(3) Soca-r. Hendayana-nilai Tukar Petani

16
1 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NILAI TUKAR PETANI 1) RACHMAT HENDAYANA Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor ABSTRACT This paper aim to identification and the affecting factors analysis of farmer’s exchange rate (FER). The survey was conducted in North Sumatera covers 60 farmers and 15 trader’s respondent in FY 1995/1996 using descriptive analysis with simple statistical model. The results indicated (a) During FY 1987-1994 periods, the trend of FER value was decreasing, (b) The value of FER affected by rice yield, output price, consumer goods price and the fertilizer price. The rice yield and output price are positive impact, while the fertilizer price is negative impact. (c) Through the regression models knowing that one percent FER improvement will be rising about 0.02 percent rice production and farmers income Rp 1.285,8. (d) To improvement of FER, the regulation or policy for out put and input price are needed. Keywords: Farmers Exchange Rate, Rice Yield, Output, Consumer Goods, Fertilizer and Farmer’s Income. PENDAHULUAN Sejak mengendurnya perhatian pemerintah terhadap pertanian padi setelah dicapainya swasembada beras tahun 1984, kesejahteraan petani padi tampak semakin merosot. Hal ini tampak dari ketimpangan harga-harga yang diterima petani dari hasil penjualan produknya dengan harga-harga yang harus dibayar petani untuk keberlangsungan proses produksnya, yang lazim disebut Nilai Tukar Petani. Menurut data BPS, nilai tukar produk pertanian terhadap produk industri di Pulau Jawa dan beberapa propinsi diluar Jawa sejak tahun 1992 hingga pertengahan 1993 cenderung merosot. Hingga akhir Agustus 1993, indek nilai tukar produk petani rata-rata pada empat propinsi di Jawa menunjukkan 93,23 (tahun dasar 1983), yang berarti terjadi penurunan sekitar 6,8 persen dari angka 101,94 pada periode yang sama tahun 1992. Nilai tukar produk pertanian tahun 1992 rata-rata masih 99,75 sedangkan pada tahun 1991 adalah 104,85. Penurunan nilai tukar petani terjadi juga di Sumatera Utara. 1) Makalah telah disajikan dalam Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Agribisnis Berbasis Sumberdaya Lokal dan Teknologi Ramah Lingkungan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara, Manado, Tgl 26 – 27 November 2001

description

NTP

Transcript of (3) Soca-r. Hendayana-nilai Tukar Petani

Page 1: (3) Soca-r. Hendayana-nilai Tukar Petani

1

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NILAI TUKAR PETANI1)

RACHMAT HENDAYANA

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor

ABSTRACT

This paper aim to identification and the affecting factors analysis of farmer’s exchange rate (FER). The survey was conducted in North Sumatera covers 60 farmers and 15 trader’s respondent in FY 1995/1996 using descriptive analysis with simple statistical model. The results indicated (a) During FY 1987-1994 periods, the trend of FER value was decreasing, (b) The value of FER affected by rice yield, output price, consumer goods price and the fertilizer price. The rice yield and output price are positive impact, while the fertilizer price is negative impact. (c) Through the regression models knowing that one percent FER improvement will be rising about 0.02 percent rice production and farmers income Rp 1.285,8. (d) To improvement of FER, the regulation or policy for out put and input price are needed.

Keywords: Farmers Exchange Rate, Rice Yield, Output, Consumer Goods, Fertilizer and Farmer’s Income.

PENDAHULUAN

Sejak mengendurnya perhatian pemerintah terhadap pertanian padi setelah

dicapainya swasembada beras tahun 1984, kesejahteraan petani padi tampak

semakin merosot. Hal ini tampak dari ketimpangan harga-harga yang diterima petani

dari hasil penjualan produknya dengan harga-harga yang harus dibayar petani untuk

keberlangsungan proses produksnya, yang lazim disebut Nilai Tukar Petani. Menurut

data BPS, nilai tukar produk pertanian terhadap produk industri di Pulau Jawa dan

beberapa propinsi diluar Jawa sejak tahun 1992 hingga pertengahan 1993 cenderung

merosot. Hingga akhir Agustus 1993, indek nilai tukar produk petani rata-rata pada

empat propinsi di Jawa menunjukkan 93,23 (tahun dasar 1983), yang berarti terjadi

penurunan sekitar 6,8 persen dari angka 101,94 pada periode yang sama tahun 1992.

Nilai tukar produk pertanian tahun 1992 rata-rata masih 99,75 sedangkan pada tahun

1991 adalah 104,85. Penurunan nilai tukar petani terjadi juga di Sumatera Utara.

1) Makalah telah disajikan dalam Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Agribisnis Berbasis

Sumberdaya Lokal dan Teknologi Ramah Lingkungan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara, Manado, Tgl 26 – 27 November 2001

Page 2: (3) Soca-r. Hendayana-nilai Tukar Petani

2

Oleh karena perkembangan nilai tukar petani merupakan salah satu penentu

tingkat pendapatan riil petani dan juga seringkali disebut sebagai indikator tingkat

kesejahteraan petani (Simatupang 1992), maka menurunnya nilai tukar petani dapat

berpengaruh negatif terhadap tingkat pendapatan riil petani. Tim Unpad (1981)

menunjukkan bahwa menurunnya nilai tukar hasil produksi pertanian dapat langsung

mempengaruhi daya beli masyarakat tani, sebaliknya makin baik nilai tukar komoditi

pertanian tertentu, semakin baik pula kedudukan pertanian terhadap industri dan

semakin bergairah petani untuk meningkatkan produksinya, sehingga kelestarian

swasembada beras/pangan dapat terjamin.

Penelitian bertujuan mengetahui perkembangan nilai tukar petani dan

mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhinya. Kasus yang dibahas adalah

kegiatan usahatani di Sumatera Utara. Hasil penelitian diharapkan memberikan

masukan bagi aparat terkait dalam menetapkan kebijakan harga komoditas pertanian,

sehingga petani sebagai produsen memperoleh nilai tambah yang layak dari

usahataninya.

METODOLOGI PENELITIAN

Kerangka Pemikiran

Nilai Tukar Petani (NTP) merupakan hubungan antara hasil pertanian yang dijual

petani dengan barang dan jasa lain yang dibeli oleh petani. Secara konsepsional nilai

tukar petani adalah mengukur kemampuan tukar barang-barang (produk) pertanian

yang dihasilkan petani dengan barang atau jasa yang diperlukan untuk konsumsi rumah

tangga petani dan keperluan dalam memproduksi barang-barang pertanian. Di sini

petani dalam kapasitas sebagai produsen dan konsumen.

Dalam kapasitas petani sebagai produsen, dapat dihitung nilai tukar petani (NTP)

terhadap biaya produksi dan penambahan barang modal, sedangkan jika petani dalam

kapasitas khusus sebagai konsumen dihitung NTP terhadap konsumsi rumah tangga

petani, dan besaran indeks yang disebut NTP adalah hasil bagi antara indeks harga

yang diterima (dari hasil produksi) dengan indeks harga yang dibayar petani untuk

keperluan rumah tangga petani dan atau keperluan dalam memproduksi barang-barang

pertanian. NTP dibatasi sebagai nisbah antara indeks harga yang diterima petani

Page 3: (3) Soca-r. Hendayana-nilai Tukar Petani

3

dengan indeks harga yang dibayar petani.

Indeks harga yang diterima petani (It) adalah perbandingan antara harga yang

diterima petani pada tahun berlaku dengan harga tersebut pada tahun dasar. Sedang

perbandingan antara harga yang dibayarkan petani pada tahun berlaku dengan harga

yang dibayarkan petani pada tahun dasar merupakan indeks harga yang dibayarkan

petani (Ib) (BPS 1994). NTP ditentukan oleh interaksi antara empat unsur harga yang

terpisah, yaitu harga luaran pertanian, harga masukan pertanian, harga luaran sektor

industri perkotaan (non pertanian) dan harga masukan sektor non-pertanian.

Pemerintah dapat mempengaruhi keempat harga-harga di atas dengan tujuan yang

sangat khusus.

Kalau semua campur tangan pemerintah ini dikombinasikan, maka akan

terbentuklah nilai tukar sektor pertanian/pedesaan terhadap sektor perkotaan atau

industri. Oleh karena itu, nilai ini dapat dipakai sebagai petunjuk tentang keuntungan di

sektor pertanian dan kemampuan daya beli barang dan jasa dari pendapatan petani.

Jika seandainya campur tangan pemerintah ini tidak ada, maka nilai tukar akan

ditentukan oleh kekuatan pasar.

Beberapa peneliti dan hasil perhitungan BPS sendiri senantisa menunjukkan

bahwa hasil tukar komoditas pertanian cenderung menurun setiap tahun (Simatupang,

1992; Simatupang dan Isdijoso, 1992). Artinya, kemerosotan dalam nilai tukar hasil

pertanian, atau penurunan tingkat harga pertanan relatif terhadap harga barang dan

jasa lain mengakibatkan penurunan pendapatan riil petani.

Dalam jangka pendek tampaknya menurunnya NTP tidak berpengaruh pada

petani untuk mengurangi atau menghentikan kegiatan usahatani. Hal ini antara lain

karena petani tidak memiliki keterampilan untuk menekuni profesi lain di bidang non-

pertanian, petani tidak punya modal cukup untuk bergerak di bidang non-pertanian, dan

kondisi lahan pertanian yang ada hanya menguntungkan bagi petani untuk

menghasilkan produksi pertanian.

Kecenderungan rendahnya NTP akan dapat mengurangi insentif petani

meningkatkan produktivitas pertanian secara optimal dalam jangka panjang. Kondisi

demikian dapat mengurangi laju peningkatan produksi relatif terhadap laju peningkatan

konsumsi dalam negeri, sehingga swasembada pangan terutama beras yang telah

Page 4: (3) Soca-r. Hendayana-nilai Tukar Petani

4

tercapai selama ini bisa terancam kelestariannya.

Walaupun sebagai suatu konsep, nilai tukar sudah jelas dengan sendirinya, di

dalam penelitian empiris besaran angka ini sangat tergantung kepada implikasi apa

yang ingin ditarik darinya. Sementara ini di Indonesia, baik secara konsepsional

maupun dalam penelitian empiris, rumus nilai tukar yang sering digunakan yaitu:

(1) Konsep barter: yang menunjukkan harga nisbi suatu komoditas tanaman terpilih

yang dihasilkan petani terhadap barang niaga bukan-pertanian yang dibutuhkan

petani dengan rumus matematis : Px

NT = x 100 Py

Px adalah harga atau indeks harga komoditas yang dihasilkan petani dan Py

adalah harga atau indeks harga komoditas yang dibeli petani.

(2) Konsep faktor tunggal: yang menunjukkan pengaruh perubahan teknologi

terhadap nilai tukar (1) dan dirumuskan sebagai:

NT* = Ey x NT

Ey adalah tingkat produktivitas komoditas pada waktu tertentu diukur sebagai

nisbah nilai hasil dibagi biaya produksi yang dikorbankan per hektar untuk

memperoleh hasil.

(3) Konsep pendapatan: yang menyatakan nisbah nilai hasil yang diproduksi petani

dengan nilai keluaran per hektar untuk memperoleh hasil, sehingga ditulis

sebagai :

Px.Qx NT = x 100

Py.Qy

(4) Konsep subsisten: menyatakan nilai hasil komoditas yang dihasilkan petani,

yang mampu ditukarkan dengan sejumlah nilai barang yang diperlukan petani

untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari bersama rumah tangganya

(Badan Litbang - UKSW 1984). Konsep ini dirumuskan sebagai berikut :

Px Qx NT = x 100 (PyQy) + (PzQz)

yang mana z adalah satuan komoditas yang dibeli petani guna memenuhi

Page 5: (3) Soca-r. Hendayana-nilai Tukar Petani

5

kebutuhan hidupnya.

(5) Konsep BPS: Nilai tukar yang dihitung oleh BPS ini lebih mendekati rumus

nomor (4) yang mana indeks harga yang diterima dan indeks harga yang dibeli

petani dihitung menurut metode Laspeyres. Sehingga besaran nilai tukar yang

dipublikaskan oleh BPS dirumuskan sebagai berikut : It

NT = x 100, Ib dan

Pt

x Pt-1 Qo Pt-1

It = x 100 PoQo

It adalah indeks dan Pt adalah harga bulan ke-t; Pt-1Qo adalah nilai konsumsi bulan ke t-

1 dan PoQo adalah nilai konsumsi tahun dasar.

Dengan melihat batasan-batasan tersebut, penelitian ini menggunakan

pendekatan perhitungan nilai tukar parsial dan nilai tukar agregat tergantung pada jenis

data yang ada. Nilai tukar adalah fungsi dari indeks harga yang diterima dan indeks

harga yang dibayar oleh petani. Sedangkan indeks harga yang diterima petani adalah

fungsi dari indeks harga tanaman bahan makanan dan perdagangan serta indeks harga

yang dibayar petani adalah fungsi dari indeks harga konsumsi rumah tangga dan indeks

harga biaya produksi dan penambahan barang modal.

Selanjutnya indeks harga yang diterima petani untuk tanaman bahan makanan

merupakan fungsi dari indeks harga padi, palawija, sayur-sayuran, dan buah-buahan.

Indeks harga yang dibayar petani untuk konsumsi rumah tangga merupakan fungsi dari

indeks harga makanan, perumahan, pakaian, aneka barang dan jasa; indeks harga

yang dibayar petani untuk biaya produksi dan penambahan barang modal adalah fungsi

dari biaya untuk non-faktor produksi, faktor produksi dalam hal ini upah dan lainnya,

serta penambahan barang modal (Gambar 1).

Page 6: (3) Soca-r. Hendayana-nilai Tukar Petani

6

Gambar 1. Unsur pembentuk nilai tukar agregat

Data dan Sumber Data

Penelitian dilakukan di Propinsi Sumatera Utara pada tahun 1995/1996. Dari

propinsi ini dipilih dua kabupaten yang dianggap dapat mewakili daerahnya sebagai

daerah surplus dan defisit. Di tiap kabupaten diambil dua kecamatan dan masing-

masing kecamatan satu desa. Dengan demikian terdapat 2 kabupaten, 8 kecamatan

dan 8 desa contoh.

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder tingkat propinsi. Data

primer dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan

(kuesioner) yang telah disiapkan terlebih dahulu. Responden yang diwawancarai

mencakup petani yang penghasilan utamanya dari pertanian tanaman pangan,

pedagang input (faktor) produksi pertanian, pedagang konsumsi bahan pokok serta

pedagang aneka komoditi lain yang dikonsumsi petani/penduduk. Penetapan

responden yang diwawancarai dilakukan secara acak sederhana sebanyak 60 orang

petani dan 15 orang pedagang .

Data yang dikumpulkan meliputi keterangan tentang jumlah, jenis dan harga

faktor produksi pertanian yang digunakan, jumlah, jenis dan harga produksi pertanian,

pendapatan dan pengeluaran rumah tangga (yang mengandung nilai pasar),

sebaran/distribusi komoditi yang diperdagangkan serta persepsi pengaruh kebijakan

NILAI TUKAR

Indeks Harga yang diterima petani

Indeks konsumsi rumah tangga

Indeks tanaman bahan makanan

Indeks padi, palawija, isayuran dan buah-buahan

Indeks Perkebunan Indeks makanan, perumahan, Pakaian dan Indeks aneka barang

dan jasa

Indeks harga yang dibayar petani

Indeks non faktor produksi

Indeks biaya produksi dan penambahan barang modal

Indeks faktor produksi, upah dan lainnya

Indeks Penambahan barang modal

Page 7: (3) Soca-r. Hendayana-nilai Tukar Petani

7

pemerintah yang dirasakan responden terutama tentang harga faktor produksi dan

penentuan harga dasar gabah. Sebagai pelengkap akan dikumpulkan data sekunder di

tingkat desa, kecamatan, kabupaten maupun propinsi, melalui data statistik,

Kanwil/dinas pertanian, serta informasi dari beberapa informan kunci.

Analisis Data

Beberapa konsep yang dipakai adalah :

NT1 = Nisbah Harga Produk (padi atau palawija atau hasil tambak atau ternak) dengan

harga barang konsumsi (industri) seperti sabun.

NT2 = Nisbah Harga Produk dengan Harga Minyak Tanah

NT3 = Nisbah Harga Produk dengan Harga Gula Pasir

NT4 = Nisbah Produk dengan Harga Minyak Kelapa

NT5 = Nisbah Harga Produk dengan Harga Pupuk (tertimbang)

NT6 = Nisbah Harga Produk dengan Upah Tenaga Kerja

NT7 = Nisbah Harga Produk dengan Harga Pestisida (nilai)

NT8 = Nisbah Harga Produk dengan Harga Pakaian (nilai)

Untuk selanjutnya dilakukan analisis regresi sebagai berikut :

NT = f (Marketable Surplus, Produktivitas, Perbedaan antara Harga Produk dengan

Harga Dasar, Harga Barang Industri lain, Status Pemilikan Lahan, Lama

Pendidikan KK, Luas Pemilikan, Sumber Pendapatan Utama, dll.). f dapat

berupa fungsi linear, logaritma, atau transformasi logaritma.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Nilai Tukar Sektor Pertanian

Pada dasarnya secara konsepsional nilai tukar petani menunjuk pada angka

perbandingan antara harga yang diterima dengan harga yang dibayar petani. Di dalam

pembahasan selanjutnya, konsep nilai tukar ini berkembang sesuai dengan tujuan yang

ingin diperoleh. Untuk melihat perkembangan nilai tukar petani di Sumatera Utara.

pembahasannya dipilih menurut sektor pertanian dan subsektor pangan dari data BPS

(sekunder) maupun data primer. Selanjutnya atas dasar hasil kajian nilai tukar tersebut,

Page 8: (3) Soca-r. Hendayana-nilai Tukar Petani

8

dilakukan analisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar tersebut.

Kajian tentang nilai tukar oleh BPS di Sumatera Utara telah dimulai

pendataannya sejak lama, akan tetapi publikasinya baru muncul tahun 1993. Nilai tukar

yang dikemukakan BPS di Sumatera Utara ini menggunakan tahun dasar 1987. Tahun

1987 itu digunakan pula sebagai tahun dasar dalam perhitungan nilai tukar di 10

propinsi lainnya diluar Jawa.

Menurut BPS (1992) yang dimaksud nilai tukar petani adalah angka

perbandingan antara indeks harga-harga yang diterima petani (It) dengan indeks harga

yang dibayar petani (Ib) yang dinyatakan dalam persentase.Indeks harga yang diterima

petani merupakan indeks harga yang menunjukkan perkembangan harga produsen dari

hasil-hasil produksi petani. Sedangkan indeks harga yang dibayar petani adalah harga

yang menunjukkan perkembangan harga biaya faktor produksi, bukan faktor produksi,

barang-barang modal yang dibeli dan barang-barang/jasa-jasa untuk kebutuhan rumah

tangga petani.

Indeks harga yang diterima petani meliputi dua kelompok yaitu kelompok

tanaman bahan makanan (padi, palawija, sayur-sayuran dan buah-buahan), dan

kelompok tanaman perdagangan rakyat. Sedangkan indeks harga yang dibayar petani

meliputi dua kelompok besar yaitu konsumsi rumah tangga (KRT) dan kelompok Biaya

Produksi & Penambahan Barang Modal (BPPBM).

Kelompok KRT mencakup makanan, perumahan, pakaian dan aneka barang

dan jasa. Kelompok BPPBM mencakup biaya produksi, non faktor produksi dan

penambahan barang modal. Formula yang dipakai untuk menghitung nilai tukar petani

(NTP) adalah :

It

NTP = x 100 Ib

Dalam hal ini:

NTP = Nilai tukar petani,

It = Indeks harga yang diterima petani, dan

Ib = Indeks harga yang dibayar petani

Page 9: (3) Soca-r. Hendayana-nilai Tukar Petani

9

Adapun rumus indeks yang digunakan merupakan modifikasi indeks Laspeyres.

Asumsi yang digunakan dalam penggunaan indeks ini adalah:

a. Trend harga tidak dipengaruhi oleh perbedaan atau perubahan kualitas atau

spesifikasi.

b. Perbedaan harga antara lokasi tidak berpengaruh.

c. Bisa dilakukan penggantian spesifikasi atau kualitas barang.

Berdasarkan ketetapan diatas diperoleh gambaran tentang indeks harga yang

diterima, yang dibayar dan nilai tukar petani, sebagai berikut.

Indeks Harga yang Diterima Petani

Dalam kurun waktu 7 tahun (1987-1994) indeks harga yang diterima petani di

Sumatera Utara menunjukkan peningkatan yang cukup pesat yaitu meningkat 35,6

persen, atau rata-rata meningkat sekitar 5,09 persen per tahun. Laju peningkatan

indeks yang diterima ini lebih banyak disebabkan oleh besarnya sumbangan indeks

yang diterima dari tanaman bahan makanan (TBM).Indeks harga yang diterima dari

TBM meningkat pesat dari tahun dasar (1987) dengan indek 100 menjadi 163,9 pada

tahun 1994. Dilihat dari perkembangan tiap tahunnya, terdapat kecenderungan yang

terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya.

Indeks harga yang diterima dari tanaman perkebunan rakyat (TPR) keragaannya

tidak sebaik TBM. Indeks TBM dari tahun dasar (1987=100) meningkat menjadi 107,32

pada tahun 1988. Akan tetapi dari tahun 1988 sampai 1994 (Januari) TPR menurun

hingga pada indeks 68,1.

Indeks Harga yang Dibayar Petani

Indeks harga yang dibayar petani untuk konsumsi rumah tangga (KRT) dan

Biaya Produksi & Penambahan Barang Modal (BPPBM) dalam kurun waktu 7 tahun

(1987-1994) juga mengalami peningkatan. Bahkan peningkatan indeks harga yang

dibayar petani ini lebih cepat lajunya dibandingkan dengan laju perkembangan indeks

harga yang diterima petani. Berdasarkan tahun dasar 1987(=100), indeks harga yang

dibayar petani pada tahun 1994 telah meningkat menjadi 164,0.

Peran paling besar dalam membentuk percepatan laju indeks harga yang dibayar

Page 10: (3) Soca-r. Hendayana-nilai Tukar Petani

10

petani ini paling besar bersumber dari harga BPPBM. Indeks harga BPPBM ini pada

tahun 1994 meningkat menjadi 171,9 dari tahun dasar 1987(=100). Sedangkan indek

KRT peningkatannya dibawah BPPBM yaitu sekitar 162,4 pada tahun 1994.Gambaran

ini sekaligus menunjukkan adanya laju pembangunan yang cukup pesat. Indikatornya

tampak pada laju indeks BPPEM yang lebih besar daripada laju indeks KRT.

Nilai Tukar Petani

Nilai tukar petani (NTP) sektor pertanian di Sumatera Utara yang dihitung

berdasarkan perbandingan indeks harga yang diterima dengan indeks harga yang

harus dibayar petani selama periode 7 tahun dari 1987-1994 (Februari) menunjukkan

kecenderungan menurun. Sejak tahun 1990 NTP di Sumatera Utara selalu dibawah

standar (tahun dasar 1987=100) dan tampaknya persentase penurunan yang terjadi

cenderung semakin besar.

Indeks harga yang diterima dalam perhitungan NTP tersebut bersumber dari dua

kelompok yaitu kelompok Tanaman Bahan Makanan (TBM) dan kelompok Tanaman

Perdagangan Rakyat (TPR). Sedangkan indeks yang dibayar petani juga meliputi dua

kelompok besar yaitu Konsumsi Rumah Tangga (KRT) dan Biaya Produksi dan

Penambahan Barang Modal (BPPBM).

Jika ditelaah secara cermat, semakin menurunnya NTP di Sumatera Utara dalam

kurun waktu tujuh tahun tersebut pada dasarnya terkait dengan perkembangan indeks

harga yang diterima petani yang lebih lamban lajunya dibandingkan dengan laju indeks

harga yang dibayar petani. Laju indeks harga yang diterima petani sampai tahun 1994

(Februari) meningkat 35,6 persen dari tahun dasar (1987=100), sedangkan harga yang

dibayar petani perkembangannya lebih cepat yaitu mencapai 64 persen.

Jika ditelusuri lebih jauh pada perkembangan unsur-unsur pembentuk indeks

yang diterima petani (Tabel 1) diketahui bahwa indeks harga yang diterima petani dari

tanaman bahan makanan menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Indeks

harga yang diterima pada setiap tahunnya selama kurun waktu 1988-1994 (Februari)

selalu di atas standar. Pada tahun 1993 rata-rata indeksnya mencapai 167,7 atau

meningkat 67,7 persen dari tahun dasar (1987=100). Dilihat dari perkembangan ini

tampaknya tanaman bahan makanan ini dapat diandalkan petani sebagai salah satu

andalan sumber pendapatan.

Page 11: (3) Soca-r. Hendayana-nilai Tukar Petani

11

Tabel 1. Nilai Tukar Petani di Sumatera Utara Tahun 1987 - 1994

No. Tahun Indeks Harga yang diterima Petani (It)

Indeks Harga yang dibayar Petani (Ib) NTP

TBM TPR INMUM KRT BPPBM INMUM

1 1987 100 100 100 100 100 100 100

2 1988 121.8 111.8 110.7 111.6 108.9 110.1 109.1

3 1989 134.5 118.7 122.9 119.4 113.3 109.4 112.6

4 1990 142.6 125.9 132 126.9 113.3 108 112.4

5 1991 144.8 131.7 133.6 132.3 109.9 108.4 109.4

6 1992 162.6 147.8 154.3 148.2 110 105.4 109.7

7 1993 167.7 161.6 170.9 158.9 103.8 98.1 105.5

8 1994 163.9 162.4 171.9 164 100.9 95.3 99.9

Keterangan: NTP =Nilai Tukar Petani TBM =Tanaman Bahan Makanan TPR =Tanaman Perdagangan Rakyat INMUM =Indeks Umum KRT =Konsumsi Rumah Tangga BPPBM =Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal

Perkembangan yang kurang menggembirakan terjadi pada indeks harga yang

diterima dari tanaman perdagangan rakyat (TPR). Sejak tahun 1989, indeks yang

diterima dari TPR ini selalu di bawah standar. Bahkan tampak adanya kecenderungan

yang lebih menurun. Dari gambaran perkembangan indeks harga yang diterima petani

ini, tampaknya penyebab kecenderungan menurunnya nilai tukar petani ditinjau dari

segi indeks harga yang diterima petani lebih banyak disebabkan oleh merosotnya

perkembangan indeks harga tanaman perdagangan rakyat (TPR).

Nilai Tukar Sub Sektor Tanaman Bahan Makanan (TBM)

Tanaman bahan makanan yang diperhitungkan BPS dalam analisis NTP adalah

meliputi komoditas padi, palawija (jagung, kedele, ketela pohon dan ketela rambat),

sayur-sayuran (buncis, bawang merah, cabe, dan lain-lain) dan buah-buahan (jeruk,

nenas, pepaya, dan pisang).Secara agregat telah dikemukakan bahwa perkembangan

indeks harga yang diterima dari sub sektor ini cenderung terus meningkat. Peningkatan

harga tercermin dari semua komoditas pangan. Dari segi percepatannya,

perkembangan harga yang diterima dari padi menunjukkan laju yang paling cepat

Page 12: (3) Soca-r. Hendayana-nilai Tukar Petani

12

diikuti buah-buahan, palawija dan sayuran.

Jika perkembangan indeks harga yang diterima dari TBM ini diperhitungkan nilai

tukarnya dengan indeks harga yang harus dibayar petani baik KRT, BPPBM dan

kelompok (KRT + BPPBM) seperti disajikan dalam Tabel 2 diperoleh gambaran berikut.

Nilai tukar TBM terhadap KRT secara parsial selama kurun waktu 1988-1984 (Februari)

menunjukkan perkembangan yang fluktuatif, akan tetapi nilainya masih di atas tahun

dasar. Sementara itu terhadap BPPBM nilai tukar TBM ini menunjukkan gejala

penurunan.

Tabel 2. Nilai Tukar Tanaman Bahan Makanan terhadap Konsumsi Rumah Tangga (KRT) dan Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal (BPPBM)

No Tahun (It) (Ib)

NTP-1 NTP-2 NTP-3 TBM KRT BPPBM INMUM

1 1987 100 100 100 100 100 100 100

2 1988 121.8 111.8 110.7 111.6 108.9 110.1 109.1

3 1989 134.5 118.7 122.9 119.4 113.3 109.4 112.6

4 1990 142.6 125.9 132 126.9 113.3 108 112.4

5 1991 144.8 131.7 133.6 132.3 109.9 108.4 109.4

6 1992 162.6 147.8 154.3 148.2 110 105.4 109.7

7 1993 167.7 161.6 170.9 158.9 103.8 98.1 105.5

8 1994 163.9 162.4 171.9 164 100.9 95.3 99.9

Keterangan:

NTP-1 =Nilai Tukar TBM terhadap KRT NTP-2 =Nilai Tukar TBM terhadap BPPBM NTP-3 =Nilai Tukar TBM terhadap INMUM (KRT + BPPBM)

Gejala penurunan nilai tukar terjadi sejak tahun 1989. Indeks NT TBM pada

tahun 1988 menunjukkan angka 110,0 dan pada tahun berikutnya indeks NT TBM

semakin berkurang secara bertahap. Walaupun menurun, nilai indeks NT sampai tahun

1992 masih berada di atas tahun dasar yaitu masih menunjukkan angka 105,4. Baru

pada tahun 1993, NT TBM ini berada di bawah NT TBM pada tahun dasar (98,1).

Terhadap indeks kelompok (KRT dan BPPBM), NT TBM menunjukkan

perkembangan yang fluktuatif akan tetapi masih baik karena diatas tahun dasar. Indeks

NT TBM pada tahun 1994 (<100) belum dapat dihitung dengan pasti mengingat data

yang tersedia baru sampai Februari 1994.

Page 13: (3) Soca-r. Hendayana-nilai Tukar Petani

13

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar Petani

Untuk menelaah hubungan antara NTP dengan faktor-faktor yang diduga

mempengaruhinya dilakukan melalui analisis regresi linear logaritma. Regresi dilakukan

melalui tiga pendekatan yaitu Musim Hujan 1993/1994 (MT I), Musim Kemarau 1994

(MT II) dan sepanjang tahun (ST). Pendekatan tersebut dilakukan untuk menangkap

kemungkinan adanya karakteristik tertentu yang muncul dalam tiap musim tanam.

Dalam pembahasan tersebut peubah yang dibahas tidak ada perbedaan. Kecuali pada

analisis sepanjang tahun yang memasukkan peubah boneka (dummy) musim tanam,

yang dimaksudkan untuk menangkap kemungkinan adanya pengaruh musim tanam

dalam pembentukan nilai tukar petani. Nilai tukar petani sebagai peubah yang

dijelaskan hanya berasal dari nilai tukar padi sawah. Dengan demikian kesimpulan yang

akan dihasilkan adalah spesifik untuk nilai tukar padi.

Hasil analisis regresi (Tabel 3) menunjukkan bahwa model yang digunakan cukup baik dengan nilai koefisien determinasi (R2) masing-masing 0,99; 0,96 dan 0,75 pada pendekatan MT I, MT II dan ST. Dengan demikian sekitar 99 persen, 96 persen dan 75 persen variasi yang terjadi dalam nilai tukar padi pada MT I, MT II dan ST dapat dijelaskan oleh peubah yang ada dalam model.

Tabel 3. Koefisien dugaan regresi faktor-faktor yang mempengaruhi Nilai Tukar Petani

Peubah MT I MTII ST

Produktivitas 0.092***) 0.076*) 0.581***)

Hurea -0.156***) -0.182***) -0.057

HTSP -0.059 -0.023***) -0.089**)

HKCl -0.005**) 0.000 0.003

HZA 0.003 0.005 0.024

Upah Kerja -0.001 -0.002 -0.003

Hgabah 1.067***) 0.918***) 0.902***)

HMTA 0.000 0.002 0.000

HMKA -0.003 0.007 -0.048**)

Hgula -0.002 0.008 0.268

Intersep -5.612***) -5.761***) -13.625***)

R2 0.99 0.96 0.75

Dmusim 4.653***)

Keterangan: ***) Nyata pada taraf alpha 1 %

Page 14: (3) Soca-r. Hendayana-nilai Tukar Petani

14

**) Nyata pada taraf alpha 5 % *) Nyata pada taraf alpha 10 %

Dengan pendekatan musim tanam, hasil yang diperoleh menunjukkan gambaran

yang sejalan. Pada MT I maupun MT II masing-masing terdapat 4 peubah yang

berpengaruh nyata. Peubah yang berpengaruh pada MT I terdiri dari produktivitas,

harga Urea, harga KCl dan harga gabah. Sedangkan pada MT II peubah yang

berpengaruh itu terdiri atas produktivitas, harga Urea, harga TSP dan harga gabah.

Perbedaan yang nampak dari peubah yang berpengaruh pada tiap MT tersebut terletak

pada penggunaan jenis pupuk KCl pada MT I dan TSP pada MT II. Tiga peubah lainnya

yang berpengaruh terhadap nilai tukar ternyata sama.

Pada MT I, peubah KCl berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan 95 persen

sedangkan peubah produktivitas, harga Urea dan harga gabah berpengaruh sangat

nyata pada taraf kepercayaan 99 persen. Pada MT II, peubah produktivitas

berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan 90 persen sedangkan tiga peubah lainnya

berpengaruh sangat nyata pada taraf kepercayaan 99 persen.

Dilihat dari bentuk hubungan fungsional yang terjadi antara nilai tukar dengan

semua peubah yang berpengaruh nyata tersebut (pada MT I maupun MT II) semuanya

berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Produktivitas dan harga gabah mempunyai

tanda positif sedangkan harga pupuk (Urea, KCl dan TSP) negatif.

Dengan pola hubungan tersebut dapat dikatakan bahwa semakin tinggi

produktivitas usahatani semakin tinggi nilai tukar petani. Hal yang sama berlaku juga

untuk harga gabah yaitu semakin tinggi harga gabah yang dijual petani akan semakin

baik nilai tukar petani. Sebaliknya untuk harga pupuk, dapat dikatakan bahwa semakin

tinggi harga pupuk semakin rendah nilai tukar petani.

Oleh karena model yang dibahas dalam bentuk logaritma, maka nilai dugaan

(koefisien) regresi dalam model tersebut sekaligus menunjukkan elastisitas nilai tukar.

Dengan melihat nilai koefisien tersebut tampak bahwa elastisitas nilai tukar paling tinggi

terjadi pada harga gabah, baik pada MT I (1,067) maupun MT II (0,918). Dengan nilai

elastisitas sebesar itu dapat dikemukakan bahwa setiap kenaikan harga gabah satu

persen dapat meningkatkan nilai tukar petani padi sebesar 1,07 persen dan 0,92 persen

pada MT I dan MT II.

Sementara itu elastisitas nilai tukar terhadap harga pupuk semuanya bertanda

negatif. Nilai elastisitas paling tinggi dari kedua musim tanam itu terjadi pada harga

Page 15: (3) Soca-r. Hendayana-nilai Tukar Petani

15

pupuk Urea yaitu sekitar 0,16 dan 0,18 pada MT I dan MT II. Setiap kenaikan harga

Urea 1 persen dapat menurunkan NTP sebesar 0,16 persen dan 0,18 persen pada MT

I dan MT II. Dibandingkan dengan pupuk lain (TSP, KCl dan ZA) penggunaan pupuk

Urea pengaruhnya paling besar terhadap nilai tukar padahal harga satuannya relatif

paling murah. Hal ini mengindikasikan bahwa pengaruhnya terhadap nilai tukar itu lebih

disebabkan oleh volume penggunananya. Urea merupakan pupuk yang digunakan

petani dalam jumlah paling banyak dalam tiap hektarnya.

Bila diperhatikan hasil regresi dengan pendekatan yang dilakukan sepanjang

tahun, selain peubah-peubah harga gabah, harga pupuk TSP dan produktivitas yang

berpengaruh terhadap nilai tukar itu tampak pula berpengaruh harga barang konsumsi

minyak goreng (HMKA) dengan tanda hubungan yang negatif. Elastisitas nilai tukar

petani terhadap minyak goreng adalah sebesar -0,048. Dengan demikian meningkatnya

harga minyak goreng satu persen akan menurunkan nilai tukar sebesar 0,048 persen.

Disamping peubah-peubah tersebut tampak pula bahwa nilai tukar sangat

dipengaruhi musim tanam. Pengaruh musim tanam terhadap nilai tukar sangat nyata

dengan taraf kepercayaan 99 persen).

KESIMPULAN DAN IMPLIKASINYA

Berdasarkan tahun dasar yang sama (1987=100), selama kurun waktu tahun

1987-1994 laju peningkatan indeks harga yang diterima petani (35,6 persen) cenderung

lebih kecil dibanding laju peningkatan indeks harga yang dibayar petani (64 persen).

Dengan demikian terjadi penurunan nilai tukar petani. Penurunan ini lebih besar

diakibatkan laju penurunan indeks harga yang diterima petani dari tanaman

perdagangan rakyat. Hal sebaliknya terjadi pada tanaman bahan makanan.

Nilai tukar petani dipengaruhi langsung oleh produktivitas, harga gabah, harga

barang konsumsi dan harga pupuk. Produktivitas dan harga gabah berpengaruh secara

positif, sedangkan harga pupuk berpengaruh secara negatif. Harga gabah mempunyai

elastisitas positif terbesar sedangkan dari berbagai jenis pupuk yang digunakan, harga

pupuk Urea mempunyai elastisitas negatif terbesar.

Dengan metoda regresi model double-logaritma menunjukkan bahwa

peningkatan NTP sebesar satu persen akan meningkatkan produksi 0,02 persen.

Dengan menggunakan metode regresi model linear menunjukkan bahwa peningkatan

Page 16: (3) Soca-r. Hendayana-nilai Tukar Petani

16

NTP sebesar satu point akan meningkatkan pendapatan Rp 1.285,8.

Untuk meningkatkan nilai tukar petani diperlukan upaya menyeluruh berupa

intervensi dalam hal kebijakan harga output (gabah) dan harga input terutama pupuk.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Litbang-IPB. Studi Kebijaksanaan Nilai Tukar Komoditas Pertanian. Kerjasama Pusat Penelitian Agro-Ekonomi, Badan Litbang Pertanian dengan Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor, 1980.

BPS. 1992. Sumatera Utara Dalam Angka. Medan

BPS. 1994. Pendapatan Nasional Indonesia 1987-1992. Jakarta. Simatupang, P. 1992. Pertumbuhan Ekonomi dan Nilai Tukar Barter Sektor Pertanian.

Jurnal Agroekonomi, Vol.II(1). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Simatupang,P dan Isdijoso,B. 1992. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Nilai

Tukar Sektor Pertanian: Landasan Teoritis dan Bukti Empiris, Ekonomi dan Keuangan Indonesia 40 (1, 1992):33-48.

UKSW. 1984 Tingkah Laku Nilai Tukar Komoditas Pertanian pada Tingkat Petani. Laporan Penelitian. Kerjasama Pusat Penelitian Agro-Ekonomi, Badan Litbang Pertanian dengan Fakultas Pertanian, UKSW, Salatiga.

UNPAD. 1981. Studi Kebijaksanaan Nilai Tukar Komoditas Pertanian. Kerjasama Pusat Penelitian Agro-Ekonomi, Badan Litbang Pertanian dengan Fakultas Pertanian UNPAD. Bandung, 1981.