 juta diantaranya

akan mengalami obesitas. Peningkatan ini selain akibat dari perubahan pola diet

dalam makanan yang memiliki kadar lemak dan karbohidrat tinggi tetapi rendah

vitamin, mineral dan mikronutrien lainnya juga disebabkan karena adanya

kecenderungan penurun aktivitas fisik dalam bentuk kerja dan mobilisasi terutama

bentuk transportasi yang digunakan.

Selain itu pula, pola diet dengan protein yang tinggi serta adanya

kecenderungan penurunan aktivitas fisik dalam waktu yang cukup lama akan

menimbulkan resiko terjadinya obesitas. Hal ini sangat beralasan karena konsumsi

makanan yang lebih banyak mengandung protein dalam diet dibanding dalam

jaringan tubuh maka akan langsung digunakan sebagai energi, dan kelebihan

protein tersebut disimpan dalam bentuk lemak atau dengan kata lain bahwa

Page 19: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

2

terdapat batas tertinggi jumlah protein yang dapat tertimbun dalam setiap jenis sel

tertentu dan bila sel telah mencapai batas tersebut maka setiap penambahan asam

amino dalam cairan tubuh akan dipecah dan digunakan sebagai energi atau

disimpan sebagai lemak.

Perhatian yang besar terhadap obesitas ini sangat wajar karena efeknya yang

kompleks, disamping itu juga dapat terjadi pada berbagai kelompok usia dan jenis

kelamin. Selain masalah emosional dan psikologis, obesitas juga berdampak pada

masalah fisiologis. Efek yang kompleks tersebut dapat menyebabkan perubahan

tingkah laku misalnya pergerakan yang lamban, berkurangnya kepercayaan diri

yang berkaitan dengan penampilan fisik, juga menyebabkan perubahan nilai

hematologi. Dari beberapa penelitian, kejadian obesitas berkorelasi positif dengan

level leptin, insulin, konsentrasi glukosa dan trigliserida serta nilai hematologi

seperti konsentrasi hemoglobin, nilai hematokrit, konsentrasi hematokrit dalam sel

darah merah (MCV, mean corpuscular volume) dan jumlah sel darah merah.

Berbagai cara yang dilakukan untuk mengatasi dan menurunkan obesitas

antara lain diet yang ketat, aktivitas fisik dan modifikasi perilaku. Disamping itu,

berbagai penelitian untuk mengetahui penyebab obesitas dan cara penanganan

serta mekanisme pengobatan akibat sindrom metabolik ini dilakukan melalui

penggunaan hewan model baik rodensia dan maupun satwa primata seperti

monyet rhesus (Macaca mulatta), beruk (Macaca nemestrina), monyet bonnet

(Macaca radiata), baboon (Papio hamadryas), maupun monyet ekor panjang

(Macaca fascicularis).

Penggunaan obat altenatif untuk mengatasi dan menurunkan obesitas

menjadi pilihan seperti halnya penggunaan nikotin. Nikotin sebagai senyawa yang

secara alamia ditemukan pada tembakau sering dikonotasikan negatif karena

menimbulkan ketergantungan dan bahkan dapat menimbulkan kematian bila

digunakan pada dosis yang tidak tepat. Sebaliknya, nikotin juga memiliki efek

farmakoterapi mengurangi dan menambah nafsu makan bila digunakan pada dosis

yang tepat. Penggunaan nikotin dalam dosis rendah menyebabkan efek pada

peningkatan konsumsi sehingga dapat menimbulkan kelebihan bobot badan dan

disisi lain, penggunaan dalam dosis yang tinggi menyebabkan penurunan

konsumsi sehingga menimbulkan penurunan bobot badan namun penggunaan

Page 20: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

3

dalam dosis yang tinggi tersebut dapat menimbulkan masalah bagi kesehatan.

Efek nikotin pada penurunan bobot badan yakni adanya sistem penyampaian pada

neurotransmitters di otak untuk mengurangi kebutuhan akan asupan energi.

Disamping itu pula eksposur dalam jangka panjang pada regulasi metabolisme

dapat mengubah modulasi cannabinoid yang berperan dalam metabolisme dan

pengeluaran energi sehingga dapat menurunkan bobot badan. Selain itu, nikotin

memiliki efek langsung pada metabolisme jaringan adipose (leptin, ghrelin dan

neuropeptide Y) merupakan faktor yang terlibat dalam hubungan antara nikotin

dan indeks massa tubuh. Disamping itu pula, nikotin juga membantu

meningkatkan konsentrasi dan daya ingat, meningkatkan perasaan senang

terutama pada penyakit alzeimer dan parkinson serta mengurangi stres.

Adanya manfaat positif dari nikotin dan masih belum banyaknya penelitian

yang mengarah pada manfaat nikotin sebagai terapi obesitas, maka informasi

tentang manfaat nikotin penelitian perlu dilakukan dengan menggunakan hewan

model monyet ekor panjang (MEP) yang telah obesitas.

Pemanfaatan monyet ekor panjang sebagai hewan model karena secara

anatomis dan fisiologis MEP memiliki kemiripan dengan manusia dibandingkan

dengan hewan model lainnya. Disamping itu juga adanya kedekatan hubungan

filogenetik dan perbedaan evolusi yang pendek menjadikan MEP merupakan

hewan model yang sesuai untuk penelitian biomedis. Disamping itu gejala

obesitas pada monyet khususnya monyet ekor panjang (MEP) memiliki kemiripan

dengan pola obesitas seperti yang terjadi pada manusia yakni kesamaan pola

ekspresi hormon yang terlibat dalam obesitas (hormon adipocyte) yakni leptin dan

adiponectin. Kesamaan ini juga terjadi pada nilai level insulin, protein total,

glukosa, kolesterol total dan trigliserida serta persentase lemak tubuh maupun

nilai hematologi. Kesamaan secara morfometrik yakni adanya perubahan pada

lingkar pinggang, lingkar pinggul, lingkar dada serta lingkar lengan, adanya

penimbunan lemak di sekitar perut merupakan penciri obesitas pada manusia.

Dengan pola kesamaan tersebut menjadikan monyet ekor panjang sebagai hewan

model yang baik untuk penelitian obesitas pada manusia.

Dilaporkan sebelumnya bahwa kejadian obesitas memiliki korelasi dengan

nilai hematologi termasuk juga halnya dengan tingkah laku dan nilai kecernaan.

Page 21: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

4

Oleh karena itu penelitian ini difokuskan pada pengamatan nilai hematologi, nilai

kecernaan dan tingkah laku monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) jantan

pada kondisi obes yang diintervensi dengan nikotin.

Tujuan Penelitian

1. Untuk mendapatkan informasi perkembangan nilai hematologi monyet ekor

panjang obes sebelum dan sesudah diintervensi dengan nikotin.

2. Untuk mendapatkan informasi pemanfaatan nutrien pada monyet ekor panjang

obes sebelum dan sesudah diintervensi dengan nikotin.

3. Untuk mendapatkan informasi kondisi tingkah laku monyet ekor panjang obes

sebelum dan sesudah diintervensi dengan nikotin.

Hipotesis

1. Intervensi nikotin dapat menyebabkan perbaikan kondisi fisiologis melalui

perubahan nilai hematologi pada monyet ekor panjang.

2. Intervensi nikotin menyebabkan perbaikan metabolisme nutrisi melalui

perubahan nilai kecernaan pada monyet ekor panjang.

3. Intervensi nikotin menyebabkan adanya perubahan nilai pakan dan nilai

hematologi yang berakibat pada terjadinya perubahan tingkah laku monyet

ekor panjang.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini dapat memberikan informasi

mengenai intervensi nikotin cair untuk mengurangi resiko sindrom metabolik,

sehingga dapat dijadikan alternatif pengobatan pada penderita obes.

Kerangka Pemikiran

Skema kerangka pikir penelitian disajikan pada Gambar 1.

Page 22: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

5

Skema kerangka Pemikiran

Gambar 1 Kerangka pemikiran

Hipotesis: 1. Kondisi fisiologis 2. Metabolisme nutrisi 3. Tingkah laku

Masalah Obesitas (Sindrom metabolik)

Sebab: Genetik, perilaku (gaya hidup), lingkungan, psikologi, sosial dan budaya

Pemecahan Masalah Obesitas

Pencegahan: Diet ketat, perubahan aktivitas fisik dan modifikasi perilaku hidup

Pengobatan:

Akibat: Penurunan kualitas hidup, dan penyebab penyakit kronis (diabetes dan kardiovaskular)

Penelitian

Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Obes

(BMI= 23,50) A (n=5)

Intervensi Nikotin Cair (0,75 mg/kg bobot badan/12 jam)

(BMI= 26,85) B (n=5)

(BMI= 23,65) C (n=5)

Nikotin Obat-obatan

+

Analisis deskriptif dan Anova

Peubah: Fisiologis - Hematologi (Hb, Hct, SDM, SDP, platelet,

diferensiasi SDP dan indeks SDM) Metabolisme - Kecernaan (PBB, konsumsi pakan harian,

kecernaan bahan kering dan bahan kering organik, konsumsi nutrien, koefisien kecernaan, energi termetabolisme dan TDN

Tingkah laku - Ingestif (makan dan minum) - Eliminasi (defekasi dan urinasi) - Sosial (kontak, autogrooming, agonistik,

menatap) - Lokomosi

Rekomendasi

Hewan Model

Page 23: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

6

TINJAUAN PUSTAKA

Obesitas

Obesitas adalah kelebihan bobot badan sebagai akibat dari penimbunan

lemak tubuh yang berlebihan. Obesitas sering disamakan dengan overweight,

padahal keduanya berbeda walaupun sama-sama menggambarkan kelebihan bobot

badan. Overweight adalah kondisi dimana bobot badan melebihi bobot badan

normal. Sedangkan obesitas adalah kondisi kelebihan bobot badan akibat

penimbunan lemak melebihi 18–23% (rata-rata 20%) pada pria dan 25–30% (rata-

rata 25%) pada wanita dari bobot badan (Drewnowski dan Specter 2004; Sylvia

1998).

Obesitas dan overweight dapat terjadi pada berbagai kelompok usia dan

jenis kelamin. Juvenile obesity, misalnya adalah obesitas yang terjadi pada usia

muda (anak-anak). Orang yang menderita kegemukan pada usia muda memiliki

resiko yang lebih tinggi menderita obesitas pada saat dewasa dibandingkan

dengan orang yang memiliki bobot badan normal. Sementara itu, wanita terutama

pada pascamonopause memiliki resiko mengalami obesitas tiga kali lebih besar

daripada pria (Sylvia 1998).

Berdasarkan distribusi lemak di dalam tubuh, ada dua jenis bentuk tubuh.

Pertama, bentuk android (bentuk apel) adalah bentuk tubuh akibat timbunan

lemak pada pinggang, rongga perut (visceral) dan bagian atas perut. Bentuk tubuh

android lazim ditemukan pada pria. Timbunan lemak di bagian perut dapat

mengakibatkan obesitas abdominal atau obesitas sentral. Kedua, bentuk gynecoid

(bentuk pir), yaitu bentuk tubuh akibat tumpukan lemak di bagian bawah perut

seperti pinggul, pantat, dan paha. Bentuk tubuh ini umumnya dialami oleh wanita.

Selain itu juga dikenal obesitas hipertropik (hypertrophic obesity) yang

diakibatkan oleh meningkatnya kandungan lipid adiposit. Obesitas hipertropik

umumnya menimpa orang dewasa (Sylvia 1998; Adam 2006).

Obesitas hiperplastik-hipertropik (hyperplastic-hypertrophic obesity) terjadi

akibat meningkatnya jumlah sel lemak dan kandungan lipid sel lemak. Obesitas

jenis ini umumnya dialami oleh orang yang sejak usia muda sudah gemuk.

Page 24: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

7

Obesitas anak-anak (juvenile obesity) adalah hiperplastik (bertambahnya jumlah

sel) (Sylvia 1998).

Cara yang paling mudah untuk mengetahui obesitas yakni dengan

menghitung indeks massa tubuh (body mass index). Indeks massa tubuh (IMT)

dihitung dengan cara membagi bobot badan (kg) dengan kuadrat tinggi badan (m).

Badan kesehatan dunia (WHO, World Health Organization) telah mengeluarkan

kategori IMT yang cocok untuk masyarakat Asia (Tabel 1).

Tabel 1 Klasifikasi IMT menurut WHO

Kategori IMT (kg/m2) Riseko penyakit Kurus (underweight) Normal (Ideal) Overweight: Pre obes Obes I Obes II

<18,5 18,5–22,9 ≥23,0

23,0–24,9 25,0–29,9 ≥30,0

Rendah Rata-rata

Meningkat

Sedang Berbahanya

Menurut : World Health Organization’s diacu dalam Racette et al. 2003.

Faktor-faktor Penyebab Obesitas dan Dampaknya pada Kesehatan

Beberapa faktor utama penyebab kegemukan yaitu genetik, lingkungan,

psikologis, sosial, budaya, makanan dan perilaku (gaya hidup) (Jequier dan Tappy

1999; Racette et al. 2003; Misra dan Khurana 2008).

Dua faktor terakhir adalah faktor yang dapat dimodifikasi untuk

menurunkan bobot badan. Anak yang memiliki orang tua yang menderita

kegemukan atau obesitas akan memiliki kemungkinan untuk menderita

kegemukan atau obesitas yang lebih tinggi daripada anak yang orang tuanya tidak

obes. Kemungkinan tersebut menjadi lebih besar apabila kedua orang tuanya

menderita obesitas (Jequier dan Tappy 1999).

Terjadinya obesitas melibatkan beberapa faktor (Yang et al. 2007;

Christakis dan Fowler 2007; Zametkin et al. 2004)

1. Faktor genetik. Obesitas cenderung diturunkan, sehingga diduga memiliki

penyebab genetik. Tetapi anggota keluarga tidak hanya berbagi gen, tetapi

juga makanan dan kebiasaan gaya hidup, yang bisa mendorong terjadinya

obesitas. Seringkali sulit untuk memisahkan faktor gaya hidup dengan faktor

genetik. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa faktor genetik memberikan

Page 25: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

8

pengaruh sebesar 6–85% terhadap bobot badan seseorang dan tergantung

populasi yang diteliti (Yang et al. 2007).

2. Faktor lingkungan. Gen merupakan faktor yang penting dalam berbagai kasus

obesitas, tetapi lingkungan seseorang juga memegang peranan yang cukup

berarti. Lingkungan ini termasuk perilaku/pola gaya hidup (misalnya apa yang

dimakan dan berapa kali seseorang makan serta bagaimana aktivitasnya).

Seseorang tentu saja tidak dapat mengubah pola genetiknya, tetapi dia dapat

mengubah pola makan dan aktivitasnya (Christakis dan Fowler 2007).

3. Faktor psikis. Apa yang ada didalam pikiran seseorang bisa mempengaruhi

kebiasaan makannya. Banyak orang yang memberikan reaksi terhadap

emosinya dengan makan.

Salah satu bentuk gangguan emosi adalah persepsi diri yang negatif.

Gangguan ini merupakan masalah yang serius pada banyak wanita muda yang

menderita obesitas, dan bisa menimbulkan kesadaran yang berlebihan tentang

kegemukannya serta rasa tidak nyaman dalam pergaulan sosial (Zametkin et

al. 2004).

Ada dua pola makan abnormal yang bisa menjadi penyebab obesitas yaitu

makan dalam jumlah sangat banyak (binge) dan makan di malam hari (sindroma

makan pada malam hari). Kedua pola makan ini biasanya dipicu oleh stres dan

kekecewaan. Binge mirip dengan bulimia nervosa, seseorang makan dalam

jumlah sangat banyak, bedanya pada binge hal ini tidak diikuti dengan

memuntahkan kembali apa yang telah dimakan. Sebagai akibatnya kalori yang

dikonsumsi sangat banyak. Pada sindroma makan pada malam hari, adalah

berkurangnya nafsu makan di pagi hari dan diikuti dengan makan yang

berlebihan, agitasi dan insomnia pada malam hari (Haslam dan James 2005).

Akibat faktor genetik akan meningkatkan kerentanan seseorang menderita

obesitas ketika dia terpapar pada keadaan lingkungan yang mendorongnya untuk

mengalami keseimbangan energi positif. Ada beberapa gen yang diketahui

berkaitan dengan obesitas. Gen yang banyak mendapat perhatian para ahli dewasa

ini adalah ob (obese) gen, studi pada hewan menunjukkan bahwa ob protein leptin

merupakan suatu produk gen yang dapat mengendalikan asupan pangan dan

pengeluaran energi. Tanpa leptin, tikus percobaan mengkonsumsi pakan secara

Page 26: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

9

tak berlebih (tak terkendali) yang menghasilkan fenotipe yang obes. Mekanisme

pengaturan bobot badan tubuh oleh leptin diduga melalui 2 cara, yaitu

menurunkan asupan pangan dan meningkatkan pengeluaran energi (Jequier,

Tappy 1999).

Ahima et al. (1996) menyatakan bahwa leptin merupakan suatu hormon

yang disekresikan oleh jaringan adipose, memiliki peran penting pada pengaturan

asupan pangan dan termogenesis manusia. Leptin memberi isyarat status gizi dan

tingkat simpanan energi ke pusat rangsangan asupan pangan (Feeding center)

melalui aksinya pada ekspresi dan pelepasan neuropeptida orexigenic dan

anorexigenic. Chen et al. (2002) bahwa leptin menyediakan informasi ke pusat

saraf dalam mengatur tingkah laku makan, nafsu makan dan pengeluaran energi.

Dan telah dilaporkan bahwa pada manusia, leptin berhubungan erat dengan

konsumsi tubuh yakni berat tubuh dan total berat lemak tubuh. Hasil penelitian

Chen et al. (2002) bahwa obesitas berhubungan dengan peningkatan sintesis dan

sekresi leptin dari adiposit, tingginya resiko diabetes mellitus dan tingginya level

hematosit. Dari hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat kesamaan pola

tersebut antara manusia dan cynomolgus monkeys (monyet ekor panjang),

sehingga monyet ekor panjang merupakan hewan model yang baik untuk

penelitian obesitas pada manusia. Hal ini didukung oleh Putra et al. (2006) bahwa

gejala obesitas pada monyet, khususnya monyet ekor panjang (MEP) memiliki

kemiripan dengan pola obesitas seperti yang terjadi pada manusia yakni dengan

adanya penimbunan lemak di sekitar perut.

Pola makan memberikan andil yang besar terhadap kegemukan atau

obesitas. Pola makan yang tinggi kalori dan lemak menyebabkan keseimbangan

energi yang positif (terjadi penimbunan energi dalam bentuk lemak). Hal ini dapat

diperberat dengan kurangnya aktivitas fisik (Siagian 2006). Perubahan tingkah

laku pada individu yang sedikit melakukan aktivitas cenderung lebih mudah

terjadinya obesitas bila dibandingkan dengan individu yang banyak melakukan

aktivitas dan cenderung tidak terjadi obesitas (Racette et al. 2003).

Diet berprotein tinggi dan karbohidrat rendah memiliki efek jangka panjang

yang tidak baik (Siagian 2006). Larosa et al. (1980) menunjukkan bahwa

pemberian diet berprotein tinggi dan karbohidrat rendah selama 12 minggu

Page 27: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

10

berdampak pada meningkatnya uric acid dan low-density lipoprotein (LDL)

cholesterol. Guyton (1996) bahwa bila seseorang mempunyai lebih banyak

protein dalam dietnya daripada yang ada dalam jaringannya maka akan langsung

digunakan sebagai energi dan kelebihan protein tersebut akan disimpan dalam

bentuk lemak. Hal ini karena terdapatnya batas tertinggi jumlah protein yang

dapat tertimbun dalam setiap jenis sel tertentu. Dan bila sel telah mencapai batas

tersebut maka setiap penambahan asam amino dalam cairan tubuh dipecahkan dan

digunakan untuk energi atau disimpan sebagai lemak.

Plantenga et al. (2001) melakukan penelitian pada laki-laki dewasa untuk

melihat pengaruh leptin pada nafsu makan dan pengeluaran energi. Kelompok

perlakuan menerima leptin injeksi mingguan dan kelompok placebo. Dari hasil

yang diperoleh bahwa kelompok yang mendapatkan leptin mengalami nafsu

makan atau rasa lapar yang menurun dibandingkan dengan kelompok placebo,

disamping itu pula pemberian leptin selama 12 minggu menurunkan bobot badan

sebesar rata-rata 4,3 dan 6,4 kg, masing-masing untuk kelompok perlakuan dan

placebo. Dan disimpulkan bahwa penanganan obesitas dengan pemberian leptin

dapat menurunkan nafsu makan, bukan bobot badan. Mars et al (2005)

menemukan bahwa konsentrasi leptin puasa menurun pada pembatasan asupan

energi jangka pendek. Karena konsentrasi glukosa rendah akibat dari pembatasan

asupan energi, konsentrasi insulin juga menurun selama masa pembatasan asupan

energi.

Chen et al. (2002) melaporkan bahwa kejadian obesitas sebagai bentuk

ketidakseimbangan antara energi yang masuk dan yang digunakan, kelebihan

energi yang tidak digunakan akan disimpan dalam bentuk lemak. Pada manusia

hal ini dapat dilihat dari nilai kimia darah yakni adanya peningkatan kolesterol,

trigliserida dan asam lemak bebas. Disisi lain bahwa nilai darah penting untuk

dipertimbangkan dalam mengontrol nafsu makan dan metabolisme.

Selain menyebabkan masalah emosional dan psikologis, misalnya

berkurangnya kepercayaan diri berkaitan dengan penampilan fisik, obesitas juga

berdampak pada masalah fisiologis, yaitu meningkatnya resiko menderita

berbagai jenis penyakit (Pi-Sunyer 2002). Jia dan Lubetkin (2005), obesitas dapat

menyebabkan penyakit kronis. Lebih lanjut Pi-Sunyer (2002), obesitas cenderung

Page 28: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

11

menjadi diabetogenik (menyebabkan diabetes), terutama apabila sudah

berlangsung lama. Obesitas meningkatkan resiko menderita penyakit jantung

koroner, hiperlipidemia, penyakit hati dan kantung empedu, osteoarthritis, kanker

dan penyakit saluran pernafasan. Disamping itu menyebabkan diabetes Tipe 2,

hipertensi, strok, gagal jantung, gout, apneu (kegagalan bernafas secara normal

ketika sedang tidur menyebabkan berkurangnya kadar oksigen dalam darah)

maupun sindrom pickwickian (obesitas disertai wajah kemerahan, underventilasi

dan ngantuk) (Haslam dan James 2005).

Obesitas yang paling berbahaya adalah obesitas abdominal (timbunan lemak

di sekitar rongga perut). Cara sederhana untuk mengetahui adanya obesitas

abdominal adalah dengan mengukur panjang lingkar pinggang (waist

circumference). Untuk masyarakat Asia, obesitas abdominal dianggap beresiko

menderita penyakit apabila panjang lingkar pinggangnya ±80 cm pada wanita dan

±90 cm untuk pria (WHO 2000).

Aspek Farmakologi dan Efek Nikotin sebagai Obat

Struktur Kimia Nikotin

Nikotin merupakan hasil metabolisme sekunder yang tergolong dalam

alkaloid sejati. Alkaloid sejati dicirikan oleh senyawa nitrogen yang membentuk

bagian dari sistem cincin heterosiklik dan disintesis dari prekursor asam amino.

Alkaloid semu mengandung cincin heterosiklik nitrogen yang disintesis dari

prekursor selain asam amino. Alkaloid tembakau; nikotin, anabasin dan anatabin

disintesis dari asam nikotinik. Sintesis cincin pirolidin dari nikotin melibatkan

putrescin bebas. Enzim yang berperan dalam sintesis pirolidin adalah ornitin

dekarboksilase, putrescine N-methyltransferase dan N-methyl putrescine oksidase

(Mann 2001).

Struktur kimia nikotin menurut Hukkanen et al.( 2005) disajikan pada

Gambar 2.

Page 29: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

12

Gambar 2 Struktur kimia nikotin (Hukkanen et al. 2005)

Nikotin memiliki nama kimia (S)-3-(1-methyl-2-pyrrolidinyl)pyridine,

dengan rumus kimia C10H14N2 dan kepadatan 1,01 g/ml serta titik didih 247°C

(477°F). Nikotin ditemukan secara alami dalam tembakau (Nicotiana tabacum,

Nicotiana rustica dan Nicotiana petunioides) dengan kandungan 0.5–8% dari

berat kering tembakau yang berasal dari hasil biosintesis di akar dan

diakumulasikan di daun. Nikotin merupakan racun syaraf yang potensial dan

digunakan sebagai bahan baku berbagai jenis insektisida (IPCS ICHEM 1991).

Ada tiga masalah yang perlu diperhatikan tentang nikotin dari segi

farmakologinya yakni absorpsi nikotin, keracunan nikotin dan daya kerja nikotin.

Hal ini karena nikotin dapat diserap melalui kulit, saluran pernafasan dan saluran

pencernaan yang bernuansa basa (Gilman el al. 1980). Keracunan dapat terjadi

karena pemakaian dosis yang kurang tepat dalam arti terlalu tinggi. Dengan

kontrol yang ketat dan berhati-hati dalam pemakaian dosis, efek buruk nikotin

dapat diatasi (Jones 1974). Gilman el al. (1980) bahwa pada dosis rendah, nikotin

akan merangsang aktivitas urat syaraf dan otot-otot licin, tetapi pada dosis tinggi

nikotin memblokir aktivitas organ-organ tersebut.

Efek Nikotin sebagai Obat

Nikotin sendiri merupakan obat yang manjur dan secara addictive juga

dapat membantu meringankan gejala mental seperti parkinson dan Alzheimer dan

depresi. Nikotin memiliki efek terapeutik dan dimasa mendatang, nikotin (bukan

rokok) akan menjadi resep dokter untuk meringankan berbagai gejala penyakit

skizofrenia dan alzeimer. Para ilmuwan dan dokter masih hati-hati untuk

membicarakan tentang potensi keunggulan nikotin, karena resiko menggunakan

Page 30: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

13

tembakau lebih penting dari keuntungannya. Nikotin dapat membantu dalam

meningkatkan konsentrasi dan daya ingat “tetapi merokok merupakan cara yang

berbahaya untuk memperoleh obat (nikotin)” (JRHF 2004). Sahakian et al. (1989)

melakukan penelitian tentang efektivitas nikotin pada penderita alzheimer dan

hasil yang diperoleh bahwa nikotin secara signifikan meningkatkan kepekaan dan

daya ingat. Disimpulkan bahwa nikotin bertindak pada cortical yang terlibat

dalam mekanisme visual untuk persepsi dan perhatian dan juga merupakan

acetylcholine transmissionmodulates kewaspadaan dan diskriminasi.

Nikotin juga dapat bermanfaat sebagai obat cacing, Karo-Karo (1990)

melakukan penelitian efektivitas nikotin sebagai obat cacing pada kambing dan

hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis nikotin (310,5 mg dalam 33 ml

ekstrak) mengendalikan telur cacing sebesar 78%.

Nikotin dapat dijadikan sebagai obat radang usus besar, selain itu nikotin

dapat memperkuat syaraf pada hippocampus (struktur otak) yang berperan dalam

proses belajar dan daya ingat (JRHF 2004). Pada dosis yang rendah nikotin

memiliki efek merangsang, meningkatkan aktivitas, kewaspadaan dan daya ingat.

Dosis mematikan pada nikotin yang dilaporkan dapat membunuh 50% populasi

adalah 50 mg/kg bobot badan untuk tikus dan 3 mg/kg bobot badan untuk mencit

(IPCS ICHEM 1991).

Tembakau, juga digunakan untuk membuat obat anti malaria dan ini dapat

menjadi bukti sebagai sumber therapies murah disamping itu tanaman tembakau

telah diuji di laboratorium sebagai obat yang dapat digunakan untuk penyakit

Goucher. Dosis yang tepat, nikotin adalah obat dan dapat memberikan beberapa

keuntungan. Nikotin memiliki efek positif pada ulcerative colitis (peradangan

pada usus besar), yang merupakan peradangan pada lapisan perut, meningkatkan

DHEA yang merupakan hormon seks yang meningkatkan semangat hidup dan

membantu menurunkan bobot badan (JRHF 2004).

Nikotin juga digunakan sebagai agen theraupetik pasca merokok akibat

ketergantungan dalam bentuk nikotin gum, nasal spray, dan nikotin transdermal

(Berrettini dan Lerman 2005). Efek nikotin yang diakui oleh organisasi

kedokteran internasional sebagai pembawa sifat kecanduan. Nikotin memenuhi

kriteria penyebab kecanduan atau ketergantungan seperti dorongan penggunaan

Page 31: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

14

yang kuat meskipun ada hasrat dan upaya berulang-ulang untuk berhenti;

pengaruh-pengaruh psikoaktif akibat bekerjanya zat-zat ini pada otak dan

perilaku-perilaku yang dimotivasi oleh efek-efek “penguatan” zat psikoaktif

(Chaloupka 2000).

Nikotin dalam bentuk “nicotine lozenge” menunjukkan hasil yang

bermanfaat dalam membantu untuk keluar dari merokok tembakau. Penggunaan

4-mg nicotine lozenge menjanjikan untuk perawatan klinis dan adanya gejala

penarikan keinginan yang terkait dengan merokok tembakau pada perokok yang

akan berhenti merokok tembakau. Namun penelitian ini belum menyelidiki

kemanjuran dari nikotin lozenges yang diperlukan (Ebbert et al. 2007).

Hasil yang berbeda dari Rubinstein et al. (2008) bahwa penggunaan nikotin

nasal spray akan efektif dijadikan sebagai therapi untuk berhenti merokok bila

ada keinginan dari penggunanya untuk berhenti merokok. Arabi (2006) bahwa

terapi penggantian nikotin yang aman dan lebih dikontrol dapat beresiko tinggi

pada perokok tembakau jika therapi penggantian nikotin gagal dilakukan.

Nikotin telah diakui selama bertahun-tahun sebagai pharmacologically

bertanggung jawab sebagai efek perangsang merokok. Efek dari nikotin pada

aliran darah myocardial belum diketahui. Argaca et al. (2007) menguji pengaruh

nikotin yang dapat mengganggu aliran darah myocardial yang merupakan resiko

penyakit arteri koroner. Hasil yang diperoleh, nikotin meningkatkan tekanan

darah sistolik dari 129±7 menjadi 134±7mmHg dan denyut jantung dari 67±2

menjadi 69±2 bpm. Nikotin cenderung meningkatkan aliran darah myocardial

pada bagian arteri. Nikotin yang diberikan pada perokok dengan resiko

kardiovaskuler yang tinggi meningkatkan kerja myocardial walaupun

autoregulation aliran darah myocardial dalam keadaan istirahat.

Nikotin meningkatkan densitas kapiler di ischemic hind-limb seperti bFGF

(Basic Fibroblast Growth Factor). Nikotin juga meningkat nilai angiographic,

nilai tekan darah calf, intra-arterial Doppler flow, dan distribusi microsphere.

Secara in vitro, nikotin merangsang adhesi dan transmigrasi monocyte. Nikotin

meningkatkan molekul ekspresi adhesion monocyte (CD11b dan CD11a), ekspresi

molekul adhesion endothelial intercellular adhesion molecule-1 dan endothelial

monocyte chemoattractant protein-1 menjadi dua sampai tiga kali lipat. Dan

Page 32: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

15

dalam jangka pendek, nikotin promote angiogenesis dan arteriogenesis berperan

dalam pengaturan ischemia. Efek dari nikotin ini adalah sebagai media aktivasi

interaksi endothelialmonocyte yang terlibat dalam arteriogenesis (Heeschen et al.

2003).

Ford dan Zlabek (2005) bahwa terapi nikotin pengganti adalah therapi

efektif untuk berhenti merokok. Hasil yang diperoleh bahwa nikotin pengganti

tidak meningkatkan aktivitas kardiovaskular.

Distribusi Nikotin dalam Jaringan Tubuh

Nikotin masuk ke dalam tubuh dapat melalui tiga cara yakni saluran

pernafasan, saluran pencernaan dan melalui kulit. Nikotin memiliki daya larut

yang tinggi baik pada kondisi polar dan non polar, dengan berat molekul yang

rendah (162,2 g/mol) membuatnya dapat terserap secara efisien. Pada dosis yang

tinggi 30-60 mg/kg bobot badan untuk orang dewasa dapat menyebabkan toksit

dan dapat memberikan efek kematian (Gosselin et al. 1984 diacu dalam Zorin et

al. 1999). Dan dilaporkan bahwa penyerapan pada kulit dengan dosis yang berarti

menimbulkan efek memabukan, muntah-muntah, meradang, dan dengan gejala

keracunan serius. Keadaan tersebut menyebabkan nikotin perlu penanganan yang

hati-hati sebelum digunakan (Zorin et al. 1999).

Nikotin masuk ke darah melalui sirkulasi pulmonal, tidak melewati vena

porta dan vena sistemik. Waktu yang dibutuhkan antara merokok sampai

masuknya nikotin ke otak lebih pendek daripada bila dimasukkan secara intravena

yaitu 7–9 detik. Nikotin masuk secara cepat ke otak kemudian turun secara cepat

setelah beredar ke seluruh jaringan tubuh. Ekskresi nikotin di ginjal tergantung

pada pH aliran urin sebanyak 35–80% berupa metabolit primer kotinin dan

nikotin-N-oksid. Kedua zat ini mempunyai efek farmakologis (Yano 2005).

Kandungan nikotin pada tembakau tanpa asap (smokless tabacco) akan meningkat

jika berada dalam mulut selama 30 menit yakin sekitar 3,6 mg dari 2,5 g pada

tembakau sedotan dan 4,6 g nikotin dari 7,9 tembakau sugi (chewing tabbaco).

Umumnya tembakau sugi, sedotan dan permen karet nikotin pH-nya dapat diubah

menjadi alkali sehingga dapat direabsorbsi melalui membran mukosa mulut dan

kadarnya dalam darah akan meningkat selama 30 menit dan akan menetap serta

Page 33: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

16

mengalami penurunan setelah 2 jam lebih tergantung pada besar dosisnya (Fenster

et al. 1997).

Daya serap nikotin melalui kulit dan melalui glove (sarun tangan) nitril

dilaporkan oleh Zorin et al. (1999), hasil yang diperoleh bahwa waktu yang

diperlukan nikotin untuk masuk ke dalam tubuh melalui kulit bervariasi yakni

antara 3-5 menit. Pada konsentrasi yang tinggi 50% nikotin yang dilarutkan dalam

air membutuhkan waktu 5 menit dan pada konsentrasi rendah 1% nikotin dalam

air (dengan konsentrasi dari 1–100% dalam air) membutuhkan waktu 3 menit dan

disarankan bila terkena tumpahan nikotin pada kulit agar dibilas dengan segera.

Dan glove (sarun tangan) dengan ketebalan 0,114–0,100 mm yang terbuat dari

nitril aman untuk mencegah nikotin terserap ke kulit (Zorin et al. 1999).

Setelah diabsorpsi, nikotin masuk ke dalam aliran darah pada pH 7,4 dengan

kondisi terionisasi sekitar 69 dan 31% pada kondisi tidak terionisasi. Dan kurang

dari 5% terikat pada protein plasma, affinitas nikotin tertinggi ditemukan di dalam

hati, ginjal, limpa, dan paru-paru dan terendah di dalam jaringan adipose

(Hukkanen et al. 2005).

Nikotin terikat ke sel-sel otak dengan affinitas yang tinggi dan kapasitas

mengikat reseptornya lebih tinggi pada perokok dibandingkan dengan seseorang

yang memperoleh nikotin tanpa merokok (Perry et al. 1999). Peningkatan dalam

mengikat disebabkan oleh jumlah yang lebih tinggi dari reseptor nicotinic

cholinergic di otak dari perokok. Nikotin terakumulasi secara nyata dalam getah

lambung dan air liur (Lindell et al.1996). Akumulasi tersebut disebabkan oleh

perangkap ion dari nikotin dalam getah lambung dan air liur. Nikotin juga

terakumulasi dalam air susu ibu (Dahlstrom et al. 1990). Nikotin juga dapat

melewati barrier plasenta dengan mudah, dan ada bukti bahwa nikotin

terakumulasi pada serum ketuban dan dalam cairan di amnion sedikit lebih tinggi

daripada konsentrasi dalam serum ibu (Dempsey dan Benowitz 2001).

Efek farmakologi dari nikotin di dalam otak dan organ tubuh lainnya

tergantung pada rute dan dosis. Merokok memberikan nikotin secara cepat ke

sirkulasi pulmonari dan bergerak cepat ke bagian kiri dari bilik jantung dan ke

arterial sistemik serta masuk sirkulasi yang menuju ke otak. Waktu yang

diperlukan nikotin untuk mencapai otak dari saat mengisap rokok yakni sekitar

Page 34: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

17

10-20 detik. Konsentrasi nikotin dalam darah arterial setelah merokok cukup

tinggi dan dapat mencapai 100 ng/ml, tetapi biasanya berkisar antara 20 dan 60

ng/ml (Henningfield et al. 1993; Gourlay dan Benowitz 1997; Lunell et al. 2000).

Interval waktu yang singkat dari nikotin memasuki otak juga memungkinkan pada

perokok yang diberi nikotin dosis titrate yang dikehendaki. Namun sebaliknya,

waktu yang dibutuhkan tersebut akan lambat jika pemberian nikotin melalui

sistem transdermal (Henningfield dan Keenan, 1993).

Metabolisme Nikotin pada Tubuh

Nikotin secara umum dimetabolisme di hati. Ada enam metabolisme utama

dari nikotin yang telah diidentifikasi dan secara kuantitatif yang paling penting

dari metabolisme nikotin yang berhubungan dengan hewan menyusui adalah

turunan kotinin. Pada manusia, sekitar 70-80% dari nikotin dikonversi menjadi

kotinin (Benowitz dan Jacob 1994). Transformasi ini melibatkan dua langkah.

Yang pertama adalah mediasi dari cytochrome P450 yang merupakan sistem

untuk menghasilkan nikotin-∆1’(5’)-iminium-ion yang equilibrium dengan 5-

hydroxynicotine (Murphy 1973; Peterson et al. 1987). Langkah kedua adalah

katalisasi dari cytoplasmic aldehyde oxidase (Gorrod dan Hibberd, 1982). Nikotin

iminium ion cukup menarik karena merupakan agen alkylating dan dapat berperan

dalam farmakologi dari nikotin (Jacob et al. 1997).

Metabolisme utama yang lain dari nikotin adalah nikotin N’-oksida dan

sekitar 4 sampai 7% nikotin diserap oleh perokok melalui jalur metabolisme ini

(Byrd et al. 1992). Konversi dari nikotin ke N’-oksida melibatkan flavin-

monooxygenase-3 (FMO3) (Cashman et al. 1992). Pada manusia, jalan ini sangat

selektif untuk isomer trans (Cashman et al. 1992). Hanya isomer trans dari nikotin

N’-oksida terdeteksi dalam urin setelah pemberian nikotin melalui infusi darah,

transdermal, atau merokok. Pengurangan nikotin N’-oksida pada manusia

dilakukan oleh bakteri dalam usus besar. Pemberian nikotin melalui mulut dalam

bentuk nikotin N’-oksida menghasilkan kotinin dalam urin dan feses (Park et al.

1993).

Meskipun rata-rata sekitar 70 sampai 80% dari nikotin yang dimetobolisme

melalui jalur kotinin pada manusia, terdapat 10 sampai 15% dari nikotin tersebut

diserap oleh perokok yang muncul dalam urin dan tidak berubah menjadi kotinin

Page 35: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

18

atau dengan kata lain sebagian besar metabolisme nikotin dalam urin berasal dari

kotinin. Konversi nikotin menjadi kotinin terutama dalam bentuk trans-3’-

hydroxycotinine sekitar (33-40%), trans-3’-hydroxycotinine glucuronide sekitar

(7-9%) dan cotinine glucuronide sekitar (12-17%) (Benowitz et al. 1994).

Nikotin di hati diubah menjadi kotinin oleh enzim cytochrome P450 dan

secara invitro dan invivo bahwa CYP2A6 merupakan enzim yang bertanggung

jawab dalam oksidasi nikotin dan kotinin, enzim ini secara mendasar mengurangi

jumlah nikotin dan kurang lebih 80% metabolisme nikotin oleh enzim CP2A6

yang merupakan kunci utama dalam kasus-kasus adiksi perokok dengan

pengurangan level rasio nikotin dalam darah (Hukkanen et al. 2005; Yano 2005).

Nikotin dimetabolisme terutama dalam hati. Selain itu pula metabolisme

nikotin juga terjadi secara ekstrahepatik seperti di paru-paru, ginjal, mukosa

hidung dan otak (Jacob et al. 1997). Disamping itu pula juga terjadi pada ketuban,

paru-paru, dan epithelium cabang tenggorokan (Boyland dan de Kock, 1966).

Faktor yang berpengaruh dalam metabolisme nikotin yakni diet dan

makanan. Aktivitas fisiologis, seperti makan, sikap, olahraga, atau obat

meningkatkan aliran darah hepatik, dan diduga mempengaruhi tingkat

metabolisme nikotin. Konsumsi makanan selama infusi nikotin mengakibatkan

penurunan konsentrasi nikotin, efeknya secara maksimal mulai 30 sampai 60

menit setelah akhir makan (Gries et al. 1996). Dan peningkatan aliran darah

hepatik sekitar 30% dan nikotin meningkat sekitar 40% setelah makan. Disamping

itu pula umur dan jenis kelamin mempengaruhi metabolisme dari nikotin

(Benowitz dan Jacob 1994).

Mekanisme Nikotin pada Saraf

Narahashi et al. (2000) menyimpulkan bahwa nikotin telah lama diketahui

memiliki interaksi dengan reseptor nikotinik asetilkolin (ACh) dan mekanisme

aksi nikotin tersebut meliputi tiga variasi yakni molekuler, fisiologi dan tingkah

laku. Shao dan Feldman (2001) bahwa reseptor nikotinik asetilkolin (ACh)

memiliki peranan dalam kontrol pusat respirasi yang memegang peranan penting

dalam pernapasan. Aktivasi dari reseptor nikotinik asetilkolin (ACh)

meningkatkan kemampuan input synaptik perasaan senang pada saraf inspirasi

Page 36: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

19

dalam hal ini saraf pacemaker, dan waktu yang sama menghambat fase hubungan

diantara saraf yang memegang peranan dalam membawa perasaan senang.

Nikotin memiliki dampak dengan ciri-ciri yang mirip dengan

ketergantungan pada obat-obatan lainnya, menghirup nikotin menghasilkan

perubahan pada otak dan dianggap dapat menyebabkan sindrom withdrawal yang

diamati pada perokok yang berhenti secara tiba-tiba. Secara farmakologi, nikotin

pada prinsipnya adalah suatu stimulan psikomotor seperti halnya amphetamin atau

kokain. Nikotin juga memiliki efek psikoparmakologi lain, terutama anti depresi

dan kegelisahan yang dapat meningkatkan kemampuan seseorang (Balfour et al.

2000).

Nikotin memiliki efek kompleks pada jalur saraf otak dengan merangsang

reseptor dari kelompok saraf nikotinik. Efek ini seperti mekanisme saraf pada

kompleks underpin nikotin seperti halnya efek ketergantungan narkoba,

khususnya efek psychostimulant mirip dengan efek nikotin yakni dengan

merangsang atau meningkatkan pelepasan dopamine (DA) utamanya dari terminal

sistem mesolimbik, nukleus accumbens, dan konsensus bahwa obat ini

memainkan peran penting dalam neurobiologi yang berpotensi menimbulkan

ketergantungan (Balfour 2008). Nikotin setelah melalui metabolisme di hati,

secara sistemik didistribusikan ke jaringan neuron preganglionik autonomik,

neuromuscular junction somatic (N1) dan neural (N2). Kemudian secara langsung

menstimulasi norepineprin (NE) melalui signal β3 adrenergik dalam sel

mitokondria dan melalui mekanisme siklus cREB (cAMP respons element

binding) protein mengekspresikan protein-1 (uncoupling protein-1; UCP-1) dan

bersama derivat proteinase inhibitor (PAI-1) berperan dalam proses aterosklerosis

(Blanc et al. 2003).

Efek Nikotin pada Penurunan Obesitas

Nikotin memiliki dampak negatif, yaitu dapat menekan konsumsi pakan dan

pertambahan bobot badan pada tikus jantan, namun tidak berpengaruh pada tikus

betina pada masa pertumbuhan. Penghentian pemberian nikotin dapat

meningkatkan konsumsi pakan dan bobot badan pada tikus jantan, namun tidak

pada tikus betina. Selain itu nikotin memiliki manfaat positif yaitu dapat

membantu dalam meningkatkan konsentrasi dan daya ingat, meningkatkan

Page 37: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

20

perasaan senang pada penderita alzeimer dan Parkinson serta mengurangi stress

(Grunberg 2007).

Chiolero et al. (2008) menyatakan bahwa dalam jangka pendek, nikotin

meningkatkan pengeluaran energi dan dapat mengurangi nafsu makan sehingga

hal ini dapat menjelaskan mengapa perokok cenderung memiliki bobot badan

lebih rendah daripada bukan perokok. Namun sebaliknya, perokok berat

cenderung memiliki bobot badan lebih besar dibandingkan perokok ringan atau

yang tidak merokok.

Sebagaimana dijelaskan bahwa merokok cenderung menurunkan bobot

badan dibanding yang tidak merokok, hal ini sebagai efek nikotin yang sudah

dilaporkan. Nikotin memiliki sistem penyampaian pada neurotransmitters di otak

untuk mengurangi kebutuhan akan asupan energi dan akibatnya terjadi penurunan

nafsu makan. Selain itu, nikotin memiliki efek langsung pada metabolisme

jaringan adipose. Leptin, ghrelin dan neuropeptide Y merupakan zat yang

mungkin merupakan faktor yang terlibat dalam hubungan antara nikotin dan

indeks massa tubuh, walaupun peran mereka sebagai penentu atau konsekuensi

dari hubungan ini belum ditentukan (Chatkin dan Chatkin 2007).

Nikotin mengaktifkan sistem endogenous cannabinoid yang merupakan alat

modulasi metabolisme selama masa remaja dan penggunaan nikotin dapat

menyebabkan eksposur dalam jangka panjang pada regulasi metabolisme dan

mengubah modulasi cannabinoid untuk metabolisme dan pengeluaran energi

sehingga dapat menurunkan bobot badan (Lamota et al. 2008).

Peningkatan bobot badan karena berhenti merokok sebagai akibat

peningkatan lemak tubuh khususnya pada bagian subkutan. Disamping itu pula

adanya mekanisme peningkatan energi, penurunan tingkat metabolisme istirahat,

penurunan aktivitas fisik dan peningkatan aktivitas lipoprotein lipase. Nikotin,

sebagai agen sekresi kuat, diharapkan dapat mempengaruhi tingkat dan ekspresi

dari berbagai kelas neurotransmitters, serta dari selaput sel konstituen yang

terhubung ke neurotransmission, termasuk sinyal transducers yang terkait dengan

efektor. Potensi molekul yang dapat terlibat dengan aksi yang berhubungan

dengan konsumsi nikotin terutama neuropeptides dan hormon peptida yang

Page 38: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

21

berperan dalam asupan makanan dan pengeluaran energi seperti leptin,

neuropeptide Y (NPY) dan orexins (Filozof et al. 2004).

Leptin, hormon yang disekresi oleh lemak merupakan adalah regulator

negatif dari asupan makanan dan energi positif pada regulator pengeluaran. Efek

nikotin pada plasma leptin kontradiktif dalam studi yang menggunakan objek

manusia. Dari dua studi epidemiologi pada berbagai kelompok etnis menunjukkan

bahwa plasma leptin signifikan pada perokok dan lebih rendah dibandingkan tidak

merokok. Selain itu, penurunan konsentrasi plasma leptin secara signifikan dari

adiposit juga telah dilaporkan pada ibu-ibu yang melahirkan dan merokok selama

kehamilan dibandingkan dengan yang tidak merokok. Nikotin menggunakan

mekanisme dengan memodulasi biosintesis leptin dan akibatnya mengurangi

bobot badan. NPY juga sebagai stimulator kuat dari makanan, penurunan dari

ekspresi NPY dipengaruhi nikotin. Peningkatan NPY mRNA dan peptide setelah

pemberian nikotin dimana peningkatan NPY dipengaruhi reseptor hypothalamic

yang mengikat Y1/Y4/Y5 pada situs ligand. Mirip dengan NPY, orexins

merupakan regulator positif terhadap asupan makanan. Oleh karena itu, dapat

diharapkan penurunan orexin akibat pemberian nikotin. Akan tetapi dosis

preproorexin mRNA dalam meningkatkan produksi setelah pemberian nikotin.

Pemberian nikotin berafinitas dan mengurangi kepadatan orexin-binding site pada

anterior hypothalamus dari otak (Filozof et al. 2004), dan aksi leptin guna

penurunan nafsu makan dan peningkatan pengeluaran energi disajikan pada

Gambar 3

Sekresi leptin

Jaringan adipose putih

↓ asupan makan

↑ pengeluaran engeri

↓↑ fungsi neuroendokrin

↑ metabolisme lemak

↑ metabolisme glukosa

Gambar 3 Skema aksi leptin (Mantzoros 1999).

Page 39: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

22

Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa leptin bertindak secara langsung atau

dengan mengaktifkan bagian spesifik pada sistem saraf pusat yang mengatur

pengurangan asupan makanan, peningkatan pengeluaran energi, metabolisme

glukosa dan lemak dan mengubah fungsi neuroendokrin (Mantzoros 1999).

Lebih lanjut Mantzoros (1999) menyatakan bahwa leptin, suatu hormon

adipost, yang beredar di dalam serum dalam bentuk bebas atau dalam bentuk

leptin terikat pada protein, mengaktifkan sel yang spesifik pada hipotalamus, dan

mengubah ekspresi beberapa neuropeptida yang kemudian mengurangi selera,

peningkatan pembelanjaan energi dengan meningkatakan sinyal saraf simpatis dan

menurunkan sinyal saraf parasimpatik serta mengubah fungsi neuroendokrin.

Peningkatan level leptin mengaktifkan hormone tiroid, hormon pertumbuhan, dan

gonad serta menekan poros adrenal-pituitari. Leptin, secara langsung atau secara

tidak langsung (mengubah level hormone dan neuropeptida lain), juga

mempengaruhi hemopoiesis dan fungsi kekebalan serta meningkatkan

metabolisme glukosa dan lemak. Yang pada akhirnya, mengubah produksi dan

leve hormon dan sitokin serta produksi leptin pada adiposit. Efek umpan balik

dari leptin ini disajikan pada Gambar 4.

↑ saraf simpatis ↓ saraf parasimpatis

Otak

selera

Androgen Estrogen

Katekolamin

Adiposit putih

Gen leptin

Korteks adrenal

Gonad Fungsi imun hemopoiesis

β-sel langerhans

Sistem IGF

Gambar 4 Skema aksi umpan balik dari leptin (Mantzoros 1999).

Page 40: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

23

Leptin mengatur homeostasis energi, makanan yang masuk ke tubuh;

disimpan dan digunakan, mengatur fertilitas dan fungsi imun untuk menekan NPY

yang disekresikan oleh hipotalamus. Pada pemberian nikotin, Leptin akan

meningkatkan neuron simpatik pada brown adipose tissue (BAT) dan diduga

menurunkan nafsu makan dan mengurangi bobot badan. Peran lipoprotein

merupakan kombinasi kompleks sferis dari lipid dan apoprotein yang juga

berfungsi menstabilisasi emulsi lipid serta fungsi ligan untuk proses yang dapat

dimediasi reseptor nikotin. Metabolisme lipoprotein melibatkan proses biokimia

kompleks pembentukan berbagai sekresi, transport, proses dan klirens lipoprotein

tersebut (Hodge et al. 1997).

Disamping itu pula nikotin mempengaruhi jaringan adipose coklat (BAT:

brown adipose tissue) yang mengatur panas tubuh, status makan dan cadangan

energi tubuh yang berpusat pada area ventromedial nucleus hipotalamus (VMN)

hindbrain. Telah diketahui bila terjadi peningkatan pembakaran cadangan

makanan dalam tubuh maka akan meningkatkan panas tubuh yang kemudian

memberikan signal simpatis pada reseptor adrenergic nervus system jaringan sel

adipose (Cannon dan Nedergaard 2004). Fungsi utama brown adipose tissue

(BAT) adalah untuk menciptakan panas melalui mekanisme termogenesis

nonshivering. Dan nonepineprin menjadi faktor yang berperan penting dalam

termogenesis ini. NE yang menstimulasi β-oksidasi (β-ox) pada mitokondria

melalui reseptor β3-adrenergic pada adiposit coklat yang diaktivasi oleh cAMP

dan protein kinase-A (PKA)-mediated untuk lipolisis dan β-oksidasi asam lemak

bebas (FFA) dari trigliserida (TG) untuk membentuk acyl-CoA. Jalur ini

merupakan produksi dari mitokondria pada superoksida intraseluler sebagaimana

dapat dilihat pada Gambar 5 (Brees et al. 2008).

Page 41: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

24

panas

Gambar 5 Mekanisme molekular termogenesis pada jaringan adiposit coklat (Brees et al. 2008).

Nikotin memiliki efek pada peningkatan termogenesis. Mekanisme tersebut

melalui stimulasi pada sistem saraf simpatik yang mengarah pada peningkatan

NE. Stimulasi ini memberikan efek langsung pada reseptor nicotinic acetylcholine

(nAChR) yang memberikan stimulasi modulasi secara langsung atau tidak

langsung terhadap penurunan suhu tubuh (Rezvani dan Levin, 2004). Nikotin

meningkatkan pengeluaran NE dan mengikat guanosine 5'-diphosphate (sinyal

termogenesis) pada mitokondria dalam waktu tiga jam serta meningkatkan

ekspresi UCP-1 (Arai et al. 2001).

Monyet Ekor Panjang

Karakteristik Monyet Ekor Panjang

Monyet ekor panjang merupakan kelompok monyet dunia lama (Old World

Monkey) dan diklasifikasikan sebagai berikut; kelas Mammalia, ordo Primates,

subordo Anthropoidea, infraordo Catarrhini, superfamili Cercopithecoidea, famili

Cercopithecidae, subfamili Cercopithecinae, genus Macaca dan spesies

fasicularis (Lekagul dan McNeely 1977; Napier dan Napier 1985; Dolhinow dan

Fuentes 1999).

Monyet ekor panjang memiliki bobot badan yang bervariasi antara 3–12 kg

pada jantan dan 3–10 kg pada betina (Putra et al. 2006). Dengan lama hidup 25–

30 tahun, umur dewasa 4,5–6,5 tahun (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).

Page 42: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

25

Collinge (1993) menyatakan bahwa penentuan umur pada genus Macaca sp dapat

ditentukan melalui masa dewasa kelamin dan pertumbuhan. Monyet ekor panjang

(Macaca fascicularis) dewasa memiliki susunan gigi dengan dua premolar dan

jumlah gigi keseluruhan adalah 32 buah dengan susunan sebagai berikut:

2 x

M PM C I3 2 123212

Keterangan: I : incisisor (gigi seri), C : canine (gigi taring), PM : premolar (gigi geraham depan), dan

M : molar (gigi geraham belakang).

Warna tubuh utama monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yakni

coklat keabu-abuan dan kemerah-merahan dengan berbagai variasi warna menurut

musim, umur dan lokasi (Lekagul dan McNeely 1977). Disamping itu pula

perbedaan habitat mempengaruhi warna tubuh, individu yang menghuni kawasan

hutan umumnya lebih gelap dan mengkilap, sedangkan individu yang menghuni

kawasan pantai pada umumnya mempunyai warna lebih cerah. Hal ini

dipengaruhi oleh udara lembab yang mengandung garam dan sinar matahari

(Medway 1969). Secara umum warna rambut monyet ekor panjang (Macaca

fascicularis) mulai dari abu-abu sampai kecoklatan dengan bagian ventral putih,

pada bagian punggung lebih gelap dibandingkan bagian dada dan perut, rambut

kepala agak pendek tertarik ke belakang dahi, rambut-rambut sekeliling wajahnya

berbentuk jambang yang lebat dengan ekor tertutup rambut yang halus (Napier

dan Napier 1967; Supriatna dan Wahyono 2000). Disamping itu rambut pada

bagian pipi monyet jantan lebih lebat dibandingkan dengan monyet betina

(Krisnawan 2000).

Monyet Ekor Panjang Sebagai Hewan Model Obes

Monyet ekor panjang sebagai salah satu satwa primata merupakan

sumberdaya alam yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia,

khususnya sebagai hewan model dalam penelitian biomedis dibandingkan hewan

model lainnya seperti mencit, tikus putih besar, hamster dan kelinci. Hal ini

disebabkan karena secara anatomi dan fisiologis mempunyai banyak kemiripan

dengan manusia dibandingkan dengan hewan model lainnya (Sajuthi et al. 1997;

Roth et al. 2004). Dengan nilai ilmiah satwa primata, selain persamaan ciri

Page 43: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

26

anatomi dan fisiologis juga kedekatan hubungan filogenetik dan perbedaan

evolusi yang pendek (Bennet et al. 1995). Satwa primata adalah hewan model

yang sesuai untuk penelitian biomedis, khususnya obesitas didasari atas kesamaan

karakteristik tersebut. Disamping itu pula, ukurannya yang besar dan jangka

waktu hidupnya lebih lama dibanding hewan model lainnya memungkinkan

pengambilan sampel untuk waktu yang lama (Wagner et al. 1996). Penggunaan

monyet ekor panjang sebagai hewan model untuk manusia juga sangat beralasan

karena bentuk anatominya serta fungsi hepar, kesamaan pankreas namun

ukurannya lebih kecil serta vaskularisasi yang sama dengan manusia (Sabbatini

2001).

Penggunaan satwa primata sebagai hewan model dalam penelitian biomedis

khususnya penelitian obesitas telah dilakukan antara lain Kemnitsz et al. (1989)

yang menggunakan monyet rhesus (Macaca mulatta) pada penelitian obesitas

dengan melihat ukuran tubuh dan distribusi lemak tubuh, toleransi glukosa, serum

lipid, insulin, dan androgen. Anthony et al. (2003) yang melakukan penelitian

studi genetika pada obesitas yang menggunakan baboon. Kaufman et al. (2007)

yang melihat stres sebagai salah satu faktor penyebab obesitas, diabetes Tipe 2

dan hipertensi dan munculnya retensi insulin yang menggunakan monyet bonnet

(Macaca radiata) juvenile, Chen et al. (2002; 2003) menggunakan monyet ekor

panjang (Macaca fascicularis) untuk melihat level dua hormon adipocyte yakni

leptin dan adiponectin, serta hubungan hormon ini dengan insulin, protein total,

glukosa, kolesterol total dan trigliserida, serta persentase lemak tubuh termasuk

nilai hematologinya. Adanya kesamaan pola ekspresi hormon yang terlibat dalam

obesitas serta gambaran lainnya menjadikan monyet ekor panjang sebagai hewan

model yang baik untuk penelitian obesitas pada manusia. Disamping itu pula

bahwa pola obesitas pada monyet ekor panjang memiliki kemiripan dengan pola

obesitas seperti yang terjadi pada manusia yang dapat terjadi pada jantan maupun

betina baik dewasa maupun sub dewasa dengan pola yakni adanya penimbunan

lemak di sekitar perut, serta BMI (Body Mass Index) sampai 61,57 kg/m2 pada

jantan dan pada betina 60,07 kg/m2 yang ditemukan pada kawasan wisata di Bali

(Putra et al. 2006).

Page 44: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

27

Oktarina (2009) melakukan penelitian dengan menggunakan monyet ekor

panjang (Macaca fascicularis) yang diberi pakan berenergi tinggi dan lemak

tinggi guna mendapatkan hewan model obes. Hasil yang diperoleh menunjukkan

bahwa formula pakan yang mengandung tallow (lemak hewan) ditambah kuning

telur menjadikan monyet ekor panjang menjadi obes.

Secara morfometrik bahwa ukuran lingkar paha, lingkar pinggul, lingkar

pinggang, lingkar dada, tebal telapak tangan, tebal telapak kaki, tebal lipatan kulit

perut, tebal lipatan kulit lengan belakang, tebal lipatan kulit punggung menandai

terjadinya proses obesitas Tipe 1 pada monyet ekor panjang. Dengan penciri

bahwa lingkar pinggang, lingkar pinggul dan lingkar dada merupakan bagian

tubuh yang memiliki kaitan paling erat dengan bobot badan sehingga lingkar

pinggang, lingkar pinggul dan lingkar dada dapat dijadikan penciri terjadinya

obesitas pada monyet ekor panjang (Caraka I 2008).

Hematopoiesis

Hematopoiesis atau hemopoiesis adalah proses pembuatan darah, khususnya

sel darah. Sistem hematopoitik tersebar di dalam tubuh, organ atau jaringan

hematopoiteik ialah: sumsum tulang, hati, limpoglandula, retikuloendotelia, usus,

pankreas, thimus, ginjal dan limpa (Tortora dan Anagnostakos 1990).

Setelah hewan lahir, hematopoiesis pada sebagian besar mamalia terpusat

pada sumsun tulang, sedangkan hati dan limpa biasanya tidak aktif. Disaat

kebutuhan akan pertumbuhan tubuh mulai meningkat, maka hematopoiesis

biasanya akan kembali ke bagian ujung (metaphyse) tulang panjang, ke tulang

pipih dan pelvis, rusuk dan tulang belakang. Dari sini akan meluas lagi ke dalam

lubang sumsum tulang, juga terjadi hematopoiesis extramedulla yaitu di dalam

hati, limpa dan kelenjar pertahanan (lymphoglandula) terutama bila terjadi

kebutuhan yang meningkat misalnya ada hipoplasia atau aplasia dari sumsum

tulang atau pada penyakit-penyakit dimana sumsum tulang rusak atau mengalami

fibrosis (Ganong 1983).

Sistem hematopoietik dimonitor secara klinik oleh pemeriksaan sirkulasi

darah dan sumsum tulang. Pemeriksaan hematologi adalah merupakan suatu

bagian rutin dari beberapa pemeriksaan klinik, dan adanya perbedaan status

Page 45: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

28

normal, akan menjadi indikasi adanya suatu respon penyesuaian terhadap

kerusakan sistem lainnya, atau adanya penyakit primer pada sistem hematopoietik

itu sendiri. Juga dalam keadaan hemorrhagi yang akut atau anemia hemolitika,

maka pusat haemopoietik terangsang untuk meningkatkan produksi sel yang

dibutuhkan. Ini berarti bahwa untuk setiap tipe sel ada suatu rangsangan berupa

mekanisme umpan balik (feedback) yang berespon terhadap menurunnya jumlah

sel. Sumsum tulang berisi sedikit sel primitif yang berespon terhadap kebutuhan

ini. Kemudian sel ini akan berdiferensiasi menjadi sel progenitor yang bertambah

banyak (multiply) dan menjadi sel dewasa (mature). Penilaian in vitro dan in vivo

telah menyatakan adanya tingkatan struktur dari stem sel multipotensial,

oligopotensial dan unipotensial di dalam sumsum tulang. Walaupun identitas

morfologi stem sel ini masih tidak pasti, namun tampaknya adalah mononuclear

dengan beberapa ciri khas dari limfosit peralihan (Ganong 1983).

Sel progenitor unipotensial akan berkembang menjadi sel precursor yaitu:

rubriblast, myeloblast, monoblast, lymphoblast dan megakaryoblast (Tortora dan

Anagnostakos 1990).

Stem Sel Pluripotensial

Konsep aktual dari hematopoiesis didasarkan pada monophylactic atau teori

unitarian dari pembentukan eritrosit, pertimbangan produksi eritrosit, semua

bentuk limfosit, makrofag, sel mast dan megakaryosit dari stem sel pluripotensial

(Jain 1993).

Selama kehidupan intra uterin, sel punca ini pada mulanya berasal dari

kuning telur embrio (embryonic yolk sac), kemudian oleh hati fetus, limpa dan

sumsum tulang. Dalam kehidupan dewasa pada kebanyakan spesies, sumsum

tulang merupakan sumber utama. Sedikit sel punca dapat dijumpai di dalam darah

perifer (1/100.000 leukosit). Migrasi dari sel progenitor granulosit ke dalam darah

dapat diinduksi oleh bermacam-macam stimuli misalnya: exercise, ACTH,

deksametason, epineprin, endotoksin, antigenik, exposure, hipoksia dan iradiasi

lokal (Jain 1993).

Sejumlah penyakit hematologik dapat berasal dari gangguan neoplastik

(tumor) dan non-neoplastik pada stem sel. Tumor hematopoietik adalah

gangguan/kerusakan stem sel, termasuk leukimia myelogenous yang akut dan

Page 46: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

29

kronis, essensial trombositopenia dan polycytemia. Gangguan/kerusakan non-

neoplastik adalah akibat dari disfungsi stem sel, misalnya Cyclic hematopoiesis

pada anjing Collie abu-abu; aplasia eritrosit dan anemia aplastik (pancytopenia)

pada manusia. Beberapa keberhasilan telah dicapai dalam pengobatan untuk

memperbaiki gangguan non-neoplastik ini yaitu dengan menggunakan

transplantasi sumsum tulang. Hematopoiesis, baik secara in vivo maupun in vitro

amat dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor endogen dan eksogen. Dalam hal

ini termasuk juga lingkungan mikro dari sumsum (marrow), serta faktor humoral

setempat (Robinson dan Huxtable 1988).

Eritropoiesis

Darah amat penting bagi kehidupan makhluk yang mempunyai banyak sel,

disebabkan oleh perannya untuk transpor oksigen, air, elektrolit, zat makanan dan

hormon-hormon ke setiap sel, juga untuk transpor hasil atau sisa metabolisme ke

organ-organ pembuangan. Pembentukan sel darah merah (eritropoiesis)

merupakan suatu pengaturan umpan balik (feedback). Pembentukan ini dihambat

oleh kenaikan jumlah sel darah merah dalam sirkulasi yang mencapai nilai diatas

normal, dan distimulasi oleh anemia. Eritropoiesis diatur oleh hormon glikogen

yang beredar yang dinamakan erytropoetin yang dibentuk oleh kerja dari faktor

ginjal pada globulin plasma (Ganong 1983).

Erytropoietin adalah suatu glikoprotein yang dibentuk terutama oleh ginjal

sebagai respon terhadap kurangnya oksigen dalam jaringan ikat ginjal (renal

tissue hypoxia). Sebagian eritropoietin juga disentisis di hati. Eritropoietin

diperlukan untuk pembentukan sel darah merah termasuk juga diferensiasi sel

progenitor, multiplikasi dan pematangan melalui berbagai tahapan (Jain 1993).

Sel darah merah, sel darah putih dan platelet/thrombosit merupakan bagian

dari elemen darah, sedangkan berbagai faktor koagulasi/zat pembekuan serta

imunoglobulin adalah unsur penting dari Protein Plasma Total. Fungsi utama sel

darah merah ialah mengikat haemoglobin untuk transport oksigen, sedangkan sel

darah putih peran utamanya ialah dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi

mikrobial. Platelet/thrombosit dan protein koagulasi adalah penting untuk

mempertahankan hemostasis, juga untuk mencegah kehilangan banyak darah

akibat terjadinya luka bulu darah. Imunoglobulin merupakan unsur penting dari

Page 47: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

30

humoran immune response yang dibentuk untuk menghambat/mencegah hewan

dari agen infeksi. Sedangkan protein-protein lain yang ada dalam darah

mempunyai peranan biologis yang bervariasi yaitu mempertahankan kesehatan

tubuh. Berbagai faktor mungkin akan mempengaruhi data nilai normal darah dari

berbagai spesies hewan (Ganong 1983; Tortora dan Anagnostakos 1990).

Secara umum keberadaan darah dalam tubuh dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu

(1) faktor eksogen yang terdiri dari agen penyebab infeksi dan perubahan

lingkungan dan (2) faktor endogen yang terdiri dari pertambahan umur, status

gizi, kesehatan, stres, siklus estrus dan suhu tubuh (Guyton dan Hall 1997). Darah

yang beredar dalam tubuh memiliki berbagai fungsi yaitu sebagai alat transport,

mempertahankan lingkungan dalam tubuh agar terjaga konstan (homeostatis),

ekskresi dan berperan penting dalam pertahanan tubuh terhadap bahan-bahan

asing (Harper et al. 1979). Darah dengan komposisi yang meliputi 46–63%

plasma dan 37–54% sel darah (Martini 1995) dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi darah manusia

No Darah persentase Komposisi persentase Keterangan 1. Elemen-elemen yang

terbentuk 37–54

o Sel darah merah 99,9 o Platelet (trombosit) o Sel darah putih 0,1

2. Komposisi plasma 46–63 o Plasma protein 7 Albumin 60 Utamanya menyumbangkan pada

konsentrasi osmotik plasma; transpor lemak, hormon steroid

Globulin 35 Transpor ion, hormon, lemak, fungsi imun Fibrinogen 4 Komponen esensial sistem pembekuan

darah; termasuk fibrin yang tidak terlarut Pengaturan protein

< 1 Enzim, proenzim, hormon

o Cairan lain 1 Elektrolit Komposisi ion pada cairan extraseluler esensial untuk aktivitas seluler yang vital. Ion yang berperan dalam tekanan osmotik cairan tubuh yakni Na+, Ca2+, Mg2+, Cl–, HCO3

–, HPO42–, SO4

2– Nutrisi Digunakan untuk produksi ATP,

pertumbuhan dan perawatan sel; meliputi lipid (asam lemak, kolesterol, gliserida), karbohidrat (terutama glukosa) dan asam amino

Zat-zat sisa

Membawa ketempat perusakan atau ekskresi; meliputi urea, asam urat, kreatinin, bilirubin dan ion ammonium

o Air 92 Transpor molekul organik dan inorganik, elemen-elemen yang terbentuk dan panas

Sumber : Martini 1995

Nilai normal hematologi terjadi perbedaan diantara peneliti, khusunya

penelitian yang berhubungan hematologi. Perbedaan ini terjadi karena beberapa

Page 48: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

31

faktor antara lain: jumlah, sumber, umur, jenis kelamin, bangsa hewan, kesehatan

dan pakan hewan yang digunakan, juga metode pengambilan darah serta teknik

hematologi yang digunakan. Adanya perbedaan fisiologis seperti eksitasi, aktifitas

otot, waktu pengambilan sampel, suhu udara sekitar, keseimbangan air dan

ketinggian, mungkin juga memberikan perbedaan nyata. Variasi regional mungkin

juga menyebabkan perbedaan nilai hematologi terutama parameter sel darah

merah (Aliambar 1999). Variasi nilai hematologi pada primata ditampilkan pada

Tabel 3.

Tabel 3 Nilai hematologi pada primata

Parameter Hematologi

Schermer 1967 * Bourne et al. 1973 **

Monyet Rhesus Manusia Sel Darah Merah (juta) 4–7 4,46–5,60 4,5–5,5 Hemoglobin (Sahli) (%) 60–100 11,0–19,0 g/dL 14,0–10,0 g/dL Trombosit (butir) 86.700–265.000 Sel Darah Putih (butir) 5.500–12.000 5.300–12.300 6.000–10.000 Netrofil (%) 21–47 20,0–55,0 65–75 Eosonofil (%) 0–6 1,0–6,0 2–3 Basofil (%) 0–2 ±1,0 ±0,5 Limposit (%) 47–75 40,0–76,0 20–30 Monosit (%) 0,1–1,5 1,0–2,0 1–2

* Kisaran nilai hematologi dari beberapa peneliti ** diacu dalam (Fridman 2002)

Nilai hematologi yang dilaporkan Andrade et al. (2004) pada Macaca

fascicularis baik jantan dan betina dewasa dari pusat primata Fiocruz dengan

pembanding dari beberapa peneliti ditampilkan pada Tabel 4, 5 dan 6.

Tabel 4 Nilai hematologi pada Macaca mulatta dewasa

Parameter

Jantan Betina Pusat Primata

Fiocruz Buchl &

Howard 1997 Stanley &

Cramer 1968 Pusat Primata

Fiocruz Buchl &

Howard 1997 Stanley &

Cramer 1968 Sel Darah Merah (x106/ml) 5,062 ± 0,539 6,9 ± 0,34a 5,86 ± 0,52a 5,077 ± 0,53 5,7 ± 0,4a 4,35 ± 0,55a Hematokrit (%) 37,55 ± 3,23 42,2 ± 2,5a 42,1 ± 2,1a 36,74 ± 3,51 40,3 39,9 ± 3,1a Hemoglobin (g/dl) 12,76 ± 1,097 13,6 ± 0,7a 13,8 ± 1,0a 12,53 ± 1,21 12,9 ± 0,8 12,4 ± 1,6 MCV (fl) 74,46 ± 5,11 70,7 ± 2,2a 72 72,73 ± 6,36 70,5 ± 3,6 93,5 ± 12,7a MCHC (%) 34 ± 0 32,2 ± 0,8a 32,8 34,07 ± 1,08 31,9 ± 0,6a 31,3 ± 3,20a MCH (pg) 25,34 ± 1,74 22,8 ± 0,9a 24 24,97 ± 2,25 22,4 ± 1,3a 29,1 ± 4,15a Sel Darah Putih (x103/ml) 7,89 ± 3,53 11,8 ± 2,9a 8,2 ± 3,25 10,01 ± 5,07 10,3 ± 3,3 11,6 ± 5,1b Neutropil (%) 60,11 ± 13,28 67,0 ± 6,03a 34,5 ± 14,3a 60,32 ± 12,56 67,2 ± 31b 23,7 ± 10,9a Limposit (%) 36,70 ± 12,76 31,0 ± 1,84a 61,3 ± 14,3a 36,01 ± 13,06 35,4 ± 57,1 67,3 ± 11,3a Eosinopil (%) 0,66 ± 0,88 0,9 ± 1,59 – 0,91 ± 0,97 0,01 ± 0,02a 5,1 ± 6,2a Basopil (%) 0,11 ± 0,32 < 0,01 – 0,06 ± 0,27 < 0,01 0,2 ± 0,6b Monosit (%) 1,556 ± 1,55 3,8 ± 2,56a – 1,70 ± 1,42 0,02 ± 0,03a 4,3 ± 2,9a Mielosit (%) 0 – – 0 – – Metamiemosit (%) 0 – – 0 – – Kolesterol (mg/dl) 108 ± 76,52 155 ± 22a – 108 ± 76,52 150 ± 34a 219 ± 52,4a Lipid (mg/dl) 596,6 ± 210,2 – – 596,6 ± 210,2 – – AST (IU/l) 32,86 ± 19,5 – – 32,86 ± 19,49 – 26,6 ± 9,9b ALT (IU/l) 37,57 ± 28,6 – – 37,57 ± 28,65 – 18,5 ± 12,0a Total protein (mg/dl) 7,46 ± 1,12 7,8 ± 0,5 – – 7,8 ± 0,9 – Albumin (mg/dl) 4,475 ± 0,75 4,5 ± 0,4 – – 4,5 ± 0,4 – Urea nitrogen (mg/dl) 31,18 ± 10,4 20 ± 3a – – – –

Page 49: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

32

Tabel 5 Nilai hematologi pada Macaca fascicularis dewasa

Parameter Jantan Betina

Pusat Primata Fiocruz

Matsumoto et al.1980

Altshuler et al.1971

Pusat Primata Fiocruz

Matsumoto et al.1980

Yoshida & Katsuta 1989

Sel Darah Merah (x106/ml) 6,3 ± 0,6 6,86 ± 0,39 – 6,16 ± 0,52 6,70 ± 0,71b 6,08 ± 0,63 Hematokrit (%) 39,8 ± 2,7 43,3 ± 2,9a – 37 ± 3,95 41,6 ± 3,8b 40,8 ± 4,5a Hemoglobin (g/dl) 13,6 ± 0,91 12,1 ± 0,9a – 12,6 ± 1,32 11,7 ± 1,2 11,3 ± 1,3a MCV (fl) 63,7 ± 6,51 63,1 ± 3,5 – 60,08 ± 3,88 62,2 ± 3,5 67 ± 5a MCH (pg) 21,57 ± 2,11 17,6 ± 0,8a – 20,31± 1,49 17,4 ± 0,9a – MCHC (%) 34,09 ± 0,30 27,9 ± 1,1a – 34,15 ± 0,55 28,0 ± 0,6a – Sel Darah Putih (x103/ml) 9,75 ± 2,67 15,3 ± 5,0a – 8,03 ± 1,9 12,7 ± 3,6a 9,7 ± 2,8b Neutropil (%) 65,38 ± 8,93 – – 68,15 ± 12,08 – – Limposit (%) 31,04 ± 8,96 – – 27,92 ± 9,76 – – Eosinopil (%) 1,33 ± 0,8 – – 0,85 ± 1,07 – – Basopil (%) 0,05 ± 0,22 – – 0 – – Monosit (%) 1,95 ± 1,32 – – 1,61 ± 1,32 – – Kolesterol (mg/dl) 148,09 ± 44,6 178 ± 33a 115,8 ± 17,9a 185,74 ± 45,99 186 ± 35 126,32 ± 38,5a Total protein (mg/dl) 5,99 ± 0,95 9,9 ± 0,8a 8,13 ± 0,64a – – – Albumin (mg/dl) 3,6 ± 0,57 5,6 ± 0,2a 3,17 ± 0,3a – – – Lipids (mg/dl) 659,9 ± 106,5 – – 460,70 ± 127,7 – – Urea nitrogen (mg/dl) 26,38 ± 9,22 20 ± 3a 23,07 27,3 ± 9,87 19 ± 2b 20,26 ± 5,36a

Tabel 6 Nilai hematologi pada Saimiri sciureus dewasa

Parameter

Jantan Betina

Pusat Primata Fiocruz

Beland et al. 1979,

Suzuki 1981

Kakoma et al. 1985

Pusat Primata Fiocruz

Beland et al. 1979,

Suzuki 1981 Sel Darah Merah (x106/ml) 6,81 ± 0,42 7,5 ± 0,6 b 7,12 ± 0,1 a 6,13 ± 0,86 7,61 ± 0,7 a Hematokrit (%) 41,9 ± 3,93 46,5 ± 4,0 b 44 ± 0,64 39,03 ± 3,53 45,1 ± 4,2 a Hemoglobin (g/dl) 14,06 ± 1,23 14,6 ± 1,2 13,8 ± 0,18 13,27 ± 1,18 14,5 ± 1,1 a MCV (fl) 61,74 ± 5,75 – 61,9 ± 0,64 64,16 ± 5,19 – MCH (pg) 20,68 ± 2,0 – 1 9,4 ± 0,19 b 21,77 ± 1,73 – MCHC (%) 33,68 ± 1,68 – 31,5 ± 0,23 33,96 ± 0,18 – Sel Darah Putih (x103/ml) 6,826 ± 1,64 11,5 ± 4,32 b 10,5 ± 0,64 a 7,26 ± 1,56 10,3 ± 3,6 a Neutropil (%) 65,94 ± 7,9 43,6 ± 15,2 a 35 ± 3,2 a 69,32 ± 7,89 44,9 ± 15,1 a Limposit (%) 28,63 ± 5,68 52,3 ± 15,2 a 61 ± 3,1 a 25,77 ± 8,69 49,2 ± 16,0 a Eosinopil (%) 1,05 ± 1,22 2,2 ± 2,5 1 ± 0,2 0,87 ± 1,11 3,6 ± 6,1 b Basopil (%) 0 0,2 ± 0,4 0 ± 0,2 0,03 ± 0,18 0,7 ± 4,4 Monosit (%) 4,47 ± 2,2 2,2 ± 1,6 b 2 ± 0,3 a 2,9 ± 1,74 1,5 ± 0,1 a Kolesterol (mg/dl) 129,74 ± 39,9 137 ± 29 – 116,74 ± 29,2 144 ± 24 c Total protein (mg/dl) 5,91 ± 0,34 6,6 ± 0,5 b – 5,91 ± 0,34 6,4 ± 0,5 b Albumin (mg/dl) 3,55 ± 0,34 4,2 ± 0,4 c – 3,55 ± 0,34 4,2 ± 0,4c Chlorider (mEq/l) 96,71 ± 20,83 104 ± 4 – 101,37 ± 17,3 105 ± 5 Urea nitrogen (mg/dl) 28,37 ± 7,18 46 ± 12 c – 27,35 ± 5,65 48 ± 12 c

Parameter nilai hematologi antara baboon dan manusia (hemoglobin,

hematokrit, trombosit dan jumlah sel) memiliki kesamaan begitupula antara

manusia dan Callithrix jacchus (Fridman 2002).

Bobot tubuh sangat berhubungan erat dengan nilai hematologi terutama

konsentrasi hemoglobin, nilai hematokrit, konsentrasi hematokrit dalam sel darah

merah (MCV, mean corpuscular volume) dan jumlah sel darah merah (Chen et al.

2002) sebagaimana ditampilkan pada Tabel 7 berikut.

Page 50: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

33

Tabel 7 Bobot badan dan nilai hematologi Macaca fascicularis dewasa

Uraian satuan Rata-rata±SD Bobot badan (kg) 4,49±1,06 Hematologi :

Sel Darah Putih (x102/ml) 81,20±28,4 Sel Darah Merah (x104/ml) 591±68 Hemoglobin (g/dl) 11,5±1,6 Hematokrit (%) 40,3±4,4 MCV (fl) 68,4±56 Platelet (x104/ml) 37,8±8,9

Sel Darah Merah

Sel darah merah (SDM, eritrosit/red blood cells/RBC) membawa

hemoglobin dalam sirkulasi. Pada umumnya SDM hewan mamalia tidak

mempunyai inti dan bentuknya biconcave disc, sedangkan SDM yang berbentuk

elips dan berinti, amat khas pada satwa burung, reptil dan amphibia. Adanya

variasi bentuk SDM (poikilositosis) bisa bersifat fisiologik ataupun patologik

(Ganong 1983; Tortora dan Anagnostakos 1990; Aliambar 1999).

Sel darah merah dibentuk dalam sumsum tulang, terutama dari tulang

pendek, pipih dan tak beraturan, dari jaringan kanselus pada ujung tulang pipa dan

dari sumsum dalam batang iga dan dari seternum. Perkembangan sel darah merah

dalam sumsum tulang melalui berbagai tahap: mula-mula besar dan berisi nukleus

tetapi tidak ada hemoglobin; kemudian dimuati hemoglobin dan akhirnya

kehilangan nukleusnya dan baru diedarkan ke dalam sirkulasi darah (Pearce

2006).

Jumlah sel darah merah normal pada manusia 5,4 juta/mm3 pada laki-laki

dan 4,8 juta/mm3 pada perempuan dengan diamater sekitar 7,5 µm dan tebalnya 2

µm dengan lama hidup dalam sirkulasi darah sekitar 120 hari (Ganong 1983;

Tortora dan Anagnostakos 1990). Pada nonhuman primata jumlah SDM bervariasi

antara 3,6–7,2 juta/mm3 dengan diameter 7,1–7,5 µm atau rata-rata 7,5 µm

(Fridman 2002). Nilai hematologi antara nonhuman primata dan manusia dapat

dilihat pada Tabel 2, begitupula nilai hematologi pada Macaca mulatta, Macaca

fascicularis dan Saimiri sciureus dapat dilihata pada Tabel 4, 5 dan 6 (Andrade et

al. 2004).

Page 51: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

34

Hematokrit

Hematokrit (HCT; PCV) merupakan persentase sel darah merah dalam darah.

Nilai hematokrit sebesar 40% berarti dalam darah mengandung 40% sel darah merah.

Uji ini biasa digunakan untuk mendiagnosa anemia dan polycythemia (peningkatan

persentase sel darah merah) (Tortora dan Anagnostakos 1990). Perhitungan hematokrit

dilakukan setelah darah dicegah membeku dengan menggunakan antikoagulan dan

disentrifuse sehingga sel-selnya akan mengendap dan menempati dasar tabung.

Sedangkan plasma, suatu cairan yang berwarna kekuning-kuningan akan naik ke atas.

Jumlah sel-selnya adalah 45% dari volume darah total, dan nilai ini dinamakan Packed

Cell Volume (PCV) atau Hematokrit (HCT), yang dinyatakan dalam persen (Aliambar

1999).

Perhitungan nilai hematokrit lebih sering ditentukan berdasarkan metode

mikrohematokrit. Kekuatan dan lama putaran amatlah perlu untuk mengurangi plasma

yang melekat pada dinding tabung (Tortora dan Anagnostakos 1990). Pada kambing

dan domba, metode hematokrit membutuhkan waktu centrifuse yang lebih lama (10–20

menit), sedangkan spesies lainnya cukup 5 menit saja. Pada kambing, parameter darah

merah yaitu SDM, HB, dan HCT nilainya lebih tinggi di akhir musim panas dan musim

gugur dibandingkan pada musim dingin dan musim semi. Sedangkan pada sapi,

nilainya paling tinggi selama bulan-bulan paling dingin dan paling rendah selama

bulan-bulan terhangat di tahun tersebut. Perbedaan nilai ini dapat pula terjadi akibat

kesalahan teknik terutama yang disebabkan oleh metode pengambilan darah, tipe dan

konsentrasi antikoagulan serta metode yang dipakai untuk determinasi perhitungan

SDM dan SDP, konsentrasi HB dan HCT (Aliambar 1999).

Nilai hematokrit pada wanita berkisar 38–46% dengan rata-rata 42% sedangkan

pada pria berkisar 40–54% dengan rata-rata 47%. Nilai hematokrit juga berbeda

berdasarkan ketinggian, individu yang tinggal dipegunungan memiliki nilai hematokrit

yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan individu yang tinggal ditepi pantai (Tortora

dan Anagnostakos 1990). Pada macaque, nilai hematokrit Macaca mulatta yakni

37,55±3,23% pada jantan dan 36,74±3,51% pada betina, Macaca fascicularis yakni

39,8±2,7% pada jantan dan 37,74±3,95% pada betina dan Saimiri sciureus yakni

41,9±3,93% pada jantan dan 39,03±3,53% pada betina dan perbedaan nilai hematokrit

pada beberapa peneliti dapat dilihata pada Tabel 4, 5 dan 6 (Andrade et al. 2004).

Page 52: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

35

Hemoglobin

Hemoglobin (HB) adalah pigmen merah pembawa oksigen dalam sel darah

merah vertebrata, yang merupakan suatu protein yang kaya akan zat besi. Protein

hemoglobin adalah globin, sedangkan warna merah disebabkan oleh warna heme.

Heme adalah suatu senyawa metalik yang mengandung satu atom besi.

Konsentrasi hemoglobin normal pada manusia dewasa adalah 14–16 g/dl darah

atau rata-rata 15 gram setiap 100 ml darah dan jumlah ini biasanya disebut 100

persen (Ganong 1983; Pearce 2006). Dan diperkirakan terdapat kira-kira 750

gram hemoglobin dalam seluruh darah yang beredar. Hemoglobin (HB) sangat

penting untuk mempertahankan kehidupan sebab ia membawa dan mengirim

oksigen ke jaringan-jaringan. Sekitar 400 juta molekul hemoglobin ada dalam sel

darah merah dan meliputi 95% dari berat keringnya. Sedangkan sintesis

hemoglobin dan proses destruksinya seimbang dalam kondisi fisiologis dan

adanya gangguan pada salah satunya dapat menimbulkan gangguan hematologis

yang nyata (Tortora dan Anagnostakos 1990; Aliambar 1999).

Gambar 6 Skema tahapan katabolisme haemoglobin (Jain 1993).

Hemoglobin mengandung senyawa protein yang berisi globin dan heme.

Setiap gram hemoglobin berisi 3,34 mg zat besi dan membawa 1,34 ml oksigen.

Setiap molekul hemoglobin berisi 4 heme unit dan masing-masing bergabung

dengan satu rangkaian globin yang mempunyai residu asam amino. Hemoglobin

dilepaskan dalam bentuk bebas bila terjadi hemolisis sedangkan batas antara

Page 53: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

36

hemoglobin dan stroma sel darah merah mengalami kerobekan yang disebabkan

oleh agen penyebab hemolisis. Hemoglobin yang bebas dalam plasma amat cepat

terbuang, dengan oksidasi menjadi bentuk yang tak berguna, hilang melalui ginjal

atau dimusnahkan oleh MPS. Hemoglobin dilepaskan dari sel darah merah,

dimusnahkan oleh macrophage dalam MPS, kemudian dikatabolisme secara

bertahap (Aliambar 1999).

Sel darah merah hidup sekitar 120 hari. Bilamana eritrosit dirusak, maka

bagian porfirin hemoglobin dipecahkan dan membentuk pigmen empedu

billiverdin dan billirubin, yang dibawa ke hati untuk diekskresi ke dalam usus

melalui empedu. Skema proses pemecahan hemoglobin menjadi biliverdin dan

billirubin serta ekskresinya ke usus melalui empedu dapat dilihat pada Gambar 6

(Tortora dan Anagnostakos 1990).

Indeks Eritrosit

Perhitungan diagnosis banding terhadap anemia dapat dilakukan melalui

perhitungan yang berasal dari konsentrasi Hb, jumlah SDM, dan Hematokrit

dengan tiga indeks sel darah merah. Hubungan secara skematis antara masing-

masing indeks SDM ini (MCV, MCH, MCHC) dan hematokrit, jumlah SDM dan

konsentrasi HB diperlihatkan dalam Gambar 7 (Robinson dan Huxtable 1988).

Gambar 7 Evaluasi kuantitatif sel darah merah (Schermer 1967).

Penilaian kuantitatif sel darah

merah

Sel darah merah yang belum dewasa (reticulocytes)

Jumlah sel darah merah

Hematokrit (persentase sel darah merah dalam darah

Konsentrasi Hemoglobin

Volume eritrosit rata-rata (MCV, mean cell volume)

Hemoglobin Eritrosit Rata-Rata

(MCH, mean corpuscular hemoglobin)

Konsentrasi Hemoglobin Eritrosit Rata-Rata

(MCHC, mean corpuscular hemoglobin concentration)

Page 54: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

37

1. Mean Cell Volume atau Mean Corpuscular Volume (MCV), yang dapat

dihitung dengan membagi hematokrit dengan jumlah sel darah merah, atau

dapat diukur langsung dengan cara elektronik menggunakan

spektrophotometer. MCV ini dinilai dengan femto liter. Bilamana MCV

berada dalam kisaran normal, disebut normocytic state, bila berada dibawah

disebut microcytic state dan bila diatas disebut macrocytic state (Robinson

dan Huxtable 1988).

2. Mean Cell Hemoglobin atau Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH), yang

dapat dihitung dengan membagi konsentrasi hemoglobin (HB) dengan jumlah

sel darah merah (SDM) dan dinilai dengan picogram. Nilai MCH ini sangat

bergantung pada jumlah SDM sehingga nilai normalnya sangat bervariasi

diantara spesies hewan (Robinson dan Huxtable 1988).

3. Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC), didapat dengan

membagi konsentrasi hemoglobin (HB) dengan Hematokrit. Nilai MCHC ini

cukup stabil diantara spesies yaitu 330–350 g/l. Bilamana MCHC berada

dalam kisaran ini, disebut normochromic state dan bila dibawah disebut

hypochromic state. Akan tetapi nilai MCHC ini tidak akan berada diatas nilai

konsentrasi maksimum Hb eritrosit (Robinson dan Huxtable 1988).

Limfopoiesis

Limfopoiesies terjadi pada jaringan berbeda (sumsum tulang, thymus, limpa

dan limpoglandula) dan mencakup beberapa fase seluler. Sel progenitor limfoid

dan turunannya diidentifikasi tidak berdasarkan morfologinya tetapi terutama oleh

permukaan selnya sendiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan,

diferensiasi dan multiplikasi dari sel progenitor limfoid ini sangatlah kompleks.

Juga lingkungan mikro di sekitarnya (lokal), interleukin dan antigen dipercaya

mempunyai peranan yang penting. Interleukin adalah merupakan salah satu

limfosit growth factor yang sudah dikenal (Jain 1993).

Sel Darah Putih

Sel darah putih (SDP, WBC, Leukosit) warnanya bening, bentuknya lebih

besar dibandingkan dengan sel darah merah, tetapi jumlahnya lebih sedikit. Sel

darah putih dibuat pada sumsum tulang merah dan berisi sebuah inti yang

Page 55: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

38

berbelah banyak dan protoplasmanya berbulir karena itu disebut sel berbulir

granulosit (Irianto 2005; Pearce 2006).

Jumlah total SDP dan diferensiasinya merupakan bantuan hematologi yang

berguna untuk evaluasi respon inang terhadap infeksi mikroba dan untuk

diagnosis leukemia serta penyakit lainnya. Dalam evaluasi sebuah leukogram,

amat perlu diketahui bahwa tidak hanya total SDP dan diferensiasinya, tetapi

untuk menetapkan adanya perubahan morfologi SDP maka informasi tentang

komponen darah lainnya harus ada. Juga protein plasma total dan konsentrasi

fibrinogen, parameter darah merah (HCT, HB, SDM) dan SDM berinti serta

jumlah retikulosit secara tak langsung membantu dalam interpretasi leukogram.

Jumlah total leukosit bervariasi antar spesies hewan dan hal ini dipengaruhi oleh

umur hewan. Saat hewan lahir jumlahnya lebih tinggi, kemudian secara bertahap

menurun sampai nilai dewasa yaitu pada umur 2–12 bulan. Meningkatnya jumlah

leukosit disebut leukositosis sedangkan penurunan disebut leukopenia.

Leukositosis lebih umum daripada leukopenia dan tidak merupakan hal yang

serius, bahkan mungkin bisa fisiologis. Leukositosis yang fisiologis mungkin

terjadi sebagai reaksi “ephinephrine” dimana neutrofil dan limfosit dimobilisasi

ke dalam sirkulasi umum sehingga menaikkan jumlah total SDP. Hal ini sering

terjadi pada hewan muda dan biasanya akibat pengaruh emosional, stress, juga

adanya gangguan fisik sehingga leukositosis ini bisa terjadi dalam keadaan sehat

ataupun sakit dan bisa bersifat fisiologis maupun patologis. Sedangkan leukopenia

umumnya berhubungan dengan infeksi bakterial atau viral (Dierauf 1990).

Kecernaan Zat-zat Makanan dan Metabolisme

Kecernaan Zat-zat Makanan

Kecernaan merupakan banyaknya zat-zat makanan yang terdapat dalam

makanan yang dapat dicerna dan diabsorbsi untuk metabolisme tubuh (Linder

2006). Sutardi (1980) menyatakan bahwa kecernaan adalah perubahan fisik dan

kimia yang dialami bahan makanan dalam alat pencernaan. Perubahan tersebut

dapat berupa penghalusan makan menjadi butir-butir atau partikel kecil atau

penguraian molekul besar menjadi molekul kecil. Lebih lanjut dinyatakan bahwa

kecernaan bahan makanan erat hubungannya dengan komposisi kimiawinya dan

Page 56: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

39

serat kasarnya mempunyai pengaruh paling besar terhadap kecernaan dimana

kecernaan bahan organik merupakan faktor penting yang menentukan nilai pakan.

Kecernaan zat-zat makanan tersebut dipengaruhi oleh komposisi makanan,

kondisi hewan, dan faktor pemberian makanan (McDonal et al. 2002). Selain

komposisi zat-zat makanan, genetik, aspek lingkungan dan gangguan tubuh yang

mempengaruhi kesehatan juga mempengaruhi kecernaan zat-zat makanan (Linder

2006). Pada monyet ekor panjang dewasa dengan bobot badan 5,7 kg dan umur 9–

10 tahun membutuhkan konsumsi bahan kering 30,0 g x BWkg-1 dengan EM

110,0 kkal BWkg-1 (NRC 2002).

Kecernaan yang rendah akan mengurangi konsumsi, semakin banyak serat

kasar yang terdapat dalam suatu bahan makanan atau semakin tebal dan semakin

tahan dinding selnya mengakibatkan semakin rendah kecernaan bahan makanan

tersebut (Parakkasi 1999). Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi daya

cerna pakan yaitu suhu, laju perjalanan makanan melalui alat pencernaan, bentuk

fisik bahan makanan dan komposisi zat-zat yang terkandung dalam bahan

makanan (Anggorodi 1995). Lebih lanjut Anggorodi (1995) menyatakan bahwa

tingkat energi dalam bahan makanan akan mempengaruhi banyaknya makanan

yang dikonsumsi. Tingkat konsumsi merupakan jumlah makanan yang

terkonsumsi oleh hewan bila makanan tersebut diberikan ad libitum yang

dipengaruhi oleh faktor dari hewan itu sendiri, makanan yang diberikan dan

lingkungan sekitarnya (Parakkasi 1999).

Kebutuhan protein bagi satwa dapat dilihat dari nitrogen yang dihasilkan

dalam urin, dalam hal ini nitrogen pada urin merupakan hasil dari proses

katabolisme dalam jaringan tubuh (Moen 1973). Dalam metabolisme basal,

perbandingan N (mg) yang terdapat dalam urin (Endogenous Urine Nitrogen,

EUN) dengan kebutuhan energi dalam kcal adalah 2 atau setiap 1.000 kalori yang

digunakan oleh proses fisiologi tubuh satwa akan menghasilkan 2 mg N dalam

urinnya, dimana W adalah bobot badan dalam kg. Banyaknya EUN (Qeun) setiap

hari (g) dalam keadaan metabolisme basal:

1000

)(W.kg 70 x 2 Qeun

0.75

= (Moen 1973)

Page 57: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

40

Metabolisme basal merupakan aktivitas metabolik yang dibutuhkan untuk

pemeliharaan tubuh yang hidup dan fungsi pokok sestabil mungkin. Perhitungan

penggunaan energi basal dapat dilakukan dengan mengukur konsumsi oksigen

(dan produksi CO2 dan ekskresi N) setelah hewan dipuasakan (Linder 2006).

Metabolisme

Metabolisme merupakan semua reaksi kimia yang terjadi dalam tubuh, yang

memerlukan dan melepaskan energi sehingga terjadi keseimbangan antara

pembentukan (anabolisme) dan penguraian (katabolisme) (Tortora dan

Anagnostakos 1990). Proses penguraian dan pembentukan kembali zat makanan

di dalam tubuh tersebut dimulai dengan tahap pemasukan zat gizi yang dalam

keadaan normal melalui proses makan (Irianto 2005). Piliang dan Djojosoebagio

(2006) menyatakan bahwa metabolisme dalam tubuh berfungsi menghasilkan

energi yang diperlukan untuk aktivitas sehari-hari dan untuk produktivitas.

Kebanyakan nutrisi dalam makanan harus dibuat lebih kecil, dipecah atau

dibuat lebih larut sebelum diabsorbsi oleh saluran pencernaan. Nutrisi utama

dalam makanan yang dibutuhkan tubuh yakni karbohidrat, lemak, protein,

mineral, vitamin dan air (Beyer 2004). Nutrisi tersebut merupakan substansi kimia

dalam makanan yang menyediakan energi, pembentuk komponent tubuh yang

baru, atau membantu berbagai proses fungsi tubuh (Tortora dan Anagnostakos

1990).

Metabolisme Lipid

Lipid yang terdapat dalam makanan sebagian besar berupa lemak, sehingga

metabolismenya merupakan metabolisme lemak. Pada dasarnya lipid merupakan

konduktor panas yang jelek, sehingga lipid dalam tubuh mempunyai fungsi untuk

mencegah terjadinya kehilangan panas dari tubuh. Makin banyak lemak, makin

baik fungsinya mempertahankan panas dalam tubuh. Selain itu lemak mempunyai

fungsi melindungi organ-organ tubuh tertentu dari kerusakan akibat benturan dan

goncangan. Lemak juga merupakan salah satu bahan makanan yang mengandung

vitamin A, D, E dan K serta merupakan sumber energi setelah karbohidrat

(Winarno 1992; Irianto 2005; Poedjiadi dan Supriyanti 2007).

Page 58: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

41

Sebagian besar lemak dalam diet merupakan lemak netral yang juga dikenal

sebagai trigliserida, masing-masing molekul terdiri atas satu inti gliserol dan tiga

asam lemak. Lemak netral ditemukan dalam makanan yang berasal dari hewan

dan tumbuh-tumbuhan. Dalam diet biasa juga terdapat sejumlah kecil fosfolipid,

kolesterol dan ester-ester kolesterol. Fosfolipid dan ester kolesterol mengandung

asam lemak dan karena itu, dapat dianggap sebagai lemak sendiri. Sebaliknya,

kolesterol merupakan senyawa sterol yang tidak mengandung asam lemak, tetapi

ia menunjukkan beberapa sifat fisika dan kimia lemak, ia berasal dari lemak dan

dimetabolisme sama seperti lemak. Oleh karena itu, kolesterol dipandang dari segi

makanan sehari-hari, dianggap merupakan lemak (Guyton 1996).

Lemak yang dapat dicerna di dalam lambung di bawah pengaruh lipase

lambung, 95–99% dari seluruh pencernaan lemak terjadi di dalam usus halus,

terutama di bawah pengaruh lipase pankreas. Emulsifikasi lemak oleh asam-asam

empedu merupakan langkah pertama pencernaan lemak yakni dengan

memecahkan butir-butir lemak menjadi ukuran-ukuran kecil sehingga enzim-

enzim pencernaan yang tidak larut dalam lemak dapat bekerja pada permukaan

butiran. Proses ini dinamakan emulsifakasi lemak dan dicapai dibawah pengaruh

empedu yang disekresikan ke dalam empedu oleh hati. Garam empedu berlaku

sebagai deterjen yang sangat menurunkan tegangan antar permukaan lemak.

Dengan tegangan antar permukaan yang rendah, gerakan mencampur saluran

pencernaan berangsur-rangsur dapat memecah globulus lemak menjadi partikel

yang lebih halus, disertai luas permukaan total lemak yang meningkat dua kali,

setiap kali terjadi penurunan diameter globulus lemak menjadi setengahnya

(Guyton 1996).

Dibawah pengaruh lipase pankreas, kebanyakan lemak dipecah menjadi

monogliserida, asam-asam lemak dan gliserol. Walau lemak dalam jumlah sedang

hanya dicerna sampai stadium gliserida, dengan berlanjutnya proses hidrolisis

lemak, maka absorpsi lemak akan lebih baik, seperti tercantum pada Gambar 8

(Guyton 1996).

Page 59: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

42

Gambar 8 Pencernaan lemak (Guyton 1996).

Sel epitel usus halus mengandung sejumlah kecil lipase, yang dikenal

sebagai lipase usus, memberikan pengaruh yang sedikit dalam pencernaan lemak.

Dalam proses pencernaan lemak menjadi misel, peranan garam-garam empedu

dalam mempercepat proses pencernaan tersebut penting. Hidrolisis trigliserida

merupakan proses yang sangat reversible, oleh karena itu penimbunan

monogliserida dan asam lemak bebas sekitar lemak yang dicernakan sangat cepat

menghambat pencernaan lebih lanjut. adanya garam empedu yang memegang

peranan penting dalam menyingkirkan monogliserida dan asam lemak bebas dari

sekitar butiran lemak yang sedang dicernakan hampir secepat hasil akhir

pencernaan dibentuk (Guyton 1996).

Selama pencernaan trigliserida, secepat pembentukan monogliserida dan

asam lemak bebas, mereka larut dalam bagian lemak misel yang segera

membuang hasil akhir pencernaan ini dari sekitar butiran lemak yang sedang

dicernakan. Akibatnya, proses pencernaan dapat berlangsung tanpa ada yang

menghambat. Misel garam empedu juga bekerja sebagai media transpor untuk

membawa monogliserida dan asam lemak bebas ke brush border sel epitel. Di sini

monogliserida dan asam lemak bebas diabsorpsi. Setelah mengangkut zat-zat

tersebut ke brush border garam empedu sekali lagi kembali lagi masuk kimus

untuk digunakan berkali-kali dalam prose pengangkut tersebut (Guyton 1996).

Lemak yang dicernakan membentuk monogliserida dan asam lemak bebas,

kedua zat hasil akhir pencernaan ini terutama larut dalam bagian lipid misel asam

empedu. Karena ukuran molekul misel ini dan juga karena muatannya yang sangat

besar dibagian luar menyebabkan larut dalam kimus. Dalam bentuk ini,

monogliserida dan asam lemak ditranspor ke permukaan sel epitel. Waktu kontak

dengan permukaan ini, monogliserida dan asam lemak, keduanya dengan cepat

Page 60: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

43

berdifusi melalui membran epitel, meninggalkan misel sedangkan asam empedu

tetap dalam kimus. Misel ini kemudian berdifusi kembali ke dalam kimus dan

terus mengabsorpsi monogliserida dan asam lemak, dan hal yang sama juga

menstranspor zat-zat ini ke sel epitel. Jadi, asam empedu melakukan fungsi

pengangkut yang sangat penting untuk absorpsi lemak. Dengan adanya banyak

asam empedu, kira-kira 97% lemak di absorpsi; tanpa adanya asam empedu,

hanya 50–60% yang diabsorpsi dalam keadaan normal (Guyton 1996).

Mekanisme absorpsi monogliserida dan asam lemak melalui brush border

didasarkan bukti bahwa kedua zat tersebut sangat larut dalam lemak. Oleh karena

itu, mereka larut dalam membran dan berdifusi ke bagian dalam sel. Setelah

masuk ke dalam sel epitel, banyak monogliserida dicernakan lebih lanjut menjadi

gliserol dan asam lemak oleh lipase sel epitel. Kemudian, asam lemak bebas

dibentuk kembali oleh retikulum endoplasma menjadi trigliserida. Hampir semua

gliserol yang digunakan untuk tujuan ini disintesis denovo dari alfa-gliserofosfat.

Akan tetapi, sejumlah kecil gliserol asli dari monogliserida terdapat dalam

trigliserida yang baru disintesis. Setelah terbentuk, trigliserida terkumpul dalam

butiran bersama dengan kolesterol yang diabsorpsi, fosfolipid yang diabsorpsi dan

fosfolipid yang baru disintesis. Masing-masing zat tersebut diliputi oleh selubung

protein, β lipoprotein yang digunakan juga disintesis oleh retikulum endoplasma.

Massa berbutir ini, bersama dengan selubung protein, dikeluarkan dari sisi sel

epitel masuk ruang intersel dan dari sini berjalan masuk lakteal sentral vili.

Butiran seperti ini dinamakan kilomikron. Selubung protein kilomikron membuat

mereka hidrofilik, memungkinkan stabilitas suspensi yang layak dalam cairan

ekstrasel (Guyton 1996).

Metabolisme Protein

Protein yang terdapat dalam makanan dicerna dalam lambung dan usus

menjadi asam-asam amino, yang diabsorbsi dan dibawa oleh darah ke hati.

Sebagian asam amino diambil oleh hati, sebagian lagi diedarkan ke dalam

jaringan-jaringan di luar hati. Protein dalam sel-sel tubuh dibentuk dari asam

amino. Bila ada kelebihan asam amino dari jumlah yang digunakan untuk

biosintesis protein, kelebihan asam amino akan diubah menjadi asam keto yang

Page 61: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

44

dapat masuk ke dalam siklus asam sitrat atau diubah menjadi urea (Poedjiadi dan

Supriyanti 2007).

Pencernaan protein yang dimulai di dalam lambung dengan enzim pepsin

yang memecah protein menjadi pentosa, pepton dan polipeptida besar. Enzim ini

hanya berfungsi dalam medium yang sangat asam yakni pada pH 2, sehingga

sekresi asam hidroklorida dalam lambung sangat penting untuk proses pencernaan

ini (Guyton 1996), seperti tercantum pada Gambar 9.

Gambar 9 Pencernaan protein (Guyton 1996).

Pepsin penting karena kesanggupannya untuk memecah kolagen, suatu

albuminoid yang sedikit dipengaruhi oleh enzim pencernaan lain. Protein dicerna

lebih lanjut di dalam usus halus dibawah pengaruh enzim pankreas yakni tripsin,

kimotripsin dan karboksipolipeptidase. Produk akhir pencernaan ini adalah

polipeptida kecil ditambah beberapa asam amino yang kemudian polipeptida kecil

ini dicerna menjadi asam amino sewaktu berkontak dengan sel epitel usus halus.

Karena sel ini mengandung beberapa enzim (peptidase) yang mengkonversi

produksi protein sisanya menjadi protein (Guyton 1996).

Selain mensintesis jaringan untuk membangun (pertumbuhan) dan

memperbaiki sel yang rusak, protein juga dapat menjadi sumber energi jika

persediaan asam amino dalam tubuh melebihi kebutuhan, maka kelebihannya

dapat digunakan untuk menghasilkan energi, dimana tiap gram protein

menghasilkan 4 kkal (Irianto 2005; Poedjiadi dan Supriyanti 2007).

Estimasi kebutuhan protein dapat dilakukan dengan: (a) pengukuran N

normal yang keluar melalui feses, urin, kulit, keringat, rambut untuk

memperkirakan kebutuhan minimal, dan (b) penelitian neraca dimana konsumsi

Page 62: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

45

relatif dan yang hilang dibandingkan pada berbagai level konsumsi protein rendah

untuk mengekstrapolasi menjadi kebutuhan minimal (Linder 2006).

Metabolisme Karbohidrat

Dalam makanan, sumber utama karbohidrat yakni sukrosa yang merupakan

disakarida yang telah dikenal sebagai gula tebu; laktosa yang merupaka disakarida

dalam susu dan pati yang merupaka polisakarida besar yang terdapat hampir pada

semua makanan dan khususnya dalam padi-padian. Pencernaan karbohidrat yakni

dengan menghidrolisis pati menjadi maltosa (isomaltosa) yang merupakan

disakarida dan bersama disakarida utama lain, laktosa dan sukrosa dihidrolisis

menjadi monosakarida glukosa, galaktosa dan fruktosa (Gambar 10) (Guyton

1996).

Gambar 10 Pencernaan karbohidrat (Guyton 1996).

Hidrolisis pati dimulai di dalam mulut dibawah pengaruh enzim ptialin yang

disekresikan di dalam saliva dari glandula parotidea. Asam hidroklorida lambung

melakukan sedikit hidrolis tambahan yang akhirnya bagian utama hidrolisis

terjadi di dalam bagian atas usus halus dibawah pengaruh enzim amilase

pankreas. Enzim lakatase, sukrase, maltase dan isomatase untuk pemecahan

disakarida terletak dalam mikrovili brus border sel epitel. Disakarida ini dicerna

menjadi monosakarida sewaktu berkontak dengan mikrovili sewaktu berdifusi ke

dalam mikrovili. Produk pencernaan, monosakarida glukosa, galaktosa dan

fruktosa kemudian segera diabsorbsi ke dalam darah porta (Guyton 1996).

Page 63: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

46

Tingkah Laku

Tingkah laku dapat diartikan sebagai ekspresi hewan yang disebabkan oleh

berbagai faktor, baik dari dalam tubuh maupun faktor luar. Tingkah laku tersebut

perlu diamati agar dapat diketahui bagaimana hewan bereaksi atas suatu

perubahan atau tekanan dari lingkungan (Bennet et al. 1995).

Monyet ekor panjang merupakan hewan diurnal yang seluruh aktivitasnya

dilakukan pada siang hari. Lindburg (1980) diacu dalam Pijoh (2006)

mengklasifikasikan aktivitas harian monyet di alam sebagai berikut: 1) makan:

aktivitas yang meliputi proses pengumpulan pakan sampai mengunyah dan

dilakukan pada pohon yang sama; 2) mencari makan: aktivitas yang meliputi

pergerakan di antara sumber makanan, biasanya di antara pohon; 3) istirahat: tidak

melakukan aktivitas apapun, hanya diam atau tiduran; 4) berkelahi: aktivitas ini

ditandai dengan ancaman mimik muka atau gerakan badan, menyerang, memburu

dan baku hantam: 5) merawat diri: aktivitas mencari kotoran dari tubuh sendiri

maupun dari tubuh individu lain yang sejenis; 6) kawin: hubungan seksual yang

dimulai dari pengejaran terhadap betina dan diakhiri dengan turunnya pejantan

dari betina setelah kopulasi; dan 7) bermain: aktivitas bermain antar individu,

terutama anak monyet. Bila orang memberi perlakuan menatap lama pada seekor

monyet, maka monyet tersebut akan merasa terancam karena merasa orang

tersebut akan menyerangnya sehingga monyet akan memberi respon dengan cara

balas menatap dengan mulut terbuka dan dengkuran, kemudian menyerang sambil

berteriak, memukul dan menggigit, atau kemungkinan lainnya mereka

menunjukkan reaksi patuh dengan tidak melihat, menghindar, atau meringis

ketakutan (Vandenberg 2000 diacu dalam Pijoh 2006).

Tingkah laku sebagai ekspresi suatu hewan yang disebabkan oleh semua

faktor yang mempengaruhinya antara lain faktor eksogenus, endogenus,

pengalaman dan fisiologis (Suratmo 1979 diacu dalam Sari 2004). Aktivitas

tingkah laku hewan di alam dan di kandang akan berbeda. Di kandang pola

tersebut akan memunculkan tingkah laku abnormal dari hewan seperti stereotipe,

melukai diri sendiri maupun hiperagresif dan pola ini sangat berkaitan erat dengan

ukuran dari kandang yang digunakan, dimana ukuran kandang yang kecil lebih

tinggi ditemukan tingkah laku abnormal dibandingkan dengan kandang yang

Page 64: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

47

memiliki ukuran yang lebih kompleks (Kitchen dan Martin 1996). Röder dan

Timmermans (2002) bahwa untuk mereduksi tingkah laku abnormal maka perlu

pengkayaan laboratorium meliputi kondisi sosial, ketentuan kandang, dan teknik

penyajian makanan.

Honess et al. (2004) yang melakukan studi mengenai respon tingkah laku

Macaca fascicularis pada transportasi melalui udara dan rehousing, hasil

penelitian dari tiga fase pengamatan menunjukkan bahwa tingkah laku yang

paling dominan ditunjukkan yakni tingkah laku eksplorasi dan affiliatif (meliputi:

presenting, allogroming, bermain dengan air dan di tempat duduk, bermain

dengan mainan, manipulasi kadang/lingkungan) perawatan diri sendiri (meliputi:

self groming, minum dan makan) dan tingkah laku lainnya (meliputi:

memperhatikan hewan lainnya, urinasi, defekasi, bersin, memperhatikan

sekitarnya, vokalisasi dan bersembunyi.

Chrousos dan Gold (1992) diacu dalam Habib et al. (2000) bahwa poros

kelenjar hipotalamus-adrenal dan sistem saraf simpatis memegang peranan dalam

mengaktifkan pengaturan metabolisme dan kardiovaskular. Dan pada waktu yang

sama berperan mengatur fungsi neurovegetative saat terjadi penurunan

kemampuan bertahan hidup pada situasi yang terancam, mekanisme endokrin

untuk pertumbuhan dan reproduksi termasuk penggunaan energi untuk

menghindari keadaan yang membahayakan. Disamping itu beberapa substrat

neuroanatomik dan sistem hormonal memberikan kontribusi yang lebih besar

pada tingkah laku, neuroendokrin, autonomik dan respon neurovegetative pada

stres (Behan et al. 1996 diacu dalam Habib et al. 2000).

Habib et al. (2000) melihat peranan sistem hormonal dalam hubungannya

dengan tingkah laku stres khususnya efek dari pemberian antalarmin untuk

menghambat reseptor Corticotropin Releasing Hormon (CRH) tipe-1 dalam

hubungannya dengan tingkah laku, neuroendokrin dan komponen autonomi pada

respon stres dari monyet rhesus (Macaca mulatta). Hasil yang diperoleh bahwa

pemberian antalarmin secara nyata menghambat tingkah laku yang berhubungan

dengan kecemasan dan rasa takut seperti menggigil, menyeringai, gigi berdecak,

urinasi dan defekasi terutama pada situasi dengan tingkat stres yang tinggi,

meningkatkan ekplorasi dan tingkah laku seksual dibandingkan tekanan stres

Page 65: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

48

secara normal. Lebih lanjut disimpulkan bahwa CRH memiliki peranan yang

besar pada respon fisiologis terutama cekaman psikologis pada primata serta

menghambat peran reseptor CRH tipe-1 yang memiliki nilai tereupatik pada

psikologi, reproduksi dan kardiovaskuler pada manusia yang berhubungan dengan

sistem hiperaktivitas dari CRH yang tidak teratur.

Tingkah laku dari hewan juga sangat dipengaruhi oleh makanan,

sebagaimana Kaplan et al. (1994) melakukan penelitian untuk melihat hubungan

antara makan berkolesterol, aktivitas pusat serotogenik dan tingkah laku sosial

pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) remaja. Hasil yang diperoleh

bahwa hewan yang mengkonsumsi makanan rendah kolesterol lebih agresif,

kurang affiliatif dan mempunyai konsentrasi cairan cerebrospinal yang rendah

dibandingkah dengan yang menkonsumsi makanan kolesterol tinggi dengan

perbedaan yang nyata. Penelitian yang serupa dengan menggunakan spesies yang

berbeda menunjukkan hasil yang tidak berbeda pula dan sebagai tambahan bahwa

makanan yang mengandung protein dapat mempengaruhi tingkah laku dan

neurokimia otak, fenomena ini relevan dengan pemahaman bahwa peningkatan

kematian akibat kejadian kekerasan dan menyakiti diri sendiri ditemukan pada

percobaan yang rendah koleterol.

Page 66: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

49

MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari 23 Februari 2009 sampai dengan 3 Juni

2009 di PT IndoAnilab Bogor. Penelitian dibagi dalam dua tahap, yaitu tahap

pertama adalah pembentukan hewan model obes yang telah berlangsung

selama satu tahun, dan untuk penelitian ini tahap pertama dimulai dari 23

Februari sampai dengan 11 Maret 2009 yang kemudian dilanjutkan dengan

tahap kedua, yakni intervensi nikotin (0,75 mg/kg bobot badan/12 jam) pada

hewan coba obes tersebut dari 12 Maret sampai dengan 3 Juni 2009 (skema

penelitian dapat dilihat pada Gambar 11). Analisis hematologi dilakukan di

Laboratorium Patologi dan Lipida Pusat Studi Satwa Primata Lembaga

Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor (PSSP

LPPM-IPB), sedangkan analisis sampel pakan, feses dan urine dilakukan di

Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB Bogor.

Materi dan Alat

Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah monyet ekor

panjang (MEP) jantan dewasa obes dengan umur 6–8 tahun sebanyak 15 ekor

yang dibagi dalam tiga kelompok berdasarkan perlakuan pakan masing-masing

terdiri dari 5 ekor. Perlakuan dengan pakan A memiliki indeks massa tubuh (IMT)

23,50 kg/m2, perlakuan dengan pakan B memiliki IMT 26,85 kg/m2 dan perlakuan

dengan pakan C memiliki IMT 23,65 kg/m2. Semua MEP yang dijadikan sebagai

hewan percobaan telah mendapat pakan berenergi tinggi pada penelitian tahap

pertama. Seluruh perlakuan yang melibatkan hewan model dilakukan berdasarkan

peraturan yang telah ditetapkan oleh Animal Care and Use Committee (ACUC),

merupakan Komisi Kesejahteraan dan Penggunaan Hewan Percobaan dari PT

IndoAnilab dengan nomor protokol: 04–IA–ACUC–09 (Lampiran 1).

Page 67: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

50

Pakan Perlakuan

Pakan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pakan energi tinggi

dengan formula yaitu pakan A sumber energi berasal dari tallow dan gandum;

pakan B energi bersumber dari tallow, kuning telur dan gandum; dan pakan C

(monkey cow). Pakan A dan B adalah pakan yang bersumber dari bahan-bahan

lokal, sedangkan pakan C adalah pakan komersial produk pabrik. Pakan tersebut

merupakan pakan yang digunakan pada penelitian tahap pertama yang bertujuan

untuk pembentukan hewan model obes. Ketiga pakan yang diberikan tersebut

sekaligus merupakan perlakuan yang selanjutnya ditambahkan nikotin (0,75

mg/kg bobot badan) (komposisi nutrisi formula pakan perlakuan pada Tabel 8).

Selain mendapatkan pakan tersebut, guna pengkayaan lingkungan (environmental

enrichment) MEP juga mendapat pakan tambahan berupa buah pisang serta

diberikan jambu dengan bobot 10 g/ekor/hari yang telah diberikan dalam bentuk

beku, karena sebelumnya telah dibekukan dalam lemari es selain itu pula

pemberian air minum diberikan adlibitum.

Tabel 8 Komposisi nutrisi formula pakan perlakuan

Kandungan Nutrisi Pakan A Pakan B Pakan C Protein (%) 12,02 13,47 26,82 Lemak (%) 20,80 19,52 4,15 Serat Kasar (%) 2,12 1,25 2,25 BETN (%) 53,24 54,16 58,12 BK (%) 78,02 76,72 88,07 Gross Energi (Kal/kg) 4.479,11 4.399,86 4.492,87 Nikotin Cair (mg/kg) 0,75 0,75 0,75

Sumber: Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB Bogor 2009.

Intervensi nikotin yang diberikan yakni dengan dosis 0,75 mg/kg bobot

badan/12 jam. Nikotin yang digunakan dalam penelitian ini dalam bentuk cair yang

dicampurkan pada saat pembuatan pakan, nikotin yang digunakan setara dengan

dosis yang diabsorpsi oleh manusia saat merokok 2–3 batang. Dosis fatal dari

nikotin murni adalah 30–60 mg/kg bobot badan. Dosis yang digunakan tersebut

(0,75 mg/kg bobot badan/12 jam) merupakan dosis aman (MOS, Margin of Safety)

penggunaan nikotin. Pemberian nikotin dilakukan melalui pakan yang diberikan

dua kali sehari. Sedangkan bahan yang digunakan adalah ketamin, alkohol 70%,

kapas dan H2SO4, kertas label serta alat dan bahan untuk analisis proksimat.

Page 68: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

51

Alat

Alat yang digunakan adalah kandang individu metabolik stainless steel

(squeeze back cage) untuk mempermudah pemeliharaan dan pengendalian dengan

ukuran 0,6x0,6x0,9 m yang ditempatkan pada tempat tertutup dengan ventilasi

yang cukup. Setiap kandang dilengkapi dengan tempat pakan, tempat air minum

yang ditempelkan diluar kandang serta tempat penampungan feses. Kandang di

letakan sebaik mungkin agar masing-masing individu dapat saling berinteraksi.

Selain itupula digunakan timbangan untuk menimbang bobot badan (merek

Five Goats) dan pakan (Merek Acis), alat pencampur pakan, pengukur tinggi

duduk (tongkat ukur merek FHK), syringe 5 ml, kotak pendingin, tabung untuk

koleksi feses dan urine, CCTV (Closed Circuit Television) untuk pengamatan

tingkah laku yang dipasang pada bagian depan kandang dan digeser untuk

mendapatkan gambar tingkah laku selama penelitian.

Metode Penelitian

Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang

tersarang dalam waktu dengan tiga perlakuan pakan dan empat perlakuan periode

pengamatan (waktu), masing-masing perlakuan terdiri dari lima ulangan yang

dianalisis dengan program SAS. Disamping itu pula digunakan análisis korelasi

linear untuk melihat hubungan beberapa parameter yang diamati. Model

matematik RAL yang digunakan sebagai berikut:

Y ijk = µµµµ + αi + ωj(i) + εεεεijk

Keterangan:

Y ijk = respon pengamatan yang memperoleh perlakuan pakan level ke-i dan periode pengamatan

(waktu) level ke-j pada ulangan ke-k,

µ = rata-rata umum,

αi = pengaruh perlakuan pakan level ke-i,

ωj(i) = pengaruh periode pengamatan (waktu) level ke-j yang tersarang pada pakan level ke-i, dan

εijk = galat percobaan yang disebabkan oleh perlakuan pakan level ke-i dan periode pengamatan

(waktu) level ke-j pada ulangan ke-k.

Page 69: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

52

MEP yang digunakan sebagai hewan percobaan merupakan hewan model obes

yang telah mendapatkan pakan berenergi tinggi selama 1 tahun (Februari 2008–

Februari 2009) karateristik dari MEP pada masing-masing perlakuan dapat dilihat

pada skema penelitian (Gambar 11) berikut.

Gambar 11 Riwayat penggunaan MEP sebagai hewan percobaan

Prosedur Penelitian

MEP yang digunakan berjumlah 15 ekor yang dibagi kedalam tiga perlakuan

dengan jumlah ulangan masing-masing terdiri dari 5 ekor dengan karakteristik

obesitas yakni perlakuan A dengan IMT 23,50 kg/m2 (pre obes), perlakuan B dengan

IMT 26,85 kg/m2 (obes Tipe I) serta perlakuan C dengan IMT 23,65 kg/m2 (pre obes)

berdasarkan kriteria obes untuk orang Asia (Tabel 1). Penelitian untuk mendapatkan

monyet obes tersebut dimulai dari Februari 2008–Februari 2009 dengan masa

aklimatisasi 2 minggu kemudian diberi perlakuan pemberian pakan yakni pakan A,

pakan B dan pakan C (monkey cow) dengan kandungan nutrisi seperti ditampilkan

pada Tabel 8.

Sebelum diintervensi dengan nikotin, dilakukan pengamatan pada semua

parameter yang diamati (23 Februari–11 Maret 2009) dan mulai tanggal 12 Maret–3

Juni 2009 dilakukan intervensi nikotin cair dan kemudian dilakukan pengamatan

Dilakukan pengukuran parameter: • PBB, Berat Feses • IMT, Hematologi • Kecernaan • Tingkah laku

Dilakukan pengukuran parameter: • PBB, IMT • Hematologi • Morfometrik dan Kecernaan

Diberi pakan (pakan A, pakan B dan pakan C) + nikotin 0,75 mg/kg BB/12 jam

Dilakukan aklimatisasi selama 2 minggu dan kemudian pemberian pakan (pakan A, pakan B dan pakan C)

selama 1 tahun (Februari 2008–Februari 2009)

Mar 2008

Apr 2008

Mei 2008

Jun 2008

Jul 2008

Agt 2008

Sept 2008

Okt 2008

Nov 2008

Des 2008

Jan 2009

Feb 2008

Mar 2009

Apr 2009

Mei 2009

Jun 2009

Feb 2009

Dilakukan pengukuran parameter : • PBB, IMT • Hematologi • Morfometrik • Kecernaan dan Tingkah laku

IMT (Indek Massa Tubuh) A = 24,88 kg/m2 (pre obes) B = 26,66 kg/m2 (obes tipe I) C = 23,55 kg/m2 (pre obes)

IMT (Indek Massa Tubuh) A = 23,50 kg/m2 (pre obes) B = 26,85 kg/m2 (obes tipe I) C = 23,65 kg/m2 (pre obes)

Penelitian sebelumnya selama 1 tahun untuk pembentukan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebagai hewan model obes

Penelitian pemberian nikotin

Pelaksanaan penelitian sebelum dan selama intervensi nikotin

Page 70: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

53

untuk semua parameter yang diamati dengan pengukuran masing-masing parameter

dilakukan setiap empat minggu.

Sebagaimana dalam hipotesis awal bahwa pemberian nikotin dapat

menurunkan obesitas yang ditandai perubahan indeks masa tubuh (IMT) termasuk

perubah tingkah laku maupun kondisi fisiologi dari hewan coba. Untuk itu, penelitian

ini dibagi dalam dua bagian guna membandingkan perubahan tersebut setelah

intervensi nikotin.

1. Pertama, yakni pengumpulan data pada bulan pertama untuk semua parameter

yang diamati sebelum diintervensi nikotin yang merupakan data awal (B1).

2. Kedua, yakni pengamatan pada semua parameter yang diamati selama intervensi

nikotin yang dilakukan setiap bulan selama tiga bulan (B2, yakni satu bulan

setelah intervensi nikotin; B3, yakni dua bulan setelah intervensi nikotin dan B4,

yakni tiga bulan setelah intervensi nikotin).

Berdasarkan penjelasan di atas maka bagan alir penelitian dapat dilihat pada

Gambar 12 berikut.

Gambar 12 Bagan alir penelitian penggunaan MEP

MEP telah diberi pakan A, B dan C selama 12 bulan (Februari 2008–Februari 2009) untuk menjadikan MEP menjadi obes

Monyet Ekor Panjang (MEP) (Macaca fascicularis)

MEP obes yang diberi pakan A, B dan C sebelum diintervensi nikotin selama 1bulan (Februari-Maret 2009)

MEP obes yang diberi pakan A, B dan C dengan intervensi nikotin 0,75 mg/kg bobot badan/12 jam melalui pakan selama 3 bulan (Maret-Juni 2009)

Kriteria

Pakan A (energi tinggi bersumber dari tallow dan gandum)

Pakan B (energi tinggi bersumber dari

tallow, kuning telur dan gandum)

Pakan C (monkey chow, protein tinggi)

Peubah: 1. Hematologi 2. Nilai kecernaan

o Perubahan bobot badan o Konsumsi pakan harian o Kecernaan Bahan Kering o Konsumsi nutrien o Koefisien kecernaan o TDN o Energi termetabolisme

3. Tingkah laku

Pra Obes (IMT= 23,50)

Obes (IMT= 26,85)

Pra Obes (IMT= 23,65)

Pengamatan Pertama

Pengamatan Kedua

Interpretasi data

Hasil dan kesimpulan

Analisis

Page 71: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

54

Pembuatan Pakan dan Penambahan Nikotin

Pembuatan pakan A dan B dilakukan setiap minggu dengan bahan terdiri

dari gandum, gula, tallow (lemak hewan), minyak goreng, tepung ikan, tepung

maizena, bungkil kedelai, dedak padi, agar-agar, CMC (carboxymethyl cellulose),

mineral mix, kalsium karbonat, kalsium fosfat serta kuning telur. Sedangkan

untuk pakan C menggunakan monkey chow, yang merupakan pakan berbentuk

biskuit padat, kering dan agak keras dengan kandungan protein dan energi yang

tinggi. Perbedaan antara pakan A dan B yakni adanya penambahan kuning telur

pada pakan B sedangkan pakan A tidak memiliki kuning telur.

Penambahan nikotin cair dilakukan saat pembuatan pakan dengan dosis

didasarkan pada rataan umum bobot badan untuk masing-masing perlakuan.

Untuk pakan C, monkey chow terlebih dahulu dihancurkan menjadi remah-remah

kemudian ditambahkan dengan nikotin cair yang kemudian dibentuk menjadi

padatan dengan berat 50 g/biji. Untuk pakan A dan B, padatan dibuat dengan

berat 30 g/biji.

Sebelum dicampur dalam pakan, nikotin yang digunakan terlebih dahulu

dihitung jumlahnya (dalam setiap ml cairan, mengandung 0,4 mg nikotin), adapun

formula untuk mengetahui jumlah dosis nikotin yang dicampurkan pada saat

pembuatan pakan yakni:

Jumlah nikotin cair (ml) =( ) 2 x jbkp dp . x

Keterangan :

x = rata-rata umum bobot badan MEP setiap perlakuan,

dp = dosis nikotin yang digunakan (0,75 mg/kg bobot badan),

kp = jumlah kg pakan yang dibuat (g), dan

jb = berat per biji dari pakan yang dibuat menjadi padatan.

Untuk pakan A dan B dalam sekali pembuatan yakni 1,5 kg dengan berat

per biji yang dibuat padatan yakni 30 g. Dari formula tersebut dapat diketahui

jumlah nikotin (ml) yang digunakan dikalikan dengan 2, hal ini karena dalam

setiap 1 ml cairan mengandung 0,4 mg nikotin sehingga untuk mendapatkan dosis

0,75 mg/kg bobot badan harus setara dengan 2 ml cairan nikotin. Untuk pakan C

dalam sekali pembuatan pakan yakni 5 kg dengan berat per biji yang dibuat

padatan yakni 50 g.

Page 72: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

55

Penimbangan Bobot Badan dan Pengambilan Sampel Darah

Sebelum penimbangan bobot badan, monyet terlebih dahulu dibius dengan

ketamin (10 mg/kg secara intramuskuler) (Unwin 2005). Setelah itu dilakukan

penimbangan bobot badan yang kemudian dilanjutkan pengambilan darah pada

daerah vena femoralis menggunakan syringe 5 ml yang kemudian dimasukkan ke

dalam tabung yang berisi antikoagulan EDTA. Penimbangan bobot badan dan

pengambilan sampel darah dilakukan setiap satu bulan. Disamping penimbangan

bobot badan, juga dilakukan pengukuran tinggi duduk untuk mendapatkan nilai

indeks massa tubuh (IMT), karena data IMT merupakan data pendukung untuk

mengetahui respon dari nikotin cair yang diberikan terhadap perubahan kondisi

tubuh dari MEP dalam hal ini obesitas.

Pengamatan Sampel Darah

Sampel darah yang berada dengan antikoagulan EDTA dimasukkan ke

dalam kotak pendingin yang berisi es dan kemudian dilakukan analisis hematologi

di Laboratorium Patologi dan Lipida Pusat Studi Satwa Primata Lembaga

Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor (PSSP

LPPM-IPB). Parameter hematologi diukur dengan menggunakan Hematology

Analyzer (Nihon Kohden, Hematology Veterinary).

Pengamatan Kecernaan Zat-zat Makanan

Konsumsi Pakan

Pakan diberikan dua kali sehari yakni pada pagi hari jam 8.00 WIB dan

siang hari jam 12.00 WIB, yang sebelumnya ditimbang terlebih dahulu untuk

mengetahui berat awalnya disamping itupula pakan yang tersisa atau yang tidak

terkonsumsi oleh monyet pada pagi berikutnya juga ditimbang. Selisih antara

berat pakan awal dikurangi dengan pakan sisa atau yang tidak terkonsumsi pada

pagi berikutnya merupakan jumlah konsumsi harian dari hewan percobaan yang

dinyatakan dalam gram.

Koleksi Feses dan Penyimpanan Sampel Feses

Feses harian (g/hr) yakni diperoleh melalui pengumpulan feses secara

komposit. Pengumpulan feses segar dilakukan setiap hari pukul 07.00 WIB saat

Page 73: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

56

pembersihan dan pemberian makanan, setelah ditimbang beratnya kemudian

diambil 10% dari berat segarnya yang kemudian diletakkan dalam tabung untuk

kemudian disimpan pada suhu -20°C sampai dilakukan analisis. Feses yang

terkumpul selama penelitian kemudian dikering ovenkan pada suhu 60°C

kemudian ditimbang kembali, serta dilakukan penggilingan untuk kemudian

dianalisis proksimat.

Koleksi Urine dan Penyimpanan Sampel Urine

Sampel urine dikoleksi dari ”baki penampungan urine” yang berada di

bawah kandang metabolik individu. Koleksi urine dilakukan setiap hari pada saat

pembersihan dan pemberian makanan pada jam 07.00 WIB (bersamaan dengan

koleksi feses). Pemisahan antara feses dan urine dilakukan dengan menggunakan

kain kasa yang ditempatkan di atas baki penampung urine dimana feses akan

tertahan pada kain kasa sedangkan urine akan turun ke bawah dan tertampung

dalam baki penampungan.

Urine yang tertampung tersebut kemudian disedot dengan menggunakan

spuit. Selanjutnya, spesimen urine sebanyak 2 ml dituangkan ke dalam tabung dan

diberi keterangan (nomor kandang perlakuan serta waktu pengambilan), kemudian

disimpan pada suhu -20°C sampai dilakukan analisis berikutnya. Untuk

menghindari adanya kehilangan N urine yang menguap dalam bentuk amonia,

maka ke dalam spesimen urine ditambahkan dua tetes H2SO4 (3 M).

Pengamatan Tingkah Laku

Pengamatan tingkah laku dalam penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan

informasi tingkah laku monyet ekor panjang yang diberi pakan berenergi tinggi

pada kondisi obes Tipe 1 dan pra obes sebelum dan selama diintervensi dengan

nikotin (0,75 mg/kg bobot badan/12 jam). Pengamatan tingkah laku menggunakan

alat bantu monitor dan perekam berupa Closed Circuit Television (CCTV).

Perekaman seluruh aktivitas MEP dilakukan dilakukan dengan Metode Kontinyu

yaitu dilakukan perekaman sepanjang hari satu kali 24 jam, dan pengamatan

individu menggunakan metode Focal Animal Sampling yaitu metode pencatatan

tingkah laku dengan mengamati hewan tertentu yang menjadi fokus pengamatan

(Altman 1974). Pengamatan dilakukan dengan interval 30 menit dengan urutan

Page 74: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

57

pengamatan dilakukan secara acak. Pencatatan meliputi jenis tingkah laku yang

dilakukan, waktu melakukan jenis tingkah laku, durasi, persentase dan jumlah

waktu observasi setiap hewan.

Peubah yang Diamati

1. Hematologi meliputi hemoglobin (g/dl), hematokrit (%), eritrosit (106/ml),

platelet (109/L), leukosit (103/ml), diferensiasi leukosit (%) dan indeks sel

darah merah meliputi MCV; Mean Corpuscular Volume (fl), MCH; Mean

Corpuscular Hemoglobin (pg), dan MCHC; Mean Corpuscular Hemoglobin

Concentration (g/dl) yang diukur dengan menggunakan Hematology Analyzer

(Nihon Kohden, Hematology Veterinary).

2. Nilai kecernaan yakni dilakukan analisis kimia feses meliputi protein, lemak,

serat kasar dan BETN dan melakukan pengukuran parameter berikut:

a. Perubahan bobot badan monyet ekor panjang di ukur pada setiap individu

di peroleh dari penimbangan yakni selisih bobot badan awal (kg) dengan

bobot badan akhir setiap periode (per bulan).

b. Konsumsi ransum harian (g/hr) merupakan jumlah konsumsi ransum

dalam sehari yang diperoleh dengan cara menghitung selisih

(g) tersisayangmakanan jumlah - (g)diberikan yangmakanan jumlah

c. Kecernaan Bahan Kering (KCBK) yang dinyatakan dalam gram.

d. Konsumsi nutrien (g/ekor): konsumsi nutrien didapat dari mengkalikan

konsumsi bahan kering makanan dengan persentase zat-zat makanan yang

terkandung dalam setiap bahan makanan hasil analisis proksimat

e. Koefisien kecernaan (%) merupakan gambaran dari kemampuan hewan

mencerna pakan yang diberikan.

f. Total Digestible Nutrient (TDN)

g. Energi metabolisme

3. Tingkah laku meliputi waktu melakukan, jenis tingkah laku, durasi, persentase

dan jumlah waktu observasi setiap hewan. Adapun jenis tingkah laku yang

diamati tersebut disajikan pada Tabel 9.

Page 75: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

58

Tabel 9 Peubah tingkah laku yang diamati selama penelitian

Aktivitas Tingkah laku Deskripsi Ingestif Makan

proses mengambil makanan, memasukkan dan mengunyah makanan.

Minum aktivitas minum yang meliputi teknik mengambil minum, posisi badan saat minum.

Eliminasi membuang kotoran baik dalam bentuk padatan (feses) maupun dalam bentuk cairan (urine) meliputi posisi untuk kencing maupun defekasi

Tingkah laku Sosial Kontak/sentuhan kontak pisik dengan kandang (tidak termasuk waktu yang dihabiskan

untuk selfgrooming) Self grooming membersihkan atau merawat bulu sendiri dengan tangan atau mulut Agonistik tingkah laku agonistik yang dilampiskan ke kandang Menatap tingkah laku yang dilakukan dengan melihat individu lain baik dalam

bentuk mengancam atau tidak Lokomosi pengukuran semua bentuk lokomosi

Analisis Data

Hematologi

Data hematologi yang diperoleh ditabulasi dan disajikan dalam rataan

simpangan baku dan analisis ragam (ANOVA) untuk mengetahui perbedaan antar

perlakuan dengan taraf nyata 5%. Apabila pada ANOVA ternyata perlakuan

berbeda nyata (p<0,05), maka analisis dilanjutkan dengan Uji Duncan (Steel dan

Torrie, 1993). Sebagai tambahan, nilai hematologi akan diinterpretasikan secara

deskriptif dengan perbandingan berdasarkan kondisi fisiologis dari hewan.

Perhitungan indeks sel darah merah sebagai berikut:

• MCV (Mean Cell Volume atau Mean Corpuscular Volume)

MCV yang mengindikasikan rata-rata volume sel-sel darah merah

didapatkan dari perbandingan antara volume sel darah merah dengan jumlah sel-

sel darah merah

MCV (fl) = 6-10darah x mlper Eritrosit Jumlah

10 x Hematokrit

• MCH (Mean Cell Hemoglobin atau Mean Corpuscular Hemoglobin)

MCH yang mengekspresikan rata-rata bobot hemoglobin di dalam sel-sel

darah merah didapatkan dari rasio antara berat hemoglobin dalam ml darah

dengan jumlah sel darah merah dalam mm darah per 100 ml.

MCH (pg) = 6-10darah x mlper Eritrosit Jumlah

100 x (g/dl) Hemoglobin

Page 76: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

59

• MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration)

MCHC yang mengekspresikan rata-rata konsentrasi hemoglobin di dalam

sel-sel darah merah didapatkan dari rasio antara hemoglobin (g/100 ml darah)

dengan hematokrit per 100 ml

MCHC (%) = (ml/dl) Hematokrit

100 x (g/dl) Hemoglobin

Nilai Kecernaan

Data nilai kecernaan yang diperoleh ditabulasi dan disajikan dalam rataan

simpangan baku yang kemudian dianalisis secara desktiptif dan analisis ragam

(ANOVA) untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dengan taraf nyata 5%.

Apabila pada ANOVA ternyata perlakuan berbeda nyata (p<0,05), maka analisis

dilanjutkan dengan Uji Duncan (Steel dan Torrie, 1993).

• Kecernaan Bahan Kering (KCBK) (g) dihitung dengan rumus:

KCBK (g) =(g) dikonsumsimakanan zat Σ

(g) feses dalammakanan zat Σ(g) dikonsumsimakanan zat Σ

• Koefisien kecernaan (%)

KKC (%) = x100% KZM

ZMF- KZM

Keterangan :

KKC = koefisien kecernaan,

KZM = koefisien zat-zat makanan, dan

ZMF = zat-zat makanan yang ditemukan kembali dalam feses.

Jumlah zat-zat makanan dalam feses = jumlah feses x persentase bahan

kering feses x persentase zat makanan dalam feses.

• Total Digestible Nutrient (TDN) yang dihitung berdasarkan rumus

Persentase TDN = %PKdd + %SKdd + %BETNdd + (2,25 x %LKdd)

Keterangan :

PKdd = protein kasar dapat dicerna,

SKdd = serat kasar dapat dicerna,

BETNdd = BETN dapat dicerna, dan

LKdd = lemak kasar dapat dicerna.

(Tillman dkk. 1989)

Page 77: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

60

• Energi metabolisme

Energi metabolisme ditentukan dengan metode “koleksi total” yakni dengan

menentukan energi total yang terkandung dalam pakan dan ekskreta (feses dan

urine). Energi metabolisme ditentukan dengan rumus:

B = S – (F + U)

Keterangan :

B = energi rmetabolisme (kkal),

S = jumlah energi yang dikonsumsi (kal/g),

F = energi yang hilang melalui feses (kal/g), dan

U = energi yang hilang melalui urin (kkal).

(Sturkie 1976).

Energi dalam urine dihitung berdasarkan petunjuk Crampton dan Harris (1969)

serta Ranjhan (1980) yakni jumlah N (mg) urine dikalikan dengan 7,45 kkal.

Tingkah Laku

Semua pola tingkah laku yang diperoleh kemudian ditabulasi dan dihitung

persentase, jumlah waktu serta frekuensi masing-masing tingkah laku tersebut

yang kemudian dianalisis ragam (ANOVA) untuk mengetahui perbedaan antar

perlakuan dengan taraf nyata 5%. Apabila pada ANOVA ternyata perlakuan

berbeda nyata (p<0,05), maka analisis dilanjutkan dengan Uji Duncan yang

kemudian diinterpresikan berdasarkan pola tingkah laku yang teramati.

Korelasi

Untuk melihat hubungan tingkah laku dengan nilai hematologi maupun nilai

kecernaan dilakukan analisis korelasi (Gomez dan Gomez 2007) yang kemudian

diinterpretasikan secara deskriptif.

r =2y

2x S S

Sxy

Keterangan :

r = koefisien korelasi,

Sxy = kovarian antara x dan y,

S2x = ragam x, dan

2yS = ragam y.

Page 78: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

61

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Penelitian

Penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian sebelumnya yang

bertujuan untuk mendapatkan hewan model obes yang telah berlangsung selama

satu tahun (Februari 2008– Februari 2009) sehingga hewan coba telah teradaptasi

dengan lingkungan penelitian dan telah mengalami obesitas. Penelitian ini

menggunakan fasilitias dari PT IndoAnilab pada ruang tertutup dengan ventilasi

yang baik dan akses terbatas. Kondisi lingkungan selama penelitian menunjukkan

rata-rata kelembaban udara yakni 68±8,35% dengan rata-rata suhu ruangan yakni

28,66±1,74°C.

Selama penelitian berlangsung hewan percobaan dikontrol kondisi

kesehatannya oleh dokter hewan yang berwenang dan setiap bulan dilakukan

pemberian anti TBC dengan tuberkulin yang diberikan melalui injeksi subkutan

pada kelopak mata serta pemberian obat-obatan untuk menjaga kondisi kesehatan

hewan tersebut. Pemberian pakan dan air minum dilakukan setelah pembersihan

kandang yakni sekitar pukul 08.00 WIB pada pagi hari dan pada siang hari sekitar

pukul 12.00 WIB disamping pemberian pakan perlakuan, hewan coba juga

diberikan pengkayaan lingkungan (environmental enrichment) terutama

pengkayaan pakan yakni dengan pemberian buah-buahan (pisang dan jambu biji).

Hematologi

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa intervensi nikotin sebagai upaya

mengatasi masalah obesitas memberikan pengaruh pada gambaran darah. Hal ini

ditunjukkan melalui pengamatan hematologi yang meliputi jumlah sel darah

merah (SDM), sel darah putih (SDP), kadar hemoglobin (Hb), nilai hematokrit

(Hct), indeks sel darah merah (MCV; Mean Corpuscular Volume, MCH; Mean

Corpuscular Hemoglobin, dan MCHC; Mean Corpuscular Hemoglobin

Concentration), platelet dan diferensiasi sel darah putih. Gambaran hematologi

penelitian ini ditampilkan pada Tabel 10.

Page 79: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

62

Tabel 10 Rataan nilai hematologi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin

Hematologi Bulan Perlakuan

Pakan A Pakan B Pakan C

SDM (106/ml)

B1 6,05 ± 0,27 A

Y

6,27 ± 0,36 A

X

5,98 ± 0,67 A

X B2 6,26 ± 0,46 A 6,42 ± 0,67 A 6,03 ± 0,33 A B3 3,66 ± 0,41 B 4,54 ± 0,56 B 4,69 ± 0,55 B B4 3,52 ± 0,40 B 4,53 ± 0,29 B 4,73 ± 0,36 B

Hb (g/dl)

B1 11,22 ± 0,35

Z

12,26 ± 1,06

X

12,22 ± 1,23

Y B2 11,58 ± 0,92 12,74 ± 1,45 12,50 ± 0,94 B3 11,40 ± 0,53 12,90 ± 1,00 12,30 ± 1,23 B4 11,22 ± 0,49 13,18 ± 0,77 12,36 ± 1,00

Hct (%)

B1 34,88 ± 1,30 A

Y

37,74 ± 2,46 A

X

37,82 ± 4,00 A

X B2 35,94 ± 3,37 A 38,40 ± 3,48 A 37,82 ± 2,94 A B3 25,28 ± 2,87 B 31,36 ± 4,07 B 32,64 ± 4,01 B B4 24,38 ± 2,73 B 31,46 ± 2,16 B 33,00 ± 2,69 B

MCV (fl)

B1 57,68 ± 2,09 B

Z

60,30 ± 3,17 C

Y

63,30 ± 2,61 B

X B2 57,36 ± 2,16 B 59,86 ± 3,23 C 62,64 ± 2,61 B B3 69,00 ± 0,27 A 68,06 ± 2,39 B 69,50 ± 0,49 A B4 69,22 ± 0,16 A 69,50 ± 0,58 A 69,68 ± 0,54 A

MCH (pg)

B1 18,58 ± 0,95 B

x

19,58 ± 1,42 B

xy

20,46 ± 1,19 B

y B2 18,50 ± 0,87 B 19,88 ± 1,54 B 20,70 ± 0,73 B B3 31,32 ± 2,42 A 28,64 ± 2,02 A 26,30 ± 1,45 A B4 32,06 ± 2,75 A 29,16 ± 1,55 A 26,12 ± 0,89 A

MCHC (g/dl)

B1 32,16 ± 0,74 A

X

32,46 ± 0,83 B

Y

32,30 ± 0,80 B

Z B2 32,26 ± 1,08 A 33,14 ± 1,07 B 33,04 ± 0,41 B B3 45,40 ± 3,55 B 41,42 ± 3,13 A 37,84 ± 2,22 A B4 46,34 ± 3,93 B 41,96 ± 2,18 A 37,48 ± 1,44 A

Platelet (109/L)

B1 339,40 ± 95,63 A

Y

253,67 ± 54,99 A

Y

381,20 ± 93,91 A

X B2 360,00 ± 40,94 A 318,33 ± 28,04 B 378,00 ± 99,27 A B3 205,00 ± 35,97 B 241,67 ± 30,73 A 305,40 ± 55,29 B B4 201,20 ± 31,34 B 210,67 ± 6,11 C 294,20 ± 44,42 B

SDP (103/ml)

B1 6,06 ± 3,80 6,18 ± 2,44 7,84 ± 3,62 B2 6,52 ± 2,48 6,54 ± 1,65 8,30 ± 4,08 B3 6,16 ± 2,21 7,44 ± 2,88 5,78 ± 2,76 B4 5,68 ± 2,10 5,46 ± 1,29 5,96 ± 2,52

Keterangan: SDM = sel darah merah, Hb = hemoglobin, Hct = hematokrit, MCV = mean corpuscular volume, MCH = mean corpuscular hemoglobin dan MCHC = mean corpuscular hemoglobin concentration. SDP = sel darah putih,

Huruf (X, Y, Z) yang berbeda pada baris dan (A, B, C) yang berbeda pada kolom tiap pengamatan berbeda sangat nyata (P<0,01). Huruf (x, y, z) yang berbeda pada baris tiap pengamatan berbeda nyata (P<0,05).

Hasil analisis statistik nilai hematologi dirinci sebagai berikut ini.

Sel Darah Merah

Sel darah merah memiliki peranan dalam sirkulasi, karena fungsinya yang

mengikat oksigen dan mengedarkannya keseluruh jaringan tubuh. Nilai sel darah

merah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama

diintervensi dengan nikotin dapat dilihat pada Tabel 10 dan Gambar 13.

Page 80: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

63

6.05 6.27 5.98

4.485.17 5.15

0.00

1.002.00

3.00

4.00

5.006.00

7.00

A B C

Pakan

Nil

ai S

el D

arah

Mer

ah (

106 /m

l)

sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin

Keterangan: A= pakan A, B= pakan B, dan C= pakan C. Gambar 13 Histogram perubahan nilai sel darah merah monyet ekor panjang

(Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin

Seperti yang dapat dilihat pada Tabel 10 dan Gambar 13, ternyata intervensi

nikotin 0,75 mg/kg bobot badan/12 jam dapat menurunkan jumlah sel darah

merah seiring dengan pertambahan waktu intervensi nikotin yang diberikan.

Penurunan sel darah merah selama intervensi nikotin yakni 25,95% pada

perlakuan A, 17,65% (perlakuan B) dan 13,88% pada perlakuan C. Berdasarkan

hasil analisis statistik, penurunan tersebut menunjukkan perbedaan yang sangat

nyata (P<0,01) baik antar perlakuan pakan maupun perbedaan waktu pengamatan.

Rataan nilai sel darah merah sebelum intervensi nikotin relatif sama dengan yang

dilaporkan Andrade et al. (2004) pada Macaca fascicularis jantan dewasa sekitar

6,3±0,6 juta/ml sedangkan selama intervensi nikotin, sel darah merah yang

diperoleh lebih rendah dari yang dilaporkan Andrade et al. (2004).

Dari Tabel 10 dapat dilihat rataan nilai sel darah merah menurun selama

penelitian pada semua perlakuan namun kemudian relatif konstan pada dua bulan

setelah intervensi nikotin (B3) dan tiga bulan setelah intervensi nikotin (B4). Hasil

analisis statistik menunjukkan bahwan terjadi penurunan yang berbeda sangat

nyata (P<0,01) namun jumlah sel darah merah masih dalam kisaran normal untuk

satwa primata sebagaimana yang dilaporkan Fridman (2002). Ganon (1985)

menyatakan bahwa sel darah merah (eritrosit) dibentuk di dalam sumsum tulang

dengan kecepatan yang sama dengan rusaknya sel yang lama. Penurunan jumlah

sel darah merah ini masih dapat diatasi oleh tubuh, kondisi ini berkaitan dengan

Page 81: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

64

efek fisiologis dimana jumlah eritrosit selalu diusahakan dalam kisaran normal

(homeostasis).

Nilai rataan sel darah merah pada semua perlakuan sebelum intervensi

nikotin relatif sama, hal ini memberikan arti bahwa perbedaan nilai nutrisi pada

pakan yang diberikan tersebut tidak menyebabkan proses fisiologis terganggu

terutama proses eritropoietin, sebagaimana Phillis (1979) bahwa bentuk dan

jumlah sel darah merah bervariasi dan dipengaruhi oleh spesies, umur, kondisi

tubuh, jenis kelamin, asupan makanan dan lingkungan. Penurunan nilai rataan sel

darah merah sangat nyata (P<0,01) pada semua perlakuan akibat intervensi

nikotin walaupun masih dalam kisaran normal, penurunan nilai sel darah merah

tersebut dapat disebabkan oleh kebutuhan oksigen dari hewan percobaan telah

terpenuhi dengan baik akibat intervensi nikotin. Efek nikotin yang memiliki

interaksi dengan reseptor nikotinik asetilkolin (ACh) memiliki peranan pada

kontrol pusat respirasi yang memegan peranan penting dalam pernafasan

(Narahashi et al. 2000; Shao dan Feldman 2001), efek nikotin tersebut mampu

meningkatkan frekuensi respirasi hingga 280% (Shao dan Feldman 2001). Adanya

efek nikotin yang mampu meningkatkan frekuensi respirasi tersebut,

menyebabkan pasokan oksigen ke dalam tubuh jumlahnya terpenuhi.

Sebagaimana Guyton (1993) bahwa jika kebutuhan oksigen jaringan telah

terpenuhi maka konsentrasi O2 tersebut akan menjadi feed back negative untuk

menurunkan jumlah sel darah merah.

Disamping itu pula, penurunan nilai sel darah merah yang terjadi belum

memberikan gangguan pada hewan penelitian. Hal ini karena kadar hemoglobin

tidak mengalami penurunan seiring dengan penurunan nilai sel darah merah

sehingga kebutuhan oksigen bagi tubuh baik kapiler maupun seluler tetap

terpenuhi yang berakibat pada aktivitas tubuh tetap terjaga.

Hemoglobin

Rataan nilai hemoglobin monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)

sebelum dan selama diintervensi dengan nikotin dapat dilihat pada Tabel 10 dan

Gambar 14. Berdasarkan hasil pengukuran kadar hemoglobin, menunjukkan

bahwa selama intervensi nikotin kadar hemoglobin meningkat dan relatif konstan

sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 14.

Page 82: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

65

11.22

12.26 12.22

11.40

12.94

12.39

10.00

10.5011.00

11.50

12.00

12.5013.00

13.50

A B C

Pakan

Kad

ar H

emo

glo

bin

(g

/dl)

sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin

Keterangan: A= pakan A, B= pakan B, dan C= pakan C. Gambar 14 Histogram perubahan kadar hemoglobin monyet ekor panjang

(Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin

Kadar hemoglobin yang diperoleh relatif tidak berbeda dengan kisaran

normal kadar hemoglobin sebagaimana yang dilaporkan Matsumoto et al. (1980)

sebesar 12,1±0,9 g/dl dan Andrade et al. (2004) yakni sebesar 13,6±0,91g/dl.

Secara statistik, kadar hemoglobin tersebut tidak berbeda nyata (P>0,05)

berdasarkan perbedaan waktu pengamatan (lamanya intervensi nikotin), namun

berbeda sangat nyata (P<0,01) berdasarkan perbedaan pakan. Selama intervensi

nikotin, Hb mengalami peningkatan yakni 1,60% (perlakuan A), 5,55%

(perlakuan B) dan 1,36% (perlakuan C) dan nilai tersebut tidak berbeda nyata

(P>0,05) berdasarkan lamanya intervensi nikotin.

Kadar hemoglobin yang diperoleh selama intervensi nikotin ini berbanding

terbalik dengan nilai sel darah merah dan nilai hematokrit. Sebagaimana Coles

(1980) menyatakan bahwa penurunan dan peningkatan hemoglobin setara dengan

penurunan sel darah merah, karena hemoglobin merupakan pigmen darah

pembawa oksigen dalam sel darah merah (eritrosit) dimana derajat penurunan

dalam tingkat total hemoglobin tergantung pada jumlah sel darah merah yang

hilang.

Tabel 10 memperlihatkan bahwa terjadi penurunan nilai sel darah merah

selama intervensi nikotin, namun kadar hemoglobinnya relatif normal

sebagaimana yang dinyatakan Matsumoto et al. (1980) dan Andrade et al. (2004).

Page 83: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

66

Keadaan tersebut memberikan arti bahwa penurunan nilai sel darah merah tidak

dibarengi dengan penurunan kadar hemoglobin, hal ini dapat dilihat dari nilai

MCH dan MCHC yang merupakan ukuran kepekatan hemoglobin cenderung

mengalami peningkatan. Normalnya atau tidak terjadinya penurunan kadar

hemoglobin dapat disebabkan oleh nilai nutrisi dari pakan terutama konsumsi

protein yang dibarengi oleh tingkat kecernaan dari protein tersebut. Kondisi lain

yang diduga menyebabkan normalnya kadar hemoglobin tersebut adalah efek

fisiologis untuk mempertahankan keadaan homeostasis dari tubuh, penurunan

SDM direspon oleh tubuh dengan mempertahankan kadar hemoglobin sehingga

suplai oksigen bagi tubuh tetap terjaga sehingga tidak terjadi keadaan hipoksia.

Secara statistik menunjukkan bahwa nutrisi pakan memberikan pengaruh

yang sangat nyata (P<0,01) dan ternyata mampu mempertahankan kondisi

homeostasis tersebut terutama mempertahankan kadar hemoglobin, nilai nutrisi

terutama protein memberikan pengaruh yang sangat berarti. Beberapa peneliti

menyebutkan bahwa konsumsi protein berhubungan dengan pembentukan

hemoglobin. Selain protein, konsumsi karbohidrat juga mempengaruhi

pembentukan hemoglobin walaupun tidak signifikan (Boeing et al. 2000). Sebagai

tambahan bahwa normalnya kadar hemoglobin selama intervensi nikotin dapat

disebabkan oleh nikotin itu sendiri, sebagaimana Cuming (2003) dan Nedergaard

et al. (2003) bahwa induksi nikotin dalam dosis rendah memungkinkan

peningkatan kadar hemoglobin.

Hematokrit

Hematokrit (Hct) atau Packed Cell Volume (PCV) merupakan persentase sel

darah merah dalam 100 ml darah. Pada kondisi normal, jumlah Hct sebanding

dengan jumlah sel darah merah dan kadar hemoglobin (Widjajakusuma dan Sikar

1986). Adapun konsentrasi nilai hematokrit monyet ekor panjang (Macaca

fascicularis) sebelum dan selama diintervensi dengan nikotin dapat dilihat pada

Tabel 10.

Berdasarkan hasil penelitian seperti pada Gambar 15, dapat dilihat bahwa

persentase sel darah merah dalam seluruh volume darah merah mengalami

penurunan selama intervensi nikotin.

Page 84: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

67

34.8837.74 37.82

28.53

33.74 34.49

0.005.00

10.0015.0020.0025.0030.0035.0040.00

A B C

Pakan

Ko

nsen

tra

si H

ema

tokr

it (%

)

sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin

Keterangan: A= pakan A, B= pakan B, dan C= pakan C. Gambar 15 Histogram perubahan konsentrasi hematokrit monyet ekor panjang

(Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin

Lamanya periode pemberian secara statistik berbeda sangat nyata (P<0,01)

terhadap persentase hematokrit demikian juga pengaruh pakan memberikan

pengaruh yang berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap persentase hematokrit.

Penurunan hematokrit selama intervensi nikotin tersebut yakni 18,20% (perlakuan

A), 10,60% (perlakuan B) dan 8,81% (perlakuan C). Nilai persentase hematokrit

ini lebih rendah seperti yang dilaporkan Andrade et al. (2004) dan yakni sebesar

39,8±2,7% pada monyet ekor panjang jantan.

Nilai hematokrit seperti yang dapat dilihat pada Gambar 15 mengalami

penurunan dengan derajat yang sangat nyata (P<0,01) namun masih dalam kisaran

normal sebagaimana (Smith dan Mangkoewidjojo 1988) yakni 24–43%.

Indeks Sel Darah Merah (MCV, MCH dan MCHC)

MCV (Mean Corpuscular Volume)

Mean Corpuscular Volume (MCV) atau volume sel darah merah rata-rata

merupakan ukuran untuk menilai besar rata-rata sel darah merah yang diukur

dalam satuan femto liter (fl) . Nilai rataan MCV yang kecil menunjukkan bahwa

ukuran sel darah merahnya lebih kecil dari ukuran normal yang biasanya

disebabkan karena kekurang zat besi atau penyakit kronis. Sedangkan rataan nilai

MCV yang besar dapat disebabkan oleh obat antiretroviral namun kondisi ini

tidak berbahaya. MCV yang besar menunjukkan adanya anemia megaloblastik

Page 85: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

68

dengan sel darah merahnya besar dan berwarna merah muda yang dapat

disebabkan karena kekurangan asam folat (Yayasan Spritia 2008). Adapun rataan

konsentrasi nilai MCV monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan

selama diintervensi dengan nikotin dapat dilihat pada Tabel 10.

Berdasarkan hasil yang diperoleh seperti yang diperlihatkan pada Gambar

16, dapat dilihat bahwa nilai MCV mengalami peningkatan selama intervensi

nikotin.

57.68

60.30

63.30

65.19 65.8167.27

52.0054.0056.0058.0060.0062.0064.0066.0068.00

A B C

Pakan

Ko

nse

ntr

asi

MC

V (

fl)

sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin

Keterangan: A= pakan A, B= pakan B, dan C= pakan C.

Gambar 16 Histogram perubahan konsentrasi MCV (Mean Corpuscular Volume) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin

Secara statistik, peningkatan nilai konsentrasi MCV tersebut menunjukkan

nilai yang berbeda sangat nyata (P<0,01) baik antar perlakuan pakan maupun

berdasarkan lamanya intervensi nikotin. Selama intervensi nikotin rataan nilai

MCV mengalami peningkatan sebesar 13,03% pada perlakuan A, 9,13% pada

perlakuan B dan 6,28% pada perlakuan C. Peningkatan nilai rataan MCV pada

penelitian ini masih berada dalam kisaran normal dari rata-rata nilai MCV monyet

ekor panjang (Macaca fascicularis) seperti yang dilaporkan Andrade et al. (2004)

yakni sebesar 63,7±6,51 fl dan lebih rendah dari hasil penelitian Chen et al.

(2002) yang melihat rataan nilai MCV berdasarkan variasi bobot badan yakni

sebesar 68,4±56 fl.

Dari nilai MCV seperti yang ada pada Tabel 10 maupun Gambar 16,

menunjukkan bahwa monyet ekor pajang yang digunakan dalam penelitian ini

Page 86: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

69

baik sebelum intervensi nikotin maupun selama intervensi nikotin

memperlihatkan nila MCV yang relatif normal (normocytic state).

MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin)

Mean Cell Hemoglobin atau Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) atau

hemoglobin sel darah merah rata-rata merupakan ukuran untuk menilai kepekatan

hemoglobin yang dinyatakan dalam satuan picogram (pg). Adapun rataan

konsentrasi nilai MCH monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan

selama diintervensi dengan nikotin dapat dilihat pada Tabel 10.

Berdasarkan hasil yang diperoleh seperti yang tertera pada Gambar 17,

menunjukkan bahwa rataan nilai MCH mengalami peningkatan selama intervensi

nikotin dan secara statistik peningkatan nilai konsentrasi MCH tersebut

menunjukkan nilai yang berbeda nyata (P<0,05) antar perlakuan pakan dan

berbeda sangat nyata (P<0,01) berdasarkan perbedaan waktu (lamanya intervensi

nikotin).

18.58 19.58 20.46

27.2925.89

24.37

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

A B C

Pakan

Ko

nse

ntr

asi

MC

H (

pg

)

sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin

Keterangan: A= pakan A, B= pakan B, dan C= pakan C. Gambar 17 Histogram perubahan konsentrasi MCH (Mean Corpuscular

Hemoglobin) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin

Peningkatan nilai MCH selama intervensi nikotin yakni sebesar 46,90%

pada perlakuan A, 32,24% pada perlakuan B dan 19,13% pada perlakuan C. Nilai

MCH yang diperoleh dalam penelitian ini lebih tinggi seperti yang dilaporkan

Andrade et al. (2004) yakni sebesar 21,57±2,11 pg. Robinson dan Huxtable

Page 87: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

70

(1988) menyatakan bahwa nilai MCH, sangat bergantung pada jumlah SDM

sehingga nilai normalnya sangat bervariasi diantara spesies hewan. Karena nilai

MCH menggambarkan tingkat kepekatan hemoglobin maka nilai MCH yang

diperoleh dari penelitian ini juga cukup tinggi sebagai akibat dari tingginya rataan

konsentrasi hemoglobin yang diperoleh dan disisi lain rataan nilai sel darah merah

mengalami penurunan.

MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration)

Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) juga digunakan

untuk mengukur kepekatan dari hemoglobin. Adapun rataan konsentrasi nilai

MCHC monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama

diintervensi dengan nikotin dapat dilihat pada Tabel 10.

Berdasarkan hasil yang diperoleh seperti yang tertera pada Gambar 18,

menunjukkan bahwa rataan nilai MCHC mengalami peningkatan selama

intervensi nikotin dan secara statistik peningkatan nilai konsentrasi MCHC

tersebut menunjukkan nilai yang berbeda sangat nyata (P<0,01) baik antar

perlakuan pakan maupun perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin).

32.16 32.46 32.30

41.33 38.8436.12

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

A B C

Pakan

Ko

nse

ntr

asi

MC

HC

(%

)

sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin

Keterangan: A= pakan A, B= pakan B, dan C= pakan C. Gambar 18 Histogram perubahan konsentrasi MCHC (Mean Corpuscular

Hemoglobin Concentration) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin

Rataan nilai MCHC tersebut mengalami peningkatan sebesar 28,52% pada

perlakuan A, 19,65% pada perlakuan B dan 11,83% pada perlakuan C. Sebelum

Page 88: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

71

intervensi nikotin, rataan nilai MCHC relatif tidak berbeda seperti yang

dilaporkan Andrade et al. (2004) yakni sebesar 34,09±0,30%. Namun selama

intervensi nikotin, nilai rataan tersebut meningkat dan peningkatan tersebut

berbeda sangat nyata (P<0,01) baik antar perlakuan maupun antar waktu (lamanya

intervensi nikotin). Sebagaimana MCH, MCHC juga merupakan ukuran untuk

menggambarkan tingkat kepekatan hemoglobin dalam hematokrit sehingga nilai

MCHC juga meningkat seiring dengan lamanya intervensi nikotin sebagai akibat

dari tingginya rataan konsentrasi hemoglobin yang diperoleh seiring dengan

lamanya intervensi nikotin.

Platelet

Platelet atau trombosit merupakan salah satu sel darah yang memiliki

ukuran paling kecil diantara sel darah lain, platelet berperan dalam proses

pembekuan darah ketika terjadi perlukaan jaringan (Guyton 1993). Adapun

konsentrasi nilai platelet monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan

selama diintervensi dengan nikotin dapat dilihat pada Tabel 10.

Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini seperti yang

tercantum pada Gambar 19, bahwa terjadi penurunan jumlah platelet selama

intervensi nikotin terutama pada perlakuan A dan C namun pada perlakuan B

memiliki peningkatan.

339.40

253.67

381.20

255.40 256.89

325.87

0.00

100.00

200.00

300.00

400.00

500.00

A B C

Pakan

Nil

ai P

late

let

(10

9 /L)

sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin

Keterangan: A= pakan A, B= pakan B, dan C= pakan C. Gambar 19 Histogram perubahan konsentrasi platelet monyet ekor panjang

(Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin

Page 89: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

72

Penurunan dan peningkatan tersebut secara statistik menunjukkan nilai yang

berbeda sangat nyata (P<0,01) baik antar perlakuan pakan maupun perbedaan

waktu (lamanya intervensi nikotin). Sebelum intervensi nikotin rataan nilai

platelet berbeda sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dengan nilai rataan platelet

selama intervensi nikotin, penurunan rataan nilai platelet ini masih dalam kisaran

normal seperti yang dilaporkan Mahoney (2005) pada beberapa spesies satwa

primata yakni 260±0,07–599±0,28 109/L.

Selama intervensi nikotin, penurunan jumlah platelet yakni 24,75% pada

perlakuan A dan 14,52% pada perlakuan C. Perlakuan B mengalami peningkatan

sebesar 1,27%. Penurunan rataan nilai platelet ini berbeda sangat nyata (P<0,01)

antar perlakuan, dimana perlakuan C memiliki rataan yang lebih tinggi

dibandingkan dengan perlakuan lainnya demikian pula perlakuan B lebih tinggi

dari perlakuan A. Hal ini dapat disebabkan kandungan nutrien dari pakan yang

diberikan, sebagaimana yang dapat dilihat pada Tabel 8 dimana perlakuan C

memiliki protein kasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Perbedaan kandungan protein kasar pakan ini memperlihatkan rataan nilai platelet

yang berbeda pula, pakan yang memiliki protein kasar yang tinggi

memperlihatkan rataan plateletnya juga tinggi, sebagaimana Amador (1999)

bahwa platelet memiliki lapisan membran berupa glikoprotein yang memiliki

fungsi untuk berikatan pada dinding pembulu darah bila terjadi perlukaan,

berperan dalam pembentukan trombus. Jadi kandungan nutrisi pakan terutama

protein kasar yang tercerna dalam tubuh menjadi penyebab peningkatan nilai

platelet.

Sel Darah Putih

Leukosit atau sel darah putih merupakan salah satu benda darah yang

memiliki aktivitas yang sangat mobile, hal ini terkait dengan fungsinya yang

menjaga sistem kekebalan tubuh (Guyton 1993). Sel darah putih memiliki fungsi

yang vital dan spesifik yakni kemampuan fagositosis dan diapedesis. Adapun

konsentrasi nilai sel darah putih monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)

sebelum dan selama diintervensi dengan nikotin dapat dilihat pada Tabel 10 dan

Gambar 20.

Page 90: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

73

6.06 6.18

7.84

6.12 6.48 6.68

0.00

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

A B C

Pakan

Nilai

Sel

Dar

ah P

utih (10

3 /ml)

sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin

Keterangan: A= pakan A, B= pakan B, dan C= pakan C. Gambar 20 Histogram perubahan konsentrasi sel darah putih monyet ekor

panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin

Berdasarkan hasil penelitian seperti pada Tabel 10, dapat dilihat bahwa baik

perlakuan A, B dan C mengalami kecenderungan peningkatan rataan jumlah nilai

sel darah putih pada empat minggu pertama intervensi nikotin dan pada empat

minggu kedua dan ketiga terjadi perubahan. Pada perlakuan A dan C mengalami

kecenderungan (trend) penurunan sedangkan perlakuan B masih mengalami

kecenderungan peningkatan dan kemudian menurun tajam pada empat minggu

ketiga intervensi nikotin. Secara statistik, rataan nilai sel darah putih baik

perlakuan pakan maupun perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin) tidak

berbeda nyata (P>0,05).

Sebelum intervensi nikotin, rataan nilai sel darah putih berkisar 6,06±3,80

103/ml untuk perlakuan A, 6,18±2,44 103/ml untuk perlakuan B dan 7,84±3,62

103/ml untuk perlakuan C. Walaupun terjadi kecenderungan penurunan, namun

rataaan secara umum sel darah putih selama intervensi nikotin mengalami

kecenderungan peningkatan yang tidak berbeda nyata (P>0,05) sebesar 0,99%

untuk perlakuan A, 4,85% untuk perlakuan B dan untuk perlakuan C mengalami

kecenderungan penurunan sebesar 14,80%.

Terjadinya kecenderungan peningkatan dan penurunan nilai rataan sel darah

putih dari penelitian lebih rendah bila dibandingkan dengan sel darah putih yang

dilaporkan Mahoney (2005) yakni 7,21±3,03–10,60±4,78 103/ml. Gambaran sel

darah putih yang diperoleh tersebut menunjukkan bahwa intervensi nikotin tidak

Page 91: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

74

mengganggu kekebelan tubuh hal ini dapat dilihat dari nilai statistik yang tidak

bermakna.

Diferensiasi Sel Darah Putih

Sel darah putih yang memiliki peranan penting dalam sistem pertahanan

tubuh memiliki beberapa bentuk dan komponen dengan fungsi yang berbeda pula.

Adapun rataan diferensiasi sel darah putih monyet ekor panjang (Macaca

fascicularis) sebelum dan selama diintervensi dengan nikotin dapat dilihat pada

Tabel 11.

Tabel 11 Rataan persentase diferensiasi sel darah putih monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin

Diferensiasi sel darah putih Bulan Perlakuan

Pakan A Pakan B Pakan C

Netrofil (%)

B1 45,80 ± 12,91 44,60 ± 18,22 48,40 ± 14,36 B2 44,40 ± 5,32 51,40 ± 13,90 51,80 ± 6,80 B3 46,40 ± 11,28 48,00 ± 15,15 47,20 ± 18,29 B4 48,20 ± 9,65 44,00 ± 14,88 46,00 ± 14,42

Limfosit (%)

B1 44,20 ± 11,73 44,80 ± 18,19 41,60 ± 15,18 B2 51,40 ± 5,94 43,00 ± 16,85 43,60 ± 7,09 B3 49,80 ± 11,45 46,60 ± 15,57 48,20 ± 13,77 B4 48,40 ± 9,04 52,00 ± 14,75 51,20 ± 11,69

Eosinofil (%)

B1 5,00 ± 3,16 A 6,00 ± 3,08 A 3,40 ± 1,52 A B2 1,60 ± 1,82 B 2,60 ± 1,82 B 2,20 ± 1,64 A B3 2,20 ± 2,28 B 3,80 ± 1,92 B 3,60 ± 4,72 A B4 3,00 ± 1,73 B 3,60 ± 2,61 B 2,40 ± 3,78 A

Monosit (%)

B1 5,00 ± 2,55 A 4,60 ± 1,67 A 6,60 ± 6,66 A B2 2,20 ± 1,64 B 3,00 ± 2,12 AB 2,20 ± 1,64 B B3 2,20 ± 1,92 B 1,60 ± 0,89 BC 1,00 ± 1,22 BC B4 0,20 ± 0,45 B 0,20 ± 0,45 C 0,40 ± 0,55 C

Keterangan: Huruf (A, B, C) yang berbeda pada kolom tiap pengamatan berbeda nyata (P<0,01).

Netrofil berfungsi melawan infeksi bakteri dan dilaporkan sebagai

persentase leukosit atau % NEUT dengan jumlah sekitar 55–70%. Peranan

neutrofil sebagai salah satu komponen sel darah putih sangat penting, jika jumlah

neutrofil rendah (neutropenia) maka tubuh lebih mudah terkena infeksi bakteri.

Rataan persentase netrofil monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum

dan selama diintervensi dengan nikotin dapat dilihat pada Tabel 11.

Persentase jumlah netrofil seperti yang dapat dilihat pada Gambar 21,

sebelum intervensi nikotin yakni 45,80±12,91% pada perlakuan A, 44,60±18,22%

untuk perlakuan B dan 48,40±14,36% untuk perlakuan C. Rataan nilai tersebut

Page 92: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

75

secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05) demikian juga dengan rataan

neutrofil selama intervensi nikotin tidak berbeda nyata (P>0,05).

45.80

44.60

48.40

46.33

47.8048.33

42.00

43.0044.00

45.00

46.00

47.0048.00

49.00

A B C

Pakan

Ko

nse

ntr

asi

Net

rofi

l (%

)

sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin

Keterangan: A= pakan A, B= pakan B, dan C= pakan C. Gambar 21 Histogram perubahan konsentrasi netrofil monyet ekor panjang

(Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin

Selama intervensi nikotin, persentase neutrofil mengalami kecenderungan

peningkatan pada satu bulan setelah intervensi nikotin dan mengalami

kecenderungan penurunan pada dua dan tiga bulan setelah intervensi nikotin

untuk perlakuan B dan C sedangkan pada perlakuan A mengalami kecenderungan

penurunan pada satu bulan setelah intervensi nikotin tetapi pada dua dan tiga

bulan setelah intervensi nikotin mengalami kecenderungan peningkatan. Secara

umum, rataan persentase jumlah neutrofil dari penelitian ini adalah 44,00±14,18–

51,80±6,80%, nilai tersebut lebih rendah dari hasil penelitian yang dilaporkan

Andrade et al. (2004) sebesar 65,38±8,93%. Namun nilai yang diperoleh dari

penelitian ini masih berada dalam kisaran normal neutrofil untuk primata seperti

yang dilaporkan Fridman (2002) sebesar 21–47%.

Limfosit merupakan salah satu jenis leukosit agranulosit yang merupakan

bagian terbesar dari leukosit. Limfosit dibedakan dalam dua bentuk, yaitu limfosit

besar dan limfosit kecil. Limfosit tipe besar merupakan limfosit muda dengan

diameter 1µ, intu melekuk heterokromatik, dikelilingi sitoplasma, perbandingan

sitoplasma dan inti adalah 1:1 dan jarang ditemukan dalam peredaran darah. Tipe

kedua adalah limfosit kecil merupakan bentuk limfosit dewasa, memiliki diameter

8 µm, inti bulat heterokromatik, dikelilingi lingkaran tipis sitoplasma dengan

Page 93: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

76

perbandingan inti 1:9, dan kadang pada limfosit sering ditemukan penjuluran

sitoplasma (Guyton 1993).

Limfosit dalam sistem kekebalan tubuh terdiri dari dua yaitu limfosit-T

yang berperan dalam sistem kekebalan yang diperantarai sel dan limfosit-B yang

berperan dalam pembentukan antibodi serta bertanggungjawab pada sistem

kekebalan humoral. Limfosit memiliki fungsi yang kompleks dengan fungsi

utama adalah memproduksi antibodi (limfosit-B) atau sebagai sel efektor khusus

dalam menanggapi antigen yang melekat pada makrofag (limfosit-T) (Tizard

1987). Peran limfosit dalam sistem imunitas yakni dengan mengikatkan diri pada

benda asing serta merusaknya yang merupakan fungsi dari limfosit-T, dengan

waktu hidup dari limfosit berkisar 100-300 hari atau bahkan bertahun-tahun

(Guyton 1993; Guyton dan Hall 1997). Rataan persentase limfosit monyet ekor

panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama diintervensi dengan nikotin

dapat dilihat pada Tabel 11.

Berdasarkan hasil penelitian seperti yang ditampilkan pada Gambar 22,

rataan persentase limfosit sebelum intervensi nikotin yakni 42,20±11,73% pada

perlakuan A, 44,80±18,19% untuk perlakuan B dan 41,60±15,18% untuk

perlakuan C. Rataan persentase limfosit tersebut secara statistik tidak berbeda

nyata (P>0,05) baik antar perlakuan maupun berdasarkan lamanya intervensi

nikotin.

44.20 44.80

41.60

49.87

47.20 47.67

36.0038.0040.0042.0044.0046.0048.0050.0052.00

A B C

Pakan

Ko

nse

ntr

asi

Lim

fosi

t (%

)

sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin

Keterangan: A= pakan A, B= pakan B, dan C= pakan C. Gambar 22 Histogram perubahan konsentrasi limfosit monyet ekor panjang

(Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin

Page 94: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

77

Selama intervensi nikotin persentase limfosit mengalami kecenderungan

peningkatan namun secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan rataan

sebesar 49,87±8,81% pada perlakuan A, 47,20±15,72% untuk perlakuan B dan

47,67±10,85% untuk perlakuan C. Rataan persentase limfosit yang diperoleh dari

penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian yang dilaporkan Andrade et al.

(2004) yakni sebesar 31,04±8,96%. Namun masih dalam kisaran normal

persentase limfosit primata sebagaimana yang dilaporkan Fridman (2002) sebesar

47–75%. Kecenderungan peningkatan persentase limfosit selama intervensi

nikotin ini kemungkinan disebabkan karena efek dari nikotin sebagaimana

dikemukan oleh Geng et al. (1996) bahwa penggunaan nikotin kronik secara in

vivo menjadikan sel T lebih banyak terpapar dan kontribusi nikotin dari rokok

menekan immunosuppression atau dengan kata lain meningkatkan

immunostimulan yang efeknya meningkatkan jumlah limfosit. Namun

peningkatan jumlah limfosit ini kemungkinan tidak menyebabkan fungsi dari

limfosit menjadi efektif sebagaimana dinyatakan lebih lanjut oleh Geng et al.

(1996) bahwa efek nikotin secara parsial menghalangi stimulasi d-tubocuranine

sehingga menghambat perkembangan, pematangan dan pendewasaan tymocytes,

dan kehadiran ligan endogenous yang melibatkan reseptor nikotin asetilkolin pada

perkembangan tymocytes dapat mempengaruhi keadaan ontogenetis tymik normal.

Penggunaan nikotin secara luas pada masyarakat modern juga dapat berdampak

pada perkembangan sistem imun, bahwa paparan nikotin selama kehamilan dapat

mengubah kemampuan sel darah awal manusia yang berisi prekursor sel T untuk

perkembangan kultur organ (Middlebrook et al. 2002).

Eosinofil merupakan salah satu jenis leukosit yang terlibat dengan alergi

atau tanggapan terhadap parasit yang dinyatakan dengan %EOS dengan jumlah

sekitar 1–3% (Yayasan Spritia 2008). Rataan persentase eosinofil monyet ekor

panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama diintervensi dengan nikotin

dapat dilihat pada Tabel 11.

Berdasarkan hasil penelitian seperti yang dapat dilihat pada Gambar 23,

bahwa terjadi penurunan persentase jumlah eosinofil selama intervensi nikotin.

Sebelum intervensi nikotin rataan persentase eosinofil sebesar 5,00±3,16% pada

perlakuan A, 6,00±3,08% untuk perlakuan B dan 3,40±1,52% untuk perlakuan C.

Page 95: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

78

Selama pemberian mengalami penurunan yang berbeda sangat nyata (P<0.01)

sebesar 2,27±1,94% pada perlakuan A, 3,33±2,12% untuk perlakuan B dan

2,73±3,38% untuk perlakuan C .

5.00

6.00

3.40

2.27

3.332.73

0.00

1.002.00

3.00

4.00

5.006.00

7.00

A B C

Pakan

Ko

nse

ntr

asi

Eo

sin

ofi

l (%

)

sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin

Keterangan: A= pakan A, B= pakan B, dan C= pakan C. Gambar 23 Histogram perubahan konsentrasi eosinofil monyet ekor panjang

(Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin

Seperti yang dapat dilihat pada Tabel 11, bahwa persentase jumlah eosinofil

pada satu bulan setelah intervensi nikotin mengalami penurunan untuk semua

perlakuan dan kemudian meningkat pada dua dan tiga bulan setelah intervensi

nikotin. Peningkatan dan penurunan rataan nilai eosinofil setara dengan nilai

normal eosinofil primata sebagaimana yang dilaporkan Fridman (2002) yakni 0–

6% dengan rataan 3%. Adanya perubahan nilai eosinofil terutama bila terjadi

peningkatan menunjukkan bahwa terjadi infeksi atau adanya reaksi alergi pada

jaringan yang disebabkan oleh parasit. Persentase yang sedikit dari eosinofil

berhubungan dengan daya fagositosisnya yang lemah, tetapi sel eosinofil dalam

pembuluh darah dapat melakukan gerakan kemotaksis menuju tempat terjadinya

infeksi (Guyton 1993).

Adanya penurunan nilai eosinofil seperti yang dapat dilihat pada Gambar 23

menunjukkan bahwa hewan percobaan tidak mengalami alergi atau infeksi oleh

parasit atau dengan kata lain hewan percobaan dalam kondisi sehat. Kondisi ini

merupakan efek dari nikotin yang dapat dijadikan sebagai obat untuk

mengendalikan parasit, sebagaimana Karo-Karo (1990) yang melaporkan bahwa

Page 96: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

79

nikotin bermanfaat untuk dijadikan sebagai obat anti parasit terutama untuk obat

cacing.

Monosit merupakan salah satu jenis leukosit agranulosit yang berukuran

sangat besar dengan diameter 15–20 µm serta memiliki perbandingan sitoplasma

dan inti 6:4 (Swenson 1970). Monosit bersifat motil, dapat berpindah dengan

gerakan amuboid serta mempunyai kemampuan memfagositosis mikroorganisme,

sel yang nekrotik dan runtuhan sel (Tizard 1987). Monosit yang dinyatakan

dengan %MONO jumlahnya sekitar 2–8% dan jumlahnya akan tinggi jika terjadi

infeksi bakteri (Yayasan Spritia 2008). Rataan persentase monosit monyet ekor

panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama diintervensi dengan nikotin

dapat dilihat pada Tabel 11.

Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian seperti yang tercantum

pada Gambar 24, bahwa terjadi penurunan persentase jumlah monosit selama

intervensi nikotin. Sebelum intervensi nikotin rataan persentase monosit sebesar

5,00±2,55% pada perlakuan A, 4,60±1,67% untuk perlakuan B dan 6,60±6,66%

untuk perlakuan C.

5.004.60

6.60

1.53 1.601.20

0.00

1.002.00

3.00

4.00

5.006.00

7.00

A B C

Pakan

Ko

nse

ntr

asi

Mo

no

sit

(%)

sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin

Keterangan: A= pakan A, B= pakan B, dan C= pakan C. Gambar 24 Histogram perubahan konsentrasi monosit monyet ekor panjang

(Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin

Selama intervensi nikotin, jumlah monosit mengalami penurunan yang

berbeda sangat nyata (P<0.01) sebesar 1,53±1,34% pada perlakuan A,

1,60±1,15% untuk perlakuan B dan 1,20±1,14% untuk perlakuan C. Persentase

jumlah monosit selama intervensi nikotin menurun dan berada pada kisaran

Page 97: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

80

normal sebagaimana yang dilaporkan Andrade et al. (2004) yakni sebesar

1,95±1,32%. Penurunan jumlah monosit selama intervensi nikotin dapat

disebabkan karena monosit masuk ke dalam jaringan dan berubah menjadi

makrofag. Guyton (1996) menyatakan bahwa pada kondisi tertentu monosit dapat

masuk ke dalam jaringan dan berubah menjadi makrofag serta dapat bertahan

hidup bertahun-tahun. Disamping itu, penurunan tersebut sebagai efek dari nikotin

yang mempercepat masuknya monosit ke dalam jaringan sehingga persentase

yang ditemukan dalam darah putih lebih rendah dari normal. Pengaruh nikotin

terhadap adhesi dan perpindahan monosit dinyatakan oleh Heeschen et al. (2003)

bahwa secara in vitro, nikotin merangsang adhesi dan transmigrasi monosit.

Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Indeks Massa Tubuh

Konsumsi Pakan

Konsumsi merupakan faktor terpenting untuk penentuan kebutuhan hidup

pokok dan produksi. Tingkat konsumsi merupakan jumlah makanan yang

dikonsumsi oleh hewan bila makanan tersebut diberikan secara ad libitum

(Parakkasi 1999). Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa rataan konsumsi

monyet ekor panjang sebelum dan selama diintervensi nikotin disajikan pada

Tabel 12.

Tabel 12 Rataan konsumsi pakan, bobot badan dan indeks massa tubuh (IMT) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin

Perubahan Bulan Perlakuan

Pakan A Pakan B Pakan C

Konsumsi (g)

B1 79,04 ± 21,67 A

Y

86,62 ± 14,95 A

Y

124,98 ± 26,56 B

X B2 56,79 ± 14,53 B 60,85 ± 11,87 B 123,21 ± 31,22 B B3 71,38 ± 12,43 A 78,76 ± 11,36 A 125,14 ± 17,39 B B4 71,08 ± 8,57 A 68,36 ± 5,23 B 151,23 ± 13,99 A

Bobot Badan (kg)

B1 4,53 ± 0,69

Y

5,02 ± 1,20

X

4,92 ± 0,19

X B2 4,39 ± 0,59 4,94 ± 1,00 4,70 ± 0,24 B3 4,42 ± 0,58 4,91 ± 0,98 4,84 ± 0,31 B4 4,44 ± 0,59 4,88 ± 0,88 5,04 ± 0,45

IMT (kg/m2)

B1 23,41 ± 2,23

Z

26,60 ± 6,82

X

24,71 ± 0,57

Y B2 22,72 ± 1,91 26,13 ± 5,63 23,60 ± 0,85 B3 22,87 ± 1,62 26,00 ± 5,65 24,30 ± 1,02 B4 21,60 ± 2,05 24,06 ± 3,71 25,06 ± 2,19

Keterangan: Huruf (X, Y, Z) yang berbeda pada baris dan (A, B, C) yang berbeda pada kolom tiap pengamatan berbeda nyata (P<0,01).

Page 98: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

81

Dari hasil penelitian seperti yang ditampilkan pada Tabel 12, dapat dilihat

bahwa monyet ekor panjang sebelum diberikan nikotin memiliki rataan konsumsi

sebesar 79,04±21,67 g/ekor/hari untuk individu yang mendapat perlakuan A dan

rataan konsumsi pada individu yang mendapat perlakuan B dan C masing-masing

sebesar 86,62±14,95 g/ekor/hari dan 124,98±26,56 g/ekor/hari.

Rataan konsumsi pakan ini secara statistik berbeda sangat nyata (P<0,01),

dimana konsumsi yang mendapat perlakuan C menunjukkan hasil yang berbeda

sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dari perlakuan lainnya. Selama intervensi

nikotin, monyet ekor panjang memiliki penurunan konsumsi dimana rataan

konsumsi pada perlakuan A selama intervensi nikotin menurun sebesar 15,97%

sedangkan perlakuan B menurun sebesar 19,97%. Hal yang berbeda pada monyet

yang mendapat perlakuan C, intervensi nikotin cenderung meningkatkan

konsumsi sebesar 6,57%, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 25. Penurunan

rataan konsumsi selama intervensi nikotin menunjukkan hasil yang berbeda

sangat nyata (P<0,01).

79.0486.62

124.98

66.42 69.32

133.19

0.00

20.0040.00

60.00

80.00

100.00120.00

140.00

A B C

Pakan

Rat

a-ra

ta K

on

sum

si P

akan

(g

)

sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin

Keterangan: A= pakan A, B= Pakan B, dan C= pakan C. Gambar 25 Histogram rataan konsumsi pakan monyet ekor panjang (Macaca

fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin

Sebagaimana yang dapat dilihat pada Tabel 12, bahwa konsumsi terendah

sebelum intervensi nikotin yakni monyet ekor panjang yang mendapat perlakuan

A, kemudian perlakuan B dan yang tertinggi diperoleh pada perlakuan C sebesar

124,98±26,56 g/ekor/hari. Perbedaan konsumsi tersebut berbeda sangat nyata

(P<0,01) antar perlakuan, selanjutnya pada satu bulan setelah intervensi nikotin

Page 99: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

82

terjadi penurunan konsumsi pakan untuk semua perlakuan, namun kemudian

meningkat pada dua bulan setelah intervensi nikotin untuk semua perlakuan

sedangkan pada tiga bulan setelah intervensi nikotin terjadi penurunan konsumsi

terutama individu yang mendapat perlakuan A dan B sedangkan untuk individu

yang mendapat perlakuan C terjadi peningkatan konsumsi pakan. Penurunan dan

peningkatan konsumsi pakan berdasarkan waktu (selama intervensi nikotin)

menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01).

Penurunan konsumsi pada pakan A dan B tersebut merupakan efek dari

nikotin yang dapat menekan konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan,

sebagaimana Grunberg (2007) dan Chiolero et al. (2008) menyatakan bahwa

dalam jangka pendek, nikotin meningkatkan pengeluaran energi dan dapat

mengurangi nafsu makan sehingga dapat menekan pertambahan bobot badan, hal

ini dapat menjelaskan mengapa perokok cenderung memiliki bobot badan lebih

rendah daripada bukan perokok. Efek nikotin tersebut melalui sistem saraf dan

mempengaruhi tiga faktor penentu yang mengatur pembelanjaan energi, dan nafsu

makan sebagaimana yang dijelaskan Chatkin dan Chatkin (2007) bahwa nikotin

memiliki sistem penyampaian pada neurotransmitters di otak untuk mengurangi

kebutuhan akan asupan energi dan akibatnya terjadi penurunan nafsu makan.

Selain itu, nikotin memiliki efek langsung pada stimulasi metabolisme jaringan

adipose untuk menghasilkan hormon Leptin, ghrelin dan neuropeptide Y sebagai

faktor yang terlibat dalam hubungan antara nikotin dan indeks massa tubuh.

Bobot Badan dan Indeks Massa Tubuh

Berdasarkan hasil penelitian seperti yang dapat dilihat pada Tabel 12 dan

Gambar 26 dapat dilihat bahwa bobot badan monyet ekor panjang mengalami

kecenderungan penurunan selama intervensi nikotin.

Rataan bobot badan monyet ekor panjang yang mendapat perlakuan A

mengalami kecenderungan penurunan sebesar 0,11 kg atau 2,50% dari 4,53±0,69

kg menjadi 4,42±0,03 kg selama tiga bulan penelitian, begitupula dengan monyet

yang mendapat perlakuan B mengalami kecenderungan penurunan sebesar 0,11

kg atau 2,19% dari 5,02±1,20 kg menjadi 4,91±0,03 kg serta monyet yang

mendapat perlakuan C, juga mengalami kecenderungan penurunan sebesar 0,06

kg atau 1,22% dari 4,92±0,19 kg menjadi 4,86±0,17 kg (Gambar 26). Angka

Page 100: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

83

bobot badan menunjukkan kecenderungan penurunan namun secara statistik tidak

bermakna berdasarkan perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin).

4.53

5.024.92

4.42

4.91 4.86

4.00

4.20

4.40

4.60

4.80

5.00

5.20

A B C

Pakan

Rat

a-ra

ta B

ob

ot

Bad

an (

kg)

sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin

Keterangan: A= pakan A, B= Pakan B, dan C= pakan C. Gambar 26 Histogram rataan bobot badan monyet ekor panjang (Macaca

fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin

Berdasarkan hasil seperti yang dapat dilihat pada Tabel 12 bahwa, monyet

yang mendapat perlakuan B selama intervensi nikotin mengalami kecenderungan

penurunan bobot badan mulai pada satu bulan setelah intervensi nikotin hingga

tiga bulan setelah intervensi nikotin. Berbeda dengan monyet yang mendapat

perlakuan A dan C mengalami kecenderungan penurunan pada satu bulan setelah

intervensi nikotin namun pada dua bulan setelah intervensi nikotin dan tiga bulan

setelah intervensi nikotin mengalami kecenderungan peningkatan bobot badan,

walaupun terjadi peningkatan bobot badan pada dua bulan setelah intervensi

nikotin dan tiga bulan setelah intervensi nikotin namun rataan bobot badan

monyet ekor panjang selama intervensi nikotin mengalami kecenderungan

penurunan yang tidak bermakna.

Penurunanan bobot badan ini merupakan efek nikotin yang menggunakan

mekanisme dengan memodulasi biosintesis leptin dan akibatnya mengurangi

bobot badan. NPY juga sebagai stimulator kuat dari makanan, penurunan dari

ekspresi NPY dipengaruhi nikotin. Peningkatan NPY mRNA dan peptide setelah

pemberian nikotin dimana peningkatan NPY dipengaruhi reseptor hypothalamic

yang mengikat Y1/Y4/Y5 pada situs ligand. Mirip dengan NPY, orexins

merupakan regulator positif terhadap asupan makanan. Oleh karena itu, dapat

Page 101: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

84

diharapkan penurunan orexin akibat pemberian nikotin. Akan tetapi dosis

preproorexin mRNA dalam meningkatkan produksi setelah pemberian nikotin.

Pemberian nikotin berafinitas dan mengurangi kepadatan orexin-binding site pada

anterior hypothalamus dari otak (Filozof et al. 2004).

Setelah intervensi nikotin terlihat adanya kecenderungan penurunan bobot

badan begitupula halnya dengan indeks massa tubuh seperti tercantum pada

Gambar 27 namun secara statistik tidak bermakna (P>0,05).

23.41

26.60

24.71

22.40

25.40

24.32

20.00

21.0022.00

23.00

24.00

25.0026.00

27.00

A B C

Pakan

Rat

a-ra

ta I

nd

eks

Mas

sa T

ub

uh

(k

g/m

2 )

sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin

Keterangan: A= pakan A, B= Pakan B, dan C= pakan C. Gambar 27 Histogram rataan IMT monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)

sebelum dan selama intervensi nikotin

Kecenderungan terjadinya penurunan bobot badan ini dibarengi pula dengan

kecenderungan penurunan indeks massa tubuh (IMT) sebagai indikator parameter

obesitas namun secara statistik tidak bermakna (P>0,05) berdasarkan perbedaan

waktu (lamanya intervensi nikotin). Dari hasil penelitian seperti pada Tabel 12

dapat dilihat bahwa IMT sebelum intervensi nikotin yakni 23,41±2,23 kg/m2 pada

perlakuan A, 26,60±6,82 kg/m2 pada perlakuan B dan 24,71±0,57 kg/m2 pada

perlakuan C. Berdasarkan klasifikasi IMT yang dikeluarkan oleh WHO untuk

masyarakat Asia bahwa nila tersebut menunjukkan bahwa monyet ekor panjang

yang mendapat perlakuan A dan C tergolong pre obes (kriteria WHO yakni 23,0–

24,9 kg/m2), sedangkan monyet ekor panjang yang mendapat perlakuan B

tergolong obes Tipe I (kriteria WHO yakni 25,0–29,9 kg/m2). Angka IMT yang

Page 102: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

85

diperoleh menunjukkan kecenderungan penurunan namun secara statistik tidak

bermakna berdasarkan perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin).

Hasil yang diperoleh pada penelitian ini seperti yang dapat dilihat pada

Gambar 27 di atas bahwa IMT monyet ekor panjang yang mendapat pakan A dan

B mengalami kecenderungan penurunan selama intervensi nikotin, sedangkan

IMT pada monyet ekor panjang yang mendapat perlakuan C mengalami

kecenderungan penurunan pada satu bulan setelah intervensi nikotin namun pada

dua bulan setelah intervensi nikotin dan tiga bulan setelah intervensi nikotin

mengalami kecenderungan peningkatan, walaupun terjadi kecenderungan

peningkatan pada dua bulan setelah intervensi nikotin dan tiga bulan setelah

intervensi nikotin tetapi rataan IMT secara umum dari perlakuan C mengalami

kecenderungan penurunan. Rataan IMT secara umum dari monyet ekor panjang

selama intervensi nikotin yakni 22,39±0,69 kg/m2 pada perlakuan A, 25,40±1,16

kg/m2 pada perlakuan B dan 24,32±0,73 kg/m2 pada perlakuan C.

Selama intervensi nikotin, kecenderungan penurunan IMT tersebut sebesar

1,02 kg/m2 atau 4,33% pada perlakuan A, 1,20 kg/m2 atau 4,52% pada perlakuan

B dan 0,73 kg/m2 atau 1,58% pada perlakuan C dari. Berdasarkan kriteria dari

WHO tentang klasifikasi IMT untuk masyarakat Asia, maka perlakuan A

mengalami penurunan kriteria dari pre obes menjadi normal (ideal) (kriteria WHO

yakni 18,5–22,9 kg/m2), sedangkan untuk monyet ekor panjang yang mendapat

perlakuan B dan C kriteria obesitasnya tetap namun terjadi penurunan IMT.

Sebagaimana dijelaskan Lupien dan Bray (1988) diacu dalam Yettefty et al.

(1997) bahwa efek nikotin yakni menurukan bobot badan akibat peningkatan

penggunaan energi yang distimulasi melalui reseptor nikotinik asetilkolin.

Chatkin dan Chatkin (2007) menyatakan bahwa nikotin memiliki sistem

penyampaian pada neurotransmitters di otak untuk mengurangi kebutuhan akan

asupan energi dan akibatnya terjadi penurunan nafsu makan. Penurunan nafsu

makan dan peningkatan pembelanjaan energi yang merupakan efek langsung dari

nikotin pada metabolisme jaringan adipose (Leptin, ghrelin dan neuropeptide Y).

Ketiga faktor tersebut merupakan zat yang terlibat dalam hubungan antara nikotin

dan indeks massa tubuh. Lamanya ketiga faktor tersebut terpapar oleh nikotin

sehingga dampak yang ditimbulkan yakni penurunan komsumsi yang berakibat

Page 103: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

86

pada kecenderungan penurunan bobot badan dengan peningkatan pembelanjaan

energi yang berakibat pada kecenderungan penurunan rataan IMT.

Kecernaan dan Energi Metabolisme

Peran penting makanan bagi mahluk hidup adalah untuk kebutuhan pokok,

produksi dan reproduksi. Nutrien yang terkandung dalam pakan yang diberikan

tidak semuanya dapat dicerna dan diserap oleh alat pencernaan karena nilai

koefisien cerna pakan yang berbeda dan kemampuan hewan dalam mencerna

bahan pakan juga berbeda sehingga dapat berpengaruh pada nilai guna pakan bagi

hewan (Maynard et al. 1979). Bahan pakan mempunyai tiga fungsi yaitu peran

dalam proses fisiologis, sosial dan psikologis. Secara umum pakan mempunyai

fungsi yaitu menyediakan energi untuk melangsungkan berbagai proses di dalam

tubuh, menyediakan bahan-bahan untuk membangun dan memperbaharui jaringan

tubuh yang telah rusak dan mengatur proses di dalam tubuh dan kondisi

lingkungan di dalam tubuh. Penyediaan energi dibebankan pada bahan kering,

sedangkan pembentukan bangunan tubuh merupakan tugas dari protein, mineral

dan air (Sutardi 1980).

Konsumsi Nutrien (KN) dan Kecernaan Bahan Kering (KCBK)

Konsumsi nutrien diperoleh dengan menghitung jumlah konsumsi per hari

dikalikan dengan persentase masing-masing zat makanan yang terkandung dalam

pakan yang diberikan, sedangkan kecernaan bahan kering merupakan jumlah

bahan kering yang dapat diabsorpsi oleh hewan dari konsumsi nutrien. Rataan

konsumsi nutrien harian monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi

nikotin dapat dilihat pada Tabel 13 dan rataan kecernaan bahan kering harian

monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin dapat dilihat pada

Tabel 14.

Rataan konsumsi nutrien (KN) maupun kecernaan bahan kering (KCBK)

dari monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin menunjukkan

respon yang berbeda. Rataan konsumsi nutrien, kecernaan bahan kering monyet

ekor panjang yang mendapat perlakuan A dan B cenderung mengalami

penurunan, namun respon berbeda pada monyet yang mendapat perlakuan C

Page 104: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

87

mengalami peningkatan rataan KN termasuk KCBK selama intervensi nikotin

sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 13 dan 14.

Tabel 13 Rataan konsumsi nutrien (g/ekor/hari) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin

Kandungan Nutrien

Bulan Perlakuan

Pakan A Pakan B Pakan C

BK

B1 61,67 ± 16,90 a

Y

66,46 ± 11,47 a

Y

110,07 ± 23,39 b

X B2 44,31 ± 11,34 a 46,68 ± 9,11 c 108,51 ± 27,50 b B3 55,69 ± 9,70 b 60,43 ± 8,71 ab 110,21 ± 15,32 b B4 55,46 ± 6,69 a 52,44 ± 4,01 bc 133,19 ± 12,32 a

PK

B1 9,50 ± 2,60

Y

11,67 ± 2,01

Y

33,52 ± 7,12

X B2 6,83 ± 1,75 8,20 ± 1,60 33,05 ± 8,37 B3 8,58 ± 1,49 10,61 ± 1,53 33,56 ± 4,66 B4 8,54 ± 1,03 9,21 ± 0,70 40,56 ± 3,75

LK

B1 16,44 ± 4,51 A

X

16,91 ± 2,92 A

X

5,19 ± 1,10 A

Y B2 11,81 ± 3,02 B 11,88 ± 2,32 D 5,11 ± 1,30 A B3 14,85 ± 2,58 B 15,37 ± 2,22 B 5,19 ± 0,72 A B4 14,78 ± 1,78 B 13,34 ± 1,02 C 6,28 ± 0,58 A

SK

B1 1,68 ± 0,46 a

Y

1,08 ± 0,19 a

Z

2,81 ± 0,60 b

X B2 1,20 ± 0,31 b 0,76 ± 0,15 b 2,77 ± 0,70 b B3 1,51 ± 0,26 a 0,98 ± 0,14 ab 2,82 ± 0,39 b B4 1,51 ± 0,18 a 0,85 ± 0,07 ab 3,40 ± 0,31 a

BETN

B1 42,08 ± 11,53 A

Y

46,91 ± 8,10 A

Y

72,64 ± 15,44 B

X B2 30,23 ± 7,74 B 32,96 ± 6,43 C 71,61 ± 18,15 B B3 38,00 ± 6,62 A 42,66 ± 6,15 AB 72,73 ± 10,11 B B4 37,84 ± 4,56 A 37,02 ± 2,83 BC 87,90 ± 8,13 A

GE (kal/g)

B1 3.540,46 ± 970,40 A

Y

3.811,21 ± 657,87 A

Y

5.615,13 ± 1.193,39 B

X B2 2.543,67 ± 650,86 B 2.677,27 ± 522,39 C 5.535,68 ± 1.402,78 B B3 3.197,06 ± 556,59 A 3.465,52 ± 499,73 B 5.622,54 ± 781,30 B B4 3.183,78 ± 384,00 A 3.007,65 ± 229,99 BC 6.794,72 ± 628,71 A

Keterangan: PK= protein kasar, LK = lemak kasar, SK= serat kasar, BETN = bahan ekstrak tanpa nitrogen, BK= bahan kering, GE = gross energi.

Huruf (X, Y, Z) yang berbeda pada baris dan (A, B, C) yang berbeda pada kolom tiap pengamatan berbeda nyata (P<0,01). Huruf (x, y, z) yang berbeda pada baris dan (a, b, c) yang berbeda pada kolom tiap pengamatan berbeda nyata (P<0,05).

Konsumsi bahan kering sebelum intervensi nikotin yakni sebesar

61,67±16,90–110,07±23,39 g/ekor/hari dengan rataan bahan kering yang dapat

tercerna sebesar 33,23±7,61–43,55±5,97 g/ekor/hari. Berdasarkan hasil analisis

statistik menunjukkan bahwa perlakuan pakan dan perbedaan waktu (lamanya

intervensi nikotin) berbeda nyata (P<0,05) terhadap konsumsi bahan kering

demikian pula perlakuan pakan dan perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin)

berbeda nyata (P<0,05) terhadap kecernaan bahan kering.

Rataan konsumsi bahan kering pada perlakuan A lebih rendah bila

dibandingkan dengan rataan konsumsi dari hasil penelitian sebelumnya (Oktarina

Page 105: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

88

2009) dengan hewan yang sama yakni 68,07 g/ekor/hari demikian pula dengan

perlakuan B sebesar 89,53 g/ekor/hari. Namun berbeda dengan perlakuan C,

rataan konsumsi bahan kering pada penelitian ini lebih tinggi bila dibandingkan

dengan penelitian sebelumnya yakni sebesar 69,30 g/ekor/hari. Selama intervensi

nikotin, konsumsi bahan kering menurun sebesar 15,97% pada perlakuan A,

19,98% pada perlakuan B dan mengalami peningkatan sebesar 6,57% pada

perlakuan C. Disisi lain terjadi peningkatan kecernaan nutrien sebesar 35,36%

pada perlakuan A, 17,39% pada perlakuan B dan 27,90% pada perlakuan C.

Penurunan dan peningkatan konsumsi dan absorpsi bahan kering memberikan

hasil yang berbeda sangat nyata (P<0,01). Konsumsi bahan kering monyet ekor

panjang dari penelitian ini baik sebelum dan sesudah intervensi nikotin telah

melebihi kebutuhan harian sebagaimana NRC (2003) yakni sebesar 30,0–50,0

g/ekor/hari.

Dari hasil analisis statistik, perlakuan pakan menunjukkan perbedaan yang

sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi protein kasar maupun absorpsi protein

kasar namun berdasarkan perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin)

menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Sebelum intervensi nikotin

rataan konsumsi protein kasar yakni 9,50±2,60–33,52±7,12 g/ekor/hari dengan

rataan protein yang dapat absorpsi sebesar 5,38±1,13–19,00±1,05 g/ekor/hari,

rataan konsumsi protein ini relatif sama dengan hasil penelitian Oktarina (2009)

dengan monyet yang sama yakni 9,82 g/ekor/hari.Selama intervensi nikotin,

konsumsi protein kasar mengalami penurunan sebesar 15,96% pada perlakuan A

dan 19,97% pada perlakuan B, akan tetapi perlakuan C mengalami peningkatan

sebesar 6,57%. Disisi lain walaupun terjadi penurunan konsumsi protein namun

terjadi peningkatan absorpsi selama intervensi nikotin sebesar 12,21% pada

perlakuan A, 8,99% pada perlakuan B dan 2,95% pada perlakuan C. Berdasarkan

hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa protein yang dikonsumsi oleh monyet

ekor panjang telah mencukupi kebutuhan proteinnya, sebagaimana Bennet et al.

(1995) bahwa kebutuhan protein pada monyet ekor panjang adalah 3,5

g/ekor/hari.

Peningkatan konsumsi protein kasar pada perlakuan C juga dibarengi

dengan peningkatan kehilangan protein dalam bentuk nitrogen urine dan feses

Page 106: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

89

yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan A dan B, hal ini dapat dilihat dari

jumlah protein yang dapat diabsorpsi. Sebagaimana Banerjee (1978) bahwa

protein yang dimakan akan dikeluarkan melalui nitrogen feses dan nitrogen urine,

nitrogen feses merupakan nitrogen dari makanan yang tidak tercerna dan tidak

terabsopsi serta nitrogen endogen yang meliputi nitrogen yang berasal dari dalam

tubuh seperti nitrogen dari sisa cairan empedu dan getah pencernaan, reruntuhan

sel epitel usus dan mikroba saluran pencernaan yang tidak tercerna. Sedangkan

nitrogen urine berasal dari dua sumber yakni dari pergantian nitrogen penyusun

jaringan yang mutlak selalu terjadi dan dari konsumsi protein. Sehingga jika

konsumsi protein tinggi maka jumlah protein dari hasil metabolisme dalam bentuk

nitrogen urine pun menjadi tinggi.

Tabel 14 Rataan kecernaan bahan kering (KCBK) (g/ekor/hari) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin

Kandungan Nutrien

Bulan Perlakuan

Pakan A Pakan B Pakan C

BK

B1 33,23 ± 7,61 B

Z

43,10 ± 11,45 B

Y

43,55 ± 5,97 C

X B2 34,61 ± 6,45 B 43,11 ± 6,13 B 57,94 ± 5,41 A B3 49,38 ± 3,90 A 54,42 ± 7,12 A 52,00 ± 5,29 B B4 50,95 ± 1,88 A 54,26 ± 5,48 A 57,16 ± 2,39 A

PK

B1 5,38 ± 1,13 B

Z

8,05 ± 1,84 A

Y

19,00 ± 1,05 A

X B2 4,16 ± 1,17 C 7,43 ± 1,10 C 20,06 ± 1,21 A B3 6,83 ± 0,71 A 9,46 ± 1,28 A 18,73 ± 1,19 B B4 7,12 ± 0,34 A 9,43 ± 0,98 A 19,89 ± 0,54 A

LK

B1 6,09 ± 2,50 C

Y

12,49 ± 2,39 C

X

1,41 ± 0,37 A

Z B2 14,86 ± 0,88 B 13,62 ± 1,07 B 1,41 ± 0,49 A B3 16,88 ± 0,53 A 15,61 ± 1,25 A 0,87 ± 0,48 C B4 17,09 ± 0,26 A 15,58 ± 0,96 A 1,34 ± 0,22 B

SK

B1 0,95 ± 0,20 B

X

0,58 ± 0,23 A

Y

0,49 ± 0,24 C

X B2 0,40 ± 0,26 C 0,22 ± 0,19 B 1,06 ± 0,21 A B3 0,98 ± 0,15 AB 0,57 ± 0,22 A 0,83 ± 0,21 B B4 1,05 ± 0,07 A 0,56 ± 0,17 A 1,03 ± 0,09 A

BETN

B1 33,54 ± 3,35 B

Z

35,71 ± 6,28 B

Y

44,01 ± 1,89 B

X B2 25,06 ± 4,19 C 33,23 ± 3,82 C 46,53 ± 2,08 A B3 34,64 ± 2,53 AB 40,27 ± 4,43 A 44,24 ± 2,04 B B4 35,67 ± 1,22 A 40,17 ± 3,41 A 46,23 ± 0,92 A

GE (kal/g)

B1 2.388,97 ± 355,09 B

Y

2.858,63 ± 524,74 B

X

2.269,93 ± 297,95 C

Y B2 2.216,89 ± 336,23 C 2.821,55 ± 287,66 B 2.998,44 ± 268,34 A B3 2.986,45 ± 203,43 A 3.352,84 ± 334,22 A 2.703,40 ± 262,48 B B4 3.068,34 ± 98,19 A 3.345,40 ± 257,09 A 2.959,53 ± 118,80 A

Keterangan: PK= protein kasar, LK = lemak kasar, SK= serat kasar, BETN = bahan ekstrak tanpa nitrogen, BK= bahan kering, GE = gross energi.

Huruf (X, Y, Z) yang berbeda pada baris dan (A, B, C) yang berbeda pada kolom tiap pengamatan berbeda nyata (P<0,01) pada taraf 99%.

Page 107: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

90

Rataan konsumsi lemak sebelum intervensi nikotin yakni 5,19±1,10–

16,44±4,51 g/ekor/hari dengan rataan lemak yang dapat diabsorpsi sebesar

1,41±0,37–12,49±2,39 g/ekor/hari. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa

perlakuan pakan maupun perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin) berbeda

sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi lemak kasar namun demikian pula

perlakuan pakan dan perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin) berbeda

sangat nyata (P<0,01) terhadap kecernaan lemak kasar.

Konsumsi lemak yang tinggi pada perlakuan A dan B dideposisi menjadi

sumber energi yang disimpan dalam bentuk lemak tubuh, hal ini terlihat dari IMT

dari monyet yang mendapat perlakuan A dan B. Berbeda dengan perlakuan C,

walaupun konsumsi lemaknya rendah namun IMT-nya lebih tinggi bila

dibandingkan dengan monyet yang mendapat perlakuan A. Fenomena ini karena

tingginya konsumsi protein (jumlah protein yang dapat diabsorpsi sebesar

19,00±1,05 g/ekor/hari atau 70,83%) dari monyet yang mendapat perlakuan C.

Sebagaimana Guyton (1996) bahwa konsumsi protein yang tinggi akan langsung

digunakan sebagai energi dan kelebihan protein tersebut disimpan dalam bentuk

lemak, kondisi ini dapat meningkat IMT. Selama intervensi nikotin, rataan

konsumsi lemak menurun sebesar 15,98% pada perlakuan A, 19,9% pada

perlakuan B dan pada perlakuan C terjadi peningkatan sebesar 6,49%. Disisi lain

terjadi peningkatan absorpsi lemak sebesar 167,27% pada perlakuan A, 19,59%

pada perlakuan B sedangkan perlakuan C mengalami penurunan absorpsi sebesar

14,42%. Peningkatan dan penurunan konsumsi lemak kasar berdasarkan waktu

(lamanya intervensi nikotin) menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata

(P<0,01) secara statistik. Konsumsi lemak pada perlakuan A lebih tinggi bila

dibandingkan dengan hasil penelitian Oktarina (2009) pada hewan yang sama

sebesar 13,36 g/ekor/hari. Sedangkan pada perlakuan B, konsumsi lemak tersebut

lebih rendah dari penelitian sebelumnya dengan hewan yang sama yakni sebesar

17,56 g/ekor/hari.

Rataan konsumsi serat kasar pada perlakuan A dan B selama intervensi

nikotin mengalami penurunan. Dari hasil analisis statistik, perbedaan perlakuan

pakan maupun perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin) menunjukkan

perbedaan sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi serat kasar. Demikian pula

Page 108: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

91

kecernaan serat kasar menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata (P<0,01) baik

perbedaan perlakuan pakan maupun perbedaan waktu (lamanya intervensi

nikotin). Konsumsi serat kasar sebelum intervensi nikotin yakni 1,08±0,19–

2,81±0,60 g/ekor/hari dengan rataan serat kasar yang dapat diabsorpsi sebesar

0,49±0,24–0,95±0,20 g/ekor/hari. Selama intervensi nikotin, terjadi penurunan

konsumsi serat kasar sebesar 16,27% pada perlakuan A, 20,06% pada perlakuan B

sedangkan untuk monyet ekor panjang yang mendapat perlakuan C mengalami

peningkatan konsumsi serat kasar sebesar 6,64%. Rataan konsumsi serat kasar

baik pada perlakuan A, B dan C tidak jauh berbeda dengan rataan konsumsi serat

kasar sebagaimana hasil penelitian Pijoh (2006) pada monyet ekor panjang yang

mengalami pengangkutan dengan pakan yang berbeda yakni 1,29–3,52

g/ekor/hari.

Bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) merupakan bahan yang berisi

monosakarida (pentosa dan heksosa), disakarida (maltosa dan laktosa), trisakarida

dan polisakarida terutama pati yang mudah larut dalam asam dan basa yang

mempunyai daya cerna yang tinggi (Tillman dkk. 1989). Rataan konsumsi BETN

sebelum intervensi nikotin yakni 42,08±11,53–72,64±15,44 g/ekor/hari dengan

rataan absorpsi sebesar 33,54±3,35–44,01±1,89 g/ekor/hari pada perlakuan C.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan pakan dan perbedaan waktu

(lamanya intervensi nikotin) berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi

BETN demikian pula perlakuan pakan dan perbedaan waktu (lamanya intervensi

nikotin) berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap kecernaan BETN .

Rataan konsumsi BETN pada perlakuan A ini relatif sama dengan hasil

penelitian sebelumnya (Oktarina 2009) pada hewan yang sama yakni 40,45

g/ekor/hari, sedangkan pada perlakuan B lebih rendah bila dibandingkan dengan

penelitian sebelumnya. Namun pada perlakuan C, rataan konsumsi BETN lebih

tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya pada hewan yang

sama. Selama intervensi nikotin, rataan konsumsi BETN menurun sebesar 15,98%

pada perlakuan A, 19,96% pada perlakuan B dan terjadi peningkatan pada

perlakuan C sebesar 6,57%. Disamping itu pula terjadi peningkatan absorpsi

BETN sebesar 6,10% pada perlakuan B dan 3,76% pada perlakuan C sedangkan

pada perlakuan A mengalami penurunan sebesar 5,22%. Penurunan dan

Page 109: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

92

peningkatan konsumsi dan absorpsi BETN memberikan hasil yang berbeda sangat

nyata (P<0,01).

Rataan konsumsi energi sebelum intervensi nikotin yakni 3.540,46±970,40–

5.615,13±1.193,39 kal/g/ekor/hari dengan rataan yang dapat dicerna sebesar

2.269,93±297,95–2.858,63±254,74 kal/g/ekor/hari. Rataan konsumsi energi pada

perlakuan C selama intervensi nikotin lebih tinggi bila dibandingkan dengan

perlakuan lainnya dengan peningkatan sebesar 6,57%, sedangkan pada perlakuan

A dan B mengalami penurunan sebesar 15,98% dan 26,86%. Disamping itu,

terjadi peningkatan absorpsi energi sebesar 15,41% pada perlakuan A, 11,01%

pada perlakuan B dan 27,19% pada perlakuan C. Hasil analisis statistik

menunjukkan bahwa perlakuan pakan dan perbedaan waktu (lamanya intervensi

nikotin) berbeda nyata (P<0,05) terhadap konsumsi energi demikian pula

perlakuan pakan dan perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin) berbeda nyata

(P<0,05) terhadap kecernaan energi.

Berdasarkan hasil rataan konsumsi energi dan rataan energi metabolisme,

menunjukkan bahwa selama intervensi nikotin jumlah energi yang diperoleh dari

pakan mengalami penurunan bila dibandingkan sebelum intervensi nikotin

sehingga memungkinkan energi yang digunakan dalam proses metabolisme zat-

zat makanan dan proses fisiologis berasal dari energi yang tertimbun dalam tubuh

dalam bentuk deposit lemak yang telah ditimbun sebelumnya dalam tubuh guna

menjalankan proses metabolisme dan aktivitas fisiologis normal tubuhnya.

Yettefty et al. (1997) menyatakan bahwa efek nikotin tidak menyebabkan intake

energi meningkat melainkan menyebabkan peningkatan penggunaan energi dalam

tubuh. Peningkatan penggunaan energi tersebut melalui mobilisasi asam lemak

bebas pada proses lipolisis di jaringan adipose (Andersson dan Arner (2001).

Dari Tabel 14 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan konsumsi nutrien

namun secara umum bahwa kecernaan nutrien mengalami peningkatan yang

berbeda nyata (P<0,05) berdasarkan perlakuan pakan dan perbedaan waktu

(lamanya intervensi nikotin). Hal ini menunjukkan bahwa walaupun konsumsi

nutrien rendah, namun nutrien yang terkonsumsi tersebut mampu dicerna secara

optimal oleh tubuh dengan yang dilihat dari peningkatan nilai kecernaan nutrien

selama intervensi nikotin.

Page 110: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

93

Koefisien Kecernaan dan Energi Metabolisme

Kecernaan merupakan suatu gambaran mengenai jumlah zat makanan yang

dapat dicerna oleh hewan dan digunakan untuk kelangsungan proses kegiatan di

dalam tubuhnya. Nilai koefisien kecernaan menggambarkan seberapa hewan dapat

mencerna pakan yang diberikan. Rataan koefisien kecernaan, TDN dan energi

metabolisme monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin dapat

dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 Rataan koefisien kecernaan, TDN dan energi metabolisme monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin

Kandungan Nutrien

Bulan Perlakuan

Pakan A Pakan B Pakan C

KC BK (%)

B1 42,59 ± 9,75 B

Z

56,18 ± 14,92 B

X

49,45 ± 6,78 C

Y B2 44,37 ± 8,27 B 56,19 ± 7,99 B 65,79 ± 6,14 A B3 63,29 ± 5,00 A 70,94 ± 9,28 A 59,04 ± 6,01 B B4 65,30 ± 2,41 A 70,73 ± 7,14 A 64,90 ± 2,72 A

KC PK (%)

B1 44,75 ± 9,39 B

Z

59,79 ± 13,69 B

Y

70,83 ± 3,91 B

X B2 34,61 ± 9,72 C 55,16 ± 8,17 C 74,81 ± 4,52 A B3 56,86 ± 5,88 A 70,25 ± 9,50 A 69,83 ± 4,42 B B4 59,22 ± 2,84 A 70,04 ± 7,30 A 74,15 ± 2,00 A

KC LK (%)

B1 29,26 ± 12,02 C

Y

64,00 ± 12,26 C

X

33,87 ± 8,86 A

Z B2 71,43 ± 4,25 B 69,79 ± 5,51 B 34,05 ± 11,84 A B3 81,15 ± 2,57 A 79,96 ± 6,40 A 21,03 ± 11,58 B B4 82,18 ± 1,24 A 79,81 ± 4,92 A 32,34 ± 5,24 A

KC SK (%)

B1 44,86 ± 9,37 B

46,14 ± 18,34 A

21,85 ± 10,47 C

B2 18,86 ± 12,06 C 17,57 ± 15,02 B 47,31 ± 9,46 A B3 46,46 ± 7,30 A 45,32 ± 17,46 A 36,91 ± 9,25 B B4 49,40 ± 3,52 A 44,93 ± 13,43 A 45,94 ± 4,19 A

KC BETN (%)

B1 63,01 ± 6,28 B

Z

65,94 ± 11,60 B

Y

75,72 ± 3,25 B

X B2 47,07 ± 7,87 C 61,35 ± 7,04 C 80,06 ± 3,58 A B3 65,07 ± 4,76 A 74,36 ± 8,19 A 76,12 ± 3,50 B B4 66,99 ± 2,30 A 74,18 ± 6,30 A 79,54 ± 1,59 A

KC E (%)

B1 53,34 ± 7,93 B

Y

64,97 ± 11,93 B

X

50,52 ± 6,63 C

Y B2 49,49 ± 7,51 C 64,13 ± 6,54 B 66,74 ± 5,97 A B3 66,68 ± 4,54 A 76,20 ± 7,60 A 60,17 ± 5,84 B B4 68,50 ± 2,19 A 76,03 ± 5,84 A 65,87 ± 2,64 A

TDN (%)

B1 53,57 ± 10,30 C

Y

72,45 ± 13,74 B

X

66,66 ± 4,00 B

Y B2 63,05 ± 7,60 B 71,53 ± 7,52 B 70,84 ± 4,61 A B3 80,44 ± 4,60 A 85,42 ± 8,74 A 65,77 ± 4,51 B B4 82,29 ± 2,22 A 85,22 ± 6,72 A 70,17 ± 2,04 A

EM (kkal)

B1 1.846,86 ± 386,96 B

Z

2.486,87 ± 693,09A

Y

2.838,72 ± 774,19C

XB2 1.248,57 ± 305,51 C 1.719,23 ± 400,85C 3.644,48 ± 757,78B B3 2.116,62 ± 263,99 A 2.644,88 ± 476,89A 3.396,85 ± 650,83B B4 2.177,08 ± 203,39 A 2.288,60 ± 241,96B 4.489,26 ± 581,30A

Keterangan: KC= koefisien cerna, PK= protein kasar, LK = lemak kasar, SK= serat kasar, BETN = bahan ekstrak tanpa nitrogen, TDN = total digentible nutrient, BK= bahan kering, GE = gross energi, ET = energi termetabolisme.

Huruf (X, Y, Z) yang berbeda pada baris dan (A, B, C) yang berbeda pada kolom tiap pengamatan berbeda nyata (P<0,01) pada taraf 99%..

Page 111: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

94

Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa koefisien kecernaan

nutrien sebelum dan selama intervensi nikotin memberikan hasil yang berbeda.

Nilai rataan koefisien kecernaan sebelum intervensi nikotin berkisar 44–80%

(protein kasar), 29–64% (lemak kasar), 21–46% (serat kasar), 63–80% (BETN),

42–56% (bahan kering) dan 50–65% untuk energi. Dan selama intervensi nikotin

terjadi kecenderungan peningkatan koefisien kecernaan dengan sebesar 2,96–

167,44%. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan pakan dan

perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin) berbeda sangat nyata (P<0,01)

terhadap rataan koefisien kecernaan.

Berdasarkan hasil penelitian seperti yang ditampilkan pada Tabel 15

menunjukkan bahwa koefisien kecernaan lebih rendah bila dibandingkan dengan

penelitian sebelumnya Oktarina (2009) dengan menggunakan hewan yang sama

dimana rataan koefisien kecernaan sebesar ≥90%, hal ini menunjukkan bahwa

pakan yang diberikan memiliki kualitas ransum yang baik. Dengan intervensi

nikotin, rataan koefisien tersebut lebih rendah, kondisi ini bukan berarti pakan

yang digunakan memiliki kualitas buruk tetapi hewan percobaan menggunakan

energi dan zat nutrisi yang telah ditimbun sebelumnya dalam tubuh guna

menjalankan proses metabolisme dan aktivitas fisiologis tubuhmya, hal ini terlihat

dari tingginya kandungan nutrien yang ditemukan kembali dalam feses disamping

itu adanya kecenderungan penurunan IMT sebagai salah satu indikator obesitas.

Atau dengan kata lain, bahwa kecenderungan penurunan IMT dan rendahnya

koefisien kecernaan yang diperoleh menunjukkan bahwa terjadi penggunaan zat

nutrisi dan energi yang ada dalam tubuh guna menjalankan proses metabolisme

dan aktivitas fisiologis tubuh. Sebagaimana Lamota et al. (2008) bahwa nikotin

mengaktifkan sistem endogenous cannabinoid yang merupakan alat modulasi

metabolisme yang menyebabkan pengeluaran energi sehingga dapat menurunkan

bobot badan. Selain itupula, efek langsug dari nikotin pada metabolisme jaringan

adipose terutama aksinya pada leptin, ghrelin dan neuropeptide Y merupakan zat

yang berperan dalam asupan makanan dan pengeluaran energi yang sangat

berhubungan dengan indeks massa tubuh (Chatkin dan Chatkin 2007).

Total digestible nutrient (TDN) merupakan bahan organik yang dapat

dicerna yang diperoleh dengan mengalikan protein dapat dicerna dan serat kasar

Page 112: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

95

dapat dicerna serta BETN dapat dicerna dengan lemak kasar dapat dicerna dan

faktor 2,25 (Tillman dkk. 1989). TDN merupakan cara untuk menghitung energi

bahan makanan yang dapat dicerna. Dari hasil penelitian nilai TDN sebelum dan

selama intervensi nikotin dicantumkan pada Gambar 28.

53.57

72.4566.66

75.2680.72

68.93

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

A B C

Pakan

Rat

a-ra

ta T

DN

(%

)

sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin

Keterangan: A= pakan A, B= pakan B, dan C= pakan C. Gambar 28 Histogram rataan TDN monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)

sebelum dan selama intervensi nikotin

Berdasarkan hasil yang diperoleh seperti yang dapat dilihat pada Gambar 28

di atas, menunjukkan bahwa secara umum terjadi peningkatan nilai TDN yang

berbeda sangat nyata (P<0,01) baik berdasarkan perlakuan pakan maupun waktu

(lamanya intervensi nikotin). Sebelum intervensi nikotin rataan nilai TDN sebesar

53,57±10,30–72,45±13,74%. Selama intervensi nikotin rataan nilai TDN

meningkat sebesar 40,49% pada perlakuan A, 11,42% pada perlakuan B dan

3,40% pada perlakuan C. Perbedaan nilai energi dari bahan makanan yang dapat

dicerna tersebut menunjukkan nilai yang berbeda sangat nyata (P<0,01).

Energi metabolisme merupakan kebutuhan energi bagi hewan guna

berlangsungnya proses fisiologis. Rataan energi metabolisme sebelum intervensi

nikotin berkisar 1.846,86±386,96–2.838,72±774,19 kkal. Rataaan nilai energi

metabolisme menunjukkan nilai yang berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap

perbedaan pakan maupun perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin.

Berdasarkan hasil penelitian, rataaan nilai energi metabolisme sebelum dan

selama intervensi nikotin ditampilkan pada Gambar 29.

Page 113: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

96

1846.86

2486.872838.72

1847.422217.57

3843.53

0.00500.00

1000.001500.002000.002500.003000.003500.004000.004500.00

A B C

Pakan

Rat

a-ra

ta E

ner

gi

Met

abo

lism

e (k

kal)

sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin

Keterangan: A = pakan A, B = Pakan B, dan C = pakan C. Gambar 29 Histogram rataan energi termetabolisme monyet ekor panjang

(Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin

Selama intervensi nikotin, nilai energi metabolisme mengalami penurunan

sebesar 10,83% pada perlakuan B, namun pada perlakuan A dan C mengalami

peningkatan sebesar 0,03% dan 35,40%. Sebagaimana hasil yang diperoleh yakni

adanya kecenderungan penurunan IMT merupakan salah satu indikator

penggunaan energi yang ada terutama dalam bentuk timbunan lemak yang telah

dibakar dalam proses metabolisme sehingga timbunan lemak menjadi berkurang.

Pengurangan timbunan lemak tersebut tercermin pada kecenderungan penurunan

IMT dari hewan percobaan. Chatkin dan Chatkin (2007) menyatakan bahwa efek

langsug dari nikotin pada metabolisme jaringan adipose terutama aksinya pada

leptin, ghrelin dan neuropeptide Y yang berperan dalam asupan makanan dan

pengeluaran energi yang sangat berhubungan dengan indeks massa tubuh.

Disamping itu pula Filozof et al. (2004) menyatakan bahwa molekul yang dapat

terlibat dengan aksi yang berhubungan dengan konsumsi nikotin yakni

neuropeptides dan hormon peptide (leptin, neuropeptide Y (NPY) dan orexins)

yang berperan dalam asupan makanan dan pengeluaran energi.

Lebih lanjut dikatakan bahwa nikotin menggunakan mekanisme dengan

memodulasi biosintesis leptin dan akibatnya mengurangi bobot badan karena

leptin merupakan regulator negatif dari asupan makanan dan energi positif pada

Page 114: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

97

regulator pengeluaran energi. Sedangkan efeknya pada NPY yakni menurunkan

ekspresi dari NPY akibat intervensi nikotin yang merupakan stimulator kuat dari

asupan makanan. Orexins sebagai regulator positif terhadap asupan makanan juga

memberikan respon yang menurun dengan intervensi nikotin. Hal tersebut

menjadi jelas, dengan bertambahnya waktu intervensi nikotin memberikan efek

paparan nikotin yang lebih lama pada neuropeptides dan hormon peptide dengan

respon yang menyebabkan peningkatan modulasi penggunaan energi, penurunan

konsumsi sehingga ada kecenderungan penurunan bobot badan dan IMT.

Tingkah Laku

Sebagai hewan diurnal, monyet ekor panjang melakukan aktivitasnya pada

siang hari. Walaupun pola aktivitas sebagian besar dilakukan pada siang hari,

namun keadaan ini dapat berubah baik karena faktor dari dalam tubuh hewan

tersebut maupun dari faktor luar (lingkungan). Dari penelitian ini diperoleh hasil

bahwa kondisi sebagaimana disebutkan sebelumnya memberikan andil terhadap

tingkah laku hewan yang diteliti hal ini dapat dilihat adanya perubahan pola

tingkah laku yang diperlihatkan sebelum dan selama intervensi nikotin (0,75

mg/kg bobot badan/12 jam) dalam pakan. Pembagian pola tingkah laku tersebut

meliputi ingestif (makan dan minum), eliminasi (defekasi dan urinasi), tingkah

laku sosial (menatap, self grooming, kontak/sentuhan dan agonistik), serta

lokomosi dari penelitian ini ditampilkan pada Tabel 16.

Page 115: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

98

Tabel 16 Rataan lama aktivitas dan frekuensi ingestif, eliminasi, sosial dan lokomosi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin

Tingkah Laku

Perlakuan Pakan A Pakan B Pakan C

menit/jam F (kali)/jam menit/jam F

(kali)/jam menit/jam F (kali)/jam

Ingestif

Makan

Sebelum intervensi nikotin 0,714 0,42 1,206 0,67 0,493 0,54

Selama intervensi nikotin 0,432 0,58 0,451 0,67 0,654 0,58

Minum

Sebelum intervensi nikotin 0,037 0,38B 0,254 0,54B 0,043 0,50B

Selama intervensi nikotin 0,048 0,75A 0,036 1,54A 0,032 1,38A

Eliminasi

Defekasi

Sebelum intervensi nikotin 0,008 0,21 0,009 0,38 0,011 0,38

Selama intervensi nikotin 0,010 0,25 0,010 0,25 0,010 0,33

Urinasi

Sebelum intervensi nikotin 0,015 0,25 0,015 0,29 0,019 0,38

Selama intervensi nikotin 0,019 0,42 0,015 0,33 0,019 0,42

Sosial

Menatap

Sebelum intervensi nikotin 0,024b 0,08b 0,287b 0,17b 0,000 0,00

Selama intervensi nikotin 0,140a 0,38a 1,455a 0,54a 0,000 0,00

Self grooming

Sebelum intervensi nikotin 0,139A 0,46B 0,747A 0,92B 0,433A 1,29B

Selama intervensi nikotin 0,041B 1,25A 0,338B 2,00A 0,203A 2,33A

Kontak/ sentuhan

Sebelum intervensi nikotin 0,059 0,13 0,000 0,00 0,428 0,63

Selama intervensi nikotin 0,025 0,54 0,134 0,25 0,438 1,04

Agonistik

Sebelum intervensi nikotin 0,004 0,04 0,008 0,08 0,011 0,33

Selama intervensi nikotin 0,008 0,13 0,003 0,13 0,052 0,33

Lokomosi

Sebelum intervensi nikotin 0,010 0,63 0,016 0,96 0,018 1,67

Selama intervensi nikotin 0,130 1,38 0,047 1,96 0,032 1,46

Keterangan: Huruf (x, y, z) yang berbeda pada baris tiap pengamatan berbeda nyata (P<0,05). Huruf (X, Y, Z) yang berbeda pada baris dan (A, B, C) yang berbeda pada kolom tiap pengamatan berbeda nyata (P<0,01). Huruf (a, b, c) yang berbeda pada baris tiap pengamatan berbeda nyata (P<0,05).

Ingestif

Ingestif merupakan tingkah laku yang dilakukan oleh hewan yang

berhubungan dengan aktivitas makan dan minum. Tingkah laku ingestif dari

monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin mengalami

X Y X

y

Y

a

B

x

Y

a

B

y

Z X Y

X

b

b ab a

A

Page 116: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

99

perubahan, hal ini dapat dilihat pada Tabel 16. Perubahan yang terjadi meliputi

jumlah alokasi waktu yang dibutuhkan maupun frekuensi melakukan aktivitas

tersebut baik tingkah laku makan dan minum.

Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa rataan frekuensi makan dari

monyet ekor panjang selama intervensi nikotin mengalami peningkatan untuk

semua perlakuan bila dibandingkan rataan frekuensi sebelum intervensi nikotin.

Frekuensi tingkah laku makan terlihat sebelum intervensi nikotin berkisar 0,42–

0,67 kali/jam. Sedangkan selama intervensi nikotin mengalami peningkatan antara

0,58–0,67 kali/jam. Dari Gambar 30 dapat dilihat bahwa frekuensi tingkah laku

makan tersebut tertinggi pada pagi hari dan kemudian menurun pada sore hari.

Persentase frekuensi makan selama intervensi nikotin dibandingkan sebelum

intervensi nikotin berturut-turut; pakan A (58,33%:41,67%), pakan B

(50,00%:50,00%) dan pakan C (51,85%:48,15%). Peningkatan rataan persentase

frekuensi makan selama 24 jam pada pagi, siang, sore dan malam dengan

pembagian berdasarkan periode waktu dapat dilihat pada Gambar 30.

Gambar 30 Histogram frekuensi tingkah laku makan monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin

Peningkatan frekuensi minum juga terjadi selama intervensi nikotin.

Sebelum intervensi nikotin, frekuensi minum berkisar 0,38–0,54 kali/jam.

Sedangkan selama intervensi nikotin mengalami peningkatan antara 0,75–1,54

kali/jam. Dengan rataan persentase frekuensi minum selama intervensi nikotin

Page 117: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

100

yakni 66%. Rataan persentase frekuensi tingkah laku minum tersebut tidak

berbeda nyata (P>0,05) pada masing-masing perlakuan selama intervensi nikotin

dibandingkan sebelum intervensi nikotin dengan besaran pada masing-masing

perlakuan yakni pakan A (66,67%:33,33%), pakan B (74,00%:26,00%) dan pakan

C (73,33%:26,67%). Rataan persentase frekuensi minum selama 24 jam pada

pagi, siang, sore dan malam dengan pembagian berdasarkan periode waktu dapat

dilihat pada Gambar 31.

Gambar 31 Histogram frekuensi tingkah laku minum monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin

Walaupun rataan persentase frekuensi makan dan minum selama intervensi

nikotin lebih tinggi dibandingkan sebelum intervensi nikotin tetapi perbedaan

tersebut tidak berbeda nyata (P>0,05). Namun sebelum intervensi nikotin, waktu

yang dibutuhkan oleh monyet ekor panjang yang mendapat perlakuan A dan B

mulai dari mengambil makan, menggigit, melepeh (mengeluarkan kembali) dan

mengunya makanan lebih lama bila dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan

monyet ekor panjang pada perlakuan yang sama selama intervensi nikotin. Rataan

lamanya waktu makan yang dibutuhkan monyet ekor panjang sebelum intervensi

nikotin berkisar 0,493–1,206 menit/jam dan menit/jam sedangkan selama

intervensi nikotin lamanya waktu yang dibutuhkan cenderung mengalami

penurunan antara 0,432–0,654 menit/jam menit. Berdasarkan hasil analisis

statistik perbedaan lamanya waktu makan sebelum dan selama intervensi nikotin

tidak berbeda nyata (P>0,05).

Page 118: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

101

Berdasarkan hasil observasi pada Gambar 30 di atas, bahwa pola tingkah

laku makan dari monyet penelitian mengikuti pemberian makanan yakni pada

pagi hari (08.00 WIB) dan siang hari (13.00 WIB). Aktivitas makan dari monyet

pada perlakuan A sebelum intervensi nikotin ditemukan lebih tinggi yakni pada

pagi hari (06.00-08.00) baik dari segi alokasi waktu maupun frekuensi tingkah

laku makan, hal yang serupa juga terlihat pada alokasi waktu dan frekuensi waktu

yang dibutuhkan untuk minum. Sedangkan untuk monyet yang mendapat

perlakuan B, aktivitas makan dan minum sebelum intervensi nikotin ditemukan

pada semua periode waktu dari pagi, siang, sore dan malam. Dengan aktivitas

tertinggi baik alokasi waktu yang dibutuhkan untuk makan dan minum yakni

malam hari (18.30-05.30). Pola tingkah laku makan ini dapat menjadi salah faktor

pendorong tingginya rataan indeks massa tubuh dari monyet ekor panjang yang

mendapat perlakuan B yakni 26,60. Sebagaimana Haslam dan James (2005)

menyatakan bahwa ada dua pola makan abnormal yang bisa menjadi penyebab

obesitas yaitu makan dalam jumlah sangat banyak (binge) dan makan di malam

hari (sindroma makan pada malam hari).

Pola tingkah laku makan dari setiap individu monyet yang terlihat pada

penelitian menunjukkan pola yang tidak menetap, pada kondisi tertentu monyet

mengambil makanan yang kemudian diperiksa dengan cara membaui yang

kemudian digigit dan dikunyah. Disamping itu pula sebelum dimakan, makanan

dibuat memanjang dengan cara menggosokkan kedua tangan dan kemudian

dimasukkan ke dalam mulut. Pola yang lain juga terlihat, pakan langsung dimakan

tanpa diperiksa. Begitupula halnya dengan pola tingkah laku minum,

menunjukkan pola yang tidak menetap. Dimana pada kondisi tertentu, monyet

meminum langsung dengan mulut pada tempat minum dan kadang juga

ditemukan meminum dengan menggunakan tangan, yakni tangan dimasukkan ke

dalam tempat air minum dan kemudian mengangkat tangannya dari tempat minum

lalu menjilati tangan yang telah dimasukkan tersebut.

Eliminasi

Eliminasi merupakan tingkah laku dalam membuang kotoran baik dalam

bentuk padatan (feses) maupun dalam bentuk cairan (urine). Tingkah laku

defekasi sebelum dan selama intervensi nikotin relatif sama. Aktivitas defekasi

Page 119: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

102

ditemukan hampir disemua periode pembagian waktu (pagi, siang, sore dan

malam) baik pada monyet yang mendapat perlakuan A, B, dan C dan secara

statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Pola tersebut juga terjadi pada tingkah laku

urinasi baik sebelum pemberian maupun selama pemberian, namun persentase

frekuensi urinasi selama intervensi nikotin lebih tinggi yakni 56,15% sedangkan

sebelum intervensi nikotin yakni 43,85% walaupun secara statistik tidak berbeda

nyata (P>0,05). Rataan lama aktivitas dan frekuensi tingkah laku eliminasi baik

defekasi maupun urinasi dapat dilihat pada Tabel 16.

Rata-rata lama waktu yang dibutuhkan untuk membuang kotoran terutama

defekasi yakni 0,04–0,05 menit sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk urinasi

yakni 0,07 menit. Frekuensi tingkah laku defekasi cenderung lebih tinggi sebelum

intervensi bila dibandingkan selama intervensi nikotin. Sebelum intervensi nikotin

frekuensi defekasi berkisar 0,21–0,38 kali/jam dengan lama waktu yakni 0,008–

0,011 menit/jam. Sedangkan selama intervensi nikotin frekuensi defekasi berkisar

0,25–0,33 kali/jam dengan lama waktu 0,010 menit/jam.

Frekuensi tingkah laku urinasi selama intervensi nikoitin lebih tinggi bila

dibandingkan sebelum intervensi nikotin sebagaimana dapat dilihat pada Tabel

16. Secara statistik waktu yang dibutuhkan untuk urinasi berbeda sangat nyata

(P<0,01) berdasarkan perbedaan pakan. Dari pengamatan yang diperoleh bahwa

tingkah laku defekasi umumnya dilakukan pada pagi hari sebelum maupun saat

pembersihan dan pemberian pakan. Rata-rata tingkah laku eliminasi, baik tingkah

laku defekasi maupun urinasi dilakukan 2 kali sehari. Monyet melakukan tingkah

laku defekasi dengan cara duduk di atas besi tempat bertengger dalam kandang,

duduk dilantai kandang, berdiri, bergantung maupun jongkok. Demikian pula,

pola yang sama juga dilakukan saat urinasi. Tingkah laku eliminasi (defekasi dan

urinasi) juga ditemukan saat terjadi tingkah laku agonistik yakni saat

menggocang-goncangkan kandang.

Tingkah Laku Sosial

Tingkah laku sosial merupakan tingkah laku sebagai bagian integral dari

usaha setiap individu untuk tetap menjaga kelangsungan hidupnya dan mencapai

sukses. Bentuk tingkah laku sosial yang diamati sebagai upaya dari individu untuk

tetap menjaga proses tersebut meliputi tingkah laku menatap, merawat diri

Page 120: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

103

(grooming) dalam hal ini secara self grooming, kontak dengan kandang maupun

agonistik. Adapun pola tingkah laku sosial yang diamati disajikan dalam Tabel 16

berikut baik lama waktu yang dihabiskan maupun frekuensi dalam melakukan

kegiatan tersebut.

Tingkah laku menatap yang dimaksudkan adalah merupakan bentuk tingkah

laku sosial dari individu untuk melakukan komunikasi secara visual yakni dengan

menatap individu lain pada kandang yang berbeda baik dengan ekspresi

menyeringai sebagai tanda untuk menekan atau menakuti individu lainnya

maupun tanpa ekspresi apapun. Sebagaimana yang dapat dilihat pada Tabel 16

bahwa rata-rata waktu yang dibutuhkan individu dalam melakukan tingkah laku

ini lebih lama selama intervensi nikotin dibandingkah dengan sebelum pemberian

yakni 0,140–1,455 menit/jam berbanding 0,024–0,287 menit/jam terutama untuk

perlakuan A dan B. Sedangkan pada individu yang mendapat perlakuan C tidak

teramati.

Rataan frekuensi tingkah laku menatap tertinggi selama intervensi nikotin

dan tingkah laku ini umumnya dilakukan saat pagi hari yakni pukul 06.00-10.30

WIB dan saat sore (16.00-18.00 WIB) serta malam hari (18.30-05.30 WIB)

seperti yang dapat dilihat pada Gambar 32.

Gambar 32 Histogram frekuensi tingkah laku sosial (menatap) monyet ekor

panjang sebelum dan selama intervensi nikotin

Page 121: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

104

Tingkah laku menatap yang tertinggi dilakukan pada pagi dan menjelang

sore hari. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa frekuensi tingkah laku dan

lama waktu melakukan tingkah laku secara statistik berbeda nyata (P<0,05).

Tingkah laku menatap menjelang malam atau saat sore hari ini kemungkinan

mengandung maksud bahwa individu tersebut berusaha mengetahui kondisi atau

keadaan dari individu lain yang ada di sekitarnya dan sebagai salah satu upaya

untuk melakukan komunikasi visual menjelang istrahat, hal ini karena monyet

ekor panjang merupakan hewan yang memiliki perilaku sosial seperti hidup

berkelompok. Begitupula halnya tingkah laku ini teramati saat pagi hari

dimaksudkan bahwa individu tersebut berusaha mengetahui kondisi individu

lainnya apakah dalam kondisi yang baik atau tidak.

Tingkah laku merawat diri (grooming) yang teramati yakni secara self

grooming (membersihkan atau merawat bulu dengan tangan atau mulut), aktivitas

tersebut ditemukan pada disemua periode pembagian waktu (pagi, siang, sore dan

malam) baik pada monyet yang mendapat perlakuan A, B, dan C. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa bahwa frekuensi melakukan merawat diri selama intervernsi

nikotin lebih tinggi bila dibandingkan sebelum intervensi nikotin, namun lama

waktu yang dibutuhkan melakukan tingkah laku tersebut lebih tinggi sebelum

intervensi nikotin, sebagaimana yang dapat dilihat pada Gambar 33.

Gambar 33 Histogram frekuensi tingkah laku sosial (self grooming) monyet ekor

panjang sebelum dan selama intervensi nikotin

Page 122: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

105

Rataan persentase frekuensi tingkah laku merawat diri selama intervensi

nikotin yakni 73,17% pada perlakuan A, 68,57% pada perlakuan B dan 64,37%

pada perlakuan C. Sebelum intervensi nikotin hanya ditemukan 26,83% pada

perlakuan A, 31,43% pada perlakuan B dan 35,63% pada perlakuan C.

Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa lamanya waktu yang

dibutuhkan untuk melakukan tingkah laku self grooming berbeda sangat nyata

(P<0,01) berdasarkan perbedaan pakan dan waktu (sebelum dan selama intervensi

nikotin), disamping itu pula frekuensi tingkah laku self grooming berdasarkan

perbedaan pakan dan waktu (sebelum dan selama intervensi nikotin) juga berbeda

sangat nyata (P<0,01), namun berdasarkan perbedaan pakan terhadap frekuensi

tingkah laku self grooming secara statistik berbeda nyata (P<0,05).

Pola tingkah laku merawat diri yang terlihat antara lain dilakukan dengan

menggaruk-garuk rambut baik badan, tangan maupun kaki. Tingkah laku merawat

diri yang dilakukan pada pagi hari dilakukan sebelum melakukan aktivitas makan,

disamping itu tingkah laku ini dilakukan setelah melakukan aktivitas makan baik

pada pagi (setelah pemberian makan pada pagi hari) maupun pada siang hari

(setelah pemberian makan pada siang hari). Atau dengan kata lain bahwa tingkah

laku merawat diri dilakukan pada waktu senggang setelah selesai melakukan

aktivitas makan maupun saat menunggu makanan. Tingkah laku merawat diri ini

merupakan aktivitas tingkah laku dengan frekuensi terbanyak yakni 12,03 kali

atau (19,14%) dibandingkah dengan aktivitas tingkah laku yang lainnya.

Walaupun rataan persentase frekuensi aktivitas merawat diri selama

intervensi nikotin lebih tinggi bila dibandingkan sebelum intervensi nikotin,

namun alokasi waktu yang dibutuhkan berbeda. Sebelum intervensi nikotin, lama

waktu yang dibutuhkan yakni 0,139–0,747 menit/jam. Sedangkan lama waktu

yang dibutuhkan selama intervensi nikotin yakni 0,041–0,338 menit/jam.

Lamanya durasi waktu yang dibutuhkan sebelum intervensi nikotin kemungkinan

disebabkan karena kondisi bobot badan individu yang lebih tinggi sehingga

pergerakan (lokomosi) lebih sedikit sehingga alokasi waktu untuk melakukan

aktivitas merawat diri lebih banyak.

Tingkah laku kontak/sentuhan dalam pengamatan seperti yang dimaksudkan

pada penelitian ini adalah tingkah laku yang diperlihatkan oleh individu dengan

Page 123: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

106

melakukan kontak/sentuhan dengan lantai kadang atau berbaring terlentang

maupun tengkurap yang dibarengi dengan mengelus-elus lantai kadang. Dari hasil

pengamatan diperoleh bahwa tingkah laku kontak/sentuhan yang tertinggi

ditemukan selama intervensi nikotin dengan rataan persentase frekuensi yakni

81,25% pada perlakuan A, 100% pada perlakuan B dan 62,50% pada perlakuan C.

Sedangkan sebelum intervensi nikotin, rataan persentase frekuensi yakni 18,75%

pada perlakuan A, 0% pada perlakuan B dan 37,50% pada perlakuan C,

sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 34

Gambar 34 Histogram persentase tingkah laku sosial (kontak/sentuhan) monyet

ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin

Dari hasil analisis statistik menunjukkan bahwa baik frekuensi maupun

lamanya waktu yang dibutuhkan secara statistik berbeda sangat nyata (P<0,01)

terhadap tingkah laku kontak/sentuhan. Seperti yang dapat dilihat pada Gambar

34, bahwa umumnya tingkah laku ini dilakukan dilakuan pada siang hari (11.00-

13.00 WIB), sore hari (16.00-18.00 WIB) dan malam hari (18.30-05.30 WIB)

untuk individu yang mendapat perlakuan A dan B. Untuk individu yang mendapat

perlakuan C teramati hampir disemua periode waktu (pagi, siang, sore dan

malam). Tingkah laku merawat diri, tingkah laku kontak/sentuhan ini dilakukan

sebelum melakukan aktivitas makan maupun setelah melakukan aktivitas makan

baik pada pagi (setelah pemberian makan pada pagi hari) maupun pada siang hari

(setelah pemberian makan pada siang hari).

Page 124: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

107

Seperti halnya tingkah laku merawat diri, kondisi bobot badan individu yang

lebih tinggi sebelum intervensi nikotin menyebabkan alokasi waktu yang

dibutuhkan dalam aktivitas kontak lebih banyak. Lama waktu kontak yang

dibutuhkan oleh individu pada perlakuan A sebelum intervensi nikotin yakni

sekitar 0,059 menit/jam dan 0,025 menit/jam selama intervensi nikotin. Pada

perlakuan B, lama waktu kontak yakni 0,134 menit/jam (selama intervensi

nikotin) dan pada perlakuan C yakni 0,428 menit/jam (sebelum intervensi nikotin)

dan 0,438 menit/jam (selama intervensi nikotin).

Tingkah laku agonistik merupakan tingkah laku agresif. Tingkah laku ini

juga merupakan bentuk pertahanan terhadap adanya bahaya yang mengancam.

Berdasarkan hasil pengamatan pada penelitian ini, tingkah laku agonistik yang

terjadi yakni tingkah laku agresifitas yang dilampiaskan ke kandang dengan

mengoyang-goyangkan kandang. Secara umum tingkah laku agonistik selama

intervensi nikotin lebih tinggi bila dibandingkan sebelum intervensi nikotin. Pada

perlakuan A, rataan persentase frekuensi agonistik selama intervensi nikotin yakni

75,00% (0,13 kali/jam), 60,00% (0,13 kali/jam) pada perlakuan B dan 50,00%

(0,33 kali/jam) pada perlakuan C. Sedangkan sebelum intervensi nikotin, tingkah

laku agonistik yakni 25,00% (0,04 kali/jam) ditemukan pada perlakuan A, 40,00%

(0,08 kali/jam) pada perlakuan B dan 50,00% (0,33 kali/jam) ditemukan pada

perlakuan C seperti yang dapat dilihat pada Gambar 35.

Gambar 35 Histogram persentase tingkah laku sosial (agonistik) monyet ekor

panjang sebelum dan selama intervensi nikotin

Page 125: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

108

Dari hasil analisis statistik menunjukkan bahwa frekuensi maupun lamanya

waktu yang dibutuhkan secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap

tingkah laku agonistik. Berdasarkan hasil penelitian seperti yang dapat dilihat

pada Tabel 16 dan Gambar 35, bahwa tingkah laku agonistik selama intervensi

nikotin frekuensinya lebih tinggi dibandingkan sebelum intervensi nikotin.

Namun berdasarkan periode waktu, frekuensi tingkah laku agonistik sebelum

intervensi nikotin lebih banyak, baik pada individu yang mendapat perlakuan A, B

dan C dengan lama waktu yang dibutuhkan 0,004–0,011 menit/jam sedangkan

selama intervensi nikotin lama waktu yang dibutuhkan yakni 0,003–0,052

menit/jam. Pada perlakuan A ditemukan pada pukul 13.00-15.30 WIB dan pukul

18.30-05.30 WIB dengan persentase masing-masing 50,00%. begitupula halnya

dengan individu yang mendapat perlakuan B ditemukan dua kali dengan

persentase masing-masing 50,00%. Sedangkan pada perlakuan C baik sebelum

dan selama intervensi nikotin, tingkah laku agonistik ditemukan masing-masing

pada dua periode waktu.

Lokomosi

Tingkah laku lokomosi atau perpindahan yang dilakukan oleh individu

dalam kandang baik ke arah bagian lain dari sisi kandang maupun pergerakan ke

atas atau ke bawah (pada lantai kandang). Berdasarkan hasil penelitian bahwa

tingkah laku lokomosi ditemukan pada semua periode waktu baik pagi, siang, sore

dan malam hari, seperti yang ditampilkan pada Gambar 36.

Gambar 36 Histogram persentase tingkah laku lokomosi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin

Page 126: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

109

Rataan persentase frekuensi tingkah laku lokomosi tertinggi yakni selama

intervensi nikotin dengan persentase 68,75% (1,38 kali/jam) pada perlakuan A,

67,14% (1,96 kali/jam) pada perlakuan B dan 46,67% (1,46 kali/jam) pada

perlakuan C. Sedangkan rataan persentase frekuensi lokomosi sebelum intervensi

nikotin yakni 31,25% (0,63 kali/jam) pada perlakuan A, 32,86% (0,96 kali/jam)

pada perlakuan B dan 53,33% (1,67 kali/jam) pada perlakuan C. Berdasarkan

hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tingkah laku lokomosi baik frekuensi

maupun lamanya waktu yang dibutuhkan secara statistik tidak berbeda nyata

(P>0,05).

Rataan frekuensi tingkah laku lokomosi seperti pada Gambar 36, dapat

dilihat bahwa selama intervensi nikotin tingkah laku lokomosi tertinggi pada

perlakuan A dan C yakni pada pagi hari (06.00-10.30 WIB). Sedangkan pada

perlakuan B, tingkah laku lokomosi tertinggi yakni pada siang hingga menjelang

sore hari (13.30-15.30 WIB). Pada perlakuan C memiliki tingkat lokomosi

tertinggi dan ditemukan pada semua periode waktu pagi, siang dan sore dengan

persentase frekuensi yang berbeda-beda.

Pola tingkah laku lokomosi seperti yang dapat dilihat pada Tabel 16 dan

Gambar 36 memiliki durasi waktu sekitar 0,010–0,018 menit/jam sebelum

intervensi nikotin dan 0,032–0,130 menit/jam selama intervensi nikotin. Lamanya

waktu tingkah laku lokomosi selama intervensi nikotin bila dibandingkan dengan

lamanya waktu tingkah laku lokomosi sebelum intervensi nikotin sangat beralasan

karena bobot badan yang berbeda dari individu hewan.

Sebelum intervensi nikotin bobot badan dari monyet ekor panjang lebih

berat sehingga aktivitas yang banyak dilakukan adalah grooming (merawat diri)

dan kontak, hal ini dapat dilihat pada Tabel 16. Sedangkan selama intervensi

nikotin bobot badan dari monyet ekor panjang cenderung mengalami penurunan,

hal tersebut menjadikan monyet lebih agresif yang ditunjukkan dengan

meningkatnya waktu maupun frekuensi yang dibutuhkan dalam aktivitas

lokomosi.

Page 127: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

110

Analisis Korelasi Bobot Badan, Kecernaan Nutrien, Hematologi dan

Tingkah Laku

Untuk mengetahui keeratan hubungan antara bobot badan dengan

hematologi dan dampaknya pada perubahan tingkah laku, demikian pula efek dari

kecernaan nutrien terhadap perubahan nilai hematologi dan tingkah laku makan

dilakukan analisis korelasi antara sifat-sifat tersebut (Tabel 17, 18, 19, 20 dan 21).

Tabel 17 Matriks korelasi antara bobot badan dan hematologi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang diintervensi nikotin

BB SDP SDM Hb Hct MCV SDP 0.209

SDM 0.114 0.139

Hb 0.356** 0.061 0.319**

Hct 0.185 0.144 0.934** 0.570**

MCV 0.047 -0.119 -0.783** 0.227 -0.517**

MCH 0.011 -0.111 -0.927** 0.019 -0.795** 0.861**

MCHC -0.003 -0.113 -0.913** -0.079 -0.852** 0.736**

Plt 0.057 0.508** 0.548** -0.142 0.477** -0.529**

Netrofil 0.291* 0.065 0.092 0.293* 0.190 0.114

Limfosit -0.347** -0.073 -0.174 -0.235 -0.249 -0.012

Eosinofil 0.059 -0.061 -0.027 -0.156 -0.045 -0.021

Monosit 0.166 0.098 0.351** -0.109 0.271* -0.394** MCH MCHC Plt Netrofil Limfosit Eosinofil MCHC 0.976**

Plt -0.660** -0.669**

Netrofil 0.025 -0.008 -0.119

Limfosit 0.091 0.118 0.033 -0.940**

Eosinofil -0.063 -0.072 0.049 -0.348** 0.096

Monosit -0.411** -0.377** 0.303* 0.024 -0.296* 0.169 Keterangan: cell contents: Pearson correlation ** = berbeda sangat nyata (P<0,01), * = berbeda nyata (P<0,05) BB = bobot badan, SDP = sel darah putih, SDM = sel darah merah, Hb =

hemoglobin, Hct = hematokrit, MCV = mean corpuscular volume, MCH = mean corpuscular hemoglobin, MCHC = mean corpuscular hemoglobin concentration dan Plt = platelet.

Berdasarkan nilai korelasi antara bobot badan dan hematologi seperti yang

dapat dilihat pada Tabel 17, menunjukkan bahwa perubahan bobot badan tidak

memberikan pengaruh pada nilai sel darah putih, sel darah merah, hematokrit,

MCV, MCH, MCHC, platelet, eosinofil dan monosit. Bobot badan dan

hemoglobin sangat nyata berkorelasi dengan nilai sebesar 0,356 (P<0,01) serta

, , , , , , , , , , , ,

, , , , , , , , , , ,

, , , , , , , , , ,

, , , , , , , , ,

, , , , , , , ,

, , , , , , ,

, , , , , ,

, , , , ,

, , , ,

, , ,

, , ,

Page 128: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

111

erat hubungannya dengan netrofil sebesar 0,291 (P<0,05). Nilai korelasi antara

bobot badan dan hemoglobin memiliki hubungan sangat erat, karena p-value

menunjukkan angka dibawah 1%. Hal ini berarti bahwa peningkatan bobot badan

akan meningkatkan nilai hemoglobin, kondisi ini sebagai konpensasi untuk

memenuhi kebutuhan oksigen dalam tubuh, karena peningkatan bobot badan akan

meningkatkan konsumsi oksigen terutama pada jaringan. Hal ini sejalan dengan

Chen et al. (2002), menyatakan bahwa ada korelasi yang signifikan antara bobot

badan dan nilai hemoglobin. Demikian pula dengan persentase netrofil memiliki

hubungan yang erat dengan p-value menunjukkan angka dibawah 5% yang berarti

bahwa meningkatnya bobot badan maka kadar hemoglobin dan netrofil akan

meningkat pula, namun sebaliknya akan menurunkan jumlah limfosit secara nyata

(P<0,01), dan nilai korelasinya negatif dengan nilai p-value menunjukkan angka

dibawah 1% (-0,347).

Tabel 18 Matriks korelasi antara bobot badan dan frekuensi tingkah laku monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang diintervensi nikotin

BB Makan Minum Defekasi Urinasi Tatap

Makan 0.119

Minum

Defekasi 0.293

Urinasi 0.172

Tatap

Grooming 0.008

Kontak 0.106

Agonistik 0.110

Lokomosi 0.098

BB Makan Minum Defekasi Urinasi Tatap

Makan 0.119

0.429* 0.411

Defekasi 0.293

Urinasi 0.172

Tatap -0.014

Grooming 0.008

Kontak 0.106

Agonistik 0.110

Lokomosi 0.098

BB Makan Minum Defekasi Urinasi Tatap

0.411*

Defekasi 0.293 -0.131

Urinasi 0.172 -0.414*

0.014 -0.150

Grooming 0.008 -0.143 0.002

Kontak 0.106 -0.008 0.009 0.278

Agonistik 0.110 -0.052 0.170 0.141 0.331 0.022

Lokomosi 0.098 -0.230

BB Makan Minum Defekasi Urinasi Tatap

0.131 -0.326

-0.372* 0.678

0.150 -0.237 0.160

0.143 0.002

0.008 0.009 0.278

0.052 0.170 0.141 0.331 0.022

0.230 0.378*

BB Makan Minum Defekasi Urinasi Tatap

0.678**

0.237 0.160

0.143 0.002 0.402*

0.008 0.009 0.278

0.052 0.170 0.141 0.331 0.022

-0.048 0.064 0.075

BB Makan Minum Defekasi Urinasi Tatap

0.237 0.160 0.539**

0.479** 0.404

0.008 0.009 0.278 0.436*

0.052 0.170 0.141 0.331 0.022

0.048 0.064 0.075

BB Makan Minum Defekasi Urinasi Tatap

0.404*

-0.031

0.052 0.170 0.141 0.331 0.022

0.048 0.064 0.075

Grooming

0.476**

0.190

0.203 0.047

Grooming Kontak

0.190 0.564**

0.203 0.047

Agonistik

0.203 0.047 0.447*

Keterangan : cell contents: Pearson correlation ** = berbeda sangat nyata (P<0,01), * = berbeda nyata (P<0,05), BB = bobot badan

Pada Tabel 18 dapat dilihat bobot badan tidak mempunyai hubungan yang

erat dengan aktivitas makan, defekasi, urinasi, grooming, kontak/sentuhan,

agonistik maupun lokomosi. Korelasi antara bobot badan dan tingkah laku minum

sebesar 0,429, menunjukkan adanya hubungan yang erat dengan tingkah laku

minum (nilai p-value menunjukkan angka dibawah 5%), yang berarti bahwa

, , , ,

,

, ,

, ,

,

, ,

,

, ,

, ,

, ,

,

, ,

, ,

,

,

, ,

, ,

,

, ,

, ,

,

, ,

,

,

, ,

,

,

,

Page 129: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

112

peningkatan bobot badan akan meningkatkan frekuensi aktivitas minum

sebaliknya peningkatan bobot badan tidak menurunkan tingkah laku

sosia/menatap yang berbeda.

Tabel 18 juga menunjukkan bahwa peningkatan frekuensi tingkah laku

minum akan diikuti dengan peningkatan frekuensi tingkah laku makan dengan

hubungan yang sangat erat. Peningkatan frekuensi tingkah laku makan berkorelasi

negatif dengan frekuensi tingkah laku urinasi. Pada saat tingkah laku lokomosi

meningkat akan meningkatkan frekuensi tingkah laku minum, hal ini karena

peningkatan aktivitas tersebut menyebabkan hewan mengeluarkan banyak panas

melalui respirasi, maupun melalui keringat, sehingga untuk memulihkan kondisi

tersebut hewan akan meningkatkan konsumsi minumnya. Peningkatan tingkah

laku merawat diri juga menyebabkan peningkatan tingkah laku kontak/sentuhan,

hal ini beralasan karena aktivitas merawat diri yang dilakukan selain

menggunakan tangan atau kaki juga dilakukan dengan menggosokkan tubuh ke

dinding kandang yang juga merupakan aktivitas tingkah laku kontak antara hewan

dengan kandang.

Tabel 19 Matriks korelasi antara kecernaan nutrien dan hematologi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang diintervensi nikotin

Kecernaan PK LK SK BETN BK GE

SDP 0,087 -0,157 -0,179 -0,023 -0,126 -0,201 SDM 0,027 -0,281 * -0,366 ** -0,116 -0,379 ** -0,390 ** Hb 0,262 * -0,013 -0,122 0,397 ** 0,393 ** 0,380 ** Hct 0,240 -0,376 ** -0,313 * 0,130 -0,160 -0,245 MCV 0,337 ** 0,042 0,343 ** 0,491 0,633 ** 0,520 ** MCH -0,010 0,366 ** 0,329 ** 0,198 0,506 ** 0,546 ** MCHC -0,158 0,473 ** 0,297 * 0,051 0,404 ** 0,504 ** Plt 0,267 -0,486 ** -0,170 0,030 -0,249 -0,430 ** Neutrofil 0,084 -0,030 0,019 0,117 0,100 0,063 Limfosit -0,065 0,079 0,026 -0,098 0,005 0,020 Eosinofil -0,056 -0,011 0,031 0,025 -0,059 0,046 Monosit -0,029 -0,189 -0,202 -0,100 -0,379 ** -0,380 **

Keterangan: cell contents: Pearson correlation ** = berbeda sangat nyata (P<0,01), * = berbeda nyata (P<0,05), PK = protein kasar

(%), LK = lemak kasar (%), SK = serat kasar (%), BETN = bahan ekstrak tanpa nitrogen, BK = bahan kering (%), GE = gross energy (%), SDP = sel darah putih, SDM = sel darah merah, Hb = hemoglobin, Hct = hematokrit, MCV = mean corpuscular volume, MCH = mean corpuscular hemoglobin, MCHC = mean corpuscular hemoglobin concentration dan Plt = platelet.

Page 130: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

113

Berdasarkan nilai korelasi pada Tabel 19, bahwa sel darah putih tidak

memiliki korelasi dengan kecernaan protein kasar maupun nutrien lainnya (lemak

kasar, serat kasar, BETN, bahan kering dan energi) dengan arah yang negatif dan

hubungannya tidak nyata. Sel darah merah tidak mempunyai hubungan yang erat

dengan kecernaan protein kasar, namun nyata memiliki korelasi negatif (P<0,05)

dengan kecernaan lemak kasar serta sangat nyata berkorelasi negatif (P<0,01)

dengan kecernaan serat kasar, kecernaan bahan kering dan kecernaan energi.

Sedangkan hemoglobin nyata mempunyai hubungan erat positif dengan kecernaan

protein kasar. Korelasi hemoglobin terhadap BETN, bahan kering dan energi

memiliki hubungan yang sangat erat positif (P<0,01).

Peningkatan kecernaan protein kasar meningkatkan kadar hemoglobin dan

MCV hal karena protein merupakan nutrisi pembentuk hemoglobin sehingga

peningkatan kadar hemoglobin harus diimbangi oleh tubuh dengan peningkatan

kecernaan protein. Disamping itu pula peningkatan kecernaan protein tersebut

juga digunakan untuk penyusun dinding butir sel darah merah sehingga

peningkatan MCV dibarengi dengan peningkatan kecernaan protein.

Korelasi dengan arah negatif ditunjukkan pada hematokrit dan platelet

terhadap kecernaan lemak kasar dengan hubungan yang erat (P<0,05). Hal ini

berarti peningkatan kecernaan lemak kasar akan menyebabkan hematokrit dan

platelet menurun. Keeratan hubungan dengan arah negatif juga ditunjukkan antara

serat kasar dan hematokrit. Korelasi positif dengan hubungan yang sangat erat

(P<0,01) ditunjukkan antara MCV dan serat kasar, bahan kering serta kecernaan

energi demikian juga antara MCH dan MCHC memiliki korelasi positif dengan

hubungan yang sangat erat (P<0,01) terhadap kecernaan lemak kasar, serat kasar,

bahan kering serta kecernaan energi.

Nilai korelasi positif pada kecernaan lemak kasar terhadap MCH dan

MCHC berarti bahwa peningkatan MCH dan MCHC akan meningkatkan

kecernaan lemak kasar namun peningkatan kecernaan lemak kasar, serat kasar,

bahan kering dan energi ini akan menurunkan nilai sel darah merah. Disampin itu

pula peningkatan MCV akan meningkatkan kecernaan serat kasar, bahan kering

dan energi. Demikian peningkatan MCH dan MCHC akan meningkatkan

kecernaan lemak kasar, serat kasar, bahan kering dan energi.

Page 131: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

114

Tabel 20 Matriks korelasi antara kecernaan nutrien dan frekuensi tingkah laku monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang diintervensi nikotin

Kecernaan PK LK SK BETN BK GE

Makan 0,045 0,122 0,038 0,112 0,209 0,229 Minum 0,145 0,081 -0,038 0,197 0,367 * 0,335 Defekasi 0,252 -0,114 0,078 0,292 0,207 0,113 Urinasi 0,104 -0,046 0,079 0,090 0,109 0,018 Menatap -0,260 0,453 * -0,068 -0,124 0,166 0,346 Self grooming 0,423 * -0,061 0,159 0,475 ** 0,627 ** 0,458 * Kontak/sentuhan 0,435 * -0,372 * 0,009 0,241 0,162 -0,169 Agonistik 0,334 -0,311 -0,134 0,214 0,045 -0,189 Lokomosi 0,230 0,027 -0,248 0,208 0,261 0,133

Keterangan: cell contents: Pearson correlation P-Value

** = berbeda sangat nyata (P<0,01), * = berbeda nyata (P<0,05) PK = protein kasar (%), LK = lemak kasar (%), SK = serat kasar (%), BETN =

bahan ekstrak tanpa nitrogen, BK = bahan kering (%), GE = gross energy (%).

Keeratan hubungan antara kecernaan nutrien dan tingkah laku, seperti yang

dapat dilihat pada Tabel 20 menunjukkan bahwa kecernaan protein kasar

mempunyai hubungan erat positif dengan tingkah laku grooming dan

kontak/sentuhan (nilai p-value menunjukkan angka dibawah 5%). Kecernaan serat

kasar memiliki hubungan erat positif dengan tingkah laku menatap serta hubungan

erat negatif dengan tingkah laku kontak/sentuhan. Tingkah laku grooming

menunjukkan adanya hubungan yang erat dengan kecernaan BETN, bahan kering

dan energi (P<0,05). Hal ini berarti bahwa peningkatan kecernaan nutrien BETN,

bahan kering dan kecernaan energi akan meningkatkan aktivitas merawat diri

(grooming). Sedangkan tingkah laku makan, agonistik dan lokomosi tidak

mempunyai hubungan dengan kecernaan nutrien.

Kecernaan protein kasar akan meningkatkan aktivitas merawat diri dan

tingkah laku kontak/sentuhan. Disamping itu pula peningkatan kecernaan bahan

kering akan meningkatkan aktivitas minum hal ini karena air yang diminum akan

menjadi bahan pelarut dalam proses metabolisme, peningkatan kecernaan bahan

kering memerlukan pelarut dari air yang lebih banyak sehingga peningkatan

kecernaan nutrien ini dibarengi oleh hewan dengan meningkatkan konsumsi air

minumnya.

Peningkatan tingkah laku merawat diri akan dilakukan bila hewan istrahat

karena kondisi kenyang atau kurang lokomosi karena bobot badan meningkat.

Page 132: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

115

Peningkatan kecernaan bahan kering dapat meningkatkan perasaan kenyang

sedangkan peningkatan kecernaan BETN dan energi dapat menyebabkan

timbunan lemak meningkat bila kebutuhannya pada jaringan tubuh telah

tercukupi. Sehingga peningkatan kecernaan BETN, bahan kering dan energi akan

meningkatkan tingkah laku merawat diri.

Tabel 21 Matriks korelasi antara hematologi dan frekuensi tingkah laku monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang diintervensi nikotin

SDP SDM Hb Hct MCV MCH MCHC Plt Neut Limf Eos Mon

Makan -0,219 -0,115 0,015 -0,141 0,039 0,159 0,203 -0,101 -0,206 0,143 0,174 0,089

Minum 0,059 -0,244 0,34 -0,081 0,404* 0,417* 0,36 0,001 -0,081 0,148 -0,018 -0,223

Defekasi -0,248 0,306 0,443* 0,416* 0,065 -0,088 -0,135 -0,24 0,366 -0,323 -0,082 -0,091

Urinasi -0,216 -0,038 0,186 0,049 0,159 0,142 0,116 -0,261 0,447 -0,329 -0,378* -0,151

Menatap -0,178 -0,227 0,121 -0,158 0,218 0,297 0,291 -0,323 0,323 -0,274 -0,034 -0,169

Selfgrooming -0,090 -0,251 0,354 -0,028 0,51** 0,426* 0,324 -0,1 0,288 -0,121 -0,266 -0,424*

Kontak/sentuhan -0,016 -0,261 0,077 -0,119 0,367* 0,315 0,253 -0,032 0,309 -0,204 -0,53** -0,008

Agonistik -0,174 0,018 0,085 0,137 0,196 -0,004 -0,091 0,109 0,033 0,017 -0,208 -0,052

Lokomosi 0,029 -0,094 0,332 0,087 0,353 0,236 0,142 -0,022 -0,037 0,103 -0,076 -0,160 Keterangan: cell contents: Pearson correlation P-Value

** = berbeda sangat nyata (P<0,01), * = berbeda nyata (P<0,05) SDP = sel darah putih, SDM = sel darah merah, Hb = hemoglobin, Hct = hematokrit, MCV = mean corpuscular volume, MCH = mean corpuscular hemoglobin, MCHC = mean corpuscular hemoglobin concentration, Plt = platelet, Neut = netrofil, Limf =limfosit, Eos = eosinofil, Mon = monosit.

Korelasi antara hematologi dan tingkah laku ditampilkan pada Tabel 21.

Berdasarkan data dari matriks tersebut dapat dilihat tingkah laku minum

dipengaruhi oleh indeks sel darah merah yakni MCV dan MCH dengan nilai

korelasi positif (P<0,05). Tingkah laku selfgrooming juga dipengaruhi oleh indeks

sel darah merah yakni MCV, MCH dengan hubungan yang erat positif (P<0,05),

disamping itu pula tingkah laku selfgrooming memiliki hubungan yang erat

dengan arah negatif dengan monosit. Sedangkan tingkah laku kontak/sentuhan

mempunyai hubungan erat dengan arah positif terhadap MCV dan eosinofil.

Tingkah laku makan, defekasi, urinasi, menatap, agonistik dan lokomosi tidak

memiliki hubungan dengan nilai hematologi.

Page 133: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

116

Peningkatan nilai MCV dan MCH dapat menyebabkan kekentalan darah

juga meningkat. Kondisi ini akan menyebabkan peningkatan aktivitas kontraksi

jantung dan peningkatan respirasi sehingga untuk menurunkan atau menormalkan

kondisi ini maka harus diimbangi dengan peningkatan masukan cairan yang

diperoleh melalui air minum. Peningkatan nilai MCV dan MCHC tersebut

direspon oleh hewan dengan meningkatkan frekuensi aktivitas tingkah laku

minumnya. Disamping itu pula, peningkatan nilai MCV dan MCHC

meningkatkan frekuensi tingkah laku merawat diri. Demikian pula peningkatan

hemoglobin dan hematokrit akan meningkatkan aktivitas sirkulasi aptik darah ke

usus, peningkatan tersebut menyebabkan kontraksi usus juga meningkat dan

menyebabkan peningkatan kecernaan makanan sehingga zat-zat yang tidak

tercerna akan meningkat pula dan dibuang melalui feses. Hal ini menyebabkan

frekuensi tingkah laku defekasi juga meningkat.

Diskusi Umum

Obesitas merupakan kondisi kelebihan bobot badan akibat penimbunan

lemak yang berlebih dalam tubuh. Kondisi tersebut disebabkan kelebihan energi

sedangkan aktivitas tubuh kurang. Penelitian menggunakan monyet ekor panjang

(Macaca fascicularis) yang diberi pakan berenergi dan berprotein tinggi untuk

mendapatkan hewan model obes yang dilakukan selama setahun (Februari 2008-

Februari 2009) menyebabkan hewan model menjadi obes. Penelitian tersebut

menggunakan bahan pakan yang bersumber dari bahan-bahan lokal dan pakan

buatan pabrik (monkey cow). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pakan

dengan energi dan protein tinggi dapat menyebabkan obesitas, demikian pula

pakan buatan pabrik (monkey cow) yang diberikan secara ad libitum pada monyet

ekor panjang yang telah dewasa menyebabkan terjadinya obesitas.

Efek tersebut ternyata mempengaruhi kondisi fisiologis, metabolisme dan

tingkah laku dari hewan model. Untuk mengatasi masalah tersebut dilakukan

intervensi dengan menggunakan senyawa alamiah yang terkandung dalam

tembakau dalam hal ini nikotin. Penggunaan nikotin diberikan pada pakan

sebanyak dua kali sehari dengan dosis 0,75 mg/kg bobot badan/12 jam dan

merupakan dosis aman penggunaan nikotin (Margin of Safaty). Hasil yang

Page 134: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

117

diperoleh setelah intervensi nikotin 0,75 mg/kg bobot badan/12 jam menunjukkan

bahwa gambaran darah terutama nilai sel darah merah, hematokrit dan platelet

mengalami penurunan yang sangat signifikan namun masih dalam kisaran normal

untuk satwa primata. Kondisi homeostatis tubuh dalam merespon atau

mempertahankan keadaan fisiologis dalam tubuh agar berjalan normal yakni

mempertahankan kadar hemoglobin pada kondisi normal sehingga suplai oksigen

bagi tubuh tetap terjaga sehingga tidak terjadi keadaan hipoksia, dengan demikian

kebutuhan oksigen bagi tubuh baik kapiler maupun seluler tetap terpenuhi. Hal

tersebut dapat dilihat dari nilai MCH dan MCHC yang merupakan ukuran

kepekatan hemoglobin cenderung mengalami peningkatan yang signifikan.

Disamping itu pula intervensi nikotin ini tidak menyebabkan gangguan pada

kekebalan tubuh yang terlihat dari nilai sel darah putih beserta komponennya

(neutrofil, limfosit, eosinofil dan monosit) yang relatif normal.

Selain itu pula intervensi nikotin tersebut menyebakan perbaikan pada

kecernaan nutrien makanan yang diberikan, disamping itu terjadi penurunan

konsumsi pakan dan peningkatan pengeluaran energi dan meskipun secara visual

terjadi penurunan bobot badan dan indeks massa tubuh namun secara statistik

tidak bermakna. Efek lain yang terlihat yakni peningkatan aktivitas monyet ekor

panjang yang terlihat melalui peningkatan frekuensi tingkah laku baik itu bergerak

makan, minum, merawat diri, agonistik, maupun kontak/sentuhan.

Hasil tersebut memberikan gambaran sementara bahwa intervensi nikotin

dengan dosis 0,75 mg/kg bobot badan/12 jam dapat memperbaiki kondisi

fisiologis terutama gambaran hematologi, metabolisme nutrien dan tingkah laku

yang memberikan arti bahwa penggunaan nikotin dengan dosis tersebut dapat

mengurangi resiko penderita sindrom metabolik terutama obesitas yang berakibat

pada perbaikan kualitas hidup dan meningkatkan produktivitas kerja. Namun

penggunaan kearah tersebut masih perlu kajian-kajian lebih lanjut terutama

kondisi kardiovaskuler sehingga nikotin dengan dosis yang digunakan dalam

penelitian dapat bermanfaat terutama pada manusia yang mengalami obesitas

gunak perbaikan kualitas hidup dan peningkatan produktivitas kerjanya.

Page 135: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

118

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Intervensi nikotin 0,75 mg/kg bobot badan/12 jam memberikan pengaruh pada

gambaran darah yakni penurunan yang bermakna pada nilai sel darah merah,

hematokrit dan platelet, namun masih dalam kisaran normal. Disamping itu

pula intervensi nikotin tidak menyebabkan penurunan kadar hemoglobin,

tetapi ada peningkatan indeks sel darah merah (MCV, MCH dan MCHC) yang

berbeda nyata. Disisi lain, intervensi nikotin secara statistik tidak bermakna

terhadap nilai sel darah putih yang berarti bahwa intervensi nikotin tidak

menyebabkan gangguan pada nilai sel darah putih, konsentrasi netrofil dan

limfosit. Akan tetapi menurunkan eosinofil dan monosit yang bermakna

berdasarkan lamanya intervensi nikotin.

2. Intervensi nikotin 0,75 mg/kg bobot badan/12 jam menyebabkan terjadinya

perbaikan nilai kecernaan yang dapat dilihat dari peningkatan absorpsi nutrien,

peningkatan koefisien kecernaan, peningkatan energi metabolisme serta TDN

(Total Digestible Nutrient). Disamping itu pula terjadi penurunan konsumsi

yang bermakna pada perlakuan A dan B. Terlihat adanya kecenderungan

penurunan bobot badan dan indeks massa tubuh (IMT) namun itu tidak

bermakna berdasarkan lamanya intervensi nikotin.

3. Intervensi nikotin 0,75 mg/kg bobot badan/12 jam menyebabkan monyet ekor

panjang lebih aktif, hal ini dapat dilihat dari peningkatan frekuensi (jumlah

dan persentase) makan, minum, grooming, agonistik, lokomosi, kontak serta

peningkatan waktu tingkah laku menatap.

4. Pemberian pakan komersial (monkey cow) ad libitum pada monyet yang telah

dewasa dapat menyebabkan obesitas.

5. Bobot badan mempunyai hubungan yang sangat erat positif dengan

hemoglobin, serta hubungan yang erat positif dengan frekuensi tingkah laku

minum. Akan tetapi mempunyai hubungan yang sangat erat negatif dengan

limfosit.

6. Frekuensi tingkah laku makan mempunyai hubungan erat positif dengan

frekuensi tingkah laku minum dan hubungan erat negatif frekuensi urinasi.

Page 136: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

119

Frekuensi tingkah laku minum dan selfgrooming mempunyai hubungan yang

erat positif dengan indeks sel darah merah yakni MCV dan MCH.

7. Sel darah merah mempunyai hubungan yang erat negatif dengan kecernaan

lemak kasar serta hubungan yang sangat erat negatif dengan kecernaan serat

kasar, kecernaan bahan kering dan kecernaan energi. Sedangkan hemoglobin

nyata mempunyai hubungan erat positif dengan kecernaan protein kasar.

Korelasi hemoglobin terhadap BETN, bahan kering dan energi memiliki

hubungan yang sangat erat positif.

8. Kecernaan protein kasar mempunyai hubungan erat positf dengan tingkah laku

grooming dan kontak/sentuhan. Kecernaan serat kasar memiliki hubungan erat

positif dengan tingkah laku menatap serta hubungan erat negatif dengan

tingkah laku kontak/sentuhan. Tingkah laku grooming menunjukkan adanya

hubungan yang erat dengan kecernaan BETN, bahan kering dan energi.

Saran

Sebelum diterapkan pada penderita sindrom metabolik, perlu kajian lebih

lanjut terutama terhadap kondisi kardiovaskulernya sehingga dosis yang

digunakan dalam penelitian dapat bermanfaat terutama pada manusia yang

mengalami obesitas dan sindrom metabolik.

Page 137: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

120

DAFTAR PUSTAKA

Adam JMF. Obesitas dan Sindroma Metabolik. Bandung: ISBN 979-25-560-8; 2006.

Ahima RS, Prabakaran D, Mantzoros C, Daqing Qu, Lowell B, Maratos-Flier E, Flier JS. Role of leptin in the neuroendocrine response to fasting. Nature 1996;382:250–252.

Aliambar SH. Pengaruh pengendalian hewan terhadap temperatur, nadi dan respirasi, nilai hematologi dan kimia darah rusa (Cervus timorensis-Blainville 1822) [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor; 1999.

Altman J. Observational study of behavior : sampling methods. Behavior 1974;49:227–267.

Amador AG. Platelet aggregation responses. Artikel hhtp://www.hidupsehat.com, last modified on 1999, acces : 4 August 2009, at 19:46.

Andersson K, Arner P. Systemic nicotine stimulates human adipose tissue lipolysis through local cholinergic and catecholaminergic receptors. International Journal of Obesity 2001;25:1225–1232.

Andrade MCR, Ribeiro CT, Silva FV da, Molinaro EM, Gonçalves MAB, Marques MAP, Cabello PH, Leite JPG. Biologic data of Macaca mulatta, Macaca fascicularis, and Saimiri sciureus used for research at the Fiocruz Primate Center. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro 2004;99(6):581–589.

Anggorodi HR. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. Jakarta: PT. Gramedia; 1995.

Anthony G. Comuzzie, Cole SA, Martin L, Dee Carey K, Mahaney MC, Blangero J, VandeBerg JL. The baboon as a nonhuman primate model for the study of the genetics of obesity. Obes Res 2003;11:75–80.

Arabi Z. Metabolic and cardiovascular effects of smokeless tobacco. J. Cardiometab Syndr 2006;1(5):345–350.

Arai K, Kim K, Kaneko K, Iketani M, Otagiri A, Yamauchi N, Shibasaki T. Nicotine infusion alters leptin and uncoupling protein-1 mRNA expression in adipose tissues of rats. Am J Physiol Endocrinol Metab 2001;280:E867–76.

Argacha JF, Garcia C, Xhaët O, Gujic M, Preumont N, Simaeys Van G, Goldman S, Borne van de P. Nicotine does not compromise resting myocardial blood flow autoregulation in smokers at high cardiovascular risk. Nicotine & Tobacco Research 2008;10(7):1131–1137.

Balfour D, Benowitz N, Fagerström K, Kunze M, Keil U. Diagnosis and treatment of nicotine dependence with emphasis on nicotine replacement therapy: A status report. European Heart Journal 2000:21;438– 445.

Balfour DJK. The psychobiology of nicotine dependence. Eur Respir Rev 2008:17;172– 181.

Page 138: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

121

Banerjee GC. Animal Nutrition. Calcuta-Bombay-New Delhi: Oxford and IBH Publishing Co; 1978.

Bennet BT, Abee CR, Henrickson R. Nonhuman Primates in Biomedical Research. New York: Academic Press; 1995.

Benowitz NL and Jacob P III. Metabolism of nicotine to cotinine studied by a dual stable isotope method. Clin Pharmacol Ther 1994;56:483–493.

Benowitz NL, Jacob P III, Fong I, Gupta S. Nicotine metabolic profile in man: comparison of cigarette smoking and transdermal nicotine. J Pharmacol Exp Ther 1994;268:296–303.

Berrettini HW, Lerman CE. Pharmacotherapy and Pharmacogenetics of Nicotine Dependence. Am J Psychiatry 2005; 162:1441–1451.

Beyer PL. Digestion, absorption, transport and excretion of nutrients. Di dalam: Mahan LK, Stump SE, editor. Krause’s Food, Nutrition & Diet Therapy. Ed ke-11. Pennsylvania: Saunders; 2004. hlm 2–20.

Bismark M. Ekologi makan dan perilaku bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di hutan bakau Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor; 1994.

Blanc J, Guerra-Alves, Rousset S, Goudry P. Protective role of UPC-1 in atherosclerosis. Circulation 2003:388–390.

Boeing H, Weisgerber UM, Jeckel A, Rose HJ, Kroke A. Association between glycated hemoglobin and diet and other lifestyle factors in a nondiabetic population: cross-sectional evaluation of data from the Potsdam cohort of the European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition Study. Am J Clin Nutr 2000;71:1115–1122.

Boyland E, de Kock DH. Nicotine metabolism. Annu Rep Brit Emp Cancer Campaign 1966;44:5.

Brees DJ, Elwell MR, Tingley FD III, Sands SB, Jakowski AB, Shen AC, Cai JH, Finkelstein MB. Pharmacological effects of nicotine on norepinephrine metabolism in rat brown adipose tissue: Relevance to nicotinic therapies for smoking cessation.Toxicologic Pathology 2008;36:568–575.

Byrd GD, Chang KM, Greene JM, deBethizy JD. Evidence for urinary excretion of glucuronide conjugates of nicotine, cotinine and trans-3_-hydroxycotinine in smokers. Drug Metab Dispos 1992;20:192–197.

Cannon B, Nedergaard J. Brown adipose tissue: function and physiological significance. Physiol Rev 2004;84;277–359.

Caraka I HA. Perkembangan ukuran bagian-bagian tubuh monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang diberi pakan obes. [Skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Produksi Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor; 2008.

Cashman JR, Park SB, Yang ZC, Wrighton SA, Jacob P III, Benowitz NL. Metabolism of nicotine by human liver microsomes: stereoselective formation of trans-nicotine N’-oxide. Chem Res Toxicol 1992;5:639–646.

Page 139: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

122

Chaloupka FJ. Meredam wabah: Pemerintah dan Aspek Ekonomi Pengawasan terhadap Tembakau. Terjemahan: Adioetomo SM. Indonesia;2000.

Chatkin R, Chatkin JM. Smoking and changes in body weight: can physiopathology and genetics explain this association. J Bras Pneumol 2007;33(6):712–719.

Chen Y, Ogawa H, Narita H, Ohtoh K, Yoshida T, Yoshikawa Y. Ratio of leptin to adiponectin as an obesity index of cynomolgus monkeys (Macaca fascicularis). Exp Anim 2003;52:137– 143.

Chen Y, Ono F, Yoshida T, Yoshikawa Y. Relationship between body weight and hematological and serum biochemical parameters in female cynomolgus monkeys (Macaca fascicularis). Exp Anim 2002;51(2):125– 131.

Chiolero A, Faeh D, Paccaud F, Cornuz J. Consequences of smoking for body weight, body fat distribution, and insulin resistance. Am J Clin Nutr 2008;87:801–809.

Christakis NA, Fowler JH. The spread of obesity in a large social network over 32 years. NEJM 2007;357:370–379.

Coles EH. Veterinary Clinical Pathology. Ed ke-3 Philadelphia: WB Saunders;1980.

Collinge N.C. 1993. Introduction to Primate Behavior. Iowa: Kendall/Hunt Publishing Company; 1993.

Crampton EW, Harris LE. Applied Animal Nutrition. Ed ke-2, San Fransico: WH. Freeman and Company;1969.

Cuming JL. Reversible dementia. Jama, 2003;234:2434–2459.

Dahlstrom A, Lundell B, Curvall M, Thapper L. Nicotine and cotinine concentrations in the nursing mother and her infant. Acta Paediatr Scand 1990;79:142–147.

Dempsey DA, Benowitz NL. Risks and benefits of nicotine to aid smoking cessation in pregnancy. Drug Safety 2001;24:277–322.

Dierauf LA. Handbook of Marine Mammal Medicine: Health, Disease, and Rehabilitation. American Veterinary Medical Association;1990.

Dolhinow P, Fuentes A. The Nonhuman Primates. Mountain View. California: Mayfield Publishing Company; 1999.

Drewnowski A, Specter SE. Poverty and obesity: the role of energy density and energy costs. Am J Clin Nutr 2004; 79: 6–16.

Ebbert JO, Dale LC, Severson H, Croghan IT, Rasmussen DF, Schroeder DR, Weg MWV, Hurt RD. Nicotine lozenges for the treatment of smokeless tobacco use. Nicotine & Tobacco Research 2007;9(2):233–240.

Fenster CP, Rains MF, Noerager B, Quick MW, Lester RAJ. Influence of subunit composition on desensitization of neuronal acetylcholine receptors at low concentrations of nicotine. J Neurosci 1997:17;5747– 5759.

Page 140: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

123

Filozof MC, Fernández Pinilla, Fernández-Cruz A. Smoking cessation and weight gain. Obesity Reviews 2004;5:95–103.

Ford CL, Zlabek J. Nicotine replacement therapy and cardiovascular disease. Mayo Clin Proc 2005;80(5):652– 656.

Fridman EP. Medical Primatology: History, Biological Foundations and Applications. New York: Taylor & Francis; 2002

Ganong WF. Review of Medical Physiology. Ed ke-11. Los Altos. California: Lange Medical Publications; 1983.

Geng Y, Savage SM, Razanai-Boroujerdi S, Sopori ML Rogers CJ, Hance KW, Zaharoff DA, Perkins SN, Schlom J, Hursting SD, Greiner JW. Effects of nicotine on the immune response. II. Chronic nicotine treatment induces T cell anergy Diet-induced obesity impairs both innate and adaptive immune responses.2006.

Gilman AG, Goodman LS, Gilman A. Goodman and Gilman’s The Pharmalogical Basis of Therapeutics. Ed ke-6. Toronto, Bailliere, Tindal: McMillan Publishing Co. Inc. New York. Collier McMilland Canada Ltd;1980.

Gomez KA, Gomez AA. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Ed Kedua. Sjamsuddin E, Baharsjah JS, Penterjemah. Jakarta: UI Press; 2007: Terjemahan dari: Statistical Procedures for Agricultural Research.

Gorrod JW, Hibberd AR. The metabolism of nicotine-delta 1’(5’)-iminium ion, in vivo and in vitro. Eur J Drug Metab Pharmacokinet 1982;7:293–298.

Gourlay SG, Benowitz NL. Arteriovenous differences in plasma concentration of nicotine and catecholamines and related cardiovascular effects after smoking, nicotine nasal spray and intravenous nicotine. Clin Pharmacol Ther 1997; 62:453–463.

Gries JM, Benowitz N, Verotta D. Chronopharmacokinetics of nicotine. Clin Pharmacol Ther 1996;60:385–395.

Grunberg NE. The value of animal studies to understand and treat tobacco use. Medical and Clinical Psychology Uniformed Services University of The Health Sciences Bethesda, Maryland. http://www.sbm.org/meeting/2007/ slides/neil_grunberg.pdf.

Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-7. Irawati Setiawan, Ken Ariata Tengadi, Alex Santoso Penterjemah. Jakarta: EGC; 1997: Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology.

Guyton AC. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-7 Bagian 1. Ken Ariata Tengadi Penterjemah. Jakarta: EGC; 1996: Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology.

Guyton AC. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Andrianto P, Penterjemah. Jakarta: EGC; 1996: Terjemahan dari: Human Physiology and Mechanisms of Disease.

Guyton AC. Sel Darah, Imunitas dan Pembekuan Darah. Didalam Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-7 Bagian 1. Irawati Setiawan, Ken Ariata

Page 141: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

124

Tengadi, Alex Santoso Penterjemah. Jakarta: EGC; 1993: Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology.

Habib KE, Weld KP, Rice KC, Pushkas J, Champoux M, Listwak S, Webster EL, Atkinson AJ, Schulkin J, Contoreggi C, Chrousos GP, McCann SM, Suomi SJ, Higley JD, Gold PW. Oral administration of a corticotropin releasing hormone receptor antagonist significantly attenuates behavioral, neuroendocrine, and autonomic responses to stress in primates. PNAS 2000;97 (11):6079–6084.

Harper HA, Rodwell VW, Mayer PA. Review of Physiological Chemistry. Martin Mulyawan Penterjemah. Jakarta: EGC; 1979.

Haslam DW, James WP. Obesity. Lancet 2005;366(9492): 1197–209.

Heeschen C, Weis M, Cooke JP. Nicotine promotes arteriogenesis. Journal of the American College of Cardiology 2003:41(3):489–496.

Henningfield JE, Keenan RM. Nicotine delivery kinetics and abuse liability. J Consult Clin Psychol 1993;61:743–750.

Henningfield JE, Stapleton JM, Benowitz NL, Grayson RF, London ED. Higher levels of nicotine in arterial than in venous blood after cigarette smoking. Drug Alcohol Depend 1993;33:23–29.

Hodge AM, Westerman RA, de Courten MP, Collier GR, Zimmet PZ, Alberti KG. Is leptin sensitivity the link between smoking cessation and weight gain. Int J Obes 1997;1:50–53.

Honess PE, Johnson PJ, Wolfensohn SE. A study of behavioural responses of non-human primates to air transport and re-housing. Laboratory Animals 2004;38:119–132.

Hukkanen J, Jacob P III, Benowitz NL. Metabolism and disposition kinetics of nicotine. Pharmacol Rev 2005;57:79–115.

IPCS ICHEM. Nicotine. http://www.inchem.org/documents/pims/chemical. /nicotine.htm#PartTitle:7.%20TOXICOLOGY. [Journal Online] last modified on April 1991, acces : 3 February 2009, at 10:46.

Irianto K. Struktur dan Fungsi Tubuh Manusia untuk Paramedis. Bandung: CV. Yrama Widya; 2005.

Jain NC. Erythrocyte Physiology and Changes in Disease. Essentials Veterinary Hematology. Lea and Febiger; 1993.

Jacob P III, Ulgen M, Gorrod JW. Metabolism of (-)-(S)-nicotine by guinea pig and rat brain: identification of cotinine. Eur J Drug Metab Pharmacokinet 1997;22:391–394.

Jequier E, Tappy L. Regulation of body weight in human. Physiol Rev 1999;79:451–480.

Jia H, Lubetkin EI. The impact of obesity on health-related quality-of-life in the general adult US population. Journal of Public Health 2005;27(2):156–164.

Jones LM. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Ed ke-3. Calcuta, New Delhi, Bombay: Oxford and IBH Publishing Co;1974.

Page 142: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

125

[JRHF] June Russell’s Health Facts. Smoking-Reported Health Benefits (along with some negative consequences). http://www.jrussellshealth.org /smokbens.html#top. last modified on 4 November 2004, acces : 3 February 2009, at 8:46.

Kaplan JR, Shively CA, Fontenot MB, Morgan TM, Howell SM, Manuck SB, Muldoon MF, Mann JJ. Demonstration of an association among dietary cholesterol, central serotonergic activity, and social behavior in monkeys. Psychosomatic Medicine 1994;56:479–484.

Karo-Karo S. Efektivitas nikotin ekstrak daun tembakau terhadap cacing lambung (Haemonchus contortus,Rudolphi) pada kambing (Capra hircus Linn). [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor; 1990.

Kaufman D, Banerji MA, Shorman I, Smith ELP, Coplan JD, Rosenblum LA, Kral JG . Early-life stress and the development of obesity and insulin resistance in juvenile bonnet macaques. Diabetes 2007;56:1382–1386.

Kemnitz JW, Goy RW, Flitsch TJ, Lohmiller JJ, Robinson JA. Obesity in male and female rhesus monkeys: fat distribution, glucoregulation, and serum androgen levels. J Clin Endocrinol Metab 1989;69:287–293

Kitchen AM, Martin AA. The effects of cage size and complexity on the behaviour of captive common marmosets, Callithrix jacchus jacchus. Laboratory Animals 1996;30:317–326 .

Krisnawan FFD. Studi banding beberapa karakteristik biologis monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan hasil silangannya di Pusat Studi Satwa Primata Lembaga Penelitian IPB, Bogor. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor; 2000.

Lamota L, Bermudez-Silva FJ, Marco EM, Liorente R, Gallego A, Rodriguez de Fonseca F, Viveros MP. Effects of adolescent nicotine and SR 147778 (surinabant) administration on food intake somatic growth and metabolic parameters in rats. Neuropharmacology 2008:54(1);194–205 .

Larosa JC, Fry AG, Muesing R, Rosing DR. Effects of high-protein, low-carbohydrate dieting on plasma lipoproteins and body weight. J Am Diet Assoc 1980;77(3):264–70.

Lekagul B, McNeely JA. Mamals of Thailand. Bangkok: Kurushapa Ladprao Press;1977.

Lindell G, Lunell E, Graffner H. Transdermally administered nicotine accumulates in gastric juice. Eur J Clin Pharmacol 1996;51:315–318.

Linder MC. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme: Dengan Pemakaian Secara Klinis. Parakkasi A, Penterjemah; Linder MC, editor. Jakarta: UI Pr; 2006: Terjemahan dari: Nutritional Biochemistry and Metabolism.

Lunell E, Molander L, Ekberg K, Wahren J. Site of nicotine absorption from a vapour inhaler–comparison with cigarette smoking. Eur J Clin Pharmacol 2000;55:737–741.

Page 143: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

126

Mahoney J. Medical care.Di dalam: Wolfe-Coote S, editor. The Laboratory Primate. Chapter 16. London, California: Elsevier Academic Press; 2005. Hlm 241-257.

Mann J. Secondary Metabolism. New York: Oxford Science Publishing;2001.

Christos S. Mantzoros CS. The Role of Leptin in Human Obesity and Disease: A Review of Current Evidence. Ann Intern Med. 1999;130:671–680.

Mars M, Graaf de C, Groot de LCPGM, Kok FJ. Decreases in fasting leptin and insulin concentrations after acute energy restriction and subsequent compensation in food intake. Am J Clin Nutr 2005; 81:570–577.

Martini FH. Fundamentals of Anatomy and Physiology. Third Edition. New Jersey: Prentice Hall, Inc; 1995.

Matsumoto K, Akagi H, Ochiai T, Hagino K, Sekita K, Kawasaki Y, Matin MA, Furuya T. Comparative blood values of Macaca mulatta and Macaca fascicularis. Exp Anim 1980;29:335–340.

Maynard LA, Loosli JK, Hintz HF, Wanner HG. Animal Nutrition. Ed ke-3, New York: McGraw Hill Publishing Co.Ltd;1979.

McDonal P, Edwads RA, Greenhalgh JFD, Morgan CA. Animal Nutrition. Ed ke-6. London: Prentice Hall; 2002.

Medway L. The Wild Mammals of Malaya. London: Oxford University Press and Offshore Island Incluiding Singapore; 1969.

Middlebrook AJ, Martina C,Chang Y,Ronald J. Lukas, Dominick DeLuca. Effects of Nicotine Exposure on T Cell Development in Fetal Thymus Organ Culture: Arrest of T Cell Maturation1. The Journal of Immunology, 2002;169: 2915–2924.

Misra A, Khurana L. Obesity and the metabolic syndrome in developing countries. J. Clin. Endocrinol Metab 2008; 93: s9–s30.

Moen AN. Wildlife Ecology, an Analytical Approach. San Francisco: W.H. Freeman and Company;1973.

Murphy PJ. Enzymatic oxidation of nicotine to nicotine 1_(5_) iminium ion. A newly discovered intermediate in the metabolism of nicotine. J Biol Chem 1973;248:2796–2800.

Napier JR, Napier PH. A Hand Book of Living Primates. New York: Academic Press;1967.

Napier JR, Napier PH. The Natural History of the Primates. Massachussetts. Cambridge: The MIT Press;1985.

Narahshi T, Fenster CP, Quick MW, Lester RAJ, Marszalec W, Aistrup GL, Sattelle DB, Martin BR, Levin ED. Symposium overview: mechanism of action of nicotine on neuronal acetycholine receptors, from molecule to behavior. Toxicological Sciences 2000:57;193–202.

Nedergaard J, Agneta B, Barbara C. Regulation of the activity of the uncoupling protein. New Comprehensive Biochemistry vol.23. didalam: Ernster L, Editor; Molecular mechanisms in bioenergetics. Elsevier, Amsterdam:2003:385– 420.

Page 144: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

127

[NRC] National Research Council. Nutrient Requirement Consumption of Nonhuman Primate. Edi ke-2, Rev. Washington DC: The National Academic Press; 2002.

Oktarina R. Kajian pakan bersumber energi tinggi pada pembentukan monyet obes. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor; 2009.

Parakkasi A. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Jakarta: Universitas Indonesia Press; 1999.

Park SB, Jacob P III, Benowitz NL, Cashman JR. Stereoselective metabolism of (S)-(‘)-nicotine in humans: formation of trans-(S)-(‘)-nicotine N-1’-oxide. Chem Res Toxicol 1993;6:880–888.

Pearce EC. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama; 2006.

Perry DC, Davila-Garcia MI, Stockmeier CA, Kellar KJ. Increased nicotinic receptors in brains from smokers: membrane binding and autoradiography studies. J Pharmacol Exp Ther 1999;289:1545–1552.

Peterson LA, Trevor A, Castagnoli N Jr. Stereochemical studies on the cytochrome P-450 catalyzed oxidation of (S)-nicotine to the (S)-nicotine delta 1’(5’)-iminium species. J Med Chem 1987;30:249–254.

Phillis JW. Veterinary Physiology. Bristol: Wright Scientechnica;1979.

Pijoh D. Kajian biologis monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang mengalami pengangkutan dengan pemberian pakan berbeda. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor; 2006.

Piliang WG, Djojosoebagio S. Fisiologi Nutrisi Volume I. Ed Revisi. Bogor: IPB Press; 2006.

Pi-Sunyer FX. Glycemic index and disease. Am J Clin Nutr (Suppl) 2002;76:290S–298S.

Plantenga MSW, Saris WHM, Hukshorn CJ, Campfield LA. Effects of weekly administration of pegylated recombinant human OB protein on appetite profile and energy metabolism in obese men. Am J Clin Nutr 2001;74:426–434.

Poedjiadi A, Supriyanti TFM. Dasar-Dasar Biokimia. Ed Revisi. Jakarta: Universitas Indonesia Press; 2007.

Putra IGAA, Wandia IN, Soma IG, Sajuthi D. Indeks massa tubuh dan morfometri monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di Bali. J Vet 2006;7:119–124.

Racette SB, Deusinger SS, Deusinger SH. Obesity: overview of prevalence, etiology, and treatment. Phys Ther 2003;83:276–288.

Ranjhan SK. Animal Nutrition. Vikas Publishing Hause PVT Ltd; 1980.

Rezvani AH, Levin ED. Adolescent and adult rats respond differently to nicotine and alcohol: Motor activity and body temperature. Int J Dev Neurosci 2004;22:349–54.

Robinson WF, Huxtable CRR. Clinicopathologic Principles for Veterinary Medicine. Cambridge University Press;1988.

Page 145: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

128

Röder EL, Timmermans PJA. Housing and care of monkeys and apes in laboratories: adaptations allowing essential species-species behaviour. Laboratory Animals 2002;36:221–242.

Roth GS, Mattison JA, Ottinger MA, Chachich ME, Lane MA, Ingram DK. Aging in rhesus monkeys: relevance to human health interventions. Science 2004;305:1423–1426.

Rubinstein ML, Benowitz NL, Auerback GM, Moscicki AB. A Randomized trial of nicotine nasal spray in adolescent smokers. Artikel. Pediatrics 2008;122(3):e595–e600.

Sabatini R. The Evolution of Intelligence, Part 2: Intelligence in Non Human Primates. Brazil: University of Sao Paulo; 2001.

Sahakian B, Jones G, levy R, Gray J, Warburton D. The effects of nicotine on attention, information processing, and short-term memory in patients with dementia of the alzheimer type. British Journal of Psychiatry 1989;154:797–800.

Sajuthi D, Yusuf TL, Monsjoer I, Lelana RPA, Suparto IH. Kursus singkat penanganan satwa primata sebagai hewan model. Bali;1997.

Sari NK. Tingkah laku monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) periode pra transportasi (studi kasus di Pusat Studi Satwa Primata, Lembaga Penelitian-IPB). [Skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Produksi Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor; 2004.

Schermer S. The Blood Morphology of Laboratory Animals. Ed ke-3, Philadelphia: F.A. Davis Company; 1967.

Shao XM, Feldman JL. Mechanisms underlying regulation of respiratory pattern by nicotine in prebötzinger complex. J Neurophysiol 2001:85;2461–2467.

Siagian A. 2006. Pengaruh indeks glisemik, komposisi zat gizi pangan, serta frekuensi pemberian makan pada respon glisemik, nafsu makan, dan profil lipid orang dewasa obes dan normal. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor; 1999.

Smith JB. Mangkoewidjojo S. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: UI Press; 1988.

Stell RGD, Torrie JH. Prinsip dan Prosedur Statistika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum; 1993.

Sturkie PD. Avian Physiology. Ed ke-3, Berlin: Heidelberg; 1976.

Supriatna J, Wahyono EH. Panduan Lapangan Primato Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia;2000.

Sutardi T. Landasan Ilmu Nutrisi Jilid I. Bogor: Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Institut Pertanian Bogor;1980.

Swenson MJ. Physiological Properties and Cellular and Chemical Constituents of Blood. Di dalam: Duke’s Physiology of Domestic Animals. Ithaca and London: Publishing Associates a Division of Cornell University;1970.

Page 146: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

129

Sylvia ES. Nutrition andDiagnosis-related Care. Ed ke-4, Baltimore, Maryland: Williams and Wilkins Co;1998.

Tillman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawirokusumo S, Lebdosoekojo S. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 1989.

Tizard I. Veterinary Immunology and Introduction. Ed ke-3. Sanders WB, Masduki Partodirejo Penterjemah. Surabaya: Airlangga University Press;1987.

Tortora GJ, Anagnostakos NP. Principles of Anatomy and Physiology. Ed ke-6. New York: Harper & Row Publishers; 1990.

Unwin S. Anaesthesia.Di dalam: Wolfe-Coote S, editor. The Laboratory Primate. Chapter 18. London, California: Elsevier Academic Press; 2005.Hlm 275-292.

Wagner JD, Carlson CS, O’Brien TD. Diabetes mellitus in nonhuman primates: Recent research advances on current husbandry practices. J Med Primatol 1996;19:609–625.

[WHO] The World Health Organization. Prevalence of obesity. 2005 http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs311/en/index.html. [acces : 3 February 2009, at 8:46].

[WHO] The World Health Organization. WHO’s Classification of BMI. Geneva; 2000.

Widjajakusuma R, Sikar H. Fisiologi Hewan Laboratorium. Bogor: Fisiologi dan Famakologi: FKH-IPB;1986.

Winarno FG. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama; 1992.

Yang W, Kelly T, He J. Genetic epidemiology of obesity. Epidemiol Rev 2007:29: 49–61.

Yano JK, Mei-Hui H, Keith JGC, David S, Eric FJ. Structures of human microsomal cytochrome P450 2Al complexed with coumarin and methoxsalem. Issue of the journal Nature Structural & Molecular Biology 2005.

Yayasan Spritia. Hitung darah lengkap Lembar Informasi 121. http://spiritia.or.id. last modified on 4 Januari 2008, acces : 4 August 2009, at 19:46.

Yettefty K, J. C. Orsini JC, Perrin J. Neuronal responses to systemic nicotine in the solitary tract nucleus: Origin and possible relation with nutritional effects of nicotine. Pharmacol Biochem Behav 1997;58(2):529–535.

Zametkin AJ, Zoon CK, Klein HW, Munson S. Psychiatric aspects of child and adolescent obesity: a review of the past 10 years. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry 2004;43(2): 134–50.

Zorin S, Kuylenstierna F, Thulin H. In vitro test of nicotine’s permeability through human skin. Risk evaluation and safety aspects. Hyg 1999:43(6);405–413.

Page 147: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

130

LAMPIRAN–LAMPIRAN

Page 148: ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN PANJANG ( … · Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah

131

Lampiran 1 Surat persetujuan ACUC

Komisi Pengawasan Kesejahteraan dan Penggunaan Hewan Percobaan PT. INDOANILAB

Animal Care and Use Committee

Jl. Ceremai No.1. Taman Kencana, Bogor 16151. Telp. 0251-363634. Fax. 0251-363634 PERSETUJUAN ATAS PERLAKUAN ETIS Judul Penelitian: Intervensi Nikotin Terhadap Ekspresi Leptin-LDL, dan Resiko Aterogenesis Pada Monyet Ekor Panjang Peneliti Utama : dr. Anwar Wardy W. Sp.S Bahan Review :

1. Form Aplikasi ACUC PT. INDOANILAB 2. Protokol Penelitian 3. Prosedur Penelitian pada hewan coba

Dengan memperhatikan:

4. Species dan Relevansi Hewan Model, 5. Justifikasi jumlah hewan yang digunakan 6. Prosedur Penelitian pada hewan coba.

Kami menyatakan bahwa prosedur dalam penelitian ini memenuhi persyaratan etis dan memperhatikan kesejahteraan hewan coba yang digunakan. Maka, kami memberikan Ethical Approval pada penelitian ini. Nomor: 04-IA-ACUC-09 Bogor, 18 Februari 2009 Ketua Komisi

Dr.dr. Irma Herawati Suparto, Ms