Al-Dakhīl Fī al-Tafsīr (Studi Tafsir...
Transcript of Al-Dakhīl Fī al-Tafsīr (Studi Tafsir...
Al-Dakhīl Fī al-Tafsīr (Studi Tafsir al-Kasysyāf)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Muhammad Alwi Abdussalam
NIM: 11140340000133
PROGAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/2020 M
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Muhammad Alwi Abdussalam
NIM : 11140340000133
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul AL-
DAKHĪL FĪ AL-TAFSĪR (STUDI TAFSIR AL-KASYSYĀF) adalah
benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan
plagiat dalam penyusunannya. Adapun kutipan yang ada dalam
penyusunan karya ini telah saya cantumkan sumber kutipannya dalam
skripsi. Saya bersedia melakukan proses yang semestinya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku jika ternyata skripsi ini
sebagian atau keseluruhan merupakan plagiat dari karya orang lain.
Demikian pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya.
Jakarta, 16 Desember 2019
M. Alwi Abdussalam
Al-Dakhīl Fī al-Tafsīr (Studi Tafsir al-Kasysyāf)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Muhammad Alwi Abdussalam
NIM: 11140340000133
PROGAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/2020 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “Al-Dakhīl Fī al-Tafsīr (Studi Tafsir al-
Kasysyāf)”telah diajukan dalam dalam sidang munaqasyah, Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
pada Rabu, 22 Januari 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S. Ag.) pada Program
Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir
Ciputat, 22 Januari 2020
v
ABSTRAK
Muhammad Alwi Abdussalam. Al-Dakhīl Fī al-Tafsīr (Studi
Tafsir al-Kasysyāf).
Al- Dakhīl dalam tafsir yaitu suatu aib dan cacat yang sengaja
ditutup-tutupi dan disamarkan hakikatnya serta disisipkan di dalam
beberapa bentuk tafsir al-Qur’an yang otentik. Ulama yang vokal
membicarakan al-Dakhīl yaitu Al-Dzahabi, dalam karyanya Al-Ittija
al-Munharifah fi Tafsiril Quranil Karim. Salah satu mufasīr yang ia
kritik adalah al-Zamakhsyarī. Al-Dzahabi secara eksplisit menyatakan
bahwa ia tidak menyelidiki secara rinci dan detail penafsiran al-
Zamakhsyarī di dalam Tafsir al-Kasysyāf tentang al-Dakhīl. Tapi al-
Dzahabi mengatakan bahwa semakin mengkaji dan membaca lebih
dalam Tafsir al-Kasysyāf maka akan ditemukan banyak al-Dakhīl di
dalamnya.
Penelitian ini menggunakan metode library research atau
penelitian kepustakaan. Kemudian dalam pembahasannya penulis
menggunakan metode “maudhu’i,” yaitu dengan cara membahas
bentuk bentuk pengungkapan-nya dalam al-Qur’an yang berkaitan
dengan ideologi Mu’tazilah untuk mengungkap adanya al-Dakhīl atau
tidak.
Setelah melakukan penelitian, penulis berkesimpulan bahwa
bentuk al-Dakhīl yang masuk ke dalam tafsir al-kasysyāf adalah al-
Dakhīl bi al-Ra’yī. Maksudnya memberikan interpretasi berupa rasio
dan ijtihad yang tidak sesuai dengan keautentikannya. Kemudian
adapun hal yang melatar belakangi terjadinya al-Dakhīl di dalam tafsir
al-Kasysyāf adalah tendensi dan hegemoni Mu’tazilah yang ia anut
dalam menafsirkan doktrin-doktrin Mu’tazilah. Doktrin yang di
gunakan adalah mengkultuskan akal dalam meng-interpretasikan ayat,
sehingga apabila terjadi kontradiktif dengan akal maka harus
ditakwilkan makna tekstualnya.
Kata Kunci: Al-Dakhīl, al-Zamakhsyarī dan Tafsir al-Kasysyāf.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillȃhirrahmȃnirrahīm
Segala puji bagi Allah Swt. Tuhan semesta alam yang telah
memberikan kenikmatan jasmani maupun rohani, serta Rahmat dan
hidayah-Nya, dan kemudahan serta kesabaran dalam menghadapi
berbagai rintangan dan kesulitan sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas akhir kuliah ini (Skripsi) berkat pertolongan-Nya. Sholawat dan
salam saya sampaikan dan saya haturkan kepada manusia yang paling
mulia kekasih Allah Swt. yakni baginda Nabi besar Muhammad Saw.
Serta doʻa untuk keluarganya, sahabatnya dan para pengikutnya hingga
akhir zaman.
Terlebih dahulu saya sembahkan bakti do’a dan rasa terima kasih
kepada kedua orang tua saya, ibu dan bapak saya, yang mana dalam
setiap sujud mereka selalu mendo’akan kesuksesan anak-anaknya.
Mereka yang telah bersabar dalam mengasuh dan mendidik,
memberikan kasih sayang, dan tentunya selalu ikhlas mendoʻakan
setiap langkah anak-anaknya demi tercapai cita-cita yang mulia.
Mereka juga yang selalu memotivasi saya untuk menjadi manusia yang
lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain. Semoga Allah senantiasa
mengampuni dan memaafkan segala khilaf dan salahnya dan
menempatkan mereka derajat kedudukan yang paling tinggi. `Amīn.
Selanjutnya saya sampaikan rasa terima kasih saya yang
setinggi-tingginya kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Amany Lubis, M. A. selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
vii
2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, M. A. selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Eva Nugraha, M. A. selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan bapak Fahrizal
Mahdi, Lc. MIRKH. selaku Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur’an
dan Tafsir. Serta seluruh dosen dan staf akademik fakultas
Ushuluddin, khususnya jurusan ilmu al-Qur’an dan tafsir yang
telah membagikan waktu, tenaga dan ilmu pengetahuan juga
pengalaman yang berharga kepada penulis.
4. Bapak Muslih, M. Ag. selaku dosen pembimbing penulis yang
telah memberikan arahan, saran dan dukungan kepada penulis,
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Mohon maaf yang
sebesar-besarnya jika selama proses bimbingan penulis banyak
merepotkan. Semoga bapak senantiasa diberikan kesehatan, dan
kelancaran dalam segala urusan. Amīn.
5. Guru-guru penulis, yang telah berjasa serta ikhlas memberikan
dan mengajarkan ilmu-ilmunya kepada penulis.
6. Teman-teman seperjuangan jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir
angkatan 2014, khususnya teman-teman PT. Inhutani Sejahtera
(Pace, Bahal, Dadan, Yasep, Apridho dan Ridho. Terima kasih
atas kerja sama selama ini semoga kita semua dilancarkan oleh
Allah dalam segala urusan. `Amīn.
7. Serta masih banyak lagi pihak-pihak yang sangat berpengaruh
dalam proses penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu.
Semoga Allah Swt. membalas semua kebaikan yang telah
diberikan, dan semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi
viii
penulis khususnya dan umumnya bagi para pembaca agar selalu
berpegang pada ajaran-ajaran Rasālullāh Saw. `Amīn.
Jakarta, 16 Desember 2019
M. Alwi Abdussalam
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ........................................................................ i
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................... iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ........ iv
ABSTRAK .................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................ vi
DAFTAR ISI ............................................................................... ix
TRANSLITERASI ..................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................... 1
B. Identifikasi Masalah ........................................... 7
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................. 8
D. Tujuan Penelitian ................................................ 9
E. Manfaat Penelitian .............................................. 9
F. Tinjauan Pustaka ............................................... 10
G. Metodologi Penelitian ....................................... 14
H. Sistematika Penulisan ........................................ 17
BAB II LANDASAN TEORITIS TENTANG AL-DAKHĪL FĪ
TAFSĪR
A. Definisi al-Dakhīl fī Tafsīr ................................ 19
B. Klasifikasi al-Dakhīl ......................................... 22
C. Transformasi Dakhīl ke dalam Kajian Tafsir .... 27
D. Pandangan Ulama Terhadap al-Dakhīl ............. 32
BAB III TINJAUAN UMUM BIOGRAFI AL-ZAMAKHSYARĪ
A. Biografi al-Zamakhsyarī .................................... 35
x
B. Karya-karya al-Zamakhsyarī ............................. 39
C. Karakteristik Tafsir al-Kasysyāf ........................ 41
D. Teologi dan Madzhab al-Zamakhsyarī .............. 51
E. Pandangan Ulama Mengenai Kitab Tafsir al-
Kasysyāf ............................................................. 53
BAB IV AL-DAKHĪL DALAM TAFSIR AL-ZAMAKHSYARĪ
A. Unsur-unsur Al-Dakhīl dalam Tafsir al-
Kasysyāf ............................................................. 56
B. Analisis Terjadinya Dakhīl dalam Tafsir al-
Kasysyāf ............................................................. 68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................ 79
B. Saran-Saran ........................................................ 80
DAFTAR PUSTAKA ................................................................ 81
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini
berpedoman pada hasil keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor: 158 Tahun 1987 dan
Nomor: 0543b/U/1987.
1. Konsonan
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf
Arab
Nama Huruf Latin Nama
Alif Tidak dilambangkan Tidak ا
dilambangkan
Ba B Be ب
Ta T Te ت
Ṡa ṡ Es (dengan ث
titik di atas)
Jim J Je ج
Ḥa ḥ Ha (dengan ح
titik di bawah)
Kha Kh ka dan ha خ
Dal D De د
Żal ż Zet (dengan ذ
titik di atas)
Ra R Er ر
Zai Z Zet ز
Sin S Es س
Syin Sy es dan ye ش
Ṣad ṣ es (dengan ص
titik di bawah)
xii
Ḍad ḍ de (dengan ض
titik di bawah)
Ṭa ṭ te (dengan titik ط
di bawah)
Ẓa ẓ zet dengan ظ
titik di bawah)
ain ‘ koma terbalik‘ ع
(di atas)
Gain G Ge غ
Fa F Ef ف
Qaf Q Ki ق
Kaf K Ka ك
Lam L El ل
Mim M Em م
Nun N En ن
Wau W We و
ـه Ha H Ha
Hamzah ' Apostrof ء
Ya Y Ye ي
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk
vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fathah A A
Kasrah I I
Dhammah U U
xiii
Adapun untuk vocal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah
sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
ي Fathah dan
ya
Ai a dan i
و Fathah dan
wau
Au a dan u
Contoh:
kaifa- ك ي ف
haula- ه و ل
3. Vokal Panjang/ Maddah
Ketentuan alih aksara vocal panjang (maddah), yang dalam bahasa
Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Harakat
dan huruf
Nama Huruf dan
tanda
Nama
ا ي... Fathah dan
alif atau ya
Ā a dan garis
di atas
ي ى Kasrah dan
ya
Ī I dan garis
di atas
Dhammah ىـ و
dan wau
Ū u dan garis
di atas
Contoh:
ال ق -qāla
ىم ر -ramā
ل ي ق -qīla
xiv
4. Ta’ Marbūṭah
Transliterasi untuk Ta’ Marbūṭah ada dua:
a. Ta’ Marbūṭah hidup
Ta’ Marbūṭah yang hidup atau mendapat harakat fathah, kasrah, dan
ḍommah, transliterasinya adalah “t”.
b. Ta’ Marbūṭah mati
Ta’ Marbūṭah yang mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya
adalah “h”.
c. kalau pada kata terkahir dengan Ta’ Marbūṭah diikuti oleh kata yang
menggunakan kata sandang al serta bacaan kedua kata itu terpisah maka
Ta’ Marbūṭah itu ditransliterasikan dengan ha (h).
No Kata Arab Alih Aksara
rauḍah al-aṭfāl ر و ض ة األ ط ف ال 1
ل ة 2 د ين ة الف اض al-madīnah al-fāḍilah امل
م ة 3 al-ḥikmah احل ك
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda ( ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu.
Contoh:
rabbanā- ر بـن ا
nazzala- نـ زل
al-birr- الب ر
al-ḥajj– احل ج
xv
Jika huruf ى ber-tasydid di akhir sebuah kata dan didahului oleh
huruf kasrah ( ـى ـــــــــــــــ ), maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah (ī).
Contoh:
Alī (bukan ‘Aliyy atau ‘Aly)‘ : عل ى
Arabī (bukan ‘Arabiyy atau ‘Araby)‘ : ع ر ب
6. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu ال. Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang
ditransliterasi seperti biasa, al-, baik ketika dia diikuti oleh huruf
syamsiyah maupun huruf qamariah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi
huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata
yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-),
Contohnya:
al-rajulu- الرج ل
al-sayyidu- السي د
al-syamsu- الشم ش
al-qalamu- الق ل م
al-badĭ’u- أل ب د ي ع
al-jalālu- ال ال ل
7. Hamzah
Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (') hanya berlaku
bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah
xvi
terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia
berupa alif. Contohnya:
ta'murūna : ت م ر و ن
'al-nau : النـو ء
syai'un : ش ي ئ
umirtu : أ م ر ت
8. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia
Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah
atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah
atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari pembendaharaan
bahasa Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa
Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya
kata Al-Qur’an (dari al-Qur'ān), sunnah, khusus, dan umum. Namun bila
kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka
mereka harus ditransliterasi secara utuh. contoh:
Kata Arab Alih Aksara
Fī Ẓilāl al-Qur'ān ف ظ ال ل الق ر آن
و ي ن Al-Sunnah qabl al-tadwīn الس نة قـ ب ل الت د
Al-‘ibārāt bi ‘umūm al-lafẓ lā bi الع با ر ة ب ع م و م الل ف ظ ال ب ص و ص السب ب
khuṣūṣ al-sabab
9. Lafẓ al-jalālah (هللا) Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf
lainnya atau berkedudukan sebagai mudāf ilaih (frasa nominal),
transliterasi tanpa huruf hamzah. Contoh: dīnullāh : د ي ن هللا
billāh : ب هللا
xvii
Adapun ta marbūṭah di akhir kata yang disandarkan kepada lafẓ al-
jalālah, ditransliterasi dengan huruf (t). Contoh :
hum fī rahmatillāh : ه م ف ر ح ة هللا
10. Huruf Kapital
Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf capital (All Caps),
dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang
penggunaan huruf kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia
yang berlaku (EYD). Huruf kapital, misalnya, digunakan untuk menulis
huruf awal nama dari (orang, tempat, bulan) dan huruf pertama pada
permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka
yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut,
bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal kalimat, maka
huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital (Al-).
Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul referensi
yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks
maupun dalam catatan rujukan (CK,DP,CDK, dan DR). Contoh:
Kata Arab Alih aksara
Wa mā Muḥammadun illā rasūl- و م ا م مد إ ال ر س و ل
ع ل لناس ل لذ ي ب ب كة م با ر كا Inna awwala baitin wuḍi’a- إ ن أ ول بـ ي ت و ض
linnāsi bi Bakkata mubārakan
ر ر م ض ان الذي أ ن ز ل ف ي ه الق ر آن Syahru Ramaḍān al-lażī unzila- ش ه
fīh al-Qur'an
ي ي الد ي ن الطرو س Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī- ن ص
Abū Naṣr al-Farābī- أ بـ و ن ص ر الف ر اب
Al-Gazālī- الغ ز ال
ن ق ذ م ن الد ال ل Al-Munqiż min al-Ḍalāl- امل
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan penafsiran berkembang seiring persoalan yang
dihadapi umat manusia. Penafsiran pada masa awal ketika al-Quran
turun Nabi menjelaskan kepada sahabat.1 Namun pada masa
berikutnya setelah Nabi wafat penafsiran dijelaskan oleh para sahabat
dengan pemahaman mereka masing-masing. Pada masa inilah
dimulainya perbedaan-perbedaan penafsiran yang mana faktor
perbedaan tersebut ada dua hal yang melatar belakangi, pertama al-
Qur’an yang memiliki beragam makna dan kedua faktor eksternal yaitu
faktor keahlian mufasir yang menjadi syarat-syarat sebagai mufassir
yaitu meliputi aqidah yang benar, bersih dari hawa nafsu, mengambil
al-Qur’an sebagai sumber utama penafsiran sebelum beralih pada al-
Sunnah, mengetahui bahasa Arab dengan disiplin ilmunya, mengetahui
ulumul qur’an, dan memahami dengan teliti makna al-Qur’an.2 Serta
kecenderungan para Mufasir dalam memahami al-Qur’an yang
terbentuk dari latar belakang penulis, ideologi, politik, penguasa pada
waktu dan sebagainya. Dengan demikian tafsir tidak mengenal final,
melainkan akan terus berkembang sehingga menimbulkan berbagai
macam corak penafsiran yang kemudian berkembang menjadi aliran
1 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an: Studi Aliran-Aliran
Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer
(Yogyakarta: Adab Press, 2014), 11-12. 2 Mannā’ Khalīl al-Qattān, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, trj.Mudzakir AS. (Bogor:
Litera AntarNusa, 2011), 462-465.
2
tafsir yang berbeda-beda. Sebagaimana persoalan-persoalan manusia
yang terus bermunculan.3
Tafsir adalah produk pemikiran manusia.4 Sepanjang tafsir
merupakan produk manusia, maka hal itu tidak akan lepas dari
kekurangan atau bahkan penyimpangan-penyimpangan dalam
penafsiran (inhirāf). Di antara bentuk penyimpangan (inhirāf) itu
adalah pembahasan tafsir Al-Qur’an yang kemudian disebut dengan
istilah al-dakhīl (infiltrasi). Secara bahasa dakhīl berasal dari kata
dakhila yang bermakna bagian dalamnya rusak, ditimpa oleh
kerusakan dan mengandung cacat.5 Sedangkan secara terminologi
dakhīl dalam tafsir yaitu suatu aib dan cacat yang sengaja ditutup-
tutupi dan disamarkan hakikatnya serta disisipkan di dalam beberapa
bentuk tafsir al-Qur’an yang otentik.6
Fenomena dakhīl dalam tafsir al-Qur’an khususnya al- dakhīl
dalam tafsir bi al- al-ma’ṡūr dan bi al-ra’yī tidak dapat dipisahkan dari
dinamika penafsiran yang secara garis besar dibagi dalam dua periode,
yaitu periwayatan dan pembukuan. Perkembangan tafsir bi al-ma’ṡūr
yang berasal dari isra’illiyat berakhir dengan dihapuskannya isnad-
isnad, dan orang mengutipnya tanpa menyebutkan urutan sanad-sanad
tersebut. Begitu juga sumber bi al-ra’yī juga berakhir karena
3 Muhammad Ulinnuha, Metode Kritik Al-Dakhīl fit-Tafsir: Cara Mendeteksi
Adanya Infiltrasi dan Kontaminasi Dalam Penafsiran al-Qur’an (Jakarta: PT Qaf
Media Kreativa 2019), 44. 4 Muhammad Ulinuha, Konsep Al-Ashīl dan Al-Dakhīl Dalam Tafsir Al-
Qur’an, jurnal MADANIA Vol. 21, No. 2 (Desember 2017): 127. 5 Ibrahim Mustafa, al-Mu’jam al-Wasit (Turki: Dar al-Da’wah, 1990), 275. 6 Ibrahim ‘Abd al-Rahman Muhammad Khalifah, al- Dakhīl fī al-Tafsīr, jilid 1
(kairo: Dar al-Bayan, ttp) 2; Ahmad Fakhruddin fajrul Islam, “Al-Dakhīl fi Tafsir
(Studi Kritis dalam Metodologi Tafsir)”, Tafaqquh, vol. 2 No. 2 (Desember 2014):
81.
3
didominasi oleh kecenderungan-kecenderungan perorangan dan
madzhab-madzhab yang lain.7
Adapun penyimpangan-penyimpangan dalam penafsiran (al-
dakhīl) juga marak dalam karya tafsir. Menurut Abdul Wahab Fāyed,
praktek infiltrasi penafsiran itu tidak saja terjadi pada era kontemporer,
tapi secara genealogis sudah terjadi sejak masa-masa klasik seiring
dengan penyebaran Islam ke berbagai penjuru dunia.8
Salah satu kitab tafsir populer yang ditulis di era keemasan Islam
(periode petengahan) yang menggunakan metode bi al-ra’yī adalah
kitab al-Kasysyāf ‘an Haqāiq al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqāwīl fī Wujūh
al-Ta`wīl karya Abū al-Qāsim Maḥmūd b. ‘Umar al-Khawārizmī al-
Zamakhsyarī.9 Yang mana merupakan salah satu kitab tafsir yang
monumental, bahkan corak kebahasaan dalam penafsirannya mendapat
pujian dan pengakuan dari ulama-ulama terkemuka. Di sisi lain, al-
Zamakhsyarī juga menggunakan corak teologis yang mengedepankan
paham (aliran) dalam menafsirkan al-Qur’an.
Ulama-ulama tafsir ahlus sunnah banyak menanggapinya negatif
dengan corak itu, karena keberpihakan al-Zamakhsyarī terhadap aliran
Mu’tazilah dalam menafsirkan ayat. Sehingga seakan-akan
penafsirannya bersifat subjektif dan melegistimasi pemahamannya.
Akan tetapi ulama-ulama ahlus sunnah banyak mengambil manfaat
dari keilmuan beliau dalam menafsirkan ayat dari segi ke-
7 Muhammad Husein al-Dzahabī, Penyimpangan-penyimpangan dalam
Penafsiran al-Qur’an, trj. Hamim Ilyas dan Machnun Husein (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1996), 11-12. 8 Muhammad Ulinnuha, Metode Kritik Al-Dakhīl fit-Tafsir, 54. 9 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, 92.
4
balaghahannya, sekalipun mereka menentang akidah kaum Mu’tazilah
yang dianut al-Zamakhsyarī.10
Sebagaimana mufassir pada umumnya, pembahasan dan
kandungan penafsiran al-Qur’an senantiasa dipengaruhi oleh aliran
keagamaan dan keahlian sang mufassir.11 Demikian pula dengan al-
Zamakhsyarī di dalam kitab, kitab karangannya ini dipengaruhi oleh
rasionalitas paham Mu’tazilah. Sehingga penafsirannya diwarnai
dengan corak i’tizali. Jika ia menemukan lafadz yang secara lahiriah
(tampaknya) tidak sesuai dengan pendapat Mu’tazilah, ia berusaha
dengan segenap kemampuannya untuk membatalkan makna lahir dan
menetapkan makna lainnya yang terdapat dalam bahasa.
Di antara Ulama yang vokal membicarakan al- Dakhīl
(penyusupan) dalam kitab-kitab tafsir yaitu Dr. Muhammad Sayyid
Hussain al-Dzahabī dalam karyanya Al-Ittija al-Munharifah fi Tafsiril
Quranil Karim. Dalam muqaddimah karya al-Dzahabī beliau
mengatakan bahwa dalam beberapa buku tafsir klasik maupun modern,
dengan berbagai system, orientasi dan metodenya masing-masing,
terdapat banyak penyimpangan dalam memahami nash-nash al-
Qur’an.12 Juga terdapat penyimpangan-penyimpangan makna (ta’wil)
yang bukan saja tidak sesuai dengan ras bahasa (Arab) yang benar
tetapi juga menghilangkan keindahan al-Qur’an itu sendiri, dan bahkan
10 Dara Humaira dan Khairun Nisa, Unsur I’tizali Dalam Tafsir Al-Kasysyâf
(Kajian Kritis Metodologi Al-Zamakhsyarī), Jurnal Maghza vol. 1, No. 1 (Januari-
Juni 2016): 31-32. 11 Muhammad Husein al-Dzahabī, Penyimpangan-penyimpangan dalam
Penafsiran al-Qur’an, V. 12 Al-Dzahabī, Penyimpangan-Penyimpangan Dalam Penafsiran Al-Qur’an,
5.
5
ada yang bertentangan dengan ajaran pokok Islam, sehingga dapat
menjerumuskan pembacanya kepada kekafiran.
Menurut al-Dzahabī, Mu’tazilah merupakan firqah (kelompok)
yang banyak mentafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan penafsiran-
penafsiran yang tidak proporsional dan menyimpangkan makna teks-
teks al-Qur’an dari makna yang sebenarnya dalam rangka mendukung
prinsip-prinsip ideologi yang diyakininya.13 Kemudian al-Dzahabī
mengemukakan hanya beberapa contoh yaitu:
Allah berfirman dalam QS. al-Qiyāmah ayat 22-23:
ا نظرة ضرة إل رب ذ نا وجوه ی ومىArtinya: “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-
seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”
Dalam menafsirkan ayat tersebut al-Zamakhsyarī mengartikan
lafadz nazhirah dengan memalingkan makna zahir kata tersebut
kepada makna al-tawaqqu’ wa al-raja (berharap).14 Seperti kata orang:
yang berarti ‘Aku mengharap si Fulan melakukan sesuatu untukku’.
Mereka tidak mengharapkan nikmat dan kehormatan selain daripada
Tuhan mereka, seperti ketika masih ada di dunia, mereka tidak takut
dan mengharap kepada siapa pun kecuali kepada Allah.15
13 Al-Dzahabī, Penyimpangan-Penyimpangan Dalam Penafsiran Al-Qur’an,
5. 14 Al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf ‘an Haqāiq al-Tanzȋl wa ‘Uyūn al-Aqāwīl fī
Wujūh al-Ta`wīl (Kairo: Matba‟ah Isa al-babi al-Halibi, t.th.), jilid IV, 192. 15Al-Dzahabī, Penyimpangan-Penyimpangan Dalam Penafsiran Al-Qur’an),
56.
6
Begitu juga ketika al-Zamakhsyarī bertemu dengan ayat yang
tidak sesuai dengan aspek ajaran prinsip yang dia pegang, akan
cenderung memaksakan pemahamannya ke dalam penafsirannya.
Seperti dalam penasiran Q.S. al-Nisā’ [4]: 164 (وكلم الل موسى تكليما).
Dalam al-Kasysyāf, al-Zamakhsyarī menyebutkan penafsiran dari
sebagian madzhabnya yang mengatakan bahwa كلم disini tidak berarti
“berbicara” tetapi bermakna جرح (melukai).16 Dengan demikian,
penafsiran ayat di atas menurut al-Zamakhsyarī adalah bahwa Allah
Swt melukai Nabi Musa melalui berbagai macam cobaan dan ujian,
bukan berbicara langsung dengannya seperti halnya diyakini mayoritas
ulama. Sebab bangsa Arab memakai dan memahami kata kalama
dengan pembicaraan atau perkataan.17
Akan tetapi, Al-Dzahabī secara eksplisit menyatakan bahwa ia
tidak menyelidiki secara rinci dan detail penafsiran Zamakhsyarī di
dalam Tafsir al-Kasysyāf tentang pembelaan Zamakhsyarī dalam
ideolognya, hanya saja beliau memaparkan hanya beberapa contoh
sebagaimana dijelaskan di atas. Oleh karena itu, penulis ingin
mengkaji dan mencoba untuk mengukapkan lebih dalam penafsiran-
penafsiran yang menyimpang di dalam tafsir al-Kasysyāf lebih detail,
terlebih menganalisis ayat-ayat al-qur’an yang berkaitan dengan al-
Uṣul al-Khamsah (prinsip yang lima) yaitu tauhid, keadilan, janji dan
ancaman, tempat di antara surga dan neraka, dan amar ma’ruf nahi
mungkar beserta memaparkan contoh-contohnya.
16Al-Dzahabī, Penyimpangan-Penyimpangan Dalam Penafsiran Al-Qur’an,
58. 17 Muhammad Ulinnuha, Metode Kritik Al-Dakhīl fit-Tafsir, 155.
7
Penulis tertarik ingin mengkaji lebih dalam dengan
mengungkapkan penafsiran-penafsiran yang menyimpang dalam tafsir
al-Kasysyāf. Dikarnakan Al-Dzahabī tidak luas memaparkan contoh-
contoh infiltrasi (penyimpangan) penafsiran al-Zamakhsyarī dalam
membela ideologinya dalam tafsir al-Kasysyāf. Begitu pula, sejauh
penelitian penulis jarang sekali di kalangan sarjana muslim yang
meneliti secara detail mengenai al-Dakhīl (penyusupan) di dalam
penafsiran Zamakhsyarī pada ayat ayat al-Qur’an yang semata-mata
untuk membela ideologi kemu’tazilahannya. Oleh karena itu, tulisan
ini akan memaparkan serta mengungkap secara rinci penafsiran-
penafsiran Zamakhsyarī di dalam al-Kasysyāf tentang ayat-ayat al-
Qur’an yang berkaitan dengan prinsip-prinsip ajarannya.
Metode yang penulis gunakan dalam mengkaji permasalahan ini
adalah analisi-kritis, yaitu dengan memaparkan data-data yang
berkenaan dengan kitab tafsir al-Kasysyāf kemudian menganalisa dan
mengkritisi metodologi al-Zamakhsyarī yang dianggap melegitimasi
pemahamannya di dalam kitab al-Kasysyāf.
B. Identifikasi Masalah
Berlandaskan dari uraian latar belakang di atas, maka
permasalahan yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana metodologi dan kecenderungan penafsiran yang
digunakan al-Zamakhsyarī dalam al-Kasysyāf?
2. Bagaimana pendapat ulama terhadap Al-Zamakhsyarī?
8
3. Bagaimana Dakhīl dalam dalam Tafsir al-Kasysyāf karya ayat-
ayat yang berkaitan dengan al-Uṣul al-Khamsah al-
Zamakhsyarī?
4. Apa yang melatar belakangi terjadinya Dakhīl dalam Tafsir al-
Kasysyāf?
5. Bagaimana sikap para ulama dalam menyikapi Dakhīl dalam
tafsir?
Dengan melihat keluasan pembahasan tentang Dakhīl dalam
penafsiran, maka penelitian ini difokuskan pada nomor 3 dan 4, yaitu
Dakhīl dalam ayat-ayat yang berkaitan dengan al-Uṣul al-Khamsah
serta hal-hal yang melatar belakangi terjadinya Dakhīl dalam kitab
Tafsir al-Kasysyāf karya Al-Zamkhsyari serta berpedoman pada teori
Dakhīl sebagai pisau analitis.
C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam skripsi ini, penulis membatasi pada pembahasan
mengenai al-Dakhīl fi Tafsīr (Studi Tafsir al-Kasysyāf) dan
mengungkap infiltrasi penafsiran-penafsiran Zamakhsyarī
dalam ayat-ayat akidah yang berkaitan dengan al-Uṣul al-
Khamsah (lima prinsip dasar) ideologi Mu’tazilah.
2. Perumusan Masalah
a. Bagaimana al-Dakhīl dalam Tafsir al-Kasysyāf karya al-
Zamakhsyarī ayat-ayat yang berkaitan dengan al-Ushul al-
khamsah?
b. Apa yang melatar belakangi terjadinya Dakhīl dalam Tafsir
al-Kasysyāf?
9
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas, penelitian ini
bertujuan untuk:
1. Untuk mendeskripsikan dakhīl dalam ayat-ayat yang berkaitan
dengan al-Uṣul al-Khamsah dalam kitab Tafsir al-Kasysyāf
karya al-Zamakhsyarī?
2. Untuk menganalisa terjadinya dakhīl dalam kitab Tafsir al-
Kasysyāf
3. Sebagai kontribusi ilmiah terhadap khazanah kepustakaan Islam,
terutama dalam bidang tafsir.
4. Untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memeperoleh
gelar sarjana strata 1 (S1) dalam Fakultas Uṣhuluddīn Program
Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.
E. Manfaat Penelitian
Dari penelitian skripsi ini dapat diambil manfaat sebagai berikut:
1. Untuk Masyarakat
a. Mengetahui dan memahami secara mendalam mengenai
implementasi kitab Tafsir al-Kasysyāf serta bentuk-
bentuk dakhīl di dalamnya.
b. Diharapkan dengan adanya penelitian ini mampu
menambah khazanah pengetahuan dan referensi
metodologi kitab tafsir al-Kasysyāf serta bentuk-bentuk
dakhīl di dalamnya.
2. Untuk Akademisi
a. Sebagai tambahan untuk sumber rujukan.
10
b. Berguna untuk menjadi rujukan dalam upaya menyikapi
penyimpangan-penyimpangan terhadap karya tafsir.
F. Tinjauan Pustaka
Penelitian terhadap Al-Dakhil bukanlah hal yang baru. Sebelum
penulis beberapa tahun kebelakang, sudah ada beberapa yang
mengulas tentang al-Dakhīl fī al-Tafsīr. Di antaranya yaitu:
1. Menyoal Legalitas Tafsir (Telaah Kritis Konsep Al-Ashil Wa Al-
Dakhīl), karya Moh. Alwy Amru Ghozali dalam jurnal Tafsere
vol. 6 No. 2 tahun 2018. Pada penelitian ini menjelaskan secara
umum dakhil dalam al-Qur’an serta legalitas tafsir yang
mengandung adanya dakhil di dalamnya.18
2. Al-Dakhīl fī al-Tafsīr Al-Jailany (Dirasah Tahliliyah ‘an Al-
Dakhīl Min Surati Al-hijr ila Surah Al-Kahfi), Tesis yang ditulis
oleh Usep Nur Akasah pada fakultas Dirasah Islamiyah
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta 5 November
2016. Penelitian ini mengkaji Al-Dakhīl dalam Tafsir Al-Jailany
Karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailany.19
3. Kata Serapan Bahasa Asing Dalam Al-Qur’an Dalam Pemikiran
Al-Ṭabari, karya Ismail Ubaidillah dalam jurnal At-Ta’dib vol. 8
no. 1 tahun 2013. Pada penelitian ini pembahasan tentang
pemikiran at-Thabari mengenai kata-kata serapan dari bahasa
asing dalam Al-Qur’an al-Karim.20
18 Moh. Alwy Amru Ghozali, Menyoal Legalitas Tafsir: Telaah Kritis Konsep
Al-Ashil Wa Al-Dakhīl, Tafsere, vol. 6 No. 2, 2018. 19 Usep Nur Akasah, “Al-Dakhīl fī al-Tafsīr Al-Jailany: Dirasah Tahliliyah
‘an Al-Dakhīl Min Surati Al-hijr ila Surah Al-Kahfi” (Tesis S2., Universitas Islam
Negri Syarif Hidayatullah Jakarta 2016). 20 Ismail Ubaidillah, Kata Serapan Bahasa Asing Dalam Al-Qur’an Dalam
Pemikiran At-thabari, At-ta’dib, vol. 8 no. 1 (2013).
11
4. Dakhīl Al-Naqli dalam Tafsir Jāmi’ AlBayān ‘an Ta’wīl āy Al-
Qur’ān Karya Ibnu Jarir Al-Ṭabari (Kajian Tentang Kisah Nabi
Musa A.S. dan Nabi Khidir A.S.), skripsi yang ditulis oleh Priyo
Pratama pada Fakultas Ushuluddin Universitas Gunung Djati
Bandung 2018. Skripsi ini membahas adanya bentuk Dakhīl Al-
Naqli dalam Tafsir Jāmi’ Al-Bayān‘an Ta’wīl āy Al-Qur’ān
Karya Ibnu Jarir Al-Ṭabari yang terfokus pada ayat-ayat yang
berkenaan dengan kisah Nabi Musa A.S. dan Nabi Khidir A.S.21
5. Dakhīl Al-Naqli dalam Tafsir Fath al-Qadir al-Shawkani (Kajian
ayat-ayat tentang kisah Nabi Ibrahim A.S.), skripsi yang ditulis
oleh Harun pada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negri
Sunan Gunung Djati 2019. Penelitian ini mengidentifikasi
adanya unsur-unsur al- dakhīl dalam Tafsir Fath al-Qadr baik itu
dakhīl al-naql maupun dakhīl al-ra’yī, yang terfokus pada ayat-
ayat kisah Nabi Ibrahim A.S.22
6. Al-Dakhīl Fī Tafsīr (Studi Kritis dalam Metodologi Tafsir),
karya Ahmad Fakhruddin Fajrul Islam dalam Jurnal Tafaqquh;
vol. 2 No. 2, Desember 2014. Penelitian ini menjelaskan secara
umum dakhīl dalam Alquran serta sikap yang harus diambil para
mufassir dalam menafsirkan Alquran.23
21 Priyo Pratama, “Dakhīl Al-Naqli dalam Tafsir Jāmi’ AlBayān ‘an Ta’wīl āy
Al-Qur’ān Karya Ibnu Jarir Ath-Thabari (Kajian Tentang Kisah Nabi Musa A.S. dan
Nabi Khidir A.S.)” (Skripsi S1., Universitas Gunung Djati Bandung 2018). 22 Harun, “Dakhīl Al-Naqli dalam Tafsir Fath al-Qadir al-Shawkani (Kajian
ayat-ayat tentang kisah Nabi Ibrahim A.S.)” (Skripsi S1., Universitas Islam Negri
Sunan Gunung Djati Bandung, 2019). 23 Ahmad Fakhruddin Fajrul Islam, Al-Dakhīl Fī Tafsīr (Studi Kritis dalam
Metodologi Tafsir), Tafaqquh, vol. 2, No. 2, (Jombang: Desember, 2014).
12
7. Dakhīl al-Naqli dalam kitab tafsir Al-Tabārī pada penafsiran
tentang mukjizat Nabi Musa As. Karya yang ditulis oleh Denu
Rahmad, Mujiyo Mujiyo, Ibrahim Syuaib dalam Al-Bayan:
Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir 2, 2 (Desember 2017): 84-102.
Penelitian tersebut mengidentifikasi penafsiran yang layak (Aṣīl)
dan tidak layak (Dakhīl) digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat
berkenaan dengan mukjizat Nabi Musa A.S.
8. Skripsi yang berjudul “al- Dakhīl Dalam Video Negeri Saba'
Versi al-Quran Fahmi Basya” ditulis oleh Carwa, Jurusan Tafsir
Hadis Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Gunung Djati Bandurg,
2012. Penelitian ini membahas tentang 7 pengkategorian Dakhīl
al-Ra’yī, menyingkapi 7 tema pokok hujah KHFB ditambah satu
tema pokok dasar penafsirannya.24
9. Dakhīl dalam Kitab Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil
Karya Al-Baydhawi (Kajian Surat al-Fatihah dan Surat al-
Baqarah), disertasi yang ditulis oleh Faṭul Bari pada program
Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2013.
Penelitian ini mengkaji dakhīl dalam tafsir al-Baydhawi pada
surat al-Fatihah dan Surat al-Baqarah.25
10. Al-Dakhīl dalam Tafsir al-Mawardy (Studi atas Kitab al-Nukāt
wa al-‘Uyūn Juz 1 dan 2), skripsi yang ditulis oleh Muhammad
Anas, Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan
Gunung Djati Bandung, 2004. Hasil dari penelitian tersebut
24 Carwa, “al- Dakhīl Dalam Video Negeri Saba' Versi Alquran Fahmi Basya”
(Skripsi S1., UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2012). 25 Fahul Bari, “Dakhīl dalam Kitab Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil
Karya Al-Baydhawi (Kajian Surat al-Fatihah dan Surat al-Baqarah)” (Disertasi S3.,
IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2013).
13
adalah ditemukannya Dakhīl dalam tafsir al-Mawardy pada juz 1
dan 2.26
Sedangkan penelitian yang terkait dengan penelitian kitab al-
Zamakhsyarī yaitu:
1. Ermita Zakiyah tesis dengan judul Aspek Paham Mu’tazilah
Dalam Tafsir Al-Kasysyāf Tentang Ayat-Ayat Teologi (Studi
Pemikiran al-Zamakhsyarī), membahas ayat-ayat teologi
Mu’tazilah dalam tafsir al-Kasysyāf karya Zamakhsyarī, dengan
memfokuskan pada dalil-dalil yang menguatkan teologi
Mu’tazilah.27
2. Konsep Keadilan dan Indeterminasi Menurut al-Zamakhsyarī
(Analisis Terhadap Kisah Nabi Adam dan Hawa dalam Tafsir al-
Kasysyāf), karya Lenni Lestari jurnal Syahadah vol. II, No. II,
Oktober 2014. Penelitian ini memaparkan mengenai kisah Nabi
Adam dan Hawa dalam tafsir al-Kasyaf karya Imam al-
Zamakhsyarī.28
3. Dara Humaira dan Khairun Nisa, Unsur I’tizali Dalam Tafsir Al-
Kasysyāf (Kajian Kritis Metodologi Al-Zamakhsyarī), Jurnal
Maghza vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2016. Penelitian ini
memaparkan konsep-konsep penafsiran al-Zamakhsyarī yang
26 Muhammad Anas, “Al-Dakhīl dalam Tafsir al-Mawardy (Studi atas Kitab
al-Nukât wa al-‘Uyȗn Juz 1 dan 2)” (Skripsi S1., UIN Sunan Gunung Djati Bandung,
2004). 27 Ermita Zakiyah, “Aspek Paham Mu’tazilah Dalam Tafsir Al- Kasysyâf
Tentang Ayat-Ayat Teologi (Studi Pemikiran al-Zamakhshary)” (Tesis S2., Institut
Agama Islam Negri Sunan Ampel, 2013) . 28 Lenni Lestari, “Konsep Keadilan dan Indetrminasi Menurut al-Zamakhsyarī
(Analisis Terhadap Kisah Nabi Adam dan Hawa dalam Tafsir al- Kasysyâf)”,
Syahadah, vol. II, No. II (Oktober 2014).
14
dipengaruhi oleh paham Mu’tazilah, dan argeumentasi-
argumentasi yang dibangun dalam menafsirkan al-Qur’an untuk
melegitimasi paham yang dianutnya.29
4. Hafni Bustami, “Metode Nahwu Al-Zamakhsyarī: Analisis
Terhadap Penggunaan Dalil Nahwu Dalam Tafsir Al-Kasysyāf”
(Disertasi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2008). Dalam
disertasi ini penulis menekankan pada sisi nahwu, hal ini
dikarenakan dalam tafsir Al-Kasysyāf al-Zamakhsyarī
menggunakan nahwu untuk menafsirkan al-Qur’an.30
Berdasarkan beberapa penelitian yang ada, penelitian tentang
dakhīl dalam kitab al-Kasysyāf ‘an Haqāiq al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-
Aqāwīl fī Wujūh al-Ta`wīl secara komprehensif belum dilakukan. Oleh
karena itu perlu adanya penelitian terhadap dakhīl dalam ayat-ayat
yang berkaitan dengan ideologi mu’tazilah, serta alasan yang melatar
belakangi terjadinya dakhīl dalam Tafsir Al-Kasysyāf.
G. Metodologi Penelitian
Sebuah riset ilmiah dilakukan untuk mencari kebenaran obyektif.
Untuk merealisasikan itu semua, peneliti harus mempunyai metodologi
dalam penelitiannya. Metodologi merupakan serangkaian proses dan
prosedur yang harus ditempuh oleh seorang peneliti, untuk sampai
29 Dara Humaira dan Khairun Nisa, “Unsur I’tizali Dalam Tafsir Al-Kasysyâf:
Kajian Kritis Metodologi Al-Zamakhsyarī,” Maghza, vol. 1, No. 1, (Yogyakarta:
Januari-Juni, 2016). 30 Hafni Bustami, “Metode Nahwu Al-Zamakhshary: Analisis Terhadap
Penggunaan Dalil Nahwu Dalam Tafsir Al-Kasysyâf” (Disertasi S3 UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 2008).
15
pada kesimpulan yang benar tentang riset yang dilakukan.31 Adapun
langkah-lalngkah yang dilakukan yaitu:
1. Pengumpulan Data
Adapun metode penulis gunakan yaitu metode (library
research) yaitu mencari dan mengumpulkan berbagai literatury
yang relevan dengan pokok masalah Al-Dakhil yang penulis
jadikan sebagai sumber penulisan, yang kemudian diindentifikasi
secara sistematis dan analisis dengan berbagai sumber primer dan
sekunder. Sedangkan data-data yang diperlukan itu berasal dari
sumber utama. Dalam hal ini yang menjadi sumber utama adalah
kitab Tafsir al-Kasysyāf ‘an Haqāiq al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqāwīl
fī Wujūh al-Ta`wīl karya al-Zamakhsyarī.
Data yang penulis peroleh akan penulis abstraksikan melalui
metode dekriptif, bagaimana sebenarnya al-Zamakhsyarī
menyikapi dakhīl dalam kitab Tafsir al-Kasysyāf. Kemudian
penulis akan melakukan analisis kritis terhadap asumsu-asumsi
dasar tentang dakhīl tersebut. Sehingga penulis akan membuat
kesimpulan-kesimpulan secara komprehensif sebagai jawaban atas
rumusan masalah yang telah dipaparkan.
2. Metode Pembahasan
Dalam hal ini, penulis menggunakan metode “mauḍu’i”
(tematik), yaitu dengan cara membahas bentuk bentuk
pengungkapannya dalam al Qur’ān yang berkaitan dengan
ideologi mu’tazilah. Menurut al Farmawi metode “mauḍu’i”
31 Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al- Qur’an dan Tafsir, h. 5.
16
(tematik) adalah menghimpun atau mengumpulkan ayat-ayat al
Qur’ān yang mempunyai tujuan satu dalam surah al Qur’ān yang
sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya
sedapat mungkin dengan masa turunnya, selaras dengan masa
turunnya, kemudian kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut
dengan penjelasan-penjelasan berhubungan dengan ayat lain
kemudian menistibatkan hukum hukum32. Langkah-langkah
metode “mauḍu’i” (tematik) yang diambil, sebagai berikut:
a) Menetapkan tema yang akan dikaji secara mauḍu’i.
b) Melacak dan mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang
berkaitan dengan tema tersebut.33
Kemudian menghubungkan dengan beraneka ragam masalah
yang terdapat dalam ayat tersebut kedalam suatu tema, serta
mengungkapkan kesimpulan dari seluruh bahasannya sebelumnya
dan sekaligus membahas yang dikemukakan di atas. Dalam hal ini
penulis tidak memperluas kajian ayat-ayatnya. Penulis hanya
mengambil example ayat yang ditafsirkan secara jelas oleh al-
Zamakhsyarī.
Berhubungan bahan primer yang terdiri dari empat jilid yang
mengurai seluruh ayat dalam al-Qur’an, sedangkan penelitian ini
berkenaan dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan permasalahan
ideologi Mu’tazilah (al-uṣul al-khamsah).
32 Abdul Hayy al Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’I: Sebuah Pengantar Terj.
Surya A. Samran, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), 36, Lihat M.Quraish
Sihahb , Membumikan Al Qur’an, (Jakarta: Mizan, 1992), Cet ke-I, 115. 33 Abdul Hayy al Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’I, 45-46.
17
H. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penelusuran dalam melakukan penelitian,
penulis menyuguhkan alur pembahasan dalam beberapa bab dan sub
bab tertentu. Adapun rasionalitas pembahasan penelitian adalah:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang mencakup latar
belakang masalah yang membahas tentang seberapa unik dan menarik
tema yang dibahas untuk dijadikan penelitian. Selanjutnya mengenai
identifikasi masalah yang membahas tentang kemungkinan
permasalahan-permasalahan yang muncul untuk dijadikan fokus
pembahasan, dilanjutkan dengan rumusan masalah yang akan dijawab
dalam penelitian ini, kemudian mengenai tujuan penelitian tentang
arah yang ingin dituju dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam
penelitian. Dilajutkan dengan tinjauan pustaka yang memaparkan
penelitian terdahulu yang relevan dengan topik yang bersangkutan
untuk menghindari adanya persamaan pembahasan. Selanjutnya,
metode penelitian yang berisi tentang jenis penelitian, sumber data,
pendekatan penelitian, dan tekhnik pengolahan data. Sedangkan
sistematika penulisan merupakan bagian terakhir dari bab ini yang
menjelaskan tentang gambaran umum isi penelitian. Bab pertama
inilah yang akan menjadi acuan dalam penelitian.
Bab kedua akan menyuguhkan tinjauan umum tentang al-dakhīl,
yang terdiri dari tiga sub bab, yang dimulai dari tafsir definisi tafsir,
definisi dakhīl dan macam-macamnya, transformasi dakhīl ke dalam
kajian tafsir. Dilanjutkan respon para ulama terhadap penyimpangan-
penyimpangan dalam karya tafsir. Bab ini merupakan gambaran umum
yang digunakan sebagai bahan analisis pada bab selanjutnya.
18
Kemudian bab ketiga menyuguhkan tentang biografi al-
Zamakhsyarī dalam kitab al-Kasysyāf ‘an Haqāiq al-Tanzīl wa ‘Uyūn
al-Aqāwīl fī Wujūh al-Ta`wīl, yang meliputi latar belakang kehidupan
al-Zamakhsyarī, guru dan muridnya, karya-karya, madzhab al-
Zamakhsyarī, latar belakang penulisan kitab dan metodologi Tafsir al-
Kasysyāf. Bab ketiga ini dimaksudkan untuk al-Kasysyāf ‘an Haqāiq
al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqāwīl fī Wujūh al-Ta`wīl pemikiran al-
Zamakhsyarī tentang al-dakhīl melalui setting sosio-historis.
Bab keempat mencakup bentuk penyimpangan penafsiran al-
Zamakhsyarī. Pada bab ini, membahas bentuk dakhīl dalam ayat-ayat
ideologi mu’tazilah, serta menganalisa terjadinya dakhīl dalam kitab
al-Kasysyāf ‘an Haqāiq al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqāwīl fī Wujūh al-
Ta`wīl.
Bab kelima merupakan penutup yang terjadi dari kesimpulan
yang merupakan jawaban singkat yang diajukan dalam rumusan
masalah serta saran untuk penelitian selanjutnya. Pada bagian akhir,
penulis akan menyertakan daftar pustaka, lampiran-lampiran, dan
riwayat hidup penulis (Curriculum Vitae).
19
BAB II
LANDASAN TEORITIS TENTANG AL-DAKHĪL FĪ TAFSĪR
A. Definisi al-Dakhīl fī Tafsīr
Secara bahasa دخل yang terdiri dari huruf dāl, khā’ dan lām
bermakna bagian dalamnya rusak, ditimpa oleh kerusakan dan
mengandung cacat.1 Menurut Ibnu Mandūr al-Dakhīl adalah kerusakan
yang menimpa akal dan tubuh.2 al-Rāghib al-Aṣfiḥānī menyebutkan
bahwa kata dakhala merupakan kinayah dari suatu kerusakan.3 Makna
al-dakhīl yang berasal dari kata دخل dapat juga memiliki arti tipu daya,
atau kejelekan. Allah berfirman:
نكمم ب ي م انكمم دخلا ول ت تخذوما ايم
“Dan janganlah kalian menjadikan sumpah-sumpahmu sebagai bentuk
tipu daya diantara kalian.” (Q.S. An-Nahl [16]: 94).
Ibrahim Khalifah dalam kitabnya al-Dakhīl fī al-Tafsīr, aib dan
cacat itu dikarenakan oleh beberapa faktor, antara lain: (a)
keterasingan, seperti kata serapan dan tamu yang tak diundang; (b)
cacat indrawi dan cacat lainnya yang terselubung dan tidak diketahui
kecuali setelah diteliti dengan seksama, seperti penyakit, usaha makar,
penipuan, keraguan, ulat dalam batang dan lain-lain.4
Berdasarkan pengertian bahasa diatas, dapat disimpulkan bahwa
al-dakhīl yang berasal dari kata kerja dakhila mempunyai arti:
1 Muhammad Ulinnuha, Metode Kritik Al-Dakhīl fit-Tafsir: Cara Mendeteksi
Adanya Infiltrasi dan Kontaminasi Dalam Penafsiran al-Qur’an (Jakarta: PT Qaf
Media Kreativa 2019), 50. 2 Ahmad Fakhruddin Fajrul Islam, Al-Dakhīl Fī Tafsīr (Studi Kritis dalam
Metodologi Tafsir), Tafaqquh, vol. 2, No. 2, (Jombang: Desember, 2014): 81. 3 Muhammad Ulinnuha, Metode Kritik Al-Dakhīl fit-Tafsir, 50. 4 Muhammad Ulinnuha: Konsep al-Aṣīl dan al-Dakhīl dalam Tafsir Alquran,
Madania, Vol. 21, No. 2 (Desember 2017): 129.
20
kerusakan, aib, penyakit, makar, dan penipuan. Sifat al-dakhīl adalah
merusak dan mengganggu kebaikan dalam semua hal, karena tafsir
maupun hadis dapat mengalami kehancuran atau keraguan dalam
bentuk penuturannya dan sumber periwayatannya.
Fāyed dalam bukunya al-Dakhīl fī Tafsīr Alqurān al-Karīm
mendefinisikan al-dakhīl dengan penafsiran al-Qur’an yang tidak
memiliki sumber, argumentasi dan data yang valid dari agama,5 baik
penafsiran tersebut menggunakan riwayat-riwayat hadis lemah dan
palsu ataupun menggunakan teori-teori sesat.6
Menurut Jamāl Muṣṭafa al-Najjār, al-Dakhīl dalam tafsir adalah
sesuatu yang dengan kebohongan dinisbatkan kepada Rasulullah saw.
sahabat, tabi’in atau penafsiran dengan menggunakan riwayat yang
memang bersumber dari sahabat, atau tabi’in, tetapi tidak memenuhi
syarat-syarat diterimanya periwayatan tersebut, atau sesuatu yang lahir
dari pendapat yang tercela (menafsirkan al-Qur’an dengan pikiran
yang salah).7
Jadi al-dakhīl dalam tafsir yaitu suatu metode atau cara
penafsiran yang tidak memiliki sumber penetapannya dalam islam,
bertentangan dengan ruh al-Qur’an dan bertolak belakang dengan akal
sehat, sehingga memunculkan pemahaman yang tidak tetap terhadap
al-Qur’an.8
5 Fāyed , al-Dakhīl fī Tafsīr Alqurān al-Karīmi, juz 1, 13. 6 Ibrahim Khalifah, al-Dakhīl fī al-Tafsīr (Kairo: Universitas Al-Azhar, 1996),
Jilid 1, 41. 7 Jamāl Muṣṭafa al-Najjār, Uṣul al-Dakhīl fī al-Tafsīr Ayy al-Tanzīl (Kairo:
Universitas al-Azhar, 2009), 26. 8‘Abd al-Wahhāb ‘Abd al-Wahhāb Fāyed, al-Dakhīl fī Tafsīr Alqurān al-
Karīm (Kairo: Maṭba’ah al-Ḥaḍārah al-‘Arabiyyah, 1980), 3.
21
Studi al-dakhīl berkaitan dengan rekontruksi tafsir9, karena al-
dakhīl sering berkaitan dengan masalah dalam diri mufassir. Ketika
para mufassir mulai menafsiri bagian kandungan al-Qur’an terjadi
banyak kesalahan. Kesalahan-kesalahan mufassir telah dirangkum
menjadi satu kesatuan yang utuh dan bersifat sangat khusus, tidak
tercampur dengan kajian studi ilmu lainnya yang bersifat sistematis,
seperti; Asbāb-An-Nuzūl, Nasikh Mansūkh dan lain sebagainya.
Teori al-dakhīl selalu diiringi dengan masalah al-aṣīl dalam
tafsir, karena al-aṣīl termasuk perantara untuk mengetahui dan
mengukur tingkat objektifitas penafsiran, sebelum mengalami
kerusakan yang disebabkan oleh al-dakhīl. Dalam konteks ini menurut
Abd al-Wahhāb ‘Abd al-Wahhāb Fāyed, al-aṣīl antonim dari al-dakhīl.
Al-aṣīl berasal dari bahasa Arab al-aṣl yang berarti asal, valid, dasar,
pokok, dan sumber. Secara bahasa adalah segala sesuatu yang memiliki
asal usul yang pasti dan jelas, autentik, orisinil, dan valid.10 Al-aṣīl
menurut istilah adalah tafsir yang diambil dari al-Qur’an melalui
sebuah jalan yang benar dan sesuai dengan uṣūl atau diriwayatkan
secara maqbūl dari Rasulullah atau dari salah satu sahabat dan
tabi’in.11
Al-aṣīl menurut Abdul Wahab fāyed hanya mencakup satu jalur
tafsir saja yaitu bi al-Ma’ṡūr dan belum mengakomodasi tafsir bi al-
ra’yi. Menurutnya, sumber autentik penafsiran itu terdiri;
Pertama : tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an.
9 Muhammad Ulinnuha, Metode Kritik Al-Dakhīl fit-Tafsir: Cara Mendeteksi
Adanya Infiltrasi dan Kontaminasi Dalam Penafsiran al-Qur’an, 44-46. 10 Muhammad Ulinnuha, Metode Kritik Al-Dakhīl fit-Tafsir, 46-49. 11 Ahmad Sa’īd Ibrahīm ‘Abdurrahman, Muqaddimah Uṣūl Tafsīr (Kairo:
Dar-Al-Bashāir, 2006), 474.
22
Kedua : tafsir al-Qur’an dengan Sunnah Nabi yang
shahih.
Ketiga : tafsir al-Qur’an dengan ucapan para sahabat
dan tabi’in yang valid dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Keempat : kaidah bahasa Arab yang disepakati mayoritas
ahli bahasa.
kelima : ijtihad (rasio) yang berbasis pada data, kaidah
teori dan argumentasi yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.12
Model penafsiran di atas menggambarkan bahwa penafsiran
terbaik adalah jika disandarkan pada sumber tafsir secara riwayat.
Masing-masing dari sumber tafsir mempunyai keutaman yang tinggi
sebagai pegangan untuk mencari hakikat kebenaran hukum.
B. Klasifikasi al-Dakhīl
Bentuk-bentuk al-dakhīl dalam tafsir diklasifikasi menjadi tiga
jalur yaitu jalur al-Ma’ṡūr (riwayat), jalur al-ra’yi (rasio) dan jalur al-
isyārah (intuisi). Masing-masing jalur kemudian lagi menjadi beberapa
bagian.
Pertama, al-dakhīl jalur al-aṡar (riwayat), meliputi: hadis
mauḍū` (palsu), hadis ḍa’īf (lemah), riwayat isrā’īlīyāt yang
bertentanga dengan al-Qur’an dan sunnah juga isrā’īlīyāt yang tidak
didukung oleh ajaran agama, pendapat sahabat dan tabi`in yang tidak
12 Muhammad Ulinnuha, Metode Kritik Al-Dakhīl fit-Tafsir, 80.
23
valid, pendapat sahabat dan tabi`in yang bertentanga dengan al-Qur’an,
sunnah, hukum logika dan tidak dapat dikompromikan.13
Kedua, al-dakhīl jalur al-ra’yi (rasio), meliputi: tafsir yang
didasari niat buruk dan skeptisme terhadap ayat-ayat Allah, tafsir
eksoteris tanpa mempertimbangkan sisi kepantasannya bila disematkan
kepada Dzat Allah, penafsiran distorsif atas ayat-ayat dan syariat Allah
dengan mengabaikan sisi literal ayat, tafsir esoteris yang tidak
didukung argumentasi yang kuat, penafsiran yang tidak berbasis pada
prinsip dan kaidah tafsir yang baku, penafsiran saintifik yang terlalu
jauh dari konteks linguistik, sosiologis dan psikologis ayat.
Ketiga, al-dakhīl dari jalur al-isyārah (intuisi), meliputi antara
lain: tafsir esoteris yang dilakukan oleh sekte Bāṭinīyah, tafsir sebagian
kaum sufi yang tidak mengindahkan makna eksoteris ayat.14 Secara
lebih detail, klasifikasi al-dakhīl diatas dapat dilihat pada table berikut:
2.1. Klasifikasi al-Dakhīl
No Klasifikasi al-
Dakhīl Sumber Bentuk/Macam
1 bi al-Ma’ṡūr Riwayat
(sunnah,
pendapat
sahabat, dan
tabi`in serta
isrā’īlīyāt)
1. Isrā’īlīyāt;
2. Hadis mauḍū` (palsu);
3. Hadis ḍa’īf (lemah);
4. Pendapat sahabat dan
tabi`in yang tidak
valid;
5. Pendapat sahabat dan
13 Muhammad Ulinnuha, Metode Kritik Al-Dakhīl fit-Tafsir, 76. 14 Muhammad Ulinnuha, Metode Kritik Al-Dakhīl fit-Tafsir, 77.
24
tabi`in yang
bertentanga dengan al-
Qur’an, sunnah,
hukum logika dan
tidak dapat
dikompromikan.
2 bi al-Ra’yi Rasio/Ijtihad 1. tafsir yang didasari
niat buruk dan
skeptisme terhadap
ayat-ayat Allah;
2. Tafsir eksoteris tanpa
mempertimbangkan
sisi kepantasannya bila
disematkan kepada
Dzat Allah;
3. Penafsiran distorsif
atas ayat-ayat dan
syariat agama;
4. Penafsiran yang tidak
berbasis pada prinsip
dan kaidah tafsir yang
disepakati mayoritas
ahli tafsir;
5. Penafsiran saintifik
yang terlalu jauh dari
konteks linguistik,
sosiologis dan
25
psikologis ayat.
3 bi al-Isyārah Hati/Intuisi 1. Tafsir esoteris yang
dilakukan oleh sekte
Bāṭinīyah, Bahā’īyah,
Qadyānīyah;
2. Tafsir sebagian kaum
sufi yang menafikan
makna eksoteris ayat
dan tidak memiliki
argumentasi kuat.
Adapun tabel sumber-sumber autentik tafsir al-Qur’an atau al-
aṣīl sebagai antonim dari al-dakhīl sebagai berikut:
2.2.Klasifikasi al-Aṣīl
No Sumber Autentik Cara Kerja/Bentuk
1 Al-Qur’an 1. Tafṣil al-mūjaz (merinci yang
ringkas/global);
2. Bayan al-mujmal (menjelaskan yang
belum jelas/mujmal);
3. Takhṣīṣ al-‘ām (mengkhususkan yang
umum);
4. Taqyīd al-mutlaq (membatasi yang
tidak terbatas);
5. Penjelasan dengan cara naskh
(penghapusan/penggantian);
6. al-Taufiq bayna mā Yūhim al-Ta’ārud
(mengkompromikan ayat-ayat yang
26
terkesan berlawanan);
7. Melalui qirā’āt (bacaan) al-Qur’an.
2 Sunnah Nabi saw. 1. Bayan al-Mujmal (menjelaskan ayat
global);
2. Taqyīd al-Muṭlaq (membatasi yang
mutlak);
3. Takhsīs al-‘Ām (mengkhususkan yang
umum);
4. Taudīh al-Musykil (menjelaskan yang
ambigu);
5. Bayān al-Naskh
(menghapus/mengganti);
6. Bayān al-Ta’kīd (menegaskan dan
menguatkan);
7. Takrīr mā Sakata ‘Anhu al-Qur’ān
(menetapkan hukum yang belum
disebutkan dalam al-Qur’an).
3 Pendapat Sahabat
dan Tabi’in
1. Pendapat yang disepakati (mujma’
‘alayh);
2. Pendapat yang diperselisihkan
(mukhtalaf fih);
3. Pendapat mengenai hal-hal supra-
rasional (lā majāla li al-ra’yi fih);
4. Pendapat yang terkait wilayah ijtihad
(li al-ra’yi fihi majāl).
4 Bahasa Arab 1. Syair, puisi, prosa, surat-menyurat
dan dialek Arab.
27
2. Kaidah dan rahasia-rahasia bahasa
Arab, meliputi antara lain: kosa kata,
diksi, susunan dan penjelasan kalimat.
3. Gaya bahasa, meliputi: keindahan
(badī), ketepatan (ma’āni), kejelasan
(bayan), semantik (dalālah) dan
berbagai aturan main gramatikal dan
sastra rab lainnya.
5 Ijtihad/Ra’yi/Rasio 1. Tafsir ijtihad/ra’yi yang sesuai
dengan dalil syar’ī dan kaidah bahasa
Arab (maḥmūd). Tafsir semacam ini
diterima dan dijadikan rujukan
autentik penafsiran.
2. Tafsir ijtihad/ra’yi yang tidak sesuai
dengan dalil syar’ī dan kaidah bahasa
Arab (mazmūm). Yang semacam ini
tidak recommended dan tertolak.
C. Transformasi Dakhīl ke dalam Kajian Tafsir
Potensi al-dakhīl sejatinya telah muncul sejak sebelum Islam
dating. Pasalnya, sebelum islam datang di Jazirah Arab, telah ada
sekelompok Ahli Kitab yang sebagian besar berbangsa Yahudi.15
Mereka berhijrah dan masuk jazirah Arab pada sekitar tahun 70
15 Muhammad Ulinnuha, Metode Kritik Al-Dakhīl fit-Tafsir, 54.
28
masehi. Mereka bermukim di Yasrib, sebagian ada juga yag hidup
berkelompok di Yaman dan Yamāmah.16
Interaksi umat Islam dengan ahli kitab terutama Yahudi, menjadi
salah satu faktor terjadinya transformasi dakhīl ke dalam kajian tafsir
yang ditandai dengan banyaknya ahli kitab yang masuk Islam, seperti
`Abd al-`Azīz ibn Juraij, Abdulah ibn Salām Ka’ab al-Aḥbār, dan
Wahb ibn Munabbih. Sehingga keberadaan mereka yang notabene
sebagai sumber periwayat isrā’īlīyāt cukup berpengaruh dalam
penyebaran riwayat-riwayat tersebut.17
Kemudian penyebaran riwayat isrā’īlīyāt dari Ahli Kitab ini
semakin marak pada masa tabi`in sehingga seorang pembaca tafsir
akan sulit membedakan mana cerita yang shahih dan mana cerita yang
dibuat-buat oleh ahli kitab. Hingga khususnya al-dakhīl bi al-Ma’ṡūr
yang berasal dari isrā’īlīyāt terus berkembang seiring dengan
perkembangan zaman. Penyebab utama banyaknya corak tafsir dalam
berbagai bentuk tanpa melalui pengamatan yang lebih mendalam
tentang aturan penafsiran. Beberapa riwayat yang melemahkan yang
melemahkan tafsir al-Ma’ṡūr di antaranya adalah:
1. Kabar atau riwayat yang dihembuskan orang-orang Zindik dan
kaum Yahudi Persia, Roma dan lainnya yang berpura-pura masuk
islam dengan tujuan menghancurkannya.
2. Riwayat berupa ucapan dan pendapat yang dinisbatkan kepada
para sahabat dan para tabi`in tanpa menggunakan sanad.
16 Muhammad Ḥusayn al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (Kairo: Dār al-
Kutub wa al-Hadīts, 1976), Jilid 1, 25. 17 Maryam Shofa, Al-Dakhīl dalam Tafsir al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān Karya
al-Qurtubī: Analisis Tafsir Surah al-Baqarah‛, Ṣuḥūf, vo. 6, No. 2 (2013): 273.
29
3. Ahlu kitab yang masuk islam banyak membawa khurafat dan
kebohongan, seperti : Ka’ab al-Aḥbār, Wahab ibn Munabbih, dan
Abdullah bin Salam, Tamin al-Dāri.18
Adapun terkait dengan al-dakhīl dalam tafsir bi al-ra’y, para
ulama mencatat ada beberapa sebab yang turut mendorong masuk dan
berkembangnya dakhīl bi al-ra’yi ini. Antara lain, yang paling utama
adalah pemahaman mufasir yang sangat subjektif.19 Subjektivitas
pemahaman /penafsiran tersebut terjadi karena; pertama, tidak
terpenuhinya syarat-syarat sebagai penafsir al-Qur’an. Karena itu,
ketika ia bertemu dengan ayat yang secara ẓāhir bertentangan dengan
akal, mufasir langsung mengambil kesimpulan dan menerjemahkan
ayat tersebut secara ẓāhirnya saja, tanpa memandang konteksnya serta
kemungkinan makna lain yang dikandung ayat itu. Kedua, menafsirkan
al-Qur’an untuk menjustifikasi pandangan golongan atau kelompok
tertentu, seperti yang dilakukan oleh sebagian sekte Muktazilah,
Bābīyah, Bahā’īyah dan Aḥmadīyah,20 yang menyelewengkan dan
menafsirkan al-Qur’an menurut hawa nafsu mereka saja, serta menolak
teks-teks yang bertentangan dengan akidah dan keyakinan mereka.
Sementara DR. Thahir Mahmud Muhammad Ya’qub dalam kitab
Asbāb al-Khatā` fī al-Tafsīr: Dirāsatuhu wa Tashiliyyatu, menjelaskan
empat penyebab timbulnya kesalahan dalam penafsiran, yaitu21:
18 Muhammad bin Muhammad Abū Syahibah, Isrā’īlīyāt wa al-Mauḍū`āt fī
Kutub al-Tafsīr (Kairo: Maktabah Sunnah, 2006), 83,88,91. 19 Muhammad Huseīn Dzahabi, Penyimpangan-penyimpangan dalam
Penafsiran, 14. 20 Muhammad Ulinnuha, Metode Kritik Al-Dakhīl fit-Tafsir, 60. 21 Sriwayuti, “Al-Dakhīl dalam Tafsīr al-Munīr al-Tanzīl Karya Syaikh
Nawawi al-Bantani” (Skripsi S1 UIN Sunan Ampel Surabaya, 2017), 24-26.
30
1. Berpaling dari sumber dan dasar tafsir yang otentik dan shahih.
Kaidah-kaidah dan uṣūl dalam setiap keilmuan merupakan pokok
yang menjadi landasan untuk melangkah. Berpaling dari sumber
merupakan langkah awal dari suatu penyimpangan. Penyimpangan
dalam hal ini bisa dilakukan dengan pengguanaan ijtihad atas ayat
yang sudah dijelaskan dalam nash lain, atau menafsirkan al-
Qur’an dengan berpegangan pada hadis mauḍū`dan ḍa`īf, riwayat-
riwayat Isrā’īlīyāt, prasangka dan dongeng, berpedoman pada
makna bahasa semata dan mengalahkan riwayat yang sahih, serta
berpegangan pada kewajiban yang bersifat majaziyah dan tunduk
pada tamsil dan imajinasi, terlalu larut dalam filsafat dan ilmu
kalam, serta hanya mengandalkan perkataan ahli bid’ah dan
mengikuti hawa nafsu.
2. Tidak teliti memahami teks ayat dan ḍalalah-nya.
3. Menundukan nash al-Qur’an untuk kepentingan hawa nafsu,
fanatisme madzhab, dan bid’ah. Seperti pada surat al-Ra’d ayat
25:
ثاقه ب عمد مي م د الله منم ي ومصل انم به الله امر ما وي قمطعومن والذيمن ي ن مقضومن عهمسدومن رمض ف وي فم ك الم ى
ار اوله ء الد لم اللعمنة ولمم سوم
“Dan orang-orang yang melanggar janji Allah setelah
diikrarkannya, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah
agar disambungkan dan berbuat kerusakan di bumi; mereka itu
memperoleh kutukan dan tempat kediaman yang buruk
(Jahanam)". (QS. Al-Ra’d [13]: 25).
Sebagian ulama’ Syi’ah mengatakan bahwa ayat tersebut
turun berkaitan dengan kaum Khawarij, kemudian sebagai
31
balasannya, Khawarij menyatakan bahwa yang dimaksud dalam
surat al-Baqarah ayat 204 adalah Ali bin Abi Thalib.
يهوة ف ومن الناس منم ي عمجبك ق ومله ن ميا الم هد الد الد وهو ق لمبه فم ما علهى الله ويشمصام الم
“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang
kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada
Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang
yang paling keras.” (QS. Al-Baqarah [2]: 204).
4. Mengabaikan sebagian syarat-syarat mufassir. Setiap mufassir
dianjurkan selalu mewaspadai bentuk-bentuk kerancauan akibat
dari akala tau riwayat yang salah. Pengkaji al-Qur’an dituntut
bersikap jujur dan ikhlas dalam mencari kebenaran termurni.
Pengkaji hendaknya terbebas dari pengaruh hawa nafsu,
kepentingan, fanatisme kelompok dan faham yang dianutnya.22
Tafsir hanya menerima riwayat yang jelas secara menyeluruh.23
Berdasarkan sebab-sebab di atas, secara garis besar sebab-sebab
tersebut tercover dalam dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari Islam itu
sendiri, yang berkaitan langsung dengan keilmuan mufassir dan yang
melatarbelakanginya. Seperti tidak memenuhi persyaratan sebagai
mufassir, atau memiliki kecenderungan yang menjadikan
penafsirannya menyimpang seperti karena adanya pertentangan-
pertentangan madzhab dan teologi. Sedangkan faktor yang kedua yaitu
faktor eksternal, yang berasal dari luar Islam untuk menghancurkan
Islam. al-Qur’an adalah kekuatan terbesar umat islam, maka
22 Daud Rasyid, Islam dalam Berbagi Dimensi (Jakarta: Gema Insani Press,
1998), 95. 23 Muhammad Huseīn Dzahabi, Buhūṡ fī `Ulūmi Tafsīr, 367.
32
kelemahan terbesar juga ada padanya. Jika al-Qur’an yang sudah
dijamin keontetikannya oleh Allah, maka jalan lain untuk
menghancurkan Islam adalah melalui penafsiran-penafsiran, yang
selanjutnya dapat menyesatkan para pengikutnya. Melalui penyusupan-
penyusupan riwayat isrā’īlīyāt, hadis-hadis palsu dan sebagainya.
D. Pandangan ulama terhadap al-Dakhīl
Pandangan para ulama mengenai masalah al-dakhīl dalam tafsir
seperti pemaparan di atas, secara garis besar dakhīl mempunyai
orientasi lebih luas terhadap periwayatan-periwayatan baik yang
berupa hadis-hadis ḍa`īf, palsu, maupun isrā’īlīyāt dalam tafsir.
Sebagaimana yang telah diketahui antara al-dakhīl dengan riwayat
isrā’īlīyāt memiliki hubungan yang sangat dekat dan kuat. Oleh sebab
itu pandangan ulama tentang al-dakhīl tidak jauh berbeda. Adapun
ulama-ulama yang menolak tentang hal tersebut dalam tafsir Alquran,
diantaranya: Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Syaltut,
Abu Zahrah, Abdul Aziz Jawisy, dan al-Qasimi.24
Mereka ini mengacu pada ayat-ayat Alquran dan hadis sahih.
Seperti di pada ayat:
بن با ف ت ب ي ن وما انم تصي م ءكمم فاسق
ي ها الذيمن اهمن وما انم جا بحوما علهى يه ب وما ق ومماا بهالة ف تصم ما ف علمتمم نهدميم
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang
kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar
kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan
24 Rosihon Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyat dalam Tafsir Al-Ṭabari
dan Tafsir Ibnu Kaṡīr (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 42-43.
33
(kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (QS.
Al-Hujurat [49]: 6).
Ayat di atas memberi pengertian bahwa sebuah konsep Qur`ani
yang ilmiah dalam memeriksa, menyaring dan mengecek berita jika
sumbernya dari orang-orang fasik. Menanggapi berita dari orang
Yahudi, sesungguhnya orang-orang Yahudi dalam riwayat isrā’īlīyāt,
senantiasa lihai dalam bualan dan mengubah berita, dan mereka tidak
dapat dipercaya dalam konteks sejarah, berita, maupun riwayat.
Kebanyakan yang keluar dari mulut mereka mengandung karakter
kontra-diksi, klaim, distori dan mitos.25
Namun sebagian ulama lagi ada yang memperbolehkan, namun
dengan syarat tertentu. Seperti diantaranya adalah Ibnu Kaṡīr dan
Ibnu Taimiyah.26 Dalam hal ini, Ibnu Kaṡīr dan Ibnu Taimiyah
membagi isrā’īlīyāt menjadi tiga:
Pertama, jika kita mengetahui kebenaran kisah isrā’īlīyāt sesuai
dengan ajaran Islam, maka adalah benar. Akan tetapi, dalam hal ini
(cukup ajaran Islam sebagai pegangan), sedangkan kisah-kisah
isrā’īlīyāt hanya untuk isrā’īlīyāt (bukti pendukung). Kedua, jika kita
mengetahui tentang kedustaannya (menyalahi ajaran Islam), maka kita
harus menolaknya. Ketiga, kisah-kisah yang didiamkan, cerita yang
tidak ada keterangan kebenaran dan pertentangan dalam Islam, tidak
dipercayai dan tidak didustakan. Hal senada juga disampaikan al-
Baqaˊi. Dia mengatakan, kisah-kisah tersebut boleh dimuat dalam
25 Ali Mursyid dan Zidna Khaira Amalia, Benarkah Yusuf dan Zulaikha
Menikah?: Analisa Riwayat isrā’īlīyāt dalam Kitab Tafsir, Wawasan: Jurnal Ilmiah
Agama dan Sosial Budaya, vol. 1, no. 1, (Januari, 2016): 98. 26 Ali Mursyid dan Zidna Khaira Amalia, Benarkah Yusuf dan Zulaikha
Menikah?, 99.
34
tafsir al-Qur’an selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Ia
mengatakan bahwa cerita itu dimuat hanya sebagai istithnāˊ
(pengecualian) saja, bukan untuk dijadikan dasar akidah dan bukan
pula dijadikan dasar hukum.27
27 Ali Mursyid dan Zidna Khaira Amalia, Benarkah Yusuf dan Zulaikha
Menikah?, 100.
35
BAB III
TINJAUAN UMUM BIOGRAFĪ
AL-ZAMAKHSYARĪ
A. Biografī al-Zamakhsyarī
Al-Zamakhsyarī memiliki nama asli ialah Abū al-Qāsim
Maḥmūd b. ‘Umar al-Khawārizmī al-Zamakhsyarī. Pada saat itu
banyak yang memberikan gelar kepada al-Zamakhsyarī sebagai al-
Khawārizmī, Jārullah, dan Fakhr al-Khawārizmī. Tetapi panggilan
yang diketahui dan dikenal pada masa itu adalah jārullah karena ia
lama tinggal di kota Mekkah.1 Ia lahir pada hari Rabu 27 Rajab 467
H/1075 M di daerah perkampungan kecil yang bernama Zamakhsyar
yang terdapat di kawasan Khawarizmi Turkistan.2 Ayahnya merupakan
tokoh agamawan yang ahli beberapa bidang ilmu keislaman sehingga
tidak heran seorang al-Zamakhsyarī merupakan tokoh intelektual yang
cukup dikenal itu dilahirkan dan diajarakan langsung oleh Ayahnya
sendiri yang merupakan seorang ahli ilmu dan sastra di kampung
halamannya. Tetapi ayahnya diduga terlibat masalah politik dengan
penguasa saat itu, ayahnya di masukkan ke dalam penjara. Menurut al-
Juwaini, kejadian saat itu perdana menteri orang yang berperilaku
buruk, hingga akhirnya ayah al-Zamakhsyarī meninggal karena
mengalami penyiksaan di dalam penjara. Sedangkan ibu al-
1 Abī al-Qāsim Mahmūd b. ‘Umar al-Khawārizmī al-Zamakhsyarī, al-
Kasysyāf ‘an Haqāiq al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqāwīl fī Wujūh al-Ta`wīl , jilid I
(Maktabah al-‘Abīkān, 1998), 12. 2 Sayyid Muhammad Alī Ayāzi, al-Mufassirūn Ḥayātuhum wa Manhajuhum,
574. Lihat juga, Manna Khalīl al-Qaṭṭān, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, terj. Mudzakir
AS. (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2013), 530. Muhammad Husain al-Dzahabī,
al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, jilid I (al-Qāhirah: Maktabah Wahbah, t.t.), 304.
36
Zamakhsyarī sebagai seorang yang lemah lembut dan penuh kasih
sayang.3
Setelah al-Zamakhsyarī merasa cukup belajar dari ayahnya, ia
memulai rihlah intelektual ke kota Bukhara untuk mencari ilmu,
karena pada masa itu kota tersebut terkenal dengan kesatraannnya. Di
sana ia tidak membutuhkan waktu lama untuk menguasai berbagai
disiplin ilmu, seperti ilmu ushul fīqh, ilmu hadits, ilmu tafsir, ilmu
kalam dan ilmu fīlsafat. Setelah itu ia berangkat lagi ke Naisabur dan
menetap disana dengan waktu yang tidak lama. kemudian berangkat
lagi ke Bukhara, Khurasan dan Mesir.4 Dari sekian banyak yang ia
pelajari itu menjadikannya sebagai tokoh yang multi-disipliner dalam
keilmuan Islam.
Salah satu motivasi al-Zamakhsyarī dalam menuntut ilmu adalah
untuk membahagiakan kedua orang tuanya. Kiprah keilmuannya
dimulai sejak ia masih kecil. Pada awalnya ia mendapatkan pendidikan
dasar di negerinya sendiri, di Khawarizm. Untuk mengejar cita-
citanya tersebut, al-Zamakhsyarī mencoba menarik simpati para
pembesar kerajaan. Ia pergi ke daerah Khurasan kemudian ke Asfahan
(sekarang wilayah Iran), tempat istana kerajaan Saljuk Malik Syah (w.
511 H). Di kota ini, ia mendapat sambutan yang istimewa dari para
pemuka pemerintah termasuk Khalifah Nizām al-Mulūk sampai
akhirnya ia diangkat menjadi sekretaris. Akan tetapi, karena merasa
tidak puas dengan jabatannya sebagai sekretaris akhirnya ia berpindah
3 Mustafa al-Ṣawi al-Juwainī, Manhaj al-Zamakhsyarī fī Tafsīr al-Qur’an wa
Bayān I’jāzihi (Mesir: Dār al-Ma’ārif, t.t), 26. 4 Sayyid Muhammad Alī Ayāzi, al-Mufassirūn Ḥayātuhum wa Manhajuhum,
574.
37
lagi menuju kota Daulah Bani Saljuk.5 Pada tahun 512 H, al-
Zamakhsyarī menderita sakit yang membuatnya berpikir kembali akan
niatnya yang salah. Akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan
perjalanan menuju Baghdad dengan maksud menimba ilmu
pengetahuan dari para ulama dan cendekiawan. Di sini ia mempelajari
hadis dari ahli hadis di antaranya: Abū al-Khattāb b. al-Bitr, Abū Sa’īd
al-Syīfani dan Syaikh al-Islām Abū Mansūr al-Hārisī. Ia juga belajar
dari al-Damiganī, seorang ahli fīqih yang bermadzhab Hanafī.6
Di Baghdad ia bermukim di Khawarizm dan menuntut ilmu
dengan berguru kepada Maḥmūd b. Jarār al-Dābi al-Isfahānī Abū
Muẓar al-Nawawi atau yang dikenal dengan Abū Mudlar, seorang
tokoh Mu’tazilah yang mengusai berbagai macam ilmu. Di bawah
bimbingan Abū Muḍar, Zamakhsyarī berhasil menguasai sastra Arab,
logika (mantīq), fīlsafat dan teologi dan beliau menjadi salah satu
ulama yang disegani dan menempati posisi yang cukup tinggi dalam
bidang pemerintahan. Ia juga berguru kepada ahli sastra yaitu Imam
Sibawaihi selama dua tahun.7 Adapun guru-gurunya yang pernah
memberikan keilmuan kepada al-Zamakhsyarī di antaranya: Abū al-
Hasan ‘Alī b. Al-Mudzfīr al-Naisabūrī, al-Sadīd al-Khayātī (ahli
Fīqih), Abū al-Sa’id al-Jasymī ( al-Muhsin b. Muhammad b. Kirāmah
al-Baihaqī, 494H), Rukn al-Dīn Muhammad al-Usūlī (ahli ilmu ushul),
5 Fauzan Na’if, Al-Kasysyaf Karya Al-Zamakhsyarī dalam A. Rofiq (ed.) Studi
Kitab Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2004), 46. 6 Mustafa al-Ṣawi al-Juwainī, Manhaj al-Zamakhsyarī fī Tafsīr al-Qur’an wa
Bayān I’jāzihi (Mesir: Dār al-Ma’ārif, t.t), 33-35. 7 Ibn Munayyir, al-Masā’il al-I’tizaliyyah fī Tafsīr al-Kasysyāf li Al-
Zamakhsyarī, Jilid I (Saudi Arabia: Dar al-Andalas, 1418 H), 24. Lihat juga, Abī al-
Qāsim Mahmūd b. ‘Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf ‘an Haqā’iq Ghawāmid al-
Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqwīl fi Wujuh al-Ta’wīl, jilid I (Maktabah al-‘Abīkān, 1998),
14.
38
Abū Mansūe Nasr al-Hāriṡ (ahli ilmu hadits), Abū al-Khitāb Nasr bin
Ahmad bin ‘Abdullah al-Batiri (494H), Abū al-Husain Ahmad bin ‘Alī
al-Dāmaghānī (540H), dan Abū Mansūr al-Jiwālīqī Mauhūb bin Abī
Ṭāhir (539H).8
Dengan berguru kepada setiap tokoh-tokoh yang memiliki
disiplin ilmu masing-masing, maka al-Zamakhsyarī salah satu tokoh
yang memiliki pengetahuan yang banyak sehingga banyak yang ingin
berguru kepadanya. Dalam muqaddimah tafsirnya disebutkan beberapa
tokoh yang pernah menjadi muridnya, di antaranya: ‘Alī bin ‘Īsa bin
Hamzah bin Wahās al-‘Alawī, ‘Alī bin Muhammad al-‘Imrānī yang
dikenal sebagai Abū al-Hasan al-Adīb, Abū al-Fadl al-Biqālī al-
Khawārizmī al-Adamī, Abū Yusūf Ya’qub bin ‘Alī bin Muhammad
bin Ja’far al-Balkhī yang merupakan tokoh yang ahli dalam ilmu
gramatika arab (ilmu Nahwu).9
Setelah rihlah diberbagai tempat dalam mencari ilmu dengan
berguru kepada ahlinya, kemudian ia menuntut ilmu kembali ke kota
Mekah. dengan menetap di sana selama tiga tahun. Karena tempat
tinggal beliau yang bertetanggaan dengan Baitullah, ia pun diberi gelar
Jārullah.10 Selama tiga tahun di Mekah. Setelah menetap di Mekkah
dengan waktu singkat, ia melanjutkan perjalanan kembali ke kota
Baghdad kemudian ke Khawarizm, selang beberapa tahun di
Khawarizm al-Zamakhsyarī pun wafat. Menurut al-Juwaini yang
8 Abī al-Qāsim Mahmūd b. ‘Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf ‘an Haqā’iq
Ghawāmid al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqwīl fi Wujuh al-Ta’wīl, 14. 9 Abī al-Qāsim Mahmūd b. ‘Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf ‘an Haqā’iq
Ghawāmid al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqwīl fi Wujuh al-Ta’wīl, 15. 10 Muhammad Husain al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, jilid I (al-
Qāhirah: Maktabah Wahbah, t.t.), 305.
39
bersumber dari Ibn Batutah bahwa al-Zamakhsyarī wafat di daerah
Jurjaniyah, sebuah daerah di Khawarizm pada hari ‘Arafah pada tahun
538 H (14 Juni 1114 M).11
B. Karya-Karya al-Zamakhsyarī
Karya yang paling fenomena dikalangan intelektual muslim
dalam disiplin tafsir adalah al-Kasysyāf ‘an Haqā’iq al-Tanzīl wa
‘Uyūn al-Aqawīl fī Wujuh al-Ta’wīl, yang ditulis ketika ia berada di
kota Mekkah. Tetapi sebelum menulis kitab tafsir ini banyak karangan
tulisannya dari berbagai disiplin ilmu baik ilmu bahasa, fīqih, hadits,
sejarah, tasawwuf, maupun bidang lainnya. Di antaranya kitab yang
ditulis sebagai berikut:
1. Bidang Tafsir
a. al-Kasysyāf ‘an Haqā’iq al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqawīl fī
Wujuh al-Ta’wīl
b. al-Kasysyāf fī al-Qirāat
2. Bidang Hadis
Al-Fāiq fī Gharīb al-Ḥadīts
3. Bidang Fīqih
a. Ru’ūsu al-Masāilil Fīqhiyyah (fī al-Khilāfī al-Fīqhi baina
madzhabī Abī Hanīfah wa al-Syāfī’i)
b. Syāfī al-‘Ai min Kalām al-Syāfī’i
c. Al-Minhāj (fī Usūli al-Fīqhi)
d. Dāllatu al-Nāsyidi fī ‘Ilmi Farāidi
11 Ibn Munayyīr, Al-Masā’il Al-I’tizāliyyah fī Tafsīr Al-Kasysyāf li al-
Zamakhsyarī, Jilid I (Saudi Arabia: Dar al-Andalas, 1418 H), 41. Lihat juga,
Muhammad Husain al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, jilid I (al-Qāhirah:
Maktabah Wahbah, t.t.), 305. Manna’ Khalīl al-Qaṭṭān, Mabāḥits fī ‘Ulūmi al-
Qur’ān, (Maktabah al- Ma’ārif li al-Nasyr wa al-Tauzīi, 2000), 397.
40
4. Bidang Sejarah, Adab dan Tasawuf
a. Rabī’ul Abrār wa Nusūs al-Akhbār (Mukhtaratu Syatā min al-
Adābi wa al-Tarīkhi wa al-‘Ulūmi)
b. Al-Risālah al-Nāsiḥah
c. Al-Qāsidatu al-Bu’ūḍiyyati wa Ukhrā fī Masāili al-Ghazālī
d. Masāalatu fī Hikmati al-Syahādati
5. Kitab Syarah
a. Syarah Maqāmati al-Zamakhsyarī (Al-Nasāih al-Kibār)
b. Syarah Ba’da Musykilāt al-Mufassal
c. Syarah Abyāti Kitāb Sibawaih
6. Bidang Nahwu, Ma’āni, Kebahasaan
1) Al-Mufassal fī Ta’līmi al-Nahwi
2) Asāsu al-Balāghah
3) Al-Mufrad wa al-Muallif fī al-Nahwi
4) Al-Amāli fī al-Nahwi
5) Nakt al-I’rab fī Ghāribi al-I’rab
6) Samīm al-‘Arābiyyah
7) Jawāhir al-Lughah
8) Al-Asmā fī al-Lughah
9) Al-Anmudj (Mukhtasar min Mufassal fī al-Nahwi)
10) Al-Amkinah wa al-Jibāl wa al-Miyāh wa al-Baqā’ al-
Masyhūrah fī Asy’āri al-‘Arāb
11) Muqaddimah al-Adāb (Mu’jam ‘Arābi Fārisī)
12) Syaqāi al-Nu’man fī Ḥaqāiq al-Nu’man (Manāqib Imam
Abū Hanīfah)
13) Al-Atwāq al-Dzahab, Al-Naṣāih al-Sighār (fī al-Wa’di wa
al- Raqāiqi)
41
14) Al-A’jabu al-‘Ajāib fī Syarhi li-Ummiyati al-‘Arāb
15) Al-Amāli fī Kulli Fann
16) Ta’līmu al-Mubtadi wa Irsyādi al-Muhtadi (Jamlu fī al-
‘Arābiyyah wa Tarjamatha bi al-Fārisiyyah li al-Nāsyiīn)
17) Khasāisu al-‘Asyrati al-Kirāmi al-Barārati
18) Diwānu al-Zamakhsyarī
19) Mutasyābahu Usāmi al-Ruwwāh
20) Al-Muhājatu fī al-Ahāji wa al-Aghluṭati
21) Al-Mustaqsā fī Amtsāli al-‘Arāb
22) Mu’jam al-Ḥudūd
23) Al-Mufrad wa al-Murakkab au Muallafu
24) Muqāmati al-Zamakhsyarī
25) Nuẓatu al-Musta’nīs
26) Al-Nasāihu al-Sighār wa al-Bawāligu al-Kibār
27) Nawabig al-Kalam (Hukmu wa Aqwal)
28) Tasliyah al-Darīr
29) Diwānu al-Rasāil
30) Diwānu al-Tamṡīl
31) Risālatu fī al-Majāz wa al-Isti’ārah
32) Al-Mustasyqā fī Amtsāl
33) Sawāiru al-Amṡāl Al-Qistās
C. Karakteristik Kitab al-Kasysyāf al-Zamakhsyarī
1. Sistematika Penulisan Kitab al-Kasysyāf
Tafsir yang ditulis oleh al-Zamakhsyarī yaitu al-Kasysyāf
disusun dengan tartīb mushafī, yaitu disusun berdasarkan
urutan surat dan ayat dalam Mushaf Utsmani (dimulai QS. al-
Fatihah [1] sampai dengan QS. al-Nās [114]). Secara sistematis
42
yaitu terdiri dari 30 juz berisi 144 surat. Tafsir ini terdiri dari 4
jilid. Penafsiran yang ditempuh al-Zamakhsyarī dalam
karyanya ini sangat menarik, karena uraiannya singkat dan
jelas. Sehingga para ulama Mu’tazilah mengusulkan agar tafsir
ini dipresentasikan kepada para ulama dan mengusulkan agar
penafsirannya dilakukan dengan corak i’tizali (doktrin
mu’tazilah).12 Penulisan kitab tafsir ini dimulai dengan
menyebutkan nama surat, makkiyah dan madaniyah.13
kemudian menjelaskan makna nama surat, menyebut nama lain
dari surat itu bila ada riwayat yang menyebutkan, menyebutkan
keutamaan surat, kemudian memasukkan qira’at, bahasa,
nahwu, sharaf dan ilmu-ilmu bahasa Arab lainnya. Kemudian
al-Zamakhsyarī menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat dengan
mengikuti pendapat orang lain, memberi argumentasinya dan
membantah pendapat orang yang berlawanan dengan dia dan
terkadang ia menyodorkan ayat-ayat pendek yang sejenis
maknanya untuk mendukung argumentasinya. Agar lebih
12 Perkembangan mu’tazilah dimulai oleh tokoh Wāsil bin ‘Aṭā’ yang
menentang ungkapan Hasan al-Basri disuatu majelis dengan memberikan
argumentasi bahwa orang yang melakukan kesalahan dosa besar maka ia tidak bisa
dikategorikan sebagai orang mukmin dan juga tidak bisa dikategorikan sebagai orang
kafir tetapi diberikan tempat pertengahan (manzilatain). Abī al-Fatah Muhammad bin
‘Abd al-Karīm al-Syahrastānī (538H), al-Milal wa al-Nihal, juz 1 ( Bairut: Dār al-
Kitab al-‘Aramiyyah, 1992), 38 13 Tentang istilah Makki dan Madani menurut para ulama berbeda pendapat
dalam memberikan batasan dan defenisi mengenai ayat-ayat Makiyyah dan
Madaniyyah. Sebagian kelompok berpendapat berdasarkan masa turunnya yaitu ayat-
ayat Makiyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan sebelum Rasulullah hijrah ke
Madinah, dan ayat-ayat Madaniyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan setelah
Rasulullah hijrah ke Madinah. Adapun yang berpendapat berdasarkan tempat
diturunkannya yaitu Makiyyah adalah ayat-ayat yang turun di Mekah dan sekitarnya,
seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyyah dan Madaniyyah merupakan ayat-ayat yang
turun di Madinah dan sekitarnya, seperti Uhud, Qubā dan Sil. Lihat, Manna al-Khalīl
Al-Qaṭṭān, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, cet. 16 (Bogor: PT. Pustaka Litera Antar Nusa,
2013), 83-85
43
mudah, penulis memberikan simplifīkasi dengan
mengahadirkan tabel sebagai berikut:
3.1.Substansi isi al-Zamakhsyarī
No.
Jilid Substansi Isi Nama Surah
I
Pada jilid I berisakan
tentang Muqaddimah,
biografī al-Zamakhsyarī,
kara-karya, guru-guru,
murid-murid, dan
menjelaskan beberapa
surah
QS. al-Fatihah [1],
QS. al-Baqarah [2],
QS. Ali ‘Imran [3].
II
Menjelaskan penafsiran
beberapa ayat dibeberapa
surah
QS. al-Nisā [4], QS.
al-Mā’idah [5], QS.
al-‘An’ām [6], QS. al-
‘Arāf [7], QS al-
‘Anfāl [8].
III
Menjelaskan penafsiran
beberapa ayat dibeberapa
surah
QS. al-Taubah [9],
QS. Yūnus [10], QS.
Hūd [11], QS. Yūsuf
[12], QS. al-Ra’d [13],
QS. Ibrāhīm [14], QS.
al-Hijr [15], QS. al-
Nahl [16], QS. al-Isrā’
[17], QS. al-Kahfī
[18].
44
IV
Menjelaskan penafsiran
beberapa ayat dibeberapa
surah
QS. Maryam [19], QS.
Taha [20], QS. al-
Anbiyā’ [21], QS. al-
Haj [22], QS. al-
Mu’minūn [23], QS.
al-Nūr [24], QS. al-
Furqān [25], QS. al-
Syu’arā’ [26], QS. al-
Naml [27], QS. al-
Qasas [28], QS. al-
‘AnkAbūt [29], QS.
al-Rūm [30]
V
Menjelaskan penafsiran
beberapa ayat dibeberapa
surah
QS. Luqmān [31], QS.
al-Sajadah [32], QS.
al-‘Ahzāb [33], QS.
Saba’ [34], QS. Fātir
[35], QS. Yasin [36],
QS. al-Sāfāt [37], QS.
Sad [38], QS. al-
Zumar [39], QS.
Ghāfīr [40], QS.
Fussilat [41], QS. al-
Syuwar [42], QS. al-
Zukhruf [43], QS. al-
Dukhān [44], QS. al-
Jātsiyah [45], QS. al-
Ahqāf [46], QS.
45
Muhammad [4], QS.
al-Fath [48], QS. al-
Hujarāt [49], QS. Qaf
[50], QS. al-Zāriyāt
[51], QS. al-Tūr [52],
QS. al-Najm [53], QS.
al-Qamar [54].
VI
Pada jilid ini merupakan
pembahasan terakhir
dalam menjelaskan
penafsiran beberapa ayat
dibeberapa surah
QS. al-Rahman [55],
QS. al-Wāqi’ah [56],
QS. al-Hadīd [57],
QS. al-Mujdalah [58],
QS. al-Hasyar [59],
QS. al-Mumtahanah
[60], QS. al-Saf [61],
QS. al-Jumu’ah [62],
QS. al-Munāfīqūn
[63], QS. al-Taghābun
[64], QS. al-Talāq
[65], QS. al-Tahrīm
[66], QS. al-Mulk
[67], QS. al-Qalam
[68], QS. al-Hāqah
[69], QS. al-Ma’ārij
[70], QS. al-Nūh [71],
QS. al-Jin [72], QS.
al-Muzammil [73],
QS. al-Mudatsir [74],
46
QS. al-Qiyāmah [75],
QS. al-‘Insān [76],
QS. al-Mursalāt [77],
QS. al-Naba’ [78],
QS. al-Nāzi’āt [79],
QS. ‘Abasa [80], QS.
al-Takwīr [81], QS.
al-Infītār [82], QS. al-
Muntaffīfīn [83], Qs.
al-Insyiqāq [84], QS.
al-Burūj [85], QS. al-
Tāriq [86], QS. al-
‘Ala [87], QS. al-
Ghāsyiyyah [88], QS.
al-Fajr [89], QS. al-
Balad [90], QS. al-
Syamsy [91], QS. al-
Lail [92], QS. al-Duha
[93], QS. al-Syarah
[94], QS. al-Tīn [95],
QS. al-‘Alaq [96], QS.
al-Qadr [97], QS. al-
Bayyinah [98], QS. al-
Zalzalah [99], QS.
al’Ādiyah [100], QS.
al-Qāri’ah [101], QS.
al-Takatsur [102], QS.
47
al-‘Asr [103], QS. al-
Humazah [104], QS.
al-Fīl [105], QS. al-
Quraisy [106], QS. al-
Mā’ūn [107], QS. al-
Kautsar [108], QS. al-
Kāfīrūn [109], QS. al-
Nasr [110], QS. al-
Masad [111], QS. al-
Ikhlās [112], QS. al-
Falaq [113], QS. al-
Nās [114].
2. Metode Penafsiran
Dalam kajian disiplin ilmu tafsir memiliki beberapa
metode yang digunakan para ulama tafsir, sebagaimana yang
diregulasikan oleh al-Farmawi. Menurutnya metode
penafsiran diklasifīkasikan menjadi empat bagian antaranya:
Ijmālī, Tahlilī, Muqaran, dan Mauḍū’ī14. Dalam kasus Tafsir
al-Kasysyāf tendensius menggunakan metode analisis
(tahlili). Metode tahlili juga banyak digunakan oleh karya-
karya tafsir yang besar, di antaranya kitab Tafsir al-Ṭabari,
Ibn Kaṡīr, Tafsir Mafātih al-Ghaib, dan lain-lain. Penulis
berkesimpulan bahwa metodologi tafsir al-Kasysyāf
dipandang dari metodologi dalam menafsirkan termasuk
14 Abū al-Hayy Al-Farmawī, al-Bidayah Fī ala Tafsir al-Mauḍū’ī (Mesir :
Maktabah al-Jumhuriyyah, 1977), 25
48
dalam kategori tahlili,15 yakni, metode analitis yang
menginterpretasikan ayat-ayat al-Qur’an dengan menjelaskan
segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang di
tafsirkan serta menerangkan makna-makna yang tercakup di
dalamnya sesuai dengan keahlian hegemoni dan tendensius
mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.16
Biasanya tafsir yang menggunakan tahlili menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an dengan tartīb mushaf yang dimulai dari
QS. al-Fatihah [1] sampai QS. al-Nās [114]. Langkah-langkah
dalam metodologi tahlili biasanya menjelaskan derivasi kata
sesua keilmuan gramatika arab, kemudian menjelaskan
substansi makna atau tujuan ayat.
3. Corak Penafsiran
Langkah pertama untuk mengetahu corak penafsiran,
terlebih dahulu kita harus mengetahu isi kandungan atau
substansi mufasir ketika menafsirkan ayat, apakah
dihegemonikan dengan Fīqhī, ilmī, Adabī, Tabiyah, Sufīstik,
dan lainnya. Menjadikan hegemonitas ketika menafsirkan
maka akan mempengaruhi di dalam penafsiran. Tafsir al-
Kasysyāf secara umum tafsir al-Kasysyaf ini memiliki
beberapa kekhasan dalam penafsirannya, yaitu corak yang
15Metode Tahlili, Berasal dari حلل-يحل ل, Tahlili yang berarti mengurai atau
menganalisis. Metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur’an
dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai
urutan bacaan yang terdapat dalam Al-Qur’an Mushaf Utsmani. Tafsir ini disebut
juga Tajzi’i (parsial). Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an Al-Karīm, V,
(pengantar). 16Nashirudin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Cet. II (Yogyakarta:
Pustakapelajar,2000), 31
49
paling dominan dalam tafsir ini adalah corak kebahasaan.
Keahlian yang berhegemoni dalam al-Zamakhsyarī adalah di
bidang ilmu bahasa dan balaghah sehingga tidak heran ketika
dalam tafsirnya banyak nuansa balaghah, sehingga corak
penafsiran terhadap setiap ayat-ayat al-Qur’an yang sangat
mempertimbangkan keindahan susunan bahasa al-Qur’an dan
balaghah-nya. Prestasinya dalam menguasai bahasa Arab
dijadikan sebagai modal fundamen untuk menginterpretasikan
ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga menurutnya, untuk dapat
menafsirkan al-Qur’an dengan baik, seorang mufassir harus
benar-benar menguasai ilmu balaghah seperti ma’nī, badī’
dan lain-lainnya.
Al-Zamakhsyarī dikenal sebagai seorang yang ahli
dalam bahasa Arab, yang meliputi bidang sastra, balaghah,
nahwu atau gramatika bahasa yang digunakan dalam tafsirnya
al-Kasysyāf. Al-Dzahabi memberikan komentar bahwa
penafsiran al-Zamakhsyarī lebih banyak berorientasi pada
aspek balaghah untuk menyingkap keindahan dan rahasia
yang terkandung dalam al-Qur’an.17 Sehingga tafsir al-
Kasysyāf sangat terkenal di negara-negara Islam belahan
Timur, karena di sana perhatian masyarakat pada kesusastraan
sangat besar.18 Selain dari aspek balaghah, aspek nahwu dan
gramatika juga sangat kental dalam tafsir ini. Dalam tafsirnya,
ia memberikan penjelasan mengenai kedudukan kata dalam
ayat al-Qur’an secara mendalam yaitu dari segi i’rab kata,
17 Muhammad Husain Al-Dzahabi, Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Juz 1 (Kairo:
Dār al-Hadis, 2005), 365-366. 18 Muhammad Husain Al-Dzahabi, Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, 383-384.
50
kembalinya kata ganti (dhamīr) ha’. Salah satu contoh
penafsirannya di dalam tafsir al-Kasysyāf terhadap QS. al-
Baqarah [2] 19
علون أصـبعهم فی ءاذانم أو كصی ب م ن ٱلسماء فیه ظلمـت ورعد وبـرق ی بٱلكـفرین حذر ٱلموت وعق م ن ٱلص
میط وٱلل
Artinya: “Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat
dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka
menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena
(mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah
meliputi orang-orang yang kafīr.”
Lafadz صـبعهم فی ءاذانمأ menurut al-Zamakhsyarī,
derivasi kata ini memiliki gaya bahay yang sangat luas
sehingga memiliki batasan dalam memberikan makna. Ayat
ini juga tidak diartikan sebagai menyumbat telinganya dengan
semua anak jari-jari mereka. tetapi memiliki batasan yaitu
anak. Menurutnya ayat ini sejalan dengan QS. al-Mā’idah [5]:
اأیدیـهم فٱقطعوا 38 yang maksudnya adalah bukan general
melaikan hukum potong tangan dari pergelangan tangan.19
4. Sumber di dalam al-Kasysyāf
Dalam hal ini, penulis merujuk kepada Mustafa al-Sawi
al-Juwainī dalam bukunya berjudul Manhaj al-Zamakhsyarī fī
Tafsīr al-Qur’an wa Bayān I’jāzihi, di antaranya dalam bidang
tafsir:
1) Tafsir Mujahid (wafat 104 H).
2) Tafsir Umar bin Abid al-Mu’tazili (wafat 144 H).
19 Abī al-Qāsim Mahmūd b. ‘Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf ‘an Haqā’iq
Ghawāmid al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqwīl fi Wuuh al-Ta’wīl, 205
51
3) Tafsir Abi Bakr al-Asham al-Mu’tazili.
4) Tafsir al-Zujjaj (wafat 311 H).
5) Tafsir al-Kabīr li al-Rummāni (384 H).
6) Tafsir al-Alawiyyin. Beliau banyak menukil dari Ali bin
Abi Thalib, Ja’far al Shadiq dan lainnya.20
Adapun rujukannnya dari kitab-kitab hadis tidak
ditemukan kecuali dari kitab shaḥīḥ muslīm saja.
Kemudian dalam bidang qira`at yaitu:
1) Mushaf Abdullah bin Mas’ud.
2) Mushaf al-Harst bin Suaid.
3) Mushaf Ubay.
4) Mushaf-mushaf ahli Hijaz dan Syam
5) Dan sebagian mushaf lainnya.
Dalam tata bahasa dan Nahwu yaitu:
1) Kitab Imam Sibawaih
2) Iṣlāḥ al-Mantiq karya Ibnu Sakit.
3) Al-Kamil Li al-Mubarrad
4) Kitab Mutammim Fī al-Khaṭa’ wa al-Hija.21
D. Teologi dan Madzhab al-Zamakhsyarī
Pada sub bab sebelumnya telah dijelaskan cerita singkat tentang
penulisn tafsir al-Kasysyāf yang ada dorongan dari kelompok
mu’tazilah supaya al-Zamakhsyarī menyususn kitab tafsir. Tak heran
20 Mustafa al-Ṣawi al-Juwainī, Manhaj al-Zamakhsyarī fī Tafsīr al-Qur’an wa
Bayān I’jāzihi, 20 21 Mustafa al-Ṣawi al-Juwainī, Manhaj al-Zamakhsyarī fī Tafsīr al-Qur’an wa
Bayān I’jāzihi, 90
52
al-Zamakhsyarī adalah seorang teolog (mutakallimin) sekaligus
seorang tokoh Mu’tazilah yang memiliki pemahaman rasionalis,
karena kelompok mu’tazilah tendensi dalam menggunakan akal.
Hegemoni mutazilah dalam paradigma al-Zamakhsyarī banyak sekali
interpretasinya menggunakan diktum-diktum atau doktrin mu’tazilah.
tokoh mentahqīq kitab al-Zamakhsyarī bernama ‘Ali Muhammad
Mu’awwad yang memberikan penyataan bahwa al-Zamaksyarī seorang
penganut mu’tazilah dengan menguntip pendapat Ibn Taimiyyah yang
memuji ungkapan interpretasi mu’tazilah, “ mereka (kelompok
mu’tazilah) memiliki kebagusan dalam mengungkapkannya dengan
menyelinap doktrin-doktrin yang baru, tetapi banyak dari orang-orang
lain tidak mengetahuinya, seperti al-Zamakhsyarī dalam tafsir al-
Kasysyāf. Sehingga bersirkulasi di kalangan Ahl Sunnah wa al-
Jama’ah, padahal penafsiran-penafsiran mereka adalah batil”.22 Salah
satu contoh terdapat dalam QS. ‘Alī ‘Imran [3]: 185.
ا تـوفـون أجوركم یـوم ٱلقیـمة فمن زحزح عن ٱلنار وأ قة ٱلموت وإن ل كل نـفس ذاى دخیا إل متـع ٱلغرورٱلنة فـقد فاز وما نـ ٱلیـوة ٱلد
Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan
sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu.
Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga,
maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain
hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
Menurut al-Zamakhsyarī substansi ayat ini adalah kesuksesan
merupakan hal yang lebih bagus ketimbang masuk surga. Ungkapan
ini memberikan penjelasan bahwa di akhirat nanti tidak bisa melihat
22 Abī al-Qāsim Mahmūd b. ‘Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf ‘an Haqā’iq
Ghawāmid al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqwīl fi Wujuh al-Ta’wīl, 20
53
Allah. Penafsirannya mengenai persoalan kalam ini ia lebih tendensi
membela paham yang dianutnya, sehingga ayat-ayat yang bertentangan
dengan keyakinan mazhabnya akan dimaknai dengan makna yang lain
yang mendukung dan sesuai dengan mazhabnya. Salah satu metode
yang digunakannya untuk melegitimasi mazhabnya dalam tafsir al-
Kasysyāf adalah menakwilkan lafaz-lafadz al-Qur’an agar sesuai
dengan mazhabnya. Adapaun madzhab di dalam legal formal dalam
muqaddimah al-Kasysyāf yang tahqīq oleh ‘Ali Muhammad
Mu’awwad dan ‘Ādil Ahmad ‘Abd al-Mauṣūl, ia tendensi bermadzhab
kepada Abū Hanīfah.23
E. Pandangan Ulama Mengenai Kitab Tafsir al-Kasysyāf
Setiap karya akademik yang terbit dikalangan masyarakat, pasti
akan menimbulkan pro dan kontra, begitu pula kitab tafsir al-Kasysyāf
karya al-Zamakhsyarī ini. Adapun ulama yang pro dengan al-
Zamakhsyarī memberikan pujian bahwa kitab tafsir ini bernilai tinggi.
Ia memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan kitab-kitab tafsir
lainnya. Kelebihan tersebut terletak pembahasan atau penafsirannya
yang mengungkap rahasia-rahasia balaghah yang terdapat dalam al-
Qur’an.24 Ibnu Khaldun ketika berbicara tentang tafsir yang
menggunakan pendekatan kaidah bahasa i’rab dan balaghah
mengatakan bahwa di antara sekian banyak tafsir yang memuat
berbagai macam keilmuan semacam ini al-Kasysyāf yang terbaik.25
Pujian senada juga diucapkan oleh Haydar al-Ḥarawi yang
menyebutkan bahwa kitab tafsir al-Kasysyāf adalah kitab tafsir yang
23 al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf, h. 20. Lihat juga, Jalāl al-Dīn al-Suyūtī, al-
Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’an, jilid I ( Bairut: Resalah Publisher, 2008), 190. 24 Muhammad Ḥusayn al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, 433. 25 Muhammad Ḥusayn al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, 440.
54
bernilai tinggi belum ada kitab lain yang bisa menandinginya.26 Ia juga
mengakui keistimewaan al-Kasysyāf dari segi pendekatan sastra
balaghahnya dibandingkan dengan sejumlah karya tafsir ulama
mutaqaddimīn lainnya.
Disamping itu, ada juga beberapa kitab yang menyoroti aspek-
aspek kitab tafsir ini, diantaranya al-Kāfī al-Syāfī fī Takhrīj Aḥadits al-
Kasysyāf (Uraian Lengkap Mengenai Takhrīj Hadist pada tafsir al-
Kasysyāf) oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, al-Intsāf fī mā Taqaddamahū
al-Kasysyāf min I’tizāl (Menyikap Pandangan-Pandangan Muktazilah
dalam Tafsir al-Kasysyāf) oleh Imam Nashir al-Din Ahmad bin
Muḥammad dan Ibn Munīr al-Iskandari, dan Syarḥ Syawāhid al-
Kasysyāf (Penjelasan Mengenai Syair-Syair dalam Tafsir al-Kasysyāf)
oleh Muhbid al-Din Affandi.
Dari kajian yang dilakukan oleh al-Zarqani ia mencatat beberapa
keistimewaan yang dimiliki tafsir al-Kasysyāf, antara lain: (1)
terhindar dari cerita-cerita isrāiliyyāt; (2) terhindar dari uraian panjang;
(3) dalam menerangkan pengertian kata berdasarkan atas penggunaan
bahasa Arab dan gaya bahasa yang mereka gunakan; (4) memberikan
penekanan pada aspek-aspek balāghiyyah, baik yang berkaitan dengan
gaya bahasa ma’āniyyah maupun bayāniyyah; dan (5) dalam
melakukan penafsiran ini ia menempuh dialog.27
Para ulama melihat keistimewaan dari tafsir al-Kasysyāf ini di
antaranya karena isinya sederhana dan tidak berbelit-belit, bersih dari
kisah-kisah isrāiliyyāt, selalu berpegang teguh pada kaidah kebahasaan
26 Muhammad Ḥusayn al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, 436. 27Abd al-Hay al-Farmawi, al-Bidāyah fī al-Tafsīr wa al-Maudū’iyah Dirāsat
Manhājiyah Maudū’iyah, (tt.: tp., t.th.), 42
55
dalam menerangkan ayat-ayat dalam al-Qur’an, uslūb tafsirnya sangat
memperhatikan ilmu bayan dan ilmu ma’ani untuk menunjukan al-
Qur’an adalah fīrman Allah yang tidak alkan bisa ditandingi oleh
manusia, dalam menejelaskan suatu masalah tafsir ini juga sering
menggunakan metode dialog seperti kalimat, “jika anda berkata begitu
maka saya akan berkata begini”.28
Meskipun banyaknya pujian yang dilontarkan oleh para ulama
namun tidak sedikit pula yang mengkritik tafsir al-Kasysyāf terutama
dari kalangan Ahl al-Sunnah, di antaranya adalah sebagaimana
tercantum dalam al-Ibānat an Ushūl al-Diyanāt karya Abu al-Hasan
Ali Ibn Ismail al-Asy’ari, Tarikh al-Fīrāq al-Islāmiyah karya Ali
Musthafa al-Ghurabi, Intitsāf min Tafsīr al-Kasysyāf karya Ahmad bin
Muhammad bin Manshur bin Munir al-Maliki. Al-Dzahabi disamping
memberikan pujian terhadap kitab tafsir ini juga memberikan kritik
dengan menyebutkan sejumlah penyimpangan-penyimpangan yang
terdapat dalam tafsir al-Kasysyāf.29
28 Muhammad Ḥusayn al-Dzahabī, Manāhilul ‘Irfān fī Ulum al-Qur’ān,
(Beirut: Dār al-Kutub al-Hadīts, 1979), 70. 29 Muhammad Ḥusayn al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (Kairo; Dār al-
Kutub wa al-Hadīts, 1976), 291.
56
BAB IV
AL-DAKHĪL DALAM TAFSIR AL-KASYSYĀF AL-
ZAMAKHSYARĪ
Pada bab sebelumnya menjelaskan mengenai klasifī kasi al-
dakhīl fī tafsir, di antaranya: bi al-ma’ṡūr (riwayat dan isrāiliyyat), bi
al-ra’yī (rasional atau hasil ijtihad), dan bi isyārah yaitu intuisi yang
menafsirkan esoteric al-Qur’an yang bertentangan dari berbagai
aspek.1 Maka pada bab ini sebagai analisis untuk merealisasikan
metodologi al-dakhīl fī tafsir terhadap tafsir al-Kasysyāf ‘an Ḥaqā’iq
al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqāwīl fī Wujūh al- Ta’wīl.
A. Unsur-unsur al-Dakhīl dalam Tafsir al-Kasysyāf
Sebelum melakukan analisis unsur-unsur al-dakhīl dalam tafsir
al-kasysyāf terbih dahulu harus mengetahui masādir al-tafsīr (sumber
penafsiran) yang digunakan dalam tafsir al-kasysyāf. Dalam tafsir al-
Zamakhsyarī yang mendominasi masādir al-tafsīr (sumber penafsiran)
adalah bi ra’yī yaitu yang memberikan diktum dan referensi
rasionalitas atau hasil ijtihad. Salah satu rasionalitas yang dipakai oleh
al-Zamakhsyarī di beberapa ayat yang ia tafsir adalah doktrin
mu’tazilah. Doktrin yang dihadirkan oleh Mu’tazilah sebagai ideologi
tersebut disusun dengan model teologi yang berasaskan rasionalisme
yang kuat. Meskipun demikian Ideologi teologis ini juga tidak terlepas
dari penafsiran mereka terhadap al-Qur’an itu sendiri.
1 Muhammad Ulinnuha, Metode Kritik Al-Dakhīl fit-Tafsir: Cara Mendeteksi
Adanya Infiltrasi dan Kontaminasi Dalam Penafsiran al-Qur’an (Jakarta: PT Qaf
Media Kreativa 2019), 75-78.
57
1. Genealogi penamaan mu’tazilah
Penamaan mu’tazilah2 berkembang dari kelompok di luarnya.
Nama yang berkembang di kalangan mereka sebagaimana
dijelaskan oleh al-Syahrastani ialah ahl al-‘adli wa tauhīd.3
Dikarenakan doktrin yang paling dipegang oleh kelompok
mu’tazilah adalah keesaan Allah (tauhid) dan ‘adil. Bahkan
kelompok mereka juga memberikan nama Mereka sebagai Ahl al-
Haq, Al-Fī rqatun Nājiyah dan Al-Munazzihūn Allah ‘An al-Naqshi.
Alasan mereka menyebutkan demikian, dikarenakan menganggap
diri mereka berada dalam kebenaran dan selainnya dalam
kebatilan.4 Sejarah munculnya mu’tazilah sebagian kelompok
berpendapat yang mengatakan bahwa nama mu’tazilah mulai
muncul sejak peristiwa keluarnya Wāṣil bin ‘Aṭā` dari pengajian
Hasan al-Baṣrī dengan memberikan diktum “I’tazala ‘Anna”. Dari
kata-kata tersebut timbul kemudian sebutan mu’tazilah bagi
kalangan Wāṣil bin ‘Aṭā` dan para pengikutnya. Mereka
2 Muktazilah secara etimologi mempunya pengertian و ت ع ز ل ه ي ئ الش اع ت ز ل
maksudnya adalah هن تنحيع yaitu memisahkan diri. Dalam Al-Quran kata I’tazala
disebutkan QS. al-Dukhā`n [44] 21 ل یف ٱعت ز ل ون ن وا ت ؤم لم dan jika kamu tidak“ وإ ن
beriman kepadaku maka biarkanlah aku (memimpin Bani Israil)”. Kesimpulannya
mu’tazilah secara etimologi berarti memisahkan diri (al-infiṣā`l wa al-tanahhī).
Adapaun mu’tazilah secara terminology yaitu suatu kelompok mutakallimīn (teologi)
yang kontradiktif dengan ahl al-sunnah wa al-jama’ah tentang beberapa keyakinan.
Lihat Jumhuriyyah Masr al-‘Arabiyyah Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, Mu’jam
al-Wasīt (Maktabah al-Syurūq al-Dauliyyah, 2004), 599 3 Abī al-Fath Muhammad bin ‘Abd al-Karīm al-Syahrastā`nī, al-Milal wa al-
Nihal (Bairut: Dā`r al-Kitan al-‘Alamiyyah, 1992), 38. 4 ‘Awwā`d bin ‘Abdullah al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-
Khamsah wa Mauqifu Ahlus Sunnah Minhā` (Riyā`d: Maktabah al-Rusyd, 1995), 26.
58
meriwayatkan bahwa Wāṣil bin ‘Aṭā` telah berbeda dengan gurunya
Hasan al-Baṣrī.5
2. Tokoh-tokoh mu’tazilah
Menurut analisa Yoesoef Sou’yb, tokoh-tokoh mu’tazilah
yang muncul diberbagai wilayah, setiap daerah tersebut memiliki
beberapa perbedaan karakteristik, yaitu: Pertama, Pemuka
Mu’tazilah di Basrah tendensi menghindari jabatan birokrasi di
pemerintahan maupun di pengadilan. Dengan demikian mereka
dapat lebih fokus pada bidang agama dan keilmuan dan dapat
mengemukakan pemikiran secara leluasa tanpa terikat dengan
kepentingan pemerintah atau pihak lainnya. Sedangkan di Bagdad,
mereka menggunakan kesempatan untuk menduduki jabatan-
jabatan di pemerintahan dengan tujuan untuk mendapat dukungan
sekaligus defensif. Kedua, Pemuka di Basrah menyebarkan diktum
dan doktrin tanpa pemaksaan dan kekerasan, melainkan lebih
banyak menanti kesadaran umat untuk mengikutinya. Sedangkan
di Bagdad, terkadang berusaha secara sungguh-sungguh dan
melakukan kekerasan agar masyarakat mengikuti aliran
Mu’tazilah.6 Adapun tokoh-tokohnya penulis mengklasifī kasikan
menjadi dua bagian di antaranya: pertama, mutazilah di daerah
Bashrah yaitu : Wāṣil bin ‘Aṭā` (80-131 H). Ia dilahirkan di
Madinah dan kemudian menetap di Bashrah. Ia merupakan tokoh
pertama yang melahirkan aliran mu’tazilah. Karenanya, ia diberi
gelar kehormatan dengan sebutan Syaikh al-Mu’tazilah wa
Qadimuha, yang berarti pimpinan sekaligus orang tertua dalam
5 Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah, 29. 6 Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Pikiran Islam
(Jakarta: Pustaka al-Husna, 1982), 265.
59
Muktazilah. Abū Huzail Muhammad bin Huzail bin ‘Ubaidillah
bin Makhūl al-Allāf. Ia lahir di Bashrah tahun 135 dan wafat tahun
235 H. Ia lebih populer dengan panggilan al-Allāf karena
rumahnya dekat dengan tempat penjualan makanan ternak.
Gurunya bernama ‘Usmān al-Tawīl salah seorang murid Wāṣil bin
‘Aṭā`. Ibrāhīm bin Sayyār bin Hani al-Nazham. Tahun
kelahirannya tidak diketahui, dan wafat tahun 231 H. Ia lebih
populer dengan sebutan al-Nazhzham. Abū ‘Alī Muhammad b.
‘Alī al-Jubbā’ī. Dilahirkan di Jubba sebuah kota kecil di propinsi
Chuzestan Iran tahun 135 H dan wafat tahun 267 H. Panggilan
akrabnya ialah al-Jubba’ī dinisbahkan kepada daerah kelahirannya
di Jubba. Ia adalah ayah tiri dan juga guru dari pemuka Ahl al-
Sunnah wa al-Jama’ah Imam Abū Hasan al-Asy’ari.
Kedua, tokoh mu’tazilah di daerah Baghdad: Bisyir bin al-
Mu’tamīr (wafat 226 H/840 M). Ia merupakan pendiri Mu’tazilah
di Bagdad. Abū al-Husain al-Khayyāt (wafat 300 H/912 M). Ia
pemuka yang mengarang buku al-Intishar yang berisi pembelaan
terhadap serangan Ibn al-Rawandy. Jārullah Abū al-Qāsim
Muhammad bin ‘Umar (467-538 H/1075-1144 M). Ia lebih
dikenal dengan panggilan al-Zamakhsyarī. Ia lahir di Khawarazm
(sebelah selatan lautan Qazwen), Iran. Ia tokoh yang telah
melahirkan karya tulis yang monumental yaitu Tafsir al-Kasysyāf
‘an Haqā’iq Ghawāmid al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqwīl fī Wujuh al-
Ta’wīl. Abū al-Hasan ‘Abd al-Jabbār bin Ahmad bin ‘Abdullah al-
Hamazani al- Asadi. (325-425 H). Ia lahir di Hamazan Khurasan
dan wafat di Ray Teheran. Ia lebih dikenal dengan sebutan al-Qādī
‘Abd al-Jabbār. Ia hidup pada masa kemunduran Mu’tazilah.
60
Kendati demikian ia tetap berusaha mengembangkan dan
menghidupkan paham-paham Mu’tazilah melalui karya tulisnya
yang sangat banyak. Di antaranya yang cukup populer dan
berpengaruh adalah Syarah Uṣul al-Khamsah dan Al-Mughnī fī
Ahwali Wa al-Tauhid.
Dari klasifī kasi ini, al-Zamakhsyarī tendensi dan
berambisius dalam menduduki jabatan itu tebukti ketika ia
sebelum menyusuf kitab tafsir al-Kasysyāf sehingga setelah
mendapatkan musibah berupa sakit ia barulah fokus dalam kajian
islam dan meninggalkan kegiatan di pemerintahan.
Dari kalangan mu’tazilah tidak semua mengikuti tokoh-
tokoh di atas, melaikan jumlah yang begitu banyak di dalam
kelompok-kelompok mu’tazilah. Menurut ‘Awwād kelompok
mu’tazilah terbagi beberapa macam di antaranya: al-Wāṣiliyyah,
al’Umrawiyyah, al-Haziliyyah, al-Nadzhāmiyyah, al-
Tsamamiyyah, al-Mu’ammariyyah, al-Basyariyyah, al-
Hisyamiyyah, al-Mardāriyyah, al-Ja’fariyyah, al-Aswāriyyah, al-
Askāfī yyah, al-Khabatiyyah al-Haditsiyyah, al-Muwaisiyyah, al-
Ṣalihiyyah, al-Jāhidziyyah, al-Syahāmiyyah, al-Khiyaṭiyyah, al-
Jubā’iyyah, al-Ka’biyyah, al-Bahasyimiyyah, dan al-
Humāriyyah.7
3. Doktrin Mu’tazilah lima prinsip (uṣul al-khamsah)
Sebagaimana disinggung pada sejarah diatas bahwa
Mu’tazilah memiliki doktrin yang di kenal dengan lima prinsip
dasar (al-uṣul al-khamsah). Lima dasar tersebutlah yang menjadi
7 Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah, 54-76.
61
Ideologi pemikiran kaum Mu’tazilah. Tidak terkecuali dalam
menafsirkan al-Qur’an mereka juga berpijak pada lima dasar (al-
uṣul al-khamsah) itu. Terkait hal ini, jika dilihat dari argumen-
argumennya tentang lima prinsip tersebut, akan terlihat
kecenderungannya memenangkan dan mengkultuskan akal
daripada al-Qur’an secara tekstual. Adapun kelima prinsip tersebut
adalah sebagai beriktut:
a. Ke-Esa-an Tuhan (tauhid). Tauhid merupakan pokok pertama
di dalam doktrin mu’tazilah. Menurut ‘Abd al-Jabbār,8 tauhid
adalah sebagai istilah untuk menjadikan sesuatu itu menjadi
satu. Sedangkan secara terminologi tauhid adalah disiplin
pengetahuan bahwa sanya Allah itu satu yang tidak bersekutu
dengan yang lain, dan membenarkan sifat-Nya maupun tidak.9
Bagi Mu’tazilah, keesaan Allah sudah fī nal. Mereka
berpandangan bahwa sifat-sifat Allah adalah tidak lain dari
hakikatnya sendiri. Orang yang percaya bahwa sifat-sifat Allah
itu terpisah dari hakikat-Nya dan berdiri sendiri, tentunya
percaya akan “kemajemukan” ajaran monoteisme. Maka dari
itu keesaan Allah berarti tidak ada yang kekal dan qadim selain
Allah.10 Konsep tauhid Mu’tazilah tersebut sangat berpengaruh
pada pandangannya terhadap al-Qur’an. Menurutnya al-Qur’an
adalah makhluk Allah bukan Kalam Allah. Hal itu dikarenakan
jika al-Qur’an merupakan Kalam Allah, maka al-Qur’an
8 Nama lengkapnya adalah Abū al-Hasan ‘Abd al-Jabbā`r bin Ahmad bin Al-
Khalīl bin ‘Abdullah bin Al-Humazā`nī (w. 320 H).
9 Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah, 81.
10 Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an, (Bandung:
Pustaka Setia, 2004), 129.
62
bersifat qadim. Mustahil bagi mu’tazilah ada bila dua
keqadiman Yaitu Allah dan Kalamnya (al-qur’an) dan bisa
mengotori keesaan (tauhid) Allah. jelas itu menyalahi konsep
monoteismenya.11 Menurut al-‘Asy’arī, pengertian tauhid
menurut Mu'tazilah ialah Allah itu Esa, tidak ada yang bisa
menyamai-Nya, bukan jisim (benda) bukan pribadi (syahs),
bukan jauhar (substansi), tidak memiliki bau, tidak memiliki
warna, tidak diam dan tidak bergerak, tidak panjang, tidak
berlaku padanya masa. Tiada tempat baginya, tiada bisa disifati
dengan sifat-sifat yang ada pada makhluk yang menunjukkan
ketidak azaliannya, tiada batas bagi-Nya, tiada melahirkan dan
tiada dilahirkan, tidak membutuhkan panca indra, tidak dapat
dilihat dengan mata kepala dan tidak bisa digambarkan dengan
akal pikiran. Ia Maha mengetahui, Yang Berkuasa dan Yang
Hidup. Hanya Ia sendiri Yang Qodim, tiada yang Qodim selain-
Nya, tiada pembantu bagi-Nya dalam menciptakan.12 Dari
penjelasan ini dapat disimpulkan, bahwa mu’tazilah tauhid
Allah sudah menjadi fī nal, sehingga ia menegaskan sifat
sebagai bentuk keesaan Allah. pemikiran mu’tazilah
mengambil istilah-istilah fī lsafat seperti syahs, jauhar, aradl,
teladan (contoh/idea) dan sebagainya.13 Pemahaman tauhid
yang diberikan oleh mu’tazilah di atas berimplikasi pada
pernyataan kemakhlukan Al-Quran sebagai konsekuensi
peniadaan tajsim dan nafyus shifat karena dianggap mengotori
11 M. Saeed Shaikh, Studies in Muslim Philosophy, (Delhi: Shah Offset
Printer, 1994), 10.
12 Imam al-Asy’ari, Maqā`lā`t al-Islamiyyin wa Ikhtilā`f al-Mushallīn ( Bairut:
Maktabah al-‘Asriyyah, 1990), 235. 13 Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah, 85.
63
keesaan Allah. Sebagai contoh pendapat mu’tazilah terkait
konsep tauhid tentang ayat-ayat yang menunjukkan Allah
punya tangan, tangan di sini diartikan kekuasaan dan dalam
ayat yang menunjukkan Tuhan bertempat dalam ‘arsy diartikan
bahwa Allah menguasai dan sebagainya. Alasan mu’tazilah
mentakwilkan (memalingkan makna asli) ayat-ayat tersebut,
karena apabila diartikan secara tekstual maka maksudnya tidak
masuk akal dan bertentangan dengan ayat yang lain serta akan
mengurangi kesucian Allah sendiri. oleh sebab itu di dalam
menjabarkan Tuhan Yang Maha Esa ini mensifatinya dengan
sifat-sifat salbiyah (negatif) seperti tidak berbentuk (jisim),
tidak berarah, tidak berupa, tidak dan sebagainya yang pada
prinsipnya tidak sama dengan sifat makhluk. Contoh lainnya
dalam masalah melihat Allah. dikatakan bahwa Allah tidak
berbentuk (jisim), maka juga tidak berarah. Jika Allah tidak
berarah, maka manusia tidak dapat melihat-Nya karena setiap
sesuatu yang dapat dilihat itu pasti berada pada suatu tempat
atau arah, disamping dibutuhkan beberapa syarat seperti adanya
cahaya, warna dan sebagainya, dan yang demikian itu mustahil
bagi Allah
b. Keadilan Allah (al-adl). Adil merupakan pembahasan
mengenai af’āl Allah (tindakan Allah). Menurut kalangan
teologi, adil adalah tindakan Allah yang semuanya adalah baik
dan tidak mungkin Allah melakukan perbuatan dan tindakan
jahat.14 Tafsiran Mu’tazilah mengenai pengertian keadilan
adalah bahwa Allah SWT, wajib berbuat adil dan mustahil jika
14 Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah, 152.
64
tidak adil. Allah harus mengajar orang yang benar dan
menghukum yang salah. Mustahil dihari kiamat orang akan
lolos dari hukuman dan orang yang benar tidak memperoleh
pahala. Allah SWT, tidak adil jika berbuat demikian.15 Bagi
kalagan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah tidak ada perbedaan
mengenai af’āl Allah (perbuatan Allah). Mereka juga
menyakini bahwa Allah melakukan tindakan yang semuanya
baik dan mustahil untuk melakukan keburukan dan kesalahan.
Yang menjadi perbedaan dari kalangan mu’tazilah dengan Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah perihal apakah Allah wajib
melakukan kebaikan?. Menurut mu’tazilah Allah mustahil dan
harus (wajib) melakukan kebaikan dan meninggalkan
keburukan. Sedangkan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah perbuatan
Allah semuanya baik dan tidak melakukan keburukan dan itu
tidak menjadi kewajiban bagi Allah melakukannya dan
meninggalkanya.16
c. Janji dan ancaman (al-wa’ad wa al-wa’īd). Janji dan ancaman
ini merupakan salah satu konsakuensi dari pemahaman
Keadilan Tuhan di atas. Allah pasti menepati janji dengan
memberikan surga kepada yang berbuat baik dan pasti juga
mewujudkan ancamannya dengan memberikan neraka kepada
pelaku dosa. Pada dasaranya janji (al-wa’ad) merupakan
informasi yang terkumpul agar sampai dengan mendatangkan
kemanfaatan dan menolak kemudharatan. Dalam hal ini Allah
wajib menunaikan janji bagi orang yang melakukan kebaikan.
15 M. Saeed Shaikh, Studies in Muslim Philosophy,14. 16 Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah, 153-154.
65
Sedangkan ancaman (al-wa’īd) kebalikannya, yaitu informasi
terkumpul yang sampai kepada kemudharatan. Dalam hal ini
Allah memberikan sanksi bagi orang-orang yang melakukan
kejahatan.17 Doktrin ini juga memiliki korenspondensi kepada
sebelumnya yaitu Allah adil dalam melakukan tindakan
sehingga ketika Allah memberikan janji dan ancaman (al-
wa’ad wa al-wa’īd) kepada hamba-Nya yang tepat.
d. Tempat di antara dua tempat (manzilah baina al-manzilatain).
Kasus ini menurut al-Syahrastani, terjadi ketika seorang laki-
laki bertanya kepada al-Hasan al-Baṣrī. “Banyak dari golongan
sekarang mengkafī rkan bagi pendosa besar. Dosa besar bagi
mereka kafī r dan keluar dari agama sebagaimana diktum dari
kelompok khawārij. Tetapi sebaliknya pernyataan murji’ah
tidaklah menghukuminya kafī r dan tidak membahayakan
keimanannya, bagaimana pandangan kita?”. Belum dijawab
oleh al-Hasan al-Baṣrī, Wāṣil bin ‘Aṭā` langsung memberikan
penyataan, “ Saya berpendapat, bahwa orang yang mukmin
melakukan dosa besar tidak kafī r secara mutlak, dan tidak
mukmin secara mutlak tetapi mereka di posisi manzilah baina
manzilatain”. Kemudian Wāṣil bin ‘Aṭā` berdiri dan
mengasihkan dirinya dari jama’ah al-Hasan al-Baṣrī.18 Doktrin
ini juga diposisi dengan orang yang fasiq (yaitu orang yang
berbuat dosa besar misalnya saja minum-minuman keras,
17 Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah, 210.
18 Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah, 255. Lihat juga, Abī
al-Fath Muhammad bin ‘Abd al-Karīm al-Syahrastā`nī, al-Milal wa al-Nihal (Bairut:
Dā`r al-Kitan al-‘Alamiyyah, 1992), 60. Abī Mansūr ‘Abd al-Qā`hir bin Ṭā`hir bin
Muhammad al-Baghdā`dī, al-Farq Baina al-Firaq wa Bayā`n al-Firqah al-Nā`hiyah
minhu (t.t.: Maktabah Ibn Sīna), 7.
66
pezina, pedusta, dan sebagainya) bukanlah orang yang beriman
dan bukan pula orang kafī r. Dengan demikian,
Fasiq merupakan di antara iman dan kafī r. Menurut ‘Abd al-
Jabbār, manzilah baina manzilatain adalah salah satu istilah
bagi pelaku dosa besar yang mempunyai nama di antara dua
nama dan mempunyai hukum di antara dua hukum. Maksudnya
adalah tidak dikategorikan nama kafī r dan nama mukmin,
melainkan dinamakan dengan fāsiq. Sedangkan memiliki
hukum di antara dua hukum adalah tidak dihukumi kafī r dan
tidak dihukumi mukmin tetapi di hukumi sebagai istilah yang
telah melekat di kalangan mu’tazilah adalah manzilah baina
manzilatain. Bukan diartikan dengan manzilah kafī r dan bukan
juga manzilah mukmin melainkan manzilah di antara
keduanya.19
e. Perintah berbuat kebaikan dan larangan terhadap tindakan
kemungkaran (Amar ma’rūf nahi munkar). Derivasi amar
diartikan sebagai perintah, sedangkan derivasi nahi diartikan
dengan larangan. Adapun derivasi ma’ruf diartikan dengan
setiap tindakan yang diketahui baiknya, sedangkan munkar
adalah semua tindakan yang diketahui keburukannya.20
Pandangan Mu’tazilah mengenai kewajiban Islam ini adalah
bahwa syari’at bukanlah satu-satunya jalan untuk mengidentifī
kasi mana yang ma’ruf dan mana yang munkar. Akal manusia,
setidak-tidaknya sebagian, dapat mengidentifī kasikan sendiri
berbagai jenis kema’rufan dan kemungkaran. Maka melakukan
19 Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah, 256.
20 Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah, 265.
67
amar ma’rūf nahi munkar merupaka doktrin yang wajib
dilakukan.
Dari lima prinsip tersebut dua prinsip yaitu keesaan
(tauhid) dan adil lah yang menjadi prinsip utama dalam
kelompok mu’tazilah. Tiga prinsip yang lain merupakan hasil
dari ciri-ciri mu’tazilah, Hal ini sebagaimana yang diungkapkan
oleh Khairuman, “Paham keesaan dan keadilah (al-tauhid dan
al-adl) menjadi tesis pertama madzhab Mu’tazilah dan
sekaligus menjadi nama lain dari mu’tazilah.”.21 Kelima
prinsip tersebutlah yang menjadi tolok ukur penafsiran
Mu’tazilah. Sebelum mengeluarkan produk penafsiran harus
diyakinkan terlebih dahulu bahwa penafsirannnya sesuai
dengan lima prinsip tersebut. Apabila orang tidak sejalan
dengan prinsip tersebut meskipun cuma satu saja maka sudah
dianggab bukan kelompok Mu’tazilah.22
Setelah melakukan penjabaran dan penjelasan mengenai
doktrin mu’tazilah berupa lima prinsip dasar (uṣul al-khamsah),
maka penulis menjadikan doktrin ini sebagai pijakan untuk
mengetahui penafsiran ayat-ayat tentang lima prinsip dasar
(uṣul al-khamsah) di dalam tafsir al-Zamakhsyarī Tafsir Al-
Kasysyāf ‘an Haqā’iq Ghawāmid al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqwīl
fī Wujuh al-Ta’wīl. Komentar-komentar para ulama atas klaim
al-Zamakhsyarī penganut mu’tazilah tidak lah cukup, tetapi
21 Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an, (Bandung:
Pustaka Setia, 2004), 128. 22Zuhelmi, Epistimologi Pemikiran Muktazilah Pengaruhnya terhadap
Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia, Jurnal LIA, No.2, Th XIV ( Desember
2013): 128.
68
harus melakukan analisis penafsiran ayat-ayat terkait lima
prinsip dasar. Setelah menemukan unsur-unsur ini maka
ditemukan lah sebagai metodologi dalam penafsiran ini yaitu
al-dakhīl fī tafsīr.
B. Analisis Terjadinya al-Dakhīl dalam Tafsir al-Kasysyāf
Konsep al-Dakhīl merupakan metodologi dalam mencari asumsi-
asumsi, argumentasi, dan petunjuk yang salah. Dengan adanya al-
Dakhīl ini sebagai bentuk untuk menjaga keaslian (keautentikan)
dalam menafsirkan al-Qur’an. Pada bab sebelumnya telah dijelaskan
pembagian al-Dakhīl yaitu bi ma’ṡūr, bi ra’yī dan bi isyarah. al-
Dakhīl bi ma’ṡūr berdasarkan riwayat baik itu hadis mauḍū’ (palsu),
hadis da’īf (lemah), riwayat isrā’illiyat yang bertentanga dengan al-
Qur’an dan sunnah juga isrā’illiyat yang tidak didukung oleh ajaran
agama, pendapat sahabat dan tabi’in yang tidak valid, pendapat sahabat
dan tabi’in yang bertentangan dengan al-Qur’an, sunnah, hukum logika
dan tidak dapat dikompromikan. Al-Dakhīl bi ra’yī adalah meliputi
interpretasi yang didasari niat buruk dan skeptisme terhadap ayat-ayat
Allah, tafsir eksoteris tanpa mempertimbangkan sisi kepantasannya
bila disematkan kepada Dzat Allah, penafsiran distorsif atas ayat-ayat
dan syariat Allah dengan mengabaikan sisi literal ayat, tafsir esoteris
yang tidak didukung argumentasi yang kuat, penafsiran yang tidak
berbasis pada prinsip dan kaidah tafsir yang baku, penafsiran saintifī k
yang terlalu jauh dari konteks linguistik, sosiologis dan psikologis
ayat. Sedangkan al-Dakhīl fī isyārah (intuisi) adalah meliputi
interpretasi esoteris yang dilakukan oleh sekte Bātinīyah (Syi’ah),
69
tafsir sebagian kaum sufī yang tidak mengindahkan makna eksoteris
ayat.23
Dalam kasus Tafsir al-Zamakhsyarī, ditemukan unsur-unsur al-
dakhil bi al-ra’yī yaitu sumber-sumber penafsiran yang menggunakan
rasionalitas sehingga menjadikan mis-interpretasi dan kehilangan
keautentikan penafsiran al-Qur’an. Salah satu yang menjadikan bi ra’yī
adalah hegemoni mu’tazilah dalam penafsiran prinsip-prinsip lima
dasar (uṣul al-khamsah). Maka langkah selanjutnya adalah
menganalisis ayat-ayat terkait prinsip lima dasar (ushul al-khamasah)
di dalam tafsir al-Kasysyāf, di antaranya sebagai berikut:
1. Interpretasi keesaan Allah (tauhid)
Dalam kasus ini, keesaan Allah adalah terkait tunggal-Nya
bersifat fī nal sehingga tidak ada yang bisa menyerupai-Nya dan
Allah juga tidak menyerupai ciptaannya. Terkait ini al-Zamakhsyarī
berkomentar mengenai melihat Allah sebagai bentuk bahwa Allah
memiliki jisim (bentuk), sebagaimana bagi kalangan mu’tazilah
menegasikan (penyangkalan/peniadaan) melihat Allah agar menjaga
keesaan (tauhid) Allah. Dalam hal ini tindakan yang dilakukan oleh
al-Zamakhsyarī menakwilkan lafaz al-Qur’an yang tidak sesuai
dengan mazhabnya. Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, al-
Zamakhsyarī tidak memakai makna zahir al-Qur’an ketika makna
tersebut tidak sesuai bahkan bertentangan dengan mazhab yang
dianutnya. Konsekuensinya, ia memindahkan makna zahir ayat
kepada makna lain (takwil) yang sesuai dengan pahamnya dan
23 Ulinnuha, Metode Kritik al-Dakhīl, 75-78.
70
rasionalitasnya. Hal tersebut terlihat jelas ketika al-Zamakhsyarī
menginterpretasikan QS. al-Qiyāmah [75] 22-23
ظ ر ة ر ب ان ر ةإ ل ذنمض و ج وهی وم ىWajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-
seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.
Tafsiran yang beliau hadirkan sebagai berikut:
،ه ي لغ إ ر ظ ن ت ل ةاصماخ ب لر إ ر ظ ن ت ةر ظ ان ب لر إ م ي ع النمة ر ض ن ن م ة ر اض النم
م ذ ه و ي د ق ت ن ع ا أ ل و ع ف ال إ ت ل . ق رى ر إ ه ل و ل ذ ئ م و ی ك ب ل
ر إ ر ق ت س ال ك ب ل
ذ ئ م و ی إ اق س ال للا ، و ر و م ال ي ص ت ل للا ل إ ،
و ي ص ال ع ن و ع ج ر ت ه ي ل إ ، ه ي ل ،
ك ي ن أ ه ي ل إ و ت ل ك و ت م نم أ مو ل ع م ،و اص ص ت خ ال ن ع لىم ع ي د ق االت ه ي ف لمد ف ي بد د الع ت ت ل خ د ت ل و ر ص اال ب ط ي ي ل اء ي ش لأ إ ن و ر ظ ن ی ه ي ف ع م ت ي ر ش م ف
ف م ه ل ك ق ئ ل ال نمإ ، ن م ؤ ال م و الي ك ذل ةار ظ ن ي فو خ ل ین ذ المن و ن اآلم م نم ل
ن ل لف إ ن :أ اس النمل و ق ن م ن و ك ی ن أ ه ع م ح ص ی ي ذ الم،و ن و ن ز ي م ه ل و م ه ي ل ع اء ج الرمو ع ق و الت من ع م د ی ر ،ت ب ع ن ص ای م رظ ن
“Berharap pahala dari Allah. (Kepada Tuhannyalah mereka
melihat) ini adalah makna dengan didahulukan objeknya,
sebagaimana juga pada fī rman Allah “Kepada Tuhanmu tempat
kembali pada hari itu”, “Kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu
dihalau”, “Kepada Allah-lah segala urusan kembali”, bagaimana
mungkin pendahuluan objek pada ayat di atas mengandung arti
khusus. Memang benar mereka (orang-orang Mu’min) melihat
semuanya tanpa ada batas dan tanpa terhitung banyaknya ketika
di padang mahshar ketika berkumpul semua makhluk Allah.
Orang-orang Mu’min mampu melihat itu semua di hari itu
karena mereka adalah orang yang merasa aman, tidak takut dan
tidak pula bersedih. Akan tetapi pengkhususan orang Mu’min
dengan melihat Tuhan andai Tuhan dapat dilihat adalah suatu
yang mustahil. Dengan demikian, makna ayat di atas harus
disesuaikan dengan makna yang biasa digunakan secara umum,
71
seperti perkataan “aku menunggu Fulan apa yang dia lakukan
kepadaku, artinya adalah anti pasti dan harapan.”24
Hemat penulis, Zamakhsyari menafsirkan derivasi kata نظ ر ة
(nāẓirah ) dengan memalingkan makna zahir. Derivasi kata tersebut
menjadi makna منتظرة al-tawaqqu’ wa al-raja (berharap) yaitu
seorang berharap untuk melihat Allah. Sebenarnya, ayat ini secara
eksplisit membicarakan tentang kemampuan manusia untuk melihat
Allah pada hari kiamat. Namun, al-Zamakhsyarī dalam menafsirkan
ayat ini dipengaruhi doktrin-doktrin mazhab Mu’tazilah yang
dianutnya, yaitu prinsip ushul khamsah berupa al-tauhid. Dalam
prinsip tauhid yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya,
bahwa kaum Mu’tazilah menolak adanya tajsim (penyerupaan
terhadap sifat makhluk). Hal ini berimplikasi pada penafsirannya
bahwa melihat Allah adalah suatu hal yang mustahil. Sehingga jika
derivasi kata nāẓirah dimaknai sebagai “melihat”, tentu penafsiran
semacam ini akan menyalahi dan merusak paham doktrin yang
dianutnya. Karena itulah, kata nāẓirah yang bermakna melihat, ia
takwilkan maknanya dengan muntaẓirah , yaitu diartikan berharap
untuk melihat (al-raja’). Dengan penafsiran seperti ini, ia telah
menafsirkan ayat al-Qur’an tanpa menyalahi prinsip dasar mazhab
mu’tazilah. Jelaslah penafsirkan ayat-ayat semacam ini
dimaksudkan untuk mengintegrasikan paham Mu’tazilah dalam
kitab tafsirnya.
24 Abī al-Qā`sim Mahmūd b. ‘Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf ‘an
Haqā`’iq Ghawā`mid al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqwīl fi Wujuh al-Ta’wīl, jil. 1
(Riyā`dh: Maktabah al-‘Abīkā`n, 1998), 20, dan jil. 4, 270.
72
Bahkan kekeliruan ini terjadi yang bisa bertentangan dengan
paham mereka maka bisa menyebabkan mejadi bias. Perlakuan
yang dilakukan oleh al-Zamakshyarī menghukumkan ayat-ayat
muhkamat sebagai ayat mutasyabihat apabila bertentangan dengan
paham mazhabnya. Secara universal, permasalahan-permasalahan
ayat yang bertentangan dengan doktrin kelompok mu’tazlilah
diselesaikan oleh al-Zamakhsyarī dengan menggunakan konsep
muhkam mutasyabih.25 Ayat yang bertentangan dengan paham
mu’tazilah akan digolongkan sebagai ayat yang mutasyabih, dan
pemaknaan ayat yang mutasyabih tersebut harus berlandaskan ayat
yang mereka anggap sebagai ayat muhkamat. Sebagai contoh
penafsiran seperti QS. al-Qiyāmah 22-23 sebelumnya. Bahwa al-
Zamakhsyarī tidak memaknai kata nāẓirah dengan makna tekstual
lafaz tersebut, bahkan ia mengklasifī kasikan ayat ini sebagai ayat
mutasyabih. Alasan ayat ini digolongkan sebagai ayat mutasyabih
adalah karena ketidaksesuaian makna tekstual ayat terhadap paham
doktrin mu’tazilah yang menolak adanya unsur-unsur tasyabbuh
(serupa) dengan makhluknya (tajsim). Ditambah lagi adanya ayat
yang menjelaskan bahwa hanya Allah yang dapat melihat makhluk,
sedangkan makhluk tidak dapat melihat Allah, ayat berikut ini yang
25 Muhkam menurut al-Zarqā`nī yaitu: من و نسخ إ ل ي ه یتطرق ل المذ ي الشمر ع ي م ال ك
Yaitu hukum syari’at yang tidak“ ه ي اف ف خ حل و ض و اهب ن مع ليةدالع ن والسمابأ ت صالك و نص
dimasukkan oleh nasakh dan naṣ-naṣ al-Qur’an atau Sunnah yang memiliki
kejelasan makna yang tidak ditemukan kesamaran di dalam makna.”
sedangkan mutasyabihā`t menurut al-Zarqā`nī adalah ق م ت ا اب ش ت م ال و خس ن د ا
yaitu merupakan kebalikan dari definisi muhkam yang berarti ditemukan
naskh. Muhammad ‘Abd al-‘Azīm al-Zarqā`nī, Manā`hil ‘Irfā`n fi ‘Ulūm al-
Qur’an, jil. 2 (Dā`r Kitab al-‘Arabī, 1995), 214.
73
menjadi landasan al-Zamakhsyarī dalam menafsirkan lafaz nāẓirah
: QS. al-‘An’ām 103
ٱل ب ي ٱللمط يف و ه و ٱل بص ر ی در ك و ه و ت در ك ه ٱل بص ر ل Artinya: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang
Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha
Halus lagi Maha Mengetahui.”
Al-Zamakhsyarī menggolongkan QS. al-An’ām [6] 103
sebagai ayat muhkam, sehingga dalam memaknai derivasi kata
nāẓirah dalam QS. al-Qiyāmah [75] 23 di atas ia tidak
memaknainya secara tekstual, namun menakwilkan
(memalingkan) maknanya karena dianggap bertentangan dengan
ayat muhkam ini. Dengan demikian, jika ditemukan ayat yang
tidak sesuai dengan pemikiran atau pemahaman mereka, maka al-
Zamakhsyarī akan meng-klasifī kasikannya sebagai ayat
mutasyabihat, dan kemudian ditafsirkan agar sesuai dengan
pemikiran mu’tazilah. Upaya ini merupakan salah satu bentuk
pembelaan al-Zamakhsyarī terhadap keyakinan di dalam doktrin
mazhab mereka.26
2. Interpretasi keadilan Allah
Bagi kelompok mu’tazilah Allah melakukan semua
tindakannya dengan baik, sebab Allah mustahil dzalim kepada
makhluk-Nya. Adapun argumentasi kelompok mu’tazilah terkait
Allah melakukan keadilan bagi hambanya yaitu QS. al-Nisā’ [4]:
100.
26 Al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf, 22.
74
ر و م نی و س ع ة م ر اغ ماك ث يا ف یٱل رض د ي ٱللم ف یس ب يل ر م نب يت ه و م نی ه اج ج
و ع ل ىٱللم أ جر ه ۥ و ق ع ف ق د و ر س ول هث می در كه ٱلم وت ٱللم إ ل را ٱللم غ ف ورام ه اج ك ان ي امرمح
Artinya: “Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka
mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki
yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud
berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian
menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka
sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Menurut al-Zamaksyari maksud dari kata أ جر ه ۥع ل ىٱللم ف ق د و ق ع
menurutnya adalah teks sebagai berikut:
ر ه ع ل ىاللم ف و ق ع أ ج عو ق الو ب:و ج الو ة ق ي ق ح :و ه ي ل ابهع و ث ب ج و د ق ف ق د Pandangan al-Zamakhasyari Allah mempunyai kewajiban
untuk memberikan pahala bagi hambanya. Karena Allah Maha
Mengetahui dalam hal demikian untuk memberikan pahala bagi
hambanya, dan merupakan kewajiban bagi Allah.27 Terlihat sekali
al-Zamakhsyarī dalam menafsirkan ayat ini yang memiliki
hegemoni mu’tazilah. Bagi kalangan mu’tazilah adil merupakan
kewajiban Allah dalam menentukan kebaikan hambanya. Dan Allah
tidak akan melakukan kedzaliman kepada hambanya karena itu
keluar dari doktrin adil. Sebagai argumentasi mu’tazilah bahwa
Allah mustahil melakukan kedzhaliman kepada hambanya yaitu QS.
Qaf [50] 29
ب ظ لم مل لع ب يد و م اأ ن ل د یم ٱلق ول م ای ب دمل Artinya: “Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah dan Aku sekali-
kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku.”
27 Al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf, 270.
75
Maksud ayat ini, Allah mustahil melakukan kedzaliman
kepada hamba-Nya. Sebagaimana al-Zamakhsyarī menafsirkan QS.
al-‘An’ām [6] 160 ی ظل م ون maksudnya adalah Allah mustahil ,و ه م ل
melakukan kedzaliman dengan mengurangi pahala hamba-Nya dan
menambah pahala hamba-Nya.
3. Interpretasi Janji dan Ancaman (al-wa’d wa al-wa’īd)
Janji (al-wa’d) merupakan kewajiban Allah untuk ditunaikan
bagi hambanya. Dalam hal ini ditemukan interpretasi al-
Zamakhsyarī dengan memberikan doktrin mu’tazilah terkait Janji
dan Ancaman (al-wa’d wa al-wa’īd) yaitu QS. al-An’ām [6] 160
ل ه او ه مل ث م إ لم ز ى ي أ مث ال او م نج اء ب ٱلسمي ئ ة ف ل اء ب ٱل س ن ة ف ل ه ۥع شر م نج
ی ظل م ون Artinya: “Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya
(pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang
membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan
melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka
sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).”
Menurut al-Zamakhsyarī ayat ini merupakan janji Allah
berupa pahala bagi orang yang melakukan kebaikan. Adapun
bentuk teks interpretasi al-Zamakhsyarī mengenai ayat di atas
sebagai berikut:
م ذ ه و أقل و ا م ا و ضع ال ن عد ب ع و د ق اف و ة ائ عم ب س د اح و ل د ثوابع و ، د ات ئ ي السمة أ اف ك م ل،و ض ف ات ن س ال ة ف اع ض م .و اب حس ي غ ب
Komentar al-Zamakhsyarī, ayat ini merupakan kelipatan janji
Allah. Janji yang diberikan kepada hamba-Nya yaitu pahala.
Kelipatannya adalah satu sama dengan 700 pahala. Dan ini
76
merupakan janji Allah memberikan pahala kepada hamba-Nya.28
Hemat penulis, Doktrin ini sejalan dengan mu’tazilah bahwa Allah
wajib menunaikan kewajibannya dalam memberikan janji bagi
orang yang melakukan kebaikan. Ketika Allah tidak memberikan
dan menunaikan janji kepada hamba-Nya maka Allah tidak adil.
Karena adil adalah tindakan Allah dengan kebaikan dan Allah
mustahil melakukan keburukan dan kedzaliman. Di akhir
pembahasan ayat menurut al-Zamakhsyarī
م اب عق لىع اد ز ی ل و م اب و ث ن م ص ق ین ی ظ ل م ون ل لو ه م ل د ع Allah tidak akan keluar dari konsep adil. oleh karena itu,
Allah tidak akan berbuat kedzaliman dengan mengurangi kebaikan
dan menambahi siksaan.29
4. Interpretasi Manzilah Baina Manzilatain
Dalam kasus ini tidak ditemukan mengenai penafsiran al-
Zamkhsyari terkait tentang doktrin manzilah baina manzilatain.
Adapun ayat-ayat yang digunakan untuk argumentasi terhadap
doktrin ini, menurut Wāṣil b. ‘Atā’ ada dua klasifīkasi yang
dijadikan untuk argument bagi kelompok mu’tazilah di antaranya:
pertama, hukum bagi orang Ahlu kitab sebab mereka mengimani
kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah sebelum Nabi Muhammad,
dijelaskan di dalam QS. al-Taubah [9] 29. Kedua, hukum bagi
orang munāfīq karena mereka masih dalam keadaan Islam tetapi
melakukan kesalahan dosa besar.30
28 Al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf, 419.
29 Al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf, 419.
30 Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah, 255-257.
77
5. Interpretasi Amr Ma’rūf Nahi Munkar
Doktrin ini maksudnya yaitu melakukan kebaikan dan
meninggalkan larangan. Menurut kalangan mu’tazilah,
mengaktualisasikan doktrin ini hukumnya adalah fardu kifāyah
(wajib universal). Dalam hal ini, al-Zamakhsyarī sejalan dengan
ideologi yang ia ikuti. Terbukti ia menafsirkan QS. ‘Ali ‘Imran [3]
104
ٱلم نك ر و لت ك ن ع ن ه ون و ی ن ب ٱلم عر وف م ر ون
ی و ٱل ي إ ل ی دع ون أ ممة نك م م
ه م ٱلم فل ح ون ك و أ ول ىArtinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat
yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf
dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang
beruntung.”
Menurut al-Zamakhsyarī mengenai ayat ini sebagai berikut:
أ ممةمنل م ن ك م ض ي ع ب ت ل و ل ت ك ن ن هىع النمو ف و ر لع رب م ال نمل ضو ر ف ن م ر ك ن ال
تاي ف الك Ayat ini menurutnya, jangan jadikan sebuah kelompok
terpecah belah (terkelompok), karena melakukan kebaikan dan
meninggalkan larangan merupakan kewajiban yang universal (fard
kifāyah).31 Doktrin ini sejalan dengan Ahl al-Sunnah wa al-
Jama’ah bahwa mereka melakukan kebaikan dan meninggalkan
larangan. Adapaun perbedaan dalam doktrin adalah mengenai
klasifī kasi perintah melakukan kebaikan (ma’rūf). Menurut
mu’tazilah amr ma’rūf terbagi dua di antaranya: wajib (harus) dan
31 Al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf, 604.
78
mandūb (sunnah). Sedangkan bagi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah,
klasifī kasi mengenai amr ma’rūf hanya satu yaitu wajib.32
Dari beberapa penjelasan di atas mengenai analisis al-dakhīl
di dalam tafsir al-Kasysyāf ditemukan tiga unsur-unsur yang
menjadikan al-dakhīl. Pertama, mengenai interpretasi ayat al-
Qur’an tentang tidak bisa melihat Allah (ru’yah Allah) sebagai
bentuk keesaan Allah dengan tidak berbentuk (tajsim) seperti
makhluknya. Tentu pemikiran ini terjadi kontradiktif dengan yang
lainnya, bahkan al-Zamakhsyarī menjadikan ayat yang muhkam
menjadi mutasyabih. Kedua, tentang konsep adil Allah. Hal ini
terbukti terjadi kontradiktif dengan kelompok yang lain, karena bagi
kelompok mu’tazilah Allah wajib berlaku adil dan mustahil akan
melakukan kedzaliman kepada hamaba-Nya. Ketiga, konsep al-
wa’ad wa al-wa’īd (janji dan ancaman). Menurut al-Zamakhsyarī
Allah harus menunaikan janji kepada hamba-Nya yang melakukan
kebaikan dengan memberikan kebaikan, dan tidak mendzalimi
hamba-Nya dengan tidak mengurangi pahala dan menambahinya.
Karena perlakukan dzalim adalah keluar dari konsep adil. Adapun
mengenai konsep amr ma’rūf nahi munkar (perintah melakukan
kebaikan dan meinggalkan larangan) sejalan dengan kelompok ahl
al-sunnah wa al-jama’ah, hanya saja berbeda di dalam mengklasifī
kasikan mengenai perintah dalam melakukan kebaikan. Tetapi
konsep ini tidak bisa dikategorikan sebagai al-dakhīl. Begitu juga
konsep manzilah baina manzilatain juga tidak bisa dikategorikan
sebagai al-dakhīl karena tidak ditemukan dalam penafsiran al-
Zamakhsyarī.
32 Al-Mu’tīq, Al-Mu’tazilah wa Uṣuluhum Al-Khamsah, 269.
79
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian di dalam bab sebelumnya, maka
kesimpulannya sebagai berikut:
1. Bentuk al-Dakhīl yang masuk ke dalam tafsir al-kasysyāf
adalah al-Dakhīl bi al-Ra’yī. Maksudnya memberikan
interpretasi berupa rasio dan ijtihad yang tidak sesuai dengan
keautentikannya. Adapun unsur-unsur al-Dakhīl bi al-Ra’yī
adalah uṣūl al-khamsah (lima prinsip dasar) kelompok
mu’tazilah. Pertama, mengenai keesaan (tauhid) Allah yang
tidak bisa dilihat oleh manusia karena Dia tidak memiliki
bentuk (tajsim). Kedua, konsep adil Allah yang semua
tindakan-Nya merupakan kebaikan dan mustahil untuk
melakukan keburukan. Ketiga, konsep janji ancaman Allah
(al-wa’ad wa `a-waīd) dengan maksud Allah wajib
menyelesaikan janji kepada Hamba-Nya dengan memberikan
pahala tanpa mengurangi keadila-Nya seperti dzalim
mengurangi pahala dan menambah pahala hamab-Nya.
2. Adapun hal yang melatar belakangi terjadinya al-dakhīl di
dalam tafsir al-Kasysyāf adalah tendensi dan hegemoni
mu’tazilah yang ia anut dalam menafsirkan doktrin-doktrin
mu’tazilah. Doktrin yang mereka gunakan adalah
mengkultuskan akal dalam menginterpretasikan ayat,
sehingga apabila terjadi kontradiktif dengan akal maka harus
ditakwilkan (memalingkan) makna tekstualnya.
80
B. Saran-saran
1. Penyelesain penelitian ini belum dikategorikan maksimal,
dikarenakan kajian al-Dakhīl hanya seputar ideologi
Mu’tazilah yaitu uṣūl al-Khamsah (lima prinsip dasar).
2. Penelitian semacam ini diharapkan bisa berkembang di
kalangan jurusan ilmu al-Qur’an dan tafsir, karena al-Dakhīl
masih jarang digunakan sebagai pintu masuk untuk
mengkritik dan mencari sumber-sumber penafsiran.
3. Dalam skripsi ini penulis hanya fokus kepada doktrin ushūl
al-Khamsah. Berbagai aspek yang bisa diteliti seperti, al-
Dakhīl bi al-maṡūr, melalui periwayatan hadis, dan lainnya.
81
DAFTAR PUSTAKA
‘Abdurrahman, Ahmad Sa’īd Ibrahīm. Muqaddimah Uṣūl Tafsīr.
Kairo: Dar-Al-Bashāir, 2006.
Akasah, Usep Nur. “Al-Dakhīl fī al-Tafsīr Al-Jailany: Dirasah
Tahliliyah ‘an Al-Dakhīl Min Surati Al-hijr ila Surah Al-Kahfi.”
Tesis S2 Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2016.
Anas, Muhammad. “Al-Dakhīl dalam Tafsir al-Mawardy: Studi atas
Kitab al-Nukāt wa al-‘Uyūn Juz 1 dan 2.” Skripsi S1 UIN Sunan
Gunung Djati Bandung. 2004.
Anwar, Rosihon. Melacak Unsur-Unsur Israīlīyat dalam Tafsir al-
Ṭabari dan Tafsir Ibnu Kaṡir. Bandung: Pustaka Setia. 1999.
Al-Asy’arī, Abū al-Ḥasan ‘Alī ibn Ismāīl ibn Isḥāq. Maqālāt al-
Islamiyyin wa Ikhtilāf al-Mushallīn. Bairut: Maktabah al-
‘Asriyyah. 1990.
Baidan, Nashirudin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2000.
Bari, Fahul. “Dakhīl dalam Kitab Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-
Ta’wil Karya Al-Bayḍawi: Kajian Surat al-Fatihah dan Surat al-
Baqarah.” Disertasi S3 IAIN Sunan Ampel Surabaya. 2013.
Bustami, Hafni. “Metode Nahwu Al-Zamakhsyarī: Analisis Terhadap
Penggunaan Dalil Nahwu Dalam Tafsir Al-Kasysyāf.” Disertasi
S3 UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta, 2008.
Carwa. “al- Dakhīl dalam Video Negeri Saba' Versi Al-Qur’an Fahmi
Basya.” Skripsi S1 UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 2012.
Al-Dzahabi, Muhammad Husain. Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn. Kairo:
Dār al-Hadis. 2005.
_______. Manāhilul ‘Irfān fī Ulum al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Kutub al-
Hadīts. 1979.
82
_______. Penyimpangan-penyimpang-an dalam Penafsiran al-Qur’an.
terj. Hamim Ilyas dan Machnun Husein. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada. 1996.
Al-Farmawi, ‘Abd al-Hayy. Metode Tafsir Mauḍu’i: Sebuah Pengantar
Terj. Surya A. Samran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1996.
_______. Al-Bidayah Fī ala Tafsir al-Mauḍu’iy. Mesir: Maktabah al-
Jumhuriyyah. 1977.
Fāyed, ‘Abd al-Wahhāb ‘Abd al-Wahhāb. al-Dakhīl fī Tafsīr Alqurān
al-Karīm. Kairo: Maṭba’ah al-Ḥaḍārah al-‘Arabiyyah. 1980.
Ghozali, Moh. Alwy Amru. “Menyoal Legalitas Tafsir: Telaah Kritis
Konsep Al-Aṣil Wa Al-Dakhīl.” Tafsere. Vol. 6. No. 2. (2018).
Harun. “Dakhīl Al-Naqli dalam Tafsir Fath al-Qadir al-Shawkani:
Kajian ayat-ayat tentang kisah Nabi Ibrahim as.” Skripsi S1
Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati Bandung. 2019.
Humaira, Dara dan Khairun Nisa. “Unsur I’tizali Dalam Tafsir Al-
Kasysyāf: Kajian Kritis Metodologi Al-Zamakhsyarī.” Maghza.
Vol. 1. No. 1 (Januari-Juni 2016).
Islam, Ahmad Fakhruddin Fajrul. “Al-Dakhīl Fī Tafsīr: Studi Kritis
dalam Metodologi Tafsir.” Tafaqquh. vol. 2. No. 2 (Desember
2014).
Al-Juwainī, Mustafa al-Ṣawi. Manhaj al-Zamakhsyarī fī Tafsīr al-
Qur’an wa Bayān I’jāzihi. Mesir: Dār al-Ma’ārif. t.t.
Khaeruman, Badri. Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an.
Bandung: Pustaka Setia. 2004.
Khalifah, Ibrahim ‘Abd al-Rahman Muhammad. Al- Dakhīl fī al-
Tafsīr. Kairo: Dar al-Bayan. 1996.
Lestari, Lenni. “Konsep Keadilan dan Indetrminasi Menurut al-
Zamakhsyarī: Analisis Terhadap Kisah Nabi Adam dan Hawa
dalam Tafsir al- Kasysyāf.” Syahadah. Vol. 2. No. 2. Oktober.
2014.
83
Munayyir, Ibn. Al-Masā’il al-I’tizaliyyah fī Tafsīr al-Kasysyāf li Al-
Zamakhsyarī. Saudi Arabia: Dar al-Andalas. 1997.
Al-Mu’tīq, ‘Awwād bin ‘Abdullah. Al-Mu’tazilah wa Ushuluhum Al-
Khamsah wa Mauqifu Ahlus Sunnah Minhā. Riyād: Maktabah al-
Rusyd. 1995.
Mursyid, Ali dan Zidna Khaira Amalia. “Benarkah Yusuf dan Zulaikha
Menikah?: Analisa Riwayat isrā’īlīyāt dalam Kitab Tafsir.”
Wawasan. Vol. 1. No. 1. Januari. 2016.
Mustafa, Ibrahim. Al-Mu’jam al-Wasit. Turki: Dar al-Da’wah. 1990.
Mustaqim, Abdul. Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an: Studi Aliran-
Aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga
Modern-Kontemporer. Yogyakarta: Adab Press. 2014.
Na’if, Fauzan. Al-Kasysyaf Karya Al-Zamakhsyarī dalam A. Rofiq:
Studi Kitab Tafsir. Yogyakarta: Teras. 2004.
Al-Najjār, Jamāl Musṭafa. Uṣul al-Dakhīl fī al-Tafsīr Ayy al-Tanzīl.
Kairo: Universitas al-Azhar. 2009.
Pratama, Priyo. “Dakhīl Al-Naqli dalam Tafsir Jāmi’ Al-Bayān ‘an
Ta’wīl āy Al-Qur’ān Karya Ibnu Jarir Al-Ṭabari: Kajian Tentang
Kisah Nabi Musa as. dan Nabi Khidir as.” Skripsi S1 Universitas
Islam Negeri Sunnan Gunung Djati Bandung. 2018.
Al-Qattān, Mannā’ Khalīl. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. terj. Mudzakir.
Bogor: Litera AntarNusa. 2011.
Rasyid, Daud. Islam dalam Berbagi Dimensi. Jakarta: Gema Insani
Press. 1998.
Shaikh,M. Saeed. Studies in Muslim Philosophy. Delhi: Shah Offset
Printer. 1994.
Shofa, Maryam “Al-Dakhīl dalam Tafsir al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān
Karya al-Qurtubī: Analisis Tafsir Surah al-Baqarah.” Suhūf. Vol.
6. No. 2 (2013).
Sihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Jakarta: Mizan. 1992.
84
Sou’yb, Joesoef. Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Pikiran
Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna. 1982.
Sriwayuti. “Al-Dakhīl dalam Tafsīr al-Munīr al-Tanzīl Karya Syaikh
Nawawi al-Bantani.” Skripsi S1 UIN Sunan Ampel Surabaya.
2017.
Al-Suyūtī, Jalāl al-Dīn. al-Iṭqān fi ‘Ulūm al-Qur’an. Bairut: Resalah
Publisher. 2008.
Al-Syahrastānī, Abī al-Fath Muhammad bin ‘Abd al-Karīm. al-Milal
wa al-Nihal. Bairut: Dār al-Kitan al-‘Alamiyyah. 1992.
Syahibah, Muhammad bin Muhammad Abū. Isrā’īlīyāt wa al-
Mauḍū`āt fī Kutub al-Tafsīr. Kairo: Maktabah Sunnah. 2006.
Ubaidillah, Ismail. “Kata Serapan Bahasa Asing Dalam Al-Qur’an
Dalam Pemikiran At-thabari.” At-ta’dib. Vol. 8 no. 1 (2013).
Ulinnuha, Muhammad. “Konsep al-Aṣīl dan al-Dakhīl dalam Tafsir al-
Qur’an. Madania. Vol. 21. No. 2. Desember. 2017.
Zakiyah, Ermita. “Aspek Paham Mu’tazilah Dalam Tafsir Al- Kasysyāf
Tentang Ayat-Ayat Teologi: Studi Pemikiran al-Zamakhsyarī.”
Tesis S2 Institut Agama Islam Negri Sunan Ampel. 2013.
Al-Zamakhsyarī, Abī al-Qāsim Mahmūd bin ‘Umar al-Khawārizmī. al-
Kasysyāf ‘an Haqāiq al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqāwīl fī Wujūh al-
Ta`wīl. Riyād: Maktabah al-‘Abīkān. 1998.
Al-Zarqānī, Muhammad ‘Abd al-‘Azīm. Manāhil ‘Irfān fī ‘Ulūm al-
Qur’an. Dār Kitab al-‘Arabī. 1995.
Zuhelmi. “Epistimologi Pemikiran Muktazilah Pengaruhnya terhadap
Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia.” LIA. No.2.
Desember (2013).