Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i
-
Upload
harun-fazan -
Category
Documents
-
view
178 -
download
0
description
Transcript of Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i
IMAM SYAFI`I
Mukhtashar
KITAB
AL UMM
Fi al-fiqh
1
1
Imam Syafi’i
(Abu Abdillah Muhammad bin Idris)
MUKHTASHAR
AL UMM
Fii al-fiqh
Kitab Induk Madzhab Syafi’i
2
Imam Syafi`i Abu Abdillah Muhammad bin Idris
Ringkasan al- Umm / Imam Syafi`i Abu Abdillah Muhammad bin Idris;
Penerjemah : Abu Vida` Anshari, dkk.
Judul Asli : Mukhtashar Kitab al- Umm fi al-Fiqhi
Judul buku : Mukhtashar Kitab al-Umm fi al-Fiqhi
Pengarang : Imam Syafi`i Abu Abdillah Muhammad bin Idris
Peringkas dan Peneliti : Husain Abdul Hamid Abu Nasir Nail
Penerbit : Darul Arqam bin Abil Arqam, Beirut Libanon.
Edisi Terjemah :
MUKHTASHAR KITAB AL- UMM
3
Allah swt. berfirman :
إ�ن�م�ا ي�خ�ش�ى ال� م�ن� ع�ب�اد�ه� الع�ل�م�ؤ�ا
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.”
( Surat Faathir (35) : 28 )
Pengantar Penterjemah
4
Bismillahirrahmaanirrahiim
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Salawat dan salam tersanjung
kepada Nabi-Nya, Muhammad Saw, berikut keluarga, para sahabat dan terlimpah
kepada seluruh pengikutnya. Berkat inayah Allah, kami dapat menyelesaikan
penterjemahan kitab Al-Umm, sebuah kitab induk madzham Syafi’I yang paling
utama.
Al-Umm adalah sebuah kitab kelasik karya terbesar imam Syafií. Beliau
bernama Abu Abdillah Muhammad bin Idris. Panggilan Syafií diperoleh dari
datuknya, Syafií bin al-Saib. Nasab beliau tercatat dalam sejarah sampai pada
Abdi Manaf, datuk Rasulullah Saw.
Imam Syafií dikenal sebagai peletak dasar metodologi pemahaman hukum
dalam Islam. Kitab Al Umm adalah buah karya terbesar beliau yang berisi fatwa-
fatwa fikih hasil pengembangan motode qiyas yang berfungsi untuk memperjelas
suatu posisi hukum. Kitab ini menjadi kitab induk bagi penganut faham sunni
yang bermadzhab syafií. Banyak ulama fikih yang lahir sesudah beliau
menempatkan Al Umm menjadi rujukan utama dalam mengembangkan fatwa-
fatwa fikih kontemporer. Masyarakat muslim di Indonesaia adalah pengikut
madzhab Syafií yang paling besar di dunia.
Imam Syafií adalah ulama yang paling terkenal kehati-hatiannya
(ikhtiyath) dalam memutuskan persoalan hukum. Namun begitu dibanding tiga
madzhab yang lain (Maliki, Hambali dan Hanafi), keputusan-keputusan hukum
yang dibuat imam Syafií cenderung moderat; sekalipun tidak dipungkiri terdapat
juga sebagian fatwa beliau yang tegas dan berat.
Kitab Al Umm berisi persoalan-persoalan fiqhiyah keseharian yang
5
berkaitan dengan ibadah, muamalah dan siyasah. Topik pembahasannya terasa
masih relevan dengan kondisi terkini. Inilah salah satu bagian dari kehebatan
kitab Al Umm.
Hadirnya kitab terjemahan ini di tangan pembaca diharap
mempermudah penyerapan pengetahuan fikih imam Syafi’i. Adalah
sangat ironis jika banyak orang mengakui mengikuti madzhab Syafi’i,
tetapi nyatanya belumpernah melihat apalagi membaca karya besar
ulama ini.
Itu sebabnya muncul kecenderungan yang membedakan antara
pengikut Syafi’ dan Syafi’iyah. Pengikut yang pertama berarti dalam
memahami fikih berpegangan langsung pada pandangan-pandangan
imam Syafi’i. Sedangkan yang kedua cenderung mengambil
ringannya cukup berpegang pada pandangan-pandangan ulama
pengikut madzhab Syafi’i dalam berfikih. Apapun adanya perbedaan
itu memang seharusnya pengikut madzhab Syafi’i mengetahui
langsung pandangan-pandangan beliau dalam berfikih.
Semoga kehadiran buku ini bermanfaat bagi kita semua.
Kudus, 9 Juli 2006
Abu Vida Anshari
Mukaddimah
6
Segala puji hanya bagi Allah swt. penguasa semesta alam. Shalawat dan
salam seenantiasa terlimpah kepada mahluk Allah yang paling mulia, baginda
Nabi Muhammad saw. Segala puji hanya bagi Allah swt. yang telah melebihkan
dan mengangkat derajat para ulama dengan al-Qur`an dan Sunnah Rasul-Nya,
serta dengan ilmu yang telah mengantarkan Islam beserta pengikutnya menuju
kejayaan dan kemuliaan. Allah swt. berfirman :
إ�ن�م�ا ي�خ�ش�ى ال� م�ن� ع�ب�اد�ه� الع�ل�م�ؤ�ا
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya
hanyalah ulama.” ( Surat Faathir (35) : 28 )
Pada saat kami mendatangi perpustakaan Islam untuk menyerahkan kitab
yang berjudul Mukhtashar al-Umm karya seorang ulama besar, Imam Syafi`i
untuk diterbitkan, terbersit dalam pikiran kami semoga kitab ini dapat
memberikan kontribusi yang sangat berharga kepada umat manusia terutama bagi
semua pelajar dan pembaca. Kami sangat berterima kasih dan bersyukur karena
telah berhasil menyelesaikan ringkasan, mentahqiq dan sekaligua memberikan
komentar terhadap kitab ini. Karya ini adalah merupakan permintaan Ustadz
Akram Thiba`, seorang direktur penerbit Dar al-Qalam yang berpusat di Beirut,
Lebanon. Oleh sebab itu, sekali lagi kami berterima kasih atas perhatian yang
besar dari beliau terhadap penyebaran warisan Islam yang berupa buku induk
dalam bidang kajian fiqih dalam kemasan baru yang lebih menarik.
Semoga Allah swt. menjadikan karya ini sebagai amal baik yang mulia,
yang dapat menambah beratnya timbangan kebaikan kita semua. Amiin.
Husain Abdul Hamid Nashir Nail
7
BIOGRAFI IMAM SYAFI`I.
Nasab dari pihak ayah.
Ayahnya bernama Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi`
bin Sa`ib bin Abid bin Abu Yazid bin Hisyam bin Muthalib bin Abdu Manaf bin
Qusayyi bin Kilab bin Murrah, nasab beliau bertemu dengan Rasulullah saw. pada
Abdu Manaf bin Qusayyi.
Nasab dari pihak Ibu.
Ibnunya bernama Fatimah binti Abdullah bin Hasan bin Husain bin Ali bin
Abi Thalib. Orang-orang mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui
Hasyimiyah melahirkan keturunan kecuali Imam Ali bin Abi Thalib dan Imam
Syafi`i.
Kelahiran Imam Syafi`i.
Dia dilahirkan pada tahun 150 H. bertepatan dengan dimana Imam Abu
Hanifah meninggal dunia. Dia dilahirkan di desa Ghazzah, Asqalan. Ketika
usianya mencapai dua tahun, ibunya mengajak pindah ke Hijaz dimana sebagian
besar penduduknya berasal dari Yaman, ibunya sendiri berasal dari Azdiyah. Lalu
keduanya menetap di sana. Akan tetapi saat usianya telah mencapai sepuluh
tahun, ibunua mengajak pindah ke Makkah lantaran khawatir akan melupakan
nasabnya.
Jenjang Pendidikan Imam Syafi`i.
Imam Syafi`i sejak kecil hidup dalam kemiskinan, pada waktu dia
diserahkan ke bangku pendidikan, para pendidik tidak memperoleh upah dan
mereka hanya terbatas pada pengajaran. Akan tetapi setiap kali seorang guru
mengajarkan sesuatu pada murid-murid, terlihat Syafi`i kecil denga ketajaman
akal pikiran yang dimilikinya mampu menangkap semua perkataan serta
penjelasan gurunya. Setiap kali gurunya berdiri untuk meninggalkan tempatnya,
Syafi`I kecil mengajarkan kembali apa yang dia dengar dan dia pahami kepada
8
anak-anak yang lain, sehingga dai apa yang dilakukan Syafi`i kecil ini
mendapatkan upah. Sesudah usianya menginjak ke tujuh, Syafi`i telah berhasil
menghafal al-Qur`an dengan baik.
Imam Syafi`i bercerita: “Saat kami menghatamkan al-Qur`an dan
memasuki masjid, kami duduk di majlis para ulama. Kami berhasil menghafal
beberapa hadits dan beberapa masalah Fiqih. Pada waktu itu, rumah kami berada
di Makkah. Kondisi kehidupan kami sangat miskin, dimana kami tidak memiliki
uang untuk membeli kertas, akan tetapi kami mengambil tulang-tulang sehingga
dapat kami gunakan untuk menulis.”
Pada saat menginjak usia tiga belas tahun, dia juga memperdengarkan
bacaan al-Qur`an kepada orang-orang yang berada di Masjid al-Haram, dia
memiliki suara yang sangat merdu.
Suatu ketika Imam Hakim menceritakan hadits yang berasal dari riwayat
Bahr bin Nashr, bahwa dia berkata: “Jika kami ingin menangis, kami mengatakan
kepada sesama teman “Pergilah kepada Syafi`i !” jika kami telah sampai
dihadapannya, dia memulai membuka dan membaca al-Qur`an sehingga manusia
yang ada di sekitarnya banyak yang berjatuhan di hadapannya lantaran kerasnya
menangis. Kami terkagum-kagum dengan keindahan dan kemerduan suaranya,
sedemikian tinggi dia memahami al-Qur`an sehingga sangat berkesan bagi para
pendengarnya.
Guru-guru Imam Syafi`i.
1. Muslim bin Khalid al-Zanji, seorang Mufti Makkah pada tahun 180 H.
yang bertepatan dengan tahun 796 M. dia adalah maula Bani
Mkhzum.
2. Sufyan bin Uyainah al-Hilali yang berada di Makkah, dia adalah salah
seorang yang terkenal kejujuran dan keadilannya.
3. Ibrahim bin Yahya, salah satu ulama di Madinah.
4. Malik bin Anas, Imam Syafi`i pernah membaca kitab al-Muwatha`
kepada Imam Malik sesudah dia menghafalnya diluar kepala,
kemudian dia menetap di Madinah sampai Imam Malik wafat pada
9
tahun 179 H. bertepatan dengan tahun 795 M.
5. Waki` bin Jarrah bin Malih al-Kufi.
6. Hammad bin Usamah al-Hasyimi al-Kufi
7. Abdul Wahab bin Abdul Majid al-Bashri.
Isteri Imam Syafi`i.
Dia menikah dengan seorang perempuan yang bernama Hamidah binti
Nafi` bin Unaisah bin Amru bin Utsman bin Affan.
Keistimewaan Imam Syafi`i.
1. Keluasan ilmu pengetahuan dalam bidang sastera serta nasab, yang
sejajar dengan al-Hakam bin Abdul Muthalib, dimana Rasulullah saw.
pernah bersabda:
�إ�ن�م�ا ب�ن�و� ه�اش�م, و�ب�ن�و الم�ط'ل�ب� ش�ي�ء" و�اح�د
“Sesungguhnya Keturunan (Bani) Hasyim dan keturunan (Bani) Muthalib
itu hakekatnya adalah satu.” 1
2. Kekuatan menghafal al-Qur`an dan kedalaman pemahaman antara
yang wajib dan yang sunnah, serta kecerdasan terhadap semua disiplin
ilmu yang dia miliki, yang tidak semua manusia dapat melakukannya.
3. Kedalaman ilmu tentang Sunnah, dia dapat membedakan antara
Sunnah yang shahih dan yang dha`if. Serta ketinggian ilmunya dalam
bidang ushul fiqih, mursal, maushul, serta perbedaan antara lafadl yang
umum dan yang khusus.
4. Imam Ahmad bin Hambal berkata: Para ahli hadits yang dipakai oleh
Imam Abu Hanifah tidak diperdebatkan sehingga kami bertemu
dengan Imam Syafi`i. Dia adalah manusia yang paling memahami
kitab Allah swt. dan Sunnah Rasulullah saw. serta sangat peduli
terhadap hadits beliau.
5. Karabisy 2 berkata: Imam Syafi`i adalah rahmat bagi umat Nabi
Muhammad saw.
1 . H.R. Ibnu Majah, dalam kitab yang menjelaskan tentang Wasiat, bab “Qismah al-Khumus,” hadits no. 2329.2 . Karabisy dinisbatkan pada profesi penjual pakaian, namanya adalah Husain bin Ali bin Yazid.
10
6. Dubaisan 3 berkata: Kami pernah bersama Ahmad bin Hambal di
Masjid Jami` yang berada di kota Baghdad, yang dibangun oleh al-
Manshur, lalu kami datang menemui Karabisy, lalu kami bertanya:
Bagaimana menurutmu tentang Syafi`i ? kemudian dia menjawab:
Sebagaimana apa yang kami katakan bahwa dia memulai dengan
Kitab (al-Qur`an), Sunnah, serta ijma` para ulama`. Kami orang-orang
terdahulu sebelum dia tidak mengetahui apa itu al-Qur`an dan Sunnah,
sehingga kami mendengar dari Imam Syafii tentang apa itu al-Qur`an
Sunnah dan ijma`.
Humaidi berkata: Suatu ketika kami ingin mengadakan perdebatan
dengan kelompok rasionalis kami tidak mengetahui bagaimana cara
mengalahkannya. Kemudian Imam Syafi`i datang kepada kami,
sehingga kami dapat memenangkan perdebatan itu.
Imam Ahmad bin Hambal berkata: Kami tidak pernah melihat
seseorang yang lebih pandapai dalam bidang fiqih (faqih) terhadap al-
Qur`an daripada pemuda quraisy ini, dia adalah Muhammad bin Idris
al-Syafi`i.
7. Ibnu Rahawaih pernah ditanya: Menurut pendapatmu, bagaimanakah
Imam Syafii dapat menguasai al-Qur`an dalam usia yang masih relatif
muda ? lalu dia menjawab: Allah swt. mempercepat akal pikirannya
lantaran usianya yang pendek.
8. Rabi` berkata: Kami pernah duduk bersama di Majelisnya Imam
Syafi`i setelah beliau meninggal dunia di Basir, tiba-tiba datang
kepada kami orang A`rabi (badui). Dia mengucapkan salam, lalu
bertanya: Dimanakah bulan dan matahri majleis ini ? lalu kami
mejawab: Dia telah wafat. Kemudian dia menangis lalu berkata:
Semoga Allah swt. memncurahkan rahmat dan mengampuni semua
dosanya. Sungguh beliau telah membuka hujjah yang selama ini
tertutup, telah merubah wajah orang-orang yang ingkar dan juga telah
membuka kedok mereka, dan juga telah membuka pintu kebodohan
3 . Namanya adalah Abu Dubais bin Ali al-Qashbani.
11
disertai penjelasannya, lalu tidak beberapa lama orang badui itu pergi.
Sikap Rendah Hati yang dimiliki Imam Syafi`i.
Hasan bin Abdul Aziz al-Jarwi al-Mishri mengatakan, bahwa Imam Syafii
pernah berkata: Kami tidak menginginkan kesalahan terjadi pada seseorang, kami
sangat ingin agar ilmu yang kami miliki itu ada pada setiap orang dan tidak
disandarkan pada kami.
Imam Syafi`i berkata: Demi Allah kami tidak menyaksikan seseorang lalu
kami menginginkan kesalahan padanya. Tidaklah bertemu dengan seseorang
melainkan kami berdo`a “Ya Allah, jadikanlah kebenaran ada pada hati dan
lisannya ! jika kebenaran berpihak kepada kami, semoga dia mengikuti kami, dan
jika kebenaran berpihak kepadanya semoga kami mampu mengikutinya.
Imam Syafii adalah Pakar Ilmu Pengetahuan dari Quraisy.
Imam Ahmad bin Hambal berkata: Jika kami ditanya tentang satu masalah
dan kami tidak mengetahuinya, maka kami menjawab dengan menukil perkataan
syafi`i, lantaran dia seorang imam besar yang ahli dalam ilmu pengetahuan yang
berasal dari kaum Quraisy.
Dalam suatu hadits diriwayatkan dari Rasulullah saw. bahwa beliau
bersabda:
ع�ا�ل7 ق7ر�ي�ش, ي�م�ل3 ال�ر�ض� ع�ل�م/ا
“Orang alim dari Quraisy ilmunya akan memenuhi bumi.” 4
Ar-Razi berkata: Kriteria orang orang yang disebutkan di atas ini akan
terpenuhi apabila seseorang memiliki kriteria sebagai berikut :
Pertama; berasal dari suku Quraisy.
Kedua; memiliki ilmu pengetahuan yang sangat luas dari kalangan ulama.
Ketiga; memiliki ilmu pengetahuan yang luas, dan dikenal oleh penduduk
Timur dan Barat.
Benar kriteria di atas hanya terdapat pada diri Imam Syafi`i, dia adalah
seorang ahli ilmu pengetahuan yang berasal dari suku Quraisy.
Berikut beberapa hadits yang berkaitan dengan hal di atas.
4 . Manaqib karya Imam Baihaqi, juz 1, hlm. 45.
12
1. Riwayat dari Ibnu Mas`ud bahwa dia berkata bahwa Rasulullah saw.
bersabda:
ل� ت�س�بGو�ا ق7ر�ي�ش/ا ف�إ�ن' ع�ال�م�ه�ا ي�م�ل3 ال�ر�ض� ع�ل�م/ا ال'له�م� أ�ذ�قت� أ�و�ل�ه�م� ع�ذ�اب/ا ف�أ�ذ�ق� أ�خ�ر�ه�م� ن�و�ال:
“Janganlah kalian mencaci maki suku Quraisy, karena sesungguhnya ahli
ilmu di antara mereka akan memenuhi dunia. Ya Allah ya Tuhan kami,
Engkau telah menimpakan azab yang terdahulu dari mereka, maka
anugerahkan nikmat-Mu yang terakhir dari mereka.” 5
2. Riwayat dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda :
ا�ل'له�م� اه�د� ق7ر�ي�ش/ا ف�إ�ن' ع�ال�م�ه�ا ي�م�ل3 ط�ب�اق� ال�ر�ض� ع�ل�م/ا ا�لل'ه�م� ك�م�ا ا�ذ�قت�ه�م� ع�ذ�اب/ا ف�أ�ذ�قه�م� ن�و�ال: د�ع�ا
ب�ه�ا ث�ل�ث� م�ر�ات
”Ya Allah tunjukkanlah orang-orang Quraisy, karena
sesungguhnya orang alim di antara mereka akan memenuhi dunia. Ya Allah,
sebagaimana Engkau telah memberikan azab kepada mereka, maka berikanlah
juga Ni`mat-Mu atas mereka.” Beliau mengulanginya sampai tiga kali .6
3. Dia adalah orang Quraisy dari Bani al-Muthalibi, Rasulullah saw. bersabda:
إ�ن�م�ا ب�ن�و� ه�اش�م, و�ب�ن�و الم�ط'ل�ب� ش�ي�ء" و�اح�د� ث7م� ش�ي�ك� ر�س�و�ل7 ال� ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� ب�ي�ن� أ�ص�اب�ع�ه�
“Sesungguhnya Bani Hasyim dan Bani Muthalib adalah adalah satu.”
Lalu Rasulullah saw. merapatkan jari tangannya. 7
Selanjutnya Rasulullah saw. kembali bersabda :
إ�ن' ال� ي�ب�ع�ث7 ل�ه�ذ�ه� ال7م�ة� ع�ل�ى ر�أس� ك7ل\ م�ائ�ة� س�ن�ة, م�ن� ي�ج�دXد� ل�ه�ا د�ي�ن�ه�ا
“sesungguhnya Allah swt. mengutus untuk umat ini pada setiap setiap
seratus tahun seseorang yang memperbaharui agama-Nya.” 8
5 . H.R. Abu Daud Thabalasi dalam kitab Musnad-nya, hlm. 39-40.6 . Khatib, dalam Tarikh, juz 2, hlm. 61.7 . H.R. Sunan Kubra, juz 6, hlm. 340.8 . Al-Mustadrak, juz 4, hlm. 522, dan Khatib dalam Tarikh, juz 2, hlm. 61.
13
Anak-anak Imam Syafi`i.
1. Abu Usman Muhammad, dia seorang hakim di kota Halib, Syam
(Syiria).
2. Fatimah.
3. Zainab.
Imam Syafi`i ke Mesir.
Imam Syafi`i datang ke Mesir pada tahun 199 H. atau 814/815 M. pada
masa awal khalifah al-Ma`mun, lalu dia kembali ke Baghdad dan bermukim di
sana selama satu bulan, kemudian dia kembali lagi ke Mesir. Dia tinggal di sana
sampai akhir hayatnya pada tahun 204 H. atau 819/820 M.
Kitab-kitab Karya Imam Syafi`i.
1. Al-Risalah al-Qadimah (kitab al-Hujjah)
2. Al-Risalah al-Jadidah.
3. Ikhtilaf al-Hadits.
4. Ibthal al-Istihsan.
5. Ahkam al-Qur`an.
6. Bayadh al-Fardh.
7. Sifat al-Amr wa al-Nahyi.
8. Ikhtilaf al-Malik wa al-Syafi`i.
9. Ikhtilaf al- Iraqiyin.
10. Ikhtilaf Muhammad bin Husain.
11. Fadha`il al-Quraisy
12. Kitab al-Umm
13. Kitab al-Sunan
Wafatnya Imam Syafi`i.
Beliau menderita penyakit ambeien pada akhir hidupnya, sehingga
mengakibatkan beliau wafat di Mesir pada malam Jum`at sesudah shalat
Maghrib, yaitu pada hari terakhir di bulan Rajab. Beliau di makamkan pada Hari
Jum`at pada tahun 204 H. bertepatan tahun 819/820 M. makamnya berada di kota
14
Kairo, di dekat masjid Yazar, yang berada dalam lingkungan perumahan yang
bernama Imam Syafi`i.
KITAB TATA CARA BERSUCI (THAHARAH )
Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman :
15
يا أيها الذين امنوا إذا قمتم إل الصلة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إل الرافق
وامسحوا برءوسكم وأرجلكم إل الكعبي وإن كنتم جنبا فاطهروا وإن كنتم مرضى
أو على سفر أو جاء أحد منكم من الغائط أولستم النساء فلم تدوا ماء فتيمموا
صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم وأيديكم منه ما يريد ال ليجعل عليكم من حرج
ولكن يريد ليطهركم وليتم نعمته عليكم لعلكم تشكرون
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tangamu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,
dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah
dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan
tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu supaya
kamu bersyukur.” ( Surat al-Maidah (5): 6 )
Imam Syafi`i berkata: Allah swt. Dialah yang Suci dan Maha Tinggi,
Dialah yang menciptakan air bagi mahluk-Nya, manusia tidak memiliki
kemampuan sedikitpun dalam penciptaannya. Dia telah menyebutkan air secara
umum, maka di dalamnya termasuk juga air hujan, air sungai, air sumur, air yang
keluar dari celah-celah bukit, air laut, baik yang asin maupun yang tawar. Semua
jenis air itu dapat dipergunakan untuk bersuci bagi yang hendak berwudlu atau
mandi. Makna secara lahir dari ayat di atas mengisyaratkan bahwa semua jenis air
adalah suci, baik air laut maupun air yang lain.
Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa
seseorang bertanya kepada Rasulullah saw. “Wahai Rasulullah, kami pernah
berlayar, sedangkan kami hanya memiliki sedikit persediaan air. Jika kami
berwudlu dengannya, maka kami akan kehausan, maka apakah kami boleh
berwudlu dengan air laut ?” kemudian Rasulullah saw. bersabda :
16
هو� الط'ه�و�ر� م�اؤ�ه� ا�لح�لp م�ي�ت�ت�ه�
“Laut itu airnya suci dan bangkainya halal.” 9
Imam Syafii berkata: Hadits diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. dari
Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda :
من� ل�م� ي�طه�ر�ه� الب�ح�ر� ف�ل� ط�ه�ر�ه� ال3
“Barang siapa tidak dapat disucikan dengan air laut, maka Allah swt.
tidak mensucikannya.” 10
Imam Syafi`i berkata: Setiap air tetap suci selama belum bercampur
dengan najis. Tidak ada yang membersihkan dan menyucikan kecuali air atau
tanah, baik air embun, salju yang mencair, air yang dipanaskan atau tidak
dipanaskan, lantaran air memiliki sifat untuk menyucikan dan api tidak
merubahnya menjadi najis. Kami tidak memandang makruh menggunakan air
yang dipanaskan dengan sinar matahari untuk bersuci, hanya saja tidak baik dari
sisi kesehatan, lantaran hal itu dapat menyebabkan penyakit kusta.
Air Yang Dapat Berubah Menjadi Najis.
Imam Syafi`i berkata: Air dibagi menjadi dua macam: yaitu yang
mengalir dan tergenang.
a. Air Mengalir.
Jika di dalam air yang mengalir itu terdapat sesuatu yang diharamkan;
sebagaimana bangkai, darah atau sejenisnya dan berhenti pada suatu muara, maka
air yang tergenang itu menjadi najis jika kadar air lebih sedikit dari jumlah
bangkai, yakni kurang lebih lima bejana. 11
Namun jika airnya lebih dari lima bejana, maka dia tidak dikategorikan
najis, melainkan jika rasa, warna dan baunya telah berubah lantaran najis, karena
air yang mengalir akan menghanyutkan semua kotoran.
Jika bangkai atau kotoran hanyut dalam aliran air, maka bagi seseorang
boleh bersuci pada bagian air yang datang setelahnya, karena air yang mengikuti
9 . H.R. Nasa`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang air, bab “Wudlu dengan air laut.” Juz 1, hlm. 176.10 . H.R. Ibnu Majah, dalam kitab yang menjelaskan tentang bersuci, bab “Wudlu dengan air laut.” Hadits no. 309.11 . Lima geriba sama dengan seperempat hasta orang dewasa; baik panjang, dalam dan luasnya.
17
bangkai tersebut tidak dianggap air yang ditempati bangkai itu disebabkan tidak
dicampuri oleh najis. Jika kadar air yang mengalir itu sedikit dan di dalamnya
terdapat bangkai, kemudian seseorang berwudlu dengan air yang ada disekitarnya,
maka hal itu tidak diperbolehkan apabila air yang berada di sekitar bangkai itu
kurang dari lima geriba. Akan tetapi baginya boleh bersuci dengan air yang
berikutnya.
Imam Syafi`i berkata: Jika air yang mengalir –baik jumlahnya seikit atau
banyak- itu bercampur dengan najis sehingga bau, rasa dan warnanya berubah,
maka air itu menjadi najis. Jika aliran air melewati sesuatu yang haram dan dapat
merubah keadaan air dimana keduanya bercampur, kemudian aliran air itu
melewati sesuatu yang haram dan dapat merubah keadaan air dimana keduanya
bercampur, lalu aliran itu melewati saluran lain yang tidak berubah, maka air yang
tidak berubah itu suci sedangkan air yang berubah itu menjadi najis.
b. Air Tergenang.
Air tergenang terdiri dari dua macam :
Pertama, air yang tidak najis jika bercampur dengan sesuatu yang haram,
kecuali jika warna, bau dan rasanya telah berubah. Jika sesuatu yang haram
terdapat dalam air itu dan merubah salah satu sifat yang disebutkan, baik warna,
bau dan rasanya, maka air itu menjadi najis baik seikit maupun banyak.
Kedua, air yang najis jika bercampur dengan sesuatu yang haram,
sekalipun yang haram itu tidak terdapat padanya. Jika seseorang bertanya:
“Apakah alasan dalam membedakan antara air yang najis dan air yang tidak najis,
padahal tidak ada perubahan apapun pada salah satunya ?” maka sebagai
jawabannya adalah hujjah yang berasal dari al-Sunnah. Yaitu hadits yang
diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, dari ayahnya, bahwa Rasulullah saw.
bersabda :
إ�ذ�ا ك�ان� الم�اء3 ق7ل'ت�ي�ن� ل�م� ي�ح�م�ل ن�ج�س/ا
“Jika air ada dua kolam, maka dia tidak membawa najis.” 12
Imam Syafi`i berkata: Jika kadar air berukuran lima bejana, maka air
yang mengalir itu tidak mengandung najis. Akan tetapi jika air kurang dari lima
12 . H.R. Tirmidzi, bab “wudlu”, hadits no. 67, jilid 1, hlm. 97.
18
bejana dan bercampur dengan bangkai, maka air itu dikategorikan sebagai air
najis. Bejananyapun najis sekalipun isinya sudah dibuang, akan tetapi dapat suci
kembali jika disucikan.
Akan tetapi jika air yang kurang dari lima geriba itu bercampur dengan
najis dan keadaan air itu menjadi berubah, maka hukumnya adalah najis. Namun
apabila dituangkan air lain sampai menjadi lima geriba atau lebih, maka air
tersebut dianggap sebagai air yang suci. Demikian juga jika air yang bercampur
najis itu dituangkan ke air yang lain yang lebih sedikit darinya atau lebih banyak,
dan sesudah dicampur keduanya mencapai kadar lima bejana atau lebih, maka
salah satu dari keduanya tidak merubah yang lainnya menjadi najis. Jika keduanya
telah mencapai lima bejana, maka keduanya adalah suci. Kemudian jika
dipisahkan kembali keduanya tidak dihukumi najis setelah keduanya dalam
kondisi suci, melainkan jika ada najis yang mencampurinya.
Imam Syafi`i berkata: Kotoran burung –baik yang dagingnya boleh
dimakan atau tidak- jika berbaur dengan air, maka air itu menjadi najis, lantaran
kotoran itu menjadi basah sebab berbaur dengan air. Sedangkan keringat orang
Nasrani, orang Majusi, orang yang sedang Junud serta wanita yang sedang haidl
tidak najis. Demikian juga keringat setiap binatang ternak dan binatang buas tidak
najis, kecuali anjing dan babi.
Imam Syafi`i berkata: Demikian juga dengan keringat manusia jika
bercampur dengan air, maka ia tidak najis, lantaran keringat seluruh manusia dan
binatang ternak tidak najis dari tempat manapun keringat itu keluar, baik dari arah
ketiak manusia atau lainnya.
Imam Syafi`i berkata: Jika bejana tanah atau sumur yang dibangun (diberi
dinding) terkena najis yang di dalamnya terdapat sedikit air, padahal dapat
menampung banyak air, kemudian ada juga benda haram yang bercampur dengan
air itu, kemudian dituangkan ke dalamnya air lain sehingga benda haram iu
menjadi tidak ada, akan tetapi kadar air masih sedikit, maka air itu dianggap najis.
Kemudian jika dituangkan lagi pada air itu air lain yang sebanding dengan air
tadi, sehingga tidak ada lagi benda haram, maka air itu menjadi suci. Bejana tanah
dan sumur yang berisi air itu menjadi suci, keduanya dihukumi najis karena
19
airnya.
Jika air telah menjadi suci, maka sesuatu yang disentuh oleh air itu juga
dihukumi suci. Bejana itu tidak merubah hukum air. Sebagaimana air tidak
merubah hukum bejana, hanya saja bejana mengikuti hukum air, ia suci dengan
sucinya air dan dianggap najis lantaran airnya najis.
Jika air sedikit yang berada dalam satu bejana bercampur dengan najis,
maka cukup dengan membuang airnya dan mencucinya. Kecuali jika anjing dan
babi meminum air bejana tersebut, maka cara mensucikannya dengan mencuci
bejana tersebut sampai tujuh kali dimana pada cucian pertama atau terakhir
menggunakan tanah, karena ia tidak suci selain dengan cara semacam itu.
Jika seseorang berada di laut dan tidak mendapatkan tanah, kemudian
orang tersebut mencucinya dengan sesuatu yang dapat menggantikan tanah,
sebagaimana abu gosok, sikat atau yang lain, maka dalam permasalahan ini ada
dua pandangan:
Pertama; bejana itu tetap tidaksuci, lantaran cara mensucikannya tidak
boleh dengan sesuatu yang lain kecuali tanah.
Kedua; bejana itu dapat disucikan dengan sesuatu yang menggantikan
tanah atau yang dapat lebih membersihkan daripada tanah.
Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang bertanya: “Apakah alasan kamu
mengatakan bahwa jika seekor anjing atau babi meminum air dari suatu bejana
maka bejana itu tidak akan dapat disucikan melainkan dengan tujuh kali basuhan,
dimana salah satunya dicampur dengan debu, sedangkan bangkai atau darah yang
jatuh ke dalam bejana itu cukup dengan sekali cuci saja, sekalipun semuanya tidak
memberi perubahan apapun pada air itu ?” Maka sebagai jawaban yang
disampaikan kepada orang tersebut adalah bahwa yang demikian itu mengikuti
Rasulullah saw.
Imam Syafi`i berkata: Hadits telah diriwayatkan dari Abu Hurairah ra.
bahwa dia berkata: bahwa Rasulullah saw. bersabda :
إ�ذ�ا ش�ر�ب� الك�لب� م�ن� إ�ن�اء� أ�ح�د�ك7م� ف�لي�غ�س�له� س�ب�ع� م�ر�ات,
“Jika seekor anjing menjilat suatu bejana salah satu diantara kalian,
20
maka hendaklah dia membasuhnya sampai tujuh kali.” 13
Imam Syafi`i berkata: Kita mengatakan bahwa hukum anjing adalah najis,
hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw. sedangkan babi tidak lebih buruk
keadaannya daripada anjing, maka kami mengatakan hukumnay juga sama,
lantaran disamakan dengan hukum anjing. Sedangkan pendapat kami bahwa
selain keduanya (anjing dan babi) adalah najis, lantaran berdasarkan cerita yang
disampaikan kepada kami oleh Ibnu Uyainah dari Hisyam bin Urwah. Dia
mendengar dari isterinya –Fatimah binti al-Mundzir- dari Asma, bahwa dia
berkata: “Suatu ketika seorang wanita bertanya kepada Rasulullah saw.: Wahai
Rasulullah, bagaimanakah menurut pendapatmu apabila salah seorang diantara
kami pakaiannya terkena darah haidl ?” kemudian Rasulullah saw. bersabda
kepadanya:
إ�ذ�ا أ�ص�اب� ث�و�ب� إ�ح�د�اك7ن� الد�م� م�ن� الح�ي�ض�ة� ف�لت�قر�ص�ه� ث7م� ل�ت�ن�ض�ح�ه� ل�ت�ص�ل\ ف�ي�ه�
“Jika baju salah satu diantara kalian terkena darah haidl, hendaklah dia
mengeriknya dengan kuku kemudian dipercikkan air, lalu dia shalat
dengannya.” 14
Imam Syafi`i berkata: Tidaklah najis hukumnay jika binatang yang masih
hidup menyentuh air yang kadarnya sedikit, baik dengan cara meminumnya atau
masuk kedalam air itu, atau memasukkan salah satu anggota tubuhnya (kecuali
anjing dan babi); hanya saja binatang yang telah mati adalah najis.
Apakah kamu tidak memperhatikan bahwa jika seseorang mengendarai
seekor keledai, keledai itu sampai mengeluarkan keringat, sedangkan orang itu
tetap berada di atasnya dan dia halal menyentuhnya ?” Jika seseorang bertanya:
Apakah dalil yang menunjukkan halalnya ini ?” maka sebagai jawabannya adalah
hadits Rasulullah saw. yang berasal dari Ibrahim bin Muhammad, dari Daud bin
Husain, dari ayahnya, dari Jabir bin Abdullah, bahwa Rasulullah saw. pernah
ditanya oleh seseorang: “Apakah seseorang boleh berwudlu dengan air sisa dari
keledai ?” kemudian Rasulullah saw. bersabda :
13 . H.R. Muslim, hadits no. 91 dalam kitab Thaharah.14 . H.R. Bukhari, dalam kitab yang menjelaskan tentang haidl, bab “Membasuh Darah Haidl,” juz 1, hlm. 84.
21
نعم� و�ب�م�ا أ�فض�ل�ت� السXب�اع� ك7ل'ه�ا
“Ya, dia juga berwudlu dari air sisa seluruh binatang buas.” 15
Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Kabsyah binti Ka`ab bin
Malik, dari Ibnu Abi Qatadah bahwa suatu ketika Abu Qatadah menuangkan air
untuk berwudlu, kemudian tiba-tiba seekor kucing datang dan meminum dari
bejana itu. Abu Qatadah melihatku sedang memandanginya, maka dia bertanya:
“Apakah engkau heran, wahai puteri saudaraku ? Rasulullah saw. bersabda :
إ�ن�ه�ا ل�ي�س�ت� ب�ن�ج�س, إ�ن�ه�ا م�ن� الط'و�اف�ي�ن� ع�ل�ي�ك7م� أ�و� الط'و�اف�ات,
“Sesungguhnya kucing itu tidak najis dan sesungguhnya ia adalah
binantang yang suka mengelilingi kamu.” 16
Imam syafii berkata: Jika air yang sedikit atau banyak telah berubah
sehingga membusuk atau berubah warnanya disebabkan bercampur dengan
sesuatu yang tidak haram, maka air itu dikategorikan sebagai air yang suci.
Demikian halnya juga jika seseorang yang kencing dalam air dan tidak diketahui
apakah air itu bercampur najis atau tidak, sedangkan warna, bau dan rasanya telah
berubah, maka air itu tetap suci sehingga diketahui dengan jelas penyebab
najisnya. Lantaran ketika air itu dibiarkan dan tidak ambil sebagai air minum,
maka barangkali saja dia berubah disebabkan bercampur dengan daun kayu dan
lain sebagainya.
Imam Syafi`i berkata: Jika sesuatu yang halal terjatuh pada air dan
merubah bau dan rasanya, namun air tidak menjadi rusak olehnya, maka
seseorang bisa menggunakannya untuk berwudlu, seperti jika yang jatuh ke dalam
air itu adalah kayu sehingga menimbulkan bau tersendiri.
Sedangkan apabila air bercampur dengan susu, madu, tepung atau yang
lainnya, lalu air itu didominasi oleh benda-benda tadi, maka air itu tidak dapat
digunakan untuk berwudlu disebabkan air itu didominasi oleh benda-benda itu
15 . Musnad Imam Syafii, Syarh al-Sunnah, karya al-Baghawi, juz 2, hlm. 71.16 . H.R. Abu Daud, dalam kitab yang menjelaskan tentang bersuci, bab “Air Liur Kucing,” Musnad Imam Ahmad bin Hambal, juz 5, hlm. 33. Tirmidzi, bab “Wudlu”, hadits no. 92; dan Ibnu Majah, dalam kitab yang menjelaskan tentang bersuci dan sunnah hukumnya.
22
dinisbatkan kepada apa yang mendominasinya, sebagaimana dikatakan; air
tepung, air susu, atau air madu.
Lalu jika sesuatu yang memiliki kadar rendah dimasukkan kedalam air
tersebut, baik berupa tepung, susu atau madu, kemudian benda-benda ini tampak
pada air tersebut, maka air yang suci dan tidak berubah rasanya ini boleh
digunakan untuk berwudlu, karena air itu tidak berubah (sebagaimana mestinya).
Imam Syafii berkata: Demikian halnya apabila dituangkan minyak kayu
cendana di atas air sehingga air tersebut menimbulkan aroma minyak kayu
cendana, maka seseorang tidak boleh berwudlu dengannya. Namun apabila tidak
menimbulkan bau, maka diperbolehkan untuk menggunakannya, lantaran jika
minyak kayu cendana atau air mawar dicampur dengan air, maka keduanya tidak
dapat dibedakan.
Apabila minyak wangi, minyak ambar, kayu cendana atau sesuatu yang
memiliki aroma dituangkan kedalam air, akan tetapi tidak dapat melebur di
dalamnya melainkan hanya menimbulkan bau, maka diperbolehkan berwudlu
dengan air itu, lantaran tidak ada sesuatupun dari benda-benda tersebut yang
bercampur dengannya.
Apabila dituangkan minyak kasturi atau dzarirah (sejenis wangi-wangian)
atau sesuatu yang larut dalam air sehingga air itu melebur dan tidak dapat
dibedakan, kemudian timbul bau padanya, maka tidak boleh berwudlu dengan air
itu, lantaran dia bukan air lagi, akan tetapi air yang bercampur dengan benda.
Air Sisa yang dipakai oleh Orang yang Junub.
Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa dia
berkata:
أ�ن' ر�س�و�ل� ال� ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� ك�ان� ي�غ�ت�س�ل7 م�ن� الق�د�ح� و�ه�و� الف�ر�ق� و�ك7ن�ت� أ�غت�س�ل7 أ�ن�ا و�ه�و
م�ن� إ�ن�اء, و�اح�د
”Bahwa Rasulullah saw. mandi dari al-Qadah (maksudnya al-
Faraq) 17 Kami dan beliau pernah mandi dari satu bejana “.18
17 . Maksdunya bejana yang berukuran sekitar tiga sha`. Akan tetapi sebagian ulama Syafi`iyah mengatakan bahwa satu sha` air untuk mandi sama dengan delapan liter air.18 . H.R. Muslim, dalam kitab yang menjelaskan tentang haidl, bab “Mandi dengan air sisa orang
23
Imam Syafii berkata: Hadits diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. dari
Maimunah.19
أ�ن�ه�ا ك�ان�ت� ت�غ�ت�س�ل7 ه�ي� و�الن�ب�يG ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� م�ن� إ�ن�اء, و�اح�د,
“Bahwa dia dan Nabi saw. mandi dari satu bejana.” 20
Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Qasim, dari Aisyah ra.
bahwa dia berkata:
أ�ن�ا و�ر�س�و�ل7 ال� ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� م�ن� إ�ن�اء, و�اح�د, م�ن� الج�ن�اب�ة�
“Kami dan Rasulullah saw. mandi dari satu bejana lantaran janabah.” 21
Imam Syafii berkata: Demikian yang menjadi pegangan kami, bahwa
seseorang diperbolehkan mandi dengan menggunakan air sisa yang dipakai oleh
seseorang yang mandi lantaran junub atau haidl, karena Rasulullah saw. dan
Aisyah ra. pernah mandi dari satu bejana dimana keduanya dalam kondisi junub,
masing-masing dari keduanya mandi dengan menggunakan sisa air mereka. Haidl
tidak terletak pada tangan, dan orang mukmin bukanlah orang yang najis. Mandi
hanya bersifat ta`abbudi (ibadah), dimana pada sebagian keadaan seseorang
diharuskan menyentuh air (mandi) akan tetapi tidak pada kesempatan yang lain.
Air Orang Nasrani dan Berwudlu Dengan air itu.
Imam Syafi`i berkata: Sesungguhnya Umar bin Khatab pernah berwudlu
menggunakan air milik wanita Nasrani yang ada dalam sebuah kendi.
Imam syafi`i berkata: Seseorang diperbolehkan berwudlu dengan
menggunakan air orang musyrik dan sisa air wudlunya sendiri, selama tidak
diketahui adanya najis padanya, lantaran air memiliki kesucian bagi siapa saja dan
dimana saja sampai diketahui najis yang bercampur dengannya.
BAB : BEJANA YANG BOLEH DIGUNAKAN SEBAGAI TEMPAT
lain.” Hadits no. 41.19 . Dia adalah isteri Rasulullah saw., nama lengkapnya adalah Barrah binti Maimunah al-Harits al-Hilaliyah al-Mu`ziyah, Rasulullah saw. memanggilnya dengan nama Maimunah lantaran beliau menikah dengannya pada saat penaklukan kota Makkah.20 . H.R. Muslim, jilid 1, hlm. 621, dalam kitab yang menjelaskan tentang haidl, bab “Laki-laki dan perempuan boleh Mandi dalam satu tempat air.”21 . H.R. Muslim, jilid 1, dalam kitab yang menjelaskan tentang haidl, bab “Perempuan boleh mandi dalam satu tempat air,” hlm. 620.
24
UNTUK BERWUDLU.
Imam Syafii berkata: Riwayat dari Ibnu Abbas ra. bahwasanya dia
berkata:
م�ر� الن�ب�يG ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� ب�ش�اة� م�ي�ت�ة, ق�د� ك�ان� أ�ع�ط�اه�ا م�و�ل�ه� ل�م�ي�م�و�ن�ة� ز�و�ج� الن�ب�يX ص�ل'ى ال
إ�ن�م�ا ح�رXم� أ�كل7ه�ا ف�ه�ل' ا�ن�ت�ف�ع�ت�م� ب�ج�لد�ه�ا ق�ال7و�ا ي�ا ر�س�و�ل7 ال� إ�ن�ه�ا م�ي�ت�ة} ف�ق�الع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� ق�ال
“Suatu ketika Nabi saw. melewati bangkai seekor kambing yang telah
diberikannya kepada seorang bekas budak Maimunah, isteri Nabi saw.
beliau bertanya: “Apakah kamu tidak memanfaatkan kulitnya ?”
kemudian para sahabat menjawab: “Itu kan bangkai,” kemudian
Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya yang diharamkan hanyalah
memakannya.” 22
Imam Syafii berkata: Hadits diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi
saw. bersabda :
إ�ذ�ا د�ب�غ� ال�ه�اب� ف�ق�د� ط�ه�رإ
“Apabila kulit telah disamak, maka dia telah suci.” 23
Imam Syafii berkata: Jika kulit bangkai dari binatang apapun sudah
disamak, maka seseorang diperbolehkan berwudlu dengan menggunakannya.
Demikian halnya dengan kulit binatang-binatang buas yang tidak boleh dimakan
dagingnya, lantaran dianalogikan dengan kulit binatang yang sudah menjadi
bangkai. Kecuali kulit anjing dan babi, keduanya tidak bisa disucikan sekalipun
telah disamak, lantaran najis yang ada pada pada keduanya sudah ada sejak
keduanya masih hidup.
Sedangkan kulit binatang yang dapat disucikan dengan disamak hanyalah
binatang yang tidak najis saat masih hidup. Sedangkan proses penyamakannya
dengan menggunakan alat samak yang sudah dipakai oleh orang Arab;
sebagaimana daun salam atau benda lain yang dapat menggantikan fungsinya,
22 . H.R. Muslim, dalam kitab yang menjelaskan tentang haidl, bab “Mensucikan kulit dari binatang yang sudah mati dengan cara menyamak,” hadits no. 102, jilid 1, hlm. 659.23 . H.R. Muslim, dalam kitab yang menjelaskan tentang haidl, bab “Mensucikan kulit dari binatang yang sudah mati dengan cara menyamak,” hadits no. 106, jilid 1, hlm. 660.
25
sehingga dapat mengeringkan lendirnya, membaguskan dan mencegahnya dari
kerusakan jika terkena air. Kulit bangkai tidak akan suci dengan disamak,
melainkan setelah melewati proses yang sudah kami jelaskan. Apabila kulit itu
berbulu, maka bulunya hukumnya najis. Jika disamak dan bulunya dibiarkan lalu
menyentuh air, maka airnya hukumnya najis. Akan tetapi apabila air itu ada di
bagian dalam kulit, sedangkan bulunya di sisi luarnya, maka air tersebut tidak
dihukumi najis, sebab tidak bersentuhan dengan bulunya. Sedangkan kulit setiap
binatang yang disembelih dan diperbolehkan untuk memakan dagingnya, maka
tidak mengapa minum dan berwudlu darinya sekalipun tidak disamak, lantaran
pensuciannya cukup dengan disembelih.
Imam Syafi`i berkata: Tidak diperbolehkan berwudlu dan minum dengan
menggunakan tulang bangkai yang disembelih dimana binatang tersebut tidak
boleh dimakan dagingnya; sebagaimana tulang gajah, tulang singa, dan tulang-
tulang lain yang sejenisnya, lantaran proses penyamakan dan pensuciannya tidak
dapat mensucikan tulang tersebut.
Imam Syafi`i berkata: Barangsiapa berwudlu darinya, maka hendaklah dia
mengulangi wudlunya dan membasuh apa yang disentuh oleh air yang ada dalam
tulang itu.
BAB : BEJANA YANG TIDAK TERBUAT DARI KULIT.
Imam Syafi`i berkata: Kami tidak memandang makruh bejana yang
terbuat dari batu, besi, tembaga dan segala sesuatu yang tidak bernyawa.
Sedangkan emas dan perak, kami memandang makruh bagi seseorang yang
berwudlu dengan memakainya.
Imam Syafi`i berkata: Hadits telah diriwayatkan dari Ummi Salamah,
bahwa Rasulullah saw. bersabda :
ال'ذ�ي� ي�ش�ر�ب� ف�ي إ�ن�اء� الف�ض�ة� إ�ن�م�ا ي�ج�ر�ج�ر� ف�ي� ب�طن�ه� ن�ار� ج�ه�ن�م�
“Orang yang minum dengan menggunakan bejana yang terbuat dari
perak, sesungguhnya dia menuangkan api Jahanam ke dalam perutnya.” 24
24 . H.R. Ibnu Majah, dalam kitab yang menjelaskan tentang minuman, bab “Minum dengan
26
Imam Syafi`i berkata: Kami memandang makruh berwudlu dan
meminum dari bejana perak, akan tetapi kami tidak memerintahkannya untuk
mengulangi wudlu. Kami tidak berpendapat bahwa air yang diminum dan
makanan yang dimakannya menjadi haram, hanya saja perbuatan itu dianggap
sebagai maksiat. Jika ditanyakan: “Bagaimana kamu melarang yang demikian itu,
sedangkan air yang ada yang padanya tidak diharamkan ?” Maka katakanlah pada
orang itu: “Sesungguhnya Rasulullah saw. hanya melarang perbuatan –berwudlu
dan minum- serta tidak melarang kepingan bejana perak itu, lantaran
sesungguhnya zakat telah diwajibkan pada bejak perak itu, dan kaum muslimin
menjadikannya sebagai harta. Seandainya bejana perak itu najis, niscaya tidak
ada seorangpun yang mau mengambilnya sebagai harta dan pasti tidak halal
diperjual-belikan.”
BAB : AIR YANG DI RAGUKAN.
Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang melakukan perjalanan jauh dengan
membawa air, kemudian dia menduga bahwa air itu telah bercampur dengan
benda najis, akan tetapi dia tidak begitu yakin, maka air itu tetap dihukumi suci,
dia boleh meminum dan berwudlu darinya sampai dia benar-benar yakin bahwa
air itu telah bercampur dengan najis. Jika dia telah yakin bahwa air tersebut
bercampur dengan najis, kemudian dia bermaksud menumpahkan dan
menggantinya dengan air yang lain, akan tetapi dia menjadi ragu apakah telah
melakukannya atau belum, maka air itu tetap dianggap najis sampai diyakini
bahwa dia telah menumpahkan dan menggantinya dengan air yang lain.
Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang melakukan perjalanan dengan
membawa dua air, sedangkan dia meyakini bahwa salah satu dari air itu najis dan
yang lainnya suci, kemudian dia menumpahkan air yang diyakini kesuciannya,
akan tetapi dia merasa hawatir merasa haus, maka baginya boleh untuk tidak
membuang air yang diyakini bercampur dengan najis itu kemudian berwudlu
dengan air yang diyakini suci. Apabila ada yang bertanya: “Dia telah meyakini
menggunakan tempat dari emas,” hadits no. 2755, jilid 2, hlm. 248. Dan Tartib Musnad Imam Stafi`i, alam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab “Tempat dan Tata cara menyamak,” hadits no. 62, hlm. 27.
27
bahwa salah satu dari kedua air itu ada yang najis, maka bagaimanakah dia
berwudlu, sedangkan dia tidak yakin kesucian air tersebut ?” Sebagai jawaban
terhadap pertanyaan tersebut adalah, jika dia yakin adanya najis pada salah
satunya dan dia juga meyakini adanya kesucian pada yang lain, maka hal itu tidak
meruak wudlunya, kecuali apabila dia benar-benar yakin bahwa air yang
digunakannya adalah bernajis.
Imam Syafii berkata: Jika seseorang mendapati air yang sedikit
dipermukaan tanah, di dalam sumur, di dalam lubang batu atau di tempat yang
lain, dan air itu sudah sangat berubah, akan tetapi dia tidak mengetahui apakah air
itu bercampur dengan air kencing binatang atau selainnya, maka dia boleh
berwudlu dengan air itu, lantaran air itu terkadang berubah dengan sesuatu yang
tidak haram. Apabila yakin bahwa tidak ada masalah dalam air ini, maka air
tersebut tetap suci, sampai dia meyakini adanya najis yang bercampur dengan air
itu.
Imam Syafi`i berkata: Apabila seseorang melihat air lebih dari lima
bejana, kemudian meyakini bahwa seekor kijang telah kencing di dalamnya dan
menemui rasa, warna, dan baunya telah berubah, maka air itu telah najis,
sekalipun dia menduga bahwa mungkin perubahannya itu bukan akibat kencing,
karena pada awalnya dia telah meyakini adanya najis yang telah mencampurinya
dan mendapati air tersebut benar-benar telah mengalami perubahan. Sedangkan
perubahan yang disebabkan oleh air kencing dan yang lainnya berbeda.
Hal-hal Yang Mewajibkan Wudlu.
Imam Syafii berkata: Allah swt. berfirman :
يا أيها الذين امنوا إذا قمتم إل الصلة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إل الرافق
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tangamu sampai dengan siku.”
( Surat al-Maidah (5): 6 )
Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa
dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda :
28
إ�ذ�ا اس�ت�ي�ق�ظ� أ�ح�د�ك7م� م�ن� ن�و�م�ه� ف�ل� ي�غ�م�س� ي�د�ه� ف�ي ال�ن�اء� ح�ت�ى ي�غ�س�ل�ه�ا ث�ل�ث:ا ف�إ�ن�ه� ل� ي�د�ر�ي� أ�ي�ن� ب�ات�ت
ي�د�ه
“Jika salah seorang di antara kalian bangun dari tidurnya, maka
janganlah dia membenamkan tangannya ke dalam bejana sebelum dia
mencucinya tiga kali, karena dia tidak mengetahui di manakah tangannya
bermalam.” 25
Imam Syafi`i berkata: Barang siapa tidur dengan terlentang, maka baginya
wajib berwudlu kembali, lantaran dia berarti bangun dari tidur. Tidur dapat
menghilangkan fungsi akal. Barang siapa akalnya tidak berfungsi akibat gila atau
sakit, baik dia dalam kondisi terlentang atau tidak, maka baginya wajib berwudlu,
lantaran kondisinya lebih banyak menyerupai orang tidur. Bahkan, orang yang
tidur bisa sadar dengan sebab tergeraknya sesuatu atau tanpa sebab sesuatu.
Sedangkan orang yang akal pikirannya tidak berfungsi akibat gila atau sebab
lainnya, dia tidak akan bergerak sekalipun ada sesuatu yang menggerakkannya.
Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang tidur dalam kondisi duduk, maka
kami lebih suka apabila orang tersebut berwudlu kembali.
Imam Syafii berkata: Jika dia tidur pada posisi duduk tegak, maka kami
memandang bahwa dia tidak wajib berwudlu kembali, karena orang yang tidur
dengan posisi terlentang tidak sama dengan orang yang tidur dalam keadaan
duduk, hal ini disebabkan tidur dengan posisi terlentang akan terasa lebih
nyenyak, sehingga akal fikirannya akan terasa lebih tidak berfungsi dibanding
orang yang tidur dalam kondisi duduk.
Imam Syafi`i berkata: Jika dia telah bergeser dari posisi duduk tegak saat
tidur, maka dia wajib mengulang wudlunya, lantaran orang yang tidur dalam
kondisi duduk itu menekan dirinya pada lantai dan hampir tidak keluar sesuatu
melainkan dia akan menyadarinya. Jika dia telah bergeser dari duduknya yang
tegak, maka dia berada dalam batasan tidur dengan terlentang yang sangat
memungkinkan terjadinya hadats. Jika seseorang tidur dengan posisi ruku` atau
25 . H.R. Abu Daud, dalam kitab yang menjelaskan tentang wajibnya wudlu, bab “Seorang laki-laki yang memasukkan tangannya ke dalam bejana sebelum mencucinya,” hadits no. 203, Aun al-Ma`bud Syarh Sunan Abu Daud, jilid 1, hlm. 177.
29
sujud, maka kami dia kami wajibkan untuk berwudlu, karena posisi ini lebih
rawan terjadinya hadats, lantaran posisi seperti ini lebih rawan dimana hadats
keluar dengan tanpa disadarinya dibandingkan orang yang tidur dengan posisi
terlentang.
Imam Syafi`i berkata: Yang mewajibkan seseorang untuk berwudlu
kembali karena tidur ialah hilangnya fungsi akal pikiran, baik tidur ringan atau
tidur nyenyak. Sedangkan orang yang fungsi akalnya tidak hilang, baik tidur
dengan posisi terlentang, menganggukkan kepala karena mengantuk atau karena
adanya bisikan hati, maka hal itu tidak mewajibkan untuk berwudlu kembali,
sehingga dia yakin bahwa dia telah berhadats.
Imam Syafi`i berkata: Sama halnya apakah seseorang berada di atas
bahtera, menunggang kuda ataupun binatang lainnya, atau orang yang duduk
tegak di lantai pada saat telah melewati kriteria “tegak” pada saat duduk, atau
tidur dalam posisi berdiri, ruku`, sujud, atau terlentang, maka wajib atas orang
tersebut mengulangi wudlunya. Jika orang tersebut ragu tentang kondisi tidurnya
dan terbersit dalam fikirannya sesuatu yang tidak diketahuinya, apakah dia
bermimpi atau hanya bisikan hati, maka orang tersebut tidak termasuk orang
yang tidur. Jika dia yakin bermimpi dan ragu apakah dia tidur atau tidak, maka
yang dia anggap telah tidur dan harus mengulangi wudlunya.
Sedangkan untuk mengambil sikap hati-hati pada masalah yang pertama
bisa dilakukan dengan cara berwudlu kembali. Dia wajib berwudlu lantaran
bermimpi dan ketika dia yakin bahwa dia telah tidur, sekalipun tidak lama.
Berwudlu Karena Menyentuh Wanita dan Buang Air Besar.
Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman :
يا أيها الذين امنوا إذا قمتم إل الصلة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إل الرافق
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tangamu sampai dengan siku.”
( Surat al-Maidah (5): 6 )
Dalam ayat ini Allah swt. menyebutkan wudlu bagi orang yang berdiri
hendak mengerjakan shalat. Maksud yang lebih dominan adalah orang yang
bangun dari tidur terlentang. Allah swt. juga menyebutkan bersuci dari janabah.
30
Lalu sesudah menyebutkan bersuci dari janabah, Allah swt. berfirman :
غائط أولستم تم مرضى أو على سفر أو جاء أحد منكم من ال فاطهروا وإن كن با تم جن وإن كنالنساء فلم تدوا ماء فتيممواصعيدا طيبا
“dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah
dengan tanah yang baik (bersih).” ( Surat al-Maidah (5): 6 )
Imam Syafi`i berkata: Telah sampai kepadaku riwayat dari Ibnu Mas`ud
yang mendekati makna perkataan Ibnu Umar: Jika seorang laki-laki
menyentuhkan tangannya kepada isterinya, atau bersentuhan sebagian tubuhnya
pada sebagian tubuh isterinya dimana tidak ada pembatas antara dia dan isterinya,
baik dengan disertai nafsu birahi atau tidak, maka keduanya wajib berwudlu.
Demikian juga apabila sentuhan itu dari pihak isteri, maka keduanya pun
wajib berwudlu. Dengan kata lain, mana saja dari badan keduanya yang tersentuh
pada yang lain, baik dari pihak laki-laki yang menyentuh kulit wanita atau wanita
yang menyentuh kulit laki-laki, maka keduanya wajib berwudlu.
Jika laki-laki menyentuhkan tangannya pada rambut wanita, namun tidak
sampai menyentuh kulitnya, maka orang itu tidak wajib berwudlu, baik terdorong
oleh nafsu birahi atau tidak. Demikian juga halnya jika dia bernafsu kepada
isterinya, akan tetapi dia tidak menyentuhnya, maka baginya tidak wajib
berwudlu kembali. Nafsu tidak dapat dijadikan ukuran dalam menetapkan hukum,
sebab ia hanya ada dalam hati. Bahkan yang harus dijadikan ukuran adalah
perbuatan seseorang, sedangkan rambut berbeda dengan kulit.
Imam Syafi`i berkata: Kalau seseorang ingin bersikap hati-hati, misalnya
ketika dia menyentuh rambut wanita kemudian dia berwudlu, maka hal itu lebih
kami sukai.
Apabila seseorang menyentuh dengan tangannya apa yang dikehendaki
dari badan wanita; baik dilapisi kain tipis maupun yang tebal, atau dilapisi dengan
benda lain, disertai rasa nikmat atau tidak, dan hal itu dilakukan juga oleh wanita,
31
maka bagi mereka tidak wajib berwudlu, lantaran masing-masing dari keduanya
tidak saling bersentuhan. Hanya saja, setiap salah seorang dari keduanya
menempel pada lawan jenisnya.
Berwudlu Karena Buang Air Besar, Air Kecil dan Kentut.
Imam Syafii berkata: Hadits diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid, bahwa
suatu ketika seorang laki-laki datang mengadu kepada Rasulullah saw. tentang
sesuatu yang mengganggunya dalam shalat, kemudian Rasulullah saw. bersabda :
ل� ي�ن�ص�ر�ف� ح�ت�ى ي�س�م�ع� ص�و�ت/ا ا�و� ي�ج�د� ر�ي�ح/ا
“Janganlah dia beranjak sehingga dia mendengar suara atau mendapati
angin.” 26
Imam Syafi`i berkata: Ketika sunnah menunjukkan bahwa orang tersebut
itu meninggalkan shalat dikarenakan kentut dari tempat keluarnya kotoran
(dubur), maka buang air adalah lebih jelas daripada sekedar buang angin, dengan
kata lain batalnya wudlu lantaran buang air kecil lebih jelas daripada disebabkan
keluar angin.
Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Ibnu Shammah :
أ�ن' ر�س�و�ل� ال� ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� ب�ال� ف�ت�ي�م�م�
“Bahwa Rasulullah saw. membuang air kecil (kencing) lalu
bertayammum.” 27
Imam Syafii berkata : Hadits diriwayatkan dari Miqdad bin Aswad bahwa
Ali bin Thalib ra. menyuruhnya untuk bertanya kepada Rasulullah saw. tentang
seorang laki-laki yang mengeluarkan madzi apabila mendekati isterinya, maka
apakah yang harus dia lakukan ? Sahabat Ali bin Abi Thalib berkata: “Aku selalu
bersama puteri Rasulullah saw. oleh sebab itu aku malu menanyakan kepada
Rasulullah saw.
Kemudian Miqdad melanjutkan, maka aku menanyakan hal tersebut
26 . H.R. Nasa`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab “Wudlu yang disebabkan keluarnya angin,” dan H.R. Bukhari, juz 1, dalam kitab yang menjelaskan tentang Wudlu,” bab “Tidak harus berwudlu bagi yang Ragu.”27 . Tartib Musnad Imam Syafi`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang bersuci, bab “Tayammum,” hadits no. 132, jilid 1, hlm. 44.
32
kepada Rasulullah saw., lalu beliau bersabda :
إ�ذ�ا و�ج�د� أ�ح�د�ك7م� ذ�ل�ك� ف�لي�ن�ض�ح� ف�ر�ج�ه� و�ي�ت�و�ض�أ و�ض�و�ء�ه� ل�لص�ل� ة�
“Jika salah satu di antara kalian menemukan hal demikian, maka
hendaklah dia memercikkan air pada alat kelaminnya lalu dia berwudlu
untuk menjalankan shalat.” 28
Sunnah telah menjelaskan wajibnya seseorang untuk berwudlu lantaran
disebabkan keluarnya air madzi dan kencing. Penjelasan lain yang mewajibkan
untuk berwudlu adalah lantaran keluarnya angin. Dengan kata lain tidak ada
maksud lain melainkan segala sesuatu yang keluar dari qubul dan dubur baik laki-
laki maupun, yang merupakan jalur hadats itu mewajibkan adanya wudlu.
Demikian juga halnya cacing, batu serta semua yang keluar dari salah satu di
antara kedua jalan tersebut, demikian juga angin yang keluar dari kemaluan laki-
laki atau wanita, wajib adanya wudlu.
Imam Syafi`i berkata: Seseorang tidak diwajibkan berwudlu kembali
hanya karena muntah, keluar darah dari hidung, bekam atau sesuatu yang keluar
dari tubuh selain yang dikeluarkan oleh kemaluan yang tiga; yaitu dzakar, vagina
dan anus.
Berwudlu Karena Menyentuh Kemaluan.
Imam Syafi`i berkata: Marwan bin al-Hakam berkata: Telah menceritakan
kepadaku Basrah binti Shafwan, bahwa dia mendengar Rasulullah saw. bersabda:
إ�ذ�ا م�س� أ�ح�د�ك7م� ذ�ك�ر�ه� ف�لي�ت�و�ض�أ
“Jika salah satu dari kalian menyentuh kemaluannya, maka hendaklah dia
berwudlu.” 29
Hadits diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. dari Rasulullah saw.
bahwasanya beliau bersabda:
28 . H.R. Muslim, dalam kitab yang menjelaskan tentang haidl, bab “Air Madhi dan hukumnya,” hadits no. 19, jilid 1, hlm. 599; dalam kitab al-Kuwaththa` karya Imam Malik, dalam kitab yang menjelaskan tentang bersuci, bab “Wudlu karena keluar air Madhi,” hadits no.53,jilid 1, hlm. 40.29 . H.R. Ibnu Majah dalam kitab yang menjelaskan tentang bersuci, bab “Berwudlu Lantaran Memegang Kemaluan,” hadits no. 388, dan H.R. an-Nasa`i dalam kitab yang menjelaskan tentang berwudlu lantaran memegang kemaluan, jilid 1, hlm. 100.
33
إ�ذ�ا أ�فض�ى أ�ح�د�ك7م� ب�ي�د�ه� إ�ل�ى ذ�ك�ر�ه� ل�ي�س� ب�ي�ن�ه� ش�ي�ء" ف�لي�ت�و�ض�أ��
“Jika salah satu dari kalian menyentuh kemaluannya yang tidak ada
pembatas, maka hendaklah dia berwudlu.” 30
Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang menyentuh kemaluannya dengan
telapak tangannya, dimana tidak ada pembatas antara tangan dan kemaluannya,
maka dia wajib berwudlu kembali.
Imam Syafi`i berkata: Hukumnya sama saja apakah seseorang sengaja atau
tidak sengaja, lantaran setiap yang mewajibkan untuk mengulangi wudlu adalah
sikap sengaja. Maka demikian juga ketika dalam kondisi tidak sengaja, keduanya
sama saja, baik sedikit atau banyak dia menyentuh kemaluannya.
Demikian juga jika dia menyentuh dubur atau qubul-nya menyentuh
dubur isterinya atau menyentuh dubur anak kecil, maka wajib atasnya mengambil
wudlu.
Apabila dia menyentuh dua pelirnya atau pantatnya, atau dua lututnya
dan tidak menyentuh kemaluannya, maka baginya tidak wajib berwudlu, baik hal
tersebut dilakukan kepada orang yang sudah mati atau yang masih hidup. Akan
tetapi jika dia menyentuh bagian tubuh binatang, maka baginya tidak wajib
mengulagi wudlu, lantaran anak Adam memiliki kemuliaan dan kehormatan,
sedangkan binatang tidak beribadah sebagaimana hal anak Adam.
Jika kemaluannya tersentuh oleh punggung telapak tangannya, dengan
lengannya atau sesuatu yang bukan telapak tangan, maka dia tidak wajib
mengulangi wudlu.
Imam Syafi`i berkata: Pada saat Rasulullah saw. memerintahkan untuk
mencuci tangan dari darah haidl dan tidak memerintahkan mengulangi wudlu,
maka hal tersebut menunjukkan bahwa darah lebih najis daripada kemaluan.
Imam Syafi`i berkata: Semua yang sudah kami katakan tentang wajibnya
berwudlu terhadap laki-laki yang menyentuh kemaluannya; atau seorang wanita
yang menyentuh kemaluan suaminya atau suami yang menyentuh vagina
30 . H.R. Abu Daud, bab “Wudlu disebabkan menyentuh kemaluan, hlm. 308, dan dalam kitab Aun al-Ma`bud Syarh Sunan Abu Daud.
34
isterinya, keduanya tidak ada perbedaan.
BAB : TIDAK BERWUDLU KARENA SESUATU YANG DIMAKAN
OLEH SESEORANG.
Imam Syafii berkata:
أ�ن' ر�س�و�ل� ال� ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� أ�ك�ل� ك�ت�ف� ش�اة, ث7م� ص�ل'ى و�ل�م� ي�ت�و�ض�أ
“Sesungguhnya Rasulullah saw. makan tulang rusuk kambing, kemudian
beliau mengerjakan shalat dengan tanpa berwudlu kembali.” 31
Imam syafii berkata : Berdasarkan hadits ini kami mengambil kesimpulan
bahwa barangsiapa makan sesuatu yang tersentuh api atau tidak tersentuh api,
maka dia tidak wajib berwudlu kembali.
Demikian juga halnya apabila dia benar-benar terpaksa memakan bangkai,
maka dia tidak wajib mengulangi wudlunya, baik yang dimakannya itu masih
mentah atau telah dimasak. Dalam hal seperti ini, dia hanya diharuskan untuk
mencuci tangan, mulut serta bagian badan yang tersentuh bangkai. Akan tetapi
jika dia tidak mencucinya atau membasuhnya, maka dia harus mengulangi setiap
shalat yang dikerjakannya setelah makan bangkai itu. Demikian juga jika dia
memakan setiap sesuatu yang diharamkan, maka dia tidak boleh menjalankan
shalat sebelum dia mencuci bagian tubuh yang tersentuh, yakni dua tangan, mulut
atau bagian lainnya. Jika dia makan makanan yang halal, maka dia tidak harus
berwudlu lagi.
Berbicara dan Memotong Kumis.
Imam syafi`i berkata: Seseorang tidak mengulangi karena berbicara,
sekalipun suara terdengar keras, dan tidak wajib mengulangi wudlu lantaran
tertawa di dalam shalat dan diluar shalat.
Hadits cerita dari Abu Hurairah ra. dari Rasulullah saw. bahwa beliau
bersabda :
م�ن� ح�ل�ف� ب�ال'ل�ت� ف�لي�ق7ل ل� إ�ل�ه� إ�ل' ال3
“Barang siapa bersumpah dengan al-Laata, maka hendaklah dia
31 . H.R. Bukhari dalam kitab yang menjelaskan tentang wudlu, bab “Tidak berwudlu karena makan daging dan tepung.” Jilid 1, hlm. 63.
35
mengucapkan Laa Ilaaha Illallah.” 32
Imam Syafii berkata : Hadits cerita dari Abu Hurairah ra. bahwa
Rasulullah saw. bersabda :
أ�ع�ف7و�ا الل\ح�ى و�خ�ذ7و�ا الش�و�ار�ب� و�غ�ي�ر�و�ا ش�ي�ب�ك7م� و�ل� ت�ش�ب�ه�و�ا ب�الي�ه�و�د�
“Biarkanlah janggut itu lebat dan panjang, dan potonglah kumis serta
ubahlah uban, dan janganlah kalian menyerupai orang Yahudi.” 33
Imam Syafi`i berkata: Barang siapa telah berwudlu kemudian memotong
kuku, rambut, janggut, dan kumisnya, maka dia tidak harus mengulangi
wudlunya, bahkan hal itu dinilai sebagai tambahan kebersihan dan kesucian.
BAB : ISTINJA`
Imam Syafi`i berkata : Allah swt. berfirman :
سحوا فق وام ل الرا يديكم إ جوهكم وأ سلوا و صلة فاغ ل ال تم إ نوا إذا قم لذين ام ها ا يا أيوأرجلكم إل الكعبي برءوسكم
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tangamu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”
( Surat al-Maidah (5): 6 )
Imam Syafii berkata : Tidak ada keharusan beristinja` ( membersihkan
kotoran setelah buang air kecil atau air besar dengan menggunakan biji batu atas
seseorang yang dharuskan untuk berwudlu, melainkan jika dia membuang air
besar atau air kecil, maka dia harus beristinja` dengan batu atau air.
Riwayat dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda :
إ�ن�م�ا أ�ن�ا ل�ك7م� م�ثل7 الو�ال�د� ف�إ�ذ�ا ذ�ه�ب� أ�ح�د�ك7م� إ�ل�ى الغ�ائ�ط� ف�ل� ي�س�ت�قب�ل� الق�ب�ل�ة� و�ل� ي�س�ت�د�ب�ر� ه�ا ب�غ�ائ�طي�س�ت�ن�ج�ي� الر�ج�ل7 ب�ي�م�ي�ن�ه و�ل� ب�و�ل, و�لي�س�ت�ن�ج� ب�ث�ل�ث�ة� أ�ح�ج�ار, و�ن�ه�ى ع�ن� الر�و�ث� و�الرXم�ة� و� أ�ن
“Sesungguhnya aku bagi kalian bagaikan seorang ayah. Apabila
seseorang dari kalian hendak membuang hajat, maka janganlah
32 . H.R. Muslim dalam kitab yang menjelaskan tentang iman, bab “Barangsiapa bersumpah dengan al-Laata, maka hendaklah dia mengucapkan Laa Ilaaha illallah,” hadits no. 5.33 . H.R. Imam Ahmad dalam kitab Musnadnya, juz 2, hlm. 356.
36
menghadap ke kiblat dan tidak juga membelakanginya ketika sedang
membuang air besar atau kecil. Hendaklah dia beristinja dengan tiga
batu, dan dilarang beristinja dengan kotoran binatang atau rimmah
(tulang yang telah membusuk), serta dilarang beristinja dengan tangan
kanannya.” 34
Imam Syafi`i berkata: Barangsiapa buang air besar atau air kecil, maka
baginya cukup menyapu dengan tiga batu; batu bata, kayu bakar atau barang yang
suci dan bersih dan dapat membersihkan, sebagaimana: debu rumput, tembikar
dan lain sebagainya.
Imam Syafi`i berkata: Jika dia menemukan batu, batu bata atau batu api
yang memiliki tiga sisi, kemudian seseorang menyapu dengan masing-masing sisi
itu, maka hal itu sama dengan tiga batu. Jika dia menyapu dengan tiga batu
kemudian dia mengetahui bahwa masih ada bekasnya, maka hal itu tidak cukup
baginya melainkan jika dia menyapu kembali sehingga dia melihat bahwa
bekasnya tidak ada lagi.
Imam Syafi`i berkata: Beristinja` dari buang air kecil adalah seperti
beristinja` dari kotoran (tahi), keduanya tidak memiliki perbedaan. Jika air seni
berhamburan kepinggir lubang (tempat keluarnya kotoran), maka baginya cukup
dengan beristinja`. Akan tetapi jika berhamburan dan melewati pinggir lubang,
maka baginya tidak cukup melainkan disucikan dengan air.
Orang yang buang air kecil hendaknya menuntaskan keluarnya air seni
supaya tidak menetes. Kami lebih suka jika seseorang menuntaskan keluarnya air
seni dan berdiam sesaat sebelum beristinja` kemudian sesudah itu dia berwudlu.
Apabila seseorang terkena penyakit ambeien dan luka di dekat pantat atau
pada bagian dalamnya, kemudian mengalir darah atau nanah yang bercampur
darah, maka hendaklah dia beristinja` dengan air dan tidak cukup dengan batu,
karena air dapat mensucikan seluruh najis. Keringanan beristinja` menggunakan
batu tidak dapat diperluas cakupannya dari apa yang sudah ditentukan.
Demikian juga buang air besar dan air kecil jika melampui tempatnya dan
mengenai salah satu anggota badan, maka tidak ada yang dapat mensucikannya
34 . H.R. Ibnu Majah dalam kitab yang menjelaskan tentang bersuci, bab “Istinja` dengan batu-batu dan larangan menggunakan kotoran dan tulang belulang,” hadits no. 252, jilid 1, hlm. 57.
37
melainkan dengan menggunakan air.
Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang wajib mandi, maka baginya tidak
boleh membersihkan bagian keluarnya najis melainkan mencucinya dengan air.
BAB : BERSIWAK.
Imam Syafii berkata: Hadits diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. bahwa
Rasulullah saw. bersabda :
ل�و�ل� أ�ن أ�ش�ق� ع�ل�ى أ7م�ت�ي� ل� م�ر�ت�ه�م� ب�السXو�اك� ع�ن�د� ك7ل\ و�ض�و�ء, و�ب�ت�أخ�ي�ر� الع�ش�اء�
“Seandainya aku tidak takut memberatkan umatku, maka aku akan
perintahkan kepada mereka bersiwak setiap kali hendak berwudlu dan
mengakhirkan shalat Isya`.” ( H.R. Baihaqi, juz 1, hlm. 35 )
Dari Aisyah ra. dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda :
Xف�م� م�ر�ض�اة} ل�لر�به�ر�ة} ل�لو�اك� م�طXالس
“Bersiwak itu dapat mensucikan mulut dan membuat Tuhan ridha.” 35
Imam Syafi`i berkata: Dari hadits ini dapat diketahui bahwa bersiwak
tidak wajib dan hanya berbentuk anjuran (sunah). Lantaran apabila bersiwak itu
wajib, maka Rasulullah saw. akan menyuruh umatnya untuk bersiwak, baik dalam
kondisi sulit maupun lapang.
Imam Syafi`i berkata: Kami menyukai supaya seseorang bersiwak pada
setiap kondisi, baik ketika bau mulut berubah atau ketika bangun dari tidur, diam
yang lama, dan setiap kali makan makanan atau meminum-minuman yang dapat
mengubah bau mulut, atau setiap kali hendak shalat. Namun barang siapa tidak
bersiwak, lalu mengerjakan shalat, maka dia tidak perlu mengulangi shalatnya dan
baginya tidak wajib berwudlu.
BAB : MEMBASUH KEDUA TANGAN SEBELUM WUDLU
Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa
dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda :
إ�ذ�ا ا س�ت�ي�ق�ظ� أ�ح�د�ك7م� م�ن� ن�و�م�ه� ف�لي�غ�س�ل ي�د�ي�ه� ق�ب�ل� إ�د�خ�ال�ه�م�ا ف�ي الو�ض�و�ء� ف�إ�ن' أ�ح�د�ك7م� ل� ي�د�ر�ي� أ�ي�ن
35 . H.R. Nasa`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab Targhib fi Siwak.
38
ب�ات�ت� ي�د�ه“Apabila salah seorang di antara kalian bangun dari tidurnya, maka
hendaklah dia membasuh kedua tangannya sebelum memasukkannya ke
dalam air wudlu, karena sesungguhnya seseorang diantara kalian tidak
mengetahui dimana tangannnya bermalam.” 36
Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa
dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda:
إ�ذ�ا ات�ي�ق�ظ� أ�ح�د�ك7م� م�ن� م�ن�ام�ه� ف�ل� ي�غ�م�س� ي�د�ه� ف�ي ال�ن�اء� ح�ت�ى ي�غ�س�ل�ه�ا ث�ل�ث:ا ف�إ�ن' أ�ح�د�ك7م� ل� ي�د�ر�ي� أ�ي�نب�ا ت�ت� ي�د�ه
“Apabila salah seorang diantara kalian bangun dari tidurnya, maka janganlah dia mencelupkan tangannya ke dalam bejana sehingga dia membasuhnya sampai tiga kali, karena sesungguhnya dia tidak mengetahui dimana tangannya bermalam.” 37
Imam Syafi`i berkata: Apabila seseorang memasukkan tangannya ke
dalam bejana sebelum mensucikannya dan tidak meyakini bahwa ada najis yang
menyentuh tangannya, maka wudlunya tidak batal. Demikian juga halnya apabila
dia ragu bahwa dia menyentuh najis. Apabila tangannya telah menyentuh najis
lalu dimasukkan ke dalam air wudlunya, dan apabila air wudlu itu kadarnya
kurang dari dua kolam, maka air itu dikategorikan sebagai air yang rusak,
sehingga dia harus menuang air itu dan mencuci bejananya.
Berkumur-kumur dan Memasukkan Air ke dalam Hidung.
Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman :
يا أيها الذين امنوا إذا قمتم إل الصلة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إل الرافق
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tangamu sampai dengan siku.”
( Surat al-Maaidah (5): 6 )
Imam Syafi`i berkata: Kami lebih menyukai orang berwudlu yang
36 . H.R. Ibnu Majah, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci dan sunnahnya, bab “Seseorang yang Bangun dari Tidurnya,” hadits no. 314.37 . H.R. An-Nasa`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang Bersuci, jilid 1, juz 1., hlm. 6.
39
memulainya dengan berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidungnya
tiga kali setelah membasuh kedua tangannya, yaitu dengan cara mengambil air
dengan telapak tangannya untuk mulut dan hidungnya, kemudian memasukkan
air itu ke dalam hidungnya sampai batas yang terlihat bahwa air itu masuk ke
bagian dalam hidungnya. Namun apabila dia berpuasa, hendaknya memasukkan
air ke dalam hidungnya dengan lembut, agar air itu tidak masuk ke bagian
kepalanya.
Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung adalah sunah,
karena dengannya bau mulut dan hidung akan hilang.
BAB : MEMBASUH MUKA.
Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman:
فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إل الرافق
“maka basuhlah mukamu dan tangamu sampai dengan siku.”
( Surat al-Maaidah (5): 6 )
Adalah satu hal yang logis bahwa muka itu menjadi tempat tumbuhnya
rambut kepala sampai kepada dua telinga, tulang rahang dan dagu. Bukanlah
dinamakan muka jika melewati tempat tumbuhnya rambut kepala, dan dua tepi
dahi itu termasuk bagian dari kepala. Demikian halnya bagian yang botak yang
ada di kepala, botak itu bukanlah bagian dari kepala.
Kami lebih menyukai jika dua tepi dahi itu dibasuh beramaan dengan
muka. Akan tetapi jika hal itu ditinggalkan, maka tidak ada hukum untuknya,
artinya tidak menjadi masalah, jika janggut yang tumbuh pada diri seseorang tidak
lebat dan menutup sebagian muka, maka dia harus membasuh mukanya,
sebagaimana ketika janggut itu belum tumbuh. Akan tetapi jika janggut itu lebat
sehingga menutupi sebagian wajahnya, maka tindakan yang lebih berhati-hati
(ihtiyath) adalah dengan membasuh semuanya. Kami tidak mengetahui tentang
dalil yang menunjukkan kewajiban membasuhnya, lantaran hal itu hanya pendapat
mayoritas ulama dari para ulama yang kami jumpai.
Imam Syafi`i berkata: Kami tidak memandang wajib membasuh bagian
bawah tempat tumbuhnya jenngot. Jika tidak wajib membasuhnya, maka menyela-
40
nyelanya dengan jari jemaripun tidak termasuk hal yang diwajibkan. Hendaknya
melewatkan air pada permukaan bulu jenggotnya, sebagaimana halnya
melewatkan air pada wajahnya; dan menyapukan air pada permukaan rambut
kepala adalah benar.
Apabila bulu jenggot atau bulu kening yang tipis, atau antara tempat
tumbuhnya jenggot terputus, yang kelihatan dari muka, maka hendaklah dia
membasuhnya.
Demikian juga apabila bulu jenggot tidak banyak seperti bulu-bulu halus
yang berada di antara bibir bawah dan dagu, bulu kumis dan bulu jenggot, maka
diwajibkan membasuhnya.
Demikian juga jika seluruh jenggot yang menempel hanya sedikit, maka
diwajibkan untuk membasuhnya. Akan tetapi jika jenggotnya lebat, maka
diwajibkan membasuhnya karena akan menghalangi air untuk bisa sampai pada
permukaan kulit.
BAB : MEMBASUH KEDUA TANGAN.
Imam Syafii berkata: Allah swt. berfirman :
فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إل الرافق
“maka basuhlah mukamu dan tangamu sampai dengan siku.”
( Surat al-Maaidah (5): 6 )
Kami tidak mengetahui bahwa ada perbedaan pendapat tentang
membasuh siku, seakan-akan mereka memahami bahwa arti ayat ini adalah
“Maka basuhlah mukamu dan kedua tanganmu sampai ke siku.”
Dengan demikian, tidak cukup sekedar membasuh kedua tangan dengan
tanpa membasuh di antara tepi jari-jemari sampai ke siku-pun ikut bersih, dan
hendaknya dimulai dari sebelah kanan kemudian pindah ke sebelah kiri. Menurut
pendapat kami makruh jika memulai membasuh anggota wudlu yang sebelah kiri,
akan tetapi dia tidak harus mengulanginya jika telah melakukannya.
Jika orang yang berwudlu itu terpotong tangannya, maka dia cukup
membasuh tangan yang masih ada sehingga dapat membasuh kedua sikunya.akan
tetapi jika kedua sikunya terpotong juga, maka terangkat jarinya kewajiban
41
membasuh kedua tangan.
BAB : MENGUSAP KEPALA.
Imam Syafii berkata: Allah swt. berfirman :
وامسحوا برءوسكم
“dan sapulah kepalamu.” ( Surat al-Maidah (5) : 6 )
Logis sekali bahwa pada ayat ini dijelaskan tentang barangsiapa telah
mengusap sebagian dari rambut kepalanya, maka sesungguhnya dia dianggap
telah mengusap kepala. Ayat ini juga tidak memiliki kemungkinan makna lain
selain yang sudah disebutkan, dimana hal itu merupakan makna yang lebih kuat.
Makna yang dianggap lebih kuat adalah mengusap seluruh rambut kepalanya.
Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Mughirah bin Syu`bah;
أ�ن' ر�س�و�ل� ال� ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� ت�و�ض�أ� و�م�س�ح� ب�ن�اص�ي�ت�ه� و�ع�ل�ى ع�م�ام�ت�ه� و�خ�ف'ي�ه�
“Bahwa Rasulullah saw. berwudlu dan menyapu ubun-ubunnya dan juga
di atas surbannya serta di atas sepatunya (muzah).” 38
Imam Syafii berkata: Hadits diriwayatkan dari Atha` :
أ�ن' ر�س�و�ل� ال� ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� ت�و�ض�أ� ف�ح�س�ر� الع�م�ام�ة� ع�ن� ر�أس�ه� و�م�س�ح� م�ق�د�م� ر�أس�ه� ( أ�و� ق�ال� )
ن�اص�ي�ت�ه� ب�الم�اء�
“Bahwa Rasulullah saw. berwudlu kemudian membuka surban dari
kepalanya dan mengusap bagian depan kepalanya,” atau Atha` berkata:
“mengusap ubun-ubunnya dengan air.” 39
Imam Syafi`i berkata: Telah menceritakan kepada kami Malik dari Amr bin Yahya al-Mazini, dari ayahnya, bahwa dia berkata: “Aku pernah berkata kepada Abdullah bin Zaid al-Anshari: “Dapatkah kamu memperlihatkan kepadaku ketika Rasulullah saw. berwudlu ? Kemudian Abdullah bin Zaid menjawab : “Ya”.
غ�س�ل و�د�ع�ا ب�و�ض�و�ء, ف�أ�فر�غ� ع�ل�ى ي�د�ي�ه� ف�غ�س�ل� ي�د�ي�ه� م�ر�ت�ي�ن� و�ت�م�ض�م�ض� و�اس�ت�ن�ش�ق� ث�ل�ث:ا ث�ل�ث:اث7م� غ�س�ل� و�ج�ه�ه� ث�ل�ث:ا ث7م ي�د�ي�ه� م�ر�ت�ي�ن� م�ر�ت�ي�ن� إ�ل�ى الم�ر�ف�ق�ي�ن� ث7م� م�س�ح� ر�أس�ه� ب�ي�د�ي�ه� و�أ�قب�ل� ب�ه�م�ا و�أ�د�ب�ر� ب�د�أ� ب�م�ق�د�م� ر�أس�ه� ث7م� ذ�ه�ب
38 . H.R. Muslim dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab “Bolehnya mengusap semua atau sebagian rambut kepala,” hadits no. 83.39 . Tartib Musnad Imam Syafi`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang Thaharah, bab ke-5, “sifat Wudlu,” hadits no. 87, hlm. 32.
42
ر�د�ه�م�ا إ�ل�ى الم�و�ض�ع� ال'ذ�ي� ب�د�أ� م�ن�ه� ث7م� غ�س�ل� ر�ج�ل�ي�ه إ�ل�ى ق�ف�اه� ث7م ب�ه�م�ا
“Kemudian dia meminta air untuk berwudlu, lalu dituangkan di atas
kedua tangannya, dia membasuh tangannya dua kali-dua kali, lalu
berkumur dan memasukkan air ke dalam hidungnya tiga kali, lalu dia
membasuh wajahnya tiga kali, membasuh kedua tangannya dua kali-dua
kali sampai ke siku, lalu membasuh kepalanya dengan kedua tangannya.
Dia menggeser kedua tangannya ke depan lalu ke belakang. Dia memulai
dengan bagian depan kepalanya, lalu menggeser kedua tangannya ke
bagian tengkuknya, kemudian mengembalikan keduanya pada posisinya
semula. Dan kemudian dia membasuh kedua kakinya.” 40
Imam Syafi`i berkata: Kami lebih menyukai mengusap kepala tiga kali,
namun sekali saja sudah cukup. Kami juga lebih menyukai menyapu bagian luar
kedua telinga dan juga bagian dalamnya dengan air, selain dengan air yang
digunakan untuk membasuh kepala, yaitu mengambil air untuk kedua telinga
kemudian dimasukkan dua jari pada bagian yang tampak dari lubang telinga yang
bersambung ke bagian kepala.
Jika seseorang meninggalkan, yakni tidak mengusap dua telinga, maka dia
tidak perlu mengulangi. Lantaran seandainya kedua telinga itu bagian dari wajah,
niscaya ia dibasuh bersamaan dengan membasuh wajah, atau seandainya ia bagian
dari kepala, niscaya ia akan diusap bersamaan dengan mengusap kepala.
BAB : MEMBASUH KEDUA KAKI.
Imam Syafi`i berkata : Sesungguhnya Allah swt. berfirman :
وأرجلكم إل الكعبي
“dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”
( Surat al-Maidah (5): 6 )
Imam Syafi`i berkata: Kami membaca ayat tersebut “Wa-arjulakum”
dengan arti basuhlah wajah, tangan kaki dan usaplah kepalamu.
Imam Syafi`i berkata: Kami tidak mendengar adanya perbedaan pendapat
tentang kedua mata kaki yang disebutkan oleh Allah swt. pada wudlu, yaitu 40 . H.R. Bukhari, dalam kitab yang menjelaskan tentang Wudlu, bab “Membasuh kepala secara keseluruhan,” juz 1, hlm. 58.
43
bahwa kedua mata kaki yang dimaksud adalah yang menonjol, dan keduanya
merupakan tempat bertemunya pergelangan betis dan kaki. Keduanya harus
disapu, seakan-akan maknanya menjadi “Basuhlah kakimu sehingga membasuh
kedua mata kakimu,” tidak cukup bagi seseorang jika dia tidak membasuh kedua
telapak kakinya, baik bagian atas maupun bagian bawah, pinggir dan kedua mata
kakinya, melainkan sampai merata pada setiap bagian yang berdekatan dengan
mata kaki dan berhubungan dengan pangkal betis. Kemudian dia memulai dengan
menegakkan kedua telapak kakinya, lalu menumpahkan air kepada keduanya
dengan tangan kanannya, atau ditumpahkan oleh orang lain, lalu dia menyela-
nyela jari jemari kakinya. Dia tidak boleh meninggalkan hal ini melainkan jika dia
telah mengetahui benar bahwa air itu sudah sampai pada semua sela-sela jari
jemari kaki.
Imam Syafi`i berkata: Apabila terdapat pada seseorang dua jari atau lebih
yang saling melekat, maka dia harus membasuh dengan air bagian yang tampak
dari kulitnya, baginya tidak cukup melainkan dengan cara demikian. Dan baginya
tidak boleh memisahkan jari jemarinya yang saling melekat itu.
BAB : TEMPAT BERDIRINYA ORANG YANG MEMBANTU
ORANG LAIN BERWUDLU.
Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang berdiri untuk membantu wudlu
orang lain, maka hendaknya dia berdiri pada sisi kiri orang yang hendak
diwudlukan, lantaran yang demikian lebih memungkinkan baginya menuangkan
air serta lebih sopan. Akan tetapi jika dia berdiri pada sisi kanan atau berdiri pada
sisi mana saja, kemudian menuangkan air kepada orang yang berwudlu, maka hal
itu cukup baginya, lantaran yang wajib hanyalah wudlu bukan posisi wudlu.
BAB : BATASAN AIR UNTUK BERWUDLU.
Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa dia
berkata: “Kami pernah melihat Rasulullah saw. saat waktu shalat Ashar telah
tiba, lalu kebanyakan manusia mencari air untuk berwudlu namun mereka tidak
memperolehnya. Kemudian Rasulullah saw. datang dengan membawa air untuk
berwudlu, lalu meletakkan tangannya pada bejana itu dan memerintahkan orang
44
banyak untuk berwudlu dengan air tersebut. Kami menyaksikan air itu muncul di
antara jari-jemari Rasulullah saw. sehingga banyak orang berwudlu sampai
kepada orang yang paling terakhir.” ( HR. Nasai, dalam kitab yang menjelaskan
tentang tata cara bersuci, bab “Mengambil air wudlu dari bejana”, , juz 1, jilid
1hal 60 ).
Imam Syafi`i berkata: Senada dengan hal ini, hadits yang telah
diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. dan isterinya mandi dari satu bejana. Apabila
orang-orang berwudlu secara bersama-sama, maka hal ini menunjukkan tidak
adanya batasan tertentu bagi air yang boleh digunakan untuk berwudlu selain
mengerjakan apa yang diperintahkan Allah swt. yang berupa basuhan dan
sapuan, demikian juga apabila dua orang mandi bersama.
Apabila seseorang mengerjakan apa yang diperintahkan Allah swt.
(membasuh dan mengusap), maka dia berarti telah melaksanakan apa yang
diperintahkan kepadanya, baik air itu sedikit atau banyak, sebab terkadang dia
bertujuan menghemat air yang sedikit agar mencukupi. Sebaliknya apabila boros,
maka air itu tidak dapat mencukupinya.
Batasan minimal dianggap mencukupi anggota wudlu yang harus dibasuh
adalah; seseorang mengambil air untuk anggota wudlu tersebut kemudian
mengalirkannya di atas muka, kedua tangan, dan dua kaki. Seandainya air itu
mengalir sendiri hingga merata pada anggota tubuh tersebut, maka hal itu cukup
baginya. Akan tetapi apabila dia mengalirkan air di atas anggota wudlu tersebut
dengan tangannya seraya menggerak-gerakkannya, niscaya hal itu lebih bersih
dan lebih kami sukai.
Apabila ada sedikit tanah merah atau selainnya yang mengotori anggota
badannya, lalu dia mengalirkan air padanya namun tidak juga hilang, maka tidak
wajib baginya mengulang membasuh anggota tubuh itu, karena dalam hal ini dia
telah mengerjakan batas minimal yang diwajibkan kepadanya. Akan tetapi kami
lebih menyukai apabila dia membasuhnya hingga tanah tersebut hilang
seluruhnya.
Apabila ada getah atau sesuatu yang tebal dibadannya sehingga dapat
mencegah sampainya air ke kulit, maka dia tidak boleh berwudlu dalam keadaan
45
seperti itu, sehingga dia menghilangkannya terlebih dahulu, atau hilang darinya
apa yang diketahui.
Tidak ada wudlu tanpa disertai dengan niat; yakni bahwa dia berwudlu
dengan niat bersuci dari hadats, bersuci untuk shalat fardlu atau shalat sunah,
untuk membaca al-Qur`an, untuk shalat janazah, atau yang serupa dengannya di
antara hal-hal yang tidak dapat dikerjakan selain oleh orang yang berada dalam
kondisi suci.
Imam Syafi`i berkata: Apabila seseorang sudah membasuh sebagian
anggota wudlu dengan tidak disertai niat, kemudian dia berniat pada saat
membasuh anggota wudlu yang lain, maka hal itu tidak mencukupi kecuali
apabila dia mengulangi wudlu terhadap anggota wudlu, yang tidak disertai dengan
niat itu, lalu dia berniat yang karenanya wudlunya menjadi sah.
Imam Syafi`i berkata: Apabila dia mendahulukan niat bersamaan dengan
memulai wudlu, maka wudlu itu cukup baginya. Namun apabila dia
mendahulukan niat sebelum memulai wudlu kemudian niat hilang darinya, maka
wudlunya tidak tidak sah.
Apabila dia berwudlu dengan niat bersuci, kemudian niat itu hilang
darinya, maka hal itu boleh baginya selama tidak terbetik niat lain; seperti untuk
mendinginkan badan atau membersihkan diri dengan air.
Apabila dia membasuh mukanya dengan disertai niat hendak bersuci,
kemudian dia niat membasuh kedua tangannya dan anggota wudlu yang lain untuk
membersihkan atau mendinginkan badan dan bukan untuk bersuci, maka
wudlunya tidak sah, melainkan dengan mengulangi membasuh anggota wudlu
yang telah dia kerjakan dengan tanpa niat bersuci. Jika dia mengusap kepalanya
dengan sisa air wudlu kedua tangannya, atau mengusap kepalanya dengan sisa air
wudlu jenggotnyam, maka hal tersebut tidak cukup melainkan jika dia
menggunakan air yang baru.
Jika seseorang berwudlu dengan menggunakan air sisa dari orang lain
(tidak bekas wudlu), maka hal tersebut cukup baginya. Jika dia berwudlu dengan
air yang sudah dipakai orang lain untuk berwudlu dan tidak ada najis pada
anggota badannya, maka wudlunya itu tidak sah disebabkan air itu adalah air yang
46
telah dipakai untuk berwudlu. Demikian juga jika dia berwudlu dengan air yang
sudah dipakai orang lain untuk mandi junub (mandi wajib), dan air itu kurang dari
dua kolam, maka wudlunya tidak sah. Jika air itu sebanyak lima bejana atau lebih,
kemudian seseorang yang tidak bernajis menyelam di dalamnya sambil berwudlu
dengan air itu, maka wudlunya dianggap sah disebabkan hal itu tidak merusak
kesucian air.
Imam Syafi`i berkata: Kami mengatakan: “Seseorang tidak boleh
berwudlu dengan air yang sudah dipakai oleh orang lain untuk berwudlu, karena
Allah swt. telah berfirman:
فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إل الرافق
“maka basuhlah mukamu dan tangamu sampai dengan siku”
( Surat al-Maidah (5): 6 )
Adalah sesuatu yang logis bahwa wajah itu tidak dikatakan terbasuh
melainkan jika dibasuh dengan air yang belum digunakan sebelumnya.
Menurut pendapat kami, membasuh kedua tangan haruslah sebagaimana
membasuh muka dari segi pengambilan air dan pembasuhannya. Jika
menggunakan air kembali yang sudah dibasuhkan pada wajahnya, maka tidak
akan sama antara membasuh kedua tangan dan wajah. Tidaklah keduanya menjadi
sama sehingga kedua tangan dibasuh dengan air yang baru, sebagaimana dia
membasuh wajahnya dengan air yang baru, lantaran Rasulullah saw. mengambil
air baru untuk setiap anggota wudlunya.
BAB : MENDAHULUKAN WUDLU SERTA TATA TERTIBNYA.
Imam Syafii berkata: Allah swt. berfirman :
سحوا فق وام ل الرا يديكم إ جوهكم وأ سلوا و صلة فاغ ل ال تم إ نوا إذا قم لذين ام ها ا يا أيبرءوسكم وأرجلكم إل الكعبي
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tangamu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”
( Surat al-Maidah (5): 6 )
Rasulullah saw. berwudlu sesuai dengan yang diperintahkan Allah swt.
47
kepadanya, dan memulai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah swt. dengan
demikian orang yang berwudlu hendaknya memperhatikan dua hal; yaitu
memulai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah swt., dan hendaknya
menyempurnakan apa yang diperintahkan kepadanya. Barang siapa yang memulai
dengan kedua tangannya sebelum wajah, atau kepalanya sebelum kedua
tangannya, atau kedua kakinya sebelum kepalanya, maka menurut kami
hendaknya dia mengulang wudlunya sampai dia membasuh sesuai dengan urutan.
Wudlunya tidak sah melainkan jika dilakukan sesuai dengan urutannya.
Kemudian jika dia telah melaksanakan shalat, maka hendaklah dia mengulangi
shalatnya sesudah berwudlu terlebih dahulu sesuai dengan urutan.
Jika dia lupa mengusap kepalanya dan dia telah sampai kepada membasuh
kedua kakinya, maka hendaklah dia mengulanginya lagi. Hanya saja kami
berpendapat bahwa dia hendaknya mengulangi sebagaimana yang sudah kami
katakan, sama seperti pandangan sebagian ulama tentang firman Allah swt. :
يه أن يطوف بما ومن مر فل جناح عل لبيت أو اعت لروة من شعائر ال فمن حج ا إن الصفا وافإن ال شاكر عليم تطوع خيا
“Sesungguhnya Shafaa dan Marwah adalah sebahagian dari syi`ar Allah.
Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-`umrah,
maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa`i antara keduanya. Dan
barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati,
maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha
Mengetahui.” ( Surat al-Baqarah (2) : 158 )
Maka Rasulullah saw. memulai dari Shafa dan beliau bersabda :
ن�ب�د�أ7 ب�م�ا ب�د�أ� ال3 ب�ه�
“Kami memulai dengan apa yang dimulai Allah swt.”
Imam Syafi`i berkata: Allah swt. menyebutkan kedua tangan dan kaki
secara bersamaan, maka kami lebih menyukai seseorang memulai dari sebelah
kanan sebelum yang sebelah kiri. Akan tetapi jika dia memulai dari sebelah kiri
sebelum yang sebelah kanan, maka dia telah berbuat sesuatu yang tidak baik,
akan tetapi dia tidak harus mengulanginya. Kami juga menyukai wudlu yang
dilakukan secara tartib, atau tidak mengacaknya, hal ini mengingat Rasulullah
48
saw. melakukan wudlu secara tartib.
Imam Syafi`i berkata: Jika dia berpindah dari satu tempat ke tempat yang
lain dimana dia telah melakukan wudlu dengan sebagian anggota badannya
dikarenakan tempat tersebut lebih bersih dan lebih luas, maka tidak menjadi
masalah dia melanjutkan wudlunya dengan anggota wudlu yang belum selesai.
Demikian halnya jika dia berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain
karena pilihannya sendiri dan bukan sesuatu yang mendesak. Jika dia memutuskan
wudlu dalam waktu yang lama lantaran satu hajat atau melakukan pekerjaan di
luar wudlu, baik air wudlunya menjadi kering atau tidak, maka kami lebih suka
agar dia mengulangi wudlunya.
Tidak jelas bagi kami bagi kami dalil yang menunjukkan terhadap
keharusan untuk mengulangi wudlu dari awal, sekalipun diputuskan dalam waktu
yang lama, selama tidak terjadi hadats padanya. Sedangkan jika terjadi hadats,
maka wudlu yang sudah dia lakukan terdahlu yakni membasuh sebagian anggota
wudlunya dianggap batal. Sesungguhnya kami tidak menjumpai dalil yang
mengharuskan dalil wudlu harus berkesinambungan, seperti dalil yang kami temui
dalam hal mendahulukan sebagian anggota wudlu dan mengakhirkan anggota
lainnya.
Imam Syafi`i berkata: Hadits telah diriwayatkan dari Ibnu Umar
bahwasanya dia berwudlu di pasar, kemudian dia membasuh muka, kedua tangan
serta mengusap kepalanya. Lalu dia diseru untuk melakukan shalat jenazah, maka
dia masuk ke masjid untuk menjalankan shalat jenazah tersebut. 41
Imam Syafi`i berkata: Dari yang dikerjakan oleh Ibnu Umar ini
menunjukkan tidak adanya keharusan untuk berkesinambungan dalam berwudlu,
dan mungkin saja air wudlunya sudah kering. Bahkan, air wudlu itu bisa saja
kering pada jarak yang dekat daripada jarak antara masjid dan pasar itu. Kami
dapati bahwa pada saat dia meninggalkan tempat wudlunya untuk menuju masjid,
dia sudah melakukan perbuatan selain wudlu dan memutuskan kesinambungan
wudlu itu sendiri.
BAB : MEMBACA BASMALAH SAAT WUDLU.
41 . Tartib Musnad Imam Syafi`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab “Mengusap Dua Muzah” hadits no. 118, hlm. 41.
49
Imam Syafi`i berkata: Kami menyukai seseorang yang memulai wudlunya
dengan membaca basmalah. Namun apabila lupa, dia bisa membacanya kapan
saja ketika mengingatnya sekalipun wudlu itu akan selesai. Apabila dia
meninggalkan membaca basmalah, baik lupa atau sengaja, maka wudlunya tidak
batal.
BAB : BILANGAN WUDLU DAN BATASANNYA
Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. bahwa dia
berkata :
ت�و�ض�أ� ر�س�و�ل7 ال� ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� ف�أ�د�خ�ل� ي�د�ه� ف�ي ال��ن�اء� و�اس�ت�ن�ش�ق� و�ت�م�ض�م�ض� م�ر�ة: و�اح�د�ة: ث7مأ�د�خ�ل� ي�د�ه� ف�ص�ب� ع�ل�ى و�ج�ه�ه� م�ر�ة: و�اح�د�ة: و�ص�ب� ع�ل�ى ي�د�ي�ه� م�ر�ة: و�م�س�ح� ب�ر�أس�ه� و�أ7ذ7ن�ي�ه� م�ر�ة: و�اح�د�ة
“Rasulullah saw. berwudlu lalu memasukkan tangannya ke dalam bejana,
kemudian beliau memasukkan air ke dalam hidung dan berkumur-kumur
sebanyak satu kali. Kemudian beliau memasukkan tangannya lalu
menuangkan untuk kedua tangannya sebanyak satu kali, lalu membasuh
kepala dan kedua telinganya sebanyak satu kali.” 42
Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Humran, bekas budak
Utsman bin Affan, dari Utsman bin Affan bahwasanya dia berwudlu sebanyak
tiga kali-tiga kali, kemudian beliau berkata: Kami mendengar Rasulullah saw.
bersabda :
م�ن� ت�و�ض�أ� و�ض�و�ئ� ه�ذ�ا خ�ر�ج�ت� خ�ط�اي�اه� م�ن� و�ج�ه�ه� و�ي�د�ي�ه� و�ر�ج�ل�ي�ه�
“Barang siapa berwudlu seperti wudluku ini, maka seluruh kesalahannya
akan keluar dari wajahnya, kedua tangan dan kedua kakinya.”
Imam Syafi`i berkata: Ini bukanlah perbedaan riwayat, akan tetapi
menunjukkan bahwa Rasulullah saw. ketika mengambil air wudlu jumlah
bilangannya ada yang tiga kali dan ada juga yang sekali saja. Yang sempurna dari
semua adalah tiga kali. Akan tetapi apabila sekali saja, maka itu dianggap telah
42 . Tartib Musnad Imam Syafi`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab “Sifat Wudlu,” hadits no. 76, jilid 1, hlm. 31. H.R. Ibnu Majah, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab “Wudlu dengan sekali basuhan,” hadits no. 331, jilid 1, dan dalam kitab Sunan al-Darimi, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara wudlu.”
50
mencukupi.
Kami lebih menyukai apabila seseorang membasuh wajah, kedua tangan,
kedua kaki dan mengusap kepalanya sebanyak tiga kali-tiga kali. Ketika
mengusap kepala, hendaknya dia meratakannya. Apabila dia menyingkat
mengusap kepala dengan sekali usapan saja, maka hal itu dianggap telah
mencukupi, namun itulah yang paling sedikit dari yang seharusnya.
Apabila dia membasuh sebagian anggota tubuhnya dengan sekali basuhan,
sebagian yang lain sebanyak dua kali, dan sebagian yang lain dengan tiga kali,
maka hal itu telah dianggap mencukupi; karena satu kali apabila telah mencukupi
pada seluruh anggota wudlu, maka sudah tentu mencukupi sebagiannya.
Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid bahwa
Rasulullah saw. berwudlu dengan membasuh mukanya sebanyak tiga kali, kedua
tangannya sebanyak dua kali-dua kali, serta mengusap kepalanya dengan kedua
tangannya. Lalu beliau menggeser kedua tangan itu ke depan dan ke belakang.
Beliau memulai dari bagian depan kepalanya, kemudian menjalankan kedua
tangannya ke tengkuknya (belakang kepala). Kemudian dikembaikan lagi ke
tempatnya semula, lalu beliau membasuh kedua kakinya.
Imam Syafi`i berkata: Kami tidak menyukai seseorang berwudlu lebih
dari tiga kali usapan, walaupun kami tidak memandangnya sebagai perkara yang
makruh. Apabila seseorang membasuh mukanya dan kedua tangannya lalu dia
berhadats, maka dia harus mengulangi wudlunya itu.
BAB : MENYAPU KEDUA SEPATU.
Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman :
سحوا فق وام ل الرا يديكم إ جوهكم وأ سلوا و صلة فاغ ل ال تم إ نوا إذا قم لذين ام ها ا يا أيبرءوسكم وأرجلكم إل الكعبي
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tangamu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”
( Surat al-Maidah (5): 6 )
51
Imam Syafi`i berkata: Ada kemungkinan perintah Allah swt. tentang
membasuh kedua telapak kaki berlaku kepada seluruh orang yang berwudlu, dan
ada kemungkinan juga hanya berlaku kepada sebagiannya saja. Hal ini
diindikasikan oleh apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. yang menyapu
di atas kedua sepatunya. Dengan demikian, apa yang tersebut di atas ditujukan
kepada orang yang tidak memakai sepatu (dan tidak berlaku bagi mereka yang
memakai sepatu) apabila dia mengenakannya dalam keadaan suci secara
sempurna.
Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Atha` bin Yasar, dari
Usamah bin Zaid, dia berkata bahwa Rasulullah saw. masuk bersama Bilal, lalu
beliau pergi untuk buang air besar. Kemudian berwudlu lalu membasuh wajahnya
dengan kedua tangannya, dan menyapu kepalanya serta kedua sepatunya.
Imam Syafi`i berkata: Sesungguhnya Mughirah bin Syu`bah pernah
berperang bersama Rasulullah saw. pada perang Tabuk Mughirah berkata: Lalu
Rasulullah saw. buang air besar sebelum terbitnya fajar, kemudian aku membawa
satu bejana kecil berisi air kepada beliau. Tatkala Rasulullah saw. kembali, aku
menuangkan air yang ada dalam bejana itu ke atas dua tangannya. Lalu beliau
membasuh kedua tangannnya sampai tiga kali, kemudian beliau membasuh
wajahnya. Kemudian beliau menyingsingkan jubahnya dari dua lengannya.
Ternyata kedua lengan jubahnya sempit, maka beliau memasukkan kedua
tangannya ke dalam jubah, sehingga beliau mengeluarkan kedua lengannya dari
bawah jubah. Lalu beliau membasuh kedua lengannya sampai ke siku, kemudian
beliau berwudlu dan menyapu kedua sepatunya. Sesudah itu, beliau pergi untuk
melaksanakan shalat.
Mughirah meneruskan, maka aku pergi bersama beliau. Kami
mendapatkan orang banyak telah mengangkat Abdurrahman bin `Auf sebagai
imam, dia mengimami mereka. Rasulullah saw. mendapati satu dari dua rakaat,
sehingga beliau shalat dengan orang banyak pada rekaat yang terakhir. Tatkala
Abdurrahman bin `Auf telah membaca salam, Rasulullah saw. berdiri untuk
menyempurnakan rekaat yang tertinggal. Hal itu membuat kaum muslimin
terkejut, mereka banyak membaca subhanallah.
52
Tatkala Rasulullah saw. telah selesai dari shalatnya, beliau memandang
kepada mereka, kemudian bersabda :
أ�ح�س�ن�ت�م� ( أ�و� ق�ال� ) أ�ص�ب�ت�م�
“Kalian telah berbuat baik.” Atau beliau mengatakan “Kalian benar.”
Beliau merasa bahagia, karena mereka mengerjakan shalat tepat pada
waktunya. 43
BAB : ORANG YANG BOLEH MENYAPU SEPATU.
Imam Syafi`i berkata: Hadits dari Urwah bin Mughirah bin Syu`bah, dari
ayahnya, bahwa dia berkata: Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, adakah engkau
menyapu kedua sepatu ?” Rasulullah saw. menjawab :
ن�ع�م� إ�نXي� أ�د�خ�لت�ه�م�ا و�ه�م�ا ط�اه�ر�ت�ان�
“Ya, aku memasukkan kedua kaki dan keduanya itu dalam kondisi suci.”44
Imam Syafi`i berkata: Barang siapa tidak memasukkan salah satu dari
kedua kakinya kedalam kedua sepatu, maka shalatnya tetap sah dan kesuciannya
tetap sempurna, dan baginya boleh mengusap di atas dua sepatu.
Sedangkan caranya; dia berwudlu dengan sempurna. Jika sudah
menyempurnakan wudlunya, maka dia memasukkan kakinya kedalam sepatu. Jika
sesudah itu dia berhadats, maka baginya boleh mengusap kedua sepatunya. Akan
tetapi jika dia sudah memasukkan kedua kakinya atau salah satunya kedalam
kedua sepatunya sebelum dia boleh melakukan shalat, maka baginya tidak
diperbolehkan mengusap kedua sepatu tersebut.
Sedangkan deskripsinya adalah; seseorang membasuh wajah dan kedua
tangannya, mengusap kepala dan membasuh salah satu kakinya, kemudian
memasukkannya ke dalam sepatu, kemudian dia membasuh kaki yang satunya dan
dimasukkannya kedalam sepatu, kemudian dia membasuh kaki yang satunya dan
dimasukkannya kedalam sepatu. Jika dia berhadats, maka baginya tidak boleh
43 . H.R. Muslim, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab “Mengusap Kepala dan Dua Sepatu,” hadits no. 81, jilid 1, hlm. 563. Dan Tartib Musnad Imam Syafi`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab “Mengusap Dua Sepatu” juz 1, hlm. 42.44 . H.R. Muslim, dalam kitab yang menjelaskan tata cara bersuci, bab “Mengusap kepala dan Dua Sepatu” hadits no. 80, jilid 1, hlm. 562.
53
mengusap kedua sepatu, lantaran dia telah memasukkan salah satu dari kedua
kakinya ke dalam sepatu pada saat kesuciannya belum sempurna dan dia belum
diperbolehkan shalat.
Apabila seseorang telah wudlu dengan sempurna, kemudian dia memakai
sepatu pada salah satu kakinya, lalu memasukkan kaki yang satunya lagi ke dalam
sepatu akan tetapi terus ditariknya sampai ke betis dengan tanpa menyisakan
sepatu ditelapak kakinya sampai kahirnya dia berhadats, maka baginya tidak boleh
menyapu sepatunya, karena dia tidak disebut sebagai pemakai sepatu sebelum
telapak kakinya berada dalam sepatu. Dalam hal seperti ini dia harus melepas
sepatu itu dan mengulang wudlunya kembali.
Jika pada dua sepatu itu ada yang terkoyak atau sobek sehingga tampak
angota wudlunya; baik telapak kaki, permukaannya, bagian tepinya atau bagian
atasnya sampai pada kedua mata kaki, maka dia tidak boleh mengusapnya,
lantaran mengusap sepatu itu adalah suatu keringanan (rukhshah) bagi orang yang
tertutup kedua kakinya dengan dua sepatu.
Jika sepatu itu sobek dan tampak kaus kaki yang menutupi telapak
kakinya, maka menurut pandangan kami baginya tidak boleh mengusap sepatu,
lantaran sepatu itu bukanlah kaus kaki. Jika dia hanya memakai kaus kaki dengan
tanpa sepatu, maka akan tampak sebagian dari kedua kakinya.
Imam Syafi`i berkata: Jika bagian luar sepatu rusak atau sobek sedangkan
bagian dalamnya masih tetap utuh, dimana telapak kaki tidak nampak, maka dia
boleh mengusapnya, lantaran semua itu adalah sepatu, sedangkan kaus kaki itu
bukanlah sepatu.
Imam Syafi`i berkata: Semua pembahasan terdahulu itu berkaitan dengan
khuf (muzah), yakni sepatu yang terbuat dari kulit binatang, baik onta, lembu atau
kayu, dan yang paling banyak adalah terbuat dari kulit kambing.
Jika kedua sepatu itu terbuat dari bulu, anyaman kain atau kurma, maka itu
tidak termasuk kategori khuf sebab tidak terbuat dari kulit atau kayu yang dapat
bertahan lama jika sering dipakai berjalan kaki. Dan hendaknya bagian-bagian
tempat wudlu dibuat agak tebal serta tidak tembus pandang. Jika sepatu itu seperti
yang kita sifatkan, maka baginya boleh mengusap sepatunya. Sedangkan jika
54
tidak demikian, maka baginya tidak boleh mengusap sepatu.
Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang memakai terumpah, dan bagian
terumpah yang menutup anggota wudlu itu tebal, akan tetapi bagian atas anggota
wudlu tipis (transparan), maka boleh diusap; sebab jika bagian atas anggota wudlu
itu tidak ditutupi oleh sesuatu, tetap tidak mengapa mengusap sepatu yang
menutupi bagian anggota wudlu saja. Akan tetapi jika terdapat bagian anggota
wudlu yang tidak tertutupi, maka tidak boleh diusap. Jika seseorang memakai
sepasang kaus kaki yang menggantikan fungsi sepatu dan dia menyapunya,
kemudian dia melapisi kaus kaki itu dengan sepasang sepatu, atau dia melapisi
lagi sepatu itu dengan sepasang sepatu yang lain, atau dia memakai sepasang
jurmuq (sepatu pendek yang terkadang dipakai untuk melapisi khauf) di atas
sepatu tadi, maka baginya boleh mengusap sepatu yang paling dekat dengan
kedua kakinya, dan usapan tidak boleh dilakukan pada sepatu yang kedua atau
pada jurmuq.
Jika dia berwudlu kemudian menyempurnakan sampai selesai, lalu dia
memakai kedua sepatu atau sesuatu yang dapat menggantikannya lalu melapisinya
dengan sepasang jurmuq, lalu dia berhadats dan bermaksud mengusap kedua
jurmuq tersebut, maka hal itu tidak boleh baginya. Bahkan dia harus membuka
sepasang jurmuq itu, lalu mengusap sepatu yang paling dekat dengan kakinya
kemudian memakai jurmuq kembali apabila dia menghendaki. Sedangkan jika dia
menyapu jurmuq sedangkan sesudah jurmuq terdapat sepatu, maka hal itu tidak
boleh baginya dan shalatnya tidak sah.
Imam Syafi`i berkata : Apabila dia memakai kaus kaki, hal itu tidak dapat
menggantikan kedudukan dua sepatu (khuf). Kemudian jika dia memakai dua
sepatu di atas dua kaus kaki, maka hendaknya dia mengusap bagian atas terdiri
dari dua sepatu itu, lantaran tidak ada sesudah telapak kaki itu sesuatu yang
menggantikan kedudukan kedua sepatu. Sangat jarang seseorang memakai
sepatu kecuali sebelumnya dia memakai pelapis kaki, baik berupa kaus kaki atau
yang dapat menggantikan kedudukannya, untuk menjaga dan memelihara kaki
dari gesekan jahitan sepatu ataupun sobekan yang ada padanya.
Imam Syafi`i berkata: Jika kedua sepatu itu najis, maka dia tidak boleh
55
melaksanakan shalat. Jika sepatu itu terbuat dari kulit bangkai yang bukan
binatang anjing dan babi, atau terbuat dari kulit binatang buas yang sudah
disamak, maka dia boleh melaksanakan shalat dengan memakai kulit tersebut
selama kulit itu tidak berbulu, lantaran menyamak kulit tidak dapat mensucikan
bulu, sehingga sepatu yang terbuat dari kulit berbulu tidak dapat dipakai saat
shalat. Jika sepatu itu terbuat dari kulit bangkai atau kulit binatang buas yang
belum disamak, maka tidak boleh dipakai untuk shalat. Sedangkan jika terbuat
dari kulit binatang yang boleh dimakan dagingnya dan mati karena disembelih,
maka boleh digunakan untuk shalat sekalipun belum disamak.
BAB : WAKTU MENGUSAP KEDUA SEPATU.
Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abi
Bakrah, dari ayahnya dari Rasulullah saw. :
أ�ن�ه� ر�خ�ص� ل�لم�س�اف�ر� أ�ن ي�م�س�ح� ع�ل�ى الخ�ف'ي�ن� ث�ل�اث�ة� أ�ي�ام, و�ل�ي�ال�ي�ه�ن� و�ل�لم�ق�ي�م� ي�و�م/ا و�ل�ي�ل�ة:
“Bahwasanya beliau memberikan keringanan terhadap orang yang
melakukan perjalanan untuk mengusap kedua sepatu selama tiga hari
tiga malam dan untuk orang yang mukim selama sehari semalam.” 45
Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang memakai dua sepatu, sedangkan dia
dalam kondisi suci (suci yang membolehkan shalat), maka dia boleh melakukan
shalat dengan memakai dua sepatu tersebut. Kemudian dia dia berhadats, maka
hendaknya dia mengetahui waktu dia berhadats. Jika dia bermukim (tidak
musafir) maka boleh baginya mengusap sepatu sampai kepada waktu dimana dia
berhadats dari keesokan harinya,46 dan itu artinya sehari semalam, tidak boleh
lebih dari itu. Akan tetapi jika dia mengadakan perjalanan jauh, maka dia boleh
mengusap kedua sepatunya untuk tiga hari tiga malam, sampai batas pengusapan
pada waktu dimana dia memulai untuk mengusapnya pada hari yang ketiga, dan
tidak boleh lebih dari itu.
45 . H.R. Ibnu Majah, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci dan sunah-sunahnya, bab ke-86 “Waktu Mengusap –dua sepatu- untuk orang yang mukim dan musafir,” hadits no. 451, jilid 1, hlm. 91; dan dalam kitab Tartib Musnad Imam Syafi`i, dalam kitab yang menjelaskan tata cara bersuci, bab ke-8, “Mengusap Dua Sepatu” hadits no. 123, juz 1, hlm. 42.46 . Contohnya jika seseorang berhadats pada hari ini jam 10 pagi, maka waktu bolehnya dia mengusap sepatu adalah sampai pada jam 10 pagi di keesikan harinya.
56
Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang berwudlu dan memakai kedua
sepatunya, kemudian dia berhadats sebelum tergelincirnya matahari kemudian
mengusap kedua sepatunya untu melaksanakan shalat Dhuhur, Ashar, Maghrib,
Isyak dan Subuh, maka dia dapat mengerjakan shalat dengan pengusapan yang
pertama selama wudlunya belum batal. Akan tetapi jika sudah batal, maka dia
boleh mengusapnya sampai waktu dia berhadats dari keesokan harinya. Yang
demikian itu terbatas hanya satu hari satu malam. Jika batas waktu tersebut telah
tiba, maka wudlunya menjadi batal, sekalipun dia belum berhadats dan dia harus
membuka kedua sepatunya. Jika dia membuka kedua sepatu dan berwudlu, maka
dia tetap dalam kondisi suci. Kemudian jika dia memakai sepatunya lalu
berhadats, maka baginya boleh tetap mengusap sepatu seperti pada saat dia
pernah berhadats, lalu wudlunya dianggap batal pada waktu dia berhadats
sekalipun dia tidak berhadats.
Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang mengusap sepatu sedang dia dalam
kondisi bermukim pada saat matahari tergelincir, kemudian dia melaksanakan
shalat Dhuhur lalu keluar untuk bepergian, maka dia boleh melaksanakan shalat
dengan pengusapan itu sampai mencapai satu hari satu malam, tidak boleh lebih
dari waktu itu, lantaran masa tenggang kesucian pengusapannya adalah bahwa
dia hanya menggunakan pengusapan yang mempunyai masa tenggang selama
satu hari satu malam.
Demikian juga halnya jika dia mengusap kedua sepatunya dan dia dalam
kondisi mukim, lalu dia tidak menjalankan shalat sehingga keluar untuk
bepergian, maka baginya tidak boleh menjalankan shalat dengan mengusap sepatu
yang dia lakukan ketika dia bermukim, selain satu hari satu malam, sama seperti
keadaannya ketika dia bepergian.
Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang berhadats sedangkan dia dalam
kondisi mukim, kemudian dia tidak mengusap kedua sepatunya melainkan
sesudah keluar untuk perjalanan jauh, maka baginya boleh shalat dengan usapan
itu saat dalam perjalanannya untuk tiga hari tiga malam.
Imam Syafi`i berkata: Jika dia mengusap dalam kondisi bermukim,
kemudian dia bepergian dengan tanpa mengalami hadats sebelumnya, kemudian
57
dia berwudlu dan mengusap dalam perjalanannya, maka baginya tidak boleh
shalat dengan usapan itu kecuali selama sehari semalam, lantaran mengusap
sepatu yang dilakukan saat bepergian tersebut tidak memiliki makna. Karena hal
ini dia lakukan saat masih dalam kondisi suci sebagai akibat perbuatannya
mengusap sepatunya sebelum bepergian. Maka mengusap sepatu yang dia lakukan
saat bepergian itu dianggap tidak pernah ada, lantaran tidak ada yang
menjadikannya suci melainkan penyucian dirinya yang pertama yakni sebelum
bepergian.
Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang mengusap kedua sepatunya saat
bepergian kemudian menjalankan satu shalat atau lebih, kemudian datang ke
suatu negeri untuk bermukim di sana selama empat hari, maka baginya tidak ada
kesempatan untuk melaksanakan shalat dengan usapan saat bepergian tersebut
sesudah bermukim melainkan untuk menyempurnakan satu hari satu malam, tidak
boleh lebih dari itu, lantaran sesungguhnya baginya boleh menajalankan shalat
dengan mengusap sepatu selama tiga hari jika dia dalam kondisi bepergian. Ketika
perjalanannya sudah selesai; maka hukum mengusap sepatu baginya sama seperti
ketentuan mengusap sepatu bagi mereka yang tidak melakukan bepergian.
Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang bepergian kemudian lupa apakah
dia sudah mengusap sepatu sebagai orang yang mukim atau sebagai orang yang
bepergian, maka dia tidak boleh menjalankan shalat ketika timbul keraguan itu
melainkan hanya satu hari satu malam. Akan tetapi jika dia telah menjalankan
shalat dengan pengusapan itu satu hari satu malam, kemudian ingat bahwa dia
telah mengusap karena alasan bepergian, maka dia shalat berdasarkan usapan itu
untuk waktu tiga hari tiga malam.
Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang ragu pada permulaannya apakah
sudah mengusap sepatu untuk satu hari satu malam ataukah belum, maka dalam
kondisi seperti ini dia harus melepaskan kedua sepatunya dan berwudlu kembali.
Jika seseorang yakin bahwa dia sudah mengusap sepatu lalu melaksanakan
tiga shalat, akan tetapi dia ragu apakah telah melaksanakan shalat yang keempat
atau belum, maka tidak ada yang harus dia lakukan melainkan menjadikan dirinya
telah mengerjakan shalat dengan usapan yang keempat, supaya dia tidak
58
melaksanakan shalat dengan usapan sepatu yang dia ragukan apakah telah
dilakukan atau belum, dan dia tidak meninggalkan shalat yang keempat sampai
dia yakin bahwa dia telah melaksanakannya.
BAB : HAL-HAL YANG MEMBATALKAN USAPAN SEPATU YANG
KEDUA
Imam Syafi`i berkata: Seseorang boleh mengusap kedua sepatunya pada
waktunya, selama kedua sepatunya itu berada pada kedua kakinya. Jika dia
mengusap sesudah mengeluarkan salah satu dari kedua kakinya atau keduanya,
maka pengusapan itu batal dan alangkah baiknya dia berwudlu, jika dia memakai
sepatunya lalu berhadats, maka dia boleh mengusapnya.
Imam Syafi`i berkata: Demikian juga jika salah satu dari kedua telapak
kakinya atau sebagiannya tidak berada dalam sepatunya, sehingga tampaklah
sebagian kakinya yang termasuk anggota wudlu, maka pengusapannya dianggap
batal.
Lalu jika seseorang menghilangkan kakinya dari dasar sepatu, akan tetapi
tidak tampak dua mata kakinya serta bagian yang harus terkena air wudlu, maka
kami menyukai supaya memulai wudlunya kembali, akan tetapi tidak jelas bagi
kami dalil yang mengharuskannya.
Demikian juga jika sepatu sobek sementara orang yang memakainya
mengenakan kaus kaki yang menutup kakinya, kemudian kaus kakinya tampak
dari luar sepatu, dimana jika tidak mengenakan kaus kaki tersebut niscaya
kakinya akan terlihat, maka hal ini juga membatalkan mengusap sepatu.
Hal-hal yang Mewajibkan Mandi.
Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman :
عابري باإل لون ول جن ما تقو موا تم سكارى حت تعل بوا الصلة وأن نوا ل تقر لذين أم ها ا يا أي من الغائط أو لستم النساء وإن كنتم مر ضى أو على سفر أو جاء أحد منكم سبيل حت تغتسلوا
فوافلم تدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم وأيديكم إن ال كان عغفورا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,
59
(jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub,
terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit
atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu
telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci), sapulah mukamu
dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun.” ( Surat an-Nisa` (4): 43 )
Imam Syafi`i berkata: Allah swt. mewajibkan mandi yang disebabkan
oleh janabah. Sudah populer pada lisan orang Arab bahwa janabah artinya
bersetubuh (jima`) sekalipun dalam bersetubuh itu tidak disertai keluarnya air
sperma.
Syekh Rabii berkata: Yang dimaksudkan adalah tidak inzal (tidak
mengeluarkan sperma). Sunnah menunjukkan bahwa janabah adalah bersetubuh
antara laki-laki dan perempuan, sehingga dzakar (penis) laki-laki masuk (tidak
tampak) dalam kemaluan perempuan, atau terlihat air yang memancar sekalipun
tidak bersetubuh.
Imam Syafi`i berkata: Sesungguhnya Abu Musa al-Asy`ari bertanya
kepada Aisyah tentang bertemunya kemaluan laki-laki dan perempuan, lalu
Aisyah berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda :
إ�ذ�ا الت�ق�ى الخ�ت�ان�ان� أ�و� م�س� الخ�ت�ان7 ف�ق�د� و�ج�ب� الغ�س�ل7
“Apabila telah bertemu atau bersentuhan antara kemaluan laki-laki dan
perempuan, maka wajib mandi atasnya.” 47
Imam Syafii berkata: Hadits diriwayatkan dari Ummi Salamah bahwa dia
berkata: Bahwa Ummu Sulaim –isteri Abu Thalhah– datang kepada Rasulullah
saw. seraya bertanya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dalam
kebenaran, apakah wanita itu (wajib) mandi apabila dia bermimpi ?” Rasulullah
saw. menjawab :
ن�ع�م� إ�ذ�ا ه�ي� ر�أ�ت� الم�اء�
47 . H.R. Imam Malik dalam kitab al-Muwatha`, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab “Wajib Mandi Jika dua khitan bertemu,” hadits no. 72, jilid 1, hlm. 46.
60
“Ya, apabila dia melihat air.” 48
Imam Syafi`i berkata: Barang siapa melihat air yang memancar, baik
terasa nikmat atau tidak, maka dia wajib mandi. Demikian juga halnya apabila dia
bersetubuh lalu dia mengeluarkan sperma, maka dia wajib mandi. Apabila keluar
lagi air yang memancar setelah mandi, maka dia harus mengulangi mandinya, dan
sama saja apakah sebelum membuang air kecil atau sesudahnya. Jadi, keluarnya
air yang terpancar dari seseorang merupakan tanda bahwa dia wajib mandi, baik
sebelum membuang air kecil ataupun sesudahnya.
Imam Syafi`i berkata: Air yang terpancar adalah yang hangat dan darinya
terlahir seorang anak, serta baunya menyerupai serbuk kurma.
Imam Syafi`i berkata: Apabila penis seorang laki-laki telah tenggelam
dalam kemaluan wanita, baik adanya rasa nikmat atau tidak, digerak-gerakkan
atau tidak; atau seorang wanita memasukkan kemaluan suaminya ke dalam
kemaluannya, baik laki-laki itu sadar atau dalam keadaan tertidur sehingga dia
tidak mengetahuinya, maka keduanya wajib mandi.
Demikian juga halnya apabila seseorang memasukkan kepala penisnya ke
dalam vagina dan dubur wanita lain atau binatang, maka dia wajib mandi dan
dianggap telah berbuat dosa karena melakukan hal itu kepada selain isterinya.
Madzhab kami memandang haram apabila seorang suami menyetubuhi isterinya
dari duburnya. Demikian juga apabila dia menenggelamkan penisnya ke dalam
kemaluan isterinya yang telah meninggal dunia, maka dia wajib mandi pula.
Apabila penisnya dimasukkan ke dalam darah, khamer atau sesuatu yang
tidak bernyawa, baik yang diharamkan atau tidak, maka dia tidak wajib mandi
sebelum mengeluarkan air mani.
Imam Syafi`i berkata: Demikian juga apabila dia melakukan masturbasi
(onani) dan tidak mengeluarkan sperma, maka tidak ada kewajiban mandi
atasnya, karena telapak tangan bukanlah farji (kemaluan wanita).
Imam Syafi`i berkata: Apabila dia menemukan air sperma di dalam
kainnya dan dia lupa bahwa air sperma itu berasal dari mimpi atau dari selainnya,
48 . H.R. Bukhari, bab “Mandi apabila wanita bermimpi mengeluarkan sperma,” dan juga diriwayatkan oleh Muslim, dalam kitab yang menjelaskan tentang haidl, bab “Wajib Mandi Bagi Perempuan Karena Keluar air Sperma.”
61
maka kami lebih menyukai apabila dia mandi dan mengulangi shalatnya.
Hendaknya seseorang bersikap teliti dengan mengulangi semua shalat yang
diduga dilakukan setelah air sperma itu keluar, atau dia mengulangi shalat yang
dilakukannya setelah bangun tidur, dimana dia melihat sesuatu yang di duga telah
menyebabkan air spermanya keluar.
Imam Syafi`i berkata: Apabila seseorang melihat sesuatu dalam mimpinya
dan dia tidak mengetahui air spermanya keluar (ejakulasi) kecuali jika tidak ada
yang memakai pakaiannya selain dia, maka diketahui bahwa air sperma itu berasal
darinya dalam kondisi seperti ini maka dia wajib mandi, yaitu pada waktu dia
tidak ragu bahwa mimpi telah ada sebelumnya.
Demikian juga halnya apabila dia teringat pada tidur yang telah
dilakukannya. Apabila dia telah melaksanakan satu shalat sesudahnya, maka dia
harus mengulanginya. Namun apabila dia belum melaksanakan shalat apapun,
maka dia harus mandi untuk melaksanakan shalat berikutnya.
Imam Syafi`i berkata: Mandi yang lebih utama menurutku (untuk
dikategorikan sebagai mandi wajib setelah mandi janabah ) adalah mandi setelah
memandikan mayit. Kami tidak suka meninggalkannya, bagaimanapun
keadaannya. Orang yang menyentuh mayit hendaknya berwudlu, kemudian mandi
untuk shalat jum`at. Ini merupakan perintah atas dasar pilihan artinya hanya
merupakan anjuran. Imam Syafi`i berkata: “Adapun mandi Jum`at, dalil-dalil
yang ada pada kami menunjukkan bahwa dia diperintahkan atas dasar pilihan
yakni hanya anjuran.”
Imam Syafi`i berkata: Seorang laki-laki dari sahabat Rasulullah saw.
memasuki masjid pada hari Jum`at dan Umar bin Khatab sedang membaca
khutbah, lalu Umar bertanya kepadanya: “Waktu apakah ini ?” Laki-laki itu
menjawab: “Wahai Amirul Mukminin, kami pulang dari pasar lalu mendengar
seruan adzan, maka kami tidak menambah lagi kecuali berwudlu. “ Umar bin
Khatab lalu berkata: “Wudlu juga sementara engkau telah mengetahui bahwa
Rasulullah saw. memerintahkan mandi. “
Imam Syafi`i berkata: Apabila seorang musyrik masuk Islam, maka kami
lebih menyukai dia mandi serta mencukur rambutnya. Akan tetapi jika dia tidak
62
melakukannya dan tidak berjunub, maka baginya cukup berwudlu dan
melaksanakan shalat.
Imam Syafi`i berkata: Disebutkan, jarang sekali manusia yang gila kecuali
sperma telah keluar darinya. Jika kondisinya demikian, maka orang yang sembuh
dari gila tersebut harus mandi lantaran keluarnya sperma tersebut. Akan tetapi
apabila dia ragu apakah telah mengeluarkan sperma atau tidak, maka menurut
pendapat yang lebih kami sukai adalah orang tersebut lebih baik mandi untuk
lebih bersikap hati-hati, akan tetapi kami tidak menganggap wajib, melainkan
apabila dia yakin telah mengeluarkan sperma (ejakulasi).
BAB : KELUAR MADZI.
Imam Syafi`i berkata: Jika seorang laki-laki mendekati isterinya
kemudian dia mengeluarkan madzi, maka dia wajib berwudlu, lantaran madzi itu
adalah suatu hadats yang keluar dari dzakar. Jika dia menyentuh tubuh isterinya
dengan tangannya, maka dia juga wajib berwudlu ditinjau dari dua sisi, yaitu
mengeluarkan madzi serta menyentuh isteri, namun baginya cukup berwudlu satu
kali untuk keduanya.
Demikian juga orang yang wajib berwudlu karena semua sebab yang
mewajibkan wudlu, kemudian sesudah itu dia berwudlu dengan satu wudlu, maka
hal itu cukup baginya dan dia tidak wajib mandi dengan sebab mengeluarkan
madzi.
BAB : TATA CARA MANDI.
Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman :
ول جنبا إل عابري سبيل حت تغتسلوا
“(jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub,
terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.
( Surat an-Nisa` (4): 43 )
Allah swt. mewajibkan mandi secara mutlak dan Dia tidak menyebutkan
apa yang harus didahulukan saat mandi sebelum yang lainnya, dengan kata lain
Allah swt. tidak menyebutkan urutan-urutan yang harus didahulukan pada saat
mandi. Jika seseorang mandi, niscaya hal itu sudah cukup baginya dan Allah swt.
63
lebih mengetahui bagaimana cara seseorang mandi, serta tidak ada waktu husus
untuk mandi.
Imam Syafi`i berkata: Hadits telah diriwayatkan bahwa Rasulullah saw.
berkata kepada Abu Dzar: “Apabila engkau memperoleh air, maka basuhkanlah
air itu ke kulitmu.”
Abu Dzar tidak menceritakan bahwa Rasulullah saw. menyifatkan kadar
air itu kepadanya selain dengan mengusap atau membasuh kulit, namun cara
terbaik untuk mandi janabah adalah sebagaimana apa yang telah dikisahkan oleh
Aisyah ra.
Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Aisyah ra. :
أ�ن' الن�ب�ي� ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� ك�ان� إ�ذ�ا اغت�س�ل� م�ن� الج�ن�اب�ة� ب�د�أ� ف�غ�س�ل� ي�د�ي�ه� ث7م� ي�ت�و�ض�أ7 ك�م�ا ي�ت�و�ض�أ ل�لص�ل�ة� ث7م� ي�د�خ�ل7 أ�ص�اب�ع�ه� ف�ي الم�اء� ف�ي�خ�ل'ل7 ب�ه�ا أ7ص�و�ل� ش�ع�ر�ه� ث7م� ي�ص�بG ع�ل�ى ر�أس�ه� ث�ل�ث� غ7ر�ف�ات
ع�ل�ى ج�لد�ه� ك7ل\ه ب�ي�د�ي�ه� ث7م� ي�ف�ي�ض� الم�اء“Bahwasanya Rasulullah saw. apabila mandi karena janabah, maka
beliau membasuh kedua tangannya lalu berwudlu seperti berwudlu untuk
melaksanakan shalat. Kemudian beliau memasukkan jari-jemari
tangannya ke dalam air, lalu menyela-nyela pangkal rambutnya dengan
jari-jemari itu. Kemudian beliau menuangkan ke atas kepalanya tiga
timba air dengan kedua tangannya, lalu beliau meratakan air ke seluruh
kulitnya.” 49
Imam Syafi`i berkata: Apabila seorang wanita mempunyai rambut yang
terikat (disanggul), maka dia tidak harus membuka sanggulnya itu ketika mandi
karena janabah atau haidl tanpa ada perbedaan antara keduanya.
Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Ummu Salamah, dia
berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah saw. dan mengatakan bahwa aku
adalah wanita yang memiliki sanggul rambut yang sangat besar, apakah aku harus
membukanya ketika mandi janabah ?” Maka Rasulullah saw. menjawab :
49 . H.R. Bukhari, dalam kitab yang menjelaskan tentang mandi, bab “Wudlu sebelum mandi” H.R. Muslim, dalam kitab yang menjelaskan tentang haidl, bab “Sifat Mandi Jinabah” hadits no. 34, jilid 1, cet. al-Sya`bi, Kairo, hlm. 613.
64
ل� إ�ن�م�ا ي�كف�ي�ك� أ�ن ت�ح�ث�ي� ع�ل�ي�ه� ث�ل�ث� ح�ث�ي�ات, م�ن� م�اء, ث7م� ت�ف�ي�ض�ي�ن� ع�ل�ي�ك� الم�اء� ف�ت�طه�ر�ي�ن�
“Tidak, sesungguhnya telah mencukupi bagimu dengan menyiram ke atas
sanggul itu tiga timba air, kemudian engkau ratakan air itu pada tubuhmu
sehingga engkau suci.”
Dalam hadits lain beliau bersabda: “Jika demikian, engkau telah suci.”
Apabila dia tidak memiliki rambut (gundul), maka cara mandinya sama
sebagaimana cara mandi di atas.
Demikian juga halnya apabila ada seorang laki-laki yang mengikat sanggul
rambut kepalanya atau mengepangnya, maka dia tidak perlu membukanya, namun
dia harus mengalirkan air ke pangkal rambutnya.
Imam Syafi`i berkata: Apabila rambutnya lebat lalu dia menyiram air
sebanyak tiga timba, namun dia mengetahui bahwa air itu belum merata ke
seluruh pangkal rambutnya walaupun seluruh rambutnya telah basah, maka
hendaklah dia menyiram rambutnya kembali dan memasukkan air ke pangkal
rambutnya sampai dia yakin bahwa air itu telah sampai ke rambut dan kulit
kepalanya.
Apabila dia telah mencukur rambutnya (sampai botak) dan dia mengetahui
bahwa air itu telah sampai ke rambut dan kulit kepalanya dengan satu timba saja,
niscaya hal itu telah memadai. Akan tetapi kami lebih menyukai dengan tiga
timba. Hanya saja Rasulullah saw. memerintahkan kepada Ummu Salamah untuk
menyiram dengan tiga timba karena sanggul rambutnya. Adapun kami
berpendapat bahwa hal itu adalah batas minimal untuk mengalirkan air ke kulit
rambut. Rasulullah saw. memiliki rambut yang melewati daun telinga, beliau
membasuh kepalanya dengan tiga basuhan. Begitu juga dalam hal berwudlu,
beliau saw. lebih sering melakukannya tiga kali dalam hidup beliau. Akan tetapi
menyiram satu kali bila telah merata dianggap telah mencukupi, baik ketika mandi
atau wudlu, sebab dengan menyiram satu kali telah bisa dinamakan mandi atau
wudlu, selama diketahui bahwa air telah mengenai rambut dan kulit.
Orang yang lupa berkumur-kumur dan memasukkan Air ke dalam
Hidung Pada Mandi Janabah.
Imam Syafi`i berkata: Kami tidak menyukai seseorang yang meninggalkan
65
berkumur dan memasukkan air ke dalam hidung pada saat mandi janabah. Namun
apabila dia terlanjur meninggalkannya, maka kami lebih menyukai agar dia
berkumur-kumur saja. Apabila dia tidak mengerjakan hal itu juga, maka dia tidak
harus mengulangi shalatnya.
Demikian juga dia tidak harus memercikkan air atau membasuh kedua
matanya, karena kedua mata bukanlah bagian luar dari badannya dimana letak
keduanya di bawah pelupuk mata.
Imam Syafi`i berkata: Berdasarkan hal itu, maka seseorang harus
membasuh bagian luar dan bagian dalam dari telinganya, karena kedua telinga itu
termasuk anggota badan bagian luar sehingga harus memasukkan air pada bagian
yang tampak dari daun telinga, dan dia tidak harus memasukkan air pada bagian
telinga yang tidak nampak.
Imam Syafi`i berkata: Kami lebih menyukai seseorang menggosok
tubuhnya sesuai dengan kemampuannya ketika mandi. Namun apabila dia tidak
mengerjakan hal itu dan air telah merata pada kulitnya, maka hal itu sudah cukup
baginya.
Demikian halnya apabila dia membenamkan diri pada sebuah sungai atau
sumur sehingga air dapat merata ke seluruh rambut dan kulitnya, maka hal itu
telah cukup baginya; atau dia berdiri di bawah pancuran air atau membasahi
dirinya dengan hujan sehingga air dapat sampai kepada rambut dan kulitnya,
maka hal itu sudah cukup baginya.
Imam Syafi`i berkata: Mandi yang telah kami terangkan di atas tidak
dianggap suci apabila tidak disertai niat mandi janabah. Demikian halnya dengan
wudlu, tidak dianggap sebagai wudlu apabila tidak disertai dengan niat wudlu.
Apabila dia berniat mandi untuk bersuci dari janabah dan berniat wudlu
untuk bersuci dari hal-hal yang mewajibkan wudlu; atau dia berniat wudlu untuk
melaksanakan shalat, baik fardlu maupun nafilah seperti shalat jenazah atau
membaca al-Qur`an, maka semua itu boleh baginya dikarenakan dia telah
meniatkan semuanya untuk bersuci.
Imam Syafi`i berkata: Apabila seseorang mandi dan memulai dari kedua
kakinya sebelum kepalanya, atau dia memisah-misahkannya dimana pada saat
66
tertentu membasuh sebagian anggota badannya dan pada setelah satu jam
berikutnya dia baru memulai membasuh bagian tubuhnya yang lain, maka hal itu
telah mencukupinya. Namun lain halnya dengan wudlu, dia harus
mengurutkannya sesuai dengan apa yang telah disebutkan Allah swt. di dalam
kitab-Nya.
Orang yang mandi janabah dan orang yang berwudlu hendaknya menyela-
nyela jari-jemari kakinya sehingga dia yakin air itu telah sampai di antara jari-
jemari kakinya. Apabila dia tidak yakin akan sampainya air, maka hal itu tidak
cukup baginya. Apabila air itu telah mengenainya, maka hal itu sudah mencukupi
walaupun dia tidak menyela-nyelainya.
Alasan Orang yang Mewajibkan Mandi dan Wudlu.
Imam Syafi`I berkata: Allah swt. berfirman :
وإن كنتم جنبا فاطهروا وإن كنتم مرضى أو على سفر أو جاء أحد منكم من الغائط “dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus). “
( Surat al-Maaidah (5): 6 )
Imam Syafi`i berkata: Allah swt. tidak memberikan keringanan (rukhshah)
dalam bertayamum kecuali pada beberapa keadaan, yaitu dalam perjalanan atau
dalam kesulitan air atau saat sakit.
Apabila seseorang sakit, maka dia boleh bertayamum baik dia mukim atau
sedang dalam perjalanan, atau saat dia memperoleh air atau tidak.
Imam Syafi`i berkata: Sakit adalah suatu kata yang mengumpulkan semua
jenis penyakit. Adapun yang kami dengar tentang sakit yang dengannya boleh
bertayamum adalah luka.
Imam Syafi`i berkata: Bengkak yang tidak parah itu juga masuk dalam
katagori luka, karena yang ditakutkan adalah bagian tersebut terkena air yang
kemudian akan bernanah sehingga menyebabkan kematian atau menimbulkan
penyakit yang mengkhawatirkan. Inilah ketakutan minimal yang ada dalam
masalah ini.
Apabila luka itu berlubang dimana dikhawatirkan tersentuh air sehingga
67
akan menambah parah sakitnya, maka boleh baginya bertayamum. Namun apabila
luka itu ringan dan tidak berlubang, serta tidak dikhawatirkan bernanah apabila
dibasuh dengan air, maka dia tidak boleh bertayamum dikarenakan alasan Allah
swt. memberikan keringanan kepada seseorang untuk bertayamum telah hilang
darinya.
Tidak boleh bagi seseorang bertayamum kecuali ada luka, baik pada
musim dingin atau panas. Apabila dia melakukannya, maka hendaklah dia
mengulangi shalat yang dikerjakannya dengan tayamum itu.
Begitu juga seseorang tidak boleh bertayamum ketika berada di musim
dingin. Apabila dia terkena luka pada kepalanya atau pada bagian lain dari
tubuhnya, maka dia harus membasuh bagian lain dari badannya yang terkena
najis; dan tidak ada yang mencukupi kecuali hal itu, sebab bertayamum itu untuk
janabah.
Begitu juga terhadap setiap najis yang mengenai anggota badannya, maka
tidak cukup bagiya kecuali membasuhnya.
Seseorang mempunyai banyak luka, dan salah satunya ada lubang luka
yang terkena najis, sementara dia takut jika lubang itu terkena air. Jika dia tidak
membasuhnya, maka dia harus mengulangi setiap shalat yang dikerjakannya itu.
Apabila luka itu terdapat pada telapak tangannya (bukan pada tubuh),
maka dia harus membasuh seluruh tubuh kecuali telapak tangan. Namun dengan
melakukan hal seperti itu, dia belum dianggap suci apabila belum bertayamum,
karena dia tidak mandi sebagaimana yang diwajibkan Allah swt kepadanya.
Jika dia bertayamum dan sanggup membasuh sebagian dari tubuhnya
tanpa adanya bahaya yang ditimbulkan (mudharat), maka dia tidak boleh
melakukan tayamum dan harus membasuh seluruh tubuh yang dia mampu
menjangkaunya, sebab bertayamum tidak boleh dengan mengusap sebagian dan
meninggalkan bagian yang lain.
Jika luka itu terdapat pada bagian depan (bukan pada bagian belakang
kepalanya), maka dia harus membasuh kepala bagian belakangnya. Demikian juga
dengan sebagian kepala bagian depan (tidak pada bagian yang lain), maka dia
harus membasuh bagian yang tidak ada lukanya dan meninggalkannya bagian
68
yang terkena luka, jika luka terdapat pada muka dan tidak pada bagian kepala.
Akan tetapi jika dibasuh, maka air akan menetes ke bagian muka (tentu akan
mengenai luka yang ada di mukanya), sementara dia tidak boleh meninggalkan
basuhan kepalanya. Bahkan hendaknya dia mengambil posisi terlentang atau
menutupi wajahnya, kemudian dia menyiramkan air ke tempat lain agar tidak
mengenai mukanya.
Demikian pula apabila luka terdapat pada badannya, lalu dia khawatir jika
menyiram air pada bagian yang tidak sakit akan mengenai bagian yang sakit,
maka dia harus mengusapkan air pada bagian yang tidak sakit dan tidak boleh
menyiramnya, cukup baginya dengan membasahi rambut dan kulit. Adapun bila
dia mampu mengambil siasat untuk menyiramkan ke badannya tanpa harus
mengenai bagian yang sakit, maka dia harus menyiramnya.
Imam Syafi`i berkata: Cara bersuci bagi wanita yang sedang haidl sama
seperti orang yang berjunub, sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya.
Demikian juga apabila seorang laki-laki atau seorang wanita akan mandi junub,
maka cara mandinya adalah seperti itu.
Imam Syafi`i berkata: Apabila pada wanita haidl ada bekas darah dan
pada orang junub terdapat najis, yang mana keduanya sanggup menahan apabila
terkena air, maka keduanya harus mandi. Namun apabila tidak sanggup, maka
keduanya boleh bertayamum lalu mengerjakan shalat. Keduanya tidak perlu
mengulangi shalat, baik masih di dalam waktu shalat maupun di luar waktu shalat.
Imam Syafi`i berkata: Demikian juga setiap najis yang mengenainya, baik
dia mandi maupun berwudlu, maka tidak ada yang dapat menyucikan najis itu
kecuali air.
Apabila orang yang terkena najis itu sedang haidl atau junub dan orang
yang berwudlu tidak memperoleh air, maka dia boleh bertayamum kemudian
mengerjakan shalat. Akan tetapi jika dia memperoleh air, maka hendaknya dia
membasuh bagian yang terkena najis itu dan mandi apabila ada kewajiban wudlu
atasnya, serta mengulangi seluruh shalat yang telah dikerjakan saat najis
menempel padanya, karena najis tida dapat disucikan selain dengan air.
Imam Syafi`i berkata: Apabila seseorang memperoleh air yang dapat
69
menyucikan najis yang ada padanya dimana dia dalam keadaan safar, sementara
dia tidak mendapatkan air untuk mandi (apabila ia wajib mandi) atau untuk
berwudlu, maka dia harus membasuh bekas najis itu kemudian bertayamum dan
mengerjakan shalat. Dia tidak perlu mengulangi shalatnya, karena dia shalat
dalam keadaan suci dari najis, yang mana sucinya itu dengan bertayamum setelah
mandi dan wudlu yang wajib atasnya.
Imam Syafi`i berkata: Apabila orang yang junub telah menemukan air
untuk bersuci, sementara dia khawatir akan kehausan, maka dia dihukumi seperti
orang yang tidak memperoleh air, dia harus membasuh najis yang telah
mengenainya kemudian bertayamum. Keterangan ini cukup memadai dalam
menjelaskan masalah membersihkan najis. Jika dia takut kehausan apabila (air
digunakan untuk) mencuci najis sebelum memperoleh air yang lain, maka dia
harus mengusap najis dan bertayamum, kemudian mengerjakan shalat. Lalu
mengulangi shalat itu apabila telah mencuci najis dengan air (memperoleh air).
Apabila tidak takut kehausan jika air yang tidak memadai itu digunakan
untuk membasuh najis, dan jika digunakan pun tidak bisa menghilangkan najis
yang ada di badannya, maka hendaknya dia terlebih dahulu membasuh bagian
yang terkena najis lalu membasuh anggota badan yang dikehendaki dengan sisa
air itu, karena dia telah beribadah dengan membasuh seluruh badannya bukan
hanya sebagiannya. Oleh sebab itu, dia harus memcuci seluruh badan apabila
menghendaki dan anggota wudlu atau anggota tubuh yang lain. Anggota wudlu
tidak lebih wajib di basuh saat mandi janabah bila dibandingkan dengan anggota
badan lainnya. Setelah itu, dia bertayamum dan shalat. Dia pun tidak perlu
mengulangi shalatnya apabila mendapatkan air, karena dia shalat dalam keadaan
suci.
Imam Syafi`i berkata: Apabila seseorang bertanya: “Mengapa
menghilangkan najis yang mengenainya tidak cukup kecuali dengan dibasuh air,
namun janabah dan wudlu cukup dengan bertayamum ?”
Maka dikatakan, bahwa inti kesucian adalah dengan air, hanya saja Allah
swt. menjadikan tanah itu suci untuk digunakan oleh mereka yang dalam
perjalanan atau bagi mereka yang kesulitan memperoleh air, baik saat mukim atau
70
dalam perjalanan, atau dalam kondisi sakit.
Tidak ada yang dapat membersihkan najis yang mengenai kulit atau yang
lainnya melainkan dengan air, melainkan apabila Allah swt. menjadikan tanah
pengganti air untuk mensucikan najis. Namun Allah swt. hanya menjadikan tanah
sebagai pengganti air dalam rangka beribadah kepada-Nya melalui wudlu dan
mandi. Beribadah dengan melaksanakan wudlu maupun mandi adalah suatu
kewajiban ibadah bukan untuk menghilangkan najis yang nampak. Najis apabila
melekat pada tubuh atau pakaian seseorang, maka cara menghilangkannya dengan
air dianggap suatu ibadah sampai najis itu tidak lagi melekat pada tubuh dan
pakaiannya. Inilah peribadatan yang memiliki alasan yang dapat diterima oleh
akal fikiran.
Imam Syafi`i berkata: Wanita yang sedang haidl dalam hal bersuci sama
sebagaimana orang yang sedang junub, tidak ada perbedaan di antara keduanya,
hanya saja kami lebih menyukai wanita haidl yang mandi dari janabah dengan
mengoleskan minyak wangi pada bekas darahnya. Akan tetapi jika tidak ada
minyak wangi, maka boleh menggunakan benda apa saja yang berbau wangi,
karena hal itu merupakan Sunnah Rasulullah saw. namun jika tidak
melakukannya juga, maka cukuplah air sebagai pencucinya.
Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa dia
berkata: “Suatu ketika seorang wanita datang menghadap Rasulullah saw.
kemudian bertanya tentang tata cara mandi dari haidl. Lalu Rasulullah saw.
bersabda :
خ�ذ�ي� ق7ر�ص�ة: م�ن� م�س�ك, ف�ت�ط'ه�ر�ي� ب�ه�ا ق�ال�ت� ك�ي�ف� أ�ت�ط�ه�ر� ؟ ق�ال� : ت�طه�ر�ي� ب�ه�ا ق�ال�ت� : ك�ي�ف� أ�ت�ط'ه�ر ب�ه�ا ف�اج�ت�ذ�ب�ت�ه�ا و�ع�ر�ف�ت ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� : س�ب�ح�ان� ال� و�اس�ت�ت�ر� ب�ث�و�ب�ه� ت�ط�ه�ر�ي ب�ه�ا ف�ق�ال� الن�ب�ي
ال'ذ�ي� أ�ر�اد� ف�ق7لت� ت�ت�ب�ع�ي� ب�ه�ا أ�ث�ر� الد�م� ي�ع�ن�ي الف�ر�ج
“Ambillah sedikit minyak kasturi lalu bersucilah dengannya” lalu
wanita tersebut bertanya lagi; “Bagaimana aku bersuci dengan minyak
kasturi itu ?” Kemudian Rasulullah saw. menjawab; “Bersucilah
dengannya !” lalu wanita tersebut bertanya lagi; “Bagaimana aku
bersuci dengannya ?” kemudian Rasulullah saw. bersabda; “Maha Suci
71
Allah” Rasulullah menutup dirinya dengan kain; “Bersucilah
dengannya”. Kemudian aku (Aisyah) menarik wanita itu dan mengajarkan
kepada wanita itu tentang sesuatu yang dikehendaki oleh Rasulullah saw.
aku katakan kepada wanita itu; “Sertakanlah minyak kasturi itu pada
bekas darah 50 maksudnya kemaluan.”
Imam Syafi`i berkata: Orang yang sedang bepergian yang tidak
menemukan air dan orang yang menyendiri di tempat penggembalaan onta, maka
bagi mereka boleh bersetubuh dengan isterinya. Bagi mereka cukup
bertayammum, dengan catatan sudah membasuh apa yang mengenai
kemaluannya sampai dia menemukan air. Jika dia sudah menemukan air, maka
keduanya harus mandi.
Masalah yang Berkaitan dengan Tayamum bagi Muqim dan Musafir.
Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman :
سحوا فق وام ل الرا يديكم إ جوهكم وأ سلوا و صلة فاغ ل ال تم إ نوا إذا قم لذين ام ها ا يا أي برءوسكم وأرجلكم إل الكعبي وإن كنتم جنبا فاطهروا وإن كنتم مرضى أو على سفر أو جاء
غائط با فامسحوا بوجوهكم أحد منكم من ال فتيمموا صعيدا طي ماء لم تدوا أولستم النساء ف عليكم لعلكم عليكم من حرج ولكن يريد ليطهركم وليتم نعمته وأيديكم منه ما يريد ال ليجعل
تشكرون
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tangamu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,
dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah
dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan
tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu supaya
kamu bersyukur.” ( Surat al-Maidah (5): 6 )
Imam Syafi`i berkata: Allah swt. telah menunjukkan hukum 50 . H.R. Bukhari, dalam kitab yang menjelaskan tentang haidl, bab “Haidl Perempuan” jilid 1, juz 1, Dar al-Jabal, Beirut, hlm. 85. H.R. Muslim, dalam kitab yang menjelaskan tentang haidl, bab ke-61, jilid 1, Dar al-Sya`b, Kairo, hlm. 627.
72
diperbolehkannya tayammum pada dua kondisi: Pertama, dalam perjalanan dan
sulit mendapatkan air, Kedua, bagi orang yang sakit baik di tempat pemukiman
atau dalam perjalanan. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang bepergian wajib
berusaha terlebih dahulu untuk mendapatkan air, hal ini berdasarkan firman Allah
swt.:
فلم تدوا ماء فتيمموا
“Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah.”
( Surat al-Maidah (5): 6 )
Imam Syafii berkata: Setiap orang yang keluar meninggalkan suatu negeri
ke negeri yang lain, maka hal itu dapat dikatakan “perjalanan” baik jarak
perjalanan itu ataupun panjang.
Kami tidak mengetahui dalil hadits yang menunjukkan bahwa sebagian
musafir boleh bertayamum dan sebagiannya lagi tidak, akan tetapi yang nampak
dari kitab suci al-Qur`an adalah semua musafir boleh bertayammum, baik jarak
perjalanan itu jauh atau dekat.
Imam Syafi`i berkata: Dari Nafi`, dari Ibnu Umar, bahwa dia datang dari
al-Jarf. Jika berada di al-Marbad (daerah satu mil dari Madinah) maka dia
bertayamum. Dia mengusap wajah dan kedua tangannya, kemudian melaksanakan
shalat Ashar lalau memasuki Madinah, sedangkan sinar matahari masih meninggi,
namun dia tidak mengulangi shalatnya. 51
Imam Syafii berkata: Al-Jarf adalah suatu tempat di dekat kota Madinah.
BAB : WAKTU DIPERBOLEHKANNYA TAYAMUM UNTUK
SHALAT.
Imam Syafi`i berkata: Allah swt. telah menetapkan waktu-waktu bagi
setiap shalat yang akan dilaksanakan. Seseorang tidak dikatakan melaksanakan
shalat sebelum tiba waktunya, sebagaimana kita diperintahkan untuk
melaksanakan shalat jika waktunya telah masuk.
Demikian juga Allah swt. memerintahkan tayamum pada saat seseorang
hendak melaksanakan shalat dan butuh air, akan tetapi dia tidak menemukannya.
51 . Tartib Musnad Imam Syafi`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab ke-9 “Tayamum” hadits no. 136, jilid 1, hlm. 45.
73
Barangsiapa bertayamum sebelum tiba waktu shalat, maka shalatnya dianggap
tidak sah. Oleh karenanya, hendaklah dia melaksanakan shalat dengan
bertayamum sesudah tiba waktu shalat dan tidak menemukan air.
Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang bertayamum ketika tidak
menemukan air, akan tetapi dia belum berusaha mencarinya, maka dia harus
mengulangi tayamum itu sesudah berusaha mencari air akan tetapi tidak
menemukannya.
Jika seseorang mengetahui bahwa dia tidak memiliki sedikitpun air, maka
hendaknya dia mencari pada orang lain. Jika seseorang diberi air secara cuma-
cuma atau dengan harga yang wajar dan orang yang memiliki air tidak hawatir
akan kehausan atau kelaparan jika air itu dibeli darinya, maka baginya tidak boleh
bertayamum.
Jika pemilik air tidak memberikan secara cuma-cuma dengan suka rela
dan seseorang harus membelinya dengan harga yang tinggi dari yang seharusnya,
maka dia tidak perlu membeli air itu sekalipun dia mampu atau sekalipun
tambahan harga air itu tidak terlalu tinggi.
Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang menemukan sebuah sumur akan
tetapi dia tidak memiliki tali, namun dia sanggup untuk menggapai air dengan tali
itu atau dengan kain, maka baginya tidak boleh bertayamum sampai dia berusaha
mencari bejana atau timba. Jika tidak mampu menemukannya, maka dia dapat
menjatuhkan ujung kain ke dalam air tersebut kemudian memerasnya sampai
mengeluarkan air. Ini dilakukan secara terus menerus sampai mendapatkan air
yang cukup untuk berwudlu. Apabila demikian, dia tidak boleh untuk bertayamum
selama dia masih mampu melakukan hal ini atau ada orang lain yang mau
melakukan untuknya.
Apabila dia tidak sanggup melakukannya akan tetapi mampu turun ke
sumur dengan tanpa rasa takut, maka dia boleh melakukan hal itu. Akan tetapi jika
merasa takut untuk turun ke sumur, maka dia tidak perlu untuk turun ke dalam
sumur itu.
Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang bertayamum kemudian menjalankan
shalat, akan tetapi sesudah itu dia teringat bahwa dalam barang bawaannya ada
74
air, maka hendaknya dia mengulangi shalatnya.
Jika dia teringat atau mengetahui bahwa ada sumur di dekatnya dimana dia
sanggup untuk memperoleh air, maka dia tidak perlu mengulangi shalatnya. Akan
tetapi jika dia mengulanginya, maka hal itu boleh saja dilakukan lantaran lebih
menunjukkan sikap hati-hati.
Imam Syafi`i berkata: Perbedaan antara apa yang berada dalam barang-
barang bawaannya dengan sumur adalah, bahwa dia lebih mengetahui kondisi
barang-barang bawaannya sebagaimana dia mengetahui urusan pribadinya, dan
dia mendapat beban untuk mengetahui segala urusan dirinya. Sedangkan yang
bukan menjadi miliknya, maka dia hanya dibebani untuk mengetahui yang
nampak saja dengan tanpa perlu mengetahui yang lebih terperinci.
BAB : NIAT TAYAMUM.
Imam Syafi`i berkata: Tayamum tidak cukup melainkan sesudah berusaha
mencari air akan tetapi tidak menemukannya, dan seseorang harus mengerjakan
tayamum disertai niat.
Jika dia bertayamum sebelum mencari air, maka tayamumnya tidak sah.
Dia harus mengulangi tayamumnya sesudah mencari air akan tetapi tidak
berhasil.
Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang niat untuk melakukan tayamum
dalam rangka bersuci untuk melaksanakan shalat fardlu, kemudian dia
melaksanakan ibadah lainnya sebagaimana; shalat sunah, membaca kitab suci al-
Qur`an, melakukan shalat janazah, sujud tilawah serta sujud syukur, sesudah itu
tiba waktu shalat fardlu yang lain dan dia belum berhadats, maka dia tidak boleh
melaksanakan shalat fardlu itu, namun hendaknya dia mencari air kembali. Jika
dia tidak menemukannya, maka dia boleh memulai niat untuk bertayamum guna
melaksanakan shalat.
Imam Syafi`i berkata: Apabila telah lepas beberapa shalat fardlu, maka
seseorang harus mengulangi tayamum untuk setiap shalat fardlu itu, sebagaimana
yang telah kami jelaskan.
Apabila dia mengerjakan dua shalat fardlu dengan sekali tayamum, maka
75
dia harus mengulangi shalat yang kedua lantaran tayamumnya hanya untuk shalat
yang pertama.
Jika dia bertayamum untuk shalat sunah, maka dia tidak boleh
melaksanakan shalat fardlu dengan tayamum itu sehingga dia berniat tayamum
untuk shalat fardlu.
Imam syafi`i berkata: Jika seseorang bertayamum dengan niat shalat
fardlu, maka baginya tidak mengapa melakukan shalat sunah, shalat jenazah, dan
membaca al-Qur`an sebelum melakukan shalat fardlu.
Imam Syafi`i berkata: Tayamum itu tidaklah dianggap sah melainkan
telah memenuhi syarat. Sebagaimana kamu ketahui bahwa jika seseorang
bertayamum lalu menemukan air, maka hendaklah dia berwudlu.
Demikian halnya dengan wanita haidl dan wanita yang sedang
mengeluarkan darah istihadlah jika mendapatkan air, maka tidak ada perbedaan
antara dia dan orang yang bertayamum dimana mereka berwudlu setiap kali
hendak melaksanakan shalat fardlu, lantaran tayamum adalah bersuci yang
sifatnya darurat dan bukan kesucian yang sempurna.
Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang bertayamum kemudian memulai
melaksanakan shalat sunah atau shalat janazah kemudian tidak beberapa lama dia
melihat air, maka teruskan saja shalatnya itu. Jika dia sudah selesai dari shalatnya,
apabila dia sanggup, maka dia boleh berwudlu untuk melaksanakan shalat fardlu.
Akan tetapi jika tidak sanggup, maka dia cukup menghadirkan niat shalat fardlu
kemudian bertayamum untuk shalat fardlu itu.
Begitu juga apabila dia memulai dengan shalat sunah, lalu mulai bertakbir
kemudian melihat air, maka teruskan saja shalat itu sampai dua reka`at dan tidak
boleh melebihkannya, lalu mengucapkan salam. Kemudian, setelah itu barulah
mengambil air.
Apabila seseorang bertayamum dan memulai dengan shalat fardlu
kemudian dia melihat air, maka dia tidak perlu memutuskan shalatnya, bahkan
hendaknya dia menyempurnakan. Apabila telah selesai, maka dia boleh berwudlu
untuk shalat yang lain. Tidak boleh baginya mengerjakan shalat sunah dengan niat
tayamum untuk shalat fardlu, apabila dia memperoleh air setelah selesai dari
76
shalat fardlu tersebut.
Apabila seseorang bertayamum dan memulai shalat fardlu kemudian dia
mimisan (keluar darah dari hidungnya) lalu memutuskan shalat karena hendak
membasuh darahnya, kemudian dia memperoleh air, maka tidak boleh baginya
menyambung shalat fardlu yang terputus tadi kecuali dia berwudlu terlebih
dahulu. Hal itu diarenakan dia berada dalam kondisi yang tidak boleh
dilaksanakannya shalat, sebab telah mendapatkan air untuk berwudlu.
BAB : BAGAIMANA BERTAYAMUM
Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman:
فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم وأيديكم منه
“Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih) sapulah mukamu
dan tanganmu dengan tanah itu.” ( Surat al-Maa`idah (5): 6 )
Hadits riwayat Ibnu Shammah :
أ�ن' ر�س�و�ل� ال� ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� ت�ي�م�م� ف�م�س�ح� و�ج�ه�ه� و�ذ�ر�اع�ي�ه�
“Sesungguhnya Rasulullah saw. bertayamum lalu menyapu mukanya dan
kedua lengannya.” 52
Imam Syafi`i berkata: Seseorang tidak dinamakan bertayamum kecuali
apabila dia telah menyapu muka dan kedua lengan sampai kepada dua siku, dan
kedua siku termasuk bagian yang disapu. Apabila dia meninggalkan salah satunya
lalu mengerjaan shalat, maka dia harus mengulangi shalatnya, baik yang
ditinggalkan itu lebih besar atau lebih kecil bahkan sama besar dengan uang satu
dirham selama masih dapat dilihat oleh pandangan matanya atau dia yakin telah
meninggalkan bagian itu. Apabila dia tidak melihat bagian yang tidak di sapu,
namun dia yakin telah meninggalkan sesuatu, maka wajib baginya mengulangi
shalat yang telah dilakukan sebelum dia mengulangi tayamum.
Imam Syafi`i berkata: Tayamum tidak dianggap memadai kecuali dengan
meletakkan telapak tangan pada tanah, lalu menyentuhkannya sekali ke wajahnya.
Kami lebih menyukai apabila dia menyentuhnya dengan kedua tangannya secara
52 . H.R. Muslim, dalam kitab yang menjelaskan tentang haidl, bab “Tayamum,” hadits no. 113, jilid 1, hlm. 670.
77
bersama-sama. Namun apabila dia hanya membatasi dengan satu telapak
tangannya untuk menyapunya ke seluruh wajahnya, maka hal itu telah cukup
baginya.
Apabila debu itu dihembuskan angin sehingga merata pada wajahnya lalu
dia menyapu dengan kedua tangannya, maka hal itu dianggap tidak memadai
karena dia tidak mengambil debu itu dengan tangannya melainkan oleh sebab
angin.
Apabila dia mengambil debu dari atas kepalanya lalu mengusapkan pada
wajahnya, maka hal itu telah memadai. Demikian juga telah memadai apabila dia
mengambil debu itu dari anggota tubuhnya yang lain selain muka dan telapak
tangannya.
Imam Syafi`i berkata: Hendaknya seseorang yang akan bertayamum
menyapu kedua lengannya dengan kedua tangannya, tidaklah cukup apabila dia
tidak melakukan hal itu. Karena dia tidak sanggup menyapu tangan selain dengan
tangan yang berbeda, maka dia menyapu lengan kanan dengan tangan kiri dan
menyapu lengan kiri dengan tangan kanan, dan dia menyela-nyela jemari
tangannya dengan debu dan mengikuti anggota-anggota wudlu, sebagaimana
apabila dia melakukannya dengan air.
Imam Syafi`i berkata: Jika dia memulai tayamum dengan kedua tangan
sebelum muka, hendaklah dia mengulanginya dengan mengusap muka kemudian
kedua lengannya.
Apabila dia memulai dari bagian kiri lengannya sebelum bagian kanan,
maka dia tidak harus mengulanginya, namun hal itu kami pandang sebagai hal
yang makruh.
Imam Syafi`i berkata: Apabila satu tangan atau kedua tangannya terputus,
maka dia hanya mengusap anggota tayamum yang masih tersisa dari tangannya.
Sementara apabila yang terputus itu dari sikunya, maka dia mengusap tayamum
pada anggota yang tersisa dari sikunya.
Imam Syafi`i berkata: Apabila orang yang sedang bepergian memperoleh
air, namun tidak dapat mensucikan seluruh anggota badannya, maka dia tidak
perlu membasuh sesuatu darinya.
78
Sehubungan dengan persoalan ini Imam Syafi`i memiliki pendapat lain,
yaitu, hendaklah dia membasuh sebagian anggota badan wudlunya dengan kadar
air yang dia miliki, kemudian dia bertayamum setelah itu.
BAB : TANAH YANG DIPAKAI UNTUK BERTAYAMUM.
Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman :
فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم وأيديكم منه
“Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih) sapulah mukamu
dan tanganmu dengan tanah itu.” ( Surat al-Maa`idah (5): 6 )
Imam Syafi`i berkata: Setiap sesuatu yang dinamakan sha`id (tanah) yang
tidak bercampur dengan najis, maka dia adalah tanah yang baik (sha`id thayyib)
yang boleh dipakai untuk bertayammum. Sebaliknya setiap sesuatu yang
terhalang untuk dinamakan tanah, maka dia tidak boleh dipakai untuk
bertayammum, dan kata sha`id tidaklah digunakan melainkan untuk tanah yang
berdebu.
Imam Syafi`i berkata: Adapun tempat yang dilalui air hingga
meninggalkan batu-batu kerikil, baik batu-batu tersebut tebal atau tipis atau batu
pipih yang tebal, tidak dapat dinamakan sha`id (debu). Apabila bercampur dengan
debu atau lumpur kering, maka yang bercampur itu dinamakan sha`id.
Apabila orang yang bertayamum menyentuhkan kedua tangannya ke tanah
(shai’d) tadi lalu terdapat debu yang melekat padanya, maka dia boleh
bertayamum dengannya. Namun apabila dia menyentuhkan kedua tangannya ke
tanah tersebut atau ke tempat lain, namun debu tidak melekat, maka dia tidak
boleh bertayamum dengannya.
Demikian juga seluruh permukaan bumi, baik berupa tanah yang gembur,
lumpur yang kering, batu-batu yang terdapat pada jalur air dan selainnya yang
dapat melekatkan debu apabila disentuhkan tangan kepadanya, maka cukup
memadai untuk digunakan tayamum.
Apabila tanah itu kering dan orang yang hendak bertayamum
menyentuhkan tangannya, lalu tanah itupun melekat padanya dalam jumlah yang
banyak, maka tidak mengapa jika dia mengibaskannya sedikit saja hingga yang
79
tersisa hanya debunya. Setelah itu, dia boleh mengusapkan ke seluruh mukanya.
Imam Syafi`i berkata: Apabila seseorang mengambil debu dari dinding,
maka dia boleh bertayamum dengannya.
Apabila dia meletakkan tangannya pada dinding dan debu itu melekat pada
tangannya, lalu diapun bertayamum, maka tayamumnya dianggap sah.
Apabila debu itu bercampur dengan kapur, jerami halus, tepung gandum
atau yang lainnya, maka dia tidak boleh bertayamum dengannya sampai debu itu
benar-benar tidak tercampur dengan sesuatu apapun.
Imam Syafi`i berkata: Apabila batu, tembikar, atau marmer yang hancur
ditumbuk halus hingga menjadi seperti debu, maka tidak boleh bertayamum
dengan benda-benda ini.
Imam Syafi`i berkata: Tidak boleh bertayamum dengan tawas, dzarirah
(sejenis harum-haruman), kemenyan, serbuk kayu, serbuk perak atau sejenisnya.
Tidak boleh juga bertayamum apabila telah diketahui bahwa tanah itu
mengandung najis sehingga dia yakin bahwa air itu telah mensucikannya, seperti
yang telah kami jelaskan terdahulu tentang tanah yang bercampur dengan sesuatu
yang tidak berbentuk seperti air kencing, arak serta yang menyerupainya, yaitu
dengan menyiramkan air kepadanya hingga menggenanginya. Sedangkan untuk
tanah yang bercampur dengan najis yang mempunyai bentuk, maka najis tersebut
harus dihilangkan darinya dan tempatnya disiram dengan air, atau tempatnya
digali hingga diketahui tidak tersisa sedikitpun dari najis itu.
Tidak boleh bertayamum dengan tanah kuburan yang bercampur dengan
nanah orang meninggal, daging serta tulang-belulang mereka.
Apabila makam itu terkena air hujan, maka tidak boleh bertayamum
dengan debu kuburan itu, karena mayit tetap ada dan tidak dapat dihilangkan oleh
air, sebagaimana air menghilangkan debu.
BAB : BERDZIKIR KEPADA ALLAH TANPA WUDLU.
Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. bahwa
seorang laki-laki melewati Rasulullah saw. dimana beliau sedang membuang air
kecil. Lalu dia memberi salam kepada Rasulullah saw., maka Rasulullah saw.
80
membalas salamnya. Ketika orang itu telah lewat, lalu dia dipanggil oleh
Rasulullah saw. dan beliau pun bersabda :
إ�ن�م�ا ح�م�ل�ن�ي� ع�ل�ى الر�دX ع�ل�ي�ك� خ�ش�ي�ة: أ�ن ت�ذه�ب� ف�ت�ق7و�ل7 إ�نXي س�ل'م�ت� ع�ل�ى الن�ب�يX ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'مف�إ�ذ�ا ر�أ�ي�ت�ن�ي� ع�ل�ى ه�ذ�ه� الح�ال� ف�ل� ت�س�ل\م� ع�ل�ي� ف�إ�ن�ك� إ�ن ت�فع�ل ل� أ�ر�دG ع�ل�ي�ك ف�ل�م� ي�ر�د� ع�ل�ي
“Sesungguhnya yang membuatku menjawab salam engkau adalah karena
takut ketika engkau pergi, engkau akan mengatakan,”Aku telah memberi
salam kepada Rasulullah saw. namun beliau tidak menjawab salamku.”
Apabila engkau melihatku dalam keadaan seperti ini, maka janganlah
engkau memberi salam kepadaku. Apabila engkau melakukannya juga,
maka aku tidak akan menjawab salammu.” 53
Hadits cerita Ibnu Shammah, bahwa dia berkata: “Suatu ketika aku
melewati Rasulullah saw. dimana beliau sedang membuang air kecil, maka aku
memberi salam kepadanya. Akan tetapi beliau tidak membalas salamku sampai
beliau berdiri dekat dinding, lalu beliau menggosok dinding itu dengan tongkat
yang ada bersama beliau. Kemudian beliau mengusap dinding itu dengan kedua
tangannya, lalu beliau menyapu muka dan kedua lengannya. Kemudian, barulah
beliau menjawab salamku.” 54
Hadits cerita dari Sulaiman bin Yasar :
أ�ن' الن�ب�ي� ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� ذ�ه�ب� إ�ل�ى ب�ئر� ج�م�ل, ل�ح�اج�ت�ه� ث7م� أ�قب�ل� ف�س�ل'م� ع�ل�ي�ه� ف�ل�م� ي�ر�د� ع�ل�ي�ه� ح�ت�ى ت�م�س�ح� ب�ج�د�ار
ث7م� ر�د� ع�ل�ي�ه� الس�ل�م
“Bahwa Rasulullah saw. pergi ke sumur Jamal untuk suatu keperluan
(buang hajat), kemudian beliau kembali. Lalu Sulaiman bin Yasar
memberi salam kepada Rasulullah saw., namun beliau tidak
menjawabnya sampai beliau mengusap dinding, kemudian beliau
menjawab salam Sulaiman bin Yasar itu.” 55
Imam Syafi`i berkata: Ini merupakan dalil bahwa seyogyanya siapa saja
53 . Tartib Musnad Imam Syafi`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab ke-9 “Tayammum”, hadits no. 133, juz 1, hlm. 44.54 . Tartib Musnad Imam Syafi`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab ke-9 “Tayammum”, hadits no. 132, juz 1, hlm. 44.55 . Tartib Musnad Imam Syafi`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab ke-9 “Tayammum”, hadits no. 134, juz 1, hlm. 45.
81
yang melewati seseorang yang sedang membuang air kecil atau air besar supaya
menahan dirinya dari memberi salam kepadanya.
Ini juga merupakan dalil bahwa bolehnya (mubah) menjawab salam pada
kondisi demikian, karena Rasulullah saw. menjawab salam dalam keadaan seperti
itu. Juga sebagai dalil bolehnya tidak menjawab salam hingga keluar dari kondisi
seperti itu, lalu bertayamum kemudian menjawab salam. Meninggalkan untuk
menjawab salam (pada kondisi tersebut) tidak termasuk mengabaikan syariat
menjawab salam, akan tetapi menangguhkannya hingga selesai tayamum.
BAB: HAL-HAL YANG DAPAT MENSUCIKAN TANAH DAN
YANG TIDAK.
Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa
seorang Arab Badui masuk ke masjid lalu berdoa: “Ya Allah, anugerahkanlah
rahmat kepadaku dan kepada Muhammad Rasulullah, dan jangan engkau rahmati
salah seorang pun selain kami.” Lalu Rasul saw. bersabda :
ل�ق�د� ت�ح�ج�ر�ت� و�اس�ع/ا
“Sungguh engkau telah membatasi tempat yang luas.” 56
Abu Hurairah ra. meneruskan: Lalu orang Arab badui itu membuang air
kecil di sudut masjid. Para sahabat seakan-akan ingin bertindak terhadap orang
arab badui itu, namun mereka dilarang oleh Rasulullah saw. kemudian beliau
memerintahkan agar didatangkan beberapa ember atau timba besar yang penuh
dengan air untuk dituangkan ke atas tempat kencing itu, kemudian Rasulullah
saw. bersabda :
ع�ل\م�و�ا و�ي�سXر�و�ا و�ل� ت�ع�سXر�و�ا
“Ajarkanlah dan mudahkan, jangan kalian mempersulit.” 57
Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa dia
berkata: “Pada suatu ketika seorang Arab Badui membuang air kecil di dalam
56 . Yakni engkau telah menyempitkan apa yang dilapangkan oleh Allah swt. dan engkau hanya menghususkan untuk dirimu tanpa orang lain.57 . Tartib Musnad Imam Syafi`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab ke-2 “Najis-najis dan cara mensucikannya,” hadits no. 52, jilid 1, hlm. 25. H.R. Tirmidzi, bab ke-20, dalam kitab yang menjelaskan tentang wudlu, bab ke-112 “Air kencing yang mengenai tanah, hadits no. 143.
82
masjid. Seketika itu juga banyak orang hendak bertindak terhadap orang Arab
badui itu, akan tetapi Rasulullah saw. melarang mereka dan bersabda:
ص�بGو�ا ع�ل�ي�ه� د�لو/ا م�ن� م�اء,
“Tuangkanlah setimba air.” 58
Imam Syafi`i berkata: Apabila seseorang buang air kecil di atas tanah yang
basah atau kering dan air kencing itu diserap oleh tanah, kemudian dituangkan air
di atasnya hingga menggenanginya, lalu air kencing itu ikut terserap ke dalam
tanah sementara air mengalir di atasnya sehingga wujud, warna dan baunya
hilang, maka tanah tersebut dianggap telah suci.
Sekurang-kurangnya kadar air yang dituangkan itu adalah yang dapat
dimakumi, yaitu satu ember besar untuk ukuran kencing seorang laki-laki. Namun
apabila lebih dari itu, maka air itu akan berlipat ganda banyaknya dari kencing
tersebut.
Imam Syafi`i berkata: Apabila seseorang membuang air kecil di atas air
kencing orang lain, maka tempat itu tidak dapat disucikan kecuali dengan air
sebanyak dua timba.
Apabila dua orang kencing pada tempat kencing orang yang pertama,
maka tempat itu tidak dapat disucikan selain dengan tiga ember air. Namun
apabila jumlah mereka lebih banyak, maka tempat tersebut tidak dapat disucikan
selain dengan menuangkan air pada setiap tempat kencing, untuk satu orang
dengan satu ember besar.
Apabila terdapat khamer (minuman keras) pada posisi air kencing, maka
cara mensucikannya dapat dilakukan dengan dituangkan air padanya sebagaimana
halnya menuangkan air pada tempat air kencing dengan tidak ada perbedaan kadar
air di antara keduanya. Sehingga apabila telah hilang warna dan baunya dari debu,
maka debu yang mencampurinya dianggap suci.
Akan tetapi apabila warnanya hilang sementara baunya tidak, maka dalam
hal ini ada dua pendapat :
58 . Tartib Musnad Imam Syafi`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab ke-2 “Najis-najis dan cara mensucikannya,” hadits no. 51, jilid 1, hlm. 25.
83
Pertama, tanah itu tidak suci sampai baunya ikut hilang.
Kedua, apabila telah dituangkan air padanya dengan kadar yang dianggap
telah dapat menyucikannya sehingga warnanya hilang, maka tanah itu dianggap
telah suci.
Apabila kadar khamer (minuman keras) yang dituang di atas tanah itu
banyak, maka kadar air yang dituangkan padanya seperti ketika menuangkan air
di atas kencing, sebagaimana yang telah kami uraikan.
Apabila ada bangkai di atas permukaan tanah, lalu mengalir sesuatu
darinya, maka cara mensucikannya adalah dengan menghilangkan jasadnya dan
menuangkan air pada tempat mengalirnya sesuatu dari bangkai itu, sebagaimana
ketika menuangkan air pada air kencing dan arak. Hendaknya pula dituangkan air
padanya sehingga warna, wujud dan baunya hilang.
Imam Syafi`i berkata: Apabila dituangkan benda cair di atas tanah seperti
air kencing, khamer, nanah dan sejenisnya, kemudian bekas warna dan baunya
hilang baik terkena sinar matahari atau tidak, maka dia sama saja yaitu tidak
dianggap suci selain dengan menuangkan air kepadanya.
Apabila hujan turun dan diketahui bahwa air hujan yang mengenai tempat
kencing tersebut lebih banyak dari yang kami terangkan terdahulu, maka air hujan
itulah yang mensucikannya.
Apabila dituangkan najis ke atas tanah seperti air kencing lalu tempat itu
segera digali sehingga tidak tertinggal lagi sedikitpun tanah yang basah, maka
seluruh najis itu dianggap hilang dan dia telah suci tanpa disiram dengan air.
Imam Syafi`i berkata: Adapun semua najis yang berwujud seperti
bangkai, tahi, darah serta yang menyerupainya, maka cara mensucikannya yaitu
dengan menghilangkan benda-benda najis itu dari tempatnya, kemudian
menuangkan air pada tempat yang basah jika ada, seperti halnya menuangkan
pada air kencing dan khamer.
Apabila jasad berbaur dengan tanah sehingga tidak dapat dibedakan antara
keduanya, seperti kuburan, maka tidak dikerjakan shalat padanya dan tidak pula
dianggap suci, karena tanah itu tidak dapat dibedakan lagi; mana yang bercampur
dengan hal-hal haram dan mana yang tidak.
84
Apabila bangkai menghilang dari tanah dan debu menutupinya, namun
debu yang menutupinya itu tidak dibasahi (dalam keadaan kering), maka jika
tanahnya menjadi basah akibat bangkai tersebut kami memandang makruh shalat
ditempat itu. Namun apabila seseorang terlanjur shalat ditempat itu, maka kami
tidak menyuruhnya untuk mengulangi shalat.
Tempat Lewatnya Orang Berjunub dan Orang Musyrik.
Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman:
عابري باإل ما تقولون ول جن موا تم سكارى حت تعل صلوة وأن بوا ال نوا ل تقر لذين أم ها ا يا أيسبيل حت تغتسلوا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,
(jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub,
terkecuali sekedar berlalu saja hingga kamu mandi.”
( Surat an-Nisa` (4) :43 )
Imam Syafi`i berkata: Sebagian ulama mengatakan tentang firman Allah
swt. :
ول جنبا إل عابري سبيل حت تغتسل
“(jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub,
terkecuali sekedar berlalu saja hingga kamu mandi.” bahwa maknanya adalah,
“Janganlah kamu hampiri tempat shalat”. Karena tidak ada dalam shalat melewati
jalan, yang ada hanyalah melewati tempat shalat, yaitu masjid. Maka, tidak
mengapa seorang yang berjunub melewati mesjid dengan tidak berhenti padanya.
Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Utsman bin Abi Sulaiman
bahwa kaum musyrik Quraisy ketika datang ke Madinah pada saat penebusan
orang-orang musyrik yang tertawan dalam peperangan, mereka itu bermalam di
dalam masjid.
Imam Syafi`i berkata: Tidak mengapa orang musyrik bermalam di seluruh
masjid kecuali masjidil haram, karena Allah swt. berfirman:
85
يا أيها الذين أمنوا إنا الشركون نس فل يقربوا السجد الرام بعد عامهم هذا
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu
najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun
ini.” ( Surat at-Taubah (9): 28 )
Apa yang Boleh Digunakan Menyambung (Bagian Tubuh) Pria dan
Wanita.
Imam Syafi`i berkata: Apabila tulang seorang wanita patah dan hancur,
maka dia tidak boleh menempelnya dengan tulang lain selain tulang binatang yang
disembelih dan dimakan dagingnya. Demikian juga apabila giginya tanggal, maka
gigi itu menjadi bangkai dan tidak boleh disambungkan kembali kecuali dengan
gigi binatang sembelihan yang dagingnya dimakan.
Apabila tulang seseorang ditempelkan dengan tulang bangkai, tulang
binatang sembelihan yang tidak dimakan dagingnya, atau tulang manusia, maka
itu dianggap seperti bangkai sehingga ia harus mencabutnya dan mengulang setiap
shalat yang telah dikerjakan. Jika dia tidak mencabutnya, maka penguasa
(pemerintah) boleh memaksanya untuk mencabut. Jika tidak tercabut juga sampai
dia mati, maka tidak perlu dicabut lagi setelah kematiannya, karena dia telah
menjadi mayat seluruhnya dan Allah-lah yang akan meng-hisab-nya.
Pria dan wanita dianggap tidak mengerjakan shalat apabila keduanya
menyambung rambutnya dengan rambut manusia, dengan bulu binatang yang
tidak dimakan dagingnya, atau bulu binatang yang dimakan dagingnya, kecuali
apabila binatang itu masih hidup, maka hal itu maknanya seperti binatang yang
disembelih, sebagaimana air susu semakna dengan yang disembelih.
Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Fatimah binti Mundzir,
dari Asma` binti Abu Bakar, bahwa dia berkata: Seorang wanita datang kepada
Rasulullah saw., lalu mengatakan: “Wahai Rasulullah, anak perempuanku terkena
penyakit campak sehingga rambutnya rusak, maka apakah aku boleh
menyambung rambutnya itu ?” Rasulullah saw. menjawab :
ل7ع�ن�ت� الو�اص�ل�ة7 و�الم�و�ص�ل�ة7
86
“Dikutuk yang menyambung dan yang disambung.” 59
Imam Syafi`i berkata: Apabila srigala dan dhaba` (sejenis biawak)
disembelih, maka boleh shalat di atas kulit kedua binatang itu karena daging
keduanya boleh dimakan.
Demikian juga apabila diambil bulunya, sedangkan dia masih hidup, maka
boleh shalat di atasnya. Semua binatang yang dimakan dagingnya apabila
disembelih, maka boleh shalat di atas kulitnya. Boleh juga shalat pada rambut dan
bulunya, apabila diambil saat binatang tersebut masih hidup.
Adapun binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya, apabila kulitnya
diambil dalam keadaan hidup atau setelah disembelih, maka tetap tidak boleh
shalat di atasnya. Apabila seseorang shalat di atasnya, maka dia harus mengulangi
shalatnya, alasannya karena binatang jenis ini tidak dianggap suci saat hidup.
BAB: KESUCIAN PAKAIAN.
Imam Syafi`i berkata: Allah swt berfirman:
وثيابك فطهر
“Dan pakaianmu bersihkanlah.” ( Surat al-Mudatstsir (74): 4 )
Ada yang berpendapat bahwa maksudnya adalah “shalatlah dengan
menggunakan pakaian yang suci (bersih)”, karena Rasulullah saw. memerintahkan
agar membasuh darah haidl yang mengenai kain. Setiap kain yang tidak diketahui
siapa penenunnya, maka kain itu dianggap suci kecuali apabila telah diketahui
bahwa ada najis padanya. Demikian juga kain anak-anak kecil, karena Rasullah
saw. mengerjakan shalat dan menggendong Umamah binti Abi Al `Ash, 60 dimana
dia adalah bayi wanita yang mengenakan pakaian anak kecil.
Apabila seseorang mengerjakan shalat dengan memakai pakaian orang
musyrik atau orang muslim, kemudian dia tahu bahwa kain itu bernajis, maka dia
harus mengulangi shalat yang telah dikerjakannya.
Setiap yang mengenai pakaian; seperti air besar (berak) yang basah,
59 . H.R. Bukhari, dalam kitab yang menjelaskan tentang pakaian, bab “Menyambung Rambut” jilid 3, juz 7, hlm. 212. H.R. Muslim, dalam kitab yang menjelaskan tentang pakaian dan perhiasan, bab “Haram Menyambung Rambut,” hadits no. 115.60 . Tartib Imam Syafi`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab ke-8 “Segala sesuatu yang dilarang melakukannya dalam shalat dan yang diperbolehkannya di dalamnya,” hadits no. 347, jilid 1, hlm. 117.
87
kencing, darah, khamer atau barang yang diharamkan apapun bentuknya, lalu
pemilinya meyakini bahwa kain itu mengandung najis baik terlihat secara kasat
mata atau tidak, maka dia harus membasuhnya.
Apabila dia kesulitan mengetahui tempat yang pasti dari najis itu, maka dia
harus mencuci seluruhnya.
BAB : AIR SPERMA
Imam Syafi`i berkata: Allah swt. memulai penciptaan Adam dari air dan
tanah, Dia menjadikan keduanya digunakan untuk bersuci. Lalu Dia memulai
penciptaan keturunan Adam dari air yang memancar (mani) maka Allah swt. pada
awalnya menciptakan Adam dari dua unsur yang digunakan untuk bersuci.
Imam Syafi`i berkata: Dari Aisyah ra. bahwa dia berkata :
ك7ن�ت� أ�فر�ك� الم�ن�ي� ف�ي� ث�و�ب� ر�س�و�ل� ال� ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م�
“Aku pernah menggosok (mengerok) mani yang menempel di kain yang
dipakai oleh Rasulullah saw.” 61
Imam Syafi`i berkata: Air sperma itu tidak najis. Apabila ada yang
bertanya: “mengapa digosok atau disapu?” Maka, katakan padanya bahwa hal itu
seperti menggosok dahak atau air ludah. Apabila seseorang shalat dengan kain
yang demikian sebelum digosok atau disapu, maka hal itu tidak mengapa karena
itu tidak membuat sesuatu menjadi najis.
Imam Syafi`i berkata: Setiap yang keluar dari kelamin laki-laki (dzakar);
baik air kencing, madzi dan wadi yang dikenal maupun tidak, maka semua itu
adalah najis kecuali air sperma.
Air sperma adalah cairan hangat yang membuahkan janin, yang memiliki
aroma seperti aroma serbuk kurma, tidak ada suatu cairan yang keluar dari
kelamin laki-laki (dzakar) yang memiliki aroma yang baik kecuali mani.
Imam Syafi`i berkata: Apabila ada yang berkata: “Apakah logikanya
sehingga air mani itu dikatakan tidak najis ?” Maka jawabannya : Sesungguhnya
Allah swt. memulai penciptaan Adam dari air dan tanah, dan keduanya Dia
jadikan untuk digunakan bersuci. Tanah digunakan untuk bersuci saat kesulitan
61 . H.R. Muslim, dalam kitab yang menjelaskan tata cara bersuci, bab “Hukum Air Sperma,” hadits ke-108, jilid 1, hlm. 584.
88
mendapatkan air. Inilah kondisi kebanyakan ciptaan-Nya, yaitu dalam keadaan
suci dan tidak najis. Allah swt. telah menjadikan anak keturunan Adam dari air
yang terpancar.
Imam Syafi`i berkata: Apabila seseorang yakin bahwa najis telah
mengenai kainnya yang dia pakai untuk shalat, namun dia tidak mengetahui kapan
kain itu terkena najis, maka kewajiban atasnya adalah; apabila terdapat sedikit
keyakinan kapan najis itu mengenai kainnya, maka dia boleh shalat atas dasar
keyakinan itu.62 Namun apabila dia tidak yakin sedikitpun, maka dia harus
meneliti dengan cermat sehingga dia merasa telah mengulangi kembali semua
shalat yang dikerjakan dengan kain yang terkena najis, dan dia pun tidak perlu
mengulangi shalat kecuali apa yang diyakininya. Fatwa dan pilihan yang mesti
dilakukannya adalah seperti yang telah kami deskripsikan.
Kain dan tubuh sama-sama tercemar oleh najis yang menyentuh keduanya.
Demikian halnya sepatu dan sandal, termasuk pakaian. Apabila seseorang
melaksanakan shalat dengan menggunakan keduanya, sedangkan keduanya telah
terkena najis basah dan dia tidak membasuhnya, maka dia harus mengulangi
shalatnya. Namun apabila terkena najis kering lalu dia mengikisnya atau
menggosoknya sehingga sepatu dan sandal itu menjadi bersih, maka dia boleh
melaksanakan shalat dengan menggunakannya.
Apabila seseorang berada dalam perjalanan dimana dia hanya memperoleh
air dengan jumlah yang sedikit, lalu kainnya terkena najis, maka dia harus
membasuh najis itu lalu bertayamum. Apabila dia tidak mendapatkan air untuk
mendapatkan air untuk membasuh najis itu, maka dia boleh langsung bertayamum
lalu mengerjakan shalat. Dia harus mengulangi shalat itu (apabila tidak
membasuh najis), alasannya karena najis tidak dapat disucikan kecuali dengan
menggunakan air.
Apabila ada yang mengatakan: “mengapa tanah dapat menyucikan
janabah serta hadats, namun tidak dapat menyucikan najis yang menyentuh salah
satu anggota wudlu atau bukan anggota wudlu ?”
Kami menjawab: Mandi dan wudlu karena hadats atau junub bukan
62 . Maksudnya adalah jika terdapat sedikit keyakinan bahwa dia telah melakukan satu kali shalat sejak najis itu mengenai kainnya, maka dia harus mengulangi shalatnya itu.
89
menunjukkan seorang muslim itu adalah najis, akan tetapi yang diinginkan
darinya adalah agar seorang muslim beribadah dengan mandi dan wudlu itu. Lalu
tanah dijadikan sebagai pengganti air dalam bersuci yang bersifat ibadah
mahdhah (ibadah yang manafaatnya hanya kepada Allah swt.) Akan tetapi tanah
tidak dijadikan sebagai pengganti air dalam bersuci yang dilakukan karena makna
tertentu, dan bukan sebagai makna ibadah. Bahkan bersuci karena terkena najis
tujuannya adalah untuk menghilangkan najis tersebut dengan air, bukan berarti hal
itu adalah ibadah mahdhah.
Apabila pakaian seseorang terkena najis dan dia tidak memperoleh air
untuk membasuhnya, maka dia boleh mengerjakan shalat dengan tidak berpakaian
tanpa harus mengulangi shalatnya. Tidak boleh bagi seseorang untuk
melaksanakan shalat dengan menggunakan kain yang terdapat najis dalam kondisi
bagaimanapun, namun boleh baginya melaksanakan shalat dengan tidak
berpakaian (telanjang) jika kesulitan mencari pakaian yang suci.
Apabila orang itu memiliki air namun air itu telah terkena najis, maka dia
tidak boleh berwudlu dengan air tersebut, karena berwudlu dengan air itu akan
semakin menambah kenajisannya.
Apabila seseorang memiliki dua air, yang satu najis dan yang satunya suci,
namun dia tidak dapat membedakan mana air yang suci dan mana air yang terkena
najis, maka dia harus memilih dengan cermat lalu berwudlu dari salah satunya
serta mencegah diri dari berwudlu dan meminum dari yang satunya; kecuali
apabila dia terpaksa meminumnya, maka boleh baginya meminumnya. Namun
apabila dia terpaksa harus berwudlu, maka dia tidak boleh berwudlu dengan
menggunakan air itu, karena tidak ada dosa baginya meninggalkan wudlu
disebabkan dia boleh mengganti wudlu dengan tayamum. Namun kekhawatiran
(rasa haus) akan membawa kepada kematian merupakan kondisi darurat yang
membolehkannya meminum air yang terkena najis, jika dia tidak mendapatkan air
yang lainnya.
Apabila seseorang dalam perjalanan atau bermukim lalu berwudlu dengan
air yang najis, atau dia dalam keadaan berwudlu namun menyentuh air yang
terkena najis, maka dia tidak boleh mengerjakan shalat. Apabila dia shalat dalam
90
keadaan seperti itu, maka dia harus mengulangi shalatnya, namun terlebih dahulu
membasuh apa yang telah disentuh oleh najis itu.
KITAB YANG MENJELASKAN TENTANG HAIDL
Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman:
ويسئلونك عن اليض قل هو أذى فاعتزلوا النساء ف اليض
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah, ‘Haid itu adalah
kotoran, oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu haid.” ( Surat al-Baqarah (2): 222 )
Imam Syafi`i berkata: Allah swt. menjelaskan bahwa ketika seorang
wanita mengalami haidl, maka dia tidak suci. Dia memerintahkan agar jangan
mendekati wanita haidl sampai dia kembali suci (berhenti haidl), dan dia tidak
dianggap suci kecuali setelah mensucikan dirinya dengan menggunakan air.
Sesudah itu, dia baru termasuk golongan mereka yang boleh mengerjakan shalat.
Tidak halal bagi seseorang untuk menyetubuhi isterinya yang sedang haidl
sehingga dia kembali suci, karena sesungguhnya Allah swt. telah menjadikan
tayamum sebagai cara untuk bersuci ketika seseorang tidak mendapatkan air atau
dalam keadaan sakit.
Wanita haid diperbolehkan melaksanakan shalat apabila telah mandi
(setelah menemukan air) atau bertayamum (jika dia kesulitan menemukan air).
Imam Syafi`i berkata: Sunah Rasulullah saw. telah mengisyaratkan bahwa
wanita yang mengeluarkan darah istihadlah tetap melaksanakan shalat. Hal ini
menunjukkan bolehnya bagi suami melakukan hubungan biologis dengan
isterinya yang sedang mengeluarkan darah istihadlah. Karena, Allah swt hanya
memerintahkan agar menghindari hubungan biologis dengan mereka saat tidak
dalam keadaan suci, dan membolehkan hal itu apabila mereka telah suci.
Hal-hal yang Diharamkan Untuk Dilakukan Terhadap Wanita Haidl.
Imam Syafi`i berkata: Sebagian orang cerdik pandai menafsiri firman
Allah swt di dalam kitab suci al-Qur`an:
فإذا تطهرن فأتوهن من حيث أمركم ال
91
“Apabila mereka telah suci, maka datangilah mereka dari arah yang
diperintahkan Allah kepadamu.” ( Surat al-Baqarah (2): 222 )
Kalimat “jauhi mereka” berarti jauhilah tempat (keluarnya) haidl pada diri
mereka.
Imam Syafi`i berkata: Sunah Rasulullah saw. telah mengisyaratkan agar
menjauhi bagian badan wanita yang berada di bawah kain atau kemaluan dan
membolehkan selain yang itu.
Meninggalkan Shalat Bagi Wanita Haidl.
Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman:
ويسئلونك عن اليض قل هو أذى فاعتزلوا النساء ف اليض
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidl. Katakanlah: “Haidl itu
adalah kotoran, oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita di waktu haidl.” ( Surat al-Baqarah (2): 222 )
Imam Syafi`i berkata: Allah swt. menetapkan hukum bagi seseorang yang
sedang junub agar tidak melaksanakan shalat sampai dia mandi. Jelaslah bahwa
tidak ada masa suci bagi orang junub kecuali setelah ia mandi, dan tidak ada masa
bagi wanita haid kecuali haidnya telah berhenti kemudian di susul dengan mandi,
berdasarkan firman Allah swt. “Sampai mereka suci”. Hal itu ditandai dengan
berhentinya haid. Sedangkan firman-Nya, “Apabila mereka telah suci”, yaitu
dengan mandi, sunah pun telah menjelaskan bahwa masa haidl diakhiri dengan
mandi.
Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa dia
berkata :
ف�ق�د�م�ت� م�ك'ة� و�أ�ن�ا ح�ائ�ض� و�ل�م� أ�ط7ف� ب�الب�ي�ت� و�ل� ب�ي�ن� الص�ف�ا و�الم�ر�و�ة� ف�ش�ك�و�ت� ذ�ل�ك� إ�ل�ى الن�ب�يX ص�ل'ىال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� ف�ق�ال� افع�ل�ي� ك�م�ا ي�فع�ل7 الح�اجG غ�ي�ر� أ�ن ل�ت�ط7و�ف�ي� ب�الب�ي�ت� ح�ت�ى ت�طه�ر�ي
“Aku datang ke Makkah sedangkan aku sedang haidl, aku tidak thawaf di
Baitullah dan tidak pula bersa`i di antara Shafa dan Marwah. Lalu aku
menemui Rasulullah saw. untuk mengadukan permasalahanku, maka
Rasulullah saw. bersabda: “Lakukanlah semua apa yang dilakukan oleh
seorang yang berhaji, melainkan thawaf di Baitullah sampai engkau
92
suci.” 63
Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa dia
berkata: “Kami pernah keluar bersama Rasulullah saw. dalam menjalankan ibadah
haji, kami tidak melihatnya kecuali haji. Maka tatkala kami tiba di Saraf atau
sekitarnya, aku kedatangan haidl. Lalu Rasulullah saw. masuk ke tempatku, dan
ketika itu aku sedang menangis, Rasulullah saw. bersabda :
م� ف�اقض�ي ن�ات� أ�د� ل�ى ب� ع�ال�ى ع� ه� ال3 ت� م�ر� ك�ت�ب� ق�ال� : إ�ن ه�ذ�ا أ� م� . ب�ال7ك� أ�ن�ف�س�ت� ؟ ق7لت� : ن�ع� م�ا ل� ت�ط7و�ف�ي� ب�الب�ي�ت� ح�ت�ى ت�طه�ر�ي الم�ن�اس�ك� ك7ل'ه�ا غ�ي�ر� أ�ن
“Bagaimana kabarmu? Apakah engkau sedang nifas ? (maksudnya
sedang haidl). Kami menjawab: “Ya” Beliau lalu bersabda:
“Sesungguhnya ini adalah ketetapan Allah swt. atas keturunan Adam,
maka lakukanlah apa yang dilakukan oleh seorang yang berhaji, hanya
saja tidak thawaf di Baitullah sampai engkau suci dari haidlmu.” 64
Waktu Haidl Tidak Mengqadla Shalat.
Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman:
حافظوا على الصلوات والصلوة الوسطى وقوموا ل قانتي
“Peliharalah segala shalat(mu) dan peliharalah shalat wustha. Berdirilah
karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusu`.”
( Surat al-Baqarah (2): 238 )
Imam Syafi`i berkata: Barang siapa telah mencapai umur (akil baligh),
maka dia akan berdosa apabila meninggalkan shalat, sebab telah tiba waktu shalat
dan dia tidak lupa. Adapun wanita haidl walaupun dia telah mencapai akil baligh,
sadar, mampu dan tidak lupa, hukum Allah swt. menetapkan bahwa dia tidak
boleh di dekati oleh suaminya. Hukum Rasulullah saw. pun menunjukkan bahwa
jika suami diharamkan untuk mendekatinya karena haidl, maka haram atasnya
mengerjakan shalat. Hal ini menunjukkan bahwa kewajiban shalat tidak berlaku
atas wanita yang sedang haidl. Kemudia apabila hukum shalat tidak berlaku
atasnya sementara dia telah akil baligh, sadar dan mampu, maka tidak berlaku
63 . H.R. Bukhari, dalam kitab yang menjelaskan tentang haji, juz 2, jilid 1, hln. 195.64 . H.R. Ibnu Majah, dalam kitab yang menjelaskan tentang manasik, bab “Bolehnya orang haidl melakukan Manasik Haji melainkan Thawaf,” hadits no. 2398, jilid 2, hlm. 163.
93
pula baginya qadla (mengganti) shalat. Bagaimana dia mengganti sesuatu yang
tidak wajib baginya karena kewajiban shalat (saat haidl) telah dihilangkan
darinya. ?
Wanita Mustahadlah.
Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa dia
berkata bahwa Fatimah binti Abi Hubaisy bertanya kepada Rasulullah saw.,
“Sesungguhnya kami tidak suci, maka apakah boleh meninggalkan shalat ?”
Rasulullah saw. menjawab :
إ�ن�م�ا ذ�ل�ك� ع�ر�ق� و�ل�ي�س� ب�الح�ي�ض�ة� ف�إ�ذ�ا أ�قب�ل�ت� الح�ي�ض�ة7 ف�د�ع�ي الص�ل�ة� ف�إ�ذ�ا ذ�ه�ب� ق�د�ر�ه�ا ف�اغس�ل�ي الد�مع�ن�ك� و�ص�ل\ي
“Itu hanya penyakit dan bukan haidl. Apabila engkau kedatangan haidl,
maka tinggalkanlah shalat. Apabila telah berlalu waktunya, bersihkanlah
darah itu darimu lalu shalatlah.” 65
Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Imran bin Thalhah, dari
ibunya -Hamnah binti Jahsy- bahwa dia berkata: “Kami pernah mengalami
istihadlah dengan mengeluarkan darah yang banyak dan deras. Kami pun
mendatangi Rasulullah saw. untuk meminta fatwa darinya. Kami mendapati
Rasulullah saw. di rumah saudara perempuanku, Zainab. Kami berkata
kepadanya: “Wahai Rasulullah, kami memiliki keperluan yang mendesak namun
kami malu untuk mengungkapkannya.”
Kemudian Rasulullah saw . bersabda : “Apakah urusanmu itu, wahai
Hinthah ?” Dia (Hamnah) berkata: “Kami mengalami istihadlah dengan
mengeluarkan darah yang banyak dan deras, bagaimanakah pendapatmu tentang
hal itu? Beliau telah menghalangiku untuk mengerjakan shalat dan puasa.”
Rasulullah saw. menjawab: “Sesungguhnya aku menjelaskan kepadamu tentang
kapas bahwa dia dapat menyerap darah.” Hamnah berkata: “Darah yang
dikeluarkan kadarnya lebih banyak dari kapas itu.” Rasulullah saw. bersabda:
”Sumbatkanlah dengan kapas itu.” Hamnah kembali bersabda: “Darah yang
dikeluarkan lebih banyak dari kapas itu.” Rasulullah saw.: “Ambillah sehelai 65 . H.R. Bukhari, dalam kitab yang menjelaskan tentang Haidl, bab “Istihadlah”, hlm. 84, bagian 1, jilid 1, dan H.R. Muslim, dalam kitab yang menjelaskan tentang Haidl, hadits no. 64, jilid 64.
94
kain.” Hamnah berkata lagi: “Darahnya lebih banyak dari kain itu, ia adalah
darah yang terpancar.”
Rasulullah saw. bersabda: “Aku akan memerintahkan kepadamu dua
perkara, mana saja yang engkau kerjakan, maka sudah cukup bagimu. Namun
apabila engkau dapat melakukan keduanya, maka engkau yang lebih mengetahui.”
Rasulullah saw. bersabda lagi: “Itu hanyalah bisikan syetan. Engkau haidl selama
enam atau tujuh hari atas sepengetahuan Allah swt., kemudian mandilah. Apabila
engkau merasa telah suci dan bersih. Shalatlah dua puluh empat hari dengan
malamnya, atau dua puluh tiga hari dengan malamnya, dan puasalah. Karena itu
sudah cukup bagimu. Lakukanlah hal itu setiap bulan, sebagaimana halnya wanita
haid.”
Dalam kitab yang lain ditambahkan: “Apabila engkau mampu
mengakhirkan waktu dluhur dan menyegerakan waktu ashar, maka mandilah
sehingga kamu suci. Kemudian engkau mengerjakan shalat dluhur dan Ashar
secara bersamaan, lalu engkau mengakhirkan shalat Maghrib dan menyegerakan
Isya. Kemudian engkau mandi lalu menggabung shalat maghrib dan Isya`, maka
lakukanlah dan mandilah ketika fajar. Kemudian engkau mengerjakan shalat
Subuh. Demikianlah yang engkau lakukan, dan berpuasalah jika engkau mampu.”
Disebutkan, “Ini yang paling kami sukai dari dua perkara itu.” 66
Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Ummu Salamah, isteri
Rasulullah saw. :
أ�ن' ام�ر�أ�ة: ك�ان�ت� ت�ه�ر�ق� الدXم�اء� ع�ل�ى ع�ه�د� ر�س�و�ل� ال� ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� ف�اس�ت�فت�ت� ل�ه�ا أ7مG س�ل�م�ة ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� ف�ق�ال� ر�س�و�ل7 ال� ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� ل�ت�ن�ظ7ر� ع�د�د� الل'ي�ال�ي و�ال�ي�ام ر�س�و�ل� ال� ص�ل'ى
ذ�ل�ك� م�ن� الش�ه�ر ال'ت�ي� ك�ان�ت� ت�ح�ي�ض�ه�ن� م�ن� الش�ه�ر� ق�ب�ل� أ�ن ي�ص�ي�ب�ه�ا ال'ذ�ي� أ�ص�اب�ه�ا ف�لت�ت�ر�ك� الص�ل�ة� ق�د�رف�إ�ذ�ا ف�ع�لت� ذ�ل�ك� ف�لت�غ�ت�س�ل ث7م� ل�ت�ص�ل\ي
“Sesungguhnya ada seorang wanita pada masa Rasulullah saw. yang
banyak mengeluarkan darah, lalu Ummu Salamah meminta fatwa kepada
Rasulullah saw. bagi wanita itu. Maka Rasulullah saw. memerintahkan
agar memperhatikan bilangan malam dan hari dimana dia terkena haidl
pada bulan itu, sebelum dia mendapat musibah yang telah menimpa
66 . H.R. Tirmidzi, bab “Ghusli”, hadits no. 128, , jilid 1, hal 2211.
95
dirinya. Maka, hendaklah dia meninggalkan shalat pada masa itu.
Apabila dia telah berbuat demikian, maka hendaklah dia mandi dan
mengikat tempat keluarnya darah, kemudian dia mengerjakan shalat.” 67
Imam Syafi`i berkata: Apabila darah itu dapat dipisahkan, maka pada
beberapa hari darah akan berwarna merah pekat, tebal, hangat dan agak beku; dan
pada beberapa hari yang lain tampak tipis, kekuning-kuningan atau kadarnya
sedikit. Pada hari-hari dimana darah itu merah, pekat, deras, hangat dan agak
beku, maka itu adalah hari-hari haidl. Sedangkan pada hari-hari dimana darah
nampak tipis, maka itu adalah hari-hari istihadlah.
Imam Syafi`i berkata: Dalam hadits Aisyah tidak disebutkan mandi ketika
haidl berhenti, akan tetapi disebutkan membasuh atau mencuci darah. Maka kami
memahami adanya mandi pada firman Allah swt.:
ويسئلونك عن اليض قل هو أذى
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, haid itu adalah
kotoran.” ( Surat al-Baqarah (2): 222 )
Imam Syafi`i berkata: Jawaban Rasulullah saw. kepada Ummu Salamah
tentang wanita yang istihadlah itu menunjukkan bahwa wanita yang ditanyakan
Ummu Salamah itu tidak terpisah darahnya, maka Rasulullah saw.
memerintahkan agar dia meninggalkan shalat menurut bilangan malam dan hari
pada bulan dimana dia terkena haidl.
Imam Syafi`i berkata: Ini menunjukkan bahwa tidak ada masa tertentu
bagi haidl apabila seorang wanita melihat haidl (benar-benar darah haidl) dan
mengetahui waktu suci dengan benar. Apabila wanita itu haidl satu hari atau lebih,
maka itu adalah haidl. Demikian juga apabila melampaui sepuluh hari, maka itu
adalah darah haidl, karena Rasulullah saw. memerintahkan meninggalkan shalat
menurut bilangan malam dan siang hari dimana dia haidl. Rasulullah saw. tidak
bersabda: “Kecuali ada sekian dan sekian”. Artinya, kecuali setelah melampaui
batas masa sekian hari.
Imam Syafi`i berkata: Apabila seorang wanita mulai haidl dan dia belum
67 . H.R. Abu Daud, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab “Wanita Haidl,” hadits no. 271.
96
pernah mengalami haidl sebelumnya, sementara itu darah terus keluar; jika
penggolongan darah dapat dipisahkan, niscaya hari haidlnya adalah hari-hari yang
darahnya hangat, merah pekat dan agak beku. Sementara masa istihadlah adalah
hari-hari dengan darah yang tipis.
Seandainya darahnya tidak dapat dipisahkan, maka dalam hal ini ada dua
pendapat:
Pertama, dia meninggalkan shalat selama enam atau tujuh hari kemudian
mandi dan mengerjakan shalat, sebagaimana yang biasa terjadi pada wanita haidl.
Kedua, dia meninggalkan shalat lebih sedikit dari yang diketahui dari haidl
mereka, yaitu selama sehari semalam, kemudian dia mandi dan mengerjakan
shalat. Pada saat itu suaminya boleh mendatanginya. Akan tetapi apabila
suaminya lebih berhati-hati dimana tidak berhubungan badan dengan isterinya
sampai pertengahan haidl pada umumnya atau lebih lama, maka yang demikian
itu lebih kami sukai.
Yang berpendapat seperti ini niscaya akan mengatakan bahwa Hamnah
sekalipun tidak tertulis dalam haditsnya yang menegaskan bahwa haidlnya enam
atau tujuh hari namun kemungkinan haditsnya mengandung makna yang terdapat
pada hadits Ummu Salamah, dimana pada hadits ini terdapat keterangan yang
menunjukkan haidlnya selama enam atau tujuh hari, karena pada hadits Ummu
Salamah itu Rasul saw. bersabda :
ت�ت�ح�ي�ض� س�ت�ا أ�و� س�ب�ع/ا ث7م� اغت�س�ل�ي� ف�إ�ذ�ا ر�أ�ي�ت� أ�ن�ك� ق�د� ط�ه�ر�ت� ف�ص�ل\ي�
“Engkau haidl selama enam atau tujuh hari kemudian mandilah. Apabila
engkau merasa telah suci, maka laksanakan shalat.”
Bab : Perbedaan Pendapat Tentang Wanita Mustahadlah.
Imam Syafi`i berkata: Ada yang mengatakan kepada kami: “Wanita
mustahadlah itu boleh mengerjakan shalat namun tidak boleh di datangi oleh
suaminya”. Orang itu mengaku bahwa madzhab yang berpendapat seperti dia
berargumen dengan firman Allah swt.
ويسئلونك عن اليض قل هو أذى
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, haid itu adalah
97
kotoran.” ( Surat al-Baqarah (2): 222 )
Dia mengatakan: “Saat wanita dalam waktu-waktu kotor (adza), maka
Allah swt. memerintahkan menjauhinya. Tidak halal bagi suaminya untuk
berhubungan badan dengannya.”
Imam Syafi`i berkata: Maka dikatakan bahwa hukum Allah swt. mengenai
haidl adalah menjauhi wanita tersebut, dan Sunah Rasulullah saw. menunjukkan
bahwa hukum Allah swt. mengenai wanita haidl adalah tidak mengerjakan shalat.
Maka, hukum Allah swt. dan hukum Rasul-Nya menunjukkan bahwa batas waktu
supaya suami menjauhi isterinya karena haidl ialah waktu dimana wanita tersebut
diperintahkan untuk shalat setelah haidlnya berakhir.
Orang itu menjawab: “Ya”
Maka dikatakan padanya: “Bahwa wanita haidl itu tidak suci walaupun
dia mandi, tidak halal baginya mengerjakan shalat dan menyentuh mushaf al-
Qur`an.”
Orang itu menjawab: “Ya”
Lalu dikatakan kepadamya: “Hukum Rasulullah saw. menunjukkan bahwa
hukum hari-hari istihadlah adalah suci, sementara Allah swt. membolehkan bagi
suaminya mendatangi isterinya apabila telah bersuci dari haidl. Kami tidak
mengetahui kecuali kamu telah menyalahi kitab Allah swt., sebab kamu telah
mengharamkan apa yang di halalkan Allah swt. untuk dilakukan terhadap wanita
yang telah bersuci, dan anda juga menyalahi Sunah Rasulullah yang menetapkan
bahwa mandinya wanita setelah masa haidl berakhir dapat menghalalkan untuk
shalat pada hari-hari istihadlah. Rasulullah-pun membedakan antara dua darah itu
dengan hukumnya dan sabdanya tentang istihadlah, bahwa itu adalah penyakit
dan bukan haidl.”
Dapat kami katakan di sini, jelaslah bahwa Rasulullah saw. telah
membedakan hukumnya; dijadikannya wanita dalam kategori haidl pada salah
satu dari dua kotoran dan diharamkan baginya shalat, lalu dijadikannya wanita
dalam kategori suci pada salah satu dari dua kotoran itu dan diharamkan baginya
meninggalkan shalat. Maka, bagaimana anda mengumpulkan apa yang dipisahkan
Rasulullah saw.
98
Imam Syafi`i berkata: Ditanyakan kepada orang yang berkata demikian:
“Apakah engkau menganggap haram jika pada diri wanita itu ada perubahan;
seperti keluar cairan atau perubahan bau yang tidak sedap selain darah?”
Orang itu menjawab: “Tidak, itu bukanlah kotoran haidl.”
Kami mengatakan: “kotoran istihadlah bukanlah kotoran haidl.”
Bantahan Terhadap Orang yang Mengatakan Bahwa Tidak Dikatakan
Haidl Jika Kurang dari Tiga Hari.
Imam Syafi`i berkata: Sebagian orang berselisih pendapat dengan kami
tentang haidl dan istihadlah. Ada yang mengatakan: “Tidak ada haidl yang
kurang dari tiga hari. Wanita yang melihat darahnya sehari, dua hari, atau
sebagian hari yang ketiga, maka hal ini tidaklah dikategorikan sebagai darah haidl.
Wanita itu dalam keadaan suci, dia boleh mengganti (qadla) shalat. Bukanlah
haidl apabila lebih dari sepuluh hari, sedangkan yang melampaui sepuluh hari
dengan tambahan sehari atau kurang dari sehari bahkan lebih, maka itu adalah
istihadlah. Tidaklah tenggang waktu antara dua masa haid itu kurang dari lima
belas hari.”
Imam Syafi`i berkata: Maka dikatakan kepada orang yang mengatakan
seperti itu: “Bagaimana menurut pendapatmu jika mengatakan: “Tidak ada
sesuatu, padahal diketahui bahwa sesuatu itu ada. Apakah kamu tidak merasa
bahwa kamu telah membuat kesalahan yang disengaja? Dengan demikian, kamu
wajib memikul dosa perkataan dan kebodohan yang kamu lakukan, karena kamu
telah mengatakan sesuatu tanpa di dasari ilmu pengetahuan.”
Orag itu menjawab: “Tidak boleh selain apa yang kami katakan, baik ada
argumen maupun tidak.”
Kami menjawab: Kami telah menjumpai seorang wanita yang mengatakan
kepada kami bahwa dia senantiasa terkena haidl satu hari dan tidak lebih dari
masa itu. Sebagian wanita juga mengaku kepada kami bahwa mereka senantiasa
terkena haidl kurang dari tiga hari. Sementara sebagian wanita yang lain mengaku
bahwa mereka senantiasa terkena haidl selama lima belas hari, dan sebagian yang
lain terkena selama tiga belas hari. Dengan demikian, bagaimana kamu telah
mengklaim hal yang seperti itu?
99
Imam Syafi`i berkata: Orang itu menjawab: “Kami mengatakan sesuatu
yang telah kami riwayatkan dari Anas bin Malik.”
Maka kami balik bertanya kepadanya: “Bukankah yang anda maksud
adalah hadits Al-Jalad bin Ayyub?”
Dia menjawab: “Ada.”
Lalu kami berkata: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Aliyah dari al-
Jalad bin Ayyub, dari Muawiyah bin Qurrah, dari Anas bin Malik, bahwasanya
dia berkata: “Haidnya wanita atau darah haidl wanita itu tiga atau empat hari
sampai sepuluh hari.”
Ibnu Aliyah berkata kepada kami bahwa al-Jalad bin ayyub itu seorang
berkebangsaan Arab yang hidup di desa, dia tidak mengetahui seluk beluk hadits.
Dia berkata kepada kami bahwa ada seorang wanita dari keluarga Anas ada yang
mengalami istihadlah, lalu Ibnu Abbas ditanya tentang permasalahan wanita itu.
Kemudian Ibnu Abbas mengeluarkan fatwa tentang wanita itu, sementara pada
masa itu Anas masih hidup. Maka, bagaimanakah anda berkata sementara dia ada
pada saat itu ?
Mereka pun ingin bertanya kepada yang lain tentang apa yang ada padanya
dan juga tentang ilmu pengetahuan yang dimiliki. Sesungguhnya kami dan juga
anda tidak dapat menetapkan adanya hadits yang diriwayatkan dari al-Jalad, dan
berdalil atas kekeliruan seseorang yang hafalannya lebih kuat sedikit daripada al-
Jalad. Anda juga telah meninggalkan riwayat dari Anas bin Malik, yang berbunyi:
“Apabila seorang laki-laki kawin dengan seorang wanita sedangkan dia
mempunyai isteri yang lain, maka bagi perawan yang dikawini itu tujuh hari dan
bagi janda tiga hari.”
Inilah yang sesuai dengan Sunah Rasulullah saw. anda telah meninggalkan
Sunah dan perkataan Anas itu, serta mengklaim bahwa anda menerima perkataan
itu dari Ibnu Abbas yang jelas diketahui telah menyalahi Sunah.
Orang itu menjawab: “Menurut pendapatmu, apakah hadits Anas (yang
diriwayatkan oleh Al Jallad) adalah hadits yang benar?”
Kami menjawab: “Tidak, dan tidak juga menurut ahli hadits, akan tetapi
kami senang apabila kamu mengetahui bahwa kamu menyembunyikan sesuatu
100
yang tidak memiliki hujjah.”
Orang itu menjawab: “Bagaimana apabila terbukti bahwa hadits itu benar
dari Anas bin Malik ?”
Kami berkata: “Itu tidak terbukti, kamu boleh bertanya mengenai hal ini.”
Orang itu menjawab, “Berikan jawaban dengan berdasar kepada hadits
yang benar.”
Kami menjawab: “Seandainya benar ada, niscaya apa yang kamu katakan
pasti mempunyai ta`wil (interpretasi) yang lain.”
Orang itu bertanya: “Bagaimana ?”
Kami menjawab: “Kalaupun benar ada, maka sesungguhnya Anas hanya
menceritakan bahwa dia melihat ada wanita yang pernah mengalami masa haidl
selama tiga hari, dan juga wanita yang mengalami haidl antara tiga sampai
sepuluh hari. Sesungguhnya maksudnya hanya ingin mengatakan bahwa haidl
wanita itu berlaku sebagaimana kebiasaannya, wanita yang mengalami masa haidl
tiga hari tidak akan pindah kepada sepuluh hari, demikian juga tidaklah berpindah
wanita yang haidl sepuluh hari kepada tiga hari. Sesungguhnya haidl itu adalah
manakala wanita itu telah melihat darah. Anas tidak mengatakan: ‘Tidaklah haidl
itu kurang dari tiga hari dan tidak lebih banyak dari sepuluh hari,” dan dia lebih
tahu dari orang yang mengatakan: “Tidak seorang pun dari makhluk Allah swt.
yang tidak tahu, barang kali hal itu telah ada atau akan ada.”
Imam Syafi`i berkata: Lalu salah seorang dari mereka mengatakan:
“Apabila seorang wanita biasa mengalami haidl selama sepuluh hari lalu
mengalami perubahan, dimana dia melihat darah sehari kemudian tidak keluar
pada hari berikutnya, lalu dia melihat darah itu pada hari ke sepuluh dari
permulaan haidlnya, niscaya wanita itu terkena haidl pada hari pertama dan
delapan hari yang dia tidak melihat darah padanya, serta pada hari ke sepuluh
yang dia melihat darah padanya.”
Imam Syafi`i berkata: Orang itu kemudian menambahkan seraya berkata:
“Apabila masalahnya demikian, namun wanita itu melihat darah sesudah hari ke
sepuluh sebanyak lima atau sepuluh hari, niscaya pada hari yang pertama dan
delapan hari sesudahnya adalah haidl.” Kami tidak tahu persis apakah orang itu
101
mengatakan bahwa hari ke sepuluh dan hari-hari sesudahnya tergolong istihadlah
yang nota bene adalah suci, atau dia mengatakan, bahwa sesudah hari ke sepuluh
itu dia tergolong istihadlah yang nota bene adalah suci.
Dengan perkataan seperti ini, temannya mencela. Kami mendengar dia
mengatakan: “Subhanallah! Tidak halal selamanya bagi seseorang melakukan
kesalahan seperti itu dalam berfatwa, dia menjadikan wanita pada hari-hari
melihat darah digolongkan suci dan hari-hari tidak melihat darah dikategorikan
haidl. Dia menyalahi dua permasalahan. dia mengklaim pada masalah yang
pertama bahwa wanita itu suci pada hari pertama dan hari ke delapan serta hari ke
sepuluh. Dia juga mengklaim pada masalah yang kedua bahwa wanita itu suci
pada hari yang pertama dan delapan hari sesudahnya, dan mengalami haidl pada
hari ke sepuluh dan yang sesudahnya sampai cukup sepuluh hari. Kemudian dia
mengklaim bahwa jika wanita itu haidl pertama-tama tiga hari dan dia suci pada
empat atau lima hari, kemudian dia haidl lagi tiga atau dua hari, maka wanita itu
dikategorikan haidl pada hari-hari dimana dia melihat darahnya dan hari-hari
dimana dia merasa suci.”
Orang itu mengatakan: “Seorang wanita dianggap suci apabila dia berada
di antara dua masa haidl, dan berada dalam masa haidl apabila dua masa haidl itu
lebih banyak dari hari-hari tidak melihat darah (suci) lebih banyak daripada masa
melihat darah, maka hari-hari tidak melihat darah itu tidak dianggap masa haidl.”
Imam Syafi`i berkata: Kami katakan padanya: “Kamu telah mencela
orang. Kami melihat bahwa kamu telah mendekat kepada apa yang kamu cela,
oleh karena kamu tidak boleh mencela sesuatu kemudian mengucapkannya.”
Orang itu menjawab: “Kami hanya mengatakan, yaitu apabila dua masa
melihat darah yang ada di antara keduanya itu terdapat masa tidak melihat darah
(suci) lebih banyak daripada masa tidak melihat darah atau sama sepertinya.”
Imam Syafi`i berkata: Kami bertanya kepadanya: “Siapakah yang
mengatakan hal itu kepadamu ?”
Orang itu bertanya kembali: “Apa?”
Kami katakan kepadanya: “Masa tidak melihat darah tidak dapat dikatakan
sebagai haidl. Apabila kamu mengatakan bahwa kami yang mengatakannya,
102
niscaya kami mengatakan; itu adalah hal yang mustahil yang tidak dipersoalkan
lagi. Apakah perkataan anda itu dikuatkan dengan sebuah hadits ?”
Dia menjawab: “Tidak.”
Kami bertanya kembali: “Apakah dengan analogi ?”
Dia menjawab: “juga tidak.”
Kami berkata lagi: “Dengan akal pikiran ?”
Dia menjawab: “Ya, bahwa wanita tidaklah melihat darah terus menerus,
akan tetapi dia melihatnya sekali dan darah itu terputus pada kali yang lain.”
Kami berkata: “Wanita yang kamu gambarkan terputus putus darahnya,
niscaya masa haidl dan suci telah masuk satu sama lain (tidak dapat dibedakan).”
Lalu kami melanjutkan: “Apabila dia mengikatkan sesuatu pada pantatnya
lalu mendapatkan darah, walaupun tidak mengalir atau lebih sedikit dari itu, baik
darah itu merah atau keruh, maka apabila dia tidak lagi mendapati hal-hal tersebut
berarti tidak ada yang dapat mengeluarkannya dari persoalan di atas (yakni
membedakan masa haidl dan suci) kecuali dengan keluarnya cairan berwarna
putih.”
Orang itu bertanya: “Bagaimana apabila wanita itu melihat apa yang
kamu katakan, yaitu berupa cairan putih satu hari atau dua hari, kemudian dia
melihat kembali darah pada hari-hari dimana dia biasa haidl ?”
Kami menjawab: “Wanita itu suci ketika dia melihat cairan putih hingga
dia melihat darah, sekalipun sesaat.”
Orang itu bertanya: “Siapa yang mengatakan hal itu ?”
Kami menjawab: “Ibnu Abbas.”
Dia bertanya lagi: “Apakah itu benar diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ?”
Kami menjawab: “Ya, benar hal itu diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, dan
hal itu juga sejalan dengan makna al-Qur`an dan dapat diterima oleh akal pikiran.”
Dia bertanya: “Dimana?”
Kami menjawab: “Apakah kamu melihat ketika Allah swt. menyuruh
menjauhkan wanita saat sedang dalam kondisi haidl, dan mengizinkan
menyetubuhinya apabila dia telah bersuci ? Niscaya kamu mengetahui bahwa
haidl adalah dengan darah dan suci itu dengan hilangnya darah, yaitu dengan
103
melihat cairan putih.”
Orang itu menjawab: “Tidak.”
Lalu kami bertanya: “Bagaimana pendapatmu tentang wanita yang
haidlnya sepuluh hari setiap bulan ? kemudian berpindah menjadi setiap dua
bulan, setiap tahun, sesudah sepuluh tahun, atau menjadi tiga hari setelah sepuluh
tahun ? Kemudian wanita itu mengatakan: “Aku meninggalkan shalat pada masa
aku biasa mengalami haidl, dan yang demikian itu terjadi sepuluh hari pada setiap
bulan.”
Orang itu menjawab: “Wanita itu tidak boleh berbuat demikian.”
Kami menjawab: “al-Qur`an telah menunjukkan bahwa wanita dianggap
haidl apabila dia melihat darah, dan dia tidak dianggap haidl sepanjang dia belum
melihat darah.” Orang itu menjawab: “Ya”.
Kami lalu berkata: “Begitu juga menurut akal pikiran.”
Dia menjawab: “Ya.”
Kemudian kami bertanya: “Maka, mengapa kamu tidak mengatakan
sebagaimana yang kami katakakan, sehingga perkataanmu akan sesuai dengan al-
Qur`an dan akal pikiran.”
Dia berkata: “Masih tersisa satu permasalahan yang akan menjadi polemik
bagi pandanganmu.”
Kami menjawab: “Apakah itu ?”
Dia menjawab: “Bagaimanakah menurut pendapatmu apabila wanita itu
melihat tanda suci satu hari dan melihat darah di hari berikutnya hingga
berlangsung selama sepuluh hari, apakah kamu menganggap ini sebagai satu kali
haidl; atau dia dianggap haidl apabila melihat darah, dan suci apabila dia melihat
tanda suci ?”
Kami menjawab: “Bahkan dia dianggap haidl apabila melihat darah dan
dianggap suci apabila melihat tanda suci.”
Orang itu berkata: “Kalau wanita itu adalah wanita yang diceraikan
suaminya, niscaya masa iddahnya akan selesai hanya dalam waktu enam hari.”
Imam Syafi`i berkata: Kami berkata kepadanya: “Kami tidak tahu
manakah diantara dua perkataanmu yang paling lemah argumennya, apakah
104
perkataan yang pertama atau yang kedua ini ?”
Lalu dia bertanya: “Apakah kelemahan terhadap argumentasi ini?”
Kami menjawab: “Kamu menjadikan keadaan wanita itu yang
mengerjakan shalat satu hari dan meninggalkan satu hari sebagai alasan
berakhirnya masa iddah, padahal kedua persoalan ini memiliki perbedaan.”
Dia berkata: “Lalu apakah yang kamu katakan ?”
Kami menjawab: “Tidak ada celah-celah untuk menganalogikan shalat
dan iddah.”
Dia bertanya: “Lalu bagaimana bisa demikian ?”
Kami menjawab: “Adakah kamu melihat wanita yang sudah putus dari
haidl (menopause) dan belum mengalami haidl, dan juga wanita hamil ?
Bukankah mereka itu juga mengalami masa iddah dan harus mengerjakan shalat
sehingga berlalu masa iddahnya? Atau pada masa iddah tersebut mereka tetap
meninggalkan shalat pada sebagian hari, sebagaimana yang ditinggalkan oleh
wanita yang sedang haidl ?”
Orang itu berkata: “Bahkan tetap mengalami masa iddah dan tidak boleh
meninggalkan shalat.”
Kami bertanya: “Apabila seorang wanita diceraikan lalu dia pingsan, gila,
atau hilang kesadarannya, bukankah masa iddahnya tetap berlaku, dan dia tidak
mengerjakan satu shalat pun ?”
Orang itu menjawab: “Ya, iddahnya berlaku. “
Kami lalu bertanya: “Mengapa kamu mengklaim bahwa iddahnya berlaku
dan dia tidak mengerjakan shalat berhari-hari?”
Orang itu menjawab: “Karena faktor akal fikirannya yang tidak berfungsi
dan iddah bukanlah terkait dengan shalat.”
Kami bertanya: “Bagaimana menurut pendapat kamu tentang wanita yang
haidl sebagaimana haidlnya kaum wanita dan suci sebagaimana sucinya kaum
wanita, apabila dia iddah tiga kali haidl kemudian ragu terhadap dirinya ?”
Orang itu menjawab: “Wanita itu tidak boleh menikah sehingga dia
memastikan kesucian rahimnya dari janin (istibra`).”
Kami berkata: “Wanita itu beriddah tidak dengan haidl dan tidak dengan
105
bulan, akan tetapi beriddah dengan memastikan kesucian rahimnya dari janin.”
Dia berkata: “Ya, apabila dia merasakan sesuatu dan khawatir akan
hamil.”
Kami berkata: “Demikian juga wanita yang beriddah dengan bulan.
Apabila dia ragu, niscaya dia harus menahan diri untuk menikah.”
Dia menjawab: “Benar.”
Kami berkata: “Jika demikian, wanita yang telah suci rahimnya dari janin
berlainan dengan wanita yang rahimnya belum dipastikan suci dari janin.”
Dia menjawab: “Ya, dan wanita yang mengalami haidl sehari dan suci
sehari itu lebih ragu dan tidak terlepas dari kehamilan dibandingkan wanita yang
anda sebutkan. Kita telah dianugerahi akal pikiran oleh Allah swt. bahwa pada
kata iddah itu dua makna, yaitu mengosongkan rahim dari janin dan tambahan
peribadatan. Allah swt. menjadikan iddah thalak itu tiga bulan atau tiga kali suci.
Dia menjadikan iddah hamil dengan melahirkan kandungan, dan yang demikian
itu benar-benar puncak dari kepastian kosongnya rahim daripada janin. Tiga kali
suci merupakan masa kepastian sucinya rahim daripada janin, sekaligus sebagai
peribadatan, sebab dua kali haid saja telah dapat memastikan bahwa rahim kosong
dari janin.
Kita memahami bahwa tidak ada iddah melainkan terkandung padanya dua
hal; kesucian rahim dari janin serta unsur yang bernilai ibadah. Karena, iddah
tidak kurang dari tiga bulan atau tiga kali suci, empat bulan sepuluh hari, atau
melahirkan.
Wanita yang mengalami haidl satu hari dan suci satu hari tidak dapat
dipastikan rahimnya suci dari janin. Sementara kamu telah membatalkan iddah
dengan perhitungan haidl dan bulan, seraya mengembalikannya kepada persoalan
kosongnya rahim dari janin apabila wanita itu mengalami keraguan, sebagaimana
kamu mengklaim bahwa menjadi keharusan bagi kami untuk mengatakan bahwa
wanita yang mengalami haidl satu hari dan melihat tanda suci satu hari, niscaya
masa iddahnya akan selesai dalam masa enam hari.”
BAB: DARAH HAIDL
Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Fatimah binti Mundzir,
106
bahwa dia berkata: Kami telah mendengar Asma mengatakan: “Kami bertanya
kepada Rasulullah saw. tentang darah haidl yang mengenai kain. Beliau
menjawab:
ح�ث\ي�ه� ث7م� أ�قر�ص�ي�ه� ب�الم�اء� و�ان�ض�ح�ي�ه� و�ص�ل\ي� ف�ي�ه�
‘Keriklah darah itu kemudian gosoklah dengan air lalu basuhlah, dan
shalatlah dengan menggunakannya.” 68
Imam Syafi`i berkata: Term “qarashahu” bermakna “farakahu” yang
berarti menggosok. Sedangkan perkataannya “Bil-maa`i”, yaitu membasuh
dengan air.
Imam Syafi`i berkata: Sekurang-kurangnya masa haidl ialah sehari
semalam dan maksimalnya adalah lima belas hari (berikut malamnya), dan
sekurang-kurangnya masa suci itu juga lima belas hari (berikut malamnya).
Apabila seorang wanita pada permulaan haidlnya mengeluarkan darah
yang terus menerus keluar, maka dia diperintahkan agar meninggalkan shalat
sampai lima belas hari. Jika darah itu berhenti pada hari yang ke lima belas, maka
masa itu adalah masa haidl. Namun jika lebih dari lima belas hari, maka wanita itu
tengah mengalami istihadlah.
Imam Syafi`i berkata: Adapun wanita yang mengetahui hari-hari haidl
ditandai dengan darah yang terus keluar, maka hendaknya dia memperhatikan
bilangan malam dan hari dimana dia biasa mengalami haidl pada hari-hari itu
setiap bulannya, dan dia harus meninggalkan shalat pada hari-hari dan malam-
malam itu. Namun apabila telah lewat waktunya maka dia harus mandi kemudian
mengerjakan shalat dan berwudlu setiap kali hendak shalat.
Jika dia mengetahui hari-hari haidlnya, lalu dia lupa atau tidak mengetahui
apakah awal bulan atau sesudahnya itu kurang dua hari atau lebih, maka dia harus
mandi setiap kali hendak melaksanakan shalat, sebab tidak sah baginya shalat
tanpa mandi terlebih dahulu dikarenakan mungkin saja ketika dia hendak
melaksanakan shalat Shubuh itu adalah waktu sucinya, maka dia harus mandi;
atau bila tiba waktu dhuhur, mungkin saja itu adalah waktu sucinya. Oleh karena
68 . H.R. Bukhari, dalam kitab yang menjelaskan tentang haidl, bab “Membasuh Darah Haidl,” juz 1, hlm. 83.
107
itu, dia harus mandi. Begitulah yang dikerjakan pada setiap waktu apabila dia
hendak mengerjakan shalat, tidak sah baginya apabila dia tidak mandi.
Jika shalat itu fardlu baginya, maka ada kemungkinan dia boleh
melaksnakan shalat dengan berwudlu dan ada kemungkinan juga tidak boleh
melaksanakan shalat melainkan dengan mandi. Oleh sebab itu, dia tidak boleh
melaksanakan shalat melainkan dengan meyakini bahwa dia telah suci. Dalam
kondisi seperti itu dia haruss mandi, lantaran keyakinan dan keraguan terdapat
pada wudlu. Sementara itu tidaklah sah melaksanakan shalat jika ragu.
Sedangkan apabila mandi dapat membuatnya yakin, maka hendaknya dia mandi
setiap kali ingin menjalankan ibadah shalat.
KITAB SHALAT
Kewajiban Shalat.
Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman :
إن الصلوة كانت على الؤمني كتابا موقوتا
“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya
atas orang-orang yang beriman.” ( Surat an-Nisa` (4): 103 )
Allah swt. kembali berfirman :
توا الزكاة وذلك دين موا الصلة ويؤ فاء ويقي لدين حن له ا ل ملصي بدوا ا مروا إل ليع وما أالقيمة
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan
Lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan
yang demikian itulah agama yang lurus.” ( Surat al-Bayyinah (98): 5 )
Imam Syafi`i berkata: Suatu ketika Rasulullah saw. ditanya tentang Islam,
kemudian beliau bersabda :
خ�م�س� ص�ل�و�ات, ف�ي الي�و�م� و�الل'ي�ل�ة� ف�ق�ال� الس�ائ�ل7 ه�ل ع�ل�ي� غ�ي�ر�ه�ا ؟ ق�ال� : ل� إ�ل' أ�ن ت�ط�و�ع�
“Lima kali shalat satu hari satu malam,” kemudian orang itu bertanya
kembali, “Apa ada yang selainnya ?” lalu beliau menjawab: “Tidak ada,
108
melainkan apabila engkau melakukan yang sunnah.” 69
BAB : AWAL KEWAJIBAN SHALAT.
Imam Syafi`i berkata: Sesungguhnya Allah swt. menurunkan kewajiban
shalat kemudian menghapusnya dengan kewajiban yang lain, lalu menghapusnya
untu kedua kalinya dengan menurunkan kewajiban melaksanakan shalat lima
waktu.
Imam Syafi`i berkata: Seakan-akan maksud firman Allah swt. adalah :
يا أيها الزمل قم الليل إل قليل نصفه أو انقص منه قليل
“Hai orang-orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk
sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu)
seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit.” ( Surat al-
Muzammil (73) : 1-3 )
Dalam ayat ini Allah swt. menghapus kewajiban shalat satu malam,
separuhnya, kurang atau lebih darinya dan diganti dengan yang lebih mudah.
Dikatakan; telah dihapuskan sesuatu yang kami gambarkan pada surat al-
Muzammil dengan berdasarkan firman-Nya:
أقم الصلة لدلوك الشمس إل غسق الليل وقرأن الفجر إن قرأن الفجر كان مشهودا
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap
malam dan (dirikanlah pula shalat) Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh
itu disaksikan oleh malaikat.” ( Surat al-Isra` (17) 78 )
Makna dari tergelincirnya matahari adalah condongnya :
إل غسق الليل
“sampai gelap malam” ( Surat al-Isra` (17) 78 )
Maksudnya adalah waktu shalat Isya` yang terakhir atau sepertiga malam.
وقرأن الفجر إن قرأن الفجر كان مشهودا
69 . Tartib Musnad Imam Syafi`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang Iman dan Islam, hadits no. 1, jilid 1, hlm. 12.
109
“dan (dirikanlah pula shalat) Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu
disaksikan oleh malaikat.” ( Surat al-Isra` (17) 78 )
Maksudnya adalah shalat Subuh.
Dan selanjutnya Allah swt. berfirman :
ومن الليل فتهجد به نافلة لك عسى أن يبعثك ربك مقاما ممودا
“Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu
sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu
mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” ( Surat al-Isra` (17) 79 )
Allah swt. memberitahukan bahwa shalat malam itu hukumnya sunah.
Sedangkan shalat yang wajib itu terdapat pada firman Allah swt. :
فسبحان ال حي تسون وحي تصبحون
“Maka bertasbihlah kepada Allah di waktu kamu berada di petang hari
dan waktu kamu berada di waktu Subuh.” ( Surat ar-Ruum (30): 17 )
Maksudnya adalah shalat Maghrib dan Isyak dan shalat Subuh.
Lalu Allah swt. berfirman :
“dan bagi-Nya-lah segala puji di langit dan di bumi dan diwaktu kamu
berada di waktu dhuhur.” ( Surat ar-Ruum (30): 18 ) Maksudnya adalah shalat
Ashar.
Imam Syafii berkata: Semua penjelasan yang kami terangkan
tergambarkan pada sunnah Rasulullah saw. yang diriwayatkan dari Thalhah bin
Ubaidilah dia mengatakan; suatu ketika seorang laki-laki datang menghadap
Rasulullah saw.. kemudian dia bertanya tentang Islam, maka Rasulullah saw.
bersabda :
خ�م�س� ص�ل�و�ات, ف�ي الي�و�م� و�الل'ي�ل�ة� ف�ق�ال� ه�ل ع�ل�ي� غ�ي�ر�ه�ا ؟ ق�ال� : إ�ل' أ�ن ت�ط�و�ع�
“Lima kali shalat dalam satu hari satu malam,” lalu laki-laki itu kembali
bertanya: “Adakah yang selainnya ?” Rasulullah saw. menjawab: “Tidak
ada, selain engau melakukan yang sunah.” 70
70 . H.R. Abu Daud, dalam kitab yang menjelaskan tentang shalat, hadits no. 387, jilid 2, hlm. 53.
110
Imam Syafi`i berkata: Shalat fardhu itu ada lima waktu, selainnya adalah
sunat. Shalat sunat itu ada dua cara; dengan berjama`ah dan munfarid (sendirian).
Shalat sunat berjama`ah adalah sunah muakkad (sangat dianjurkan) dan
menurut kami tidak boleh ditinggalkan bagi orang yang mampu dalam kondisi
apapun, yaitu shalat sunat Idul Fitri dan Idul Adha, shalat sunat gerhana matahari
dan gerhana rembulan serta shalat Istisqa` (meminta siraman hujan).
Sedangkan mendirikan shalat pada bulan Ramadhan, kami lebih menyukai
jika dikerjakan sendirian. Hal inilah yang kami anjurkan.
Bilangan Shalat Lima Waktu.
Imam Syafi`i berkata: Allah swt. menetapkan bilangan shalat wajib dalam
kitab-Nya dengan melalui lisan Rasul-Nya Muhammad saw., dan sesuatu yang
harus dilaksanakan dan yang harus dilarang oleh umat manusia. Telah dinukil
bahwa shalat Dhuhur dilakukan empat rekaat dengan suara pelan (sirri) ketika
membaca bacaan-bacaan shalat, demikian juga shalat Ashar. Sedangkan shalat
Maghrib dilakukan sebanyak tiga reka`at dengan mengeraskan suaranya (jahr)
dua reka`at pertama, dan pada reka`at ketiga dengan suara pelan. Dan shalat Isya`
empat reka`at dengan mengeraskan suara pada sua reka`at yang pertama,
sedangkan pada reka`at ketiga dan keempat dengan suara pelan. Shalat Subuh
sebanyak dua reka`at dengan mengeraskan bacaan pada semua reka`at.
Orang Yang Wajib Melaksanakan Shalat.
Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman :
وإذا بلغ الطفال منكم اللم فليستأذنوا كما استأذن الذين من قبلهم كذلك يبي ال لكم أيتهوال عليم حكيم
“Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah
mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta
izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” ( Surat an-Nur (24): 59 )
Allah swt. kembali berfirman :
وابتلوا اليتمى حت إذا بلغوا النكاح فإن أنستم منهم رشدا فادفعوا إليهم أموالم
111
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai
memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.”
( Surat an-Nisa` (4): 6 )
Allah swt. menyebutkan “dewasa” yang mengharuskan harta-harta mereka
diserahkan, melainkan sesudah sampai waktu nikah. Jika anak laki-laki telah
melewati masa mimpi dan anak perempuan telah haidl, dan keduanya tidak
terganggu akal fikirannya, maka kepadanya diwajibkan melaksanakan shalat dan
ibadah-ibadah fardlu lainnya.
Sekalipun usia mereka masih kurang dari lima belas tahun, mereka
diwajibkan untuk melaksanakan shalat, hal itu apabila keduanya sudah mengerti.
Akan tetapi jika belum mengerti, maka mereka tidaklah sebagaimana orang
dewasa, dan hendaklah mereka dihukum dengan hukuman yang ringan lantaran
meninggalkan shalat. Sedangkan bagi yang terganggu akal fikirannya lantaran
penyakit, maka kewajiban shalat hilang darinya. Allah swt. berfirman :
واتقون يا أول اللباب
“dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”
( Surat al-Baqarah (2): 197 )
Shalat Orang Yang Mabuk.
Imam Syafii berkata: Allah swt. berfirman :
يا أيها الذين أمنوا ل تقربوا الصلة وأنتم سكارى حت تعلموا ما تقولون
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang
kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan.” ( Surat an-Nisa` (4): 43 )
Imam Syafi`i berkata: Barang siapa yang melakukan shalat ketika sedang
mabuk, maka shalatnya tidaklah sah lantaran adanya larangan Allah swt.
kepadanya, sampai dia mengerti apa yang dia katakan. Akan tetapi jika dia shalat
dalam kondisi mabuk, maka hendaklah dia mengulanginya ketika dia sudah sadar
dari mabuknya.
Jika dia minum minuman keras akan tetapi tidak sampai mabuk, maka dia
112
berarti telah berbuat maksiat lantaran minum minuman yang haram tersebut, akan
tetapi dia tidak perlu mengulangi shalatnya, lantaran dia termasuk orang yang
memahami apa yang dia katakan, sedangkan orang yang mabuk adalah orang
yang tidak memahami apa yang dia katakan.
Barangsiapa minum suatu minuman agar akalnya tidak berfungsi, maka
dia telah berbuat maksiat dengan melakukan perbuatan itu, dan dia tidak boleh
melaksanakan shalat dalam kondisi seperti itu. Maka orang yang seperti itu dan
orang yang sedang mabuk meng-qadla shalat yang tidak dilaksanakan selama dia
mabuk. Jika dia telah memulai shalatnya dalam keadaan berakal sehat, akan tetapi
sebelum mengucapkan salam akalnya menjadi terganggu, maka dia harus
mengulangi shalatnya, lantaran sekalipun dia tidak merusak awal shalatnya,
namun dia telah merusak akhir shalatnya.
Gangguan Pada Akal Fikiran disebabkan sesuatu yang Tidak
Maksiat.
Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang terganggu akal fikirannya lantaran
gangguan jin, lemah akalnya atau sakit, apapun bentuk sakitnya, maka terangkat
darinya kewajiban shalat selama dia masih menderita penyakit itu. Dia tidak
diperintahkan untuk melakukan shalat sehingga dia mengerti apa yang dia
katakan. Dia juga termasuk orang yang tidak berakal sehat, karena orang yang
tertutup akal pikirannya oleh sesuatu tidaklah berdosa, bahkan dia memperoleh
pahala dan menjadi kafarat (tebusan) bagi dosa-dosanya.
Demikian juga jika dia minum obat yang mengandung racun, padahal dia
menduga bahwa obat itu dapat menyehatkannya, dia tidak berdosa karena
meminumnya, sebab usaha meminumnya bukan untuk membahayakan diri atau
menghilangkan fungsi akalnya.
Jika seseorang makan atau minum sesuatu yang halal namun memiliki
dampak terhadap gangguan akal fikiran, atau melakukan lompatan sehingga
otaknya terbalik, atau menunggingkan badan ke bawah sampai otaknya tergerak
dan akalnyapun terganggu, akan tetapi tidak bermaksud menghilangkan fungsi
akalnya, maka baginya tidak wajib mengulangi shalat yang dia lakukan. Akan
tetapi jika dia melompat-lompat yang tidak ada manfaatnya atau dia menungging
113
dengan menjadikan kepalanya berada di bawah supaya fungsi akalnya menjadi
hilang, maka dia dianggap telah melakukan dosa. Apabila akalnya telah kembali
normal, maka dia harus mengulangi seluruh shalat yang telah dikerjakan selama
dia kehilangan akal ataupun shalat yang dia tinggalkan.
Shalatnya Orang Murtad.
Imam Syafi`i berkata: Apabila sesorang murtad (pindah agama) dari
Islam, kemudian dia masuk Islam kembali, maka dia harus mengulangi (qadla)
setiap shalat yang ditinggalkannya pada masa murtad-nya dan setiap zakat yang
wajib atasnya.
Apabila dia kehilangan fungsi akalnya pada saat murtad-nya, baik karena
sakit atau sebab lain, maka dia harus mengulangi (qadla) shalat pada hari-hari
dimana akalnya tidak berfungsi.
Jika ditanyakan: “Mengapa kamu tidak menganalogikan orang murtad itu
dengan orang musyrik yang masuk Islam, sehingga kita tidak memerintahkan
kepadanya untuk mengulangi shalatnya.”
Sebagai jawabannya adalah, bahwa Allah swt. membedakan antara
keduanya, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
قل للذين كفروا إن ينتهوا يغفر لم ما قد سلف وإن يعودوا فقد مضت سنت الولي
“Katakanlah kepada orang-orang kafir itu, jika mereka berhenti (dari
kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa
mereka yang telah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan
berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang
terdahulu.” ( Surat al-anfal (8): 38 )
Allah swt. membatalkan amalnya dengan sebab murtad. Rasulullah saw.
menerangkan bahwa hukum orang murtad adalah dibunuh apabila dia tidak
bertaubat dan hartanya berstatus mauquf (dibiarkan), lalu menjadi harta rampasan
jika dia telah meninggal dunia, atau dikembalikan kepadanya jika dia bertaubat.
Permasalahan Yang Berhubungan dengan Waktu-waktu Shalat
Imam Syafi`i berkata: Allah swt. meneguhkan hukum dalam kitab-Nya
bahwa kewajiban shalat adalah dalam waktu-waktu yang telah ditentukan, dan
Allah swt. lebih mengetahui waktu dan bilangan shalat itu. Allah swt. berfirman.
114
إن الصلوة كانت على الؤمني كتبا موقوتا
“Sesungguhnya shalat itu adalah suatu kewajiban yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman.” ( Surat an-Nisa` (4): 103 )
Hadits cerita dari Ibnu Abbas ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda:
أ�م�ن�ي� ج�ب�ر�ي�ل7 ع�ل�ي�ه� الس�ل�م� ع�ن�د� ب�اب� الك�ع�ب�ة� م�ر�ت�ي�ن� ف�ص�ل'ى الظ7ه�ر� ح�ي�ن� ك�ان� الف�ي�ء3 م�ثل الشXر�اك� ث7م� ص�ل'ى الع�ص�ر� ح�ي�ن� ك�ان� ك7لp ش�ي�ء, ب�ق�د�ر� ظ�ل\ه� و�ص�ل'ى الم�غ�ر�ب� ح�ي�ن� أ�فط�ر� الص�ائ�م� ث7م ص�ل'ى الع�ش�اء� ح�ي�ن� غ�اب� الش�ف�ق� ث7م� ص�ل'ى الصGب�ح� ح�ي�ن� ح�ر�م� الط'ع�ام� و�الش�ر�اب� ع�ل�ى الص�ائ�م ث ص�ل'ى الم�ر�ة� ال�خ�ي�ر�ة� الظpه�ر� ح�ي�ن� ك�ان� ك7لp ش�ي�ء, ق�د�ر� ظ�ل\ه� ق�د�ر� الع�ص�ر� ب�ال�م�س� ث7م� ص�ل'ى الع�ص�ر� ح�ي�ن ك�ان� ظ�لp ش�ي�ء, م�ثل�ي�ه� ث7م� ص�ل'ى الم�غ�ر�ب� الق�د�ر� ال�و�ل� ل�م� ي�ؤ�خXر�ه�ا ث7م� ص�ل'ىالع�ش�اء� ال�خ�ر�ة� ح�ي�ن ذ�ه�ب� ث7ل7ث7 الل'ي�ل� ث7م� ص�ل'ى الص�ب�ح� ح�ي�ن� أ�س�ف�ر� ث7م� الت�ف�ت� ف�ق�ال� ي�ا م�ح�م�د� ه�ذ�ا و�قت� ال�ن�ب�ي�اء� م�ن
ق�ب�ل�ك� و�الو�قت� ف�ي�م�ا ب�ي�ن� ه�ذ�ي�ن� الو�قت�ي�ن
“Jibril mengimamiku di pintu ka`bah sebanyak dua kali, dia shalat
Dhuhur ketika bayang-bayang itu seperti berjalannya sandal di belakang
telapak kaki, kemudian dia mengerjakan shalat Ashar pada saat setiap
sesuatu menurut kadar bayang-bayangnya. Dia shalat Maghrib ketika
orang yang berpuasa berbuka puasa, dia shalat Isya` ketika hilangnya
awan merah, kemudian dia mengerjakan shalat Shubuh ketika diharamkan
makan dan minum bagi orang yang berpuasa. Kemudian dia mengerjakan
shalat Dhuhur untuk yang kedua kalinya ketika setiap sesuatu sama
dengan panjang bayang-bayangnya, seperti kadar waktu shalat Ashar
yang kemarin. Kemudian dia mengerjakan shalat Ashar ketika bayang-
bayang segala sesuatu itu menjadi dua kali, lalu mengerjakan shalat
Maghrib seperti waktu yang pertama dan dia tidak mengakhirkannya.
Kemudian dia shalat Isya` untuk kedua kalinya setelah masuk sepertiga
malam, lalu mengerjakan shalat Subuh ketika pagi telah nampak.
Kemudian dia berpaling dan berkata “Wahai Muhammad, ini adalah
waktu nabi-nabi sebelum engkau, dan waktu shalat adalah yang berada di
115
antara dua waktu ini.” 71
Waktu Dhuhur.
Imam Syafi`i berkata: Awal waktu Dhuhur itu apabila seseorang yakin
dengan tergelincirnya matahari dari pertengahan langit dan bayang-bayang
matahari pada musim panas itu berbentuk kuncup, sehingga tidak ada bayang-
bayang yang tegak lurus di siang hari dalam kondisi apapun. Apabila ada yang
demikian, maka matahari telah tergelincir dan itu tanda berakhirnya waktu
Dhuhur, dimana bayang-bayang sesuatu berbanding lurus dengannya. Apabila
bayang-bayang sesuatu telah melampauinya, maka waktu Dhuhur telah berakhir
dan masuk kepada waktu Ashar, tidak ada pemisah di antara keduanya.
Bayang-bayang pada musim dingin, musim semi dan musim rontok
berbeda dengan musim panas. Cara mengetahui bahwa matahari telah tergelincir
yaitu dengan memperhatikan bayang-bayang dan mengontrol kekurangannya.
Apabila kekurangannya telah selesai, maka bayang-bayang itu akan bertambah;
dan apabila bertambah setelah kekurangannya selesai, maka itulah yang disebut
al-Zawal (waktu tergelincirnya matahari) dan itulah awal (permulaan) waktu
Dhuhur.
Imam Syafi`i berkata: Apabila terdapat kabut tebal, maka hendaklah dia
memperhatikan matahari dan berhati-hati dari mengakhirkannya, sebab bisa jadi
waktu shalat Ashar telah masuk. Apabila dia ragu, maka ikutilah kemana pikiran
lebih condong. Dengan hal itu, maka shalatnya menjadi sah. Yang demikian itu
karena watunya cukup panjang sehingga dia dapat mengetahui bahwa matahari itu
tergelincir, baik mengetahuinya sendiri maupun diberitakan oleh orang yang
dipercayai bahwa dia telah mengerjakan shalat sebelum tergelincir matahari.
Apabila dia ragu dengan berita itu, maka dia harus mengulangi shalat. Apabila dia
mendustakan orang yang memberitahukan kepadanya bahwa dia telah
mengerjakan shalat sebelum tergelincir matahari, maka dia tidak wajib
mengulanginya. Akan tetapi supaya lebih berhati-hati, hendaknya dia mengulangi
71 . H.R. Abu Daud, dalam kitab yang menjelaskan tentang shalat, bab “Waktu Shalat” hadits no. 389, jilid 2, hlm. 55. Aun al-Ma`bud Syarh Sunan Abi Daud, H.R. Tirmidzi, dalam kitab yang menjelaskan tentang shalat, bab “Waktu-waktu shalat,” hadits no. 139, juz 1, hlm. 278. Tartib Musnad Imam Syafi`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang shalat, bab 1, hadits no. 145, juz 1, hlm. 50.
116
shalatnya.
Apabila dia buta, maka boleh baginya mempercayai berita orang-orang
yang dapat dipercaya kebenaran beritanya tentang waktu shalat, dan boleh
mengikuti orang-orang yang melakukan adzan pada saat itu. Apabila dia berada di
tempat yang gelap atau dengan kata lain dia adalah orang yang buta, yang tidak
ada seorangpun yang berada di dekatnya, maka dia shalat sesuai dengan
kehendaknya. Shalatnya dianggap mencukupi selama tidak ada keyakinan bahwa
dia telah mengerjakan shalat sebelum waktunya.
Menyegerakan Dhuhur dan Mengakhirkannya.
Imam Syafi`i berkata: Orang yang sudah yakin (dengan waktu shalat)
boleh menyegerakan shalat Dhuhur, baik dia dalam posisi sebagai imam maupun
sendirian pada setiap waktu; kecuali apabila pada waktu dimana panas sangat
menyengat, maka sang imam hendaknya mengakhirkan shalat Dhuhur sehingga
orang-orang yang datang dari jauh bisa mendatangi shalat jama`ah. Hal ini
berdasarkan hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan dari Abu hurairah ra.
bahwa Rasul saw. bersabda :
إ�ذ�ا اش�ت�د� الح�رG ف�أ�ب�ر�د�و�ا ب�الص�ل�ة� ف�إ�ن' ش�د�ة� الح�رX م�ن� ف�ي�ح� ج�ه�ن�م� و�اش�ت�ك�ت� الن�ار� إ�ل�ى ر�بXه�اب�ع�ض/ا ف�أ�ذ�ن� ل�ه�ا ب�ن�ف�س�ي�ن� ن�ف�س, ف�ي الشXت�اء� و�ن�ف�س ف�ق�ال�ت� : ي�ا ر�بX ! أ�ك�ل� ب�ع�ض
ف�ي الص�ي�ف� ف�ه�و� أ�ش�دG م�ا ت�ج�د�و�ن� م�ن� الح�رX و�أ�ش�دG م�ا ت�ج�د�و�ن� م�ن� الب�ر�د� م�ن� الز�م�ه�ر�ي�ر�
“Apabila panas sangat menyengat, maka tangguhkanlah shalat hingga
dingin kembali, karena sesungguhnya terik panas itu adalah sengatan api
neraka. Nerakapun mengadu kepada Tuhannya seraya berkata:
“Sebagian aku melahap sebagian yang lain.” Maka Tuhan mengizinkan
kepadanya dua nafas, yaitu nafas pada musim dingin dan nafas pada
musim panas. Maka, terik panas yang engkau dapatkan adalah hasil
panas dari musim panas, dan dingin yang menyengat adalah dingin yang
berasal dari musim dingin.” 72
Hadits cerita Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda:
72 . H.R. Bukhari, bab “Waktu-waktu shalat dan keistimewaannya,” dan H.R. Muslim, dalam kitab yang menjelaskan tentang masjid dan tempat-tempat shalat dan bab “Sunah menunggu shalat ketika cuaca terik,” hadits no. 174.
117
“Apabila panas terik, maka tunggulah sampai dingin lalu kamu shalat, karena
sesungguhnya panas terik matahari merupakan sengatan neraka jahanam.” 73
Imam Syafi`i berkata: Mengakhirkan waktu shalat Dhuhur bukanlah
sampai pada akhir waktunya, akan tetapi waktu dingin; dan yang dimaksudkan
adalah (sebagaimana yang telah dipahami), yaitu memperlambat shalat Dhuhur. Ia
selesai shalat sebelum waktunya berakhir, sehingga antara selesainya dia dan
akhir waktu ada pembatas.
Adapun orang yang mengerjakan shalat Dhuhur dirumahnya atau dengan
berjama`ah di halaman rumahnya, maka hendaklah dia melaksanakan shalat
Dhuhur itu di awal waktu, karena hal itu tidaklah terlalu membuat mereka merasa
kepanasan. Adapun pada musim dingin, shalat Dhuhur tidak ditunda sebagaimana
keadaannya.
Waktu Shalat Ashar.
Imam Syafi`i berkata: Waktu shalat Ashar pada musim panas yaitu
apabila bayang-bayang sesuatu melewatinya, saat itu adalah berakhirnya waktu
Dhuhur.
Apabila bayangan sesuatu tidak nampak, maka diukur kekurangan
bayangan itu. Apabila bayangan itu bertambah setelah terjadi kekurangan, maka
itu adalah tanda tergelincirnya matahari (zawal), dan pada musim panas diukur
apabila bayangan sesuatu berdiri tegak lurus. Apabila telah melewati batas
kelurusannya, maka hal itu berarti telah masuk awal waktu Ashar.
Shalat Ashar hendaknya dikerjakan pada awal waktu, dan kami tidak
menyukai apabila ia ditangguhkan.
Apabila terdapat kabut tebal atau seseorang tertahan dalam tempat yang
gelap, atau dia buta pada suatu tempat dimana tidak ada seorang pun bersamanya,
maka orang itu hendaknya melakukan seperti apa yang telah kami gambarkan
pada shalat Dhuhur, tidak ada bedanya sedikitpun.
Barang siapa menangguhkan shalat Ashar sehingga bayangan sesuatu
melewatinya hingga dua kali lipat seperti pada musim panas, maka telah luput
73 . H.R. Bukhari, bab “Waktu-waktu shalat dan keistimewaannya,” dan bab “Menunggu cuaca dingin saat cuaca panas,” dan H.R. Muslim, dalam kitab yang menjelaskan tentang masjid dan tempat-tempat shalat, bab “Sunah menunggu shalat ketika cuaca terik,” hadits no. 169, jilid 2, hlm. 262.
118
baginya waktu pilihan, dan orang itu tidak dikatakan telah luput waktu Ashar
secara mutlak.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw.
bersabda:
م�ن� أ�د�ر�ك� ر�كع�ة: م�ن� الصGب�ح� ق�ب�ل� أ�ن ت�طل7ع� الش�م�س� ف�ق�د� أ�د�ر�ك� الصGب�ح� و�م�ن� أ�د�ر�ك� ر�كع�ةالش�م�س� ف�ق�د� أ�د�ر�ك� الع�ص�ر�م�ن� الع�ص�ر� ق�ب�ل� أ�ن ت�غ�ر�ب
“Barang siapa mendapatkan satu reka`at sebelum terbitnya matahari, maka dia
telah mendapati Subuh. Barang siapa mendapati satu reka`at shalat Ashar
sebelum terbenamnya matahari, maka dia telah mendapati shalat Ashar.” 74
Imam Syafi`i berkata: Barang siapa tidak mendapatkan satu reka`at dari
shalat Ashar sebelum terbenamnya matahari, maka dia telah lepas dari shalat
Ashar, dan reka`at itu adalah satu reka`at dengan dua sujud.
Hadits cerita dari Naufal bin Muawiyah ad-Da`ili, bahwa dia berkata
bahwa Rasulullah saw. bersabda :
م�ن� ف�ات�ه� الع�ص�ر� ف�ك�أ�ن�م�ا و�ت�ر� أ�ه�ل�ه� و�م�ال�ه�
“Barang siapa lepas dari shalat Ashar, maka seakan-akan dia
membinasakan keluarga dan hartanya.”
Waktu Shalat Maghrib.
Imam Syafi`i berkata: Waktu shalat Maghrib hanya satu, yaitu ketika
terbenamnya matahari. Hal itu telah dijelaskan dalam hadits yang berkaitan
dengan Malaikat jibril yang mengimami Rasulullah saw.
Hadits diceritakan dari Abu Na`im, dari Jabir, bahwa dia berkata, “Kami
pernah shalat Maghrib bersama Rasulullah saw. kemudian kami keluar untuk
berlomba memanah, sehingga kami tiba dirumah-rumah suku Bani Salmah, dan
kami melihat tempat jatuhnya anak panah pada saat matahari terbenam.”
Imam Syafi`i berkata: Jika dikatakan, sesungguhnya waktu shalat Maghrib
itu lepas apabila tidak dikerjakan shalat pada waktunya, maka Allah swt. yang
74 . H.R. Bukhari, bab “Waktu-waktu shalat serta keistimewaannya,” dan bab “Orang yang menemukan satu reka`at dan Shalat Fajar,” bagian 1,jilid 1, hlm. 151.
119
lebih tahu tentang perkataan itu.
Orang-orang yang berada dalam kawasan berkabut tebal, atau tertahan
dalam tempat yang gelap atau dia buta, mereka bisa melaksanakan shalat sesuai
sesuai dengan kehendak mereka seperti yang telah kami gambarkan tentang waktu
shalat Dhuhur. Mereka pun dapat mengakhirkannya hingga melihat (yakin) telah
masuk waktu shalat, atau telah melampaui masa masuknya.
Waktu Shalat Isya`.
Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. bahwasanya
Nabi saw. bersabda :
ل� ي�غ�ل�ب�ن�ك7م� ال�ع�ر�اب� ع�ل�ى اس�م� ص�ل�ت�ك7م� ه�ي� الع�ش�اء3 إ�ل' أ�ن�ه�م� ي�ع�ت�م�و�ن� ب�ال�ب�ل�
“Kamu tidak dikalahkan oleh orang Arab (pedusunan) mengenai nama
shalatmu, ia adalah shalat Isya`, selain bahwa mereka itu datang dengan
terlambat bersama unta.” 75
Imam Syafi`i berkata: Kami menyukai bahwa dia tidak dinamakan
melainkan dengan nama Isya`, sebagaimana Rasulullah saw. telah
menamakannya. Awal waktunya yaitu ketika hilangnya awan merah (syafaq).
Syafaq adalah warna merah yang berada pada tempat terbenamnya
matahari. Apabila warna merahnya telah lenyap dan tidak kelihatan sedikitpun,
maka hal itu menandakan bahwa waktu shalat Isya` telah masuk. Seseorang yang
telah memulai shalat Isya`, akan tetapi masih tertinggal sedikit warna merah itu,
maka dia harus mengulangi shalatnya. Tidak seorang pun yang boleh mengerjakan
suatu shalat kecuali apabila waktunya telah tiba.
Akhir waktu shalat Isya` adalah berlalunya sepertiga malam. Apabila
seseorang telah lepas dari sepertiga malam pertama, maka kami menganggapnya
telah lepas dari waktu shalat Isya`, karena itu adalah akhir waktunya. Tidak ada
penjelasan dari Rasulullah saw. yang menunjukkan bahwa dia tidak lepas selain
sesudah waktu itu.
Waktu Shalat Fajar.
Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman:
75 . H.R. Muslim, dalam kitab yang menjelaskan masjid-masjid, bab “Waktu shalat Isya`,” hadits no. 215, jilid 2, hlm. 287.
120
أقم الصلة لدلوك الشمس إل غسق الليل وقرأن الفجر إن فرأن الفجر كان مشهودا
“Dirikanlah dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan
(dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan
oleh para Malaikat.” ( Surat al-Isra` (17): 78 )
Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa mendapati satu reka`at dari
shalat Subuh (maka dia telah mendapati shalat Subuh).”
Shalat Subuh itu adalah shalat fajar, ia hanya memiliki dua nama yaitu
subuh dan fajar. Kami tidak menyukai nama lain selain dua nama itu.
Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa dia
berkata: “Apabila Rasulullah saw. hendak melaksanakan shalat Subuh, para
wanita pergi dengan menutup kepala mereka sehingga mereka hampir saja tidak
dikenal lantaran gelap.” 76
Seseorang tidak dikatakan lepas melaksanakan shalat Subuh sehingga
matahari terbit, dan dia belum melaksanakan satu rekaatpun, yang dinamakan satu
reka`at itu adalah satu reka`at beserta sujudnya.
Barang siapa belum menyempurnakan satu reka`at itu terbitnya matahari,
maka dia lepas dari shalat Subuh berdasarkan hadits Rasulullah saw. yang
berbunyi:
م�ن� أ�د�ر�ك� ر�كع�ة: م�ن� الصGب�ح� ق�ب�ل� أ�ن ت�طل7ع� الش�م�س� ف�ق�د� أ�د�ر�ك� الصGب�ح�
“Barang siapa mendapati satu reka`at dari shalat Subuh sebelum
terbitnya matahari, maka dia telah mendapati shalat Subuh.”
Perbedaan Waktu.
Imam Syafi`i berkata: Suatu ketika malaikat Jibril mengimami Rasulullah
saw. pada saat mukim (tidak dalam perjalanan) serta tidak ada hujan, dan dia
berkata: “Diantara dua hal ini adalah waktu dimana seseorang tidak boleh
melakukan shalat dengan bersandar pada kondisi waktu shalat pada waktu mukim
atau ketika tidak turun hujan, melainkan pada waktu seperti ini. Larangan ini
supaya seseorang melaksanakan shalat satu persatu (tidak boleh di-jamak)
Hal di atas seperti hadits yang mengisahkan tentang malaikat Jibril yang
76 . H.R. Bukhari, dalam kitab yang menjelaskan waktu-waktu shalat dan keistimewaannya, bab “Waktu Shalat Fajar,” bagian 1, jilid 1, hlm. 151.
121
pernah melaksanakan shalat bersama Rasulullah saw. dan beliau melaksanakan
shalat sesudah itu dalam kondisi mukim sepanjang hidupnya.
Ketika Rasulullah saw. melakukan jamak shalat di Madinah dalam kondisi
aman dan mukim, maka hal itu tidak memiliki kemungkinan melainkan telah
bertentangan dengan hadits ini, atau adanya kemungkinan bahwa kondisi dimana
dia menjamak shalat tersebut saat mukim (tidak dalam perjalanan). Berbeda
dengan kondisi dimana dia tidak melaksanakan shalat satu persatu pada saat
mukim. Maka tidak boleh dikatakan bahwa perbuatan Rasulullah saw. yang
melakukan jamak shalat waktu mukim menyalahi perbuatan beliau yang
melaksanakan shalat satu persatu saat mukim pula. Hal ini berdasarkan dua hal;
Pertama; lantaran masing-masing dari keduanya memiliki legitimasi
tersendiri. Dan yang meriwayatkan dua hadits tersebut hanya satu perawi, yaitu
Ibnu Abbas. Dengan demikian, kiat mengetahui bahwa perbuatan Rasulullah saw.
yang melakukan jamak shalat ketika mukim memiliki alasan tersendiri yang
membedakannya dengan perbuatan beliau yang melaksanakan shalat satu persatu
waktu beliau mukim. Oleh sebab itu tidak ada sebab lain yang membedakannya
melainkan hujan, karena tidak mungkin alasannya adalah perasaan takut.
Kita dapati bahwa hujan dapat menimbulkan kesulitan, sebagaimana
halnya alasan yang memperbolehkan seseorang melakukan jamak shalat pada
waktu safar (bepergian) dan hal itu termasuk dalam kategori kesulitan secara
umum.
Kami mengatakan, apabila demikian hujan merupakan alasan yang
menyebabkan beliau melakukan shalat jamak antara Dhuhur dan Ashar, serta
antara shalat Maghrib dan Isya` saat beliau mukim.
Tidak boleh melakukan jamak shalat kecuali dengan alasan hujan pada
waktu seseorang tidak dalam perjalanan. Jika dia melaksanakan salah satu dari
dua shalat kemudian hujan berhenti, maka dia tidak boleh menjamak shalat yang
lain dengan shalat tadi. Akan tetapi jika dia melaksanakan salah satu dari dua
shalat kemudian hujan turun, lalu dia mulai melaksanakan shalat yang lainnya lalu
turun hujan dan kemudian berhenti, maka dia boleh meneruskan shalatnya. Jika
dia boleh masuk ke dalam shalat, maka boleh juga baginya untuk
122
menyempurnakan.
Imam Syafi`i berkata: Shalat dapat dijamak, baik hujannya deras atau
tidak. Seseorang tidak boleh menjamak shalat ketika hujan kecuali bagi yang
keluar dari rumah menuju masjid, dimana disana dikerjakan shalat jamak.
Seseorang tidak boleh menjamak shalatnya ketika berada dirumah, karena
Rasulullah saw. melakukan hal itu di masjid.
Apabila seseorang shalat Dhuhur dalam kondisi tidak hujan, kemudian
turun hujan, maka tidak boleh baginya mengerjakan shalat Ashar, karena dia telah
selesai mengerjakan Dhuhur; dan dia tidak boleh menjamaknya dengan shalat
Ashar.
Demikian halnya apabila dia memulai shalat Dhuhur dalam keadaan tidak
turun hujan, kemudian setelah itu turun hujan, maka dia tidak boleh menjamaknya
dengan shalat Ashar. Seseorang tidak boleh menjamak shalatnya, kecuali apabila
ketika dia masuk pada waktu shalat yang pertama, dia telah berniat untuk
menjamak shalat. Jika keadaannya seperti ini, maka hal itu boleh baginya.
Apabila dia menjamak dapat antara dua waktu shalat pada waktu hujan,
maka dia mengerjakannya pada waktu shalat yang pertama dan tidak
mengakhirkannya pada waktu shalat yang kedua. Dan, tidak boleh menjamak
(menggabungkan) shalat pada saat mukim (tidak bepergian) ketika tidak ada
hujan.
123
124