234

26
TINJAUAN PUSTAKA Trauma Kepala Trauma kepala adalah penyebab utama kematian, dan kecacatan. Manfaat dari kepala, termasuk tengkorak dan wajah adalah untuk melindungi otak terhadap cedera. Selain perlindungan oleh tulang, otak juga tertutup lapisan keras yang disebut meninges fibrosa dan terdapat cairan yang disebut cerebrospinal fuild (CSF). Trauma tersebut berpotensi menyebabkan fraktur tulang tengkorak, perdarahan di ruang sekitar otak, memar pada jaringan otak, atau kerusakan hubungan antar nervus pada otak 1 . Fraktur basis cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula; atau efek “remote‟ dari benturan pada kepala (“gelombang tekanan‟ yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak) 2 Dalam beberapa studi telah terbukti fraktur basis cranii dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme termaksud ruda paksa akibat fraktur maksilofacial, ruda paksa dari arah lateral cranial dan dari arah kubah cranial, atau karena beban inersia oleh kepala 3 . Pasien dengan fraktur basis cranii (fraktur pertrous os temporal) dijumpai dengan otorrhea dan memar pada mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis cranii fossa anterior adalah dengan Rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intrakranial. Untuk penegakan diagnosis fraktur basis cranii, diawali dengan pemeriksaan neurologis lengkap, analisis laboratorium dasar, diagnostic untuk fraktur dengan pemeriksaan radiologik 4 .Penanganan korban dengan cedera kepala diawali dengan memastikan bahwa airway, breathing, circulation bebas dan aman. Banyak korban cedera kepala disertai dengan multiple trauma dan penanganan pada pasien tersebut tidak menempatkan penanganan kepala menjadi prioritas, resusitasi awal dilakukan secara menyeluruh 4 .

Transcript of 234

Page 1: 234

TINJAUAN PUSTAKA

Trauma Kepala

Trauma kepala adalah penyebab utama kematian, dan kecacatan. Manfaat dari kepala, termasuk tengkorak dan wajah adalah untuk melindungi otak terhadap cedera. Selain perlindungan oleh tulang, otak juga tertutup lapisan keras yang disebut meninges fibrosa dan terdapat cairan yang disebut cerebrospinal fuild (CSF). Trauma tersebut berpotensi menyebabkan fraktur tulang tengkorak, perdarahan di ruang sekitar otak, memar pada jaringan otak, atau kerusakan hubungan antar nervus pada otak1.

Fraktur basis cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula; atau efek “remote‟ dari benturan pada kepala (“gelombang tekanan‟ yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak)2

Dalam beberapa studi telah terbukti fraktur basis cranii dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme termaksud ruda paksa akibat fraktur maksilofacial, ruda paksa dari arah lateral cranial dan dari arah kubah cranial, atau karena beban inersia oleh kepala3. Pasien dengan fraktur basis cranii (fraktur pertrous os temporal) dijumpai dengan otorrhea dan memar pada mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis cranii fossa anterior adalah dengan Rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intrakranial. Untuk penegakan diagnosis fraktur basis cranii, diawali dengan pemeriksaan neurologis lengkap, analisis laboratorium dasar, diagnostic untuk fraktur dengan pemeriksaan radiologik4.Penanganan korban dengan cedera kepala diawali dengan memastikan bahwa airway, breathing, circulation bebas dan aman. Banyak korban cedera kepala disertai dengan multiple trauma dan penanganan pada pasien tersebut tidak menempatkan penanganan kepala menjadi prioritas, resusitasi awal dilakukan secara menyeluruh4.

Anatomi Basis Cranii

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii 6,7. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital7. Kalvaria khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fossa cranii anterior, fossa cranii media dan fossa cranii posterior8.

Fossa crania anterior menampung lobus frontal cerebri, dibatasi di anterior oleh permukaan dalam os frontale, batas superior adalah ala minor ossis spenoidalis. Dasar fossa dibentuk oleh

Page 2: 234

pars orbitalis ossis frontale di lateral dan oleh lamina cribiformis os etmoidalis di medial. Permukaan atas lamina cribiformis menyokong bulbus olfaktorius, dan lubung lubang halus pada lamini cribrosa dilalui oleh nervus olfaktorius7.

Pada fraktur fossa cranii anterior, lamina cribrosa os etmoidalis dapat cedera. Keadaan ini dapat menyebabkan robeknya meningeal yang menutupi mukoperiostium. Pasien dapat mengalami epistaksis dan terjadi rhinnore atau kebocoran CSF yang merembes ke dalam hidung. Fraktur yang mengenai pars orbita os frontal mengakibatkan perdarahan subkonjungtiva (raccoon eyes atau periorbital ekimosis) yang merupakan salah satu tanda klinis dari fraktur basis cranii fossa anterior7.

Fossa cranii media terdiri dari bagian medial yang dibentuk oleh corpus os sphenoidalis dan bagian lateral yang luas membentuk cekungan kanan dan kiri yang menampung lobus temporalis cerebri. Di anterior dibatasi oleh ala minor os sphenoidalis dan terdapat canalis opticus yang dilalui oleh n.opticus dan a.oftalmica, sementara bagian posterior dibatasi oleh batas atas pars petrosa os temporal. Dilateral terdapat pars squamous pars os temporal8. Fissura orbitalis superior, yang merupakan celah antara ala mayor dan minor os sphenoidalis dilalui oleh n. lacrimalis, n.frontale, n.trochlearis, n, occulomotorius dan n. abducens6,7.Fraktur pada basis cranii fossa media sering terjadi, karena daerah ini merupakan tempat yang paling lemah dari basis cranii. Secara anatomi kelemahan ini disebabkan oleh banyak nya foramen dan canalis di daerah ini. Cavum timpani dan sinus sphenoidalis merupakan daerah yang paling sering terkena cedera. Bocornya CSF dan keluarnya darah dari canalis acusticus externus sering terjadi (otorrhea). N. craniais VII dan VIII dapat cedera pada saat terjadi cedera pada pars perrosus os temporal. N. cranialis III, IV dan VI dapat cedera bila dinding lateral sinus cavernosus robek7.

Fossa cranii posterior menampung otak otak belakang, yaitu cerebellum, pons dan medulla oblongata. Di anterior fossa di batasi oleh pinggi superior pars petrosa os temporal dab di posterior dibatasi oleh permukaan dalam pars squamosa os occipital. Dasar fossa cranii posterior dibentuk oleh pars basilaris, condylaris, dan squamosa os occipital dan pars mastoiddeus os temporal8.

Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa dan dilalui oleh medulla oblongata dengan meningens yang meliputinya, pars spinalis assendens n. accessories dan kedua a.vertebralis7. Pada fraktur fossa cranii posterior darah dapat merembes ke tengkuk di bawah otot otot postvertebralis. Beberapa hari kemudian, darah ditemukan dan muncul di otot otot trigonu posterior, dekat prosesus mastoideus. Membrane mukosa atap nasofaring dapat robek, dan darah mengalir keluar. Pada fraktur yang mengenai foramen jugularis n.IX, X dan XI dapat cedera6,7.

Mekanisme Fraktur Basis Cranii/Basilar Skull Fracture (BSF)

Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula; atau efek „remote‟ dari benturan pada kepala („gelombang tekanan‟ yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak)2.

Tipe dari BSF yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini mengelilingi foramen magnum, apertura di dasar tengkorak di mana spinal cord lewat. Ring fracture komplit biasanya segera berakibat fatal akibat cedera batang otak. Ring fracture in komplit lebih sering dijumpai

Page 3: 234

(Hooper et al. 1994). Kematian biasanya terjadi seketika karena cedera batang otak disertai dengan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar tengkorak.

Fraktur basis cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk benturan dari arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban inersia pada kepala (sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia, misalnya, ketika dada pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami benturan dengan sebuah objek misalnya pagar. Kepala kemudian secara tiba tiba mengalami percepatan gerakan namun pada area medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban inersia tersebut kemudian meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi akibat ruda paksa pada benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior diteruskan ke superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari arah superior kemudian diteruskan ke arah occiput atau mandibula.

Huelke et al. (1988) menyelidiki sebuah pandangan umum bahwa fraktur basis cranii akibathasil dari benturan area kubah kranial. Kasus benturan pada area kubah non-kranial, yang disajikan dalam berbagai jenis kecelakaan kendaraan bermotor, telah didokumentasikan. Para peneliti menemukan fraktur basis cranii juga bisa disebabkan oleh benturan pada area wajah saja.

Pada studi eksperimen berdasarkan pengujian mayat, Gott et al.(1983) meneliti secara rinci tengkorak dari 146 subjek yang telah mengalami benturan/ruda paksa pada area kepala. 45 kasus skull fraktur diamati secara rinci. Terdapat 22 BSF pada grup ini. Penyebab dari kasus tersebut disebabkan oleh ruda paksa pada area frontal (5 kasus), daerah Temporo-parietal tengkorak (1 kasus), seluruh wajah (2 kasus) dan berbagai jenis ruda paksa kepala lainnya (14 kasus).

Jenis Fraktur Basis Cranii

Fraktur Temporal, dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis cranii. Terdapat 3 suptipe dari fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan mixed9. Tipe transversal dari fraktur temporal dan type longitudinal fraktur temporal4. Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa cranii media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth,berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari kedua frakturlongitudinal dan transversal4.

Namun sistem lain untuk klasifikasi fraktur os temporal telah diusulkan. Sistem ini membagi fraktur os temporal kedalam petrous fraktur dan nonpetrous fraktur, yang terakhir termasuk fraktur yang melibatkan mastoid air cells. Fraktur tersebut tidak disertai dengan deficit nervus cranialis9.

Fraktur condylar occipital, adalah hasil dari trauma tumpul energi tinggi dengan kompresi aksial, lateral bending, atau cedera rotational pada pada ligamentum Alar. Fraktur tipe ini dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi dan mekanisme cedera9. Klasifikasi alternative membagi fraktur ini menjadi displaced dan stable, yaitu, dengan dan tanpa cedera ligamen11. Tipe I fraktur sekunder

akibat kompresi aksial yang mengakibatkan kombinasi dari kondilus oksipital. Ini merupakan jenis cedera stabil. Tipe II fraktur yang dihasilkan dari pukulan langsung meskipun fraktur basioccipital lebih luas, fraktur tipe II diklasifikasikan sebagai fraktur yang stabil karena ligament alar dan

Page 4: 234

membrane tectorial tidak mengalami kerusakan. Tipe III adalah cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan lateral bending. Hal ini berpotensi menjadi fraktur tidak stabil10.

Fraktur clivus, digambarkan sebagai akibat ruda paksa energi tinggi dalam kecelakaan kendaraan bermotor. Longitudinal, transversal, dan tipe oblique telah dideskripsikan dalam literatur. Fraktur longitudinal memiliki prognosis terburuk, terutama bila melibatkan sistem vertebrobasilar. Defisit pada nervus cranial VI dan VII biasanya dijumpai pada fraktur tipe ini12.

Manifestasi klinis

Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan memar pada mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis cranii fossa anterior adalah dengan rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intrakranial4.Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berlangsung lebih dari 6-7 minggu. Tuli sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 3 minggu disebabkan karena hemotympanum dan edema mukosa di fossa tympany. Facial palsy, nystagmus, dan facial numbness adalah akibat sekunder dari keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII. Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin, sehinggamenyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen (permanent neural hearing loss)4.

Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius12. Sebagian besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe III, berada dalam keadaan koma dan terkait cedera tulang belakang servikalis. Pasien ini juga memperlihatkan cedera lower cranial nerve dan hemiplegia atau guadriplegia.

Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus cranialis IX, X, dan XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan kesulitan fungsi fonasi dan aspirasi dan paralysis ipsilateral dari pita suara, palatum mole (curtain sign), superior pharyngeal constrictor, sternocleidomastoid, dan trapezius. Collet-Sicard sindrom adalah fraktur condylar os oksipital dengan keterlibatan nervus cranial IX, X, XI, dan XII4,13.

Pemeriksaan Lanjutan

Studi Imaging

o Radiografi: Pada tahun 1987, foto x-ray tulang tengkorak merujukan pada kriteria panel memutuskan bahwa skull film kurang optimal dalam menvisualisasikan fraktur basis cranii. Foto xray skull tidak bermanfaat bila tersedianya CT scan.

o CT scan: CT scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu dalam diagnosis skull fraktur. Slice tipis bone window hingga ukuran 1-1,5 mm, dengan potongan sagital, bermanfaat dalam menilai skull fraktur. CT scan Helical sangat membantu dalam menvisualisasikan fraktur condylar occipital, biasanya 3-dimensi tidak diperlukan.

o MRI: MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu nilai tambahan untuk kasus yang dicurigai mengalami cedera pada ligament dan vaskular. Cedera pada tulang jauh lebih baik divisualisasikan dengan menggunakan CT scan4.

Pemeriksaan lainnya

Page 5: 234

Perdarahan dari telinga atau hidung pada kasus dicurigai terjadinya kebocoran CSF, dapat dipastikan dengan salah satu pemeriksaan suatu tehnik dengan mengoleskan darah tersebut pada kertas tisu, maka akan menunjukkan gambaran seperti cincin yang jelas yang melingkari darah, maka disebut “halo” atau “ring” sign. Kebocoran dari CSF juga dapat dibuktikan dengan menganalisa kadar glukosa dan dengan mengukur transferrin4.

Terapi medis

Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai kelainan struktural neurologis tidak memerlukan intervensi apapun bahkan pasien dapat dipulangkan untuk berobat jalan dan kembali jika muncul gejala. Sementara itu, Pada Bayi dengan simple fraktur linier harus dilakukan pengamatan secara terus menerus tanpa memandang status neurologis. Status neurologis pasiendengan fraktur basis cranii tipe linier biasanya ditatalaksana secara conservative, tanpa antibiotik.

Fraktur os temporal juga dikelola secara konservatif, jika disertai rupture membrane timpani biasanya akan sembuh sendiri5.

Simple fraktur depress dengan tidak terdapat kerusakan struktural pada neurologis pada bayi ditatalaksana dengan penuh harapan. Menyembuhkan fraktur depress dengan baik membutuhkan waktu, tanpa dilakukan elevasi dari fraktur depress. Obat anti kejang dianjurkan jika kemungkinanterjadinya kejang lebih tinggi dari 20%. Open fraktur, jika terkontaminasi, mungkin memerlukan antibiotik disamping tetanus toksoid. Sulfisoxazole direkomendasikan pada kasus ini.

Fraktur condylar tipe I dan II os occipital ditatalaksana secara konservatif dengan stabilisasi leher dengan menggunakan collar atau traksi halo.

Peran antibiotik pada profilaksis fraktur basis cranii

Pemberian antibiotic sebagai terapi profilaksis pada fraktur basis cranii dengan pertimbangan terjadinya kebocoran dari lapisan meningeal akan menyebabkan mikroorganisme pathogen dari saluran nafas atas (hidung dan telinga) dapat mencapai otak dan selaput mengingeal, hal ini masih menjadi controversial. Pemberian antibiotic profilaksis berkontribusi terhadap terjadinya peningkatan resistensi antibiotic dan akan menyebabkan infeksi yang serius14. Pada sebuah review artikel yang di publish antara tahun 1970 dan 1989, menemukan 848 kasus dari fraktur basis cranii (519 mendapatkan antibiotic profilaksis dan 8% menjadi meningitis) dan kesimpulannya adalah antibiotic tidak mencegah terjadinya meningitis pada fraktur basis cranii14.

Studi lain juga menunjukkan dengan menggunakan uji statistik, dari total 1241 pasien dengan fraktur basis cranii, 719 pasien diantaranya mendapat antibiotic profilaksis dan 512 pasien tidak mendapat antibiotic profilaksis. Kesimpulan dari penelitian tersebut menunjukkan antibiotic profilaksis tidak mencegah terjadinya meningitis pada pasien fraktur basis cranii. (odds ratio (OR) = 1.15; 95% confidence interval (CI) = 0.68-1.94 P = .678)14.

Terapi Bedah

Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Bayi dan anak-anak dengan open fraktur depress memerlukan intervensi bedah. Kebanyakan ahli bedah lebih suka untuk mengevaluasi fraktur depress jika segmen depress lebih dari 5 mm di bawah inner table dari adjacent bone.

Indikasi untuk elevasi segera adalah fraktur yang terkontaminasi, dural tear denganpneumocephalus, dan hematom yang mendasarinya. Kadang kadang, craniectomy dekompressi dilakukan jika otak mengalami kerusaksan dan pembengkakan akibat edema.

Page 6: 234

Dalam hal ini, cranioplasty dilakukan dikemudian hari. Indikasi lain untuk interaksi bedah dini adalah fraktur condylar os oksipital tipe unstable (tipe III) yang membutuhkan arthrodesis atlantoaxial. Hal ini dapat dicapai dengan fiksasi dalam-luar16. Menunda untuk dilakukan intervensi bedah diindikasikan pada keadaan kerusakan ossicular (tulang pendengaran) akibat fraktur basis cranii jenis longitudinal pada os temporal. Ossiculoplasty mungkin diperlukan jika kehilangan berlangsung selama lebih dari 3 bulan atau jika membrane timpani tidak sembuh sendiri. Indikasi lain adalah terjadinya kebocoran CSF yang persisten setelah fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan secara tepat lokasi kebocoran sebelum intervensi bedah dilakukan5, 15, 16.

Komplikasi fraktur basis cranii

Risiko infeksi tidak tinggi, bahkan tanpa antibiotik, terutama yang disertai dengan rhinorrhea. Facial palsy dan gangguan ossicular yang berhubungan dengan fraktur basis cranii dibahas di bagian klinis. Namun, terutama, facial palsy yang terjadi pada hari ke 2-3 pasca trauma adalah akibat sekunder untuk neurapraxia dari nervus cranialis VII dan responsif terhadap steroid,dengan prognosis yang baik. Onset facila palsy secara tiba tiba pada saat bersamaan terjadinya fraktur biasanya akibat skunder dari transeksi nervus, dengan prognosis buruk.

Nervus cranialis lain mungkin juga terlibat dalam fraktur basis cranii. Fraktur pada ujung pertosus os temporale mungkin melibatkan ganglion gasserian. Cedera nervus cranialis VI yang terisolasi bukanlah akibat langsung dari fraktur, tapi mungkin akibat skunder karena terjadinya ketegangan pada nervus. Nervus kranialis (IX, X, XI,dan XII) dapat terlibat dalam fraktur condylar os oksipital, seperti yang dijelaskan sebelumnya dalam Vernet dan sindrom Collet-Sicard (vide supra). Fraktur os sphenoidalis dapat mempengaruhi nervus cranialis III, IV,dan VI dan juga dapat mengganggu arteri karotis interna dan berpotensi menghasilkan pembentukan pseudoaneurysma dan fistula caroticocavernous (jika melibatkan struktur vena). cedera carotid diduga terdapat pada kasus kasus dimana fraktur berjalan melalui kanal karotid, dalam hal ini, CTangiografi dianjurkan5.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wedro B C, Stoppler MC. Head Injury Overview. on emedicine health. Available at http://www.emedicinehealth.com/script/main/art.asp?articlekey=59402&page=1#overview last update 10 Mei 2011

2. Listiono L D. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, edisi III; Cedera Kepala Bab 6. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jaka

3. Thai T J G K. Helmet protection against basilar skull fracture. Biomechanical of basilar skull fracture. On ATSB Research and analysis report road safety research grant report 2007-03. Australia 2007

4. Qureshi N H, Harsh G, Nosko M G, Talavera F, Wyler A R, Zamboni P. Skull fracture. Onemedicine health 2009. Available at http://emedicine.medscape.com/article/248108-clinicalmanifestations last update 10 mei 2011

5. Qureshi N H, Harsh G, Nosko M G, Talavera F, Wyler A R, Zamboni P. Skull fracture. On emedicine health 2009. Available at http://emedicine.medscape.com/article/248108-threatment last update 10 mei 2o11

6. American College of Surgeon Committe on Trauma. Cedera kepala. Dalam: Advanced Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia, penerjemah. Edisi 7. Komisi trauma IKABI; 2004. 168-193.

Page 7: 234

7. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L, Hartanto H, Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC: 2006.740-59

8. Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon Learning System LLC;2003.

9. Ishman SL, Friedland DR. Temporal bone fractures: traditional classification and clinical relevance. Laryngoscope. Oct 2004;114(10):1734-41.

10. Anderson PA, Montesano PX. Morphology and treatment of occipital condyle fractures. Spine

(Phila Pa 1976). Jul 1988;13(7):731-6.

11. Tuli S, Tator CH, Fehlings MG, Mackay M. Occipital condyle fractures. Neurosurgery. Aug1997;41(2):368-76; discussion 376-7.

12. Menku A, Koc RK, Tucer B, Durak AC, Akdemir H. Clivus fractures: clinical presentations and courses. Neurosurg Rev. Jul 2004;27(3):194-8.

13. Legros B, Fournier P, Chiaroni P, Ritz O, Fusciardi J. Basal fracture of the skull and lower (IX, X, XI, XII) cranial nerves palsy: four case reports including two fractures of the occipital condyle--a literature review. J Trauma. Feb 2000;48(2):342-8.

14. Villalobos T, Arango C, Kubilis P, and Rathore M. Antibiotic Prophylaxis After Basilar Skull Fractures: A Meta-Analysis; a review article On cid.oxfordjournals.org. 1998

15. Rathore MH. Do prophylactic antibiotics prevent meningitis after basilar skull fracture Pediatric Infect Dis J 1991;10:87–8.

16. Pait TG, Al-Mefty O, Boop FA, Arnautovic KI, Rahman S, Ceola W. Inside-outside technique for posterior occipitocervical spine instrumentation and stabilization: preliminary results. J Neurosurg. Jan 1999;90(1 Suppl):1-7.

Anatomi

Mandibula merupakan tulang yang besar dan paling kuat pa da daerah muka. Dibentuk

oleh dua bagian simetris yang mengadakan fusi dalam tahun pertama kehidupan. Tulang ini terdiri

dari korpus, yaitu suatu lengkungan tapal kuda dan sepasang ramus yang pipih dan lebar yang

mengarah keatas pada bagian belakang dari korpus. Pada ujung dari masing-masing ramus

didapatkan dua buah penonjolan disebut prosesus kondiloideus dan prosesus koronoideus.

Prosessus kondiloideus terdiri dari kaput dan kolum. Permukaan luar dari korpus mandibula pada

garis median, didapatkan tonjolan tulang halus yang disebut simfisis mentum yang merupakan

tempat pertemuan embriologis dari dua buah tulang.

Bagian korpus mandibula membentuk tonjolan disebut prosesus alveolaris yang mempunyai

16 buah lubang untuk tempat gigi. Bagian bawah korpus mandibula mempunyai tepi yang lengkung

Page 8: 234

dan halus. Pada pertengahan korpus mandibula kurang lebih 1 nchi dari simfisis didapatkan foramen

mentalis yang dilalui oleh vasa dan nervus mentalis. Permukaan dalam dari korpus mandibula

cekung dan didapatkan linea milohiodea yang merupakan origo m. Milohioid. Angulus mandibula

adalah pertemuan antara tepi belakang ramus mandibula dan tepi bawah korpus mandibula.

Angulus mandibula terletak subkutan dan mudah diraba pada 2-3 jari dibawah lobulus aurikularis. (5)

Secara keseluruhan tulang mandibula ini berbentuk tapal kuda melebar di belakang, memipih dan

meninggi pada bagian ramus kanan dan kiri sehingga membentuk pilar, ramus membentuk sudut

1200 terhadap korpus pada orang dewasa. Pada yang lebih muda sudutnya lebih besar dan

ramusnya nampak lebih divergens.

Dari aspek fungsinya, merupakan gabungan tulang berbentuk L bekerja untuk mengunyah

dengan dominasi (terkuat) m. Temporalis yang berinsersi disisi medial pada ujung prosesus

koronoideus dan m. Masseter yang berinsersi pada sisi lateral angulus dan ramus mandibula. M.

Pterigodeus medial berinsersi pada sisi medial bawah dari ramus dan angulus mandibula. M

masseter bersama m temporalis merupakan kekuatan untuk menggerakkan mandibula dalam proses

menutup mulut. M pterigoideus lateral berinsersi pada bagian depan kapsul sendi temporo-

mandibular, diskus artikularis berperan untuk membuka mandibula. Fungsi m pterigoid sangat

penting dalam proses penyembuhan pada fraktur intrakapsuler.

Pada potongan melintang tulang mandibula dewasa level molar II berbentuk seperti ”U”

dengan komposisi korteks dalam dan korteks luar yang cukup kuat. Ditengahnya ditancapi oleh akar-

akar geligi yang terbungkus oleh tulang kanselus yang membentuk sistem haversian (osteons)

diantara dua korteks tersebut ditengahnya terdapat kanal mandibularis yang dilewati oleh syaraf

dan pembuluh darah yang masuk dari foramen mandibularis dan keluar kedepan melalui foramen

mentalis.

Lebar kanalis mandibula tersebut sekitar 3 mm ( terbesar) dan ketebalan korteks sisi bukal

yang tertipis sekitar 2.7mm sedang pada potongan level gigi kaninus kanalnya berdiameter sekitar

1mm dengan ketebalan korteks sekitar 2.5-3mm. Posisis jalur kanalis mandibula ini perlu diingat dan

dihindari saat melakukan instrumentasi waktu reposisi dan memasang fiksasi interna pada fraktur

mandibula. (6)

Mandibula mendapat nutrisi dari arteri alveolaris inferior yang merupakan cabang pertama dari

arteri maxillaris yang masuk melalui foramen mandibula bersama vena dan nervus alveolaris inferior

berjalan dalam kanalis alveolaris. Arteri alveolaris inferior memberi nutrisi ke gigi-gigi bawah serta

gusi sekitarnya kemudian di foramen mentalis keluar sebagai a. Mentalis. Sebelum keluar dari

Page 9: 234

foramen mentalis bercabang menuju incisivus dan berjalan sebelah anterior ke depan didalam

tulang. Arteri mentalis beranastomosis dengan arteri facialis, arteri submentalis dan arteri labii

inferior. Arteri submentalis dan arteri labii inferior merupakan cabang dari arteri facialis. Arteri

mentalis memberi nutrisi ke dagu. Aliran darah balik dari mandibula melalui vena alveolaris inferior

ke vena facialis posterior. Daerah dagu mengalirkan darah ke vena submentalis, yang selanjutnya

mengalirkan darah ke vena facialis anterior. Vena facialis anterior dan vena facialis posterior

bergabung menjadi vena fascialis communis yang mengalirkan darah ke vena jugularis interna. (8)

Biomekanik Mandibula

Mandibula memiliki mobilitas dan gaya yang sangat banyak, sehingga dalam melakukan

penanganan fraktur mandibula harus benar-benar diperhatikan biomekanik yang terjadi. Gerakan

mandibula dipengaruhi oleh empat pasang otot yang disebut otot-otot pengunyah, yaitu otot

masseter, temporalis, pterigoideus lateralis dan medialis. Otot digastricus bukan termasuk otot

pengunyah tetapi mempunyai peranan yang penting dalam fungsi mandibula. (9)

Pada waktu membuka mulut, maka yang berkontraksi adalah m. Pterigoideus lateralis

bagian inferior, disusul m pterigoideus lateralis bagian superior ( yang berinsersi pada kapsul sendi)

saat mulut membuka lebih lebar. Sedangkan otot yang berperan untuk menutup mulut adalah m.

Temporalis dan masseter dan diperkuat lagi oleh m. Pterigoideus medialis. Kekuatan dinamis dari

otot pengunyah orang dewasa pada gigi seri ± 40kg, geraham ±90kg, sedang kekuatan menggigit

daerah incisivus ±10kg, molar ±15 kg. (6)

Fraktur Mandibula

Fraktur didefinisikan sebagai deformitas linear atau terjadinya diskontinuitas tulang yang

disebabkan oleh rudapaksa. Fraktur dapat terjadi akibat trauma atau karena proses patologis.

Fraktur akibat trauma dapat terjadi akibat perkelahian, kecelakaan lalulintas, kecelakaan kerja, luka

tembak, jatuh ataupun trauma saat pencabutan gigi. Fraktur patologis dapat terjadi karena kekuatan

tulang berkurang akibat adanya kista, tumor jinak atau ganas rahang, osteogenesis imperfecta,

osteomyelitis, osteomalacia, atrofi tulang secara menyeluruh atau osteoporosis nekrosis atau

metabolic bone disease. Akibat adanya proses patologis tersebut, fraktur dapat terjadi secara

spontan seperti waktu bicara, makan atau mengunyah. (11)

Page 10: 234

Mandibula merupakan tulang yang kuat, tetapi pada beberapa tempat dijumpai adanya

bagian yang lemah. Daerah korpus mandibula terutama terdiri dari tulang kortikal yang padat

dengan sedikit substansi spongiosa sebagai tempat lewatnya pembuluh darah dan pembuluh limfe.

Daerah yang tipis pada mandibula adalah angulus dan sub condylus sehingga bagian ini termasuk

bagian yang lemah dari mandibula. Selain itu titik lemah juga didapatkan pada foramen mentale,

angulus mandibula tempat gigi molar III terutama yang erupsinya sedikit, kolum kondilus mandibula

terutama bila trauma dari depan langsung mengenai dagu maka gayanya akan diteruskan kearah

belakang.

Garis fraktur pada mandibula biasa terjadi pada area lemah dari mandibula tergantung

mekanisme trauma yang terjadi. Garis fraktur subkondilar umumnya dibawah leher prosesus

kondiloideus akibat perkelahian dan berbentuk hampir vertikal. Namun pada kecelakaan lalu lintas

garis fraktur terjadi dekat dengan kaput kondilus, garis fraktur yang terjadi berbentuk oblique. Pada

regio angulus garis fraktur umumnya dibawah atau dibelakang regio mlaor III kearah angulus

mandibula. Pada fraktur corpus mandibula garis fraktur tidak selalu paralel dengan sumbu gigi,

seringkali garis fraktur berbentuk oblique. Garis fraktur dimulai pada regio alveolar kaninus dan

insisivus berjalan oblique ke arah midline. Pada fraktur mendibula, fragmen yang fraktur mengalami

displaced akibat tarikan otot-otot mastikasi, oleh karena itu maka reduksi dan fiksasi pada fraktur

mendibula harus menggunakan splinting untuk melawan tarikan dari otot-otot mastikasi. Beberapa

faktor yang mempengaruhi displacement fraktur mandibula antara lain ; arah dan kekuatan trauma,

arah dan sudut garis fraktur, ada atau tidaknya gigi pada fragmen, arah lepasnya otot dan luasnya

kerusakan jaringan lunak.

Pada daerah ramus mandibula jarang terjadi fraktur, karena daerah ini terfiksasi oleh m

masseter pada bagian lateral, dan medial oleh m pterigoideus medialis. Demikian juga pada prosesus

koronoideus yang terfiksasi oleh m masseter.

Beberapa macam klasifikasi fraktur mandibula dapat digolongkan berdasar sebagai berikut :

Insidens fraktur mandibula sesuai dengan lokasi anatomisnya; prosesus condiloideus (29.1%),

angulus mandibula (24%), simfisis mandibula (22%), korpus mandibula (16%), alveolus (3.1%), ramus

(1.7%), processus coronoideus (1.3%). (10,11,12)

Berdasar ada tidaknya gigi pada kiri dan kanan garis fraktur ; kelas 1 : gigi ada pada kedua bagian

garis fraktur, kelas II : gigi hanya ada pada satu bagian dari garis fraktur, kelas III : tidak ada gigi pada

kedua fragmen, mungkin gigi sebelumnya memang sudah tidak ada (edentolous), atau gigi hilang

saat terjadi trauma.

Page 11: 234

Berdasar arah fraktur dan kemudahan untuk direposisi dibedakan : horisontal yang dibagi menjadi

favourable dan unfavourable. Vertikal, yang juga dibagi menjadi favourable dan unfavourable.

Kriteria favourable dan unfavourable berdasarkan arah satu garis fraktur terhadap gaya otot yang

bekerja pada fragmen tersebut. Disebut favourable apabila arah fragmen memudahkan untuk

mereduksi tulang waktu reposisi sedangkan unfavourable bila garis fraktur menyulitkan untuk

reposisi.

Berdasar beratnya derajat fraktur, dibagi menjadi fraktur simple/closed yaitu tanpa adanya

hubungan dengan dunia luar dan tidak ada diskontinuitas dari jaringan sekitar fraktur. Fraktur

compound atau open yaitu fraktur berhubungan dengan dunia luar yang melibatkan kulit, mukosa

atau membran periodontal.

Berdasar tipe fraktur dibagi menjadi fraktur greenstick (incomplete); fraktur yang biasanya

didapatkan pada anak-anak karena periosteum tebal. Fraktur tunggal ; fraktur hanya pada satu

tempat saja. Fraktur multiple ; fraktur yang terjadi pada dua tempat atau lebih, umumnya bilateral.

Fraktur komunitif ; terdapat adanya fragmen yang kecil bisa berupa fraktur simple atau compound.

Selain itu terdapat juga fraktur patologis ; fraktur yang terjadi akibat proses metastase ke tulang,

impacted fraktur ; fraktur dengan salah satu fragmen fraktur di dalam fragmen fraktur yang lain.

Fraktur atrophic ; adalah fraktur spontan yang terjadi pada tulang yang atrofi seperti pada rahang

yang tak bergigi. Indirect fractur ; fraktur yang terjadi jauh dari lokasi trauma. (12, 13)

Biomekanik Fraktur Mandibula

Konsep biomekanik pada perawatan fraktur mandibula perlu dipahami sebab keadaan statik

dan dinamik dapat mempengarui proses penyembuhan fraktur. Tujuan dari semua terapi fraktur

ialah mengembalikan bentuk dan fungsi seperti semula. Hal tersebut dapat dicapai dengan

melakukan imobilisasi menggunakan fiksasi internal dan eksternal .

Rahang bawah memiliki bentuk anatomis yang unik, berdasarkan arsitektur tulang, bentuk

dan perlekatan ototnya mandibula dapat digambarkan sebagai sebuah struktur yang mengubah

tekanan yang diterimanya menjadi suatu bentuk daya tensi dan kompresi. Kekuatan kompresi

dihasilkan sepanjang daerah basal mandibula sedangkan kekuatan tensi terdapat pada sepanjang

daerah alveolar. Aksis tranversal imajiner yang terletak kira-kira sepanjang kanalis mandibula

memisahkan prosesus alveolaris yang merupakan daerah tegangan atau disebut dengan tension

area dari daerah basal mandibula yang merupakan daerah kompresi atau disebut dengan

Page 12: 234

compression area. Pada waktu mandibula mengalami fraktur, prinsip perawatan dilakukan dengan

mempertimbangkan kekuatan-kekuatan pada kedua sisi dari aksis imajiner tersebut, sehingga kedua

kekuatan tegangan yang berlawanan tersebut harus dinetralisir untuk mendapatkan reduksi

fungsional yang stabil. Hal ini dapat ditempuh dengan penggunaan plat dan tension bar system yang

secara individual berbeda tergantung dari lokasi dan tipe frakturnya. Secara umum, pressure

trajectory yang menghasilkan kekuatan kompresi pada mandibula kemudain terjadi distorsi misalnya

di rahang yang fraktur dapat diperbaiki dengan pemasangan plat osteosintesis, sedangkan tension

trajectory dengan menggunakan arch bar yang berfungsi sebagai tension band. Plat sudah cukup

stabil untuk menetralkan shear dan torsional stress. Tension band berfungsi untuk mengurangi

kekuatan yang membengkokkan yang terjadi di bagian alveolar atau kekuatan menahan yang

menjauhi plat. (3,14,15,16)

Kekuatan torsional pada mandibula terdapat pada bagian symphisis mandibula, hal ini

disebabkan karena banyaknya muskulus dasar mulut yang melekat pada bagian ini sehingga apabila

terjadi fraktur pada bagian ini maka dapat timbul rotasi. Stabilisasi fragmen tulang yang fraktur di

regio ini digunakan dua miniplate dengan jarak antar plat kurang lebih 5mm untuk menetralkan

kekuatan rotasi pada daerah symphisis tersebut.(17) Selain menggunakan dua miniplate dapat juga

digunakan SNT plate untuk fraktur di regio symphisis.

Diagnosis Fraktur Mandibula

Didalam penegakan diagnosis fraktur mandibula meliputi anamnesa, apabila merupakan

kasus trauma harus diketahui mengenai mekanisme traumanya (mode of injury), pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan penunjang..

Pada kasus trauma, pemeriksaan penderita dengan kecurigaan fraktur mandibula harus

mengikuti kaidah ATLS, dimana terdiri dari pemeriksaan awal (primar survey) yang meliputi

pemeriksan airway, breathing, circulation dan disability. Pada penderita trauma dengan fraktur

mandibula harus diperhatikan adanya kemungkinan obstruksi jalan nafas yang bisa diakibatkan

karena fraktur mandibula itu sendiri ataupun akibat perdarahan intraoral yang menyebabkan

aspirasi darah dan clot.

Setelah dilakukan primary survey dan kondisi penderita stabil, dilanjutkan dengan dengan

pemeriksaan lanjutan secondary survey yaitu pemeriksaan menyeluruh dari ujung rambut sampai

kepala.

1. anamnesa ;

Page 13: 234

meliputi ada tidaknya alergi, medikamentosa, penyakit sebelumnya, last meal dan

events/enviroment sehubungan dengan injurinya.

2. Pemeriksaan fisik ; dari inspeksi dilihat ada tidaknya deformitas, luka terbuka dan evaluasi

susunan / konfigurasi gigi saat menutup dan membuka mulut, menilai ada/tidaknya

maloklusi. Dilihat juga ada/tidaknya gigi yang hilang atau fraktur. Pada palpasi dievaluasi

daerah TMJ dengan jari pada daerah TMJ dan penderita disuruh buka-tutup mulut, menilai

ada tidaknya nyeri, deformitas atau dislokasi. Untuk memeriksa apakah ada fraktur

mandibula dengan palpasi dilakukan evaluasi false movement dengan kedua ibujari di

intraoral, korpus mandibula kanan dan kiri dipegang kemudian digerakkan keatas dan

kebawah secara berlawanan sambil diperhatikan disela gigi dan gusi yang dicurigai ada

frakturnya. Bila ada pergerakan yang tidak sinkron antara kanan dan kiri maka false

movement +, apalagi dijumpai perdarahan disela gusi.

3. pemeriksaan penunjang ; pada fraktur mandibula dapat dilakukan pemeriksaan penunjang

foto Rontgen untuk mengetahui pola fraktur yang terjadi. Setiap pemeriksaan radiologis

diharapkan menghasilkan kualitas gambar yang meliputi area yang dicermati yaitu daerah

patologis berikut daerah normal sekitarnya. Gambar yang dihasilkan seminimal mungkin

mengalami distorsi, hal ini bisa dicapai dengan proyeksi yang dekat (film dan sumber x-ray

sedekat mungkin dengan obyek) dan densitas serta kontras gambar foto optimal (diatur dari

mA dan kVp serta waktu penyinaran dan proses pencuciannya). (6)

Dari gambaran radiologis adanya fraktur mandibula dapat dilihat sebagai berikut :

a. tulang alveolar

- gambaran garis radiolusen pada alveolus, uncorticated

- garis fraktur kebanyakan horizontal

- letak segmen gigi yang tidak pada tempatnya

- ligamen periodontal yang melebar

- bisa didapatkan gambaran fraktur akar gigi

b. corpus mandibula

- terlihat celah radiolusen bila arah sinar x-ray sejajar garis fraktur

- gambaran tersebut diatas bisa kurang jelas bila garis x-ray tidak sejajar garis fraktur

- step defect

Page 14: 234

- biasanya terdapat fraktur pada caput condylus lateral

c. condylus mandibula

- caput condylus biasanya ”shared off”

- step defect

- overlap dari garis trabecular, tampak berupa gambaran garis radioopaque

- deviasi mandibula pada sisi yang fraktur (18)

Beberapa tehnik Roentgen dapat digunakan untuk melihat adanya fraktur mandibula antara lain ;

- foto skull AP/Lateral

- foto Eisler ; foto ini dibuat untuk pencitraan mandibula bagian ramus dan korpus, dibuat sisi kanan

atau sisi kiri sesuai kebutuhan.

- Towne’s view ; dibuat untuk melihat proyeksi tulang maksila, zigoma dan mandibula

- reverse Towne’s view ; dilakukan untuk melihat adanya fraktur neck condilus mandibula terutama

yang displaced ke medial dan bias juga melihat dinding lateral maksila

- Panoramic ; disebut juga pantomografi atau rotational radiography dibuat untuk mengetahui

kondisi mandibula mulai dari kondilus kanan sampai kondilus kiri beserta posisi geliginya termasuk

oklusi terhadap gigi maksila. Dibuat film didepan mulut pada alat yang rotasi dari pipi kanan ke pipi

kiri, sinar-x juga berlawanan arah rotasi dari arah tengkuk sehingga tercapai proyeksi dari kondulus

kanan sampai kondilus kiri.

Keuntungan panoramic adalah ; cakupan anatomis yang luas, dosis radiasi rendah, pemeriksaan

cukup nyaman, bisa dilakukan pada penderita trismus,. Kerugiannya tidak bisa menunjukkan

gambaran anatomis yang jelas daerah periapikal sebagaimana yang dihasilkan foto intra oral

- Temporomandibular Joint ; pada penderita trauma langsung daerah dagu sering didapatkan kondisi

pada dagu baik akan tetapi terjadi fraktur pada daerah kondilus mandibula sehingga penderita

mengeluh nyeri pada daerah TMJ bila membuka mulut, trismus kadang sedikit maloklusi. Pada

pembuatan foto TMJ yang standard biasanya di lakukan proyeksi lateral buka mulut (Parma) dan

proyeksi lateral tutup mulut biasa (Schuller). Biasanya dibuat kedua sendi kanan dan kiri untuk

perbandingan.

Page 15: 234

- orbitocondylar view ; dilakukan untuk melihat TMJ pada saat buka mulut lebar, menunjukkan

kondisi struktur dan kontur dari kaput kondilus tampak dari depan

CT Scan

Pemeriksaan ini pada kasus emergency masih belum merupakan pemeriksaan standart.

Centre yang telah maju dalam penggunaan modalitas ini telah menggunakan CT Scan terutama

untuk fraktur maksilofasial yang sangat kompleks. Pemeriksaan ini membirak banyak informasi

mengenai cidera di bagian dalam.

MRI

Pemeriksaan MRI untuk fraktur maksilofasial tidak pernah dilakukan di RSUD dr Soetomo.

Pemeriksaan ini terutama untuk melihat kerusakan pada jaringan lunak. (6)

Penatalaksanaan Fraktur Mandibula

Prinsip dasar umum dalam perawatan fraktur mandibula ialah sebagai berikut. Evaluasi klinis

secara keseluruhan dengan teliti, pemeriksaan klinis fraktur dilakukan secara benar, kerusakan gigi

dievaluasi dan dirawat bersamaan dengan perawatan fraktur mandibula, mengembalikan oklusi

merupakan tujuan dari perawatan fraktur mandibula. Apabila terjadi fraktur mulitple di wajah,

fraktur mandibula lebih baik dilakukan perawatan terlebih dahulu dengan prinsip dari dalam keluar,

dari bawah keatas. Waktu penggunaan fiksasi intermaksiler dapat bervariasi tergantung tipe, lokasi,

jumlah dan derajat keparahan fraktur mandibula serta usia dan kesehatan pasien maupun metode

yang akan digunakan untuk reduksi dan imobilisasi. Penggunaan antibiotik untuk kasus compound

fractures, monitor pemberian nutrisi pasca operasi. Penanganan fraktur mandibula secara umum

dibagi menjadi 2 metode yaitu reposisi tertutup dan terbuka. Reposisi tertutup (closed reduction)

patah tulang rahang bawah ; penanganan konservatif dengan melukan reposisi tanpa operasi

langsung pada garis fraktur dan melakukan imobilisasi dengan interdental wiring atau eksternal pin

fixation.

Reposisi terbuka (open reduction) ; tindakan operasi untuk melakukan koreksi defromitas-

maloklusi yang terjadi pada patah tulang rahang bawah dengan melakukan fiksasi dengan

Page 16: 234

interosseus wiring serta imobilisasi dengan menggunakan interdental wiring atau dengan mini

plat+skrup. (19)

Indikasi untuk closed reduction antara lain ;

a. fraktur komunitif, selama periosteum masih intak masih dapat diharapkan kesembuhan

tulang

b. fraktur dengan kerusakan soft tissue yang cukup berat, dimana rekonstruksi soft tissue dapat

digunakan rotation flap, free flap ataupun granulasi persecundum bila luka tersebut tidak

terlalu besar

c. edentulous mandibula ; closed reduction dengan menggunakan protese mandibula

“gunning splint” dan sebaiknya dikombinasikan dengan kawat circum mandibula-

circumzygomaticum

d. Fraktur pada anak-anak ; karena open reduction dapat menyebabkan kerusakan gigi yang

sedang tumbuh. Apabila diperlukan open reduction dengan fiksasi internal, maka digunakan

kawat yang halus dan diletakkan pada bagian paling inferior dari mandibula. Closed

reduction dilakukan dengan splint acrylic dan kawat circum-mandibular dan

circumzygomaticum bila memungkinkan

e. Fraktur condylus ; mobilisasi rahang bawah diperlukan untuk menghindari ankylosis dari

TMJ. Pada anak, moblisasi ini harus dilakukan tiap minggu, sedangkan dewasa setiap 2

minggu.

Tehnik yang digunakan pada terapi fraktur mandibula secara closed reduction adalah fiksasi

intermaksiler. Fiksasi ini dipertahankan 3-4 minggu pada fraktur daerah condylus dan 4-6 minggu

pada daerah lain dari mandibula

Beberapa tehnik fiksasi intermaksilaris ;

a. tehnik gilmer ; merupakan tehnik yang mudah dan efektif tetapi mempunyai kekurangan

yaitu mulut tidak dapat dibuka untuk melihat daerah fraktur tanpa mengangkat kawat.

Kawat tersebut dilingkarkan pada leher gigi, kemudian diputar searah jarum jam sampai

tegang. Dilakukan pada gigi atas dan bawah sampai oklusi baik. Kemudian kedua kawat atas

dan bawah digabungkan dan diputar dengan hubungan vertika maupun silang, untuk

mencegah tergelincir ke anterior dan posterior

b. tehnik eyelet (ivy loop) ; keuntungan tehnik ini bahan mudah didapat dan sedikit

menimbulkan kerusakan jaringan periodontal serta rahang dapat dibuka dengan hanya

Page 17: 234

mengangkat ikatan intermaksilaris. Kerugiannya kawat mudah putus waktu digunakan untuk

fiksasi intermaksiler

c. tehnik continous loop (stout wiring) ; terdiri dari formasi loop kawat kecil yang mengelilingi

arkus dentis bagian atas dan bawah, dan menggunakan karet sebagai traksi yang

menghubungkannya

d. tehnik erich arch bar ; indikasi pemasangan arch bar antara lain gigi kurang/ tidak cukup

untuk pemasangan cara lain, disertai fraktur maksila, didapatkan fragmen dentoalveolar

pada salah satu ujung rahang yang perlu direduksi sesuai dengan lengkungan rahang

sebelum dipasang fiksasi intermaksilaris. Keuntungan penggunaan arch bar ialah mudah

didapat, biaya murah, mudah adaptasi dan aplikasinya. Kerugiannya ialah menyebabkan

keradangan pada ginggiva dan jaringan periodontal, tidak dapat digunakan pada penderita

dengan edentulous luas.

e. Tehnik kazanjia ; dengan menggunakan kawat yang kuat untuk tempat karet dipasang

mengelilingi bagian leher gigi. Tehnik ini untuk gigi yang hanya sendiri atau insufisiensi pada

bagian dari pemasangan arch bar.

Indikasi untuk reposisi terbuka (open reduction) :

a. displaced unfavourable fracture melalui angulus

b. displaced unfavourable fracture dari corpus atau parasymphysis. Bila dikerjakan dengan

reposisi tertutup, fraktur jenis ini cenderung untuk terbuka pada batas inferior sehingg

mengakibatkan maloklusi

c. multiple fraktur tulang wajah ; tulang mandibula harus difiksasi terlebih dahulu sehingga

menghasilkan patokan yang stabil dan akurat untuk rekonstruksi

d. fraktur midface disertai displaced fraktur condylus bilateral. Salah satu condylus harus di

buka untuk menghasilkan dimensi vertical yang akurat dari wajah

e. malunions diperlukan osteotomie

Kontraindikasi penggunaan MMF ; penderita epilepsy, gangguan jiwa dan gangguan fungsi paru (20)

Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi akibat fraktur mandibula antara lain adanya infeksi, dengan

kuman patogen yang umum adalah staphylococcus, streptococcus dan bacterioides. Terjadi

malunion dan delayed healing, biasanya disebabkan oleh infeksi, reduksi yang inadekuat, nutrisi

yang buruk, dan penyakit metabolik lainnya. Parasthesia dari nervus alveolaris inferior, lesi r

Page 18: 234

marginalis mandibulae n. fasialis bisa terjadi akibat sayatan terlalu tinggi. Aplikasi vacuum drain

dapat membantu untuk mencegah timbulnya infeksi yang dapat terjadi oleh karena genangan darah

yang berlebihan ke daerah pembedahan. Fistel orokutan bisa terjadi pada kelanjutan infeksi

terutama pada penderita dengan gizi yang kurang sehingga penyembuhan luka kurang baik dan

terjadi dehisensi luka.(6)

DAFTAR PUSTAKA

1. Matorin A Philip, Treatment of Traumatic Mandibular Fractures, 2006.Retrieved : Feb 8, 2007, from www.bcm.edu/oto/

2. Pederson GW, Buku Ajar Praktis Bedah Mulut, 1st Ed. Jakarta, EGC 1998;236.3. Osbon DB, Alling III CC, Maxillofacial trauma, Lea & Febiger, Philadelpia, 1988;224-36, 242-6,

249-504. Kai Tu H, Tenhulzen D, Compression osteosynthesis of mandibular fractures : A retrospective

study, J Oral Maxillofac Surg, 1985;43:585-95. Sugiharto Setyo, Hardjowasito Widanto, Penanganan Fraktur Mandibula pada Anak dengan

pemasangan Arch-Bar., Majalah Kedokteran Unibraw, 1996; 12:39-41. 6. Wijayahadi R Yoga, Murtedjo Urip, et all, Trauma Maksilofasial Diagnosis dan

Penatalaksanaannya, Surabaya, Divisi Ilmu Bedah Kepala & Leher SMF/Lab Ilmu Bedah RSDS/FK Unair Surabaya, 20006:25-26, 58-63, 71-71, 89-95, 98,100,125-132

7. Spateholz W. Handatlas und lehrbuch der anatomie des menschen, sheltema & holkema N.V Amsterdam, 1953 ; 500-1.

8. Keith L Moore, Clinically Oriented Anatomy, 3rd , William-Wilkins, 1996:143-1489. Joseph Mc Carthy MD., Plastic Surgery, WB Saunders, 1990:917-99010. Archer WH, Oral and Maxillofacial Surgery, vol2, WB Saunders Co., Philadelpia, 1975;1045-

8811. Okeson JP, Functional anatomy and Biomechanics of the masticatory system, In

management of temporomandibular disorder and occlusion, Okeson Jeffrey P, Mosby, St Louis 1993 13-21

12. Dorland’s Illustrated medical dictionary, 27th ed., WB Saunders Co., Philadelpia, 198813. Barrera E Jose, Batuello G Stephen., Mandibular Body Fractures, Sept 2006. retrieved : Feb

28, 2007 at www.emedicine/Ent/Topic415.htm14. Spiessl B, New Concepts in Maxillofacial Traumatology, Springer-Verlag, Berlin, Germany,

1976:342-356.15. Kruger E, Schilli W. Oral and maxillofacial traumatology, vol 1, Quintessence Publishing.

Chicago, 1982;125-6.16. Yaremuck M,. Rigid fixation of the craniomaxillofacial skeleton, Butterworth-Heinemen,

Boston, 1992;18,19,125-617. Champy M., Lodde JP, Synthesis mandibulaires. Localisation des syntheses en function des

contraintes mandibulaires. Rev Stomatol Chir Maxillofac, 1976;77:97118. Farman G Allan, Kushner M George, Panoramic Radiology in Maxillofacial Trauma,

Panoramic Imaging News, Richmond Institute, Vol V , Issue IV,200519. Fonseca RJ, Walker RV, Oral and Maxillofacial trauma, vol 1, WB Saunders Co., Philadelpia,

1991: 359-414, 239, 242-5120. Prater E Michael, Bailey J Byron., Mandibular Fractures, Nov 27 1996 , Retrieved Jan 2007,

at http://www.utmb.edu/otoref/grnds/Mandibular-fx-961127/Mandibular-fx-961127.doc

Page 19: 234

21. Assael LA. Treatment of mandibular angle fractures, Plate and screw fixation, J Oral Maxillofac Surg., 1994;52:757-61

22. Fridrich K, Pena-Velasco G, Olson R, Changing trend with mandibular fractures : a review of 1067 cases, J Oral Maxillofac Surg., 1992;50:586

23. Anderson T, Alpert B, Experiences with rigid fixation of mandibular fractures and immediate function, J Oral Maxillofac Surg., 1992;50:555