alijma'

9
1. 1. Al-I jma a. Pengertian al-Ijma’ Al-Ijma’ menurut bahasa, ialah: “Sepakat atas sesuatu”. Sedangkan menurut istilah ahli usul fiqih, adalah: “Kesepakatan seluruh mujtahid muslim pada suatu masa tertentu setelah afat !asulullah sa. atas suatu hukum s"ara’ pada peristia "ang terjadi”. b. Rukun al-Ijma’ #$ Adan"a beberapa pendapat "ang menjadi satu pada satu masa tertentu %$ Adan"a kesepakatan pendapat semua mujtahid dari kaum muslimin atas suatu hukum s"ara’ mengenai suatu peristia hukum pada aktu terjadin"a, tanpa memandang tempat, kebangsaan dan kel&mp&k mereka '$ Kesepakatan pendapat itu n"ata, baik berupa perkataan maupun perbuatan ($ Kesepakatan pendapat dari mujtahij itu benar-benar terealisir . Kalau han"a sebagian saja dari mereka "ang merealisirn"a, maka tidak terjadi al-Ijma’ c. Macam-macam al-Ijma’ )itinjau dari segi *ara menghasilkann"a, ada d ua ma*am ijma’, "aitu: #$  Al-Ijma’ al-Sarih, "aitu kesepakatan para mujtahid pada suatu masa atas hukum suatu  peristia dengan *ara mereka menampilkan pendapatn"a masing-masing se*ara jelas, baik dengan perkataan ataupun dengan tulisan atau juga dengan perbuatan. %$  Al-Ijma’ al-Sukuty, "aitu jika sebagian mujtahid itu berdiam diri tidak berterus terang mengeluarkan pendapatn"a dan diamn"a itu bukan karena takut, segan atau malu, tapi betul-  betul mereka berdiam diri tidak memberikan pendapat sama sekali terhadap mujtahid lain, baik ia men"etujuin"a ataupun men&lakn"a. )itinjau dari segi kekuatann"a,ada dua ma*am pula, "aitu: #$  Ijma’ Qat’i dalalahn"a atas hukum,"aitu ijma’ Sarih %$  Ijma’ Dzanny dalalahn"a atas hukum, "aitu ijma’ sukuti. d. Kedudukan dan kehujjahan al-Ijma’ +ara lama "ang mengakui ijma’ sebagai hujjah, menetapkan pula baha ijma’ tersebut terletak di baah deretan al-ur’an dan al-Sunnah. Al-Ijma’ tidak b&leh men"alahi nash qat’i.

Transcript of alijma'

1. 1. Al-Ijmaa. Pengertian al-IjmaAl-Ijma menurut bahasa, ialah: Sepakat atas sesuatu. Sedangkan menurut istilah ahli usul fiqih, adalah:

Kesepakatan seluruh mujtahid muslim pada suatu masa tertentu setelah wafat Rasulullah saw. atas suatu hukum syara pada peristiwa yang terjadi.

b. Rukun al-Ijma1) Adanya beberapa pendapat yang menjadi satu pada satu masa tertentu

2) Adanya kesepakatan pendapat semua mujtahid dari kaum muslimin atas suatu hukum syara mengenai suatu peristiwa hukum pada waktu terjadinya, tanpa memandang tempat, kebangsaan dan kelompok mereka

3) Kesepakatan pendapat itu nyata, baik berupa perkataan maupun perbuatan

4) Kesepakatan pendapat dari mujtahij itu benar-benar terealisir. Kalau hanya sebagian saja dari mereka yang merealisirnya, maka tidak terjadi al-Ijma

c. Macam-macam al-IjmaDitinjau dari segi cara menghasilkannya, ada dua macam ijma, yaitu:

1) Al-Ijma al-Sarih, yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu masa atas hukum suatu peristiwa dengan cara mereka menampilkan pendapatnya masing-masing secara jelas, baik dengan perkataan ataupun dengan tulisan atau juga dengan perbuatan.

2) Al-Ijma al-Sukuty, yaitu jika sebagian mujtahid itu berdiam diri tidak berterus terang mengeluarkan pendapatnya dan diamnya itu bukan karena takut, segan atau malu, tapi betul-betul mereka berdiam diri tidak memberikan pendapat sama sekali terhadap mujtahid lain, baik ia menyetujuinya ataupun menolaknya.

Ditinjau dari segi kekuatannya,ada dua macam pula, yaitu:

1) Ijma Qati dalalahnya atas hukum,yaitu ijma Sarih2) Ijma Dzanny dalalahnya atas hukum, yaitu ijma sukuti.

d. Kedudukan dan kehujjahan al-IjmaPara Ulama yang mengakui ijma sebagai hujjah, menetapkan pula bahwa ijma tersebut terletak di bawah deretan al-Quran dan al-Sunnah. Al-Ijma tidak boleh menyalahi nash qati.

Jumhur ulama menetapkan bahwa al-Ijma yang dapat dijadikan hujjah syariah hanyalah ijma sarih, sedang ijma sukuti tidak dapat dijadikan hujjah. Ulama Hanafiah menetapkan bahwa kedua-duanya menjadi hujjah. Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa nilai kehujjahan ijma itu adalah dzanni.

2. Al-Qiyas1. a. Pengertian al-Qiyas Menurut bahasa, al-Qiyas berarti menyamakan sesuatu. Sedangkan menurut pengertian ahli usul fiqh, ialah:

Menyamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nash hukumnya, dengan sesuatu peristiwa yang telah ada nash hukumnya, karena ada persamaan illat-nya.

1. b. Rukun al-Qiyas dan syarat-syaratnya 1) Al-Ashl, yaitu masalah yang telah ada hukumnya berdasarkan nash; masalah ini disebut juga Maqis alaih, Musyabbah bih atau Mahmul alaih.

Hukum al-Ashl adalah hukum yang telah ada pada al-Ashl yang berdasarkan nash.2) Al-Faru, yaitu masalah baru yang belum ada hukumnya. Al-Faru, disyaratkan:

a) Belum ada hukumnya berdasarkan.

b) Mempunyai persamaan illat dengan Al-Ashl.

3) Illat Hukum, yaitu sesuatu sifat yang ada pada al-Ashl yang dijadikan dasar terbentuknya hukum. Illat disyaratkan:

a) Merupakan sifat yang nyata adanya dapat dicapai oleh indera manusia.

b) Merupakan sifat yang tegas dan tidak elastis, yakni dapat dipastikan eksistensinya pada al-Faru.

c) Merupakan sifat yang munasabah, yakni yang ada persesuaiannya antara hukum dan sifatnya.

d) Merupakan sifat yang tidak hanya terbatas pada Ashl saja, tetapi bisa juga berwujud pada beberapa satuan hukum yang bukan Ashl.

1. c. Kehujjahan al-Qiyas Jumhur ulama menerima al-Qiyas menjadi hujjah dalam keadaan:

a) Apabila hukum ashl ditetapkan illat-nya dalam nash.

b) Apabila al-Qiyas itu merupakan salah satu dari al-Qiyas yang dilakukan Rasul.

3. Al-Istihsana. Pengertian al-IstihsanAl-Istihsan menurut bahasa adalah manganggap sesuatu itu baik. Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda memberikan pengertian. Di antaranya ialah:

1). Menurut Ulama Hanafiyah:

Beralih pandangan dari satu dalil qiyas kepada qiyas lain yang lebih kuat atau mengecualikan qiyas dengan argumentasi yang lebih kuat (al-Bazdawiy).

2). Menurut Ulama Malikiyah:

Mengutamakan meninggalkan pengertian suatu dalil dengan cara istisna (pengecualian) dan tarkhis (berdasarkan pada keringanan agama), karena adanya suatu hal yang bertentangan dengan sebagian pengertian (Ibnu al-Arabi).

3). Menurut Ulama Hanabilah:

Beralih pada penetapan hukum suatu masalah dan meninggalkan yang lainnya, karena adanya dalil syara yang lebih khusus (Al-Thufi).

Dalam hubungannya dengan pengertian al-istihsan ini, Abdul Wahhab Khallaf mengemukakan pendapatnya bahwa al-Istihsan menurut istilah ahli usul fiqh ialah:

Beralih dari satu hukum mengenai suatu masalah yang ditetapkan oleh dalil syara kepada hukum lain (dalam masalah itu), karena adanya dalil syara yang menghandaki demikian.

b. Kehujjahan al-Istihsan. Jumhur Malikiyah dan Hanabilah menetapkan bahwa al-Istihsan adalah suatu dalil syari yang dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum terhadap sesuatu yang ditetapkan oleh qiyas atau keumuman nash.

Ulama Hanafiyah menggunakan al-Istihsan ini dengan alasan bahwa berdalil dengan al-Istihsan itu sebenarnya sama dengan berdalil dengan qiyas khafy atau berdalil dengan istislah, kesemuanya dapat diterima.

Menurut al-Syafii, al-Istihsan itu sekali-kali bukan dalil syari. Beliau menganggap orang yang menggunakan al-Istihsan sama dengan menetapkan syariat berdasarkan hawa nafsu atau berdasarkan pendapat sendiri yang mungkin benar dan mungkin pula salah.

Ibnu Hazm termasuk salah seorang uluma yang menolak al-Istihsan. Beliau menganggap bahwa al-Istihsan itu menganggap baik terhadap sesuatu menurut hawa nafsunya, dan itu bisa benar dan bisa pula salah, misalnya mengharamkan sesuatu tanpa dalil.

Perselisihan para ulama mengenai kehujjahan dan kebolehan al-Istihsan dijadikan sebagai jalan ijtihad ini, sebenarnya terletak pada perbedaan mereka dalam memberikan batasan terhadap al-Istihsan itu sendiri. Jadi bukan pada operasionalnya dalam menetapkan hukum berdasarkan al-Istihsan. Jika al-Istihsan diberi batasan sebagaimana dikemukakan oleh ulama Hanafiyah atau ulama Malikiyah, maka sebenarnya ulama Syafiiyah menggunakan cara mengistimbatkan hukum seperti itu. Segolongan ulama berpendapat bahwa al-Istihsan bukan dalil yang berdiri sendiri, tetapi memerlukan dan berpokok pangkal pada dalil syari lainnya.

4. Al-Istislah atau al-Maslahah al-Mursalah1. a. pengertian al-Istislah.Al-Istislah menurut bahasa berarti mencari kemaslahatan. Sedangkan menurut ahli usul fiqih adalah:

Menetapkan hukum suatu masalah yang tak ada nash-nya atau tidak ada ijma terhadapnya, dengan berdasarkan pada kemaslahatan semata (yang oleh syara tidak dijelaskan ataupun dilarang).

Jumhur ulama sepakat bahwa syara tidak mensyariatkan hukum kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Kemaslahatan manusia itu ada yang primer, sekunder dan tertier. Apabila syara menetapkan hukum terhadap suatu peristiwa serta menunjukkan kepada kemaslahatan yang dimaksudkan dan menerangkan pula illat yang menjadi dasar ditetapkannya hukum tersebut, maka segala kejadian yang tak ada hukumnya berdasarkan nash itu ditetapkan hukumnya dengan melihat kesamaan illat-nya. Maka yang demikian itu dinamakan qiyas. Sebaliknya, apabila peristiwa tersebut tidak ada nash-nya, dan syara juga tidak menunjukkan secara nyata adanya illat, namun yang ada hanyalah kemaslahatan yang dianggap sesuai untuk menetapkan hukum, maka hal serupa ini dinamakan maslahah mursalah.

b. Lapangan al-Istislah dan Kehujjahannya Ulama usul fiqih menetapkan bahwa al-Istislah tidak berlaku dalam bidang ibadah karena bersifat taabudi. Adapun dalam bidang selain ibadah dan selain ketentuan-ketentuan yang qati yang ditetapkan dalam bidang muamalah, demikian pula dalam bidang tazir, pembuktian perkara dan lain-lain, para uluma berbeda pendapat dalam mempergunakan al-Istislah ini.

Imam Malik dan Ahmad berpendapat bahwa al-Istislah adalah suatu jalan menetapkan hukum yang tak ada nash-nya dan tak ada pula ijma terhadapnya. Meski demikian, menurut mereka, Maslahah Mursalah atau al-Istislah yang tidak ditunjuki oleh syara dan tidak pula dibatalkannya dapat dijadikan dasar al-Istinbat.

Al-Thufi menetapkan bahwa al-Istislah adalah dalil syari dalam bidang muamalat. Al-Istislah tidak saja menjadi dalil bagi yang tak ada nash-nya, tapi juga pada dalil yang ada nash-nya, jika kemaslahatan menghendakinya.

c. Syarat-syarat berhujjah dengan al-Istislah Para ahli usul fiqh yang mempergunakan al-Istislah tidak begitu saja menetapkan kemaslahatan untuk dijadikan dasar keputusannya, akan tetapi mereka pun berhati-hati untuk menjaga agar tidak terpengaruhi oleh dorongan hawa nafsu. Karenanya dalam menetapkan hukum berdasarkan al-Istislah ini mereka memberikan syarat-syarat, yaitu:

1) Kemaslahatan yang dicapai dengan al-Istislah itu harus kemaslahatan hakiki. Maksudnya al-maslahah yang bisa mendatangkan kemanfaatannya dan menjahui kemadaratan.

2) Kemaslahatan yang dicapai dengan al-Istislah itu harus kemaslahatan umum, bukan kemaslahatan perseorangan atau golongan. Jelasnya, kemaslahatan itu harus dapat dan mampu memberi manfaat kepada sebagian besar dari masyarakat juga tidak membawa madarat pada sebagian yang lainnya.

3) Kemaslahatan yang dicapai dengan al-Istislah itu tidak bertentangan dengan nash syara atau ijma.

5. Al-Urfa. Pengertian al-Urf Al-Urf menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesutu yang diketahui, dikenal, dianggap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat.

Pengertian al-Urf menurut ahli fiqh ialah:

Sesutu yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka menjadikannya sebagai tradisi, baik berupa perkataan, perbuatan atau pun sikap meninggalkan sesuatu. Hal itu disebut juga kebiasaan.

b. Pembagian al-Urf

Ditinjau dari bentuknya, ada dua macam:

1) Al-Urf al-Qauli, ialah kebiasaan yang berupa perkataan, seperti kata Lahm (daging) dalam perkataan ini tidak termasuk daging ikan

2) Al-Urf al-Fili, yaitu kebiasaan yang berupa perbuatan, seperti kebiasaan jual-beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan akad jual-beli (ijab-qabul). Jual beli demikian disebut al-Bai bi al-Taatiy

Ditinjau dari segi nilainya, ada dua macam:

1) Al-Urf al-Sahih, yaitu al-Urf yang baik dan dapat diterima, karena tidak bertentangan dengan nash syara.

2) Al-Urf al-Fasid, yaitu al-Urf yang tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan nash syara.

Ditinjau dari segi luas berlakunya, ada dua macam:

1) Al-Urf al-Am, yaitu al-Urf yang telah berlaku di seluruh tempat sejak dahulu hingga sekarang, seperti adanya Salam menitipkan barang dengan membayar uang jerih payah pada penjaganya dan sebagainya.

2) Al-Urf al-Khas, yaitu al-Urf yang hanya berlaku atau hanya dikenal di sesuatu tempat saja, di tempat lain tidak berlaku. Misalnya: Penyerahan uang mahar ada yang sebelum dilaksanakan akad nikah, bersama-sama dengan penyerahan barang atau uang. Dan ada pula secara tersendiri bersamaan denga pelaksanaan akad nikah (ijab qabul nikah). Al-Urf al-Khas dapat pula dikatakan kebiasaan bagi masyarakat tertentu, seperti masyarakat pedagang, berupa pemberian uang/barang sebagai balas jasa.

c. Kehujjahan al-Urf Al-Urf yang Sahih dapat dijadikan dasar pertimbangan para mujtahid maupun para hakim untuk penetapan hukum atau keputusan.

Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum dengan berdasarkan pada perbuatan-perbuatan penduduk Madinah. Berarti ini menganggap apa yang telah berlaku pada masyarakat dapat diterima, dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara. Perbuatan penduduk Madinah tentu tidak akan menyimpang dari ketentuan syara.

Imam Syafii terkenal dengan Qaul Qadim dan Qaul Jadid-nya, karena melihat praktek yang berlaku dalam masyarakat Bagdad dan Mesir berlainan. Sebaliknya al-Urf yang fasid tidak dapat diterima. Hal ini sudah jelas karena bertentangan dengan syara baik nash maupun ketentuan umum dari nash.

6. Al-Istishaba. Pengertian Istishab Menurut bahasa, al-Istishab berarti mencari sesuatu yang selalu menyertai. Sedangkan menurut istilah ahli usul fiqh adalah:

Membiarkan berlangsungnya suatu hukum yang sudah ditetapkan pada masa lampau dan masih diperlukan ketentuannya sampai ada dalil lain yang merubahnya.

Menurut Ibn al-Qayyim, al-Istishab itu ialah melanjutkan ketetapan suatu hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu hukum yang sejak semula tidak ada.

b. Kehujjahan al-Istishab Para ahli usul fiqh berbeda pendapat dalam berpegang kepada al-Istishab. Berikut ini dikemukakan secara singkat.

Menurut Malikiyah, Hanabilah dan Dzahiriyah, al-Istishab itu menjadi hujjah baik dalam mengistimbatkan (menetapkan) maupun menafikan (meniadakan hukum).

Segolongan ulama Hanafiyah dan inilah yang dipilih oleh Ibnu Nujaim, menolak al-Istishab sebagai hujjah, mereka berkata: Adanya sesuatu pada masa yang lalu diperlukan adanya dalil, demikian pula adanya sesuatu pada sekarang diperlukan adanya dalil.

Di kalangan ulama Hanafiyah ada yang mengatakan: bahwa al-Istishab itu dapat dijadikan hujjah untuk menolak, tetapi tidak untuk menuntut hak. Misalnya: Hakim dapat menolak permintaan ahli waris membagi harta orang yang pergi tanpa berketentuan (Mafqud) dan belum diketahui akan kematiannya.

7. Syaru Man Qablanaa. Pengertian Syaru Man QablanaSyaru Man Qablana secara etimologis berarti:

Hukum yang disyariatkan oleh Allah Swt bagi orang-orang (umat-umat) sebelum kita.

Yang dimaksud Syaru Man Qablana oleh para ahli usul ialah syariat yang diturunkan oleh Allah Swt melalui Nabi-nabi atau Rasul-rasul-Nya sebelum Nabi Muhammad saw.

b. Pembagian Syaru Man Qablana 1) Hukum Syara yang tetap berlaku sampai sekarang berdasarkan pada nash-nash al-Quran, seperti tersebut pada surat al-Baqarah (2) ayat 183.

2) Hukum Syara yang hanya berlaku bagi umat dahulu saja, karena sudah di-naskh oleh al-Quran, seperti tersebut pada surat al-Anam (6) ayat 146.

3) Hukum Syara yang disebutkan oleh nash al-Quran maupun al-Sunnah, seperti firman Allah swt. dalam surat al-Maidah (5) ayat 45.

c Kedudukan Syaru Man Qablana Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan Syaru Man Qablana:

1) Sebagian ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Syafiiyyah, berpendapat bahwa syariat umat sebelum kita merupakan syariat untuk kita, kita wajib mengikuti serta menerapkannya, selama hukum itu telah diceritakan kepada kita dan dalam syariat kita tidak terdapat hukum yang me-naskh-nya. Syaru Man Qablana itu termasuk hukum-hukum Tuhan yang telah disyariatkan oleh Allah Swt melalui para Rasul-Nya dan Allah telah menceritakannya kepada kita. Bils tidak terdapat dalil dalam syariat kita yang me-naskh-nya, maka kita wajib mengikutinya.

2) Sebagian ulama berpendapat bahwa syariat kita, adalah syariat yang me-naskh (menghapus) syariat-syariat terdahulu, kecuali apabila di dalam syariat kita terdapat sesuatu dalil yang menetapkannya.

8. Saddu al-Dzariaha. Pengertian Saddu al-Dzariah Dzariah menurut bahasa identik dengan Wasiat (perantara). Dengan demikian Saddu al-Dzariah dapat diterjemahkan dengan menghambat atau menyumbat sesuatu yang menjadi perantara.

Saddu al-Dzariah yang dimaksud oleh para ahli usul adalah:

Mencegah sesuatu yang menjadi perantara pada kerusakan, baik untuk menolak kerusakan itu sendiri ataupun untuk menyumbat sarana yang dapat menyampaikan seseorang kepada kerusakan.

b. Dasar Penetapan Saddu al-DzariahPenetapan seperti ini dapat dijumpai dalam al-Quran atau al-Sunnah. Misalnya pada firman Allah surat al-Anam(6): 108, yang mana Allah melarang kaum muslimin memaki-maki sembahan-sembahan orang-orang musrik/watsani, karena mereka nanti akan memaki-maki Allah dengan melampaui batas. Demikian pula dalam surat an-Nur(24): 31, di sana Allah melarang wanita-wanita menghentakkan kakinya di waktu ia berjalan, karena hal itu akan menjadi sarana menampakkan perhiasan emas mereka dan akan menimbulkan gejolak hati laki-laki yang bukan haknya.

Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Ilam al-Muwaqqiin menyebutkan bahwa Nabi Saw melarang membunuh orang munafik (sekalipun orang itu sangat membahayakan), untuk menghindari sesuatu yang akan menimbulkan orang banyak menjauhi Nabi Saw.

c. Kualifikasi Dzariah yang Dilarang.Pada umumnya ulama menerima metode Saddu al-Dzariah, hanya saja mereka tidak sependapat terhadap rincian dzariah yang dilarang itu.

Untuk memberikan ukuran dan kualifikasi dzariah mana yang akan menimbulkan kerusakan dan dilarang memang agak sulit, tetapi kita mempunyai prinsip bahwa sikap menghindari sesuatu hal yang menimbulkan kerusakan harus didahulukan daripada menentukan sesuatu yang dikira akan mendatangkan kemaslahatan. Jelasnya, kita harus benar-benar mempertimbangkan antara kerusakan/kemudaratan dan kemaslahatan yang ditimbulkan oleh sesuatu perbuatan.

Semua yang dijelaskan di muka merupakan perangkat dasar bagi seorang muslim dalam melihat kasus-kasus fiqih. Tentu saja seorang ahli fiqih tidak cukup hanya mengetahui perangkat di atas, karena apa yang disebut di depan hanya sebagian kecil dari samudra fiqih.

Sebagai dasar utama pengetahuan sarjana muslim, apa yang diketengahkan di muka, dalam batas-batas tertentu sudah cukup memadai. Pengayaan dari materi selanjutnya harus dikembangkan secara mandiri dengan mencoba menganalisis beberapa kasus secara langsung. Apa yang telah dijelaskan didepan harus digunakan sebagai pisau analisis bagi pemecahan kasus-kasus fiqih yang dihadapi.