abses
-
Upload
dheaandhira -
Category
Documents
-
view
35 -
download
6
description
Transcript of abses
![Page 1: abses](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072008/55cf8f0b550346703b985267/html5/thumbnails/1.jpg)
PENDAHULUAN
Abses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada
umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem
immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak.
Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan
bahwa tonsilitis kronik atau percobaan multipel penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut
merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses peritonsiler. Di Amerika insiden
tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, dipertimbangkan hampir
45.000 kasus setiap tahun4.
Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai
akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus
paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. Gejala dan tanda klinik
dapat berupa nyeri dan pembengkakan. Abses peritonsiler (Quinsy) merupakan salah satu dari
Abses leher dalam dimana selain itu abses leher dalam dapat juga abses retrofaring, abses
parafaring, abses submanidibula dan angina ludovici (Ludwig Angina) 3.
Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala
dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsilar. Tempat yang bisa
berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform
inferior, dan palatum superior4.
Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme bakteri penginfeksi
tenggorokan kesalah satu ruangan aereolar yang longgar disekitar faring menyebabkan
pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus kapsul tonsil tetapi tetap dalam batas otot
konstriktor faring5.Peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus (nanah) yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis.
ETIOLOGI
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang
bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama
dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang
lebih tua dan dewasa muda2.
Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang bersifat
anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler
adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus,
dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan
![Page 2: abses](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072008/55cf8f0b550346703b985267/html5/thumbnails/2.jpg)
adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus
spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme
aerobik dan anaerobik6.
PATOLOGI
Patofisiologi PTA belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang paling banyak
diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsillitis eksudatif pertama menjadi
peritonsillitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yang sebenarnya (frank abscess
formation).
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena
itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga
tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior,
namun jarang.
Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga
permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna
kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula bengkak dan terdorong
ke sisi kontra lateral.
Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi
pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat
terjadi aspirasi ke paru.
Selain itu, PTA terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsillitis kronis atau
berulang (recurrent) sebelumnya. PTA dapat juga merupakan suatu gambaran (presentation) dari
infeksi virus Epstein-Barr (yaitu: mononucleosis).
GEJALA KLINIS DAN DIAGNOSIS
Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeru menelan) yang
hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi), mulut
berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia), dan kadang-kadang
sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan.
Bila ada nyeri di leher (neck pain) dan atau terbatasnya gerakan leher (limitation in neck
mobility), maka ini dikarenakan lymphadenopathy dan peradangan otot tengkuk (cervical muscle
inflammation)1.
Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle aspiration). Tempat
aspiration dibius / dianestesi menggunakan lidocaine dengan epinephrine dan jarum besar
(berukuran 16–18) yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc. Aspirasi material yang
bernanah (purulent) merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim untuk dibiakkan.
![Page 3: abses](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072008/55cf8f0b550346703b985267/html5/thumbnails/3.jpg)
Pada penderita PTA perlu dilakukan pemeriksaan7:
1. Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit (electrolyte
level measurement), dan kultur darah (blood cultures).
2. Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan tonsillitis dan
bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif, penderita memerlukan
evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver function tests perlu dilakukan pada
penderita dengan hepatomegaly.
3. “Throat culture” atau “throat swab and culture”: diperlukan untuk identifikasi organisme
yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik yang tepat dan
efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotik.
4. Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue views) dari
nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam menyingkirkan diagnosis
abses retropharyngeal.
5. Computerized tomography (CT scan): biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di
apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil), dengan “peripheral rim enhancement”.
6. Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography.
KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah2:
1. Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahanm aspirasi paru, atau piema.
2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring.
Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis.
3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan thrombus sinus
kavernosus, meningitis, dan abses otak.
![Page 4: abses](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072008/55cf8f0b550346703b985267/html5/thumbnails/4.jpg)
Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis PTA diabaikan. Beratnya
komplikasi tergantung dari kecepatan progression penyakit. Untuk itulah diperlukan penanganan
dan intervensi sejak dini.
DIAGNOSIS BANDING
Infiltrat peritonsil, tumor, abses retrofaring, abses parafaring, aneurisma arteri karotis
interna, infeksi mastoid, mononucleosis, infeksi kelenjar liur, infeksi gigi, dan adenitis tonsil2,8,9.
TERAPI
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu
kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher. Antibiotik yang diberikan ialah
penisilin 600.000-1.200.000 unit atau ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin
3-4 x 250-500 mg, metronidazol 3-4 x 250-500 mg2.
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk
mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada
pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral
incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di
lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera gejala-
gejala pasien.
Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia lokal di ganglion
sfenopalatum.
Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi “a” chaud. Bila tonsilektomi
dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi “a” tiede, dan bila tonsilektomi 4-
6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi “a” froid. Pada umumnya tonsilektomi
dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses2.
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses peritonsilaris
berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai
kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi
dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 6–8 minggu
kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi
menganjurkan tonsilektomi segera10.
Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian terbaru yang dilakukan Ozbek
mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous dexamethasone pada antibiotik
parenteral telah terbukti secara signifikan mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours
![Page 5: abses](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022072008/55cf8f0b550346703b985267/html5/thumbnails/5.jpg)
hospitalized), nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan trismus dibandingkan dengan
kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral.
PROGNOSIS
Abses peritonsoler hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi., maka
difunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat tersebut peradangan telah mereda, biasanya
terdapat jeringan fibrosa dan granulasi pada saat oprasi.