72090745-Tafsir-Falsafi

download 72090745-Tafsir-Falsafi

of 40

Transcript of 72090745-Tafsir-Falsafi

Tafsir FalsafiTAFSIR FALSAFISejarah tentang tafsir falsafiTafsir Falsafi dalam Pandangan Islam- Al-Quran mengajak berfilsafat- Metode penafsiran falsafi3. Kekuatan dan kelemahannya&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&Sejarah tentang Tafsir FalsafyPada saat ilmu-ilmu agama dan sain mengalami kemajuan, kebudayaan-kebudayaan Islam berkembang kepada gerakan penerjemahan buku-buku yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Hal ini pula yang membawa Islam kepada pengenalan terhadap filsafat terutama dari buku-buku karangan Aristoteles dan Plato. Filsafat dianggap sebagai hal baru yang dapat mengeksplor pemikiran mereka dan oleh karena mereka sangat gandrung akan model pemikiran semacam ini, maka dari sinilah mengapa sebagian orang Islam menafsirkan al-Quran dengan menggunakan pendekatan filsafat atau yang disebut dengan tafsir falsafi.Yang dimaksud dengan tafsir falsafi dalam tafsir al-Mizan fi tafsir al-Quran adalah bagaimana para filosof membawa pikiran-pikiran filsafat dalam memahami ayat-ayat al-Quran. Diantara tokohnya adalah Al-Farabi, Ibnu-Shina. Sedang Thaba Thabai sendiri memasukkan pembahasan filsafat sebagai tambahan dalam menerangkan suatu ayat atau menolak teori filsafat yang bertentangan dengan al-Quran. Ia menggunakan pembahasan filsafat hanya pada sebagian ayat saja.1Menyikapi hal ini, ulama Islam terbagi kepada dua golongan sebagai berikut:Golongan pertama yang menolak filsafat, atau ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan filosof tersebut. Mereka tidak mau menerimanya, oleh karena mereka memahami diantaranya ada yang bertentangan dengan aqidah dan agama. Bangkitlah mereka yang menolak buku-buku itu dan menyerang faham-faham yang dikemukakan didalamnya, membatalkan argumen-argumennya, mengharamkannya untuk dibaca dan menjauhkannya dari kaum muslimin. Diantara yang bersikap keras dalam menyerang para filosof dan filsafat adalah Hujjah al-Islam al- Imam Abu Hamid al-Ghazaly. Karena itu ia mengarang sebuah kitab al- Irsyad dan kitab-kitab lain untuk menolak paham mereka. Begitu juga Fakhrur Rozi di dalam kitab tafsirnya beliau membeberkan ide-ide filsafat yang dipandang bertentangan dengan agama. Dan akhirnya dengan tegas ia menolak filsfat berdasar dalil yang beliau anggap memadai.2Kelompok kedua, adalah kelompok yang menerima filsafatdan mengaguminya. Meskipun sebenarnya ada pertentangan yang nampak jelas anatara filsafat dan agama. Namun mereka berpendapat bahwa hal itu masih memungkinkan untuk dilakukan kompromi antara al-Quran dengan filsafat dengan menghilangkan pertentangan yang terjadi diantara keduanya. Dalam mengkompromikan kedua hal tersebut, dilakukan dengan dua cara 3, yaitu:Cara pertama, mereka melakukan tawil terhadap nash-nash al-Quran sesuai dengan pandangan filosof. Yakni mereka menundukkan nash-nash Al-Quran pada pandangan-pandangan filsafat. Sehingga keduanya nampak seiring sejalan.Cara kedua, adalah mereka menjelaskan nash-nash al-Quran dengan pandangan pandangan teori filsafat. Mereka menempatkan pandangan para filosof sebagai bagian primer yang mereka ikuti, dan menempatkan al-Quran sebagai bagian sekunder yang mengikuti filsafat. Yakni filsafat melampaui Al-Quran. Cara ini lebih berbahaya dari cara yang pertama.Beberapa contoh penafsiran falsafi :Al-Farabi (257-339)IkhwanushofaIbnu ShinaTafsir falsafi dalam pandangan Islam2.1. Al-Quran mengajak untuk berfilsafat.Arab, suatu tempat dimana Al-Quran diturunkan sebelum datangnya Islam tidak mengenal pemikiran filsafat. Malah mereka tidak mengenal kata-kata filsafat itu, karena filsafat bukanlah kata-kata arab sendiri, tetapi dari Yunani. Ilmu ini mereka kenal sesudah orang-orang Islam menerjemahkan buku-buku filsafat Yunani kedalam bahasa Arab.Doktor Jamil Saliba dalam bukunya Tarikh al-Falsafah al- Arabiyah mengatakan bahwa Arab Jahiliah telah memiliki pengetahuan falak, ilmu alam, ilmu kedokteran experimental yang bercampur aduk dengan ilmu magik dan azimat, serta dongeng tentang jin dan syaitan, mereka pintar berpuisi dan prosa, dan syair-syair suhud yang mengandung unsur akhlak dan kejiwaan; tetapi semua ini tidak tersusun dalam satu aliran filsafat yang sempurna dan sistematis. Pemikiran filsafat belumlah mereka miliki kecuali setelah datangnya Islam.4Bangsa Arab yang cara berfikirnya sangat fanatik kepada leluhur mereka, maka Islam datang memerdekakan ratio (akal) mereka dari belenggu yang mengikatnya dan membebaskan dari pengaruh taklid yang memperbudaknya. Akal itu dipersilahkan untuk memberikan keputusan dengan ilmu dan kebenarannya sendiri, disamping harus tunduk hanya kepada Allah Yang Maha Esa semata dan patuh kepada peraturan syariat agama-Nya. Islam tidak merintangi dinamika akal, dan tidak membatasi kemajuan berfikirnya yang terus meningkat.Dengan kemajuan berfikir itu, Quran mengajak dan mendorong untuk berfikir dan menyelidiki serta membahas segala hal yang wujud. Dengan demikian akal akan sampai kepada pembuktian adanya pencipta dan sekalian ciptaan-Nya. Dan ini adalah merupakan inti dari pembahasan pemikiran falsafi.5 Banyak kandungan ayat-ayat al-Quran yang mendorong akal untuk berfikir falsafi, seperti Firman Allah Taala : Maka ambillah pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan (pikiran) Al- Hasyr (59:2)Ia pun telah berfirman ;Bahwasannya dalam kejadian langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.Dan, banyak lagi ayat-ayat lain yang berhubungan dengan masalah-masalah Allah, alam, dan manusia maupun persoalan-persoalan ratio, atau akal dan etika, masalah-masalah yang merupakan tema dasar dari pengkajian filosof-filosof dari masa ke masa sepanjang sejarah pemikiran filsafat. Maka pengkajian yang mendalam antara orang-orang Islam tentang ayat-ayat al-Quran yang berhubungan dengan Allah, Alam dan manusia, membawa mereka kepada mendalami masalah filsafat, dalam artian dengan datangnya Islam maka al-Quran meletakkan fundasi dasar untruk berfikir falsafi bagi orang-orang Arab khususnya dan bagi orang-orang Islam umumnya.Ayat-ayat mutasyabihat baik dulu hingga kini dan untuk selamanya merupakan pendorong untuk berfikir dan mengajak manusia menggunakan akalnya, atau dengan kata lain membantu manusia dalam meniti jalan filosofis.62.2. Metode Penafsiran Falsafi1 Muhammad Hussain At-Thaba-ThabaI, al-Mizan fi Tafsir Al-Quran. Bairut: (Mu,assisah al-Alamy Li al Mathbuat) halm; 32 Ali Hasan al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Rajawali Press, Jakarta, 1992, halm; 613 Mahmud Hamdi, Al-Mausuah al-Quraniah al Mutakhossishoh. Kairo, kementrian wakaf,2003 halm;2854 Beberapa Aspek Ilmiah Tentang Quran, Bustami A GAni, Litera Antar Nusa, Jakarta,1994, halm 2315 Ibid, halm 2356 M yusuf Musa, Al-Quran dan Filsafat,Tiara Wacana, Yogyakarta,1991, halm; 29diposkan oleh smartfamily di 22:03 010009000003ee02000000002e02000000002e02000026060f005204574d4643010000000000010063370000000001000000300400000000000030040000010000006c0000000000000000000000110000000c00000000000000000000007a020000ca01000020454d4600000100300400000c000000010000000000000000000000000000000004000000030000690100000f0100000000000000000000000000001c83050055220400460000002c00000020000000454d462b014001001c000000100000000210c0db010000006000000060000000460000008001000074010000454d462b224004000c000000000000001e4009000c00000000000000244001000c000000000000003040020010000000040000000000803f214007000c0000000000000008400005cc000000c00000000210c0db01000000000000000000000000000000000000000100000047494638396112000d00e300008a8a8a808080e5e5e5fffffff2f2f2eaeaeae4e4e4000000ccccccb4b4b41a1a1a3333336666664d4d4dffffffffffff2c0000000012000d0000045910c8492b0893e8cdf90508400c646912205684a359a288a1aea23b1ca0210345cf9e8b836ed7f3d50e8ac322a99bf50009d181d1581e844ea84000402a99c482764b162c034ddeb8bc3d081268cc9a5d866302f8bc7e8f8f00003b0840010824000000180000000210c0db01000000030000000000000000000000000000001b40000040000000340000000100000002000000000000bf000000bf000090410000504103000000000000b3000000b3ffff8f41000000b3000000b3ffff4f412100000008000000620000000c00000001000000150000000c00000004000000150000000c00000004000000510000004c0100000000000000000000110000000c00000000000000000000000000000000000000120000000d0000005000000060000000b00000009c000000000000002000cc00120000000d00000028000000120000000d00000001000400000000000000000000000000000000000e0000000000000000000000ffffff008a8a8a0080808000f2f2f200cccccc00eaeaea00e4e4e400333333001a1a1a00b4b4b400666666004d4d4d00e5e5e50023333333333333333303030322adddddddddddda33020a0d262adddddddd0da3730d0d0a2662addddddd8937730d0d0d26662add2090890773030000266662a240bc8900730d0d0d266665241090890773060606266652411114807773090007266524111111025773020a022652411111111425730303002524111111111142530009002244444444444444230606062222222222222222320007074c000000640000000000000000000000110000000c0000000000000000000000120000000d0000002900aa0000000000000000000000803f00000000000000000000803f0000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000220000000c000000ffffffff460000001c00000010000000454d462b024000000c000000000000000e000000140000000000000010000000140000000400000003010800050000000b0200000000050000000c020d001200030000001e00040000000701040004000000070104008b000000410b2000cc000d001200000000000d0012000000000028000000120000000d00000001000400000000000000000000000000000000000e0000000000000000000000ffffff008a8a8a0080808000f2f2f200cccccc00eaeaea00e4e4e400333333001a1a1a00b4b4b400666666004d4d4d00e5e5e50023333333333333333303030322adddddddddddda33020a0d262adddddddd0da3730d0d0a2662addddddd8937730d0d0d26662add2090890773030000266662a240bc8900730d0d0d266665241090890773060606266652411114807773090007266524111111025773020a022652411111111425730303002524111111111142530009002244444444444444230606062222222222222222320007070c00000040092900aa000000000000000d00120000000000040000002701ffff030000000000CORAK TAFSIR FALSAFI DAN TAFSIR SUFIA. TAFSIR FALSAFI1. Pengertian Tafsir FalsafiTafsir falsafi menurut Quraisy Shihab adalah upaya penafsiran Al Quran dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat.[1] Tafsir falsafi, yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai paradigmanya. Adajugayangmendefisnisikantafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat Al-Quran dengan menggunakan teori-teori filsafat. Hal ini berarti bahwaayat-ayatAlQurandapatditafsirkan dengan menggunakan filsafat.Karena ayat Al Quran bisa berkaitan dengan persoalan-persoalan filsafat atau ditafsiri dengan menggunakan teori-teori filsafat.Tafsr al-Falsifah, yakni menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan falsafi, seperti tafsir bi al-ra`y. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat.[2] seperti tafsir yang dilakukan al-Farabi, ibn Sina, dan ikhwan al-Shafa. Menurut Dhahabi, tafsir mereka ini di tolak dan di anggap merusak agama dari dalam.[3]Al Quran adalah sumber ajaran dan pedoman hidup umat Islam yang pertama, kitab suci ini menempati posisi sentral dalam segala hal yaitu dalam pengembangan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan keislaman. Pemahaman ayat-ayat Al Quran melalui penafsiran mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju mundurnya peradaban umat Islam. Di dalam menafsirkan Al Quran terdapat beberapa metode yang dipergunakan sehingga membawa hasil yang berbeda-beda pula, sesuai dengan sudut pandang dan latar belakang penafsir masing-masing. Sehingga timbullah berbagai corak penafsiran seperti tafsir shufi, ilmi, adabi, fiqhi dan falsafi dan lain-lain yang tentunya juga akan menimbulkan pembahasan yang luas serta pro-kontra dari zaman ke zaman.Penafsiran terhadap Al Quran telah tumbuh dan berkembang sejak masa awal Islam. Sejalan dengan kebutuhan umat Islam untuk mengetahui seluruh segi kandungan Al Quran serta intensitas perhatian para ulama terhadap tafsir, maka tafsir Al Quran pun terus berkembang, baik pada masa ulama salaf maupun khalaf bahkan hingga sekarang. Pada tahapan-tahapan perkembangannya tersebut, muncullah karakteristik yang berbeda-beda baik dalam metode maupun corak penafsirannya.Sejarah telah mencatat perkembangan tafsir yang begitu pesat, seiring dengan kebutuhan, dan kemampuan manusia dalam menginterpretasikan ayat-ayat Tuhan. Setiap karya tafsir yang lahir pasti memiliki sisi positif dan negatif, demikian juga tafsir falsafi yang cenderung membangun proposisi universal hanya berdasarkan logika dan karena peran logika begitu mendominasi, maka metode ini kurangmemperhatikan aspek historisitas kitab suci. Namun begitu, tetap ada sisi positifnya yaitu kemampuannya membangun abstraksi dan proposisi makna-makna latent (tersembunyi) yang diangkat dari teks kitab suci untuk dikomunikasikan lebih luas lagi kepada masyarakat dunia tanpa hambatan budaya dan bahasa.[4]Dari pemahaman tersebut tidak tidak terlalu berlebihan kiranya kalau kita mengharapkan nantinya terwujudnya tafsir falsafi ideal, sebuah konsep tafir falsafi yang kontemporer yang tidak hanya berlandaskan interpretasi pada kekuatan logika tetapi juga memberikan perhatian pada realitas sejarah yang mengiringinya. Sebab pada prinsipnya teks Al Quran tidak lepas dari struktur historis dan konteks sosiokultural di mana ia diturunkan. Dengan demikian, akan lahir tarfir-tafsir filosofis yang logis dan proporsional, tidak spekulatif dan diberlebih-lebihan. Dan mungkin harapan tersebut tidak terlalu berlebihan karena di samping memang kita belum menemukan tafsir yang secara utuh menggunakan pendekatan filosofis, kalaupun ada itu hanya pemahaman beberapa ayat yang bisa kita temukan dalam buku-buku mereka.Corak penafsiran ini akan sangat bermanfaat nantinya untuk membuka khazanah keislaman kita, sehingga kita nantinya akan mampu mengetahui maksud dari ayat tersebut dari berbagai aspek, terutama aspek filsafat. Metode berfikir yang digunakan filsafat yang bebas, radikal dan berada dalam dataran makna tentunya akan memperoleh hasil penafsiran yang lebih valid walaupun keberannya masih tetap relatif.Namun kombinasi hasil penafsiran tersebut dengan aspek sosio-historis tentunya akan semakin menyempurnakan eksistensinya. Sehingga produk tafsir ini jelas akan lebih memikat dan kredibel dari pada tafsir lain.2. Sejarah Munculnya Tafsir FalsafiPada saat ilmu-ilmu agama dan science mengalami kemajuan, kebudayaan-kebudayaan Islam berkembang di wilayah kekuasaan Islam dan gerakan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab digalakkan pada masa khalifah Abbasiyah, sedangkan di antarabuku-bukuyangditerjemahkanituadalahbuku-bukukaranganparaFilosofseperti Aristoteles dan Plato, maka dalammenyikapi hal ini ulama Islamterbagi kepada dua golongan, sebagai berikut:1.Golongan pertama menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan para filosof tersebut.Merekatidakmau menerimanya, oleh karena itu mereka memahami ada diantara yang bertentangan dengan aqidah dan agama. Bangkitlah mereka dengan menolak buku-buku itudanmenyerangpaham-pahamyang dikemukakandidalamnya,membatalkan argumen-argumennya,mengharamkannya untuk dibaca dan menjauhkannya dari kaum muslimin.[5]Di antara yang bersikap keras dalam menyerang para filosof dan filsafat adalah Hujjah al-Islamal-Imam AbuHamid Al-Ghazaly. Oleh karena itu ia mengarang kitab al-Isyarat dan kitab-kitab lain untuk menolak paham mereka, Ibnu Sina dan Ibn Rusyd. DemikianpulaImamal-Fakhr Al-Razydi dalamkitabtafsirnya mengemukakanpaham mereka dan kemudian membatalkan teori-teori filsafat mereka, karena bernilai bertentangan dengan agama dan al-Quran.2.SebagianulamIslamyanglain, justrumengagumi filsafat. Merekamenekuni dandapat menerima sepanjang tidak bertentangan dengan dengan norma-norma (dasar) Islam, berusaha memadukan antara filsafat dan agama dan menghilangkan pertentangan yang terjadi di antara keduanya.[6]Golongan ini hendak menafisrkan ayat-ayat Al-Quran berdasarkan teori-teori filsafat mereka semata, akan tetapi mereka gagal, oleh karena tidaklah mungkinnash al-Quran mengandung teori-teori mereka dan sama sekali tidak mendukungnya.DR. Muhammad Husain Al-Dzahabi, menanggapi sikap golongan ini, berkata Kami tidak pernah mendengar ada seseorang dari para filosof yang mengagung-agungkan filasafat, yang mengarang satu kitab tafsir Al-Quran yang lengkap. Yang kami temukandari mereka tidak lebih hanya sebagian dari pemahaman-pemahaman mereka terhadap al-Quran yang berpencar-pencar dikemukakan dalam buku-buku filsafat karangan mereka.[7]Dari golongan yang pertama lahirlah kitab Mafatih AL-Ghayb, karangan Al-Fakhr Al-Razy (W. 606 H)B. TAFSIR SUFI1. Pengertian dan Sejarah Lahirnya Tafsir SufiDalamtradisi ilmutafsir klasik, tafsir bernuansatasawufataujugasufistiksering didefinisikan sebagai suatu tafsir yang berusaha menjelaskan makna ayat-ayat al-Quran dari sudut esotorik atau berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak oleh seorang sufi dalam suluknya. Kata tasawuf sendiri menurut Dr. Muhammad Husen adz Dzahabi adalah transmisi jiwamenujuTuhanatasapayangiainginkanataudengankatalainmunajatnyahati dan komunikasinya ruh.Tafsr al-Shufiyah, yakni tafsir yang didasarkan atas olah sufistik, dan ini terbagi dalam dua bagian; tafsr shfi nadzary dan tafsr shfiisyary. Tafsir sufi nazary adalah tafsir yang didasarkan atas perenungan pikiran sang sufi (penulis) seperti renungan filsafat dan ini tertolak.[8] tafsir sufi isyary adalah tafsir yang di dasarkan atas pengalaman pribadi (kasyaf) si penulis seperti tafsr al-Qur`an al-`Adzm karya al-Tustari, Haqiq al-Tafsr karya al-Sulami dan `Aris al-Bayn f Haqiq al-Qur`an karya al-Syairazi. Tafsir sufi isyari ini bisa diterima (diakui) dengan beberapa syarat, (1) ada dalil syar`i yang menguatkan, (2) tidak bertentangan dengan syareat/ rasio, (3) tidak menafikan makna zahir teks. Jika tidak memenuhi syarat ini, maka ditolak.[9]Corak penafsiran Sufi ini didasarkan pada argumen bahwa setiap ayat al-Quran secara potensial mengandung 4 tingkatan makna: zhahir, batin, hadd, dan matla. Keempat tingkatan makna ini diyakini telah diberikan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila corak penafsiran semacam ini memang bukan hal yang baru, bahkan telah dikenal sejak awal turunnya al-Qurn kepada Rasulullah SAW, sehingga dasar yang dipakai dalam penafsiran ini umumnya juga mengacu pada penafsiran al-Quran melalui hierarkhi sumber-sumber Islam tradisional yang disandarkan kepada Nabi, para sahabat, dan pendapat kalangan Tabiin.Di samping itu, selain penafsiran yang didasarkan melalui jalan periwayatan secara tradisional, ada sebuah doktrin yang cukup kuat dipegangi kalangan sufi, yaitu bahwa para wali merupakan pewaris kenabian. Mereka mengaku memiliki tugas yang serupa, meski berbeda secara substansial. Jika para rasul mengemban tugas untuk menyampaikan risalah ilahiyah kepada ummat manusia dalam bentuk ajaran-ajaran agama, maka para sufi memikul tugas guna menyebarkan risalah akhlaqiyyah, ajaran-ajaran moral yang mengacu pada keluhuran budi pekerti.[10]Klaim sebagai pengemban risalah akhlakiyah memberi peluang bagi kemungkinan bahwa para sufi mampu menerima pengetahuan Tuhan berkat kebersihan hati mereka ketika mencapai tahapan marifat dalam tahap-tahap muraqabah kepada Allah. Sebuah konsep mistik yang oleh Ibn Arabi dikategorikan sebagai kemampuan para sufi dalam mencapai kedudukan yang disebutnya sebagaial-nubuwwat al-amma al-muktasabah (predikat kenabian umum yang dapat diusahakan). Berbeda dengan predikat para rasul dan nabi yang menerimanubuwwat al-ikhtisas (kenabian khusus) ketika mereka dipilih oleh Allah sebagai utusannya, kenabian umum bisa dicapai oleh siapa saja, bahkan setelah pintu kenabian tertutup sampai akhir zaman nanti.[11] Walhasil, dalam penafsiran sufi mufassirnya tidak menyajikan penjelasan ayat-ayat al-Quran melalui jalan itibari dengan menelaah makna harfiah ayat secara zhahir, tetapi lebih pada menyuarakan signifikansi moral yang tersirat melalui penafsiran secara simbolik, atau dikenal dengan penafsiran isyari. Yaitu, bukan dengan mengungkapkan makna lahiriahnya seperti dipahami oleh penutur bahasa Arab kebanyakan, tetapi dengan mengungkapkan isyarat-isyarat yang tersembunyi guna mencapai makna batin yang dipahami oleh kalangan sufi. Contoh karya yang menampilkan corak tafsir sufi adalah Tafsir al-Qurn al-Azhim, karya Sahl al-Tustar (w.283 H). Haqiq al-Tafsr karya Abu Abd al-Rahman al-Sulam (w.412 H). Lataif al-Isyarat karya al-Qusyairi, dan Aris al-Bayn f Haqiq al-Qurn karya al-Syiraz (w.606).Ketika ilmu-ilmu agama dan Science mengalami kemajuan pesat serta kebudayaan Islam tersebar ke seluruh plosok dunia dan mengalami kebangkitan dalam segala seginya, maka berkembanglah ilmu tasawuf dan ilmu itu mempunyai dua wujud: teoritis dan praktis. a. Tasawuf TeoritisDari kalangan tokoh-tokoh tasawuf lahir ulama yang mencurahkan waktunya untuk meneliti, mengkaji, memahami dan mendalami al-Qurandengansudut pandang sesuai denganteori-teori tasawufmereka. Merekamentawilkanayat-ayat al-Qurandengantidak mengikuti cara-cara untuk mentawilkan ayat al-Quran dan menjelaskannya dengan penjelasan yang menyimpang dari pengertian tekstual yang telah dikenal dan didukung oleh dalil Syari serta terbukti kebenarannya dalam bahasa Arab, yaitu dalam bab perihal Isyarat.[12]Imam Al-Alusy dalam kitab tafsirnya mengemukakan, sebagai berikut:Apa yangtelah diungkapkanolehtokoh-tokoh sufi tentang al-Quran adalah termasuk ke dalambab isyarat terhadap pengertian-pengertian rumit yang berhasil diungkapkan oleh orang yang menguasai cara yang harus ditempuh untuk sampai kepada Allah dan pengertian-pengertian itu dapat dipadukan dengan pengertian-pengertian tekstual yang dikehendaki. Hal ini termasuk kesempurnaan iman dan pengetahuan yang sejati. Mereka berkeyakinan bahwa pengertian tekstual sama sekali bukanlah yang dikehendaki (pengertian batin, bukan tektual, itulah yang dikehendaki). Oleh karena demkianlah keyakinan aliran Bathiniyah yang ekstrim, maka mereka sampai menafikan syariat secara keseluruhan.Tokoh-tokoh sufikita tidaklah bersifat demikian, oleh karena itu mereka menganjurkan agar tetap dipelihara penafsiran dan pengertian tekstual. Mereka berkata: pada tahap pertama harus tetap dilakukan serta diketahui penafsiran danpengertian tekstual, sebab tidak mungkin bisa sampai kepada penafsiran dan pengertian batin (non tekstual) dari suatu ayat sebelum penafsiran dan pengertian tekstualnya terlebih dahulu di ketahui. Barang siapa yang mengaku dapat memahami rahasia-rahasia Al-Quran sebelum mengetahui penafsiran dan pengertian tektualnya, maka ia seperti orang yang mengaku telah sampai ke bagian dalam kabah sebelum ia melawan pintunya.[13]Labih jauh Al-Alusy berkata: Tidaklah seyogyanya bagi orang yang kemempuannya terbatas dankeiimanannya belummendalammengingkari bahwaAl-Quranmempunyai bagian-bagian batin yang dilimpahkan oleh Allah yang Maha Pencipta dan Maha Pelimpah batin-batin hamba-Nya yang dkehendaki.Al-Alusy berkata tentang isyarat yang diberikan oleh firman Allah (QS. 2:45), Sebagai berikut: Jadikanlah sabardanshalatsebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikianitu berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu.Bahwashalatadalahsaranauntuk memusatkan dan mengkonsentrasikan hati untuk menangkap tajally (penampakandiri) Alllahdanhal ini sangat berat, kecuali bagi orang-orang yang luluh dan lunak hatinya untuk menerima cahaya-cahaya daritajally-tajally Allah yangamat halusn menangkapkekuasaan-Nya yang perkasa. Merekalah orang-orangyang yakin, bahwa mereka benar-benar berada di hadapan Allah danhanya kepada-Nya lah mereka kembali, dengan menghancurkan sifat-sifat kemanusiaan mereka (fana) dan meleburkannya ke dalam sifat-sifat Allah (baqa), sehingga mereka tidak menemukaan selain eksistensi Allah sebagai raja yang Maha halus dan Maha Perkasa. b. Tasawuf PraktisYang dimaksud dengan tasawuf praktis adalah cara hidup yang berdasarkan ata hidup sedrhana, zuhud, lapar, tidaktidurpadamalamhari, hidupmenyendiri, menjagadiri dari segala kenikmatan, meemutuskan jiwa dari berbagai macam syahwat dan mmenghancurkan diri dalam taat kepada Allah.Imam Ahmad Ibn Sahl berkata, musuhmu itu ada empat:1.Dunia. Senjata(yangdigunakanoleh) dunia(untukmemperdayamanusia) adalahhidup membaur dengan hidup sesame manusia dan penagkalnya adalah hidup menyendiri.2.Syaitan. Senjata syaitan adalah kenyang dan penangkalnya adalah lapar.3.Jiwa, senjata jiwa adalah tidur dan penagkalnya adalah tidak tidur pada malam hari.4.Hawa nafsu. Senjata hawa nafsu adalah banyak berbicara dan penagkalnya adalah diam.[14]Mereka benar-benar menerapkan sikap-sikap hidup di atas untuk hidup diri mereka, merekabersikapzuhuddialamkehidupanduniadanselalubersiap-siapdiri menghadapi kehidupan di akhirat.Dr.Muhammad Husainal-Dzahaby berkata: kami tidak mendengar ada seseorang yang mengarang kitab tertentu tentang tafsir sufi teoritis yang mennafsirkan ayat demi ayat demi ayat dalam al-Quran sepertti dalam tafsir isyary (tafsir yang mengungkapkan makna-maknayangdiisyaratkanolehayat Al-Quran). Yangkami temukanadalahketerangan-keteranganyangterpencar-pencar (tidakdalamsuatukitabtertentu) yangtermuat dalam penafsiranyangdisandarkakepadaIbn Araby dan kitab al-Futuhat al-Makkiyah, karangan beliau, sebagaimanasebagianyanglaindapat ditemukandalambanyakkitab-kitabtafsir yang corak penafsirannya berbeda-beda.Mereka berkata, tafsir sufi dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat, sebagai berikut:1.Tidak menafikan makna lahir (pengertian tekstual) dari ayat al-Quran.2.Penafsiran itu diperkuat oleh dalil Syara yang lain.3.Penafsiran itu tidak bertentangan dengan dalil syara atau ratio.4.Penafsirannya tidak mengakui bahwa hanya penafsirannya (batin) itulah yang dikehendaki oleh Allah, bukan pengertian tekstualnya. Sebaliknya ia harus mengakui pengertian tekstual dari ayat, sebagaimana penegasan Imam Al-Alusy.[15]Di antara kitab-kitab tentang tafsir Sufi adalah sebagai berikut:1.Tafsir Al-Quran al-Adhim, karangan Imam Al-Tustury.2.Haqaiq al-Tafsir, karangan al-Allamah Al-Sulamy.3.Arais al-Bayan fy Haqaiq al-Quran, karangan Imam Al-Syirazy.[16]2. Tafsir Sufi Lebih Dekat DenganTasawufTasawuf merupakan kata yang tidak asing dalam khazanah pengetahuan Islam, karena di samping telah menjadi suatu disiplin ilmu tertentu tasawuf juga dalam sejarah perkembangannya telah mempunyai banyak penganut yang dihadapkan atas berbagai polemik.Para ulama berbeda pendapat mengenai asal-usul kata tasawuf, hal ini terjadi karena istilah tasawuf sendiri tidak pernah dipakai dalam al-Quran ataupun hadis Nabi. Sehingga tidak mengherankan jika sufi atau tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandungarti suci. TimbulnyatasawufdalamIslamadalahkarenaadanyasegolongan umat Islam yang belum merasa puas dengan pendekatan diri kepada Tuhan melalui ibadat, puasadanhaji. Merekainginmerasalebihdekat lagi denganTuhandengancarahidup menuju Allah dan membebaskan diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi, sehingga tidakdiperbudak harta atau tahta, atau kesenangan dunia lainnya. kecenderungan seperti ini secara umumterjadi pada kalangan kaummuslimangkatan pertama. Al-Zahabi membenarkan bahwa praktik tasawuf semacam di atas telah dikenal sejak masa awal Islam, banyak di antara sahabat yang melakukan praktik tasawuf yaitu hidup dalam zuhd dan ibadah dan yang lainnya, tetapi mereka belum mengetahui istilah tasawuf.Padaangkatanberikutnya(abadke-2H. danseterusnya), secaraberangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan dunia menjadi lebih berat. Ketika itulah angkatanpertamakaummuslimyangmempertahankanpolahidupsederhanlebihdikenal dengan kaum sufiyah. Pada masa ini pulalah istilah tasawuf mulai dikenal. Dan orang yang dianggap pertama kali menggunakan istilah sufi adalah Hasyim al-Sufi (w. 150 H.).Praktik-praktik zuhud yang dilakukan ulama angkatan I dan II berlanjut sampai pada masa pemerintahan Abbasiyah (4 H.), ketika itu umat Islam mengalami kemakmuran yang melimpah, sehingga di kalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah. Pada masaitugerakantasawufjugamengalami perkembanganyangtidakterbatashanyapada praktik hidup sederhana saja, tetapi mulai ditandai dengan berkembangnya suatu cara penjelasan teoritis yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu yang disebut dengan ilmu tasawuf. Pada masa ini tasawuf telah mengalami percampuran dengan filsafat dan kalam, sehingga munculah apa yang dikenal dengan tasawuf nazari dan tasawuf amali. Tasawufnazari yaituyangmenjadikantasawuf sebagai kajiandanpembahasan. Adapun tasawuf amaly yaitu tasawuf yang dibangun dengan praktik-praktik zuhud taat kepada Allah swt.Dari hal tersebut di atasi mulai adanya ketidakmurnian dalam tasawuf, orang-orang yangbukanahlinyamencobamempelajari tasawufdenganlandasanilmuyangdianutnya. Sehingga hal tersebut sangat berpengaruh pada bidang lainnya seperti fiqh, hadis dan tafsir. Pada masa ini pula bermunculan istilah-istilah seperti khauf, mahabbah, marifah, hulul dan lain sebagainya. Dan sejak itu pula selanjutnya tasawuf telah menjadi lembaga atau disiplin ilmuyangmewarnai khazanahkeilmuandalamIslam, seperti halnyafilsafat, hukumdan yang lainnya.Sebagimana disiplin ilmu lainnya, tasawuf telah melahirkan para ahli tasawuf yang telah memberikan atau melahirkan paham-pahamnya dalam bidang tasawuf. Di samping itu, telah banyak bermunculan karya-karya tafsirproduk ulama sufi. Di antara karya tafsir ulama sufi adalahal-Futuhat karyaIbnal-Arabi, Tafsir al-Quranal-Azimkaryaal-Tastari dan Haqaiq al-Tafsir karya al-Salmi.Duamacamtasawuf yang telah disebutkan di atas, telah membawa pengaruh besar terhadap penafsiran al-Quran, sehingga muncul darinya apa yang dikenal sebagai tafsir sufi nazary dan tafsir sufi Isyari.3. Karakteristik Tafsir SufiCorak tafsir sufi yang lahir sebagai akibat dari timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderunganberbagai pihakterhadapmateri telahmempunyai ciri khusus atau karakter yang membedakannya dari tafsir lainnya. Tafsir sufi ini telah didominasi paham sufi yang dianut oleh mufassirnya karena memang tasawuf telah menjadi minat dasar bagi mufassir, sebelumnya dia melakukan usaha penafsiran atau juga bahwa penafsirannya itu hanya untuk legitimasi atas pendapatnya dalam hal ini adalah paham tasawuf. a. Tafsir Sufi NazariTafsirSufi al-Nazariadalahtafsir sufi yang dibangun untuk mempromosikan dan memperkuat teori-teori mistikyangdianut mufassir. Dalammenafsirkannyaitu mufassir membawa al-Quran melenceng jauh dari tujuan utamanya yaitu untuk kemaslahatan manusia, tetapi yang ada adalah penafsiran pra konsepsi untuk menetapkan teori mereka. Al-Zahabi mengatakan bahwa tafsir sufi nazari dalam praktiknya adalah pensyarahan al-Quran yang tidak memeperhatikan segi bahasaserta apa yang dimaksudkan oleh syara.Ulama yang dianggap kompeten dalam tafsir al-Nazari yaitu Muhyiddin Ibn al-Arabi. Beliau dianggap sebagai ulama tafsir sufi nazari yang meyandarkan bebarapa teori-teori tasawufnyadenganal-Quran. KaryatafsirIbnal-Arabi di antaranya al-Futuhat al-Makiyat dan al-Fushush. Ibnal-Arabi adalahseorangsufi yangdikenal denganpaham wahdatul wujud-nya. Wahdat al-wujuddalamteori sufi adalahpahamadanyapersatuan antara manusia dengan Tuhan. Dalil al-Quran tentang paham ini diantaranya:Pertama, al-Quran surat al-Baqarah ayat 186: Jika hamba-hambaku bertanya padamu tentang aku, aku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan orang memanggil jika dia panggil Aku. Kata doa yang terdapat dalam ayat tersebut oleh sufi diartikan bukan berdoa dalamarti lazimdipakai. Kata itu bagi mereka adalah mengandung arti berseru atau memanggil. Tuhanmerekapanggil danTuhanmelihat dirinyakepada mereka. Dengan perkataan lain, mereka berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan dirinya kepada mereka. Kedua, yaitu ayat 115 dari surat al-Baqarah: Timur dan Barat kepunyaan Allah,maka kemana saja kamu berpaling di situ wajah Allah. Kaum sufi menafsirkannya dengan di mana saja Tuhan ada, dan di mana saja Tuhan dapat dijumpai. Sehingga untuk mencari Tuhantidakperlujauh-jauh, danTuhandapat dijumpai dimanasajadanDiaselaluada. Ketiga, surat Qafayat 16, SebenarnyaKamiciptakanmanusiadankamitahuapayang dibisikkandirinyakepadanya. Kami lebihdekat kepadanyadari pembuluhdarahsendiriyang ada dilehernya. Para ahli tasawuf menafsirkan ayat itu sebagai gambaran bahwa untuk mencari Tuhanorang tak perlu pergi jauh-jauh. Untuk itu ia cukup kembali ke dalam dirinya sendiri. Dengan perkataan lain bahwa Tuhan bukan berada di luar diri manusia, tetapi Tuhan berada di dalam diri manusia. Mereka memperkuat penafsirannya itu dengan mengutip hadis Nabi, SiapayangmengetahuidirinyamengetahuiTuhannya.Untukmemperkuat tafsiran itu mereka juga mengambil atau menghubungkannya dengan ayat-ayat lain, seperti ayat 17 dari surat Al-Anfal: Bukanlah kamu yang membunuh mereka, tapi Allah-lah yang membunuhmereka, danbukanlahengkau yang melontarkanketika engkaulontarkantapiAllah yang melemparkannya.Ibn al-Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran sangat dipengaruhi oleh paham wahdat al-wujud yang merupakan teori atau paham terpenting dalam tasawufnya dan seolah-olah penafsirannya itu dijadikan legitimsi atas pahamnya. Al-Zahabi berpendapat bahwa Ibn al-Arabi dalammenafsirkan ayat-ayat al-Quran telah keluar dari madlul ayat yang dimaksudkan oleh Allah. Dari pendapatnya itu, al-Zahabi kelihatan tidak setuju atas penafsiran Ibn al-Arabi yang telah keluar dari maksud dilalah ayat.Contoh penafsiran Ibn al-Arabi sebagai landasan untuk memperkuat paham wahdat al- wujud-nyadiantaranya yaituKetikamenafsirkanayat 29-30dari surat Al-Fajr yang berbunyi: . Fadkhuli jannati, menurut tafsirannya adalah masuklah ke dalam diri kamu (manusia) untuk mengetahuiTuhanmukarena Tuhan itu adalah diri kamu sediri (manusia). manusia untuk bisa mengetahui Tuhan yang ada pada dirinya adalah dengan menyingkap penutup yang ada pada diri manusia yaitu nafsu insaniyah. Jika kamu telah masuk ke dalam surga-Nya maka kamu telah masukdalamdirikamu,dan mengetahuiakan Tuhan yaitu ada dalam dirimu. Dengan perkataan lain bahwa kamu (manusia) adalah Tuhan dan kamu jugaadalah Hamba.Selanjutnya al-Zahabi secara lebih panjang lebar menjelaskan karekteristik atau ciri-ciri dalam penafsiran nazary yang dapat diringkas sebagai berikut :Pertama, dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran tafsir nazari sangat besar dipengaruhi oleh filsafat. Al-Zahabi memberikan contoh tafsir al-Nazari yang dipengaruhi filasafat yaitu penafsiranIbn al-Arabi terhadap ayat 57 dari surat Maryam : Menurut al-Zahabi penafsiran Ibn al-Arabi tersebut sangat dipengaruhi oleh pemikiran filsafat alam yaitu dengan menafsirkan lafadz makanan aliyyan dengan antariksa (alam bintang). Kedua, di dalam tafsir al-Nazari, hal-hal yang gaib dibawa ke dalam sesuatu yang nyata atau tampak atau dengan perkataan lain mengqiyaskan yang gaib ke yang nyata. Ketiga, terkadang tidak memperhatikan kaidah-kaidah nahwu dan hanya menafsirkan apa yang sejalan dengan ruh dan jiwa sang mufassir.Kelihatannya apa yang ditulis al-Syatibi mengenai tafsir al-Nazari adalah hanya berdasarkan pada penafsiran takwil yang tidak sesuai dengan aturan yang ada. Dan menurut hemat penulis tafsir al-Nazari pada hakikatnya adalah tafsir isyariyang secara umum dipakai olehkaumsufi. Tetapi tafsir al-Nazari ini dalampraktiknyatidakmemperhatikankaidah-kaidah yang ada dan hasilnya sangat jauh dari apa yang dimaksudkan ayat secara zhahir. b. Tafsir Sufi IsyariTafsir sufi Isyari adalah pentakwilan ayat-ayat al-Quran yang berbeda dengan makna lahirnyasesuaidenganpetunjukkhusus yangditerima paratokoh sufismetetapidi antara keduamaknatersebut dapat dikompromikan.Yangmenjadi asumsi dasar merekadengan menggunakantafsir isyari adalahbahwaal-Quranmencakupapayangzhahir danbatin. Maknazhahir dari al-Quranadalahteks ayat sedangkanmaknabatinnyaadalahmakna isyarat yang ada dibalik makna tersebut.Seorang ulama sufi Nasiruddin Khasr mengatakan bahwapenafsiran nash al-Quran yang hanya melihat zhahirnya, hanya merupakan badan atau pakaian akidah sehingga diperlukan tafsir atau penafsiranyang dalam dengan menelusuri di balik makna lahir tersebut dan itu adalah ruhnya, sehingga bagaimana mungkin badan bisa hidup tanpa ruh. Dan begitu, bukan berarti ulama tasawuf menolak makna lahir, mereka tetap menerima makna lahir dan menelusuri maknabatinuntukmengetahui hikmah-hikmahyangadadibalikmaknalahir tersebut. Imamal-Gazali seorangulamatasawuf, beliautidakmenolaksecaramutlakapa yang ada dari makna lahir. Untuk bisa memahami makna batin tidak bisa dilakukan oleh akal atau ray, sehingga beliau sangat menolak yang namanya tafsir dengan ray atau akal. Menurut hemat penulis metode yangdipakai dalamtafsir tasawuf secaraumum adalah takwil metode isyarat. Isyarah di sini maksudnya adalah menyingkap apa yang ada di dalam makna lahir suatu ayat untuk mengetahui hikmah-hikmahnya. Mereka menggunakan kataIsyaratadalahuntukmembedakannyadari tawil yangselaludinisbatkankepada tujuan buruk. Padahal metode isyarah yang digunakan oleh mereka dalam praktiknya lebih banyak sama dengan takwil. Para ulama sufi juga berpendapat bahwa hasil penafsiran mereka terhadap al-Quran tidak disebut sebagai tafsir, karena hal itu sama saja dengan membatasi maknaal-Qurandengancarapemaknaandanpenafsiran, danmerekalebihmenyebutnya dengan Isyarah.Lahir-Batin merupakan konsep yang dipergunakan oleh kaum sufi untuk melandasi pemikirannya dalam menafsirkan al-Quran khusunya dan melihat dunia pada umumnya. Pola sistem berpikir mereka adalah berangkat dari yang zhahir menuju yang batin. Bagi mereka batin adalah sumber pengetahuan sedangkan zahir teks adalah penyinar. Rujukan yang mereka pakai adalah pernyataan yang selalu dinisbatkan kepada Ali ibn Abi Thalib, bahwasetiap ayat al-Quran memiliki empat makna; zahir, batin, had dan matla. Al-Gazali sendiri menegaskanbahwa selainyangdhahir, al-Quranmemiliki makna batin. Abdullah(Al-Muhasibi) danIbnual-Arabimemberikanpenjelasanpernyataan tersebut, bahwa yang dimaksud dengan yang zahir adalah bacaannya, dan yang batin adalah takwilnya. Sementara AbuAbdurrahmanmengatakanbahwayangdimaksuddenganDhahir adalah bacaanya sementara yang batin adalah pemahamannya. Baikmaknazhahir ataupunmaknabatinpadaal-Quranadalahdari Allah. Lahir adalahturunnya(tanzil) al-Qurandari Allahkepadaparanabi denganbahasaummatnya, sedangkanal-Batinadalahadanya pemahamandi hati sebagianorangmukmin(hati al-arifin), yangberasal dari Allah.Olehkarenaitudulismelahir-batin dalamwacanaAl-Quran, pemahaman dan penakwilannya tidak dikembalikan kepada manusia, tetapi kepada Allah. Sebab Allah menjadikan segala sesuatu (makhluk) memiliki dimensi dhahir dan batin (dan al-Quran termasuk makhluk). Yang dhahir adalah bentuk yang bisa diindera (al-Shurah al-Hissiyah) dan yang batin adalah al-Ruh al-Manawi.Contoh penafsiran isyariyang dapat diterima karena telah memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, yaitu penafsiran al-Tastary ketika menafsirkan ayat 22 dari surat al-Baqarah : Al-Tastary menafsirkan andadan yaitu nafsu amarah yang jelek. Jadi maksud andadan disini bukan hanya patung-patung, setan atau jiwa tetapi nafsu amarah yang sering dijadikan Tuhan oleh manusia adalah perihal yang dimaksud dari ayat tersebut, karena manusia selalu menyekutukan Tuhannya dengan selalu menjadi hamba bagi nafsu amarahnya.Menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan melihat isyarat yang ada di dalamnya telah banyak dilakukan oleh para sahabat Nabi, diantaranya penafsiran isyari sahabat yaitu: Ketika para sahabat mendengar ayat pertama dari surat al-Nasr yang bunyinya: Di antaramerekaadayangmencobamemberikanpenafsiranayat tersebut dengan mengatakanbahwaayat tersebut memerintahkankepadamerekauntukbersyukur kepada Allah dan meminta ampunannya. Tetapi berbeda dengan Ibn Abbas yang mengatakan bahwa ayat tersebut adalah sebagai tanda ajal Rasulullah saw. Contoh lainnya adalah ayat tiga dari surat al-Maidah yang dianggap oleh sebagian ulama sebagai ayat yang terakhir diturunkan. Umar ibn al-Khatab ketika mendengar ayat tersebut beliau menangis tidak seperti sahabat yang lain yang ketika mendengar ayat ini sangat gembira. Dalam asebuah riwayat Ibnu Abi Syaibah menyatakan bhwa ktika ayat ini diturunkan Umar ibn al-Khatab menangis, lantas Nabi bertanya: apa yang kamu tangisi (Umar) ? saya menangisi bahwa sesungguhnya kita telahbertambahdalamagamakita, makaadatidaksesuatuyangsempurnalagi kecuali tambah berkurangAl-Zahabi memeberikan penjelasan mengenai perbedaan antara tafsir sufi nazari dengan tafsir sufi isyari sebagai berikut :1.Tafsir sufi nazari dibangun atas dasar pengetahuan ilmu sebelumnya yang ada dalam seorang sufi yangkemudianmenafsirkanal-Quranyangdijadikansebagai landasantasawufnya. Adapun tafsir sufi isyari bukan didasarkan pada adanya pengetahuan ilmu sebelumnya, tetapi didasari oleh ketulusan hati seorang sufi yang mencapai derajat tertentu sehingga tersingkapnya isyarat-isyarat al-Quran.2.Dalam tafsir sufi nazari seorang sufi berpendapat bahwa semua ayat al-Quran mempunyai makna-makna tertentu dan bukanmakna lain yang di balik ayat. Adapun dalam tafsir sufi isyari asumsi dasarnya bahwa ayat-ayat al-Quran mempunyai makna lain yang ada di balik makna lahir. Dengan perkataan lain bahwa al-Quran terdiri dari makna zahir dan batin.Persoalan yang timbul kemudian adalah, bagaimana parasufi menafsirkan ayat-ayat tentang hukum atau fiqh. Hal ini dikarenakan bahwa di dalam cerita-cerita para sufi, mereka menolak hukum fiqh atau syariah seperti shalat, puasa jakat dan sebagainya. Yang ditekankan oleh mereka adalah hakikat bukan syariat. Dalam menaggapi persoalan ini, perlu merujuk para ulama tasawuf sendiri.Dalan sejarah tasawuf, pada sekitar abad keempat telah terjadi pergulatan yang tajam antara ahli hakikat yang diperankan oleh para ahli tasawuf dan ahli syariah yang dmainkan oleh para fuqaha. Tetapi setelah itu al-Ghazali berusaha menyatukan kembali antara keduanya dengan menulis berbagai kitab, terutama yang terkenal diantara kitabnya adalah Ihya Ulumuddin.Al-Ghazali sebagai seorang yang dulunya filosof berpendapat bahwa dalamIslamantara syariah dan hakikat tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa mengambil salah satu dari keduanya.Dalammenafsirkanayat-ayat fiqh, merekajugamenggunakanpendekatanisyarat. Ayat-ayat tentang perintah seperti shalat, zakat dan yang lainnya, tetap diterima sebagaimana paraahli fuqahatetapi yangberbedaadalahbahwaparaahli tasawuftidakhanyasebatas mengetahui hal ituwajibatautidaktetapi menelusuri apayangyangadadibalikisyarat tersebut untukmenegtahui hikamh-hikmahnya. Danhalinitidakbisadilakukanolehpara fuqaha.Contoh-contoh penafsiran ulama tasawuf tentang ayat-ayat syariah atau fiqh di antaranya: Ayat-ayat tentang kewajiban menutupi aurat. Ibn al-Arabi dalam kitabnya al-Futuhat al-Makkiyat sebagaimana dikutip oleh Ignaz Goldziher menafsirkannya sebagai berikut. Beliau mengatakan bahwa secara syariah menutup aurat adalah merupakan kewajiban,adapun makna batin dari syariah ini adalah wajib bagi setiap orang berakal untuk menutupi rahasia Tuhan, dan apabila membukakan rahasia Tuhan, dia bukan termasuk orang yang berakal dan berilmu.[17] Dalam menafsirkan ayat-ayat tentang zakat, para ulama sufi menerima adanya kewajiban membayar zakat yang ditujukan padadelapan orang yang berhak menerima zakat (mustahiq al-zakat). Ibnu Arabi dengan pendekatan isyarat dalam menafsirkan ayat-ayat tentang zakat ini berpendapat bahwa zakat yang arti bahasanya adalah pensucian (al-isytiqaq) yang secara syariah diwajibkantujuan adalah untuk penyucian delapan anggota badan kita. Angka delapan ini dinisbatkan pada orang yang berhak menerima zakat yang jumlahnya delapan.Dari contoh-contoh di atas, terlihat jelas bahwa ulama tasawuf tidak menolak syariah. Mereka tetap berpegang pada syariah dan hakikat. Terhadap orang-orang yang lebih mementingkan syariah, al-Gazali sangat kecewa, karena mereka hanya memahami syariah (Islam) secara lahirnya saja tidak bisa menelusuri isyarat-isyarat yang ada di balik perintah syariat dan hikmah-hikmahnya. Para ahli tasawuf yang tetap menjalankan syariat-syariat Islam mereka adalah tasawuf Islamy. Dikatakan tasawuf Islamy karena ada di antara para sufi yang dalam praktiknya hanya mementingkan hakikat tanpa meperhatikan syariat. Karena di dalam Islam syariat dan hakikat adalah seperti dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan. [1] Quraisy Syihab dkk, Sejarah dan Ulum Al Quran, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1999, hlm. 182[2] M. Husein al-Dzahabi, Kitb al-Tafsr wa al-Mufassirn, Dar al-Fikr, Beirut, 1995, Jilid I, hlm. 419[3] Ibid., Jilid II, hlm.431[4] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik,Paramadina,Jakarta,1996, hal. 215[5] Ali Hasan al Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hal. 61[6] Ibid.[7] Ibid., hlm. 62[8] M. Husein al-Dzahabi, Kitb al-Tafsr wa al-Mufassirn, Jilid II, hlm. 346[9] Ibid., hlm. 377[10] Tawfiq b. Amir, Dirasah fi al-Zuhd wa al-Tasawwuf, Dar al-Fikr, Beirut, t.th, hlm. 15-17[11] Abu Zayd, Hakadza Takallama Ibn Arabi, Markaz Dirasat, Beirut, t.th, hlm.54[12] Ali Hasan al Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, hlm. 55.[13] Ibid., hlm. 56[14] Ibid., hlm. 57[15] M. Husein al-Dzahabi, Kitb al-Tafsr wa al-Mufassirn, Juz III, hlm. 43[16] Ibid.[17] Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir, terj.Abdul Halim al-Najar, Dar Iqra, Beirut, 1983, hlm. 32Diposkan oleh ARIF FIKRI BLOG di 18:58 Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke GoogleBuzz B. Tafsir FalsafiTafsir Falsafi adalahpenafsiranAl-Quranberdasarkanpendekatanlogikaataupemikiran filsafat yangbersifat liberal danradikal. Ilmufilsafat tidakdiketahui orang-orangIslam sebelum masa bani Abbasiyah pertama (132-232 11/ 750-847 M). Ilmu ini ditransfer kedunia Islam melalui penerjemahan buku-buku filsafat Yunani yang tersebar di daerah-daerah Laut Putih, Iskandariah, Anthakiah, dan Harran.Pada masa Harun Al-Rasyid lebih diutamakan penerjemahan filsafat Aristoteles dan Persia. Kemudian pada masa Al-Makmun penerjemahan lebih aktif lagi dan disertai dengan mengirim tim-tim ke negara-negara tetangga seperti Cyprus dan Romawi untuk mendapatkan buku-bukufilsafat. Kemudianlahirlahfilsuf-filsuf muslimyangterkenal, yangkemudian menulis buku dalam Khazanah keilmuan dalam berbagai cabang, seperti kedokteran, logika, astronomi dan lainnya. Diantaranya adalah, Al-Kindi, Al-Farabi dan Ibnu Sina:1. Tema-tema penafsiran dengan kecenderungan filsafatKarena filsafat merupakan cabangdari ilmu pengetahuan danmempunyai objekkajian tertentu yang berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya. Tafsir dengan kecenderungan filsafat mempunyai objekyangtidak lepas dari pengaruhdari objekkajianfilsafat itusendiri. Menurut C.A. Qadir, objek kajian tersebut antara lain berikut ini :a. Masalah doktrin monteisme atau keesaan Allah. Menurut doktrin ini, Allah adalah pencipta Alam semesta yang tidak berawal dan tidak berakhir, tidak berubah, Maha tahu, Maha kuasa , satu-satunya yang disembah. Hal ini berdasarkan Al-Quran dan Hadits.b. Masalah yang sangat penting adalah menyangkut kenabian, yang menyangkut sebagai sifat dasar dan cirri-ciri kesadaran, perbedaan dan kemiripannya dengan kesadaran mistik, logika atau kesadaran keagamaan, dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya.c. Masalahpenyelesaianantarafilsafat danagama. Parafilosof berpendapat bahwapada tingkat akhir, hasil pemikiran filsafat tidak bertentangan dengan agama karena kedua-duanya bersumber pada hakikat terakhir yang sama.2. Metodologi tafsir dengan kecenderungan falsafiDari objek kajian dan prinsip kefilsafatan ini, dapat dilihat bahwa dalammetodologi penafsiran dari mazhab tafsir yang berkecenderungan filsafat ini, terdapat upaya penggabungan antara filsafat dan agama atas dasar penakwilan teks-teks agama pada makna-makna yang sesuai dengan filsafat, yang filosofis, yang dimulai perenungan atas sejumllah fenomena lainnya dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan ayat Al-Quran . Dengan kata lain, dapat dikatakan, mendahulukan pertimbangan logika kemudian diteruskan dengan melihat norma syariat, yaitu Al-Quran.3. Contoh penafsiran dalam kecenderungan FilsafatArtinya : Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada nya.(Ar-Rahman :6)Kata sujud pada ayat tersebut dengan makna tunduk pada ketentuan Illahi. Karena secara lahir, kata sujud bagi binatang dan pohon tidak mungkin terlihat pada sujud ketika shalat bagi manusia. Dengan demikian harus diakui bahwa benda-benda mempunyai daya hidup. Sedangkankehidupanmerupakanindikasi adanyakematianataukehancuranyangterjadi padasuatusaat. Karenamakhlukrasionallebih unggulketimbangyangirasional.Padahal benda-bendatidakmempunyai akal, batas kecerdasanbenda-bendaitutermasuk bendaitu sendiri, haruslah lebih rendah dari manusia.MenurutQuraishShihab, medanfilsafatalamobjekpenafsirannyahanyasekitarhalyang menyangkut keyakinan (tauhid, aqidah, atau teologi). Oleh karena itu, terjadi bias-bias yang terkadang mengarah kepada tercerabutnya konsep tauhid terutama dari Mutazilah dan orang yang masuk Islamyangsekat-sekat keyakinan lamanya masih kuah dan terbawa pada ketauhidan Islam.Dengan tafsir yang bersifat falsafi ini, akidah menjadi cacat, Fasad, dan sekedar menjadi bahan perbincangan yang membuat pro dan kontra.DAFTAR PUSTAKAJuhaya, S. Praja, Dr. Tafsir Hikmah(seputar Ibadah, Muamalah, JindanManusia), PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 2002.Suma Muhammad Amin. Studi Ilmu-ilmu Al-Quran. Bandung : Pustaka Setia. 2001Khaeruman Badri, Drs.Mag, Sejarah Perkembangan Al-Quran. Bandung : Pustaka Setia. 2004Anwar, Rosihon. Ilmu Tafsir. Bandung . Pustaka Setia. 2005Corak TafsirPendahuluanAl Quran ibarat lautan yang amat luas, dalam dan tidak bertepi, para penyelam berusaha untuk menyelam sedalam-dalamnya untuk mengetahui isinya, Al-Quran senantiasa aktual sepanjang masa untuk ditafsirkan atau di tawilkan oleh para mufassir, berbagai metode telah dilakukan untuk menafsirkan kandungan setiap ayat dalam Al-Quran. Salah satu metode yang dipakai oleh mufassir adalah metode tahlili, ditinjau dari segi kecenderungan para penafsir para ulama membagi wujud tafsir Al-Quran dengan metode Tahlili kepada tujuh macam, yaitu: tafsir bil al-Matsur, tafsir bi al-Rayi, tafsir Shufi, tafsir Fiqhi, tafsir Falsafi, tafsir lmi dan tafsir Adabi Ijtimai.A. Tafsir bil al-MatsurTafsir bi al-matsur merupakan salah satu jenis penafsiran yang muncul pertama kali dalam sejarah khazanah intelektual Islam. Tafsir bi al-matsur ialah tafsir yang meliputi tafsir Quran dengan Quran, tafsir dengan nukilan dari Nabi saw, tafsir dari nukilan para shahabat dan tafsir dengan nukilan dari para tabiin ridhwanullah alaihim. Adapun contoh penafsiran tersebut sebagai berikut:1. Tafsir Quran dengan QuranAl-Quran itu, sebagaimana diketahui, sebagian ayatnya merupakan tafsiran bagi sebagian yang lain. Yang dimaksud ialah bahwa sesuatu yang disebutkan secara ringkas di satu tempat diuraikan di tempat yang lain: suatu ketentuan yang berbentuk mujmal (global) mengenai suatu masalah, dijelaskan dalam topik yang lain; sesuatu yang bersifat umum dalam sebuah ayat, ditakhshish (dijadikan khusus) oleh ayat lainnya; sesuatu yang berbentuk mutlak di satu pihak disusul oleh keterangan lain yang muqayyad (terbatas) mengenainya. Berdasarkan hal ini, maka seorang mufassir yang hendak menafsirkan al-Quran hendaklah melihat lebih dahulu dalam al-Quran, mengumpulkan ayat-ayat yang bersama-sama menyangkut sebuah topik dan merujuk-silangkan (cross ferencing ) satu kepada yang lainnya untuk memperoleh keterangan mengenai sesuatu yang hanya disebutkan secara ringkas, dengan bantuan berbagai ayat tersebut; atau untuk memperoleh kejelasan tentang sesuatu yang mujmal; untuk menghubungkan sesuatu yang nampak mutlak dengan keterangan yang tidak mutlak (muqayyad), yang umum dengan yang khusus. Inilah maksud dan sifat apa yang disebut menafsirkan al-Quran dengan al-QuranPara ulama berkata: Penafsiran Al-Quran yang paling baik adalah penafsiran sebagian ayat Al-Quran terhadap sebagian ayat yang lain. Hal ini sebagaimana kita temukan pada ayat Al-Quran yang muthlaq ditafsirkan oleh ayat yang lain yang muqayyad atau ayat Al-Quran yang mujmal ditafsirkan oleh ayat lain yang mufasshal seperti firman Allah (QS. 3: 133), sebagai berikut: . Artinya: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. (QS, Ali Imran, 133)Siapa al-Muttaqin (orang-orang yang bertaqwa?). ayat berikutnya (134) menafsirkannya, sebagai berikut: . .Artinya: (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit.Juga misalnya firman Allah SWT : . - Artinya: Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nimat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai (orang-orang yang mengetahui kebenaran dan meninggalkannya), dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (orang-orang yang meninggalkan kebenaran karena ketidaktahuan dan kejahilan). (QS, al-Fatihah, 6-7)Orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nimat dalam ayat di atas ditafsirkan dengan firman Allah: .Artinya: Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nimat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin , orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.(QS, an-Nisa, 69)2. Tafsir al-Quran dengan SunnahTafsir al-Quran dengan Sunnah yaitu tafsir yang dilakukan jika tidak diperoleh penafsiran al-Quran dengan al-Quran, sebagaimana Allah berfirman: 3 9 _ )9 _ _ 9 9 7 ]#!%2 )9 , 7 & 9, !Artinya: Dan Kami turunkan peringatan kepadamu agar kamu menerangkannya kepada ummat manusia, tentang apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan agar mereka berpikir.(QS. an-Nahl, 16:44).Adapun contoh penafsiran al-Quran dengan sunnah sebagai berikut:Untuk mengkhususkan (takhsis) ayat-ayat al-Quran yang bersifat umum. Penafsiran Nabi atas kata kezhaliman (zhulm) dalam firman Allah SWT: ( #{ , 9 & 9 7 / 1 ) 1 6 ) # ( 9 # # (#!% ] Artinya: orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS, al-Anam, 6 : 82).Rasulullah telah mengkhususkan kezhaliman dalam ayat tersebut di atas dengan kemusyrikan. Setelah sebagian sahabat memahami bahwa kata kezhaliman dalam ayat tersebut berbentuk umum (amm), Rasulullah saw lalu menjelaskan dengan mengatakan kepada mereka bahwasanya yang dimaksudkan kezhaliman di sini adalah syrik. Tidakkah kalian mendengar apa yang dikatakan oleh bamba-Nya yang saleh (yakni Lukman al-Hakim): 9 1 ' #9 8 )Artinya: Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. (QS, Lukman, 31 : 13).3. Tafsir SahabatTafsir sahabat adalah tafsir yang digunakan apabila kita tidak menemukan tafsiran dalam al-Quran maupun sunnah serta hadits-hadits yang telah ditetapkan dari Rasulullah saw, maka hendaknya kita kembali kepada keterangan-keterangan yang sahih dan yang telah ditetapkan dari para sahabat yang terkemuka, karena merekalah yang pernah bersama Rasulullah saw, bergaul dengan beliau dan menghayati petunjuk-petunjuk beliau. Adapun contoh penafsiran tersebut sebagai berikut:Diantara atsar sahabat, adalah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim secara maushul (bersinambung) dengan sanad yang sahih dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas ra.yang menerangkan tentang makna firman Allah Taala: Artinya: Sesungguhnya perbuatan yang demikian adalah khub yang benar. (QS, an-Nisa, 2).Ibnu Abbas berkata: Khub itu artinya dosa besar (itsmun azhim).Demikian pula Ibnu Jarir meriwayatkan melalui bermacam-macam jalur, dari Sad bin Abi Waqash, bahwa ia (Sad) berkata dalam menafsirkan firman Allah taala: .Jika seseorang meninggal dunia, baik laki-laki maupun perempuan, tanpa meninggalkan ayah atau anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki atau perempuan. (QS, an-Nisa, 12)Sad bin Abi Waqash berkata: Maksudnya adalah bahwa Ia mempunyai saudara laki-laki atau saudara perempuan dari ibunya.B. Tafsir bi RayiYaitu cara menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang di dasarkan atas sumber ijtihad dan pemikiran mufassir terhadap tuntutan kaidah bahasa Arab dan kesusastraannya, teori ilmu pengetahuan setelah dia menguasai sumber-sumber tadi.Ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya metode tafsir bi Al Rayi. Sebagian ulama melarang penafsiran Al-Quran dengan menggunakan metode ini, sebagian yang lain memperbolehkannya. Rincian dari perbedaan ini hanyalah sebatas pada lafadz bukan hakikatnya. Dan golongan pertama tidak sampai melewati batas-batas ketentuan penafsiran. Sedangkan golongan kedua berpendapat bahwa tiap-tiap golongan telah melewati batas, dengan alasan bahwa meniadakan mana dalam lafadz yang manqul adalah suatu hal yang berlebihan dan membahas penafsiran bagi semua orang adalah suatu perbuatan yang tercela. Akan tetapi kalau kita kaji lebih dalam perbedaan-perbedaan mereka kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa semuanya sepakat tidak di perbolehkannya menafsiri Al-Quran hanya dengan mengandalkan pendapat pribadi.Sedangkan menurut Imam Al-Dzahabi dalam menanggapi permasalahan ini beliau berkata: Tafsir bi Al-Rayi ada dua:1. Dengan menggunakan kaidah bahasa arab, akan tetapi tetap mengikuti Al-Kitab dan sunnah serta tetap mengikuti kaidah ilmu tafsir. Dan hal ini diperbolehkan.2. Tidak memakai kaidah bahasa arab dan kaidah-kaidah ilmu syariat serta tidak mengikuti kaidah ilmu tafsir. Dan hal ini sangat dibenci dan tidak di terima oleh para ulama, seperti yang di sampaikan oleh Ibnu Masud: akan ada suatu kaum yang mengajak untuk memahami Al-Quran, akan tetapi mereka tidak mengamalkannya. Maka wajib bagi kalian untuk mendalami Al-Quran, dan menjauhi segala bentuk bidah.Disamping itu ada enam hal syarat-syarat yang harus di hindari oleh seorang mufassir bi al-Rayi, sebagai berikut:1. Memaksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki oleh Allah pada suatu ayat, sedangkan ia tidak memenuhi syarat untuk itu.2. Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui oleh Allah (otoritas Allah semata).3. Menafsirkan dengan disertai hawa nafsu dan sikap istihsan (menilai bahwa sesuatu itu baik semata-mata berdasarkan persepsinya).4. Menafsirkan ayat-ayat dengan makna-makna yang tidak dikandungnya (dimungkinkannya).5. Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu madzhab yang salah dengan cara menjadikan paham madzhab sebagai dasar, sedangkan penafsiran mengikuti paham madzhab tersebut.6. Menafsirkan dengan disertai memastikan, bahwa makna yang dikehendaki oleh Allah adalah demikian, dengan tanpa didukung oleh dalil.Selama mufassir bi al-Rayi memenuhi syarat-syarat dan menjauhi keenam hal di atas dengan disertai niat ikhlas semata-mata karena Allah, maka penafsirannya dapat diterima dan pendapatnya dikatakan rasional. Jika tidak demikian, maka berarti ia menyimpang dari cara yang dibenarkan dan oleh karena itu penafsirannya ditolak, tidak dapat diterima.Kitab-kitab Tafsir bi Al-Rayi yang di Legalkan oleh Ulama:Perpustakaan Islam telah banyak mengoleksi kitab-kitab tafsir bi Al-Rayi yang di perbolehkan, yang sebagiannya telah di bukukan pada masa-masa awal termasuk kitab-kitab yang digunakan untuk mengalahkan ahli filsafat dan ahli kalam dan yang lain-lain.Kitab-kitab tersebut antara lain:1. Majazul Quran li Abi Abidah Muammar bin matsna at-Taimy (w. 210 H)2. Mafatihul Ghoib li Rozi (w. 606 H)3. Anwaruttanzil wa Asrorit Tawil lil Baidhowi (w. 685 H)4. Al-Jami li Ahkami Al-Quran li Al-Qurthubi (w. 671 H) Dan lain-lainC. Tafsir SufiTafsir sufi atau yang lebih dikenal dengan istilah tafsir Isyari, secara etomologis berasal dari asal kata asyara-yusyiru-isyaratan yang berarti memberi isyarat atau petunjuk. Jadi kata Isyari berfungsi sebagai keterangan sifat bagi lafal tafsir dengan demikian tafsir Isyari berarti: sebuah penafsiran al-Quran yang berangkat dari isyarat atau petunjuk. Artinya penafsiran diberikan sesuai dengan isyarat atau petunjuk yang diterima oleh mufassirnya melalui ilham. Para ahli tasawuf inilah yang banyak menafsirkan al-Quran melalui isyarat yang mereka terima. Oleh karena itulah tafsir Isyari disebut juga tafsir sufi.Corak tafsir sufi yang lahir sebagai akibat dari timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi telah mempunyai ciri khusus atau karakter yang membedakannya dari tafsir lainnya. Tafsir sufi ini telah didominasi paham sufi yang dianut oleh mufassirnya karena memang tasawuf telah menjadi minat dasar bagi mufassir, sebelumnya dia melakukan usaha penafsiran atau juga bahwa penafsirannya itu hanya untuk legitimasi atas pendapatnya dalam hal ini adalah paham tasawuf. Tafsir sufi ini terbagi menjadi dua:1. Tafsir Sufi NazhariTafsir Sufi al-Nazhari adalah tafsir sufi yang dibangun untuk mempromosikan dan memperkuat teori-teori mistik yang dianut mufassir. Dalam menafsirkannya itu mufassir membawa al-Quran melenceng jauh dari tujuan utamanya yaitu untuk kemaslahatan manusia, tetapi yang ada adalah penafsiran pra konsepsi untuk menetapkan teori mereka. Al-Zahabi mengatakan bahwa tafsir sufi nadhori dalam praktiknya adalah pensyarahan al-Quran yang tidak memeperhatikan segi bahasa serta apa yang dimaksudkan oleh syara.Ulama yang dianggap kompeten dalam tafsir al-Nazhari yaitu Muhyiddin Ibn al-Arabi. Beliau dianggap sebagai ulama tafsir sufi nadhory yang meyandarkan bebarapa teori-teori tasawufnya dengan al-Quran. Karya tafsir Ibn al-Arabi di antaranya al-Futuhat al-Makiyat dan al-Fushush. Ibn al-Arabi adalah seorang sufi yang dikenal dengan paham wahdatul wujud-nya. Wahdat al-wujud dalam teori sufi adalah paham adanya persatuan antara manusia dengan Tuhan. Dalil al-Quran tentang paham ini diantaranya:Pertama, al-Quran surat al-Baqarah ayat 186: Jika hamba-hambaku bertanya padamu tentang aku, aku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan orang memanggil jika dia panggil Aku. Kata doa yang terdapat dalam ayat tersebut oleh sufi diartikan bukan berdoa dalam arti lazim dipakai. Kata itu bagi mereka adalah mengandung arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka panggil dan Tuhan melihat dirinya kepada mereka. Dengan perkataan lain, mereka berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan dirinya kepada mereka. Kedua, yaitu ayat 115 dari surat al-Baqarah: Timur dan Barat kepunyaan Allah, maka kemana saja kamu berpaling di situ wajah Allah. Kaum sufi menafsirkannya dengan di mana saja Tuhan ada, dan di mana saja Tuhan dapat dijumpai. Sehingga untuk mencari Tuhan tidak perlu jauh-jauh, dan Tuhan dapat dijumpai di mana saja dan Dia selalu ada. Ketiga, surat Qaf ayat 16, Sebenarnya Kami ciptakan manusia dan kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Kami lebih dekat kepadanya dari pembuluh darah sendiri yang ada dilehernya. Para ahli tasawuf menafsirkan ayat itu sebagai gambaran bahwa untuk mencari Tuhan orang tak perlu pergi jauh-jauh. Untuk itu ia cukup kembali ke dalam dirinya sendiri. Dengan perkataan lain bahwa Tuhan bukan berada di luar diri manusia, tetapi Tuhan berada di dalam diri manusia. Mereka memperkuat penafsirannya itu dengan mengutip hadis Nabi, Siapa yang mengetahui dirinya mengetahui Tuhannya. Untuk memperkuat tafsiran itu mereka juga mengambil atau menghubungkannya dengan ayat-ayat lain, seperti ayat 17 dari surat Al-Anfal: Bukanlah kamu yang membunuh mereka, tapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukanlah engkau yang melontarkan ketika engkau lontarkan tapi Allah yang melemparkannya.Ibn al-Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran sangat dipengaruhi oleh paham wahdat al-wujud yang merupakan teori atau paham terpenting dalam tasawufnya dan seolah-olah penafsirannya itu dijadikan legitimsi atas pahamnya. Al-Zahabi berpendapat bahwa Ibn al-Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran telah keluar dari madlul ayat yang dimaksudkan oleh Allah. Dari pendapatnya itu, al-Zahabi kelihatan tidak setuju atas penafsiran Ibn al-Arabi yang telah keluar dari maksud dilalah ayat.Contoh penafsiran Ibn al-Arabi sebagai landasan untuk memperkuat paham wahdat al- wujud-nya diantaranya :Ketika menafsirkan ayat 29-30 dari surat Al-Fajr yang berbunyi: . Wadkhulijannati, menurut tafsirannya adalah masuklah ke dalam diri kamu (manusia) untuk mengetahui Tuhanmu karena Tuhan itu adalah diri kamu sediri (manusia). manusia untuk bisa mengetahui Tuhan yang ada pada dirinya adalah dengan menyingkap penutup yang ada pada diri manusia yaitu nafsu insaniyah. Jika kamu telah masuk ke dalam surga-Nya maka kamu telah masuk dalam diri kamu, dan mengetahui akan Tuhan yaitu ada dalam dirimu. Dengan perkataan lain bahwa kamu (manusia) adalah Tuhan dan kamu juga adalah Hamba.Selanjutnya al-Zahabi secara lebih panjang lebar menjelaskan karekteristik atau ciri-ciri dalam penafsiran nazhary yang dapat diringkas sebagai berikut :Pertama, dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran tafsir nadhory sangat besar dipengaruhi oleh filsafat. Al-Zahabi memberikan contoh tafsir al-Nazhari yang dipengaruhi filasafat yaitu penafsiran Ibn al-Arabi terhadap ayat 57 dari surat Maryam : Menurut al-Zahabi penafsiran Ibn al-Arabi tersebut sangat dipengaruhi oleh pemikiran filasafat alam yaitu dengan menafsirkan lapaz makanan aliyyan dengan antariksa (alam bintang).Kedua, di dalam tafsir al-Nazhari, hal-hal yang gaib dibawa ke dalam sesuatu yang nyata/tampak atau dengan perkataan lain mengqiyaskan yang gaib ke yang nyata.Ketiga, terkadang tidak memperhatikan kaidah-kaidah nahwu dan hanya menafsirkan apa yang sejalan dengan ruh dan jiwa sang mufassir.Kelihatannya apa yang ditulis al-Syatibi mengenai tafsir al-Nazhari adalah hanya berdasarkan pada penafsiran takwil yang tidak sesuai dengan aturan yang ada. Dan menurut hemat penulis tafsir al-Nazhari pada hakikatnya adalah tafsir isyari yang secara umum dipakai oleh kaum sufi. Tetapi tafsir al-Nazhari ini dalam praktiknya tidak memperhatikan kaidah-kaidah yang ada dan hasilnya sangat jauh dari apa yang dimaksudkan ayat secara zhahir.2. Tafsir Sufi IsyariTafsir sufi Isyari adalah pentakwilan ayat-ayat al-Quran yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai dengan petunjuk khusus yang diterima para tokoh sufisme tetapi di antara kedua makna tersebut dapat dikompromikan. Yang menjadi asumsi dasar mereka dengan menggunakan tafsir isyari adalah bahwa al-Quran mencakup apa yang zhahir dan batin. Makna zhahir dari al-Quran adalah teks ayat sedangkan makna batinnya adalah makna isyarat yang ada dibalik makna tersebut.Seorang ulama sufi Nasiruddin Khasr mengatakan bahwa penafsiran nash al-Quran yang hanya melihat zhahirnya, hanya merupakan badan atau pakaian akidah sehingga diperlukan tafsir atau penafsiran yang dalam dengan menelusuri di balik makna lahir tersebut dan itu adalah ruhnya, sehingga bagaimana mungkin badan bisa hidup tanpa ruh. Dan begitu, bukan berarti ulama tasawuf menolak makna lahir, mereka tetap menerima makna lahir dan menelusuri makna batin untuk mengetahui hikmah-hikmah yang ada di balik makna lahir tersebut. Imam al-Gazali seorang ulama tasawuf, beliau tidak menolak secara mutlak apa yang ada dari makna lahir. Untuk bisa memahami makna batin tidak bisa dilakukan oleh akal atau rayi, sehingga beliau sangat menolak yang namanya tafsir dengan ray atau akal.Menurut hemat penulis metode yang dipakai dalam tafsir tasawuf secara umum adalah takwil metode isyarat. Isyarah di sini maksudnya adalah menyingkap apa yang ada di dalam makna lahir suatu ayat untuk mengetahui hikmah-hikmahnya. Mereka menggunakan kata Isyarat adalah untuk membedakannya dari tawil yang selalu dinisbatkan kepada tujuan buruk. Padahal metode isyarah yang digunakan oleh mereka dalam praktiknya lebih banyak sama dengan takwil. Para ulama sufi juga berpendapat bahwa hasil penafsiran mereka terhadap al-Quran tidak disebut sebagai tafsir, karena hal itu sama saja dengan membatasi makna al-Quran dengan cara pemaknaan dan penafsiran, dan mereka lebih menyebutnya dengan Isyarah.Lahir-Batin merupakan konsep yang dipergunakan oleh kaum sufi untuk melandasi pemikirannya dalam menafsirkan al-Quran khusunya dan melihat dunia pada umumnya. Pola sistem berpikir mereka adalah berangkat dari yang zhahir menuju yang batin. Bagi mereka batin adalah sumber pengetahuan sedangkan zhahir teks adalah penyinar. Rujukan yang mereka pakai adalah pernyataan yang selalu dinisbatkan kepada Ali ibn Abi Thalib, bahwa setiap ayat al-Quran memiliki empat makna; zhahir, batin, had dan matla. Al-Gazali sendiri menegaskan bahwa selain yang zhahir, al-Quran memiliki makna batin. Abdullah (Al-Muhasibi) dan Ibnu al-Arabh memberikan penjelasan pernyataan tersebut, bahwa yang dimaksud dengan yang zhahir adalah bacaannya, dan yang batin adalah takwilnya. Sementara Abu Abdurrahman mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Dhahir adalah bacaanya sementara yang batin adalah pemahamannya.Baik makna zhahir ataupun makna batin pada al-Quran adalah dari Allah. Lahir adalah turunnya (tanzil) al-Quran dari Allah kepada para nabi dengan bahasa ummatnya, sedangkan al-Batin adalah adanya pemahaman di hati sebagian orang mukmin (hati al-arifin), yang berasal dari Allah. Oleh karena itu dualisme lahir-batin dalam wacana Al-Quran, pemahaman dan penakwilannya tidak dikembalikan kepada manusia, tetapi kepada Allah. Sebab Allah menjadikan segala sesuatu (makhluk) memiliki dimensi dhahir dan batin (dan al-Quran termasuk makhluk). Yang dhahir adalah bentuk yang bisa diindera (al-Shurah al-Hissiyah) dan yang batin adalah al-Ruh al-Manawi.Semua tafsir Isyari tidak bisa begitu saja diterima tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang tidak boleh ditinggalkan oleh mufassir. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :1. Penafsiran Isyari tidak boleh menafikan apa yang dimaksudkan makna zhahir.2. Harus ada nas lain yang menguatkannya.3. Tidak bertentangan dengan syara dan akal.4. Harus diawali dengan penafsiran terhadap makna lahir, dan memungkinkan adanya makna lain selain makan zahir.Contoh penafsiran isyari yang dapat diterima karena telah memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, yaitu penafsiran al-Tastary ketika menafsirkan ayat 22 dari surat al-Baqarah : Andadan, beliau al-Tastary menafsirkan andadan yaitu nafsu amarah yang jelek. Jadi maksud andadan disini bukan hanya patung-patung, setan atau jiwa tetapi nafsu amarah yang sering dijadikan Tuhan oleh manusia adalah perihal yang dimaksud dari ayat tersebut, karena manusia selalu menyekutukan Tuhannya dengan selalu menjadi hamba bagi nafsu amarahnya.Menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan melihat isyarat yang ada di dalamnya telah banyak dilakukan oleh para sahabat Nabi, diantaranya penafsiran isyari sahabat yaitu:Ketika para sahabat mendengar ayat pertama dari surat al-Nasr yang bunyinya: Di antara mereka ada yang mencoba memberikan penafsiran ayat tersebut dengan mengatakan bahwa ayat tersebut memerintahkan kepada mereka untuk bersyukur kepada Allah dan meminta ampunannya. Tetapi berbeda dengan Ibn Abbas yang mengatakan bahwa ayat tersebut adalah sebagai tanda ajal Rasulullah saw. Contoh lainnya adalah ayat tiga dari surat al-Maidah yang dianggap oleh sebagian ulama sebagai ayat yang terakhir diturunkan. Umar ibn al-Khatab ketika mendengar ayat tersebut beliau menangis tidak seperti sahabat yang lain yang ketika mendengar ayat ini sangat gembira. Dalam asebuah riwayat Ibnu Abi Syaibah menyatakan bhwa ketika ayat ini diturunkan Umar ibn al-Khatab menangis, lantas Nabi bertanya: apa yang kamu tangisi (Umar) ? saya menangisi bahwa sesungguhnya kita telah bertambah dalam agama kita, maka ada tidak sesuatu yang sempurna lagi kecuali tambah berkurangAl-Zahabi memeberikan penjelasan mengenai perbedaan antara tafsir sufi nazhari dengan tafsir sufi isyari sebagai berikut :1. Tafsir sufi nazhari dibangun atas dasar pengetahuan ilmu sebelumnya yang ada dalam seorang sufi yang kemudian menafsirkan al-Quran yang dijadikan sebagai landasan tasawufnya. Adapun tafsir sufi isyari bukan didasarkan pada adanya pengetahuan ilmu sebelumnya, tetapi didasari oleh ketulusan hati seorang sufi yang mencapai derajat tertentu sehingga tersingkapnya isyarat-isyarat al-Quran.2. Dalam tafsir sufi nazhari seorang sufi berpendapat bahwa semua ayat al-Quran mempunyai makna-makna tertentu dan bukan makna lain yang di balik ayat. Adapun dalam tafsir sufi isyari asumsi dasarnya bahwa ayat-ayat al-Quran mempunyai makna lain yang ada di balik makna lahir. Dengan perkataan lain bahwa al-Quran terdiri dari makna zahir dan batin.Persoalan yang timbul kemudian adalah, bagaimana para sufi menafsirkan ayat-ayat tentang hukum atau fiqh. Hal ini dikarenakan bahwa di dalam cerita-cerita para sufi, mereka menolak hukum fiqh atau syariah seperti shalat, puasa jakat dan sebagainya. Yang ditekankan oleh mereka adalah hakikat bukan syariah. Dalam menaggapi persoalan ini, perlu merujuk para ulama tasawuf sendiri.Dalan sejarah tasawuf, pada sekitar abad keempat telah terjadi pergulatan yang tajam antara ahli hakikat yang diperankan oleh para ahli tasawuf dan ahli syariah yang dimainkan oleh para fuqaha. Tetapi setelah itu al-Ghazali berusaha menyatukan kembali antara keduanya dengan menulis berbagai kitab, terutama yang terkenal diantara kitabnya adalah Ihya Ulumuddin. Al-Ghazali sebagai seorang yang dulunya filosof berpendapat bahwa dalam Islam antara syariah dan hakikat tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa mengambil salah satu dari keduanya.Dalam menafsirkan ayat-ayat fiqh, mereka juga menggunakan pendekatan isyarat. Ayat-ayat tentang perintah seperti shalat, zakat dan yang lainnya, tetap diterima sebagaimana para ahli fuqaha tetapi yang berbeda adalah bahwa para ahli tasawuf tidak hanya sebatas mengetahui hal itu wajib atau tidak tetapi menelusuri apa yang ada dibalik isyarat tersebut untuk mengetahui hikmah-hikmahnya. Dan hal ini tidak bisa dilakukan oleh para fuqaha.Contoh-contoh penafsiran ulama tasawuf tentang ayat-ayat syariah atau fiqh di antaranya: Ayat-ayat tentang kewajiban menutupi aurat. Ibn al-Arabi dalam kitabnya al-Futuhat al-Makkiyat sebagaimana dikutip oleh Ignaz Goldziher menafsirkannya sebagai berikut. Beliau mengatakan bahwa secara syariah menutup aurat adalah merupakan kewajiban, adapun makna batin dari syariah ini adalah wajib bagi setiap orang berakal untuk menutupi rahasia Tuhan, dan apabila membukakan rahasia Tuhan, dia bukan termasuk orang yang berakal dan berilmu.Dalam menafsirkan ayat-ayat tentang zakat, para ulama sufi menerima adanya kewajiban membayar zakat yang ditujukan pada delapan orang yang berhak menerima zakat (mustahiq al-zahkah). Ibnu Arabi dengan pendekatan isyarat dalam menafsirkan ayat-ayat tentang zakat ini berpendapat bahwa zakat yang arti bahasanya adalah pensucian (al-isytiqaq) yang secara syariah diwajibkan tujuan adalah untuk penyucian delapan anggota badan kita. Angka delapan ini dinisbatkan pada orang yang berhak menerima zakat yang jumlahnya delapan.Dari contoh-contoh di atas, terlihat jelas bahwa ulama tasawuf tidak menolak syariah. Mereka tetap berpegang pada syariah dan hakikat. Terhadap orang-orang yang lebih mementingkan syariah, al-Gazali sangat kecewa, karena mereka hanya memahami syariah (Islam) secara lahirnya saja tidak bisa menelusuri isyarat-isyarat yang ada di balik perintah syariat dan hikmah-hikmahnya.Para ahli tasawuf yang tetap menjalankan syariat-syariat Islam mereka adalah tasawuf Islamy. Dikatakan tasawuf Islamy karena ada di antara para sufi yang dalam praktiknya hanya mementingkan hakikat tanpa meperhatikan syariat. Karena di dalam Islam syariat dan hakikat adalah seperti dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan.D. Tafsir FalsafiTafsir falsafi muncul setelah filsafat berkembang pesat di dunia Islam. Tafsir yang mengikuti corak ini tidak begitu banyak. Bahkan, bisa dikatakan tidak ada karya tafsir falsafi yang lengkap.Al-Tafsir al-Falsafi dilihat dari tokoh-tokoh Islam yang mendalami kajian filsafat terbagi kepada dua:1. Golongan yang menolak filsafat, karena mereka menemukan adanya pertentangan antara filsafat dan agama. Kelompok ini secara radikal berusaha menjauhkan umat dari kajian tersebut. diantara kitab-kitab tafsir yang ditulis berdasarkan corak falsafi ini adalah kitab tafsir Mafatih Al-Ghaib oleh al-Fakhr al-Razi (606 H)2. Golongan yang mengagumi dan menerima filsafat, meskipun di dalamnya ditemukan ide-ide yang bertentangan dengan Nash dan Syara. Kelompok ini berupaya mengkompromikan atau mencari titik temu antara filsafat dan agama serta berusaha menyingkirkan segala pertentangan. Tentang kitab tafsir mereka al-Zahabiy mengatakan, kami tidak pernah mendengar bahwa diantara para filosof itu ada yang menulis kitab tafsir secara lengkap, semua yang kami temukan tidak lebih dari sebagian pemahaman terhadap al-Quran secara parsial yang termuat di dalam kitab-kitab filsafat secara yang mereka tulis.E. Tafsir FiqhiSupiana M.Ag dan M.Karman M.Ag dalam bukunya Ulumul Quran, ia mengatakan Tafsir al-Fiqhi atau Tafsir Al-Ahkam adalah Corak tarfsir yang berorientasi kepada hukum Islam (Fiqhi). Biasanya, para Mufassirnya adalah termasuk tokoh dalam bidang hukum Islam yang menafsirkan al-Quran terhadap ayat-ayat yang berhubungan dengan persoalan-persoalan hukum Islam,Oleh karena itu penafsiran mereka terkadang hanya ayat-ayat al-Quran yang berhubungan dengan soal hukum fiqhi saja, sedangkan ayat ayat lain yang tidak memuat hukum fiqh tidak di tafsirkan, bahkan tidak dimuat sama sekali.Depinisi yang sama juga dikemukakan oleh M.Alfatih Suryadilaga, Dkk. Mengatakan bahwa Tafsir Al-Fiqhi adalah Salah satu corak tafsir yang pembahasannya berorientasikan pada persoalan-persoalan hukum Islam. Tafsir jenis ini banyak sekali terdapat dalam sejarah Islam terutama setelah Mazhab Fiqih berkembang pesat. Sebagian di antaranya memang disusun untuk membela suatu mazhab tertentu.Tafsir fiqhi mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan, diantaranya:1. Kelebihan tafsir fiqhiKendatipun peluang terjadinya perbedaan pendapat dalam melakukan penafsiran al-Quran lewat pendekatan fiqhi sangatlah besar, namun penafsiran lewat pendekatan ini memiliki bebarapa kelebihan, diantaranya :a. Memberikan kejelasan terhadap umat Islam akan kandungan hukum syariat yang terdapat dalam al-Quran, hal ini menjadi titik tolak pemahaman umat bahwa sesungguhnya al-Quran tidak hanya menjelaskan tentang aspek yang bersifat transenden dan metafisik (aqidah), akan tetapi ia juga menjelaskan tentang aspek-aspek syriah, disisi lain juga memberitahukan bahwa syriah atau hukum bukan semata-mata merupakan produk fuqaha akan tetapi telah menjadi bagian dari nash-nash al-Quran bahkan lebih dominan yang mampu mengatur tatanan hidup manusia baik individu maupun sosial.b. Upaya untuk memberikan kesepakatan praktis yang bertujuan untuk mempermudah manusia dalam mengaplikasikan seluruh bentuk hukum-hukum Allah yang termaktub di dalam al-Quran setelah terjebak ke dalam perbedaan mazhabi dogmatis serius yang bersifat teoritis.c. Tafsir al-Quran dengan pendekatan fiqhi meskipun memberikan peluang terjadinya perbedaan pemahaman terhadap teks-teks Quraniyyah tetap memberikan sumbangsih pemikiran bahwa sesungguhnya seluruh bentuk aturan dan hukum dalam kehidupan baik individu maupun sosial tetap harus tunduk kepada al-Musyarri al-Awwal (Allah) melalui kalam-Nya yang mulia kemudian kepada pembawa wahyu dan risalah yang kemudian dikenal sebagai al-musyarri ats-Tsany bada Allah (Rasulullah Saw) melalui Sunnah beliau demi kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat.d. Tafsir fiqhi berusaha untuk membumikan al-Quran lewat pemahaman lewat ayat-ayat qauliyah kepada ayat-ayat kauniyyah guna meberikan penyadaran, pemberdayaan dan advokasi terhadap permasalahan kehidupan manusia.e. Tafsir fiqhi kendatipun bergam tetap memberikan kekayaan bagi khazanah intelektual muslim dunia, sebab tanpa adanya penafsiran al-Quran dalam bentuk ini, maka umat Islam secara khusus dan manusia secara umum akan kehilangan akar hukum dan perundang-undangan yang sesungguhnya.2. Kelemahan Tafsir FiqhiHasil olah fikir manusia biasa tidak akan pernah lepas dari berbagai macam bentuk kekurangan dan kelemahan, sebab sudah menjadi bagian dari suratan takdir bahwa manusia adalah makhluk yang lemah bisa benar dan biasa salah. Demikian juga adanya dengan penafsiran al-Quran yang meskipun landasan penafsirannya adalah untuk menemukan saripatih dari perkataan Yang Maha Benar secara mutlak namun dilakukan oleh manusia, maka pasti akan terdapat kelemahan. Dan diantara kelemahan penafsiran al-Quran melalui pendekatan fiqhi adalah:a. Tafsir fiqhi cenderung terjebak pada fanatik mazhaby sehingga memunculkan sikap ortodoksi, pembelaan dan pembenaran terhadap madzhab tertentu dan menafikan keabsahan mazhab-mazhab lainnya. Sikap ini terwariskan kepada berpulu-puluh generasi hingga saat ini.b. Tafsir fiqhi melakukan reduksi pada satu aspek tertentu dari al-Quran (penafsiran parsial) padahal al-Quran meliputi akidah dan syariah, konsep dan sistem, teori dan praktek yang membutuhkan pemhaman dan penafsiran secara universal.c. Tafsir fiqhi lebih mengedepankan penafsiran al-Quran dengan menghubungkannya pada konteks sosial tertentu dan cenderung mengabaikan nilai-nilai universal hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Quran (rahmatan li al-alamin). Sebab tidak semua bentuk permasalahan yang telah terjawab pada masa lampau masih berlaku pada masa sekarang, sehingga dibutuhkan penafsiran terhadap ayat-ayat hukum al-Quran yang sesuai dengan kebutuhan zaman saat ini tanpa menafikan kerja-kerja yang bersifat analogi terhadap masa lampau dan berusaha untuk tidak terjebak pada perbedaan teoritis mazhaby.F. Tafsir Ilmi`Al-Tafsir al-Ilmi adalah menafsirkan ayat-ayat kauniyah berdasarkan prinsip-prinsip kebahasaan dan keunikannya, dan berdasarkan bidang ilmu serta hasil kajian mereka terhadap gejala atau fenomena alam. Di antara tafsir yang bercorak al-Ilmi ini adalah tafsir Mafatih al-Ghaib karya besar al-Imam al-Fakhr al-Raziy. Imam Al-Ghazaliy melalui kitabnya al-IhyaUlumuddin dan Jawahir al-Quran. Sedangkan al-Imam al-Suyuthy, melalui kitabnya al-Itqan. Sedangkan ulama kontemporer yang menaruh minat melakukan kajian al-Tafsir al-Ilmi untuk menyingkap makna ayat-ayat kauniyah diantaranya:1. Muhammad Ahmad al-Ghamawi. Di dalam kitabnya Sunanullah al-Kauniyah2. Thantawi Jauhari. Melalui kitabnya yang tebal.3. Ahmad Mukhtar al-Ghazi. Melalui kitabnya Riyadh al-Mukhtar.4. Hanafi Ahmad. Melalui karyanya al-Tafsir al-Ilmi li al-Ayat al-Kauniyah fi al-Quran al-KarimSikap para ulama terhadap tafsir ilmi dan bersikap dapat dokelompokkan kepada dua, sebagai berikut; Pertama, kelompok pendukung tafsir ilmi. Mereka menjadikan al-Quran sebagai mukjizat ilmiah, oleh karena itu ia mencakup segala macam penemuan dan teori ilmiah modern. Mereka berpendapat bahwa al-Quran menghimpun ilmu agama dan ilmu pengetahuan yang tidak kesemuanya dapat dijangkau oleh manusia, bahkan lebih dari itu. Al-Quran mengemukakan hal-hal yang terjadi jauh sebelum turun dan yang akan terjadi. Di dalamnya juga terdapat kaidah-kaidah yang menyeluruh dan prinsip-prinsip umum tentang hukum alam yang bisa disaksikan, fenomena-fenomena alam yang bisa dilihat dari waktu ke waktu dan hal-hal lain yang berhasil diungkap oleh ilmu pengetahuan modern dan itu bukan sebagai hal yang baru.Kedua, kelompok menolak tafsir ilmi. Mereka tidak melangkah jauh untuk memberikan makna-makna yang tidak dikandung dan dimungkinkan oleh ayat dan menghadapkan al-Quran kepada teori ilmiah yang terbukti tidak benar setelah berpuluh-puluh tahun, oleh karena itu teori itu bersifat relative. Mereka menganggap tidak perlu masuk terlalu jauh dalam memahami dan menginterpretasikan ayat-ayat al-Quran, sebab ia tidak tunduk kepada teori itu. Selain itu juga tidak perlu mengaitkan ayat al-Quran dengan kebenaran ilmiah dan teori ilmu alam. Sebaliknya, mereka berpendapat harus menempuh cara yang mudah dalam memahami ayat al-Quran dengan mengungkapkan makna-makna yang ditunjukkan oleh teks ayat dan benar-benar sesuai dengan konteksnya tanpa melangkah terlalu jauh.Alasan kelompok kedua lebih disebabkan karena kepentingan al-Quran bukanlah berbicara kepada manusia tentang problematika kosmologis dan kebenaran ilmiah, tetapi ia semata-mata merupakan kitab petunjuk dan penuntun yang diturunkan oleh Allah untuk kebahagiaan manusia.Selain dua sikap ulama tersebut diatas, ada diantara ulama yang bersikap moderat. Mereka menganggap perlunya cahaya-cahaya ilmu yang mengungkapkan tentang hikmah-hikmah dan rahasia-rahasia yang dikandung oleh ayat-ayat kauniyya. Ayat-ayat itu tidak hanya dapat dipahami seperti pemahaman bangsa Arab, karena al-Quran diturunkan untuk seluruh manusia. Setiap manusia dapat menggali sesuatu dari al-Quran sebatas kemampuan dan kebutuhannya sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan pokok al-Quran sebagai petunjuk dan sasaran yang dikehendaki ditujunya, yaitu sebagai tuntunan. Banyak hikmah yang akan ditemukan oleh pengkaji professional, yaitu mejadi jelasnya rahasia-rahasia dengan menjelaskan rahasia kemukjizatannya.G. Tafsir Adaby IjtimaiyKata al-adaby dilihat dari bentuknya termasuk mashdar (infinitif) dari kata kerja (madhi) aduba, yang berarti sopan santun, tata krama dan sastra. Secara leksikal, kata tersebut bermakna norma-norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang dalam bertingkah laku dalam kehidupannya dan dalam mengungkapkan karya seninya. Oleh karena itu, istilah al-adaby bisa diterjemahkan sastra budaya. Sedangkan kata al-ijtimaiy bermakna banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan kemasyarakatan. Jadi secara etimologis tafsir al-adaby al-Ijtimai adalah tafsir yang berorientasi pada satra budaya dan kemasyarakatan, atau bisa disebut dengan tafsir sosio-kultural.Corak tafsir al-Adaby al-IjtimaI adalah corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Quran yang berkaitan langsung dengan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit masyarakat atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar.Jadi, corak penafsiran al-Adaby al-Ijtima adalah corak penafsiran yang berorientasi pada sastra budaya kemasyarakatan, suatu corak penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat al-Quran pada segi-segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya ayat kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.Di antara kitab-kitab tafsir yang ditulis dengan corak Adaby Ijtimai adalah sebagai berikut:1. Tafsir Al-Manar, karya Imam Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Rasyid Ridla.2. Tafsir al-Quran, karya Syaikh Ahmad Al-Maraghy.3. Tafsir Al-Quran al-Karim, karya Syaikh Mahmud Syaltut.4. Al-Tafsir al-Wadlih, karya Syaikh Muhammad Mahmud Hijazy.F. KesimpulanSetelah mencermati pemahaman mengenai berbagai macam corak penafsiran diatas, selanjutnya penulis memberikan penyimpulan sebagai berikut :1. Tafsir bi al-matsur merupakan salah satu jenis penafsiran yang muncul pertama kali dalam sejarah khazanah intelektual Islam. Tafsir bi al-matsur ialah tafsir yang meliputi tafsir Quran dengan Quran, tafsir dengan nukilan dari Nabi saw, tafsir dari nukilan para shahabat dan tafsir dengan nukilan dari para tabiin ridhwanullah alaihim.2. Tafsir bi al-rayi adalah penafsiran al-Quran dengan ijtihad dan pemikiran mufassir terhadap tuntutan kaidah bahasa Arab dan kesusastraannya, teori ilmu pengetahuan setelah dia menguasai sumber-sumber tadi.3. Tafsir Shufi yaitu tafsir yang identik dengan tafsir al-isyari, yaitu suatu metode penafsiran al-Quran yang lebih menitik beratkan kajiannya pada makna batin dan bersifat alegoris.4. Tafsir falsafi muncul setelah filsafat berkembang pesat di dunia Islam. Tafsir yang mengikuti corak ini tidak begitu banyak. Bahkan, bisa dikatakan tidak ada karya tafsir falsafi yang lengkap.5. Tafsir al-Ilmi adalah menafsirkan ayat-ayat kauniyah berdasarkan prinsip-prinsip kebahasaan dan keunikannya, dan berdasarkan bidang ilmu serta hasil kajian mereka terhadap gejala atau fenomena alam.6. Corak tafsir Fikih yaitu; salah satu corak tafsir yang pembahasannya berorientasikan pada persoalan-persoalan hukum Islam.7. Corak tafsir adaby ijtimaiy yaitu; corak penafsiran yang berorientasi pada sastra budaya kemasyarakatan, suatu corak penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat al-Quran pada segi-segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya ayat kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.Daftar PustakaAl-Aridl, Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom, CV. Rajawali, Jakarta, 1992._______, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Cet.2, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994 ).Baidan, Nasruddin, Tasawuf dan Krisis, Pustaka Pelajar, Semarang, 2001.Faudah, Mahmud Basuni, Tafsir-Tafsir Al-Quran Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, Pustaka, Bandung, 1987.M.Karman, Supiana, Ulumul Quran, Cet. I, Pustaka Islamika, Bandung, 2002.Salim, Abd. Muin, Metodologi Ilmu Tafsir, Cet.1, Teras,Yogyakarta, 2005.Suryadilaga, M.Alfatih, Metodologi Ilmu Tafsir, Cet.I, Teras, Yogyakarta, 2005.Syihab, Quraish, Membumikan al-Quran, Cet. I, PT. Mizan Pustaka, Bandung, 2007.Corak Tafsir FalsafiBAB IPENDAHULUANAl-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril AS dalambahasa Arab dengan segala macamkekayaan bahasanya, luas artinya dan cakupanya. Yang terdapat penjelasan masalah dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang paling lurus dalam pemikiran dan amal. Namun begitu, Allah SWT tidak memberiperincian dalammasalah-masalahitusehinggabanyaklafal