Anak Rubella
-
Upload
yogi-oktiandi -
Category
Documents
-
view
31 -
download
0
description
Transcript of Anak Rubella
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rubela merupakan virus RNA terselubung penyebab penyakit yang
kadang-kadang disebut “campak 3 hari” atau “campak jerman”. Penyakit ini
hampir terberantas dengan diproduksinya vaksi rubela hidup yang
dilemahkan. Ini merupakan satu-satunya virus dimana vaksin telah dibuat
terutama untuk memberantas akibat-akibat infeksi janin.
Sebelum dilakukan vaksinasi rubela, pandemi rubela terjadi setiap 10-20
tahun. Pada tahun 1964-1965, terjadi wabah di Amerika Serikat yang
menyebabkan lebih dari 12 juta kasus rubela dan sebagai tambahannya ada
20.000 bayi menderita sindroma rubela kongenital. Setelah dimulainya
program imunisasi rubela secara nasional pada tahun 1969, jumlah kasus
rubela menurun lebih dari 99%. Pada awal tahun 1990, ada peningkatan
sedang pada kasus rubela, termasuk sindroma rubela kongenital, karena
kegagalan dalam usaha mengimunisasi semua anak di Amerika Serikat.
Virus rubela dibedakan oleh kecenderungannya untuk menginfeksi janin.
Selama trisemester pertama kehamilan, infeksi primer rubela pada ibu
memiliki 80% kemungkinan penularan pada janin, dan kebanyakan janin
yang terinfeksi menderita fetopati rubela. Penularan dari ibu ke janin juga
1
terjadi pada awal trisemester kedua (50%) dan tetap berlangsung selama
kehamilan.
Kebanyakan diagnosis dapat dilakukan semata-mata atas dasar tanda
klinis. Diagnosis dapat diperkuat dengan ditemukan antibodi IgM yang
spesifik terhadap virus rubela dari urin atau jaringan janin. Virus dapat
dikeluarkan melalui urin selama 1 tahun atau lebih. Diagnosis prenatal infeksi
rubela janin dapat dibuat dengan mengisolasi virus dari cairan amnion atau
dengan indentifikasi IgM yang spesifik terhadap rubela dalam darah tali
pusat.
Bayi dengan sindroma rubela spektrum komplit mempunyai prognosis
yang buruk, terutama bila penyakit terus memburuk selama masa bayi.
Prognosis jelas lebih baik pada penderita yang hanya mempunyai sedikit
stigmsta sindroma, kemungkinan pada mereka terinfeksi pada akhir
kehamilan. (Nelson, 2000)
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Rubella adalah penyakit anak menular yang lazim biasanya ditandai
dengan gejala-gejala utama ringan, ruam serupa dengan campak (rubeola)
ringan atau demam skarlet, dan pembesaran serta nyeri limfonodi
pascaoksipital, retroaurikuler, dan servikalis posterior. Pada anak nyang lebih
tua dan dewasa, terutama wanita dewasa, infeksi kadang-kadang dapat berat,
dengan manifestasi keterlibatan sendi dan purpura.
Rubella pada awal masa kehamilan dapat menyebabkan anomali
kongenital berat. Sindrom rubella kongenital adalah penyakit menular aktif
dengan keterlibatan multisistem, spektrum ekspresi klinis luas, dan periode
infeksi aktif pascalahir dengan pelepasan virus yang lama. (Nelson, 2000)
B. Etiologi
Rubella disebabkan oleh virus yang mengandung RNA pleomorfik, yang
sekarang didaftar pada famili Togaviride, genus Rubivirus. virus dapat
diisolasi dari biakan jaringan penderita. Secara fisikokimiawi virus ini sama
dengan anggota virus lainj dari famili tersebut, tetapi virus rubella secara
serologik berbeda. Pada waktu terdapat gejala klinis virus ditemukan pada
3
sekret nasofaring, darah, feses dan urin. Virus rubella hanya menjangkiti
manusia saja. (IDAI )
C. Epidemiologi
Manusia adalah satu-satunya hopses alamiah rubella, yang disebarkan oleh
droplet oral atau secara transplasenta melalui infeksi kongenital. Sebelum
pembentukan vaksin rubella pada tahun 1969, puncak insiden penyakit adalah
pada umur 5-14 tahun. Sekarang kebanyakan kasus terjadi pada remaja dan
dewasa muda yang rentan. (Nelson, 2000)
Kelainan fetus mencapai 30% akibat infeksi rubella pada ibu hamil selama
minggu pertama kehamilan. Resiko kelainan pada fetus tertinggi (50-60%)
terjadi pada bulan pertama dan menurun menjadi 4-5% pada bulan keempat
kehamilan ibu. Survei di Inggris (1970-1974) menunjukan insidens infeksi
fetus sebesar 53% dengan rubella klinis dan hanya 19% yang subklinis.
Sekitar 85% bayi yang terinfeksi rubella kongenital mengalami defek. (IDAI)
D. Patogenesis
Penularan terjadi melalui oral droplet, dari nasofaring, atau rute
pernafasan. Selanjutnya virus rubella memasuki darah. Namun terjadi erupsi
di kulit belum diketahui patogenesisnya. Viremia mencapai puncaknya tepat
sebelum timbul erupsi di kulit. Di nasofaring virus tetap ada sampai 6 hari
setelah timbulnya erupsi dan kadang-kadang lebih lama. Selain dari darah dan
4
sekret nasofaring, virus rubella telah diisolasi dari kelenjar getah bening, urin,
cairan cerebrospinal, ASI, cairan sinovial dan paru.
Penularan dapat terjadi biasanya sejak 7 hari sebelum hingga 5 hari
sesudah timbulnya erupsi. Daya tular tertinggi terjadi pada akhir masa
inkubasi, kemudian menurun dengan cepat, dan berlangsung hingga
menghilangnya erupsi. (IDAI)
E. Manifestasi Klinis
Masa inkubasi
Masa inkubasi berkisar antara 14-21 hari. Dalam beberapa laporan lain
waktu inkubasi minimum 12 hari dan maksimum 17-21 hari.
Masa prodromal
Pada anak biasanya erupsi timbul tanpa keluhan sebelumnya; jarang
disertai gejala dan tanda pada masa prodromal. Namun pada remaja dan
dewasa muda masa prodromal berlangsung 1-5 hari dan terdiri dari demam
ringan, sakit kepala, nyeri tenggorokan, kemerahan pada konjungtiva, rinitis,
batuk dan limfadenopati. Gejala ini segera menghilang pada waktu erupsi
timbul. Gejala dan tanda prodromal biasanya mendahului erupsi di kulit 1-5
hari sebelumnya. Pada beberapa penderita dewasa gejala dan tanda tersebut
dapat menetap lebih lama dan bersifat lebih berat. Pada 20% perderita selama
masa prodromsl atau harin pertama erupsi, timbul suatu eksantema,
Forshheimer spot, yaitu makula atau petekia pada palatum molle, bisa saling
5
merengkuh sampai seluruh permukaan faucia. Pembesaran kelenjar limfe bisa
timbul 5-7 hari sebelum timbul eksantema, khas mengenai kelenjar
suboksipital, postaurikuler dan servikal, dan disertai nyeri tekan.
Masa eksantema
Seperti pada rubeola, eksantema mulai retroaurikular atau pada muka dan
dengan cepat meluas secara kraniokaudal ke bagian lain dari tubuh. Mula-
mula berupa makula yang berbatas tegas dan kadang-kadang dengan cepat
meluas dan menyatu, memberikan bentuk morbiliform. Pada hari kedua
eksantema di muka menghilang, diikuti hari ke-3 di tubuh dan hari ke-4 di
anggota gerak. Pada 40% kasus infeksi rubella terjadi tanpa eksantema.
Meskipun sangat jarang, dapat terjadi deskuamasi posteksantematik.
Limfadenopati merupakan suatu gejala klinis yang penting pada rubella.
Biasanya pembengkakan kelenjar getah bening itu berlangsung selama 5-8
hari.
Pada penyakit rubella yang tidak mengalami penyulit sebagian besar
penderita sudah dapat bekerja seperti biasa pada hari ke-3. Sebagian kecil
penderita masih terganggu dengan nyeri kepala, sakit mata, rasa gatal selama
7-10 hari.
Rubella Kongenital
Infeksi rubella pada ibu hamil dapat menimb ulkan infeksi pada janin
dengan kelainan teratogenis yang bergantung dari umur kehamilan. Pada
6
waktu mengalami infeksi rubella sebagian ibu hamil (50%) tidak menunjukan
gejala atau tanda klinis. Meskipun demikian virus dapat menimbulkan infeksi
pada plasenta dan diteruskan ke janin, yang mana virus itu menyerang banyak
organ dan jaringan. Rubella pada ibu dapat menimbulkan berbagai
kemungkinan dijaninnya, yaitu : (1) non-infeksi, (2) infeksi tanpa kelainan
apapun, (3) infeksi dengan kelainan kongenital, (4) resorpsi embrio, (5)
abortus atau (6) kelahiran mati.
Bayi yang lahir dari ibu hamil yang menderita rubella pada trisemester
pertama bisa terkena sindroma rubella kongenital, yaitu trias anomali
kongenital pada mata (katarak, mikroftalmia, glaukoma, retinopati), telinga
(ketulian) dan defek jantung (stenosis arteri pulmonalis, patent ductus
arteriosus, ventricle septal defect). Kerusakan jantung dan mata terjadi karena
infeksi embrio yang berumur kurang dari 6 minggu, sedangkan ketulian dan
defek mental terjadi pada semua embrio yang berumur kira-kira 16 minggu.
Selain itu dapat terjadi kelainan susunan saraf pusat dan gigi. Manifestasi
lainnya adalah glaukoma, mikrosefali dan berbagai kelainan viseral.
Manifestasi umum rubella kongenital pada waktu lahir adalah retardasi
pertumbuhan dan psikomotorik. Antara 50-85% dari semua bayi beratnya
kurang dari 2500 gram, setelah lahir pertumbuhannya pun akan terhambat
(growth retardation). Angka kematian bayi dengan rubella kongenital pada
tahun pertama tinggi. Kematian dapat disebabkan karena gagal pertumbuhan,
kelainan jantung dan miokarditis, pneumonia, hepatitis, trombositopenia,
7
blueberry muffin rash, limfopenia, classic ensefalitis atau defisiensi sistem
imun.
Kira-kira sepertiga bayi rubella kongenital akan mengalami katarak.
Katarak ini dapat bilateral atau unilateral dan sering kali sudah ada pada
waktu lahir. Biasanya juga terdapat retinopati dan mikroftalmia yang
biasanya unilateral. Pada 5% bayi rubella kongenital terdapat glaukoma.
Diagnosis dini sangat penting mencegah kebutaan.
Tanda yang paling umum rubella kongenital adalah tuli sensorineural,
paling sering bilateral tetapi kadang-kadang unilateral. Kadang-kadang satu-
satunya manifestasi infeksi kongenital adalah ketulian.
Kelainan neurologik pada bayi dengan rubella kongenital berupa
meningoensefalitis yang aktif pada waktu lahir. Manifestasinya antara lain
berupa fontanel anterior yang cembung, gelisah, hipotonia, kejang-kejang,
letargia, retraksi kepala dan opistotonus.
Pada rubella kongenital yang berat terjadi miokarditis yang sering
menyebabkan kematian janin. Kelainan struktur jantung yang paling sering
adalah paten duktus arteriosus, yang disusul stenosis arteria pulmonalis dan
stenosis katup pulmonal.
Kelainan lain yang mungkin terjadi diantaranya adalah osteomielitis,
malabsorbsi dan diabetes. Anomali kongenital lain dapat pula terjadi tetapi
8
jarang dilaporkan, sehingga tidak dapat dipastikan apakah memang terjadi
karena rubella atau karena sebab lain. (IDAI)
F. Diagnosis Banding
Penyakit yang memberikan gejala klinis dan eksantema yang menyerupai
rubella adalah,
a. Penyakit virus : campak, roseola infantum, eritema mononukleosis
infeksiosa dan pityriasis rosea.
b. Penyakit bakteri: scarlet fever (skarlatina).
c. Erupsi obat : ampisilin, penisilin, asam salisilat, barbiturat, INH, fenotiazin
dan diuretik tiazid.
Bercak erupsi rubella yang berkonflues sulit dibedakan dari morbili,
kecuali bila ditemukan bercak koplik yang patognomonik untuk morbili.
Erupsi rubella cepat menghilang sedangkan erupsi morbili menetap lebih
lama.
Bila terjadi kemerahan difus dan tampak bercak-bercak berwarna lebih
gelap diatasnya, perlu dibedakan dari scarlet fever. Tidak seperti scarlet fever,
pada rubella daerah perioral terkena.
Erupsi pada mononukleosis dapat menyerupai rubella derajat berat, namun
penyakit dimulai dengan diteroid atau plaut-vincent-like tonsilitis, demam
lebih tinggi, pembesaran kelenjar getah bening umum serta pembesaran hepar
dan limpa.
9
Pada sifilis stadium dua ditemukan juga eksantema yang menyerupai
rubella, disertai pembesaran kelenjar getah bening umum. Kadang-kadang
perlu pemeriksaan serologik untuk sifilis.
Erupsi obat menyerupai rubella yang dapat disertai pembesaran kelenjar
getah bening disebabkan terutama oleh senyawa hidantion. Pada kasus yang
meragukan dapat dilakukan pemeriksaan hemogram dan serologi. (IDAI)
G. Diagnosis
Diagnosis klinis sering sekali sukar dibuat untuk seorang penderita oleh
karena tidak ada tanda atau gejala yang patognomik untuk rubella. Seperti
penyakit eksantem lainnya, diagnosis dapat dibuat dengan anmnesis yang
cermat. Rubella merupakan penyakit yang epidemi sehingga bila diselidiki
dengan cermat, dapat ditemukan kasus kontak atau kasus lain di dalam
lingkungan penderita. Sifat demam dapat membantu dalam menegakan
diagnosis, oleh karena demam pada rubella jarang sekali di atas 38,5˚C.
Pada infeksi yang tipikal, makula merah muda yang menyatu menjadi
eritema difus pada muka dan badan serta artralgia pada tangan penderita
dewasa merupakan petunjuk diagnosis rubella.
Perubahan hematologik hanya sedikit membantu penegakan diagnosis.
Peningkatan sel plasma 5-20% merupakan tanda yang khas. Kadang-kadang
terdapat leukopenia pada awal penyakit yang dengan segera di ikuti
limfositosis relatif. Sering terjadi penurunan ringan jumlah trombosit.
10
Diagnosis pasti ditegakan dengan pemeriksaan serologi yaitu adanya
peningkatan titer antibodi 4 kali pada haemaglutination inhibition test (HAIR)
atau ditemukannya antibodi IgM yang spesifik untuk rubella. Titer antibodi
mulai meningkat 24-48 jam setelah permulaan erupsi dan mencapai
puncaknya pada hari ke 6-12. Selain pada infeksi primer, antibodi IgM
spesifik rubella dapat ditemukan pula pada reinfeksi. Dalam hal ini adanya
antibodi IgM spesifik rubella harus di interprestasi dengan hati-hati. Suatu
penelitian telah menunjukkan bahwa telah terjadi reaktivitas spesifik terhadap
rubella dari sera yang dikoleksi, setelah terinfeksi virus lain.
Pada kehamilan, 1-2 minggu setelah timbulnya rash dapat dilakukan
pemeriksaan serologi IgM-immunoassay (dengan sampel berasal dari
tenggorokan atau urin) sebanyak dua kali dengan selang 1-2 minggu. Bila
didapatkan kenaikan titer sebanyak 4 kali, dapat dipertimbangkan terminasi
kehamilan. (Nelson, 2000 / IDAI)
Diagnosis Rubella Kongenital
Pada neonatus diagbnosis rubella intrauterin ditegakan bila ditemukan 2
dari 3 tanda klinis utama (ketulian, katarak dan / atau retinopati rubella, lesi
jantung kongenital), serta ada bukti virologik dan / atau serologik setelah
lahir, atau mempunyai bukti infeksi rubella maternal selama kehamilan.
Adanya antibodi IgM dan produksi antibodi terus-menerus merupakan
petunjuk infeksi kongenital. Pada bayi yang terinfeksi kongenital, IgM serum
spesifik rubella dapat dideteksi sejak lahir selama beberapa bulan. Virus dapat
11
diisolasi dari sekret nasofaring, konjungtiva, urin, feses, dan cairan
serebrospinal. Ekskresi virus paling aktif 1-3 bulan sejak lahir dan 2-20%
bayi yang terinfeksi masih mengekskresi virus pada umur 1 tahun. Diagnosis
prenatal dapat dilakukan dengan RNA hybridization dari biopsi vilus korionik
dan kultur dari cairan amnion. (IDAI)
H. Komplikasi
Jarang terjadi pada anak. Pada remaja dan dewasa dapat terjadi artritis dan
artralgiadari sendi kecil tangan, kaki, lutut, dan bahu yang berupa
pembengkakan dan nyeri. Khususnya artralgia pada tangan timbul setelah
erupsi pada penderita dewasa, merupakan gejala klinis yang sangat
meyakinkan untuk rubella. Artritis dapat mengenai 30% serta 5% wanita.
Artritis biasanya hilang dalam 1 bulan. Ensefalitis dapat terjadi tetapi sangat
jarang (1:5000 kasus). Satu minggu setelah erupsi timbul dapat terjadi
purpura (purpura trombositopenik). Dapat pula terjadi epistaksis, perdarahan
gusi dan saluran cerna, hematuria serta ekimosis pada palatum dan periorbita.
Penyulit tersebut jarang berakibat fatal dan umumnya penderita sembuh
dalam 2 minggu. . (Nelson, 2000 dan IDAI)
I. Penatalaksanaan
Pencegahan
Pada orang yang rentan, proteksi pasif dari atau pelemahan penyakit dapat
diberikan secara bervariasi dengan injeksi intramuskuler globulin imun serum
12
(GIS) yang diberikan dengan dosis besar (0,25-0,50 mL/kg atau 0,12-0,20
mL/lb) dalam 7-8 hari pasca pemajanan.
Sejak tahun 1979 vaksin virus hidup RA 27/3 (fibroblas paru embrional
manusia deretan WI-38) telah dugunakan hanya pada imunisasi aktif terhadap
rubella di Amerika Serikat. Vaksin RA 27/3 mempnyai banyak manfaat
melebihi ryubella lain yang dahulu digunakan karena menghasilkan antibodi
nasofaring dan berbagai variasi antibodi serum, membrikan proteksi yang
lebih baiokterhadap reinfeksi, dan sangat lebih menyerupai proteksi yang
diberikan oleh infeksi alamiah. Vaksin diberikan sebagai satu injeksi
subkutan. Vaksin ini berfungsi sebagai pencegahan adalah paling penting
untuk perlindungan janin.
Program vaksinasi rubella di Amerika Serikat mengharuskan untuk
imunisasi semua laki-laki dan wanita umur 12 dan 15 bulan serta pubertas
dan wanita pasca pubertas tidak hamil. Imunisasi adalah efektif pada umur 12
bulan tetapi mungkin tertunda sampai 15 bulan dan diberikan sebagai vaksin
campak-parotitis-rubella (measles-mumps-rubella/MMR). Imunisasi rubella
harus diberikan pada wanita pasca pubertas yang kemungkinan rentan pada
setiap kunjungan perawatan kesehatan.
Wanita hamil tidak boleh diberikan vaksin virus rubella hidup, tetapi
imunisasi yang tidak disengaja biasanya tidak harus merupakan alasan untuk
menghentikan kehamilan. Kontraindikasi lain meliputi status defisiensi imun,
13
sakit demam berat, hipersensitivitas terhadap komponen-komponen vaksin,
dan terapi dengan antimetabolit, kortikosteroid, dan bahan seperti steroid.
Manifestasin klinis yang mungkin menyertai imunisasi rubella adalah
demam, limfadenopati khas, ruam, dan artritis serta artralgia. Dua terakhir ini
lebih sering terjadi pada anak wanita lebih tua dan wanita dewasa dan dapat
berakhir selama beberapa minggu.
Manajemen Wanita Hamil yang Terpajan pada atau sedang Mendapat
Rubella
Wanita hamil, terutama pada awal kehamilan tetapi juga selama masa
seluruh kehamilan, harus menghindari berpajanan dengan rubella tanpa
memandang riwayat penyakit selama masa anak atau riwayat imunisasi aktif.
Risiko cedera pada janin berkurang pada minggu ke 14 kehamilan.
Karena sekitar 80% wanita usia subur imun terhadap rubella sebagai
akibat infeksi alamiah atau imunisasi, status imun terhadap rubella dari
wanita yang mungkin menjadi hamil harus ditentukan.
Jika wanita hamil yang status imunnya tidak diketahui terpajan pada
rubella, uji antibodi harus dilakukan segera sebagai cara gawat darurat. Jika
ditentukan oleh imun, wanita tersebut harus diyakinkan kembali bahwa
kehamilan dapat dilanjutkan tanpa risiko tambahan. Jika wanita tersebut
ditemukan rentan dan absorbsi terapeutik tidak dapat diterima, atau tidak
tersedia padanya, imunisasi pasif dengan GIS, 20-30mL intramuskuler harus
14
dicoba segera. Imunisasi aktif wanita hamil tidak dianjurkan. Jika rubella
kemudian berkembang pada stadium kehamilan yang mana dia merasa risiko
lebih besar daripada yang diinginkan untuk mengharapkan atau jika uji
antibodi serial menunjukan bahwa infeksi subklinis telah terjadi, aborsi dapat
dilakukan.
Reinfeksi. Insidens reinfeksi pada pemajanan individu yang secara
serologis imun pada virus liar adalah 3-10% pada mereka yang menunjukan
imunityas serologis tanpa riwayat imunisasi dan 14-18% pada mereka yang
dimunisasi dengan vaksin RA 27/3. Infeksi telah ditunjukan pada janin yang
telah mendapat vaksin rubella. Kaitan reinfeksi wanita hamil yang secara
serologis imun terhadap timbulnya malformasi kongenital tetap harus
ditentukan. (Nelson, 2000)
Pengobatan
Jika tidak ada komplikasi bakteri, pengobatan adalah somatis.
Adamantananim hidrokhlorida (amantadin) telah dilaporkan efektif in vitro
dalam menghambat stadium awal infeksi rubella pada sel yang dibiakan .
upaya untuk mengobati anak yang sedang menderita rubella konegnital obat
ini tidak berhasil. Karena amantadin tidak dianjurkan pada wanita hamil,
penggunaannya amat terbatas. Interferon dan isoprinosin telah digunakan
dengan hasil yang terbatas. (IDAI, Farmakologi FKUI)
15
J. Prognosis
Bayi dengan sindroma rubela spektrum komplit mempunyai prognosis
yang buruk, terutama bila penyakit terus memburuk selama masa bayi.
Prognosis jelas lebih baik pada penderita yang hanya mempunyai sedikit
stigmata sindroma, kemungkinan pada mereka terinfeksi pada akhir
kehamilan. (Nelson, 2000)
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rubella yang sering dikenal dengan istilah campak Jerman atau campak 3
hari adalah sebuah infeksi yang menyerang terutama kulit dan kelenjar getah
bening. Penyakit ini disebabkan oleh virus rubella ( virus yang berbeda dari
virus yang menyebabkan campak), yang biasanya ditularkan melalui cairan
yang keluar dari hidung atau tenggorokan. Penyakit ini juga dapat ditularkan
melalui aliran darah seorang wanita yang sedang hamil kepada janin yang
dikandungnya Akibat yang paling penting diingat adalah keguguran, lahir
mati, dan kelainan pada janin, yang terjadi jika infeksi rubella ini muncul
pada awal kehamilan, khususnya pada trimester pertama. Infeksi rubella yang
terjadi pada usia kehamilan >12 minggu jarang menyebebkan kelainan. Jika
virus tersebut menyerang ibu dengan kehamilan di bawah 12 minggu,
terutama 8 minggu pertama, tingkat keparahan bawaan lebih tinggi
dibandingkan virus rubella masuk pada usia kehamilan lebih lanjut.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman , Kliegman, Arvin,. Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Ed 15, EGC,
Jakarta, 2000.
2. Soedarmo S, Garna H, Dkk,. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis, Ed 2,
Badan Penerbit IDAI, Jakarta, 2002.
3. Syarif A, Dkk,. Farmakologi Dan Terapi, Ed 5, FKUI, jakarta, 2007.
18