Acehkini 09

56
ACEHKINI Januari 2009 1 JANUARI, 2009 Rp 16.000,- www.acehkini.co.id

description

Majalah ACEHKINI Edisi 09, November 2008

Transcript of Acehkini 09

Page 1: Acehkini 09

ACEHKINI Januari 2009 1

JANUARI, 2009 Rp 16.000,-

www.acehkini.co.id

Page 2: Acehkini 09

2

Page 3: Acehkini 09

ACEHKINI Januari 2009 3

Foto Sampul;Fauzan Ijazah

06101214

16

23

2829

3133

3538

39

41

43

4547

49

53

Sura

tSa

leue

m

Hikayat Nanggroe Fly

Sabu di Saku Bocah

Kisah Penikmat Si Putih

Tak Sakau di Rumoh Geutanyoe

FOTO: Demi Emas

Menjala Laba di Keruh Gaza

Kelapa Sabang Tak Bersantan

Penerbit PT. ACEHKINIDewan Redaksi Yuswardi AS,

Nurdin Hasan, Irfan Sofni, Adi Warsidi

Redaktur Fakhrurradzie GadeRedaktur Foto Fauzan Ijazah

Koordinator LiputanMaimun Saleh

Wartawan Mismail Laweueng, Ucok Parta, Daspriani Y Zamzami,

Riza Nasser, Jamaluddin (Banda Aceh), Imran MA

(Lhokseumawe), Halim Mubary (Bireuen),

Fotografer Hasbi Azhar, Chaideer Mahyuddin

Keuangan Abdul MunarPenata Letak Khairul Umami

Ombudsman StanleyKolumnis Azhari

Distribusi Muhammad Yusuf,Alamat Jl. Angsa No 23

Batoh, Banda AcehTelepon 0651.7458793

website www.acehkini.co.ide-mail [email protected]

No. 03/II/November 2008

Hukum & Politik

Alam

Ekonomi & Bisnis

Nanggroe

Seni & Budaya

Gaya Hidup

Advertorial

UTA

MA

Keadilan dalam Kotak

Banting Setir Politisi Usang

Agar Halaman Rubiah Tak Gersang

Tukang Bangun Rumah Ikan

Mimpi Terbangkan Aceh

Menjaga Tradisi Leluhur

Berebut Jadi Raja Aceh

Sains Bila Datang Ombak Raya

Perang 132

Pelesir Senandung Senja di Honolulu

Figura

Page 4: Acehkini 09

4

SuratEmpat Tahun Tsunami AcehMengenang empat tahun tragedi tsunami, semua kita pasti mengembalikan memori pada bencana dahsyat itu. Gempa bumi dan tsunami yang terjadi pada 26 Desember empat tahun silam, menyisakan luka men-dalam. Lebih 125.000 rakyat Aceh men-jadi korban, berbagai infrastruktur hancur. Itulah mungkin sekilas bayangan kita akan tsunami yang menerjang Aceh.

Setelah empat tahun berlalu, harapan akan perubahan ke arah lebih baik menjadi cita-cita kita semua. Bukan hanya korban, tetapi seluruh rakyat Aceh, Indonesia dan bahkan masyarakat internasional. Pemenu-han hak korban jadi kata kunci keberhasilan rekonstruksi. Tapi, kita dihadapkan pada persoalan-persoalan yang sulit diselesaikan. Meski pemerintah membentuk BRR, proses rekonstruksi belum begitu menggembira-kan. Berbagai infrastruktur dasar belum selesai.

Sebagai contoh, pembangunan jalan Banda Aceh-Meulaboh yang didanai oleh USAID. Jalan yang menghubung Banda Aceh-Meulaboh belum menunjukkan per-kembangan yang pesat. Banyak persoalan dihadapi dalam menyelesaikan pembangu-nan jalan itu. Menurut kami, jalan ini sangat strategis dan penting untuk menjadi priori-tas.

Saat ini, ada tiga jalur menuju pantai barat-selatan Aceh. Jalur dari Medan mela-lui Aceh Selatan, jalur tengah via Geumpang dan jalur Calang. Namun, ketiga jalur ini kondisinya sangat memprihatinkan. Jika jalur ini putus akibat banjir dan longsor, akan berakibat pada melonjaknya harga ke-butuhan pokok.

Pemerintah juga harus memikirkan lonjakan pengangguran pascaberakhirnya BRR. Menurut kami, pemerintah sudah se-layaknya menyiapkan strategi dalam meng-hadapi berakhirnya rekonstruksi di Aceh. Tentu dengan berbagai sumber daya dan kewenangan yang dimiliki Pemerintah Aceh saat ini. Kita berharap Pemerintah Aceh serius memikirkan persoalan sosial yang muncul setelah BRR bubar.

Terkait mengenang empat tahun tsu-nami, maka Kaukus Pantai Barat Selatan menyatakan:1. Semua kita diharapkan untuk intros-

peksi diri dan merenungkan apa yang

Rakit Aceh JayaSebuah rakit mengangkut berbagai kendaraan di Babah Nipah, Kecamatan Sampoiniet, Aceh Jaya, 11 November 2008. Hingga empat tahun pascatsunami, infrastruktur jalan pantai barat Aceh tak kunjung selesai. [Fauzan Ijazah]

sudah kita lakukan bagi korban tsunami Aceh. Sehingga semangat atau sensitifi-tas sosial kita kembali diasah dalam me-lihat persoalan pemenuhan hak korban tsunami.

2. BRR agar memprioritaskan pemenuhan hak-hak korban tsunami. Sisa waktu beberapa bulan ini, diharapkan mem-prioritaskan program bagi peningkatan kualitas bantuan korban tsunami. Mis-alnya, bagaimana memastikan bantuan rumah yang diberikan berkualitas.

3. Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat harus serius dan berkomitmen melanjut-kan rekonstruksi Aceh. Jangan polemik yang terjadi berlarut-larut dan meng-hambat program rekonstruksi yang di-jalankan. Karena itu, sudah selayaknya

tim pemerintah Aceh melakukan koor-dinasi dengan Jakarta dalam merumus-kan kelanjutan rekonstruksi Aceh.Demikian pernyataan sikap ini kami

sampaikan, memperingati empat tahun tsu-nami di Aceh. Semoga Aceh kembali maju setelah dihantam bencana dan konflik.

TAF Haikal, Jurubicara KaukusPantai Barat Selatan (KPBS)

Jangan BerjanjiTerkait sisa kas daerah (Kasda) Aceh Barat senilai Rp 6,1 milyar, Aliansi Masyarakat Peduli Anggaran (AMPA) mendesak Pe-merintah Kabupaten Aceh Barat bertindak tegas terhadap oknum SKPD yang belum mengembalikan sisa kas daerah tahun 2005 sampai 2007. Kalau hal ini dibiarkan, akan

Page 5: Acehkini 09

ACEHKINI Januari 2009 5

menjadi preseden buruk bagi kelangsung-an pemerintahan yang baik di Aceh Barat. AMPA menilai Bupati Aceh Barat sangat te-gas terhadap geuchik-geuchik yang melaku-kan penyimpangan keuangan daerah yang nilainya hanya puluhan juta, tapi apakah bupati akan memperlakukan hal yang sama terhadap oknum pejabat yang menyele-wengkan keuangan daerah yang jumlahnya jauh lebih besar?

Dari kenyataan itu dapat disimpulkan beberapa kelemahan sebagai berikut: 1. Lemahnya pengawasan yang dilakukan

DPRK Aceh Barat dan Bawasda terhadap pengelolaan keuangan daerah.

2. Pemkab Aceh Barat tak tegas dan terkes-an tebang pilih dalam menjalankan ke-bijakannya sehingga pengembalian sisa kas daerah tahun 2005-2007 berlarut-berlarut.

3. Pengelolaan keuangan daerah belum taat pada aturan yang berlaku seperti dalam UU No 11 Tahun 2006 tentang pemerintah Aceh BAB XXIV pasal 190 ayat 1 dan UU nomor 17 Tahun 2003 pa-sal 2 tentang keuangan negara serta PP 39 Tahun 2007 tentang pengelolaan ten-tang pengelolaan uang negara/daerah.Berdasarkan analisa tersebut, AMPA

Aceh Barat menyatakan sikap:1. Mendesak Pemkab Aceh Barat men-

indak tegas oknum SKPD yang belum mengembalikan sisa Kasda tahun 2005 sampai 2007.

2. Mendesak Pemkab Aceh Barat menyele-saikan masalah itu sampai tuntas.

3. Mendesak Pemkab Aceh Barat tidak te-bang pilih dalam menjalankan kebija-kannya.

Meulaboh, 12 Januari 2009Aliansi Masyarakat Sipil Peduli Anggaran

Kabupaten Aceh Barat

Saleuem

OMBAK PECAH. RIAKNyA TAKberhasil melilit pria itu. Dia seakan terbang di atas air. Gelombang memisahnya dengan papan selancar. Bias langit membirukan laut, semakin membuat momen itu sedap dipandang mata.

Sebelum peristiwa terjadi, Fauzan Ijazah, redaktur foto majalah ini membujuk pemilik perahu yang disewanya mendekat. “ya takut jugalah, salah-salah kamera kecebur ke laut,” kenangnya.

Usahanya berhasil. Sederet foto yang menggambarkan aktivitas surfing pantai Lampuuk, Aceh Besar, setelah tsunami itu telah disuguhkan edisi Juni tahun lalu. Apa perkara diceritakan kembali? Sebab, “Melompati Ombak” menjadi jawara di kelas foto olahraga. Gelarnya kini; “Foto Jurnalistik Terbaik 2008 Pilihan Tempo”. Terang saja awak redaksi ACEHKINI bangga.

Rully Kesuma (redaktur foto majalah Tempo), Seno Joko Suyono (redaktur seni Tempo), Oscar Motuloh dari Galeri Foto Jurnalistik Antara, dan Julian Sihombing dari harian Kompas menempatkan karya fotografer Crack Palinggi dari Reuters di urutan dua dan Andika Wahyu di tempat

ketiga.Kemenangan

itu pula, yang kemudian menjadi penyemangat edisi ini. Sempat hilang semangat? yup. Beginilah ceritanya.

Dua pria turun tergesa dari Kijang Innova berlumur

lumpur. Seluruh awak redaksi menyambut dengan senyum riang. Sepekan sudah sang juru tulis dan tukang foto ACEHKINI kelayapan di rimba Aceh Jaya, akhirnya kembali. Seakan tak peduli ruangan mendadak bau apek, bersumber dari dua jurnalis yang entah berapa hari tak mandi itu, canda tawa merebak. Redaksi girang, sebuah laporan “dahsyat” bakal kami sajikan ke hadapan anda.

Beberapa hari berlalu, semua berubah.

“Kita didahului!” ujar ‘si juru tulis’ sambil menunjuk berita sebuah surat kabar. ACEHKINI tak kuasa melawan kecepatan harian. Terbitnya saja bulanan. Melihat pemberitaan itu, redaksi sempat tegang. Rapat digelar. Hasilnya, pemberitaan tentang gunong meuh di Krueng Sabee, Aceh Jaya, tetap diterbitkan. Pasalnya liputan sudah dirancang sebulanan. Lagi pula, jurnalis yang dikirim ‘koki’ terhebat di jajaran redaksi.

Sialnya, lamat-lamat kendur semangat ‘si tukang tulis’ meracik reportasenya. Apalagi, waktunya untuk menulis telah curah untuk kesibukan bisnis. Juru tulis laporan utama dalam redaksi, serupa ‘putra mahkota’, teramat penting. “Halah… gawat ini, kalau nggak jadi muat. Kameraku sampai rusak satu!” keluh Fauzan, sambil meratapi laptopnya yang hang, suatu ketika.

“Harus ada Plan B!” sambung Chaideer, juru foto ACEHKINI yang lain. yang dimaksudnya Plan B, yakni perencanaan liputan ulang. Esoknya, seluruh awak redaksi menerima SMS. Isinya, undangan rapat. Hasilnya, kami memilih sabu-sabu sebagai laporan utama. Sementara, hasil jepretan Fauzan dari tambang emas, dapat anda nikmati di feature foto.

Di ranah politik, edisi ini menyajikan fenomena politisi kawakan ramai-ramai ‘lompat’ ke partai lain. Jangan lewatkan pula halaman lingkungan: dari Sabang kami kisahkan upaya melestarikan terumbu karang, lengkap dengan kisah perjuangan tokohnya.

Maraknya unjuk rasa menentang serangan Isreal ke Gaza, turut kami laporkan di rubrik Nanggroe. Selain itu, ada pula feature tentang industri rumahan berbahan baku batok kelapa di Sabang. Tak kalah menariknya, cerita korban konflik yang masih mencari keluarganya yang hilang.

Seperti biasa, tak cuma keprihatinan yang disuguhkan ACEHKINI. Untuk rehat, kami mengajak anda menikmati indahnya Hawai, Amerika Serikat, dalam rubrik Pelesir. Simak pula halaman Lifestyle, ada ulasan bagaimana kaum jetset di Aceh mengembangkan hobi mendandani mobil.

Akhir cerita, inilah edisi ‘Plan B’ itu. Selamat membaca. [a]

Plan B

surat/foto untuk redaksi harap dialamatkan ke: Jl. Angsa No. 23, Batoh

Lueng Bata, Banda Acehatau

[email protected]

Page 6: Acehkini 09

6

Hikayat Nanggroe

Fly

Page 7: Acehkini 09

ACEHKINI Januari 2009 7

oleh FAKHRURRADZIE GADE

Penjara dan rumah sakit jiwatak mampu mengobati,peredaran sabu tak terhenti.Dari Malaysia sampai pelosok Aceh. Polisi hingga kepala desa menjadi pengedar.Si Putih pun tak terbendung!

LAPORAN: HALIM MUBARI, ZULHELMI (BIREUEN), IMRAN MA (LHOKSEUMAWE), JAMALUDDIN (BANDA ACEH). FOTO: YO FAUZAN -ACEHKINI

Page 8: Acehkini 09

8

SEBUT SAJA NAMANyA DARA. IA terbangun dari tidur nyenyak saat sang suami mengetuk pintu. Jarum jam berteng-ger pada angka 01.00, Sabtu dinihari, akhir Oktober 2008. Setelah berbincang sejenak, ia kembali tidur. Beberapa saat terlelap, ia dikejutkan dengan kedatangan delapan polisi ke rumahnya. Polisi menggeledah sei-si rumah. Sejumlah paket sabu ditemukan dekat televisi di ruang tamu. Sang suami –sebut saja Ayman— digelandang ke Mar-kas Polisi Resort (Mapolres) Bireuen.

Ibu dua anak ini bukannya tak tahu jika suaminya "berteman" dengan sabu-sabu. Ia berkali-kali mengingatkan Ayman agar menjauhi barang laknat itu. Tapi lagi-lagi, sang suami tak mau mendengar nasihatnya. Bahkan, Dara acap dimarahi jika mencoba menasehatinya. Akhirnya, Dara memilih diam demi keutuhan keluarganya.

"Kalau sudah pulang larut malam, hati kecil saya mulai curiga sama Abang. Apal-agi beberapa teman laki-lakinya juga sering malam-malam bertandang ke rumah," ujar ibu berusia 25 tahun itu.

Ini kali kedua suami Dara tersangkut ka-sus sabu-sabu. Dua tahun lalu, Ayman harus meringkuk di balik terali besi selama 1,5 ta-hun setelah ditangkap polisi di Banda Aceh. "Saya sudah berkali-kali memperingatkan Abang agar jangan kembali mendekati ba-rang haram itu," ujar Dara saat ACEHKINI bertandang ke rumahnya di sebuah desa Kecamatan Kota Juang, Bireuen, akhir Desember lalu.

Peredaran sabu-sabu di Bireuen me-mang mencemaskan. Suami Dara adalah seorang penyuplai sabu dalam ukuran kecil. Jaringan sabu di Bireuen sangat rapi. Sum-ber ACEHKINI di kalangan agen sabu me-nyebutkan, serbuk putih berbentuk kristal itu dipasok dari Malaysia melalui jalur laut. Dia menyebut kawasan Idi sebagai tempat bandar berlabuh. Dari sana, bandar mem-bawa sabu ke Bireuen via darat.

Jejaring sabu di Bireuen, masih menu-rut sumber tadi, tergolong rapi dan mulai meng akar. Sebelum memesan dari Malay-sia, agen-agen kecil terlebih dulu memesan pada agen besar di Bireuen. Setelah ada perkiraan berapa kebutuhan di Bireuen, baru agen tersebut menghubungi bandar—biasanya mereka menyebut BD— di Malay-sia.

"Kalau sudah ada kesepakatan, maka BD akan berangkat dari Malaysia," kata sumber berusia 37 tahun itu. "Kadangkala, BD juga menggunakan jasa kurir untuk menjemput sabu yang sudah dipesan."

Bandar dari Malaysia hanya mau me-nyuplai sabu dalam porsi besar. Nah, agen-agen kecil ini patungan untuk menebus barang itu. Dia mengaku hanya sanggup memesan lima jie atau lima gram setiap transaksi. Per jie, harganya Rp 1 juta. Para agen ini kemudian menjual ke agen kecil

–disebut juga kurir atau orang ketiga— lain-nya seharga Rp 1,4 juta per jie. Namun ada juga yang meminta porsi lebih kecil seharga Rp 100 ribu. Mereka menamakan pahe (pa-ket hemat). Agen inilah yang langsung ber-hubungan dengan konsumen.

"Saya tidak pernah bertemu dengan konsumen langsung. Sebab, saya sudah menggunakan kaki tangan untuk menggaet konsumen," kata sumber itu.

Dia membekali anak buahnya dengan telepon selular. Selain memudahkan urusan bisnis si putih, ini juga untuk memudahkan komunikasi antarmereka. Sebab, mereka tidak sering bertemu muka untuk menghin-dari endusan polisi. "Jika ada razia, saya langsung memperoleh informasi dari kurir itu," katanya.

Kendati berhubungan melalui telepon, dia melarang kurirnya menyimpan nomor telepon. Ini untuk jaga-jaga. Tujuannya, bila kurir tertangkap maka polisi tidak langsung mengetahui agen yang lebih besar. Mereka punya sandi khusus dalam berkomunikasi via telepon. "Bila polisi memaksakan kurir kami menelepon tanpa sandi, maka kami siap-siap menghindar. O, berarti ini sudah ketahuan," ujarnya.

Menjamurnya peredaran sabu di Bi-reuen membuat polisi mengintensifkan ra-zia. Kepala Polisi Bireuen AKBP T. Saladin mengakui bahwa peredaran sabu di Bireuen sudah pada tingkat yang sangat mempri-hatinkan. Menurut dia, pengedar dan pe-makai sabu di Bireuen tak mengenal batas usia dan golongan. Bahkan, seorang kepala

desa di Bireuen terlibat sebagai pengedar, katanya.

Polisi mengaku sudah mengantongi na-ma-nama gembong. Mereka adalah orang yang sering keluar-masuk Malaysia. "Ada beberapa gembong begitu tahu saya bertu-gas di Bireuen, mereka langsung kabur ke Malaysia. Mungkin setelah saya pindah dari sini, baru kembali lagi," ujar Saladin.

***

PEREDARAN SABU DI ACEH, MULAI marak setelah Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka mengakhiri konflik bersenjata selama 30 tahun. Saladin menye-butkan, gembong narkoba berasal dari Aceh sendiri. "Selama masa damai, orang Aceh malah melakukan pembodohan dan peng-hancuran generasi muda," sebutnya.

Dalam tiga tahun terakhir, polisi mengin-tensifkan razia narkoba. Beberapa agen di Bireuen sudah tertangkap. Namun begitu bebas, para agen itu seolah tak kapok dan kembali melancarkan aksinya. Saladin ber-harap adanya sanksi moral dari masyarakat terhadap pengedar barang haram itu. "Kita harap, masyarakatlah yang menangkap pengedar dan pemakai narkoba. Tapi jan-gan main hakim sendiri," kata Saladin.

Seorang agen di Bireuen mengakui ada penurunan pesanan seiring gencarnya aksi razia yang dilancarkan polisi. "Konsumen menurun drastis. Tapi masih ada. Namun hanya orang tertentu yang membelinya. Mereka membeli dalam porsi besar untuk

UTAMA | SABU-SABU

Page 9: Acehkini 09

ACEHKINI Januari 2009 9

nan Darul Huda Desa Ujong Pacu, Keca-matan Muara Satu, Teungku Sanusi Hasbi membantah pengedar dan pemakai sabu-sabu itu anak didiknya. Dia juga menyang-kal pesantrennya telah jadi markas penge-dar SS. Sebelumnya, polisi di Lhoksemawe dan Aceh Utara juga berhasil meringkus sejumlah pengedar sabu.

Gencarnya operasi yang dilancarkan polisi seolah tidak mampu mematahkan peredaran si putih. Dalam beberapa bulan terakhir, telah merambah kawasan barat dan selatan Aceh. Sabu memang telah merasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat negeri yang memberlakukan syariat Islam ini.

Sabu juga masuk ke pelosok desa sehing-ga berbagai nama mulai ditabalkan untuk si putih. Penelusuran ACEHKINI di Aceh Utara, ada yang menyebutnya dengan eh (es) karena kalau menikmatinya, "kepala terasa dingin dan bebas masalah." Ada juga sebu-tan boat thet-thot, karena waktu menghisap bersuara seperti boat kecil nelayan.

Banyak juga yang menyebutnya "kaca Aladin", karena bongnya mirip lampu teplok Aladin. Bentuk kacanya memang kecil, "tapi jangan heran, mobil BMW, kebun sawit dan sepeda motor, semua masuk ke sini," ujar seorang warga sambil berseloroh.

Menurut dia, panjang filosofinya. Inti-nya memakai sabu, terancam bangkrut dan hilangnya semua harta benda, karena mahal harganya. Untuk sekali hiep bisa mencapai 100 ribu," ujarnya lagi.

Bukan cuma itu namanya, beberapa pemuda juga sering menyebutkan dengan perumpamaan berupa penampakan hantu atau burong dalam bahasa Aceh di malam hari. Sebagian orang percaya, penampakan di malam hari di tempat-tempat sunyi, ber-warna putih. Maka, mereka menyebut sabu dengan "burung putih."

Gencarnya razia polisi tetap belum berhasil memberangus peredaran sabu di Aceh. Terali besi tak cukup meminimalisir pemakai dan pengedar sabu-sabu. Khusus untuk pemakai, sebut Andik—seorang men-tor pada panti rehabilitasi narkoba Ru-moh Geutanyoe, Banda Aceh, mereka bisa dipulihkan. "Pecandu bukan kriminal, tapi me reka korban yang harus dibantu," kata Andik kepada ACEHKINI, awal Januari.

Karenanya, dia berharap Pemerintah Aceh lebih serius memperhatikan masalah ini. "Selain menyediakan rumah sakit jiwa untuk pecandu narkoba, pemerintah juga harus menyediakan tempat rehabilitasi. Karena tempat bagi pecandu bukan penjara atau rumah sakit jiwa, tapi yang mereka bu-tuhkan direhabilitasi," kata dia.

Penjara, rumah sakit jiwa dan panti rehab hanya ganjar untuk pecandu dan pengedar. Toh, serbuk haram itu tetap mu-dah didapat.[a]

stok sebulan," kata sumber majalah ini.Tak hanya di Bireuen, polisi mengin-

tensifkan razia sabu-sabu dan narkoba di daerah-daerah lain. Aparat Polres Lhok-seumawe, 12 Januari lalu, menangkap tiga pemuda yang diyakini sebagai pengedar sa-bu-sabu di dua lokasi terpisah. Dari ketiga tersangka, MS, ZA, dan RA, polisi menyita empat paket sabu dan sejumlah uang.

Sehari sebelumnya, polisi menciduk Mus, 29 tahun. Warga Bandar Dua, Pidie Jaya, ini ditangkap di pasar Uleu Gle saat hendak bertransaksi setelah sempat terjadi aksi kejar-kejaran. Dari tangan tersangka

disita sabu-sabu seberat 1.07 gram. Di Langsa, polisi menciduk SR, 28 ta-

hun, yang berprofesi sebagai penjual ayam. Dia ditangkap polisi di Matang Seulimeng, Langsa, karena diduga jadi pengedar sabu-sabu. Di Banda Aceh, polisi menangkap tiga pria yang diduga sebagai kurir sabu. Dua di antaranya adalah oknum dan mantan polisi, serta seorang warga biasa.

Ironisnya, polisi juga menciduk pe-makai sabu-sabu di lingkungan pesantren. Di Lhokseumawe, polisi menangkap em-pat pengedar dan pemakai di Dayah Darul Huda, pertengahan Desember lalu. Pimpi-

Gencarnyarazia polisitetap belum berhasil memberangus peredaran sabudi Aceh.Terali besi tak cukup meminimalisir pemakaidanpengedarsabu-sabu..

FOTO ILUSTRASI, ATAS: YO FAUZAN -ACEHKINI; BAWAH: ABC.NET.AU.

Page 10: Acehkini 09

10

Sabu di Saku Bocah

Tergiur iming-iming punya uang rokok dan tidak bakal dihukum lama,

remaja itu bersedia jadi pengedar sabu.Kini, hari-harinya dijalani di penjara

sambil menanti ancaman hukuman berat.Penyesalan selalu datang terlambat.

oleh HALIM MUBARI dan ZULHELMIFOTO KIRI: HALIM MUBARI —ACEHKINI; KANAN: YO FAUZAN —ACEHKINI

PERTEMUAN SINGKAT ITU MENGUBAH JALAN HIDUP RAZI.Suatu siang Oktober tahun lalu, Razi bertemu Muhammad Nafis di rumah tahanan Bireuen. Saat hendak pulang usai menjenguk anggota keluarganya di Rutan Bireuen, bocah berusia 15 tahun itu ditawari pekerjaan. Nafis dan Razi kemudian bersepakat bertemu di kawasan Batee Geulungku, Kecamatan Simpang Mamplam, lima hari kemudian.

Razi terkejut bukan kepalang saat Nafis menawarinya pekerjaan sebagai pengedar sabu-sabu. "Sabu-sabu, Bang?" Razi kaget.

"Nanti kamu ada uang rokok dari penjualan ini," janji Nafis, seperti diceritakan Razi.

Mendengar uang rokok, remaja lugu itu langsung mengamini tawaran Nafis. Dalam pertemuan singkat di Batee Geulungku, Nafis mengajari bocah itu cara mengemas dan mengedarkan sabu-sabu serta trik mendapatkan pelanggan. Hari itu, Nafis memberi barang laknat itu seberat lima gram.

Usai pertemuan, bocah yang masih duduk di bangku kelas satu SMU punya kerjaan sampingan: pengedar sabu-sabu. Secara sembunyi-sembunyi, ia menawarkan barang haram itu pada kenalannya. Dalam tempo singkat, Razi berhasil menjual sabu-sabu kepada pemakai di Samalanga. Total uang yang dihasilkan dari menjual lima gram seharga sabu Rp 7,5 juta.

"Saya mendapat imbalan Rp 500 ribu," aku Razi. Ia riang. Uang itu digunakan untuk membeli sepasang pakaian dan jajan sehari-hari.

UTAMA | SABU-SABU

Sabu-sabu yang berhasil diamankan Polres Bireuen (atas), konseling untuk para penghuni panti rehabilitasi narkoba di Banda Aceh (kanan).

Page 11: Acehkini 09

ACEHKINI Januari 2009 11

Karena sukses memasarkan tahap pertama, Nafis kemudian memasok dalam jumlah lebih besar: 18 gram, berikut dua unit timbangan digital. Naas, sabu-sabu tahap kedua ini tak sempat dipasarkan Razi. Aksinya tercium aparat kepolisian.

Suatu hari, Razi mendapat telepon dari seorang calon pembeli. Dia diminta menyediakan pahe (paket hemat) sabu seharga Rp 200 ribu. Mereka lantas sepakat bertemu di belakang masjid kampung Razi. Saat telah berada di belakang masjid, Razi langsung diciduk polisi. Rupanya, calon pembeli itu merupakan seorang polisi yang menyamar. Dari tangan remaja itu, polisi menyita sabu, dua unit timbangan digital, satu gunting kecil, dan dua pisau silet.

Razi digelandang ke Markas Polisi Resort Bireuen pada Selasa, 9 Desember 2008. Kini, hari-hari Razi dilakoni di ruang tahanan Mapolres Bireuen. "Ini pengalaman pertama saya masuk tahanan, Bang," kata Razi, lirih. "Saya berharap hukuman jangan berat."

Saat ditemui ACEHKINI di ruang tahanan Mapolres Bireuen, akhir Desember

lalu, raut wajah Razi memendam sesal. Wajahnya murung. "Saya tidak akan mengulanginya," aku bocah berkulit putih yang rambutnya dipotong cepak. "Saya menyesal dan malu sama guru dan teman-teman di sekolah," ujar anak ketiga dari tujuh bersaudara ini.

Sebenarnya, Razi bukan berasal dari keluarga tak mampu. Ayahnya berprofesi sebagai pegawai negeri sipil. Namun, karena godaan mengantongi banyak uang dari hasil keringatnya, Razi menerima bujukan Nafis untuk menjadi pengedar sabu.

"Saya mau karena dijanjikan mem-peroleh uang oleh Nafis," katanya. Dia bukannya tak tahu risiko menjual barang laknat itu. Namun, dia mendengar informasi bahwa anak-anak yang masih di bawah umur jika pun tertangkap maka hukumannya tidak berat. Akhirnya, dia pun tergiur untuk menjadi pengedar sabu-sabu.

Tapi akibat perbuatannya, Razi terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara atau denda maksimum Rp 200

juta. Menurut Kapolres Bireuen Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) T. Saladin, Razi akan dikenakan pasal 60 KUHP junto pasal 5, dan pasal 7. Lantas, bagaimana dengan statusnya yang masih di bawah umur? "Kita tidak bisa melakukan diversi," kata Saladin.

Diversi adalah upaya pembinaan dan tidak ditahan. Pelaku kejahatan baru dibina dan tidak ditahan karena masih berada di bawah umur. Namun, untuk kasus Razi, polisi tidak bisa melakukan diversi karena sang bocah terlibat kasus narkotika dan psikotropika. Walau masih di bawah umur, polisi bisa menjerat Razi dengan pasal 60 KUHP. "Ini bukan kasus kenakalan yang cukup dengan diversi," kata Saladin.

Ancaman hukuman yang akan diterima Razi tak seperti dibayangkan, bisa ringan karena masih di bawah umur. "Saya ingin cepat-cepat bisa keluar dari sini," katanya penuh harap. Tetapi, agaknya harapan itu bakal pupus mengingat pasal-pasal yang bakal dijerat atasnya, dengan ancaman hukuman berat. [a]

Page 12: Acehkini 09

12

oleh JAMALUDDINFOTO: YO FAUZAN-ACEHKINI

"SAyA PECANDU." PENGAKUAN ITU bukan karena sedang diinterogasi polisi. Andy –sebut saja begitu— terang-terangan mengaku sebagai pecandu sabu-sabu dalam sebuah sesi belajar di Rumoh Geutanyoe, Banda Aceh. Pengakuan itu diberikan di de-pan sepuluh rekan dan mentornya di panti rehabilitasi ketergantungan pada narkotika dan zat adiktif, awal Januari lalu.

Sepuluh rekannya juga bernasib sama: pemake sabu-sabu. Mereka berasal dari Aceh Besar, Banda Aceh, Bireuen, dan Lhokseumawe. Rata-rata mereka sudah menghuni panti itu selama tiga bulan. Di ruangan seluas 3x5 meter itu, mereka mem-buat peng akuan di hadapan mentor.

Andy kemudian berkisah. Tahun 2002, ketika duduk di kelas tiga sekolah menen-gah umum (SMU) di Aceh Utara, ia sering terlibat balapan liar bersama teman-teman-

Karena mau meningkatkan adrenalin saat balapan,

nya. Saat itu dia melihat temannya sesama pembalap liar punya nyali tinggi. Ia pun bertanya pada sang teman cara meningkat-kan adrenalin saat balapan liar digelar. Dari tanya-tanya itu, ia mengetahui temannya make sabu sebelum balapan.

"Dia mengajak saya untuk mencoba. Saya coba sekali, eh benar, saya tidak lagi merasa takut jatuh saat balapan," kata pria berusia 28 tahun itu.

Usai memakai sabu, Andy tambah ber-semangat. Rasa percaya diri dan keberani-annya tinggi. Dia tak lagi minder dan takut jatuh saat balapan. "Pertama sekali make, saya tidak merasa mabuk, tapi malah berse-mangat dan punya percaya diri yang tinggi. Saat ngomong sama kawan saya tidak mera-sa minder," katanya.

Namun, ketika pengaruh sabu mulai hilang, Andy merasa susah tidur, malas

dia mencoba sabu-sabu sampai akhirnya ketagihan.

Kini, ia berjuang untuk membuang jauh-jauh barang haram itu.

UTAMA | SABU-SABU

Page 13: Acehkini 09

ACEHKINI Januari 2009 13

Kisah Penikmat

Si Putihmakan, selalu haus, dan cepat marah. Andy kembali mencari sabu, untuk mengendalikan emosinya. Sejak itu, ia ketagihan serbuk putih tersebut. Andy tak kesulitan mendapat sabu, karena banyak bandar yang telah di-kenalinya. Kalau stok menipis di bandar yang dikenalnya di Lhokseumawe, dia meng hubungi bandar di Bireuen.

Uang yang didapatnya dari hasil mem-bantu usaha orangtuanya berjualan, dipakai untuk membeli si putih (sebutan lain untuk sabu-sabu). Mulanya, gaji itu mencukupi. Tapi, ketika benar-benar ketergantungan pada si putih, Andy kelimpungan. Uang dan emas milik orangtuanya acap digasak untuk membeli sabu. Terakhir, ia menjual sepeda motor yang sering digunakan balapan.

Untuk mendapatkan satu sak si putih, Andy harus merogoh kocek sekitar Rp 5 juta. Satu sak itu beratnya hanya 0,06 gram. Biasanya, Andy membagi satu sak ke da-lam enam paket, masing-masing 0,01 gram. Sabu ini digunakan secara rutin. Tak ja-rang, santapan makan siang diganti dengan menghisap sabu. Alamat sudah kecanduan, Andy menghisap sabu sampai sepuluh kali per hari. Tapi kalau stok menipis, seminggu ia menghirup sabu hanya empat kali.

"Setelah make, biasanya saya keluar ru-mah. Selang sejam, saya pulang karena ke-pingin lagi," kata Andy, yang menggunakan

sabu dengan bong.Andy pandai mengelabui istri dan orang-

tuanya. Di rumah ia memakai "topeng" agar tak ada orang yang curiga. Ia menjalani ak-tivitas seperti biasa. Bila waktu salat tiba, dia langsung salat. Begitu juga jika ada penga jian, ia pun mengikutinya. Nah, gilir-an waktu tidur, ini yang diakui Andy sulit. Tapi, untuk menutupi jejaknya sebagai pe-make, "saya paksain diri untuk tidur, agar tak ada yang curiga."

Sepandai-pandai tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Andy membuktikan pepa-tah ini. Saat asik-asiknya make di dalam ka-mar, dia kepergok sang istri. Kabar itu ter-siar cepat di rumah orangtua Andy. Mereka kecewa dan tidak memercayai lagi Andy, dengan tingkah polah yang selama ini dila-konkan. Kasus kehilangan uang dan emas juga mulai terbongkar.

Andy mulai dikucilkan keluarga. Kalau dia sedang di rumah, orangtuanya selalu mengunci pintu kamar karena takut akan kembali kehilangan uang dan perhiasan. Andy pun mulai sering marah-marah. Dia mulai berani meminta uang secara paksa pada istri dan orangtuanya. "Mereka tak be-rani memarahi saya. Mereka mulai gelisah," kata sulung dari lima bersaudara ini.

Andy juga tak lagi bersosialisasi dengan sekitarnya. Ia lebih banyak menghabiskan

harinya dengan berdiam diri di rumah. Dia keluar rumah jika persedian sabu habis. Andy benar-benar down. Pernah terbersit keinginan untuk berhenti. Namun candu menguasai Andy. Lalu, awal November 2008, adik Andy yang sekolah di yapena P.T. Arun Lhokseumawe memperlihatkan brosur tentang narkoba dan alamat panti rehabilitasi.

Tak menunggu lama, Andy mengutara-kan niat berhenti make kepada istri dan orangtuanya. Terang saja, keinginan Andy ini mengejutkan keluarganya. Mereka akhir-nya menelepon Rumoh Geutanyoe –lembaga rehabilitasi yang ada dalam brosur dimak-sud. Beberapa hari kemudian, staf Rumoh Geutanyoe menjemput dan membawa Andy ke panti rehabilitasi di Desa Ie Masen Kayee Adang, Banda Aceh.

Andy shock. Malam pertama di panti rehabilitasi, ia dijebloskan ke ruangan iso-lasi. Dia merasa telah membuat perangkap untuk dirinya sendiri. "Kalau saya tahu ada tempat isolasi mungkin saya tidak ke mari," ujarnya.

Andi bertambah bingung. Kendati di ru-ang isolasi, ia tak mendapati polisi di panti itu. Pikirannya terus berkecamuk. Penye-salan telah "menyerahkan" diri ke panti rehab terus menghantui pikirannya. "Saya terus berusaha lari, tapi tak dapat saya laku-kan karena diisolasi," aku Andy.

Ruang isolasi hanya berukuran 3x3 meter. Hanya ada satu kasur dan bantal. Di dindingnya ada tulisan 12 langkah membebaskan diri dari pengaruh zat adiktif yang harus dihafal pecandu. Nah, rupanya, pasien yang dikerangkeng baru akan dibebaskan jika sudah bisa hafal 12 langkah itu.

Empat hari lamanya Andy mendekam di ruang isolasi. Dia berbaur dengan mantan pemake lain yang lebih dulu masuk panti. Masalah mulai muncul. Perasaan sakau, gigi ngilu, badan bergetar, dan perasaan dihina orang lain, saban hari menyerang Andy. Dia benar-benar paranoid. Dia selalu mendengar ada orang lain mengejeknya, atau ada polisi yang hendak menangkapnya. Perlahan Andy bisa melewati masa-masa sakau ini.

"Perasaan sakau dan parno (paranoid) hilang begitu saya alihkan ke kegiatan lain, seperti membaca dan membersihkan ka-mar," ujar Andy yang memakai sabu sejak tahun 2002 hingga 2008 ini.

Kini, setelah sebulan lebih berada di panti rehabilitasi, kehidupan Andy mulai teratur. Ia betah dan bertekad bisa mereha-bilitasi namanya yang telah dicap jelek oleh warga kampung. Dia ingin memperbaiki hubungan dengan keluarga dan masyarakat sekitar. "Sekarang, saya disuruh pulang (ke rumah) pun, nggak mau, karena saya tak akan lari dari kenyataan. Saya ingin pulih," kata dia. [a]

Page 14: Acehkini 09

14

Tak Sakau di Rumoh Geutanyoe

Tiga kali sehari, mereka mengisi jurnal.Boleh isi apa saja.

Terapi dilakukan melalui pendekatan kekeluargaan.Pola hidup pun ditata agar lebih teratur.

oleh JAMALUDDINFOTO: YO FAUZAN-ACEHKINI

BANDUL JAM MENUNJUKKAN ANGKA delapan pagi. Belasan pria berambut cepak bersiap-siap menuju ruang makan. Pagi itu, mereka menyantap nasi gurih. Lauknya alakadar: telur dadar atau ikan tongkol. Sambil sarapan, sesekali mereka melempar canda sesama. "Mereka para pecandu yang sedang kita pulihkan," kata Andik, yang berdiri tak jauh dari anak didiknya.

Setahun setengah sudah Andik menjadi mentor di Rumoh Geutanyoe, panti reha-bilitasi pecandu narkotiba dan zat adiktif yang dikelola yayasan Kita. Sejak dibuka 2007 silam, Rumoh Geutanyoe menampung pecandu narkotika dan obat-obat terlarang untuk dipulihkan. Ada 43 pecandu yang te-lah ditangani Rumoh Geutanyoe.

Andik punya cara tersendiri memuli-hkan kondisi para pecandu. Saban hari, mereka yang menjalani masa rehabilitasi diwajibkan ikut berbagai kegiatan yang dis-usun mentor. Usai sarapan, mantan pemake diperbolehkan istirahat. Masa senggang ini digunakan untuk main game di komputer yang ada di ruang utama, mencuci pakaian, dan bersenda gurau sesama.

Tak jarang, ada di antara mereka yang mengisi jurnal pagi. Di jurnal pagi, mereka menulis berbagai pengalaman dan perasaan sejak bangun pagi dan salat Subuh berja-maah. Jurnal ditulis di buku yang disedia-kan mentor. Mereka bebas menulis apa saja yang dirasakan. Biasanya, apa yang mereka tulis itu akan dibacakan di hadapan sesama pemake.

Usai masa senggang, kesebelas bekas pecandu mengikuti pendidikan di ruangan berukuran 3x5 meter. Jangan bayangkan ruangan belajar itu lazimnya tempat bela-jar pada umumnya. Di sana hanya ada satu unit papan tulis putih, meja yang dikelilingi belasan kursi. Sifatnya jauh dari formal, layaknya belajar di sekolah.

Pagi itu, giliran Andik yang jadi men-tor. Ia memulai kelas, "Hari ini kita bela-jar tentang Indonesia." Dia lalu bertanya soal perkembangan Indonesia kepada anak didiknya.

"Indonesia itu akan berkembang," ujar Tendi. Remaja ini hanya sempat meng-enyam bangku sekolah dasar. Itu pun tak tamat. "Tapi saya tidak tahu apa benar akan berkembang," Tendi mulai pesimis dengan jawaban pertamanya. Jawaban ini mengun-dang tawa teman-temannya.

Di lain waktu, mantan pecandu belajar mengenai bahaya narkoba. Tak lupa, para mentor juga menjejali "siswa" dengan ma-teri etika, cara bergaul dan bersikap dengan orangtua dan masyarakat. Materi-materi semacam itulah yang mereka pelajari saban hari di ruangan kecil itu. Tiap hari, mereka hanya masuk kelas dua kali: usai sarapan dan makan siang.

Kelas bubar saat bandul jam menunjuk-kan pukul 12.15 WIB. Sembari menunggu

UTAMA | SABU-SABU

Page 15: Acehkini 09

ACEHKINI Januari 2009 15

menu makan siang, mereka mengisi jurnal siang. Sama seperti pagi, mereka menulis apa saja perasaan dan pengalaman yang mereka alami. Tiap hari, mereka diharus-kan mengisi jurnal tiga kali: pagi, siang, dan malam.

Usai makan, mereka harus salat Dhuhur berjamaah, istirahat, dan kembali masuk kelas sesi kedua. Mulanya, banyak peserta Rumoh Geutanyoe bete. Tapi perlahan rasa suntuk dan bosan ini hilang.

Aha, jadwal olahraga tiba –usai menu-naikan salat Asar. Mereka memilih bermain sepak bola di halaman samping rumah. Tak semua memang berolah raga. Ada yang membaca, atau nyuci. Mereka tak ada yang diperbolehkan keluar pekarangan rumah. Ini waktu yang ditunggu-tunggu mantan pecandu. Soalnya, selama sehari penuh mereka tak diizinkan keluar rumah. It’s freetime, dud.

Tak jarang, ada yang memanfaatkan waktu sempit ini untuk kabur. Ahad, 4 Janu-ari, lalu, seorang peserta pemulihan melari-kan diri: tak tahan dengan rutinitas yang "sedikit" mengekang. "Dia anak Banda Aceh dan sudah pulang ke rumahnya. Keluarga

sudah menelepon kita, dan kita menunggu waktu yang tepat untuk menjemputnya kembali (ke sini)," kata Emi, seorang men-tor, yang juga mantan pemakai sabu-sabu dan ganja.

***

ITULAH TERAPI BAGI PARA PECANDU narkoba yang diterapkan Rumoh Geu-tanyoe. Menurut Andik, koordinator men-tor, metode yang mereka pakai didasarkan pada pengalaman mereka menangani pe-candu. Simak saja pengalaman Emi dalam menangani pasien yang tubuhnya kaku aki-bat sakau.

Emi tak menggunakan suntik cairan pelemas otot. Ia malah menyirami pecandu itu dengan air es. Menurut dia, tubuh akan bereaksi terhadap dinginnya es dan saraf akan rileks. "Metode penanganan ini tak ada dalam buku-buku panduan," kata Emi.

Di Rumoh Geutanyoe mantan pecandu diubah pola hidupnya. "Pasien" yang biasa-nya tak pernah bangun pagi dan salat Subuh, di sini diwajibkan. "Pecandu di luar sana bermasalah dengan pola hidup. Jadi di

sini kita terapi pola hidup yang baik, tidur jam 11 malam," kata Andik.

Selain pola hidup, pasien juga akan direhabilitasi mental. Umumnya, pengguna sabu-sabu akan mengalami paranoid atau ketakutan berlebihan dan sulit berpikir. Paranoid ini berakibat pada besarnya sikap curiga terhadap orang lain.

Selama enam bulan mereka direhabili-tasi secara kontinu. Di bulan ke tujuh, diper-bolehkan kembali ke keluarganya. Namun ada juga yang malah kembali ke Rumoh Geutanyoe karena tak tahan dengan godaan si serbuk putih di luar sana.

"Saya telepon ke sini, minta dijemput. Saya takut make lagi," kata Jhony, mantan pecandu dari Lhokseumawe. Dia terlibat sabu-sabu sejak 2006. Pada tanggal 14 Feb-ruari 2008, Jhony diboyong ke Rumoh Geu-tanyoe oleh keluarganya.

Kini, ia betah tinggal di Rumoh Geu-tanyoe dan mendampingi temannya sesama mantan pecandu. "Saya ingin mengajak mereka menjauhi narkoba. Nanti, saya juga akan mengajak pemake yang lain menjauhi narkoba dan mau direhabilitasi dengan ke-sadaran sendiri," ujarnya. [a]

setelah memperoleh pencerahan spiritual sebagai akibat dari langkah-langkah ini, kita coba membawa pesan ini kepada para pecandu lainnya. Dan menerapkan prinsip prinsip ini dalam semua urusan keseharian kita.

12 Langkah Penyembuhan

mengakui bahwa kita tidak berdaya terhadap adiksi kita sehingga hidup kita jadi tidak terkendali.

mengakui bahwa ada kekuatan lebih besar dari pada diri kita sendiri yang mampu mengembalikan kita kepada kewarasan.

membuat keputusan untuk mengalihkan niatan dan kehidupan kita pada kasih Tuhan sebagaimana kita memahaminya.

membuat invetaris moral diri kita sendiri secara penuh, tanpa rasa gentar.

mengakui kepada Tuhan, pada diri kita sendiri, kepada manusia lainnya, setepat mungkin sifat dari kesalahan kita.

siap secara penuh agar Tuhan menyingkir semua kecacatan karakter kita.

rendah hati meminta-Nya menyingkirkan kelemahan-kelemahan kita.

membuat daftar orang-orang yang telah kita sakiti, dan bersiap diri untuk menebus kepada mereka.

menebus kesalahan kita secara langsung kepada orang-orang tersebut bila memungkinkan, kecuali bila orang melakukannya akan justru melukai mereka atau orang lain.

secara terus-menerus melakukan invetaris pribadi kita dan bila bersalah segera mengakui kesalahan kita.

melakukan pencarian melalui doa dan meditasi untuk memperbaiki kontak sadar kita dengan Tuhan sebagaimana kita memahaminya, berdoa hanya untuk mengetahui niatan-Nya, atas diri kita dan kekuatan untuk melaksanakannya.

1 2 3 4 5 6

7 8 9 10 11 12

Page 16: Acehkini 09

16

Idrus, 40 tahun, berkali-kali menghujam cangkul. Setiap menghantam batu, dia riang. Bersama ratusan warga, ia saban hari berburu emas. Walau diintai petaka, perbukitan yang semula hijau, terus ditebas. Lebih dari 5 hektar lahan telah tandus.

Gunong Ujeuen, Krueng Sabee, Aceh Jaya, seakan ladang sumur. Demi emas, para penambang tradisional itu, menggali tanah hingga kedalaman sepuluh meter. Di perbukitan itu, emas lebih bernilai dari nyawa. Sedikitnya sembilan orang sempat tertimbun longsor bekas galian. Sebelumnya, satu orang warga merenggang nyawa di sana.

Idrus paham, merusak hutan berarti menabur bibit bencana. Dapur harus mengepul, satu-satunya dalih mengeruk bukit. "Hanya di sinilah kami berharap bisa mendapatkan uang untuk mencari makan,"

ujarnya, yang mengaku pernah mencoba bertani, tapi banjir datang dan merusak tanamannya.

Dalil serupa juga yang mengantar Abdul Rani, 45 tahun, ke Gunong Ujeuen. Ia pernah bekerja di proyek penggalian pipa milik Exxon Mobil di Aceh Utara. Kontrak habis, ia bekerja di Aceh Inti Timber, perusahaan penebang hutan yang legal. Dua tahun di sana, perusahaan itu tutup karena konflik bersenjata.

Kehilangan mata pencaharian, Rani bekerja sebagai petani di kampungnya. Ketika orang-orang ramai berburu emas sejak September 2008, Rani pun ikut menggali tanah, mencari batu berisi emas di puncak Gunung Ujeuen.

Pemerintah setempat sebenarnya sudah pernah melarang warga melakukan penambangan emas secara tradisional. Namun, warga tak mengindahkan larangan itu. "Kalau kami dilarang menambang emas, kami tidak lagi punya mata pencarian," ujar Rani.

Padahal, penghasilan dari berburu emas tak seberapa jika dibanding kerusakan alam yang ditimbulkan. Setiap karung berisi 30 kilogram batu, rata-rata hanya menghasilkan 2 -3 gram emas. Itu pun kalau lagi beruntung. Lebih sering, mereka tak dapat apa-apa. Para pedagang emas hanya membeli Rp 185 ribu per gram.

Untuk memperoleh penghasilan sebesar itu, warga harus menempuh jalan berliku. Dari desa terdekat yaitu Panggoi, warga masih bisa mengendarai sepeda motor sejauh dua kilometer. Dari sana, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki, menapaki jalanan menanjak sejauh tujuh kilometer.

Di sisi lain, jika tak dihentikan, keselamatan hutan terancam. Hal ini tentu bertentangan dengan kampanye Aceh green vision yang sedang digalakkan pemerintah Aceh.

Rupanya, kemilau emas lebih berharga daripada menyelamatkan hutan. [a]

DemiEmas

Foto dan NaskahFauzah Ijazah

Page 17: Acehkini 09

ACEHKINI Januari 2009 17

Page 18: Acehkini 09

18

Tanah diusap batu ditatapSerpihan diharap timbulkan kilau

Page 19: Acehkini 09

ACEHKINI Januari 2009 19

Melempar batu yang mengandung emas

Bersama mendulang asa

Page 20: Acehkini 09

20

Ada asa dalam setiap genggam Menanti masa memetik laba

Mengumpulkan batu dan bersiap pulang

Page 21: Acehkini 09

ACEHKINI Januari 2009 21

Rehat usai menambangMatahari turun saatnya melangkah pulang

Page 22: Acehkini 09

22

Lelah mendera, tanah liat jadi tumpuan

Memikul beban membawa harapan

Kilau emas menaburkan asa

dan tinggalkan lara

Page 23: Acehkini 09

ACEHKINI Januari 2009 23

www.conflictanddevelopment.org

FOTO: CHAIDEER MAHYUDDIN —ACEHKINI

Perdamaian dan Demokrasi Patronase

Page 24: Acehkini 09

A www.comflictanddevelopment.org

Hanya berselang 16 bulan setelah penandatanganan Nota Kesepa-haman Damai (Memorandum of Understanding/MoU) di Helsinki,

Finlandia, yang mengakhiri 30 tahun konflik antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), rakyat Aceh menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung untuk memilih gubernur, serta 19 bupati dan walikota.

Tim Konflik dan Pengembangan (Conflict and Development Team), Bank Dunia Indonesia, coba menangkap agenda politik ini dalam satu hasil penelitian yang berjudul “Peaceful Pilkada, Dubious Democracy: Aceh’s Post-Conflict Elections and their Implications”. Kehadiran penelitian ini sepertinya berada pada momentum tepat, kar-ena selain bermanfaat bagi mereka yang ingin merancang program-program atau kebijakan-kebijakan pembangunan efektif di Aceh, juga beberapa temuan-nya memiliki relevansi terhadap persiapan pemilu 2009.

Sebagai peneliti utama, Samuel Clark dan Blair Palmer —diban-tu sejumlah anggota tim— mengumpulkan berbagai data untuk kepentingan penelitian melalui penelitian lapangan kualitatif mendalam yang dilaksanakan di delapan kabupaten: Aceh Timur, Bireuen, Pidie, Aceh Tenggara, Aceh Barat, Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Aceh Jaya. Sedangkan data lain diperoleh lewat pemantauan surat kabar terhadap semua konflik terkait pilkada —baik yang melibatkan kekerasan maupun yang tidak. Kegiatan penelitian mulai dilakukan sejak awal masa persiapan pilkada (September 2006) hingga periode pascapilkada (November 2007). Meskipun penelitian ini meliputi pilkada di tingkat provinsi (pilgub) mau-pun tingkat kabupaten/kota (pilbup/pilwali), tapi sebagian besar analisa terfokus pada tingkat kabupaten/kota.

Dari hasil penelitian terlihat bahwa selain tujuan jangka pendek untuk memperboleh-kan keterlibatan mantan kombatan GAM da-lam kegiatan politik lokal —yang merupakan langkah penting dalam proses perdamaian— pilkada ini juga berpotensi memiliki dua peran kunci dalam membangun perdamaian untuk jangka panjang, yakni: memperkuat cara-cara persaingan politik yang sehat antar-elit lokal Aceh, dan membangun landasan bagi tata pe-merintahan yang baik (good governance) serta pengembangan kebijakan yang efektif di Aceh. Penelitian ini mengkaji sejauh mana pilkada Aceh mampu memenuhi peran-peran terse-but, dan mempertimbangkan dampak jangka pendek dan panjang dari praktik politik yang terjadi selama masa pilkada berlangsung.

Lalu, sejauh mana pilkada pascakonflik di Aceh mampu memperkuat persaingan politik

yang sehat serta pemerintahan yang bersih? Penelitian ini meng-gunakan pendekatan analitik yang lebih luas —dan tidak hanya terfokus kepada apakah pilkada berjalan ‘bebas dan adil’ saja— untuk menjawab pertanyaan tersebut. Khususnya, pengamatan mendalam mengenai: (i) pelaksanaan pilkada secara institusional; (ii) strategi kampanye dan mobilisasi oleh para kandidat; dan (iii) perilaku pemilih. Dalam penelitian ini, temuan dari ketiga faktor itu dielaborasi dan dikaitkan dengan berbagai dinamika politik yang muncul pascapilkada.

Kendati pengalaman di tempat lain menunjukkan bahwa pemilihan pascakonflik jarang dapat segera menghadirkan tata pemerintahan yang baik, analisa praktik pilkada dan dampaknya pada tahun pertama pascapilkada terhadap kedua hal tersebut bisa membantu dalam mengembangkan pendekatan-pendekatan yang bisa memperkuat demokrasi damai di Aceh.

CHAIDEER MAHYUDDIN —ACEHKINI

Page 25: Acehkini 09

ACEHKINI Januari 2009 25

Penelitian ini mengungkapkan, meski pilkada pascakonflik telah berlangsung sukses —dalam arti pilkada berlangsung be-bas, adil dan damai— pelaksanaan pilkada juga memperlihatkan praktik politik yang cenderung tidak memperkuat manajemen persaingan politik antar-elit lokal dan kurang membantu terben-tuknya pemerintahan akuntabel, bertanggung jawab dan respon-sif pada jangka menengah dan panjang.

Pelaksanaan InstitusionalTingkat kekerasan yang terjadi pada pilkada Aceh dapat dika-

takan rendah. Kalau mengingat Aceh yang baru damai setelah 30 tahun dilanda konflik kekerasan, pencapaian ini patut dihargai. Meski demikian, konflik dan sengketa terkait pilkada sering ter-jadi walaupun jarang disertai kekerasan. Pada konflik tanpa kek-erasan ini, tingkat keterlibatan institusi pemerintahan dapat dika-takan tinggi, baik sebagai pihak yang bertikai maupun pelaku pelanggaran pilkada.

Pengamatan terhadap masalah ini memperlihatkan beberapa kelemahan yang signifikan pada pelaksanaan pilkada secara in-stitusional: pengawasan pilkada masih rendah; penyelidikan atas sengketa dan pelanggaran pilkada tidak efektif; terdapat indikasi adanya petugas pilkada yang kurang netral; dan beberapa prose-dur penting ternyata tidak dilaksanakan, misalnya prosedur pen-gawasan keuangan dana kampanye.

Di satu sisi, kelemahan ini akan berdampak pada cara-cara

penanganan konflik politik di kemudian hari serta upaya mem-bangunkan good governance di Aceh. Meskipun tidak terjadi ma-nipulasi yang meluas, namun banyaknya pelanggaran dan ga-galnya lembaga-lembaga resmi menyelesaikan berbagai masalah secara efektif telah menimbulkan kekecewaan di antara fraksi-fraksi elit, dan telah mengurangi legitimasi para kandidat yang menang. Di sisi lain, karena buruknya pelaksanaan peraturan dana kampanye, masyarakat dan komponen masyarakat sipil (civ-il society) kehilangan instrumen penting dalam menuntut akunt-abilitas pemerintah di masa mendatang. Hal ini mungkin akan berdampak buruk terhadap upaya-upaya membangun pemerin-tahan yang bersih dan pembuatan kebijakan yang efektif.

Strategi Kampanye dan Mobilisasi oleh para Kandidat Partai-partai dan rencana kebijakannya tak secara signifikan

membentuk strategi kampanye kandidat pada pilkada Aceh. Jus-tru strategi lain lebih menonjol dalam kegiatan kampanye dan cara memobilisasi pendukung seperti pembentukan aliansi prag-matis melalui tim sukses, serta menyebarkan ‘patronase’ dan janji-janji. Para kandidat bersaing untuk mendapatkan dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat, dan mempekerjakan para broker politik yang menjual jasa mobilisasinya pada kandidat yang memba-yar paling tinggi. Khususnya di antara kandidat yang berafiliasi dengan GAM, mereka menggunakan jaringan luas yang dimiliki pada era konflik.

Melalui strategi kampanye seperti ini, banyak kandidat ting-kat provinsi maupun kabupaten/kota terlibat utang, baik politik maupun finansial, yang harus dilunasi di masa mendatang. Para kandidat yang menang akan menghadapi tekanan kuat untuk membayar utangnya melalui jasa-jasa politik yang cenderung mengompromikan prinsip-prinsip good governance. Hal ini ber-laku untuk kandidat yang berafiliasi dengan GAM maupun yang lain. Sebaliknya, kalau kandidat yang menang enggan melunasi utang politik dengan cara tersebut, diperkirakan dapat menim-bulkan konflik politik antara elit-lokal saat pendukung kecewa karena tidak menerima balasan dan akhirnya justru menyerang balik kandidat tersebut.

Perilaku PemilihPerilaku pemilih jarang ditentukan karena kesamaan pandan-

gan antara pemilih dan kandidat terhadap rencana kebijakan yang ditawarkan. Pemilih justru memilih kandidat berdasarkan faktor lain. Pertama, masyarakat memilih kandidat yang sudah memi-liki hubungan khusus dengan desa mereka. Cara ini (diharapkan) dapat memfasilitasi akses mereka terhadap sumberdaya negara. Kedua, bila tidak ada hubungan khusus, pemilih kadang beru-saha untuk menghubungkan dirinya dengan seorang kandidat yang cenderung akan menang, dengan tujuan dukungan itut bisa membawa keuntungan khusus di kemudian hari. Ketiga, pemili-han di Aceh seringkali bersifat komunal. Pemimpin desa sering-kali berpengaruh dalam menentukan pilihan warganya, dan dia dapat mempengaruhi sebagian besar warga desanya untuk memi-lih kandidat tertentu. Terakhir, beberapa kasus intimidasi terjadi di daerah yang masih didominasi GAM, meski tak sebanyak yang diperkirakan terjadi di daerah pascakonflik.

Pola perilaku pemilih seperti ini menunjukkan, warga sangat tidak yakin bahwa pemerintah bisa melaksanakan pembangunan dan melakukan reformasi kebijakan, tapi di saat yang sama warga juga sepertinya berharap mendapatkan keuntungan yang disalur-kan melalui jaringan patronase dan hubungan pribadi. Adanya dua faktor itu, kekecewaan terhadap negara dan harapan menda-pat keuntungan khusus, berpotensi menjadi landasan munculnya sengketa dan mobilisasi massa di kemudian hari, yang dapat men-ingkatkan kemungkinanan pecahnya kekerasan yang lebih luas.

Meninjau Lebih dari Sekadar 'Bebas dan Adil'

HASBI AZHAR —ACEHKINI

Page 26: Acehkini 09

A www.comflictanddevelopment.org

Pada periode pascapilkada, terdapat tanda-tanda awal bahwa praktik politik yang digambarkan di atas memang telah beraki-bat buruk pada manajemen persaingan politik dan penetapan landasan yang kuat bagi tata pemerintahan yang baik dan pem-buatan kebijakan. Terdapat empat perkembangan penting yang telah timbul pada awal periode pascapilkada.

Pertama, kelemahan pada pelaksanaan pilkada sehingga berujung pada sengketa pascapilkada dan kekecewaan yang berlanjut. Hal ini menunjukkan di beberapa kabupaten, pilkada gagal menetapkan pemenang yang diterima khalayak, dan di banyak tempat telah meningkatkan persaingan politik yang tidak sehat antar elit-elit. Persaingan tidak sehat ini sempat menghentikan roda pemerintahan di satu kabupaten (Aceh Tenggara). Di tempat lain, sengketa ber ujung pada perjanjian-perjanjian terselubung untuk meredam ketegangan antara ked-ua belah pihak yang bersengketa.

Kedua, metode kampanye dan mobilisasi telah membangun atau memperkuat hubungan ‘patronase’ yang mendorong pe-nyaluran kekuasaan dan sumberdaya pemerintah melalui jalur tidak resmi. Sehingga semakin mengukuhkan siklus pemerin-tahan yang korup. Fenomena ini sudah memunculkan konflik di antara para elit lokal yang saling berebut dukungan, dan menurut sejumlah indikasi yang ada sekarang, situasi ini terus mempersempit peluang untuk memperbaiki pemerintahan di Aceh.

Ketiga, hasil pilkada yang sebagian dimenangkan oleh kan-didat yang berafiliasi dengan GAM, telah meningkatkan teka-nan terhadap pemenang yang berafiliasi dengan GAM itu untuk menyalurkan sumberdaya pemerintah kepada kelompok-ke-lompok mantan GAM. Tekanan ini berdampak buruk terhadap pemerintahan, dan juga telah menyebabkan keretakan baru, dan memperparah keretakan lama, di tubuh GAM sendiri. Kar-ena masih belum jelas sejauh mana kepemimpinan GAM akan mampu menangani keretakan-keretakan ini, maka perpecahan di dalam tubuh GAM masih tetap berpotensi sebagai sumber konflik menjelang pemilu 2009.

Terakhir, terdapat beberapa tanda awal bahwa jaringan ‘pa-tronase’ yang dikembangkan selama pilkada akan dimanfaat-

Dampak Awal terhadap Persaingan Politik dan Pemerintahan

kan untuk memobilisasi kekecewaan di tingkat desa. Mobilisasi seperti ini dapat digunakan untuk meraih kepentingan politik desa, namun juga bisa dimanipulasi dan dimanfaatkan oleh para elit sehingga memperparah konflik politik tingkat kabu-paten.

Praktik politik dan kelemahan pelaksanaan pilkada yang digambarkan di atas memiliki banyak kesamaan dengan apa yang telah digambarkan oleh pengamat pemilu dan peneliti mengenai situasi di berbagai daerah di Indonesia pada umum-nya. Bila tantangan utama dalam menegakkan demokrasi di Aceh mirip dengan tantangan yang dihadapi di daerah lain, maka ini bisa dianggap sebuah pencapaian yang signifikan. Namun demikian, Aceh menghadapi tantangan lebih berat dan lebih beragam dibandingkan daerah lain di negeri ini, seperti adanya sejarah konflik, masyarakat yang telah mengalami ba-nyak trauma, munculnya dinamika unik di mana mantan pem-berontak kini jadi pimpinan pemerintahan, tingginya tingkat kemiskinan dan korupsi, ketegangan antar etnis, serta gerakan-gerakan untuk memekarkan provinsi baru.

Kondisi perpolitikan dalam konteks Aceh cenderung memi-liki resiko untuk terjadinya praktik politik negatif. Keadaan yang digambarkan di atas menunjukkan kekecewaan mengenai pemanfaatan sumberdaya dan kinerja pemerintah, yang pada masa lalu melatarbelakangi konflik separatis, akan tetap ada.

Walaupun kekerasan skala luas telah berhenti dengan ada-nya MoU Helsinki, konflik politik antara elit lokal tetap sering terjadi. Apabila pemerintah daerah gagal menepati janji-janji dari kampanye pilkada, konflik dan kekecewaan ini bisa se-makin parah. Memang komitmen politik terhadap proses per-damaian masih tetap kuat dapat kedua pihak. Namun, bila poli-tik lokal terus berjalan melalui sistem patronase, maka hanya sebagian kecil masyarakat saja yang akan merasakan pening-katan kesejahteraan. Dengan demikian, kekecewaan dapat menjadi dasar mobilisasi dan juga insentif bagi elit untuk me-mobilisasi massa masih tetap ada. Hal ini menunjukkan bahwa ada kebutuhan mendesak bagi Aceh untuk terus memperkuat dasar-dasar sistem demokrasi, agar perdamaian bertahan sam-pai jangka panjang.

HASBI AZHAR —ACEHKINI

Page 27: Acehkini 09

ACEHKINI Januari 2009 27

Jangka Pendek:Memperbaiki Pelaksanaan Pemilu 2009

Tujuan rekomendasi-rekomendasi ini, untuk menguatkan pelaksanaan pemilu secara institusional dan untuk mengurangi potensi terjadinya kekerasan.

RekomendasiUntuk menghadapi berbagai tantangan, dibutuhkan sudut pandang baik jangka pendek maupun jangka panjang. Intervensi jangka pendek dapat memperbaiki masalah-masalah berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan, dan merupakan sesuatu yang penting saat pemilu 2009. Selain itu, intervensi jangka panjang juga perlu dilakukan.

Jangka Panjang:Memperkuat Demokrasi

Tujuan rekomendasi-rekomendasi ini, untuk mengupayakan tercapainya syarat-syarat dasar yang dapat menumbuhkan demokrasi yang sehat di masa depan.

Menghilangkan ketergantungan Komisi Independen Pemilihan (KIP) terhadap DPRD. 1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

Memperjelas wewenang dan hubungan antara institusi pelaksana pemilihan di tingkat nasional,

provinsi dan kabupa ten/kota.

Menambah wewenang Panitia Peng-awas Pemilu (Panwaslu) terhadap Komisi

Independen Pemilihan (KIP).

Memperbaiki mekanisme penyelesaian sengketa dengan meningkatkan transparansi pada kasus-kasus

yang dilaporkan dan memperjelas sanksi kalau ada kasus yang tidak dilanjutkan tanpa kejelasan apapun.

Memperbaiki kelemahan aturan pendanaan kampanye, serta menciptakan prosedur

yang lebih efektif untuk meng awasi dana kampanye.

Membangun kapasitas masyarakat sipil untuk ikut memantau pendanaan

kampanye.

Memperjelas definisi 'politik uang' dan menyosialisasikannya ke

masyarakat.

Memantau netralitas pejabat pemerintahan secara lebih ketat, serta memberlakukan

sanksi bagi orang yang melanggar kode etik netralitas itu.

Memperbanyak diskusi mengenai rencana-rencana kebijakan selama periode

kampanye.

Memfasilitasi penilaian mendalam terhadap rekam jejak (track-records)

masing-masing kandidat.

Mengorganisir kegiatan yang dapat digunakan para kandidat untuk membu at pernyataan-pernyataan tentang

rencana kebijakan masing-masing partai, dan kontrak sosial untuk tata kelola pemerintahan yang baik.

Mengutamakan program-program untuk mengatasi pengangguran para bekas kombatan dan pemuda secara

umum.

Melakukan penelitian lanjutan untuk memahami cara penyebaran patronase yang digunakan pimpinan politik.

Membentuk organisasi yang mengawasi kontrak-kontrak dan tender-tender pemerintah (contract watch).

Memfasilitasi transparansi lebih kuat, dan pemantauan ketat terhadap proses di mana patronase sering disebarkan.

Memfasilitasi pemantauan terhadap ja-ringan patronase oleh masyarakat sipil.

Memperluas penyebaran media informasi dan komunikasi.

Mendukung jurnalisme investigatif yang independen.

Memfasilitasi diskusi-diskusi yang aktif tentang isu-isu pemerintahan, serta mewajibkan konsultasi publik dalam pengembangan kebijakan dan prioritas pemerintahan lokal.Memperkuat kapasitas teknis partai lokal dan nasional dalam mengembangkan dan mengkomunikasikan kebijakan sosial dan ekonomi.

Membuat peraturan yang memung kinkan pemimpin baru untuk mem per tahankan tim sukses mereka seba gai penasihat kebijakan jika diinginkan.HASBI AZHAR —ACEHKINI

Page 28: Acehkini 09

28

Menjala Laba di Keruh Gaza. Solidaritas untuk Palestina meroket. Politisi berada di garda depan. Sebuah ikhtiar menjala laba dalam pemilu?

Nanggroë

PEREMPUAN BERJILBAB BIRU ITU meratap. Bersimpuh di atas aspal, memeluk erat bayi berbalut kafan yang berlumuran darah. Beberapa menit sebelumnya, di-payungi awan gelap menjelang azan salat Jumat, ia berlarian bersama tujuh warga lain mencari selamat dari ‘mortil’ Israel yang merazia nyawa.

Tak jauh dari perempuan bergamis hi-tam itu, seorang pemuda juga larut dalam duka. Dia memeluk erat jasad sejawat yang bermandi darah. Siang itu, dari tujuh war-ga, empat di antaranya merenggang nyawa.

oleh MAIMUN SAlehFOTO KIRI-KANAN: YO FAUZAN —ACEHKINI

Aksi lalu dilanjutkan dengan serapah. Bergiliran petinggi partai, para legislator, mahasiswa dan ulama berorasi. Isi orasinya hanya tiga; mengutuk Israel dan sekutunya, seruan ‘bersedakah’ untuk warga Gaza dan imbauan menggalang doa.

“Masyarakat Palestina telah menunjuk-kan simpati ke Aceh saat tsunami. Sepan-tasnya masyarakat Aceh menyumbang dana dan doa,” ujar Nasrul Wahdi, Wakil Sekre-taris Umum, DPW PKS.

Teungku Faisal Ali, Sekretaris Jenderal Himpunan Ulama Dayah Aceh (Sekjen HUDA), tak kalah berapi-api dengan ora-tor lain. Pada masa aksi, berulang-ulang

FEATURE

Sementara ratusan orang lainnya, berteriak histeris, “Allahu Akbar...Allahu Akbar!”

Peristiwa itu terjadi sepekan setelah se-rangan Israel ke Palestina. Bukan di Jalur Gaza, melainkan persis di halaman Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Itu hanya aksi teaterikal kader Partai Keadilan Se-jahtera (PKS), yang meluapkan amarah den-gan melakonkan derita korban perang Gaza, Palestina.

Sepekan serangan Israel telah mereng-gut 435 nyawa. Di antaranya 75 anak dan 21 perempuan. Setidaknya itu yang berhasil dirangkum kantor berita Agence France-Presse (AFP), dari 700 kali serangan Israel.

Page 29: Acehkini 09

ACEHKINI Januari 2009 29

dilafalkan bahwa perlakuan Israel terh-adap rakyat Gaza sebagai kekejian yang tak terampunkan.

“Israel mengingkari hukum human-iter tentang perlindungan perempuan dan anak, warga Islam wajib berdoa mengutuk yahudi,” tegasnya dengan tangan tergepal menunjuk langit.

Mendung mulai sirna, kala demonstran merasa tak cukup sekadar mengumpat. Pemain ‘sandiwara’ yang sebelumnya ber-pura-pura tewas juga telah kembali dalam barisan. Tidak diam. Melainkan melempar bendera Israel dengan sepatu, meludah bah-kan menginjak-injak.

Lalu, bendera dibakar. Saat bunga api menjalar di kain putih bergambar ‘bintang daud’ berwarna biru itu, spontan beberapa pendemo melompat garang. “Saya puas. Seakan telah menghancurkan Israel,” ujar Nuridawani, seorang perempuan yang membakar bendera.

Selain berunjukrasa, para demontran juga menggalang rupiah. Niatnya, disa-lurkan untuk korban perang di Palestina. Hasilnya Rp 44,9 juta, sebuah jam tangan dan emas seberat 3,3 gram. “Pengumpulan dana dilakukan hanya dalam waktu sejam,” jelas Nadhira, seorang pendemo.

Serupa hobi yang baru tumbuh, bakar bendera Israel jadi trend di Aceh. Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAM-MI) Aceh, pelakon pertama. Tiga hari jelang tutup tahun lalu, mereka menyerbu kantor perwakilan PBB di Jalan Sudirman, Banda Aceh.

Sempat terjadi ketegangan antarma-hasiswa dan petugas keamanan. Pasalnya, baru saja sampai, mahasiswa sudah meng-goyang-goyang pagar kantor PBB yang men-

gurus rekonstruksi Aceh usai gelombang raya itu. Tak ayal, sejumlah pekerja tampak panik.

“PBB tak mengeluarkan kebijakan apap-un terhadap Israel yang jelas-jelas telah me-nyengsarakan rakyat Palestina, Amerika juga selalu mendukung kebijakan Israel dan PBB selalu tunduk pada Amerika,” kata Bas-ri Efendi, Ketua KAMMI Aceh.

Usaha Basri mendorong PBB bertindak, tak membuahkan hasil. Seorang staf ba-dan dunia itu menyatakan, kantornya tidak memiliki wewenang menampung aspirasi politik penolakan serangan Israel ke Pales-tina. Buntutnya, mahasiswa luapkan murka dengan membakar bendera. “Ini solidaritas kami terhadap nasib rakyat Palestina!” te-gas Basri.

***

“BIADAB… BIADAB… BIADAB!”

Cerca itu terus diucapkan massa, seraya mengarak keranda sambil mengayun lang-kah. Matahari masih mengizinkan Dhuha, kala spanduk dan poster turut dibawa serta ke Masjid Raya Baiturrahman. Semuanya bertuliskan, “aksi damai ganyang Israel.”

Sepagi itu, puluhan orang berkumpul di masjid terbesar seantero Aceh tidak un-tuk menunaikan kifayah. Sebab, keranda berbalut kain hitam yang diusung, hanya mainan. Para aktivis Hisbut Tahrir tersebut hanya mengumpat. “Biadab serangan Israel ke Rafah di Selatan Gaza,” sorak massa saat meninggalkan Masjid Al Makmur, Lampri-et, Banda Aceh.

Dalam barisan turut sejumlah politisi papan atas Aceh dari Partai berbasis Is-lam, di antaranya Ghazali Abbas Adan dan Ameer Hamzah. Tak cuma politisi, ulama juga ada. Bila dalam ‘shaf’ massa aksi PKS turut HUDA, bersama Hizbut Tharir, ada Ar-Rahman Kaoy, anggota Majelis Per-musyawaratan Ulama (MPU). “Kita harus meningkatkan ukhuwah islamiah,” kata Ghazali.

Aroma politik dalam aksi solidaritas Gaza merebak. Aksi memprotes negara ya-hudi di Bundaran Hotel Indonesia, 2 Januari lalu, membuat Presiden PKS Tifatul Sembir-ing diperiksa polisi.

Karenanya, Pemerintah Aceh bersikap dingin. Wakil Gubernur Muhammad Nazar justru berpandangan sederhana. Keruhnya Jalur Gaza, justru berpotensi laba bagi poli-tisi menjelang pemilu mendatang.

“Banyak sekarang demo dan pengiriman pasukan jihad oleh partai politik. Misinya, mencari simpati rakyat menjelang pemilu. Jadi jangan terlalu naif,” ungkap politisi Su-ara Independen Rakyat Aceh (SIRA) itu.

Begitukah? [a]

KENING MULyADI MENDADAK mengkerut. Dia memendam geram meli-hat ‘mata’ mesin bubutnya mulai berputar pelan. Pekerja bengkel kerajinan batang ke-lapa, Ujong Kareung, Sabang, itu pantas ke-sal. Dalam tiga jam kerja sudah empat kali listrik padam.

Potongan batang kelapa yang sudah ber-bentuk tatakan dinner set, terpaksa diting-galkan lekat di mesin kukur itu. “Berhenti dulu sejenak. Mati lampu,” ujar Mulyadi, sambil tersenyum pasrah.

Sejak didirikan tahun 2001, daya lis-trik memang lemah. Sementara kebutuhan produksi terus meningkat. Kudus Nazardi, Ketua Kelompok Bengkel Dekranas Sabang ini telah memohon penambahan daya lis-trik. Namun, hasilnya nihil. “Jadinya ya be-gini kondisinya,” ujar Kudus, saat ditemui di bengkel.

Padahal, bagi Kudus, bengkel ini punya potensi menjadi ujung tombak industri ru-mahan di Sabang. Apalagi dunia wisata pu-lau ini sudah mulai menggeliat lagi se iring mulai bersemainya perdamaian di Aceh. Dia yakin, bengkel ini mampu meningkat-kan ekonomi masyarakat setempat.

Tak hanya listrik yang membuat beng-kel ini melata. Kudus mengakui minat masyarakat juga masih kecil, walau usia bengkel sudah tujuh tahun. “Kami terus mengupayakan untuk bisa mewujudkan home industri,” jelas pria yang bergabung di bengkel sejak tahun 2002 ini.

Awalnya, bengkel kerajinan batang kela-pa ini memang didirikan oleh Dewan Kera-jinan Nasional (Dekranas) Kota Sabang. Tu-juannya, memperkenalkan potensi daerah. Lalu pelatih dari Jogjakarta, didatangkan untuk mengajarkan warga mengolah batang

Kelapa Sabang Tak Bersantan. Industri handicraft Sabang mulai dilirik pasar. Tujuh tahun bisnis ini disengat asupan daya listrik yang lemah.

FEATURE

oleh DASPRIANI Y ZAMZAMI

Seorang demonstran mempertunjukkan aksi teatrikal sebagai solidaritas untuk Palestina.FOTO KIRI-KANAN: YO FAUZAN —ACEHKINI

Page 30: Acehkini 09

30

kelapa. “Sabang memang memiliki bahan baku kelapa yang bisa dimanfaatkan dan jumlahnya cukup banyak,” katanya.

Dua bulan dilatih, hasilnya tak seperti diharapkan. Bayangkan, sebut Kudus, dari 20 pemuda putus sekolah yang diberi pelati-han, membuat kerajinan dari batang dan batok kelapa, kini hanya tinggal tujuh orang saja yang bertahan di bengkel. “Satu persatu mundur dengan berbagai alasan, misalnya harus berjualan, atau ingin mengerjakan hal lain, “ujar bekas Manager Perusahaan Kerajinan Rotan di Sabang ini.

Menariknya, ketujuh pekerja bengkel itu telah diangkat menjadi pegawai negeri sipil. Mereka memiliki keahlian berbeda. Mulyadi misalnya, ia ahli bubut. yeni Darwin, yang khusus bekerja di bagian pengamplasan.

Jadwal kerjanya, persis jam kantoran instansi pemerintah. Meski tak ada or-der, tapi bengkel tetap harus menyediakan stok barang. “Soalnya jika ada permintaan, maka kami sudah siap dengan barang yang ada,” jelas Kudus.

Soal design, kerajinan batang kelapa milik bengkel ini selalu mencoba berbagai inovasi. Kudus sendiri designernya. “Ibarat buahnya, kerajinan batang kelapa ini juga harus bersantanlah,” tamsilnya.

Menurut Kudus, hasil kerajinan batang kelapa hasil buatan mereka, khususnya produk yang dipakai untuk makanan dan minuman, aman digunakan. “Soalnya kami memakai zat yang tidak mengandung racun untuk catnya, sehingga produk bisa diguna-kan dengan aman,” papar Kudus.

Ada banyak produk yang sudah dihasil-kan, namun industri ini tak kunjung tenar. Padahal, inilah bengkel kerajinan batang kelapa satu-satunya di nanggroe Aceh. “Kami berharap jadi trend-setter handi-craft kerajinan batang kelapa di Aceh, tapi

tak satupun masyarakat tertarik dan mau melirik usaha ini,” kata Kudus.

Diakuinya, hasil kerajinan batang ke-lapa sebenarnya sudah mendapat perha-tian pasar, namun bengkel belum mampu memanfaatkan pasar yang ada. Buktinya, setiap ada pameran kerajinan, produksi bengkel batang kelapa menjadi perhatian setiap pengunjung. “Barang yang dipa-merkan selalu habis, bahkan ada yang tak percaya kalau kerajinan ini berasal dari Sabang, kebanyakan orang menganggap ini dari Jogja,” katanya.

Sadar minimnya keinginan masyarakat terhadap bisnis ini, tahun depan Dinas Per-industrian dan Perdagangan (Perindag) Sa-bang akan membentuk kelompok-kelompok pengrajin. “Potensi besar, tapi masih belum mendapat perhatian serius, dari banyak

pihak,” sesal Kudus. yusfa Hanum, Sekretaris Dekranas Kota

Sabang, punya siasat agar bisnis pohon ke-lapa dilirik warga setempat. Caranya, me-nyediakan fasilitas untuk kerajinan rumah tangga. Tujuannya, merangsang masyarakat berwirausaha. “Dekranas kan bukan peru-sahaan, tapi berupaya untuk memfasilitasi usaha kerajinan yang ada,” ujar Hanum.

Menggenjot keahlian warga lewat pelati-han telah dimulai sejak November lalu. Kali ini bukan hanya batang kelapa, tapi juga kerajinan rotan yang dimodifikasi dengan batang kelapa. “Kita bekerja sama dengan Dinas Perdagangan memberikan pelatihan untuk masyarakat,” jelas Hanum. “Bebera-pa design sudah diajarkan, misalnya modi-fikasi lampu hias, ini akan dijadikan barang utama untuk pelopor kerajinan.”

Hanum berharap cita-cita menjadikan Sabang yang punya desa kerajinan segera terwujud. “Tahun depan kita akan coba mem beri fasilitas lagi untuk masyarakat agar menjalankan home industri,” kata Hanum.

Sebagai tahap awal, bulan ini disalur-kan beberapa peralatan kepada kelompok masyarakat yang sudah dipilih, untuk men-jadi kelompok usaha kerajinan rumah tang-ga. “Bahkan kios-kios kecil, tempat jualan hasil kerajinan ini sudah dibangun di seki-tar pelabuhan Balohan,” sebut Hanum.

Mengingat kecilnya daya listrik tersedia, pihaknya akan memberikan mesin yang meng hisap arus listrik minim pada warga. Sementara untuk bengkel, sebagai tempat finishing semua handicraft, Hanum hanya bisa berjanji untuk berjuang menstabilkan arus. Lebih cepat lebih baik. Seperti kata Kudus, “kelapa Sabang harus bersantan-lah.” [a]

Pengerjaan dan hasil kerajinan dari batang kelapa di Sabang.FOTO ATAS-BAWAH: CHAIDEER MAHYUDDIN —ACEHKINI

Page 31: Acehkini 09

ACEHKINI Januari 2009 31

PolitikHukum &

HUKUM POLITIK KRIMINAL

Keadilan dalam Kotak. Mereka masih terus berjuang mencari kejelasan nasib anggota keluarganya yang hilang akibat konflik. Berbagai pihak didatangi, tapi keadilan masih jauh dari harapan.

“PERASAAN SAyA, BAPAK MASIH hidup,” ujar Radhiah, 50 tahun, Desember lalu. Di rumahnya yang sederhana, Desa Me Sale, Kecamatan Indrapuri, Aceh Besar, terpajang foto-foto suaminya semasa masih

bersama.Berbaju putih motif bunga, dia tak

keberatan menceritakan kembali ketika suaminya, Ismail Panghab, hilang kala kon-flik mendera Aceh. Juga kisah perjuangan mencari keberadaan orang yang dicintainya itu, yang tak berbuah sampai kini. Radhiah

hanya dapat memendam cerita duka. "Saya masih mencarinya sampai kini, sampai ke-temu walau hanya kuburannya."

Syahdan, Radhiah ingat betul sebuah penanggalan, 25 Mei 2003, tepatnya sem-inggu setelah darurat militer digelar di Aceh. Saat itu Ismail dipanggil ke pos aparat

oleh ADI WARSIDIFOTO: AK JAILANI -ACEHIMAGE

Page 32: Acehkini 09

32

TNI di Indrapuri. Diminta melapor, setelah sebelumnya Hanafiah, anak mereka juga di-tahan di pos.

Pukul enam sore, Hanafiah dilepas tapi Ismail ditahan tanpa alasan kuat. Per-soalannya hanya satu, anak mereka yang lain adalah anggota pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang disegani di wilayah itu; Ali Akbar alias Inspektur.

Radhiah ingin bertemu Ismail, yang pe-gawai negeri sekaligus kepala desa di kam-pungnya. Ia kemudian pergi ke pos aparat keamanan bersama Hanafiah. Alasan pena-hanan tak jauh dari perkiraan mereka, agar Ali Akbar lunak dan menyerah.

Desa Me Sale adalah wilayah hitam, sebuah istilah yang dipakai aparat keaman-an saat konflik untuk penanda lokasi rawan dan banyak gerilyawan. Bagi Ali, keberadaan ayahnya yang ditahan hanya diketahui da-lam hitungan sehari. Dia kerap pulang men-jenguk keluarganya yang sedang berduka.

"Tapi Ali kukuh pada pendiriaan, dia tak mau mengkhianati GAM. Dia tak mau me-nyerah, saya tak bisa berbuat apa-apa, itu pilihannya," kisah Radhiah.

Suami ditahan, Radhiah terus mencari keadilan. Ia telah mendatangi semuanya untuk meminta tolong suaminya dilepas-kan, dari pihak Komando Distrik Militer (Kodim) Aceh Besar sampai ke Kepolisian Daerah Aceh. "Semua bilang ke saya, suami ada di sana dan masih ada."

Merasa kehilangan, bulan berlalu, trau-ma muncul. Tapi tiada berhenti mencari. Dia coba kembali ke pos tempat Ismail ditahan. Jawabannya yang diterima dari seorang aparat membuat Radhiah ketakutan. "Kalau mau selamat, gak usah bikin urusan," Ra-dhiah mengulang ucapan sang aparat.

Hingga berbilang tahun, tiada kabar suaminya. Berbagai lembaga penggiat hak asasi manusia (HAM) kemudian dilaporkan untuk membantu mencari suaminya. Hasil-nya nihil. Radhiah hidup dalam kekalutan, rumahnya pun tak luput dari silang merah aparat keamanan, karena Inspektur adalah anggota GAM.

Hampir dua tahun berlalu, Ismail tak pernah dapat ditemuinya lagi. Sebuah kabar menyesakkan didapat. Dalam sebuah kon-tak senjata antara aparat TNI dan GAM, tepat 18 Maret 2005, Ali Akbar dilaporkan tewas.

Damai yang lahir lima bulan kemu-dian, setelah perundingan lima babak di Helsinki, Filandia, membawa sejuk di In-drapuri. Tiada lagi kekerasan senjata dan cap pemberontak untuk keluarga Radhiah. Tapi damai tak membuatnya tenang. "Saya masih mencari suami saya sampai seka-rang, setidaknya saya harus tahu di mana kuburnya," katanya.

Lebih tiga tahun damai berlalu, Radhiah tak mendapat kabar apa-apa. Dia hidup da-lam kesulitan semenjak suaminya hilang.

"Saya hanya bertani dan kehidupan saya dibantu oleh anak-anak."

Hidupnya pas-pasan sampai kini. Dana reintegrasi, janji pemerintah usai konf-lik untuk para keluarga korban, juga luput mampir di rumahnya. "Saya tak mendapat bantuan apa-apa dari pemerintah, kendati saya tak berharap," ujar Radhiah.

Mencari keadilan, Radhiah bergabung dalam komunitas keluarga korban hilang semasa konflik. Ada seratusan orang ter-gabung di sana. Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh ikut memfasilitasi perjuangan mereka.

***

PERT E NGA H A N BU L A N L A LU, seratusan keluarga korban konflik, ter-masuk Radhiah, melakukan unjuk rasa ke kantor Perwakilan Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) Aceh. Mere-ka datang dari berbagai peristiwa kekerasan semasa perang.

Secara simbolis dalam aksi guna per-ingatan Hari HAM Sedunia, mereka ikut menyegel kantor tersebut, sebagai tanda Komnas HAM belum mampu memberikan keadilan bagi korban konflik di Aceh.

Selama ini, Komnas HAM terkesan se-perti tak serius mengusut kekerasan di Aceh. "Kami minta kasus-kasus HAM Aceh

Saya masihmencari suami saya sampai sekarang,setidaknya sayaharus tahudi mana kuburnya

— RADHIAH. 50 tahun, Indrapuri.FOTO: ADI WARSIDI —ACEHKINI

Page 33: Acehkini 09

ACEHKINI Januari 2009 33

Banting Setir Politisi Usang. Sejumlah politisi lompat pagar ke partai lokal untuk bertarung pada pemilu nanti. Ingin tetap menikmati kursi parlemen atau memperjuangkan aspirasi rakyat?

SENyUM SUMRINGAH MENGHIASI wajah Abdullah Saleh. Politisi senior ini tetap semangat meski telah digusur dari kursi de-wan. Ia sudah dua periode menjadi anggota legislator di Daud Beureu-eh. Menghadapi pemilu legislatif April nanti, peluang Abdul-lah tertutup sudah. Lalu, banting setir. Kini, dia berlabuh ke partai lokal.

Bekas pengacara ini sudah kenyang asam garam dunia politik. Tarikh sepuluh tahun bukan waktu singkat bagi bekas poli-tisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dia menjadi 'korban' kebijakan internal par-tai berlambang Ka'bah itu. Untuk seorang legislator dari PPP, masa 10 tahun sudahlah cukup bercokol di gedung parlemen.

Artinya, dia harus tergusur dan tak bisa lagi mencalonkan diri dengan partai yang sama pada pemilu nanti. Singkat kata, mau tidak mau dia harus angkat kaki dari em-puknya kursi parlemen. Tapi bagi Abdullah Saleh, perjuangannya masih panjang. Tidak ada jalan lain, kecuali harus menyeberang agar dalam pemilu nanti namanya tetap be-redar dalam bursa calon anggota legislatif (caleg).

Partai lokal (parlok) yang lahir sesuai Undang-undang Pemerintahan Aceh, se-bagai bagian kesepakatan politik antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, menjadi sasa-rannya. Bagi sarjana hukum ini, parlok bisa jadi kendaraan untuk "memperjuangkan aspirasi masyarakat." Mantan Wakil Ket-ua Dewan Pimpinan Wilayah PPP ini pun memilih Partai Aceh (PA), yang didirikan bekas gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka

oleh MISMAIL LAWEUENG

nya mau bersatu, dia yakin apapun bisa di-lakukan. Apapun bentuknya, kasus-kasus kekerasan mesti diselesaikan melalui jalur hukum.

Hendra juga prihatin soal dana reinte-grasi. "Dana reintegrasi untuk korban be-lum terealisasi sepenuhnya," ujarnya.

Di sisi lain, kerja Komnas HAM di Aceh juga dilematis. Menanggapi aksi korban konflik yang menuntut keadilan, Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Aceh, Sepriady Utama mengatakan, pihaknya tak berwenang untuk menyelidiki atau mena-ngani pelanggaran HAM di Aceh. "Kami ber ada dalam posisi dilematis," katanya.

Berdasarkan peraturan dan Undang-un-dang, pihaknya punya keterbatasan untuk itu. "Kami hanya sub-ordinat Komnas HAM di daerah. Sebagai informasi, tak ada Kom-nas HAM di Aceh. Komnas HAM hanya ada di pusat," katanya.

Sepriady menyebutkan, sebagai perwa-kilan, pihaknya harus bekerja sesuai man-dat ditentukan UU. Kewenangan menye-lidiki pelanggaran HAM berat, berdasarkan pasal 18 ayat 1 UU Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, hanya ada pada Komnas HAM pusat.

Sepriady memahami kekecewaan kor-ban atas lambannya penyelesaian pelangga-ran HAM di Aceh. "Di satu sisi, kami tunduk pada keputusan sidang paripurna Komnas HAM. Di sisi lain, tuntutan pencari keadil-an korban terus berdatangan," sebutnya.

Sepriadi menuturkan, pihaknya sudah berupaya semampunya di Aceh, seperti memberikan laporan korban pelanggaran HAM dan orang hilang, disertai catatan kri-tis. Juga telah meminta agar sidang paripur-na Komnas HAM membentuk tim penye-lidikan pemeriksaan untuk menverifikasi dokumen pelanggaran HAM di Aceh

Ada satu titik terang, KontraS Aceh telah menerima balasan surat dari Ketua Kom-nas HAM Indonesia bernomor 542/TUA/XII/2008, tertanggal 15 Desember 2008. Dijelaskan bahwa Komnas HAM telah mem-bentuk tim yang bertugas untuk melakukan pengkajian terhadap kasus-kasus yang ter-jadi baik sebelum berlangsungnya daerah operasi militer (DOM) maupun sesudahnya. Berkas kasus-kasus orang hilang yang dite-rima dari KontraS Aceh juga akan dijadikan sebagai salah satu bahan oleh tim dalam rangka pelaksanaan fungsi dan tugasnya.

Di bekas wilayah-wilayah hitam, trau-ma warga akibat konflik hilang sudah. Tapi sebagian masih menyimpan tanya untuk keadilan yang masih di kotak. "Saya masih mencari keberadaan suami saya," kata Ra-dhiah.

Dalam gelisahnya, ia berujar: "Siapa pun yang salah harap diadili, bagaimana cara ada keadilan. Pemerintah harus mem-beri kejelasan kasus dan keadilan untuk ke-luarga korban." [a]

diselesaikan secepatnya, kami ingin keadi-lan," sebut Rukaiyah, seorang keluarga kor-ban konflik.

Koordinator KontraS Aceh, Hendra Fadli mengatakan bahwa banyak kasus ke kerasan dan orang hilang yang telah dilaporkan ke Komnas HAM Aceh oleh pihaknya, tetapi belum ada tindak lanjut penyelidikan ka-sus-kasus tersebut. Dalam catatan KontraS Aceh, kata Hendra, pihaknya telah melapor-kan 112 kasus orang hilang, tapi belum dit-indaklanjuti Komnas HAM.

Pendataan dilakukan melalui peran par-sitipasif warga korban. Dalam hal ini, Kon-traS Aceh berperan mengumpulkan bukti awal dan wawancara kesaksian. Selanjut-nya, menindaklanjuti dengan melaporkan ke lembaga berwenang. "Pembuktian lanjut kewenangan Komnas HAM nantinya," ujar Hendra.

Menurutnya, tindak kekerasan mayor-itas dilakukan oleh aparat keamanan. Sebagian kecil dilakukan oleh GAM. "Ke-mungkinan ada kaitan keperpihakan di sini, sehingga kalau ada kekerasan yang dilaku-kan oleh GAM, sulit melapor."

Menemukan keadilan, pihaknya tahu bukan perkara mudah. Tapi kalau semua-

Unjuk rasa para aktivis ketika peringatan hari HAM sedunia.FOTO: AK JAILANI -ACEHIMAGE

FOTO: UCOK PARTA —ACEHKINI

Page 34: Acehkini 09

34

(GAM), sebagai tempat berlabuh. "Partai Aceh adalah kekuatan politik

yang nyata. Mereka berjuang sungguh-sungguh untuk kepentingan Aceh," kata bekas Ketua Fraksi PPP ini. "Mereka ril ber-juang untuk masyarakat."

Abdullah tahu konsekuensi menye-berang ke PA. Pasalnya, dia harus memilih antara PPP atau PA. Karena alasan tadi, ia lebih manut ke PA. "Saya memang sudah mengajukan permohonan pengunduran diri dari PPP, secara lisan dan tertulis," jelas-nya.

Karena itulah, dia dicopot dari keang-gotaan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, dan diganti oleh kader PPP lain. "Kita siap menerima segala konsekuensinya. Artinya, saya keluar dengan tulus ikhlas dan mene-rima segala segala risiko akibat mundur dari PPP," ujarnya.

Begitu pula sebaliknya, bahwa dia juga masuk ke parlok dengan hal serupa; "tulus ikhlas”. "Karena itu, dalam pemilu akan da-tang, diberikan kepercayaan atau tidak baik oleh partai maupun masyarakat, saya ikhlas saja. Kalau dipercayakan kita laksanakan amanah ini. Jika tidak pun, saya ikhlas menerimanya."

Dia mengaku, bertarung lagi dalam pemilu nanti bukan termotivasi jabatan atau kursi. Dalihnya, karena orientasi lebih kepada perjuangan politik Aceh ke depan. Abdullah boleh beralasan dengan argumen-nya. Tetapi berbeda dengan rekan-rekannya yang juga memilih banting setir.

Rekannya sesama anggota dewan yang dilengserkan adalah Hamdani Hamid, M.

tak menyalahi undang-undang. Soalnya UU Pemerintahan Aceh membolehkan," kata Harmen.

Dalam pasal 83 ayat (3) disebutkan, peng urus parlok dapat merangkap keang-gotaan salah satu partai politik (berbasis na-sional). Ini dipertegas lagi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2007 Tentang Partai Politik Lokal di Aceh. Dalam pasal 11 ayat (1) PP tersebut dituliskan, anggota par-tai politik lokal secara perseorangan dapat merangkap keanggotaan satu partai politik nasional.

"Tujuannya tak lain, untuk membantu pendidikan politik kepada orang-orang par-lok. Karena apapun ceritanya, orang-orang Parnas itu sudah mapan dalam berpolitik," sebutnya.

Dia menolak disebut 'lari' ke partai lokal karena melihat euforia yang menguat di masyarakat. Apalagi banyak perkiraan, para caleg parlok bakal mendulang kemenangan dalam pemilu mendatang. Bagi dia, hal itu tidak menjadi acuan.

"Saya membangun parlok ini, bukan karena landasan lain. Dari segi finansial mungkin boleh saja kita bilang pasti ke situ, tapi amanah yang diembankan itu yang tak boleh diremehkan. Amanah para pemilih yang sudah percaya ke saya," katanya.

Lompat pagar politisi juga terjadi di be-berapa kabupaten/kota. Para politisi gaek memilih kendaraan parlok untuk maju se-bagai calon anggota legislatif. Apa karena amanah, lantas lompat ke parlok atau me-mang begitulah lakon banting stir sejumlah politisi usang? [a]

Jamal yunus dan Saifuddin Samin dari Partai Bulan Bintang (PBB). Ketiga politisi ini, membelot ke partai nasional lain guna mengincar kursi parlemen Aceh pada 9 April nanti. "Tak ada kecocokan lagi," kata Saifuddin singkat saat ditanya alasan dia lompat pagar.

Hamdani dan Jamal juga sama. Selain ketiganya, ada lagi sejumlah politisi yang naik kendaraan lain untuk sampai di Daud Beureu-eh, April mendatang. Di antaranya Safruddin Budiman, Tgk Harmen Nuriqmar dan Abdurrahman Ahmad. Dua nama ter-akhir malah menjadi pengurus teras par-lok.

Kedua politisi Partai Bintang Refor-masi ini lebih memilih cabut dari partainya de ngan menjadi penjaga gawang di par-tai lokal. Partai Daulat Atjeh (PDA), pun mendapuk Harmen sebagai Ketua Umum Tanfidhiah DPP PDA. "Parlok ini masih as-ing, dan itu justru di Aceh," ulasnya. Wakil Ketua Umum PDA jadi milik Abdurrahman Ahmad.

Atas alasan itu, lantas pria kelahiran 40 tahun silam ini banting setir ke parlok ben-tukan ulama. Sasarannya kursi legislatif da-lam pemilu nanti. "Di parlok, saya bisa lebih memperjuangkan langsung hak-hak rakyat secara konkrit," ujar bekas calon wakil gu-bernur pada pemilihan kepala daerah 2006 lalu.

Politisi yang juga seorang pimpinan dayah ini berdalih, alasan dia bergelut de-ngan parlok membuatnya lebih konsentrasi dalam melakukan perjuangan untuk mem-bangun Aceh dalam berbagai bidang. "Ini

Page 35: Acehkini 09

ACEHKINI Januari 2009 35

oleh DASPRIANI Y ZAMZAMIFOTO: DOK —ACEH CORAL CONSERVATION

Alam LINGKUNGAN SATWA

Agar HalamanRubiah Tak Gersang.Tsunami ikut melumat terumbu karang di perairan Pulau Rubiah.Setelah empat tahun berlalu,taman laut itu kembali menawarkan keindahannya bagi penyelamsambil menikmati ikan hias bermanja.

Page 36: Acehkini 09

36

JOHN BERGEGAS MEMAKAI PAKAIAN selam serba hitam. Tak lupa, turis berke-bangsaan Jerman itu menyelipkan sebilah pisau di kaki kanannya. Di dekatnya, Daniel masih bertelanjang dada, sambil meneguk air mineral. Dia juga sedang bersiap-siap dengan peralatan selamnya. Tabung selam sudah disiapkan tim yang lain. Mereka segera akan pergi menyelam untuk meli-hat keindahan terumbu karang yang ada di perairan Pulau Rubiah.

Keindahan terumbu karang dalam laut di situ memang tak diragukan lagi. Tim ACEHKINI yang ikut turut ke laut dengan alat snorkling terkagum-kagum mendapati indahnya terumbu karang. Ukurannya be-ragam dengan warna-warni yang mengun-dang mata untuk berlama-lama memerhati seisi perairan itu. Di sebuah titik, karang seukuran meja makan dikelilingi ikan hias warna-warni.

Sejak tahun 1980-an, pemerintah telah menetapkan Pulau Rubiah sebagai taman laut nasional (national sea garden). Luas-nya sekitar 2.600 hektar. Dengan seluas ini, halaman Rubiah jadi surga bagi penyelam. Selain terumbu karang beragam ukuran dan warna, Rubiah dipenuhi biota laut. Ada be-ragam ikan hias, yang bermanja dan sa ling bersenda di balik karang yang menawan. Sesekali, terlihat juga bintang laut sehingga menambah keindahan perairan ini.

Menurut beberapa penyelam, terumbu karang di Rubiah tak seindah sebelum tsu-nami. Ketika gelombang raya menerjang Aceh empat tahun silam, banyak terumbu karang yang rusak. Di perairan Iboih, te-rumbu karang tak seindah Rubiah. Perair-annya dipenuhi sampah dan dedaunan. yang paling banyak adalah bulu babi yang menakutkan. Tak nyaman snorkling di sini.

Perairan yang dulunya bersih dengan terumbu karang menawan, berubah men-jadi kotor. Patahan karang banyak ditemu-kan teronggok di tepi pantai, dihanyutkan riak. Pemandangan ini menggusarkan Mah-yiddin. Pria berusia 57 tahun yang akrab disapa Dodent ini, lantas tergerak untuk merestorasi terumbu karang, yang menjadi rumah ikan itu.

Dodent pantas gusar. Sekitar 90 persen dari 250 populasi terumbu karang di Pulau Rubiah dilumat tsunami. Ini artinya, jika tak segera direstorasi dan ditanam ulang, Taman Laut Pulau Rubiah tak ubahnya ta-man yang gersang. Pascatsunami, bermodal pas-pasan, dia berusaha menanam kembali batang karang yang patah.

Ia lantas membuat pot beton persegi em-pat yang diisi pasir. Batang karang ditanam

dalam pot, yang kemudian diletakkan di kedalaman delapan meter di bawah permu-kaan laut. “Setelah beberapa minggu saya cek lagi, ternyata tumbuh,” katanya kepada ACEHKINI.

Mulanya, Dodent hanya bekerja sendi-rian membangun kembali rumah ikan yang hancur. Perlahan-lahan, ia mengajak karibnya untuk ikut terlibat. Tahun lalu, dia mendirikan Aceh Coral Conservation, lembaga yang dibentuk untuk melestarikan terumbu karang di Sabang. Kini, Aceh Coral beranggotakan 11 orang. Saban hari, tim Dodent menyelam dan menanam terumbu karang. Mereka mencangkok bibit-bibit terumbu karang. Batang karang sepanjang lima sentimeter ditaruhnya dalam pot beton ukuran empat persegi.

Hampir empat tahun bekerja, Dodent telah menyemai 26 jenis, dengan rata-rata pertumbuhan antara 5 sampai 24 sentime-ter per tahun. “Itu setelah setahun kami ra-wat. Selebihnya perawatan kami serahkan pada ikan. Itu hak mereka,” kata dia.

Dodent kini tak sendiri. Upaya pelestari-

an terumbu karang di Sabang telah meram-bah kepada masyarakat luas. Menurut yaumil, pekerja di Flora Fauna Internasion-al, masyarakat mulai sadar akan pentingnya pelestarian hutan laut itu. Sejak enam bulan pascatsunami, masyarakat yang dikoordinir Panglima Laot, paguyuban para nelayan, membentuk Satuan Tugas, yang bertugas memantau aktivitas nelayan agar tak ikut-ikutan merusak terumbu karang saat me-nangkap ikan di sekitar perairan Sabang.

Tiap pekan, Satgas ini melakukan patroli sebanyak dua kali. Kadang-kadang, mereka memergoki para nelayan yang sedang me-rusak terumbu karang. Tahun lalu, Satgas ini menangkap dua unit boat yang sedang merusak karang. Sontak saja, mereka dige-landang ke darat. Pelakunya memang tak ditahan, tapi boat dan semua perlengkap an nelayan disita selama dua minggu. Ini di-lakukan agar adanya efek jera.

***

KERUSAKAN TERUMBU KARANG TAK hanya diakibatkan tsunami. Pada masa ja-

Restorasi karang oleh Aceh Coral Conservation (atas) dan terumbu karang di perairan Iboih dan Pulau Rubiah, Sabang (bawah).FOTO ATAS: DOK-ACEH CORAL CONSERVATION;BAWAH: UCOK PARTA —ACEHKINI

Page 37: Acehkini 09

ACEHKINI Januari 2009 37

CoRAL TRAnSpLAnTATion AdALAh upaya rehabilitasi ekosistem terumbu karang dengan teknik peremajaan yang berbasis masyarakat. Tekniknya sederhana, menggunakan limbah organik. Transplantasi ini tergolong mudah, karena terumbu karang ditanam dengan pencangkokan. Sistem pencangkokan pertama kali dilakukan Dodent di Iboih dan Pulau Rubiah pada tahun 1970.

Pemulihan terumbu karang secara alami berlangsung lama. Budidaya karang oleh manusia melalui teknik fragmentasi adalah salah satu solusi pemulihan terumbu secara cepat sebagai upaya rehabilitasi dan restorasi terumbu karang yang telah rusak, patah dan mati. Penempelan karang hasil fragmentasi pada substarat yang telah disediakan atau dikenal juga dengan media/modul

ya-jayanya pelabuhan bebas, terumbu karang di Sabang sudah mulai rusak. Saat itu, banyak kapal asing lempar sauh dan menangkap ikan di perairan Pulau Rubiah. Parahnya, penang-kapan itu dilakukan de ngan jalan pintas, nge-bom. Saat itu, nyaris tak ada masyarakat yang peduli pada kelestarian hutan laut, yang men-jadi andal an laut Sabang. Apalagi, masyarakat sibuk dengan beragam corak barang luar neg-eri yang masuk ke pasar jengek Sabang.

Saat orang-orang sibuk dengan pasar jengek, Dodent malah sibuk menghalau kapal asing yang sedang ngebom ikan di kawasan Pulau Rubiah. (Baca: Tukang Ba ngun Rumah Ikan). “Saya tidak rela laut Rubiah dirusak,” aku Dodent.

Pria asal Pidie ini risau, bila tak dijaga, terumbu karang di Sabang hanya tinggal kenangan. Praktis, ini berimbas pada popu-lasi ikan dan perekonomian pulau terluar Indonesia itu. “Sabang itu punya potensi dan kekuatan ekonomi di sini (terumbu karang). Jika tak dipelihara, tunggu saja masa depan Sabang akan tak berbentuk,” ujarnya.

Nah, inilah yang tak disadari masyarakat selama ini. Dodent yang pernah bekerja di kapal Amerika Serikat merasakan manfaat dari terumbu karang yang tumbuh asri di dasar laut. Pada 1984, saat ia tak lagi bekerja sebagai awak kapal Amerika Se rikat, Dodent mempromosikan keindahan terumbu karang dan biota laut Pulau Rubiah kepada warga Amerika dan Inggris yang bekerja di kilang minyak Arun Lhokseumawe. Perlahan-la-han, usaha ini berkembang. Dia kemudian mendirikan toko yang menyewakan alat se-lam –belakangan usaha ini diperluas dengan membuka kelas menyelam bersertifikat in-ternasional. Dodent menjadi orang pertama yang mempromosikan pariwisata Sabang ke masyarakat dunia.

Sayang, upaya pelestarian terumbu karang yang tengah dilakukan Dodent tak mendapat reaksi dari pemerintah. Baru dua tahun ter-akhir ini, perhatian dari pemerintah didapat. “Bayangkan, laut yang merupakan sumber utama penghidupan masyarakat di Sabang, justru tak pernah mendapat perhatian se-rius,” katanya.

Pemerintah Kota Sabang mulai menunjuk-kan “sedikit” kepedulian. “Saya mendukung apapun yang dilakukan untuk me l in dungi bi-ota laut di Pulau Rubiah dan Sabang. Ini kami ceritakan ke dunia luar, bahwa Sabang punya komunitas yang kuat untuk menjaga lautnya,” kata Walikota Sabang Munawar Liza Zainal.

Dodent berharap agar Pemerintah Kota Sabang ikut andil dalam melestarikan biota laut yang rusak akibat tsunami dan ulah ma-nusia. ya, agar usaha yang dilakukan Dodent dan timnya tak seperti nasib memba ngunkan orang di waktu subuh dan ha laman Rubiah tak gersang lagi. [a]

Transplantasi Karangtransplantasi karang akan ditempat pada lokasi-lokasi terumbu yang rusak.

Teknik ini unggul, karena teknologinya sederhana, pertukmbuhan karang lebih cepat, dan mudah merawatnya. Dodent beserta 11 anggota timnya yang tergabung dalam Aceh Coral Conservation dan bekerjasama dengan Rubiah Tirta Divers, menerapkan cara ini. Aceh Coral tergerak untuk transplantasi karang, guna mempertahankan keragaman hayati biota laut. Apalagi, hampir 90 persen terumbu karang di Pulau Rubiah rusak akibat tsunami empat tahun silam. Belum lagi, kerusakan akibat penangkapan ikan dengan pukat harimau dan pengeboman. Kini, Aceh Coral Conservation telah berhasil merehabilitasi lahan terumbu karang seluas 250 meter persegi. [a]

ACEH CORAL CONSERVATION

Page 38: Acehkini 09

38

DIA MENGAyUH PERAHUNyA mendekat ke kapal berbendera Singapura yang lempar sauh di

ujung pulau Rubiah, Sabang. Lama sudah, ia memendam geram pada kapal asing yang rajin mengambil ikan dengan ngebom itu.

Di depan kapal, Mahyiddin, 57 tahun, pasang aksi. Bermodal radio yang telah di-pasang antena, dia berlagak seakan sedang berbicara memakai handy talkie. "Berhasil. Akhirnya kapal itu kabur," ujar bapak tujuh anak itu, sambil menahan tawa.

Peristiwa mengusir kapal penghancur karang tahun 1971 itu masih lekat dalam ingatannya. Apalagi saat itu, belum ada perahu nelayan di Sabang yang bermesin. Tak mudah mengusir penjarah ikan.

Aksi mengusir penjarah dan perusak karang, tak sekali dilakoni pria yang karib dipanggil Dodent itu. Dia juga masih ingat kala berseberangan dengan kebijakan almarhum Ibrahim Hasan saat menja-bat gubernur Aceh. Ibrahim waktu itu meng undang kapal-kapal Thailand untuk budidaya ikan di Sabang.

Sementara Dodent justru mengusirnya. Sebab kapal-kapal itu merusak karang. "Ternyata mereka membom karang. Saya kejar sampai Simeulue, di sana saya pro-vokasi para nelayan mengusir kapal-kapal Thailand itu," kenang Dodent.

Zaman berganti, pria asal Pidie yang mendiami pulau Rubiah sejak 1969 itu tak lagi mengusir kapal-kapal pengebom karang. Lagi pula, Dodent tidak perlu mencemaskan kapal asing lagi. Kini, dia telah memiliki 'pasukan' penjaga karang. Sejumlah nelayan telah diinsafkan dari me-nebas karang, mengelompokkan diri dan berpatroli dua kali sepekan.

yaumil, seorang warga Iboih, menya-takan salah satu buah dari usaha Dodent; masuknya pelestarian karang sebagai hukum laut. Untuk menegakkan hukum adat itu, panglima laot membentuk satuan tugas (Satgas) yang beranggotakan 12 warga. Satgas bertugas menangkap dan menyuluh warga yang kedapatan merusak karang.

Kembali ke Dodent, usai setahun bek-erja di kapal pesiar, tahun 1986 ia merin tis diving club. Aktivitasnya, memotret keinda-han taman bawah laut, lalu dikirim ke se-jumlah perusahaan besar. "Saya meng ajak mereka menyelam di pulau Weh," ujarnya.

Usaha itu mendapat aral di tengah jalan. Aparat keamanan malah mencurigai Dodent yang sering menghabiskan waktu di dasar laut untuk memata-matai. Namun ia bersikeras, tak ada aktivitas ilegal yang dilakukannya.

Indahnya alam dasar laut Sabang kala itu belum tenar. Almarhum Sulaiman Ibra-him, walikota waktu itu sendiri tak percaya foto-foto bawah laut yang ditunjukkan Dodent itu diambil di Sabang.

Diving Shop Dodent melata. Bahkan saat Aceh berkecamuk, toko itu karam. Konflik telah membuat Sabang sepi wisatawan. Sampai kemudian gelombang raya datang, bisnis menyelamnya kandas. "Semua barang milik saya hancur dan hilang tak berbekas," kenang Dodent.

Mulanya ia pasrah, sembari menanti perhatian pemerintah dan bantuan lem-baga asing. Harapannya tak kunjung terwu-jud. Padahal, ia sering diminta informasi dan pendapat membangun kembali Sabang usai petaka.

Semangat Dodent kembali bangkit justru berurat setelah ia kembali menyelam usai tsunami. Alangkah kagetnya ia melihat taman laut telah porak-poranda. Tak hanya itu, segala jenis sampah mengunung di dasar laut. "Jangankan masker, kantong beras untuk angkut sampahpun tidak diberikan," keluhnya.

Lalu, ia memilih berhutang Rp 350 juta ke salah satu bank di Jakarta. Bermodal uang itu, Dodent menceburkan diri memperbaiki rumah ikan. Setelah usahanya menunjukkan hasil, barulah

bantuan datang. Layaknya rekonstruksi di darat, usai

membersihkan gunungan sampah di dasar laut, Dodent membangun kembali gugu-san karang. Terang usaha itu tak semudah membangun rumah korban tsunami. Ia mengaku beberapa kali gagal. Mulanya menebar karang dalam helipas, namun ka-rang tak kunjung tumbuh. Sempat pula ia terguling-guling saat meletakkan batako ke dalam laut. Akhirnya, ia membuat semen dalam timba serta balok semen sepanjang dua meter. "tapi saya tidak sanggup ang-kat," ujarnya terbahak.

Dalam kedalaman enam hingga sepu-luh meter, saban hari Dodent menghabis-kan waktu bersama tiga putranya di dasar laut. Tidak sekedar bercanda dengan ikan, melainkan mencangkok karang. Usaha yang tidak sia-sia, kini 26 species karang telah tumbuh. Dodent telah membangun 200 meter persegi taman karang, dengan rata-rata pertumbuhan lima hingga 24 cen-timeter pertahun. "Saya ini hanya tukang membuat rumah untuk ikan," ujar Dodent tersenyum girang. [a]

Tukang Bangun Rumah Ikan. Usai mengerus gunungan sampah di dasar laut, dia mengembalikan gugusan karang yang porak-poranda.oleh MAIMUN SAlehFOTO: CHAIDEER MAHYUDDIN—ACEHKINI

Page 39: Acehkini 09

ACEHKINI Januari 2009 39

BisnisEkonomi &

Mimpi Terbangkan Aceh. Pemerintah Aceh tetap inginmewujudkan sebuah maskapai penerbangan.Pengalaman sebelumnya,pesawat hanya terbang sesaat.Lalu, hilang entah ke mana.

BER BA DA N SEDA NG, PA NJA NG sayapnya 22,57 meter. Agar tak mudah di-terabas angin, perakitnya menaruh dua baling berbilah enam, di kiri dan kanannya. Mampu melaju dengan kecepatan 563 kilometer perjam. Tapi perutnya hanya cukup untuk 72 seat.

Di klannya, dia tak terlalu mencolok. Meski reputasinya terbilang lumayan, tapi Gatotkaca N-250 rakitan Industri Pesa-wat Terbang Nusantara (IPTN), masih di atasnya. Berkat hasil perkawinan silangnya dengan jet, burung besi jenis Advanced Tur-bo Prop (ATP) 42-500, dikenal tak banyak 'minum'. Itu yang menjadi alasan bagi pe-merintah Aceh memilihnya.

"Pesawat ini sangat irit bahan bakar se hingga bisa menawarkan tarif murah ke-pada masyarakat," terang Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar saat meluncur-kan logo maskapai penerbangan Aceh Air, pertengahan November silam.

Jenis pesawat ini hanya dipakai un-tuk penerbangan domestik dan regional. Pabriknya British Aerospace sengaja menu-runkan level pembakarannya agar lebih he-mat. Kelebihan lain, ada pada navigasi pe-sawat yang bisa otomatis, dan suku cadang murah. Tapi di negara maju, ia hanya untuk pengangkut barang.

Kendati begitu, Nazar optimis. Alasan-

nya, Air Aceh akan dikelola profesi-onal oleh Perusahaan Daerah Pem-bangunan Aceh (PDPA) bekerja sama dengan Able Sky, per-usahaan penerbangan yang berkantor pusat di Penang, Ma-laysia. Tapi dia juga sudah mewanti-w a n t i s e j a k

awal."Pemer in-

tah Aceh punya peng alaman tidak baik

dengan Seulawah Air, kita tidak mengharapkan hal tersebut berulang pada Air Aceh yang juga dapat membuat pe-merintah malu," harap Nazar.

Kecemasan itu mendasar, sebab Seu-lawah NAD Air yang didanai pemerintah Aceh melalui APBD tahun 2001 senilai Rp 6 milyar bernasib malang. Pasalnya saudagar Aceh yang ikut memodali perusahaan itu keburu tarik modal. Setelah diluncurkan Agustus 2001 silam, maskapai penerbang an gagasan Abdullah Puteh itu cuma terbang dua bulan.

Seulawah kolaps di tengah jalan. Padahal mimpi Puteh, Seulawah bisa memonopoli pasar penerbangan di Aceh. Berbagai usaha telah dilakukan. Termasuk bolak-balik me-

minta tambahan anggaran dari DPRD provinsi kala itu.

Sampai pada Februari 2007, Men-teri Perhubungan mencabut lisensi 11 maskapai penerbangan di Indonesia, termasuk Seulawah NAD Air.

Pertengahan 2008, gaung pener-bangan Aceh kembali terdengar. Kali ini Aceh Utara yang memotorinya dengan meluncurkan maskapai pe-nerbangan North Aceh Air (NAA). Anggar an belanja daerah senilai Rp 6 milyar, dikeruk untuk mendanai maskapai ini.

Sayangnya saat launching pener-bangan perdana pada 16 Mei 2008, NAA tak kunjung datang. Malah Pelita Air yang sejak lama tak singgah di kota gas, hari itu mendarat. Penerbangan itu di-datangkan mengantikan NAA. Pe-merintah Aceh Utara beralasan izin NAA belum selesai.

Ternyata, NAA ha-nya melakukan kon-trak kerjasama dengan Pelita

oleh RIZA NASSER lAporAN UCoK pArTAFOTO: AK JAILANI

Page 40: Acehkini 09

40

Air untuk membuka jalur penerbangan di Aceh Utara kembali. Logo yang telah lebih dulu rancang, tak tertempel di badan pe-sawat idaman. Spontan masyarakat yang khusus datang ke Bandara Malikul Saleh, pulang dengan kecewa.

Sebulan terbang, NAA tak kunjung kem-bali. Buntutnya, beberapa pejabat di Aceh Utara terpaksa harus berhadapan dengan jaksa. Disebut-sebut Wakil Bupati Aceh Syarifuddin, juga ikut terlibat. Tapi Kejak-saan Tinggi Aceh belum menyelesaikan peng usutan kasus itu hingga kini.

Dua pengalaman sebelumnya setidaknya sudah cukup jadi pijakan. Air Aceh juga masih tertunda, karena masalah izin. Pe-merintah pusat menambahkan beberapa persyaratan untuk mengurus izin terbang. Janjinya awal Januari ini, maskapai yang digagas oleh Gubernur Irwandi yusuf itu mulai beroperasi.

"Dari lima pesawat yang kita pesan de-ngan kontrak sewa beli, satu di antaranya pada 15 Desember lalu seharusnya sudah bisa registrasi di Medan, tapi syarat izin terbang ditambah dengan adanya peraturan baru," ungkap yuwaldi Away, Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informasi, dan Telematika Aceh.

Kini pesawat buatan tahun 2000 itu, kata yuwaldi, masih terparkir di Manila, Filipina. Terlebih lagi dari 10 pengusaha yang sebelumnya diundang untuk menda-nai Air Aceh, hanya lima yang berminat. Tapi yuwaldi tak mau merinci siapa sauda-gar yang ingin "menerbangkan" Aceh itu. "Pemodal juga enggan disebutkan namanya ke publik," ujarnya berkilah.

Mengenai pendanaan, yuwaldi me-nyebut, 51 persen saham Air Aceh dikelola

PDPA. Duitnya tidak bersumber dari APBA atau sumber dana pemerintah lainnya, tapi murni bisnis pengusaha Aceh. "51 persen untuk Aceh dan sisanya untuk Able Sky. Pemerintah Aceh hanya memfasilitasi saja, manajemen juga urusan mereka," jelasnya.

Wakil Able Sky yang juga merangkap Direktur Air Aceh, Syarif, menyebut, untuk tahap pertama Air Aceh akan melayani rute Banda Aceh-Medan. Selanjutnya, juga akan melayani rute Batam, Jakarta dan Malaysia "Nantinya pesawat ini juga akan membuka Rute Aceh India," ungkapnya.

Tapi dia tak menyebut pesawat jenis apa yang akan membawa nama Air Aceh hingga ke India. Sebab, pesawat jenis ATP 42-500 hanya untuk penerbangan regional. Dia juga menolak merinci total dana dari Able Sky untuk 49 persen sahamnya.

Datuk Najmudeen Kader, managing director Able Sky Sdn Bhd, yang dikutip kantor berita Malaysia, Bernama pada 6 November silam, menyatakan PT Air Aceh akan menginves US$ 15 juta (Rp 150 milyar) untuk empat bulan operasi pesawat terse-but. "Ini kesempatan bagus buat kami dan tujuan kami pesawat ini menawarkan tiket murah seperti AirAsia," katanya.

Sebagai bukti serius setelah memamer-kan logo Aceh Air pada pertengahan No-vember 2008 lalu, kantor Air Aceh juga telah tersedia. Sebuah rumah di kawasan Kuta Alam, Banda Aceh, disulap jadi mar-kas Air Aceh.

Saat ACEHKINI menyambangi lokasi yang bersebelahan dengan SPBU Kuta Alam, terlihat sepi. Hanya ada satu mobil warna biru gelap parkir di halaman. Plang nama berukuran 3x50 centimeter terpampang di atas pintu masuk kantor berwarna putih itu.

Warna tulisannya merah nyala.Sementara, Gubernur Irwandi yusuf

juga masih melobi anggota dewan agar Air Aceh didanai dengan uang rakyat. Dia me-masukkan usulan pembelian dua pesawat penumpang itu dalam RAPBA 2009. Na-mun hal itu ditolak DPRA dengan alasan belum saatnya pemerintah Aceh membeli pesawat dengan duit daerah.

Ide mendirikan PT AcehAir memang datang darinya. Sebelum gagal meraih re-stu DPRA, Irwandi berhasil meyakinkan peng usaha Aceh berinvestasi. Uang terhim-pun mencapai US$150.000 dari sejumlah peng usaha Aceh. Ditambah suntikan sebe-sar US$100.000, dari pengusaha Malaysia. "Total dana yang telah disetor Rp 2,8 mil-iar," jelas yuwaldi.

Itulah modal awal PT AcehAir teken kontrak sewa beli ATP 42-500 dengan per-usahaan penerbangan di Manila, Filipina. Tahap pertama, dalam waktu tiga bulan tiga pesawat akan dikirim ke Aceh, tiap bulan diberikan satu unit pesawat.

Belum lagi pesawat beroperasi, pihak AcehAir sudah berencana menyewa atau membeli pesawat kecil berkapasitas 12 kursi, serupa pesawat-pesawat yang dimiliki Susi Air yang kini mengambil rute penerbangan Polonia-Nagan Raya-Sinabang.

Kini Air Aceh yang dinanti masih belum jelas. Bisa jadi bernasib sama dengan pen-dahulunya. Bisa juga membuahkan hasil dan memajukan penerbangan Aceh. Atau ini hanya mimpi menerbangkan Aceh? [a]

Wakil Gubernur Muhammad Nazar ketika meluncurkan logo Air Aceh, November tahun lalu, di Anjong Mon Mata.FOTO: UCOK PARTA —ACEHKINI

Page 41: Acehkini 09

ACEHKINI Januari 2009 41

BudayaSeni &

TRADISI SASTRA ADAT MUSIK FILM

“DENGAN BISMILLAH AwAI ILEE PHoN, ngon nama Rabbon rahmat Neulimpah. ‘oh lheueh lon pujoe sidroe keu Tuhan, seu-laweut saleum Rasul Ilahun. Lon jaweueb saleum yang guree sanjong, Alaikumsalam warahmatullah.”

Puja-puji dan salam penghormatan

Menjaga Tradisi Leluhur. Tradisi bertutur, menguji pemahaman agama masyarakat Aceh pedesaan yang dulu pernah subur, kian luntur seiring derasnya gempuran globalisasi.

TRADISI

oleh IMrAN MAFOTO: IMRAN MA—ACEHKINI

Page 42: Acehkini 09

42

mengalun dalam bahasa Aceh yang kental, mengiringi prosesi meurukon, sebuah tradisi Aceh yang kian usang.

Usai penghormatan, berlanjut ke per-tanyaan yang dilayangkan satu kelompok ke kelompok lain. Layaknya tanya jawab dalam sebuah dialog interaktif, tapi dalam bahasa sastra yang indah. Alunan syair dan lagunya dikemas dengan bahasa yang meuantok-antok.

“….. Insya Allah guree meutuwah, nyoe masalah tulong peunyata, na sidroe teungku malem sileupah, geubaca Fatihah Bismillah hana. Lon keuneuk ikot, lon takot salah, lon keuneuk teugah ileumee hana. Kiban yang beutoi guree meutuwah, supaya ngat sah ibadat hamba- serta te---oh pen---jelasan …ooooo wayaaaaaaaaaa syeh kuuuuuuna?”

Lalu kelompok awal menjawab, “Bismillahirahmaanirrahim, li kheun le teungku, Abu Hurairah, baca Fatihah dalam sembahyang bak permulaan. Surat Fatihah, bismillah sit sah kana di dalam...”

Begitulah meurukon, satu di antara banyak seni dan budaya Aceh. Tradisi ini pernah subur di kampung-kampung sebe-lum 1998. Namun belakangan ini, tradisi bertutur yang intinya menguji kemampuan dalam memahami masalah keagamaan, semakin jarang terdengar di meunasah-meunasah.

Satu desa yang masih teguh meme-lihara tradisi itu hingga kini: Gampong Padang Sakti, Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe. Di sana ada satu kelompok meurukon dengan 10 anggota ditambah lima pengurus. Mereka menamakan diri dengan grup Meurukon Ainul yakin.

Lewat kendali ketua grup, Baharuddin Nafi, 38 tahun, dan kepiawaian mengolah syair Syeh Jamali Nafi, 35 tahun, mereka kerap diundang untuk bertanding baik di tingkat kecamatan, kabupaten dan provinsi sekalipun. “Kami pernah juara II dalam pergelaran meurukon di Banda Aceh pada tahun 2004,” ujar Baharuddin pada ACEH-KINI di sela-sela latihan, pada meunasah desa setempat, akhir bulan lalu.

Syeh Jamali menyebutkan, dalam seni meurukon, ada tiga topik keagamaan yang jadi bahan. yang pertama kelebihan bismillah, yaitu uraian kelebihan bismillah yang diambil dari kitab serta dalil-dalinya. Selanjutnya adalah tentang hukum agama dan kemudian tentang keesaan Allah.

Dalam seni meurukon, seorang syeh dibantu oleh seorang wakil syeh, mereka sering menyebutnya Syeh Kuna, sedangkan lainnya adalah anggota. “Dalam penyampaiannya, tidak saja syeh yang mengusai materi-materi yang disampaikan, namun semua anggota juga bisa menghafal di luar kepala terhadap materi.”

Seni meurukon tidak saja sebagai sarana melakukan syiar agama, tetapi juga

para anggota yang terlibat di dalamnya merasakan ada sentuhan kejiwaan. Saat melantunkan syair-syair tersebut, mere-ka akan merasa tenang seakan terbebas dari segala persoalan. “Saat meurukon pikiran kita cukup tenang, seakan tidak ada masalah apa-apa,” kata Nazar, 30 tahun, anggota grup Meurukon Ainul yakin.

Meurukon biasanya disajikan pada malam hari di meunasah. Pagelaran diadakan dalam rangka menyambut dan memeriahkan hari-hari besar agama, atau pada hari tertentu lain. Kesenian meu-rukon berlangsung sampai larut malam dengan mempertemukan dua grup untuk bertanding dan menguji kebolehannya dengan berbagai pertanyaan, penguasaan ilmu agama sampai kemahiran masing-masing grup dalam merangkai bait-bait kata, alunan syair yang serentak.

Tak jarang, grup kadang meniru syair-syair lagu terbaru, bahkan juga lagu-lagu mancanegara, seperti India misalnya.

Laga meurukon dibagi dalam beberapa sesi. Dalam satu sesi, seringnya menga-jukan tiga pertanyaan pendek dan dua pertanyaan panjang. Tidak jarang untuk tiga pertanyaan ini saja bisa menghabiskan waktu hingga berjam-jam.

Tradisi itu kian hilang, hanya satu dua desa di Aceh yang masih menjaganya. Desa-desa ini tetap komit menjaga pening-galan leluhur di tengah gencarnya kepung-an pengaruh globalisasi dan sinetron televisi. [a]

Dengan Bismillahawai ile phonngon nama Rabbonrahmat Neulimpah.‘Oh lheuh lon pujoesidroe keu Tuhanseulaweut saleumRasul Ilahun. Lon jaweub saleumyang guree sanjongAlaikumsalam Warahmatullah

Group Meurukon Ainul Yakin Gampong Padang Sakti Kecamatan Muara I Kota Lhokseumawe, sedang latihan rutin.FOTO: IMRAN MA —ACEHKINI

Page 43: Acehkini 09

ACEHKINI Januari 2009 43

HidupGaya

MODE KULINER HOBI KESEHATAN KECANTIKAN

LANCER UNGU BUNGLON ITU BERDIRI menawan di atas hamparan kapas. Kedua pintunya mengepak bak sayap burung, menarik pengunjung menoleh ke sebotol minuman yang diapit dua seloki kosong di dashboard. Dari botol itu, mata seakan di-pandu ke stiur yang mentereng, tape pioneer berkilau dan jok nan empuk.

Pemiliknya tak hanya menyolek ruang kemudi. Bagasi, dirombak dari sekadar ko-tak penyimpan barang jadi ‘studio musik’ berlayar LCD. Sementara lantai mobil, ditu-runkan sampai sejengkal dari landasan. Soal kecepatan, sudah di atas normal. Apa-lagi pemiliknya telah tune up mesin, sebe-lum memoles body. Lancer itu juga telah ditambah nos. “Biaya modifnya lebih Rp 100 juta,” ujar Taufiq, 23 tahun, pemilik Mitsu-

oleh rIZA NASSer

Berebut Jadi Raja Aceh. Tren modifikasi mobil kian marak di Banda Aceh. Sebagian dari pegiatnya, pembalap liar yang insaf.

HOBI

FOTO: UCOK PARTA—ACEHKINI

bishi Lancer keluaran tahun 1997 itu.Inspirasinya permak mobil datang usai

nonton film 2 Fast 2 Furious. Film bercerita tentang kehidupan glamor pemuda negeri Paman Sam yang suka kebut-kebutan di jalan, membuat Taufik tak nyenyak tidur. Akhirnya, dia ‘merayu’ orang tuanya mem-belikan mobil. Permintaan itu dikabulkan usai ia tamat sekolah. “Syaratnya harus jadi dokter,” ujar Taufiq mengenang pesan ayah-nya. “Ayah tidak protes saya bikin mobilnya seperti ini.”

Siang itu, pertengahan November silam, di Balai Chik di Tiro, Banda Aceh, tak hanya mobil milik Taufiq yang dipamerkan. Di dalam gedung, ada lima belas mobil, mulai dari Volkswogen (VW) kodok, Mitsubishi Lancer, Mercedes Benz, Terano, Honda Jazz sampai Karimun tersusun rapi. Sementara di luar gedung, belasan VW combi bercat

terang, terparkir di depan dan di samping kiri balai.

Bukan sekadar pamer, para pemilik mobil bersaing merebut Tropi King The Aceh, King Nominee, SPL serta uang tunai senilai Rp 3 juta. Jangan kira bisa gratis. Untuk men daftar, peserta harus menyetorkan duit ke panitia Rp 350 ribu, biaya pajang mobil di luar gedung. Sementara dalam ruangan mencapai Rp 500 ribu. Pengunjung yang ingin sekadar lirik-lirik mobil modifikasi juga harus bayar, tiketnya Rp 10 ribu.

Di aula sebelah kanan, lima Lancer dan Terano tersusun. Warnanya beragam mulai dari hitam, coklat, hijau, biru dan kuning. Sebelah kiri, ada tiga VW kodok, satu ‘mobil camat’ VW Safari warna putih, Suzuki Ka-rimun serta Mercedes Benz, tak mau kalah dengan mobil keluaran tahun tinggi.

Para juri memantau dari dekat, meme-

Page 44: Acehkini 09

44

riksa keunikan tiap mobil. Tak hanya seka-dar cantik dan unik yang dipilih, sound juga menentukan nilai. Selain itu, kondisi mesin juga diperhatikan.

“Ini lomba modifikasi tingkat nasional. Jurinya kami datangkan dari Jakarta,” kata Murnanda Utama, Ketua Panitia Kontes Modifikasi Otomotif Aceh 2008. Kontes kecantikan mobil ini bertujuan, “mencoba menghidupkan otomotif di Aceh.”

Menurut Nanda, geliat otomotif yang mulai tumbuh, merangsang mereka mem-buat pertunjukan fantastis di Aceh. Klub VW Koetaradja ini memacu berahi para pencinta otomotif di Aceh, untuk mengeks-plorasi kreativitas mereka. Setidaknya bu-kan hanya jago kandang.

Agar rasa glamor lebih kentara, panitia

juga menggelar fashion show. Jelas beda dengan event sejenis di kota besar. Para ga-dis yang meliuk-liuk di antara mobil-mobil mewah tak berpakaian seksi walau aksinya terbilang menantang. “Lomba modifikasi ini kita rancang agar beda dari lomba sebelum-nya,” ujar Nanda.

Pagelaran fashion show, nyaris serupa night club. Balai yang biasanya dipakai se-bagai tempat resepsi pernikahan itu, riuh. Dentuman musik dengan trible dan bass yang deras membuat puluhan pengunjung malam itu betah hingga larut. Maklum, ajang itu sekaligus jadi tempat reuninya para ‘pembalap liar.’

Setidaknya ada lima genk modif yang punya nama besar di kota ini. VW Koeta-radja, Cemocren, Noname, 17+ Community,

dan Orang-orang Koetardja (O2K). Mem-buat klab bukannya tak beralasan. Klab, tempat mereka membangun solidaritas.

“Kita buat klab bukan sekadar gagah-ga-gahan, tapi untuk saling membantu berbagi ide antarsesama anggota. Kita juga sering gelar bakti sosial,” ujar Rismanto Danipu-tra, 24 tahun, punggawa O2K.

Klab ini memiliki lebih dari 30 anggota. Mereka tak hanya pemilik mobil, tapi juga para racer motor. Bukan hanya di Banda Aceh, tapi ada juga tersebar di Pidie, Bi-reuen, Lhoseumawe, dan Langsa. “Mereka anggota kita yang dulunya di Banda tapi sekarang sudah berkeluarga atau bekerja di sana,” katanya.

Pemuda yang akrab disapa Ucok itu mengaku tertarik dengan rakit-merakit mo-bil, setelah dia bosan jadi pembalap jalanan. Aksi kebut-kebutan di jalanan yang penuh risiko, ditanggalkannya perlahan. Dia memilih sebagai perias mobil saja.

Ide membangun komunitas juga karena balap liar. Sebab banyak pembalap yang diacuhkan saat mereka jatuh atau bahkan saling tabrakan. Dari situlah Ucok coba meyakinkan beberapa temannya untuk membangun paguyuban kecil. “Dengan ber-kelompok kita bisa saling membantu, setiap anggota bertanggungjawab terhadap ang-gota lain,” urainya.

Soal mempercantik mobil pujaan, Ucok menyerahkan pada ahlinya. Meski bengkel modifikasi di Banda Aceh telah menjamur, tapi dia lebih memilih Medan. “Saya lebih milih di Medan karena memang merasa le-bih puas, lagi pula di sana langganan saya,” katanya.

Lain Ucok, lain pula Taufiq. Dia memer-cayakan bengkel VIX Auto Car, di Jalan Tu-anku Muhammad Daudsyah, Peunayong, sebagai rumah bidannya. Pemiliknya Felix yazir. Bengkel itu telah mempercantik lebih dari 25 mobil berbagai jenis.

Menurut Felix, waktu paling lama un-tuk memodifikasi mobil bisa mencapai enam bulan, tergantung kerumitan. Dia menawarkan berbagai variasi untuk calon membernya. “Kita juga menawarkan model. Kalau pemilik mobil sudah punya gambar sendiri, tinggal kita arahkan saja,” ujarnya.

Taufiq beruntung, Lancer ungu bung-lonnya bertuah. Dia berhasil memboyong tropi yang disiapkan panitia. King the Aceh, jadi gelar yang melambungkan namanya di antara penikmat otomotif di Banda. Tapi dia tak puas begitu saja. Ada hasrat lain yang dia semai. “Saya ingin ikut kompetisi modi-fikasi di luar Aceh, tapi saya harus menyele-saikan kuliah dulu,” ujarnya. [a]

Taufik mencoba mobilnya di bengkel sebelum hari kontes (atas), interior mobil salah satu mobil peserta Kontes Modifikasi Otomotif Aceh 2008 (bawah).FOTO ATAS-BAWAH: UCOK PARTA —ACEHKINI

Page 45: Acehkini 09

ACEHKINI Januari 2009 45

Sains PENDIDIKAN INOVASI BUKU

Bila Datang Ombak Raya. Warga pesisir Banda Aceh dan Aceh Besar akan lebih siap jika tsunami datang lagi. Selain sirene, gedung penyelamat pun dibangun.

SEL EPA S PAGI PERT E NGA H A N November silam, Gubernur Aceh Irwandi yusuf telah duduk pada sebuah ruang kan-tornya. Sebuah layar terpanjang di depan dan sesaat lagi akan terhubung ke Jakarta.

Teleconference digelar dari tiga lokasi: Aceh, Padang dan Jakarta. Dari layar, Presi-den Susilo Bambang yudhoyono (SBy) be-serta beberapa pejabat siap-siap. Sesaat lagi, SBy akan meresmikan Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS), sebuah sistem pertanda bila datang ombak raya.

Dalam bincang sejenak, SBy bertanya tentang kabar Aceh. “Baik-baik saja pak presiden,” jawab Irwandi.

Terkait pendeteksi tsunami, gubernur kirimkan kabar ada banyak yang masih

oleh ADI WArSIDI DAN rIZA NASSerFOTO: UCOK PARTA—ACEHKINI

dibutuhkan Aceh. Malah lokasi rawan tiada terpasang menara sirene. "Seperti Calang, Meulaboh, dan Lamno,” katanya. Dia ber-harap, pemerintah mau membangun lebih banyak lagi sistem peringatan dini tsunami, karena Aceh adalah wilayah rawan.

Tepat pukul 10.00 WIB, di kompleks Ba-dan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Kemayoran, Jakarta, SBy me-mencet tombol. Lalu, sirene di Banda Aceh, dan Aceh Besar meraung-raung. Tak ada yang panik hari itu, maklum jauh-jauh hari sudah disosialisasikan ujicoba tersebut.

Ada enam menara sirene di Aceh, tiga berada di Kota Banda Aceh; Desa Lampulo, Kantor Gubernur, Desa Blang Oi. Sementara sisanya ada di Aceh Besar yang terletak di Desa Lam Awe, Desa Kajhu dan Lhoknga.

Sirene di Kajhu tak berbunyi pagi itu.

Simulasi evakuasi korban pada tsunami drill, November 2008.FOTO: CHAIDEER MAHYUDDIN —ACEHKINI

Page 46: Acehkini 09

46

Kabarnya karena delay, telat menerima perintah untuk membunyikan, sehingga harus dibunyikan manual, agar tak berbu-nyi sendiri nantinya. Pertengahan 2007, sirene di sana berbunyi sendiri, dan mem-buat panik warga. Itu juga karena kesalahan perintah.

Iskandar, Manager Pusat Pengenda-lian Operasi Satkorlak Aceh, menerang-kan sistem kerja sirene-sirene itu, sebagai bagian dari sebuah teknologi yang memberi informasi kepada warga, bila datang ombak raya.

Misalkan saja terjadi gempa di Aceh. Se-sudahnya, Badan Meteorologi dan Geofisi-ka (BMG) akan mengirim informasi awal kekuatan dan lokasi gempa kepada pusat pengendali. Sesudahnya pusat pengendali yang terpasang di gedung serba guna kantor gubernur itu, tidak bisa langsung membu-nyikan alarm tsunami. Harus ada observasi gelombang laut dengan menggunakan tsu-nameter/dart-buoy (yang terpasang di laut) dan monitoring tide gauges serta GPS.

"InaTEWS masih bergantung pada ja-ringan seismic agar tsunami warning yang dikeluarkan mempunyai tingkat akura-si tinggi, harus didukung dengan hasil pengamat lainnya yakni GPS, buoy maupun tide gauges,” urai Iskandar.

Membunyikan alarm, menggunakan perangkat komunikasi satelit yang juga dibantu tiga operator seluler sebagai an-tisipasi jika komunikasi satelit terganggu. Sistem ini juga memungkinkan operator un-tuk membunyikan tower yang diinginkan. “Jika misalnya tsunami di Lhoknga, maka yang kita hidupkan cuma tower di Lhoknga, dengan sistem ini kita bisa memilih tower mana yang akan dibunyikan.”

Metode membunyikan tower tsunami, sama seperti mengirim pesan singkat (SMS) pada handphone. Setelah alarm dibunyi-kan, secara otomatis tower akan mengirim laporan kepada pusat pengendali. Itu untuk memastikan apakah tower berbunyi atau tidak.

Kalau tidak, maka akan dibunyikan se-cara manual, seperti di Kajhu saat ujicoba dulu. Waktu yang diperlukan setelah gempa sampai membunyikan sirene tanda tsunami adalah lima menit.

Menurut Iskandar, InaTEWS mene-rapkan teknologi baru yang dikenal dengan Decision Support System (DSS). Sistem ini merangkum semua informasi dari hasil sistem monitoring gempa, simulasi tsunami, monitoring tsunami dan deformasi kerak bumi setelah gempa bumi terjadi.

Kumpulan informasi ini menjadi faktor-faktor pendukung untuk menyiarkan berita peringatan dini tsunami dan evaluasi perin-gatan dini tsunami.

Dari sistem monitoring itu, DSS me-nawarkan jenis berita atau peringatan dini yang harus diambil operator pada waktu

yang ditentukan melalui Graphic User In-terface (GUI). Penyebaran informasi peri-ngatan dini dapat dilakukan melalui email, SMS, fax, website serta alarm.

Perangkat pengoperasian sistem peri-ngatan dini tsunami di Aceh dibangun oleh PT Pasifik Satelit Nusatara (PSN). Saat ini pemeliharaannya masih dilakukan PT PSN karena menjadi tanggungjawab mereka se-lama setahun sejak dibangun.

PT PSN adalah operator satelit pertama swasta di Indonesia yang menyediakan solusi komunikasi berbasis satelit end-to-end yang telah banyak bekerjasama dengan pemerintah pusat dan daerah dalam pena-nganan-penanganan bencana-bencana be-sar di Indonesia.

Andai saja tsunami datang lagi, se-bagian wilayah pinggir laut di Aceh telah dibangun escape building dan jalur-jalur penyela matan. Misalnya, di Ulee Lheue dan sekitarnya telah ada beberapa bangunan pe-nyelamatan itu dan pernah digunakan saat simulasi tsunami, awal November 2008.

Escape building itu dibangun di Desa Lambung, Deah Glumpang dan Deah Te-ungoh, dan Gampong Pie. yang terakhir juga berfungsi sebagai Tsunami and Disas-ter Mitigation Research Center (TDMRC), dikelola oleh Universitas Syiah Kuala. Ge-dung untuk TDMRC dibangun BRR, tiga lainnya dibangun oleh Pemerintah Jepang melalui JICS.

Empat gedung itu adalah pertama di In-donesia soal ketahanan serta kekuatannya dalam menghadang gempa dan tsunami. Begitulah rancangannya. Teknologinya pukul rata, berdasarkan konsep awal yang dibuat JICA Study Team dalam Project Ur-gent Rehabilitation and Reconstrcution Plan (URRP) untuk Kota Banda Aceh pada Maret 2005 sampai Maret 2006. Masing-masing gedung menghabiskan anggaran sekitar Rp 10,5 milyar.

“Kami menyebutnya community build-ing sebagai escape building. Daerah itu (Kecamatan Meuraxa) juga sebagai daerah model untuk manajemen bencana,” sebut Muzailin Affan, Local Advisor JICA.

Menurutnya, desain bangunan escape building ini dibuat oleh konsultan asal Jepang Nippon Koei, Co. Ltd sebagai JICS Study Team pada 2006. Tiap-tiap escape building dibangun dengan luas 1.400 meter persegi.

Bangunan tersebut mempunyai 54 pilar dengan diameter 70 sentimeter. Tinggi ge-dungnya sekitar 18 meter dengan 4 lantai. Lantai akhir dibiarkan terbuka dan tersedia helipad untuk pendaratan helikopter.

Lantai dua mempunyai tinggi sekitar 10 meter, mengikuti tinggi gelombang tsunami Desember 2004 lalu di lokasi gedung terse-but. Sementara lantai lantai satu dibiarkan kosong tanpa partisi untuk menghindari terjangan air tsunami.

Gedung yang sanggup menampung evakuasi sebanyak 500 orang, diset dapat menahan gempa dengan kekuatan 9 skala richter. Tangga menuju ke lantai atas dibuat dua buah. Satu tangga utama dengan ukur an sekitar dua meter dan satu lagi dengan lebar 1 meter. Gedung juga dilengkapi de ngan peralatan dan fasilitas untuk evakuasi.

Teknologinya wah..., tapi soal ketahanan dari terjangan gempa besar dan ombak be-lum teruji. Bila ombak raya itu datang lagi, setidaknya dengan sirene dan escape build-ing, korban tiadalah sebanyak empat tahun lalu.

Sayang, menara sirene penanda tsunami baru terpasang di Banda Aceh dan Aceh Be-sar. Kawasan pantai Barat Aceh yang parah diterjang gelombang raya empat tahun lalu, bagai terlupakan. Pekerjaan besar masih menghadang. [a]

Salah satu tower sistem peringatan dini tsunami di Banda Aceh.FOTO: UCOK PARTA —ACEHKINI

Page 47: Acehkini 09

ACEHKINI Januari 2009 47

TARIK SAJA GARIS LURUS PADA PETA Aceh yang membentang, torehkan tahun-tahun sejak tanah ini dikenal peradaban. Lalu, temukan perang dalam sejarahnya yang panjang: 132 tahun.

Angka itu didapat dalam rentang 1873 sampai 2005, saat nanggroe ini tiada berkembang, layu tak berdaulat penuh atas negerinya sendiri. Kedaulatan ada sebelum dan mungkin sesudahnya. Pastinya, ter-lepas dari penanggalan itu, perang tiada lagi berdentum.

Cerita perang itulah yang dicoba rang-kum oleh Harry Kaliwarang, penulis kela-h iran Sulawesi Utara. Lalu ada Murizal Hamzah, wartawan asal Aceh yang jadi edi-tornya. Mereka merangkum lembar sejarah Aceh yang tercerai berai.

Bukunya berkisah tentang seluk-be-luk nanggroe yang pernah remuk akibat perang, tentang konfrontasi, tentang keka-yaan yang membawa malapetaka, tentang gerilya, tentang pahlawannya, kepentingan dunia, polemik politik dan usaha merintis perdamaian.

Aceh pertama ditulis dalam kemegahan dan keberadaan yang diakui dunia. Pernah menguasai Selat Malaka, yang jadi jalur perdagangan dunia. Sebelum 1873, megah ditorehkan di bumi yang membawahi ham-pir seluruh Sumatera. Melindungi sebagian semenanjung Malaya, hingga menancapkan pengaruh ke Turki, Inggris, Perancis, bah-kan Amerika Serikat.

Buktinya? Penulis memaparkan; pada abad ke 16, Ratu Elizabeth I mengirim utus-an nya, James Lancaster, ke Aceh dan se-pucuk surat yang ditujukan ‘kepada saudara hamba, Raja Aceh Darussalam’ serta sepe-rangkat perhiasan yang mahal. Surat itu bertahun 1585.

Aceh cemerlang saat dipimpin Sultan Iskandar Muda, tahun 1607. Hubungan de-ngan Inggris dan Perancis semakin berkem-bang. Aceh menjadi penguasa semenanjung Malaka. Usai dia mangkat, 1636 sejarah per-lahan pudar. Tapi lakon lain ikut jadi pedo-man, satu-satunya negeri di nusantara yang pernah diperintah empat ratu selama 60 ta-hun. Bukti bahwa pemimpin perempuan di Aceh bukanlah tabu.

perang Belanda di Aceh yang berlangsung dari tahun 1873 ke 1942, tapi tidak secara terus-menerus. Perang paling lama yang dihadapi Belanda dengan merenggut lebih 10.000 tentara mereka.

Dalam sejarah disebut, Belanda tidak pernah menguasai Aceh secara penuh. Walau mereka mampu menguasai Kesultan-an Aceh, namun perlawanan terus dikobar-kan warga Aceh di bawah pemimpin mereka yang silih berganti, antara lain, Tgk Chik Di Tiro, Panglima Polem, Teuku Umar, Cut Meutia, Cut Nyak Dhien.

Berakhirnya kekuasaan Belanda di Aceh ditandai dengan pecahnya perang dunia II dan masuknya Jepang ke Aceh, pada 12 Maret 1942. Prajurit Jepang bergerak ce-pat sampai ke dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah. Rakyat pun makin menggila, me-lucuti senjata kesatuan-kesatuan Belanda. 28 Maret 1942, Belanda menyerah kalah di Aceh, tiga minggu setelah Batavia menyata-kan menyerah kepada Jepang.

Aceh belumlah aman. Kemerdekaan In-donesia kemudian diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, Aceh menjadi bagiannya. Ini menjadi titik balik Aceh, konflik dalam negeri yang juga panjang. Penulis terus me-maparkan kisah pada loncatan lain. Aceh pembangkang terhadap Indonesia.

Sejarah kembali tercatat, saat Guber-nur Aceh Daud Beureu-eh menjabat, dia merasa Jakarta mengkhianati perjuangan Aceh, dengan melakukan beberapa tinda-kan politik, seperti membubarkan Divisi X Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Aceh yang terkenal itu. Lalu, 23 Januari 1951, status Provinsi Aceh dicabut oleh kabinet Natsir. Aceh dipaksa lebur dalam Provinsi Sumatera Utara. Kebencian rakyat Aceh pada Soekarno, presiden Indonesia saat itu menyala. Daud Beureu-eh masih sempat menghadap Soekarno, tapi patah arang. Se-bagai pemimpin, Beureu-eh pun memukul gong pemberontakan, 21 September 1953, setelah kongres ulama di Titeue, satu keca-matan di Pidie.

Pertempuran demi pertempuran terjadi. Kesepakatan gencatan senjata pun diambil dalam sebuah perjanjian, Ikrar Lamteh, 8 April 1957. Isinya, ada kesepakatan antara pemerintah dan pemberontak untuk men-gutamakan kepentingan rakyat dan daerah Aceh di atas kepentingan kelompok. Gen-catan senjata ini sempat berjalan sampai 1959. Momentum itu pun menjadi titik balik pemberontakan.

Di ujung masa pemberontakannya, Beureu-eh bergabung dengan Republik Per-satuan Indonesia, bersama PRRI dan Per-mesta. Bersama itu pula sejak 1961, nama Negara Bagian Aceh/NII diubah jadi Re-publik Islam Aceh (RIA). Damai terus dirin-tis, akhirnya Beureu-eh luluh. Dia bersedia turun gunung, pada 9 Mei 1962, beserta pa-sukan setianya di bawah pimpinan Teungku

BUKU

Perang 132. Sebuah kisah perang panjang, sejak Belanda memaklumat lawan dengan bumi Serambi. Dalam kemerdekaannya, Aceh masih saja konflik. Damai terukir kemudian, dari Helsinki.

oleh ADI WARSIDI

Aceh Dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki Penulis Harry Kawilarang

Penerbit Bandar Publishing,November 2008 xx + 204 halaman

Saat itu, Belanda dan Inggris meng-gantikan posisi Portugis di Malaka dan nusantara. Dengan berbagai taktik, mereka coba memperluas wilayah koloni perdaga-ng annya. Pelan-pelan, dominasi perdaga-ngan Inggris dan Belanda bertambah be-sar. Mere ka berlomba menguasai sebanyak mungkin kawasan di Nusantara. Aceh di ambang perang.

Kesepakatan London yang ditandata-ngani pada 1824 memberi kuasa kepada Belanda, menguasai segala kawasan Inggris di Sumatera. Sementara Belanda menyerah-kan semua kuasa perdagangannya di India dan juga berjanji tidak akan menandingi Ing gris untuk menguasai Singapura.

Aceh masih pengecualian dalam traktat itu. Inggris masih tetap mengakui kedaula-tan Aceh. Belanda belum bisa menjamah Aceh. Mereka terus berusaha sampai ke-mudian jaminan Inggris terhadap kemerde-kaan Aceh dikaburkan dalam ‘Perjanjian Sumatera’ tahun 1871. Tentunya dengan banyak polemik dan kepentingan dagang.

Belanda kian merajalela, ingin mengu-asai perdagangan di Selat Malaka. Aceh dianggap sebagai musuh dan perang pun dimaklumatkan pada Maret 1873. Pecahlah

Page 48: Acehkini 09

48

Ilyas Leube. Daerah Aceh kembali seperti semula, bahkan berstatus istimewa.

Kendati demikian, kondisi rakyat masih morat-marit, meski sumber minyak dan gas melimpah ruah di Aceh, setelah ditemukan tahun 1970. Alasan itulah yang membuat Aceh kembali bergolak. Empat belas tahun setelah Beureu-eh turun gunung, Hasan Tiro memimpin pemberontakan mela-lui Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diproklamirkan pada 4 Desember 1976 di Tiro, Pidie.

Lalu, terus-menerus kekacauan ter-jadi di Aceh. Hasan Tiro kabur ke Swedia, memimpin pemberontakan dari sana. Ber-bagai operasi digelar TNI di Aceh, untuk menumpas GAM, pemberontakan tak kun-jung padam. Kisah-kisah bergulir pada ke-kerasan saat 1989, Aceh ditetapkan seba-gai Daerah Operasi Militer (DOM), dengan ope rasi jaring merah-nya. Berlangsung 10 tahun, operasi itu tercatat banyak makan korban. Paskakejatuhan Soeharto, suara rakyat menuntut keadilan atas kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) gen-car dilakukan. 7 Agustus 1998, DOM itu di-cabut.

Tuntutan kemerdekaan Aceh yang di-suarakan GAM kian bergema. Selain itu, muncul juga tuntutan referendum sebagai akumulasi kekecewaan rakyat Aceh pada pemerintah Jakarta. Tuntutan itu dimobil-isasi oleh para intelektual muda yang ter-himpun dalam Sentral Informasi Referen-dum Aceh (SIRA). SIRA yang didirikan di Banda Aceh pada 4 Februari 1999, berhasil meng akomodir keinginan rakyat Aceh un-tuk menentukan nasib sendiri.

Murizal Hamzah, editor buku Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki menyerahkan buku ke Hasan Tiro di Jakarta, Oktober 2008.FOTO: DOK-BANDAR PUBLISHING

Situasi relatif aman tercipta setelah GAM dan pemerintah meneken perjanjian damai cessation of hostilities agreement (CoHA) 9 Desember 2002 di Jenewa. Kendati bentrok terus berlanjut, tapi minimal kuantitasnya tidak seperti dulu. Komite Keamanan Ber-sama, yang terdiri dari tiga pihak, Indone-sia, GAM, dan Henry Dunant Centre (HDC) sebagai penengah pun dibentuk.

Komite itu terkenal dengan nama joint security committee (JSC). Komite itu dike-tuai Thanongsuk Tuvinum, perwira tinggi Thailand. 9 Februari 2003, perjanjian da-mai itu memasuki tahap penting dan kritis. Kedua pihak telah sepakat sejak hingga lima bulan ke depan, melucuti senjata masing-masing.

Pelucutan senjata akan diawasi oleh komite bersama itu. Masalahnya, proses perundingan kemudian gagal. Mei 2003, masa CoHA itu dinyatakan gagal dan tidak dilanjutkan. Para juru runding GAM di-tangkap, dan dihukum penjara. Darurat militer kemudian digelar pada 19 Mei 2003. Habis darurat militer, status Aceh berganti jadi darurat sipil pada 19 Mei 2004. Kondisi hampir tak jauh berbeda. Aceh seakan ter-tutup dari dunia luar, ratusan korban mun-cul, terbanyak di pihak sipil.

26 Desember 2004, Aceh kembali men-catat sejarah baru. Bencana hebat tsunami melanda, sekitar 130.000 orang tewas, 36.786 orang hilang dan hampir setengah juta orang menjadi pengungsi, yang hidup di tenda-tenda pengungsian. Kerugiannya diperkirakan sekitar US$ 4,5 milyar.

Bencana itu, membuka pintu Aceh bagi siapa saja. Darurat sipil tenggelam dengan

sendirinya. Ratusan non government or-ganisation (NGO) asing, dan lembaga dunia masuk, berlomba-lomba memberi bantuan. Pelan-pelan Aceh mulai menata kembali ke-hidupannya.

Darurat sipil kemudian diganti tertib sipil pada 19 Mei 2005, di saat Aceh sedang membangun pascatsunami. Kontak senjata masih terjadi di daerah pedalaman, kendati dalam jumlah kecil. Pembahasan mencari damai di Aceh terus dilakukan. Kali ini, Presiden Susilo Bambang yudhoyono lebih serius. Difasilitasi Crisis Management Ini-tiative (CMI), perundingan antara GAM dan pemerintah pun digelar di Helsinki, Finlandia. CMI diketuai bekas Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari. Setelah dialog lima babak di Helsinki, perunding Indone-sia yang diketuai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hamid Awaluddin, dan pe-runding GAM yang diketuai oleh Perdana Menteri-nya, Malik Mahmud, kesepakatan dicapai. Ditandatangani pada 15 Agustus 2005, kese pakatan itu dikenal dengan MoU Helsinki. Awal masa damai di Aceh.

Di sinilah penulis menutup kisah perang panjang. Buku ini menjadi penting bagi sia-pa saja yang ingin tahu perang Aceh. Harry Kawilarang, kendati bukan warga Aceh, menulis Aceh dengan baik, merangkum dengan cermat sejarah yang tercecer.

Memang tak ada informasi baru dalam buku ini. Semuanya kisah lama yang bisa dibaca misalnya pada karya Danis Lombard dan Paul Van’t Veer dalam tulisannya ten-tang Aceh. Tapi, alur yang pas layaknya nara-si berurut dari era Iskandar Muda sampai Helsinki dan bahasanya yang bagus mem-buatnya mudah dipahami semua kalangan. Fakta dan datanya kuat, setidaknya makin memperkaya khasanah pustaka anak-anak di Aceh, agar tak lupa sejarahnya.

Ada satu kesilapan, mungkin penulis da-pat memperbaikinya ke depan. Tentang seja-rah Partai Komunis Indonesia (PKI) di Aceh yang lupa dikaji. Padahal Al-Chaidar, penu-lis buku ‘Aceh Bersimbah Darah’ di bagian belakang menulis komentarnya; “Buku yang menarik, mengungkap sejarah Aceh secara mendalam. Sejarah PKI di Aceh yang sela-ma ini gelap, ditulis dengan gaya lugas dan berimbang...” Padahal dalam buku ini, tidak dibahas soal komunis di Aceh.

Apapun, Harry telah mengumpulkan sejarah nanggroe dan mengisahkan kem-bali secara ringkas, sebagai bahan renungan generasi depan. Bahwa Aceh adalah negeri dengan kisah, yang siapapun tak meng-inginkannya terulang. Cukup sudah perang, biarkan saja angka tercatat dalam sejarah: 132. [a]

Page 49: Acehkini 09

ACEHKINI Januari 2009 49

Pelesir WISATA PERJALANAN ANGIN SEGAR

PERJALANAN

Senandung Senja di Honoluluoleh ASNAWI KUMAR

SEMILIR ANGIN SELATAN yANGsayup-sayup menerobos dari balik lorong gedung-gedung jangkung di King’s Street, membuat kita betah berlama-lama sambil ‘cuci mata’ di kawasan paling ramai di pusat kota Honolulu. Apalagi, kawasan ini letaknya berdekatan dengan Waikiki Beach, yang disebut-sebut sebagai satu pantai terindah di dunia dan kerap menjadi

tujuan utama bagi banyak pelancong yang berkunjung ke Hawai.

Hawai yang tadinya merupakan satu dinasti kerajaan, ditetapkan sebagai negara bagian ke-50 dalam ketatanegaraan Ame-rika Serikat pada 1959. Gugusan kepulauan yang terletak di tengah Samudera Pasifik ini, ditemukan James Cook, seorang pen-jelajah Inggris pada 1778. Penduduk asli kepulauan Hawai, suku bangsa Polynesia, yang warna kulitnya nyaris sama dengan

penduduk Indonesia. Pada kongres besar 1993, Presiden Clinton pernah meminta maaf kepada seluruh suku bangsa Hawai, atas musnahnya dinasti kerajaan Hawai.

Kota Honolulu yang menjadi ibukota dan pusat pemerintahan negara bagian Hawai terdapat di Pulau Oahu yang luasnya 1.570 kilometer persegi atau hanya sekitar 18 persen dibandingkan dengan luas keseluruhan wilayah negara bagian Hawai yang mencapai 28,337 kilometer persegi.

FOTO: ASNAWI KUMAR

Page 50: Acehkini 09

50

Sementara Honolulu sendiri luasnya sekitar 222 kilometer persegi dan dihuni oleh 377.260 jiwa penduduk (data 2004-red) atau sekitar 30 persen dari keseluruhan penduduk Hawai yang berjumlah 1.211.537 jiwa.

Selain Oahu, State of Hawai yang ter-diri dari satu gugusan wilayah kepulauan yang teletak di tengah Samudera Pasifik, terdapat pula sejumlah pulau lainnya yang membentang dari barat ke timur. Pulau-pulau lain yang juga kerap dikunjungi para wisatawan yang datang ke Hawai itu antara lain Maui Island, Kauai Island, dan Big Island yang merupakan pulau terbesar di gugusan wilayah kepulauan tersebut.

Pantai Waikiki yang disebut-sebut seba-gai satu pantai terindah di dunia, terdapat di Pulau Oahu. Demikian pula Pearl Har-bour, pangkalan militer Angkatan Laut AS di Samudera Pasifik yang diserang Jepang pada 7 Desember 1941, hingga menggiring negara adidaya itu ke kancah Perang Dunia II (1939-1945) lalu, juga terletak di pulau ini, tepatnya di bagian barat Oahu.

Seperti terungkap dalam lembaran sejarah Perang Dunia II, serangan Jepang di bawah komando Laksamana Isoroku ya-mamoto terhadap pangkalan militer AS di Pearl Harbour ketika itu, menyebabkan 188 pesawat terbang milik AS rontok, 155 kapal laut rusak, dan 2.403 orang tewas. Bahkan, kapal perang USS Arizona bersama 1.100 orang awaknya diledakkan dan tenggelam ke dasar laut di wilayah kepulauan Hawai.

Kini, Pearl Harbour menjadi satu pangkalan Angkatan Laut terbesar dan pa ling strategis yang dimiliki AS. Apalagi di sekelilingnya, kini banyak pula dibangun pangkalan-pangkalan pertahanan bawah laut dan menjadi Markas Besar (Mabes) Ar-

mada Militer AS di wilayah Pasifik. Karena itu, wilayah ini sekarang kerap dikunjungi oleh para wisatawan veteran perang dunia II, baik dari Amerika daratan maupun dari Jepang.

Di pulau seluas hampir dua kali luas Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar itu juga berdiri megah University of Hawai at Manoa (UHM) dan Pusat Kajian Timur-Barat (East-west Center), di mana banyak mahasiswa dari negara-negara Asia seperti dari kawasan Timur Tengah, dari Timur Jauh seperti Jepang dan Korea, dari Asia Selatan seperti India dan Pakistan, serta dari Asia Tenggara seperti Filipina, Malaysia dan Indonesia, termasuk Aceh.

Suhu Pulau Oahu cukup hangat pada summer (musim panas) sekitar 24-27 dera-jat Celcius. Bagi kita orang Indonesia suhu ini termasuk sejuk, karena kita biasanya berada pada 28-32 derajat Celcius. Namun, bagi orang mainland yang tinggal di dara-tan seperti Eropa, tentunya menganggap suhu ini panas. Sehingga tak jarang kita jumpai penduduk Hawai yang hanya men-genakan pakaian seadanya seperti tanktop, baju you can see, celana pendek atau hanya selembar kain yang dililitkan di pinggang dan sandal jepit.

Hal lainnya yang juga tak kalah menarik di Pulau Oahu adalah penataan ruang yang cukup baik. Apabila diamati, bangunan tinggi seperti gedung-gedung perkantoran dan beberapa apartemen den-gan jumlah tingkat lebih dari sepuluh lantai, biasanya terletak di pusat kota di tepi pantai. Di sana lah denyut nadi dan hiruk-pikuk daerah inti kota itu menjalank-an fungsinya, mulai dari kegiatan perkan-toran, transaksi perdagang an, sampai jagad hiburan.

Sebaran masyarakat yang tinggal di Pulau Oahu pun tidak kalah uniknya. Masyarakat kelas menengah ke bawah justru tinggal pada daerah-daerah sekitar inti kota yaitu di tepi pantai. Beberapa dari mereka menyewa rumah susun yang ba-nyak terlihat di sepanjang jalan. Sedangkan mereka yang tergolong menengah ke atas, tampaknya lebih memilih untuk tinggal di areal atau kawasan-kawasan perbukitan yang jauh dari hiruk-pikuk perkotaan.

Mereka biasanya memiliki rumah de ngan ukuran midle bertingkat dua, de-ngan dua atau tiga garasi mobil dan memiliki sebidang tanah untuk menanam bunga yang segar dan indah. Bahkan, su-dah bukan rahasia lagi kalau banyak kaum jetset atau para selebritis Hollywood yang memiliki semacam villa di Hawai. Pada summer mereka banyak berkunjung ke kepulauan di tengah Samudera Pa sifik ini untuk mendapatkan sinar matahari.

***

DARI SEMUA PESONA HAWAI, PANTAIWaikiki punya daya tarik utama. Bahkan selebritis kerap berendam dan kemudian berjemur di bawah terik matahari di pan-tai, tentu hanya dengan dengan meng-gunakan underwear. Bahkan bagi mereka yang ingin lebih bebas, tersedia pula lokasi yang memungkinkan pengunjungnya bisa bertelanjang bulat alias nudist.

Waikiki Beach lokasi lain yang menarik dikunjungi, menyerupai Pantai Kuta, di pulau dewata Bali, dengan garis pantai memanjang dari utara ke selatan. Pantai de ngan hamparan pasir putih dan taman rumput luas ini, tak pernah sepi pengun-jung menunggu tenggelamnya matahari.

Selain itu, Waikiki juga menjadi pantai pilihan para pecinta surfing. Pasalnya, pada waktu-waktu tertentu ombak bisa mencapai ketinggian dua meter. Pantai-pantai di Pulau Maui di bagian Utara Oahu Island, dengan ombak lautnya yang besar juga me rupakan ‘surga’ para peselancar. Karena itu, di sini kerap dilangsungkan even-even olahraga selancar kelas dunia.

Waikiki Beach juga dipenuhi dengan hotel-hotel berbintang yang menjulang tinggi, berjejer di sepanjang garis pantai. Hampir semua nama-nama hotel terkenal seperti Hilton International, Sheraton, Aston, JW Marriot, Hyatt, dan hotel-hotel bertaraf internasional lainnya. Bahkan, kalau kita merasa tidak nyaman tinggal di hotel yang rata-rata dibangun bertingkat di atas 10 lantai, bisa memilih hotel bergaya resort yang banyak terdapat di kawasan pinggiran, de ngan tarif yang melambung.

Suasana lengang dan bersih di Ala Wai Boulevard, Wakiki.FOTO: ASNAWI KUMAR

Page 51: Acehkini 09

ACEHKINI Januari 2009 51

Bagi yang tak berkantong tebal, juga tersedia youth hotel atau asrama yang bisa disewa bila ingin tinggal lebih dari se-minggu dengan tarif yang relatif terjang-kau. Jenis kamarnya berupa semi-private room dengan fasilitas bisa pegang kunci sendiri dan kamar mandi di dalam. Bah-kan, bagi pengunjung yang lebih dari dua orang atau rombongan, di sini tersedia pula kamar untuk empat orang atau lebih dalam satu kamar.

Setelah puas mandi atau sekadar berjalan-jalan sambil ‘cuci mata’ di pantai Waikiki, rasanya tidak lengkap kalau kita tidak mampir di International Market Place, yang letaknya hanya dipisahkan jalan satu jalur. Di sini, tersedia berbagai jenis makanan jajanan dan gerai souvenir eceran berupa hasil-hasil kerajinan tangan, yang bisa dibawa pulang sebagai oleh-oleh.

Biaya kebutuhan hidup di Hawai tergo-long paling tinggi di Amerika. Karena itu, hampir semua jenis makanan dan cendera-mata yang dijajakan di Waikiki ditawarkan dengan harga yang cukup tinggi. Untuk satu buah kaos dengan gambar grafis khas Hawai saja, misalnya, dipatok harga antara 7-15 Dolar AS atau sekitar Rp 70.000 - Rp 150.000 per buah.

Demikian pula untuk jenis minuman dan makanan, kita juga perlu siap-siap merogoh kantong yang lebih dalam. Untuk sebotol air mineral ukuran sedang saja harga tidak kurang dari 1,5 Dolar per botol, orange juice kemasan dengan isi dalam botol yang sama dihargai 3 Dolar AS atau sekitar Rp 30.000 per botol. Belum lagi makanan. Kita baru bisa melahap seporsi nasi goreng seafood kalau punya uang 8,5 Dolar AS atau sekitar 85.000 Rupiah.

Terlepas dari harga makanan dan barang-barang yang mencekik leher itu, kita bisa tetap enjoy berada dan jalan-jalan di Waikiki. Di samping suasana nyaman dengan tingkat kebersihan yang patut diacungi jempol, kita bisa kerasan di sini karena memang banyak yang bisa dilihat dan dinikmati. Mulai makan malam yang diiringi dengan tari Hula hula sampai de-ngan kawasan pantainya yang enak untuk “cuci mata”.

***

HONOLULU SEAKAN TAK PERNAH tidur. Kota yang luasnya 222 kilometer persegi dan dihuni oleh 377.260 jiwa penduduk ini, terus bergeliat. Jalan-jalan utama kota, tak sepi dari deru kendaraan bermotor, orang bersepeda, pemakai skate-board hingga lalulalang para pejalan kaki.

Waikiki Beach terus berdenyut hingga fajar. Ragam hiburan malam tidak hanya berlangsung di hotel-hotel mewah, pub dan klab-klab malam, tapi juga ada di pinggir-pinggir jalan utama seperti di kawasan

King’s Street. Di sini, kita bisa menonton musik jalanan, meramal nasib, foto bareng bersama ‘manusia patung’, sampai lukis wajah.

Sebetulnya tanpa ‘pertunjukan jalanan’ itu pun, kita sudah merasa terhibur dengan gemerlap malam yang disajikan Honolulu. Penataan kota yang apik, rapi, dan bersih, serta berbagai lampu assesoris yang menye-marakkan setiap sudut kota pada malam hari, tidak saja memberi kesan romantis tapi juga sekaligus eksotis.

Suasana malam yang semarak juga berlangsung di International Market Place, letaknya tidak begitu jauh dari bibir pantai

Waikiki. Di sini, tersedia berbagai jenis ma-kanan dan minuman sebagai menu makan malam, mulai dari masakan-masakan khas Amerika dan Eropa sampai pada masakan-masakan khas Asia, seperti Sukiyaki Jepang atau Thomyam Thailand.

Soal harga, tentu tak murah. Semuanya tidak ada yang bertarif nominal sen, tapi mesti kita keluarkan lembaran-lembaran Dolar. Meski demikian, makan malam di

Waikiki Beach dipenuhi wisatawan yang mandi dan berjemur (atas). Tarian Hula hula di International Market Place (bawah).FOTO-FOTO: ASNAWI KUMAR

Page 52: Acehkini 09

52

kawasan International Market Place ini, relatif lebih asyik dan nyaman. Sebab, sam-bil makan, kita dihibur tarian Hula hula dari sejumlah penari berbeda yang tampil bergantian.

Hiburan malam lainnya, teater dan aneka jenis tari tradisional Bangsa Poly-nesia, di Polynesian Cultural Center (PCC) yang terletak di luar kota Honolulu. PCC ini sama seperti Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang ada di Jakarta. Di sini juga ada anjungan lengkap dengan ragam budaya masing-masing negara yang termasuk dalam rumpun Bangsa Polynesia, seperti Hawai, Haiti, Tonga dan lain-lain.

Berlibur ke Amerika Serikat tentu tak mudah, harus melampui pemeriksaan ketat dari pengajuan visa di kedutaan, pemerik-saan imigrasi, serta selama dalam pener-bangan. Perlakukan itu dikenakan kepada semua orang, tak peduli pejabat atau orang penting dari suatu negara. Sampai-sampai harus mencopot sepatu, ikat pinggang, dan membongkar ransel atau tas tangan yang dijinjing saat itu.

Jadi sebaiknya tidak memakai aseso-ris yang terbuat dari bahan logam, tidak ba nyak membawa bahan atau peranti make-up dan obat-obatan yang berbentuk cair atau krim. Kalau terpaksa membawa-nya, Anda harus menyertakan label yang menjelaskan tentang komposisi bahan yang dikandungnya, dan volumenya tidak lebih dari 90 mililiter serta semuanya harus dibungkus dalam plastik yang transparan dan tahan bocor.

Kalau tidak, maka Anda harus rela disita petugas imigrasi atau mem-buangnya ke dalam tong sampah yang sudah di-sediakan, apa pun ala-sannya. Demikian pula saat melewati gerbang detektor, jika masih saja berbunyi setelah ikat pinggang dibuka, se-patu dilepas, dan semua isi saku pakaian dikeluarkan, maka Anda harus siap-siap diraba dan digeledah mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki.

Konon, pemeriksaan yang sangat menyebal-kan itu pernah dialami seorang dokter anes-tesi asal Indonesia di Chichago. Dia sudah tahu mengenai semua aturan tersebut sehingga dia tidak membawa barang ke kabin kecuali paspor, dokumen pent-ing, dan sebuah obat tetes mata saja di kantung jasnya. Itu untuk menghindari pemeriksaan yang

pe nerbangan dari dan ke Amerika selalu transit di Tokyo.

Bahkan, pada gerbang kedatangan di bandara Honolulu terpampang ucapan selamat datang dan instruksi-instruksi khusus bagi turis Jepang yang ditulis dalam bahasa Jepang. Tak hanya itu, begitu keluar dari anjungan kedatangan para turis Jepang disambut pemandu wisata. Isti-mewanya lagi, gadis Hawai dengan pakai-an khas dan bunga melingkar di kepala dengan senyum an menyapa ”Aloha!”, sambil memberikan kalungan bunga. Juru foto yang sudah siap segera mengabadikan kedatangan para turis penabur yen tadi.

Mengapa turis-turis yang berasal dari negeri matahari terbit itu tampak begitu diistimewakan di Hawai? Ini, tentu, tidak lain karena memang derasnya mata uang yen yang mengalir ke wilayah kepulauan Samudera Pasifik ini setiap tahunnya.

Lalu, tertarikkah Anda ke Hawai? Ja ngan berkecil hati, sebab perlakuan diskriminasi itu seakan terasa impas dan bisa terlupakan, manakala pesona Waikiki Beach dan kehidupan malam di Honolulu yang romantis dan eksotis itu, datang menyergap dan bersemayam dalam relung pengalam an hidup kita yang tak pernah terlupakan. Aloha! [a]

bertele-tele. Tapi apa yang terjadi? Obat tetes mata miliknya tak berlabel.

Walhasil, dia harus berdebat lama de-ngan petugas imigrasi di bandara. Malah, saking jengkelnya sang dokter coba men-demonstrasikan dengan meneteskan obat tersebut ke matanya. Apa reaksi si petugas? Dengan senyum, dia mengatakan: ”Kalau Anda ingin terus masuk ke Amerika, sila-kan buang tetes mata itu. Atau, Anda mau menghabiskannya dulu di bandara?” Maka sang dokter itu pun terpaksa mencampak-kan obat tetes matanya itu ke tong sampah.

Diskriminasi Amerika terlihat kasat mata. Di antara berbagai bangsa yang datang ke Hawai, turis-turis asal Jepang tampaknya memang mendapat perlakuan istimewa dari para petugas bandara. Turis negara ini bisa melenggang seenaknya melewati gerbang bandara yang dijaga ketat para petugas imigrasi itu.

Memang, dari berbagai bangsa yang da-tang ke Hawai, yang justru tampak pa ling ramai wisatawan asal Jepang. Di mana-mana hampir selalu kita jumpai rombongan turis Jepang, mulai dari grup para manula hingga anak-anak belasan tahun. Sehingga di Bandara Internasional Honolulu ada anjungan khusus yang diperuntukkan bagi orang Jepang. Jadi, wajar saja banyak

MAP and PHOTO: GOOGLE.COM

Page 53: Acehkini 09

ACEHKINI Januari 2009 53

Figura

Ditakuti Harimau

“AyO LISA, HARIMAUNyA SEKARANG SUDAHpada keluar dari Aceh,” ujar guru vokal pelantun lagu Kutidhieng ini suatu ketika. Sadar itu canda, tapi Lisa Aulia kadung gentar. Apalagi setelah albumnya beredar, seorang senior di sanggar Cakramata, Banda Aceh, memberitahu kalau lirik Kutidhieng, mantera pemanggil harimau.

Tapi bukan sebab itu Lisa jadi ‘buronan’ kuli tinta, melainkan ihwal meroketnya album solo perdananya. Suaranya cukup karib di kuping pendengar musik etnik Aceh, tapi tak banyak yang tahu wajah dan profil mahasiswi Kesenian, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Syiah Kuala ini. Ia berkelit bukannya menjauh dari pengemar, apalagi juru berita. “Setelah bikin album Lisa married, terus ikut suami dinas di Ambon,” jelasnya, saat ditemui di rumahnya, Keutapang Dua, Banda Aceh.

Sepulang ke Aceh, Lisa jadi ibu. Dua bulan lalu, ia dianugerahi bayi perempuan yang diberi nama Khansa Athifa Azalia. Agenda selanjutnya meluncurkan keping cakram. Sekarang masuk tahap pembuatan video klip. “Seharusnya Maret lalu, tapi nggak mungkin karena Lisa sedang hamil muda,” katanya sambil merangkai senyum.

Lisa sebenarnya, tak punya ambisi jadi selebriti. Mulanya, ia menggeluti seni tari. Suatu ketika, saat menyanyikan lagu Aceh dalam sebuah acara di Taman Budaya Banda Aceh, seorang senior mengajaknya membuat album. Penghayatan lirikpun dilakukan saat rekaman. Kaset beredar, Lisa di Ambon.

Berapa jumlah kaset yang laku, pendatang baru di blantika musik Aceh ini tak acuh. “Susah dapat, kasetnya sudah habis, di mana bisa dapat lagi kaset?” cecar seorang temannya. Saat itulah Lisa sadar, sudah punya pengemar. Tapi, ia harus kembali meninggalkan Aceh. “Kalau Khansa enam bulan, Lisa akan ke Magelang, bersama suami.” [a]

oleh MAIMUN SALEH FOTO: CHAIDEER MAHYUDDIN—ACEHKINI

Lisa Aulia

Page 54: Acehkini 09

54

Lomba Mengempiskan PerutSHAHNAZ HAqUE SAAT INI SEDANG serius menghadapi saingannya Gilang Ramadan, suaminya. Bukan dalam kontes musik atau bergaya di cat walk, melainkan adu sehat. “Kami berlomba mengempiskan perut,” ujar model cantik itu terbahak.

Saat ditemui di Banda Aceh, November lalu, ia khawatir kalah. Sebab agendanya mendatangi club fitness saban akhir pekan beradu jadwal roadshow kesehatan yang sedang dijalaninya.

Artis kelahiran 1 September 1972 ini juga rajin mengajak ketiga anak perempuannya: Pruistin Aisha, Charlote Fatima dan Mieke Namira berolahraga. “Kalau bareng anak-anak kita biasanya suka outbound

“JULIANE!” TERIAK PRIA ITU KE ARAHNyA. Juliana Puspita tersenyum. Sambil menoleh ia menyapa, “Iya. Saya mau menuntut ilmu dulu.” Gadis yang kerap dipanggil Uli itu melenggang menuju kampus. Juliane sendiri nama perannya sebagai gadis asal Malaysia, dalam film komedi Eumpang Breueh.

Di dunia peran, Juliana memang wajah baru. Tapi di seni tari ia bukan pemula. Sejak duduk di

bangku SMA, dia telah bergabung dengan sanggar Cut Meutia, Aceh Utara. Sejumlah negara Asia telah dijejalnya. Saat yusniar menawarinya terlibat dalam

film Eumpang Breueh, ia langsung mengiyakan. “Pertama dibilang untuk lipsing lagu, nggak jadi, kemudian Eumpang Breueh,” kenang mahasiswi Fakultas Ekonomi, Universitas

Terbayang Belanja di Malaysia

oleh DASPRIANI Y ZAMZAMI FOTO: DASPRIANI Y ZAMZAMI—ACEHKINI

oleh IMRAN MA FOTO: DOK—PRIBADI

SHAHNAz HAqUE

JULIANA PUSPITA

Meliukkan tubuh di atas panggung, tak lagi membuatnya canggung. Usia 14 tahun, Dessy Wartriani telah melekukkan raga di sanggar Cut Nyak Dhien, Banda Aceh. Belum berusia 25 tahun, sanggar pendapa gubernur Aceh itu memilihnya sebagai guru tari.

“Dari kecil Dessy suka menari,” ucap sarjana ekonomi Universitas Syiah Kuala ini. Terang saja sederet tari tradisional semisal Ranup Lampuan, Rampoe Aceh dan Prang Sabil, gampang baginya. Gemu-lai Dessy telah disaksikan khalayak hingga mancanegara seperti Argentina, Paraguay, Chile dan Malaysia.

Di panggung, segala daya dikerahkan

Tegang Dikarantinaoleh RIZA NASSER FOTO: CHAIDEER MAHYUDDIN—ACEHKINI

dan berekreasi ke alam. Ini penting bagi kesehatan, termasuk kesehatan kantong ketimbang olahraga ke mall,” sebutnya sambil tertawa lebar.

Bagi Shanaz, menjaga kesehatan sama dengan gerakan menghemat. Logikanya, mengobati lebih mahal harganya. Sejak rajin membawa acara kesehatan di televisi, ia bertekad terus mengampanyekan hidup sehat. “Kami mulai merasa di usia yang makin bertambah, kita harus benar-benar peduli kesehatan,” jelas artis yang juga presenter ini. Kenapa sih Shahnaz peduli dengan perut? “Kalau perut saya sudah mengecil, akan menjadi penyemangat bagi Gilang,” jawab Shanaz. [a]

Malikussaleh itu.Malaysia tak asing bagi Juliana. Di negeri

jiran itu, ia telah 13 kali menari, selain Brunei Darussalam dan Thailand. “Waktu ditawar-kan peran Jualiane, langsung membayangkan saat belanja di Malaysia,” jelas gadis berusia 21 tahun itu.

Kini sibuknya berlipat. Selain kuliah, ia syuting dan latihan menari. Jualiana juga sedang menyiapkan diri bertarung di kancah politik. Maklum ia calon legislatif dari Partai Demokrat, Kota Lhokseumawe. Walau begitu, ia masih jatuh hati ke Eumpang Breueh. “Saya suka sama Bang Mando karena lucu. Kalau bang Joni, punya Dek yusniar,” ujar Uli tertawa. [a]

demi decak kagum penonton. Untuk itu, anak pertama pasangan Samsul Anwar dan Sulastri ini rajin mengotak-atik gerak. “Set-iap mau tampil, kalau ada gaya yang sudah membosankan kita ubah koreografinya,” ujar gadis yang berulangtahun setiap 26 Desember itu.

Rupa ayu dan segudang prestasi di dun-ia tari, membuat sanggar Cut Nyak Dhien memilihnya jadi ‘ratu sambut’. Kini wa-jahnya sering tertangkap kamera jurnalis; sejengkal jarak dengan sejumlah petinggi negeri yang berkunjung ke Aceh. Susilo Bambang yudhoyono, Presiden Indonesia pernah mendapat kalungan bunga darinya. Saat Hasan Tiro, pemimpin tertinggi Gera-kan Aceh Merdeka, pulang ke Aceh Oktober lalu, Dessy menjadi pembawa kalungan bunga.

Untuk urusan mengalungi bunga, ia mengaku sering dag-dig-dug. Bukan ha-nya sebab nama besar tokoh yang dika-

lunginya, tapi juga karena karantina sebelum prosesi berlang-sung. “Dessy di-asingkan dan dijaga ketat supaya gak t e r j a d i a p a - a p a . T e g a n g juga sih,” k e n a n g -nya. [a]

DESSY WARTRIANI

Page 55: Acehkini 09

ACEHKINI Januari 2009 55

COMMERCIAL

Space for R ent

Pemasangan iklan, hubungi:pT. ACEhKini

Jl. Angsa No 23, Batoh Lueng Bata, Banda Aceh.Telp. 0651.7458793

atauAbdul Munar [081360039003]

Page 56: Acehkini 09

56