ANALISA FRAMING PEMILIHAN KEPALA DAERAH...
Transcript of ANALISA FRAMING PEMILIHAN KEPALA DAERAH...
Analisa Framing Pemilihan Kepala Daerah Langsung pada Tahun 2012-2013 di
Harian Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat
Megandaru W. Kawuryan
16
Jurnal Administrasi Pemerintahan Daerah
Volume VIII, Edisi 2
ANALISA FRAMING PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG
PADA TAHUN 2012-2013 DI HARIAN KOMPAS, JURNAL NASIONAL
DAN KEDAULATAN RAKYAT
Megandaru W Kawuryan1
Abstract During 32 years Indonesia under Soeharto’s regime (Orde Baru), where the power
for politics and government, especially local government is still regulated centrally.
At that time, all local government should be obey to central government. What the
central government want has to be realized without discussion, including in local
head election.
In Orde Baru’s regime, there’s no local head is elected by the people. According to
Ryaas Rasyid (2007) in local election, local people is no authority and role to
determine and choose their local head because military powerfull to do it. If military
has interest for placing their personnel, so that local head from civil candidates does
not have any chances automatically. After Orde Baru falling, there is idea to local
strengthening through local autonomy. One of issues is local head is elected
democratically through direct or indirect process.
There are many papers and researches about local election from political
perspective, law, government and public administration. Different with research
above, this research is used communication approach in order to analyze local
election issues, especially from political communication. This research will focus on
framing local election issues analysis from three mass media, namely Kompas, Jurnal
Nasional, and Kedaulatan Rakyat. Framing model that used is from Robert N.
Etnamn.
Keywords: Democracy, Local Government, Local Election, Framing, Political
Communication
PENDAHULUAN
Enam belas tahun sudah kebijakan Otonomi Daerah yang luas di
implementasikan di Indonesia, ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 mengenai pemerintahan daerah, namun jika dibedah dengan
perspektif sejarah, kebijakan otonomi daerah bukanlah barang baru, otonomi daerah
telah menjadi agenda utama yang penting semenjak Republik ini lahir, dari pelacakan
BN Marbun (2010:15-16) dalam 70 tahun republik ini berdiri, telah mengalami
sembilan (9) kali perubahan perundang-undangan mengatur tentang eksistensi
1 Penulis adalah dosen pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), dapat dihubungi melalui
email: [email protected]; [email protected]
Analisa Framing Pemilihan Kepala Daerah Langsung pada Tahun 2012-2013 di
Harian Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat
Megandaru W. Kawuryan
17
Jurnal Administrasi Pemerintahan Daerah
Volume VIII, Edisi 2
otonomi daerah yang termasuk dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah,
kedelapan Undang-Undang Pemerintahan Daerah itu sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957
4. Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965
6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
7. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2015
Dari ke sembian Undang-Undang Pemerintah Daerah di atas, apabila dilihat
dari rentang waktu sejarah, maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 merupakan
Undang-Undang Pemerintah Daerah yang paling lama diterapkan yaitu 25 tahun, hal
ini tentunya tidak lepas dari pemerintahan Orde Baru yang berciri otoriter,
berkepentingan untuk membuat sistem pemerintahan yang sentralistik, dimana pusat
mempunyai kuasa yang sangat besar terhadap daerah, sedangkan daerah cukup
sebagai pelaksana semua kebijakan pemerintah pusat.
Para pendiri republik ini sebenarnya telah menyadari bahwa republik yang
mereka proklamasikan yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
sangat besar, memilki luas sekitar 1.904.569 Km membentang antara Sabang sampai
Merauke, mempunyai 17.504 pulau, dengan berbagai suku bangsa dan bahasa, para
pendiri republik ini sadar bahwa dengan luasnya Indonesia maka tidak mungkin
semuanya diselesaikan oleh pemerintah pusat (Jakarta), perdebatan para pendiri
republik ini kemudian mengerucut dan dituangkan dalam UUD 1945 pasal 18 yang
berbunyi2 “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk
susunan, pemerintahannya, ditetapkan, dengan undang-undang, dengan memandang
dan mengingati dasar permusywaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-
hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”, bila dilihat dalam
penjelasannya menunjukkan bahwa daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah
propinsi, dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil, di
daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh
karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
Dari uraian diatas terlihat bagaimana para pendiri bangsanya ini
menempatkan pemerintahan daerah sebagai suatu hal yang sangat penting, sehingga
dimasukkan dalam UUD 1945. Walau sudah ada payung hukum yang jelas mengenai
pengaturan pemerintahan daerah yaitu Pasal 18 UUD 1945, namun dalam
implementasi pelaksanaanya tidak mempunyai kepastian yang jelas, tergantung
situasi dan kondisi politik nasional.
2 UUD 1945 Pasal 18 Asli sebelum di amandemen.
Analisa Framing Pemilihan Kepala Daerah Langsung pada Tahun 2012-2013 di
Harian Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat
Megandaru W. Kawuryan
18
Jurnal Administrasi Pemerintahan Daerah
Volume VIII, Edisi 2
Menurut Made Suwandi (2007) jika dibedah secara mendalam delapan (8)
Undang-Undang yang mengatur Pemerintahan Daerah yang telah diterbitkan
semenjak Republik ini berdiri terlihat tarik menarik yang sangat kuat antara
kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, UU No. 1 Tahun 1945
kewenangan pusat lebih dominan, kemudian UU No. 22 Tahun 1948 kewenangan
daerah kembali dominan, untuk UU No 1. Tahun 1957 terlihat kewenangan daerah
tetap dominan, sedangkan Penpres No. 6 Tahun 1959 kembali menarik kewenangan
daerah sehingga pusat dominan, untuk UU No. 18 Tahun 1965 kembali daerah
mempunyai kewenangan yang dominan, UU No. 5 Tahun 1974 terlihat kewenangan
pusat sangat dominan, UU No. 22 Tahun 1999 kewenangan daerah sangat dominan,
dan UU 32 Tahun 2004 kewenangan daerah cukup dominan.
Lebih lanjut menurut Ryaas Rasyid (2002), Afan Gafar (2002), dan Made
Suwandi (2007) inti dari munculnya kebijakan otonomi daerah ini ada dua yaitu:
Pertama. Tujuan politis mendukung proses demokrasi ditingkat lokal, menjadikan
Pemda sebagai instrument pendidikan politik ditingkat lokal untuk mendukung proses
demokratisasi menuju masyarakat madani. Kedua. Tujan adminsitratif yaitu
bagaimana menjadikan Pemda sebagai instrument untuk menciptakan kesejahteraan.
dan menyediakan pelayaanan masyarakat secara efektif efisien dan ekonomis.
Tujuan politis dan tujuan administratif ini harus berjalan beriringan, dua
tujuan ini bagai satu mata uang dengan dua sisi, tujuan politis dapat diibaratkan
sebagai hardware atau rumah yang kokoh bagi kebijakan otonomi daerah yang luas,
sedangkan kebijakan administratif bagaikan software yang harus di-instal (diisi) oleh
program-program yang berdampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat di daerah,
seperti program pengentasan kemiskinan, pembangunan yang bersifat partisipatoris,
pertumbuhan ekonomi yang pro poor dan sebagainya.
Untuk menciptakan dua tujuan di atas saling sinergis beriringan dengan baik,
maka diperlukan pemimpin daerah yang mampu melakukan implementasi program-
program berpihak kepada rakyat banyak. Maju dan mundurnya suatu daerah salah
satu faktor terpenting adalah pemimpin daerah tersebut.
Secara teoritis menurut Mandica (2008) salah satu bentuk metode yang
diadopsi oleh negara-negara berkembang untuk meningkatkan otonomi politik dan
mendemokratisasikan pemerintahan lokal adalah melalui pemilihan eksekutif seperti
Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota.
Untuk kasus di Indonesia pemilihan kepala daerah dimulai pada tahun 1999
ketika undang-undang pemerintahan daerah nomor 22 tahun 1999 disahkan, pada
awalnya pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD propinsi atau kabupaten dan
kota, namun menurut Mandica (2008) pemilihan kepala daerah tidak langsung ini
menimbulkan empat hal negatif yaitu: 1. Fenomena pengelompokan politik yang
berpusat pada elit-elit local, 2. Munculnya istilah “membeli kucing dalam karung”
untuk menggambarkan eksekutif terpilih tidak dikenal rekam kerjanya, 3. Maraknya
demonstrasi yang berakhir dengan kekerasan, 4. Kuatnya arus tuntutan dari
masyarakat untuk mewujudkan pemilihan langsung dalam pemilihan kepala daerah.
Analisa Framing Pemilihan Kepala Daerah Langsung pada Tahun 2012-2013 di
Harian Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat
Megandaru W. Kawuryan
19
Jurnal Administrasi Pemerintahan Daerah
Volume VIII, Edisi 2
Menguatnya tuntutan dari masyarakat untuk melakukan revisi pemilihan
kepala daerah, akhirnya pada tahun 2004 Pemerintah Pusat dan DPR membuat
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 yang secara yuridis mewadahi pemilihan
kepala daerah secara langsung oleh masyarakat.
Pemilihan kepala daerah langsung atau sering disingat pilkada merupakan
salah satu moment penting yang sering disiarkan oleh media massa baik lokal
maupun nasional. Isu pemilihan kepala daerah langsung ini sering menghiasi berbagai
media massa, namun sayangnya belum banyak penelitian yang mengulas dan meneliti
mengenai pilkada langsung dalam bingkai media massa, kebanyakan penelitian
mengenai pilkada lebih fokus pada aspek politik, pemerintahan, adminsitrasi negara
dan hukum, padahal di media massalah sebenarnya berbagai isu dan informasi
dipertarungkan dan dipertontotan kepada publik. Untuk menambah mozaik ilmiah
mengenai pilkada, maka untuk itu penelitian ini akan mengangkat isu mengenai
framing pilkada di media massa.
Penelitian ini akan mengkaji teks pada tiga surat kabar harian, yaitu dua
harian nasional, dan satu harian daerah. Ketiganya yaitu.
1. Harian Kompas,
2. Harian Kedaulatan Rakyat,
3. Harian Jurnal Nasional.
Alasan pemilihan surat kabar harian sebagai media yang menjadi bahan
penelitian, yaitu pertama surat kabar Kompas sebagai surat kabar harian terkemuka
nasional dengan tiras yang besar, kedua surat kabar Jurnal Nasional sebagai surat
kabar yang mempunyai kedekatan sejarah dengan Partai Demokrat, ketiga surat
kabar Kedaulatan Rakyat sebagai surat kabar daerah tertua yang masih survive dan
leading di daerahnya sampai saat ini.
Penelitian akan dilakukan dalam rentang waktu tahun 2012 sampai tahun
2013. Rentang waktu ini dipilih karena pada tahun ini muncul berbagai isu mengenai
otonomi daerah, seperti isu revisi UU 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah
dan salah satu isu yang menarik dalam revisi UU 32 Tahun 2004 adalah masalah
pemilihan kepala daerah langsung atau tidak langsung.
Dalam penelitian ini Framing model Entman dipilih karena dalam konsep
Entman framing dapat dipakai untuk menggambarkan proses seleksi suatu isu, serta
menonjolkan beberapa aspek tertentu dari suatu realitas oleh media. Lebih lanjut
Entman3 memperkenalkan 4 (empat) elemen penting dalam framing. Empat elemen
itu adalah sebagai berikut.
3 Empat elemen penting dalam framing menurut Entman dalam Journal of Communication (1993:52)
yaitu, pertama Define Problems—determine what a casual agents is doing with what benefit, kedua
Diagnose cause—identify the force creating the problem, ketiga Make moral judgment—evaluate
causal agents and their effects, keempat Treatment Recommendation (suggest remedies)—offer and
justify treatments for the problems and predict their likely effects.
Analisa Framing Pemilihan Kepala Daerah Langsung pada Tahun 2012-2013 di
Harian Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat
Megandaru W. Kawuryan
20
Jurnal Administrasi Pemerintahan Daerah
Volume VIII, Edisi 2
Tabel I
Framing Model Entman
1. Define Problems
(Pendefinisian Masalah)
Bagaimana suatu isu dilihat ?, dan sebagai apa
atau sebagai masalah apa suatu isu itu dilihat ?
2. Diagnose Causes
(Perkiraan Sumber
Masalah)
Suatu isu atau peristiwa terjadi disebabkan oleh
apa ?, dan siapa aktor yang dianggap sebagai
penyebab masalah ?
3. Make Moral Judgement
(Membuat Keputusan
Moral)
Nilai-nilai moral apakah yang dipakai untuk
melakukan legitimasi atau malah mendeligitmasi
suatu tindakan ?
4. Treatment
Recommendation
(Menekankan
Penyelesaian)
Penyelesaian apa yang ditawarkan untuk
mengatasi suatu masalah ?, cara apa yang harus
dipakai dalam mengatasi suatu masalah/isu.
Permasalahan dan Tujuan Penelitian
Rumusan Masalah
Dari uraian tersebut di atas, diajukan rumusan masalah sebagai
berikut“Bagaimana frame pemberitaan Harian Kompas, Harian Jurnal Nasional dan
Harian Kedaulatan Rakyat mengenai isu pemilihan kepala daerah”
Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Mengkaji lebih dalam mengenai pemberitaaan pemilihan kepala daerah di harian
Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat.
b. Mendapatkan gambaran framing ketiga media media massa dalam menyiarkan
berita pemilihan kepala daerah langsung.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian dapat dibagi dua yakni secara metodologis keilmuan dan
dari sisi praktis studi komunikasi pemerintahan. Secara teoretis dan metodologis
penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan studi
komunikasi, khususnya komunikasi pemerintahan di Indonesia.
Dari sudut pandang praktis studi komunikasi pemerintahan, penelitian ini
menggunaan framing model Robert Etnman, menurut peneliti framing model
Etnman bisa digunakan untuk menggambarkan proses seleksi suatu isu, serta
menonjolkan beberapa aspek tertentu dari suatu realitas di media massa. Dengan
demikian diharapkan penelitian ini akan memberikan gambaran yang nyata terhadap
liputan surat kabar di Indonesia, terutama masalah pemiihan kepala daerah.
Analisa Framing Pemilihan Kepala Daerah Langsung pada Tahun 2012-2013 di
Harian Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat
Megandaru W. Kawuryan
21
Jurnal Administrasi Pemerintahan Daerah
Volume VIII, Edisi 2
HASIL PENELITIAN
Menurut Mandica (2008) serta Ricard C. Crook dan James Manor (1998),
salah satu bentuk metode yang diadopsi oleh negara-negara berkembang untuk
meningkatkan otonomi politik, partisipasi politik, transparansi politik, dan
mendemokratisasikan pemerintahan lokal adalah pemilihan eksekutif (gubernur,
bupati dan walikota).
Untuk kasus Indonesia, hal ini telah dimulai sejak diterbitkannya Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU tersebut,
kewenangan pemilihan kepala daerah (eksekutif) diberikan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kewenangan untuk memilih kepala daerah oleh
DPRD ini dikenal sebagai pemilihan kepala daerah tidak langsung. Menurut
penelitian dari Mandica (2006) pilkada tidak langsung menimbulkan beberapa
kondisi baru di daerah4. Dengan menguatnya peran DPRD dalam pemilihan kepala
daerah disertai kewenangan DPRD untuk dapat memberhentikan Kepala Daerah (ayat
3 pasal 46, UU No 22 Tahun 1999) banyak menciptakan hubungan yang tidak
harmonis antara DPRD dan Kepala Daerah. Ketegangan sering terjadi antara DPRD
dan Kepala Daerah yang berujung pada pemberhentian Kepala Daerah oleh DPRD5.
Pada tahun 2004 diterbitkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang
baru yaitu UU Nomor 32 Tahun 2004, dalam UU tersebut, pemilihan kepala daerah
tidak lagi menjadi domain DPRD, namun dilaksanakan secara langsung oleh
masyarakat daerah tersebut. Menurut penelitian Siti Zuhro (2008) dampak dari
pilkada langsung ini menurunkan fungsi dan peran DPRD6.
Isu ini mengemuka sepanjang tahun 2012 dan 2013, bersamaan dengan
usulan perubahan RUU Pilkada. Usulan terhadap perubahan mekanisme pemilihan
Gubernur tersebut mencuat ketika Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri
mengusulkan Rancangan Undang-Undang Pemillihan Kepala Daerah (RUU Pilkada).
RUU Pilkada merupakan bagian dari revisi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) yang di dalamnya mengatur pemilihan
gubernur secara langsung.7 Isu ini berkaitan dengan apakah sebaiknya gubernur
4 Dalam penelitian Mandica (2008) yaitu, pertama fenomena pengelompokan politik yang terpusat
pada elite-elite lokal, kedua eksekutif yang terpilih tidak dikenal rekor kerjanya, ketiga maraknya
demonstrasi oleh masing-masing kandidat yang biasanya berakhir dengan kekerasan, dan keempat
kuatnya arus dari masyarakat untuk mewujudkan pemilihan langsung. 5 Seperti dalam Kasus Kabupaten Sampang, Kota Surabaya, Kabupaten Temanggung 6 Dalam penelitiannya Siti Zuhro (2008:63-65) ditemukan dampak dari pilkada langsung terhadap
eksistensi DPRD yaitu menurunnya peran dan fungsi DPRD, lebih khusus lagi melemahnya chek and
balances DPRD, reposisi peran DPRD menurut UU No 32/2004 telah menimbulkan fenomena
mobocracy, di mana keterlibatan warga dalam proses pembuatan kebijakan politik dijalankan dengan
cara tidak terlembaga sehingga konstestasi politik ditentukan oleh kemampuan untuk memobilisasi
massa dan dukungan politik. 7 Dalam RUU Pilkada tersebut, Pemerintah mengajukan usulan perubahan sistem pemilihan gubernur
yaitu mengubah sistem pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat menjadi sistem pemilihan
gubernur secara perwakilan oleh DPRD Provinsi. Sementara untuk mekanisme pemilihan bupati/wali
kota tetap secara langsung oleh rakyat. Di samping itu, untuk mekanisme pemilihan wakil kepala
Analisa Framing Pemilihan Kepala Daerah Langsung pada Tahun 2012-2013 di
Harian Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat
Megandaru W. Kawuryan
22
Jurnal Administrasi Pemerintahan Daerah
Volume VIII, Edisi 2
dipilih oleh DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) seperti sebelum tahun 2005,
ataukah gubernur tetap dipilih lewat pemilihan (Pilkada). Di kalangan ahli dan politisi
memang terdapat perbedaan pandangan mengenai apakah sebaiknya gubernur dipilih
lewat Pilkada ataukah cukup dipilih oleh DPRD.
Pihak yang setuju dengan pemilihan gubernur secara langsung (lewat
Pilkada) berargumentasi bahwa pilkada langsung untuk kepala daerah adalah amanat
konstitusi. Bentuk negara Indonesia adalah republik sehingga kepala negaranya
disebut presiden.
Selain bentuk negara yang republik, Republik Indonesia juga mengadopsi
bentuk pemerintahan presidensial sehingga presiden sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan dipilih oleh rakyat melalui pemilu. Menurut UUD 1945, tidak hanya
presiden dan wakil presiden yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil, tetapi juga anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota. Susunan negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan,
tetapi menjamin otonomi seluas-luasnya kepada daerah otonom provinsi dan daerah
otonom kabupaten/kota. Karena presiden selaku kepala negara dan kepala
pemerintahan dipilih melalui pemilu dan karena anggota DPRD provinsi dan anggota
DPRD kabupaten/kota juga dipilih melalui pemilu, kepala daerah otonom provinsi
dan kepala daerah otonom kabupaten/kota juga harus dipilih melalui pemilu (lihat
Surbakti, 2013).
Pemilihan kepala daerah oleh DPRD lebih tepat diterapkan dalam bentuk
pemerintahan parlementer, karena kepala pemerintahan nasional dalam negara seperti
ini juga tidak dipilih langsung oleh rakyat, tetapi oleh parlemen. Jika UUD telah
menggariskan keanggotaan DPRD dipilih oleh rakyat melalui pemilu, kepala daerah
sebagai mitra DPRD dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah otonom haruslah juga dipilih rakyat secara langsung
melalui pemilu. Pemilihan gubernur secara langsung juga merupakan pengakuan akan
kedaulatan rakyat, yang mempunyai kedaulatan dalam memilih calon yang
diinginkan. Jikalau ada masalah (seperti gubernur terpilih tidak sesuai harapan), yang
salah bukan pemilihan gubernurnya.
daerah tidak lagi dipilih secara berpasangan dengan kepala daerah, tetapi wakil kepala daerah
diusulkan oleh kepala daerah terpilih dari pegawai negeri sipil. Hal itu untuk menghindari fenomena
“pecah kongsi” yang mengakibatkan tidak efektifnya penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Beberapa usulan perubahan mendasar lainnya yang tercantum dalam RUU Pilkada adalah mencegah
politik dinasti dan politik transaksi, mendukung netralitas birokrasi, efisiensi kampanye, pengaturan
terhadap calon inkumben, dan penyelesaian sengketa pilkada. Secara konstitusional Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945 menegaskan, bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Konstitusi secara tegas
tidak mengharuskan Gubernur dipilih secara langsung oleh rakyat, melainkan hanya dipilih secara
demokratis. Rumusan “dipilih secara demokratis” lahir dari perdebatan panjang di Panitia Ad Hoc 1
Badan Pekerja MPR tahun 2000, antara pendapat yang menghendaki kepala daerah dipilih oleh
DPRD dan pendapat lain yang menghendaki dipilih secara langsung oleh rakyat. Namun memang
makna “demokratis” bisa berkonotasi dua, yaitu pertama, bisa dipilih secara langsung oleh rakyat
dan kedua, bisa dipilih oleh DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat (lihat Chakim, 2013).
Analisa Framing Pemilihan Kepala Daerah Langsung pada Tahun 2012-2013 di
Harian Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat
Megandaru W. Kawuryan
23
Jurnal Administrasi Pemerintahan Daerah
Volume VIII, Edisi 2
Pihak yang tidak setuju dengan pemilihan gubernur secara langsung juga
mempunyai argumentasi yang kuat. Setidaknya ada dua alasan yang dikemukakan
oleh pihak yang setuju dengan pemilihan gubernur lewat DPRD (lihat Made
Suwandi, 2013). Pertama, yaitu untuk meningkatkan efisiensi anggaran pemilu yang
memiliki biaya sangat tinggi untuk prosedur pemilihan gubernur. Anggaran yang
dibutuhkan untuk setiap pemilihan gubernur langsung oleh rakyat adalah sekitar Rp
70 miliar menjadi Rp 90 miliar atau sekitar US $ 7,5 juta menjadi US $ 10 juta.
Bahkan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi juga menyatakan, bahwa setiap
calon yang ingin menjalankan dalam pemilihan gubernur langsung membutuhkan
setidaknya lebih dari Rp 20 miliar atau sekitar US $ 2 juta. Sementara itu, gaji pokok
gubernur sebesar Rp 8,7 juta per bulan. Kalau mau menjadi seorang gubernur
membutuhkan uang Rp 20 miliar, sementara gaji gubernur sebesar Rp 8,7 juta per
bulan, maka butuh waktu berapa lama untuk mengembalikan uang Rp 20 miliar itu ?
(Kompas, 23 Juli 2010). Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa calon terpilih
akan memanfaatkan kesempatan apa pun untuk mendapatkan kembali uang mereka
yang di keluarkan selama proses kampanye mereka. Kedua, bahwa gubernur hanya
memiliki tingkat otoritas yang rendah. Rendahnya intensitas hubungan antara
gubernur dan masyarakat tidaklah menuntut akuntabilitas yang tinggi dari gubernur
kepada masyarakat. Oleh karena itu, Pemerintah mencatat, bahwa proses pemilihan
langsung akan terlalu mahal untuk pemilihan gubernur karena otoritas mereka hanya
sebagai wakil pemerintah pusat di tingkat daerah.
Bagaimanakah isu pemilihan gubernur secara langsung ini diberitakan oleh
Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat. Grafik menampilkan berita
mengenai isu ini di ketiga surat kabar. Isu ini mendapat alokasi pemberitaan yang
cukup banyak di Kompas dan Jurnal Nasional. Total terdapat 24 berita di Kompas
dan 32 berita di Jurnal Nasional. Sebaliknya, di Kedaulatan Rakyat isu ini tidak
banyak diangkat. Total hanya 8 berita mengenai isu pemilihan gubernur langsung ini
yang diberitakan oleh Kedaulatan Rakyat.
Analisa Framing Pemilihan Kepala Daerah Langsung pada Tahun 2012-2013 di
Harian Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat
Megandaru W. Kawuryan
24
Jurnal Administrasi Pemerintahan Daerah
Volume VIII, Edisi 2
Gambar I
Frame Isu Pilkada di Tiga Surat Kabar
Sumber: Hasil olahan penulis
Bagaimana dengan bingkai (frame) berita ketiga suratkabar atas isu
pemilihan gubernur secara langsung ?. Grafik berikut ini memperlihatkan bagaimana
isu pemilihan gubernur secara langsung ini di definisikan oleh ketiga surat kabar
(define problems). Dari grafik ini terlihat ada perbedaan ketiga suratkabar dalam
mendefinisikan isu tersebut. Kompas dan Kedaulatan Rakyat melihat isu pemilihan
gubernur ini dalam konteks hak-hak warga negara. Meskipun biaya pemilihan
langsung mahal, pemilihan langsung harus tetap diselenggarakan untuk menjamin
hak-hak dan kedaulatan rakyat. Dengan pemilihan secara langsung, rakyat bisa
menentukan secara langsung siapa orang yang dipandang tepat dalam memimpin
provinsi. Frame berbeda ditunjukkan oleh suratkabar Jurnal Nasional. Jurnal
Nasional melihat pemilihan gubernnur secara langsung tidak sesuai dengan sistem
pemerintahan presidensiil. Karena gubernur adalah wakil dari pemerintah pusat di
daerah. Sebaiknya gubernur dipilih oleh DPRD atau dipilih oleh presiden.
2432
8
Kompas Jurnal Nasional Kedaulatan Rakyat
Berita mengenai pemilihan gubernur
Total berita mengenai otonomi daerah yang dianalisis
187
123 102
Analisa Framing Pemilihan Kepala Daerah Langsung pada Tahun 2012-2013 di
Harian Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat
Megandaru W. Kawuryan
25
Jurnal Administrasi Pemerintahan Daerah
Volume VIII, Edisi 2
Gambar II
Pendefinisian Masalah Pilkada di Tiga Surat kabar
Sumber: hasil olahan penulis
Pasca pilkada langsung, kerap kali diwarnai masalah hubungan antara
bupati/walikota dengan gubernur dan gubernur dengan presiden. Koordinasi antara
presiden-gubernur-walikota/bupati menjadi tidak baik. Gubernur sering kali tidak bisa
mengkoordinasi bupati/wakilota di bawahnya karena kepala daerah tersebut merasa
punya wewenang besar dalam mengurus daerahnya sendiri. Hal yang sama juga
terjadi dengan hubungan antara gubernur dengan presiden. Gubernur kerap
menelurkan kebijakan yang tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat.
Gubernur juga merasa dipilih secara langsung oleh rakyat sehingga tanggung
jawabnya adalah secara langsung ke rakyat bukan ke pemerintah pusat.
Bagaimana ketiga suratkabar melihat sumber masalah (diagnose causes) dari
persoalan ini ? Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat mempunyai
frame yang berbeda. Jurnal Nasional melihat berbagai masalah tersebut bersumber
dari pemilihan langsung gubernur. Masalah ini bisa diatasi jikalau gubernur tidak
dipilih secara langsung, dan ada ketegasan bahwa gubernur merupakan wakil dari
pemerintah pusat di daerah. Frame yang berbeda ditunjukkan oleh Kompas. Bingkai
Kompas, berbagai masalah mengenai hubungan pusat dan daerah tidak bisa
ditimpakan kesalahan kepada pemilihan langsung. Jika ada kesalahan dan kelemahan,
yang harus dibenahi adalah sistemnya bukan menghilangkah pemilihan langsung itu
62.0%
8.0%
14.0%
0.0%
8.0%
0.0%
8.0%
12.0%
44.0%
6.0%
22.0%
6.0%
2.0%
8.0%
0.0%
0.0%
50.0%
25.0%
25.0%
0.0%
0.0%
Pemilihan langsung sebagai penghormatan hak-hakrakyat
Pemilihan langsung tidak sesuai dengan fungsigubernur sebagau wakil pemerintah pusat
Pemilihan langsung amanat konstitusi
Pemilihan langsung menghambur-hamburkan uang
Pemilihan langsung sebagai akibat dominasi partaidalam politik
Lainnya
Tidak jelas / tidak ada
Kedaulatan Rakyat (N=8) Jurnal Nasional (N=32) Kompas (N=24)
Analisa Framing Pemilihan Kepala Daerah Langsung pada Tahun 2012-2013 di
Harian Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat
Megandaru W. Kawuryan
26
Jurnal Administrasi Pemerintahan Daerah
Volume VIII, Edisi 2
sendiri. Relasi yang tidak baik bisa diatasi dengan membangun sistem dan
mekanisme hubungan presiden dan gubernur. Hal yang sama juga ditunjukkan dalam
berita Kedaulatan Rakyat.
Gambar III
Sumber Masalah Pilkada di Tiga Surat kabar
Sumber: hasil olahan penulis
Suratkabar Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat mempunyai
frame (bingkai) yang berbeda dalam melihat isu gubernur dilipilih secara langsung.
Tabel berikut memperlihatkan frame dominan dari ketiga suratkabar, tersebut.
Tabel II
Frame Dominan di Tiga Surat kabar
Isu Pilkada Gubernur
PERANGKAT
FRAMING
Kompas Jurnal Nasional Kedaulatan
Rakyat
Pendefinisian
Masalah
Pemilihan gubernur
secara langsung
Pemilihan gubernur
secara langsung
Pemilihan
gubernur secara
42.0%
8.0%
12.0%
12.0%
8.0%
10.0%
8.0%
12.0%
44.0%
12.0%
12.0%
8.0%
2.0%
10.0%
0.0%
0.0%
0.0%
25.0%
50.0%
25.0%
0.0%
Elit politik
Sistem pemilihan secara langsung
Gubernur tidak merasa bawahan dari presiden
Partai politik merasa sebagai atasan gubernur
Regulasi yang tidak tegas
Lainnya
Tidak jelas / tidak ada
Kedaulatan Rakyat (N=3) Jurnal Nasional (N=16) Kompas (N=17)
Analisa Framing Pemilihan Kepala Daerah Langsung pada Tahun 2012-2013 di
Harian Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat
Megandaru W. Kawuryan
27
Jurnal Administrasi Pemerintahan Daerah
Volume VIII, Edisi 2
(Define Problems) adalah wujud
penghormatan
terhadap Kedaulatan
Rakyat dalam memilih
pejabat publik.
tidak sesuai dengan
fungsi gubernur
sebagai wakil
pemerintah pusat
(presiden) di
daerah.
langsung sesuai
dengan sistem
demokrasi.
Sumber Masalah
(Diagnose Cause)
Elite politik.
Masalah yang terjadi
seputar gubernur
(seperti gubernur
tidak tunduk pada
presiden, gubernur
terlibat korupsi,
gubernur tidak
mempunyai kontrol
atas bupati / walikota
dsb) muncul dari elite.
Pilkada tidak bisa
dipersalahkan sebagai
sumber masalah
tersebut.
Pemilihan
langsung.
Pemilihan secara
langsung kerap
membuat gubernur
tidak tunduk
kepada presiden
karena tidak
menganggap
presiden sebagai
“atasan”. Gubernur
lebih tunduk
kepada partai yang
mengusungnya.
Regulasi dan
aturan yang tidak
ketat.
Setelah terpilih
sebagai gubernur,
bukan lagi wakil
partai tetapi wakil
pemerintah pusat.
Keputusan Moral
(Make Moral
Judgement)
Kedaulatan rakyat
adalah hal yang
penting. Demokrasi
memang mahal, tetapi
itu harus ditempuh
untuk menjamin
kedaulatan rakyat.
Perlu diciptakan
model pemilihan
khas Indonesia
yang efesien dan
murah tanpa
mengurangi hak-
hak rakyat.
Dukungan rakyat
harus dibarengi
dengan kesadaran
elite.
Elite harus
bertanggung
jawab.
Penekanan
Penyelesaian
(Treatment
Recommendation)
Pembenahan sistem.
Kelemahan pemilihan
langsung bukan
berarti harus
menghapus sistem
pemilihan langsung.
Pembenahan bisa
dilakukan dengan
perbaikan sistem
Pemilu (seperti
rekruitmen calon), dan
sistem pemiliihan
Gubernur dipilih
lewat DPRD.
Selain bisa
menghemat
anggaran,
pemilihan ini akan
mempertegas
fungsi gubernur
sebagai koordinator
bupati/walikota
sekaligus wakil dari
pemerintah pusat di
Kesadaran elite.
Masalah seputar
pemilihan
gubernur bisa
diatasi dengan
pembenahan
kesadaran dari elit
politik.
Analisa Framing Pemilihan Kepala Daerah Langsung pada Tahun 2012-2013 di
Harian Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat
Megandaru W. Kawuryan
28
Jurnal Administrasi Pemerintahan Daerah
Volume VIII, Edisi 2
yang lebih efesien
(seperti Pemilu
serentak) tanpa
menghilangkan esensi
pemilihan langsung.
daerah.
Sumber: hasil olahan penulis
PENUTUP
Pada isu pemilihan kepala daerah ini, dalam kurun waktu 2012 sampai
2013 harian Kompas memberitakan sebanyak 24 item berita, sedangkan harian Jurnal
Nasional menyiaran 32 item berita, dan harian Kedaulatan Rakyat 8 item berita. Dari
data di atas terlihat harian Jurnal Nasional yang paling banyak menyiarkan berita
pilkada kemudian harian Kompas dan yang paling sedikit menyiarkan berita pilkada
adalah harian Kedaulatan Rakyat.
Dari hasil analisis terhadap frame pemberitaan harian Kompas, harian Jurnal
Nasional dan harian Kedaulatan Rakyat mengenai Isu pemilihan kepala daerah
langsung dapat disimpulkan, sebagai berikut. Secara garis besar frame harian Kompas
terlihat kritis terhadap isu pemilihan kepala daerah, sedangkan frame harian Jurnal
Nasional terlihat sejalan dengan kebijakan pemerintahan Presiden SBY dalam isu
pemilihan kepala daerah, sementara frame harian Kedaulatan Rakyat sebagai koran
daerah melihat isu otonomi daerah lebih banyak dalam perspektif lokal (kedaerahan)
yaitu Sultan harus otomatis menjadi Gubernur DIY.
Terlihat bahwa kedekatan kepemilikan dan modal masih cukup kuat dalam
mempengaruhi frame media yang diteliti pada Harian Jurnal Nasional, sedangkan
pada frame harian Kedaulatan Rakyat ketika menyangkut peristiwa yang
berhubungan dengan Kasultanan Yogyakarta terlihat frame Kedaulatan Rakyat tidak
tajam, untuk Frame Kompas terlihat tetap kritis dalam menyiarkan berbagai berita
mengenai pemilihan kepala daerah sepertinya faktor kepemilikan modal terlihat tidak
tampak melakukan intervensi terhadap pemberitaan di Koran Kompas
DAFTAR PUSTAKA
Bhakti, Ikrar Nusa. 2000. Berbagai Faktor Penyebab Jatuhnnya Presiden Soeharto,
dalam Hidayat, Dedy, dkk. 2000. Pers dalam Revolusi Mei Runtuhnya
Sebuah Hegemoni. Jakarta: Gramedia.
Denzin, Norman K and Yvona S. Lincoln (ed). 2011. Handbook of Qualitative
Research. SAGE Publications.
Eriyanto, 2001. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS
_______, 2002. Analisis Framing, Konstruksi Ideologi, dan Politik Media.
Yogyakarta: LKiS.
Hidayat, Dedy, dkk. 2000. Pers dalam Revolusi Mei Runtuhnya Sebuah Hegemoni.
Jakarta: Gramedia.
Analisa Framing Pemilihan Kepala Daerah Langsung pada Tahun 2012-2013 di
Harian Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat
Megandaru W. Kawuryan
29
Jurnal Administrasi Pemerintahan Daerah
Volume VIII, Edisi 2
Hoessein, Bhenyamin. 1995. Sentralisasi dan Desentralisasi : Masalah dan Prospek,
Dalam Menelaah Format Politik Orde Baru. Jakarta: PPW-LIPi-Gramedia
Muttalib, M.A. dan Mohd. Akbar Ali Khan. (terj). 2013. Theory of Local Government
(Teori Pemerintahan Lokal). Jakarta: Masyarakat Ilmu Pemerintahan
Indonesia.
Marbun, B.N. 2010. Otonomi Daerah 1945-2010 Proses dan Realita. Jakarta: Sinar
Harapan.
Nordholt, Henk Schulte dan Gerry van Klinken.(ed). (terj). 2014. Politik Lokal di
Indonesia. Jakarta: Pustaka Yayasan Obor Indonesia dan KITLV
Nurcholis, Hanif. 2007. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah.
Jakarta: Grasindo
Pinckey Triputra. 2000. Isi Media sebagai Produk Interaksi Antaragensi: Kasus
Media Cetak Pada Mei 1998, dalam Hidayat, Dedy, dkk. 2000. Pers dalam
Revolusi Mei Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta: Gramedia.
Rasyid, Ryaas, dkk. 2007. Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Rondinelli, A. Dennis and Shabbir Cheema. 2007. Decentralizing Governance
Emerging Concepts and Practices. Brookings Institution Press
Sendjaja, Sasa Djuarsa dan Hendra Harahap. 2000. Proses dan Dinamika
Pemberitaan Televisi pada Mei 1998: Antara Nilai Berita dan Perubahan,
dalam Hidayat, Dedy, dkk. 2000. Pers dalam Revolusi Mei Runtuhnya
Sebuah Hegemoni. Jakarta: Gramedia.
Smith, BC. 1985. The Territorial Dimension of The State. London: Gorge Allen and
Unwin.
Van Dijk, Teun A, 1997. Political Discourse and Political Cognition. Aston
University Press
Jurnal Makalah:
Entman, Robert M. 1993. Framing Toward Clarification of a Fractured Paradigm.
Political Communication. Vol. 43. No. 4
Mandica, Norca. 2008. Dampak Pemilihan Kepala Daerah Pada Proses
Demokratisasi. Jurnal Ilmu Pemerintahan, Masyarakat Ilmu Pemerintahan
Indonesia. Edisi 26, Tahun 2008
Surbakti, Ramlan. 2013. Defisiensi Berbagai Aspek Kebijakan Otonomi Daerah.
Jurnal Ilmu Pemerintahan, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia. Edisi
43, Tahun 2013
Suwandi, Made. 2004. Pokok-Pokok Pikiran Konsepsi Otonomi Daerah Indonesia
Dalam Mewujudkan Pemerintah Daerah yang Demokratis dan Efisien.
Jakarta: tidak diterbitkan
Wigyosoebroto, Soetandyo. 2010. Satu Abad Desentralisasi di Indonesia. Jurnal
Prisma, Juli 2010.
Analisa Framing Pemilihan Kepala Daerah Langsung pada Tahun 2012-2013 di
Harian Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat
Megandaru W. Kawuryan
30
Jurnal Administrasi Pemerintahan Daerah
Volume VIII, Edisi 2
Undang-Undang dan Peraturan
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Laman Internet
www.Kompas.com
www.m.jurnas.com
www.krjogja.com