ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA...
Transcript of ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA...
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA
PASIEN PNEUMONIA RAWAT INAP DI RSU KARSA HUSADA
KOTA BATU TAHUN 2017-2018
SKRIPSI
Oleh :
LATIFATUL KOLBIYAH
NIM. 15670012
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2019
ii
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA
PASIEN PNEUMONIA RAWAT INAP DI RSU KARSA HUSADA
KOTA BATU TAHUN 2017-2018
SKRIPSI
Oleh:
LATIFATUL KOLBIYAH
NIM. 15670012
Diajukan Kepada:
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2019
iii
iv
v
vi
MOTTO
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik, dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih
baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (Q.S.An-Nahl : 97).
Keberhasilan bukanlah milik Orang Pintar. Namun keberhasilan itu adalah milik mereka
yang senantiasa Berusaha. (B.J. Habibie)
vii
LEMBAR PERSEMBAHAN
Puji syukur selalu terucapkan dengan kerendahan dan kelulusan hati
kepada Allah SWT karena limpahan taufik, rahmah serta hidayah-
Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan tepat
waktu. Sholawat serta salam juga tercurakan kepada baginda Nabi
Muhammad SAW yang dinanti-nantikan syafaatnya dihari kiamat
nanti.
Skripsi ini saya persembahkan kepada kedua orangtua yang selalu
melatunkan doanya untukku baik siang maupun malam, yaitu
Ibu Hotibah dan Bapak Aliudin yang juga telah menanti-nantikan
anaknya menyelesaikan skripsi pada bangku perkuliahan. Tak lupa
terimakasih juga saya ucapkan kepada kakak saya dan sanak saudara
keluarga saya yang mendukung saya sepenuh hati untuk selalu
semangat dalam berjuang.
Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya juga haturkan kepada
para dosen dan karyawan jurusan farmasi UIN Malang terkhusus
kepada kedua pembimbing saya yang tidak pernah lelah dalam
menemani dan membimbing skripsi hingga selesai. Tak lupa pula
ucapan terimakasih kepada teman-teman Pharmajelly 2015, Big
Family (Kelas A), teman-teman sejawat dari nurul jadid dan keluarga
unicev malang, Alfan, Jelly, Ilona, Utina, Neng dii, Didi, Salma, Anis,
Difa,Risa, Riza, Nila, Farhana, Beta, Nonik, Ila, Ika, Madin, Laily dan
lainya yang telah menemani dan mengajarkan pengalaman yang
cukup baik. Semoga pertemanan dan persaudaraan ini bisa terus
terjalin hingga kapanpun dan semoga semuanya menjadi orang yang
sukses dunia akhirat.
viii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang
berjudul “ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGGUNAAN
ANTIBIOTIK PADA PASIEN PNEUMONIA RAWAT INAP DI RSU
KARSA HUSADA KOTA BATU TAHUN 2017-2018” sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar sarjana dalam bidang farmasi di Fakultas
Kedoteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan,
masukan serta arahan dari berbagai pihak. Untuk itu ucapan terimakasih penulis
ucapkan sebesar-besarnya dengan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. H. Abdul Haris, M.Ag. selaku rektor Universitas Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang, yang telah banyak memeberikan
pengetahuan dan pengalaman yang berharga.
2. Prof. Dr. dr. Bambang Pardijianto, Sp.B.,Sp.BP-RE selaku dekan
Fakultas Kedoteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang.
3. Ibu Dr. Roihatul Muti’ah, M.Kes.,Apt. selaku Ketua Jurusan Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang.
ix
4. Bapak Achmad Syahrir, M.Farm., Apt. selaku pembimbing utama
yang dengan sabar memberikan dedikasi berupa ilmu, pengarahan,
bimbingan, nasehat, waktu, tenaga, dan petunjuk selama penyusunan
skripsi.
5. Ibu Meilina Ratna Dianti, S.Kep., Ns., M.Kep. pembimbing kedua
yang dengan sabar memberikan dedikasi berupa ilmu, pengarahan,
bimbingan, nasehat, waktu, tenaga, dan petunjuk selama penyusunan
skripsi.
6. Bapak Hajar Sugihantoro, M.PH., Apt. selaku dosen penguji utama
yang telah banyak memberikan evaluasi dan saran dalam penyusunan
proposal skripsi ini.
7. Segenap civitas akademika Jurusan Farmasi Fakultas Kedoteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
8. Bapak Angga I.W.E., S.Farm., Apt. selaku pembimbing lapangan di
RSU Karsa Husada Kota Batu Malang yang telah banyak memberikan
bimbingan, nasehat, waktu, tenaga, dan petunjuk selama penyusunan
hasil pengolahan data skripsi.
9. Segenap civitas Rumah Sakit Umum Karsa Husada Kota Batu Malang
10. Ibu dan Bapak tercinta H. Aliudin dan Hj. Hotibah yang senantiasa
memberikan yang telah menjadi orang tua terhebat dan selalu
memberikan curahan kasih sayang, doa, nasehat, dukungan moral
maupun materil. Tidak ada apapun di dunia ini yang dapat membalas
semua kebaikan, cinta, dan kasih sayang yang telah kalian berikan
x
kepada anakmu, semoga Allah SWT selalu memberikan perlindungan
dan cinta kasih kepada orang tua hamba.
11. Kakak tercinta Choirul Ludfi yang telah memberikan semangat dan
motivasi.
12. Seluruh teman-teman Farmasi 2015 “Pharmajelly” dan kerabat dekat
saya yang berjuang bersama untuk meraih cita-cita.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat
kekurangan dan penulis berharap penyusunan skripsi ini bisa memberikan manfaat
kepada para pembaca khususnya bagi penulis secara pribadi. Amin Ya Rabbal
Alamin.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Malang, 20 November 2019
Penulis
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................... v
MOTTO ............................................................................................................... vi
LEMBAR PERSEMBAHAN ............................................................................ vii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... viii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xv
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................... xvi
ABSTRAK ........................................................................................................ xviii
ABSTRACK ....................................................................................................... xix
xx ................................................................................................................... الملخص
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 7
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................. 7
1.4.1 Manfaat Teoritis ............................................................................. 7
1.4.2 Manfaat Praktisi ............................................................................. 7
1.5 Batasan Masalah ..................................................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pneumonia............................................................................................... 9
2.1.1 Definisi ........................................................................................... 9
2.1.2 Etiologi ......................................................................................... 10
2.1.3 Epidemiologi ................................................................................ 11
2.1.4 Patofisiologi ................................................................................. 12
2.1.5 Gejala Klinis ................................................................................ 15
2.1.6 Penegakkan Diagnosis ................................................................. 16
2.1.7 Jenis Pneumonia........................................................................... 17
2.1.8 Penatalaksanaan Pneumonia ........................................................ 20
2.2 Antibiotik .............................................................................................. 22
2.2.1 Penisilin........................................................................................ 23
2.2.2 Sefalosporin ................................................................................. 24
2.2.3 Inhibitor β laktam ......................................................................... 25
2.2.4 Makrolida ..................................................................................... 25
2.2.5 Fluorokuinolon ............................................................................. 26
2.3 Farmakoekonomi .................................................................................. 27
2.3.1 Definisi ......................................................................................... 27
2.3.2 Hasil Pengobatan (outcome) ........................................................ 28
2.3.3 Biaya (cost) .................................................................................. 29
2.3.4 Prespektif Farmakoekonomi ........................................................ 31
xii
2.4 Metode Analisis Farmakoekonomi ....................................................... 32
2.4.1 Analisis Minimalisasi Biaya ........................................................ 34
2.4.2 Analisis Efektivitas Biaya ............................................................ 35
2.4.3 Analisis Utilitas Biaya ................................................................. 39
2.4.4 Analisis Manfaat Biaya ................................................................ 40
2.5 Farmakoekonomi dengan Al-Qur’an .................................................... 40
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL
3.1 Bagan Kerangka Konseptual................................................................. 42
3.2 Uraian Kerangka Konseptual ................................................................ 43
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Jenis dan Rnacangan Penelitian ............................................................ 44
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................... 44
4.3 Populasi dan Sampel ............................................................................ 44
4.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ....................................... 46
4.5 Alat dan Bahan Penelitian ..................................................................... 48
4.6 Prosedur Penelitian ............................................................................... 49
4.7 Analisis Data ......................................................................................... 50
BAB V HASIL DAN PEMBAHSAN
5.1 Hasil dan Pembahasan ........................................................................................... 52
5.1.1 Jenis Kelamin ...................................................................................... 53
5.1.2 Karakteristik Usia ............................................................................... 54
5.1.3 Status Pembayaran .............................................................................. 55
5.1.4 Terapi Antibiotik ................................................................................. 57
5.1.5 Lama Rawat Inap ................................................................................ 60
5.1.6 Perbandingan Efektivitas Pengunaan Terapi Antibiotik ..................... 63
5.1.7 Biaya Pengobatan Langsung .............................................................. 65
5.1.8 Analisis Efektivitas Biaya .................................................................. 68
5.1.9 Analisis ICER .................................................................................... 75
5.10 Integrasi Hasil Peneliti dengan Al-Qur’an .......................................... 77
5.11 Keterbatasan Penelitian ....................................................................... 78
BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan ................................................................................................... 79
6.2 Saran .............................................................................................................. 79
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................81
LAMPIRAN ......................................................................................................87
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Pilihan Rejimen Terapi Community Acquired Pneumonia .................... 21
Tabel 2.2 Metode Analisis dalam Kajian Farmakoekonomi .................................. 33
Tabel 2.3 Kelompok Alternatif bedasarkan Efektivitas Biaya............................... 36
Tabel 5.1 Jenis Kelamin Pasien ............................................................................. 53
Tabel 5.2 Karakterisitik Pasien Berdasarkan Usia ................................................. 54
Tabel 5.3 Status Pembayaran Pasien ...................................................................... 55
Tabel 5.4 Terapi Antibiotik yang Digunakan ........................................................ 57
Tabel 5.5 Lama Rawat Inap Pasien Pneumonia ..................................................... 61
Tabel 5.6 Perbandingan Efektivitas Terapi ............................................................ 64
Tabel 5.7 Data Biaya Pengobatan Langsung ......................................................... 66
Tabel 5.8 Hasil Perhitungan ACER ....................................................................... 69
Tabel 5.9 Perbandingan Hubungan Efektivitas Biaya antar-Terapi....................... 73
Tabel 5.10 Perhitungan ICER ................................................................................ 75
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kuadran Efektivitas Biaya ................................................................. 38
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual ........................................................................ 42
Gambar 4.1 Prosedur Penelitian ............................................................................ 47
Gambar 5.1 Kuadran Efektivitas Biaya ................................................................. 71
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Data Pasien ......................................................................................... 88
Lampiran 2 Profil Terapi Antibiotik ...................................................................... 90
Lampiran 3 Harga Satuan Terapi Antibiotik .......................................................... 92
Lampiran 4 Perhitungan Rata-rata Lama Rawat Inap ............................................ 93
Lampiran 5 Perhitungan Efektivitas Terapi Antibiotik .......................................... 94
Lampiran 6 Biaya Medis Langsung ....................................................................... 95
Lampiran 7 Perhitungan ACER ............................................................................. 98
Lampiran 8 Perhitungan ICER ............................................................................. 100
Lampiran 9 Dokumentasi Penelitian .................................................................... 101
Lampiran 10 Surat Keterangan Persetujuan Studi Pendahuluan Penelitian ........ 102
Lampiran 11 Surat Keterangan Persetujuan Penelitian ........................................ 103
Lampiran 12 Surat Keterangan Kelaikan Etik ..................................................... 104
xvi
DAFTAR SINGKATAN
ACER : Average Cost Effectiveness Ratio
ADME : Absorbsi Distribusi Metabolisme dan Eksresi
AEB : Analisis Efektivitas Biaya
AIDS : Acquired Immunedeficiency Syndrome
AMB : Analisis Manfaat Biaya
AMiB : Analisis Minimalisasi Biaya
Askes : Asuransi Kesehatan
AUB : Analisis Utilitas Biaya
Binfar : Bina Kefarmasian
CAP : Community Acquired Pneumonia
CFR : Crude Fatality Rate
Dinkes : Dinas Kesehatan
DNA : Deoxyribonucleic acid
Gr : Gram
HAP : Hospital Acquired Pneumonia
HIV : Human Immunodeficiency Syndrome
ICER : Incremental Cost Effectiveness Ratio
ICU : Intensive Care Unit
ICUR : Incremental Cost Utility Ratio
IDSA : Infection Diseases Society of America
Inj : Injection
Iv : Intra Vena
JKN : Jaminan Kesehatan Nasional
Kemenkes RI : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
xvii
LY : Life Years
Mg : Miligram
NICE : National Institute for Health and Care Excellence
PBPS : Penicillin-Binding Proteins
PCO2 : Parsial Karbondioksida
PDPI : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
QALY : Quality Adjusted Life Years
SWT : Subhanahu wa ta’ala
RI : Republik Indonesia
Rp : Rupiah (nilai mata uang)
RIEB : ICER
RSU : Rumah Sakit Umum
RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah
WHO : World Health Organization
xviii
ABSTRAK
Kolbiyah, Latifatul. 2019. Analisis Efektivitas Biaya Penggunaan Antibiotik Pada
Pasien Pnemonia Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Karsa Husada Kota
Batu Tahun 2017-2018. Skripsi. Jurusan Farmasi Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang. Pembimbing I: Ach. Syahrir, M.Farm.,Apt.; Pembimbing II:
Meilina Ratna Dianti, S.Kep.,Ns.,M.Kep.; Penguji Utama: Hajar
Sugihantoro, M.P.H., Apt.; Penguji Agama: Dr. Roihatul Muti’ah,
M.Kes.,Apt.
Pneumonia adalah infeksi bakteri Streptococus pneumonia pada jaringan
paru-paru bagian bawah yang mengenai parenkim paru. Pengobatan utama untuk
pneumonia adalah menggunakan terapi antibiotik. Penggunaan antibiotik yang
tidak tepat akan menimbulkan dampak buruk berupa munculnya resistensi bakteri
terhadap antibiotik sehingga mengakibatkan perawatan pasien menjadi lebih lama
dan biaya penggobatan menjadi mahal. Sehingga diperlukan pemilihan Analisis
Efektivitas Biaya pengobatan penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui profil penggunaan antibiotik
dan menganalisis efektivitas biaya terapi pasien pneumonia yang di rawat inap
antara beberapa penggunaan alternatif antibiotik secara farmakoekonomi dengan
pendekatan analisis efektivitas biaya. Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif dengan metode pengambilan data secara retrospektif. Sampel pada
penelitian ini adalah data rekam medis pasien pneumonia yang sesuai dengan
kriteria inklusi dan eksklusi berjumlah 35 pasien. Hasil dari penelitian ini
meliputi profil penggunaan antibiotik adalah empat penggunaan antibiotik yaitu
injeksi ceftriaxone dengan 46%, injeksi levofloxacin dengan 40%, injeksi
cefotaxime dengan 8% dan injeksi ciprofloxacin dengan 6%. Hasil dari
perhitungan nilai ACER diantara beberapa penggunaan alternatif terapi antibiotik
secara farmakoekonomi dengan pendekatan analisis efektivitas biaya adalah terapi
antibiotik injeksi levofloxacin dengan nilai efektivitas sebesar 92,85%, jumlah
total biaya sebanyak Rp.2.585.225,- dan nilai ACER sebesar Rp.2.784.302,-.
Efektivitas biaya penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia adalah
penggunaan terapi antibiotik levofloxacin dengan efektivitas paling tinggi dan
biaya yang paling rendah.
Kata Kunci : Pneumonia, terapi antibiotik, analisis efektivitas biaya.
xix
ABSTRACT
Kolbiyah, Latifatul. 2019. Analysis Of The Cost-Effectiveness Of Antibiotic Use
In Patients With Hospitalization In The Hospital Of Karsa Husada General
In Batu 2017-2018. Thesis. Department of Pharmacy Faculty of Medicine
and Health Sciences, Islamic State University of Maulana Malik Ibrahim
Malang. Supervisor I: Ach. Syahrir, M.Farm.,Apt.; Supervisor II: Meilina
Ratna Dianti, S.Kep.,Ns., M.Kep.; Main testers: Hajar Sugihantoro,
M.P.H.,Apt.; Religious testers: Dr. Roihatul Muti’ah, M.Kes.,Apt.
Pneumonia is a bacterial infection Streptococcus pneumonia in the lower
lung tissue concerning pulmonary parenchyma. The primary treatment for
pneumonia is using antibiotic therapy. Improper use of antibiotics will cause
adverse effects of bacterial resistance to antibiotics resulting in longer treatment of
the patient and the cost of suspension to be costly. So it is necessary to select the
cost-effectiveness analysis of antibiotic use in patients pneumonia. The purpose
of this research is to know the profile of the use of antibiotics and analyze the
cost-effectiveness of patients with pneumonia in the hospitalization of some
alternative uses of antibiotics pharmacoeconomics with an analysis approach
Cost-effectiveness. This research is a descriptive study with a retrospective
method of data retrieval. The samples in this study were the medical records of
pneumonia patients by the criteria of inclusion and exclusion amounting to 35
patients. The results of this research include the profile of the use of antibiotics is
four antibiotic use of ceftriaxone injection with 46%, injection levofloxacin with
40%, injection cefotaxime with 8% and ciprofloxacin injection with 6%. Results
of the calculation of ACER values among some of the alternative use of antibiotic
therapy in pharmacoeconomics with a cost-effectiveness analysis approach is
injection levofloxacin therapy with an effective value of 92,85%, the total amount
Cost as much as Rp.2.585.225,-and ACER value of Rp.2.784.302,-. The cost-
effectiveness of antibiotic use in patients with pneumonia is the therapeutic use of
levofloxacin with the highest effectiveness and the lowest cost.
Keywords: Pneumonia, antibiotic therapy, cost-effectiveness analysis
xx
الملخص
. تحيو فعاىة اىتنيفة لاستخذا اىضادات اىحةة فة ى ة الاىتةا 9102قيب, ىطفة.
ئةة اىةةد د يةةا اىتتفةةفات فةة اىتتفةةف اىعاةةة مىسةة سةةذ ذةةة ةةات اىتةةة اىى
اىقاىة, تخصص ف اىصذىة مية مية اىطب اىعي اىصحة جاعة اىذىة . 9102-9102
.9102الإسلاة لاا اىل إ ىا اىج,
الاىتا اىىئ عذ نتىة ىينرات اىعقذة اىىئة ف أتجة اىىئة اىتةفي
اىتة تةة عى عية ةةة اىىئةة. اىعةةلا اىىئتة ىلاىتةةا اىىئة تةةتخذ اىعةلا اىضةةادات
اىحة. إ الاسةتخذا يةى اىاسةب ىيضةادات اىحةة سةب تتةبب فة ةعةار ةار فة
ة ىيضادات اىحة حث ن عةلا اىةىأ ألةه تنة شنو ظر قاة جىع
تنيفة اىعلا نيفة. ىدىل اك اجة لا تار تحيو فعاىة اىتنيفة ىيعلا اىضادات اىحةة
ف اىى اىد عةا ة الاىتةا اىىئة. مةا اىنةىذ ة ةد اىذراسةة ة تحذةذ
تحيةو اىفعاىةة ة ةث اىتنيفةة ىيعةلا ىى ة يف تعىف استخذا اىضادات اىحةة
الاىتا اىىئ اىد ت قي إى اىتتفف عةذ اسةتخذاات ذيةة ىيضةادات اىحةة
ج تحيو فعاىة اىتنيفة. دا اىبحث دراسةة فةفة ةر لىقةة اقتصاد اىذاء طىقة
اات اىتجو اىطب ىى الاىتا جر اىباات أعى رجع. اىعة ف د اىذراسة
ىأ. تائج ةد اىذراسةة تفةو 35اىىئ اىد لائ عاى الاشتاه الإقصاء ىـ
اىيف اىفخص لاستخذا اىضادات اىحةة ة أر عةة اسةتخذا اىضةادات اىحةة, ة
%, 2 اىتف ا متة %, ق40%, ق ىف في متا س 46 ق اىتبى في متا س
ة ة اىعذةذ ة ACER%. اىتةائج ة تةا ات اىقةة 6 ق سةبى فية متةا سة
الاستخذاات اىبذية ىيعلا اىضادات اىحة ف ج اقتصاد اىذاء ىتحيو فعاىة اىتنيفة
%, اىتنيفة الإجاىةة 92,85 ق ىف في متا س قة اىفعاىة اىعلا اىضادات اىحة
ر ة. فعاىةة تنيفةة اسةتخذا اىضةادات ACER 2.784.302ر ة اىقة 2.585.225
اىحةةةةة اىحةةةةة فةةةة ى ةةةة الاىتةةةةا اىىئةةةة ةةةة اسةةةةتخذا اىعةةةةلا اىضةةةةادات
اىيففيمتاس أعي فعاىة أقو تنيفة.
.الاىتا اىىئ, اىعلا اىضادات اىحة, تحيو فعاىة اىتنيفة الكلمات المفتاحية:
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pneumonia merupakan masalah kesehatan di dunia dengan angka
kematian tinggi, baik di negara berkembang maupun di negara maju seperti
Amerika Serikat, Kanada dan negara-negara Eropa. Pneumonia adalah penyebab
infeksi paling banyak yang menyebabkan kematian di Amerika Serikat, dimana
terdapat 4 juta kasus yang telah terdiagnosis dan menghabiskan biaya lebih dari
23 milyar dolar (Glover dan Reed, 2005). Di Amerika, terdapat dua juta kasus
penyakit pneumonia pertahun dengan jumlah kematian rata-rata 45.000 orang
(Wilson, 2006).
Di Indonesia, prevalensi pneumonia terjadi peningkatan pada semua umur
dari 2,1% pada tahun 2007 menjadi 2,7% pada tahun 2013 (Riskesdas RI, 2013).
Pneumonia di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2007 sebesar 1.55% dan pada
tahun 2013 sebesar 1.80%, sehingga dapat diartikan bahwa terjadi kenaikan
kejadian pneumonia di Provinsi Jawa Timur (Kemenkes RI, 2013). Pada tahun
2016 berdasarkan data kesehatan Jawa Timur Kota Malang prevelensi pneumonia
pada balita dari 3.811 perkiraan penderita pneumonia terdapat 64,44% penderita
yang ditemukan dan ditangani atau berjumlah 2.456 penderita. Penemuan
penderita pneumonia ini meningkat proporsinya jika dibandingkan dengan tahun
2014 yang terdapat 55,98% penderita yang ditemukan dan ditangani, atau
berjumlah 1.357 penderita (Dinkes Kota Malang, 2017).
2
Gejala pneumonia adalah demam, sesak nafas, nadi cepat, dahak berwarna
hijau atau seperti karet, serta gambar hasil rontgen memperlihatkan kepadatan
pada bagian paru. Kepadatan ini terjadi karena paru dipenuhi cairan yang
merupakan reaksi tubuh dalam upaya mematikan bakteri, akibatnya fungsi paru
akan terganggu, dan penderita mengalami kesulitan bernafas karena tidak tersisa
ruang untuk oksigen (Jeremy, 2007). Dampak dari pneumonia yang semakin
meningkat dapat mengakibatkan penurunan kualitas hidup pasien, peningkatan
lama perawatan pasien serta peningkatan biaya pengobatan. Untuk menghindari
dampak negatif pneumonia tersebut, dibutuhkan terapi antibiotik yang adekuat
dengan berfokus pada diagnosa yang tepat (Jukemura, 2007).
Menurut guideline pneumonia terbaru yaitu National Institute for Health
an Care Excellence (NICE) tahun 2014 dan Infectious Disease Society of America
(IDSA) tahun 2011, pilihan lini pertama terapi empiris pneumonia untuk pasien
pneumonia komuniti yang dirawat inap di rumah sakit adalah golongan
fluorokuinolon (seperti gaftifloksin, gemifloksasin, levofloksasin, dan
moksifloksasin) atau golongan sefalosporin generasi ke III (seperti seftriakson dan
sefotaksim) atau yang dikombinasi dengan golongan makrolida. Sedangkan
pilihan lini pertama terapi empiris pneumonia untuk pasien pneumonia
nosokomial yang dirawat inap di rumah sakit adalah golongan β-laktam (seperti
koamoksiklav, sefotaksim, seftarolin fosamil, seftriakson, sefuroksim dan
piperasilin dengan tazobactam) (NICE, 2014).
3
Berdasarkan penelitian Amelia, 2018 antibiotik yang digunakan untuk
terapi pasien pneumonia rawat inap di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
yaitu antibiotik seftraikson dan sefotaksim sebanyak 40 pasien. Total biaya medik
langsung penggunaan antibiotik seftriakson pada pasien pneumonia yang dirawat
inap di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode januari-desember 2017,
total biaya terkecil yaitu Rp.2.894.108,- dan total biaya medik langsung terbesar
yaitu Rp.4.573.232,-. Total direct medical cost penggunaan antibiotik seftriakson
untuk ke 20 pasien yaitu sebesar Rp.75.727.000,- dengan direct medical cost per
pasien yaitu Rp.3.786.350,-. Total biaya medik langsung penggunaan antibiotik
sefotaksim pada pasien pneumonia dengan biaya terkecil yaitu Rp.2.901.202,- dan
total biaya medik langsung terbesar adalah Rp.4.199.285,-. Total direct medical
cost penggunaan antibiotik sefotaksim untuk ke 20 pasien yaitu sebesar
Rp.70.856.245,- dengan direct medical cost per pasien yaitu Rp.3.542.812,-. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pengobatan pneumonia menggunakan antibiotik
sefotaksim lebih cost-effective dengan nilai ACER sebesar Rp.35.428,- dan nilai
ICER sebesar Rp.16.235,-.
Penelitian yang lain juga mengatakan bahwa pneumonia termasuk 10
penyakit terbesar di instalasi rawat inap di RSUD Kabupaten Bombana dengan
pengobatan antibiotik cefotaxime dan gentamisin yang paling banyak digunnakan.
Jenis obat cefotaxime menghabiskan total biaya sebesar Rp.3.000.000,- sedangkan
obat gentamisin menghabiskan total biaya sebesar Rp.3.264.000,-. Nilai ACER
cefotaxime sebesar Rp.36.923,- dan gentamisin sebesar Rp.38.081,-.
Berdasarakan nilai ACER, biaya pengobatan yang cost-effective ialah cefotaxime
4
(Musdalipah, 2018). Suatu obat dikatakan cost-effective apabila nilai ACER
(Average Cost Effectiveness Ratio) suatu obat dari kedua obat yang
dibandingkan adalah yang paling rendah dari obat yang dibandingkan (Shahnaz,
2018).
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dengan indikasi penyakit pasien
akan menimbulkan dampak buruk berupa munculnya resistensi bakteri terhadap
antibiotik sehingga mengakibatkan perawatan pasien menjadi lebih lama dan
biaya penggobatan menjadi mahal (Okky, 2014). Beragamnya terapi antibiotik
pada pasien pneumonia, membuat pilihan terapi perlu disesuaikan tidak hanya
dari aspek biaya. Penanganan pada pasien pneumonia meliputi pengawasan durasi
penggunaan antibiotik yang berkaitan dengan meminimalisasi beban biaya obat
rumah sakit (Musdalipah, 2018). Analisis farmakoekonomi menggambarkan dan
menganalisa biaya obat untuk sistem perawatan kesehatan. Farmakoekonomi
bertujuan untuk memberikan pengobatan yang efektif dengan peningkatan
kualitas kesehatan (Shahnaz, 2018). Berdasarkan penelitian Febriyanti, 2017
menyatakan bahwa penggunaan obat pneumonia dengan biaya yang relatif mahal
belum menjamin efektivitas perawatan yang tepat.
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat islam di dalam ayat al-qur’an
terdapat penjelasan bahwa Allah SWT tidak menyukai seseorang yang
menghambur-hamburkan (harta) secara boros atau berlebihan. Allah SWT
mengingatkan bahwa pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu
sangat ingkar kepada Tuhannya. Sebagaimana diterangkan dalam ayat berikut :
5
Artinya : “ Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya,
kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros ” (QS. Al-Israa’ : 26)
Artinya : “ Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan
dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya ” (QS. Al-Israa’ : 27)
Berdasarkan ayat diatas menjelaskan bahwa Allah SWT tidak menyukai
seseorang yang berbuat keborosan atau berlebihan dalam suatu pengeluaran.
Kesimpulan dari penjelasan ayat tersebut yang telah dikaitkan dengan
permasalahan yang ada dalam penelitian ini adalah kita sebagai umat manusia
terutama dalam melakukan pengeluaran hendaklah tidak melakukannya secara
berlebihan, karena Allah SWT tidak menyukai hal tersebut. Analisis efektivitas
biaya pengobatan penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia berfungsi untuk
meminimalisir biaya pengeluaran pengobatan selama masa perawatan dengan
penggunaan obat yang lebih efektif dan harga yang lebih murah. Karena terapi
yang efektif bagi pasien dapat mengurangi pembiayaan selama pengobatan
berlangsung.
Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan di RSU Karsa
Husada Kota Batu pada bulan November (2018) diperoleh data prevalensi pasien
6
pneumonia balita hanya 18 pasien, pasien dewasa dan lansia terdapat 381 pasien
pneumonia pada tahun 2017 sampai 2018. Hal ini menunjukkan prevalensi pada
pasien pneumonia dewasa dan lansia lebih banyak dari pada prevalensi pada
pasien balita (RSU Karsa Husada, 2018).
Visi dan misi dari rumah sakit ini salah satunya mengobati dan
memfasilitasi masalah paru secara lengkap. Sehingga banyak kemungkinan
penduduk sekitar jika ingin berobat terkait masalah paru dapat menjadi rujukan
utama. Dalam penanganan pneumonia tunggal pada pasien dewasa dirumah sakit
ini digunakan beberapa pilihan antibiotik antara lain : ceftriaxone, levofloxacin,
cefotaxime, dan ciprofloxacin sehingga perlu dilakukan analisis farmakoekonomi
terakit efektivitas biaya pengobatan penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia
tunggal. Fungsi dari analisis efektivitas biaya pengobatan ini agar mengetahui
biaya terapi antibiotik yang memiliki biaya terapi yang paling efektif berdasarkan
hasil terapi paling efektif dan besaran biaya yang dikeluarkan untuk terapi.
Berdasarkan latar belakang diatas perlu dilakukan penelitian tentang
analisa efetivitas biaya penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia rawat inap
di Rumah Sakit Umum Karsa Husada Kota Batu Periode Tahun 2017-2018.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana profil penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia yang di
rawat inap RSU Karsa Husada Kota Batu.
2. Bagaimana efektivitas biaya penggunaan antibiotik pada pasien
pneumonia yang di rawat inap RSU Karsa Husada Kota Batu.
7
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui profil penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia yang
dirawat inap RSU Karsa Husada Kota Batu
2. Menganalisis efektivitas biaya terapi antibiotik pada pasien pneumonia
yang di rawat inap antara beberapa penggunaan alternatif antibiotik secara
farmakoekonomi dengan pendekatan analisis efektivitas biaya.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
1. Menambah prinsip pemilihan antibiotik pada pasien pneumonia dewasa
berdasarkan pendekatan Analisis Efektivitas Biaya dilihat dari prespektif
penyedia pelayanan kesehatan.
2. Memberikan profil penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia dewasa
rawat inap di rumah sakit.
1.4.2 Manfaat Praktisi
1. Menambah wawasan terkait permasalahan farmakoekonomi dalam dunia
kesehatan dan dapat dijadikan salah satu rujukan sebagai pertimbangan
untuk membuat kebijakan terkait pemilihan antibiotik berdasarkan
Analisis Efektivitas Biaya penggunaan antibiotik pneumonia pada pasien
dewasa rawat inap di rumah sakit berdasarkan efektivitas hasil terapi dan
biaya yang dikeluarkan.
8
2. Masukkan pertimbangan informasi untuk rumah sakit supaya lebih
memperhatikan farmakoekonomi dalam dunia kesehatan terkait biaya
pengobatan pasien.
1.5 Batasan Masalah
1. Penelitian ini hanya dilakukan pada data rekam medis pasien pneumonia
di rawat inap RSU Karsa Husada Kota Batu periode Juni 2017 sampai Juni
2018 pada pasien dewasa dengan kriteria umur 22 tahun sampai 56 tahun.
2. Penelitian ini hanya menggunakan data rekam medis pasien pneumonia
dengan pengobatan pemberian antibiotik tunggal selama di rawat inap
RSU Karsa Husada Kota Batu.
3. Penelitian ini hanya menganalisa biaya pengobatan penggunaan antibiotik
tunggal pasien pneumonia dewasa dengan kriteria umur 22 tahun sampai
56 tahun selama di rawat inap RSU Karsa Husada Kota Batu periode Juni
2017 sampai Juni 2018.
4. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif observasional dengan
pengambilan sampel purposive sampling.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pneumonia
2.1.1 Definisi
Pneumonia adalah infeksi pada jaringan paru-paru bagian bawah yang
mengenai parenkim paru. Seseorang yang menderita pneumonia maka kantung
udara di paru-paru menjadi penuh dengan mikroorganisme, cairan, dan sel-sel
inflamasi dan paru-paru tidak mampu bekerja dengan baik (NICE, 2014). Secara
klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan
oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan peradangan paru
yang disebabkan oleh non mikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan
toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis (PDPI, 2003).
Pneumonia dapat diklasifikasikan menurut agen penyebab ataupun area
paru yang terkena pneumonia. Berdasarkan agen penyebab, pneumonia dibagi
menjadi empat yaitu pneumonia tipikal (klasik) atau Community Acquired
Pneumonia (CAP), pneumonia atipikal (nosokomial) atau Hospital Acquired
Pneumoniam (HAP), pneumonia aspirasi, dan pneumonia immunocompromised.
Berdasarkan area paru yang terkena dibagi menjadi dua yaitu pneumonia lobaris
dan bronchopneumonia (Wahid, 2013).
10
Penyakit ini menjadi penyebab kematian tertinggi pada balita dan bayi
serta menjadi penyebab penyakit umum terbanyak. Pneumonia dapat terjadi
sepanjang tahun dan dapat melanda semua usia. Manifestasi klinik menjadi sangat
berat pada pasien dengan usia sangat muda, manula serta pada pasien dengan
kondisi kritis (Binfar, 2005).
2.1.2 Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu
bakteri, virus, jamur dan parasit. Dari keputusan pneumonia komuniti yang
diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri gram positif,
sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan oleh bekteri negatif
sendangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-
akhir ini laporan dan beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa yang
ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri
gram negatif (PDPI, 2003).
Bakteri penyebab pneumonia yaitu Streptococus pneumonia sebenarnya
merupakan flora normal pada kerongkongan manusia yang sehat. Namun ketika
daya tahan tubuh mengalami penurunan yang dapat disebabkan karena usia tua,
masalah gizi, maupun gangguan kesehatan, bakteri tersebut akan segera
memperbanyak diri setelah menginfeksi. Infeksi dapat dengan cepat menyebar ke
seluruh tubuh melalui aliran darah. Infeksi yang terjadi pada individu umumnya
menimbulkan gejala yaitu panas tinggi, napas terengah, berkeringat, dan denyut
jantung meningkat cepat. Akibatnya bibir dan kuku membiru karena tubuh
kekurangan asupan oksigen. Bahkan pada kasus yang parah, pasien akan
11
menunjukkan gejala menggigil, mengeluarkan lendir hijau saat batuk, serta nyeri
dada (Misnadiarly, 2008).
2.1.3 Epidemiologi
Kejadian pneumonia di Inggris setiap tahunnya sekitar 0,1% hingga 1%
pada pasien dewasa. Diagnosa pneumonia pada pasien ini berdasarkan pasien
dewasa yang datang kepada dokter umum sekitar 5% - 12% dengan keluhan
adanya gangguan pada saluran pernafasan, sekitar 22% - 42% dirawat di rumah
sakit, dan prevalensi kematian akibat pneumonia yang dirawat di rumah sakit,
1,2% - 10% diantaranya dirawat di ICU dan berisiko mengalami kematian lebih
dari 30%. Lebih dari setengah kejadian kematian akibat pneumonia tersebut
dialami oleh pasien dengan usia lebih dari 84 tahun (NICE 2014).
Orang yang terkena pneumonia berat berisiko 20,74% mengalami
kematian. Selain itu pneumonia lebih banyak terjadi di negara berkembang (82%)
dibandingkan negara maju (0,05%) (Wulandari, 2014). Pneumonia masuk ke
dalam 10 besar penyakit untuk kasus penyakit rawat inap di rumah sakit di
Indonesia. Proporsi kasus pneumonia di Indonesia yaitu sebesar 53,95% pada
pasien laki-laki dan 46,05% pada pasien perempuan, dengan Crude Fatality Rate
(CFR) paling tinggi dibandingkan penyakit lainnya (PDPI, 2014). Berdasarkan
data hasil riset kesehatan dasar tahun 2013 terjadi peningkatan period prevalence
pneumonia semua umur dari 2,1% (2007) menjadi 2,7% (2013). Pada tahun 2016
berdasarkan data kesehatan jawa timur kota malang prevelensi pneumonia
terdapat 64,44% penderita yang ditemukan dan ditangani. Penemuan penderita
12
pneumonia ini meningkat proporsinya jika dibandingkan dengan tahun 2015 yang
mencapai 63,80% (Dinkes Kota Malang, 2017).
2.1.4 Patofisiolgi
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja, dari anak
sampai usia lanjut. Pecandu alkohol, pasien pasca operasi, orang-orang dengan
gangguan penyakit pernapasan, sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan
tubuhnya, adalah yang paling berisiko. Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan
hidup normal pada tenggorokan yang sehat. Pada saat pertahanan tubuh menurun,
misalnya karena penyakit, usia lanjut, dan malnutrisi, bakteri pneumonia akan
dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru. Kerusakan jaringan
paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak disebabkan oleh reaksi
imun dan peradangan yang dilakukan oleh bakteri tersebut. Selain itu, toksin-
toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara
langsung merusak sel-sel sistem pernapasan bawah. Pneumonia bakterialis
menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok. Jika terjadi
infeksi, sebagian jaringan dari lobus paru-paru, ataupun seluruh lobus, bahkan
sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan, dan dua di
paru-paru kiri) menjadi terisi cairan. Dari jaringan paru-paru, infeksi dengan cepat
menyebar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah. Bakteri pneumokokus adalah
kuman yang paling umum sebagai penyebab pneumonia (Dahlan, 2006).
13
Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan : (PDPI, 2003)
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi.
Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria
atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 – 2,0 nm melalui udara dapat
mencapai bronkus terminal atau alveoli dan selanjutnya terjadi infeksi. Bila terjadi
kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi
ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan
permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil
secret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga pada keadaan
penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse) (PDPI,
2003).
Terdapat empat stadium anatomi dari pneumonia terbagi atas :
1. Stadium Kongesti (4-12 jam pertama)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari
sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-
mediator tersebut mencakup histmain dan prostaglandin. Degranulasi sel
14
mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama
dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler
paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan
perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi
pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunaan cairan
di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh
oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalah darah
paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin (Price, 2005).
2. Stadium Hepatitasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin
yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit, dan cairan, sehingga warna paru menjadi
merah dan dada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli
tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan brtambah sesak.
Stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam (Price, 2005).
3. Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang
terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah
yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit
di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan
15
leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi
mengalami kongesti (Price, 2005).
4. Stadium Akhir (Resolusi)
Eksudat yang mengalami konolidasi di antara rongga alveoli dicerna
secara enzimatis yang diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk.
Parenkim paru kembali penuh dengan cairan dan basah sampai pulih
mencapai keadaan normal (Price, 2005).
2.1.5 Gejala Klinis
Gejala dari pneumonia adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk (baik
non produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlindir, purulen, atau
bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak. Gejala umum lainnya adalah
pasien lebih suka berbaring pada yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri
dada. Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau penarikan dinding dada bagian
bawah saat bernafas, takipneu, kenaikan atau penurunan taktil fremitus, perkusi
redup sampai pekak menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan pleura,
ronki, sura pernafasan bronkial, pleural rub (Dahlan, 2006).
Secara umum menurut (PDPI, 2003) :
1. manifestasi non spesifik infeksi dan toksisitas berupa demam (39.5◦C)
sampai 40.5◦C), sakit kepala, iritabel, gelisah, malaise, nafsu makan
berkurang dan keluhan gastrointestinal.
2. Gejala umum saluran pernapasan waktu berupa batuk, ekspektorasi
sputum, nafas cuping hidung, sesak napas, air hinger, merintih, sianosis.
16
Penderita yang lebih besar dengan pneumonia akan lebih suka berbaring
pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada.
3. Tanda pneumonia berupa retraksi (penarikan dinding dada bawah kedalam
saat bernapas Bersama dengan peningkatan frekuensi napas), perkusi
pekak, fremitus melemah, suara melemah, dan ronki.
2.1.6 Penegakkan Diagnosis
Gambaran laboratorium untuk penegakkan pneumonia dapat berupa :
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,
biasanya lebih dari 10.000/mm3, kadang-kadang mencapai 30.000/mm
3,
dan pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri, disertai
peningkatan laju endap darah (LED). Untuk menentukan diagnosis
etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur
darah positif pada 20% - 25% penderita yang tidak diobati. Analisa gas
darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia, pada stadium lanjut dapat
terjadi asidosis respiratorik (PDIP, 2003).
2. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan menggunakan foto thoraks (PA/lateral) merupakan
pemeriksaan penunjang utama (gold standard) untuk menegakkan
diagnosis pneumonia. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrate sampai
konsoludasi dengan air brochogram, penyebaran dan intertisial serta
gambar kavitas (Dahlan, 2006).
17
3. Pemeriksaan Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi diantaranya biakan sputum dan kultur darah
untuk mengetahui adanya S. pneumonia dengan pemeriksaan koagulasi
antigen polisakarida pneumokokus (Luttfiya, 2010).
4. Pemeriksaan Analisa Gas Darah
Ditemukan hipoksemia sedang atau berat. Pada beberapa kaus, tekanan
parsial korbondioksida (PCO2) menurun dan dada pada stadium lanjut
menunjukkan asidosis respiratorik (Luttfiya, 2010).
2.1.7 Jenis Pneumonia
Jenis pneumonia yang ditinjau dari asal patogen maka pneumonia dibagi
menjadi 4 macam antara lain :
1. Pneumonia Komuniti (Community Acquired Pneumonia)
Pneumonia komuniti adalah pneumonia yang didapat di luar rumah sakit
atau didapat di masyarakat. Pneumonia komuniti ini merupakan masalah
kesehatan yang menyebabkan angka kematian tinggi di dunia (PDPI, 2003).
Gambaran klinis pneumonia dengan lobus pneumokokus ditandai dengan batuk.
Berawal dari batuk kering yang kemudian memproduksi purulent atau bercak
darah, sputum, disertai dyspnea, demam dan nyeri dada. Jumlah sel darah putih di
jaringan perifer biasanya meningkat. Uji x-ray pada dada menunjukkan
konsolidasi terbatas untuk satu atau lebih lobus (atau segemen lobus) dari paru-
paru. Uji ini jarang dilakukan karena terapi awal adalah modifikasi penggunaan
antibiotik berdasarkan riwayat penyakit (Walker dan Whittlesea, 2012).
18
Bronkopneumonia menunjukkan gambaran klinis yang lebih non spesifik
dengan batuk produktif, sesak napas, dan konsolidasi merata di dada saat uji x-ray
biasanya dalam kedua basis paru-paru. Meski pneumonia relatif tanpa rasa sakit,
namun dapat menyebabkan kematian. Pneumonia atipikal ditandai secara klinis
oleh demam, gejala sistemik dan batuk kering. Radiologis pada konsolidasi
merata luas di kedua paru-paru dan biokimia pada kelainan enzim hati dan
mungkin bukti dari sekresi hormon antidiuretik, jelas menampakkan natrium
plasma yang rendah. Kultur sputum adalah andalan diagnosis untuk pneumonia
yang disebabkan oleh Pneumococcus dan H. influenzae (Walker dan Whittlesea,
2012).
2. Pneumonia Nosokomial (Hospital Acquired Pneumonia)
Pneumonia nosokomial pneumonia yang terjadi setelah 48 jam dirawat di
rumah sakit dan disingkirkan semua infeksi yang terjadi sebelum masuk rumah
sakit. Pneumonia nosokomial dalam persentase 10-15% dari semua kasusnya,
biasanya disertai dengan sepsis atau kegagalan pernafasan. Kasus yang diperoleh
pada unit perawatan intensif mencapai 50%. Diagnosa biasanya dilakukan dengan
pemeriksaan dahak meski terkadang tidak membantu karena mungkin
terkontaminasi oleh flora mulut. Jika pasien telah menerima antibiotik, flora mulut
yang normal sering diganti oleh organisme resisten seperti Staphylococcus atau
garam negatif bentuk basil. Hal ini akan mempersulit pencarian hasil interpretasi
kultur. Kultur pada darah mungkin menghasilkan nilai yang positif (Walker dan
Whittlesea, 2012).
19
3. Pneumonia pada Immunocompromised Host
Pneumonia pada immunocompromised host terjadi pada pasien terinfeksi
HIV atau AIDS dan kanker. Pada pasien HIV bias terinfeksi pneumonia beberapa
kali selama hidupnya, terutama pada stadium tinggi, bakteri yang menginfeksi
biasanya lebih dari satu jenis. Patogen yang biasanya menyerang adalah
Pneumocystis carinii. Pada pasien kanker biasanya mengalami neutropenia yang
disebabkan oleh agen kemoterapi atau dari penyakit kanker itu sendiri. Faktor
resiko terserang pneumonia meningkat secara signifikan jika konsentrasi
neutrophil kurang dari 500 sel/mm3 dan terjadi selama lebih dari 7 hari. Pathogen
penyebab pneumonia pada pasien dengan neutropenia biasanya adalah bakteri
spektrum luas dan jamur, yang paling sering adalah gram positif Staphylococcus,
Streptococcus, Pseudomonas, dan Candida (Dipiro, 2011).
4. Pneumonia Aspirasi
Pneumonia aspirasi diprakarsai oleh inhalasi perut yang terkontaminasi
oleh bakteri dari mulut. Faktor resiko termasuk alkohol, obat hipnotik dan anestesi
umum, semua ini menjadi faktor yang dapat membuat pasien muntah dan tidak
sadar sementara. Asam lambung yang sangat meningkat dapat merusak jaringan
paru-paru dan menyebabkan nekrosis yang parah pada jaringan. Rusaknya
jaringan ini kemudian menyebabkan rentannya infeksi sekunder dan juga
pembentukan asbes. Bakteri anaerob sangat terlibat, tapi ini sering disertai dengan
organisme aerobic seperti Viridans streptococci. Pengobatan dengan metronidazol
ditambah amoksilin biasanya sudah memadai, tapi obat spektrum yang lebih luas
20
dapat digunakan jika ada alasan untuk mencurigai keterlibatan gram negatif,
misalnya jika pasien telah dirawat di rumah sakit atau yang sebelumnya
mengkonsumsi antibiotik (Walker dan Whittlesea, 2012).
2.1.8 Penatalaksanaan Pneumonia
Prinsip terapi pneumonia sama dengan penatalaksanaan terapi infeksi yang
disebabkan bakteri. Awal terapi dimana mikroorganisme belum diketahui
dilakukan secara empiris dengan antibiotik spektrum luas hingga penyebab
diketahui. Bila hasil kultur kuman patogen telah dipastikan, secepat mungkin
terapi diganti dengan antibiotik yang lebih spesifik. Tujuan pengobatan
pneumonia adalah penyumbatan secara klinis, menurunkan morbiditas dengan
tetap waspada timbulnya toksisitas antara lain pada fungsi hati, jantung, ginjal dan
organ lainnya (Wells, 2006). Terapi empiris pada pneumonia dilakukan dengan
mempertimbangkan usia pasien, riwayat penyakit, penyakit penyerta, tempat
perawatan, tanda-tanda dan gejala klinik, dan status alergi pasien. Pilihan
antibiotik dapat dilihat pada (Tabel. 2.1)
21
Tabel. 2.1 Pilihan Rejimen Terapi Community Acquired Pneumonia (CAP)
Pasien Rawat Jalan 1. Jika pasien sebelumnya sehat dan tidak
menerima terapi antibiotik selama 3
bulan terakhir, direkomendasikan
makrolida (rekomendasi kuat; level I
evidence) atau doksisilin (rekomendasi
lemah, level III evidence)
2. Jika ada penyakit komorbid; penyakit
kronis paru-paru, hati, jantung dan
ginjal; diabetes mellitus; alkoholisme,
kanker; asplenia, penyakit
immunosupresi; penggunaan obat
immunosuspresi; penggunaan antibiotik
selama 3 bulan terakhir;
direkomendasikan respiratory
fluoroquinolone (moksifloksasin,
gemifloksasin atau levofloksasin)
(rekomendasi kuat; level 1 evidence)
atau β-lactam atau dikombinasi dengan
makrolida (rekomendasi kuat; level 1
evidence)
3. Tinggi pasien berada di daerah
resistensi makrolida tinggi tanpa
penyakit komorbid direkomendasikan
pilihan terapi no.2 (rekomendasi lemah,
level III evidence)
Pasien rawat inap bukan di ICU Direkomendasikan respiratory
fluoroquinolone (moksifloksasin,
gemifloksasin atau levofloksasin)
(rekomendasi kuat; respiratory
fluoroquinolone) atau β-lactam atau
dikombinasi dengan makrolida
(rekomendasi kuat; level 1 evidence)
Pasien rawat inap di ICU β-lactam (sefotaksim, seftriakson) atau
ampisilin sulbaktam dikombinasi dengan
azitromisin (level II evidence), atau
respiratory fluoroquinolone (level 1
evidence), untuk pasien alergi penisilin
dikombinasi fluorokuinolon dan aztreonem
direkomendasikan.
Sumber : Koda-Kimble et al., (2008)
22
Kebanyakan pasien pneumonia mengalami perbaikan kondisi klinik
(menurunnya temperatur dan racun sistemik) dalam 24 sampai 48 jam pertama
sesudah pemberian terapi antibiotik. Pasien dengan CAP perlu diterapi minimal 5
hari, harus bebas demam selama 48 sampai 72 jam, terapi yang lebih lama
diperlukan jika terapi awal mengalami kegagalan atau pasien mendapat infeksi
ekstrapulmoner seperti bakterimia (Koda-Kimble et al., 2008). Untuk pasien
masuk rumah sakit dengan pneumonia ringan sampai sedang dan tanpa
komplikasi direkomendasikan terapi antibiotik diberikan selama 7 hari, sedangkan
pada pneumonia berat memerlukan 7-10 hari terapi antibiotik dan dapat
diperpanjang 14-21 hari dengan pertimbangan klinis, seperti munculnya infeksi
Staphylococus aureus atau gram negatif enteric bacilli (Lim et al., 2009).
2.2 Antibiotik
Antibiotik yang akan digunakan untuk membasmi mikroba penyebab
infeksi pada manusia, harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin.
Artinya, antibiotik tersebut haruslah bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi
relatif tidak toksik untuk manusia. Antibiotik hanya ampuh dan efektif membunuh
bakteri tetapi tidak dapat membunuh virus. Karena itu, penyakit yang dapat
diobati dengan antibiotik adalah penyakit-penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri. Penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia berbeda-beda baik pada
jenis antibiotiknya maupun lama penggunaannya (Katzung, 2012).
Antibiotik dapat diberikan secara tunggal maupun kombinasi. Antibiotik
tunggal adalah pemberian satu jenis antibiotik untuk mengatasi infeksi. Antibiotik
kombinasi adalah pemberian antibiotik lebih dari satu jenis untuk mengatasi
23
infeksi. Tujuan pemberian antibiotik kombinasi adalah meningkatkan aktivitas
antibiotik pada infeksi spesifik (Kemenkes RI, 2011).
Pengobatan pneumonia terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif.
Pemberian antibiotik pada penderita pneumonia berdasarkan data mikroorganisme
dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu penyakit yang
berat dapat mengancam jiwa, bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu
sebagai penyebab pneumonia dan hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.
Maka penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris (PDPI, 2003).
Terapi empiris adalah terapi menggunakan antibiotik pada kasus infeksi yang
belum diketahui jenis bakteri penyebabnya (Kemenkes RI RI, 2011). Namun,
ketika hasil kultur telah didapat maka dapat dilakukan penyesesuian pemberian
antibiotik. Pemberian antibiotik yang sesuai dengan bakteri penyebab inilah yang
menjadi prinsip utama dalam penatalaksanaan penyakit pneumonia (Dahlan,
2006).
2.2.1 Penisilin
Menurut Brunton (2008) penisilin dibagi menjadi 3 kelompok yaitu
penisilin, penisilin antistafilokokus dan penisilin berspektrum luas. Penisilin
memiliki aktivitas terbesar terhadap kuman-kuman gram positif, gram negatif
kokus (bulat), bakteri anaerob yang tidak memproduksi β laktam dan mempunyai
sedikit aktivitas terhadap gram negatif batang. Kelompok ini rentan terhadap
hidrolisis oleh β laktam. Contoh antibiotik dari kelompok ini adalah penisilin G.
Penisilin antistafilokokus resisten terhadap β laktam dari stafilokokus. Kelompok
ini aktif terhadap stafilokokus dan streptokokus, namun tidak terhadap
24
enterokokus, bakteri anaerob dan gram negatif batang serta kokus. Antibiotik
golongan ini yang dapat digunakan dalam terapi CAP adalah amoksisilin dengan
dosis 1-1,75 g/hari dan lama pemberian selama 5-10 hari. Selain itu amoksisilin +
klavulanat juga dapat digunakan untuk terapi CAP dengan dosis 1,75- 4 g/hari
dengan lama pemberian 7-10 hari.
2.2.2 Sefalosporin
Sefalosporin digolongkan menjadi 4 generasi. Sefalosporin generasi
pertama mempunyai aktivitas yang baik terhadap bakteri gram positif dan
aktivitas yang baik terhadap mikroorganisme gram negatif. Contoh antibiotik
golongan ini adalah sefadroksil, sefazolin, sefaliksin, sefalotin, sefapirin dan
sefradin. Sefalosporin generasi kedua pada umumnya aktif terhadap berbagai
kuman yang juga peka terhadap obat-obat generasi pertama, namun golongan ini
memiliki daya paparan gram negatif yang lebih luas. Contoh antibiotik golongan
ini adalah sefaklor, sefamandol, sefinisid, sefuroksim dan sefamisin. Pada
golongan sefalosporin generasi ketiga umumnya kurang aktif daripada obat
generasi pertama dalam melawan bakteri gram positif, tetapi aktivitasnya terhadap
gram negatif meningkat dan lebih tahan terhadap enzim penisilinase dibandingkan
generasi sebelumnya. Antibiotik yang termasuk golongan ini adalah sefotaksim,
sefoperazon, seftazidim, seftriakson, sefiksim dan sefpodoksim. Generasi terakhir
dari golongan sefalosporin adalah generasi keempat. Aktivitas sefalosporin
generasi keempat ini lebih luas dibandingkan dengan generasi ketiga dan tahan
terhadap hidrolisis oleh β laktam. Obat generasi keempat ini sangat berguna untuk
pengobatan empiris infeksi serius pada pasien rawat inap jika mikroorganisme
25
gram positif, Enterobacteriaceae dan Pseudomonas merupakan penyebab yang
potensial. Contoh antibiotik golongan ini adalah sefepim dan sefpirom (Brunton,
2008).
2.2.3 Inhibitor β laktam
Kelompok ini melindungi antibiotik β laktam dengan cara menginaktivasi
β laktamase. Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah asam klavulanat,
sulbaktam dan tazobaktam. Asam klavulanat merupakan suicide inhibitor yang
mengikat β laktamase dari bakteri gram positif dan gram negatif secara
ireversibel. Obat ini dikombinasi dengan amoksisilin untuk pemberian oral dan
dengan tikarsin untuk pemberian parenteral. Sulbaktam dikombinasi dengan
ampisilin untuk penggunaan parenteral. Tazobaktam dikombinasi dengan
piperasilin untuk penggunaan parenteral (Kemenkes RI, 2011).
2.2.4 Makrolida
Makrolida aktif terhadap bakteri gram positif, tetapi juga dapat
menghambat beberapa Enterococcus dan kuman gram positif. Sebagian besar
gram negatif aerob resisten terhadap makrolida, namun azitromisin dapat
menghambat Salmonella. Azitromisin dan klaritromisin dapat menghambat H.
influenzae, tetapi azitromisin mempunyai aktivitas terbesar. Makrolida
mempengaruhi sintesis protein bakteri dengan cara berikatan dengan ribosom 50s
sehingga menghambat translokasi peptida (Kemenkes RI, 2011).
26
2.2.5 Fluorokuinolon
Kelompok ini bekerja dengan menyekat sintesis DNA bakteri dengan
menghambat DNA gyrase. Adanya penghambatan DNA gyrase akan berpengaruh
kepada bakteri untuk transkipsi dan bereplikasi. Kelompok ini sangat aktif
terhadap berbagai bakteri gram positif dan gram negatif. Contoh dari kelompok
ini adalah siprofloksasin, ofloksasin, moksifloksasin, pefloksasin dan
levofloksasin (Brunton 2008). Dalam penatalaksanaan kasus CAP yang
disebabkan oleh bakteri, pasien akan diberikan antibiotik. Antibiotik yang
diberikan pada pasien CAP yang dirawat inap adalah antibiotik tunggal
fluorokuinolon (level I evidence) atau kombinasi antibiotik β laktam dengan
makrolida (level I evidence) (PDPI, 2014). Dalam penulisan panduan
penatalaksanaan pneumonia komunitas atau CAP, setiap bukti ilmiah yang
diperoleh dilakukan telaah kritis oleh pakar dalam bidang pulmonologi. Sebagai
peringkat bukti ilmiah dipakai level of evidence yaitu level I bukti ilmiah
berdasarkan meta analisis, uji klinis besar dengan randomisasi, level II bukti
ilmiah berdasarkan uji klinik lebih kecil tidak randomisasi, level III bukti ilmiah
berdasarkan penelitian retrospektif, observasional dan level IV berdasarkan serial
kasus, konsensus, pendapat ahli (PDPI, 2014).
Golongan fluorokuinolon memiliki aktivitas gram negatif yang bagus dan
aktivitas dari sedang hingga baik terhadap bakteri gram positif. Penggunaan
levoflokasasin atau golongan fluorokuinolon yang lain dapat dipilih sebagai
pengobatan empiris CAP karena daya spektrumnya yang luas. β laktam memiliki
aktivitas terhadap kuman gram negatif dan gram positif sedangkan makrolida
27
memiliki aktivitas terhadap bakteri atipik. Penggunaan kombinasi β laktam
dengan makrolida kemungkinan memiliki keuntungan yaitu diantaranya peranan
patogen atipikal dalam etiologi CAP relatif belum diketahui, namun laporan
terbaru mendapatkan bahwa kasus CAP yang disebabkan karena patogen atipikal
adalah sebanyak 20%. Selain itu, makrolida juga memiliki efek antiinflamasi.
Makrolida dapat menurunkan produksi sitokin proinflamantori dan ekspresi
endotelin-1 sehingga menghambat produksi superoksid dan menurunkan
pneumococcus adherence ke endotel respiratorius. Masih terdapat perbedaan
pendapat mengenai efikasi penggunaan antibiotik pada penatalaksanaan CAP.
Penggunaan kombinasi β laktam dengan makrolida menghasilkan angka kematian
sebesar 2,76% sedangkan penggunaan tunggal golongan kuinolon menghasilkan
angka kematian sebesar 4,94%. Hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan
kombinasi β laktam dengan makrolida dapat menurunkan angka mortalitas kasus
CAP (Lawrence, 2002).
2.3 Farmakoekonomi
2.3.1 Definisi
Farmakoekonomi adalah ilmu yang mengukur biaya dan hasil yang
diperoleh dihubungkan dengan penggunaan obat dalam perawatan kesehatan
(Orion, 1997). Farmakoekonomi juga didefinisikan sebagai deskripsi dan analisis
dari biaya terapi dalam suatu system pelayanan kesehatan. Lebih spesifik lagi
sebuah penelitian tentang proses identifikasi, mengukur dan membandingkan
biaya, resiko dan keuntungan dari suatu program, pelayan dan terapi (Vogenbreg,
2001).
28
Pemahaman tentang konsep farmakoekonomi sangat dibutuhkan oleh
banyak pihak pelayanan kesehatan khususnya para apoteker farmasi baik di dunia
industri maupun di dunia rumah sakit. Farmakoekonomi dapat membantu
apoteker membandingkan input (biaya untuk produk dan layanan farmasi) dan
output (hasil pengobatan). Analisis farmakoekonomi memungkinkan apoteker
untuk membuat keputusan penting tentang formularium, manajemen penyakit, dan
penilaian pengobatan (Shahnaz, 2018).
Perbandingan biaya dua alternatif tindakan kesehatan sangat penting.
Dalam keadaan ekonomi kurang menguntungkan, sangat wajar jika pasien atau
siapapun yang menanggung biayanya memilih yang termurah. Namun demikian,
harus pula dianalisis akibat dari tindakan yang diambil. Jika sekedar lebih murah
namun akibatnya tidak baik, maka boleh jadi kita mengambil pilihan kedua yang
biayanya sama tapi akibatnya akan lebih baik. Atau, bisa saja terdapat alternatif
ketiga, yakni tidak melakukan apapun, karena penyakitnya sudah tidak bisa
disembuhkan. Atas dasar ini, dalam setiap evaluasi ekonomi, termasuk evaluasi
farmakoekonomi, alternatif tindakan harus bersandar pada dua faktor : biaya dan
konsekuensinya. Untuk itu, tugas utama analisis farmakoekonomi adalah
mengidentifikasi, mengukur, menilai, dan membandingkan biaya dan konsekuensi
dari alternatif yang dipertimbangkan (Ahmad Fuad, 2017).
2.3.2 Hasil Pengobatan (outcome)
Kajian farmakoekonomi senantiasa mempetimbangkan dua sisi, yaitu
biaya (cost) dan hasil pengobatan (outcome). Kenyataannya, dalam kajian yang
mengupas sisi ekonomi dari suatu obat/pengobatan ini, faktor biaya (cost) selalu
29
dikaitkan dengan efektivitas (effectiveness), utilitas (utility) atau manfaat (benefit)
dari pengobatan pelayanan yang diberikan. Efektivitas merujuk pada kemampuan
suatu obat dalam memberikan peningkatan kesehatan (outcomes) kepada pasien
dalam praktek klinik rutin (Binfar, 2013).
Aspek ekonomi mengkaitkan pada biaya kajian farmakoekonomi yang
dapat memberikan besaran efektivitas biaya (cost-effectiveness) yang
menunjukkan unit moneter (jumlah rupiah yang harus dibelanjakkan) untuk setiap
unit indikator kesehatan baik klinis maupun non klinis (misalnya, dalam mg/dL
penurunan kadar LDL dan/atau kolesterol total dalam darah) yang terjadi karena
penggunaan suatu obat. Semakin kecil unit moneter yang harus dibayar untuk
mendapatkan unit indikator kesehatan (klinis maupun non-klinis) yang
diinginkan, semakin tinggi nilai efektivitas biaya suatu obat (Binfar, 2013).
2.3.3 Biaya (cost)
Biaya selalu menjadi pertimbangan penting karena adanya keterbatasan
sumberdaya, terutama dana. Dalam kajian yang terkait dengan ilmu ekonomi,
biaya didefinisikan sebagai nilai dari peluang yang hilang sebagai akibat dari
penggunaan sumberdaya dalam sebuah kegiatan. Patut dicatat bahwa biaya tidak
selalu melibatkan pertukaran uang. Dalam pandangan para ahli farmakoekonomi,
biaya kesehatan melingkupi lebih dari sekedar biaya pelayanan kesehatan, tetapi
termasuk pula, misalnya biaya pelayanan lain dan biaya yang diperlukan oleh
pasien sendiri (Binfar, 2013).
Sasaran setiap evaluasi ekonomi adalah membuat perbandingan biaya
berbagai alternatif pengobatan. Pada umumnya, isu di sekitar perhitungan biaya
30
bersifat spesifik dan kontekstual. Sementara pilihan analisis banyak yang dibatasi
oleh ketersediaan data (Ahmad Fuad, 2017).
Biaya pelayanan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori yaitu
:
1. Biaya langsung medis (direct medical cost)
Biaya langsung medis adalah biaya yang dikeluarkan oleh pasien terkait
jasa pelayanan medis, yang digunakan untuk mencegah atau mendeteksi
suatu penykait seperti kunjungan pasien, obat-obat yang diresepkan, dan
lama perawatan. Kategori biaya-biaya langsung medis antara lain yaitu,
pengobatan, pelayanan untuk mengobati efek samping, pelayanan
pecegahan dan penanganan (Vogenbreg, 2001).
2. Biaya langsung nonmedis (direct nomedical cost)
Biaya langsung nonmedis adalah biaya yang dikeluarkan pasien tidak
terkait langsung dengan pelayanan medis, seperti transportasi pasien ke
rumah sakit, jasa pelayanan lainnya yang diberikan pihak rumah sakit
(Vogenbreg, 2001).
3. Biaya tidak langsung (indirect cost)
Biaya tidak langsung adalah biaya yang dapat mengurangi produktivitas
pasien, atau biaya yang hilang waktu produktif yang hilang. Sebagai
contoh pasien kehilangan pendapatan karena sakit yang berkepanjangan
sehingga tidak dapat memberikan nafkah pada keluarganya, pendapatan
berkurang karena kematian yang cepat (Vogenbreg, 2001).
31
4. Biaya tak terduga (intangible cost)
Biaya tak terduga merupakan biaya yang dikeluarkan bukan hasil tindakan
medis, tidak dapat diukur dalam mata uang. Biaya yang sulit diukur seperti
rasa nyeri/cacat, kehilangan kebebasan, efek samping. Sifatnya psikologis,
sukar dikonversikan dalam nilai mata uang (Vogenbreg, 2001).
2.3.4 Perspektif Farmakoekonomi
Salah satu hal yang vital dalam studi farmakoekonomi adalah perspektif
atau sudut pandang. Saat mempertimbangkan perspektif farmakoekonomi yang
harus digunakan, harus diingat siapa yang mengeluarkan biaya dan siapa yang
menerima manfaatnya (Arnold, 2010). Prespektif memegang peranan yang
penting karena berkaitan dengan jenis informasi dan data yang dibutuhkan dalam
melakukan studi atau evaluasi, terutama data biaya yang akan dicakup dalam studi
tersebut (Didik, 2017).
Prespektif farmakoekonomi dapat ditinjau dari 4 macam yaitu (Vogenbreg,
2001):
1. Prespektif pasien (konsumen) yaitu pasien mendapatkan pelayanan
kesehatan dengan biaya yang murah.
2. Prespektif penyedia pelayanan kesehatan yaitu menyediakan pelayanan
kesehatan yang diperlukan masyarakat. Sebagai contoh : rumah sakit
pemerintah, rumah sakit swasta, praktik dokter dan praktik bidan.
3. Prespektif pembayar (perusahan asuransi) yaitu membayarkan biaya
terkait dengan pelayanan kesehatan yang digunakan peserta asuransi
selama pelayanan kesehatan yang digunakan peserta termasuk dalam
32
tanggungan perusahaan bersangkutan. Menyusun program pelayanan
kesehatan yang lebih efektif sehingga nantinya dapat memberikan
keuntungan bagi perusahaan.
4. Prespektif masyarakat yaitu masyrakat menggunakan pelayanan kesehatan
untuk mencegah terjangkitnya berbagai penyakit, seperti program
pencegahan penykait dengan imunisasi.
2.4 Metode Analisis Farmakoekonomi
Analisis farmakoekonomi digunakan untuk mengidentifiksi, menilai,
mengukur, dan membandingkan biaya dan konsekuensi dari alternatif yang
tersedia dapat dilihat pada tabel 2.2. Beberapa jenis metode analisis
farmakoekonomi yang dapat digunakan adalah evaluasi Analisis Minimalisasi
Biaya (AMiB), Analisis Efektivitas Biaya (AEB), Analisis Utilitas Biaya (AUB)
dan Analisis Manfaat Biaya (AMB). Empat metode analisis ini bukan hanya
mempertimbangkan efektivitas, keamanan, dan kualitas obat yang dibandingkan,
tetapi juga aspek ekonominya. Karena aspek ekonomi atau unit moneter menjadi
prinsip dasar kajian farmakoekonomi, hasil kajian yang dilakukan diharapkan
dapat memberikan masukan untuk menetapkan penggunaan yang paling efisien
dari sumber daya kesehatan yang terbatas jumlahnya (Binfar, 2013).
33
Tabel 2.2 Metode Analisis dalam Kajian Farmakoekonomi
Metode Analisis Karakteristik Analisis
Analisis Minimalisasi Biaya (AMiB) Efek dua intervensi sama (atau setara),
valuasi atau biaya dalam rupiah
Analisis Efektivitas Biaya (AEB) Efek dari satu intervensi lebih tinggi,
hasil pengobatan diukur dalam unit
alamiah atau indikator kesehatan,
valuasi atau biaya dalam rupiah
Analisis Utilitas Biaya (AUB) Efek dari intervensi lebih tinggi, hasil
pengobatan dalam Quality Adjusted
Life Years (QALY), valuasi atau biaya
dalam rupiah
Analisis Manfaat Biaya (AMB) Efek dari satu intervensi lebih tinggi,
hasil pengobatan dinyatakan dalam
rupiah, valuasi atau biaya dalam
rupiah
Sumber : Newby and Hill, (2003).
Metode keempat tersebut, analisis minimalisasi biaya (AMiB) adalah yang
paling sederhana. AMiB digunakan untuk membandingkan dua intervensi
kesehatan yang telah dibuktikan memiliki efek yang sama, serupa, atau setara.
Jika dua terapi atau dua jenis merek obat setara secara klinis, yang perlu
dibandingkan hanya biaya untuk melakukan intervensi. Sesuai prinsip efisiensi
ekonomi, jenis atau merek obat yang menjanjikan nilai terbaik adalah yang
membutuhkan biaya paling kecil per periode terapi yang harus dikeluarkan untuk
mencapai efek yang diharapakan (Binfar, 2013).
34
2.4.1 Analisis Minimalisasi Biaya
Analisis Minimalisasi Biaya merupakan analisis yang dilakukan dengan
membandingkan biaya yang dibutuhkan oleh dua atau lebih progam kesehatan
atau pengobatan yang bertujuan untuk mengetahui dan mengidentifikasi
pengobatan dengan biaya paling rendah dengan outcome yang sama (Hadning,
2015). AMiB juga dapat meningkatkan efisiensi, kendali mutu dan kendali biaya.
AMiB merupakan metode kajian farmakoekonomi yang paling sederhana
sehingga hal ini menjadi kelebihan tersendiri dari AMiB dengan kajian
farmakoekonomi lainnya. Namun AMiB sendiri tidak terlepas dari kekurangan,
dimana jika asumsi outcome yang ditetapkan tidak benar dapat menyebabkan hasil
analisis yang didapat menjadi tidak akurat dan tidak bernilai (Merliana, 2017).
AMiB berfokus pada penentuan pengobatan yang memiliki biaya perhari
yang paling rendah dengan outcome yang sama, serupa, dan setara. Perhitungan
AMiB dilakukan dengan menghitung rata-rata biaya total yang dibutuhkan oleh
setiap pengobatan lalu dibandingkan rata-rata biaya total pengobatan yang akan
dianalisis dengan AMiB. Pada AMiB pengobatan yang memiliki biaya paling
kecil dalam setiap periode pengobatan dengan memberikan efek yang diharapkan
maka dapat dinyatakan pengobatan tersebut sebagai pengobatan paling
meminimalisasi biaya (Merliana, 2017).
35
2.4.2 Analisis Efektivitas Biaya
Analisis efektivitas biaya didefinisikan sebagai analisis untuk
mengidentifikasi, mengukur, dan membandingkan berbagai biaya signifikan serta
konsekuensinya atas berbagai intervensi alternatif. Makna intervensi dalam
pengobatan adalah membandingkan dua atau lebih obat yang berbeda atau dari
kelas yang berbeda. Sasarannya adalah membandingkan antara penyembuhan obat
dan tanpa obat untuk kondisi tertentu (Ahmad Fuad, 2017).
Analisis efektivitas biaya adalah salah satu cara untuk menilai dan
memilih program terbaik bila terdapat beberapa program berbeda dengan tujuan
yang sama untuk dipilih. Kriteria penilaian program mana yang akan dipilih
adalah berdasarakan total biaya dari masing-masing alternatif program sehingga
program yang mempunyai total biaya terendahlah yang akan dipilih oleh para
analis/pengambil keputusan (Tjiptoherijanto, 1994). Manfaat kesehatan dapat
didefinisikan dan diukur dalam satuan yang natural (contohnya penyakit sembuh)
dan biaya yang diukur dalam bentuk uang sehingga dapat membandingkan terapi
dengan hasil kualitatif yang mirip pada daerah terapi tertentu (Walley, 1995).
AEB digambarkan dalam perhitungan Average Cost-Effectivenes ratio
(ACER) dan Incremental Cost Effectiveness Ratio (ICER). Hasil dari AEB
digambarkan sebagai rasio, baik dengan ACER (Average Cost
Effectiveness Ratio) seperti rumus berikut ini :
36
atau sebagai ICER (Incremental Cost Effectiveness Ratio) seperti rumus
berikut ini:
(Andayani, 2013).
ACER merupakan nilai yang menyatakan besaran biaya yang dibutuhkan
untuk setiap peningkatan outcome pengobatan. Pengobatan yang memiliki nilai
ACER yang terendah merupakan pengobatan yang paling efektif. ICER
merupakan nilai yang menunjukkan biaya tambahan yang dibutuhkan untuk
menghasilkan setiap perubahan satu unit outcome pengobatan (Musdalipah,
2018).
Alat bantu lain yang dapat digunakan dalam AEB adalah diagram
efektivitas biaya dapat dilihat pada tabel 2.3. Suatu alternatif intervensi kesehatan,
termasuk obat, harus dibandingkan dengan intervensi (obat) standar (Binfar,
2013).
Tabel. 2.3 Kelompok Alternatif bedasarkan Efektivitas Biaya
Efektivitas biaya Biaya lebih
rendah
Biaya sama Biaya lebih tinggi
Efektivitas lebih
rendah
A
(Perlu
perhitungan
ICER)
B C
(Didominasi)
Efektivitas sama D E F
Efektivitas lebih
tinggi
G
(Dominan)
H I
(Perlu perhitungan
37
ICER)
Sumber : Binfar, 2013.
Dengan menggunakan tabel efektivitas biaya diatas, suatu intervensi
kesehatan secara relative terhadap intervensi kesehatan yang lain dapat
dikelompokkan ke dalam satu dari empat posisi, yaitu :
1. Posisi dominan (Kolom G juga Kolom D dan H)
Jika suatu intervensi kesehatan menawarkan efektivitas lebih tinggi
dengan biaya sama (kolom H) atau efektivitas yang sama dengan biaya
lebih rendah (kolom D), dan efektivitas lebih tinggi dengan biaya lebih
rendah (kolom G), pasti terpilih sehingga tak perlu dilakukan AEB.
2. Posisi didominasi (Kolom C juga Kolom B dan F)
Sebaliknya, jika sebuah intervensi kesehatan menawarkan efektivitas lebih
rendah dengan biaya sama (kolom B) atau efektivitas sama dengan biaya
lebih tinggi (kolom F), apalagi efektivitas lebih rendah dengan biaya lebih
tinggi (kolom C), tidak perlu dipertimbangkan sebagai alternatif, sehingga
tak perlu pula diikutsertakan dalam perhitungan AEB.
3. Posisi seimbang (kolom E)
Sebuah intervensi kesehatan yang menawarkan efektivitas dan biaya yang
sama (kolom E) masih mungkin untuk dipilih jika lebih mudah diperoleh
dan/ atau cara pemakaiannya lebih memungkinkan untuk ditaati oleh
pasien, misalnya tablet lepas lambat yang hanya perlu diminum 1x sehari
versus tablet yang harus diminum 3x sehari. Sehingga dalam kategori ini,
38
ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan di samping biaya dan hasil
pengobatan, misalnya kebijakan, ketersediaan, aksesibilitas, dan lain-lain.
4. Posisi yang memerlukan pertimbangan efektivitas biaya (kolom A dan I)
Jika suatu intervensi kesehatan yang menawarkan efektivitas yang lebih
rendah dengan biaya yang lebih rendah pula (kolom A) atau, sebaliknya,
menawarkan efektivitas yang lebih tinggi dengan biaya yang lebih tinggi,
untuk melakukan pemilihan perlu perhitungan RIEB.
Gambar 2.1 Kuadran Efektivitas Biaya
Kuadran IV : Dominan
(Lebih besar biayanya,
kurang efektif)
Kuadran I : Tukaran
(Lebih besar biayanya,
lebih efektif)
Kuadran III : Tukaran
(Lebih kecil biayanya,
kurang efektif)
Kuadran II : Dominan
(Lebih kecil biayanya,
lebih efektif)
Nilai rata-rata
Perbedaan Biaya (Y)
Perbedaan Dampak (X)
39
Menurut gambar 2.1 jika suatu intervensi kesehatan memiliki efektivitas
lebih tinggi tetapi juga membutuhkan biaya lebih tinggi dibandingkan intervensi
standar, intervensi alternatif ini masuk ke kuadran I (Tukaran, Trade-off).
Pemilihan intervensi kuadran I memerlukan pertimbangan sumberdaya (terutama
dana) yang dimiliki, dan semestinya dipilih jika sumberdaya yang tersedia
mencukupi. Suatu intervensi kesehatan yang menjanjikan efektivitas lebih rendah
dengan biaya yang lebih rendah dibanding intervensi standar juga masuk kategori
Tukaran, tetapi di kuadran III. Pemilihan intervensi alternatif yang berada di
kuadaran III memerlukan pertimbangan sumberdaya pula yaitu, jika dana yang
tersedia lebih terbatas. Jika suatu intervensi kesehatan memiliki efektivitas lebih
tinggi dengan biaya yang lebih rendah dibanding intervensi standar, intervensi
alternatif ini masuk ke kuadaran II (Dominan) dan menjadi pilihan utama.
Sebaliknya, suatu intervensi kesehatan yang menawarkan efektivitas lebih rendah
dengan biaya lebih tinggi dibanding intervensi standar, dengan sendirinya tak
layak untuk dipilih (Binfar, 2013).
2.4.3 Analisis Utilitas Biaya
Analisis Utilitas Biaya merupakan suatu metode analisis dalam
farmakoekonomi yang membandingkan biaya pengobatan dengan kualitas hidup
yang didapat dari pengobatan yang diberikan. AUB merupakan metode lanjutan
dari AEB. AUB adalah satu-satunya metode analisis dalam farmakoekonomi
yang menggunakan kualitas hidup dalam perhitungannya yang menjadikan
keunggulan metode ini. Namun perlu digaris bawahi bahwa tidak adanya
40
standarisasi dalam metode ini dapat menyebabkan inkosistensi dalam penyajian
data (Ahmad Fuad, 2017).
Outcome pengobatan pada AUB dinayatakan dalam Life Years (LY) dan
Quality Adjusted Life Years (QALY) yang didapat dari perkalian LY dengan nilai
utilitas. Nilai utilitas dapat diperoleh dari Pubmed and Cochrame database. Nilai
utilitas merupakan presentasi preferensi yang dinyatakan untuk suatu kondisi
kesehatan tertentu. Nilai utilitas berkisar pada angka 0-1 dimana nilai 0
menyatakan kematian sedangkan nilai 1 menyatakan sehat sempurna. Hasil utama
dari AUB adalah biaya per QALY atau Incremental Cost Utility Ratio (ICUR)
yang didapat dengan membandingkan perbedaan biaya dengan pengobatan QALY
dari pengobatan yang dibandingkan (Tjandrawinata, 2016).
2.4.4 Analisis Manfaat Biaya
Analisis manfaat biaya merupakan analisis farmakoekonomi yang
membandingkan manfaat yang diberikan dari suatu pengobatan dengan biaya
yang harus dikeluarkan dalam pemberian pengobatan. AMB dapat digunakan
untuk efisiensi penggunaan sumber daya (Nuryadi, 2014). AMB dapat dilakukan
dengan membandingkan dua atau lebih suatu produk farmasi atau jasa farmasi
yang tidak saling berhubungan dan memiliki outcome berbeda yang menjadi
kelebihan tersendiri dari AMB dibandingkan dengan kajian farmakoekonomi
lainnya.
Untuk melakukan AMB perlu adanya data manfaat dan biaya dari
pengobatan yang diberikan yang keduanya dinyatakan dalam nilai moneter. Nilai
manfaat yang diberikan dapat berupa pendapatan yang didapat oleh pemberi
41
pelayanan kesehatan dari suatu intervensi. Hasil perhitungan AMB disajikan
dalam Cost Benefit Ratio, dimana Cost Benefit Ratio didapat dengan membagi
biaya dengan nilai manfaat dalam nilai moneter (Tjandrawinata, 2016).
2.5 Integrasi Peneliti dengan Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat islam di dalam ayat al-qur’an
terdapat penjelasan bahwa Allah SWT tidak menyukai seseorang yang
menghambur-hamburkan (harta) secara boros atau berlebihan. Allah SWT
mengingatkan bahwa pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu
sangat ingkar kepada Tuhannya. Sebagaimana diterangkan dalam ayat berikut :
Artinya : “ Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya,
kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros ” (QS. Al-Israa’ : 26)
Berdasarkan ayat diatas menjelaskan bahwa Allah SWT menyuruh
seorang hambanya agar tidak menghamburkan harta secara boros atau berlebih
dalam suatu pengeluaran. Kesimpulan dari penjelasan ayat tersebut yang telah
dikaitkan dengan permasalahan yang ada dalam penelitian ini adalah kita sebagai
umat manusia terutama dalam melakukan pengeluaran hendaklah tidak
melakukannya secara berlebihan, karena Allah SWT tidak menyukai hal tersebut.
Analisis efektivitas biaya pengobatan penggunaan antibiotik pada pasien
pneumonia berfungsi untuk meminimalisir biaya pengeluaran pengobatan selama
masa perawatan dengan penggunaan obat yang lebih efektif dan harga yang lebih
42
murah. Karena terapi yang efektif bagi pasien dapat mengurangi pembiayaan
selama pengobatan berlangsung.
43
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL
3.1 Kerangka Konseptual
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual
Keterangan :
: Tidak diteliti
: Diteliti
Pneumonia Manajemen
Terapi
Obat Antibiotik
Efektivitas Biaya
Biaya
Pengobatan
Lama Terapi
Perawatan
Obat Non
Antibiotik
ACER ICER
Efektivitas
Teraspi
44
3.2 Uraian Kerangka Konseptual
Pneumonia merupakan masalah global terkait kesehatan yang terus
meningkat angka kejadian setiap tahunnya di Indonesia. Pneumonia adalah infeksi
di ujung bronkhiol dan alveoli yang dapat disebabkan oleh berbagai patogen
seperti bakteri, jamur, virus dan parasit. Dampak dari pneumonia ini
mengakibatkan kualitas hidup pasien menurun, biaya pengobatan mahal dan lama
perawatan. Pengobatan pada pasien pneumonia dapat dilakukan dengan
menejemen terapi penggunaan obat non antibiotik dan obat antibiotik. Peneliti
hanya akan meneliti terkaiat penggunaan obat antibiotik pada pasien pneumonia.
Dari penggunaan antibiotik tersebut akan dilihat efektivitas biaya pengobatannya.
Efektivitas biaya pengobatan akan memberikan hasil pengobatan dengan
menggunakan rumus ACER dan ICER. ACER merupakan nilai yang menyatakan
besaran biaya yang dibutuhkan pasien untuk setiap peningkatan outcome
pengobatan. Pengobatan yang memiliki nilai ACER yang terendah merupakan
pengobatan yang paling efektivitas dalam pengobatannya. ICER merupakan nilai
yang menunjukkan biaya tambahan yang dibutuhkan untuk menghasilkan setiap
perubahan satu unit outcome pengobatan. Sehingga akan dihasilkan efektivitas
terapi dari penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia.
45
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan metode pengambilan
data secara retrospektif. Studi deskriptif merupakan pemaparan suatu peristiwa
dilakukan sistematik fakta dan karakteristik objek dan subjek yang diteliti secara
tepat. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif menggunakan data sekunder
(Sugiyono, 2014). Retrospektif dilakukan berdasarkan data yang sudah lalu,
dengan merujuk pada data sekunder atau data telah ada berupa rekam medis
pasien dan rincian biaya pengobatan pasien selama dirawat di RSU Karsa Husada
Kota Batu.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian kali ini dilaksanakan di RSU Karsa Husada Kota Batu. Waktu
penelitian dilakukan pada bulan Juni sampai Agustus 2019.
4.3 Populasi dan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah data rekam medis pasien pneumonia
rawat inap RSU Karsa Husada Kota Batu Malang periode Juni 2017 sampai Juni
2018. Sampel yang diambil pada penelitian kali ini adalah data rekam medis
pasien pneumonia rawat inap dewasa dan diberikan terapi antibiotik yang
memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Teknik sampling yang digunakan adalah
teknik purposive sampling dengan jumlah sampel 35 data rekam medis pasien
rawat inap pneumonia periode Juni 2017 sampai Juni 2018.
46
Kriteria inklusi sampel pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Rekam medis pasien pneumonia rawat inap RSU Karsa Husada Kota Batu
periode Juni 2017 sampai Juni 2018.
b. Rekam medis pasien pneumonia dewasa umur 22-56 tahun rawat inap
yang diberikan terapi antibiotik tunggal.
c. Rekam medis pasien pneumonia rawat inap dengan penyakit pneumonia
tunggal.
d. Pasien pneumonia rawat inap dengan rekam medis yang lengkap dan jelas
berupa data diri pasien, durasi perawatan di rawat inap, terapi penggunaan
antibiotik yang didapatkan, hasil data laboratorium selama perawatan, dan
biaya atau harga obat antibiotik selama perawatan (dengan cara dihitung
manual oleh peneliti).
Adapun kriteria eksklusi sampel pada penelitian ini adalah sebagai berikut
:
a. Rekam medis pasien pneumonia rawat inap dengan penyakit penyerta
lainnya.
b. Rekam medis pasien pneumonia rawat inap dengan penyakit komplikasi
ketika masa rawat inap.
c. Rekam medis pasien pneumonia dewasa rawat inap yang keluar rumah
sakit pulang paksa atau belum direkomendasikan oleh dokter
d. Rekam medis pasien pneumonia yang meninggal pada saat perawatan.
47
4.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
1. Pneumonia adalah infeksi pada jaringan paru-paru bagian bawah yang
mengenai parenkim paru. Seseorang yang menderita pneumonia maka
kantung udara di paru-paru menjadi penuh dengan mikroorganisme,
cairan, dan sel-sel inflamasi dan paru-paru tidak mampu bekerja dengan
baik.
2. Antibiotik adalah terapi penggunaan obat untuk pencegahan penyakit
infeksi dalam masalah kesehatan. Intensitas penggunaan antibiotik yang
relatif tinggi menimbulkan berbagai permasalahan dan merupakan
ancaman global bagi kesehatan terutama resistensi bakteri terhadap
antibiotik. Resistensi antibiotik juga memberi dampak negatif terhadap
biaya pengobatan.
3. Lama terapi adalah waktu dari pertama pasien masuk rumah sakit hingga
pasien dinyatakan sembuh dan direkomendasikan untuk pulang oleh
dokter yang menangani di RSU Karsa Husada Kota Batu.
4. Biaya medis langsung yang dibayarkan oleh pasien atau pihak yang
bertanggung jawab seperti asuransi dan penyelenggaraan jaminan oleh
pemerintah yang meliputi biaya pengobatan, biaya perawatan, dan biaya
tes laboratorium di RSU Karsa Husada Kota Batu yang akan dihitung
manual oleh peneliti.
5. Efektivitas terapi adalah parameter hasil terapi antibiotik yang dijalani
pasien pneumonia. Suatu antibiotik dikatakan efektif bila pasien yang
menggunakannya menjalani rawat inap kurang dari sama dengan 5 hari.
48
6. Persentase efektivitas adalah persentase jumlah pasien dengan terapi
antibiotik yang efektif dari seluruh jumlah pasien yang menerima terapi
antibiotik tersebut. Persentase efektivitas dijadikan sebagai acuan
outcome klinis yang digunakan untuk perhitungan ACER di RSU Karsa
Husada Kota Batu.
7. Analisis Efektivitas Biaya adalah metode analisis farmakoekonomi yang
digunakan untuk membandingkan efektivitas terapi dan efisiensi biaya
pengobatan pasien pneumonia menggunakan antibiotik. Cara pengukuran
analisis ini dengan mengukur biaya yang dikeluarkan dengan hasil terapi
yang didapatkan yang dihitung berdasarkan rumus ACER dan ICER.
8. Average Cost-Effectiveness Ratio (ACER) adalah rasio rata-rata efisiensi
biaya per-outcome klinis. Nilai ACER diperoleh dengan perhitungan
sebagai berikut :
Hasil perhitungan ACER menunjukkan hasil efektif bila
menunjukkan biaya (biaya medis langsung per hari) paling rendah per
outcome yang didapat. Suatu terapi bisa dikatakan cost-effective bila
memiliki biaya yang sama namun dengan efektivitas lebih tinggi atau
efektivitas yang setara namun dengan biaya lebih rendah. Sehingga biaya
paling rendah namun efektivitasnya tinggi yang akan menjadi rekomendasi
pengobatan.
49
9. Incremental Cost-Effectiveness Ratio (ICER) adalah selisih biaya yang
harus ditambah untuk memperoleh terapi yang lebih cost-effective. Nilai
ICER diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut :
10. Pasien rawat inap pneumonia dewasa adalah seorang yang positif telah
didiagnosis pneumonia dan menjalani rawat inap di RSU Karsa Husada
Batu Malang.
4.5 Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar pengumpulan data
yang digunakan untuk mencatat data yang diperoleh dari bagian rekam medis,
bagian administrasi keuangan dan sebuah personal komputer yang digunakan
untuk mengolah data yang diperoleh.
50
4.6 Prosedur Penelitian
Gambar 4.1 Prosedur Penelitian
Penelitian diawali dengan merancang proposal penelitian, lalu diajukan
permohonan penelitian ke RSU Karsa Husada Batu Malang. Setelah disetujui,
dilakukan studi pendahuluan penelitian dengan mengelolah data rekam medis
terkait jumlah pasien pneumonia periode Juni 2017 sampai Juni 2018. Kemudian
melakukan analisa data yang sudah didapatkan secara deskriptif. Setelah naskah
proposal skripsi selesai, peneliti akan melakukan ujian proposal skripsi. Pihak
rumah sakit akan memberikan data yang diminta peneliti ketika peneliti selesai
melakukan seminar proposal di rumah sakit. Pengambilan data dilakukan
Pengajuan ijin penelitian dari pihak jurusan
farmasi Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang
Pengajuan ijin penelitian dari peneliti kepada
Direktur Rumah Sakit Umum Karsa Husada
Batu
Pengumpulan serta pengelompokkan data
catatan rekam medik dan catatan pembayaran
selama perawatan berlangsung pada pasien
pneumonia di RSU Karsa Husada Batu tahun
2017 sampai 2018
Pengolahan Analisis Data
Interpretasi Hasil Penelitian
51
berdasarkan lembar pengumpulan data yang sudah dibuat peneliti. Hasil analisis
data, disajikan secara deskriptif efektivitas hasil pengobatan dan biaya yang
diterapkan pada pasien pneumonia dewasa periode Juni 2017 sampai Juni 2018 di
RSU Karsa Husada Kota Batu.
4.7 Analisis Data
Pengolahan data pada penelitian ini menggunakan program pengolah
angka Microsoft Excel. Setelah data yang dibutuhkan sudah terhimpun,
selanjutnya data tersebut diinput ke software tersebut untuk selanjutnya diolah
sesuai rumus ACER dan ICER. Hasil akhirnya diketahui nilai ACER dan ICER
sebagai dasar penilaian efektivitas biaya terapi dari pengguaan terapi antibiotik
pasien pneumonia yang dirawat inap di RSU Karsa Husada Kota Batu. Nilai
ACER diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut :
Hasil perhitungan ACER menunjukkan hasil efektif bila menunjukkan
biaya (biaya medis langsung per hari) paling rendah per outcome yang didapat.
Suatu terapi bisa dikatakan cost-effective bila memiliki biaya yang sama namun
dengan efektivitas lebih tinggi atau efektivitas yang setara namun dengan biaya
lebih rendah. Dan yang paling utama adalah dengan biaya paling rendah namun
efektivitasnya tinggi. Nilai ICER diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut :
52
Jika perhitungan ICER menunjukkan hasil negatif atau semakin kecil, maka suatu
alternatif obat tersebut lebih efektif dan lebih murah, sehingga pilihan terapi
tersebut merupakan pilihan yang terbaik.
53
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil dan Pembahasan
Pengambilan data pada penelitian ini telah dilakukan di Rumah Sakit
Umum Karsa Husada Kota Batu. Pengambilan data sampel dilakukan
menggunakan teknik purposive sampling. Sampel pada penelitian ini adalah data
rekam medis pasien pneumonia dewasa dengan rentang usia 22-56 tahun yang
dirawat inap kelas 1, 2, dan 3 di RSU Karsa Husada Kota Batu periode Juni 2017
sampai Juni 2018 yang diberikan terapi antibiotik tunggal. Jumlah sampel yang
memenuhi kriteria inklusi sebanyak 35 pasien. Sampel yang telah didapat
kemudian digolongkan berdasarkan terapi antibiotik yang telah digunakan yaitu,
antibiotik Levofloxacin, Ceftriaxone, Cefotaxime dan Ciprofloxcacin.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui data demografi pasien dan
data analisis efektivitas biaya penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia. Data
demografi pasien berupa : karakteristik pasien seperti jenis kelamin, usia, dan
status pembayaran. Data analisis efektivitas biaya berupa : terapi antibiotik, lama
rawat inap, biaya medis langsung yang terdiri dari biaya antibiotik, biaya
laboratorium, biaya tenaga medis, dan biaya rawat inap. Data tersebut digunakan
untuk menentukan terapi antibiotik yang paling baik dengan analisisi
farmakoekonomi secara Analisis Efektivitas Biaya (AEB).
54
5.1.1 Jenis Kelamin
Berdasarkan data pasien pneumonia dewasa yang dirawat inap di RSU
Karsa Husada Kota Batu diketahui adanya perbedaan jumlah pasien pneumonia
dewasa berdasarkan jenis kelaminnya. Perbedaan jumlah antara pasien laki-laki
dengan perempuan tercantum dalam tabel berikut :
Tabel 5.1 Jenis Kelamin Pasien
Jenis Kelamin Jumlah Pasien Persentase %
Laki-laki 25 71
Perempuan 10 29
Jumlah Total 35 100
Pada tabel 5.1 menunjukkan bahwa jumlah pasien pneumonia dewasa
yang di rawat inap kelas 1, 2, dan 3 di RSU Karsa Husada Kota Batu periode Juni
2017 sampai Juni 2018 secara jenis kelamin. Pasien dengan jenis kelamin laki-laki
berjumlah lebih banyak daripada pasien perempuan. Selama periode tersebut
diketahui jumlah pasien laki-laki adalah 25 pasien sebesar 71%, sedangkan pasien
perempuan berjumlah 10 pasien sebesar 29%. Hasil ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Yudha (2013) menyebutkan bahwa angka kejadian penyakit
pneumonia di RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada tahun 2013 diketahui pasien
laki-laki sebanyak 56,86% dan pada pasien perempuan sebanyak 43,14%.
Penelitian yang dilakukan oleh Alin (2016) di RS Universitas Airlangga
menunjukkan bahwa jumlah pasien laki-laki lebih tinggi dari pada pasien
perempuan. Dimana peresentase pasien laki-laki sebanyak 53% dan pasien
perempuan sebanyak 47%. Lebih dari 50% pasien yang menderita pneumonia
55
merepukan pasien dengan jenis kelamin laki-laki. Hal ini dikarenakan laki-laki
lebih sering beraktivitas di luar rumah sehingga mudah terpapar polusi udara dan
lebih cenderung menggunakan rokok, karena polusi udara dan asap rokok
mempunyai zat kimia yang dapat memicu terjadinya infeksi saluran pernafasan
(Gondodiputro, 2007).
5.1.2 Karakteristik Usia
Karakteristik pasien pneumonia berdasarkan usia di instalasi rawat inap
RSU Karsa Husada Kota Batu Malang periode Juni 2017 sampai Juni 2018 dapat
dilihat pada tabel 5.2 dengan penggolongan usia berdasarkan Kemenkes RI
(2009).
Tabel 5.2 Karakteristik Pasien Berdasarkan Usia
No. Rentang Usia (tahun) Jumlah Pasien Persentase (%)
1. Remaja Akhir (22-25) 2 6
2. Dewasa Awal (26-35) 4 11
3. Dewasa Akhir (36-45) 6 17
4. Lansia Awal (46-56) 23 66
Jumlah Total 35 100
Berdasarkan data tabel 5.2 diketahui bahwa terdapat empat macam kriteria
rentang usia pasien pneumonia yang dirawat inap di RSU Karsa Husada Kota
Batu Malang periode Juni 2017 sampai Juni 2018 yaitu, remaja akhir usia 22-25
tahun dengan jumlah 2 pasien sebesar 6%, dewasa awal usia 26-35 tahun dengan
jumlah 4 pasien sebesar 11%, dewasa akhir usia 36-45 tahun dengan jumlah 6
pasien sebesar 17% dan lansia awal usia 46-56 tahun dengan jumlah 23 tahun
sebesar 66%. Dari data tesebut, menunjukkan bahwa semakin tua usia pasien,
56
semakin meningkat jumlah mordibitas penyakit pneumonia. Menurut data
Riskesdas (2013) menyatakan bahwa prevalensi pneumonia meningkat pada umur
45-54 tahun yaitu sebesar 5,4% dan terus meningkat sampai umur >64 tahun
sebesar 15,5%.
Teori Price (2005) imunitas tubuh akan menurun seiring dengan
pertambahan umur seseorang. Penuruan sistem imunitas tubuh dimulai ketika
seorang berumur 50 tahun. Sehingga tubuh akan rentang untuk terpapar penyakit
ataupun infeksi dari sekitar lingkungan. Oleh sebab itu pasien dengan rentang usia
lansia awal (46-56 tahun) memiliki persentase yang lebih tinggi yaitu 67%.
5.1.3 Status Pembayaran Pasien
Berdasarkan hasil pengamatan penelitian yang telah dilakukan pada pasien
pneumonia dewasa yang diperoleh dari RSU Karsa Husada Kota Batu, terdapat 2
macam status pembayaran dapat dilihat pada tabel 5.3 sebagai berikut :
Tabel 5.3 Status Pembayaran Pasien
No. Status Pembayaran Jumlah Persentase (%)
1. Umum 20 57
2. Asuransi Kesehatan 15 43
Jumlah Total 35 100
Berdasarkan tabel 5.3 status pembayaran yang paling banyak digunakan
adalah status pembayaran umum yang berjumlah 20 pasien. Pasien pengguna
status pembayaran umum adalah pasien yang membayar tanggungan biaya
pengobatannya dengan biaya pribadi. Selanjutnya adalah status pembayaran
asuransi kesehatan yang berjumlah 15 pasien. Pasien pengguna status pembayaran
57
asuransi kesehatan adalah pasien mendapatakan pelayanan yang dibutuhkannya
tanpa harus mempertimbangkan keadaan ekonominya. Hasil dari kedua jenis
pembayaran tidak terlalu signifikan dikarenakan peneliti tidak memfokuskan pada
pasien asuransi kesehatan. Disini peneliti melihat pada biaya pengobatan pasien
pneumonia dewasa yang menggunakan terapi antibiotik.
Status pembayaran yang digunakan sebagai sarana fasilitas kesehatan di
RSU Karsa Husada Kota Batu yaitu Asuransi Kesehatan (Askes) dan Umum.
Dalam konteks asuransi kesehatan, pengertian asuransi adalah memastikan
seseorang yang menderita sakit akan mendapatakan pelayanan yang
dibutuhkannya tanpa harus mempertimbangkan keadaan ekonominya. Untuk
memastikan bahwa kebutuhan pelayanan kesehatan dapat dibiayai secara
memadai, maka seorang atau kelompok kecil orang melakukan transfer risiko
kepada pihak yang disebut badan penyelenggara jaminan (Thabrany, 2001).
Berdasarkan data dari profil kesehatan Indonesia tahun 2017-2018
diketahui bahwa penduduk Indonesia terutama di daerah Jawa Timur yang telah
menggunakan asuransi kesehatan sebanyak 24.593.121 dari 39.293.000
(Kemenkes RI, 2019). Jumlah pengguna asuransi kesehatan masih sedikit dari
pada jumlah banyaknya penduduk yang ada di Jawa Timur. Hal ini dikarenakan
oang Indonesia belum terbiasa dengan yang namanya asuransi. Padahal jika
dilihat dengan perspektif yang lebih luas, asuransi merupakan suatu kebutuhan.
Manusia tidak bias memastikan kalau tubuh ini akan selalu sehat dan siap
digunakan untuk melakukan berbagai aktivitas. Itulah yang membuat asuransi
merupakan suatu keharusan untuk menjamin biaya pengobatan saat sakit.
58
5.1.4 Terapi Antibiotik yang Digunakan
Data hasil penelitian yang diperoleh dari RSU Karsa Husada Kota Batu,
jenis terapi antibiotik yang digunakan untuk terapi rawat inap pasien pneumonia
dewasa beserta jumlah pasien yang menggunakan terapi antibiotik tersebut adalah
sebagai berikut :
Tabel 5.4 Jumlah Pasien Berdasarkan Terapi Antibiotik
No. Penggunaan
Obat
Dosis Antibiotik Jumlah
Pasien
Persentase
(%)
1. Inj. Ceftriaxone 2x1gr 16 46
2. Inj. Levofloxacin 1x500mg 14 40
3. Inj. Cefotaxime 2x1gr 3 8
4. Inj. Ciprofloxacin 2x200mg 2 6
Jumlah Total 35 100
Berdasarkan data tabel 5.4 diatas dapat dijelaskan bahwa terdapat empat
macam terapi antibiotik yang digunakan untuk pasien pneumonia dewasa yang di
rawat di ruang rawat inap kelas 1, 2 dan 3 yaitu antibiotik jenis Ceftriaxone,
Levofloxacin, Cefotaxime dan Ciprofloxacin. Antibiotik yang digunakan sebagai
terapi pneumonia di RSU Karsa Husada Kota Batu merupakan antibiotik jenis
generik. Penggunaan jenis antibiotik berdasarkan status pembayaran tidak
dibedakan, semua pasien sama mendapatkan antibiotik jenis generik dengan dosis
penggunaan yang sama dan harga yang sama.
Antibiotik yang paling banyak digunakan pada pasien pneumonia di RSU
Karsa Husada Kota Batu adalah ceftriaxone (golongan sefalosporin generasi ke 3)
59
dengan jumlah pasien sebanyak 16 (46%) dan levofloxacin (golongan
fluorokuinolon) dengan jumlah pasien sebanyak 14 (40%). Sedangankan
penggunan antibiotik Cefotaxime dan Ciprofloxcacin hanya mencapai persentase
yang ≤ 10% dengan jumlah pasien yang ≤ 5. Perbedaan penggunaan antibiotik ini
dikarenakan setiap bakteri memiliki mekanisme yang berbeda dalam
menimbulkan resistensi terhadap antibiotik. Semua antibiotik yang digunakan
adalah jalur pemberian intravena atau sediaan injeksi. Hal ini dikarenakan jalur
pemberian intravena lebih cepat memberikan efek indikasi didalam tubuh
dibandingkan pemberian peroral (Medical Mini Notes, 2017).
Berdasarkan parameter farmakokinetika, antibiotik dibagi menjadi dua
kelompok. Kelompok yang pertama adalah time dependent bactericidal action.
Antibiotik yang termasuk kelompok ini adalah β-laktam (penisilin, sefalosporin,
karbapenem, dan monobaktam), linkosamid, makrolid, oksazolidinon, vankomisin
dan tigesiklin. Peningkatan konsentrasi antibiotik tidak akan meningkatkan efek
bakterisidal. Namun, untuk menghambat pertumbuhan bakteri konsentrasi
antibiotik harus tetap berada diatas MIC dan durasi paparan antbiotik harus
maksimal. Kelompok kedua adalah concentration dependent bacterial action.
Antibitoika yang termasuk kelompok ini adalah aminoglikosida dan
fluorokuinolon. Efek bakterisidal pada kelompok ini bergantung pada konsentrasi.
Konsentrasi puncak dalam serum (Cmax) akan menimbulkan efek bakterisidal
yang maksimum. Apabila konsentrasi menurun, maka aktivitas bakterisidal akan
menurun (Kemenkes RI, 2011).
60
Ceftriaxone menjadi antibiotik terbanyak yang digunakan baik pada
pneumonia komunitas dan pneumonia nosokomial. Mekanisme kerja ceftriaxone
adalah menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan mengikat satu atau lebih
penicillin-binding proteins (PBPs) yang menghambat langkah langkah akhir
transpeptidase dari sintesis peptidoglikan pada dinding sel bakteri, kemudian
menghambat dinding sel bakteri (Rang, 2012). Ceftriaxone merupakan antibiotik
berspektrum luas yang efektif terhadap sebagian besar bakteri aerob, baik gram
positif atau gram negatif, dan memiliki aktivitas terhadap sebagian bakteri
anaerob gram negative, lebih efektif terhadap enterobacteriaceae, termasuk strain
yang memproduksi β-laktam (Kemenkes RI, 2011).
Selain itu, levofloxacin juga menjadi antibiotik terbanyak yang digunakan
baik pada pneumonia komunitas dan pneumonia nosokomial. Mekanisme kerja
levofloxacin adalah menghambat DNA-girase pada organisme yang rentan
sehingga menghambat relaksasi DNA superkoil dan meningkatkan kerusakan
rantai DNA (Rang, 2012). Levofloxacin lebih poten secara farmakodinamik
dibandingkan dengan ciprofloxcacin (Lister, 1999). Levofloxacin juga
mempunyai penetrasi yang baik ke dalam jaringan paru. Kadar levofloxacin di
dalam jaringan paru pada umumnya 2 sampai 5 kali lebih tinngi dibandingkan
dengan kadar dalam plasma. Levofloxacin dimetabolisme dalam jumlah kecil dan
sebagian besar diekskresi melalui urin dalam bentuk utuh dan sisanya melalui
feses. Rata-rata waktu paruh eliminasi plasma setelah pemberian levofloxacin
adalah 6-8 jam (Fish, 2005).
61
Cefotaxime merupakan antibiotik sefalosporin golongan ke 3 yang
memiliki afinitas baik terhadap bakteri gram positif dan memiliki cakupan gram
negatif yang lebih luas serta aktif melawan Streptococus pneumonia. Obat ini
digunakan untuk mengobati berbagai macam infeksi berat yang disebabkan oleh
organisme yang resisten terhadap kebanyakan antibiotik. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Baharirana pada RSUD Buleleng tahun (2013), Cefotaxime
merupakan antibiotik pilihan utama untuk pasien pneumonia CAP anak.
Ciprofloxacin merupakan golongan kuinolon yang aktif terhadap bakteri
gram positif dan gram negatif. Ciprofloxcacin hanya memiliki aktivitas yang
sedang terhadap bakteri gram positif seperti Streptococcus pneumonia dan
Enterococus faecalis karena itu tidak boleh digunakan untuk pneumonia akibat
pneumococcus.ciprfloxacin aktif terhadap chlamydia dan beberapa mikrobakteria.
Sebagain besar kuman anaerob tidak sensitif terhadap ciprofloxacin (Medical
Mini Notes, 2017).
5.1.5 Lama Rawat Inap
Data pasien pneumonia dewasa dengan rentang usia 22-56 tahun yang
dirawat inap kelas 1, 2, dan 3 di RSU Karsa Husada Kota Batu periode Juni 2017
sampai Juni 2018. Berdasarkan data lama rawat inap yang dirawat menggunakan
Ceftriaxone, Levofloxacin, Cefotaxime dan Ciprofloxacin sebagai berikut :
62
Tabel 5.5 Lama Rawat Inap Pasien Pneumonia
Terapi Antibiotik Lama Rawat
Inap (hari)
Jumlah
Pasien
Persentase
(%)
Total rata-
rata lama
rawat inap
(hari)
Inj Ceftriaxone 8 2 12 4,81
7 1 6
6 1 6
5 3 19
4 6 38
3 3 19
Jumlah Total 16 100
Inj Levofloxacin 6 1 7 4,21
5 3 22
4 8 57
3 2 14
Jumlah Total 14 100
Inj Cefotaxime 6 1 34 5
5 1 33
4 1 33
Jumlah Total 3 100
Inj Ciprofloxacin 6 1 50 5
4 1 50
Jumlah Total 2 100
Data tabel 5.5 diatas secara keseluruhan pada penggunaan antibiotik
menunjukkan waktu lama rawat inap yang paling rendah adalah 3 hari yaitu
pasien yang menggunakan Inj.Levofloxacin dan Inj.Ceftriaxone. Waktu lama
rawat inap yang paling tingggi adalah 8 hari, yaitu pasien dengan terapi
Inj.Ceftriaxone. Rata-rata lama rawat inap berdasarkan masing-masing
penggunaan antibiotik yaitu Inj.Ceftriaxone sebanyak 16 pasien rata-rata rawat
inap adalah 4,81 hari, Inj. Levofloxacin sebanyak 14 pasien rata-rata rawat inap
adalah 4,21 hari, Inj.Cefotaxime sebanyak 2 pasien rata-rata rawat inap adalah 5
63
hari, dan Inj. Ciprofloxacin sebanyak 2 pasien rata-rata rawat inap adalah adalah 5
hari. Berdasarkan pedoman tata laksana Infection Diseases Society of America
(IDSA) pada pasien rawat inap non-ICU pengobatan antibiotik pasien pneumonia
komuniti ialah lini pertama terapi antibiotik tunggal fluorokuinolon dan terapi
kombinasi β-laktam (cefotaxime, ceftriaxone, dan ampisillin) dan makrolida
(Lionel, 2007).
Pasien pneumonia yang menggunakan terapi antibiotik levofloxacin
injeksi memiliki rerata lama rawat inap yang paling sedikit yaitu selama 4 hari.
Hal ini berkaitan dengan kemampuan mekanisme kerja levofloxacin dalam
mengatasi mikroorganisme penyebab pneumonia. Levofloxacin aktif terhadap
organisme gram positif dan gram negatf. Memiliki aktivitas yang lebih besar
terhadap pneumococcus dibandingkan ciprofloxacin. Levofloxcacin diindikasikan
untuk comunty acquired pneumonia tetapi sebagai terapi lini kedua (Medical Mini
Notes, 2017).
Efektivitas sediaan injeksi dengan penggunaan intravena lebih baik
daripada sediaan penggunaan peroral dikarenakan mekanisme kerjanya, obat
dengan jalur penggunaan intravena tidak mengalami proses ADME (adsorbsi,
distribusi, metabolisme, dan ekskresi) melainkan langsung memasuki system
peredaran darah sehingga obat lebih cepat sampai ke reseptor dan jumlah obat
yang bisa diantarkan oleh darah menuju reseptor juga menjadi lebih banyak
sehingga obat cepat dan efektif dalam menjalankan mekanisme aksinya (Nastity,
2009). Faktor lain efektivitas kerja dari antibiotik yang digunakan adalah derajat
64
penyakit dan kemampuan melawan penyakit dari masing-masing pasien yang
berbeda (Musnelina, 2004).
5.1.6 Perbandingan Efektivitas Pengunaan Terapi Antibiotik
Data lama rawat inap yang diperoleh dari pasien pneumonia dewasa yang
dirawat inap di RSU Karsa Husada Kota Batu Malang menunjukkan adanya
perbedaan efektivitas hasil terapi antibiotik. Perbedaan efektivitas hasil terapi
antibiotik dengan parameter lama rawat inap antara ceftriaxone, levofloxcacin,
cefotaxime, dan ciprofloxacin dilihat dari lama hari rawat inap, dimana hasil
terapi antibiotik dikatakan efektif apabila pasien yang menggunakan terapi
tersebut tidak rawat inap lebih dari sama dengan lima hari. Dalam menganalisis
lama pemberian antibiotik ini berpedoman pada Pedoman Pelayanan Kefarmasian
Untuk Terapi Antibiotik. Lama pemberian antibiotik harus menjamin semua
organisme telah mati dan menghindarkan kambuhnya penyakit. Menurut Binfar
(2011) lama pemberian minimal antibiotik adalah dalam jangka waktu 48-72 jam.
Nilai Efektivitas terapi diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut :
Efektivitas =
100%
Dari perhitungan efektivitas tersebut, hasilnya akan menunjukkan efektivitas
terapi antibiotik yang memiliki efektivitas paling tinggi. Berikiut hasil
perbandingan efektivitas terapi antibiotik tercantum pada tabel berikut :
65
Tabel 5.6 Perbandingan Efektivitas Terapi
Terapi Antibiotik Jumlah Pasien Jumlah Efektif Jumlah Tidak
Efektif
Inj Ceftriaxone 16 12 4
Persentase 75% 25%
Inj Levofloxacin 14 13 1
Persentase 92,85% 7%
Inj Cefotaxime 3 2 1
Persentase 66,67% 33%
Inj Ciprofloxacin 2 1 1
Persentase 50% 50%
Dari data tabel 5.6 diatas, diketahui bahwa terdapat perbedaan persentase
efektivitas hasil terapi. Persentase efektivitas diperoleh dari jumlah pasien
pneumonia rawat inap kurang dari sama dengan 5 hari dibagi jumlah total pasien
pneumonia dan dikalikan 100%. Persentase efektivitas paling tinggi adalah pasien
pneumonia dengan penggunaan terapi antibiotik levofloxacin iv yaitu 92,85% (13
pasien dari total 14 pasien), selanjutnya pasien pneumonia dengan penggunaan
terapi antibiotik ceftriaxone iv mempunyai efektivitas sebesar 75% (12 pasien
dari total 16 pasien), kemudian pasien pneumonia dengan penggunaan terapi
cefotaxime iv mempunyai efektivitas 66,67% (2 pasien dari total 3 pasien) dan
efektivitas terendah adalah efektivitas hasil terapi antibiotik ciprofloxacin iv
mempunyai efektivitas sebesar 50% (1 pasien dari total 2 pasien). Data efektivitas
terapi antibiotik ini selanjutnya akan digunakan untuk menghitung nilai ACER
dari masing-masing antibiotik tersebut.
66
Hasil penelitian ini tidak sama dengan penelitian yang telah dilakukan oleh
Musdalipah (2018) di RSUD Kabupaten Bombana Periode Januari sampai
Desember 2016 menunjukkan hasil pada obat cefotaxime menunjukkan efektivitas
paling kecil sebesar 81,25%, sedangkan gentamisin menunjukkan efektivitas
sebesar 85,71%. Jenis obat cefotaxime menunjukkan efektivitas paling kecil 85%
dibandingkan dengan gentamisin. Penelitian yang dilakukan Amelia (2018) di
RSUP Prof. Dr. R. Kandou Manado periode Januari sampai Desember 2017 untuk
terapi antibiotik ceftriaxone menunjukkan efektivitas sebesar 85% dan cefotaxime
menunjukkan efektivitas 100%. Dari hasil penelitian diatas terdapat perbedaan hal
ini dikarenakan tiap peneliti memiliki sampel dan jenis waktu yang berbeda.
5.1.7 Biaya Pengobatan Langsung
Komponen biaya yang dianalisis untuk AEB adalah biaya medis langsung.
Biaya medis langsung tersebut terdiri dari biaya antibiotik, biaya laboratorium,
biaya tenaga medis dan biaya perawatan. Hal ini sesuai dengan sesuai dengan
pedoman penerapan kajian farmakoekonomi oleh Kemenkes RI (2013) yang
menyebutkan bahwa dalam prospektif pelayanan kesehatan maka biaya medis
langsung adalah biaya yang berkaitan langsung dengan biaya perawatan pasien.
Jumlah dari biaya pengobatan langsung dari pasien pneumonia yang mendapat
terapi antibiotik ceftriaxone iv, levofloxacin iv, cefotaxime iv, dan ciprofloxacin
iv tercantum dalam tabel berikut :
67
Tabel 5.7 Data Biaya Pengobatan Langsung
Terapi
Antibiotik
Biaya
Antibiotik
(Rp)
Biaya
Laboratorium
(Rp)
Biaya
Tenaga
Medis (Rp)
Biaya
Perawatan
(Rp)
Total Biaya
(Rp)
Inj.
Ceftriaxone
103.266 394.970 1.248.062 1.011.594 2.757.891
Inj.
Levofloxacin
96.800 421.107 1.088.357 981.532 2.585.225
.Inj.
Cefotaxime
61.863 256.167 1.115.000 914.833 2.347.828
Inj.
Ciprofloxacin
141.428 250.000 1.025.000 1.130.000 2.546.428
Berdasarkan data tabel 5.7 diatas, biaya pengobatan langsung pada pasien
pneumonia yang paling tinggi adalah biaya pengobatan untuk pasien pengguna
antibiotik ceftriaxone iv sebesar Rp.2.757.891,-. Total biaya pengobatan langsung
pada pasien pneumonia yang paling rendah menggunakan terapi antibiotik
cefotaxime iv sebesar Rp.2.546.428,-. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah
dilakukan oleh Amelia (2018) di RSUP Prof. Dr. R. Kandou Manado periode
Januari sampai Desember 2017 yaitu total biaya medik langsung penggunaan
antibiotik ceftriaxone dengan biaya terkecil yaitu Rp.2.894.108,- dan biaya total
medik langsung terbesar yaitu Rp.4.573.232,-. Total biaya medik langsung
pengguna cefotaxime pada pasien pneumonia yang dirawat inap di RSUP Prof.
Dr. R. Kandou Manado periode Januari sampai Desember 2017 dengan biaya
terkecil yaitu Rp. 2.901.202,- dan total biaya medik langsung terbesar yaitu
Rp.4.199.285,. Perbedaan biaya medik langsung dari masing-masing pasien
68
dikarenakan lamanya pasien dirawat di rumah sakit, karena semakin lama pasien
dirawat di rumah sakit maka semakin besar biaya yang harus dikeluarkan pasien.
Biaya antibiotik adalah biaya yang dibayarakan pasien untuk biaya terapi
antibiotik selama pasien dalam proses penyembuhan atau kondisi pasien membaik
(Didik, 2014). Besarnya biaya ini dipengaruhi oleh kondisi pasien yang terus
membaik atau sebaliknya. Biaya penggunaan antibiotik tertinggi adalah biaya
yang dibayarkan oleh pasien pengguna antibiotik ceftriaxone iv dengan nominal
Rp.103.266,-. Pengguna antibiotik terendah adalah pasien yang menggunakan
antibiotik cefotaxime iv dengan nominal Rp.61.863,-.
Biaya laboratorium adalah biaya yang dibayarkan untuk pemeriksaan
laboratorium (Didik, 2014). Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk penegakan
diagnosis dan pemantauan kondisi paparan mikroorganisme penginfeksi yang
memicu terjadinya pneumonia. Biaya ini tidak terpengaruh oleh status
pembayaran, melainkan hanya dipengaruhi oleh frekuensi pemeriksaan yang
dilakukan oleh pasien. Biaya pemeriksaan terendah adalah biaya pemeriksaan
yang dilakukan oleh pasien pengguna antibiotik ciprofloxacin dan yang tertinggi
adalah biaya pemeriksaan laboratorium pasien pengguna antibiotik levofloxacin.
Biaya tenaga medis adalah biaya yang dibayarkan oleh setiap pasien
selama perawatan untuk jasa penganan medis yang dilakukan oleh dokter,
apoteker, dan perawat (Didik, 2014). Besarnya biaya ini dipengaruhi oleh jumlah
hari rawat inap, frekuensi penanganan yang dilakukan oleh tenaga medis dan
status pembayaran pasien. Status pembayaran dari masing-masing pasien
berpengaruh pada besarnya tanggungan yang harus dibayar karena pada setiap
69
stastus pembayaran memiliki standar pelayanan yang berbeda seperti asuransi
kesehatan yang hanya bisa mnggunakan fasilitas pelayanan kelas 3. Status
pembayaran umum bisa menggunakan fasilitas pelayanan kelas 1, 2, dan 3. Biaya
tindakan medis tertinggi adalah biaya tindakan medis yang dibayarkan oleh pasien
pneumonia pengguna antibiotik ceftriaxone, sedangkan yang paling rendah adalah
biaya tindakan medis yang harus dibayar oleh pasien pengguna antibiotik
ciprofloxacin.
Biaya perawatan adalah biaya yang dibayarkan oleh setiap pasien selama
perawatan untuk ruang perawatan, alat kesehatan dan obat penunjang lain selama
dirawat (Didik, 2014). Besarnya biaya ini dipengaruhi oleh jumlah hari rawat inap
pasien. Status pembayaran dari masing-masing pasien berpengaruh pada besarnya
tanggungan yang harus dibayar karena pada setiap stastus pembayaran memiliki
standar pelayanan yang berbeda seperti asuransi kesehatan yang hanya bisa
menggunakan fasilitas pelayanan kelas 3. Status pembayaran umum bisa
menggunakan fasilitas pelayanan kelas 1, 2, dan 3. Biaya perawatan tertinggi
adalah biaya perawatan yang dibayarkan oleh pasien pneumonia pengguna
antibiotik ciprofloxacin, sedangkan yang paling rendah adalah biaya perawatan
yang harus dibayar oleh pasien pengguna antibiotik cefotaxime.
5.1.8 Analisis Efektivitas Biaya
Analisis Efektivitas Biaya (AEB) merupakan suatu metode farkoekonomi
untuk memilih dan menilai program atau obat yang terbaik pada beberapa pilihan
terpai dengan tujuan yang sama, sehingga diperlukan perhitungan ACER dan
ICER. Cara tersebut dilakukan untuk mengetahui pengobatan mana yang lebih
70
cost-effective dari kesdua alternate pengobatan yang dipilih (Ruru, 2018). ACER
(Average cost effectiveness ratio) menggambarkan total biaya alternative program
atau terapi dibagi outcome klinis (efektivitas) untuk memberi gambaran rasio
biaya dalam unit mata uang per outcome klinis spesifik yang didapatkan. Data
biaya pengobatan langsung yang diperoleh dari pasien pneumonia dewasa di RSU
Karsa Husada Batu selanjutnya digunakan untuk menghitung rasio efektivitas
biaya yang dinyatakan dengan ACER. Nilai ACER diperoleh dengan perhitungan
sebagai berikut :
Dari perhitungan rasio tersebut, hasilnya akan menunjukkan alternatif terapi
antibiotik yang memiliki biaya medis langsung palinng rendah per-outcome yang
didapat (biaya medis langsung/hari). Berikut hasil perhitungan nilai ACER untuk
masing-masing alternatif terapi :
Tabel 5.8 Hasil Perhitungan ACER
Terapi
Antibiotik
Total Biaya
Medis Langsung
(Rp)
Efektivitas (%) Nilai ACER
(Rp)
Inj. Levofloxacin 2.585.225 92,85 2.784.302
Inj. Ceftriaxone 2.757.891 75 3.677.188
Inj. Cefotaxime 2.347.828 66,67 3.521.565
Inj. Ciprofloxacin 2.546.428 50 5.092.856
Jumlah Total 10.237.372 284,52 15.075.911
Nilai Rata-rata 2.55 .343 71,13 3.768.977
71
Suatu obat dikatakan cost-effective apabila nilai ACER suatu obat dari
kedua obat yang dibandingkan ialah yang paling rendah dari obat yang
dibandingkan (Venturini, 2002). Berdasarkan tabel 5.8 diketahui bahwa terapi
antibiotik levofloxacin memiliki biaya sebesar Rp.2.784.302,- dengan efektivitas
persentase 92,85%, antibiotik ceftriaxone memiliki biaya sebesar Rp.3.677.188,-
dengan efektivitas persentase 75%, antibiotik cefotaxime memiliki biaya sebesar
Rp.3.521.565,- dengan efektivitas persentase 66,67% dan antibiotik ciprofloxacin
memiliki biaya sebesar Rp.5.092.856,- dengan efektivitas persentase 50%. Bahwa
penggunaan terapi antibiotik yang paling efektiv dengan biaya terendah dan
efektivitas yang tinggi adalah terapi antibiotik levofloxacin dengan nilai ACER
yang paling rendah Rp.2.784.302,-. Pilihan alternatif terapi yang lebih cost-
effective adalah alternatif terapi dengan nilai ACER yang lebih rendah daripada
yang lain (Kemenkes RI, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan
antibiotik levofloxacin iv merupakan pilihan terapi antibiotik yang lebih cost-
effective dibandingkan pilihan antibiotik lain yang digunakan untuk terapi pasien
pneumonia dewasa dengan rentang usia 22-56 tahun di ruang rawat inap kelas 1,
2, dan 3 RSU Karsa Husada Kota Batu Malang.
Untuk memperkuat hasil perhitungan nilai ACER yang telah diperoleh,
selanjutnya perbandingan efektivitas biaya antar-terapi antibiotik ditetapkan
dalam gambar 5.1 kuadran efektivitas biaya antar terapi antibiotik. Hasil ini dapat
dilihat pada gambar 5.1 yang di tunjukkan dalam tabel berikut ini :
72
Gambar 5.1 Kuadran Efektivitas Biaya
Keterangan Gambar :
Kuadran I : Memiliki efektivitas yang tinggi dengan biaya yang
tinggi.
Kuadran II : Memiliki efektivitas lebih tinggi dengan biaya yang
paling rendah.
Kuadran III : Memiliki efektivitas yang rendah dengan biaya yang
rendah.
Kuadran IV : Memiliki efektivitas lebih rendah dengan biaya yang
paling tinggi.
Berdasarakan gambar 5.2 diketahui bahwa pada kolom kuadran I tidak
terdapat penempatan terapi antibiotik yang digunakan pada pasien pneumonia.
Kolom kuadaran II ditempati oleh terapi antibiotik levofloxacin dan ceftriaxone.
Penggunaan terapi antibiotik pada kuadran II memiliki perbedaan terkait biaya
dan efektivitasnya. Antibiotik levofloxacin lebih dikatakan lebih efektivitas
I
II III
IV
73
dikarenakan memiliki efektivitas yang tinggi dengan persentase 92,85% dan biaya
pengobatan Rp.2.784.302,- yang lebih murah dibandingkan dengan penggunaan
antibiotik ceftriaxone yaitu dengan biaya sebesar Rp.3.677.188,- dan efektivitas
persentase 75%. Jadi dapat disimpulkan bahwa pada kolom kuadran II dengan
penggunaan terapi antibiotik levofloxacin menjadi pilihan utama. Menurut teori
(Binfar, 2013) kuadran II menjadi pilihan utama karena memiliki efektivitas lebih
tinggi dengan biaya yang paling rendah. Kolom kuadran III ditempati terapi
antibiotik cefotaxime dengan biaya sebesar Rp.3.521.565,- dan efektivitas
persentase 66,67%. Kolom kuadran IV ditempati terapi antibiotik ciprofloxacin
dengan biaya sebesar Rp.5.092.856,- dan efektivitas persentase 50%. Jika suatu
intervensi kesehatan menawarkan efektivitas lebih rendah dengan biaya lebih
tinggi, dengan sendirinya tak layak untuk dipilih sebagai alternatif terapi (Binfar,
2013).
Perbandingan antibiotik berdasarkan efektivitas biaya yang sesuai dengan
tabel 2.3 dimana dalam pemetaan tersebut akan diketahui antibiotik yang menjadi
pilihan utama berdasarkan tinggi rendahnya efektivitas biaya yang diperoleh
dibandingkan dengan antibiotik lainnya. Perbandingan hasil efektivitas biaya
antar-terapi antibiotik dikelompokkan sesuai tabel 2.3 yang di tunjukkan dalam
tabel berikut ini (Kemenkes RI, 2013) :
74
Tabel 5.9 Perbandingan Hubungan Efektivitas Biaya antar-Terapi
Efektivitas biaya Biaya lebih rendah Biaya sama Biaya lebih tinggi
Efektivitas lebih
rendah
A
(Perlu perhitungan
ICER)
Inj.Cefotaxime
B C
(Didominasi)
Inj.Ciprofloxacin
Efektivitas sama D E F
Efektivitas lebih
tinggi
G
(Dominan)
Inj.Levofloxacin
H I
(Perlu perhitungan
ICER)
Inj.Ceftriaxone
Berdasarkan tabel 5.9 perbandingan hubungan efektivitas biaya antar-
terapi antibiotik pada pasien pneumonia dewasa dengan rentang usia 22-56 tahun
di raung rawat inap kelas 1, 2, dan 3 RSU Karsa Husada Kota Batu Malang
periode Juni 2017-Juni 2018 dapat diketahui bahwa terapi antibiotik cefotaxime
berada dalam posisi kolom A (perlu perhitungan ICER), ciprofloxacin berada
dalam posisi kolom C (didominasi), levofloxacin berada dalam posisi kolom G
(dominan), dan ceftriaxone berada dalam posisi I (perlu perhitungan ICER). Pada
kolom B, D, E, F dan H tidak terdapat pertimbangan terapi antibiotik sebab ke
empat penggunaan antibiotik tersebut tidak ada yang memiliki efektivitas yang
sama dan juga biaya yang sama. Posisi dalam kolom A merupakan posisi yang
memerlukan pertimbangan efektivitas biaya karena terapi penggunaan antibiotik
tersebut memiliki efektivitas rendah dengan biaya yang rendah oleh sebab itu
75
perlu untuk dipertimbangkan dengan cara menggunakan perhitungan nilai ICER.
Posisi dalam kolom C merupakan posisi didominasi yang tidak perlu
dipertimbangkan sebagai alternatif karena pada penggunaan antibiotik tersebut
memiliki efektivitas lebih rendah dan biaya lebih tinggi. Posisi dalam kolom G
merupakan posisi dominan yang merupakan posisi terpilih sebagai alternatif sebab
penggunaan antibiotik tersebut memiliki efektivitas yang tinggi dan biaya lebih
rendah. Posisi dalam kolom I merupakan posisi yang memerlukan pertimbangan
efektivitas biaya karena terapi penggunaan terapi antibiotik tersebut memiliki
efetivitas lebih tinggi dengan biaya lebih tinggi oleh sebab itu perlu untuk
dipertimbangkan dengan cara menggunakan perhitungan nilai ICER.
Kolom didominasi adalah lawan dari kolom dominan yang berarti ketika
ada suatu perbandingan terapi terletak di kolom dominasi sedangkan di kolom
dominan juga terdapat perbadningan terapi, maka otomatis yang digunakan adalah
perbandingan yang berada di kolom dominan. Maka pilihan terapi alternatif dari
penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia dewasa adalah terapi antibiotik
inj.levofloxacin. Hasil ini sesuai dengan jumlah pasien pneumonia dewasa yang
dirawat inap di kelas 1, 2, dan 3 RSU Karsa Husada Batu menggunakan terapi
inj.levofloxacin lebih banyak dari pada antibiotik inj.ceftriaxone, inj.cefotaxime
dan inj.ciprofloxacin. Selain jumlah pasien, alasan lain yang mendukung yaitu
terkait efektivitas yang didapat lebih tinggi yaitu persentase 92.85% dan biaya
yang dikeluarkan lebih rendah. Berdasarkan penilitian (Hadning, 2015)
pengobatan yang berada didaerah dominan pasti terpilih dan tidak diperlukan
perhitungan CEA. Sebaliknya dengan daerah dominan, pengobatan pada daerah
76
didominasi tidak perlu disajikan pertimbangan pengobatan alternatif dan
pengobatan dengan biaya yang paling rendah dengan outcome yang sama.
5.1.9 Analisis ICER
Analisis ICER dilakukan ketika terdapat pengelompokkan pada kolom A
dan I yang terdapat pada tabel 5.9 diatas. Penggunaan antibiotik inj.cefotaxime
dan inj.ceftriaxone terletak pada kolom A dan I, sehingga diperlukan perhitungan
ICER. ICER merupakan suatu ukuran biaya tambahan untuk setiap perubahan satu
unit efektivitas biaya. Nilai ICER diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut :
Dari perhitungan rasio tersebut, hasilnya akan menunjukkan alternatif terapi
antibiotik yang memiliki biaya tambahan untuk memperoleh efektivitas terapi
yang membaik. Berikut hasil perhitungan nilai ICER tercantum dalam tabel
berikut :
Tabel 5.10. Perhitungan ICER
Terapi
Antibiotik
Total
Biaya
(Rp)
Efektivitas
(%)
Δ Biaya Δ
Efektivitas
ICER (Rp)
Ceftriaxone 2.757.891 75
410.063
8,33%
4.922.725 Cefotaxime 2.347.828 66,67
Berdasarkan tabel 5.10. menunjukkan nilai perbandingan terapi antibiotik
Inj.Ceftriaxone dengan Inj.Cefotaxime. Dari nilai ICER tersebut dapat diketahui
ketika terapi antibiotik cefotaxime menginginkan untuk mendapatkan peningkatan
efektivitas yang setara seperti ceftriaxone, maka perlu penambahan biaya sebesar
77
Rp.4.922.725,- untuk steiap perubahan satu unit efektivitas biaya. Perhitungan
ICER dilakukan untuk memberikan beberapa pilihan alternatif yang dapat
diterapkan. Pemilihan alternatif jenis perawatan dapat disesuaikan dengan
pertimbangan dana atau tersedia tidaknya jenis alternatif tersebut. Nilai ICER
yang dihasilkan dari perbandingan ini sesuia dengan rumus perhitungan ICER
dalam (Kemenkes RI, 2013) mengenai pedoman farmokoekonomi.
Berdasarkan besaran nilai ICER yang dihasilkan, penambahan biaya yang
harus dikeluarkan pengguna cefotaxime agar mendapatkan efektivitas yang setara
dengan ceftriaxone sangatlah besar sehingga akan menambah beban biaya bagi
pasien maupun penyelenggara asuransi kesehatan. Oleh karena itu, secara
perbandingan biaya efektivitas, maka lebih disarankan menggunakan terapi
antibiotik yang memiliki biaya yang lebih tinggi (selisih Rp.410.063,-) namun
memiliki efektivitas yang lebih tinggi yaitu penggunaan terapi antibiotik
inj.ceftriaxone.
Hasil penelitian Amelia (2018) di RSUP Prof. Dr. R. Kandou Manado
periode Januari sampai Desember 2017 yaitu diperoleh nilai ICER terkecil pada
antibiotik ceftotaxime sebesar Rp-16.235,-. Nilai ICER yang diperoleh merupakan
besarnya biaya tambahan yang diperlukan untuk memperoleh perubahan satu unit
efektivitas pada pasien pneumonia. Jika perhitungan ICER menunjukkan hasil
negatif atau semakin kecil, maka suatu alternatif obat tersebut lebih efektif dan
lebih murah sehingga pilihan terapi tersebut merupakan pilihan terbaik.
Pengobatan pneumonia menggunakan antibiotik cefotaxime menunjukkan hasil
negatif sehingga dapat disimpulkan bahwa cefotaxime adalah obat yang paling
78
cost-effective untuk terapi pengobatan pasien pneumonia rawat inap di RSUP
Prof. Dr. R. D. Kandou.
5.10 Integrasi Hasil Peneliti dengan Al-Qur’an
Artinya : “ Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan
dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya ” (QS. Al-Israa’ : 27)
Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad ibn Hanbal dalam kitabnya Musnad.
Artinya : “ Bahz menceritakan kepada kami. Hamman menceritakan kepada kami,
dari Qatadah, dari Amru bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, bahwasanya
Rasulullah SAW bersabda, “makanlah, minumlah, bersedekahlah, dan pakailah
pakaian, dengan tidak sombong dan boros. Sesungguhnya Allah SWT menyukai
diperlihatkan nikmat-Nya pada hambanya” (HR. Ahmad ibn Hanbal)
Berdasarkan ayat diatas menjelaskan bahwa Allah SWT tidak menyukai
seseorang yang berbuat keborosan atau berlebihan dalam suatu pengeluaran.
Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad ibn Hanbal dalam kitabnya Musnad juga
menjelaskan terkait larangan berbuat boros. Kesimpulan dari penjelasan ayat
tersebut yang telah dikaitkan dengan permasalahan yang ada dalam penelitian ini
adalah kita sebagai umat manusia terutama dalam melakukan pengeluaran
79
hendaklah tidak melakukannya secara berlebihan, karena Allah SWT tidak
menyukai hal tersebut.
Analisis efektivitas biaya pengobatan penggunaan antibiotik pada pasien
pneumonia berfungsi untuk meminimalisir biaya pengeluaran pengobatan selama
masa perawatan dengan penggunaan obat yang lebih efektif dan harga yang lebih
murah. Karena terapi yang efektif bagi pasien dapat mengurangi pembiayaan
selama pengobatan berlangsung. Hasil dari studi penelitian menunjukkan bahwa
penggunaan antibiotik levofloxacin memliliki efektivitas yang tinggi dengan biaya
pengobatan yang paling rendah. Maka penggunaan antibiotik levofloxacin dapat
meminimalisir biaya pengeluaran pengobatan si pasien. Hal ini sesuai dengan
anjuran ayat diatas untuk tidak berbuat keborosan dalam suatu pengeluruan.
5.11 Keterbatasan Penelitian
Pada penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan yang dialami oleh
penulis selama proses pengambilan data. Keterbatasan yang pertama yaitu dalam
proses pencarian data rekam medis pasien yang sesuai dengan kriteria inklusi
terutama dalam hal diagnosis pasien pneumonia tunggal. Keterbatasan kedua yaitu
sebagian data pasien rekam medis kurang lengkap terkait biaya pengobatan pasien
selama dirawat inap sehingga data yang dihasilkan hanya berjumlah 36 pasien.
Keterbatasan yang terakhir adalah pada data rekam medis pasien pneumonia tidak
semua dilakukan kultur bakteri sehingga kemungkinan antibiotik yang diberikan
untuk pasien pneumonia kurang tepat.
80
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah :
1. Profil penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia dewasa dengan rentang usia
22-56 tahun yang dirawat inap di RSU Karsa Husada Kota Batu Malang periode
Juni 2017 – Juni 2018 adalah sebanyak 35 pasien dengan penggunaan antibiotik
inj.ceftriaxone sebanyak 16 pasien persentase 46%, inj.levofloxacin sebanyak 14
pasien persentase 40%, inj.cefotaxime sebanyak 3 pasien persentase 8% dan
inj.ciprofloxacin sebanyak 2 pasien persentase 6%.
2. Analisis Efektivitas Biaya penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia antara
beberapa penggunaan alternatif terapi antibiotik secara farmakoekonomi dengan
pendekatan analisis efektivitas biaya adalah terapi antibiotik inj.levofloxacin
dengan nilai efektivitas sebesar 92,85%, jumlah total biaya sebanyak
Rp.2.585.225,- dan nilai ACER sebesar Rp.2.784.302,-.
6.2 Saran
1. Bagi peneliti selanjutnya
Perlu dilakukan penelitian yang serupa dengan lokasi yang berbeda agar
diketahui perbandingan biaya efektivitas terapi antibiotik di daerah lain, sehingga
menambah refrensi dalam pemilihan antibiotik yang efektif dari segi biaya dan
efektivitas terapi.
81
2. Bagi RSU Karsa Kota Batu Malang
Hasil penelitian ini bisa dijadikan salah satu pertimbangan dalam memilih
terapi antibiotik untuk pasien dewasa rawat inap pneumonia dilihat dari segi
efektivitas terapi dan biaya yang digunakan. Penggunaan terapi antibiotik
levofloxacin lebih cost effectiveness penggunaannya diantara antibiotik yang
lain.
82
DAFTAR PUSTAKA
Alin, A. 2016. Studi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Pneumonia Di Ruang Rawat
Inap Rumah Sakit Universitas Airlangga Surabaya Tahun 2016. Skripsi,
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Surabaya.
Ahmad Fuad A. 2017. Farmakoekonomi. Penerbit : Anak Negeri. Jakarta.
Andayani, T.M. 2013. Farmakoekonomi Prinsip dan Metodologi. Penerbit : Bursa
Ilmu. Yogyakarta.
Anwar, A., Dharmayanti, I. 2014. Pneumonia Pada Anak Balita di Indonesia. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional, Vol. 8., No. 8.
Amelia, N., Gayatri, C., Widya A. 2018. Analisis Efektivitas Biaya (Cost
Effectiveness Analysis) Pengobatan Pneumonia Menggunakan Antibiotik
Seftriakson dan Sefotaksim Di RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU
MANADO. Jurnal Ilmiah Farmasi, Vol. 7., No. 3.
Arnold, R.J.G., 2010. Pharmacoeconomics: from Theory to Practice.USA: Tailor and
Francis Group.
Baharirama, M. dan Ayu, A. 2013. Pola Pemberian Antibiotik Untuk Pasien
Community Acquired Pneumonia Anak di Instalasi Rawat Inap RSUD
Buleleng Tahun 2013. Jurnal Kedokteran, Vol. 1., No. 2.
Binfar. 2013. Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi. Penerbit : Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Binfar. 2011. Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Terapi Antibiotik. Penerbit :
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Binfar. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan.
Penerbit : Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Jakarta.
83
Brunton L, et al. 2008. Goodman & Gilman : Manual Farmakologi dan Terapi.
Terjemahan : Sukanda YE, dkk. Penerbit : Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Dahlan, Z. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat Jilid II. Penerbit :
UI-Press. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 2406/MENKES/PER/XII/2011 tentang Pedoman Umum Penggunaan
Antibiotik. Penerbit : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Didik, S., Dwi, E., Auliya, S. 2017. Farmakoekonomi Modeling. Penerbit : UM
Purwokerto-Press. Purwokerto.
Dipiro, J.T., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Dipiro, C.V. 2011.
Pharmacotherapy Handbook. 8th Edition. New York: The McGraw-Hill
Companies.
Dinas Kesehatan RI. 2015. Profil Kesehatan Kota Malang Tahun 2015. Penerbit :
Pemerintah Kota Malang Dinas Kesehatan. Malang-Jawa Timur.
Dinas Kesahatan RI. 2012. Profil Kesehatan Kota Batu Tahun 2012. Pnenerbit :
Dinas Kesehatan Kota Batu. Batu-Jawa Timur.
Febriyanti, L., Gayatri, C., Adithya, Y. 2017. Analisis Efektivitas Biaya (Cost
Effectivenes Analysis) Pada Pasien Pneumonia Rawat Inap Di RSU Pancaran
Kasih Ghim Manado. Jurnal Ilmiah Pharmacon, Vol. 6., No.3.
Fish, D. N., and Chow, A. 2005. The Clinical Pharmacokinetics of Levofloxacin.
Penerbit : Adis International Limited. American.
Gandodiputro, S. 2007. Bahaya Tembakau dan Bentuk-Bentuk Sediaan Tembakau.
Penerbit : Unpad-Press. Bandung.
84
Hadning I, Ikawati Z, Andayani TM. 2015. Stroke Treatment Cost Analysis for
Consideration on Health Cost Determination Using INA- CBGs. Int J Public
Health Sci, Vol. 4, No. 4.
IDSA. 2011. Consensus Guidelines On The Management of Community Acquired
Pneumonia In Adults. Penerbit : CID. US.
Jeremy, P.T. 2007. At Glance Sistem Repisratory Edisi II. Penerbit. Medical Series.
Jakarta.
Jukemura, E.M., Burattini, M. N., Pereira, C. A. 2007. Control of Multi Resistant
Bacteria and Ventilator Associated Pneumonia : Is It Possible With Changes
In Antibiotic?. Brazilian Journal Of Infectious Disease, Vol. 11., No. 4.
Lawrence, et., al. 2002. Current Medical Diagnosis & Treatment. Penerbit :
University Of California. San Fransisco.
Lim et al., 2009. Drug Information Handbook. Penerbit : Lexicomp. Ohio.
Luttfiya, MN., Henley E. 2010. Diagnosis and Treatment of Community Acquired
Pneumonia. Penerbit : American Family Physician. American.
Kado-Kimble. 2008. Applied Therapeutics : The Clinical Use of Drugs. Penerbit :
Hil Medical. USA.
Katzung, B.G. 2012. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 6. Penerbit : EGC. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2009. Profil Kesehatan Indonesia. Penerbit : Departemen
Republik Indonesia Indonesia. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Terapi
Antibiotik. Penerbit : Kementrian Republik Indonesia. Jakarta.
85
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Penerbit : Badan
Penelitian Dan Pengembangan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2019. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2018. Penerbit :
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Linonel, A. M., Richard, G., Wunderink. 2007. Infectious Diseases Society of
American Thoraric Society Consensus Guidelines on the Management of
Community-Acquired Pneumonia inAdults. IDSA/ATS Guidelines for CAP in
Adults. Clinical Infectious Diseases 2007:44 (suupl 2).
Medical Mini Notes. 2017. Basic Pharmacology and Drug Notes. Penerbit : MMN
Publishing. Makasar.
Merliana, H dan Sjaaf, AC. 2017. Analisis Minimisasi Biaya Amlodipin Generik dan
Bermerk pada Pengobatan Hipertensi di RS X Pekanbaru Tahun 2015. Jurnal
Ekonnomi Kesehatatan Indonesia, Vol. 1, No. 3.
Misnadiarly, 2008. Penyakit I nfeksi Saluran Napas Pneumonia Pada Anak, Orang
Dewasa, Usia Lanjut, Pneumonia Atipik, & Pneuomonia Atypik
Mycobacterium 1st Edition. Penerbit : Pustaka Obat Populer. Jakarta.
Musdalipah, 2018. Analisis Efektivitas Biaya Antibiotik Sefotaxime dan Gentamisin
Penderita Pneumonia Pada Balita Di RSUD Kabupaten Bombana Provinsi
Sulawesi Tenggara. Jurnal Ilmiah Ibnu Sina, Vol. 3,. No. 1.
Nasity, G. 2009. Farmakologi. Penerbit : Cakrawala Publishing. Yogyakarta.
NICE. 2014. Pneumonia : Diagnosis and Management Of Community and Hospital
Acquired Pneumonia in Adults. Penerbit : Guedlines Community. UK.
Nuryadi, Herawati YT, Triswardani R. 2014. Cost Benefit Analysis antara Pembelian
Alat CT-Scan dengan Alat Laser Diado Photocoagulator di RSUD Balung
Jember. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, Vol. 10, No. 1.
86
Okky, SP., Risky, A., Ivan, SP., Cherry, R. 2014. Analisis Minimalisasi Biaya
Penggunaan Antibiotik Empirik Pasien Sepsis Sumber Infeksi Pernapasan.
Jurnal Farmasi Kesehatan Indonesi, Vol., 3, No., 1.
Orion. 1997. Pharmacoeconomics Primer and Guide Introduction to Economic
Evalution. Penerbit : Hoesch Mario Rousell Incorporation. Virginia.
PDPI. 2003. Pedoman Diagnosa dan Penatalaksanaan Pneumonia Komunitas di
Indonesia. Penerbit : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Jakarta.
PDPI. 2014. Pneuomonia Komuniti : Pedomana Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Penerbit : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Jakarta.
Price, SA., Wilson, LM,. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,
Edisi 6, Volume 2. Penerbit : EGC. Jakarta.
Rang, H. P., Dale, M. & Ritter, J. 2012. Rang & Dale’s Pharmacology 7th
. Penerbit :
Elsivier Inc. London.
Shahnaz dan Keri. 2018. Review Artikel : Kajian Farmakoekonomi Yang Mendasari
Pemilihan Pengobatan Di Indonesia. Jurnal Farmaka, Vol. 16, No. 3.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D. Penerbit :
Alfabeta. Bandung.
Thabrany, H. 2001. Asuransi Kesehatan Di Indonesia. Penerbit : Pusat Kajian
Ekonomi Kesehatan. Depok-Indonesia.
Tjandrawinata RR. 2016. Peran Farmakoekonomi dalam Penentuan Kebijakan yang
Berkaitan dengan Obat-Obatan. Jurnal Medicinus, Vol. 29, No. 1.
Tjay dan Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-Efek
Sampingnya : Edisi ke 6. Penerbit : PT Elex Media Komputindo Grmedia.
Jakarta.
87
Tjiptoherijanto, P., Soesetyo, B. 1994. Ekonomi Kesehatan. Penerbit : Rineka Cipta.
Jakarta.
Venturini, F., Jahnson, K. 2002. Introduction to Pharmocoeconomic Principles and
Application in Pharmacy Practice. Journal of Health-System Pharmacy.
Vogenberg, F.R. 2001. Introduction to Applied Pharmacoeconomics. Penerbit :
McGraw-Hill Companies. USA.
Wahid, A. dan Imam, S. 2013. Keperawatan Medikal Bedah Asuhan Keperawatan
Pada Gangguan Sistem Respirasi. Penerbit : Trans Info Media. Jakarta Timur.
Walley, T., Davey, P. 1995. Pharmacoeconomics: a Challage for Clinical
Pharmacologists. Br J Clin. Pharmacol., Vol.40.
Walker, R. dan Whittlesea, C. 2012. Clinical Pharmacy and Therapeutics 5th
Edition.
Penerbit : Churchill Livingstone Elsevier. London.
Wells, B. 2006. Pharmacotheraphy Handbook, 6th
Edition. Penerbit : Lange Medical
Book. New York.
Wilson, L.M. 2006. Penyakit Pernapasan Restriktif. In: Price, S.A. dan Wilson, L.M.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Penerbit : EGC. Jakarta.
Wulandari D.A, Sudarwati S,. 2014. Kematian Akibat Pneumonia Berat Pada Anak
Balita. Jurnal Fakultas Kesehatan, Vol. 45, No. 1.
Yudha, 2013. Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Pneumonia Dengan
Metode Gyssens Di Intalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Dokter
Moewardi Surakarta Tahun 2013. Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas
Muhammdiyah Surakarta.
LAMPIRAN
89
LAMPIRAN
Lembar Pengumpul Data
No No. MR Nama L/P Umur Pekerjaan Antibiotik Lama
Rawat
Inap
Status
Pembayaran
Biaya
Antibiotik
Total Biaya
Nama Obat Sediaan
90
Lampiran 1. Data Pasien
No. No. Rekam
Medis
Nama
Pasien
Umur
Pasien
Jenis
Kelamin
Status
Pembayaran
1. 339xx A1
25 tahun L Umum
2. 133xx A2
22 tahun L Umum
3. 116xx A3
55 tahun L Umum
4. 128xx A4
49 tahun L Umum
5. 141xx A5
44 tahun L Umum
6. 107xx A6
50 tahun L Umum
7. 846xx A7
46 tahun L Umum
8. 113xx AA1 56 tahun L
Asuransi
9. 161xx AA2
55 tahun L Asuransi
10. 101xx AA3
39 tahun L Asuransi
11. 438xx AA4
56 tahun L Asuransi
12. 151xx AA5
44 tahun L Asuransi
13. 149xx AA6
40 tahun L Asuransi
14. 469xx AA7
51 tahun P Asuransi
15. 111xx AA8
56 tahun L Asuransi
16. 185xx AA9
32 tahun P Asuransi
17. 114xx B1 48 tahun P
Umum
18. 123xx B2
36 tahun L Umum
19. 188xx B3
56 tahun L Umum
20. 193xx B4
53 tahun L Umum
91
21. 131xx B5
35 tahun L Umum
22. 171xx B6
52 tahun P Umum
23. 112xx B7
43 tahun L Umum
24. 135xx B8
48 tahun L Umum
25. 128xx B9
55 tahun L
Umum
26. 106xx B10
52 tahun P Umum
27. 156xx B11
53 tahun P Umum
28. 125xx BB1
50 tahun L Asuransi
29. 148xx BB3 51 tahun L
Asuransi
30. 677xx
BB4 51 tahun P Asuransi
31. 167xx C2 51 tahun
L Umum
32. 115xx C1
31 tahun P Umum
33. 789xx
CC1 54 tahun P Asuransi
34. 192xx DD1
51 tahun P Asuransi
35. 911xx DD2
30 tahun L Asuransi
92
Lampiran 2. Profil Terapi Antibiotik dan Lama Rawat Inap Pasien
No. No. Rekam
Medis
Terapi
Antibiotik
Dosis Terapi Lama
Rawat Inap
1. 339xx Inj ceftriaxone
2x1gr 8 hari
2. 133xx Inj.Ceftriaxone
2x1gr 4 hari
3. 116xx Inj ceftriaxone
2x1gr 8 hari
4. 128xx Inj.Ceftriaxone
2x1gr 3 hari
5. 141xx Inj ceftriaxone
2x1gr 6 hari
6. 107xx Inj ceftriaxone
2x1gr 4 hari
7. 846xx Inj ceftriaxone
2x1gr 3 hari
8. 113xx Inj ceftriaxone 2x1gr 3 hari
9. 161xx Inj ceftriaxone 2x1gr 5 hari
10. 101xx Inj ceftriaxone 2x1gr 4 hari
11. 438xx Inj ceftriaxone 2x1gr 5 hari
12. 151xx Inj ceftriaxone 2x1gr 7 hari
13. 149xx Inj ceftriaxone 2x1gr 4 hari
14. 469xx Inj ceftriaxone 2x1gr 5 hari
15. 111xx Inj ceftriaxone 2x1gr 4 hari
16. 185xx Inj ceftriaxone 2x1gr 4 hari
17. 114xx Inj Levofloxacin 1x500mg 4 hari
18. 123xx Inj Levofloxacin 1x500mg 6 hari
19. 188xx Inj Levofloxacin 1x500mg 4 hari
20. 193xx Inj Levofloxacin 1x500mg 4 hari
21. 131xx Inj Levofloxacin 1x500mg 5 hari
93
22. 171xx Inj Levofloxacin 1x500mg 4 hari
23. 112xx Inj Levofloxacin 1x500mg 3 hari
24. 135xx Inj Levofloxacin 1x500mg 3 hari
25. 128xx Inj Levofloxacin 1x500mg 5 hari
26. 106xx Inj Levofloxacin 1x500mg 4 hari
27. 156xx Inj Levofloxacin 1x500mg 4 hari
28. 125xx Inj Levofloxacin 1x500mg 4 hari
29. 148xx Inj Levofloxacin 1x500mg 4 hari
30. 677xx
Inj Levofloxacin 1x500mg 5 hari
31. 167xx Inj.cefotaxime
2x1gr 4 hari
32. 115xx Inj.cefotaxime
2x1gr 5 hari
33. 789xx
Inj.cefotaxime
2x1gr 6 hari
34. 192xx inj.ciprofloxacin 2x200mg 6 hari
35. 911xx inj.ciprofloxacin 2x200mg 4 hari
94
Tabel 3. Daftar Harga Satuan Terapi Antibiotik
No. Nama Antibiotik Harga
1. Inj. Ceftriaxone Rp. 10.802
2. Inj. Levofloxacin Rp. 28.800
3. Inj. Ciprofloxacin Rp. 18.024
4. Inj. Cefotaxime Rp. 5.138
95
Lampiran 4. Perhitungan Rata-rata Lama Rawat Inap Pasien
1. Antibiotik Inj.Ceftriaxone
2. Antibiotik Inj.Levofloxacin
3. Antibiotik Inj.Cefotaxime
4. Antibiotik Inj.Ciprofloxacin
Jadi : Lama perawatan rawat inap pasien pneumonia dewasa yaitu ≤ 5 hari yang
terhitung dalam efektivitas terapi pengobatan
96
Lampiran 5. Perhitungan Efektivitas Terapi Antibiotik (%)
Efektivitas =
100%
1. Efektivitas Ceftriaxone i.v
Efektivitas =
= 75%
2. Efektivitas Levofloxacin i.v
Efektivitas =
= 92,85%
3. Efektivitas Cefotaxime i.v
Efektivitas =
= 66,67%
4. Efektivitas Ciprofloxacin i.v
Efektivitas =
= 50%
97
Lampiran 6. Biaya Medis Langsung
Ceftriaxone i.v
No. No.RM Nama
Px.
Biaya
Antibiotik
Biaya
Laboratoriu
m
Biaya Tenaga
Medis
Biaya
Perawatan
Total Biaya
1. 339xx A1
Rp. 204.832 Rp. 380.500 Rp. 1.645.000 Rp. 478.500 Rp. 2.708.832
2. 133xx A2
Rp. 141.624 Rp. 345.000 Rp. 905.000 Rp. 867.000 Rp. 2.258.624
3. 116xx A3
Rp. 179.228 Rp. 768.000 Rp. 2.330.000 Rp. 2.158.000 Rp. 5.435.228
4. 128xx A4
Rp. 25.604 Rp. 450.000 Rp. 725.000 Rp. 720.000 Rp. 1.920.604
5. 141xx A5
Rp. 102.416 Rp. 227.000 Rp. 1.205.000 Rp. 1.152.000 Rp. 2.686.416
6. 107xx A6
Rp. 76.812 Rp. 518.000 Rp. 1.125.000 Rp. 976.000 Rp. 2.695.812
7. 846xx A7
Rp. 76.812 Rp. 140.500 Rp. 1.302.000 Rp. 809.500 Rp. 2.328.812
8. 113xx AA1 Rp. 76.812 Rp. 250.000
Rp. 725.000 Rp. 678.000 Rp. 1.729.812
9. 161xx AA2
Rp. 76.812 Rp. 250.000 Rp. 1.025.000 Rp. 816.000 Rp. 2.167.812
10. 101xx AA3
Rp. 102.416 Rp. 533.000 Rp. 1.045.000 Rp. 966.500 Rp. 2.646.916
11. 438xx AA4
Rp. 102.416 Rp. 250.500 Rp. 1.085.000 Rp. 1.195.000 Rp. 2.632.916
12. 151xx AA5
Rp. 153.624 Rp. 447.000 Rp. 2.157.000 Rp. 816.500 Rp. 3.574.124
13. 149xx AA6
Rp. 76.812 Rp. 157.000 Rp. 1.325.000 Rp. 1.150.000 Rp. 2.708.812
14. 469xx AA7
Rp. 76.812 Rp. 807.000 Rp. 1.560.000 Rp. 1.380.500 Rp. 3.824.312
15. 111xx AA8
Rp. 102.416 Rp. 599.000 Rp. 905.000 Rp. 1.066.000 Rp. 2.672.416
16. 185xx AA9
Rp. 76.812 Rp. 197.000 Rp. 905.000 Rp. 956.000 Rp. 2.134.812
Total
Rp. 1.652.260 Rp. 6.319.500 Rp 19.969.000 Rp 16.185.500 Rp 44.126.260
Rata-rata
103266.25 394968.75 1248062.5 1011593.75 2757891.25
98
Levofloxacin i.v
No. No.RM Nam
a Px.
Biaya
Antibiotik
Biaya
Laboratoriu
m
Biaya Tenaga
Medis
Biaya
Perawatan
Total Biaya
1. 114xx B1 Rp. 92.400 Rp. 328.000 Rp. 2.200.000 Rp. 911.000
Rp. 3.531.400
2. 123xx B2
Rp. 92.400 Rp. 500.000 Rp. 1.205.000 Rp. 1.978.450 Rp. 3.775.850
3. 188xx B3
Rp. 92.400 Rp. 388.000 Rp. 845.000 Rp. 976.000 Rp. 2.301.400
4. 193xx B4
Rp. 61.600 Rp. 638.000 Rp. 1.392.000 Rp. 976.000 Rp. 3.067.600
5. 131xx B5
Rp. 154.000 Rp. 430.000 Rp. 1.075.000 Rp. 1.020.500 Rp. 2.679.500
6. 171xx B6
Rp. 123.200 Rp. 460.500
Rp. 905.000 Rp. 903.000 Rp. 2.391.700
7. 112xx B7
Rp. 61.600 Rp. 360.000 Rp. 790.000 Rp. 677.500 Rp. 1.889.100
8. 135xx B8
Rp. 61.600 Rp. 360.000 Rp. 1.025.000 Rp. 677.500 Rp. 2.124.100
9. 128xx B9
Rp. 123.200 Rp. 370.500 Rp. 1.025.000 Rp. 903.000 Rp. 2.421.700
10. 106xx B10
Rp. 123.200 Rp. 322.000 Rp. 985.000 Rp. 860.500 Rp. 2.290.700
11. 156xx B11
Rp. 92.400 Rp. 638.000 Rp. 845.000 Rp. 976.000 Rp. 2.551.400
12. 125xx BB1
Rp. 92.400 Rp. 467.000 Rp. 1.015.000 Rp. 1.301.000 Rp. 2.875.400
13. 148xx BB3 Rp. 92.400 Rp. 370.500 Rp. 845.000 Rp. 903.000
Rp. 2.210.900
14. 677xx
BB4 Rp. 92.400 Rp. 227.000 Rp. 1.085.000 Rp. 678.000 Rp. 2.082.400
Total
Rp 1.355.200 Rp 5.895.500 Rp 15.237.000 Rp 13.741.450 Rp 36.193.150
Rata-rata
96.800 421.107 1.088.357 981.532 2.585.225
99
Cefotaxime i.v
No. No.RM Nam
a Px.
Biaya
Antibiotik
Biaya
Laboratoriu
m
Biaya Tenaga
Medis
Biaya
Perawatan
Total Biaya
1. 167xx C2 Rp. 57.104 Rp. 350.000 Rp. 1.025.000 Rp. 1.129.000 Rp. 2.561.000
2. 115xx C1
Rp. 42.828 Rp. 108.000 Rp. 1.085.000 Rp. 707.500 Rp. 1.943.328
3. 789xx
CC1 Rp. 85.656 Rp. 310.500 Rp. 1.235.000 Rp. 908.000 Rp. 2.539.156
Total
Rp 185.588 Rp 768.500 Rp 3.345.000 Rp 2.744.500 Rp 7.043.484
Rata-rata 61.863
256.167 1.115.000 914.833 2.347.828
Ciprofloxacin i.v
No. No.RM Nama
Px.
Biaya
Antibiotik
Biaya
Laboratorium
Biaya Tenaga
Medis
Biaya
Perawatan
Total Biaya
1. 192xx DD1
Rp. 202.040 Rp. 250.000 Rp. 1.205.000 Rp. 1.356.000 Rp. 3.013.040
2. 911xx DD2
Rp. 80.816 Rp. 250.000 Rp. 845.000 Rp. 904.000 Rp. 2.079.816
Total
Rp 282.856 Rp 500.000 Rp 2.050.000 Rp 2.260.000 Rp 5.092.856
Rata-rata
141.428 250.000 1.025.000 1.130.000 2.546.428
100
Lampiran 7. Perhitungan ACER
1. Inj.Ceftriaxone
Biaya Medis Langsung = Rp. 2.757.891
% Efektivitas = 75%
= 3.677.188
2. Inj.Levofloxacin
Biaya Medis Langsung = Rp. 2.585.225
% Efektivitas = 92,85%
= 2.784.302
101
3. Inj.Cefotaxime
Biaya Medis Langsung = Rp. 2.347.828
% Efektivitas = 66,67%
= 3.521.565
4. Inj.Cefotaxime
Biaya Medis Langsung = Rp. 2.546.428
% Efektivitas = 50%
= 5.092.856
102
Lampiran 8. Perhitungan ICER antibiotik Cefotaxime dan Ceftriaxone
Biaya medis langsung inj.ceftriaxone = Rp. 2.757.891
Biaya medis langsung inj.cefotaxime = Rp. 2.347.828
% Efektivitas inj.ceftriaxone = 75%
% Efektivitas inj.cefotaxime = 66,67%
= 4.922.725
103
Lampiran 9. Dokumentasi Penelitian
Halaman Depan RSU Karsa Husada Kota Batu
Depo Farmasi Rawat Inap
Pengambilan Data Rekam Medis
104
Lampiran 10. Surat Keterangan Persetujuan Studi Pendahuluan Penelitian
105
Lampiran 11. Surat Keterangan Persetujuan Penelitian
106
Lampiran 12. Surat Keterangan Kelaikan Etik