alergi obat

24
Nama : Amalia Fatmasari NPM : 1102011022 LI I. Memahami dan Menjelaskan Reaksi Hipersensitivitas 1.1. Defnisi Reaksi Hipersensitivitas merupakan suatu reaksi berubahnya respons imunologi, imana men!ai reaksi imun yang hebat terhaap masuknya atau paparan antigen" Reaksi yang ter!ai iba#a, baik melalui antiboy $imunitas humoral% maupun &M' $(im)osit * yang sensitive%" Hasil reaksi ini apat berupa suatu lesi ari bentuk ringan sebagai in+amasi lo al sampai syok yang menyeluruh, termasuk kemungkinan ter!ai kolapsnya sirkulasi yang )atal" 1.2. Klasifkasi Menurut -ell an &oombs, reaksi hipersensitivitas apat ibagi men!ai . tipe, yaitu : tipe ' hipersensiti) ana/laktik, tipe '' hipersensiti) sitotoksik yang bergantung antiboi, tipe ''' hipersensiti) yang iperani kompleks imun, an tipe ' hipersensiti) cell-mediated $hipersensiti) tipe lambat%" elain itu masih aa satu tipe lagi yang isebut sentivitas tipe atau stimulatory hipersensitivity " *ip e Manis)estasi Mekanisme ' Reaksi hipersensitivitas epat iasanya 'g 3 '' Antiboi terhaap sel 'g - an 'g M ''' 4ompleks antiboi5antigen 'g - $terbanyak% atau 'g M ' Reaksi hipersensitivitas lambat el * yang isensitisasi 1.3. Etiologi e ara umum semua bena i lingkungan $pakaian, makanan, tanaman, perhiasan, alat pembersih, sb% apat men!ai penyebab alergi, namun )aktor lain misalnya : a"perbeaan keaaan /sik setiap bahan b"kekerapan pa!anan "aya tahan tubuh seseorang

description

rgshft

Transcript of alergi obat

Nama : Amalia FatmasariNPM : 1102011022

LI I. Memahami dan Menjelaskan Reaksi Hipersensitivitas1.1. DefinisiReaksi Hipersensitivitas merupakan suatu reaksi berubahnya respons imunologi, dimana menjadi reaksi imun yang hebat terhadap masuknya atau paparan antigen. Reaksi yang terjadi dibawa, baik melalui antibody (imunitas humoral) maupun CMI (Limfosit T yang sensitive). Hasil reaksi ini dapat berupa suatu lesi dari bentuk ringan sebagai inflamasi local sampai syok yang menyeluruh, termasuk kemungkinan terjadi kolapsnya sirkulasi yang fatal.

1.2. KlasifikasiMenurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu : tipe I hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitifcell-mediated(hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut sentivitas tipe V ataustimulatory hipersensitivity.TipeManisfestasiMekanisme

IReaksi hipersensitivitas cepatBiasanya Ig E

IIAntibodi terhadap selIg G dan Ig M

IIIKompleks antibodi-antigenIg G (terbanyak) atau Ig M

IVReaksi hipersensitivitas lambatSel T yang disensitisasi

1.3. EtiologiSecara umum semua benda di lingkungan (pakaian, makanan, tanaman, perhiasan, alat pembersih, dsb) dapat menjadi penyebab alergi, namun faktor lain misalnya :a.perbedaan keadaan fisik setiap bahanb.kekerapan pajananc.daya tahan tubuh seseorangd.adanya reaksi silang antar bahan akan berpengaruh terhadap timbulnya alergiLI II. Memahami dan Menjelaskan Reaksi Hipersensitivitas tipe 12.1. DefinisiReaksi hipersensitivitas tipe I atau anafilaksis atau alergi yang timbul segera sesudah badan terpajan dengan alergen. Semula diduga bahwa tipe I ini berfungsi untuk melindungi badan terhadap parasit tertentu terutama cacing. Istilah alergi pertama kali diperkenalkan oleh Von Pirquet pada tahun 1906, yang diartikan sebagai reaksi pejamu yang berubah. Pada reaksi ini allergen yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respon imun dengan dibentuknya IgE.2.2. MekanismeUrutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut :1.Fase SensitasiWaktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mastosit dan basofil.2.Fase AktivasiWaktu selama terjadi pajanan ulang dengan antigen yang spesifik, mastosit melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.3.Fase EfektorWaktu terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek bahan- bahan yang dilepas mastosit dengan aktivasi farmakologik.IgE yang sudah dibentuk, biasanya dalam jumlah sedikit, segera diikat oleh mastosit/basofil. IgE yang sudah ada permukaan mastosit akanmenetap untuk beberapa minggu. Sensitasi dapat juga terjadi secara pasif apabila serum (darah) orang yang alergik dimasukkan ke dalam kulit atau sirkulasi orang normal.Reaksi yang tejadi dapat berupa wheal and flare yaitu eritem (kemerahan oleh karena dilatasi vaskular) dan edem (pembengkakan yang disebabkan oleh masuknya serum ke dalam jaringan). Puncak reaksi terjadi selama 10-15 menit. Dalam fase aktivasi terjaadi perubahan dalam membrane sel seabagai akibat metilasi fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca2+. Dalam fase ini energi dilepaskan akibat glikolisis dan beberapa enzim diaktifkan dan menggerakkan granul-granul ke permukaan sel. Kadar cAMP dan cGMP dalam sel berpengaruh terhadap degranulasi. PeningkatancAMP akan mengahambat sedang peningkatan cGMP membantu degranulasi. Pelepasan granul itu adalah fisiologik dan tidak menimbulkan lisis atau matinya sel. Sesudah degranulasi, sel memulai fungsinya lagi.Penyakit-penyakit yang ditimbulkan segera sesudah tubuh terpajan dengan allergen biasanya adalah asma bronchial, rintis, urtikaria (kaligata), dan dermatitis atopi.Reaksi antara IgE pada permukaan sel mastosit dan antigen menimbulkan influksCa2+yang menimbulkan degranulasi sel dan aktivasi fosfolipase A2. Degranulasi sel mastosit dapat pula terjadi atas pengaruh anakfilaktosin, C3a dan C5a. Disamping histamine, mediator lain seperti prostaglandin (PG) dan leukotrin (SRA-A) yang dihasilkan dari metabolisme asam arakidonat atas pengaruh fosfolipase A2. Oleh ka rena itu mediator-mediator itu disebut newly generated.2.3. Manifestasi1. Anaphylaxis2. Atopy immediate hypersensitivity response3. Terapi : Avoidance, Hyposensitization, pemberian modified allergens atauallergoids.4. Obat Diphenhydramine, Corticosteroids, Epinephrine. Sodium cromolyn, Theophylline

LI III. Memahami dan Menjelaskan Reaksi Hipersensitivitas tipe 23.1. DefinisiReaksi hipersensitivitas tipe II atau Sitotoksis terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi ini dimulai dengan antibodi yang bereaksi baik dengan komponen antigenik sel, elemen jaringan atau antigen atau hapten yang sudah ada atau tergabung dengan elemen jaringan tersebut. Kemudian kerusakan diakibatkan adanya aktivasi komplemen atau sel mononuklear. Mungkin terjadi sekresi atau stimulasi dari suatu alat misalnya thyroid. Contoh reaksi tipe II ini adalah distruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi, penyakit anemia hemolitik, reaksi obat dan kerusakan jaringan pada penyakit autoimun.3.2. MekanismeMekanisme reaksinya adalah sebagai berikut :1.Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence2.Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk Fc3.Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen

3.3. Manifestasi

1. Reaksi TransfusiMenurut system ABO, sel darah manusia dibagi menjadi 4 golongan yaitu A, B, AB dan O. Selanjutnya diketahui bahwa golongan A mengandung antibodi (anti B berupa Ig M) yang mengaglutinasikan eritrosit golongan B, darah golongan B mengandung antibodi (anti A berupa Ig M) yang mengaglutinasikan eritrosit golongan A, golongan darh AB tidak mengandung antibodi terhadap antigen tersebut dan golongan darh O mengandung antibodi (Ig M dan Ig G) yang dapat mengaglutinasikan eritrosit golongan A dan B. Antibodi tersebut disebut isohemaglutinin.Aglutinin tersebut timbul secara alamiah tanpa sensitasi atau imunisasi. Bentuk yang paling sederhana dari reaksi sitotoksikterlihat pada ketidakcocokan transfusi darah golongan ABO. Ada 3 jenis reaksi transfusi yaitu reaksi hemolitik yang paling berat, reaksi panas, dan reaksi alergi seperti urtikaria, syok, dan asma. Kerusakan ginjal dapat pula terjadi akibat membrane sel yang menimbun dan efek toksik dan kompleks haem yang lepas.2.Reaksi Antigen RhesusAda sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat pada bayi baru lahir dari orang tuanya denga Rh yang inkompatibel (ayah Rh+ dan ibu Rh-). Jika anak yang dikandung oleh ibu Rh- menpunyai darah Rh+ maka anak akan melepas sebagian eritrositnya ke dalam sirkulasi ibu waktu partus. Hanya ibu yang sudah disensitasi yang akan membentuk anti Rh (IgG) dan hal ini akan membahayakan anak yang dikandung kemudian. Hal ini karena IgG dapat melewati plasenta. IgG yang diikat antigen Rh pada permukaan eritrosit fetus biasanya belum menimbulkan aglutinasi atau lisis. Tetapi sel yang ditutupi Ig tersebut mudah dirusak akibat interaksi dengan reseptor Fc pada fagosit. Akhirnya terjadi kerusakan sel darah merah fetus dan bayi lahir kuning, Transfusi untuk mengganti darah sering diperlukan dalam usaha menyelamatkan bayi.3. Anemia Hemolitik autoimunAkibat suatu infeksi dan sebab yang belum diketahui, beberapa orang membentuk Ig terhadap sel darah merah sendiri. Melalui fagositosis via reseptor untuk Fc dan C3b, terjadi anemia yang progresif. Antibodi yang dibentuk berupa aglutinin panas atau dingin, tergantung dari suhu yang dibutuhkan untuk aglutinasi.4. Reaksi ObatObat dapat bertindak sebagai hapten dan diikat pada permukaan eritrosit yang menimbulkan pembentukan Ig dan kerusakan sitotoksik. Sedormid dapat mengikat trombositdan Ig yang dibentuk terhadapnya akan menghancurkan trombosit dan menimbulkan purpura. Chloramfenicol dapat mengikat sel darah putih, phenacetin dan chloropromazin mengikat sel darah merah.5. Sindrom GoodpasturePada sindrom ini dalam serum ditemukan antibodi yang bereaksi dengan membran basal glomerulus dan paru. Antibodi tersebut mengendap di ginjal dan paru yang menunjukkan endapan linier yang terlihat pada imunoflouresen.Ciri sindrom ini glomerulonefritis proliferatif yang difus dan peredaran paru. Perjalanannya sering fatal. Dalam penanggulangannya telah dicoba dengan pemberian steroid, imunosupresan, plasmaferisis, nefektomi yang disusul dengan transplantasi. Jadi, sindrom ini merupakan penyakit autoimun yang membentuk antibodi terhadap membrane basal. Sindrom ini sering ditemukan setelah mengalami infeksistreptococ.6. Myasthenia gravisPenyakit dengan kelemahan otot yang disebabkan gangguan transmisi neuromuskuler, sebagian disebabkan oleh autoantibodi terhadap reseptor astilkoli.7. PempigusPenyakit autoimun yang disertai antibodi tehadap desmosom diantara keratinosit yang menimbulkan pelepasan epidermis dan gelembung-gelembung.

LI IV. Memahami dan Menjelaskan Reaksi Hipersensitivitas tipe 34.1. Definisi Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi yang terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/ dinding pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen. Antibodi yang bisa digunakan sejenis IgM atau IgG sedangka n komplemen yang diaktifkan kemudian melepas faktor kemotatik makrofag. Faktor kemotatik yang ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang mulai memfagositosis kompleks-kompleks imun. Reaksi ini juga mengakibatkan pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf, yakni berupa enzim proteolitik, dan enzim-enzim pembentukan kinin.Antigen pada reaksi tipe III ini dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai dengan antigen dalam jumlah berlebihan, tetapi tanpa adanya respons antibodi yang efektif.4.2. MekanismePenyebab reaksi hipersensitivitas tipe III yang sering terjadi, terdiri dari :1.Infeksi persistenPada infeksi ini terdapat antigen mikroba, dimana tempat kompleks mengendap adalah organ yang diinfektif dan ginjal.2.AutoimunitasPada reaksi ini terdapat antigen sendiri, dimana tempat kompleks mengendap adalah ginjal, sendi, dan pembuluh darah.3.EkstrinsikPada reaksi ini, antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana tempat kompleks yang mengendap adalah paru.Reaksi hipersensitivitas tipe III sebagai bentuk penggabungan bentuk antigen dan antibodi dalam tubuh akan mengakibatkan reaksi peradangan akut. Jika komplemen diikat, anafilaktoksin akan dilepaskan sebagai hasil pemecahan C3 dan C5 dan ini akan menyebabkan pelepasan histamin serta perubahan permeabilitas pembuluh darah. Faktor-faktor kemotaktik juga dihasilkan, ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang mulai menfagositosis kompleks-kompleks imun. Deretan reaksi diatas juga mengakibatkan pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf yakni berupa enzim-enzim proteolitik (termasuk kolagenase dan protein-protein netral), enzim-enzim pembentukan kinin protein-protein polikationik yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah melalui mekanisme mastolitik atau histamin bebas. Hal ini akan merusak jaringan setempat dan memperkuat reaksi peradangan yang ditimbulkan.Kerusakan lebih lanjut dapat disebabkan oleh reaksi lisis dimana C567 yang telah diaktifkan menyerang sel-sel disekitarnya dan mengikat C89. Dalam keadaan tertentu, trombosit akan menggumpal dengan dua konsekuensi, yaitu menjadi sumber yang menyediakan zat-zat amina vasoaktif dan juga membentuk mikrotrombi yang dapat mengakibatkan iskemia setempat.Kompleks antigen- antibodi dapat mengaktifkan beberapa sistem imun sebagai berikut :1.Aktivasi komplemena.Melepaskan anafilaktoksin (C3a,C5a) yang merangsang mastosit untuk melepas histamineb.Melepas faktor kemotaktik (C3a,C5a,C5-6-7) mengerahkan polimorf yang melepas enzim proteolitik dan enzim polikationik2.Menimbulkan agregasi trombosita.Menimbulkan mikrotrombib.Melepas amin vasoaktif3.Mengaktifkan makrofagMelepas IL-1 dan produk lainnya

Pada reaksi hipersensitivitas tipe III terdaapt dua bentuk reaksi, yaitu :1.Reaksi ArthusMaurice Arthus menemukan bahwa penyuntikan larutan antigen secara intradermal pada kelinci yang telah dibuat hiperimun dengan antibodi konsentrasi tinggi akan menghasilkan reaksi eritema dan edema, yang mencapai puncak setelah 3-8 jam dan kemudian menghilang. Lesi bercirikan adanya peningkatan infiltrasi leukosit-leukosit PMN. Hal ini disebut fenomena Arthus yang merupakan bentuk reaksi kompleks imun. Reaksi Arthus di dinding bronkus atau alveoli diduga dapat menimbulkan reaksi asma lambat yang terjadi 7-8 jam setelah inhalasi antigen.Reaksi Arthus ini biasanya memerlukan antibodi dan antigen dalam jumlah besar. Antigen yang disuntikkan akan memebentuk kompleks yang tidak larut dalam sirkulasi atau mengendap pada dinding pembuluh darah. Bila agregat besar, komplemen mulai diaktifkan. C3a dan C5a yang terbentuk meningkatkan permeabilitas pembuluh darah menjadi edema. Komponen lain yang bereperan adalah fakor kemotaktik. Neutrofil dan trombosit mulai menimbun di tempat reaksi dan menimbulkan stasisi dan obstruksi total aliran darah. Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama dengan trombosit yang digumpalkan melepas berbagai bahan seperti protease, kolagenase, dan bahan vasoaktif.2.Reaksi serum sicknessIstilah ini berasal dari pirquet dan Schick yang menemukannya sebagai konsekuensi imunisasi pasif pada pengobatan infeksi seperti difteri dan tetanus dengan antiserum asal kuda. Penyuntikan serum asing dalam jumlah besar digunakan untuk bermacam-macam tujuan pengobatan. Hal ini biasanya akan menimbulkan keadaan yang dikenal sebagai penyakit serum kira-kira 8 hari setelah penyuntikan. Pada keadaan ini dapat dijumpai kenaikan suhu, pembengkakan kelenjar-kelenjar limpa, ruam urtika yang tersebar luas, sendi-sendi yang bengkak dan sakit yang dihubungkan dengan konsentrasi komplemen serum rendah, dan mungkin juga ditemui albuminaria sementara.

4.3. ManifestasiPada berbagai infeksi, atas dasar yang belum jelas, dibentuk Ig yang kemudian memberikan reaksi silang dengan beberapa bahan jaringan normal.Hal ini kemudian yang menimbulkan reaksi disertai dengan komplek imun.Contoh dari reaksi ini adalah :1.Demam reumaInfeksistreptococgolongan A dapat menimbulkan inflamasi dan kerusakan jantung, sendi, dan ginjal. Berbagai antigen dalam membranstreptococbereaksi silang dengan antigen dari otot jantung, tulang rawan, dan membran glomerulus. Diduga antibodi terhadapstreptococmengikat antigen jaringan normal tersebut dan mengakibatkan inflamasi.2.Artritis rheumatoidKompleks yang dibentuk dari ikatan antara faktor rheumatoid (anti IgG yang berupa IgM) dengan Fc dari IgG akan menimbulkan inflamasi di sendi dan kerusakan yang khas.3.Infeksi lainPada beberapa penyakit infeksi lain seperti malaria dan lepra, antigen mengikat Ig dan membentuk kompleks imun yang ditimbun di beberapa tempat.4.Farmers lungPada orang yang rentan, pajanan terhadap jerami yang mengandung banyak spora actinomycete termofilik dapat menimbulkan gangguan pernafasan pneumonitis yang terjadi 6-8 jam setelah pajanan. Pada tubuh orang tersebut, diproduksi banyak IgG yang spesifik terhadap actynomycete termofilik dan membentuk kompleks antigen-antibodi yang mengendap di paru-paru.

LI V. Memahami dan Menjelaskan Reaksi Hipersensitivitas tipe 45.1. DefinisiReaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediatif immunity (CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberculin yang timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpajan dengan antigen.5.2. MekanismeReaksi terjadi karena sel T yang sudah disensitasi tersebut, sel T dengan reseptor spesifik pada permukaannya akan dirangsang oleh antigen yang sesuai dan mengeluarkan zat disebut limfokin. Limfosit yang terangsang mengalami transformasi menjadi besar seperti limfoblas yang mampu merusak sel target yang mempunyai reseptor di permukaannya sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan.Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat berupa jaringan asing (seperti reaksi allograft), mikroorganisme intra seluler (virus, mikrobakteri, dll). Protein atau bahan kimia yang dapat menembus kulit dan bergabung dengan protein yang berfungsi sebagai carrier. Selain itu, bagian dari sel limfosit T dapat dirangsang oleh antigen yang terdapat di permukaan sel di dalam tubuh yang telahberubah karena adanya infeksi oleh kuman atau virus, sehingga sel limfosit ini menjadi ganas terhadap sel yang mengandung antigen itu (sel target). Kerusakan sel atau jaringan yang disebabkan oleh mekanisme ini ditemukan pada beberapa penyakit infeksi kuman (tuberculosis, lepra), infeksi oleh virus (variola, morbilli, herpes), infeksi jamur (candidiasis, histoplasmosis) dan infeksi oleh protozoa (leishmaniasis, schitosomiasis). Antigen ini mungkin berhubungan atau telah diolah oleh sel makrofag dan bereaksi dengan reseptor di permukaan sel limfosit yang pernah berkontak dengan antigen yang sama dan beredar sebagai sel memori. Setelah berkontak dengan antigen, sel itu berubah menjadi blast cell dan mengalami mitosis sambil mengeluarkan zat-zat sebagai berikut:a.Macrophage inhibition factor(MIF)Zat ini dapat mengalami migrasi sel makrofag in vitro serta mengubah morfologi dan sifat sel itu menjadi sangat aktif. Zat ayng menyebabkan perubahan ini adalahMacrophage Activation Factor(MAF), sehingga sel makrofag tersebut menjadi lebih efektif untuk mematikan kuman yang telah difagositosis olehnya. Hal yang serupa terjadi pada sel tumor dimana sel makrofag dirangsang oleh zat yang dinamakanSpesific Macrophage Arming Factor(SMAF).b.Monocyte chemotactic factorSel monosit akan bergerak ke arah dimana terdapat konsentrasi tinggi dari zat itu.c.Skin reactive factorMeninggikan permeabilitas pembuluh darah yang menyebabkan eksudasi sel leukosit.d.Faktor lainTerdapat pula faktor yang merangsang mitosis pada sel limfosit netral yang bersifat sitotoksik terhadap beberapa sel.Untuk tipe IV diperlukan masa sensitasi selama 1 2 minggu, yaitu untuk meningkatkan jumlah klon sel T yang spesifik untuk antigen tertentu. Antigen tersebut harus dipresentasikan terlebih dahulu oleh APC. Kontak yang berulang akan menimbulkan rentetan reaksi yang menimbulkan kelainan khas dari CMI.Gambaran HistologiHipersensitivitas Tipe IV tidak dapat dipindahkan ke orang lain dengan menyuntikkan serum yang mengandung antibodi. Yang diperlukan untuk pemindahan pasif adalah sel limfosit.Suntikan intradermal suatu antigen kepada binatang atau orang yang sudah disensitasi tidak menimbulkan reaksi sebelum 18 24 jam.Sekitar 18 24 jam, mulai terlihat eritem dan indurasi (paling jelas terlihat 24 48 jam). Indurasi ini dapat dibedakan dari edem (yang berisikan cairan) dan tidak menunjukkan pitting pada tekanan. Bila reaksi tersebut berat dapat terjadi nekrosis.Biopsi menunjukkan adanya infiltrasi sel terutama sel mononuklier makrofag dengan beberapa limfosit. Kemudian terlihat gambaran yang lebih kompleks, sel B mulai nampak dan terbentuk glanuloma (akumulasi makrofag). Indurasi yang keras disebabkan oleh penimbunan fibrin.Mekanisme CMIMula-mula antigen dipresentasikan oleh APC tertentu kepada sel T4.IL-1yang dilepas sel APC akan mengaktifkan sel T. Sel TkemudianKonsekuensi dari CMISeperti yang telah diketahui, banyak fungsi CMI dilakukan oleh makrofag yang diaktifkan.Pada keadaan yang paling menguntungkan CMIMekanisme-mekanisme Efektora.Faktor penghambat migrasi makrofag (Macrophage Migration Inhibition Factor=MIF)Migrasi aktif makrofaga-makrofaga dari suatu pembuluh kapiler dihambat bila MIF terdapat cairan biakan jaringan. Sangat mungkin pada tingkat ini antigen atau ada atau tidak, tetapi antigen spesifik terhadap MIF juga ditemukan meningkatkan kemungkinan spekulasi yang diijinkan, ini merupakan reseptor sel-T spesifik yang dilepaskan akibat rangsangan antigen dan kemudian dapat bekerja sama pada induksi sel- B. Agaknya situasi yang serupa timbul jika sel-sel- T bereaksi dengan sel tumor pada sel-sel-T yang telah peka dan melepaskan suatu faktor (faktor pada pembentukan makrofaga spesifik = specific macrophage arming factor = SMAF) yang dapat menyokong makrofaga dengan daya seleksi pembunuh tumor, masih belum diketahui. Selain itu, limfokin tertentu, faktor pengaktif makrofaga (macrophage activating factor = MAF) menghasilkan perubahan morfologi yang jelas pada makrofaga-makrofaga dan mengakibatkan metabolisme yang sangat aktif (angry), lebih giat mematikan dan mencernakan bakteri.b.Faktor Kemotaktik Monosit (Monocyte Chemotactic Factor = MCF)Monosit-monosit akan bergerak melewati selaput-selaput Millipore ke arah faktor dengan konsentrasi yang lebih tinggi.c.Faktor penyebab reaksi kulit (Skin Reactive Factor)Ini akan memulai eksudasi sel-sel jika disuntikkan dan dapat juga meningkatkan permeabilitas kapiler.d.Lain-lain aktivitas biologic (Other biological activities)Faktor-faktor juga akan terlihat akan merangsang mitosis pada limfosit-limfosit bebas (berhubungan dengan kerja sama sel-T) dan bersifat sitotoksik, atau sedikitnya menimbulkan hambatan atau biakan sel tertentu. Keadaan sebelumnya menunjukkan adanya penggumpalan trombosit dan adanya interferon (suatu perangsangan produksi interferon oleh makrofaga).Hubungan dengan Produksi AntibodiDulu seringkali sensisitivitas lambat dianggap sebagai suatu tahap penting dalam proses pembentukan antibodi. Sekarang kita ketahui bahwa hal tersebut tidaklah betul-betul demikian. Polisakarida pneumokokus pada tikus merangsang pembentukan antibodi tetapi bukan CMI. Penyuntikan antigen-antigen tertentu dalam bentuk larutan diikuti antigen dalam adjuvan Freund secara efektif akan sedikit lebih lebih menekan kekebalan selular bila dibandingkan dengan penekanan terhadap kekebalan humoralm (penyimpangan kekebalan).Terakhir, orang-orang yang tidak punya sel-T tetap dapat membentuk antibodi meskipun kadang-kadang kurang efektif. Jelas ada hubungannya, tetapi walaupun demikian, dalam kerjasama antara sel-B dan sel-T, dan jika ada sebagian sel-T lain dapat member reaksi CMI dan penolong-T terangsang oleh antigen yang diberikan maka dengan demikian tidak akan diperlukan lagi produksi antibodi melalui sel-T dalam hubungannya dengan reaksi CMI tadi. Jadi penemuan mengenai hipersensitivitas perantara sel pada penderita-penderita alergi atopik mungkin menggambarkan fakta bahwa antibodi IgE terhadap serbuk sari tumbuh-tumbuhan dan lain-lain alergen hanya akan terbentuk jika jumlah sel-T yang sesuai dan peka mencukupi untuk kerja sama. Peningkatan produksi antibodi terhadap antigen-antigen protein yang tercampur dengan adjuvan Freund lengkap sebagian disebabkan oleh efek antigen yang terkumpul, tetapi juga sebagai akibat dari rangsangan sel-T yang kuat yang akan menaikkan baik kerjasama sel-T dan perkembangan hipersensitivitas tipe lambat.Jenis-jenis Reaksi Hipersensitivitas tipe IVAda 4 jenis reaksi hipersensitivitas tipe IV, yaitu:1.Hipersensitivitas Jones Mole (Reaksi JM)Reaksi JM ditandai oleh adanya infiltrasi basofil di bawah epidermis. Hal tersebut biasanya ditimbulkan oleh antigen yang larut dan disebabkan oleh limfosit yang peka terhadap siklofosfamid.Reaksi JM atauCutaneous Basophil Hypersensitivity(CBH) merupakan bentuk CMI yang tidak biasa dan telah ditemukan pada manusia sesudah suntikan antigen intradermal yang berulang-ulang. Reaksi biasanya terjadi sesudah 24 jam tetapi hanya berupa eritem tanpa indurasi yang merupakan ciri dari CMI. Eritem itu terdiri atas infiltrasi sel basofil. Mekanisme sebenarnya masih belum diketahui.Kelinci yang digigit tungau menunjukkan reaksi CBH yang berat di tempat tungau menempel. Basofil kemudian melepas mediator yang farmakologik aktif dari granulanya yang dapat mematikan dan melepaskan tungau tersebut.Basofil telah ditemukan pula pada dermatitis kontak yang disebabkan allergen seperti poison ivy penolakan ginjal dan beberapa bentuk konjungtivitis.Hal-hal tersebut di atas menunjukkan bahwa basofil mempunyai peranan dalam penyakit hipersensitivitas.2.Hipersensitivitas Kontak dan dermatitis kontakDermatitis kontak dikenal dalam klinik sebagai dermatitis yang timbul pada titik tempat kontak dengan alergen. Reaksi maksimal terjadi setelah 48 jam dan merupakan reaksi epidermal. Sel Langerhans sebagai Antigen Presenting Cell (APC) memegang peranan pada reaksi ini.Innokulasi (penyuntikkan) melalui kulit, cenderung untuk merangsang perkembangan reaksi sel-T dan reaksi-reaksi tipe lambat yang sering kali disebabkan oleh benda-benda asing yang dapat mengadakan ikatan dengan unsur-unsur tubuh untuk membentuk antigen-antigen baru. Oleh karena itu, hipersensitivitas kontak dapat terjadi pada orang-orang yang menjadi peka karena pekerjaan yang berhubungan dengan bahan-bahan kimia seperti prikil klorida dan kromat.Kontak dengan antigen mengakibatkan ekspansi klon sel-T yang mampu mengenal antigen tersebut dan kontak ulang menimbulkan respon seperti yang terjadi pada CMI.Kelainan lain yang terjadi ialah pelepasan sel epitel (spongiosis) menimbulkan infiltrasi sel efektor.Hal ini menimbulkan dikeluarkannya cairan dan terbentuknya gelembung.3.Reaksi TuberkulinReaksi tuberculin adalah reaksi dermal yang berbeda dengan reaksi dermatitis kontak dan terjadi 20 jam setelah terpajan dengan antigen. Reaksi terdiri atas infiltrasi sel mononuklier (50% limfosit dan sisanya monosit). Setelah 48 jam timbul infiltrasi limfosit dalam jumlah besar di sekitar pembuluh darah yang merusak hubungan serat-serat kolagen kulit. Dalam beberapa hal antigen dimusnahkan dengan cepat sehinga menimbulkan kerusakan.Dilain hal terjadi hal-hal seperti yang terlihat sebagai konsekuensi CMI.Kelainan kulit yang khas pada penyakit cacar, campak, dan herpes ditimbulkan oleh karena CMI terhadap virus ditambah dengan kerusakan sel yang diinfektif virus oleh sel-Tc.4.Reaksi GranulomaMenyusul respon akut terjadi influks monosit, neutrofil dan limfosit ke jaringan. Bila keadaan menjadi terkontrol, neutrofil tidak dikerahkan lagi berdegenerasi. Selanjutnya dikerahkan sel mononuklier. Pada stadium ini, dikerahkan monosit, makrofak, limfosit dan sel plasma yang memberikan gambaran patologik dari inflamasi kronik.Dalam inflamasi kronik ini, monosit dan makrofak mempunyai 3 peranan penting sebagai berikut:1.Menelan dan mencerna mikroba, debris seluler dan neutrofil yang berdegenerasi.2.Modulasi respon imun dan fungsi sel-T melalui presentasi antigen dan sekresi sitokin.3.Memperbaiki kerusakan jaringan dan fungsi sel inflamasi melalui sekresi sitokin.Gambaran morfologis dari respon tersebut dapat berupa pembentukan granuloma (agregat fagosit mononuklier yang dikelilingi limfosit dan sel plasma). Fagosit terdiri atas monosit yang baru dikerahkan serta sedikit dari makrofag yang sudah ada dalam jaringan.Reaksi granulomata merupakan reaksi tipe IV yang paling penting karena menimbulkan banyak efek patologis. Hal tersebut terjadi karena adanya antigen yang persisten di dalam makrofag yang biasanya berupa mikroorganisme yang tidak dapat dihancurkan atau kompleks imun yang menetap, misalnya pada alveolitis alergik.Reaksi granuloma terjadi sebagai usaha badan untuk membatasi antigen yang persisten dalam tubuh, sedangkan reaksi tuberkolin merupakan respon imun seluler yang terbatas. Kedua reaksi tersebut dapat terjadi akibat sensitasi oleh antigen mikroorganisme yang sama, misalnyaM. TuberculosisdanM. Leprae. Granuloma juga terjadi pada hipersensitivitas terhadap zarkonium, sarkoidosis dan rangsangan bahan non-antigenik seperti bedak (talkum). Dalam hal-hal tersebut makrofag tidak dapat memusnahkan benda anorganik.Granuloma non-immunologic dapat dibedakan dari yang immunologic, karena yang pertama tidak mengandung limfosit. Dalam reaksi granuloma ditemukan sel epiteloid yang diduga berasal dari sel-sel makrofag dan sel datia Langhans (jangan dikaburkan dengan sel Langerhans yang telah dibicarakan).Granuloma immunologic ditandai dengan inti yang terdiri atas sel epiteloid dan makrofag. Disamping itu dapat ditemukan fibrosis atau timbunan serat kolagen yang terjadi akibat proliferasi fibroblast dan peningkatan sintesis kolagen.5.3. Manifestasi

LI VI. Memahami dan Menjelaskan Farmakoterapi Hipersensitivitas6.1. Anti Histamin6.1.A. DefinisiAntihistamin H1merupakan salah satu obat terbanyak dan terluas digunakan di seluruh dunia. Fakta ini membuat perkembangan sekecil apapun yang berkenaan dengan obat ini menjadi suatu hal yang sangat penting. Semisal perubahan dalam penggolongan antihistamin H1.Dulu, antihistamin-H1dikenal sebagai antagonis reseptor histamin H1. Namun baru-baru ini, seiring perkembangan ilmu farmakologi molekular, antihistamin H1lebih digolongkan sebagaiinverse agonistketimbang antagonis reseptor histamin H1.Suatu obat disebut sebagaiinverse agonistbila terikat dengan sisi reseptor yang sama dengan agonis, namun memberikan efek berlawanan. Jadi, obat ini memiliki aktivitas intrinsik (efikasi negatif) tanpa bertindak sebagai suatu ligan. Sedangkan suatu antagonis bekerja dengan bertindak sebagai ligan yang mengikat reseptor atau menghentikan kaskade pada sisi yang ditempati agonis. Beda denganinverse agonist, suatu antagonis sama sekali tidak berefek atau tidak mempunyai aktivitas intrinsik.6.1.B. Tipe- Anti Histamin penghambat reseptor H-1 (AH 1)Antihistamin H1merupakan salah satu obat terbanyak dan terluas digunakan di seluruh dunia. Fakta ini membuat perkembangan sekecil apapun yang berkenaan dengan obat ini menjadi suatu hal yang sangat penting. Semisal perubahan dalam penggolongan antihistamin H1.Dulu, antihistamin-H1dikenal sebagai antagonis reseptor histamin H1. Namun baru-baru ini, seiring perkembangan ilmu farmakologi molekular, antihistamin H1lebih digolongkan sebagaiinverse agonistketimbang antagonis reseptor histamin H1.Suatu obat disebut sebagaiinverse agonistbila terikat dengan sisi reseptor yang sama dengan agonis, namun memberikan efek berlawanan. Jadi, obat ini memiliki aktivitas intrinsik (efikasi negatif) tanpa bertindak sebagai suatu ligan. Sedangkan suatu antagonis bekerja dengan bertindak sebagai ligan yang mengikat reseptor atau menghentikan kaskade pada sisi yang ditempati agonis. Beda denganinverse agonist, suatu antagonis sama sekali tidak berefek atau tidak mempunyai aktivitas intrinsik.Antihistamin ( AH1) Generasi Pertama

Azatadine

Azelastine

Brompheniramine

Chlorpheniramine

Clemastine

Cyproheptadine

Dexchlorpheniramine

Hydroxyzine

Promethazine

Tripelennamine

Antihistamin ( AH1) Generasi Kedua

Cetirizine

Loratadine

Antihistamin ( AH1) Generasi Ketiga

Fexofenadine

Desloratadine

Generasi pertama dan kedua berbeda dalam dua hal yang signifikan. Generasi pertama lebih menyebabkan sedasi dan menimbulkan efek antikolinergik yang lebih nyata. Hal ini dikarenakan generasi pertama kurang selektif dan mampu berpenetrasi pada sistem saraf pusat (SSP) lebih besar dibanding generasi kedua. Sementara itu, generasi kedua lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma, sehingga mengurangi kemampuannya melintasi otak.Sedangkan generasi ketiga merupakan derivat dari generasi kedua, berupa metabolit (desloratadine dan fexofenadine) dan enansiomer (levocetirizine). Pencarian generasi ketiga ini dimaksudkan untuk memperoleh profil antihistamin yang lebih baik dengan efikasi tinggi serta efek samping lebih minimal.- Anti Histamin Penghambat reseptor H-2 (AH 2)Reseptor histamin H2berperan dalam efek histamin terhadap sekresi cairan lambung, perangsangan jantung. Beberapa jaringan seperti otot polos pembuluh darah mempunyai kedua reseptor yaitu H1dan H2.Sejak tahun 1978 di Amerika Serikat telah diteliti peran potensial antihistamin H2cimetidine untuk penyakit kulit. Pada tahun 1983, ranitidine ditemukan pula sebagai antihistamin H2. Baik simetidin maupun raditidin diberikan dalam bentuk oral untuk mengobati penyakit kulit. Kedua obat tersedia dalam bentuk injeksi intramuskular dan intravena.

- Anti Histamin Penghambat reseptor H-3 (AH 3)Antagonis H3 memiliki khasiat sebagai stimulan dan memperkuat kemampuan kognitif. Penggunaannya sedang diteliti untuk mengobati penyakit Alzheimer's, dan schizophrenia. Contoh obatnya adalah: Thioperamide Iodophenpropit Clobenpropit

- Anti Histamin Penghambat reseptor H-4 (AH 4)Memiliki khasiat imunomodulator, sedang diteliti khasiatnya sebagai antiinflamasi dan analgesik. Contohnya adalahtioperamida.Beberapa obat lainnya juga memiliki khasiat antihistamin. Contohnya adalah obat antidepresan trisiklik dan antipsikotik. Prometazina adalah obat yang awalnya ditujukan sebagai antipsikotik, namun kini digunakan sebagai antihistamin.Senyawa-senyawa lain seperticromoglicatedannedocromil, mampu mencegah penglepasan histamin dengan cara menstabilkan sel mast, sehingga mencegah degranulasinya.6.1.C. FarmakokinetikSetelah pemberian oral atau parenteral, antihistamin H1diabsorpsi secara baik.Pemberian antihistamin H1secara oral efeknya timbul 15-30 menit dan maksimal setelah 1-2 jam, mencapai konsentrasi puncak plasma rata-rata dalam 2 jam. Ikatan dengan protein plasma berkisar antara 78-99%. Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot, dan kulit kadarnya lebih rendah. Sebagian besar antihistamin H1dimetabolisme melaluihepatic microsomal mixed-function oxygenase system, tetapi dapat juga melalui paru-paru dan ginjal. Konsentrasi plasma yang relatif rendah setelah pemberian dosis tunggal menunjukkan kemungkinan terjadi efek lintas pertama oleh hati. Antihistamin H1dieksresi melalui urin setelah 24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.Waktu paruh antihistamin H1sangat bervariasi. Klorfeniramin memiliki waktu paruh cukup panjang sekitar 24 jam, sedang akrivastin hanya 2 jam. Waktu paruh metabolit aktif juga sangat berbeda jauh dengan obat induknya, sepertiastemizole1,1 hari sementara metabolit aktifnya,N-desmethylastemizole, memiliki waktu paruh 9,5 hari. Hal inilah yang mungkin menjelaskan kenapa efek antihistamin H1rata-rata masih eksis meski kadarnya dalam darah sudah tidak terdeteksi lagi. Waktu paruh beberapa antihistamin H1menjadi lebih pendek pada anak dan jadi lebih panjang pada orang tua, pasien disfungsi hati, dan pasien yang menerima ketokonazol, eritromisin, atau penghambatmicrosomal oxygenaselainnya.

6.1.D. Farmakodinamik- Anti Histamin 1Sebagaiinverse agonist, antihistamin H1beraksi dengan bergabung bersama dan menstabilkan reseptor H1yang belum aktif, sehingga berada pada status yang tidak aktif. Penghambatan reseptor histamin H1ini bisa mengurangi permeabilitas vaskular, pengurangan pruritus, dan relaksasi otot polos saluran cerna serta napas. Secara klinis, antihistamin H1generasi pertama ditemukan sangat efektif berbagai gejala rhinitis alergi reaksi fase awal, sepertirhinorrhea,pruritus, dansneezing. Tapi, obat ini kurang efektif untuk mengontrolnasal congestionyang terkait dengan reaksi fase akhir.Sementara itu antihistamin generasi kedua dan ketiga memiliki profil farmakologi yang lebih baik. Keduanya lebih selektif pada reseptor perifer dan juga bisa menurunkan lipofilisitas, sehingga efek samping pada SSP lebih minimal. Di samping itu, obat ini juga memiliki kemampuan anti alergi tambahan, yakni sebagai antagonis histamin. Antihistamin generasi baru ini mempengaruhi pelepasan mediator dari sel mast dengan menghambat influks ion kalsium melintasi sel mast atau membaran basofil plasma, atau menghambat pelepasan ion kalsium intraseluler dalam sel. Obat ini menghambat reaksi alergi dengan bekerja pada leukotriene dan prostaglandin, atau dengan menghasilkan efekanti-platelet activating factor.Antihistamin H1diduga juga memiliki efek anti inflamasi. Hal ini terlihat dari studiin vitrodesloratadine, suatu antihistamin H1generasi ketiga. Studi menunjukkan, desloratadine memiliki efek langsung pada mediator inflamatori, seperti menghambatpelepasan intracellular adhesion molecule-1(ICAM-1) oleh sel epitel nasal, sehingga memperlihatkan aktivitas anti-inflamatori dan imunomodulatori. Kemampuan tambahan inilah yang mungkin menjelaskan kenapa desloratadine secara signifikan bisa memperbaikinasal congestionpada beberapadouble-blind, placebo-controlled studies. Efek ini tak ditemukan pada generasi sebelumnya, generasi pertama dan kedua. Sehingga perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk menguak misteri dari efek tambahan ini.Selain itu efek yang dihasilkan dari antihistamin H1antara lain :Efek sedasiAntihistamin H1generasi pertama memiliki efek sedasi yang cukup besar sehingga berguna sebagai bantuan tidur dan tidak sesuai untuk penggunaan pada siang hari. Pada anak anak (dan jarang terjadi pada dewasa) menimbulkan eksitasi daripada sedasi. Pada dosis toksik yang tinggi dapat menyebabkan agitasi, kejang, dan koma. Sedangkan Antihistamin H1generasi kedua hanya mempunyai sedikit atau bahkan tidak mempunyai kerja sedatif atau stimulasi. Obat antihistamin H1generasi kedua (atau metabolitnya) juga mempunyai efek autonomik yang lebih sedikit dari antihistamin H1generasi pertama.Efek anti mual dan anti muntahBeberapa antihistamin H1generasi pertama mempunyai aktivitas bermakna dalam mencegah terjadinya motion sickness (mabuk kendaraan), tetapi kurang efektif jika sudah terjadi mabuk.Efek anti parkinsonismeDiduga karena efek antikolinergik, beberapa antihistamin H1mempunyai efek supresi akut yang bermakna pada gejala gejala parkinsonisme yang dikaitkan dengan penggunaan obat parkinsonisme tersebut.Kerja antikolinoseptorBanyak agen dari generasi pertama, khususnya subgrup ethanolamine dan ethylendiamine, mempunyai efek menyerupai atropin yang bermakna pada reseptor muskarinik perifer.Kerja penyekat adrenoseptorEfek penyekat reseptor alfa dapat dibuktikan untuk beberapa antihistamin H1, khususnya di dalam subgrup phenothiazine, misalnya promethazine. Kerja tersebut dapat mengakibatkan hipotensi ortostatik pada orang-orang yang rentan. Penyekatan terhadap reseptor beta tidak terjadi.Kerja penyekat serotoninEfek penyekatan yang kuat terhadap reseptor serotonin telah dibuktikan pada beberapa generasi pertama antihistamin H1, terutama cyproheptadine. Obat tersebut digunakan sebagai antiserotonin, tetapi obat tersebut mempunyai struktur kimia yang menyerupai antihistamin phenothiazine dan merupakan suatu obat penyekat H1yang kuat.Anestesi lokalAntihistamin H1generasi pertama merupakan anestesi lokal yang efektif karena menyekat kanal kalsium di membran yang eksitabel. Diphenhidramine dan promethazine kadang digunakan sebagai anestesi lokal pada pasien alergi terhadap obat-obat anestetik lokal yang konvensional.6.1.E. Kontra IndikasiAntihistamin generasi pertama: Hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara struktural Bayi baru lahir atau premature Ibu menyusui Narrow-angle glaucoma Stenosing peptic ulcer Hipertropi prostat simptomatik Bladder neck obstruction Penyumbatanpyloroduodenal Gejala saluran napas atas (termasuk asma) Pasien yang menggunakanmonoamine oxidase inhibitor(MAOI) Pasien tua.Antihistamin generasi kedua dan ketiga : Hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara struktural

6.1.F. EfeksampingBeberapa efek samping lain dari antihistamin 1 :1. Efek sedasiDari hasil penelitian oleh perocek, dibandingkan difenhidramin 250 mg dengan loratadine dosis tunggal 20 mg. Hasilnya memperlihatkan efek sedasi difenhidramin lebih besar dibanding loratadine. Jadi loratadine tidak mempengaruhi kemampuan mengendarai, tingkat kewaspadaan siang hari dan produktifitas kerja. Juga loratadin menghilangkan gejala rhinitis alergi musiman secara efektif dan absorbsi oralnya sangat cepat serta memiliki masa kerja yang panjang, sehingga cukup diberikan sekali dalam sehari.2. Gangguan psikomotorYaitu gangguan dalam pekerjaan yang melibatkan fungsi psikomotor, merupakan masalah yang menjadi perhatian dalam terapi yang menggunakan antihistamin. Efek samping terlihat saat pasien melakukan kegiatan dengan resiko fisik seperti mengendarai mobil, berenang, gulat, atau melakukan pekerjaan tangan. Gangguan fungsi psikomotor adalah efek yang berbeda dari terjadinya sedasi (rasa mengantuk).3. Gangguan kognitifAdalah gangguan terhadap kemampuan belajar, konsentrasi atau ketrampilan di tempat bekerja. Dari hasil penelitian memperlihatkan antihistamin generasi pertama terutama difenhidramin menyebabkan gangguan kemampuan belajar, konsentrasi, atau ketrampilan di tempat kerja. Sedangkan loratadin meniadakan efek negative dari rhinitis alergi terhadap kemampuan belajar.4. Efek kardiotoksisitasAntihistamin selama ini dianggap sebagai obat yang aman, tetapi sejak akhir tahun 80-an mulai muncul beberapa jenis antihistamin yang digunakan dengan dosis yang berlebihan. Sehingga dapat menyebabkan pasien yang menggunakan mengalami gangguan pada jantung (kardiotoksisitas).Untuk pasien yang aktif bekerja harus berhati-hati dalam menggunakan antihistamin, karena beberapa antihistamin memiliki efek samping sedasi (mengantuk), gangguan psikomotor dan gangguan kognitif. Akibatnya bila digunakan oleh orang yang melakukan pekerjaan dengan tingkat kewaspadaan tinggi sangat berbahaya.

6.2. Kortikosteroid6.1.A. DefinisiKortikosteroid adalah hormon yang disintesis di korteks adrenal, berasal dari kolesterol dengan struktur utama siklopentanoperhidrofenantren dan hasil akhir berupa aldosteron dan kortisol (21 atom C). Selain kortikosteroid juga dihasilkan androgen lemah (19 atom C). Istilah kortikosteroid sendiri sebenarnya mengacu baik kepada glukokortikoid dan mineralokortikoid, namun dalam penggunaan sehari-hari lebih banyak mengacu kepada glukokortikoid saja.Kortikosteroid bekerja dengan cara mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif. Hanya di jaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel dan membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini yang akan menghasilkan efek fisiologik steroid.Kortikosteroid memiliki dua efek utama, yaitu dalam metabolisme dan inflamasi. Kortikosteroid berfungsi dalam proses glukoneogenesis di hati, lipolisis dan mobilisasi asam amino (sebagai substrat untuk glukoneogenesis) serta menghambat/inhibisi ambilan glukosa di otot dan jaringan adiposa.Sedangkan untuk efek antiinflamatiknya, efek tersebut terjadi melalui penekanan pembentukan berbagai mediator inflamasi (fosfolipase A, cyclooxigenase, degranulasi sel mast), menghambat fungsi makrofag, dan bekerja dalam keadaan inflamasi akut maupun kronik.Penggunaan kortikosteroid dapat dibagi sebagai terapi substitusi hormon maupun terapi non endokrin. Untuk terapi substitusi hormon, kortikosteroid diberikan kepada penderita insuffisiensi adrenal, sedangkan untuk terapi non-endokrin antara lain untuk pengobatan arthritis, asthma bronkial, alergik, penyakit kulit (dermatitis), shock anafilaktik, penyempurnaan fungsi paru pada fetus dll.6.1.B. Tipe6.1.C. FarmakokinetikPerubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mulai kerja dan lama kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor dan ikatan protein.Glukokortikoid dapat di absorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang sinovial. Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat menyebabkan efek sistematik, antara lain supresi korteks adrenal.6.1.D. Farmakodinamik Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak.selain itu juga mempengaruhi fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf dan organ lain. Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Efek utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan efek anti-inflamasi, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil. Efek pada mineralokortikoid ialah terhadap keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan pengaruhnya pada penyimpanan glikogen hepar sangat kecil. Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi 3 golongan berdasarkan massa kerjanya. Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh biologis kurang dari 12 jam. Sediaan kerja sedang mempunyai masa paruh biologis antara 12-36 jam. Sediaan kerja lama mempunyai masa paruh biologis lebih dari 36 jam.

6.1.E. Kontra IndikasiSebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolut kortikosteroid. Pemberian dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat dibenarkan, keadaan yang mungkin dapat merupakan kontraindikasi relatif dapat dilupakan, terutama pada keadaan yang mengancam jiwa pasien.Bila obat akan diberikan untuk beberapa hari atu beberapa minggu, kontraindikasi relatif yaitu diabetes melitustukak peptik/duodenum, infeksi berat, hipertensi atau gangguan sistem kardiovaskular lainnya.6.1.F. Efeksamping Efek samping dapat timbul karena peenghentian pemberian secara tiba-tiba atau pemberian terus-menerus terutama dengan dosis besar. Pemberian kortikosteroid jangka lama yang dihentikan tiba-tiba dapat menimbulkan insifisiensi adrenalm akut dengan gejala demam, malgia, artralgia dan malaise. Komplikasi yang timbul akibat pengobatan lama ialah gangguan cairan dan elektrolit , hiperglikemia dan glikosuria, mudah mendapat infeksi terutama tuberkulosis, pasien tukak peptik mungkin dapat mengalami pendarahan atau perforasi, osteoporosis dll. Alkalosis hipokalemik jarang terjadi pada pasien dengan pengobatan derivat kortikosteroid sintetik. Tukak peptik ialah komplikasi yang kadang-kadang terjadi pada pengobatan dengan kortikosteroid. Sebab itu bila bila ada kecurigaan dianjurkan untuk melaakukan pemeriksaan radiologik terhadap saluran cerna bagian atas sebelum obat diberikan.LI VII. Memahami dan Menjelaskan Alergi Obat dalam Perspektif Islam