Agami Jawi

84
AGAMI JAWI: PRANATA YANG TERLUPA Posted September 8, 2014 Filed under: Budaya | Agami Jawi : Sebuah Pranata yang Terlupa http://berita.suaramerdeka.com/agami-jawi-sebuah-pranata-yang- terlupa/ 6 September 2014 Sistem religi Jawa merupakan hasil olah cipta rasa karsa dan daya spiritual orang Jawa. Olah cipta rasa karsa dan daya spiritual tersebut melahirkan pemahaman adanya maha kekuatan yang murba wasesa (mengatur dan menguasai) seluruh jagad raya dan isinya. Maka lahir kesadaran hakiki tentang adanya realitas tertinggi atau sesembahan yang disebut Kang Murbeng Dumadi (sebutan lain: Kang Maha Kuwasa, Hyang Wisesa, Hyang Tunggal, dan sebagainya). Karena dasarnya telah berwujud hasil olah cipta rasa karsa dan daya spiritual maka ada perjalanan menuju kesadaran adanya Realitas Tertinggi yang disebut Kang Murbeng Dumadi tersebut. Perjalanan menuju kesadaran adalah suatu proses penalaran yang dibarengi dengan laku kebatinan yang dalam khasanah Jawa disebut laku nawungkridha. Hasilnya berupa deskripsi Kang Murbeng Dumadi yang disebutkan sebagai “tan kena kinayangapa lan murbawasesa jagad saisine”. Sistem budaya agami Jawi setaraf dengan sistem budaya dari agama yang dianut orang Jawa. Terdapat berbagai keyakinan, konsep, pandangan dan nilai, seperti antara lain konsep keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa/Allah, konsep keykinan akan adanya Muhammad adalah pesuruh Allah, konsep keyakinan akan adanya nabi-nabi lain. Konsep keyakinan adanya tokoh-tokoh Islam yang keramat; keyakinan adanya konsep kosmogoni tertentu tentang penciptaan alam, yakni adanya dewa-dewa tertentu yang menguasai bagian- bagian dari alam semesta; memiliki konsep-konsep tertentu tentang hidup dan kehidupan setelah kematian, yakin akan adanya makhluk- makhluk halus penjelmaan nenek moyang yang sudah meninggal, yakni adanya roh-roh penjaga; yakin adanya setan, hantu dan raksasa;

description

Agami Jawi

Transcript of Agami Jawi

AGAMI JAWI: PRANATA YANGTERLUPAPosted September 8, 2014Filed under: Budaya | Agami Jawi : Sebuah Pranata yang Terlupahttp://berita.suaramerdeka.com/agami-jawi-sebuah-pranata-yang-terlupa/6 September 2014Sistem religi Jawa merupakan hasil olah cipta rasa karsa dan daya spiritual orang Jawa. Olah cipta rasa karsa dan daya spiritual tersebut melahirkan pemahaman adanya maha kekuatan yang murba wasesa (mengatur dan menguasai) seluruh jagad raya dan isinya. Maka lahir kesadaran hakiki tentang adanya realitas tertinggi atau sesembahan yang disebut Kang Murbeng Dumadi (sebutan lain: Kang Maha Kuwasa, Hyang Wisesa, Hyang Tunggal, dan sebagainya).Karena dasarnya telah berwujud hasil olah cipta rasa karsa dan daya spiritual maka ada perjalanan menuju kesadaran adanya Realitas Tertinggi yang disebut Kang Murbeng Dumadi tersebut. Perjalanan menuju kesadaran adalah suatu proses penalaran yang dibarengi dengan laku kebatinan yang dalam khasanah Jawa disebut laku nawungkridha. Hasilnya berupa deskripsi Kang Murbeng Dumadi yang disebutkan sebagai tan kena kinayangapa lan murbawasesa jagad saisine.Sistem budaya agami Jawi setaraf dengan sistem budaya dari agama yang dianut orang Jawa. Terdapat berbagai keyakinan, konsep, pandangan dan nilai, seperti antara lain konsep keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa/Allah, konsep keykinan akan adanya Muhammad adalah pesuruh Allah, konsep keyakinan akan adanya nabi-nabi lain. Konsep keyakinan adanya tokoh-tokoh Islam yang keramat; keyakinan adanya konsep kosmogoni tertentu tentang penciptaan alam, yakni adanya dewa-dewa tertentu yang menguasai bagian-bagian dari alam semesta; memiliki konsep-konsep tertentu tentang hidup dan kehidupan setelah kematian, yakin akan adanya makhluk-makhluk halus penjelmaan nenek moyang yang sudah meninggal, yakni adanya roh-roh penjaga; yakin adanya setan, hantu dan raksasa; dan yakin adanya kekuatan-kekuatan gaib dalam alam semesta ini.Dari hasil kesusasteraan juga dapat ditinjau keterkaitan antara agami Jawi dengan unsur-unsur agama Islam yang ditulis oleh para pujangga keraton Mataram pada abad XVI dan abad XVIII, seperti Serat Centhini, Primbon atau Suluk. Konsep keagamaan Jawa-Bali mengenai Tuhan yang dilambangkan sebagai Dewa Ruci juga dimasukkan dalam karangan yang mengandung pandangan magis-mistik yang sangat berorientasi kepada agami Jawi seperti Serat Darmogandhul dan Serat Gatholoco.Konsep mengenai Tuhan-Dewa Ruci juga banyak dijumpai dalam karya para puajangga keraton yang terkenal yang hidup dua abad sesudah itu, seperti Yasadipura I dan puteranya Yasadipura II, serta R.Ng. Ronggowarsito. Dalam gubahannya yang berjudul Serat Sasanasunu, Yasadipura II banyak menulis bait-bait mengenai sifat Tuhan dan mengenai hakekat dari hubungan antara Tuhan dan manusia. Demikian halnya dengan keyakinan tentang Nabi Muhammad, sistem keyakinan agama Jawi memandang Nabi Muhammad sangat dekat dengan Allah. Dalam setiap ritus dan upacara, pada waktu mengadakan pengorbanan, sajian, atau slametan, selain mengucapkan nama Allah, mereka juga mengucapkan nama Nabi Muhammad, yang dalam bahasa Jawa dinyatakan sebagai Kanjeng Nabi Muhammad Ingkang Sumare Ing Siti Medinah.Dalam hal keyakinan terhadap tokoh-tokoh keramat, selain keyakinan terhdap dewa-dewa yang berperan sebagai pelindung manusia, agama Jawi banyak mengangkat guru-guru agama menjadi orang keramat dalam sistem keyakinan orang Jawa seperti Walisanga, tokoh penyebar Islam yang bersifat historis. Agama Jawi juga memiliki keyakinan tersendiri terhadap konsepsi penciptaan alam semesta yang dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yakni :1. Mite-mite yang mengandung unsur-unsur dominan Hindu-Budha.2. Mite-mite yang mengandung unsur-unsur sinkretik antara Agama Jawi dan Islam.3. Mite-mite dengan unsur magis-mistik.Maneges : Sebuah Laku Kebatinan JawaSpiritualisme atau laku kebatinan berkaitan dengan pemahaman manusia akan hakekat hidupnya. Hal ini berkaitan langsung dengan sistem religi yang dipahami dan dianut. Pada sistem religi, mitologi, dan hakekat hidup Jawa, maka laku kebatinan Jawa juga sejalan dengan ketiga hal tersebut. Laku kebatinan jawa terbagi dalam tiga golongan, antara lain :1. Laku kebatinan sebagai bagian dari ritual panembah kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai sistem religi Jawa.2. Laku kebatinan yang berhubungan dengan menjaga panunggalan semesta yang berkaitan dengan mitologi Jawa.3. Laku kebatinan yang berhubungan dengan upaya mencapai tingkat titah utama.Spiritualisme keberadaban manusia, selanjutnya merupakan laku kebatinan untuk mencapai derajat manusia utama yang disebut Insan Kamil dalam khazanah lain. Laku kebatinan ini lebih mengutamakan kepada pendidikan moral yang disebut Piwulang Kautaman. Isi ajarannya tentang budi pekerti luhur yang harus dipenuhi setiap insan yang bercita-cita menjadi titah utama.Cukup luas cakupan laku spiritualisme keberadaban manusia, namun intinya adalah upaya menyelenggarakan hidup bersama yang tata tentrem kerta raharja. Termasuk dalam hal ini laku kebatinan untuk kepentingan mendapatkan berbagai daya linuwih untuk menunjang kehidupan duniawi.Laku kebatinan juga digunakan untuk mencari pesugihan, aji-aji, gendam, jimat, pusaka, dan sebagainya. Ilmu kebatinan jenis ini dalam Wedhatama dianggap kurang baik, karena dianggap melakukan persekutuan (kekarangan) dengan bangsa gaib, sebagaimana tercantum dalam pupuh Pangkur Wedhatama pada 9 berikut,Kekerane ngelmu karang, kekarangan saking bangsaning gaib, iku boreh paminipun, tan rumasuk ing jasad, amung aneng sajabaning dagng kulup, yen kapengok pancabaya, ubayane mbalenjani(Pengaruh atau andalan ngelmu karang itu berteman atau menadakan perjanjian (minta pertolongan) kepada bangsa gaib. Yang seperti itu ibaratnya hanya bedak yang tidak masuk ke jiwa raga. Tempatnya masih di luar daging. Ketika digunakan untuk menghadapi bahaya, biasanya malah jadi hambar, tidak berdaya guna)Laku kebatinan lain yang juga dipercaya dalam spiritualitas Kejawen terdiri atas tiga tingkatan, yaitu Maneges, Semedi, dan Wiridan.1. Maneges adalah perilaku kebatinan yang diwujudkan dalam kegiatan bertapa di tempat-tempat sepi yang bertujuan untuk meminta petunjuk Tuhan. Ada yang menyebutnya sebagai Sembah Jiwa kepada Tuhan.2. Semedi yang istilah populernya adalah meditasi, yaitu suatu kediatan kebatinan yang memiliki tujuan untuk mencapai ketenteraman batin dan menata dayaning urip (prana jati) agar dapat diberdayakan dalam menjalani hidup.3. Wiridan yaitu kegiatan batin dengan membaca atau melafalkan rapal (japa mantra) yang isinya untuk berserah diri kepada Tuhan. Umumnya dilakukan dengan rutin, dengan hitungan-hitungan tertentu.Ada banyak tatacara maneges, semadi, dan wiridan. Setiap penekunan kebatinan Jawa memiliki tatacara sendiri. Ada yang mudah dijalankan, ada yang sangat sulit, bahkan mustahil. Ada yang hanya dilakukan begitu saja tanpa syarat dan sarana apa-apa, ada yang perlu ubarampe berupa sesaji dan membakar dupa. Kesemuanya punya muara yang sama: menuju tingkat tertinggi spiritualitas manusia.MENCERMATI ASAL USUL KEPERCAYAAN, RELIGI DAN AGAMA JAWA KUNA Oleh: Dr. Roibin, MHIA. Pendahuluan Mengamati secara cermat asal-usul kepercayaan Jawa tidaklah sesederhana yang kita bayangkan. Kepercayaan Jawa yang banyak bersentuhan dengan mistik itu,[1] dalam realitasnya banyak menyimpan misteri yang sangat kompleks. Kompleksitas kepercayaan komunitas kejawen tidak jarang menampakkan berbagai sekte dan tradisi kehidupan dalam masyarakat Jawa. Sekte-sekte dan tradisi kehidupan itu sebagai bentuk manifestasi dari religiusitas masing-masing wilayah kejawen. Lebih menarik lagi, hampir setiap wilayah kejawen memiliki pedoman khusus khas Jawa, memiliki kosmogoni (asal-usul) kepercayaan dan mitos yang berbeda-beda serta unik.B. Cina, Islam Cina dan Religi Jawa KunaTidak sedikit para ilmuwan antropologi yang berbeda perspektif dalam melihat kosmogoni kepercayaan kejawen ini. Sebagian ilmuwan mengatakan bahwa kosmogoni kepercayaan Jawa diwarnai oleh kebudayaan Cina.[2] Pandangan ini didasarkan pada suatu pemikiran bahwa berita mengenai Cina di kepulauan Indonesia dapat dianggap sebagai sumber ke tujuh dalam sejarah politik Jawa pada abad ke-15 dan 16. Dalam catatan Narendra Agung dikatakan bahwa Cina ternyata sangat penting bagi pembentukan corak kepercayaan Islam di masyarakat Jawa. Demikian juga dalam catatan sejarah dari pusat-pusat perdagangan Cina di Jawa, menunjukkan bahwa telah ada orang Cina Muslim yang tinggal di Jawa.[3]Alasan di atas diperkuat oleh bukti historis bahwa pada saat Khubilai Khan berkuasa jauh sebelum abad ke-15 dan ke-16 M, yaitu pada tahun 1275 M, ia memberi kebebasan dan kepercayaan kepada orang-orang Islam dari Turkistan di Asia Tengah untuk keluar masuk negeri Cina. Orang-orang Turkistan Muslim itu selain beroleh kedudukan yang cukup baik, juga ada yang menduduki jabatan menteri di istana kaisar. Oleh karena itu orang-orang Turkistan dari Balkh, Bukhara dan Samarkand mulai melancarkan pengislaman terhadap orang-orang Mongol dan Cina serta orang-orang di wilayah kekuasaan Khubilai Khan. Pada saat itu sekalipun pengislaman di Cina hasilnya tidak seperti di Persia, India dan Turkistan, namun boleh dikatakan orang-orang Cina banyak yang masuk Islam. [4] Dari data di atas, tidak menutup kemungkinan bahwa Cina yang datang ke Jawa, baik atas dasar kepentingan perdagangan maupun politik dimungkinkan membawa tradisi dan kebudayaan Islam, selain juga tradisi dan kebudayaan khas mereka sendiri. Pandangan lain yang agak senada juga diungkapkan oleh J.H. Kern asal Belanda.[5]Menurutnya orang Jawa dianggap dari keturunan orang-orang Melayu yang berasal dari Cina. Kurang lebih tiga ribu tahun sebelum Masehi menurut pandangan Kern telah terjadi gelombang pertama imigran Melayu yang berasal dari Cina yang membanjiri Asia Tenggara, yang disusul kemudian dengan gelombang kedua, kurang lebih dua ribu tahun lamanya. Pengaruh imigran Melayu Cina ini, bagi masyarakat Jawa tidaklah kecil, melainkan kultur Cina baik yang sudah bersentuhan dengan kebudayaan Islam sebagaimana yang terjadi pada masa kekuasaan Khubilai Khan, maupun yang belum berinteraksi dengan Islam, betapapun telah banyak mempengaruhi karakter asli kebudayaan Jawa.C. Akulturasi Islam Campa, Hindu Campa dan Agama Jawa KunaSelain pengaruh kepercayaan dan kebudayaan Cina, kepercayaan Campa[6] juga tidak kalah pentingnya untuk mewarnai kepercayaan Jawa. Proses Islamisasi penyebaran Islam di Surabaya dan Gresik ternyata juga dilakukan oleh para penyebar Islam asal Campa.[7].Sekitar tahun 1446-1471 M telah terjadi pengungsian besar-besaran penduduk Campa ke Nusantara, utamanya di Pulau Jawa. Alasan pengungsian tersebut dikarenakan bangsa Campa diduduki oleh bangsa Vietnam. Tanpa disadari proses pengungsian tersebut telah terjadi proses asimilasi, kolaborasi dan akulturasi budaya maupun kepercayaan antara Bangsa Campa dan Jawa. Bangsa Campa sendiri adalah bangsa yang tinggal di kawasan pesisir Vietnam mulai dari daerah Bien Hoe di utara Saigon sampai ke Porte di Selatan Hanoi serta sebagian lagi tersebar ke Kampuchea. Bangsa Campa sudah dikenal eksistensinya sejak akhir abad ke-2 Masehi. Raja-raja Cina dari Dinasti Tsin telah melihat bahwa ada gerakan-gerakan mereka di selatan meski belum dikenali identitasnya. Pada abad ke-2 M inilah wilayah kekaisaran Cina sering diserbu oleh komunitas Barbar dari selatan. Orang-orang Barbar dari selatan itu ditengarahi berasal dari bangsa Campa.[8]Sejak itu pula Bangsa Campa telah menunjukkan pengaruh Hinduismenya. Hal ini membuat bangsa Campa harus berbenturan dengan bangsa Vietnam yang terpengaruh Cina. Sekalipun Bangsa Campa sepanjang sejarahnya tidak mampu mengembangkan wilayahnya ke utara, namun kebudayaannya yang terpengaruh India yang Hinduistik tetap bertahan selama berabad-abad dari desakan kebudayaan Cina-Vietnam.[9]Sejumlah sejarawan mengatakan pengaruh Islam di Campa tidaklah begitu besar sebelum tahun keruntuhannya pada tahun 1471 M akibat serangan dari Vietnam. Namun demikian persinggungan antara bangsa Campa dengan orang-orang Islam teridentifikasi sejak abad ke-10 M. Indikasi ini bisa dilihat ketika raja Campa Indravarman III mengirimkan seorang duta beragama Islam bernama Abu Hasan ke kaisar Cina pada tahun 951 dan 958 M.[10] Indikasi lain bisa dilihat pada berbagai prasasti bahasa Arab yang ditemukan di Campa pada tahun 1902-1907 setelah diteliti menunjukkan bahwa pada pertengahan abad ke-10 M. orang-orang Islam di Campa sudah memiliki otonomi dan pemukiman sendiri. Ini berarti Islam telah dikenal oleh Campa sejak abad ke-10 M.Dengan demikian, baik Cina maupun Campa sekalipun memiliki corak kepercayaan maupun kebudayaan yang khas pada wilayahnya masing-masing, namun proses interelasi dan inkulturisasi dengan Islam, sedikit banyak telah merubah iklim dan wajah kepercayaan dari dua bangsa tersebut menjadi kepercayaan yang saling melengkapi dan berasimilasi. Lebih-lebih ketika kedua bangsa tersebut mengungsi ke Jawa, maka kepercayaan Bangsa Campa utamanya telah berubah menjadi Hindu-Jawa dan Islam-Jawa. Sentuhan kepercayaan dan kebudayaan yang telah banyak mewarnai corak kepercayaan maupun kebudayaan bernuansa Islam di satu sisi dan Hindu di sisi yang lain telah melengkapi karakter asli kepercayaan Jawa di kalangan masyarakat Jawa.H.J. de Graaf juga mengatakan pada konteks yang sama bahwa pada abad ke-15 dan ke-16 M para pedagang dari wilayah Cina selatan dan pesisir Vietnam, yang sekarang Campa semakin aktif melakukan kegiatan di Jawa. Menurutnya para penyebar kebudayaan dan kepercayaan dari Cina dan Campa di Jawa pada abad ke-14 dan ke-15 M ketika itu, tidak sedikit membawa pengaruh signifikan terhadap adat dan tradisi keagamaan serta kepercayaan kepada masyarakat Jawa yang bercorak Hindu-Islam .[11] Dengan demikian kepercayaan asli Jawa, animisme dan dinamisme tidak menutup kemungkinan secara historis telah mengalami proses asimilasi dengan kepercayaan di atas. Uniknya elastisitas kepercayaan asli Jawa yang sanggup menampung berbagai kepercayaan yang datang dari luar itu, tetap mampu mempertahankan nilai keasliannya.D. Asal-usul Agama Jawa dan Leluhur JawaSecara antropologis orang Jawa memang telah lama ada. Hal ini terbukti telah ditemukan fosil-fosil di sekitar Bengawan Solo, Jawa Tengah. Fosil yang tertua disebut Pithecantropus Erectus dan fosil yang termuda disebut Homosoloensis. Karena fosil ini ditemukan di Jawa Tengah dapat diduga bahwa propinsi ini yang menjadi nenek moyang orang Jawa. Orang Jawa selalu menyatakan bahwa mereka adalah keturunan leluhur Jawa. Leluhur Jawa adalah orang yang mendirikan tanah Jawa.[12]Hanya saja, siapa yang menjadi pemula dari leluhur orang Jawa tersebut di antara para ahli masih berbeda pandangan. Pertama: pandangan yang beraggapan bahwa leluhur orang Jawa berasal dari Timur Tengah yang mengembara dengan cara berdagang sampai ke Jawa. Kedua: leluhur Jawa berasal dari dewa, yaitu Dewi Laksmi dan Dewa Wisnu, atas dasar itulah mayoritas komunitas kejawen memiliki karakteristik untuk mempertahankan nilai dan status sosialnya sebagai keturunan Dewa.[13] Ketiga: berasal dari seorang pengembara yang gemar keliling dunia seperti halnya Marcopolo. Ketiga asal-usul tersebut sama-sama logis dan menduduki peranan penting dalam kehidupan orang Jawa. Hal ini menggambarkan bahwa tradisi kepercayaan nenek moyang Jawa pun terjadi sinkretis antara Hindu Jawa dan Islam Jawa.[14] Hindu Jawa berasal dari tradisi India dan Campa sementara Islam Jawa berasal dari Timur Tengah dan sebagian tradisi Campa dan Tradisi Cina.Sementara itu, ilmuwan lain mengatakan bahwa asal mula kepercayaan Jawa asli yang bersifat transendental lebih cenderung kepada paham animisme dan dinamisme.[15] Pandangan senada diungkapkan juga oleh Masroer. Menurutnya sebelum Hinduisme dan Budhisme masuk ke Jawa, agaknya orang-orang Jawa telah menganut agama asli yang bercorak animistik dan dinamistik.[16] Masih dalam konteks yang sama, Simuh juga mengatakan bahwa suku-suku bangsa Indonesia, khususnya suku Jawa sebelum kedatangan pengaruh Hinduisme telah hidup teratur dengan tradisi animistik dan dinamistik sebagai akar religiusitas, dan hukum adat sebagai pranata sosial mereka.[17] Lebih dari itu Simuh mengatakan bahwa religi animisme dan dinamisme yang menjadi akar budaya asli masyarakat Jawa cukup memiliki daya tahan yang kuat terhadap kebudayaan-kebudayaan yang telah berkembang maju.[18]Sedemikian kuatnya religi animisme dan dinamisme itu mengakar pada karakter asli masyarakat Jawa, hingga ragam budaya dan kepercayaan apapun yang bersentuhan dengan religi Jawa, tetap saja tidak banyak berpengaruh secara signifikan bagi perubahan esensial religi animisme dan dinamisme yang menjadi simbol kejawen tersebut.RM Sutjipto Wirjosuparto juga mempunyai pandangan yang sama, ia mengatakan sungguhpun kebudayaan Jawa asli menjalin hubungan dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang lebih tinggi, misalnya kebudayaan Hindu, Islam dan Barat yang menyebabkan termodifikasinya kebudayaan Jawa asli, ternyata pola kebudayaan asli Jawa tetap saja sama dengan sebelumnya, lantaran unsur-unsur kebudayaan lain tersebut terserap dalam pola kebudayaan dan kepercayaan kejawen. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa elastisitas kebudayaan kejawenlah yang mampu mempertahankan karakter dan ciri asli kejawennya.[19]Tidak kalah menarik J.W.M. Bakker yang mengatakan walaupun sebagian besar masyarakat Jawa mengaku secara formal beragama Islam, namun demikian sikap dan praktik keagamaan sehari-hari yang mereka hayati, senantiasa dijiwai dalam batin yang paling dalam oleh agama asli kejawen tersebut, yaitu animisme dan dinamisme.[20]Bermula dari kepercayaan animisme dan dinamisme Jawa--dengan varian-varian mitologinya yang ada pada masing-masing wilayahyang dipertemukan dengan budaya luar yang lebih tinggi, misalnya Hindu, Budha, dan Islam telah memunculkan model kepercayaan baru berupa Islam Kejawen, Hindu Kejawen dan Budha kejawen sesuai dengan di wilayah mana mereka berada.E. Kosmogoni Jawa dan Latar Belakang Mitologi JawaPerbedaan pandangan asal-usul kejawen tersebut selain dilatarbelakangi oleh cara pandang historis, juga karena dipengaruhi oleh perbedaan konstruksi mitologis yang ada pada masing-masing wilayah. Perbedaan mitologis yang ada pada masing-masing wilayah itu akan terlihat dengan jelas dalam mitos dua tokoh misteri, yaitu Sri dan Sadono. Menurut kepercayaan mitis Jawa, Sri dan Sadono adalah asal-usul Kejawen. Sri sebenarnya dimitoskan sebagai penjelmaan dewi Laksmi, isteri Wisnu. Sedangkan Sadono adalah penjelmaan dari Wisnu itu sendiri.[21] Dalam kaitannya dengan mitologi ini sesungguhnya Sri dan Sadono adalah lambang Dewi Laksmi dan Dewa Wisnu sebagai suami istri yang menjadi cikal bakal kejawen. Atas dasar itu berbagai ritual mistik kejawen, keduanya selalu mendapatkan posisi khusus dalam masyarakat Jawa. Dewi Sri dipercaya sebagai dewa padi, sementara Wisnu dianggap sebagai dewa yang membuat alam dan seisinya ini damai dan teratur. Menurut Tantu Panggelaran, Sri dan Sadono memang pernah diminta turun ke arcapada untuk menjadi nenek moyang di Jawa. Sumber ini tanpa terasa akan menjastifikasi kepercayaan mitis, bahwa orang Jawa itu keturunan dewa. Dengan kata lain orang Jawa menurut kepercayaan mereka berasal dari keturunan yang mulia dan tinggi derajatnya, status sosial dan kulturnya.[22] Ajaran kuno yang selalu menjadi pedoman dan dikaitkan dengan Dewi Sri (Dewi Laksmi) dan Sadono (Dewa Wisnu) adalah falsafah Ajisaka. Ada kepercayaan bahwa dari Ajisaka ini lahirlah aksara Jawa. Aji Saka, berasal dari kata Aji (raja, yang dihormati, dipuja dan disembah), sedangkan Saka berarti tiang atau cabang. Dengan demikian Ajisaka berarti tiang penyangga yang memperkokoh religiusitas manusia. Religiusitas Jawa tidak lain adalah mistik kejawen. Paham kejawen sejak mempercayai mitos Dewi Sri dan Dewa Sadono dianggap mencerminkan kebodohan, baru ketika Ajisaka datang ke tanah Jawa, masyarakat Jawa merasa memiliki ilmu. Atas dasar itu Ajisakalah yang dianggap penyangga keilmuan Jawa. Oleh karena itu dalam kisahnya, Ajisaka akan mengalahkan Dewata Cengkar, lambang masyarakat tempo dulu yang masih membawa tradisi bar-bar, yaitu masyarakat yang belum berperadaban. Dewata adalah simbol kebaikan, sedangkan Cengkar adalah simbol keburukan. Dewata Cengkar berarti gambaran baik dan buruk yang ada pada diri manusia. Hadirnya Ajisaka di Jawa bermaksud menyingkirkan berbagai keburukan dan kegersangan pada diri manusia, selanjutnya menghadirkan dan memenuhi sifat-sifat kebaikan yang menandainya sebagai makhluk yang berperadaban dan berkebudayaan.[23] Dari kisah mitis tersebut menggambarkan bahwa Ajisaka berasal dari pulau Majeti, adalah gambaran badan wadag (kasar) manusia. Gambaran alam semesta yang mudah rusak, di tempat inilah akan selalu dihuni oleh abdi Dora dan Sembada, yaitu nafsu yang jelek dan baik. Keduanya senantiasa berkecamuk dan tidak ada yang menang dan kalah. Sekilas dari kisah sugestif ini Ajisaka memang bukan asli kejawen, hanya saja ia mengajarkan kejawen menurut versinya. Artinya ajaran kejawen yang telah dikolaborasi dengan ajaran yang ada pada dirinya, namun bagi kejawen hal tersebut tidak menjadi masalah.[24] Perbedaan kosmogini dan mitologi lain juga dijumpai di Tengger. Menurut keyakinan mitis, Tengger berasal dari tokoh mistis Roro Anteng dan Joko Seger. Kedua tokoh ini sangat dipuji oleh masyarakat Tengger melalui ritual slametan. Termasuk juga mitos Minakjinggo dan Sinto yang terjadi di Banyuwangi yang menurut Beatty mitos ini sebagai simbol reproduksi.[25] Hal ini bisa dilacak dari terma jinggo (merah) dan sinta (putih). Warna merah dan putih melambangkan sesaji jenang abang putih yang merepresentasi dari asal-usul manusia yang berasal dari seorang ibu dan ayah. Di wilayah lain yang hampir senada juga dijumpai di Pekalongan, Salatiga, Yogyakarta, Surakarta dan Ponorogo. Masing-masing memiliki legenda sebagai representasi mitos yang berkembang dalam pemikiran rakyat setempat. Masing-masing mitos diyakini memiliki local Genius atau kearifan tradisional yang luar biasa. Biasanya legenda tersebut dijadikan sebagai sandaran kehidupan mistik di kalangan mereka. Atas dasar itu kehidupan kejawen menjadi sentral mistik.[26] Rachmad Subagya dalam memandang kosmogini kejawen, berbeda sama sekali dengan pandangan para ilmuwan antropologi sebelumnya. Kosmogini kejawen dalam pandangannya justru diawali dengan kepercayaan dan kebudayaan monoteistik dan teistik. Bagi Rachmad watak dasar kepercayaan orang-orang Jawa asli bukan berada pada kepercayaan animistik dan dinamistik sebagaimana menurut kebanyakan para antropolog yang lain. Pemikiran reflektif mereka tentang ketuhanan menurut Rachmat--memang tidak selengkap dan seideal agama-agama besar yang secara normatif doktriner telah disiapkan dalam kitab-kitab wahyu yang autentik. Pemikiran mereka terhadap Ilahi tersebut tumbuh dari pengalaman hidup, baik dalam suasana hari-hari gembira maupun suasana hari-hari sedih. Dalam hati sanubari terlintas adanya keyakinan magis (gaib) terhadap Ilahi yang dianggap mampu menaungi hal ikhwal insani. Dalam suka dan duka hidup manusia senantiasa dihadapkan pada Ilahi untuk memohon perlindungan terhadap bahaya yang mengancam, baik berupa bencana alam, penyakit, hantu atau manusia yang bertuah. Rasa ketuhanan yang terpendam dalam lubuk hati manusia sulit untuk diungkapkan, baik dari kalangan mereka yang telah mengenal pewahyuan dari tuhannya maupun yang belum mengenal sama sekali kecuali lewat pengalaman-pengalaman keagamaan secara natural. Rasa ketuhanan itu pada akhirnya memanifestasi menjadi dua bentuk. Pertama: komunitas yang mengakui bahwa Ilah itu sebagai Fascinosum, yaitu dzat yang menarik, mempesona, mesra dan menimbulkan rasa cinta pada-Nya. Kedua: Ilah diakui sebagai Tremendum, yaitu yang menakutkan, jauh dan dahsyat. Menurut Rachmat, perilaku keberagamaan sejenis ini dalam realitasnya juga dialami oleh agama-agama yang maju, hanya saja terdapat perbedaan teknis-eksoterik, utamanya dalam penggunaan terma-terma maupun simbol-simbol keagamaan. Bagi agama maju misalnya, menggunakan istilah iman tatkala mereka membayangkan kasih sayang dan keadilan Tuhan, dan istilah taqwa tatkala mereka membayangkan kekhawatiran-kekhawatiran akan kesalahan di hadapan Tuhan. Ia mengatakan bila kedua sikap tersebut, yaitu sikap kasih dan sikap taqwa seimbang, saling melengkapi dan keduanya diarahkan kepada pribadi Tuhan yang baik dan adil, maka muncullah sikap keagamaan yang disebut dengan teisme dan monoteisme.[27] Dua sikap keagamaan di atas dalam praktiknya selalu kabur dan samar dalam diri manusia, sehingga tidak ada lagi kekuatan untuk menggugah emosi keagamaan manusia. Berawal dari ini semua, Tuhan pencipta kemudian dianggap tersembunyi jauh di atas ciptaan. Tuhan dianggap barang gaib yang berjarak jauh dan paling asing bagi mereka, apalagi yang tidak berani untuk mengungkapkannya. Keadaan inilah yang membuat mereka masuk ke dalam sikap keagamaan yang disebut dengan deisme. Dengan menjauhkan Tuhan dari ruang lingkup insani, maka manusia terbawa oleh kecenderungan hatinya yang selalu dekat dengan hal ghaib selain Tuhannya. Misalnya dengan mempersonifikasikan Tuhan dalam bentuk alam semesta ini, yaitu matahari, bulan dan bumi, inilah yang disebut dengan proses mitologisasi alam. Sikap ini juga bisa dikatakan sebagai upaya konkritisasi hal-hal yang abstrak.Model lain adalah dengan mengkhayalkannya sebagai penghuni pohon atau arwah para leluhur yang sering disebut dengan animisme dan manisme. Akhirnya daya ghaib dianggap bersemayam dalam benda alam seperti gunung, batu, air dan api inilah yang disebut dengan dinamisme. Alur pemikiran Rachmat di atas menunjukkan cara pemikiran yang berbeda dari yang lainnya. Rachmat meletakkan paham animisme dan dinamisme berada jauh setelah paham monoteisme dan teisme. Lebih menarik lagi, ketika Rachmat mensejajarkan perilaku keberagamaan orang Jawa asli identik dengan perilaku keberagamaan dari kalangan orang-orang yang beragama besar yang telah maju.F. KesimpulanKaragaman cara pandang keagamaan di atas, secara esoterik terdapat titik-titik kesamaan sekalipun berbeda dari sisi eksoteriknya. Pandangan ini secara spesifik, semakin menguatkan suatu pandangan yang meyakini adanya perjumpaan antara sinkretisme kejawen dan sufisme Islam. Sinkretis kejawen mengatakan adanya konsep sangkan paraning dumadi[28] (arah kehidupan) dan manunggaling kawula gusti[29], sementara konsep sufisme Islam mengatakan adanya teori ittihad dan ilhad yang mengkristal menjadi wahdatu al-wujud[30]

[1] Masroer Ch. Jb., The History Of Java: Sejarah Perjumpaan Agama-agama di Jawa (Yogyakarta : al-Ruzz, 2004), 19-20.[2] Purwadi dan Maharsi, Babad Demak: Sejarah Perkemabangan Islam di Tanah Jawa (Yogyakarta: Tunas Harapan, 2005), 22.[3] Ibid.[4] Agus Sunyoto, Melacak Kembali Dinamika Perjuangan Dakwah Islam di Jawa Abad XIV-XV M: Sunan Ampel Raja Surabaya ( Surabaya: Diantama, 2004), 45.[5] Frans Magnis Suseno, Etika Jawa:Sebuah Analisis Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), 21.[6] Ibid., 23-24.[7] Ibid.[8] Ibid., 43.[9] G. Coedes, The Making of Southeast Asian ( London, 1966), 70.[10] Agus Sunyoto, Melacak Kembali Dinamika, 44.[11] Ibid.,46-47.[12] Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa (Yogyakarta: Cakrawala, 2006), 1.[13] Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen, 1.[14] Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa ,1-2.[15] Purwadi dan Djoko Dwiyanto, Filsafat Jawa: Ajaran Hidup Yang Berdasarkan Nilai Kebijakan Tradisional (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2006), 19.[16] Masroer Ch. Jb, The History Of Java, 19-20.[17] Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa ( Jakarta: Teraju, 2003), 39-40.[18] Ibid., 40.[19] RM. Sutjipto Wirjosuparto, A Short Cultural History of Indonesia (tt), 1.[20] J.W.M. Bakker, Agama Asli Indonesia ( tt ), 217.[21] Harun Hadiwijono, Konsepsi Tentang Manusia Dalam Kebatinan Jawa (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), 21.[22] Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen, 1.[23] Ibid., 3.[24] Ibid., 4.[25] Andrew Beatty, Variasi Agama di Jawa: Suatu Pendekatan Antropologi, terj. Ahmad Fedyani Saefuddin ( Jakarta: Murai Kencana, 2001), 223-224.[26] Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen, 5.[27] Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia ( Jakarta: Sinar Harapan, 1981), 64-64.[28] Seno Sastroamidjojo, Gagasan Tentang Hakikat Hidup dan Kehidupan Manusia ( Jakarta: Bhratara, 1972), 101. dalam buku itu dia mengatakan bahwa ungkapan sankan paraning dumadi adalah tergolong ngelmu kasampurnan. Ngelmu semacam ini diperoleh melalui laku prihatin. Oleh karena itu dalam kitab Serat Wirid yanag merupakan kitan suci penganut mistik kejawen istilah tersebut masih terbagi menjadi beberapa hal.[29] Damarjati Supadjar, Nawang Sari, Butir-butir Renungan Agama, Spiritualitas dan Agama ( Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), 271. dalam buku tersebut ia mengatakan bahwa Istilah manunggaling kawula gusti ini merupakan kata kunci dalam ajaran kejawen. Oleh karena itu manusia harus bersikap depe-depe, mendekat kepada Tuhannya. Dengan cara ini antara manusia dan Tuhannya akan mengalami jumbuh. Bahkan menurut Ki Kusumowicitra ketika konggres teosofi di Semarang, manunggaling kawula gusti itu akan menciptakan ketenangan batin, karena terjadi titik temu yang harmoni antara manusia dan Tuhannya.[30] Simuh, Sufisme Jawa : Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa ( Yogyakarta: Bentang, 1995), 135. Dalam buku ini beliau mengatakan bahwa ada dua pendekatan yang berbeda dalam memaknai istilah manunggaling kawula gusti ini. Pertama manunggal diidentikan dengan konsep wihdatul wujud, yaitu Tuhan dan manusia menyatu melebur menjadi satu. Sedangkan pendapat kedua mengacu kepada jumbuh yang maknannya sejalan dengan wihdatu al-Syuhud, yang berarti manusia merasa dekat dengan Tuhannya.MISTIK JAWA DALAM ISLAM KEBATINAN (ISLAM KEJAWEN) I. PENDAHULUANIslam adalah agama yang menyeimbangkan antara aspek lahiriyah dan batiniyah. Nabi Muhammad SAW. diutus untuk menyampaikan risalah Islam. Beliau tidak pernah menunjukkan sikap-sikap yang lebih menekankan salah satu dari dua aspek tersebut. Selain islam mengajarkan umatnya untuk menyeimbangkan kedua aspek tersebut, islam juga menjadikan keduanya hal yang sama-sama penting dalam menjalani kehidupan dunia.Sebagai aspek yang sama-sama penting dalam ajaran Islam, telah terjadi pergeseran ke arah formalisme dan legalisme serba lahir yang menimbulkan reaksi serba batin. Orang-orang yang lebih mementingkan aspek-aspek syariah, persoalan halal-haram, intelektualisme-rasional, materialisme, dan legalisme, mewakili golongan lahiriah. Sementara bagi orang-orang yang lebih mementingkan rasa-hati, dan nilai-nilai batin, masuk dalam golongan batiniah. Tasawuf atau sufisme, berawal dari gerakan batiniah tersebut. Gerakan ini berusaha mendekatkan diri kepada Allah Sang pencipta dengan memanfaatkan media-media yang serba batin dan rahasia tersebut.Sebelum Islam datang ke Indonesia, agama Islam telah mengalami perkembangan yang gemilang. Dalam bidang penalaran, umat Islam telah sanggup mewarisi dan memanfaatkan pemikiran dan falsafah Yunani, untuk memperkuat perkembangan ijtihad, baik dalam hukum Islam, ilmu kalam, falsafah dan sebagainya. Dalam mistik Islam atau tasawuf, umat islam juga telah berhasil mengembangkan penghayatan dan pengalaman mistik yang disesuaikan dengan ajaran Islam. Dalam makalah ini, akan sedikit mepaparkan tentang apa, bagaimana dan contoh praktek-praktek mistik dalam islam kebatinan.

II. RUMUSAN MASALAHA. Apa pengertian mistik dan islam kebatinan?B. Bagaimana mistik jawa dalam islam kebatinan?C. Apa contoh ritual atau praktek-praktek yang bersifat mistik dalam islam kebatinan? III. PEMBAHASANA. Pengertian mistik dan islam kebatinan Kata mistik berasal dari bahasa Greek (Yunani) Mysticos yang artinya rahasia, serba rahasia, tersembunyi, gelap atau terselubung dalam kekelaman.[footnoteRef:1][1] Sedangkan dalam bahasa Arab, Persia dan Turki, kata mistik itu bahasa yang utama dalam islam, yang berkaitan dengan istilah sufi. Kedua istilah itu memang tidak mengandung arti yang sama. Sebab istilah sufi memiliki konotasi yang religius dan khas. Dan biasanya digunakan secara terbatas yakni untuk menyebut mistik yang dianut oleh para pemeluk agama islam.[footnoteRef:2][2] Selain itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata mistik artinya hal-hal gaib yang terjangkau oleh akal manusia, tetapi ada dan nyata.[footnoteRef:3][3] [1: ] [2: ] [3: ]

Bertitik tolak dari arti kata tersebut kemudian mistik berkembang menjadi sebuah paham, yaitu mistisisme (paham mistik). Mistisisme sebagai paham dapat dikatakan sebagai paham yang memberikan ajaran mistis, ajarannya berbentuk rahasia atau ajarannya serba rahasia, tersembunyi, gelap atau terselubung dalam kelemahan. Ajaran-ajarannya hanya dikenal, diketahui atau dipahami oleh orang-orang tertentu saja, terutama para penganutnya.[footnoteRef:4][4] Van Haeringen barpendapat bahwa paham mistik itu pada dasarnya mengajarkan kepercayaan adanya kontak antara manusia bumi dengan Tuhan, persatuan mesra antara ruh manusia dan Tuhan. Ini berarti mistik mengajarkan kepada hal-hal yang rahasia dan hal-hal yang tersembunyi. [4: ]

Sedangkan mistisisme menurut A.S.Hornby yaitu ajaran atau kepercayaan bahwa hakekat iman dan Tuhan dapat dicapai melalui meditasi atau pancaran spiritual, terlepas dari pikiran dan akal sehat.Paham mistik ditinjau dari materi ajarannya terdiri dari dua macam paham, yaitu: 1. Paham yang bersifat keagamaan, adalah mengajarkan tentang mistik yang berkaitan dengan Tuhan dan Ketuhanan-Nya, hubungan atau persatuan antar manusia dengan Tuhan.2. Paham non keagamaan, adalah tidak mengajarkan tentang pengertian Tuhan dan Ketuhanan-Nya. Paham ini lebih menekankan pada ajaran tentang sopan santun, akhlak atau etika. Selain itu juga mengajarkan tentang pengobatan dengan gaya-gaya ghaib, peramalan nasib atau pernujuman, kekebalan atau kesaktian.[footnoteRef:5][5] [5: ]

Sedangkan kata kebatinan berasal dari bahasa Arab ba-tin yang artinya di dalam, bagian dalam. Dalam bahasa Indonesia mendapat imbuhan ke an, jadi kebatinan, artinya bagian yang tertutup yang berada di dalam.[footnoteRef:6][6] Ditinjau dari makna, kebatinan mempunyai bermacam-macam pengertian, yaitu: [6: ]

1. Di dalam Ensiklopedia UmumKebatinan ialah sumber asas dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa untuk mencapai budi luhur guna kesempurnaan hidup.2. Di dalam buku Ensiklopedia Pendidikan karya Prof. DR. Soegarda Poerbakawatja dan H.A.H. Harahap, Kebatinan adalah sumber rasa dan kemauan untuk mencapai kebenaran, kenyataan, kesempurnaan, dan kebahagiaan.[footnoteRef:7][7] [7: ]

Maka dari itu, islam kebatinan adalah islam yang bersifat dan yang menonjolkan aspek-aspek batiniyah.

B. Mistik jawa dalam islam kebatinanPengertian mistik jawa lebih dikenal dengan kebatinan, atau kebatinan jawa. Mistik jawa merupakan sikap hidup keagamaan orang jawa, karena kenyataannya mistik jawa dalam praktek kehidupan sehari-hari menjadi semacam agama orang jawa yang bersifat mistik. Adapun mistik jawa dalam islam kebatinan yaitu mistik yang dilakukan seseorang untuk bisa berhubungan dan berkomunikasi dengan Allah SWT. yang dilakukan dengan cara tertentu sesuai dengan tradisi jawa dan syariat islam yang tujuan utamanya adalah bisa berkomunikasi dan mencapai maqam tertentu di sisi Allah SWT. Lahirnya pustaka islam kejawen atau islam kebatinan membawa dampak yang cukup besar bagi perkembangan keagamaan masyarakat jawa. Ajaran tasawuf mendapat perhatian yang cukup besar di kalangan masyarakat Jawa. Pustaka jawa yang merupakan cermin pengolahan jawa atas mistik yang datangnya dari luar, baik itu Hindu-Budha atau Islam semua mengajarkan kesatuan hamba dengan Tuhan.Mistik jawa dalam islam kebatinan terlihat dalam sikap hidup orang jawa yang menekankan pada hidup batin, seperti: sikap rela, narima, legawa, waspada, sabar, eling, dan seterusnya. Sikap hidup tersebut hampir diajarkan oleh semua aliran kebatinan. Selain itu juga, terdapat paham kesatuan kawula-Gusti (wahdatul wujud) yang merupakan pengaruh ajaran mistik islam yang hampir semua aliran kebatinan mengajarkannya.Kebatinan atau kejawen merupakan salah satu varian dari agama islam yang ada di Jawa, kebatinan merupakan sinkretis antar unsur-unsur pribumi jawa, Hindu-Budha dan Islam. Ritus mistik orang jawa adalah slametan, suatu perjamuan sederhana, semua tetangga harus diundang dan keselarasan diantara para tetangga dengan alam raya dipulihkan kembali. Slametan merupakan nilai sakral bagi masyarakat Jawa, dilakukan sejak menyambut kelahiran bayi, khitanan, pernikahan sampai orang meninggal. Slametan yang pada masa pra-islam banyak menggunakan tradisi mistis mitologis Hindu-Budha dengan berbagai macam sesaji, setelah islam datang, banyak cukup dengan doa-doa yang dipanjatkan seorang rais (modin) dan bacaan-bacaan ayat al-Quran dianggap telah syah.[footnoteRef:8][8] [8: ]

C. Contoh ritual atau praktek-praktek yang bersifat mistik dalam islam kebatinanMistik jawa dalam islam kebatinan menganjurkan laku spiritual untuk mencapai maksud, tujuan atau cita-cita. Menurut Ranggawarsita ada beberapa ritual atau praktek-praktek untuk mencapai tujuan tersebut, diantaranya adalah sebagai berikut:1. Tapa atau semediAdalah penarikan diri sementara dari minat kepada dunia lahir, yang caranya adalah duduk lurus berdiam diri mutlak dan mengosongkan diri dari semua isi dunia sejauh mungkin.[footnoteRef:9][9] Dalam bertapa mempunyai beberapa makna, yaitu: [9: ]

a. Laku prihatin. Ciri laku spiritual ini adalah menikmati yang tidak enak dan tidak menikmati yang enak, gembira dalam keprihatinan. Diharapkan setelah menjalani spiritual ini, tidak akan pernah tergoda dengan daya tarik dunia dan terbentuk pandangan spiritual yang transenden. Sehingga dapat juga dikatakan bahwa bertapa bertujuan untuk penyucian batin dan mencapai kesempurnaan ruh.b. Bertapa sebagai sarana penguatan batin. Dalam hal ini bertapa merupakan bentuk latihan untuk menguatkan batin. Batin akan menjadi kuat setelah adanya pengekangan nafsu dunia secara konsisten dan terarah. Tujuannya adalah untuk mendapat kesaktian, mampu berkomunikasi dengan yang ghaib-ghaib. Intrpretasi pertama dan kedua di atas acapkali berada dalam satu pemaknaan saja. Hal ini karena pandangan mistik yang menjiwainya, dan berlaku umum dalam dunia tasawuf. Jalan mistik sebagaiman lahir dalam bentuk tasawuf adalah salah satu jalan di mana manusia berusaha mematikan hawa nafsunya di dalam rangka supaya lahir kembali di dalam Illahi dan oleh karenanya mengalami persatuan dengan Yang Benar.c. Bertapa sebagai ibadah. Bagi Ranggawarsita yang menjalankan syariat islam, puasa seperti ini dijalankan dalam hukum-hukum fiqihnya. Islam yang disadari adalah islam dalam bentuk syariat, dan kebanyakan hidup di daerah santri dan kauman.[footnoteRef:10][10] [10: ]

Dari penjelasan makna tapa atau semedi di atas, ada beberapa jenis atau macam dari tapa atau semedi, diantaranya yaitu:a) Tapa ngeli, yaitu bertapa dengan menghanyutkan diri di air. Tujuannya untuk meraih maqom tertentu.b) Tapa ngrame, yaitu bertapa dengan siap berkorban atau menolong siapa saja dan kapan saja. Tujuannya adalah menegakkan kebenaran dan kedilan dan beramal sosial.c) Tapa mendem, yaitu bertapa dengan menyembunyikan diri di dalam tanah seperti mayat. Tujuannya adalah untuk menghayati mati sajroning urip.d) Tapa kungkum, yaitu bertapa dengan menenggelamkan diri dalam air sebatas leher di sungai atau danau tertentu. Tujuannya untuk meraih maqom rohani tertentu.e) Tapa gantung, yaitu bertapa dengan menggantung di pohon seperti kera. Tujuannya untuk meraih maqom rohani tertentu.[footnoteRef:11][11] [11: ]

2. PasaMenurut Ranggawarsita kata pasa hampir dapat dipertukarkan dengan kata tapa, karena pelaksanaan tapa selalu dibarengi dengan pasa. Adapun pasa adalah Menahan diri dari rasa lapar dan haus serta berprilaku prihatin.Dalam pemaknaan pasa dalam masyarakat jawa tidak jauh berbeda dengan pemaknaan tapa, yaitu Puasa sebagai simbol keprihatinan dan praktek asketik, puasa sebagai sarana penguat batin dan puasa sebagai ibadah.

Adapun macam-macam pasa adalah sebagai berikut:[footnoteRef:12][12] [12: ]

a. Pasa ramadhan, yaitu puasa wajib dalam bulan ramadhan. Tujuannya untuk memebersihkan diri dari dosa dan mencapai derajat taqwa.b. Pasa ngerawat, yaitu berpuasa hanya makan sayur selama 7 hari 7 malam. Tujuannya agar rohani kita kuat Dan punya kekuatan magis.c. Pasa pati geni, yaitu berpuasa dengan berpantang makan-makanan yang dimasak memakai api atau geni selama sehari-semalam. Tujuannya untuk meraih maqom rohani tertentu.d. Pasa ngebleng, yaitu berpuasa dengan tidak makan dan tidak tidur selama 3 hari 3 malam. Tujuannya untuk meraih maqom rohani tertentu.e. Pasa mutih, yaitu berpuasa dengan hanya makan nasi selama 7 hari berturut-turut. Tujuannya untuk meraih maqom rohani tertentu.

IV. ANALISISMistik merupakan sesuatu yang ghaib yang sulit diterima oleh akal logika tapi ada dan nyata. Seseorang melakukan mistik pastinya memiliki tujuan untuk mencapai maqam tertentu dan berkomunikasi dengan Tuhan dan sesuatu yang ghaib. Dalam masyarakat Jawa, mistik telah menjadi suatu cerminan dalam hidup. De jong mengatakan bahwa Mistik merupakan salah satu bentuk, bahkan visi dasar dari javanisme.[footnoteRef:13][13] Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa mistik merupakan suatu bentuk tujuan yang perlu dilaksanakan oleh masyarakat jawa dan tradisi yang perlu dilestarikan karena merupakan warisan dari leluhur nenek moyang. Mistik identik dengan kebatinan atau sesuatu yang bersifat batin (yang ada di dalam). [13: ]

Mistik jawa dalam islam kebatinan bisa ditunjukkan seseorang lewat prilaku spiritualitas ruhaniyah yang bertujuan berkomunikasi dan berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Prilaku spiritual yang biasa dilakukan orang jawa misalnya semedi atau tapa, puasa dan lain sebagainya yang semuanya itu dilakukan untuk mencapai tujuan yaitu untuk menempati maqam tertentu di sisi Tuhan Yang Maha Esa.

V. KESIMPULANMistik adalah hal-hal gaib yang terjangkau oleh akal manusia, tetapi ada dan nyata. Dari mistik muncullah mistisisme, yaitu paham yang memberikan ajaran mistis, ajarannya berbentuk rahasia atau ajarannya serba rahasia, tersembunyi, gelap atau terselubung dalam kelemahan. Sedangkan islam kebatinan yaitu islam yang bersifat dan yang menonjolkan aspek-aspek bathiniyah.Adapun mistik jawa dalam islam kebatinan yaitu mistik yang dilakukan seseorang untuk bisa berhubungan dan berkomunikasi dengan Allah SWT. yang dilakukan dengan cara tertentu sesuai dengan tradisi jawa dan syariat Islam yang tujuan utamanya adalah bisa berkomunikasi dan mencapai maqam tertentu di sisi Allah SWT. Laku spiritual untuk mencapai maksud, tujuan atau cita-cita, menurut Ranggawarsita ada beberapa ritual atau praktek-praktek untuk mencapai tujuan tersebut, diantaranya adalah tapa atau semedi dan pasa.

VI. PENUTUPDemikian apa yang dapat disajikan oleh penulis, semoga dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya. Tentu masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan dalam makalah yang singkat ini, untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan demi penyempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi: Dalam masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin, cet. 2 , Jakarta: Pustaka Jaya, 1983.

Hariwijaya, M., Islam Kejawen, Yogjakarta: Gelombang pasang, 2006.

Jaiz, Amin, Masalah Mistik, Tasawuf dan Kebatinan, Bandung: Al- Maarif, 1980.Khalim, Samidi, Islam & Spiritualitas Jawa, Semarang: RaSAIL, 2008.Nicholson, Reynold A., Mistik Dalam Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2000.Nursam, M., Membuka Pintu bagi Masa Depan Biografi Sartono Kartodirdjo, Jakarta: PT. Kompas Nusantara, 2008.

Payamani, Maruf Al, Islam dan Kebatinan, Solo: CV. Ramadhani,1992.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005.

Rasjidi, M., Islam dan Kebatinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1977. MISTIK KEJAWEN

MISTIK KEJAWENHimatul Istiqomah

Mistik kejawen bukanlah suatu kemusyrikan. Karena jauh sebelum Islam masuk ke Jawa, Jawa sudah memiliki kebudayaan tersendiri begitu pula perihal penyembahan terhadap Tuhan. Sangat keliru jika sebagai muslim yang memahami hakikat keislaman masih mengkafirkan ajaran-ajaran mistik kejawen. Karena setiap hamba berhak menyembah Tuhan sesuai dengan kemampuan masing-masing.Islam secara runutan kata itu berarti selamat. Sementara yang kita pahami tentang keislaman hanyalah setelah keberadaan Islam itu sendiri. Sedangkan Masyarakat Jawa, sebelum Islam (agama) menyebar ke Jawa mereka sudah memiliki ajaran-ajaran ketuhanan yang bertendensi pada keselamatan. Mungkin secara tekstual yang terungkap sejarah Islam memasuki Jawa kurang lebih pada abad ke 7 M. Namun hakikatnya ajaran-ajaran Islam sudah mendarah daging jauh sebelum itu di kalangan masyarakat Jawa. Bagaimana mungkin kita yang baru mengenal agama Islam bisa mengkafirkan orang-orang yang sejak dulu mengamalkan ajaran-ajaran Islam?Setiap dari kita memiliki keterbatasan dan kemampuan dengan takarannya masing-masing. Dan kala itu masyarakat Jawa lebih cenderung simbolis dalam mengimplementasikan kekuasaan Tuhan. Tapi justru hal itu merupakan suatu bentuk penyederhanaan dari berbagai asumsi-asumsi yang berujung pada penghambaan kawula terhadap Tuhannya. Sebelum Jawa mengenal Al Quran secara tekstual, Jawa sudah memiliki beraneka ragam kitab yang menjelaskan perihal tata kosmos kehidupan. Pengenalan Tuhan dan eksistensi ketuhanan bahkan penyebutan terang-terangan misteri yang tersimpan di alam semesta. Misalnya kitab Adam Makna, pada pembahasannya ada yang menerangkan isi dari Al Quran yang teringkas dalam Surat Al Fatihah kemudian mengerucut dan bermuara pada satu ayat yaitu Bismillahirrahmanirrahim. Selain itu dari kitab Adam Makna yang pernah penulis baca, di situ bahkan dijelaskan mengenai manusia yang wujudnya merupakan simbol dari eksistensi ketuhanan yang diwakili oleh para malaikatnya. Tidak hanya sepuluh malaikat yang bersemayam dalam tubuh yang masih bernyawa ini melainkan lebih dari itu. Jawa juga memiliki tata cara penghitungan kalender yang sebenarnya sederhana. Tapi sering kali orang yang tidak tahu menganggapnya sebagai ramalan belaka dan perbuatan syirik. Padahal di Jawa hal itu memang dipelajari untuk meduga-duga kemungkinan yang akan terjadi guna kewaspadaan. Kekeliruan yang amat fatal jika kita mengkafirkan cara-cara yang orang Jawa lakukan dalam menyembah Tuhan. Padahal mereka sangat menikmati penyatuannya dengan Tuhan melalui cara-cara seperti itu. Sementara kita yang sudah ditunjuki jalan-jalan penyembahan Tuhan yang lebih rasional, justru kita tidak merasakan nikmatnya bersanding di istanan Tuhan dalam alam semesta ini. Lantas siapa yang terjebak dalam kegelapan pemahaman? Mungkin pemahaman kita tidak sampai pada pemikiran masayarakat Jawa dengan paham Kejawennya. Tapi sejarah terungkap dalam kitab-kitab yang mereka wariskan. Bahkan jika diselami isinya, ternyata kita tidak lebih seperti orang yang mengetahui keindahan laut namun hanya berada di pesisir saja. Sementara masyarakat Jawa dengan pemahamannya mereka sudah mengarungi luasnya samudera dengan kedalaman yang mungkin tidak terukur lagi.MEMAHAMI AGAMA, MITOS DAN ISLAM KEJAWEN BAB II

A.Pemetaan Teori Pendahuluan Tentang Mitos

Sebagaimana penelitian terdahulu yang berhasil ditipologikan pada bab pendahuluan dijumpai adanya ragam tipologi Islam, yaitu Islam sinkretis, akulturatif, kolaboratif dan pribumi. Kajian yang merelasikan antara Islam sebagai tradisi murni dan mitos sebagai tradisi lokal secara umum terwadahi dalam ranah kajian tipologi di atas. Namun demikian kajian yang menyentuh pada fokus relasi Islam Kejawen dan mitos pesugihan dengan rancangan pertanyaan di atas belum pernah dijumpai pada hasil-hasil penelitian sebelumnya. Hanya saja secara umum kajian dan penelitian tentang mitos sebagai tradisi lokal dan beberapa hasil penelitian senada sebelumnya telah dijumpai sekalipun jumlahnya relatif sedikit. Mitos sebenarnya telah banyak diminati oleh para ilmuwan yang berkembang di dunia Barat. Di antara ilmuwan Barat yang intens melakukan kajian dan penelitian tentang mitos antara lain adalah Edward. B. Tylor, Frazer, Stanly Berret, Molinowski, Robbert Marret. Andrew Lang, Levi- Strauss, Andrew Beaty, Catherine Bell, Parcy S. Cohan, Mulder dan Jacob Vandenbregt. Secara umum para ilmuwan Barat di atas telah melakukan kajian mitos secara detil, baik secara filosofis-teoretik maupun secara empiris sebagaimana hasil perdebatan agama dan mitos yang telah dikaji di atas. Hanya saja jejak-jejak studi itu kurang memiliki pengaruh signifikan bagi para ilmuwan antropologi di Indonesia. Jika kebetulan ada, analisis mitosnya masih sebatas pada usaha mencari nilai-nilai luhur di dalamnya. Sebab nilai-nilai luhur tersebut oleh orang-orang Indonesia, utamanya orang Jawa dianggap sebagai sesuatu yang sakral dan keramat.Heddi Shri Ahimsa Putra dalam hal ini berhasil mengkategorikan sementara beberapa peneliti mitos di Indonesia, antara lain (Christomy, 1992; Darsa, 1992; Ekajati, 1994; Karlina, 1992; Marzuki, 1992; Munawar, 1992, Nawawi, 1992, Rosyadi, 1991; 1992; Sedyowati, 1993; Soimun, 1991; Sumarsono, 1992). Menurut Ahimsa Putra hasil kajian para peneliti terdahulu tentang mitos tersebut secara umum cenderung dilatarbelakangi oleh ideologi tertentu serta banyak berkaitan dengan upaya meningkatkan semangat nasionalisme. Tetap saja kajian-kajian itu secara umum memiliki manfaat, hanya saja manfaat akademis dan teoretisnya masih relatif terbatas. Hal ini terlihat pada analisis dan kesimpulan yang dihasilkan dalam kajian penelitian tersebut terkesan monoton. Setidaknya hasil kajian ini bisa digunakan untuk dasar pengembangan kajian mengenai berbagai mitos dan cerita rakyat lebih lanjut. Kelemahan kajian penelitian mitos di atas tidak lebih dari sekedar tuntutan melakukan inventarisasi dan dokumentasi kebudayaan-kebudayaan daerah di Indonesia, selain cara analisisnya pun juga terkesan kurang tajam dan hanya bersifat deskriptif. Berbeda dengan hasil penelitian para peneliti di lingkup perguruan tinggi, umumnya mereka lebih analitis, sehingga relevansi teoretis mereka juga lebih jelas. Namun demikian paradigma yang mereka gunakan belum sekaya yang diharapkan. Kajian yang mereka lakukan masih menggunakan pendekatan hermeunetik, dan biasanya pendekatan ini dikerjakan oleh mereka yang berasal dari disiplin ilmu sastra. Di kalangan mereka yang masih berat orientasi antropologi dan sosiologinya, studi yang dilakukan belum bergeser dari paradigma fungsionalisme sebagaimana yang dikembangkan oleh ahli antropologi Inggris, Bronislaw Malinowski. Dalam hal ini termasuk Ahimsa yang menganalisis mitos dengan pendekatan struktural ala Levi Strauss. Kelemahan dari penelitian ini kurang bisa melihat prosesi tentang bagaimana pengalaman para pendukung mitos mengkonstruk bangunan teorinya. Hasil penelitian Husein. S. Ali yang menyatakan bahwa kehidupan masyarakat dalam keseharian ternyata dipandu oleh keyakinan lokal yang melingkupinya, seperti adanya makhluk halus dan lain sebagainya. Temuan penelitian S. Ali ini secara tidak langsung juga berhasil membangun konstruk sosial tentang konsep mitos. Dari temuan S. Ali yang mengatakan bahwa keyakinan lokal atau yang akrab disebut mitos ternyata senada dengan pandangan Jamhari tentang mitos, bahwa mitos telah berperan untuk memandu kehidupan manusia. Penelitian yang agak serupa adalah penelitian Raymond Firth, yang mengatakan bahwa keyakinan terhadap makhluk halus di kampung Kelantan adalah sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat. Dari sini mitos bagi para pendukungnya memiliki multi fungsi, fungsi petunjuk, pelindung, justifikasi kepentingan tertentu maupun acuan bagi perilaku masyarakat. Penelitian senada juga dilakukan oleh Y. Argo Twikromo tentang Mitologi Kanjeng Ratu Kidul. Menurut Argo Twikromo, pada prinsipnya mitologi kanjeng Ratu Kidul bagi penguasa kesultanan Yogyakarta difungsikan sebagai kerangka acuan dalam menjalankan pemerintahan. Mitos Kanjeng Ratu Kidul tersebut menyadarkan bahwa di sekeliling Keraton Yogyakarta terdapat kekuatan-kekuatan supranatural yang harus dihormati sekaligus sebagai basis kepercayaan masyarakat Yogyakarta yang dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian para penguasa kesultanan Yogyakarta dapat menghayati dan memahami daya kekuatan supranatural yang ada di sekelilingnya. Lebih dari itu mitos Kanjeng Ratu Kidul juga digunakan untuk menjamin keselamatan dan ketentraman hidup Keraton Yogyakarta, di samping juga dijadikan sebagai pengantara antara manusia dengan daya kekuatan alam. Dalam kajian ini, Twikromo terkesan subjektif, banyak meninggalkan keterlibatan data emiknya. Dengan demikian menyangkut bagaimana mitos itu dikonstruksi oleh nalar pemikiran manusia secara empirik belum terlihat jelas.Demikian juga hasil pemikiran Kuntowijoyo. Dalam kajiannya dia mengatakan bahwa dalam rangka memahami dan menyampaikan masa lalunya menurut Kuntowijoyo ada tiga cara, yaitu dengan melalui mitos, sastra maupun sejarah. Ketiga cara itu memiliki keabsahan sendiri yang tidak bisa dibandingkan tingkat kebenarannya. Menurut Kunto, mitos berbeda dengan sastra dan sejarah, bagi Kunto mitos tidak perlu proses dari suatu pengalaman, namun cukup penuturan secara subjektif dan resikonya tingkat keyakinan akan kebenarannya hanya berlaku di lokal masyarakatnya. Hanya saja kajian Kunto tentang mitos hanya berkisar pada ranah normatif, melalui telaah-telaah konseptual teoretik kepustakaan. Sementara kajian mitos yang berangkat dari pengalaman manusia belum tersentuh. Oleh karena itu kajian Kunto tentang mitos ini terkesan peyoratif dan bersepihak. Kecenderungan berpikir subjektif Kunto tidak bisa dihindari lagi. Sementara kajian Noerid Haloei Radam tentang Religi Orang Bukit juga memperkuat pandangan Kunto tentang makna mitos yang bersifat lokal itu. Radam mengatakan bahwa semua aktifitas religius dan tindakan simbolis berkomunikasi dengan sesuatu yang dipandang adikodrati dan menggenggam nasib berada dalam aktifitas berladang yang bersifat lokal. Atas dasar itulah religi orang bukit menurut Radam disebut dengan religi Huma. Religi yang menggenggam tegar terhadap keyakinan magis berkenaan dengan aktifitas berladang.Hasil penelitian Radam tentang religi orang bukit, relatif representatif. Ia berusaha mengungkap berbagai realita di balik fakta. Dari kajiannya yang mendalam itu Radam berhasil menemukan sistem religi orang bukit secara spesifik. Ia berhasil memaknai sistem simbol yang lahir dari hubungan relasionalitas antara sistem nilai dan sistem kognisi. Namun demikian kajian Radam tentang religi orang bukit ini bersifat lebih umum dibandingkan dengan rencana kajian yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Selain itu Radam juga belum menunjukkan refleksi teoretik hasil temuan penelitiannya bagi teori-teori penelitian relevan yang sudah ada.Demikian juga G.S.Kirk, berangkat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh para peneliti antropologi ia berhasil membuat 3 tipologi mitos. 1) Mitos naratif, 2). Mitos operatif dan 3). Mitos eksplanatoris dan spekulatif. Pemetaan dan tipologi ini secara praktis terlihat manfaatnya, namun masih banyak ruang kritik dan kurang jelas kontribusi teoretiknya bagi teori yang lain, yaitu fungsi merefisi, menjustifikasi atau mendekontruksi. Oleh karena itu kajian Kirk tidak lebih hanya sekedar upaya identifikasi atau pemetaan terhadap hasil penelitian yang sudah ada.Tidak kalah menariknya temuan penelitian Djunaidi tentang mitos dan mistik KH. Hasan Saifurrizal Karangbong Probolinggo. Menurut Djunaidi mitos bagi orang yang mempercayainya tidaklah dianggap sebagai cerita ajaib yang khayal, melainkan cerita suci, keramat dan dianggap benar. Mitos juga berfungsi sebagai acuan dari masyarakat pendukungnya. Dengan demikian mitos tidak lagi bisa dipisahkan dengan masyarakat pendukungnya. Sekalipun secara objektif keberadaan mitos itu sulit untuk dibuktikan, namun secara subjektif mitos tersebut tetap dirasakan eksistensinya, terutama bagi pendukung mitos tersebut. Hasil penelitian mitos Djunaidi ini lebih menitikberatkan tentang fungsi dan eksistensi mitos K.H. Hasan Syaifurrizal bagi para pendukung mitos yang ada di masyarakat, baik dari dalam maupun dari luar. Djunaidi tidak berupaya melihat bagaimana because motive munculnya mitos itu sendiri. Dengan demikian bagaimana konstruksi sosial mitos para pendukung mitos tersebut juga belum tersentuh sama sekali.Dari sekian para pengkaji mitos, sebagian besar masih melakukan kajian mitos dari sebuah teks normatif dan kajian empiris yang sangat deskriptif dan naratif. Kurang memberi sumbangan metodologis terkait dengan bagaimana membangun kerangka teoretik dari pengamatan sosial tersebut. Mereka tidak mengenal lebih jauh tentang bagaimana konstruk sosial mitos dari pengalaman para pendukung mitos itu sendiri. Tidak banyak di kalangan antropolog yang berusaha mengkaji mitos dengan serius, atau mengembangkan kajian mitologi di Indonesia dengan meninjau kembali teori-teori mitos yang telah ada. Sangat sedikit analisis dan pemikiran baru dalam studi mitologi di Indonesia yang dapat memperluas cakrawala mengenai kebudayaan dan mitos. Oleh karena itu masih diperlukan kajian mitos yang lebih serius dan teoretis-empiris. Hal demikian diharapkan dapat melahirkan pemaknaan baru, serta menyodorkan dimensi pemikiran baru yang akan memperluas wawasan pemikiran kita mengenai berbagai dimensi mitos di Indonesia. Oleh sebab itu kajian mitos dalam penelitian ini bermaksud untuk membangun teori setelah mengenali lebih jauh konstruk sosial mitos dari para pendukung mitos. Dari sekian peneliti mitos di atas belum satupun yang berbicara tentang konstruksi mitos pesugihan di kalangan para peziarah dan para tokoh agama maupun masyarakatnya, sebagaimana yang akan dikaji dalam penelitian ini.

B.Agama dan Mitos dalam Kajian Antropologi AgamaMitos berasal dari bahasa Yunani muthos, yang secara harfiah diartikan sebagai cerita atau sesuatu yang dikatakan seseorang. Dalam artian yang lebih luas berarti pernyataan, sebuah cerita atau alur suatu drama. Dalam pengertiannya yang demikian, mitos kadang ditafsirkan dengan pemahaman yang negatif, ia diidentikkan dengan fable, invention, fiction, yaitu dongeng atau cerita rekaan, khayalan, ciptaan, dibuat-buat, dan bukan yang sebenarnya. Cara pandang ini sudah menjadi kesepakatan bersama di kalangan masyarakat pendahulunya. Namun demikian sejak sarjana Barat memiliki suatu pendekatan studi mitos dengan sudut pandang empirik dan bukan hanya sudut bahasa--abad 19--, maka sejak itu pula mitos memiliki kesan positif, dipahami sebagai true story (cerita yang benar), bahkan lebih dari itu. Suatu cerita yang diposisikan mulia, sebab ia adalah sacred (sakral), exemplary model (contoh model), dan significant (penting). Konsep baru inilah yang memberikan kemungkinan terma mitos berhasil diadaptasi ke ranah bahasa kontemporer. Pandangan ini memperoleh justifikasi dari pemikiran B. Malinowski yang memposisikan mitos berada pada posisi penting. Oleh karenanya ia membedakan pengertian mitos dari legenda dan dongeng. Bagi Malinowski legenda merupakan cerita yang diyakini yang seolah-olah merupakan kenyataan sejarah. Sedangkan dongeng mengisahkan peristiwa-peristiwa ajaib tanpa dikaitkan dengan ritus. Oleh karenanya untuk memahami struktur dan fungsi mitos dalam masyarakat tradisional tidak cukup hanya menyajikan penjelasan melalui sejarah pemikiran manusia yang lepas dari nilai-nilai sakral dan riual, melainkan ia sarat dengan kategorisasi pemikiran kontemporer yang hidup dan bermakna dalam realitas. Tidak hanya itu, mitos menurutnya diangap sebagai realitas budaya yang sangat kompleks, dapat didekati dan ditafsir dari sudut pandang yang sangat lengkap dan variatif. Atas dasar ini mitos pada satu sisi dianggap sebagai cerita sejarah sakral yang terkait dengan peristiwa-peristiwa tempat maupun waktu. Di sisi lain ia dipahami sebagai realitas yang masuk ke dalam hakikat, sebagai peristiwa keteraturan, sebagai bagian dari realitas, maupun sebagai realitas yang terjadi. Dalam karyanya yang lain ia mengatakan bahwa realitas itu diperoleh hanya dengan melalui pengulangan. Realitas yang tidak memiliki model untuk diulang-ulang atau ditiru berarti tidak memiliki makna dan berarti pula tidak disebut sebagai realitas. Untuk itu masuk akal jika manusia memiliki kepentingan untuk menjadi model atau pola atau sosok paradigmatik untuk bisanya dirinya ditiru, agar dirinya memiliki makna dalam realitas, karena ia adalah bagian dari realitas itu sendiri. Oleh karenanya trasfigurasi yang sama terhadap sejarah atau terhadap realitas akan menjadi mitos, baik terhadap realitas cosmos (realitas yang teratur) maupun realitas chaos (realitas yang tidak teratur). Dengan demikian mitos bisa dipahami sebagai akumulasi konsepsi manusia dari renungan-renungan imajinatif-filosofis mengenai kehidupan, kematian, taqdir, manusia, dewa, asal mula kejadian, surga, neraka, dan pencipta) yang telah memanifestasi menjadi model atau paradigma. Inilah yang disebut dengan istilah model of reality (konsepsi yang digali dari realitas). Pada saat yang sama, ketika model itu telah diulang-ulang maka mitos itu menjadi model for reality (konsep yang dijadikan sebagai pedoman dan arahan bagi realitas, utamanya kehidupan manusia). Nalar di atas memberikan ispirasi baru tentang pola interaksi antara mitos dan realitas. Keduanya adalah dua entitas yang saling berkelindan. Realitas ada karena eksistensi mitos, sebaliknya mitos ada karena realitas. Meski sedemikian sinerginya posisi keduanya, namun di mata sebagian masyarakat tertentu ia masih sering dikontraskan. Berhubungan dengan pandangan di atas, ia mengatakan bahwa setiap mitos itu setidaknya memiliki lima karakteristik, antara lain: 1) mitos berkaitan dengan aktifitas supernatural, 2) mitos berkaitan dengan absolusitas kebenaran, baik yang mengarah kepada realitas maupun yang sakral, 3) mitos berkaitan dengan creation atau bagaimana manusia menciptakan model atau pola yang sering diistilahkan dengan model of reality atau Pettern of behavior, 4) pengetahuan mitos adalah salah satu pengetahuan asli yang melekat dalam pemikiran seseorang, yang dapat mengkontrol maupun sebaliknya memanipulasi, ia tidak berada di luar diri kita dan bukan pengetahuan yang abstrak, melainkan suatu pengetahuan yang berada dalam salah satu pengalaman ritualitas seseorang, 5) mitos adalah salah satu jalan atau jalan alternatif bagi kehidupan. Mitos dalam kaitannya dengan agama menjadi penting bukan semata-mata karena memuat hal-hal gib atau peristiwa-peristiwa mengenai makhluq adikodrati, melainkan karena mitos tersebut memiliki fungsi eksistensial bagi manusia. Karenanya ia harus dirumuskan menurut fungsinya.Fungsi utama mitos bagi kebudayaan primitif adalah mengungkapkan, mengangkat, dan merumuskan kepercayaan, melindungi dan memperkuat moralitas, menjamin efisiensi ritus, serta memberikan peraturan-peraturan praktis untuk menuntun manusia. Berfungsi memberikan charter (pijakan) untuk menjelaskan dunia, kehidupan, kematian, dan seluruh pengalaman eksistensi kemanusiaan yang lainnya. Mitos juga dianggap sebagai statemen tentang realitas asal mula leluhur yang hidup di masyarakat. Karena sedemikian pentingnya, maka semua masyarakat manusia, baik dari kalangan primitif maupun yang modern memiliki mitos dalam mentalitasnya. Mitos pada saatnya betul-betul berperan sebagai peran agama, mengingat masih sederhananya konsepsi agama ketika itu di kalangan komunitas primitif. Mitos pada saatnya mengandaikan suatu ontologi dan hanya berbicara mengenai kenyataan, yakni apa yang sesungguhnya terjadi. Mircea Aliade mengartikan bahwa mitos adalah sebagai kenyataan yang suci. Kesucian sebagai satu-satunya kenyataan tertinggi. Kenyataan sesungguhnya, penuh dengan adanya. Tidak berbeda dengan pandangan di atas, M. Arkoun sebagai representasi ilmuwan Islam mengatakan bahwa mitos diartikan sebagai kata kiasan yang indah dan fantasi (khayal), bersayap atau kisah yang indah yang memiliki inti dalam realitas. Mitos bagi Arkoun tidak selalu terkait dengan agama, mitos merupakan langit yang membentang yang memayungi keberadaan dan memberikan makna kepadanya. Ia merupakan impian-impian kebajikan abadi dan fantasi segar yang membangkitkan vitalitas dalam realitas (wujud) dan mengeluarkan kita dari kepekatan dan desakan realitas. Membawa kita kepada langit-langit yang bening, ideal dan indah. Dilihat dari sisi fungsinya, Arkoun mengatakan bahwa mitos berperan layaknya fungsi agama, tetapi tidak menggantikan agama itu sendiri. Dikatakan demikian karena mitos adalah impian-impian kebajikan universal yang berperan sebagai sumber nilai yang bisa dijadikan pedoman bagi kehidupan mereka. Sementara konsepsi-konsepsi agama yang tertuang dalam teks suci juga selalu memuat impian-impian ideal yang indah. Misalnya tentang gambaran indahnya surga, yang di bawahnya mengalir air sungai, di dalamnya terdapat rizki dan buah-buah serta istri-istri yang suci (bidadari). Perbedaan keduanya hanya terletak pada subjek yang melakukan konstruksi atas impian ideal itu. Subjek konstruksi mitos adalah manusia, sedangkan subjek konstruksi agama adalah dua kekuatan kompromistik antara Tuhan sebagai representasi wahyu dan manusia sebagai representasi hasil penafsiran. Dalam kondisi seperti ini, manusia tidak akan mampu hidup tanpa agama, demikian juga tanpa mitos, meskipun dalam tataran empirik sebagian di antara mereka yang hidup dalam garis linier keteraturan berpotensi untuk melupakannya. Hal yang sama dikatakan juga oleh David Hume bahwa keyakinan terhadap agama maupun mitos akan mncul jika dalam kehidupan manusia selalu dihadapkan pada berbagai peristiwa kehidupan yang mencemaskan. Demikian juga Euripides mengatakan bahwa Tuhan telah melemparkan kekacauan dan ketidakpastian di dalam kehidupan ini, sehinga manusia memiliki ketergantungan yang tinggi kepada hal-hal magis.Produk pemahaman Agama dan mitos sebagaimana yang dimaksud di atas, dalam kenyataannya selalu mengalami perubahan dari zaman ke zaman dan dari generasi ke generasi. Perubahan tersebut, baik agama maupun mitos karena atas tuntutan situasional dan kondisional yang menyertainya. Atas dasar itu mitos Tunisia, sebagai contoh bukanlah mitos pada masyarakat Perancis. Artinya mitos pada masyarakat agraris yang sama sekali belum memasuki tahapan masyarakat industri bukanlah mitos yang ada pada masyarakat post-industri dan post-modern. Hal yang sama dapat dikatakan pula bahwa mitos abangan bukanlah mitos santri, demikian juga mitos masyarakat primitif juga bukan mitos modern. Jenis maupun muatan mitos yang mengakar di masing-masing masyarakat yang plural bisa jadi berbeda-berbeda, namun peran mitos bagi manusia tidaklah bisa disangkal lagi, semua masyarakat manusia pasti merasakan pengalaman mitos tersebut. Keadaan inilah yang membuat M. Arkoun menjadi optimis akan nilai dan fungsi mitos. Mitos tidaklah sama dengan mitologi. Keduanya memiliki implikasi dan dampak pemahaman yang berbeda. Dalam pandangan M. Arkoun mitos dan mitologi adalah dua kata yang memiliki perbedaan mendasar. Perbedaan itu tidak terletak pada jenisnya, namun pada tingkatannya. Bagi Arkoun, ketika mitos telah runtuh dan merosot nilai aktualitasnya maka makna mitos itu telah berubah menjadi mitologi (khurafat) yang tidak memiliki nilai, sekalipun ia tetap tertanam kuat dalam kesadaran populisme suatu bangsa atau kelompok. Di sanalah mitos menurut Arkoun memiliki makna positif dengan mengisi tekad dalam cita-cita dan mendorong ke arah kemenangan dan realisasi diri di atas bumi ini. Sementara itu mitologi menurutnya hanya akan melemahkan tekad dan menyerukan sikap santai, puas dan menyerah terhadap dekapan fanatisme yang telah lama sakit dan tidur di atas sejarah. Mitos yang telah usang dan renta akan melahirkan khurafat (mitologi). Dalam kaitannya dengan konteks modern ini penggambaran keilmuan bagi realitas telah menggantikan posisi mitos, sementara ideologi negatif telah menggantikan posisi mitologi. Dengan kata lain, mitos sebagaimana pandangan M. Arkoun senantiasa mengidealkan adanya pembaruan-pembaruan dinamis sesuai dengan tingkat perkembangan zamannya. Sekali saja ia kehilangan daya aktualitasnya maka ia tidak memiliki kemampuan untuk membangkitkan nilai vitalitas masyarakatnya. Semangat nilai konstruksi mitos tidak akan lepas dari latar sosio-kultural dari pengkonstruk mitos itu sendiri, tergantung di mana dan kapan mitos itu dikonstruksi. Dengan begitu bisa dipahami bahwa karakteristik mitos yang berkembang di masyarakat Jawa, tentu tidak jauh dari keyakinan dan kepercayaan kejawen itu. Demikian juga mitos yang berkembang di Lombok, Sulawesi, Ambon dan tempat lainnya, semua tidak akan lepas dari karakter dasar kondisi lokalitasnya. Berarti pula mitos yang dikonstruksi di tengah-tengah kehidupan masyarakat agama juga akan menampakkan nilai-nilai mitos yang agamis. Suatu contoh, munculnya statemen yang lazim di kalangan masyarakat Jawa, yaitu dok aja mangan dek tengah lawang engko rapayu rabi (Putriku jangan makan di tengan pintu nanti gak laku nikah). Kata-kata kiasan ini tentu saja sebagai ungkapan yang sangat efektif untuk mengarahkan etika seorang gadis yang akan menikah. Ungkapan itu memiliki makna dan nilai dalam realitas. Termasuk dalam sebuah hadis terkait dengan kemuliaan air zamzam bahwa ia berasal dari surga, termasuk juga hadith lain senada yang mengatakan bahwa air zamzam itu penuh berkah, air itu mengenyangkan dan dapat menyembuhkan penyakit. Kedua-duanya adalah sabda Rasul yang tidak terlepas dari kemampuan Rasul dalam mengimajinasikan kemuliaan zamzam tersebut. Karena itu dalam perspektif antropologi, hadith tersebut dalam kaitannya dengan aspek kebahasaannya adalah representasi dari konstruksi nalar dan imajinasi Rasul sendiri, yang karenanya ia bisa disebut sebagai mitos. Namun demikian menyangkut tentang substansi isinya, ia adalah representasi ajaran atau wahyu yang kerap disebut dengan agama. Atas dasar itu, hadith tidak bisa dianggap sebagai konstruksi imajinatif yang murni keluar dari nalar Rasul, melainkan dalam hadith terdapat muatan nilai-nilai normatif (wahyu) hasil konstruksi Allah. Dengan demikian hadith adalah konstruksi dua kekuatan kompromistik antara Tuhan dan Nabi Muhammad (manusia) yang disebut dengan agama. Inilah yang membedakannya dengan mitos, sebab sekalipun fungsi mitos mendekati fungsi agama, namun demikian tetap saja ia tidak bisa menggantikan eksistensi agama itu sendiri. Kisah lain yang bernada mitis dijumpai pula di kalangan para sahabat dan tbin. Syaibn an-Nakhi (tbin) misalnya, ketika berangkat bersama para muhjirn untuk melakukan jihad, tiba-tiba keledainya mati. Teman-temannya mengajak agar meneruskan perjalanan bersama mereka dengan jalan menumpang keledai mereka. Namun ia menolak seraya berdoa : Ya Allah aku berangkat dari Daithanah untuk berjalan di jalan-Mu dan mencari keridaan-Mu. Aku bersaksi bahwa engkau kuasa menghidupkan orang-orang yang mati dan membangkitkan kembali orang-orang yang ada dalam kubur. Ya Allah tolong hidupkan kembali keledaiku. Usai berdoa ia menghampiri keledainya dan memukulnya, seraya keledai itu langsung bisa berdiri dan menggerak-gerakkan telingannya. Dalam kisah lain Abu Yusuf ad-Dahmani pernah datang kepada mayat dan berkata: berdirilah! seketika itu juga mayat berdiri dan hidup dalam waktu yang cukup lama. Syeikh Zaenuddn al-Fruqi juga pernah berdoa kepada Allah agar menghidupkan kembali seorang anak kecil yang mati karena terjatuh dari loteng. Allah pun akhirnya mengabulkan. Sementara itu Syeikh Muhammad Bahaudn an-Naqsabandi pernah menghidupkan temannya, Muhammad Zahid yang seharian telah meninggal dunia. Beliau juga punya pengalaman untuk memanggil seorang keluarga santrinya yang telah mati yang berada di Bukhara, tiba-tiba Syamsuddn yang telah meninggal tersebut hadir di depan Syaikh. Termasuk juga kisah Sunan Ampel yang pernah memanggil mbah aleh yang telah meninggal lama untuk kembali membersihkan masjid karena tidak ada santri yang mampu membersihkan masjid sebersih dia. Meyakini secara mitis terhadap kisah di atas secara teologis tidak bertentangan dengan ajaran Islam, Sekalipun ketika dilihat dari substansi isinya, cerita itu mengandung muatan mitologis bagi generasi yang meyakini setelahnya. Dalam kenyataan riil di masyarakat kisah itu tiba-tiba menjadi sebab munculnya mitologi baru yang sakral, karena secara normatif keyakinan mereka tertuju kepada para syaikh dan bukan kepada Tuhan. Sikap seperti inilah yang membuat mereka diklaim sebagai pelaku bidah, khurafat dan takhayul, karena mereka telah meyakini secara berlebihan berbagai kemuliaan yang dimiliki para wali, termasuk syeikh. Tentu saja dalam menilai perilaku di atas tidak cukup hanya dengan cara mengklaim dari jarak jauh, dan menyimpulkan bahwa perilaku tersebut adalah menyimpang, tetapi memerlukan pengamatan lebih detil dan akurat. Karena itu tidak ada jalan lain kecuali dengan menelitinya secara objektif. Demikian juga bacaan-bacan asma dengan serentet tata aturan serta khasiatnya, doa-doa ghairu mathur dengan sejumlah aturan dan maksud serta tujuannya, hizib dengan tata cara mengaplikasikannya, bacaan-bacaan wirid serta kegunaannya, termasuk bagaimana tata cara membuat rajah, tawassul dengan berbagai ragam implementasinya. Dalam konteks pesugihan (ekonomi) misalnya, baik dalam kitab Syamsul Marif al-Kubro, Mambau al-Hikmat maupun Dalilu al-Khairt secara spisifik mengenai bab-bab kajiannya telah diajarkan secara detil. Misalnya bab yang terkait dengan cara mudah mendatangkan rizki, diperluas rizkinya hingga menjadi kaya, supaya diberi perkembangan rizki yang banyak, supaya sangat mudah rizkinya dan dihilangkan kepayahan sehari-hari dalam mencari rizki, supaya diberi harta banyak dengan pekerjaan yang mudah, supaya menjadi mulia dan bahagia, supaya tidak pernah kekurangan rizki, supaya tidak menjadi fakir selamanya, supaya tidak kesusahan dan prihatin masalah rizki, supaya cepat laku dagangannya dengan keuntungan yang banyak, supaya laris tokonya, sukses kebutuhannya. Kenyataan ini semua menunjukkan bahwa cikal bakal tradisi mitis, magis dan mistis telah berkembang lama di kalangan Islam. Apa yang dilakukan oleh Rasul, shahabat, ulama dan kiai di kalangan masyarakat muslim umumnya pada hakikatnya juga upaya konkritisasi dari nilai-nilai abstrak tersebut. Termasuk juga mitos yang dipahami Arkoun di atas tidak lain adalah upaya-upaya kongkritisasi dari hal-hal yang bersifat abstrak, dari impian menuju ke kenyataan. Hanya saja tidak semua pemikir setuju dengan cara pemahaman M. Arkoun. Bahkan sebagian kalangan menilai sebaliknya, bahwa mitos itu selalu berkonotasi negatif. Kuntowijoyo dengan memakai kaidah cara berpikir mitosnya mengatakan bahwa mitos itu hanya akan melahirkan abstraksi-abstraksi dari yang kongkrit. Inti dari pemikiran Kunto yang paling dalam tersebut mengatakan bahwa mitos itu harus dihindari karena tidak kongkrit. Masih dalam pandangannya, mereka yang hidup dalam mitos tidak akan bisa menangani realitas. Cara pandang Kunto tentang konsepsi mitos di atas jika didekatkan dengan pemahaman Arkoun tentang mitos sangatlah bertolak belakang. Perbedaan di antara keduanya terjadi disebabkan karena perbedaan sasaran telaah, yang satu memahami mitos sama halnya dengan mitologi, sementara yang satunya memahami berbeda dari sisi tingkatannya. Kekhawatiran Kuntowijoyo tentang mitos sama artinya kekhawatiran M. Arkoun tentang mitologi. Pemahaman Kuntowijoyo tentang mitosjika dilihat dengan pemikiran M. Arkountelah terjebak dengan pemahaman mitologi. Sudah barang tentu jika yang dimaksud mitos oleh Kuntowijoyo adalah mitologi menurut M. Arkoun, maka benar ia tidak memiliki kemampuan untuk membangkitkan vitalitas dalam realitas.Dalam kaca mata lain, Endraswara berpandangan bahwa mitos diartikan sebagai cerita-cerita suci yang berbentuk simbolik yang mengisahkan serangkaian peristiwa nyata dan imajiner menyangkut asal-usul dan perubahan alam raya dan dunia, dewa-dewi, kekuatan atas kudrati, manusia, pahlawan dan masyarakat. Karenanya, ketika mitos dalam konteks pemahaman Kunto cenderung dimaknakan sebagai hal yang negatif, mitos tidak dilihat dari kaca mata pendekatan ilmu, tetapi lebih dilihat dari kacamata nalar agama yang terikat secara subjektif terhadap kecenderungan untuk menilai, menghakimi, yaitu positif dan negatifnya, boleh dan tidak bolehnya, bahaya dan tidaknya mitos tersebut diyakini, tanpa melihat makna mitos secara ilmiah dan alamiyah, apa maksud dan bagaimana praktik mitos itu terjadi. Pada sisi lain mitos merupakan suatu warisan bentuk cerita tertentu dari tradisi lisan berdasarkan suatu skema logis yang terkandung di dalam mitos itu dan yang memungkinkan mengintegrasikan semua masalah yang perlu diselesaikan secara sistematis. Namun demikian ia seringkali dipahami sebagai cerita aneh dan mustahil yang sulit dipahami maknanya. Mitos terkadang disebut sebagai cerita tidak teratur, namun ketidakteraturannya terdapat keteraturan yang tidak disadari oleh penciptanya. Endraswara mengatakan bahwa mitos di Jawa memang banyak ragamnya, antara lain mitos gugon tuhon, yaitu mitos larangan-larangan tertentu, mitos bayangan asosiatif, mitos berupa dongeng dan mitos yang berupa sirikan (yang harus dihindari). Dalam konteks yang hampir sama Kirk berhasil membuat tipologi mitos dan fungsinya dalam perkembangan kebudayaan. Menurut Kirk ada tiga tipologi mitos dan fungsinya dalam perkembangan masyarakat, yaitu 1). Mitos naratif yang berfungsi menghibur. 2). Mitos operatif, mitos yang diulang-ulang dimaksudkan untuk hal-hal yang bersifat megis, ritual dan untuk menghasilkan suatu kontinuitas yang diinginkan. 3). Mitos eksplanatoris dan spekulatif, yaitu fungsi yang jauh lebih luas dari hanya sekedar cerita. Tidak kalah pentingnya Dhavamony telah mengurai secara luas macam-macam mitos. Pertama: mitos penciptaan, yaitu mitos yang menceritakan alam semesta yang sebelumnya tidak ada. Kedua: mitos kosmoginik, mitos yang mengisahkan penciptaan alam semesta dengan menggunakan sarana yang sudah ada. Ketiga: mitos asal-usul, mitos yang mengisahkan asal mula atau awal dari segala sesuatu. Keempat: mitos mengenai para dewa dan mengenai makhluk adikodrati. Kelima: mitos yang terkait dengan kisah penciptaan manusia. Keenam: mitos yang berkenaan dengan transportasi. Dengan pemahaman seperti ini, secara ontologis maupun epistemologis, proses dan pengalaman bagaimana komponen-komponen serta konstruks mitos itu dibangun akan diketahui dan dipahami. Apakah mitos itu dibangun atas kerangka konsep kosmologi masing-masing situasi, ataukah dibangun atas dasar kepentingan-kepentingan tertentu, sehingga ia selalu sarat dengan makna. Secara umum mitos selalu dihubungkan dengan masyarakat mistis, namun demikian tidak berarti masyarakat modern telah meniadakan mitos ini sama sekali. Tidak sedikit masyarakat modern yang masih mempercayai adanya warisan kuno, warisan spiritual. Stanley R. Barret dalam bukunya The Rebirth of Anthropological Theory mengupas secara detil tentang teori mitos. Mitos menurut perasaan non teknis dianggap sebagai kepercayaan palsu, terkadang dipahami sebagai persoalan yang salah dan persoalan yang tidak berwujud. Namun demikian hingga kini mitos merupakan salah satu isu akademik yang tetap hangat, utamanya dalam hal penafsiran kejadian-kejadian sejarah. Oleh sebab itu mitos menurut Barret adalah dokumentasi masyarakat yang tidak ditulis dalam sejarah. Mitos juga sering berfungsi untuk memberikan penjelasan tentang asal kedatangan suku maupun kelompok etnik, dari sisi tempat maupun asal kehidupannya. Mitos juga berfungsi sebagai solusi dalam kehidupan yang mendasar, selain itu mitos juga sebagai sumber kekuatan psikis manusia. Pada hakikatnya mitos selalu muncul dalam ranah psikis manusia. Karena itu menurut Jamhari mitos tergantung kepada model pengartikulasian intelektual primordial dari kepercayaan itu. Pada gilirannya mitos juga tergantung kepada keputusan subjektif penghayatnya. Mitos berarti suatu sikap keagamaan atau merupakan filsafat primitif, pengungkapan pemikiran yang sederhana, serangkaian usaha untuk memahami dunia, untuk menjelaskan kehidupan dan kematian, takdir dan hakikat, tuhan dan pemujaan. Berangkat dari pernyataan subjektif itu mitos juga dipahami sebagai pernyataan manusia yang kompleks dan dramatis, yang melibatkan pikiran, perasaan, sikap dan sentimen. Ia berada di luar dunia empirik, tetapi selalu mengaktualkan apa yang telah dikisahkan. Aktualisasi kisah suci yang diakui kebenarannya itu (mitos) dalam realitas sosial selalu berjalan secara ajeg (rutin) dalam bentuk ritual. Pelaksanaan ritual dalam agama primitif, pada hakikatnya upaya menyatukan antara aku dan dia, manusia dengan objek suci. Hanya saja jalan pemikiran keagamaan mereka selalu didorong untuk mempersonifikasikan dan melambangkan dia dengan lambang-lambang yang dinilai bisa menjadi perantara. Lambang itu adakalanya berwujud alam semesta ini (langit dan bumi), roh atau arwah nenek moyang yang mereka gambarkan sebagai tuhan. Sementara itu, ritual yang mereka lakukan tidak terlepas dari relasi alam, yaitu agar alam ini tidak murka, alam yang melambangkan Tuhan. Betapapun corak manusia primitif yang telah dikaji oleh Muhammad Hayat ini, ternyata dalam banyak dimensi juga masih memiliki keyakinan mitis tentang adanya Tuhan, sebagaimana layaknya ajaran-ajaran agama besar dunia. Tradisi ritual masyarakat secara sederhana di manapun mereka berada, di balik itu mereka pasti mendambakan adanya keteraturan dan terhindar dari marabahaya. Bagi mereka, kebutuhan agar mereka tetap hidup yang bisa menyediakan adalah alam. Dengan kata lain ritualitas adalah tindakan keseimbangan antara diri dengan alam. Oleh karena itu secara umum masyarakat primitif didominasi oleh mitos tentang kemurkaan alam. Agar alam tidak murka, maka kesepakatan yang mereka putuskan selalu berhubungan dengan kelestarian alam. Atas dasar itu Armada Riyanto memahami mitos sebagai ekspresi yang hidup mengenai relasi manusia dengan ruang lingkupnya dan keseluruhan lingkup hidupnya. Sementara itu Peurson juga mengatakan bahwa mitos adalah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu pada kelompok pendukungnya. Tentu saja pedoman dan arah yang dimaksud dalam hal ini adalah bagaimana membangun hubungan relasional antara diri dan alam. Oleh karena manusia dulu membuat cerita maupun lambang yang mampu mencetuskan lambang kebaikan maupun kejahatan melalui mitos. Dengan demikian mitos merupakan medium yang sangat subjektif, tergantung kepada misi dan visi pesan-pesan yang hendak disampaikan. Adakalanya berupa pesan-pesan politik, pesan-pesan agama dan moral. Dengan demikian mitos yang dikonstruks oleh lingkungan istana tentu akan berbeda pesan-pesannya dengan mitos yang dibangun oleh lingkungan wong cilik (pedesaan). Karena itu, bagaimanapun lingkungan budaya istana kejawen tetap mempertahankan falsafah raja titisan dewa (raja keturunan dewa) dengan mitologi kuno warisan zaman Syiwa-Budha. Oleh karena itu praktik mitologis tentang Nyai Rara Kidul, pusaka yang dikeramatkan dan upacara tradisional masa lalu, bisa jadi ditafsirkan sebagai medium politis yang efektif untuk melanggengkan wibawa kerajaan Jawa tradisional. Melalui cara ini pula kelanggengan dan kewibawaan warisan Hindu-Budha kejawen tetap terasa hingga kini, meski kekuatan mitologi Islam tetap bersaing. Atas dasar misi ini pulalah Sultan Agung tetap memilih tahun satu saka sebagai pangkal perhitungan tahun Jawa, meski dasarnya telah digubah dengan tahun qamariyah. Kuatnya pengaruh mitos itu bisa disaksikan misalnya, pada pola budaya Islam kejawen hingga zaman Mataram. Pola budaya Islam Kejawen itu dalam kenyataannya tidak mengalami perubahan yang signifikan, bahkan ia seperti pola budaya kejawen pada zaman Hindu-Budha. Secara formal agama memang mengalami perubahan, yaitu dari Hindu-Budha kejawen beralih ke Islam Kejawen. Sementara konsep manunggaling kawula Gusti (menyatunya manusia dan Tuhan) tak lebih dari sekadar dasar filsafat kebatinan yang dimanfaatkan untuk kebutuhan politik, yaitu memitoskan raja dan mengkeramatkan kalangan priyayi yang mendukung dinastinya. Bukti argumentasi ini bisa dikonfirmasikan pada suatu kenyataan bahwa belum ada di kalangan tokoh priyayi Jawa yang sekaliber al-Hallaj. Tidak ada tokoh wali yang muncul dari keluarga Mataram kecuali cerita mitis tentang Siti Jenar. Hal ini terlihat jelas melalui kemunculan tarikat kebatinan pada zaman kemodernan Indonesia dewasa ini. Dalam berbagai macam tarikat kebatinan itu, dimensi politislah yang paling dominan, sementara aspek penghayatan terhadap mitos manunggaling Kawula Gusti justru semakin lemah. Bentuk mitos di atas tidak sedikit yang mengalami proses kolaborasi dan berasimilasi dengan peringatan hari-hari besar Islam, seperti garebeg (upacara) Maulud, garebeg pasa, garebeg besar, tanggap warsa. Koentjoroningrat mengatakan bahwa pada tanggal 12 bulan Maulud orang memperingati hari wafat dan hari lahirnya Nabi Muhammad (muludan). Baik para penduduk desa maupun para priyayi di kota-kota yang menganut agami jawi mengadakan selamatan sekitar tanggal 12 Maulud tersebut. Hidangan pertama pada perayaan Maulud itu adalah tumpeng dan ayam yang dimasak dengan bumbu-bumbu dalam keadaan utuh (dibuang bulunya dan dibuang isi perutnya). Hal serupa juga terjadi di Surakarta dan Yogyakarta, mauludan dirayakan dengan mengadakan pesta sekaten dan upacara kerajaan garebeg Maulud. Tradisi ritual Islam di atas betapapun juga telah menggambarkan terjadinya proses kolaborasi dan asimilasi terhadap budaya lokal Jawa yang tidak bisa dihindari. Perpaduan aspek Islam dengan alam pikiran tradisi lama, seperti pengkeramatan acara selamatan merupakan aspek sosio-religius yang sangat efektif dan sulit dihindari oleh masayarakat kejawen. Karena itu wajar jika Koentjoroningrat menamakan sebagai agama jawi. Praktek mitologi seperti ini semakin lama semakin kokoh karena secara periodik perilaku mitos ini diperkuat dengan ritualitas-ritualitas tertentu. Tentu aktor yang paling diuntungkan dalam upacara ritual keagamaan seperti ini adalah para elit, baik elit pemerintahan maupun elit agama.Bagi masyarakat pedesaan tradisional adat istiadat keagamaan memiliki daya pengikat tersendiri. Meninggalkan tradisi berarti mengancam kelanggengan eksistensi masyarakatnya. Islam yang hidup dalam masyarakat tertentu harus mampu bergulat dengan adat istiadat tradisional yang umumnya bersendi pada kepercayaan mitologis. Dalam pergulatan ini sangat mungkin unsur-unsur Islam dihilangkan untuk ramuan tradisi budaya. Mungkin pula Islam ditumpangi oleh unsur tradisi lama. Inilah makna simbolik dari aspek mitologis yang sangat politis. Namun demikian tidak tertutup kemungkinan munculnya beberapa penafsiran mitologis dalam tradisi Jawa ini yang mengarah pada aspek moralitas. Oleh karena itu bagi Edward B. Tylor mitos seharusnya tidak ditafsirkan dengan cara penafsiran yang salah, tetapi ia adalah cara pandang yang mendalam dan filosofis tentang dunia. Sejak itulah mitos dalam pandangan Tylor tidak bisa ditolak sebagai persoalan yang salah maupun yang tolol. Lebih dari itu mitos menurutnya harus dikaji sebagai produk yang menarik dari pandangan manusia. Karena itu mitos menurut Parcy S. Cohen dipahami sebagai cerita tentang peristiwa awal mula dan transformasi termasuk di dalamnya tentang Tuhan, dewa dan dewi, yang mempunyai kualitas sakral yang penyampaiannya dalam bentuk-bentuk simbolis. Dalam literatur lain Molinowski juga mengatakan bahwa mitos bukanlah sesuatu yang bersifat simbolis belaka, melainkan suatu penggambaran sesungguhnya yang langsung tentang pokok permasalahan. Tidak hanya dari kalangan ilmuwan non Muslim, para ilmuan muslim (ulama) pun banyak yang menaruh respon positif terhadap mitos, sekalipun tidak berlaku untuk semua mitos. Indikasi itu bisa dilihat dari kecenderungan sebagian ulama yang mencintai praktik tawassul dan tabarruk dalam mengimplementasikan teologinya. Sebab dari praktik tawassul maupun tabarruk telah menggambarkan adanya keyakinan mereka terhadap produk mitos yang berhasil dikonstruk oleh para ulama sebelumnya. Selain mereka meyakini terhadap produk mitos sebelumnya, mereka juga senantiasa mengkonstruks produk-produk mitos baru melalui fatwa-fatwa yang senantiasa berkembang mengikuti zamannya. Dengan demikian penalaran kritis dalam tradisi ilmiah berlaku juga dalam dunia mitos. Ia senantiasa membutuhkan adanya pembaruan dan penyegaran secara intensif. Atas dasar inilah, pemahaman mitos berbeda dengan mitologi, bukan berbeda dari jenisnya melainkan tingkatannya. Mitos yang telah kehilangan semangat zamannya (usang) disebut dengan mitologi (khurafat). Dari sekian perspektif antropologis, baik dari kalangan Barat maupun Islam mengenai pemahaman mitos di atas, bisa ditarik benang merahnya bahwa mitos merupakan bagian penting yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, sebagaimana halnya agama. Oleh karenanya, mitos dimata manusia sama halnya dengan peran agama bagi kehidupannya. Dari sisi fungsinya, keduanya bisa menjadi sistem nilai (pedoman) bagi manusia. Keduanya berfungsi memberikan arah dan petunjuk hidup bagi manusia. Hanya saja subjek pengkonstruk mitos adalah manusia, sementara pengkonstruk agama adalah Tuhanya. Agama senantiasa memiliki tingkat kebenaran yang qathi, sementara kebenaran mitos adalah dzanni. Semua ajaran agama, terutama Islam adalah baik, sedangkan ajaran mitos tidak selalu menunjukkan ajaran yang baik, semuanya tergantung kepada siapa pengkonstruk mitos tersebut. Karena itu ia sangat subjektif, sehingga tingkat kebenarannya pun juga sangat lokalistik. Kebenaran mitos bagi kelompok dengan situasi sosio-kultural tertentu tidak selalu dianggap benar kepada kelompok yang berbeda latar sikonnya. Dengan kata lain kebenaran mitos bersifat partikular, sedang