Agroforestry Di Katingan

99
1 SEMINAR NASIONAL AGROFORESTRI 2013 A. Latar Belakang Praktek agroforestri telah dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia, dengan berbagai karakteristik dan ciri khas masing-masing. Sistem usaha tani ini di Indonesia dikenal dengan berbagai model dan nama lokal, seperti “parak” di Maninjau, Sumatera Barat; “pelak” di Kerinci, Jambi; “repong damar” di daerah Krui, Lampung; “tembawang” di Kalimantan Barat; “talun” atau “dudukuhan” di Jawa Barat; “wono” dan “kitren” di Jawa Tengah; “tenganan” di Bali dan“amarasi” di wilayah Nusa Tenggara Timur (de Foresta et al. 2000; Sardjonoet al. 2003). Berdasarkan komponen-komponen penyusunnya, berbagai bentuk agroforestri dapat dijumpai, yaitu agroforestri di lahan kering (agrosilviculture), wanamina (silvofishery), wanahijauan pakan ternak (silvopasture), budidaya perlebahan (apiculture), budidaya persuteraan alam (sericulture), dan budidaya tanaman obat-obatan di bawah tegakan hutan (wanafarma). Hal ini menunjukkan bahwa sistem ini bukan hanya menjadi domain sektor kehutanan. Agroforestri merupakan bagian dari program pembangunan pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kelautan, serta kesehatan. Bahkan agroforestri merupakan program yang melibatkan sektor hulu hingga hilir, sehingga terkait pula dengan sektor perindustrian dan perdagangan. Sebagai suatu sistem pemanfaatan lahan yang telah disesuaikan dengan kearifan lokal masyarakat, agroforestri dapat berkontribusi terhadap strategi pembangunan nasional dengan memberikan peluang tenaga kerja (pro job), meningkatkan taraf hidup masyarakat dibawah garis kemiskinan yang saat ini jumlahnya sekitar 30 juta jiwa (pro poor) dan berkontribusi terhadap peningkatan ekonomi daerah terpencil (pro growth), dalam keseimbangan lingkungan (pro environment) sehingga sesuai dengan kebijakan pemerintahan saat ini. Kontribusi agroforestri (pro job, pro poor, pro growth, pro environment) dalam arti agroforestri berperan aktif di tingkat lokal dalam bentuk kontribusi terhadap lapangan kerja, ekonomi lokal, dan ketahanan lingkungan yang selanjutnya mampu diperluas pada tingkat nasional. Di dalam konteks ketahanan pangan, sektor kehutanan memiliki tiga fungsi utama, yaitu sebagai penyedia jasa lingkungan yang memungkinkan terjadinya produksi pangan secara berkelanjutan; penyedia sumber genetik yang bisa memperkuat produksi pangan; dan sebagai penyedia lahan. Melalui sistem agroforestri, pemanfaatan lahan kehutanan dapat lebih dioptimalkan untuk mendukung program ketahanan pangan tersebut.

description

Agroforestry di Katingan

Transcript of Agroforestry Di Katingan

Page 1: Agroforestry Di Katingan

1

SEMINAR NASIONAL AGROFORESTRI 2013 A. Latar Belakang

Praktek agroforestri telah dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia, dengan berbagai karakteristik dan ciri khas masing-masing. Sistem usaha tani ini di Indonesia dikenal dengan berbagai model dan nama lokal, seperti “parak” di Maninjau, Sumatera Barat; “pelak” di Kerinci, Jambi; “repong damar” di daerah Krui, Lampung; “tembawang” di Kalimantan Barat; “talun” atau “dudukuhan” di Jawa Barat; “wono” dan “kitren” di Jawa Tengah; “tenganan” di Bali dan“amarasi” di wilayah Nusa Tenggara Timur (de Foresta et al. 2000; Sardjonoet al. 2003).

Berdasarkan komponen-komponen penyusunnya, berbagai bentuk agroforestri dapat dijumpai, yaitu agroforestri di lahan kering (agrosilviculture), wanamina (silvofishery), wanahijauan pakan ternak (silvopasture), budidaya perlebahan (apiculture), budidaya persuteraan alam (sericulture), dan budidaya tanaman obat-obatan di bawah tegakan hutan (wanafarma). Hal ini menunjukkan bahwa sistem ini bukan hanya menjadi domain sektor kehutanan. Agroforestri merupakan bagian dari program pembangunan pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kelautan, serta kesehatan. Bahkan agroforestri merupakan program yang melibatkan sektor hulu hingga hilir, sehingga terkait pula dengan sektor perindustrian dan perdagangan.

Sebagai suatu sistem pemanfaatan lahan yang telah disesuaikan dengan kearifan lokal masyarakat, agroforestri dapat berkontribusi terhadap strategi pembangunan nasional dengan memberikan peluang tenaga kerja (pro job), meningkatkan taraf hidup masyarakat dibawah garis kemiskinan yang saat ini jumlahnya sekitar 30 juta jiwa (pro poor) dan berkontribusi terhadap peningkatan ekonomi daerah terpencil (pro growth), dalam keseimbangan lingkungan (pro environment) sehingga sesuai dengan kebijakan pemerintahan saat ini. Kontribusi agroforestri (pro job, pro poor, pro growth, pro environment) dalam arti agroforestri berperan aktif di tingkat lokal dalam bentuk kontribusi terhadap lapangan kerja, ekonomi lokal, dan ketahanan lingkungan yang selanjutnya mampu diperluas pada tingkat nasional.

Di dalam konteks ketahanan pangan, sektor kehutanan memiliki tiga fungsi utama, yaitu sebagai penyedia jasa lingkungan yang memungkinkan terjadinya produksi pangan secara berkelanjutan; penyedia sumber genetik yang bisa memperkuat produksi pangan; dan sebagai penyedia lahan. Melalui sistem agroforestri, pemanfaatan lahan kehutanan dapat lebih dioptimalkan untuk mendukung program ketahanan pangan tersebut.

Page 2: Agroforestry Di Katingan

2

Modernisasi dunia pertanian telah membawa praktek-praktek pertanian yang intensif dan spesifik komoditas. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa praktek pertanian tersebut telah mampu meningkatkan produktifitas sebuah komoditas per unit area, namun juga telah meninggalkan dampak negatif terhadap peningkatan kerusakan alam erosi, emisi dan penurunan keragaman hayati yang menyebabkan lingkungan menjadi sangat rentan terhadap perubahan iklim yang pada akhirnya menurunkan kualitas hidup dan kehidupan masyarakat. Agroforestri merupakan pendekatan jalan tengah yang diharapkan mampu meningkatkan ekonomi masyarakatnya melalui diversifikasi penanaman tanaman pangan, pohon dan pemeliharaan ternak sekaligus mempertahankan kelestarian lingkungan dengan membangun kembali layanan-layanan ekosistem untuk penyediaan bahan pangan, energi, keragaman hayati, pengembanagn pengetahuan, sosial-budaya, layanan-layanan pendukung produksi pertanian seperti siklus nutrisi dan pengendalian hama penyakit.

Dalam rangka pengembangan pengetahuan, penelitian dan implementasi agroforestri, Balai Penelitian Teknologi Agroforestry (BPTA) sebagai unit litbang Kementerian Kehutanan yang secara khusus melaksanakan penelitian di bidang agroforestri bekerja sama dengan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya yang juga menaruh perhatian yang besar dalam pengembangan agroforestri menyelenggarakan Seminar Nasional Agroforestri 2013. Penyelenggaraan Seminar Nasional Agroforestri 2013 tidak lepas dari dukungan World Agroforestry Centre (ICRAF) dan Masyarakat Agroforestri Indonesia (MAFI). Seminar nasional ini diharapkan mampu memperbaiki kondisi saat ini dengan pendekatan holistik dari aspek lingkungan, budidaya, sosial-kebijakan, teknologi dan pengolahan hasil serta keragaman hayatinya.

B. Tujuan Seminar Nasional Agroforestri 2013 bertujuan: 1. Menyebarluaskan hasil-hasil penelitian agroforestri kepada masyarakat. 2. Menjadi media berbagi informasi dan umpan balik bagi semua pihak tentang

penelitian berbasis agroforestri. 3. Mendorong terjalinnya interaksi dan kerjasama yang aktif semua pihak dalam

mengimplementasikan hasil-hasil penelitian agroforestri. C. Tema Seminar Nasional Agroforestri 2013 ini bertemakan: “AGROFORESTRI UNTUK PANGAN DAN LINGKUNGAN YANG LEBIH BAIK”

Page 3: Agroforestry Di Katingan

3

D. Penyelenggara Seminar Nasional Agroforestri 2013 akan digelar atas kerjasama:

- Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Badan Litbang Kehutanan

- Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya

- World Agroforestry Center Indonesia (ICRAF)

- Masyarakat Agroforestri Indonesia (MAFI) E. Waktu Pelaksanaan dan Lokasi Seminar Nasional Agroforestri 2013 akan diselenggarakan selama satu hari penuh pada tanggal 21 Mei 2013 di Kampus Universitas Brawijaya Malang Jawa Timur. F. Acara dan Kegiatan Seminar Nasional Agroforestri 2013 dibagi dalam beberapa acara dan kegiatan yaitu: 1. Presentasi Narasumber Kunci dalam Sidang Pleno 2. Presentasi makalah secara oral hasil seleksi yang akan dipresentasikan secara

simultan dalam komisi: a. Budidaya b. Lingkungan dan Perubahan Iklim c. Sosial dan Kebijakan d. Ekonomi dan Pemasaran e. Pengolahan Hasil dan Bioteknologi

3. Presentasi makalah dalam bentuk pameran poster 4. Pameran produk agroforestri dan publikasi hasil litbang G. Peserta Peserta seminar direncanakan berjumlah 250 orang yang terdiri dari:

- Peneliti, Dosen dan mahasiswa, Wakil dari Kementerian dan pemerintah daerah (SKPD),

- Organisasi Profesi, Penyuluh, Praktisi, LSM, dan masyarakat umum yang peduli terhadap Agroforestri.

H. Narasumber Narasumber yang akan presentasi pada saat pleno: 1. Dr. Iman Santosa, MSc. (Kepala Badan Litbang Kehutanan) 2. Dr. Meine van Noordwijk (ICRAF) 3. Prof. Dr. Kurniatun Hairiah (Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya)

Page 4: Agroforestry Di Katingan

4

I. Susunan Acara

Waktu Acara Pembicara

08.00-08.30 WIB PENDAFTARAN PESERTA

08.30-08.50 WIB

PEMBUKAAN 1. Laporan Penyelenggara 2. Sambutan selamat datang

Kepala BPTA Rektor UB

08.50-10.15 WIB Sidang Pleno (narasumber tamu) 1. Makalah dari Badan Litbang

Kehutanan 2. Makalah dari World Agroforestry

Centre (ICRAF) 3. Makalah dari Fakultas Pertanian

Universitas Brawijaya

Kepala Badan Litbang Kehutanan Dr. Meine van Noordwijk Prof. Dr. Kurniatun Hairiah

10.15-10.45 WIB REHAT – SESI POSTER dan PAMERAN

10.45-12.15 WIB Sidang Komisi/Diskusi Panel 1. Komisi Budidaya I

2. Komisi Budidaya II Pemakalah komisi Pemakalah komisi

3. Komisi Lingkungan dan Perubahan Iklim

Pemakalah komisi

4. Komisi Sosial dan Kebijakan I 5. Komisi Sosial dan Kebijakan II 6. Komisi Ekonomi dan Pemasaran

Pemakalah komisi Pemakalah komisi Pemakalah komisi

12.15-13.15 WIB ISHOMA – SESI POSTER dan PAMERAN

13.15-15.45 WIB Sidang Komisi/Diskusi Panel 1. Komisi Budidaya I

2. Komisi Budidaya II Pemakalah komisi Pemakalah komisi

3. Komisi Lingkungan dan Perubahan Iklim

Pemakalah komisi

4. Komisi Sosial dan Kebijakan I 5. Komisi Sosial dan Kebijakan II 6. Komisi Pengolahan Hasil dan Bioteknologi

Pemakalah komisi Pemakalah komisi Pemakalah komisi

15.45-16.15 WIB REHAT – SESI POSTER dan PAMERAN

16.15-16.45 WIB 1. Pembacaan rumusan 2. Penutupan

Perwakilan tim perumus Dekan Faperta UB

Page 5: Agroforestry Di Katingan

5

J. Daftar Presentasi Oral

A. Komisi Budidaya 1. Fenologi Surian (Toona sinensis) di Beberapa Lokasi

Agroforestri di Jawa Barat Agus Astho Pramono

2. Peta Sebaran Surian (Toona sinensis) dengan Sistem Agroforestri di Jawa Agus Astho Pramono dan Danu

3. Pengaruh Subtistusi Media Terhadap Infeksi Mikoriza pada Perakaran Semai Tusam (Pinus Merkusii Jungh. Et De Vriese) Ari Darmawan, M. Mandira Budi utomo, dan Levina Augusta G.P

4. Kajian Pola Tanam terhadap Serangan Hama dan Penyakit di Hutan Rakyat Sumatera Bagian Selatan Asmaliyah

5. Produksi Buah Ganitri pada Berbagai Ukuran Pohon di Tegakan Hutan Rakyat Campuran Salawu, Tasikmalaya Gunawan dan Asep Rohandi

6. Pengaruh Asal Rimpang dan Paket Pemupukan terhadap Pertumbuhan Tanaman Kunyit di Bawah Tegakan Pinus Gunawan

7. Potensi Hama pada Pola Agroforestri Kayu Bawang di Provinsi Bengkulu Sri Utami, Agus Kurniawan

8. Kajian Struktur dan Komposisi Agroforestri Herbal pada Beberapa Ketinggian Tempat di Pegunungan Menoreh Kabupaten Kulon Progo D.I Yogyakarta Nanang Herdiana, Budiadi, dan Prapto Yudono

9. Pengaruh Sistem Agroforestri Berbasis Jelutung terhadap Kesuburan Lahan Gambut Marinus Kristiadi Harun dan Budiman Achmad

10. Pertumbuhan Mangrove pada Tambak Silvofishery di Desa Bipolo Kecamatan Sulamu Kabupaten Kupang M. Hidayatullah

11. Uji Pertanaman Tanaman Sukun dengan Pola Tumpangsari di Gunung Kidul untuk Mendukung Program Ketahanan Pangan Hamdan Adma Adinugraha, Dedi setiadi, dan Ramli Hadun

Page 6: Agroforestry Di Katingan

6

12. Kajian Pola Agroforestry Ganitri (Elaeocarpus Ganitrus Roxb): Pendekatan Pola Hutan Rakyat di Kabupaten Tasikmalaya Encep Rachman, Tati Rostiwati, dan Rachman Effendi

13. Sifat Kimia Tanah Lapisan Atas sebagai Dampak Introduksi Agroforestri di Lampung Utara Sri Rahayu Utami dan Sri Hastuti

14. Konservasi Tumbuhan Bernilai Ekonomi Tinggi melalui Pengembangan Model Agroforestri Spesifik Albert Husein Wawo, Ning Wikan Utami, dan Fauzia Syarif

15. Produktivitas Kacang Tanah (Arachis hypogeae L) di Bawah Tegakan Manglid dalam Sistem Agroforestry Aris Sudomo

16. Pengaruh Tiga Pola Tanam dan Tiga Dosis Pupuk Kandang terhadap Kemampuan Hidup dan Pertumbuhan Nyamplung (Calophyllum inophyllum Linn) pada Lahan Pasir di Sepadan Pantai Pangandaran Aris Sudomo, Encep Rachman, Aditya Hani, dan Tati Rostiwati

17. Efek Naungan terhadap Penampilan Jagung P29 di Kawasan Hutan Jati Aryana Citra Kusumasari, Bambang Prayudi dan Agus Supriyo

18. Agroforestry Sorghum (Shorgum Spp.) pada HTI Acacia Crassicarpa sebagai Sumber Pakan Lebah Apis Cerana di Propinsi Riau untuk Mendukung Budidaya Lebah Madu Avry Pribadi dan Purnomo

19. Peningkatan Produktivitas Komponen Agroforestri melalui Penggunaan Pupuk Organik Guna Menunjang Keberhasilan Rehabilitasi Lahan Kritis Budi Hadi Narendra dan Ryke Nandini

20. Biodiversitas Komponen Agroforest Madang Bambang Lanang di Hutan Rakyat pada Kawasan Lematang Ulu Sumatera Selatan Endah Kusuma Wardhani, Dona Octavia, dan Yuliah

21. Keanekaragaman Jenis Pohon Panjat dan Manfaatnya di Agroforestri Rotan di Kabupaten Katingan Johanna Maria Rotinsulu, Didik Suprayogo, Bambang Guritno, dan Kurniatun Hairiyah

Page 7: Agroforestry Di Katingan

7

22. Pengaruh Manajemen Pola Penanaman terhadap Produktifitas Tegakan berdasarkan Simulasi Pemodelan Degi Harja, Endri Martini, dan Betha Lusiana

23. Study Produktivitas Tiga Jenis Rumput Pakan Ternak di Kawasan Hutan Jati Kabupaten Blora Sajimin, S.N. Jarmani, dan A. Anggraeni

24. Perbandingan Sistem Agroforestry, Monokultur Intensif, dan Monokultur Konvensional dalam Pembangunan Hutan Tanaman Sengon Wahyudi

25. Pola Agroforestri yang Mampu Meningkatkan Fungsi Ekologi dan Agronomi Hutan Rakyat Nina Mindawati, A. Syaffari Kosasih, Sitompul, dan Setyono YT

26. Jenis-Jenis Rumput Penutup Tanah di Kebun Raya Purwodadi Solikin

B. Komisi Lingkungan dan Perubahan Iklim 1. Keragaman Jenis Pohon dan Potensi Karbon pada Sistem

Agrosilvopastoral di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan Mahrus Aryadi, Arfa Agustina, Eva Prihatiningtyas

2. Penaksiran Emisi Karbon di Casteel Timur, Kabupaten Asmat, Papua Marthinus Kendom, Kurniatun Hairiah, dan Sudarto

3. Penerapan Model Agroforestry versus Social Forestry Menghadapi Perubahan Iklim Global pada Pulau-Pulau Kecil di Maluku Agustinus Kastanya, Ronny Lopies, dan Iskhar Bone

4. Pengelolaan Agroforestri untuk Keberlanjutan Lingkungan pada Hutan Negeri Kilang di Kota Ambon Debby V Pattimahu

5. Penaksiran Tingkat Emisi dan Sequestrasi Karbon di Jawa Timur Rika Ratna Sari, Kurniatun Hairiah, dan Suyanto

6. Erosi dan Limpasan Permukaan pada Pola-Pola Agroforestri di Wuryantoro, Wonogiri Irfan B. Pramono dan Rahardyan Nugoho

Page 8: Agroforestry Di Katingan

8

7. Revitalisasi Pekarangan sebagai Lanskap Agroforestri Skala Mikro untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Kaswanto dan Tatag Muttaqin

8. Pola Agroforestri di Kawasan Karst Gunung Kidul untuk Pengelolaan Telaga sebagai Sumber Air Berkelanjutan Pranatasari Dyah Susanti dan Adnan Ardhana

9. Kerusakan Mangrove serta Pengaruhnya terhadap Tingkat Intrusi Laut (Studi Kasus di Desa Pantai Bahagia Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi) Sodikin

10. Jasa Lingkungan Keanekaragaman Hayati Pohon pada Agroforest Karet Subekti Rahayu dan Harti Ningsih

11. Agroforest Kopi dan Pengaruhnya terhadap Layanan Ekosistem di Daerah Resapan Mata Air Krisik (Ngantang, Kabupaten Malang) Titut Yulistyarini

12. Evaluasi Kesesuaian Beberapa Jenis Tanaman Penyusun Hutan Rakyat Agroforestry di Desa Tenggerraharja, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat Wuri Handayani dan Aris Sudomo

13. Analisis Manfaat Integrasi Sekolah Lapangan dalam Program PHBM Plus untuk Penguatan Masyarakat Desa Hutan dalam Pengembangan Agroforestri Berwawasan Lingkungan di Wilayah Perhutani Didik Suprayogo, Widianto, Syahrul Kurniawan, Iva Dewi Lestariningsih, Prasodjo Hari Nugroho , Datin Waluyani

14. Pembangunan Landscape Kalimantan Barat yang Berkelanjutan Karuniawan Puji Wicaksono dan Nobukazu Nakagoshi

C. Komisi Sosial Dan Kebijakan 1. Media dan Metode Komunikasi dalam Penyuluhan Agroforestri:

Studi Kasus di Sulawesi Selatan (Kabupaten Bantaeng dan Bulukumba) dan Sulawesi Tenggara (Kabupaten Konawe dan Kolaka) Enggar Paramita, Endri Martini, James M Roshetko, dan Robert F. Finlayson

Page 9: Agroforestry Di Katingan

9

2. Analisis Kelembagaan dalam Pengelolaan Dusung Agroforestry di Hutan Lindung Gunung Nona (Hlgn) Ambon ( Studi Kasus di Negeri Urimesing Kota Ambon) Messalina L. Salampessy dan Iskar Bone

3. Pemberdayaan Masyarakat untuk Meningkatkan Produktivitas Ternak dan Menjaga Kelestarian Hutan Jati Sri Nastiti Jarmani

4. Persepsi Petani terhadap Adopsi Teknologi dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Agroforestri Devy Priambodo Kuswantoro dan Idin Saefudin Ruhimat

5. Penguatan Kapasitas Masyarakat dalam Pengembangan Agroforestri Tradisional di Negeri Hative Besar, Kota Ambon Jan W. Hatulesila dan Gun Mardiatmoko

6. Corporate Social Responsibility sebagai Alternatif Pembiayaan Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat untuk Mendukung Sistem Agroforestri dan Ketahanan Pangan Adnan Ardhana dan Pranatasari Dyah Susanti

7. Hubungan antara Migrasi Sirkuler dengan Perkembangan Agroforestri: Studi Kasus Kecamatan Bulu dan Weru, Kabupaten Sukoharjo C. Yudilastiantoro, dan S. Andy Cahyono

8. Program PHBM di DAS Konto Malang: Pembelajaran Keberhasilan dan Kegagalan Program Noviana Khususiyah

9. Gaya Hidup Masyarakat Agroforestry Herbal dalam Rangka Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat di Kabupaten Kulon Progo Wahyu Tri Widayanti

10. Motivasi Masyarakat Desa Jetis Kecamatan Saptosari dalam Pengelolaan Hutan Negara "Ab"(Afkiren Bosch) di Kabupaten Gunung Kidul D.I Yogyakarta Wahyu Tri Widayanti dan Zuni Hernawan

11. Identifikasi Modal Sosial dalam Pembangunan Hutan Rakyat di Kabupaten Gunungkidul Wiyono dan Silvi

Page 10: Agroforestry Di Katingan

10

12. Strategi Penghidupan Petani Agroforest dalam Menghadapi Perubahan Cuaca yang Tidak Menentu: Contoh Kasus di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara Endri Martini, Sonya Dewi, Janudianto, Anang Setiawan, dan James Roshetko

13. Konstruksi Pengetahuan Lokal Masyarakat Muluy dalam Pemanfaatan Hutan Lindung Gunung Lumut di Kabupaten Pasir Kalimantan Timur Catur Budi Wiati

14. Model Agroforestry Berbasis Tongkonan yang Berwawasan Konservasi Lingkungan di Kabupaten Tana Toraja Samuel Arung Paembonan

15. Prospek Agroforestri Karet dan Jenis Tanaman Lokal dalam Rehabilitasi Lahan di Kalimantan Timur Faiqotul Falah

16. Jelutung Rawa (Dyera polyphylla) sebagai Tanaman Pokok pada Sistem Agroforestry di Lahan Rawa Gambut Kalimantan Tengah Reni Setyo Wahyuningtyas

17. Role and Practice of Agroforestry of Periau Community (Wild Honey Farmers) in The Management of Conservation Forest Area Emi Roslinda

18. Pengembangan Kedelai di Kawasan Hutan Jati di Jawa Timur Marwoto, Abdullah Taufiq, dan G.W. Anggoro

19. Praktik Agroforestri di Hutan Perum Perhutani Purwanto, Datin Waluyani, Anton Sudiharto, Alim Sugiharto, dan Corryanti

20. Kajian Aspek Ekologi, Ekonomi, dan Sosial Model-Model Agroforestri di Nusa Tenggara Timur Eko Pujiono, S. Agung Sri Raharjo, Gerson Njurumana, Budiyanto, Budiyanto Dwi Prasetyo, dan Heny Rianawati

21. Silvopasture di Kawasan Konservasi (Pendekatan dan Kebijakan Pengelolaan Perumputan di Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi) Gunawan

Page 11: Agroforestry Di Katingan

11

22. Pola Agroforestri di Daerah Tapanuli, Sumatera Utara: Keseimbangan antara Kepentingan Ekonomi dan Ekologi Hesti L. Tata, Elok Mulyoutami, dan Endri Martini

23. Persepsi Petani tentang Input Kapulaga Jenis Sabrang (Elletaria cardamommum (L) Maton) di Hutan Rakyat Pola Agroforestry Dian Diniyati, Eva Fauziyah, dan Tri Sulistyati Widyaningsih

24. Upaya Pengembangan Agroforestry di Pulau Timor (Studi Kasus di Desa Bosen Kecamatan Mollo Utara Kabupaten Timor Tengah Selatan) Rahman Kurniadi, Ida Rachmawati, dan Siswadi

25. Agroforestry di Lahan Gambut untuk Mitigasi Perubahan Iklim Retno Maryani, Subarudi, dan Arwin Harahap

26. Adaptasi dan Mitigasi Bencana Tanah Longsor melalui Penguatan Kapasitas Masyarakat dan Peningkatan Produktivitas Lahan melalui Sistem Agroforestri Sri Astuti Soedjoko, Prasetyo Nugroho, Ambar Kusumandari, dan Hero Marhaento

27. Analisis Karakteristik Sosial Ekonomi dan Keberlanjutan Sistem Agroforestri di Sub Daerah Aliran Sungai Cisokan Hadi Pranoto, M.A Chozin, Hadi Susilo Arifin, Edi Santosa

28. Sinkronisasi Peraturan Perundang Undangan Dalam Kebijakan “Agrisilviculture” pada Tanah Kawasan Hutan Bambang Sudjito

D. Komisi Ekonomi Dan Pemasaran 1. Valuasi Penggunaan Lahan dalam Pengembangan Agroforestri

di Sulawesi Selatan Arif Rahmanulloh dan M. Sofiyuddin

2. Pengelolaan Hutan Rakyat Sengon di Sub DAS Citanduy Hulu: Tinjauan Kelayakan Usaha dan Skenario Profitabilitasnya Devy Priambodo Kuswantoro, Sanudin, dan Nana Sutrisna

3. Biochar: Rahasia Peningkatan Pendapatan Agroforestry pada Hutan Tanaman Kayu Energi di Provinsi Nusa Tenggara Barat Rachman Effendi, Tati Rostiwati, dan Sofwan Bustomi

4. Strategi Peningkatan Efisiensi dan Margin Pemasaran melalui Revitalisasi Tataniaga Produk Agroforestri Wahyu Andayani

Page 12: Agroforestry Di Katingan

12

5. Karakteristik dan Prospek Ekonomi Sistem Agroforestri di Kabupaten Bireuen Aceh Halus Satriawan, Zahrul Fuady

E. Komisi Pengolahan Hasil dan Bioteknologi 1. Pengaruh Provenan terhadap Resistensi Karat Tumor pada

Semai Sengon Levina Augusta, Asep Rohandi, dan Gunawan

2. Analisis Awal: Pemakaian Marka Molekuler Rapd untuk Pendugaan Keragaman Genetik Plasma Nutfah Aren Sumatera Utara Lollie Agustina P. Putri, Mahyuni. K. H, M. Basyuni, Indra Eko Setyo

3. Dampak Pola Tanam Tumpangsari terhadap Adaptibilitas dan Pertumbuhan Lima Provenan Tanaman Pulai Gading Mashudi, Hamdan Adma Adinugraha, dan Dedi Setiadi

4. Peningkatan Kualitas Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl.) dengan Perlakuan Panas Agus Ngadianto dan Wiyono

5. Yogurt Susu Kecipir sebagai Makanan Fungsional Hipokolesterol Siti Tamaroh

6. Potensi Terpendam Biji Nangka (Artocarpus heterophyllus) sebagai Bahan Substitusi Pembuatan Keju Nabati Ramah Lingkungan Yunita Pane, Diah Nur Maulida

7. Karakteristik Sifat Fisik dan Kimia Mangga Lokal dari Hutan Masyarakat Kalimantan Selatan Zahirotul Hikmah Hassan, Yanuar Pribadi, dan Achmad Rafieq

8. Nilai Kalor Acacia Decurrens sebagai Bahan Baku Arang Kayu Masyarakat Pegunungan Tinggi Liliana Baskorowati, Mohammad Anis Fauzi, Dedi Setiadi, dan Mudji Susanto

9. Karakteristik Bentuk Dolok Manglid (Manglieta glauca Bi.) dan Hubungannya dengan Rendemen Penggergajian Mohamad Siarudin dan Ary Widiyanto

Page 13: Agroforestry Di Katingan

13

K. Daftar Judul Presentasi Poster

A. Komisi Budidaya 1. Efektifitas Penggunaan Mikoriza dan Pupuk NPK dalam Pertumbuhan

Bibit Malapari (Pongamia pinnatal.) Rina Kurniaty dan Yetti Heryati

2. Hama Kumbang Sastra SP pada Agroforestry Manglid Endah Suhaendah

3. Kajian Pengembangan Tanaman Obat dalam Sistem Agroforestri Tati Suharti, Yulianti Bramasto, dan Naning Suharti

4. Kemampuan Perakaran Stek Pucuk Beberapa Jenis Tanaman Hutan Danu dan Kurniawati P. Putri

5. Penerapan Teknik Pemupukan dalam Menunjang Pertumbuhan Tanaman Sukun di Lombok Barat Ryke Nandini dan MM.Budi Utomo

6. Pengaruh Pemupukan Fosfat terhadap Pertumbuhan Awal Rotan Jernang Pola Agrosilvikultur dengan Karet Agung Wahyu Nugroho

7. Pengaruh Pola Agroforestri terhadap Pertumbuhan Tanaman Cendana (Santalum album L.), Inang Turi (Sesbania grandiflora), Hasil Panen Tanaman Semusim dan Kandungan Kimia Tanah I Komang Surata

8. Pengaruh Tinggi Pangkasan terhadap Produksi Tunas pada Kebun Pangkas Ganitri Asep Rohandi

9. Pengembangan Sistem Agroforestri berbasis Indigenus Spesies dan Kesesuaian Lahan di Wilayah Kabupaten Pasuruan-Jawa Timur Abban Putri Fiqa dan Rachmawan Adi Laksono

10. Peningkatan Produktivitas Hutan Tanaman melalui Keragaman Jenis Tanaman Agroforestri Riskan Effendi dan Yetti Herdiyanti

11. Perbaikan Kualitas Tanah dari Lahan Pertanian ke Sistem Agroforestri berbasis Tanaman Bioenergi Willow (Salix sp) Cahyo Prayogo, Nina Dwi Lestari, dan Kurniawan Sigit Wicaksono

12. Pertumbuhan Bibit Ganitri (Elaeocarpus ganitrus) Umur 4 Bulan pada Beberapa Macam Media dan Naungan Rina Kurniaty, Ratna Uli Damayanti, dan Tati Rostiwati

Page 14: Agroforestry Di Katingan

14

13. Potensi Tanaman Lokal sebagai Pupuk Organik Cair dan Rumput Pakan dalam Memperbaiki Produktivitas Lahan, Tanaman, dan Ternak pada Praktek Agroforestry INP Soetedjo dan Ida Rachmawati

14. Prospek Budidaya Tanaman Obat Jenis Bidara Laut (Strychnos lucida R.Br.) dengan Wanafarma Dewi Maharani

15. Prospek Shorea balangeran sebagai Jenis Penyusun Agroforestri di Lahan Rawa Gambut (Tinjauan pada Aspek Silvikultur) Purwanto B. Santosa dan Tri Wira Yuwati

16. Sistem Agroforestri Tradisional berbasis Tanaman Bambu Berperan Penting dalam Menunjang Sosial Ekonomi Penduduk dan Pelestarian Lingkungan di Jawa Barat Johan Iskandar dan Budiawati Iskandar

B. Komisi Lingkungan dan Perubahan Iklim 1. Dampak Penataan Ruang Lanskap Agroforestry terhadap Hasil Air

pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy Hulu Edi Junaidi

2. Faktor-Faktor Biofisik yang Mendukung Kelestarian Agroforestry di Hutan Marga Christine Wulandari

3. Kapasitas Infiltrasi Tanah pada berbagai Karakter Agroforestri Kapulaga di Desa Gerbosari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo Singgih Utomo dan Prasetyo Nugroho

4. Pendugaan Cadangan Karbon di Lahan Tembawang (Jasa Lingkungan yang Terabaikan di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat) Asef K. Hardjana

5. Pengaruh Pengelolaan Lahan Kebun dan Penerapan Teknologi Konservasi terhadap Erosi di DAS Galeh Kabupaten Semarang Forita Dyah Arianti

6. Potensi Arachis Pintoi sebagai Tanaman Penutup Tanah pada Pertanaman Kakao untuk Pencegahan Erosi, Kesuburan Tanaman, dan Bahan Pakan Ternak di NTB Eni Fidiyawati

Page 15: Agroforestry Di Katingan

15

7. Respon Beberapa Pola Tanam Agroforestry berbasis Manglid terhadap Laju Infiltrasi Tanah (Manglieta glauca Bl) Wuri Handayani dan Ary Widiyanto

8. Simulasi Perubahan Tutupan Lahan terhadap Neraca Air di DAS Bialo, Sulawesi Selatan dengan Menggunakan Model Genriver Lisa Tanika, Chandra Irawadi Wijaya, Elissa Dwiyanti, dan Ni’matul Khasanah

C. Komisi Sosial dan Kebijakan 1. Agroforestri sebagai Alternatif Pemanfaatan Lahan Bawah Tegakan

untuk Meningkatkan Pendapatan Petani Guntara

2. Agroforestry di Negara Berkembang dan Negara Maju: Suatu Perbandingan Sanudin dan Eva Fauziyah

3. Analisis Kebijakan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau berbasis Agroforestri di Kota Ambon Christy Suhendy dan Agustinus Kastanya

4. Diversifkasi Tanaman Buah dan Kontribusinya bagi Masyarakat Negeri Hative Besar, Kota Ambon Wattimena, Lesty Latupapua, dan Jan Hatulesila

5. Kajian Aspek Sosial Pola Agroforestry Tradisional (Dusung) di Pulau Ambon Th. Silaya dan M. Tjoa

6. Kelembagaan Hutan Rakyat Agroforestry di Kabupaten Banjarnegara Eva Fauziyah, Idin Saefudin R, dan Budiman Achmad

7. Pengalaman Melakukan Pola Agroforestri pada Jabon di Desa Pasir Intan, Riau Syofia Rahmayanti

8. Pengelolaan Sistem Agroforestri Tradisional (Dukuh) oleh Masyarakat Desa Sungai Langsat Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan Mahrus Aryadi dan Hamdan Fauzi

9. Pengembangan Lebah Madu di Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah: Peluang dan Tantangan Tri Sulisyati Widyaningsih, Nugraha Firdaus, dan Harry Budisantoso

Page 16: Agroforestry Di Katingan

16

10. Penguatan Kelembagaan Madu Hutan dalam Pelestarian Lanskap Hutan Sumbawa Retno Maryani, Iis Alviya, Virni Budiarifanti, Mimi Salmiah

11. Potret Keberhasilan "Upaya Optimalisasi Produktivitas Lahan Melalui Agroforestry Menuju Ketahanan Pangan, Energi, dan Air" di Jawa Enny Widyati dan Sofwan Bustomi

12. Praktik Agroforestry di Lahan Negara: Kasus di Lahan Eks HGU PT Teja Mukti Utama, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat Tri Sulisyati Widyaningsih dan Budiman Achmad

13. Prospek dan Tantangan Pengembangan Silvofishery dalam Rehabilitasi Mangrove di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur Tri Sayektiningsih dan Wawan Gunawan

14. Strategi Kemitraan dalam Rehabilitasi Lahan Sistem Agroforestri di Wilayah DAS Mahakam Faiqotul Falah

15. Strategi Rehabilitasi Hutan Lindung berbasis HHBK dengan Pola Agroforestri (Studi Kasus di Kawasan Hutan Lindung KPHPL Rinjani Barat, Nusa Tenggara Barat) Ogi Setiawan dan Krisnawati

D. Komisi Ekonomi dan Pemasaran 1. Analisis Usaha Tani Masyarakat pada Berbagai Tingkat Perkembangan

Agroforestry di RPH Pujon Kidul BKPH Pujon KPH Malang Joko Triwanto dan Tatag M

2. Kajian Ekonomi Agroforestry Meranti Merah (Shorea Spp.) dan Karet Rakyat (Hevea brasiliensis) (Studi Kasus di Desa Hinas Kiri Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan) Rachman Effendi, Kushartati Budiningsih, dan Magdalena Gultom

3. Potensi Wilayah Sebaran Kayu Manglid (Manglieta glauca BI) pada Hutan Rakyat Pola Agroforestry di Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis Soleh Mulyana dan Dian Diniyati

E. Komisi Pengolahan Hasil dan Bioteknologi 1. Uji Toksisitas Beberapa Ekstrak Tumbuhan Tingkat Tinggi sebagai

Pestisida Alami terhadap Patogen Bacillus Penyebab Beberapa Penyakit pada Tanaman Nani Herawati dan Made Sudarma

Page 17: Agroforestry Di Katingan

17

2. Sifat Antioksidatif dan Efek Hipokolesterolemik Instan Temulawak Astuti Setyowati dan Chatarina Wariyah

3. Peranan Teknologi dan Pengolahan dalam Pemanfaatan Mangga Lokal dari Hutan Masyarakat di Kalimantan Selatan sebagai Upaya Konservasi Hutan Zahirotul Hikmah Hassan dan Fakhrina

Page 18: Agroforestry Di Katingan

18

A1 Fenologi Surian (Toona sinensis)

di Beberapa Lokasi Hutan Rakyat di Jawa Barat Agus Astho Pramono

Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor

ABSTRACT Suren is one of the species of forest trees are widely grown in agroforestry systems in the highlands of West Java. An understanding of phenology suren is needed as a basis in harvesting seeds technique for producing high quality and quantity seeds. This study aimed to obtain the fruit season suren forecasting techniques based on generative and vegetative phenology, and to determine the dynamics of individual fruit season in populations. The study was conducted in Cimalaka district, and Wado district of Sumedang regency, and Pengalengan district of Bandung regency. Research activities include measurement of the tree, and the observation of time frame of the development phases of vegetative and generative organs. The results showed that the development of generative and vegetative organ can be divided into several stages. Timing of ripe fruit can be predicted based on the time frame, since the appearance of flowers. The time required from flower formation until the ripe fruit was 5-6 months. In years of observation, there were no abundant flowerings in the population. Each tree bears fruit once a year. In some locations there are some individuals which bear fruit 2 times a year. Flowering or fruiting trees almost always can be found throughout the year in a large population. Key word: phenology, agroforestry, seed production, Toona sinensis

Page 19: Agroforestry Di Katingan

19

A2 Peta Sebaran Surian (Toona sinensis) dengan Sistem Agroforestri di Jawa

Agus Astho Pramono dan Danu Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor

ABSTRACT

The use of high quality seeds collected from seed source that matches the ecological conditions of the planting site is one of the factors that determine the productivity of agroforestry. Seed zoning that begins with mapping the distribution of population is important in forest development strategy. Maps of population distribution and information of stands condition will assist users in selecting seed sources that appropriate to their planting site. This study was aimed to determine the distribution of population surian (Toona sinensis) in community forests in Java and to determine the potency of suren stands to be developed as a seed source. The activities in this study were: 1) literature study of natural distribution and land suitability of surian; 2) secondary data collection: a map of soil, rainfall, altitude, administration, agro-climatic, and vegetation; 3) field surveys; 4) preparation of surian ecological distribution maps using ArcView software. 5) identify potential seed sources. The most widespread surian populations are found in the western part of Java, especially Tasikmalaya, Garut, West Bandung, Bandung, Sumedang, Subang, Sukabumi, Cianjur, Bogor and Kuningan. Surian population increasingly rare toward the eastern part of Java island. In Central Java suren populations were found in areas of Sumbing slopes, Merapi and Slamet covering Wonosobo, Temanggung, Magelang, Boyolali, Tegal and Purbalingga regency. In East Java, surian population were found in Malang. Surian grown in the highlands average above 500 m asl in various soil types include Regosol, Podsolic, Latosol, and Andosol. Surian stands which potential to be developed as seed sources surian is located in West Java (eg Subang and Sumedang), because in this area there are still many large-diameter natural stands thus might have a wider genetic variation than stands in Central Java and East Java. Key word: land suitability, seed zone, population distribution, surian, Toona

sinensis.

Page 20: Agroforestry Di Katingan

20

A3 Pengaruh Substitusi Media terhadap Infeksi Mikoriza

pada Perakaran Semai Tusam (Pinus merkusii Jungh. et de Vriese) Ari Darmawan1), M. Mandira Budi Utomo2) dan Levina Augusta G.P.3)

1) Sekolah Menengah Kejuruan Kehutanan Kadipaten; 2) Balai Penelitian Teknologi HHBK Mataram; 3) Balai Penelitian Teknologi Agroforestri Ciamis

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor abiotik (unsur hara) dan/atau faktor biotik (Trichoderma reesei serta jamur pembentuk mikoriza) terhadap perakaran semai Tusam (Pinus merkusii Jungh. et de Vriese) yang ditandai dengan persentase infeksi mikoriza dan perlakuan yang memberikan hasil yang terbaik. Penelitian dilakukan pada 2 plot uji, yaitu plot pencegahan dan plot mikoriza dengan rancangan penelitian menggunakan rancangan acak lengkap berblok. Plot pencegahan bertujuan untuk mencegah semai tusam dari serangan gejala klorosis yang merupakan serangan umum pada tanaman muda. Semai yang digunakan berumur 3 bulan pada skor kesehatan 1. Pengamatan dilakukan selama 7 bulan dengan 4 perlakuan pada 3 blok pengamatan. Perlakuan meliputi: P0T0: kontrol; P1T0: pemberian pupuk lambat tersedia (dengan kandungan unsur NPK = 18-9-10 dengan waktu pelepasan unsur hara selama 6 bulan) dosis 0,5 gram per tanaman; P0T1: pemberian pelet Trichoderma reesei dosis 10 butir per tanaman; P1T1: pemberian pupuk lambat tersedia dan T. reesei. Setiap perlakuan menggunakan 4 kali ulangan masing-masing 20 polibag yang secara total menggunakan 960 semai tusam. Plot mikoriza menggunakan perlakuan tambahan dengan mikoriza Russula sp. dengan dosis 1 butir per tanaman. Semai yang digunakan berumur 1 bulan dengan skor kesehatan 1. Pengamatan dilakukan selama 6 bulan dengan 8 perlakuan pada 3 blok pengamatan. Perlakuan meliputi: P0M0T0: kontrol; P0M0T1: pemberian pelet T. reesei; P0M1T0: pemberian mikoriza; P0M1T1: pemberian mikoriza dan pelet T. reesei; P1M0T0 : pemberian pupuk lambat tersedia; P1M0T1: pemberian pupuk lambat tersedia dan pelet T. reesei; P1M1T0 : pemberian pupuk lambat tersedia dan mikoriza; P1M1T1 : pemberian pupuk lambat tersedia, mikoriza dan pelet T. reesei. Setiap perlakuan menggunakan 3 kali ulangan masing-masing 8 polibag, yang secara total menggunakan 576 semai. Hasil pengamatan masing-masing plot ditabulasi dan diolah menggunakan analisis varians pada tingkat kepercayaan 5% dan uji lanjut DMRT (Duncan’s Multiple Range Test). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua faktor biotik dan abiotik memberikan pengaruh positif terhadap kesehatan semai tusam. Persentase infeksi mikoriza pada plot pencegahan tertinggi diperoleh dari perlakuan P1T1 dan berbeda nyata dibandingkan 3 perlakuan yang lain. Pada plot mikoriza, perlakuan P0M1T1 memberikan hasil persentase infeksi mikoriza yang tertinggi. Kata kunci: semai tusam, pupuk lambat tersedia, Trichoderma reesei, mikoriza

Page 21: Agroforestry Di Katingan

21

A4 Kajian Pola Tanam terhadap Serangan Hama dan Penyakit

di Hutan Rakyat Sumatera Bagian Selatan Asmaliyah

Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRACT One of the problems often encountered in development of plantations forest including community forest are susceptible to pests and diseases, because it tends to monoculture planting pattern. One solution to reduce the damage of pests and diseases is to plant several plant species in agroforestry or mixed pattern, because the planting pattern is thought to have a relatively high resistance to pests and diseases. The research was conducted at the community forest is an area of natural distribution and cultivation area bambang lanang (Michelia Champaca) and tembesu (Fragaea fragrans) located in the province of South Sumatra, Lampung and Jambi provinces, with different planting patterns in 2010 to 2011. Observations and data collection conducted a census on all plants contained in the observation plots. Number of plots 3-5 observations per location or about 10% of the areal extents. Observation parameters such as the percentage of attacks and intensity of attacks. The data were analyzed descriptively. The results showed that: 1) Plants in governance in agroforestry and mixed tend to be more resistant to pests and diseases than plants that managed monoculture, 2) Percentage and intensity of attacks lower in agroforestry and mixed pattern than monoculture, 3) Percentage of disease did not differ between planting pattern, but the intensity of attacks on the pattern of agroforestry and mixed lower than monoculture and 4) The more species of plants in an area of agroforestry, pest and disease tends to be lower Keywords: Pests and diseases, planting pattern, monoculture, mixed, agroforestry

Page 22: Agroforestry Di Katingan

22

A5 Produksi Buah Ganitri pada Berbagai Ukuran Pohon

di Tegakan Hutan Rakyat Campuran Salawu, Tasikmalaya Gunawan dan Asep Rohandi

Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Ciamis

ABSTRAK Pengamatan produksi buah bermanfaat untuk memprediksi potensi buah ganitri bertujuan untuk mendapatkan informasi awal potensi produksi buah ganitri pada bebeberapa komposisi dan ukuran pohon sehingga dapat diprediksi produksi per satuan luas. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa produksi buah ganitri memiliki korelasi yang cukup kecil terhadap ukuran diameter batang dan lebar tajuk. Hubungan antara diameter batang dengan produksi buah ditunjukkan oleh persamaan linier y = 0.396x + 2.838, sedangkan antara lebar tajuk dan produksi buah ditunjukkan dengan persamaan y = 1.568x + 7.209. Rata-rata produksi buah ganitri 10.68 kg/pohon/musim. Apabila diasumsikan musim berbuah terjadi 2 kali dalam setahun dan jarak tanam 4 m x 4 m, maka produksi buah diperkirakan sebesar 13.350 kg/ha/tahun. Supaya prediksi produksi buah hasilnya cukup baik (mendekati), maka pengamatan potensi produksi sebaiknya dilakukan pada waktu yang tepat serta tegakan dengan kondisi yang cukup seragam dengan jumlah contoh yang lebih banyak. Hal tersebut akan lebih meminimalisir factor-faktor lain yang akan berpengaruh pada hasil pengamatan. Kata kunci: Ganitri, potensi, produksi buah, hutan campuran

Page 23: Agroforestry Di Katingan

23

A6 Pengaruh Asal Rimpang dan Paket Pemupukan

terhadap Pertumbuhan Tanaman Kunyit di Bawah Tegakan Pinus Gunawan

Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Ciamis

ABSTRAK Semakin mahalnya biaya pengobatan modern menyebabkan masyarakat mencari alternatif pengobatan tradisional menggunakan bahan-bahan alami dengan biaya terjangkau. Pengembangan tanaman obat dapat dilakukan di lahan kehutanan melalui pola agroforestry kombinasi tanaman pertukangan dan tanaman obat-obatan. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi pertumbuhan tanaman kunyit di bawah tegakan tanaman pinus pada kelas umur III. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap berblok dengan 10 macam perlakuan dan terdiri dari 4 blok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pemupukan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase tumbuh dan tinggi pertumbuhan tanaman kunyit pada demplot agroforestry dengan pinus (P. merkusii) sampai umur 1 bulan. Perlakuan jenis bibit memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tanaman kunyit di mana pertumbuhan jenis bibit asal indukan lebih bagus daripada jenis benih asal anakan. Pada parameter prosentase tumbuh jenis benih belum memberikan pengaruh yang nyata. Rata-rata persentase tumbuh tanaman kunyit dari benih asal anakan sebesar 86,6% dan asal anakan 80%. Pertumbuhan tinggi tanaman kunyit dari benih asal indukan sebesar 13,51 cm dan asal anakan sebesar 9,37 cm. Interaksi perlakuan bibit dan pemupukan berpengaruh terhadap pertumbuhan maupun persentase hidup. Pertumbuhan paling tinggi adalah perlakuan P2RI yang menggunakan pupuk kandang 15 ton/ha, SP36 50 kg/ha, Kcl 50 kg/ha. Prosentase tumbuh paling banyak pada perlakuan P4RI (menggunakan pupuk kandang 5 ton/ha, SP36 150 kg/ha, dan KCl 150 kg/ha dengan bahan berupa indukan atau rimpang utama) dan P3RA (menggunakan pupuk kandang 10 ton/ha, SP36 100 kg/ha dan KCl 100 kg/ha dengan bahan tanaman berupa anakan atau rimpang cabang) yang mencapai 100%. Kata kunci: Agroforestry, kunyit, kayu pertukangan, pinus (P. merkusii), tanaman obat.

Page 24: Agroforestry Di Katingan

24

A7 Potensi Hama pada Pola Agroforestri Kayu bawang

di Provinsi Bengkulu Sri Utami dan Agus Kurniawan

Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRACT The traditional Kayu bawang (Dysoxylum mollissimum Blume) wood agroforestry has practiced by smallholder farmers in Bengkulu. Agroforestry is a land management which accommodates some of interests e.g. social, economic and ecological function. One of the problems in Kayu bawang plantation development is pest attack. Pest attack can significantly decrease the Kayu bawang growth and influence the wood production. Knowledge about kind of pests and its damage is urgently to do before efforts technologies of preventive and controlling. This research aimed to identify the pest, symptom and level of pest attack in Kayu bawang wood agroforestry in Province of Bengkulu. The research was done using inventory of some pests (sampling intensity of 10%) and identification methods. Observation of pest attack in the some fields showed that Kayu bawang were attacked by bagworm (Pteroma plagiophleps), stem borer (Xystrocera globosa) and termites (Neotermes sp.). The bagworm caused minor damage on stems and leaves. Percentage of bagworm pest was 10.67% and its intensity was 7.14%. Stem borer caused lightly destructive borer and the death of Kayu bawang. Percentage of stem borer pest was 6.36% and its intensity was 2.48%. Stem borer pest was significantly decreased of growth (high and diameter) 6.77% and 16.19% respectively. Termites cause minor damage like irregular cavities in wood and damage on surface of wood. Percentage of its termite was 2.7% and its intensity was 3.57%. Keyword: agroforestry, Dysoxylum mollissimum, Neotermes sp., Pteroma

plagiophleps, Xystrocera globosa

Page 25: Agroforestry Di Katingan

25

A8 Kajian Struktur dan Komposisi Agroforestri Herbal

pada Beberapa Ketinggian Tempat di Pegunungan Menoreh Kabupaten Kulon Progo D.I Yogyakarta

Nanang Herdiana1, Singgih Utomo2, Budiadi2 dan Prapto Yudono3 1 Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

2 Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Jogjakarta 3 Dosen Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Jogjakarta

ABSTRACT

Herbal agroforestry is interesting land management system and has been developed by people in Kulonprogo. The practice of herbal agroforestry is more concentrated along the Menoreh Mountain with various altitudes, stand structure of privately owned forest. The research was carried out in privately owned forest at Mountains Menoreh purposively selected based on three stratum of herbal agroforestry place, ie: lowlands (< 300 masl), middle lands (300 - 600 masl) and uplands (> 600 masl). At each observation site, observation plots of 0.04 ha each were established and repeated 4 times, resulting 48 observation plots in total. Nested sampling was used in the measurement of vegetation. The measurement of herbal plants in the observation plots was done by conducting census (counting the types and their range). To determine the structure and composition of privately owned forest stands, an analysis of vegetation data was done. Parameters calculated include: Important Value Index (IVI), Diversity Index and Similarity Index.Research results showed that there are 16 species in lowlands dominated by teak and mahogany, 21 species on midlle lands dominanted by mahogany and falcata and 22 species on uplands dominanted by falcata and mahogany. The dominant herbal species are turmeric (lowlands), ginger (middle lands) and cardamom (uplands). The diversity at all levels of growth based on altitudes and the species of herbal plants falls into low - medium Keywords: Herbal agroforestry, structure and composition, privately owned forest

Page 26: Agroforestry Di Katingan

26

A9 Pengaruh Sistem Agroforestri berbasis Jelutung

terhadap Kesuburan Lahan Gambut Marinus Kristiadi Harun 1 dan Budiman Achmad 2

1 Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru 2 Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Ciamis

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh sistem agroforestri berbasis jelutung terhadap kesuburan lahan gambut. Penelitian dilaksanakan di Desa Tumbangnusa, Kabupaten Pulangpisau dan Kelurahan Kalampangan, Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah pada bulan Februari-April tahun 2011. Unsur kesuburan gambut yang dianalisis adalah 1) sifat kimia tanah yang terdiri: pH H2O, N Total, C organik, K dapat dipertukarkan (dd), Na dd, Ca dd, Mg dd, Kapasitas Tukar Kation (KTK), Al dd, H dd, Kejenuhan Basa (KB), Kejenuhan Al, Kejenuhan H, P total, K Total, P tersedia, Fe dan SO4; 2) sifat fisik tanah, yakni tingkat kematangan gambut; 3) sifat biologi tanah, yakni kelimpahan makro fauna tanah. Pengambilan sampel makrofauna tanah dilakukan dengan metode Perangkap Sumuran (PSM) dan Pengambilan Contoh Tanah (PCT). Pengambilan sampel tanah dilakukan pada: (a) lahan pertanian monokultur (PM), (b) lahan penanaman jelutung dengan sistem agroforestri (AF), dan (c) lahan gambut terlantar (LT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman makrofauna tanah pada lahan gambut berpenutupan agroforestri jelutung lebih besar daripada lahan gambut berpenutupan pertanian monokultur dan lahan terlantar, dengan nilai Indeks Shannon Wiener berturut-turut sebesar 1,8; 1,2 dan 1,69 untuk metode PSM. Analisis kimia tanah pada lahan gambut berpenutupan agroforestri jelutung menghasilkan data: pH=3,94; N total=0,4%; C organik=48,58%; C/N=121,45. Tingkat kematangan gambut pada lahan berpenutupan agroforestri jelutung adalah saprik-hemik sampai hemik, untuk lahan berpenutupan pertanian monokultur adalah fibrik-hemik sampai saprik-hemik, sedangkan lahan gambut terlantar didominasi oleh fibrik dan fibrik-hemik. Kondisi kesuburan tanah pada lahan gambut berpenutupan agroforestri lebih baik daripada pertanian monokultur dan lahan terlantar. Kata kunci: jelutung, sistem agroforestri, kesuburan tanah, lahan gambut

Page 27: Agroforestry Di Katingan

27

A10 Pertumbuhan Mangrove pada Tambak Silvofishery

di Desa Bipolo Kecamatan Sulamu Kabupaten Kupang M. Hidayatullah

Balai Penelitian Kehutanan Kupang

ABSTRAK Konversi hutan mangrove menjadi unit-unit usaha tambak terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Pada satu sisi aktifitas tersebut dapat meningkatkan pendapatan masyarakat melalui kegiatan budidaya perikanan tambak, namun pada sisi lain konversi lahan turut berperan dalam penurunan kualitas ekosistem mangrove. Pengusahaan tambak dengan pola silvofishery diharapkan dapat menjembatani dua kepentingan tersebut. Tulisan ini bertujuan untuk menyampaikan informasi tentang pertumbuhan tanaman mangrove jenis Rhizophora mucronata Lmk. pada tambak silvofishery milik masyarakat di desa Bipolo, Kecamatan Sulamu Kabupaten Kupang. Penelitian dilakukan dengan mengukur pertumbuhan mangrove secara periodik sehingga dapat diketahui dinamika pertumbuhan pada tiap plot. Parameter yang diamati adalah diameter batang, tinggi dan jumlah akar. Hasil pengukuran memperlihatkan bahwa plot C dengan pola empang parit dan lokasi tambak yang relatif dapat dijangkau oleh air pasang surut menunjukkan rata-rata pertumbuhan serta rata-rata berat ikan yang lebih baik bila dibandingkan dengan plot A dan B dengan pola yang sama tetapi lokasi tambak hanya dapat dijangkau oleh air pasang tertinggi. Rata-rata pertumbuhan tanaman umur 3 tahun untuk setiap parameter berturut-turut dari diameter batang, tinggi dan jumlah akar adalah, plot A : 16,70 mm, 109,43 cm dan 5,31 helai, plot B : 16,55 mm, 113,13 cm dan 5,76 helai sedangkan plot C : 17,77 mm, 117,88 cm dan 5,92 helai. Sedangkan rata-rata berat ikan bandeng perekor pada masing-masing plot setelah pemeliharaan gelondongan selama 7 bulan adalah berturut dari A, B dan C : 145,36 gr, 147,14 gr dan 170,47 gr. Pemilihan jenis tanaman dan lokasi yang tepat sangat berpengaruh terhadap keberhasilan kegiatan budidaya perikanan tambak dengan konsep silvofishery. Kata Kunci: Mangrove, tambak, silvofishery dan Rhizphora mucronata.

Page 28: Agroforestry Di Katingan

28

A11 Uji Pertanaman Tanaman Sukun dengan Pola Tumpangsari

di Gunung Kidul untuk Mendukung Program Ketahanan Pangan Hamdan Adma Adinugraha1, Dedi Setiadi1, dan Ramli Hadun2

1Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta 2Universitas Khairun Ternate

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja pertumbuhan sukun yang berasal dari beberapa populasi sebaran alam sukun di Indonesia. Penanaman dilakukan di Hutan Penelitian Playen, Gunung Kidul dengan pola tumpangsari. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok atau RAK dengan menguji 61 klon sukun dari 7 populasi sebaran sukun yaitu di Sleman, Banyuwangi, Lampung, Bali, Mataram, Malino, dan Manokwari. Koleksi materi tanaman berupa akar yang diperbanyak dengan teknik stek akar di persemaian B2PBPTH. Bibit stek akar yang siap tanam selanjutnya dijadikan bahan tanaman untuk pembangunan plot uji klon sukun. Penanaman masing-masing klon sebanyak 5 batang, diulang dalam 4 blok, dengan total 1.220 batang pengamatan berjarak tanam 5x5 m. Evaluasi pertumbuhan tanaman dilakukan 1-2 kali setahun. Hasil analisis varians menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi dan diameter batang tanaman dipengaruhi oleh populasi asal klon dan kondisi lahan, sedangkan variasi pertumbuhan antar klon yang diuji tidak berbeda nyata pada semua karakter yang diamati. Tanaman sukun pada lahan yang sudah diolah untuk tanaman pertanian menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik daripada tanaman yang tumbuh pada lahan yang tidak digarap petani, dengan persentase hidup antara 38,03-73,11%. Hasil pengamatan sampai dengan umur 3 tahun menunjukkan bahwa rerata persentase hidup tanaman 20-85%, tinggi tanaman berkisar antara 1,21-3,70 m dan diameter batang (dbh) sekitar 1,64-9,15 cm. Daya adaptasi terbaik ditunjukkan tanaman sukun dari Banyuwangi dengan persentase hidup rata-rata 61,25%. Pertumbuhan tinggi tanaman terbaik rata-rata 2,96 m ditunjukkan klon asal Manokwari, sedangkan rerata diameter/dbh terbesar yaitu 6,52 cm ditunjukkkan klon sukun asal Sleman Yogyakarta. Kata Kunci: Ketahanan pangan, Sukun (Artocarpus altilis), Tumpang sari

Page 29: Agroforestry Di Katingan

29

A12 Kajian Pola Agroforestry Ganitri (Elaeocarpus ganitrus Roxb): Pendekatan

Pola Hutan Rakyat di Kabupaten Tasikmalaya Encep Rachman 1, Tati Rostiwati 2, dan Rachman Effendi 3

1) Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Ciamis 2) Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan, Bogor 3) Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan, Bogor

ABSTRAK

Ganitri (Elaeocarpus ganitrus ROXB ), memiliki persyaratan yang baik sebagai jenis pohon berdaya guna untuk dikembangkan pada areal hutan rakyat. Kajian ini bertujuan mempelajari pengembangan ganitri dalam pola hutan rakyat di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Ganitri mulai dikembangkan di Desa Neglasari (kampung Sindangwangi dan Cikiray) dan Desa Sukamanah Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya sejak tiga tahun terakhir. Metode yang digunakan adalah metode survai dengan membuat plot contoh untuk inventarisasi jenis vegetasi pada areal hutan rakyat serta wawancara terhadap petani dan masyarakat sekitar lokasi penelitian. Pohon yang bermanfaat kayunya diukur tinggi dan diameter, pohon yang bermanfaat buah serta tanaman bawah (bermanfaat obat dan pangan) dihitung jumlahnya. Hasil kajian menunjukkan bahwa di hutan rakyat seluas 4 (empat) hektar, tegakan ganitri ditanam bersama jenis lainnya dengan komposisi jenis yaitu: pohon yang bermanfaat kayunya (25%); pohon yang bermanfaat buahnya (53,57%); bermanfaat obat (10,71%) serta tanaman semusim bermanfaat pangan (10,71%). Tanaman kayu didominasi jenis sengon, tanaman buah didominasi oleh ganitri dan kelapa, tanaman obat didominasi kapolaga. Persentase jenis tersebut menurut masyarakat berdampak positif secara ekologis dan ekonomis bagi daerah. Luas hutan rakyat rata-rata 0,5 ha menghasilkan pendapatan total per tahun rata-rata Rp. 7.250.000 dengan kontribusi 39% dari pohon yang bermanfaat kayunya, 20% dari pohon yang bermanfaat buahnya, dan 41% dari tanaman bawah (obat dan pangan). Pola agroforestri dengan tanaman utama Ganitri dapat mengadopsi salah satu jenis sebagai tanaman sela atau tumpangsari. Kata kunci: agroforestry, Ganitri (Elaeocarpus ganitrus ROXB), hutan rakyat,

komposisi jenis

Page 30: Agroforestry Di Katingan

30

A13 Sifat Kimia Tanah Lapisan Atas

sebagai Dampak Introduksi Agroforestri di Lampung Utara Sri Rahayu Utami dan Sri Hastuti

Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya

ABSTRAK Penelitian ini mengamati perubahan kation basa dan Aluminium dalam tanah setelah penanaman agroforestri selama 3 tahun pada lahan petani di Pakuan Ratu, Lampung Utara. Dilakukan pengukuran kandungan C-organik dan kation basa dalam seresah, dihubungkan dengan perbedaan kandungan C-organik, kation basa, pH, dan kandungan Al dapat ditukar (Aldd) dalam tanah (0-20 cm). Pengamatan dilakukan pada 2 plot, yaitu Plot I (umur pohon 0-3 tahun): Monokultur ketela pohon, Monokultur accasia, Monokultur sengon, Sengon+ketela pohon, Accasia+ketela pohon; dan Plot II (umur pohon 4-7 tahun): Monokultur ketela pohon, Monokultur tebu, Mahoni+ketela pohon, Sengon+ketela pohon, Karet+ketela pohon, Kelapa sawit+ketela pohon, Mahoni+tebu; serta alang-alang dan Hutan sebagai pembanding. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan C organik tanah pada semua sistem. Besarnya peningkatan C organik pada monokultur ketela pohon tidak berbeda nyata pada 0-3 tahun, tetapi lebih kecil pada 4-7 tahun daripada sistem yang lain. Kandungan kation basa tanah cenderung meningkat selama 3 tahun pada semua sistem mengikuti peningkatan C organik tanah, yang menunjukkan bahwa penambahan kation basa tanah berasal dari bahan organik yang ditambahkan. Peningkatan jumlah kation basa tanah pada sistem monokultur ketela pohon lebih kecil pada 0-3 tahun, namun tidak berbeda nyata pada 4-7 tahun. Kemungkinan kehilangan kation basa tanah melalui pencucian (fungsi pohon sebagai jaring hara) dan panen lebih sedikit, serta penambahan kation basa dari lapisan bawah (fungsi pohon sebagai pompa hara) dan pengembalian dari seresah lebih besar pada sistem AF maupun monokultur pohon. Peningkatan karena proses kehilangan lebih kecil dan pemasukan lebih besar tersebut diimbangi dengan pengambilan kation basa bagi peningkatan biomassa pohon, sehingga jumlah kation basa dalam tanah berkurang dengan meningkatnya umur pohon. Sebagai akibatnya pH tanah cenderung menurun dari tahun ke tahun, penurunan terbesar dari monokultur ketela pohon. Seiring dengan penurunan pH, kandungan Aldd mengalami peningkatan kecuali pada alang-alang. Peningkatan Aldd terbesar terjadi pada monokultur ketela pohon. Jumlah Aldd cenderung menurun dengan meningkatnya masukan kation basa dari seresah dan meningkatnya pH tanah. Kata kunci: agroforestri, kation basa, Aluminium dapat ditukar

Page 31: Agroforestry Di Katingan

31

A14 Konservasi Tumbuhan Bernilai Ekonomi Tinggi

melalui Pengembangan Model Agroforestri Spesifik Albert Husein Wawo, Ning Wikan Utami, dan Fauzia Syarif

Puslit Biologi, LIPI

ABSTRAK Cendana (Santalum album) dan gaharu (Aquiaria beccariana) yang memiliki nilai ekonomi tinggi, pada saat ini terancam punah. LIPI melalui program Kompetitif selama lebih kurang 10 tahun telah mengembangkan 2 model Agroforestri yaitu model Agroforestri Berbasis Cendana (model ABC) di Kabupaten Belu, NTT dan model Agroforestri gaharu (MAG) di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Pengembangan kedua model ini untuk meningkatkan produktivitas lahan dan untuk konservasi kedua jenis tumbuhan ini. Dalam pengembangan model agroforestri terdapat 3 komponen tanaman yaitu Alley crops yang terdiri dari tanaman semusim (pangan), tanaman pagar (hedges trees) yang terdiri dari pepohonan yang bertajuk ringan, dan tanaman tepi (border plant) yang terdiri dari pepohonan yang bertajuk lebar. Dalam pengembangan model ABC, cendana ditempatkan sebagai hedges trees bersama tanaman inang sekundernya seperti jambu batu, srikaya, Acacia vilosa yang ditanam dengan jarak 2 meter dari cendana. Dalam model ABC, cendana sengaja ditanam cukup banyak agar tanaman ini dapat lestari dan meningkatkan produktivitas lahan. Pohon yang ditanam sebagai border plant dalam model ABC ini adalah kemiri, asam, dan jati. Sebagai Alley crops ditanami jagung, ubikayu, dan kacang-kacangan. Pengembangan model MAG disesuaikan dengan kondisi topografi daerah dan kearifan lokal masyarakat Malinau. Kondisi topografi ladang atau kebun penduduk di Malinau terbagi menjadi 3 bagian (plot) yaitu bagian tanah datar yang sering tergenang air disebut Abak, bagian lahan yang agak landai di sebut Fuar-Fuar dan bagian lahan yang agak terjal disebut Irang. Gaharu umumnya ditanam pada bagian lahan Irang bersama-sama dengan durian lokal dan beberapa jenis kayu lokal. Pada bagian lahan fuar-fuar ditanami tanaman pangan dan sayuran seperti jagung, ubikayu, pisang, kacang-kacangan dan buah-buahan yang tajuknya ringan. Pada bagian lahan Abak ditanami padi dan sering dibuatkan kolam untuk pemeliharaan ikan. Keuntungan Gaharu dan cendana ditanam dalam model agroforestri yaitu tanaman akan terpelihara secara baik dan kepastian kepemilikannya sehingga tidak terjadi pencurian atau penebangan liar. Adanya cendana dan gaharu mendorong penduduk untuk tidak berpindah-pindah ladang sehingga penggunaan lahan lebih efisien. Kata Kunci: Agroforestri, ABC, MAG, Gaharu dan cendana

Page 32: Agroforestry Di Katingan

32

A15 Produktivitas Kacang Tanah (Arachis hypogeae L)

di Bawah Tegakan Manglid dalam Sistem Agroforestry Aris Sudomo

Balai Penelitian Teknologi Agroforestry.

ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui produktivitas tanaman kacang tanah (Arachis hypogeae L) dan pertumbuhan tegakan manglid pada sistem agroforestry di lahan hutan rakyat. Penelitian dilakukan di lahan hutan rakyat di Desa Tenggerraharja, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis mulai bulan Februari-Juni 2012. Tegakan manglid pada saat penanaman kacang tanah telah berumur 2 tahun. Tanah pada lokasi penelitian bertekstur lempung (47%), pH 5,58, dengan unsur N, P sangat rendah, K sedang dan C-organik rendah. Lahan tersebut berketinggian 894 mdpl, temperatur 20,4 0C- 28 0C , kelembaban (62,13%- 84,6%) dengan curah hujan sekitar 2000-2500 mm/tahun. Penelitian menggunakan split-plot design dengan main plot adalah 3 jenis intensitas pruning manglid (0%, 50% dan 75%) dan sub plot adalah 3 jarak tanam (2mx2m, 2mx3m dan 3mx3m) serta sub-sub plot adalah 2 pola tanam (monokultur manglid dan agroforestry manglid+kacang tanah). Penanaman kacang tanah secara monokultur dilakukan sebagai pembanding. Jumlah tanaman manglid yang digunakan adalah 3 intensitas pruning x 3 jarak tanam x 2 pola tanam x 25 tanaman =450 tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berat tanaman kacang tanah dan berat kering polong kacang tanah setiap m2 di bawah tegakan manglid dengan intensitas pruning 0% (1015 gram/113 gram), intensitas pruning 50% (1075 gram/125 gram) dan intensitas pruning 75% (1567 gram/155 gram). Berat tanaman kacang tanah dan berat kering polong kacang tanah setiap m2 di bawah tegakan manglid dengan jarak tanam 2mx2m (1450 gram/165 gram), 2mx3m (1400 gram/118 gram), 3mx3m (1060 gram/100 gram). Perlakuan kontrol yaitu tanaman monokultur kacang tanah menghasilkan berat tanaman kacang tanah/m2 (1800 gram) dan berat kering polong kacang tanah/ m2 (163 gram). Nilai LER (Land Equivalent Ratio) untuk agrofrestry manglid+kacang tanah (1,78) yang menunjukkan bahwa pola agroforestry lebih produktif daripada pola monokultur. Komoditi pada pola monokultur dapat menghasilkan seperti pada pola agroforestry jika keluasan lahannya 78% lebih luas. Sistem agrofrestry mampu menghasilkan 2 produk jangka pendek (tanaman pangan) dan jangka panjang (kayu manglid) yang lebih menguntungkan daripada monokultur sehingga diperlukan dukungan silvikultur yang lebih intensif. Kata kunci: Agroforestry, Arachis hypogeae L, Hutan Rakyat dan Manglid

Page 33: Agroforestry Di Katingan

33

A16 Pengaruh Tiga Pola Tanam dan Tiga Dosis Pupuk Kandang

terhadap Kemampuan Hidup dan Pertumbuhan Nyamplung (Calophyllum inophyllum Linn) pada Lahan Pasir di Sepadan Pantai Pangandaran

Aris Sudomo1, Encep Rachman1, Aditya Hani1, dan Tati Rostiwati2 1) Balai Penelitian Teknologi Agroforestry

2) Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan

ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh tiga pola tanam dan pemberian tiga dosis pupuk kandang terhadap kemampuan hidup dan pertumbuhan Calophyllum inophyllum Linn pada lahan pasir di sepadan pantai pangandaran. BBN berbasis nyamplung tersebut dapat digunakan sebagai bahan substitusi minyak tanah (biokerosene) dan substitusi minyak solar (biodiesel). Penelitian dilakukan di Desa Babakan, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis. Rancangan percobaan yang digunakan adalah split-plot design dengan main plot tiga pola tanam (agroforestry nyamplung+kacang tanah, agroforestry nyamplung+pandan dan monokultur nyamplung) sedangkan sub plot 3 dosis pupuk kandang (kontrol 0 kg/tanaman, pupuk kandang 5 kg/tanaman dan 10 kg/tanaman). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pola tanam agroforestry nyamplung+kacang tanah memberikan pertumbuhan tinggi, diameter dan jumlah daun yang signifikan lebih baik dibanding monokultur nyamplung dan agroforestry nyamplung+pandan. Pemberian pupuk kandang dengan dosis 10 kg/tanaman memberikan pertumbuhan signifikan lebih baik dibandingkan dengan dosis 5 kg/tanaman dan kontrol. Persentase hidup nyamplung pada 3 pola tanam yaitu agroforestry nyamplung +kacang tanah (85,33%), agroforestry nyamplung + pandan (66,22%) dan monokultur nyamplung (82,67). Persentase hidup nyamplung pada 3 dosis pupuk kandang yaitu kontrol (78,67%), 5 kg/tanaman (79,56%) dan 10 kg/tanaman (76,00%). Penyediaan bibit nyamplung untuk peningkatan keberhasilan penanaman dilapangan dapat dilakukan dengan melakukan pembibitan di sekitar lokasi penanaman untuk proses adaptasi pada lingkungan pantai yang relatif ekstrim. Perbaikan kesuburan tanah lahan pasir pantai yang miskin unsur hara dan lolos air dapat dilakukan dengan pemberian pupuk kandang minimal 10 kg/tanaman Kata kunci: Agroforestry, Calophyllum inophyllum Linn, pantai dan pupuk kandang

Page 34: Agroforestry Di Katingan

34

A17 Efek Naungan terhadap Penampilan Jagung P29 di Kawasan Hutan Jati

Aryana Citra Kusumasari, Bambang Prayudi dan Agus Supriyo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah

ABSTRAK

Petani hutan banyak mempraktikkan budidaya tumpangsari tanaman jagung sebagai tanaman sela pada tegakan jati yang berumur lebih dari 5 tahun. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui efek naungan terhadap penampilan jagung P29 di kawasan hutan jati. Pengkajian dilaksanakan di KPH Telawa Kabupaten Boyolali pada bulan Nopember 2012-Januari 2013, dengan dua perlakuan yaitu tanaman jagung di bawah naungan pohon jati umur lebih dari 5 tahun dan tanaman jagung tanpa naungan (di bawah tegakan jati muda) menggunakan varietas jagung P29. Lahan di kawasan hutan jati yang dapat ditanami tanaman jagung (okupasi) adalah 67%. Sampel yang diambil dari masing-masing perlakuan adalah 50 tanaman. Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman, diameter batang, berat jagung per tongkol, panjang tongkol, diameter tongkol sebelum dan sesudah dipipil, jumlah biji per baris, jumlah baris per tongkol, dan berat jagung pipilan per tongkol. Data dikumpulkan dan dianalisis menggunakan uji t. Hasil analisis menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada semua parameter pengamatan pada kedua perlakuan kecuali parameter jumlah baris per tongkol. Pada semua parameter jagung tanpa naungan menunjukkan hasil yang lebih tinggi daripada jagung naungan kecuali tinggi tanaman. Tinggi tanaman jagung tanpa naungan sebesar 216 cm dan jagung naungan 264 cm. Hasil pengamatan diameter batang, berat jagung per tongkol, panjang tongkol, diameter tongkol sebelum dan sesudah dipipil, jumlah biji per baris, jumlah baris per tongkol, berat jagung pipilan per tongkol pada perlakuan tanpa naungan memberikan hasil yang lebih tinggi daripada perlakuan naungan dengan hasil berturut-turut sebesar 9,00 mm; 281,60 gr;17,77 cm; 25,74 mm; 13,54 mm; 38,86 biji; 16,48 baris; 175,54 gr, sedangkan pada perlakuan naungan berturut-turut sebesar 7,44 mm; 195,24 gr; 15,72 cm; 24,07 mm; 13,05 mm; 35,00 biji; 15,96 baris; 127,26 gr. Hasil konversi data berat jagung pipilan kering per tongkol ke hektar pada perlakuan tanpa naungan mencapai 7,06 ton/ha, sedangkan pada naungan mencapai 5,12 ton/ha. Produktivitas jagung di bawah tegakan jati umur lebih dari 5 tahun lebih rendah daripada tanpa naungan, sehingga tidak disarankan budidaya tanaman sela jagung pada kawasan hutan jati umur lebih dari 5 tahun. Tanaman yang dapat disarankan sebagai tanaman sela pada kondisi tersebut yaitu tanaman empon-empon. Kata Kunci: jagung, P29, hutan jati, naungan

Page 35: Agroforestry Di Katingan

35

A18 Agroforestry Sorghum (Shorgum Spp.) pada HTI Acacia crassicarpa sebagai

Sumber Pakan Lebah Apis cerana di Propinsi Riau untuk Mendukung Budidaya Lebah Madu

Avry Pribadi dan Purnomo Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok-Riau

ABSTRAK

Tujuan dari studi ini adalah mengevaluasi kegiatan introduksi lebah A. cerana pada HTI Acacia crassicarpa di HPHTI Arara Abadi yang dilakukan pada skala penelitian dan mengevaluasi pengaruh dari tehnik penanaman sorghum secara agroforestry dengan Acacia crassicarpa terhadap perkembangan lebah A. cerana. Tahapan observasi yang dilakukan adalah (1) mengkalkulasi potensi jumlah nectar pada setiap tegakan A. crassicarpa, (2) mengamati tingkat prevalensi waktu lebah A. cerana dalam melakukan aktivitasnya dalam mengambil nectar A. crassicarpa, (3) mengamati pembentukan sel brood pada areal HTI Acacia crassicarpa yang ditanami sorghum dan yang tidak ditanami sorghum, dan (4) mengamati jumlah sisiran yang terbentuk. Hasil menunjukkan bahwa volume sekresi nectar A. crassicarpa tiap tegakkannya pada umur 1 dan 4 tahun menunjukkan nilai 25,69 cc/hari dan 44,31 cc/hari. Sekresi tertinggi untuk setiap tegakan A. crassicarpa terjadi pada pukul 06.30 s.d 7.30 dan terendah terjadi pada pukul 10.30 s.d 16.30. Pada pengamatan tingkat aktivitas lebah menunjukkan aktivitas tertinggi pada pukul 08.30 s.d 09.30. Pengamatan perkembangan rata-rata per bulan jumlah sisiran sarang menunjukkan nilai rata-rata sebesar 1,7 sisiran/stup. Sedangkan luas sisiran anakan dan madu mengalami rata-rata peningkatan sebesar 887,5 cm2 dan 1502,8 cm2 setiap bulannya. Sedangkan perkembangan sisiran sarang (brood) pada plot pengamatan dengan introduksi sorghum menunjukkan peningkatan persentase rata-rata sebesar 44 % dan berbeda nyata dengan plot yang tidak diintroduksi sorghum yakni sebesar 40,7%. Pada pengamatan produkstivitas madu menunjukkan koloni A. cerana yang ditempatkan di areal HTI A. crassicarpa yang diintroduksikan dengan sorghum memiliki nilai lebih tinggi (1670 cc/koloni/bulan) jika dibandingkan dengan penempatan pada HTI A. crassicarpa tanpa introduksi sorghum (810 cc/koloni/bulan). Kata kunci : Apis cerana, Agroforestry, Acacia crassicarpa, sorghum

Page 36: Agroforestry Di Katingan

36

A19 Peningkatan Produktivitas Komponen Agroforestri

melalui Penggunaan Pupuk Organik Guna Menunjang Keberhasilan Rehabilitasi Lahan Kritis

Budi Hadi Narendra1 dan Ryke Nandini2 1 Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi

2 Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu

ABSTRAK Pupuk organik merupakan bahan pembenah tanah ramah lingkungan yang potensial diaplikasikan guna memperbaiki kualitas tanah terutama pada tahap awal penerapan agroforestri. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh penggunaan pupuk organik terhadap produktifitas komponen agroforestri yang diamati pada kegiatan rehabilitasi lahan kritis. Penelitian dilaksanakan pada tiga lokasi lahan kritis yaitu di Kabupaten Lombok Timur-NTB, Kabupaten Bangli-Bali, dan Kabupaten Klungkung-Bali. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap berblok dengan perlakuan berupa pemberian pupuk organik pada tanaman kayu dan tanaman semusim sebagai komponen agroforestri. Pengamatan pertumbuhan tanaman kayu dilakukan dengan mengukur tinggi dan diameter batang tanaman kayu, sedangkan pengamatan tanaman semusim dilakukan dengan menimbang hasil panenannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan pupuk organik pada tiga lokasi lahan kritis secara signifikan mampu memacu pertumbuhan tanaman kayu dan menghasilkan panenan tanaman semusim lebih tinggi dibandingkan kontrol. Di lahan kritis bekas tambang batu apung, penggunaan pupuk hijau yang berasal dari pangkasan tanaman legum mampu menghasilkan panenan kacang tanah dan jagung masing-masing 1,3 dan 2,5 ton/ha. Pangkasan legum tersebut juga terbukti mampu meningkatkan pertumbuhan rata-rata tinggi dan diameter tanaman jati masing-masing sebesar 240,1 dan 1,8 cm/th. Di Kabupaten Bangli, perlakuan pemberian pupuk kandang mampu menghasilkan panenan kacang merah dan biomassa tanaman meningkat sangat signifikan dan demikian pula terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman kaliandra. Di Nusa Penida, aplikasi pupuk kandang yang berasal dari kotoran sapi mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman mimba hingga 4,5 kali dibandingkan kontrol dan 2,5 kali pada pertumbuhan diameter. Adapun pertumbuhan tanaman rumput gajah dan gamal pada plot yang diberi pupuk kandang menunjukkan pertumbuhan tunas yang lebih baik dibandingkan tanpa pupuk kandang. Kata kunci: lahan kritis, agroforestri, pupuk organik, produktifitas tanaman

Page 37: Agroforestry Di Katingan

37

A20 Biodiversitas Komponen Agroforest Medang Bambang Lanang (Michelia

champaca) di Hutan Rakyat pada Kawasan Lematang Ulu Sumatera Selatan

Endah Kusuma Wardhani1), Dona Octavia2) dan Yuliah3)

1 Dinas Kehutanan Kabupaten Lahat-Sumsel 2 Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi-Bogor

3 Balai Besar Bioteknologi dan Pemuliaan Pohon-Yogyakarta

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengetahui keanekaragaman jenis dan kemiripan jenis komponen agroforest berbasis medang bambang lanang (MBL) (Michelia champaca) di wilayah Lematang Ulu untuk mendukung pengelolaan agroforestri. Penelitian dilakukan di agroforest Kawasan Lematang Ulu meliputi: Kecamatan Muara Payang (Kabupaten Lahat), Kecamatan Dempo Selatan (Kota Pagar Alam), dan Kecamatan Tebing Tinggi (Kabupaten Empat Lawang). Sembilan lokasi dipilih berdasarkan purposive sampling method untuk mengetahui jumlah dan komposisi vegetasi. Pada masing-masing sampel hutan rakyat tersebut dilakukan pengambilan data vegetasi menggunakan metode Garis Berpetak (Nested Sampling) dengan empat ulangan sehingga diperoleh 36 plot berukuran masing-masing 0,04 ha. Total luasan yang diamati untuk keseluruhan lokasi adalah 1,44 ha. Parameter untuk mengetahui komposisi vegetasi hutan rakyat adalah menggunakan Indeks Nilai Penting yang menggambarkan kerapatan, penyebaran jenis (frekuensi), penguasaan jenis (dominansi) dan peran jenis (INP). Untuk mengetahui nilai keanekaragaman jenis diperoleh dengan menggunakan rumus Indeks Diversitas Shannon-Wienner (H’) sedangkan berapa besar kemiripan jenis komponen penyusun yang ada di ketiga wilayah kajian dihitung dengan menggunakan indeks similiritas (IS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi vegetasi di wilayah kajian terdiri dari 15 jenis vegetasi berkayu, 4 jenis tanaman semusim dan 5 jenis herba. Jenis dominan adalah MBL, gamal (Gliricida sepium Jacq.), jati (Tectona grandis L.f), durian (Durio zibethinus Murr) dan kopi (Coffea sp). Keragaman jenis pada tingkat pohon berkisar antara 0,248-0,467 yang termasuk kategori rendah. Nilai kemiripan dari 3 lokasi yang diamati hampir seragam (>70%) dengan komposisi vegetasi penyusun agroforest tingkat pohon jenis dominan adalah MBL, yang menunjukkan tingginya keseragaman dan komposisi vegetasi dari dua komunitas yang dibandingkan. Kata kunci: Michelia champaca, komposisi tegakan, Indeks Nilai Penting, Indeks

Diversitas dan Similaritas

Page 38: Agroforestry Di Katingan

38

A21 Keanekaragaman Jenis Pohon Panjat dan Manfaatnya

di Agroforestri Rotan di Kabupaten Katingan Johanna Maria Rotinsulu1), Didik Suprayogo2),

Bambang Guritno2),Kurniatun Hairiah2) 1)Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Brawijaya, Malang dan Dosen di

Universitas Palangkaraya, Palangkaraya, Kalteng 2)Dosen di Universitas Brawijaya, Fakultas Pertanian

ABSTRAK

Rotan dalam pertumbuhannya memerlukan pohon sandar dan panjatan yang beraneka ragam jenis dan kerapatannya, maka rotan dapat dibudidayakan dalam system agroforestri. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi tingkat keanekaragaman pohon panjat rotan dan manfaatnya dalam system agroforestri. Penelitian ini dilaksanakan di desa Kalamei, Kabupaten Katingan (Kalteng), pada bulan Oktober – Desember 2011. Pengukuran dilakukan di agroforestri karet dibandingkan dengan di hutan sekunder, masing-masing dengan 6 plot dan 18 sub plot pengamatan sebagai ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada hutan sekunder terdapat tiga jenis rotan dominan yaitu taman/sega (38%), ketuwu/semambu (26%), dan bulu (18%), sedang di system agroforestri terdapat lima jenis rotan dominan dimana dua jenis rotan yang ada di hutan sekunder dijumpai pula di hutan karet. Kelima jenis rotan tersebut yaitu Taman/Sega (46%), Ketuwu/Semambu (26%), Irit (28%), Manau (17%) dan Rokong (32%). Indeks keanekaragaman jenis pohon (H’) di hutan sekunder sangat tinggi (H’=3.05), ditemukan 73 jenis pohon dari 203 individu tumbuhan, dengan lima jenis pohon dominan ; Sagagulang (34%), Terentang (32.70%), Mahang (26.55%), Jirak (23.0589%) dan Tawe/Jabon (22.3015%). Di Hutan Karet diperoleh H’=2.6478, ditemukan 62 jenis pohon dari 169 individu tumbuhan, terdiri dari, Karet (74.63%), Mahang (25.86%), Meranti (25.33%), Mahabulan (16.32%) dan Rambutan (15.57%). Sembilan jenis pohon tersebut mempunyai potensi cukup besar sebagai pohon panjat rotan disamping manfaat lain dalam agroforestri rotan di Katingan. Kata Kunci: Keanekaragaman, pohon panjat, rotan, agroforestri, hutan sekunder

Page 39: Agroforestry Di Katingan

39

A22 Pengaruh Manajemen Pola Penanaman

terhadap Produktifitas Tegakan berdasarkan Simulasi Pemodelan Degi Harja, Endri Martini, dan Betha Lusiana

World Agroforestry Centre/ICRAF Southeast-Asia

Dampak dari manajemen pengelolaan penanaman pada produktivitas tegakan merupakan satu trade-off yang selalu menjadi pertimbangan sistem agroforestri. Sebuah model simulasi pertumbuhan tegakan hutan SExI-FS (Spatially Explicite Individual-based Forest Simulator) yang dikembangkan ICRAF digunakan sebagai alat untuk menduga pertumbuhan. Dengan mensimulasikan berbagai skenario manajemen, model SExI-FS dapat digunakan untuk mengetahui skenario manajemen yang optimal. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menganalisa berbagai skenario manajamen tegakan pada system agroforestri berdasarkan jarak tanam dan kombinasi individu species tanaman/pohon, khususnya pengaruh manajemen tersebut terhadap produktifitas sistem agroforestri. Untuk menjawab permasalahan tersebut kami mengamati dua spesies yaitu: durian (Durio zibethinus) dan karet (Hevea brasiliensis) dengan empat skenario penanaman yaitu: Karet monokultur (kontrol), penanaman karet dengan sisipan durian, campuran secara acak antara karet dan durian, dan segregasi karet dan durian (kemudian disebut sebagai skenario berkelompok). Hasil percobaan simulasi menunjukkan bahwa di luar komposisi spesies dan managemen pola penanaman akan mempengaruhi baik itu produktifitas individu pohon maupun produktifitas keseluruhan tegakan secara umum. Kepadatan tegakan dapat disimpulkan lebih berpengaruh secara nyata dibandingkan dengan pola penanaman. Namun hal ini kemudian akan sangat berhubungan dengan manajemen paska panennya, dimana petani mungkin akan lebih nyaman dengan pola yang lebih teratur. Sistem kluster atau pengelompokan merupakan alternatif lain untuk mempermudah manajamen pemamenan. Hasil studi ini menunjukkan bahwa pengunaan model dapat dimanfaatkan untuk menetukan pola manajemen agoroforestri yang dapat mengoptimalkan produktifitas. Hasil studi dapat dijadikan bahan berdiskusi dengan petani, dalam upaya meningkatkan produktiftas sistem agorefoerstri yang dikelola masyarakat. Kata kunci: model interaksi pohon, produktifitas sistem agroforestri

Page 40: Agroforestry Di Katingan

40

A23 Study Produktivitas Tiga Jenis Rumput Pakan Ternak

di Kawasan Hutan Jati Kabupaten Blora Sajimin, S.N. Jarmani, dan A. Anggraeni

Balai Penelitian Ternak

ABSTRAK Kabupaten Blora merupakan daerah kering beriklim kering dengan 49,7% dari luas wilayah berupa hutan jati dan sisanya berupa lahan sawah serta tegalan. Daerah ini memiliki iklim tipe D dengan musim kemarau 6-8 bulan, tinggi tempat 96-280m dari permukaan laut, mata pencaharian penduduk bertani dan berternak. Ternak yang dipelihara umumnya sapi peranakan ongole (PO) dengan populasi terbesar (21%) untuk Jawa Tengah di kawasan Perhutani (hutan jati). Hijauan pakan di kawasan hutan jati didominasi rumput alam dengan produksi dan kualitas rendah. Tujuan penelitian ini mengintroduksikan tanaman pakan ternak unggul di kawasan hutan jati untuk meningkatkan ketersediaan hijauan pakan sepanjang tahun. Penelitian dilakukan tahun 2011-2012 dengan mengintroduksi tiga jenis rumput yaitu Panicum maximum cv Purpleguinea, Pennisetum purpureum cv Taiwan, dan Pennisetum purpureum lokal. Rumput ditanam dengan sistem lorong di antara tegakan jati umur 1-6 tahun yang dikelola petani dan diamati produksi, kualitas, serta daya dukung hijauannya. Tanaman diberi pupuk kandang 30 per ha per tahun dengan jarak tanam 100x50 cm. Rancangan percobaan acak kelompok dan tanaman pakan sebagai perlakuan yang diulang 5 kali (petani koperator). Parameter yang diamati pertumbuhan, jumlah tunas, produksi berat segar, kering hijauan dengan interval panen 60 hari. Hijauan secara komposit pada akhir percobaan dianalisa di laboratorium, berupa analisa kualitas hijauan protein kasar, serat kasar, P, Ca, Zn dan abu. Hasil penelitian menunjukkan jenis rumput dengan performan tertinggi yaitu P.maximum cv Purpleguinea, diikuti P. purpureum cv Taiwan, dan rumput gajah lokal. Produktivitas hijauan pada musim hujan ke musim kering terjadi penurunan produksi tertinggi P. Purpureum cv Taiwan, diikuti Rumput gajah lokal dan P.maximum cv Riversdale. Terjadi penurunan pertumbuhan untuk rumput Taiwan dari 170 cm ke 60,1 cm, rumput gajah lokal dari 109,2 cm ke 82,1 cm, P.maximum cv Purpleguinea 101,0 cm ke 63 cm dari musim hujan ke musim kering. Nilai nutrisi hijauan memiliki kandungan serat kasar untuk rumput 31,34-38,87 %, P 1,26-1,59 %, Ca 1,22-142 %, Zn 6,19-12,66 ppm. Berdasarkan rataan produksi, rumput P.maximum cv Purpleguinea mampu mendukung 2,7 satuan ternak, rumput gajah taiwan 2,4 satuan ternak, dan rumput gajah lokal 1,5 satuan ternak. Kata kunci: Tanaman pakan, hutan jati, kualitas produktivitas

Page 41: Agroforestry Di Katingan

41

A24 Perbandingan Sistem Agroforestry, Monokultur Intensif

dan Monokultur Konvensional dalam Pembangunan Hutan Tanaman Sengon Wahyudi

Fakultas Pertanian, Jurusan Kehutanan, Universitas Palangka Raya

ABSTRACT Large of forest degradation areas in Indonesia is more than 21,9 million ha, meanwhile social condition in the surrounding forest region still poor. Developing plantation forest with applying corporate social responsibility is the best choice. Aim of this research was to compare agroforestry system, intensive monoculture system, and konventional monoculture system in the developing plantation forest in the degraded land. This research was comprised three treatment, i.e. agroforestry system as treatment 1 (mix of Paraserianthes falcataria and Oriza sativa), intensive monoculture system as treatment 2, and conventional monoculture system as treatment 3, using plant of Paraserianthes falcataria respectively. Analysis of varians and least significantly differ using SPSS 16.0. Result of this research showed that mean annual increment (MAI) of sengon diameters at agroforestry system, intensive monoculture system, and konventional monoculture system were 3,45 cm/th; 3,21 cm/th, and 1,99 cm/th respectively. Agroforestry system and intensive monoculture system were better than konventional monoculture system. Agroforestry system is the best choice because beside can produce 2,98 ton/ha of paddy, this system was also as good as intensive monoculture system, creating the job, improving of social prosperity, changing of local community opinion become positive perception for forestry developme, protection of forest, forest fire prevention, lessen fast of forest degradation and environmental quality preservation on the forest region Keywords: Agroforestry, degraded forest, intensive and conventional monoculture

Page 42: Agroforestry Di Katingan

42

A25 Pola Agroforestri yang Mampu Meningkatkan Fungsi Ekologi

dan Agronomi Hutan Rakyat Nina Mindawati, A. Syaffari Kosasih dan Sofwan Bustomi1

Sitompul, SM. dan Setyono Yudo Tyasmoro2

1 Peneliti Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan 2 Dosen Fakultas Pertanian UNIBRAW

ABSTRACT

The choice of tree species to be developed for agroforestry is a very important thing to keep the balance between economy and environment aspects. In general the farmers plant various plant species but they do not consider the suitability among plant species such as light requirement and soil fertility. Therefore research on optimalitation of agroforestry pattern was carried out so that farmers income increased and environment sustainability was kept. Research on application of several agroforestry planting pattern was conducted at community forest of Sumber Urip village, Doko subdistrict, District of Blitar East Java for five years (2007-2011) with the aim of increasing the farmers income.The research used split plots design with planting pattern treatments : sengon (Falcataria moluccana) monoculture (A), sengon plantation+ coffee+ gliricidia+ Manihot esculenta+kacang tunggak (B), sengon plantation + coffee + cacao + gliricidia + corn + kacang tunggak (C) , sengon plantation + coffee + cacao + gliricidia + gingger + kacang tunggak (D) and sengon plantation + coffee + gliricidia + gingger + corn + kacang tunggak (E) with three replications. Deciding the best pattern was based on four studied aspects (growth of sengon, growth of agricultural plants, erosion and soil fertility). Research result showed that the pattern having the highest scoring value was B pattern followed by D. From those two patterns it can be concluded that sengon was good for agroforestry by mixed with coffee, gliricidia and kacang tunggak

Key words: Agroforestry, ekology, agronomy, community forest

Page 43: Agroforestry Di Katingan

43

A26 Jenis-Jenis Rumput Penutup Tanah di Kebun Raya Purwodadi

Solikin

UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi-LIPI

ABSTRAK Rumput adalah jenis tumbuhan strata bawah yang bermanfaat sebagai makanan ternak dan penutup tanah untuk mengurangi erosi pada permukaan tanah akibat adanya aliran permukaan. Penelitian yang bertujuan untuk menginventarisasi jenis-jenis rumput penutup tanah yang tumbuh di antara pepohonan yang tumbuh di Kebun Raya Purwodadi telah dilakukan pada bulan Februari 2012 dengan membuat plot garis pada lokasi terbuka, agak terbuka, dan agak ternaung yang dibuat secara sistematik sebanyak 50 segmen setiap lokasi, panjang setiap segmen 1 m dan jarak antar segmen 0,5 m. Hasil penelitian menemukan 6 jenis rumput penting yang menjadi penutup tanah di antara jenis pepohonan yaitu Axonopus compressus, Chrysopogon acyculatus, Oplismenus burmanni, Panicum brevifolium, Paspalum conjugatum dan Polytrias amaura. Jenis rumput yang dominan adalah Axonopus compressus, Chrysopogon aciculatus dan Polytrias amaura. Kata kunci: rumput, penutup tanah, manfaat

Page 44: Agroforestry Di Katingan

44

B1 Keragaman Jenis Pohon dan Potensi Karbon pada Sistem Agrosilvopastoral

di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan Mahrus Aryadi, Arfa Agustina, Eva Prihatiningtyas

Program Studi Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRAK Agroforestri berkembang di masyarakat sesuai kearifan lokal sehingga struktur dan komponen penyusunnya sangat beragam. Klasifikasi agroforestri dapat dilakukan berdasarkan berbagai aspek sesuai dengan perspektif dan kepentingannya. Salah satu aspek yang dipakai sebagai dasar klasifikasi agroforestri yaitu kompleksitasnya dibandingkan dengan budidaya monokultur baik di sektor kehutanan maupun pertanian. Pengklasifikasian ini akan membantu dalam analisis bentuk implementasi agroforestri yang dijumpai di lapangan untuk mengoptimalkan fungsi dan manfaatnya bagi masyarakat. Perubahan iklim global baru-baru ini disebabkan oleh terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfir. Upaya yang dilakukan antara lain adalah dengan meningkatkan penyerapan karbon dan menurunkan emisi karbon. Tujuan penelitian ini adalah melakukan evaluasi komponen penyusun dalam kebun campuran di Desa Sungai Alang; mengetahui kompleksitas bentuk agroforestri yang dilaksanakan, dan mengetahui cadangan karbon dari tegakan yang ada di lokasi penelitian. Metoda yang digunakan adalah dengan membagi lahan menjadi beberapa plot pengamatan; mencatat nama jenis, fungsi, umur semua komponen dalam plot; mengukur Luas Bidang Dasar dan Lebar tajuk pohon dalam plot. Penghitungan potensi karbon menggunakan metode non-destruktif, yaitu dengan persamaan alometrik yang telah ada. Hasil pengamatan diketahui bahwa terapat 10 jenis pohon sebagai komponen berkayu, 3 jenis sebagai komponen tanaman semusim dan 1 jenis ternak, yaitu kambing sebagai komponen ternak. Luas Bidang Dasar terbesar yaitu untuk pohon jenis karet, ditemui sebanyak 23 individu dari keseluruhan plot pengamatan. Berdasarkan komponen penyusunnya, bentuk agroforestri tersebut termasuk agrosilvopastura. Potensi penyerapan karbon adalah sebesar 12032,37 gr/cm3 dalam areal seluas 1.200 m2. Kata kunci: agroforestri, keragaman jenis, cadangan karbon

Page 45: Agroforestry Di Katingan

45

B2 Penaksiran Emisi Karbon di Casteel Timur, Kabupaten Asmat, Papua

Marthinus Kendom1, Kurniatun Hairiah2 dan Sudarto2

1Universitas Brawijaya, Program Pasca Sarjana, Fakultas Pertanian, Minat Pengelolaan Tanah dan Air; 2Universitas Brawijaya, Fakultas Pertanian, Malang

ABSTRAK

Cadangan karbon (C) di hutan alam jauh lebih besar bila dibandingkan dengan penggunaan lahan lain. Alih fungsi hutan dan pemanfaatan hasil hutan yang menghilangkan biomasa pohon akan meningkatkan jumlah karbon yang hilang dari system atau disebut pula emisi. Tujuan penelitian ini adalah mengestimasi emisi C menggunakan metoda RaCSA (Rapid Carbon Stock Appraisal) di DAS Casteel Timur, Kabupaten Asmat, Papua melalui penghitungan perubahan cadangan karbon per siklus tanam yang terjadi akibat perubahan tutupan lahan, pada tiga rentang waktu yang berbeda antara tahun 1997 – 2010. Pengukuran dilakukan pada 3 klas tutupan yaitu hutan primer rapat (HPR), hutan primer jarang (HPJ) dan semak belukar (SB). Ekstrapolasi cadangan C dari tingkat lahan ke tingkat DAS dilakukan dengan mengalikan data aktivitas (perubahan luasan penggunaan lahan, ha) dengan faktor emisi (Perubahan rata-rata cadangan C per siklus tanam, Mg ha-1). Berdasarkan analisis citra Lansat tahun 1997 DAS Casteel mempunyai luasan 54131 ha, dan berdasarkan hasil pengukuran cadangan C maka di daerah tersebut terdapat cadangan C sebesar 25 Mt (atau rata-rata 457 Mg ha-1). Proporsi cadangan C terbesar berada di HPR dan HPJ sebesar 99% dan hanya 1% di SB. Jumlah tersebut meningkat menjadi 26 Mt (5,2%) di tahun 2000, dan terus meningkat menjadi 26.9 Mt (8%) di tahun 2005. Namun demikian di tahun 2010, menurun menjadi 26.1 Mt (5.3%). Hasil perhitungan kehilangan C menunjukkan pada tiga tahun pertama (1997-2000) terjadi penurunan kehilangan C rata-rata 9 Mg CO2 ha-1th-1, lima tahun kemudian (2000-2005) terjadi peningkatan kehilangan rata-rata 158 Mg CO2 ha-1th-1 dan pada lima tahun terakhir (2005-2010) kembali terjadi kehilangan 5 Mg CO2 ha-1th-1 akibat bertambah/bekurang luasan per klas tutupan dalam DAS. Dari hasil integrasi data perubahan tutupan lahan, maka diketahui pada kurun waktu tahun 1997 – 2000 dan 2005 – 2010 terjadi emisi masing-masing sebesar 16 Mg CO2 ha-1th-1 dan 11 Mg CO2 ha-1th-1, tetapi pada kurun waktu 2000 – 2005 terjadi sekuestrasi sebesar 30 Mg CO2 ha-1th-1. Emisi di DAS Casteel terjadi akibat perubahan klas tutupan lahan HPR menjadi HPJ dan SB, serta HPJ menjadi SB. Kata kunci: karbon dioksida (CO2), emisi, sekuestrasi, faktor emisi

Page 46: Agroforestry Di Katingan

46

B3 Penerapan Model Agroforestry versus Social Forestry

Menghadapi Perubahan Iklim Global pada Pulau-Pulau Kecil di Maluku Agustinus Kastanya, Ronny Lopies, dan Iskhar Bone

Dosen Pascasarjana Manajemen hutan dan Jurusan Kehutanan Unpatti

Deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi sampai saat ini, telah memicu perubahan iklim global yang bardampak destruktif terhadap kehidupan masyarakat dan lingkungan alam, terutama pada kawasan pulau-pulau kecil di Maluku. Model Agroforestry tradisional di Maluku disebut “Dusung” yang telah berkembang sebagai bentuk adaptasi social ekonomi masyarakat terhadap lingkungan pulau-pulau kecil. Model “Social Forestry” oleh Kementerian Kehutanan adalah adopsi dari model Agroforestry sebagai suatu langkah maju dalam pengelolaan kawasan hutan berbasis masyarakat dan lingkungan. Tujuan penelitian adalah: 1) mencari keselarasan pengertian Agroforestry dan Social Forestry; 2) Analisis Kebijakan melalui Tata Ruang, Tataguna Hutan dan implementasinya; 3) perkembangan penerapan Agroforestry dan Social Forestry; 4) potensi Total Ekonomi Nilai Hutan (TENH); 5) dampak terhadap masyarakat dan lingkungan. Penelitian ini dilaksanakan di kawasan pulau-pulau kecil di Provinsi Maluku, metoda yang digunakan menggunakan Geo information system, menelusuri hasil penelitian dan kebijakan dan hasil-hasil Focus Group Discussion, dan Analisis financial dan ekonomi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa model agroforestry memiliki pengertian yang hampir bersamaan dengan Social Forestry, bahkan Agroforestry merupakan dasar dalam pengembangan Social forestry yang lebih difocuskan dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Model Social Forestry yang diterapkan pada kawasan hutan dan di Luar Kawasan Hutan mempunyai potensi TENH sangat tinggi. Pengembangan Social Forestry di Maluku belum berjalan dengan baik dan belum terpadu dengan tata ruang sehingga terus terjadi deforestasi dan degradasi hutan, masalah tenurial, dan kemiskinan bagi masyarakat di sekitar hutan dan masyarakat local, selain itu ada ancaman kenaikan air laut. Kebijakan yang perlu ditempuh adalah integrasi Tata ruang dengan tata guna hutan dan pengembangan model Sosial Forestry dan Agroforestry terkait dengan Skema REDD+ untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global. Kata kunci: Agroforestry, Social Forestry, Climate Changes, small Islands

Page 47: Agroforestry Di Katingan

47

B4 Pengelolaan Agroforestri untuk Keberlanjutan Lingkungan

pada Hutan Negeri Kilang di Kota Ambon Debby V Pattimahu

Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon

ABSTRAK Sektor kehutanan kini diperhadapkan dengan tantangan yang cukup berat terutama dengan meningkatnya permintaan akan barang dan jasa hutan, alih fungsi lahan hutan, kebutuhan akan air bersih dan terjadinya penyusutan lahan sebagai implikasi dari bertambahnya penduduk yang tidak diimbangi dengan ketersediaan lahan. Solusi yang dapat menyeimbangkan kehutanan dengan sektor lain secara berkelanjutan adalah melalui sistem agroforestri. Di Negeri Kilang masyarakat melakukan usaha perkebunan buah-buahan dan pertanian pada lahan hutan setempat dengan sistem agroforestri. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi indikator pengelolaan agroforestri berkelanjutan dan menganalisis nilai indeks keberlanjutan pengelolaan agroforestri pada hutan Negeri Kilang di Kota Ambon. Metode penilaian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rappid Appraisal for Agroforestry (RAP-Agroforestry) melalui beberapa tahapan, yaitu 1) tahap penentuan indikator agroforestri berkelanjutan untuk dimensi ekologi, ekonomi dan sosial, 2) tahap penilaian setiap indikator dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan untuk setiap faktor dan analisis ordinasi yang berbasis metode multidimensional scaling dan 3) tahap penyusunan indeks dan status keberlanjutan pengelolaan agroforestri. Untuk setiap indikator pada masing-masing dimensi diberikan skor yang mencerminkan kondisi keberlanjutan dari dimensi yang dikaji. Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk multidimensi sebesar 36,08 (kurang berkelanjutan); dimensi ekologi sebesar 79,95 (berkelanjutan); dimensi ekonomi 33,56 (kurang berkelanjutan) dan dimensi sosial sebesar 22,96 (tidak berkelanjutan). Agar nilai indeks pengelolaan agroforestri di masa yang akan datang dapat terus meningkat sampai mencapai status berkelanjutan, maka perbaikan terhadap indikator-indikator yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks dimensi ekonomi dan sosial. Perbaikan yang dimaksud adalah meningkatkan kapasitas indikator yang mempunyai dampak positif terhadap peningkatan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan agroforestri dan sebaliknya menekan sekecil mungkin indikator yang berpeluang menurunkan nilai indeks keberlanjutan. Kata kunci : nilai indeks keberlanjutan, RAP-Agroforestry

Page 48: Agroforestry Di Katingan

48

B5 Penaksiran Tingkat Emisi dan Sequestrasi Karbon di Jawa Timur

1Rika Ratna Sari, 2Kurniatun Hairiah, dan 3Suyanto 1PS. Pengelolaan Tanah dan Air, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya;

2Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya; 3World Agroforestry Centre

ABSTRAK

Mitigasi perubahan iklim dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya merupakan suatu upaya dalam menekan tingkat emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir, antara lain melalui penekanan laju deforestasi dan degradasi hutan dengan mengoptimalkan cadangan karbon di kawasan hutan dan non hutan. Luasan agroforestri/hutan rakyat di Jawa Timur semakin meningkat dari waktu ke waktu sehingga berpotensi dalam meningkatkan cadangan karbon daratan. Dinamika perubahan tutupan lahan merupakan data utama yang dibutuhkan dalam mengestimasi tingkat emisi/sequestrasi karbon sauatu kawasan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengestimasi tingkat emisi atau sequestrasi karbon di Jawa timur pada tiga periode waktu yang berbeda (Tahun 1994-2001, 2001-2006, dan 2006-2012). Tingkat emisi/sequestrasi karbon akibat perubahan penggunaan lahan (Mg CO2 th-1) dihitung dengan metode RaCSA (Rapid Carbon Stock Appraisal) dengan menggunakan program REDD ABACUS SP. Tingkat emisi dihitung dengan mengintegrasikan data aktivitas dari perubahan tutupan lahan (ha th-1) dengan faktor emisi dari perubahan rata-rata cadangan karbon (time-averaged C Stock) dari dua penggunaan lahan (Mg CO2 ha-1). Estimasi tingkat emisi/sequestrasi di Jawa Timur dilakukan berdasarkan pada analisis perubahan tutupan lahan dari tiga periode. Periode 1994-2001, tingkat emisi Jawa Timur memiliki sebesar 0,23 Mg CO2 ha-1 th-1, tetapi pada periode berikutnya (2001-2006) terjadi peningkatan menjadi 7,64 Mg CO2 ha-1 th-1. Hal ini disebabkan karena terjadi perubahan 10% lahan hutan, 25% perkebunan dan 21% agroforestri menjadi penggunaan lahan lain. Selanjutnya pada periode 2006-2012, terjadi peningkatan agroforestri/hutan rakyat sebesar 22% sehingga tingkat emisi menjadi negatif atau bahkan dapat menyerap (sequestrasi) sebesar 2,39 Mg CO2 ha-1 th-1. Hal tersebut disebabkan karena peningkatan luasan hutan rakyat dan agroforestry yang cukup besar di wilayah Jawa Timur. Tingkat emisi di Jawa Timur jauh lebih rendah dari pada rata-rata emisi nasional sekitar 2,14 Mg CO2 ha-1 th-1 yang dihitung dengan prosedur yang sama, namun data di tingkat nasional tersebut masih dihitung berdasarkan cadangan karbon biomasa pohon saja. Kata kunci: Tingkat emisi karbon, Jawa Timur, agroforestri/hutan rakyat

Page 49: Agroforestry Di Katingan

49

B6 Prediksi Erosi dan Limpasan Permukaan pada Pola-Pola Agroforestri

di Wuryantoro, Wonogiri Irfan B. Pramono dan Rahardyan Nugroho Adi

Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS

ABSTRAK Pertambahan penduduk di daerah dengan mata pencaharian pokok pertanian menyebabkan tekanan terhadap lahan. Lahan-lahan dengan kelerengan yang curam dijadikan sasaran untuk perluasan usaha pertanian sehingga akibatnya timbul masalah lingkungan seperti erosi, sedimentasi, dan pembentukan lahan kritis. Pola agroforestry merupakan alternatif yang paling sesuai untuk mengatasi permasalahan tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui erosi dan limpasan permukaan dari penerapan berbagai pola pengelolaan agroforestri di lahan miring berbahan induk kapur. Metode yang digunakan adalah USLE untuk prediksi erosi dan metode SCS CN untuk prediksi aliran permukaan. Lokasi kajian dilakukan di daerah Wuryantoro, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Pola agroforestri diterapkan pada plot ukuran 30 m x 20 m. Di dalam setiap perlakuan dikembangkan kombinasi antara tanaman tahunan dan tanaman semusim dengan jenis tanaman tahunannya adalah Jati, Mangga dan Mete. Kemudian jenis tanaman semusim yang dikembangkan berdasarkan musim tanam (MT) yang ada. Dari perlakuan yang diujicobakan dilakukan ulangan sebanyak 3 kali, begitu juga untuk plot kontrol. Kemudian pola penanaman tanaman tahunan dilakukan dengan menggunakan pola “untu walang”. Untuk plot kontrol polanya mengikuti pola yang dikembangkan oleh masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola agroforestri dapat mengurangi erosi sebesar 60 % (172 ton/ha/th menjadi sekitar 70 ton/ha/th). Kemudian plot agroforestri dengan pola A dapat menurunkan limpasan permukaan sebesar 53 % (dari 17,79 mm menjadi 9,48 mm). Kata Kunci: Agroforestry, Erosion, Surface Runoff, bahan induk kapur

Page 50: Agroforestry Di Katingan

50

B7 Revitalisasi Pekarangan sebagai Lanskap Agroforestri Skala Mikro

untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Kaswanto1 dan Tatag Muttaqin2

1Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) 2Jurusan Kehutanan, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

ABSTRAK

Desain lanskap agroforestri menuju masyarakat rendah karbon (low carbon society - LCS) adalah sebuah konsep dalam menjawab permasalahan manajemen lanskap dari berbagai disiplin ilmu. Dalam penelitian ini, pendekatan ekologi lanskap digunakan untuk menganalisis seluruh proses lanskap agroforestri pada skala mikro, yakni berupa pekarangan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini memiliki empat tujuan utama yaitu 1) mengukur indeks keragaman jenis, 2) menentukan karbon tersimpan pada skala mikro, 3) mengukur level kesejahteraan pada aspek ekonomi, dan 4) menghitung nutrisi yang dapat diperoleh melalui praktek agroforestri di dalam pekarangan. Indeks keragaman spesies ditunjukkan oleh 214 tanaman dan 11 ternak yang ditemukan pada 96 sampel pekarangan. Sebagian besar struktur pekarangan yang menjadi responden ditemukan menyerupai kondisi hutan, di mana keragaman vertikal dan horizontal sangat tinggi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pekarangan memiliki tingkat biodiversitas dan karbon tersimpan yang relatif tinggi walaupun pada pekarangan yang berukuran kecil (<400 m2). Total pendapatan tambahan hasil produksi pekarangan mencapai 12,9% dari total pendapatan seluruh anggota keluarga. Total pendapatan tahunan dari menjual produk ternak lebih tinggi dibandingkan dengan menjual produk tanaman. Kontribusi pekarangan terhadap pola konsumsi rumah tangga terlihat dari kontribusi keempat nurtisi yaitu kalori (2,1%), protein (2,5%), vitamin A (12,7%) dan vitamin C (23,1%) dari total komsumsi. Lanskap agroforestri skala mikro dalam bentuk pekarangan dapat berkontribusi secara nyata dalam konsep jasa lingkungan (environmental services) untuk melestarikan lingkungan dan pada saat yang bersamaan juga meningkatkan kesejahteraan rumah tangga. Oleh karena itu, pengelolaan pekarangan bagi masyarakat perdesaan perlu lebih diberdayakan. Masyarakat harus mempertimbangkan praktek agroforestri pekarangan yang sesuai daripada hanya mengandalkan budidaya lahan pertanian. Masyarakat juga bisa berharap banyak dengan merevitalisasi penggunaan spesies lokal secara beragam demi meningkatakn nilai ekologis, ekonomi dan sosial. Kata Kunci: ekologi lanskap, jasa lingkungan, karbon tersimpan, pendapatan tambahan, nutrisi tambahan

Page 51: Agroforestry Di Katingan

51

B8 Pola Agroforestri di Kawasan Karst Gunung Kidul

untuk Pengelolaan Telaga sebagai Sumber Air Berkelanjutan Pranatasari Dyah Susanti1 dan Adnan Ardhana2

1Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS 2Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

ABSTRAK

Kabupaten Gunungkidul adalah salah satu wilayah di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki wilayah dan topografi yang bergunung, memiliki kawasan karst dan sering mengalami kekeringan pada musim kemarau. Keberadaan telaga menjadi salah satu alternatif cadangan penyimpanan air yang dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber air untuk keperluan sehari-hari seperti, mandi, cuci, kakus, pertanian, perikanan, pariwisata dan bahkan ritual budaya yang terbalut dalam perilaku kearifan lokal masyarakat. Penelitian ini bertujuan mengetahui peran agroforestri yang berada di sekitar telaga Kabupaten Gunungkidul sebagai salah satu sistem pengelolaan telaga di kawasan karst tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey untuk mengetahui perbedaan pengelolaan kawasan telaga, baik telaga yang mampu bertahan pada musim kemarau, maupun telaga yang mengering pada musim kemarau. Hasil penelitian menunjukkan dari 280 telaga yang tersebar di Kabupaten Gunungkidul hanya 70 telaga atau sekitar 25% yang mampu bertahan pada musim kemarau. Salah satu sistem pengelolaan yang mampu menjaga ketersediaan air telaga adalah penerapan pola agroforestry dengan memanfaatkan tanaman-tanaman tertentu di sekitar telaga. Kombinasi tanaman tahunan yang sesuai untuk daerah sekitar telaga dengan tanaman semusim seperti palawija dapat membantu telaga untuk mempertahankan ketersediaan airnya meskipun saat musim kemarau. Pola ini lebih baik daripada telaga yang hanya ditanami tanaman semusim saja. Karena tanpa adanya tanaman yang mampu menahan dan menyimpan air, maka telaga akan menjadi lebih cepat mengering pada musim kemarau. Meskipun demikian, sistem agroforestri sebagai alternatif pengelolaan kawasan sekitar telaga ini, juga dipengaruhi oleh kondisi topografi, status lahan yang ada di sekitarnya, serta pengaruh kearifan lokal yang masih mengakar di masyarakat. Penerapan teknologi yang tepat dengan menggunakan pola agroforestri dalam pengelolaan lahan disekitar telaga ternyata menunjukkan kemampuan sebagai sumber air yang berkelanjutan. Penerapan dalam skala lebih luas diharapkan dapat digunakan sebagai solusi untuk mengatasi minimnya ketersediaan air bagi masyarakat di kawasan karst Gunungkidul. Kata kunci : agroforestri, telaga, kawasan karst

Page 52: Agroforestry Di Katingan

52

B9 Kerusakan Mangrove serta Pengaruhnya terhadap Tingkat Intrusi Laut

(Studi Kasus Di Desa Pantai Bahagia Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi)

Sodikin Program Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro

ABSTRAK

Kerusakan lingkungan pesisir semakin hari semakin memperihatinkan, hal ini terjadi seiring makin pesatnya pertumbuhan penduduk. Salah satu ekosistem pesisir yang keberadaannya saat ini mulai terdegradasi adalah ekosistem mangrove. Hutan mangrove di Kecamatan Muara Gembong terus mengalami berbagai tekanan hampir 93,5 % kawasan mangrove di daerah ini diokupasi masyarakat untuk tambak ikan, lahan pertanian, pemukiman dan beberapa fasilitas sosial lain. Salah satu desa di Kecamatan Muara Gembong adalah Desa Pantai Bahagia, di kawasan ini hutan mangrove pada kondisi yang kritis, baik disebabkan oleh abrasi pantai maupun adanya konversi lahan mangrove oleh masyarakat untuk keperluan perluasan tambak, lahan pemukiman dan sebagainya. Semenjak era tahun 1990 an sampai saat ini seiring dengan makin meningkatnya konversi lahan mangrove masyarakat merasakan bahwa air sumur mereka sudah terasa payau bahkan sudah terasa asin, hal ini mengakibatkan masyarakat sekitar sulit untuk mendapatkan air tanah tawar untuk keperluan sehari-harinya. Penelitian yang dilaksanankan di Desa Pantai Bahagia ini meruapakan penelitian yang dilakukan untuk mengetahui kerusakan mangrove terhadap tingkat intrusi air laut. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi lapangan, pengambilan sampel lahan mangrove, dan pengambilan sampel sumur warga. Hasil penelitian menunjukan di Desa Pantai Bahagia terdapat enam jenis mangrove yaitu Avicennia Marinna, Avicennia Officinalis, Nypa fruticans, Rhizhopora apiculata , Rhizhopora mucronata, Soneratia alba. Kondisi mangrove di Desa Pantai Bahagia rentang tahun 2000 sampai 2012 secara keseluruhan kondisinya mengalami penurunan sebesar 55,57%. Dari hasil uji sampel air dari sumur warga yang ada di sekitar lahan mangrove, tingkat intrusi air laut meningkat seiring dengan makin besarnya prosentase tingkat kerusakan mangrove. Apabila diklasifikan tingkat intrusi air laut masuk pada kategori sedang dan agak tinggi. Berdasarkan jenis vegetasi yang mendominasi daerah yang memiliki tingkat intrusi yang rendah dengan nilai HP 1,65 adalah pada jenis Rhizhopora mucronata. Kata Kunci : Kerusakan Mangrove, Pengaruh, Intrusi Air Laut

Page 53: Agroforestry Di Katingan

53

B10 Jasa Lingkungan Keanekaragaman Hayati Pohon pada Agroforest Karet

Subekti Rahayu dan Harti Ningsih

ABSTRAK Agroforest karet atau hutan karet di Jambi merupakan sistem budidaya karet rakyat dengan intensitas pengelolaan rendah sehingga memberikan kesempatan terhadap berbagai spesies pohon hutan untuk tumbuh dan berkembang yang dapat berperan sebagai penyedian jasa lingkungan. Artikel ini merupakan analisa dan sintesa dari beberapa survei pengukuran cadangan karbon dan keanekaragaman hayati spesies pohon serta diskusi kelompok tentang pemanfaatan keanekaragaman hayati pohon bagi masyarakat di Kabupaten Bungo, Jambi. Survei dilakukan di Desa Lubuk Beringin dan Tebing Tinggi, Kabupaten Bungo pada agroforest karet berumur antara 13 sampai dengan 60 tahun dan hutan primer serta belukar sebagai pembanding. Agroforest karet yang dikelola secara tidak intensif memiliki keanekaragaman spesies pohon hampir sama dengan belukar tua berumur 25 tahun. Bahkan, memiliki keanekaragaman spesies anakan pohon lebih tinggi dibandingkan dengan hutan tidak terganggu dan belukar. Similaritas spesies antara anakan pohon antara hutan tidak terganggu dengan agroforest karet yang dikelola secara tidak intensif mencapai skala 0,9 dari nilai maksimum 1,0 dan menurun menjadi 0,8 pada pohon berdiameter 5 – 30 cm dan 0,75 pada pohon berdiameter > 30 cm. Cadangan karbon pada agroforest yang dikelola secara tidak intensif mencapai 60% dari hutan tidak terganggu dan lebih tinggi 10% dari belukar tua berumur 25 tahun. Diskusi kelompok mengenai jasa lingkungan lain yang disediakan oleh keanekaragaman hayati pohon pada ekosistem agroforest karet menujukkan adanya semua komponen jasa lingkungan antara lain sebagai: (1) penyedia kebutuhan dasar manusia (sumber bahan makanan, obat, obatab, bahan bangunan, peralatan rumah tangga, kayu bakar); (2) penyedia jasa pengatur (pengatur tata air dan penyerap karbon); (3) penyedia jasa pendukung (mencegar terjadinya erosi) dan penyedia jasa keindahan. Pada skala 100 untuk hutan tidak terganggu, agroforest karet yang dikelola secara tidak intensif menyediakan jasa lingkungan dari keanekaragaman hayati pohon sebanyak 90. Sementara, belukat tua hanya dapat menyediakan sebaganyak 74. Kata kunci: agroforest karet, Jambi, jasa lingkungan, keanekaragaman hayati pohon

Page 54: Agroforestry Di Katingan

54

B11 Agroforest Kopi dan Pengaruhnya terhadap Layanan Ekosistem

di Daerah Resapan Mata Air Krisik (Ngantang, Kabupaten Malang) Titut Yulistyarini

UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi-LIPI

ABSTRAK Mata air Krisik merupakan salah satu mata air di Kecamatan Ngantang yang keluar di kaki bukit di Desa Jombok dengan debit maksimum 0,9 l.detik-1 dan debit minimum 0,3 l.detik-1. Mata air Krisik dimanfaatkan untuk mandi, mencuci, dan memasak oleh penduduk di sekitarnya. Berdasar analisis geolistrik, mata air Krisik memiliki akuifer dangkal, daerah resapannya diperkirakan terletak di bukit yang berada di sekitar mata air. Terdapat keragaman vegetasi di daerah resapan ini, yang disebabkan Sistem Penggunaan Lahan (SPL) yang berbeda. Agroforest kopi multistrata mendominansi daerah resapan mata air Krisik sebesar 68,83%, diikuti Hutan Pinus (23,77%) dan SPL Hortikultura/ sawah dan Kebun campuran sekitar 3%. Layanan ekosistem terdiri dari empat kategori yaitu layanan manfaat, layanan regulasi, layanan dukungan dan layanan budaya. Keempat tipe layanan tersebut didukung dan bergantung kepada keanekaragaman hayati. Semakin tinggi keanekaragaman hayati maka semakin besar layanan ekosistem yang tersedia. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peran agroforest kopi terhadap layanan ekosistem di daerah resapan mata air Krisik dibandingkan dengan tiga SPL lainnya. Metode yang digunakan adalah analisis vegetasi untuk menentukan Indeks Diversitas, struktur vegetasi dan persentase penutupan lahan. Kemudian dilakukan analisis biofisik tanah dan kecepatan infiltrasi tanah keempat SPL. Data yang diperoleh dianalisis statistik dengan Anova. Selain itu dilakukan estimasi C-stock masing-masing SPL di daerah resapan mata air dengan mengacu pada metoda RaCSA yang dikembangkan oleh ICRAF. Hasil penelitian menunjukkan Indeks diversitas Shannon-Wiener(H’) pohon, belta dan tumbuhan bawah pada SPL Kopi multistrata lebih tinggi dari H’ pada SPL Kebun campuran dan Pinus. Kopi multistrata memiliki penutupan kanopi tertinggi sebesar 70%, sedangkan C stock yang dihasilkan SPL Kopi multistrata sebesar 70 Mg.ha-1. Kandungan C-organik tanah agroforest kopi multistrata tidak berbeda nyata dengan SPL lainnya (P>0,05), antara 0,58-1,04%. Karakteristik fisik tanah (BI, porositas, KHJ) SPL agroforest kopi tidak menunjukkan perbedaan nyata. KHJ tanah dan kecepatan infiltrasi keempat SPL tergolong sangat cepat yang akan mendukung peresapan air ke dalam tanah dan berpengaruh terhadap recharge air pada akuifer mata air Krisik. Kata kunci: agroforest kopi, layanan ekosistem, mata air, daerah resapan

Page 55: Agroforestry Di Katingan

55

B12 Evaluasi Kesesuaian Beberapa Jenis Tanaman Penyusun Hutan Rakyat

Agroforestry di Desa Tenggerraharja, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat

Wuri Handayani dan Aris Sudomo Balai Penelitian Teknologi Agroforestry

ABSTRAK

Evaluasi kesesuian lahan terhadap jenis-jenis tanaman yang telah dikembangkan di suatu wilayah diperlukan untuk menentukan jenis yang perlu dipertahankan atau mengganti dengan jenis alternatif baru yang lebih baru. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi jenis tanaman agroforestry yang sesuai dengan kondisi biofisik di lahan hutan rakyat Desa Tenggerraharja, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Metodologi penelitian dilakukan dengan observasi lapangan dan pencarian data-data sekunder berupa laporan dan literatur pendukung. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk mensikronkan kondisi biofisik dengan persyaratan tumbuh beberapa jenis tanaman agroforestry dalam bentuk tabulasi. Evaluasi kesesuaian jenis berdasarkan parameter jenis tanah, solum tanah, curah hujan, ph Tanah, ketinggian tempat dan kelerengan. Berdasarkan hasil observasi di lokasi penelitian jenis-jenis pohon yang tumbuh adalah jabon, sengon, mahoni, khaya anthoteca, manglid, sedangkan untuk jenis tanaman bawah adalah lada, cabe, ganyong, suweg/iles-iles, jagung, jahe, kapulaga, tomat dan kunyit. Dalam rangka pengembangan agroforestry perlu dicari kombinasi jenis tanaman yang dapat berinteraksi positif dengan memperhatikan karakteristik akar, tingkat naungan dan jenis leguminosorum. Berdasarkan analisis kesesuaian lahan ditemukan adanya 3 tingkat kesesuaian yaitu 1) sesuai tanpa faktor pembatas yaitu jenis pohon manglid, sengon, mahoni, jati.Jenis tanaman bawah yang sesuai adalah kapulaga, kacang tanah, talas, iles-iles dan lada, 2) sesuai dengan faktor pembatas yang dapat diubah (diberi perlakuan) yaitu jagung dan 3) sesuai marjinal karena adanya sedikit faktor pembatas yang sulit diubah, yaitu ubi jalar, gembili, garut. Pemilihan jenis alternatif baru diperlukan dengan lebih memperhatikan kesesuaian lahan dan melakukan uji spesies untuk lebih memberikan rekomendasi akurat untuk pengembangan hutan rakyat. Kata kunci : Kesesuaian lahan, jenis tanaman, dan agroforestry

Page 56: Agroforestry Di Katingan

56

B13 Analisis Manfaat Integrasi Sekolah Lapangan dalam Program PHBM Plus

untuk Penguatan Masyarakat Desa Hutan dalam Pengembangan Agroforestri Berwawasan Lingkungan di Wilayah Perhutani

Didik Suprayogo, Widianto, Syahrul Kurniawan, Iva Dewi Lestariningsih, Prasodjo Hari Nugroho, Datin Waluyani

1) Dosen Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, 2) Peneliti Puslitbang Perhutani Cepu

Abstrak Program PHBM Plus diterapkan melalui penguatan kelompok masyarakat desa hutan di tingkat desa dalam membangun hutan menuju kor bisnis Perhutani secara partisipatif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi manfaat integrasi Sekolah Lapangan untuk penguatan masyarakat desa hutan terhadap kinerja pelaksanaan PHBMPlus. Kinerja yang dievaluasi meliputi 3 aspek yaitu aspek ekologi/ lingkungan, aspek peningkatan ekonomi dan aspek sosial masyarakat.. Untuk mencapai tujuan tersebut maka dilakukan survey lapangan dan wawancara mendalam (indepth interview) dengan skenario (1) masyarakat desa hutan yang belum mendapatkan pelatihan dan pendampingan sekolah lapangan, (2) masyarakat desa hutan yang wakilnya mendapatkan pelatihan satu tahun sebelumnya sebagai fasilitator lokal untuk penerapan sekolah lapangan, (3) masyarakat desa hutan yang wakilnya mendapatkan pelatihan sebagai fasilitator lokal dan pendampingan sekolah lapangan oleh Perhutani dan dukungan fasilitator external (Environmental Service Program). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi yang positif antara pendapat kondisi tanaman hutan dengan (1) pentingnya perencanaan pengelolaan hutan sesuai karakteristik kawasan setempat, (2) ketersediaan teknologi terpilih oleh masyarakat untuk pengelolaan hutan sesuai karakteristik kawasan setempat, (3) pentingnya ketepatan pengetrapan teknologi terpilih untuk pengelolaan hutan sesuai karakteristik kawasan setempat, (4) terselenggarakannya dialog para pihak dalam pembangunan hutan, (5) kelancaran komunikasi, dan koordinasi para pihak, (6) keefektifan fungsi kelembagaan, (7) pimpinan kelembagaan yang demokratis dan partisipatif, (8) pentingnya komunikasi dialogis yang terdokumenfasilitator lokal yang handal dalam pembangunan hutan melalui PHBM Plus mampu memdorong perubahan peningkatan ekonomi, kondisi sosial masyarakat dan kinerja LKDPH/LMDH, walaupun secara keseluruhan masih pada tingkat mendapatkan kepuasan yang cukup baik oleh masyarakat desa hutan. Pelatihan Sekolah lapangan tanpa ditindak lan, (9) kejelasan batas-batas kewenangan, (10) kejelasan peran unit organisasi, (11) ketepatan penempatan sumberdaya manusia, (12) berjalannya organisasi yang demokratis, (13) teknik pengelolaan hutan mempraktekkan fungsi hidrologis dan biodiversitas, (14) teknik pengelolaan hutan dengan mempraktekkan efisiensi dan produktivitas yang maksimum. Kata Kunci: PHBM, pemberdayaan masyarakat, sekolah lapangan, agroforestri

Page 57: Agroforestry Di Katingan

57

B14

Pembangunan Landscape Kalimantan Barat yang Berkelanjutan Karuniawan Puji Wicaksono 1,3) Nobukazu Nakagoshi 2)

1) Faculty of Agriculture University of Brawijaya 2) International Development and Cooperation (IDEC) University of Hiroshima, 3)

South-South Cooperation Studies University of Brawijaya

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan studi terhadap Tradisional Landscape di Kalimantan Barat, pola perladangan berpindah serta perbandingan tingkat ketergantungan beberapa ethnic group di Kalimantan Barat terhadap hutan. Dari analisis foto udara Propinsi Kalimantan Barat selama 10 tahun mulai 1996 sampai 2006, ditemukan bahwa: Hutan hujan primer berkurang dari 36% menjadi 15,9% dan peningkatan lahan pertanian dari 44,8% menjadi 45,1%. Berdasarkan tata guna lahan, secara Tradisional Kalimantan Barat landscape adalah kombinasi antara hutan primer, ladang berpindah, kebun karet, kebun buah dan pekarangan. Sedangkan management lahan yang dilakukan pendapatan terutama adalah lahan sawah permanen, sawah lahan kering dan tanaman pangan. Semakin sempitnya area hutan primer memaksa memperpendek siklus peladangasn berpindah sehingga berakibat pada turunnya produktivitas lahan dan peralihan kepada lahan permanen dengan produksi yang rendah. Hal ini menyebabkan semakin tingginya ancaman terhadap hutan primer untuk kebutuhan lahan yang lebih luas baik oleh masyarakat lokal dan pendatang. Dapat disimpulkan bahwa Pengelolaan Landscape Tradisional Masyarakat Kalimantan Barat sangat tergantung kepada elemen hutan, akan tetapi pada kondisi sekarang sangat terkendala akibat pengelolaan lanscape modern yang tidak berwawasan lingkungan.

Page 58: Agroforestry Di Katingan

58

C1 Media dan Metode Komunikasi dalam Penyuluhan Agroforestri:

Studi Kasus di Sulawesi Selatan (Kabupaten Bantaeng dan Bulukumba) dan Sulawesi Tenggara (Kabupaten Konawe dan Kolaka)

Enggar Paramita, Endri Martini, James M. Roshetko, dan Robert F. Finlayson World Agroforestry Centre (ICRAF)

ABSTRAK

Penyebaran informasi yang dilakukan melalui penyuluhan ataupun metode komunikasi lainnya dapat membantu petani untuk memperbaiki sistem pengelolaan kebun agroforest-nya sehingga dapat mendukung penghidupan dan lingkungan yang lebih baik. Penyebaran informasi pertanian terutama agroforestri kepada petani saat ini masih mengandalkan metode tatap muka dan praktek di lapangan oleh penyuluh yang hanya dapat dinikmati oleh segelintir masyarakat karena keterbatasan jumlah penyuluh. Penelitian ini bertujuan mengetahui metode dan media komunikasi untuk menyebarkan informasi pertanian yang disukai masyarakat. Penelitian dilakukan melalui wawancara dengan petani yang dipilih secara acak dari dua belas desa yang tersebar di Kabupaten Bantaeng dan Bulukumba (Sulawesi Selatan), serta Konawe dan Kolaka (Sulawesi Tenggara), dengan melibatkan 146 petani yang terdiri dari 86 petani lelaki dan 60 petani perempuan. Wawancara menggunakan kuesioner terstruktur, yang dilengkapi data sekunder dari studi literatur. Analisis data menunjukkan televisi dan handphone sebagai media komunikasi paling efektif di provinsi Sulawesi Selatan yang didukung infrastruktur berupa ketersediaan listrik dan sinyal handphone. Di Provinsi Sulawesi Tenggara, radio dan handphone yang dianggap paling efektif. Secara umum di kedua provinsi, metode komunikasi yang paling disukai adalah praktek, diikuti tatap muka, audiovisual, melihat, mendengar, dan membaca. Media penyuluhan yang paling banyak diterima oleh petani di kedua provinsi berbentuk buku, leaflet, DVD/VCD, poster, dan poster kalender. Penyuluhan dan praktek langsung dianggap sebagai cara paling efektif untuk menyebarkan informasi pertanian dan agroforestri yang dapat diberikan melalui media seperti video, poster, buku, televisi, dan radio. Televisi dan radio sebagai media massa yang paling disukai, sangat disarankan penggunaannya untuk menjangkau lebih banyak orang. Saat ini tidak banyak acara televisi yang berfokus pada topik pertanian dan agroforestri, sedangkan program khusus pemberdayaan masyarakat di radio juga terbatas sehingga diperlukan peran serta pemerintah untuk lebih memanfaatkan media komunikasi dan media massa sebagai cara penyebaran informasi pertanian dan agroforestri yang efektif. Kata kunci: petani, penyebaran informasi, praktek, televisi, radio

Page 59: Agroforestry Di Katingan

59

C2 Analisis Kelembagaan dalam Pengelolaan Dusung Agroforestry

di Hutan Lindung Gunung Nona (HLGN) Ambon (Studi Kasus di Negeri Urimesing Kota Ambon)

Messalina L. Salampessy dan Iskar Bone Staf Pengajar Fakultas Pertanian Jurusan Kehutanan Unpatti Ambo

ABSTRAK

Pengelolaan kawasan Hutan Lindung sering dihadapkan pada dilema antara kepentingan pelestarian keanekaragaman hayati dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat terhadap kawasan tersebut. Efektifitas pengelolaan kawasan akan terganggu karena interaksi yang kurang mendukung antar masyarakat pengelola dusung agroforestry dan pengelolaan Hutan Lindung Gunung Nona (HLGN). Keberadaan dusung agroforestry di dalam kawasan HLGN menggambarkan bahwa secara de facto masyarakat memiliki hak dan secara de jure adalah kewenangan pemerintah, sehingga dibutuhkan peran dan kerjasama antar masyarakat dan pemerintah dalam pengelolaan kawasan ini. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi berbagai faktor yang mempengaruhi aktivitas pengelolaan dusung agroforestry di dalam kawasan HLGN. Penelitian menggunakan pendekatan studi kasus. Data dikumpulkan melalui observasi lapang, wawancara mendalam, dan pengamatan langsung. Responden diambil melalui metode purposive sampling, dimana setiap dusun dalam negeri diwakili oleh kelompok marga. Analisa data menggunakan konsep analisis Variabel Pengaruh untuk Aksi Bersama yang dikembangkan oleh Insa Theesfeld (2004). Hasil penelitian menunjukkan ada 4 faktor yang mempengaruhi aktivitas pengelolaan dusung yaitu 1) Implementasi kebijakan di kawasan HLGN perlu interpendensi antara pengelolaan hutan lindung dan pengelolaan lahan dusung oleh masyarakat; 2) Pemahaman karakteristik sumberdaya dari kawasan ditekankan pada fungsi daerah tangkapan air yang sejalan dengan pemahaman karakteristik dusung yang dikelola turun temurun oleh masyarakat yang juga menekankan pada fungsi ekologi dari dusung; 3) Pengaturan efektivitas kelembagaan dalam pengelolaan kawasan HLGN belum diatur secara formal mengenai keberadaan dusung sehingga perlu kesepahaman dalam mekanisme pemanfaatan dan penggunaan sesuai dengan hak-hak yang dimiliki; 4) Pemahaman karakteristik kelompok aktor akan memberikan pemahaman karakteristik berbagai kelompok/individu yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya serta dapat mengidentifikasi peran yang tepat bagi individu/organisasi yang terlibat. Kata Kunci: Hutan Lindung, Dusung, kelembagaan

Page 60: Agroforestry Di Katingan

60

C3 Pemberdayaan Masyarakat untuk Meningkatkan Produktivitas Ternak

dan Menjaga Kelestarian Hutan Jati Sri Nastiti Jarmani

Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor

ABSTRAK Luas kawasan hutan jati di Kabupaten Blora mencapai 49,7% dan menghasilkan kayu “jati glondong” (kayu bulat) berkualitas dunia. Selain itu Kabupaten Blora juga merupakan sumber ternak sapi Peranakan Onggol (PO) dimana populasinya terbanyak di Propinsi Jawa Tengah (21%) serta merupakan sumber bibit karena 80,47% populasinya adalah sapi betina sedangkan total sapi betina di Jawa Tengah hanya 53.3%. Sapi PO merupakan plasma nutfah dan sudah adaptif dengan kondisi agroekosistem disini sehingga perlu dijaga keberadaannya, dipelihara secara tradisional oleh masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan jati. Pemberdayaan “pesanggem” yang tergabung dalam Kelompok Lembaga Masyarakat Desa Hutan “Rimba Lestari” Desa Doplang wilayah KPH Randublatung telah dilakukan melalui pendampingan aplikasi inovasi teknologi pengandangan sapi berkelompok di luar rumah, pengkayaan nilai nutrisi jerami, pembuatan pupuk organik, biogas dan memisahkan anak ayam (doc) dari induknya segera setelah ditetaskan dengan metoda “belajar sambil melaksanakan” (“learning by doing”). Hasil fermentasi jerami menggunakan probiotik “probion” dapat meningkatkan protein dari 3- 6,65 menjadi 7-10,31%. Uji biologis pada sapi yag diberi pakan jerami padi fermentasi menunjukkan pertambahan bobot badan lebih tinggi dan penampilan tubuh lebih sehat, kulit cerah dan mengkilat dibandingkan sapi yang diberi pakan jerami padi tanpa difermentasi. Kandungan C/N kompos hasil fermentasi dari kotoran kandang adalah 16, sudah memenuhi standar pupuk organik menurut Peraturan Menteri Pertanian tahun 2006. Penggunaan biogas dari kotoran kandang selain dapat menghemat pengeluaran pembelian kayu bakar sebesar Rp 20.000 - Rp 30.000 per bulan juga mengurangi frekuensi masyarakat merambah hutan mencari kayu bakar, rumah lebih bersih, sehat, terbebas dari polusi bau kotoran sapi dan asap kayu bakar. Selain itu pemisahan doc dari induk segera setelah menetas dapat mempercepat induk bertelur kembali dalam 17 – 19 hari sehingga produktivitas meningkat. Pemberdayaan masyarakat ini dapat meningkatkan produktivitas ternak dan menjaga kelestarian hutan jati sehingga perlu dikembangkan lebih lanjut. Kata kunci: Pemberdayan masyarakat, kelestarian hutan jati, produktivitas ternak

Page 61: Agroforestry Di Katingan

61

C4 Persepsi Petani terhadap Adopsi Teknologi

dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Agroforestri (Kasus di Desa Bojong, Kecamatan Nagreg, Kabupaten Bandung)

Devy Priambodo Kuswantoro dan Idin Saefudin Ruhimat Balai Penelitian Teknologi Agroforestri

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi petani hutan rakyat dalam hal adopsi teknologi dalam pengelolaan hutan rakyat sistem agroforestri. Penelitian dilaksanakan di wilayah Desa Bojong di Kecamatan Nagreg, Kabupaten Bandung. Pengambilan data primer dilakukan dengan cara diskusi kelompok terfokus bersama pengurus kelompok tani dan perwakilan anggota kelompok tani. Diskusi juga melibatkan aparat desa dan penyuluh kehutanan lapangan. Data hasil diskusi dan data sekunder dilakukan analisis secara deskriptif. Responden petani di Desa Bojong sebagian besar mengusahakan kebun/hutan rakyatnya dengan menanam tanaman Gmelina sebagai tanaman kayu unggulan karena tanaman ini ternyata cocok dikembangkan dan tidak mengalami serangan hama dan penyakit seperti halnya tanaman Sengon. Petani selain mengusahakan jagung, juga menanam tembakau, cabe, dan tomat, serta umbi-umbian seperti ketela pohon. Diskusi menyepakati bahwa peran iptek, penyebaran dan adopsinya menjadi salah satu kunci penting dalam suksesnya usaha pertanian. Disepakati bahwa peran penyuluh menjadi begitu penting dalam hal ini. Kegiatan penyuluhan dan praktik-praktik lapangan yang selama ini dilaksanakan mampu memberikan tambahan pengetahuan bagi petani. Hanya saja diakui oleh para peserta diskusi bahwa tidak semua hasil iptek tersebut diterapkan di lapangan mengingat keterbatasan modal dan terkadang para petani lebih menggunakan pengetahuan yang sudah turun temurun didapat dari para leluhur. Kendala dalam adopsi teknologi oleh petani beragam. Kendala dari diri sendiri yang utama adalah modal. Kendala dari luar adalah kontinuitas dan pendampingan dari penyuluh yang merupakan ujung tombak diseminasi dan adopsi iptek ternyata kurang memadai. Pendampingan dalam melaksanakan kegiatan seringkali tidak berjalan dengan baik sehingga petani berhenti di tengah jalan. Petani juga memaklumi bahwa kegiatan penyuluhan dan sosialisasi terkadang juga merupakan kegiatan keproyekan yang tidak dapat diprediksi tata waktunya dan realisasinya. Petani lebih melihat adanya tambahan ilmu yang dapat diterapkan di kemudian hari. Kata kunci: hutan rakyat, agroforestri, adopsi iptek, penyuluh

Page 62: Agroforestry Di Katingan

62

C5 Penguatan Kapasitas Masyarakat dalam Pengembangan Agroforestri

Tradisional di Negeri Hative Besar, Kota Ambon Jan W. Hatulesila dan Gun Mardiatmoko

Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Pattimura

ABSTRAK Bentuk penggunaan lahan sistem dusung dengan ciri agroforestri tradisional di daerah Maluku merupakan ikon tersendiri karena pola bercocok tanam, jenis tanaman buah-buahan dan tanaman kehutanan menjadi peluang kontribusi terhadap pendapatan bagi penduduk di wilayah pedesaan kota Ambon. Penelitian tindakan ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada petani dusung di Negeri Hative Besar untuk dapat menyusun suatu grand design sistem agroforestri tradisional penghasil buah-buahan yang produktif dan berkelanjutan. Selain itu juga dikembangkan peternakan unggas (ayam dan itik) skala rumah dimana limbah kotorannya dijadikan sebagai pupuk organik guna mendukung pertanian organik serta pemahaman masyarakat terhadap hak atas tanah dan sumber daya hutan di dusung tersebut. Metode Analysis Hierarchy Process, Focus Group Discussion dan Meta Plan dipakai untuk menjaring informasi dan membangun pemahaman dan keinginan peserta secara partisipatif untuk mendapatkan bentuk, pola dan desain pengelolaan agroforestri sistem dusung secara berkelanjutan. Hasil penelitian menunjukan bahwa: (1) Masyarakat negeri Hative Besar, pada umumnya memiliki pemahaman hak atas tanah atau hak-hak atas sumberdaya hutan yaitu hak untuk memiliki lahan dan sumberdaya hutan yang menjadi milik, (2) Masyarakat negeri Hative Besar, dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan maupun sumber daya alam lainnya, memiliki berbagai bentuk kearifan lokal yang mengatur tentang waktu pemanenan atau pemanfaatan sumber daya alam/hutan yang disebut dengan sasi. (3) bentuk-bentuk pelatihan dan ketrampilan dapat menjawab kebutuhan masyarakat setempat dalam kegiatan wanatani dan (4) masyarakat secara bertahap telah bisa menerima kegiatan yang harus dijalankan dalam perawatan kebunnya dan pengembangan ternak unggas. Saat ini telah tersusun grand design pembangunan agroforestri dan tengah ditawarkan ke Pemda Maluku dan juga ke lembaga donor seperti Global Environtment Facility-Small Grand Program (GEF-SGP) Indonesia. Kata kunci: agroforestri tradisional, pengelolaan tanaman buah-buahan, penguatan kapasitas

Page 63: Agroforestry Di Katingan

63

C6 Corporate Social Responsibility

sebagai Alternatif Pembiayaan Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat untuk Mendukung Sistem Agroforestri dan Ketahanan Pangan

Adnan Ardhana1 dan Pranatasari Dyah Susanti2

1Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru 2Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS

ABSTRAK

Program Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) belum mengalami kemajuan yang signifikan. Dari pencadangan areal pembangunan HTR seluas 657.117,73 ha yang tersebar pada 104 Kabupaten atau Kota di seluruh Indonesia, baru diterbitkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK-HTR) oleh para Bupati seluas 157.254,91 ha pada 37 Kabupaten. Padahal pembangunan HTR dapat dijadikan salah satu alternatif untuk penanganan kerawanan pangan dengan menerapkan sistem agroforestri. Dana Corporate Social Responsibility (CSR) dapat digunakan sebagai alternatif pembiayaan pembangunan HTR yang memerlukan biaya cukup besar. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang menggunakan bahan-bahan hukum berupa peraturan perundangan sehingga dapat diketahui peluang dan tantangan menerapkan CSR untuk pembangunan HTR yang dapat mendukung ketahanan pangan melalui sistem agroforestri. Hasil penelitian menunjukkan terdapat beberapa peraturan yang dapat dijadikan sebagai peluang dalam pelaksanaan CSR yaitu: UUD 1945 Pasal 33, UU No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal, UU no 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, dan Peraturan Menteri BUMN no 5 tahun 2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Dari beberapa perundang-undangan tersebut, badan usaha mupun bentuk usaha tetap yang berhubungan langsung dengan sumber daya alam maupun tidak langsung berhubungan dengan sumber daya alam memiliki tanggung jawab sosial terhadap masyarakat disekitarnya dalam lingkup lokal maupun internasional. Berdasarkan tanggung jawab sosial tersebut, maka HTR yang merupakan program pemerintah dalam upaya pemberian akses kepada masyarakat luas dan meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan sangat mungkin sekali mendapatkan dana CSR. Dengan adanya dana CSR sebagai pintu gerbang pembangunan HTR , maka upaya mewujudkan hutan sebagai salah satu sumber pangan untuk mendukung ketahanan pangan dapat tercapai. Kata kunci : HTR, agroforestri, peraturan perundang-undangan, CSR.

Page 64: Agroforestry Di Katingan

64

C7 Hubungan antara Migrasi Sirkuler dengan Perkembangan Agroforestri:

Studi Kasus Kecamatan Bulu Dan Weru, Kabupaten Sukoharjo C. Yudi Lastiantoro dan S. Andy Cahyono

Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

ABSTRACT This study aims to determine the relationship of circular migration with agroforestry development and direction of development.This study uses in-depth interviews to farmers in the two districts, the districts Bulu (Sanggang and Tiaran village) and district Weru (Alas Ombo village). Qualitative descriptive analysis conducted on circular migration with development of agroforestry and direction. The results showed that there is a relationship between circular migration and development of agroforestry. Availability of labor affect agroforestry patterns that developed in the study site. On migrant families, in the form of complex agroforestry. While in the non-migrant families and had sufficient labor availability, simple and regularly shaped agroforestry. Policy implications, the development of non-agricultural businesses and make migrants as agents of change for the development of their village. Keywords: complex agroforestry, simple agroforestry, circular migration

Page 65: Agroforestry Di Katingan

65

C8 Program PHBM di DAS Konto Malang:

Pembelajaran Keberhasilan dan Kegagalan Program Noviana Khususiyah

World Agroforestry Centre (ICRAF)

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menghitung pendapatan masyarakat dan peningkatan pendapatan dengan adanya program PHBM (2) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam mendukung pelaksanaan program PHBM, (3) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan (persepsi) masyarakat terhadap program PHBM. Pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan lapangan, wawancara dan studi pustaka. Desa yang diambil sebagai sampel adalah 2 desa di Kecamatan Pujon dan 2 desa di Kecamatan Ngantang. Responden penelitian ini terdiri dari 150 rumah tangga yang terdiri dari 120 rumah tangga petani anggota program PHBM dan 30 rumah tangga petani bukan anggota program PHBM. Metode analisis yang digunakan adalah: (1) analisis pendapatan, (2) analisis regresi linier berganda (3) analisis regresi logistik biner. Dari analisis pendapatan didapatkan bahwa sumber pendapatan yang memberikan kontribusi terbesar di Kecamatan Ngantang adalah buruh pertanian untuk Desa Ngantru dan usahatani di lahan sawah untuk Desa Sidodadi. Sementara di Kecamatan Pujon, untuk Desa Tawangsari kontribusi terbesar dari hasil ladang/tegalan yang diusahakan pada lahan milik sama dengan hasil dari lahan Perhutani dan Desa Pandesari, kontribusi pendapatan terbesar dari hasil sapi perah. Apabila dibandingkan antara petani anggota PHBM dengan petani non PHBM, maka pendapatan petani anggota PHBM lebih tinggi, baik di Kecamatan Ngantang maupun Pujon. Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda, didaptkan hasil bahwa variabel yang berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan program PHBM di DAS Konto adalah persepsi tentang Program PHBM, pendapatan rumah tangga dan cara memiliki/menguasai lahan perhutani. Selain faktor-faktor tersebut, tingkat kepercayaan masyarakat, adanya aturan kelompok dan intensitas penyuluhan juga berpengaruh terhadap keberhasilan program PHBM. Hasil analisis lanjutan dengan menggunakan regresi logistik biner didapatkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap pengetahuan tentang program PHBM adalah: responden pernah mengikuti penyuluhan, istri mengetahui tentang program PHBM, pendapatan rumah tangga dan rumah tangga tersebut memiliki pekerjaan sampingan. Kata Kunci: DAS Konto, Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), Pendapatan Masyarakat dan Persepsi Masyarakat.

Page 66: Agroforestry Di Katingan

66

C9 Gaya Hidup Masyarakat Agroforestry Herbal Dalam Rangka Meningkatkan

Kesejahteraan Masyarakat Di Kabupaten Kulon Progo Wahyu Tri Widayanti

Pusat Kajian Hutan Rakyat Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) sejarah pengembangan agroforestri herbal, 2) motivasi masyarakat dalam pengembangan agroforestri herbal, 3) peran agroforestri herbal dalam pendapatan keluarga petani, 4) gaya hidup masyarakat agroforestri herbal terkait dengan kesehatan masyarakat, 5) strategi pengembangan agroforestri herbal. Penelitian dilakukan metode studi kasus. Lokasi penelitian di Kabupaten Kulon Progo D.I. Yogyakarta, dipilih tiga desa dengan penetapan secara purposive. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara : observasi partisipatif, indepth interview dan studi dokumentasi. Hutan rakyat dikembangkan oleh masyarakat dengan menerapkan pengetahuan dan teknologi tradisional yang diwariskan secara turun menurun dari generasi ke generasi. Sebagian besar hutan rakyat dikembangkan dengan pola agroforestri herbal, dengan komposisi jenis adalah tanaman kehutanan (jati, sengon, mahoni,dll), tanaman perkebunan (kelapa, cengkeh, kakao,dll) dan herbal (kapulaga, jahe, temulawak, kunir, dll). Motivasi masyarakat dalam pengembangan pola agroforestri herbal adalah motivasi untuk memenuhi kebutuhan fisiologis dan motivasi untuk memiliki rasa amanPeran hutan rakyat pola agroforestri herbal terhadap pendapatan keluarga petani sebesar 43,49% (kayu (40,43%), perkebunan (51,97%) dan herbal (7,6%)). Meskipun pendapatan dari herbal kecil, petani tetap mengusahakan tanaman herbal karena cukup berarti untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dan waktu panen tanaman herbal biasanya pada musim kemarau dimana petani sedang tidak memperoleh pendapatan dari tanaman pangan dan perkebunan. Gaya hidup masyarakat dalam kesehatan memiliki keterkaitan dengan pengembangan agroforestri herbal, yaitu : pemilihan jenis herbal, pemilihan fasilitas pengobatan, upaya pencegahan terhadap timbulnya penyakit dan jenis obat yang dikonsumsi jika menderita sakit. Strategi untuk mendukung pengembangan agroforestri herbal melalui perluasan hutan rakyat pola agroforestri herbal di lahan kritis, peningkatan kapasitas petani, penguatan kelembagaan, pengembangan pasar dan industri, meningkatkan peran para pihak, dan sinergitas program-program antar instansi terkait.

Kata kunci : agroforestri herbal, motivasi, gaya hidup, strategi pengembangan,

Page 67: Agroforestry Di Katingan

67

C10 Motivasi Masyarakat Desa Jetis Kecamatan Saptosari Dalam Pengelolaan

Hutan Negara "Ab"(Afkiren Bosch) Di Kabupaten Gunung Kidul D.I Yogyakarta Wahyu Tri Widayanti dan Zuni Hernawan

Pusat Kajian Hutan Rakyat Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

ABSTRAK Peran masyarakat dalam pengelolaan hutan sangat berarti bagi keberadaan hutan Negara “AB” di Kabupaten Gunung Kidul DI Yogyakarta. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui : latar belakang pengelolaan hutan AB oleh masyarakat desa hutan, motivasi masyarakat dalam mengelola hutan AB, dan keterkaitan antara motivasi dengan strategi pengelolaan hutan AB. Metode penelitian yang digunakan adalah metode fenomenologi. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini diperoleh dengan cara observasi partisipatif, indepth interview, focus grup discussin dan studi dokumentasi. Hutan AB merupakan hutan negara yang tidak dikelola oleh pemerintah sejak zaman penjajahan Belanda, karena alasan efektivitas pengelolaan, kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Masyarakat desa hutan secara swadaya mengelola lahan di kawasan hutan “AB” dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan, pakan ternak, kayu perkakas, dan kayu bakar. Hutan AB dikelola oleh masyarakat dalam bentuk yang beragam, yaitu : 1) tegalan, murni tanaman pertanian, 2) tegalan, kombinasi tanaman pangan dan hijauan pakan ternak, 3) tegalan, kombinasi tanaman pangan dan tanaman kehutanan (agroforestri), dan 4) hutan murni, dengan jenis campuran atau sejenis. Masyarakat mengelola hutan AB didorong oleh faktor intrinsik : keterbatasan lahan milik dan lapangan kerja, cara pandang dan tujuan pengelolaan hutan, pengetahuan tentang konservasi tanah, rasa kebersamaan, rasa patuh kepada pemimpin, pengalaman menjadi mandor kehutanan; dan faktor ekstrinsik : hutan AB tidak dikelola oleh pemerintah, belum ada aturan baku dalam pengelolaan hutan AB, himbauan penghijauan dari Pemerintah Desa, hubungan keluarga dengan staf kehutanan, dan GERHAN tahun 2006. Motivasi masyarakat untuk mengelola hutan AB adalah motivasi kebutuhan mempertahankan hidup, motivasi kebutuhan rasa ama dan motivasi kebutuhan sosial. Masyarakat Desa Jetis memiliki motivasi yang kuat untuk mengelola hutan AB, sehingga pemerintah perlu memberikan dukungan berupa payung hukum untuk mengelola hutan AB secara legal dan pemerintah berperan sebagai fasilitator dalam peningkatan kapasitas masyarakat pengelola hutan AB melalui program pemberdayaan masyarakat. Kata Kunci : motivasi, pemanfaatan lahan, agroforestri, strategi pengelolaan, pemberdayaan

Page 68: Agroforestry Di Katingan

68

C11 Identifikasi Modal Sosial dalam Pembangunan Hutan Rakyat

di Kabupaten Gunungkidul Wiyono dan Silvi Nur Oktalina

Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada

ABSTRAK Kabupaten Gunungkidul yang dulu dikenal sebagai daerah yang gersang, berbatu, tandus, serta banyak penduduknya yang miskin dan menderita busung lapar, saat ini telah berhasil mengubah lahan kritis menjadi hutan rakyat (HR) yang produktif. Pembangunan HR dilakukan sejak tahun 1960an melalui program penghijauan dengan motivasi awal membangun HR sebagai penguat teras dan pemanfaatan lahan berbatu. Secara umum HR ditanam di pekarangan, tegal dan wono (hutan) dengan pola agroforestry dengan tanaman pokok jati, mahoni, akasia dan sono yang dicampur dengan tanaman buah dan palawija. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat Gunungkidul dan keterkaitannya dengan pembangunan HR. Penelitian dilakukan di Desa Karangasem, Kecamatan Paliyan yang berada di wilayah tengah Kabupaten Gunungkidul dan diharapkan mewakili karakteristik wilayah dan masyarakat di tiga zona, yaitu zona Batur Agung, zona Ledok Wonosari, dan zona Pegunungan Seribu. Pengambilan data dilakukan dengan studi dokumen, observasi lapangan, dan wawancara. Wawancara dilakukan kepada responden yang dipilih secara purposive, yaitu anggota dan tokoh masyarakat yang terlibat dan memahami proses pembangunan HR di Kabupaten Gunungkidul. Hasil penelitian dianalisis secara kualitatif menggunakan tiga jalur analisis, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan jenis-jenis modal sosial yang dimiliki masyarakat Gunungkidul yaitu: 1) adanya rasa saling percaya, menghormati dan membantu; 2) adanya aktor sosial sebagai panutan; 3) adanya pranata sosial berupa aturan tertulis dan tidak tertulis yang ditaati; 4) adanya jaringan sosial antar warga masyarakat; 5) adanya jaringan sosial antara warga masyarakat dengan pihak eksternal. Keterkaitan modal sosial terhadap keberhasilan pembangunan HR yaitu:(1) adanya sikap saling menghormati kepemilikan lahan HR; (2) adanya sikap saling menjaga dan mengamankan potensi HR; (3) adanya sikap saling bergotong-royong dalam pengelolaan HR; (4) adanya kemauan menerapkan program dan teknologi baru dalam pembangunan HR; (5) adanya kelembagaan pengelola HR yang handal; (6) adanya akses kredit yang mendukung pembangunan HR; (7) adanya jaringan pemasaran hasil HR dengan harga yang kompetitif. Kata kunci: modal sosial, hutan rakyat, Gunungkidul

Page 69: Agroforestry Di Katingan

69

C12 Strategi Penghidupan Petani Agroforest dalam Menghadapi Perubahan Cuaca

yang Tidak Menentu: Kasus di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara Endri Martini, Sonya Dewi, Janudianto, Anang Setiawan, dan James Roshetko

ABSTRAK

Perubahan cuaca yang tidak menentu sangat berdampak pada penghidupan petani, terutama produktivitas lahan petani. Untuk mengurangi dampak kegagalan panen bagi penghidupan petani, perlu diketahui kesiapan petani dalam menghadapi perubahan cuaca yang tidak menentu tersebut. Informasi dikumpulkan melalui Focus Group Discussion di 5 kelompok lelaki dan 5 kelompok perempuan di Sulawesi Selatan (Kabupaten Bantaeng dan Bulukumba) dan 4 kelompok lelaki dan 4 kelompok perempuan di Sulawesi Tenggara. Informasi tentang kalender sistem usaha tani dan kapasitas petani dalam mengatasi guncangan akibat perubahan cuaca, dikumpulkan dan dianalisa dengan menggunakan kerangka kerja Penilaian Kerentanan Sistem Penggunaan Lahan dan Pohon (TREEFARM-Casava) yang dikembangkan oleh ICRAF. Petani di dua provinsi Sulawesi Selatan menyatakan dalam 15 tahun terakhir terjadi perubahan curah hujan dan frekuensi dan magnitude angin yang berdampak terhadap penghidupan petani. Dampak terparah dari perubahan cuaca berupa kegagalan panen tanaman pangan seperti padi dan jagung. Untuk tanaman agroforestri yang berbasis pohon, kerusakan yang terjadi biasanya hanya berupa berkurangnya jumlah hasil panen atau berhentinya panen pada tahun tersebut, tapi pohon masih bisa menghasilkan pada tahun berikutnya. Dalam 15 tahun ini, petani tidak merubah sistem berkebun mereka, dikarenakan dampak tidak terlalu parah pada kebun agroforest yang berbasis pohon daripada sistem penggunaan lahan tanaman berjangka pendek seperti jagung, padi dan palawija lain. Sistem penggunaan lahan agroforest membantu petani untuk tetap bisa bertahan dalam kondisi perubahan cuaca yang tidak menentu. Ketika terjadi perubahan cuaca yang tidak menentu, petani biasanya merantau ke daerah lain mencari sumber pencaharian lain yang bisa menopang pendapatan yang hilang karena tidak bisa panen dan kembali ke kebun agroforest ketika cuaca mulai mendukung. Jika petani agroforest tidak memiliki kapasitas untuk mencari mata pencaharian ke tempat lain, maka dia akan berhutang pada tengkulak dengan bunga yang sangat tinggi (>20%). Hal ini yang menyebabkan terjadinya penurunan kesejahteraan petani agroforest. Untuk itu bantuan pemerintah selain terfokus pada program adaptasi pengelolaan kebun, perlu juga difokuskan pada bantuan kredit atau penyediaan bentuk-bentuk sumber mata pencaharian lainnya sebagai pendukung sumber pendapatan petani agroforest ketika tidak bisa panen.

Page 70: Agroforestry Di Katingan

70

C13 Konstruksi Pengetahuan Lokal Masyarakat Muluy dalam Pemanfaatan Hutan Lindung Gunung Lumut di Kabupaten Pasir Kalimantan Timur

Catur Budi Wiati Studi ini bertujuan untuk mengkonstruksikan pengetahuan lokal Masyarakat Muluy dalam memanfaatkan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) dan mempertahankan kelestarian serta mendapatkan penjelasan tentang keberlanjutan pengetahuan lokal Masyarakat Muluy kepada generasi selanjutnya. Metode dasar yang digunakan dalam kajian ini adalah dengan pendekatan fenomonologi yaitu suatu pendekatan yang menempatkan kesadaran manusia dan makna subyektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan social. Sedangkan konstruksi sosial atas pengetahuan lokal Masyarakat Muluy akan didekati dengan konsep ekologi budaya yaitu pendekatan yang mempelajari bagaimana manusia sebagai makhluk hidup menyesuaikan diri dengan suatu lingkungan geografi tertentu, dengan menggunakan teknologi kebudayaan dan lingkungan yang tercipta. Hasil penelitian menunjukkan beberapa pola pemanfaatan HLGL yang Masyarakat Muluy lakukan diantaranya yaitu: perladangan gilir balik merupakan produk ciptaan sendiri hasil dari tiga proses dialektis yaitu eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Terbangunnya sipunk sebagai output dari perladangan gilir balik menunjukkan bahwa kegiatan perladangan gilir balik yang dilakukan oleh Masyarakat Muluy tidak mengancam kelestarian HLGL bahkan bermanfaat untuk menaikkan produksi buah-buahan, madu dan perburuan satwa liar yang ada di kawasan tersebut. Berdasarkan kemampuan Masyarakat Muluy untuk melakukan regenerasi dan kepentingannya bagi kelestarian HLGL, maka beberapa pemanfaatan sumberdaya hutan yang penting untuk dilanjutkan adalah: (1) Perladangan gilir balik; (2) Mencari buah-buahan; (3) Mencari madu; dan (4) Berburu satwa liar. Masyarakat Muluy tidak menerima peluang pemberdayaan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan yang diberikan pemerintah melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Kehutanan karena ingin mengatur sendiri pola pemanfaatan HLGL dan memilih memperjuangkan pengakuan keberadaan masyarakat adat dari Pemrintah Kabupaten Paser. Kata kunci : konstruksi - pengetahuan lokal – Masyarakat Muluy

Page 71: Agroforestry Di Katingan

71

C14 Model Agroforestry berbasis Tongkonan

yang Berwawasan Konservasi Lingkungan di Kabupaten Tana Toraja Samuel Arung Paembonan

Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan-UNHAS

ABSTRACT The aim of this study are to dig out the information of variation and characteristic of local agroforestry models in Tana Toraja region, find out the supporting factors that emerged the variation models based on community socioeconomics and cultural background, and to determine the appropriate agroforestry models for environment conservation purposes. The method of this study by surveying and interview. Sample withdrawal were carried out by purposive method based on community whose involve in agroforestry practices. This study uses primary data in the form of direct observation and measurement of agroforestry practices concerning: plant density, vertical structure, species composition of plants making up agroforestry and plant species diversity. In addition to structured interviews were conducted with the community to know the cultural background of choosing agroforestry models and the level of income from agroforestry practices. The results showed that: 1) Generally, the agroforestry models in Tana Toraja applying random pattern with an iregular spacing, 2) The number of species and species diversity indices are not significantly different. The diversity of plant species classified as being medium cathegory concerning the altitude and district. In general, the vertical structure of the canopy is quite complex consisting of 4 strata, 3) Cultural factors consist of tongkonan house construction and funeral ceremony background reason are primary consideration in the selection of agroforestry components, but for economic reasons and environmental conservation have also joined considered, and 4) Agroforestry system developed by the community in Toraja upland are already qualified in terms of environment conservation concerning to the complexity of canopy structures and species compositions. Key Words: Agroforestry, Tongkonan, Environmental concervation, structure,

composition

Page 72: Agroforestry Di Katingan

72

C15 Prospek Agroforestri Karet dan Jenis Tanaman Lokal

dalam Rehabilitasi Lahan di Kalimantan Timur Faiqotul Falah

Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumberdaya Alam

Keberhasilan dan keberlanjutan tanaman rehabilitasi lahan di lahan milik antara lain ditentukan oleh tingkat keterlibatan masyarakat dalam tahap perencanaan, termasuk dalam pemilihan jenis-jenis tanaman dan pola tanaman RHL. Jenis karet (Hevea braziliensis) merupakan primadona dalam rehabilitasi lahan kritis di Kalimantan Timur, baik dalam kegiatan Kebun Benih Rakyat (KBR) maupun rehabilitasi lahan yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) karena dianggap mampu tumbuh di lahan kritis serta mempunyai prospek ekonomi yang baik dengan memberikan manfaat dari getah dan karetnya. Untuk meningkatkan manfaat ekologi dan ekonomi tanaman karet, perlu diimplementasikan agroforestri karet dengan jenis-jenis tanaman kehutanan lokal, dan tanaman pertanian untuk manfaat ekonomi jangka pendek. Pemilihan jenis lokal merupakan upaya konservasi keanekaragaman hayati asli Kalimantan, di samping meningkatkan kemungkinan adaptasi tanaman dalam rehabilitasi lahan. Naskah ini bertujuan memaparkan prospek ekologi dan ekonomi wanatani karet dengan jenis-jenis tanaman lokal di Kalimantan Timur. Data diperoleh dari hasil studi pustaka dan wawancara dengan parapihak terkait di Kabupaten Kutai Barat, Kutai Timur, dan Kutai Kartanegara yang termasuk dalam wilayah DAS Mahakam, Kalimantan Timur. Analisis data primer dilakukan dengan statistik deskriptif serta analisis finansial pada berbagai pola wanatani karet. Hasil pengambilan data menunjukkan preferensi masyarakat tertinggi (66,67%) dalam pemilihan pola wanatani karet dengan jenis tanaman lokal adalah karet sebagai tanaman pokok, serta meranti, gaharu, durian dan lainnya sebagai tanaman tepi. Hasil kajian pustaka menunjukkan bahwa secara ekologi wanatani karet berpotensi sebagai tempat pelestarian berbagai spesies pohon hutan, burung, dan kelelawar pemakan buah. Burung dan kelelawar pemakan buah tersebut berperan dalam proses regenerasi pohon hutan. Belum ada hasil penelitian mengenai tingkat erosi maupun aspek hidroorologi dari wanatani karet. Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa pola wanatani karet, gaharu, dan durian sebagai tanaman pokok, serta meranti sebagai tanaman tepi memiliki prospek keuntungan finansial yang lebih rendah dibandingkan pola wanatani 100% karet sebagai tanaman pokok dan tanaman kayu/buah sebagai tanaman tepi, namun secara ekologi diasumsikan akan lebih baik. Kata kunci : agroforestri, karet, prospek ekologi, prospek ekonomi

Page 73: Agroforestry Di Katingan

73

C16 Jelutung Rawa (Dyera polyphylla) sebagai Tanaman Pokok pada Sistem

Agroforestri di Lahan Rawa Gambut Kalimantan Tengah Reni Setyo Wahyuningtyas

Peneliti Muda pada Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru,

ABSTRACT Rehabilitation of peat swamp forest will be difficult to be achieved without considering socioeconomic condition of the people surrorunding the area. The agroforestry system is a strategic way to rehabilitate degraded peat swamp forest (FSF) by tending tress as main plant without neglething cash crops for short term source of income. To obtain the support of local people, it is needed to determine preference tree species for local people. This paper aim to analyze people preference of main tree species for agroforestry on peat land. The research was carried out at Kalampangan village, Sebangau sub district, city of Palangkaraya which was one of successful of transmigration location and has become center for food and horticulture at Central Kalimantan. Interview with key persons was carried out to obtain information on local people’s preference on perennial tree species and planting pattern of agroforestry in the area. The data was descriptively analized. The result showed that jelutung rawa, gaharu and sungkai were tree species favourable to be planted. However, jelutung rawa was the most favourable plant species due to the characteristic as local species, has a high adaptability while gaharu and sungkai were exotic species which needed to be tested for their suitability. Jelutung was chosen for its latex as short term source of income. Species trials for NTFP species was expected to accelerate the restoration of degraded PSF land. The support of silvicultural techniques and tree improvement needs to be carried out to increase the productivity of latex and timber. Keywords: jelutung rawa, trees, agroforestry.

Page 74: Agroforestry Di Katingan

74

C17 Role and Practice of Agroforestry of Periau Community (Wild Honey Farmers)

in the Management of Conservation Forest Area Emi Roslinda

Faculty of Forestry Tanjungpura University Pontianak

ABSTRACT The existence of communities in the forest areas is often regarded as the cause of forest degradation. This statement is debatable, because the fact is the people who live in the forest areas have been interacting in harmony with their surroundings. The purpose of this research was to describe how the relation of Periau Community associating with the natural resources management (forest and honey as a non-timber forest product) has been applied. Periau is traditional honey farmers in the area of conservation forest of Danau Sentarum National Park in West Kalimantan. The study was conducted with a quantitative approach using survey method. Semangit Village was purposively chosen as the study location because it is where the office of Periau Association of Danau Sentarum located. Respondents were randomly selected from all honey farmers that were in the Semangit Village by the number of 30 respondents. Data were collected by interview using questionnaires and observation in the field. The data were analyzed in tabulating and descriptive analysis. This research showed that the management of wild honey has been done for generations by the people in a traditional organization called Periau that has rules and management areas. All rules are applied to lead to preservation of the forest and its product in the form of honey. The rules are well-conducted and adhered by all existing Periau. Wild honey management is conducted as one of agroforestry practices which combines the use of forestry practices and cultivation of wild honey by the community. Wild honey is a natural resource used by the community to raise family income. The management of wild community is also an incentive for forest maintenance because wild honey bees can only produce honey if their habitats are well-maintained. The research concluded the existence of community in the forest area have positive impacts on forest preservation and the agroforestry practices used as the result of community culture has given economic value in the form of source of income. Considering the rules of natural resource management and technology owned by the community, author suggested that local community and knowledge should be parts of the policy decision-making regarding the management of forest area. Key words: Periau community, wild honey, forest management

Page 75: Agroforestry Di Katingan

75

C18 Pengembangan Kedelai di Kawasan Hutan Jati di Jawa Timur

Marwoto, Abdullah Taufiq, dan G.W. Anggoro Peneliti Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Malang

ABSTRAK

Kebutuhan kedelai pada tahun 2011 sebesar 2,466 juta ton, sedangkan produksi dalam negeri baru mencapai 0,890 juta ton dan kekurangannya diimpor sebesar 1.576.000 juta ton. Hanya sekitar 64% dari total kebutuhan dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri. Peningkatan produksi kedelai menuju swasembada tahun 2014 merupakan salah satu program utama empat sukses Kementerian Pertanian, yang harus di dukung oleh semua pihak yang terkait, untuk mewujudkan pencapaian swasembada kedelai. Peluang peningkatan produksi kedelai masih terbuka, baik melalui peningkatan produktivitas maupun perluasan areal tanam. Perluasan area tanam melalui ektensifikasi terutama diarahkan di lahan kering. Oleh karena itu, diperlukan terobosan pemikiran dan tindakan dalam perluasan areal tanam melalui pemanfaatan lahan hutan/perkebunan untuk penanaman kedelai. Pemanfaatan ruang diantara pohon di hutan jati, cukup potensial dikembangkan untuk produksi kedelai. Potensi lahan untuk pengembangan tanaman pangan termasuk kedelai di areal hutan perhutani Jawa Timur telah teridentifikasi dan telah diprogramkan untuk tanaman pangan seluas 31.695,66 ha, luasan tersebut berpotensi untuk di tanami tanaman pangan dua kali yakni dengan pola tanam jagung - kedelai, ubikayu -/- jagung – kedelai, atau kedelai – kedelai. Jika ditanami setahun dua kali maka lahan hutan tersebut dapat menyediakan lahan untuk tanaman pangan seluas 63.391,32 ha. Sistem tumpangsari tanaman kayu jati + kedelai memiliki kelebihan: (a) pemanfaatan lahan lebih optimal yang ditunjukkan oleh nisbah kesetaraan lahan (NKT) atau Land Equivalent Ratio (LER) yang meningkat dari 1,0 menjadi 1,3-1,7, (b) Produk panen beragam, (c) mengurangi resiko kegagalan panen, akibat penurunan harga atau sebab lain seperti serangan hama/penyakit dan gangguan iklim, (d) lebih cepat memperoleh penghasilan (kedelai panen umur 85-90 hari), (e) memperoleh tambahan hasil dari tanaman yang ditanam pada musim ke dua, (f) memperbaiki kesuburan tanah karena tambahan N dari rhzobium dan bahan organik dari serasah tanaman kacang-kacangan (g) mencegah erosi, dan (h) menyediakan pakan ternak. Hasil demonstrasi gelar teknologi budidaya kedelai di kawasan hutan jati dapat mencapai 1,9 t/ha. Kata Kunci: Kedelai, Hutan, dan Jati

Page 76: Agroforestry Di Katingan

76

C19 Praktik Agroforestri di Hutan Perum Perhutani

Purwanto, Datin Waluyani, Corryanti, Alim Sugiharto, Anton Sudiharto Puslitbang Perhutani

ABSTRAK

Perum Perhutani sebagai Badan Usaha Milik Negara diberi mandat mengelola hutan seluas 2,4 juta hektar di Pulau Jawa dan Madura. Di Pulau Jawa terdapat 5.383 desa dengan jumlah penduduk sebanyak 28 juta yang bermukim di sekitar kawasan hutan Perum Perhutani. Hutan di wilayah ini memiliki peran dan fungsi bagi masyarakat sekitar hutan memenuhi kebutuhan pangan, papan, dan energi. Penggunaan lahan di bawah tegakan (jati, pinus, mahoni) yang ditanami tanaman pertanian, seperti padi gogo dan jagung dengan pola agroforestry telah lama diterapkan masyarakat sekitar hutan bersama Perhutani. Sistem agroforestry di Indonesia dikenal dengan tumpangsari. Hasil pengamatan jenis-jenis tanaman tumpangsari yang dikembangkan masyarakat desa hutan di 14 lokasi (Wilayah Perum Perhutani Unit I, Unit II, dan Unit III) menunjukkan bahwa jenis tanaman agroforestry yang dikembangkan masyarakat desa hutan dengan sistem tumpangsari relatif beragam dan berbeda antar wilayah. Pilihan jenis tanaman yang dikembangkan tergantung pada kondisi lahan hutan, meliputi tanaman palawija, perkebunan, dan hortikultura. Pada tanaman kehutanan KU muda masyarakat menanami padi, jagung, ketela pohon, cabai rawit, tembakau, nanas, kacang tanah, tomat, wortel, kentang, dan lain-lain. Sedangkan pada tanaman tua jenis tanaman tumpangsari yang dibudidayakan seperti kopi, nilam, umbi-umbian, tanaman obat/empon-empon, salak, rumput gajah. Kegiatan agroforestry mampu menyumbang pendapatan dalam kisaran 1,8% - 29,03% terhadap total pendapatan masyarakat desa hutan. Kata kunci: agroforestri, sistem taungya, jenis tanaman, kontribusi pendapatan

Page 77: Agroforestry Di Katingan

77

C20 Kajian Aspek Ekologi, Ekonomi dan Sosial Model-Model Agroforestri

di Nusa Tenggara Timur Eko Pujiono, S.Agung Sri Raharjo, Gerson Njurumana, Budiyanto Dwi Prasetyo,

dan Heny Rianawati Balai Penelitian Kehutanan Kupang

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi mengenai ekologi, sosial, dan ekonomi berbagai model agroforestri di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan survei pendahuluan, informasi awal dari masyarakat, dan penelitian terdahulu. Unit pengamatan adalah berbagai model agroforestri traditional dan agroforestri modern/introduksi. Pengumpulan data menggunakan studi pustaka, survei, observasi, dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model-model agroforestri tradisional yang diidentifikasi adalah agroforestri Mamar di Pulau Timor dan agroforestri Kaliwo di Pulau Sumba. Model-model agroforestri modern yang dikaji adalah agroforestri-kebun menetap, silvopasture dan silvofishery. Dalam hal biodiversitas tanaman, sistem agroforestri tradisional lokal memiliki keragaman jenis tanaman lebih tinggi daripada sistem agroforestri modern yang hanya mengkombinasikan tanaman keras komersial dan tanaman sela. Terkait dengan konservasi tanah dan air, ditemukannya sistem terasering dan penanaman pada lahan-lahan yang miring menunjukkan bahwa secara umum sistem agroforestri berperan untuk menghindari dan mengurangi resiko terjadinya longsor, erosi dan sedimentasi. Di beberapa lokasi agroforestri juga ditemui adanya sumber air yang terjaga kuantitasnya sepanjang tahun.Untuk aspek ekonomi, sistem agroforestri berkontribusi sebesar 60%-95% terhadap pendapatan total petani. Pendapatan dari agroforestri berkontribusi cukup besar terhadap pengeluaran untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Kajian terhadap aspek sosial menunjukkan bahwa dalam pengelolaan agroforestri diperlukan adanya kelembagaan baik formal maupun non formal yang memiliki peran dalam membantu penyelesaian berbagai persoalan yang menyangkut konflik atau sengketa, maupun memfasilitasi kegiatan yang menunjang pengelolaan agroforestri. Lembaga sentral yang paling berperan dalam pengelolaan agroforestri adalah kelompok tani sedangkan untuk penyelesaian konflik lembaga yang paling berkontribusi adalah lembaga adat. Kendala yang masih dihadapi oleh masyarakat dalam pengelolaan agroforestri adalah input teknologi yang masih terbatas, akses pasar yang masih lemah dan diversifikasi produk pengolahan hasil yang belum maksimal. Kata Kunci : ekologi, ekonomi, sosial, model agroforestri, NTT

Page 78: Agroforestry Di Katingan

78

C21 Kajian Pengelolaan Hutan untuk Perumputan di Kawasan TNGM

(Studi Kasus Silvopasture di Kawasan Konservasi) Gunawan

Balai Taman Nasional Manupeu Tanah Daru

ABSTRACT Community pressure on protected areas has been going on for generations from years ago. The main factor is needed to access the natural resources and become one of protected area problems until now. The local economic developments continue to grow rapidly, especially the intensive grassland cultivation in the buffer zone and inside the protected areas. This case effects to the complexity management. That’s required an approach to handling as a silvopasture form on the protected areas. The purpose of writing are identify and mapping of grazing problems and management solutions in protected area. The research method is “grounded” to find basic elements of concepts, categories and propositions based on inductive findings and testing data continuously. Data collection was done by method of “depth and free interviews” and participatory observation. The results showed that grassland utilization pattern in TNGM aren’t optimal. Communities have a deep close relationship that its construct economic, social and cultural based on the existence of natural resources. The natural resources (fodder) have position as an element of buffer and change system of community life. The correlation is pastures build identity and social stratification in communities; and synergistic relationship form between fodder, livestock and communities that cannot be separated existence. Management solutions have to compromise the interests of sustainability between forest resources and local interests. Management policies that can be implemented are the arrangement of grassland with zoning system (traditional zone) which initiated the fodder need, the habitat balance and the sustainability. Keywords: grassland, natural resources, protected areas

Page 79: Agroforestry Di Katingan

79

C22 Pola Agroforestri di Daerah Tapanuli, Sumatera Utara:

Keseimbangan antara Kepentingan Ekonomi dan Ekologi Hesti L. Tata1,2, Elok Mulyoutami2, Endri Martini2

1 Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Bogor 2 World Agroforestry Centre, Bogor

ABSTRAK

Agroforestri merupakan pola bercocok tanam yang telah lama dipraktekkan oleh masyarakat Tapanuli, Sumatera Utara. Selain pertanian padi sawah beririgasi, pola agroforestri yang telah berkembang di Tapanuli berperan penting sebagai sumber penghidupan masyarakat. Beberapa pola agroforestri (AF) yang dipraktekkan oleh masyarakat di empat desa di daerah Tapanuli telah diidentifikasi melalui metode kajian cepat (rapid assessment). Pola agroforestri yang dijumpai adalah agroforestri berbasis karet, berbasis kopi, berbasis kemenyan dan buah-buahan (khususnya durian). Dengan kepemilikan lahan berkisar antara 0.5 hingga 4 ha, petani responden dapat memperoleh sumber pendapatan dari beraneka produk dari kebun agroforestri, mulai dari pendapatan mingguan hasil sadap getah karet, pendapatan bulanan dari agroforestri buah-buahan (dalam hal ini petai), pendapatan tiap semester dari kopi, serta pendapatan tahunan dari hasil buah durian dan kakao. Perhitungan profitabilitas menunjukkan Net Present Value (NPV) dari kebun kopi agroforestri paling tinggi dibandingkan dengan pola agroforestri lain, yaitu Rp 9.309.000/ha. Adapun NPV kebun karet agroforestri sebesar Rp 7.327.000/ha dan kebun agrofgorestri kemenyan Rp 4.586.000/ha. Pola pertanian agroforestri atau yang dikenal oleh masyarakat setempat dengan istilah 'kebun pocal' merupakan pola manajemen lanskap yang terintegrasi. Pola agroforestri di daerah Tapanuli mampu menjaga keanekaragaman hayati, baik flora maupun fauna, khususnya satwa yang berperan sebagai penyerbuk dan agen pemencar biji. Kebun agroforestri juga berperan sebagai zona penyangga bagi kehidupan satwa liar yang dilindungi. Agroforestri dapat menjaga keseimbangan antara ekonomi dan ekologi. Kata kunci: agroforestri, kebun pocal, profitabilitas, keanekaragaman hayati

Page 80: Agroforestry Di Katingan

80

C23 Persepsi Petani Tentang Input Kapulaga Jenis Sabrang

(Elletaria cardamommum (L) Maton) di Hutan Rakyat Pola Agroforestry Dian Diniyati, Eva Fauziyah, dan Tri Sulistyati Widyaningsih

Balai Penelitian Teknologi Agroforestry

ABSTRAK Masyarakat mengembangkan dua jenis tanaman kapulaga yaitu kapulaga buhun (kapulaga jawa) dan kapulaga sabrang (kapulaga hibrida). Tanaman kapulaga buhun sudah lama dikenal dan dibudidayakan oleh petani, namun tidak berkembang dan cenderung stagnan. Berbeda dengan kapulaga jenis sabrang yang berkembang secara signifikan setelah diintroduksi di hutan rakyat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi petani tentang tanaman kapulaga sabrang sebagai salah satu tanaman sela pada hutan rakyat. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Kalijaya Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis dan Desa Karyabakti Kecamatan Parungponteng Kabupaten Tasikmalaya pada bulan Juni-Agustus 2012. Responden berjumlah 60 orang yaitu petani hutan rakyat anggota kelompok tani yang dilibatkan dalam penelitian menggunakan teknik sensus. Data primer dikumpulkan dengan teknik wawancara berdasarkan kuesioner yang telah dipersiapkan. Data sekunder dikumpulkan dari dokumen-dokumen kelompok tani. Data yang terkumpul selanjutnya diolah dan dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi petani terhadap tanaman kapulaga sabrang terbagi menjadi: 1) Persepsi petani tentang aspek ekonomi: sebanyak 80% di Desa Kalijaya dan 90% petani di Desa Karyabakti berpendapat bahwa hasil tanaman kapulaga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi/pangan, biaya sekolah, jajan anak, serta biaya listrik. 2) Persepsi petani tentang aspek sosial: adanya tanaman kapulaga sabrang menambah jam kerja petani di hutan rakyat 1-2 jam per hari, menurut 73,33 % responden di Desa Kalijaya dan 36,67% responden di Desa Karyabakti. Adanya tanaman kapulaga di hutan rakyat menambah penyerapan tenaga kerja terutama tenaga kerja keluarga menurut 23,33% responden (Desa Kalijaya) dan 63,33% responden (Desa Karyabakti) dengan tenaga kerja tambahan yang banyak dilibatkan adalah perempuan. 3) Persepsi petani tentang aspek lingkungan: tanaman kapulaga yang ditumpangsarikan dengan tanaman kayu (sengon dan manglid) menyebabkan pertumbuhan kayunya semakin bagus, menurut 73,33% responden di Desa Kalijaya dan 53,33% responden di Desa Karyabakti. Adanya tanaman kapulaga membuat lingkungan menjadi hijau dan tidak gersang menurut 43,33% responden Desa Kalijaya. Kata kunci: Tanaman kapulaga sabrang, introduksi, hutan rakyat, petani, persepsi

Page 81: Agroforestry Di Katingan

81

C24 Upaya Pengembangan Agroforestry di Pulau Timor (Studi Kasus

di Desa Bosen Kecamatan Mollo Utara Kabupaten Timor Tengah Selatan) Rahman Kurniadi, Ida Rachmawati, dan Siswadi

Balai Penelitian Kehutanan Kupang

ABSTRACT Farmers in Timor island have a unique land management approach that is called Agroforestry. Besides aiming to meet the needs of wood, generally farmers' fields are also intended to obtain food and nut that needs to be local people's traditions. Agroforestry practices in Timor island is known as "Mamar". Agroforestry practices currently in Timor Island is limited to lands owned by indigenous communal. The problems studied in this research is the development of agroforestry constraint on the island of Timor, and what efforts can be done for agroforestry development in Timor Island. This study aims to determine source of motivation of the development of agroforestry in the island of Timor and the constraints that it faces. The study was conducted in the Bosen village of Mollo Utara Sub District of Timor Tengah Selatan District. Respondet is selected purposively. Respondents are people who practice agroforestry. Respondents were selected in this study were 14 respondents. The study was conducted for a mont on August 2011. The data was collected by interviews. The interviews use questionnaires that had been developed previously. Open semi-structured questionnaire is used that provides the opportunity for respondents to provide data beyond the answers that have been prepared. Descriptive data were analyzed by breaking the existing data and analyze problems based on existing data.The results showed that source of motivation of agroforestry development on the island of Timor is generally derived from the Forestry Service of Timor Tengah Selatan District. Motivation is generally associated with community forestry projects provided by the Government of Timor Tengah Selatan district. Personal motivation for the development of agroforestry is still lacking. Agroforestry developments limited to areas of the project that held by local Government because of lack of personal motivation. Obstacles encountered include the lack of certainty of tenure and lack of public knowledge about the types of crops that can be grown in the shade of the stand. In order to developing agroforestry, local government should improve land tenure dan increase farmer knowledge about the annual plant that can grow in the shade. Improvement of land tenure aims to give certainty to the people to obtain crop yield long-lived wood. This efforts increase personal motivation to support the development of agroforestry in Timor island. Keywords: Agroforestry, motivation, tenure

Page 82: Agroforestry Di Katingan

82

C25 Agroforestry di Lahan Gambut untuk Mitigasi Perubahan Iklim

Retno Maryani1, Subarudi1, Arwin Harahap2 1 Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan

2 Yayasan PUTER Indonesia

ABSTRAK Pembangunan agroforestry dan pengelolaan lahan yang lestari merupakan bagian dari studi kelayakan pelaksanaan REDD+ untuk mekanisme karbon offset antara pemerintah Jepang dengan Indonesia. Studi ini dilaksanakan oleh konsorsium partner yang melibatkan Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan (PUSPIJAK) Kehutanan, Yayasan Puter Indonesia, Mazars Starling, Hokkaido University, serta Marubeni Corporation dan ITTO. Lokasi studi di dalam wilayah/sekitar Hutan Produksi Restorasi Ekosistem yang dicadangkan untuk PT.Rimba Makmur Utama, Kabupaten Katingan dan Kotawaringin Timur. Studi ini dimaksudkan untuk mendukung komitmen Indonesia untuk berkontribusi nyata terhadap upaya mitigasi perubahan iklim global yang berasal dari adanya efek Gas Rumah Kaca (GRK) dengan cara menekan tingkat emisi yang terjadi di tahun 2020 hingga mencapai 26 - 41%. Perubahan praktek penggunaan lahan dari Business As Usual yang umum dilakukan pada lahan gambut yang banyak terdapat di wilayah Kalimantan Tengah berpotensi untuk mencapai target, mengingat sebagian besar (85%) dari total emisi GRK yang terjadi di Indonesia bersumber dari penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan dan kehutanan serta lahan gambut di tahun 2005. Bekerjasama dengan masyarakat desa Terantang di Kecamatan Seranau, pembangunan agroforestry didorong melalui proses perumusan kebijakan yang mengakomodir hak-hak masyarakat atau komunitas setempat, serta melalui pembangunan tata pemerintahan yang mengutamakan pemberdayaan masyarakat lokal. Implementasi pembangun tersebut dilakukan melalui kegiatan pembuatan peta penggunaan lahan secara partisipatip, pengenalan kedalaman gambut bagi masyarakat, pengelolaan lahan melalui pembuatan bio-charcoal dan aplikasinya, serta introduksi jenis pohon unggul sebagai sumber pendapatan kelompok tani. Artikel ini membahas progres implementasi pembangunan agroforestry and pengelolaan lahan yang lestari di lahan gambut dan mendiskusikan kontribusi agroforestry dalam menekan emisi di lahan gambut. Kata kunci: agroforestry lahan gambut, emisi lahan gambut, mitigasi perubahan iklim

Page 83: Agroforestry Di Katingan

83

C26 Adaptasi dan Mitigasi Bencana Tanah Longsor melalui Penguatan Kapasitas

Masyarakat dan Peningkatan Produktivitas Lahan melalui Sistem Agroforestri Sri Astuti Soedjoko1, Prasetyo Nugroho2, Ambar Kusumandari1, Hero Marhaento1

1 Bagian Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan UGM 2 Program Studi Diploma III Pengelolaan Hutan Sekolah Vokasi UGM

ABSTRAK

Desa Pogalan, Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang merupakan daerah yang terletak di kawasan lereng Gunung Merbabu yang berada di kawasan berlereng bergelombang sampai sangat curam dan 18,97% wilayahnya memiliki potensi longsor tinggi sampai sangat tinggi. Kondisi lingkungan ini belum didukung dengan baiknya pemahaman masyarakat terhadap bencana tanah longsor dan upaya yang harus dilakukannya. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman serta kesadaran masyarakat terhadap kondisi lingkungan, pembentukan kelompok masyarakat tanggap bencana (KMTB) Desa Pogalan dan aplikasi sistem agroforestri sebagai upaya mitigasi dan adaptasi bencana tanah longsor. Beberapa permasalahan yang diidentifikasi diantaranya adalah masyarakat belum sepenuhnya menyadari dan memahami strategi pertanaman yang produktif serta ramah lingkungan di daerah yang rawan longsor, meskipun hampir setiap tahun tanah longsor terjadi. Penanaman tanaman kehutanan di lahan pertanian dianggap akan mengurangi produktifitas lahan. Di sisi lain, belum adanya lembaga yang fokus terhadap mitigasi dan adaptasi bencana diduga sebagai penyebab kurangnya kesiapsiagaan masyarakat. Potensi dan permasalahan yang teridentifikasi tersebut dijadikan sebagai dasar dalam penyusunan materi edukasi dan pemberdayaan masyarakat. Pemberian materi ditindaklanjuti dengan kunjungan lapangan ke Desa Kuripan, Kecamatan Garung Kabupaten Wonosobo sebagai daerah yang memiliki karakteristik fisik kawasan yang hampir sama tetapi sudah mampu mengaplikasikan pengelolaan lahan pertanian dengan sistem agorforestri. Kunjungan lapangan ini terbukti mampu menginspirasi masyakarat Desa Pogalan untuk melakukan hal yang sama. Kelompok Masyarakat Tanggap Bencana (KMTB) Desa Pogalan berhasil dibentuk. Upaya perbaikan pengelolaan lahan dilakukan dengan sistem agroforestri dengan sistem trees along border. Hasil kegiatan menunjukkan bahwa penguatan kapasitas masyarakat mampu menggerakkan dan mendorong masyarakat untuk meningkatkan upaya perbaikan kondisi lingkungan dalam bentuk pembentukan KMTB Desa Pogalan dan aplikasi sistem agroforestri sebagai bentuk adaptasi, mitigasi bencana tanah longsor serta peningkatan produktivitas lahan yang berkelanjutan.

Page 84: Agroforestry Di Katingan

84

C27 Analisis Karakteristik Sosial Ekonomi dan Keberlanjutan Sistem Agroforestri

di Sub Daerah Aliran Sungai Cisokan Hadi Pranoto1), M.A Chozin2), Hadi Susilo Arifin3), Edi Santosa2)

1) Prog Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Unmul Samarinda 2) Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB

3) Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

ABSTRAK Penelitian dilakukan untuk menganalisis karakteristik sosial ekonomi dan keberlanjutan sistem agroforestri di Sub Daerah Aliran Sungai Cisokan. Penelitian dilakukan dengan cara mengumpulkan data sekunder, survei dan wawancara terhadap 30 responden (petani) pada tiga zona DAS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik sosial ekonomi masyarakat berpengaruh terhadap pendapatan sistem agroforestri di Sub DAS Cisokan. Pendapatan dari tanaman semusim di hulu Rp 15 866 250/ha/tahun, di tengah Rp 4 771 643/ha/tahun, sedangkan di hilir Rp 735 918/ha/tahun. Perbedaan motivasi pemilihan jenis tanaman berpengaruh terhadap produktivitas tanaman. Motivasi pemilihan jenis tanaman di hulu adalah keahlian petani dan keuntungan yang besar, di tengah adalah keahlian petani dan kemudahan menjual, sedangkan di hilir adalah kemudahan mendapatkan benih/bibit dan kemudahan menjual. Pada sistem agroforestri di Sub DAS Cisokan juga terdapat introduksi teknologi dengan pemilihan jenis tanaman yang mengarah pada orientasi ekonomi (economic oriented). Analisis keberlanjutan yang didasarkan pada analisis B/C ratio, menunjukkan bahwa sistem agroforestri di Sub DAS Cisokan masih berkelanjutan, dengan nilai B/C Ratio di hulu 1.09, di tengah 2.89 dan di hilir 1.02. Sedangkan analisis keberlanjutan yang didasarkan pada aspek keberlanjutan agronomi, aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek ekologi, sistem agroforestri di Sub DAS Cisokan berada pada tingkat keberlanjutan moderat (moderate sustainability) dengan nilai keberlanjutan 12.12, pada skala 11-15. Sedangkan untuk nilai keberlanjutan sistem agroforestri pada masing-masing zona dari hulu ke hilir adalah 12.07, 12.67, dan 11.60. Kata kunci: agroforestri, keberlanjutan, pendapatan, sosial ekonomi

Page 85: Agroforestry Di Katingan

85

C28 Sinkronisasi Peraturan Perundangan Undangan dalam Kebijakan

“Agrisilviculture” pada Tanah Kawasan Hutan Bambang Sudjito

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

ABSTRAK Fokus kajian dalam penelitian ini, adalah (a) analisis terhadap kendala dalam sinkronisasi peraturan perundangan undangan terkait dengan kebijakan “agrisilviculture” pada tanah kawasan hutan dan (b) upaya penyelesaian yuridis terhadap kendala dalam sinkronisasi peraturan perundang undangan terkait dengan kebijakan “agrisilviculture” pada tanah kawasan hutan yang bersangkutan. Dasar pertimbangan dalam penelitian ini, bahwa kebijakan “agrisilviculture” pada tanah kawasan hutan dimungkinkan terjadi adanya ketidaksinkronan peraturan perundangan undangan terkait, antara lain implementasi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya, dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dengan analisis melalui asas-asas hukum dan kebijakan hukum dalam peraturan perundangan undangan. Hasil dan kajian dalam penelitian ini, yang diharapkan dapat memberikan kontribusi bermanfaat bagi penyelenggaraan dalam kebijakan “agrisilviculture” pada tanah kawasan hutan, terutama dalam era otonomi daerah. Kata kunci: Peraturan perundang undangan, agrisilviculture, tanah kawasan hutan, dan otonomi daerah

Page 86: Agroforestry Di Katingan

86

D1 Valuasi Penggunaan Lahan dalam Pengembangan Agroforestri

di Sulawesi Selatan Arif Rahmanulloh dan M. Sofiyuddin

World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia, Bogor

ABSTRAK Valuasi penggunaan lahan adalah salah satu cara untuk melihat tingkat efisiensi sistem penggunaan lahan di suatu wilayah. Secara spefisik, valuasi finansial penggunaan lahan akan memberikan gambaran surplus suatu pengusahaan dan tingkat penggunaan tenaga kerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kondisi terkini sistem penggunaan lahan yang menjadi sumber penghidupan utama masyarakat di wilayah Bantaeng dan Bulukumba, Sulawesi Selatan. Identifikasi sistem penggunaan lahan utama dilakukan di area pegunungan yang berbatasan di kedua kabupaten tersebut. Setiap penggunaan lahan dinilai profitabilitas financial dan aspek penggunaan tenaga kerja. Profitabilitas financial dihitung dengan indicator Equivalent Annuity (EA), yakni nilai bersih sekarang (NPV) yang diukur dalam satuan tahunan untuk membandingkan berbagai sistem penggunaan lahan yang memiliki perbedaan daur. Analisis dilanjutkan dengan mengkombinasikan informasi sumber matapencaharian berbasis lahan dan informasi mengenai tingkat pendapatan masyarakat. Hasil valuasi penggunaan lahan memperlihatkan beberapa tipologi di lokasi studi yang terdari dari penggunaan lahan untuk (1) tanaman semusim, (2) kebun campur sederhana, (3) kebun campur komplek, (4) kebun kayu dan (5) kebun monokultur. Profitabilitas terbesar berturut turut adalah kebun monokultur, kebun campur, kebun kayu dan tanaman semusim (jagung). Diketahui pada desa-desa yang banyak mengelola kebun campur, memiliki tingkat pendapatan yang lebih baik dibanding dengan desa-desa yang dominan tanaman semusim. Tipologi hasil valuasi penggunaan lahan dapat dijadikan masukan dalam rencana pengembangan agroforestri khususnya aspek produktivitas dan adoptabilitas. Tipologi ini memperlihatkan bagaimana tingkat produktivitas sistem penggunaan lahan yang ada sekarang dengan berbagai kombinasi komponen pohon. Selain itu hasil valuasi juga memperlihatkan bagaimana asupan tenaga kerja dan keuntungan tenaga kerja (return to labor) yang beragam—tidak selalu sebanding dengan tingkat penerimaan per unit area. Valuasi penggunaan lahan merupakan salah satu komponen dalam tahap diagnosa sehingga pengembangan agroforestri dapat dilakukan dengan optimal dan tujuan perbaikan linkungan dan penghidupan bisa tercapai. Katakunci: valuasi lahan, profitabilitas finansial, pengembangan agroforestri

Page 87: Agroforestry Di Katingan

87

D2 Pengelolaan Hutan Rakyat Sengon di Sub DAS Citanduy Hulu:

Tinjauan Kelayakan Usaha dan Skenario Profitabilitasnya (Kasus di Desa Kiarajangkung, Kecamatan Sukahening, Kabupaten Tasikmalaya)

Devy Priambodo Kuswantoro, Sanudin, dan Nana Sutrisna Balai Penelitian Teknologi Agroforestry

ABSTRAK

Keberadaan tutupan hutan yang cukup dapat menjamin ketersediaan sumber air baik kualitas maupun kuantitasnya terlebih di daerah hulu DAS. Penanaman berbagai jenis tanaman baik kayu-kayuan maupun tanaman pertanian dalam dalam konsep hutan rakyat agroforestri yang banyak dilakukan oleh masyarakat menjadi salah satu bentuk usaha menjaga lingkungan dan sekaligus memberikan sumbangan bagi pendapatan keluarga. Usaha hutan rakyat yang dilakukan oleh petani masih sekedar usaha subsisten yang sebetulnya apabila dikelola dengan baik dapat memberikan keuntungan yang lebih baik. Kajian ini ingin memberikan gambaran kelayakan usaha dan skenario profitabilitas hutan rakyat pola agroforestri berbasis Sengon sebagai tanaman kayu dominan yang diusahakan. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus di Desa Kiarajangkung, Kecamatan Sukahening, Kabupaten Tasikmalaya yang termasuk dalam wilayah Sub DAS Citanduy Hulu. Pengambilan data dilakukan pada bulan Juni-November 2012 dengan menggunakan teknik wawancara responden petani hutan rakyat pola agroforestri serta diskusi dengan stakeholder di desa. Data biaya dan pendapatan hutan rakyat selanjutnya dilakukan perhitungan kelayakan usaha dengan parameter Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost Ratio (BCR). Adapun untuk menentukan skenario profitabilitas menggunakan software Stella 9.02. Pengelolaan tanaman sengon dalam pola hutan rakyat agroforestry di Desa Kiarajangkung ternyata sesuai dengan kriteria tata ruang yang dapat memberikan hasil air yang optimal. Hasil perhitungan NPV menunjukkan bahwa usaha hutan rakyat agroforestry berbasis sengon yang selama ini diusahakan oleh responden petani di Desa Kiarajangkung memperlihatkan kelayakan usaha. Semakin lama daur yang digunakan oleh petani untuk pengusahaan sengon, maka nilai manfaat yang didapat akan semakin besar. Hasil ini memperlihatkan bahwa usaha hutan rakyat agroforestri berbasis sengon sudah merupakan bentuk pilihan pemanfaatan penggunaan lahan yang baik. Petani diharapkan dapat mengikuti daur budidaya Sengon agar didapat keuntungan yang lebih besar. Kata kunci: hutan rakyat, agroforestri, Sengon, Sub DAS Citanduy Hulu

Page 88: Agroforestry Di Katingan

88

D3 Biochar : Rahasia Peningkatan Pendapatan Agroforestry

pada Hutan Tanaman Kayu Energi di Provinsi Nusa Tenggara Barat Rachman Effendi*), Tati Rostiwati**), dan Sofwan Bustomi**) *)Peneliti pada Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan

**) Peneliti pada Pusat LitbangPeningkatan Produktivitas Hutan

ABSTRAK PT. Sedana Arifnusa yang telah membangun hutan tanaman untuk pengomprongan tembakau berkaitan dengan dicabutnya subsidi minyak tanah di Kabupaten Lombok. Terdapat dua alternatif pengganti bahan bakar, yaitu kayu bakar dan batu bara. Kenyataannya para petani tembakau di Kabupaten Lombok Timur lebih senang menggunakan kayu, sehingga diperlukan pembangunan HTI penghasil kayu energi. Memang saat ini pembangunan HTI penghasil kayu energi belum menarik bagi industri pengolahan kayu dan pengelolaannya belum optimal serta membutuhkan produktitivitas lahan yang tinggi meskipun dilakukan dengan system agroforestry. Untuk itu perlu diketahui rahasia apa yang perlu dilakukan dalam upaya peningkatan pendapatan baik dari hasil kayunya maupun dari hasil tumpangsarinya. Makalah ini bertujuan untuk mengkaji kelayakan ekonomi pembangunan HTI penghasil kayu energi sistem agroforestry dan seberapa besar peningkatan pendapatan hasil panen dengan penambahan biochar. Pengumpulan data dilakukan terhadap pelaku usaha HTI dan petani produsen kayu energi yang terlibat dengan pola kemitraan di Kabupaten Lombok Timur. Metode penelitian dilakukan dengan menganalisis kelayakan usaha dengan kriteria investasi yaitu nilai-nilai NPV, IRR, dan BCR kemudian dihitung peningkatan pendapatan dengan adanya penambahan biochar dalam pengelolaannya. Hasil analisis menunjukan pembangunan hutan tanaman kayu energi sebagai alternatif bahan bakar omprongan tembakau layak dan sangat potensial untuk dikembangkan di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penggunaan Biochar sebesar 30% terhadap bibit tanaman dan 40% terhadap penanaman dapat meningkatkan pendapatan sebesar 25% untuk pola tanam mandiri dan 21% untuk pola tanam kemitraan. Penambahan biochar sebanyak 5 ton/ha terhadap tanaman padi dan 2,5 ton/ha terhadap tanaman jagung dalam satu hamparan dengan sistem agroforestry pada pembagunan hutan tanaman kayu energi jenis turi yang berdampak terhadap penambahan biaya pembangunan hutan tanaman sebesar 50%, dapat meningkatkan pendapatan petani sebesar 69% untuk pola tanam kemitraan dan secara ekonomi finansial sangat layak dan dapat dipertimbangkan untuk diprioritaskan pembangunannya. Kata kunci : omprongan, HTI, kayu energi, kelayakan ekonomi

Page 89: Agroforestry Di Katingan

89

D4 Strategi Peningkatan Efisiensi dan Margin Pemasaran

melalui Revitalisasi Tataniaga Produk Agroforestri Wahyu Andayani

Staf Pengajar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

ABSTRAK Peningkatan pendapatan petani dari usahatani agroforestri baik yang dilaksanakan di hutan negara (melalui skema pengelolaan hutan bersama masyarakat/PHBM maupun yang diusahakan di lahan milik (misalnya: hutan rakyat) ternyata mampu memberikan kontribusi terhadap pendapatan keluarga cukup signifikan, yaitu antara 20% sd 60%. Jenis tanaman yang diusahakan antara lain : kayu, herbal, umbi, dan kacang mete. Meskipun mampu memberikan manfaat ekonomi yang baik, tetapi sebenarnya persentase tersebut masih dapat dinaikkan apabila dalam proses tataniaganya, petani memiliki posisi tawar yang tinggi. Saat ini, profit margin dan marketing margin yang diterima petani masih rendah (rata –rata baru 15% sd 20%), sehingga margin yang tinggi dinikmati pedagang (penebas, pengepul). Faktor penyebab rendahnya margin yang diterima petani antara lain karena : (1) posisi tawar yang rendah, (2) panjangnya rantai pasar, (3) produk berupa bahan baku, (4) minimum informasi pasar, dan (5) kebijakan pemerintah yang tidak memihak petani. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sistem tataniaga produk agroforestri saat ini masih berada pada tahap belum efisien. Untuk mencapai tingkat efisiensi perlu strategi revitalisasi tataniaga melalui : (a) membentuk lembaga di tingkat petani, misalnya : koperasi, (b) memperpendek sistem tataniaga, (c) meningkatkan posisi tawar dengan strategi meminimumkan kendala/faktor pembatas yang dimiliki petani, (c) dukungan kebijakan pemerintah melalui regulasi yang bersifat insentif bagi petani, (c) meningkatkan nilai tambah dan daya saing.pada sistem tataniaga yang lebih transparan. Kata kunci: posisi tawar, marjin keuntungan, marjin pemasaran, efisiensi

Page 90: Agroforestry Di Katingan

90

D5 Karakteristik dan Prospek Ekonomi Sistem Agroforestri

di Kabupaten Bireuen Aceh Halus Satriawan dan Zahrul Fuady

Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Almuslim Bireuen-Aceh

ABSTRAK Agroforestri sudah cukup dikenal dan diterapkan secara luas oleh masyarakat di Kabupaten Bireuen sebagai bentuk perkebunan rakyat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan pola tanam agroforestri serta potensi pendapatan masyarakat di Kabupaten Bireuen Provinsi Aceh. Penelitian dilakukan dengan metode survey menggunakan teknik purposive sampling dimana sampel yang diambil adalah petani yang menerapkan sistem Agroforestri di 3 kecamatan yang mewakili wilayah kabupaten. Karakteristik agroforestri yang diamati adalah jenis, pola tanam, umur tanaman dan ragam komoditas tanaman. Karakteristik usahatani yang diamati adalah luas kepemilikan, lama pengusahaan, tingkat pengelolaan, jenis sarana produksi, biaya dan pendapatan usahatani, hambatan usaha tani dan keterlibatan pemerintah. Berdasarkan hasil survey dan interview ditemui 2 jenis utama sistem agroforestri yaitu agrisilvikultur dan agrosilvopastural. Agrisilvikultur dipraktikkan dengan sistem tumpangsari, alley cropping dan intercropping yang dikelola secara intensif (90%) dan tradisional-semi intensif (10%). Jenis tanaman yang dibudidayakan terdiri dari kelompok pepohonan (sengon, mahoni), tanaman penghasil buah (kakao, pepaya, pinang, kelapa, kelapa sawit), tanaman penghasil pakan ternak, tanaman pangan dan hortikultura dengan kisaran umur tanaman <1-17 tahun. Rata-rata kepemilikan lahan 1,6 ha dengan pengalaman usaha tani 7,3 tahun. Rata-rata biaya usahatani agroforestri yang dikeluarkan petani untuk bibit/benih, pupuk, pestisida, insektisida, dan peralatan/mesin sebesar Rp 4.332.857/tahun, dengan rata-rata pendapatan usahatani Rp 19.480.714/tahun. Jumlah biaya produksi sangat tergantung dari jenis tanaman dan luas usaha tani yang dikembangkan. Biaya produksi tertinggi diperoleh pada agrisilvikultur dengan kombinasi tanaman tahunan-pangan- hortikultura, sedangkan terendah pada agrosilvopastural. Petani mengalami kendala rendahnya harga produk usahatani karena penentu harga di tingkat petani adalah pedagang pengumpul. Heterogenitas tanaman dan keberlanjutan pendapatan petani dari penerapan agroforestri memberikan keamanan dan ketahanan sosial dan ekonomi bagi masyarakat sehingga diperlukan perhatian intensif pemerintah melalui penyuluhan, pelatihan, dan pendampingan dalam mengelola tanaman unggulan. Kata Kunci: Agroforestri, usahatani, karakteristik.

Page 91: Agroforestry Di Katingan

91

E1 Pengaruh Provenan terhadap Resistensi Karat Tumor

pada Semai Sengon(Falcataria moluccana) Levina Augusta G.Pieter, Asep Rohandi, dan Gunawan

Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Ciamis

ABSTRAK Sengon (Paraserianthes falcataria) yang sekarang dikenal dengan nama baru (Falcataria moluccana) merupakan tanaman yang masuk kedalam famili Mimosae termasuk dalam fast growing species. Pada saat ini, penyakit yang banyak menyerang sengon adalah karat tumor yang disebabkan oleh jamur Uromycladium tepperianum. Pada tingkat serangan yang tinggi, dapat mengakibatkan kematian pada tanaman. Hal ini dapat menyebabkan kerugian yang besar. Respon tanaman terhadap penyakit dipengaruhi oleh karakteristik genetik dari tanaman tersebut dan faktor lingkungan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui provenan mana yang cenderung tahan terhadap serangan karat tumor. Provenan yang diuji sebanyak 8 provenan yaitu P1) Hobikosi, Holima, Elagaima, Mualima, Meagama, Muai; P2) Waga-waga, Siba; P3) Nifasi, Worbag,Maidi; P4) Warmara, Yansoribo; P5) Wadapi, Menawi; P6) Candiroto, Wonogiri, Ngadisono; P7) Solomon; dan P8) Ciamis. Rancangan yang digunakan adalah rancangan Acak berblok dengan jumlah 4 blok ulangan dalam setiap blok terdapat 36 tanaman, sehingga total 144 tanaman. Pengamatan parameter yang dilakukan meliputi intensitas dan luas serangan selama 3 bulan serta pengukuran kondisi lingkungan berupa suhu dan kelembaban. Pengolahan data statistik dilakukan dengan menggunakan program SAS. Pada akhir penelitian, hasil evaluasi dan analisis serangan karat tumor pada tanaman sengon menunjukkan bahwa perbedaan provenan yang diuji tidak berpengaruh nyata terhadap ketahanan tanaman sengon pada penyakit karat tumor. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa luas serangan berkisar antara 0-21,25%, sedangkan intensitas serangan antara 0-18%. Provenan dengan tingkat serangan tertinggi terdapat pada provenan Solomon dengan luas serangan 21,25% dengan status “kadang-kadang” dan intensitas serangan sebesar 18 % yang termasuk status tingkat keparahan “rendah”. Sementara itu, beberapa provenan yang tidak terinfeksi oleh jamur karat tumor adalah P1 (Hobikosi, Holima, Elagaima, Mualima, Meagama, Muai) dan P5 (Wadapi, Menawi).

Kata kunci : Karat tumor, Provenan, Semai Sengon

Page 92: Agroforestry Di Katingan

92

E2 Analisis Awal: Pemakaian Marka Molekuler RAPD

untuk Pendugaan Keragaman Genetik Plasma Nutfah Aren Sumatera Utara Lollie Agustina P. Putri 1), Mahyuni. K. H 2), M. Basyuni 3), Indra Eko Setyo4)

1) Staf Pengajar Fakultas Pertanian Program Studi Agroekoteknologi USU 2) Mahasiswa Program Magister Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian USU

3) Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian USU 4) Staf Peneliti Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan

ABSTRAK

Tanaman aren (Arenga pinnata Merr.) adalah tanaman tahunan yang potensial untuk dikembangkan di daerah Sumatera Utara. Pada umumnya tanaman aren belum dibudidayakan sehingga produktivitas tanaman rendah dan dikhawatirkan populasi tanaman makin menurun bahkan dapat memicu hilangnya plasma nutfah aren. Kajian integrasi molekuler dan pemuliaan konvensional akan menjadi pijakan yang kokoh untuk peningkatan mutu genetis dalam produksi bahan tanaman aren. Bahan tanaman yang digunakan adalah aren dari populasi alam daerah Tapanuli Selatan (7 aksesi Angkola Barat dan 5 aksesi Angkola Selatan). Isolasi DNA genom dilakukan dengan prosedur isolasi DNA dengan metode CTAB dan modifikasi pada konsentrasi polyvinilpolypirilidon (PVPP) dan 2-merkaptoetanol. Matriks jarak atau ketidaksamaan genetik untuk semua kombinasi pasangan individu dapat dilakukan dengan dua tipe analisis deskriptif dari keragaman yaitu Principal Coordinates Analyisis (PCoA) dan Neighbor-Joining Tree (NJtree). Perhitungan dan analisis deskriptif ini menggunakan software DARwin5.05. Total jumlah lokus yang diperoleh dengan 3 primer RAPD adalah 31 lokus diantara 12 aksesi aren yang digunakan, dengan jumlah minimum 10 lokus pada primer OPC-12, 11 lokus pada primer OPC-07 dan OPD-03. Hasil análisis faktorial PCoA menunjukkan bahwa aksis 1 dan aksis 2 mampu menjelaskan keragaman sebesar 63.30 %. Dua belas aksesi tersebar pada kuadran yang berbeda. Profil pohon filogenetik berdasarkan analisis pengelompokan Unweighted Pair-Group Method with Arithmetic dengan metode Matrix Dissimilarity Simple Matching untuk 12 aksesi pada 3 primer RAPD yang polimorfik. Hasil perhitungan analisis hubungan genetik untuk koefisien kesamaan genetik menunjukkan bahwa 12 aksesi aren terbagi dalam 3 group besar. Pada penelitian ini, persentase lokus yang polimorfik dapat menjadi acuan untuk melihat kekayaan diversitas gen. Aksesi aren yang merupakan populasi alam memiliki keragaman genetik yang tinggi karena belum dibudidayakan secara intensif dan masih sedikit mengalami penekanan seleksi. Kata kunci : aren, marka RAPD, keragaman genetik

Page 93: Agroforestry Di Katingan

93

E3 Dampak Pola Tanam Tumpangsari terhadap Adaptibilitas dan Pertumbuhan Lima Provenan Tanaman Pulai Gading

Mashudi, Hamdan Adma Adinugraha, dan Dedi Setiadi Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta

ABSTRAK

Pulai gading (Alstonia scholaris (L.) R.Br.) merupakan jenis lokal dan tumbuh cepat yang berpotensi bagus untuk pengembangan hutan rakyat.Dua plot uji keturunan tanaman pulai gading telah dibangun di dua lokasi, yaitu Gunung Kidul, Yogyakarta dengan pola tanam tumpangsari dan Sumber Klampok, Bali tanpa tanaman tumpangsari. Secara khusus tulisan ini bertujuan untuk mengetahui adaptabilitas dan pertumbuhan tanaman pulai gading dengan pola tanam tumpangsari dan tanpa tanaman tumpangsari. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Randomized Complete Block Design dengan perlakuan asal populasi. Dalam penelitian ini digunakan 5 asal populasi, yaitu : Lombok, NTB; Jayapura, Papua; Solok, Sumbar; Timor, NTT dan Bali dengan jumlah pohon induk sebanyak 48. Masing-masing pohon induk ditanam 4 bibit dan diulang sebanyak 4 kali (blok) untuk plot uji di Gunung Kidul dan 6 kali (blok) untuk plot uji di Bali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya adaptasi dan pertumbuhan tanaman uji pulai gading dengan pola tanam tumpangsari lebih baik dibanding dengan tanaman uji tanpa tanaman tumpangsari. Persen hidup tanaman umur 1 tahun dengan pola tanam tumpangsari berkisar antara 88,33 – 96,55 %, sedangkan persen hidup tanaman tanpa tanaman tumpangsari berkisar antara 59,38 – 85,42 %. Pada pola tanam tumpangsari rata-rata tinggi tanaman berkisar antara 0,93 – 1,30 m sedangkan pada tanaman tanpa tumpangsari rata-rata tinggi tanaman berkisar antara 0,93 – 1,05 m. Rata-rata diameter batang pada tanaman dengan pola tumpangsari berkisar antara 1,60 – 2,45 cm sedangakn pada tanaman tanpa tumpangsari berkisar antara 1,21 – 1,30 cm. Populasi Lombok dan Bali merupakan dua populasi terbaik untuk sifat tinggi tanaman dan diameter batang pada pola tanam tumpangsari dan tanpa tanaman tumpangsari. Rata-rata tinggi tanaman populasi Lombok dan Bali untuk pola tanam tumpangsari masing-masing sebesar 1,30 m dan 1,24 m sedangkan pada tanaman tanpa tumpangsari masing-masing sebesar 1,05 m dan 1,02 m. Rata-rata diameter batang populasi Lombok dan Bali untuk pola tanam tumpangsari masing-masing sebesar 2,45 cm dan 2,21 cm sedangkan pada tanaman tanpa tumpangsari masing-masing sebesar 1,30 cm dan 1,27 cm. Kata kunci: pertumbuhan, provenan, pulai gading (Alstonia scholaris), tumpangsari

Page 94: Agroforestry Di Katingan

94

E4 Peningkatan Kualitas Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl.)

dengan Perlakuan Panas Agus Ngadianto, Wiyono

Staf Pengajar Pengelolaan Hutan, Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada

ABSTRAK Salah satu upaya perlakuan modifikasi pada kayu-kayu berkualitas rendah agar dapat ditingkatkan kualitasny adalah dengan perlakuan panas. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas kayu-kayu berkualitas rendah yang pada penelitian ini mengambil sampel dari kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl.) yang banyak ditanam di hutan rakyat di kawasan Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta. Metode penelitian dalam penelitian ini menggunakan 2 faktor variasi yaitu metode perlakuan panas dan lama waktu perlakuan panas. Dua macam perlakuan panas diaplikasikan pada kayu, yaitu proses hidrotermal dan proses termal. Semua perlakuan dilakukan sebanyak 3 ulangan dan dibandingkan dengan sampel kontrol tanpa perlakuan apapun. Pengujian produk meliputi sifat fisika (perubahan warna, kadar air, berat jenis dan perubahan dimensi), dan sifat mekanika (keteguhan lengkung statis yang meliputi modulus patah/MoR dan modulus elastisitas/MoE. Hasil penelitian menunjukkan faktor metode pemanasan berpengaruh pada kadar air, perubahan warna, dan pengembangan arah radial pada kayu afrika. Sementara itu, faktor lama waktu pemanasan dan interaksi antara kedua faktor tersebut berpengaruh sangat nyata pada kadar air dan perubahan warna saja. Semakin lama waktu pemanasan menyebabkan turunnya kadar air dan perubahan warna yang semakin besar. Nilai berat jenis, modulus patah dan modulus elastisitas kayu tidak berpengaruh secara signifikan pada metode dan waktu perlakuan panas yang diterapkan. Hasil terbaik dalam penelitian ini jika dibandingkan dengan kontrol diperoleh pada kombinasi perlakuan dengan metode penguapan (steam) selama 2 jam dengan nilai kadar air 10,19%, Berat jenis 0,37, perubahan warna 37,34, penyusutan arah longitudinal 0,31%, penyusutan arah tangensial 1,57%, penyusutan arah radial 0,50%, pengembangan arah longitudinal 0,68%, pengembangan arah tangensial 3,50%, pengembangan arah radial 1,61%, nilai modulus patah 601,85 Kgf/cm2 dan nilai modulus elastisitas 66.477,67 Kgf/cm2.

Kata Kunci : Perlakuan termal, Kayu afrika, Kualitas kayu, Sifat fisika, Sifat

mekanika

Page 95: Agroforestry Di Katingan

95

E5 Yogurt Susu Kecipir sebagai Makanan Fungsional Hipokolesterol

Siti Tamaroh Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Agroindustri,

Universitas Mercu Buana Yogyakarta

ABSTRACT In this research yogurt made from winged bean milk with 2 treatments , the first was addition 5% (v/v) of the starter, with ratio of amount inoculum Lactobacillus bulgaricus and Streptococcus thermophilus (LB : ST = 1:1, 1:2, 2:1 v/v), and the second was addition of skim milk 4%, 6% dan 8% (w/w). Yogurt in this studi were preferent test (Hedonic’s scale test) and the most preferred yogurt was tested its potential as functional food hipokolesterol (using animals mice test) and chemical test, there are moisture content, protein content, pH, acidity (as lactic acid) , total soluble solid and total number cells of lactic acid bacteria . The results of the researh showed that winged bean milk yogurt treat LB:ST = 1:2, skim milk 6% (w/w), the most preferred. Yogurt parameters are moisture content 88,29 (% wb), protein content 2,81 (% db), pH 3,5, acidity (as lactic acid) 0,51%, total soluble solid 6,19%. and number lactic acid bacteria cells 107 sel/ml. The results hipokolesterol potential as a functional food (yogurt 2g/d test animals were given), were blood lipid profile which was decreased blood cholesterol (44%), triglycerides (46%), LDL (77%) and the increase was HDL (54%).Whereas test animals were given yogurt 4g/d, showed changes in blood lipid profiles that decreased blood cholesterol (54%), triglycerides (50%), LDL (95%) and an increase in HDL (35%). Keywords: winged bean milk yogurt, ratio LB: ST, skim milk, blood lipid profile

Page 96: Agroforestry Di Katingan

96

E6 Potensi Terpendam Biji Nangka (Artocarpus Heterophyllus)

sebagai Bahan Substitusi Pembuatan Keju Nabati Ramah Lingkungan Yunita Pane dan Diah Nur Maulida

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya

ABSTRAK Biji nangka memiliki kandungan gizi yang lebih tinggi sebagai bahan substitusi

pembuatan keju nabati dibandingkan bahan dasar pembuatan keju susu sapi dan susu kedelai. Dalam memaksimalkan pemanfaatan pada biji nangka (Artocarpus heterophyllus)maka di ambil alternative biji nangka sebagai bahan baku pembuatan keju nabati yang ramah lingkungan dengan harga yang ekonomis.Minimnya bahan baku pembuatan keju menjadi salah satu faktor mahalnya harga keju di Indonesia. Keju yang biasanya dibuat dengan bahan dasar susu protein memiliki kandungan lemak yang cukup tinggi sehingga diperlukan alternative bahan dasar substitusi pembuatan keju yang bersifat nabati dalam upaya menekan angka penderita obesitas dikalangan masyarakat Indonesia. Metodelogi Penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang disusun secara faktorial dengan 2 faktor.Faktor I terdiri dari 2 level dan faktor II terdiri dari 3 level sehingga diperoleh 6 kombinasi perlakuan. Masing-masing perlakuan diulang 3 kali, sehingga didapatkan 18 satuan percobaan. Faktor I (A) adalah lama pemeraman yaitu 1 dan 2 bulan. Faktor II (B) adalah penambahan susu biji nangka yaitu 10%, 20% dan 30%. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah biji nangka berpotensi sebagai bahan dasar pembuatan keju nabati yang ramah lingkungan dan ekonomis.Biji nangka memiliki kandungan gizi yang lebih tinggi dibandingkan kandungan bahan dasarkedelai dan susu sapi. Komposisi kimia susu biji nangka memiliki energi 165kkal/100gram, protein 4,2gram, lemak 0,1gram, 36,7g/100gram, karbohidrat 36,7g/100gram, kalsium 33,00mg, fosfor 200mg/100gr, besi 1,0mg/100, Vitamin A (SI) 200,00, Vitamin B 0,2mg, Vitamin c 10,00mg, Air 87,00gr. Komposisi kimia susu biji nangka lebih tinggi dibandingkan susu sapi maupun kedelai. Kata kunci : biji nangka, manfaat, keju, kandungan gizi

Page 97: Agroforestry Di Katingan

97

E7 Karakteristik Sifat Fisik dan Kimia Mangga Lokal

dari Hutan Masyarakat Kalimantan Selatan Zahirotul Hikmah Hassan1, Yanuar Pribadi2, Achmad Rafieq2

1Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Selatan

ABSTRAK

Kalimantan sebagai salah satu kawasan hutan tropis yang masih tersisa memiliki kekayaan plasma nutfah yang sangat beragam, di antaranya buah mangga lokal Kalimantan Selatan yang keberadaannya mulai menurun karena tumbuh sebagai buah hutan, tanpa dibudidayakan dan pemeliharaan yang baik. Studi ini bertujuan untuk melakukan karakterisasi sifat fisik, sifat kimia dan uji preferensi konsumen terhadap buah mangga lokal di Kalimantan Selatan. Dari kegiatan identifikasi di sentra produksi mangga lokal di Kalimantan Selatan, yaitu di Desa Pembantanan Kecamatan Sungai Tabuk Kabupaten Banjar, Desa Hamak, Desa Telaga Langsat, dan Desa Mandala Kecamatan Telaga Langsat Kabupaten Hulu Sungai Selatan, diketahui bahwa saat ini ada 22 jenis mangga lokal yang berkembang di masyarakat, yaitu hambawang biasa, hambawang pisang, hambawang kalambuai, hambawang tapah, rawa-rawa humbut, rawa-rawa biasa, asam buluh, mangga golek, mangga gadung, kuini, kasturi, hampalam nagara, tandui manis, tandui masam, asam pauh, pulasan, palipisan, hampalam hambuku, hampalam biasa, mangga apel, binjai manis, binjai masam. Karakterisasi sifat fisik meliputi berat buah (g), volume buah (ml), densitas buah (g/ml), panjang buah (cm), lebar buah (cm), nisbah P/L, tebal buah (cm), daging buah (%), tebal daging buah (cm), kulit buah (%), tebal kulit (cm), berat biji (g), panjang biji (cm), lebar biji (cm), tebal biji (cm), bobot yang dapat dimakan/BDD, warna kulit buah muda, warna kulit buah masak, dan warna daging buah. Analisis kimia mencakup kadar air, total gula, kadar serat, total asam, kadar protein, vitamin C, dan total padatan terlarut. Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui penerimaan konsumen yang mencakup aspek bentuk, warna (daging dan kulit), aroma, tekstur, tingkat kemanisan dan rasa. Hasil pengamatan menunjukkan adanya keragaman sifat fisik, kimia, dan preferensi konsumen terhadap buah mangga lokal Kalimantan Selatan, baik antarjenis dalam spesies yang sama, maupun antarspesies dalam genus yang sama. Hasil identifikasi dapat digunakan sebagai referensi untuk pelestarian buah lokal dengan strategi pengembangan pada aspek pemuliaan, budidaya, dan pascapanen. Kata kunci: karakteristik fisik, karakteristik kimia, preferensi konsumen, mangga

lokal Kalimantan Selatan

Page 98: Agroforestry Di Katingan

98

E8 Nilai Kalor Acacia decurrens sebagai Bahan Baku Arang Kayu

Masyarakat Pegunungan Tinggi Liliana Baskorowati, Mohammad Anis Fauzi, Dedi Setiadi, dan Mudji Susanto

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta

ABSTRAK Kebutuhan akan kayu untuk energi (kayu bakar dan arang) di dunia menunjukkan peningkatan yang nyata. Untuk mendukung tersedianya kayu bakar didaerah dataran tinggi, sudah saatnya mulai diidentifikasi dan diteliti jenis-jenis tanaman kayu yang memiliki nilai kalor tinggi. Salah satunya adalah Acacia decurrens. Jenis pohon ini merupakan jenis exotic yang memiliki sebaran alam di New South Wales dan tersebar di Australian Capital Territory. A. decurrens di Indonesia mudah ditemui di ketinggian 800-2300 m dpl dan tumbuh baik di sekitar pegunungan yang ada di Pulau Jawa. Di Jawa khususnya, masyarakat yang tinggal di pegunungan menggunakan jenis kayu A. decurrens sebagai sumber bahan baku kayu arang, selain menggunakan kulit kayunya yang menggandung tannin untuk bahan pewarna pakaian. Mengingat jenis ini dapat dikembangkan untuk mendukung masyarakat hutan di pegunungan maka penelitian yang menitik beratkan pada nilai kalor dilakukan. Nilai kalor dilakukan dengan menggambil sampel berupa kayu A.decurrens dari populasi Gunung Ciremai, Gunung Merbabu, Gunung Semeru dan Gunung Bromo. Masing-masing populasi diambil 6 pohon dengan cluster diameter sebagi berikut: 2 pohon Ø kecil 5-10 cm, 2 pohon Ø sedang 10-15 cm dan 2 pohon Ø besar 15 cm ke atas. Pada tiap sortimen batang diambil sampel kayu setebal 2-3 cm di bagian pangkal dan cabang. Tiap sampel kayu sebelum dianalisa nilai kalor, dipotong dengan ukuran 1 x 1 cm, selanjutnya dianalisa nilai kalornya menggunakan alat Bom Kalorimeter. Hasil analisa nilai kalor kayu A. decurrens menunjukkan bahwa terdapat beberapa famili jenis tersebut yang diidentifikasi memiliki nilai kalor tinggi. Kata kunci: Acacia decurrens, nilai kalor, kayu arang, pegunungan

Page 99: Agroforestry Di Katingan

99

E9 Karakteristik Bentuk Dolok Manglid (Manglieta glauca Bl.)

dan Hubungannya dengan Rendemen Penggergajian Mohamad Siarudin dan Ary Widiyanto Balai Penelitian Teknologi Agroforestry

ABSTRAK

Manglid (Manglietia glauca Bl.) merupakan salah satu jenis cepat tumbuh yang banyak dikembangkan di lahan rakyat Jawa Barat dengan pola agroforestry dan secara umum dimanfaatkan sebagai bahan baku kayu pertukangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur karakteristik bentuk dolok manglid dan mengetahui hubungan masing-masing karakteristik bentuk dolok tersebut dengan rendemen penggergajiannya. Sejumlah 6 pohon manglid berumur 20-30 tahun diambil pada tegakan hutan rakyat pola agroforestry multistrata di Desa Sodonghilir, Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya. Pohon manglid yang telah ditebang dipotong menjadi dolok dengan panjang 200 cm. Selanjutnya dipilih 34 dolok manglid secara acak yang dikelompokkan ke dalam 2 kelompok dengan mempertimbangkan keragaman diameter yang seimbang pada masing-masing kelompok. Kelompok pertama sejumlah 17 dolok dibelah dengan pola satu sisi (Live sawing pattern) dan kelompok kedua dengan jumlah yang sama dibelah dengan pola semi perempatan (Semi quarter sawing pattern). Pengamatan karakteristik bentuk dolok dilakukan sebelum proses penggergajian dilakukan, dengan parameter: diameter dolok (rata-rata diameter ujung dan pangkal dolok), keruncingan, kebundaran, dan kelengkungan. Pengukuran rendemen penggergajian dilakukan setelah proses penggergajian, yaitu persentase volume papan yang dihasilkan terhadap volume dolok. Hubungan karakterisistik bentuk dolok dan rendemen penggergajian dianalisis dengan analisis regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diameter dolok memiliki hubungan yang lebih erat dengan rendemen gergajian pada pola semi perempatan daripada pola satu sisi. Terdapat hubungan positif dimana semakin besar diameter maka semakin besar rendemen penggergajiannya. Sebaliknya, kelengkungan dolok memiliki hubungan yang lebih erat dengan rendemen gergajian pada pola satu sisi daripada pola semi perempatan. Semakin tinggi nilai kelengkungan, semakin kecil rendemen gergajiannya. Nilai keruncingan dan kebundaran memiliki hubungan yang tidak erat dengan rendemen gergajian pada dua pola. Pola satu sisi cocok digunakan pada penggergajian manglid semua kelas diameter, semua tingkat kebundaran dan pada log dengan kelengkungan tinggi, sedang pola semi perempatan untuk pohon manglid berkelas diameter besar. Kata kunci: dolok, manglid, pola penggergajian, rendemen