Acute Flaccid Paralysis

55
BAB I. PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG Acute Flaccid Paralysis (AFP) didefinisikan sebagai paralysis atau kelemahan yang bersifat fokal dengan awitan akut dan dicirikan dengan terdapatnya flaksid (penurunan tonus) tanpa penyebab yang jelas dan sering terjadi pada anak dibawah usia 15 tahun. Banyak penyakit yang memberikan gejala AFP, diantaranya poliomielitis, miastenia gravis, sindrom Guillain Barre. Pada penyakit ini sering dijumpai gejala-gejala paresis flaksid yang dapat melibatkan fungsi respirasi dengan/tanpa mengenai medulla oblongata, arefleksis, kelemahan otot-otot proximal, kelemahan otot akibat kelelahan, disfungsi otonom dan gejala-gejala lainnya. Acute Flaccid Paralysis dapat disebabkan antara lain oleh kerusakan saraf tepi seperti sindrom Gullain Barre, Anterior horn cell disease seperti Poliomyelitis anterior akut, kelainan otot seperti poliomyositis, paralysis periodic, penyakit sistemik, myelopati akut dan gangguan transmisi neuromuskuler. 1.2 TUJUAN I.2.1 Tujuan Umum

description

AFP

Transcript of Acute Flaccid Paralysis

Page 1: Acute Flaccid Paralysis

BAB I.

PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG

Acute Flaccid Paralysis (AFP) didefinisikan sebagai paralysis atau kelemahan

yang bersifat fokal dengan awitan akut dan dicirikan dengan terdapatnya flaksid

(penurunan tonus) tanpa penyebab yang jelas dan sering terjadi pada anak dibawah

usia 15 tahun. Banyak penyakit yang memberikan gejala AFP, diantaranya

poliomielitis, miastenia gravis, sindrom Guillain Barre.

Pada penyakit ini sering dijumpai gejala-gejala paresis flaksid yang dapat

melibatkan fungsi respirasi dengan/tanpa mengenai medulla oblongata, arefleksis,

kelemahan otot-otot proximal, kelemahan otot akibat kelelahan, disfungsi otonom dan

gejala-gejala lainnya.

Acute Flaccid Paralysis dapat disebabkan antara lain oleh kerusakan saraf tepi

seperti sindrom Gullain Barre, Anterior horn cell disease seperti Poliomyelitis

anterior akut, kelainan otot seperti poliomyositis, paralysis periodic, penyakit

sistemik, myelopati akut dan gangguan transmisi neuromuskuler.

1.2 TUJUAN

I.2.1 Tujuan Umum

I.2.2 Tujuan Khusus

Page 2: Acute Flaccid Paralysis

BAB II.

KAJIAN PUSTAKA

II.1 Acute Flaccid Paralysis (AFP)

II.1.1 Definisi 1

Paralysis atau kelemahan yang bersifat fokal dengan awitan akut dan dicirikan

dengan terdapatnya flaksid (penurunan tonus) tanpa penyebab yang jelas dan sering

terjadi pada anak dibawah usia 15 tahun. Kerusakan dapat terjadi pada otot, saraf,

neuromuscular junction, otak, medulla spinalis, atau kornu anterior.

II.1.2 Etiologi 1,2

Peripheral Neuropathy

Sindrom Guillain Barre

Acute Axonal Neuropathy

Neuropathies of infectious diseases (diphtheria, Lyme disease)

Acute toxic neuropathies (logam berat, racun ular)

Gigitan hewan artropoda

Mononeuropati fokal

Anterior horn cell disease

Poliomyelitis anterior akut

Vaccine-associated paralytic polio

Virus neurotropik lain (enterovirus, herpesvirus)

Kelainan otot

Polimyositis, dermatomyositis

Trikinosis

Paralisis periodic

Penggunaan kortikosteroid dan blocking agents

Page 3: Acute Flaccid Paralysis

Penyakit mitokondria (tipe infantile)

Myositis post viral

Penyakit Sistemik

Porfiria akut

Neuropati penyakit kronik

Myopati akut pada pasien rawat ICU

Myelopati Akut

Cord compression

o Tumor

o Trauma

o Abses paraspinal

o Hematoma

o Malformasi vaskuler dengan trombosis / perdarahan

Demyelinating disease

o Multipel sclerosis

o Transverse myelitis

o Acute Disseminated Encephalomyelitis (ADEM)

Ischaemic cord damage

o Anterior spinal artery syndrome

o Komplikasi perioperatif

Kelainan transmisi neuromuscular

Myastenia Gravis

Botulisme

Insektisida (keracunan organofosfat)

Tick bite paralysis

Gigitan ular

Page 4: Acute Flaccid Paralysis

II.1.3 Manifestasi Klinis 3,4

Kuadriparesis flaksid simetris (melibatkan fungsi respirasi dengan / tanpa

mengenai medula oblongata) disertai arefleksia, dapat terjadi kehilangan

fungsi sensorik minimal seperti pada neuropati atau poliradikulopati akut

(misalnya, sindrom Guillain-Barre)

Kelemahan otot-otot proksimal yang simetris tanpa gejala atau tanda

kerusakan sensorik serta adanya refleks seperti pada neuropati akut

Kelemahan otot akibat kelelahan (diplopia, ptosis dan disfungsi medula

oblongata seperti pada miastenia gravis dan kerusakan neuromuskular lainnya)

Paraparesis flaksid dengan gangguan di tingkat sensorik (lebih sering

melibatkan tungkai bawah dan disfungsi kandung kemih) seperti pada sindrom

kauda ekuina, lesi medula spinalis setinggi vertebra torakal (misalnya mielitis

transversa, atau infark medula spinalis)

Kerusakan yang menganai medula oblongata seperti pada botulisme, miastenia

gravis, penyakit motorneuron (misalnya ALS atau penyakit Kennedy) atau

adanya lesi di pons.

Oftalmoplegia disertai kelemahan motorik, seperti pada varian Miller-Fischer

dari sindrom Guillain_barre (arefleksia), botulisme dan paralisis tik, miastenia

gravis.

Disfungsi otonom (seperti pada sindrom Guillain_barre), sindrom

paraneoplastik, keracunan organofosfat (rangsang kolinergik muskarinik yang

berlebihan) dan botulisme.

II.1.4 Pemeriksaan3,4

Pemeriksaan Fisik

Menilai distribusi dan derajat kelemahan

o Skor kelemahan otot (0-5)

o Periksa otot-otot ekstraokular (ptosis), otot-otot fasial, leher, lengan

dan tungkai

o Gambarkan pola kelemahan yang terjadi (paraparesis,multifokal)

Gangguan sensorik

Page 5: Acute Flaccid Paralysis

o Terhadap modalitas tertentu (getaran / propioseptif, nyeri / protopatik)

Refleks-refleks

o Adakah penurunan atau peningkatan refleks

Gambaran umum

o Tes fungsi otonom (refleks pupil, keringat yang abnormal, respons

pupil, ileus)

o Kulit : ruam pada penyakit lyme (eritema kronis migrans), garis-garis

kuku pada keracunan arsen (Mee’s Line), foto-sensitif dan tik

o Nyeri tekan spinal (pada abses epidural atau hematom, tumor spinalis)

o Nyeri saat tungkai diangkat (radikulopati)

Pemeriksaan Penunjang

Neuroimaging (kepala / medula spinalis)

Elektroforesis protein serum

Penapisan antibodi paraneoplastik (terutama anti-HU)

Tes elektrofisiologis (kecepatan hantar saraf dan EMG)

Tes tensilon / tes prostigmin (sesuai indikasi)

Sampel feses

a. Mengumpulkan satu sampel feses dalam 2 minggu setelah awal

terjadinya paralisis:

i. Penelitian viral

ii. Campilobakter.

b. Swap rectal dapat diambil jika tidak bisa mengumpulkan sampel feses.

Sampel serum

c. Sampel harus segera diambil untuk serologi polio.

d. Specimen serum kedua harus dikumpulkan 2 minggu kemudian jika

pasien mengalami onset akut penyakit atau 1 bulan kemudia jika

pasien mengalami fase konvalesen.

e. Sampel ditest untuk mencari titer antibody polivirus dan menilai IgG

dan IgM spesifik polio.

Swap nasofaringeal dan CSF dapat juga dikumpulkan untuk membantu

pemeriksaan.

Page 6: Acute Flaccid Paralysis

II.1.6 Penatalaksanaan 1,2,3,4

Urutan prioritas dalam penatalaksanaan acute flaccid paralysis adalah ABC

(Airway Breathing Circulation).

1. Pastikan saluran napas terjaga dan ventilasi cukup

2. Periksa tekanan darah / frekuensi nadi pada kasus bradi / takiaritmia

atau kegagalan otonom

3. Tatalaksana khusus sesuai penyakit yang didiagnosis

II.1.7 Diagnosis Banding 4,5

Diagnosis banding untuk kasus lumpuh layuh akut adalah infeksi virus polio,

infeksi virus non-polio (enterovirus 71, coxsackievirus A7, Japanese encephalitis

virus, West nile virus, tick borne encephalitis virus, virus rabies, dll), infeksi Borrelia,

Mikoplasma, Difteri, Botulismus, tetanus, neuropati (polineuropati inflamasi akut,

neuropati aksonal motor akut, keracunan logam berat), gangguan syaraf tulang

belakang (mielitis transversal akut, kompresi syaraf tulang belakang akut, trauma,

infark), miastenia gravis, dan gangguan otot (miositis).

Page 7: Acute Flaccid Paralysis

II.2 Poliomielitis

II.2.1 Definisi dan Terminologi

Penyakit polio adalah penyakit infeksi paralisis yang disebabkan oleh virus.

Agen pembawa penyakit ini sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV),

masuk kedalam tubuh melalui mulut dan menginfeksi saluran usus. Virus ini

dapat memasuki aliran darah dan masuk ke sistem saraf pusat yang

mengakibatkan terjadinya kelemahan otot dan terkadang menyebabkan

kelumpuhan. Infeksi virus polio terjadi didalam saluran pencernaan yang

menyebar ke kelenjar limfe regional terjadi sebagian kecil penyebaranya ke

sistem saraf. Sistem saraf yang diserang adalah saraf motorik otak bagian grey

matter dan kadang-kadang menimbulkan kelumpuhan.(6,7,8,9,10)

II.2.2 Etiologi

Poliomielitis disebabkan oleh infeksi virus dari genus enterovirus yang

dikenl sebagai poliovirus (PV). Virus yang tergolong virus RNA ini biasanya

berada di traktus digestivus. PV hanya menginfeksi dan menyebabkan

manifestasi penyakit pada manusia. Strukturnya sederhana, tersusun oleh satu

genom RNA yang terbungkus protein yang disebut capsid. Selain melindungi

materi genetic dari virus tersebut, protein capsid memungkinkan PV untuk

menyerang beberapa jenis sel lain.

Ada 3 serotipe yang telah diidentifikasi yakni tipe 1 (PV1, Bruhilde), tipe 2

(PV2, Lansing) dan tipe 3 (PV3, Leon). Masing-masing memiliki protein capsid

yang sedikit berbeda. Ketiganya sangat virulen dan menyebabkan gejala yang

sama. Walaupun demikian PV1 adalah strain yang paling sering ditemukan, dan

paling sering menyebabkan kelumpuhan.

Suatu infeksi poliomyelitis dapat disebabkan satu atau lebih tipe tersebut,

yang dapat dibuktikan dengan 3 macam zat anti dalam serum penderita. Epidemi

yang luas dan ganas biasanya disebabkan oleh Tipe 1, Tipe 3 menyebabkan

epidemic ringan, sedang Tipe 2 menyebabkan epidemic sporadic.

Page 8: Acute Flaccid Paralysis

Poliovirus menyebar dari Tractus Intestinal ke Sistem Saraf Pusat (SSP,

dimana mengakibatkan meningitis aseptic dan poliomyelitis. Poliovirus cukup

kuat dan bisa bertahan aktif selama beberapa hari dengan suhu kamar, dan bias

tersimpan dalam wujud beku -20oC. Poliovirus menjadi tidak aktif bila terkena

panas, formaldehid, klorin dan sinar ultraviolet. Virus ini juga tumbuh baik di

berbagai biakkan jaringan dan mengakibatkan efek sitopatik dengan cepat.

Virus ini dapat hidup dalam air untuk berbulan-bulan dan bertahun-tahun

dalam deep freeze. Dapat tahan terhadap banyak bahan kimia termasuk

sulfonamide, antibiotic (streptomisin, penisilin, kloromisetin), eter, fenol, dan

gliserin. Virus dapat dimusnahkan dengan cara pengeringan atau dengan

pemberian zat oksidator kuat seperti peroksida atau kalium permanganate.

Reservoir alamiah satu-satunya ialah manusia, walaupun virus juga terdapat

pada sampah atau lalat.

Masa inkubasi biasanya antara 7-10 hari, tetapi kadang-kadang terdapat

kasus dengan inkubasi antara 3-35 hari(7,9,11)

Gambar.1 Poliovirus

(diambil dari en.wikipedia.org/wiki/Poliomyelitis)

II.2.3 Epidemiologi

Infeksi virus polio terjadi di seluruh dunia, untuk Amerika Serikat

transmisi virus polio liar berhenti sekitar tahun 1979. Di Negara-negara Barat,

eliminasi polio global secara dramatis mengurangi transmisi virus polio liar di

seluruh dunia, kecuali beberapa Negara yang sampai saat ini masih ada transmisi

Page 9: Acute Flaccid Paralysis

virus polio liar yaitu India, Timur Tengah dan Afrika. Reservoir virus polio liar

hanya pada manusia, yang sering ditularkan oleh pasien infeksi polio yang tanpa

gejala.

Goar (1955) dalam uraiannya tentang poliomyelitis di Negara

berkembang dengan sanitasi yang kurang baik berkesimpulan bahwa pada

daerah-daerah tersebut epidemic poliomyelitis ditemukan pada 90% anak

bawah umur 5 tahun. Ini disebabkan penduduk telah mendapatkan infeksi atau

imunitas pada masa anak, sehingga seperti juga halnya Indonesia penyakit ini

jarang ditemui pada dewasa. Selama tahun 1953-1957 di bagian Ilmu Kesehatan

Anak FKUI-RSCM, dari 21 penderita, 67% diantaranya berusia 1-5 tahun.(8,12)

Dari tahun 1996 sampai tahun 2005 negara Indonesia pernah dikatakan

bebas polio, tetapi pada bulan maret tahun 2005 sebuah kasus AFP tercatat dan

dalam waktu 23 minggu virus terus menyebar ke 4 provinsi di Jawa dan 2

provinsi di Sumatra. Pada bulan April 2005 dilakukan isolasi terhadap virus ini

yang diambil dari pemeriksaan tinja dari penderita yang berada di daerah

Sukabumi, dan ditemukan merupakan virus polio liar tipe 1 yang merupakan

virus impor strain Nigeria yang masuk ke Indonesia melalui jalur Timur Tengah

dan juga menjadi penyebab terjadinya outbreak di Indonesia. Transmisi virus

polio liar tertinggi terjadi dari bulan Mei – Juni tahun 2005 dan transmisi rendah

mulai bulan Oktober 2005. Ditemukan jumlah kasus polio liar mencapai 305

penderita tersebar di 47 kabupaten. Selain itu juga ditemukan 46 kasus VDPV

dimana 45 kasus terjadi di Pulau Madura (4 kabupaten) dan 1 kasus di

probolinggo.

Setelah dilakukan upaya penguatan imunisasi rutin dan tambahan (PIN)

yang intensif, jumlah kasus polio liar menurun. Pada tahun 2006 hanya

ditemukan 2 kasus. Kasus terakhir (virus polio liar tipe 1) ditemukan di

Kabupaten Aceh Tenggara Provinsi Aceh dengan onset tanggal 2 Februari 2006.

Dua setengah tahun setelah kasus terakhir, belum ada lagi kasus baru yang

dilaporkan.(12,13,14)

Page 10: Acute Flaccid Paralysis

Gambar.2 Epidemiologi Poliomielitis (diambil dari

http://journals.cambridge.org/fulltext_content/ERM/ERM1_13/S14623994990

00848sup022.gif)

Sejak tahun 1980, Indonesia telah mengenal program imunisasi polio

dengan Oral Polio Vaccine (OPV). Dan sejak tahun 1990 telah mencapai UCI

(universal of child immunization).

Poliomielitis jarang ditemui pada usia kurang dari 6 bulan, mungkin

karena imunitas pasif yang didapat dari ibunya, walaupun poliomyelitis pada

bayi baru lahir pernah dilaporkan. Penyakit dapat ditularkan oleh karier sehat

atau kasus abortif. Bila virus prevalen pada suatu daerah, maka penyakit ini

dapat dipercepat penyebarannya dengan tindakkan operasi seperti tonsilektomi,

ekstraksi gigi yang merupakan port d’ entrée atau penyuntikkan.(9)

II.2.4 Patogenesis dan Patologi

Kerusakan saraf merupakan ciri khas poliomyelitis, virus berkembang biak

pertama kali didalam dinding faring atau saluran cerna bagian bawah, virus

tahan terhadap asam lambung, maka bisa mencapai saluran cerna bawah tanpa

melalui inaktivasi. Dari faring setelah bermultiplikasi, menyebar ke jaringan

limfe dan pembuluh darah. Virus dapat dideteksi pada nasofaring setelah 24 jam

sampai 3-4 minggu.

Dalam keadaan ini timbul: 1. perkembangan virus, 2. tubuh bereaksi

membentuk antibody spesifik. Bila pembentukkan zat anti tubuh mencukupi dan

Page 11: Acute Flaccid Paralysis

cepat maka virus dinetralisasikan, sehingga timbul gejala klinis yang ringan atau

tidak terdapat sama sekali dan timbul imunitas terhadap virus tersebut. Bila

proliferasi virus tersebut lebih cepat daripada pembentukkan zat anti, maka

akan timbul viremia dan gejala klinis.

Infeksi pada susunan saraf pusat terjadi akibat replikasi cepat virus ini.

Virus polio menempel dan berkembang biak pada sel usus yang mengandung

polioviruses receptor (PVR) dan telah berkoloni dalam waktu kurang dari 3 jam.

Sekali terjadi perlekatan antara virion dan replikator, pelepasan virion baru

hanya butuh 4-5 jam saja.

Virus yang bereplikasi secara local kemudian menyebar pada monosit dan

kelenjar limfe yang terkait. Perlekatan dan penetrasi bias dihambat oleh

secretory IgA local. Kejadian neuropati pada poliomyelitis merupakan akibat

langsung dari multiplikasi virus di jaringan patognomik, namun ridak semua

saraf yang terkena akan mati. Keadaan reversibilitas fungsi sebagian disebabkan

karena sprouting dan seolah kembali seperti sediakala dalam waktu 3-4 minggu

setelah onset., Terdapat kelainan dan infiltrasi interstisiel sel glia.(6,10)

Gambar.3 Patogenesis Poliomielitis (diambil dari

http://www.medindia.net/patients/patientinfo/images/poliomyelitis.gif)

Daerah yang biasanya terkena lesi pada poliomyelitis ialah:

1. medulla spinalis terutama kornu anterior

Page 12: Acute Flaccid Paralysis

2. Batang otak pada nucleus vestibularis dan inti-inti saraf cranial serta

formation retikularis yang mengandung pusat vital

3. serebelum terutama inti-inti pada vermis

4. Midbrain terutama masa kelabu, substantia nigra dan kadang-kadang

nucleus rubra

5. Talamus dan hipotalamus

6. palidum

7. Korteks serebri, hanya daerah motorik

Gambaran patologik menunjukkan adanya reaksi peradangan pada

system retikuloendotelial, terutama jaringan limfe, kerusakan terjadi pada sel

motor neuron karena virus ini sangat neurotropik, tetapi tidak menyerang

neuroglia, myelin atau pembuluh darah besar. Terjadi juga peradangan pada

sekitar sel yang terinfeksi sehingga kerusakkan sel makin luas. Kerusakan pada

sumsum tulang belakang, terutama terjadi pada anterior horn cell, pada otak

kerusakan terutama terjadi pada sel motor neuron formasi retikuler dari pons

dan medulla, nuclei vestibules, serebellum, sedang lesi pada korteks hanya

merusak daerah motor dan premotor saja. Pada jenis bulber, lesi terutama

mengenai medulla yang berisi nuclei motorik dari saraf otak. Replikasi pada sel

motor neuron di SSP akan menyebabkan kerusakan permanen.

Secara mendasar, kerusakan saraf merupakan cirri khas pada

poliomyelitis. Virus berkembang di dalam dinding faring atau saluran cerna

bagian bawah, menyebar masuk ke dalam aliran darah dan kelenjar getah bening

dan menembus dan berkembang biak di jaringan saraf. Pada saat viremia

pertama terdapat gejala klinik yang tidak spesifik berupa minor illness. Invasi

virus ke susunan saraf bias hematogen atau melalui perjalanan saraf. Tapi yang

lebih sering melalui hematogen. Virus masuk ke susunan saraf melalui sawar

darah otak (blood brain barrier) dengan berbagai cara yaitu :

Transport pasif dengan cara piknositosis

Infeksi dari endotel kapiler

Dengan bantuan sel mononuclear yang mengadakan transmisi ke dalam

susunan saraf pusat.

Page 13: Acute Flaccid Paralysis

Kemungkinan lain melalui saraf perifer, transport melalui akson atau

penyebaran melalui jaras olfaktorius.(6,8,9,10)

II.2.5 Gejala Klinis

Tanda-tanda klinis yang timbul akan sesuai dengan kerusakan anatomic

yang terjadi. Biasanya, masa inkubasin adalah 3-6 hari, dan kelumpuhan terjadi

dalam waktu 7-21 hari. Replikasi di motor neuron terutama terjadi di sumsum

tulang belakang yang menimbulkan kerusakan sel dan kelumpuhan serta atrofi

otot, sedng virus yang berbiak di batang otak skan menyebabkan kelumpuhan

bulbar dan kelumpuhan pernafasan.

Pada setiap anak yang datang dengan panas disertai dengan kesulitan

menekuk leher dan punggung, kekakuan otot yang diperjelas dengan tanda head

drop, tanda tripod saat duduk, tanda brudzinsky dan Kernique, harus dicurigai

adanya poliomyelitis.(13,14)

Infeksi virus polio pada manusia sangat bervariasi, dari gejala yang ringan

sampai terjadi paralysis. Infeksi virus polio dapat diklasifikasikan menjadi minor

illnesses (gejala ringan) dan major illnesses (gejala berat, baik paralitik, maupun

non-paralitik). Gejala lumpuh layuh (paralisis) yang dapat ditemukan pada anak,

gejalanya bervariasi antara lain :

a) Berjalan pincang atau tidak dapat berjalan

b) Tidak dapat meloncat menggunakan satu kaki

c) Tidak dapat berjongkok lalu berdiri lagi

d) Tidak dapat berjalan pada ujung jari atau tumit

e) Tidak dapat mengangkat kakinya saat ditempat tidur

f) Terasa lemas, tidak ada tahanan

g) Kaki mengecil (atrofi otot)

Page 14: Acute Flaccid Paralysis

Gambar 4. Gejala klinis poliomyelitis

(http://www.medindia.net/patients/patientinfo/images/poliomyelitis.gif)

Minor Illnesses

1. Asimtomatis (silent infection)

Setelah masa inkubasi 7-10 hari, karena daya tahan tubuh maka tidak

terdapat gejala klinis sama sekali. Pada suatu epidemic diperkirakan

terdapat pada 90-95% penduduk dan menyebabkan imunitas terhadap

virus tersebut. Merupakan proporsi kasus terbanyak (72%).

2. Poliomielitis abortif

Diduga secara klinis hanya pada daerah yang terserang epidemic,

terutama yang diketahui kontak dengan penderita poliomyelitis yang

jelas. Diperkirakan terdapat 4-8% penduduk pada suatu epidemi. Timbul

mendadak, berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Biasanya

sekitar 2-10 hari. Gejala berupa infeksi virus, seperti malaise, anoreksia,

nausea, muntah, nyeri kepala, nyeri tenggorok, konstipasi dan nyeri

abdomen. Diagnosis pasti hanya bias dengan menemukan virus di biakan

jaringan.

Page 15: Acute Flaccid Paralysis

Diagnosis banding : influenza atau infeksi bakteri daerah nasofaring

Major Illnesses

1. Poliomielitis non-paralitik (Meningitis Aseptik Non-paralitik)

Gejala klinis sama dengan poliomyelitis abortif, hanya nyeri kepala,

nausea dan muntah lebih berat. Gejala-gejala ini timbul 1-2 hari, kadang-

kadang diikuti penyembuhan sementara untuk kemudian remisi demam

atau masuk dalam fase kedua dengan nyeri otot. Khas untuk penyakit ini

adalah adanya nyeri atau kaku otot belakang leher, tubuh dan tungkai

dengan hipertonia mungkin disebabkan oleh lesi pada batang otak,

ganglion spinal dan kolumna posterior. Bila anak berusaha duduk dari

posisi tidur, maka ia akan menekuk kedua lutut ke atas sedangkan kedua

tangan menunjang kebelakang pada tempat tidur (Tripod sign) dan

terlihat kekakuan otot spinal oleh spasme, Kaku kuduk terlihat secara

pasif dengan Kernig dan Brudzinsky yang positif. “Head drop” yaitu bila

tubuh penderita ditegakkan dengan menarik pada kedua ketiak sehingga

menyebabkan kepala terjatuh ke belakang. Refleks tendon biasanya tidak

berubah dan bila terdapat perubahan maka kemungkinan akan terdapat

poliomyelitis paralitik. Diagnosis Banding dengan meningitis serosa,

meningismus, tonsillitis akut yang berhubungan dengan adenitis

servikalis.

2. Poliomielitis paralitik

Gejala yang terdapat pada poliomyelitis non-paralitik disertai kelemahan

satu atau lebih kumpulan otot skelet atau cranial. Timbul paralysis akut.

Pada bayi ditemukan paralysis vesika urinaria dan atonia usus.

Secara klinis dapat dibedakan beberapa bentuk sesuai dengan tingginya

lesi pada susunan saraf :

a. Bentuk spinal

Dengan gejala kelemahan/paralysis/paresis otot leher, abdomen,

tubuh, diafragma, toraks dan terbanyak ekstremitas bawah. Tersering

otot besar, pada tungkai bawah otot kuadriceps femoris, pada lengan

otot deltoideus. Sifat paralisis asimetris. Refleks tendon

mengurang/menghilang. Tidak terdapat gangguan sensibilitas.

Page 16: Acute Flaccid Paralysis

Gambar. 5 Letak motor neuron pada kornu anterior Medulla Spinalis

(diambil dari en.wikipedia.org/wiki/Poliomyelitis)

Diagnosis banding :

Pseudoparalisis non neurogen : tidak ada kaku kuduk, tidak

ada pleiositosis. Disebabkan oleh trauma/kontusio, demam

reumatik akut, osteomielitis.

Polyneuritis: gejala para plegi dengan gangguan sensibilitas,

dapat dengan paralysis palatum molle dan gangguan otot bola

mata

Poliradikuloneuritis (Sindrom Guillain Barre): Biasanya diawali

demam, paralysis tidak akut tapi perlahan-lahan, bilateral

simetris, pada fase permulaan likuor serebrospinalis SGB

protein meningkat sedangkan Poliomielitis pleiositosis, SGB

bias sembuh tanpa gejala sisa, SGB ada gangguan sensorik

Miopatia (kelainan progresif dari otot-otot dengan paralysis

dan kelelahan disertai rasa nyeri).(7,12,13)

Gambar. 6 Gambar penderita Poliomielitis

(diambil dari en.wikipedia.org/wiki/Poliomyelitis)

Page 17: Acute Flaccid Paralysis

b. Bentuk bulbar

terjadi akibat kerusakan motorneuron pada batang otak sehingga

terjadi insufisiensi pernafasan, kesulitan menelan, tersedak, kesulitan

makan, kelumpuhan pita suara dan kesulitan bicara. Saraf otak yang

terkena adalah saraf V, IX, X, XI dan kemudian VII. Sebagaimana

kelainan saraf lainnya, tidak dapat digantikan atau diperbaiki.

Perbaikan secara klinik terjadi akibat kerja neuron yang rusak akan

diambil oleh neuron yang berdekatan (sprouting) atau alih fungsi oleh

otot lain atau perbaikan sisa otot yang masih berfungsi.

Gangguan motorik satu atau lebih saraf otak dengan atau tanpa

gangguan pusat vital yakni pernafasan dan sirkulasi

Gambar.7 Lokasi dari region bulbar

(diambil dari en.wikipedia.org/wiki/Poliomyelitis)

c. Bentuk bulbospinal

Didapatkan gejala campuran antara bentuk spinal dan bentuk bulbar

d. Bentuk ensefalitik

Dapat disertai gejala delirium, kesadaran yang menurun, tremor dan

kadang-kadang kejang.(11,12)

II.2.6 Diagnosis

Diagnosis polio dibuat berdasarkan:

Pemeriksaan virologik dengan cara membiakkan virus polio baik yang liar

maupun vaksin. Virus poliomyelitis dapat diisolasi dan dibiakkan secara

biakan jaringan dari apus tengorok, darah, likuor serebrospinalis dan

feses.

Page 18: Acute Flaccid Paralysis

Pengamatan gejala dan perjalanan klinik.

Banyak sekali kasus yang menunjukkan gejala lumpuh layu yang

termasuk Acute Flaccid Paralysis. Bisa dilihat dari gejala-gejala klinis

diatas. Cara menegakkannya ialah dengan menambahkan pola neurologik

yang khas seperti kelumpuhan proksimal, unilateral, tidak ada gangguan

sensori.

Pemeriksaan khusus

Pemeriksaan hantaran saraf dan elektromiografi dapat merujuk secara

lebih tepat kerusakan saraf secara anatomic. Cara ini akan dapat

mempermudah memisahkan polio dengan kelainan lain akibat

demielinisasi pada saraf tepi, sehingga boisa membedakan polio dengan

kerusakan motor neuron lainnya misalnya Sindrom Guillain-Barre.

Pemeriksaan lain seperti MRI dapat menunjukkan kerusakkan di daerah

kolumna anterior.

Pemeriksaan Residual Paralisis

Dilakukan 60 hari setelah kelumpuhan, untuk mencari deficit neurologik.(12-15)

II.2.7 Pemeriksaan Penunjang

Diambil dari daerah faring atau tinja pada orang yang dicurigai terkena

poliomyelitis. Isolasi virus dari cairan serebrospinal sangat diagnostic,

tetapi hal itu jarang dikerjakan. Dalam pengumpulan spesimen tinja

tergantung dari lamanya kelumpuhan kasus AFP.

Spesimen tinja harus sudah diambil dalam waktu <14 hari setelah

kelumpuhan, untuk mencegah terjadinya spesimen yang tidak adekuat

dan dilakukan 2 kali dengan tenggang waktu antara keduanya minimal 24

jam. Suatu kasus AFP didiagnosa polio apabila :

- Ditemukan virus polio liar

- Tidak ditemukan virus pada spesimen tetapi terdapat paralisis

residual setelah kunjungan ulang 60 hari (polio kompatibel)

- Penderita meninggal sebelum kunjungan 60 hari.

Pada kasus AFP dengan spesimen yang tidak adekuat atau hasil

laboratorium negatif maka belum bisa dipastikan kasus tersebut bukan

Page 19: Acute Flaccid Paralysis

polio untuk itu perlu dikumpulkan informasi penunjang klinis pada KU

(kunjungan ulang) setelah 60 hari dan pemeriksaan ulang.

Bila virus polio dapat diisolasi dari seorang dengan paralysis flaccid akut

harus dilanjutkan dengan pemeriksaan oligonucleotide mapping atau

genomic sequencing. Untuk menentukkan apakah virus termasuk virus

liar atau vaksin.

Mengukur serologis zat anti

Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada infeksi virus polio, umumnya

terjadi kenaikan jumlah sel leukosit (10-200 sel/mm3, sebagian besar

limfosit) dan terjadi peningkatan kadar protein ringan (40-50

mg/100ml).(6-8)

II.2.8 Terapi dan Pengobatan

Tidak ada obat untuk polio, hanya bisa dicegah dengan imunisasi. Vaksin

polio, diberikan beberapa kali, hampir selalu melindungi anak-anak seumur

hidup. Imunisasi lengkap sangat mengurangi risiko terkena polio paralitik.

Mengenai vaksin polio akan dibahas di bab berikutnya. Tidak ada antivirus yang

efektif melawan poliovirus. Terapi utamanya adalah suportif.(7)

Tujuan pengobatan adalah mengontrol gejala selagi infeksi berlangsung.

Dalam kasus-kasus tertentu, beberapa membutuhkan tindakan lifesaving ,

terutama bantuan nafas.

Berikut pengobatan non spesifik untuk setiap manifest klinis dari polio

1. Silent infection : istirahat

2. Poliomielitis abortif : istirahat 7 hari, bila tidak terdapat gejala apa-apa,

aktifitas dapat dimulai lagi. Sesudah 2 bulan dilakukan pemeriksaan lebih

teliti terhadap kemungkinan kelainan musculoskeletal.

3. Poliomielitis paralitik/non-paralitik : istirahat mutlak sedikitnya 2

minggu; perlu pengawasan yang teliti karena setiap saat dapat terjadi

paralysis pernafasan.

Pengobatan sesuai dengan gejalanya, meliputi :

a. fase akut

Antibiotik untuk mencegah infeksi pada otot yang flaccid

Page 20: Acute Flaccid Paralysis

Analgetik untuk mengurangi nyeri kepala, myalgia, dan spasme

Antipiretik untuk menurunkan suhu.

Foot board, papan penahan pada telapak kaki, agar kaki terletak pada

sudut yang tetap terhadap tungkai

Bila terjadi paralysis pernafasan seharusnya dirawat di unti

perawatan khusus karena penderita memerlukan bantuan pernafasan

mekanis.

Pada poliomyelitis tipe bulber kadang-kadang refleks menelan

terganggu dengan bahaya pneumonia aspirasi. Dalam hal ini kepala

anak diletakkan lebih rendah dan dimiringkan ke salah satu sisi.

b. fase post-akut

kontraktur, atrofi dan atoni otot dikurangi dengan fisioterapi.

Tindakkan ini dilakukan setelah 2 minggu. Penatalaksanaan fisioterapi

yang dilakukan :

- Heating dengan menggunakan IRR ( infra red radiation )

- Exercise (active/passive) terutama pada ekskremitas yang mengalami

kelemahan atau kelumpuhan

- Breathing exercise jika diperlukan

- Bila perlu pemakaian braces, bidai, hingga operasi ortopedik.(11)

II.2.9 Prognosis

Hasil akhir dari penyakit ini tergantung bentuknya dan letak lesinya. Jika

tidak mencapai korda spinalis dan otak, maka kesembuhan total sangat mungkin.

Keterlibatan otak dan korda spinalis bisa berakibat pada paralysis atau kematian

(biasanya dari kesulitan bernafas). Secara umum polio lebih sering

mengakibatkan disabilitas daripada kematian.

Pasien dengan polio abortif bisa sembuh sepenuhnya . Pada pasien

dengan polio non-paralitik atau aseptic meningitis, gejala bisa menetap selama

2-10 hari, lalu sembuh total.(13-14)

Pada bentuk paralitik bergantung pada bagian yang terkena. Pada kasus

polio spinal, sel saraf yang terinfeksi akan hancur sepenuhnya, paralysis akan

permanent. Sel yang tidak hancur tapi kehilangan fungsi sementara akan kembali

Page 21: Acute Flaccid Paralysis

setelah 4-6 minggu setelah onset. 50% dari penderita polio spinal sembuh total,

25% dengan disabilitas ringan, 25% dengan disabilitas berat. Perbedaan residual

paralysis ini tergantung derajat viremia, dan imunitas pasien. Jarang polio spinal

yang bersifat fatal. Bentuk spinal dengan paralysis pernafasan dapat ditolong

dengan bantuan pernafasan mekanik. Tanpa bantuan ventilasi, kasus yang

melibatkan system pernafasan, menyebabkan kesulitan bernafas atau

pneumonia aspirasi. Keseluruhan, 5-10% pasien dengan polio paralysis

meninggal akibat paralysis otot pernafasan. Angka kematian bervariasi

tergantung usia 2-5% pada anak-anak, dan hingga 15-30% pada dewasa.

Tipe bulbar prognosisnya buruk, kematian biasanya karena kegagalan

fungsi pusat pernafasan atau infeksi sekunder jalan nafas. Polio bulbar sering

mengakibatkan kematian bila alat bantu nafas tidak tersedia. Dengan alat bantu

nafas angka kematian berkisar antara 25-50%. Bila ventilator tekanan positif

tersedia angka kematian bisa diturunkan hingga 15%.Otot-otot yang lumpuh dan

tidak pulih kembali menunjukkan paralysis tipe flasid dengan atonia, arefleksia,

dan degenerasi.

Komplikasi residual paralysis tersebut ialah kontraktur terutama sendi,

subluksasio bila otot yang terkena sekitar sendi, perubahan trofik oleh sirkulasi

yang kurang sempurna hingga mudah terjadi ulserasi. Pada keadaan ini

diberikan pengobatan secara ortopedik.(11,12)

Post Polio Syndrome (PPS)

Sekitar 25% individual yang pernah mengalami polio paralitik

mendapatkan gejala tambahan beberapa decade setelah sembuh dari infeksi

akut, merupakan bentuk manifestasi lambat (15-40 tahun) sejak infeksi akut.

Gejala utamanya kelemahan otot, kelelahan yang ekstrem, paralysis rekuren atau

paralysis baru, nyeri otot yang luar biasa. Kondisi ini disebut post polio

syndrome (PPS). Gejala PPS diduga akibat kegagalan pembentukan over-sized

motor unit pada tahap penyembuhan dari fase paralitiknya. Walau demikian

bagaimana patogenesisnya masih belum diketahui. Faktor yang meningkatkan

resiko PPS antara lain jangka waktu sejak infeksi akutnya, kerusakan residual

permanent setelah penyembuhan dari fase akut, dan kerja neuron yang

berlebihan.(8,9)

Page 22: Acute Flaccid Paralysis

II.2.10 Vaksin dan Eradikasi Polio (ERAPO)

Eradikasi Polio

Setelah pada penelitian ditemukan bahwa host dari virus polio hanya manusia

sedangkan virus polio liar tidak bertahan lama di lingkungan. Selain itu telah

ditemukan vaksin yang poten dan telah menyebar luas pada pertengahan

1950 yang mengakibatkan penurunan drastic insidensi polio di negara-negara

maju. Dan dinyatakan juga bahwa OPV memiliki efek terhadap komunitas

(community effect). Maka menjadi memungkinkan untuk dilakukan eradikasi

terhadap penyakit ini. Sehingga usaha global untuk eradikasi polio dimulai

pada tahun 1988, dipimpin oleh World Health Organization, UNICEF, dan The

Rotary Foundation. Eradikasi dilakukan dengan cara.

1. Imunisasi rutin dengan cakupan diatas 90%

Cakupan imunisasi harus mencapai lebih dari 90% untuk kelompok anak

dibawah 1 tahun. WHO menganjurkan diberikan vaksin polio oral sebanyak 5

kali. Cakupan yang tinggi ini akan menekan angka kesakitan polio pada

tingkat yang rendah dan menyiapkan negara tersebut untuk fase eradikasi.

Cakupan tinggi juga harus berkesinambungan dan dipertahankan oleh negara

yang telah bebas polio sampai seluruh dunia bebas dari polio, agar negara

tersebut dapat bertahan terhadap virus liar yang berasal atau dibawa dari

negara lain.

2. Pekan Imunisasi Nasional (PIN)

Imunisasi massal dapat dilakukan secara serentak pada semua anak dibawah

5 tahun dengan dua putaran imunisasi dengan selang waktu empat minggu.

Gerakan ini dilakukan pada saat transmisi polio paling rendah dan kekebalan

populasi ternyata lebih tinggi dari kekebalan populasi imunisasi rutin.

3. Surveilans Acute Flaccid Paralysis

Surveilans AFP atau lumpuh layuh akut eradikasi membutuhkan metode

surveilans yang sensitif dan mampu mendeteksi adanya kasus polio

dimanapun di dunia. Surveilans AFP bertujuan untuk mendeteksi virus polio

liar dan meningkatkan sistem pelacakan dan pelaporan nasional suatu negara.

Page 23: Acute Flaccid Paralysis

Kasus polio tidak dapat dideteksi secara klinis saja, maka WHO menyarankan

laboratory based AFP surveilans untuk keperluan eradikasi. Surveilans ini

mencakup deteksi semua AFP dibawah usia 15 tahun dan kasus harus diteliti

secara klinik dan epidemiologik dengan cepat, sampel tinja dikumpulkan

secukupnya dengan selang waktu 24 jam dan dikirim dalam keadaan dingin

ke laboratorium. Virus yang ditemukan harus dibedakan apakah virus liar

atau virus vaksin. Minimal harus dilakukan pelacakan pada 1 kasus AFP setiap

tahun-nya untuk setiap 100.000 anak dibawah 15 tahun.

4. Mopping-up

Artinya tindakan vaksinasi massal terhadap anak dibawah usia 5 tahun

didaerah ditemukanya penderita polio tanpa melihat status imunisasi polio

sebelumnya. Tampaknya di era globalisasi dimana mobilitas penduduk antar

negara sangat tinggi dan cepat, muncul kesulitan untuk mengendalikan

penyebaran virus ini. Selain pencegahan dengan vaksinasi polio tentu harus

disertai dengan peningkatan sanitasi lingkungan dan sanitasi perorangan.

Penggunaan jamban keluarga, air bersih yang memenuhi persyaratan

kesehatan serta memelihara kebersihan makanan merupakan upaya

pencegahan dan mengurangi resiko penularan virus ini. Menjadi salah satu

keprihatinan dunia bahwa kecacatan yang ditimbulkan akibat infeksi virus ini

menetap dan tidak bisa disembuhkan atau tidak ada obat yang dapat

menyembuhkan polio.

Usaha ini telah mengurangi jumlah kasus terdiagnosa setahun hingga

99%, yaitu dari 350.000 pada 1988, hingga 1.310 kasus pada tahun 2007. Ini

merupakan kali kedua umat manusia berhasil mengeradikasi sepenuhnya suatu

penyakit. Yang pertama adalah smallpox, yang telah tereradikasi tahun 1979.

Sekarang banyak bagian dunia yang bebas polio. Amerika Serikat menyatakan

bebas polio tahun 1994. pada tahun 2000, 36 negara-negara pasifik barat

termasuk Cina dan Australia dinyatakan bebas polio. 2002, Eropa dinyatakan

bebas polio. Hingga 2006, polio masih endemic hanya di 4 negara : Nigeria, India,

Pakistan, dan Afganistan.

Page 24: Acute Flaccid Paralysis

Di Indonesia sendiri program eradikasi dimulai dengan PIN tiga tahun

berturut-turut tahun 1995, 1996, 1997 dan sejak 1995 tidak ada kasus lagi

selama 10 tahun. Tahun 2005 sempat ditemukan lagi kasus yang berawal dari

lingkungan padat di Sukabumi. Yang menyebar cepat keseluruh Indonesia.

Kembali dilakukan PIN dan pengetatan surveilans dan wabah teratasi, kasus

terakhir adalah kasus dari Aceh Tenggara, April 2006.(6,7,13,14)

Vaksin Polio

Tahun 1952 dan 1953, Amerika Serikat mengalami ledakan jumlah kasus

sebanyak 58.000 dan 35.000 kasus, dari angka sebelumnya 20.000 per tahun.

Menanggapinya, Pemerintah menginvestasikan jutaan dolar untuk menemukan

dan memasarkan vaksin polio.

Hilary Koprowsky, mengklaim telah menemukan vaksin polio tahun 1950.

Vaksinnya yang berisi virus hidup yang dilemahkan yang dikonsumsi secara oral

(OPV) masih dalam tahap penelitian dan belum siap dipakai sampai 5 tahun

setelah vakin polio Jonas Salk (injectable polio vaccine, IPV) dikonsumsi public.

Vaksin OPV adalah adalah virus yang dilemahkan, yang bisa mengalami

mutasi sebelum dapat bereplikasi dalam usus dan diekskresi keluar. Meskipun

sangat jarang, selain mutasi bisa bersifat mutasi positif kearah virus yang lebih

lemah, namun bisa juga terjadi mutasi negative (back mutation) kembali kearah

neurogenik dan menimbulkan kerusakan di cornu anterior seperti infeksi virus

polio liar. Kenyataan ini memicu perlunya imunisasi dengan inactivated polio

virus (IPV).8

OPV lebih efektif dalam pemberantasan poliomyelitis dibandingkan virus

yang inaktivasi. Sesudah pemberian vaksin OPV, maka virus yang dilemahkan

tersebut akan bereplikasi di traktus gastrointestinalis bagian bawah. OPV dapat

menutup PVR sehingga virus lain tidak bisa menempel dan menyebabkan

kelumpuhan kelumpuhan. Kemampuan ini menekan transmisi virus pada saat

wabah. IPV sangat mampu mencegah kelumpuhan karena menghasilkan

antibody netralisasi yang tinggi, namun tidak mempunyai efek menekan

transmisi.

a) Oral Polio Vaccine (OPV)

Vaksin ini dibuat dengan virus polio yang dilemahkan. Vaksin ini

digunakan secara rutin sejak bayi lahir dengan 2 tetes oral. Virus vaksin ini

Page 25: Acute Flaccid Paralysis

kemudian menempatkan diri di bawah usus dan memacu pembentukkan

antibody baik dalam darah maupun epithelium usus, yang menghasilkan

pertahanan local terhadap virus polio liar yang dating masuk kemudian. Maka

frekuensi ekskresi polio virus liar di masyarakat bisa dikurangi. Vaksin bertahan

dalam tinja hingga 6 minggu setelah pemberian.

Gambar 8a. Pemberian Imunisasi OPV

Gambar. 8b Kemasan OPV

(diambil dari en.wikipedia.org/wiki/Poliomyelitis)

Vaksin ini harus disimpan tertutup pada suhu 2-8oC. dapat disimpan beku

pada temperature <-20oC. Keputusan WHO, vaksin ini boleh digunakan multidose

dengan syarat :

a. tanggal kedaluwarsa tidak terlampaui

b. vaksin-vaksin disimpan dalam rantai dingin (2-8oC)

c. botol vaksin yang telah terbuka yang terpakai hari itu telah

dibuang oleh petugas Puskesmas.

Vaksin Polio oral diberikan pada bayi baru lahir sebagai dosis awal, sesuai

PPI dan ERAPO tahun 2000. Kemudian diteruskan dengan imunisasi dasar mulai

umur 2-3 bulan yang diberikan tiga dosis terpisah dengan interval 6-8 minggu.

Satu dosis sebanyak 2 tetes (0.1 ml) diberikan per oral pada umur 2-3 bulan

dapat diberikan bersama vaksin DPT dan Hib.

b) Inactivated Polio Vaccine (IPV)

Vaksin tipe ini berisi PV 1,2,3 yang dibiakkan pada sel-sel vero ginjal kera

dan diinaktivasi dengan formaldehid. Pada vaksin tersebut juga ada neomisin,

Page 26: Acute Flaccid Paralysis

streptomisin dan polimiksin B. Vaksin harus disimpan pada suhu 2-8oC dan tidak

boleh dibekukan. Dosis 0.5 ml dengan suntikkan subkutan dalam 3 kali berturut-

turut dengan jarak 2 bulan antara masing-masing dosis akan memberikan

imunitas jangka panjang (mucosal maupun humoral).

Imunitas mucosal yang ditimbulkan oleh IPV lebih rendah dibandingkan

dengan yang ditimbulkan OPV.(6,7,11)

Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI)

Kasus poliomyelitis yang berkaitan dengan vaksin telah dilaporkan terjadi

pada resipien (VDPV=vaccine derived polio virus) atau kontak (VAPP=vaccine

associated polio paralytic). Diperkirakan terdapat satu kasus poliomyelitis

paralitik yang berkaitan dengan vaksin terjadi setiap 2.5 juta dosis OPV yang

diberikan. Risiko terjadi paling sering pada pemberian dosis pertama dibanding

dosis berikutnya. Risiko yang relative kecil pada poliomyelitis yang ditimbulkan

pemberian OPV ini tidak boleh diremehkan, namun tidak cukup untuk

mengadakan perubahan terhadap kebijakan imunisasi, karena vaksinasi tersebut

terbukti sangat berguna. Setelah vaksinasi, sebagian kecil resipien dapat

mengalami gejala pusing, diare ringan, nyeri otot.

Kejadian ikutan pasca janin belum pernah dilaporkan, namun OPV jangan

diberikan pada ibu hamil empat bulan pertama kecuali terdapat alasan

mendesak misalnya berpergian ke daerah endemis poliomyelitis.(7,9,11)

II.3 Sindrom Gullain Barre

II.3.1 Definisi

Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan

tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri

dengankarekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang

sifatnyaprogresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris,

otonom,maupun susunan saraf pusat. SGB merupakan Polineuropati akut, bersifat

simetris dan ascenden, yang,biasanya terjadi 1 – 3 minggu dan kadang sampai 8

minggu setelah suatu infeksi akut.15

Page 27: Acute Flaccid Paralysis

SGB merupakan Polineuropati pasca infeksi yang menyebabkan terjadinya

demielinisasi saraf motorik kadang juga mengenai saraf sensorik.

SGB adalah polineuropati yang menyeluruh, dapat berlangsung akut atau

subakut, mungkin terjadi spontan atau sesudah suatu infeksi

SGB mempunyai banyak sinonim, antara lain :16

Polineuritis akut pasca infeksi

Polineuritis akut toksik 

Polineuritis febril

Poliradikulopati,dan

Acute Ascending Paralysis

II.3.2 Epidemiologi

Sepuluh studi melaporkan kejadian pada anak-anak (0-15tahun) dan menemukan

kejadian tahunan menjadi antara 0,34, dan 1.34/100 000. Kebanyakan penelitian

menyelidiki populasi di Eropa dan Amerika Utara dan melaporkan angka kejadian

serupa tahunan , yaitu antara 0,84 dan 1.91/100, 000. Rata-rata pertahun 1-3/100.000

populasi dan perempuan lebih sering terkena daripada laki-laki dengan perbandingan

rasio perempuan : laki-laki = 1,5 : 1 untuk semua usia. Penurunan insiden selama

waktu antara tahun 1980-an dan 1990-an ditemukan. Sampai dengan70% dari kasus

Sindroma Guillain Barre disebabkan oleh infeksi anteseden. Inflamasi akut

demielinasi poliradikuloneuropati (AIDP) adalah bentuk paling umum di negara-

negara barat dan berkontribusi 85% sampai 90% kasus. Kondisi ini terjadi pada

semua umur, meskipun jarang pada masa bayi. Usia termuda dan tertua dilaporkan

adalah, masing masing 2 bulan dan 95 tahun. Usia rata onset adalah sekitar 40 tahun,

dengan kemungkinan dominasi laki-laki.12

Sindroma Guillain Barre adalah penyebab paling umum dari acute

flaccid  paralysis pada anak - anak. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN) sering

didapatkan di daerah Jepang dan Cina, terutama pada orang muda.

Hal ini terjadi lebih sering selama musim panas, sporadis AMAN seluruh dunia

mempengaruh 10% sampai 20% pasien dengan Sindroma Guillain Barre .15

II.3.3 Klasifikasi15,16

Page 28: Acute Flaccid Paralysis

1. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)

Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan

yang lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi saluran

cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari serabut saraf

sensorik dan motorik yang berat dengan sedikir demielinisasi.

2. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)

Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibody

gangliosid meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki gejala

klinis motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi dengan asending dan

paralysis simetris. AMAN dibedakan dengan hasil studi elektrodiagnostik dimana

didapatkan adanya aksonopati motorik. Pada biopsy menunjukkan degenerasi

‘wallerian like’ tanpa inflamasi limfositik. Perbaikannya cepat, disabilitas yang

dialami penderita selama lebih kurang 1 tahun.

3. Miller Fisher Syndrome

Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus SGB.

Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat pada

gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas. Motorik

biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan minggu atau bulan

4. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)

CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala

neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih dominant

dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal.

5. Acute pandysautonomia

Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi.

Disfungsi dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan terjadinya

hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis, penurunan

salvias dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.

II.3.4 Etiologi

Page 29: Acute Flaccid Paralysis

Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita dan bukan

merupakan penyakit yang menular juga tidak diturunkan secara herediter. Penyakit ini

merupakan proses autoimun. Tetapi sekitar setengah dari seluruh kasus terjadi setelah

penyakit infeksi virus atau bakteri seperti dibawah ini : 15,18

Infeksi virus : Citomegalovirus (CMV), Ebstein Barr Virus (EBV),

enterovirus, Human Immunodefficiency Virus (HIV).

Infeksi bakteri : Campilobacter Jejuni, Mycoplasma Pneumonie.

Pascah pembedahan dan Vaksinasi.

50% dari seluruh kasus terjadi sekitar 1-3 minggu setelah terjadi penyakit

Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) dan Infeksi Saluran Pencernaan.

Sumber : Gullain Barre Syndrome, www.americanfamilyphysician.com18

II.3.5 Patologi

Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf

tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama

Myelinated nervein healthy individual

Myelin sheath

Damage tomyelin sheath

(demyelination)

Nerve axon

Damaged (demyelinated) nervein individual

with Guillain-Barré syndrome

Page 30: Acute Flaccid Paralysis

berupa edema yang terjadi pada hari ketiga atau keempat, kemudian timbul

pembengkakan dan iregularitas selubung mielin pada hari kelima, terlihat beberapa

limfosit pada hari kesembilan dan makrofag pada hari kesebelas, poliferasi sel schwan

pada hari ketigabelas. Perubahan pada mielin, akson, dan selubung schwan berjalan

secara progresif, sehingga pada hari keenampuluh enam, sebagian radiks dan saraf

tepi telah hancur. Kerusakan mielin disebabkan makrofag yang menembus membran

basalis dan melepaskan selubung mielin dari sel schwan dan akson.16,19

II.3.6 Patogenesis

Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang

mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui

dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi

pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa

imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada

sindroma ini adalah:20

1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated

immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi.

2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.

3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada

pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi

Proses demielinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler

dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya. Pada SGB,

gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam sistem imun tubuh

mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan mengapa komponen normal

dari serabut mielin ini menjadi target dari sistem imun belum diketahui, tetapi infeksi

oleh virus dan bakteri diduga sebagai penyebab adanya respon dari antibodi sistem

imun tubuh. Hal ini didapatkan dari adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip

dengan gangliosid dari tubuh manusia. Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang

menyebabkan terjadinya diare, mengandung protein membran yang merupakan tiruan

dari gangliosid GM1. Pada kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan

terutama terjadi pada degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan

Page 31: Acute Flaccid Paralysis

adanya cross-reacting antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya

epitop yang sama. Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas

humoral maka sel-T merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf

perifer. Terbentuk makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses

demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls saraf.16,20

Page 32: Acute Flaccid Paralysis

II.3.7 Gejala Klinis15,16,19

1. Kelemahan

Gambaran klinis yang klasik adalah kelemahan yang ascending dan simetris

secara natural. Anggota tubuh bagian bawah biasanya terkena duluan sebelum tungkai

atas. Otot- otot proksimal mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih distal.

Tubuh, bulbar, dan otot pernapasan dapat terpengaruh juga. Kelemahan otot

pernapasan dengan sesak napas mungkin ditemukan, berkembang secara akut dan

berlangsung selama beberapa hari sampai minggu. Keparahan dapat berkisar dari

kelemahan ringan sampai tetraplegia dengan kegagalan ventilasi.

2. Keterlibatan saraf kranial

Page 33: Acute Flaccid Paralysis

Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan SGB. Saraf

kranial III-VII dan IX-XII mungkin akan terpengaruh. Keluhan umum mungkin

termasuk sebagai berikut; wajah droop (bisa menampakkan palsy Bell), Diplopias,

Dysarthria, Disfagia, Ophthalmoplegia, serta gangguan pada pupil. Kelemahan wajah

dan orofaringeal biasanya muncul setelah tubuh dan tungkai yang terkena. Varian

Miller-Fisher dari SGB adalah unik karena subtipe ini dimulai dengan defisit saraf

kranial.

3. Perubahan Sensorik

Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan sensori

cenderung minimal dan variabel. Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati rasa,

atau perubahan sensorik serupa. Gejala sensorik sering mendahului kelemahan.

Parestesia umumnya dimulai pada jari kaki dan ujung jari, berproses menuju ke atas

tetapi umumnya tidak melebar keluar pergelangan tangan atau pergelangan kaki.

Kehilangan getaran, proprioseptis, sentuhan, dan nyeri distal dapat hadir.

4. Nyeri

Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan SGB, 89% pasien

melaporkan nyeri yang disebabkan SGB pada beberapa waktu selama perjalanannya.

Nyeri paling parah dapat dirasakan pada daerah bahu, punggung, pantat, dan paha dan

dapat terjadi bahkan dengan sedikit gerakan. Rasa sakit ini sering digambarkan

sebagai sakit atau berdenyut. Gejala dysesthetic diamati ada dalam sekitar 50% dari

pasien selama perjalanan penyakit mereka. Dysesthesias sering digambarkan sebagai

rasa terbakar, kesemutan, atau sensasi shocklike dan sering lebih umum di ekstremitas

bawah daripada di ekstremitas atas. Dysesthesias dapat bertahan tanpa batas waktu

pada 5-10%pasien. Sindrom nyeri lainnya yang biasa dialami oleh sebagian pasien

dengan SGB adalah sebagai berikut; Myalgic, nyeri visceral, dan rasa sakit yang

terkait dengan kondisi imobilitas (misalnya, tekanan palsi saraf, ulkus dekubitus).

5. Perubahan otonom

Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan

parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan SGB. Perubahan otonom dapat

mencakup sebagai berikut; Takikardia, Bradikardia, Facial flushing, Hipertensi

Page 34: Acute Flaccid Paralysis

paroksimal, Hipotensi ortostatik. Retensi urin karena gangguan sfingter urin, karena

paresis lambung dan dismotilitas usus dapat ditemukan.

6. Pernapasan

Empat puluh persen pasien SGB cenderung memiliki kelemahan pernafasan

atau orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah sebagai berikut;

Dispnea saat aktivitas, Sesak napas, Kesulitan menelan, Bicara cadel. Kegagalan

ventilasi yang memerlukan dukungan pernapasan biasa terjadi pada hingga sepertiga

dari pasien di beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka.

Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:

- Protein CSS meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan

pada LP serial;

- jumlah sel CSS < 10 MN/mm3; Varian ( tidak ada peningkatan protein

CSS setelah 1 minggu gejala dan Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3 ).

Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnose adalah perlambatan konduksi

saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari

normal.

II.3.8 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan LCS16

Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1 – 1,5 g/dl )

tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain (1961) disebut sebagai

disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam pertama

penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya

terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada

pasien akan menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm3 (albuminocytologic

dissociation).

2. Pemeriksaan EMG16

Gambaran EMG pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan

terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada

akhir minggu ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan.

Page 35: Acute Flaccid Paralysis

3. Pemeriksaan MRI16

Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira-kira

pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran

cauda equina yang bertambah besar.

II.3.9 Terapi17,19

Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan

terutama secara simptomatis. Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi

gejala, mengobati komplikasi, mempercepat penyembuhan dan memperbaiki

prognosisnya. Penderita pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus

dilakukan observasi tanda-tanda vital. Penderita dengan gejala berat harus segera di

rawat di rumah sakit untuk memdapatkan bantuan pernafasan, pengobatan dan

fisioterapi. Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah :

1. Sistem pernapasan

Gagal nafas merupakan penyebab utama kematian pada penderita SGB.

Pengobatan lebih ditujukan pada tindakan suportif dan fisioterapi. Bila perlu

dilakukan tindakan trakeostomi, penggunaan alat Bantu pernapasan (ventilator) bila

vital capacity turun dibawah 50%.

2. Fisioterapi

Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps

paru. Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera setelah

penyembuhan mulai (fase rekonvalesen), maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih

dan meningkatkan kekuatan otot.

3. Imunoterapi

Tujuan pengobatan SGB ini untuk mengurangi beratnya penyakit dan

mempercepat kesembuhan ditunjukan melalui system imunitas.16

a. Plasma exchange therapy (PE)

Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor

autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil

yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas

yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Waktu yang paling efektif

untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Jumlah

Page 36: Acute Flaccid Paralysis

plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg dalam waktu 7-10 hari

dilakukan empat sampai lima kali exchange.

b. Imunoglobulin IV

Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat menetralisasi

autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut.

Pengobatan dengan gamma globulin intravena lebih menguntungkan dibandingkan

plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Pemberian IVIg ini

dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan dosis 0,4 g / kgBB /hari

selama 5 hari.

c. Kortikosteroid

Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak

mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.

II.3.10 Diagnosis Banding15,16

Poliomielitis

Pada poliomyelitis ditemukan kelumpuhan disertai demam, tidak ditemukan

gangguan sensorik, kelumpuhan yang tidak simetris, dan Cairan cerebrospinal

pada fase awal tidak normal dan didapatkan peningkatan jumlah sel.

Myositis Akut

Pada miositis akut ditemukan kelumpuhan akut biasanya proksimal, didapatkan

kenaikan kadar CK (Creatine Kinase), dan pada Cairan serebrospinal normal.

Myastenia gravis (didapatkan infiltrate pada motor end plate, lelumpuhan tidak

bersifat ascending)

CIPD (Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradical Neuropathy) didapatkan

progresifitas penyakit lebih lama dan lambat. Juga ditemukan adanya kekambuhan

kelumpuhan atau pada akhir minggu keempat tidak ada perbaikan.

II.3.11 Komplikasi15,19

Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau

cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi, trombosis

vena dalam, paralisis permanen pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada sendi.

Page 37: Acute Flaccid Paralysis

II.3.12 Prognosis17

Pada umumnya penderita mempunyai prognosis yang baik, tetapi pada

sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. Penderita SGB

dapat sembuh sempurna (75-90%) atau sembuh dengan gejala sisa berupa dropfoot

atau tremor postural (25-36%). Penyembuhan dapat memakan waktu beberapa

minggu sampai beberapa tahun.

DAFTAR PUSTAKA

1. Arthur Marx,1 Jonathan D. Glass,2 and Roland W. Sutter. Differential Diagnosis of Acute Flaccid Paralysis and Its Role in Poliomyelitis Surveillance: vol 22 no.2. 2002. The Johns Hopkins University School ot Hygiene and Public Health. Available from: http://epirev.oxfordjournals.org/content/22/2/298.full.pdf

2. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (September 2002). "Acute flaccid paralysis syndrome associated with West Nile virus infection—Mississippi and Louisiana, July–August 2002". MMWR Morb. Mortal. Wkly. Rep. 51 (37): 825–8. PMID 12353741

3. Saeed M, Zaidi SZ, Naeem A et al. (2007). "Epidemiology and clinical findings associated with enteroviral acute flaccid paralysis in Pakistan". BMC Infect. Dis. 7: 6. doi:10.1186/1471-2334-7-6. PMC 1804272. PMID 17300736.

4. Alberta Government Health and Wellness (2005) Acute Flaccid Paralysis Public Health Notifiable Disease Management Guidelines.

Page 38: Acute Flaccid Paralysis

5. Marx A, Glass JD, Sutter RW. Differential diagnosis of acute flaccid paralysis and its role in poliomyelitis surveillance. Epidemiol Rev 2000;22:298–316.

6. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Poliomyelitis. 2005. Dalam :

Rusepno Hassan, Husein Alatas (ed). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid

2. Jakarta.

7. Ranuh, I G N, dkk. Infeksi Virus : Poliomyelitis. 2008. Dalam : Pedoman

Imunisasi Di Indonesia. Satgas Imunisasi IDAI. Jakarta

8. Soedarmo, Sumarno S. Purwo, dkk. Infeksi Virus:Poliomyelitis. 2008. Dalam :

Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi Kedua. Badan Penerbit IDAI.

Jakarta

9. Wikipedia the free Encyclopedia. Poliomyelitis. Last Updated : July, 23rd

2009. (available from : en.wikipedia.org/wiki/Poliomyelitis, cited on : Aug, 5 th

2009)

10. Simoes, Eric A. F. Polioviruses. 2003. Dalam : Behrman, Kliegman, Arvin

(ed). Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. Elsevier Science. Philadelpia.

WHO

11. World Health Organization. The Disease and The Virus. Dalam : Global Polio

Eradication Initiative.

(available from : www.who.int/topics/poliomyelitis/en/, cited on : Aug, 5th

2009)

12. Estrada, Benjamin MD. Poliomyelitis : Treatment and Medication. eMedicine.

Last Updated : Aug, 15th 2007.

(available from : http://emedicine.medscape.com/article/967950-overview,

cited on : Aug, 5th 2009)

13. Wenner, Kenneth M. MD. Poliomyelitis. Medline Medical Encyclopedia. Last

Updated : January, 22nd 2008.

(available from : www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001402, cited

on : Aug, 5th 2009)

14. Wikipedia the free Encyclopedia. Polio Vaccine. Last Updated : July, 4th 2009.

(available from : http://en.wikipedia.org/wiki/Polio_vaccine, cited on : Aug,

5th 2009)

15. Guillain-BarreSyndrome.Available

from:http://www.medicinenet.com/guillainbarre_syndrome/article.htm.

Page 39: Acute Flaccid Paralysis

16. Overview of Guillain-Barre Syndrome. http:// www.mayoclinic.com

/health/guillain-barre- syndrome /DS00413/ DSECTION.

17. Munandar A. Laporan Kasus Sindroma Guillan-Barre dan Tifus

abdominalis.Unit Neurologi RS Husada Jakarta. Available from : URL :

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/14SindormGuillainBarre93.pdf/

14SindromGuillainBarre93.html.

18. Newswanger Dana L., Warren Charles R., Guillain-Barre Syndrome,

http://www.americanfamilyphysician.com.

19. Japardi I. Sindroma Guillan-Barre. FK USU Bagian Bedah. Available from :

URL : http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi46.pdf.

20. Mardjono Mahar, Sidharta Priguna. Sindroma Guillain-Barre : Neurologi

Klinis Dasar, Cetakan ke 8. Dian Rakyat, Jakarta, 2000.