2011-1-00022-AK 2

download 2011-1-00022-AK 2

of 32

Transcript of 2011-1-00022-AK 2

  • 8/18/2019 2011-1-00022-AK 2

    1/32

    6

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    II.1 Pengantar Pajak

    II.1.1. Pengertian Pajak

    Pengertian pajak dapat diterangkan melalui beberapa definisi :

    Definisi pajak yang terkenal dalam dunia akademik dikemukakan oleh Prof. Rochmat

    Soemitro dalam buku Mardiasmo (2009:1) yaitu :

    Pajak  adalah  iuran rakyat kepada kas negara  berdasarkan  undang-undang (yang 

    dapat  dipaksakan)  dengan  tidak   mendapat   jasa  timbal   balik   yang  langsung  dapat 

    ditunjukkan  dan yang digunakan untuk   membayar pengeluaran umum.

    Dari definisi di atas terlihat bahwa pajak harus berdasarkan Undang-undang yang

    disusun dan dibahas bersama antara pemerintah dan DPR sehingga pajak merupakan

    ketentuan berdasarkan kehendak rakyat, bukan kehendak penguasa semata. Pembayar

     pajak tidak akan mendapat imbalan langsung. Manfaat dari pajak akan dirasakan oleh

    seluruh masyarakat baik yang membayar pajak maupun yang tidak membayar pajak.

    Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani dalam buku Surkadji (2005:9), pajak adalah

    iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh wajib pajak

    membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan baik tidak mendapatkan prestasi

    kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah membiayai

     pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk

    menyelenggarakan pemerintahan.

  • 8/18/2019 2011-1-00022-AK 2

    2/32

    7

    Menurut Fieldman yang diterjemahkan oleh Waluyo (2005:8), pajak adalah

     prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan t erutang kepada penguasa (menurut norma-

    norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata

    digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.

    Undang-undang perpajakan sendiri tidak memberikan definisi pajak sampai

    dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007, definisinya sebagai

     berikut :

    Pajak   adalah  kontribusi wajib kepada  negara  yang  terutang  oleh  orang 

     pribadi  atau  badan  yang  bersifat  memaksa  berdasarkan  Undang-undang , dengan  tidak  

    mendapatkan  imbalan  secara  langsung  dan  digunakan  untuk   keperluan  negara  bagi  

    sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 

    Definisi versi Undang-undang Ketetapan Umum Perpajakan (KUP) Undang-

    undang Nomor 28 Tahun 2007, ini nyaris hampir sama dengan definisi Rochmat

    Soemitro. Kata-kata “iuran” diganti dengan kata “kontribusi” yang nadanya lebih

     bersifat positif karena mengandung makna partisipasi masyarakat. Kemudian ada

    tambahan “bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang membuat kata pajak lebih

     bernilai positif karena untuk tujuan kemakmuran rakyat melalui penyediaan barang dan

     jasa publik seperti pertahanan, keamanan, pendidikan, kesehatan, jalan raya, dan fasilitas

    umum lainnya.

    Menurut Erly, S (2009: 11) Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pajak

    memiliki ciri-ciri:

  • 8/18/2019 2011-1-00022-AK 2

    3/32

    8

    1.  Pajak peralihan dari orang/badan ke pemerintah.

    2.  Pajak dipungut berdasarkan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksaannya,

    sehingga dapat dipaksakan.

    3. 

    Dalam Pembayaran pajak, tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi lansung

    secara individual yang diberikan pemerintah.

    4.  Pajak dipungut Negara, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

    5.  Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari

     pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai investasi

     public.

    6.  Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari

     pemerintah.

    7.  Pajak dapat dipungut secara lansung atau tidak langsung.

    II.1.2. Azas Pengenaan Pajak

    Menurut Suhartono (2007: 75) Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh

    negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk pengenaan pajak,

    khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering

    digunakan oleh negara sebagai landasan untuk pengenaan pajak adalah:

    Asas domisili, atau disebut juga asas kependudukan berdasarkan asas ini negara

    mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi

    atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan

     penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

     berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan darimana penghasilan

  • 8/18/2019 2011-1-00022-AK 2

    4/32

    9

    yang dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini,

    dalam sistem pengenaan pajak terhadap penduduknya akan menggabungkan asas

    domisli (kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang

    diperoleh Negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri.

    Asas sumber, negara menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu

     penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila

     penghasilan yang dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau

     badan yang bersangkutan dari sumber-sumber dari negara itu.

    Dalam asas ini, tidak terjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang

    atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan

     pengenaan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari negara itu.

    Contoh : Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang

    didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia.

    Asas kebangsaan, atau asas nasionalitas dan disebut juga asas kewarganegaraan.

    Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan

    dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah

    menjadi persoalan darimana penghasilan yang dikenakan pajak berasal. Seperti halnya

    dalam asas domisili, sistem pengenaan pajak berdsarkan asas nasionalitas ini dilakukan

    dengan cara menggabungan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak atas luar

    negeri.

  • 8/18/2019 2011-1-00022-AK 2

    5/32

    10

    Perbedaan di Indonesia yaitu ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam Undang-

    undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor

    10 Tahun 1994, dan perubahan terakhir yaitu Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007

    khususnya yang mengatur mengenai subjek pajak dan objek pajak, dapat disimpulkan

     bahwa Indonesia menganut asas domisili dan asas sumber sekaligus dalam sistem

     perpajakannya.

    Menurut Wirawan,B,I (2009:30) Indonesia juga menganut asas kewarganegaraan

    yang parsial, yaitu khusus dalam ketentuan yang mengatur mengenai pengecualian

    subjek pajak untuk orang pribadi.

    II.1.3. Pengelompokan dan Tarif Pajak

    Safri, N (2005:23) mendefinisikan Pengelompokkan Pajak terdiri dari Pajak

    Tidak Langsung dan Pajak Tidak Langsung :

    Pajak Langsung adalah pajak yang beban pajaknya tidak bisa

    diserahkan/dialihkan kepada pihak lain.

    Contoh : Pajak Penghasilan (PPh).

    Pajak Tidak Langsung adalah Pajak yang beban pajaknya dapat

    dipindahkan/dialihkan kepada pihak lain.

    Contoh : Pajak pertambahan Nilai (PPN).

    Sukardji (2006:25), dalam hal ini perbedaan pajak langsung dan pajak tidak

    langsung, dapat dibedakan menjadi tiga yaitu :

  • 8/18/2019 2011-1-00022-AK 2

    6/32

  • 8/18/2019 2011-1-00022-AK 2

    7/32

    12

    ayat 3 tetang tarif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat diubah menjadi paling

    rendah 5 % (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan

    tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    Contoh tarif proporsional : Tuan Alex melakukan suatu transaksi (penjualan) suatu

    Barang Kena Pajak (BKP) sebagai berikut :

    Jumlah Penjualan Tarif BesarnyaPajak

    Rp. 500.000 X 10% Rp. 50.000

    Rp. 1.000.000 X 10% Rp. 100.000

    Rp. 5.000.000 X 10% Rp. 500.000

    Rp. 10.000.000 X 10% Rp. 1.000.000

    II.1.4. Fungsi Pajak

    Menurut Supramono (2008:12), pajak mempunyai peranan yang sangat penting

    dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena

     pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran

    termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai

     beberapa fungsi, yaitu: 

    •  Fungsi anggaran (budgetair)

    Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai

     pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas

  • 8/18/2019 2011-1-00022-AK 2

    8/32

    13

    rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan

     biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini

     pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai,

     belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk

     pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan

     pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran

    rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan

    sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat

    dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.

    •  Fungsi mengatur (regulerend)

    Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui

    kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan

    sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka

    menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri,

    diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka

    melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea

    masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.

    •  Fungsi stabilitas

    Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan

    kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi

    dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan

  • 8/18/2019 2011-1-00022-AK 2

    9/32

    14

    mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak,

     penggunaan pajak yang efektif dan efisien.

    • 

    Fungsi redistribusi pendapatan

    Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk

    membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk

    membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan

    kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan

    masyarakat

    II.1.5. Sistem Pemungutan Pajak

    Mardiasmo (2008 :25) mengemukakan “ Sistem Pemungutan Pajak “ adalah

    •  Self Assesment

    Adalah suatu sistem pemungutan pajak dimana wajib pajak menetukan sendiri

     jumlah pajak yang terutang.

    Contohnya : Dalam sistem ini masyarakat (Wajib Pajak) bersifat pasif dan

    menunggu dikeluarkannya suatu ketetapan pajak oleh fiskus. Besarnya utang

     pajak seseorang baru dikeluarkan, misalnya Pajak Petambahan Nilai (PPN),

    Pajak Penghasilan (PPh), dan Pajak Penjualan atas Barang mewah (PPnBM ).

  • 8/18/2019 2011-1-00022-AK 2

    10/32

    15

    •  Official Assesment System

    Adalah suatu sistem pemungutan yang memiliki wewenang kepada pemerintah

    (fiskus) untuk menetukan besarknya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

    Dalam sistem ini pihak fiskus masih cukup dominan untuk menghitung

    dan menetapkan utang pajak. Sistem ini umumnya diterapkan terhadap jenis

     pajak yang melibatkan masyarakat luas di mana masyarakat selaku subyek pajak

    atau wajib pajak dipandang belum mampu disertahi tanggung jawab untuk

    menghitung dan menetapkan pajak. Contoh pajak yang masih menggunakan

    sistem ini adalah Pajak Bumi dan Bangunan.

    •  With Holding System

    Adalah system pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga

    (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menetukan

     besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

    Tanggung jawab ada pada pihak ketiga (hal ini dapat dilihat dalam Pajak

    Penghasilan (PPh) dimana pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana

     pensiun, dan sebagainya yang kepadanya diserahi tanggung jawab untuk

    memotong pajak terhadap penghasilan yang mereka bayarkan).

  • 8/18/2019 2011-1-00022-AK 2

    11/32

  • 8/18/2019 2011-1-00022-AK 2

    12/32

    17

    masukan. Pajak keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut ketika

    Pengusaha Kena Pajak (PKP) menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah

    Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dibayar ketika Pengusaha Kena Pajak (PKP)

    membeli, memperoleh, atau membuat produknya.

    Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN),

    yaitu sebesar 10% (sepuluh persen) . Dasar hukum utama yang digunakan untuk

     penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia adalah Undang-undang Nomor 8

    Tahun 1983 berikut revisinya, yaitu Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 dan

    Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, dan terakhir revisi Undang-undang Nomor 42

    Tahun 2009.

    Bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penjualan eceran di mana

     penjualan dilakukan kepada komsumen akhir yang tidak diketahui identitasnya dan

     biasanya jumlah transaksinya banyak dengan volume kecil, maka sangat tidak efektif

    untuk membuat faktur pajak sesuai ketentuan dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN di mana

    faktur pajak paling sedikit harus memuat :

    1.  nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang menyerahkan

    Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP).

    2.  nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembeli Barang Kena

    Pajak / Jasa Kena Pajak (BKP/JKP).

    3.   jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga

    4.  Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut.

    5.  kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak.

  • 8/18/2019 2011-1-00022-AK 2

    13/32

    18

    6.  nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.

    Selama ini, Pengusaha Kena Pajak (PKP) pedagang pengecer ini bisa

    menggunakan Faktur Pajak sederhana tanpa harus memuat semua informasi di atas. Nah,

    mulai 1 April 2010 nanti tidak ada lagi Faktur Pajak sederhana dan PKP pedagang

    eceran terpaksa membuat faktur pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat

    (5) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Bagi pembeli, hal ini tidak ada

    masalah karena pembeli dari pedagang eceran biasanya adalah konsumen akhir dan

     bukan Pengusaha Kena Pajak (PKP) sehingga tidak perlu untuk mengkreditkan pajak

    masukannya

    II.2.2. Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai

    Menurut Pandiangan (2003:86), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang merupakan

     pajak tidak langsung di Indon esia yang dikelola Direktorat Jenderal Pajak Departemen

    Keuangan, mulai berlaku sejak 1 April 1985. Dasar hukum pengenaannya adalah

     berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 Dengan berlakunya Undang-undang

    ini, maka Pajak Penjualan Pajak 1951 digantikan oleh Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

    atau disebut juga Pajak Konsumsi. sejak diberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

    melalui Undang-undang Tahun 1998, telah dilakukan dua kali perubahan yaitu Undang-

    undang Nomor 11 Tahun 1994 dan terakhir Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000.

    Dalam Ketentuan pasal 1 Undang-undang Nomor 18 tahun 2000 dan versi treakhir yaitu

    Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 yang dimaksud :

    1.  Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat,

     perairan, dan ruang udara diatasya serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi

    Eksklusif dan Landas Kontinen tentang Kepabeanan.

  • 8/18/2019 2011-1-00022-AK 2

    14/32

    19

    2.  Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat

     berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud.

    3.  Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang sebagaimana dimaksud dalam angka 2

    yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini.

    4.  Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) adalah setiap kegiatan penyerahan

    Barang Kena Pajak

    5.  Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan

    hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak

    tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang

    karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk pemesanan.

    6.  Jasa kena Pajak (JKP) adalah jasa yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-

    undang ini.

    7.  Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan

    menukar barang, tanpa mengubah bentuk dan/atau sifatnya.

    8. 

    Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal y ang merupakan kesatuan baik

    yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi

     perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik

     Negara atau daerah dengan nama dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi,

    dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi

    sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap.

    9.  Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam

    kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,

    mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak

  • 8/18/2019 2011-1-00022-AK 2

    15/32

  • 8/18/2019 2011-1-00022-AK 2

    16/32

    21

    Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam

     pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g dan huruf h, kecuali pengusaha

    kecil yang abtasannya ditetapkan oleh menteri keuangan, wajib melaporkan

    usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena pajak dan wajib

    memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak pertambahan Nilai dan Pajak

    Penjualan atas Barang Mewah yang terutang

    Pasal 3 Ayat (1a) :

    Pengusaha kecil sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat memilih untuk

    dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

    Pasal 3 ayat (2) :

    Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha

    Kena Pajak wajib melaksanakan ketenutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

    Pasal 3 ayat (3) :

    Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak

    Berwujud dari luar Daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)

    huruf d dan/atau yang memanfaatkan Jasa kena Pajak dari luar Daerah Pabean

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e wajib memungut,

    menyetor, dan mealporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang yang

     perhitungan dan tata caranya diatur dengan Peraturan Menteri keuangan.

    II.2.4. Objek Pajak Pertambahan Nilai

    Herlina, R (2008:24) mengemukakan “ Objek Pajak Pertambahan Nilai “ adalah:

    Objek atau sasaran dalam pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah

    “Penyerahan”, yang biasanya dikatakan penjualan, namun tidak semua proses penjualan

  • 8/18/2019 2011-1-00022-AK 2

    17/32

    22

    dikenakan pajak. Dalam Pasa 4 Undang-undang No. 42 Tahun 2009 menjelaskan

    tentang objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan atas:

    a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh

    Pengusaha.

     b. Impor Barang Kena Pajak.

    c. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh

     pengusaha.

    d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di

    dalam Daerah Pabean.

    e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah

    Pabean;

    f. Ekspor Barang Kena Pajak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.

    g. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.

    h. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

    II.2.5. Barang dan Jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai

    Menurut Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 4A :

    Ayat (2) yaitu Jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai adalah

     barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut :

    a.  Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil lansung dari

    sumbernya

     b.  Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak

    c.  Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung,

    dan sejenisnya, meliputi makan dan minuman baik yang dikonsumsi di temapt

  • 8/18/2019 2011-1-00022-AK 2

    18/32

    23

    maupun tidak, termasuk makan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa

     boga atau catering

    d.  Uang, emas batangan, dan surat berharga.

    Ayat (3) yaitu : Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah

     jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut :

    a. Jasa Pelayanan kesehatan medis.

     b. Jasa Pelayanan sosial.

    c. Jasa pengiriman surat dengan perangko.

    d. Jasa keuangan.

    e. Jasa Asuransi.

    f. Jasa keagamaan.

    g. Jasa pendidikan.

    h. Jasa kesenian dan hiburan.

    II.2.6. Kelemahan dan Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai

    Menurut Mardiasmo (2008:269) Kelemahan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

    adalah :

    1.  Adanya Pajak Berganda.

    2.  Tidak mendorong ekspor, dan belum dapat mengatasi penyelundupan.

    Kelebihan pajak Pertambahan Nilai :

    1.  Mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda.

    2.   Netral dalam perdagangan dalam dan luar negeri.

    3.  Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas perolehan Barang Modal dapat diperoleh

    kembali pada bulan perolehan, sesuai dengan tipe konsumsi (‘consumption

  • 8/18/2019 2011-1-00022-AK 2

    19/32

    24

    type VAT’) dan metode pengurangan tidak langsung (‘indirection subtraction

    method’). Dengan demikian sangat membantu likuiditas perusahaan.

    4.  Ditinjau dari masuk pendapatan negara, Pajak Pertambahan Nilai mendapat

     predikat sebagai “ money maker ” karena konsumen selaku pemikul beban

     pajak tidak merasa

    dibebani oleh pajak tersebut sehingga memudahkan fiskus untuk

    memungutnya.

    II.2.7. Saat dan Tempat Terutang Pajak Pertambahan Nilai

    Saat Terutang Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan Undang-undang Nomor 42

    Tahun 2009 Pasal 11 ayat (1) yaitu :

    a.  Penyerahan Barang Kena Pajak.

     b.  Impor Barang Kena Pajak.

    c.  Penyerahan Jasa Kena Pajak.

    d. 

    Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean.

    Maksudnya adalah Orang pribadi atau badan memanfaatkan barang Kena Pajak

    Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean atau memanfaatkan

    Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, terutangnya pajak

    terjadi pada saat orang pribadi atau badan tersebut mulai memanfaatkan Barang Kena

    Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut di dalam Daerah Pabean.

    e.  Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean.

    f.  Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, atau

    g.  Ekspor Jasa Kena Pajak.

  • 8/18/2019 2011-1-00022-AK 2

    20/32

    25

    II.3. Perhitungan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai

    II.3.1. Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai

    Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif

    dengan Dasar Pengenaan Pajak.

    Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor,

     Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan

    yangdipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.

    a.  Harga Jual

    Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau

    seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak

    (BKP), tidaktermasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut

    menurut Undang-undang dan potongan harga dan potongan harga yang

    dicantumkan dalam faktur.

     b.  Pembeli

    Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima tau seharusnya

    menerima

     penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan yang membayar atau seharusnya

    membayar harga Barang Kena Pajak (BKP).

    c.  Penggantian

    Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta

    atau

    seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak

    (JKP), tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang dan

     potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

  • 8/18/2019 2011-1-00022-AK 2

    21/32

    26

    d.  Penerima Jasa

    Penerima jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau

    seharusnya

    menerima penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) dan yang membayar atau

    seharusya membayar penggantian atas Jasa Kena Pajak (JKP).

    e.   Nilai Impor

     Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar p enghitungan bea

    masuk ditambahkan pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan

    ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk impor Barang

    Kena Pajak (BKP), tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang

    dipungut Undang-undang.

    f.   Nilai Ekspor

     Nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta

    atas

    seharusya diminta oleh eksportir.

    g.   Nilai Lain

    Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dapat ditetapkan dengan

    Keputusan Menteri Keuangan hanya untuk menjamin rasa keadilan dalam

    hal:

    a. Harga Jual, Nilai Penggantian, Nilai Impor, dan Nilai Ekspor sukar

    ditetapkan.

     b. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang dibutuhkan oleh masyarakat

     banyak,seperti air minum, listrik dan sejenisnya.

  • 8/18/2019 2011-1-00022-AK 2

    22/32

    27

    Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010 tanggal 31

    maret 2010 telah menetapkan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak untuk beberapa

     penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak, yaitu:

    1. Untuk pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak

    adalah Harga Jual atau Penggantian, setelah dikurangi laba kotor.

    2. Untuk pemberian cuma-Cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena

    Pajak adalah Harga Jual atau penggantian setelah dikurangi harga laba

    kotor.

    3. Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan

    harga jual rata-rata.

    4. Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul

    film.

    5. Untuk Penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual

    eceran.

    6. Untuk Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang

    menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa

     pada saat pembubaran perusahaan, adalah harga pasar wajar.

    7. Untuk penyerahan Barang kena Pajak dari pusat ke cabang adalah harga

     pokok penjualan atau ahrga perolehan.

    8. Untuk penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) kepada pedagang perantara

    atau melalui juru lelang adalah harga lelang.

    9. Untuk penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) kepada pedagang perantara

    atau melalui juru lelang adalah harga lelang.

  • 8/18/2019 2011-1-00022-AK 2

    23/32

    28

    10. Untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen)

    dari jumlah yang ditagih atau jumlah syang seharusnya ditagih atau

    11. Untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa pariwisata adalah 10%

    (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau jumlah syang seharusnya

    ditagih

    II.3.2. Tarif Pajak Pertambahan Nilai

    Menurut Djoko Muljono (2008:6) : 

    Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku saat ini adalah 10% (sepuluh

     persen). Sedangkan Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas ekspor Barang Kena

    Pajak (BKP) adalah 0% (nol persen). Pengenaan tarif 0% (nol persen) bukan berarti

     pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), tetapi Pajak Masukan yang

    telah dibayar dari barang yang diekspor dapat dikreditkan.

    Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan atau peningkatan

    kebutuhan dana untuk pembangunan, dengan Peraturan Pemerintah tarif Pajak

    Pertambahan Nilai (PPN) dapat diubah serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan

    setinggi-tingginya 15% (lima belas persen) dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal.

    II.3.3. Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai 

    Pembayaran atau penyetoran Pajak Pertambahan Nilai dilakukan dengan

    menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak

     Nomor PER-148/PJ./2007 tentang Pelaksanaan Modul Penerimaan Negara, pengertian

    Surat Setoran Pajak (SSP) adalah Surat yang oleh Wajib Pajak (WP) digunakan untuk

    melakukan pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang ke kas negara melalui

  • 8/18/2019 2011-1-00022-AK 2

    24/32

  • 8/18/2019 2011-1-00022-AK 2

    25/32

    30

    dengan formulir 1108 bagi Pengusaha Kena Pajak yang Dikukuhkan di Kantor

    Pelayanan Pajak Dalam Rangka Pengolahan Data dan Dokumen di Pusat Pengolahan

    Data dan Dokumen Perpajakan, maka untuk PKP yang dikukuhkan di Kantor Pelayanan

    Pajak sebagaimana diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, SPT Masa PPN

     bentuk Formulir 1108 wajib digunakan bagi PKP yang menyampaikan SPT dalam

     bentuk formulir kertas (‘hard copy’).

    II.3.5. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai

    Menurut Winston, M (2009:96) Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 yang

    terdapat pada Pasal 1 angka 27 merumuskan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai

    adalah Bendaharawan Pemerintah, Badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh

    Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak terutang oleh

    Pengusaha Kena Pajak (PKP) atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa

    Kena Pajak (JKP) kepada Bendaharawan Pemerintah, badan atau instansi pemerintah

    tersebut.

    II.4. Faktur Pajak, Pajak Masukan dan Pajak Keluaran

    II.4.1. Faktur Pajak

    Untuk melakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) harus

    menggunakan sarana Faktur Pajak. Faktur pajak merupakan bukti pungutan pajak atau

     penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha

    Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau

  • 8/18/2019 2011-1-00022-AK 2

    26/32

    31

     penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), bukti atau pungutan pajak karena impor Barang

    Kena Pajak (BKP) yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai, dasar hukum

    dari Faktur Pajak adalah Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Pajak Pertambahan

     Nilai Pasal 13 sebagai berikut :

    Faktur Pajak dibedakan menjadi tiga jenis yaitu :

    1.  Faktur Pajak Sederhana

    Faktur Pajak Sederhana diatur dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 42

    Tahun 2009 Pajak pertambahan Nilai, dan Keputusan Direktorat jenderal Pajak

     Nomor PER-159/PJ/2006 tentang saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan,

    Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan faktur Pajak Sederhana.

    Sesuai dengan Pasal 13 ayat 5 Faktur Pajak Standar memuat beberapa hal

    yaitu :

    a. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang menyerahkan Barang

    Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena pajak (JKP).

     b. Nama. Alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembeli Barang Kena

    Pajak (BKP) dan atau penerima Jasa Kena pajak (JKP).

    c. Jenis barang dan jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga;

    d. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut;

    e. Pajak Penjualan barang Mewah (PPNBM) yang dipungut;

    f. Kode, Nomor Seri, dan tanngal pembuatan Faktur Pajak, dan

    g. Nama, jabatan, dan tanda tangan, yang berhak menandatatangani Faktur Pajak.

    Faktur Pajak harus diisi dengan lengkap, jelas, dan benar baik formal

    maupun materiil dan ditandatangani oleh pejabat yang ditunjuk oleh Pengusaha

    Kena Pajak (PKP) untuk ditandatanganinya.

  • 8/18/2019 2011-1-00022-AK 2

    27/32

  • 8/18/2019 2011-1-00022-AK 2

    28/32

    33

    2.  Faktur Pajak Gabungan

    Faktur Pajak Gabungan merupakan faktur Pajak Sederhana yang cara

     penggunaanya diperkenankan kepada Pengusaha Kena Pajak (PKP) atas

     beberapa kali penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP)

    kepada pembeli atau penerima jasa yang sama dilakukan dalam satu Masa Pajak,

    dan ahrus dibuat selambat-lambatny a pada akhir bulan berikutny a setelah bulan

    terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP).

    Dalam hal pembayaran sebelum Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak

    (BKP/JKP) atau terdapat pembayaran sebelum Faktur Pajak Gabungan tersebut

    dibuat, maka untuk pembayaran tersebut dibuat faktur Pajak tersendiri pada saat

    diterima pembayaran. Tanggal penyerahan/pembayaran pada Faktur Pajak diisi

    dengan tanggal awal penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP)

    sampai dengan tanggal terakhir dari Masa Pajak yang dibuat Faktur Pajak

    Gabungan, dengan melampirkan daftar tanggal penyerahan masing-masing

    Faktur Penjualan.

    II.4.2. Pajak masukan dan Pajak Keluaran

    Pengertian Pajak Masukan dan Pajak Keluaran

    Berdasarkan pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, Pajak Masukan

    adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha kena

    Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan

     pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan atau

     pemanfaatan Jasa kena Pajak di luar Daerah Pabean dan atau impor Barang Kena Pajak.

  • 8/18/2019 2011-1-00022-AK 2

    29/32

    34

    Perubahan terakhir Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Angka 24 memiliki

     perbedaan yang tidak diubah pengertiaannya atau sama.

    Sedangkan Pengertian Pajak Keluaran berdasarkan pasal 1 angka 25 Undang-

    undang Nomor 18 Tahun 2000, Pajak Keluaran merupakan Pajak Pertambahan Nilai

    terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan

    Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak.

    Perubahan terakhir Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Angka 25 memiliki

     perbedaan dalam arti Pajak Keluaran merupakan Pajak Pertambahan Nilai terutang yang

    wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena

    Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Berwujud , dan/atau

    ekspor Jasa Kena Pajak.

    Mekanisme Pengkreditan Pajak Masukan

    Pada dasarnya semua pajak masukan dikreditkan, antara lain yaitu :

    a. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran

    untuk Masa Pajak yang sama.

     b. Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak

    Masukan tetap dapat dikreditkan.

    c. Apabila dalam suatu Masa Pajak, jumlah Pajak Keluaran lebih besar daripada

     jumlah Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak pertambahan Nilai

    (PPN) yang wajib dibayar Pengusaha Kena Pajak (PKP).

    d. Apabila dalam suatu Masa Pajak, jumlah Pajak Masukan lebih besar daripada

     jumlah Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan Pajak Masukan

    yang dapat diminta atau dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.

  • 8/18/2019 2011-1-00022-AK 2

    30/32

    35

    e. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan untuk

     perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berhubungan

    langsung dengan kegiatan usaha melakukan penyerahan kena pajak.

    Meskipun berhubungan langsung dengan kegiatan usaha menghasilkan

     penyerahan kena pajak, dalam hal-hal tertentu tidak tertutup kemungkinan Pajak

    Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan, misalnya :

    •  Transaksi menggunakan Faktur Pajak Sederhana.

    •  Transaksi menggunakan Faktur Pajak standar namun tidak memenuhi

    ketentuan (Faktur Pajak Cacat).

    •  Masa pengkreditan Pajak Masukan telah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan

    sejak berakhirnya Masa Pajak diterbitkannya Faktur Pajak.

    Terdapat Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan, Kriteria Pajak Masukan

    yang tidak dapat dikreditkan diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal

    9 ayat 8 dan pasal 16B ayat 3 Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai, rinciannya

    sebagai berikut :

    1. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha

    dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

    2. Perolehan barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai

    hubungan langsung dengan kegiatan usaha.

    3. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon,

    dan van kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan.

  • 8/18/2019 2011-1-00022-AK 2

    31/32

    36

    4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena

    Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai

    Pengusaha Kena Pajak.

    5. Perolehan barang Kena Pajak atua Jasa Kena Pajak yang bukti pungutannya

     berupa Faktur Pajak Sederhana.

    6. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak ayng Faktur Pajaknya

    tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5)

    Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai (Faktur Pajak Cacat).

    7. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena

    Pajak dari luar Daerah Pabean dan Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan

    sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Pajak

    Pertambahan Nilai Pasal 13 ayat 6 (Faktur Pajak Cacat).

    8. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya

    ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak.

    9. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya

    tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai,

    yang ditemukannya pada waktu pemeriksaan.

    10. Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau

     perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan

    Pajak Pertambahan Nilai

  • 8/18/2019 2011-1-00022-AK 2

    32/32

    II.4.3 Perbandingan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT

    PPN) 1107 dengan Surat Pemberitahuan (SPT) 1108

    Bentuk penyajian, dan cara pengisian Surat Pemberitahuan Masa Pajak

    Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) 1107 lebih mudah/sederhana jika dibandingkan

    dengan pengisian, dan pembuatan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai

    (SPT Masa PPN) 1108.

    Perbandingan efisiensi pembuatan laporan jga jauh lebih efisiensi Surat

    Pemberitahuan 1107 dibandingkan Surat Pemberitahuan 1108.

    Cara pengisian Surat Pemberitahuan 1108 dan cara pelaporannya mewajibkan

    seluruh lembaran harus dilaporkan, walaupun dalam lembaran tidak ada transaksi Pajak

    Pertambahan nilai (PPN) yang dilaporkan.

    Ketentuan-ketentuan SPT PPN 1108 jauh lebih sulit dilaksanakan seperti

    ketentuan Ukuran Kertas, Lebar, penggunaan Huruf dan Besarnya Garis di SPT PPN

    1108 bisa diterima/ditolak suatu SPT yang dilaporkan yang semestinya tidak terlalu

    dipermasalahkan sepanjang bentuk dan isinya tidak dirubah.