TESISdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 23. · BAB II TINJAUAN...
Transcript of TESISdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 23. · BAB II TINJAUAN...
TESIS
EFEK PEMBERIAN EKSTRAK RIMPANG KENCUR (Kaempferia galanga L.) TERHADAP NYERI, KAKU
SENDI DAN FUNGSI FISIK PASIEN OSTEOARTRITIS LUTUT
THE EFFECTS OF KAEMPFERIA GALANGA L. EXTRACT ON PAIN, STIFFNESS AND FUNCTIONAL PHYSIC IN PATIENT WITH KNEE
OSTEOARTHRITIS
AKMAL NOVRIAN SYAHRUDDIN
P1803215012
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
ii
EFEK PEMBERIAN EKSTRAK RIMPANG KENCUR (Kaempferia galanga L.) TERHADAP NYERI, KAKU
SENDI DAN FUNGSI FISIK PASIEN OSTEOARTRITIS LUTUT
Tesis Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Master
Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat
Disusun dan diajukan oleh
AKMAL NOVRIAN SYAHRUDDIN
kepada
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
iii
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Akmal Novrian Syahruddin
Nomor mahasiswa : P1803215012
Program studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambil alihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian
hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan
tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi perbuatan
tersebut.
Makassar, November 2017
Yang menyatakan
Akmal Novrian Syahruddin
v
PRAKATA
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillah rabbil ’alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah swt. karena berkat rahmat, hidayah, kuasa serta izin-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Efek pemberian
ekstrak rimpang kencur (Kaempferia galanga L.) terhadap nyeri, kaku
sendi dan fungsi fisik pasien Osteoartritis lutut”.
Tesis ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam
menyelesaikan studi di Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat
Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar. Penyusunan tesis ini
tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan kerja sama dari berbagai
pihak. Oleh karena itu dengan penuh rasa hormat, penulis ucapkan terima
kasih kepada Ibu Dr. dr. Citrakesumasari, M.Kes., SpGK selaku
Pembimbing I dan ibu Prof. Dr. dr. Nurpudji Astuti Daud., MPH., SpGK
(K) selaku Pembimbing II, yang telah meluangkan waktu untuk
membimbing penulis sejak proses awal hingga akhir penyusunan tesis ini.
Melalui pemikiran-pemikirannya yang segar, konsisten dan kritis penulis
mendapatkan masukan yang sangat berharga. Ucapan yang sama juga
kepada Bapak Prof. dr. Veni Hadju M.Sc., Ph.D selaku Penguji I, Bapak
dr. Agussalim Bukhari, M.Clin.Med., Ph.D., SpGK (K) selaku Penguji II
dan ibu Dr. dr. Anna Khuzaimah, M.Kes selaku Penguji III yang secara
aktif telah memberikan masukan, saran dan kritik demi perbaikan tesis ini.
vi
Secara khusus penulis ucapan terima kasih sebesar-besarnya
kepada kedua orang tua tercinta, Ayahanda Syahruddin Usman dan
Ibunda Haerana Rahman dengan segala kasih sayang, pengorbanan,
kesabaran, kepercayaan, dukungan moral serta materil selama ini serta
doa dalam sujud yang senantiasa menyertai setiap langkah penulis.
Semoga Allah senantiasa mencurahkan kasih sayangnya dan
memberikan kalian kesehatan baik jasmani maupun rohani kepada kalian
hingga akhirat kelak. Salam sayang untuk kakak Nur Azizah Syahrana
dan adik Akhyar Aprian Syahruddin. Terima kasih atas segala doa dan
bantuan yang senantiasa mengiringi perjalanan penulis dalam menjalani
kehidupan serta sekaligus permohonan maaf atas segala kesalahan yang
pernah kulakukan.
Dengan selesainya tesis ini, penulis juga mengucapkan terima
kasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1) Ibu Rektor Universitas Hasanuddin Prof. Dr. Dwia A. Palubuhu,
M.A, Bapak Dekan FKM Unhas, Prof. Dr. drg. Zulkifli Abdullah,
M.Kes dan ketua Prodi Ilmu Kesmas, Dr. RIdwan M. Thaha, M.Sc
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis melanjutkan
studi di Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar.
2) Seluruh dosen dan staf pengajar Ilmu Kesmas terkhusus di
Konsentrasi Gizi Universitas Hasanuddin yang telah memberikan
bekal ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat kepada penulis.
vii
3) Staf akademik S2 gizi Unhas, Kak Sri yang telah berperan untuk
membantu, memberikan kritik, saran serta arahan dalam
kesempurnaan karya tulis imiah ini.
4) Saudara-saudariku seperjuangan di S2 Gizi Angkatan 2015 yang
selalu menjadi teman dalam suka maupun duka dalam mengikuti dan
mengerjakan tugas perkuliahan serta membantu dalam penyelesaian
tugas akhir ini. Kalian telah memberikan motivasi, bimbingan dan
semangat yang sangat berharga bagi penulis.
5) Kepada parner tim penelitian Sugirah, dr. Murni dan dr. yosefa. yang
senantiasa menemani dan membantu mulai dari awal hingga akhir
penulisan tesis ini.
6) Kepada saudara-saudariku yang tercinta; Takwa, Andri, Amir, Irfan,
ihsan, Rahim dan Novi puspitasari, terima kasih atas dukungan,
motivasi dan wejangan-wejangan kalian sehingga penulis lebih
bersemangat dalam menyelesaikan tesis ini.
7) Kepada parner yang berkerja di Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, LP2M Unhas; kak Sigit, Kak Aspar, Kak Ifa, Indra dan
Pak Umar ucapan terima kasih atas bantuan dan masukannya dalam
penyusunan tesis ini.
8) Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang
turut membantu dalam terselesainya tesis ini.
viii
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis menantikan
masukan, saran dan koreksi dari berbagai pihak demi kesempurnaan
penulisan Tesis ini.
Makassar, November 2017
Akmal Novrian Syahruddin
ix
x
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PENGAJUAN TESIS ................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ............................................ iv
PRAKATA .................................................................................................. v
ABSTRAK .................................................................................................. ix
ABSTRACT ................................................................................................ x
DAFTAR ISI .............................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xv
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................ xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................... 6
B. Rumusan Masalah ............................................................................. 6
C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Osteoartrititis Lutut ................................................... 8
1. Definisi ........................................................................................... 8
2. Etiologi ........................................................................................... 9
3. Epidemiologi .................................................................................. 9
4. Faktor Risiko ................................................................................ 13
5. Patogenesis ................................................................................. 17
7. Diagnosis ..................................................................................... 24
8. Klasifikasi OA menurut kriteria Kellgren-Lawrence ...................... 25
9. Penatalaksanaan ......................................................................... 27
10. Nyeri pada OA ............................................................................. 37
11. Outcome OA ................................................................................ 39
B. Tinjauan Umum Rimpang Kencur (Kaempferia galanga l) ................ 42
xii
1. Morfologi Kencur .......................................................................... 42
2. Kandungan Kimia dari Kencur ..................................................... 43
3. Pemanfaatan Rimpang Kencur .................................................... 44
4. Aktivitas Farmakologis ................................................................. 45
5. Uji Toksisitas Ekstrak Rimpang Kencur ....................................... 50
C. Tinjauan Umum Rimpang Kencur Hubungannya dengan OA Lutut . 50
D. Tabel Sintesa .................................................................................... 53
E. Kerangka Teori ................................................................................. 58
F. Kerangka Konsep ............................................................................. 59
G. Variabel Penelitian ........................................................................... 60
H. Hipotesis Penelitian .......................................................................... 60
I. Definisi Operasional ........................................................................... 61
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian dan Model Rancangan Penelitian .......................... 64
B. Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................... 65
C. Populasi dan Sampel ....................................................................... 66
D. Pengumpulan Data .......................................................................... 67
E. Tahapan Penelitian .......................................................................... 69
F. Pengolahan dan Analisis Data ......................................................... 71
G. Kontrol Kualitas ................................................................................ 72
H. Etika Penelitian ................................................................................ 74
I. Alur Penelitian .................................................................................. 75
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil ................................................................................................. 76
B. Pembahasan .................................................................................... 85
C. Keterbatasan Penelitian ................................................................... 99
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .................................................................................... 100
B. Saran ............................................................................................. 101
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 102
LAMPIRAN
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Rekomendasi Non farmakologi untuk Manajemen OA Lutut ............................................................................. 27 Tabel 2.2 Rekomendasi Farmakologi untuk Manajemen OA Lutut ..... 33 Tabel 2.3 Tabel Sintesa Penelitian ..................................................... 53 Tabel 4.1 Karakteristik Sampel penelitian Berdasarkan Kelompok Penelitian ........................................................... 77 Tabel 4.2 Distribusi Sampel penelitian Berdasarkan Status Gizi (IMT) Kedua Kelompok Penelitian (Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol) ....................................................... 78 Tabel 4.3 Distribusi Sampel penelitian Berdasarkan Derajat OA Kedua Kelompok Penelitian (Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol) ....................................................... 79 Tabel 4.4 Distribusi Sampel penelitian Berdasarkan Status Gizi (IMT) dan Derajat OA Lutut ................................................ 79 Tabel 4.5 Distribusi Sampel penelitian Berdasarkan Umur dan Derajat OA Lutut ................................................................. 80 Tabel 4.6 Analisis Rerata Asupan Makanan Pre-Post Test Antar Kelompok .................................................................. 81 Tabel 4.7 Analisis Perbandingan Rerata Skor Nyeri, Kaku Sendi, Fungsi Fisik Antar Kelompok sebelum dan setelah perlakuan ............................................................... 82
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Sendi Normal dan Sendi OA Lutut ............................... 19
Gambar 2.2 Klasifikasi OA secara Radiografi berdasarkan Kriteria Kellgren & Lawrence ......................................... 26
Gambar 2.3 Sintesis Prostaglandin................................................... 36 Gambar 2.4 Daun dan Rimpang Kencur ........................................... 43
Gambar 2.5 Kerangka Teori ............................................................ 58
Gambar 2.6 Kerangka Konsep ......................................................... 59
Gambar 3.1 Kerangka Alur Penelitian ............................................... 75
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner Pengumpulan Data ........................................ 109
Lampiran 2 Lembar Kuesioner The Western Ontario And Mcmaster Universities Osteoarthritis Index (Womac) ..... 110 Lampiran 3 Food Recall ..................................................................... 112 Lampiran 4 Kartu Kontrol Minum Obat ............................................... 113
Lampiran 5 Tabel Karakteristik Responden ....................................... 114
Lampiran 6 Asupan Energi dan Zat Gizi ............................................ 115
Lampiran 7 Hasil Pengukuran WOMAC ............................................. 116
Lampiran 8 Analisis Data ................................................................... 118
Lampiran 9 Foto Penelitian ................................................................ 132
Lampiran 10 Riwayat Hidup ................................................................. 134
xvi
DAFTAR SINGKATAN
Singkatan Arti dan Keterangan
ACR American College of Rheumatology
AKG Angka Kecukupan Gizi
BIA Bioimpedance Analyzer
CDC Centers for Disease Control
COX Cyclooxygenase
DAMPs Damage-Associated Molecular Pattern Molecules
DO Drop Out
ECM Extracellular Matrix
EPMC Etil p-metoksisinamat
EULAR European League Against Rheumatism
HA Hyaluronic Acid
IL interleukin
IMT Indeks Massa Tubuh
IASP International Association for Study Of Pain
IRA Indonesian Rheumatology Associations
Kemenkes Kementerian Kesehatan
KL Kellgren dan Lawrence
LD50 Lethal Dose 50
MMP Matrix Metalloproteases
NHANES National Health and Nutrition Examination Survey
NO Nitric Oxide
xvii
NRS Numeric Rating Scale
NSAIDs Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs
OA : Osteoartritis
OAINS Obat anti inflamasi Non-steroid
PAMPs Pathogen-Associated Molecular Patterns
PG Prostaglandin
RCT Randomized Clinical Trial
RISKESDAS Riset Kesehatan Dasar
ROS Reactive oxygen species
SP3T Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan
Tradisional
TIMP The tissue inhibitors of metalloproteinases
TLR Toll- like receptors
TNF Tumor Necrosis Factor
VAS Visual Analog Scale
WOMAC Western Ontario and MacMaster Universities Osteoarthritis
Index
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Osteoarthritis lutut (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif
yang paling umum dijumpai pada pada usia tua. Nyeri merupakan gejala
yang paling umum ditimbulkan akibat OA dan diperkirakan OA menempati
urutan keempat penyebab kecacatan pada usia tua (Fransen et al., 2011).
OA merupakan penyakit progresif ditandai dengan degenerasi tulang
rawan dan perubahan pada jaringan sendi yang mengakibatkan rasa
nyeri, kaku dan kecacatan (Martel-Pelletier and Pelletier, 2010). Biasanya
didefinisikan berdasarkan patologi, gejala-gejala, atau gabungan dari
keduanya. Patologi berarti adanya perubahan berdasarkan radiografi
(terdapat penyempitan ruang sendi, osteofit, dan sklerosis), sedangkan
gejala yaitu terdapat rasa sakit, bengkak, dan kekakuan pada sendi (CDC,
2015). Osteoartritis lebih banyak terjadi pada sendi yang menopang
badan, terutama sendi lutut. OA lutut berkontribusi besar terhadap beban
cacat fisik (Jordan et al., 2007).
Insiden OA meningkat seiring dengan pertambahan usia dan
diperkirakan sekitar 80% dari populasi usia 65 tahun memiliki beberapa
bukti radiografi dari penyakit OA (Karsdal et al., 2016). Di Amerika Serikat,
diperkirakan mempengaruhi lebih dari 27 juta orang dan menjadi
penyebab kecacatan dan gangguan kualitas hidup lansia (Bos, Slagboom
and Meulenbelt, 2008). Berdasarkan studi Johnston County Osteoarthritis
2
Project menunjukkan prevalensi OA Lutut simptomatik usia 45 – 54 tahun
7.3%, 15.3% usia 55-64 tahun, 20.8% pada usia 65-74 tahun dan 32.8%
pada usia >75 tahun (Jordan et al., 2007). Penelitian lainnya berdasarkan
Framingham study, menunjukkan prevalensi OA Lutut Radiografi ≥ 45
tahun adalah 19,2% dan, pada mereka yang berusia >80 tahun, naik
menjadi 43,7% (Litwic et al., 2013).
Di China, prevalensi OA lutut 4% pada laki-laki dan 10% pada
perempuan usia diatas 40 tahun (Fransen et al., 2011). Korea dan
Vietnam, dilaporkan prevalensi OA lutut masing-masing sebanyak 38,1%
dan 34,2%, perempuan mempunyai risiko menderita OA lutut
dibandingkan laki-laki (Cho et al., 2011; Ho-Pham et al., 2014). Thailand,
prevalensi OA lutut dilaporkan terdapat 31% pria dan 35% wanita
(Nguyen, 2014). Sementara di Indonesia, menurut Riset Kesehatan Dasar,
prevalensi nasional penyakit sendi mencapai 24.7% (Riskesdas, 2013).
Secara spesifik penyakit sendi yaitu OA untuk beberapa wilayah di
Indonesia dilaporkan prevalensinya cukup tinggi., prevalensi OA lutut di
Pontianak tercatat sebanyak 89,91% dan prevalensi tertinggi berada pada
usia 55-60 years (28,93%) (Arissa, Harry and Diana, 2013). Studi
epidemiologi yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Susut I, Bali,
dilaporkan bahwa prevalensi OA lutut usia >50 tahun sebanyak 62,8%
(Ali, 2014). Tingginya angka prevalensi penyakit OA menunjukkan
perhatian serius terhadap pencegahan dan penurunan angka utamanya
tingkat disabilitas pada usia tua.
3
OA merupakan penyakit yang bersifat kronik dimana pasien OA
akan merasakan nyeri dan sakit pada sendi yang berakibat pada
terganggunya aktivitas sehari-hari dan pada tingkat yang parah berakibat
timbulnya disabilitas. Penatalaksanaan pengobatan pada OA berfokus
pada pengendalian rasa nyeri dan sakit serta meningkatkan fungsi dan
kualitas hidup. Penggunaan obat anti inflamasi non steroid (NSAID) efektif
untuk mengatasi rasa nyeri kronik pada lutut (Kapoor and Mahomed,
2015). Meloxicam merupakan salah satu obat farmasi yang tergolong Non
Steroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAID) yang mempunyai fungsi
analgesik, anti inflamasi dan antipiretik. Meskipun golongan obat NSAID
efektif terhadap penurunan nyeri pada OA, namun penggunaan jangka
panjang berdampak pada efek samping yang ditimbulkannya terutama
pada sistem gastrointestinal (GI) termasuk dispepsia, iritasi mukosa
lambung, dan perdarahan (Turajane, et al., 2009).
Penggunaan Fitofarmaka (tanaman obat) untuk pengobatan telah
lama dipraktekkan dan cenderung meningkat. Salah satu tanaman yang
dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional adalah kencur. Kencur
(Kaempferia galangal l) juga termasuk dalam family Zingeberaceae
merupakan tanaman obat herbal asli Indonesia (Kemenkes RI, 2011).
Penggunaannya telah dikenal luas oleh masyarakat baik sebagai obat
tradisional maupun sebagai bumbu dapur atau bahan makanan.
Pemanfaatan kencur oleh masyarakat secara empirik menunjukkan bahwa
penggunaan rimpang kencur sebagai obat cukup efektif seperti obat anti
4
radang, batuk-batuk, mual, masuk angin, pegal-pegal (Trubus, 2013).
Temuan ini diperkuat bahwa Kencur mengandung minyak atsiri yang
dapat memberikan efek analgetik dan anti inflamasi terutama pada
penyakit arthritis (Ridtitid et al., 2008)
Kandungan utama minyak atsiri dari kencur adalah Senyawa Etil p-
metoksisinamat (EPMC) (Mohanty et al., 2011) dan menjadi konstituen
yang paling penting bertanggung jawab untuk sebagian besar farmakologi
dari tanaman kencur termasuk anti inflamasi dan analgesik (Raina and
Abraham, 2016). Selain itu, kencur juga dilaporkan memiliki efek
sitoprotektif pada mukosa lambung (Nie, Liana and Evacuasiany, 2012)
Penggunaan kencur pada hewan coba juga ternyata dinilai aman
dan tidak menunjukkan adanya tanda kematian dan kelainan fisiologis.
Berdasarkan uji toksisitas akut ekstrak kaempferia galangal l pada hewan
uji dengan dosis 5000 mg/kg menunjukkan tidak terdapat kematian dan
kelainan fisiologis dari hewan uji. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat dosis
5.000 mg / kg dinilai aman dan nilai LD50 dianggap lebih tinggi dari 5.000
mg / kg (Kanjanapothi et al., 2004; Umar et al., 2012). Hasil uji praklinik
diatas menunjukkan bahwa ekstrak rimpang kencur telah memenuhi
syarat untuk toksisitas dan kegunaan pada hewan coba, sehingga
pengujian klinik ekstrak rimpang kencur sebagai tanaman obat
(fitofarmaka) pada manusia dapat dilakukan.
Meskipun rimpang kencur dalam dunia pengobatan telah banyak
dimanfaatkan baik itu dalam masyarakat yang secara turun temurun telah
5
dipergunakan ataupun dalam penelitian, namun penelitian penggunaan
rimpang kencur pada penderita OA masih sedikit dan terbatas pada
penelitian oleh hewan coba (in vivo). Olehnya itu dalam penelitian ini akan
dilakukan pengujian ektrak rimpang kencur pada manusia.
Kapsul ramuan yang menggunakan ektrak rimpang kencur terdapat
kandungan analgesik sebagai anti nyeri dan antiinflamasi sebagai anti
radang yang berfungsi sama dengan meloxicam. Namun dibandingkan
dengan meloxicam, rimpang kencur mempunyai efek sitoprotektif pada
mukosa lambung yang dimana merupakan efek positif dibandingkan
dengan meloxicam yang memiliki efek erosif terhadap mukosa lambung.
Hasil temuan tersebut menunjukkan bahwa ektrak rimpang kencur dapat
dijadikan alternatif tanaman obat untuk pengurangan gejala dan tanda
klinik peradangan pada pasien OA seperti nyeri, pembengkakanan, kaku
sendi dan disabilitas selain dengan pemberian obat farmasi seperti
Meloxicam. Atas dasar ini peneliti bermaksud menguji efek ektrak rimpang
kencur dibandingkan dengan meloxicam sebagai alternatif pengobatan
gejala dan tanda klinik peradangan berupa nyeri, kaku sendi dan
gangguan fungsi fisik pasien OA lutut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut apakah efek pemberian ekstrak
rimpang kencur terhadap nyeri, kaku sendi dan gangguan fungsi fisik
pasien lebih baik atau sama dengan meloxicam pada pasien OA lutut?
6
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian dari latar belakang dan rumusan masalah di
atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
efektifitas ekstrak rimpang kencur terhadap perubahan nyeri, kaku
sendi dan gangguan fungsi fisik dibanding meloxicam pada pasien OA
lutut.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui perbedaan nyeri pada pasien OA lutut sebelum dan
sesudah perlakuan kedua kelompok
b. Mengetahui perbedaan kekakuan sendi pada pasien OA lutut
sebelum dan sesudah perlakuan kedua kelompok
c. Mengetahui perbedaan gangguan fungsi pada pasien OA lutut
sebelum dan sesudah perlakuan kedua kelompok
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Ilmiah
a. Hasil penelitian ini sebagai evidance based penggunaan ekstrak
rimpang kencur dalam mengurangi nyeri, kaku sendi, fungsi fisik
dan pembengkakan pada pasien osteoartritis lutut
b. Hasil penelitian dapat menjadi dasar untuk dilakukannya
penelitian lebih lanjut
7
2. Manfaat Praktis:.
a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan bahan
masukan dan sekaligus bahan rujukan bagaimana
memanfaatkan tanaman herbal sebagai alternatif obat untuk OA
b. Masyarakat dapat menggunakan tanaman herbal yang berasal
dari kencur sebagai obat Osteoarthritis.
c. Sebagai tambahan studi pustaka di perpustakaan UNHAS
khususnya Fakultas Kesehatan Mayarakat
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Osteoartrititis Lutut
1. Definisi
Osteoarthritis (OA) atau dikenal dengan penyakit sendi degeneratif
merupakan bentuk paling umum dari arthritis lebih banyak terjadi pada
sendi yang menopang badan, terutama sendi lutut dan penyebab utama
kecacatan dan gangguan kualitas hidup pada usia tua. American College
of Rheumatology mendefinisikan OA sebagai kondisi dimana terdapat
kumpulan dari berbagai tanda dan gejala pada sendi yang dikaitkan
dengan kerusakan tulang rawan dan adanya perubahan pada tulang yang
mendasari struktur sendi (Arden et al., 2014). Nyeri merupakan gejala
yang paling umum ditimbulkan akibat OA dan diperkirakan OA menempati
urutan keempat penyebab kecacatan pada usia tua (Fransen et al., 2011).
OA merupakan penyakit progresif ditandai dengan degenerasi tulang
rawan dan perubahan pada jaringan sendi yang mengakibatkan rasa
nyeri, kaku dan kecacatan (Martel-Pelletier and Pelletier, 2010).
2. Etiologi
Osteoarthritis lutut biasa diklasifikasikan sebagai primer (idiopatik)
atau sekunder. Di antara berbagai struktur yang membentuk sendi lutut,
tulang rawan sendi merupakan struktur utama yang berpengaruh terhadap
awal mula terjadinya OA. Adapun sekunder diikuti dengan patologis yang
9
jelas seperti pasca trauma, konginetal/malformasi, malposisi
(varus/valgus), pasca operasi, kelainan metabolik, gangguan endokrin
(Michael, Schluter-Brust and Eysel, 2010). OA juga biasanya diartikan
berdasarkan patologi, gejala-gejala, atau gabungan dari keduanya.
Patologi berarti adanya perubahan berdasarkan radiografi (terdapat
penyempitan ruang sendi, osteofit, dan sklerosis), sedangkan gejala yaitu
terdapat rasa sakit, nyeri, bengkak, dan kekakuan pada sendi (CDC,
2015).
3. Epidemiologi
Osteoarthritis merupakan bentuk penyakit sendi yang paling sering
ditemukan. Diperkirakan di seluruh dunia, osteoarthritis (OA) menjadi
penyebab utama keempat yang menimbulkan kecacatan. Sebagian besar
beban cacat ini disebabkan keterlibatan pinggul atau lutut (Fransen et al.,
2011).
Prevalensi OA bervariasi sesuai dengan definisi OA, berdasarkan
sendi tertentu dan karakteristik populasi penelitian. Diperkirakan dari
orang yang berusia >35 tahun menujukkan bukti radiografik yang
memperlihatkan penyakit osteoarthritis dengan prevalensi yang terus
meningkat sampai usia 80 tahun. Meskipun mayoritas pasien, khususnya
yang berusia muda, menderita penyakit ringan dan relative asimptomatik,
namun OA merupakan salah satu dari beberapa penyebab utama yang
menimbulkan disabilitas orang yang berusia >65 tahun (Misnadiarly,
2010).
10
OA lutut tercatat mempunyai prevalensi yang tinggi dibandingkan
dengan OA pada sendi misalnya tangan dan panggul. Di Amerika Serikat
OA menjadi kelainan yang paling umum di temukan. OA lutut simptomatik
terjadi pada 10% laki-laki dan 13% pada perempuan usia 60 tahun atau
lebih, National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES III),
memperkirakan terdapat sekitar 37% mengalami OA lutut radiografi untuk
usia> 60 tahun atau lebih (Zhang and Jordan, 2010) dan diperkirakan
mempengaruhi lebih dari 27 juta orang dan menjadi penyebab kecacatan
dan gangguan kualitas hidup lansia (Bos, Slagboom and Meulenbelt,
2008). Prevalensi OA lutut akan terus meningkat seiring bertambahnya
usia. Berdasarkan studi Johnston County Osteoarthritis Project
menunjukkan prevalensi OA Lutut simptomatik usia 45 – 54 tahun 7.3%,
15.3% usia 55-64 tahun, 20.8% pada usia 65-74 tahun dan 32.8% pada
usia >75 tahun (Jordan et al., 2007). Penelitian lainnya berdasarkan
Framingham study, menunjukkan prevalensi OA Lutut Radiografi ≥ 45
tahun adalah 19,2% dan, pada mereka yang berusia >80 tahun, naik
menjadi 43,7% (Litwic et al., 2013).
Insiden OA tangan, pinggul dan lutut meningkat seiring dengan
usia, dan perempuan memiliki insidensi lebih tinggi dibandingkan laki-laki,
terutama setelah usia 50 tahun dan paparannya akan sama pada usia 80
tahun. Menurut Fallon Community Health Plan in Massachusetts (USA),
insidensi OA berdasarkan umur tertinggi untuk OA lutut yaitu 240 /
100.000 orang dalam setahun, kemudian OA tangan (100 / 100.000 orang
11
dalam setahun) dan terendah untuk OA panggul (88 / 100.000 orang-
tahun), sementara tingkat insidensi Dutch Institute for Public Health
(RIVM) pada tahun 2000 untuk OA panggul, prevalensi dilaporkan adalah
0,9 untuk pria dan 1,6 wanita /1000 per tahun dan untuk OA lutut
insidensinya lebih tinggi yaitu 1,18 untuk laki-laki dan 2,8 untuk wanita
/1000 per tahun (Litwic et al, 2013).
Di asia sendiri, OA menjadi penyakit yang paling banyak ditemukan
dikaitkan dengan berbagai faktor risiko seperti usia, obesitas dan
pekerjaan. Studi cross sectional yang dilakukan di India prevalensi OA
berdasarkan kriteria ACR dan EULAR 2009 masing-masing 17% dan
5.6% pada orang dewasa (<60 tahun) dan 54.1% dan 16.4% pada usia
lanjut (>60 tahun) (Ajit et al., 2014). Prevalensi OA lutut di Thailand
dilaporkan terdapat 31% pria dan 35% wanita (Nguyen, 2014). Di China,
prevalensi OA lutut 4% pada laki-laki dan 10% pada perempuan usia
diatas 40 tahun (Fransen et al., 2011). Studi metanalisis Prevalensi OA
lutut antara perempuan dan laki-laki menunjukkan bahwa insidensi OA
pada laki-laki <55 tahun lebih rendah dibandingkan perempuan.
Sementara perempuan usia ≥55 years mempunyai lebih banyak OA lutut
yang parah. Hal ini mengindikasikan bahwa insidensi OA lutut dari
perbedaan jenis kelamin terjadi setelah usia menopause (Srikanth et al.,
2005). Di korea, prevalensi OA lutut mencapai 38,1 % (Cho et al., 2011),
di Vietnam Prevalensi OA radiografi lutut adalah 34,2%, dengan
perempuan yang memiliki tingkat yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki
12
(35,3% vs 31,2%) (Ho-Pham et al., 2014) dan di Thailand prevalensi OA
lutut dilaporkan terdapat 31% pria dan 35% wanita (Nguyen, 2014)
Di Indonesia Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar, prevalensi
penyakit sendi berdasarkan pernah didiagnosis nakes di Indonesia 11,9
persen dan berdasarkan diagnosis atau gejala 24,7 persen (Riskesdas,
2013). Prevalensi OA lutut yang tampak secara radiologis mencapai
15,5% pada pria dan 12,7% pada wanita yang berumur antara 40-60
tahun. Penelitian di Bandung pada pasien yang berobat ke klinik
reumatologi Rumah Sakit Hasan Sadikin pada tahun 2007 dan 2010,
berturut-turut didapatkan: OA merupakan 74,48% dari keseluruhan kasus
(1297) reumatik pada tahun 2007. Enam puluh Sembilan persen
diantaranya adalah wanita dan kebanyakan merupakan OA lutut (87%)
dan dari 2760 kasus reumatik pada tahun 2010, 73% diantaranya adalah
penderita OA, dengan demikian OA akan semakin banyak ditemukan
dalam praktek dokter sehari-hari (IRA, 2014).
Secara spesifik penyakit sendi yaitu OA untuk beberapa wilayah di
Indonesia dilaporkan prevalensinya cukup tinggi. prevalensi OA lutut di
Pontianak tercatat sebanyak 89,91% dan prevalensi tertinggi berada pada
usia 55-60 years (28,93%) (Arissa, Harry and Diana, 2013). Studi
epidemiologi yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Susut I, Bali,
dilaporkan bahwa prevalensi OA lutut usia >50 tahun sebanyak 62,8%
(Ali, 2014). Tingginya angka prevalensi penyakti OA menunjukkan
13
pehatian serius terhadap pencegahan dan penurunan angka utamanya
tingkat disabilitas pada usia tua.
4. Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat menimbulkan
Osteoartritis, diantaranya :
a. Obesitas
Orang-orang dengan berat badan lebih berisiko terhadap timbulnya
OA lutut yang lebih besar dibandingkan dengan orang yang mempunyai
berat badan normal. Secara signifikan peningkatan berat secara langsung
berhubngan dengan peningkatan risiko OA lutut. Kelebihan berat badan
(overweight) berisiko 1.98 kali mengalami OA lutut (95% CI 1.57-2.20)
sementara obesitas menjadi faktor risiko timbulnya OA lutut dimasa yang
akan datang. Seseorang yang obesitas mempunyai risiko 2.66 kali
mendertita OA lutut (95% CI 2.15-3.28) (Silverwood et al., 2015; Arden et
al., 2014).
b. Trauma atau Injuri
Tulang rawan sendi dapat mengalami keruskan akibat injuri baik
yang bersifat akut maupun yang berulang. Cedera lutut akut, kerusakan
ligamen di lutut, patah dan dislokasi tulang, secara substansial
meningkatkan risiko osteoarthritis (Arden et al., 2014). Seseorang yang
mempunyai Trauma lutut sebelumnya mempunyai risiko 2.83 kali
menderita OA lutut (95% CI 1.91-4.19) (Silverwood et al., 2015).
14
c. Jenis Kelamin
Jenis kelamin sangat berpengaruh terhadap prevalensi OA
Perempuan lebih berisiko dibanding laki-laki, peningkatan dikaitkan
dengan usia seperti itu, setelah 50 tahun (Arden et al., 2014). Dilaporkan
bahwa Perempuan cenderung mengalami 1,68 kali OA lutut dibanding
laki-laki (95% CI 1.37-2.07) (Silverwood et al., 2015). Meningkatnya OA
pada perempuan >50 tahun dikaitkan dengan turunnya kadar hormone
estrogen setelah masa menopause (Bay-jensen et al., 2013).
Studi metanalisis, prevalensi OA lutut antara perempuan dan laki-
laki menunjukkan bahwa insidensi OA pada laki-laki <55 tahun lebih
rendah dibandingkan perempuan. Sementara perempuan usia ≥55 years
mempunyai lebih banyak OA lutut yang parah. Hal ini mengindikasikan
bahwa insidensi OA lutut dari perbedaan jenis kelamin terjadi setelah usia
menopause (Srikanth et al., 2005; Ho-Pham et al., 2014).
d. Usia
Usia sebelum 50 tahun, prevalensi OA lebih tinggi pada pria, tetapi
setalah 50 tahun wanita menjadi tinggi. Semakin bertambah usia,
prevalensi pada suatu populasi semakin meningkat (Misnadiarly, 2010).
e. Aktivitas dan Pekerjaan
Aktivitas yang berulang-ulang dan berlebihan pada beban sendi,
yang menyertai kegiatan fisik tertentu, meningkatkan risiko perkembangan
OA. Pekerjaan fisik yang berlebih mempunyai risiko terkena OA lutut,
beberapa aktivitas yang dapat memicu misalnya berdiri >2jam /hari,
15
mengangkat beban, dilaporkan juga bahwa mengemudi dan berjalan juga
berisiko menderita OA mesipun sangat terbatas. Pekerjaan tertentu
dilaporkan juga menjadi faktor risiko OA lutut misalnya bertani, pekerja
konstruksi dan guru olahraga (Silverwood et al., 2015).
Peningkatan risiko OA lutut dilaporkan terjadi pada mereka yang
olahraga yang lebih intens dan regular, secara spesifik olahragawan
(pemain bola atau atlet pengangkat besi) mempunyai risiko tinggi pada
kelompoknya. Jongkok berkepanjangan dan berlutut yang menekan sendi
dikaitkan dengan peningkatan risiko moderat untuk OA lutut (Litwic et al.,
2013).
f. Kepadatan Mineral Tulang
Terdapat hubungan yang kuat peningkatan kepadatan tulang
dengan risiko terjadinya OA lutut pada orang tua (Blagojevic et al., 2010).
Osteoporosis yang ditandai dengan rendahnya kepadatan mineral tulang
merupakan penyakit degeneratif sendi yang juga sering dijumpai pada
usia lanjut, namun demikian OA dan osteoporosis biasanya tidak
ditemukan pada satu invidu. Dilaporkan bahwa prevalensi osteoporosis
pada pasien OA sekitar 30% (Misnadiarly, 2010).
g. Genetik
Seseorang yang memiliki keluarga dengan riwayat OA lebih mudah
terserang penyakit OA. Hal ini dikaitkan dengan kelainan struktur tulang,
yaitu abnormalitas kode genetik untuk sintesis kolagen tipe II (kolagen
utama penyusun tulang rawan), kelainan protein struktural dari matriks
16
tulang rawan, dan reseptor serta encoding faktor pertumbuhan tulang
rawan (Arden et al., 2014).
h. Ras/Etnik
Prevalensi osteoarthritis dan pola sendi yang terkena bervariasi
antara kelompok ras dan etnis. Osteoarthritis adalah, secara umum, lebih
umum di Eropa dan Amerika Serikat daripada bagian lain dari dunia
Osteoartritis lutut lebih sering terjadi pada wanita Afrika-Amerika
dibandingkan wanita kulit putih (Arden et al., 2014). OA lutut lebih banyak
ditemukan pada wanita kulit hitam., hal ini mungkin ada hubungannya
dengan berat badan relative yang lebih tinggi pada wanita kulit hitam
dibandingkan dengan wanita kulit putih (Misnadiarly, 2010).
i. Gizi
Paparan Oksidan secara terus menerus dikaitkan dengan OA.
Reactive oxygen species (ROS), yang sebagian besar diproduksi oleh
kondrosit, dapat merusak tulang rawan kolagen dan cairan sinovial,
dengan mengurangi viskositasnya. Hal ini berhubungan dengan asupan
vitamin, yang memiliki sifat antioksidan, dapat mengurangi tingkat ROS.
Hal ini dapat berhubungan dengan Vitamin C dan K. Kurangnya tingkat
Vitamin C meningkatkan risiko OA lutut, sementara asupan vitamin C yang
tinggi menghambat perkembangan OA lutut radiografi. Di sisi lain, asupan
atau kadar plasma rendah Vitamin K (juga dikenal sebagai phylloquinone),
yang biasanya mengatur mineralisasi tulang dan tulang rawan, juga
dikaitkan dengan meningkatkan prevalensi osteofit dan penyempitan
17
ruang sendi di tangan dan osteofit di lutut (Musumeci, Aiello and
Szychlinska, 2015). Vitamin C juga dikaitkan dengan metabolism kolagen,
vitamin E mempunyai dampak pengurangan inflamasi dan vitamin D
dikaitkan dengan progresifitas perkembangan penyakit OA (Misnadiarly,
2010).
j. Kelainan Konginetal
Risiko perkembangan osteoarthritis meningkat sebagai akibat dari
kelainan bawaan yang mengakibatkan distribusi beban abnormal dalam
sendi. Penyelarasan fungsi mekanik lutut, ditentukan oleh sudut pinggul /
lutut / pergelangan kaki, hal ini merupakan faktor penentu penting dari
distribusi beban lutut, kelainan misalignment varus/kerusakan medial
tibiofemoral, atau valgus/kerusakan lateral tibiofemoral) ditemukan dengan
frekuensi tinggi di lutut. OA Lutut dengan varus misalignment memiliki tiga
sampai empat kali lipat peningkatan risiko penyempitan ruang sendi
begitupun dengan valgus misalignment (Arden et al., 2014).
5. Patogenesis
Pathogenesis osteoartritits (OA) diyakini bukan hanya proses
degenartif saja, melainkan melibatkan berbagai unsur inflamasi termasuk
sinovitis serta keterlibatan tulang subkondral. Selanjutnya dapat dibuktikan
keterlibatan berbagai mediator inflamasi, baik prostaglandin, tumor
necrosis factor-alpha (TNF-α) dan interleukin -1 beta (IL-1β) serta
berbagai mediator dan sitokin inflamasi lainnya (Misnadiarly, 2010).
18
Inflamasi/Peradangan dianggap sebagai dasar patologi yang
mengindikasikan adanya cedera dan penyakit. Terdapat lima tanda
peradangan yang secara visual dapat terlihat yaitu kemerahan (rubor),
pembengkakan (tumor), panas (kalor), nyeri (dolor) dan kehilangan fungsi
(fungsi laesa). Sensasi panas disebabkan oleh meningkatnya pergerakan
darah melalui pembuluh darah yang melebar mengakibatkan terjadinya
peningkatan kemerahan (karena penambahan jumlah eritrosit yang
melewati daerah tersebut). Pembengkakan (edema) terjadi karena
peningkatan cairan dari pembuluh darah yang permeabilitasnya
meningkat dan melebar ke jaringan sekitarnya, infiltrasi sel pada jaringan
yang rusak, dan respon inflamasi yang berkepanjangan pengendapan
jaringan ikat. Nyeri disebabkan oleh efek langsung mediator inflamasi,
baik dari kerusakan pada tahap awal atau akibat adanya respons
inflamasi itu sendiri, dan peregangan saraf sensorik akibat edema.
Hilangnya fungsi mengacu pada kehilangan mobilitas dalam sendi, baik
karena edema maupun nyeri, atau penggantian sel fungsional menjadi
jaringan parut (Punchard, Whelan, & Adcock, 2004).
Pada OA lutut, inflamasi dapat terjadi dengan melibatkan seluruh
pembentuk sendi termasuk tulang rawan dan semua jaringan yang
membentuk sendi sinovial (unit jaringan ikat fungsional yang
menghubungkan dua tulang tungkai bergerak bebas satu sama lain) yaitu
tulang subchondral dan metaphyseal, sinovium, ligamen, kapsul sendi,
dan otot yang bertindak di sendi. Fungsi utama dari tulang rawan artikular
19
yang melumasi permukaan sendi sinovial yang memungkinkan kurangnya
rasa sakit atau nyeri, gerakan gesekan rendah dari permukaan sendi
lainnya dan untuk memfasilitasi distribusi beban, sehingga meminimalkan
tekanan pada tulang subchondral (Kapoor and Mahomed, 2015)
Sementara itu membran synovial merupakan jaringan ikat yang
menutupi seluruh struktur dalam sendi kecuali tulang rawan. Di dalam
membrane synovial terdapat saraf, pembuluh darah serta mengandung
sel-sel yang memfagosit pecahan-pecahan. Selain itu membrane synovial
mensekresikan asam hialuronat (HA) dan cairan lubrikan yang berfungsi
sebagai pelumas untuk memudahkan gerakan (Martel-Pelletier and
Pelletier, 2010; Loeser et al., 2012).
Gambar 2.1 Sendi Normal dan Sendi OA Lutut (Kapoor and Mahomed, 2015).
Keterlibatan sinovium pada awal OA dapat dilihat secara histologis
oleh perubahan yang terjadi pada membran sinovial OA di daerah yang
berdekatan dengan chondropathy. Namun, mekanisme molekuler yang
20
mendasari selama fase awal OA hampir mustahil untuk diukur, karena
penyakit ini biasanya tidak didiagnosis sampai terdapat perubahan nyata
menyebabkan nyeri dan adanya perubahan dari deteksi radiografi.
Bagian-bagian ECM, seperti fibronectin dan kolagen tipe II, dapat
mengaktifkan respon imun bawaan melalui reseptor pengenalan pola,
yang termasuk membran Toll- like receptors (TLR) Hal ini merupakan
pertahanan tingkat pertama dengan mengaktivasi sistem kekebalan tubuh
non-spesifik. TLRs biasanya diaktifkan oleh ligan mikroba selama infeksi,
aktivasi sistem kekebalan tubuh untuk memperoleh respon yang tepat.
Namun, juga dapat diaktifkan dengan pola molekul terkait pathogen
(PAMPs) dan pola molekul terkait kerusakan endogen (DAMPs) yang
terjadi selama kerusakan ECM. Oleh karena itu, respon imun bawaan
dianggap sebagai benteng pertama untuk menanggapi berbagai penyakit
non-infeksi seperti cedera jaringan dan / atau perbaikan kerusakan yang
terjadi. Di dalam konteks ini, gangguan homeostasis matriks yang terjadi
dalam sendi osteoarthritic ketika terjadi cedera yang kronis. TLR ini
kemudian memediasi respon katabolik oleh peningkatan produksi enzum
degradasi matriks MMP, yang mengakibatkan degradasi kartilago lebih
lanjut (Kapoor and Mahomed, 2015).
Perubahan dari tulang subchondral diikuti dengan degenerasi
tulang rawan artikular. Pada tahap awal OA, terdapat peningkatan
remodeling tulang, terutama di daerah-daerah yang mendasari kerusakan
tulang rawan artikular. Keropos tulang juga diamati, terutama di plat tulang
21
subchondral sehingga mengurangi ketebalan pelat tulang subchondral
dan peningkatan porositas. Perubahan tulang Subchondral menyebabkan
perubahan bentuk sendi dan transmisi beban yang mungkin
menyebabkan kehilangan tulang rawan lebih lanjut. Kerusakan kecil
tulang rawan kalsifikasi dan tulang subchondral secara luas terdeteksi di
sendi OA dalam bentuk retak interstitial pendek atau microcracks.
Microcracks bertindak sebagai inisiator dari proses remodeling tulang,
serta sebagai sarana komunikasi agen katabolik pada persimpangan
osteochondral, yaitu antara tulang rawan dan tulang subchondral.
Selanjutnya degenerasi tulang rawan berlanjut, biosintesis aktivitas
anabolic kondrosit tidak dapat mengimbangi aktivitas katabolik degradatif
dan homeostasis hilang. Pada titik ini, respon perbaikan kondrosit tidak
dapat membalikkan kerusakan dilakukan untuk tulang rawan. Dengan
bertambahnya usia dan perkembangan penyakit, mekanisme katabolik
terus menurunkan tulang rawan artikular; namun, ada penurunan dalam
anabolik kondrosit dan respon proliferasi. Peningkatan sintesis kolagen
tipe II tidak cukup untuk mengkompensasi proteolisisnya. Selanjutnya,
peningkatan aktivitas anabolik cenderung terjadi di daerah-daerah yang
berbeda dari proteolisis. Selanjutnya, peningkatan aktivitas anabolik
cenderung terjadi di daerah-daerah yang berbeda dari proteolisis. Tingkat
ekspresi inhibitor seperti inhibitor jaringan metaloproteinase (TIMP) -1
berkurang dan kondrosit cenderung menunjukkan suatu penurunan terkait
usia dalam respon mereka terhadap sitokin anabolik, yang mengubah
22
homeostasis jaringan tulang rawan menuju kerusakan jaringan dan
akhirnya kematian sel. Mengurangi cellularity, apakah dengan apoptosis,
autophagy terkait kematian sel, atau penuaan, berkorelasi kuat dengan
usia dan tingkat keparahan OA (Kapoor and Mahomed, 2015).
6. Gambaran klinik
Gejala klinis Osteoartrtis bervariasi, bergantung pada sendi yang
terkena, lama dan intensitas penyakitnya serta respon penderita terhadap
penyakit yang dideritanya. Secara klinis, OA dapat dibagi menjadi 3
tingkatan yaitu (Misnadiarly, 2010):
a. Subklinis. Pada tingkatan ini belum ada keluhan atau tanda klinis
lainnya. Kelainan terbatas pada tingkat seluler dan biokimia sendi.
b. Manifest. Pada tingkat ini kerusakan rawan sendi bertambah luas
disertai dengan reaksi peradangan
c. Dekompensasi. Rawan sendi telah rusak, mungkin telah terjadi
deformitas.
Keluhan-keluhan umum yang dirasakan dari penderita OA adalah
nyeri dan terbatasnya gerakan ketika mereka memulai gerakan lutut atau
mulai berjalan. Pada penyakit yang lebih lanjut, mereka mungkin
mengeluh sakit lutut nokturnal atau permanen (Michael, Schluter-Brust
and Eysel, 2010).
Nyeri biasanya bertambah dengan adanya gerakan dan sedikit
berkurang dengan istirahat. Asal nyeri dapat berasal dari peradangan.
Biasanya bertambah pada pagi hari atau setelah istirahat beberapa saat
23
dan berkurang setelah bergerak. Hal ini karena sinovitis sekunder,
penurunan pH jaringan, pengumpulan cairan dalam ruang sendi yang
menimbulkan pembengkakan dan peradangan sendi. Nyeri juga dapat
berasal dari aktivitas yang dilakukan pada waktu lama dan akan
berkurang pada waktu istirahat. Hal ini dihubungkan dengan keadaan
penyakit dimana tulang rawan telah rusak berat. Nyeri biasanya
terlokalisasi hanya pada sendi yang terkena, tetapi juga dapat menjalar
(Misnadiarly, 2010).
Kaku pada persendian juga menjadi keluhan yang umum dan
hampir semua penyakit sendi dan OA yang tidak begitu berat. Pada
beberapa pasien, nyeri dan kaku sendi dapat timbul setalah beberapa
saat, misalnya sehabis duduk lama atau bangun tidur. Berlawanan
dengan penyakit inflamasi sendi seperti arthritis rheumatoid, kaku sendi
pada pagi hari dapat berlangsung lebih dari 1 jam, maka pada OA kaku
sendi jarang melebihi 30 menit (Misnadiarly, 2010).
Pembengkakan sendi dapat terjadi karena reaksi peradangan
karena pengumpulan cairan dalam ruang sendi. Biasanya teraba panas
tanpa adanya kemerahan. Pada sendi yang terkena akan terlihat
deformitas yang disebabkan terbentuknya osteofit. Tanda-tanda terjadinya
reaksi peradangan pada sendi seperti nyeri tekan, keterbatasan ruang
gerak sendi, panas, warna kemerahan) mungkin dijumpai karena adanya
sinovitis (Misnadiarly, 2010).
24
Krepitasi atau bunyi yang timbul ketika sendi digerakkan. Krepitasi
pada sendi yang degeratif akan lebih besar dibandingkan dengan arthtritis
rheumatoid yang krepitasinya lebih halus. Krepitasi yang jelas dan kasar
mempunyai nilai diagnosis yang signiffikan (Misnadiarly, 2010).
7. Diagnosis
Diagnosis OA didasarkan pada keseluruhan gambaran klinis seperti
umur, riwayat OA, lokasi sendi yang abnormal dan kadang-kadang
berdasarkan radiografi (Wu et al., 2005). American College of
Rheumatology mengembangkan standar untuk mendiagnosis OA lutut
pada tahun 1986 dan masih digunakan sampai sekarang. Diagnosis dapat
ditegakkan berdasarkan secara klinis, klinis dan laboratorik dan klinis dan
radiografi (Altman, 1987; Litwic et al., 2013):
a. Kriteria diagnosis Osteoartritis lutut secara klinis
Diagnosis klinis OA lutut ditetapkan bila pada seorang penderita
ditemukan nyeri lutut ditambah tiga kriteria dari enam kriteria ini :
1) Umur > 50 tahun
2) Kaku sendi < 30 menit
3) Nyeri tekan pada tulang
4) Terdengar krepitasi pada gerak sendi lutut
5) Pembesaran tulang
6) Perabaan sendi lutut tidak panas.
25
b. Kriteria diagnosis Osteoartritis lutut secara klinis dan laboratorik
Diagnosis klinis dan laboratorik OA lutut ditetapkan bila pada
seorang penderita ditemukan nyeri lutut ditambah minimal lima kriteria dari
Sembilan kriteria ini :
1) Umur > 50 tahun
2) Kaku sendi < 30 menit
3) Nyeri tekan pada tulang
4) Terdengar krepitasi pada gerak sendi lutut
5) Pembesaran tulang
6) Perabaan sendi lutut tidak panas.
7) LED < 40 mm / jam
8) RF < 1 : 40
9) Analisis cairan sendi normal
c. Kriteria diagnosis Osteoartritis lutut secara klinis dan radiografi
Diagnosis klinis dan radiografi OA lutut ditetapkan bila pada
seorang penderita ditemukan nyeri lutut dan terdapat osteofit ditambah
minimal satu kriteria dari tiga kriteria ini :
1) Umur > 50 tahun
2) Kaku sendi < 30 menit
3) Terdengar krepitasi pada gerak sendi lutut ditambah Osteofit
8. Klasifikasi OA menurut kriteria Kellgren-Lawrence
Pada tahun 1957, Kellgren dan Lawrence (KL) mengembangkan
system klasifikasi secara radiologi yang menggambarkan perkembangan
26
OA. Gambaran radiografi dari OA adalah adanya osteofit. Selain osteofit,
pada pemeriksaan X-ray penderita OA biasanya didapatkan penyempitan
celah sendi, sklerosis, dan kista subkondral. Kellgren dan Lawrence (KL)
kemudian membaginya kedalam lima tingkatan (Kellgren and Lawrence,
1957):
Gambar 2.2 Klasifikasi OA secara Radiografi berdasarkan Kriteria Kellgren & Lawrence. (K-L, 1957).
a. Grade 0 : normal
b. Grade 1 : Meragukan. Kemungkinan adanya osteofit dan penyempitan
ruang sendi
c. Grade 2 : Minimal (Ringan). Ditemukan osteofit dan terdapat
kemungkinan penyempitan ruang sendi
d. Grade 3 : Moderat. Terdapat beberapa osteofit tingkat moderat,
penyempitan celah sendi, terdapat beberapa sklerosis, dan
kemungkinan adanya deformitas tulang
27
e. Grade 4 : Parah. terdapat banyak osteofit yang besar ditandai dengan
penyempitan ruang sendi, sklerosis yang parah dan deformitas tulang
yang sudah pasti.
9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada OA bertujuan untuk mengontrol nyeri,
memperbaiki fungsi sendi, menghambat progresifitas penyakit, dan yang
terpenting adalah edukasi terhadap pasien, sehingga pasien paham
tentang penyakit yang dia derita dan dapat menerima anjuran serta
larangan yang diberikan.
a. Terapi non farmakologi
Penatalaksaan terapi non farmakologi untuk OA lutut menurut
American College of Rheumatology (ACR) tahun 2012 merekomendasikan
sebagai berikut (Hochberg et al., 2012):
Tabel 2.1. Rekomendasi Farmakologi untuk Manajemen OA Lutut
Sangat Direkomendasikan
Direkomendasikan pada kondisi tertentu
Tidak direkomendasikan
Berpartisipiasi dalam senam kardiovaskular dan atau latihan resistensi
Berpartisipiasi dalam olahraga air
Menurunkan berat badan (untuk individu dengan berat badan berlebih)
Berpartisipasi dalam program manajemen diri
Menerima terapi manual dikombinasi dengan latihan yang diawasi
Menerima intervensi psikososial
Menggunakan medially directed patellar tapin
Mengenakan medially wedges insoles pada OA kompartemen lateral
Mengenakan laterally wedges subtalar strapped insoles pada OA kompartemen medial
Partisipasi dalam latihan keseimbangan, baik sendiri atau bersamaan dengan latihan penguatan
Mengenakan sol lateral terjepit
Menerima terapi manual saja
Memakai penyangga lutut
Menggunakan laterally directed patellar taping
28
Sementara itu, menurut Departemen Kesehatan (2006), terapi non
farmakologi juga dapat dilakukan melalui :
1) Edukasi
Edukasi pasien, keluarga pasien, teman, adalah bagian integral
dari penatalaksanaan OA. Pasien harus didorong untuk berpartisipasi
dalam program-program yang ada misalnya program edukasi pasien,
program self-management atau kelompok pendukung Arthritis dll. Dalam
program ini pasien belajar memahami OA tentang proses penyakit,
prognosis, pilihan terapi, menanamkan perubahan paradigma bahwa OA
dianggap sebagai penyakit yang tidak dapat dihindari, merupakan proses
penuaan. Selain itu belajar mengurangi rasa sakit, latihan fisik dan
relaksasi, komunikasi dengan staf kesehatan, dan pemecahan masalah,
dapat menghadapi secara fisik, emosi dan mental, mempunyai kendali
lebih baik terhadap OA, meningkatkan percaya diri untuk hidup aktif dan
Diinstruksikan penggunaan agen termal
Menerima alat bantu berjalan, sesuai kebutuhan
Berpartisipasi dalam program tai chi
Diobati dengan akupuntur tradisional Cina*
Diinstruksikan penggunaan stimulasi listrik transkutan*
*Modalitas ini bersifat kondisional, direkomendasikan hanya jika pasien memiliki OA lutut dengan nyeri kronis sedang sampai berat dan merupakan indikasi untuk artroplasti total lutut tetapi tidak mau menjalani prosedur, memiliki komorbiditas medis, atau sedang mengonsumsi obat yang mengarah kepada kontraindikasi mutlak atau relatif untuk operasi atau dokter bedah tidak merekomendasikan prosedur.
29
mempunyai hidup yang tidak tergantung orang lain. Hasil studi
menegaskan bahwa konsep peningkatan komunikasi dan edukasi adalah
faktor penting untuk mengurangi rasa nyeri dan meningkatkan fungsi pada
pasien OA, selain itu bahwa program ini menguntungkan untuk jangka
panjang.
2) Exercise
Penelitian menunjukkan bahwa latihan fisik adalah penyembuhan
yang paling baik untuk OA. Olahraga dapat meningkatkan suasana hati
(mood) dan harapan (outlook), mengurangi rasa sakit, meningkatkan
fleksibilitas, memperbaiki jantung dan aliran darah, menjaga berat badan,
dan memperbaiki kebugaran secara umum. Jumlah dan bentuk olahraga
tergantung dari persendian yang terlibat, kestabilan dan apakah sudah
pernah dilakukan pembedahan.
Dengan latihan fisik secara teratur (penguatan, rentang gerakan,
isometrik, isotonik,isokinetik, postural), kartilago dapat dipertahankan tetap
sehat, mendorong gerakan, dan membantu pengembangan otot dan
tendon untuk meredam tekanan dan mencegah kerusakan selanjutnya
akibat OA. Sebaliknya inaktivitas dan imobilisasi walau untuk periode
pendek akan memperburuk atau mempercepat berkembangnya OA.
Latihan fisik dan penguatan quadriseps akan meningkatkan fungsi fisik
dan mengurangi kecacatan, rasa sakit dan pemakaian analgesik.
Rujukan kepada terapis fisik atau okupasi sangat dibutuhkan bagi
pasien yang sudah cacat fungsi sendinya. Terapis dapat menilai kekuatan
30
otot, stabilitas sendi, dan dapat merekomendasikan latihan fisik dan
metoda untuk melindungi sendi yang terkena, dari tekanan berlebihan.
Terapis juga dapat memberikan alat bantu seperti tongkat, bebat, dsb
yang dipakai saat latihan fisik maupun kegiatan sehari-hari. Latihan Fisik
untuk penyembuhan dilakukan untuk menjaga sendi bekerja sebaik
mungkin, sementara latihan fisik aerobic dilakukan untuk meningkatkan
kekuatan dan kebugaran, dan mengontrol berat badan
3) Istirahat dan merawat persendian
Rencana penyembuhan termasuk penjadwalan istirahat. Pasien
harus belajar mendeteksi tanda-tanda tubuh, dan tahu kapan harus
menghentikan atau memperlambat aktivitas, untuk mencegah rasa sakit
karena aktivitas berlebihan. Beberapa pasien merasakan teknik relaksasi,
pengurangan stres, dan biofeedback sangat membantu. Beberapa pasien
menggunakan tongkat atau bidai untuk melindungi persendian dari
tekanan. Bidai atau penahan (braces) memberikan dukungan ekstra pada
otot yang lemah. Mereka juga menjaga persendian pada posisi yang
benar selama tidur maupun beraktivitas. Bidai hanya dipakai untuk masa
terbatas sebab otot membutuhkan latihan untuk mencegah kekakuan dan
kelemahan. Terapis atau dokter dapat membantu menentukan bidai yang
tepat.
4) Pengendalian Berat Badan
Kelebihan berat badan meningkatkan beban biomekanik pada
sendi penyangga berat dan ini adalah prediktor tunggal paling baik dari
31
kebutuhan operasi sendi. Pengurangan berat badan dikaitkan dengan
pengurangan gejala dan kecacatan. Sangat dibutuhkan motivasi yang
kuat dan program penurunan badan yang terstruktur. Tentunya diet yang
sehat dan olahraga akan sangat membantu.
5) Operasi
Operasi dapat dilakukan untuk mengambil serpihan-serpihan tulang
dan kartilago di sendi bila menyebabkan gejala mekanis dari mengunci
dan buckling, selanjutnya menghaluskan permukaan tulang, mereposisi
tulang, mengganti sendi. Ahli bedah akan mengganti sendi yang sakit
dengan sendi artifisial, disebut prostese. Dapat dibuat dari metal alloy,
plastik dengan densitas tinggi, dan keramik. Dapat dihubungkan dengan
permukaan tulang dengan sejenis semen. Sendi artifisial dapat tahan
selama 10-15 tahun atau lebih. 10% dari sendi artifisial membutuhkan
revisi. Ahli bedah memilihkan desain dan komponen prostese sesuai
dengan berat pasien, sex, umur, tingkat aktivitas dan kondisi medis lain.
Keputusan untuk dibedah tergantung beberapa hal. Dokter maupun
pasien menganggap tingkat kecacatan, intensitas rasa sakit, gangguan
dengan gaya hidup , umur , dan pekerjaan pasien. Saat ini, lebih dari 80%
dari kasus bedah OA adalah penggantian sendi panggul dan lutut. Setelah
operasi dan rehabilisasi, pasien biasanya hilang rasa nyeri dan
bengkaknya berkurang , dan lebih mudah bergerak
32
6) Terapi Fisik & Occupational Therapy
Mengurangi rasa sakit dengan cara non farmakologik Terapi fisik
dengan panas atau dingin dan latihan fisik akan membantu menjaga dan
mengembalikan rentang gerakan sendi dan mengurangi rasa sakit dan
kejang otot. Mandi atau berendam air hangat akan mengurangi rasa sakit
dan kekakuan. Efek fisiologi dari suhu adalah relaksasi otot dan
mengurangi rasa sakit. Walau demikian pemakaian panas harus
dipertimbangkan secara komprehensif bagi pasien OA. Penderita ada
yang melakukan penyembuhan tanpa obat. Handuk hangat, kantung
panas (hot packs), atau mandi air hangat, dapat mengurangi kekakuan
dan rasa sakit. Kadang kantung es (cold packs) dibungkus handuk dapat
menghilangkan rasa sakit atau mengebalkan bagian yang ngilu. Untuk OA
di lutut, pasien dapat memakai sepatu dengan sol tambahan yang empuk
untuk meratakan pembagian tekanan akibat berat, dengan demikian akan
mengurangi tekanan di lutut.
b. Terapi farmakologi
Salah satu management untuk pasien OA lutut adalah dengan terapi
farmakologi. American College of Rheumatology (ACR) tahun 2012
merekomendasikan penggunaan terapi farmakologi untuk OA lutut
sebagai berikut (Hochberg et al., 2012):
33
Tabel 2.2 Rekomendasi Farmakologi untuk Manajemen OA Lutut
Tahap awal terapi farmakologi OA lutut adalah dengan pemberian
Asetaminophen atau yang lebih dikenal dengan paracetamol.
Asetominophen merupakan obat analgesik pertama yang diberikan pada
pasien OA lutut karena penggunaanya yang relatif aman. Dengan
pemberian dosis maksimal 4 gram/hari, pasien perlu diberikan penjelasan
untuk tidak mengonsumsi obat-obat lain yang mengandung asetaminofen,
termasuk obat flu serta kombinasi produk dengan analgesik opioid.
Apabila pemberian asetaminofen dengan dosis maksimal tidak
memberikan respon klinis yang memuaskan, golongan obat anti inflamasi
non steroid (OAINS) atau injeksi kortikosteroid intraartikuler dapat
digunakan. Tidak dianjurkan pemberian OAINS secara oral pada pasien
yang terdapat kontradiksi terhadap penggunaan obat ini.
Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAIDs) atau Obat anti
inflamasi Non-steroid (OAINS) secara umum telah dipergunakan pada
manusia dan hewan untuk mengurangi rasa nyeri dan peradangan pada
pasien artritis dan pasca operasi dikarenakan tiga fungsi utama, yaitu,
Direkomendasikan pada kondisi tertentu dimana Pasien OA lutut menggunakan 1 diantara beberapa pilihan
Asetaminofen OAINS oral OAINS topikal Tramadol Injeksi kortikosteroid intraartikuler
Tidak direkomendasikan pada kondisi tertentu
Chondroitin sulfat Glucosamine Capsaicin topical
Tidak direkomendasikan Hyaluronat intraartikuler Duloxetine Analgesik opioid
34
anti-inflamasi, antipiretik, dan analgesik. Penggunaan NSAID dapat
diberikan pada tingkat nyeri ringan hingga sedang. Fenilbutazon,
diklofenak, meloxicam dan beberapa NSAID lainnya yang digunakan
sebagai tindakan terapi untuk nyeri, peradangan dan demam dalam
kedokteran hewan. Efek antiinflamasi terutama karena kemampuan
mereka untuk menghambat kegiatan enzim siklooksigenase (COX), enzim
yang memediasi produksi prostaglandin dari asam arakidonat .
Fungsi antiinflamasi juga ditunjukkan obat golongan steroid.
Penggunaan obat steroid bekerja pada tingkat lebih tinggi dari NSAID.
Terapi dengan kortikosteroid mungkin berbahaya dan mempunyai efek
tetapi dibenarkan untuk mencegah timbulnya kerusakan yang tidak dapat
diperbaiki akibat respon peradangan Pemakaian kortikosteroid dibenarkan
pemakaiannya apabila terdapat keseriusan pada penyakitnya dan
pengobatan yang lain telah dipakai semuanya (Yulianto and Sari, 2015)
Mekanisme kerja NSAIDs yaitu dengan menghambat enzim
siklooksigenase (COX) sehingga menyebabkan penurunan sintesis
prostaglandin dan tromboksan. Prostaglandin disintesis sebagai respon
terhadap adanya cedera (injury) pada jaringan. Prostaglandin ini
merupakan mediator pada inflamasi yang dapat menyebabkan edema
(pembengkakan), nyeri, demam dan lain-lainnya, maka dengan
menghambat hasil enzim siklooksigenase maka terjadi dalam
pengurangan pembentukan prostaglandin dalam hal ini PGE2 merupakan
35
turunan pokok yang terbentuk dari asam arakidonat dan sebagai mediator
penting inflamasi (Modi et al., 2012).
Jika terdapat riwayat atau gejala ulkus gastrointestinal tetapi belum
menunjukkan adanya perdarahan, dianjurkan untuk menggunakan OAINS
penghambat COX-2 selektif ataupun nonselektif yang dikombinasikan
dengan proton-pump inhibitor, sementara untuk pasien yang mempunyai
riwayat perdarahan gastrointestinal, dianjurkan untuk menggunakan
OAINS penghambat COX 2 selektif yang dikombinasikan dengan proton-
pump inhibitor. Setiap kali OAINS digunakan untuk management OA lutut
ataupun panggul, perlu pertimbangan penambahan proton-pump inhibitor
untuk mengurangi risiko perkembangan dari gejala atau komplikasi traktus
gastrointestinal.Klasifikasi NSAID tergantung dari struktur kimianya, yang
terbagi atas dua kelas yaitu Inhibitor non-selektif (misalnya aspirin
(asetasol), sodium salisilat, metampfiron (antalgin), asam mefenamat,
ibuprofen, ketoprofen, piroxicam) dan Inhibitor selektif (misalnya etodalac,
nimesulide, celecoxib). Masing-masing NSAID mempunyai potensi yang
berbeda-beda dalam dalam menghambat COX-1 maupun COX-2 (Modi et
al., 2012).
Enzim siklooksigenase (COX) sendiri terdiri dari dua yaitu COX-1
mempunyai efek fisiologis dengan menghasilkan prostaglandin untuk
mempertahankan fungsi organ tubuh, seperti ginjal, melindungi integritas
dari mukosa lambung, dan menghasilkan tromboksan yang bertanggung
jawab untuk agregasi (penggumpalan) trombosit dan vasokonstruksi
36
Sedangkan COX-2 diinduksi selama respon inflamasi dan menghasilkan
prostaglandin yang menengahi rasa sakit dan peradangan (Gregory
Bozimowski, 2015).
Gambar 2.3 Sintesis Prostaglandin (Harvey R A dan Champe PC. 2013)
Penghambatan aktivitas COX dengan Penggunaan NSAID
mempunyai efek terapeutik dan efek yang merugikan. Penggunaan dua
jenis NSAID ini terbukti efektif terhadap pengurangan nyeri pasca operasi.
Namun COX-2 mempunyai efek yang menguntungkan pada fungsi
fisiologis tubuh dibandingkan dengan COX-1. NSAID selektif COX-1
mempunyai risiko lebih tinggi pada ulkus lambung, perdarahan pada
gastrointestinal dibanding dengan non-selektif COX-2. Akan tetapi COX-2
juga dihubungkan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular,
termasuk infark miokardioal, kegagalan jantung dan hipertensi, efek
Membran Fosfolipid
Arachidonat Acid
COX 1 (Housekeeping
enzyme)
NSAID
S
COX 2 Inhibitor
Prostaglandin
Sitoprotektif Lambung, Homeostatis vascular, agregasi
trombosit, fungsi ginjal
COX 2 (Terinduksi oleh Inflamasi
Konstitutif)
Prostaglandin
Nyeri, demam, perbaikan jaringan, dll
Glukokortikoid
37
tersebut dapat diperburuk dengan adanya intraksi obat (Gregory
Bozimowski, 2015).
10. Nyeri pada OA
Nyeri merupakan masalah kesehatan masyarakat secara global
dan OA merupakan salah satu penyakit yang paling umum ditemui yang
menyebabkan nyeri kronik (Goldberg and McGee, 2011) yang didefinsikan
sebagai nyeri yang berlangsung lebih dari tiga sampai enam bulan
(Harstall and Ospina, 2003)
International association for study of pain (IASP) mendifiniskan
nyeri sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan, berkaitan dengan kondisi aktual atau potensial terjadinya
kerusakan jaringan. Teori sepisifitas menyatakan bahwa suatu cedera
mengaktivasi reseptor dan serabut nyeri spesifik dan berubah membuat
impuls-impuls nyeri dalam perjalanan dari medulla spinalis ke pusat nyeri
di otak (Perhimpunan Dokter Spesialis Anesteiologi dan Reanimasi
Indonesia, 2009).
Salah satu fungsi system saraf yang penting adalah menyediakan
informasi tentang adanya ancaman bahaya atau cedera, stimulus suhu
(>420 C), kimia (misanya pH, produk plasma) atau kerusakan mekanis
pada ujung saraf sensoris perifer akan menimbulkan keluhan secara
verbal dan usaha untuk menghindar pada manusia. Ketika terjadi
kerusakan jaringan, bahan kimia kemudian dilepaskan dan menyebabkan
38
nyeri fisiologis dan juga menstimulasi nosiseptor (McDougall and Linton,
2012).
Nyeri merupakan suatu pengalaman yang subjektif dan tidak ada
cara untuk menilainya secara objektif. Setiap orang mempunyai respon
yang individual dan unik pada suatu rangsangan yang sama. Nyeri juga
bersifat multifaktorial yang dipengaruhi antara lain oleh kultur, pengalaman
nyeri sebelumnya, kepercayaan, suasana hati dan kemampuan untuk
menghadapinya. Nyeri juga merupakan indikator kerusakan jaringan dapat
timbul tanpa ada penyebab yang diketahui. Derajat disabilitas dalam
hubungannya dengan pengalaman nyeri dapat bervariasi, juga terdapat
variasi individual pada respon terhadap metode anti-nyeri (Perhimpunan
Dokter Spesialis Anesteiologi dan Reanimasi Indonesia, 2009).
Penyebab nyeri yang terjadi bersifat multifaktorial. Nyeri dapat
bersumber dari regangan serabut syaraf periosteum, hipertensi intra-
osseous, regangan kapsul sendi, hipertensi intra-artikular, regangan
ligament, mikrofraktur tulang subkondral, entesopati, bursitis dan spasme
otot (IRA, 2014).
Peniliaian dan pengukuran derajat nyeri sangatlah penting dalam
proses diagnose penyebab nyeri. Dengan penilaian dan pengukuran
derajat nyeri dapat dilakukan tata laksana nyeri yang tepat, evaluasi serta
perubahan tata laksana sesuai dengan respon pasien. Nyeri harus
diperiksa dalam suatu kerangka biopsikososial dengan memperhatikan
faktor fisiologis, psikologis serta lingkungan. Penilaian nyeri meliputi
39
anamnesis umum, pemeriksaan fisik, anamnesis spesifik nyeri dan
evaluasi ketidakmampuan yang ditimbulkan nyeri berdasarakan lokasi
nyeri, keadaan yang berhubungan dengan timbulnya nyeri, karakter nyeri,
intensitas nyeri, gejala yang menyertai, efek nyeri terhadap aktivitas,
tatalaksana yang sudah didapat, riwayat penyakit yang relevan dengan
rasa nyeri, faktor lain yang akan mempengaruhi tatalaksana pasien
(Perhimpunan Dokter Spesialis Anesteiologi dan Reanimasi Indonesia,
2009).
11. Outcome OA
Pengukuran nyeri dan evaluasi kemampuan fungsi pasien sering
dikaitkan ketika pengukuran nyeri dilakukan. Olehnya itu dikembangkan
kuesioner self-report untuk menilai intensitas nyeri dan kemampuan fungsi
pasien. Terdapat beberapa jenis pengukuran untuk menilai nyeri berupa
pengukuran intensitas nyeri undimensional yang terdiri dari satu atau lebih
item (misalnya Visual analog Scale (VAS) dan Numeric rating scale
(NRS)) dan pengukuran nyeri multidimensional yang mempunyai banyak
item didalamnya (misalnya Short-form McGill Pain Questionnaire, Chronic
Pain Grade Scale, and Short Form-36 Bodily Pain Scale, Western Ontario
and MacMaster Universities Osteoarthritis Index (WOMAC) (Hawker et al.,
2011).
Berdasarkan systematic review dalam Pharmacological trial untuk
menentukan efektifitas intervensi obat pada outcome OA lutut, dilaporkan
bahwa pengukuran yang nyeri yang paling sering digunakan adalah
40
pengukuran nyeri self-report yaitu Visual analog Scale (VAS) dan Numeric
rating scale (NRS) yang keduanya dipergunakan untuk menilai intensitas
nyeri serta sub skala nyeri dari Western Ontario and McMaster
Universities osteoarthritis index (WOMAC) (Dworkin et al., 2011).
Pengukuran nyeri dengan menggunakan skala VAS dan NRS paling
sering digunakan untuk menilai perubahan nyeri setelah intervensi
dibandingkan dengan pengukuran multidimensional karena
penggunaannya yang mudah dan cepat (Litcher-kelly et al., 2007).
VAS atau skala analog visual merupakan pengukuran nyeri
undimensional untuk mengukur intensitas nyeri yang digunakan secara
luas pada populasi dewasa. Pengukuran VAS berupa garis lurus secara
horizontal ataupun vertical sepanjang 100mm (10cm) dengan score 0
―tidak ada nyeri‖ pada ujung kiri dan skor 100 (skala 100mm)
menggambarkan ―nyeri parah‖ pada ujung kanan. Pelaporan intensitas
nyeri biasanya dilaporkan dalam 24 jam terakhir. Interpretasi VAS secara
normative belum tersedia. Selain VAS, NRS atau Skala numerik juga
merupakan skala yang paling sering dipergunakan dan mudah untuk
digunakan. Skala numerik merupakan versi angka dari VAS terdiri dari
angka 0-10 yang menggambarkan intensitas nyeri. Terdapat 11 poin
dalam NRS, dimana angka 0 menggambarkan ―tidak ada nyeri‖ dan angka
10 menggambarkan ―nyeri parah‖. Baik VAS maupun NRS merupakan
instrument yang valid dan reliable untuk mengukur nyeri. NRS lebih baik
dibandingkan dengan VAS karena kemampuannya dalam
41
menggambarkan secara lisan (melalui telfon) dan secara tertulis serta
mudah untuk diberikan skor (Hawker et al., 2011).
Pengukuran nyeri dan evaluasi kemampuan fungsi pasien juga
dikembangkan. Seperti WOMAC (Western Ontario and MacMaster
Universities Osteoarthritis Index) merupakan salah satu instrumen
penilaian outcome OA pada lutut dan pinggul yang sering digunakan.
Terdiri 24 pertanyaan yang terbagi dalam 3 dimensi yaitu untuk menilai
nyeri kronik, kekakuan sendi dan keterbatasan fungsi fisik. Kuesioner
Index WOMAC bisa terdiri dari berbagai variasi seperti menggunakan
skala Likert, VAS, dan NRS (Baron et al., 2007).
Sama dengan WOMAC, Index Lequesne merupakan pengukuran
yang menggabungkan skor dari 11 item penilaian nyeri, performa dan
disabilitas pasien OA (Dawson et al., 2005)
Dari kedua skala diatas, WOMAC dan semua subskala memiliki
konsistensi internal dan validitas yang lebih memuaskan dibandingkan
dengan Lequesne. Validitas WOMAC berkisar antara 0,78-0,94,
sedangkan reliabilitasnya antara 0,80-0,98 untuk OA lutut. Olehnya itu
WOMAC dapat digunakan sebagai alat ukut untuk menilai nyeri pada
pasien OA lutut (Basaran et al., 2010).
42
B. Tinjauan Umum Rimpang Kencur (Kaempferia galanga l)
1. Morfologi Kencur
Kencur (Kaempferia galanga) juga termasuk dalam family
Zingeberaceae merupakan tanaman obat herbal asli Indonesia
(Kemenkes RI, 2011). Penggunaannya telah dikenal luas oleh masyarakat
baik sebagai obat tradisional maupun sebagai bumbu dapur atau bahan
makanan. Pemanfaatan kencur oleh masyarakat secara empirik
menunjukkan bahwa penggunaan rimpang kencur sebagai obat cukup
efektif seperti obat anti radang, batuk-batuk, mual, masuk angin, pegal-
pega. Temuan ini diperkuat bahwa Kencur mengandung minyak atsiri
yang dapat memberikan efek analgetik dan anti inflamasi terutama pada
penyakit arthritis (Ridtitid et al., 2008).
Tinggi tanaman kencur berkisar +-20cm, dengan ciri batang semu,
pendek, membentuk rimpang, coklat keputihan. Daun tunggal, menempel
di permukaan tanah, melonjong, membundar, panjang 7-15 cm, lebar 2-8
cm, ujung melancip, pangkal menjantung, membundar, tepi rata, hijau.
Bunga majemuk, kelopak membentuk tabung, bercuping memita, benang
sari panjang 4 mm, kuning, staminodium melonjong membundar telur
sungsang. Akar serabut, coklat kekuningan, membentuk umbi, membulat
telur, putih di bagian dalam (Kemenkes RI, 2011).
Tanaman kencur atau Kaempferia galanga mempunyai klasifikasi
dalam sistematika tumbuhan (taksonomi) sebagai berikut (Preetha,
Hemanthakumar and Krishnan, 2016):
43
Kingdom : Plantae Subkingdom : Phanerogamae Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Series : Epigynae Ordo : Scitaminales Family : Zingiberaceae Genus : Kaempferia Spesies : galanga L.
Gambar 2.4. Daun dan Rimpang Kencur (Preetha, Hemanthakumar and
Krishnan, 2016)
2. Kandungan Kimia dari Kencur
Rimpang kencur mengandung pati (4.14%), mineral (13,73%) dan
minyak atsiri (0.02%) berupa sineol, asam metal kanil dan penta dekaaan,
ethyl aster, asam sinamic, borneol, kamphene, paraeumarin, asam anisic,
alkaloid dan gom. Data keamanan, manfaat, kontradiksi, efek samping,
inteaksi belum diketahui (Kemenkes RI, 2011).
Sebuah studi dimana minyak atsiri diisolasi dari rimpang K. galanga
L. oleh hidrodistilasi dianalisis dengan kromatografi gas (GC) dan Gas
kromatografi-mass spectrometry (GC / MS) menunjukkan sebanyak lima
puluh senyawa yang teridentifikasi, dimana senyawa etil sinamat sebagai
senyawa yang paling banyak (29.48%), etil-p-metoksisinamat (18.42%), γ-
44
cadinene (9.81%), 1, 8-cineole (6.54%), δ- carene (6.19%), borneol
(5.21%), etil-m-metoksisinamat (2.15%), camphene (1.58%), linoleoyl
chloride (1.35%) and α-pinene (1.32%) .
Penelitian yang sama dilakukan oleh Raina AP & Abraham Z.
(2015), menunjukkan terdapat dua senyawa yang paling banyak
ditemukan pada minyak rimpang kencur yaitu ethyl-p-metoksisinamat dan
etil sinamat. Dua senyawa tersebut menjadi konstituen yang paling
penting dan bertanggung jawab untuk sebagian besar farmakologi dari
tanaman kencur.
3. Pemanfaatan Rimpang Kencur
Rimpang bermanfaat sebagai sumber minyak asiri, penyedap
makanan, minuman, dan bahan obat. Oleh karena itu kencur
dipergunakan luas sebagai bahan baku industry obat tradisional, bumbu
dapur, bahan makanan, dan minuman penyegar. Di Thailand, umum
dibudidayakan di pekarangan karena daun dan rhizomanya yang di kenal
dengan sebutan pro hom digunakan untuk bumbu masakan lokal
Thailand. Rhizoma dicampur bumbu lainnya ditambah cabai digunakan
untuk membuat kari. Sedangkan daunnya diiris tipis juga sebagai bumbu
kari. Di Malaysia dan Thailand daun dan rimpang sering dikonsumsi segar
sebagai sayuran. Rimpang dan akar dipakai juga untuk bahan baku
industry dan pewarna makanan. Selain itu, K. galangal l juga popular
sebagai obat batuk, gatal-gatal tenggorokan, kembung, mual,masuk
45
angin, pegal-pegal, kompres bengkak atau radang, serta penambah nafsu
makan (Trubus, 2013)
Di Indonesia dikenal dengan minuman kesehatan bernama jamu
beras kencur. Kencur digerus bersama beras dan sedikit gula lalu
diencerkan dengan air. Ramuan itu sejak zaman nenek moyang dipercaya
dapat mengurangi atau menghilangkan nyeri, melancarkan peredaran
darah, menambah nafsu makan, dan menambah tenaga. Di Malaysia
daun dan rimpang dikunyah untuk mengatasi flu dan radang tenggorokan.
Rimpangnya diseduh lalu diminum oleh penderita hipertensi dan asma
(Trubus, 2013).
Masyarakat Filipina memakai seluruh bagian tanaman untuk atasi
demam. Rimpangnya untuk sakit kepala. Daya analgesik kencur
mengilhami ahli pengobatan Cina memakainya untuk mengobati sakit gigi,
memar, nyeri dada, sakit kepala, dan sembelit. Rimpang kencur juga
bersifat karminatif atau meluruhkan kentut, sehingga bisa dipakai untuk
mengatasi perut kembung. Manfaat lain kencur untuk pengobatan radang
lambung, bengkak, muntah-muntah, panas dalam, dan keracunan
(Trubus, 2013).
4. Aktivitas Farmakologis
Rimpang kencur (K. galanga) adalah tanaman yang tumbuh di
daerah tropis yang penggunaannya telah dikenal luas oleh masyarakat.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa rimpang kencur ternyata
mempunyai manfaat terhadap kesehatan.
46
a) AntiInflamasi
Rimpang kencur sebagai agen antiinflamasi. Penelitian yang
dilakukan oleh Wong, CS (2007) menguji ekstrak methanol rimpang
kencur terhadap tikus wistar yang diinduksi keragenan. Hasil penelitian
menunjukkan ekstrak kencur dosis 100 mg / kg signifikan mengurangi
Volume edema setelah 3 jam dan 4 jam dengan 14,2% dan 13,0%
sedangkan pada dosis yang lebih tinggi dari 200 mg / kg, ia mengurangi
Volume kaki edema 13,4%, 16,5%, 16,4% dan 17,0% pada 2, 3, 4 dan 5
jam setelah injeksi karagenan. Hasil ini menunjukkan bahwa ekstrak
rimpang kencur menunjukkan adanya efek antiinflamasi.
Sebuah studi lainnya dengan membandingkan antara dua jenis
ekstrak kencur dari kabupaten subang dan sukabumi pada dosis 18, 36
dan 45 mg/kg bobot badan tikus menunjukkan kemampuan untuk
menginhibisi inflamasi masing-masing sebesar 36,47±2,46; 40,07±2,09;
dan 51,27±2,63 % sedangkan dari Kab. Sukabumi menghambat sebesar
40,19±4,12; 39,44±6,66; dan 48,90±5,09 %. Secara statistik, efek
antiinflamasi yang tunjukkan tidak terdapat perbedaan dari keduanya
(Hasanah et al., 2011).
Berdasarkan pengamamatan persentase penurunan radang dimulai
pada jam ke-1-2, atau berada di fase 1 peradangan. Pada fase 1 ekstrak
bekerja melalui penghambatan pelepasan mediator kimia serotonin dan
histamine ke tempat tejadinya radang dan menghambat sintesis
prostaglandin yang merupakan mediator utama inflamasi. Penghambatan
47
sintesis prostaglandin diduga dilakukan dengan cara menghambat kerja
siklooksigenase (COX) yang pada saat tejadi peradangan berfungsi
mengubah asam arakhidonat menjadi prostaglandin (Hasanah et al.,
2011).
b) Analgesik
Selain sebagai antiinflmasi, rimpang kencur juga mempunyai efek
analgesik. Hal ini dibuktikan pada penelitian yang dilakukan oleh
Imaningrum & Gunardi (2010) dengan pendekatan post test only control
group design pada hewan coba. Terdiri dari lima kelompok, kelompok I
(kontrol negatif) diberi suspensi cmc; kelompok II, III dan IV diberi larutan
ekstrak dosis 19,2 mg, 25,6 mg dan 32 mg per 20 gram BB; serta
kelompok V (kontrol positif) diberi aspirin dosis 1,3 mg/20 gram BB.
Masing-masing sebanyak 1 ml secara peroral. Hasil penelitian
menunjukkan Pemberian ekstrak etanol kencur (Kaempferia galanga Linn)
dosis 19,2 mg dan 25,6 mg per 20 gr BB secara peroral dapat
menurunkan jumlah geliatan mencit yang diinduksi asam asetat. Namun
efek terapinya masih dibawah kelompok yang diberi aspirin dosis 1,3
mg/20 gram BB secara peroral. Sedangkan pada pemberian ekstrak dosis
32 mg/20 gr BB akan menimbulkan efek penekanan rasa sakit lebih bagus
dibandingkan aspirin.
c) Profil Lipid
Ekstrak kencur juga berpengaruh terhadap profil lipid. Hasil
penelitian oleh Handayani S et al. (2015) menunjukkan bahwa ekstrak
48
etanol kencur secara signifikan menurunkan kadar kolesterol dan LDL,
dan meningkatkan kepadatan tulang femur. Namun, ekstrak tidak
signifikan mempengaruhi dalam penurunan trigliserida dan meningkatkan
kadar HDL.
d) Antimikroba dan Antioksidan
Zat aktif pada ektrak rimpang kencur juga menunjukkan adanya
manfaat terhadap efek antimikroba dan antioksidan (Hanumantharaju et
al., 2010). Senyawa etil p-metoksisinamat (EPMC) yang diekstrak dari
tanaman galanga Kaempferia, diubah menggunakan Aspergillus niger
menjadi etil p-hydroxycinnamate (EPHC) menunjukkan adanya efek
potensial antimikroba seperti S. aureus, B. cereus, P. aeruginosa, E. coli
dan C. albican yang lebih baik daripada efek etil p-metoksisinamat
(EPMC). EPHC juga menunjukkan efek bakterisida dan fungisida terhadap
semua bakteri yang diuji dan jamur sementara EPMC tidak menunjukkan
adanya potensi seperti itu (Omar MN et al. 2014)
Kencur juga bermanfaat sebagai pelindung kulit. Kandungan Etil p-
metoksisinamat merupakan salah satu senyawa hasil isolasi rimpang
kencur yang merupakan bahan dasar senyawa tabir surya yaitu pelindung
untuk kulit agar tidak coklat atau hitam tersengat sinar matahari
(Taufikurohmah, 2005).
e) Aktivitas Diuretic
Manfaat lain dari ektrak kencur adalah meningkatkan aktivitas
diuretic. Penelitian yang dilakukan Mohammad, Kannaki, & Revathy,
49
(2016), dengan mengekstrak rimpang kencur menggunakan pelarut
petroleum eter. Evaluasi farmakologi untuk aktivItas diuretic pada hewan
coba menggunakan tikus wistar dengan membagi empat kelompok
masing-masing kelompok kontrol (CMC 1%), standar (Furosemida
10mg/kg) serta dan kelompok tes 200 mg/kg dan 400 mg/kg. Hasil
penelitian menunjukkan adanya peningkatan volume urin berdasarkan
peningkatan dosis melalui nilai Lipschitz (nilai diuretic). Hasil ini
menunjukkan Ekstrak rimpang kencur sebagai agen diuretic. Diuretik
adalah obat yang meningkatkan laju aliran urin, ekskresi natrium dan
digunakan untuk mengatur volume dan komposisi cairan tubuh dalam
berbagai situasi klinis. Induksi diuretic ini bermanfaat pada kondisi
penyakit tertentu seperti gagal jantung, hipertensi dan kehamilan
toksemia, odema.
f) Antikanker dan antituberkulosis
Penelitian yang dilakukan secara in-vitro, pada uji anti kanker,
menunjukkan bahwa ethyl p-methoxycinnamate dapat menghambat
proliferasi sel HepG2 karsinoma liver hepatoseluler manusia (Liu et al.,
2010), sementara itu kandungan ethyl p-methoxycinnamate, juga
bermanfaat sebagai antituberkolosis potensial (Lakshmanan et al., 2011)
g) Pencegahan Erosi Mukosa Gaster
Keluhan ulkus gaster dapat berupa dispepsia (mual, muntah,
kembung, nyeri ulu hati, sendawa, rasa penuh di ulu hati, rasa terbakar,
dan cepat merasa kenyang) dapat di cegah dengan penggunaan obat
50
herbal seperti kencur karena fungsinya sebagai terapi radang lambung
(antiinflamasi). Hal ini dibuktikan penelitian yang dilakukan Nie, Liana and
Evacuasiany (2012) pada mencit menunjukkan bahwa Ekstrak rimpang
kencur dapat mencegah erosi mukosa gaster mencit (ulkus gaster) akibat
pemberian asetosal.
5. Uji Toksisitas Ekstrak Rimpang Kencur
Studi toksisitas akut ekstrak kaempferia galanga pada hewan uji
dengan dosis 5000 mg/kg menunjukkan tidak terdapat kematian
ditemukan selama masa pengobatan baik dalam kontrol atau kelompok
perlakuan diberi ekstrak rimpang kencur hingga 5 g / kg secara oral pada
hewan coba. Hewan tidak menunjukkan adanya perubahan perilaku
umum atau tanda-tanda toksisitas atau fisiologis abnormal lainnya selama
periode pengamatan (Kanjanapothi et al., 2004; Wong CS. 2007; Umar et
al., 2012).
Hasil diatas menunjukkan bahwa tingkat dosis ekstrak rimpang
kencur dosis 5.000 mg / kg dinilai aman dan nilai Letal Dosage 50 (LD50)
dianggap lebih tinggi dari 5.000 mg / kg.
C. Tinjauan Umum Rimpang Kencur Hubungannya dengan OA Lutut
Dua kandungan aromatik rimpang kencur (K. galangal l.) dominan
adalah etil p-metoksisinamat dan etil sinamat (Huang, Yagura and Chen,
2008). Rimpang kencur mengandung lebih dari 2,5% etil p-metoksisinamat
(Lakshmanan et al., 2011) dimana zat aktif tersebut tersebut menjadi
51
bagian penting dalam aktivitas kencur sebagai bahan pengobatan (Raina
and Abraham, 2016).
Etil p-metoksisinamat termasuk turunan asam sinamat, dimana
asam sinamat adalah turunan senyawa fenil proponoad. Etil p-
metoksisinamat merupakan senyawa isolat kencur yang memiliki aktivitas
sebagai antiinflamasi non- selektif mampu menghambat COX-1 dan COX-
2 secara in vitro (Umar et al., 2012) dan juga sebagai obat penahan rasa
sakit seperti nyeri (analgesik) (Vittalrao et al, 2011).
OA merupakan penyakit sendi degeneratif akibat terganggunya
homeostasis dari metabolisme tulang rawan yang ditandai dengan
kerusakan struktur tulang rawan, terjadinya erosi tulang rawan dan
penurunan cairan sendi. Selain pelepasan enzim-enzim degradasi tulang
rawan, mediator inflamasi juga berperan dalam progresifitas penyakit OA
seperti prostaglandin. Mekanisme kerja EPMC pada kencur hampir sama
dengan NSAID yaitu dengan menghambat enzim siklooksigenase (COX)
sehingga menyebabkan penurunan sintesis prostaglandin (PG) yang
timbul akibat adanya cedera pada jaringan.
Prostaglandin ini merupakan mediator pada inflamasi yang dapat
menyebabkan edema (pembengkakan), nyeri, demam dan lain-lainnya,
dengan penghambatan COX, maka dapat menghambat pembentukan
prostaglandin dalam hal ini PGE2 (Modi et al., 2012).
Penghambatan mediator inflamasi dengan pemberian ekstrak
kencur tentunya dapat menekan dan menghambat timbulnya gejala pada
52
pasien OA seperti nyeri, kekauan sendi, pembengkakan yang memicu
penurunan fungsi fisik pada pasien OA.
53
D. Tabel Sintesa
Tabel 2.3 Tabel Sintesa Penelitian
No Peneliti Judul Sumber Tujuan
Penelitian Metode Hasil Kesimpulan
1 Muhammad Ihtisham Umar,
Mohd Zaini Asmawi, Amirin Sadikun, Item J. Atangwho, Mun Fei Yam,
Rabia Altaf and Ashfaq Ahmed
. 2012
Bioactivity-Guided
Isolation of Ethyl-p-
methoxycinnamate, an
Anti-inflammatory Constituent,
from Kaempferia galanga L. Extracts
Molecules 2012,
17, 8720-8734
Mengevaluasi efek anti-
inflamasi dari Kaempferia
galanga (KG)
Penelitian eksperimental laboratories.
Rimpang Kencur diekstraksi dengan
petroleum eter, kloroform, metanol dan air. Masing-
masing Ekstrak diuji untuk kemampuannya untuk
menghambat edema kaki Tikus betina dewasa yang
sehat (200-225 g) yang diinduksi karagenan
Ekstrak kloroform ditemukan penghambatan tertinggi (42,9%) dibandingkan dengan kontrol (p <0,001). Dari 3 Fraksinasi ekstrak kloroform F-3 ditemukan menjadi yang paling efektif 51,9% (p <0,001) dari dua Sub Fraksinasi F-3, SF-1 adalah yang paling efektif, dengan penghambatan 53,8% (p <0,001). Isolasi Kristal EPMC dari SF-1 penghambatan edema pada kaki tikus pada dosis 100.200.400 dan 800 mg / kg menunjukkan efek anti-inflamasi dengan konsentrasi hambat minimum (MIC) pada 100 mg / kg dan 800 mg / kg tidak berbeda dari dengan indometasin. Studi in vitro, EPMC non-selektif menghambat kegiatan cyclooxygenases 1 dan 2, dengan nilai IC50 1,12 pM dan 0,83 pM
EPMC yang diisolasi rimpang kencur mampu
menghambat Cox 1 dan 2 dan menjadi agen aktif
anti-inflamasi.
54
2 Umar MI, Asmawi MZ, Sadikun A,
Majid AM, Al-Suede FS, Hassan LE,
Altaf R, Ahamed MB
2014.
Ethyl-p-methoxycinnamate isolated
from Kaempferia
galanga inhibits
inflammation by
suppressing interleukin-1,
tumor necrosis
factor-α, and angiogenesis by blocking endothelial functions
CLINICS 2014;69(2):134-
144
menyelidiki mekanisme efek anti-
inflamasi dan antiangiogenic
etil-p-metoksisinamat yang diisolasi
dari Kaempferia
galanga.
Penelitian eksperimental laboratories.
Efek anti-inflamasi EPMC diukur menggunakan uji
cotton pellet granuloma pada tikus
kemudian di ukur kadar TNF-α, IL—1 dan NO. efek analgesic diukur
menggunakan uji tail flick, efek antiangiogenesis
dievaluasi dengan uji ring aorta pada tikus dan, dinilai efek
penghambatan EPMC pada pertumbuhan sel
endotel .
EPMC menghambat pembentukan granuloma tikus. Ini memperpanjang waktu tail flick pada tikus oleh lebih dari 2x lipat dibandingkan dengan kontrol. Penghambatan IL dan TNF oleh EPMC signifikan pada model in vivo dan in vitro, penghambatan sedang pada NO yang diamati pada makrofag EPMC juga menghambat pertumbuhan microvessel aorta tikus serta adanya penurunan tingkat faktor pertumbuhan endotel vaskular.
EPMC yang diisolasi dari Kaempferia galanga l, mampu
menghambat sitokin
proinflamasi dan
angiogenesis, dan
menghambat pertumbuhan sel endotel
3 Novi Imaningrum , Gunard. 2010
Pengaruh Ekstrak Etanol
Rimpang Kencur
(Kaempferia galanga Linn)
Terhadap Jumlah Geliatan Mencit
Jurnal, Undip Tahun 2010
mengetahui apakah ekstrak etanol rimpang kencur dapat menurunkan rasa sakit.
Penelitian eksperimental laboratoris dengan
pendekatan post test only control group design.
Digunakan hewan percobaan mencit galur
Balb/c jantan, berat badan 15-30 gram.
Kelompok I (kontrol negatif) diberi suspensi cmc; kelompok II, III dan
Pemberian ekstrak etanol kencur (Kaempferia galanga Linn) dosis 19,2 mg dan 25,6 mg per 20 gr BB secara peroral dapat menurunkan jumlah geliatan mencit yang diinduksi asam asetat. Namun efek terapinya masih dibawah kelompok yang diberi aspirin dosis 1,3 mg/20 gram BB secara peroral. Sedangkan pada
Pemberian ekstrak etanol
rimpang kencur
(Kaempferia galanga
Linn) mempunyai pengaruh terhadap
55
Balb/C Yang Diinduksi
Asam Asetat
IV diberi larutan ekstrak dosis 19,2 mg, 25,6 mg dan 32 mg per 20 gram BB; serta kelompok V (kontrol positif) diberi
aspirin dosis 1,3 mg/20 gram BB. Masing-masing
sebanyak 1 ml secara peroral.
pemberian ekstrak dosis 32 mg/20 gr BB akan menimbulkan efek penekanan rasa sakit lebih bagus dibandingkan aspirin. Adapun pengaruh waktu terhadap geliatan mencit pada menit ke 15 mempunyai efek paling maksimal pada masing-masing dosis karena dapat menghasilkan jumlah geliatan paling rendah.
penurunan rasa sakit
mencit Balb/c yang
diinduksi asam asetat
0,1%.
4 Amberkar Mohanbabu
Vittalrao, Tara Shanbhag,
Meena Kumari K., K. L. Bairy
And Smita Shenoy. 2011
Evaluation Of Antiinflammat
ory And Analgesic
Activities Of Alcoholic Extract Of
Kaempferia Galanga In
Rats.
Indian J Physiol
Pharmacol 2011; 55 (1) : 13–24
mengevaluasi aktivitas
antiinflamasi dan
antinociceptive dari
Kaempferia galanga pada tikus albino
Wistar menggunakan ekstrak etanol
Penelitian Experimental Laboratories.
Ekstrak etanol dari Kaempferia galanga diuji
untuk analgesic dan antiinflamasi pada hewan model Sebanyak 120 tikus sehat Wistar (150-200 g) Tiga dosis, 300 mg / kg,
600 mg / kg dan 1200 mg / kg.
inflamasi akut dan sub akut dipelajari pada model edema kaki tikus diinduksi
karagenan dan model granuloma. Dalam kedua model, obat standar yang digunakan adalah aspirin 100 mg / kg. dan kontrol menerima 2 ml 2% gum
Dua dosis 600 mg / kg dan 1200 mg / kg ekstrak Kencur signifikan (P <0,001) untuk antiinflamasi dalam model karagenan dan model granuloma dibandingkan dengan kontrol. Dua dosis ekstrak kencur menunjukkan aktivitas yang signifikan analgesik dalam model tail flick (P <0,001) dan model hot plate (P <0,001) dibandingkan dengan kontrol.
Rimpang kencur
memiliki aktivitas anti-inflamasi dan
analgesik.
56
akasia
5 Mohammad Zubair
Chowdhury, Zobaer Al Mahmud,
Mohammad Shawkat Ali and Sitesh C Bachar. 2014
Phytochemical And
Pharmacological
Investigations Of Rhizome Extracts Of Kaempferia
Galanga
IJP, 2014;
Vol. 1(3): 185-192
mengevaluasi efek anti-inflamasi,
antinociceptive dan
antihyperglycemic ekstrak Kaempferia
galangal
Penelitian Experimental Laboratories.
Rimpang Kencur di ekstraksi
dengan methanol, fraksi n-heksana dan fraksi
kloroform. Berat tikus 100-150 gram.
Terdapat 3 tes dalam penelitian ini yaitu
Uji anti inflamasi edema kaki tikus diinduksi
karagenan. Uji antinociceptif tes geliat diinduksi asam asetat dan evaluasi hipoglikemik oleh tes toleransi glukosa oral.
Obat standar dichlophenac obat natrium
(40 mg / kg)
Pada uji kaki edema karagenan-diinduksi, dosis 400 mg / kg ekstrak metanol, kloroform dan fraksi n-heksana menunjukkan signifikan (p <0,05) penghambatan kaki edema dengan 55.08, 48,85 dan 71,88%. Dalam tes geliat diinduksi asam asetat, kloroform dan ekstrak n-heksana dengan dosis 400 mg / kg menunjukkan signifikan (p <0,001) pengurangan penghambatan jumlah geliat dengan 38,19 dan 62,31% . Tes toleransi glukosa oral, semua ekstrak pada 200 mg / kg berat badan menghambat kenaikan kadar glukosa darah.
Ekstrak rimpang kencur
memiliki aktivitas anti-nociceptive,
anti-inflamasi,
dan antihyperglyc
emic. Ekstrak
kencur dapat digunakan sebagai
ethonopharmacological tanaman
6 Chuta Sae-Wong. 2007
Studi on analgesic, antipiretik and anti-
inflammatory activities of methanol
Thesis : Prince
Od Songkla Universit
y
mengevaluasi analgesik,
antipiretik dan potensi anti-inflamasi dari
ekstrak metanol K.
Penelitian Experimental Laboratories
mencit putih jantan dengan berat berkisar 28-
40 g digunakan untuk pengujian aktivitas
analgesic untuk hot plate,
K. ekstrak kencur pada dosis 50, 100 dan 200 mg / kg, P.O. secara signifikan (p<0.01) 29,6±0.95, 20,9±1.53, 15,2±1.13 menghambat geliatan masing-masing dengan persen 42,75%, 59,57% dan 70,60%, jika
ekstrak K. galanga
menunjukkan efek
antinociceptive dan anti-
inflamasi
57
extract of kaemferia
galangal L. in experimtel
animals
galanga (MEKG) pada dosis 50, 100 dan 200 mg /
kg pada mencit dan tikus.
geliat, dan tes formalin. tikus Wistar jantan
seberat mulai 140- 230 g digunakan untuk metode
pengujian aktivitas analgesik untuk uji tail
flick; antipiretik dan antiinflamasi (diinduksi
karagenan). Menggunakan K. ekstrak
kencur pada dosis 50, 100 dan 200 mg / kg, P.O
dibandingkan dengan kontrol. Penurunan waktu durasi licking baik di awal dan akhir fase di uji formalin secara signifikan (p<0,01). Ekstrak kencur dosis 100 mg / kg signifikan mengurangi Volume edema setelah 3 jam (p<0.05) dan 4 jam (p<0.01) dengan 14,2% dan 13,0% sedangkan pada dosis yang lebih tinggi dari 200 mg / kg, ia mengurangi Volume kaki edema 13,4%(p<0.05), 16,5% (p<0.01), 16,4%(p<0.01) dan 17,0% (p<0.01) pada 2, 3, 4 dan 5 jam setelah injeksi karagenan. Pada dosis 50, 100 dan 200 mg /kg menunjukkan penghambatan yang signifikan dan dosis yang berhubungan dengan berat granuloma by 10%, 18% dan 25% masing-masing jika dibandingkan dengan kontrol. Tidak ada aktivitas antipiretik yang terlihat.
yang signifikan, tetapi tidak
memiliki efek antipiretik
58
E. Kerangka Teori
Gambar 2.5 Kerangka Teori
Referensi : Modifikasi Arden et al., 2014; Kapoor and Mahomed, 2015.; Kidd, Bruce, 2012; Sokolove J and Lepus C M, 2013
Keterangan Gambar
: Hambatan Ekstrak kencur
FUNGSI FISIK KAKU SENDI NYERI
OA LUTUT
HOMEOSTASIS
TULANG RAWAN
TERGANGGU
OVERWEIGHT/
OBESITAS
USIA
JENIS
KELAIMIN
AKTIVITAS &
PEKERJAAN
GENETIK
GIZI
KELAINAN
KONGINETAL
TRAUMA RAS
KONDROSIT
NITRIT OKSIDA
MEMBRAN
SINOVIAL
INFLAMASI
DEGRADASI TULANG
RAWAN
SITOKIN
INFLAMASI
ENZIM
PROTEOLITIK
59
F. Kerangka Konsep
Keterangan :
: Variabel Independen (Variabel yang diteliti)
: Variabel Dependen
: Variabel Tidak diteliti
: Hubungan yang diteliti
Gambar 2.6 Kerangka Konsep
OA
LUTUT
1. NYERI 2. KAKU SENDI 3. GANGGUAN FUNGSI
FISIK
Inflamasi
OBESITAS
Usia 50 Tahun
Pekerjaan
Genetik
Trauma/Cedera
Jenis Kelamin
Ekstrak Rimpang Kencur
INTERVENSI
60
G. Variabel Penelitian
1. Variabel Dependen
Variabel dependen adalah nyeri, kaku sendi dan gangguan fungsi
fisik OA lutut.
2. Variabel Independen
Variabel independen adalah kelompok intervensi dengan terapi
pemberian ekstrak rimpang kencur dosis 160 mg/hari pada pasien OA,
dan kelompok kedua sebagai kelompok kontrol dengan terapi pemberian
obat meloxicam 15 mg/hari kepada pasien OA.
H. Hipotesis Penelitian
1. Tingkat penurunan nyeri sesudah pemberian ekstrak rimpang kencur
lebih baik dibandingkan dengan pemberian meloxicam pada pasien
OA dibandingkan sebelum pemberian intervensi
2. Tingkat penurunan kekakuan sendi sesudah pemberian ekstrak
rimpang kencur lebih baik dibandingkan dengan pemberian meloxicam
pada pasien OA dibandingkan sebelum pemberian intervensi
3. Tingkat penurunan gangguan fungsi fisik sesudah pemberian ekstrak
rimpang kencur lebih baik dibandingkan dengan pemberian meloxicam
pada pasien OA dibandingkan sebelum pemberian intervensi
61
I. Definisi Operasional
1. Ekstrak Rimpang Kencur
Pemberian ekstrak rimpang kencur adalah pemberian kapsul yang
berisi serbuk hasil pengolahan rimpang kencur kepada subjek penelitian.
Pemberian kapsul rimpang kencur dosis 160 mg/hari. Adapun pemberian
satu kapsul perhari selama 10 hari setiap malam setelah makan.
Kriteria Objektif :
a. Dikonsumsi bila dalam setiap hari subjek pada kelompok intervensi
mengonsumsi kapsul ekstrak rimpang kencur sekali sehari selama 10
hari.
b. Tidak dikonsumsi bila dalam dalam setiap hari subjek pada kelompok
intervensi tidak mengonsumsi kapsul ekstrak rimpang kencur sekali
sehari selama 10 hari.
2. Meloxicam
Meloxicam adalah golongan obat NSAIDs yang diberikan kepada
kelompok kontrol dengan dosis 15 mg/hari. Adapun pemberiannya yaitu
sebanyak satu kapsul perhari selama 10 hari setiap malam setelah
makan.
3. Nyeri
Nyeri atau rasa sakit yang dirasakan oleh pasien OA lutut
berdasarkan total skor skala nyeri pada kuesioner WOMAC yang terdiri
dari 5 pertanyaan yaitu nyeri pada saat berjalan diatas permukaan yang
datar, naik dan turun tangga, tidur di malam hari, duduk atau berbaring.
62
Pengukuran intensitas nyeri menggunakan Visual Analog Scale (VAS).
Skala berupa garis lurus dengan rentan skor 0-10 dimana 0 menunjukkan
tidak ada nyeri dan 10 menunjukkan nyeri terburuk. Hasil pengukuran
kemudian dijumlah dengan skor minimal 0 dan maksimal 50.
4. Kaku Sendi
Kekakuan sendi yang dialami oleh pasien OA lutut berdasarkan
total skor skala kekauan sendi pada kuesioner WOMAC yang terdiri dari 2
pertanyaan yaitu kaku sendi saat bagun pagi dan setlah duduk, berbaring
atau istirahat . Pengukuran intensitas nyeri menggunakan Visual Analog
Scale (VAS). Skala berupa garis lurus dengan rentan skor 0-10 dimana 0
menunjukkan tidak ada nyeri dan 10 menunjukkan nyeri terburuk. Hasil
pengukuran kemudian dijumlah dengan skor minimal 0 dan maksimal 20.
5. Gangguan Fungsi Fisik
Gangguan fungsi fisik dalam melakukan aktivitas yang dirasakan
oleh pasien OA lutut berdasarkan total skor skala gangguan fungsi pada
kuesioner WOMAC yang terdiri dari 17 pertanyaan pada saat menaiki dan
menuruni tangga, bangun dari posisi duduk, membungkuk, jalan di
permukaan datar, masuk/keluar mobil, berbelanja, mengenakan dan
melepas kaos kaki, bangun dan berbaring di tempat tidur, masuk dan
keluar kamar mandi, saat duduk atau/jongkok dan bangun dari toilet,
melakukan pekerjaan rumah yang berat dan ringan. Pengukuran
intensitas nyeri menggunakan Visual Analog Scale (VAS). Skala berupa
garis lurus dengan rentan skor 0-10 dimana 0 menunjukkan tidak ada
63
nyeri dan 10 menunjukkan nyeri terburuk. Hasil pengukuran kemudian
dijumlah dengan skor minimal 0 dan maksimal 170.
6. Status Gizi
Suatu Keadaan fisik seseorang yang diukur menggunakan metode
antropometri yang dihitung dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh
(IMT) yaitu hasil pembagian antara berat badan (kg) dan tinggi badan
(dalam meter) kuadrat.
Kriteria Objektif :
a. Kategori Kurus bila IMT <18.5
b. Kategori Normal bila IMT 18.5 – 22.9
c. Kategori Berat Badan Berlebih (Overweight) bila IMT 23,0 – 24.9
d. Kategori Obesitas bila IMT >25
64
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian dan Model Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan rancangan
Randomized Clinical Trial, (RCT) pre-test and post-test dengan metode
Double Blind. Terdapat dua kelompok dalam penelitian ini masing-masing
adalah kelompok intervensi dengan 160 mg/hari ekstrak rimpang kencur
serta kelompok kontrol mendapatkan meloxicam 15 mg/hari dengan
pemberian masing-masing satu kapsul perhari selama 10 hari.
Penelitian dilakukan secara double blind dimana peneliti, pembantu
peneliti, dan sampel penelitian tidak mengetahui apakah yang dikonsumsi
adalah ektrak rimpang kencur dosis 160 mg ataupun meloxicam 15 mg.
Olehnya itu, akan dibuat kapsul yang tampak sama.
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian besar yang berjudul
―Pemanfaatan Ekstrak Rimpang Kencur dalam Mengurangi Inflamasi dan
Nyeri pada Osteoartritis‖ yang diketuai oleh Nurpudji Astuti. Penelitian ini
termasuk dalam program penelitian Sentra Pengembangan dan
Penerapan Pengobatan Tradisional (SP3T) Provinsi Sulawesi Selatan
tahun 2016.
Secara umum rancangan penelitian dapat digambarkan sebagai
berikut :
65
O1---------------------------X1------------------------------O2
O3---------------------------X2------------------------------O4
Keterangan : R = Randomisasi (Random) O1 = Kelompok intervensi yang menderita OA lutut sebelum
perlakuan O2 = Kelompok intervensi yang menderita OA lutut sesudah
perlakuan O3 = Kelompok kontrol yang menderita OA lutut sebelum perlakuan O4 = Kelompok kontrol yang menderita OA lutut sesudah perlakuan X1 = Pemberian ekstrak rimpang kencur 160 mg pada kelompok
intervensi X2 = Pemberian meloxicam 15 mg pada kelompok kontrol
B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat penelitian
Penjaringan sampel dan pelaksanaan penelitian ini dilakukan di
wilayah kerja Puskesmas Tamalanrea, Kota Makassar.
2. Waktu penelitian
Penjaringan dilakukan selama 4 bulan dan Intervensi dilakukan
selama 10 hari yang berlangsung selama bulan juli-oktober 2017.
R
66
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita
penyakit Osteoarthritis (OA) lutut di wilayah kerja Puskesmas
Tamalanre kota Makassar.
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah pasien Osteoarthritis (OA) lutut
di wilayah Puskesmas Tamalanrea kota Makassar berdasarkan kriteria
yang telah ditetapkan oleh peneliti.
a. Besar Sampel
Penentuan besar sampel penelitian (Dahlan MS, 2016):
n1=n2 = 2[[ ]
]
= 2[[ ]
]
= 17.1 = 17
Ket :
n1 = jumlah sampel Kelompok intervensi
n2 = jumlah sampel kelompok kontrol
Zα = kesalahan tipe I ditetapkan 5% yaitu 1,64
Zβ = kesalahan tipe II ditetapkan 20% yaitu 0.84
X1-X2 = selisih minimal skor WOMAC untuk nyeri yang dianggap
bermakna ditetapkan sebesar 5
S = simpang baku diasumsikan sebesar 6
Setelah dihitung dengan rumus diatas jumlah sampel yang
dibutuhkan pada penelitian ini adalah 17 orang perkelompok. Untuk
menghindari Drop Out (DO) ketika proses penelitian berlangsung,
maka diambil 20% dari minimal sampel yaitu 3.4 orang, kemudian
67
digenapkan menjadi 3 sampel. Total sampel perkelompok yaitu 20
orang.
b. Kriteria Sampel
1) Kriteria Inklusi
a) Menderita OA lutut berdasarkan diagnosis dokter menurut
gejala dan secara radiografi
b) Tidak dalam masa pengobatan dengan analgetik dan
antiinflamasi, minimal tujuh hari terakhir.
c) Bersedia ikut dalam penelitian
2) Kriteria Eksklusi
a) Terdapat riwayat penyakit hati dan ginjal
b) Alergi terhadap kencur
c) Alergi terhadap meloxicam
D. Pengumpulan Data
1. Jenis Data
Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui proses wawancara
dengan menggunakan kuesioner. Data primer meliputi data identitas dan
karakteristik responden, riwayat penyakit terdahulu dan sekarang, lama
sakit dan derajat OA secara radiografi, data status gizi berdasarkan Indeks
Massa Tubuh (IMT) dikumpulkan sebelum dan sesudah intervensi, data
asupan makanan yang diperoleh dengan menggunakan metode recall 24
jam pada awal dan sesudah intevensi (food recall 24 jam), data skor
indeks WOMAC nyeri, kaku sendi dan gangguan fungsi fisik pasien OA
68
lutut serta data tanda klinik dengan memeriksa lutut meliputi tanda
kemerahan, perabaan panas, pembengkakan dan nyeri tekan.
Adapun data sekunder diperoleh dengan melihat dan mencatat dari
sumber lain yang berhubungan dengan penelitian.
2. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Kuesioner Indeks WOMAC :
WOMAC digunakan untuk mengumpulkan data tentang nyeri, kaku
sendi dan gangguan fungsi fisik yang terdiri dari 24 pertanyaan
masing-masing 5 pertanyaan yang berhubungan dengan nyeri, 2
pertanyaan yang berhubungan dengan kekakuan sendi dan 17
pertanyaan yang berhubungan dengan aktivitas fisik. Skala berupa
garis lurus dengan rentan skor 0-10 dimana 0 menunjukkan tidak
ada nyeri dan 10 menunjukkan nyeri terburuk (Hawker GA et al.
(2011), Dworkin RH et al. (2011)). Pengukuran dilakukan sebanyak
2 kali selama penelitian berlangsung masing-masing sebelum
intervensi dan sesaat setelah intervensi berakhir.
b. Form Food Recall 24 jam
Food Recall 24 jam dilakukan dengan cara mencatat seluruh
asupan makanan dengan teknik wawancara selama 2 hari yang
telah ditentukan. Kandungan energi dan unsur-unsur gizi dicatat
berdasarkan Nutri Survey. Recall 24 jam juga digunakan untuk
memprediksi jenis dan asupan zat gizi makanan tertentu yang
69
dikonsumsi. Food picture juga digunakan untuk memudahkan
dalam penentuan berat makanan yang dikonsumsi responden.
c. Pengukuran tinggi badan
Tinggi badan diukur dengan mikrotoise dengan ketelitian 0,1 cm
tanpa memakai sepatu dan aksesoris kepala.
d. Pengukuran Berat Badan
Berat badan diukur dengan Bioimpedance Analyzer (BIA) dengan
ketelitian 0.1 kg dengan menggunakan pakaian yang tipis tanpa
memakai sepatu
E. Tahapan Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada beberapa tahap yaitu :
1. Tahap pembuatan ekstrak kencur yang dilakukan di laboratorium
2. Pelaksanaan
a. Mengumpulkan dan Mendata pasien OA lutut yang telah terjaring
b. Menanyakan kesediaan calon responden untuk menjadi responden
c. Responden menandatangani informed consent jika bersedia
menjadi responden
d. Setiap sampel penelitian dilakukan anamnesa awal yaitu gejala
dan tanda klinik pada lutut.
3. Tahap intervensi
Sampel yang terkumpul dan telah memenuhi kriteria penelitian,
kemudian dilakukan randomisasi/pengacakan Terdapat dua kelompok
dalam penelitian ini masing-masing adalah kelompok intervensi dengan
70
160 mg/hari ekstrak rimpang kencur dan kelompok kontrol mendapatkan
meloxicam 15 mg/hari dengan pemberian masing-masing satu kali sehari
yang dikonsumsi selama 10 hari.
Randomisasi dilakukan secara blok dimana kelompok perlakuan
sebagai kelompok A dan kelompok kontrol sebagai kelompok B.
Ditentukan 6 permutasi: ABAB, ABBA, AABB, BABA, BBAA, dan BAAB.
Lalu dipilih salah satu permutasi secara random, misalnya ABAB, maka
dalam pelaksanaan secara berturut-turut subyek 1 dimasukkan ke
kelompok A, subyek 2 ke kelompok B, subyek 3 ke kelompok A, subyek 4
ke kelompok B, dan diulangi lagi seterusnya.
Adapun dosis dan cara pemberian obat antara lain :
a. Kelompok Perlakuan Ekstrak rimpang kencur 160 mg
1) Malam, pukul 07.00 sesudah makan malam meminum satu
kapsul
2) Obat diminum selama 10 hari berturut-turut.
b. Kelompok Kontrol meloxicam 15 mg
1) Malam, pukul 07.00 sesudah makan malam meminum satu
kapsul
2) Obat diminum selama 10 hari berturut-turut.
4. Evaluasi Kepatuhan
Setiap responden diberikan catatan kepatuhan minum kapsul
kencur dan setiap kali responden minum kapsul kencur diminta untuk
memberikan tanda cek (√) pada tempat yang telah disediakan. Setiap 5
71
hari sekali peneliti melakukan kunjungan kerumah responden untuk
mengevaluasi efek ekstrak kencur dan memberikan kapsul ekstrak kencur
untuk diminum pada minggu berikutnya hingga akhir penelitian.
5. Evaluasi Respon Terapi
Respon terapi dinilai berdasarkan adanya pengurangan skor nyeri
lutut, kekakuan sendi, gangguan fungsi berdasarkan indeks WOMAC serta
dicatat tanda klinik pada lutut berupa tanda kemerahan, perabaan panas,
pembengkakan dan nyeri tekan.
6. Evaluasi Efek Samping
Efek samping secara klinik diamati dan dicatat setiap hari sampai
penelitian selesai. Apabila terjadi efek samping yang membahayakan
maka penelitian untuk penderita tersebut diberhentikan, dan akan
mendapat perawatan akibat efek samping tersebut.
F. Pengolahan dan Analisis Data
1. Pengolahan data diolah dengan menggunakan perangkat lunak
(software) program SPSS versi 21 untuk windows. Data konsumsi
makanan diolah dengan program computer Nutrisurvey.
2. Analisis Data
a. Analisis univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran
umum tiap-tiap variabel penelitian yaitu dengan melihat gambaran
distribusi frekuensinya dalam bentuk tabel.
72
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat pengaruh antara
variabel Independen dan variabel dependen. Adapun untuk melihat
perubahan sebelum dan sesudah intervensi pada masing-masing
kelompok dianalisis dengan menggunakan uji statitistik t tes.
dengan batas kemaknaan α=0.05.
Untuk melihat perbedaan rerata skor nyeri, kekakuan sendi dan
gangguan fungsi fisik pada awal dan akhir penelitian untuk setiap
kelompok digunakan uji t berpasangan jika data terdistribusi
normal, namun jika data tidak terdistribusi secara normal digunakan
uji wilcoxon.
Untuk melihat perbedaan rerata skor nyeri, kekakuan sendi dan
gangguan fungsi fisik antara kelompok perlakuan dengan kelompok
kontrol pada setiap waktu digunakan uji t tidak berpasangan namun
jika data tidak terdistribusi normal menggunakan uji mann whitney.
G. Kontrol Kualitas
Kontrol Kualitas merupakan upaya kontrol terhadap keseluruhan
aspek operasional penelitian, mulai dari tahap persiapan sampai pada
tahap menajemen data. Adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk
mencapai hasil tersebut adalah :
1. Standarisasi petugas lapangan
Standarisasi petugas lapangan dilakukan untuk memberikan
pemahaman yang sama dengan gold standard peneliti dengan cara
73
melakukan pelatihan petugas lapangan yang nantinya diharapkan petugas
lapangan mampu
a. Memahami tujuan dan merasa memiliki penelitian yang dilakukan
b. Mampu menggunakan instrument penelitian (BIA, alat ukur tinggi
badan, Kuesioner Recall 24 jam, dan Kuesioner WOMAC)
c. Mampu melakukan wawancara dengan baik
2. Standarisasi Alat ukur
Uji coba alat ukur di lapangan untuk melihat apakah alat ukur yang
digunakan benar-benar berfungsi baik dan mampu untuk memberikan
hasil pengukuran yang diharapkan.
3. Kepatuhan
Kuesioner kepatuhan konsumsi diisi untuk melihat bagaimana
konsumsi kapsul ekstrak kencur dan apakah benar-benar diminum oleh
pasien.
4. Kontrol Lapangan
Kontrol lapangan dilakukan dengan:
a. Validasi oleh petugas kontrol kualitas terutama untuk pemberian
kapsul ekstrak kencur
b. Supervisi kegiatan pengumpulan data. Petugas dan peneliti berada
dilapangan guna mengamati dan menjaga kualitas pengumpulan
data.
74
H. Etika Penelitian
Penelitian ini dijalankan setelah mendapat persetujuan dari komite
etik penelitian Fakultas kedokteran Universitas Hasanuddin. Para rewalan
sebelum menjalani penelitian diminta untuk menandatangi informed
consent setelah dijelaskan dan memahami mengenai tujuan dan prosedur
penelitian serta kemungkinan efek samping yang terjadi.
75
I. Alur Penelitian
-
Gambar 3.1. Kerangka Alur Penelitian
ANALISIS DATA
MELOXICAM 15 mg/hari
n =20
10 Hari
OA LUTUT
Memenuhi Kriteria
Inklusi/Eksklusi
SAMPEL PENELITIAN
n = 40 sampel
Pre-Test Nyeri Sendi, Kaku Sendi,
Gangguan Fungsi
Kelompok Kontrol
Kelompok Intervensi
Post-Test Nyeri Sendi, Kaku Sendi,
Gangguan Fungsi
RANDOMISASI
10 Hari
Drop Out (hari ke 5) Mengundurkan Diri 1 Tidak konsumsi kapsul 1
Drop Out (hari ke 5) Mengundurkan Diri 1 Tidak konsumsi kapsul 2
KAPSUL KENCUR 160 mg/hari
n = 20
KAPSUL KENCUR (hari ke 10) 160 mg/hari
(n = 18)
MELOXICAM (hari ke 10) 15 mg/hari
(n =17)
76
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah kerja Puskesmas
Tamalanrea, Kota Makassar. Sebagai tahap awal, dilakukan Screening
dan Pengumpulan data dimulai bulai Mei hingga Agustus 2017. Selama
selang waktu tersebut, diperoleh sampel sebanyak 40 orang yang
memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Adapun penentuan diagnosis pasien
dari Osteoartritis (OA) lutut ini tidak hanya dilakukan pemeriksaan secara
gejala klinis, tetapi juga berdasarkan hasil radiografi berupa hasil foto
rontgen dengan melihat derajat OA lutut yang dialami oleh pasien,
sehingga ini menjadikan kekuatan tersendiri dalam penelitian ini.
Setelah sampel terkumpul, kemudian dilakukan randomisasi untuk
penentuan kelompok intervensi dan kontrol. Adapun kelompok intervensi
berupa pemberian kapsul ekstrak rimpang kencur (160mg/hari) dan
kelompok kontrol berupa pemberian kapsul meloxicam (15mg/hari) yang
diberikan selama 10 hari. Selama penelitian berlangsung terdapat 5
sampel mengalami drop out. Drop out disebabkan karena 3 sampel
penelitian tidak mengonsumsi kapsul lebih dari 2 hari berturut-turut dan 2
sampel lainnya mengundurkan diri dengan alasan tidak merasakan efek
setelah beberapa hari mengonsumsi obat. Sehingga jumlah sampel yang
menyelesaikan penelitian ini sebanyak 35 sampel, dimana kelompok
77
intervensi sebanyak 18 sampel dan kelompok kontrol sebanyak 17
sampel. Adapun alur pengambilan dan jumlah sampel dapat dilihat pada
alur penelitian.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan rancangan
Double Blind Randomized Clinical Trial bertujuan untuk melihat efek
pemberian ekstrak rimpang kencur terhadap nyeri, kaku sendi dan
gangguan fungsi fisik penderita OA lutut.
2. Karakteristik Sampel Penelitian
Adapun karakteristik sampel dalam penelitian adalah sebagai
berikut :
Tabel 4.1 Karakteristik Sampel penelitian Berdasarkan Kelompok Penelitian
Variabel Kelompok Intervensi
Kelompok Kontrol
Total p-value
n = 18 % n = 17 % n = 35 %
Jenis Kelamin Laki-laki 1 5.6 1 5.9 2 5.7 1.000 Perempuan 17 94.4 16 94.1 33 94.3
Usia 41-50 3 16.7 4 23.5 7 20.0 51-60 8 44.4 6 35.3 14 40.0 0.843 61-70 6 33.3 5 29.4 11 31.4 71-80 1 5.6 2 11.8 3 8.6
Tingkat Pendidikan Tidak Pernah Sekolah 3 16.7 6 35.3 9 25.7 SD/MI 8 44.4 4 23.5 12 34.3 SMP/MTs/Sederajat 3 16.7 2 11.8 5 14.3 0.325 SMA/MA/Sederajat 4 22.2 3 17.6 7 20.0 Perguruan Tinggi 0 0.0 2 11.8 2 5.7
Pekerjaan IRT 17 94.4 13 76.5 30 85.7 Wiraswasta 1 5.6 0 0.0 1 2.9 Guru 0 0.0 1 5.9 1 2.9 0.239 Pensiunan PNS 0 0.0 1 5.9 1 2.9 Petani 0 00.0 2 11.8 2 5.7
Sumber : Data Primer, 2017
78
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa umumnya sampel berjenis kelamin
perempuan masing-masing dari kelompok intervensi sebanyak 17 (94.4%)
dan kelompok kontrol sebanyak 16 (94.1%). Berdasarkan usia sampel,
sebagian besar berada pada rentang usia 51-60 tahun dimana kelompok
intervensi sebanyak 44.4% dan kelompok kontrol sebanyak 35.3%.
Adapun dari latar pendidikan sampel penelitian, yang banyak ditemukan
adalah berpendidikan Sekolah Dasar (SD) (44.4%) pada kelompok
intervensi dan tertinggi tidak pernah sekolah (25.7%) pada kelompok
kontrol. Mayoritas antar kedua kelompok baik intervensi dan kontrol
bekerja sebagai ibu rumah tangga, masing-masing 94.4% dan 76.5%.
Tabel 4.2 Distribusi Sampel penelitian Berdasarkan Status Gizi (IMT) Kedua Kelompok Penelitian (Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol)
Kategori IMT
Kelompok Intervensi
(n=18)
Kelompok Kontrol (n=17)
Total p value
n % n % n %
0.677
Normal 3 16.7 4 23.5 7 20.0
Gizi Lebih 4 22.2 2 11.8 6 17.1
Obesitas 11 61.1 11 64.7 22 62.9
Total 18 100.0 17 100.0 35 100.0
Sumber : Data Primer, 2017
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa mayoritas status gizi sampel dalam
penelitian ini tergolong Obesitas (62.9%) untuk kedua sampel (61.1% vs
64.7%). Berdasarkan uji statistic baik kelompok intervensi maupun kontrol
tidak berbeda secara nyata (p>0.05).
79
Tabel 4.3 Distribusi Sampel penelitian Berdasarkan Derajat OA Kedua Kelompok Penelitian (Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol)
Derajat OA
Kelompok Intervensi
(n=18)
Kelompok Kontrol (n=17)
Total p value
n % n % n %
0.347
Grade I 1 5.6 0 0.0 1 2.9
Grade II 5 27.8 7 41.2 12 34.3
Grade III 10 55.6 10 58.8 20 57.1
Grade IV 2 11.1 0 0.0 2 5.7
Total 18 100.0 17 100.0 35 100.0
Sumber : Data Primer, 2017
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa mayoritas sampel penelitian
berdasarkan derajat Osteoarthritis Lutut berada pada grade III (57.1%).
Baik kelompok intervensi maupun kelompok kontrol, derajat OA lutut
grade III merupakan yang terbanyak (55.6% vs 58.8%). Berdasarkan uji
statistic baik kelompok intervensi maupun kontrol tidak berbeda secara
nyata (p>0.05).
Tabel 4.4 Distribusi Sampel penelitian Berdasarkan Status Gizi (IMT) dan Derajat OA Lutut
IMT
Derajat OA Lutut Total
Grade I Grade II Grade III Grade IV
n % n % n % n % N %
Normal 0 0.0 3 25.0 4 20.0 0 0.0 7 20.0
Gizi Lebih 1 100.0 3 25.0 2 10.0 0 0.0 6 17.1
Obesitas 0 0.0 6 50.0 14 70.0 2 100.0 22 62.9
Total 1 100.0 12 100.0 20 100.0 2 100.0 35 100.0
Sumber : Data Primer, 2017
Tabel 4.4 memperlihatkan Indeks Massa Tubuh (IMT berdasarkan
derajat Osteoarthritis (OA) lutut. Mayoritas sampel penelitian yang
mempunyai derajat OA lutut Grade II, III dan IV mengalami obesitas,
(50%, 70% dan 100%).
80
Tabel 4.5 Distribusi Sampel penelitian Berdasarkan Umur dan
Derajat OA Lutut
Kelompok Umur
(Tahun)
Derajat OA Total
Grade I Grade II Grade III Grade IV
n % N % n % N % n %
41-50 1 100.0 4 33.3 2 10.0 0 0.0 7 20.0
51-60 0 0.0 4 33.3 10 50.0 0 0.0 14 40.0
61-70 0 0.0 4 33.3 6 30.0 1 50.0 11 31.4
71-80 0 0.0 0 0.0 2 10.0 1 50.0 3 8.6
Total 1 100.0 12 100.0 20 100.0 2 100.0 35 100.0
Sumber : Data Primer, 2017
Tabel 4.5 terlihat bahwa mayoritas sampel yang memiliki derajat
OA lutut grade III berada pada rentang usia 51-60 tahun (50.0%).
3. Asupan Makanan dan Pemenuhan Asupan Zat Gizi
Tabel 4.6 memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan rerata asupan
untuk semua zat gizi baik kelompok Intervensi maupun kelompok kontrol
kecuali asupan zat gizi lemak dan vitamin C pada kelompok kontrol terlihat
penurunan rerata asupan. Berdasarkan uji statistic menunjukkan
peningkatan secara signifikan terlihat di akhir penelitian pada asupan
serat untuk kelompok intervensi (p =0.017), dan asupan kalsium pada
kelompok kontrol (p=0.017).
Berdasarkan dari uji statistik, data semua asupan zat gizi (energy,
protein, lemak, karbohidrat, serat dan vitamin C) pada awal penelitian
(baseline) menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara
kelompok intervensi dan kontrol, kecuali data asupan kalsium
menunjukkan ada perbedaan signifikan (p=0.025). Adapun rerata semua
asupan zat gizi pada akhir penelitian dan selisih rerata asupan pre-post
penelitian juga menunjukkan tidak ada perbedaan yang siginifikan baik
81
kelompok intervensi dan kontrol. Hal ini berarti pemberian ekstrak rimpang
kencur tidak mempengaruhi asupan makanan makanan sampel penelitian.
Tabel 4.6 Analisis Rerata Asupan Makanan Pre-Post Test Antar Kelompok
Variabel Pre Test
Mean±SD Post Test Mean±SD
∆ Mean±SD P Value
Energi Intervensi (n=18) 1078.46±284.68 1206.82±424.68 ↑128.36±412.01 0.204
a
Kontrol (n=17) 1058.79±320.16 1134.94±323.12 ↑ 76.14±343.45 0.085a
P Value 0.849 b 0.579
b 0.974
d
Protein Intervensi (n=18) 39.80±12.03 41.31±20.51 ↑1.51±20.69 0.761
a
Kontrol (n=17) 37.51±14.08 41.6±18.56 ↑4.08±22.36 0.756a
P Value 0.608 b 0.792
d 0.726
b
Lemak Intervensi (n=18) 30.81±15.11 38.92±27.56 ↑8.10±27.03 0.220
a
Kontrol (n=17) 29.95±21.10 29.42±13.29 ↓0.53±21.58 0.906c
P Value 0.597 d 0.409
d 0.428
d
Karbohidrat Intervensi (n=18) 158.80±47.07 172.74±47.91 ↑13.94±53.37 0.283
a
Kontrol (n=17) 160.08±38.87 174.97±56.87 14.88±19.99 0.237a
P Value 0.931 b 0.901
b 0.832
d
Serat Intervensi (n=18) 4.32±2.05 6.53±3.52 ↑2.21±3.55 0.017
a
Kontrol (n=17) 5.43±3.95 5.54±3.47 ↑0.10±4.70 0.813c
P Value 0.520 d 0.408
b 0.143
b
Vitamin C Intervensi (n=18) 13.55±11.42 21.28±19.47 ↑7.73±24.77 0.207
c
Kontrol (n=17) 28.83±26.99 24.95±20.36 ↓3.88±31.40 0.868c
P Value 0.228 d 0.419
d 0.232
b
Kalsium Intervensi (n=18) 165.03±315.78 200.01±258.45 ↑ 34.97±133.60 0.184
c
Kontrol (n=17) 100.95±151.26 282.65±501.25 ↑181.70±517.25 0.017c
P Value 0.025 d 1.00
d 0.478
d
a. Paired t test ; b Independent t test ; c Wilcoxon ; d. Mann Whitney U
82
4. Hasil pengukuran nyeri, kaku sendi, gangguan fungsi dan total skor
WOMAC
Tabel 4.7 Analisis perbandingan rerata skor nyeri, kaku sendi dan gangguan fungsi antar kelompok sebelum dan setelah perlakuan
Variabel Pre Test Mean±SD
Post Post Mean±SD
∆ Mean±SD P value
Nyeri Intervensi (n=18) 19.06 ± 8.09 12.06 ± 10.45 7.00 ± 5.97 0.001d Kontrol (n=17) 16.00 ± 5.18 9.29 ± 6.23 6.71 ± 4.39 0.000a
P Value 0.195b 0.643c 0.870b
Kaku Sendi Intervensi (n=18) 8.22 ± 3.26 5.39 ± 3.12 2.83 ± 3.74 0.005a Kontrol (n=17) 8.82 ± 3.62 4.76 ± 3.401 4.06 ± 4.29 0.001a
P Value 0.609b 0.575b 0.374c
Gangguan Fungsi Intervensi (n=18) 58.44 ± 26.89 37.50 ± 29.73 20.94 ± 18.45 0.000a Kontrol (n=17) 49.47 ± 25.85 27.06 ± 24.17 22.41 ± 14.85 0.001d
P Value 0.322b 0.254 c 0.798b
Total Skor WOMAC Intervensi (n=18) 85.72 ± 34.81 54.94 ± 41.80 30.78 ± 27.36 0.000a Kontrol (n=17) 74.29 ± 30.18 40.88 ± 33.10 33.41 ± 20.38 0.001d
P Value 0.287c 0.280 b 0.503c aPaired t-test
bIndependen t-test
cMann Whitney
dWilcoxon
Tabel 4.7 memperlihatkan bahwa rata-rata skor nyeri menunjukkan
adanya perbedaan yang signifikan dimana terjadi penurunan nilai antara
sebelum dan setelah perlakuan untuk masing-masing kelompok intervensi
(p=0.001) dan kelompok kontrol (p=0.000) Namun, penurunan rerata skor
nyeri pada kelompok kontrol lebih tinggi dibanding dengan kelompok
intervensi.
Hasil analisis uji statistik menunjukkan tidak ditemukan perbedaan
bermakna diantara kedua kelompok pada saat pre-test (p=0.195) untuk
nilai nyeri. Hal ini menunjukkan bahwa data pada saat awal (baseline)
antara kelompok intervensi dan kontrol terdistribusi secara normal dan
83
homogen. Hasil uji statistik perbandingan rerata skor nyeri antar kelompok
pada akhir penelitian (post-test) juga menunjukkan tidak ada perbedaan
secara signifikan (p=0.354). Adapun rerata selisih perubahan skor nyeri
pre-post test baik kelompok intervensi maupun kelompok kontrol tidak
menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p=0,870) dalam artian
pemberian ekstrak rimpang kencur berfungsi sama dengan pemberian
meloxicam.
Rata-rata skor kekakuan sendi juga menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan dimana terjadi penurunan antara sebelum dan
setelah perlakuan baik kelompok intervensi maupun kelompok kontrol,
masing-masing p=0.005 dan p=0.001. Namun, penurunan rerata skor
kekakuan sendi pada kelompok kontrol lebih tinggi dibanding kelompok
intervensi.
Hasil analisis uji statistik (independen t test) menunjukkan tidak
ditemukan perbedaan bermakna diantara kedua kelompok pada saat pre-
test (p=0.609). Hal ini menunjukkan bahwa data pada saat awal (baseline)
antara kelompok intervensi dan kontrol terdistribusi secara normal dan
homogen. Hasil uji statistik perbandingan rerata skor nyeri antar kelompok
pada akhir penelitian (post-test) juga menunjukkan tidak ada perbedaan
secara signifikan (p=0.575). Adapun rerata selisih perubahan skor nyeri
pre-post test baik kelompok intervensi maupun kelompok kontrol tidak
menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p=0,374) dalam artian
84
pemberian ekstrak rimpang kencur berfungsi sama dengan pemberian
meloxicam.
Rata-rata skor gangguan fungsi juga menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan dimana terjadi penurunan antara sebelum dan
setelah intervensi pada kelompok intervensi (p=0.000) dan kelompok
kontrol (p=0.001). Namun, penurunan rerata gangguan aktivitas sehari-
hari pada kelompok kontrol lebih tinggi dibanding dengan kelompok
intervensi.
Hasil analisis uji statistik menunjukkan tidak ditemukan perbedaan
bermakna diantara kedua kelompok pada saat pre-test (p=0.322). Hal ini
menunjukkan bahwa data pada saat awal (baseline) antara kelompok
intervensi dan kontrol terdistribusi secara normal dan homogen. Hasil uji
statistik perbandingan rerata skor nyeri antar kelompok pada akhir
penelitian (post-test) juga menunjukkan tidak ada perbedaan secara
signifikan (p=0.254). Adapun rerata selisih perubahan skor nyeri pre-post
test baik kelompok intervensi maupun kelompok kontrol tidak
menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p=0,798) dalam artian
pemberian ekstrak rimpang kencur berfungsi sama dengan pemberian
meloxicam.
Rata-rata total skor WOMAC menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan dimana terjadi penurunan antara sebelum dan setelah intervensi
untuk masing-masing kelompok, baik pada kelompok intervensi maupun
kontrol berturut-turut p=0.000 dan p=0.001. Terlihat penurunan rerata skor
85
lebih tinggi pada kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok
Intervensi.
Hasil analisis uji statistik menunjukkan tidak ditemukan perbedaan
bermakna diantara kedua kelompok pada saat pre-test (p=0.287). Hal ini
menunjukkan bahwa data pada saat awal (baseline) antara kelompok
intervensi dan kontrol homogen. Hasil uji statistik perbandingan rerata skor
nyeri antar kelompok pada akhir penelitian (post-test) juga menunjukkan
tidak ada perbedaan secara signifikan (p=0.280). Adapun rerata selisih
perubahan skor nyeri pre-post test baik kelompok intervensi maupun
kelompok kontrol tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan
(p=0.503) dalam artian pemberian ekstrak rimpang kencur berfungsi sama
dengan pemberian meloxicam.
B. Pembahasan
Osteoarthritis (OA) merupakan salah satu penyakit arthritis
(peradangan sendi) yang paling sering dijumpai dimana nyeri merupakan
gejala klinis yang banyak dikeluhkan. Nyeri ini menyebabkan terbatasnya
fungsi fisik dan mengurangi kualitas hidup. OA lutut menjadi salah satu
penyebab disabilitas di usia tua. Penyakit ini merupakan penyakit sendi
degeneratif, ditandai dengan kerusakan tulang rawan dan terjadinya
inflamasi pada jaringan synovial yang menyebabkan timbulnya nyeri, kaku
sendi dan gangguan aktivitas. Meskipun demikian, umur bukanlah satu-
satunya faktor risiko yang menyebabkan Osteoarthitis. Beberapa faktor
risiko yang berkontribusi terhadap terjadinya OA antara lain jenis kelamin,
86
berat badan, genetik, pekerjaan, jenis aktivitas fisik, riwayat trauma dan
faktor risiko lainnya.
Data karakteristik sampel memperlihatkan proporsi sampel berjenis
kelamin perempuan lebih banyak dibanding dengan laki-laki. Hasil ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Ho-Pham et al., 2014)
menunjukkan prevalensi OA lutut secara radiografi pada perempuan lebih
banyak dibanding dengan laki-laki (35.3% dan 31.2%). Studi metaanalisis
juga menunjukkan perempuan berisiko tinggi terhadap kejadian OA lutut,
dimana perempuan berisiko 1.52 kali mengalami OA lutut dibanding
dengan laki-laki (Prieto-alhambra et al., 2015). Baik insidensi maupun
prevalensi, perempuan signifikan mengalami OA lutut dibanding laki-laki.
Didapatkan pula bahwa risiko OA lutut berkurang secara signifikan pada
laki-laki (Srikanth et al., 2005).
Sementara dari segi usia sampel penelitian, kelompok usia 51-60
tahun (44.4%) merupakan kelompok yang paling banyak mengalami OA.
Umur berperan penting dalam peningkatan OA lutut baik antara laki-laki
maupun perempuan menunjukkan peningkatan OA lutut >55 tahun
dibandingkan dengan <55 tahun (p<0.001) (Srikanth et al., 2005).
Penelitian yang dilakukan Uncu, et al (2005) di Turki juga menunjukkan
hal serupa dimana prevalensi dan insidensi OA lutut bertambah seiring
bertambahnya umur, yang dimulai pada usia 40 tahun ke atas . Pada
wanita, OA lutut muncul lebih tinggi mulai dari usia 45 tahun ke atas (p
<0,001 untuk responden berusia 45-50 tahun), dan meningkat secara
87
progresif pada usia 70-75 tahun (p <0,001) kemudian menurun perlahan
setelah usia 75 tahun ke atas (Prieto-alhambra et al., 2015),
Perbedaan jenis kelamin menunjukkan perbedaan proporsi
terhadap kejadian OA lutut. OA lutut juga semakin meningkat seiring
bertambahnya usia. Kaitan antara usia dan kejadian OA lutut bisa
disebabkan oleh beberapa hal diantaranya kerusakan oksidatif, penipisan
tulang rawan, melemahnya otot, dan penurunan proprioseptive. Selain itu
menurunnya mekanisme seluler dasar yang menjaga homeostasis
jaringan seiring bertambahnya usia, menyebabkan berkurangnya respons
perbaikan jika terjadi cedera pada sendi atau kerusakan pada jaringan
sendi (Litwic et al., 2013). Hal ini juga dihubungkan dengan usia
menopause bagi perempuan (>50 tahun) dan produksi hormone estrogen
yang semakin menurun. Meskipun interaksi efek hormon seks dan faktor
pertumbuhan pada usia tua dengan risiko kejadian OA masih kurang
dipahami (Srikanth et al., 2005).
Pada penelitian ini, mayoritas sampel tingkat pendidikan hanya
tamat SD dan bekerja sebagai ibu rumah tangga. Keadaan sosial ekonomi
dari rumah tangga menunjukkan pengaruh terhadap kejadian OA lutut.
Hasil ini sejalan dengan Penelitian yang dilakukan Callahan et al (2011) di
Johnston county, amerika serikat, menunjukkan bahwa pendidikan yang
rendah (<12 tahun) dan rumah tangga yang miskin berpengaruh terhadap
kejadian OA dengan peningkatan odd ratio baik dari OA secara secara
gejala maupun radiographi. Studi kohort, di Denmark juga menunjukkan
88
hal serupa dimana pendidikan atau penghasilan rumah tangga yang
rendah berpengaruh terhadap kejadian OA (Jørgensen et al., 2011)
Tingkat pendidikan dan income rumah tangga yang rendah
mempengaruhi kemampuan seseorang untuk mengakses informasi dan
memanfaatkan pelayanan kesehatan. Hal ini kemudian akan
mempengaruhi perilaku kesehatan seseorang. Obesitas menjadi salah
dampak yang ditimbulkannya. Minimnya pendidikan gizi seperti pola
makan yang tidak dijaga dan aktivitas fisik yang kurang dikaitkan dengan
peningkatan berat badan, dimana obesitas menjadi faktor risiko kejadian
OA. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ganasegeran et al (2014)
menunjukkan tingkat pendidikan berhubungan dengan kejadian OA lutut,
dimana tingkat pendidikan yang tinggi akan meningkatkan kemampuan
seseorang untuk lebih prediktif terhadap perkembangan penyakitnya dan
sadar terhadap kesehatannya.
Berat badan merupakan salah faktor risiko kejadian OA lutut.
Semakin berat seseorang maka semakin berisiko seseorang untuk
mengalami OA lutut. Hasil dalam penelitian ini menunjukkan mayoritas
sampel penelitian tergolong obesitas dan secara radiografi menunjukkan
status obesitas mempengaruhi tingkat keparahan OA. Hasil penelitian ini
sejalan dengan studi metanalisis dimana seseorang yang obesitas
berisiko 2.63 kali untuk mengalami OA lutut dibandingkan dengan status
gizi normal (Blagojevic et al., 2010). Penelitian lainnya menunjukkan
bahwa overweight and obesitas secara signifikan meningkatkan risiko OA
89
lutut, masing-masing 2.45 kali dan 4.55 kali lipat (Zheng and Chen, 2015).
Sendi lutut menanggung beban setengah dari berat badan. Berat badan
yang berlebih meningkatkan beban pada sendi sehingga risiko kerusakan
tulang rawan juga semakin meningkat (Arden et al., 2014). Selain itu
kehadiran sitokin juga akan berpengaruh terhadap kerusakan tulang
rawan. Jaringan adipose sebagai jaringan lemak memproduksi adipokine
leptin yang merupakan salah satu sitokin. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa setiap peningkatan 5 kg/m2 pada IMTdihubungkan dengan
peningkatan 32% lebih tinggi untuk mengalami OA lutut dan peningkatan
200 pM pada serum leptin dihubungkan dengan peningkatan 11%
mengalami OA lutut (Fowler-Brown et al., 2015). Obesitas merupakan
salah satu faktor risiko OA, olehnya itu diperlukan intervensi kesehatan
masyarakat terhadap penurunan angka obesitas sebagai upaya untuk
mengurangi prevalensi OA.
Berdasarkan asupan zat gizi, hasil penelitian menunjukkan terdapat
perbedaan asupan serat pre-post pada kelompok intervensi (p=0.017) dan
asupan kalsium pada kelompok kontrol (p=0.017). Sementara asupan gizi
lainnya (energy, protein, lemak, karbohidrat dan vitamin C) baik kelompok
intervensi maupun kontrol tidak menunjukkan adanya perbedaan pre-post
intervensi walaupun ditemukan adanya kenaikan untuk beberapa zat gizi
pada akhir penelitian. Meskipun terdapat perbedaan yang signifikan untuk
asupan serat dan kalsium pada akhir penelitian, tetapi mayoritas asupan
semua zat gizi pada sampel penelitian tergolong kurang (<80%)
90
berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG). Kurangnya asupan zat gizi
makro dalam penelitian ini, disebabkan karena sebagian besar responden
memiliki frekuensi makan hanya 1-2 kali dalam sehari sehingga konsumsi
pangan sumber zat gizi makro sangat rendah. Rendahnya angka
kecukupan gizi meskipun sampel penelitian mayoritas tergolong obesitas,
kemungkinan juga disebabkan karena sampel penelitian menerapkan diet
rendah kalori dikaitkan dengan pengurangan berat badan.
Tidak hanya asupan zat gizi makro, asupan zat gizi mikro juga
terlihat sangat kurang. Padahal diketahui bahwa beberapa penelitian
menunjukkan vitamin C dan kalsium yang kurang berhubungan dengan
peningkatan progesifitas OA sementara asupan serat yang kurang
dikaitkan dengan peningkatan berat badan yang merupakan faktor risiko
kejadian OA. Menurut Destianti, Fatimah, & Dewi, (2017), kehadiran
radikal bebas akan meningkatkan kerusakan tulang rawan sementara
kehadiran vitamin C sebagai antioksidan berperan penting untuk
perbaikan dengan menyintesis kolagen dan glikosaminoglikan dalam
tulang rawan. Selain vitamin C, asupan kalsium yang kurang juga
berpengaruh terhadap perkembangan OA. Penelitian yang dilakukan Lu,
B. et al. (2014) menunjukkan bahwa perempuan yang rutin mengonsumsi
susu akan mengurangi perkembangan progresifitas OA sementara pada
laki-laki tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Beberapa penelitian
menunjukkan asupan susu dalam hal ini kalsium berpengaruh terhadap
kesehatan tulang tetapi mekanisme pengahambatannya masih belum
91
jelas. Serat juga berperan penting dalam kejadian obesitas. Konsumsi
serat yang tinggi mencegah terjadinya obesitas sebaliknya serat yang
kurang meningkatkan risiko terjadinya obesitas. Konsumsi serat yang
cukup akan mengurangi asupan makanan, termasuk pengurangan
absorbsi makronutrient. Setiap konsumsi 1 gram serat, berat badan dan
persen lemak berkurang masing-masing 0.25 kg (Tucker and Thomas,
2009)
Berdasarkan hasil uji statistik (uji t tidak berpasangan)
menunjukkan tidak terdapat perbedaan semua asupan zat gizi baik pada
saat awal maupun pada akhir penelitian untuk dua kelompok perlakuan.
Kesamaan baseline asupan zat gizi ini menunjukkan bahwa data tersebar
merata atau homogeny antara kelompok kontrol dan intervensi. Kesamaan
rerata asupan juga ditunjukkan diakhir penelitian (p>0.05), hal ini
menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh pemberian ekstrak rimpang
kencur terhadap asupan makanan sampel penelitian.
Rimpang Kencur merupakan tanaman yang tumbuh didaerah tropis
dan penggunaannya telah dikenal luas oleh masyarakat termasuk
manfaatnya terhadap kesehatan. Berbagai penelitian uji praklinik
menunjukkan ektrak rimpang kencur mempunyai efek farmakologis
diantaranya sebagai antiinflamasi dan analgesik. Berdasarakan hal
tersebut, kencur berpotensi menjadi alternatif pengobatan OA, di samping
penggunaan golongan obat anti-inflamasi non steroid (NSAID).
92
Ekstrak rimpang Kencur dalam penelitian ini diperoleh dari Sentra
Pengembangan, Pengobatan dan Penerapan obat Tradisonal (SP3T)
Provinsi Sulawesi Selatan. Adapun dosis ekstrak rimpang kencur yang
diberikan dalam penelitian ini adalah 160mg/hari, merupakan dosis yang
signifikan pada hewan uji yang kemudian dikonversikan ke manusia.
(15mg/hari). Intervensi dilakukan selama sepuluh hari, selanjutnya
hasilnya dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu pemberian
meloxicam
Meloxicam merupakan salah satu golongan obat NSAIDs yang
aman dan efektif untuk pengobatan gejala OA baik nyeri maupun
kekakuan sendi. Yocum et al., (2000) dalam penelitiannya menunjukkan
bahwa dosis meloxicam 7.5 dan 15mg/hari terbukti efektif, aman dan
dapat ditoleransi dengan baik untuk pengobatan OA, lebih baik
dibandingkan placebo dan hampir sama dengan diklofenak. Adapun efek
samping yang terjadi dengan pemberian meloxicam dan placebo
menunjukkan toleransi gastrointestinal yang sama dan lebih rendah
daripada pemberian diklofenak selama pemberian 12 minggu. Kuesioner
yang digunakan adalah self-reported WOMAC yang berisi 24 pertanyaan
yang terbagi dalam subskala nyeri, kaku sendi dan gangguan fungsi fisik
dengan menggunakan skala VAS 0-10cm.
Nyeri merupakan gejala utama dari OA lutut. Nyeri disebabkan oleh
berbagai faktor dan menjadi penyebab utama disabilitas di usia tua.
Berdasarkan hasil dalam penelitian ini, keseluruhan sampel mengeluhkan
93
nyeri pada lututnya yang sudah berlangsung lama sehingga digolongkan
sebagai nyeri kronik dimana keluhan nyeri sudah berlangsung lebih dari
tiga sampai 6 bulan (Harstall and Ospina, 2003). Keluhan nyeri yang
dirasakan responden akan bertambah berat dikarenakan status gizi
sampel mayoritas obesitas. Hasil ini sejalan dengan peneltian yang
menunjukkan self reported nyeri lutut signifikan berkaitan dengan BMI
(Ho-Pham et al., 2014). Nyeri juga dapat timbul disebabkan oleh
abnormalitas tulang subcondral dimana tulang ini mengandung banyak
saraf. Penelitian menunjukkan abnormalitas tulang subcondral yang di
observasi melalui magnetic resonance imaging (MRI) dikaitkan dengan
nyeri OA (Cotofana et al., 2013).
Pada sendi normal, tulang rawan bertindak sebagai peredam
guncangan sekaligus memungkinkan gerakan sendi tanpa rasa sakit. Saat
tulang rawan terdegradasi, tulang rawan menjadi lebih tipis dan bahkan
bisa hilang sama sekali sehingga menyebabkan nyeri sendi dan kesulitan
bergerak. Adanya erosi tulang rawan dan adanya hipertrofi aktivitas
osteoblastik atau respon tulang dalam perbaikan yang disebut osteofit,
menyebaban penyempitan ruang sendi dan sklerosis subkondral sehingga
menimbulkan rasa sakit, ketidakmampuan bergerak dan bahkan timbulnya
kecacatan (Bhatia, Bejarano and Novo, 2013).
Hasil uji paired t-test diketahui bahwa ada perbedaan rerata skor
nyeri yang signifikan antara pre test dan post test (p value = 0.001). Hal ini
berarti terdapat pengaruh pemberian ekstrak rimpang kencur terhadap
94
rasa nyeri pada sampel penelitian. Hasil ini sejalan dengan penelitian
sebelumnya yang menyatakan bahwa ekstrak rimpang kencur dapat
mengurangi nyeri pada osteoartitis (Ridtitid et al., 2008; Imaningrum and
Gunardi, 2010; Umar et al., 2014). Hal ini disebabkan karena ekstrak
rimpang kencur memiliki zat yang berfungsi sebagai antiinflamasi dan
analgesic (Vittalrao et al., 2011b).
Dibandingkan dengan kelompok kontrol, hasil uji independent t-test
menunjukkan tak ada perbedaan selisih skor nyeri antara kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol. Hal ini berarti, ektrak rimpang kencur
mempunyai fungsi yang sama dengan golongan obat NSAID dalam hal ini
meloxicam. Dua kandungan zat rimpang kencur (K. galangal l.) yang
dominan yang mempunyai efek farmakologis adalah etil p-metoksisinamat
dan etil sinamat (Huang, Yagura and Chen, 2008). Mekanisme kerja etil p-
metoksisinamat dan etil sinamat pada kencur hampir sama dengan
golongan obat NSAID yaitu dengan menghambat enzim siklooksigenase
(COX) melalui metabolisme asam arakhidonat sehingga menyebabkan
penurunan sintesis prostaglandin (PG) yang timbul akibat adanya cedera
pada jaringan. Prostaglandin ini merupakan mediator inflamasi yang dapat
menyebabkan tumor (pembengkakan) dan timbulnya nyeri (dolor). Oleh
karena itu penghambatan sintesis COX, maka dapat menurunkan gejala
OA akibat adanya proses inflamasi.
Umumnya keluhan nyeri yang dirasakan sampel penelitian setelah
pemberian kapsul selama 10 hari menunjukkan adanya perubahan
95
intensitas nyeri dibandingkan sebelum pemberian obat. Nyeri yang
dirasakan sampel ketika berjalan di atas permukaan yang datar berkurang
begitupun dengan nyeri ketika naik turun tangga. Sampel merasa lebih
mudah untuk berjalan jauh, lebih mudah menaiki dan menuruni tangga,
meskipun nyeri yang dirasakan tidak sepenuhnya berkurang. Baik
pemberian ekstrak kencur maupun meloxicam, menunjukkan adanya
penurunan intensitas nyeri yang dirasakan oleh sampel.
Selain penghambatan sintesis prostaglandin, rimpang kencur juga
memiliki kemampuan dalam pengahambatan sitokin inflamasi yang hadir
dalam OA lutut (Umar et al., 2014). Kehadiran sitokin inflamasi dalam
sendi akan mempercepat proses degradasi tulang rawan, sehingga
progresifitas OA akan semakin meningkat. Melalui penghambatan sitokin
inflamasi tersebut dapat mencegah proses kerusakan yang lebih lanjut.
Selain gelaja nyeri lutut, diagnosis OA lutut menurut EULAR dapat
ditegakkan dengan melihat gejala kaku sendi pagi hari yang terbatas dan
berkurangnya fungsi fisik. Dapat pula dilakukan pemeriksaan tanda
berupa krepitasi, gerakan sendi yang terbatas dan pembesaran tulang
(Zhang et al., 2010).
Berdasarkan skor kekakuan sendi, Hasil penelitian menunjukkan
terdapat perbedaan yang signifikan pemberian ekstrak rimpang kencur
pada saat post intervensi. Hal ini berarti pemberian ekstrak rimpang
kencur berpengaruh terhadap penurunan kekakuan sendi. Meskipun jika
dibandingkan dengan kontrol, rerata penurunan skor kekakuan sendi
96
dengan pada kelompok kontrol masih lebih tinggi dibanding dengan
pemberian ekstrak rimpang kencur, tetapi tidak terdapat perbedaan selisih
rerata penurunan skor yang berarti antar kedua kelompok.
Pemberian kapsul ektrak kencur selama 10 hari memperlihatkan
adanya perubahan intensitas kekakuan sendi pada sampel. Keluhan sakit
dan kekakuan sendi yang terjadi ketika bangun pada pagi hari, berangsur-
angsur mulai mereda ketika sampel rutin mengonsumsi kapsul. kekakuan
yang dirasakan oleh sampel juga mereda setelah duduk/beristirahat yang
lama. Sampel merasakan perubahan waktu kekakuan sendi yang semula
berlangsung lama menjadi lebih cepat dan kaki lebih mudah untuk
digerakkan.
Kekakuan sendi merupakan gejala yang umum pada OA lutut yang
muncul sebagai akibat adanya inflamasi pada jaringan synovial
(sinovities). Sinovitis ini akan menyebabkan nyeri pada saat istirahat atau
pada malam dan menyebakan kekakuan sendi pada pagi hari yang
berlangsung <30 menit atau pada saat sendi tidak digunakan dalam
jangka waktu tertentu (Heidari, 2011).
Pemeriksaan sampel dalam peneltian ini tidak hanya melihat
secara gejala, tetapi juga dibuktikan dengan adanya gambaran secara
radiografi, sehingga nampak perubahan yang terjadi dalam sendi.
Ketidakseimbangan antara kerusakan dan perbaikan jaringan pada sendi
menyebabkan remodeling tulang subkondral, pembentukan osteofit,
inflamasi pada synovial (sinovitis), kelemahan ligamen dan melemahnya
97
otot periarticular Akibatnya, individu yang terkena mengalami nyeri sendi,
kekakuan, dan keterbatasan gerakan (Kapoor and Mahomed, 2015).
Efek pemberian ekstrak rimpang kencur terhadap penurunan
penanda inflamasi berupa kekakuan sendi kemungkinan diperantarai oleh
dua kandungan zat utama pada kencur yaitu etil p-metoksisinamat dan etil
sinamat kencur yang berfungsi sebagai antiinflamasi dan analesik.
Penelitian yang dilakukan oleh Ridtitid et al., (2008), pemberian ekstrak
methanol rimpang kencur mampu menurunkan edema pada tikus wistar.
Hal ini menunjukkan bahwa rimpang kencur mempunyai efek
antiinflamasi.
Selain nyeri dan kekakuan sendi, penurunan juga terjadi pada
rerata skor gangguan fungsi fisik. Hasil uji paired t test menunjukkan ada
perbedaan yang signifikan pada post test untuk kelompok yang diberi
ekstrak rimpang kencur. Hal ini berarti ada pengaruh pemberian ekstrak
rimpang kencur terhadap penurunan gangguan fungsi fisik sampel
penelitian. Adanya perbaikan fungsi fisik setelah pemberian ekstrak
rimpang kencur sejalan dengan berkurangnya nyeri yang dirasakan. Hal
tersebut merupakan salah satu faktor dimana nyeri menjadi penyebab
utama gangguan fungsi dan kecacatan pada usia tua diseluruh dunia
(Neogi, 2013).
Pemberian kapsul ekstrak kencur menunjukkan adanya
peningkatan fungsi fisik sampel penelitian. Beberpaa keluhan sampel
yang mereda diantaranya merasa tidak kesulitan lagi ketika menaiki dan
98
menuruni tangga meskipun menumpu pada kaki yang terkena OA lutut,
saat berjalan tidak terlihat pincang, lebih mudah untuk membungkukkan
badan ke lantai terutama pada saat sholat, menaiki kendaraan lebih
mudah, jongkok dan bangun setelah buang air besar menjadi lebih mudah
tanpa harus berpegang lagi serta lebih mudah mengerjakan pekerjaan
rumah sehari-hari. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kencur terbukti
mampu menurunkan gejala OA lutut dan memperbaiki fungsi fisik.
Meskipun rerata skor baik kelompok kontrol maupun intervensi
terjadi penurunan, tetapi tetap saja gangguan tersebut akan timbul ketika
faktor risiko lainnya tidak dikendalikan. Keadaan tersebut juga akan
semakin diperburuk dengan tingkat keparahan OA lutut. Menurut M
McDonough and Jette (2010) OA berpengaruh terhadap permulaan dan
perkembangan keterbatasan fungsi fisik dan kecacatan. Faktor risiko
seperti usia, indeks massa tubuh, obesitas, kurang olahraga, kondisi
komorbiditas dan depresi akan meningkatkan risiko tehadap gangguan
fungsi fisik dan kejadian kecacatan.
Dari keseluruhan skor WOMAC, menunjukkan penurunan rerata
skor yang signifikan antar kedua kelompok. Meskipun rerata penurunan
skor lebih besar pada kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok
intervensi, tetapi hal ini menunjukkan bahwa ekstrak rimpang kencur
berpengaruh terhadap nyeri, kaku sendi dan gangguan fungsi fisik dan
berfungsi sama dengan penggunaan meloxicam sebagai kelompok
kontrol.
99
C. Keterbatasan Penelitian
1. Tidak terkontrolnya aktivtas fisik terutama jenis aktivitas yang
menggunakan sendi lutut secara berlebihan. Hal ini merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi tingginya derajat nyeri yang dirasakan.
2. Peneliti tidak dapat menjamin apakah kapsul ektrak kencur diminum
oleh sampel penelitian karena sampel tidak mengonsumsi langsung
kapsul tersebut dihadapan peneliti.
100
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diperoleh dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Tidak ada perbedaan secara signifikan skor nyeri baik kelompok
intervensi maupun kelompok kontrol (p>0.05). Pemberian ekstrak
rimpang kencur memiliki efek yang sama dengan pemberian
meloxicam. Namun secara deskriptif rerata penurunan skor lebih tinggi
pada kelompok kontrol.
2. Tidak ada perbedaan secara signifikan skor kekakuan sendi baik
kelompok intervensi maupun kelompok kontrol (p>0.05). Pemberian
ekstrak rimpang kencur memiliki efek yang sama dengan pemberian
meloxicam. Namun secara deskriptif rerata penurunan skor kekakuan
sendi lebih tinggi pada kelompok kontrol.
3. Tidak ada perbedaan secara signifikan skor gangguan fungsi fisik baik
kelompok intervensi maupun kelompok kontrol (p>0.05). Pemberian
ekstrak rimpang kencur memiliki efek yang sama dengan pemberian
meloxicam. Namun secara deskriptif rerata penurunan skor gangguan
fungsi fisik lebih tinggi pada kelompok kontrol.
101
B. Saran
1. Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk melihat pengaruh
rimpang kencur terhadap fungsi antiinflamasi di dalam sendi
2. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat efek pemberian ekstrak
rimpang kencur sebagai bahan herbal terhadap fungsi eksresi (hati
dan ginjal) terutama pemakaian dalam jangka waktu yang lama.
3. Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti menyarankan pentingnya
pemanfaatan kencur dalam kehidupan masyarakat terutama pada
mereka yang memiliki faktor risiko OA lutut sebagai tindakan preventif
dan pemeliharaan jaringan sendi.
102
DAFTAR PUSTAKA
Ajit, N. E. et al. (2014) ‗Prevalence of knee osteoarthritis in rural areas
of Bangalore urban district‘, Indian Journal of Rheumatology, 7, pp. 1–8.
Ali, W. A. H. B. W. (2014) Prevalensi dan Distribusi Osteoartritis Lutut Berdasarkan Karakteristik Sosio-Demografi dan Faktor Risiko di Wilayah Kerja Puskesmas Susut I, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli Pada Tahun 2014. Universitas Udayana.pp 1-14
Altman, R. D. (1987) ‗Criteria for the classification of osteoarthritis of the knee and hip.‘, Scandinavian Journal of Rheumatology, pp. 31–39.
Arden, N. et al. (2014) ‗Atlas of Osteoarthritis‘. London, UK: Springer Healthcare Ltd,.
Arissa, M. I., Harry, F. and Diana, N. (2013) ‗Pola Distribusi Kasus Osteoartritis Di Rsu Dokter Soedarso Pontianak Periode 1 Januari 2008 - 31 Desember 2009‘, Jurnal Mahasiswa PSPD FK Universitas Tanjungpura, 1(1), pp 1-16.
Baron, G. et al. (2007) ‗Validation of a short form of the Western Ontario and McMaster Universities Osteoarthritis Index function subscale in hip and knee osteoarthritis‘, Arthritis Care and Research, 57(4), pp. 633–638.
Basaran, S. et al. (2010) ‗Validity, reliability, and comparison of the WOMAC osteoarthritis index and Lequesne algofunctional index in Turkish patients with hip or knee osteoarthritis‘, Clinical Rheumatology, 29(7), pp. 749–756.
Bay-jensen, A. C. et al. (2013) ‗Role of hormones in cartilage and joint metabolism: understanding an unhealthy metabolic phenotype in osteoarthritis‘, Menopause, 20(5), pp. 578–586.
Bhatia, D., Bejarano, T. and Novo, M. (2013) ‗Current interventions in the management of knee osteoarthritis‘, Journal of Pharmacy and Bioallied Sciences, 5(1), pp. 30-38.
Blagojevic, M. et al. (2010) ‗Risk factors for onset of osteoarthritis of the knee in older adults : a systematic review and meta-analysis‘, Osteoarthritis and Cartilage. 18(1), pp. 24–33.
Bos, S. D., Slagboom, P. E. and Meulenbelt, I. (2008) ‗New insights into osteoarthritis: early developmental features of an ageing-related disease.‘, Current opinion in rheumatology, 20(5), pp. 553–559.
Callahan, L. F. et al. (2011) ‗Associations of educational attainment, occupation and community poverty with knee osteoarthritis in the Johnston County (North Carolina) osteoarthritis project.‘, Arthritis research & therapy. 13(5), pp. 1-9.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). (2015). Osteoarthritis. http://www.cdc.gov/arthritis/basic/osteoarthritis.htm
103
(diakses 12 maret 2017). Cho, H. J. et al. (2011) ‗Gender and Prevalence of Knee Osteoarthritis
Types in Elderly Koreans‘, Journal of Arthroplasty. 26(7), pp. 994–999.
Cotofana, S. et al. (2013)' Relationship between Knee Pain and The Presence, Location, Size, Phenotype Offerotibial Denuded Areas of Subchondral Bone as Visualized by MRI', Osteoarthritis and Cartilage, 21(9) pp.1214-1222.
Dawson, J. et al. (2005) ‗Assessment of the Lequesne index of severity for osteoarthritis of the hip in an elderly population‘, Osteoarthritis and Cartilage, 13(10), pp. 854–860.
Destianti, N. A., Fatimah, S. N. and Dewi, S. (2017) ‗Vitamin C Intake and Risk Factors for Knee Osteoarthritis‘, Althea Medical Journal, 4(2), pp. 173–177.
Dworkin, R. H. et al. (2011) ‗Outcome measures in placebo-controlled trials of osteoarthritis: Responsiveness to treatment effects in the REPORT database‘, Osteoarthritis and Cartilage. 19(5), pp. 483–492.
Fowler-Brown, A. et al. (2015) ‗The mediating effect of leptin on the relationship between body weight and knee osteoarthritis in older adults.‘, Arthritis & rheumatology (Hoboken, N.J.), 67(1), pp. 169–75.
Fransen, M. et al. (2011) ‗The epidemiology of osteoarthritis in Asia‘, Best Practice and Research: Clinical Rheumatology, 14, pp. 113–121.
Ganasegeran, K. et al. (2014) ‗Level and determinants of knowledge of symptomatic knee osteoarthritis among railway workers in Malaysia‘, BioMed Research International, 2014, pp. 1–9.
Goldberg, D. S. and McGee, S. J. (2011) ‗Pain as a global public health priority‘, BMC Public Health. 11(1), pp. 1–5.
Gregory Bozimowski (2015) ‗A Review of Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs‘, AANA Journal Course, 83(6), pp. 425–433.
Handayani S. et al. (2015) ' Potensi Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.) Sebagai Pencegah Osteoporosis Dan Penurun Kolesterol Melaui Studi In-Vivo dan In-Silico'. Prosiding Seminar Nasional Peluang Herbal Sebagai Alternatif Medicine. Fakultas Farmasi Universitas Wahid Hasyim. pp 125-133
Hanumantharaju, N. et al. (2010) ‗Comparative evaluation of antimicrobial and antioxidant activities of Kaempferia galanga for natural and micropropagated plant‘, International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences, 2(SUPPL. 4), pp. 72–75.
Harstall, C. and Ospina, M. (2003) ‗How Prevalent Is Chronic Pain?‘, International Association for the Study of Pain, 11(2), pp. 1–4.
Harvey RA & Champe PC. (2013) Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 4. Jakarta : EGC.
Hasanah, A. N. et al. (2011) ‗Analisis Kandungan Minyak Atsiri dan Uji
104
Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Rimpang Kencur ( Kaempferia galanga L .) Analysis of Essential Oil Contents and Anti-Imflammatory Activity Test of Kencur ( Kaempferia galanga L .)‘, JMS, 16(3), pp. 147–152.
Hawker, G. A. et al. (2011) ‗Measures of Adult Pain‘, Arthritis Care & Research, 63(11), pp. 240–252.
Heidari, B. (2011) ‗Knee osteoarthritis prevalence, risk factors, pathogenesis and features: Part I‘, Caspian Journal of Internal Medicine, 2(2), pp. 205–212.
Ho-Pham, L. T. et al. (2014) ‗Prevalence of radiographic osteoarthritis of the knee and its relationship to self-reported pain‘, PLoS ONE, 9(4), pp. 1–7.
Hochberg, M. C. et al. (2012) ‗American College of Rheumatology 2012 recommendations for the use of nonpharmacologic and pharmacologic therapies in osteoarthritis of the hand, hip, and knee‘, Arthritis Care and Research, 64(4), pp. 465–474.
Hochman, J. R. et al. (2010) ‗The nerve of osteoarthritis pain‘, Arthritis Care and Research, 62(7), pp. 1019–1023. doi: 10.1002/acr.20142.
Huang, L., Yagura, T. and Chen, S. (2008) ‗Sedative activity of hexane extract of Keampferia galanga L. and its active compounds‘, Journal of Ethnopharmacology, 120(1), pp. 123–125.
Imaningrum, N. and Gunardi (2010) ‗Pengaruh Ekstrak Etanol Rimpang Kencur (Kaempferia Galanga Linn) Terhadap Jumlah Geliatan Mencit Balb/C Yang Diinduksi Asam Asetat.‘, Universitas Diponegoro. Semarang.
Jordan, J. M. et al. (2007) ‗Prevalence of Knee Symptoms and Radiographic and Symptomatic Knee Osteoarthritis in African Americans and Caucasians: The Johnston County Osteoarthritis Project‘, Journal of Rheumatology, 34(1), pp. 172–180.
Jørgensen, K. T. et al. (2011) ‗Socio-demographic factors, reproductive history and risk of osteoarthritis in a cohort of 4.6 million Danish women and men‘, Osteoarthritis and Cartilage. Elsevier Ltd, 19(10), pp. 1176–1182.
Kanjanapothi, D. et al. (2004) ‗Toxicity of crude rhizome extract of Kaempferia galanga L. (Proh Hom)‘, Journal of Ethnopharmacology, 90(2–3), pp. 359–365.
Kapoor, M. and Mahomed, N. N. (2015) Osteoarthritis : Pathogenesis, Diagnosis, Available Treatments, Drug Safety, Regenerative and Precision Medicine Adis. Canada: ADIS.
Karsdal, M. A. et al. (2016) ‗Disease-modifying treatments for osteoarthritis (DMOADs) of the knee and hip: lessons learned from failures and opportunities for the future‘, Osteoarthritis and Cartilage. Elsevier Ltd, 24(12), pp. 2013–2021.
Kellgren, J. H. and Lawrence, J. S. (1957) ‗Radiological Assessment of Osteo-Arthrosis‘, Annals of the Rheumatic Diseases, 16(4), pp. 494–502.
105
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Formularium Obat Herbal Asli Indonesia (FOHAI) Vol.1. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak: Jakarta.
Kidd, Bruce. (2012)' Mechanisms of Pain in Osteoarthritis', HSS J. 8(1): pp. 26–28.
Lakshmanan, D. et al. (2011) ‗Ethyl p-methoxycinnamate isolated from a traditional anti-tuberculosis medicinal herb inhibits drug resistant strains of Mycobacterium tuberculosis in vitro‘, Fitoterapia. 82(5), pp. 757–761.
Litcher-kelly, L. et al. (2007) ‗NIH Public Access Author Manuscript J Pain. Author manuscript; available in PMC 2009 June 5. Published in final edited form as: J Pain. 2007 December ; 8(12): 906–913. doi:10.1016/j.jpain.2007.06.009. A systematic review of measures used to assess chronic‘, J Pain, 8(12), pp. 906–913.
Litwic, A. et al. (2013) ‗Epidemiology and Burden of Osteoarthritis‘, Br Med Bull, 105(0), pp. 185–199.
Liu, B. et al. (2010) ‗Supercritical carbon dioxide extraction of ethyl p-methoxycinnamate from Kaempferia galanga L. rhizome and its apoptotic induction in human HepG2 cells.‘, Natural product research, 24(20), pp. 1927–1932.
Loeser, R. F. et al. (2012) ‗Osteoarthritis: A Disease of the Joint as an Organ Richard‘, Arthritis Rheum., 64(6), pp. 1697–1707.
Lu, B. et al. (2014) ‗Milk Consumption and Progression of Medial Tibiofemoral Knee Osteoarthritis: Data from the Osteoarthritis Initiative‘, Arthritis Care Res, 66(6), pp. 802–809.
M McDonough, C. and Jette, A. M. (2010) ‗The contribution of osteoarthritis to functional limitations and disability‘, Clin Geriatr Med, 26(3), pp. 387–399.
Martel-Pelletier, J. and Pelletier, J. P. (2010) ‗Is osteoarthritis a disease involving only cartilage or other articular tissues?‘, Joint diseases & related surgery, 21(1), pp. 2–14.
McDougall, J. J. and Linton, P. (2012) ‗Neurophysiology of arthritis pain‘, Current Pain and Headache Reports, 16(6), pp. 485–491.
Michael, J. W., Schluter-Brust, K. U. and Eysel, P. (2010) ‗The Epidemiology, Etiology, Diagnosis, and Treatment of Osteoarthritis of the Knee‘, Deutsches Ärzteblatt International, 107(9), pp. 152–162.
Misnadiarly. (2010) Osteoarthritis : Penyakit Sendi pada Orang Dewasa dan Anak. Pustaka Populer Obor; Jakarta.
Modi, C. M. et al. (2012) ‗Toxicopathological overview of analgesic and anti-inflammatory drugs in animals‘, Journal of Applied Pharmaceutical Science, 2(1), pp. 149–157.
Mohammad, S. P., Kannaki, K. S. and Revathy, R. (2016) ‗Diuretic Activity Of Kaempferia Galanga Linn Rhizome‘, WJPPS, 5(4), pp. 1161–1169.
Mohanty, S. et al. (2011) ‗Biochemical and molecular profiling of
106
micropropagated and conventionally grown Kaempferia galanga‘, Plant Cell, Tissue and Organ Culture, 106(1), pp. 39–46.
Musumeci, G., Aiello, F. C. and Szychlinska, M. A. (2015) ‗Osteoarthritis in the XXIst Century : Risk Factors and Behaviours that Influence Disease Onset and Progression‘, Int. J. Mol. Sci., 15, pp. 6093–6112.
Neogi, T. (2013) ‗The Epidermiology and Impact of Pain in Osteoarthritis‘, Osteoarthritis Research Society, 21(9), pp. 1145–1153.
Nguyen, T. V (2014) ‗Osteoarthritis in southeast Asia‘, International Journal of Clinical Rheumatology, 9(5), pp. 405–408.
Nie, Y., Liana, L. K. and Evacuasiany, E. (2012) ‗The Effect Of Kencur ‘ S Rhizome Ethanol Extract ( Kaempferia galanga L .) Against Gastric Mucosal To Swiss Webster Mice In Induced By Asetosal‘, Jurnal Medika Planta, 2(1), pp. 77–84.
Omar MN. et al. (2014). Antimicrobial Activity and Microbial Transformation of Ethyl p-Methoxycinnamate Extracted from Kaempferia galanga L.' OJCHEG. 30(3), pp.1037-1043.
Perhimpunan Dokter Spesialis Anesteilogi dan Reanimasi Indonesia. (2009) Panduan Tatalaksana Nyeri Perioperatif. Jakarta : PPIDSAI
Perhimpunan Reumatologi Indonesia (IRA). (2014) Diagnosis dan Penatalaksanaan Osteoarthritis. www.reumatologi.or.id/reurek/download24 (diakses 10 maret 2017).
Preetha, T. S., Hemanthakumar, A. S. and Krishnan, P. N. (2016) ‗A comprehensive review of Kaempferia galanga L . ( Zingiberaceae ): A high sought medicinal plant in Tropical Asia‘, Journal of Medicinal Plants Studies, 4(3), pp. 270–276.
Prieto-alhambra, D. et al. (2015) ‗Incidence and risk factors for clinically diagnosed knee , hip and hand osteoarthritis : influences of age , gender and osteoarthritis affecting other joints‘, Ann Rheum Dis, 73(9), pp. 1659–1664.
Punchard, N. A, Whelan, C. J. And Adcock, I. (2004) 'The Journal of Inflammation', Journal of Inflammation, 1(1), pp 1-4.
Raina, A. P. and Abraham, Z. (2016) ‗Chemical profiling of essential oil of Kaempferia galanga L. germplasm from India‘, Journal of Essential Oil Research, 28(1), pp. 29–34.
Ridtitid, W. et al. (2008) ‗Antinociceptive activity of the methanolic extract of Kaempferia galanga Linn. in experimental animals‘, Journal of Ethnopharmacology, 118(2), pp. 225–230.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Silverwood, V. et al. (2015) ‗Current evidence on risk factors for knee osteoarthritis in older adults : a systematic review and meta-analysis‘, Osteoarthritis and Cartilage. Elsevier Ltd, 23(4), pp. 507–515.
107
Srikanth, V. K. et al. (2005) ‗A meta-analysis of sex differences prevalence , incidence and severity of osteoarthritis‘, OsteoArthritis and Cartilage, 13, pp. 769–781.
Sokolove J and Lepus C.M. (2013)' Role of inflammation in the pathogenesis of osteoarthritis: latest findings and interpretations', Ther Adv Musculoskelet Dis. 5(2), pp. 77–94.
Taufikurohmah T. (2005) 'Sintesis p-metoksisinamil p-metoksisinamat dari Etil p-metoksisinamat hasil isolasi Rimpang kencur (Kaemferia galanga L.) sebagai Kandidat Tabir Surya' Indo J. Chem, 5(3), pp 193-197
Trubus. (2013) 100 Plus Herbal Indonesia; Bukti Ilmiah dan Racikan. Trubus Info Kit Vol. 11 Depok: PT Trubus Swadaya, pp 1161-1169.
Tucker, L. A. and Thomas, K. S. (2009) ‗Increasing Total Fiber Intake Reduces Risk of Weight and Fat Gains in Women‘, Journal of Nutrition, 139(3), pp. 576–581.
Turajane, T. et al. (2009) ‗Gastrointestinal and cardiovascular risk of non- selective NSAIDs and COX-2 inhibitors in elderly patients with knee osteoarthritis .‘, J Med Assoc Thai, 92(6), pp. 19–26.
Umar, M. I. et al. (2012) ‗Bioactivity-Guided Isolation of Ethyl-p-methoxycinnamate, an Anti-inflammatory Constituent, from Kaempferia galanga L. Extracts‘, Molecules, 17, pp. 8720–8734.
Umar, M. I. et al. (2014) ‗Ethyl- p -methoxycinnamate isolated from kaempferia galanga inhibits inflammation by suppressing inter- leukin-1 , tumor necrosis factor- a , and angiogenesis by blocking endothelial functions‘, CLINICS, 69(2), pp. 134–144.
Uncu, Y. et al. (2005) ‗Socio-demographic characteristics of osteoarthritis patients in Turkey and physicians‘ therapeutic approaches‘, Journal of Applied Research, 5(3), pp. 481–486.
Vittalrao, A. M. et al. (2011) ‗Evaluation Of Antiinflammatory And Analgesic Activities Of Alcoholic Extract Of Kaempferia Galanga In Rats‘, Indian J Physiol Pharmacol, 55(1), pp. 13–24.
Wong, CS. (2007)' Studies on Analgesic Antipyretic and Anti-Inflammatory Activitie of Alcoholic Extract of Kaempferia galanga in Rats', Indian J Physiol Pharmacol, 55(1), pp 13-24.
Wu, C. W. et al. (2005) ‗Validation of American College of Rheumatology classification criteria for knee osteoarthritis using arthroscopically defined cartilage damage scores‘, Seminars in Arthritis and Rheumatism, 35(3), pp. 197–201.
Yocum, D. et al. (2000) ‗Safety and efficacy of meloxicam in the treatment of osteoarthritis - A 12-week, double-blind, multi-dose, placebo-controlled trial‘, Archives of Internal Medicine, 160(19), pp. 2947–2954.
Yulianto, A. and Sari, K. A. K. (2015) ‗Pola Pemberian Kortikosteroid Pada Pasien Ispa Bagian Atas Di Puskesmas Sukasada Pada Bulan Mei – Juni 2014‘, e-jurnal medika udayana, 4(5), pp. 1–14.
Zhang, W. et al. (2010) ‗Eular Evidence Based Recommendations for
108
the Diagnosis of knee ostheoarthritis‘, Ann R, 69(3), pp. 483–9. Zhang, Y. and Jordan, J. M. (2010) ‗Epidemiology of Osteoarthritis‘,
Clin Geriatr Med, 26(3), pp. 355–369. Zheng, H. and Chen, C. (2015) ‗Body mass index and risk of knee
osteoarthritis : systematic review and meta-analysis of prospective studies‘, BMJ Open, 5, pp. 1–8.
109
Lampiran 1. Kuesioner Pengumpulan Data
LEMBAR KUESIONER PENELITIAN
A. Identitas Responden
No. Responden :
Tgl. Pemeriksaan :
Nama :
Umur/Tanggal Lahir :
Jenis Kelamin : Laki-Laki / Perempuan
Alamat :
Telp/Hp :
Pendidikan Terakhir :
Pekerjaan :
B. Identitas Kesehatan
Lama Keluhan/Sakit :
Derajat OA Lutut :
Riwayat Penyakit :
Terapi Obat :
Tekanan darah :
C. Antropometri
Tinggi Badan : Berat Badan : Kg IMT :
D. Biokimia
NO Antropometri Sebelum
Perlakuan
Setelah
Perlakuan
1 Ureum
2 Kreatinin
3 Asam urat
4 SGOT
5 SGPT
6 Hemoglobin
7 Leukosit
8 Trombosit
9 Limfosit
110
Lampiran 2. Kuesioner WOMAC
LEMBAR KUESIONER THE WESTERN ONTARIO AND McMASTER
UNIVERSITIES OSTEOARTHRITIS INDEX (WOMAC)
Petunjuk Pengisian !!
1. Bacalah dengan seksama pertanyaan yang diajukan 2. Berilah jawaban Anda sesuai dengan Bapak/Ibu rasakan dalam 24 jam terakhir 3. Lingkari (O) atau Silang (X) satu nomor dibawah ini yang menggambarkan perasaan
sakit atau nyeri yang anda rasakan dalam kurun waktu 24 jam terakhir, berdasarkan : Nilai 0 = tidak ada nyeri, nilai 10 = nyeri berat/sekali
Contoh
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak Ada
Nyeri
Nyeri Sekali
Penderita diminta untuk menandai salah satu angka sesuai derajat nyeri yang dirasakan
No Pertanyaan Kegiatan Nilai
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1
Bagaimanakah
derajat nyeri
yang Bapak/Ibu/
Saudara rasakan
pada
Saat berjalan di atas permukaan
yang datar 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
2 Saat Menaiki dan menuruni tangga 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
3 Saat tidur di malam hari 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
4 Saat duduk atau berbaring 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
5 Saat berdiri 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
6 Bagaimanakah
derajat kekakuan
yang
Bapak/Ibu/Sauda
ra rasakan pada
Saat bangun pagi 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
7 Setelah duduk, berbaring atau
istirahat
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
8 Bagaimanakah
tingkat kesulitan
yang Bapak/Ibu/
Saudara rasakan
untuk melakukan
aktivitas pada
Saat menuruni tangga 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
9 Saat menaiki tangga 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
10 Saat bangun dari posisi duduk 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
11 Saat berdiri 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
111
12 Saat membungkuk ke lantai 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
13 Saat berjalan di atas permukaan
datar 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
14 Masuk/keluar mobil, naik turun
dari kendaraan 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
15 Saat pergi berbelanja 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
16 Saat mengenakan kaos kaki 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
17 Saat bangun dari tempat tidur 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
18 Saat melepas kaos kaki 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
19 Saat berbaring di tempat tidur 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
20 Saat masuk dan keluar kamar
mandi 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
21 Saat duduk 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
22 Saat duduk/jongkok dan bangun
dari toilet (buang air besar) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
23 Melakukan pekerjaan rumah yang
berat 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
24 Melakukan pekerjaan rumah yang
ringan 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
112
Lampiran 3. Food Recall
Food Recall 24 Jam
Waktu Jenis Makanan Bahan Makanan URT Berat
Sarapan
Makan Siang
Makan Malam
Apakah anda mengonsumsi supplement ? YA/TIDAK
113
Lampiran 4. Kartu Kontrol Minum Obat
KARTU KONTROL MINUM OBAT
Jadwal Minum obat (beri tanda V jika sudah minum obat 1 x 1 kapsul).
Kontrol minum obat setiap hari melalui pemberitahuan Secara Lisan, sms
ataupun telpon.
01 Tgl .......
02 Tgl .......
03 Tgl .......
04 Tgl .......
05 Tgl .......
06 Tgl .......
07 Tgl .......
08 Tgl .......
09 Tgl .......
10 Tgl .......
114
Lampiran 5. Karakteistik Responden
TABEL KARAKTERISTIK RESPONDEN
NO NAMA UMUR JK KELOMP
OK PENDIDIKAN
GRADE OA GENU
TB (CM) BB (KG) IMT
1 HJL 70 P A SD Grade III 145 58.6 27.87
2 DGR 75 P B Tidak Bersekolah Grade III 140 52.5 26.79
3 DGM 71 P A SD Grade IV 135 58.2 31.93
4 SHL 58 P A Tidak Bersekolah Grade III 147 65.1 30.13
5 HJJ 57 P A SMP Grade III 149 44.4 20.00
6 HRH 57 P B SD Grade III 140 56.6 28.88
7 HJF 57 P A SD Grade III 153 52.5 22.43
8 NM 59 P B SD Grade III 151 60.1 26.36
9 ELZ 63 P B SMP Grade II 147 56.3 26.05
10 RD 65 P A SMA Grade IV 155 78.3 32.59
11 DL 55 P B S1 Grade III 142 48.8 24.20
12 AL 53 P A SMA Grade III 153 78.3 33.45
13 MUS 68 L A SMA Grade II 158 73.8 29.56
14 IBR 72 L B S1 Grade III 167 85.5 30.66
15 HLF 46 P B SMA Grade III 157 64.2 26.05
16 HJB 70 P B Tidak Bersekolah Grade III 153 50.4 21.53
17 HJD 65 P B Tidak Bersekolah Grade II 149 44 19.82
18 EST 55 P A Tidak Bersekolah Grade III 140 56.6 28.88
19 HJS 65 P A SD Grade III 159 69.2 27.37
20 LTG 53 P A SD Grade III 151 61.6 27.02
21 HWN 47 P B SMA Grade II 152 64.4 27.87
22 FRD 56 P B SMA Grade II 148 58.4 26.66
23 HRN 43 P A SMA Grade II 148 55 25.11
24 HDJ 63 P A SD Grade III 154 64.4 27.15
25 MUN 57 P B SD Grade II 145 58 27.59
26 RBS 51 P A SD Grade II 150 55.5 24.67
27 RHN 47 P A SD Grade II 151 49.90 21.89
28 RLYA 62 P A Tidak Bersekolah Grade III 146 50.3 23.60
29 IRM 42 P A SMP Grade I 147 52 24.06
30 HAS 44 P B SMP Grade II 151 53.2 23.33
31 RJD 60 P A SMP Grade II 143 50.3 24.60
32 DDG 61 P B SD Grade III 146 54.8 25.71
33 SH 50 P B Tidak Bersekolah Grade III 151 63.2 27.72
34 DGI 60 P B Tidak Bersekolah Grade III 149 46.1 20.76
35 STTM 65 P B Tidak Bersekolah Grade II 140 37.4 19.08
115
Lampiran 6. Asupan Energi dan Zat Gizi
TABEL HASIL ASUPAN ENERGI DAN ZAT GIZI
NO NAMA UMUR JK KELOMPO
K
ENERGI (kkal)
PROTEIN (gr)
LEMAK (gr)
KH (gr) SERAT (gr)
VIT C (mg)
CA (mg)
1 HJL 70 P A 1020.7 30.85 37.85 137.7 2.3 10.05 81.95
2 DGR 75 P B 1001.9 29.9 23.3 166.4 3.25 1.1 24.8
3 DGM 71 P A 994.65 45.45 33.3 127 4.65 11.65 92.3
4 SHL 58 P A 840.15 28 20.15 136.1 7.15 3.55 51.4
5 HJJ 57 P A 706.15 31.2 6.35 128.3 6.65 41.7 148.4
6 HRH 57 P B 1305.9 50.65 23.55 221.5 8.75 22.95 108.6
7 HJF 57 P A 1604.3 46.1 47.8 245 7.65 13.4 156.7
8 NM 59 P B 1200.25 50.95 31.35 182.05 8.7 42.6 152.3
9 ELZ 63 P B 993.35 28.6 18.5 175.9 4.65 30.5 105.1
10 RD 65 P A 1261.6 41.1 19 229.85 9.45 26.35 91.9
11 DL 55 P B 1187.05 37.1 28.65 195.75 7.7 45.85 102.3
12 AL 53 P A 1285.65 33.05 44.45 189.15 5.15 27.7 128.8
13 MUS 68 L A 1557.65 60.95 73.5 173.5 8.7 24.25 304.2
14 IBR 72 L B 1199.65 50.15 23.95 198.45 7.8 70.85 502.6
15 HLF 46 P B 1179.7 63.35 42.75 133.7 4.9 40.75 1080
16 HJB 70 P B 1176.4 36.75 39.85 167.25 5.15 13.1 80.2
17 HJD 65 P B 880.2 41.2 14.55 143.05 3.85 24.8 94.15
18 EST 55 P A 1545.7 60.45 53.95 203.1 8.15 16.05 127.8
19 HJS 65 P A 1029.45 30.25 17.9 184.45 3.9 14.45 41.25
20 LTG 53 P A 1531.95 65.7 43.1 216.15 5.35 14.95 91.95
21 HWN 47 P B 1267.4 42.25 28.5 215.15 7.5 23.95 105.6
22 FRD 56 P B 1104.75 26.1 36.7 168.45 6.05 27.5 32.55
23 HRN 43 P A 973.2 31.7 22.35 162.8 5.5 26.45 127.3
24 HDJ 63 P A 1327.3 59.45 44.65 168.55 5.7 31.2 1282
25 MUN 57 P B 1179.2 36 27.15 197.3 5.7 17.4 76.95
26 RBS 51 P A 1356.45 46.65 62.6 153.6 4.55 13.05 129.8
27 RHN 47 P A 1093.45 28.2 35.05 167.6 6.05 12.55 179.8
28 RLYA 62 P A 820.25 31.75 23.35 116.5 2.1 5.2 74.35
29 IRM 42 P A 817.3 34.35 21.25 119.05 2.2 14.4 110.5
30 HAS 44 P B 1737.6 58.95 70.05 220.75 11.4 47.7 100.6
31 RJD 60 P A 801.65 24.9 21.05 125.5 2.5 6.65 65.35
32 DDG 61 P B 1140.8 40.55 40.7 150.45 3.3 19 95.55
33 SH 50 P B 608.95 34.5 16.25 78.1 0.75 2.05 458.5
34 DGI 60 P B 956.25 25.2 28.75 147.35 2.65 16.4 63.4
35 STTM 65 P B 527.4 20.3 10.2 86.35 1.2 10.7 78.05
116
Lampiran 7. Hasil Pengukuran WOMAC
TABEL PENGUKURAN KUESIONER WOMAC
NO NAMA UMUR JK KELOM
POK Lama
Keluhan nyeri pre
nyeri post
∆ kaku pre
kaku post
∆ gangg. Pre
gang. Post
∆ total pre
total post
∆
1 HJL 70 P A 1 tahun 26 23 3 4 2 2 64 54 10 94 79 15
2 DGR 75 P B 10 tahun 27 20 7 11 9 2 107 72 35 145 101 44
3 DGM 71 P A 3 tahun 33 34 -1 6 10 -4 85 89 -4 124 133 -9
4 SHL 58 P A 10 bulan 23 27 -4 8 10 -2 76 82 -6 107 119 -12
5 HJJ 57 P A 1 tahun 16 6 10 7 4 3 39 17 22 62 27 35
6 HRH 57 P B 3 bulan 8 4 4 12 0 12 38 0 38 58 0 58
7 HJF 57 P A 2 tahun 15 0 15 11 7 4 61 18 43 87 25 62
8 NM 59 P B 1 tahun 19 12 7 4 2 2 35 24 11 58 38 20
9 ELZ 63 P B 1 tahun 18 8 10 9 6 3 25 11 14 52 25 27
10 RD 65 P A 2 tahun 15 10 5 5 2 3 41 18 23 61 30 31
11 DL 55 P B 10 tahun 14 9 5 4 2 2 55 27 28 73 38 35
12 AL 53 P A 3 tahun 38 31 7 12 12 0 111 95 16 161 138 23
13 MUS 68 L A 4 tahun 14 9 5 9 6 3 58 38 20 81 53 28
14 IBR 72 L B 10 tahun 17 20 -3 5 10 -5 61 68 -7 83 98 -15
15 HLF 46 P B 6 bulan 13 4 9 9 6 3 52 13 39 74 23 51
16 HJB 70 P B 3 bulan 16 9 7 18 5 13 28 11 17 62 25 37
17 HJD 65 P B 5 bulan 15 7 8 8 4 4 26 12 14 49 23 26
18 EST 55 P A 3 tahun 12 8 4 10 7 3 29 15 14 51 30 21
19 HJS 65 P A 1 tahun 26 18 8 6 5 1 91 61 30 123 84 39
20 LTG 53 P A 8 bulan 18 8 10 6 5 1 14 9 5 38 22 16
21 HWN 47 P B 2 tahun 18 20 -2 12 12 0 54 59 -5 84 91 -7
22 FRD 56 P B 1 tahun 24 14 10 9 6 3 101 58 43 134 78 56
23 HRN 43 P A 5 bulan 21 11 10 5 2 3 64 39 25 90 52 38
117
24 HDJ 63 P A 6 bulan 13 15 -2 5 6 -1 50 56 -6 68 77 -9
25 MUN 57 P B 1 tahun 16 10 6 8 6 2 61 38 23 85 54 31
26 RBS 51 P A 4 bulan 15 2 13 9 3 6 34 0 34 58 5 53
27 RHN 47 P A 1 tahun 15 1 14 7 0 7 44 0 44 66 1 65
28 RLYA 62 P A 1 tahun 6 2 4 10 6 4 32 15 17 48 23 25
29 IRM 42 P A 3 Tahun 25 7 18 17 4 13 106 41 65 148 52 96
30 HAS 44 P B 1 Tahun 13 7 6 6 3 3 50 21 29 69 31 38
31 RJD 60 P A 6 bulan 12 5 7 11 6 5 53 28 25 76 39 37
32 DDG 61 P B 1 Tahun 22 6 16 11 6 5 72 36 36 105 48 57
33 SH 50 P B 3 Tahun 14 8 6 10 2 8 26 10 16 50 20 30
34 DGI 60 P B 1 Tahun 10 0 10 4 0 4 35 0 35 49 0 49
35 STTM 65 P B 6 bulan 8 0 8 10 2 8 15 0 15 33 2 31
118
Lampiran 8 Analisis Data
Explore
[DataSet1] E:\Akmal Novrian S (70200110005)\YANKESTRAD\PENELITIAN
KENCUR\DATA INDUK FIX\DATA INDUK INPUT SPSS.sav
Tests of Normality
KLP_PERLAKUAN Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Asupan Energi
Sebelum
INTERVENSI .147 18 .200* .939 18 .283
KONTROL .124 17 .200* .946 17 .397
Asupan Energi
Sesudah
INTERVENSI .158 18 .200* .903 18 .066
KONTROL .132 17 .200* .964 17 .704
Energi_DELTA INTERVENSI .162 18 .200
* .873 18 .020
KONTROL .160 17 .200* .952 17 .490
Asupan Protein
Sebelum
INTERVENSI .117 18 .200* .936 18 .244
KONTROL .175 17 .173 .938 17 .291
Asupan Protein
Sesudah
INTERVENSI .227 18 .015 .851 18 .009
KONTROL .237 17 .012 .874 17 .026
Protein_DELTA INTERVENSI .155 18 .200
* .956 18 .532
KONTROL .131 17 .200* .964 17 .698
Asupan Lemak
Sebelum
INTERVENSI .147 18 .200* .940 18 .286
KONTROL .241 17 .010 .779 17 .001
Asupan Lemak
Sesudah
INTERVENSI .188 18 .092 .862 18 .013
KONTROL .130 17 .200* .938 17 .296
Lemak_DELTA INTERVENSI .219 18 .022 .874 18 .021
KONTROL .173 17 .186 .941 17 .325
Asupan KH sebelum INTERVENSI .128 18 .200
* .903 18 .064
KONTROL .193 17 .091 .955 17 .543
Asupan KH sesudah INTERVENSI .142 18 .200
* .947 18 .380
KONTROL .138 17 .200* .958 17 .588
KH_DELTA INTERVENSI .216 18 .026 .839 18 .006
KONTROL .089 17 .200* .981 17 .962
Asupan serat sebelum INTERVENSI .118 18 .200
* .955 18 .511
KONTROL .209 17 .046 .854 17 .012
Asupan serat sesudah INTERVENSI .115 18 .200
* .951 18 .444
KONTROL .222 17 .026 .902 17 .072
Serat_DELTA INTERVENSI .156 18 .200
* .961 18 .626
KONTROL .190 17 .105 .957 17 .568
Asupan vit C sebelum INTERVENSI .169 18 .186 .861 18 .013
119
KONTROL .215 17 .036 .890 17 .046
Asupan vit C sesudah INTERVENSI .182 18 .119 .812 18 .002
KONTROL .152 17 .200* .905 17 .081
VitC_DELTA INTERVENSI .164 18 .200
* .909 18 .082
KONTROL .144 17 .200* .928 17 .205
Asupan Kalsium
sebelum
INTERVENSI .473 18 .000 .334 18 .000
KONTROL .388 17 .000 .414 17 .000
Asupan Kalsium
sesudah
INTERVENSI .294 18 .000 .606 18 .000
KONTROL .379 17 .000 .489 17 .000
CA_DELTA INTERVENSI .154 18 .200
* .957 18 .543
KONTROL .429 17 .000 .546 17 .000
NYERI_WMC_SB INTERVENSI .203 18 .049 .923 18 .145
KONTROL .115 17 .200* .965 17 .735
NYERI_WMC_SS INTERVENSI .207 18 .040 .888 18 .035
KONTROL .166 17 .200* .915 17 .120
Delta_Nyeri INTERVENSI .085 18 .200
* .980 18 .951
KONTROL .201 17 .066 .902 17 .074
KAKU_SB INTERVENSI .146 18 .200
* .913 18 .096
KONTROL .132 17 .200* .921 17 .155
KAKU_SS INTERVENSI .145 18 .200
* .959 18 .579
KONTROL .182 17 .139 .935 17 .259
Delta_kaku INTERVENSI .155 18 .200
* .937 18 .261
KONTROL .211 17 .042 .905 17 .083
GANGGUAN_AKTVTS
_SB
INTERVENSI .140 18 .200* .962 18 .641
KONTROL .151 17 .200* .904 17 .081
GANGGUAN_AKTVTS
_SS
INTERVENSI .188 18 .091 .917 18 .114
KONTROL .190 17 .103 .884 17 .037
Delta_gangguan INTERVENSI .135 18 .200
* .956 18 .533
KONTROL .155 17 .200* .927 17 .197
TOTAL_SKOR_SB INTERVENSI .139 18 .200
* .932 18 .211
KONTROL .185 17 .125 .889 17 .045
TOTAL_SKOR_SS INTERVENSI .185 18 .104 .900 18 .056
KONTROL .182 17 .139 .895 17 .056
Delta_Total_skor INTERVENSI .160 18 .200
* .951 18 .448
KONTROL .182 17 .139 .891 17 .048
*. This is a lower bound of the true significance.
a. Lilliefors Significance Correction
120
T-Test [DataSet1] E:\Akmal Novrian S (70200110005)\YANKESTRAD\PENELITIAN
KENCUR\DATA INDUK FIX\DATA INDUK INPUT SPSS.sav
Group Statistics
KLP_PERLAKUAN N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Asupan Energi Sebelum INTERVENSI 18 1078.4611 284.68130 67.10003
KONTROL 17 1058.7941 320.16675 77.65184
Asupan Energi Sesudah INTERVENSI 18 1206.8222 424.98466 100.16985
KONTROL 17 1134.9412 323.12100 78.36835
Asupan Protein Sebelum INTERVENSI 18 39.8056 12.03981 2.83781
KONTROL 17 37.5176 14.08085 3.41511
Protein_DELTA INTERVENSI 18 1.5111 20.69731 4.87840
KONTROL 17 4.0824 22.36941 5.42538
Asupan KH sebelum INTERVENSI 18 158.8000 47.07518 11.09573
KONTROL 17 160.0824 38.87043 9.42746
Asupan KH sesudah INTERVENSI 18 172.7444 47.91798 11.29438
KONTROL 17 174.9706 56.87307 13.79375
Asupan serat sesudah INTERVENSI 18 6.5333 3.52370 .83054
KONTROL 17 5.5412 3.47762 .84345
Serat_DELTA INTERVENSI 18 2.2111 3.55344 .83755
KONTROL 17 .1059 4.70352 1.14077
VitC_DELTA INTERVENSI 18 7.7333 24.77613 5.83979
KONTROL 17 -3.8824 31.40934 7.61788
NYERI_WMC_SB INTERVENSI 18 19.06 8.091 1.907
KONTROL 17 16.00 5.184 1.257
Delta_Nyeri INTERVENSI 18 7.00 5.971 1.407
KONTROL 17 6.71 4.398 1.067
KAKU_SB INTERVENSI 18 8.22 3.264 .769
KONTROL 17 8.82 3.627 .880
KAKU_SS INTERVENSI 18 5.39 3.127 .737
KONTROL 17 4.76 3.401 .825
Delta_kaku INTERVENSI 18 2.83 3.746 .883
KONTROL 17 4.06 4.293 1.041
GANGGUAN_AKTVTS_SB INTERVENSI 18 58.44 26.895 6.339
KONTROL 17 49.47 25.856 6.271
Delta_gangguan INTERVENSI 18 20.94 18.450 4.349
KONTROL 17 22.41 14.858 3.604
TOTAL_SKOR_SS INTERVENSI 18 54.94 41.806 9.854
KONTROL 17 40.88 33.108 8.030
121
Independent Samples Test
Levene's Test
for Equality of
Variances
t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-
tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
Asupan Energi Sebelum Equal variances assumed .000 .987 .192 33 .849 19.66699 102.27392 -188.41087 227.74485
Equal variances not assumed .192 32.015 .849 19.66699 102.62662 -189.37274 228.70673
Asupan Energi Sesudah Equal variances assumed 1.482 .232 .561 33 .579 71.88105 128.18806 -188.91952 332.68161
Equal variances not assumed .565 31.601 .576 71.88105 127.18332 -187.31133 331.07342
Asupan Protein Sebelum Equal variances assumed .192 .664 .518 33 .608 2.28791 4.42002 -6.70470 11.28052
Equal variances not assumed .515 31.562 .610 2.28791 4.44028 -6.76159 11.33740
Protein_DELTA Equal variances assumed .208 .651 -.353 33 .726 -2.57124 7.27950 -17.38149 12.23901
Equal variances not assumed -.352 32.399 .727 -2.57124 7.29613 -17.42581 12.28332
Asupan KH sebelum Equal variances assumed .723 .401 -.088 33 .931 -1.28235 14.64126 -31.07022 28.50552
Equal variances not assumed -.088 32.441 .930 -1.28235 14.55995 -30.92420 28.35950
Asupan KH sesudah Equal variances assumed .233 .632 -.125 33 .901 -2.22614 17.73896 -38.31633 33.86404
Equal variances not assumed -.125 31.373 .901 -2.22614 17.82780 -38.56864 34.11636
Asupan serat sesudah Equal variances assumed .120 .731 .838 33 .408 .99216 1.18418 -1.41708 3.40140
Equal variances not assumed .838 32.931 .408 .99216 1.18373 -1.41634 3.40066
Serat_DELTA Equal variances assumed .571 .455 1.500 33 .143 2.10523 1.40388 -.75099 4.96145
Equal variances not assumed 1.488 29.760 .147 2.10523 1.41522 -.78602 4.99648
VitC_DELTA Equal variances assumed .832 .368 1.218 33 .232 11.61569 9.53312 -7.77960 31.01097
Equal variances not assumed 1.210 30.438 .236 11.61569 9.59871 -7.97569 31.20706
NYERI_WMC_SB Equal variances assumed 3.813 .059 1.321 33 .195 3.056 2.313 -1.649 7.760
Equal variances not assumed 1.338 29.141 .191 3.056 2.284 -1.615 7.726
122
Delta_Nyeri Equal variances assumed 2.296 .139 .165 33 .870 .294 1.781 -3.330 3.918
Equal variances not assumed .167 31.203 .869 .294 1.766 -3.306 3.895
KAKU_SB Equal variances assumed .018 .893 -.516 33 .609 -.601 1.165 -2.972 1.769
Equal variances not assumed -.515 32.140 .610 -.601 1.169 -2.981 1.779
KAKU_SS Equal variances assumed .257 .616 .566 33 .575 .624 1.104 -1.621 2.869
Equal variances not assumed .564 32.345 .576 .624 1.106 -1.628 2.877
Delta_kaku Equal variances assumed .261 .613 -.901 33 .374 -1.225 1.360 -3.992 1.541
Equal variances not assumed -.898 31.803 .376 -1.225 1.365 -4.007 1.556
GANGGUAN_AKTVTS_
SB
Equal variances assumed .070 .792 1.005 33 .322 8.974 8.927 -9.188 27.136
Equal variances not assumed 1.006 32.987 .322 8.974 8.917 -9.168 27.115
Delta_gangguan Equal variances assumed .152 .700 -.258 33 .798 -1.467 5.683 -13.030 10.095
Equal variances not assumed -.260 32.220 .797 -1.467 5.648 -12.968 10.034
TOTAL_SKOR_SS Equal variances assumed .905 .348 1.099 33 .280 14.062 12.797 -11.974 40.098
Equal variances not assumed 1.106 32.056 .277 14.062 12.711 -11.828 39.952
123
NPar Tests [DataSet1] E:\Akmal Novrian S (70200110005)\YANKESTRAD\PENELITIAN
KENCUR\DATA INDUK FIX\DATA INDUK INPUT SPSS.sav
Mann-Whitney Test
Ranks
KLP_PERLAKUAN N Mean Rank Sum of Ranks
Energi_DELTA
INTERVENSI 18 18.06 325.00
KONTROL 17 17.94 305.00
Total 35
Asupan Protein Sesudah
INTERVENSI 18 17.56 316.00
KONTROL 17 18.47 314.00
Total 35
Asupan Lemak Sebelum
INTERVENSI 18 18.89 340.00
KONTROL 17 17.06 290.00
Total 35
Asupan Lemak Sesudah
INTERVENSI 18 19.39 349.00
KONTROL 17 16.53 281.00
Total 35
Lemak_DELTA
INTERVENSI 18 19.33 348.00
KONTROL 17 16.59 282.00
Total 35
KH_DELTA
INTERVENSI 18 17.61 317.00
KONTROL 17 18.41 313.00
Total 35
Asupan serat sebelum
INTERVENSI 18 16.92 304.50
KONTROL 17 19.15 325.50
Total 35
Asupan vit C sebelum
INTERVENSI 18 15.97 287.50
KONTROL 17 20.15 342.50
Total 35
Asupan vit C sesudah
INTERVENSI 18 16.64 299.50
KONTROL 17 19.44 330.50
Total 35
Asupan Kalsium sebelum
INTERVENSI 18 21.78 392.00
KONTROL 17 14.00 238.00
Total 35
Asupan Kalsium sesudah
INTERVENSI 18 18.00 324.00
KONTROL 17 18.00 306.00
Total 35
CA_DELTA
INTERVENSI 18 16.81 302.50
KONTROL 17 19.26 327.50
Total 35
124
Test Statisticsa
Energi_
DELTA
Asupan
Protein
Sesudah
Asupan
Lemak
Sebelum
Asupan
Lemak
Sesudah
Lemak_
DELTA
KH_DE
LTA
Asupan
serat
sebelum
Asupan vit C
sebelum
Asupan vit C
sesudah
Asupan
Kalsium
sebelum
Asupan
Kalsium
sesudah
CA_DE
LTA
Mann-Whitney U 152.000 145.000 137.000 128.000 129.000 146.000 133.500 116.500 128.500 85.000 153.000 131.500
Wilcoxon W 305.000 316.000 290.000 281.000 282.000 317.000 304.500 287.500 299.500 238.000 306.000 302.500
Z -.033 -.264 -.528 -.825 -.792 -.231 -.644 -1.205 -.809 -2.244 .000 -.710
Asymp. Sig. (2-
tailed)
.974 .792 .597 .409 .428 .817 .520 .228 .419 .025 1.000 .478
Exact Sig. [2*(1-
tailed Sig.)]
.987b .807
b .613
b .424
b .443
b .832
b .525
b .232
b .424
b .025
b 1.000
b .483
b
a. Grouping Variable: KLP_PERLAKUAN
b. Not corrected for ties.
125
T-Test USE ALL.
COMPUTE filter_$=(KLP_PERLAKUAN=1).
VARIABLE LABELS filter_$ 'KLP_PERLAKUAN=1 (FILTER)'.
VALUE LABELS filter_$ 0 'Not Selected' 1 'Selected'.
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 Asupan Energi Sebelum 1078.4611 18 284.68130 67.10003
Asupan Energi Sesudah 1206.8222 18 424.98466 100.16985
Pair 2 Asupan Protein Sebelum 39.8056 18 12.03981 2.83781
Asupan Protein Sesudah 41.3167 18 20.51026 4.83432
Pair 3 Asupan Lemak Sebelum 30.8167 18 15.11716 3.56315
Asupan Lemak Sesudah 38.9222 18 27.56420 6.49695
Pair 4 Asupan KH sebelum 158.8000 18 47.07518 11.09573
Asupan KH sesudah 172.7444 18 47.91798 11.29438
Pair 5 Asupan serat sebelum 4.3222 18 2.05585 .48457
Asupan serat sesudah 6.5333 18 3.52370 .83054
Pair 6 KAKU_SB 8.22 18 3.264 .769
KAKU_SS 5.39 18 3.127 .737
Pair 7 GANGGUAN_AKTVTS_SB 58.44 18 26.895 6.339
GANGGUAN_AKTVTS_SS 37.50 18 29.733 7.008
Pair 8 TOTAL_SKOR_SB 85.72 18 34.819 8.207
TOTAL_SKOR_SS 54.94 18 41.806 9.854
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig.
Pair 1 Asupan Energi Sebelum &
Asupan Energi Sesudah
18 .380 .120
Pair 2 Asupan Protein Sebelum &
Asupan Protein Sesudah
18 .278 .264
Pair 3 Asupan Lemak Sebelum &
Asupan Lemak Sesudah
18 .309 .212
Pair 4 Asupan KH sebelum & Asupan
KH sesudah
18 .369 .132
Pair 5 Asupan serat sebelum &
Asupan serat sesudah
18 .277 .265
Pair 6 KAKU_SB & KAKU_SS 18 .314 .205
Pair 7 GANGGUAN_AKTVTS_SB &
GANGGUAN_AKTVTS_SS
18 .792 .000
Pair 8 TOTAL_SKOR_SB &
TOTAL_SKOR_SS
18 .760 .000
126
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig. (2-
tailed) Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
Pair 1 Asupan Energi Sebelum -
Asupan Energi Sesudah
-128.36111 412.01924 97.11387 -333.25346 76.53124 -1.322 17 .204
Pair 2 Asupan Protein Sebelum -
Asupan Protein Sesudah
-1.51111 20.69731 4.87840 -11.80364 8.78142 -.310 17 .761
Pair 3 Asupan Lemak Sebelum -
Asupan Lemak Sesudah
-8.10556 27.03291 6.37172 -21.54871 5.33759 -1.272 17 .220
Pair 4 Asupan KH sebelum - Asupan
KH sesudah
-13.94444 53.37504 12.58062 -40.48722 12.59834 -1.108 17 .283
Pair 5 Asupan serat sebelum - Asupan
serat sesudah
-2.21111 3.55344 .83755 -3.97819 -.44403 -2.640 17 .017
Pair 6 KAKU_SB - KAKU_SS 2.833 3.746 .883 .971 4.696 3.209 17 .005
Pair 7 GANGGUAN_AKTVTS_SB -
GANGGUAN_AKTVTS_SS
20.944 18.450 4.349 11.769 30.119 4.816 17 .000
Pair 8 TOTAL_SKOR_SB -
TOTAL_SKOR_SS
30.778 27.364 6.450 17.170 44.385 4.772 17 .000
127
NPar Tests Wilcoxon Signed Ranks Test
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
Asupan vit C sesudah -
Asupan vit C sebelum
Negative Ranks 8a 7.06 56.50
Positive Ranks 10b 11.45 114.50
Ties 0c
Total 18
Asupan Kalsium sesudah -
Asupan Kalsium sebelum
Negative Ranks 6d 9.17 55.00
Positive Ranks 12e 9.67 116.00
Ties 0f
Total 18
NYERI_WMC_SS -
NYERI_WMC_SB
Negative Ranks 15g 10.87 163.00
Positive Ranks 3h 2.67 8.00
Ties 0i
Total 18
a. Asupan vit C sesudah < Asupan vit C sebelum
b. Asupan vit C sesudah > Asupan vit C sebelum
c. Asupan vit C sesudah = Asupan vit C sebelum
d. Asupan Kalsium sesudah < Asupan Kalsium sebelum
e. Asupan Kalsium sesudah > Asupan Kalsium sebelum
f. Asupan Kalsium sesudah = Asupan Kalsium sebelum
g. NYERI_WMC_SS < NYERI_WMC_SB
h. NYERI_WMC_SS > NYERI_WMC_SB
i. NYERI_WMC_SS = NYERI_WMC_SB
Test Statisticsa
Asupan vit C
sesudah -
Asupan vit C
sebelum
Asupan Kalsium
sesudah -
Asupan Kalsium
sebelum
NYERI_WMC_
SS -
NYERI_WMC_
SB
Z -1.263b -1.328
b -3.379
c
Asymp. Sig. (2-tailed) .207 .184 .001
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on negative ranks.
c. Based on positive ranks.
128
USE ALL.
COMPUTE filter_$=(KLP_PERLAKUAN=2).
VARIABLE LABELS filter_$ 'KLP_PERLAKUAN=2 (FILTER)
T-Test
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 Asupan Energi Sebelum 1058.7941 17 320.16675 77.65184
Asupan Energi Sesudah 1134.9412 17 323.12100 78.36835
Pair 2 Asupan Protein Sebelum 37.5176 17 14.08085 3.41511
Asupan Protein Sesudah 41.6000 17 18.56441 4.50253
Pair 3 Asupan KH sebelum 160.0824 17 38.87043 9.42746
Asupan KH sesudah 174.9706 17 56.87307 13.79375
Pair 4 NYERI_WMC_SB 16.00 17 5.184 1.257
NYERI_WMC_SS 9.29 17 6.263 1.519
Pair 5 KAKU_SB 8.82 17 3.627 .880
KAKU_SS 4.76 17 3.401 .825
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig.
Pair 1 Asupan Energi Sebelum &
Asupan Energi Sesudah
17 .430 .085
Pair 2 Asupan Protein Sebelum &
Asupan Protein Sesudah
17 .081 .756
Pair 3 Asupan KH sebelum & Asupan
KH sesudah
17 .508 .037
Pair 4 NYERI_WMC_SB &
NYERI_WMC_SS
17 .720 .001
Pair 5 KAKU_SB & KAKU_SS 17 .255 .324
129
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig. (2-
tailed) Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
Pair 1 Asupan Energi Sebelum -
Asupan Energi Sesudah
-76.14706 343.45498 83.30007 -252.73532 100.44120 -.914 16 .374
Pair 2 Asupan Protein Sebelum -
Asupan Protein Sesudah
-4.08235 22.36941 5.42538 -15.58364 7.41893 -.752 16 .463
Pair 3 Asupan KH sebelum -
Asupan KH sesudah
-14.88824 49.99621 12.12586 -40.59391 10.81744 -1.228 16 .237
Pair 4 NYERI_WMC_SB -
NYERI_WMC_SS
6.706 4.398 1.067 4.444 8.967 6.286 16 .000
Pair 5 KAKU_SB - KAKU_SS 4.059 4.293 1.041 1.851 6.266 3.898 16 .001
130
NPar Tests
Wilcoxon Signed Ranks Test
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
Asupan Lemak Sesudah -
Asupan Lemak Sebelum
Negative Ranks 8a 9.25 74.00
Positive Ranks 9b 8.78 79.00
Ties 0c
Total 17
Asupan serat sesudah - Asupan
serat sebelum
Negative Ranks 8d 8.94 71.50
Positive Ranks 9e 9.06 81.50
Ties 0f
Total 17
Asupan vit C sesudah - Asupan
vit C sebelum
Negative Ranks 9g 8.89 80.00
Positive Ranks 8h 9.13 73.00
Ties 0i
Total 17
Asupan Kalsium sesudah -
Asupan Kalsium sebelum
Negative Ranks 4j 6.50 26.00
Positive Ranks 13k 9.77 127.00
Ties 0l
Total 17
GANGGUAN_AKTVTS_SS -
GANGGUAN_AKTVTS_SB
Negative Ranks 15m 10.00 150.00
Positive Ranks 2n 1.50 3.00
Ties 0o
Total 17
TOTAL_SKOR_SS -
TOTAL_SKOR_SB
Negative Ranks 15p 10.00 150.00
Positive Ranks 2q 1.50 3.00
Ties 0r
Total 17
a. Asupan Lemak Sesudah < Asupan Lemak Sebelum
b. Asupan Lemak Sesudah > Asupan Lemak Sebelum
c. Asupan Lemak Sesudah = Asupan Lemak Sebelum
d. Asupan serat sesudah < Asupan serat sebelum
e. Asupan serat sesudah > Asupan serat sebelum
f. Asupan serat sesudah = Asupan serat sebelum
g. Asupan vit C sesudah < Asupan vit C sebelum
h. Asupan vit C sesudah > Asupan vit C sebelum
131
i. Asupan vit C sesudah = Asupan vit C sebelum
j. Asupan Kalsium sesudah < Asupan Kalsium sebelum
k. Asupan Kalsium sesudah > Asupan Kalsium sebelum
l. Asupan Kalsium sesudah = Asupan Kalsium sebelum
m. GANGGUAN_AKTVTS_SS < GANGGUAN_AKTVTS_SB
n. GANGGUAN_AKTVTS_SS > GANGGUAN_AKTVTS_SB
o. GANGGUAN_AKTVTS_SS = GANGGUAN_AKTVTS_SB
p. TOTAL_SKOR_SS < TOTAL_SKOR_SB
q. TOTAL_SKOR_SS > TOTAL_SKOR_SB
r. TOTAL_SKOR_SS = TOTAL_SKOR_SB
Test Statisticsa
Asupan
Lemak
Sesudah -
Asupan
Lemak
Sebelum
Asupan serat
sesudah -
Asupan serat
sebelum
Asupan vit C
sesudah -
Asupan vit C
sebelum
Asupan
Kalsium
sesudah -
Asupan
Kalsium
sebelum
GANGGUAN_
AKTVTS_SS -
GANGGUAN_
AKTVTS_SB
TOTAL_SKOR_SS
-
TOTAL_SKOR_SB
Z -.118b -.237
b -.166
c -2.391
b -3.480
c -3.480
c
Asymp.
Sig. (2-
tailed)
.906 .813 .868 .017 .001 .001
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on negative ranks.
c. Based on positive ranks.
132
Lampiran 9 Foto Penelitian
Screening Pasien Osteoartritis Lutut dan Pengukuran
Intensitas Nyeri
Wawancara dan Food Recall 24 jam
Edukasi Gizi
133
Pengukuran Berat Badan
Penilaian fungsi fisik pasien Osteoartritis lutut
Penilaian fungsi fisik pasien Osteoartritis lutut
134
Lampiran 10 Riwayat Hidup
RIWAYAT HIDUP
A. DATA DIRI
1. Nama : Akmal Novrian Syahruddin
2. Tempat/ Tanggal Lahir : Pangkajene, 11 November 1992
3. Agama : Islam
4. Alamat : BTN Minasa Upa Blok M17 No. 4, Makassar
5. Nama Orang Tua :
a. Ayah : Syahruddin Usman
b. Ibu : Haerana Rahman
B. RIWAYAT PENDIDIKAN
1. TK Al-Ikhlas (1997-1998)
2. SD Inpres Minasa Upa, Kota Makassar (1998-2004)
3. MTs Negeri Model Makassar (2004-2007)
4. SMA Negeri 2 Makassar (2007-2010)
5. S1 Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
(2010-2014)
6. S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar
(2015-2017)