4.1. DIRASAT 2017 Edisi I Hendra...
Transcript of 4.1. DIRASAT 2017 Edisi I Hendra...
Fikih Kuliner
Hendra Pertaminawati
Dosen STAI Indonesia
Abstract: Allah created everything in this world is for human living.
Therefore, every thing that Allah has created in this world is permissible
(mubah). Something becomes haraam, when it prohibited by Qur'an. So in
fact, the percentage of prohibition (haram) is smaller than the permissible
(halal). The polemic issues of halal and haram has been known by each
community, each one is different both in size, Forbidden to eat carrion,
blood, pork, meat animals that slaughtered in the name of other than Allah,
the strangled, which was hit, fell, and torn to pieces by wild animals, except
that you could kill it, and (forbidden) are slaughtered for idols. and (also
forbidden) raffle fate with arrows, is wickedness nowadays. Alaw was
created by Allah for the humans sake. Islamic law still uphold the principle
of eliminating mafsadah and bring maslahah for all mankind, whether
physical, soul, ratio, the whole society, the rich, the poor, rulers, people,
male, female; and maslahah for all kinds of people either type, skin,
nationality, in every age and generation. Islam with the rules of
jurisprudence fiqihnya has set rules such as breathe the wisdom of prudence
for the creation of the benefit (good)
Keywords: Fiqih, Makanan, Halal, Haram, Barang Impor
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang Masalah
Saat ini banyak orang gemar melakukan perjalanan ke berbagai
wilayah baik dalam maupun luar negeri. Dan mereka gemar melakukan
perjalanan sambil menikmati kuliner daerah setempat (wisata kuliner).
Lebih lagi Setiap tempat tentu menyuguhkan makanan berbeda yang
sangat menarik selera.
Makanan-makanan tersebut tentunya berbeda dari segi bahan
utama maupun tambahan-tambahan pelengkapnya, yang kesemuanya
tentu tidak diketahui asal muasalanya oleh konsumen.
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
60 Hendra Pertaminawati
Sebagai muslim, untuk memakan sesuatu diharuskan memperhatikan
kehalalannya, baik secara zat nya maupun cara memperoleh dan
pengolahanannya.
Datangnya era globalisasi tidak dapat dihindari lagi. Hal ini akan
membawa konsekuensi banyak makanan dan minuman impor baik yang
jelas keharamannya atau yang tidak jelas keharamannya beredar di tengah-
tengah kita. Ditambah lagi, banyak sekali bahan utama dan bahan
tambahan makanan yang harus diimpor untuk memproduksi bahan
pangan olahan di dalam negeri, dimana telah digambarkan di atas bahwa
tidak mudah mengenali asal bahan tersebut, dengan kata lain tidak mudah
menentukan kehalalan bahan tersebut. Dengan demikian, apabila tidak
ada jaminan kehalalan suatu bahan atau produk pangan, maka akan sulit
sekali bagi awam untuk memilih mana makanan dan minuman yang halal
dan mana yang haram. Untuk itulah diperlukan adanya peraturan dan
pengaturan yang jelas, yang menjamin kehalalan suatu bahan atau produk
pangan. Di samping itu, umat Islam perlu dibekali dengan pengetahuan
yang cukup tentang masalah ini, bahkan para ulama harus bekerjasama
dengan para ilmuwan dalam menentukan kehalalan suatu bahan atau
produk pangan mengingat permasalahan ini memerlukan pengetahuan
yang mendalam mengenai asal usul bahan itu sendiri di samping
pengetahuan hukum Fiqih.
Konsumen Muslim saat ini banyak yang tidak tahu dan tidak peduli
akan semakin tumbuh subur dan maraknya produksi dan perdagangan
pangan haram.Ada empat aspek yang berperan besar dalam menghasilkan 1dan menyuburkan peredaran produk-produk haram dan subhat yaitu :
1. Dampak Perkembangan Teknologi Pangan
Perkembangan teknologi pangan, selain berdampak positif bagi
manusia, disisi lain perlu dicermati pula dampak negatifnya.
Salah satu dampaknya adalah makin kompleksnya proses
pengolahan dan distribusi bahan pangan, sehingga berpotensi
terjadinya penggunaan atau pencampuran bahan haram. Hal ini
mempersulit penentuan halal dan haramnya suatu produk
pangan oleh kalangan awam karena perlu pengetahuan yang
memadai untuk mengetahui apakah produk yang diproduksi
halal atau tidak.
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
1 PusatHalal.com
Fikih Kuliner 61
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
2. Dampak Derasnya Barang Impor dari Negeri Non Muslim.
Walaupun import bahan makanan dari luar negeri telah diatur
sedemikian rupa, namun masih banyak impor yang dilakukan
secara illegal. Seperti kasus masuknya paha ayam dari Amerika
beberapa tahun silam atau masuknya hati sapi illegal yang lebih
murah daripada lokal. Keduanya kemungkinan besar berstatus
haram karena tidak disembelih secara Islami.
Belum lagi penggunaan produk impor yang tidak sesuai
peruntukannya. Contohnya saja ada indikasi kulit babi yang
diimpor untuk produk sandang, oleh oknum tertentu sisa-sisa
potongannya dimanfaatkan juga untuk dijadikan krupuk kulit
yang sekilas mirip dengan krupuk kulit dari sapi.
Untuk produk-produk dalam kemasan, masyarakat yang tidak
hati-hati dan awam sering terkecoh membeli produk hasil impor
yang belum jelas kehalanannya. Contoh saja coklat, keju, susu,
biscuit dan sebagainya. “asumsi” yang salah ditambah tidak
jelasnya keterangan ingredient yang dicantumkan dalam
kemasan, (karena menggunakan bahasa dan istilah asing)
memungkinkan terkonsumsinya produk haram ini oleh orang
Muslim.
Selain produk pangan, perlu juga diwaspadai produk lainnya
seperti kosmetik, obat-obatan, sabun mandi, pembersih wajah,
bahkan bahan jaket, dompet, sandal, kuas bulu dan lainya yang
kemungkinan berasal dari bahan haram.
3. Kecurangan dan pengelabuan oleh produsen dan pedagang
Persaingan yang ketat dalam dunia dagang, ditambah keinginan
untuk mendapatkan keuntungan berlipat, tidak jarang
membutakan mata hati para oknum pedagang untuk mengelabui
pembelinya dengan barang-barang haram.
Kejadian yang sering terjadi adalah pencampuran daging haram
seperti babi, daging bangkai (mati sebelum disembelih), daging
tikus, anjing dan atau daging halal kadaluarsa yang di
rekondisikan. Untuk daging segar mungkin sebagian masyarakat
bisa membedakannya, namun untuk daging yang telah diolah
menjadi masakan atau produk olehan seperti bakso, nugget dan
lainnya cukup sulit untuk mendeteksinya.
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Masalah lainnya adalah berkaitan dengan label halal yang “self
claim”, dimana label tersebut di buat sendiri tanpa adanya
pengujian oleh badan yang berkompeten. Ironisnya masyarakat
Muslim banyak yang belum faham dan mudah percaya jika pada
suatu produk, rumah makan, atau catering dicantumkan label
halal. Mereka belum bisa membedakan label mana yang
dikeluarkan oleh LP-POM MUI dan mana yang merupakan “self
claim”.
4. Lemahnya regulasi dalam perlindungan konsumen Muslim
Sertifikasi Halal di Indonesia “tidaklah diwajibkan” namun
bersifat sukarela. Hanya produsen yang “mau” mensertifikasi
produknya dengan label halal yang terkena syarat sertifikasi
halal. Ini menjadi ironi bagi negeri dengan penduduk muslim
terbesar di dunia ini.
Disisi lain, implementasi dan pengawasan terhadap di patuhinya
undang-undang ini juga dirasakan masih sangat lemah. Contoh
kasus yang telah kita bahas diatas adalah masalah penggunaan
label halal self claim. Padahal peraturannya, barangsiapa ingin
mencantumkan label halal pada produknya maka dikenakan
kewajiban untuk melalui proses dan persyaratan yang telah
ditetapkan. Namun pelanggaran akan hal ini masih marak
terjadi.
Contoh kasus lainnya adalah maraknya kecurangan dalam
perdagangan seperti dibahas di muka, menunjukan betapa
lemahnya pengawasan dan perlindungan terhadap masyarakat
Muslim.
Perintah untuk memakan makanan yang halal tercantum dalam Al
Qur'an, yang artinya :
"Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah
telah rezkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu
beriman kepadanya "( QS. Al-Maaidah: 88).
Ayat tersebut di atas jelas-jelas telah menyuruh kita hanya memakan
makanan yang halal dan baik saja, dua kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan, yang dapat diartikan halal dari segi syariah dan baik dari segi
kesehatan, gizi, estetika dan lainnya.
2 Al-Qur'an, Surat Al Maidah ayat 88,
62 Hendra Pertaminawati
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,
daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut nama selain Allah.
Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Al- 3Baqarah:173).
Dari ayat di atas jelaslah bahwa makanan yang diharamkan pada
pokoknya ada empat: Bangkai: yang termasuk ke dalam kategori bangkai
ialah hewan yang mati dengan tidak disembelih, termasuk kedalamnya
hewan yang matinya tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk dan diterkam oleh
hewan buas, kecuali yang sempat kita menyembelihnya (QS. Al-
Maaidah:3). Darah, sering pula diistilahkan dengan darah yang mengalir
(QS. Al-An'aam:145). Daging babi. Kebanyakan ulama sepakat
menyatakan bahwa semua bagian babi haram dimakan, sehingga baik
dagingnya, lemaknya, tulangnya, termasuk produk-produk yang
mengandung bahan tersebut, termasuk semua bahan yang dibuat dengan 4menggunakan bahan-bahan tersebut sebagai salah satu bahan bakunya.
Binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah.
Selain makanan, terdapat pula ketentuan dalam hal minuman,
seperti dalam Firman Allah : Beberapa Prinsip dasar dalam suatu hukum
syara' (al-hukm al-syar'i), dan ada pula yang berupa kaidah syara' (al-qa'idah
asy-syar'iyah) yaitu kaidah umum yang dapat diterapkan untuk berbagai
permasalahan, berbunyi Al-Ashlu fi al-asy-yaa` al-ibahah maa lam yarid dalil
at-tahrim (hukum asal benda adalah mubah selama tidak terdapat dalil 5yang mengharamkannya).
Yang dimaksud asy-ya` (sesuatu) dalam kaidah itu adalah materi-
materi yang digunakan manusia dalam memenuhi kebutuhannya. 6Perbuatan atau aktivitas manusia tidak termasuk di dalamnya.
3 Al-Qur'an, Surat Al Baqarah ayat 173
4 Keputusan Fatwa MUI September 1994 tentang keharaman memanfaatkan babi dan seluruh unsur-
unsurnya (Majelis Ulama Indonesia, 2000).5 Atha Ibnu Khalil, Taysir Wushul Ila Al-Ushul, hal. 16; Abdul Hamid Hakim, Mabadi` Awwaliyah, hal.
48; Al-Qaradhawi, Halam dan Haram dalam Islam, hal. 14-15).6 Atha Ibnu Khalil, Taysir Wushul Ila Al-Ushul, hal. 15.
Fikih Kuliner 63
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Kaidah ini disimpulkan dari berbagai ayat yang menyatakan bahwa segala
apa yang diciptakan Allah di langit dan bumi adalah diperuntukkan bagi 7manusia, yaitu telah dihalalkan oleh Allah .
Selanjutnya, bagaimana status hukum hewan yang tidak ada
keterangannya, apakah halal atau haram? Bagaimanakah terhadap benda
yang berbahaya dan lain sebagainya. Terkait dengan latar belakang diatas,
penulis mencoba membahas permasalahan halal dan haram dalam
kandungan makanan dan minuman yang dikonsumsi sehari-hari dimana 8pun berada dengan istilah kuliner , Pembahasan ini dimaksudkan untuk
memberi gambaran yang lebih jelas kepada masyarakat awam, dari segi
fikih terhadap makanan dan minuman yang akan dikonsumsi dari proses
hingga di santap, agar dapat lebih teliti dan berhati-hati terhadap makanan
dan minuman yang akan dikonsumsi sesuai dengan syar'ie
B. Pembahasan
1. Konsep Halal dan Haram dalam Makanan
a. Pengertian Halal
Halal adalah suatu istilah dalam ilmu yang berhubungan dengan
ketentuan hukum, yaitu sesuatu atau perkara-perkara yang
dibolekan, dianjurkan, bahkan diwajibkan oleh syara'. Ibnu
Mas'ud r.a meriwayatkan bahwasannya Rasulullah Saw
bersabda,”Mencari kehidupan yang halal adalah fardu bagi
setiap Muslim. Jadi dapat disimpulkan bahwa mencari rizki yang
halal hukumnya wajib bagi umat Muslim. Orang-orang yang
telah dikekuasai oleh kemalasan menganggap saat ini tidak ada
lagi yang halal, sehingga ia melakukan apa saja yang
diinginkannya. Padahal ini adalah suatu kebodohan. Sebab
Rasulullah telah menggambarkan mana yang halal dan mana 9yang haram.
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
7 Misalnya QS Al-Baqarah [2] : 29, QS Al-Jatsiyah [45] : 13, QS Luqman [31] : 20).
8 Kata kuliner merupakan unsur serapan bahasa Inggris yaitu culinary yang berarti berhubungan dengan
memasak. Sedangkan orang yang bekerja di bidang kuliner (http://www.kanalinfo.web.id/2016/05/25)9 Fudhailurrahman, Ringkasan Ihya' 'Ulumuddin karangan Imam Ghazali, PT Sahara Intisains, 2010, hal
64 Hendra Pertaminawati
Istilah ini dalam kosakata sehari-hari lebih sering digunakan
untuk merujuk kepada makanan dan minuman yang diizinkan
untuk dikonsumsi menurut dalam Islam. Halal ialah sesuatu
yang mubah (diperkenankan), yang terlepas dari ikatan
larangan, dan diizinkan oleh Pembuat Syari'at untuk dilakukan,
Terutama dalam hal makanan dan minuman. Dalam firman 10
Allah swt surat al-Baqarah ayat 168:
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terbaik dibumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”
11Imam Al – Ghazali di dalam memberikan makna halalan
thayyiban tampaknya berbeda dengan pendapat di atas.
Menurutnya sesuatu dikatakan halalan thayyiban dari segi zat
bendanya sendiri itu diperoleh dengan cara yang baik, tidak
berbahaya, tidak memabukkan dan dikerjakan menurut syariat
agama. Jadi halal adalah segala sesuatu yang dihalalkan Allah.
Sedangkan dalam konteks yang lebih luas istilah halal merujuk
kepada segala sesuatu yang diizinkan menurut hukum Islam
(aktivitas, tingkah laku, cara berpakaian dan lain sebagainya). 12
Menurut Abdul Aziz Dahlan disebutkan bahwa halalan
thayyiban mengandung beberapa makna yaitu membebaskan,
melepaskan, memecahkan, membubarkan, dan membolehkan.
Artinya segala sesuatu yang menyebabkan seseorang tidak
dihukum jika menggunakannya dan sesuatu yang boleh
dikerjakan menurut syara' . Sedangkan pengertian sesuatu yang
boleh dikerjakan menurut syara' ini berkaitan dengan kebolehan
memanfaatkan, memakan, meminum, dan mengerjakan sesuatu
yang telah ditentukan berdasarkan nash atau mengandung arti
sebagai anjuran untuk mengerjakan sesuatu yang berdasarkan
nash.
10 Qs, Al-Baqarah, 2;168
11 Imam Al-Ghazali, Benang Tipis antara Halal dan Haram, Penerbit putra Pelajar, Semarang, 2002, hal 19-20
12 Abdul Aziz Dahlan,. 2001.Ensiklopedi Hukum Islam .Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve
Fikih Kuliner 65
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Makanan dikatakan halal paling tidak harus memenuhi tiga
kriteria, yaitu halal zatnya, halal cara memperolenya, dan halal 13
cara pengolahannya.
i. Halal zatnya
Makanan yang halal menurut zatnya adalah makanan yang
dari dasarnya halal untuk di konsumsi. Dan telah di tetapkan
kehalalannya dalam kitab suci al-qur'an dan al-hadist. Centoh
makanan yang halal atas zatnya adalah daging sapi, ayam,
kambing, buah-buahan seperti apel, kurma, anggur, Dan lain
sebagainya.
ii. Halal cara memperolenya
Yaitu makanan yang di peroleh dengan cara yang baik dan
sah, Makanan akan menjadi haram apabila cara
memperolehnya dengan jalan yang batil karena itu bisa
merugikan orang lain dan dilarang oleh syariat. Contoh dari
cara memperoleh yang baik adalah dengan cara membeli,
bertani, hadiah, dan lain sebagainya.
Adapun dari makanan yang diperoleh dari makanan yang
batil adalah dengan cara mencuri, merampok, menyamun,
dan lain sebagainya.
iii. Halal cara pengolahanya
Yaitu makanan yang semula halal dan akan menjadi haram
apabila cara pengolahanya tidak sesuai dengan syariat agama.
Banyak sekali makanan yang asalnya halal tetapi karena
pengolahanya yang tidak benar menyebabkan makanan itu
menjadi haram. Contohnya anggur, makanan ini halal tetapi
karena telah diolah menjadi minuman keras maka minuman
ini menjadi haram.
14Dalam firman Allah surat Al-A'raf, ayat 157 yaitu:
“Dan (Allah) menghalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk”
13 Prof. Dr.H. Muhammad Djakfar,.S.H.,M.Ag,, Hukum Bisnis, (UIN Malang Press, 2009)194
14 Qs., Al-A'raf,7;157
66 Hendra Pertaminawati
b. Pengertian Haram
Haram secara lughawi berarti sesuatu yang lebih banyak
kerusakannya, dalam istilah hokum haram adalah“Sesuatu yang
dituntut syari' (pembuat) hukum untuk tidak memperbuatnya
secara tuntuta pasti. Secara definisi, Haram adalah sesuatu yang
dilarang oleh pembuat syari'at dengan larangan yang pasti, di
mana orang yang melanggarnya akan dikenai hukuman (siksa) di
akhirat, dan ada kalanya dikenai hukuman juga di dunia Oleh
karena itu haram menjadi salah satu bentuk hukum taklifi, yakni
tuntutan Allah yang berkaitan dengan perintah untuk berbuat
atau perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan. Imam Al
Ghazali merumuskan bahwa haram adalah sesuatu yang
dituntut syari' (Allah dan Rasul-NYA) untuk ditinggalkan
melalui tuntutan secara pasti dan mengikat. Haram dibagi ke
dalam dua kategori, yaitu
i. haram lidz-dzati atau haram karena zatnya
Haram zatnya, yaitu makanan yang menjijikkan (kotor/najis)
dan makanan yang berasal dari babi, bangkai, darah yang
mengalir, binatang bertaring, binatang berkuku tajam.
ii. haram li-gharihi atau haram karena cara memperoleh dan cara
memprosesnya.
Haram karena hukumnya, antara lain disebabkan disembelih
tanpa membaca basmalah atau makanan itu berupa sesaji.
Untuk makanan sesaji atau yang dihidangkan pada ritual-
ritual tertentu, jelas haram karena hal itu merupakan
kesyirikan. Islam mengatur hewan yang akan dimakan
hendaknya dipotong saluran pernafasannya dengan
membaca basmalah. Jika tidak dilakukan proses ini maka
hewan yang halalpun menjadi haram.
iii. Ayat – ayat tentang Makanan
Sebagian ulama membatasi makanan yang diharamkan pada
empat jenis benda yang disebutkan dalam Al-Qur'an, selain
itu tidak haram. Sebab, ayat telah memberikan batasan
makanan-makanan mana saja yang diharamkan.
Fikih Kuliner 67
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Selain itu juga merincinya bukan hanya menyebutkannya
secara jumlah saja. Berdasarkan Firman Allah :
a. Surat Al Baqarah ayat 173 : Sesungguhnya Dia hanya
mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi dan (daging)
hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah.
Tetapi barang siapa terpaksa (memakannya), bukan karena
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada
dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang
b. Surat An Nahl : 115 : Sesungguhnya Allah hanya
mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (hewan)
yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah, tetapi
barangs iapa t erpaksa (memakannya) bukan karena
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sungguh
Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang
c. Dari Ibnu Umar dan Aisyah RA mereka berdua
mengatakan, tidaklah mengapa memakan sesuatu, kecuali
disebutkan Allah dalam ayat ni Al an Am 145 � � �� أ�� ��� � ا�����ن � ��� ر� � ���� ��ل ��� ر��ل � �� � ���� و�� ���ل � إن � � � � � � � � � � � � ا��ل �� وإن ا��ام �� و����� أ��ر �����ت � ����� ��� �� ا���س، �� ا�� ا����ت ��� � � � � � � � ا���أ ����� و����، و�� و�� �� ا����ت و�� �� ا��ام، ���ا� �� ��ل ا�� ���� أن ��� � �� � � � ���، أ� وإن �� ��� � أ� وإن � � ��ر�� أ� وإن �� ا��� ���� إذا ���� ��� � �ا��� �� وإذا ���ت ��� ا��� �� أ� و� ا���� � �
]رواه ا����ري و���[
Artinya : Dari Abu Abdillah an-Nu'man bin Basyir RA, ia
berkata, "Aku mendengar Rasulullah a bersabda, 'Sesungguhnya
yang halal itu jelas dan yang haram itu juga jelas, dan di antara
keduanya terdapat perkara-perkara yang tidak jelas (syubhat), yang
tidak diketahui oleh banyak orang. Barangsiapa yang meninggalkan
perkara-perkara syubhat dia telah mencari kebebasan untuk
agamanya (dari kekurangan) dan ke-hormatan dirinya (dari aib dan
cela), dan barangsiapa yang terjatuh dalam perkara-perkara syubhat
dia telah terjatuh dalam perbuatan haram, bagaikan seorang gembala
yang menggembala (ternaknya) di sekitar daerah terlarang yang
hampir saja dia terjerumus ke dalamnya.
68 Hendra Pertaminawati
Ingatlah, bahwa sesungguhnya setiap raja memiliki daerah
terlarang, dan ingatlah bahwa sesungguhnya daerah terlarang Allah
adalah perkara-perkara yang diharamkanNya. Ingatlah, bahwa di
dalam tubuh terdapat segumpal daging; jika baik, maka seluruh
tubuh menjadi baik dan jika rusak, maka seluruh tubuh menjadi 15
rusak pula, yaitu hati'." (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Hai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya meminum khamar,
berjudi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib dengan anak
panah adalah perbuatan-perbuatan keji yang termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud
hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu
lantaran meminum khamar dan berjudi itu dan menghalangi kamu
dari mengingat Allah dan sembahyang. Maka berhentilah kamu
mengerjakan perbuatan itu.
Di samping itu firman Allah : Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang Allah telah
halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui 16
batas.
C. Analisa
1. Kaidah fikih dan Prinsip-prinsip Halal dan Haram
Setiap kegiatan yang dilakukan oleh mukallaf yang telah ditetapkan
oleh Syari' (pembuat hokum) yaitu Allah SWT adalah untuk kebaikan
(kemaslahatan) umat itu sendiri, untuk kemaslahatan tentu aturan-aturan
tersebut mendasarkan pada kaidah-kaidah yang yang telah dibuat oleh
ulama-ulama terdahulu yang tentunya diambil dari nash al Qur'an dan As
Sunnah.
15 Imam Nawawi, Riyadus Shalihin Jilid I, Terj. Pustaka Amani, Jakarta, 1999, hal. 558
16 Al Qur'an Surat Al-Maidah ayat 87
Fikih Kuliner 69
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Adapun untuk soal makanan dan minuman, kaidah-kaidah fikih
diantarayan:
a. Hukum Asal Benda Adalah Mubah
Prinsip ini dalam rumusannya yang lengkap berbunyi Al-Ashlu fi
al-asy-yaa` al-ibahah maa lam yarid dalil at-tahrim (hukum asal
benda adalah mubah selama tidak terdapat dalil yang 17
mengharamkannya). Yang dimaksud asy-ya` (sesuatu) dalam
kaidah itu adalah materi-materi yang digunakan manusia dalam
memenuhi kebutuhannya. Perbuatan atau aktivitas manusia 18
tidak termasuk di dalamnya. Kaidah ini disimpulkan dari
berbagai ayat yang menyatakan bahwa segala apa yang
diciptakan Allah di langit dan bumi adalah diperuntukkan bagi 19
manusia, yaitu telah dihalalkan oleh Allah
Penerapan kaidah itu misalnya bagaimana status hukum hewan
yang tidak ada keterangannya, apakah halal atau haram. Dalam
hal ini, ditetapkan hukum asalnya, yaitu mubah. As-Subki
mencontohkan, jerapah hukumnya halal, berdasarkan prinsip 20
ini
b. Hukum Asal Benda Yang Berbahaya Adalah Haram
Prinsip ini berbunyi : Al-Ashlu fi al-madhaar at-tahrim (hukum asal 21
benda yang berbahaya [mudharat] adalah haram) Prinsip ini
berarti bahwa segala sesuatu materi (benda) yang berbahaya,
sementara tidak terdapat nash syar'i tertentu yang melarang,
memerintah, atau membolehkan, maka hukumnya haram. Sebab,
syariat telah mengharamkan terjadinya bahaya. Misalnya,
ecstasy dan segala macam narkoba lainnya hukumnya haram
karena menimbulkan bahaya bagi penggunanya.
17 Atha Ibnu Khalil, Taysir Wushul Ila Al-Ushul, hal. 16; Abdul Hamid Hakim, Mabadi` Awwaliyah, hal. 48; Al-
Qaradhawi, Halam dan Haram dalam Islam, hal. 14-15.18
Atha Ibnu Khalil, Taysir Wushul Ila Al-Ushul, hal. 1519
Misalnya QS Al-Baqarah [2] : 29, QS Al-Jatsiyah [45] : 13, QS Luqman [31] : 20.20
Abdul Hamid Hakim, Mabadi` Awwaliyah, hal. 48.21
Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/451
70 Hendra Pertaminawati
Dasar dari kaidah tersebut adalah hadits Nabi SAW, di antaranya
sabda Nabi SAW, “Laa dharara wa laa dhirara.” (Tidak boleh
menimpakan bahaya bagi diri sendiri dan bahaya bagi orang 22
lain)
c. Setiap Kasus dari Perbuatan/Benda yang Mubah, JikaBerbahaya
atau Membawa Pada Bahaya, Maka Kasus itu saja yang Haram,
sedang hukum asalnya tetap mubah
Prinsip ini dalam teks Arabnya berbunyi : Kullu fardin min afrad al-
amr al-mubah idzaa kaana dhaaran aw mu`addiyan ila dharar hurrima 23
dzalika al-fardu wa zhalla al-amru mubahan. Kaidah ini berarti,
suatu masalah (berupa perbuatan atau benda) yang hukum
asalnya mubah, jika ada kasus tertentu darinya yang berbahaya
atau menimbulkan bahaya, maka kasus itu saja yang diharamkan
Sementara hukum asalnya tetap mubah. Misalkan mandi, hukum
asalnya boleh. Tapi bagi orang yang mempunyai luka luar yang
parah, mandi bisa berbahaya baginya. Maka mandi bagi orang itu
secara khusus adalah haram, sedangkan mandi itu sendiri tetap
mubah hukumnya. Contoh lain, daging kambing, hukum asalnya
mubah. Tapi bagi orang tertentu yang menderita hipertensi,
daging kambing bisa berbahaya. Maka, khusus bagi orang
tersebut, daging kambing hukumnya haram. Sedangkan daging
kambingnya itu sendiri, hukumnya tetap mubah.
24Kaidah itu didasarkan pada hadits-hadits. Antara lain, Rasul
SAW pernah melarang para sahabat untuk meminum air dari
sumber air di perkampungan kaum Tsamud (kaum Nabi Salih
AS), karena air tersebut berbahaya. Padahal air hukum asalnya 25
mubah
22 HR Ibnu Majah, Ad-Daruquthni, dan lain-lain An-Nawawi, 2001:214.
23 Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/451
24 Abdullah, 1996:141
25 Lihat Sirah Ibnu Hisyam, IV/164)
Fikih Kuliner 71
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
d. Segala Perantaraan Yang Membawa Kepada Yang Haram,
Hukumnya Haram
Prinsip di atas dirumuskan dalam kaidah fiqih yang berbunyi al-
wasilah ila al-haraam haraam (segala perantaraan [berupa
perbuatan atau benda] yang membawa kepada yang haram,
hukumnya haram). Jadi, meskipun hukum asal perantara itu
adalah mubah, tapi akan menjadi haram jika membawa kepada
yang haram. Syarat penerapan kaidah ini ada dua; Pertama,
bahwa perantara itu diduga kuat (ghalabatuzh zhann) akan
membawa pada yang haram. Kedua, bahwa akibat akhir dari
adanya perantara tersebut, telah diharamkan oleh suatu dalil 26
syar'i
Kaidah tersebut berasal dari firman Allah SWT (artinya) : “Dan
janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah 27
dengan melampaui batas tanpa ilmu pengetahuan.”
Memaki tuhan-tuhan sembahan orang kafir, hukum asalnya
mubah. Tapi kalau itu akan menimbulkan makian kepada Allah
SWT, maka hukumnya menjadi haram. Dari sinilah muncul
kaidah al-wasilah ila al-haraam haraam.
Contoh penerapannya, adalah haramnya menjual anggur atau
perasan (jus) anggur –dan yang semacamnya– yang diketahui
akan dijadikan khamr. Padahal jual beli itu hukum asalnya
mubah. Tapi kalau jual beli ini akan mengakibatkan keharaman,
yaitu produksi khamr, maka jual beli itu menjadi haram
hukumnya, berdasarkan kaidah di atas.
Apalagi, dalam masalah ini (menjual perasan anggur yang
diketahui akan dibuat khamr) ada dalil khusus yang menjelaskan
keharamannya. Diriwayatkan oleh Muhammad bin Ahmad RA,
bahwa Rasulullah SAW bersabda,”“Barang siapa menahan
(menutup) anggur pada hari-hari pemetikan, hingga ia
menjualnya kepada orang Yahudi, Nasrani, atau orang yang
akan membuatnya menjadi khamr, maka sungguh ia akan masuk 28
neraka”
26 An-Nabhani, 2001:92.
27 (QS Al-An'aam [6] : 108)
28 (HR Ath-Thabrani dalam Al-Ausath, dan dipandang shahih oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalaniy).
72 Hendra Pertaminawati
Berdasarkan hadits ini, Asy-Syaukani menyatakan haramnya
menjual perasan anggur kepada orang yang akan membuatnya 29
menjadi khamr. Asy-Syaukani tidak hanya membatasi jual beli
anggur yang akan dijadikan sebagai khamr, tetapi juga
mengharamkan setiap jual-beli yang akan menimbulkan
keharaman, dikiaskan dengan hadits tersebut.
e. Hukum Makanan/Minuman Tidak Didasarkan Pada Illat (Motif
Penetapan Hukum)
Prinsip ini lengkapnya berbunyi Inna al-'ibadat wa al-math'umat
wa al-malbusat wa al-masyrubat wa al-akhlaq laa tu'allalu wa
yaltazimu fiihaa bi al-nash. (Sesungguhnya [hukum] ibadah,
makanan, pakaian, minuman, dan akhlaq, tidaklah didasarkan
pada illat [motif/alasan penetapan hukum], melainkan 30
didasarkan pada nash semata)
Kaidah tersebut diperoleh dari penelaahan induktif (istiqra`)
terhadap hukum-hukum syara' dalam masalah ibadah,
makanan, pakaian, minuman, dan akhlaq. Kesimpulannya,
hukum-hukum tersebut tidak mempunyai illat tertentu.
Misalkan, puasa disyariatkan karena ada nash yang
memerintahkannya, bukan karena alasan supaya orang yang
berpuasa menjadi sehat. Khamr diharamkan karena ada nash
yang mengharamkannya, bukan didasarkan pada alasan bahwa
khamr itu memabukkan bagi yang meminumnya.
Kesimpulan tentang khamr ini lebih dipertegas oleh penjelasan
Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA bahwa Nabi
SAW bersabda, ”Diharamkannya khamr itu karena bendanya,
banyak maupun sedikit. Juga (diharamkan) yang memabukkan 31
dari setiap minuman”
29 Nailul Authar, V/234
30 Abdul Qadim Zallum, 1985 : 51
31 (HR An-Nasa'i dengan sanad hasan, Sunan An-Nasa'i VIII/320-321). Ibnu Umar RAjuga meriwayatkan,
ketika surat An-Nisaa' ayat 43 turun (larangan mabuk pada waktu shalat), Rasulullah SAW berkata,
”Diharamkan khamr karena zatnya.” (HR Abu Dawud).
Fikih Kuliner 73
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Dua hadits ini menunjukkan secara jelas bahwa khamr itu
diharamkan karena zatnya itu sendiri, bukan karena ada illat
tertentu. Hal ini sama dengan memakan daging babi atau
bangkai, hukumnya haram bukan karena ada illat tertentu, tapi
karena kedua benda itu diharamkan karena zatnya (berdasarkan
nash).
f. Maslahat Bukan Dalil Syar'i (Sumber Hukum)
Maslahat artinya identik dengan manfaat (utility), yaitu suatu
kemampuan yang terdapat pada benda (barang) atau perbuatan
(jasa) untuk memenuhi kebutuhan manusia. Maslahat bukan
dalil syar'i atau sumber hukum. Posisi maslahat jika dikaitkan
dengan suatu ketetapan hukum syara', dirumuskan dalam
kaidah : haitsuma yakunu asy-syar'u takunu al-maslahah (di
mana ada penerapan syariah, maka di sana akan ada maslahat).
Itulah yang benar, bukan aynama wujidat al-maslahah fa tsamma
syar'ullah (dimana ada maslahat maka di sana ada hukum 32
Allah).
Karena itulah, kita akan dapat memahami, mengapa khamr itu
tetap diharamkan walaupun khamr itu mempunyai beberapa 33
maslahat (manfaat). Manfaat khamr misalnya menghasilkan
kalori. Setiap 1 gram etanol diketahui menghasilkan energi 34
sebesar 7 kalori. Belum lagi manfaat-manfaat khamr dari segi
ekonomi. Namun khamr tetap haram. Mengapa? Karena
maslahat itu memang bukanlah dalil syar'i yang menjadi dasar
untuk menetapkan halalnya sesuatu. Maslahat hanyalah dampak
atau efek yang muncul setelah adanya penerapan hukum syara',
bukan dasar atau alasan penetapan hukum.
32 M. Muhammad Ismail, Al-Fikr Al-Islami, 1958)
33(lihat QS Al-Baqarah [2] : 219).
34 Mustaha KS, 1983:24)
74 Hendra Pertaminawati
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
g. Perkara Syubhat Sebaiknya Ditinggalkan
Syubhat artinya ketidakjelasan atau kesamaran, sehingga tidak
bisa diketahui halal haramnya sesuatu secara jelas. Syubhat
terhadap sesuatu bisa muncul baik karena ketidakjelasan status 35
hukumnya, atau ketidakjelasan sifat atau faktanya
Ketidakjelasan status hukum, misalkan tentang hukum kura-
kura atau penyu. Masalah ini belum bisa difatwakan oleh MUI
karena faktanya masih kabur. MUI menyatakan, “Masalah kura-36
kura di-pending. Memanggil pakar tentang kura-kura (penyu).
Selain itu, syubhat bisa juga muncul karena ketidakjelasan fakta
sesuatu itu sendiri. Meskipun status hukumnya sudah jelas. Mie
goreng misalnya jelas status hukumnya mubah. Tapi terkadang
di restoran tertentu ditambahkan arak (khamr) untuk untuk
menambah selera pada mie goreng yang dimasak. Ini bisa
terdapat pada mie goreng ayam, mie goreng sea food, mie goreng
udang dan seterusnya. Khamr yang digunakan dalam masakan
ini biasanya adalah khamr putih,arak merah, atau mirin
(www.halal.mui.or.id). Jadi, meski status mie goreng itu mubah,
tapi penambahan zat yang haram ini lalu menimbulkan syubhat,
apakah mie goreng di restoran tertentu itu halal atau
haram?Maka, sikap yang terbaik adalah meninggalkan perkara
yang syubhat, sebagai suatu sikap wara' yang sudah selayaknya
dimiliki setiap muslim. Ini berdasarkan hadits Nabi SAW :
“…barangsiapa meninggalkan yang syubhat, berarti ia telah 37
menjaga kebersihan agama dan kehormatan dirinya… ”
Rasulullah SAW berkata pula, “Tinggalkan apa yang
m e r a g u k a n m u [ m e n u j u ] k e p a d a a p a y a n g t i d a k 38
meragukanmu.”
35 (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Ijtima'i fil Islam, hal. 100)
36 http://www.halalmui.or.id,
37 (Muttafaqun 'alaihi, Lihat Subulus Salam, IV/171).
38 (HR At-Tirmidzi).
Fikih Kuliner 75
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
h. Keadaan Darurat Membolehkan Yang Haram
Darurat (adh-dharurat) adalah sampainya seseorang pada batas
ketika ia tidak memakan yang dilarang, ia akan binasa (mati) atau 39
mendekati binasa. Semakna dengan ini, darurat menurut
Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani adalah keterpaksaan yang
sangat mendesak yang dikhawatirkan akan menimbulkan
kebinasaan/kematian (al-idhthirar al-mulji` alladzi yukhsya minhu
al-halak).
Itulah definisi darurat yang membolehkan hal yang haram,
sebagaimana termaktub dalam kaidah fiqih termasyhur : adh-
dharuratu tubiihu al-mahzhuuraat (keadaan darurat membolehkan
apa yang diharamkan) (Abdul Hamid Hakim, As–Sulam, hal. 59).
Kaidah itu berasal dari ayat-ayat yang membolehkan memakan
yang haram seperti bangkai dan daging babi dalam kondisi 40
terpaksa.
Contoh penerapannya, misalnya ada orang kelaparan yang tidak
memperoleh makanan kecuali daging babi, atau tidak mendapat
minuman kecuali khamr, maka boleh baginya memakan atau
meminumnya, karena darurat.
i. Memanfaatkan Benda Najis Hukumnya Haram
Memanfaatkan (intifa'/isti'mal) benda-benda najis (an-najasat)
adalah masalah khilafiyah. Ada yang membolehkan dan ada
yang melarang. Namun pendapat yang rajih (kuat) adalah yang
mengharamkan. Dalilnya antara lain firman Allah SWT : “Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, dan mengundi dengan anak panah
itu adalah rijsun (najis) termasuk perbuatan syetan, maka 41
jauhilah najis itu agar kamu mendapatkan keberuntungan…”
Dalam firman Allah “fajtanibuuhu” (jauhilah najis/rijsun itu)
terkandung perintah untuk menjauhi rijsun yang berarti kotoran
atau najis. Maka, memanfaatkan benda najis adalah haram, sebab
Allah SWT telah memerintahkan kita untuk menjauhi najis itu.
39 menurut Imam As-Suyuthi dalam Al-Asybah wa an-Nazha`ir hal. 61
40 Misalnya QS Al-Baqarah [2] : 173 dan QS Al-Maidah [5] : 3.
41 (QS Al-Maaidah [5] : 90)
76 Hendra Pertaminawati
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Maka, haram hukumnya memanfaatkan khamr, memanfaatkan
kotoran binatang untuk pupuk, memanfaatkan alkohol, dan
semua benda najis lainnya, sebab itu semua adalah najis yang
wajib dijauhi, bukan didekati atau dimanfaatkan.
Memang, dalil QS al-Maidah : 90 ini dibantah oleh sebagian
fuqaha yang mengatakan bahwa kata rijsun pada ayat tersebut
adalah najis secara maknawi (atau najis hukmi, yakni najis secara
hukum), bukan najis dzati (atau najis aini, yakni najis secara
materi/zat). Karena kata rijsun tidak hanya khabar (keterangan)
bagi khamr, tetapi juga keterangan bagi perbuatan berjudi,
berkorban untuk berhala, dan mengundi nasib, yang semuanya
jelas tidak bisa disifati dengan najis dzati. Mereka berdalil dengan
firman Allah SWT (artinya) : ”Maka jauhilah berhala-berhala 42
yang najis itu”. Berhala yang disebut najis pada ayat tersebut
adalah najis maknawi, bukan najis dzatii. Contoh lain najis
maknawi terdapat pada surat At Taubah ayat 28 (artinya): 43
”Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis” (Yang
dimaksud dengan najis pada ayat ini bukanlah najis dzati (tubuh)
mereka, tetapi najis maknawi, yaitu aqidah yang mereka peluk
adalah aqidah syirik yang harus dijauhi, sebagaimana yang
dipahami oleh jumhurul fuqaha'.
Dengan demikian, menurut mereka, kata rijsun dalam surat Al
Maidah 90 tersebut, adalah najis secara maknawi, bukan najis
dzati. Implikasinya, khamr itu suci, bukan najis. Alkohol pun lalu
adalah suci dan bukan najis. Pandangan tersebut –menurut
mereka– diperkuat oleh bunyi ayat selanjutnya min 'amal asy-
syaithan (dari perbuatan syetan).. Itu berarti, yang dimaksud
dengan najis (rijsun) dalam QS Al-Maidah ayat 90 adalah najis 44
secara maknawi, bukan najis dzati.
42 (QS Al Hajj [22] : 30)
43 QS At Taubah [9] : 28).
44 Sayyid Sabiq, Fiqhu Sunnah, I/28; Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, 2003:205-206
Fikih Kuliner 77
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Hanya saja, pendapat jumhur itu (yang memandang bahwa kata
rijsun dalam ayat tersebut juga mencakup najis dzati) dikuatkan
oleh dalil hadits Nabi SAW : “Sesungguhnya kami (para sahabat)
berada di negeri para Ahli Kitab, mereka makan babi dan minum
khamr, apakah yang harus kami lakukan terhadap bejana-bejana
dan periuk-periuk mereka? Rasulullah SAW menjawab,”Apabila
kamu tidak menemukan lainnya, maka cucilah dengan dengan 45
air, lalu memasaklah di dalamnya, dan minumlah. Perintah
untuk mencuci bejana wadah khamr dan periuk wadah daging
babi itu, menunjukkan bahwa kedua benda tersebut tidak suci.
Sebab, apabila suci dan tidak najis, tentu Nabi SAW tidak akan
memerintahkan mencucinya dengan air.
Dalil lain, Abu Hurairah RA menceritakan bahwa ada seorang
pria akan memberikan hadiah Rasulullah SAW sebuah minuman
khamr, maka Rasulullah SAW berkata: “Sesungguhnya khamr
itu telah diharamkan. Laki-laki itu bertanya,”Apakah aku harus
menjualnya?”, Rasulullah SAW menjawab,”Sesungguhnya
sesuatu yang diharamkan meminumnya, diharamkan pula
menjualnya”. Laki-laki itu bertanya lagi,”Apakah aku harus
m e m b e r i k a n k e p a d a o r a n g Y a h u d i ? ” R a s u l u l l a h
menjawab,”Sesungguhnya sesuatu yang diharamkan,
diharamkan pula diberikan kepada orang Yahudi”. Laki-laki itu
kembali bertanya,”Lalu apa yang harus saya lakukan
dengannya?” Beliau menjawab,”Tumpahkanlah ke dalam 46
selokan.” (Ahmad Labib al-Mustanier, Hukum Seputar 47
Khamr, Perintah untuk menumpahkan khamr ke selokan ini,
menunjukkan bahwa khamr adalah najis dan tidak suci, yakni
najis secara dzati.
45 HR Ahmad dan Abu Dawud
46 HR Al Khumaidi dalam Musnad-nya)
47 http://www.islamuda.com)
78 Hendra Pertaminawati
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Kesimpulannya, ketika Allah berfirman dalam QS Al-Maidah : 90
yang berbunyi “fajtanibuuhu” (jauhilah najis/rijsun itu), maka
itu adalah perintah untuk menjauhi rijsun (najis) yang mencakup
najis dzati. Maka, memanfaatkan benda najis adalah haram,
sebab Allah SWT telah memerintahkan kita untuk menjauhi najis 48
itu
j. Memanfaatkan Benda Najis dan Haram dalam Pengobatan
Hukumnya Makruh
Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat (khilafiyah). Ada
pendapat yang mengharamkan, seperti Ibnu Qayyim Al-
Jauyziyyah. Ada yang membolehkan seperti ulama Hanafiyah.
Ada yang membolehkan dalam keadaan darurat, seperti Yusuf
Al-Qaradhawi. Dan ada pula yang memakruhkannya. Di sini
dicukupkan dengan menjelaskan pendapat yang rajih (kuat),
yakni yang menyatakan bahwa berobat (at-tadaawi/al-
mudaawah) dengan memanfaatkan benda najis dan haram
hukumnya makruh, bukan haram. Telah menjelaskan
kemakruhannya, dengan jalan mengkompromikan dua
kelompok hadits yang nampak bertentangan/kontradiktif
(ta'arudh) dalam masalah ini. Di satu sisi, ada hadits-hadits yang
melarang berobat dengan yang haram dan najis, misalnya hadits
Rasulullah SAW, bersabda,”Sesungguhnya Allah tidak 49
menjadikan obat bagimu pada apa-apa yang diharamkan.”
Rasulullah SAW bersabda pula,”Sesungguhnya Allah SWT
menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan setiap penyakit
ada obatnya. Hendaklah kalian berobat, dan janganlah kalian 50
berobat dengan sesuatu yang haram.”
Di sisi lain, ada hadits-hadits yang membolehkan berobat dengan
benda najis dan haram. Misalnya hadits bahwa Nabi SAW
membolehkan berobat dengan meminum air kencing unta.
Diriwayatkan oleh Qatadah dari Anas RA, ada satu rombongan
dari dari suku 'Ukl dan 'Uraynah yang mendatangi Nabi SAW
dan berbincang seputar agama Islam.
48 Al-Baghdadi, Radd 'Ala Kitab Ad-Da'wah Al-Islamiyyah, 1986:228.
49 (HR Bukhari dan Baihaqi, dan dishahihkan Ibnu Hibban)
50 (HR Abu Dawud).
Fikih Kuliner 79
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Lalu mereka terkena penyakit perut Madinah. Kemudian Nabi SAW memerintahkan mereka untuk mencari gerombolan unta
51dan meminum air susu dan air kencingnya… Hadits ini membolehkan berobat dengan najis, sebab air kencing unta itu najis. Dalam hadits lain dari Anas RA, bahwa Rasulullah SAW memberi keringanan (rukhsah) kepada Zubair dan Abdurrahman bin Auf untuk memakai kain sutera karena
52menderita penyakit gatal-gatal. Hadits membolehkan berobat dengan benda yang haram (dipakai), sebab sutera haram dipakai oleh laki-laki, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits lain dalam riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi. Bagaimana menghadapi dua kelompok hadits yang seolah bertentangan tersebut? Disinilah lalu Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani mengkompromikan (men-jama') keduanya. Menurut An-Nabhani, sabda Nabi SAW untuk tidak berobat dengan yang haram (“janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram”) tidak otomatis menunjukkan keharaman, tapi sekedar menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan perbuatan (thalab tarki fi'lin). Dalam hal ini, tuntutan yang ada adalah agar tidak berobat dengan yang haram. Lalu, tuntutan ini apakah akan bersifat tegas (jazim) —sehingga hukumnya haram– atau tidak tegas (ghairu jazim) –sehingga hukumnya makruh–, masih membutuhkan dalil lain (qarinah) yang menunjukkan sifat tuntutan tersebut. Nah, dua hadits di atas yang membolehkan berobat dengan benda najis dan haram, oleh An-Nabhani dijadikan qarinah (petunjuk) yang memperjelas sifat tuntutan tersebut.
Kesimpulannya, tuntutan tersebut adalah tuntutan yang tidak tegas, sehingga hukum syara' yang dihasilkan adalah makruh,
53bukan haram Dengan demikian, berobat dengan suatu materi yang zatnya najis, atau zat yang haram untuk dimanfaatkan (tapi tidak najis), hukumnya adalah makruh. Dengan kata lain, memanfaatkan benda yang najis dan haram dalam rangka pengobatan, hukumnya makruh. (Patut dicatat, benda yang haram (dimanfaatkan) belum tentu najis, seperti sutera. Sedang benda najis, pasti haram dimanfaatkan).
51 (HR Muslim) (Lihat Al-Wahidi, Asbabun Nuzul, hamisy [catatan pinggir] kitab Tafsir wa Bayan Kalimat
Al-Qur`an, karya Syaikh Hasanain M.Makhluf, hal 168).52
(HR Bukhari dan Muslim) (Lihat Imam Nawawi, Terjemah Riyadhus Shalihin, I/623)53
(Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/110).
80 Hendra Pertaminawati
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
k. Menjualbelikan Benda Najis dan Haram Hukumnya Haram
Prinsip tersebut dirumuskan dalam kaidah fiqih “Kullu maa
hurrima 'ala al-ibaad fabay'uhu haram.” (Segala sesuatu yang
diharamkan Allah atas hamba-Nya, maka memperjual-54
belikannya adalah haram juga) . Karena itu, memperjualbelikan
babi, darah, khamr, dan patung adalah haram. Karena syariah
telah mengharamkan memakan daging babi, memakan darah,
meminum khamr, dan membuat patung.
Dasar dari kaidah/prinsip itu adalah hadits-hadits. Di antaranya
sabda Nabi SAW, ”Dan sesungguhnya Allah, apabila
mengharamkan suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka 55
haram pula bagi mereka harga hasil penjualannya.” Imam Asy-
Syaukani menjelaskan hadits di atas dengan mengatakan,
”Sesungguhnya setiap yang diharamkan Allah kepada hamba,
maka menjuabelikannya pun haram, disebabkan karena
haramnya hasil penjualannya. Tidak keluar dari (kaidah)
kuliyyah/menyeluruh tersebut, kecuali yang telah dikhususkan 56
oleh dalil.” Berdasarkan hal ini, memperjualbelikan benda yang
najis dan haram untuk kepentingan pengobatan, tidaklah haram.
Sebab berobat dengan benda najis dan haram hukumnya
makruh, tidak haram.
57Qardhawi menambahkan asas-asas dalam hal makanan.
Diantaranya adalah :
1. Menentukan halal-haram semata-mata Hak Allah
Hak menentukan halal-haram semata-mata ditangan Allah.
Bukan pastor, bukan pendeta, bukan raja dan bukan sultan
yang berhak menentukan halal-haram. Al-Quran telah
mengecap juga kepada orang-orang musyrik yang berani
mengharamkan dan menghalalkan tanpa izin Allah.
54 Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/248
55 (HR Imam Ahmad dan Abu Dawud).
56 (Asy-Syaukani, Nailul Authar, V/221)
57 DR. Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram,(Jakarta Rabbani Press 2000), 20
Fikih Kuliner 81
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang
diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya
Haram dan (sebagiannya) halal". Katakanlah: "Apakah Allah
Telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu 58
mengada-adakan saja terhadap Allah ?".
Dari ayat yang tersebut di atas, para ahli fiqih mengetahui
dengan pasti, bahwa hanya Allahlah yang berhak
menentukan halal dan haram, baik dalam kitabNya (al-
Quran) ataupun melalui lidah RasulNya (Sunnah). Tugas
mereka tidak lebih, hanya menerangkan hukum Allah tentang
halal dan haram itu. Para ahli fiqih sedikitpun tidak
berwenang menetapkan hukum syara' ini boleh dan ini tidak
boleh. Mereka, dalam kedudukannya sebagai imam ataupun
mujtahid, pada menghindar dari fatwa, satu sama lain
berusaha untuk tidak jatuh kepada kesalahan dalam
menentukan halal dan haram (mengharamkan yang halal dan
menghalalkan yang haram).
2. Mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram
sama seperti syirik Agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah
adalah agama yang lurus dalam aqidah dan tauhid. Oleh
karena itu apa yang telah ditetapkan dalam nash (Al-Qur'an
dan Al Hadist) adalah suatu kewajiban untuk dikuti.
"Katakanlah! Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan
Allah yang telah diberikan kepada hamba-hambaNya dan
beberapa rezeki yang baik itu? Katakanlah! Tuhanku hanya
mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul
daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan
durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah
dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan
padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan 59
sesuatu yang kamu tidak mengetahui."
58 QS.Yunus: 59
59 Al-A'rāf: 32-33
82 Hendra Pertaminawati
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Mengharamkan yang halal akan mengakibatkan timbulnya
kejahatan dan bahaya Di antara hak Allah sebagai Zat yang
menciptakan manusia ialah menentukan halal dan haram
dengan sesuka-Nya, sebagaimana Dia juga berhak
menentukan perintah-perintah dan syi'ar-syi'ar ibadah
dengan sesuka-Nya. Sedang buat manusia sedikitpun tidak
ada hak untuk berpaling dan melanggar. "Mereka akan
bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa saja yang
dihalalkan untuk mereka? Maka jawablah: semua yang baik
adalah dihalalkan buat kamu.”
3. Setiap yang halal tidak memerlukan yang haram
Salah satu kebaikan Islam dan kemudahannya yang
dibawakan untuk kepentingan ummat manusia, ialah "Islam
tidak mengharamkan sesuatu kecuali di situ memberikan
suatu jalan keluar yang lebih baik guna mengatasi
kebutuhannya itu.” Sebagai contoh: Allah mengharamkan
riba, dan digantikan dengan menghalalkan perniagaan yang
menguntungkan, Allah mengharamkan zina dan liwath, dan
ia digantikan dengan menghalalkan perkahwinan, Allah
mengharamkan makanan-makanan yang tidak baik, dan ia
digantikan dengan menghalalkan sejumlah makanan yang
baik-baik
4. Niat baik tidak dapat melepaskan yang haram
Masalah haram tetap dinilai haram, betapapun baik dan
mulianya niat dan tujuan itu. Bagaimanapun baiknya
rencana, selama dia itu tidak dibenarkan oleh Islam, maka
selamanya yang haram itu tidak boleh dipakai alat untuk
mencapai tujuan yang terpuji. Sebab Islam selamanya
menginginkan tujuan yang suci dan caranya pun harus suci
juga. Syariat Islam tidak membenarkan prinsip apa yang
disebut al-ghayah tubarrirul wasilah (untuk mencapai tujuan,
cara apapun dibenarkan), atau suatu prinsip yang
mengatakan: al-wushulu ilal haq bil khaudhi fil katsiri minal
bathil (untuk dapat memperoleh sesuatu yang baik, boleh
dilakukan dengan bergelimang dalam kebatilan). Bahkan
yang ada adalah sebaliknya, setiap tujuan baik, harus dicapai
dengan cara yang baik pula.
Fikih Kuliner 83
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
5. Sesuatu yang haram Berlaku untuk semua orang
Haram dalam pandangan syariat Islam mempunyai ciri
menyeluruh dan mengusir. Oleh karena itu tidak ada sesuatu
yang diharamkan untuk selain orang Arab (ajam) tetapi halal
buat orang Arab. Tidak ada sesuatu yang dilarang untuk
orang kulit hitam, tetapi halal, buat orang kulit putih. Tidak
ada sesuatu rukhsah yang diberikan kepada suatu tingkatan
atau suatu golongan manusia, yang dengan menggunakan
nama rukhsah (keringanan) itu mereka bisa berbuat jahat
yang dikendalikan oleh hawa nafsunya.
6. Kaidah Fiqih “Apabila halal dan haram bercampur maka hukum
islam yang diambil adalah hukum haram”
Dalam kehidupan sehari-hari tentu ada saja permasalahan
yang timbul terkait hukum Islam, oleh karena itu kaidah fiqih
mutlak diperlukan dalam menyelesaikannya. Kaidah fiqih
merupakan hukum Islam yang memiliki landasan Al-Qur'an
dan Hadist sebagai dasarnya, selain Ijtihad para ulama' yang
dipercaya guna memahami hukum Islam tersebut. Terkait
hukum halal dan haram ada sebuah kaidah hukum fiqih yang
berbunyi “Apabila halal dan haram bercampur maka hukum
islam yang diambil adalah hukum haram” Jika dianalisis
secara spiritual maka didapat suatu kesimpulan bahwa
kaidah ini lebih dilatar belakangi adanya sikap kehatian
hatian terhadap hal - hal yang bersifat syubhat
(meragukan).Landasan Hadist kaidah fiqih tersebut adalah
hadist berikut:
artinya: “Halal itu jelas dan haram itu juga jelas, dan di antara
keduanya adalah perkara-perkara yang syubhat (tidak jelas)
yang tidak diketahui oleh banyak manusia. barang siapa yang
menjahui syubhat-syubhat, maka dia telah membebaskan
agama dan kehormatanya, dan barang siapa terjatuh dalam
syubhat-syubhat, maka dia terjatuh dalam perkara haram,
seperti penggembala yang menggembala di sekitar batas yang
hampir terjatuh didalamnya, ketahuilah sesungguhnya setiap
milik ada batasnya, dan ketahuilah sesungguhnya batas Allah
adalah perkara-perkara haram NYA (riwayat Imam Muslim).
84 Hendra Pertaminawati
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Kemudian hadist ke 3329 yang diriwayatkan oleh Abu Daud �� ا���� ��ل ��� ا�����ن � ��� و� أ�� أ��ا ���ه ���ل ��� ر��ل � �� � � ��
� � � � � � � � ���� و�� ���ل إن ا��ل �� وإن ا��ام �� و����� أ��ر �����ت وأ���� ���ل � � � � � ����� و���ب �� �� ذ�� ��� إن � � � وإن � � �� ��م وإ�� �� �� ��
� � ���� ���� أن ��� ��ل ا�� ���� أن ����� وإ�� �� ���� ا�
Dari Sya'bi, ia berkata: Aku pernah mendengar Nu'man bin
Basyir —dan aku tidak mendengar dari orang lain setelah
itu—, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,
"Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas
dan antara keduanya adalah perkara-perkara yang tidak jelas
—atau terkadang di sebutkan: perkara yang tidak jelas—. Aku
akan memberikan perumpamaan kepada kalian,
sesungguhnya Allah telah menjaga salu daerah dan
penjagaan Allah adalah apa yang diharamkan. Dan
sesungguhnya orang yang menggembalakan (ternak) di
sekilar daerah itu dikhawatirkan akan terperosok ke daerah
itu. Dan sesungguhnya orang yang terperosok dalam syubhat 60
akan terperosok pada yang diharamkan. "
Dari kedua hadist tersebut di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa umat Islam dianjurkan untuk bersikap hati-hati
terhadap apapun yang meragukan dalam hal ini syubhat.
Untuk sesuatu yang ketentuan hukumnya sudah jatuh dalam
kategori ini, Agama menganjurkan berhati-hati, bahkan
meninggalkannya. Sebab mendekati sesuatu yang syubhat
dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam hukum haram . 61
Prof. H. A. Djazuli juga menjelaskan bahwa apabila ada dalil
atau bukti kenyataan yang bertentangan antara yang
mencegah dan mengharuskan pada waktu yang sama, maka
didahulukan yang mencegah. Hal ini dilakukan guna
mempertimbangkan dari sisi kehati-hatian menjaga diri dari
hal-hal yang tidak diinginkan.
60 Shahih: Muttafaq 'Alaih
61 Prof. H. A. Djazuli , Kaidah Kaidah Hukum Islam dan Menyelesaikan Masalah Yang Praktis .Jakarta: PT
Kencana.2010 h. 45
Fikih Kuliner 85
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
2. Sebab-sebab dan Alasan Pengharaman
Allah membolehkan kita mengkonsumsi makanan dan minuman
yang baik-baik (ath Thayyibat), serta mengharamkan yang buruk-buruk (al
Khaba'its) Allah SWT menggambarkan Rasulullah SWT dalam Firman Nya
Dan yang menghalakan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan 62
segala yang buruk bagi mereka
Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah 63
kebajikan, sungguh, Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan
Istilah ath thayyibat adalah bentuk jamak dari thayyibah : dipakai
untuk menamai sesuatu yang dirasa enak dan tidak mengandung bahaya,
sebagaimana disandingkan untuk menyebut sesuatu yang bersih dan halal.
Asal kata thayyib bermakna sesuatu yang dirasakan enak oelh indera dan 64
jiwa.
Sedangkan Al Khaba'its adalah bentuk jamak dari khabits, yaitu
sesuatu yang tidak disukai karena hina, baik menurut indera maupun akal, 65
material maupun spiritual.
Faktor-faktor internal adalah semua karakteristik yang
meniscayakan sesuatu diharamkan. Sebagai contoh, karakter arak yang
menjadikan peminumnya hilang ingatan, bahkan merusak akal dan badan.
Begitu pula narkoba. Karakter bangkai yang mendatangkan penyakit dan
menjijikkan bagi yang mengkonsumsinya, atau karakter daging babi yang
mengandung penyakit atau karakter racun yang mematikan.
Sedangkan factor-faktor eksternal adalah karakter yang dinyatakan
batil oleh syariat, seperti marah, mencuri, berjudi dan karakter lain yang
berhubungan dengan akidah dan keimanan.
62 Surat Al A'araf : 157
63 Surat Al Mu'minun 51)
64 Abdul Wahab Abdussalam Thawilah,terj. Khalirurrahman Fath & Solihin, FIkih Kuliner,( Jakarta, Pustaka
Al Kautsar , 2012) h. 3165
Abdul Wahab Abdussalam Thawilah,terj. Khalirurrahman Fath & Solihin, FIkih Kuliner,( Jakarta, Pustaka
Al Kautsar , 2012) h.32
86 Hendra Pertaminawati
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
3. Faktor-faktor diharamkannya makanan dan minuman tertentu 66
diantaranya :
a. Membahayakan Tubuh
Diharamkan mengkonsumsi makanan dan minuman yang cepat
atau lambat mengakibatkan kematian atau jatuh sakit, Allah
mengharamkan semua yang membahayakan tubuh, meskipun
suci, seperti makanan basi, daging bangkai, tanah dan lain
sebagainya. Firman Allah “Dan janganlah kamu jatuhkan (diri 67
sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri”.
b. Membahayakan Akal
Allah mengharamkan segala makanan dan minuman yang
membuat pengonsumsinya hilang atau hilang kesadaran, yang
melemahkan dan menonaktifkan badan, baik berupa tumbuh-
tumbuhan alami maupun buatan pabrik, baik sedikit maupun
banyak, baik kadarnya sampai memabukkan maupun tidak,
diantaranya : minuman keras dan sejenisnya, narkotika dan
sejenisnya, zat-zat adiktif
3. Bersifat Buas
Binatang buas yaitu setiap binatang yang menyerang, melukai,
dan biasanya memangsa. Factor ini meliputi semua binatang
yang memakan bangkai dan benda-benda najis lainnya seperti
harimau, macan, singa maupun bangsa burung yang memiliki
cakar kuat untuk memangsa seperti elang, rajawali. Dari Abu
Tsa'labah al Khusyani ia berkata “ Rasulullah SAW melarang kita 68
mengonsumsi binatang buas yang bertaring”
66 Abdul Wahab Abdussalam Thawilah,terj. Khalirurrahman Fath & Solihin, FIkih Kuliner,( Jakarta, Pustaka
Al Kautsar , 2012) h 33-3867
Al Baqarah : 19568
HR. Enam Perawi
Fikih Kuliner 87
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
4. Bersifat Najis
Mengkonsumsi barang najis (kotor) yang membuat orang jijik
diharamkan, yaitu bersifat naji 'ain (substansinya sendiri
tergolong najis) seperti babi, bangakai binatang darat yang jika
disembelih halal dimakan menjadi haram karena akibat mati
mendadak atau mati mendadak atau binatang yang disembelih
tidak sesuai tuntunan syariat
5. Bersifat Menjijikkan
Semua makanan yang suci dan tidak berbahaya boleh untuk
dikonsumsi kecuali yang menjijikkan. Yang termasuk kategori
menjijikan adalah semua yang tidak bisa diterima selera yang
sehat, ditolak oleh jiwa yang suci, contohnya aneka binatang
kecil, beragam ulat (seperti belatung dan lain lain)
C. Halal dan Haram dalam Hukum Kontemporer di Indonesia
Sertifikat Halal dari Badan POM dan LPPOM MUI
Halal dan haram tidak lepas dari sistem konsumen, dan di Indonesia
ada sebuah badan nasional yang mengurusi hal-hal terkait produksi demi
melindungi konsumen, Badan tersebut adalah Badan POM. Badan ini tidak
hanya mengurusi tentang makanan namun juga dalam hal obat dan
kosmetik. namun dalam tugasnya badan POM lebih banya mengatur dan
mengelurkan undang-undang tentang ambang batas pemakaian suatu zat.
Sedangkan mengenai kehalalan, badan POM berkerjasama dengan LP
POM MUI.
Pada prakteknya, produsen menengah besar yang berniat
mencantumkan label halal pada produknya (sebagai jaminan kehalalan
produk tersebut mendaftarkan produk yang bersangkutan ke Badan POM
(Pengawasan Obat dan Makanan). Badan POM bersama-sama dengan
Departemen Perdagangan dan LPPOM MUI kemudian melakukan
pemeriksaan terhadap produk yang didaftarkan yaitu secara desk
evaluation dan kunjungan ke pabrik. Dalam hal ini penilaian audit yang
dilakukan oleh LPPOM MUI adalah melakukan audit kehalalan bahan dan
proses produksi, dan Badan POM melakukan audit penerapan Cara
Produksi Makanan yang Baik (CPMB) mutu dan keamanan, sedangkan
Departemen Agama melakukan audit dalam hal pertanggungjawaban
halal dan layanan karyawan muslim.
88 Hendra Pertaminawati
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Hasil pemeriksaan kemudian dirapatkan di LPPOM MUI, jika tidak
ada masalah maka hasil pemeriksaan dibawa ke Komisi Fatwa MUI untuk
diperiksa kembali dan jika tidak ada masalah maka MUI akan
mengeluarkan sertifikat halal untuk produk yang didaftarkan tersebut.
Berdasarkan sertifikat halal inilah kemudian Badan POM akan
mengizinkan pencantuman label halal pada produk yang didaftarkan. LP
POM MUI mempunyai auditor-auditor dari berbagai disiplin ilmu
(biokimia, biologi, teknik pertanian, teknik industri, teknik pengolahan
pangan dan lain-lain) untuk melakukan audit yang hasilnya dibawa dan
diputuskan oleh sidang komisi fatwa MUI
D. Kesimpulan
a. Sebagai bagian dari ibadah dan kewajiban kita bersama, adalah
mewujudkan apa yang di perintahkan Allah SWT dalam diri,
keluarga dan masyarakat kita, termasuk dalam masalah halalan
toyyiban. Hukum-hukum yang dibuat oleh Syari' adalah untuk
kemaslahatan manusia itu sendiri, Allah menciptakan segalanya,
termasuk makanan dan minuman adalah untuk kelangsungan
hidup manusia agar baik dunia dan akhirat, namun dengan semakin
majunya teknologi dan semakin globalnya hubungan antar bangsa
menjadikan semakin mudahnya memperoleh makanan dan
minuman tanpa mengetahui proses, sehingga kehalalannya
dipertanyakan.
b. Dengan adanya kaidah-kaidah fikih sebagai panduan dalam
menentukan makanan yang halal dan haram, sehingga tidak
membahayakan tubuh, membahayakan akal, dan mendatangkan
mudharat bagi tubuh,
Fikih Kuliner 89
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
DAFTAR PUSTAKA
A. Al-Qur’an
QS Al-Baqarah [2] : 29, , 195 168
QS Al-Maaidah [5] : 90
QS Al-An'aam [6] : 108
QS Al-Jatsiyah [45] : 13,
QS Luqman [31] : 20).
Q Al-A'raf,7; 157S 32-33,
QS,Al-Maidah ayat 87
QS Al Hajj [22] : 30
QS At Taubah [9] : 28
QS.Yunus: 59
QS Al Mu'minun 51
B. Hadits
HR Ibnu Majah, Ad-Daruquthni, dan lain-lain An-Nawawi, 2001
HR Ath-Thabrani dalam Al-Ausath, dan dipandang shahih oleh
AlHafidz Ibnu
Hajar Al-Asqalaniy
HR An-Nasa'i dengan sanad hasan, Sunan An-Nasa'i VIII
HR Bukhari dan Baihaqi, dan dishahihkan Ibnu Hibban
HR Abu Dawud
HR Muslim Al-Wahidi, Asbabun Nuzul, hamisy
C. Buku / Literatur Lain
Al-Ghazali, Imam Benang Tipis antara Halal dan Haram, Penerbit putra ,
Pelajar, Semarang al, 2002, h
Al-Baghdadi, Kitab Ad-Da'wah Al-Islamiyyah, 1986:Radd 'Ala
Dahlan, Abdul Aziz,. 2001. : PT Ichtiar Ensiklopedi Hukum Islam .Jakarta
Baru van Hoeve
Djakfar,Muhammad. Prof. Dr.H.S.H.,M.Ag,, (UIN Hukum Bisnis,
Malang Press, 2009)
Djazuli , Prof. H. A. Kaidah Kaidah Hukum Islam dan Menyelesaikan
Masalah Yang Praktis .Jakarta: PT Kencana.2010
effendi M.zein Prof.dr.H.Satria M.A,ushul fiqih,kencamna prenada
media group,Jakarta,2009,1997
90 Hendra Pertaminawati
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
Fudhailurrahman, Ringkasan Ihya' 'Ulumuddin karangan Imam Ghazali,
PT Sahara Intisains, 2010
Hamid Hakim, Abdul Mabadi` Awwaliyah,
I Taysir Wushul Ila Al-Ushul,bnu Khalil, Atha hal. 16; Abdul Hamid
Hakim, Mabadi` Awwaliyah
Imam Nawawi, Riyadus Shalihin Jilid I, . Pustaka Amani, JakartaTerj ,
1999
Imam As-Suyuthi dalam Al-Asybah wa an-Nazha`ir
M. Muhammad Ismail, Al-Fikr Al-Islami, 1958
Nailul Authar, V
Qardhawi, DR. Yusuf Halal dan Haram,( akarta abbani ress 2000, J R P
Sayyid Sabiq, , I/28; Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, Fiqhu Sunnah
2003
Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah
Syarifudin, Prof.dr.H.Amir , ushul fiqih jilid 1,logos wacana
ilmu,ciputat 1997
Wahab Abdussalam Thawilah Abdul,terj. Khalirurrahman Fath &
Solihin, ,( Jakarta, Pustaka Al KautsarFIkih Kuliner
http://www.halalmui.or.id
)http://www.islamuda.com
http://pusathalal.com/…/kumpulan-kasus-produk-haram-di-
indo…(online)
http://www.pom.go.id/index.php/home/search/halal (online)
Keputusan Fatwa MUI September 1994 tentang keharaman
memanfaatkan babi dan seluruh unsur-unsurnya (Majelis Ulama
Indonesia, 2000
Fikih Kuliner 91
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017
92 Hendra Pertaminawati
DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017