4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN - repository.ipb.ac.id · sebagaimana tertuang dalam surat ......
-
Upload
truongthuy -
Category
Documents
-
view
224 -
download
0
Transcript of 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN - repository.ipb.ac.id · sebagaimana tertuang dalam surat ......
55
4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Sejarah Kawasan Mangrove Muara Angke Jakarta
Hutan mangrove Muara Angke adalah bagian dari kawasan hutan
mangrove (bakau) Tegal Alur-Angke Kapuk di pantai utara Jakarta yang termasuk
wilayah Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara. Pada tahun 1977,
Menteri Pertanian dengan Keputusan Nomor 16/Um/6/1977 tanggal 10 Juni 1977
menetapkan kembali peruntukan kawasan hutan Angke Kapuk sebagai:
a. Hutan Lindung, 5 km sepanjang pantai dengan lebar 100 m
b. Cagar Alam Muara Angke
c. Hutan Wisata
d. Kebun Pembibitan Kehutanan
e. Lapangan Dengan Tujuan Istimewa (LDTI).
Pembangunan Kawasan Angke-Kapuk digagas oleh Pemerintah DKI,
Jakarta sesuai arahan RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) DKI 1965-1985,
bertujuan untuk mengembangkan areal tambak dan “eks-hutan” Angke-Kapuk
yang terbengkalai, untuk perumahan dan fungsi perkotaan lainnya. Keinginan ini
mendapat tanggapan dari kelompok usaha PT. Metropolitan Kencana,
sebagaimana tertuang dalam surat perusahaan tersebut kepada Direktur Jenderal
Kehutanan, selaku pihak yang memiliki kewenangan legal-formal atas kawasan
itu, No. 652/MK/V/81 tertanggal 22 Mei 1981.
Menanggapi surat di atas, Direktur Jenderal Kehutanan dalam suratnya
No. 2755/DJ/I/1981 tertanggal 27 Juli 1981 memberikan penjelasan tentang status
pengelolaan kawasan dimaksud dan kemungkinan bagi PT. Metropolitan Kencana
untuk berpartisipasi dalam pengembangannya. Beberapa butir penting isi surat
dimaksud adalah sebagai berikut:
1) Wilayah tanah hutan Angke-Kapuk seluas 1.144 ha berada di bawah
pengelolaan Dinas Kehutanan DKI Jakarta (berdasarkan Piagam Kerjasama
antara Pemda DKI Jakarta dengan Departemen Pertanian cq Direktorat
Jenderal Kehutanan yang ditandatangani tanggal 24 Juni 1977, dan dalam
rangka pelaksanaan Otonomi Daerah). Tujuan kerjasama dimaksud adalah
56
untuk mengelola, memanfaatkan, dan membina kawasan hutan seluas 1.144
ha yang terletak di kelurahan Kapuk Muara, dan Kamal Muara.
2) Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 161/Kpts/Um/6/1977
tanggal 10 Juni 1977, ditetapkan kembali fungsi kawasan hutan Tegal Alur,
Angke Kapuk, dan Cagar Alam Muara Angke, sebagai berikut:
a) Sebagai hutan lindung, 5 km sepanjang pantai selebar 100 meter
b) Sebagai Cagar Alam Muara Angke
c) Sebagai Hutan Wisata
d) Sebagai Kebun Pembibitan
e) Sebagai “lapangan dengan tujuan istimewa (LDTI)”.
Selanjutnya, disebutkan pula dalam Piagam Kerjasama itu bahwa Pemda
DKI Jakarta dapat bekerjasama dengan pihak lain, dalam pelaksanaan
pembangunan dan pengelolaan tanah kawasan hutan tersebut di atas.
Pada surat No. 842/A/K/BKD/78 tanggal 25 Mei 1978, Gubernur DKI
Jakarta mengajukan permohonan kepada Presiden RI melalui Menteri Negara
Penertiban Aparatur Negara (PAN), agar tanah bekas kawasan hutan Angke
Kapuk secara formil dihapuskan sebagai kawasan hutan dan menyerahkan hak
pengelolaannya kepada Pemda DKI Jakarta, dengan alasan:
a) Pada kenyataannya, kawasan hutan di wilayah Angke Kapuk tidak lagi
berfungsi (sebagai hutan)
b) Peruntukannya tidak sesuai dengan RUTR DKI Jakarta (1965-1985)
c) Kesulitan pemerintah dalam penyediaan tanah untuk pembangunan rumah
murah.
Menanggapi surat di atas, Menteri Negara PAN memprakarsai pertemuan
yang dihadiri oleh para Pejabat Pemda DKI, Sekretaris Menteri Negara PAN dan
Direktorat Jenderal Kehutanan, dengan menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:
a. Penyelesaian masalah hutan Angke Kapuk berpegang pada Program
Kerjasama antara Departemen Pertanian c.q Direktorat Jenderal Kehutanan
dengan Pemda DKI Jakarta tanggal 24 Juni 1977. Untuk merealisir Program
Kerjasama tersebut, akan:
1) Segera disusun Feasibilitas Study (FS) oleh Pemda DKI Jakarta/Perumnas
2) Diadakan pembicaraan kembali antara Departemen Pertanian, Pemda DKI
Jakarta dan Perumnas, setelah ada FS, untuk menentukan langkah-langkah
selanjutnya
57
3) Membalas surat Dirjen Kehutanan No.2755/DJ/I/1981, Pemrakarsa dengan
surat No.929/MK/VII/81 tanggal 28 Juli 1981 menyampaikan antara lain
tidak perlu dirubahnya 25 ha Cagar Alam, 100 ha Hutan Wisata dan 50 ha
Perumahan Nelayan. Sedangkan sisa lahan (dari 1.150 ha), akan
dimanfaatkan untuk berbagai fungsi perkotaan (hunian, komersial,
prasarana/sarana, dll)
4) Menanggapi usulan di atas, Dirjen Kehutanan pada suratnya
No.26/DJ/I/1982 tanggal 5 Januari 1982 menyampaikan bahwa,
Pemrakarsa dinilai mampu melaksanakan proyek Pengembangan Kawasan
Hutan Angke Kapuk dan diminta dapat bekerjasama dengan Pemda DKI
Jakarta
5) Melalui suratnya No.352/MK/III/82 tanggal 17 Maret 1982, Pemrakarsa
mengajukan kerjasama dengan Pemda DKI. Selanjutnya wakil Gubernur
Bidang I, atas nama Gubernur DKI, melalui surat No.04280/VI/1982
tanggal 19 Juni 1982 menyampaikan persetujuan kerjasama dengan
Pemrakarsa
6) Menindaklanjuti berbagai kesepakatan atau persetujuan prinsip yang telah
dicapai, kemudian disusun atau ditandatangani:
a. Perjanjian tukar-menukar sebagian tanah kawasan Hutan Angke-Kapuk
di Wilayah DKI Jakarta, antara Menteri Kehutanan RI dengan
Direktur/Komisaris PT. Mandara Permai (subsider PT. Metropolitan
Kencana Group), ditandatangani di Jakarta tanggal 14 Juni 1984. Isi
perjanjian ini antara lain: pengaturan perbandingan luas dan lokasi
lahan pengganti (DKI Jakarta atau di Bogor, Tanggerang, dan Bekasi
yang disetujui oleh Pihak Menteri Kehutanan RI)
b. Perjanjian kerjasama pembangunan pengembangan tanah Kawasan
Hutan Angke-Kapuk di DKI Jakarta. Isi dari perjanjian tersebut antara
lain:
c. Peruntukan lahan: 50% dari luas kawasan hutan (581,24 ha) dapat
dikembangkan
d. Kewajiban pihak PT. Mandara Permai untuk membayar biaya
penyediaan prasarana (sebagai presentase dari luas yang akan
58
dikembangkan 831,63 ha) yang menghubungkan kawasan dengan areal
luarnya, sementara biaya pembangunan prasarana di dalam tapak,
seluruhnya menjadi beban dan tanggung jawab pihak PT. Mandara
Permai
e. Berita acara serah terima penyerahan biaya prasarana sebagaimana
diatur dalam butir 2
f. Berita acara serah terima tukar/menukar sebagian tanah kawasan
Angke-Kapuk dan tanah penggantinya, dalam berita acara ini antara
lain disebutkan:
1. Dua bidang tanah (luas seluruhnya 39 ha), terletak di Pulau
Penjaliran Barat dan Pulau Penjaliran Timur, Kecamatan Kepulauan
Seribu, Jakarta Utara
2. Tiga bidang tanah (luas 75 ha) terletak di Kampung Sawah dan
Cipinang, Desa Rumpin, Kecamatan Rumping, Kabupaten Bogor,
Jawa Barat
3. Satu bidang tanah (luas 350 ha), terletak di Kecamatan Nagrek,
Kabupaten Sukabumi Jawa Barat
4. Sepuluh bidang tanah (luas 1.190 ha), terletak di Kecamatan
Sukanagara dan Campaka, Kabupaten Cianjur Jawa Barat.
7) Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 097/Kpts-II/88 tanggal 29
Februari 1988 tentang Pelepasan Kawasan Hutan Angke-Kapuk seluas
831,63 ha di DKI Jakarta
8) Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 463/Kpts-II/88 tanggal 24
September 1988 tentang Pelepasan Kawasan Hutan Angke-Kapuk seluas
yang dipergunakan untuk perkampungan nelayan dan pendaratan ikan di
Delta Muara Angke seluas 56 ha dan penunjukan areal tambak perikanan
aset Pemda DKI Jakarta seluas 52 ha sebagai Kawasan Hutan.
Selanjutnya kedua areal di atas akan dimanfaatkan dan dikembangkan oleh
PT. Mandara Permai. Berkaitan dengan adanya pembangunan permukiman di
kawasan ini, maka pada tahun 1984 Departemen Kehutanan melakukan
pengukuran dan pemancangan batas ulang yang antara lain menghasilkan kawasan
hutan yang tetap dikuasai oleh Pemerintah, yaitu seluas 322,6 ha terdiri dari:
59
a. Hutan Lindung : 49,25 ha
b. Cagar Alam Muara Angke : 21,45 ha
c. Hutan Wisata : 91,45 ha
d. Kebun Pembibitan Kehutanan : 10,47 ha
e. Cengkareng Drain : 29,05 ha
f. Jalur Transmisi PLN : 29,90 ha
g. Jalan Tol dan Jalur Hijau : 91,37 ha
Hasil pengukuran dan penataan batas ulang tersebut kemudian ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 097/Kpts-II/1988 tanggal 29
Pebruari 1988 yang menetapkan bahwa kawasan hutan yang dipertahankan adalah
seluas 335,50 ha terdiri atas:
a. Hutan Lindung : 50,80 ha
b. Cagar Alam Muara Angke : 25,00 ha
c. Hutan Wisata : 101,60 ha
d. Kebun Pembibitan Kehutanan : 10,47 ha
e. Cengkareng Drain : 28,36 ha
f. Jalur Transmisi PLN : 25,90 ha
g. Jalan Tol dan Jalur Hijau : 91,37 ha
Berdasarkan hasil tata batas di lapangan dan Berita Acara Tata Batas yang
ditandatangani pada tanggal 25 Juli 1994 oleh Panitia Tata Batas yang diangkat
dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Ibukota Jakarta Nomor 924 tahun
1989, diketahui bahwa hutan yang dipertahankan adalah seluas 327,70 ha.
Sehubungan dengan itu, Menteri Kehutanan menetapkan kembali peruntukan dan
fungsi kelompok Hutan Angke Kapuk sebagai:
a. Hutan Lindung : 44,76 ha
b. Hutan Wisata : 99,82 ha
c. Cagar Alam Muara Angke : 25,02 ha
d. Hutan Dengan Tujuan Istimewa (LDTI):
1) Kebun Pembibitan : 10,51 ha
2) Transmisi PLN : 23,07 ha
3) Cengkareng Drain : 28,93 ha
4) Jalan tol dan Jalur Hijau : 95,50 ha
Cagar Alam Muara Angke dikukuhkan sebagai Suaka Margasatwa
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 097/Kpts-
II/98, dengan luas areal 25,02 ha. Batas kawasan hutan mangrove Muara Angke
adalah di sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Timur dengan
Sungai Angke (S. Angke) dan Perkampungan Nelayan Muara Angke, sebelah
60
Selatan dengan areal pertambakan dan Sungai Kamal, dan di sebelah Barat
dengan Jalan Tol Prof.Sedyatmo dan kawasan Industri Tegal Alur.
4.2 Kondisi Fisik
4.2.1 Letak dan Batas Geografis
Kawasan Muara Angke terletak di pantai utara Pulau Jawa dan secara
geografis kawasan ini terletak di antara 6o 05` - 6
o 10` Lintang Selatan serta antara
106o 43` -106
o 48` Bujur Timur. Berdasarkan administrasi pemerintahan terletak
di dalam dua kelurahan, yaitu Kelurahan Kamal Muara dan Kelurahan Kapuk
Muara. Di bagian utara dibatasi Laut Jawa, bagian selatan berbatasan dengan PT.
Mandara Permai, bagian Timur berbatasan dengan Sungai Angke dan
perkampungan dan bagian Barat berbatasan dengan Sungai Kamal (Gambar 7).
Gambar 7 Lokasi kawasan hutan Muara Angke DKI Jakarta (Sumber: Dinas
Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta 2011).
4.2.2 Geologi dan Tanah
Van Bemmelen (1949) dalam Suwijanto (1977) membagi daerah Jawa
Barat menjadi lima jalur fisiografi. Jalur dataran pantai Jakarta yang terbentang
61
dari Serang sampai Cirebon mencapai lebar sekitar 50 km, ditempati oleh
endapan-endapan alluvium, sungai, pantai, dan aliran lahar dari gunung api di
daerah tanah burit.
Sebelah selatan ditempati oleh jalur perbukitan dari jalur Bogor, terdiri
dari lapisan-lapisan batuan sedimen tersier yang terlipat. Penyebaran dapat diikuti
mulai dari sekitar Jasinga, ke arah timur mulai daerah Purwakarta, Majalengka
sampai sekitar Bumiayu. Penyebaran jalur Bogor ditunjukkan pula oleh arah jurus
struktur perlipatan yang berbentuk antiklinorium dan batuan yang ditempatinya.
Daerah utara Jawa Barat merupakan cekungan sedimentasi pada akhir
Masa Mesozoikum yang dibatasi oleh punggung Geantiklin di sebelah selatan dan
paparan yang mantap di sebelah utara. Bentuk cekungan tidak merata, terdiri dari
punggungan di antaranya yang disebabkan oleh permukaan daratan pratersier
yang dikontrol struktur sesar.
Menurut Suwijanto (1977), Berdasarkan bentuk, ekspresi topografi serta
batuan penyusun, dataran Jakarta-Bogor dapat digolongkan menjadi satuan
morfologi, antara lain:
a. Dataran Pantai
Berdasarkan panyebaran pematang pantai di sekitar Jakarta, garis pantai
tua semula terdapat disekitar 5-10 km dari garis pantai sekarang yang ditunjukkan
oleh deret pematang pantai yang melalui Pegadungan, Cengkareng, Kali Angke di
sebelah Barat dan Kemayoran, Warung Jengkol, Cakung sampai Ujung Menteng
di sebelah timur. Bila dilihat penyebarannya umumnya dapat dilihat bahwa
endapan pematang pantai sebagian besar terdapat di sebelah timur daratan delta
(Verstappen 1953 dalam Suwijanto 1977).
Daerah Jakarta dibatasi oleh dua sungai besar, yaitu Cisadane di sebelah
Barat dan Citarum di sebelah Timur. Kedua sungai tersebut sangat aktif dalam
mengangkut sedimen dalam alirannya dan mengendapkannya dalam bentuk delta.
Perkembangan kedua delta menyebabkan bentuk cekung dari teluk Jakarta
(Suwijanto 1977).
62
b. Kipas Gunung Api Bogor
Dataran antara Bogor, Tanggerang, dan Cikarang merupakan daerah
berbentuk kipas dengan Bogor sebagai puncaknya. Daerah ini merupakan
tumpukan rempah-rempah gunung api berupa debu gunung api, tufa,
komlongmerat, dan breksi yang sebagian besar sudah mengalami pelapukan yang
kuat (Suwijanto 1977).
Garis lurus yang menghubungkan antara Bogor-Jakarta kurang lebih
merupakan poros dari kipas gunung api dengan kimiringan kurang dari 1o dengan
ketinggian 450 meter di atas muka laut.
Di bagian selatan, kipas gunung api Bogor berawal dari hulu lembah
Cisadane antara Gunung Salak dan Pangrango, menyebar ke utara melalui celah
perbukitan tersier jalur Bogor antara Citeurep dan leuwiliang. Daerah tinggi dari
jalur Bogor muncul sebagai pulau-pulau dalam dataran ini seperti yang
ditunjukkan oleh Gunung Paok, Gunung Bubut, Gunung Tapos dan sebagainya.
c. Daerah perbukitan bergelombang
Daerah perbukitan dari Jalur Bogor memisahkan dataran pantai dengan
jajaran gunung api. Dari utara relief meninggi secara berangsur karena bagian
utara dari jalur Bogor umumnya terdiri dari batuan lunak. Arah memanjang dari
perbukitan umumnya searah dengan arah jurus struktur perlapisan dari batuan
keras dengan lembah di antaranya seperti terlihat di sekitar Citeureup dan
Purwakarta. Arah ini sesuai dengan arah jurus struktur perlipatan dari jalur Bogor
yang berarah barat-timur. Di sekitar daerah Banten di sebelah barat, jurus struktur
membelok ke arah utara-selatan.
Sungai-sungai yang mengalir pada daerah ini umumnya berawal dari komplek
gunung api di bagian selatan, mengalir sepanjang daerah cekungan antar gunung api ke
utara. Sampai di daerah jalur Bogor arah alirannya seringkali dikontrol oleh struktur
dengan membuat kelokan tajam. Bahan rombakan dari daerah yang dilalui diangkut
dalam alirannya dan dari sungai-sungai inilah dataran pantai Utara Jawa terbentuk.
d. Kelompok Gunung Api Muda
Secara Geologis, Jakarta berkedudukan pada wilayah dataran kipas
alluvial, dataran sungai, dataran banjir, dataran wara, dan dataran pantai.
63
Kedudukan Jakarta juga dipengaruhi oleh kondisi geomorfologi wilayah yang
lebih luas yang meliputi Gunung Pangrango, Gunung Gede, dan Gunung Salak di
wilayah Bogor. Batuan yang membentuk wilayah atas dan Jakarta terdiri dari
batuan hasil kegiatan vulkanik tersier yang bersifat agak keras dan permeabel
sehingga kurang permeabel serta endapan berbagai dataran alluvial Jakarta yang
terdiri batuan yang tidak terkonsolidasi sampai terkonsilidasi yang dapat bersifat
cair, plastis sampai kenyal agak keras. Batuan yang terkonsolidasi dan keras
meliputi batuan gamping, batu pasir, batu lempung yang berumur tersier yang
merupakan batuan dasar yang dalam.
Secara umum morfologi daerah gunung api muda dicirikan oleh bentuk
kerucut dengan alasnya yang membalut. Sungai yang mengalir pada badan
gunung api menyebar membentuk pola aliran radial yang khas. Relief bervariasi
tergantung derajat erosi yang berlangsung yang menunjukan umur relatif dari
pembentukannya (Suwijanto 1977).
Urutan stratigrafi daerah Jawa Barat bagian utara disusun berdasarkan
singkapan batuan pada jalur Bogor yang berumur antara Miosen sampai Resen.
Batuan terdiri dari sedimen klastik seperti konglomerat, batu pasir, lempung,
napal, pada beberapa tempat berupa batu gamping terumbu. Pada akhir Neogen
aktivitas vulkanis berlangsung intensif dengan diendapkannya material tersebut
hampir sepanjang jalur ini yang berlangsung sampai sekarang (Suwijanto 1977),
yang terdiri atas:
(a) Endapan Neogen. Batuan sedimen tersier tertua di daerah Jawa Utara
hanya diketahui dari sumur pemboran oleh Pertamina di daerah Jatibarang
yang ditemukan sebagai batuan perangkap minyak bumi yang selanjutnya
disebut sebagai formasi Jatibarang. Batuan penyusun terdiri dari tufa,
andesit porfir, basalt, dan lempung merah dari endapan vulkanis yang
mengisi bagian-bagian rendah dari permukaan daratan Pratersier
(Suwijanto 1977).
(b) Endapan Kwarter. Stratigrafi Kwarter di Indonesia paling tidak diketahui
secara pasti. Batas dengan Neogen pada umumnya didasarkan pada fosil
vertebrata yang ditemukan di dalam batuan yang pada umumnya sangat
jarang.
64
Secara umum tatanan stratigrafi daerah Teluk Jakarta dan sekitarnya
berkaitan dengan cekungan sedimen tersier di Jawa Barat yang terdiri dari 3 (tiga)
mandala sedimentasi, yaitu Mandala Paparan Benua, Mandala Sedimentasi
Cekungan Bogor, dan Mandala Sedimentasi Banten. Mandala Paparan Benua
dicirikan oleh endapan paparan, berupa batu pasir kuarsa, batu gamping, dan batu
lempung yang terendapkan di laut dangkal. Mandala Sedimentasi Cekungan
Bogor dicirikan oleh endapan aliran gravitasi yang terdiri dari komponen batuan
andesitan hingga basalan, tufa, dan batu gamping. Mandala ini meliputi Zona
Bandung, Bogor, dan Pegunungan Selatan. Mandala Sedimentasi Banten, pada
Miosen Awal endapan sedimennya menyerupai endapan Cekungan Bogor,
sedangkan pada Akhir Tersier menyerupai endapan Benua.
Pembentukan Teluk Jakarta sangat dipengaruhi oleh pengaruh proses
terbentuknya endapan delta dan interdelta secara bersama-sama. Bentuk teluk
Jakarta yang unik di sebabkan oleh perbedaaan kecepatan proses pengendapan
bahan-bahan endapan yang dibawa oleh sungai-sungai yang bermuara di teluk
Jakarta.
Sungai Cisadane yang terletak di bagian Barat dan Sungai Citarum yang
terletak di bagian Timur. Keduanya mengendapkan bahan-bahan yang jauh lebih
banyak dari pada sungai-sungai yang mengalir di bagian tengah dataran itu
sendiri, sehingga kecepatan perubahan garis pantai berkembang tidak selaras, dan
teluk Jakarta seolah-olah berbentuk busur.
Berdasarkan peta geologi lembar Jakarta dan Kepulauan Seribu, geologi
wilayah pantai dan lepas pantai perairan Teluk Jakarta dan sekitarnya tersusun
oleh (Tim Teluk Jakarta 1996):
(a) Aluvium yang terdiri dari lempung, pasir, kerikil dan bongkahan. Endapan
tersebut merupakan endapan pantai sekarang, endapan sungai, dan rawa
(b) Endapan pematang pantai terdiri dari pasir halus hingga kasar, warna kelabu
tua, dan terpilah bagus. Berdasarkan kenampakan morfologi dan batuan
penyusunnya, diduga satuan ini terbentuk karena endapan angin yang
membentuk onggokan pasir (sand dune).
65
Kawasan Muara angke terletak di pesisir utara Pulau Jawa yang termasuk
dataran pantai yang penyebarannya umumya dapat dilihat pada endapan pematang
pantai yang sebagian besar terdapat di sebelah timur dataran delta.
PT. Mandara Permai (1994), pada umumnya bagian Utara dataran rendah
DKI Jakarta merupakan rawa hutan mangrove (bakau). Bahkan sampai tahun
1956, baru sebagian kecil wilayah ini dibuka sebagai pertambakan. Setahap demi
setahap, bagian Selatan dataran ini berubah menjadi rawa dengan tumbuhan yang
hidup pada perairan yang berair lebih tawar. Kemudian sungai-sungai bagian
Selatan berevolusi menjadi dataran rendah yang lebih tinggi karena memperoleh
tambahan sedimen.
Semakin ke Barat Daya, ketinggian dataran pantai semakin tinggi. Di
bagian Selatan, tinggi pematang pantai ini dapat mencapai 5 meter, semakin ke
Barat Laut tingginya hanya mencapai 2 meter. Elevasi daerah Jakarta pada
umumnya dan daerah Kapuk serta dataran pantai pada khususnya, kurang dari 5
meter. Khusus untuk daerah Kapuk, selain terdapat saluran-saluran untuk
pengairan pertambakan terutama dari arah laut, sungai-sungai yang ada dari arah
Timur ke Barat meliputi Angke, Cengkareng Drain, Kamal, dan Dadap. Di Barat
Daya Kamal terdapat bekas pulau karang yang sekarang telah berada pada sekitar
500 m dari garis pantai dan tertutup sedimen setelah melalui proses
penyambungan dengan dataran pantai (tombol) terlebih dulu. Pada tepi pantai
yang masih ditutupi mangrove, bagian depan (fore shore) pantai berupa rataan
(mud flat) dengan lebar sekitar 100 m, bagian atasnya berupa lumpur lunak
dengan tebal mencapai 1 meter. Di bagian belakang (back shore) rawa mangrove
terdapat tanggul-tanggul untuk pertambakan.
e. Perubahan Garis Pantai
Pada mulanya daratan pantai Kapuk selalu berkembang ke arah laut
dengan laju sekitar 1 meter per tahun yang dipacu oleh adanya hutan mangrove
yang lebat karena perakarannya dapat mengurangi terjadinya erosi dan memacu
sedimentasi. Lebatnya mangrove juga lebih memungkinkan tersebarnya tunas
baru. Sejak tahun 1980, perubahan garis pantai mulai berbalik arah dengan
kecenderungan abrasi pantai. Pada tahun 1980, tepi Barat muara Sungai Angke
66
dibangun break water sepanjang 200 m dengan maksud menjaga kedalaman
perairan muara, namun akibatnya adalah terjadi abrasi dengan laju sekitar 25 m
per tahun antara tahun 1980-1983. Pada periode yang sama, kondisi pantai di
sekitar Kelurahan Kamal Muara mengalami erosi berat dengan laju sekitar 19 m
per tahun. Hal ini disebabkan aliran arus sepanjang pantai membawa sedimen
tersebut ke arah Timur dan mengendapkannya di sebelah barat jetti tersebut.
Pilar batas wilayah DKI Jakarta-Jawa Barat nomor 381 yang pada tahun
1979 masih terletak sekitar 40 m dari garis pantai, pada tahun 1983 telah jatuh
terendam air pada jarak 2 m dari garis pantai. Dewasa ini, pilar tersebut terletak
sekitar 100 m dari garis pantai (PT. Mandara Permai 1994).
f. Pemanfaatan Lahan
Pada tahun 1910 an, dataran Kapuk masih berupa rawa mangrove dan
sebagian kecil yang dibuka untuk tambak. Sekitar tahun 1963 wilayah tersebut
dibuka secara besar-besaran untuk pertambakan dan pada tahun 1987, sebagian
besar rawa ini telah berubah menjadi area pertambakan. Mangrove hanya tersisa
di Cagar Alam Angke seluas 15 ha dan di tepi Utara yang berbatasan dengan laut.
Sejak awal tahun 1982 sebagian tambak yang ada di Timur Sungai Angke mulai
diurug untuk perumahan nelayan dan perumahan teratur sebagai perluasan
kegiatan Badan Pengawas Pelaksanaan Pengembangan Lingkungan (BPPPL)
Pluit. Sebagian mangrove yang ada di Utara delta angke mulai ditebang dan di
bagian Timurnya pada tahun 1981 telah digunakan untuk pelabuhan ikan Muara
Angke.
Hutan mangrove yang ada dewasa ini merupakan jalur di sepanjang pantai
dari sekitar Muara Sungai Angke sampai dengan sebelah Timur sungai Kamal.
Sekitar satu dekade yang lalu, di tepi Timur sungai Kamal tersebut terdapat jalur
tipis mangrove, namun dewasa ini daerah sekitar sungai Kamal tererosi berat
sehingga selain tambak dan mangrove tererosi, sebagian rumah penduduk desa
Kamal yang terletak di tepi pantai hancur tererosi.
Pada tahun 1982 bagian tengah daerah pertambakan kapuk dipotong untuk
dibangun saluran (Cengkareng Drain). Pemotongan tersebut juga mengenai jalur
mangrove yang ada di tepi pantai Utara tersebut. Pada tahun 1981 juga telah
67
dibuat kanal tempat pendaratan (pelabuhan) batu dan pasir di Desa Dadap untuk
keperluan pengembangan pelabuhan udara Soekarno-Hatta dan jalan tol Prof.
Sediatmo.
Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa sifat fisik tanah di
kawasan hutan mangrove Muara Angke mengandung 39,5 %, liat 31,5 %, dan
pasir 29 %.
Tabel 6 Hasil analisis laboratorium sifat fisik dan kimia tanah Cagar Alam Muara
Angke
No Komponen Kimia Simbol Satuan Katagori
1 Kalium K 0,40 me/100 gr Sedang
2 Natrium Na 0,34 me/100 gr Rendah
3 Calsium Ca 5,36 me/100 gr Rendah
4 Magnesium Mg 1,09 me/100 gr Rendah
5 Carbon Organik C 2,1 % Sedang
6 Nitrogen Organik N 0,19 % Rendah
7 Besi Fe 60,15 ppm -
8 Timbal Pb 4,04 ppm -
9 Tembaga Cu 8,01 ppm - Sumber : Laporan Akhir Proyek Pembinaan Cagar Alam dan Hutan Lidung 1996
g. Hutan Lindung Muara Angke
Terletak pada permukaan tanah yang relatif datar, elevasi permukaan tanah
di bagian selatan lebih tinggi kemudian menurun dengan kemiringan yang rendah
ke arah utara sampai ke tepi pantai. Secara keseluruhan kawasan ini merupakan
daratan empang dengan sungai-sungai kecil yang bermuara di Teluk Jakarta. Pada
umumnya bagian utara dataran rendah ini merupakan hutan mangrove.
Keadaan tanah di kawasan ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Bagian utara sampai dengan Pantai Jawa, terdiri dari alluvial kelabu tua dan
gley humus rendah. Batuan induk tanah ini berupa endapan tanah liat daratan
pantai
2. Makin rendah ke selatan terdiri dari regosol coklat yang terbentuk dari
endapan vulkanik, daerah ini merupakan tanah lempung berpasir dengan
topografi datar
3. Bagian tenggara terdiri dari alluvial kelabu tua.
Tanah hutan lindung mangrove di sebelah barat Muara Angke mempunyai
persentase kandungan debu, pasir, dan bahan organik yang lebih besar
68
dibandingkan dengan hutan mangrove di sebelah timur Muara Angke dimana
tanah tersebut mempunyai kandungan unsur hara (K, Ca, Mg), logam berat (Pb,
Cu) dan kapasitas tukar kation (KTK) yang lebih kecil. Tingkat tekstur, nisbah
C/N, pH, KTK, dan kandungan unsur hara dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Besarnya nisbah C/N, Ph, dan tekstur tanah hutan mangrove di sebelah
barat dan timur Muara Angke
Habitat Tekstur pH C N C/N
Debu Liat Pasir H2O KCl (%)
L1H1 40,50 30,40 29,55 5,54 4,95 2,23 0,20 11,15
L2H1 39,00 32,95 28,05 5,70 5,24 2,39 0,17 14,16
Sumber : Laporan Akhir Proyek Pembinaan Cagar Alam dan Hutan Lidung 1996 Keterangan :
L1H1 : Habitat Hutan Mangrove di Sebelah Barat Muara Angke
L2H1 : Habitat hutan Mangrove di Sebelah Timur Muara Angke
Keadaan tekstur tanah areal Muara Angke masih didominasi oleh fraksi
debu, hal ini dikarenakan kondisi areal di sekitar lokasi merupakan areal kosong
yang sedang dibuka untuk perumahan. Bila dilihat dari kondisi pH maka areal
tersebut tanahnya tergolong masam. Hal ini disebabkan karena kawasan perairan
tersebut dimanfaatkan untuk pembuangan limbah industri dan limbah rumah
tangga. Kondisi ini menyebabkan sedikitnya jenis-jenis tumbuhan yang dapat
tumbuh di lokasi tersebut.
Tabel 8 Besarnya kandungan unsur hara, kapasitas tukar kation (KTK), dan
logam berat tanah hutan mangrove di sebelah barat dan timur Muara
Angke
Habitat
Kandungan Unsur Hara
(me/100 gr) Logam Berat (ppm) KTK
(me/100 gr)
EC
mhos/cm K Na Ca Mg Fe Hg Pb Cu
L1H1 0,40 2,93 5,37 1,13 65,05 1,11 5,17 10,32 17,86 2,16
L2H2 0,41 0,45 5,58 1,28 56,22 0,62 15,24 19,65 19,65 2,03
Sumber : Laporan Akhir Proyek Pembinaan Cagar Alam dan Hutan Lidung 1996
4.2.3 Hidro-Oceanografi
a. Kondisi Pantai
Pantai kapuk dibatasi oleh Muara Angke di sebelah Timur dan Tajung
Pasir di sebelah Barat. Di muka pantai pada jarak kira-kira 4 mil terdapat gugusan
Pulau Bidadari dan Pantai Kapuk terdapat Karang Bangau. Karang ini terletak
69
pada jarak 2 mil dari pantai, selalu terbenam dan mempunyai kedalaman 3 di
bawah permukaan laut.
Air laut jernih terdapat pada jarak > 1.500 dari pantai. Bila dibandingkan
dengan dengan tempat-tempat lain di daerah Teluk Jakarta, daerah Pantai Kapuk
relatif lebih tenang baik pada musim muson timur, maupun muson barat. Pantai
Kapuk yang terletak di belakang Tanjung Pasir menempati posisi yang
menguntungkan, karena akan terlindungi oleh Tanjung Pasir pada musim muson
barat.
b. Gelombang dan Arus Laut
b.1. Gelombang
Berdasarkan laporan yang disusun ole PT. Survindo (1986) tentang
karakteristik arus dan gelombang laut di daerah Kapuk disajikan sebagai berikut:
(1). Gelombang yang penting dari arah Barat Laut selama bulan Januari sampai
Maret. Pada periode ini tinggi gelombang maksimum dapat mencapai 1,5 m.
Pada bulan Mei sampai September tidak ada gelombang penting untuk
diamati (PT. Mandara Permai 1994)
(2). Arah gelombang di daerah Kapuk lebih kurang tegak lurus terhadap garis
pantai. Hal ini disebabkan gelombang yang datang dari arah Barat Laut
mengalami defraksi di sekitar Tanjung Pasir dan Muara Coba. Gelombang
dari arah Timur sedikit mengalami defraksi, sehingga datang dari garis pantai
dengan arah yang hampir tegak lurus
(3). Ketinggian gelombang diperkirakan sekitar 1 meter dengan periode waktu 5
detik. Hal ini berkaitan dengan erat dengan arah dan kecepatan angin.
Apabila kecepatan angin kurang, tinggi gelombang semakin rendah dan
periode gelombang semakin panjang. Perubahan arah angin atau munculnya
angin kuat lain dari arah yang berlawanan akan membangkitkan gelombang
lain dari arah yang berlawanan sehingga terjadi interferensi yang saling
menguatkan. Selain angin, tinggi rendahnya gelombang laut ditentukan juga
oleh beberapa faktor, antara lain: jarak terhadap pantai, kelandaian tebing
pantai, vegetasi pantai.
70
Jarak terhadap pantai mempengaruhi terjadinya interfrensi dengan
gelombang yang berlawanan. Pada kondisi angin normal (searah), periode
gelombang relatif panjang dan konstan sehingga pada daerah yang lebih tengah
relatif lebih aman untuk pelayaran. Pada daerah pantai yang kaya akan hutan
rawa, gelombang yang datang akan diserap oleh hutan rawa tersebut, sedangkan
pada pantai-pantai terbuka, terjadi pemantulan gelombang yang akan
menimbulkan interferensi saling menguatkan.
Kelandaian akan menentukan magnitudo gelombang pantul. Dinding
pantai yang terjal dan keras akan membangkitkan gelombang pantul yang kuat.
Pada pantai yang landai, meskipun tidak terjadi penyerapan energi, namun
gelombang pantul lebih tersebar merata pada bidang yang lebih luas, sehingga
efek interferensi saling menguatkan relatif lebih kecil.
Berdasarkan kategori yang dibuat pada lokasi studi (Daerah Kapuk), di
sebelah Barat merupakan pantai yang terbuka untuk pertambahan (Pantai Kamal
dengan kondisi terbuka), daerah tengan merupakan hutan bakau, relatif tipis dan
tidak begitu panjang, sebelah Timur terdapat jetti yang dapat dianggap sebagai
dinding terjal dengan efek peredaman pada gelombang pantul kecil. Situasi
tersebut dapat digambarkan secara garis besar sebagai pantai yang mengalami
intervensi manusia, sehingga rona awal pada dasarnya telah mengalami perubahan
dari kondisi alamiahnya.
b.2. Arus Laut
Arus Laut di Laut Jawa sebagian besar dipengaruhi oleh gerakan angin.
Arus akan mengalir dari arah timur selama musim muson Barat (Desember-
Februari) dan dari arah Barat selama musim muson Timur (Juni-Agustus). Arus
ini bisa mencapai kecepatan 0,25-0,50 m/det. Kecepatan arus rata-rata harian
adalah 0,10-0,13 m/det, dari arah Barat selama musim muson timur.
b.3. Pasang Surut
Pengaruh pasang surut air laut merupakan aspek yang sangat penting
dalam pengkajian bentang alam pesisir pantai. Sifat pasang surut untuk daerah
Perairan Kapuk dan Pulau Bidadari adalah Harian Tunggal. Artinya dalam 24 jam
terjadi satu kali pasang surut.
71
Berdasarkan hasil pengukuran Dinas Hidrologi Angkatan Laut RI (1978)
dapat diketahui tenggang pada saat pasang surut terendah 0,25 m. Berdasarkan
pengamatan pasang surut yang dilakukan oleh Perum Pelabuhan Tanjung Priok
adalah:
Air pasang tertinggi (HHWS) 1.80 m + PP
Air pasang rata-rata (MHW) 1.40 m + PP
Air rata-rata (MSL) 0.95 m + PP
Air surut rata-rata (MLW) 0.56 m + PP
Air surut terendah (LLWS) 0.23 m + PP
Pengkajian variabilitas pasang surut air laut ini ditujukan untuk analisis
tentang mekanisme pengikisan pantai dan operasional sisten drainase yag lebih
dikhususkan pada analisis kecepatan aliran dan transport sedimen pada Sungai
Angke Bawah-Banjir Kanal dan Cengkareng Drain yang berfungsi sebagai
Floodway.
b.4. Bathymetri
Data bathymetri kondisi perairan di sekitar Muara Angke sebagai berikut :
Dasar laut mempunyai kemiringan 0,38 %
Kontur dengan interval 0,5 m sejajar dengan garis pantai
Potensi sedimen transport lumpur Sungai Angke dan Cengkareng Drain cukup
luas sekitar 3 km dari pantai
Potensi sebaran lumpur Sungai Angke Bawah - banjir Kanal lebih besar dari
Cengkareng Drain (PT. Pantai Indah kapuk, 1994)
b.5. Erosi, Abrasi, dan Sedimentasi
Secara alami proses erosi, abrasi, dan sedimentasi merupakan faktor yang
sangat berperan dalam mengubah bentuk garis pantai, yang bergantung pada jenis
dan jumlah sedimen air sungai. Kontiyunitas penyebarannya dipengaruhi oleh
energi dinamik arus, gelombang, dan pasang surut air laut.
Faktor alamiah dominan pengubahan bentang alam pesisir dipengaruhi
oleh dinamika interaksi antara penbentukan delta dan pendangkalan interdelta
tinggi gelombang, dan arus laut yang akan menimbulkan suksesi komponen lokal.
Pembentukan delta akibat transport sediment sungai akan berakibat lanjut
72
terjadinya perubahan arus laut dan berpotensi menimbulkan arus yang
menimbulkan abrasi pada bagian pantai lain di sekitarnya.
b.6. Hubungan antara Pola Refraksi Gelombang dengan Penyebaran
Sedimen
Fenomena refraksi gelombang terjadi pada gelombang yang datang ke
pantai sekitar daerah tapak akibat adanya Kepulauan seribu yang berfungsi
sebagai Barrier. Refraksi terjadi karena pada gelombang yang mempunyai
periode T = 5 detik dihitung pada gelombang yang datang dari arah Barat Laut.
Dari pola refraksi dapat diperhitungkan penyebaran sedimen yang berlangsung
selama terjadinya muson barat adalah sebagai berikut :
Pada titik lokasi Muara Kamal : 8.10+4
m3/tahun
Pada titik lokasi sebelah Timur Muara Cengkareng Drain : 13.10+4
m3/tahun
4.2.4 Hidrologi
a. Sungai-Sungai yang Mengalir di Daerah Tapak
Hidrogeologi yang bersangkutan dengan daerah tapak, dipengaruhi oleh
sungai-sungai utama yang melintasi lebih dari separuh wilayah DKI Jakarta, yaitu
sungai Ciliwung, Angke, Pesangrahan, Krukut, Grogol, Sekretaris, Sepak, dan
Mampang.
Luas daerah aliran sungai yang mengalir di daerah tapak, jika digabung
mempunyai luas total sekitar 1100 km2 atau 2 kali luas DKI Jakarta yang dibatasi
oleh DAS Ciliwung di sebelah Timur dan DAS Angke di sebelah Barat. Fungsi
dari sungai-sungai tersebut pada skala makro adalah :
Sebagai pengendali banjir DKI Jakarta
Sebagai saluran pembuangan air limbah dan sampah, meskipun tidak seorang
pun merekomendasikannya.
Sistem aliran sungai Angke dan Cengkareng Drain merupakan sistem
aliran yang menggunakan beban limbah limpasan air yang besar, dimana aliran-
aliran sungai besar, yaitu kali Mookervart, Sungai Sepak, Sungai Pesanggrahan,
Sungai Sekretaris, Sungai Angke, Sungai Grogol, dan Sungai Ciliwung
berkumpul. Sungai-sungai tersebut berpotensi menimbulkan banjir rutin,
73
mengingat daerah aliran masing-masing sarat dengan pemukiman sehingga
mempunyai koefisien run-off yang besar.
b. Perwilayahan Sistem Aliran Sungai
Dari konteks drainase dan pengendalian banjir Jakarta, serta pengendalian
kualitas air sungai masing-masing, sungai-sungai yang mengalir di daerah tapak
termasuk dari daerah pengembangan barat yang meliputi:
Sistem aliran Sungai Angke: Kali Sepak, Pesanggrahan, Mookervart,
Sekretaris, dll, Kali Jelambar, Cengkareng Drain, dan Kali Grogol
Sistem aliran Sungai Ciliwung: Kalibaru Barat, Kalibata, Cideng, Krukut, dan
Mampang
Sistem Aliran Kali Muara Karang : Kali Duri dan Kali Grogol.
c. Debit Normal, Debit Penggelontoran, dan Debit Minimum Sungai
Pengkajian tentang debit rata-rata dan debit pengglontoran (flushing) dan
debit minimum sungai bermanfaat untuk analisis tentang seberapa besar difusi
atau pengenceran sungai yang bersangkutan dalam fungsinya sebagai badan air
penerima buangan, beban-beban parameter-parameter pencemar yang boleh
dibuang dari daerah tapak (BOD5, COD, dan SS) serta efek pencampuran yang
ditimbulkan dalam kaitannya dengan perubahan kadar oksigen perubahan BOD5
dan COD yang sangat vital bagi kehidupan perairan.
Debit minimum dan rata-rata Banjir Kanal sebelum pertemuan dengan S.
Angke adalah 10,2 m3/det, 17 m
3/det, dan 25 m
3/det. Hasil pengukuran Santoso
(2002), debit Sungai Angke 37 – 38,5 m3/detik, debit Cengkareng Drain 110,44
m3/detik dan debit Sungai Kamal 11,22 m3/detik.
Tabel 9 Debit air sungai pada beberapa lokasi penelitian di kawasan mangrove
Muara Angke DKI Jakarta
Nama Sungai
Posisi Jarak
(m)
Lebar
(m) D1 D2 D3
T rata-
rata
(detik)
V
(m/det)
A
(m2)
Debit
(m3/det) S E
S. Angke (Pagi) 06o06’54,8” 106o46’10,9” 12,00 30,00 2,00 5,60 1,50 35,75 0,34 110,25 37,01
S. Angke
(Siang) 06o06’54,8” 106o46’10,9” 12,00 30,00 1,50 5,10 1,00 29,67 0,40 95,25 38,52
S. Pandan * * 5,00 5,00 0,80 1,50 1,00 42,50 0,12 6,00 0,71
S. Cengkareng
Drain 06o06’45,9” 106o45’06,0” 18,00 66,00 4,00 5,00 3,00 36,67 0,49 225,00 110,44
S. Kamal 06o05’34,5” 106o43’26,2” 11,00 17,00 0,50 1,25 0,20 13,33 0,83 13,60 11,22
Keterangan : D1&D3 = Pinggir; D2 = Tengah; * = Belum Dilakukan Pengukuran
Sumber : Santoso,N (2002)
74
d. Kualitas Air
Kualitas air sungai terkait dengan tingkat pelayanan sanitasi di daerah
tangkapan air dan morfologi sungai-sungai yang bersangkutan. Perbedaan
topografi yang tajam antara daerah hulu deangan hilir akan berpengaruh pada laju
erosi di daerah hulu serta laju sedimentasi di daerah hilir.
Buruknya sanitasi di daerah hulu mengakibatkan perairan sungai di daerah
tapak yang terletak di sekitar muara sungai menjadi septik, berwarna hitam, dan
berbau. Akibat rendahnya kecepatan aliran di daerah hilir. Kecepatan reoksigenasi
menjadi sangat lambat sehingga kemampuan self purification sungai tersebut
sangat lemah. Situasi yang lebih buruk, rendahnya kecepatan air sugai di bagian
hilir menyebabkan proses biodegrasi terjadi pada perjalanan menuju ke muara
yang mengkonversi zat organik yang terlarut menjadi koloid sehingga
mempercepat laju sedimentasi. Kualitas air pada setiap lokasi pengamatan (Hutan
Lindung, Suaka Margasatwa, Hutan Wisata, Kebun Benih/Arboretum, dan kanan
kiri jalan Tol) dipengaruhi oleh kualitas air sungai yang terdapat di kawasan
mangrove Muara Angke. Kondisi kualitas air masing-masing lokasi pengamatan
dan kualitas air pada pengukuran Santoso, N (2002) (Tabel 10).
Tabel 10 Hasil analisis kualitas air pada plot pengamatan di kawasan hutan
mangrove Muara Angke (Santoso, N 2002)
No PARAMETER SATUAN
STASIUN PENGAMATAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9
I FISIKA
1 Suhu oC 27 27,6 28,1 28 30 32 33 31 32
2 Warna Pt.Co. 6,8 6,8 6,65 7 7,2 5,3 9,55 18,8 6,1
3 Kecerahan Cm 55 50 50 30 40 35 50 5 30
4 Kekeruhan NTU 12 6 8 5 25 9 7 55 7
5 Padatan tersuspensi mg/l 32 14 12 18 38 76 14 172 66
6 Bau Visual alami alami alami alami alami alami alami alami alami
7 Lapisan Minyak Visual alami nihil alami nihil nihil nihil nihil nihil nihil
8 Benda terapung Visual sampah sampah sampah tanaman
air nihil nihil nihil sampah nihil
II KIMIA
1 pH - 6,63 6,66 6,76 6,63 6,85 8,59 8,82 7,2 7,8
2 Salinitas o/oo 0 0 0 0 0 10 0 0 25
3 Oksigen terlarut
(DO) mg/l 0,3 0,65 0,45 1,1 1,4 7,3 7,2 0,8 4,5
4 BOD5 mg/l 1,75 3 2,5 2,5 2 1,8 1,4 7 2,6
75
No PARAMETER SATUAN STASIUN PENGAMATAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9
5 COD mg/l 8,94 19,31 68,18 35,6 47,45 49,18 149,63 287,41 20,9
6 Ammonia Total
(NH3+NH4) mg/l 0,114 0,226 0,104 0,118 0,146 0,121 0,128 0,136 0,033
7 Nitrat (NO3-N) mg/l 0,131 0,045 0,068 0,06 0,031 0,053 0,021 0,026 0,023
8 Nitrit (NO2-N) mg/l 0,276 0,022 0,07 0,007 0,009 0,041 0,005 0,01 0,015
9 Sulfida (H2S) mg/l <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01
10 Sianida (CN) mg/l 0,027 0,021 0,035 0,031 0,029 0,033 0,025 0,021 0,015
11 Minyak bumi mg/l 0,2 0,25 <0,01 0,35 0,4 0,2 0,45 0,85 <0,01
12 Phenol mg/l <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,00
1 0,025
<0,00
1
13 Khromheksavalen
(Cr6+) mg/l <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001
<0,00
1 <0,001
<0,00
1
14 Seng (Zn) mg/l 0,044 0,033 0,22 0,083 0,028 0,083 0,036 0,111 0,022
15 Timah hitam (Pb) mg/l 0,093 0,067 0,073 0,08 0,12 0,107 0,053 0,133 0,067
16 Kadmium (Cd) mg/l 0,064 0,046 0,079 0,057 0,046 0,054 0,061 0,068 0,043
17 Perak (Ag) mg/l <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,00
1 <0,001
<0,00
1
18 Raksa (Hg) mg/lx10-3 0,05 0,05 0,35 0,15 0,2 0,15 0,15 0,35 0,2
19 Arsen (As) mg/lx10-3 0,03 0,02 0,04 0,086 0,092 0,071 0,066 0,097 0,087
20 Nikel (Ni) mg/l 0,083 0,036 0,033 0,083 0,044 0,033 0,047 0,111 0,044
21 Selenium (Se) mg/l <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,00
1 <0,001
<0,00
1
22 Tembaga (Cu) mg/l 0,441 0,382 0,441 0,265 0,23 0,529 0,471 0,588 0,353
Keterangan :
1=Sungai Angke (Dermaga);
2=Sungai Pandan;
3=Muara Angke;
4=Dalam Kawasan SMMA (Tikungan Jembatan Kayu);
5=Cengkareng Drain (Jembatan);
8=Sungai Kamal (Jembatan);
6=Hutan Lindung;
7=Jalan Tol (Kiri);
9=Hutan Wisata (Kolam Tambak)
e. Air Tanah
Secara umum dataran Jakarta terbentuk endapan yang terjadi dari
penumpukan bahan-bahan vulkanik, tufa, kerikil, pasir, lumpur, dan lempung
tertumpuk di sepanjang pantai. Ketebalan lapisan ini berkisar antara 250 - 300
mm dengan ketebalan dua aquifer sebagai berikut:
Aquifer bebas : ketebalan umumnya < 20 m
Aquifer tertekan : ketebalan 20 - 40 m
Daerah Kapuk, aquifer bebas ini merupakan aquifer pantai terdiri dari
lempung lunak dengan ketebalan 10 m. Aliran tanah adalah dari Selatan ke Utara.
76
4.2.5 Iklim
Berdasarkandata curah hujan stasiun Cengkareng yang merupakan hasil
pengamatan selama 30 tahun, curah hujan tahunan sekitar stasiun pengamatan
Cengkareng adalah 1,731 mm dengan curah hujan bulanan seperti disajikan pada
Tabel 11.
Tabel 11 Data curah hujan bulanan stasiun Cengkareng
No Bulan Curah Hujan
1 Januari 294 mm
2 Februari 277 mm
3 Maret 173 mm
4 April 137 mm
5 Mei 127 mm
6 Juni 86 mm
7 Juli 58 mm
8 Agustus 68 mm
9 September 69 mm
10 Oktober 101 mm
11 Nopember 121 mm
12 Desember 220 mm
Sumber: BPS Jakarta Utara (2007)
Berdasarkan pencatatan di Tanjung Priok dan Kemayoran, curah hujan di
sekitarnya adalah 200 mm/bulan. Curah hujan di Tanjung Priok tahun 1986 adalah
2050 mm. Dalam setahun terdapat 1 atau 2 bulan lebih rendah dari 60 mm. Hal
tersebut biasa terjadi pada bulan Juli dan Agustus, sehingga dalam klasifikasi
Koppen termasuk daerah dengan iklim Am, curah hujan tertinggi terjadi pada
bulan Januari yang dapat mencapai lebih dari 600 mm/bulan. Dalam tahun
tersebut terdapat 141 hari hujan berkisar dari 7 hari/bulan sampai 25 hari/bulan.
Curah hujan berkisar dari 53,6 mm (Mei) sampai dengan 61,3 mm (Januari).
Terdapat beberapa hal penting yang dapat dikemukakan pada data curah hujan
bulanan, yaitu:
Angka curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari (294 mm), terlihat pola
datangnya hujan yang cukup jelas, yaitu sejak Oktober sampai Januari,
sedangkan bulan-bulan berikutnya semakin berkurang
Angka curah hujan terendah terjadi pada bulan Juli (58 mm), sedangkan pada
bulan-bulan berikutnya meningkat hingga Oktober
77
Pola curah hujan berkaitan dengan pergeseran garis Intertrophic Convergence
Zone (Pias Korvengensi Intertropis) yang bergerak dari Utara ke Selatan (dari
Laut Jawa ke Samudra Hindia) melalui Pulau Jawa pada bulan Desember
sampai Februari
Walupun wilayah kajian ini merupakan wilayah yang curah hujannya paling
rendah, tetapi merupakan wilayah akumulasi limpasan hujan daerah selatan
yang curah hujannya cukup tinggi.
Suhu harian terendah adalah 21oC - 24
oC dan suhu harian tertinggi 29
oC -
33,5oC dengan rata-rata 26
oC - 28
oC. Kelembaban nisbi udara 76 % sampai 86 %.
4.3 Komponen Biologi
4.3.1 Penutupan Vegetasi
Berdasarkan penutupan vegetasi (1989-2006), kondisi kawasan mangrove
Muara Angke mengalami peningkatan, yang ditunjukkan oleh luas areal
mangrove dengan kelas penutupan lebat meningkat. Hal ini menunjukkan
kegiatan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke menunjukkan indikasi
keberhasilan (Tabel 12, Tabel 13, dan Tabel 14).
Tabel 12 Kondisi kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 1989
No Lokasi Kelas Tutupan Vegetasi Luas(Ha)
1 Cengakreng Drain Vegetasi Jarang 1,73
Vegetasi Sedang 0,13
Jumlah 1,86
2 Hutan Lindung
Vegetasi Jarang 17,41
Vegetasi Sedang 15,80
Vegetasi Lebat 3,43
Jumlah 36,64
3 Kawasan SMMA
Vegetasi Jarang 3,70
Vegetasi Sedang 2,55
Vegetasi Lebat 21,08
Jumlah 27,33
4 Lahan Dengan Tujuan Istimewa (LDTI)
Vegetasi Jarang 40,81
Vegetasi Sedang 10,17
Vegetasi Lebat 29,18
Jumlah 80,16
5 Pantai Indah Kapuk
Vegetasi Jarang 34,68
Vegetasi Sedang 8,03
Vegetasi Lebat 31,59
Jumlah 74,31
6 Sungai Kamal Vegetasi Jarang 1,39
Vegetasi Sedang 0,06
Jumlah 1,46
78
Tabel 12 Kondisi kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun
1989 (lanjutan)
No Lokasi Kelas Tutupan Vegetasi Luas(Ha)
7 Sungai PIK
Vegetasi Jarang 0,42
Vegetasi Sedang 0,86
Vegetasi Lebat 0,16
Jumlah 1,43
8 Sungai Tanjung
Vegetasi Jarang 1,92
Vegetasi Sedang 0,14
Vegetasi Lebat 0,00
Jumlah 2,06
9 Tambak KKP Vegetasi Jarang 0,61
Vegetasi Sedang 0,08
Jumlah 0,69
10 Tambak Masyarakat
Vegetasi Jarang 39,68
Vegetasi Sedang 8,54
Vegetasi Lebat 0,40
Jumlah 48,62
11 Tol Soediyatmo
Vegetasi Jarang 28,01
Vegetasi Sedang 6,67
Vegetasi Lebat 1,19
Jumlah 35,88
12 TWA Vegetasi Jarang 10,46
Vegetasi Sedang 0,41
Jumlah 10,86
13 Arboretum 0,30
Jumlah 0,30
Jumlah Total 321,61
Sumber : Data primer hasil analisis citra satelit TM 2006 (2011)
79
Sumber: Data primer hasil analisis citra satelit TM 1989 (2011)
Gambar 8 Kondisi kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 1989.
Tabel 13 Kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 2001
No Lokasi Kelas Tutupan Vegetasi Luas (Ha)
1 Cengakreng Drain
Vegetasi Jarang 1,76
Vegetasi Sedang 4,53
Vegetasi Lebat 0,83
Jumlah 7,12
2 Hutan Lindung
Vegetasi Jarang 24,37
Vegetasi Sedang 11,05
Vegetasi Lebat 20,28
Jumlah 55,70
3 Kawasan SMMA
Vegetasi Jarang 8,00
Vegetasi Sedang 1,95
Vegetasi Lebat 16,90
Jumlah 26,84
4 Lahan Dengan Tujuan Istimewa
(LDTI)
Vegetasi Jarang 44,42
Vegetasi Sedang 24,16
Vegetasi Lebat 2,84
Jumlah 71,42
5 Pantai Indah Kapuk
Vegetasi Jarang 84,88
Vegetasi Sedang 99,87
Vegetasi Lebat 10,70
Jumlah 195,45
80
Tabel 13 Kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 2001
(lanjutan)
No Lokasi Kelas Tutupan Vegetasi Luas (Ha)
6 Sungai Kamal Vegetasi Jarang 0,19
Vegetasi Sedang 0,77
Jumlah 0,96
7 Sungai Pantai Indah Kapuk Vegetasi Jarang 0,06
Vegetasi Sedang 0,76
Jumlah 0,83
8 Sungai Tanjung Vegetasi Sedang 0,23
Jumlah 0,23
9 Tambak KKP
Vegetasi Jarang 2,11
Vegetasi Sedang 0,78
Vegetasi Lebat 0,17
Jumlah 3,06
10 Tambak Masyarakat Vegetasi Jarang 0,81
Vegetasi Sedang 0,91
Jumlah 1,72
11 Tol Soediyatmo Vegetasi Jarang 1,94
Vegetasi Sedang 13,53
Jumlah 15,47
12 TWA Vegetasi Jarang 4,64
Vegetasi Sedang 9,42
Jumlah 14,05
13 Arboretum Vegetasi Jarang 4,97
Vegetasi Sedang 2,65
Jumlah 7,62
Jumlah Total 400,49
Sumber : Data primer hasil analisis citra satelit TM 2006 (2011)
81
Sumber : Data primer hasil analisis citra satelit TM 2001 (2011)
Gambar 9 Kondisi kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 2001.
Tabel 14 Kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 2006
No Lokasi Kelas Tutupan Vegetasi Luas (Ha)
1 Cengakreng Drain
Vegetasi Jarang 0,85
Vegetasi Sedang 0,22
Vegetasi Lebat 0,02
Jumlah 1,09
2 Hutan Lindung
Vegetasi Jarang 10,09
Vegetasi Sedang 34,21
Vegetasi Lebat 15,15
Jumlah 59,45
3 Kawasan SMMA
Vegetasi Jarang 1,56
Vegetasi Sedang 6,72
Vegetasi Lebat 19,78
Jumlah 28,06
4 Lahan Dengan Tujuan Istimewa (LDTI)
Vegetasi Jarang 26,68
Vegetasi Sedang 22,70
Vegetasi Lebat 2,12
Jumlah 51,50
5 Pantai Indah Kapuk
Vegetasi Jarang 91,26
Vegetasi Sedang 27,86
Vegetasi Lebat 1,29
Jumlah 120,41
82
Tabel 14 Kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 2006 (lanjutan)
No Lokasi Kelas Tutupan Vegetasi Luas (Ha)
6 Sungai Kamal Vegetasi Jarang 0,25
Vegetasi Sedang 0,00
Jumlah 0,25
7 Sungai Pantai Indah Kapuk Vegetasi Jarang 0,06
Vegetasi Sedang 0,00
Jumlah 0,06
8 Sungai Tanjung - 0,00
9 Tambak KKP Vegetasi Jarang 1,50
Vegetasi Sedang 1,06
Jumlah 2,56
10 Tbk Masyarakat Vegetasi Jarang 0,36
Vegetasi Sedang 0,09
Jumlah 0,45
11
Tol Soediyatmo
Vegetasi Jarang 5,48
Vegetasi Sedang 0,41
Vegetasi Lebat 0,02
Jumlah 5,90
12 TWA Vegetasi Jarang 1,95
Vegetasi Sedang 0,18
Jumlah 2,13
13 Arboretum Vegetasi Jarang 0,88
Vegetasi Sedang 0,36
Jumlah 1,23
Jumlah Total 273,10
Sumber : Data primer hasil analisis citra satelit TM 2006 (2011)
4.3.2 Keanekaragaman Jenis Flora
Keanekaragaman jenis tumbuhan yang terdapat pada kawasan mangrove
Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) 68 jenis yang sebagian besar
merupakan bukan jenis mangrove sejati. Jumlah jenis yang dijumpai tahun 2011
sebanyak 29 jenis. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan SMMA telah
mengalami perubahan, terutama salinitas air relatif rendah (air tawar). Hal ini
dikarenakan air pasang dan air surut tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya
dan pengaruh Sungai Angke lebih dominan dibandingkan dengan air laut
(Tabel 15).
83
Sumber : Data primer hasil pengukuran citra satelit TM
Gambar 10 Kondisi kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun
2006.
Tabel 15 Daftar jenis tumbuhan di SMMA pada periode waktu yang berbeda
No. Nama Lokal Nama latin 1972 1985 1988 1994 1997 1998 2000 2002 2011
Akar X X
2 Akasia Acacia auriculiformis X X
3 Api-api Avicennia alba X X X X
4 Api-api Avicennia marina X X X
5 Api-api Avicennia officinalis X
6 Bakau Rhizophora sp X X
7 Bakau merah Rhizophora mucronata X X X X
8 Bakau putih Rhizophora apiculata X X X
9 Beringin Ficus benjamina X X X
10 Bidara Sonneratia alba X X
11 Biji kambing Parsonsia javanica X
12 Bluntas Pluchea indica X X X
13 Bungur Lagerstomia speciosa X X
14 Buta-buta Excoecaria agallocha X X X X X X X
15 Cakar ayam Tacca palmata X
16 Ceker wulung Tacca palmata X X
17 Cemara laut Casuarina equisetifolia X
18 Dodot X X X
84
Tabel 15 Daftar jenis tumbuhan di SMMA pada periode waktu yang berbeda
(lanjutan)
No. Nama Lokal Nama latin 1972 1985 1988 1994 1997 1998 2000 2002 2011
19 Duri Busyetan Mimosa pudica X X
20 Enceng gondok Eichornia crassipes X X X X
21 Enceng hutan Eichornia speciosa X
22 Ficus Ficus sp. X
23 Gelagah Saccharum spontaneum X X X X X
24 Gendola Baselia rubra X X
25 Jangkar Bruguiera sp X
26 Jeruju Achantus illicifolius X X X
27 Johar Cassia siamea X
28 Kamboja Plumeria acuminata X
29 Kangkungan X X X X
30 Kedondong hutan Spondias pinnata X
31 Kelapa Cocos nucifera X
32 Kendal Cordia obliqua X
33 Keremek X
34 Ketapang Terminalia catappa X X X X
35 Kiapung X
36 Kihujan Samanea saman X
37 Kitower Derris heterophylla X X X
38 Koang Ficus indica X X X
39 Kolang-kaling Vitis trifolia X X
40 Kolonjono X X
41 Kuda-kuda Dolichandrone spathaceae X X
42 Loak X X
43 Lunting X
44 Nenasian Breynia sp X X
45 Nipah Nypa fruticans X X X X X X X
46 Nyamplung Calophyllum inophyllum X X X
47 Pacaran Hyptage sp X X
48 Paku-pakuan Asplenium apicarum X
49 Piai Acrostichum aureum X X X X
50 Pidada Sonneratia caseolaris X X X X X X X
51 Pohon cere Viburnum lutescens X
52 Prumpung Andropogon nardus X X X X X
53 Remis Acacia longifolia X
54 Rotan Calamus sp X X X X X
55 Rumbai Sonneratia sp X
56 Rumput gajah Sacharum sp X
57 Rumput teki Cyperus sp X X
58 Rumput wangi Imperata cylindrica X
59 Seronian Widelia biflora X X X X
60 Tancang Bruguiera gymnorrhiza X X X X
61 Tania Xanthosoma saqittifolium X X
62 Toro Colocasia anticuorus X
63 Tulang ayam Premma sp X X
85
Tabel 15 Daftar jenis tumbuhan di SMMA pada periode waktu yang berbeda
(lanjutan)
No. Nama Lokal Nama latin 1972 1985 1988 1994 1997 1998 2000 2002 2011
64 Warakas Acrostichum aureum X X X X
65 Waru laut Hibiscus tilliaceus X X X X X
66 Cerbera odollan X X X
67 Glochidion sp X
68 Sagittaria lancifolia X
Total 18 9 19 26 8 7 26 24 29
Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutana DKI Jakarta (1995-1998), LPP Mangrove (2000), Santoso, N
(2002), Data Primer (2011)
Keanekaragaman jenis tumbuhan di kawasan Hutan Lindung 33 jenis dan
pada tahun 2011 dijumpai 20 jenis, yang sebagian besar bukan jenis mangrove
sejati. Hal ini dikarenakan kondisi mangrove pada Hutan Lindung bukan
merupakan hamparan mangrove yang kompak, melainkan bekas-bekas tambak
yang juga ditumbuhi jenis tumbuhan bukan mangrove atau jenis ikutan (mangrove
associate).
Tabel 16 Daftar jenis tumbuhan di Hutan Lindung Muara Angke pada periode
waktu yang berbeda
No. Nama Lokal Nama Latin 1995 1996 2000 2000* 2000** 2002 2011
1 Akasia Acacia auriculiformis X X X X X
2 Api-api Avicennia marina X X X X X X
3 Api-api * Avicennia alba X X X
4 Asam-asam X
5 Bakau Rhizophora sp X
6 Bakau merah Rhizophora mucronata X X X X X X
7 Bakau putih Rhizophora apiculata X X
8 Beluntas Pluchea indica X X
9 Bidara Sonneratia alba X
10 Buta-buta Excoecaria agallocha X X X X X X
11 Duri Busyetan Mimosa pudica X X
12 Flamboyan Delonix regia X X
13 Jeruju Achantus illicifolius X X X X
14 Jeunjing Paraserianthes falcataria X
15 Kangkung laut X X
16 Keremek putih X X
17 Kerinyuh laut X
18 Ketapang Terminalia catappa X X
19 Ki Tower Derris trifoliata X X X
20 Lamtoro gung X
21 Mahoni Swietenia macrophylla X X
22 Nyamplung Calophyllum inophyllum X X
23 Pace Thespesia populnea X X
24 Petai Parkia speciosa X
25 Piai Acrostichum aureum X X X X X X
26 Pidada Soneratia caseolaris X X X X
86
Tabel 16 Daftar jenis tumbuhan di Hutan Lindung Muara Angke pada periode waktu
yang berbeda (lanjutan) No. Nama Lokal Nama Latin 1995 1996 2000 2000* 2000** 2002 2011
27 Rumput teki X X
28 Semak X
29 Seronian Widelia biflora X X X X
30 Waru laut Hibiscus tilliaceus X X X X X X
31 Xtba X
32 Xtbb X
33 Xtbc X
Total 11 6 16 6 11 18 20
Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutana DKI Jakarta (1995-1998), LPP Mangrove (2000), Santoso, N (2002), Data Primer (2011)
Keanekaragaman jenis tumbuhan pada kawasan Hutan Wisata Kamal 34
jenis (7 jenis mangrove sejati dan 27 jenis mangrove ikutan atau assosiasi
mangrove), dan bukan mangrove, serta pada tahun 2011 dijumpai 17 jenis.
Dijumpainya jenis-jenis tumbuhan bukan mangrove (akasia, trembesi, dsb)
merupakan bukti bahwa kondisi mangrove pada kawasan hutan wisata telah
banyak mengalami gangguan atau tidak normal. Hal ini dikarenakan pengelolaan
kawasan hutan wisata pada masa lalu dilakukan masyarakat untuk budidaya
perikanan (tambak ikan).
Tabel 17 Daftar jenis tumbuhan di Hutan Wisata Kamal pada periode waktu yang
berbeda
No. Nama Lokal Nama ilmiah 1994 1996 1996* 1997 2000 2002 2011
1 Akar X
2 Akasia Acacia auriculiformis X X
3 Angsana Pterocarpus indicus X
4 Api-api Avicennia marina X X X X X X X
5 Bakau Rhizophora sp. X X
6 Tancang Bruguiera gymnorrhiza X X
7 Bakau merah Rhizophora mucronata X X X X X
8 Bakau pulau Rhizophora stylosa X X
9 Bakau putih Rhizophora apiculata X X
10 Beluntas Pluchea indica X X X X
11 Bidara Sonneratia alba X
12 Buta-buat Excoecaria agallocha X
13 Dadap laut Erythrina micropteryx X
14 Flamboyan Delonix regia X X
15 Gelagah Saccharum spontaneum X
16 Gradelan Derris heterophylla X X
17 Kedondong laut Polysia frutocosa X X
87
Tabel 17 Daftar jenis tumbuhan di Hutan Wisata Kamal pada periode waktu yang
berbeda (lanjutan)
No. Nama Lokal Nama ilmiah 1994 1996 1996* 1997 2000 2002 2011
18 Keji beling X X
19 Kihujan Samanea saman X X X
20 Kirinyuh laut Eupatorium palescens X X X
21 Kitower Derris trifoliata X X X X
22 Kremek X X
23 Kremek putih X X
24 Krokot Sesuvium portulacastrum X X
25 Mahoni Swietenia macrophlylla X X
26 Mindi Melia azedarach X
27 Nenasian Breynia sp X
28 Pace Thespesia populnea X
29 Putri malu Mimosa sp X
30 Seruni Widelia biflora X X
31 Warakas Acrostichum aureum X X X
33 Waru laut Hibiscus tiliaceus X X X
34 XtbA X
Total 5 17 6 4 6 16 17
Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutana DKI Jakarta (1995-1998), LPP Mangrove (2000), Santoso N (2002), Data Primer (2011)
Keanekaragaman jenis tumbuhan pada Blok/Kawasan Ekowisata (dekat
jalan Tol Sedyatmo) ada 25 jenis yang didominasi oleh api-api (Avicennia
marina) dan bakau (Rhizophora apiculata). Jenis bakau banyak ditanam oleh
berbagai pihak dengan jarak 1x1 meter mampu tumbuh dengan baik. Daftar jenis
tumbuhan pada Blok Ekowisata seperti pada Tabel 18.
Tabel 18 Daftar jenis tumbuhan di Kawasan Ekowisata Muara Angke pada tahun
2011
No Nama Lokal Nama Ilmiah
1 Akasia Acacia auriculiformis
2 Api-Api Avicennia marina
3 Asam Kranji Dialium indum
4 Bakau Merah Rhizophora mucronata
5 Bakau Putih Rhizophora apiculata
6 Bintaro Cerbera manghas
7 Bungur Lagerstroemia speciosa
8 Ciplukan Physalis angulata
9 Dungun Heritiera littoralis
10 Kangkung Air Ipomoea aquatica
11 Kelapa Cocos nucifera
12 Kersen Muntingia calabura
88
Tabel 18 Daftar jenis tumbuhan di Kawasan Ekowisata Muara Angke pada
tahun 2011 (lanjutan)
No Nama Lokal Nama Ilmiah
13 Ketapang Terminalia catappa
14 Kluwih Artocarpus camansi
15 Lamtoro Leucaena leucocephala
16 Mangga Mangifera indica
17 Nangka Artocarpus heterophyllus
18 Nipah Nypa fruticans
19 Nyiri Xylocarpus granatum
20 Pepaya Carica papaya
21 Pidada Sonneratia caseolaris
22 Pisang Musa paradisiaca
23 Rumput Teki Cyperus rotundus
24 Singkong Manihot esculenta
25 Tancang Bruguiera gymnorrhiza
Sumber : Data primer (2011)
Keanekaragaman jenis tumbuhan pada areal Arboretum (Kebun Benih)
terdapat 3 jenis, yaitu api-api (Avicennia marina), bakau merah (Rhizophora
apiculata), dan bakau putih (Rhizophora mucronata). Jenis api-api mendominasi
seluruh penutupan vegetasi dan terus beregenerasi secara alami dengan sebaran
bijinya.
Struktur dan komposisi jenis vegetasi pada masing-masing lokasi
pengamatan (SMMA, Hutan Lindung, Arboretum, Hutan Wisata Kamal, dan Blok
Ekowisata) pada tahun 2002 (Lampiran 1 sampai Lampiran 4) dan hasil
pengamatan 2011 (Lampiran 5 sampai Lampiran 9).
4.3.3 Keanekaragaman Jenis Satwaliar
Keanekaragaman jenis satwaliar pada kawasan Suaka Margasatwa Muara
Angke (SMMA) pada tahun 1984-2002 sekitar 95 jenis burung, 4 jenis reptilia,
dan 5 jenis mamalia. Namun jenis mamalia lutung (Prebytis cristata) saat ini telah
tidak dijumpai lagi di SMMA. Jenis-jenis burung air (pemakan biota air), seperti
belibis, ruak-ruak/kareo, kuntu,l dan pecuk. Beberapa jenis burung air tersebut,
selain menggunakan kawasan SMMA sebagai feeding ground, juga sekaligus
sebagai tempat berkembang biak dan mengasuh anak.
89
Tabel 19 Daftar jenis satwaliar di Suaka Margasatwa Muara Angke pada periode
1984 - 2000
No. Nama Lokal Nama Ilmiah 1984 1988 1996 1997 2000 Keterangan
Burung
1 Jalak ungu Acridotheres javanicus X X
2
Acrocephalus
arundinaceaus X
3 Acrocephalus sp. X
4 Kerakbesi Acrocephalus stentoreus X
5 Actitis hypoleucos X X
6 Cipoh Aegithina tiphia X X X
7 Raja udang biru Alcedo caerulescens X X
8 Alcedo euryzona X
9 Meninting Alcedo meninting X X
10 Kareo Amaurornis phoenicurus X X
11 Itik kelabu Anas gibberifrons X X
12 Pecuk ular Anhinga melanogaster X X X X
13 Kipasan Anthreptes malacensis X X
14 Kapinis rumah Apus Affinis X
15 Cangak abu Ardea cinerea X X X X X
16 Ardea sumatrana X
17 Blekok sawah Ardeola speciosa X X X X
18 Cangak merah Ardera purpurea X X X X X
19 Kekep Artamus leucorhynchos X
20 Kuntul kerbau Bulbucus ibis X X
21 Kokokan laut Butorides striatus X X
22 Calindris subminuta X
23 Bubut alang-alang Centropus bengalensis X X
24 Bubut jawa Centropus nigrorofus X
25 Bubut besar Centropus sinensis X
26
Charadrius
alexandrinus X
27 Chlidonias hybrida X
28 Collacolia sp. X
29 Walet Collocalia esculenta X X X
30 Walet sarang putih Collocalia fuchipaga X X
31 Burung Walik Colugha sp. X X
32 Kucica Copsychus saularis X X
33 Saeran gila Crypsirina temia X X X
34 Sikatan bakau Cyornis rufigastra X
35 Belibis Dendracygna sp. X X
36 Belibis kembang Dendrocygna arcuata X
37 Burung cabe jawa Dicaeum trochileum X X
38 Dupetor flavicollis X
39 Kuntul besar Egretta alba X
40 Kuntul kecil Egretta garzetta X X X X
41 Kuntul perak Egretta intermedia X X X X
42 Alap-alap tikus Elanus caeruleus X
43 Eudynamys scolopacea X
90
Tabel 19 Daftar jenis satwaliar di Suaka Margasatwa Muara Angke pada periode
1984 – 2000 (lanjutan)
No. Nama Lokal Nama Ilmiah 1984 1988 1996 1997 2000 Keterangan
Burung
44 Mandar batu Gallinula chloropus X
45 Perkutut Geopelia striata X X
46 Remetuk Gerygone sulphurea X X X
47 Cekakak Halcyon chloris X X X X
48 Halcyon sancta X
49 Jinjiing batu Hemipus hirundinaceus X
50 Hirundo rustica X
51 Kapinis Hirundo tahitica X X X X
52 Bangau Ibis cinereus X X
53 Kekondangan Ixobrycus cinnamomeus X X
54 Bambangan kuning Ixobrycus sinensis X X
55 Kapasan Lalage nigra X
56 Bentet Lanius schach X X
57 Leptotilos javanicus X
58 Blekok
Limnodromus
semipalmatus X
59 Bondol jawa
Lonchura
leucogastroides X
60 Bondol peking Lonchura punctulata X X X
61 Bluwok Myctery cinerea X X
62 Burung madu bakau Nectarinia calcostetha X
63 Burung madu sriganti Nectarinia jugularis X X X
64 Kowak malam Nycticorax nycticorax X X X X
65 Cinenen kelabu Orthotomus ruficeps X
66 Cinenen jawa Orthotomus sepium X
67 Cinenen Orthotomussutorius X X
68 Padda oryzivora X
69 Gelatik batu Parus major X
70 Burung gereja erasia Passer montanus X
71 Pecuk hitam Phalacrocorax niger X X
72
Phalacrocorax
pygmaeus X
73 Pecuk Phalacrocorax sp. X X
74 Pecuk
Phalacrocorax
sulcirostris X X
75 Caladi terasi Picoides macei X X
76 Caladi itik Picoides moluccensis X
77 Mandar Porphyrio porphyrio X X
78 Tikusan Alis Putih Porzana cinerea X
79 Prenjak ciblek Prinia familiaris X X X X X
80 Prenjak coklat Prinia polychrora X X
81 Betet Psittacula alexandri X X X
82 Cerucuk Pycnonotus goianvier X X X
83 Kutilang Pynonotus aurigaster X X
84 Jogjog Pynonotus spp. X X
85 Kipasan belang Rhidipura javanica X X X X
91
Tabel 19 Daftar jenis satwaliar di Suaka Margasatwa Muara Angke pada periode 1984 – 2000 (lanjutan)
No. Nama Lokal Nama Ilmiah 1984 1988 1996 1997 2000 Keterangan
Burung
86 Tekukur Sterptopelia chinensis X X
87 Streptopelia bitorquota X
88 Jalak suren Sturnus contra X X
89 Jalak putih Sturnus melanopterus X
90 Pelatuk besi
Thresciornis
melanocephalus X
91 Gesngek Todirhampus chloris X
92 Cekakak suci Todirhampus sanctus X
93 Punai Treron vernans X X X
94 Kacamata laut Zosterops chloris X
95 Kacamata biasa Zosterops palpebrosus X
Total 51 11 48 19 52
Reptil
1 Buaya muara Crocodilus porosus X
2 Ular kadut belang Homalopsis buccata X
3 Biawak Varanus salvator X X X
4 Ular bangke laut X
Total 2 1 3 0 0
Mamalia
1 Kucing mangrove Felis viverrina X
2 Tenggarangan Herpentes javanicus X
3 Anjing air Lutrogale perspicillata X
4 Monyet ekor panjang Macaca fascicularis X X X
5 Lutung Presbytis cristata X
Total 4 2 1 0 0
Sumber : Kusmana (1984), Fahutan IPB (1996), LPP mangrove (2000)
Keanekaragaman jenis satwaliar di Hutan Lindung mangrove pada tahun
1995-2000 sekitar 48 jenis, terdiri atas 40 jenis burung dan 8 reptilia (Tabel 20).
Tabel 20 Daftar jenis satwaliar di Hutan Lindung Muara Angke pada periode
1995-2000
No. Nama Lokal Nama Ilmiah 1995 2000 Keterangan
Burung
1 Cipoh Aegithina tiphia X
2 Dara laut kumis Ahlidoniaas hybridus X
3 Raja udang kecil Alceda atthis X
4 Raja udang biru Alcedo caerulescens X
5 Itik benjut Anas gibberifrons X
6 Belibis Anas gibberriforms X
7 Pecuk ular asia Anhinga melanogaster X X
92
Tabel 20 Daftar jenis satwaliar di Hutan Lindung Muara Angke pada periode 1995-2000 (lanjutan)
No. Nama Lokal Nama Ilmiah 1995 2000 Keterangan
Burung
8 Kapinis rumah Apus affinis X
9 Cangak abu Ardea cinerea X X
10 Blekok sawah Ardeola speciosa X X
11 Cangak merah Ardera purpurea X
12 Kuntul kerbau Bubulcus ibis X
13 Kokokan laut Butorides striatus X
14 Kedidi Calidris subminuta X
15 Cerek Charadrius spp. X
16 Walet linci Collocalia linchi X
17 Burung Cabe Jawa Dicaeum trohileum X
18 Kuntul besar Egretta alba X
19 Kuntul kecil Egretta garzetta X X
20 Mandar batu Gallinula chloropus X
21 Gerigone sulphurea X
22 Remetuk laut Gerygone sulphurea X
23 Raja udang Halcyon chloris X
24 Layang-layang batu Hirundo tahitica X
25 Bondol peking Lonchura punctulata X
26 Bluwok Mycteria cinerea X
27 Burung madu sriganti Nectarinia jugularis X
28 Kowak maling Nycticorax nycticorax X
29 Burung gereja Passer montanus X
30 Pecuk pada hitam Phalacrocorax sulcirostris X
31 Pecuk Phalacrocorax spp. X
32 Ibis rokoroko Plegadis falcinellus X
33 Prenjak jawa Prinia familiaris X
34 Prenjak Prinia flaviventris X
35 Kutilang Pycnonotus aurigaaster X
36 Kipasan belang Rhipidura javanica X X
37 Tekukur Streptopelia chinensis X
38 Kakak tua sungai Todirhamphus cechloris X
39 Trinil pantai Tringa hypoleucos X
40 Kacamata biasa Zosteros palpebrosus X
Total 13 32
Reptil
1 Biawak Varanus salvator X
2 Ular sanca Python reticulatus X
3 Ular kobra Naja sputatrix X
4 Ular welang Bungarus fasciatus X
5 Ular kadut Homalopsis buccata X
6 Ular cincin Dipsadomorphis dendrophilus X
7 Ular daun Dryopsis sp X
8 Kura-kura X
Total 0 8
Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan (1995) dan LPP Mangrove (2000)
93
Keanekaragaman jenis satwaliar pada kawasan Hutan Wisata Kamal pada
tahun 1996 tercatat 67 jenis, terdiri atas 58 jenis burung, 7 jenis reptilia, dan 2
jenis mamalia (Tabel 21).
Tabel 21 Daftar jenis satwaliar di Hutan Wisata Kamal pada tahun 1996
No. Nama Lokal Nama Ilmiah 1996 1996* Keterangan
Burung
1 Anyam-anyaman Coturnix sp. X
2 Bentet Lanius schach
X
3 Blekek Limnodromus semipalmatus
X
4 Blekok Ardeola speciosa X X
5 Bluwok Mycferia cinerea X
6 Bondol Lonchura punctulata X X
7 Bondol jawa Lonchura leucogastroides
X
8 Branjangan Mirafra javanica
X
9 Burung cabe Dicaeum trochileum
X
10 Burung cikalang kecil Fregata ariel
X
11 Burung madu Nectarinia jugularis X
12 Caladi ulam Picoides macei
X
13 Cangak abu Ardea cinerea X X
14 Cangak merah Ardera purpurea X
15 Cekakak Halcyon chloris X X
16 Cerek kalung patah Charaderus alexandrinus
X
17 Cinenen biasa Orthotomus sutorius
X
18 Cipoh Aegithia tiphia
X
19 Dara Laut jambul besar Sterna bergii
X
20 Elang bondol Haliastus indus X
21 Gelatik batu Parus major
X
22 Itik kelabu Anas gibberifrons
X
23 Jalak hitam Acridotheres javanicus
X
24 Jalak putih Sturmus melanopterus
X
25 Kakatua jambul kuning Cacatua sulphurea
X
26 Kareo Amaurornis phoenicurus
X
27 Kedidi jari panjang Caldris subminuta
X
28 Kekep Artamus leuchorhynchos
X
29 Kepodang Oriolus chinensis X X
30 Kipasan Rhipidura javanica X X
31 Kirik-kirik laut Merops superciliosus
X
32 Kokokan laut Buteroides striatus
X
33 Kowak maling Nycticorax nycticorax X
34 Kucica Copsychus saularis
X
35 Kuntul besar Egretta alba X X
36 Kuntul perak kecil Egretta garzetta
X
37 Kuntul sedang Egretta intermedia X X
38 Kutilang Pycnonotus aurigaster
X
39 Kutilang hutan Pycnonotus goiaiver X
40 Layang-layang biasa Hirundo tahitica
X
41 Mata merah Porzana fusca
X
42 Murai batu Copsicus saularis X
43 Pecuk hitam Phalacrocorax sulcirostris
X
44 Pecuk padi Phalacrocorax niger X
45 Pecuk ular Anhinga melanogaster X X
46 Pelatuk besi Thresciornis melanochep X
47 Perkutut Geopelia striata
X
48 Prenjak Prinia flaviventris X
94
Tabel 21 Daftar jenis satwaliar di Hutan Wisata Kamal pada tahun 1996 (lanjutan) No. Nama Lokal Nama Ilmiah 1996 1996* Keterangan
Burung
49 Prenjak coklat Prinia polychroa
X
50 Prenjak sayap sayap garis Prinia familiaris
X
51 Raja udanag biru Alcedo caerulescens
X
52 Raja udang Pelargopsis capensis X
53 Remetuk Gerygone sulphurea
X
54 Srigunting Dicrurus aenea X
55 Srigunting hitam Dicrurus macrocercus
X
56 Tekukur Streptopelia biforquota X X
57 Trinil pantai Actitis hypoleucos
X
58 Walet sapi Collocalia esculenta
X
Total 23 47
Reptil
1 Biawak Varanus salvator X
2 Blodok Priopthalmus vulgaris X
3 Kadal Mabouya multifasciata X X
4 Katak sawah Rana cancrivora X
5 Kodok Bufo bipurcatus X
6 Ular kobra Naja-naja sputetrix
X
7 Ular sawah Phyton reticulatus X
Total 6 2
Mamalia
1 Monyet ekor panjang Macaca fascicularis
X
2 Tikus Rattus sp.
X
Total 0 2
Sumber : Fahutan IPB (1996)
Pengamatan yang dilakukan tahun 2011, menunjukkah bahwa
keanekragaman jenis satwaliar pada kawasan mangrove Muara Angke 68 jenis
yang terdiri atas mamalia (4 jenis), burung (61 jenis), dan reptilia (3 jenis). Jenis
endemik mangrove, yaitu bubut jawa (Centropus nigrorufus) masih dijumpai pada
kawasan mangrove Muara Angke (SMMA dan Hutan Lindung). Jumlah jenis
satwaliar (mamalia, burung, dan reptilia) pada masing-masing lokasi seperti pada
Tabel 22.
Tabel 22 Daftar total jenis satwaliar di kawasan mangrove Muara Angke tahun
2011
No Nama Indonesia Nama ilmiah Famili Lokasi
1 2 3 4 5 6
A. Mamalia 1 Kera ekor-panjang Macaca fascicularis Cercopithecidae 10 3
2 Bajing kelapa Calosciurus nottatus Sciuridae 2
1 1
3 Tikus belukar Rattus tiomanicus sabae Muridae 1
4 Berang-berang air Lutra lutra Mustelidae 1
95
Tabel 22 Daftar total jenis satwaliar di kawasan mangrove Muara Angke tahun
2011 (lanjutan)
No Nama Indonesia Nama ilmiah Famili Lokasi
1 2 3 4 5 6
B. Burung
1 Cinenen kelabu Orthotomus ruficeps Silviidae 1
2 Kucica kampung Copsychus saularis Turdidae 1
3 Layang-layang batu Hirundo tahitica Hirundinidae 1 1
4 Bubut alang-alang Centropus bengalensis Cuculidae 1
5 Wiwik lurik Cacomantis sonneratii Cuculidae 1
6 Caladi batu Meiglyptes tristis Picidae
1
1
7 Elang bondol Haliaestur indus Acciptridae
1
1
8 Kareo padi Amaurornis phoenichurus Rallidae 1
2 1
9 Tekukur biasa Streptopelia chinensis Columbidae 2 5 2 3 3
10 Prenjak rawa Prinia flaviventris Silviidae 2
11 Cabak kota Caprimulgus affinis Caprimulgidae 1
12 Punai gading Treron vernans Columbidae 1
13 Belibis kembang Dendrocygna arcuata Anatidae 8 3
14 Remetuk laut Gerygone sulphurea Silviidae 1 1 1 1 1
15 Burung madu kelapa Anthreptes malacensis Nectarinidae 1
16 Cucak kutilang Pycnonotus aurigaster Pycnonotidae
2
17 Cinenen merah Orthotomus seriuceus Silviidae 1
18 Tikusan kerdil Porzana pusilla Rallidae 1
19 Bambangan merah Ixobrychus cinamomeus Rallidae 2
20 Caladi tilik Picoides moluccensis Picidae 3 2
2
21 Trinil rawa Tringa stagnatilis Scolopacidae 1 1
1
22 Pelanduk semak Melacocincla sepiarium Timaliidae 1
23 Kipasan belang Rhipidura javanica Rhipiduridae 2 2
1
24 Cangak merah Ardea purpurea Ardeidae 1 1
3
25 Prenjak jawa Prinia familiaris Silviidae 5 1 1 2
26 Kerak kerbau Acridotheres javanicus Sturnidae 3
2
27 Burung-gereja erasia Passer montanus Ploceidaee 2 3
6
28 Cipoh kacat Aegithina tiphia Chloropseidae
1 2 1
29 Walet sarang-hitam Colocallia maxima Apodidae 6
30 Cabe jawa Dicaeum trochileum Dicaeidae 2 2 1 1
31 Bondol jawa Lonchura leucogastroides Ploceidaee 4
2
2
32 Cekakak sungai Halcyon chloris Alcedinidae 1 1 1 1 1
33 Kuntul kecil Egretta garzeta Ardeidae 3 3
4 34
34 Kerakbasi besar Acrocephalus orientalis Silviidae 2
35 Kekep babi Artamus leucorynchus Artamidae 3
36 Raja-udang biru Alcedo caerulescens Alcedinidae 1 1 1 1 1
37 Raja-udang meninting Alcedo meninting Alcedinidae 1
38 Pecuk-ular Asia Anhinga melanogaster Anhingidae 5 3
4 25
39 Kapinis rumah Apus affinis Apodidae 3 2
40 Cangak abu Ardea cinerea Ardeidae 1 1 1
4
41 Blekok sawah Ardeola speciosa Ardeidae 6 2 2 1 25 5
42 Kokokan laut Butorides striatus Ardeidae 7 1 1 1 15 4
43 Walet sarang-putih Collocalia fuchiphaga Apodidae 2
3
44 Kuntul perak Egretta intermedia Ardeidae 2 1
45
45 Jingjing batu Hemipus hirundinaceus Campephagidae 2
46 Kapasan kemiri Lalage nigra Campephagidae 1
47 Bondol peking Lonchura punctulata Ploceidaee 3
48 Burung-madu Sriganti Nectarinia jugularis Nectarinidae 1
49 Kowak-malam kelabu Nycticorax nycticorax Ardeidae 3 2 2
50 Cinenen jawa Orthotomus sepium Silviidae 2
51 Gelatik-batu Kelabu Parus major Paridae 2
1
52 Merbah cerukcuk Pycnonotus goiavier Pycnonotidae 3 9
9
3
53 Kacamata biasa Zosterops palpebrosus Zosteropidae 4 2
54 Itik benjut Anas gibberifrons Anatidae
2
2
96
Tabel 22 Daftar total jenis satwaliar di kawasan mangrove Muara Angke tahun
2011 (lanjutan)
No Nama Indonesia Nama ilmiah Famili Lokasi
1 2 3 4 5 6
55 Pecuk-padi Hitam Phalacrocorax sulcirostris Phalacrocoridae
2
50 5
56 Trinil pantai Tringa hypoleucos Scolopacidae
2
1 6
57 Cinenen pisang Orthotomus sutorius Silviidae 2
2
58 Elang tiram Pandion haliaetus Pandionidae
1
1
59 Kuntul besar Egretta alba Ardeidae
1
1 15
60 Bambangan coklat Ixobrychus eurhythmus Ardeidae
1
61 Bubut Jawa Centropus nigrorufus
1 1
C. Reptilia
1 Kadal kebun Eutropis multifasciata Scincidae 1
2 Biawak Varanus salvator Varanidae 1 1 1
1 1
3 Ular kadut Homalopsis buccata Colubridae 1 1 1 1 1
Jumlah perjumpaan (individu) 134 69 25 47 237 21
Jumlah jenis 58 36 18 24 20 6
Keterangan lokasi:
1 Suaka Margasatwa Muara Angke
2 Hutan Lindung Muara Angke
3 Hutan Wisata Kamal
4 Hutan Lindung dan Kawasan Reklamasi
5 Kawasan/Blok Ekowisata Muara Angke
6 Arboretum Muara Angke
Sumber : Data Primer (2011)
4.3.4 Biota Air
Sesuai dengan hasil pengukuran kualitas air, bahwa kondisi perairan
Sungai di kawasan Muara Angke yang telah tercemar berat memberikan pengaruh
yang besar terhadap kehidupan biota perairan.
Hasil kajian KP2L Pemda DKI (1998) melaporkan bahwa berbagai biota
perairan baik mikroba, plankton, benthos, maupun ikan sungai di Muara Angke
telah menunjukkan indikasi tercemar berat. Jenis benthos tidak dijumpai selama
periode pemantauan 1996/1997, sementara jenis ikan yang dijumpai hanya ikan
sapu-sapu. Adapun hasil dari pengukuran atau pengambilan contoh biota selama
pengamatan dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Plankton
Plankton adalah jasad-jasad renik mikro, baik yang bersifat nabati
(fitoplankton) maupun hewani (zooplankton) yang hidup melayang di dalam
perairan. Hewan plankton merupakan jenjang tropik dasar dalam jaring-jaring
makanan (food web) di perairan. Keberadaan plankton (jenis dan populasinya)
sangat dipengaruhi oleh kondisi kualitas medium hidupnya di air. Perairan yang
97
subur dengan kandungan zat-zat hara yang cukup akan mendukung keberadaan
plankton sebaliknya, perairan yang tercemar menurunkan keanekaragaman jenis
dan kepadatan populasinya. Dari hasil pengukuran Tim Fahutan IPB (1996)
tercatat ada 24 anggota dari Fillum Baccillariophyta, Clorophyta, dan Cynophyta.
Selengkapnya jumlah fitoplankton terlihat dalam Tabel 23.
Tabel 23 Kandungan fitoplakton di SMMA tahun 1996
Individu
Station
I II III
Fillum Baccillariophyta
Amphora 332,79 107,5 -
Amphypora 107,5 53,79 -
Bacteriastrum 53,79 - -
Chetoceros 484,19 376,59 379,59
Closterium 53,79 - 107,5
Coscinodiscus 107,5 - -
Fragillaria - 53,79 -
Lauderia - 53,79 -
Nitzschia 53,79 53,79 161,397
Rhizosolenia 53,79 - 161,379
Synedra - 107,5 -
Stephanopyxis 1075,98 591,79 -
Pleurosigma 107,5 53,79 161,379
Leptocylindrus - - 53,79
Fillum Cyanophyta
Coelosphaerium 107,5 53,79 161,379
Gleotricha 53,79 268,99 591,78
Trichodesmium - 53,79 -
Fillum Chlorophyta
Coerella 322,79 268,99 645,58
Dispor - 53,79 -
Scedesmus 53,79 53,79 53,79
Spirulina - 215,19 215,19
Uronema 53,79 - -
Zygnemopsis 123,79 322,79 914,58
Schederirta - - 107,5
Jumlah Taxa 16 18 14
Total Individu 3281,58 2797,23 3765,678
Index Diversitas (H) 2,24 2,502 2,251
H Maksimum 3,99 4,166 3,807
Equibiliti (E) 0,56 0,6 0,59
Dominasi (D) 1,53 0,99 0,968
Saprobitas (X) 0,615 0,882 1,153
Sumber : Fahutan IPB (1996)
98
Hasil pengukuran Tim Rencana Pengelolaan (2000) di areal SMMA telah
memperlihatkan kecenderungan tingkat keanekaragaman dan populasi yang
rendah.
Tabel 24 Hasil analisis phytoplankton di SMMA tahun 2000
Organisme Stasiun
I II III IV
Myxophyceae
Phormidium sp. 118 141 283 235
Spirulina sp. 47 47 47 0
Euglenophyceae
Phacus sp. 59 12 12 12
Euglena sp. 23 83 24 0
Chlorophyceae
Scenedesmus sp. 212 47 0 0
Pediastrum sp. 12 83 12 0
Actinastrum sp. 12 0 0 0
Crucigenia sp. 35 0 0 0
Platydorina sp. 0 0 12 0
Volvox sp. 12 12 0 0
Bacillariophyceae
Nitzschia sp. 47 71 47 43.471
Melosira sp. 118 12 0 47
Surirella sp. 0 12 0 0
Skeletonema sp. 0 0 129 0
Chaetoceros sp. 0 0 17 5.434
Rhizosolenia sp. 0 0 24 1.358
Biddulphia sp. 0 0 0 36
Gyrosigma sp. 0 0 0 12
Achnanthes sp. 0 0 0 12
Tabellaria sp. 0 0 0 17.660
Cymbella sp. 0 0 0 184.754
Dynophyceae
Peridinium sp. 0 0 0 12
Jumlah Taksa 11.0 10.0 10.0 12.0
Jumlah Individu 695 520 661 253.043
Indeks Keragaman 2,01 1,72 1,83 0,83
Indeks Keseragaman 0,84 0,86 0,79 0,33
Indeks Dominansi 0,17 0,16 0,24 0,56 Sumber : LPP mangrove (2000).
b. Benthos
Benthos adalah jasad hewani maupun nabati yang hidup di dasar perairan.
Keberadaan benthos terutama makrozoobenthos sangat dipengaruhi oleh kondisi
kualitas sedimen dasar. Dari hasil pengamatan Tim Fahutan IPB (1996) nilai
99
indeks keanekaragaman dapat digambarkan bahwa jumlah benthos di hutan
mangrove termasuk sedang, dengan tingkat kesamaan penyebaran yang merata
yang didominasi oleh Fillum Nematelmintes.
Potensi makrozoobenthos perairan sangat rendah. Sementara dominasi
Melaniodes sp. pada beberapa lokasi mengindikasikan tingkat pencemaran yang
berat. Sedangkan dilihat dari perhitungan indeks keanekaragaman yang berkisar
antara 0 - 0,92 menunjukkan tingkat perairan yang tercemar berat (Indeks
Keanekaragaman <1,0). Di samping itu keberadaan cacing Oligochaeta juga
merupakan indikasi kondisi perairan yang telah tercemar sangat berat (Wilhn
1975), di samping jenis Destropoda Melaniodes sp. (Nurifdinayah 1993).
c. Ikan
Di dalam ekosistem perairan, ikan termasuk kelompok nekton, yaitu
hewan perairan yang mampu bergerak leluasa dengan kemampuan alat geraknya.
Sebagai hewan air, sebagian besar jenis ikan bernafas dengan insang dan
mengandalkan oksigen terlarut di perairan. Sedangkan sebagian jenis lainnya
mampu mengambil oksigen dari udara sehingga lebih adaptif hidup di perairan
yang beroksigen rendah akibat pencemaran organik. Hasil penangkapan ikan di
kawasan SMMA ternyata hanya mendapatkan beberapa jenis saja (Tabel 25).
Tabel 25 Jenis-jenis ikan di kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke tahun
2000
No Jenis Ikan Nama Ilmiah Lokasi
1 2 3 4 5 6
1 Gabus Ophiocephalus striatus - - - v v
2 Sepat Jawa Trichogaster trichopteris - - - x x v
3 Sepat Rawa Trichogaster pectoralis - - - x x x
4 Batok Anabas testudineus - - - - x x
5 Gapi Lebistes reticulatus - - - - x x
6 Keting Ketengus sp. - - x - - -
7 Kiper Scatophagus argus - - x - - -
8 Pepetek Leiognathus sp. - - x - - -
9. Julung-julung - - x - x x
10. Kepala timah - - x - x x
11. Nila - - - x x x
Sumber : LPP Mangrove (2000)
Keterangan : Lokasi 1,2,3 : Sungai Angke dari hulu ke muara
Lokasi 4,5,6 : Genangan/parit/rawa di dalam Suaka Margasatwa Muara Angke
100
Dari Tabel 25 dapat dijadikan petunjuk bahwa kondisi perairan Sungai
Angke di lokasi 1 dan 2 sudah tercemar berat dengan tidak dijumpainya jenis-
jenis ikan selama penelitian lapangan. Data yang sama juga dilaporkan oleh KP2L
Pemda DKI (1998) yang hanya menemukan ikan sapu-sapu (Hypotamus sp.).
Kondisi tercemar ini juga ditunjukkan dari hasil analisis air dengan kadar oksigen
nol, BOD 442,25 - 499,57 ppm dan COD 666,68 - 761,92 ppm. Baku mutu air
golongan B, C, dan D mensyaratkan kadar O2 > 3 ppm, BOD < 20 ppm, dan COD
< 30 ppm.
Adapun perairan di dalam areal SMMA, baik di bawah tegakan mangrove
(st 4), di parit keliling (st 5), dan rawa (st 6) masih dijumpai beberapa jenis ikan.
Namun demikian karena pengaruh airnya lebih dominan berasal dari luapan
pasang air S. Angke, maka kondisinya juga telah tercemar berat dan salinitasnya
rendah. Jenis-jenis ikan yang dijumpai hanyalah jenis-jenis ikan tawar yang
toleran terhadap kondisi oksigen rendah, yaitu sepat, gabus, dan betok. Dari
keseluruhan jenis-jenis ikan yang teridentifikasi selama pengamatan maupun data
sekunder menunjukkan bahwa perairan S. Angke maupun rawa-rawa di dalam
kawasan suaka margasatwa telah tercemar berat.
Tabel 26 Hasil analisis biota air (kelimpahan zooplankton, ind/l) pada plot
pengamatan di kawasan hutan mangrove Muara Angke
ORGANISME
STASIUN PENGAMATAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9
COPEPODA
Nauplius 3 0 3 0 36 3 45 0 9
Cyclops sp. 3 0 0 0 9 0 225 0 0
ROTIPERA
Monostylla sp. 3 0 0 3 0 0 0 0 0
Philodina sp. 6 0 0 0 0 0 0 0 0
Filinia sp. 3 3 3 0 6 0 0 0 0
Brachionus sp. 3 3 3 0 18 3 0 0 0
Lepadella sp. 0 3 0 0 0 0 0 0 0
Squatinella sp. 0 0 3 0 0 0 45 0 0
Rotatoria sp. 0 0 3 0 21 0 0 0 0
Polyarthra sp. 0 0 3 0 3 0 0 0 0
Anuraeopsis sp. 0 0 3 0 0 0 0 0 0
Keratella sp. 0 0 0 0 3 3 0 0 0
Notolca sp. 0 0 0 0 0 0 0 0 3
Lecane sp. 0 0 0 0 0 0 45 0 0
101
Tabel 26 Hasil analisis biota air (kelimpahan zooplankton, ind/l) pada plot
pengamatan di kawasan hutan mangrove Muara Angke (lanjutan)
STASIUN PENGAMATAN
ORGANISME 1 2 3 4 5 6 7 8 9
PROTOZOA
Favella sp. 0 0 0 0 0 0 0 0 3
Codonella sp. 0 0 0 0 0 0 0 0 3
Paramecium sp. 0 0 0 0 0 3 0 0 0
Arcella sp. 3 3 0 0 0 0 0 0 0
Euplotes sp. 0 0 0 0 0 3 0 0 0
CLADOCESA
Moina sp. 0 0 0 0 3 0 0 0 0
Jumlah Taksa 7 4 7 1 8 5 4 0 4
Jumlah Individu 24 12 21 3 99 15 360 0 18
Indeks Keragaman
1,9 1,38 1,94 0 1,77 1,61 1,07 0 1,24
Indeks
Keseragaman 0,98 1,38 1,94 - 0,85 1,61 0,77 0 0,9
Indeks Dominansi
0,15 1 1 1 0,27 1 0,43 0 0,33
Sumber : Santoso, N (2002) Keterangan :
1=Sungai Angke (Dermaga); 2=Sungai Pandan; 3=Muara Angke; 4=Dalam Kawasan SMMA (Tikungan Jembatan Kayu);
5=Cengkareng Drain (Jembatan); 6=Hutan Lindung; 7=Jalan Tol (Kiri); 8=Sungai Kamal (Jembatan); 9=Hutan Wisata
(Kolam Tambak)
Tabel 27 Hasil analisis biota air (kelimpahan phytoplankton, ind/l) pada plot
pengamatan di kawasan hutan mangrove Muara Angke
ORGANISME
STASIUN PENGAMATAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9
MYXOPHYCEAE
Oscillatoria sp. 0 0 0 171 0 0 3374 0 0
Spirulina sp. 392 2.246 842 342 1.116 0 1.687 0 0
Agmeletum sp. 0 448 0 0 0 0 0 0 0
Trichodesmium sp. 0 0 0 342 372 67 0 84 0
Phormidium sp. 436 1.909 1.008 855 1.860 0 21.934 0 0
EUGLENOPHYCEAE
Euglena sp. 22 0 0 342 0 0 0 0 0
Phacus sp. 196 561 0 0 744 268 0 0 0
CHLOROPHYCEAE
Pediastrum sp. 66 336 0 171 248 134 0 84 0
Staurastrum sp. 88 112 0 0 228 0 0 0 0
Actinoastrum sp. 0 0 252 1.016 2.604 0 0 0 0
Selenastrum sp. 176 448 0 0 0 0 0 0 0
Closterium sp. 0 0 0 171 0 67 0 0 0
Scenedesmus sp. 456 12.132 0 684 1.488 536 0 0 0
Eudorina sp. 0 112 0 0 0 0 0 0 0
Ankistrodesmus sp. 0 0 0 77.695 0 0 0 0 0
Pandorina sp. 0 0 0 0 0 0 1.687 0 0
CYANOPHYCEAE
Mycrosistis sp. 44 112 0 171 124 67 0 0 0
102
Tabel 27 Hasil analisis biota air (kelimpahan phytoplankton, ind/l) pada plot
pengamatan di kawasan hutan mangrove Muara Angke (lanjutan) STASIUN PENGAMATAN
ORGANISME 1 2 3 4 5 6 7 8 9
BACILLARIOPHYCEAE
Eunotia sp. 261 336 674 342 498 0 0 0 0
Gomphonema sp. 22 0 0 171 0 0 0 0 0
Navicula sp. 44 224 0 2.052 0 67 5.061 84 268
Nitzschia sp. 109 789 84 513 124 134 3.374 252 6.636
Melosira sp. 44 336 0 0 3.596 335 0 0 0
Surirella sp. 22 0 0 0 67 1.687 0 0
Cymbella sp. 22 0 0 0 0 0 1.687 0 0
Coscinodiscus sp. 0 112 84 0 0 0 0 0 0
Diatoma sp. 0 224 0 342 0 0 0 0 0
Gyrosigma sp. 0 673 0 0 0 67 5.061 84 469
Rhizosolenia sp. 0 0 504 0 0 0 0 0 204
Skeletonema sp. 0 0 421 171 2.232 191 0 0 79.652
Chaetoceros sp. 0 0 0 0 498 0 0 0 3.318
Stephanopyxis sp. 0 0 0 171 124 0 0 0 0
Amphiprora sp. 0 0 0 0 0 0 1.687 0 67
Asterionella sp. 0 0 0 0 0 0 0 0 804
DINOPHYCEAE
Peridinium sp. 0 0 0 0 0 0 0 0 335
Jumlah Taksa 16 17 8 18 15 12 10 5 9
Jumlah Individu 2400 21110 3869 15722 15856 2000 47239 588 91753
Indeks Keragaman 2,31 1,74 1,83 1,95 2,26 2,19 1,8 1,41 0,55
Indeks Keseragaman 0,83 0,61 0,88 0,67 0,84 0,9 0,78 0,91 0,25
Indeks Dominansi 0,12 0,35 0,17 0,27 0,14 0,14 0,25 0,25 0,76
Sumber : Santoso, N (2002)
Keterangan :
1=Sungai Angke (Dermaga); 2=Sungai Pandan; 3=Muara Angke; 4=Dalam Kawasan SMMA (Tikungan Jembatan Kayu);
5=Cengkareng Drain (Jembatan); 6=Hutan Lindung; 7=Jalan Tol (Kiri); 8=Sungai Kamal (Jembatan); 9=Hutan Wisata
(Kolam Tambak)
Tabel 28 Hasil analisis biota air (kelimpahan benthos, ind/m2) pada berbagai plot
pengamatan di kawasan hutan mangrove Muara Angke
ORGANISME
STASIUN PENGAMATAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9
GASTROPODA
Melanoides sp. 0 0 0 100 0 100 800 0 0
Bellamya sp. 0 0 0 0 34 0 0 0 0
Pomacea sp. 0 0 0 34 234 0 0 0 0
PELECYPODA
Modiolus sp. 0 0 0 0 0 100 600 0 0
Perna sp. 0 0 1.112 0 0 0 1.167 0 0
CRUSTACEAE
Section of Caridea sp. 0 0 0 0 0 0 0 0 34
Jumlah Taksa 0 0 1 2 2 2 3 0 1
Jumlah Individu 0 0 1.112 134 268 200 2.567 0 34
Indeks Keragaman 0 0 0 0,82 0,55 1 1,53 0 0
Indeks Keseragaman 0 0 - 0,82 0,55 1 0,97 0 -
103
Tabel 28 Hasil analisis biota air (kelimpahan benthos, ind/m2) pada berbagai plot
pengamatan di kawasan hutan mangrove Muara Angke (lanjutan)
ORGANISME
STASIUN PENGAMATAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Indeks Dominansi 0 0 1 0,62 0,78 0,5 0,36 0 1
Sumber : Santoso, N (2002) Keterangan :
1=Sungai Angke (Dermaga); 2=Sungai Pandan; 3=Muara Angke; 4=Dalam Kawasan SMMA (Tikungan Jembatan Kayu);
5=Cengkareng Drain (Jembatan); 6=Hutan Lindung; 7=Jalan Tol (Kiri); 8=Sungai Kamal (Jembatan); 9=Hutan Wisata
(Kolam Tambak)
4.4 Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya
Aksesibilitas terhadap kawasan konservasi yang berada di DKI Jakarta ini
sangat tinggi, maka peranan sosial ekonomi masyarakat sekitar menjadi sangat
penting dalam pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Kondisi sosial
ekonomi masyarakat ini sangat mempengaruhi upaya konservasi sumberdaya
alam hayati di kawasan tersebut, terutama berupa tekanan-tekanan terhadap
keberadaan dan integritas sumberdaya alam (Dinas Kehutanan DKI Jakarta dan
Pusat Pengkajian Keanekaragaman Hayati Tropika Lembaga Penelitian IPB
1997).
Menurut data Monografi dan Laporan Tahunan Kelurahan 2010,
Kelurahan Kamal Muara dengan luas wilayah 1.053 ha mempunyai jumlah
penduduk sebanyak 8.960 jiwa dengan kepadatan 9,0 jiwa/ha dengan laju
pertumbuhan penduduk 0,4 %. Kelurahan Kapuk Muara dengan luas wilayah
1005,5 ha mempunyai jumlah penduduk sebesar 23.522 jiwa dengan kepadatan 23
jiwa/ha dan laju pertumbuhan 10,9 %.
Kedua wilayah tersebut mempunyai perbedaan komposisi mata
pencaharian (basis ekonomi) yang mencolok. Kelurahan Kapuk Muara mayoritas
bermatapencaharian sebagai buruh atau karyawan swasta yaitu sebesar 15.339
jiwa atau hampir 2/3 dari jumlah penduduk di kelurahan ini. Selanjutnya,
kelurahan Kamal Muara mata pencaharian terbesar adalah nelayan atau tani
sebanyak 3.165 jiwa. Jumlah penduduk dengan matapencaharian tani atau nelayan
Kapuk Muara hanya sebanyak 33 jiwa. Lapangan pekerjaan karyawan atau buruh
di kedua wilayah cukup besar dibandingkan dengan mata pencaharian lainnya
(Laporam Hasil Pembinaan dan Kegiatan Pemerintah Kelurahan 2010).
Komposisi penganut agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa menunjukan sebagian besar beragama Islam. Kelurahan Kamal Muara dan
104
Kapuk Muara Penjaringan mempunyai persentase pemeluk agama Islam berturut-
turut adalah 56 % dan 75 %. Kegiatan masyarakat yang berhubungan langsung
dengan hutan lindung adalah: sebagai nelayan, pencari bibit mangrove, penyedia
bibit dan penanaman mangrove, pencari ikan (mancing dan menjala), berekreasi
dengan memancing, dan pemulung plastik (Laporan Hasil Pembinaan dan
Kegiatan Pemerintah Kelurahan 2010).
Sebagai nelayan yang mencari ikan di laut, sebagian kecil nelayan
menambatkan perahu dan bertempat tinggal sementara di hutan lindung dengan
membuat gubuk. Pencari ikan mencari ikan dengan memancing dan menjala atau
memasang bubu di hutan lindung, sungai atau tambak di belakang hutan
mangrove, sedangkan pada hari-hari libur masyarakat sekitar areal hutan lindung
dengan menggunakan sepeda atau sepeda motor berekreasi sambil memancing.
Kegiatan masyarakat yang berdampak langsung terhadap hutan lindung di jalur
Ekowisata mangrove Tol Soediyatmo adalah pemanfaatan lahan sebagai kolam
pemancingan di antara guludan-guludan mangrove. Pemanfaatan jenis ini tidak
terlalu mengkawatirkan akan kelestarian mangrove. Sebaliknya, adanya intensitas
peningkatan penanaman mangrove dengan metode guludan oleh pemerintah,
swasta, akademisi, dan lainnya secara tidak langsung menggeser keberadaan
mereka di sekitar lokasi kawasna lindung mangrove Jakarta.
Kepemilikan pengguna lahan di Kelurahan Kapuk Muara adalah sebagai
berikut: 23,2 % (pertanian); 5,0 % (industri); 53,8 % (pemukiman); 3,1 %
(perkantoran); 0,6 % (perdagangan); lain-lain sebesar 14,3 %. Di Kamal Muara
kepemilikan penggunaan lahan adalah sebagai berikut: 52,0 % (pertanian); 43,87
% (perkantoran, pemukiman, dan perdagangan); lain-lain sebesar 4,13 %.
Khusus di areal hutan lindung, areal yang ada saat ini berupa:
Areal hutan yang dipadati tegakan pohon atau hutan, terutama di sekitar
Cengkareng Drain dan sekitar break water PT. Mandara Permai
Areal tambak, yaitu areal hutan lindung yang berupa parit atau kolam untuk
tambak ikan dan digarap oleh masyarakat
Tanggul-tanggul batas tambak, tanggul timbunan sampah dan tanggul
pencegah abrasi.
105
Berdasarkan fungsi, areal hutan lindung dikembangkan untuk: (1)
perlindungan, (2) konservasi, dan (3) rekreasi alam, sedangkan berdasarkan areal
kunjungan akan dikembangkan ruang dengan orientasi terhadap: (1) penerimaan,
(2) transisi, dan (3) ekologis. Luas areal hutan lindung yang semula hanya 44,67
ha setelah dikembangkan atau diperluas diperkirakan akan menjadi 81,7 ha
(Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Fakultas Kehutanan IPB 2000).
4.4.1 Penduduk
Secara administratif hutan mangrove Muara Angke termasuk wilayah
Kelurahan Kapuk Muara dan Kelurahan Kamal Muara, namun Kelurahan
Penjaringan, Kelurahan Tegal Alur dan Kelurahan Pluit juga berinteraksi dengan
kawasan mangrove Muara Angke. Laporan Sensus Penduduk Jakarta Utara (2010)
luas wilayah Kodya jakarta Utara 146,66 km2, dengan jumlah penduduk tahun
2010 sebanyak 1.645.312 jiwa (300.970 KK) dengan rincian jumlah laki-laki
824.159 jiwa (50 %) dan jumlah perempuan 821.153 jiwa (50 %). Kecamatan
yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Koja
sebesar 23.529 jiwa per km2 sedangkan yang paling rendah adalah Kecamatan
Penjaringan sebesar 6.748 jiwa per km2.
Jumlah penduduk per kecamatan tertinggi di Kecamatan Tanjung Priok
sebesar 22,80 % (375.131 jiwa) dan kecamatan Penjaringan sebesar 18,6 2%
(300.434 jiwa). Tingginya tingkat kepadatan penduduk di Kodya Jakarta Utara ini
dikarenakan tingkat urbanisasi yang tinggi.
Dalam laporan sensus penduduk Jakarta Utara (2010) luas wilayah
Kecamatan Penjaringan 35,49 km2, dengan jumlah penduduk 306.351 jiwa
(152.584 jiwa laki-laki dan 153.767 jiwa perempuan), kepadatan penduduk 6.748
jiwa/km2.
Penduduk yang berdekatan dengan hutan mangrove Muara Angke adalah
penduduk yang tinggal di Kelurahan Pluit. Di samping itu beberapa anggota
masyarakat luar juga ikut memberikan pengaruh terhadap keberadaan hutan
mangrove, seperti Kelurahan Tegal Alur, Kelurahan Kamal Muara, dan Kelurahan
Teluk Gong.
106
a. Kelurahan Pluit
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 1251 Tahun
1986 tanggal 26 Juli 1986 tentang Pemecahan, Penyatuan, Penetapan Batas,
Perubahan Nama Kelurahan di DKI Jakarta, salah satunya adalah Kelurahan Pluit
yang merupakan pecahan dari 2 (dua) Kelurahan yaitu Kelurahan Penjaringan dan
Kelurahan Pejagalan. Kelurahan Pluit mulai aktif menyelenggarakan tugas
pemerintahan dan kemasyarakatan serta pembinaan ketertiban wilayah pada
tanggal 1 Nopember 1986. Masyarakat yang terkait erat dengan SMMA adalah
masyarakat yang tinggal di RW.01 dan RW.11 Kelurahan Pluit.
Penduduk di Kelurahan Pluit (46.760 jiwa) yang terdiri atas: laki-laki
(24.338 jiwa) dan perempuan (22.422 jiwa), dengan jumlah kepala keluarga
16.294 KK. Jumlah penduduk usia produktif (15 - 45 tahun) merupakan jumlah
terbanyak yaitu 20.896 jiwa (44,69 %).
Penduduk di Kelurahan Pluit mempunyai tingkat pendidikan yang merata
mulai tingkat SD sampai dengan Perguruan Tinggi. Sedangkan mata pencaharian
masyarakat di Kelurahan Pluit beranekragam, hal ini dikarenakan Kelurahan Pluit
masih dekat pusat kota Jakarta.
Tabel 29 Kondisi penduduk menurut mata pencaharian dan pendidikan di
Kelurahan Pluit
No. Jenis Pendidikan/
Mata pencaharian
Jenis Kelamin Jumlah
Laki-laki Perempuan
Jumlah Penduduk 24.338 22.422 46.760
Jumlah Kepala Keluarga 13.573 2.721 16.294
Pendidikan
1 Tidak sekolah - - -
2 Tidak tamat SD 764 918 1.682
3 Tamat SD 2.614 3.432 6.046
4 Tamat SLTP 5.597 4.919 10.516
5 Tamat SLTA 7.249 5.738 12.987
6 Tamat Akademi/P.T. 3.272 1.934 5.206
Pekerjaan
1 Tani 0 0 0
2 Karyawan Swasta/Negeri/ABRI 8.123 5.713 13.836
3 Pedagang 6.951 3.994 10.945
4 Nelayan 2.689 0 2.689
5 Buruh tani 0 0 0
107
Tabel 29 Kondisi penduduk menurut mata pencaharian dan pendidikan di
Kelurahan Pluit (lanjutan)
No. Jenis Pendidikan/
Mata pencaharian
Jenis Kelamin Jumlah
Laki-laki Perempuan
6 Pensiun 554 231 785
7 Pertukangan 23 23
8 Penganguran 607 347 954
9 Fakir miskin 354 250 604
10 Lain-lain 906 2.813 3719
Sumber : Monografi Kelurahan Pluit (2010)
b. Kelurahan Kamal Muara
Kelurahan Kamal Muara merupakan salah satu kelurahan yang ada di
Kecamatan penjaringan yang memiliki aktivitas dengan sektor perikanan dan
kelautan. Masyarakat kelurahan ini juga banyak berinteraksi baik secara langsung
dan tidak langsung dengan kawasan mangrove. Banyak penduduk kelurahan ini
yang bermatapencaharian sebagai nelayan atau tani. Kecamatan ini memiliki luas
wilayah seluas 1.053 ha terdiri dari 6 (enam) RW dan 44 RT dengan jumlah
penduduk 8.960 jiwa dan 2.291 KK.
Penggunaan lahan di Kelurahan Kamal Muara untuk kebutuhan
perumahan hanya seluas 185,70 ha. Kebutuhan penggunaan lahan yang terbesar
malahan di luar untuk perumahan dan industri seluas 670 ha.
Penduduk di Kelurahan Kamal Muara sebagian besar didominasi oleh
WNI yaitu sebanyak 8.955 jiwa (99,99 %) dan WNA Asing hanya sebanyak 5
jiwa (0,06 %). Jumlah penduduk 2.286 jiwa yang terdiri atas laki-laki (1.952 jiwa)
dan perempuan 334 jiwa. Jumlah penduduk yang produktif di Kelurahan Kamal
Muara (15-45 tahun) merupakan jumlah terbanyak yaitu 4.384 jiwa (48,93 %).
108
Tabel 30 Jumlah penduduk menurut kelas umur dan jenis kelamin di Keluruhan
Kamal Muara No. Umur WNI WNA Keterangan
(Tahun) Laki-
laki
Perempuan Jumlah Laki-
laki
Perempuan Jumlah (Jumlah)
1. 0 – 4 319 337 728 0 0 0 728
2. 5 – 9 480 379 859 0 0 0 859 3. 10 – 14 405 338 744 0 0 0 744
4. 15 – 19 320 355 675 1 0 1 676
5. 20 –24 413 368 782 1 0 1 783
6. 25 – 29 434 358 792 1 0 1 793 7. 30 – 34 382 347 729 0 0 0 729
8. 35 – 39 431 328 759 0 0 0 759
9. 40 – 44 329 315 644 0 0 0 644
10. 45 – 49 324 331 655 0 0 0 655 11. 50 – 54 331 250 581 0 0 0 581
12. 55 – 59 215 173 388 0 0 0 389
13. 60 – 64 155 127 282 1 0 1 282
14. 65 – 69 78 69 147 0 0 0 147 15. 70 –74 56 54 110 0 0 0 110
16. 75 - keatas 36 44 80 0 1 1 81
Jumlah 4.782 4.173 8.955 4 1 5 8.960 Sumber : Monografi Kelurahan Kamal Muara, 2010
Penduduk di Kelurahan Kamal Muara memiliki mata pencaharian
beraneka ragam, hal ini dikarenakan Kelurahan Kamal Muara masih dekat pusat
Kota Jakarta. Untuk lebih ringkasnya dapat disajikan pada Tabel 31.
Tabel 31 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian dan pendidikan di
Kelurahan Kamal Muara
No. Mata pencaharian Jenis Kelamin Jumlah
Laki-laki Perempuan
Jumlah Penduduk 4.786 4.174 8.960
Jumlah kepala Keluarga 1.952 334 2.286
Pekerjaan
1 Tani 0
2 Karyawan Swasta/Negeri/ABRI 2.251
3 Pedagang 904
4 Nelayan 814
5 Buruh 1.771
6 Pensiun 386
7 Wirausaha 460
8 Lain-lain 2.351
Sumber : Monografi Kelurahan Kamal Muara (2010)
c. Kelurahan Kapuk Muara
Kelurahan Kapuk Muara merupakan salah satu kelurahan yang dibentuk
berdasarkan surat keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor: DI-a/1/1/1974 tanggal
109
8 Januari 1974 tentang pemecahan wilayah administratif kelurahan Kapuk,
Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat dipecah mejadi dua wilayah kelurahan
yaitu Kelurahan Kapuk Muara dan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta
Utara.
Kemudian berdasarkan surat keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor:
1251 tahun 1986 tanggal 29 Juli 1986 tentang pemecahan, penyatuan, penetapan
batas, perubahan nama dan penetapan luas wilayah kelurahan, sebagian wilayah
keluarahan Kapuk Muara dari kali Cengkareng Drain ke arah barat menjadi
wilayah kelurahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan Kotamadya Jakarta
Utara.
Masyarakat kelurahan ini memiliki interaksi baik secara langsung dan
tidak langsung dengan kawasan mangrove. Banyak penduduk kelurahan ini yang
bermatapencaharian sebagai nelayan atau tani. Kecamatan ini memiliki luas
wilayah seluas 1.055 ha terdiri dari 6 (enam) RW dan 44 RT dengan jumlah
penduduk 8.960 jiwa dan 2.291 KK. Penggunaan lahan di Kelurahan Kapuk
Muara untuk kebutuhan perumahan hanya seluas 483 ha. Kebutuhan penggunaan
lahan yang terbesar di sektor industri seluas 495,4 ha.
Berdasarkan data Monografi Kelurahan Kapuk Muara 2010 jumlah
penduduk di Kelurahan Kapuk Muara sebanyak 23.522 jiwa dengan jumlah KK
sebanyak 10.753 jiwa. Warga kelurahan ini didominasi oleh WNI yaitu sebanyak
23.508 jiwa (99,94 %) dan WNA hanya sebanyak 14 jiwa (0,06 %). Jumlah
penduduk yang produktif di Kelurahan Kapuk Muara (15-45 tahun) merupakan
jumlah terbanyak yaitu 11.718 jiwa (49,82 %).
Penduduk di Kelurahan Kapuk Muara memiliki mata pencaharian
beraneka ragam, hal ini dikarenakan Kelurahan Kamal Muara masih dekat pusat
kota Jakarta. Untuk lebih ringkasnya dapat disajikan pada Tabel 32.
110
Tabel 32 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian dan pendidikan di
Kelurahan Kapuk Muara
No. Jenis Pendidikan/
Mata pencaharian
Jenis Kelamin Jumlah
Laki-laki Perempuan
Jumlah Penduduk 12.066 11.442 23.522
Jumlah kepala Keluarga 10.753
Pendidikan
1 SD 3.418
2 SLTP 3.025
3 SLTA 1.593
4 SLTA 242
5 Akademisi 293
6 S1 31
7 S2 17
8 S3
Pekerjaan
1 Tani 12
2 Karyawan Swasta 8.213
3 ABRI 17
4 Pedagang 752
5 Nelayan 21
6 Buruh 7.126
7 Pensiunan 64
8 Swasta lainnya 1.969
9 PNS 83
10 Lain-lain 2.014
Sumber : Monografi Kelurahan Kapuk Muara (2010)
d. Kelurahan Penjaringan
Masyarakat kelurahan ini memiliki interaksi baik secara langsung dan
tidak langsung dengan kawasan mangrove. Mayoritas penduduk kelurahan ini
bermatapencaharian pedagang, buruh karyawan pabrik, dan pegawai negeri.
Hanya sebagian kecil yang bermatapencaharian sebagai nelayan/tani. Kecamatan
ini memiliki luas wilayah seluas 1.489,5 ha.
Berdasarkan data Monografi Kelurahan Penjaringan 2010 jumlah
penduduk di Kelurahan Penjaringan sebanyak 76.345 jiwa dengan jumlah KK
sebanyak 16.753 jiwa.Warga kelurahan ini didominasi oleh WNI yaitu sebanyak
76.208 jiwa (99,98%) dan WNA Asing hanya sebanyak 137 jiwa (0,2%). Jumlah
penduduk yang produktif di Kelurahan Penjaringan (15-45 tahun) merupakan
jumlah terbanyak yaitu 35.788 jiwa (46,9%).
111
Penduduk di Kelurahan Penjaringan memiliki mata pencaharian beraneka
ragam, hal ini dikarenakan Kelurahan Penjaringan merupakan Kota Kecamatan
Penjaringan dan memiliki jarak relatif dekat dengan pusat kota Jakarta. Untuk
lebih ringkasnya dapat disajikan pada Tabel 33.
Tabel 33 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian dan pendidikan di
kelurahan penjaringan
No. Jenis Pendidikan/
Mata pencaharian
Jenis Kelamin
Jumlah
(jiwa) Laki-laki (jiwa) Perempuan (jiwa)
Jumlah Penduduk 39.005 37.340 76.345
Jumlah kepala Keluarga 16.753
01.
02. 03.
04.
05.
06. 07.
01. 02.
03.
04.
05. 06.
07.
08.
09. 10.
Pendidikan
SD SLTP
SLTA SLTA
Akademisi
S1 S2
S3
Pekerjaan Tani
Karyawan Swasta
ABRI
Pedagang Nelayan
Buruh
Pensiunan
Swasta lainnya PNS
Lain-lain
14.418
35.025 24.593
968
1.293
31 17
124 24.324
57
24.495
85 23.765
275
1.969
237 1.014
Sumber : Monografi Kelurahan Penjaringan (2010)
Dari struktur matapencaharian responden di setiap kelurahan sampel
sebagaimana disajikan pada Tabel 34, tingkat pendapatan rata-rata di kelurahan
yang menjadi sampel penelitian relatif beragam. Hanya responden di Kelurahan
Penjaringan pendapatan terendah adalah karyawan swasta, sedangkan di
kelurahan Muara Kamal pekerja Freelance, Pluit pedagang, Kapuk Muara
pensiunan/iburumahtangga dan Tegal Alur pekerja karyawan swasta. Dengan
demikian tipikal pendapatan responden berdasarkan matapencaharian dalam
penelitian ini cenderung beragam sesuai dengan kondisi lokalistik kelurahan yang
ada.
Jika dibandingkan untuk semua jenis matapencaharian di keluarahan
sampel jenis pekerjaan Pensiunan/Ibu rumah tangga memiliki tingkat pendapatan
112
terendah yaitu sebesar Rp. 1.950.000 per bulan. Tingkat pendapatan tertinggi
untuk jenis matapencaharian/pekerjaan nelayan/tani yaitu sebesar Rp. 3,231,144
per bulan. Tingginya pendapatan nelayan ini disebabkan responden memiliki
pekerjaan sampingan, sehingga sumber pendapatan responden tidak hanya
bersumber dari satu sumber saja. nelayan/tani memiliki pekerjaan sampingan
sebagai buruh bangunan dan biasanya juga menjalankan usaha dagang sembako
dan lainnya.
Berdasarkan sebaran pendapatan untuk semua kelurahan sampel, rata-rata
tingkat pendapatan tertinggi adalah kelurahan pluit yaitu sebesat Rp. 3.274.350
per bulan dengan tingkat pendapatan tertinggi dari matapencaharian
petani/nelayan. Sedangkan rata-rata tingkat pendapatan terendah adalah kelurahan
Tegal Alur yaitu sebesar Rp. 1.995.833 per bulan.
Tabel 34 Rata-rata tingkat pendapatan penduduk di Kelurahan Penjaringan,
Muara Kamal, dan Pluit
No
Jenis Mata
Pencaharian
Responden
Penjaringan Muara Kamal Pluit
n Pendapatan n Pendapatan n Pendapatan
1 Petani/nelayan 2 2.500.000 9 2.688.888 11 4.504.545
2 PNS 3 2.833.333 1 3.000.000 0 0
3 Pedagang 6 2.167.677 3 3.100.000 8 1.900.000
4 Karyawan Swasta 2 2.000.000 10 2.033.333 13 3.692.857
5 Freelance 4 3.975.00 4 1.233.333 0 0
6 Pensiunan 0 0 6 1.900.000 1 3.000.000
Rata-rata 1 2.695.000 33 2.325.925 34 3.274.350
Keterangan : n = Jumlah responden (orang)
Sumber : data primer
Tabel 35 Rata-rata tingkat pendapatan penduduk di Kelurahan Kapuk Muara dan
Tegal Alur
No Jenis Matapencaharian
Responden Kapuk Muara Tegal Alur
n Pendapatan n Pendapatan
1 Petani/nelayan 0 0 0 0
2 PNS 3 3.166.666 1 2.500.000
3 Pedagang 4 1.787.500 8 1.950.000
4 Karyawan swasta 17 2.044.117 3 1.633.333
5 Freelance 0 0 0 0
6 Pensiunan 7 1.000.000 4 1.900.000
Rata-rata 31 1.999.571 16 1.995.833
Keterangan : n = Jumlah responden (orang)
Sumber : data primer
113
4.4.2 Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Kawasan Mangrove
Muara Angke
Secara umum masyarakat di sekitar Hutan Lindung Angke Kapuk dapat
diklasifikasikan menjadi empat kategori, yaitu masyarakat nelayan, masyarakat
petambak, masyarakat gedungan di luar Perumahan Pantai Indah Kapuk (Non-
PIK), dan masyarkat perumahan Pantai Indah Kapuk (PIK). Berdasarkan letak
pemukiman dan ketergantungan terhadap ekosistem hutan lindung tersebut, maka
masyarakat nelayan dan petambak merupakan komunitas yang paling intensif
berinteraksi dengan kawasan hutan lindung dibanding dengan masyarkat kategori
lainnya.
Dalam kajian ini untuk mengetahui karakteristik dan persepsi keempat
kategori masyarakat tersebut dilakukan wawancara dengan beberapa responden
yang mewakili setiap kategori. Adapun hal-hal yang dikaji meliputi antara lain:
Persepsi masyarakat terhadap keberadaan kawasan lindung
Manfaat hutan lindung
Upaya peletarian ekosistem hutan lindung.
Secara rinci, hasil kajian terahadap kondisi sosial ekonomi masyarakat di
sekitar kawasan Hutan Lindung Angke Kapuk dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaaan Hutan Lindung
Keberadaan dan kelestarian ekosistem Hutan Lindung Angke Kapuk
sangat ditentukan oleh intensitas gangguan masyarakat di sekitarnya. Oleh karena
itu, maka persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan lindung perlu dikaji
secara seksama untuk memperoleh gambaran mengenai pandangan dan
pemahaman masyarakat terhadap keberadaan dan kelestarian hutan lindung
beserta ekosistem yang ada di dalamnya. Sehubungan dengan hal tesebut, dalam
kajian ini diajukan beberap pertanyaan kepada responden dari setiap kategori
sebagai berikut:
1. Apakah masyarakat memahami fungsi hutan lindung dan ekosistem
mangrove yang ada di dalamnya?
2. Bagaimana persepsi masyarakat tentang kondisi vegetasi di hutan lindung
pada masa lalu (10–20 tahun yang lalu) dibanding dengan kondisi saat ini?
114
3. Bagaimana persepsi masyarakat tentang tingkat kerusakan hutan lindung saat
ini?
4. Apakah hutan lindung perlu dipertahankan atau tidak?
Hasil penghimpunan data (wawancara) dan penilaiannya terhadap
jawaban setiap kategori responden dapat direkapitulisasi dan disajikan secara
tabulasi seperti terlihat dalam Tabel 36.
Tabel 36 Persepsi masyarakat terhadap keberadaan kawasan lindung menurut
persentase penilaian responden
No Persepsi Masyarakat
Kategori Masyarakat
Nelayan
(%)
Petambak
(%)
Non-PIK
(%)
PIK
(%)
1
Pemahaman masyarakat terhadap hutan lindung
a. Sangat memahami
b. Memahami
c. Tidk memahami
18,2
45,5
36,4
20,0
50,0
30,0
12,5
75,0
12,5
0,0
56,6
44,4
2
Kondisi vegetasi di hutan lindung pada masa lalu (10 – 20 tahun yang lalu)
a. Sangat lebat
b. Cukup lebat
c. Lebih baik dari sekarang
d. Sama seperti sekarang
e. Tidak tahu
27,3
18,2
36,4
9,1
9,1
30,0
10,0
10,0
10,0
40,0
50,0
12,5
0,0
0,0
3,0
0,0
44,4
33,3
0,0
22,2
3
Tingkat kerusakan hutan lindung
a. Tidak rusak
b. rusak
c. Rusak sekali
d. Tidak tahu
27,3
45,5
27,3
0,0
20,0
60,0
0,0
20,0
25,0
50,0
0,0
25,0
0,0
77,8
11,1
11,1
4 Perlu tidaknya hutan mangrove dipertahankan
a. sangat perlu
b. Perlu
c. Tidak tahu
27,3
72,7
0,0
20,0
80,0
0,0
37,5
62,5
0,0
66,7
11,1
22,2 Sumber : Santoso, N (2002)
Berdasarkan Tabel 36, terlihat bahwa dari segi pemahaman terhadap
fungsi hutan lindung, maka mayoritas masyarakat keempat kategori telah
memahaminya. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya persentase jumlah responden
yang menyatakan memahami dan sangat memahami fungsi hutan lindung, yaitu
63,7 % untuk masyarakat kategori nelayan; 70,0 % untuk masyarakat petambak;
87,5 % untuk masyarakat Non-PIK dan 55,6 % untuk masyarakat PIK. Terlihat
pula bahwa persepsi masyarakat Non-PIK (yang kurang intensif berinteraksi
115
dengan ekosistem hutan lindung) relatif lebih baik dibanding dengan persepsi
masyarakat nelayan dan masyarakat petambak, yang keduanya merupakan
masyarakat yang paling intensif memanfaatkan potensi hutan lindung. Hal ini
mungkin karena kategori masyarakat Non-PIK memiliki tingkat pendidikan lebih
tinggi (mayoritas berpendidikan SLTP dan SLTA) dibanding dengan masyarakat
nelayan dan petambak, yang mayorita berpendidikan SD, sehingga memiliki
pemahaman yang cukup baik tentang pentingnya hutan lindung. Selain itu,
kehidupan masyarakat Non-PIK tidak terlalu bergantung akan sumberdaya hutan
lindung dengan letak pemukiman yang relatif agak jauh dibanding masyarakat
nelayan dan petambak. Ada pun masyarakat PIK, cukup wajar apabila mereka
kurang memahami akan pentingnya fungsi hutan lindung mengingat sangat
kurangnya mereka dengan ekosistem hutan lindung di samping letak perumahan
mereka yang cukup jauh dengan kawasan hutan lindung.
Berkaitan dengan kondisi hutan lindung, umumnya masyarakat di keempat
kategori tersebut memiliki pemahaman yang cukup baik dalam arti mereka
menyadari telah terjadi perubahan ekosistem pada masa lalu dengan masa
sekarang. Secara umum, masyarakat menyatakan bahwa kondisi hutan lindung
pada masa lalu (10 - 20 tahun yang lalu) yang lebih baik dari kondisi sekarang.
Hal ini ditunjukkan dengan persentase responden yang menyatakan kondisi hutan
lindung pada masa lalu sangat lebat, cukup lebat, dan lebih baik daripada
sekarang, yaitu 81,9 % pada masyarakat nelayan; 50 % pada masyarakat
petambak; 62,5 % pada masyarakat Non-PIK; dan 77,7% pada masyarakat PIK.
Dari keempat kategori masyarakat tersebut terlihat suatu konsistensi penilaian,
sehingga dapat disimpulkan bahwa umumnya mereka memahami dan menyadari
perubahan yang terjadi pada kondisi hutan lindung yang pada masa lalu memiliki
kondisi yang sangat baik.
Melihat kondisi hutan lindung ini, maka sebanyak, 72,8 % responden
dalam kategori masyarakat nelayan menyatakan rusak dan rusak sekali. Begitu
pun dengan masyarakat petambak (60 %), Non-PIK (50 %), dan PIK (88,9 %)
menyatakan kondisi hutan lindung saat ini telah rusak. Untuk itu, upaya
mempertahankan keberadaan dan kelestarian hutan lindung menurut persepsi
masyarakat perlu dilakukan. Hal ini terlihat dari besarnya persentase responden
116
yang memandang perlu dan sangat perlu dalam upaya pelestarian hutan lindung,
yaitu seluruh responden (100 %) pada kategori masyarakat nelayan, petambak,
dan Non-PIK dan 77,8 % responden dalam masyarakat PIK. Ada pun alasan
mereka antara lain karena hutan mangrove memiliki kemampuan dapat:
Menjaga keseimbangan alam
Menambah estitika pantai
Mencegah abrasi pantai
Mempertahankan keanekaragman flora dan fauna
Menjaga keseimbangan udara dan lingkungan
Jadi berdasarkan atas persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan
lindung tersebut dapat disimpulkan bahwa pada umumnya masyarakat pada
keempat kategori di atas telah memahami dan menyadari akan arti pentingnya
hutan lindung tersebut. Selain itu adanya persepsi yang positif dari masyarakat
tersebut merupakan modal utama yang perlu dikembangkan untuk perberdayaan
masyarakat dalam program pelestarian hutn lindung.
b. Persepsi Masyarakat Terhadap Manfaat Hutan Lindung
Sebagai salah satu sumberdaya alam, ekosistem Hutan Lindung Angke
Kapuk dapat memberikan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung
bagi kelangsungan hidup masyarakat setempat. Sesuai dengan peruntukannya
sebagai kawasan lindung, maka sebenarnya pemanfatan sumberdaya hutan
lindung sangat dibatasi, akan tetapi pada kenyataannya, ternyata di kawasan
Hutan Lindung Angke Kapuk terdapat kecenderungan pemanfaatan yang melebihi
batas, seperti pembukaan tambak dan perumahan. Guna mengetahui persepsi
masyarakat manfaat Hutan Lindung Angke Kapuk, dilakukan wawancara dengan
masyarakat mengenai:
Intensitas interaksi masyarakat dengan ekosistem mangrove
Pemanfaatan hutan lindung sebagai tempat rekreasi
Persepsi masyarakat terhadap kegiatan pertambakan
117
Tabel 37 Persepsi masyarakat terhadap manfaat kawasan lindung menurut
persentase penilaian responden
No Persepsi Masyarakat Kategori Masyarakat
Nelayan
(%)
Petambak
(%)
Non-PIK
(%)
PIK
(%)
1 Intensitas interaksi masyarkat dengan hutan lindung
a. Sering
b. Pernah
c. Belum pernah
0,0
27,3
72,7
60,0
20,0
20,0
0,0
25,0
75,0
0,0
33,3
66,7
2 Pemanfaatan hutan mangrove sebagai tempat rekreasi keluarga
a. Sangat setuju
b. Setuju
c. Tidak tahu
9,1
81,1
9,1
10,0
90,0
0,0
0,0
100,0
0,0
22,2
55,6
22,2
3 Perbandingan manfaat keberadaan tambak dengan hutan mangrove
a.Lebih besar manfaat tambak
daripada mangrove
b.Lebih besar manfaat huatn
mangrove daripada tambak
c.Tidak tahu
45,5
54,5
0,0
60,0
30,0
10,0
0,0
87,5
12,5
0,0
44,4
22,2 Sumber : Santoso, N (2002)
Dari Tabel 37 terlihat bahwa sebagai komunitas masyarakat yang relatif
dekat dengan kawasan lindung umumnya masyarakat pernah berinteraksi dengan
hutan lindung. Interaksi paling intensif terlihat pada masyarakat petambak
(80,0 %) karena secara langsung mereka mengkonversi sebagian kawasan hutan
lindung menjadi areal pertambakan. Sedangkan pada masyarakat nelayan, Non-
PIK, dan PIK umumnya merasa belum pernah berinteraksi secara intensif dengan
hutan lindung. Dalam hal ini ketidakkonsistenan terlihat pada masyarakat nelayan,
dimana mereka mengaku belum pernah berinteraksi (72,2 %) padahal pada
kenyataanya mereka sangat tergantung pula pada potensi perairan di sekitar hutan
lindung tersebut.
Selain pemanfaatan dalam bentuk pengambilan potensi sumberdaya alam,
alternatif pemanfaatan aspek estitika untuk kegiatan rekreasi ternyata mendapat
tanggapan yang positif dari masyarakat. Hal ini terlihat dari besarnya persentase
responden yang menyatakan setuju dan sangat setuju, yaitu 90,9 % menurut
pendapat nelayan; 100,0 % menurut pendapat masyarakat petambak dan Non-
PIK; serta 77,8 % menurut pendapat masyarakat PIK. Adapun alasan persetujuan
mereka antara lain:
Mampu meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar
Sarana pendidikan linkungan bagi anak
118
Menambah estitika
Sarana beristirahat bernuansa alami
Untuk itu, masyarakat mengharapkan pihak pengelola hutan lindung untuk
membangun sarana rekreasi seperti: pemancingan, wisata pantai, taman burung,
arboretum alam dll, yang dilengkapi dengan sarana penunjang antara lain seperti:
masjid, jalan, tempat berteduh, transportasi, rumah peristirahatan, dan kantin.
Namun mengingat statusnya sebagai hutan lindung, maka hendaknya
pembangunan sarana alternatif rekreasi tersebut jangan sampai merubah fungsi
dan kondisi hutan lindung tersebut.
Berkaitan dengan adanya pemanfaatan sebagian kawasan lindung menjadi
areal pertambakan, terlihat adanya pro dan kontra di kalangan masyarakat. Dari
data di atas, terlihat bahwa masyarakat nelayan (54,5 %); masyarakat Non-PIK
(87,6 %); dan masyarakat PIK (44,4 %) memiliki persepsi yang sama bahwa
hutan mangrove memberikan manfaat yang jauh lebih besar daripada tambak.
Sedangkan menurut persepsi masyarakat petambak sendiri, walaupun sebagai
besar (60 %) mereka berpendapat bahwa tambak memberikan manfaat yang lebih
besar daripada hutan mangrove, tetapi sebagian masyarakat masih memiliki
pandangan yang cukup baik bahwa dari segi kelestarian sumberdaya alam sudah
barang tentu hutan mangrove memberikan manfaat yang lebih besar daripada
tambak.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa umumnya
masyarakat sekitar hutan lindung telah memahami dan merasakan manfaat
keberadaan hutan lindung yang lebih baik secara langsung ataupun tidak. Akan
tetapi, perlu diberikan pemahaman yang mendalam tentang perimbangan besarnya
manfaaat ekonomis dan ekologis dari ekosistem hutan lindung tersebut. Hal ini
mengingat akan desakan kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat, sehingga
terdapat kecenderungan pemanfaatan sumberdaya alam untuk pemenuhan
kebutuhan ekonomi masyarakat.
c. Persepsi Masyarakat Mengenai Upaya Pelestarian
Upaya pelestarian hutan lindung mutlak perlu dilakukan untuk
kelangsungan kelestarian di masa mendatang. Sebagai kawasan lindung yang
119
dikelilingi oleh komunitas masyarakat, kelestarian Hutan Lindung Angke Kapuk
sangat ditentukan oleh peran aktif masyarakat sekitar.
Untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap upaya pelestarian hutan
lindung, maka dalam kajian ini dilakukan wawancara dengan masyarakat sekitar.
Hasil wawancara dapat direkapitulasi dengn menggunakan Tabel 38 berikut.
Tabel 38 Persepsi masyarakat pelestarian kawasan lindung menurut persentase
penilaian responden
No Persepsi Masyarakat Kategori Masyarakat
Nelayan
(%)
Petambak
(%)
Non-PIK
(%)
PIK
(%)
1 Kemampuan untuk mengamankan keberadaan hutan lindung
a. Bersedia
b. Tidak bersedia
c. Tidak tahu
100,0
0,0
0,0
90,0
10,0
0,0
50,0
0,0
50,0
55,6
0,0
33,3
2 Kemamuan untuk memasyarakatkan pentingnya hutan lindung
a. Bersedia
b. Tidak bersedia
c. Tidak tahu
81,8
18,2
0,0
90,0
10,0
0,0
62,5
0,0
37,5
66,7
0,0
22,2
3 Pemahaman mengenai akibat rusaknya hutan lindung
a. Tahu
b. Tidak tahu
63,4
27,3
40,0
60,0
62,5
37,5
33,3
55,6
4 Persepsi terhadap keberadaan Perumahan Indah Kapuk (PIK)
a. Baik
b. Tidak baik
c. Tidak tahu
18,2
27,3
54,5
20,0
0,0
80,0
87,5
0,0
12,5
55,6
0,0
22,2
5 Persepsi terhadap keberadaan tambak
a. Baik
b. Tidak baik
c. Tidak tahu
45,5
9,1
36,4
100,0
0,0
0,0
50,0
25,0
25,0
44,4
11,1
22,2
Sumber : Santoso, N (2002)
Dari data di atas, umumnya kemauan masyarakat untuk turut berpartisipasi
dalam pengamanan hutan lindung yang cukup besar. Sebanyak 100 % responden
yang berasal dari masyarakat nelayan, 90 % masyarakat petambak, 50 %
masyarakat Non-PIK, dan 55 % masyarakat PIK masing-masing menyatakan
bersedia turut serta dan berpartisipasi utnuk mengamankan dan melestarikan
kawasan lindung. Hasil positif lainnya dari persepsi masyarakat tersebut adalah
munculnya kemauan yang baik untuk memasyarakatkan pentingnya hutan
lindung. Terlihat dari data di atas, bahwa persentase jumlah responden yang
120
menyatakan bersedia turut memasyarakatkan pentingnya hutan lindung cukup
besar yaitu berkisar antara 62,5 % hingga 90 % pada masing-masing kategori
masyarakat. Akan tetapi masyarakat nelayan dan petambak relatif lebih baik
motivasinya dibanding masyarakat Non-PIK dan PIK. Hal ini dimungkinkan
karena masyarakat nelayan dan petambak relatif intensif dalam menggunakan
sumberdaya hutan lindung, sehingga merasa bertanggung jawab pula atas
kelestariannya.
e. Penilaian Masyarakat Terhadap SMMA
Masyarakat di sekitar SMMA adalah masyarakat yang heterogen yang
terdiri dari beberapa suku dan agama. Menurut kedudukan dan aktivitasnya,
masyarakat sekitar SMMA terdiri atas: (1) masyarakat bantaran sungai, (2)
masyarakat di kampung nelayan, (3) masyarakat umum, dan (4) masyarakat
perumahan.
Masyarakat di bantaran S. Angke terdiri atas masyarakat dari daerah
Indramayu, Brebes, Demak, Surabaya, Kulon, dan Tangerang. Menurut informasi
dari aparat kelurahan kawasan tersebut adalah pemukiman liar karena merupakan
kawasan bantaran sungai. Khusus di dekat Muara S. Angke terdapat usaha
peengolahan kerang hijau yang sudah berjalan sejak tahun 1993. Pengusahaan
kerang hijau ini di satu sisi merupakan sumber penghasilan masyarakat, namun di
lain pihak ikut memberikan sumbangan yang besar dalam penyempitan S. Angke
melalui pembuangan cangkang kerang hijau di sepanjang pinggiran badan sungai.
Permasalahan ini apabila tidak ditangani secara serius akan dapat mengakibatkan
penyempitan terus-menerus pada S. Angke dan pada akhirnya dapat mendorong
terjadinya banjir.
Masyarakat di kampung nelayan merupakan komponen masyarakat yang
bermatapencaharian utama sebagai nelayan. Pembangunan Kampung Nelayan ini
sekitar tahun 1977-1979. Sedangkan status lahannya adalah pinjam pakai.
Pembangunan perumahan di Kampung Nelayan sudah berlangsung 3 kali dan
masyarakat terus mempertanyakan status lahan dan status kepemilikan. Penduduk
di Kampung Nelayan sama dengan penduduk di bantaran sungai, mempunyai
tingkat heterogenitas yang tinggi. Kegiatan pengasinan dilakukan oleh kelompok
121
masyarakat yang berasal dari Indramayu, kegiatan nelayan didominasi oleh Pesisir
Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, sedangkan kegiatan berdagang dilakukan
oleh penduduk dari Jawa, Makassar, dan Tangerang.
Kelompok masyarakat di perumahan dapat dijelaskan bahwa bentuk
kegiatannya adalah sebagai pemerhati satwaliar (monyet ekor panjang dan
burung), sifatnya untuk rekreasi dan santai. Di samping itu kawasan SMMA juga
dijadikan oleh kelompok-kelompok masyarakat sebagai tempat melepas burung
dan kura-kura yang tujuannya di samping konservasi juga ibadah (kepercayaan
Agama Budha).
Untuk lebih mengetahui pandangan, persepsi dan keinginan masyarakat
terhadap SMMA dapat dijelaskan sebagai berikut:
e.1. Mengerti Tentang SMMA
Responden di bantaran S. Angke dan kampung nelayan 80,6 %
mengetahui bahwa kawasan tersebut merupakan tanah Kehutanan dan 19,4 %
sudah mengetahui status kawasan sebagai kawasan konservasi (Suaka
Margasatwa Muara Angke). Hal lainnya menyebutkan bahwa masyarakat
menyayangkan kawasan tersebut tidak dikelola sebagaimana mestinya sehingga
menimbulkan anggapan kawasan tersebut kurang bermanfaat. Wawancara secara
mendalam dengan masyarakat menyatakan mereka setuju apabila kawasan SM
Muara Angke dikelola dan diperbaiki kembali kondisinya, alasannya karena
kawasan tersebut kalau terus dibiarkan kondisinya malah lebih rusak.
e.2. Merasakan Manfaat dan Fungsi SMMA
Berdasarkan pemahamannya terhadap SMMA masyarakat belum
merasakan manfaat langsung dari SMMA, hanya ada beberapa aktivitas
masyarakat yang memanfaatkan untuk mengambil sayur-sayuran (kangkung) dan
buah nipah dipergunakan untuk bahan pangan. Respon dari masyarakat apabila
SMMA dikembangkan pengelolaanya untuk kegiatan pendidikan lingkungan atau
wisata terbatas 92,3 % menyatakan setuju dengan alasannya bervariasi yaitu 61,8
% akan berusaha menjadi pedagang makanan, 15,3 % mau menjadi pemandu, dan
lainnya mau turut sebagai pekerja keamanan dan pekerja kebersihan.
122
e.3. Penilaian Terhadap Kondisi SMMA Saat ini dan Sebelumnya
Penilaian masyarakat terhadap kondisi SMMA saat ini jika dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya dijelaskan bahwasanya terjadinya penurunan kualitas
habitat dan vegetasi termasuk satwaliar dan ikan. Untuk vegetasi dijelaskan
bahwa masih banyak terdapat jenis pohon bakau di SMMA juga jenis ikan di
perairan sekitar.
e.4. Kesadaran Terhadap Pelestarian dan Perlindungan Hutan Mangrove
Kepedulian dan kesadaran masyarakat terhadap pelestarian dan
perlindungan SMMA sangat tinggi. Hal ini ditunjukkan dari wawancara dengan
beberapa tokoh masyarakat bahwa kawasan tersebut harus tetap dipertahankan
unsur perlindungan dan pelestariaannya. Beberapa alasan yang mendasarinya
adalah karena dapat mengurangi banjir dan merupakan tempat hidup satwaliar.
e.5. Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan SMMA
Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi serta pengamatan di lapangan
juga dengan penyebaran kuisioner terhadap anggota masyarakat di kampung
nelayan dan di bantaran sungai menyebutkan bahwa kawasan SMMA tidak
memberikan manfaat ekonomi terhadap masyarakat tetapi mempunyai fungsi
untuk melindungi satwaliar. Hal ini disebabkan kurangnya penyuluhan dan
sosialisasi terhadap masyarakat tentang status dan fungsi kawasan. Masih adanya
anggapan bahwa SMMA dan Hutan Lindung Angke Kapuk sebagai daerah angker
telah mengurangi interaksi masyarakat dengan kawasan SMMA.
Beberapa tokoh masyarakat yang diwawancarai dan diskusi menjelaskan
bahwasanya masyarakat mengharapkan dapat berperan serta dalam pengelolaan
kawasan SMMA. Peran serta ini wujudnya dalam peningkatan pendapatan dan
kesempatan berusaha merupakan faktor utama.
4.4.3 Interaksi Masyarakat dengan Hutan Mangrove
Interaksi yang paling besar datang dari masyarakat nelayan yaitu dengan
menggunakan S. Angke sebagai tempat tinggal dan tempat melabuhkan kapal. Hal
ini dikarenakan kondisi dari S. Angke yang menjorok ke dalam yang
123
menyebabkan keadaan kapal tidak akan rusak oleh angin dan air pasang. Selain
itu juga letaknya yang berdekatan dengan pusat perdagangan ikan terbesar se-
Jawa Barat yaitu TPI Muara Angke, sehingga memudahkan para nelayan untuk
memasarkan ikan hasil tangkapan.
Interaksi kedua adalah dari masyarakat petambak yang mengubah hutan
bakau menjadi areal tambak, dan kebanyakan mereka membuka lahan ini tanpa
ijin dari pemerintah setempat. Tapi rata-rata para pengusaha tambak ini kurang
menyadari bahwa dengan semakin sedikitnya lokasi hutan bakau, maka hasil
tambak mereka akan semakin menurun. Tapi alternatif yang ditawarkan dari
rencana pengelolaan SMMA untuk dijadikan tempat wisata alam cukup menarik
minat masyarakat petambak dan mereka banyak yang mengatakan setuju.
Anggota masyarakat yang bukan masyarakat nelayan dan petambak
mereka cenderung memiliki tingkat pendidikan cukup tinggi yakni: SMU, dan
pandangan yang dikemukakan mengenai SMMA cukup baik. Selain itu mereka
sangat setuju jika hutan Muara Angke ini diperbaiki sehingga kondisinya baik
kembali seperti semula, mereka juga ingin ada suatu penyuluhan mengenai
kawasan hutan, karena pengetahuan mereka mengenai SMMA sangat minim,
mereka hanya tahu kalau SMMA ini merupakan suatu kawasan yang tidak boleh
diganggu gugat, tapi apa maksud dan tujuan dari tidak boleh diganggu gugatnya
kawasan tersebut disebabkan oleh apa dasarnya, mereka tidak tahu. Oleh karena
itu mereka setuju saja jika ada penyuluhan mengenai SMMA ini, dengan
mengetahui maksud dan tujuannya maka masyarakat akan lebih mengerti
mengenai kawasan SMMA.
Kebanyakan masyarakat sangat menyetujui apabila kawasan SMMA ini
dimanfaatkan untuk kawasan rekreasi, karena mereka merasa dapat terlibat
langsung, dari responden yang di tanya sekitar 44 % menyatakan ingin terlibat
langsung sebagai penjual makanan, sedangkan 22 % ingin terlibat sebagai penjaga
hutan dan petugas kebersihan.
4.4.4 Persepsi Responden Terhadap Perlunya Perbaikan Lingkungan
Hutan Mangrove Muara Angke
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat Kelurahan Penjaringan,
Tegar Alur, Kamal Muara, Pluit, dan Kapuk yang merupakan kelurahan-kelurahan
124
yang ada di sekitar hutan mangrove Muara Angke, diketahui bahwa mayoritas
masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut pernah mengalami kerugian akibat
gangguan lingkungan. Persentase terbesar masyarakat yang pernah mengalami
gangguan lingkungan adalah masyarakat yang tinggal di Kelurahan Tegal Alur,
Pluit, dan Kapuk Muara dengan persentase di atas 90 %. Data selengkapnya bisa
dilihat pada Tabel 39.
Tabel 39 Persentase masyarakat yang pernah mengalami gangguan lingkungan di
kawasan Muara Angke, Jakarta
No Kelurahan Kerugian Akibat Gangguan Lingkungan
Ya (%) Tidak (%)
1 Penjaringan 69 31
2 Tegal Alur 94 6
3 Kamal Muara 80 20
4 Pluit 91 9
5 Kapuk Muara 90 10
Rata-rata 86 14
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa gangguan lingkungan yang
paling banyak atau sering dialami oleh masyarakat di lokasi penelitian adalah
banjir atau rob, sedangkan jenis gangguan lingkungan yang paling sedikit
dirasakan oleh masyarakat adalah abrasi. Tingginya gangguan banjir atau rob
yang dirasakan oleh masyarakat menunjukan bahwa gangguan banjir memiliki
cakupan wilayah yang lebih luas, sedangkan abrasi hanya dirasakan oleh
masyarakat yang tinggal dekat atau di sekitar pantai. Data selengkapnya bisa
dilihat pada Tabel 40.
Tabel 40 Jenis gangguan yang dirasakan oleh masyarakat sekitar Muara Angke,
Jakarta
No Kelurahan Jenis Gangguan Lingkungan yang Dialami
Abrasi (%) Banjir/rob (%) Intrusi Air Laut (%)
1 Penjaringan 36 100 100
2 Tegal Alur - 90 69
3 Kamal Muara 60 100 100
4 Pluit 25 100 82
5 Kapuk Muara 27 100 93
Berdasarkan hasil wawancara juga diketahui bahwa dalam 10 tahun
terakhir terdapat 40 % responden yang mengalami kerugian akibat abrasi, dengan
125
frekuensi antara 1-3 kali dan lebih dari 6 kali. Data selengkapnya disajikan pada
Tabel 41.
Tabel 41 Frekuensi abrasi yang dialami responden selama 10 tahun terakhir
No Kelurahan Frekuensi Terkena Abrasi dalam 10 tahun terakhir (%)
0 kali 1-3 kali 4-6 kali >6 kali
1 Penjaringan 64 18 9 9
2 Tegal Alur 100 0 0 0
3 Kamal Muara 40 5 20 35
4 Pluit 32 41 12 15
5 Kapuk Muara 83 7 0 10
Rata-rata 60% 17% 8% 14%
Secara umum responden di lima kelurahan berpendapat bahwa dalam 10
tahun terakhir kerusakan akibat abrasi cenderung tetap (54 %), sedangkan 39 %
responden berpendapat bahwa kerusakan akibat abrasi memburuk dan semakin
buruk. Responden yang berpendapat bahwa dalam 10 tahun terakhir kerusakan
akibat abrasi cenderung membaik atau berkurang hanya 7 %. Hal ini
mengindikasikan belum terdapat program yang efektif untuk mengurangi atau
mencegah bahaya abrasi .
Tabel 42 Frekuensi kerusakan yang dialami responden selama 10 tahun terakhir
No Kelurahan Kerusakan Akibat Abrasi 10 Tahun Terakhir
Semakin Buruk Memburuk Sama Saja Membaik Semakin Baik
1 Penjaringan 0 27 55 18 0
2 Tegal Alur 6 19 69 6 0
3 Kamal Muara 5 40 55 0 0
4 Pluit 18 29 41 12 0
5 Kapuk Muara 30 10 60 0 0
Total 15 24 54 7 0
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa 89 % responden dalam 10
tahun terakhir pernah mengalami gangguan lingkungan berupa intrusi air laut,
dengan persentase terbesar lebih dari enam kali. Hal ini menunjukan bahwa intrusi
air laut merupakan gangguan lingkungan yang lebih banyak dirasakan
dibandingkan dengan abrasi. Selain itu, intrusi air laut juga memiliki cakupan
wilayah yang lebih luas jika dibandingkan dengan abrasi. Data selengkapnya
disajikan pada Tabel 43.
126
Tabel 43 Frekuensi intrusi air laut yang dialami responden dalam 10 tahun
terakhir
No Kelurahan
Frekuensi Terkena Intrusi Air Laut dalam 10 Tahun Terakhir
(%)
0 kali 1-3 kali 4-6 kali >6 kali
1 Penjaringan 0 20 20 60
2 Tegal Alur 31 6 6 56
3 Kamal Muara 0 0 0 100
4 Pluit 18 24 26 32
5 Kapuk Muara 7 13 7 73
Total 11 13 12 63
Berdasarkan hasil wawancara juga diketahui bahwa mayoritas responden
berpendapat bahwa kerugian akibat intrusi air laut dalam 10 tahun terakhir
cenderung memburuk atau semakin buruk. Sedangkan responden yang
berpendapat bahwa kerugian akibat intrusi air dalam 10 tahun terakhir cenderung
tetap sebanyak 23 % dan yang berpendapat membaik hanya 9 %. Data tersebut
juga mengindikasikan gangguan lingkungan berupa intrusi air laut belum
ditangani dengan baik, sehingga masih terus berlangsung dengan dampak negatif
yang terus bertambah. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 44.
Tabel 44 Kerugian akibat intrusi air laut dalam 10 tahun terakhir
No Kelurahan Kerugian Akibat Intrusi Air Laut 10 Terakhir
Semakin Buruk Memburuk Sama Saja Membaik Semakin Baik
1 Penjaringan 30 30 30 10 0
2 Tegal Alur 13 44 19 25 0
3 Kamal Muara 40 56 4 0 0
4 Pluit 15 29 47 9 0
5 Kapuk Muara 63 17 10 10 0
Total 34 34 23 9 0
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa dalam 10 tahun terakhir
98 % responden pernah mengalami banjir atau rob, dengan frekuensi paling
banyak lebih dari 6 kali (58 %). Dengan demikian banjir di wilayah penelitian
cukup sering terjadi, dan wilayah yang paling sering terkena banjir adalah
Kelurahan Kamal Muara, dimana 100 responden yang berasal dari kelurahan
tersebut terkena banjir lebih dari 6 kali dalam 10 tahun terakhir. Data
selengkapnya disajikan pada Tabel 45.
127
Tabel 45 Frekuensi banjir rob dalam 10 tahun terakhir
No Kelurahan Frekuensi Terkena Banjir dalam 10 Tahun Terakhir (%)
0 kali 1-3 kali 4-6 kali >6 kali
1 Penjaringan 6 12 24 59
2 Tegal Alur 6 63 6 25
3 Kamal Muara 0 0 0 100
4 Pluit 0 35 18 47
5 Kapuk Muara 0 53 4 43
Total 2 31 9 58
Mayoritas responden (55 %) berpendapat bahwa kerugian akibat banjir
akan semakin buruk atau memburuk, 22 % sama saja dan 21 % akan membaik
(kerugian akan berkurang). Responden terbanyak yang berpendapat bahwa
kerugian akibat banjir sama saja berasal dari Kelurahan Pluit dan Tegar Alur,
sedangkan responden yang berpendapat bahwa kerugian akibat banjir akan
berkurang (membaik) mayoritas berasal dari Kelurahan Tegal Alur dan Kapuk
Muara. Data selengkapnya bisa dilihat pada Tabel 46.
Tabel 46 Kerugian akibat banjir dalam 10 tahun terakhir
No Kelurahan Kerugian Akibat Banir dalam 10 Tahun Terakhir
Semakin Buruk Memburuk Sama Saja Membaik Semakin Baik
1 Penjaringan 24 52 24 0 0
2 Tegal Alur 6 6 31 44 13
3 Kamal Muara 39 48 10 3 0
4 Pluit 26 21 38 12 3
5 Kapuk Muara 23 17 10 50 0
Total 26 29 22 21 2
4.5 Kegiatan Pengelolaan Kawasan Mangrove Muara Angke yang Telah
Dilakukan
4.5.1 Kebijakan
Hutan mangrove Muara Angke adalah bagian dari kawasan hutan
mangrove (bakau) Tegal Alur-Angke Kapuk di pantai utara Jakarta yang termasuk
ke dalam wilayah Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara. Pada tahun
1977, Menteri Pertanian dengan Keputusan Nomor 16/Um/6/1977 tanggal 10 Juni
1977 menetapkan kembali peruntukan kawasan Angke Kapuk sebagai: Hutan
128
Lindung (5 km sepanjang pantai dengan lebar 100 m), Cagar Alam Muara Angke,
Hutan Wisata, Kebun Pembibitan Kehutanan, dan Lapangan Dengan Tujuan
Istimewa (LDTI). Pembangunan Kawasan Kapuk Angke digagas oleh Pemerintah
DKI, sesuai arahan RUTR DKI 1965-1985, bertujuan untuk mengembangkan
areal tambak dan “eks-hutan” Angke-Kapuk yang terbengkalai, untuk perumahan
dan fungsi perkotaan lainnya.
Berdasarkan hasil tata batas di lapangan dan Berita Acara Tata Batas yang
ditandatangani pada tanggal 25 Juli 1994 oleh Panitia Tata Batas yang diangkat
dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Ibukota Jakarta Nomor 924 tahun
1989, diketahui bahwa hutan yang dipertahankan adalah seluas 327,70 ha.
Sehubungan dengan itu, Menteri Kehutanan menetapkan kembali peruntukan dan
fungsi kelompok Hutan Angke Kapuk sebagai: Hutan Lindung (44,76 ha), Hutan
Wisata (99,82 ha), Cagar Alam Muara Angke (25,02 ha), Lahan Dengan Tujuan
Istimewa (LDTI) yang meliputi Kebun Pembibitan (10,51 ha), Transmisi PLN
(23,07 ha), Cengkareng Drain (28,93 ha), Jalan tol dan Jalur Hijau (95,50 ha).
Cagar Alam Muara Angke dikukuhkan sebagai Suaka Margasatwa berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 097/Kpts-II/98, dengan
luas areal 25,02 ha, agar kondisinya dapat diperbaiki.
Kebijakan Pemda DKI Jakarta kedepan yang berkaitan dengan keberadaan
kawasan mangrove Muara Angke adalah: (1) Reklamasi Teluk Jakarta, (2)
Pembangunan Rel Kerata Api Manggarai - Bandara Soekarno Hatta, diperkirakan
mengurangi luas kawasan mangrove (LDTI) sekitar 16 ha. Khusus kebijakan
reklamasi Teluk Jakarta, Pemda DKI berkomitmen untuk tetap mempertahankan
kawasan mangrove dengan membangun kanal lateral (lebar 200 meter) dan
revitalisasi hutan lindung (sebelum dilakukan reklamasi).
4.5.2 Kelembagaan
Berdasarkan status, kawasan mangrove Muara Angke (478 ha) dikelola
oleh tiga pihak, yaitu: (1) Balai Konservasi Sumberdaya Alam pada kawasan
Suaka Margasatwa dan Taman Wisata Alam, (2) Dinas Kelautan dan Perikanan
pada kawasan Hutan Lindung dan LDTI, dan (3) PT. Murindra Karya Lestari
sebagai operator pengelola Taman Wisata Alam. Di samping itu masih terdapat
129
lahan 150,3 ha yang dikelola Kementrian Kelautan dan Perikanan (50 ha), dan
tambak masyarakat (100,3 ha).
Tingginya permasalahan lingkungan dan kondisi kawasan mangrove
Muara Angke, belum mampu diatasi dengan kondisi pengelolaan saat ini yang
cenderung kurang sinergis, kurang koordinasi dan belum terintegrasinya
pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke.
Beberapa pihak yang menjadi mitra dalam pengelolaan kawasan mangrove
adalah: Lembaga Swadaya Masyarakat, Swasta (Pantai Indah Kapuk,
Mediterania), dan Perguruan Tinggi. Tingginya minat dan kepedulian para pihak
dalam meningkatkan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke belum
mampu mewujudkan pengelolaan kawasan mangrove berkelanjutan.
4.5.3 Kegiatan Pengelolaan
Kegiatan pengelolaan sebelum tahun 1997 masih bersifat rutin
(pengawasan, penanaman, dan pemasangan batas), namun masih belum efektif.
Setelah tahun 1998 (Era Reformasi), secara perlahan kegiatan pengelolaan mulai
menunjukkan peningkatan (penertiban pal batas, penanaman, sarana prasarana
pengelolaan, dan kolaborasi pengelolaan). Pencanangan kegiatan rehabilitasi
mangrove dimulai 6 November 1999 (Hari Cinta Satwa dan Puspa) yang dihadiri
Menteri Lingkungan Hidup dan Wakil Gubernur DKI Jakarta dan Walikota
Jakarta Utara. Sejalan dengan kondisi tanaman yang mampu tumbuh baik dan
dinilai berhasil, maka Pemda DKI mendorong pihak-pihak Swasta utk membantu
rehabilitasi mangrove Muara Angke. Demikian pula Departemen Kehutanan
mengalokasikan anggaran untuk program pengelolaan mangrove Muara Angke.
Partisipasi Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi dan swasta dalam
rehabilitasi mangrove terus berlanjut sampai sekarang.
Kegiatan pengelolaan yang telah dilakukan antara lain: (1) Penguatan
batas kawasan, (2) Pembangunan sarana prasarana, (3) Penanaman dan
pemeliharaan, (4) Penanganan sampah, (5) Pengelolaan pengunjung, (6)
Penegakan hukum, (7) Penelitian, dan (8) Sosialisasi dan Koordinasi.
Upaya melegalkan kelembagaan pengelolaan yang melibatkan para pihak
(kolaboratif) sudah pernah dilakukan, namun karena pergantian pimpinan atau staf
130
yang bertanggung jawab menyebabkan perubahan komitmen tersebut, dan pada
akhirnya koordinasi dan sinkronisasi program pengelolaan yang semula sudah
hampir terwujud menjadi mentah lagi.
Dengan melihat kondisi mangrove di DKI Jakarta yang saat ini
terdegradasi, maka pemulihan ekosistem mangrove merupakan suatu kegiatan
yang cukup penting dilakukan secara terus menerus dan kontinyu. Hal ini
dimaksudkan untuk meningkatkan fungsi lindung, konservasi, dan sosial ekonomi
ekosistem mangrove. Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah Propinsi
DKI dalam hal ini melalui Dinas Pertanian dan Kehutanan telah melakukan
beberapa usaha-usaha ini di antaranya:
a. Rehabilitasi Mangrove
Dalam pelaksanaan rehabilitasi mangrove di kawasan hutan mangrove hal
mendasar yang perlu diperhatikan dalam survei pendahuluan ini adalah
kesesuaian lahan untuk rehabilitasi, seperti: jenis substrat, pasang surut, elevasi,
salinitas, musim, gelombang, ketersediaan buah, ketersediaan tenaga kerja, jenis
tanaman di sekitar lokasi, dan sejarah tanaman di sekitar lokasi sasaran.
Pelaksanaan dilakukan penyusunan aspek-aspek perencanaan berupa aspek: (1)
Aspek ekologis dan fisik lahan, (2) Aspek sosial ekonomi dan kelembagaan
masyarakat sekitar yang akan direhabilitasi, (3) Aspek finansial dari kegiatan
yang akan dilaksanakan, (4) Aspek teknis (terutama teknis silvikultur) untuk
melakukan kegiatan rehabilitasi yang direncanakan, dan (5) Aspek
ketenagakerjaan yang akan digunakan.
Tujuan rehabilitasi di DKI Jakarta lebih banyak pada fungsi lindung dan
konservasi. Sedangkan fungsi produksi tidak terdapat di DKI Jakarta. Pada
beberapa lokasi fungsi konservasi dan lindung yang seharusnya lebih banyak
menonjol, tetapi pada kenyataannya di lapangan kawasan banyak berubah menjadi
pertambakan liar. Dalam pelaksanaan rehabilitasi, tata hubungan kerja antara
berbagai stakeholder menjadi penting. Tata hubungan kerja ini termasuk
hubungan vertikal maupun horizontal. Dengan koordinasi yang baik diharapkan
terjadinya keterpaduan program dan tidak terjadi tumpang tindih kegiatan.
131
Secara umum ada 2 (dua) jenis bahan tanaman di dalam kegiatan
penanaman mangrove, yakni : (1) propagul dan (2) berupa anakan yang berasal
dari persemaian ataupun dari alam.
a.1. Penanaman dengan Menggunakan Propagul
Penanaman dengan menggunakan bahan tanaman berupa propagul secara
umum dilakukan pada jenis-jenis Rhizophora apiculata, R. mucronata, dan
R. stylosa yang mempunyai propagul yang cukup panjang. Propagul yang panjang
relatif lebih tahan terhadap genangan air pasang surut dan penggenangan air laut.
Penanaman dengan menggunakan propagul disarankan untuk penanaman untuk
waktu yang cepat dan lokasi luas, alasan penggunaan propagul antara lain:
Merupakan cara yang paling mudah, murah dan efektif
Sifat buah vivivar (berkecambah di pohon)
Propagul yang ditanam mempunyai kemampuan menghasilkan tunas
tambahan apabila hipokotil bagian atas rusak dan pembentukan akar cepat
Di habitat yang cocok, keberhasilannya lebih dari 90 % dan tegakan
biasanya tumbuh dengan baik dan seragam.
a.2. Penanaman dengan Menggunakan Bibit Persemaian
Penanaman dengan menggunakan anakan dari persemaian merupakan cara
yang efektif dalam mengatasi masalah predasi oleh kepiting, gangguan gulma
maupun pada substrat yang keras, berpasir atau lumpur yang terlalu dalam.
Anakan tanaman yang telah berkayu tahan terhadap serangan kepiting maupun
kera. Sistem pucuk dan perakaran yang terbentuk tahan terhadap terjangan air
pasang dan dapat berkompetisi dengan gulma.
Kriteria ini mencakup kegiatan penyulaman, pemeliharaan dan
monitoring. Dengan waktu dan frekuensi yang cukup akan memberikan gambaran
yang jelas di lapangan permasalahan dan kendala yang dihadapi. Dengan
demikian akan memudahkan pelaksana untuk mengambil langkah-langkah yang
diperlukan dalam menyelamatkan hasil penanaman.
Pemeliharaan dilakukan untuk meminimalkan faktor-faktor perusak yang
dapat menyebabkan kegagalan penanaman jenis pohon mangrove di antaranya
adalah: kepiting, kera/monyet, biawak, arus air laut, tumbuhan gulma, hama
132
serangga, dan erosi pantai. Faktor-faktor tersebut dimonitor secara teratur dengan
memperhatikan intensitas kerusakan dan dilakukan penanggulangan terhadap
kerusakan yang terjadi.
Terdapat perbedaan kondisi habitat pada lokasi yang dievaluasi sehingga
memerlukan pendekatan teknologi rehabilitasi yang berbeda pada setiap lokasi.
Untuk keberhasilan rehabilitasi mangrove pelaksana harus memaksimalkan
program perencanaan, pelaksanaan dan monitoring kegiatan secara baik dan
terpadu. Beberapa kegiatan rehabilitasi yang dilakukan di Kawasan hutan
mangrove di antaranya adalah:
i. Penanaman dengan Sea Defence di Hutan Lindung (Revitalisasi Hutan
Lindung)
Pembangunan breakwater permanen yang dibangun di lepas pantai
dimaksudkan untuk menahan hempasan gelombang laut dan menahan tumpukan
urugan tanah sebagai media tumbuhnya mangrove di belakang bangunan
breakwater tersebut. Dalam hal ini persyaratan utama breakwater yang akan
dibangun adalah selain dapat secara efektif menahan hempasan gelombang laut
dan media tanah, juga harus dapat menjamin masuk pasang surut air laut ke areal
penanaman mangrove di belakangnya, sehingga keberadaan breakwater tersebut
tetap menjamin sirkulasi air laut untuk pertumbuhan mangrove secara optimal.
Adapun breakwater yang dibangun di kiri kanan saluran air atau sungai
dimaksudkan untuk menahan tumpukan urugan tanah atau media tumbuh
mangrove sekaligus sebagai penguat pematang saluran air/sungai.
Berdasarkan hal tersebut di atas, breakwater yang akan dibangun adalah
breakwater model Rubber Mould. Pada dasarnya breakwater model tersebut
terdiri atas tumpukan batu mulai dari ukuran besar di bagian atas kecil di bagian
dalamnya. Dimensi breakwater ini ditentukan berdasarkan pertimbangan
kecepatan arus, kemiringan pantai, dan daya dukung tanah dasar laut.
133
Sumber : Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta, 2009
Gambar 11 Berbagai bentuk dimensi breakwater.
ii. Penanaman Mangrove dengan Sistem Guludan
Penanaman dengan teknis guludan dilakukan pada lokasi bekas tambak
yang terdapat di hutan kawasan Angke Kapuk karena mempunyai kedalaman 1,5
meter sampai 3 meter sehingga tidak memungkinkan ditanam dengan sistem
langsung.
134
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan DKI jakarta, 2009
Gambar 12 Penanaman mangrove dengan sistem guludan.
Pertumbuhan Tanaman dengan Metode
GULUDAN adalah 90 – 95 %
Metode ini digunakan untuk pelaksanaan RHL
pada bekas areal tambak liar yang tidak dapat
dilakukan dengan Metode Konvensional /
Tanam Langsung
Hak Paten Milik : Prof.Dr.Ir. Cecep
Kusmana, MS / Fahutan IPB
Gambar 13 Kondisi pertumbuhan tanaman mangrove dengan metode guludan.
135
iii. Penanaman dengan Bibit Langsung
Sumber : Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta, 2009
Gambar 14 Penanaman mangrove dengan bibit langsung.
b. Pembuatan Sarana Prasarana Pendukung di Kawasan Mangrove
Jakarta
b.1. Hutan Lindung Angke kapuk
Beberapa prasarana dan sarana pengelolaan telah dibangun oleh Dinas
Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta, seperti: jalan, pagar, perangkap
sampah/penahan gelombang dari bambu, shelter dan pos jaga (Gambar 14)
136
TAHUN 2000 TAHUN 2011
Gambar 15 Kondisi sarana prasarana pengelolaan tahun 2000 dan tahun
2011.
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan DKI jakarta, 2009
Gambar 16 Sarana dan prasarana di Hutan Lindung Angke Kapuk.
137
b.2. Jalan Tol Sedyatmo ( Telah di bangun Ekowisata Mangrove)
Beberapa prasarana dan sarana pengelolaan telah dibangun Dinas Kelautan
dan Pertanian DKI Jakarta, seperti : pintu gerbang, shelter, jalan, toilet, papan
informasi (Gambas 17).
b.3. Pengembangan Program Pendidikan Lingkungan dan Ekowisata
Kegiatan pendidikan lingkungan dan ekowisata telah dilakukan dengan
melibatkan banyak pihak, seperti:
a. Pelatihan pemandu (interpreter) juga telah dilakukan terhadap guru SD, guru
SLTP, pemuda, dan LSM
b. Penyusunan buku panduan, leaflet dan booklet tentang lokasi dan lingkungan
c. Dsb.
Gambar 17 Sarana dan prasarana di Ekowisata Mangrove.
Shelter Gerbang
Pusat Informasi Board Walk
138
b.4. Pengawasan, Penegakan Hukum, dan Kegiatan Lainnya
(a). Kegiatan pengawasan telah dilakukan dengan menugaskan polisi hutan
dan staf lapangan dengan maksud melakukan pengawasan batas kawasan
dan mempertahankan kondisi hutan mangrove dan isinya, ampai saat ini
sudah dibangun 7 pos pengamanan.
(b). Pemagaran batas kawasan hutan mangrove (Hutan Lindung) dengan
memakan biaya Rp. 7.000.000.00,- dan sosialisasi kepada stakeholder
tentang batas-batas kawasan hutan mangrove
(c). Pembangunan kawasan ekowisata mangrove dekat jalan Tol Soedyatmo
(d). Peningkatan sumberdaya manusia (pengelola) dengan kegiatan studi
banding dan pelatihan pelaksana konservasi
(e). Melakukan sosialisasi kepada masyarakat sekitar dan stakeholder dalam
rangka peningkatan peranserta parapihak dalam pengelolaan mangrove.
c. Pelebaran jalan Tol Soedyatmo, Rel Kereta Api, dan Green Wall
Pemerintah Indonesia memahami bahwa strategi untuk memacu
pertumbuhan ekonomi adalah dengan cara memprioritaskan pembangunan
infrastruktur berupa jalan tol antar kota khususnya di Propinsi DKI Jakarta yang
berorientasi ekspor dan akses dunia. Untuk menunjang strategi tersebut, sektor
perhubungan mendapatkan perhatian utama dalam penyediaan sarana dan
prasarana sehingga kegiatan transportasi semakin efisien. Jalan tol Soedyatmo
atau biasa dengan jalan tol Cengkareng merupakan jalan arteri jalur utama menuju
Bandara Internasional Soekarno Hatta dengan kepadatan lalu lintas yang tinggi
sehingga sering terjadi kemacetan, meningkatnya angka kecelakaan, dan lain
sebagainya.
Sejalan dengan itu, pemerintah DKI Jakarta telah menambah jalur Tol
Cengkareng menuju Bandara Udara Soekarno Hatta, serta akan menambah jalur
Kereta Api dari Stasiun Manggarai menuju Bandara Udara Soekarno Hatta.
Pembangunan tambahan jalan dan Rel Kereta Api telah dan akan mengurangi luas
hutan mangrove. Sejalan dengan keinginan Gubernur DKI Bapak Fauzi Bowo
yang menginginkan green wall di sepanjang kanan kiri jalan tol Soedyatmo. Oleh
karena itu untuk tetap mempertahankan keberadaan hutan mangrove dan
139
meningkatkan keindahan, serta membangun opini pembangunan yang peduli
lingkungan, maka perlu disusun Rencana Detail Engineering Design (DED)
rehabilitasi mangrove.
Rencana DED rehabilitasi dan pengelolaan mangrove di tol Soedyatmo ini
sepanjang lebih kurang 5 km pada kanan kiri jalan di mulai dari KM 21- KM 26
yang menjadi kewajiban Dinas Kelautan dan Pertanian Propinsi DKI Jakarta.
Kegiatan ini merupakan kegiatan lanjutan karena dari KM 26 sampai bandara
Soekarno Hatta sudah mempunyai rencana DED yang dikerjakan oleh Dinas
Pertamanan Propinsi DKI Jakarta. Konsep rehabilitasi dan pengelolaan mangrove
yang akan dituangkan dalam Dokumen DED adalah tetap mempertahankan hutan
mangrove dan menciptakan pemandangan hutan mangrove yang hijau, menarik
dan melestarikan keanekaragaman hayati, serta mendorong terciptanya persepsi
positif masyarakat bahwa Pemerintah DKI Jakarta peduli lingkungan dan
pelestarian mangrove.
d. Rencana Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta
Sesuai dengan Peta Rencana Tata Ruang Propinsi DKI Jakarta, kawasan
mangrove Angke Kapuk termasuk kawasan Hijau Lindung, yang di dalamnya
terdapat:
(1). Kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke (25,02 ha)
(2). Kawasan Hutan Lindung Mangrove (44,64 ha akan direvitalisasi menjadi
63,68 ha)
(3). Kawasan Taman Wisata Alam Mangrove Kamal (99,82 ha)
(4). LDTI
a. Kebun Bibit/Arboretum (10,51 ha)
b. Transmisi PLN (23,07 ha)
c. Jalan Tol dan Jalur Hijau (95,50 ha) sebelum dikurangi untuk penggunaan
jalan tol, dan pelebaran jalan tol Sedyatmo)
d. Riparian Cengkareng Drain (28,93 ha).
Rencana pemerintah daerah menjadikan kawasan Hijau Lindung ini
sebagai obyek wisata, konservasi mangrove dan keanekaragaman jenis burung,
daerah resapan air dan paru-paru kota tersebut perlu mendapat dukungan banyak
140
pihak. Oleh karena itu sudah seharusnya Pemerintah DKI Jakarta beserta
stakeholder yang turut peduli secepatnya merancang ke arah itu. Hal ini perlu
dilakukan agar manfaat dan fungsi mangrove kawasan Angke Kapuk tidak
mengalami penurunan.