49
-
Upload
anisa-iswari-pombaile-ngurawan -
Category
Documents
-
view
12 -
download
0
Transcript of 49
![Page 1: 49](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022071803/55cf99cc550346d0339f38a3/html5/thumbnails/1.jpg)
48
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011
Jurnal Anestesiologi Indonesia
TINJAUAN PUSTAKA
Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal
Ratno Samodro*, Doso Sutiyono*, Hari Hendriarto Satoto*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
Regional anesthesia is growing and expanding its use, given the variety of benefits offered,
such as relatively cheap, minimal systemic effects, produce adequate analgesia and the
ability to prevent the stress response is more perfect.
Local anesthetic drug is chemically divided into two major categories, namely the class of
Amide and ester groups. These chemical differences are reflected in differences in the
metabolism of the place, where the ester group is mainly metabolized by the enzyme
pseudo-cholinesterase in the plasma while the Amide groups mainly through enzymatic
degradation in the liver. This difference is also related to the magnitude of the possibility
of allergies, in which the ester group derived from p-amino-benzoic acid has a greater
frequency of allergic tendencies. Local anesthetic commonly used in our country for the
class of esters are procaine, whereas the Amide groups are lidocaine and bupivacaine.
Mechanism of action of local anesthetic drugs to prevent transmission of nerve impulses
(conduction blockade) by inhibiting the delivery of sodium ions through selective sodium
ion gates in neuronal membranes. Failure of the sodium ion permeability of the gate to
increase the speed of depolarization of the slowdown as a potential threshold was not
reached so that action potentials are not propagated. Local anesthetic did not alter the
resting potential or transmembrane potential threshold.
Pharmacokinetics of the drug include absorption, distribution, metabolism and excretion.
Complications of local anesthetic is a local side effects can occur at the injection site
hematoma and abscess while systemic side effects such as neurological in the central
nervous, respiratory, cardiovascular, immunological, musculoskeletal, and hematologic
Some local anesthetic drug interactions include coadministration may increase the potency
of each drug. decreased metabolism of local anesthetics as well as increase the potential
for intoxication.
ABSTRAK
Anestesi regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat berbagai
keuntungan yang ditawarkan, diantaranya relatif lebih murah, pengaruh sistemik yang
minimal, menghasilkan analgesi yang adekuat dan kemampuan mencegah respon stress
secara lebih sempurna.
![Page 2: 49](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022071803/55cf99cc550346d0339f38a3/html5/thumbnails/2.jpg)
49
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi dalam dua golongan besar, yaitu golongan ester
dan golongan amide. Perbedaan kimia ini direfleksikan dalam perbedaan tempat
metabolisme, dimana golongan ester terutama dimetabolisme oleh enzim pseudo-
kolinesterase di plasma sedangkan golongan amide terutama melalui degradasi enzimatis
di hati. Perbedaan ini juga berkaitan dengan besarnya kemungkinan terjadinya alergi,
dimana golongan ester turunan dari p-amino-benzoic acid memiliki frekwensi
kecenderungan alergi lebih besar. Obat anestesi lokal yang lazim dipakai di negara kita
untuk golongan ester adalah prokain, sedangkan golongan amide adalah lidokain dan
bupivakain.
Mekanisme kerja obat anestesi local mencegah transmisi impuls saraf (blokade konduksi)
dengan menghambat pengiriman ion natrium melalui gerbang ion natrium selektif pada
membrane saraf. Kegagalan permeabilitas gerbang ion natrium untuk meningkatkan
perlambatan kecepatan depolarisasi seperti ambang batas potensial tidak tercapai
sehingga potensial aksi tidak disebarkan. Obat anestesi lokal tidak mengubah potensial
istirahat transmembran atau ambang batas potensial.
Farmakokinetik obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Komplikasi
obat anestesi lokal yaitu efek samping lokal pada tempat suntikan dapat timbul hematom
dan abses sedangkan efek samping sistemik antara lain neurologis pada Susunan Saraf
Pusat, respirasi, kardiovaskuler, imunologi ,muskuloskeletal dan hematologi
Beberapa interaksi obat anestesi lokal antara lain pemberian bersamaan dapat
meningkatkan potensi masing-masing obat. penurunan metabolisme dari anestesi lokal
serta meningkatkan potensi intoksikasi.
PENDAHULUAN
Anestesi regional semakin berkembang
dan meluas pemakaiannya, mengingat
berbagai keuntungan yang ditawarkan,
diantaranya relatif lebih murah, pengaruh
sistemik yang minimal, menghasilkan
analgesi yang adekuat dan kemampuan
mencegah respon stress secara lebih
sempurna. Namun demikian bukan berarti
bahwa tindakan anestesi lokal tidak ada
bahayanya. Hasil yang baik akan dicapai
apabila selain persiapan yang optimal
seperti halnya anestesi umum juga disertai
pengetahuan tentang farmakologi obat
anestesi lokal.1
SEJARAH
Carl Koller (1884), seorang ahli mata
telah memperkenalkan untuk yang
pertama kali penggunaan kokain secara
topikal pada operasi mata. Gaedicke
(1885) mendapatkan kokain dalam bentuk
ester asam benzoat yang diisolasi dari
tumbuhan koka (erythroxylon coca) yang
![Page 3: 49](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022071803/55cf99cc550346d0339f38a3/html5/thumbnails/3.jpg)
50
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011
Jurnal Anestesiologi Indonesia
banyak tumbuh di pegunungan Andes.
Kemudian olah Albert Naiman (1860)
dalam bentuk ekstrak. William Halsted
(1884), seorang ahli bedah telah
menggunakan kokain intradermal dan
blok saraf fasialis, pudendal, tibialis
posterior dan plexus brachialis.
Selanjutnya August Bier (1898),
menggunakan 3 ml kokain 0,5% intratekal
untuk anestesi spinal dan pada 1908
memperkenalkan anestesi regional
intravena (Bier Block). Alfred Einhorn
(1904) mensintesa prokain dan pada tahun
yang sama digunakan untuk anestesi lokal
oleh Heinrich Braun. Penambahan
epinefrin untuk memperpanjang aksi
anestetik lokal dilakukan pertama kali
oleh Heinrich Braun. 1,2,3
Ferdinand Cathelin dan Jean Sicard
(1901) memperkenalkan anestesi epidural
kaudal dan Frigel Pages (1921)
memperkenalkan anestesi epidural lumbal
yang diikuti oleh Achille Doglioti (1931).
Selanjutnya Lofgren (1943) mensintesa
anestesi lokal amide, yaitu lidokain yang
menghasilkan blokade konduksi lebih kuat
daripada Prokain dan menjadi
pembanding semua anestesi lokal.
Penggunaan klinis lidokain sejak 1947.
Sebelumnya dibukain (1930), tetrakain
(1932) dan sesudah itu kloroprokain
(1955), mepivakain (1957), prilokain
(1960), bupivakain (1963), etidokain
(1972).
Ropivakain dan levobupivakain adalah
obat baru dengan aksi durasi hampir sama
seperti bupivacain tetapi kardio dan
neurotoksisitasnya lebih kecil.1-4
Penggolongan Obat Anestesi Lokal
Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi
dalam dua golongan besar, yaitu golongan
ester dan golongan amide. Perbedaan
kimia ini direfleksikan dalam perbedaan
tempat metabolisme, dimana golongan
ester terutama dimetabolisme oleh enzim
pseudo-kolinesterase di plasma sedangkan
golongan amide terutama melalui
degradasi enzimatis di hati.1,2,3,4
Perbedaan ini juga berkaitan dengan
besarnya kemungkinan terjadinya alergi,
dimana golongan ester turunan dari p-
amino-benzoic acid memiliki frekuensi
kecenderungan alergi lebih besar.3
Untuk kepentingan klinis, anestesi lokal
dibedakan berdasarkan potensi dan lama
kerjanya menjadi 3 group. Group I
meliputi prokain dan kloroprokain yang
memiliki potensi lemah dengan lama kerja
singkat. Group II meliputi lidokain,
mepivakain dan prilokain yang memiliki
potensi dan lama kerja sedang. Group III
meliputi tetrakain, bupivakain dan
etidokain yang memiliki potensi kuat
dengan lama kerja panjang.2,3
Anestesi
lokal juga dibedakan berdasar pada mula
kerjanya. Kloroprokain, lidokain,
mepevakain, prilokain dan etidokain
memiliki mula kerja yang relatif cepat.
Bupivakain memiliki mula kerja sedang,
sedangkan prokain dan tetrakain bermula
kerja lambat.3
Obat anestesi lokal yang lazim dipakai di
negara kita untuk golongan ester adalah
![Page 4: 49](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022071803/55cf99cc550346d0339f38a3/html5/thumbnails/4.jpg)
51
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011
Jurnal Anestesiologi Indonesia
prokain, sedangkan golongan amide
adalah lidokain dan bupivakain. Secara
garis besar ketiga obat ini dapat dibedakan
sebagai berikut : 1-4
Tabel 1. Jenis anestesi lokal
Prokain Lidokain Bupivakai
n
Golongan Ester Amide Amide
Mula Kerja 2 menit 5 menit 15 menit
Lama Kerja 30 – 45
menit
45 – 90
menit
2 – 4
jam
Metabolisme Plasma Hepar Hepar
Dosis
maksimal
(mg/kgBB)
12 6 2
Potensi 1 3 15
Toksisitas 1 2 10
HUBUNGAN STRUKTUR AKTIVITAS
Anestesi lokal terdiri dari kelompok
lipofilik—biasanya dengan cincin
bezene—dibedakan dari kelompok
hidrofilik—biasanya amin tersier—
berdasarkan rantai intermediat yang
memiliki cabang ester atau amida. ).
Kelompok hidrofilik biasanya amine
tersier, seperti dietilamine, dimana bagian
lipofilik biasanya merupakan cincin
aromatic tak jenuh, seperti asam
paraaminobenzoat. Bagian lipofilik
penting untuk aktivitas obat anestesi, dan
secara terapeutik sangat berguna untuk
obat anestesi local yang membutuhkan
keseimbangan yang bagus antara
kelarutan lipid dan kelarutan air. Pada
hampir semua contoh, ikatan ester (-CO-)
atau amide (-NHC-) menghubungkan
rantai hidrokarbon dengan rantai aromatic
lipofilik. Sifat dasar ikatan ini adalah
dasar untuk mengklasifikasikan obat yang
menghasilkan blockade konduksi impuls
saraf seperti obat anestesi local ester atau
obat anestesi amide (Gambar 2).
Perbedaan penting antara obat anestesi
lokal ester dan amide berkaitan dengan
tempat metabolisme dan kemapuan
menyebabkan reaksi alergi.2-7
Gambar 1. Obat anestesi local terdiri dari bagian
lipofilik dan hidrofilik yang dihubungkan dengan
ikaran rantai hidrokarbon.
Gambar 2. Obat anestesi local ester dan amide.
Mepivacaine, bupivacaine dan ropivacaine adalah
obat khiral karena molekulnya memiliki atom
karbon asimetris.
![Page 5: 49](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022071803/55cf99cc550346d0339f38a3/html5/thumbnails/5.jpg)
52
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Potensi berkorelasi dengan kelarutan
lemak, karena itu merupakan kemampuan
anestesi lokal untuk menembus membran,
lingkungan yang hidrofobik. Secara
umum, potensi dan kelarutan lemak
meningkat dengan meningkatnya jumlah
total atom karbon pada molekul. Onset
dari kerja obat bergantung dari banyak
faktor, termasuk kelarutan lemak dan
konsentrasi relatif bentuk larut-lemak
tidak-terionisasi (B) dan bentuk larut-air
terionisasi (BH+), diekspresikan oleh pKa.
Pengukurannya adalah pH dimana jumlah
obat yang terionisasi dan yang tidak
terionisasi sama. Obat dengan kelarutan
lemak yang lebih rendah biasanya
memiliki onset yang lebih cepat.2,3
Anestesi lokal dengan pKa yang
mendekati pH fisiologis akan memiliki
konsentrasi basa tak-terionisasi lebih
tinggi yang dapat melewati membran sel
saraf, dan umumnya memiliki onset yang
lebih cepat. Onset dari kerja anestesi lokal
dalam serat saraf yang terisolasi secara
langsung berkorelasi dengan pKa. Onset
klinis dari kerja anestesi lokal dengan pKa
yang sama tidak identik. Faktor-faktor
lain, seperti kemudahan berdifusi melalui
jaringan ikat, dapat mempengaruhi onset
kerja in vivo. Lebih lagi, tidak semua
anestesi lokal berubah menjadi bentuk
terionisasi (contoh: benzocaine) anestesi
ini kemungkinan beraksi dengan
mekanisme yang bergantian (contoh:
memperlebar membran lipid).2,4
Hal yang penting dari bentuk ionisasi dan
tak-terionisasi adalah implikasi klinisnya.
Larutan anestesi lokal dipersiapkan secara
komersial dalam bentuk garam
hidroklorida yang larut-air (pH 6-7).
Karena epinefrin tidak stabil dalam
suasana alkali, maka larutan anestesi lokal
yang tersedia, yang mengandung
epinefrin, dibuat dalam suasana asam (pH
4-5). Sebagai konsekuensi langsung,
sediaan ini memiliki konsentrasi basa
bebas yang lebih rendah dan onset yang
lebih lambat dibanding dengan epinefrin
yang ditambahkan oleh klinisi saat akan
digunakan. Hal yang sama, rasio basa-
kation ekstraselular diturunkan dan onset
dihambat sewaktu anestesi lokal diinjeksi
ke dalam jaringan yang bersifat asam
(misal: jaringan yang terinfeksi).
Walaupun masih merupakan kontroversi,
beberapa peneliti melaporkan bahwa
alkalinisasi larutan anestesi lokal
(biasanya sediaan komersial, yang
mengandung epinefrin) dengan
menambahkan sodium bikarbonat (misal,
1 mL 8,4% sodium bikarbonat dalam tiap
10 mL lidokain) akan mempercepat onset,
memperbaiki kualitas dari blokade dan
memperpanjang durasi blokade dengan
meningkatkan jumlah basa bebas yang
tersedia. Yang menarik, alkalinisasi juga
menurunkan nyeri saat dilakukan infiltrasi
pada jaringan.2,3
Durasi kerja umumnya berkorelasi dengan
kelarutan lemak. Anestesi lokal dengan
kelarutan lemak tinggi memiliki durasi
yang lebih panjang, diperkirakan karena
lebih lama dibersihkan dari dalam darah.
![Page 6: 49](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022071803/55cf99cc550346d0339f38a3/html5/thumbnails/6.jpg)
53
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Mekanisme Kerja
Obat anestesi local mencegah transmisi
impuls saraf (blokade konduksi) dengan
menghambat pengiriman ion natrium
melalui gerbang ion natrium selektif pada
membrane saraf (Butterworth dan
Strichartz, 1990). Gerbang natrium sendiri
adalah reseptor spesifik molekul obat
anestesi local. Penyumbaatn gerbang ion
yang terbuka dengan molekul obat
anestesi local berkontribusi sedikit sampai
hampir keseluruhan dalam inhibisi
permeabilitas natrium. Kegagalan
permeabilitas gerbang ion natrium untuk
meningkatkan perlambatan kecepatan
depolarisasi seperti ambang batas
potensial tidak tercapai sehingga potensial
aksi tidak disebarkan. Obat anestesi local
tidak mengubah potensial istirahat
transmembran atau ambang batas
potensial.
Lokal anestesi juga memblok kanal
kalsium dan potasium dan reseptor N-
methyl-D-aspartat (NMDA) dengan
derajat yang berbeda-beda. Beberapa
golongan obat lain, seperti antidepresan
trisiklik (amytriptiline), meperidine,
anestesi inhalasi, dan ketamin juga
memiliki efek memblok kanal sodium.
Tidak semua serat saraf dipengaruhi sama
oleh obat anestesi lokal. Sensitivitas
terhadap blokade ditentukan dari diameter
aksonal, derajat mielinisasi, dan berbagai
faktor anatomi dan fisiologi lain. Diameter
yang kecil dan banyaknya mielin
meningkatkan sensitivitas terhadap
anestesi lokal. Dengan demikian,
sensitivitas saraf spinalis terhadap anestesi
lokal: autonom > sensorik > motorik2,4,6
FARMAKOLOGI KLINIS
Farmakokinetik
Karena anestesi lokal biasanya
diinjeksikan atau diaplikasikan sangat
dekat dengan lokasi kerja maka
farmakokinetik dari obat umumnya lebih
dipentingkan tentang eliminasi dan
toksisitas obat dibanding dengan efek
klinis yang diharapkan.2,3,6
A. Absorpsi
Sebagian besar membran mukosa
memiliki barier yang lemah terhadap
penetrasi anestesi lokal, sehingga
menyebabkan onset kerja yang cepat.
Kulit yang utuh membutuhkan anestesi
lokal larut-lemak dengan konsentrasi
tinggi untuk menghasilkan efek
analgesia.2
Absorpsi sitemik dari anestesi lokal yang
diinjeksi bergantung pada aliran darah,
yang ditentukan dari beberapa faktor di
bawah ini 2,5
1. Lokasi injeksi—laju absorpsi
sistemik proporsional dengan
vaskularisasi lokasi injeksi :
intravena > trakeal > intercostal >
caudal > paraservikal > epidural >
pleksus brakhialis > ischiadikus >
subkutaneus.
2. Adanya vasokonstriksi—
penambahan epinefrin—atau yang
lebih jarang fenilefrin—
menyebabkan vasokonstriksi pada
tempat pemberian anestesi.
![Page 7: 49](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022071803/55cf99cc550346d0339f38a3/html5/thumbnails/7.jpg)
54
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Sebabkan penurunan absorpsi dan
peningkatan pengambilan
neuronal, sehingga meningkatkan
kualitas analgesia, memperpanjang
durasi, dan meminimalkan efek
toksik. Efek vasokonstriksi yang
digunakan biasanya dari obat yang
memiliki masa kerja pendek.
Epinefrin juga dapat meningkatkan
kualitas analgesia dan
memperlama kerja lewat
aktivitasnya terhadap resptor
adrenergik α2.
3. Agen anestesi lokal—anestesi
lokal yang terikat kuat dengan
jaringan lebih lambat terjadi
absorpsi. Dan agen ini bervariasi
dalam vasodilator intrinsik yang
dimilikinya.
B. DISTRIBUSI
Distribusi tergantung dari ambilan organ,
yang ditentukan oleh faktor-faktor di
bawah ini :1,6
1. Perfusi jaringan-organ dengan
perfusi jaringan yang tinggi (otak,
paru, hepar, ginjal, dan jantung)
bertanggung jawab terhadap
ambilan awal yang cepat (fase α),
yang diikuti redistribusi yang lebih
lambat (fase β) sampai perfusi
jaringan moderat (otot dan saluran
cerna
2. Koefisien partisi jaringan/darah-
ikatan protein plasma yang kuat
cenderung mempertahankan obat
anestesi di dalam darah, dimana
kelarutan lemak yang tinggi
memfasilitasi ambilan jaringan.
3. Massa jaringan—otot merupakan
reservoar paling besar untuk
anestesi lokal karena massa dari
otot yang besar.
Metabolisme dan Ekskresi
Metabolisme dan ekskresi dari lokal
anestesi dibedakan berdasarkan
strukturnya :2,5
1. Ester-anestesi lokal ester
dominan dimetabolisme oleh
pseudokolinesterase
(kolinesterase palsma atau
butyrylcholinesterase). Hidrolisa
ester sangat cepat, dan
metabolitnya yang larut-air
diekskresikan ke dalam urin.
Procaine dan benzocaine
dimetabolisme menjadi asam p-
aminobenzoiz (PABA), yang
dikaitkan dengan reaksi alergi.
Pasien yang secara genetik
memiliki pseudokolinesterase
yang abnormal memiliki resiko
intoksikasi, karena metabolisme
dari ester yang menjadi lambat.
2. Amida-anestesi lokal amida
dimetabolisme (N-dealkilasi dan
hidroksilasi) oleh enzim
mikrosomal P-450 di hepar. Laju
metabolisme amida tergantung
dari agent yang spesifik
(prilocine > lidocaine >
mepivacaine > ropivacaine >
bupivacaine), namun secara
keseluruhan jauh lebih lambat
dari hidrolisis ester. Penurunan
fungsi hepar (misal pada sirosis
hepatis) atau gangguan aliran
![Page 8: 49](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022071803/55cf99cc550346d0339f38a3/html5/thumbnails/8.jpg)
55
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011
Jurnal Anestesiologi Indonesia
darah ke hepar (misal gagal
jantung kongestif, vasopresor,
atau blokade reseptor H2) akan
menurunkan laju metabolisme
dan merupakan predisposisi
terjadi intoksikasi sistemik.
Sangat sedikit obat yang
diekskresikan tetap oleh ginjal,
walaupun metabolitnya
bergantung pada bersihan ginjal.
Komplikasi obat Anestesi lokal.
1.Efek samping lokal
Pada tempat suntikan, apabila saat
penyuntikan tertusuk pembuluh darah
yang cukup besar, atau apabila penderita
mendapat terapi anti koagulan atau ada
gangguan pembekuan darah, maka akan
dapat timbul hematom. Hematom ini bila
terinfeksi akan dapat membentuk abses
Apabila tidak infeksi mungkin saja
terbentuk infiltrat dan akan diabsorbsi
tanpa meninggalkan bekas.
Tindakan yang perlu adalah konservatif
dengan kompres hangat, atau insisi
apabila telah terjadi abses disertai
pemberian antibiotika yang sesuai.
Apabila suatu organ end arteri dilakukan
anestesi lokal dengan campuran adrenalin,
dapat saja terjadi nekrosis yang
memerlukan tindakan nekrotomi, disertai
dengan antibiotika yang sesuai.9-10
2. Pengaruh Pada Sistem Organ
Karena blokade kanal sodium
mempengaruhi bangkitan aksi potensial di
seluruh tubuh, sehingga bukan hal yang
mengejutkan jika anestesi lokal dapat
menyebabkan intoksikasi sistemik. 2,4,5,7,11
A. Neurologis
Sistem saraf pusat merupakan
bagian yang paling rentan terjadi
intoksikasi dari anestesi lokal dan
merupakan sistem yang dimonitoring awal
dari gejala overdosis pada pasien yang
sadar. Gejala awal adalah rasa kebas,
parestesi lidah, dan pusing. Keluhan
sensorik dapat berupa tinitus, dan
penglihatan yang kabur. Tanda eksitasi
(kurang istirahat, agitasi, gelisah,
paranoid) sering menunjukkan adanya
depresi sistem saraf pusat (misal, bicara
tidak jelas/pelo, mudah mengantuk, dan
tidak sadar). Kontraksi otot yang cepat,
kecil dan spontan mengawali adanya
kejang tonik-klonik. Biasanya diikuti
dengan gagal nafas. Reaksi eksitasi
merupakan hasil dari blokade selektif
pada jalur inhibitor. Anestesi lokal dengan
kelarutan lemak tinggi dan pontensi tinggi
menyebabkan kejang pada konsentrasi
obat lebih rendah dalam darah dibanding
agen anestesi dengan potensi yang lebih
rendah. Dengan menurunkan aliran darah
otak dan pemaparan obat, benzodiazepin
dan hiperventilasi meningkatkan batas
ambang terjadinya kejang karena anestesi
lokal. Thiopental (1-2 mg/kg) dengan
cepat dan tepat menghentikan kejang.
Ventilasi dan oksigenasi yang baik harus
tetap dipertahankan.
Lidokain intravena (1,5 mg/kg)
menurunkan aliran darah otak dan
menurunkan peningkatan tekanan
intrakranial yang biasanya timbul pada
![Page 9: 49](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022071803/55cf99cc550346d0339f38a3/html5/thumbnails/9.jpg)
56
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011
Jurnal Anestesiologi Indonesia
intubasi pasien dengan penurunan
komplians intrakranial. Lidokain dan
prokain infus selama ini digunakan
sebagai tambahan dalam teknik anestesi
umum, karena kemampuannya
menurunkan MAC dari anestesi inhalasi
sampai 40%.
Dosis lidokain berulang 5% dan 0,5%
tetracaine dapat menjadi penyebab dari
neurotoksik (sindroma kauda ekuina)
setelah dilakukan infus kontinu melalui
keteter bore-kecil pada anestesi spinal.
Hal in terjadi mungkin karena adannya
pooling obat di kauda ekuina, yang
sebabkan peningkatan konsentrasi obat
dan kerusakan saraf yang permanen.
Penelitian pada hewan menunjukkan
neurotoksisitas pada pemberian berulang
melalui intratekal bahwa lidokain =
tetracaine > bupivacaine > ropivacaine.
Gejala neurologis transien, yang terdiri
dari disestesia, nyeri terbakar, dan nyeri
pada ekstremitas dan bokong pernah
dilaporkan setelah dilakukan anestesi
spinal dengan berbagai agent anestesi.
Penyebab dari gejala ini dikaitkan dengan
adanya iritasi pada radiks, dan gejala ini
biasanya menghilang dalam 1 minggu.
Faktor resikonya adalah penggunaan
lidokain, posisi litotomi, obesitas, dan
kondisi pasien.
B. Respirasi
Lidokain mendepresi respon hipoksia.
Paralisis dari nervus interkostalis dan
nervus phrenicus atau depresi dari pusat
respirasi dapat mengakibatkan apneu
setelah pemaparan langsung anestesi
lokal. Anestesi lokal merelaksasikan otot
polos bronkhus. Lidokain intravena
(1,5mg.kg) terkadang mungkin efektif
untuk memblok refleks bronkokonstriksi
saat dilakukan intubasi. Lidokain
diberikan sebagai aerosol dapat sebabkan
bronkospasme pada beberapa pasien yang
menderita penyakit saluran nafas reaktif.
C. Kardiovaskular
Umumnya, semua anestesi lokal
mendepresi automatisasi miokard
(depolarisasi spontan fase IV) dan
menurunkan durasi dari periode refraktori.
Kontraktilitas miokard dan kecepatan
konduksi juga terdepresi dalam
konsentrasi yang lebih tinggi. Pengaruh
ini menyebabkan perubahan membran otot
jantung dan inhibisi sistem saraf autonom.
Semua anestesi lokal, kecuali cocaine,
merelaksasikan otot polos, yang sebabkan
vasodilatasi arteriolar. Kombinasi yang
terjadi, yaitu bradikardi, blokade jantung,
dan hipotensi dapat mengkulminasi
terjadinya henti jantung. Intoksikasi pada
jantung mayor biasanya membutuhkan
konsentrasi tiga kali lipat dari konsentrasi
yang dapat sebabkan kejang. Injeksi
intravaskular bupivicaine yang tidak
disengaja selama anestesi regional
mengakibatkan reaksi kardiotoksik yang
berat, termasuk hipotensi, blok
atrioventrikular, irama idioventrikular,
dan aritmia yang dapat mengancam nyawa
seperti takikardi ventrikular dan fibrilasi.
Kehamilan, hipoksemia, dan adisosis
respiratorik merupakan faktor
predisposisi.
Ropivacaine memiliki banyak kesamaan
dalam psikokimia dengan bupivacaine
kecuali bahwa sebagian dari ropivacaine
![Page 10: 49](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022071803/55cf99cc550346d0339f38a3/html5/thumbnails/10.jpg)
57
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011
Jurnal Anestesiologi Indonesia
adalah larut-lemak. Waktu onset dan
durasi kerja sama, namun ropivacaine
memblok motorik lebih rendah, yang
sebabkan potensi lebih rendah,
ditunjukkan dalam beberapa penelitian.
Yang paling menjadi perhatian,
ropivacaine memiliki index terapi yang
besar karena 70% lebih sedikit
menyebabkan intoksikasi kardia
dibandingkan dengan bupivacaine.
Ropivacain dikatakan memiliki toleransi
terhadap sistem saraf pusat yang lebih
besar. Keamanan dari ropivacaine ini
mungkin disebabkan karena kelarutan
lemaknya yang rendah atau
availibilitasnya sebagai isomer S(-) yang
murni, yang bertolak belakang dengan
struktur dari bupivacaine.
Levobupivacaine, merupakan isomer S(-)
dari bupivacain, yang tidak lagi tersedia di
Amerika Serikat, dilaporkan memiliki
efek samping terhadap cardiovaskular dan
serebral yang lebih kecil dari pada struktur
campuran; penelitian mengatakan bahwa
efeknya terhadap kardiovaskular hampir
menyerupai efek ropivacaine.
D. Imunologi
Reaksi hipersensitivitas murni terhadap
agent anestesi lokal—yang bukan
intoksikasi sistemik karena konsentrasi
plasma yang berlebihan—merupakan hal
yang jarang. Ester memiliki
kecenderungan menginduksi reaksi alergi
karena adanya derivat ester yaitu asam p-
aminobenzoic, yang merupakan suatu
alergen. Sediaan komersial multidosis dari
amida biasanya mengandung
methylparaben, yang memiliki struktur
kimia mirip dengan PABA. Bahan
tambahan ini yang bertanggung jawab
terhadap sebagian besar reaksi alergi.
Anestesi lokal dapat membantu
mengurangi respon inflamasi karena
pembedahan dengan cara menghambat
pengaruh asam lysophosphatidic dalam
mengaktivasi neutrofil.
E. Muskuloskeletal
Saat diinjeksikan langsung ke dalam otot
skeletal (trigger-point injeksi), anestesi
lokal adalah miotoksik (bupivacaine >
lidocaine > procaine). Secara histologi,
hiperkontraksi miofibril menyebabkan
degenarasi litik, edema, dan nekrosis.
Regenerasi biasanya timbul setelah 3-4
minggu. Steroid tambahan atau injeksi
epinefrin memperburuk nekrosis otot.
Data penelitian hewan menunjukkan
bahwa ropivacaine menghasilkan
kerusakan otot yang tidak terlalu berat
dibanding bupivacaine.
F. Hematologi
Telah dibuktikan bahwa lidokain
menurunkan koagulasi (mencegah
trombosis dan menurunkan agregasi
platelet) dan meningkatkan fibrinolisis
dalam darah yang diukur dengan
thromboelastography. Pengaruh ini
mungkin berhubungan dengan penurunan
efikasi autolog epidural setelah pemberian
anestesi lokal dan insidensi terjadinya
emboli yang lebih rendah pada pasien
yang mendapatkan anestesi epidural.
Interaksi Obat
Anestesi lokal meningkatkan potensi
blokade otot non-depolarisasi. Suksinil
kolin dan anestesi lokal ester bergantung
![Page 11: 49](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022071803/55cf99cc550346d0339f38a3/html5/thumbnails/11.jpg)
58
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011
Jurnal Anestesiologi Indonesia
pada pseudokolinesterase untuk
metabolismenya. Pemberian bersamaan
dapat meningkatkan potensi masing-
masing obat.
Dibucaine, anestesi lokal amida,
menghambat pseudokolinesterase dan
digunakan untuk mendeteksi kelainan
genetik enzim.
Inhibitor pseudokolinaesterase dapat
menyebaban penurunan metabolisme dari
anestesi lokal ester.
Cimetidine dan propanolol menurunkan
aliran darah hepatik dan bersihan lidokain.
Level lidokain yang lebih tinggi dalam
darah meningkatkan potensi intoksikasi.
Opioid (misal, fentanil, morfin) dan
agonis adrenergik α2 (contoh: epinefrin,
klonidin) meningkatkan potensi
penghilang rasa nyeri anestesi lokal.
Kloroprokain epidural dapat
mempengaruhi kerja analgesik dari morfin
intraspinal.2-5
RINGKASAN
Anestesi regional semakin berkembang
dan meluas pemakaiannya, mengingat
berbagai keuntungan yang ditawarkan,
diantaranya relatif lebih murah, pengaruh
sistemik yang minimal, menghasilkan
analgesi yang adekuat dan kemampuan
mencegah respon stress secara lebih
sempurna.
Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi
dalam dua golongan besar, yaitu golongan
ester dan golongan amide. Perbedaan
kimia ini direfleksikan dalam perbedaan
tempat metabolisme, dimana golongan
ester terutama dimetabolisme oleh enzim
pseudo-kolinesterase di plasma sedangkan
golongan amide terutama melalui
degradasi enzimatis di hati. Perbedaan ini
juga berkaitan dengan besarnya
kemungkinan terjadinya alergi, dimana
golongan ester turunan dari p-amino-
benzoic acid memiliki frekwensi
kecenderungan alergi lebih besar. Obat
anestesi lokal yang lazim dipakai di
negara kita untuk golongan ester adalah
prokain, sedangkan golongan amide
adalah lidokain dan bupivakain.
Mekanisme kerja obat anestesi local
mencegah transmisi impuls saraf (blokade
konduksi) dengan menghambat
pengiriman ion natrium melalui gerbang
ion natrium selektif pada membrane saraf.
Kegagalan permeabilitas gerbang ion
natrium untuk meningkatkan perlambatan
kecepatan depolarisasi seperti ambang
batas potensial tidak tercapai sehingga
potensial aksi tidak disebarkan. Obat
anestesi lokal tidak mengubah potensial
istirahat transmembran atau ambang batas
potensial.
Farmakokinetik obat meliputi absorpsi,
distribusi, metabolisme dan ekskresi.
Komplikasi obat anestesi lokal yaitu efek
samping lokal pada tempat suntikan dapat
timbul hematom dan abses sedangkan
efek samping sistemik antara lain
neurologis pada Susunan Saraf Pusat,
respirasi, kardiovaskuler, imunologi
,muskuloskeletal dan hematologi
Beberapa interaksi obat anestesi lokal
antara lain pemberian bersamaan dapat
meningkatkan potensi masing-masing
obat. penurunan metabolisme dari anestesi
![Page 12: 49](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022071803/55cf99cc550346d0339f38a3/html5/thumbnails/12.jpg)
59
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011
Jurnal Anestesiologi Indonesia
lokal serta meningkatkan potensi
intoksikasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Marwoto, Primatika DA. Anestesi
lokal/Regional. Dalam : Soenarjo, Jatmiko
DH. editor. Anestesiologi. Semarang : Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
kedokteran UNDIP, 2010: 309-22.
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Local
Anesthetics. In: Clinical Anesthesiology. 4th
edition. New York: Mc Graw Hill Lange
Medical Books, 2006 : 151-52, 263-75.
3. Brown DL, Factor DA. Regional Anesthesia
and Analgesia. Philadelphia :WB Saunders,
1996 : 188 – 205.
4. Miller RD. Anesthesia. 5th
edition .
Philadelphia : Churchill & Livingstone, 2000 :
491 – 515.
5. Stoelting R Hillier SC. Pharmacology and
Physiology in Anesthetics Practice. 4th
ed.
Philladelphia : JB Lippincott – Raven, 2006:
179 - 83.
6. Gaiser RR. Pharmacology of Local
Anesthetic. In : Longnecker DE, Murphy SL,
ed. Introduction to Anaesthesia. Philadelphia :
WB Saunders Company, 1997 : 201-14.
7. Longnecker DE , Murphy FL . Introduction to
anesthesia . 9th
edition .Philadelphia : WB
Saunders , 1997 : 201 – 14
8. Marwoto, Mudzakkir. Komplikasi anestesi
lokal dan penanganannya. Majalah Ilmiah
PKMI Mantap. Penerbit : Perkumpulan
Kontrasepsi Mantap.Indonesia, No. 2 Tahun
XII, April – Juni 1992 : 44-9
9. Raj Prithvi P. Local Anaesthetics In : Ross A,
editors. Textbook of regional anesthesia.
Philadelphia : Elsevier Science. 2003 :120-27.
10. Sweitzer B. Local Anaesthetics. In :
Davidson JK, Eckhardt WF, Perese DA.
Clinical Anaesthesia Procedure of the
Massacluisets General Hospital, 4th
ed, Little
Brown & Co Boston, Toronto, London 1993 :
197 – 205.
11. Mehrkens H, Geiger MP. . Local
Anaesthetics. In : Peripheral regional
Anaesthesia. 3rd. ed. Ulm 2005 : 16-9.