3. URGENSI KEAHLIAN HUKUM KETENAGAKERJAAN/- … · UNDERSTANDING-DENGAN-BENTUK-AKTA-NOTARIS.docx...
Transcript of 3. URGENSI KEAHLIAN HUKUM KETENAGAKERJAAN/- … · UNDERSTANDING-DENGAN-BENTUK-AKTA-NOTARIS.docx...
3. URGENSI KEAHLIAN HUKUM KETENAGAKERJAAN/-PERBURUHAN BAGI PRAKTISI
Abdul Khakim, S.H., M.Hum. (Praktisi dan Penulis Buku-buku Hukum Ketenagakerjaan, tinggal di Balikpapan)
Mobile phone: 0813 5064 9990–0857 0521 0999
E-mail: [email protected]; [email protected]
Abstrak: Berdasarkan kajian yuridis dan empiris praktis penulis selama menggeluti
danmenangani beberapa kasus ketenagakerjaan, baik di pusat maupun daerah,
menunjukkan adanya ketidakahlian sebagian praktisi hukum ketenagakerjaan dalam menangani bidang ketenagakerjaan, termasuk penyelesaian perselisihan hubungan
industrial. Ketidakahlian tersebut terutama dialami oleh pengelola HR di perusahaan,
aparat instansi yang membidangi ketenagakerjaan di daerah (mediator hubungan
industrial), hakim dan hakim ad-hoc PHI, dan advokat. Bentuk-bentuk ketidakahlian
tersebut antara lain: adanya pemahaman yang tidak komprehensif dan kesalahpahaman
dalam menafsirkan dan menerapkan peraturan perundang-undangan. Untuk itu, ke
depannya perlu dilakukan upaya peningkatan kapasitas keahlian bagi para praktisi
hukum ketenagakerjaan yang berpedoman pada nurani dan berkeadilan, khususnya
bagi praktisi yang berada di daerah (provinsi/kabupaten/kota).
Kata kunci: Praktisi hukum ketenagakerjaan; urgensi keahlian
A. PENDAHULUAN
Mengutip slogan sebuah perusahaan BUMN “mengatasi masalah tanpa masalah”,
tampaknya patut juga diikuti oleh para praktisi hukum, termasuk praktisi hukum ketenaga-
kerjaan di tanah air. Tentu jangan sampai terjadi para praktisi hukum – entah karena kekhi-
lafan atau kesengajaannya – dalam menangani masalah atau kasus ternyata justeru menambah
masalah. Bahkan sering kita mendengar pemeo “mengapa dipermudah, jika bisa dipersulit.”
Jika pemeo ini sampai mengkooptasi mindset para praktisi hukum ketenagakerjaan, lalu apa
jadinya kondisi ketenagakerjaan di tanah air kita?
Batasan praktisi hukum ketenagakerjaan menurut Anggaran Dasar Perkumpulan Pengajar dan Praktisi Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (AD P3HKI) adalah setiap orang yang melakukan kegiatan praktis dalam bidang hukum ketenagakerjaan/hubungan industrial, yaitu manajer SDM, aktivis serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB), aparat instansi bidang
ketenagakerjaan, LSM ketenagakerjaan, dan lain-lain.1 Cakupan “dan lain-lain” menurut
penulis termasuk juga di dalamnya adalah mediator hubungan industrial, pegawai pengawas ketenagakerjaan, konsiliator hubungan industrial, arbiter hubungan industrial, hakim dan hakim ad-hoc PHI, dan advokat/konsultan hukum ketenagakerjaan.
Dari pengalaman praktik penulis dalam menggeluti dan menangani beberapa kasus
hukum ketenagakerjaan baik di pusat maupun daerah, kerap menemui “beberapa keanehan”
yang dilakukan oleh para praktisi hukum ketenagakerjaan tersebut. Padahal yang ditangani
adalah masalah atau hal yang menyangkut nasib pekerja/buruh dan atau kelangsungan
perusahaan. Bentuk-bentuk dari “beberapa keanehan” tersebut sekaligus merupakan masalah
karena tampak adanya ketidakahlian para praktisi hukum ketenagakerjaan yang antara lain
disebabkan faktor-faktor:
1 Akta Pendirian P3HKI Nomor 6 Tanggal 17 September 2016, yang telah disahkan melalui Keputusan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia RI Nomor: AHU-0074628.AH.01.07 Tahun 2016.
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 15/432
1. adanya pemahaman yang tidak komprehensif; dan
2. salah paham dalam menafsirkan atau menerapkan hukum.
B. METODE
Penulisan makalah ini dilakukan berdasar kajian yuridis dan empiris praktis penulis
selama menggeluti dan menangani beberapa kasus ketenagakerjaan baik di pusat maupun
daerah, dengan menggunakan bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer
diperoleh dari peraturan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan, termasuk putusan
pengadilan hubungan industrial. Bahan hukum sekunder diperoleh dari pustaka hukum,
beberapa anjuran Pegawai Perantara atau Mediator Hubungan Industrial, materi pelatihan,
bahan dari internet, dan lain-lain.
C. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
1. Adanya Pemahaman yang Tidak Komprehensif
Beberapa peristiwa kasus yang sebenarnya tidak perlu terjadi dan berkembang rumit
apabila setiap permasalahan ketenagakerjaan ditangani oleh manajer atau staf HR yang tidak
memiliki keahlian karena adanya pemahaman yang tidak komprehensif. Contohnya antara lain:
1. perundingan perjanjian kerja bersama (PKB) yang berlarut-larut hingga memakan
waktu berbulan-bulan, yang hanya berdebat masalah ”titik koma” dan hal-hal
yang tidak substansial, karena ditangani oleh HR atau oknum yang tidak memahami roh hukum ketenagakerjaan dan teknis pembuatan/perundingan PKB.
2. perselisihan antar-serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan
2 hingga
sampai berlanjut ke lembaga legislatif daerah (1998).
3. perselisihan alokasi tim perunding PKB terkait dengan multi union di satu
perusahaan.3
4. perselisihan jaminan pemeliharaan kesehatan, di mana perusahaan di samping memberikan jaminan melalui program Jamsostek juga melalui ASKES (2004).
5. perselisihan hak karena tidak diberikannya upah kerja lembur, tidak adanya
jaminan sosial dan tunjangan hari raya keagamaan (2005).
2 Umumnya perselisihan antar-serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan itu terjadi akibat perbedaan jumlah
anggota dan atau selisih iuran anggota SP/SB. Sesuai pengalaman penulis (1984-2017), ketika Manajer HR mampu menengahi perselisihan ini tentu akan selesai dengan baik.
3 Yang sering terjadi adalah perebutan jumlah personil yang mewakili dalam tim perundingan PKB. Padahal hal tersebut sudah diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 28 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.
Secara historis tentang pembuatan PKB (dahulu disebut KKB = Kesepakatan Kerja Bersama) ini sebelumnya pernah diatur dalam:
a. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1985 tentang Pelaksanaan Tata Cara Pembuatan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB).
b. Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi Nomor PER-02/MEN/1978 tentang Peraturan
Perusahaan dan Perundingan Pembuatan Perjanjian Perburuhan.
c. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-48/MEN/IV/2004, dan kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER-08/MEN/III/2006.
d. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER-16/MEN/XI/2011 tentang Tata Cara Pembuatan dan
Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.
Perselisihan tersebut juga dapat terjadi karena ketidakpahaman pengurus SP/SB, apalagi jika pengurus SP/SB masih pemula (baru menjadi pengurus SP/SB).
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 16/432
6. pengusiran oleh karyawan dan masyarakat setempat secara serentak terhadap
seorang Manajer HR yang selama ini dianggap terlalu arogan (2008).4
7. perselisihan tentang kebijakan tambahan makanan berbuka puasa (2010), di mana
sebelumnya perusahaan memberikan dalam bentuk natura senilai Rp7.500,00
(tujuh ribu lima ratus rupiah) kemudian diganti dengan uang tunai hanya
Rp3.000,00 (tiga ribu rupiah).5
8. polemik penentuan status kecelakaan yang menimpa karyawan (2012), apakah
kecelakaan kerja, kecelakaan tambang, atau kecelakaan lalulintas?6
Penulis juga memiliki pengalaman menarik mengenai adanya pemahaman yang tidak
komprehensif oleh sebagian praktisi hukum ketenagakerjaan tentang asas pacta sunt
servanda. Di mana ada pihak yang berpendapat “sepenggal” bahwa semua pihak bebas
membuat perjanjian tentang apa saja dan itu mengikat para pihak yang membuatnya. Padahal
pembuatan suatu perjanjian jelas ada syarat sahnya suatu perjanjian, salah satu diantaranya
syarat tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Demikian halnya dalam sistematika Burgelijk Wetboek Indonesia Buku III Bab Kedua
Bagian Kedua Pasal 1320 menerangkan untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (de toestemming van degenen die zichverbiden);
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om eene
verbitenisaan te gaan);
3. Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp); dan
4. Suatu sebab yang diperbolehkan (eene geoorloofde oorzaak).
Untuk itu mengenai syarat sahnya perjanjian pada sistem Civil Law yang diterapkan di
Indonesia melalui Pasal 1320 Burgelijk Wetboek7 menunjukkan bahwa syarat tersebut bersifat
4 Arogansi timbul diantaranya karena Manajer HR tersebut tidak memiliki keahlian dalam menangani bidang
ketenagakerjaan, termasuk pemahaman tentang hukum ketenagakerjaan. Berbagai masalah muncul ke permukaan antara lain iuran jaminan sosial, upah kerja lembur, pajak penghasilan, dan cara-cara komunikasi yang buruk terakumulasi dan memicu gerakan karyawan bersama masyarakat setempat untuk mengusir Manajer HR tersebut keluar dari lokasi perusahaan yang berdekatan dengan perkampungan masyarakat di wilayah Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat.
Di samping salah satunya memahami hukum ketenagakerjaan, seorang Manajer HR seharusnya juga memiliki kepiawaian dalam membina hubungan dengan karyawan dan masyarakat di sekitar perusahaan.
5 Padahal jika Manajer HR memiliki keahlian yang memadai dan mematuhi rambu-rambu hukum ketenagakerjaan tentu masalah tersebut bisa dihindari.
6 Menjadi polemik secara serius ketika seorang staf perusahaan yang membidangi safety (Januari 2012) – menurut standar keilmuan dan pengalaman jelas tidak kompeten – menyatakan bahwa suatu kecelakaan yang dialami oleh seorang karyawan dalam waktu dan jam kerja serta melalui jalan yang wajar dianggap statusnya bukan kecelakaan kerja dengan berbagai argumen yang tidak berdasar hukum, dan statement itu dibenarkan oleh Kepala Teknik Tambang (KTT). Bahkan staf safety tersebut beranggapan bahwa yang berwenang menetapkan suatu kecelakaan kerja adalah Kepala Teknik Tambang (KTT). Secara hukum dan berdasar bukti-bukti fakta di lapangan tampaknya oknum staf tersebut tidak bisa membedakan antara kecelakaan kerja, kecelakaan tambang, dan kecelakaan lalu lintas?
Berdasarkan fakta dan data serta pengamatan penulis atas kejadian tersebut di lapangan dan merujuk peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (pada saat itu), bahwa kejadian kecelakaan tersebut secara hukum statusnya adalah kecelakaan kerja, karena
karyawan tersebut usai melaksanakan tugas belanja barang kebutuhan perusahaan secara rutin dan barang-barang tersebut dibawanya pulang ke site, dalam waktu dan jam kerja serta route jalan yang wajar dilaluinya.
7 Ketentuan tersebut kemudian diadopsi ke dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Artinya, kesepakatan yang tertuang dalam setiap perjanjian kerja juga wajib memenuhi keempat persyaratan secara kumulatif.
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 17/432
kumulatif, artinya setiap perjanjian harus memenuhi keempat persyaratan tersebut secara
bersama-sama. Hal ini terlihat jelas perbedaan syarat sahnya suatu perjanjian antara sistem
CivilLaw dengan sistem Common Law.8
Beberapa contoh pemahaman yang tidak komprehensif, diantaranya:
a. Seorang Ketua Pengadilan Negeri di salah satu wilayah DKI Jakarta (2005)
berpendapat bahwa perjanjian kerja dapat dibuat apa saja, sepanjang disepakati
kedua belah pihak.9
Padahal dalam sistem hukum ketenagakerjaan terdapat hal yang spesifik sehingga
banyak peraturan yang bersifat spesialis (lex specialis) yang harus dipatuhi dan tidak bisa diabaikan begitu saja. Dalam sistem hukum perdata umum mungkin
bisa saja demikian, itupun wajib tetap tunduk dan mematuhi ketentual Pasal 1320 KUH Perdata.
b. Salah satu Direktur (2006) dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI
(sekarang Kementerian Ketenagakerjaan RI) berpendapat bahwa besaran UMSP/-UMSK boleh ditetapkan di bawah 5% (lima persen) dari UMP/UMK sepanjang disepakati oleh asosiasi pengusaha dan SP/SB. Menurut penulis pendapat itu jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 91 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan (disingkat UUK)10
dan Pasal 5 Peraturan Menteri
Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1999. Yang ada dalam argumennya hanya kata “sepakat”, padahal masih ada syarat “sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.”
Dalam ketentuan Pasal 5 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-
01/MEN/1999 tentang Upah Minimum11
telah menetapkan bahwa nilai UMSP
8 http://m-notariat.narotama.ac.id/wp-content/uploads/2016/05/KEKUATAN-HUKUM-KLAUSULA-YANG-DIBUAT- UNTUK-TIDAK-MENGIKAT-PARA-PIHAK-DALAM-KONTAK-BISNIS-MEMORANDUM-OF-UNDERSTANDING-DENGAN-BENTUK-AKTA-NOTARIS.docx (diakses pada hari Minggu, 27 Agustus 2017 pukul 07.27 Wita).
9 Disampaikan pada saat penulis mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan
Industrial, di Jakarta, 3–20 Oktober 2005, diselenggarakan atas kerjasama Mahkamah Agung RI dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI.
Untuk tidak menyesatkan peserta yang background-nya bukan sarjana hukum, waktu itu sempat penulis sanggah. Dimaklumi bahwa persyaratan untuk dapat diangkat menjadi Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial serendah-
rendahnya S1, tidak harus sarjana hukum, kecuali bagi Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung (Pasal 64 huruf g Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).
10 Dalam ketentuan Pasal 91 ayat (1) UUK dinyatakan bahwa:
“Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikatpekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Bahkan Pasal 91 ayat (2) UUK menegaskan bahwa:
“Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturanperundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/-buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
11 Sekarang peraturan tersebut sudah dicabut dan diganti dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum.
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 18/432
harus lebih besar sekurang-kurangnya 5% dari UMP, dan UMSK harus lebih
besar sekurang-kurangnya 5% dari UMK.12
Jadi jelas bahwa antara asas kebebasan berkontrak dan asas pacta sunt servanda
harus sejalan dan seirama. Asas kebebasan berkontrak bukanlah berarti perjanjian
dapat dibuat sebebasnya tanpa mematuhi rambu-rambu atas syarat-syarat sahnya
suatu perjanjian. Oleh karenanya apabila suatu perjanjian itu bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan, kepatutan, dan ketertiban umum, maka batal demi
hukum artinya perjanjian itu dianggap tidak pernah ada.13
c. Salah satu Pemateri Diklat Calon Hakim Ad-Hoc PHI Tahun 2015, yang menyata-
kan bahwa dalam prosedur mogok kerja terdapat ketentuan “izin”.14
Hal ini jelas-
jelas bertentangan dengan Pasal 140 ayat (1) UUK yang hanya mengatur “wajib memberitahukan secara tertulis” kepada pengusaha dan instansi yang membidangi ketenagakerjaan setempat. Secara hukum tidak ada “kewajiban izin” dalam prosedur mogok kerja, karena mogok kerja merupakan hak dasar pekerja/buruh (Pasal 137 UUK).
2. Salah Paham dalam Menafsirkan atau Menerapkan Hukum
Pengalaman terkait kesalahpahaman dalam menafsirkan atau menerapkan hukum, diantaranya:
1. Anjuran Pegawai Perantara15
Dinas Tenaga Kerja Kota Samarinda Nomor
567.182/DTK.III-D/VI/2004 tanggal 8 Juni 2004 pada butir (9) halaman 6, menyatakan bahwa Perjanjian Kerja II (= SPK II) yang sudah ditandatangani oleh sebagian besar klien penulis pada tanggal 6 April 2004 untuk Kelompok Angkatan Perawat I sebagai perjanjian kerja yang belum dapat dikatakan berlaku. Dengan alasan karena: (1) terjadi kesalahpahaman dan atau adanya perbedaan penafsiran para pihak, dan (2) baru ditandatangani sepihak (perawat) atau belum ditanda-tangani oleh Manajemen RS “X”, sehingga berakibat tidak sahnya perjanjian itu.
Menurut penulis, tidak ada satupun ketentuan undang-undang yang mengatur
bahwa tidak berlakunya perjanjian karena adanya kesalahpahaman dan atau
perbedaan penafsiran, dan tidak ada syarat sahnya suatu perjanjian adalah tanda-
tangan para pihak. Berlaku tidaknya suatu perjanjian tergantung dari terpenuhi
tidaknya syarat-syarat sahnya perjanjian, baik syarat subjektif maupun syarat
objektif (periksa Pasal 52 UUK jo. Pasal 1320 KUH Perdata). Di sana ditegaskan
bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah kesepakatan kedua belah pihak
atau kesepakatan para pihak. Bahkan dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri
Tenaga Kerja Nomor PER-02/MEN/1993 tentang Kesepakatan Kerja Waktu
12 Ketentuan ini sudah tidak berlaku, tidak ada lagi pembatasan sekurang-kurangnya 5% (lima persen). Yang penting UMSP tidak boleh lebih rendah dari UMP dan UMSK tidak boleh lebih rendah dari UMK (periksa ketentuan Pasal 11 ayat (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum).
13 Abdul Khakim, 2017, Aspek Hukum Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB)–Seri Hukum Ketenagakerjaan, Cet. I, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 51–52.
14 Terdapat dalam materi “Hak Mogok dan Bentuk Aksi Industrial Lainnya” yang disampaikan oleh Junaedi, (hal. 11) pada
Diklat Calon Hakim Ad-Hoc PHI yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI di Mega Mendung, Bogor, 7–19 Desember 2015.
15 Sekarang Mediator Hubungan Industrial atau disingkat Mediator (Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 19/432
Tertentu (KKWT)16
menyatakan bahwa salah satu syarat KKWT adalah dibuat atas
kemauan kedua belah pihak. Jadi jelas dalam konteks ini syarat sahnya perjanjian
kerja bukan karena tanda tangan para pihak, tetapi kesepakatan atau kemauan kedua
pihak. Yang secara faktual dibuktikan dengan adanya Surat Edaran dari HRD & GA
Manager RS “X” Nomor 0.014.Ed.HRD tertanggal 3 April 2004 yang memanggil
perawat untuk menandatangani perjanjian kerja merupakan bentuk kesepakatan atau
kemauan pihak Manajemen RS “X.” Di samping itu, demi kepastian hukum, sesuai
dengan surat edaran tersebut seharusnya pada hari dan saat yang sama (tanggal 6
April 2004, antara pukul 08.00–15.30 Wita) Manajemen RS “X” juga wajib
menandatangani SPK II, karena pihak Manajemen RS “X sendiri yang memanggil
para perawat untuk tandatangan SPK II.
Akibatnya pula Manajemen RS “X” tidak bisa serta merta menghindar dan
menyatakan tidak sepakat atas SPK II, karena alasan belum adanya tandatangan
Manajemen RS “X” sendiri. Sesuai fakta hukum bahwa format perjanjian kerja
atau standar kontrak adalah dibuat dan disiapkan sendiri oleh pihak Manajemen
RS “X.” Tentu tidak ada logika hukum yang dapat membenarkan Manajemen RS
“X” untuk kemudian menolak atau tidak menyetujui format perjanjian kerja yang
dibuatnya sendiri? Persoalan belum ditandatangani SPK II oleh Manajemen RS
“X” hanyalah persoalan administrasi yang bersifat internal. Sedangkan
konsekuensi hukum ke eksternal dalam konteks hubungan kerja adalah tetap
mengikat kedua pihak, sepanjang tidak/belum ada kesepakatan perubahan atau
pembatalan perjanjian tersebut oleh kedua pihak yang bersangkutan.
Tegasnya lagi bahwa sejak pekerja/buruh telah menandatangani perjanjian kerja, maka pada saat itu pula Pengusaha memiliki tanggung jawab hukum yang melekat karena perjanjian, termasuk memberikan segala perlindungan tenaga kerja seperti jaminan atas kesehatan, resiko kecelakaan kerja, resiko kematian, dan lain-lain yang secara normatif menjadi hak pekerja/buruh (Pasal 2 Peraturan Pemerintah
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah).17
Dalam hal ini Manajemen
RS “X” tidak dapat menghindar dari kewajiban tersebut. Oleh sebab itu pendapat Pegawai Perantara yang menyatakan bahwa perjanjian kerja (SPK II) belum dapat
dikatakan berlaku merupakan pendapat yang keliru dan tidak berdasar hukum.18
Berdasarkan ketentuan undang-undang (Pasal 52 UUK, Pasal 1320 KUH Perdata,
dan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-02/MEN/1993),
secara hukum perjanjian kerja tersebut tetap berlaku sejak perawat yang bersang-
kutan menandatanganinya. Asas dalam hukum perjanjian bahwa perjanjian tidak
dapat dibatalkan sepihak, tanpa adanya kesepakatan kedua pihak pula (Pasal 55
UUK). Dengan demikian, tidak ada alasan bagi Manajemen RS “X” untuk tidak
membayar gaji dan hak-hak normatif lainnya selama perjanjian (SPK II) masih
16 Sejak tanggal 21 Juni 2004, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-02/MEN/1993 tentang Kesepakatan Kerja
Waktu Tertentu (KKWT) ini sudah dicabut dan diganti dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
17 Ketentuan Pasal 50 UUK menyatakan bahwa “Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusahadan pekerja/buruh.”
Selanjutanya ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan menyatakan bahwa “Hakpekerja/buruh atas upah timbul pada saat terjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan dan berakhir pada saat putusnya hubungan kerja.”
18 Bahkan penulis sempat menduga bahwa penanganan kasus ini sudah “masuk angin” karena adanya konspirasi beberapa pihak, bahkan melibatkan oknum kuli tinta harian lokal di daerah Kaltim.
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 20/432
berlaku, karena tidak/belum diubah atau dibatalkan berdasarkan kesepakatan kedua pihak.
Permasalahan tersebut di atas juga diperparah lagi dengan adanya kebijakan politis kepala daerah – sebagai salah satu dampak sistem Pemerintahan otonomi daerah yang menerapkan asas desentralisasi – di mana gubernur/bupati/walikota begitu mudahnya memutasikan aparat teknis bidang ketenagakerjaan yang sudah mulai “mapan” ke instansi/bagian lain yang tidak terkait sama sekali dengan
bidang ketenagakerjaan.19
Akibatnya urusan ketenagakerjaan yang begitu
kompleks ditangani oleh aparat baru yang harus belajar dari nol tentang seluk beluk ketenagakerjaan. Lantas, keahlian apa yang mereka miliki dan apa yang bisa diperbuat, orang baru mau belajar?
2. Advokat dalam praktik beracara di Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri Samarinda, melampirkan fotocopy beberapa peraturan perundang-undangan sebagai salah satu bukti tertulis (2006).
Menurut penulis hal ini tentu tidak perlu dilakukan, karena yang harus dibuktikan oleh pihak-pihak yang beperkara bukanlah hukumnya, melainkan peristiwa atau hubungan hukumnya.
Riduan Syahrani (2009) berpendapat bahwa hakim selalu dianggap
telahmengetahui hukum yang akan diterapkan, baik hukum yang tertulis maupun
hukum yang tidak tertulis yang hidup di tengah masyarakat. Hakim harus mela-
kukan pengkajian terhadap peristiwa-peristiwa tersebut, kemudian memisahkan
mana peristiwa yang relevan (relevant) dan mana yang tidak (irrelevant).20
Hakim selalu dianggap mengetahui akan hukumnya dari setiap kasus yang di-
adilinya (asas ius curia novit). Berdasar asas ini menurut Syahrul Machmud
(2014) bahwa hakim sama sekali tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara
dengan alasan hakim tidak mengetahui hukumnya, atau hukumnya belum ada.
Untuk itu hakim diwajibkan untuk menggali baik melalui metode penafsiran
hukum, atau penemuan hukum dari hukum yang tidak tertulis, dan akhirnya
menciptakan hukum. Untuk itu diperlukan banyak hakim yang berpikir progresif
bukan penganut aliran legalitas sempit yang bersandar pada hukum yang positif
(hukum tertulis) semata.21
3. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya 151/G/2015/PHI.Sby yang menggunakan referensi PHK dengan Kepu-tusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-150/MEN/2000 tentang Penyelesaian
19 Kecenderungan praktik di daerah (provinsi/kabupaten/kota), yang ditunjuk menjadi kepala instansi yang membidangi
ketenagakerjaan biasanya dari tim sukses atau titipan tim sukses atau karena faktor kepentingan politis praktis, yang umumnya tidak memahami bidang ketenagakerjaan. Ditambah aparat atau staf yang juga tidak memahami bidang ketenagakerjaan. Bagaimana jadinya urusan ketenagakerjaan di daerah? Beruntung, jika personil yang ditunjuk itu cepat berusaha adaptasi dan segera belajar banyak tentang seluk beluk bidang ketenagakerjaan.
20 Riduan Syahrani, 2009, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Cet. V, Edisi Revisi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 85.
21 Syahrul Machmud, 2014, Hukum Acara Khusus pada Pengadilan Hubungan Industrial, Cet. I, Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta, h. 122.
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 21/432
Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan
Masa Kerja, dan Ganti Kerugian (disingkat Kepmen 150/2000).22
Mengenai Putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri
Surabaya bernomor 151/G/2015/PHI.Sby, menyatakan putus hubungan kerja antara PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk dengan Anis Tri Handoko, terhitung
sejak Senin (28/3/2016). Demikian diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, yang dipimpin oleh Hakim Jihad Arkanuddin selaku Ketua Majelis Hakim.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011 tanggal 20
Juni 2012, pengaturan PHK karena perusahaan melakukan efisiensi yang diatur
dalam Pasal 164 ayat (3) UUK, yang bukan diakibatkan dari kesalahan pekerja
tidak dibolehkan, kecuali perusahaan tutup secara permanen. Namun, Hakim
Jihad menerapkan ketentuan Pasal 27 ayat (1) Kepmen 150/2000. Dalam
ketentuan tersebut, PHK pekerja perorangan yang bukan karena kesalahan
pekerja, dibolehkan sepanjang pekerja dapat menerima PHK tersebut.
Dalam putusan bernomor 151/G/2015/PHI.Sby, Hakim Jihad mendasarkan per-
timbangan untuk menggunakan Kepmen 150/2000 adalah pada ketentuan Pasal
191 UUK dan Pasal 125 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (disingkat UUPPHI). “Menim-
bang, bahwa oleh karenanya PHK dapat dilakukan oleh Penggugat kepada
Tergugat sesuai ketentuan Pasal 191 UUK jo. Pasal 125 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial jo. Pasal 27 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-
150/MEN/2000, dengan mewajibkan kepada Pengusaha untuk membayarkan hak-
hak Pekerja, dengan mendapatkan uang pesangon sebesar 2 kali ketentuan Pasal
156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 kali ketentuan Pasal 156
ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” tandas Hakim Jihad.
Penulis berpendapat bahwa untuk menilai suatu putusan pengadilan (PHI) secara
objektif sebaiknya perlu membaca keseluruhan isi putusannya. Jika hanya parsial,
bisa salah persepsi. Namun demikian, jika Majelis Hakim menggunakan Pasal 191
UUK, menurut penulis itu salah tafsir terhadap pasal tersebut. Dalam ketentuan
Pasal 191 UUK sudah jelas dan tegas dinyatakan bahwa "Semua peraturan pelak-
sanaan yang mengatur ketenagakerjaan tetap berlaku sepanjang tidak berten-
tangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan undang-
undang ini.” Dalam klausul ini terdapat 2kalimat penting yang harus
difahami,yakni "sepanjang tidak bertentangan" dan "belum diganti dengan
peraturan baru.” Berdasarkan asas lex superior derogat lex inferior, secara hukum
Kepmen tersebut bertentangan karena sudah diatur dalam undang-undang baru,
baik UUK maupun UUPPHI.
22 Yang kemudian diubah dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP-78/MEN/2001 tentang
Perubahan atas Beberapa Pasal Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-150/MEN/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Ganti Kerugian.
Padahal sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yakni tanggal 25 Maret 2003 otomatis peraturan tersebut tidak berlaku, karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi hierarkinya (Pasal 191 UUK).
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 22/432
Jatmiko (2010) berpendapat bahwa Kepmen 150/2000 secara hukum sebenarnyamasih berlaku dan sampai saat ini belum ada produk hukum yang mencabut Kepmen 150/2000. Jadi kali ada hakim menggunakan Kepmen 150/2000 hal itu juga tidak bertentangan, dan sebenarnya untuk Pekerja akan lebih diuntungkan jika pesangon berdasarkan Kepmen 150/2000 hak-hak pekerja jauh lebih banyak diuntungkan. Contoh saja untuk mengundurkan diri di Kepmen 150/2000 akan mendapatkan lebih banyak pesangon daripada mengunakan UUK yang hanya mendapatkan 15%. Dari pertimbangan tersebut mungkin Hakim menggunakan Kepmen 150/2000 untuk memberikan hak yang lebih untuk
pekerja.23
Menurut penulis, tanpa dicabut pun apabila Kepmen 150/2000 itu
digunakan, berdasar asas lex superior derogat lex inferior secara hukum tetap bertentangan dengan Undang-Undang yang hierarkinya lebih tinggi. Yang kedua, semua sudah jelas diatur dalam Pasal 150–172 UUK, dan jika terjadi perselisihan mekanismenya juga sudah diatur dalam UUPPHI. Pertanyaan yang mendasar, jika Kepmen 150/2000 harus tetap diberlakukan, formulasinya menggunakan Pasal 22–33 Kepmen 150/2000 atau Pasal 150–172 UUK? Secara hukum tentu wajib menggunakan ketentuan Pasal 150–172 UUK. Secara sosial dan ekonomis, adakah pekerja/buruh yang paling dirugikan hak-haknya (termasuk hak-hak yang terkait dengan PHK)? Apabila para pihak ingin hubungan industrial berjalan harmonis, maka kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan menjadi mutlak harus dijalankannya.
4. Mediator Hubungan Industrial pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Provinsi DKI Jakarta melakukan mediasi terhadap perselisihan PHK di mana
pekerja/buruh yang bersangkutan berlokasi kerja di wilayah Kabupaten Kutai
Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur (2017).24
5. Advokat mengajukan gugatan perselisihan PHK kepada pengadilan hubungan
industrial (2017) di mana bukan daerah hukum tempat pekerja/buruh bekerja
(Pasal 81 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perseli-
sihan Hubungan Industrial).25
Guna menyikapi kondisi terhadap beberapa permasalahan tersebut di atas, maka
peningkatan keahlian hukum ketenagakerjaan bagi praktisi tentu tidak dapat diabaikan begitu saja dan karenanya menjadi penting. Demikian pula perlunya kebijakan politik para kepala
daerah yang mendukung terciptanya peningkatan keahlian para aparat yang membidangi
23 https://www.linkedin.com/groups/2462584/2462584-6143380518844067841 (diakses pada Rabu, 8 Juni 2016 pukul
10.03 Wita). 24 Kemudian Mediator Hubungan Industrial mengeluarkan anjuran nomor: 59/Anj/D/XI/2016 tertanggal 30 Nopember 2016,
yang salah satu amar anjurannya (butir 7) menyatakan bahwa: “Apabila salah satu pihak atau para pihak menolak anjuran,maka
para pihak atau salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dengan tembusan Mediator Hubungan Industrial.”Padahal ketentuan Pasal 8 UUPPHI,
menyatakanbahwa:“Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada di setiap kantor instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.” Pasal 81 UUPPHI tegas menyatakan bahwa:
“Gugatanperselisihan hubungan industrial diajukan kepada pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri yang
daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja.”Lagi pula berdasarkan Perjanjian Kerja tanggal 31 Oktober 2011,
telahdisepakati bahwa tempat/domisili kerja Para Penggugat untuk proyek batubara perusahaan yang berlokasi di Tenggarong,
Kalimantan Timur. Dengan demikian, mediator yang berwenang melakukan mediasi atas perselisihan PHK tersebut adalah
Mediator Hubungan Industrial dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan
Timur, bukan Mediator Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi DKI Jakarta.
25 Berdasarkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 75/Pdt.Sus-PHI/2017/PN.JKT.PST (tanggal 22 Mei 2017) salah satunya dinyatakan bahwa Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat secara relatif tidak berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan Para Penggugat.
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 23/432
ketenagakerjaan di daerah, apalagi sudah menyangkut hak dan kepentingan pihak lain yakni
pekerja/buruh dan pengusaha. Dengan kalimat lain bahwa praktisi hukum ketenagakerjaan
mutlak harus memiliki keahlian sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing dalam
setiap menangani permasalahan ketenagakerjaan untuk ikut berperan aktif menegakkan
hukum ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di tanah air.
Jika tidak, maka permasalahan ketenagakerjaan baik di daerah maupun di pusat bisa jadi akan
bertambah banyak dan semakin kompleks lagi. Ujung-ujungnya akan berimbas terhadap
kondusivitas hubungan industrial yang dapat mengganggu kelangsungan dunia usaha dan
stabilitas keamanan baik di tingkat nasional maupun daerah.
D. KESIMPULAN
Berdasarkan paparan di atas menunjukkan masih adanya ketidakahlian dari sebagian
praktisi hukum ketenagakerjaan di tanah air dalam menangani peristiwa atau permasalahan
ketenagakerjaan, termasuk perselisihan hubungan industrial. Untuk itu ke depannya diperlu-
kan upaya serius, sistematis, dan berkesinambungan dari semua stakeholder guna mengatasi
permasalahan tersebut yakni dengan meningkatkan kapasitas keahlian para praktisi hukum
ketenagakerjaan sesuai tugas dan fungsi masing-masing dengan berpedoman pada nurani dan
keadilan di atas bunyi undang-undang.
Bentuk-bentuk upaya yang perlu dilakukan tersebut antara lain:
1. Kementerian Ketenagakerjaan dan Dinas/Instansi yang Membidangi Ketenaga-kerjaan di Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota):
a. menyediakan anggaran yang memadai untuk:
program bimbingan teknis hukum ketenagakerjaan bagi aparat yang membidangi ketenagakerjaan.
program pendidikan dan pelatihan hukum ketenagakerjaan bagi pengusaha, pekerja/buruh, dan serikat pekerja/serikat buruh.
b. melaksanakan program pendidikan dan pelatihan hukum ketenagakerjaan
bagi aparat yang membidangi ketenagakerjaan, pengusaha, pekerja/buruh, dan serikat pekerja/serikat buruh.
c. melakukan monitoring dan evaluasi secara berkesinambungan terhadap efek-
tivitas program pendidikan dan pelatihan hukum ketenagakerjaan yang telah dilaksanakan.
d. menetapkan kebijakan tentang optimalisasi pemanfaatan dan pengendalian
aparat teknis ketenagakerjaan di daerah untuk tidak begitu mudah dimutasi-kan oleh kepala daerah ke instansi/bagian lain yang tidak terkait dengan
bidang ketenagakerjaan.
2. Mahkamah Agung – melaksanakan program pendidikan dan pelatihan hukum
ketenagakerjaan secara intensif, khususnya bagi hakim-hakim karir yang baru
menangani perkara perselisihan hubungan industrial, dan hakim-hakim ad-hoc
PHI yang baru direkrut. Jika perlu juga ditindaklanjuti dengan refresh pelatihan
hukum ketenagakerjaan, yang sekaligus update beberapa peraturan baru sesuai
dengan perkembangan.
3. Pengusaha dan Organisasi Pengusaha:
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 24/432
a. mengalokasikan anggaran untuk peningkatan kapasitas pengelola SDM tentang hukum ketenagakerjaan.
b. melaksanakan program pendidikan dan pelatihan hukum ketenagakerjaan
baik inhouse training maupun public training.
c. mengadakan program pendampingan dan pembinaan khususnya bagi penge-lola HR pemula.
4. Serikat Pekerja/Serikat Buruh - meningkatkan kapasitas pengurus serikat pekerja/-
serikat buruh untuk memperdalam hukum ketenagakerjaan, melalui:
a. program pendidikan dan pelatihan, baik yang dilaksanakan secara internal organisasi serikat pekerja/serikat buruh maupun instansi/lembaga lain.
b. belajar mandiri melalui media massa atau aktif berkonsultasi kepada instansi
yang membidangi ketenagakerjaan, advokat/konsultan hukum, atau pihak-pihak lain yang berkompeten.
c. kerjasama dengan perguruan tinggi, lembaga bantuan hukum, atau konsultan
hukum setempat.
5. Stakeholder yang lain:
a. Organisasi Advokat:
menambah bobot materi hukum acara peradilan hubungan industrial dalam Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), yang sebelumnya hanya 2 sesi menjadi 3 atau 4 sesi.
melaksanakan kegiatan workshop atau focus group discussion untuk pen-dalaman hukum ketenagakerjaan dan teknik beracara di pengadilan hubungan industrial (khususnya bagi advokat pemula).
b. Perguruan Tinggi (Fakultas Hukum):
meningkatkan kapasitas pengajar hukum ketenagakerjaan dengan secara
aktif mengikutsertakan dalam kegiatan workshop, diskusi atau semacam-nya.
menambah SKS untuk mata kuliah hukum ketenagakerjaan, yang semula hanya 2 SKS menjadi 3 atau 4 SKS.
meningkatkan kegiatan ekstra bagi mahasiswa untuk memperdalam hukum ketenagakerjaan, termasuk praktik beracara di pengadilan hubungan indus-trial.
DAFTAR PUSTAKA
A. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum.
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 25/432
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Nomor75/Pdt.Sus-PHI/2017/PN.JKT.PST (tanggal 22 Mei 2017).
B. Buku-buku dan Lain-lain
Abdul Khakim, 2017, Aspek Hukum Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, dan PerjanjianKerja Bersama (PKB) – Seri Hukum Ketenagakerjaan, Cet. I, PT Citra Aditya Bakti,Bandung.
Dinas Tenaga Kerja Kota Samarinda, Anjuran Pegawai Perantara Nomor: 567.182/DTK-III-D/VI/2004 (tanggal 8 Juni 2004).
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi DKI Jakarta, Anjuran Mediator HubunganIndustrial Nomor: 59/Anj/D/XI/2016 (tanggal 30 Nopember 2016).
http://m-notariat.narotama.ac.id/wp-content/uploads/2016/05/KEKUATAN-HUKUM- KLAUSULA-YANG-DIBUAT-UNTUK-TIDAK-MENGIKAT-PARA-PIHAK-
DALAM-KONTAK-BISNIS-MEMORANDUM-OF-UNDERSTANDING-DENGAN-BENTUK-AKTA-NOTARIS.docx(diakses pada hari Minggu, 27 Agustus
2017 pukul 07.27 Wita).
https://www.linkedin.com/groups/2462584/2462584-6143380518844067841 (diakses pada
hari Rabu, 8 Juni 2016 pukul 10.03 Wita).
Junaedi, 2015, Hak Mogok dan Bentuk Aksi Industrial Lainnya, Materi Pendidikan dan Calon
Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial, yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, di Mega Mendung, Bogor, 7–19
Desember 2015.
Perkumpulan Pengajar dan Praktisi Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (P3HKI), Akta Pen-
dirian Nomor 6 Tanggal 17 September 2016, yang telah disahkan melalui KeputusanMenteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor: AHU-0074628-
AH.01.07 Tahun 2016.
Riduan Syahrani, 2009, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Cet. V, Edisi Revisi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Syahrul Machmud, 2014, Hukum Acara Khusus pada Pengadilan Hubungan Industrial, Cet.
I, Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta.
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 26/432