Al Kindi Tugas Kelar
-
Upload
zaki-dayat -
Category
Documents
-
view
282 -
download
5
Transcript of Al Kindi Tugas Kelar
Di susun : Zaki HidayatullohNim : 09 (PEMI) 1492Mata Kuliah : Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam IslamDosen : Dr. Amroeni Drajat, M.AgSemester : Satu
AL - KINDI
Pendahuluan
Dalam lingkungan Islam tradisional, terdapat anggapan lazim bahwa filosof
pertama yang muncul dalam dunia Muslim adalah seorang Persia bernama Iranshahri
yang mencoba membawa filsafat ke timur yang dianggap sebagai rumah asalnya oleh
para filosof sesudahnnya dari Al-Farabi hingga Suhrawardi. Tetapi figur ini masih
sekedar nama. Tidak ada yang menandai dari tulisan-tulisannya yang masih tersisa
yang memungkinkan kita menyebutnya sebagai pendiri filsafat Islam. Tapi Filsafat
Peripetik, atau Masysya’i, yang hanya merupakan satu madzhab diantara madzhab -
madzhab dalam dunia Islam- tapi merupakan satu-satunya madzhab yang begitu
dikenal di barat dan sering diidentifikasi sebagai filsafat Islam yang sebenarnya-
didirikan oleh Abu Yusuf Ya’kub Al-Kindi.1
Abu Yusuf Ya’kub Ibn Ishaq Al-Kindi (185-252 H/ 801-866 M) umumnya
diakui sebagai filosof Muslim pertama. Namun, ini tidak berarti bahwa kaum Muslim
sebelum Al-Kindi tidak mempunyai perhatian sama sekali terhadap gagasan-gagasan
filsafat Yunani. Sebaliknya, beberapa pengetahuan filsafat, meskipun sepotong-
potong, dapat dinisbahkan pada ilmu kalam Mu’tazilah awal. Beberapa tokoh utama
mereka – seperti Abu Al-Hudzail Al-‘Allaf dan Al-Nazhzham telah membangun
teologi yang didasarkan pada unsur-unsur filsafat Yunani. 2
Pengaruh filsafat Yunani terhadap ilmu kalam Mu’tazilah awal memang
terbukti dan juga dibenarkan oleh para teolog dan heresiografer Muslim awal. Akan
tetapi, pengaruh ini tetap agak marjinal; faktanya, tak seorang pun dari kalangan
teolog Mu’tazilah awal ini mengembangkan sebuah sistem ensiklopedis filsafat
1 . Seyyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, Ircisod, Yogyakarta, 2006, hal. 27-28.
2 . Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (editor), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj. History Of Islamic Philosophy, Mizan Media Utama, Bandung, 2003, hal. 207.
1
Yunani, karena hal itu memang diluar bidang minat mereka. Al-Kindilah orang yang
mengupayakan dengan keras upaya ini dan karena itu dapat disebut sebagai filosof
Muslim pertama, sementara para tokoh ilmu kalam Mu’tazilah hanya berhenti sebagai
teolog, bukan filosof. 3
Dengan demikian, jasa Al-Kindilah yang membuat filsafat dan ilmu Yunani
dapat diakses dan yang telah membangun fondasi filsafat dalam Islam dari sumber-
sumber yang jarang dan sulit, yang sebagian diantaranya kemudian diteruskan dan
dikembangkan oleh Al-FArabi.
Biografi
Nama Al-Kindi dari nama sebuah suku, yaitu : Banu Kindah yaitu suku
keturuan Kindah, yang berlokasi di daerah selatan Jazirah Arab dan mereka ini
mempunyai kebudayaan yang tinngi. Al-Kindi (801 – 873 M), di dunia barat terkenal
dengan nama Al-Kindus, beliau adalah keturunan bangsawan Arab dari kerajaan
Kindah (Yaman).4
Nama lengkapnya adalah Abdul Yusuf Ya’qub Bin Ishaq Bin Ash-Shabah Bin
‘Imran Bin Isma’il Bin Muhammad Bin Al-Ash’ats Bin Qeis Al-Kindi. Sesepuh Al-
Kindi yang paling dini memeluk Islam ialah Al-Asy’ats Bin Qeis, seorang yang
memimpin perutusan kabilah Kindah menghadap Rasul Allah SAW. Ia pun termasuk
diantara sahabat yang meriwayatkan hadist-hadist nabi. Dalam perang Shiffin
dibawah pimpinan Ali Bin Abi Thalib ia pemegang panji kabilah Kindah. Anak lelaki
Al-Asy’ats ‘Abdurrahman Bin Al-Asy’ats melancarkan pemberontakan terhadap Al-
Hajjaj Bin Yusuf (Penguasa Bani Umayyah Di Hijaz Dan Iraq) hingga terbunuh
dalam pertempuran. Sejak itu semua anak keturuan Al-Asy’ats (Bani Al-Asy’ats)
tidak mempunyai kedudukan apa-apa didalam dinasti Bani Umayyah. Kendatipun
begitu keluarga (kabilah) Al-Kindi di Kufah masih tetap dihormati orang.
Demikianlah keadaanya sampai munculnya kekuasaan Bani ‘Abbas. Orang-orang
Bani Kindah kembali menempati kedudukan yang terpandang. Ishaq Bin Ash-
3. Opcit, Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, hal 208.4. Sudarsono, Filsafat Islam, Pt. Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hal. 21
2
Shabbah menjabat penguasa didaerah Kufah, dari zaman khalifah Al-Mahdi hingga
khalifah Harun Al-Rasyid. Ia dikarunia seorang anak lelaki bernama Ya’qub, yang
pada zaman keemasan Islam terkenal sebagai seorang filosof, Al-Kindi.5
Latar Belakang Intelektual
Pendidikan dasar ditempuh Al-Kindi di tanah kelahirannya. Kemudian, dia
melanjutkan dan menamatkan pendidikan di Baghdad. Al-Kindi mempelajari
berbagai cabang ilmu keagamaan seperti hukum syari’at dan ilmu kalam. Ia
menerjemahkan beberapa buku filsafat Suryani yang dikuasainya dengan baik dan
memperbaiki penerjemahan buku-buku lain, seperti Theologia (Ar-Rububiyyah atau
Ketuhanan) yang diterjemahkan oleh Ibn Na’imah Al-Himshi. Maka beberapa
sejarawan Arab memandang Al-Kindi sebagai salah seorang penerjemah,
sebagaimana yang dikatakan oleh penulis buku Thabaqatul-Athibba (golongan
dokter), bahwa: “Para penerjemah yang mahir dalam Islam ada empat orang: Hunain
Bin Ishaq, Ya’qub Al-Kindi, Tsabit Bin Qurrah dan ‘Umar Bin Al-Farkhan At-
Thabari”. Ibn Juljul juga mengatakan: “Al-Kindi menguasai ilmu kedokteran, filsafat,
ilmu pasti, semantic, pandai mengubah lagu, menguasai ilmu ukur (geometri), aljabar,
ilmu falak dan astronomi”.
Khalifah juga mempercayainya untuk berkiprah di Baitulhikmah (House of
Wisdom) yang kala itu gencar menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dari
berbagai bahasa, seperti Yunani. Tidaklah mengherankan jika Al-Kindi menguasai
banyak macam ilmu pengetahuan, karena ia tumbuh dan dibesarkan di Kufah yang
merupakan kota pusat perkembangan ilmu, khususnya ilmu kimia.6
Al-Kindi sangat ingin memperkenalkan filsafat dan sains Yunani kepada
“sesama pemakai bahasa Arab” (ahl lisanina), seperti yang sering ia tandaskan, dan
menentang para teolog (mutakallimin) ortodoks yang menolak pengetahuan asing.
Selama masih mendapat perlindungan khalifah, ia bebas melakukan apa saja dan
5 . Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, terj. Pustaka Firdaus, Jakarta, cetakan ke-8 1997, hal. 64.
6 . Ibid, Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, hal. 66.
3
tidak merasa terpaksa membela posisi filsafatnya seperti halnya para ilmuwan
sebelumnya.
Sepanjang Al-Kindi berpegang teguh pada ajaran-ajaran yang dianut kaum
Neoplatonis Yunani akhir, yang sebagian besar umat Kristen, yang percaya pada satu
Tuhan yang menciptakan dunia dari ketiadaan, ia masih dianggap selaras dengan
hukum Islam. Akan tetapi setelah ia mengambil doktrin-doktrin filsafat pagan,
khususnya doktri Aristoteles, ia telah dianggap menyimpang dari kebenaran wahyu
Islam. Pandangan yang dikemukakannya selalu mengatasnamakan Aristoteles- yaitu
bahwa seseorang mesti menerima sumbangan pemikiran bagi kebenaran, dari
manapun datangnya, bahkan dari filsafat Yunani dengan penuh rasa syukur- tidak
sesuai dengan postulat eksklusif Islam sebagai satu-satunya pewarta kebenaran.7
Tentang persoalan agama, Al-Kindi setuju dengan teologi Mu’tazilah dimana
ia berusaha memberikan stuktur filosofis dan membangun relasi antara filsafat dan
agama atau iman dan akal. Bagi Al-Kindi terdapat dua tipe pengetahuan yang
mungkin (diperlukan oleh manusia) : pengetahuan Ilahi (Al-‘Ilm Al-Ilahi) dan
pengetahuan Manusiawi (Al-‘Ilm Al-Insani). Bentuk pengetahuan tertinggi adalah
filsafat. Pengetahuan yang pertama (pengetahuan ilahi) lebih tinggi dari yang kedua,
karena ia bisa mencapai kebenaran-kebenaran yang tidak akan pernah dapat dicapai
pengetahuan manusia.
Dengan kehadiran Al-Kindi, tema-tema dan gagasan-gagasan dari sumber
Helenistik mulai direnungkan dalam background Islam dan dikaji dalam bahasa baru.
Plato dan Aristoteles, kaum NeoPlatonis dan Stoic, kaum Hermetisis dan
Phythagorian, para ahli fisika dan matematika, semuanya memberikan sumbangan
elemen-elemen pada struktur madzhab baru yang muncul bersama Al-Kindi.
Madzhab inilah yang disamping masih meyakini konsistensi batin dan tuntutan-
tuntutan logika dari disiplin-disiplin yang dipakai, juga menerima elemen-elemen
yang memiliki kaitan jelas dengan kebutuhan-kebutuhan intelektual dan psikologis
bagi komponen tertentu dari masyarakat Islam yang baru. Dengan demikian ia
menciptakan sebuah prespektif intelekutual yang sesuai tidak hanya dengan
7 . Opcit, Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, hal. 211.
4
kemungkinan yang musti diwujudkan tapi juga dengan kebutuhan yang harus
dipenuhi.8
Kondisi Sosial Politik
Al-Kindi mendapat kepercayaan dan dukungan dari Khalifah Abbasiyah ke-7
dan ke-8, Al-Ma’mun (W. 218 H/ 833 M), dan saudara sekaligus penerusnya, Al-
Mu’tashim memberikan dorongan kuat kepadanya. Kepada Al-Mu’tasim ia
mendedikasikan karyanya Fi Al-Alfasafah Al-Ula, dan beberapa risalah lainnya
dipersembahkan bagi putra khalifah, Ahmad, yang pendidikannya juga dipercayakan
kepadanya.
Sehubungan dengan hal ini Ibn Nubatah mengatakan dalam bukunya berjudul
Sarhul –‘Uyyun: “ Kerajaan Al-Mu’tashim diperindah oleh Al-Kindi dengan buku-
buku yang ditulisnya”. Nama Al-Kindi terus marak hingga zaman khalifah Al-
Mutawakkil. Pada zaman inilah ia menjadi sasaran intrik dan fitnah dari mereka yang
iri hati, sampai ia dijatuhi hukuman oleh Al-Mutawakkil dan perpustakaannya yang
terkenal dengan nama Al-Kindiyyah disita kemudian dijadikan milik Al-
Mutawakkil.9
Tidak seperti kolega semasanya, Hunain Ibn Ishaq, Al-Kindi tidak menguasai
bahasa Yunani dan Syiria. Oleh karena itu ia menggunakan karya terjemahan,
misalnya terjemahan-terjemahan Ibn Na’imah, Eustathius (Asthat) dan Ibn Al-
Bithriq. Akan tetapi Al-Kindilah orang yang telah membuka lahan baru ditanah yang
subur dan memperkenalkan tejemahan-terjemahan pertama filsafat Yunani kepada
dunia Arab.10
Kegiatan penerjemahan ini berlangsung pada pemerintah khalifah Harun Al-
Rasyid yang sangat mendukung perkembangan ilmu dikalangan umat Muslimin, dan
pada ketika pemenrintahnya yang menjadi pusat ilmu pengetahuan dan perdagangan
8 . Opcit, Seyyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, hal. 33.9 . Opcit, Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, hal. 66.10 . Opcit, Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, hal 209.
5
adalah Bagdad. Usaha khalifah Harun Al-Rasyid adalah membangun sebuah
lembaga, tempat para ilmuwan yang disebut “Baitul Hikmah”.11
Khazanah Intelektual
Ibn Al-Nadim mencatat sekitar 260 judul karya Al-Kindi, suatu bibliografi
ilmiah yang sangat besar jumlahnya, meskipun banyak di antarnya mungkin hanya
karangan kecil. Menurut konstruksi Ibn Al-Nadim, risalah-risalah Al-Kindi meliputi
seluruh ensiklopedi ilmu (sains) klasik : filsafat, logika, aritmetika, musik, astronomi,
geometri, kosmologi, kedokteran, astrologi dan sebagainya. Sampai sekarang hanya
sedikit naskah, kira-kira sepuluh persen dari seluruh karyanya, yang telah diteliti dan
diedit. Beberapa karya mungkin telah hilang selama pemerintahan khalifah Al-
Mutawakkil (232-247 H/ 847-861 M) yang sangat gigih menentang kecenderungan-
kecenderungan berpikir rasional pada zamannya dan menyita perpustakaan Al-Kindi.
Sejarawan terkenal abad ke-8 H/ke-14 M, Ibn Khaldun lebih jauh
menambahkan bukti lenyapnya naskah-naskah tersebut ketika mengatakan, bahwa
kitab-kitab Al-Kindi tidak diketahui lagi orang telah melihatnya, barangkali karya itu
telah hilang dibuang ke sungai tigris oleh hulagu, penguasa tartar, ketika bangsa
Tartar mengambil alih Bagdad dan membunuh khalifah terakhir, Al-Mu’tashim.12
Kecenderungan Al-Kindi pada filsafat Aristoteles, yang telah terlihat dalam
risalahnya, Risalah Fi Hudud Al-Asyya, juga dalam Fi Al-Falsafah Al-Ulya. Dalam
menulis risalah ini, Al-Kindi sangat banyak mengutip dari Metaphysics Aristoteles.
Meskipun Al-Kindi mengelaborasi banyak gagasan yang berasal dari metaphysics-
nya Aristoteles, karyanya, Fi Al-Falsafah La-Ula, bukan sekadar penjelasan terhadap
buku tersebut karena ternyata ia juga menyadarkan secara luas pada karya-karya
Aristoteles lainnya. Oleh karena itu, banyak konsepsi Al-Kindi mecerminkan gagasan
yang diungkapkan oleh Aristoteles dalam karya-karyanya Physics, De Anima, dan
Categoriae, disamping memberikan ringkasan Metaphysics-nya Aristoteles, ia
11 . Opcit, Sudarsono, Filsafat Islam, hal. 22 12 . Opcit, Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, hal 208.
6
melengkapi Fi Al-Falsafah Al-Ula dengan memanfaatkan bahan dari karya-karya
Aristoteles lainnya.13
Sekalipun nama Al-Kindi termasuk diantara nama tokoh yang paling terkenal
dalam sejarah Islam, hanya sedikit karya dan risalahnya dalam bahasa Arab yang
diketahui hingga tiga puluh tahun yang lalu ketika sejumlah besar karyanya
ditemukan di Istambul, yang memungkinkan para sarjana mengkaji langsung
gagasan-gagasannya dari pernyataan-pernyataannya sendiri. Terdapat empat puluh
risalah yang masih tersisa dan hanya merupakan potongan kecil dari kumpulan besar
(korpus) yang telah ia tulis, jika kita merujuk pada judul karya-karyanya.14
Dalam risalahnya tentang musik, Al-Kindi menyebutkan beberapa jenis
musik. Ada yang dapat membangkitkan daya dorong pada manusia, ada yang dapat
membangkitkan impian khayal, ada yang dapat mengobarkan semangat dan adapula
yang dapat menimbulkan perasaan sedih dan kesal. Keistimewaaan lainnya lagi yang
dimiliki Al-Kindi ialah pengetahuan teorinya tentang pengaruh percampuran warna.
Misalnya, jika merah dicampur dengan kuning akan menimbulkan warna baru yang
dapat menggerakkan perasaan harga diri. Demikian pula mengenai campuran
wewangian, yang menurut Al-Kindi bisa menimbulkan pengaruh kejiwaan tertentu.15
Karya-Karya Al-Kindi
Sebagai seorang filsuf yang sangat produktif, diperkirakan karya yang pernah
di tulis oleh al-kindi dalam berbagai bidang tidak kurang dari 270 buah.
Dalam bidang filasafat diantaranya adalah16 :
a) Kitab al-falsafah al-Dakhilat wa al-Masa`il al-Mantiqiyah wa al-Muqtashah
wa ma fawqa al-Thabiiyyah ( tentang filsafat yang diperkenalkan dan masalah
– masalah logika dan muskil, serta metafisika).
13 . Opcit, Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, hal 215.14 . Opcit, Seyyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, hal. 30.15 . Opcit, Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, hal. 73.16 . one.indoskripsi.com/click/5985/0 -
7
b) Kitab al-kindi ila al-Mu`tashim Billah fi al-falsafah al-Ula ( tentang filsafat
pertama ).
c) Kitab Fi Annahu al-Falsafah illa bi` jlm al-Riyadiyah (tentang filsafat tidak
dapat dicapai kecuali dengan ilmu pengetahuan dan matyematika ).
d) Kitab fi qashd Aristhathalisfi al-Maqulat (tentang maksud – maksud
Aristoteles dalam kategori – kategorinya).
e) Kitab fi Ma`iyyah al-Ilm wa Aqsamihi (tantang sifat ilmu pengetahuan dan
klasifikasinya).
f) Risalah fi Hudud al-Asyya`wa Rusumilah ( tentang definisi benda – benda
dan uraiannya ).
g) Risalah fi Annahu jawahir la Ajsam(tentang substansi – substansi tanpa
badan).
h) Kitab fi ibarah al-jawami` al-Fikriyah(tentang ungkapan – ungakapan
mengenai ide – ide komprehensif).
i) Risalah Fi Hudud Al-Asyya
j) Risalah al Hikmiyah fi Asrar al-Ruhaniyah(sebuah tulisan filosofis tentang
rahasia – rahasia spiritual).
k) Risalah fi al-Ibanah an al-Illat al-Fa`ilat al-Qaribah li al-kawn wa al Fasad
(tentang penjelasan mengenai sebab dekat yang aktif terhadap alam dan
kerusakannya).
Kitab Pemecah Kode17
Sebagai ilmuwan serba bisa, Al-Kindi tak cuma melahirkan pemikiran di
bidang filsafat saja. Salah satu karyanya yang termasuk fenomenal adalah Risalah Fi
Istikhraj al-Mu’amma. Kitab itu mengurai dan membahas kriptologi atau seni
17 . mentoringku.wordpress.com/.../al-kindi-filosof-Islam-pertama/
8
memecahkan kode. Dalam kitabnya itu, Al-Kindi memaparkan bagaimana kode-kode
rahasia diurai.
Teknik-teknik penguraian kode atau sandi-sandi yang sulit dipecahkan
dikupas tuntas dalam kitab itu. Selain itu, ia juga mengklasifikasikan sandi-sandi
rahasia serta menjelaskan ilmu fonetik Arab dan sintaksisnya. Yang paling penting
lagi, dalam buku tersebut, A-Kindi mengenalkan penggunaan beberapa teknik
statistika untuk memecahkan kode-kode rahasia. Kriptografi dikuasainya, lantaran dia
pakar di bidang matematika. Di area ilmu ini, ia menulis empat buku mengenai sistem
penomoran dan menjadi dasar bagi aritmatika modern. Al-Kindi juga berkontribusi
besar dalam bidang geometri bola, bidang yang sangat mendukungnya dalam studi
astronomi
Bekerja di bidang sandi-sandi rahasia dan pesan-pesan tersembunyi dalam
naskah-naskah asli Yunani dan Romawi mempertajam nalurinya dalam bidang
kriptoanalisa. Ia menjabarkannya dalam sebuah makalah, yang setelah dibawa ke
Barat beberapa abad sesudahnya diterjemahkan sebagai Manuscript on Deciphering
Cryptographic Messages. ”Salah satu cara untuk memecahkan kode rahasia, jika kita
tahu bahasannya adalah dengan menemukan satu naskah asli yang berbeda dari
bahasa yang sama, lalu kita hitung kejadian-kejadian pada tiap naskah Pilah menjadi
naskah kejadian satu, kejadian dua, dan seterusnya,” kata Al-Kindi.
Setelah itu, lanjut Al-Kindi, baru kemudian dilihat kepada teks rahasia yang
ingin dipecahkan. Setelah itu dilanjutkan dengan melakukan klasifikasi simbol-
simbolnya. ”Di situ kita akan menemukan simbol yang paling sering muncul, lalu
ubahlah dengan catatan kejadian satu, dua, dan seterusnya itu, sampai seluruh
simbol itu terbaca.” Teknik itu, kemudian dikenal sebagai analisa frekuensi dalam
kriptografi, yaitu cara paling sederhana untuk menghitung persentase bahasa khusus
dalam naskah asli, persentase huruf dalam kode rahasia, dan menggantikan simbol
dengan huruf.
9
Pemikiran Utama
Filsafatnya
Menurut Al-Kindi, filsafat hendaknya diterima sebagai bagian dari
kebudayaan Islam. Berdasarkan ini, para sejarawan Arab awal menyebutnya “Filosof
Arab”. Memang, gagasan-gagasannya itu berasal dari Aristotelianisme Neo-Platonis,
namun juga benar bahwa ia juga meletakkan gagasan-gagasan itu dalam konteks
baru. Dengan mendamaikan warisan-warisan Hellenistis dengan Islam, ia meletakkan
asas-asas sebuah filsafat baru. Pendamaian ini untuk jangka lama, menjadi ciri utama
filsafat ini. Al-Kindi mengkhususkan diri pada semua ilmu pengetahuan yang dikenal
pada masanya, tulisan-tulisannya memberikan cukup bukti, menjadikan filsafat
sebagai suatu studi menyeluruh yang mencakup seluruh ilmu. Al-Farabi, Ibn Sina,
Ibn Rusyd mulanya ilmuwan, kemudian menjadi filosof. Karena itu, Al-Nadim
menempatkan Al-Kindi dalam kelompok filosof alami.18
Filsafat merupakan pengetahuan tentang kebenaran. Filosof Muslim
sebagaimana filosof Yunani, percaya bahwa kebenaran jauh berada diatas
pengalaman; bahwa kebenaran itu abadi di alam adialami. Batasan filsafat, dalam
risalah Al-Kindi tentang filsafat awal, berbunyi demikian; “filsafat adalah
pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu dalam batas-batas kemampuan manusia,
karena tujuan para filosof dalam berteori ialah mencapai kebenaran, dan dalam
praktek, ialah menyesuaikan dengan kebenaran”. Pada akhir risalahnya, ia menyifati
Allah dengan istilah “kebenaran”, yang merupakan tujuan dari filsafat. “maka satu
yang benar (al wahid al haq) adalah yang pertama, sang pencipta, sang pemberi rizki
semua ciptaan-Nya ……”. Pandangan ini berasal dari filsafat Aristoteles, tetapi
‘penggerak tak tergerakkan’ (unmovable mover)-nya Aristoteles diganti dengan sang
‘pencipta’. Perbedaan ini menjadi inti system filsafat Al-Kindi.
Filsafat dibagi menjadi dua bagian utama: studi-studi teoritis, yakni fisika,
matematika, dan metafisika; dan studi-studi praktis, yaitu etika, ekonomi dan politik.
Kemudian dapat diklasifikan sebagai berikut : “Teori dan praktek merupakan awal
18 Ibn al-Nadhin, al-Fihrist, Kairo, h. 255, dalam M.M. Syarif, M.A, Para Filosof Muslim, History of Muslim Philosophy (terj), Mizan, Bandung, 1993. h. 15
10
kebajikan. Masing-masing dibagi menjadi fisika, matematika, dan teologi. Praktek
dibagi menjadi bimbingan diri, keluarga dan masyarakat.”19 Ibn Nabatah, yang juga
mengutip Al-Kindi, hanya menyebutkan bagian-bagian teoritisnya. “ilmu-ilmu
filsafat terdiri atas tiga hal, pertama, pengajaran (ta’lim), yaitu matematika, yang
bersifat mengantar; kedua, ilmu alam, yang bersifat terakhir; dan ketifa, ilmu agama,
yang bersifat paling tinggi.”20 Batasan filsafat dan pembagiannya, dalam filsafat
muslim, sebagaimana disebutkan diatas, masih bersifat tradisional. Filsafat pertama
atau metafisika merupakan pengetahuan tentang sebab pertama, karena seluruh
filsafat lainya tercakup dalam pengetahuan ini.
Filsafat Al-Kindi, walau terkonstruk “bahasa” Yunani, Ia tetap didudukkan di
posisi pertama sebagai pencetus filsafat pertama di dunia Arab. Dalam karangannya
tentang definisi benda-benda dan uraiannya, ia mencatat enam buah definisi yang
mewakili candikeawan-candikeawan zamannya, seperti berikut;
1. Philosophy (filsafat) terdiri atas dua perkataan, philo, teman, dan shopia,
kearifan. Filsafat adalah cinta kearifan. Berdasar etimologi Yunani.
2. Filsafat adalah percobaan manusia untuk berbuat yang terbaik atau melebihi
keunggulan Ilahi sejauh hal itu mungkin. Definisi fungsional.
3. Filsafat adalah praktek kematian. Kematian berarti pemisahan jiwa dan raga.
4. Filsafat adalah “Ilmunya segala ilmu” dan “kearifan dari segala kearifan”.
5. Filsafat adalah pengetahuan manusia tentang dirinya.
6. Hal ihwal filsafat sebenarnya dilukiskan sebagai ilmu pengetahuan tentang
haecceitas, esensi, dan sebab-sebab segala hal sampai batas kemampuan
manusia.21
Al-Kindi juga membagi akal mejadi tiga, yakni akal yang bersifat potensial,
akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi aktual, dan akal yang telah
19 Rosenthal, Journal of the american society, vol 76, no. 1 h. 27-31, dalam M.M. Syarif, M.A, Para Filosof Muslim, History of Muslim Philosophy (terj), Mizan, Bandung, 1993. h. 15
20 . Ibn Nabatah, Syarh Risalah Ibn Zaidun, Kairo, h. 113. dalam dalam M.M. Syarif, M.A, Para Filosof Muslim, History of Muslim Philosophy (terj), Mizan, Bandung, 1993. h. 16.
21 . bismirindu.wordpress.com Nalar Al-Kindi
11
mencapai tingkat kedua dari aktualitas. Akal yang bersifat potensial, papar Al-Kindi,
tak bisa mempunyai sifat aktual, jika tak ada kekuatan yang menggerakkannya dari
luar. Oleh karena itu, menurut Al-Kindi, masih ada satu macam akal lagi, yakni akal
yang selamanya dalam aktualitas.22
Al-Kindi membagi daya jiwa menjadi tiga: daya bernafsu (appetitive), daya
pemarah (irascible), dan daya berpikir (cognitive atau rational). Sebagaimana Plato,
ia membandingkan ketiga kekuatan jiwa ini dengan mengibaratkan daya berpikir
sebagai sais kereta dan dua kekuatan lainnya (pemarah dan nafsu) sebagai dua ekor
kuda yang menarik kereta tersebut. Jika akal budi dapat berkembang dengan baik,
maka dua daya jiwa lainnya dapat dikendalikan dengan baik pula. Orang yang
hidupnya dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu birahi dan amarah diibaratkan
al-Kindi seperti anjing dan babi, sedang bagi mereka yang menjadikan akal budi
sebagai tuannya, mereka diibaratkan sebagai raja.23
Selain metafisika, Al-Kindi juga tertarik pada matematika dan ilmu-ilmu
kealaman. Usahanya untuk mengkaji seluruh spektrum ensiklopedis ilmu
membuktikan dirinya sebagai pengikut Aristoteles yang sebenarnya. Bahkan dalam
hal kecenderungan kukuhnya pada matematika ia melampaui Aristoteles. Al-Kindi
mengelaborasi sistem untuk memperhitungkan kemanjuran obat. Ini diperlukan
karena para dokter (tabib) telah beralih dari obat yang sederhana ke obat yang
kompleks. Al-Kindi membagi racikan-racikan bahan medis ke dalam pelbagai
tingkatan berdasarkan daya dan khasiat penyembuhannya. Dalam salah satu risalah
medisnya, Al-Kindi kembali mengaitkan kedokteran dengan matematika dengan
memberikan rumusan untuk memperkirakan masa-masa kritis penyakit yang sedang
berkembang.24
22 . mentoringku.wordpress.com/.../al-kindi-filosof-Islam-pertama/23 . www.averroes.or.id/.../al-kindi-sejarah-singkat-dan-pemikirannya.html -biografi 24 . Opcit, Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, hal. 218.
12
Keselarasan Filsafat dan Agama.
Al-Kindi mengarahkan filsafat muslim ke arah kesesuaian antara filsafat dan
agama. Filsafat berlandaskan akal pikiran, sedang agama berlandaskan wahyu.
Logika merupakan metode filsafat; sedang iman, yang merupakan kepercayaan
kepada hakikat-hakikat yang disebutkan dalam Al-Quran sebagaimana yang
diwahyukan kepada nabi-Nya, merupakan jalan agama. Keselarasan antara filsafat
dan agama didasarkan pada tiga alasan : pertama, ilmu agama merupakan bagian dari
filsafat. Kedua, wahyu yang diturunkan kepada nabi dan kebenaran filsafat saling
bersesuaian. Ketiga, menuntut ilmu, secara logika, diperintahkan dalam agama.25
Filsafat merupakan pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu, dan ini
mengandung teologi (Ar-Rububyyah), ilmu tauhid, etika dan seluruh ilmu
pengetahuan yang bermanfaat. Para nabi telah memerintahkan untuk mencari
kebenaran dan berbuat kebajikan. Demikian pula, pencarian filsafat juga perlu, karena
hal ini merupakan keharusan untuk mempelajarinya. Dalam risalah, “jumlah karya
Aristoteles”, Al-Kindi membedakan secara tajam antara agama dan filsafat dan ia
membandingkan antara agama Islam dengan filsafat Aristoteles. Ilmu Ilahiah yang
membedakannya dari filsafat ialah Islam, sebagaimana diturunkan kepada Rasulullah
dan termaktub dalam Al-Quran. 26
Dengan demikian, Al-Kindi telah membuka pintu bagi penafsiran filosofis
terhadap Al-Quran, sehingga menciptakan persesuaian antara agama dan filsafat.
Dalam karangannya The Worship (sujud) of The Primum Mobile, ayat: “bintan-
gemintang dan tetumbuhan bersujud” ditafsirkan dengan berpijak pada aneka makna
sajdah; yang berarti : sujud dalam shalat, kepatuhan, perubahan dari ketaksempurnaan
menjadi sempurna, mengikuti aturan secara ikhlas. Arti terakhir inilah yang
dipergunakan untuk arti sujudnya bintang-gemintang. Suasana langit dihidupkan dan
menyebabkan pertumbuhan dan keruntuhan kehidupan didunia. Gerak primum mobile
disebut ‘bersujud’ dalam arti mematuhi Allah.
25 opcit, M.M. Syarif, M.A, Para Filosof Muslim, History of Muslim Philosophy (terj), Mizan, Bandung, 1993. h. 17.
26 Ibid, M.M. Syarif, M.A, Para Filosof Muslim, h. 18.
13
Kesimpulannya, Al-Kindi adalah filosof pertama dalam Islam, yang
menyelaraskan antara agama dan filsafat. Ia memberikan jalan bagi Al-Farabi, Ibn
Sina dan Ibn Rusyd. Ia memberikan dua pandangan berbeda, pertama, mengikuti
jalur ahli logika, dan menfilsafatkan agama, kedua, memandang agama sebagai
sebuah ilmu ilahiah, dan menempatkannya diatas filsafat. Ilmu ilahiah ini diketahui
lewat jalur para nabi. Tetapi melalui penafsiran filosofis, agama menjadi selaras
dengan filsafat.
Pendirian filosofis Al-Kindi sendiri merefleksikan doktrin-doktrin yang ia
peroleh dari sumber-sumber Yunani klasik dan, diatas segalanya, Neoplatonik.
Risalahnya Risalah Fi Hudud Al-Asyya’ secara keseluruhan dipandang sebagai basis
pandangan-pandangannya sendiri. Ia diduga meringkas definisi-definisi dari literatur
Yunani dengan niat hendak memberikan ringkasan filsafat Yunani dalam bentuk
definisi, kebanyakan definisi itu adalah definisi harfiah yang dipinjam dari
Aristoteles. Subyek dan susunannya sesuai benar dengan sumber NeoPlatonik.
Pada definisi pertama, Tuhan disebut “sebab pertama”, mirip dengan “gen
pertama”-nya Plotinus, suatu ungkapan yang juga digunakan Al-Kindi, atau dengan
istilahnya “yang Esa adalah sebab dari segala sebab”, definisi-definisi berikutnya
dalam risala Al-Kindi dikemukakan dalam susunan yang membedakan antara alam
atas dan alam bawah. Yang pertama ditandai dengan definisi-definisi akal, alam dan
jiwa, diikuti dengan definisi-definisi yang menandai alam bawah, dimulai dengan
definisi badan (jirm), penciptaan (ibda’), materi (hayula’), bentuk (shurah) dan
sebagainya.27
Oleh karena itu Al-Kindi memahami alam atas sebagai wujud-wujud spiritual
yang tidak diciptakan dan alam bawah sebagai wujud-wujud temporal yang
diciptakan. Jiwa merupakan wujud spiritual yang tidak diciptakan, sementara materi,
ruang dan waktu merupakan terbatas, diciptakan dan jasmaniah. Kedua alam tersebut,
atas dan bawah pada mulanya berasal dari sumber yang satu dan sama, yang
27 . Opcit, Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, hal. 210.
14
merupakan sebab bersama dari segala sesuatu. Dari sumber paling awal inilah, yakni
Tuhan, segala sesuatu kemudian berlangsung secara terus-menerus.28
Teks risalah terpanjang Al-Kindi yang tersisa pada masa kita sekarang ini
adalah Fi Al-Falsafah Al-Ula (hanya bagian pertama). Ini adalah nama lain dari
metafisika. Aristoteles menyebut metafisika sebagai “Filsafat Pertama”. Al-Kindi
dengan meminjam sebutan ini menjelaskan maknanya sebagai berikut:
Pengetahuan tentang sebab pertama sesungguhnya disebut “filsafat
pertama”, karena filsafat-filsafat lainnya terkandung dalam
pengetahuannya. Oleh karena itu, sebab pertama adalah pertama dalam
kemuliaan, pertama dalam genus, pertama dalam derajat berkenaan
dengan pengetahuan yang paling pasti; dan pertama dalam waktu, karena
ia adalah sebab dalam waktu. Oleh karena itu sebab pertama dapat
dieksplorasi, dan akal pertamalah yang mentransmisikan “pengetahuan
yang paling pasti” tentangnya.29
Pendapat Al-Kindi yang memandang pembahasan mengenai Tuhan sebagai
bagian filsafat yang paling tinggi kedudukannya, sama dengan pendapat Aristoteles
dalam bukunya Metaphysica, yang dikalangan Arab disebut dengan nama “Kitab Al-
Huruf”. Dalam buku itu Aristoteles membahas soal Tuhan yang disebutnya
“Penggerak Yang Tidak Bergerak”, dan itu merupakan kesimpulan terakhir
Aristoteles. Menurut Aristoteles, Tuhan adalah penggerak alam wujud ini, sedangkan
Al-Kindi, Tuhan adalah Pencipta Langit dan Bumi. Al-Kindi sebagai orang pertama
yang memasukkan kedalam filsafat Islam teori penggolongan filsafat menjadi ilmu
pasti, ilmu alam dan ilmu ketuhanan.30
Tuhan
Suatu pengetahuan memadai dan meyakinkan tentang Tuhan merupakan
tujuan akhir filsafat. Filsafat, sebagaimana namanya, merupakan tujuan suatu kajian
Yunani, karena itu Al-Kindi berupaya keras menyodorkan filsafat Yunani kepada
28 . Opcit, Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, hal. 211.29 . Opcit, Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, hal. 213.30 . Opcit, Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, hal. 71.
15
orang-orang Arab. Gagasan dasar Islam tentang Tuhan adalah Keesaan-Nya,
penciptaan oleh-Nya, dari ketakadaan, dan ketergantungan semua ciptaan kepada
Nya. Sifat-sifat ini, dalam al-Quran, dinyatakan secara tak filosofis atau dialektis.
Ketunggalan, ketakterlihatan, ketakterbagian, dan kepenyebaban gerak merupakan
sifat-sifat-Nya yang dinyatakan oleh para filosof Yunani sebelumnya. Ketika Al-
Kindi menyebut semua itu ia tak lebih dari pengalih konsepsi Helenistis tentang
Tuhan. Keaslian Al-Kindi terletak pada upayanya mendamaikan konsep Islam tentang
Tuhan dengan gagasan-gagasan filosofis Neo-Platonis terkemudian.31 Al-Kindi
menyifati Tuhan dengan istilah-istilah baru. Ia tinggi dan disifati hanya dengan
sebutan-sebutan negative. “Ia bukan materi, tak berbentuk, tak berjumlah, tak
berkualitas, tak berhubungan; juga Ia tak dapat disifati dengan cirri-ciri yang ada (al-
ma’qulat). Ia tak berjenis, tak terbagi dan tak berkejadian. Ia abadi.... oleh karena itu,
Ia Maha Esa (wahdah). Selain-Nya berlipat.
Untuk memahami posisi Al-Kindi, kita mesti merujuk pada kaum tradisionalis
dan Mu’tazilah. Kaum Mu’tazilah, yang semasa dengan Al-Kindi, secara akal
menafsirkan sifat-sifat Allah demi memantapkan Kemahaesaan-Nya mereka
memecahkan masalah ini berdasarkan hubungan antara zat Allah dan sifat-sifat-Nya.
Kaum Mu’tazilah dan para filosof sama-sama menolak sifat-sifat Tuhan seperti ini.
Al ghazali dengan tepat berkata dalam kitabnya thahatufut al falasifah, bahwa “para
filosof sepakat dengan kaum Mu’tazilah bahwa tidak mungkin menganggap bahwa
‘tahu, kuasa, berkehendak, berasal dari prinsip utama.
Al-Kindi, filosof muslim pertama, mengikuti kaum Mu’tazilah dalam menolak
sifat-sifat tersebut. Tetapi pendekatannya dalam memecahkan masalah tersebut
berbeda. Pertama, yang menjadi perhatiannya bukanlah zat Allah sifat-sifatnya; tetapi
hal dapat disifatinya zat Allah. Kedua, segala sesuatu dapat didefinisikan, karena itu
mereka dapat diketahui dengan menentukan jenis-jenis mereka, kecuali Allah yang
tak berjenis. Dengan kata lain, dalam pencariannya, Al-Kindi mengikuti jalur ahli
“logika”.32
31 . Opcit, M.M. Syarif, M.A, Para Filosof Muslim. h. 2132 . Ibid, M.M. Syarif, M.A, Para Filosof Muslim. h. 22
16
Dalih-dalih Al-Kindi tentang kemaujudan Allah bertumpu pada keyakinanya
ada hubungan sebab akibat. Sebab-sebab yang disebutkan oleh Aristoteles, adalah
bendawi, formal, efisien dan final. Dalam filsafat Al-Kindi, sebagaimana diulang
dalam tulisan-tulisannya, Tuhan adalah sebab efisien. Ada dua macam sebab efisien;
pertama, sebab efisien sejati dan aksinya adalah ciptaan dari ketiadaan (ibda’).
Kedua, semua sebab efisien yang lain adalah lanjutan, yaitu, sebab-sebab tersebut ada
lantaran sebab-sebab lain, dan sebab-sebab itu sendiri adalah sebab-sebab dari efek-
efek lain. Secara kias, sebab-sebab itu sama sekali bukanlah sebab-sebab sejati. Ia
berkehendak dan tak pernah bergantung kepada sesuatupun. Pemikirannya di bidang
metafisika lebih dititik beratkan kepada masalah hakikat Tuhan, Al-Kindi
mengemukakan tiga jalan untuk membuktikan adanya Tuhan, yaitu :
I. Tidak mungkin ada benda yang ada dengan sendirinya, jadi wajib ada yang
menciptakannya dari ketiadaaan dan pencipta itu adalah Tuhan.
II. Dalam alam tidak mungkin ada keragaman tanpa keseragaman atau
keseragaman tanpa keragaman. Tergabungnya keragaman dan keseragaman
bersama-sama, bukanlah karena kebetulan, tetapi karena suatu sebab. Sebab
pertama itulah Tuhan.
III. Kerapian alam tak mungkin terjadi tanpa ada yang merapikan (mengatur)nya.
Yang merapikan atau yang mengaturnya itulah Tuhan.33
Bagi Al-Kindi, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mulia. Filsafatnya
tentang keesaan Tuhan selain didasarkan pada wahyu juga proposisi filosofis.
Menurut dia, Tuhan tak mempunyai hakikat, baik hakikat secara juz’iyah atau aniyah
(sebagian) maupun hakikat kulliyyah atau mahiyah (keseluruhan).
Dalam pandangan filsafat Al-Kindi, Tuhan tidak merupakan genus atau
species. Tuhan adalah Pencipta. Tuhan adalah yang Benar Pertama (al-Haqq al-
Awwal) dan Yang Benar Tunggal. AL-Kindi juga menolak pendapat yang
menganggap sifat-sifat Tuhan itu berdiri sendiri. Tuhan haruslah merupakan keesaan
33 . Opcit, Sudarsono, Filsafat Islam, hal. 26.
17
mutlak. Bukan keesaan metaforis yang hanya berlaku pada obyek-obyek yang dapat
ditangkap indera.
Menurut Al-Kindi, Tuhan tidak memiliki sifat-sifat dan atribut-atribut lain
yang terpisah dengan-Nya, tetapi sifat-sifat dan atribut-atribut tersebut haruslah tak
terpisahkan dengan Zat-Nya. Jiwa atau roh adalah salah satu pembahasan Al-Kindi.
Ia juga merupakan filosof Muslim pertama yang membahas hakikat roh secara
terperinci. Al-Kindi membagi roh atau jiwa ke dalam tiga daya, yakni daya nafsu,
daya pemarah, dan daya berpikir. Menurutnya, daya yang paling penting adalah daya
berpikir, karena bisa mengangkat eksistensi manusia ke derajat yang lebih tinggi.
Alam, dalam system Aristoteles, terbatas oleh ruang, tetapi tak terbatas oleh
waktu, karena gerak alam seabadi penggerak tak tergerakkan (unmovable mover).
Keabadian alam, dalam pemikiran Islam, ditolak, karena Islam berpendirian bahwa
alam diciptakan. Masalah ini senantiasa menjadi salah satu masalah penting filsafat
Islam. Filosof-filosof muslim, dalam menghadapi masalah ini mencoba mencari
pemecahan yang sesuai dengan agama. Ibn sina dan ibn rusyd dituduh sebagai atheis,
karena mereka sependapat dengan Aristoteles; mereka berpendapat bahwa alam ini
kekal. Al-Kindi berbeda dengan para filosof besar penggantinya, menyatakan alam ini
tak kekal.
Ruh dan Akal
Al-Kindi terkacaukan oleh ajaran-ajaran Plato, Aristoteles, dan Plotanius
tentang ruh. Dia meminjam ajaran plotinus tentang ruh, dan mengikuti pola
Aristoteles dalam berteori tentang akal. Dalam sebuah risalah pendek “tentang ruh”,
sebagaimana dikatakannya, ia meringkaskan pandangan-pandangan “Aristoteles,
Plato dan filosof-filosof lainnya”. Sebenarnya, gagasan yang dipaparkan itu dipinjam
dari Enneads.34
Ruh adalah suatu wujud sederhana, dan zatnya terpancar dari sang pencipta,
persis sebagaimana sinar terpancar dari matahari. Ruh bersifat spiritual, ketuhanan,
34 . Opcit, M.M. Syarif, M.A, Para Filosof Muslim. h. 25
18
terpisah dan berbeda dari tubuh. Bila dipisahkan dari tubuh, maka ruh memperoleh
pengetahuan tentang segala yang ada didunia, dan melihat hal yang dialami. Setelah
berpisah dari tubuh, ia menuju kea lam akal, kembali ke nur sang pencipta, dan
bertemu dengan-Nya. Tiga bagian ruh adalah nalar, keberangan dan hasrat. Orang
yang meninggalkan kesenangan-kesenangan jasmani, dan berupaya mencapai hakikat
segala sesuatu, adalah orang yang baik dan sangat sesuai dengan Sang Pencipta.
Menurut Al-Kindi, bukan tiga macam akal, tetapi empat. Ia membagi akal
terbiasa menjadi dua : akal yang memiliki pengetahuan tanpa mempraktekkannya,
dan akal yang mempraktekkan pengetahuan. Yang pertama, seperti penulis yang telah
belajar menulis, dan karenanya ia memiliki seni menulis ini ; sedang yang kedua
seperti orang yang mempraktekkan seni menulis itu.
1. Pertama, akal yang selalu bertindak.
2. Kedua, akal yang secara potensial berada di dalam ruh.
3. Ketiga, akal yang telah berubah, di dalam ruh, dari daya menjadi actual.
4. Keempat, akal yang kita sebut akal yang kedua.35
Yang dimaksudkannya dengan akal ‘kedua’ yaitu tingkat kedua aktualitas,
sebagaimana dipaparkan diatas dalam membedakan antara yang cuma memiliki
pengetahuan dan yang mempraktekannya.
Satu teori lengkap tentang pengetahuan dijelaskan dalam karya lainnya. Ada
dua macam bentuk : bendawi dan nonbendawi. Bentuk pertama yaitu yang bersifat
inderawi, karena hal-hal yang terasa tercipta dari materi dan bentuk. Ketika ruh
memperoleh bentuk materi, maka ia menjadi satu, yaitu bentuk materi itu. Demikian
pula, bila ruh memperoleh bentuk-bentuk rasional yang nonbendawi, mereka menyatu
dengan ruh. Dengan begini, ruh benar-benar menjadi rasional. Sebelum itu, ruh
adalah rasional dalam bentuk daya. Yang kita sebut akal adalah genus-genus dan
spesies.
Al-Kindi tiba-tiba beralih dari pembahasan epistemologis ke pembahasan
ontologi tentang kesatuan semesta dan asal muasalnya. Yang bersifat alam semesta
35 El-Ehwani, Islamic philosophy, kairo, 1951, h. 51-52, dalam M.M. Syarif, M.A, Para Filosof Muslim, History of Muslim Philosophy (terj), Mizan, Bandung, 1993. h. 27
19
adalah akal, bila bersatu dengan ruh. Maka timbulah pertanyaan, apakah akal itu satu
atau banyak. Dalam satu hal ia satu, dan dalam hal lain ia banyak. Mengikuti uraian
Plotinus, Al-Kindi terus menuju ke metafisikal dari yang satu. Sebagaimana disebut
diatas, ia mengacaukan metafisika Aristoteles tentang kemaujudan dengan metafisika
Plotinus. Karena ini, ia tak mampu mengupayakan suatu sistem terpadunya. Inilah
yang mampu dilakukan Al-Farabi sang bapak kedua.
Pengaruh Pemikiran
Pengetahuan tentang hakikat sesuatu, yang menjadi tujuan utama filsafat,
tidak hanya dibatasi pada dunia indrawi. Bagi Al-Kindi filsafat juga mencakup
pengetahuan tentang ketuhanan. Ini mendorong penggabungan fisika dan metafisika,
sains dan teknologi. Bagi generasi-generasi Muslim belakangan, penggabungan ini
menjadi amat keterlaluan. Kaum mukmin mengecam para filosof karena
menganggap spekulasi intelektual lebih tinggi dari pada tradisi (Al-Quran dan
Hadist) yang dihormati, dan menetapkan kebenaran rukun-rukun iman melalui
pemikiran (penalaran akal) dan bukan melalui tradisi. Oleh karena itu, filsafat Al-
Kindi, dan khususnya teologi naturalnya, telah menyemaikan benih-benih konflik
antara kaum ortodoks dan intelektual dalam Islam.36
Al-Kindi telah berjasa dalam usahanya menjadikan filsafat sebagai salah satu
khazanah pengetahuan Islam setelah disesuaikan lebih dahulu agama. Dalam
risalahnya yang dihadiahkan kepada ahmad bin al-mu’tashim billah tentang filsafat
“pertama” (metaphysic) Al-Kindi menyatakan pendapatnya, baik agama maupun
filsafat kedua-duanya menghendaki kebenaran. Filsafat yang mempunyai kedudukan
serta martabat yang tertinggi dan termulia ialah filsafat “pertama” (filsafat
metaphysic), yaitu pengetahuan tentang “Kebenaran Pertama”(al-haqqqul-awwal)
yang merupakan illah (sebab pokok) bagi semua kebenaran (al-haqq).37
Popularitas Al-Kindi juga tersebar ke barat latin melalui terjemahan tulisan-
tulisan filosofis dan ilmiahnya. Kenyataannya, ia merupakan salah satu tokoh yang
36 . Opcit, Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, hal. 216.37. Opcit, Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, hal. 69.
20
paling terkenal di negeri barat, khususnya dalam bidang astrologi dimana ia dihormati
sebagai otoritas yang tak tergugat. Tentu saja ia diakui banyak orang sebagai salah
satu dari sembilan “hakim” astrologi. Kemasyhurannya pada era pertengahan begitu
melambung sehingga ia memberikan pengaruh besar pada renaisans. Pada periode
tersebut Al-Kindi tercatat sebagai salah satu dari dua belas tokoh intelektual yang
paling penting dan paling berpengaruh dalam sejarah umat manusia.
Dalam diri Al-Kindi terlihat hampir semua karakter yang diselamatkan kepada
filosof-ilmuwan berikutnya. Ia adalah seorang yang memiliki minat universal,
gandrung terhadap logika, ilmu-ilmu alam, kedokteran dan musik, juga teologi dan
metafisika. Ia juga seorang muslim yang saleh sementara pada saat yang sama ia
berusaha menemukan kebenaran dari sumber manapun yang mungkin ia dapat.
Tapi juga terdapat ciri khusus pada diri Al-Kindi. Dalam filsafat, ia lebih
dekat pada madzhab Aleksandria yang diadopsi oleh Al-FArabi. Ia juga lebih
menyukai silogisme hipotetik dan disjunktif yang digunakan oleh kaum neoplatonis
Athena, Proclus dan selanjutnya dikritik oleh Al-FArabi yang lebih mengikuti
Aristoteles dan menganggap bentuk pembuktian sebagai bentuk demonstrasi yang
lemah. Al-Kindi juga memperlihatkan minatnya pada ilmu-ilmu ghaib (occult
sciences) yang tidak terlihat hampir pada semua filosof-ilmuwan sesudahnya.38
Dengan kehadiran Al-Kindi, tema-tema dan gagasan-gagasan dari sumber
helenistik mulai direnungkan dalam background Islam dan dikaji dalam bahasa baru.
Plato dan Aristoteles, kaum neoplatonis dan stoic, kaum hermetisis dan pythagorian,
para ahli fisika dan matematika, semuanya memberikan sumbangan elemen-elemen
pada struktur madzhab baru yang muncul bersama Al-Kindi ini. Madzhab inilah
yang, disamping masih meyakini konsistensi batin dan tuntutan-tuntutan logika dari
disiplin-disiplin yang dipakai, juga menerima elemen-elemen yang memiliki kaitan
jelas dengan kebutuhan-kebutuhan intelektual dan psikologis bagi komponen-
komponen tertentu dari masyarakat Islam yang baru. Dengan demikian ia
menciptakan sebuah prespektif intelektual yang sesuai tidak hanya dengan
38 . Opcit, Seyyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, hal. 32.
21
kemungkinan yang musti diwujudkan tapi juga dengan kebutuhan yang harus
dipenuhi, sebuah prespektif yang diciptakan dalam pandangan dunia menyeluruh
dalam Islam.
Setelah Al-Kindi, banyak tokoh bermunculan yang memiliki minat universal
terhadap hampir seluruh cabang ilmu pengetahuan dan seni serta filsafat dan teologi.
Mereka adalah tokoh-tokoh yang menggabungkan minat umum seorang ilmuwan
renaisans dan filosof seniman-ilmuwan dengan minat khusus dalam diri seorang
teolog dan ahli filsafat agama era pertengahan. Mereka menjadi sekelompok orang
yang, disamping mengembangkan pengetahuan hingga mencapai puncak filsafat dan
ilmu pengetahuan, dapat memenuhi kebutuhan mereka atas kausalitas didalam Islam
dan tidak melahirkan pemisahan antara agama dan ilmu pengetahuan seperti yang
terjadi didunia barat setelah abad pertengahan. Al-Kindi merupakan contoh pertama
dari madzhab filosof-ilmuwan yang baru ini dalam dunia Islam dan dalam banyak hal
ia tampil sebagai contoh bentuk (pattern) bagi para ahli hikmah yang muncul
sesudahnya serta yang bersama-sama memperoleh visinya tentang semesta.
Salah seorang murid langsung Al-Kindi yang paling terkenal adalah Ahmad
Bin Thayyib Al-Sarakhsi,39 seorang guru shi’ah khalifah Al-Mu’tadid, yang
kemudian dicampakkan setelah membocorkan rahasia sang khalifah. Seorang lagi
yang mungkin perlu disebut di antara murid-murid Al-Kindi adalah Abu Ma’syar Al
Balkhi, seorang astrolog termasyur yang dikenal barat era pertengahan sebagai
Abulmassar (bentuk-bentuk iklim) dan Al Masalik Wa Al Mamalik (cara-cara dan
kerajaan-kerajaan), yang merupakan karya awal terpenting diantara karya geografi
dalam Islam dan merupakan sumber bagi risalah-risalah terkenal berikutnya dari Al-
Istakhri dan Ibnu Hawqal. Mereka inilah yang menyebarluaskan pengaruh Al-Kindi,
khususnya dalam ilmu pengetahuan, dan menjembatani pemisah temporal yang
memisahkan Al-Kindi dari penerus sejatinya sebagai seorang filosof-ilmuwan.40
Daftar Pustaka
39 . Opcit, Seyyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, hal. 34.40 . Ibid, Seyyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, hal. 35.
22
- Hossein Nasr, Seyyed, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, Ircisod,
Yogyakarta, 2006.
- Hossein Nasr, Seyyed, The Heart Of Islam Pesan-Pesan Universal Islam
Untuk Kemanusiaan, Mizan, Bandung, 2003.
_________________, Sains dan Peradaban dalam Islam, Penerbit Pustaka,
Bandung, 1986.
_________________, dan Iliver Leaman (editor), Ensiklopedi Tematis
Filsafat Islam, terj. History Of Islamic Philosophy, Mizan, Bandung, 2003.
- Sudarsono, Filsafat Islam, Pt. Rineka Cipta, Jakarta, 1997.
- Fuad Al-Ahwani, Ahmad, Filsafat Islam, terj. Pustaka Firdaus, Jakarta,
cetakan ke-8 1997
- Ibn al-Nadhin, al-Fihrist, Kairo
- Rosenthal, Journal of The American Society, vol 76, no. 1
- Ibn Nabatah, Syarh Risalah Ibn Zaidun, Kairo
- M.M. Syarif, M.A, Para Filosof Muslim, History of Muslim Philosophy (terj),
Mizan, Bandung, 1993
- El-Ehwani, Islamic Philosophy, Kairo, 1951
- Abu Zahrah, Imam Muhammad, Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam, terj.
Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Dar al-Fikri al-‘Arabi, Mesir, Logos,
Jakarta, 1996
- Hasyim, Umar, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah ?, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1978.
- Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, jilid 2, PT. Al Husna Zikra, Jakarta,
cet ke-IV.
- Abdul Karim, Muhammad Bin, Al Syahrastani, Milal Wa Al Nihal
diterjemahkan Asywadie Syukur, PT. Bina Ilmu, Surabaya.
- Ali Awaji, Ghalib bin, Firaaqul Mu’ashirah, - cet. I th. 1414 H/1993 M
23
- Syaltût, Syaikh Mahmud, Tahqiq: Syaikh Ali Hasan , Al-Bid'ah Asbâbuha wa
Madharuha , Dâr Ibnul-Jauzi, Cetakan Kedua, Tahun 141H.
- Taqi Misbah, Muhammad, Buku Daras Filsafat Islam, Mizan, 2003
- Cecep Taufikurrohman, Aliran Pemikiran Modern Dan Pengaruhnya
Terhadap Studi Islam , · Disampaikan pada acara: Up-Grading Anggota
Lembaga Buhuts Islamiyyah Pwk. PP Persis, Cairo, 12 Oktober 2006/19
Ramadhan 1427 H
- Qomar Prof. Dr. Mujamil, M. Ag , Epistemologi Pendidikan Islam dari
metode rasional hingga metode kritik, penerbit erlangga, 2002.
- Farghal, Hasan. 1994. “Pokok Pikiran Tentang Hubungan Ilmu Dengan
Agama”. Dalam Abdul Hamid Abu Sulaiman. Permasalahan Metodologis
Dalam Pemikiran Islam. Jakarta: Media Da’wah.
- Ramly, Andi Muawiyah. 2000. Peta Pemikiran Karl Marx [Materialisme
Dialektis dan Materialisme Historis]. Yogyakarta : LKiS.
- An-Nabhani, Taqiyuddin. 2001. Nizham Al-Islam. Tanpa Tempat Penerbit :
Hizbut Tahrir
- mentoringku.wordpress.com/.../al-kindi-filosof-Islam-pertama/
- www.averroes.or.id/.../al-kindi-sejarah-singkat-dan-pemikirannya.html -
biografi.
- one.indoskripsi.com/click/5985/0 –
- bismirindu.wordpress.com Nalar Al-Kindi
- Effendi, Mochtar, DR. S.E, Ensiklopedi Agama dan Filsafat. Penerbit
Universitas Sriwijaya, 2001
- Abdullah, Taufik, Prof, Dr Dkk, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, PT Ichtiar
Baru Van Hoeve, Jakarta, tanpa tahun.
- Ichtiar Baru Van Hoeve, Ensiklopedi Islam, PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
Jakarta, 1994.
- Mahmudunnasir, Syed, Islam Konsepsi Dan Sejarahnya, PT. Rosda Karya,
Bandung, 2005.
24
- L. kraemer, joel, renaisans islam kebangkitan intelektual dan budaya pada
abad pertengahan, mizan, bandung, 2003.
- Muthahhari, murtadha, filsafat moral islam kritik atas berbagai pandangan
moral, penerbit huda, Jakarta, 2004.
- Muhammad, afif, dr, m.a, dari teologi ke ideologi telaah atas metode dan
pemikiran teologi sayyid qutb, penerbit pena merah, bandung, 2004.
- Schoun, Frithjof, Islam dan Filsafat Perenial, (terj) Islam and The Perennial
Philosophy, Mizan, Bandung, 1993.
- Osman Bakar, Hierarki Ilmu, Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu
menurut Al-Farabi, Al-Ghazali, Quthb Din Al-Syirazi, Mizan, Bandung, 1997.
- M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan
Integratif-Interkonektif, Cet I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Februari 2006.
- Brian Fay, Sosial Theory and political Practice, London, Geogre Allen &
Unwin, 1984.
- Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum
Beriman, (Cet I, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2004.
- Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual, Bandung, Mizan, 1991.
- Djohan Effendi, dan Ismet Natsir, Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan
Harian Ahmad Wahib, LP3ES, Jakarta, 1981.
- Dr. Nurcholis Madjid, Jejak Pemikiran Dari Pembaharu Sampai Guru
Bangsa, Cet;II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.
25
26