Abses Pedis Dm II
-
Upload
aulia-urrahmah -
Category
Documents
-
view
472 -
download
20
description
Transcript of Abses Pedis Dm II
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik kronis dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan erat
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh,
terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah yang menimbulkan
berbagai macam komplikasi yaitu aterosklerosis, neuropati, gagal ginjal,
retinopati, dan disfungsi ereksi.1,3
Prevalensi Diabetes Mellitus (DM) di seluruh dunia telah menunjukkan
peningkatan yang signifikan. Dalam periode tahun 1985 sampai tahun 2000 telah
terjadi peningkatan sebesar 147 juta kasus secara global1. Prevalensi DM Tipe 2
(DMT2) mengalami peningkatan yang lebih tajam dibandingkan prevalensi DM
Tipe 1 (DMT1) karena bertambahnya obesitas dan penurunan level aktivitas di
berbagai negara yang mengalami industrialisasi.1 Berdasarkan data dari
International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2004, Indonesia menempati
peringkat keempat dari sepuluh negara dengan penderita DM terbanyak1. WHO
memprediksi kenaikan jumlah penderita DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun
2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.2
Menurut ADA 2005, DM diklasifikasikan berdasarkan etiologi yaitu DM
tipe 1 (defisiensi insulin absolut akibat destruksi sel Beta), DM tipe 2 (defisiensi
insulin relatif, resistensi insulin, gangguan sekresi insulin), diabetes kehamilan,
dan diabetes tipe lain (defek genetik fungsi sel beta dan kerja insulin, penyakit
eksokrin pankreas, endokrinopati, infeksi, imunologi, obat/zat kimia, dan
sindroma genetik lain.3,2
Komplikasi kronik pada pasien DM terjadi pada semua tingkat sel dan
anatomik. Manifestasi komplikasi kronik yang terjadi pada mikrovaskuler yaitu
retinopati, nefrologi, dan saraf. Sedangkan manifestasi komplikasi kronik yang
1
terjadi pada makrovaskuler yaitu stroke, PJK, dan kaki diabetes. Komplikasi lain
DM dapat berupa kerentanan berlebih terhadap infeksi, dimana mudah terjadi
infeksi pada ISK, TB paru, dan infeksi kaki (selulitis) yang selanjutnya dapat
berkembang menjadi ulkus/gangren diabetes.3,4 Infeksi pada regio pedis
merupakan infeksi jaringan lunak yang paling sering terjadi pada pasien Diabetes
Mellitus Tipe 2. Infeksi pada pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 selain dapat
memperburuk pengendalian glukosa darah juga dapat meningkatkan morbiditas
karena berpotensi menyebabkan osteomielitis, amputasi dan kekerapan kunjungan
ke rumah sakit. Infeksi berat bahkan dapat menyebabkan septikemia yang
berujung pada kematian.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas penulis menyadari pentingnya
pemahaman dokter agar tidak hanya terfokus pada manajemen penyakit Diabetes
Mellitus Tipe 2 saja namun juga memperhatikan kelainan komorbid dan penyulit
yang sering menyertai Diabetes Mellitus Tipe 2.
1.2 Tujuan
1.2.1 Mengetahui prosedur anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang dan penegakkan diagnosis pasien Diabetes Melitus Tipe 2
dengan Abses Pedis.
1.2.2 Mengetahui ketepatan penatalaksanaan pasien Diabetes Melitus Tipe 2
dengan Abses Pedis.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
3.1 Anamnesis
3.1.1 Identitas
Nama : Tn. S
Umur : 57 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Bangun Rejo Rt. 01 Teluk dalam
Pekerjaan : Petani
Suku : Jawa
Agama : Islam
Pendidikan Terakhir : SD
Status Kawin : Kawin
Masuk Rumah Sakit : 29 Februari pukul 03.44 WITA
3.1.2 Keluhan Utama
Luka pada kaki sebelah kanan
3.1.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Luka pada kaki kanan dirasakan pasien sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit. Luka ini dikarenakan 3 hari sebelum masuk rumah sakit pasien menusuk
benjolan berwarna putih pada punggung kaki kanan yang muncul sejak 1 minggu
sebelum masuk rumah sakit yang tidak diketahui dengan jelas penyebabnya,
sehingga menyebabkan bengkak sampai pergelangan kaki pasien. Luka yang
terasa nyeri dan bengkak pada kaki dirasakan semakin memberat sehingga pasien
susah untuk berjalan. Pasien tidak mengalami demam sejak kaki pasien
3
membengak. Saat masuk IGD pasien tidak memiliki keluhan lain selain bengkak
dan nyeri pada kaki kanannya.
Pasien pernah dirawat di RS 6 bulan yang lalu, dan saat dilakukan
pemeriksaan gula darah, 510 mg/dL. Saat itu pasien baru mengetahui jika
menderita penyakit kencing manis, dan setelah keluar dari rumah sakit pasien
tidak pernah kontrol dan minum obat lagi. Satu tahun sebelum pasien didiagnosa
DM, frekuensi buang air kecil pada malam hari bertambah (5-7 kali dalam
semalam), rasa cepat haus dan lapar serta penurunan berat badan yang drastis.
Pasien tidak mengalami gangguan BAB.
3.1.4 Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat DM sejak 6 bulan yang lalu.
Tidak ada riwayat hipertensi dan penyakit jantung.
3.1.5 Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien tidak mengetahui apakah orang tua pasien menderita DM atau tidak.
3.2.6 Riwayat Kebiasaan
Pasien memiliki riwayat merokok. Pasien jarang berolahraga.
3.2 Pemeriksaan Fisik (Tanggal 24 Maret 2012)
3.2.1 Keadaan Umum
Kesadaran : Compos Mentis
Keadaan Sakit : Sedang
Berat Badan : 52 kg
Tinggi Badan : 158 cm
IMT : 20,83
4
3.2.2 Tanda-tanda Vital
Tekanan Darah : Baring 110/80
Duduk 110/80
Berdiri 100/70
Nadi : 82 x / menit
Pernafasan : 20 x / menit
Suhu tubuh : 37,1°C
3.2.3 Kepala dan Leher
Umum
Ekspresi : Sakit sedang Kulit muka : Normal
Mata
Alis : Normal
Palpebra : Edema (-/-)
Konjungtiva : Anemis (-/-)
Sclera : Ikterik (-/-)
Pupil : Isokor
(3mm/3mm)
Telinga
Bentuk : Normal
Lubang telinga : Normal
Sekret (-)
Proc. Mastoideus : Nyeri (-/-)
Pendengaran : Normal
Hidung
Penyumbatan : (-/-)
Perdarahan : (-/-)
Daya penciuman : Normal
Nafas cuping : (-)
Mulut
Bibir : Pucat (-), Sianosis (-)
Gusi : Berdarah (-)
Mukosa : Pigmentasi (-), Hiperemis (-), Pucat (-)
Faring : Hiperemis (-)
Leher
Umum : Simetris
Kelenjar limfe : Pembesaran (-)
Trachea : Di tengah
5
Tiroid : Pembesaran (-)
3.2.4 Thoraks
Bentuk : Simetris
Axilla : Pembesaran KGB (-)
Sternum : Nyeri Tekan (-)
Paru
Inspeksi : Bentuk dada normal
Simetris
Pergerakan simetris
Retraksi (-/-)
Palpasi : Pergerakan simetris
ICS melebar (-/-)
Fremitus raba seimbang (D=S)
Nyeri (-/-)
Perkusi : Sonor |
Nyeri ketok (-/-)
Auskultasi : Suara nafas vesikuler
Wheezing (-/-)
Ronkhi (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis (-) tampak
Pulsasi jantung (-) terlihat
Palpasi : Ictus cordis (+) teraba: garis midklavikula kiri pada ICS V
Thrill (-)
Perkusi : Batas jantung kanan: garis sternal kanan pada ICS III-V
Batas jantung kiri: garis midklavikula kiri pada ICS V
Auskultasi : S1 – S2 tunggal regular
Gallop S3 (-) S4 (-)
Murmur jantung (-)
6
3.2.5 Abdomen
Inspeksi : Bentuk Datar
Kulit Lembab
Palpasi : Turgor kulit normal
Tonus normal
Nyeri tekan (-)
Hepar (-) teraba, ginjal (-) teraba, lien (-) teraba
Pembesaran KGB inguinal (-/-)
Perkusi : Timpani di keempat kuadran
Nyeri ketok hepar (-)
Nyeri ketok CVA (-/-)
Shifting dullness (-)
Auskultasi : Peristaltik usus bising usus normal
3.2.6 Ekstremitas
Superior : Edema (-/-)
Tremor (-/-)
Akral hangat (+/+)
Cyanosis ujung jari (-/-)
Pulsasi arteri brakhialis (+2/+2)
Pulsasi arteri radialis (+2/+2)
Inferior : Akral hangat (+/+) Anhidrosis (-)
Cyanosis ujung jari (-/-)
Pulsasi arteri poplitea: (+2/+2)
Pulsasi arteri dorsalis pedis: (sde/+2)
Pulsasi arteri tibialis posterior: (sde/+2)
Deformitas (-/-)
Sensasi Tajam: (↓/↓)
Sensasi Sentuhan Halus: (-/-)
7
ABI : susah di evaluasi
3.2.7 Pemeriksaan Neurologis
Refleks Fisiologis: Biceps (+2/+2)
Trisep (+2/+2)
Brachioradialis (+2/+2)
Patella (+2/+2)
Achilles (sde/+2)
Superfisial Abdomen (+)
3.3 Pemeriksaan Penunjang
29 Februari 2012
Darah HDT
-GDS: 492 mg/dL
-Ureum: 37,1
-Kreatinin: 1,3
-WBC: 16.900
-RBC: 4.460.000
-PLT: 223.000
-HGB: 12,8 g/Dl
-HCT: 35,9 %
-MCV: 80,4 fl
-MCH: 28,7 pg
-MCHC: 35,7 g/dL
Elektrolit
-Na: -
-K: -
-Cl: -
3.4 Diagnosis
Abses pedis dekstra et causa infeksi ulkus neuropatik post debridement hari ke-
XX dengan Diabetes Mellitus tipe 2 uncontrolled.
3.5 Penatalaksanaan
1. RL 20 tpm
2. Fosfomisin (Fosfomisin) 2x1 g IV Amp.
8
3. Metronidazole 3x500 mg IV
4. RI 3x8 IU
5. Ranitidin 2x1 ampul IV
6. Neurovit E 1x1 tablet P.O
7. PCT 3x500 mg P.O jika demam
8. Ondancentron 3x1 amp (k/p)
9. Rawat luka dengan NaCl
3.6 Prognosis
Vitam: Dubia et bonam
Functionam: Dubia et bonam
3.7 Follow-UpTgl 01 maret 2012 02 maret 2012 03 maret 2012 05 maret 2012S -Bengkak dan
nyeri pada kaki
kanan hingga 1/3
cruris
-Demam
(+),Mual (-)
Muntah(-), BAB
(-)
- Bengkak dan
nyeri pada kaki
kanan hingga 1/3
cruris
-Demam (-),Mual
(-) Muntah(-),
BAB (-)
- Bengkak dan
nyeri pada kaki
kanan hingga 1/3
cruris
-Demam (-),
lemas (+)
- Bengkak dan
nyeri pada kaki
kanan hingga 1/3
cruris
-Demam (-),
O -Kesadaran:
Composmentis
-TD: 100/70
-Frekuensi Nadi:
100x/menit
-Frekuensi Nafas:
22/menit
-Suhu (aksila):
38,1 °C
-Konjungtiva
anemis (-)
-Sklera ikterik (-)
-Kesadaran:
Composmentis
-TD: 100/80
-Frekuensi Nadi:
86/menit
-Frekuensi Nafas:
20/menit
-Suhu (aksila):
36,8 °C
-Konjungtiva
anemis (-)
-Sklera ikterik (-)
-Kesadaran:
Composmentis
-TD: 110/70
-Frekuensi Nadi:
82/menit
-Frekuensi Nafas:
20/menit
-Suhu (aksila):
36,7 °C
-Konjungtiva
anemis (-)
-Sklera ikterik (-)
-Kesadaran:
Composmentis
-TD: 100/60
-Frekuensi Nadi:
89x/menit
-Frekuensi Nafas:
20/menit
-Suhu (aksila): 36
°C
-Konjungtiva
anemis (-)
-Sklera ikterik (-)
9
-Rhonki (-/-)
-Bising usus (+)
Normal
-Rhonki (-/-) -Rhonki (-/-) -Rhonki (-/-)
- Pus (+)
A -DM tipe II
+Abses Pedis
-DM tipe II
+Abses Pedis
-DM tipe II
+Abses Pedis
-DM tipe II
+Abses Pedis
P RL 20 tpm
Cefotaxim Inj.
IV 3x1 g
metronidazole
3x500 mg
Ranitidin Inj.
2x1 Amp.
RI 3x8 IU
Neurovit E 1x1
tab
PCT 3x500 mg
Consult Bedah
Cek KDL,
GDP, G2PP,
elektrolit
Kultur pus
Ro. Pedis
AP/Lat
RL 20 tpm
Cefotaxim Inj.
IV 3x1 g
Metronidazole
3x500 mg
Ranitidin Inj.
2x1 Amp.
RI 3x8 IU
Neurovit E
1x1 tab
PCT 3x500
mg
Rawat luka
dengan NaCl
RL 20 tpm
Cefotaxim Inj.
IV 3x1 g
Metronidazole
3x500 mg
Ranitidin Inj.
2x1 Amp.
RI 3x8 IU
Neurovit E
1x1 tab
PCT 3x500
mg
Rawat luka
dengan NaCl
RL 20 tpm
Cefotaxim Inj.
IV 3x1 g
Metronidazole
3x500 mg
Ranitidin Inj.
2x1 Amp.
RI 3x8 IU
Neurovit E
1x1 tab
PCT 3x500
mg
Rawat luka
dengan NaCl
Tgl 06 maret 2012 07 maret 2012 08 maret 2012 09 maret 2012S -Bengkak dan
nyeri pada kaki
kanan
-Demam
(+),Mual (-)
Muntah(-)
- Bengkak dan
nyeri pada kaki
kanan
- Bengkak dan
nyeri pada kaki
kanan
- Bengkak dan
nyeri pada kaki
kanan
- kadang mual
O -Kesadaran:
Composmentis
-TD: 110/70
-Frekuensi Nadi:
-Kesadaran:
Composmentis
-TD: 130/80
-Frekuensi Nadi:
-Kesadaran:
Composmentis
-TD: 130/80
-Frekuensi Nadi:
-Kesadaran:
Composmentis
-TD: 130/80
-Frekuensi Nadi:
10
78x/menit
-Frekuensi Nafas:
20/menit
-Suhu (aksila):
37,1 °C
-Konjungtiva
anemis (-)
-Sklera ikterik (-)
-Rhonki (-/-)
-Pus (+)
80/menit
-Frekuensi Nafas:
20/menit
-Suhu (aksila):
36,8 °C
-Konjungtiva
anemis (-)
-Sklera ikterik (-)
-Rhonki (-/-)
-Pus (+)
78/menit
-Frekuensi Nafas:
20/menit
-Suhu (aksila):
36,7 °C
-Konjungtiva
anemis (-)
-Sklera ikterik (-)
-Rhonki (-/-)
-Pus (+)
89x/menit
-Frekuensi Nafas:
20/menit
-Suhu (aksila): 36
°C
-Konjungtiva
anemis (-)
-Sklera ikterik (-)
-Rhonki (-/-)
- Pus (+)
A -DM tipe II
+Abses Pedis
-DM tipe II
+Abses Pedis
post debridement
hari I
-DM tipe II
+Abses Pedis
post debridement
hari II
-DM tipe II
+Abses Pedis
post debridement
hari III
P RL 20 tpm
Cefotaxim Inj.
IV 3x1 g
metronidazole
3x500 mg
Ranitidin Inj.
2x1 Amp.
RI 3x8 IU
Neurovit E 1x1
tab
PCT 3x500 mg
Consult Bedah
Cek KDL,
GDP, G2PP,
elektrolit
RL 20 tpm
Ceftriaxone
Inj. IV 2x1 g
Metronidazole
3x500 mg
Ranitidin Inj.
2x1 Amp.
RI 3x10 IU
Neurovit E
1x1 tab
PCT 3x500
mg
Antrain 3x1
amp
Rawat luka
dengan NaCl
RL 20 tpm
Ceftriaxone
Inj. IV 2x1 g
Metronidazole
3x500 mg
Ranitidin Inj.
2x1 Amp.
RI 3x8 IU
Neurovit E
1x1 tab
PCT 3x500
mg
Antrain 3x1
amp
Rawat luka
dengan NaCl
RL 20 tpm
Ceftriaxone
Inj. IV 2x1 g
Metronidazole
3x500 mg
Ranitidin Inj.
2x1 Amp.
RI 3x8 IU
Neurovit E
1x1 tab
PCT 3x500
mg
Antrain 3x1
amp
Rawat luka
dengan NaCl
Tgl 10 maret 2012 12 maret 2012 13 maret 2012 14 maret 2012S -Bengkak dan
nyeri pada kaki
kanan
- Bengkak dan
nyeri pada kaki
kanan
- Bengkak dan
nyeri pada kaki
kanan mulai ↓
- Bengkak dan
nyeri pada kaki
kanan,BAB (+),
BAK (+), demam
11
(-)
O -Kesadaran:
Composmentis
-TD: 130/70
-Frekuensi Nadi:
80x/menit
-Frekuensi Nafas:
22/menit
-Suhu (aksila):
37,1 °C
-Konjungtiva
anemis (-)
-Sklera ikterik (-)
-Rhonki (-/-)
-pus (+), darah
(+)
-Kesadaran:
Composmentis
-TD: 130/80
-Frekuensi Nadi:
86/menit
-Frekuensi Nafas:
20/menit
-Suhu (aksila):
36,8 °C
-Konjungtiva
anemis (-)
-Sklera ikterik (-)
-Rhonki (-/-)
- pus (+), darah
(+)
-Kesadaran:
Composmentis
-TD: 120/70
-Frekuensi Nadi:
82/menit
-Frekuensi Nafas:
20/menit
-Suhu (aksila):
36,7 °C
-Konjungtiva
anemis (-)
-Sklera ikterik (-)
-Rhonki (-/-)
-pus (+)
-Kesadaran:
Composmentis
-TD: 120/80
-Frekuensi Nadi:
83x/menit
-Frekuensi Nafas:
20/menit
-Suhu (aksila): 36
°C
-Konjungtiva
anemis (-)
-Sklera ikterik (-)
-Rhonki (-/-)
- Pus (+)
A -DM tipe II
+Abses Pedis
post debridement
hari IV
-DM tipe II
+Abses Pedis
post debridement
hari VI
-DM tipe II
+Abses Pedis
post debridement
hari VII
-DM tipe II
+Abses Pedis
post debridement
hari VIII
P RL 20 tpm
Ceftriaxone
Inj. IV 2x1 g
Metronidazole
3x500 mg
Ranitidin Inj.
2x1 Amp.
RI 3x8 IU
Neurovit E
1x1 tab
PCT 3x500
mg
Antrain 3x1
amp
Rawat luka
RL 20 tpm
Ceftriaxone
Inj. IV 2x1 g
Metronidazole
3x500 mg
Ranitidin Inj.
2x1 Amp.
RI 3x8 IU
Neurovit E
1x1 tab
PCT 3x500
mg
Antrain 3x1
amp
Rawat luka
dengan NaCl
RL 20 tpm
Ceftriaxone
Inj. IV 2x1 g
Metronidazole
3x500 mg
Ranitidin Inj.
2x1 Amp.
RI 3x8 IU
Neurovit E
1x1 tab
PCT 3x500
mg
Antrain 3x1
amp
Rawat luka
dengan NaCl
RL 20 tpm
Ceftriaxone
Inj. IV 2x1 g
Metronidazole
3x500 mg
Ranitidin Inj.
2x1 Amp.
RI 3x8 IU
Neurovit E
1x1 tab
PCT 3x500
mg
Antrain 3x1
amp
Rawat luka
dengan NaCl
12
dengan NaCl
Tgl 15 maret 2012 16 maret 2012 17 maret 2012 19 maret 2012S nyeri pada kaki
kanan, BAK (+),
BAB (+)
nyeri pada kaki
kanan
nyeri pada kaki
kanan
nyeri pada kaki
kanan
O -Kesadaran:
Composmentis
-TD: 130/70
-Frekuensi Nadi:
80x/menit
-Frekuensi Nafas:
22/menit
-Suhu (aksila):
37,1 °C
-Konjungtiva
anemis (-)
-Sklera ikterik (-)
-Rhonki (-/-)
-Kesadaran:
Composmentis
-TD: 130/80
-Frekuensi Nadi:
86/menit
-Frekuensi Nafas:
20/menit
-Suhu (aksila):
36,8 °C
-Konjungtiva
anemis (-)
-Sklera ikterik (-)
-Rhonki (-/-)
-Kesadaran:
Composmentis
-TD: 130/70
-Frekuensi Nadi:
82/menit
-Frekuensi Nafas:
20/menit
-Suhu (aksila):
36,7 °C
-Konjungtiva
anemis (-)
-Sklera ikterik (-)
-Rhonki (-/-)
-Kesadaran:
Composmentis
-TD: 120/80
-Frekuensi Nadi:
83x/menit
-Frekuensi Nafas:
20/menit
-Suhu (aksila): 36
°C
-Konjungtiva
anemis (-)
-Sklera ikterik (-)
-Rhonki (-/-)
A -DM tipe II
+Abses Pedis
post debridement
hari IX
-DM tipe II
+Abses Pedis
post debridement
hari X
-DM tipe II
+Abses Pedis
post debridement
hari XI
-DM tipe II
+Abses Pedis
post debridement
hari XIII
P RL 20 tpm
Fosfomisin
Inj. IV 2x1 g
Metronidazole
3x500 mg
Ranitidin Inj.
2x1 Amp.
RI 3x8 IU
Neurovit E
1x1 tab
PCT 3x500
mg
RL 20 tpm
Fosfomisin
Inj. IV 2x1 g
Metronidazole
3x500 mg
Ranitidin Inj.
2x1 Amp.
RI 3x8 IU
Neurovit E
1x1 tab
PCT 3x500
mg
RL 20 tpm
Fosfomisin
Inj. IV 2x1 g
Metronidazole
3x500 mg
Ranitidin Inj.
2x1 Amp.
RI 3x8 IU
Neurovit E
1x1 tab
PCT 3x500
mg
RL 20 tpm
Fosfomisin
Inj. IV 2x1 g
Metronidazole
3x500 mg
Ranitidin Inj.
2x1 Amp.
RI 3x8 IU
Neurovit E
1x1 tab
PCT 3x500
mg
13
Antrain 3x1
amp
Rawat luka
dengan NaCl
Antrain 3x1
amp
Rawat luka
dengan NaCl
Antrain 3x1
amp
Rawat luka
dengan NaCl
Antrain 3x1
amp
Rawat luka
dengan NaCl
Tgl 20 maret 2012 21 maret 2012 22 maret 2012 24 maret 2012S nyeri pada kaki
kanan
nyeri pada kaki
kanan
nyeri pada kaki
kanan , mual
muntah (+)
nyeri pada kaki
kanan, mual
muntah (+)
O -Kesadaran:
Composmentis
-TD: 130/80
-Frekuensi Nadi:
80x/menit
-Frekuensi Nafas:
22/menit
-Suhu (aksila):
37,1 °C
-Konjungtiva
anemis (-)
-Sklera ikterik (-)
-Rhonki (-/-)
-Kesadaran:
Composmentis
-TD: 130/80
-Frekuensi Nadi:
86/menit
-Frekuensi Nafas:
20/menit
-Suhu (aksila):
36,8 °C
-Konjungtiva
anemis (-)
-Sklera ikterik (-)
-Rhonki (-/-)
-Kesadaran:
Composmentis
-TD: 130/70
-Frekuensi Nadi:
82/menit
-Frekuensi Nafas:
20/menit
-Suhu (aksila):
36,7 °C
-Konjungtiva
anemis (-)
-Sklera ikterik (-)
-Rhonki (-/-)
-Kesadaran:
Composmentis
-TD: 120/80
-Frekuensi Nadi:
83x/menit
-Frekuensi Nafas:
20/menit
-Suhu (aksila): 36
°C
-Konjungtiva
anemis (-)
-Sklera ikterik (-)
-Rhonki (-/-)
A -DM tipe II
+Abses Pedis
post debridement
hari XIV
-DM tipe II
+Abses Pedis
post debridement
hari XV
-DM tipe II
+Abses Pedis
post debridement
hari XVI
-DM tipe II
+Abses Pedis
post debridement
hari XVIII
14
P RL 20 tpm
Fosfomisin
Inj. IV 2x1 g
Metronidazole
3x500 mg
Ranitidin Inj.
2x1 Amp.
RI 3x10 IU
Neurovit E
1x1 tab
PCT 3x500
mg
Ondancentron
2x1 amp (k/p)
Rawat luka
dengan NaCl
RL 20 tpm
Fosfomisin
Inj. IV 2x1 g
Metronidazole
3x500 mg
Ranitidin Inj.
2x1 Amp.
RI 3x10 IU
Neurovit E
1x1 tab
PCT 3x500
mg
Ondancentron
2x1 amp (k/p)
Rawat luka
dengan NaCl
RL 20 tpm
Fosfomisin
Inj. IV 2x1 g
Metronidazole
3x500 mg
Ranitidin Inj.
2x1 Amp.
RI 3x10 IU
Neurovit E
1x1 tab
PCT 3x500
mg
Ondancentron
2x1 amp (k/p)
Rawat luka
dengan NaCl
RL 20 tpm
Fosfomisin
Inj. IV 2x1 g
Metronidazole
3x500 mg
Ranitidin Inj.
2x1 Amp.
RI 3x10 IU
Neurovit E
1x1 tab
PCT 3x500
mg
Ondancentron
3x1 amp (k/p)
Rawat luka
dengan NaCl
Follow up 26 Maret 2012S : nyeri pada kaki kanan, mual
muntah (+)A : DM tipe II +Abses Pedis post
debridement hari XX
O :- Kesadaran: Composmentis-TD: 120/70-Frekuensi Nadi: 80x/menit-Frekuensi Nafas: 20/menit-Suhu (aksila): 36 °C-Konjungtiva anemis (-)-Sklera ikterik (-)-Rhonki (-/-)
P: RL 20 tpm Fosfomisin Inj. IV 2x1 g Metronidazole 3x500 mg Ranitidin Inj. 2x1 Amp. RI 3x10 IU Neurovit E 1x1 tab PCT 3x500 mg Ondancentron 3x1 amp (k/p) Rawat luka dengan NaCl
Hasil LaboratoriumTgl 29/02 01/03 05/03 08/03 12/03 15/03 19/03 24/03
GDS 429 - - - - - - -
GDP - 219 251 167 112 116 82 63
GD2PP - 261 275 193 120 213 112 90
HbA1c - 13,0 - - - - - -
Ur 37,1 43,2 35,9 - - - - -
15
Cr 1,3 0,8 0,9 - - - - -
Eri 4.460.000 - - - - - - -
Leu 16.900 - - - - - - -
Tr 223.000 - - - - - - -
Hb 12,8 - - - - - - -
Hct 35,9 - - - - - - -
Prot
Total- 5,4 - - - - - -
Albumin - 2,8 - - - - - -
Globulin - 2,6 - - - - - -
Pemeriksaan Antimikroba dan Uji kepekaan antibiotika
1 Maret 2012
Jenis mikroba: Klebsiella Pneumonia
Pewarnaan gram: coccus gram negatif
Resisten: Amikasin, Amoxicilin, Ampicilin, cloramfenikol, Cloxacilin,
sulphamethoxazole, teimetoprim, Ceftazidime, cephalexim, cefadroxil, ,
cefotaxime, cefoperazone, Gentamicin, Ceforoxime, Clindamicin, Doxycyclin,
Norfloxacin, Ofloxacin, Tetracycline, Ticarcillin, Vancomycin, Ceftizoxime,
eritromycin, fosfomisin, ceftizoxime, cepirome.
Sensitif: ciprofloxacin, cefepime, levofloxacin, ceftriaxone, Meropenem,
Sulbactam Cefoperazone.
16
6 Maret 2012
Jenis mikroba: Klebsiella Pneumonia
Pewarnaan gram: coccus gram negative
Resisten: Amoxicilin, Ampicilin, Cloxacilin, sulphamethoxazole, teimetoprim,
Ceftazidime, ciprofloxasin, cephalexim, cefadroxil, , cefoperazone, Gentamicin,
Ceforoxime, Clindamicin, Doxycyclin, levofloxacin, Norflixacin, Ofloxacin,
Meropenem, Tetracycline, Ticarcillin, Vancomycin, eritromycin,
Sensitif: cloramfenikol, ceftriaxone, cefotaxime, cepirome, ceftizoxime,
Sulbactam Cefoperazone.
12 Maret 2012
Jenis mikroba: Klebsiella Pneumonia
Pewarnaan gram: coccus gram negative
Resisten: Amoxicilin, Ampicilin, Cloxacilin, Chloramphenicol,
sulphamethoxazole, trimetoprim, ciprofloxasin, cephalexim, cefadroxil,
Gentamicin, Ceftriaxone, Cefotaxime, Ceforoxime, cepirome, Clindamicin,
Doxycyclin, levofloxacin, Norflixacin, Ofloxacin, Tetracycline, Ticarcillin,
Vancomycin, Ceftizoxime
Sensitif: Amikasin, Eritromisin, Cefepime, Fosfomisin,Meropenem, Sulbactam
Cefoperazone.
19 Maret 2012
Jenis mikroba: Citrobacter freundii
Pewarnaan gram: coccus gram negative
Resisten: Amoxicilin, Ampicilin, Cloxacilin, Chloramphenicol,
sulphamethoxazole, trimetoprim, , ciprofloxasin, cephalexim, cefadroxil,
Gentamicin, Ceftriaxone, Cefotaxime, Ceforoxime, cepirome, Clindamicin,
Doxycyclin, levofloxacin, Norflixacin, Ofloxacin, Tetracycline, Ticarcillin,
17
Vancomycin, Ceftizoxime , ceftazidime, Cefoperazon, Eritromisin, levofloxacin
Sensitif: Amikasin, Cefepime, Fosfomisin, Meropenem, Sulbactam Cefoperazone
18
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus Tipe 2
2.1.1 Definisi
Diabetes Mellitus (DM) didefinisikan sebagai kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin, atau kedua-duanya.2 Diabetes Mellitus Tipe 1 ditandai dengan defisiensi
insulin absolut sedangkan Diabetes Mellitus Tipe 2 ditandai dengan kombinasi antara
defisiensi insulin relatif dan resistensi insulin.2
2.1.2 Etiologi dan Patogenesis
Etiologi Diabetes Mellitus Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum
sepenuhnya terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup
besar dalam menyebabkan terjadinya Diabetes Mellitus Tipe 2, antara lain obesitas,
diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurangnya aktifitas jasmani.2
Pada DM Tipe 2, terutama pada tahap awal penyakit, umumnya dapat dideteksi
jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga
tinggi. Sel-sel target insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal.
Keadaan ini lazim disebut sebagai resistensi insulin. Resistensi insulin banyak terjadi
di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari
obesitas, kekurangan aktivitas jasmani (sedentary), dan penuaan.
Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul
gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun
demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β Langerhans secara autoimun
sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin
pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam
penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin.
Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama
sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai
dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi
sekitar 20 menit sesudahnya.
Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan pada
sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi
insulin Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit
selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel β pankreas yang
terjadi secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin,
sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Penelitian menunjukkan
bahwa pada penderita DM Tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu
resistensi insulin dan defisiensi insulin.2
2.1.3 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah
utuh (whole blood), vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan
memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh
WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan
dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler.2
Diagnosis DM dapat ditentukan melalui tiga cara (Tabel 2.1). Pada sarana
laboratorium yang telah terstandardisasi dengan baik, pemeriksaan HbA1c yang
menunjukkan hasil ≥ 6.5% termasuk ke dalam salah satu kriteria diagnosis DM.2,6
2.1.4 Penatalaksanaan2
2.1.4.1 Evaluasi Medis
Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama meliputi:
1. Riwayat Penyakit
a. gejala yang timbul, hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu termasuk A1C,
hasil pemeriksaan khusus yang telah ada terkait DM
b. pola makan, status nutrisi, riwayat perubahan berat badan
c. riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda
d. pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk
terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan DM
secara mandiri, serta kepercayaan yang diikuti dalam bidang terapi kesehatan
e. pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan,
perencanaan makan dan program latihan jasmani
f. riwayat komplikasi akut (KAD, hiperosmolar hiperglikemia, hipoglikemia)
g. riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus urogenitalis
h. gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik (komplikasi pada ginjal,
mata, saluran pencernaan)
i. pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah
2. Pemeriksaan Fisik
a. pengukuran tinggi dan berat badan
b. pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi
berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik
Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis DM2
Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir. atau
Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg.dL (7.0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam. Atau
Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥220 mg/dL (11.1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standard WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan kedalam air.
c. pemeriksaan funduskopi
d. pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
e. pemeriksaan jantung
f. evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop
g. pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari
h. pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin)
dan pemeriksaan neurologis
i. tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe-lain
3. Evaluasi Laboratoris/penunjang lain
a. glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial
b. A1C
c. profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida)
d. kreatinin serum
e. albuminuria
f. keton, sedimen dan protein dalam urin
g. elektrokardiogramr
h. foto sinar-x dada
4. Tindakan Rujukan
a. ke bagian mata bila diperlukan pemeriksaan mata lebih lanjut
b. konsultasi keluarga berencana untuk wanita usia produktif
c. konsultasi terapi gizi medis sesuai indikasi
d. konsultasi dengan edukator diabetes
e. konsultasi dengan spesialis kaki (podiatrist), spesialis perilaku (psikolog)
atau spesialis lain sesuai indikasi
2.1.4.2 Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi
aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam
menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku,
dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai
bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari
pengelolaan DM secara holistik. Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat
awal dan materi edukasi tingkat lanjutan.
1. Materi edukasi pada tingkat awal adalah:
a. Perjalanan penyakit DM
b. Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
c. Penyulit DM dan risikonya
d. Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan
e. Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fsik, dan obat hipoglikemik oral atau
insulin serta obat-obatan lain
f. Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin
mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia)
g. Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau
hipoglikemia
h. Pentingnya latihan jasmani yang teratur
i. Masalah khusus yang dihadapi (contoh: hiperglikemia pada kehamilan)
j. Pentingnya perawatan kaki
k. Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.
2. Materi edukasi pada tingkat lanjut adalah :
a. Mengenal dan mencegah penyulit akut DM
b. Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM
c. Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain
d. Makan di luar rumah
e. Rencana untuk kegiatan khusus
f. Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir tentang DM
g. Pemeliharaan/Perawatan kaki
2.1.4.3 Terapi Gizi Medis
1. Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara
total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari
anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu
sendiri).
2. Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.
3. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes
perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis
dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun
glukosa darah atau insulin.
2.1.4.4 Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan olahraga secara teratur (3-4 kali seminggu
selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM
tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga,
berkebun harus tetap dilakukan.
Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous,
Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training). Sedapat mungkin mencapai
zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-umur), disesuaikan dengan
kemampuan dan kondisi penderita. Beberapa contoh olah raga yang disarankan,
antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olahraga
aerobik ini paling tidak dilakukan selama total 30-40 menit per hari didahului dengan
pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-10 menit. Olah raga akan
memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan
juga meningkatkan penggunaan glukosa.
2.1.4.5 Intervensi Farmakologi
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum
tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani. Intervensi farmakologis
terutama terdiri dari golongan obat hipoglikemik oral dan insulin. Berdasarkan cara
kerjanya, obat hipoglikemik oral dibagi menjadi 4 golongan: pemicu sekresi insulin
(sulfonilurea, glinid), penambah sensitivitas terhadap insulin (metformin,
tiazolidindion), penghambat glukoneogenesis (metformin), dan penghambat absorpsi
glukosa (inhibitor alfa glukosidase).
Tabel 2.2 Penggolongan Obat Hipoglikemik Oral14
Golongan Contoh senyawa Mekanisme kerjaSulfonylurea Gliburida / Glinbenklamid
GlipizidaGlikazidaGlimepiridaglikuidon
Merangsang sekresi insulin di kelenjar pancreas, sehingga hanya efektif pada penderita diabetes yang sel-sel ß pankreasnya masih berfungsi dengan baik
Meglitinida Repaglinide Merangsang sekresi insulin di kelenjar pancreas
Turunan fenilalanin
Nateglinide Meningkatkan kecepatan sintesis insulin oleh pancreas
Biguanida Metformin Bekerja langsung pada hepar. Menurunkan produksi glukosa hati. Tidak merangsang sekresi insulin oleh kelenjar pancreas
Tiazolidindion RosiglitazoneTroglitazonPioglitazon
Meningkatkan kpekaan tubuh terhadap insulin. Berikatan dengan PPARγ (perixisome proliferator activated receptor-gamma) di otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan resistensi insulin.
Inhibitor α-glukosidase
AcarboseMiglitol
Menghambat kerja enzim-enzim pencernaanyang mencerna karbohidrat, sehinggamemperlambat absorpsi glukosa kedalamdarah
Obat golongan sulfolinurea mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan
berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan
berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai
keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta
penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.14
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari
2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati.14
Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Per-oxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu reseptor inti di sel otot
dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan
ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan
gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada
gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan
pemantauan faal hati secara berkala.14
Metformin merupakan lini utama terapi DMT2. Metformin mempunyai efek
mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga meningkatkan
sensitivitas insulin. Terutama dipakai pada pasien diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >
1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat
memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan
pada saat atau sesudah makan.
Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose) bekerja dengan mengurangi
absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar
glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping
hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan
flatulens.14
Walaupun sebagian besar penderita DM Tipe 2 tidak memerlukan terapi
insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan terapi insulin disamping terapi
hipoglikemik oral. Insulin diperlukan pada keadaan: penurunan berat badan yang
cepat, hiperglikemia berat yang disertai ketosis, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia
hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia dengan asidosis laktat gagal dengan
kombinasi oho dosis hampir maksimal, stres berat (infeksi sistemik, operasi
besar, IMA, stroke), kehamilan dengan diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan, gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat,
atau kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO.2
2.2 Abses Pedis pada Diabetes Mellitus Tipe 2
Adanya infeksi pada pasien diabetes sangat berpengaruh terhadap
pengendalian glukosa darah. Infeksi dapat memperburuk kendali glukosa darah, dan
kadar glukosa darah yang tinggi meningkatkan kemudahan atau memperburuk
infeksi. Kulit pada daerah ekstremitas bawah merupakan tempat yang sering
mengalami infeksi. Kuman stafilokokus merupakan kuman penyebab utama. Ulkus
kaki terinfeksi biasanya melibatkan banyak mikro organisme, yang sering terlibat
adalah stafilokokus, streptokokus, batang gram negatif dan kuman anaerob. Infeksi
yang tidak tertangani dengan baik akan menyebabkan abses, gangren dan komplikasi
lain seperti osteomielitis.
Infeksi dapat berasal dari ulkus yang terkontaminasi mikroorganisme. Beberapa
faktor yang terlibat dalam terjadinya ulkus pada keadaan diabetes: neuropati,
abnormalitas biomekanik pada kaki, PAD, dan gangguan penyembuhan luka.
Neuropati sensorik perifer menghambat mekanisme protektif normal sehingga
memudahkan pasien mengalami cedera berulang yang kadang tidak disadari oleh
pasien. Gangguan propiosepsi menyebabkan titik tumpu yang abnormal ketika
berjalan sehingga memudahkan terjadinya kalus dan ulserasi. Neuropati autonom
yang menyebabkan anhidrosis dan terganggunya aliran darah superfisial pada kaki
juga memiliki peran dalam terjadinya ulkus. PAD dan gangguan penyembuhan luka
menyebabkan trauma minor pada kulit menjadi terbuka dan mudah terinfeksi.
Penatalaksanaan infeksi terdiri dari antibiotik oral (sefalosporin, klindamisin,
amoksisilin/klavulanat, dan fluoroquinolon), debridemen jaringan nekrotik,
perawatan luka (diantaranya menghindari titik tumpu badan pada daerah ulkus), dan
pengawasan ketat terhadap terjadinya perburukan infeksi. Ulkus yang berat
membutuhkan antibiotik IV, tirah baring dan perawatan luka intensif. Tindakan bedah
dengan debridemen kadang harus segera dilakukan. Antibiotik intravena diberikan
broad-spectrum sehingga mencakup bakteri yang sering menginfeksi ulkus seperti
stafilokokus, streptokokus, batang gram negatif dan kuman anaerob. Regimen
antimikroba awal seperti ertapenem, piperacillin/tazobactam, cefotetan,
ampisillin/sulbactam, linezolid, atau kombinasi clindamycin dan fluoroquinolone.
Infeksi berat, atau infeksi tanpa perbaikan klinis dalam 48 jam terapi antibiotik,
memerlukan ekspansi terapi antimikroba terhadap methicillin-resistant S. aureus
(vankomisin) dan Pseudomonas aeruginosa.
2.3 Neuropati Diabetika
Neuropati diabetika berdasarkan konferensi neuropati perifer pada Februari
1988 di San Antonio merupakan adanya gangguan klinis neuropati yang terjadi pada
pasien DM tanpa penyebab neuropati perifer yang lain, termasuk manifestasi somatik
dan autonom dari sistem saraf perifer. Neuropati diabetika merupakan salah satu
komplikasi kronis paling sering ditemukan pada pasien DM. Risiko yang dihadapi
pasien DM adalah infeksi berulang, ulkus yang sukar sembuh, dan amputasi kaki.8
Manifestasi klinis neuropati diabetika bergantung dari jenis serabut saraf yang
mengalami lesi. Mengingat jenis serabut saraf yang terkena lesi bisa besar atau kecil,
lokasi proksimal atau distal, fokal atau difus, motorik atau sensorik atau otonom,
maka manifestasi klinis neuropati diabetik menjadi bervariasi.9
Neuropati diabetika mulai terjadi setelah 10 tahun onset dari DM dan
prevalensinya sekitar 12-50%. Angka kejadian & derajat keparahan tergantung usia,
lama menderita, kendali glikemik, dan fluktuasi kadar glukosa darah sejak diketahui
DM. Suatu penelitian besar, neuropati simptomatis ditemukan pada 28,5% dari 6.500
pasien DM. Penelitian Rochester, neuropati simptomatis ditemukan pada 13% pasien,
dan > 50% ditemukan neuropati dengan pemerikaan klinis. Penelitian lain
melaporkan bahwa kelainan kecepatan hantar saraf didapati pada 15,2% pasien DM
baru, dan tanda klinis neuropati hanya dijumpai pada 2,3%. Manifestasi neuropati
diabetika bervariasi dari tanpa keluhan dan hanya dapat dideteksi dengan
pemeriksaan elektrofisiologis sampai keluhan nyeri yang hebat. Keluhan dalam
bentuk neuropati lokal / sistemik, tergantung lokasi dan jenis saraf yang terkena lesi.
a. Patofisiologi
Faktor primer terjadinya neuropati diabetika adalah hiperglikemia persisten
(faktor metabolik), dan faktor lain yaitu : kelainan vaskuler, dan peranan nerve
growth factor.8
1) Faktor metabolik
Proses terjadinya neuropati berawal dari hiperglikemia persisten yang
menyebabkan aktivitas jalur poliol meningkat, dimana terjadi aktivasi enzim aldose
reduktase yang merubah glukosa menjadi sorbitol, lalu dimetabolisme oleh sorbitol
dehidrogenase menjadi fruktosa. enzim aldose reduktase yang meningkat
berkompetisi dengan NO syntase sehingga produksi NO menurun dan terjadinya
defisit vasodilator andotel. Akumulasi sorbitol dalam sel saraf dapat menyebabkan
keadaan hipertonik intraseluler sehingga mengakibatkan edema saraf, dan sel saraf
dapat rusak. Selain itu, peningkatan sorbitol menghambat masuknya mioinositol ke
dalam sel saraf, sehingga menimbulkan stres osmotik yang dapat merusak
mitokondria, dan akan menstimulasi PKC. Aktivasi PKC ini akan menekan fungsi
Na-K-ATPase sehingga kadar Na intraseluler menjadi berlebihan, yang berakibat
terhambatnya mioinositol masuk ke sel saraf dan terjadilah gangguan transduksi
sinyal pada saraf. Jalur poliol juga menyebabkan menurunnya persediaan NADPH
saraf yang merupakan kofaktor penting dalam metabolisme oksidatif sehingga
membatasi kemampuan saraf untuk mengurangi radikal bebas dan penurunan
produksi NO. Penurunan produksi NO akan menyebabkan vasodilatasi berkurang,
aliran darah ke saraf menurun, dan terjadilah ND. Hiperglikemi persisten juga
meningkatkan produksi AGE. AGE ini sangat toksik dan merusak semua protein
tubuh termasuk sel saraf. 8
Gambar 3.1 Patogenesa terjadinya neuropati diabetik.10
2) Kelainan vaskuler
Hiperglikemi persisten merangsang produksi radikal bebas (reactive oxygen
species = ROS) yang dapat merusak endotel dan menetralisasi NO, menyebabkan
trombosis arteriol intraneural, peningkatan agregasi trombosit dan demielinisasi
sel saraf akibat iskemia akut.8
3) Peranan nerve growth factor (NGF)
NGF berperan untuk mempercepat dan mempertahankan saraf, pada DM
kadarnya menurun. NGF juga berperan dalam regulasi gen substance P dan
calcitonin gen regulated peptide (CGRP), keduanya berefek terhadap
vasodilatasi, motilitas intestinal, dan nosiseptif.8
b. Diagnosa
Klasifikasi ND dari yang paling sering terjadi adalah polineuropati distal
simetris, neuropati autonom, dan neuropati fokal & multifokal. Yang dibahas di sini
hanya 2, yaitu :
1) Polineuropati Distal Simetris
Gejala dan tanda mulai dari distal dan meluas ke arah proksimal secara simetris,
yang terkena pada awalnya adalah fungsi sensorik secara progresif dan
selanjutnya mengenai semua fungsi saraf. Gangguan neurologis biasanya mulai
dari jari-jari kaki, dan terus meluas pada ekstremitas atas dan bawah. Yang lazim
terkena adalah serabut saraf dengan diameter besar dan menimbulkan gejala
seperti gangguan keseimbangan, penurunan sensasi posisi, dan pengurangan
sensasi getaran. Tidak dijumpai nyeri subyektif, parestesi, dan rasa tebal. Bila
yang terkena serabut kecil, maka muncul keluhan berupa sensasi nyeri dan suhu,
seperti pasien merasa nyeri, kesemutan, dingin, tebal, dan mati rasa. Gejala ini
sering muncul pada malam hari sehingga dapat menyebabkan insomnia.11
2) Neuropati Otonom
Neuropati otonom dapat mengenai saraf simpatis dan parasimpatis.
Manifestasi neuropati otonom bervariasi sesuai dengan serabut saraf yang
terkena lesi. Neuropati otonom pada traktus gastrointestinal adalah gastroparesis
pada saluran GI atas, diare dan konstipasi pada GI bawah. Neuropati otonom
pada traktus genitourinarius adalah sistopati (karena paresis pada m. detrusor),
DED (Disfungsi Ereksi Diabetik), dan disfungsi seksual wanita.9
Diagnosa neuropati otonom ditegakkan dengan mengetahui adanya
neuropati otonom pada kardiovaskular dengan pemeriksaan hipotensi
postural/hipotensi ortostatik.12 Pemeriksaan dilakukan dengan membandingkan
tekanan darah ketika berbaring dan berdiri. Pengukuran tekanan darah pertama
pada posisi berbaring, kemudian istirahat pada posisi berbaring selama 20 menit,
selanjutnya posisi berdiri selama 3 menit dan diukur tekanan darah kedua. Pasien
dikatakan hipotensi ortostatik bila saat posisi berbaring tekanan sistolik ≥ 20
mmHg atau tekanan diastolic ≥ 10 mmHg, dan sebagai kompensasinya
peningkatan heart rate > 15 x/menit pada posisi berdiri. Neuropati otonom yang
bermanifestasi pada disfungsi system saraf simpatis berupa hiperhidrosis pada
extremitas superior dan anhidrosis pada extremitas inferior, sehingga kulit kaki
menjadi kering dan berisiko besar untuk terjadi ulkus diabetika.
Pada perubahan posisi tubuh dari tidur ke berdiri maka tekanan darah
bagian atas tubuh akan menurun karena pengaruh gravitasi. Pada orang dewasa
normal, tekanan darah arteri rata-rata pada kaki adalah 180-200 mmHg. Tekanan
darah arteri setinggi kepala adalah 60-75 mmHg dan tekanan venanya 0. Pada
dasarnya, darah akan mengumpul pada vena ekstremitas inferior sebanyak 650-
750 ml darah dan akan terlokalisir pada satu tempat. Pengisian atrium kanan
jantung akan berkurang, curah jantung juga berkurang sehingga pada posisi
berdiri akan terjadi penurunan sementara tekanan darah sistolik sampai 25
mmHg, sedangkan tekanan diastolik tidak berubah/meningkat ringan sampai 10
mmHg. Penurunan curah jantung akibat akumulasi darah pada ekstremitas
inferior akan cenderung mengurangi suplai darah ke otak. Tekanan arteri kepala
akan turun mencapai 20-30 mmHg. Penurunan tekanan ini akan diikuti kenaikan
tekanan parsial CO2 (pCO2), penurunan tekanan parsial O2 (pCO2) , dan pH
jaringan otak. Hal ini akan merangsang baroreseptor yang terdapat di dalam
dinding hampir setiap arteri besar di daerah dada dan leher; namun dalam jumlah
banyak didapatkan dalam dinding arteri karotis interna, sedikit di atas bifurcatio
carotis, daerah yang dikenal sebagai sinus karotikus dan dinding arkus aorta.
Respon yang ditimbulkan baroreseptor berupa peningkatan tahanan pembuluh
darah perifer, peningkatan tekanan jaringan pada otot kaki dan abdomen,
peningkatan frekuensi respirasi, kenaikan frekuensi denyut jantung, dan sekresi
zat-zat vasoaktif. Sekresi zat vasoaktif berupa katekolamin, pengaktifan sistem
Renin Angiotensin Aldosteron, pelepasan ADH, dan neuro-hipofisis. Kegagalan
fungsi refleks autonom ini yang menjadi penyebab timbulnya hipotensi
postural.13
Deteksi penurunan sensibilitas pada neuropati DM dapat dilakukan dengan
metode:11
1) Tuning fork / garpu tala
Metode paling sederhana, mudah, dan non invasive, untuk mengetahui
sensibilitas kaki melalui vibrasi dengan garpu tala Rydel-Seiffer yang dapat
dimulai pada plantar hallux.
Gambar 3.2 Garpu tala standar.
2) Semmes-Weinstein Monofilament
Bahan dasar adalah 10 gram plastic nilon, pemakaian berulang menyebabkan
monofilament tidak sensitive, sehingga maksimal untuk 10 pasien. Monofilament
disentuhkan selama 1 detik, dan ditekan sampai monofilament sedikit
melengkung.
Gambar 3.3 Semmes-Weinstein Monofilament.11
3) Biothesiometer/ vibration perception threshold (PVT) meter.
Ujung alat yang bergetar 100 Hz berbahan baku karet, yang digetarkan pada
permukaan jari kaki. Dapat menilai fungsi saraf secara kuantitatif. Skala dalam
mesin penggetar diberikan skala 0-100 volt, skala ini terus ditingkatkan sampai
pasien merasakan vibrasi, bila skala amplitudo > 25 volt dapat berisiko terjadinya
ulkus DM.
Gambar 3.4 Biothesiometer. 11
c. Penatalaksanaan
Strategi penatalaksanaan pasien DM dengan keluhan ND adalah diagnosa ND
sedini mungkin, perawatan umum kaki, pengendalian glukosa darah, dan terapi
medikamentosa.8
1) Perawatan umum kaki
Menjaga kebersihan kulit kaki, menghindari trauma kaki seperti menggunakan
sepatu yang sempit, mencegah trauma berulang pada neuropati kompresi. 8
2) Pengendalian glukosa darah
Penelitian epidemiologi besar oleh diabetes control and complications trial
(DCCT), Kumamoto study, dan united kingdom prospective diabetes study
(UKPDS), membuktikan bahwa pengendalian glukosa darah dapat mengurangi
komplikasi kronik DM termasuk ND. Penelitian DCCT pada kelompok pasien
dengan terapi intensif dapat menurunkan HBA1C 9% menjadi 7%, dapat
menurunkan risiko timbulnya ND sebesar 60% dalam 5 tahun. Hal yang sama
pada penelitian kumamoto dan UKPDS, dengan terapi intensif dapat
memperbaiki kecepatan konduksi saraf dan ambang rangsang vibrasi. 8
3) Terapi medikamentosa
Obat-obatan yang digunakan untuk mencegah timbulnya dan berlanjutnya
komplikasi kronik DM termasuk ND, yaitu : 8
a) Golongan aldose reductase inhibitor untuk menghambat penimbunan sorbitol
& fruktosa.
b) ACE inhibitor
c) Neurotropin ( NGF dan brain derived neurotropic factor).
d) Alpha lipoic acid adalah antioksidan kuat untuk radikal hidroksil, superoksid,
dan peroksil
e) Protein kinase C inhibitor
f) Aminoguanidin, untuk menghambat pembentukan AGE.
BAB IV
TINJAUAN FARMAKOLOGIS
1. Ringer Laktat (RL)
Ringer laktat (RL) merupakan cairan yang dapat diberikan pada kebutuhan
volume dalam jumlah besar. Keunggulan terpenting dari larutan RL adalah
komposisi elektrolit dan konsentrasinya yang sangat serupa dengan yang
dikandung cairan ekstraseluler. Natrium merupakan kation utama dari plasma
darah dan menentukan tekanan osmotik. Klorida merupakan anion utama di
plasma darah. Kalium merupakan kation terpenting di intraseluler dan berfungsi
untuk konduksi saraf dan otot. Elektrolit-elektrolit ini dibutuhkan untuk
menggantikan kehilangan cairan pada dehidrasi dan syok hipovolemik termasuk
syok perdarahan. Larutan RL tidak mengandung glukosa, sehingga bila akan
dipakai sebagai cairan rumatan, dapat ditambahkan glukosa yang berguna untuk
mencegah terjadinya ketosis.15
Komposisi dan sediaan: Kemasan larutan kristaloid RL yang beredar di pasaran
memiliki komposisi elektrolit Na+(130 mEq/L), Cl- (109 mEq/L), Ca+ (3 mEq/L),
K+ dan laktat (28 mEq/L). Osmolaritasnya sebesar 273 mOsm/L. Sediaan yang
tersedia adalah 500 ml dan 1.000 ml.15
Indikasi: mengembalikan keseimbangan elektrolit pada keadaan dehidrasi dan
syok hipovolemik.
Kontraindikasi: hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, asidosis
laktat.
Efek samping: edema jaringan pada penggunaan dengan volume yang besar,
biasanya pada paru-paru. RL juga dapat menyebabkan hiperkloremia dan asidosis
metabolik, karena akan menyebabkan penumpukan asam laktat yang tinggi
akibat metabolisme anaerob.
2. Insulin Reguler (RI)
Insulin ini merupakan insulin dengan kerja short acting yang dapat
meningkatkan penyimpanan lemak dan glukosa dalam sel khusus dan
mempengaruhi pertumbuhan sel serta fungsi metabolisme berbagai macam
jaringan melalui ikatan dengan reseptor insulin di jaringan. Dapat diberikan pada
pasien Diabetes Mellitus tipe I dan tipe II. Satu unit insulin kira-kira sama
dengan insulin yang dibutuhkan untuk menurunkan glukosa puasa 45 mg/dL.
Insulin ini meningkatkan penyimpanan lemak dan glukosa dalam sel khusus dan
mempengaruhi pertumbuhan sel serta fungsi metabolisme berbagai macam
jaringan melalui ikatan dengan reseptor insulin di jaringan.
Dosis dan sediaan: Vial 40 IU/ml x 10 ml, 100 IU/mlx10 ml, vial cartridge 100
IU/ml x 3 ml. Dapat diberikan SC atau IV pada kondisi ketoasidosis. Dosis
tergantung kondisi pasien dan kadar gula darah. 16,17,18
Farmakokinetik:
Absorbsi: insulin tidak memiliki efek hipoglikemik jika diberikan secara
oral karena insulin mengalami inaktivasi di GIT. Insulin diabsorbsi secara
cepat melalui jaringan subkutan. Rata-rata absorbsinya di berbagai lokasi
anatomis tubuh tergantung pada aliran darah lokal (absorbsi di abdomen
lebih cepat dibandingkan di lengan dan absorbsi di lengan lebih cepat
dibandingkan di paha dan glutea). Absorbsi juga dapat meningkat dengan
olahraga. Absorbsi insulin pada pemberian secara IM lebih cepat
dibandingkan dengan pemberian SC. Pada pemberian SC, human-insulin
diabsorbsi sedikit lebih cepat daripada bovine atau porcine insulin.1
Distribusi : didistribusi secara luas ke seluruh tubuh.
Metabolisme: dimetabolisme secara cepat terutama di liver, tetapi dapat
pula di ginjal dan jaringan otot. Direabsorbsi di tubulus proksimalis ginjal,
sebagian kembali ke sirkulasi darah vena dan sebagian lagi dimetabolisme
di ginjal tersebut.
Ekskresi: hanya sebagian kecil yang diekskresikan di urine dalam bentuk
utuh. Sekitar 60% insulin eksogen diekskresikan melalui ginjal dan sekitar
30-40% oleh liver.waktu paruh dari insulin adalah 3-5 menit. 16,17
Indikasi
DM tipe I
DM tipe II (pada diabetisi kurus atau dengan penurunan BB yang cepat,
hiperglikemia berat yang disertai ketosis, KAD, HONK, asidosis laktat,
gagal dengan kombinasi OHO dosis maksimal, gangguan fungsi ginjal
atau hati, stres berat seperti infeksi sistemik, pembedahan, IMA, stroke,
dan pasien yang memiliki kontraindikasi atau alergi terhadap OHO)
semua tipe DM dalam kehamilan
terapi hiperkalemia
gangguan liver
hiperglikemia pada neonatus
Interaksi obat:
Menurunkan kebutuhan akan insulin: ACE-I, alkohol, aspirin, beta bloker,
disopyramide, fenfluramine, guanethidine, beberapa MAOI, mebendazole,
octreotide, tetrasiklin, antidepresan trisiklik.
Meningkatkan kebutuhan akan insulin chlordiazepoxide,
chlorpromazine, beberapa CCB seperti diltiazem dan nifedipin,
kortikosteroid, diazoxide, litium, diuretik tiazid, dan hormon tiroid.
Yang dapat meningkatkan maupun menurunkan kebutuhan akan hormon
insulin kontrasepsi oral, INH, siklofosfamid
ACE inhibitor meningkatkan sensitivitas insulin sehingga menurunkan
kebutuhan tubuh terhadap insulin
Alkohol menghambat glukoneogenesis
Aspirin menurunkan konsentrasi glukosa darah
Beta bloker bekerja memblok sistem saraf simpatis sehingga
menurunkan respon tubuh terhadap adanya hipoglikemia
CCB terutama nifedipin memiliki efek diabetogenik dan pada
pemberian diltiazem juga memperburuk keadaan diabetes
Interferon meningkatkan kebutuhan tubuh akan insulin.16,17
Efek samping: Hipoglikemi, Jarang : lipodistrofi, resisten thd insulin, reaksi
alergi lokal atau umum. 16,17,18
Perhatian: Pemindahan dari insulin lain, sakit atau gangguan emosi, diberikan
bersama obat hiperglikemi. 16
3. Cefotaxime
Merupakan cephalosporin generasi III yang berikatan dengan membran sel
bakteri dan menginhibisi sintesis dinding sel yang sangat aktif terhadap berbagai
kuman Gram-positif maupun Gram-negatif aerobic. Aktivitasnya terhadap B.
fragilis sangat lemah bila dibandingdenganklindmisin dan metronidazol. 16,19
Farmakokinetik: A : diabsobsi cepat dari GIT, D: didistribusi luas, termasuk
CSF. Protein binding 30-50%, M:dimetabolisme di hati menjadi metabolit aktif,
E: melalui urine, T ½ 1 jam 17,18
Dosis: Dosis: IV/IM dewasa 1 gr 2x/hari, bila infeksi ringan-sedang1-2 gr tiap 8
jam, bila infeksi berat 2 gr 3-4x/hari. Anak berat badan >50kg 1-2 gr 3-4x/hari, 1
bulan-12 tahun, berat badan <50 kg 100-200 mg/kg/hari dibagi 3-4 dosis16
Indikasi: Bakterisid, infeksi bakteri gram positif dan gram negative.
Efek samping: Diare ringan, kram perut, jarang menimbulkan rash,pruritus,
urtikaria, kandidiasis oral atau vagina
Interaksi obat: Aminoglikosida dan loop diuretik meningkatkan efek
nefrotoksik, kloramfenikol menginhibisi cefotaxime, oral antikoagulan
menyebabkan hipoprotrombinemia16,17
4. Ceftriaxone
Ceftriaxone merupakan cephalosporin spektrum luas semisintetik yang
diberikan secara IV atau IM. Kadar plasma rata-rata cetriaxone setelah pemberian
secara tunggal infus intravena 0,5;1 atau 2 gr dalam waktu 30 menit dan IM
sebesar 0,5 atau 1 g pada orang dewasa sehat. Ceftriaxone juga serupa dengan
seftizoksim dan sefotaksim, mempunyai waktu paruh yang sangat panjang
sehingga diberikan sekali / dua kali sehari.
Farmakokinetik : Ceftriaxone diabsorpsi lengkap setelah pemberian IM dengan
kadar plasma maksimum rata-rata antara 2-3 jam setelah pemberian. Dosis
multipel IV atau IM dengan interval waktu 12-24 jam, dengan dosis 0,5-2g
menghasilkan akumulasi sebesar 15-36 % diatas nilai dosis tunggal. Sebanyak 33-
67 % ceftriaxone yang diberikan, akan diekskresikan dalam uring dalam bentuk
yang tidak diubah dan sisanya diekskresikan dalam empedu dan sebagian kecil
dalam feses sebagai bentuk inaktif. Setelah pemberian dosis 1g IV, kadar rata-rata
ceftriaxone 1-3 jam setelah pemberian adalah : 501 mg/ml dalam kandung
empedu, 100 mg/ml dalam saluran empedu, 098 mg dalam duktus sistikus, 78,2
mg/ml dalam dinding kandung empedu dan 62,1 mg/ml dalam plasma. Setelah
pemberian dosis 0,15-3g, maka waktu paruh eliminasinya berkisar antara 5-8 jam,
volume distribusinya sebesar 5,70-13,5 L, klirens plasma 0,50-1,45 L/jam dan
klirens ginjal 0,32-0,73 L/jam. Ikatan protein ceftriaxone bersifat reversibel dan
besarnya adalah 85-95 %. Ceftriaxone menembus selaput otak yang mengalami
peradangan pada bayi dan anak-anak dan kadarnya dalam cairan otak setelah
pemberian dosis 50 mg/kg dan 75 mg/kg IV, berkisar antara 1,3-18,5 ug/ml dan
1,3-44 ug/ml. Dibanding pada orang dewasa sehat, farmakokinetik ceftriaxone
hanya sedikit sekali terganggu pada usia lanjut dan juga pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal/hati, karena itu tidak diperlukan penyesuaian dosis.
Indikasi : Infeksi-infeksi yang disebabkan oleh patogen yang sensitif terhadap
Ceftriaxone, seperti: infeksi saluran nafas, infeksi THT, infeksi saluran kemih,
sepsis, meningitis, infeksi tulang, sendi dan jaringan lunak, infeksi intra
abdominal, infeksi genital (termasuk gonore), profilaksis perioperatif, dan infeksi
pada pasien dengan gangguan pertahanan tubuh.
Efek samping obat : Secara umum ceftriaxone dapat ditoleransi dengan baik.
Efek samping yang dapat ditemukan adalah :
Reaksi lokal : Sakit, indurasi atau nyeri tekan pada tempat suntikan dan
phlebitis setelah pemberian intravena.
Hipersensitivitas : Ruam kulit dan kadang-kadang pruritus, demam atau
menggigil
Hematologik : Eosinofilia, trombositosis, lekopenia dan kadang-kadang
anemia, anemia hemolitik, netropenia, limfopenia, trombositopenia dan
pemanjangan waktu protrombia.
Saluran cerna : Diare dan kadang-kadang mual, muntah, disgeusia.
Hati : Peningkatan SGOT atau SGPT dan kadang-kadang peningkatan
fosfatase alkali dan bilirubin.
Ginjal : Peningkatan BUN dan kadang-kadang peningkatan kreatinin serta
ditemukan silinder dalam urin.
Susunan saraf pusat : Kadang-kadang timbul sakit kepala atau pusing.
Saluran kemih dan genital : Kadang-kadang dilaporkan timbulnya
monitiasis atau vaginitis
Dosis dan sediaan : Dewasa dan anak > 12 tahun dan anak BB > 50 kg : 1 - 2 gram satu kali
sehari. Pada infeksi berat yang disebabkan organisme yang moderat
sensitif, dosis dapat dinaikkan sampai 4 gram satu kali sehari.
Bayi 14 hari : 20 - 50 mg/kg BB tidak boleh lebih dari 50 mg/kg BB, satu
kali sehari.
Bayi 15 hari -12 tahun : 20 - 80 mg/kg BB, satu kali sehari. Dosis
intravena > 50 mg/kg BB harus diberikan melalui infus paling sedikit 30
menit.
Ceftriaxone 1 gram injeksi ( 1 box berisi 2 vial serbuk injeksi @ 10 mL)
Interaksi obat: Kombinasi dengan aminoglikosid dapat menghasilkan efek aditif
atau sinergis, khususnya pada infeksi berat yang disebabkan oleh P.aeruginosa &
Streptococcus faecalis.
Perhatian:
Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan hati yang berat, kadar
plasma obat perlu dipantau. - Sebaiknya tidak digunakan pada wanita
hamil (khususnya trimester I).
Tidak boleh diberikan pada neonatus (terutama prematur) yang
mempunyai resiko pembentukan ensephalopati bilirubin.
Pada penggunaan jangka waktu lama, profil darah harus dicek secara
teratur.
5. Fosfomisin (Fosmidex)
Fosfomisin trometamin yang bekerja dengan menghambat tahap awal
sintesis dinding sel kuman. Fosfomisin aktif terhadap kuman Gram-positif
maupun Gram- negative.20
Farmakokinetik: bioavailabilitasnya pada pemberian oral hanya 37%. Pemberian
bersama makanan akan mengurangi penyerapan obat ini sebesar 30%. Obat ini
tidak terikat dengan protein plasma. T ½ 5,7 jam. Ekskresi renal obat ini ialah
38%. Fosfomin tidak mengalami metabolism dalam tubuh dan dikeluarkan dalam
urin dan tinja sebagai zat induknya. 20
Indikasi: infeksi saluran kemih tanpa komplikasi pada wanita yang disebabkan
oleh E. coli dan E. faecalis dan pencegahan infeksi pada bedah abdomen. 16,20
Efek samping : diare, mual, sakit kepala, vertigo dan vaginitis.
Dosis: infuse dewasa 2-4 g. anak100-200 mg/kg. keduanya dengan drip infuse i.v
terbagi dalam 2 dosis. Pembedahan akut dan efektif dewasa dan anak> 12 tahun
dosis tunggal 8 g infuse i.v ½ - 1 jam sebelum pembedahan. 16
6. Metronidazole
Derivat nitroimidazole yang merusak DNA bakteri dan protozoa,
menghambat sintesis asam nukleat.
Farmakokinetik: A: diabsorbsi baik di GIT, diabsorbsi minimal pada pemakaian
topical, D: ikatan protein <20%, didistribusi luas melewati BBB, M: di hepar
menjadi metabolit aktif, E: terutama lewat urine, sebagain di feses, T ½ 8-10 jam 16,17
Dosis: Dosis: infeksi kulit, SSP, traktus respirasi bawah, tulang, sendi,
intraabdomen, ginekologi, endokarditis, septicemia peroral/IV dewasa, orangtua,
anak 30 mg/kg/hari dibagi 4 dosis, maksimal 4 gr. Trikomoniasis, per oral dewasa
250 mg tiap 8 jam atau 2 gr sebagai dosis tunggal, anak 15-30 mg/kg/hari dibagi 3
dosis, Amubiasis per oral dewasa 500-750 mg tiap 8 jam, Anak 35-50 mg/kg/hari
dibagi 3 dosis.16
Indikasi: Bakterisid, Antiprotozoa, Amubisidal, Trikomonasidal, antiinflamasi
dan imunosupresif bila diberikan topikal.
Efek samping: Anoreksia, mual, mulut kering, rasa logam, intra vaginal:
servicitis, vaginitis, kram perut, nyeri uterus
Interaksi obat: Meningkatkan level Carbamazepine, Meningkatkan level
fenitoin, disulfiram menyebabkan toksisitas SSP, IV fenitoin, luminal, diazepam,
cotrimoxazole menyebabkan reaksi seperti disulfiram 16,17
7. Ranitidin
Secara kompetitif menghambat ikatan histamin dengan H2 reseptor di
lambung sehingga cAMP intrasel menurun, maka sekresi asam lambung
menurun. Poten menghambat asam lambung basal, sekresi nokturnal asam
lambung karena sangat tergantung pada histamin (90%).16,17
Farmakokinetik :
Absorbsi: cepat dan baik tidak dipengaruhi makanan, bioavailabilitas 50-
60%, konsentrasi puncak pada plasma 2-3 jam setelah pemberian per oral.
Diabsorbsi secara cepat dengan pemberian IM dengan konsentrasi puncak
plasma didapatkan setelah 15 menit.
Distribusi : terikat secara lemah pada protein plasma yaitu sekitar 15%,
melewati barier otak dan plasenta, serta didistribusikan ke dalam ASI.
Metabolisme: hepar
Ekskresi: ginjal. T ½ = 2-3 jam, meningkat pada gangguan ginjal. Sebagian
kecil melalui feses. 16,17
Indikasi : Ulkus duodenum, ulkus gaster, GERD17,18
Efek samping obat : Diare, jarang menimbulkan konstipasi, sakit kepala yang
biasanya berat. 16,17
Dosis dan sediaan : Tablet 150 mg (Acran), Tablet film coated 300 mg
(Indoran), 150 mg (Radin), Kaplet 300 mg (Acran), Ampul 25 mg/ml (Antid).
Dosis: per oral dewasa 150 mg 2x/hari atau 300 mg 1x/hari sebelum tidur,
pemeliharaan 150 mg 1x/hari sebelum tidur. Anak 2-4 mg/kg/hari dibagi 2 dosis.
Maksimal 300 mg/hari. Untuk iv/im dewasa 50 mg/dosis tiap 6-8 jam, anak 2-4
mg/kg/hari dibagi 3-4 dosis, maksimal 200 mg/hari. Neonatus peroral 2
mg/kg/hari dibagi 2 dosis, iv inisial 1,5 mg/kg/dosis lalu 1,5-2 mg/kg/hari dibagi
2 dosis. Dengan gangguan hepar bila klirens kreatinin < 50 ml/menit diberi per
oral 150 mg 1x/hari atau iv/im 50 mg tiap 18-24 jam. 16,17
Interaksi obat: Meningkatkan absorbsi obat Glipizide, Gliburide, Tolbutamide
sehingga potensial hipoglikemia, Meningkatkan konsentrasi Nifedipine,
Menurunkan absorbsi Ketoconazole, Cefuroxime karena absorbsinya tergantung
media asam. 16,17
Perhatian: Gangguan hepar dan ginjal 16,17
8. Ondansentron
Antagonis selektif pada reseptor (5HT3) di area postrema dan nucleus
traktus.solitarius dan pada terminal aferen N.vagus serta memiliki aksi
antiemetik sentral dengan menghambat reflex muntah yang disebabkan stimulasi
vagus ketika 5-HT dilepaskan di usus saat merespon obat sitotoksik dan radiasi 16,17
Dosis dan sediaan: Tablet 8 mg (Cedantron), Tablet film coated 4 mg & 8 mg
(Vomceran), Kaplet film coated 4 mg & 8 mg (Frazon), Ampul: 4 mg/2 ml, &
8mg/4ml (Zofran). Dosis: per oral dewasa, tua & anak >11thn 24 mg dosis
tunggal 10-20 mg 3-4x/hari ac; Dosis 1-2 jam sebelum kemoterapi 8 mg (garam
HCl 2 aq), lalu tiap 12 jam 8 mg selama 5 hari. 16,17
Farmakokinetik. A: diabsorpsi segera di dalam lambung, D: ikatan protein 70-
76%, M:dimetabolisme di heparoleh sitokrom P450 diikuti glukoronidase atau
konjugasi sulfat. E: primer dieksresi melalui urin. T ½ :4 jam. 16,17
Indikasi: Mual dan muntah terkait kemoterapi, radioterapi, atau pasca operasi.
Perhatian: Ibu hamil, menyusui dan lanjut usia
Efek samping obat: Nyeri kepala, obstipasi, rasa panas di muka (flushes) dan
perut bagian atas, jarang sekali gangguan ekstra-piramidal dan reaksi
hipersensitivitas.
Interaksi obat: Beberapa obat lain yang menurunkan kelarens hepar dari
antagonis 5HT3, akan merubah T ½ obat tersebut.
9. Paracetamol
Parasetamol adalah derivat p-aminofenol yang mempunyai sifat
antipiretik/analgesik. Sifat antipiretik disebabkan oleh gugus aminobenzen dan
mekanismenya diduga berdasarkan efek sentral. Sifat analgesik Parasetamol
dapat menghilangkan rasa nyeri ringan sampai sedang. Sifat antiinflamasinya
sangat lemah sehingga tidak digunakan sebagai antirematik. Pada penggunaan
per oral Parasetamol diserap dengan cepat melalui saluran cerna. Kadar
maksimum dalam plasma dicapai dalam waktu 30 menit sampai 60 menit setelah
pemberian. Parasetamol diekskresikan melalui ginjal, kurang dari 5% tanpa
mengalami perubahan dan sebagian besar dalam bentuk terkonyugasi.
Farmakokinetik : Parasetamol diabsorbsi cepat dan sempurna melalui saluran
cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa
paruh plasma antara 1 sampai 3 jam
Indikasi :Sebagai antipiretik/analgesik, termasuk bagi pasien yang tidak tahan
asetosal. Sebagai analgesik, misalnya untuk mengurangi rasa nyeri pada sakit
kepala, sakit gigi, sakit waktu haid dan sakit pada otot. Serta menurunkan
demam pada influenza dan setelah vaksinasi.
Efek samping obat :
Jarang terjadi, antara lain reaksi hipersensitifitas dan kelainan darah. Pada
penggunaan kronis dari 3-4 g sehari dapat terjadi kerusakan hati, pada dosis di
atas 6 g mengakibatkan nekrose hati yang reversible. Hepatotoksisitas ini
disebabkan oleh metabolit-metabolitnya, yang pada dosis normal dapat ditangkal
oleh glutation (suatu tripeptida dengan –SH). Pada dosis diatas 10 g, persediaan
peptida tersebut habis dan metabolit-metabolit mengikat pada protein dengan –
SH di sel-sel hati, dan terjadilah kerusakan irreversible. Parasetamol dengan
dosis diatas 20 g sudah berefek fatal. Over dosis bisa menimbulkan antara lain
mual, muntah, dan anorexia. Penanggulanganya dengan cuci lambung, juga perlu
diberikan zat-zat penawar (asam amino N-asetilsisten atau metionin) sedini
mungkin, sebaiknya dalam 8-10 jam setelah intoksikasi. Wanita hamil dapat
menggunakan parasetamol dengan aman, juga selama laktasi walaupun mencapai
air susu ibu.
Dosis dan sediaan :
Dibawah 1 tahun: ½ - 1 sendok teh atau 60 – 120 mg, tiap 4 - 6 jam. 1 - 5 tahun:
1 - 2 sendok teh atau 120 – 250 mg, tiap 4 - 6 jam. 6 - 12 tahun: 2 - 4 sendok teh
atau 250 – 500 mg, tiap 4 - 6 jam. Diatas 12 tahun: ½ - 1 g tiap 4 jam,
maksimum 4 g sehari.
Interaksi obat: Pada dosis tinggi dapat memperkuat efek antikoagulansia, dan
pada dosis biasa tidak interaktif. Kombinasi dengan obat penyakit AIDS
zidovudin meningkatkan resiko neutropenia
Perhatian: Paracetamol sudah digunakan secara luas, dan pada dosis yang
dianjurkan, efek sampingnya ringan dan jarang terjadi. Laporan mengenai efek
yang tidak diinginkan, jarang. Kebanyakan laporan dari efek samping
parasetamol berhubungan dengan dosis yang berlebihan.
Paracetamol harus digunakan dengan hati-hati pada penderita payah hati dan
disfungsi ginjal.
10. Neurovit E
Terdiri dari Vitamin B1 100 mg, Vitamin B6 200 mg, Vitamin B12 200 mcg,
Vitamin E 50 mg.16
Farmakokinetik: vitamin B1, B6, B12 adalah vitamin neurotropik yang
terpenting dari vitamin B-kompleks. Terutama dalam konsentrasi yang tinggi.
Vitamin B1 diperlukan untuk mempertahankan konsumsizatasam dalam
jumlahyang cukup besar dalam otak, untukmencegah akumulasi asam laktat asam
piruvat. Vitamin B6 dibutuhkan untuk mengaturmetabolisme aam glutamatdan
asam aminobutirat untuk kelancaran fungsi otak. Kombinaiketiga vitamin
neurotropik bekerjasinergis, sehingga daya sembuhnya sebagai keseluruhan
melebihiefek-efek yang dimiliki masing-masing vitamin itu sendiri. Vitamin E
adalah antioksidan biologisuntuk menghemat penggunaan oksigen.
Indikasi : gangguan neurologic seperti neuritis, neuroparalisis, lumbago,
neuralgia, reumatik, paraestesis, neuropati asthenia, keadaan lesu, lemah, masa
penyembuhan setelah infeksi, anemia. 16
Dosis : 1 tablet sehari. 16
11. Antrain
Metamizole Na adalah derivat metansulfonat dari aminopirin yang
mempunyai khasiat analgesik. Mekanisme kerjanya adalah menghambat transmisi
rasa sakit ke susunan saraf pusat dan perifer. Metamizole Na bekerja sebagai
analgesic.
Dosis dan sediaan: tablet 500 mg, ampul 1gr/2ml. Dewasa: Tablet : 1 tablet jika
sakit timbul, berikutnya 1 tablet tiap 6-8 jam, maksimum 4 tablet sehari. Injeksi :
500 mg jika sakit timbul, berikutnya 500 mg tiap 6-8 jam maksimum 3 kali sehari,
diberikan secara injeksi I.M. atau I.V.
Indikasi: Untuk meringankan rasa sakit,terutama nyeri kolik, post operasi.
Perhatian: Ibu hamil, menyusui dan lanjut usia
Efek samping obat: Reaksi hipersensitivitas: reaksi pada kulitmisal kemerahan,
Agranulositosis
Interaksi obat: Bila Metamizole Na diberikan bersamaan dengan Chlorpromazine
dapat mengakibatkan hipotermia16,17
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang pada pasien ini, maka pasien didiagnosa Abses pedis dekstra et causa
infeksi ulkus neuropatik post debridement hari ke- XX dengan Diabetes Mellitus
tipe 2 uncontrolled
Diagnosa
Teori Kasus
Dinyatakan Diabetes Mellitus tipe 2
bila:
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L)Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir. atau
2. Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg.dL (7.0 mmol/L)Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam. Atau
3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥220 mg/dL (11.1 mmol/L)TTGO dilakukan dengan standard WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan kedalam air.
Abses pedis dekstra et causa infeksi ulkus neuropatik post debridement hari ke- XVIII dengan Diabetes Mellitus tipe 2 uncontrolled:1. Sebelum di diagnose DM, pasien
sudah 1 tahun mengalami buang
air yang sering pada malam hari
(5-7 kali dalam semalam), rasa
cepat haus dan lapar serta
penurunan berat badan.
2. dirawat di RS 6 bulan yang lalu
dengan darah gula darah pasien
510 mg/dL
3. Riwayat DM sejak 6 bulan yang
lalu, tidak rutin control
4. GDS saat MRS 492 mg/dL
5. Pemeriksaan kadar gula tanggal
01/03 GDP : 219 mg/dL, dan
G2PP : 261 mg/dL
Penatalaksaan pasien ini meliputi:
1. Edukasi
Edukasi yang terpenting adalah perubahan gaya hidup (life style) yang
meliputi perubahan pola makan dan aktivitas fisik atau olahraga.
2. Diet
Pengaturan makan hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat
umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori
dan zat gizi masing-masing individu, sesuai dengan kebutuhannya guna
mencapai sasaran terapi.
3. Exercise
Kegiatan jasmani sehari-hari dan olahraga secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit). Olahraga yang disarankan
adalah yang bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval,
Progressive, Endurance Training).
4. Terapi Farmakologis
Untuk menetapkan rasional tidaknya terapi yang diberikan, harus
memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Obat yang diberikan harus tepat indikasi sesuai dengan standar
medis/panduan klinis atau sesuai dengan penyakit yang dihadapinya. Contoh
penggunaan obat tidak rasional: penggunaan antibiotik untuk diare yang non
spesifik, penggunaan antibiotik untuk infeksi virus saluran nafas akut.
2. Tepat obat, obat berdasarkan efektifitasnya, keamanannya dan dosis
3. Tepat pasien, tidak ada kontra indikasi dan kemungkinan efek yang tidak
diinginkan, misal pasien yang mempunyai gangguan iritasi lambung tidak
diberikan analgesik yang mempunyai efek samping mengiritasi lambung
4. Tepat penggunaan obat artinya pasien mendapat informasi yang relevan,
penting dan jelas mengenai kondisinya dan obat yang diberikan (Aturan
minum, sesudah atau sebelum makan, dll)
5. Tepat monitoring, artinya efek obat yang diketahui dan tidak diketahui
dipantau dengan baik.
Dengan demikian, kerasionalan dalam pemberian terapi dapat dirangkum
secara keseluruhan menjadi 4T 1W + EARMU, yaitu Tepat Indikasi, Tepat Dosis,
Tepat Pemakaian, Tepat Pasien dan Waspada efek samping + Efektif Aman
Rasional Murah dan Mudah didapat.
1. Ringer Laktat
Pada pasien ini, terapi cairan yang diberikan yaitu ringer laktat.
Biasanya cairan ini diberikan sebagai cairan pengganti sesuai dengan
sifatnya yang isotonis, dimana partikel yang terlarut sama dengan CIS,
dapat melewati membran semi permeabel. Tonositas 275-295 mOsm/kg.
Dengan tekanan onkotiknya yang rendah, cairan ini dapat dengan cepat
terdistribusi ke seluruh cairan ekstraseluler. Pada pasien ini diberikan 20
tetes/ menit (1 tetes=0,05 ml). Berarti cairan infus akan habis dalam waktu
+8 jam. Penentuan kecepatan pemberian ini dilihat dari keadaan pasien.
Karena keadaan pasien tidak menunjukkan tanda-tanda terjadi gangguan
keseimbangan cairan maka cukup diberikan cairan infus RL dengan
kecepatan 12 tetes/menit untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam
batas-batas fisiologis.
No Teori kasus rasional
Ya tidak1 Indikasi: mengembalikan
keseimbangan elektrolit pada keadaan dehidrasi dan syok hipovolemik
sebagai terapi rumatan
√
2 Kontraindikasi: hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, asidosis laktat.
tidak ada kontraindikasi pada pasien
√
3 Dosis : sesuai dengan kondisi penderita
diberikan 20 tpm yang akan habis dalam waktu 8 jam
√
4 Efek samping: edema jaringan pada penggunaan dengan volume yang besar, biasanya pada paru-paru hiperkloremia dan asidosis metabolic
-
2. Insulin Reguler (RI)
Insulin ini merupakan insulin dengan kerja short acting yang dapat
meningkatkan penyimpanan lemak dan glukosa dalam sel khusus dan
mempengaruhi pertumbuhan sel serta fungsi metabolisme berbagai macam
jaringan melalui ikatan dengan reseptor insulin di jaringan. Dapat diberikan pada
pasien Diabetes Mellitus tipe I dan tipe II. Diberikan pada pasien dengan tujuan
untuk memenuhi kebutuhan insulin secara cepat sesuai dengan mula kerja insulin
jenis ini (½ jam). Karena lama kerjanya yang singkat, insulin jenis ini dapat
diberikan 3x/hari.
no Teori kasus rasional
Ya tidak1 Indikasi :
DM tipe I DM tipe II (diabetisi kurus /
dengan penurunan BB yang cepat, hiperglikemia berat yang disertai ketosis, KAD, HONK, asidosis laktat, gagal dengan kombinasi OHO dosis maksimal, gangguan fungsi ginjal atau hati, stres berat seperti infeksi sistemik, pembedahan, IMA, stroke, dan pasien yang memiliki kontraindikasi atau alergi terhadap OHO)
semua tipe DM dalam kehamilan
terapi hiperkalemia gangguan liver hiperglikemia pada neonatus
DM tipe 2 √
2 Dosis : : Dosis tergantung kondisi pasien dan kadar gula darah. (GDS : > 450 diberikan 20 IU)
GDS: 492 mg/dL, diberikan 3x8 IU
√
3 Efek samping: Hipoglikemi,
Jarang : lipodistrofi, resisten thd insulin, reaksi alergi lokal atau umum.
-
4 Interaksi obat: Menurunkan kebutuhan akan insulin: ACE-I, alkohol, aspirin, beta bloker, disopyramide, fenfluramine, guanethidine, beberapa MAOI, mebendazole, octreotide, tetrasiklin, antidepresan trisiklik. Meningkatkan kebutuhan akan insulin chlordiazepoxide, chlorpromazine, beberapa CCB seperti diltiazem dan nifedipin, kortikosteroid, diazoxide, litium, diuretik tiazid, dan hormon tiroid. ACE inhibitor meningkatkan sensitivitas insulin sehingga menurunkan kebutuhan tubuh terhadap insulin.
Tidak didapatkan obat yang dapat menimbulkan interaksi
√
5 Cara Pemakaian: dapat digunakan secara parenteral
Pada pasien ini diberikan secara parenteral
√
3. Cefotaxime
Pada pasien ini diberikan cefotaxime sejak tanggal 29 februari – 06 maret
2011 yang merupakan golongan cefalosforin generasi III. Kerja cefotaxime
berikatan dengan membran sel bakteri dan menginhibisi sintesis dinding sel yang
sangat aktif terhadap berbagai kuman Gram-positif maupun Gram-negatif
aerobic . Pasien ini mengalami abses pedis, dan pada hasil pemeriksaan uji
sensitivitas tanggal 01 maret 2012 didapatkan bahwa cefotaxime merupakan salah
satu anti mikroba yang resisten.
No Teori Kasus rasional
Ya tidak1 Indikasi: Bakterisid,
infeksi bakteri gram positif dan gram negative.
Sebagai terapi Abses Pedis
√(hasil uji kepekaan
resisten)2 Dosis : Dosis: IV/IM
dewasa 1 gr 2x/hari, bila infeksi ringan-sedang1-2 gr tiap 8 jam, bila infeksi berat 2 gr 3-4x/hari. Anak berat badan >50kg 1-2 gr 3-4x/hari, 1 bulan-12 tahun, berat badan <50 kg 100-200 mg/kg/hari dibagi 3-4 dosis
Diberikan Cefotaxim Inj. IV 3x1 g
√
3 Efek samping: Diare ringan, kram perut, jarang menimbulkan rash,pruritus, urtikaria, kandidiasis oral atau vagina.
√
4 Cara Pemakaian: dapat digunakan secara parenteral
Pada pasien ini diberikan secara parenteral
√
4. Ceftriaxon
Pasien diberikan ceftriaxone sejak tanggal 07 maret – 14 maret 2011.
Ceftriaxone merupakan cephalosporin spektrum luas semisintetik yang diberikan
secara IV atau IM. Pada hasil pemeriksaan uji sensitivitas tanggal 06 maret 2012
didapatkan bahwa ceftriaxone masih termasuk antimikroba yang sensitive.
No Teori Kasus Rasional
Ya Tidak1 Indikasi : Infeksi-infeksi yang
disebabkan oleh patogen yang sensitif terhadap Ceftriaxone, seperti: infeksi saluran nafas, infeksi THT, infeksi saluran kemih, sepsis, meningitis, infeksi tulang, sendi dan jaringan lunak, infeksi intra abdominal, infeksi genital (termasuk gonore), profilaksis perioperatif, dan infeksi pada pasien dengan gangguan pertahanan tubuh.
Abses Pedis √
2 Dosis : Dewasa dan anak > 12 tahun
dan anak BB > 50 kg : 1 - 2 gram satu kali sehari. Pada infeksi berat yang disebabkan organisme yang moderat sensitif, dosis dapat dinaikkan sampai 4 gram satu kali sehari.
Bayi 14 hari : 20 - 50 mg/kg BB tidak boleh lebih dari 50 mg/kg BB, satu kali sehari.
Bayi 15 hari -12 tahun : 20 - 80 mg/kg BB, satu kali sehari. Dosis intravena > 50 mg/kg BB harus diberikan melalui infus paling sedikit 30 menit.
Ceftriaxone 1 gram injeksi ( 1 box berisi 2 vial serbuk injeksi @ 10 mL).
Diberikan Ceftriaxone Inj. IV 2x1 g
√
3 Interaksi obat: Kombinasi dengan aminoglikosid dapat menghasilkan efek aditif atau sinergis, khususnya pada infeksi berat yang disebabkan oleh P.aeruginosa & Streptococcus faecalis.
Tidak didapatkan obat yang dapat menimbulkan interaksi
√
4 Efek samping obat : reaksi local, hipersensitivitas, gangguan hematologic, diare, mual muntah, penigkatan SGOT dan SGPT, nyeri kepala, vaginitis.
- √
5 Cara Pemakaian: dapat digunakan secara parenteral
Pada pasien ini diberikan secara parenteral
√
5. Fosmidex
Pada pasien ini diberikan Fosfomisin sejak 15maret 2011. Fosfomisin
bekerja dengan menghambat tahap awal sintesis dinding sel kuman. Fosfomisin
aktif terhadap kuman Gram-positif maupun Gram- negative. Pada hasil
pemeriksaan uji sensitivitas tanggal 12 maret 2012 dan 19 maret 2012 didapatkan
bahwa Fosfomisin masih termasuk antimikroba yang sensitive.
No Teori Kasus rasional
Ya tidak1 Indikasi: infeksi saluran kemih
tanpa komplikasi pada wanita yang disebabkan oleh E. coli dan E. faecalis dan pencegahan infeksi pada bedah abdomen.
Abses Pedis √
2 Dosis dan sediaan: infuse dewasa 2-4 g. anak100-200 mg/kg. keduanya dengan drip infuse i.v terbagi dalam 2 dosis. Pembedahan akut dan efektif dewasa dan anak> 12 tahun dosis tunggal 8 g infuse i.v ½ - 1 jam sebelum pembedahan.
Diberikan fosmidex Inj. IV 2x1 g
√
4 Efek samping obat: diare, mual, sakit kepala, vertigo dan vaginitis.
- √
5 Cara Pemakaian: dapat digunakan secara parenteral
Pada pasien ini diberikan secara parenteral
√