a

21
a. DEFINISI Resistensi ganda adalah M. tucerkulosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya. Rifampisin dan INH merupakan 2 obat yang sangat penting pada pengobatan TB yang diterapkan pada strategi DOTS. Secara umum resitensi terhadap obat anti tuberkulosis dibagi menjadi : 1. Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan 2. Resistensi initial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasien sudah ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah. 3. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal 1 bulan. b. Kategori TB-MDR Terdapat empat jenis kategori resistensi terhadap obat TB : 1. Mono-resistance: kekebalan terhadap salah satu OAT 2. Poly-resistance: kekebalan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid dan rifampisin. 3. Multidrug-resistance (MDR) : kekebalan terhadap sekurang-kurangnya isoniazid dan rifampicin. 4. Extensive drug-resistance (XDR) : TB- MDR ditambah kekebalan terhadap salah salah satu obat golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin) Klasifikasi Kasus TB Sesuai dengan pedoman penanggulangan TB Nasional dibagi menjadi 1. Kasus kronik; Pasien TB dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulang (kategori 2). Hal ini ditunjang dengan rekam medis sebelumnya dan atau riwayat penyakit dahulu.

description

gchbj

Transcript of a

a.DEFINISIResistensi ganda adalahM. tucerkulosisyang resisten minimal terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya. Rifampisin dan INH merupakan 2 obat yang sangat penting pada pengobatan TB yang diterapkan pada strategi DOTS. Secara umum resitensi terhadap obat anti tuberkulosis dibagi menjadi :1.Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan2.Resistensi initial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasien sudah ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah.3.Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal 1 bulan.

b.Kategori TB-MDRTerdapat empat jenis kategori resistensi terhadap obat TB :1.Mono-resistance:kekebalan terhadap salah satu OAT2.Poly-resistance:kekebalan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid dan rifampisin.3.Multidrug-resistance(MDR) :kekebalan terhadap sekurang-kurangnya isoniazid dan rifampicin.4.Extensive drug-resistance(XDR) : TB- MDR ditambah kekebalan terhadap salah salah satu obat golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin)

Klasifikasi Kasus TBSesuai dengan pedoman penanggulangan TB Nasional dibagi menjadi1.Kasus kronik; Pasien TB dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulang (kategori 2). Hal ini ditunjang dengan rekam medis sebelumnya dan atau riwayat penyakit dahulu.2.Kasus gagal pengobatan; Pasien TB yang hasil pemeriksaan dahaknya positif atau kembali positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan3.Kasus kambuh (relaps). Pasien TB yang sebelumnya pernah mendapatkan pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (dahak atau kultur)4.Kasus gagal Pasien TB yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatanSuspek TB-MDRPasien yang dicurigai kemungkinan TB-MDR adalah :1. Kasus TB paru kronik2. Pasien TB paru gagal pengobatan kategori 23. Pasien TB yang pernah diobati TB termasuk OAT lini kedua seperti kuinolon dan kanamisin4. Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori 15. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan dengan kategori 16. TB paru kasus kambuh7. Pasien TB yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan kategori 1 dan atau kategori 28. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB-MDR konfirmasi, termasuk petugas kesehatan yang bertugas dibangsal TB-MDRPasien yang memenuhi kriteria suspek harus dirujuk secara ke laboratorium dengan jaminan mutu eksternal yang ditunjuk untuk pemeriksaan biakan dan uji kepekaan obat.c.MekanismeMultidrug resistant tuberculosis (MDR Tb) adalah Tb yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis (M. Tb) resisten in vitro terhadap isoniazid (H) dan rifampisin (R) dengan atau tanpa resisten obat lainnya. Terdapat 2 jenis kasus resistensi obat yaitu kasus baru dan kasus telah diobati sebelumnya. Kasus baru resisten obat Tb yaitu terdapatnya galur M. Tb resisten pada pasien baru didiagnosis Tb dan sebelumnya tidak pernah diobati obat antituberkulosis (OAT) atau durasi terapi kurang 1 bulan. Pasien ini terinfeksi galur M. Tb yang telah resisten obat disebut dengan resistensi primer. Kasus resisten OAT yang telah diobati sebelumnya yaitu terdapatnya galur M. Tb resisten pada pasien selama mendapatkan terapi Tb sedikitnya 1 bulan. Kasus ini awalnya terinfeksi galur M Tb yang masih sensitif obat tetapi selama perjalanan terapi timbul resistensi obat atau disebut dengan resistensi sekunder (acquired).Secara mikrobiologi resistensi disebabkan oleh mutasi genetik dan hal ini membuat obat tidak efektif melawan basil mutan. Mutasi terjadi spontan dan berdiri sendiri menghasilkan resistensi OAT. Sewaktu terapi OAT diberikan galur M. Tb wild type tidak terpajan. Diantara populasi M. Tb wild type ditemukan sebagian kecil mutasi resisten OAT. Resisten lebih 1 OAT jarang disebabkan genetik dan biasanya merupakan hasil penggunaan obat yang tidak adekuat. Sebelum penggunaan OAT sebaiknya dipastikan M. Tb sensitif terhadap OAT yang akan diberikan. Sewaktu penggunaan OAT sebelumnya individu telah terinfeksi dalam jumlah besar populasi M. Tb berisi organisms resisten obat. Populasi galur M. Tb resisten mutan dalam jumlah kecil dapat dengan mudah diobati. Terapi Tb yang tidak adekuat menyebabkan proliferasi dan meningkatkan populasi galur resisten obat. Kemoterapi jangka pendek pasien resistensi obat menyebabkan galur lebih resisten terhadap obat yang digunakan atau sebagai efek penguat resistensi. Penularan galur resisten obat pada populasi juga merupakan sumber kasus resistensi obat baru. Meningkatnya koinfeksi Tb HIV menyebabkan progresi awal infeksi MDR Tb menjadi penyakit dan peningkatan penularan MDR Tb.

d.Faktor PenyebabBanyak faktor penyebab MDR TB.Beberapa analisis difokuskan pada ketidakpatuhan pasien.Ketidakpatuhan lebih berhubungan dengan hambatan pengobatan seperti kurangnya pelayanan diagnostik, obat, transportasi, logistik dan biaya pengendalian program Tb.Survei global resistensi OAT mendapatkan hubungan antara terjadinya MDR Tb dengan kegagalan program Tb nasional yang sesuai petunjuk program Tb WHO. Terdapatnya MDR Tb dalam suatu komuniti akan menyebar. Kasus tidak diobati dapat menginfeksi lebih selusin penduduk setiap tahunnya dan akan terjadi epidemic khususnya di dalam suatu institusi tertutup padat seperti penjara, barak militer dan rumah sakit. Penting sekali ditekankan bahwa MDR Tb merupakan ancaman baru dan hal ini merupakan man made phenomenon.Pengendalian sistematik dan efektif pengobatan Tb yang sensitive melalui DOTS merupakan senjata terbaik untuk melawan berkembangnya resistensi obat. Terdapat 5 sumber utama resisten obat Tb menurut kontribusi Spigots, yaitu:1.Pengobatan tidak lengkap dan adekuat menyebabkan mutasi M. Tb resistensi.2.Lamanya pasien menderita infeksi disebabkan oleh keterlambatan diagnosis MDR Tb dan hilangnya efektiviti terapi sehingga terjadi penularan galur resisten obat terhadap kontak yang masih sensitif.3.Pasien resisten obat Tb dengan kemoterapi jangka pendek memiliki angka kesembuhan kecil dan hilangnya efek terapi epidemiologi penularan.4.Pasien resisten obat Tb dengan kemoterapi jangka pendek akan mendapatkan resistensi lanjut disebabkan ketidak hatihatian pemberian monoterapi (efek penguat).5.Koinfeksi HIV dapat memperpendek periode infeksi menjadi penyakit Tb dan penyebab pendeknya masa infeksi.Faktor-faktor yang lain sebagai berikutFaktor Mikrobiologik-Resisten yang natural-Resisten yang didapat-Ampli fier effect-Virulensi kuman-Tertular galur kuman -MDRFaktor Klinik-Penyelenggara kesehatan-Keterlambatan diagnosis-Pengobatan tidak mengikuti guideline-Penggunaan paduan OAT yang tidak adekuat yaitu karena jenis obatnya yang kurang atau karena lingkungan tersebut telah terdapat resitensi yang tinggi terhadap OAT yang digunakan misal rifampisin atau INH-Tidak ada guideline-Tidak ada / kurangnya pelatihan TB-Tidak ada pemantauan pengobatan-Fenomenaaddition syndromeyaitu suatu obat yang ditambahkan pada satu paduan yang telah gagal. Bila kegagalan ini terjadi karena kuman tuberkulosis telah resisten pada paduan yang pertama maka penambahan 1 jenis obat tersebut akan menambah panjang daftar obat yang resisten.-Organisasi program nasional TB yang kurang baikFaktorObat-Pengobatan TB jangka waktunya lama lebih dari 6 bulan sehingga membosankan pasien.-Obat toksik menyebabkan efek samping sehingga pengobatan kompllit atau sampai selesai gagal.-Obat tidak dapat diserap dengan baik misal rifampisin diminum setelah makan, atau ada diare.-Kualitas obat kurang baik misal penggunaan obat kombinasi dosis tetap yang mana bioavibiliti rifampisinnya berkurang-Regimen / dosis obat yang tidak tepat-Harga obat yang tidak terjangkau-Pengadaan obat terputus

FaktorPasien-PMO idak ada / kurang baik-Kurangnya informasi atau penyuluhan-Kurang dana untuk obat, pemeriksaan penunjang dll-Sarana dan prasarana transportasi sulit / tidak ada-Masalah sosial-Gangguan penyerapan obatFaktor Program-Tidak ada fasiliti untuk biakan dan uji kepekaan-Tidak ada program DOTS-PLU-Memerlukan biaya yang besare.DiagnosisLangkah awal mendiagnosis resisten obat Tb adalah mengenal pasien dalam risiko dan mempercepat dilakukannya diagnosis laboratorium. Deteksi awal MDR Tb dan memulai sejak awal terapi merupakan faktor penting untuk mencapai keberhasilan terapi. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi sputum BTA, uji kultur M. Tb dan resistensi obat. Kemungkinan resistensi obat Tb secara simultan dipertimbangkan dengan pemeriksaan sputum BTA sewaktu menjalani paduan terapi awal. Kegagalan terapi dapat dipertimbangkan sebagai kemungkinan resisten obat Tb sampai ada hasil uji resistensi obat beberapa minggu kemudian yang menunjukkan terdapatnya paduan terapi yang tidak adekuat. Identifikasi cepat pasien resistensi obat Tb dilakukan terutama pasien memiliki risiko tinggi karena program pengendalian Tb lebih sering menggunakan paduan terapi empiris, minimalisasi penularan, efek samping OAT, memberikan terapi terbaik dan mencegah resistensi obat lanjut.Prediksi seseorang dalam risiko untuk melakukan uji resistensi obat adalah langkah awal deteksi resistensi obat. Prediktor terpenting resistensi obat adalah riwayat terapi Tb sebelumnya, progresiviti klinis dan radiologi selama terapi Tb, berasal dari daerah insidens tinggi resisten obat dan terpajan individu infeksi resisten obat Tb. Setelah pasien dicurigai MDR Tb harus dilakukan pemeriksaan uji kultur M. Tb dan resistensi obat. Laboratorium harus mengikuti protokol jaminan kualiti dan memiliki akreditasi nasional / internasional. Khususnya 2 sampel dengan hasil yang berbeda dari laboratorium dengan tingkat yang berbeda direkomendasikan untuk diperiksakan pada laboratorium yang lebih balk. Pentingsekali laboratorium menekankan pemeriksaan uji resistensi obat yang cepat, adekuat, valid dan mudah dicapai oleh pasien dan layanan kesehatan. Mewujudkan laboratorium seperti ini disuatu daerah merupakan tantangan untuk program pengendalian Tb.f.Penatalaksanaan

Penatalaksanaan TB resistensi ganda ini memerlukan seorang spesialis yang ahli dibidangnya. Tiga hal penting dan perlu diperhatikan pada penatalaksanaan TB resistensi ganda adalah teknik diagnostik, pemberian obat, dan kepatuhan. Dengan pemilihan panduan obat yang tepat maka diharapkan separuh penderita TB resistensi ganda ini akan sembuh dan bisa diselamatkan kemungkinan terjadinya kompilkasi dan kematian.Untukdapatmenyusunpanduanyangtepatbagisetiap penderita diperlukan beberapa informasi mengenai hasil tes resistensi kuman tuberkulosis, riwayat pengobatan dan pola resistensi kuman di lingkungan masyarakat penderita menetap. Bila data resistensi baru tidak ada maka data resistensi lama dapat dipakai apabila belum ada OAT yang dipakai penderita setelah tes resistensi dilakukan atau OAT yang dipakai setelah tes resistensi tersebut memang terbukti terdiri dari paduan obat yang masif sensitif. Bila tidak didapat tiga obat yang sensitif makaOAT yang dipilih adalah yang belum pernah dipakai penderita dan menurut data resistensi di mana penderita bertempat tinggal jarang yang resisten.Untuk pemilihan obat lini kedua disarankan berdasarkan aktivitas intrinsik obat terhadap M.tuberculosis dan efikasinya terhadap klinis. Durasi terapi ditentukan berdasarkan setiap individu, tetapi secara umum, sebaiknya diberikan minimal 18 bulan setelah konversi sputum. Menurut kerentanan obat-obat M.tuberclosis pada saat awal, penarikan obatsatuataulebihbisasajadilakukanselamaterapitanpa memperkirakan akibatnya nanti, tetapi obat bakteriostatik dan yang tidak mempunyai efek bakterisid sebaiknya diperpanjang,jika efek samping tidak dapat ditolerir yang menjadi alasan mengapa regimen tersebut direvisi.g.Prognosis

Ada beberapa hal yang dapat menjadi petanda untuk mengetahui prognosis pada penderita TB resistensi ganda.Dari beberapa studi yang ada menyebutkan bahwa adanya keterlibatan ekstrapulmoner, usia tua, malnutrisi, infeksi HIV, riwayat menggunakan OAT dengan jumlah yang cukup banyak sebelumnnya, terapi yang tidak adekuat (< 2 macam obat yangaktif)dapatmenjadipetandaprognosisburukpadapenderita tersebut.Dengan mengetahui beberapa petanda di atas dapat membantu klinisi untuk mengamati penderita lebih seksama dan dapat memperbaiki hal yang menjadi penyebab seperti malnutrisi.

C.MDR TB di IndonesiaPada Global Report WHO 2010, didapat data TB Indonesia, Total seluruh kasus TB tahun 2009 sebanyak 294731 kasus, dimana 169213 adalah kasus TB baru BTA positif, 108616 adalah kasus TB BTA negatif, 11215 adalah kasus TB Extra Paru, 3709 adalah kasus TB Kambuh, dan 1978 adalah kasus pengobatan ulang diluar kasus kambuh (retreatment, excl relaps).Di Indonesia, pernah dilaporkan diRumah Sakit Dr.Rotinsulu Bandung tahun 2005, terdapat 28,2% resisten rifampycin dan isonoazid;17,8% resisten rifampycicn-isoniazid-ethambutol (R-H-E); 13,8% resisten ryfampicin-isoniazid-ethambuol-pyrazinamid (RH-E-Z); 10,3%resistenryfampicin-isoniazid-ethambutol-pyrazinamidstreptomycin(R-H-E-Z-S).Sementara di Medan, Tanjung A dan Keliat E.Nmelaporkan (1994)polaresistensiprimerterhadapgabungan 2 macam obat H-E (10,34%), S-E (3,45%), E-R (17,2%); dan gabungan 3 macam obat yaitu masing-masing S-H-E dan S-E-R berkisar 3,45%. Sedangkan gabungan 2 macam obat(S-H, S-R, R-H), 3 macam obat (HE-R dan S-H-R) serta 4 macam obat lainnya (R-H-E-S) masih sensitif.Laporan MDR TB dari Indonesia yang diterima oleh WHO sejak tahun 2002, hanya satu kabupatenyaitu Mimika Papua,sedangkan untuk daerah lainnya tidak tersedia data yang valid. Hal ini menebabkan indonesia termasuk dalam kasus Hidden atau terembunyi padahal indonesia adalah daerah yang sangat potensial dengan beban yang tinggi karena berada di posisi ke tiga jumlah penderita TB di dunia.PendahuluanMulti drug resistant TB (MDR TB) didefinisikan sebagai resistensi terhadap dua agen anti-TB lini pertama yang paling poten yaitu isoniazide (INH) dan rifampisin. MDR TB berkembang selama pengobatan TB ketika mendapatkan pengobatan yang tidak adekuat. Hal ini dapat terjadi karena beberapa alasan; Pasien mungkin merasa lebih baik dan menghentikan pengobatan, persediaan obat habis atau langka, atau pasien lupa minum obat. Awalnya resistensi ini muncul sebagai akibat dari ketidakpatuhan pengobatan. Selanjutnya transmisi strain MDR TB menyebabkan terjadinya kasus resistensi primer. Tuberkulosis paru dengan resistensi dicurigai kuat jika kultur basil tahan asam (BTA) tetap positif setelah terapi 3 bulan atau kultur kembali positif setelah terjadi konversi negatif. Directly observed therapy (DOTS) merupakan sebuah strategi baru yang dipromosikan oleh World Health Organization (WHO) untuk meningkatkan keberhasilan terapi TB dan mencegah terjadinya resistensi. Definisi dan faktro yang mempengaruhi MDR TBTB dengan resistensi terjadi dimana basil Mibacterium tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan isoniazid, dengan atau tanpa OAT lainnya (World Health Organization, 1997). TB resistensi dapat berupa resistensi primer dan resistensi sekunder. Resistensi primer yaitu resistensi yang terjadi pada pasien yang tidak pernah mendapat OAT sebelumnya. Resistensi primer ini dijumpai khususnya pada pasien-pasien dengan positif HIV. Sedangkan resistensi sekunder yaitu resistensi yang didapat selama terapi pada orang yang sebelumnya sensitif obat(Mc Donald, et al. 2003).Jalur yang terlibat dalam perkembangan dan penyebaran MDR TB akibat mutasi dari gen mikobakterium tuberkulosis. Basil tersebut mengalami mutasi menjadi resisten terhadap salah satu jenis obat akibat mendapatkan terapi OAT tertentu yang tidak adekuat. Terapi yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh konsumsi hanya satu jenis obat saja (monoterapi direk) atau konsumsi obat kombinasi tetapi hanya satu saja yang sensitif terhadap basil tersebut (indirek monoterapi). Pasien TB dengan resistensi obat sekunder dapat menginfeksi yang lain dimana orang yang terinfeksi tersebut dikatakan resistensi primer. Transmisi difasilitasi oleh adanya infeksi HIV, dimana perkembangan penyakit lebih cepat, adanya prosedur kontrol infeksi yang tidak adekuat; dan terlambatnya penegakkan diagnostik (Leitch, 2000). Ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu (Aditama, et al. 2006):1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberculosis.2. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut.3. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian bepindah dokter mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu berhenti lagi, demikian seterusnya.4. Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka penambahan (addition) satu macam obat hanya akan menambah panjangnya daftar obat yang resisten saja.Page | 25. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik sehingga mengganggu bioavailabilitas obat.6. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan.Mekanisme resistensiUngkapan terhadap tahap MDR pada mikrobakteriologi mengarah pada resisten secara simultan terhadap Ripampisin dan Isoniazide (dengan atau tanpa resistensi pada obat anti tuberkulosis lainnya) (Vareldzis, et al. 1994). Analisa secara genetik dan molekuler pada mikobakterium tiberkulosis menjelaskan bahwa mekanisme resistensi biasanya didapat oleh basil melalui mutasi terhadap target obat (Spratt, 1994) atau oleh titrasi dari obat akibat overproduksi dari target. MDR TB menghasilkan secara primer akumulasi mutasi gen target obat pada individu (lihat tabel 1).Tabel 1. Lokus gen yang terlibat dalam resistensi obat pada mikobakterium tuberkulosisA. Mekanisme Resistensi Terhadap INH (Isoniazide)Isoniazid merupakan hydrasilasi dari asam isonikotinik, molekul yang larut air sehingga mudah untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja obat ini dengan menghambat sintesis dinding sel asam mikolik (struktur bahan yang sangat penting pada dinding sel mykobakterium) melalui jalur yang tergantung dengan oksigen seperti rekasi katase peroksidase (Riyanto, et al. 2006).Mutasi mikobakterium tuberkulosis yang resisten terhadap isoniazid terjadi secara spontan dengan kecepatan 1 dalam 105-106 organisme. Mekanisme resistensi isoniazid diperkirakan oleh adanya asam amino yang mengubah gen katalase peroksidase (katG) atau promotor pada lokus 2 gen yang dikenal sebagai inhA. Mutasi missense atau delesi katG berkaitan dengan berkurangnya aktivitas katalase dan peroksidase (Wallace, et al. 2004).B. Mekanisme Resistensi Terhadap RifampisinRifampisin merupakan turunan semisintetik dari Streptomyces mediterranei, yang bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun ekstraseluler (Riyanto, et al. 2006. Wallace, et al.2004). Obat ini menghambat sintesis RNA dengan mengikat atau menghambat secara khusus RNA polymerase yang tergantung DNA.Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram positif dan gram negatif, mikobakterium, chlamydia, dan poxvirus. Resistensi mutannya tinggi, biasanya pada semua populasi miikobakterium terjadi pada frekuensi 1: 107 atau lebih 12. Resistensi terhadap rifampisin ini disebabkan oleh adanya permeabilitas barier atau adanya mutasi dari RNA polymerase tergantung DNA. Rifampisin mengahambat RNA polymerase tergantung DNA dari Page | 3mikobakterium, dan menghambat sintesis RNA bakteri yaitu pada formasi rantai (chain formation) tidak pada perpanjangan rantai (chain elongation), tetapi RNA polymerase manuisia tidak terganggu. Resistensi rifampisin berkembang karena terjadinya mutasi kromosom dengan frekuensi tinggi dengan kecepatan mutasi tinggi yaitu 10-7 sampai 10-3, dengan akibat terjadinya perubahan pada RNA polymerase. Resistensi terjadi pada gen untuk beta subunit dari RNA polymerase dengan akibat terjadinya perubahan pada tempat ikatan obat tersebut (Riyanto, et al. 2006).C. Mekanisme Resistensi Terhadap PyrazinamidePyrazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan penting sebagai bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis14. Obat ini bekerja efektif terhadap bakteri tuberkulosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0-5,5). Pada keadaan pH netral, pyrazinamid tidak berefek atau hanya sedikit ber efek (Riyanto, et al. 2006). Obat ini merupakan bakterisid yang memetabolisme secara lambat organisme yang berada dalam suasana asam pada fagosit atau granuloma kaseosa. Obat tersebut akan diubah oleh basil tuberkel menjadi bentuk yang aktif asam pyrazinoat (Wallace, et al. 2004).Mekanisme resistensi pyrazinamid berkaitan dengan hilangnya aktivitas pyrazinamidase sehingga pyrazinamid tidak banyak yang diubah menjadi asam pyrazinoat. Kebanyakan kasus resistensi pyrazinamide ini berkaitan dengan mutasi pada gen pncA, yang menyandikan pyrazinamidase (Wallace, et al. 2004).D. Mekanisme Resistensi Terhadap EthambutolEthambutol merupakan turunan ethylenediamine yang larut air dan aktif hanya pada mycobakteria. Ethambutol ini bekerja sebagai bakteriostatik pada dosis standar. Mekanisme utamanya dengan menghambat enzim arabinosyltransferase yang memperantarai polymerisasi arabinose menjadi arabinogalactan yang berada di dalam dinding sel.Resistensi ethambutol pada M.tuberculosis paling sering berkaitan dengan mutasimissense pada gen embB yang menjadi sandi untuk arabinosyltransferase. Mutasi ini telah ditemukan pada 70% strain yang resisten dan keterlibatan pengganti asam amino pada posisi 306 atau 406 pada sekitar 90% kasus (Wallace, et al. 2004).E. Mekanisme Resistensi Terhadap StreptomysinStreptomysin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi dari Streptomyces griseus. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis protein dengan menganggu fungsi ribosomal14. Pada 2/3 strain M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin telahdiidentifikasi oleh karena adanya mutasi pada satu dari dua target yaitu pada gen 16S rRNA (rrs) atau gen yang menyandikan protein ribosomal S12 (rpsl). Kedua target diyakini terlibat pada ikatan streptomysin ribosomal14. Mutasi yang utama terjadi pada rpsl. Mutasi pada rpsl telah diindetifikasi sebanyak 50% isolat yang resisten terhadap streptomysin dan mutasi pada rrs sebanyak 20%15. Pada sepertiga yang lainnya tidak ditemukan adanya mutasi. Frekuensi resistensi mutan terjadi pada 1 dari 105 sampai 107 organisme. Strain M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin tidak mengalami resistensi silang terhadap capreomysin maupun amikasin (Wallace, et al. 2004).Diagnosis MDR TBTuberkulosis paru dengan resistensi dicurigai kuat jika kultur basil tahan asam (BTA) tetap positif setelah terapi 3 bulan atau kultur kembali positif setelah terjadi konversi negatif. Beberapa gambaran demografik dan riwayat penyakit dahulu dapat memberikan kecurigaan TB paru resisten obat, yaitu 1) TB aktif yang sebelumnya mendapat terapi, terutama jika Page | 4terapi yang diberikan tidak sesuai standar terapi; 2) Kontak dengan kasus TB resistensi ganda; 3) Gagal terapi atau kambuh; 4) Infeksi human immnodeficiency virus (HIV); 5) Riwayat rawat inap dengan wabah MDR TB (Riyanto, et al. 2006).Diagnosis TB resistensi tergantung pada pengumpulan dan proses kultur spesimen yang adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi diberikan. Jika pasien tidak dapat mengeluarkan sputum dilakukan induksi sputum dan jika tetap tidak bisa, dilakukan bronkoskopi. Tes sensitivitas terhadap obat lini pertama dan kedua harus dilakukan pada laboratorium rujukan yang memadai (Riyanto, et al. 2006).Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat pada TB. Deteksiresistensi obat di masa lalu yang disebut dengan metode konvensional berdasarkan deteksi pertumbuhan M.tuberculosis. Akibat sulitnya beberapa metode ini dan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya, maka belakangan ini diusulkanlah teknologi baru. Yang termasuk metode terbaru ini adalah metode fenotipik dan genotipik. Pada banyak kasus, metode genotipik khususnya telah mendeteksi resistensi rifampisin, sejak saat itu metode ini dipertimbangkan sebagai petanda TB resisten khususnya pada suasana dengan prevalensi TB resisten tinggi. Sementara metode fenotipik, di lain sisi, merupakan metode yang lebihsederhana dan lebih mudah diimplementasikan pada laboratorium mikrobakteriologi klinik secara rutin (Martin, et al. 2007).Penatalaksanaan MDR TBDasar pengobatan terutama untuk keperluan membuat regimen obat-obat anti TB, WHO guidelines membagi obat MDR-TB menjadi 5 group berdasarkan potensi dan efikasinya, sebagai berikut (World Health Organization, 2008) :1. Grup pertama, pirazinamid dan ethambutol, karena paling efektif dan dapat ditoleransi dengan baik. Obat lini pertama yang terbukti sebaiknya digunakan dan digunakan dalam dosis maksimal.2. Grup kedua, obat injeksi bersifat bakterisidal, kanamisin (amikasin), jika alergidigunakan kapreomisin, viomisin. Semua pasien diberikan injeksi sampai jumlah kuman dibuktikan rendah melalui hasil kultur negative3. Grup ketiga, fluorokuinolon, obat bekterisidal tinggi, misal levofloksasin. Semua pasien yang sensitif terhadap grup ini harus mendapat kuinolon dalam regimennya4. Grup empat, obat bakteriostatik lini kedua, PAS (paraaminocallicilic acid), ethionamid, dan sikloserin. Golongan obat ini mempunyai toleransi tidak sebaik obat-obat oral lini pertama dan kuinolon.5. Grup kelima, obat yang belum jelas efikasinya, amoksisilin, asam klavulanat, danmakrolid baru (klaritromisin). Secara in vitro menunjukkan efikasinya, akan tetapi data melalui uji klinis pada pasien MDR TB masih minimal.Ada tiga cara pendekatan pembuatan regimen didasarkan atas riwayat obat TB yang pernah dikonsumsi penderita, data drug resistance surveillance (DRS) di suatu area, dan hasil DST dari penderita itu sendiri. Berdasarkan data di atas mana yang dipakai, maka dikenal pengobatan dengan regimen standar, pengobatan dengan regimen standar yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST individu penderita tersebut, dan pengobatan secara empiris yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST individu penderita tersebut.Pengobatan dengan regimen standar : pembuatan regimen didasarkan atas hasil DRS yang bersifat representative pada populasi dimana regimen tersebut akan diterapkan. Semua pasien MDR TB akan mendapat regimen sama.Pengobatan dengan regimen standar yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST individu penderita : awalnya semua pasien akan mendapat regimen yang sama selanjutnya Page | 5regimen disesuaikan berdasarkan hasil uji sensitivitas yang telah tersedia dari pasien yang bersangkutan.Pengobatan secara empirik yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST individu pasien : tiap regimen bersifat individualis, dibuat berdasarkan riwayat pengobatan TB sebelumnya, selanjutnya disesuaikan setelah hasil uji sensitivitas obat dari pasien yang bersangkutan tersedia.Menurut WHO guidelines 2008 membuat pentahapan tersebut sebagai brikut (World Health Organization, 2008):Tahap 1 : gunakan obat dari lini pertama yang manapun yang masih menunjukkan efikasiTahap 2 : tambahan obat di atas dengan salah satu golongan obat injeksi berdasarkan hasil uji sensitivitas dan riwayat pengobatanTahap 3 : tambahan obat-obat di atas dengan salah satu obat golongan fluorokuinolonTahap 4 : tambahkan obat-obat tersebut di atas dengan satu atau lebih dari obat golongan 4 sampai sekurang-kurangnya sudah tersedia 4 obat yang mungkinefektifTahap 5 : pertimbangkan menambahkan sekurang-kurangnya 2 obat dari golongan 5(melalui proses konsultasi dengan pakar TB MDR) apabila dirasakn belum ada 4 obat yang efektif dari golongan 1 sampai 4.Selain itu, ada beberapa butir dalam pengobatan MDR TB yang dianjurkan oleh WHO (2008) sebagai prinsip dasar, antara lain (World Health Organization, 2008) : (1) Regimen harus didasarkan atas riwayat obat yang pernah diminum penderita. (2) Dalam pemilihan obat pertimbangkan prevalensi resistensi obat lini pertama dan obat lini kedua yang berada di area / negara tersebut. (3) Regimen minimal terdiri 4 obat yang jelas diketahui efektifitasnya. (4) Dosis obat diberikan berdasarkan berat badan. (5) Obat diberikan sekurnag-kurangnya 6 hari dalam seminggu, apabila mungkin etambutol,pirazinamid, dan fluoro kuinolon diberikan setiap hari oleh karena konsentrasi dalam serum yang tinggi memberikan efikasi. (6) Lama pengobatan minimal 18 bulan setelah terjadi konversi. (7) Apabila terdapat DST, maka harus digunakan sebagai pedoman terapi. DST tidak memprediksi efektivitas atau inefektivitas obat secara penuh. (8) Pirazinamid dapat digunakan dalam keseluruhan pengobatan apabiladipertimbangkan efektif. Sebagian besar penderita MDR TB memiliki keradangan kronik di parunya, dimana secara teoritis menghasilkan suasana asam dan pirazinamid bekerja aktif. (9) Deteksi awal adalah faktor penting untuk mencapai keberhasilanPengobatan pasien MDR TB terdiri atas dua tahap, tahap awal dan tahap lanjutan. Pengobatan MDR TB memerlukan waktu lebih lama daripada pengobatan TB bukan MDR, yaitu sekitar 18-24 bulan. Pada tahap awal pasien akan mendapat Obat anti tuberkulosis linikedua minimal 4 jenis OAT yang masih sensitif, dimana salah satunya adalah obat injeksi. Pada tahap lanjutan semua OAT lini kedua yang dipakai pada tahap awal.Pemantauan selama pengobatanPasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap pengobatan dan mengidentifikasi efek samping pengobatan. Gejala klasik TB batuk, berdahak, demam dan BB menurun umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Penilaian respons pengobatan adalah konversi dahak dan biakan. Hasil uji kepekaan MDR TB dapat diperoleh setelah 2 bulan. Pemeriksaan dahak dan biakan dilakukan setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan. Evaluasi pada pasien MDR TB adalah; (1) penilaian klinis termasuk berat badan, (2) penilaian segera bila ada efek samping, (3)pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan, (4)pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversi biakan, (5) uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan akan kegagalan pengobatan, (6) Page | 6Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien mendapat suntikan (Kanamisin dan Kapreomisin), (7) pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada tanda-tanda hipotiroidPencegahan terjadinya resistensi obatWHO merekomendasikan strategi DOTS dalam penatalaksanaan kasus TB, selain relative tidak mahal dan mudah, strategi ini dianggap dapat menurunkan risiko terjadinya kasus resistensi obat terhadap TB. Pencegahanan yang terbaik adalah dengan standarisasi pemberian regimen yang efektif, penerapan strategi DOTS dan pemakaian obat FDC adalah yang sangat tepat untuk mencegah terjadinya resistensi OAT.Pencegahan terjadinya MDR TB dapat dimulai sejak awal penanganan kasus baru TB antara lain : pengobatan secara pasti terhadap kasus BTA positif pada pertama kali, penyembuhan secara komplit kasih kambuh, penyediaan suatu pedoman terapi terhadap TB, penjaminan ketersediaan OAT adalah hal yang penting, pengawasan terhadap pengobatan, dan adanya OAT secar gratis. Jangan pernah memberikan terapi tunggal pada kasus TB. Peranan pemerintah dalam hal dukungan kelangsungan program dan ketersediaan dana untunk penanggulangan TB (DOTS). Dasar pengobatan TB oleh klinisi berdasarkan pedoman terapi sesuai evidence based dan tes kepekaan kuman.Strategi DOTSPlusPenerapan strategi DOTS plus mempergunakan kerangka yang sama dengan strategi DOTS, dimana setiap komponen yang ada lebih ditekankan kepada penanganan MDR TB. Strategi DOTSPlus juga sama terdiri dari 5 komponen kunci :1. Komitmen politis yang berkesinambungan untuk masalah MDR (multi drug resistance)2. Strategi penemuan kasus secara rasional yang akurat dan tepat waktu menggunakan pemeriksaan hapusan dahak secara mikroskopis ,biakan dan uji kepekaan yang terjaminmutunya.3. Pengobatan standar dengan menggunakan OAT lini kedua ,dengan pengawasan yang ketat (Direct Observed Treatment/DOT).4. Jaminan ketersediaan OAT lini kedua yang bermutu5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Setiap komponen dalam penanganan TB MDR lebih kompleks dan membutuhkan biaya lebih banyak dibandingkan dengan pasien TB bukan MDR Pelaksanaan program DOTS plus akan memperkuat Program Penanggulangan TB Nasional.