72226725-Hit
-
Upload
yushelly-dinda-pratiwie -
Category
Documents
-
view
6 -
download
1
description
Transcript of 72226725-Hit
BAB I
PENDAHULUAN
Heparin merupakan ikatan berbagai bentuk sulfated glycosaminoglycans
dengan panjang rantai yang berbeda. Berat molekul heparin bervariasi dari 1800
sampai 30.000 dalton (Hirsh J,2004). Unfractioned heparin dan low molecular
weight heparin (LMWH) merupakan antikoagulan yang efektif dan telah
dipergunakan secara luas untuk pencegahan dan pengobatan penyakit
tromboembolik vena dan arteri (Chong, 2007). Namun ternyata pemakaian
heparin dapat menyebabkan efek samping yang serius. Salah satu efek samping
yang serius dan berpotensi mengancam jiwa adalah heparin-induced
thrombocytopenia (HIT) (Hirsh J,2004;Ehsan A, Plumbey JA,2002).
Heparin-induced thrombocytopenia adalah suatu keadaan yang ditandai
dengan penurunan jumlah trombosit setelah pemberian heparin, tanpa ada
penyebab trombositopenia yang lain. Tidak seperti trombositopenia yang
diinduksi oleh obat lainnya, HIT biasanya tidak menyebabkan perdarahan
melainkan justru trombosis. Trombosis akibat HIT bisa menyebabkan gangren
berat pada tungkai yang membutuhkan amputasi dan bahkan bisa menyebabkan
kematian ) (Chong, 2007;Warkentin,2008).
Heparin-induced thrombocytopenia disebabkan oleh adanya antibodi
terhadap kompleks platelet factor 4 (PF4) dan heparin. Antibodi ini terdapat pada
hampir semua pasien dengan penyakit ini, namun antibodi juga dapat ditemukan
pada beberapa pasien yang mendapat terapi heparin, tetapi tidak berkembang
1
menjadi HIT. Hal ini tidak dapat dijelaskan, mengapa komplikasi terjadi pada
beberapa pasien, namun pada pasien yang lain tidak terjadi. (Warketin,2006)
Berbagai nama lain untuk HIT antara lain Heparin-associated
thrombocytopenia (HAT), dan Immune heparin-induced thrombocytopenia (atau
tipe II). Tetapi nama yang paling tepat dan dipakai secara luas adalah heparin-
induced thrombocytopenia (HIT). (Chong,2007).
Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai heparin induced
thrombocytopenia (HIT), patofisiologi,gambaran klinis, diagnosis dan
pemeriksaan laboratoriumnya.
2
BAB II
Heparin Induced Thrombocytopenia
2.1. Heparin
2.1.1. Sejarah
Heparin pertama kali ditemukan oleh McLean hampir 90 tahun yang lalu
memiliki sifat anti trombotik, kemudian Brinkhius dan kawan-kawan
mendemonstrasikan bahwa heparin adalah antikoagulan tidak langsung yang
membutuhkan kofaktor plasma. Kofaktor ini disebut juga dengan antitrombin(AT)
III yang ditemukan oleh Abildgaard pada tahun 1968, AT III sekarang disebut
juga dengan AT (Hirsh J,2004; Sucker C,2005)
Kemudian setelah adanya perkembangan antikoagulan baru yang lebih
baik, pada tahun 1980an ditemukan low molecular weight heparin (LMWH) yang
memperlihatkan kemampuan molekul heparin untuk menginaktifkan trombin dan
faktor koagulasi lainnya bergantung dari panjang rantai molekul heparin. Untuk
inaktivasi faktor Xa hanya membutuhkan pentasakarida yang memiliki afinitas
yang tinggi (Sonia S,2001)
2.1.2. Struktur dan Mekanisme Kerja Heparin
Heparin adalah heterogen dengan ukuran molekur, aktifitas koagulan, dan
farmakokinetiknya (tabel 2.1.). Berat molekul heparin bervariasi dari 3000 –
30000 dalton, dengan rerata berat molekulnya 15.000 dalton (mencapai 45 rantai
monosakarida) [gambar 2.1.]. Hanya sepertiga dosis heparin yang diberikan
berikatan dengan AT, dan fraksi ini yang memiliki peran sangat besar untuk efek
antikoagulan. Sisa 2/3 dosis memiliki efek antikoagulan minimal pada konsentrasi
3
terapeutik, tetapi bila konsentrasi lebih besar yang dibutuhkan baik pada heparin
yang afinitas kuat maupun lemah mengkatalisir efek AT dari suatu protein plasma
sekunder yang disebut juga heparin cofaktor II (HC II) (Hirsh J,2004)
Tabel 2.1. Heterogenisitas Heparin
Atribut Karakterikstik
Ukuran Molekul
Efek Antikoagulan
Bersihan
Berat molekul rerata : 15.000, kisaran 3000 –
30.000 dalton
Hanya sepertiga dari molekul heparin yang
mengandung pentasakarida dengan afinitas tinggi
serta diperlukan untuk aktifitas antikoagulan
Heparin dengan berat molekul yang tinggi lebih
cepat dibersihkan daripada heparin dengan berat
molekul lebih rendah
(Hirsh J,2004)
Gambar 2.1. Struktur Heparin (Wikipedia,2011)
Komplek heparin/AT akan menginaktivasi trombin (faktor IIa), faktor Xa,
IXa, XIa dan XIIa (Gambar 2.3.). Trombin dan faktor Xa paling sensitif terhadap
4
penghambatan oleh Heparin/AT, dan trombin 10 kali lebih sensitif dibanding
faktor Xa. Heparin menginhibisi trombin dengan mengikat keduanya dengan
enzim koagulasi (gambar 2.2.),(tabel 2.2) (Hirsh J,2001;Sonia S,2001).
Gambar 2.2. Inaktivasi Enzym Pembekuan oleh Heparin (Hirsh J,2001)
Gambar 2.3. Mekanisme Kerja Heparin (Hirsh J,2001;Sonia S,2001)
5
Untuk menginaktivasi trombin, selain berikatan dengan AT, heparin juga
harus berikatan dengan trombin. Tetapi ikatan antara faktor koagulasi dengan
heparin ini kurang penting dalam inaktivasi faktor X. Oleh karena itu, heparin
yang mengandung kurang dari 18 sakarida (LMWH) (gambar 2.4), bisa
menginaktivasi faktor Xa, tetapi tidak bisa menginaktivasi trombin (Sucker ,2005)
Gambar 2.4. Mekanisme Kerja UFH dengan LMWH (Sucker,2005)
6
Tabel 2.2. Efek Antihemostasis Heparin
Efek Keterangan
Berikatan dengan ATIII dan
mengkatalisasi inaktifasi faktor
IIa, Xa, dan XIIa
Berikatan dengan heparin
kofaktor II dan mengkatalisis
inaktivasi faktor IIa
Berikatan dengan faktor IXa
dan menginhibisi aktivasi faktor
Xa
Mekanisme utama efek antikoagulan,
yang hanya memerlukan 1/3 dari molekul
heparin (terdiri dari ikatan ATIII dengn
pentasakarida)
Efek antikoagulan memerlukan heparin
konsentrasi tinggi dan terjadi pada
keadaan yang sama pada heparin dengan
afinitas yang kuat maupun yang lemah
dengan ATIII
Memerlukan konsentrasi heparin yang
sangat tinggi dan merupakan AT dan
HCII independen
(Hirsh J,2004)
2.1.3. Komplikasi Pemberian Heparin (Setiabudi, 2007)
Beberapa keadaan bisa terjadi akibat pemberian heparin antara lain:
a. Resistensi Heparin
Resistensi heparin adalah keadaan dimana pasien membutuhkan dosis
heparin yang lebih tinggi (>35.000 U/24 jam) untuk mencapai pemanjangan
APTT sampai rentang terapi
Resistensi heparin bisa terjadi akibat defisiensi AT, peningkatan clearance
heparin, peningkatan protein pengikat heparin, peningkatan faktor VIII,
fibrinogen dan PF4
b. Reaksi Sistemik Akut
Gejala seperti demam, takikardi, flusing, sakit kepala, nyeri dada dan
sesak nafas bisa terjadi.
7
c. Heparin induced skin lession
Lesi kulit akibat heparin bisa terjadi pada tempat-tempat bekas
penyuntikan. Hanya 25% pasien yang mengalami lesi kulit terjadi
trombositopenia, dan kelompok ini mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya
trombosis, terutama trombosis arteri.
d. Heparin Induced thrombocitopenia
Trombositopenia yang diakibatkan pemberian heparin yang terjadin
terutama antara hari ke 5 dan ke 10.
e. Osteoperosis
Pemakaian heparin jangka panjang ternyata terbukti menurunkan densitas
tulang secara bermakna.
2.2. Heparin Induced Thrombocytopenia
Heparin induced thrombocytopenia (HIT) adalah suatu keadaan yang
ditandai dengan penurunan jumlah trombosit setelah pemberian heparin, tanpa ada
penyebab trombositopenia yang lain (Chong,2007;Cooney 2006;Arrepally,2006).
Definisi lain HIT adalah suatu keadaan penyakit yang berhubungan
dengan imunitas akibat pengunaan unfractionated heparin (UFH) yang ditandai
dengan penurunan jumlah trombosit selama atau segera setelah penggunaan obat
antikagulan (Hursting,2005).
Tidak seperti trombositopenia yang diinduksi oleh obat lainnya, HIT
biasanya tidak menyebabkan perdarahan melainkan justru trombosis. Trombosis
akibat HIT bisa menyebabkan gangren berat pada tungkai yang bisa
mengakibatkan amputasi dan bahkan bisa menyebabkan kematian (Hursting,2005)
8
2.3. Epidemiologi
Frekuensi HIT pada pasien yang mendapat heparin sangat bervariasi.
Beberapa kepustakaan yang dikutip oleh Ziporen dan kawan-kawan melaporkan
bahwa HIT terjadi pada 1%-3% pasien yang mendapat terapi UFH, dan 10%-20%
diantaranya mengalami trombosis berat yang mengancam jiwa atau menyebabkan
gangren tungkai berat sehingga memerlukan amputasi jika pemaparan heparin
berlanjut (Fabris,2000;Riley 2009)
Frekuensi terjadinya HIT juga bervariasi tergantung jenis heparin yang
dipakai, keadaan pasien dan riwayat pemakaian heparin sebelumnya. Kejadian
HIT pada pasien yang memperoleh bovine heparin lebih tinggi daripada pasien
yang memperoleh porcine heparin. Pemakaian LMWH lebih jarang menyebabkan
HIT dibandingkan UFH. Pada pasien pasca HIT disebabkan UFH kasus bedah
frekuensinya 1%-5%, pasien bedah jantung sampai 50%, sedangkan pada pasien
non bedah frekuensinya sekitar 3,5% (Chong,2007).
Perempuan cenderung lebih mudah mengalami HIT dibandingkan laki-laki
dan pasien setelah operasi memiliki insidensi HIT lebih tinggi dibandingkan
pasien yang dirawat di ICU. Dosis heparin juga memegang peranan penting.
Dosis profilaksis heparin meningkatkan risiko terbentuknya antibodi (Sakr,2011).
2.4. Etiologi dan Patogenesis
Heparin induced thrombocytopenia (HIT) secara klinis terdiri atas dua tipe
yaitu HIT tipe 1 dan HIT tipe 2.
9
2.4.1. HIT tipe 1
Pada HIT tipe 1 disebut juga pseudo HIT, mekanisme terjadinya berbeda
dengan HIT tipe 2. HIT tipe 1 dihubungkan dengan efek heparin yang
menyebabkan proaggregating trombosit. Heparin mengikat trombosit dan
menyebabkan aktivasi ringan dengan terbentuknya formasi agregasi trombosit
yang ringan (Chong,2007; Ehsan,2002).
Kejadian HIT tipe 1 mencapai 10% pasien, biasanya terjadi pada
pemberian heparin hari-hari pertama. Jumlah trombosit biasanya menurun
dibawah 100.000/µL, dan kemudian akan kembali normal beberapa hari walaupun
pemberian heparin tetap dilanjutkan (Chong 2003;Chong 2007, Greinacher 2002).
Heparin menginduksi agregasi trombosit yang dimediasi oleh fibrinogen
dan reseptor trombosit integrin αIIbβ3 (komplek glikoprotein IIb-IIIa). Ikatan
heparin terhadap trombosit dapat dihambat oleh protein pengikat heparin seperti
antitrombin dan fibronektin (Digiovanni 2008).
Ada kemungkinan bahwa ketika heparin diberikan kepada pasien yang
memiliki trombosit hiperaktif, dapat menyebabkan agregasi trombosit ringan
secara in vivo. Agregat trombosit kemudian dihancurkan oleh sistem
retikuloendotelial. Hal ini mungkin dapat menjelaskan menurunnya jumlah
trombosit yang terjadi pada 4 hari pertama pemberian heparin
(Raschke,2004;Poole,2010).
Pada pasien dengan trombosit yang hiperaktif atau pasien yang terinfeksi
bakteri dengan pembentukan komplek imun, heparin dapat menyebabkan agregasi
trombosit yang lebih hebat dan trombositopenia berat (Chong 2007).
10
2.4.2. HIT tipe 2
Berbeda dengan HIT tipe 1 atau disebut juga dengan pseudo HIT,
terjadinya HIT tipe 2 melalui mekanisme imun yaitu melalui pembentukan
antibodi kompleks platelet faktor 4 (PF4)-heparin. Jika ditulis HIT saja tanpa
disertai tipe, hal ini dimaksudkan HIT tipe 2 (Kelton,2008).
HIT atau HIT tipe 2 dimediasi oleh antibodi yang menginduksi akitivasi
trombosit yang muncul hanya bila ada heparin dalam darah. Hal ini disebut juga
heparind-dependent antibody. Antigen target terhadap antibodi ini pertama kali
diidentifikasi pada tahun 1992 oleh Amiral dan kawan-kawan menjadi kompleks
PF4-heparin. PF4 adalah protein tetrameric kutub positif (berat molekul 35 kDa)
yang spesifik ditemukan dalam granul α trombosit dan megakariosit. PF4 terdiri
dari 70 asam amino termasuk kedalam CXC chemokine family, dimana residu
cysteine dipisahkan oleh satu residu asam amino. PF4 merupakan tetramer dengan
C-terminal yang banyak mengandung lysine menghadap keluar (gambar 2.5),
yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap heparin. Analisis terhadap strukur
kritasografis juga menunjukkan residu lain yang membentuk cincin melingkar
bermuatan positif yang membentuk interfase dengan heparin (Chong,2003;Chong
2007).
Konsentrasi PF4 plasma sangat rendah pada kondisi normal, tapi akan
meningkat dengan cepat ketika PF4 disekresikan kedalam plasma selama
trombosit aktif atau pemberian heparin (Chong 2007).
Kekuatan ikatan heparin dengan PF4 bergantung dari panjang rantai
heparin atau berat molekul (optimalnya 14 sampai 16 sakarida, berat molekul
≈ 4500 Da), dan tingkat sulfation. Ketika heparin dan PF4 berikatan, PF4
11
mengalami perubahan, mengekspose neoepitopes yang beraksi sebagai imunogen
dan memulai generasi antibodi PF4-heparin. (Hursting, 2005;Winteroll 2003)
Gambar 2.5. Struktur PF4 (Wikipedia,2011)
HIT terjadi disebabkan oleh antibodi, yang tersering adalah IgG, yang
mengikat kompleks PF4-heparin (gambar 2.6, gambar 2.7.). antibodi PF4-heparin
(kadang disebut juga antibodi HIT) yang menghasilkan kompleks imun
multimolecular mengaktivasi trombosit melalui reseptor FcγIIa yang
menyebabkan pelepasan prothrombotic platelet-derived microparticles,
pemakaian trombosit, dan terjadi trombositopenia. Mikropartikel berperan
mempromosikan pembentukan thrombin berlebihan, akhirnya trombosis.
Kompleks antigen-antibodi juga ikut berinteraksi dengan monosit yang berperan
produksi faktor jaringan, dan terjadinya kerusakan endotelial akibat antibodi.
Kedua proses tersebut memiliki kontribusi lebih lanjut terjadinya trombosis
(Husrting 2005;Winteroll,2003).
12
Gambar 2.6. Model Patogenesis HIT (Hursting, 2005)
13
Gambar 2.7. Mekanisme patofisiologi HIT (Winteroll,2003)
Ikatan heparin/fragmen heparin dengan PF4 tergantung dari komposisi
heparin itu sendiri, panjang rantai (>12 sampai 14 oligosakarida), dan derajat
sulfation heparin. Low molecular weight heparin (LMWH) yang memiliki
panjang rantai yang lebih pendek dibandingkan heparin memiliki afinitas yang
lebih rendah dengan PF4. Sehingga memiliki antigenik yang rendah dan kecil
kemungkinan menyebabkan HIT. (Chong,2007)
Pembentukan kompleks PF4-heparin terjadi optimal jika konsentrasi PF4
dan heparin berada pada rasio ekuimolar. Heparin dan PF4 dibersihkan secara
cepat dari sirkulasi.Oleh karena itu untuk terjadi HIT, pada saat pemberian
heparin harus cukup PF4 yang dilepaskan dari trombosit , sehingga dapat
terbentuk kompleks, dan kompleks ini harus bertahan cukup lama untuk
14
merangsang pembentukan antibodi terhadap kompleks tersebut. Tidak adanya
aktivasi trombosit yang persisten dapat menjelaskan mengapa tidak terjadi HIT
pada setiap pemberian heparin (Chong,2007)
Aktivasi trombosit melepaskan PF4 dari α granul trombosit, dan kompleks
PF4-heparin terbentuk lebih banyak dan menjadi pembatas terhadap permukaan
trombosit, dengan demikian memungkinkan lebih banyak antibodi heparin-
dependent untuk berikatan (gambar 2.8). Reaksi ikatan ini menghasilkan aktivasi
trombosit yang lebih hebat dan terjadi agregasi trombosit. Pelepasan mikropartikel
trombosit dan proagulan lainnya mengaktifkan jalur koagulasi darah,
pembentukan trombin dan trombus. Proses ini tergantung derajat hiperkoagulabel
dan frekuensi kejadian komplikasi trombotik terhadap HIT. Trombositopenia
mungkin dihubungkan dengan pembersihan trombosit teraktivasi atau kompleks
PF4-heparin-IgG yang melapisi trombosit oleh sistem retikulondotelial. Trombosit
juga terpakai selama pembentukan trombus (Chong,2007)
Gambar 2.8. Interaksi Antibodi PF4-Heparin-Trombosit (Chong,2007)
15
2.5. Gambaran Klinis
2.5.1. HIT tipe 1
Pada HIT tipe 1, trombositopenia yang terjadi ringan dan biasanya terjadi
pada 4 hari pertama setelah pemberian heparin. Jumlah trombosit langsung turun
100-150 x 109/L dan jarang dibawah 80 x 109/L. Jumlah trombosit biasanya
kembali normal walaupun pemberian heparin diteruskan. Ketika heparin diberikan
kembali setelah perbaikan dari trombositopenia, jumlah trombosit biasanya tidak
turun. Pada pasien setelah operasi, HIT tipe 1 biasanya tidak dapat dibedakan
berdasarkan jumlah trombosit yang turun dengan hemodilusi. Pasien HIT tipe 1
biasanya asimtomatik dan tidak berhubungan dengan trombosis atau perdarahan
(Warkentin,2008)
2.5.2. HIT tipe 2
Pada HIT tipe 2, terdapat beberapa gambaran klinis yaitu sebagai berikut:
a. Trombositopenia
Pada HIT tipe 2 terjadi trombositopenia dengan derajat sedang sampai
berat dan onsetnya lambat yaitu hari ke 5-10 pemberian heparin. Penurunan
hitung trombosit bertahap dengan jumlah trombosit terendah rata-rata 50.000/µL.
Pada beberapa kasus onset trombositopenia terjadi tiba-tiba sebelum 5 hari setelah
pemberian terapi, pada kasus ini disebut sebagai rapid-onset HIT. Hal ini bisa
terjadi disebabkan pasien telah memiliki antibodi HIT karena pasien ini pernah
diberikan terapi heparin sehingga trombositopenia cepat terjadi (Powell,2007).
Beratnya trombositopenia pada HIT tipe 2 biasanya sedang sampai berat
dengan rerata 60.000/µL, ada kalanya dapat turun sampai di bawah 10.000/µL.
Pada beberapa pasien jumlah trombosit bisa turun lebih 50%, tetapi jumlah
16
trombosit terendah masih diatas 150.000/µL, jika jumlah trombosit mulanya juga
tinggi. Gambaran klinis HIT tipe 2 ini tidak seperti quinine/quinidine induced
thrombocytopenia yang hampir selalu berat (jumlah trombosit <10.000/µL) dan
onsetnya tiba-tiba (Chong,2007; Daudren,2006)
Tidak seperti HIT tipe 1 trombositopenia pada HIT tipe 2 terus
berlangsung sampai pemberian heparin dihentikan. Setelah penghentian
pemberian heparin yang biasanya dibutuhkan waktu 5-7 hari untuk jumlah
trombosit kembali menjadi normal bahkan sering diatas normal, tetapi kadang-
kadang membutuhkan waktu lebih lama sampai 30 hari. Keadaan ini terdapat
situasi atau faktor tertentu seperti sepsis berat yang menekan sumsum tulang,
sehingga memperlambat jumlah trombosit kembali normal(Winteroll,2003;Chong
2003).
Heparin yang diberikan pada pasien dengan HIT tipe 2 dalam rentang
waktu beberapa bulan atau tahun setelah pemberian heparin sebelumnya dimana
antibodi heparin-dependen tidak ada lagi dalam tubuh, maka pada pemberian
heparin sering tidak menimbulkan trombositopenia lagi, terutama ketika heparin
diberikan satu kali terapi, sebagai bolus, atau sebagai infus untuk waktu singkat
seperti selama pembedahan misalnya pada pembedahan bypass jantung paru
(Cooney,2006,Cardenas,2005)
b. Komplikasi Trombosis
Selain adanya trombositopenia, gambaran klinis lainnya pada penderita
HIT tipe 2 yang sering ditemukan ialah komplikasi trombosis, dengan insidensi
50% sampai 60% pasien. Bahkan pada pasien dengan trombositopenia yang berat
sekalipun (trombosit < 20.000/µL), perdarahan jarang sekali terjadi. Komplikasi
17
trombosis dapat terjadi pada pembuluh darah vena, arteri atau trombosis
mikrosirkulasi. Komplikasinya biasanya berat, luas, dan berulang pada tempat-
tempat yang tidak biasa. Frekuensi dan tipe trombosis bervariasi pada populasi
yang berbeda (Warkentin,2006;Chong 2007)
Trombosis yang dihubungkan dengan HIT umumnya terdapat pada pasien
yang sudah memiliki risiko tinggi menderita trombosis, seperti pasien yang
menjalani pembedahan penggantian tulang pinggul. Pada pasien ini 20%-30%
umumnya menderita trombosis vena post operasi walaupun dengan pemberian
profilak heparin, tetapi derajat trombosis meningkat tajam sampai 76% bila pasien
menderita HIT (Digiovanni 2008;Arrepally,2006).
Trombosis vena dalam/deep vein thrombosis (DVT) tungkai bawah
biasanya terjadi pada pasien HIT. Trombosis vena dalam bilateral dan emboli
paru lebih sering terjadi pada pasien HIT dibandingkan pasien tanpa HIT
(Menayouvsky,2005).
Trombosis arteri pada pasien dengan HIT biasanya melibatkan aorta distal
dan arteri tungkai bawah menyebabkan iskemik tungkai, yang mengakibatkan
gangren tungkai dan memerlukan amputasi kaki. Biasanya trombosis arteri pada
pasien HIT terjadi pada stroke trombosis atau infark miokard akut. Adakalanya
sumbatan brakhial, mesenterik dan arteri renal telah dilaporkan pada pasien HIT,
mengakibatkan gangren tungkai, sumbatan usus besar dan gangguan ginjal
(Grenaicher,2005)
Trombosis mikro sirkulasi atau DIC terjadi pada 5%-10% pasien HIT.
Peningkatan produk degradasi fibrin biasanya terdeteksi, tetapi
18
hipofibrinogenemia bisa tidak ada, hal ini dikarenakan pada pasien HIT kadar
fibrinogen plasma sering meningkat sebagai reaksi fase akut (Powell, 2007)
Nekrosis kulit dapat terjadi pada tempat injeksi heparin atau LMWH.
Kejadian ini biasanya dihubungkan dengan adanya antibodi heparin-dependent
tetapi dapat terjadi tanpa adanya trombositopenia. Kulit dapat kadang-kadang
hanya memerah tanpa nekrosis( Kelton,2008,Chong,2003;Chong,2007).
2.6. Diagnosis
Heparin induced thrombocytopenia (HIT) harus dipikirkan ketika pasien
mengalami trombositopenia saat mendapat heparin. Walaupun terdapat
kemungkinan penyebab lain yang mengakibatkan trombositopenia. Dengan
demikian sebelum diagnosis HIT ditegakkan, gambaran klinis ketika
trombositopenia terjadi dan hasil tes serologi harus hati-hati dianalisis. Jumlah
trombosit serial dan jadwal pemberian heparin dan obat-obat yang bersamaan
diberikan akan sangat membantu untuk menegakkan diagnosis.(Chong, 2007).
Kriteria klinis harus sesuai dengan gambaran klinis HIT yaitu :
1) Trombositopenia terjadi selama pemberian heparin
2) Penyebab lain trombositopenia telah disingkirkan
3) Trombositopenia membaik setelah pemberian heparin dihentikan
Kriteria 1 dan 2 dapat diaplikasikan pada HIT tipe 1 dan 2. Jika
trombositopenia membaik meskipun pemberian heparin tetap dilanjutkan maka ini
adalah HIT tipe 1, tetapi jika jumlah trombosit kembali normal hanya setelah
pemberian heparin dihentikan, maka hal ini lebih mendekati HIT tipe 2
(Chong,2007)
19
Waktu terjadinya trombositopenia menjadi sangat penting untuk
membedakan HIT tipe 1 dengan tipe 2. Dimana pada HIT tipe 1 trombositopenia
terjadi pada 4 hari pertama mulai diberikan heparin. Sangat berbeda dengan HIT
tipe 2, trombositopenia terjadi diantara hari ke 5 sampai hari ke 10 kecuali
terdapat pemberian heparin 100 hari sebelumnya maka ini disebut HIT onset
cepat. Kriteria klinis untuk memperkirakan kemungkinan diagnosis HIT dapat
dilihat pada tabel 2.3(Warkentin TE, Heddle NM,2003).
Tabel 2.3. PreTest Probabilitas Heparin-Induced Thrombocytopenia (HIT)
menggunakan Empat T (4T)
POIN 2 1 0
Trombositopenia Jumlah trombosit turun > 50% selama pemberian heparin
Jumlah trombosit turun 30-50% atau terendah <150.000/µL
Jumlah trombosit <30% atau terendah <10.000/µL
Timing (waktu) turunnya jumlah trombosit
Onset diantara hari ke 5-10 atau < 1 hari jika pernah mendapat terapi heparin dalam 100 hari terakhir
Onset trombositopenia setelah hari ke 10
Jumlah trombosit turun sebelum hari ke 5 tanpa pernah mendapat terapi heparin dalam 100 hari terakhir
Trombosis atau lesi kulit pada tempat injeksi heparin
Trombosis baru, nekrosis kulit, reaksi sistemik akut setelah bolus heparin
Trombosis yang progresif atau berulang, lesi kulit eritematosus, trombosis yang belum dibuktikan
Tidak ada
OTher cause (sebab lain) trombositopenia
Tidak ada sebab lain
Kemungkinan sebab lain ada
Terdapat sebab lain
(Warkentin TE, Heddle NM,2003)
20
Diagnosis HIT menjadi lebih sulit jika terdapat trombositopenia karena
sebab lain, infeksi, DIC dan trombositopenia autoimun. Untuk keadaan tersebut,
diagnosis HIT perlu dibantu dengan pemeriksaan laboratorium untuk
membuktikan adanya antibodi terhadap kompleks PF4-heparin (Warkentin,2003).
2.7. Diagnosis Banding
Psedotrombositopenia harus diekslusikan pertama kali waktu ditemukan
trombositopenia yang tidak diketahui sebabnya (tabel 2.4.), hal menjadi sangat
penting pada pasien yang juga mendapat terapi inhibitor GPIIb/IIIa, yang juga
meningkatkan insidensi pseudotrombositopenia (Greinacher,2002)
Derajat awal septikemia juga dihubungkan dengan jumlah trombosit
sampai 50.000/µL pada pasien dengan sakit yang parah. Pada pasien seperti ini
membedakan klinis dengan HIT menjadi sangat sulit (Greinacher, 2002)
21
Tabel 2.4. Diagnosis Banding Heparin induced thrombocytopenia
Diagnosis Gambaran yang berbeda
1. Pseudothrombocytop
enia
2. Nonimunologic
heparin-associated
trombositopenia
3. Emboli paru masif
4. DIC/Sepsis
5. Drug induced
thrombocytopenia
6. Trombositopenia
autoimun
7. Ketoasidosis diabetik
8. GPIIb/IIIa inhibitor
induced thrombocytopenia
9. Post-tranfusion
purpura(PTP)
Sering jumlah trombosit normal pada darah sitras, agregasi
trombosit pada lapisan darah
Setelah pemberian UFH 1-2 hari, jumlah trombosit jarang
turun <100.000/µL atau menurun >30%
Secara klinis paling sulit dibedakan dengan HIT, jika terjadi
5-14 hari pemberian heparin
Sering dengan onset yang tersembunyi, komplikasi
perdarahan, pemakaian faktor pembekuan
Biasanya terjadi 7-10 hari setelah pemberian obat baru,
jumlah trombosit <20.000/µL, komplikasi perdarahan
Tidak dihubungkan dengan medikasi heparin
Trombositopenia akut dengan pada awal sakit
Dimulai dalam 12 jam dari infus GPIIb/IIIa inhibitor,
jumlah trombosit <20.000/µL, komplikasi perdarahan
(diagnosis banding yang penting: pseudotrombositopenia)
Terjadi dalam 7-14 hari setelah transfusi pada pasien
preimmunized (>95% wanita), jumlah trombosit
<20.000/µL, komplikasi perdarahan.
(Greinacher,2002)
2.8. Terapi
Penatalaksanaan pasien dengan HIT tergantung dari tipe klinis HIT dan
keadaan pasien itu sendiri, seperti ketika terdapat trombosis diperlukan terapi
antikoagulan dengan cepat atau ketika pasien diperlukan untuk segera menjalani
operasi bedah jantung (Alving,2003)
22
2.8.1. HIT tipe 1 (HIT nonimun)
Pada HIT tipe 1, terjadi trombositopenia sedang dan pasien tidak
mempelihatkan gejala apapun. Tidak ada penatalaksanaan spesifik yang
diperlukan, bagaimanapun membedakan dengan HIT tipe 2 dapat menjadi sulit
pada beberapa kasus, seperti trombositopenia pada pasien HIT tipe 2 yang
sebelumnya telah mendapat heparin dapat terjadi trombositopenia lebih awal.
Keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan pemberian heparin harus segera
diambil setelah dilakukan evaluasi pada pasien berdasarkan gambaran klinis dan
hasil laboratorium (Chong,2007)
Pada keadaan dimana sulit membedakan HIT tipe 1 dan 2, lebih aman jika
dilakukan penghentian terapi heparin (Chong,2007)
2.8.2. HIT tipe 2( HIT Imun)
Sekali diagnosis klinis HIT tipe 2 ditetapkan, maka pemberian heparin
sebaiknya dihentikan, dan pemberian antikoagulan alternatif lainnya harus segera
dimulai. Seperti HIT pada keadaan hiperkoagulabel, trombosis yang serius dapat
terjadi atau trombosis bisa sangat cepat terjadi dan dapat menyebabkan kerusakan
menetap seperti ganggren tungkai bawah dan kematian (Arrepally,2006).
Beberapa obat antikoagulan yang telah terbukti aman dan efektif untuk
penderita HIT tipe 2 adalah danaparoid, lepirudin(r-Hirudin) atau argatroban.
Obat ini bekerja cepat dan menginhibisi trombin maupun pembentukannya.
Lepirudin dan argatroban berfungsi menginhibisi trombin, sedangkan danaparoid
menginhibisi faktor Xa. Terapi tersebut sebaiknya dilanjutkan paling sedikit
sampai 5 hari atau bila trombosis teratasi (Alving,2003).
23
2.8.2.1. Danaparoid (orgaran)
Danapaorid merupakan campuran glycosminoglycans yang diisolasi dari
mukosa usus halus porcine. Obat ini mengandung terutama heparan sulfate (84%)
dan dermatan sulfate (12%), dan memiliki berat molekul rerata sekitar 6000
Dalton (tabel 2.5). (Chong,2007;Chong,2003).
Danaparoid tidak mengandung fragmen heparin. Fungsi utama obat
antikoagulan ini adalah menginhibisi faktor Xa dan sedikit membuat aktivitas anti
trombin. Danaparoid secara khusus menginhibisi aktivasi trombosit yang
diinduksi oleh antibodi HIT, gambaran unik ini tidak terlihat pada antikoagulan
lainnya (Magnani,2006)
Pada waktu memulai penggunaan obat antikoagulan ini lebih dari 460
pasien dengan HIT yang mengalami trombosis diterapi dengan danaparoid selama
lebih 10 tahun. Dan keberhasilan penggunaan obat ini lebih dari 90%
(Alving,2003).
2.8.2.2. Lepirudin (r-Hirudin)
Hirudin merupakan antikoagulan yang diproduksi oleh kelenjar ludah
lintah medicinal, atau disebut juga hirudo medicinalis. Hirudin merupakan
polipeptida 65 asam amino dengan berat molekul sekitar 7000 Dalton. Hirudin
bersifat anti trombin direk yang menginhibisi fase cairan dan bekuan mengikat
trombin. Hirudin tidak mengikat protein plasma selain trombin. Hirudin
memilikki waktu paruh yang singkat dalam plasma 1 sampai 2 jam dan
dieksresikan dominan oleh ginjal (Chong,2007;Alving,2003).
24
Lepirudin merupakan bentuk rekombinan hirudin yang efektif untuk
penatalaksanaan penyakit trombosis, khususnya trombosis pada pasien dengan
HIT (Alving,2003).
Reaksi alergi pernah dilaporkan seperti ruam-ruam kulit, gatal-gatal,
urtikaria, memerah, demam dan menggigil saat pemakaian obat antikoagulan
lepirudin ini, dan yang lebih fatal adalah anafilaksis. Insidensi anafilaksis ini
diperkirakan 0,015% pada pertama kali pemakaian dan 0,16% saat pemakaian
kembali (Chong,2007)
2.8.2.3. Argatroban
Argatroban merupakan molekul kecil arginin inhibitor trombin direk
sintetik dengan berat molekul 526 Dalton. Seperti hirudin argatroban dapat
menghambat fase cair dan trombus mengikat trombin. Namun tidak sama dengan
hirudin, interaksi argatroban dengan trombin bersifat reversibel. Argatroban
dimetabolisme di dalam hati dan dieksresikan paling banyak dalam feses. Didalam
plasma argatroban 54 % terikat dengan protein, dan memiliki waktu paruh yang
pendek 39 sampai 51 menit (Lewis,2006).
Jika argatroban diberikan pada pasien dengan penyakit hati, maka
argatroban akan menurun 4 kali lipat untuk bersihan dan waktu paruh meningkat 2
kali lipat dibandingkan dengan orang sehat (Lewis,2006).
25
Tabel 2.5. Antikoagulan Alternatif untuk Heparin pada Pasien HIT
Danaparoid Sodium Argatroban Lepirudin
Komposisi
Berat Molekul(Da)Kerja
Waktu Paruh- Orang Sehat- Penyakit Hepatik- Penyakit Ginjal
Monitoring
Efek pada PTNetralisasiEkresiEfek Imunitas
Dermatan SulfatHeparan SulfatChondroitin Sulfat6000Menghambat faktor Xa dan trombin melalui antitrombin
22 jamNormalMemanjangTidak ada atau pemeriksaan anti faktor XaTidak adaTidak adaGinjalKemungkinan antibodi terhadap PF4
analog arginin sintetik
506Direct thrombin inhibitor
40 menitMemanjangNormalaPTT
memanjangtidak adahatitidak diketahui
Protein rekombinan
6979Direct thrombin inhibitor
1,5jamNormalMemanjangaPTT
MemanjangTidak adaGinjalAntibodi terhadap obat menyebabkan waktu paruh memanjang
(Alving, 2003)
26
BAB III
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Setelah diagnosis klinis HIT dibuat, hal ini harus dikonfirmasikan dengan
pemeriksaan laboratorium. Terdapat dua tipe pemeriksaan laboratorium yang telah
tersedia yaitu pemeriksaan fungsional dan pemeriksaan immunoassay. Tes
fungsional dilakukan untuk melihat adanya aktivasi trombosit, kemudian
immunoassay untuk membuktikan adanya antibodi terhadap kompleks heparin-
PF4.( Chong,2007)
3.1. Tes Fungsional
Reaksi antibodi HIT dengan kompleks heparin-PF4 dan trombosit akan
menimbulkan aktivasi trombosit, dengan terjadi perubahan ukuran trombosit
disertai pelepasan isi granul α dan granul padat, pembentukan mikropartikel
trombosit, perubahan membran trombosit dan akhirnya agregasi trombosit.
Beberapa trombosit ini dapat diukur sebagai hasil akhir dari pemeriksaan
fungsional. Perbedaan utama pemeriksaan fungsional ini adalah penggunaan
trombosit sebagai hasil akhir, penggunaan sampel trombosit cuci atau platelet-rich
plasma (PRP) (Warkentin, 2006).
Perbedaan ini dapat memengaruhi sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan.
Secara umum tes fungsional adalah C-serotonin Release Assay (SRA), the
heparin induced platelet-activation assay (HIPA), dan tes aggregasi trombosit/
platelet aggregation test (PAT).(Chong,2007).
27
3.1.1. 14C-serotonin Release Assay (SRA) (Warkentin, 2007)
Pemeriksaan fungsinonal ini pertama kali dikembangkan oleh Sheridan
dan kawan-kawan. 14Serotonin Release Assay (SRA) saat ini dianggap sebagai
metode rujukan untuk tes fungsional trombosit. Pemeriksaan ini didasarkan pada
kemampuan antibodi yang heparin-dependent untuk menginduksi pelepasan 14C-
serotonin.
3.1.1.1. Prinsip Pemeriksaan
Serum/plasma pasien diinkubasi bersama dengan trombosit donor yang
telah dicuci dan dilabel dengan 14C-serotonin, kemudian ditambahkan heparin
dalam konsentrasi terapi dan konsentrasi yang lebih tinggi. Jika dalam
serum/plasma terdapat antibodi HIT, maka akan terjadi aktivasi trombosit.
14C-serotonin akan dilepaskan secara bertahap dari trombosit yang teraktivasi.
Pada konsentrasi heparin yang lebih tinggi penglepasan tersebut dihambat.
3.1.1.2. Cara Pemeriksaan
Acid Citrat Dextrose (ACD)-anticoagulated PRP dari dua donor normal
dikombinasikan dan diinkubasi pada suhu 370C selama 30 menit dengan 14C-
serotonin. Setelah isotop dilepaskan dari trombosit, trombosit kemudian dicuci
sekali dalam larutan Tyrode mengandung apyrase bebas kalsium dan magnesiun.
Apyrase mendegradasi penglepasan ADP selama pencucian trombosit dan
mencegah akumulasi, yang dapat merender refraktori trombosit menjadi
subsequent yang distimulasi oleh ADP. Akhirnya trombosit dipusing, kemudian
diresuspensikan dalam buffer tyrode yang mengandung kalsium dan magnesium
pada jumlah trombosit 300 x 109/L.
28
Suspensi trombosit yang sudah dicuci (75 µL) ditambahkan ke dalam
sumur mikrotiter berisi serum/plasma pasien (20 µL) dan heparin/buffer (5 µL).
Rentang konsentrasi heparin yang dipakai adalah: 0 U/mL (hanya buffer), 0,1,
U/mL, 0,3 U/mL dan 100 U/mL). Sedangkan untuk kontrol termasuk serum
normal (kontrol negatif) dan serum HIT yang lemah (kontrol positif). Wadah
mikrotiter yang mengandung campuran reaksi ditempatkan dalam shaker
trombosit selama 1 jam kemudian reaksi dihentikan dengan penambahan EDTA/
phospate-buffered saline (PBS). Setelah trombosit disentrifus, 50 µL supernatan
dipindahkan ke tabung yang berisi cairan scintillation untuk mengukur pelepasan
14 C-Serotonin selama interaksi trombosit-antibodi HIT. Pelepasan 14C-serotonin
dianggap telah terjadi jika lebih dari 20% pelepasan serotonin terdeteksi.
3.1.1.3. Interpretasi Tes
Hasil positif apabila >20 % 14C-serotonin dilepaskan pada konsentrasi
terapi dan tidak ada penglepasan tanpa heparin atau pada konsentrasi yang lebih
tinggi.
Hasil negatif, apabila penglepasan 14C-serotonin <20% pada konsentrasi
terapi atau tidak terhambat oleh heparin konsentrasi tinggi.
29
3.1.2. Tes Heparin-Induced Platelet Activation (HIPA) (Warkentin, 2007)
Tes HIPA ini mirip dengan SRA, tes ini mengukur agregasi trombosit
dalam PRP yang diinduksi oleh serum pasien dan heparin dalam konsentrasi
terapi.
3.1.2.1. Prinsip pemeriksaan
Serum/plasma pasien diinkubasi bersama dengan PRP dan ditambahkan
heparin pada kadar terapi (0,1 – 1,0 U/mL) dan kadar tinggi (10 – 100 U/mL).
Bila dalam serum terdapat antibodi HIT, akan terjadi agregasi trombosit dengan
heparin konsentrasi terapi
3.1.2.2. Cara Pemeriksaan
Sebanyak empat trombosit dari 4 donor yang dicuci dari donor normal
digunakan, dan trombosit dari tiap-tiap donor disiapkan dan dites secara terpisah.
Hirudin sebanyak 1 U/mL ditambahkan kedalam buffer pencuci yang
mengandung apyrase. Trombosit diinkubasi dengan serum/plasma pasien dan
heparin/buffer dalam sumur mikrotiter. Trombosit digerakkan menggunakan dua
tabung stainless steel dan penggerak yang bermagnet selama 45 menit pada 500
rpm dalam temperatur ruangan. Seperti SRA, konsentrasi heparin yang digunakan
mulai dari 0 U/mL, 0,2 U/mL dan 100 U/mL. Salah satunya dimodifikasi dengan
menggunakan LMWH (reviparin) 0,2 U/mL ditambah heparin 0,2 U/mL. Reaksi
pencampuran pada setiap sumur mikrotiter dilihat setiap 5 menit apakah ada
agregasi trombosit yang merupakan hasil akhir dari tes ini.
30
3.1.2.3. Interpretasi hasil
Hasil tes dianggap positif jika terjadi aggregasi trombosit sedikitnya 2 dari
4 donor pada kadar heparin LMWH rendah atau (0,2 U/mL) dan tidak terjadi
aggregasi pada heparin dengan konsentrasi tinggi (100 U/mL).
Aggregasi yang terjadi pada heparin konsentrasi rendah dan tinggi
dianggap sebagai hasil tes yang intermediat.
3.1.3. Platelet Aggregation Test (PAT) (Chong, 2007)
Pada pemeriksaan ini PRP sitrat digunakan dari donor normal, PRP
300 µL dicampurkan dengan serum/plasma pasien 150 µL dan heparin/salin
50 µL dalam kuvet dan digoyang dengan batang kecil yang bermagnet pada suhu
370C selama 30 menit. Konsentasi heparin yang digunakan pada pemeriksaan ini
0 U/mL (saline), 0,5 U/mL, atau 1,0 U/mL, dan 100 U/mL. Kontrol negatif
(serum normal ditambahkan dalam serum yang diperiksa) dan kontrol positif
(serum HIT yang dilemahkan ditambahkan dalam serum yang diperiksa) juga
termasuk dalam pemeriksaan.
Aggregasi trombosit merupakan hasil akhir dari tes ini, tapi tidak seperti
tes HIPA, tes ini menggunakan alat aggregometer trombosit untuk mengukur
secara kuantitas, jika aggregasi trombosit lebih dari 20% maka akan dianggap
hasil positif. Hasil yang positif jika terjadi aggregasi trombosit pada sampel
dengan konsentrasi heparin yang rendah (0,5 – 1,0 U/mL) tapi terjadi sebagian
atau sepenuhnya tidak terjadi aggregasi pada konsentrasi heparin tinggi (100
U/mL).
31
3.2. Immunoassay
Pemeriksaan immunoassay terhadap antibodi HIT berdasarkan deteksi
antibodi yang berikatan dengan kompleks antigen. Terdapat 4 macam
pemeriksaan immunoassay yaitu solid-phase enzyme immunoassay (EIA), PF4-
polyvinylsulfonate immunoassay, fluid-phase EIA dan pemeriksaan particle gel.
3.2.1. Solid-phase Enzyme Immunoassay (Warkentin,2007)
Sumur mikrotiter yang dilapisi PF4 dan heparin, di blok dengan larutan
penahan (seperti bufer yang mengandung 20% serum janin sapi). Tes atau serum
kontrol (1 dalam 50 larutan) ditambahkan dalam duplikat dan di inkubasi selama 1
jam pada suhu ruangan. Konjugat alkali pospatase ditambahkan dengan
immunoglobulin domba antihuman, diikuti dengan penambahan dari substrat, p-
nitrophenyl phospatase dalam 1 M bufer diethanolamine. Sumur mirkrotiter
dicuci dengan bufer PBS-Tween 20 diantara setiap langkah prosedur. Setelah
diinkubasi di ruangan gelap, reaksi dihentikkan dengan 1 N sodium hydroxide.
Absorban dibaca pada panjang gelombang 405 nm. Kadar cut off di set pada tiga
standar deviasi diatas rerata.
Gambar 3.1. Skema Pemeriksaan dengan EIA (Warkentin T,2007)
32
3.2.2. PF4-Polyvinilsulfonate Antigen Assay (Warkentin,2007)
Polyvinylsulfonate (PVS) merupakan bahan yang memiliki ion negatif,
yang dapat menginduksi epitop antigenik ketika berikatan dengan PF4. Kompleks
PVS-PF4 dapat digunakan untuk melapisi sumur mikrotiter pada EIA fase padat
yang mengandung heparin-PF4. Saat ini kit komersil pemeriksaan PVS-PF4 telah
banyak tersedia untuk mendeteksi antibodi HIT. Pemeriksaan ini memiliki
keuntungan bahwa kompleks PVS-PF4 stabil untuk disimpan untuk waktu yang
lama.
3.2.3. Fluid-Phase EIA (Warkentin,2007)
PF4 (5% biotinylated) dicampurkan dengan heparin dengan konsentrasi
optimal, kemudian campuran antigen diinkubasi selama 1 jam dengan
serum/plasma (1/50 atau 1/10). Sesudah itu campuran antigen-antibodi
diduplikasi pada tabung microfuge mengandung protein G Sepharose, yang telah
ditahan dengan 1% bovine serum albumin (BSA). Sepharose beads mengandung
kompleks biotin-PF4-heparin-antibody yang dipisahkan dari antigen dengan cara
disentrifus dan dicuci. Sejumlah antigen-antibodi di imobilisasi ke wadah beads
yang dideterminasi dengan cara penambahan konjugat streptavidin dengan horse
radish peroxidase dan substrat TMB peroxidase. Setelah penambahan 0,6 M H-
2SO4 untuk menghentikan perubahan warna. Supernatan dipindahkan ke sumur
mikrotiter dan absorbansi dengan panjang gelombang 450 nm diukur dengan
menggunakan microtiter plate reader.
33
Gambar 3.2. Skema Pemeriksaan Fluid-Phase EIA (Warkentin,2007)
3.2.4. Particle Gel Immunoassay
3.2.4.1 Prinsip Pemeriksaan (Eichler, 2002)
Reagensia terdiri kompleks PF4-heparin dilekatkan pada suatu partikel
yang berwarna. Kemudian ditambahkan serum/plasma pasien, jika dalam
serum/plasma pasien terdapat antibodi terhadap kompleks PF4-heparin, maka
akan terjadi agregasi partikel tersebut. Jika dimasukkan pada suatu kolom gel,
agregat tersebut tidak dapat melewati, sehingga tetap dipermukaan gel. Bila tidak
ada agregasi partikel tersebut dapat melalui gel dan akan mengendap di dasar
tabung.
3.2.4.2. Cara Pemeriksaan (Eichler 2002)
Sebanyak 10 µL serum pasien dan 20 µL PF4-Heparin yang melapisi
polystyrene microbeads ditambahkan kedalam bagian atas mikro kolom gel pada
kartu pemeriksaan. Setelah diinkubasi selama 5 menit, kartu disentrifus. Jika
34
terdapat antibodi HIT yang kuat, microbead akan beraglutinasi dan tetap berada
pada lapisan atas dari mikro kolom gel. Jika tidak terdapat antibodi, microbead
tetap jernih dan sedimen berada di bagian bawah.
Hasil dibaca secara visual, dan cara pemeriksaan relatif mudah dapat
dilakukan dengan cepat.
Gambar 3.3.Skema Pemerisaan dengan Particle Gel Immunoassay (Warkentin,2007)
35
BAB IV
RINGKASAN
Heparin merupakan ikatan berbagai bentuk sulfalted glycosaminoglycans
dengan panjang rantai yang berbeda. Unfraction Heparin dan dan low molecular
weight heparin adalah antikoagulan yang efektif dan telah dipergunakan secara
luas untuk pencegahan dan pengobatan penyakit tromboembolik vena dan arteri.
Namun ternyata pemakaian heparin dapat menyebabkan efek samping
yang serius dan mengancam jiwa yaitu heparin induced thrombocytopenia (HIT).
Penyakit ini adalah suatu keadaan yang ditandai dengan penurunan jumlah
trombosit setelah pemberian heparin, tanpa ada penyebab yang lain. HIT biasanya
tidak menimbulkan perdarahan melainkan justru trombosis.
Heparin induced thrombocytopenia secara klinis terbagi atas dua tipe yaitu
HIT tipe 1 atau sering disebut juga dengan pseudo HIT yang dihubungkan dengan
efek heparin yang menimbulkan proaggregating trombosit. Jumlah trombosit
biasanya menurun dibawah 100.000/µL dan terjadi pada 4 hari pertama pemberian
heparin, kemudian akan kembali normal beberapa hari walaupun pemberian
heparin tetap dilanjutkan.
Berbeda dengan HIT tipe 1, terjadinya HIT tipe 2 atau sering juga disebut
dengan HIT saja melalui mekanisme imun yaitu pembentukan antibodi kompleks
platelet faktor 4 (PF4)- heparin, trombositopenia terjadi dengan derajat sedang
sampai berat dan onsetnya lambat yaitu hari ke 5-10 pemberian heparin. Jumlah
trombosit akan kembali normal jika pemberian heparin dihentikan, dan biasanya
36
membutuhkan waktu 5-7 hari setelah penghentian pemberian heparin, namun
kadang-kadang membutuhkan waktu yang lebih lama sampai 30 hari.
Setelah diagnosis HIT dibuat, hal ini harus dikonfirmasikan dengan
pemeriksaan laboratorium. Secara prinsip terdapat dua tipe pemeriksaan yang
tersedia yaitu pemeriksaan fungsional yang terdiri dari 14C Serotonin Release
Assay (SRA), Heparin induced platelet activation assay (HIPA) dan tes aggregasi
trombosit/ platelet aggregation test (PAT).
Pemeriksaan yang kedua adalah pemeriksaan dengan immunoassay yang
prinsipnya ialah pemeriksaan terhadap antibodi HIT berdasarkan deteksi antibodi
yang berikatan dengan kompleks antigen. Terdapat 4 macam pemeriksaan
immunoassay yaitu solid phase enzym immunoassay (EIA), PF4-
polyvinylsulfanate immunoassay, fluid phase EIA dan pemeriksaan particle gel.
37