repository.unhas.ac.id › ... › 4015 › ISI.docx?sequence=1 · Web view Prof. Dr. H. M. Arfin...
Transcript of repository.unhas.ac.id › ... › 4015 › ISI.docx?sequence=1 · Web view Prof. Dr. H. M. Arfin...
SKRIPSI
ORANG TUA SEBAGAI AHLI WARIS DITINJAU DARI HUKUM ISLAM
OLEH :
KHAERULNISAB111 08 400
BAGIAN HUKUM KEPERDATAANFAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2012
1
HALAMAN JUDUL
ORANG TUA SEBAGAI AHLI WARIS DITINJAU DARI HUKUM ISLAM
Oleh :
KHAERULNISAB111 08 400
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Rangka Penyelesaian Studi
Sarjana
Dalam Program Kekhususan/Bagian Hukum Keperdataan
Program Studi Ilmu Hukum
Pada
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2012
2
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Dengan ini menerangkan bahwa proposal dari :
Nama : Khaerulnisa
Nomor Pokok : B111 08 400
Bagian : Hukum Keperdataan
Judul : Orang Tua Sebagai Ahli Waris Ditinjau dari Hukum Islam
Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam ujian skripsi.
Makassar, Agustus 2012
Pembimbing I
Prof. Dr. H. M. Arfin Hamid, S.H., M.H .
NIP. 19670205 199403 1 001
Pembimbing II
Achmad, S.H., M.H.
NIP. 19680104 199303 1 002
3
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI
Diterangkan bahwa skripsi mahasiswa :
Nama : Khaerulnisa
No. Pokok : B 111 08 400
Bagian : Hukum Keperdataan
Judul Skripsi : Orang Tua Sebagai Ahli Waris Ditinjau Dari Hukum
Islam.
Memenuhi syarat untuk diajukan dalam ujian skripsi sebagai ujian akhir
program studi.
Makassar, November 2012
A.n. Dekan
Wakil Dekan Bidang Akademik,
Prof.Dr.Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H.
4
ABSTRAK
KHAERULNISA (B 111 08 400), ORANG TUA SEBAGAI AHLI WARIS DITINJAU DARI HUKUM ISLAM dengan dosen Pembimbing Bapak Arfin Hamid (selaku pembimbing I), dan Bapak Achmad (selaku pembimbing II).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi dan kultur masyarakat mengenai orang tua sebagai ahli waris ditinjau dari kewarisan Islam. Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama Kabupaten Bone. Dengan mewancarai hakim Pengadilan Agama Kabupaten Bone, ulama setempat, dan beberapa masyarakat di Kabupaten Bone.
Sumber data yang digali dalam penelitian ini yaitu hasil wawancara dengan hakim di Pengadilan Agama Kabupaten Bone, ulama, dan masyarakat setempat. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan kepustakan yang merupakan rujukan untuk menganalisis hasil penelitian. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan sosiologis yaitu cara pendekatan masalah dengan berdasarkan pada aturan Al-Qura’an dan hadis serta Kompilasi Hukum Islam selanjutnya berdasarkan data dari hasil wawancara yang ada. Penyusun berusaha menarik kesimpulan dari fakta-fakta yang bersifat khusus menjadi sebuah kesimpulan yang lebih umum.
Dalam hal pembagian warisan khususnya terkait dengan orang tua sebagai ahli waris sebagaimana disebutkan dalam KHI pasal 177 dan 178 bahwa ayah dan ibu mendapat sepertiga atau seperanam bagian dari harta yang ditinggalkan pewaris. Dari hasil penelitian di Kabupaten Bone diketahui bahwa tidaklah sejalan sebagaimana yang telah diatur dalam KHI dan terdapat kultur dalam masyarakat setempat yaitu hanya membaginya secara musyawarah, hal tersebut juga diperkuat dengan tidak ditemukannya gugatan di Pengadilan Agama Kabupaten Bone atas hak orang tua terhadap harta yang diwariskann anaknya. Sebagaimana fatwa ulama, hal tersebut dibolehkan dan tidak bertentangan dengan hukum Islam selama orang tua tetap dirawat dan tidak ditelantarkan. Dan menurut para hakim, perdamaian merupakan hal yang tertinggi karena tidak akan ada pihak yang merasa dirugikan meskipun mengenyampingkan bagian yang seharusnya diterima oleh para ahli waris.
5
KATA PENGANTAR
Segala puja, puji dan syukur pada Tuhan sang pemilik keberadaan
yang telah memberikan kesempatan kepada kita menjadi bayang-Nya
dan senantiasa mencurahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis
dapat merampungkan penulisan dan penyusunan karya tulis ilmiah ini
dalam bentuk skripsi yang berjudul “orang tua sebagai ahli waris ditinjau
dari hukum Islam”. Shalawat dan salam kepada Muhammad bin Abdullah
SAW beserta keluarga beliau yang telah diutus Allah SWT menjadi rahmat
bagi alam semesta.
Dengan selesainya penyusunan tugas akhir ini sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar sarjana, perkenangkanlah penulis
menggucapkan terima kasih yang tiada terhingga kepada:
1. Kedua orang tua penulis, Ayahanda H. Hafid dan Ibunda Hj. Sima
atas segala kasih sayang serta doa dan dukungannya yang tiada
henti. Begitu juga kepada kakak-kakak penulis, Ir. Nur alam,
Musdalifah, Rahma, S.Farm., Apt., Madinah dan adik penulis Yusuf
Ding Reskillah. Terima kasih atas semuanya dan semoga Allah SWT
senantiasa menjaga dan melindungi mereka.
2. Bapak Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.H., DFM. selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin, beserta jajarannya.
3. Kepada Pembimbing I Prof. Dr. H. Arfin Hamid, S.H., M.H. dan
Pembimbing II Achmad, S.H., M.H. yang senantiasa meluangkan
waktunya untuk memberikan pembimbingan selama penulisan skripsi
6
ini. Serta kepada Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H.,
Ratnawati,S.H.,M.H. dan Fauziah P. Bakti, S.H., M.H. sebagai penguji.
4. Ketua dan Sekretaris Bagian Hukum Keperdataan, beserta jajarannya
dan segenap Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
5. Para ulama, Hakim Pengadilan Agama, pejabat pemerintah dan
masyarakat di Kabupaten Bone yang telah bersedia meluangkan
waktunya dalam memberikan informasi kepada penulis demi
terselesaikannya skripsi ini.
6. Terimah kasih kepada kanda Andi Ryza Fardiansyah, S.H. yang
menjadi telah rela meluangkan waktunya untuk mengajar kami dan
menjadi motivator. Terima kasih atas segalanya dan semoga selalu
dalam lindungan-Nya..
7. Sahabat-sahabatku, Frasctya Rumainum, S.H., Farizah, S.H., A. Dewi
Sartika, S.H., A. Kurnia Sari, S.H., Mariani, S.H., Indah Rezky Mulia,
S.H., Dhina Dwi Noeryani, Muharlis, dan Uslifah Chairil, yang telah
mengajarkan arti kebersamaan baik senang maupun duka, rela
mendegar setiap keluh kesah penulis dan senantiasa memberikan
semangat,
8. Kanda-kanda di HMI Kom. Hukum Unhas, Al kadry Nur, S.H.,
Muhammad Rizal Rustam, S.H., Andra Irwan, S.H., Sayyed
Muhammad Faldy, S.H., Raju Aphandi, S.H., Wiryawan Batara
Kencana, S.H., Azrina Darwis, S.H., Muhammad Firmansyah, dan
7
kanda-kanda yang lain. Terima kasih atas segala bimbingan dan
kebaikannya.
9. Teman-Teman HMI Kom. Hukum Unhas, Mohammad Yudha
Sudawan, Andi Aqmal Firdaus, Ali Rahman, Arfan, S.H., Muh.Khalid
Hamka, S.H., Irtanto Hadisaputra, S.H., Andi Sahapadlia, S.H., Atti,
Ernawati, Ghina, Andi Dewi Almas, Faradillah, Andi Rinanti, Suwahyu,
Imam Munandar, dan teman-teman lainnya. Semoga dapat
melahirkan generasi yang lebih baik, baik secara kualitas maupun
kuantitas.
10. Kanda Muhammad Risal Rustam, S.H., yang telah menjadi salah satu
sebab terbentuknya AMPUH (Asosiasi Mahasiswa Hukum Perdata
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin). Terima kasih telah
membimbing dan memberikan wadah dalam proses pembelajaran
penulis.
11. Teman-teman angkatan Notaris 2008, khususya teman-teman kelas
D, yang tidak mampu penulis tuliskan satu persatu.
12. Senpai dan Teman-teman di UKM Karetodo Gojukai, terima kasih
atas kenangan-kenagan indah bersama kalian, latihan-latihan yang
menyiksa namun memberikan manfaat yang besar, dan kekompokan
selalu berusaha dijaga.
13. Teman-teman KKN Angkatan 80 Kab. Bulukumba, Kel. Kalumeme,
Hardianti Aswar, Ade Irma, Narti, Sulipno Pratomo, Adrian Djunaid,
8
Muhammad Papul dan Harnas, hari-hari yang begitu singkat untuk
merasakan kebahagian bersama kalian.
14. Kepada keluarga besar di Watampone, yang telah berbaik hati
menerima dan merawat penulis selama masa penelitian, terkhusus
Sukmati, tante yang telah rela meluangkan waktu dan tenaga untuk
menemani penulis dalam tahap penyusunan skripsi ini.
Dan kepada semua pihak yang telah membantu, baik dalam segi
materil maupun non materil, maaf tidak sempat tertuliskan satu persatu.
Dengan segala keterbatasan, penulis tidak dapat memberikan yang
setimpal. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya atas pengorbanan tulus yang telah diberikan kepada penulis.
Skripsi ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan mengingat
penulis sendiri memiliki banyak kekurangan, sehingga mungkin akan
ditemui beberapa kekurangan dalam skripsi ini. Olehnya itu, segala
masukan, kritik dan saran konstruktif dari segenap pembaca sangat
diharapkan untuk mengisi kekurangan yang ditemui dalam skripsi ini.
Makassar, November 2012
Penulis
9
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................... ii
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI.................................. iii
ABSTRAK............................................................................................ iv
KATA PENGANTAR............................................................................ v
DAFTAR ISI ......................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................... 4
C. Tujuan Penulisan................................................................. 5
D. Kegunaan Penulisan............................................................ 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKAA. Nilai dan Prinsip Hukum Islam.............................................. 6
B. Ruang Lingkup Hukum Islam................................................ 8
1. Ciri-Ciri Hukum Islam........................................................ 10
2. Tujuan Hukum Islam......................................................... 12
C. Pengertian Hukum Waris Islam ........................................... 13
D. Asas-Asas Hukum Waris Islam............................................ 14
E. Dasar Hukum Waris islam.................................................... 17
1. Ayat-ayat Al- Quran.......................................................... 17
2. Al-Hadis ......................................................................... 19
3. Ijtihad Para Ulama............................................................ 19
4. Kompilasi Hukum Islam.................................................... 20
10
F. Rukun dan Syarat Pewarisan............................................... 21
1. Rukun Pewarisan............................................................ 21
2. Syarat Pewarisan............................................................. 28
G. Sebab-Sebab dan Halangan Waris-Mewarisi....................... 28
1. Sebab-Sebab Timbulnya Kewarisan................................ 28
2. Halangan Mewarisi........................................................... 31
H. Ahli Waris............................................................................. 33
1. Ahli Waris Kerabat Dekat................................................. 33
2. Ahli Waris Kerabat Jauh................................................... 42
3. Orang Tua........................................................................ 44
BAB 3 METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian.................................................................. 48
B. Jenis dan Sumber Data........................................................ 48
C. Teknik Pengumpulan Data................................................... 49
D. Analisis Data......................................................................... 49
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penerapan Hukum Waris Islam Mengenai Orang Tua
Sebagai Ahli Waris.............................................................. 51
B. Kultur Masyarakat dalam Pembagian Warisan dengan
Kaitannya Orang Tua sebagai Ahli Waris............................ 57
C. Faktor Penyebab Tidak Adanya Orang Tua yang
mengajukan Tuntutan Hak Waris Atas Harta Anaknya........ 62
BAB 5 PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................... 72
11
B. Saran ......................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 74
12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia selaku anggota masyarakat tentunya tidak lepas dari
interaksi satu sama lainnya. Interaksi tersebut terjadi karena adanya
kebutuhan dan kepentingan masing-masing yang akan terpenuhi ketika
syarat-syarat dalam mewujudkannya terpenuhi. Dalam melakukan
hubungan akan ada aturan yang berlaku baik secara tertulis maupun tidak
tertulis dimana aturan atau hukum tersebut hidup dalam masyarakat.
Dari berbagai macam bentuk atau jenis interaksi salah satunya
yaitu interaksi antara laki-laki dan perempuan yang diikat dalam suatu
hubungan suami istri yang nantinya akan melahirkan keturunan. Dari
kelahiran tersebut akan ada kematian yang merupakan takdir bagi setiap
manusia dan tidak dapat dihindari.
Ketika seseorang meninggal akan timbul berbagai masalah dan
salah satunya yaitu masalah kewarisan. Membahas masalah kewarisan,
akan membahas tentang harta peninggalan baik yang berwujud maupun
tidak berwujud yang akan diwariskan kepada ahli waris yang berhak untuk
menerimanya. Mengingat harta merupakan sesuatu yang sangatlah
penting bagi kelangsungan hidup manusia sehingga memungkinkan
seseorang melakukan berbagai cara untuk memperolehnya.
Tuhan sebagai pencipta alam semesta telah menetapkan aturan-
aturan yang akan menuntun manusia menuju tujuan penciptaan alam
13
semesta ini yaitu kesempurnaan. Aturan tersebut tidak hanya terbatas
pada hubungan yang vertikal yaitu manusia dengan Tuhan, tetapi juga
hubungan horizontal yaitu manusia dengan manusia.
Terkait dengan masalah kewarisan, terdapat aturan yang termuat
dalam Al-Quran dan hadis. Dalam konteks hukum positif, di Indonesia
aturan mengenai hukum kewarisan terdapat tiga sistem hukum yang
berlaku, yaitu Hukum Waris Perdata Barat/Burgerlijk Wetboek (BW),
Hukum Waris Adat, dan Hukum Waris Islam. Menurut Otje Salman, hukum
kewarisan yang hidup dalam masyarakat Indonesia dipengaruhi oleh lima
variabel, yaitu hukum kewarisan adat, hukum kewarisan Islam, faktor
struktur sosial, faktor proses sosial, dan politik hukum.1
Hukum waris BW diperuntukkan bagi keturunan Tionghoa dan
Eropa, sebagaimana disebutkan dalam buku II BW. Selain itu, BW juga
berlaku bagi Warga Negara Indonesia asli yang menundukkan diri pada
BW. Sifat dari hukum waris BW secara umum meliputi sistem individual,
bilateral dan penderajatan. 2
Hukum kewarisan adat diperuntukan bagi warga Negara Indonesia
asli, yaitu suku-suku bangsa yang hidup di wilayah Indonesia. Sifat dan
sistem hukum waris adat Indonesia cukup beragam karena dipengaruhi
oleh sifat etnis yang ada. Beberapa daerah memiliki ragam kekeluargaan,
yang dapat digolongkan dalam beberapa macam sifat, yaitu: sifat
1 Otje Salman, 2007, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, PT. Alumni, Bandung, hlm. 33.2 Titik Triwulan Tutik, 2008, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, hlm.253.
14
kebapakan (patriarchaat, vederrechtclijk), sifat keibuan (matriarchaat,
moederrechtelijk), sifat kebapak-ibuan (parental, ouderrechteljik).3
Hukum waris Islam berlaku bagi orang Indonesia ( baik asli atupun
keterunan) yang beragama Islam . Ketentuan kewarisan tertuang dalam
Buku II Hukum Kewarisan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Berdasarkan
Inpres No.1 Tahun 1991. Pada prinsipnya pewarisan adalah langkah-
langkah penerusan dan pengoperan harta peninggalan baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dari seorang pewaris kepada ahli
warisnya.4
Dalam KHI Pasal 171 huruf a, disebutkan bahwa yang dimaksud
hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa
yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Dari penjelasan tersebut diketahui yang menjadi inti dalam hukum
kewarisan yaitu harta peninggalan (tirkah), pewaris, dan ahli waris.
Dalam Al-Quran, hadis, dan KHI memuat berbagai macam aturan
terkait kewarisan serta ijtihad para ulama. Namun ternyata hal tersebut
tidaklah menjamin akan adanya kesesuain antara teori (aturan) dengan
realitasnya karena dalam masyarakat masih timbul berbagai masalah
dalam pembagiannya. Salah satu permasalahan yang terjadi yaitu tidak
dipenuhinya hak orang tua untuk memperoleh harta warisan anaknya,
padahal baik dalam Al-Quran, maupun KHI telah ditetapkan masing-
3 Oemarsalim, 2006, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, Rineka Cita, hlm. 6.4 Sudarsono,1991, Hukum Waris dan System Bilateral, Melton Putra, Jakarta, hlm. 3.
15
masing bagiannya, dan termasuk golongan ashabul furudh yang tidak
terhalangi oleh ahli waris yang lain untuk memperoleh bagian harta
warisan, namun yang terjadi direalitasnya tidaklah sesuai dengan aturan
yang ada yaitu termuat pada KHI Pasal 177, disebutkan bahwa ayah
mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila
ada anak, ayah mendapat seperenam bagian. Adapun bagian ibu, termuat
dalam KHI Pasal 178 yaitu ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak
atau dua saudara atau lebih dan bila tidak ada anak atau dua orang
saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian sesudah diambil
oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah.
Ketidak sesuain teori tersebut, terjadi pada beberapa keluarga di
Kabupaten Bone. Meskipun demikian, namun tidak ada orang tua yang
menutut haknya melalui pengadilan Agama Kabupaten Bone. Salah satu
kelurga yang dimaksud yaitu keluarga Jumadi selaku pewaris, yang
meninggalkan Tahi (ibu) dan 4 anak yaitu Jumria, Ani, Neni, dan
Bharuddin. Harta peninggalan Jumadi hanya terbagi pada ke 4 anaknya
dan Tahi selaku ahli waris yang seharusnya mendapat 1/6 bagian dari
harta peninggalan anaknya, tidak mendapat bagian tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana penerapan hukum waris Islam mengenai orang
tua sebagai ahli waris ?
16
2. Bagaimana kultur masyarakat dalam pembagian warisan
terkait dengan orang tua sebagai ahli waris?
3. Mengapa orang tua sebagai ahli waris tidak menuntut hak
warisnya sesuai dengan hukum Islam ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum waris Islam
mengenai orang tua sebagai ahli waris.
2. Untuk mengetahui kultur masyarakat dalam hal orang tua
sebagai ahli waris .
3. Untuk mengetahui mengapa orang tua sebagai ahli waris tidak
menuntut hak warisnya sesuai dengan hukum Islam.
D. Kegunaan Penulisan
1. Sebagai salah satu referensi tentang hukum kewarisan yang
dapat digunakan bagi teman-teman mahasiswa pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya.
2. Sebagai sebuah persembahan bagi pengembangan ilmu
pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya.
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Nilai dan Prinsip-Prinsip Hukum Islam
Sistem Hukum Islam (SHI) tidaklah sama dengan Sistem Hukum
Konvensional (SHK). Sistem Hukum Islam merupakan sistem yang tidak
mandiri ia terlahir dari ajaran Islam (dienul Islam), dan system ini sendiri
berasal dari sistem keislaman secara menyeluruh (kaffah). Posisi SHI
yang demikian itu sungguh berbeda dengan system konvensional yang
mandiri yang tidak ada hubungannya dengan ajaran yang melahirkannya
seperti agama atau system ideologi yang memayunginya, memisahkan
nilai transedental pada satu sisi dengan nilai fisik-material pada sisi
lainnya yang tidak saling berkorelasi (sekularisme). Dalam SHI terusung
nilai hakikat yang harus menjelma dalam semua tahapan prosesnya, yaitu
nilai Ilahiyah yang harus diyakini eksistensi dan peranannya pada semua
dimensi-dimensi kehidupan manusia. Dia adalah Maha Kuasa, penentu,
Dia harus disembah, dan kepadanya pun kita semua harus kembali. 5
Bersumber dari nilai ilahiyah yang diiplementasikan ke dalam
sejumlah prinsip dasar atau asas yang lebih konkret dalam sejumlah
bidang-bidang hukum Islam, yaitu:6
1. Prinsip akidah yang tertuang ke dalam 5 rukun Islam dan 6 rukun
Iman yang harus diterapkan oleh setiap muslim dalam
5 M.Arfin Hamid, 2007, Hukum Islam Perspektif Keindonesian: Sebuah Pengantar dalam Memahami Realitas Hukum Islam di Indonesia, Fakultas Hukum Univesitas Haanuddin, hlm.21.6 Ibid, hlm.22.
18
kehidupannya. Sehingga pelakunya senantiasa dilandasi dengan
akidah Islamiyah termasuk dalam aktivitas penegakan, kegiatan
iqtishadiyyah (ekonomi), dan kegiatan politik, pndidikan, dan
lainnya.
2. Prinsip ibadah, dalam hal ini tidak hanya mengenai ibadah muhdlah
(shalat, puasa, zakat, sedekah, haji, dll), melainkan juga meliputi
aktivitas muamalah al-makhluqiyyah (hubungan intraksional ke
seluruh makhluk) termasuk didalamnya hubungan hukum, iqtishay
(kegiatan bisnis), politik, budaya, pendidikan, keluarga, dan lainnya.
3. Prinsip Syariah (hukum), dengan prinsip ini menunjukkan segala
aktivitas manusia senantiasa dikembalikan kepada ketentuan
syariah sebagai dasar utamanya.
4. Prinsip Tazkiyah (kesucian) yang mengandung makna
sesungguhnya Allah itu Maha Suci dan hanya akan menerima yang
suci, innalaha tayyibun la yaqbalu ill tayyiban.
5. Prinsip Khilafah (kepemimpinan) yang terkandung di dalamnya
sejumlah sifat nubuwwah, seperti shiddiq (kejujuran), amanah
(bertanggung jawab), fathonah (cerdas), tablieg
(komuikatif/professional). Selain itu juga berlandaskan pada akhlak,
ukhuwah, dan insaniyah (humanistik), sehigga tidak terjadi
eksploitasi antara satu dengan yang lainnya.
6. Prinsip milkullah (pemilikan mutlak hanya ada ditangan Allah SWT),
makna kepemilikan manusia bersifat penguasaan/pengelolaan
19
sebagai amanah dari Allah SWT, walillahi mulku assamawati wal
ardhi (pada Allahlah kepemilikan segala isi langit dan bumi)
7. Prinsip A’dalah (keadilan) didalamnya terbangun prilaku yang adil
dalam menempatkan sesuatu secara proporsional.
8. Prinsip Keseimbangan (al-wustha) yang mengandung makna at-
tawazhun suatu kemampuan dan sebagai tuntutan untuk
senantiasa menyeimbangkan antara kepentingan dunia dan
akhirat, kepentingan individu dan jamaah, antara lahiriyah dan
batiniah.
9. Prinsip Kemaslahatan (al-maslahah) bahwa dalam menjalankan
segala aktvitas dan usahanya pada intinya memberikan maslahat
(skala prioritas), berupa kemanfaatn dan kegunaan kepada semua
elemen didalamnya dan semaksimal mungkin menghindarkan
kemudhratan bagi salah satu pihak termasuk juga pihak lainnya
serta aman terhadap lingkungan.
B. Ruang Lingkup Hukum Islam
Secara etimologi, hukum Islam berasal dari bahasa Arab yang
terdiri 2 kata yakni kata hukum berarti ketentuan, ketetapan dan kata
Islam berasal dari kata “aslama” menjadi “salama” selanjutnya menjadi
Islam yang berarti selamat, damai, sejahtera, atau penyerahan diri
sepehnya kepada Tuhan. Sehingga secara terminologi, hukum Islam
adalah segala macam ketentuan atau ketetapan mengenai sesuatu hal
dimana ketentuan itu telah diatur dan ditetapkan oleh agama Islam. Dari
20
segi istilah, hukum menurut ajaran Islam antara lain dikemukakan oleh
Abdurraf, (1970:21), hukum adalah peraturan-peraturan yang terdiri dari
ketentuan-ketentuan, suruhan dan larangan, yang menimbulkan
kewajiban dan atau hak.7
Ruang Lingkup hukum Islam dikasifikasi ke dalam dua kelompok,
yaitu8: 1) hukum yang berkaitan dengan persoalan ibadah, dan 2) hukum
yang berkaitan dengan persoalan kemasyarakatan. Hal ini akan diuraikan
sebagai berikut:
1) Hukum ibadah adalah hukum yang mengatur hubungan
manusia dengan Tuhannya, yaitu: iman, shalat, zakat, puasa,
dan haji.
2) Hukum kemasyarakatan yaitu hukum yang mengatur
hubungan manusia dengan sesamannya yang memuat: a)
muamalah, b) munakahat, dan c) ukubat.
1) Muamalah mengatur tentang harta benda (hak, obligasi,
kontrak, seperti jual beli, sewa menyewa, pembelian,
pinjaman, titipan, pengalihan utang, syarikat dagang, dan
lain-lain).
2) Munakahat mengatur tentang perkawinan dan perceraian
serta akibatnya, seperti iddah, nasab, nafkah, hak curatele,
waris, dan lain-lain. Hukum dimaksud biasa disebut hukum
keluarga dalam bahasa Arab disebut Al-Ahwal Al-
7 M.Arfin Hamid, Ibid.hlm.138 Zainuddin Ali, 2006, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, sinar Garafika, hlm.6.
21
Syakhsiyah. Cakupan hukum dimaksud biasa disebut hukum
perdata.
3) Ukubat atau Jinayat mengatur tentang pidana, seperti
mencuri, berzina, mabuk, menuduh berzina, pembunuhan
serta akibat-akibatnya. Selain bagian-bagian tersebut, ada
bagian lain, yaitu: (a) Mukhasamat, (b) siyar, (c) ahkam as-
sultaniyah. Hal ini akan dijelaskan sebagai berikut:
- Mukhasamat yaitu hukum yang mengatur tentang
peradilan: pengaduan dan pembuktian yaitu hal-hal yang
berkaitan dengan hukum acara perdata dan hukum acara
pidana.
- Syiar yaitu hukum yang mengatur mengenai urusan jihad
dan/atau perang, harta rampasan perang, perdamaian,
perhubungan dengan agama lain, dan Negara lain.
- Ahkam As-Sulthaniyah yaitu hukum yang membicarakan
persoalan hubungan dengan kepala Negara, kementrian,
gubernur, tentara, dan pajak.
1. Ciri-Ciri Hukum Islam
Hukum Islam sebagai salah satu sistem hukum yang berdiri sendiri,
mempunyai ciri-ciri yang membedakanya dengan system hukum yang
lain. Adapun ciri-cirinya, antara lain:9
1) Merupakan bagian dan bersumber dari agama islam;
9 Muhammad Daud Ali, 2007, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta. Hlm. 59.
22
2) Mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan dari
iman atau akidah dan kesusilaan atau akhlak islam;
3) Mempunyai dua istilah kunci yakni syariat dan fiqih. Syariat
terdiri dari wahyu Allah dan sunnah Nabi Muhammad, fiqih
adalah hasil pemahaman manusia tentang syariah;
4) Terdiri dari dua bidang utama yakni ibadah dan muamalah.
Ibadah bersifat tertutup karena telah sempurna dan muamalah
dalam arti luas dan khusus bersifat terbuka untuk dikembangkan
oleh manusia yang memenuhi syarat dari masa ke masa;
5) Strukturnya berlapis, terdiri dari nas atau teks Al-Quran, Sunnah
Nabi Muhammad (untuk sayariat), hasil ijtihad manusia yang
memenuhi syarat tentang wahyu dan sunnah, pelaksanaannya
dalam praktik baik berupa keputusan hakim, maupun berupa
amalan-amalan umat islam dalam masyarakat (untuk fiqih);
6) Mendahulukan kewajiban dari hak;
7) Dapat dibagi-bagi menjadi: (a) hukum taklifi atau hukum taklif
yakni al-ahkam al-khamsah yang terdiri dari lima kaidah, lima
jenis hukum, lima kategori hukum, lima penggolongan hukum
yakni ja’iz, sunnat, makruh, wajib dan haram, dan (b) hukum
wadh’I yang mengandung sebab, syarat, halangan terjadi atau
terwujudnya hubungan hukum.
2. Tujuan Hukum Islam
23
Islam berdimensi rahmatan lilal’alamin memberi pedoman hidup
kepada manusia secara menyeluruh, menuju tercapainya kebahagian
hidup rohani dan jasmani serta untuk mengatur tata kehidupan manusia,
baik sebagai individu maupun bermasyarakat.10
Secara umum tujuan penciptaan dan penetapan hukum oleh Allah
SWT adlah untuk kepentingan, kemaslahatan dan kebahagian manusia
seluruhnya, baik di dunia maupun diakhirat. Ungkapan tersebut tersurat
dalam Al Quran Surah Al-Baqarah (2) ayat 201-202, yang artinya:
“Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian daripada yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya”.
Tujuan hukum Islam, dapat ditinjau dari dua aspek , yaitu 1) aspek
pembuat hukum Islam adalah Allah dan Nabi Muhammad saw., 2) aspek
manusia sebagai pelaku dan pelaksana hukum Islam itu. Hal ini akan
diuraikan sebagai berikut.11
1. Kalau dilihat dari aspek pembuat hukum Islam, maka tujuan
hukum Islam adalah untuk memenuhi keperluan hidup
manusia yang bersifat primer, sekunder dan tertier (istilah fikih
disebut daruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat). Selain itu, adalah
untuk ditaati dan dilaksanakan oleh manusia dalam kehidupan
sehari-hari serta meningkatkan kemampuan manusia untuk
memahami hukum Islam melalui metodologi pembentukannya.
10 Zainuddin Ali, Op.cit. hlm. 10.11 Ibid, hlm.16.
24
2. Kalau dilihat dari aspke pelaku hukum yakni maunusia, maka
tujuan hukum Islam adalah untuk mencapai kehidupan yang
bahagia. Caranya yaitu mengambil yang bermanfaat dan
menolak yang tidak berguna bagi kehidupan.
C. Pengertian Hukum Waris Islam
Hukum waris dalam ajaran islam disebut dengan istilah faraidh.
Kata faraidh adalah bentuk jamak dari faridah yang berasal dari kata fardu
yang berarti ketetetapan, pemberian (sedekah).12
Menurut istilah hukum di Indonesia, ilmu faraidh disebut dengan
“Hukum Waris” (ERFRECHT) yaitu hukum yang mengatur tentang harta
kekayaan seseorang yang meninggal dunia.13
Dalam Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing-masing.
Menurut Amir Syarifuddin ditemukannya beberapa istilah untuk
menamakan hukum waris Islam seperti Faraid, Fikih Mawaris, dan Hukum
al-Waris. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena perbedaan dalam
arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan. Penyebutan faraid
didasarkan pada bagian yang diterima oleh ahli waris. Adapun
penggunaan kata mawarits lebih melihat kepada yang menjadi objek dari
12 Amin Husein Nasution, 2012, Hukum Kewarisan, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 49.13 Ibid. hlm. 50.
25
hukum ini, yaitu harta yang beralih kepada ahli waris yang masih hidup.
Dalam istilah hukum yang baku digunakan kata kewarisan, dengan kata
asal “waris”. Kata waris berarti orang yang mewarisi sebagai subjek dan
dapat pula berarti proses.14
Ilmu faraidh yang mengatur pembagian harta yang ditinggalkan
oleh orang yang meninggal dunia, merupakan manifestasi pengakuan
islam terhadap adanya hak milik perorangan. Hak milik perorangan akan
berakhir saat seseorang meninggal dunia dan berpindah kepada ahli
waris.15
D. Asas-Asas Hukum Waris Islam
Hukum kewarisan Islam mengandung berbagai asas yang
memperlihatkan bentuk karakteristik dari hukum kewarisan Islam itu
sendiri. Asas-asas kewarisan Islam tersebut antara lain:16
a. Asas Ijabari
Asas ijabari mengandung arti bahwa peralihan harta seseorang
yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya
menurut ketatapan Allah.
Asas ijabari dalam hal ini tidak dalam arti yang memberatkan ahli
waris. Andai kata pewaris mempunyai utang yang lebih besar daripada
warisan yang ditinggalkannya, ahli waris tidak dibebani membayar semua
utang pewaris itu. Berapapun besarnya utang pewaris, utang itu hanya
14 Amir Syarifuddin, 2012, Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media Group, Jakarta, hlm.5.15 Ibid, hlm. 52.16 Moh. Muhibbin, 2009, Hukum Kewarisan Islam, sinar grafika,Jakarta. hlm. 22.
26
akan dibayar sebesar warisan yang ditinggalkan oleh pewaris tersebut.
Kalau seluruh harta warisan sudah dibayarkan utang, kemudian masih
ada sisa utang, maka ahli waris tidak diwajibkan membayar sisa utang
tersebut. Kalaupun ahli waris hendak membayar sisa utang, pembayaran
itu bukan merupakn sesuatu kewajiban yang diletakkan oleh hukum,
melainkan karena dorongan moralitas/akhlak ahli waris yang baik.
b. Asas Bilateral
Asas bilateral dalam hukum Islam mengandung arti bahwa harta
warisan beralih kepada ahli warisnya melalui dua belah pihak garis
kerabat, yaitu pihak kerabat keturunan laki-laki dan pihak garis keturunan
perempuan.
Asas bilateral termuat dalam firman Allah dalam surat An-Nisa ayat
7, 11, 12, dan 176. Dalam ayat 7 dijelaskan bahwa seseorang laki-laki
berhak mendapat warisan dari pihak ayahnya dan dari pihak ibunya.
Begitu pula seorang perempuan berhak menerima harta warisan dari
pihak ayahnya dan dari pihak ibunya.
c. Asas Individual
Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual,
bermakana harta warisan dapat di bagi-bagi pada masing-masing ahli
waris untuk dimiliki secara perseorangan. Dalam pelaksanaanya masing-
masing ahli waris menerima bagiannya tersendiri tanpa terikat dengan ahli
waris yang lain. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu
27
yang kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang
berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing.
d. Asas Keadilan Berimbang
Kata adil merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata
al-adlu. Hubungannya dengan masalah kewarisan, kata tersebut dapat
diartiakan keseimbangan antara hak dan kewajiban serta keseimbangan
antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaanya.
Sebagaimana laki-laki, perempuan mendapatkan hak yang sama
kuat untuk mendapatkan warisan. Hal ini secara jelas disebutkan dalam
Al-Quran surah An-nisaa ayat 7 yang merupakan kedudukan laki-laki dan
perempuan dalam hal mendapatkan warisan. Pada ayat 11, 12, 176 surah
An-Nisaa’ diterangkan kesamaan kekuatan hak menerima antara anak
laki-laki dan anak perempuan, ayah dan ibu (ayat 11), suami dan istri
(ayat 12), saudara laki-laki dan saudara perempuan (ayat 12 dan 176).
Asas ini mengandung arti bahwa harus senantiasa terdapat
keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara yang diperoleh
seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan
perempuan misalnya, mendapat hak yang sebanding dengan kewajiban
yang akan dipikulnya dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
e. Asas Semata Akibat Kematian
Asas ini bermakna bahwa harta seseorang tidak dapat beralih
kepada orang lain (keluarga) dengan nama waris selama yang
mempunyai harta masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk
28
peralihan harta seseorang yang masih hidup baik secara langsung
maupun terlaksana setelah ia mati, tidak termasuk kedalam istilah
kewarisan menurut hukum Islam.
Pada asas tersebut menggambarkan bahwa hukum kewarisan
Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan, yaitu kewarisan sebagai
akibat dari adanya kematian dan tidak mengenal kewarisan atas dasar
wasiat yang dibuat pada saat pewaris masih hidup.
Prinsip asas tersebut erat kaitannya dengan asas ijabari. Apabila
seseorang telah memenuhi syarat sebagai subjek hukum, pada
hakikatnya ia dapat berindak sesuka hatinya terhadap seluruh harta
kekayaanya, akan tetapi kebebasaan itu hanya pada waktu ia masih hidup
saja. Ia tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan nasib kekayaanya
setelah ia meninggal dunia. Meskipun seseorang mempunyai kebebasan
untuk berwasiat, tetapi terbatas hanya sepertiga dari keseluruhan
kekayaanya.
E. Dasar Hukum Waris Islam
Dasar hukum waris Islam adalah Al-Qur’an, hadis Rasulullah SAW,
dan pendapat ahli hukum Islam serta Kompilasi Hukum Islam.
1. Ayat-ayat Al-Quran
Dalam Al-Quran dijelaskan ketentuan-ketentuan faraidh dengan
jelas. Ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah kewarisan, diantaranya
yaitu:
a. Surah An-Nisa ayat 7, yang artinya:
29
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”
b. Surah An-Nisa ayat 11, yang artinya:
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
c. Surah An-Nisa ayat 12, yang artinya:
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
30
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”
d. Surah An-Nisa ayat 176, yang artinya:
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
2. Al-Hadis
Masalah kewarisan juga diatur dalam beberapa hadis, diataranya
yaitu hadis dari Abdullah ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh imam
bukhari, yang artinya:
“Berikanlah faraidh (bagian yang ditentukan) itu kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah kepada laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat.”17
3. Ijtihad Para Ulama
Dalam Al-Quran dan hadis sudah ditetapkan mengenai pembagian
harta warisan, namun dalam beberapa hal masih diperlukan adanya
ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam Al-Quran
maupun hadits, misalnya status cucu yang ayahnya lebih dulu meninggal
daripada kakek yang bakal mewaris bersama-sama saudara-saudara 17 Ibid .hlm. 17.
31
ayahnya. Menurut ketentuan mereka tidak mendapatkan apa-apa lantaran
dihijab oleh saudara ayahnya, tetapi menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Wasiat Mesir mereka diberi bagian berdasarkan atas wasiat
wajibah.18
Menurut Habiburrahman, meskipun hukum kewarisan Islam di
Indonesia adalah hukum waris yang bersumber kepada Al-Qur’an dan
Hadis yang berlaku universal di bumi mana pun di dunia ini. Namun, jika
ada beberapa perbedaan paham di kalangan ulama mahzab dengan tidak
mengurangi ketaatan umat Islam kepada ketentuan Allah dan Rasul-Nya,
maka perbedaan pendapat tersebut dibolehkan dan dipandang sebagai
rahmat19.
4. Kompilasi Hukum Islam
Selain Al-Quran, Hadits, dan Ijtihad, aturan mengenai hukum
kewarisan di Indonesia juga termuat dalam sumber hukum lain yaitu di
dalam INPRES Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam,
pada buku II yang mengatur tentang Hukum Kewarisan yang termuat
dalam pasal 171-214.
F. Rukun dan Syarat Mewaris dalam Islam
1. Rukun Pewarisan18 Ibid, hlm 2219 H. Habiburrahman, 2011, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Prenada Media Group, Jakarta, hlm.79.
32
Rukun merupakan bagian dari permasalahan yang menjadi
pembahasan yang sangat penting karena jika salah satu rukun tidak ada
maka pewarisan tersebut tidak dapat terlaksana. Adapun rukun yang
dimaksud yaitu:20
1. Harta Peninggalan (Mauruts)
Mauruts adalah harta yang ditinggalkan oleh si mayit yang akan
diwariskan kepada ahli waris setelah diambil untuk biaya-biaya perawatan,
melunasi utang dan melaksanakan wasiat. Harta peninggalan dalam kitab
fiqh biasa disebut tirkah, yaitu apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang
meninggal dunia berupa harta secara mutlak. Jumhur fuqaha’
berpendapat bahwa tirkah ialah segala apa yang yang menjadi milik
seseorang , baik harta benda maupun hak kebendaan yang diwarisi oleh
ahli warisnya setelah ia meniggal dunia.
Pada umumya di Indonesia, rumah tangga (keluarga) memiliki 4
macam harta, yaitu:
a. Harta yang diperoleh sebelum perkawinan, sebagai hasil usaha
masing-masing. Menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974, harta ini
ditetapkan dalam pengawasan masing-masing pihak.
b. Harta yang dibawa pada saat mereka menikah, diberikan kepada
kedua mempelai dapat berupa modal usaha atau prabot rumah
tangga atau rumah tempat tinggal suami istri itu.
c. Harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung yang
disebabkan hibah atau warisan dari orang tua mereka atau keluarga.20Amin Husein Nasution, Op.cit. hlm. 56.
33
d. Harta yang diperoleh selama perkawinan atas usaha bersama atau
usaha salah seorang disebut harta perceraian.
2. Orang yang Meniggalkan Harta Warisan (Muwarits)
Muwarrits adalah orang yang meninggal dan meniggalkan harta
waris. Di dalam kamus bahasa Indonesia disebut dengan istilah
“pewaris”, sedangkan dalam kitab fiqih disebut muwarist.
Bagi muwarist berlaku ketentuan bahwa harta yang ditinggalkan
miliknya dengan sempurna, dan ia benar-benar telah meninggal dunia,
baik menurut kenyataan maupun menurut hukum. Kematian muwarrist
menurut para ulama fiqih, dibedakan menjadi tiga, yaitu: mati haqiqy
(sejati); mati secara hukum( berdasarkan keputusan hakim); mati taqdiry
(menurut dugaan).
3. Ahli Waris atau Waarist
Warits adalah orang yang akan mewarisi harta peninggalan si
muwarrits karena memenuhi sebab untuk mewarisi. Pengertian ahli waris
disini adalah orang yang mendapat harta waris , karena memang haknya
dari lingkungan keluarga pewaris. Namun, tidak semua keluarga dari
pewaris termasuk ahli waris. Demikian pula orang yang berhak menerima
harta waris mungkin saja diluar dari ahli waris.
Ahli waris dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu:21
A. Ashabul furud
Ashabul furud yaitu ahli waris yang mempunyai bagian harta
peninggalan yang sudah ditentukan oleh Al quran, As sunnah dan ijmak. 21 Moh. Muhibbin. Op.cit. hlm. 63.
34
Orang yang dapat mewarisi harta peninggalan dari yang sudah
meninggal dunia berjumlah 25 orang yang terdiri atas 15 orang laki-laki
dan 10 orang dari pihak perempuan.
Ahli waris dari laki adalah sebagai berikut:
1) Anak laki-laki
2) Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3) Ayah
4) Kakek (ayah dari ayah)
5) Saudara laki-laki sekandung
6) Saudara laki-laki seayah
7) Saudara laki-laki seibu
8) Keponakan laki-laki (anak laki-laki dari no.5)
9) Keponakan laki-laki (anak laki-laki dari no.6)
10) Saudara seayah (paman) yang seibu seayah
11) Saudara seayah (paman) yang seayah
12) Anak paman yang seibu seyah
13) Anak paman yang seayah
14) Suami
15) Orang laki-laki yang memerdekakannya.
Adapun ahli waris dari pihak perempuan ada 10 (sepuluh) orang,
yaitu:
1) Anak perempuan
2) Cucu perempuan dari anak laki-laki
35
3) Ibu
4) Nenek perempuan ( ibunya ibu)
5) Nenek perempuan (ibunya ayah)
6) Saudara perempuan yang seibu seayah
7) Saudara perempuan yang seibu
8) Saudara perempuan yang seayah
9) Istri
10) Orang perempuan yang memerdekakannya.
Apabila ahli waris diatas semuanya ada, maka yang mendapatkan
harta waris hanya anak perempuan, ibu, istri. Dan apabila ahli waris yang
jumlahnya 25 orang itu ada semuanya, maka yang berhak mendaptkan
harta warisan, adalah: ayah, ibu, anak laki-laki, anak perempuan, dan
suami/istri.
B. Ashabah
Kata ashabah secara bahasa adalah pembela, penolong,
pelindung, atau kerabat dari jurusan ayah. Ahli waris ashabah adalah ahli
waris yang bagiannya tidak ditentukan,tetapi bisa mendapat semua harta
atau sisa harta setelah dibagi kepada ahli waris, baginya berlaku:
a) Jika tidak ada kelompok ahli waris yang lain, maka semua harta waris
untuk ahli waris ashabah.
b) Jika ada ahli waris ashabul furud, maka ahli waris ashabah menerima
sisa dari ashabul furud tersebut.
36
c) Jika harta warisan telah dibagi habis oleh ahli waris ashabul furud maka
ahli waris ashabah tidak mendapat apa-apa.
Ahli waris ashabah terdiri dari orang-orang yang mempunyai
hubungan darah dari garis keturunan laki-laki, seperti anak laki-laki, ayah,
saudara laki-laki, kakek. Dalam keadaaan tertentu anak perempuan juga
mendapat ashabah apabila didampingi atau bersama saudara laki-lakinya.
Yang termasuk ashabah, yaitu:
1) Anak laki-laki
2) Cucu laki-laki
3) Bapak
4) Kakek
5) Saudara laki-laki sekandung
6) Saudara laki-laki seayah
7) Anak laki-laki saudara laki-laki kandung (keponakan)
8) Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak (keponakan)
9) Paman kandung
10)Paman sebapak
11) Anak laki-laki paman sekandung
12) Anak laki-laki paman sebapak
Ahli waris ashabah dibedakan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu:
1) Ashabah Binafsihi (Dengan Dirinya Sendiri)
Adalah ahli waris yang langsung menjadi ashabah dengan
sendirinya tanpa disebabkan oleh orang lain. Misalnya anak laki-laki, cucu
37
laki-laki dari anak laki-laki, ayah, saudara laki-laki sekandung. Mereka itu
dengan sendirinya boleh menghabiskan harta, setelah harta peninggalan
tersebut dibagikan kepada ashabul furudh.
2) Ashabah Bilghairi (Bersama Orang Lain)
Adalah perempuan yang menjadi ashabah beserta laki-laki yang
sederajat dengannya (setiap perempuan yang memerlukan orang lain
dalam hal ini laki-laki menjadikan ashabah dan secara bersama-sama
menerima ashabah). Kalau orang lain itu tidak ada, ia tidak menjadi
ashabah, melainkan menjadi ashabul furudh biasa, seperti : anak
perempuan beserta anak laki-laki, cucu perempuan beserta cucu laki-laki,
saudara perempuan sekandung beserta saudara laki-laki sekandung,
saudra perempuan sebapak beserta saudara laki-laki sebapak.
3) Ashabah Ma’al Ghairi (Karena Orang Lain)
Adalah orang yang menjadi ashabah disebabkan ada orang lain
yang bukan ashabah. Dalam hal ini, setiap perempuan yang memerlukan
orang lain untuk menjadikan ashabah, tetapi orang lain tersebut tidak
berserikat menerima ashabah. Orang lain tersebut tidak ikut menjadi
ashabah, tetapi kalau orang lain tersebut tidak ada maka ia menjadi
ashabul furud biasa, seperti saudara perempuan sekandung (seorang
atau lebih), bersama dengan anak perempuan (seorang atau lebih) atau
bersama dengan cucu perempuan (seorang atau lebih).
C. Dzawil Arham
38
Adalah kerabat yang bukan dzawil furudh dan bukan pula ashabah
Mereka dianggap kerabat jauh pertalian dengan nasabnya, yaitu:
a) Cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak perempuan.
b) Anak laki-laki dan anak perempuan dari cucu perempuan.
c) Kakek pihak ibu (bapak dari ibu).
d) Nenek dari pihak kakek (ibu kakek).
e) Anak perempuan dari saudara laki-laki (yang sekandung
sebapak maupun seibu).
f) Anak laki-laki dari saudara laki-laki ibu.
g) Anak (laki-laki dan perempuan) saudara perempuan (sekandung
sebapak atau seibu).
h) Bibi (saudara perempuan dari bapak) dan saudara perempuan
dari kakek.
i) Paman yang seibu dengan bapak dan saudara laki-laki yang
seibu dengan kakek.
j) Saudara laki-laki dan saudara perempuan dari ibu.
k) Anak perempuan dari paman.
l) Bibi pihak ibu (saudara perempuan dari ibu).
2. Syarat-Syarat Pewarisan
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pusaka-mempusakai
adalah sebagai berikut:22
1. Matinya muwarits
2. Hidupnya warits22 Otje Salman, 2006, Hukum Waris Islam, Refika Aditama, Bandung, hlm.4.
39
3. Tidak ada penghalang-penghalang mempusakai.
Adapun ketika syarat matinya muwarits dan hidupnya warits
terpenuhi, namun salah seorang dari mereka tidak dapat mewarisi harta
peninggalanya kepada yang lain, selama masih terdapat salah satu dari
penghalang mewaris, yaitu perbudakan, pembunuhan, perbedaan agama
(kafir).
G. Sebab-Sebab dan Halangan Waris-Mewarisi
1. Sebab-Sebab Timbulnya Kewarisan Dalam Islam
Menurut sayid sabiq, seseorang dapat mewarisi harta peninggalan
karena tiga hal, yaitu sebab hubungan kerabat/nasab, perkawinan dan
wala (pemerdekaan budak).23 Adapun pada literature hukum islam yang
lain disebutkan ada empat sebab hubungan seseorang dapat menerima
harta warisan dari seseorang yang telah meninggal dunia, yaitu:24
1. Hubungan Kekerabatan
Salah satu sebab beralihnya harta seseorang yang telah meninggal
dunia kepada yang masih hidup adalah adanya hubungan kekerabatan
antara keduanya yaitu hubungan nasab yang disebabkan oleh kelahiran.
Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang
mewariskan dengan yang mewarisi, dapat digolongkan yaitu:
23 Ibid, hlm.7224 Ibid.
40
a. Furu, yaitu akibat atau garis kebawah dari si pewaris.
b. Ushul, yaitu leluhur atau asal yang menyebabkan lahirnya si
pewaris,
c. Hawasyi, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si
meninggal dunia melalui garis menyamping, seperti suadara,
paman, bibi, dan anak turunnya dengan tidak membedakan
laki-laki atau perempuan.
2. Hubungan Perkawinan
Disamping hak kewarisan berlaku atas dasar hubungan
kekerabatan, juga berlaku atas dasar hubungan perkawinan dengan artian
suami menjadi ahli waris bagi istrinya dan istri menjadi ahli waris bagi
suaminya yang meninggal. Perkawinan yang menjadi sebab timbulnya
hubungan kewarisan antara suami dengan istri didasarkan pada dua
syarat berikut:
a. Perkawinan itu sah menurut syariat islam, artinya syarat dan rukun
perkawinan itu terpenuhi, atau antara keduanya telah belangsung
akad nikah yang sah, yaitu nikah yang telah dilaksanakan dan telah
memenuhi rukun dan syarat penikahan serta terlepas dari semua
halangan pernikahan walaupun belum kumpul (hubungan kelamin).
b. Perkawinanya masih utuh, artinya suami istri masih terikat dalam
perkawinan saat salah satu pihak meninggal dunia. Termasuk
dalam ketentuan ini, apabila salah satu pihak meninggal dunia,
sedangkan ikatan perkawinan telah putus dalam bentuk talak raj’I
41
dan perempuan masih dalam keadaan masa iddah. Seorang
perempuan yang sedang menjalani iddah talak raj’I masih berstatus
sebagai istri dengan segala akibat hukumnya, kecuali hubungan
kelamin (menurut jumhur ulama) karena halalnya hubungan
kelamin telah berakhir dengan adanya perceraian.
3. Hubungan Sebab Al-wala
Hubungan sebab al wala adalah hubungan waris-mewaris karena
kekerabatan menurut hukum yang timbul karana membebaskan budak,
sekalipun di antara mereka tidak ada hubungan darah.
Hubungan wala terjadi disebabkan oleh usaha seseorang pemilik
budak yang dengan sukarela memerdekakan budaknya. Dengan
demikian, pemilik budak tersebut mengubah status orang yang semula
tidak cakap bertindak, menjadi cakap bertindak untuk mengurusi, memiliki
dan mengadakan transaksi terhadap harta bendanya sendiri.
4. Hubungan Sesama Islam
Hubungan sesama Islam yang dimaksud disini terjadi apabila
seseorang yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris, maka harta
warisannya itu diserahkan kepada pembendaharaan umum atau yang
disebut baitul maal yang akan digunakan oleh umat islam. Dengan
demikian, harta orang islam yang tidak mempunyai ahli waris itu diwarisi
oleh umat islam.
2. Halangan Mewarisi/Hilangnya Hak Waris-Mewaris
42
Halangan mewaris merupakan hal-hal yang dapat menggugurkan
hak seseorang untuk mewaris karena adanya sebab atau syarat-syarat
mewaris yang tidak terpenuhi maka mereka tidak dapat menerima hak
waris. Hal-hal yang menyebabkan ahli waris kehilangan hak mewaris atau
terhalang mewaris adalah sebagai berikut:25
1) Perbudakan
Status seorang budak tidak dapat menjadi ahli waris, karena
dipandang tidak cakap mengurusi harta dan telah putus hubungan
kekeluargaan dengan kerabatnya. Bahkan ada yang memandang budak
itu statusanya sebagai harta milik tuannya. Dia tidak dapat mewariskan
harta peninggalanya, sebab ia sendiri dan segala harta yang ada padanya
adalah milik tuannya.
2) Pembunuhan
Tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap
pewarisnya menjadi penghalang baginya untuk mewaris harta warisan
pewaris yang dibunuhnya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 173 dikatakan bahwa seseorang
terhalang menjadi ahli warisan apabila dengan keputusan Hakim yang
telah mempunyai kekutan hukum yang tetap, dihukum karena:
1. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat pada pewaris.
25 Ibid, hlm. 75.
43
2. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan
bahwa pewaris telah melakukan suatau kejahatan yang diancam
dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
3) Berlainan Agama
Berlainan agama adalah adanya perbedaan agama yang menjadi
kepercayaan antara orang yang mewarisi dengan orang yang
mewariskan. Para ahli hukum Islam sepakat bahwa orang nonmuslim
tidak dapat mewarisi harta orang islam.
Apabila seorang ahli waris yang berbeda agama beberapa saat
sesudah meninggalnya pewaris lalu masuk islam, sedangkan peninggalan
belum dibagikan maka seorang ahli waris yang baru masuk islam tetap
terhalang untuk mewarisi, sebab timbulnya hak mewaris tersebut adalah
sejak adanya kematian orang yang mewariskan, bukan saat kapan
dimulainya pembagian harta peninggalan. Padahal pada saat kematian si
pewaris, ia masih dalam keadaan nonmuslim. Jadi, mereka dalam
keadaan berlainan agama.
H. Ahli Waris
Ahli waris atau disebut juga warits ialah orang yang berhak atas
harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal.26
1. Ahli Waris Kerabat Dekat
1. Ahli Waris Sababiyah26 Amir Syarifuddin, Op.cit, hlm. 212.
44
Ahli waris sababiyah terdiri dari suami dan istri dimana hubungan
pewarisan mereka disebabkan akad nikah. Apabila suami atau istri
meninggal dunia dalam masa ikatan perkawinan atau setelah cerai dari
perkawinan tetapi masih dalam masa iddah, mereka tetap saling mewaris.
Bagian warisan suami ada dua jenis yaitu ½ atau ¼, sedang bagian istri ¼
atau 1/8.27
Dasar hukumnya yaitu termuat dalam Al-Quran, surat Al-Nisa ayat
12 yang artinya:
“dan bagi (suami-suami) seperdua harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak , maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istir-istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat t yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu.
Bagiannya:28
a) Suami mendapat separuh kalau istri meninggal dengan tidak
meninggalkan anak atau cucu
b) Suami mendapat seperempat, kalau ada anak atau cucu
c) Istri (seorang atau lebih) mendapat seperempat jika tidak
meninggalkan anak atau cucu
d) Istri (seorang atau lebih) seperdelapan apabila ada anak atau cucu.
2. Ahli Waris Nasbiyah
27 Amin Husein Nasution, Op.cit. hlm. 11028 Ibid, hlm. 112.
45
Ahli waris nasabiyah terbagi kepada furu’al mayit, ushul al-mayit,
dan al-hawasyi.
a. Furu al-mayit
a). Anak
Anak yaitu manusia yang berposisi sebagai akibat yang disebabkan
hubungan antara sperma dan ovum dalam pernikahan yang sah atau
akibat subhat. Anak yang lahir sebagai akibat hubungan diluar nikah
atau zina, maka tidak termasuk anak yang sah bagi suami dari istri
yang melahirkannya, hanya anak dari ibu (istri) yang melahirkannya
saja. Demikian juga halnya anak yang dilahirkan melalui proses bayi
tabung dengan dengan mengambil sperma orang lain atau dititipkan
pada rahim orang yang bukan sebagai istrinya, maka anak tersebut
hanyalah anak dari ibu yang melahirkannya, bukan anak dari laki-laki
yang memberikan spermanya.29
Dalam Pasal 99 huruf a Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan:
anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat dari
perkawinan yang sah. Ini berarti bahwa anak yang sah ada dua jenis,
yaitu anak yang dilahirkan dalam pernikahan yang sah, atau anak
yang dilahirkan sebagai akibat dari perkawinan yang sah, walau baru
beberapa hari usia perkawinananya, atau proses kehamilan melalui
zina sebelum menikah, dinggap sebagai anak yang sah asal lahir
dalam perkawinan yang sah.30
29 Ibid, hlm. 113.30 Ibid, hlm .114.
46
Dasar hukum bagiannya termuat dalam Al-Quran surat Al-Nisa ayat
11 yang artinya:
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan atau lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan, dan jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh hartanya.”
Bagiannya:31
1. Anak laki-laki mendapat semua harta warisan jika tidak ada
pewaris lain dari padanya atau mendapat sisa harta bila ada
pewaris lain (ashabah binafsihi; dan telah manjadi ijma’ para
ulama).
2. Anak laki-laki dan anak perempuan bersama-sama maka untuk
anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan (mereka ashabah)
3. Anak perempuan apabila seorang diri tidak ada lainnya, mendapat
separuh dari harta warisan.
4. Anak perempuan, dua orang atau lebih dan tidak ada anak laki-
laki, mendapat 2/3 harta warisan.
b). Cucu
Cucu terdiri dari dua jenis, yaitu cucu laki-laki dan cucu perempuan.
Bagian cucu laki-laki sama dengan anak laki-laki, sedangkan bagian
cucu perempuan sama dengan bagian warisan anak perempuan.
Dasar hukumnya:32
31Amin Husein Nasution, Op.cit, hlm. 116.32 Ibid, hlm 118.
47
Surat Al-Nisa ayat 11 yang dimana salah satu kata dalam ayat
tersebut bermakna “anak-anakmu”, dalam bahasa arab digunakan
untuk pengertian anak laki-laki atau anak perempuan serta
keturunan seterusnya kebawah baik laki-laki maupun perempuan
dari keturunan laki-laki (bukan dari keturunan perempuan).
Bagiannya:33
1. Cucu laki-laki menempati kedudukan anak laki-laki bila tidak ada
anak laki-laki. Karena itu apabila ia seorang diri dan tidak ada
pewaris selainnya, maka ia mendapat semua harta atau mendapat
sisanya, bila ada ahli waris lainnya
2. Bila cucu laki-laki bersama cucu perempuan, maka bagian laki-laki
dua kali bagian cucu perempuan. Mereka bersama-sama menjadi
ashabah.
3. Cucu perempuan ,bila seorang diri dan tidak ada anak atau cucu
laki-laki, mendapat separuh.
4. Cucu perempuan, dua orang atau lebih, mendapat 2/3 bila tidak
ada anak atau cucu laki-laki.
5. Cucu perempuan, bila tidak ada anak laki-laki atau cucu laki-laki,
tetapi ada seorang anak perempuan, mendapat 1/6.
b. Ushul al-mayit
a) ibu dan ayah
ibu adalah wanita yang melahirkannya, baik melalui perkawinan
yang sah atau bukan, atau proses inseminasi buatan atau bayi 33 Ibid, hlm. 119.
48
tabung. Kesemuanya adalah anak dari ibu yang melahirkannya. Ayah
adalah suami dari ibu yang melahirkannya, dengan syarat proses
kelahirannya disebabkan perkawinan yang sah. Jika terjadi kelahiran
seorang anak dari istri yang sah, tetapi proses pembenihannya
melalui zina atau bayi tabung, maka anak itu hanyalah anak dari ibu
yang melahirkannya, bukan anak dari suaminya. Dengan demikian,
tidak ada hubungan nasab anak itu dengan suami ibunya.34
Dasar hukumnya: Al-Quran, surat Al-Nisa ayat 11 yang artinya:
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Bagiannya:35
1. Ayah mendapat 1/6 jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki.
2. Ayah mendapat 1/6 dan menjadi ashabah, jika ada anak
perempuan atau cucu perempuan dan tidak ada anak laki-laki atau
cucu laki-laki
34 Ibid, hlm.121.35 Ibid.
49
3. Ayah menjadi ashabah , jika tidak ada anak dan cucu.
4. Ibu dan ayah, untuk ibu 1/3 dan ayah menjadi ashabah, jika tidak
ada anak atau cucu dan tidak ada pula saudara dua orang atau
lebih. Apabila ada anak atau cucu atau saudara, dua orang atau
lebih, maka ibu mendapat 1/6.
5. Ibu dan ayah masing-masing mendapat 1/6, kalau ada anak atau
cucu.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 177, disebutkan bahwa ayah
mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak,
bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian. Adapun untuk
bagian ibu termuat dalam pasal 178, yaitu:
1. Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara
atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih,
maka ia mendapat sepertiga bagian.
2. Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh
janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah.
b) Kakek dan nenek
Kakek ialah ayah dari ayah atau ayah dari kakek dan seterusnya
keatas, sedangkan nenek yaitu ibu dari ayah dan/atau ibu dari ibu,
atau ibu dari kakek dan seterusnya ketas, atau ibu dari nenek dan
seterusnya keatas.36
Dasar hukumnya:37
36 Ibid, hlm. 124.37 Ibid.
50
1. Hadis riwayat Ahmad dan Abu Dawud dari ma’qil bin Yasar, yang
artinya
“ Rasulullah Saw. Menetapkan bagian kakek seperenam.”
2. Hadis riwayat Abu Daud dan Al-Nasai dari Ibnu Buraidah, yang
artinya:
“bahwa Nabi Saw. Menetapkan bagian nenek seperenam harta warisan jika tidak ada ibu.”
Bagiannya:38
1. Kakek mendapat 1/6 jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki, atau
ayah atau saudara kandung/seayah.
2. Kakek mendapat 1/6 dan menjadi ashabah, jika ada anak-anak
perempuan atau cucu perempuan dan tidak ada anak laki-laki,
atau cucu laki-laki, atau ayah, atau saudara kandung/seayah.
3. Kakek menjadi ashabah, jika tidak ada ayah, tidak ada anak, atau
cucu dan/atau saudara kandung/seayah
4. Bila kakek bersama saudara sekandung dan/atau seayah, maka
ada dua alternative (lihat pembahasan kakek bersama saudara)
5. Nenek dari pihak ibu mendapat 1/6 jika tidak ada ibu
6. Nenek dari pihak ayah mendapat 1/6, jika tidak ada ibu atau ayah.
c. Al-Hawasyi
a). Saudara sekandung atau seayah
Dasar hukumnya, termuat dalam dalam Al-Quran surat Al-Nisa (4)
ayat 176 yang artinya
38 Ibid, hlm. 125
51
“mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah Allah member ftwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta perempuan), jika ia tidak mempunyai anak, tapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang dinggalkanya oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan.
Bagiannya:39
1. Saudara laki-laki menjadi ashabah jka tidak anak laki-laki, cucu laki-
laki, ayah dan kakek
2. Saudara laki-laki dan perempuan (bersama-sama menjadi
ashabah), untuk saudara laki-laki dua kali bagian saudara
perempuan, apabila tidak ada anak laki-laki, ayah, cucu laki-laki
dan kakek.
3. Saudara perempuan sekandung mendapat ½ (Pasal 182 KHI) jika
seorang saja dan 2/3 jka dua orang atau lebih dengan ketentuan
tidak ada ayah, anak laki-laki atu cucu laki-laki dan tidak ada pula
saudara laki-laki sekandung yang akan menjadikan dia ashabah.
4. Saudara perempuan menjadi ashabah kalau ada anak perempuan
atau cucu perempuan dan tidak ada anak laki-laki, cucu laki-laki
ayah dan saudara laki-laki sekandung.
5. Saudara perempuan seayah mendapat ½ jka tidak ada anak laki-
laki, cucu laki-laki, ayah, saudra laki-laki sekandung, dua saudara
permpuan sekandung, dan saudara laki-laki seayah. Dan 39 Ibid, hlm. 128
52
seperenam jika ia bersama seorang saudara perempuan
sekandung dan tidak ada anak laki-laki, cucu laki-laki, ayah,
saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah. Dan
mendapat 2/3 jika mereka dua orang atau lebih dan tidak ada anak
laki-laki, cucu laki-laki, ayah, saudara laki-laki dan perempuan
sekandung, atau saudara laki-laki seayah yang akan menjadikan
dia ashabah.
6. Saudara perempuan seayah menjadi ashabah kalau ada anak
perempuan atau cucu perempuan. Demikian pula, ia menjadi
ashabah apabila bersama saudara laki-laki seayah, walaupun ada
saudara perempuan sekandung, seorang atau lebih dengan
ketentuan tidak ada ayah, anak laki-laki atau cucu laki-laki.
7. Jika sipewaris meninggalkan suami, ibu, saudara seibu dan
saudara sekandung, maka saudara seibu dan saudara sekandung
mendapat 1/3 dan dibagi rata di antar mereka. Masalh seperti ini
disebut “musyarakah” atau “ musytarakah”
b). Saudara seibu
Dasar hukumnya, termuat dalam Al-Quran Al-Nisa ayat 12, yang
artinya:
“jika seorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki seibu saja atau seorang saudara perempuan seibu saja maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu tidak itu lebih dari seorang maka besekutu dalam yang sepertiga itu.”
53
Bagiannya:40
1. Saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan bila seorang diri
mendapat 1/6.
2. Saudara seibu, laki-laki atau perempuan, dua orang atau lebih
mendapat 1/3 dan mendapat sama banyak (dibagi rata).
2. Ahli Waris Kerabat Jauh (Zawil Arham)
Zawil arham menurut pengertian bahasa ialah:41
1. Tempat menetap janin di dalam perut ibunya.
2. Setiap orang yang mempunyai hubungan kekeluagaan dengan
orang lain.
Dzawil arham ahli waris yang mempunyai hubungan nasab dengan
orang yang meninggal dunia, selain ashabul furud dan ashabah. Dengan
demikian , bagian zawil arham tidak diatur dalam Al-Quran maupun hadis
(dzawil furudh), serta tidak termasuk ashabah.42
Dzawil arham dapat dikelompokkan menjadi:43
1. Kelompok keturunan, yaitu:
a. Anak (laki-laki maupun perempuan) dari anak perempuan dan
seterusnya kebawah.
b. Anak (laki-laki maupun perempuan) dari cucu perempuan dan
seterusnya kebawah.
2. Kelompok orang yang menurunkan, yaitu:
40 Ibid, hlm. 129.41Ibid, hlm. 13942 Ibid. 43 Ibid, hlm. 140.
54
a. Ayah dari ibu dan ayah dari ayah ibu dan seterusnya keatas.
b. Ibu dari ayah ibu dan ibu dari ibu ayah ibu dan seterusnya keatas.
3. Kelompok anak dari keturunan saudara:
a. Anak (laki-laki/perempuan) dari saudara perempuan, baik
sekandung seayah atau seibu, serta keturunannya kebawah.
b. Anak perempuan dari saudara laki-laki kandung, seibu atau seayah
dan seterusnya kebawah.
c. Anak perempuan dari anak laki-laki saudara laki-laki kandung
seayah atau seibu dan seterusnya kebawah
d. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, dan seterusnya kebawah.
4. Kelompok anak keturunan kakek dan nenek, yaitu:
a. Paman (saudara laki-laki ayah)
b. Saudara perempuan dari ayah baik kandung, seayah, atau seibu
dan seterusnya ke bawah
c. Anak perempuan dari paman baik sekandung , baik seayah
ataupun seibu dan seterusnya kebawah
d. Saudara laki-laki dari ibu baik sekandung, seayah ataupun seibu
dan keturunanya kebawah.
e. Saudara perempuan dari ibu baik kandung, seayah atau seibu dan
keturunannya kebawah.
3. Orang Tua
Diantara sebab beralihnya harta seseorang yang telah mati kepada
yang masih hidup adalah adanya hubungan kekeluargaan atau
55
kekerabatan antara keduanya. Hubungan kekerabatan ditentukan oleh
adanya hubungan darah yang ditentukan pada saat adanya kelahiran.
Pada tahap pertama seseorang anak menemukan hubungan
kerabat dengan ibu yang melahirkannya yang bersifat alamiah dan tidak
ada seorang pun yang membantah hal ini karena si anak jelas keluar dari
rahim ibunya itu ( Yusuf Musa, 1967, hlm. 14.). Memang menurut
biasanya dan secara alamiah anak yang dilahirkan seorang ibu berasal
dari bibit ibu itu sendiri yang berpadu dengan bibit sang ayah sehingga
dapat dikatakan bahwa ibu yang melahirkan adalah ibu yang punya bibit.
Dengan berlakunya hubungan anak dengan ibu yang melahirkannya itu
dengan sendirinya terjalin hubungan kekerabatan.
Pada tahap selanjutnya seseorang mencari hubungan pula dengan
laki-laki yang menyebabkan ibunya itu hamil dan melahirkan. Bila dapat
dipastikan secara hukum bahwa laki-laki yang menikahi ibunya itu yang
menyebabkan ibunya hamil dan melahirkan, maka hubungan kekerabatan
berlaku pula dengan laki-laki itu.
Dalam hubungan kekerabatan tersebut diatas yang dapat dijadikan
mazhinnah-nya adalah akad nikah yang sah, yang telah berlaku antara
seorang laki-laki dan ibu yang melahirkan anak tersebut. Selanjutnya,
akad nikah tersebut yang menjadi faktor penentu hubungan kekerabatan
itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hubungan kekerabatan
berlaku antara seorang anak dengan seorang laki-laki sebagai ayahnya,
56
bila anak tersebut lahir dari hasil atau akibat perkawinan yang berlaku
antara si laki-laki dan ibu yang melahirkannya. 44
Menurut hukum waris islam ahli waris adalah orang yang ada
hubungan dengan pewaris dalam kaitan dengan perkawinan atau ada
hubungan keturunan. Sedangkan anak luar kawin tidak termasuk sebagai
ahli waris. Selain itu kedudukan orang tua ditempatkan sebagai orang
yang perlu dihormati dan dimuliakan. Sebagai penghormatan kepada
orang tua, sudah selayaknya mereka tidak pernah disisihkan sebagai ahli
waris, walaupun pewaris meninggalkan anak dan istri atau suami. Pasal
174 ayat 2 KHI menentukan bahwa apabila semua ahli waris ada, maka
yang berhak mendapat warisan hanya: anak , ayah, ibu, janda, atau
duda.45
Penunjukkan ayah sebagai ashobah berpedoaman kepada dalil
naqly baik Al-Qur’an maupun hadist Nabi yaitu Surah An-nisa ayat 11,
yang artinya: “ tetapi apabila si mati tidak mempunyai anak dan yang jadi
ahli warisnya ibu dan ayah, maka ibu mendapat sepertiga.”
dan bukhari, muslim, yang artinya:
“serahkanlah ahlimu yang berhak maka sebagian bagian itu kepada
lebihnya itu, adalah untuk laki-laki yang lebih dekat (hubungan
kekerabatannya) kepada si amati.” (Bukhari, muslim dan lainnya)
44 Ibid, Amir Syarifuddin, hlm. 177.
45 Afdol, 2006, Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil, Surabaya: Airlangga University Press, hlm. 76.
57
Menurut dalil naqly tersebut diatas, ayah menjadi ‘ ashobah bagi
harta warisan yang ditinggalkan oleh anaknya. Ayah menghabisi harta
warisan tersebut setelah diberikan sepertiga untuk ibu. Apabila si mati
tidak meninggalkan anak laki-laki atau cucu laki-laki, maka ayah menjadi
‘ashobah dengan alasan karena pada saat itu ayah adalah laki-laki yang
paling dekat hubungan kekerabatannya dengan si mati.
Ibu termasuk ahli waris, maka dari itu apabila seseorang meninggal
dunia dan ia meninggalkan ibu maka bagian ibu sebagai berikut:
1. Ibu mendapat bagian 1/3 (sepertiga). Jumlah ini akan tetap apabila
si mati hanya meninggalkan ibu atau meninggalkan ibu dan ayah;
disamping itu tidak ada ahli waris lain. Ketentuan ini didasarkan
kepada surah An-Nisa ayat 11, yan artinya: “akan tetapi si mati
tidak meninggalkan anak, sedangkan yang jadi ahli warisnya
adalah ayah dan ibu, maka bagian untuk ibu sepertiga”.
2. Ibu mendapat bagian 1/6 (seperenam). Bagian seperenam bagi
terjadi dalam dua komposisi, yakni:
a. Disamping ibu, ada pula anak atau cucu;
b. Disamping ibu, ada pula saudara dua orang atau lebih.
Ketentuan 1/6 bagi ibu berdasarkan surah An-Nisa ayat 11, yang
artinya: “ dan untuk kedua ayah ibunya untuk masing-masing
mereka seperenam dari yang ditinggalkan (oleh anaknya) apabila
anak tersebut mempunyai anak.”
58
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Dalam menyusunan skripsi ini penulis melakukan penelitian di
Kabupaten Bone untuk pengumpulan data primer. Adapun lokasi dalam
pengumpulan data primer, yaitu:
1. Pengadilan Agama Kabupaten Bone
2. Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Bone
3. Kecematan Dua Boccoe Kabupaten Bone
4. Kecematan Tellu Siattinge Kabupaten Bone
5. Kecematan Awangpone Kabupaten Bone
6. Kecematan Palakka Kabupaten Bone
7. Kecematan Tenete Riattang Barat Kabupaten Bone
Lokasi dalam tahap pengumpulan data sekunder, yaitu:
1. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
59
2. Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin
Tempat-tempat tersebut dipilih oleh penulis dikarenakan kemudahan
akses dan tersedianya berbagai literatur yang diperlukan penulis di
tempat-tempat tersebut.
B. Jenis Dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penulisan ini adalah sebagai
berikut:
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh melalui wawancara
kepada pihak-pihak yang terkait dengan pembahasan dalam
tulisan ini.
2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui penelitian
kepustakaan (library research), karya-karya ilmiah, dan artikel-
artikel lain yang berkaitan dengan permasalahan yang akan
diteliti.
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis untuk
meneliti yaitu:
1. Teknik wawancara
Yaitu mengumpulkan data secara langsung melalui Tanya
jawab berdasarkan daftar pertanyaan yang telah disiapkan dan
melakukan wawancara untuk memperoleh data dan informasi
kepada hakim, ulama dan masyarakat.
2. Teknik dokumentasi
60
Yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan mempergunakan
dokumen-dokumen, catatan-catatan, laporan-laporan, dan
bahan-bahan yang relevan dengan permasalahan yang
dibahas.
D. Analisis data
Data yang diperoleh dari penelitian, baik data primer maupun
sekunder kemudian diolah dan dianalisa dengan menggunkan teknik
analisis kualitatif kemudian menyajikan hasilnya secara deskriptif yaitu
dengan menjelaskan, menguraikan dan menggambarkan sesuai dengan
permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini.
61
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penerapan Hukum Waris Islam Mengenai Orang Tua Sebagai Ahli
Waris
Membahas mengenai realitas atau praktek yang terjadi dalam
masyarakat dalam hal pembagian warisan, maka terlebih dahulu ditinjau
dari teori atau aturan yang mengatur sebagaimana mestinya. Al-Qur’an
sebagai sumber hukum Islam tertinggi yang bersifat universal bagi seluruh
umat Islam yang tidak terbatasi oleh ruang dan waktu, yang mengatur
berbagai macam aturan bagi manusia untuk bertindak yang dengannya
dapat membedakan antara baik dengan buruk, benar atau salah, yang
akan membawanya pada suatu titik yaitu kesempurnaan.
Dalam hukum Islam ruang lingkupnya diklasifikasi ke dalam
beberapa kelompok, salah satunya mengenai munakahat atau biasa
disebut hukum keluarga yang terdiri beberapa bagian pembahasan dan
salah satunya mengenai hukum kewarisan yang mengatur peralihan harta
62
dari seorang pewaris kepada yang diwariskan/ahli waris, hukum tersebut
termuat dalam Al-Qur’an dalam sistematika pembagiannya yang terkait
dengan beberapa asas yang salah satunya yaitu asas ijabari. Asas ijabari
mengacu pada tiga aspek yaitu:46
1. Segi peralihan harta, baik laki-laki maupun perempuan telah
memiliki hak dari harta peninggalan orang tua dan karib
kerabatnya. Sejumlah harta yang ditinggalkan pewaris, disadari
atau tidak, telah terdapat hak ahli waris. Dalam hal ini pewaris
tidak perlu menjanjikan akan memberikan sebelum ia meninggal,
begitu pula ahli waris tidak perlu meminta haknya.
2. Segi jumlah harta yang beralih, bagian ahli waris dalam harta
warisan sudah jelas ditentukan, hingga pewaris maupun ahli
waris tidak mempunyai hak untuk menambah atau
menguranginya. Pembagian warisan sudah ditentukan atau
diperhitungkan jumlahnya.
3. Segi kepada siapa harta itu beralih, berarti bahwa orang-orang
yang berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan.
Membahas mengenai siapa-siapa yang berhak atas harta
peninggalan dari pewaris, telah diatur dalam Al-Qur-an. Ayat-ayat yang
berkaitan dengan masalah kewarisan, diantaranya yaitu:
a. Surah An-Nisa ayat 7, yang artinya:
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian
46 Rachmadi Usman, 2009, Hukum kewarisan Islam Dalam Dimensi KHI, CV. Mandar Maju, Bandung, hlm. 34.
63
(pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”
b. Surah An-Nisa ayat 11, yang artinya:
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
c. Surah An-Nisa ayat 12, yang artinya:
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
64
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”
d. Surah An-Nisa ayat 176, yang artinya:
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Selain aturan dalam Al Qur’an dari penjelasan sebelumnya, orang
tua sebagai ahli waris juga disebutkan dalam KHI Pasal 174 Ayat (2)
bahwa apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat
warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda. Dari uraian tersebut,
dapat diketahui bahwa bagaimanapun kondisi keluarga dari pewaris baik
dengan anggota keluarga lengkap maupun tidak, posisi orang tua tetap
menjadi ahli waris.
Meskipun hal tersebut adalah hukum Allah yang menuntut kepatuhan
umat Islam untuk melaksanakannya sebagai bentuk keberimanan
seseorang, namun dalam realitasnya tidak berjalan sebagaimana
mestinya sesuai dengan aturan yang ada. Peralihan harta warisan kadang
menimbulkan berbagai permasalahan diantara ahli waris, harta warisan
65
baru akan dibagi setelah sekian lama pewaris meninggal dunia sehingga
mengakibatkan kedudukan harta tidak jelas dan memberikan peluang
lebih besar untuk timbul masalah yang baru.
Dari hasil penelitian kepada beberapa responden dari lima
kecematan di Kabupaten Bone yaitu orang tua berposisi sebagai ahli
waris dari anaknya yang telah meninggal, dalam hal kewarisan tidak
mendapat hak sebagaimana jumlah yang telah diatur dalam surah An-nisa
ayat 11 yaitu untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan
ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika
yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam, pembagian-pembagian tersebut sesudah dipenuhi
wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya .
Tidak terpenuhinya jumlah yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an,
bukan berarti kedudukan orang tua menjadi tidak berharga dan tidak
dipedulikan lagi oleh keluarga yang ditinggalkan. Selain dari itu,
ketidaktahuan dari sebuah keluarga mengenai pembagian warisan
menjadi faktor utama tidak sesuainya antara teori dengan realitas.
Dalam masyarakat, pembagian harta warisan dilakukan secara
musyawarah oleh anggota keluarga yang ditinggalkan dengan tetap
menjaga jalinan silahturahmi, namun kadang kala untuk memperkecil
kemungkinan terjadinya pertikaian antar anggota keluarga, sipewaris
66
sebelum meniggal dunia terlebih dahulu telah membagikan hartanya
kepada ahli warisnya dengan beberapa pertimbangan tersendiri.
Seperti yang terjadi pada keluarga salah satu responden yaitu
Jumadi selaku pewaris yang meninggalkan Tahi (ibu), dan 4 anaknya.
Jumadi sebelum meninggal telah membagikan hartanya kepada anak-
anaknya, hal tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi perselisihan diantara
anak-anaknya. Namun posisi ibunya sebagai ahli waris secara hukum
Islam telah terlupakan untuk mendapatkan warisan sebesar 1/6 bagian
dari harta yang ditinggalkan. Adapun bagian yang diberikan kepada
anaknya didasarkan pada siapa yang telah merawat dan tinggal
bersamanya semasa hidupnya. Hal tersebut diungkapkan oleh Tahi
selaku ibu dan Jumria selaku anak.47
Kondisi tersebut bukan berarti ibu (Tahi) telah ditelantarkan dengan
tidak memberikan harta warisan sebagaimana yang telah diatur dalam Al-
Qur’an maupun dalam Kompilas Hukum Islam. Ibu si pewaris tetap diurus
dan dirawat oleh anak pewaris dan memungkin jumlah kebutuhan dan
perawatan ibunya lebih besar dari jumlah yang seharusnya diterima ketika
ingin didasarkan pada pasal 178 ayat 1 KHI, yaitu ibu mendapat
seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih, bila tidak
ada anak atau dua orang saudara atau lebih maka ia mendapat sepertiga
bagian.
Mengenai masalah tersebut juga diungkapkan oleh Fathurahman
selaku ulama di Kabupaten Bone, bahwa ketika hak orang tua tidak 47 Wawancara tanggal 7 juli 2012.
67
terpenuhi tidak ada masalah selama pembagian tersebut berdasarkan
kerelaan dan kesepakatan dan anak tetap mengurus dan memenuhi
kebutuhan orang tuanya, meskipun tidak sesuai dengan pembagian
warisan dan hal tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam.48
B. Kultur Masyarakat dalam Pembagian Warisan Kaitannya Orang
Tua Sebagai Ahli Waris.
Berlakunya suatu sistem hukum dalam masyarakat sangat
dipengaruhi sejauh mana pengetahuan dan pemahaman suatu
masyarakat terhadap suatu sistem hukum yang kemudian akan
diaplikasikan dalam suatu sikap kepatuhan terhadap aturan yang ada.
Pengetahuan dan pemahaman hukum dimaknakan sebagai pengetahuan
seseorang mengenai aturan dalam bertingkah laku, pemahaman
terhadap isi dan tujuan dari suatu peraturan dalam suatu hukum tertentu,
tertulis maupun tidak tertulis, serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang
kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut. Dalam hal pemahaman
hukum, tidak diisyaratkan seseorang harus terlebih dahulu mengetahui
adanya suatu aturan tertulis yang mengatur sesuatu hal. Akan tetapi yang
dilihat disini adalah bagaimana persepsi mereka dalam menghadapi
berbagai hal, dalam kaitannya dengan norma-norma yang ada dalam
masyarakat. Persepsi ini biasanya diwujudkan melalui sikap mereka
terhadap tingkah laku sehari-hari.49
48 Wawancara tanggal 9 Juli 2012
49 Otje salman, Op.cit. Hlm 43.
68
Dari tingkah laku yang sering dilakukan, dalam hal ini mengenai
suatu tindakan yang diterapkan dalam suatu kondisi kemudian menjadi
kebiasaan/kultur masyarakat yang nantinnya akan berbeda dengan kultur
kelompok masyarakat yang lain, yang secara turun-temurun akan
dilaksanakan yang mungkin akan berbeda dengan apa yang telah diatur.
Kehidupan masyarakat Indonesia sangat beraneka ragam. Hal ini
tergambar jelas dengan banyaknya golongan kemasyarakatannya,
terutama yang menyangkut sifat kemasyarakatannya. Pada garis
besarnya masyarakat Indonesia bersifat kebapakan, keibuan, dan
kebapak-ibuan. Adapun yang bersifat kebapakan disebut masyarakat
patrilineal, yang bersifat keibuan disebut masyarakat matrilineal dan yang
bersifat keibu-bapakan disebut masyarakat parental. Sifat yang terakhir
inilah yang meletakakkan dasar-dasar persamaan kedudukan antara
suami-isteri didalam keluarga masing-masing. Maksudnya ialah istri
menjadi anggota keluarga suami, demikian pula suami karena
perkawinannya tersebut menjadi anggota keluarga isteri.50
Adanya ketiga sifat tersebut, memiliki kaitan yang sangat erat
dengan masalah kewarisan. Maksudnya ialah sistem waris yang berlaku
dalam masyarakat patrilineal, matrilineal dan parental satu sama lain
menunjukkan adanya perbedaan. Dalam hal ini tampak jelas adanya
perbedaan hukum waris yang berlaku bagi tiap-tiap masyarakat tersebut.
Secara umum dapat dipahami bahwa dalam masyarakat yang bersifat
kebapakan, setiap orang baik laki-laki maupun perempuan menarik garis 50 Sudarsono, Op.cit, Hlm. 9.
69
keturunannya keatas hanya melalui penghubung laki-laki sebagai penentu
garis keturunan. Adapun di dalam masyarakat yang bersifat keibuan
setiap orang menarik garis keturunannya secara garis lurus ke atas
melalui penghubung yang perempuan saja. Sedangkan di dalam
masyarakat yang bersifat keibu-bapakan, setiap orang menarik garis
keturunan tersebut seimbang baik melalui garis ibu maupun melalui garis
bapak.51
Terkait dengan masalah kewarisan, telah diketahui terdapat tiga
sistem hukum yang mengaturnya yaitu hukum waris barat (BW), hukum
waris Islam, dan hukum waris adat. Untuk masyarakat bergama Islam
khusus diatur dalam dalam hukum waris Islam, dimana sumber hukum
yang paling tinggi adalah Al-Qur’an, selain dari Al-Qur’an di Indonesia
Kompilasi Hukum Islam atau yang biasa disebut dengan KHI menjadi
rujukan bagi para hakim untuk memutus sebuah perkara.
Warga Negara Indonesia asli yang beragama Islam, dapat
menundukkan diri pada hukum waris adat yang terbagi dalam sifat hukum
yang cukup beragam yaitu sifat kebapakan, sifat keibuan dan sifat
kebapak-ibuan. Keberagaman tersebut tidak terlepas dari sifat etnis yang
tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat.
Dari hasil penelitian diketahui terdapat suatu kebiasaan yang hidup
dalam lingkungan masyarakat, dimana dalam hal kewarisan, pengalihan
harta yang ditinggalkan pewaris kepada anggota keluarga yang berhak
menjadi ahli waris tidak serta merta langsung dilakukan pembagian harta 51 Ibid
70
warisan sepeninggal pewaris, bahkan para ahli waris tidak mengetahui
jumlah bagiannya dan siapa yang berhak atas harta yang ditinggalkan
pewaris, termasuk orang tua yang tidak mengetahui hak yang dimilki atas
harta anaknya.
Pembagian warisan hanya dilakukan secara musyawarah tanpa
mengetahui hak masing-masing ahli waris. Sebagaimana disebutkan
dalam pasal 183 KHI bahwa para ahli waris dapat bersepakat melakukan
perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing
menyadari bagiannya. Namun dalam realitasnya, banyak masyarakat
yang tidak mengetahui masalah hukum kewarisan, termasuk jumlah
bagian masing-masing ahli waris yang harus diterima dari harta yang
ditinggalkan pewaris.
Menurut Abd. Latief Amien, Ketua MUI Kabupaten Bone, dalam
pembagian warisan secara kekeluargaan dalam masyarakat Kabupaten
Bone, intinya “mappadaelo” dari semua ahli waris yang berhak atas harta
peninggalan. Adapun pembagian tersebut tetap mempertimbangkan
kemampuan atau penghasilan setiap ahli waris. Ketika salah satu ahli
waris sudah merasa cukup dengan harta yang telah dimilkinya maka
warisan yang seharusnya menjadi haknya diberikan secara sukarela
kepada ahli waris lain yang lebih membutuhkan. Pembagian tersebut
lebih baik dibanding mengikuti aturan dengan porsi sebagaimana
mestinya.52
52 Wawancara tanggal 17 September 2012
71
Berdasarkan wawancara kepada hakim di pengadilan Agama
Kabupaten Bone, salah satunya dengan Sumardi, yaitu53 pembagian
warisan tanpa melalui pengadilan bisa saja meskipun jumlah yang
diterima tidak sama dengan jumlah yang seharusnya diterima, karena
bagaimanapun perdamaian yang paling utama. Sebagaimana sabda
Rasulullah, yang artinya:
“Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan silahturrahim.
(HR Bukhari 5984 dan muslim 2556)”.
Selanjutnya, Sumardi menambahkan bahwa perdamaian yang lahir
dari kesepakan dari keluarga merupakan putusan yang paling tinggi
nilainya karena dengan damai tidak akan ada pihak yang merasa
dirugikan, berbeda halnya ketika suatu masalah diselesaikan melalui
putusan pengadilan, akan ada pihak yang merasa dirugikan atas
keputusan tersebut.
Adapun ketika ahli waris yang lain merasa dirugikan atas keputusan
yang telah dibuat, dapat mengajukan tuntutan ke Pengadilan Agama
setempat, maka harta peninggalan tersebut akan dibagi sesuai aturan
yang ada dan semua kerabat yang berhak menjadi ahli waris akan
mendapat bagiannya termasuk orang tua meskipun posisi orang tua tidak
menjadi penuntut bahkan orang tua tersebut tergolong tergugat.
Muchlis hakim pengadilan Agama Kabupaten Bone juga
menambahkan pendapat dari Sumardi bahwa perdamaian merupakan hal
yang tertinggi dan dapat mengesampingkan bagian yang seharusnya 53Wawancara tanggal 4 Juli 2012
72
diterima oleh para ahli waris. Ketika suatu perkara hendak diselesaikan
melalui pengadilan tanpa terkecuali termasuk masalah kewarisan, terlebih
dahulu diupayakan mediasi melalui mediator yang ditunjuk oleh hakim
untuk mendamaikan para pihak. Hal tersebut beradasarkan dengan
peraturan Mahkama Agung Republik Indonesia No.1 Tahun 2008 tentang
prosedur mediasi di pegadilan.54
C. Penyebab Tidak Adanya Orang Tua yang Mengajukan Tuntutan
Hak Waris Atas Harta Anaknya
Manusia sebagai makhluk yang diciptakan Allah SWT sebagai
khalifah di muka bumi yang memilki kedudukan paling tinggi di antara
makhluk hidup yang lain, memilki tugas dan tanggung jawab atas
keberlangsungan kehidupan di jagad raya ini. Maka dari itu terjalin sebuah
hubungan yang tidak hanya horinsontal yaitu hubungan sesama mahkluk
hidup tetapi juga hubungan vertikal yaitu kepada Tuhan dimana manusia
akan mempertanggungjawabkan segala apa yang telah dikerjakannya
didunia ini kepada Allah SWT, sebagai konsekunsi atas apa yang telah
dipilih semasa hidupnya.
Sebagaimana telah diketahui bahwa Allah SWT, telah
memberlakukan aturan atau sebuah petunjuk yang akan mengarahkan
manusia untuk menuju jalan keselamatan baik dunia maupun akhirat.
Seperti halnya mengenai kewarisan telah termuat dalam Al Qur'an aturan
dalam pembagiannya termasuk siapa yang menjadi ahli waris yang akan
54 Wawancara tanggal 4 juli 2012.
73
melahirkan hak dan tanggung jawab satu sama lain antara pihak yang
terkait.
Pemenuhan sebuah hak seseorang menjadi suatu kewajiban
sebagai bentuk pemenuhan tanggung jawab yang terlebih lagi ketika hak
tersebut telah ditentukan oleh Allah SWT yang termuat dalam kitab suci
Al-Qur’an pada surah An-Nisa ayat 11 mengenai hak orang tua sebagai
ahli waris atas harta anaknya, adapun arti dari ayat tesebut yaitu:
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Orang tua tidak dapat menuntut haknya untuk memperoleh harta
warisan apabila terhalangi beberapa sebab meskipun tergolong dalam
sebab hubungan untuk menjadi ahli waris terpenuhi. Adapun sebab
hubungan seseorang dapat menerima harta warisan dari seseorang yang
telah meninggal dunia dan halangan mewarisi atau hilangnya hak waris-
mewaris, yaitu:
74
Sebab hubungan :
1. Hubungan Kekerabatan, dapat digolongkan yaitu:
b. Furu, yaitu akibat atau garis kebawah dari si pewaris.
c. Ushul, yaitu leluhur atau asal yang menyebabkan lahirnya si
pewaris,
d. Hawasyi, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si
meninggal dunia melalui garis menyamping, seperti suadara,
paman, bibi, dan anak turunnya dengan tidak membedakan
laki-laki atau perempuan.
2. Hubungan Perkawinan
3. Hubungan Sebab Al-wala
4. Hubungan Sesama Islam.
Hilangnya hak waris-mewaris :
1. Perbudakan
Status seorang budak tidak dapat menjadi ahli waris, karena
dipandang tidak cakap mengurusi harta dan telah putus
hubungan kekeluargaan dengan kerabatnya.
2. Pembunuhan
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 173 dikatakan bahwa
seseorang terhalang menjadi ahli warisan apabila dengan
keputusan Hakim yang telah mempunyai kekutan hukum yang
tetap, dihukum karena:
75
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh
atau menganiaya berat pada pewaris.
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan
pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatau kejahatan
yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau
hukuman yang lebih berat.
3. Berlainan agama
Berlainan agama adalah adanya perbedaan agama yang
menjadi kepercayaan antara orang yang mewarisi dengan orang
yang mewariskan. Para ahli hukum Islam sepakat bahwa orang
nonmuslim (kafir) tidak dapat mewarisi harta orang islam.
Ketika sebab hubungan untuk menjadi ahli waris terpenuhi dan
sebab terhalangnya tidak terpenuhi, maka orang tua memiliki hak untuk
menuntut atas apa yang seharunya menjadi milknya dari harta yang
ditinggalkan oleh anaknya.
Dengan melihat kondisi masyarakat sekarang ini yang memilki
kebutuhan dan keinginan yang semakin meningkat, mengharuskan untuk
memperoleh jumlah penghasilan yang tinggi pula dan menuntut
seseorang untuk bekerja keras dan mencari jalan keluar dalam
pemenuhannya, termasuk dengan cara menuntut harta atas hak yang
seharusnya diperoleh dari harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris.
Namun hal tersebut tidaklah terjadi bagi semua orang. Seperti yang terjadi
76
pada masyarakat di Bone sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel
berikut:
Tabel daftar penyelesaian pembagian warisan dimana orang tua
sebagai ahli waris.55
NO PEWARIS AHLI WARIS YANG MEMPERMASALAHKAN
PENYELESAIAN
1. H. Deppawello H.Tima (orang tua);Akdar (anak)
H.Tima (orang tua) Kekeluargaan
2. Jumadi Tahi(orang tua); , Jumria,Ani, Neni, Baharuddin(anak)
Ani, Neni (anak) Kekeluargaan
3 Udding Da’da(orang Tua); Juma (istri)
Tidak ada Kekeluargaan
4. Rostang Pallu , Sakka (orang tua); Hj. Senna (istri); 7 anak
Tidak ada Kekeluargaan
5. Zainudding Ambo Lu, Sitti (orang tua); Sabri
(anak)
Tidak ada Kekeluargaan
6. A. Iqbal H.A. Abdullah, Hj.A.Aseng (orang
tua)
TTidak ada Kekeluargaan
7. Sumarni Taya, Aripudding (orang tua)
Tidak ada Kekeluargaan
8. Suhardi Yaco, Hanatang (orang tua);
Tidak ada Kekeluargaan
9. Nurhayati Muh. Hasby Kuraga (orang tua)
Tidak ada Kekelurgaan
10. Jamila A. Okeng, H.Hamdi (orang tua); A.Kasmiati,
A.Rahmang,A.reski (anak)
Tidak ada Kekeluargaan
Pada tabel di atas, terlihat dimana tidak ada satupun orang tua yang
mengajukan tuntutan ke Pengadilan Agama setempat untuk memperoleh
harta warisan yang ditinggalkan oleh anaknya. Adapun 2 keluarga yang
55 Sumber: Hasil wawancara penulis dengan masyarakat Kabupaten Bone.
77
mempermasalahkan atas pembagian harta warisan yaitu kelurga H.Tima
selaku orang tua dan kelurga Ani dan Neni selaku anak. Alasan H.Tima
untuk medapatkan bagian yaitu untuk diserahkan kepada cucu yang telah
merawatnya. Dari ke-2 keluarga tersebut tetap memilih untuk
menyelesaikannya secara kekelurgaan tanpa melalui Pengadilan Agama
Kabupaten Bone.
Orang tua tidak mengajukan tuntutan dapat didasarkan pada
beberapa alasan, yaitu :
1. Kurangnya pengetahuan atas hak yang dimilki dari harta
anaknya.
2. Ingin tetap menjaga jalinan silahturahmi.
3. Orang tua merasa bahagia ketika anak-anaknya bahagia.
4. Kebutuhan orang tua tidak sebanyak kebutuhan anaknya.
5. Tidak adanya kemampuan untuk mengurus dan mengolah harta
peninggalan anaknya.
Seperti halnya yang terjadi pada Tahi (orang tua) yang tidak
memperoleh 1/6 bagian dari harta warisan yang ditinggalkan anaknya.
Warisan tersebut hanya diserahkan kepada cucunya untuk dikelola dan
dimanfaatkan sebaik-baiknya. Pada awalnya Tahi tidak mengetahui
bahwa ia memilki bagian dari harta warisan tersebut, namun ketika
mengetahui hal tersebut, Tahi merasa tidak dirugikan dan ikhlas atas apa
yang menjadi keputusan cucu-cucunya, baik keputusan tersebut
menginginkan Tahi untuk memperoleh bagian sebagaimana adanya
78
maupun tidak, Tahi akan tetap mengikutinya selama keputusan tersebut
dapat membawa kedamaian dan jalin silaturahmi antar keluarga tetap
terjaga.
Yunus, K. selaku hakim Pengadilan Agama Kabupaten Bone
menambahkan bahwa mengenai harta warisan dalam penyelesaiannya
melalui pengadilan dapat dilakukan, yaitu:56
1. Pembagian harta warisan melalui sengketa.
Pengajuan ini didasarkan atas adanya ahli waris yang merasa
dirugikan atas pembagian harta peninggalan pewaris. Para pihak
ada yang berstatus pengugat dan tergugat. Pengadilan agama
akan menetapkan putusan yang bersifat mengikat bagi semua
pihak terkait untuk tunduk pada keputusan tersebut.
2. Tanpa sengketa.
Pengajuan tersebut tersebut hanya berupa penentuan ahli waris
yang berhak, dan semua pihak berstatus sebagai pemohon.
Permohonan tersebut biasanya dilakukan karena adanya
kepentingan tertentu yang mengharuskan agar melampirkan
putusan dari pengadilan berupa penentuan siapa yang berhak
menjadi ahli waris dari harta yang bersangkutan. Pengadilan
agama akan mengeluarkan ketetapan berupa Permohanan
Penetapan Pembagian Harta Peninggalan (P3HP).
Adapun syarat-syarat untuk membuat P3HP adalah sebagai berikut :
1. Melampirkan foto copy KTP56 Wawancara tanggal 4 Juli 2012.
79
2. Membawa surat pernyataan ahli waris
3. Surat keterangan Kematian
4. Surat nikah
5. Deskripsi silsilah keluarga
6. Foto copy surat-surat yang berhubungan dengan objek harta
peninggalan pewaris.
Surat keterangan kematian dan surat keterangan ahli waris dibuat di
kelurahan/kecematan setempat. Syarat mengurus surat kematian, yaitu: 57
1. Surat keterangan RT/RW
2. Surat keterangan Kematian dari Rumah Sakit
3. Fotocopy Kartu Keluarga / Kartu Tanda Penduduk yang dilegalisir
oleh Lurah
4. Surat Keterangan Tamu/KIPEM bagi yang bukan penduduk
Propinsi DKI Jakarta
5. Surat Keterangan Pendaftaran Penduduk Tetap (SKPPT) bagi
penduduk WNA
6. Surat Keterangan Pendaftaranang Penduduk Sementara
(SKPPS) bagi orang asing penduduk sementara.
Syarat untuk membuat Surat Keterangan Ahli Waris, yaitu:58
1. Surat keterangan kematian
2. KTP para ahli waris
57 http://pusat.jakarta.go.id/jakpus09/warga/d/1/558 http://berkecukupan.blogspot.com/2011/06/pentingnya-bikin-surat-ahli-waris.html
80
3. Kartu keluarga
4. Dua orang saksi
5. Pengantar dari Ketua RT
6. Membuat surat pernyataan ahli waris bermatrai Rp. 6.000.
Surat keterangan ahli waris bagi penduduk asli Indonesia yang oleh
para ahli waris diketahui oleh RT/RW, lurah dan camat didasarkan pada
surat Mendagri Dirjen Agraria Kep.Direktorat P.T u.b Kepala Pembina
Hukum No. Djt/12/63/69 (20-12-1969).59
Dalam hal mengajukan permohonan P3HP, para ahli waris dapat
langsung mengajukannya sendiri ke Pengadilan Agama, permohonan
diajukan secara tertulis, tetapi bagi orang buta huruf dapat diajukan
secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Agama, yang akan menyuruh
mencatat permohonannya tersebut. Jika para ahli waris sibuk atau satu
sama lainnya berada ditempat yang berlainan maka dapat ditunjuk melalui
perwakilan, mengenai dapat diwakilkan hukum acara perdata
mengaturnya, yaitu:
1. Yang dapat bertindak sebagai Kuasa/Wakil dari pemohon di
pengadilan:
a. Advokat (Pasal 32 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004
tentang Advokat, Penasihat Hukum, Pengacara Praktik dan
Konsultan Hukum yang telah diangkat pada saat Undang-
59 http://dc111.4shared.com/img/VEsdsR9fxNVyx/preview.html
81
Undang Advokat mulai berlaku dan dinyatakan sebagai
Advokat).
b. Kuasa Insidentil dengan alasan hubungan keluarga sedarah
atau semenda dapat diterima sampai dengan derajat ketiga,
yang dibuktikan dengan surat Keterangan Lurah atau Kepala
Desa.
2. Kuasa/Wakil harus memilki surat kuasa khusus yang diserahakan
di persidangan, atau pada saat mengajukan permohonan.
a. Surat kuasa harus mencantumkan secara jelas bahwa surat
kuasa itu hanya dipergunakan untuk keperluan tertentu
dengan subyek, objek dan pengadilan tertentu.
b. Dalam surat kuasa tersebut harus dengan jelas disebutkan
kedudukan pihak-pihak berperkara.
c. Apabila dalam surat kuasa khusus tersebut disebutkan bahwa
kuasa tersebut mencakup pula pemeriksaan dalam tingkat
banding dan kasasi, maka surat kuasa khusus tersebut tetap
sah dan berlaku hingga pemeriksaan dalam kasasi, tanpa
diperlukan suatu surat khusuh yang baru (SEMA Nomor : 6
Tahun 1994).
BAB V
82
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dalam realitas atau prakteknya, pembagian warisan di lingkungan
masyarakat Bone tidak sesuai bagian yang semestinya diterima.
Orang tua tidak memperoleh harta peninggalan anaknya sebesar
ketetapan dalam Al-Qur’an dan KHI. Meskipun orang tua tidak
memperoleh harta warisan sebagaimana mestinya, orang tua tetap
diperhatikan dan tidak ditelantarkan oleh anggota ahli waris yang
lain. Kurangnya memahami ilmu kewarisan menjadi faktor utama
yang menyebabkan tidak sesuainya antara teori dengan realitas.
2. Kultur masyarakat dalam pembagian warisan yaitu diselesaikan
secara musyawarah tanpa melalui Pengadilan Agama setempat.
Meskipun pembagiannya tidak sesuai dengan bagian yang telah
ditentukan dalam Al- Qur’an, namun dalam hukum Islam
perdamaian merupakan hal yang tertinggi dan dapat
mengesapingkan bagian yang seharusnya diterima oleh para ahli
waris. Dan ketika suatu perkara hendak diselesaikan melalui
Pengadilan Agama tanpa terkecuali termasuk masalah kewarisan,
terlebih dahulu diupayakan mediasi melalui mediator yang ditunjuk
oleh hakim untuk mendamaikan para pihak.
3. Tidak terpenuhinya bagian orang tua untuk menerima harta waris
peninggalan anaknya, tidak serta merta orang tua mengajukan
gugatan untuk menuntut hak warisnya. Orang tua merasa tidak
83
dirugikan dan ikhlas atas apa yang menjadi keputusan ahli waris
yang lain selama keputusan tersebut dapat membawa kedamaian
dan jalin silaturahmi antar keluarga tetap terjaga.
B. Saran
1. Sebaiknya sejak dini dalam hal kewarisan, pemerintah maupun
ormas-ormas Islam, melakukan sosialisai kepada masyarakat
agar dalam masyarakat terjadi kesesuaian antara aturan yang
telah ditetapkan dalam Al- Qur’an dengan pelaksanaan
sebagaimana mestinya, termasuk bagian orang tua sebagai ahli
waris harus dipertegas sebelum orang tua tersebut merelakan
bagian yang menjadi haknya.
2. Sebaiknya KHI diundangkan bukan hanya sebagai Inpres,
namun terlebih dahulu dilakukan pengkajian secara mendalam
setiap pasal agar tetap sesuai dengan sumber hukum islam
tertinggi yaitu Al-Qur’an dan hadis.
DAFTAR PUSTAKA
84
Afdol. 2006. Penerapan Hukum Islam Secara Adil. Surabaya: Airlangga University Press.
Ali, Muhammad Daud. 2007. Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Ali, Zainuddin. 2006. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Habiburrahman. 2011. Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group.
Hamid, Arfin. 2007. Hukum Islam Perpektif Keindonesiaan: sebuah Pengantar dalam Memahami Realitas Hukum Islam di Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Husein Nasution, Amin, 2012. Hukum Kewarisan, Jakarta: Rajawali Pers.
Kuzari, Achmad. 1996. Sistem Ashabah. Jakarta: Rajawali Pers.
Muhibbin, Moh. dan Abdul Wahid. 2009. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Oemarsalim. 2006. Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Salman, Otje. 2007. Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris. Bandung: PT. Alumni.
Salman, Otje dan Mustofa Haffas. 2006. Hukum Waris Islam. Bandung: PT. Refika Aditama.
Sudarsono. 1991. Hukum Waris Dan Sistem Bilateral. Jakarta: Rineka Cipta.
Syarifuddin, Amir. 2004. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Prenada Media Group.
Tutik, Titik Triwulan. 2008. Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Kencana.
Usman, Rachmadi. 2009. Hukum Kewarisan Islam Dalam Dimensi KHI. Bandung. CV. Mandar Maju.
85
sumber-sumber lain:
http://pusat.jakarta.go.id/jakpus09/warga/d/1/5
http://berkecukupan.blogspot.com/2011/06/pentingnya-bikin-surat-ahli-
waris.html http://dc111.4shared.com/img/VEsdsR9fxNVyx/preview.html
86