Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana. Pdf(1MB)
Transcript of Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana. Pdf(1MB)
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
ADAPTASI MASYARAKAT KOTA RAWAN BENCANA Tinjauan Konsep Pemahaman,Persepsi dan Kesiapan Mitigasi
Dalam Perubahan Tata Ruang
Penyusun : Henita Rahmayanti Disain Sampul : Henita Rahmayanti
& Mido Rihibiha Editor : Mido Rihibiha Penerbit : Universitas Indonesia, Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Lingkungan Cetakan : I – Jakarta, 2014 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini, tanpa izin tertulis dari penerbit
Perpustakaan Nasional: Katalok Dalam Terbitan (KDT) Rahmayanti, Henita
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana: Tinjauan Konsep Pemahaman, Persepsi dan Kesiapan Mitigasi Dalam Perubahan Tata Ruang/Henita Rahmayanti. --- Jakarta: Universitas Indonesia, Program Pascasarjana, Program Studi Ilmu Lingkungan, 2014.
157 hal, 23 cm Bibliografi : xi hal ISBN 978-602-70112-0-5 1. Pendidikan Lingkungan 2. Tata Ruang 3. Mitigasi Bencana
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Henita Rahmayanti, lahir di Jakarta, 4 Juni 1963 sebagai anak keempat
dari Bapak H. Zainoezir Isa (alm) dan Ibu. Hj. Hafizah (almh). Menikah
dengan Ir. Teddi Yanto, dikaruniai 3 orang anak: Irfan Aditya, Farhan
Rahadian, dan Nadya Anindita.
Pendidikan SD Blok E Jakarta, SMP Negeri 13 Jakarta, SMA Negeri 70
Jakarta, lulus pada tahun 1982. Menyelesaikan program Sarjana di
Jurusan Pendidikan Teknik Sipil IKIP Jakarta pada tahun 1987 dengan
judul skripsi ”Roller Compacted Concret sebagai alternatif perkerasan
Jalan”. Tahun 1997 menyelesaikan S2 Program Studi Ilmu Lingkungan
Universitas Indonesia, dengan judul tesis “Pemanfaatan Fasilitas
Umum dan Fasilitas Sosial di Rumah Susun Kemayoran Jakarta”.
Tahun 2013 menyelesaikan S3 Program Studi Ilmu Lingkungan
Universitas Indonesia, dengan judul disertasi “Model Adaptasi
Masyarakat Dalam Penataan Ruang Kota Rawan Bencana”
Sejak Tahun 1988 diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dosen
di Fakultas Teknik Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Pada Jurusan
Teknik Sipil. Mata Kuliah yang diampu adalah Plumbing, Teknik
Penyehatan, Rekayasa Lingkungan, Marine Polution, PKLH, AMDAL.
Pengalaman jabatan sebagai Kepala Lab Plumbing 2000–2003,
sebagai Sekretaris Jurusan Teknik Sipil 2003–2007 dan sebagai Ketua
Program Studi D3 Transportasi 2007–2011.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
i
KATA SAMBUTAN
Kearifan manusia mengelola lingkungan dalam mitigasi
bencana sebagai sumber daya untuk pembangunan
bukan terjadi dengan seketika, tetapi memerlukan suatu
proses pendidikan. Untuk menunjang hal tersebut maka
muncul gagasan untuk menerapkan suatu pendidikan
lingkungan dalam mitigasi bencana.
Pengembangan sistem dilakukan dalam bentuk kebijakan
mitigasi perkotaan berupa kerangka konsep yang disusun
untuk mengurangi risiko bencana terutama di daerah
perkotaan. Kerangka konsep meliputi pengenalan dan
sikap terhadap risiko bencana alam dan buatan manusia.
Kebijakan nasional memberikan keleluasan secara
substansial kepada daerah untuk mengembangkan sistim
mitigasi bencana yang paling tepat sesuai dengan kondisi
lingkungan dan budaya setempat melalui pendidikan
lingkungan berbasis mitigasi bencana. Pendidikan
lingkungan hidup berbasis mitigasi bencana adalah suatu
proses untuk membangun populasi manusia di dunia yang
sadar dan peduli terhadap lingkungan.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
ii
Tulisan ini menggambarkan interaksi manusia dengan
lingkungan dan mitigasi bencana, yang bertujuan untuk
mencari hubungan sebab akibat dengan cara mengamati
keadaan yang ada pada saat ini, mengamati faktor konsep
kota rawan bencana dan model pendidikan lingkungan
dalam mitigasi bencana pada lokasi rawan bencana. Buku
ini mengungkapkan teori-teori, konsep yang relevan
dengan pokok bahasan yaitu konsep pendidikan
lingkungan, konsep mitigasi bencana dan konsep
pembangunan berkelanjutan.
Jakarta, 6 Maret 2014
Prof.dr. Haryoto Kusnoputranto, SKM. Dr. PH.
Ketua Program Studi Ilmu Lingkungan
Program Pascasarjana
Universitas Indonesia
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
iii
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan Alhamdulillahirobbilalamiin dan
rasa syukur atas berkah dan karunia Allah SWT, yang
telah memungkinkan penulis dapat menyelesaikan
penulisan buku ini.
Buku ini membahas mengenai adaptasi masyarakat kota
rawan bencana. Bencana merupakan peristiwa alam
yang tidak dapat dihilangkan atau ditunda. Namun
demikian, manusia dapat mengurangi risiko yang
ditimbulkan oleh bencana alam, melalui perencanaan
mitigasi baik yang struktural berhubungan dengan
pembangunan konstruksi fisik maupun yang non struktural
antara lain meliputi perencanaan tata guna lahan yang
disesuaikan dengan kerentanan wilayahnya. Masyarakat
merupakan faktor utama dalam mitigasi, dengan
kemampuannya beradaptasi di dalam kota rawan
bencana. Proses adaptasi masyarakat dipengaruhi oleh
pemahaman dan persepsi.
Buku ini di tulis berdasarkan hasil penelitian penulis dalam
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
iv
penyelesaian studi doktoral pada Program Studi Ilmu
Lingkungan Universitas Indonesia dengan judul Model
Adaptasi Masyarakat dalam Penataan Ruang Kota Rawan
Bencana. Lingkup penulisan adalah pemahaman dan
persepsi masyarakat terhadap kebijakan implementasi
mitigasi penataan ruang kota rawan bencana. Lokasi
penelitian di Kota Padang khususnya Kecamatan Padang
Barat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka
diketahui bahwa variabel sosial, ekonomi, budaya, dan
fisik merupakan faktor yang mempengaruhi pemahaman,
dan pemahaman akan mempengaruhi persepsi.
Penyiapan sarana prasarana mitigasi juga akan
mempengaruhi persepsi, persepsi sebagai dasar
pertimbangan adaptasi masyarakat dalam penataan ruang
kota rawan bencana. Dengan diketahuinya factor-faktor
yang mempengaruhi adaptasi masyarakat maka
diharapkan dapat memberi kontribusi yang dapat
meningkatkan kesiapan masyarakat munuju
pembangunan kota berkelanjutan.
Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa,
anggota LSM, para pengambil kebijakan baik di tingkat
daerah maupun nasional serta pihak-pihak lain yang
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
v
peduli atau terlibat dalam penanggulangan mitigasi dan
dampak bencana, agar dapat mengurangi risiko bencana
dan mempersiapkan masyarakat yang adaptif.
Ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu, secara khusus kepada sahabat baik ku Ibu
Mido Rihibiha selaku Editor, dan Penerbit Universitas
Indonesia, Program Studi Ilmu Lingkungan. Penulis
menyadari bahwa buku ini belum sempurna, sehingga
penulis mohon maaf sekiranya terdapat kesalahan dan
kekurangan dalam penulisan buku ini.
Jakarta, Maret 2014
Penulis
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
vi
DAFTAR ISI
KATA SAMBUTAN ………………………………......... i KATA PENGANTAR ………………………………...... iii DAFTAR ISI ………………………………………......... vi DAFTAR TABEL …………………………………......... viii DAFTAR GAMBAR ………………………………........ x DAFTAR ISTILAH …………………………………....... xi DAFTAR SINGKATAN …………………………........... xii 1 Pendahuluan ………………………………….......... 1 1.1. Latar Belakang …………………………....... 1 1.2. Keadaan Rawan Bencana ……………......... 11 2 Mitigasi Bencana ................................................... 13 2.1. Konsep Mitigasi ........................................... 13 2.2. Konsep Ilmu Lingkungan ............................. 15 2.3. Konsep Adaptasi.......................................... 22 2.4. Konsep Pemahaman ................................... 31 2.5. Konsep Persepsi .......................................... 33 3 Penataan Ruang ................................................... 35 3.1. Konsep Kota Rawan Bencana ..................... 48 3.2. Konsep Keberlanjutan Kota ......................... 60 3.3. Kebijakan Penataan Ruang ......................... 67 4 Adaptasi Masyarakat Dalam Penataan Ruang .... 70 4.1. Gambaran Kota Padang .............................. 70 4.2. Kecamatan Padang Barat ......................... 83 4.3. Faktor yang Mempengaruhi Adaptasi 92
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
vii
Masyarakat Dalam Penataan Ruang ........... 4.3.1 Pengetahuan dan Persepsi
Masyarakat ...................................... 93
4.3.2 Sosialisasi Mitigasi ........................... 100 4.3.3 Potensi Kearifan Lokal Dalam Mitigasi
............................................. 103
4.4. Kondisi Masyarakat ...................................... 105 4.5. Masyarakat dan Budaya Minang ................. 130 4.5.1 Kebudayaan Minang ........................ 130 4.5.2 Beberapa Penelitian yang Pernah
Dilakukan ......................................... 137
5 Kesimpulan ............................................................ 142 5.1. Mitigasi ........................................... 142 5.2. Adaptasi Masyarakat ................................... 146 5.3. Keberlanjutan Kota ...................................... 150 Daftar Pustaka ....................................................... 154
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Rekapitulasi Korban Jiwa akibat Gempa Bumi
30 September 2009 ......................... 5
Tabel 2 Rekapitulasi Kerusakan Sarana Pendidikan akibat Gempa Bumi, 30 September 2009 .......................................
6
Tabel 3 Luas Wilayah Kota Padang Berdasarkan Kecamatan ..........................
71
Tabel 4. Luas wilayah Kota Padang Berdasarkan Klasifikasi Kemiringan Lahan .......................................................
73
Tabel 5. Klasifikasi ketinggian Kota Padang menurut kecamatan .................................
74
Tabel 6 Luas Lahan Berdasarkan Jenis Penggunaanya .........................................
76
Tabel 7. Jumlah penduduk menurut kecamatan di Kota Padang .............................................
78
Tabel 8. Kepadatan dan distribusi penduduk menurut kecamatan di Kota Padang tahun 2005-2010 .....................................
80
Tabel 9. Jumlah Penduduk di Kecamatan Padang Barat ……………
84
Tabel 10 Kepadatan dan distribusi penduduk menurut kelurahan di Kecamatan Padang Barat .........
85
Tabel 11 Jumlah Sarana Pendidikan di Kecamatan Padang Barat ......................
87
Tabel 12 Jumlah sarana kesehatan menurut kelurahan di Kecamatan Padang Barat
89
Tabel 13. Jumlah sarana peribadatan menurut kelurahan di Kecamatan Padang Barat tahun 2010 ...............................................
91
Tabel 14. Karakteristik Utama Informan Key Person 93
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
ix
Tabel 15. Alamat Responden ................................... 106 Tabel 16. Usia Responden ....................................... 106 Tabel 17. Jenis Kelamin ........................................... 107 Tabel 18. Lama Tinggal ............................................ 107 Tabel 19. Suku Asli ................................................. 108 Tabel 20. Pendatang dari Suku ............................... 108 Tabel 21 Pendidikan Responden ........................... 109 Tabel 22. Jumlah penghuni ...................................... 110 Tabel 23. Pekerjaan Responden .............................. 111 Tabel 24. Pekerjaan setelah terjadi gempa .............. 112 Tabel 25. Kerjaan sekarang ..................................... 113 Tabel 26. Penghasilan Responden ........................ 114 Tabel 27. Jarak rumah dengan lokasi bencana .... 115 Tabel 28. Bentuk rumah ........................................... 115 Tabel 29. Status kepemilikan ................................... 116 Tabel 30. Pasca Bencana Kondisi Rumah ............. 116 Tabel 31 Rangkuman Hasil Analisis Kuesioner .. 117 Tabel 32. Rangkuman jawaban Responden .......... 125
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Lingkungan Hidup ............................ 17 Gambar 2. Proses Perencanaan dan Penataan
Ruang ............................................... 39
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
xi
DAFTAR ISTILAH
Adaptasi : Menyesuaikan dengan kebutuhan atau
tuntutan baru, atau dapat pula berarti usaha mencari keseimbangan kembali ke keadaan normal
Bencana : Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
xii
DAFTAR SINGKATAN
AGFI Adjusted Goodness of Fit Index BAM Bumi Alam Minangkabau BIM Bandara Internasional Minangkabau BPBD Badan Penanggulangan Bencana Daerah BPBN Badan Penanggulangan Bencana Nasional BPN Badan Pertanahan Nasional MdPL Meter dari Permukaan Laut PDRB Pendapatan Domestik Regional Bruto RTRW Rencana Tata Ruang Wilayah RPJM Rencana Pembangunan Jangka Menengah RTR Rencana Tata Ruang RTRK Rencana Tata Ruang Kota RPJP Rencana Pembangunan Jangka Panjang RTH Ruang Terbuka Hijau SNI Standar Nasional Indonesia
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan daerah rawan bencana, ditandai
dengan peristiwa bencana yang melanda di berbagai
wilayah. Bencana merupakan suatu kejadian yang
tidak dapat dilepaskan dengan kehidupan manusia,
baik sebagai individu maupun masyarakat. Bencana
dapat disebabkan oleh faktor alam (gempa bumi, tsunami,
banjir, letusan gunung api, tanah longsor, angin ribut) dan
faktor non alam seperti akibat kegagalan teknologi dan
ulah manusia. Umumnya peristiwa terjadinya bencana
mengakibatkan penderitaan bagi masyarakat, berupa
korban jiwa, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan
serta musnahnya hasil-hasil pembangunan yang telah
dicapai.
Berdasarkan analisa mengenai potensi bencana dan
tingkat kerentanan, maka dapat diperkirakan risiko
bencana yang terjadi di perkotaan Indonesia tergolong
tinggi. Faktor lain yang mendorong semakin tingginya
risiko bencana adalah disebabkan banyak penduduk
yang tinggal di kawasan rawan bencana, dengan alasan
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
2
seperti kesuburan tanah, kesempatan kerja, kedekatan
secara emosional dan lain-lain.
Kejadian gempa sampai saat ini sulit untuk diprediksi,
sehingga upaya yang dicanangkan untuk pengurangan
risiko bencana adalah melalui mitigasi. Mitigasi bencana
adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik m e la l u i pembangunan f i s i k
ma upun penyada ran dan pen ingk a tan
k emam puan menghadapi ancaman bencana, sesuai
dengan Undang-Undang 24/2007 tentang
Penanggulangan Bencana Alam. Pemerintah kota
berperan dalam melaksanakan pembangunan untuk
meningkatkan pertumbuhan wilayah dan penggerak
pembangunan melalui jasa pelayanan di segala bidang.
Dalam upaya untuk mengurangi risiko bencana,
pemerintah kota juga memiliki peran dan fungsi strategis.
Pemerintah kota merupakan pusat informasi dan teknologi
mitigasi bencana dengan mengembangkan suatu sistem
secara proaktif untuk membangun kota yang
berkelanjutan dan berwawasan mitigasi bencana.
Pengembangan sistem dilakukan dalam bentuk kebijakan
mitigasi perkotaan berupa kerangka konsep yang disusun
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
3
untuk mengurangi risiko bencana terutama di daerah
perkotaan. Kerangka konsep meliputi pengenalan dan
adaptasi terhadap risiko bencana alam dan bencana
akibat buatan manusia.
Mitigasi dikelompokkan ke dalam mitigasi struktural dan
mitigasi kultural. Mitigasi struktural adalah upaya untuk
mengurangi kerentanan terhadap bencana, mitigasi
struktural terbagi dua yaitu secara mikro dan secara
makro. Mitigasi struktural secara mikro melalui formulasi
aksi bencana, coding struktur dan bangunan tahan
gempa. Mitigasi struktural secara makro dengan zonasi
skala bencana dan peraturan disain bangunan. Mitigasi
kultural adalah upaya untuk mengurangi kerentanan
terhadap bencana dengan cara perubahan paradigma,
meningkatkan pengetahuan dan sikap, sehingga
terbangun masyarakat yang tangguh. Kebijakan nasional
memberikan keleluasan secara substansi kepada daerah
untuk mengembangkan sistem mitigasi bencana yang
paling tepat sesuai dengan kondisi lingkungan dan
budaya setempat.
Pulau Sumatera merupakan salah satu daerah rawan
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
4
bencana, berada diantara pertemuan 3 (tiga) lempeng
kerak bumi yaitu Kerak Benua Eurasia, lempeng
Samudera Hindia-Australia, dan lempeng Samudera
Pasifik. Dari interaksi ketiga lempeng tersebut melahirkan
apa yang dikenal sebagai jalur gunung api, jalur gempa
bumi, dan jalur pegunungan. Jalur tersebut dikenal
sebagai jalur bencana alam geologi (gerakan tanah/tanah
longsor, letusan gunung api, gempa bumi dan tsunami),
terbentang dari ujung barat laut wilayah Aceh melalui
Bukit Barisan hingga ke Lampung.
Kota Padang terletak di jalur gunung api, sangat rawan
terhadap ancaman bahaya bencana alam geologi. Data
kegempaan memperlihatkan lokasi pusat-pusat gempa di
perairan Kota Padang tersebar cukup merata. Gempa
bumi yang terjadi pada tanggal 30 September 2009 di
Kota Padang berakibat banyaknya korban jiwa. Korban
jiwa akibat gempa bumi di Kota Padang terdiri dari: hilang
2 orang, meninggal 383 orang (termasuk 11 orang yang
alamatnya tidak diketahui dan 39 orang berasal dari luar
Kota Padang), luka berat 411 orang dan luka ringan 771
orang. Korban jiwa meninggal terbanyak di Kecamatan
Padang Barat (81 orang) dan yang paling sedikit di
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
5
Kecamatan Lubuk Kilangan (5 orang). Berdasarkan data
jumlah korban, Kecamatan Padang Barat merupakan
kecamatan dengan jumlah korban meninggal, luka berat
dan luka ringan terbesar, karena Kecamatan Padang
Barat sebagai pusat pemerintahan kota, pusat
perkantoran dan pusat perekonomian dengan kepadatan
penduduk besar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Tabel berikut.
Tabel 1. Rekapitulasi Korban Jiwa akibat Gempa Bumi 30 September 2009
No Kecamatan Korban Jiwa Hilang meninggal Luka
Berat Luka
ringan 1 Lubuk Kilangan - 5 31 32 2 Koto Tangah - 19 23 61 3 Kuranji - 36 29 38 4 Padang Barat - 81 110 264 5 Padang Utara 1 28 52 31 6 Padang Selatan - 35 42 43 7 Padang Timur - 41 109 113 8 Nanggalo - 27 10 59 9 Lubuk Begalung 1 40 24 60 10 Pauh - 13 1 32 11 Bungus Teluk
Kabung - 8 - 38
12 Alamat tidak diketahui
- 11 - -
13 Luar daerah - 39 - - Jumlah 2 383 431 771
Sumber: BPBD Kota Padang, 2010
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
6
Data kerusakan sarana dan prasarana pendidikan seperti
sekolah, kelas, perpustakaan, laboraturium dan kantor,
rumah dinas serta mushollah dapat dilihat pada Tabel 2.
Kecamatan Padang Barat juga merupakan kecamatan
yang mengalami kerusakan dalam jumlah yang tertinggi
dibandingkan kecamatan lain di Kota Padang. Lebih
jelasnya dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 2. Rekapitulasi Kerusakan Sarana Pendidikan akibat Gempa Bumi, 30 September 2009
No. Kecamatan Sarana Prasarana Pendidikan
(Kelas/Perpus/Labor/Kantor/ Rumdin/Mushalla
RB RS RR 1 Lubuk Kilangan 65 54 54 2 Koto Tangah 169 109 120 3 Kuranji 89 120 130 4 Padang Barat 296 103 129 5 Padang Utara 157 68 57 6 Padang Selatan 129 80 72 7 Padang Timur 240 141 90 8 Nanggalo 164 51 41 9 Lubuk Begalung 159 129 114
10 Pauh 46 79 48 11 Bungus Teluk Kabung 92 104 48
Jumlah 1606 1038 903 Sumber: BPBD Kota Padang, 2010
Keterangan: RB = rusak berat RS = rusak sedang RR = rusak ringan
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
7
Untuk memulihkan kondisi Kota Padang pasca gempa
dibutuhkan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi yang
dilakukan secara sistematis. Upaya ini memerlukan
pokok-pokok kebijakan yang dapat dijadikan landasan
untuk merencanakan dan membangun kembali Padang
sebagai kota dengan semangat baru (Padang New City),
melalui pembangunan ekonomi dan respon terhadap
bencana. Kebijakan terhadap pembangunan ekonomi
serta respon dalam bencana menjadi pertimbangan dalam
merevisi dokumen perencanaan strategis Kota Padang
(Rencana Tata Ruang Wilayah/RTRW dan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah/RPJM).
Perencanaan dalam bidang penataan ruang mengandung
tujuan kebijakan, rencana, prosedur dan program-
program. Penataan ruang kota dalam mitigasi bencana
sangat penting dalam memberi perlindungan dan rasa
aman bagi masyarakat. Keterlibatan masyarakat perlu
dikembangkan berdasarkan bentuk yang disepakati
bersama serta dilakukan dengan memperhatikan karakter
sosial budaya setempat (local unique) dan model
kelembagaan setempat.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
8
Pemahaman tinggal di daerah rawan bencana perlu
disikapi secara bijak dan pandai menyiasati cara-cara
hidup berdampingan dengan kondisi alam yang rawan
bencana tersebut (Respati, 2009). Sehubungan dengan
risiko bencana gempa di kota Padang, maka perlu ada
upaya antisipasi dan adaptasi bencana berdasarkan
pemahaman dan persepsi masyarakat. Dengan
mengetahui faktor yang mempengaruhi pemahaman dan
persepsi masyarakat maka dapat menjadi pertimbangan
dalam proses perencanaan dan pelaksanaan mitigasi dan
sebagai acuan dalam mengarahkan program
pembangunan kota rawan bencana.
Terjadi perubahan orientasi penelitian tentang bencana,
tidak hanya pada aspek teknis dan penanganan korban
bencana, tetapi pada pendekatan yang menekankan pada
aspek masyarakat, termasuk didalamnya usulan
pengelolaan mitigasi dalam pengembangan masyarakat
secara terpadu (Blaikie, 1994; Quarentelli, 1989; Twigg &
Bhatt, 1998; Shaw & Okazaki, 2003)
Dampak bencana alam di suatu wilayah secara langsung
dirasakan oleh masyarakat, untuk mengurangi dan
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
9
menghindari risiko bencana penting dilakukan dengan
cara meningkatkan kesadaran dan kapasitas masyarakat
(Suryanti, 2010). Masyarakat merupakan pihak yang
memiliki pengalaman langsung dalam kejadian bencana
sehingga pemahaman yang dimiliki menjadi modal bagi
pengurangan risiko bencana, respon masyarakat terhadap
bencana sangat penting untuk dipahami (Zein, 2010).
Respons merupakan awal dari sebuah strategi adaptasi
oleh masyarakat yang dihasilkan melalui pemahaman
terhadap bencana alam yang terjadi. Pemahaman
masyarakat berupa pengetahuan yang teraktualisasi
dalam persepsi dan atau tindakan dalam sikap
menghadapi bencana. Hasil dari sikap dan atau tindakan
masyarakat untuk menghadapi bencana adalah strategi
adaptasi yang berarti penyesuaian yang dilakukan akibat
dari ancaman lingkungan (Marfai, 2008).
Adaptasi merupakan hasil dari sikap masyarakat yang
muncul berdasarkan persepsi dan pengetahuan mereka
terhadap kota rawan bencana. Kajian mengenai adaptasi
ini dilakukan dengan menilai populasi pada kondisi
sosioekologi berbeda. Twigg (2007) mengemukakan
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
10
bahwa kerugian bencana merupakan hasil dari interaksi
dari proses fisik alam, karakteristik sosial masyarakat, dan
kondisi lingkungan terbangun. Perbedaan karakteristik
dari ketiga sistem tersebut menghasilkan kerugian
berbeda pada bencana alam yang berbeda. Douglas
(1999) menegaskan bahwa setiap satuan unit ruang
memiliki tingkat risiko bencana yang beragam karena
terdiri dari elemen-elemen pendukung yang beragam. Hal
ini menunjukkan bahwa faktor manusia bukan faktor
tunggal untuk mengurangi bencana. Faktor non-manusia,
seperti faktor lingkungan alam dan lingkungan buatan,
membentuk risiko bencana bersama faktor manusia.
Persepsi dan adaptasi mitigasi bencana dalam perspektif
penataan ruang dapat dilakukan dengan proses antisipasi
bukan hanya terhadap prediksi penciptaan lingkungan
yang nyaman, tetapi juga mampu mengantisipasi potensi-
potensi bencana dan strategi mitigasinya (Respati, 2008).
Mitigasi pra bencana dilakukan melalui kajian konsep dan
rancangan tata ruang maupun regulasi sistem penangan
bencana. Kajian adaptasi masyarakat dalam hal ini
mencakup pemahaman masyarakat terhadap pola
pergerakan masyarakat pada saat bencana serta konsep
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
11
rancang kota pencegahan dan perlu tersedianya fasilitas
sarana dan prasarana penyelamatan berdasarkan kajian
persepsi.
Kajian persepsi dalam upaya antisipasi bencana gempa
adalah sesuai dengan arah dan tujuan yang ingin dicapai
dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana khususnya pasal 37 ayat 2
butir b yang menyebutkan bahwa kegiatan pengurangan
risiko bencana dilakukan untuk mengurangi dampak buruk
yang mungkin timbul terutama dilakukan dalam situasi
tidak terjadi bencana.
1.2 Keadaan Rawan Bencana
Terjadi perubahan struktur dan bentuk kota dalam
penataan ruang sebagai implementasi mitigasi kota
rawan bencana. Struktur dan bentuk kota merupakan hasil
dari dinamika berbagai faktor sosial, ekonomi, budaya,
dan fisik secara umum maupun lokal. Untuk masyarakat
mampu beradaptasi dalam perubahan tersebut maka
diperlukan suatu pemahaman dan persepsi mengenai
perubahan dan akibat dari perubahan tersebut.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
12
Hal yang akan dibicarakan disini adalah perubahan
dalam penataan ruang kota rawan bencana dengan
mempertimbangkan mitigasi, tidak dapat
mengakomodasikan kebutuhan seluruh sektor kegiatan
masyarakat, sehingga diperlukan adaptasi masyarakat
dalam perubahan terkait dengan implementasi mitigasi
untuk mengurangi risiko bencana dan korban jiwa.
Berdasarkan rumusan itu, maka diperlukan suatu kajian
mengenai adaptasi masyarakat dalam kota rawan
bencana ditinjau dari ilmu lingkungan. Dengan model
yang menggambarkan hubungan faktor pemahaman,
penyiapan sarana prasarana sebagai persepsi untuk
dapat beradaptasi dalam kota rawan bencana.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
13
2. MITIGASI BENCANA
2.1. Konsep Mitigasi
Interaksi manusia dengan lingkungan yang merupakan kajian
ilmu lingkungan, yaitu untuk mencari hubungan beberapa
faktor dengan cara mengamati keadaan yang ada pada saat
ini mengenai konsep penataan ruang dengan model
adaptasi masyarakat dalam kota rawan bencana. Untuk itu
digunakan teori-teori, konsep yang relevan dengan pokok
bahasan yaitu konsep ilmu lingkungan, konsep adaptasi,
konsep penataan ruang dan mitigasi dalam pemanfaatan
ruang rawan bencana dan konsep pembangunan
berkelanjutan.
Mitigasi bencana merupakan suatu aktivitas yang berperan
sebagai tindakan pengurangan dampak bencana, atau
usaha-usaha yang dilakukan untuk megurangi korban ketika
bencana terjadi, baik korban jiwa maupun harta. Dalam
melakukan tindakan mitigasi bencana, langkah awal yang kita
harus lakukan ialah melakukan kajian risiko bencana terhadap
daerah tersebut. Dalam menghitung risiko bencana sebuah
daerah kita harus mengetahui bahaya (hazard,
,kerentanan (vulnerability) dan kapasitas (capacity) suatu
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
14
wilayah yang berdasarkan pada karakteristik kondisi fisik dan
wilayahnya.
Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk
mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik
maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana (Pasal 1 ayat 6 PP No 21
Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan
Bencana). Bencana sendiri adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor
alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis. Bencana dapat berupa kebakaran, tsunami,
gempa bumi, letusan gunung api, banjir, longsor, badai tropis,
dan lainnya
Mitigasi dapat juga diartikan sebagai istilah kolektif yang
digunakan untuk mencakup semua aktivitas yang dilakukan
dalam mengantisipasi munculnya suatu potensi kejadian yang
mengakibatkan kerusakan, termasuk kesiapan dan tindakan-
tindakan pengurangan risiko jangka panjang. Kegiatan
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
15
mitigasi antara lain dilakukan melalui pelaksanaan penataan
ruang, pengaturan pembangunan, pembangunan
infrastruktur, penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan dan
pelatihan baik secara konvensional maupun modern.
2.2. Konsep Ilmu Lingkungan
Konsep Ilmu Lingkungan (environmental science) adalah
ilmu pengetahuan yang mempelajari interaksi dan
hubungan timbal balik antara masyarakat (lingkungan
sosial manusia) dengan lingkungan hidupnya, serta
bagaimana kelestariannya di bumi ini. Ilmu Lingkungan
juga merupakan ilmu yang memberi gambaran dan
jawaban pada kompleksitas hubungan satu dengan
lainnya dan memiliki rentang waktu yang panjang, serta
penggabungan dari berbagai disiplin ilmu yang secara
bersama-sama dimanfaatkan untuk memecahkan
permasalahannya. Ilmu lingkungan merupakan bidang
akademik yang interdisipliner yang memadukan ilmu fisik
dan biologis (mencakup fisika, kimia, biologi, geografi,
geologi, sosial, ekonomi, dan budaya) untuk mempelajari
lingkungan dan pemecahan terhadap masalah
lingkungan.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
16
Sebagai konsep dasar ilmu lingkungan adalah pemahaman
terhadap lingkungan hidup sebagai kesatuan ruang dengan
segala benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam,
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia
serta makhluk hidup lainnya sesuai dengan UU Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Lingkungan hidup sebagai suatu
ekosistem yang terdiri atas berbagai subsistem, yang
mencakup aspek sosial, budaya, ekonomi dan geografi
dengan corak ragam berbeda yang mengakibatkan
perbedaan dalam kemampuan daya dukung di setiap daerah.
Perbedaan daya dukung di setiap daerah memerlukan
pembinaan dan pengembangan agar dapat meningkat
keselarasan, keserasian dan keseimbangan subsistem, yang
berarti juga meningkatnya ketahanan subsistem itu.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
17
Gambar 1. Lingkungan Hidup
Sumber: Soeryani, 1997
Diantara ketiga komponen lingkungan hidup pada Gambar
1 perlu ada keseimbangan dan harmoni antara kebutuhan
sosial manusia, yang dikembangkan dalam lingkungan
hidup buatan atau binaan dengan keadaan lingkungan
hidup alam.
Dasar dari ilmu lingkungan adalah ekologi, ekologi adalah
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
18
ilmu tentang hubungan timbal-balik makhluk hidup (biotik)
sesamanya dan dengan benda-benda non-hidup (abiotik)
di sekitarnya. Jadi ekologi adalah ilmu tentang rumah
tangga makhluk hidup dan lingkungannya. Sebagai
bagian dari makhluk hidup, peranan dan perilaku manusia
dipelajari secara khusus dalam ekologi manusia, sehingga
ekologi manusia berarti ekologi yang memusatkan
pengkajian pada manusia sebagai individu maupun
sebagai populasi dalam suatu ekosistem. Ekologi dan
ekonomi adalah dua hal yang berakar kata yang sama:
oikos (rumah tangga), yang satu tentang rumah tangga,
yang kedua tentang pengelolaan rumah tangga. Antara
kedua pandangan tersebut tidak jarang keduanya
berbenturan satu sama lain. Seolah-olah keduanya
berada dalam dua jaringan atau sistem yang berbeda.
Padahal sebenarnya rumah tangga manusia itu juga
merupakan bagian, atau harus berada secara serasi dan
didukung secara kesinambungan (sustainable) dalam dan
oleh rumah tangga makhluk hidup di lingkungannya.
Benturan tersebut terjadi berakar dari pengaturan tata-
ruang dalam ekosistem. (Soerjani, 1997)
Untuk mengkaji ekologi maka pertama yang harus
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
19
diketahui adalah mengenai prinsip-prinsip utama ekologi
yaitu:
1. Interaksi (interaction)
2. Saling ketergantungan (interdependence)
3. Keanekaragaman (diversity)
4. Keharmonisan (harmony)
5. Kemampuan berkelanjutan (sustainability)
Ekologi manusia dalam ekosistem merupakan salah satu
kajian dari ekologi. (Soerjani, 1997) menyatakan bahwa
ekosistem dikaji oleh ekologi, sedangkan lingkungan
hidup dikaji oleh ilmu lingkungan yang landasan pokoknya
adalah ekologi, serta dengan memperhatikan disiplin ilmu
lain, terutama ekonomi dan sosiologi. Maka ilmu
lingkungan dapat disebut sebagai ekologi terapan yakni
penerapan prinsip dan konsep ekologi dalam kehidupan
manusia. Perspektif ilmu lingkungan dalam paradigma
pembangunan dikenal sebagai pembangunan yang
berwawasan lingkungan.
Pusat dari pemikiran para ahli ekologi adalah gagasan
tentang kecocokan manusia dan lingkungannya.
Lingkungan dirancang dan berkembang sehingga
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
20
memungkinkan terjadinya perilaku tertentu. Setting
perilaku (Moran, 1982) adalah evaluasi terhadap
kecocokan antara lingkungan dengan perilaku yang terjadi
pada konteks lingkungan tersebut dan tingkah laku tidak
hanya ditentukan oleh lingkungan atau sebaliknya,
melainkan kedua hal tersebut saling menentukan dan
tidak dapat dipisah-pisahkan, hubungan tingkah laku
dengan lingkungan atau interdependensi ekologi.
Selanjutnya mempelajari hubungan timbal balik antara
lingkungan dan tingkah laku merupakan suatu hal yang
unik, dengan adanya setting perilaku yang dipandang
sebagai faktor tersendiri. Setting perilaku adalah pola
tingkah laku kelompok yang terjadi sebagai akibat kondisi
lingkungan tertentu
Ekologi sosial mendasarkan teorinya pada asumsi bahwa
masyarakat manusia mempunyai dua taraf, yaitu taraf
biotik atau community dan taraf sosial atau society.
Community merupakan suatu pola organisasi yang
tumbuh dengan sendirinya apabila ada banyak orang
yang berada, atau bertempat tinggal, pada suatu tempat
yang terbatas. Taraf biotik atau community inilah yang
tumbuh secara alamiah dan merupakan dasar dari
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
21
masyarakat. Taraf society adalah lebih luas, karena telah
menyangkut masalah susunan sosiokultural dalam
masyarakat yang diatur oleh konsensus (persetujuan),
komunikasi, nilai-nilai, dan norma-norma, serta
berhubungan dengan sistem sosial.
Berdasarkan Gambar 1 kondisi lingkungan hidup alam di
Kota Padang, sebagai kota yang rawan bencana. Untuk
membangun lingkungan hidup buatan atau binaan
dilakukan dengan meningkatkan kemampuan mitigasi
struktural dan mitigasi kultural. Lingkungan hidup binaan
harus mempertimbangkan lingkungan hidup sosial.
Masyarakat Kota Padang sebagai lingkungan hidup sosial
diharapkan dapat selalu meningkatkan kemampuannya
beradaptasi atau menyesuaikan diri terhadap perubahan
lingkungan alam dan lingkungan hidup binaan. Perubahan
persepsi dan pemahaman melalui pengetahuan dan
pengalaman yang didasari budaya masyarakat Kota
Padang. Dengan demikian diharapkan lingkungan sosial
dapat menjaga keseimbangan dan harmoni dengan
lingkungan alam.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
22
2.3. Konsep Adaptasi
Manusia memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungannya, mereka senantiasa
memperhatikan dan menguji lingkungan yang dihadapinya
sebelum melakukan suatu tindakan. Mengkaji hubungan
manusia dengan lingkungan, terdapat empat pemikiran
pragmatisme mempengaruhi pemikiran para pendiri
interaksi simbolik (Moran,1982). Pertama, pragmatisme
mencoba mengkaji hubungan manusia dengan
lingkungannya, semua objek di lingkungan tidak pernah
mengungkap dirinya sendiri tanpa diberikan makna oleh
individu, karena objek secara inhern tidak memiliki makna.
Kedua, penjelasan tentang hakekat pengetahuan yang
dinilai berdasarkan manfaatnya dalam merumuskan
situasi yang dihadapi, Nilai pengetahuan berbanding lurus
dengan frekwensinya dalam menjawab satu situasi,
dimana makin sering dapat menjawab satu situasi makin
tinggi nilainya. Ketiga, bahwa makna suatu objek sangat
dipengaruhi oleh manfaat objek bagi dirinya. Keempat,
bahwa pemahaman terhadap manusia harus dimulai dari
apa yang dilakukannya. Apa yang dilakukan manusia
dalam situasi nyata itulah yang paling penting di jadikan
objek studi. Dalam hal ini perilaku adaptasi masyarakat
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
23
terhadap daerah rawan bencana, masyarakat akan
memahami arti dan makna lingkungan dan akan
bertindak atas pemahaman makna tersebut.
Adaptasi adalah usaha dari makhluk hidup (terutama
manusia) untuk bereaksi terhadap keadaan
luar/lingkungan yang berubah, termasuk intervensi,
gangguan dan ancaman. Hal ini sesuai dengan konsep
Homeoesthasis adalah suatu sistem biologis untuk tetap
bertahan terhadap adanya perubahan dan untuk tetap
berada dalam keseimbangan dinamis (state of
equilibrium) dengan sekitarnya (Odum, 1996).
Kemampuan manusia meraih sebanyak mungkin hal
dalam kehidupannya adalah melalui kesanggupannya
untuk mengatur lingkungan tempat hidupnya, Sehingga
bisa disimpulkan bahwa perilaku manusia hakekatnya
dapat disesuaikan dengan lingkungan fisik maupun sosial
disekitarnya secara bertahap dan dinamis. Manusia
dengan keterbatasan daya tahan sistem psikofisiknya
menciptakan suatu lingkungan buatan sebagai perantara
antara dirinya dengan lingkungan alamiah (natural world)
dan lingkungan masyarakat beradab (civilized society).
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
24
Menurut Sarwono (2006) faktor paling dasar dan paling
awal yang menyebabkan orang merasa perlu atau tidak
perlu melakukan adjustment adalah kesadaran
(awareness). Kesadaran ini terdiri atas pengetahuan,
kepercayaan, dan norma-norma, kesadaran akan privacy.
Menurut Soemarwoto (1992) makhluk hidup dalam batas
tertentu mempunyai kelenturan. Kelenturan ini
memungkinkan makhluk itu untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungannya. Penyesuaian diri itu secara umum
yang disebut adaptasi. Kemampuan adaptasi mempunyai
nilai untuk kelangsungan hidup. Makin besar kemampuan
adaptasi, makin besar kemampuan kelangsungan hidup
suatu jenis makhluk hidup.
Manusia adalah contoh jenis makhluk yang mempunyai
kemampuan adaptasi yang sangat besar. Hampir semua
jenis habitat dihuni oleh manusia. Dengan kemampuan
adaptasinya yang sangat besar, populasi manusia terus
bertambah dan menduduki habitat baru. Dalam proses ini
manusia telah mendesak banyak jenis mahluk hidup yang
lain dan menyebabkan banyak jenis lainnya punah.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
25
Adaptasi dapat terjadi dengan beberapa cara, adaptasi
dapat melalui proses fisiologi, morfologi, kultural
(Soemarwoto, 1992). Adaptasi fisiologi misalnya, orang
yang hidup di daerah yang tercemar oleh limbah
domestik, dalam tubuhnya berkembang kekebalan
terhadap infeksi muntah berak. Mereka mandi dan
berkumur dengan air yang tercemar dan bahkan minum
air yang tercemar. Tetapi mereka tidak menjadi sakit.
Orang Indian yang hidup di pegunungan Andes yang
tinggi, telah teradaptasi pada kadar aksigen dalam udara
yang rendah. Di pedesaan orang yang miskin
mengadaptasikan diri terhadap tingkat makanan yang
rendah. Tubuhnya kecil, sehingga tidak perlu banyak
energi untuk mendukung dan memelihara tubuhnya.
Adaptasi morfologi yaitu bentuk tubuh, dapat juga terjadi,
misalnya orang Eskimo yang hidup di daerah arktik yang
dingin mempunyai bentuk tubuh yang pendek dan kekar.
Bentuk yang demikian mempunyai nisbah luas permukaan
tubuh terhadap volume tubuh yang kecil. Dengan nilai
nisbah yang kecil itu, panas badan yang hilang dari tubuh
dapat dikurangi. Sebaliknya orang suku Masai yang hidup
di daerah yang panas di Afrika mempunyai tubuh yang
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
26
tinggi langsing. Nisbah luas permukaan tubuh terhadap
volume tubuh besar. Panas badan dapat dengan mudah
dilepaskan dari tubuh.
Adaptasi kultural berkaitan dengan kelakuan, orang
belajar tentang bahaya dan dengan kelakuannya ia
menghindari bahaya. Adaptasi kelakuan terjadi di mana-
mana, di kota, di desa dan pada orang primitif yang hidup
di hutan. Misalnya, untuk menghindarkan diri terhadap
bahaya kelaparan orang mengadaptasikan diri terhadap
persediaan makanan. Waktu musim panen padi mereka
makan beras, dengan menyusutnya persediaan beras
dalam musim paceklik, mereka makan singkong. Lebih
luas lagi adaptasi ini berupa pranata sosial budaya,
adaptasi kultural terjadi juga dengan penggunaan
teknologi.
Adaptasi sosial-budaya tak dapat dilakukan secara tiba-
tiba, melainkan dilakukan secara bertahap. Pada tahap
pertama akan terjadi adaptasi karena perubahan teknologi
(yang termudah), perilaku, pendidikan, kegiatan
bermasyarakat, rumah tangga, agama dan kepercayaan.
(Moran, 1982). Adaptasi populasi adalah melihat
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
27
hubungannya dengan habitatnya, konsep dari adapatasi
ini adalah historical. Ketika berbicara tentang populasi
beradaptasi adalah hubungannya dengan habitatnya
dimana dimaksudkan, untuk habitat membuat sesuai
dimana tempatnya untuk hidup, atau membuat dirinya
sendiri lebih menyesuaikannya untuk hidup dalam habitat.
Dalam prakteknya, adaptasi manusia terhadap lingkungan
yang khusus melibatkan kombinasi dari tipe-tipe
modifikasi yang berbeda. Respon perilaku dianggap
mempunyai respon kecepatan yang tinggi clan secara
khusus menysesuaikan diri dengan fluktuasi perubahan
lingkungan. Dibandingkan proses adapatif yang bersifat
genetik dan fisik, perilaku adalah respon yang dianggap
paling cepat dari apa yang organisme dapat lakukan.
Apabila mengacu pada proses belajar, respon perilaku
tersebut dianggap pula merupakan tingkatan adaptasi
yang paling fleksibel.
Tingkah laku penyesuaian diri terhadap lingkungan diawali
dengan stress, yaitu suatu keadaan di mana lingkungan
mengancam atau membahayakan keberadaan atau
kesejahteraan atau kenyamanan diri seseorang. Reaksi
terhadap stress itu bisa dua macam. Pertama adalah
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
28
tindakan langsung. Kedua adalah penyesuaian mental
(Baum, 1985). Reaksi dalam bentuk tindakan langsung
berupa proses rekayasa lingkungan, proses rekayasa
lingkungan melibatkan tingkah laku mendesain
(merancang) lingkungan. Dalam mendesain lingkungan
ada dua unsur, yaitu kelayakan huni (habitability) dan
alternatif desain. Kelayakan huni adalah seberapa jauh
suatu lingkungan itu (rumah, kantor, pasar, pemukiman,
kapal, pesawat udara, rumah sakit, tempat rekreasi, bus
umum, kereta api) bisa memenuhi keperluan manusia
yang akan menggunakan lingkungan (buatan) itu.
Alternatif desain adalah semua cara yang mungkin
terpikirkan oleh manusia untuk membuat rancangan guna
memenuhi keperluan layak huni di atas. Reaksi
penyesuaian mental berupa adaptasi fisiologis, kultural
dan morfologi.
Adaptasi merupakan suatu kunci konsep dalam 2 versi
dari teori sistem, baik secara biological, perilaku, dan
sosial. Proses adaptasi dalam evolusi melibatkan seleksi
genetik dan varian budaya yang dianggap sebagai jalan
terbaik untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan.
Adaptasi merupakan juga suatu proses yang dinamik
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
29
karena baik organisme maupun lingkungan sendiri tidak
ada yang bersifat konstan/tetap (Hardestry, 1985).
Menurut Hardestry (1985) ada 2 macam perilaku yang
adaptif, yaitu perilaku yang bersifat idiosyncratic (cara-
cara unik individu dalam mengatasi permasalahan
lingkungan) dan adaptasi budaya yang bersifat dipolakan,
dibagi rata sesama anggota kelompok, dan tradisi.
Adaptasi merupakan suatu proses pengambilan ruang
perubahan, dimana perubahan tersebut ada di dalam
perilaku kultural yang bersifat teknologikal, organisasional,
dan ideological. Sifat-sifat kultural mempunyai koefisiensi
seleksi seperti layaknya seleksi alam, sejak terdapat
unsur variasi, perbedaan tingkat kematian dan kelahiran,
dan sifat kultural yang bekerja melalui sistem biologi.
Proses adaptif yang aktual sedapat mungkin merupakan
kombinasi dari beberapa mekanisme biologis dan
modifikasi budaya tersebut di atas sehingga adaptasi
dapatlah disebut sebagai sebuah strategi aktif manusia.
Adaptasi seharusnya dilihat sebagai respon kultural atau
proses yang terbuka pada proses modifikasi dimana
penanggulangan dengan kondisi untuk kehidupan oleh
reproduksi selektif dan memperluasnya.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
30
Dalam adaptasi budaya, setiap individu membutuhkan
individu lain dalam rangka memberi respons dan
menciptakan dunia sosialnya. Kebutuhan akan dunia
sosial, memperkuat asumsi bahwa manusia tidak dapat
hidup secara baik jikalau mereka terasing dari lingkungan
sosialnya. Bukan hanya itu, manusia juga harus selalu
berusaha memelihara hubungan yang selaras dengan
alam dan lingkungan di sekitarnya berdasarkan prinsip
hubungan timbal balik. Peter (2003) mengajukan teori
tentang empat sistem tindakan untuk menjaga eksistensi
yang disebut AGIL yaitu Adaptation (Adaptasi), Goal
Attainment (Pencapaian Tujuan), Integration (Integrasi),
dan Latency (Latensi atau Pemeliharaan Pola). Adaptasi
dalam hubungan ini diartikan bahwa sebuah sistem harus
menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem
harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan
menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhan.
Pandangan menyatakan bahwa adaptasi adalah proses
yang menghubungkan sistem budaya dengan
lingkungannya.
Sementara itu menurut Steiner adaptasi adalah suatu trait
sosial (sifat atau perangai sosial) yang muncul sebagai
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
31
akibat adanya kebutuhan, tujuan dan hasrat individu.
Adaptasi erat kaitannya dengan sebuah pola sosiokultural.
sebab bentuk-bentuk sosiokultural baru muncul sebagai
adaptasi. Sanderson juga menambahkan bahwa inovasi
sosiokultural dilakukan secara sengaja dan sama sekali
tidak acak, oleh karenanya maka evolusi sosiokultural
biasanya berlangsung sangat cepat (Steiner, 2002).
2.4. Konsep Pemahaman
Dalam hal ini proses adaptasi menggunakan Teori Kognitif
sebagai konsep pemahaman yang dikembangkan oleh
Piaget, 1980. Teorinya memberikan konsep utama
perkembangan berfikir dan kecerdasan, yang bagi Piaget,
berarti kemampuan untuk secara lebih tepat
merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis
dalam representasi konsep berdasar pada kenyataan,
yaitu pada saat seseorang memperoleh cara baru dalam
merepresentasikan informasi secara mental. Teori ini
digolongkan ke dalam konstruktivisme, tidak seperti teori
nativisme (yang menggambarkan perkembangan kognitif
sebagai pemunculan pengetahuan dan kemampuan
bawaan), teori ini berpendapat bahwa kita membangun
kemampuan kognitif kita melalui tindakan yang termotivasi
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
32
dengan sendirinya terhadap lingkungan. Menurut teori ini,
belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman.
Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu
berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati.
Asumsi dasar teori ini adalah setiap orang telah
mempunyai pengalaman dan pengetahuan dalam dirinya.
Pengalaman dan pengetahuan ini tertata dalam bentuk
struktur kognitif. Menurut teori ini proses beradaptasi
berjalan secara klop dengan struktur kognitif yang telah
dimiliki.
Aplikasi teori belajar kognitif dalam penataan ruang,
menginspirasi bagi pembuat kebijakan melalui pemerintah
dan organisai masyarakat untuk memahami bahwa
masyarakat akan menerima perubahan berdasarkan
struktur kognitif dan pengalaman yang ada pada mereka,
dalam hal ini pengalaman terhadap bencana dengan
melalui pengarahan dan bimbingan terkait upaya mitigasi
yang kongkret dan mudah dipahami dan sesuai
kebutuhan masyarakat, maka masyarakat akan menerima
perubahan dengan baik
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
33
2.5. Konsep Persepsi
Pendekatan antropologi terhadap respon perilaku individu
dan organisasi terhadap bencana memiliki kajian utama
mengenai upaya masyarakat dalam mengantisipasi
kemungkinan buruk dari bencana. Dalam kajian ini
kebudayaan dilihat sebagai sistem adaptif yang
memfasilitasi masyarakat dalam mengantisipasi terjadinya
bencana. Perkembangan sistem religi, sistem
pengetahuan dan teknologi, mata pencaharian dan
organisasi sosial dilihat sebagai upaya penyesuaian
manusia terhadap kondisi lingkungannya, termasuk di
dalamnya melalui persepsi masyarakat mengenai potensi
bencana dalam lingkungan tersebut (Oliver & Smith,
1996). Persepsi merupakan tanggapan atau pengertian
yang terbentuk langsung dari suatu peristiwa atau
pembicaraan tapi dapat juga pengertian-pengertian yang
terbentuk lewat proses yang diperoleh melalui
pancaindera. Persepsi adalah suatu proses pemberian arti
atau proses kognitif dari seseorang terhadap
lingkungannya yang dipergunakan untuk menafsirkan dan
memahami dunia yang ada disekitarnya (Suparlan, 2004).
Berdasarkan konsep adaptasi, konsep pemahaman dan
konsep persepsi kondisi masyarakat di Kota Padang.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
34
Pemahaman tentang kota rawan bencana dalam aspek
fisik, sosial, ekonomi dan budaya akan membentuk
persepsi sebagai dasar dari adaptasi masyarakat.
Perubahan persepsi dan pemahaman melalui
pengetahuan dan pengalaman yang didasari budaya
masyarakat kota Padang. Dengan demikian diharapkan
lingkungan sosial dapat menjaga keseimbangan dan
harmonisasi.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
35
3. PENATAAN RUANG
Ruang dilihat sebagai wadah dimana keseluruhan
interaksi sistem sosial (yang meliputi manusia dengan
seluruh kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya) dengan
ekosistem (sumber daya alam dan sumber daya buatan)
berlangsung. Interaksi ini tidak selalu secara otomatis
berlangsung seimbang dan saling menguntungkan
berbagai pihak yang ada karena adanya perbedaan
kemampuan, kepentingan dan adanya sifat
perkembangan ekonomi yang akumulatif. Oleh karena itu,
ruang perlu ditata agar dapat memelihara keseimbangan
lingkungan dan memberikan dukungan yang nyaman
terhadap manusia serta mahkluk hidup lainnya dalam
melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan
hidupnya secara optimal. Penataannya perlu didasarkan
pada pemahaman potensi dan keterbatasan alam,
perkembangan kegiatan sosial ekonomi yang ada, serta
tuntutan kebutuhan kehidupan saat ini dan kelestarian
lingkungan hidup di masa yang akan datang. Upaya
pemanfaatan ruang dan pengelolaan lingkungan ini
dituangkan dalam suatu kesatuan rencana tata ruang.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
36
Di Indonesia, sesuai dengan Undang-Undang No. 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ada dua komponen
utama yang membentuk tata ruang, yakni wujud struktural
dan pola pemanfaatan ruang. Sebagai suatu keadaan,
tata ruang mempunyai ukuran kualitas yang bukan
semata menggambarkan mutu tata letak dan keterkaitan
hirarkis, baik antar kegiatan maupun antar pusat, akan
tetapi juga menggambarkan mutu komponen penyusunan
ruang. Mutu ruang itu sendiri ditentukan oleh terwujudnya
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan pemanfaatan
ruang yang mengindahkan faktor daya dukung
lingkungan, fungsi lingkungan, lokasi, dan struktur
(keterkaitan jaringan infrastruktur dengan pusat
permukiman dan jasa).
Pembangunan dalam tata ruang kota secara umum
adalah suatu upaya untuk merubah suatu keadaan
melalui perencanaan dengan tujuan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Sementara itu pembangunan
tata ruang dalam arti sempit dapat didefinisikan sebagai
pekerjaan-pekerjaan konstruksi yang berhubungan
dengan penggunaan tanah atau berhubungan dengan
tanah dan bangunan di atasnya atau berhubungan
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
37
dengan perubahan dalam intensitas penggunaan tanah,
atau berhubungan dengan menghidupkan kembali
penggunaan yang semula sudah ada (Poerbo, 1999).
Perencanaan tata ruang di kota bertujuan untuk memberi
arahan perkembangan tata ruang agar terdapat
keseimbangan yang dinamis dan serasi antara berbagai
manfaat/fungsi dalam ruang (Poerbo, 1999). Penataan
Ruang yang dimaksud dalam Undang-Undang 26 tahun
2007 tentang Penataan Ruang, lingkup penataan ruang
mencakup:
1. Perencanaan Tata Ruang, yang produknya adalah
Rencana Tata Ruang (RTR)
2. Pemanfaatan Ruang, merupakan pelaksanaan RTR
3. Pengendalian Pemanfaatan Ruang, merupakan
pengendalian pelaksanaan RTR.
Dalam hal ini rencana merupakan rumusan kegiatan yang
akan dilaksanakan secara spesifik di masa yang akan
datang; produk dari suatu proses perencanaan dalam
bentuk blueprint yang merepresentasikan tujuan atau hal-
hal yang ingin dicapai serta regulasi sebagai alat untuk
mencapai tujuan. Karakteristik utama dari proses
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
38
perencanaan yang perlu diperhatikan, adalah: bersifat
siklis; kesatuan dalam ragam kegiatan/tahapannya, serta
tiap tahapan tidak selalu dilakukan secara sekuensial.
Pemahaman terhadap konsep perencanaan sebagai
suatu proses mempunyai beberapa implikasi penting yang
berkaitan dengan rencana sebagai produknya, sifat
kontinuitasnya, serta peranan perencana yang terlibat
didalamnya. Kaitan antara Planning Process (dalam
pengertian luas) dengan lingkup Penataan Ruang, dapat
dilihat pada gambar berikut ini.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
39
Gambar 2. Proses Perencanaan dan Penataan Ruang
1-6 PERENCANAAN TATA RUANG
7. PEMANFAATAN RUANG
8-9 PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG
1. Definisi Masalah
2. Definisi Tujuan
3. Pengumpulan Data
4. Analisis
5. Deskripsi Alternatif
6. Evaluasi dan Seleksi Alternatif
7. Impelementasi
8. Pemantauan
9. Re-evaluasi
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
40
Perencanaan sebagai kegiatan untuk menentukan
tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan,
dengan memperhitungkan sumberdaya yang tersedia,
dalam konteks kota/kawasan perkotaan dilakukan melalui
serangkaian kegiatan atau langkah yang berurutan dan
berkaitan satu sama lain, dalam suatu proses
perencanaan. Meskipun banyak model proses
perencanaan yang dikemukakan berbagai ahli selama ini,
secara generik proses perencanaan ini terdiri dari tahapan
:
1. Pendefinisian persoalan
2. Perumusan tujuan dan sasaran
3. Pengumpulan data dan informasi
4. Analisis
5. Identifikasi dan evaluasi alternatif
6. Implementasi
7. Pemantauan
8. Evaluasi
Implikasi pertama adalah perencanaan lebih melibatkan
banyak hal daripada sekadar membuat suatu dokumen
rencana, karena rencana bukanlah tujuan akhir
perencanaan, tetapi perangkat sebagai perwujudan cara
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
41
untuk mencapai tujuan. Implikasi yang kedua,
perencanaan dianggap sebagai suatu proses yang
berlangsung terus menerus, bukan suatu proses yang
dikerjakan sekali saja. Implikasi yang ketiga berkaitan
dengan peran perencana yang sesungguhnya
menyangkut pengertian yang luas bagi siapa saja yang
terlibat dalam suatu jenis kegiatan perencanaan sehingga
setiap orang yang terlibat sebagai seorang perencana
haruslah bekerja erat dengan pihak lain yang terlibat
dalam keseluruhan proses pembangunan, termasuk di
dalamnya para politisi, administrator/birokrasi, dan
masyarakat secara umum.
Pendefinisian persoalan merupakan titik mula dari siklus
dalam proses perencanaan secara keseluruhan. Dalam
hal ini yang dimaksud dengan persoalan adalah
kesenjangan (gap) antara apa yang ada dengan apa yang
diinginkan. Berdasarkan pendefinisian persoalan secara
benarlah kemudian tujuan (goals) dan sasaran
(objectives) dapat dirumuskan. Tujuan dan sasaran dalam
pengertian umum merupakan ekspresi prioritas yang
ingin dicapai dari kegiatan perencanaan yang dilakukan,
yang formulasinya dilakukan pada tahap awal dari siklus
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
42
perencanaan. Kegiatan perumusan tujuan dalam
perencanaan kota diarahkan untuk menghasilkan suatu
pernyataan yang bersifat kualitatif berkenaan dengan
pencapaian yang diinginkan dari hasil
perencanaan/kebijakan dan/atau keputusan, yang dapat
menjadi pedoman nyata dalam menentukan tindakan
yang sesuai untuk mencapainya.
Tahap pengumpulan data dan informasi mempunyai
peranan yang sangat penting dalam perencanaan, karena
perencanaan pada dasarnya merupakan suatu proses
pengambilan keputusan yang tidak dapat dilakukan tanpa
didukung oleh informasi yang memadai. Dalam
perencanaan, data atau informasi diperlukan untuk tiga
tujuan utama, yaitu:
1. Identifikasi permasalahan dan perkembangan
eksisting, sebagai dasar bagi perumusan
kebijaksanaan/rencana;
2. Identifikasi dan evaluasi alternatif kebijaksanaan/
rencana;
3. Sebagai umpan balik, untuk siklus proses
perencanaan berikutnya.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
43
Didasarkan pada hasil pengumpulan data dan informasi,
dilakukan analisis yang pada dasarnya merupakan
pendekatan, metode, prosedur, atau teknik yang
dilakukan untuk menelusuri kondisi historis dan kondisi
sekarang dari wilayah perencanaan, untuk menentukan
hal-hal yang dapat dilakukan dan kebijaksanaan, rencana
atau program yang akan dirumuskan pada masa yang
akan datang. Tahapan analisis mencakup analisis data
dasar, analisis prakiraan, dan analisis untuk penyusunan
skenario dimasa datang. Dengan melakukan analisis,
diharapkan diperoleh alternative atau pilihan tindakan
yang mungkin untuk memecahkan persoalan. Manakala
terdapat serangkaian tindakan yang mungkin dapat
diidentifikasi, tahap selanjutnya dalam proses
perencanaan adalah membandingkan secara rinci
kelebihan dan kekurangan antar alternative sehingga
dapat memberikan informasi kepada pengambil
keputusan untuk memilih alternatif terbaik, yang lazim
disebut sebagai evaluasi alternatif. Alternatif terpilihlah
yang kemudian diimplementasikan.
Implementasi atau pelaksanaan merupakan suatu proses
penerjemahan atau perwujudan tujuan dan sasaran
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
44
kebijaksanaan ke dalam bentuk program, atau proyek
spesifik. Dalam proses perencanaan, pelaksanaan adalah
interaksi antara tujuan yang telah dirumuskan dengan
tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mencapainya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pelaksanaan
rencana antara lain: sifat dari proses perencanaan,
organisasi perencanaan dan pelaksanaannya, isi atau
contens rencana, dan manajemen proses pelaksanaan.
Pemantauan dan evaluasi merupakan dua tahap terakhir
dari proses perencanaan sebelum memulai siklus proses
perencanaan baru. Pemantauan mengacu pada aktivitas
untuk mengukur pencapaian (progress) dalam
pelaksanaan suatu rencana, yang mempertautkan
penyiapan rencana dengan pelaksanaannya. Berdasarkan
hasil pemantauan itu kemudian dilakukan evaluasi
sebagai penilaian terhadap kinerja pelaksanaan rencana
yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu (pada akhir
fase atau tahap tertentu dari pelaksanaan rencana), yang
dapat berupa on going evaluation dan evaluasi pasca
pelaksanaan (expost evaluation). Kegiatan evaluasi
dilakukan untuk mengidentifikasi lebih jauh sasaran yang
sudah dicapai, dampak yang timbul, atau konsekuensi
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
45
lainnya dari pelaksanaan rencana. Dengan evaluasi ini
juga dapat diidentifikasi persoalan baru yang dapat
menjadi fokus bagi siklus proses perencanaan
selanjutnya.
Berdasarkan konsep penataan ruang Kota Padang
sebagai kota rawan bencana, maka ketersediaan ruang
untuk evakuasi apabila terjadi bencana, dapat berupa jalur
penyelamatan atau ruang untuk mengungsian. Perlu
adanya pemisahan pusat-pusat kegiatan sehingga tidak
terjadi konsentrasi kegiatan yang menyebabkan terjadinya
konsentrasi penduduk pada satu ruang. Konsentrasi
kegiatan pada satu ruang apabila terjadi bencana yang
menghancurkan fasilitas yang ada maka akan
mempengaruhi fungsi-fungsi yang diembannya, baik yang
berkaitan dengan fasilitas ekonomi maupun sosial
budaya. Sebagai upaya untuk penyelamatan apabila
terjadi bencana.. Konstruksi bangunan tahan gempa
mutlak dibutuhkan dalam pengembangan fisik Kota
Padang. Hal ini harus diintegrasikan dalam penataan
ruang, dengan demikian terdapat korelasi antara
perencanaan ruang dengan perencanaan bangunan,
khususnya dalam mekanisme perizinan di dalam
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
46
pengendalian pemanfaatan ruang kota. Berkaitan dengan
hal-hal yang harus dipersiapkan pasca bencana, maka
dalam hal penyediaan infrastruktur maupun penyediaan
dan pengalokasian ruang-ruang yang memiliki fungsi vital
harus sudah memperhatikan perencanaannya ketika
dalam kondisi darurat. Perubahan struktur dan bentuk
kota dalam penataan ruang sebagai upaya mitigasi secara
stuktural kota rawan bencana maka diperlukan
pemahaman dan persepsi sehingga masyarakat mampu
beradaptasi dalam perubahan tersebut.
Dalam kaitan pelaksanaan pembangunan dan
pelaksanaan pembinaan di daerah, Ditjen Penataan
Ruang Departemen Pekerjaan Umum telah menyusun
beberapa pedoman bidang penataan ruang dalam rangka
operasionalisasi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah
Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional. Salah satu pedoman tersebut adalah
Pedoman Teknis Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan,
Ekonomi, serta Sosial Budaya dalam Penyusunan
Rencana Tata Ruang yang ditetapkan oleh Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2007.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
47
Pendekatan penataan ruang dilakukan melalui
pertimbangan pada aspek-aspek penggunaan ruang yang
didasarkan pada perlindungan terhadap keseimbangan
ekosistem dan jaminan terhadap kesejahteraan
masyarakat yang dilakukan secara harmonis, yaitu:
1. Penilaian pada struktur ruang dan pola ruang pada
kawasan/wilayah perencanaan.
2. Menjaga kesesuaian antara kegiatan pelaksanaan
pemanfaatan ruang dengan fungsi dan daya dukung
kawasan berdasarkan hasil analisis aspek fisik
lingkungan, ekonomi, dan sosial budaya.
Pendekatan keterpaduan didapatkan melalui analisis
ketiga aspek, yaitu fisik dan lingkungan, ekonomi, serta
sosial budaya, Analisis aspek ekonomi, untuk
mendapatkan keuntungan yang optimum,
mempertimbangkan analisis daya dukung fisik dan
lingkungan yang memperhatikan keseimbangan
ekosistem dan didukung pula oleh peningkatan struktur
sosial budaya kawasan tersebut sehingga perencanaan
mendorong kesejahteraan masyarakat pada
kawasan/wilayah yang direncanakan.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
48
Pendekatan pengembangan wilayah didapatkan melalui
analisis ketiga aspek yang didasarkan pada daya dukung
ekosistem yang tetap terjaga atau meningkat,
kesejahteraan ekonomi masyarakat yang terus meningkat,
dan struktur sosial budaya masyarakat yang makin
berkualitas sehingga wilayah terus berkembang,
kompetitif, dan berkelanjutan.
3.1. Konsep Kota Rawan Bencana
Keberadaan ancaman bencana alam menempatkan
pembangunan menjadi berisiko, tetapi di sisi lain,
pembangunan yang dilakukan oleh manusia dapat
menimbulkan atau membangkitkan risiko bencana, tetapi
sebaliknya ada juga pembangunan yang dilakukan oleh
manusia yang dilakukan sesuai dengan karakter suatu
kawasan dapat mengurangi risiko bencana. Berdasarkan
pemikiran tersebut maka perencanaan pembangunan
sebaiknya dilakukan untuk menghindari dan mengurangi
ancaman bencana yang ada. Pembangunan di kawasan
rawan bencana dilakukan dengan mempertimbangkan
keselamatan terhadap masyarakat, bangunan dan
lingkungannya.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
49
Pengaman masyarakat dari kondisi bencana adalah
ketersediaan jalur evakuasi, tidak ada ketentuan yang
baku tentang ukuran jalur evakuasi namun secara umum
yang harus diperhatikan adalah jalur tersebut dapat dilalui
dengan baik dan cepat, menjauhi sumber ancaman dan
efek dari ancaman untuk jalur evakuasi di luar bangunan
hendaknya bisa memuat dua kendaraan jika saling
berpapasan tidak menghalangi proses evakuasi.
Kemudian ada tempat pengungsian sementara yang
merupakan tempat aman dan tempat pengungsian akhir,
pengaturannya harus disepakati bersama oleh
masyarakat, aman dan teratur. Untuk kota yang
dinyatakan rawan bencana harus dilakukan penataan
ulang dengan mempertimbang jaringan jalan yang
mengarah ke upaya mitigasi massal yaitu pola menyebar
ke arah daerah yang ditetapkan sebagai area evakuasi
dengan jalan raya radial yang dilengkapi dengan jalan
lingkar (ring road) secukupnya (Soehartono, 2005).
Upaya lain terkait rawan bencana adalah penerapan
informasi yang efektif dan program-program pendidikan,
masyarakat dapat menggunakan brosur, instruksi satu
lembar, uji coba sistem peringatan secara berkala,
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
50
informasi media cetak dan elektronik dan lain-lain. Upaya-
upaya informasi dan pendidikan ini penting diadakan
secara rutin dan komprehensif. Kebijakan yang dilakukan
oleh pemerintah kota ditujukan untuk mengurangi
kerugian dan kerusakan akibat bencana yang sewaktu-
waktu dapat melanda kota. Cara lain dapat dilakukan
dengan simulasi upaya evakuasi dan penyelamatan
terhadap bencana. Demikian juga media membantu
dengan menayangkan program yang memberi informasi
upaya penyelamatan terhadap bencana gempa,
dilakukan dengan program peningkatan pengetahuan
masyarakat melalui penyuluhan, diklat maupun
sosialisasi. Kebijakan penting lainnya melakukan evaluasi
dan merevisi RTRK untuk kawasan terbangun, penerapan
kebijakan ini dilakukan melalui program penambahan
Ruang Terbuka yang ada dalam rangka memfasilitasi
terbentuknya fungsi-fungsi intergrasi sosial masyarakat
sekaligus sebagai tempat evakuasi bila terjadi bencana.
Sebagai upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi
melalui pengorganisasian yang tepat dan berdaya guna.
Kesiapan bencana mencakup peramalan dan
pengambilan keputusan tindakan-tindakan pencegahan
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
51
sebelum munculnya ancaman, didalamnya meliputi
pengetahuan tentang gejala munculnya bencana, gejala
awal bencana, pengembangan dan pengujian secara
teratur terhadap sistem peringatan dini, rencana evakuasi
atau tindakan lain yang harus diambil selama periode
waspada. Sistem penyelamatan, selain berupa jalur
penyelamatan adalah bangunan penyelamatan, untuk
bencana gempa bumi, bangunan penyelamatan dapat
memanfaatkan bangunan ibadah, sekolah, balai
pertemuan, perkantoran dan bangunan lainnya yang
memiliki konstruksi kokoh, dapat dicapai dalam waktu 15
menit, mempunyai radius pelayanan maksimum 2 km dan
dapat menampung orang banyak.
Dalam konteks bangunan penyelamatan dari bencana
gempa dikenal 4 jenis shelter di Jepang yang
dikelompokkan ke dalam 2 bagian yakni: pertama
temporary shelter, suatu tempat terbuka untuk
penampungan sementara, kedua accommodation shelter,
suatu tempat tertutup yang mencakup akomodasi untuk
penampungan yang lebih lama (Misumi, 1998).
Berdasarkan tipologi kawasan yang merupakan daerah
rawan bencana khususnya bencana gempa bumi,
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
52
penyediaan RTH di lingkungan permukiman sangat
diperlukan sebagai lokasi evakuasi.
Beberapa hal untuk rencana mitigasi (PBBD Kota
Padang) pada masa depan dapat dilakukan sebagai
berikut:
1. Perencanaan lokasi dan pengaturan penempatan
penduduk.
2. Memperkuat bangunan dan infrastruktur serta
memperbaiki peraturan (code) disain yang sesuai.
3. Melakukan usaha preventif dengan merealokasi
aktiftas yang tinggi kedaerah yang lebih aman
dengan mengembangkan mikrozonasi.
4. Mensosialisasikan dan melakukan training yang
intensif bagi penduduk di daerah yang rawan gempa.
5. Membuat sistem peringatan dini di daerah perkotaan
yang rawan gempa.
Secara umum upaya yang perlu dilakukan dalam
pengurangan risiko bencana adalah penataaan dan
pemanfaatan ruang berbasis kebencanaan, melakukan
pengaturan upaya pengurangan risiko bencana (regulasi),
membentuk perangkat yang memadai untuk menangani
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
53
upaya masalah kebencanaan, dan mengedepankan
pendanaan untuk kegiatan yang terkait dengan upaya
pengurangan risiko bencana. Terkait dengan kondisi dan
isu kebencaanaan di wilayah Kota Padang, kebijakan-
kebijakan pemerintah daerah yang diperlukan adalah :
1. Menyusun regulasi (Peraturan Daerah) kebencanaan
daerah yang mencakup regulasi mengenai:
a. Pengaturan organisasi perangkat daerah yang
menangani kebencanaan,
b. Pengaturan pendanaan untuk kegiatan-kegiatan
yang terkait dengan upaya pengurangan risiko
bencana,
c. Pengaturan dan penetapan dasar hukum
mengenai aspek teknis upaya pengurangan risiko
bencana, antara lain: standar pendirian bangunan
tahan bencana, jalur evakuasi bencana, standar
pengelolaan ekosistem dan lingkungan.
d. Perencanaan pengurangan risiko dan penanganan
bencana alam.
2. Membentuk perangkat daerah yang menangani
masalah kebencanaan,
3. Pembentukan Kelompok Kerja Kebencanaan yang
beranggotakan Dinas-dinas terkait,
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
54
4. Memperkuat kerjasama penanganan bencana
dengan daerah lain di sekitarnya,
5. Memperkuat akses komunikasi antara daerah
kepulauan, baik melalui radio atau telepon,
6. Memperkuat akses informasi ke pusat informasi
kebencanaan dan lembaga-lembaga riset terutama di
daerah-daerah pulau-pulau terpencil,
7. Membangun sistem informasi bencana,
8. Memfasilitasi penelitian-penelitian yang dilakukan
oleh lembaga riset tentang kebencanaan di wilayah
Kota Padang,
9. Memperkuat jaringan pemerintah, masyarakat dan
swasta dalam pengurangan risiko bencana,
10. Memperkuat kesiapsiagaan masyarakat dengan
melakukan sosialisasi dan pelatihan bencana,
11. Melakukan perencanaan logistik dan penyediaan
dana, peralatan, dan material yang diperlukan untuk
tanggap darurat,
12. Merencanakan dan menyiapkan SOP (Standart
Operation Procedure) untuk kegiatan tanggap
darurat.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
55
Dengan latar belakang kerawanan bencana di wilayah
Kota Padang, maka diperlukan upaya mitigasi bencana
sebagai titik tolak dari manajemen bencana. Manajemen
ini diperlukan untuk mengurangi dan meniadakan korban
dan kerugian yang timbul. Berdasarkan jenis-jenis
bencana yang mungkin terjadi di wilayah Kota Padang,
maka upaya mitigasi yang perlu dilakukan antara lain
adalah:
Mitigasi Bencana Gempa Bumi
Gempa bumi merupakan bencana yang dapat menjadi
pemicu terjadinya bencana lain seperti tsunami, gerakan
tanah, likuifaksi maupun banjir. Untuk itu upaya mitigasi
bencana gempa bumi sangat menentukan dalam upaya
mengurangi kerugian dan korban jiwa yang ditimbulkan
oleh bencana itu sendiri maupun rangkaian bencana yang
terjadi sesudahnya. Secara komprehensif upaya mitigasi
yang perlu dilakukan di wilayah Kota Padang adalah :
1. Menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI)
bangunan tahan gempa di wilayah Kota Padang,
2. Membuat dan menetapkan jalur evakuasi bencana
gempa bumi di wilayah Kota Padang,
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
56
3. Membangun sarana transportasi dalam rangka
meningkatkan kecepatan evakuasi di daerah-daerah
terpencil,
4. Memasang rambu-rambu jalur evakuasi bencana
gempa bumi di lokasi-lokasi strategis di wilayah Kota
Padang,
5. Membangun Rumah Sakit khusus orthopedi di
wilayah Kecamatan Lubuk Kilangan yang merupakan
daerah dengan risiko bencana gempa bumi paling
rendah berdasarkan peta amplifikasi dan periode
dominan batuan.
Mitigasi Bencana Tsunami
Wilayah Kota Padang dengan pemukiman di wilayah
pantai yang relatif padat memerlukan pengaturan yang
kuat dalam rangka mitigasi bencana tsunami. Hal ini
dilakukan terutama untuk mengurangi korban jiwa yang
mungkin ditimbulkan akibat bencana tsunami. Beberapa
upaya mitigasi yang perlu dilakukan adalah :
1. Membangun tanggul penahan dan pemecah ombak di
daerah pesisir yang padat penduduk di wilayah
Kecamatan Koto Tangah, Padang Utara, Padang
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
57
Barat, Padang Selatan, Lubuk Begalung dan
Kecamatan Bungus Teluk Kabung.
2. Membangun sistem peringatan dini tsunami di
sepanjang pesisir,
3. Membangun shelter tsunami di daerah pesisir padat
penduduk, terutama di Kecamatan Nanggalo, Padang
Utara, Padang Barat, dan Kecamatan Padang
Selatan.
4. Membangun sarana transportasi dalam rangka
meningkatkan kecepatan evakuasi di daerah-daerah
terpencil dan daerah pesisir,
5. Membangun rumah sakit daerah yang memiliki
kapasitas dalam penanganan tanggap darurat,
terutama untuk merawat korban bencana gempabumi
dan tsunami,
6. Intensifikasi penanaman tumbuhan yang bisa hidup di
lahan pesisir (misalnya kelapa, mete, mangrove).
Sejak kejadian gempa bumi dan gelombang tsunami pada
akhir tahun 2004 di Aceh dan Nias dan bencana gempa
bumi tahun 2009, semua perhatian mulai diberikan
terhadap langkah-langkah yang harus dilakukan pada
daerah-daerah yang mengalami gempa bumi atau
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
58
gelombang tsunami. Berbagai langkah telah dilakukan
oleh Pemerintah Kota Padang dalam rangka menghadapi
terjadinya bencana gempa bumi dan gelombang tsunami,
seperti :
1. Pengembangan jalur-jalur evakuasi dan
pengembangan kawasan penyelamatan mulai
dipertimbangkan dan dijadikan sebagai bagian dari
program pembangunan kota.
2. Pelaksanaan simulasi yang melibatkan masyarakat
secara luas.
3. Pengembangan sistem peringatan dini (early warning
system) mulai dibicarakan
4. Penanganan bencana (disaster management) mulai
dijadikan wacana dalam dalam pengembangan
sistem pelayanan
5. Peningkatan kapasitas institusi dan aparat yang
terkait dengan penanganan bencana.
Kota Padang memiliki kerentanan yang tinggi terhadap
bencana alam gempa bumi, tsunami, gerakan tanah,
likuifaksi dan banjir. Selain itu, sebagai suatu kota dimana
pemusatan kegiatan terjadi juga mengakibatkan
konsentrasi pemanfaatan lahan untuk kegiatan budidaya
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
59
menjadi cukup tinggi, dimana hal ini juga secara tidak
langsung memiliki kerawanan untuk timbulnya bahaya
kebakaran. Terkait dengan hal ini diperlukan adanya
ruang-ruang yang dapat difungsikan sebagai ruang
evakuasi bagi penduduk yang tinggal di Kota Padang
terkait dengan terjadinya bencana-bencana seperti yang
telah disebutkan di atas.
Adapun beberapa kriteria yang dapat dipergunakan dalam
penentuan ruang-ruang evakuasi bencana tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Ruangan-ruangan yang bersifat publik seperti
lapangan-lapangan terbuka, kawasan parkir, tegalan
ataupun area pertanian kering;
2. Terletak tidak lebih dari 1 km dari konsentrasi
penduduk yang harus diselamatkan;
3. Tidak terletak pada daerah permukiman padat
ataupun kawasan terbangun yang padat;
4. Terletak pada jaringan jalan yang aksesibel/mudah
dicapai dari semua arah dengan berlari/berjalan kaki;
5. Tidak terletak pada daerah yang diperkirakan memiliki
kerentanan terhadap bahaya lebih lanjut;
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
60
6. Diperkirakan setiap orang akan membutuhkan ruang
minimum 2 m², sehingga daya tampung ruang
penyelamatan dapat dihitung;
7. Lokasi untuk evakuasi bencana dapat dikembangkan
sebagai multi layer space, dimana pada waktu terjadi
bencana alam dapat berfungsi sebagai ruang
evakuasi dan pada waktu tidak terjadi bencana
berfungsi sebagai ruang terbuka publik (baik berupa
ruang terbuka hijau maupun ruang terbuka non hijau).
3.2. Konsep Keberlanjutan Kota
Seperti halnya pembangunan berkelanjutan, kota
berkelanjutan didefinisikan dalam berbagai perspektif,
beberapa di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Kota berkelanjutan sebagai satu kesatuan penduduk
dan kegiatan bisnis yang berusaha terus menerus
untuk meningkatkan lingkungan alami, binaan dan
budaya pada tingkat regional dan lokal, dalam cara
yang selalu mendukung pencapaian tujuan global
pembangunan berkelanjutan.
2. Kota-kota berkelanjutan: adalah kota-kota yang
kepentingan sosial ekonominya diserasikan bersama-
sama dengan lingkungan, serta perhatian terhadap
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
61
energi dalam rangka menjamin keberlanjutan dalam
perubahan (Robert, 2009).
3. Pembangunan kota berkelanjutan adalah
pembangunan yang menjamin penduduk lokal dapat
mencapai dan memertahankan kesejahteraan yang
dapat diterima dan tidak menurun, tanpa
membahayakan kesempatan orang lain disekitarnya
(Camagni, 1998).
4. Kota berkelanjutan adalah kota yang memungkinkan
semua warganya memenuhi kebutuhannya dan
meningkatkan kesejahteraannya, tanpa menurunkan
kondisi lingkungan alam atau kehidupan orang lain, di
masa kini dan di masa depan.
Di sebuah kota terdapat tiga unsur lingkungan yang saling
berkaitan, yaitu lingkungan alam, lingkungan binaan, dan
lingkungan sosial. Setiap lingkungan tersebut dapat
diartikan sebagai bagian atau kombinasi dari eksistensi
dan keberlanjutan kota. Ketiga komponen lingkungan ini
memberikan keuntungan dan kerugian terhadap suatu
kota. Ketiganya harus diperhitungkan sebagai satu
kesatuan karena ketiga lingkungan tersebut saling
berinteraksi dengan erat satu sama lain. Selain ketiga
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
62
dimensi pembangunan berkelanjutan, dalam konteks
pembangunan perkotaan perlu dipertimbangkan pula
aspek kelayak-hunian (livability) yang pada dasarnya
memperluas keberlanjutan sehingga mencakup aspek
penggunaan lahan (Layard, 2001).
Beberapa prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai
pilihan dari Deklarasi Rio pada tahun 1992 (Miller, 2004),
sebagai berikut:
Prinsip 1: Manusia menjadi pusat perhatian dari
pembangunan berkelanjutan. Mereka hidup
secara sehat dan produktif, selaras dengan
alam.
Prinsip 2: Negara mempunyai, dalam hubungannya
dengan the Charter of the United Nations dan
prinsip hukum internasional, hak penguasa
untuk mengeksploitasi sumberdaya mereka
yang sesuai dengan kebijakan lingkungan
dan pembangunan mereka.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
63
Prinsip 3: Hak untuk melakukan pembangunan harus diisi
guna memenuhi kebutuhan pembangunan dan
lingkungan yang sama dari generasi sekarang
dan yang akan datang.
Prinsip 4: Dalam rangka pencapaian pembangunan
berkelanjutan, perlindungan lingkungan
seharusnya menjadi bagian yang integral dari
proses pembangunan dan tidak dapat
dianggap sebagai bagian terpisah dari proses
tersebut.
Prinsip 5: Semua negara dan masyarakat harus
bekerjasama memerangi kemiskinan yang
merupakan hambatan mencapai pembangunan
berkelanjutan.
Prinsip 8: Untuk mencapai pembangunan berkelanjutan
dan kualitas kehidupan masyarakat yang
lebih baik, negara harus menurunkan atau
mengurangi pola konsumsi dan produksi, serta
mempromosikan kebijakan demografi yang
sesuai.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
64
Prinsip 9: Negara harus memperkuat kapasitas yang
dimiliki untuk pembangunan berlanjut melalui
peningkatan pemahaman secara keilmuan
dengan pertukaran ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta dengan meningkatkan
pembangunan, adapatasi, alih teknologi,
termasuk teknologi baru dan inovasi teknologi.
Prinsip 10:Penanganan terbaik isu-isu lingkungan adalah
dengan partisipasi seluruh masyarakat yang
tanggap terhadap lingkungan dari berbagai
tingkatan. Di tingkat nasional, masing-masing
individu harus mempunyai akses terhadap
informasi tentang lingkungan, termasuk
informasi tentang material dan kegiatan
berbahaya dalam lingkungan masyarakat,
serta kesempatan untuk berpartisipasi dalam
proses pengambilan keputusan. Negara harus
memfasilitasi dan mendorong masyarakat
untuk tanggap dan partisipasi melalui
pembuatan informasi yang dapat diketahui
secara luas.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
65
Prinsip 15: Dalam rangka mempertahankan lingkungan,
pendekatan pencegahan harus diterapkan
secara menyeluruh oleh negara sesuai dengan
kemampuannya. Apabila terdapat ancaman
serius atau kerusakan yang tak dapat
dipulihkan, kekurangan ilmu pengetahuan
seharusnya tidak dipakai sebagai alasan
penundaan pengukuran biaya untuk mencegah
penurunan kualitas lingkungan.
Prinsip 17: Penilaian dampak lingkungan sebagai
instrumen nasional harus dilakukan untuk
kegiatan-kegiatan yang diusulkan, yang
mungkin mempunyai dampak langsung
terhadap lingkungan yang memerlukan
keputusan di tingkat nasional.
Prinsip 20: Wanita mempunyai peran penting dalam
pengelolaan dan pembangunan lingkungan.
Partisipasi penuh mereka perlu untuk
mencapai pembangunan berlanjut.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
66
Prinsip 22: Penduduk asli dan setempat mempunyai peran
penting dalam pengelolaan dan pembangunan
lingkungan karena pemahaman dan
pengetahuan tradisional mereka. Negara harus
mengenal dan mendorong sepenuhnya
identitas, budaya dan keinginan mereka serta
menguatkan partisipasi mereka secara efektif
dalam mencapai pembangunan berkelanjutan.
Di antara seluruh prinsip tersebut maka prinsip-prinsip
yang relevan dengan penulisan buku ini adalah Prinsip 10
dan Prinsip 22. Prinsip 10 yaitu penanganan terbaik isu-
isu lingkungan adalah dengan partisipasi seluruh
masyarakat yang tanggap terhadap lingkungan dari
berbagai tingkatan. Dalam hal ini dapat dimanfaatkan
temuan model adaptasi masyarakat terhadap perubahan
penataan ruang yang ada Selanjutnya, di tingkat nasional,
masing-masing individu harus juga mempunyai akses
terhadap informasi tentang lingkungan, termasuk
informasi tentang material dan kegiatan berbahaya dalam
lingkungan masyarakat, serta kesempatan untuk
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan.
Model adaptasi masyarakat akan memungkinkan
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
67
kemudahan bagi pemerintah daerah untuk memfasilitasi
dan mendorong masyarakat untuk tanggap dan partisipasi
melalui informasi yang dapat diketahui secara luas.
Prinsip 22 yaitu penduduk asli dan setempat mempunyai
peran penting dalam pengelolaan dan pembangunan
lingkungan karena pemahaman dan pengetahuan
tradisional mereka juga patut menjadi dasar bagi
pembangunan berkelanjutan di Kota Padang.
3.3. Kebijakan Penataan Ruang
Bencana yang berdampak besar pada kondisi lingkungan
dan masyarakat, karena ketidaksiapan mitigasi sehingga
kondisi tersebut membuat pembangunan kota
mengalami banyak permasalahan terkait aspek sosial
ekonomi dan lingkungan. Pemerintah kota perlu
melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi terkait dengan
kondisi rawan bencana. Langkah yang diambil oleh
pemerintah berdasarkan kondisi lingkungan alam adalah
melakukan penataan ruang, antara lain membuat zona
berdasarkan tingkat kerawanan terhadap bencana dan
melakukan penataan ruang yang mempertimbangkan
mitigasi bencana.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
68
Kebijakan yang diambil pemerintah dalam penataan ruang
kota rawan bencana akan berpengaruh pada masyarakat
baik dari aspek fisik, aspek sosial dan aspek budaya,
sehingga harus menjadi pertimbangan pemerintah untuk
mencapai keberhasilan pembangunan. Dengan
pendekatan ekologi manusia dan teori adaptasi
lingkungan dalam membentuk model adaptasi masyarakat
dalam kota rawan bencana sangat dibutuhkan, dengan
mengetahui aspek yang mempengaruhi adaptasi
masyarakat dalam perubahan yang diakibatkan oleh
kondisi alam rawan bencana dapat menjadi
pertimbangan dalam pembangunan ber-
kelanjutan.
Kebijakan penataan ruang kota rawan bencana, akan
menimbulkan dampak pada aspek sosial, ekonomi dan
budaya masyarakat sehingga akan mempengaruhi
pemahaman masyarakat terhadap kota rawan bencana.
Pemahaman masyarakat terhadap kota rawan bencana
dan penyiapan sarana prasarana merupakan antisipasi
terhadap bencana akan membentuk persepsi masyarakat
terhadap kota rawan bencana. Adaptasi masyarakat
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
69
menggambarkan aspek aspek yang mempengaruhi
proses pengetahuan, kesiapan mitigasi/antisipasi, dan
persepsi masyarakat, dengan diketahuinya aspek yang
paling berpengaruh maka dapat menjadi masukan bagi
pengambil kebijakan untuk menata kota rawan bencana
yang berkelanjutan.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
70
4. ADAPTASI MASYARAKAT DALAM
PENATAAN RUANG
4.1. Gambaran Kota Padang
Kota Padang merupakan Ibukota Provinsi Sumatera Barat
yang terletak di Pantai Barat Pulau Sumatera. Secara
geografis Kota Padang terletak antara 00°44′00″ –
01°08′35″ LS dan 100°05′05″ – 100°34′09″ BT, dengan luas
wilayah 1.414,96 km2 yang terdiri dari wilayah darat dan
wilayah laut dengan luas masing-masing adalah 694,96
km2 (daerah efektif termasuk sungai yaitu 205 km2 atau
29% dan daerah bukit termasuk sungai yaitu 486,209 km2)
dan 720,00 km2 serta memiliki panjang pantai 68,13 km
(diluar pulau-pulau kecil) dan memiliki 19 buah pulau.
Kota Padang terdiri dari 11 kecamatan dan 104 kelurahan.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
71
Tabel 3. Luas Wilayah Kota Padang Berdasarkan Kecamatan
No. Kecamatan Luas (KM2)
1 Bungus Teluk 100,78 2 Lubuk Kilangan 85,99 3 Lubuk Begalung 30,91 4 Padang Selatan 10,03
5 Padang Timur 8,15
6 Padang Barat 7,00
7 Padang Utara 8,08
8 Nanggalo 8,07
9 Kuranji 57,41
10 Pauh 146,29
11 Koto Tangah 232,25
Jumlah 694.96 Sumber: Profil Kota Padang Tahun 2010
Kecamatan Koto Tangah merupakan kecamatan terluas
di Kota Padang yaitu 232,25 km2 atau 33,42% dari total
luas Kota Padang. Berdasarkan hal tersebut
memungkinkan pengembangan kegiatan perkotaan Kota
Padang diarahkan pada kecamatan ini termasuk untuk
pengembangan perumahan dan permukiman. Sedangkan
kecamatan dengan luas terkecil adalah Kecamatan
Padang Barat yaitu 7,00 km2 atau 1,01% dari luas
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
72
keseluruhan Kota Padang.
Karakteristik Fisik Dasar
Topografi merupakan faktor penting dalam pengarahan
peruntukan lahan untuk berbagai kegiatan fungsional,
karena itu sangat diperlukan terutama untuk pertimbangan
teknik pengelolaan lingkungan agar kelestarian sumber
daya lahan tetap terjaga. Wilayah Kota Padang
mempunyai topografi yang bervariasi yaitu perpaduan
antara dataran rendah, perbukitan, serta daerah aliran
sungai. Bagian Barat Kota Padang terdiri dari dataran
rendah yang landai dengan ketinggian rata-rata 0-5 meter
di atas permukaan laut. Kearah timur dan selatan
topografi wilayah Kota Padang berbukit, bergelombang
dan curam dengan ketinggian yang bervariasi dimana
daerah yang tertinggi mencapai 1.853 meter di atas
permukaan laut pada kawasan yang berbatasan dengan
Kabupaten Solok. Secara garis besar klasifikasi
ketinggian dan kemiringan Kota Padang dapat
dikelompokkan atas 4 (empat) kelas kelerengan seperti
terlihat pada Tabel berikut.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
73
Tabel 4. Luas wilayah Kota Padang Berdasarkan Klasifikasi Kemiringan Lahan
No Klasifikasi Kemiringan
Keterangan Luas (km2)
%
1 0 – 2% Datar sampai Landai 210,36 30,27
2 3 – 15% Landai sampai Bergelombang 50,98 7,34
3 16 – 40% Bergelombang sampai Berbukit 124,74 17,95
4 >40 % Berbukit sampai Bergunung 308,88 44,45 Jumlah 694,96 100,00
Sumber : RTRW Kota Padang, Tahun 2007-2013
Berdasarkan data pada tabel di atas jelas terlihat bahwa
dari total luas daratan Kota Padang, dominan yaitu
44,45% berada pada kelerengan > 40% yang merupakan
daerah berbukit dan bergunung. Sedangkan luas daratan
terkecil berada pada kelerengan 3-15% yang merupakan
daerah yang landai dan bergelombang sekitar 7,34%.
Berdasarkan klasifikasi ketinggian Kota Padang, maka
kecamatan tertinggi adalah Kecamatan Lubuk Kilangan
sedangkan daerah yang paling rendah yaitu Kecamatan
Padang Barat dan Kecamatan Nanggalo dengan
ketinggian 8 m di atas permukaan laut. Untuk lebih
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
74
jelasnya dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 5. Klasifikasi ketinggian Kota Padang
menurut kecamatan
No. Kecamatan Tinggi (meter dpl)
1 Bungus Lubuk Kabung 0 - 850 2 Lubuk Kilangan 25 - 1.853 3 Lubuk Begalung 8 - 400 4 Padang Selatan 0 - 322 5 Padang Timur 4 - 10 6 Padang Barat 0 - 8 7 Padang Utara 0 - 25 8 Nanggalo 3 - 8 9 Kuranji 8 - 1.000 10 Pauh 10 - 1.600 11 Koto Tangah 0 - 1.600
Kota Padang 0 - 1.853 Sumber: Badan Pertanahan Nasional Kota Padang,
Tahun 2009
Status Kepemilikan Tanah & Penggunaan Lahan
Status kepemilikan tanah Kota Padang pada umumnya
merupakan tanah milik adat/suku. Status tanah milik adat
sangat sulit untuk dijadikan permukiman dengan status
perorangan sementara pengembangan perumahan di
Kota Padang diutamakan pada tanah yang bukan tanah
milik adat. Distribusi penggunaan lahan di Kota Padang
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
75
pada tahun 2009 beragam dimana penggunaan lahan
yang dominan adalah hutan lebat dengan luas 35.448 ha
(tahun 2009) dari total keseluruhan luas lahan Kota
Padang yang ada. Sedangkan penggunaan lahan yang
terkecil adalah danau buatan seluas 2,25 ha (tahun 2009),
tanah kota sebesar 16 ha dan peternakan sebesar 26,83
ha. Penggunaan lahan yang bersifat fisik atau bangunan
dapat dilihat dari guna lahan perumahan, hanya sebagian
kecil yaitu sekitar 6.681,38 ha. Untuk lebih jelasnya
perkembangan penggunaan lahan Kota Padang dapat
dilihat pada Tabel berikut.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
76
Tabel 6. Luas Lahan Berdasarkan Jenis Penggunaanya
No. Jenis Penggunaannya Luas Lahan (Ha)
2008 2009
1 Tanah Perumahan 6.625,24 6.681,38 2 Tanah Perusahaan 242,51 255,67
3 Tanah Industri /PT Semen
Padang 702,25 702,25 4 Tanah Jasa 715,32 715,32 5 Sawah Beririgasi Teknis 4.934,00 4.934,00 6 Sawah Non Irigasi 200,03 174,03 7 Ladang/ Tegalan 952,75 952,75 8 Perkebunan Rakyat 2.147,50 2147,50 9 Kebun Campuran 13.829,92 13.799,63
10 Kebun Sayuran 1.343,.00 1.343,00 11 Peternakan 26.83 26.86 12 Kolam Ikan 100,80 100,80 13 Danau Buata 2.25 2.25 14 Tanah Kosong 26,67 28,67 15 Tanah Kota 16,00 16,00 16 Semak 1.546,48 1.533,32 17 Rawa/ Hutan Mangrove 120,00 120,00
18 Jalan Arteri dan Jalan Kolektor 135,00 135,00
19 Hutan Lebar 35.448,00 35.448,00 20 Sungai dan Lain-lain 379,45 379,45
Jumlah 69.496.,00 69.495,85 Sumber: Badan Pertanahan Nasional Kota Padang,
Tahun 2009
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
77
Demografi – Sosial Budaya
Jumlah penduduk Kota Padang dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan, berdasarkan registrasi penduduk
tahun 2005 jumlah penduduk Kota Padang sebanyak
801.344 jiwa dan pada tahun 2009 mencapai 875.750
jiwa. Kondisi ini menunjukkan bahwa adanya
pertumbuhan yang cukup signifikan perubahannya
dimana dalam kurun waktu 4 tahun mengalami
peningkatan sebesar 74.406 jiwa. Untuk lebih jelasnya
perkembangan jumlah penduduk Kota Padang dapat
dilihat pada Tabel berikut.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
78
Tabel 7. Jumlah penduduk menurut kecamatan
No. Kecamatan
Jumlah Penduduk (Jiwa)
2005 2006 2007 2008 2009 2010
1 Bungus Teluk Kabung 23.197 23.400 23.592 24.116 24.417 22.896
2 Lubuk Kilangan 40.538 41.560 42.585 43.531 44.552 48.850
3 Lubuk
Begalung 97.560 100.912 104.323 106.641 109.793 106.432
4 Padang
Selatan 60.022 61.003 61.967 63.345 64.458 57.178
5 Padang Timur 83.151 84.231 85.279 87.174 88.510 77.868
6 Padang Barat 59.657 59.895 60.102 61.437 62.010 45.380
7 Padang Utara 72.766 73.730 74.667 76.326 77.509 69.119
8 Nanggalo 55.669 56.604 57.523 58.801 59.851 57.275
9 Kuranji 110.316 113.976 117.694 120.309 123.771 126.729
10 Pauh 50.204 51.354 52.502 53.669 54.846 59.216
11 Koto Tangah 148.264 153.075 157.956 161.466 166.033 162.079
Jumlah 801.344 819.740 838.190 856.815 875.750 833.562
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Padang, 2010
Berdasarkan pada tabel di atas tampak bahwa pada tahun
2010 total jumlah penduduk Kota Padang mengalami
penurunan sebanyak 42.188 jiwa, penurunan ini di
indikasikan dampak dari bencana gempa bumi yang
terjadi pada tanggal 30 September 2009.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
79
Kepadatan Penduduk dan Distribusinya
Pertumbuhan penduduk Kota Padang sejalan dengan
perkembangan wilayahnya. Indikasi tersebut terlihat pada
semakin tingginya tingkat kepadatan penduduk pada
sebagian wilayah di Kota Padang terutama wilayah
utara walaupun secara keseluruhan relatif mengalami
peningkatan. Penduduk terkonsentrasi di Kecamatan
Padang Timur dengan kepadatan pada tahun 2010
mencapai 9.554 jiwa/km2. Hal ini menunjukkan bahwa
konsentrasi penduduk masih terpusat di pusat kota karena
fasilitas dan pusat pelayanan kota masih terkonsentrasi di
pusat kota. Sedangkan kepadatan penduduk terendah
terdapat di Kecamatan Bungus Teluk Kabung sebesar
227 jiwa/km2.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
80
Tabel 8. Kepadatan & distribusi penduduk menurut kecamatan di Kota Padang tahun 2005-2010
No Kecamatan Luas (Km
2)
Kepadatan (Jiwa/Km2)
2005 2006 2007 2008 2009 2010
1 Bungus Teluk
Kabung 100,78 230 232 234 239 242 227
2 Lubuk Kilangan 85,99 471 483 495 506 518 568
3 Lubuk Begalung 30,91 3.156 3.265 3.375 3.450 3.552 3.443
4 Padang Selatan 10,03 5.984 6.082 6.178 6.316 6.427 5.700
5 Padang Timur 8,15 10.20
3 10.335 10.46
4 10.69
6 10.86
0 9.554
6 Padang Barat 7,00 8.522 8.556 8.586 8.777 8.859 6.482
7 Padang Utara 8,08 9.006 9.125 9.241 9.446 9.593 5.554
8 Nanggalo 8,07 6.898 7.014 9.252 7.286 7.416 7.097
9 Kuranji 57,41 1.922 1.985 1.002 2.096 2.156 2.204
10 Pauh 146,29 343 351 359 822 375 404
11 Koto Tangah 232,25 638 659 680 695 715 697
Jumlah 694,94 1.153 1.180 1.206 1.233 1.260 1.199
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Padang, 2010
Ekonomi
Kota Padang sebagai Ibukota Provinsi Sumatera Barat
memiliki fungsi sebagai pusat aktivitas ekonomi, sebagai
pusat perdagangan regional, industri dan pariwisata
(Perda No. 4/1992). Fungsi tersebut dikembangkan
berdasarkan pada potensi ekonomi yang dimiliki oleh Kota
Padang. Hal ini menunjukan bahwa Kota Padang
mempunyai peran yang signifikan dalam perekonomian
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
81
Provinsi Sumatera Barat. Sebagai ibukota Provinsi, Kota
Padang mempunyai keuntungan komparatif jika
dibandingkan dengan kota-kota lainnya di Sumatera Barat
yang dapat dilihat dari kelengkapan sarana dan prasarana
ekonomi dan transportasi serta sarana pendukung lain
yang dimiliki.
Dengan memanfaatkan keunggulan komparatif yang
dimiliki, yaitu selain sebagai ibukota Provinsi yang
memiliki sarana dan prasarana ekonomi, sosial dan
budaya yang lebih lengkap juga sebagai salah satu pusat
pertumbuhan, Kota Padang diharapkan dapat tumbuh dan
berkembang lebih cepat dibandingkan daerah lainnya di
Provinsi Sumatera Barat.
Struktur Ekonomi
Kota Padang sebagai pusat berbagai aktivitas
memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap
PDRB Provinsi Sumatera Barat. Berdasarkan PDRB Kota
Padang Tahun 2010 atas dasar harga berlaku, sektor
pengangkutan dan komunikasi merupakan sektor yang
memberikan kontribusi terbesar mencapai 24,31%,
kemudian disusul oleh sektor perdagangan, hotel, dan
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
82
restoran menyumbang sebesar 20,85%.
Laju Pertumbuhan Ekonomi
Perkembangan ekonomi Kota Padang dalam tiga tahun
terakhir ini (2008-2010) cenderung mengalami
peningkatan, hal ini dapat dilihat dari laju pertumbuhan
ekonomi yang merupakan persentase peningkatan PDRB.
Sektor pertanian adalah yang paling dominan dalam
mendukung perekonomian Kota Padang dimana laju
pertumbuhannya mengalami rata-rata peningkatan
sebesar 13,20% pada periode tahun 2008-2010. Demikian
juga halnya dengan sektor bangunan mengalami
peningkatan yang cukup tinggi dengan laju pertumbuhan
rata-rata 19,69% dalam kurun waktu tahun 2008-2010.
Bidang Unggulan & Pendukung Kegiatan Ekonomi
Kota Padang memiliki potensi besar di bidang
perdagangan dan pariwisata, hal ini disebabkan Kota
Padang sebagai ibukota Provinsi Sumatera Barat yang
merupakan pintu gerbang wisata dan kegiatan
perdagangan regional bahkan internasional yang
didukung oleh keberadaan Bandara Internasional
Minangkabau (BIM) yang sudah beroperasi sejak tahun
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
83
2005 lalu. Bidang unggulan lainnya yaitu pertanian, yang
memberikan kontribusi terbesar terhadap PDRB Kota
Padang (perkembangan PDRB Tahun 2007-2010).
4.2. Kecamatan Padang Barat
Kecamatan Padang Barat memiliki luas wilayah 7,00 km2
yang terdiri dari 10 kelurahan, secara geografis terletak
pada 00 .58’4” LS dan 1000 .21’11” BT, yang memiliki
suhu udara antara 22,0°C-31,7°C Faktor iklim sangat
berpengaruh terhadap lahan, khususnya faktor curah
hujan. Dengan curah hujan Kecamatan Kuranji adalah
384,88 mm/bulan, Kecamatan Padang Barat berada pada
ketinggian 0 – 8 M dpl.
Penggunaan Lahan
Distribusi penggunaan lahan di Kecamatan Padang Barat
pada tahun 2010 dengan penggunaan lahan dominan
adalah pekarangan dengan luas 496 ha dari total
keseluruhan luas lahan Kecamatan Padang Barat. Untuk
lebih jelasnya penggunaan lahan di Kecamatan Padang
Barat.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
84
Jumlah Penduduk
Berdasarkan sensus penduduk, pada tahun 2010 jumlah
penduduk Kecamatan Padang Barat sebanyak 45.380
jiwa. Jumlah penduduk terbesar adalah Kelurahan Purus
dengan jumlah penduduk sebanyak 6.721 jiwa,
sedangkan jumlah penduduk paling sedikit adalah
Kelurahan Belakang Tangsi sebesar 2.863 jiwa. Untuk
lebih jelasnya jumlah penduduk Kecamatan Padang Barat
dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 9. Jumlah Penduduk di Kecamatan Padang Barat
No Kelurahan Tahun
2009 2010
1 Berok Nipah 6.405 4.791 2 Kampung Pondok 6.366 3.876 3 Belakang Tangsi 4.163 2.863 4 Kampung Jao 6.207 4.153 5 Olo 6.776 5.044 6 Purus 9.556 6.721 7 Padang Pasir 6.277 4.598 8 Ujung Gurun 5.291 4.717 9 Rimbo Kaluang 4.386 3.919 10 Flamboyan Baru 5.983 4.698
Jumlah 62.010 45.980 Sumber: Padang Barat Dalam Angka, 2010
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
85
Kepadatan Penduduk
Pertumbuhan penduduk Kecamatan Padang Barat sejalan
dengan perkembangan wilayahnya. Indikasi tersebut
terlihat pada semakin tingginya tingkat kepadatan
penduduk pada sebagian kelurahan. Untuk lebih jelasnya
kepadatan penduduk dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 10. Kepadatan dan distribusi penduduk
menurut kelurahan di Kecamatan Padang Barat
No Kelurahan
Luas (KM2)
Kepadatan Penduduk Jiwa/Km2
2009 2010
1 Berok Nipah 0,31 20.661 15.454 2 Kampung Pondok 0,65 9.747 5.963 3 Belakang Tangsi 0,57 7.303 5.022
4 Kampung Jao 1,63 3.807 2.547 5 Olo 0,89 7.613 5.667 6 Purus 0,68 14.052 9.883 7 Padang Pasir 0,71 8.770 6.476 8 Ujung Gurun 0,71 8.339 6.643 9 Rimbo Kaluang 0,42 10.442 9.330
10 Flamboyan Baru 0,43 13.913 10.925 Jumlah 7,00 96.754 77.910 Sumber: Padang Barat Dalam Angka, 2010
Tingkat kepadatan penduduk di Kecamatan Padang Barat
mengalami penurunan dari tahun ke tahun, kepadatan
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
86
penduduk terbesar saat ini di Kecamatan Padang Barat
adalah pada Kelurahan Berok Nipah sebesar 15.454
jiwa/km2, sedangkan kepadatan penduduk terendah
terdapat di Kelurahan Kampung Jao sebesar 2.547
jiwa/km2.
Sarana
Sarana merupakan salah satu pendukung kegiatan
penduduk sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat
agar tercipta suasana atau lingkungan yang kondusif
dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Sarana yang
dimaksud adalah sarana pendidikan, kesehatan,
peribadatan, dan ekonomi.
a. Sarana Pendidikan
Kelengkapan jenis dan jumlah sarana pendidikan pada
suatu wilayah berpengaruh terhadap mutu pendidikan di
wilayah tersebut. Seperti halnya di Kecamatan Padang
Barat, ketersediaan jenis sarana pendidikan yang ada
sudah lengkap mulai dari sarana. Demikian juga dengan
sebaran atau jumlah sarana tersebut sudah mampu
melayani kebutuhan penduduk Kecamatan Padang Barat
bahkan mampu melayani penduduk di luar Kecamatan
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
87
Padang Barat. Untuk lebih jelasnya ketersediaan sarana
pendidikan yang ada di Kecamatan Padang Barat dapat
dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 11. Jumlah Sarana Pendidikan di Kecamatan Padang Barat
No.
Kelurahan
Tingkat Pendidikan Jumlah
TK SD SLTP SMU PT (Unit)
1 Berok Nipah 2 3 1 1 - 7
2 Kampung Pondok - 3 3 2 1 9
3 Belakang Tangsi 2 9 4 3 2 20
4 Kampung Jao 4 1 2 5 1 13
5 Olo 3 5 1 4 4 17
6 Purus 3 8 1 1 - 13
7 Padang Pasir 6 4 1 3 2 16
8 Ujung Gurun 1 9 1 2 - 13
9 Rimbo Kaluang 1 1 - 2 - 4
10 Flamboyan Baru 1 - - - - 1
Jumlah 23 43 14 23 10 113 Sumber: Padang Barat dalam angka Tahun 2010
Terlihat pada tabel diatas bahwa SD merupakan sarana
pendidikan terbanyak di Kecamatan Padang Barat dimana
jumlahnya mencapai 43 unit. Sarana ini sudah tersebar
secara merata di setiap kelurahan sehingga
keberadaannya sudah mampu melayani kebutuhan
pendidikan dasar masyarakat Kecamatan Padang Barat.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
88
Untuk keberadaannya sarana pendidikan terbanyak
berada pada Kelurahan Belakang Tangsi dan Kelurahan
Ujung Gurun. Sedangkan Kelurahan Flamboyan Baru
tidak memiliki sarana pendidikan yang lengkap.
b. Sarana Kesehatan
Pelayanan kesehatan sangat bergantung pada
ketersediaan sarana dan tenaga medisnya. Oleh karena
itu perlu diperhatikan kuantitas dan kualitas sarana
tersebut, karena keberadaannya sangat membantu dalam
meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta dapat
mengendalikan perkembangan dan pertumbuhan
penduduk. Sarana kesehatan Kecamatan Padang Barat
adalah puskesmas, puskesmas pembantu, posyandu,
toko obat dan apotek. Untuk lebih jelasnya sarana
kesehatan di Kecamatan Padang Barat dapat dilihat pada
Tabel berikut.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
89
Tabel 12. Jumlah sarana kesehatan menurut kelurahan di Kecamatan Padang Barat
Sumber: Padang Barat dalam angka, 2010
Dari berbagai jenis sarana kesehatan yang tersebar di
Kecamatan Padang Barat, posyandu merupakan jenis
sarana kesehatan yang paling banyak yaitu jumlahnya
mencapai 69 unit. Apotek/toko obat sebanyak 68 unit,
puskesmas hanya 1 unit, dan Puskesmas Pembantu
(pustu) 6 unit.
No. Keluarahan
Jenis Sarana Kesehatan Jumlah (Unit) Puskesmas Pustu
Toko Obat/ Apotik
Posya-ndu
1 Berok Nipah - 1 1 7 9
2 Kampung Pondok - - 2 6 8
3 Belakang Tangsi - 1 - 5 6
4 Kampung Jao - 1 35 9 45
5 Olo - - 7 9 16
6 Purus - 1 1 8 10
7 Padang Pasir 1 1 19 7 28
8 Ujung Gurun - - 1 7 8
9 Rimbo Kaluang - 1 1 5 7
10 Flamboyan Baru - - 1 6 8
Jumlah 1 6 68 69 145
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
90
c. Sarana Peribadatan
Sebagai umat beragama, ketersediaan sarana
peribadatan harus menjadi perhatian karena sarana
peribadatan merupakan tempat melaksanakan ibadan dan
meningkatkan hubungan antara manusia dengan Tuhan
sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Penduduk
Kecamatan Padang Barat pada umumnya memeluk
agama Islam sehingga keberadaan dan penyebaran
sarana peribadatannya seperti mesjid dan mushalla
merata di setiap kelurahannya. Untuk lebih jelasnya
jumlah dan penyebaran masing-masing sarana
peribadatan dapat dilihat pada Tabel berikut.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
91
Tabel 13. Jumlah sarana peribadatan menurut kelurahan di Kecamatan Padang Barat tahun 2010
No. Kelurahan Jenis Sarana Peribadatan
Masjid Mushalla Gereja Jumlah
1 Berok Nipah 3 1 - 4
2 Kampung Pondok 3 5 - 8
3 Belakang Tangsi 3 3 3 9
4 Kampung Jao 5 4 1 10
5 Olo 4 5 - 9
6 Purus 3 2 - 5
7 Padang Pasir 7 4 - 11
8 Ujung Gurun 3 5 - 8
9 Rimbo Kaluang 5 7 - 12
10 Flamboyan Baru 4 8 - 12
Jumlah 40 44 4 88
Sumber: Padang Barat Dalam Angka, 2010
Perekonomian
Dijelaskan bahwa perkembangan ekonomi Kota Padang
dalam tiga tahun terakhir ini (2007-2010) cenderung
mengalami peningkatan, hal ini dapat dilihat dari laju
pertumbuhan ekonomi yang merupakan persentase
peningkatan PDRB. Sektor pertanian adalah yang paling
dominan dalam mendukung perekonomian Kota Padang
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
92
dimana laju pertumbuhannya mengalami rata-rata
peningkatan sebesar 13,20%.
4.3. Faktor - faktor yang mempengaruhi adaptasi
masyarakat dalam penataan ruang
Profil, Kriteria Responden
Untuk memperoleh informasi tentang faktor yang
mempengaruhi adaptasi masyarakat dalam penataan
ruang kota rawan bencana dilakukan kepada terhadap
key person yang terdiri dari tokoh masyarakat,
pemerintahan, akademisi dan masyarakat. Penentuan
informan dilakukan dengan memperhatikan faktor
keterlibatan, pengalaman dan dapat dipercaya.
Penentuan key person diawali dengan proses
pengumpulan informasi tentang informan dan reduksi
informan yaitu dengan bertanya kepada pihak-pihak
yang dianggap memahami hal ini.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
93
Tabel 14. Karakteristik Utama Informan Key Person
No. Inisial Karakteristik Utama 1 HD (36 th) Staf bapedalda, D3 2 ID (42 th) Masyarakat, D3 3 IW(40 th) Masyarakat, S1 4 AA (58 th) Pemerintahan, S2 5 AD (20th) Masyarakat karang taruna ,
SMA Sumber: Data Olahan, 2012
4.3.1. Pengetahuan dan persepsi masyarakat
Salah satu pertanyaan mendasar yang digunakan untuk
mengukur tingkat pengetahuan masyarakat adalah apa
yang dimaksud dengan bencana alam dan penyebab
terjadinya gempa bumi. Pada umumnya masyarakat
sudah mengetahui bahwa Kota Padang adalah kota yang
rawan bencana gempa dan memiliki potensi terjadi
bencana gempa. Pengetahuan mengenai kegempaan
yakni tentang perulangan akan terjadi lagi gempa masa
lalu di masa mendatang serta faktor kerentanan
lingkungan yang ada menjadikan tingginya keinginan
dalam persepsi masyarakat untuk upaya antisipasi
terhadap ancaman bencana gempa dan bencana
ikutannya. Pengetahuan tentang penyebab terjadinya
gempa serta akibat dari gempa secara umum masyarakat
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
94
sudah memahami hal tersebut termasuk ciri-ciri gempa
kuat.
Pengetahuan tentang gempa menunjukkan pemahaman
yang tinggi dan benar, hal ini ditunjukkan dari jawaban
atas pertanyaan kepada informan, bahwa Kota Padang
berada pada daerah jalur gunung api, dengan potensi
gempa dan kekhawatiran tsunami. Gempa dalam skala
kecil merupakan kejadian yang sangat biasa, tetapi
gempa pada tanggal 29 September 2009 merupakan
gempa yang sangat besar, disusul dengan informasi
mengenai ancaman tsunami. Perasaan terkejut dengan
besarnya gempa yang dirasakan dan kekhawatiran
kejadian tsunami seperti yang terjadi di Aceh membuat
masyarakat panik, berlari ketempat daerah yang lebih
tinggi, sehingga menimbulkan kemacetan di jalan-jalan
raya.
Persepsi dalam potensi bencana gempa, dalam hal
kesadaran dalam tindakan yang akan dilakukan oleh
individu dan rumah tangga pada saat terjadi bencana,
berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan
kepada informan untuk mengetahui reaksi penyelamatan
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
95
ketika berada di dalam rumah atau bangunan
menunjukkan bahwa sebagian besar memberikan
jawaban segera berlari ke luar rumah mencari tempat
yang aman, berupa ruang terbuka yang berada jauh dari
pantai. Salah satu ungkapan dalam diskusi .....Sulit
menembus jalan yang dipenuhi orang berlarian, mobil
mengantri, motor yang ditinggal empunya...jalan selebar 5
meter serasa lubang jarum yang sempit.....semua
dipenuhi oleh orang-orang, laki dan perempuan, tua dan
muda semua berlari menuju kota mencari
perlindungan....mereka kebanyakan berasal dari sekitar
pantai....takut tsunami aceh terulang lagi. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam kondisi panik, secara spontan
masyarakat akan berusaha menyelamatkan diri dengan
berlari mencari tempat aman.
Pemahaman mengenai gejala alam sebelum adanya
gempa besar masih merupakan salah satu kearifan lokal
masyarakat kota padang, kondisi panas yang berbeda
merupakan salah satu pertanda, seperti kutipan hasil
berikut,.. Ibu IW merasakan tidak enak dan rasa panas
menjebak seluruh badannya.....ada yang tidak beres
dengan lingkungan sekitarku sore ini.....dalam hatiku “ada
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
96
apa ya ?????”. Tidak seperti biasa...selepas sholat ashar
yang sudah terlambat karena kesibukanku di mushollah
tempatku berkantor terasa sepi dan aneh....semua orang
sudah pulang ke rumah masing-masing.....tiba-tiba....brak
aku terjatuh di mushollah....”ya Allah ...ada
gempa...”.seketika aku berlari keluar.....ya Allah...ku lihat
kantorku sudah rata dengan tanah....
Mengingat potensi kegempaan ataupun bencana lain di
kota Padang yang selalu menghantui masyarakat dan kita
tidak mengetahui kapan kejadiannya, alangkah bijak
apabila kita memahami bencana tersebut dari faktor risiko,
kerentanan dan bahaya yang ditimbulkannya.
Berdasarkan uraian pengalaman mayarakat risiko atau
akibat dari bencana meninggalkan bekas yang mendalam,
terutama di daerah penelitian di Kecamatan Padang
Barat.
Padang Barat sebagian besar wilayahnya berada di tepi
pantai barat pulau Sumatra, memiliki ketinggian 0-8 meter
dari permukaan laut, dan luas wilayah 7 km2, dengan
kepadatan penduduk tahun 2009 adalah 8.859 jiwa/km2
mengalami penurunan menjadi 6.482 jiwa/km2. Terlihat
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
97
dari penurunan jumlah penduduk, Kecamatan padang
Barat setelah kejadian gempa ditinggal oleh penduduknya
“...banyak orang yang mampu membeli rumah di tempat
aman pindah karena trauma, tapi bagi kami yang tidak
bisa mempu terpaksa tetap tinggal disini..”. “ keinginan
kami pindah ketempat yang lebih aman seperti tetangga
kami yang dijemput anaknya untuk pindah ke Pakan baru,
tapi kami tidak bisa, jadi sesudah gempa kami kembali
kerumah kami ini, walau ada kerusakan disana sini..”.
Pilihan untuk tetap tinggal di daerah rawan bencana lebih
disebabkan faktor ekonomi pada awalnya karena tidak
ada pilihan.
Kegiatan tahap pasca bencana adalah proses perbaikan
kondisi masyarakat yang terkena bencana, dengan
memfungsikan kembali sarana dan prasarana pada
keadaan semula, secara fisik dilakukan rehabilitasi dan
rekonstruksi yang mempertimbangkan risiko
kebencanaan, dan hal penting yang dilakukan adalah
rehabilitasi psikis seperti ketakutan, trauma atau depresi.
Kondisi terparah adalah informasi akan adanya gempa
susulan sebagai akibat gempa terdahulu yang lebih parah,
“... tiga bulan lamanya untuk menghilangkan trauma,
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
98
kadang disela tidur malamnya anak saya menangis..”
Dari uraian tentang dampak bencana yang terjadi
memberi pelajaran berharga yang dapat menunjukkan
bahwa upaya mengurangi dampak bencana terhadap
bencana masih jauh dari yang diharapkan. Sehingga
dirasa perlu untuk merubah paradigma penanganan
bencana bukan pasca bencana, tetapi lebih pada pra
bencana. Kondisi ini adalah merupakan upaya untuk
mempersiapkan masyarakat beradaptasi terhadap
bencana bisa datang kapan saja. Melalui serangkaian
kegiatan yang melibatkan secara aktif masyarakat dimulai
dengan kajian risiko, sosialisasi dan arahan secara teknis.
Harapannya setelah melakukan kajian dan penerapan di
lingkungan, dapat menekan angka risiko sekecil mungkin
dalam hal jumlah korban maupun kerugian yang
ditimbulkan dari bencana, masyarakat dengan sadar serta
terlatih bisa secara mandiri melakukan respon awal ketika
dan setelah bencana untuk diri mereka masing-masing,
keluarga dan masyarakat lingkungannya. “gempa-gempa
kecil sering terjadi.....tapi orang Padang sudah
biasa.....mereka sekarang berpikir membaca alam saja
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
99
dan banyak berdoa......seperti yang diperintahkan oleh
pak wali.....kami punya program dzikir bersama, subuh
bersama, wirid bersama.....Selain peraturan teknis tentang
kekuatan bangunan juga diatur tentang zona2 seperti
zona merah, .zona hijau, zona kuning .hal ini dimaksud
untuk pengendalian pembangunan pasca bencana. Dan
masyarakat menyetujui kebijakan tersebut mengingat
daerah kami merupakan daerah rawan bencana.”
Konsep mitigasi ini telah diterapkan di Jepang dan
negara-negara maju lainnya yang berpotensi rawan
bencana sejak lama. Kajian risiko untuk Kecamatan
Padang Barat dilakukan bersama-sama dengan wakil
komunitas yang ada, antara lain ibu-ibu pengajian,
pemuda karang taruna, tokoh masyarakat dan perangkat
pemerintah setempat. Dari hasil pertemuan itu keluar
berupa identifikasi bahaya dan kerentanan apa yang ada
selama ini di daerah mereka, berupa ancaman tsunami,
kondisi rumah yang belum sesuai standart bangunan
tahan gempa, kondisi jalur jalan evakuasi. Setelah kajian
risiko disepakati, maka dibuat rencana tindakan untuk
mitigasi yaitu upaya meminimalkan potensi bahaya yang
dapat terjadi di daerah setempat.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
100
4.3.2. Sosialisasi Mitigasi
Salah satu tujuan penataan ruang dalam Undang-Undang
No, 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang adalah
alasan utama pentingnya penyediaan ruang evakuasi
bencana untuk tercantum dalam muatan setiap rencana
Penataan ruang. Konsep pelaksanaan mitigasi dalam
penataan ruang Kota Padang adalah mitigasi bencana
berbasis masyarakat yaitu menumbuhkan kesadaran
masyarakat untuk menjadi adaptif, terlatih dan bisa secara
mandiri melakukan respon awal ketika dan setelah
bencana. Dengan motto hidup aman, tentram dan
nyaman di negeri rawan gempa (yang disampaikan oleh
Dr. Ir. Badrul DEA sebagai ketua himpunan geofisiks
Indonesia Sumatera Barat).
“Saat itu hingga saat sekarang sudah terbentuk kelompok-
kelompok tanggap bencana ujar ibu....yang merupakan
koordinator kelompok ibu2 PKK tanggap bencana yang di
bentuk oleh pak camat....kelompok-kelompok ini disetiap
kelurahan ada....mereka setelah gempa selalu melakukan
simulasi rutin per tiga bulan untuk menghadapi bencana
....karang taruna, pemuda kampung semua dikerahkan
menjadi kelompok tanggap bencana.....mereka sudah tau
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
101
tugasnya masing-masing ...... siapa yang bekerja mendai
petugas evakuasi, paramedis, dapur umum ataupun
petugas yang mengembalikan trauma pasca
bencana....mereka sudah dilatih dan terlatih....ujarnya
lagi..
Anak-anak kita, petugas security sudah terlatih kata guru
SMAN 1 padang, saat terjadi gempa kedua security
langsung bertugas membuka seluruh akses masuk ke
sekolah kami....melalui tangga darurat bencana yang ada
dikanan kiri gedung memudahkan masyarakat yang
mencari bangunan penyelamat langsung bisa ke lantai
4......dapur umum kami juga di lantai empat....yang
melayani semua anak2 kami dan para guru....semua
sudah terlatih pada peran dan posisinya.....bangunan ini
dirancang kokoh, kuat dan ada helipadnya tetapi bila
terjadi bencana kami juga masih bisa melakukan proses
belajar mengajar karena akses evakuasi tersendiri tidak
mengganggu ruang-ruang kelas.....di depan bagunan
sekolah terdapat aula besar yang di fungsikan sebagai
area evakuasi dan gudang logistik.....ujar bu
guru....menerangkan....”
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
102
Sosialisasi mitigasi bencana ke masyarakat setempat
dalam upaya penguatan kapasitas lokal, menjalin
komunikasi dengan kelompok siaga bencana tingkat
kelurahan dan pemerintah kota, info tentang tanda
peringatan dini, simulasi bencana dan evakuasi lokal. Inti
kegiatan ini adalah membekali ilmu kebencanaan dengan
semangat sukarela dan menyususun konsep kegiatan
dan implementasi kebencanaan sebagai upaya
meminimalisir dampak bencana.
Rencana Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Evakuasi
Bencana” sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kota. Selanjutnya
Rencana Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Evakuasi
Bencana dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah
kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi, dalam hal
ini untuk permasalahan kebencanaan. Rencana
Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Evakuasi dalam
Rangka Mitigasi Bencana di Kota Padang, diharapkan
dapat menjadi arahan pembangunan untuk sarana dan
prasarana mitigasi bencana dalam mengurangi dampak
kehancuran yang ditimbulkan di masa depan.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
103
4.3.3. Potensi kearifan lokal dalam Mitigasi
Pengambil kebijakan Kota Padang melakukan penataan
ruang, yang berbasiskan kearifan lokal adalah merupakan
potensi yang dapat dikembangkan dalam upaya mitigasi
terhadap ancaman bencana. Komunitas Padang Barat
mempunyai integritas tinggi, dengan memiliki nilai,
falsafah, visi dan misi daerah yang tetap di pegang teguh.
a. Nilai
Kesejahteraan: Masyarakat Padang Barat bisa hidup sejahtera, ‘kok padi manjadi, kok jaguang maupiah” (bertanam padi menghasilkan, bertanam jagung buahnya bagus) artinya kehidupan rakyat makmur.
Ketaqwaan:
Keimanan dan kesyukuran pada Allah Kemandirian:
Bisa berdiri (membangun) dengan potensi yang ada. Kesetaraan: ‘
Duduak samo randah, tagak samo tinggi’ (duduk sama rendah berdiri sama tinggi). Segala sesuatu antara lembaga yang ada sama-sama berhak untuk menyampaikan pendapat.
Kebersamaan:
Sama-sama memberi ‘kok tatungkuik makan tanah, tatalantang makan ambun’ (kalau tertelungkup sama-
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
104
sama makan tanah, kalau tertelentang sama-sama minum air embun) dan ‘ka lurah samo manurun kabukik samo mandaki’ ( ke jurang sama-sama menurun, ke bukit sama-sama mendaki).
Demokrasi:
Demokrasi dan beradat, maksudnya demokrasi yang berdasarkan adat (bersendikan Islam/ Kitabullah)
b. Falsafah
Tungku tigo sajarangan, Tali tigo sapilin (ini falsafah di
Minangkabau termasuk di Agam). Perangkat nagari (Wali
Nagari, BPRN, Ninik Mamak, cerdik pandai dan alim
ulama) memerintah berdasarkan adat dan syara’ Bekerja
keras, sesuai pepatah ‘kok duduk mambuek ranjau, kok
tagak memandang jarak’ (Kalau duduk membuat ranjau,
kalau berdiri memandang jarak) artinya tidak ada waktu
terluang, semua mempunyai pekerjaan.
c. Visi
Mencapai/menciptakan masyarakat Padang Barat yang
sejahtera, bekerja keras, ulet beriman dan beradat.
d. Misi
Meningkatkan sumber daya manusia di Nagari Padang
Barat Lembaga-Lembaga (KAN/LAN, MUI, Bundo
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
105
Kanduang, Mamas, dan lain-lain). Baik SDM secara
pribadi maupun anggota lembaga yang ada di Padang
Barat. Mengembalikan semangat gotong royong. Kalau
bergotong royong masyarakat tidak perlu dipanggil tapi
cukup dibuat jadwal gotong royong dan datang dengan
kesadaran sendiri. Di Padang Barat dikenal dengan
‘gotong royong badunsanak’ artinya gotong royong seperti
bersaudara, tidak dipisahkan oleh jorong atau dusun.
Meningkatkan keimanan dan ketaqwaan : Kembali ke
surau : sebagai wadah hidup bermasyarakat. Surau bukan
hanya tempat shalat dan mengaji tapi juga kegiatan
kemasyarakatan. Menginginkan pemerintahan yang jujur,
bersih, berwibawa, terbuka, dan bertanggung jawab
(Good Government) berdasarkan Adat dan Syara’
4.4. Kondisi Masyarakat
Data diambil dari beberapa kelurahan yang dianggap
dekat dengan lokasi terjadinya Tsunami pada waktu itu.
Responden yang diambil sebanyak 455 orag dari 5
kelurahan, yaitu Kelurahan Berok Nipah, Kelurahan Olo,
Kelurahan Belakang Tongsi, Kelurahan Kampung Jao dan
Kelurahan Purus, dengan sebaran sebagai berikut:
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
106
Tabel 15. Alamat Responden
Sumber: Data Olahan, 2012
Tabel 16. Usia Responden
No Usia Frekwensi Persen 1 Tidak menjawab 17 3.7 2 < 25 tahun 22 4.8 3 25 -35 tahun 32 7.0 4 35 – 45 tahun 132 29.0 5 45– 55 tahun 137 30.1 6 > 55 tahun 115 25,3 Jumlah 455 100
Sumber: Data Olahan, 2012
Dilihat dari usia responden menunjukkan bahwa
responden dengan usia 45-55 tahun adalah terbanyak
sebesar 137 atau 30.1%, umur 35 – 45 tahun sebanyak
132 atau 29.0%, > 55 tahun sebanyak 115 atau 25.3%,
dan disusul responden dengan usia 25-35 tahun
No Alamat Frekwensi Persen 1 Kel. Berok Nipah 91 20.0 2 Kel. Olo 92 20.2 3 Kel.. Belakang
Tongsi 87 19.1
4 Kel. Kampung Jao 91 20.0 5 Kel. Purus 94 20.7
Total 455 100.0
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
107
sebanyak 32 atau 7.0%, responden dengan usia < 25
tahun sebanyak 22 atau 4.8%,, ada yang tidak menjawab
sebanyak 17 atau 3.7%.
Tabel 17. Jenis Kelamin
No Jenis kelamin Frekwensi Persen 1 Laki-laki 296 65.1 2 Perempuan 159 34.9
Total 455 100.0 Sumber: Data Olahan 2012
Responden dengan jenis kelamin laki-laki yang terbanyak
yaitu 296 atau 65.1%, sedangkan perempuan ada 159
atau 34.9%.
Tabel 18. Lama Tinggal
No Lama Tinggal
(tahun) Frekwensi Persen
1 < 5 22 4,8 2 5 – 10 78 17,1 3 > 10 355 78
Total 455 100.0 Sumber: Data Olahan, 2012
Berdasarkan pernyataan responden bahwa lamanya
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
108
tinggal di wilayah ini bervariasi yang paling lama yaitu
lebih dari dari 10 tahun tinggal disini ada 355 atau 78,0%,
yang tinggalnya antara 5 – 10 tahun ada 78 atau 17,1%,
dan yang tinggalnya belum terlalu lama yaitu 5 tahun ke
bawah (<5 tahun) ada 22 atau 4,8%.
Tabel 19. Suku Asli
No Suku Frekwensi Persen 1 Padang (Suku asli) 399 87,7 2 Pendatang 56 12,3
Total 455 100.0 Sumber: Data Olahan, 2012
Tabel 20. Pendatang dari Suku
No Pendatang Frekwensi Persen 1 Tidak menjawab 400 87,9 2 Jawa 19 4,2 3 Sulawesi (Bugis,
Makasar dll) 17 3,7
4 Sumatera (Batak, Palembang dll)
13 2,9
5 Kalimantan 6 1,3 Total 455 100.0
Sumber: Data Olahan, 2012
Suku yang terdapat di lokasi terdiri dari suku asli dan
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
109
pendatang, ternyata suku asli mendominasi dengan 399
atau 87,7%, sedangkan suku pendatang hanya 56 atau
12,3%. Suku pendatang berasal dari beberapa wilayah
seperti Jawa ada 19 atau 4,2%, dari Sulawesi (Bugis,
Makasar) ada 17 atau 3,7%, dari Sumatera (Batak,
Palembang) ada 13 atau 2,9%, sedangkan dari
Kalimantan hanya ada 6 atau 1,3%.
Tabel 21. Pendidikan Responden
No Pendidikan Frekwensi Persen 1 Tidak menjawab 29 6.4 2 Tidak Tamat SD 29 6.4 3 Tamat SD 53 11.6 4 SLTP 68 14.9 5 SLTA 218 47.9 6 Akademi 22 4.8 7 S1/S2/S3 36 7.9
Total 455 100.0 Sumber: Data Olahan, 2012
Dilihat dari latar belakang pendidikan responden yang
terbanyak adalah yang tamatan SLTA ada 218 atau
47,9%, SLTP ada 68 atau 14.9%, SD ada 53 atau 11.6%,
yang sampai menyelesaikan studinya S1/S2/S3
sebanyak 36 atau 7.9% sedangkan yang tidak tamat SD
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
110
dan yang tidak menjawab masing-masing sebanyak 29
atau 6.4%.
Tabel 22. Jumlah penghuni
No Jumlah penghuni Frekwensi Persen 1 Tidak menjawab 40 8.8 2 < 3 orang 150 33.0 3 4 – 6 orang 211 46.4 4 7 – 10 orang 26 5.7 5 >10 orang 28 6.2
Total 455 100.0 Sumber: Data Olahan, 2012
Jumlah penghuni dalam rumah berdasarkan tanggapan
responden terbanyak ada 4 – 6 orang sebanyak 211
atau 46.4%, hanya 3 orang ada 150 atau 33.0%, 7 – 10
orang sebanyak 26 atau 5.7% sedangkan lebih dari 10
orang ada 28 atau 6.2%, dan sisanya 40 atau 8.8% tidak
menjawab.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
111
Tabel 23. Pekerjaan Responden
No Pekerjaan Frekwensi Persen 1 Tidak menjawab 52 11.4 2 Dagang/Wiraswas
ta 117 25.7
3 PNS/TNI/POLRI 33 7.3 4 Pegawai Swasta 127 27.9 5 Mahasiswa/Pelaja
r 7 1.5
6 Nelayan 24 5.3 7 Pensiunan 48 10.5 8 Ibu Rumah
Tangga 29 6.4
9 Buruh 17 3.7 10 Tidak bekerja 1 .2
Total 455 100.0 Sumber: Data Olahan, 2012
Dilihat dari pekerjaan responden maka yang terbanyak
adalah pegawai swasta sebanyak 127 atau 27.9%,
pedagang atau wiraswasta sebanyak 117 atau 25,7%,
pensiunan sebanyak 48 atau 10,5%, PNS/TNI/POLRI
sebanyak 33 atau 7.3%, ibu rumah tangga sebanyak 29
atau 6,4%, nelayan sebanyak 24 atau 5.3%, dan
maahsiswa sebanyak sebanyak 7 atau 1.5%, sedangkan
tidak menjawab ada 52 atau 11.4%.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
112
Tabel 24. Pekerjaan setelah terjadi gempa
No Pekerjaan sesudah gempa
Frekwensi Persen
1 Tidak Menjawab 7 1.5 2 Pekerjaan tetap 363 79.8 3 Pek Berubah/pindah
kerja 85 18.7
Total 455 100.0 Sumber: Data Olahan, 2012
Sedangkan pekerjaan responden setelah terjadi bencana
alam menyatakan kalau pekerjaannya tetap sebanyak
363 atau 79.8%, berubah /pindah pekerjaan sebanyak
85 atau 18.7% dan tidak menjawab ada 7 atau 1.5%.
Tabel 25. Kerjaan sekarang
No Kerjaan sekarang Frekwensi Persen 1 Tidak menjawab 388 85.3 2 Dagang/jualan/berusa
ha 45 9.9
3 Buruh 16 3.5 4 Tukang cuci pakaian
orang 6 1.3
Total 455 100.0 Sumber: Data Olahan, 2012
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
113
Pekerjaan responden setelah terjadi gempa / pekerjaan
sekarang berdagang/jualan/berusaha sebanyak 45 atau
9.9%, buruh sebanyak 16 atau 3.5%, tukang cuci pakaian
orang (binatu) sebanyak 6 atau 1.3%, sedangkan
sebanyak 388 atau 85.3% tidak menjawab.
Tabel 26. Penghasilan Responden
No Penghasilan Frekwensi Persen 1 Tidak menjawab 123 27.0 2 < 1.000.000 124 6.2 3 1.001.000 -
2.000.000 101 22.2
4 2.001.000 - 3.000.000
28 27.3
5 3.001.000 - 4.000.000
29 6.4
6 >4.000.000 42 9.2 7 Tidak menentu 8 1.8
Total 455 100.0 Sumber: Data Olahan, 2012
Berdasarkan pernyataan bahwa penghasilan yang
diperoleh responden terbanyak antara Rp. 2.000.000 –
3.000.000 ada 124 atau 27.3%, sebesar 1.001.00 –
2.00.000 sebanyak 101 atau 22.2%, lebih besar dari
Rp.4.000.000 ada 42 atau 9.2%, sebesar 3.001.000-
4.000.000 ada 29 atau 6.4%, sebesar kurang dari
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
114
1.000.000 ada 28 atau 6.2%, dan tidak menentu ada 8
atau 1.8%, sedangkan tidak menjawab ada 123 atau
27.0%.
Tabel 27. Jarak rumah dengan lokasi bencana
No Jarak rumah dengan lokasi bencana
Frekwensi
Persen
1 Tidak menjawab 143 31.4 2 < 5 km 285 62.6 3 6 - 15 km 13 2.9 4 16 - 25 km 8 1.8 5 > 35 km 6 1.3
Total 445 100.0 Sumber: Data Olahan, 2012
Adapun jarak rumah/tempat tinggal dengan lokasi
bencana terbanyak dengan jarak terdekat yaitu lebih kecil
dari 5 km sebanyak 285 atau 62.6%, jarak antara 6 – 15
km ada 13 atau 2.9%, jarak 16 – 25 km ada 8 atau 1.8%,
dan jarak lebih jauh dari 35 km ada 6 atau 1.3%,
sedangkan 143 atau 31.4% tidak menjawab.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
115
Tabel 28. Bentuk rumah
No Bentuk rumah Frekwensi Persen 1 Tidak menjawab 34 7.5 2 Non Permanen 63 13.8 3 Semi Permanen 168 36.9 4 Permanen 190 41.8
Total 455 100.0 Sumber: Data Olahan, 2012
Dari tabel di atas menunjukkan kalau bentuk rumah
responden permanen dinyatakan oleh 190 atau 41.8%,
bentuk rumah semi permanen ada 168 atau 36.9%, dan
non permanen 63 atau 13.8%, sedangkan 34 atau 7.5%
tidak menjawab.
Tabel 29. Status kepemilikan
No Status kepemilikan rumah Frekwensi Persen 1 Tidak menjawab 47 10.3 2 Sertifikat/Milik sendiri 197 43.3 3 tanah Ulayat/Tanah kaum 56 12.3 4 tanah sewa 129 28.4 5 Kontrak/sewa 19 4.2
Total 455 100.0 Sumber: Data Olahan, 2012
Dilihat dari status kepemilikan responden maka dapat
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
116
dilihat dari tabel diatas status kepemilikannya
bersertifikat/milik sendiri sebanyak 197 atau 43.3%, yang
merupakan tanah sewa terdapat 129 atau 28.4%, yang
merupakan tanah ulayat/tanah kaum terdapat 56 atau
12.3%, dan yang kontrak/sewa terdapat 19 atau 4.2%,
sedangkan tidak menjawab 47 atau 10.3%.
Tabel 30. Pasca Bencana Kondisi Rumah
No Kondisi rumah pasca bencana
Frekwensi Persen
1 Tidak menjawab 6 1.3 2 Rusak berat 54 11.9 3 Retak 364 80.0 4 Tidak Rusak 31 6.8
Total 455 100.0 Sumber: Data Olahan, 2012
Kondisi rumah pada saat pasca bencana dinyatakan
oleh responden kalau rumahnya mengalami retak
sebanyak 364 atau 80.0%, rusak berat ada 54 atau
11.9%, tidak rusak terdapat 31 atau 6.8%, dan tidak
menjawab ada 6 atau 1.3%.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
117
Tabel 31. Rangkuman Hasil Analilis Kuesioner
No Item Pertanyaan Mayoritas Jawaban 1 Usia responden Responden terbanyak usia 44-
55 tahun 2 Jenis kelamin Laki-laki 65,1% 3 Lama tinggal Lebih dari 10 tahun 78%. 4 Daerah asal Asli Padang/Minang 87,7% 5 Pendatang Jawa 4,2% 6 Pendidikan SLTA 47,8% 7 Jumlah penghuni Jumlah 4-6 orang 46,4% 8 Pekerjaan Pegawai swasta 27,9% 9 Pindah kerja Tetap 79,8%, 10 Penghasilan 2 juta-3 juta 27% 11 Jarak bencana Kurang dari 5 km, 62,6% 12 Bentuk rumah Semi permanen 36,9% 13 Status kepemilikan Sertifikat, milik sendiri 43,3% 14 Kondisi pasca
gempa Retak, 80%
Sumber: Data Olahan, 2012
Perubahan penataan ruang yang dilakukan pemerintah
kota Padang sebagai kota rawan bencana, merupakan
salah satu kebijakan dalam mitigasi struktural, dengan
adanya perubahan tersebut maka perlu dilakukan
penelitian mengenai tingkat pemahaman masyarakat.
Pemahaman dalam aplikasi teori belajar adalah sebagai
kawasan kognitif yang berhubungan dengan pengetahuan
secara teori, fakta, prinsip dan penerapannya, merupakan
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
118
kegiatan mental intelektual mengorganisasi materi yang
telah diketahui. Penelitian ini mengungkap pemahaman
masyarakat melalui aspek fisik, sosial, ekonomi dan
budaya.
Aspek fisik adalah bentuk pemahaman dalam
mendukung keadaan kualitas lingkungan yang aman,
secara teknologi untuk bangunan yang layak dan kuat
dalam menghadapi bencana yaitu kekuatan dalam
struktur dan bahan bangunan, memahami secara fisik
keadaan rawan bencana dan kondisi yang aman untuk
berlindung. Berdasarkan jawaban dari kuesiner, sebagian
besar masyarakat sudah memahami bahwa kayu
merupakan bahan bangunan yang lebih tahan terhadap
gempa, memerlukan tempat yang aman untuk berlindung
pada saat gempa, pemerintah belum mempersiapkan
tempat yang aman dan mengetahui bahwa tempat
tinggalnya merupakan daerah rawan bencana.
Aspek sosial adalah sebagai bentuk pemahaman dalam
mendukung keadaan untuk mewujudkan kualitas
lingkungan nyaman. Sebagai makhluk sosial manusia
membutuhkan interaksi dalam menjalankan peran sosial
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
119
dan berbagai aktivitas (Dalton, 2007). Bentuk interaksi
dalam hubungan sesama manusia antara lain adalah
kepedulian, gotong royong dan kesepakatan dalam
pengambilan keputusan. Untuk mengungkap pemahaman
masyarakat dalam kota rawan sacara sosial maka
pertanyaan sebagai variabel teramati dalam variabel laten
sosial. Berdasarkan jawaban dari kuesioner sebagian
besar masyarakat mengatakan bahwa pada saat kejadian
bencana masyarakat masih memiliki kepedulian kepada
sesama, masyarakat saling bekerjasama, gotong royong,
bantu membantu menanggulangi dampak dari bencana
dan pada saat kejadian bencana masyarakat
membutuhkan suatu arahan, informasi bencana dan
koordinasi penanganan bencana.
Aspek ekonomi adalah sebagai bentuk pemahaman
dalam mendukung keadaan untuk mewujudkan kualitas
kesejahteraan lingkungan, yaitu merupakan kemampuan
kehidupan ekonomi masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan dasar dalam mempertahankan hidup. Untuk
mengungkap pemahaman masyarakat dalam kota rawan
sacara ekonomi maka pertanyaan sebagai variabel
teramati dalam variabel laten ekonomi. Berdasarkan
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
120
jawaban dari kuesioner sebagian besar masyarakat
menyatakan bahwa kejadian bencana sangat
berpengaruh pada ekonomi masyarakat, terutama
terhadap karyawan yang bangunan gedung tempat
bekerjanya hancur, akibatnya karyawan menganggur.
Tetapi umumnya mereka tidak terlalu risau dengan
banyaknya pengangguran menimbulkan kejadian
pencurian dan lainnya.
Aspek budaya adalah merupakan wujud rasa melalui
pandangan hidup, tata nilai, gaya hidup dan aktivitas
kongkret pemahaman dalam mendukung keadaan untuk
mewujudkan kualitas lingkungan (Rapoport, 2004). Untuk
mengungkap pemahaman masyarakat dalam kota rawan
bencana sacara budaya maka pertanyaan sebagai
variabel teramati dalam variabel laten budaya.
Berdasarkan jawaban dari kuesioner masyarakat
menyatakan cara atau metode penyuluhan yang diberikan
dan bimbingan teknis masih kurang sesuai dengan kondisi
masyarakat.
Penyuluhan kooperatif dapat mengembangkan
pemahaman dan sikap sesuai dengan kehidupan nyata
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
121
masyarakat, dibutuhkan suasana bimbingan dalam
interaksi saling percaya, terbuka, akrab dan memberi
kesempatan bagi peserta untuk memperoleh dan memberi
masukan diantara mereka untuk mengembangkan
kepedulian, sikap, nilai dan ketrampilan yang ingin
dikembangkan. Dalam hal mencapai tujuan tersebut perlu
penyesuaian dengan nilai budaya masyarakat setempat,
masyarakat menyatakan setuju bahwa pemuka
masyarakat masih menjadi panutan dan kearifan lokal,
adat budaya masyarakat setempat perlu diperhatikan dan
diikutsertakan dalam upaya pengurangan risiko bencana.
Mitigasi adalah upaya yang dilakukan untuk memperkecil,
mengurangi dan memperlunak dampak yang ditimbulkan
oleh bencana dan merupakan pedoman untuk
perencanaan penataan ruang perkotaan, sehingga dapat
memberikan perlindungan kepada masyarakat untuk
hidup dan bekerja secara aman. Untuk mengungkap
kesiapan mitigasi dalam kota rawan bencana maka
pertanyaan sebagai variabel teramati dalam variabel laten
mitigasi. Dari hasil kuesioner sebagian besar masyarakat
menyatakan bahwa diperlukan standar bangunan tahan
gempa, dan masyarakat masih kurang puas dengan
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
122
ketersediaan jalur evakuasi, kapasitas jalur evakuasi,
keberadaan ruang evakuasi. Mengenai informasi jalur dan
tempat evakuasi masyarakat sudah mendapatkannya
melalui berbagai media.
Variabel Laten Persepsi
Persepsi adalah proses dimana seseorang memperoleh
informasi dari lingkungan sekitar. Persepsi merupakan
suatu hal yang aktif. Persepsi memerlukan pertemuan
nyata dengan suatu benda dan juga membutuhkan
proses.kognisi serta afeksi. Persepsi membantu individu
untuk menggambarkan dan menjelaskan apa yang
dilakukan oleh individu (Halim, 2005).
Persepsi merupakan pengalaman mengenai objek,
peristiwa, atau hubungan yang diperoleh dengan
menyimpulkan informasi dan menafsirkan yang
melibatkan sensasi, atensi, ekspetasi, motivasi dan
memori, Terkait dengan kondisi bermasyarakat, persepsi
adalah proses penilaian seseorang/sekelompok orang
terhadap objek, peristiwa, atau stimulus dengan
melibatkan pengalaman-pengalaman yang berkaitan
dengan objek tersebut, melalui proses kognisi dan afeksi
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
123
untuk membentuk objek tersebut (Mahmud, 1989)
Dari penjelasan tersebut maka persepsi masyarakat dapat
didefinisikan sebagai rangkaian proses kognisi atau
pengenalan dan afeksi atau aktifitas evaluasi emosional
(ketertarikan) masyarakat terhadap suatu objek, peristiwa,
atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan cara
menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan tersebut
dengan menggunakan media pendengaran, penglihatan,
peraba dan sebagainya.
Persepsi masyarakat dalam kota rawan bencana adalah
rangkaian proses kognisi atau pemahaman terhadap kota
rawan bencana dan afeksi atau aktivitas evaluasi
emosional (keterkaitan) masyarakat terhadap kesiapan
mitigasi atau hubungan yang diperoleh dengan cara
mengumpulkan informasi dan menafsirkan keadaan.
Untuk mengungkap variabel laten persepsi dalam kota
rawan bencana maka pertanyaan sebagai variabel
teramati.
Hasil kuesioner yang diperoleh bahwa sebagian besar
masyarakat menyatakan setuju kalau pusat kota akan
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
124
dipindahkan ketempat yang dinyatakan aman. Pindahnya
ibukota ketempat aman merupakan pilihan bagi
masyarakat yang mampu, dianggap tidak mengurangi
kenyamanan bagi yang tidak memiliki kesempatan pindah.
Sebagai kota dengan kerawanan yang tinggi, maka
masyarakat setuju dengan adanya peraturan
pengendalian dan pemanfaatan ruang, dan menurut
masyarakat pemerintah sudah memberikan informasi
mengenai rencana perubahan tersebut.
Adaptasi adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan, keberhasilan dalam tingkah laku
menimbulkan penyesuaian individu terhadap lingkungan
atau terjadi penyesuaian dengan keadaan lingkungan
pada diri individu dengan moto hidup aman, tentram dan
nyaman di daerah rawan gempa. Menumbuhkan
kesadaran masyarakat untuk menjadi adaptif, terlatih dan
bisa secara mandiri melakukan respon awal ketika dan
setelah bencana. Untuk mengungkap variabel laten
adaptasi dalam kota rawan bencana maka pertanyaan
sebagai variabel teramati. Hasil yang diperoleh bahwa
sebagian besar masyarakat menyatakan bahwa tetap
akan memilih tinggal di kota rawan bencana dengan
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
125
berbekal pengetahuan dan kesiapan mitigasi, perlu
penyesuaian dengan lingkungan rawan bencana.
Masyarakat mendukung pemerintah dalam upaya
pencegahan untuk meminimalisir dampak bencana.
Tabel 32. Rangkuman jawaban Responden
Aspek Fisik
No. Item Pertanyaan Mayoritas Jawaban
1 Pemahaman terhadap bahan bangunan tahan gempa
Sebagian besar menyatakan setuju bahwa rumah yang terbuat dari kayu lebih tahan terhadap gempa.
2 Tempat yang aman untuk berlindung
Sebagian besar menyatakan sangat setuju bahwa pada saat gempa harus segera lari berlindung.
3 Lokasi yang aman untuk berlindung sudah memenuhi harapan.
Sebagian besar menyatakan tidak setuju bahwa pemerintah sudah menyiapkan tempat yang aman untuk berlindung.
4 Mengetahui bahwa tempat tinggal sekarang di daerah rawan bencana
Sebagian besar menyatakan ragu-ragu bahwa tempat tinggalnya dinyatakan sebagai daerah rawan bencana
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
126
Aspek Sosial
No. Item Pertanyaan Mayoritas Jawaban
1 Tingkat Kepedulian Masyarakat
Sebagian besar menyatakan setuju bahwa kepedulian diantara warga pada saat kejadian bencana baik.
2 Tingkat gotong royong masyarakat
Sebagian besar menyatakan bahwa kondisi gotong royong sesama warga baik
3 Pengambilan keputusan secara musyawarah dan mufakat
Sebagian besar menyatakan ragu-ragu bahwa keputusan yang diambil pada saat penanggulangan bencana dilakukan secara musyawarah dan mufakat.
Aspek Ekonomi
No. Item Pertanyaan Mayoritas Jawaban
1 Bencana berakibat pada perekonomian masyarakat
Sebagian besar menyatakan sangat setuju bahwa bencana mengakibatkan terganggunya perekonomian.
2 Peningkatan jumlah pengangguran
Sebagian besar menyatakan setuju bahwa setelah kejadian bencana pengangguran meningkat.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
127
3 Peningkatan kriminalitas (pencurian)
Sebagian besar menyatakan ragu-ragu bahwa setelah bencana banyak terjadi pencurian.
Aspek Budaya
No. Item Pertanyaan Mayoritas Jawaban
1 Informasi dan penyuluhan sesuai dengan kondisi masyarakat
Sebagian besar menyatakan ragu-ragu bahwa penyuluhan yang diberikan sesuai dengan kondisi masyarakat
2 Bimbingan teknis di pahami masyarakat
Sebagian besar menyatakan ragu-ragu bahwa bimbingan teknis menghadapi bencana di pahami masyarakat
3 Peran pemuka masyarakat dalam menghadapai bencana
Sebagian besar menyatakan setuju bahwa penjelasan melalui pemuka masyarakat di butuhkan masyarakat.
Kearifan lokal dalam menyikapi bencana
Sebagian besar masyarakat menyatakan setuju bahwa kearifan lokal masih ada dalam menghadapi bencana.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
128
Aspek Persepsi
No. Item Pertanyaan Mayoritas Jawaban
1 Pemindahan pusat kota dalam penataan ruang
Sebagian besar menyatakan setuju bahwa pusat pemerintahan akan pindah ketempat yang aman.
2 Banyak penduduk yang pindah
Sebagian besar merasa ragu-ragu bahwa banyak warga yang pindah mengurangi kenyamanan
3 Pengendalian dan pemanfaatan ruang kota rawan bencana
Sebagian besar menyatakan setuju bahwa adanya pengendalian dan pemanfaatan ruang.
4 Informasi perubahan ruang kota
Sebagian besar menyatakan setuju bahwa pemerintah sudah memberikan informasi dalam perubahan ruang kota
Aspek Mitigasi
No. Item Pertanyaan Mayoritas Jawaban
1 Pemahaman bangunan tahan gempa
Sebagian besar menyatakan setuju bahwa mengetahui standar bangunan tahan gempa yang dikeluarkan pemerintah
2 Ketersediaan jalur Sebagian besar menyatakan tidak setuju bahwa sudah
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
129
evakuasi tersedia jalur evakluasi di lingkungan dengan baik
3 Kapasitas jalur evakuasi
Sebagian besar menyatakan sangat tidak setuju bahwa kapasitas jalur evakuasi sudah memedai
4 Keberadaan ruang evakuasi
Sebagian besar menyatakan tidak setujubahwa ruang evakuasi sudah memadai
5 Informasi arah tentang jalur dan tempat evakuasi
Sebagian besar menyatakan setuju bahwa sudah mendapat arahan tentang lokasi evakuasi.
Aspek Adaptasi
No. Item Pertanyaan Mayoritas Jawaban
1 Tetap tinggal di kota rawan bencana
Sebagian besar menyatakan setuju bahwa perlu pengetahuan dan kesiapan mitigasi untuk tetap tinggal di kota rawan bencana
2 Perlu penyesuaian pasca bencana
Sebagian besar menyatakan setuju bahwa perlu penyesuaian dengan lingkungan di kota rawan bencana.
3 Upaya pencagahan dan meminimalisir dampak
Sebagian besar menyatakan setuju bahwa perlu dilakukan upaya pencegahan untuk meminimalisir dampak bencana.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
130
4.5. Masyarakat dan Budaya Minang
4.5.1. Kebudayaan Minang
Kebudayaan adalah merupakan suatu kompleks gagasan
dan pikiran manusia bersifat tidak teraga. Kebudayaan
akan terwujud melalui pandangan hidup, tata nilai, gaya
hidup dan aktivitas yang bersifat konkrit. Aktivitas ini
secara langsung akan mempengaruhi wadah, yakni
lingkungan yang diantaranya adalah ruang-ruang di dalam
permukiman. Dengan demikian sebagai wujud fisik,
kebudayaan merupakan hasil kompleks gagasan yang
tercermin dalam pola aktivitas masyarakatnya. Hal ini
seperti apa yang dinyatakan (Rapoport,1982) bahwa
budaya merupakan faktor utama dalam proses terjadinya
bentuk, sedang faktor lain seperti iklim, letak dan kondisi
geografis, politik serta ekonomi merupakan faktor kedua.
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan melalui proses belajar. Kebudayaan merupakan
pengetahuan manusia yang diyakini akan kebenarannya
oleh yang bersangkutan dan yang diselimuti serta
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
131
menyelimuti perasaan-perasaan dan emosi-emosi
manusia serta menjadi sumber bagi sistem penilaian
sesuatu yang baik dan buruk, sesuatu yang berharga atau
tidak, sesuatu yang bersih atau kotor dan sebagainya. Hal
ini terjadi karena kebudayaan tersebut diselimuti nilai-nilai
moral, dimana sumber dari nilai-nilai moral tersebut
adalah pada pandangan hidup dan pada etos atau sistem
etika yang dimiliki oleh setiap manusia. (Koentjaraningrat,
1984)
Berdasarkan beberapa pengertian dari kebudayaan yang
telah dipaparkan diatas, dapat ditarik kesimpulan dari
hakekat kebudayaan tersebut yaitu:
1. Kebudayaan tersebut hanya dimiliki oleh masyarakat
manusia.
2. Kebudayaan tidak diturunkan secara biologis,
melainkan diperoleh melalui proses belajar.
3. Kebudayaan itu didapat, didukung dan diteruskan
oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Kesemuanya itu merupakan wujud dari rasa, kemampuan
berpikir yang menimbulkan ilmu pengetahuan pada
manusia serta kehendak untuk hidup sempurna, mulia
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
132
dan bahagia yang menimbulkan kehidupan beragama dan
berkesusilaan. Masing-masing wujud budaya saling
berkaitan dan saling mempengaruhi antara satu dengan
lainnya. Kebudayaaan ideal yang mengatur pola aktivitas
manusia akhirnya akan menghasilkan kebudayaan fisik
dan demikian juga sebaliknya kebudayaan fisik akan
membentuk lingkungan tertentu yang akan mempengaruhi
pola aktivitas manusia dan cara berpikirnya
(Koentjaraningrat, 1984).
Sebagai masyarakat yang menganut paham
kekeluargaan, orang Minangkabau dilingkupi oleh
lembaga-lembaga yang dijiwai oleh sistem dalam
mengatur kehidupan sosial, budaya dan ekonomi
masyarakatnya. Bagi masyarakat Minangkabau, tanah
terutama sawah memiliki arti sangat penting secara
ekonomi dan budaya, karena sawah merupakan sumber
produksi dan lambang kekayaan bagi masyarakat
tersebut. Di Minangkabau sawah menjadi harta pusaka
yang keberadaannya harus dipelihara bersama.
Pengerjaan sawah dilakukan dengan cara gotong-royong
dalam bentuk kelompok-kelompok yang saling bekerja
sama mengerjakan sawah mereka secara bergantian.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
133
Tanah bagi masyarakat Minangkabau bukanlah milik
pribadi, tapi milik keluarga atau kaum (ulayat), sehingga
ditemukan adanya tanah pusaka atau tanah ulayat yang
tidak mudah diperjualbelikan.
Berbeda dengan daerah pesisir, tanah adalah milik
perseorangan sehingga dapat diperjualbelikan sesuai
keinginan pemiliknya. Namun, ketika sawah tidak sanggup
lagi memberikan kecukupan secara ekonomi, karena
pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat
menjadikan tidak sedikit secara perlahan kaum laki-laki
meletakkan tanggung-jawab ke kaum ibu. Hal ini
disebabkan sudah semakin banyak keluarga yang tidak
lagi bergantung pada hasil sawah. Kaum laki-lakinya
mulai meninggalkan rumah untuk pergi merantau, kaum
perempuan yang mengusahakan dan mengolah sawah.
Dilihat dari kultur sejarah Minangkabau, maka Kota
Padang termasuk daerah rantau pesisir, sehingga budaya
dan keseniannya juga sangat dipengaruhi oleh kondisi
tersebut. Pengaruh budaya daerah lain yang cukup kuat
mewarnai budaya dan kesenian di Kota Padang adalah
budaya dan kesenian daerah Solok, Padang Pariaman,
dan Pesisir Selatan sebagai kawasan yang berbatasan
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
134
langsung. Sebenarnya Kota Padang masih memiliki
budaya dan kesenian yang khas, namun saat ini
gambaran nilai budaya dan kesenian ini hanya dapat
dilihat di daerah pinggiran kota, seperti daerah Teluk
Kabung, Kuranji, dan Koto Tangah.
Dalam sektor pendidikan, Minangkabau merupakan salah-
satu daerah pertama yang mewadahi gerakan pembaruan
pendidikan Islam. Hal ini dapat dibuktikan pada koreksi
beberapa nilai adat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
Islam. Masyarakat Minangkabau merupakan komunitas
yang sangat kuat memegang teguh nilai-nilai adat, namun
perlu diingat bahwa nilai-nilai adat merupakan buatan
manusia yang dapat berubah sesuai dengan kondisi,
maka perlu adanya penyesuaian nilai-nilai adat ketika nilai
yang lama telah tidak relevan lagi. Perubahan nilai-nilai
dalam masyarakat tersebut akan menentukan masa
depan suatu masyarakat. Dalam perubahan tersebut,
pendidikan memegang peran yang sangat penting.
Pendidikan bagi suatu masyarakat berfungsi sebagai
penentu masa depan, menjawab berbagai persoalan
dalam masyarakat, sekaligus melestarikan nilai-nilai dan
warisan sosial-kultural tempat pendidikan tersebut
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
135
dilaksanakan.
Sumatera Barat pada umumnya dan Minangkabau
khususnya, dikenal sebagai daerah yang menjunjung
tinggi nilai-nilai adat dan agama, hal ini dapat dilihat dari
falsafah hidup yang telah menjadi cita-cita, dan pedoman
dalam kehidupan masyarakat yaitu nilai falsafah hidup
“Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”.
Kota Padang sebagai ibukota Provinsi melalui RPJP
2005-2020 telah menyusun program kegiatan untuk
mendukung terwujudnya cita-cita kembali ke nagari dan
kembali ke surau dengan cara :
1. Mendorong peningkatan peran dan fungsi lembaga
Ninik Mamak, Alim Ulama dan Cadiak Pandai (tali tigo
sapilin, tungku tigo sajarangan) dalam pembinaan
anak kemenakan dan anak nagari khususnya, dan
masyarakat dalam arti luas.
2. Mengembangkan dan memberikan mata pelajaran
BAM (Bumi Alam Minangkabau) sejak dari tingkat SD
sampai dengan Perguruan Tinggi.
3. Mendorong aktivitas keagamaan dan perayaan hari
besar agama.
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
136
Untuk terlaksananya program kegiatan ini harus didukung
oleh sarana dan prasarana yang memadai, baik dari segi
kelembagaan maupun mekanisme pelaksanaan. Nilai
positif dari aspek sosial budaya yang merupakan kultur
dari masyarakat Kota Padang yang juga dimiliki oleh
masyarakat Minangkabau pada umumnya adalah nilai
kebersamaan, demokratis dan gotong-royong. Barek
samo dipikua, ringan samo dijinjiang, saciok bak ayam,
sadantiang bak basi, duduak samo randah, tagak samo
tinggi, duduak surang basampik-sampik, duduak basamo
balapang-lapang.
Kajian antropologi melihat bencana sebagai kejadian yang
meliputi kombinasi dari berbagai agen yang memiliki
potensi merusak dan memperlemah kondisi masyarakat.
agen perusak tersebut dapat berasal dari lingkungan
alam, teknologi atau dari masyarakat itu sendiri (Oliver
dan Smith, 1996)
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
137
4.5.2. Beberapa Penelitian yang Pernah Dilakukan
a. Penelitian Respon terhadap Bencana
Penelitian Muhtada. D., 2010 dengan judul Respon
Komunitas Keagamaan di Porong atas Bencana Lumpur
Lapindo. Pemahaman atas bencana dan respon bencana
yang dilakukan oleh organisasi masa keagamaan
tergantung pada faktor sosiokultural masyarakat setempat
dan kondisi internal organisasi. Sebagai representasi
kepercayaan masyarakat, organsiasi massa menjalankan
fungsinya sebagai katalisator yang terus melakukan
kegiatan yang mengurangi dampak bencana Lapindo
Penelitian Manuel, J. M., yang berjudul Marapu dalam
Bencana Alam: Pemaknaan dan Respon Masyarakat
Desa Wungu-Sumbawa Timur Terhadap Bencana.
Menunjukan bahwa pada dasarnya respon masyarakat
terhadap bencana terkait dengan prinsip dasar
kepercaaan masyarakat dalam hubungannya dengan
alam semesta. Kepasrahan menerima bencana bukan
berarti berpangku tangan, namun masyarakat Desa
Wungu memaknai bahwa bencana merupakan
representasi hubungan manusia dan alam semesta yang
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
138
mengalami distorsi sehingga harus diperbaiki dengan
merawat alam semesta lebih baik lagi.
Penelitian dari Kumarasri, W. R., 2011 yang berjudul
Membangun Kebijakkan Hidup Bersama Risiko Bencana:
Interpretasi dan Respon Komunitas Desa Sanggrahan
Terhadap Bencana Gempa Bumi 27 Mei 2006.
Menunjukkan bahwa klasifikasi masyarakat dalam respon
terhadap bencana terdiri dari tiga kelompok. Pertama,
pemahaman bahwa bencana sebagai kehendak Tuhan,
Kedua, bencana sebagai peringatan, dan ketiga bencana
sebagai bentuk karya Tuhan untuk kebaikan kehiduan
manusia.
b. Penelitian tentang Mitigasi Bencana
Penelitan dari Yunardi, S., 2010 yang berjudul Mitigasi
Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan; Sebuah Resolusi
Konflik Budaya Lokal dan Kebijakan Formal. Menunjukkan
hasil bahwa pengakuan terhadap budaya, hal dan inisiatif
lokal dalam penggunaan api akan mampu menjadi upaya
mitigasi bencana dan kebakaran hutan. Kebakaran hutan
sebagai akibat pembukaan lahan dengan pembakaran
yang menjadikan terjadinya bencana secara prinsip terkait
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
139
dengan mekanisme pembukaan lahan dengan cara instan
tanpa memperhatikan lingkungan, namun upaya mitigasi
berfungsi untuk meminimailsasi korban.
c. Penelitian tentang Adaptasi Bencana
Penelitian Marfa, M. A., 2011 yang berjudul Kerawanan
dan Kemampuan Adaptasi Masyarakat Pesisir Terhadap
Bahaya Banjir Genangan dan Tsunami: Intergrasi Kajian
Kebencanaan dan Sosial Budaya. Menghasilkan
kesimpulan bahwa di dalam bencana itu sendiri terdapat
nilai sosial seperti relasi antara manusia, pengetahuan
masyarakat, nilai serta norma sosial yang hidup di
masyarakat. Adaptasi masyarakat terhadap bencana
dilakukan dengan mewariskan pengetahuan, kontrol
sosial masyarakat, dan melakukan tindakan nyata
berdaptasi dengan bencana
Penelitian Utami, H., 2011 yang berjudul Bertani Selaras
Alam di Lereng Merapi: Kekuatan Agama dan Kearifan
Lokal dalam Proses Kebangkitan Pasca Gempa di
Kasongan Bantul, Yogyakarta. Menyatakan bahwa
sistem pertanian yang selaras alam di lereng merapi lebih
menekankan kepada pemanfaatan potensi lokal dengan
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
140
memegang prinsip menjaga keragaman hayati, kesuburan
tanah, daur ulang makanan dan menjaga pengendalian
biologis atas produk pertanian.
d. Penelitian Bencana di Kota Padang
Penelitian Alfirdaus, 2010 yang berjudul Diskriminasi
Terhadap Etnis Cina dalam Penanganan Pasca Gempa
30 September 2009 di Kota Padang. Menggambarkan
bahwa diskriminasi penanganan pasca bencana
merupakan kondisi yang sering terjadi di wilayah bencana.
Sehingga penanganan pasca bencana belum mampu
menyentuh semua entitas sosial masyarakat dan
menyebabkan adanya sikap dan keprihatinan dampak
sosial akibat penanganan yang tidak komprehensif
Rangkuman dari penelitian terdahulu, menyatakan bahwa
semua hasil tinjauan terhadap penelitian dan kajian
empirik mengenai topik model adaptasi masyarakat di
kota rawan bencana ditinjau dari ilmu lingkungan dengan
menggunakan SEM (Structural Equations Model) belum
pernah dilakukan secara khusus. Selama ini penelitian
sejenis yang sudah ada untuk penataan ruang rawan
bencana di Indonesian lebih difokuskan pada faktor modal
Adaptasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
141
sosial, persepsi masyarakat, adaptasi terhadap bencana
dan perencanaan fisik. Dengan merumuskan arahan
pembangunan kota rawan bencana yang berkelanjutan
dengan model adaptasi masyarakat, maka diharapkan
kualitas hidup masyarakat terpenuhi secara sosial,
ekonomi dan budaya serta keseimbangan ekosistem dan
jaminan terhadap kesejahteraan masyarakat dilakukan
secara harmonis.
Adapatasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
142
5. KESIMPULAN
5.1. Konsep Mitigasi
Konsep mitigasi adalah mengurangi kerentanan untuk
mengatasi bencana. Bila masyarakat tidak rentan, maka
risiko atau dampak dari bencana akan dapat di perkecil
atau dikurangi. meskipun tetap berada di daerah rawan
bencana. Penelitian ini mengungkapkan pentingnya
persepsi masyarakat terhadap lingkungan tempat
tinggalnya. Persepsi masyarakat dapat diukur melalui
tingkat pemahaman terhadap bencana dan penilaian atau
pendapat masyarakat terhadap keberadaan sarana
prasarana dalam mengadapi ancaman bencana.
Berdasarkan persepsi, masyarakat akan beradaptasi dan
masyarakat yang adaptif menjadi tidak rentan, tanggap
dan proaktif menghadapi risiko bencana.
Keberhasilan kelompok masyarakat penanggulangan
bencana melalui sistem koordinasi yang dibentuk dan
dikembangkan berdasarkan sumber daya serta potensi
yang ada di wilayah masing-masing. Setiap wilayah
memiliki sumber daya, potensi dan karakter sosial budaya
yang berbeda dan mempunyai pengalaman bencana yang
Adapatasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
143
berbeda pula. Kegiatan penanggulangan bencana
ditentukan oleh kapasitas lokal, berjalannya sistem
peringatan dini, terdapatnya komunitas masyarakat yang
memiliki pengetahuan kebencanaan dan tanggap
terhadap gejala dan tanda-tanda terjadinya bencana, serta
koordinasi para pihak dalam membagi tugas dan
tanggung jawab.
Dapat diambil kesimpulan dari konsep mitigasi ini adalah:
1. Jalur evakuasi terasa sempit karena semua
masyarakat menggunakan kendaraan pada saat
melakukan penyelamatan melalui jalur evakuasi, hal
ini menimbulkan kemacetan parah dan terasa jalur
evakuasi tidak memadai, selain itu pada lokasi
tertentu jalur evakuasi mengalami penyempitan
karena masalah pembebasan lahan yang belum
terselesaikan.
2. Masyarakat padang menganut faham “alam
takambang menjadi guru” berdasarkan
pemahamannya, pada saat sebelum terjadi bencana
tanggal 30 September 2009, udara dirasakan sangat
panas dan tidak nyaman, membuat sebagian
Adapatasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
144
masyarakat sudah memiliki firasat tidak enak, mereka
bergegas meninggalkan kantor dan menuju rumah.
3. Masalah perekonomian setelah musibah bencana,
banyak hotel, kantor, pertokoan tutup karena
mengalami kehancuran gedung, dampaknya sangat
dirasakan oleh karyawan yang tidak dapat bekerja
kembali, sementara kebutuhan hidup tidak dapat
berhenti.
4. Korban terbanyak disebabkan keruntuhan gedung.
Efektivitas program penanggulangan bencana pada
akhirnya akan bergantung pada sejauh mana
pengetahuan yang didistribusikan bersinggungan
langsung dengan kebutuhan masyarakat. Orientasi setiap
program pengurangan bencana tidak lagi cukup dengan
menggunakan pengetahuan yang dimiliki oleh pemangku
kebijakan, namun juga mengintegrasikan pengetahuan
lokal dan budaya masyarakat.
Untuk keperluan mitigasi pra bencana khususnya bencana
yang diakibatkan oleh gempa bumi, berdasarkan analisis
kondisi fisik kawasan, dikaitkan dengan sikap dan
penilaian masyarakat terhadap lingkungan tempat
Adapatasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
145
tinggalnya. Secara umum memiliki kekhawatiran yang
tinggi terhadap potensi terjadi bencana gempa dan
persepsi yang kurang baik terhadap kondisi sarana dan
prasarana. Diperlukan penataan dan penyiapan fasilitas
untuk memberikan perlindungan terhadap warga kota dari
ancaman bencana dimasa yang akan datang. Dalam
situasi ini, mitigasi struktural dan kultural dapat
dilaksanakan sekaligus.
Kerentanan ekonomi mencerminkan besarnya risiko
terhadap bencana yang berdampak pada kerugian atau
hilangnya aset ekonomi, proses ekonomi yang telah
mapan menopang kesejahteraan ekonomi masyarakat
setempat. Akumulasi dari aktivitas penghunian dan
sebaran kawasan sosial ekonomi dengan intensitas yang
tinggi dan beragam menimbulkan dampak sosial-ekonomi
yang cukup besar jika terjadi bencana.
Pendekatan penataan ruang dilakukan melalui
pertimbangan-pertimbangan pada aspek-aspek
penggunaan ruang yang didasarkan pada perlindungan
terhadap keseimbangan ekosistem dan jaminan terhadap
Adapatasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
146
kesejahteraan masyarakat yang dilakukan secara
harmonis.
5.2. Adaptasi Masyarakat
Adaptasi pengertiannya merujuk kepada perubahan dalam
merespon suatu stimulus. Konsep ini merupakan
kebalikan dari adjustment yang merujuk kepada upaya
mengubah stimulus itu sendiri. Perubahan yang dilakukan
dalam upaya mitigasi kota rawan bencana, memerlukan
perubahan dalam respon. Dapat disimpulkan bahwa
adaptasi masyarakat dalam penataan ruang kota rawan
bencana dipengaruhi oleh:
a. Pemahaman masyarakat aspek fisik pada variabel
tersedianya tempat berlindung yang aman pada
saat kejadian bencana.
b. Pemahaman masyarakat aspek sosial pada variabel
tetap terpelihara kepedulian diantara sesama
masyarakat dan terpenuhinya rasa aman dalam
kegiatan bekerja dan pendidikan.
c. Pemahaman masyarakat aspek ekonomi pada
variabel lokasi tempat usaha dan akses yang
tersedia memberi kemudahan bagi masyarakat untuk
kegiatan ekonomi.
Adapatasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
147
d. Pemahaman masyarakat aspek budaya
menunjukkan bahwa kearifan lokal dan peran tokoh
masyarakat masih berpengaruh untuk tetap dapat
hidup serasi dengan lingkungan sosial dan
lingkungan alam.
e. Model Adaptasi masyarakat yang merupakan hasil
penelitian menunjukkan bahwa persepsi masyarakat
dipengaruhi oleh pemahaman terutama dalam aspek
sosial, informasi dalam perubahan tata ruang sebagai
implemantasi mitigasi, penyiapan sarana prasarana
meliputi jalur evakuasi, kapasitas jalur evakuasi,
ruang evakuasi dan petunjuk arahan pelaksanaan
mitigasi. Persepsi sangat mempengaruhi dan
menentukan kemampuan adaptasi masyarakat dalam
penataan ruang kota rawan bencana. Kemampuan
adaptasi masyarakat dalam perubahan penataan
ruang diharapkan dapat meningkatkan pemanfaatan
ruang kota rawan bencana sebagai kota yang
berkelanjutan.
Adaptasi merupakan tingkah laku penyesuaian (behavioral
adaptation) yang menunjuk pada tindakan. Adaptasi
terhadap lingkungan merupakan tingkah laku yang
Adapatasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
148
diulang-ulang, hal ini menimbulkan dua kemungkinan,
pertama adalah tingkah laku meniru yang berhasil
sebagaimana yang diharapkan, kedua adalah merupakan
mereka yang tidak mau melakukan peniruan karena yang
terjadi dianggap tidak sesuai dengan harapan.
Keberhasilan dalam tingkah laku meniru ini menimbulkan
terjadinya penyesuaian individu terhadap lingkungannya,
atau terjadi penyesuaian dengan keadaan lingkungan
pada diri individu. (Bell, 1996)
Pemahaman terhadap perubahan penataan ruang
mempengaruhi persepsi dan mempengaruhi adaptasi.
Peningkatan persepsi melalui peningkatan pengetahuan
dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana dan
mengurangi risiko bencana akan semakin baik apabila
sejalan dengan kesiapan penyediaan sarana prasarana
terkait mitigasi yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, terutama ketersediaan dan kapasitas yang
sesuai dalam penyediaan jalur evakuasi, ruang evakuasi.
Untuk menjadikan masyarakat di kota rawan bencana
dapat beradaptasi dengan baik dilakukan peningkatan
pemahaman. Peningkatan pemahaman masyarakat
Adapatasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
149
mengenai jenis dan karakteristik bencana, dampak
bencana dan berbagai mitigasi yang dilakukan pada saat
pra bencana, bencana dan pasca bencana. Peningkatan
pemahaman dilakukan melalui sosialisasi, penyuluhan,
pelatihan, simulasi yang terprogram dan terstruktur.
Peningkatan pemahaman harus diikuti dengan program
pemerintah dalam penyiapan sarana dan prasarana
terkait kebutuhan masyarakat. Peningkatan pemahaman
dan penyiapan sarana prasarana akan mendukung
persepsi masyarakat beradaptasi dalam kota rawan
bencana.
Dengan kapasitas masyarakat yang memiliki kearifan
lokal, diupayakan peran serta masyarakat dalam
pemeliharaan sarana dan prasarana dengan baik,
sehingga pada saat bencana sarana prasarana dapat
digunakan dengan seharusnya dan memberi manfaat
sebanyak-banyaknya kepada masyarakat. Pelaksanaan
mitigasi yang baik merupakan keterpaduan antara
mitigasi struktural dan mitigasi kultural.
Adapatasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
150
5.3. Keberlanjutan Kota
Interaksi antara manusia dan lingkungan merupakan
suatu proses alamiah yang menjadi dinamika
kelangsungan hidup. Perkembangan peradaban manusia
melalui bukti-bukti artifak dan teknologi yang dilandasi
oleh kebudayaan dan filosofi berfikirnya telah membentuk
pola kehidupan yang saat ini terjadi. Salah satu fenomena
penting dalam interaksi antara manusia dan lingkungan
adalah dampak-dampak yang ditimbulkan baik yang
merugikan unsur kehidupan manusia maupun bagi kondisi
daya dukung lingkungannya.
Ketidak berlanjutan kota dapat terukur berdasarkan
indikator-indikator yang dapat dirasakan pada kondisi
masyarakat. Khususnya pada masyarakat di wilayah yang
mengalami kerusakan, antara lain menurunnya
produktifitas, meningkatnya angka kemiskinan, tingkat
kesulitan sumber daya dalam mendukung kehidupan,
terutama makanan dan kualitas hidup.
Model adaptasi masyarakat dalam penataan ruang kota
rawan bencana mengkaitkan kegiatan mitigasi struktural
dan Kultural. Sebagai suatu keadaan, tata ruang
Adapatasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
151
mempunyai ukuran kualitas yang bukan semata
menggambarkan mutu tata letak dan keterkaitan hirarkis,
baik antar kegiatan maupun antar pusat, akan tetapi juga
menggambarkan mutu komponen penyusunan ruang.
Mutu ruang itu sendiri ditentukan oleh terwujudnya
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan pemanfaatan
ruang yang mengindahkan faktor daya dukung
lingkungan, fungsi lingkungan, lokasi, dan struktur
(keterkaitan jaringan infrastruktur dengan pusat
permukiman dan jasa).
Mitigasi kultural melalui pendekatan antropologi terhadap
respon perilaku individu dan organisasi terhadap bencana
memiliki kajian utama mengenai upaya masyarakat dalam
mengantisipasi kemungkinan buruk dari bencana. Dalam
kajian ini kebudayaan dilihat sebagai sistem adaptif yang
memfasilitasi masyarakat dalam mengantisipasi terjadinya
bencana. Perkembangan sistem religi, sistem
pengetahuan dan teknologi, mata pencaharian dan
organisasi sosial dilihat sebagai upaya penyesuaian
manusia terhadap kondisi lingkungannya, termasuk di
dalamnya melalui persepsi masyarakat mengenai potensi
bencana dalam lingkungan.
Adapatasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
152
Rambo (1996) menggambarkan hubungan antara
manusia dan lingkungan dalam bentuk hubungan
fungsional yang kemudian dikenalkan sebagai pendekatan
sosio-biofisik. Hubungan fungsional tersebut dapat
digambarkan dalam bentuk hubungan interaksi dan
interdependensi antara sistam alam (natural system) dan
sistem sosial (social system). Kedua sistem tersebut di
alam bertumpang-tindih karena setiap dinamika dalam
sistem sosial akan mempengaruhi dan juga dipengaruhi
oleh sistem alamnya. Interaksi dan interdependensi
merupakan prinsip utama ekologi, untuk mencapai
keadaan yang seimbang, harmoni dan berkelanjutan.
Keberlanjutan kota adalah kota yang memungkinkan
semua warganya memenuhi kebutuhan dan meningkatkan
kesejahteraannya, tanpa menurunkan kondisi lingkungan
alam atau kehidupan orang lain di masa kini dan di masa
depan (Girardet, 2004). Kondisi lingkungan alam kota
Padang sebagai kota rawan bencana tetap di pertahankan
dapat memenuhi kebutuhan warganya dan meningkatkan
kesejahteraan. Pripnsip-prinsip pembangunan
keberlanjutan kota menjadi pedoman dalam perencanaan
dan pembangunan. Pemahaman terhadap kondisi alam,
Adapatasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
153
tetap mempertahankan pembangunan dengan
mengedepankan informasi, peraturan dan penetapan
yang mengamankan masyarakatnya. Sehingga
keamanan, kenyaman dan kesejahteraan tetap menjadi
tujuan bersama.
Adapatasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
154
DAFTAR PUSTAKA Amos, R. 1982. Sacred Places, Sacred Occasions
and Sacred Environment. Bakornas PBP. 2002. Arahan Kebijakan Mitigasi
Bencana Perkotaan di Indonesia, Jakarta. Baum, A. 1985 Architectural and Social Behavior:
Psycological Studies of Social Density. Erlbaum, Hillsdale.
Blaikie,P., Cannon T., DavisI., Wisner B. 1994. At
Risk: Naturtal hazards, people’vulnerability, and disasters. London: Routledge.
Colombijn, F. 2006. Paco-Paco Kota Padang.Sejarah
Sebuah Kota di Indonesia pada Abad ke-20 dan Penggunaan Ruang Kota.Padang: Pusat Kajian Sosial Budaya dan Ekonomi (PKSBE) FIS UNP.
Dardak, H. 2005. Pemanfaatan Lahan Bebasis
Rencana Tata Ruang Sebagai Upaya Perwuju dan Ruang Hidup yang Nyaman, Produktif dan Berkelanjutan. Makalah Dirjen Penataan Ruang. Jakarta
Douglas, I. 1999. Physical Problem of the Urban
Environment. In M. Pacione, Applied
Adapatasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
155
geography: Principles and Practice (pp.124-134). London: Routledge.
Douglas, Y. B. 2004. Tesis Evaluasi Perencanaan
Desa dalam Membangun Kembali Lingkungan Pedesaan Pasca Bencana Alam Tsunami, PSIL, Jakarta
Girardet, H. (2004). Cities People Planet: Liveable
Cities for a Sustaunable City. Ashgate Publishing Ltd., Aldershot.
Halim, (2005). Persepsi dalam teori belajar, Ghalia
Indonesia, Jakarta. Hardesty, D. L. (1985). Ecological Anthropology. New
York: McGraw-Hill. Ishikawa, Mikiko. (2002). Landscape Planning for
aafe City. Annals Geophysics Journal, Vol 45 No. 6
Koestoer,H, R.,Tambunan, P,R.,Budianto, T, H., &
Sobirin. (2001). Dimensi Keruangan Kota: Teori dan Kasus. Jakarta: UI-Press.
Leitmann,J. (1999). Sustaining cities: Environmental
Planning And Management In Urban Design. McGraw-Hill, New York.
Marfa M.A. (2011). Kerawanan dan kemampuan
Adaptasi Masyarakat pesisir terhadap bahaya
Adapatasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
156
banjir genangan dan Tsunami: Integrasi Kajian Kebencanaan dan Sosial Budaya.
Marfai, M.A. & King, L. (2008).Coastal Flood
Management in Semarang, Indonesia, Environmental Geology, 55: 1507-1518.
Maskrey, A.(1989). Disatser Mitigation-A Community
Based Approach. London: Oxfam. Miller D., G. Roo.(2004). IntegretedCity Planning and
Environment Improvement, Practicable Strategies for Urban Development.Ashgate, Aldershot.
Moran E.F. (1982).Human Adaptability An
Introduction to Ecological Anthropology. Boulder, Colorado: Westview Press, Inc.
Nirupama, N., (2009). Analysis Of The Global
Tsunami Data For VulnerabilityandRisk Assessment. Natural HazardsNo. 48, 11-16.
Odum, E. P. (1996). Dasar-Dasar Ekologi,
(Terjemahan Ir. Tjahjono Samingan, Msc, FMIPA-IPB, Bogor). Gajahmada University Press.Yogyakarta .
. Oliver, Anthony & Smith.(1996). Anthropological
Research on Hazard and Disasters.Annual Review of Anthropology, Vol. 25.303-328.
Adapatasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
157
Padang Barat dalam angka tahun 2009. Peter G. (2003). Building Ecology- First Principle for a
Sustainable Built Environment, Blackwell Science Ltd.
Poerbo, H. (1999). Lingkungan Binaan untuk Rakyat,
Yayasan AKTIGA Poerwanto, Hari, (2000). Kebudayaan dan
Lingkungan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. PP No. 26. Tahun 2008 Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional Quarantelli, E. L, (1989). Conceptualizing Disasters
from a Sociological Perspective. International Journal of Mass Emergencies and Disaters, 7.
Rambo, (1996). Conceptual Approaches to Human.
East-West Centre. Honolulu: East-West Environment and Polisy Institute.
Robert P.,Ravetz C. G. (2009). Environment and the
City. Routledge, London. Respati, W. (2009).Kearifan Lokal dalam
Perencanaan dan Perancangan Kota, Untuk Mewujudkan Arsitektur Kota yang Berkelanjutan. Malang, GKAK, jurusan arsitek Ubner Malang.
Adapatasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
158
Respati, W. (2010). Mitigasi Bencana di Perkotaan; Adaptasi atau Antisipasi Perencanaan dan Perancangan Kota? (Potensi Kearifan Lokal Dalam Perencanaan dan Perancangan Kota untuk Upaya Mitigasi Bencana, Local Wisdom Journal, Vol II. No.1 Hal 18-29.
Salim, E. (2003), Membangun Ilmu Pembagunan
Berkelanjutan Sarwono, Wirawan, S. (1992). Psikologi Lingkungan.
Jakarta: Grasindo. SATKORLAK PB SUMBAR. (2009). Dampak Gempa
Bumi Sumatra Barat, Padang. Shaw, R. and Okazaki, K, (2003). Sustainability In
Grass-Roots Initiatives: Focus On Community Based Disaster Management. Kobe: UNCRD
Shaw, R. and Goda, K. (2004).From Disaster To
Sustainable Community Planning And Development, The Kobe.ExperiencesDisasters 28 (4)
Soemarwoto, Otto. (1992). EkologiLingkunganHidup
dan Pembangunan. Jakarta: Jambatan. Soerjani, M., Ahmad, R dan Munir, R. (1997).
Lingkungan: Sumberdaya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan. Jakarta: UI Press.
Adapatasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
159
Steinberg, F. (2007).Environmental Problems and
Sustainability. Habitat International, vol 31. Suganda, E. (2007). Penataan Ruang kawasan
Perkotaan pantai dalam Pembangunan Berkelanjutan (kasus Pulomerak-Bojonegara). Disertasi PSIL UI. Jakarta
Sugiman, T, Misumi, J., (1998). Development of New
Evacuation Method for Emergencies: Conyrol of Collective Behavior by Emergent Small Groups. Jurnal of AppledPsychology,vol 73, no.1,pp.3-10
Sugimoto, T., Murakami, H., Kozuki, Y., dan
Nishikawa, K., (2003).A Human Damage Prediction Method for Tsunami Disaster Incorporating Evacuation Activities.Natural HazardsNo. 29.
Sujarto, D., (2003), Pembangunan Kota Baru.
Gunung Agung, Jakarta. Surono. Peran Penataaan Ruang Dalam
Penanganan Bencana Alam. BKTRN, Januari 2005.
Tjahjati. B. (2010). Kebijakan Penataan Ruang
dalam Rangka Pembangunan Kota Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan, dipublikasikan dalam Seminar Nasional
Adapatasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
160
Lingkungan Penataan Ruang dan Keberlanjutan Kota, Program Pasca Sarjana IASTH UI.
Tsunozaki, E.(2006). Disaster Recontruction in
Japan: Lessons Learned from The Kobe Earthquake. Asian Disaster Reduction Center.
Twigg, J. and Bhatt, M, (1998). Understanding
Vulnerability: South Asian Perspectives.London: ITGD
Twigg J. (2007). Karakteristik Masyarakat yang tahan
bencana, Terjemahan Charactics of A disaster-Resilient Community, DFID Disaster Risk reduction Interagency Coordination Group.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang
penanggulangan Bencana Alam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang
Penataan Ruang. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Yunus, H S. (2000). Struktur Tata Ruang Kota.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Adapatasi Masyarakat Kota Rawan Bencana
161
Yusmar.Y. (1991). Psikologi Antarbudaya. Bandung:
Rosdakarya. Zein, M. (2010). A Community Based Approach to
Flood Hazard and Vulnerability Assessment in Flood Prone Area: A Case Study in Kelurahan Sewu, Surakarta City, Indonesia, Thesis, ITC, The Netherl.
Zein, M. Prinsip-prinsip Pembangunan Kota
Berkelanjutan, dipublikasikan dalam Seminar Nasional Lingkungan Penataan Ruang dan Keberlanjutan Kota, Program Pascasarjana IASTH UI.