AKAD DAN PRODUK PERBANKAN SYARIAHrepo.iain-padangsidimpuan.ac.id/37/1/Nofinawati.pdf · 2017. 10....
Transcript of AKAD DAN PRODUK PERBANKAN SYARIAHrepo.iain-padangsidimpuan.ac.id/37/1/Nofinawati.pdf · 2017. 10....
219
AKAD DAN PRODUK PERBANKAN SYARIAH
Nofinawati Lecturer of Economy and Bisnis of Islamic Faculty at IAIN Padangsidimpuan
Jl. T. Rijal Nurdin Km.4,5 Sihitang Padangsidimpuan 22733 Email: [email protected]
Abstract
Contract and pruduct in sharia banking are two matter inseperable because each
product in sharia banking must be based on the contract and Islam sharia principles.
If looked from aspect product, aspect contract and sharia principles are differentiate
between sharia bank product and conventional bank product. Based on purpose of
sharia bank, there are to get profit in the world and profit in the hereafter (profit and
fallah oriented). So contract in sharia bank has also become two, there are tabarru’
contract (fallah oriented) and tijarah contract (profit oriented). Tabarru’ contract
generally used at sharia banking activity in sector social like as service product and
give good deeds loan to their costumers. Tijarah contract generally used at financing
product are based profit sharing, trade, business of renting things out.
Keywords : contract, product, sharia banking
Abstrak
Kontrak dan produk di perbankan syariah adalah dua hal yang tak terpisahkan
karena setiap produk di perbankan syariah harus didasarkan pada kontrak dan
prinsip syariah Islam. Jika melihat dari aspek produk, aspek kontrak dan prinsip
syariah yang membedakan antara produk perbankan syariah dan produk
perbankan konvensional. Berdasarkan tujuan bank syariah, ada untuk
mendapatkan keuntungan di dunia dan keuntungan di akhirat (profit dan Fallah
oriented). Jadi kontrak di bank syariah juga menjadi dua, ada 'kontrak tabarru
(berorientasi Fallah) dan tijarah kontrak (profit oriented). Kontrak tabarru
'umumnya digunakan pada kegiatan perbankan syariah di sektor sosial seperti
sebagai produk layanan dan memberikan pinjaman perbuatan baik kepada
pelanggan mereka. Kontrak tijarah umumnya digunakan pada produk pembiayaan
berbasis bagi hasil, perdagangan, bisnis menyewa segala sesuatunya.
Kata Kunci: kontrak, produk, perbankan syariah
PENDAHULUAN
Sesuai dengan branch (label) nya, bank syariah adalah Lembaga keuangan yang
operasionalnya berdasarkan kepada syariah Islam. Di satu sisi (pasiva atau liability) bank
syariah adalah lembaga keuangan yang mendorong dan mengajak masyarakat untuk ikut
aktif berinvestasi melalui berbagai produknya. Sedangkan di lain sisi (aktiva atau asset) bank
syariah aktif untuk melakukan investasi kepada masyarakat.
Sepintas bila dilihat dari secara teknis, bertransaksi di bank syariah dengan yang
berlaku di bank konvensional hampir tidak ada perbedaan. Hal ini karena, baik di bank
FITRAH Vol. 08 No. 2 Juli-Desember 2014
220
syariah maupun di bank konvensional diharuskan mengikuti aturan teknis perbankan secara
umum. Akan tetapi bila diamati lebih dalam, terdapat beberapa perbedaan mendasar
diantara keduanya. Diantaranya terletak pada akadnya. Pada bank syariah, semua transaksi
harus berdasarkan akad yang dibenarkan oleh syariah Islam. Dengan demikian, semua
transaksi itu harus mengikuti kaidah dan aturan yang berlaku pada akad-akad dalam fiqh
muamalah. Dengan akad-akd yang ada tersebut bank akan mengimplikasikannya dalam
berbagai bentuk produk yang ditawarkan kepada masyarakat. Dalam prakteknya ada
beberapa produk yang perlu disesuaikan lagi oleh bank syariah dengan akad yang diatur
dalam fiqh muamalah.
Berdasarkan paparan di atas, maka penulis ingin membahas perbandingan mengenai
teori dan realita akad dan produk bank syariah.
PEMBAHASAN
A. Akad Bank Syariah
Dalam bank syariah akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan
ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Sering kali nasabah
berani melanggar kesepakatan atau perjanjian yang telah dialkukan apabila hukum itu
hanya berdasarkan hukum positif belaka, tapi tidak demikian bila perjanjian tersebut
memiliki pertanggungjawaban sampai yaumil qiyamah nanti.
Fiqh muamalah membedakan antara wa’ad dengan akad. Wa’ad adalah janji
(promise) antara satu pihak kepada pihak lainnya, sementara akad adalaqh kontrak
antara dua belah pihak. Wa’ad hanya mengikat satu pihak, yakni pihak yang memberi
janji berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya. Sedangkan pihak yang diberi janji
tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam wa’ad, terms and
condition-nya belum ditetapkan secara rinci dan spesifik (belum well defined). Bila pihak
yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka sanksi yang diterimanya lebih
merupakan sanksi moral. Di lain pihak, akad mengikat kedua belah pihak yang saling
bersepakat, yakni masing-masing pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka
masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu. Dalam akad, bila salah satu atau
kedua belah pihak yang terikat dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya,
maka ia /mereka menerima sanksi seperti yang sudah disepakati dalam akad.
Selanjutnya dari segi ada atau tidak adanya kompensasi, akad dibagi menjadi dua
bagian, yakni: 1
1 Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), Ed. 3,
hlm. 66
Akad Dan Produk Perbankan Syariah … Nofinawati
221
1. Akad Tabarru’
Tabarru’ berasal dari bahasa Arab yaitu kata birr, yang artinya kebaikan. Akad
tabarru’ (gratuitous contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut not for
profit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi
bisnis untuk mencari keuntungan komersil. Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan
tolong-menolong dalam rangka berbuat kebaikan. Dalam akad tabarru’ pihak yang
berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak
lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah SWT, bukan dari manusia.
Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada
counter part-nya untuk sekedar menutupi biaya (cover the cost) yang dikeluarkannya
untuk dapat melakukan akad tabarru’ tersebut. Tapi ia tidak boleh sedikitpun
mengambil laba dari akad tabarru’ itu.
Pada hakikatnya akad tabarru’ adalah akad yang melakukan kebaikan dengan
mengharapkan imbalan dari Allah SWT semata. Itu sebabnya akad ini tidak
bertujuan untuk mencari keuntungan komersil. Konsekuensi logisnya bila akad
tabarru’ dilakukan dengan mengambil keuntungan komersil, maka ia bukan lagi
tergolong akad tabarru’, namun ia akan tergolong akad tijarah. Bila ia ingin tetap
menjadi akad tabarru’, maka ia tidak boleh mengambil manfaat (keuntungan
komersil) dari akad tabarru’ tersebut. Tentu saja ia tidak berkewajiban menanggung
biaya yang timbul dari pelaksanaan akad tabarru’. Artinya ia boleh meminta
pengganti biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan akad tabarru’.
Akad tabarru’ terbagi dalam tiga jenis transaksi, yaitu :2
a. Transaksi Meminjamkan uang (lending)
1) Qardh yakni transaksi pinjam meminjam uang. Di dalam Islam transaksi ini
tidak bileh dikenakan tambahan atas pokok pinjaman atau yang umum
dikenal sebagai bunga pinjaman. Hukum pengenaan bunga atas pinjaman
adalah riba, suati hal yang harus dihindari karena haram. Di bank syariah
akad qardh digunakan untuk pembiayaan talangan haji dan pembiayaan
qardhul hasan.
2) Rahn yakni pemberian pinjaman uang dengan penyerahan barang sebagai
agunan, contohnya transaksi gadai emas.
3) Hiwalah yakni pemberian peminjaman uang bertujuan untuk menutup
pinjaman di tempat/pihak lain, contohnya transaksi pengalihan hutang.
2 Yusak Laksmana, Panduan Praktis Account Officer Bank Syariah, (Jakarta : Gramedia, 2009), hlm. 10-11
FITRAH Vol. 08 No. 2 Juli-Desember 2014
222
b. Meminjamkan jasa (lending yourself)
1) Wakalah yakni transaksi perwakilan, dimana satu pihak bertindak atas
nama/mewakili pihak lain. Contohnya transaksi jasa transfer uang, inkaso,
kliring warkat cek dan bilyet giro.
2) Kafalah yaknu transaksi penjaminan satu pihak kepada pihak lain. Contohnya
penerbitan L/C, bank garansi dan lain-lain
3) Wadiah yakni transaksi titipan, dimana satu pihak menitipkan barang kepada
pihak lain. Contohnya tabungan wadi’ah, giro wadi’ah dan safe deposit box.3
c. Memberikan sesuatu (giving something)
Yang termasuk kedalam golongan ini adalah akad-akad sebagai bertikut:
seperti akad Hibah, Waqf, Shadaqah dan Hadiyah. Akad tabarru’ ini adalah berupa
akad untuk mencari keuntungan akhirat bukan akad bisnis. Jadi akad seperti ini
tidak bisa digunakan untuk akad komersil. Bank syariah sebagai lembaga
keuangan yang bertujuan untuk mendapatkan laba tidak dapat mengandalkan
akad tabarru’ untuk mendapatkan laba. Bila tujuannya untuk mendapatkan laba,
maka bank syariah menggunakan akad-akad yang bersifat komersil, yakni akad
tijarah. Namun demikian bukan berarti akad tabarru’ sama sekali tidak sapat
digunakan dalam kegiatan komersil. Bahkan pada kenyataanya penggunaan
akad tabarru’ sangat fital dalam transaksi komersil, karena akad tabarru’ ini dapat
digunakan untuk menjembatani atau memperlancar akad-akad tijarah. 4
Seperti produk talangan haji pada bank syariah mandiri. Produk ini bank
menggunakan akad Qardh wal Ijarah. Dalam hal ini bank memberikan talangan
kepada nasabah untuk ongkos hajinya. Atas talangan yang diberikan ini bank
menggunakan akad qardh dan nasabah akan membayarnya sejumlah talangan
nasabah yang diberikan selama jangka waktu yang telah ditentukan. Disamping
akad qardh ini, bank juga menggunakan akad ijarah, dalam akad ijarah ini bank
mendapatkan keuntungan berupa fee/ujrah. Ujrah diberikan atas dasar pemakaian
sistem komputerisasi haji.
2. Akad Tijarah
Akad tijarah/muawadah (compensational contract) adalah segala macam
perjanjian yang menyangkut for pofit transaction. Akad ini digunakan mencari
keuntungan, karena itu akad ini bersifat komersil. Berdasarkan tingkat kepastian dari
hasil yang diperolehnya, akad tijarah dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
3 Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep Produk dan Implementasi
Operasional Bank Syariah, (jakarta: djambatan, 2003), hlm. 73 4 Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqh ......2007.,, hlm. 70
Akad Dan Produk Perbankan Syariah … Nofinawati
223
a. Natural Certainty Contracts (NCC)
NCC adalah suatu jenis kontrak atau transaksi dalam bisnis yang
memiliki kepastian keuntungan dan pendapatannya baik dari segi jumlah dan
waktu penyerahannya.5 Dalam NCC kedua belah pihak saling mempertukarkan
aset yang dimilikinya, karena objek pertukarannya (baik barang maupun jasa)
pun harus ditetapkan di awal akad dengan pasti, baik jumlahnya (quantity),
mutunya (quality), harganya (price), dan waktu penyrahannya (time of delivery).
Jadi, kontrak-kontrak ini secara “sunnatullah” ( by their of nature) menawarkan
return yang tetap dan pasti. Yang termasuk dalam kategori ini adalah akad jual
beli dan sewa.
Pada dasarnya ada empat akad jual beli yaitu :
1) al-Bai’ Naqdan adalah akad jual beli yang pembayarannya biasa dilakukan
secara tunai. Dengan kata lain pertukaran atau penyerahan uang dan
barangnya dilakukan dalam waktu yang bersamaan
2) al-Bai’ Muajjal adalah akad jual beli yang pembayarannya biasa dilakukan
secara tidak tunai atau secara cicilan. Dengan kata lain barangnya diserahkan
di awal akad sedangkan uangnya diserahkan belakangan baik secara cicil atau
lump sum.
3) Salam adalah akad jual beli dengan sistem pesanan sedangkan
pembayarannya tunai atau bayar dimuka dan penyerahan barangnya
belakangan.
4) Istishna’ adalah akad jual beli dengan sistem pesanan yang penyerahan
barangnya belakangan dan pembayarannya bisa dicicil, bisa juga lump sum di
akhir akad.
b. Natural Uncertainty contracts (NUC)
Dalam NUC, pihak-pihak yang bertransaksi saling mencampurkan
assetnya (baik real assets maupun financial assets) menjadi satu kesatuan dan
kemudian menanggung resiko bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan.
Keuntungan dan kerugianditanggung bersama oleh masing-masing pihak.
Karena itu kontrak ini tidak memberikan kepastian pendapatan (return), baik dari
segi jumlah (amount) maupun waktu (timing)-nya. Yang termasuk dalam kontrak
ini adalah kontrak-kontrak investasi. Kontrak investasi ini secara “sunnatullah”
(by their nature) tidak menawarkan return yang tetap dan pasti. Jadi sifatnya tidak
“fixed and predetermined” seperti akad musyarakah, mudharabah, musaqah dan
mukhabarah.
5 Slamet Wiyono, Cara Mudah Memahami Akuntansi Perbankan Syariah Berdasarkan PSAK dan PAPSI,
(Jakarta: PT. Grasindo, 2006), hlm.37
FITRAH Vol. 08 No. 2 Juli-Desember 2014
224
B. Produk Bank Syariah
1. Produk Penghimpunan Dana dari Masyarakat (Funding)
Jenis-jenis produk perbankan syariah yang ditawarkan di bidang
penghimpunan dana dari masyarakat (funding) hampir sama dengan produk funding
yang ada di bank konvensional. Seperti nama produk yang ditawarkan kedua
lembaga perbankan tersebut sama-sama bernama giro, tabungan dan deposito.
Namun perbedaannya adalah dari segi prinsip dan akad yang digunakan sehingga
jenis keuntungan yang diberikan kepada masyarakat pun juga berbeda. Untuk lebih
jelasnya berikut ini penulis akan menjelaskan berbagai produk funding yang ada di
bank syariah.
a. Giro Syariah
Giro merupakan simpanan pada bank yang penarikannya dapat
dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah
bayar lainnya atau dengan pemindahbukuan.6 Pada bank syariah produk giro
dikenal dengan nama giro syariah. Giro syariah adalah giro yang dijalankan
berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dalam hal ini Dewan Syariah Nasional telah
mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa giro yang dibenarkan secara
syariah adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip wadiah dan mudharabah.7
1) Giro Wadiah
Yang dimaksud dengan giro wadi’ah adalah giro yang dijalankan
berdasarkan prinsip wadiah, yakni titipan dana yang berasal dari pihak ketiga
(nasabah) pada bank syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat
dengan menggunakan cek, Bilyet Giro, kartu ATM, serta sarana perintah
pembayaran lainnya atau dengan cara pemindahbukuan. Nasabah yang
memiliki simpanan giro wadiah akan memperoleh nomor rekening dan
disebut juga dengan giran (pemegang rekening giro) wadiah.
Giro wadiah menggunakan akad wadiah yad dhamanah dimana bank
boleh menggunakan dana nasabah yang terhimpun untuk tujuan mencari
keuntungan dalam kegiatan yang berjangka pendek untuk memenuhi
kebutuhan likuiditas bank, selama dana tersebut tidak ditarik. Biasanya bank
tidak menggunakan dana ini untuk pembiayaan bagi hasil karena sifatnya
yang jangka pendek. Keuntungan bank yang diperoleh dengan penggunaan
dana ini menjadi milik bank. Demikian juga kerugian yang timbul menjadi
tanggung jawab bank sepenuhnya. Bank diperbolehkan memberikan insentif
6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah 7 Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 01/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro
Akad Dan Produk Perbankan Syariah … Nofinawati
225
berupa bonus kepada nasabah, selama hal ini tidak disyaratkan sebelumnya.
Besarnya bonus tidak ditetapkan dimuka.
Ada beberapa alasan masyarakat menyimpan dana dalam bentuk
simpanan giro wadiah antara lain :
a) Faktor keamanan dalam menyimpan dana
b) Kemudahan dalam melakukan transaksi pembayaran
c) Berjaga-jaga apabila ada kebutuhan dana yang sifatnya mendadak.
2) Giro Mudharabah
Yang dimaksud dengan giro mudharabah adalah giro yang dijalankan
berdasarkan prinsip mudharabah. Prinsip mudharabah mempunyai dua
bentuk, yakni mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayyadah. Perbedaan
utama dari kedua bentuk mudharabah itu terletak pada ada atau tidaknya
persyaratan yang diberikan pemilik dana kepada bank dalam mengelola
dananya, baik dari sisi waktu, tempat maupun objek investasinya. Dalam hal
ini bank syariah bertindak sebagai mudharib (pengelola dana) sedangkan
nasabah bertindak sebagai shahibul maal (pemilik dana).
Nasabah pemilik rekening giro mudharabah berhak memperoleh bagi
hasil sesuai dengan nisbah yang telah disepakati di awal pembukaan
rekening. Bank syariah menanggung semua biaya operasional giro dengan
menggunakan nisbah bagi hasil yang menjadi haknya. Di samping itu bank
syariah tidak diperkenankan mengurangi nisbah nasabah tanpa persetujuan
nasabah. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, PPH bagi hasil giro
mudharabah dibebankan langsung ke rekening giro mudharabah pada saat
perhitungan bagi hasil.8
Rekening giro mudharabah ini hanya bisa dimiliki oleh para pengusaha
yang memiliki aliran keuangannya rutin cuma beberapa kali saja dalam
kurun waktu tertentu. Karena dalam akad mudharabah jangka waktu investasi
harus jelas, agar perhitungan bagi hasilnya lebih mudah dilakukan oleh bank
syariah selaku pihak pengelola dana yang dinvestasikan oleh nasabah.
b. Tabungan Syariah
Adapun yang dimaksud dengan tabungan syariah adalah tabungan yang
dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dalam hal ini, Dewan Syariah
Nasional (DSN) telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa tabungan
yang dibenarkan adalah tabungan yang berdasarkan prinsip wadiah dan
mudharabah.
8 Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqh ......2007., hlm. 294
FITRAH Vol. 08 No. 2 Juli-Desember 2014
226
1) Tabungan Wadiah
Tabungan merupakan jenis simpanan yang sangat populer di lapisan
masyarakat Indonesia mulai dari masyarakat kota hingga masyarakat
pedesaan.9 Menurut Undang-Undang Perbankan Syariah Nomor 21 tahun
2008 tabungan adalah simpanan berdasarkan wadiah dan atau investasi dana
berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan
dengan prinsip syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut
syarat dan ketentuan tertentu yang disepakati (buku tabungan, slip
penarikan, ATM dan sarana lainnya), tetapi tidak dapat ditarik dengan cek,
bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.10
Tabungan wadiah adalah produk bank syariah berupa simpanan dari
nasabah dalam bentuk rekening tabungan (saving account) untuk keamanan
dan pemakainnnya, seperti giro wadiah, tetapi tidak sefleksibel giro wadiah,
karena nasabah tidak dapat menarik dananya dengan cek.
Seperti halnya dengan giro wadiah, tabungan wadiah juga
menggunakan akad wadiah yad dhamanah dimana bank boleh menggunakan
dana nasabah yang terhimpun untuk tujuan mencari keuntungan dalam
kegiatan yang berjangka pendek untuk memenuhi kebutuhan likuiditas bank,
selama dana tersebut tidak ditarik. Biasanya bank tidak menggunakan dana
ini untuk pembiayaan bagi hasil karena sifatnya yang jangka pendek.
Keuntungan bank yang diperoleh dengan penggunaan dana ini menjadi milik
bank. Demikian juga kerugian yang timbul menjadi tanggung jawab bank
sepenuhnya. Bank diperbolehkan memberikan insentif berupa bonus kepada
nasabah, selama hal ini tidak disyaratkan sebelumnya. Besarnya bonus tidak
ditetapkan dimuka.
2) Tabungan Mudharabah
Tabungan mudharabah merupakan salah satu produk penghimpunan
dana oleh bank syariah yang menggunakan akad mudharabah muthlaqah. Sama
halnya dengan giro mudharabah, dalam tabungan mudharabah, bank syariah
juga bertindak sebagai mudharib (pengelola dana) sedangkan nasabahnya
bertindak sebagai shahibul maal (pemilik dana). Bank syariah memiliki
kebebasan dalam mengelola dana, dengan kata lain nasabah tidak ada
memberikan batasan-batasan kepada bank syariah dalam mengelola dananya.
9 Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 74 10 Wiroso, Produk Perbankan Syariah, (Jakarta : LPFE Usakti, 2009), hlm. 130
Akad Dan Produk Perbankan Syariah … Nofinawati
227
Setelah bank syariah mengelola dana nasabah, maka insya Allah bank
syariah akan memperoleh keuntungan dari investasi yang dilakukannya.
Setelah bank syariah mendapatkan keuntungan, maka bank syariah juga akan
membagi keuntungan tersebut dengan nasabahnya. Sesuai dengan
kesepakatan nisbah bagi hasil di awal pembukaan rekening.
Sesuai dengan akad yang digunakannya yaitu mudharabah, maka dana
tabungan mudharabah sifatnya berjangka. Dengan begitu jangka waktunya
harus jelas dan disepakati di awal, sehingga dana tabungan mudharabah
tidak bisa ditarik kapan saja si nasabah membutuhkannya. Contoh
produknya adalah tabungan haji, tabungan pendidikan dan lain-lain.
c. Deposito Syariah
Selain giro dan tabungan syariah, produk perbankan syariah lainnya yang
termasuk produk penghimpunan dana (funding) adalah deposito. Adapun yang
dimaksud dengan deposito syariah adalah deposito yang yang dijalankan
berdasarkan prinsip syariah. Dalam hal ini, Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI
telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa deposito yang dibenarkan
adalah deposito yang berdasarkan prinsip mudharabah.
Deposito merupakan dana nasabah yang ada pada bank yang
penarikannya dapat dilakukan pada saat jatuh tempo atau jangka waktu yang
ditentukan. Misalnaya 3 bulan, 6 bulan, dan seterusnya. Pada produk deposito ini
bank menggunakan prinsip bagi hasil.11
Sama halnya dengan giro dan tabungan mudharabah, bank syariah juga
bertindak sebagai mudharib (pengelola dana) sedangkan nasabahnya bertindak
sebagai shahibul maal (pemilik dana). Jika akad yang digunakan mudharabah
muthlaqah, maka bank syariah juga bisa memiliki kebebasan dalam mengelola
dana, dengan kata lain nasabah tidak ada memberikan batasan-batasan kepada
bank syariah dalam mengelola dananya. Namun apabila akad yang digunakan
mudharabah muqayyadah, maka bank syariah tidak akan bisa memiliki kebebasan
dalam mengelola dana nasabah.
Sama halnya dengan giro dan tabungan mudharabah, setelah bank syariah
mengelola dana nasabah, maka insya Allah bank syariah akan memperoleh
keuntungan dari investasi yang dilakukannya. Setelah bank syariah
mendapatkan keuntungan, maka bank syariah juga akan membagi keuntungan
tersebut dengan nasabahnya. Sesuai dengan kesepakatan nisbah bagi hasil di
awal pembukaan rekening.
11 Abdul Ghafur Anshari, Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press,
2007), hlm.94
FITRAH Vol. 08 No. 2 Juli-Desember 2014
228
2. Produk Penyaluran Dana kepada Masyarakat (Financing)
a. Produk pembiayaan perbankan syariah derdasarkan prinsip jual-beli
Prinsip ini merupakan suatu sistem yang menerapkan tata cara jual beli, di
mana bank akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau
mengangkat nasabah sebagai agen bank melakukan pembelian barang atas nama
bank, kemudian bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga
sejumlah harga beli ditambah keuntungan (margin).12 Aplikasinya dengan
menggunakan akad murabahah, salam dan istishna’.13
1) Pembiayaan Murabahah
Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga
perolehan dan keuntungan yang disepakati oleh penjual (bank syariah) dan
pembeli (nasabah). Harga yang disepakati adalah harga jual sedangkan harga
pokok harus diberitahukan kepada nasabah. Bank syariah dapat memberikan
potongan harga jika nasabah mempercepat pembayaran cicilan dan melunasi
piutang murabahah sebelum jatuh tempo. Dan jika bank mendapatkan
potongan dari pemasok maka itu merupakan hak pembeli (nasabah), namun
jika potongannya didapatkan setelah akad terjadi maka potongan itu dibagi
menurut kesepakatan atau sesuai perjanjian antara bank dengan nasabah.
Dalam konsep ini bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan
atau agunan antara lain yaitu barang yang dibeli nasabah. Bank syariah juga
dapat meminta urbun sebagai uang muka. Dalam konsep ini nasabah
memiliki kewajiban membayar sesuai dengan harga jual (harga pokok +
margin) yang sudah disepakati baik secara tunai maupun cicilan sesuai
dengan kesepakatannya.
2) Pembiayaan Salam
Salam adalah akad jual beli barang pesanan dengan pembayaran dimuka
menurut syarat-syarat tertentu, atau jual beli sebuah barang untuk diantar
kemudian dengan pemayaran di awal.14 Salam juga didefinisikan sebagai akad
jual beli barang pesanan (muslam fiih) antara pembeli (muslam) dan penjual
(muslam ilaih) dengan pembayaran dimuka dan pengiriman barang oleh
penjual dibelakang. Spesifikasi (ciri-cirinya seperti jenis, kualitas, jumlahnya)
dan harga barang harus disepakati pada awal akad. Dalam konsep ini bank
bisa bertindak sebagai penjual dan pembeli. Bila bank bertindak sebagai
penjual, maka bank memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang
pesanan (Salam paralel). Syaratnya adalah akad kedua terpisah dari akad
12 Muhammad, Model-model Akad Pembiayaan di Bank Syariah, (Yogyakarta : UII Press, 2009), hlm. 8 13 Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 79 14 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 169
Akad Dan Produk Perbankan Syariah … Nofinawati
229
yang pertama dan akad yang kedua dilakukan setelah akad pertama sah.
Kemudian spesifikasi dan harga barang harus disepakati di awal akad. Harga
barang tidak dapat berubah selama jangka waktu akad dan jika bank sebagai
pembeli dapat meminta jaminan untuk menghindari risiko yang merugikan.
Konsep salam paralel ini biasanya diaplikasikan pada pembiayaan bagi para
petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Karena yang
dibeli oleh bank adalah barang seperti padi, jagung, dan cabe, dan bank juga
tidak berniat untuk untuk menjadikan barang-barang tersebut sebagai
simpanan persediaan atau inventory, maka dilakukanlah akad salam kepada
pembeli kedua, misalnya kepada Bulog, pedagang apasar induk atau grosir.
Konsep salam juga dapat diaplikasikan dalam pada pembiayaan bidang
industri misalnya produk garmen (pakaian jadi) yang ukuran barang tersebut
sudah dikenal oleh umum.
3) Pembiayaan Istishna’
Istishna’ adalah akad jual beli antara pembeli dan produsen yang juga
bertindak sebagai penjual. Cara pembayarannya dapat berupa pembayaran
dimuka, cicilan, atau ditangguhkan sampai jangka waktu tertentu. Barang
pesanan harus diketahui karakteristiknya secara umum yang meliputi: jenis,
spesifikasi teknis, kualitas, dan kuantitasnya. Bank dapat bertindak sebagai
pembeli atau penjual. Jika bank bertindak sebagai penjual kemudian memesan
kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan dengan cara istishna
maka hal ini disebut istishna paralel.
Dalam prinsip ini, pembuat barang mnerima pesanan dari pembeli.
Kemudian pembuat barang berusaha melalui orang alain untuk membuat atau
membeli barang sesuai dengan spesifikasi yang sudah disepakati kemudian
menjualnya kepada pembeli. Menurut Jumhur Fuqaha, istishna merupakan
suatu jenis khusus dari akad salam. Biasanya konsep ini dipergunakan di
bidang manufaktur. Dengan demikian istishna mengikuti ketentuan dan
aturan dalam konsep akad salam.
Dimana perbedaan antara salam dengan istishna adalah sebagai berikut:
Salam
Barang terukur dan
tertimbang
Uang / modal dimuka
Barang milik pembeli
Akadnya mengikat
Istishna
Harus diukur dan ditimbang,
modelnya dipesan
Bisa dimuka, dicicil sampai selesai
atau dibelakang
Barang milik pembuat
Akadnya bersifat tidak mengikat.
FITRAH Vol. 08 No. 2 Juli-Desember 2014
230
b. Produk pembiayaan perbankan syariah berdasarkan prinsip sewa-menyewa
Prinsip sewa menyewa pada dasarnya adalah pemindahan hak guna atas
barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan
pemindahan hak kepemilikan atas barang itu sendiri. Ijarah terbagi atas dua
macam yaitu:
1) Pembiayaan Ijarah
Merupakan akad sewa menyewa antara pemilik objek sewa (bank syariah)
dengan penyewa (nasabah) untuk mendapatkan imbalan jasa atas objek sewa
yang disewakannya.
2) Pembiayaan Ijarah Muntahia Bittamlik (IMBT)
Merupakan akad sewa menyewa antara pemilik objek sewa (bank syariah)
dengan penyewa (nasabah) untuk mendapatkan imbalan jasa atas objek sewa
yang disewakannya dengan opsi pemindahan hak milik obyek sewa pada saat
tertentu sesuai dengan akad yang disepakati di awal. Pemindahan hak milik
dalam IMBT dapat melalui :
Hadiah
Penjualan sebelum akad berakhir sebesar harga yang sebanding dengan
sisa cicilan sewa
Penjualan pada akhir masa sewa dengan pembayaran tertentu yang
disepakati pada awal akad
Penjualan secara bertahap sebesar harga tertentu yang disepakati dalam
akad
Pihak yang melakukan akad IMBT harus melaksanakan akad ijarah
terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau
pemberian hanya dapat dilakukan detelah masa ijarah selesai. Janji pemindahan
kepemilikan yang disepakati di awal akad ijarah adalah wa’d yang hukumnya
tidak mengikat. Apabila perjanjian itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad
pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah selesai. Bank
syariah boleh meminta nasabah untuk mnyediakan jaminan atas barang yang
disewa untuk menghindari risiko yang merugikan bank.
c. Produk pembiayaan perbankan syariah berdasarkan prinsip bagi hasil
Sistem ini adalah suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil
usaha antara penyedia dana dengan pengelola dana. Pembagian hasil usaha ini
dapat terjadi antara pihak bank dengan nasabah penyimpan dana maupun antara
Akad Dan Produk Perbankan Syariah … Nofinawati
231
bank dengan nasabah penerima dana.15 Bentuk akad yang berdasarkan prinsip ini
adalah:
1) Pembiayaan Mudharabah
Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana
pihak pertama pemilik modal (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%)
modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib). Keuntungan
usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam
kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama
kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian ini
diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus
bertanggung jawab atas kerugian tersebut.16 Akad mudharabah secara umum
terbagi menjadi dua jenis:
a) Mudharabah Muthlaqah
Adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yang
cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha,
waktu, dan daerah bisnis.
b) Mudharabah Muqayyadah
Adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib dimana
mudharib memberikan batasan kepada shahibul maal mengenai tempat,
cara, dan obyek investasi.
2) Pembiayaan Musyarakah
Musyarakah berarti kemitraan dalam suatu usaha dan dapat diartikan sebagai
bentuk kemitraan antara dua orang atau lebih yang menggabungkan modal
atau kerja mereka untuk berbagi keuntungan, serta menikmati hak dan
tanggung jawab yang sama.17 Dengan kata lain merupakan akad kerjasama
antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-
masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Dua jenis musyarakah:
a). Musyarakah pemilikan, tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi
lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau
lebih.
15 M. Syafi’I Antonio, dkk., Bank Syariah: Analisis Kekuatan , Kelemahan, Peluang dan Ancaman, (Yogyakarta
: Ekonisia, 2006), ed. II, cet. I, hlm. 18 16 Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga : Studi Kritis Larangan Riba dan Interpretasi Kontemporer,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), cet. III, hlm. 91 17 Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algaoud, Perbankan Syariah : Prinsip, Praktik dan Prospek, (Jakarta: PT.
Serambi Ilmu Semesta, 2007), hlm. 63
FITRAH Vol. 08 No. 2 Juli-Desember 2014
232
b). Musyarakah akad, tercipta dengan cara kesepakatan dimana dua orang
atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal
musyarakah.
d. Produk pembiayaan perbankan syariah berdasarkan prinsip pinjam meminjam
yang bersifat sosial
Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau
diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan
imbalan. Produk ini digunakan untuk membantu usaha kecil dan keperluan
sosial. Dana ini diperoleh dari dana zakat, infaq dan shadaqah.
Pembiayaan yang menggunakan akad qardh hanya untuk membantu dan
memberikan kemudahan kepada orang yang sedang mengalami kesusahan
dalam keuangan. Menurut Sabiq haram bagi yang memberikan bantuan untuk
mengambil keuntungan, apalagi mengeksploitasi karena ini digolongkan kepada
riba. Ketentuan ini berdasarkan sabda Rasulullah saw sebagaimana riwayat dari
al-Harith bin Abi Usamah dari Ali r.a yang artinya: “setiap akad qardh dilaksanakan
dengan mengambil keuntungan , maka ia tergolong kepada riba.”18
3. Produk Pelayanan Jasa (Fee Based Income Product)
Prinsip ini meliputi seluruh layanan non-pembiayaan yang diberikan bank.
Bentuk produk yang berdasarkan prinsip wakalah, kafalah, sharf, hawalah dan rahn ini
antara lain: 19
1) Wakalah
Nasabah memberi kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan
pekerjaan jasa tertentu, seperti transfer.
2) Kafalah
Jaminan yang diberikan oleh bank syariah (penanggung) kepada pihak ketiga
untuk memenuhi kewajiban nasabah (pihak kedua atau yang ditanggung). Contoh
produknya adalah garansi bank.
3) Sharf
Sharf adalah jual beli atau pertukara mata uang. Asalnya mata uang hanya emas
dan perak, uang emas disebut dinar dan uang perak disebut dirham. Kedua mata
uang tersebut disebut dengan mata uang intrinsik. Zaman sekarang mata uang
juga berbentuk nikel, tembaga dan kertas yang diberi nilai tertentu. Mata uang
18 Syukri Iska, Sistem Perbankan Syariah di Indonesia dalam Perspektif Fikih Ekonomi, (Yogyakarta: Fajar
Media Press, 2012), hlm. 179 19 Wiroso, Produk Perbankan....2009, hlm. 355
Akad Dan Produk Perbankan Syariah … Nofinawati
233
seperti itu disebut dengan mata uang menurut nilai nominal. Pertukaran mata
uang boleh dilakukan asalkan transaksinya dilakukan dalam jumlah yang sama
dan dalam waktu yang bersamaan.
4) Hawalah
Adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib
menanggungnya. Kontrak hawalah dalam perbankan biasanya diterapkan pada
factoring (anjak piutang), post-dated check, dimana bank bertindak sebagai juru
tagih tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.
5) Rahn
Adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas
pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai
ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk
dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana
dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa akad dan produk bank
syariah merupakan dua hal yang tak dapat terpisahkan. Karena setiap produk yang ada di
bank syariah selalu berdasarkan kepada akad dan prinsip-prinsip syariah Islam.
Diantaranya adalah :
1. Produk penghimpunan dana terdiri dari:
a. Giro syariah menggunakan akad wadiah dan mudharabah
b. Tabungan syariah menggunakan akad wadiah dan mudharabah
c. Deposito syariah menggunakan akad mudharabah
2. Produk penyaluran dana terdiri dari :
a. Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil akadnya adalah mudharabah dan musyarakah
b. Pembiayaan dengan prinsip jual beli, akadnya adalah murabahah, salam dan
istishna’
c. Pembiayaan dengan prinsip sewa, akadnya adalah ijarah dan IMBT
d. Pembiayaan dengan prinsip tolong menolong akadnya adalag Qardh
3. Produk jasa terdiri dari : jasa-jasa yang menggunakan akad Wakalah, Kafalah, Hiwalah,
Sharf dan Rahn
FITRAH Vol. 08 No. 2 Juli-Desember 2014
234
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghafur Anshari, Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press, 2007
Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga : Studi Kritis Larangan Riba dan Interpretasi Kontemporer,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008
Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2007
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Kencana, 2009
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 01/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro
Ismail, Perbankan Syariah, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2011
Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algaoud, Perbankan Syariah : Prinsip, Praktik dan Prospek,
Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007
M. Syafi’I Antonio, dkk., Bank Syariah: Analisis Kekuatan , Kelemahan, Peluang dan Ancaman,
Yogyakarta : Ekonisia, 2006
Muhammad, Model-model Akad Pembiayaan di Bank Syariah, Yogyakarta : UII Press, 2009
Slamet Wiyono, Cara Mudah Memahami Akuntansi Perbankan Syariah Berdasarkan PSAK dan
PAPSI, Jakarta: PT. Grasindo, 2006
Syukri Iska, Sistem Perbankan Syariah di Indonesia dalam Perspektif Fikih Ekonomi, Yogyakarta:
Fajar Media Press, 2012
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep Produk dan
Implementasi Operasional Bank Syariah, Jakarta: Djambatan, 2003
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Wiroso, Produk Perbankan Syariah, Jakarta : LPFE Usakti, 2009
Yusak laksmana, Panduan Praktis Account Officer Bank Syariah, Jakarta : Gramedia, 2009