57455061 Refrat BP Penyembuhan Luka

download 57455061 Refrat BP Penyembuhan Luka

of 25

Transcript of 57455061 Refrat BP Penyembuhan Luka

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Luka adalah rusaknya kesatuan atau komponen jaringan. Efek dari timbulnya luka antara lain hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stress simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri, hingga kematian sel. Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan memulihkan dirinya. Peningkatan aliran darah ke daerah yang rusak, pembersihan sel dan benda asing, serta perkembangan awal seluler, merupakan bagian dari proses penyembuhan. Proses penyembuhan terjadi secara normal tanpa bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk mendukung proses penyembuhan. Akan tetapi, penyembuhan luka juga dapat terhambat akibat banyak faktor, baik yang bersifat lokal maupun sistemik (Monaco and Lawrence, 2003). Penyembuhan luka yang normal memerlukan suatu rangkaian peristiwa yang kompleks yang terjadi secara simultan pada jaringan epidermis, dermis dan subkutis, itu suatu yang mudah membedakan penyembuhan pada epidermis dengan penyembuhan pada dermis dan perlu diingat bahwa peristiwa itu terjadi pada saat yang bersamaan. Proses yang kemudian terjadi pada jaringan yang rusak ini ialah penyembuhan luka yang dibagi dalam tiga fase yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan fase remodelling jaringan yang bertujuan untuk menggabungkan bagian luka dan mengembalikan fungsinya. B. Tujuan1. Memahami teori tentang proses penyembuhan luka 2. Memahami jenis-jenis luka, fase-fase penyembuhan luka, gangguan-

gangguan selama proses penyembuhan luka, dan proses luka yang kronik B. Manfaat 1. 2. Dapat mengaplikasikan teori penyembuhan luka pada klinis Dapat melakukan manajemen luka dengan baik dan legeartis

1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit. Luka adalah kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain. Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul : 1. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ 2. Respon stres simpatis 3. Perdarahan dan pembekuan darah 4. Kontaminasi bakteri 5. Kematian sel Luka memiliki beberapa karakter mekanik di antaranya:1. Luka memiliki kekuatan yang kecil pada 2-3 minggu pertama (fase

inflamasi dan proliferasi)2. Pada minggu ke-3, kekuatan luka meningkat karena adanya remodelling

3. Luka memiliki 50% kekuatannya pada saat 6 minggu, dan sisanya dalam beberapa minggu setelahnya 4. Kekuatan terus bertambah perlahan hingga 6-12 bulan 5. Kekuatan maksimal adalah 75% dari jaringan biasa (Sudjatmiko, 2007) C. Jenis luka Luka dapat diklasifikasi berdasarkan kategori tertentu : 1. Berdasarkan waktu penyembuhan lukaa. Luka akut, yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan

proses penyembuhan.b. Luka kronis, yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam proses

penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen.

2

2. Berdasarkan proses terjadinyaa. Luka insisi (Incised wounds), terjadi karena teriris oleh instrumen

yang tajam dan kerusakan sangat minimal. Misal, yang terjadi akibat pembedahan.b. Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu

tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan bengkak.c. Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan

benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.d. Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda seperti

peluru atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang kecil.e. Luka gores (Lacerated Wound), terjadi jika kekuatan trauma

melebihi kekuatan regang jaringan.f. Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus

organ tubuh. Biasanya pada bagian awal masuk luka diameternya kecil, tetapi pada bagian ujung luka biasanya akan melebar (Samper ,2007; libby, 2011).g. Luka Bakar (Combustio), merupakan kerusakan kulit tubuh yang

disebabkan oleh api, atau penyebab lain seperti oleh air panas, radiasi, listrik dan bahan kimia. Kerusakan dapat menyertakan jaringan bawah kulit (Julia, 2000; Sudjatmiko, 2010).3. Berdasarkan Derajat Kontaminasi

3

a. Luka bersih (Clean Wounds), yaitu luka tak terinfeksi, dimana tidak

terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi, dan kulit disekitar luka tampak bersih. Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% 5%.b. Luka

bersih

terkontaminasi

(Clean-contamined

Wounds),

merupakan luka dalam kondisi terkontrol, tidak ada material kontamin dalam luka. Kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% 11%.c. Luka terkontaminasi (Contamined Wounds), yaitu luka terbuka

kurang dari empat jam, dengan tanda inflamasi non-purulen. Kemungkinan infeksi luka 10% 17%.d. Luka kotor atau infeksi (Dirty or Infected Wounds), yaitu luka terbuka

lebih dari empat jam dengan tanda infeksi di kulit sekitar luka, terlihat pus dan jaringan nekrotik. Kemungkinan infeksi luka 40%. D. Penutupan luka Tujuan utama dari penutupan luka yaitu untuk mengembalikan integritas kulit sehingga mengurangi resiko terjadinya infeksi, scar dan penurunan fungsi (Monaco and Lawrence, 2003). Proses penutupan pada luka terbagi menjadi 3 kategori, tergantung pada tipe jaringan yang terlibat dan keadaan serta perlakuan pada luka (David, 2004). 1. Penutupan luka primer (Intensi Primer) Penyembuhan primer atau sanatio per primam intentionem terjadi bila luka segera diusahakan bertaut, biasanya dengan bantuan jahitan. Luka dibuat secara aseptik dengan kerusakan jaringan minimum, dan dilakukan penutupan dengan baik seperti dengan penjahitan. Ketika luka sembuh melalui instensi pertama, jaringan granulasi tidak tampak dan pembentukan jaringan parut minimal. Parutan yang terjadi biasanya lebih halus dan kecil (David, 2004). 2. Penutupan luka sekunder (Intensi Sekunder)

4

Penyembuhan luka kulit tanpa pertolongan dari luar akan berjalan secara alami. Luka akan terisi jaringan granulasi dan kemudian ditutup jaringan epitel. Penyembuhan ini disebut penyembuhan sekunder atau sanatio per secundam intentionem. Cara ini biasanya memakan waktu cukup lama dan meninggalkan parut yang kurang baik, terutama jika lukanya terbuka lebar (Mallefet and Dweck, 2008). 3. Penutupan luka primer tertunda (Intensi Tersier) Penjahitan luka tidak dapat langsung dilakukan pada luka yang terkontaminasi berat atau tidak berbatas tegas. Luka yang tidak berbatas tegas sering meninggalkan jaringan yang tidak dapat hidup yang pada pemeriksaan pertama sukar dikenal. Keadaan ini diperkirakan akan menyebabkan infeksi bila luka langsung dijahit. Luka yang demikian akan dibersihkan dan dieksisi (debridement) dahulu, selanjutnya baru dijahit dan dibiarkan sembuh secara primer. Cara ini disebut penyembuhan primer tertunda. Selain itu, jika luka baik yang belum dijahit, atau jahitan terlepas dan kemudian dijahit kembali, dua permukaan granulasi yang berlawanan akan tersambungkan. Hal ini mengakibatkan jaringan parut yang lebih dalam dan luas dibandingkan dengan penyembuhan primer (Diegelmann and Evans, 2004).

5

Gambar 1. Macam-macam proses penutupan luka E. Fase penyembuhan luka Setiap proses penyembuhan luka akan melalui 3 tahapan yang dinamis, saling terkait dan berkesinambungan, serta tergantung pada tipe/jenis dan derajat luka. Sehubungan dengan adanya perubahan morfologik, tahapan penyembuhan luka terdiri dari:1. Fase Hemostasis dan Inflamasi (Schwartz and Neumeister,

2006)

6

Fase hemostasis dan inflamasi adalah adanya respons vaskuler dan seluler yang terjadi akibat perlukaan pada jaringan lunak. Tujuannya adalah menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda asing, sel-sel mati, dan bakteri, untuk mempersiapkan dimulainya proses penyembuhan. Pada awal fase ini, kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan keluarnya platelet yang berfungsi hemostasis. Platelet akan menutupi vaskuler yang terbuka yang (clot) dan juga mengeluarkan darah substansi kapiler vasokonstriktor mengakibatkan pembuluh

vasokonstriksi, selanjutnya terjadi penempelan endotel yang akan menutup pembuluh darah. Periode ini hanya berlangsung 5-10 menit, dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler karena stimulasi saraf sensoris (local sensoris nerve ending), local reflex action, dan adanya substansi vasodilator : histamin, serotonin dan sitokin. Histamin selain menyebabkan vasodilatasi juga mengakibatkan meningkatnya permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka. Secara klinis terjadi edema jaringan dan keadaan lokal lingkungan tersebut asidosis. Eksudasi ini juga mengakibatkan migrasi sel lekosit (terutama netrofil) ke ekstra vaskuler. Fungsi netrofil adalah melakukan fagositosis benda asing dan bakteri di daerah luka selama 3 hari dan kemudian akan digantikan oleh sel makrofag yang berperan lebih besar jika dibanding dengan netrofil pada proses penyembuhan luka. Fungsi makrofag disamping fagositosis adalah (MacKay and Miller, 2003): a. Sintesa kolagenb. Membentuk jaringan granulasi bersama dengan fibroblast

c. Memproduksi growth factor yang berperan pada re-epitelisasid. Membentuk pembuluh kapiler baru atau angiogenesis

Dengan berhasil dicapainya luka yang bersih, tidak terdapat infeksi serta terbentuknya makrofag dan fibroblas, keadaan ini dapat dipakai sebagai pedoman/parameter bahwa fase inflamasi ditandai dengan adanya

7

eritema, hangat pada kulit, edema, dan rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4.

Gambar 2. Fase Hemostasis dan Inflamasi (Mallefet and Dweck, 2008) 2. Fase Proliferasi (Fase Fibroplasia) Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia, karena yang menonjol adalah proses proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai kira-kira akhir minggu ketiga. Fibroblast berasal dari sel mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida, asam aminoglisin, dan prolin yang merupakan bahan dasar kolagen serat yang akan mempertautkan tepi luka (Diegelmann and Evans, 2004). Proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran fibroblast sangat besar pada proses perbaikan, yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama proses rekonstruksi jaringan. Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblas sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudah terjadi luka, fibroblast akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi)

8

serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, asam hyaluronat, fibronectin dan proteoglikans) yang berperan dalam membangun jaringan baru (Mallefet and Dweck, 2008). Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk cikal bakal jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannnya subtrat oleh fibroblast, memberikan tanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblast sebagai satu kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka. Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di dalam jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan granulasi, sedangkan proses proliferasi fibroblast dengan aktifitas sintetiknya disebut fibroplasia. Respons yang dilakukan fibroblast terhadap proses fibroplasia adalah (MacKay and Miller, 2003): a. c. Proliferasi Deposit jaringan matriks Angiogenesis, suatu proses pembentukan pembuluh kapiler baru didalam luka, mempunyai arti penting pada tahap proleferasi proses penyembuhan luka. Kegagalan vaskuler akibat penyakit (diabetes), pengobatan (radiasi) atau obat (preparat steroid) mengakibatkan lambatnya proses sembuh karena terbentuknya ulkus yang kronis. Jaringan vaskuler yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu respons untuk memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka, karena biasanya pada daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan turunnya tekanan oksigen. Pada fase ini fibroplasia dan angiogenesis merupakan proses terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag (growth factors). Proses selanjutnya adalah epitelisasi, dimana fibroblast mengeluarkan keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya membentuk barrier yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesa kolagen b. Migrasi d. Kontraksi luka

9

oleh fibroblast, pembentukan lapisan dermis ini akan disempurnakan kualitasnya dengan mengatur keseimbangan jaringan granulasi dan dermis. Untuk membantu jaringan baru tersebut menutup luka, fibroblas akan merubah strukturnya menjadi myofibroblast yang mempunyai kapasitas melakukan kontraksi pada jaringan. Fungsi kontraksi akan lebih menonjol pada luka dengan defek luas dibandingkan dengan defek luka minimal (David, 2004; Monaco and Lawrence, 2003).

Gambar 3. Fase Proliferasi (Mallefet and Dweck, 2008) 3. Fase Remodelling Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase remodelling adalah menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan berkualitas. Fibroblast sudah mulai meninggalkan jaringan grunalasi, warna kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi, dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10 setelah perlukaan. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase proliferasi akan dilanjutkan pada fase remodelling. Selain pembentukan kolagen, juga akan terjadi pemecahan kolagen oleh enzim kolagenase. Kolagen muda (gelatinous collagen) yang terbentuk pada fase proliferasi akan berubah menjadi

10

kolagen yang lebih matang, yaitu lebih kuat, dengan struktur yang lebih baik (proses re-modelling). Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka. Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas yang normal. Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, namun outcome atau hasil yang dicapai sangat tergantung dari kondisi biologik masing-masing individu, lokasi, serta luasnya luka (David, 2004; Mallefet and Dweck, 2008; Schwartz and Neumeister, 2006).

Gambar 4. Fase Remodelling (Mallefet and Dweck, 2008)

11

Gambar 5. Tahapan penyembuhan luka. Pada individu sehat, penyembuhan berlangsung secara berurutan melalui tiga fase yang saling tumpang tindih: (1) fase inflamasi, (2) fase proliferatif, dan (3) fase remodelling. Stress dapat mempengaruhi perkembangan melalui tahap-tahap melalui jalur kekebalan tubuh dan beberapa neuroendokrin. Review saat ini berfokus pada peran interaktif glukokortikoid dan sitokin (misalnya IL-8, IL-1, IL-1, IL-6, TNF-, dan IL-10). Namun, sitokin tambahan, kemokin, dan faktor pertumbuhan yang penting untuk penyembuhan. Ini termasuk kemokin CXC ligan 1 (CXCL1), kemokin CC ligan 2 (CCL2), granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), protein chemotactic monosit-1 (MCP-1), makrofag inflamasi protien-1 alpha (MIP -l), faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF), mengubah faktor pertumbuhan- (TNF-), faktor pertumbuhan keratinosit (KGF), faktor pertumbuhan platelet-derived (PDGF), dan faktor pertumbuhan fibroblas dasar (bFGF)

12

F. Penyembuhan Luka Pada Janin Kulit umumnya mengalami regenerasi tanpa parut, hal ini terbatas pada dua trimester pertama. Banyak aspek jaringan pada janin dan lingkungan yang dapat berkontribusi pada penyembuhan tanpa parut, yaitu : 1. Lingkungan bayi (cairan amnion) steril 2. Cairan amnion mengandung faktor pertumbuhan dan molekul matriks ekstra sel 3. Fase inflamasi minimal, makrofag diduga sebagai sel pengorganisasi utama pada proses penyembuhan fetus 4. Faktor pertumbuhan dan sitokin berbeda pada fetus, meski maknanya tidak diketahui 5. Elevasi dari molekul yang terlibat dalam morphogenesis dan pertumbuhan kulit Penyembuhan luka tanpa parut pada janin ditunjukkan dengan berkurangnya level TGF-1, TGF-2, dan PDGF serta elevasi dari TGF-3 (molekul morphogenesis kulit). (Metcalfe AD and Ferguson MWJ, 2007) G. Penyembuhan Luka di Jaringan Tertentu 1. Kulit Fase penyembuhan luka dapat diibagi 3 tahap yang saling terkait dan overlap: inflamasi, formasi jaringan baru dan remodelling. Hal pertama yang terjadi setelah cedera pada jaringan adalah inflamasi melalui peran selsel inflamasi. Sel inflamasi pertama yang direkrut adalah neutrofil. Sel-sel inflamasi akan secara masiv menginfiltrasi luka pada 24 jam pertama setelah cedera. Neutrofil akan memasuki tahap apoptosis segera setelah menginfiltrasi luka dan kemudian mengeluarkan sitokin selama proses apoptosis itu, dimana sitokin-sitokin tersebut berperan dalam rekruitmen sel makrofag. Makrofag akan menuju jaringan luka 2 hari setelah cedera dan melakukan aktifitas fagositosis. Proses selanjutnya adalah pembentukan formasi jaringan baru. Proses reepitelisasi ini dimulai beberapa jam setelah formasi luka terbentuk. Keratinosit dari tepi luka akan bermigrasi melintasi wound bed pada

13

permukaan antara dermis luka dan bekuan fibrin. Migrasi ini difasilitasi oleh produksi protease spesifik seperti kolagenase dari sel epidermal untuk mendegradasi matrix ekstraseluler. Angiogenesis masiv akan terjadi seiring kebutuhan akan suplai oksigen dan nutrien jaringan untuk penyembuhan luka. Kemudian beberapa dari fibroblast akan berdiferensiasi menjadi miofibroblas. Sel kontraktile ini akan membantu menyambung jarak antar tepi luka. Disaat bersamaan growth factors yang diproduksi jaringan granulasi akan memudahkan proliferasi dan diferensiasi sel epitelial memperbaiki integritas barier epitel. Fase terakhir adalah remodeling yang terdiri atas apoptosis miofibroblas, sel endotelial dan makrofag. Pada fase ini akan terjadi involusi bertahap dari jaringan granulasi dan terjadi regenerasi kulit (Modero and Khosrotehrani, 2010). 2. Fase Penyembuhan Pada Tulang Penyembuhan fraktur pada tulang adalah sebuah mekanisme yang komplek dan proses regenerasi unik dalam mengembalikan fungsi dan bentuk tulang. Proses penyembuhan tulang didahului oleh proses inflamasi dan didominasi oleh fase pembentukan formasi tulang. Selama fase penyembuhan, kalus eksternal terbatas pada kapsula fibrosa yang tersusun oleh jaringan granulasi yang tidak beraturan. Fase inflamasi lebih lanjut ditandai invasi invasi sel mesenkimal yang berdiferensiasi menjadi kondrosit untuk pembentukan tulang rawan dan osteoblast untuk pembentukan tulang. Sel-sel debris inisial dan hematoma selanjutnya akan digantikan oleh jaringan fibrosa. Jumlah kolagen tipe I akan meningkat sampai 5 hari setelah fraktur, tetapi kolagen tipe III adalah yang dominan dalam menyusun jaringan. Fase reparasi tulang dikaitkan dengan pertumbuhan formasi tulang intramembran dari regio periosteal. Fase ini ditandai dengan invasi pembuluh darah dan pertumbuhan kalus, dimana puncak pertumbuhannya biasa ditemukan hari 14 setelah fraktur.

14

Fase remodelling ditandai

terbentuknya formasi endochondral

trabekular yang dihubungkan dengan osteoblast dan TRAP-positive settlement pada rongga sumsum tulang, penyatuan fragmen dan regenerasi celah sumsum tulang. Hal ini sesuai dengan data percobaan dari model percobaan fraktur pada kelinci yang menunjukkan peningkatan jumlah tulang trabekular dengan penyusun dominannya kolagen tipe I, sedang kolagen tipe III dan tipe V tetap ditemukan didaerah puasat dari trabekula. Selanjutnya tulang menyembuh tanpa adanya scar (Coulibaly et al, 2010). H. Gangguan Penyembuhan Luka Penyembuhan luka dapat terganggu oleh penyebab dari tubuh sendiri (endogen) dan oleh penyebab dari luar tubuh (eksogen). Penyebab endogen terpenting adalah gangguan koagulasi yang disebut koagulopati, dan gangguan sistem imun. Semua gangguan pembekuan darah akan menghambat penyembuhan luka, sebab homeostatis merupakan titik tolak dan dasar fase inflamasi. Gangguan sistem imun akan menghambat dan mengubah reaksi tubuh terhadap luka, kematian jaringan dan kontaminasi. Penyebab eksogen meliputi penyinaran sinar ionisasi yang akan mengganggu mitosis dan merusak sel dengan akibat dini maupun lanjut. Pemberian sitostatik, obat penekan imun misalnya setelah transplantasi organ, dan kortikosteroid juga akan mempengaruhi penyembuhan luka. Pengaruh setempat seperti infeksi, hematom, benda asing, serta jaringan mati seperti sekuester dan nekrosis sangat menghambat penyembuhan luka (Sjamsuhidajat and Jong, 1997). I. Perawatan Luka Hasil penelitian tentang perawatan luka menunjukkan bahwa lingkungan luka yang lembab lebih baik daripada lingkungan kering. Laju epitelisasi luka yang ditutup poly-etylen dua kali lebih cepat daripada luka yang dibiarkan kering. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa migrasi epidermal pada luka

15

superficial lebih cepat pada suasana lembab daripada kering. Perawatan luka lembab tidak meningkatkan infeksi. Pada kenyataannya tingkat infeksi pada semua jenis balutan lembab adalah 2,5 %, lebih baik dibanding 9 % pada balutan kering. Lingkungan lembab meningkatkan migrasi sel epitel ke pusat luka dan melapisinya sehingga luka lebih cepat sembuh. Konsep penyembuhan luka dengan teknik lembab ini merubah penatalaksanaan luka dan memberikan rangsangan bagi perkembangan balutan lembab. Penggantian balutan dilakukan sesuai kebutuhan, tidak berdasarkan kebiasaan melainkan disesuaikan terlebih dahulu dengan tipe dan jenis luka. Penggunaan antiseptik hanya untuk yang memerlukan saja, karena efek toksinnya terhadap sel sehat. Untuk membersihkan luka hanya diperlukan normal saline. Citotoxic agent seperti povidine iodine, dan asam asetat, seharusnya tidak secara sering digunakan untuk membersihkan luka, karena dapat menghambat penyembuhan dan mencegah reepitelisasi. Luka dengan sedikit debris dipermukaannya dapat dibersihkan dengan kassa yang dibasahi dengan sodium klorida dengan tidak terlalu banyak manipulasi gerakan. Tepi luka seharusnya bersih, berdekatan dengan lapisan sepanjang tepi luka. Tepi luka ditandai dengan kemerahan dan sedikit bengkak dan hilang kira-kira satu minggu. Kulit menjadi tertutup hingga normal dan tepi luka menyatu. Adapun tujuan dari perawatan luka antara lain (Dudley, 2000; Julia, 2000): 1. Memberikan lingkungan yang memadai untuk penyembuhan luka 2. Absorbsi drainase 3. Menekan dan imobilisasi luka 4. Mencegah luka dan jaringan epitel baru dari cedera mekanis 5. Mencegah luka dari kontaminasi bakteri 6. Meningkatkan hemostasis dengan menekan dressing 7. Memberikan rasa nyaman mental dan fisik pada pasien

16

J.

Komplikasi Penyembuhan Luka Keloid dan jaringan parut hipertrofik timbul karena reaksi serat kolagen yang berlebihan dalam proses penyembuhan luka. Serat kolagen disini teranyam teratur. Keloid yang tumbuh berlebihan melampaui batas luka, sebelumnya menimbulkan gatal dan cenderung kambuh bila dilakukan intervensi bedah. Parut hipertrofik hanya berupa parut luka yang menonjol, nodular, dan kemerahan, yang menimbulkan rasa gatal dan kadang kadang nyeri. Parut hipertrofik akan menyusut pada fase akhir penyembuhan luka setelah sekitar satu tahun, sedangkan keloid tidak. Keloid dapat ditemukan di seluruh permukaan tubuh. Tempat predileksi merupakan kulit, toraks terutama di muka sternum, pinggang, daerah rahang bawah, leher, wajah, telinga, dan dahi. Keloid agak jarang dilihat di bagian sentral wajah pada mata, cuping hidung, atau mulut. Pengobatan keloid pada umumnya tidak memuaskan. Biasanya dilakukan penyuntikan kortikosteroid intrakeloid, bebat tekan, radiasi ringan dan salep madekasol (2 kali sehari selama 3-6 bulan). Untuk mencegah terjadinya keloid, sebaiknya pembedahan dilakukan secara halus, diberikan bebat tekan dan dihindari kemungkinan timbulnya komplikasi pada proses penyembuhan luka (Sjamsuhidajat and Jong, 1997).

K. Luka Kronik 1. Definisi Luka kronik merupakan luka yang tidak menyembuh melalui tahapan penyembuhan luka yang normal, dalam waktu kurang lebih 3 bulan (Broderick, 2009). Luka kronik dapat disebabkan oleh pengaruh intrinsik

17

maupun ekstrinsik serta dapat mengenai semua kelompok umur, baik pasien sehat maupun mereka yang memiliki beberapa penyakit penyerta. Contoh luka kronik antara lain: ulkus dekubitalis, ulkus diabetik, luka yang mengalami desikasi lama, ulkus stasis vena, ulkus radiasi, luka traumatik, atau luka operasi lama. (Sudjatmiko, 2010)2.

Patologi Luka Kronik Proses patologi dari luka kronik antara lain (Broderick, 2009): a. Pemanjangan fase inflamasi b. Penuaan sel (sel tua yang kurang viabel), dimana terjadi perubahan kemampuan sel untuk berproliferasi.c. Kekurangan reseptor faktor pertumbuhan (growth factor)

d. Tidak terdapat perdarahan awal yang dapat memicu kaskade penyembuhan luka e. Peningkatan kadar protease (enzim yang memakan protein). 3. Penatalaksanaan a. Perawatan Dasar Perawatan yang baik dan penggunaan kasur anti dekubitus memiliki peranan dalam mengurangi tekanan pada pasien dengan ulkus dekubitus. Demikian pula debridemen kalus secara teratur, perawatan kuku, dan sepatu khusus untuk mengurangi tekanan penting untuk perawatan kaki diabetik akibat neuropati diabetik. Penggunaan verban kompresi dan stoking penting dan efektif dalam mengobati ulkus vena. (Harding and Morris, 2002) b. Debridement yang adekuat Luka kronik umumnya memiliki banyak jaringan parut, debris, dan jaringan nekrotik yang menghambat penyembuhan. (Sudjatmiko, 2010) c. Penanganan infeksi Pada luka kronik harus dicurigai adanya infeksi. Kultur jaringan dan perhitungan kwantitatif sebaiknya dilakukan. (Sudjatmiko, 2010) d. Penutupan luka yang baik

18

Desikasi merupakan faktor yang seringkali menyebabkan gangguan penyembuhan luka dan epitelisasi pada luka kronik. (Sudjatmiko, 2010) Fokus utama dari perawatan luka kronis dalam beberapa tahun terakhir adalah mengembangkan metode penutupan luka yang baik sehingga dapat menciptakan lingkungan yang lembab untuk membantu penyembuhan luka. Winter menunjukkan pada model hewan bahwa proses reepitelialisasi luka akut berjalan 1,5 kali lebih cepat jika luka ditutup. Penutupan luka belum menunjukkan efek bermakna dalam studi klinis terhadap pasien dengan luka kronis, namun penerapannya masih memiliki manfaat bagi pasien dengan mengurangi rasa sakit dan dengan meningkatkan kenyamanan serta efektivitas biaya. Kemajuan dalam teknologi penutupan luka belum dapat menemukan zat yang dapat mengobati kelainan pada kaskade penyembuhan luka, kecuali penutupan luka dengan bahan yang mengandung asam hyaluronat, yang secara khusus membantu penyembuhan luka. (Harding and Morris, 2002) e. Penggunaan faktor pertumbuhan topikal Fungsi normal faktor pertumbuhan adalah untuk menarik bermacam tipe sel ke daerah luka, menstimulasi proliferasi selular, memacu angiogenesis, serta mengatur sintesis dan degradasi matriks ekstraseluler. Penggunaan faktor pertumbuhan secara topikal belum memiliki hasil dramatis seperti yang diaharapkan sebelumnya. Hal ini tidak mengejutkan mengingat proses penyembuhan luka sangatlah kompleks. Sampai saat ini hanya platelet derived growth factor yang telah diijinkan penggunaannya untuk mengobati ulkus kaki yang tidak terinfeksi samai dengan ukuran 5 cm2 pada penderita kaki diabetik (becaplermin, Regranex). Penelitian telah menunjukkan bahwa platelet derived growth factor juga memiliki manfaat dalam mengobati ulkus dekubitus. Meski belum berlisensi, granulocyte colony stimulating factor telah diteliti bermanfaat dalam mengobati ulkus kaki yang terinfeksi pada pasien diabetes, mempercepat penyembuhan selulitis serta menurunkan kebutuhan penggunaan antibiotik. Selain itu, fibroblast growth factor

19

dinilai dapat mengobati ulkus decubitus dan epidermal growth factor dapat digunakan pada ulkus vena di kaki. Di masa yang akan datang faktor pertumbuhan dapat diberikan secara bertahap, dalam kombinasi, atau pada interval waktu tertentu agar semakin mendekati proses penyembuhan luka yang normal. Keragaman faktor pertumbuhan dan jenis luka kronis menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut memiliki potensi sebagai pengobatan baru jika kebutuhan individual pasien dapat dikenali. f. Penanganan faktor lokal dan sistemik yang dapat menghambat penyembuhan luka Misalnya gangguan vaskular, edema, diabetes, malnutrisi, tekanan lokal, dan gravitasi. g. Penggunaan Vacuum Assisted Closure (VAC) VAC adalah suatu pendekatan noninvasive yang bertujuan membantu penutupan luka melalui pemberian secara topical tekanan subatmosferik atau tekanan negatif ke permukaan luka. Mekanisme kerjanya adalah mengurangi eksudat, merangsang angiogenesis, mengurangi kolonisasi bakteri dan menngkatkan pembentukan jaringan granulasi. Keuntungan menggunakan VAC adalah kita dapat menutup luka dengan lebih cepat, bahkan pada luka yang kecil dapat epitelisasi sendiri. (Harding and Morris, 2002)

20

BAB III KESIMPULAN Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit. Luka adalah kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain. Luka dapat diklasifikasi berdasarkan waktu penyembuhan luka, proses terjadinya, dan derajat kontaminasi. Sementara itu proses penutupan pada luka terbagi menjadi 3 kategori, tergantung pada tipe jaringan yang terlibat dan keadaan serta perlakuan pada luka, yaitu primer, sekunder, dan tersier Setiap proses penyembuhan luka akan melalui 3 tahapan yang dinamis, saling terkait dan berkesinambungan, serta tergantung pada tipe/jenis dan derajat luka. Fase hemostasis dan inflamasi ditandai dengan adanya respons vaskuler dan seluler yang terjadi akibat perlukaan pada jaringan lunak yang bertujuan menghentikan perdarahan dan sterilisasi. Selanjutnya pada fase proliferasi, fibroblast berasal dari sel mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida, asam aminoglisin, dan prolin yang merupakan bahan dasar kolagen serat yang akan mempertautkan tepi luka. Selanjutnya fase remodelling yang bertujuan menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan berkualitas. Penyembuhan luka dapat terganggu oleh penyebab dari tubuh sendiri (endogen) dan oleh penyebab dari luar tubuh (eksogen). Penyebab endogen terpenting adalah gangguan koagulasi yang disebut koagulopati, dan gangguan sistem imun. Semua gangguan pembekuan darah akan menghambat penyembuhan luka, sebab homeostatis merupakan titik tolak dan dasar fase inflamasi. Gangguan sistem imun akan menghambat dan mengubah reaksi tubuh terhadap luka, kematian jaringan dan kontaminasi. Perawatan luka sebaiknya dijaga pada kondisi lingkungan yang lembab karena mempercepat epitelisasi. Komplikasi penyembuhan luka di antaranya keloid dan jaringan parut hipertrofik. Luka kronik merupakan luka yang tidak menyembuh melalui tahapan penyembuhan luka yang normal, dalam waktu kurang lebih 3 bulan (Broderick, 2009) Luka kronik dapat disebabkan oleh pengaruh intrinsik maupun ekstrinsik

21

serta dapat mengenai semua kelompok umur, baik pasien sehat maupun mereka yang memiliki beberapa penyakit penyerta. Contoh luka kronik antara lain: ulkus dekubitalis, ulkus diabetik, luka yang mengalami desikasi lama, ulkus stasis vena, ulkus radiasi, luka traumatik, atau luka operasi lama.

22

DAFTAR PUSTAKA Broderick, Nancy. 2009. Understanding Chrinic Wound Healing. The Nurse Practitioner. Vol 34, No.10

Dudley HAF, Eckersley JRT, et al. 2000. Pedoman Tindakan Medik dan Bedah. Jakarta : EGC

David LD. 2004. Ethicon: Wound Closure Manual. Minnesota: Ethicon inc. pp: 68. Diegelmann RF and Evans MC. 2004. Wound healing : an overview of acute, fibrotic and delayed healing. Front in Biosci. 9:283-9. Harding, KG; Morris, G K patel. 2002. Science, medicine, and the future Healing chronic wounds. BMJ Vol 324 Julia S. Garner. 2000. Guideline For Prevention of Surgical Wound Infections Hospital Infections Program Centers for Infectious Diseases Center for Disease Control. http://wonder.cdc.gov/wonder/prevguid/p0000420/p0000420.asp#head0040 00000000000 ( diakses 17 Mei 2011)

Libby Swope Wiersema. 2011. List of Surgical Wound Classifications Last. http://www.livestrong.com/article/220345-list-of-surgical-woundclassifications/, List of Surgical Wound Classifications ( diakses 17 Mei 2011)

MacKay D and Miller AL. 2003. Nutritional support for wound healing. Alt med rev. 8(4): 360-1. Mallefet P and Dweck A.C. 2008. Mechanisms involved in wound healing. Biomed Scient. 609-15.

23

Mangram AJ, Horan TC, et al. 1999. Guideline for prevention of surgical site infection. Infect Control Hosp Epidemiol 1999;20:247-80. www.medscape.com/viewarticle/414393_4 ( diakses 17 Mei 2011)

Metcalfe, Anthony D and Ferguson, Mark W.J. Tissue engineering of replacement skin: the crossroads of biomaterials, wound healing, embryonic development, stemcells and regeneration. J. R. Soc. Interface 2007 4, 413437 Monaco JL and Lawrence WT. 2003. Acute wound healing: an overview. Clin Plastic Surg. 30: 1-12. Samper Gimenez. 2007. Orbital Penetrating Wound By A Bull Horn, Arch Soc ESP Oftamol 2007; 82: 645-648. www.oftalmo.com/seo/archivos/maquetas/1/...D8FA.../articulo.pdf. (diakses 17 Mei 2011)

Schwartz BF and Neumeister M. 2006. The mechanics of wound healing. In Future Direction in Surgery. Southern Illinois. pp: 78-9. Sjamsuhidajat, R and Jong, W D. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi. Jakarta : EGC. 3: 72-81.

Sudjatmiko, Gentur. 2010. Petunjuk Praktis Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi. Jakarta : Yayasan Khasanah Kebajikan.

24

Referat

PENYEMBUHAN LUKA

Oleh : An Aldia Asrial Indrayana Sunarso Muthia Farani Banu Eko Susanto Nomi Andita Puri Rani Meidawati G0005049 G0005116 G0005137 G0005069 G0006125 G0007136

Pembimbing: dr. Amru Sungkar, Sp.B, Sp. BP

KEPANITERAAN KLINIK SMF/LAB ILMU KESEHATAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

25