Amir Khoiri Abstrak: Gerakan umat Islam dalam menuntut...
-
Upload
truongdien -
Category
Documents
-
view
227 -
download
0
Transcript of Amir Khoiri Abstrak: Gerakan umat Islam dalam menuntut...
Dakwah dalam Bingkai Gerakan Politik Islam di Indonesia
Amir Khoiri
Dosen STAI Indonesia
Abstrak: Gerakan umat Islam dalam menuntut keadilan terhadap
pelaku tindakan penistaan agama yang memicu terjadinya aksi
unjuk rasa “terbesar” dalam sejarah sosial politik di Indonesia
dituding sebagai gerakan politisasi agama dan mencederai ideologi
kebhinekaan. Aksi-aksi tandingan dan pemberitaan media
mainstream berupaya mempertegas nuansa politik di dalamnya
serta membuktikan bahwa gerakan tersebut jauh dari karakter
dakwah profetik bahwa Islam adalah rahmatan lil 'alamin. Pada
dasarnya, akar sejarah dinamika politik Islam tidak bisa lepas dari
perjuangan dakwah yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dan
para sahabat. Sejarah awal gerakan politik Islam menunjukkan
bahwa ada hubungan yang erat antara gerakan politik Islam dengan
kegiatan dakwah. Banyak ilmuwan muslim menyebut bahwa
gerakan politik Islam dan gerakan dakwah adalah saling mengisi
antara satu dengan yang lain.
Kata kunci: Pergerakan, Umat Islam, Politik, Dakwah
A. Pendahuluan
Islam adalah agama dakwah, artinya agama yang selalu mendorong
pemeluknya untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah,
mengajak dan menyeru orang lain untuk menerima Islam, dan
meyakininya dengan cara tersendiri. Dakwah menjadi penting karena
meliputi semua persoalan yang di dakwahinya oleh karena itu manusia di
anugrahi akal sehingga dituntut untuk berusaha mencurahkan potensi
insaninya dengan mempelajari, memahami, merenungkan, serta
mengamalkan pesan dakwah tersebut sehingga bisa di ambil manfaat
darinya.
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Dakwah merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari
pengalaman keislaman seseorang dalam sosio-budayanya, maka
penyampaian pesan dakwah ini pun dapat dilakukan dengan berbagai cara 1
yang sesuai dengan keahliannya. Selama hal tersebut tidak bertentangan
dengan prinsip kaidah ajaran Islam, maka dakwah dapat dilakukan
dengan cara: Lisan, Tulisan, Seni, Sastra, Budaya dan Sebagainya. Baik di
lakukan secara individu atau kelompok.
Islam telah memberi kemudahan bagi seluruh pemeluknya yang
ingin menyebarluaskan seluruh perintah dan larangan Allah SWT
khususnya, bagi para juru dakwah (baik personal maupun kelompok).
Allah memberikan kebebasan dalam menyapaikan pesan dakwah dengan
berbagai metode dakwah, serta kendaraan yang dipergunakan dalam
menyampaikan pesan-pesan agama. Dalam Surat an-Nahl ayat 125, Allah
berfirman: � ر�� ����� وٱ����� ٱ���� و���� ����� � أ��� إن ٱدع إ� ���� � � � ر�� �� أ�� �� �� �� ����ۦ و�� أ�� ������� � ��
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmahdan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk.”
Akan tetapi seiring dengan semakin kompleksnya kehidupan
karena terjadinya berbagai differensiasi dalam sendi kehidupan, maka
keinginan untuk menghadirkan ajaran agama (Islam) yang lebih
kontributif dan konstektual manjadi suatu kebutuhan yang tidak bisa
ditunda-tunda lagi. Karena betapapun sempurananya ajaran suatu agama
yang terekam dalam ayat-ayat suci Al-Qur'an dan al-Hadits, ajaran-ajaran
tersebut tidak akan mempunyai makna, ketika tidak mampu di break down
menjadi panduan fungsional yang dapat dirasakan bagi kebutuhan umat 2
manusia.
150 Amir Khoiri
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
1 Fathi Yakan, Membongkar jahilyah Meraih Sukses Dakwah, (Solo: Intermedia, 2003), h. 55
2 Muhammad Sulthon, Desain Ilmu Dakwah-Kajian Ontologis, Epistemologi dan Aksiologis, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003), h. xi
Dakwah dalam Bingkai Gerakan Politik Islam di Indonesia 151
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Dengan demikian maka tugas dakwahpun menjadi lebih kompleks
lagi, sehingga tidak jarang kita dengar ada yang disebut dengan dakwah
melalui internet, dakwah melalui media cetak, elektronik. Berangkat dari
kompleksnya kehidupan itu pula maka tidak sedikit masyarakat yang
mendirikan lemabaga-lembaga atau institusi yang bergerak di bidang
dakwah. Lebih dari itu, sepanjang sejarah sosial umat Islam di Indonesia,
telah berdiri berbagai organisasi sosial keagamaan, perkongsian ekonomi,
dan partai politik yang mengindentifikasi sebagai penggiat dakwah yang
berperan aktif dalam mensyiarkan ajaran Islam melalui kegiatan-kegiatan
yang menjadi spesifikasi organisasi masing-masing.
Tidak ada permasalahan ataupun perdebatan panjang dalam relasi
dakwah dengan gerakan sosial keagamaan, pendidikan, dan ekonomi.
Hampir semua elemen masyarakat, khususnya umat Islam, mendukung
upaya syiar Islam melalui kegiatan-kegiatan tersebut. Akan tetapi, ketika
dakwah dikorelasikan dengan politik, permasalahan dan perdebatan
muncul sebagai konsekuensi logis dari adanya pandangan dikotomis
antara agama dan negara.
Sejatinya, sebagaimana dinyatakan oleh Muhammad Natsir bahwa
agama bukan sekedar ritual peribadatan dalam istilah sehari-hari seperti
shalat, puasa dan sebagainya, tetapi agama meliputi semua kaidah dan
aturan dalam hubungan sosial kemasyarakatan. Oleh sebab itu, agar
kaidah dan aturan tersebut dapat berlaku sebagaimana mestinya,
diharuskan adanya kekuatan berupa kekuasaan dalam negara. Agama
dapat berkembang dengan negara, sebaliknya negara memerlukan agama 3
untuk mengembangkan bidang etika dan moral sosial dan politik.
Oleh karena itu, politik dan dakwah merupakan suatu kesatuan,
mustahil untuk dipisahkan. sebab agama merupakan ajaran tata perilaku
kemanusiaan, sehingga ia bukan hanya sistem teologi tetapi juga sebuah
kebudayaan yang kompleks. Dakwah harus didukung dengan sebuah
kekuasaan politik. Sebab, baik agama maupun politik, secara kasat mata 4
sama-sama berkolerasi dengan kemaslahatan umat.
3 Khumaidi, Pemikiran Sosial Politik Muhammad Natsir, Jurnal Online: Kontekstualita, Vol. 23, No. 1, Juni
2008, h. 110. 4 Syaiful Amin Sholihin, Tokoh Agama dan Pilihan Politik, (Yogyakarta, Tugu Pess, 2004), h. 27
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Dengan demikian meskipun bahwa dakwah dan politik adalah dua hal
yang berbeda namun saling terkait dalam mencapai tujuan tertentu, jika
dakwah diletakkan dalam politik maka dakwah akan menjadi instrument
dan sarana untuk mencapai tujuan politik. Berpolitik dalam Islam berarti
menjunjung tinggi dakwah Islamiyah.
B. Gerakan Politik Islam di Indonesia
Setelah merdeka, wacana politik Indonesia mewariskan
kebingungan tertentu, terutama dalam hal pemahaman atas apa yang
dinamakan politik Islam. Sebagai bias dari dinamika politik Islam yang
muncul sejak tahun 1930-an, maka diskursus politik Islam Indonesia pasca
kemerdekaan masih diramaikan dengan polarisasi golongan agama dan
golongan nasionalis sekuler, atau setidaknya golongan netral agama.
Golongan pertama jelas ingin menjadikan Islam sebagai dasar agama yang
secara konkrit diperjuangkan mereka dalam BUPKI atau Sidang
Konstituante, sedangkan kelompok kedua ingin membedakan dan bukan
memisahkan antara persoalan agama dan masalah politik kenegaraan
dengan Pancasila sebagai dasar negara. Sedangkan yang ketiga adalah
kelompok yang tidak sepenuhnya mengosongkan kehidupan politik 5
kenegaraannya dari nilai-nilai Islam.
Interaksi antara ketiga kelompok inilah yang mewarnai politik
Indonesia pada masa awal kemerdekaan dan nampaknya terus berlanjut
hingga saat ini, dan secara khusus interaksi tersebut memberikan kerangka
bagi berkembangnya pengalaman Islam Indonesia.
Tumbangnya kekuasaan Orde Lama pada tahun 1965-1966 dan
bangkitnya Orde Baru tetap merupakan persoalan amat penting bagi
bangsa Indonesia. Salah satu hal relevan yang muncul sebagai akibat dari
lahirnya Orde Baru adalah perubahan pemikiran ekonomi dan sosial
politik masyarakat Indonesia. Dampak tersebut akan semakin jelas pada
respons pemikiran masyarakat Islam Indonesia. Sebab bagaimanapun juga
perubahan-perubahan pemikiran umum itu mempengaruhi
perkembangan pola pemikiran Islam.
5 Bakhtiar Effendy, "Repolitisasi Islam : Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik ?", dalam Politik Demi Tuhan,
(Bandung Pustaka Hidayah, 1999), h. 38
152 Amir Khoiri
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Dalam kaitannya dengan dinamika politik Islam, "Orde Baru yang
dibentuk oleh Soeharto tidak menggambarkan kemenangan bagi 6
kekuatan-kekuatan Islam Indonesia." Sebab, di masa Orde Baru,
intelektualisme, termasuk di dalamnya pemikiran politik Islam,
berkembang pesat, tetapi sama sekali berada di luar aktivitas politik
kepartaian.
Jelasnya, pada masa Orde Baru, wacana pemikiran politik
mengalami kevakuman, tetapi dalam politik Islam, kevakuman itu hanya
terjadi dalam konteks partai politik. Sedangkan di luar partai politik
pemikiran politik Islam terus berkembang secara signifikan, sejalan dengan
derasnya dinamika pemikiran intelektualisme baru Islam. Produktivitas
para cendekiawan muslim dalam menghasilkan karya-karya dalam
pemikiran politik, lebih tinggi di bandingkan dengan cendekiawan
Indonesia lainnya.
Gerakan-gerakan politik yang "berbau" Islam, pada masa sini benar-
benar dikebiri, terlebih dengan andilnya kelompok militer dalam
mendukung sikap politik Soeharto. Salah satu upaya sistematis yang
dilancarkan Soeharto untuk menghindari dominasi kelompok muslim
yang menawarkan ideologi alternatif (Islam) bagi negara Indonesia adalah
dengan mewajibkan Pancasila sebagai asas tunggal bagi setiap organisasi
di Indonesia.
Secara umum, kegiatan politik pasca Orde Baru berorientasi pada
proses liberalisasi politik yang menuntu redefinisi hak-hak politik rakyat
yang selama bertahun-tahun diberangus Orde Baru. Sayangnya,
sebagaimana diungkapkan oleh M. Deden Ridwan, bahwa "di tengah
suasana transisi itu, hampir tidak ada kalangan - termasuk umat Islam - 7
yang begitu peduli pada kewajiban-kewajiban politik mereka." Padahal
berdemokrasi mesti dimulai dengan belajar menjalani dan mengakui
pelbagai paradoks. Demokrasi hanya akan tegak manakala ada keikhlasan
semua orang untuk mendamaikan kebebasan dengan keseimbangan
antara hak dan kewajiban.
6 John Obert Voll, Politik Islam Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Modern, (Yogyakarta : Titian Ilahi Press,
1997), h. 3107 M. Deden Ridwan, "Perubahan Politik dan Kebangkitan Peran Umat Islam", dalam Kehampaan Spiritual
Masyarakat Modern, (Jakarta : Media Cita, 2000), Cet. Ke-1, h. 224
Dakwah dalam Bingkai Gerakan Politik Islam di Indonesia 153
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Runtuhnya kekuasaan Orde Baru menjadi fenomena tersendiri bagi
bangkitnya partai Islam di Indonesia, meski masih diragukan apakah juga
mengindikasikan bangkitnya politik Islam di Indonesia. Tapi setidaknya,
angin reformasi telah mendorong umat Islam untuk merestrukturisasi
peran politiknya yang selama Orde Baru terpuruk. Hal ini ditandai dengan
semangat yang luar biasa para cendikiawan, tokoh-tokoh Islam, dan ulama
dalam mendirikan partai politik atau sekedar berafiliasi ke partai politik
tertentu.
Dalam waktu singkat dan tanpa ada yang bisa menghalangi, partai-
partai politik bermunculan. Hanya dalam waktu beberapa bulan setelah
periode reformasi dimulai, Indonesia mempunyai lebih dari 170-an partai.
Partai-partai yang menggunakan lebel agama sudah berada di atas angka
50-an termasuk partai-partai Islam. Setelah melalui proses verifikasi, hanya
48 partai yang dinilai layak mengikuti pemilu, dan satu pertiganya adalah
partai-partai Islam.
Fenomena ini melahirkan penilaian tersendiri dalam diri umat
Islam, dan yang paling umum adalah adanya anggapan bahwa telah terjadi
repolitisasi Islam, walau sebenarnya umat Islam tidak pernah berhenti
berpolitik, dan meski Islam juga bukan agama politik. Namun, suatu hal
yang perlu diingat, bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah
beragama Islam. Langsung atau tidak langsung, hal itu mempunyai
implikasi politik. Dengan kata lain, kekuatan politik apapun, lebih-lebih
partai politik, akan sangat memperhitungkan realitas demografis seperti
itu. Artinya, massa Islam akan menjadi "harta" yang diperebutkan oleh
partai-partai yang baru muncul dan dipertahankan oleh partai-partai yang 8
sudah lama ada.
Pada masa inilah muncul fenomena “partai dakwah” sebuah slogan
verbal yang diharapkan dapat membius orientasi politik umat Islam untuk
mendukung partai politik yang mengidentikan dirinya sebagai gerakan
dakwah. Hanya saja perilaku yang ditunjukkan oleh politisi, praktisi, dan
simpatisan partai dengan slogan di atas menimbulkan gesekan tersendiri
dalam masyarakat. Pasalnya, gerakan “politik dakwah” tersebut terkesan
kurang menjunjung nilai demokrasi atau lebih menunjukkan sikap
militansinya atau fundamentalis dan konservatifnya.
8 Bahtiar Effendy, "Islam di Tengah Polarisasi Politik", dalam Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern,
(Jakarta : Media Cita, 2000), Cet. Ke-1, h. 205
154 Amir Khoiri
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Apresiasi politik umat Islam, khususnya di Indonesia, tentunya akan
menggambarkan pandangan mereka tentang Islam dan politik. Bisa saja
perilaku itu berubah-ubah pada setiap fase perkembangan politik di
Indonesia, sesuai dengan tingkat pemahaman yang diterima ataupun
respons yang dikembangkan oleh umat Islam pada setiap fasenya, di
samping adanya intervensi pengarahan dari para penguasa terhadap
apresiasi politik umat Islam, baik secara persuasif maupun represif.
C. Rekonstruksi Dakwah dalam Politik
Dari gambaran tentang dinamika politik Islam di Indonesia nampak
bahwa Islam dan politik di Indonesia tidak dapat dipisahkan, meski bentuk
dan pola relasi tersebut berbeda-beda. Karenanya dakwah sebagai bagian
dari ajaran Islam memiliki pola relasi yang sama dalam prinsip pemikiran
politik umat Islam di Indonesia.
Dakwah merupakan rekonstruksi muslim sesuai dengan ajaran
Islam. Semua bidang kehidupan dakwah dijadikan arena dakwah, dan
seluruh kegiatan hidup manusia ela digunakan sarana atau wasilah
dakwah. Kegiatan politik misalnya, sebagaimana kegiatan ekonomi,
usaha-usaha sosial, gerakan-gerakan budaya, kegiatan-kegiatan ilmu dan
teknologi, kreasi seni, kodifikasi hukum, dan lain sebagainya, bagi seorang 9
muslim seharusnya memang menjadi alat dakwah.
Sebaliknya, menjadikan dakwah sebagai alat politik adalah sesuatu
yang tidak dibenarkan. Dakwah harus diposisikan pada dimensi yang
bebas dan tidak monopoli atau subsosial daripada lembaga atau kekuatan
politik tertentu. Sebaliknya, dakwah harus menjadi bahagian dari
berbagai pihak yaitu negara, organisasi, lembaga dan partai politik, dalam
menegakkan amar ma'ruf nahi munkar. Hal tersebut didasarkan pada
pemikiran sejarah bahwa dakwah lebih tua usianya daripada politik dan
dakwah bersifat universal.
9 M. Amien Rais, Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, 1991), h. 27
Dakwah dalam Bingkai Gerakan Politik Islam di Indonesia 155
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Politik sebagai salah satu aspek kehidupan manusia menurut Deliar
Noer adalah perilaku atau tindakan baik yang dimanifestasikan melalui
aktivitas-aktivitas atau pun berupa sikap, yang tujuannya adalah
melakukan perbuhan terhadap ta tanan masyarakat a tau 10
mempertahankannya dengan menggunakan kekuasaan. Dengan
demikian, dalam pandangan Deliar Noer kekuasaan bukanlah politik tapi
perilaku atau tindakan untuk melakukan perubahan atau
mempertahankan tatanan masyarakatlah yang menjadi hakikat politik,
sementara kekuasaan hanyalah alat yang digunakan dalam politik
(perilaku/tindakan), karena dengan kekuasaanlah sebuah kebijakan
politik dapat dipatuhi dan terlaksana
Politik sebagai aspek penting dalam kehidupan manusia, bahkan
bagi seorang muslim hendaknya menjadi kegiatan integral dari kehidupan
yang utuh, mengingat bahwa suatu masyarakat hanya ela hidup secara
teratur kalau ia hidup dan tinggal dalam sebuah negara dengan segala
perangkat kekuasaannya. Politik sangat menentukan corak sosial, 11
ekonomi, budaya, hukum, dan berbagai aspek kehidupan lainnya.
Dakwah sebagai titah daripada Allah SWT harus lebih abadi
daripada masyarakat, budaya, politik bahkan negara. Oleh sebab itu,
seharusnya politik yang dijadikan sebagai instrumen dakwah, bukan
sebaliknya. Memang tidak ada asas naqli yang melarang mendirikan partai
politik berdasarkan agama. Niat mendirikan partai politik untuk
menegakkan agama adalah sesuatu yang sah. Namun kerena berbagai
kepentingan yang bersifat duniawi, politik sering kali menyimpang
daripada tujuan semula. Politik dengan sifat relativismenya mudah larut
pada kepentingan sesaat, terutama untuk kepentingan pemilih, sehingga
keputusan politik sangat mementingkan konstituennya. Dengan kata lain,
seorang politikus menjadi wakil daripada orang yang memilihnya.
Sedangkan dalam dakwah, bukan kepentingan sasaran yang utama, tetapi
nilai-nilai kebenaran yang bersumberkan al-Qur'an dan Sunnah yang 12
harus disampaikan
10 Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, (Jakarta: Rajawali Press, 1983), h. 6
11 M. Amien Rais, Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta, h. 27
12 Buyung Ali Sihombing, “Realitas dan Idealitas Politik Islam: Simbiosis Politik dengan Dakwah”, dalam
Jurnal Miqot, Vol. XXII, Nombor 1, Januari 2003. Medan: IAIN Press, h. 157
156 Amir Khoiri
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Dakwah sebagaimana disebutkan di atas merupakan sebuah
kegiatan untuk merekonstruksi masyarakat sesuai dengan ajaran Islam.
Sehingga seluruh aspek kehidupan manusia adalah arena dakwah. Untuk
merealisasikan dakwah dalam setiap bentuk aktivitas manusia, maka
seluruh kegiatan atau profesi manusia juga merupakan sarana maupun alat
(instrumen) dakwah Islam. Tanggung jawab dakwah tidak hanya tugas
ulama, kiyai atau ustadz akan tetapi merupakan tugas ekonom, politikus
penguasa dan profesi lainnya. Pada diri mereka juga ada kewajiban dan
tanggung jawab untuk melaksanakan dakwah menurut kemampuan 13
dimilikinya.
Tidak dapat diragukan lagi bahwa politik dan dakwah memiliki
hubungan yang sangat erat dalam perspektif Islam. Nabi Muhammad
SAW ketika di Madinah telah memberi contoh bagaimana berperan dalam
pgembangan Islam. Politik menyangkut urusan kekuasaan dan cara-cara
menggunakan kekuasaan. Dalam prakteknya, politik selalu dihubungkan
dengan cara dan proses dalam pengelolaan pemerintahan suatu negara.
Oleh karena itu politik merupakan salah satu kegiatan penting dalam
masyarakat, dikarenakan hampir seluruh masyarakat di dunia ini hidup
dalam suatu sistem politik. Politik memiliki peran penting dalam
menentukan corak dan bentuk pengaturan kehidupan sosial, ekonomi,
budaya, hukum dan berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Dalam konteks itu, menarik sekali mengikuti jalan pikiran Ibn
Khaldun (1332-1406 M). Menurut beliau pemerintah akan lebih berwibawa
jika pelaksanaan kekuasaan yang dijalankan berdasarkan nilai-nilai
agama. Bahkan hal tersebut akan bertahan apabila dalam pelaksanaannya
mengikut nilai-nilai kebenaran, kerana hati manusia hanya dapat
disatupadukan dengan pertolongan Allah Swt. Kekuasaan yang
berasaskan agama akan menjadi kokoh kerana mendapat dukungan
rakyat. Selain itu agama dapat meredakan pertentangan dalam masyarakat 14
dan rasa iri hati untuk terwujudnya persaudaraan sejati.
13 M. Amien Rais, Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta, h. 27
14 Charles Issawi, An Arab Philosophy of History. (Terj.) A. Mukti Ali. (Jakarta: Tintamas, 1976), h.180
Dakwah dalam Bingkai Gerakan Politik Islam di Indonesia 157
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Oleh karena itu, aktivitas politik sejatinya berdasarkan agama
yang bersumberkan al-Qur'an dan Hadis. Politik tidak berjalan sendiri
tanpa dikawal oleh agama dan tidak memisahkannya dengan dakwah.
Realitas saat ini adalah bahwa dakwah dilakukan oleh ulama dan da'i,
sementara kekuasaan politik oleh sultan, raja atau presiden. Hal ini
menyebabkan terjadinya pemisahan antara pelaksanaan politik dan
dakwah. Padahal Nabi Muhammad SAW dan para khulafa al-rasyidin tidak
pernah memisahkan antara praktek politik dengan aktivitas dakwah.
Nabi Muhammad SAW dalam menjalankan dakwahnya tidak
terlepas dari praktek-praktek politik untuk melaksanakan yang makruf 15
dan mencegah yang mungkar. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi politik
dalam penyebaran agama menjadi relevan dan penting dipraktekkan.
Agama dan politik mempunyai kaitan yang sukar dipisahkan. Sebab hidup
di dunia tidak hanya untuk kepentingan dunia semata, tapi dunia harus 16
mampu membawa setiap muslim untuk kebahagiaan di akhirat.
Sesungguhnya kehidupan di dunia bukanlah tujuan akhir dari
kehidupan manusia. Kehidupan di dunia hanya satu babak yang dijalani
menuju kehidupan akhirat. Ajaran Islam yang bersifat politik menaruh
perhatian terhadap kehidupan dunia. Disebabkan itu, imamah merupakan
warisan yang ditinggalkan Nabi Saw. untuk melaksanakan hukum-hukum
Allah swt. demi terwujudnya kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.
Menurut M. Amien Rais aktivitas politik dinilai baik, bilamana
memberi manfaat bagi seluruh rakyat dan sesuai dengan konsep rahmat 17
sejagat atau menurut istilah al-Quran rahmah li al-'alamin. Selanjutnya
beliau menyatakan bahwa politik harus difahami dalam tiga kategori:
Pertama, politik sebagai amanah dari masyarakat yang harus
dijalankan dengan sebaik-baiknya. Kekuasaan harus dipandang
sebagai nikmat yang dikaruniakan Allah untuk mengayomi
masyarakat, menegakkan keadilan, dan memelihara orde atau tertib
sosial yang egalitarian.
15 Muhammad Husayn Haykal, Hayātu Muhammad. (Al-Qāhirah: Dar al Ma'arif, 1972), h. 106.
16 'Ali 'Abd al Mu'ti Muhammad, Al Fikr al-Siyasi fi al-Islam. (Iskandariyah: Dar al-Jami 'ah, 1978), h. 39.
17 M. Amien Rais, Hubungan antara Politik dan Dakwah: Berguru kepada M. Natsir,(Bandung: Mujahid, 2004), h. 10.
158 Amir Khoiri
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Kedua, aktivitas politik harus dipertanggungjawabkan kepada Allah
SWT, sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW,
set iap orang pada dasarnya pemimpin yang harus
mempertanggung jawabkan kepemimpinannya atau tugas-
tugasnya, yang bukan hanya tanggung jawab di hadapan lembaga
atau institusi, melainkan juga di hadapan Allah kelak di akherat,
tanggung jawab inilah justru yang paling penting.
Ketiga, aktivitas politik harus sejalan dengan prinsip-prinsip
persaudaraan dalam Islam. yakni persamaan diantara umat
manusia, yang dalam arti luas meliputi batas-batas etnik, rasial, 18
agama, latar belakang sosial, keturunan, dan sebagainya.
Dari pemaparan di atas nampak jelas bahwa dakwah dan politik
adalah dunia yang terkadang menampilkan wajah dan perspektif berbeda.
Politik adalah dunia yang berhubungan erat dengan kekuasaan dan
persoalan mengelola negara oleh karena itu politik cenderung
menghalalkan segala cara untuk memperoleh tujuan politiknya dan tidak
terlalu memperdulikan efek yang akan terjadi. Berbeda dengan politik
yang bersifat duniawi, dakwah bersifat lebih sakral. Dakwah menjadi
semacam media untuk mensosialisasikan ajaran-ajaran dan ide yang
berkembang dalam Islam.
Aktifitas dakwah memiliki peranan yang cukup signifikan dan
strategis dalam proses penyebaran ajaran agama Islam. Proses penyebaran
dan perkembangan Islam sejak zaman Nabi Muhammad hingga saat ini
tidak bisa dipisahkan dari peran penting dakwah itu sendiri. Islam melalui
dakwah diharapkan mampu melakukan proses internalisasi nilai-nilai
Islam sehingga dihayati dan diamalkan dalam kehidupan individu,
keluarga, masyarakat dan negara untuk kebahagiaan manusia dunia dan
akhirat. Pemahaman yang demikian menempatkan dakwah sebagai
program besar dan penting atau azmil umur. Oleh karena itu, aktivitas
dakwah menuntut keterlibatan semua umat Islam dalam berbagai profesi
dan keahlian dan melalui berbagai aspek kehidupan, termasuk bidang
politik.
18 M. Amien Rais, Hubungan antara Politik dan Dakwah…, h. 10-12.
Dakwah dalam Bingkai Gerakan Politik Islam di Indonesia 159
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Politik sebenarnya tidak berbeda dengan upaya menata masyarakat,
Melandasi masyarakat dengan akhlakul karimah, menggugah mereka
dengan hilanah yang mulia, mempersatukan mereka dengan sikap
persaudaraan dan kasih sayang. Politik juga bertujuan untuk meratakan
keadilan, kesejahteraan, dan tolongmenolong, menegakkan
kepemimpinan yang mengabdi kepada kepentingan umat, mencintai dan
dicintai umat, menata masyarakat berdasar hukum yang tidak berat
sebelah, dan menegakkan martabat manusia yang mulia untuk membina
perdamaian dan kemajuan yang bermanfaat.
Sejarah mencatat bahwa perkemangan Islam tidak lepas dari
pengaruh politik. John L. Esposito dalam bukunya “Islam and Politics”
menjelaskan bahwa peran politik pada awal Islam mengungkapkan sejarah
yang kaya dan kompleks. Umat Islam terbukti menjadikan iman sebagai
penggerak dan pemersatu umat untuk mencapai kekuasaan politik. Ajara
Islam menjadi ideologi perekat yang mampu motivasi suku Arab untuk
bersatu dalam merlakukan ekspansi dan penaklukan untuk mendirikan
sebuah sistem kekuasaan yang berlandaskan Islam. legitimasi dan otoritas
penguasa, hukum resmi mengakui negara, dan lembaga peradilan, 19
pendidikan, dan sosial yang berakar pada Islam.
Akan tetapi, dalam perjalanan sejarah Islam, persoalan dakwah dan
politik telah menjadi perhatian serius. Sebahagian ulama menganggap
bahwa dakwah dan politik tidak boleh dipisahkan dalam kehidupan
masyarakat Islam, sedangkan yang lain berpandangan bahwa dakwah dan
politik adalah hal sangat berlawanan dan tidak boleh dicampur-adukkan
satu dengan lainnya
Namun, sesungguhnya dakwah dan politik dalam praktek
kehidupan sosial harus dipahami dan digambarkan bagaikan dua sisi mata
uang. Satu sama lain saling melengkapi, tidaklah dianggap sempurna
apabila satu diantaranya tidak ada. Artinya bahwa dakwah dan politik itu
tidak dapat dipisahkan namun dapat dibedakan. Keduanya memiliki titik
temu, di mana dakwah dan politik dipahami sebagai sarana menata
kebutuhan hidup manusia secara menyeluruh sebagai upaya peningkatan
dan perbaikan kualitas hidup dan kehidupan masyarakat.
19 John L. Esposito, Islam and Politics, (New York: Syracuse University Press, 1998), h. 31
160 Amir Khoiri
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Bagi setiap muslim, kegiatan politik juga harus menjadi bagian
integral dari kehidupan yang utuh. Oleh karena itu politik adalah sebagai
alat dakwah maka aturan permainan yang harus ditaati juga harus paralel
dengan aturan permainan dakwah. Misalnya, tidak boleh menggunakan
kekerasan atau paksaan, tidak boleh menyesatkan, tidak boleh
menjungkirbalikkan kebenaran dan juga tidak boleh diperkenankan
adanya penggunaan-penggunaan induksi-induksi psikotropik yang
mengelabui masyarakat. Di samping itu, keterbukaan, kejujuran, rasa
tanggung jawab, serta keberanian menyatakan yang benar adalah benar
dan yang batil adalah batil harus emnjadi ciri-ciri politik yang berfungsi
sebagai sarana dakwah.
Untuk itu, agar politik benar-benar dapat menjadi sarana atau media
dakwah, maka sesuai dengan pandangan Amin Rais tentang aktivitas
politik yang baik, maka konstruksi dakwah melalui politik meliputi tiga
aspek:
1. Dakwah harus mendorong terciptanya pemerintahan amanah,
melindungi masyarakat, menegakkan keadilan dengan berpegang
pada pemeliharaan ketertiban sosial dan kesetaraan. Oleh sebab itu,
dakwah dalam konteks ini, baik verbal ataupun non verbal, harus
mengedepankan kepentingan ini. Para ulama dan da'i harus berani
mengkritisi pemerintah dan mendorong mereka mewujudkan
kehidupan sosial politik yang sedemikian rupa dengan tetap
berpegang pada pemeliharaan ketertiban sosial dan egaliter.
2. Dakwah harus mendorong lahirnya pemimpin yang memiliki
kesadaran untuk mempertanggung jawabkan kepemimpinannya di
hadapan Allah SWT bukan hanya bertanggung jawab terhadap
institusi yang mengangkatnya. Dalam konteks ini para ulama dan
da'i harus berani mengkritik para pemimipin yang hanya memiliki
orientasi politik duniawi yang hanya menjalankan tugas dan
tanggung jawabnya untuk “menyenangkan” atasannya dengan
membangun kesadaran spiritual bahwa jabatan yang dipegangnya
adalah amanah Allah SWT yang harus dipertanggung jawabkan
kepada-Nya. Dengan demikian, tidak sepatutnya ulama dan da'i
menjadi pendukung pemimpin yang zhalim dan miskin
spiritualitas.
Dakwah dalam Bingkai Gerakan Politik Islam di Indonesia 161
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
3. Dakwah harus memegang tegush prinsip ukhuwah dalam Islam.
Dalam konteks ini para ulama dan da'i dalam menjalankan aktivitas
dakwahnya melalui bidang politik tidak sepatutnya memicu
perpecahan di kalangan umat Islam khususnya dan masyarakat luas
pada umumnya. Mereka harus terus menjadi perekat umat tanpa
melakukan diskriminasi golongan tertentu. Sikap kritis mereka
hendaknya diarahkan kepada perilaku bukan pada latar belakang
etnis, ras, agama, sosial, keturunan, dan sebagainya.
D. Penutup
Gerakan dakwah dalam ranah politik merupakan hak setiap ulama
dan da'i, akan tetapi gerakan atau organisasi dakwah harus menyadari
serta mewaspadai terhadap orang atau oknum yang hendak memperalat
dakwah sebagai kendaraan politik dunia. Gerakan dakwah harus dapat
mengunakan berbagai instrument kehidupan yang ada saat ini untuk
kepentingan dakwah. Ulama maupun para dai yang bergabung dalam
gerakan organisasi atau gerakan dakwah, harus menyadari bahwasanya
dirinya merupakan bagian dari mata rantai perjuangan umat. Untuk itu
dalam konstruksi dakwahnya mereka harus mampu mendorong
tumbuhnya kesadaran sikap amanah para pemimpin, kepekaan spiritual
dalam mempertanggung jawabkan kepemimpinan, dan menjaga prinsip
ukhuwah dalam Islam guna memunculkan nilai-nilai Islam universal.
162 Amir Khoiri
DAFTAR PUSTAKA
Charles Issawi, An Arab Philosophy of History. (Terj.) A. Mukti Ali. Jakarta:
Tintamas, 1976.
Effendy, Bahtiar, "Islam di Tengah Polarisasi Politik", dalam Kehampaan
Spiritual Masyarakat Modern, Jakarta : Media Cita, 2000.
_________, "Repolitisasi Islam : Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik ?",
dalam Politik Demi Tuhan, Bandung Pustaka Hidayah, 1999.
Esposito, John L., Islam and Politics, New York: Syracuse University Press,
1998.
Haykal, Muhammad Husayn, Hayaatu Muhammad, Mesir: Dar al Ma'arif,
1972.
Khumaidi, Pemikiran Sosial Politik Muhammad Natsir, Jurnal Online:
Kontekstualita, Vol. 23, No. 1, Juni 2008.
Muhammad, 'Ali 'Abd al Mu'ti, Al Fikr al-Siyasi fi al-Islam. Iskandariyah:
Dar al-Jami 'ah, 1978.
Noer, Deliar, Pengantar ke Pemikiran Politik, Jakarta: Rajawali Press, 1983.
Rais, M. Amien, Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan,
1991.
_________, Hubungan antara Politik dan Dakwah: Berguru kepada M. Natsir,
Bandung: Mujahid, 2004.
Ridwan, M. Deden, "Perubahan Politik dan Kebangkitan Peran Umat
Islam", dalam Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, Jakarta : Media
Cita, 2000.
Sholihin, Syaiful Amin, Tokoh Agama dan Pilihan Politik, Yogyakarta, Tugu
Pess, 2004.
Sihombing, Buyung Ali, “Realitas dan Idealitas Politik Islam: Simbiosis
Politik dengan Dakwah”, dalam Jurnal Miqot, Vol. XXII, Nombor 1,
Januari 2003. Medan: IAIN Press.
Dakwah dalam Bingkai Gerakan Politik Islam di Indonesia 163
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Sulthon, Muhammad, Desain Ilmu Dakwah-Kajian Ontologis, Epistemologi dan
Aksiologis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Voll, John Obert, Politik Islam Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Modern,
Yogyakarta : Titian Ilahi Press, 1997.
Yakan, Fathi, Membongkar jahilyah Meraih Sukses Dakwah, Solo: Intermedia, 2003.
164 Amir Khoiri
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017